Download - 88234528 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

Transcript
  • Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan Dinas

    Volume 09/Nomor 03/September/2006

    EDITORIAL

    MAKALAH KEBIJAKAN

    ARTIKEL PENELITIAN

    Jurn

    al M

    an

    ajem

    en

    Pelaya

    na

    n K

    eseh

    atan

    Vol

    09. N

    o. 03

    h

    .107-165

    93

    2006

    ManajemenPelayanan KesehatanThe Indonesian J ournal o f H ealth Se rvice Ma nagement

    j u r n a l ISSN 1410-6515

    Diterbitkan oleh/Published by:Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

    Center for Health Services Management Faculty of Medicine Gadjah Mada University

    JMPK Nomor03Hlm.

    107-165Yogyakarta

    September 2006Tahun

    09ISSN

    1410-6515TerakreditasiDitjen Dikti

    No.: 45/DIKTI/Kep./2006

    Ukuran dan Warna seperti contoh

    Ukuran dan Warna seperti contoh

    Ukur

    an

    da

    n W

    arn

    a s

    ep

    erti

    co

    nto

    hUk

    ura

    n d

    an

    Wa

    rna

    se

    pe

    rti c

    ont

    oh

    KORESPONDENSI

    RESENSI

    Ukur

    an

    da

    n W

    arn

    a s

    ep

    erti

    co

    nto

    hUk

    ura

    n d

    an

    Wa

    rna

    se

    pe

    rti c

    ont

    oh

    Percepatan Pendidikan Dokter Spesialis:Salah Satu Cara Penting untuk Mengatasi Masalah Pemerataan Pelayanan Kesehatan

    Contracting Out Pelayanan Kesehatan: Sebuah Alternatif Solusi Keterbatasan Kapasitas Sektor Publik

    Decision Space dalam Program Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2006

    Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000: Studi Kasus di Dua RSUD Provinsi Jawa Timur

    Studi Kasus Deskriptif Efektivitas Pelaksanaan Regulasi Perizinan Rumah Sakit Umum

    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Kesehatan Daerah Bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2006Determinan Distribusi Dokter Spesialis di Kota/Kabupaten Indonesia

    Regulasi Dokter Spesialis: Studi Komparasi Regulasi Pelayanan Kesehatandi Kota Medan Indonesia dan Negeri Pulau Pinang Malaysia

    Healthcare Outcomes Management: Strategies for Planning and Evaluation

  • ii

    Jurnal Manajemen Pelayanan KesehatanThe Indonesian Journal of Health Service Management

    Diterbitkan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 4 kalisetahun (triwulan). Misi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan adalah menyebarluaskan dan mendiskusikan berbagaitulisan ilmiah mengenai manajemen dan kebijakan dalam lingkup pelayanan kesehatan. Dengan demikian jurnal iniditujukan sebagai media komunikasi bagi kalangan yang mempunyai perhatian terhadap ilmu manajemen dan kebijakanpelayanan kesehatan antara lain para manajer dan pengambil kebijakan di organisasi-organisasi pelayanan kesehatanseperti rumah sakit pemerintah dan swasta, dinas kesehatan, Departemen Kesehatan, pusat-pusat pelayanan kesehatanmasyarakat, BKKBN, pengelola industri obat, dan asuransi kesehatan, serta para peneliti, pengajar, dan ilmuwan yangtertarik dengan aplikasi ilmu manajemen dan kebijakan dalam sektor kesehatan. Isi jurnal berupa artikel kebijakan atauhasil penelitian yang berkaitan dengan manajemen rumah sakit, manajemen pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan,dan masalah-masalah yang relevan dengan manajemen dan kebijakan kesehatan.

    Pemimpin Redaksi

    Laksono Trisnantoro

    Editor

    Abdul Razak Thaha Tjahjono KuntjoroBhisma Murti Sri Werdati

    Johana E. Prawitasari Yulita HendrartiniI. Riwanto Yodi Mahendradhata

    Mitra Bestari (Peer Reviewer)

    A.A.Gde Muninjaya Hari Kusnanto JosefM. Ahmad Djojosugito Mubasysyir Hasanbasri

    Ali Ghufron Mukti Sri SuryawatiBambang Purwanto Triono Soendoro

    Sekretaris Redaksi

    Hilaria Lestari Budiningsih

    Penerbit

    Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK UGM, YogyakartaSTT: 2398/SK/DITJEN PPG/STT/1998

    Harga langganan untuk satu tahun (4 kali terbit/triwulan)Pulau Jawa Rp100.000,00

    Luar Pulau Jawa Rp125.000,00 (Sudah termasuk ongkos kirim)Bank BNI 46 Cabang UGM Yogyakarta No Rek.: 0038603369 a.n Laksono Trisnantoro/Seminar

    Bukti Transfer mohon di fax sebagai bukti berlangganan

    Alamat surat-menyurat menyangkut naskah, langganan keagenan dan pemasangan iklan:Sekretariat Redaksi Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    d/a Gedung KPTU Lantai 3, Fakultas Kedokteran UGM, YogyakartaJl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta 55281

    Telp/Fax: 0274-547490, 549425Email: [email protected]

    Web-site: www.jmpk-online.net

  • iEditorialPercepatan Pendidikan Dokter Spesialis:Salah Satu Cara Penting untuk Mengatasi Masalah Pemerataan Pelayanan Kesehatan 107

    Makalah KebijakanContracting Out Pelayanan Kesehatan: Sebuah Alternatif Solusi KeterbatasanKapasitas Sektor PublikBhisma Murti 109

    Artikel PenelitianDecision Space dalam Program Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2006Dewi Marhaeni Diah Herawati 118

    Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000:Studi Kasus di Dua RSUD Provinsi Jawa TimurHanevi Djasri 121

    Studi Kasus Deskriptif Efektivitas Pelaksanaan Regulasi Perizinan Rumah Sakit UmumInni Hikmatin, Hanevi Djasri, Adi Utarini 129

    Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Kesehatan Daerah BersumberAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2006Tisa Harmana, Wiku B. Adisasmito 134

    Determinan Distribusi Dokter Spesialis di Kota/Kabupaten IndonesiaYaslis Ilyas 146

    Regulasi Dokter Spesialis: Studi Komparasi Regulasi Pelayanan Kesehatandi Kota Medan Indonesia dan Negeri Pulau Pinang MalaysiaZulfendri 156

    Resensi BukuHealthcare Outcomes Management: Strategies for Planning and Evaluation 163

    KorespondensiFaktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Penempatan Dokter Spesialis Ikatan Dinas 164

    JurnalManajemen

    Pelayanan KesehatanThe Indonesian Journal of Health Service Management

    Volume 09/Nomor 03/September/2006

    Daftar Isi

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 107

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    PERCEPATAN PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS:SALAH SATU CARA PENTING UNTUK MENGATASIMASALAH PEMERATAAN PELAYANAN KESEHATAN

    Saat ini di Indonesia terdapat kekurangan akutdalam hal jumlah spesialis yang merupakanparadoks dalam sistem pelayanan kesehatan. Dalamkonteks paradoks, sistem pelayanan kesehatandiharapkan sebagai sektor sosial yang penuh nilaikemanusiaan, namun sekaligus dipengaruhi olehhukum pasar. Keduanya dapat bertentangan.Sebagai gambaran paradoks ada kenyataan bahwasemakin besar kekuatan ekonomi di suatu wilayah,maka semakin banyak tersedia dokter spesialis.Sementara itu, dihubungkan dengan persentasependuduk miskin justru didapatkan hasil hubunganyang negatif. Semakin banyak masyarakat miskin,maka semakin sedikit jumlah spesialis. Derajadasosiasi sekitar 0.9. Sebagai gambaran timpangnyapenyebaran, data IDAI (2005) menunjukkan bahwajumlah dokter spesialis anak (Sp.A) di DKI Jakartaadalah 443 (5.29 Sp.A per 100.000 penduduk)sementara di Provinsi Papua hanya 7 (0.32 Sp.Aper 100.000 penduduk).

    Harapan menyatakan bahwa dokter seharusnyaseperti Ibu Teresa yang dekat dengan masyarakatmiskin. Kenyataan menyatakan sebaliknya sepertiyang diteliti oleh Ilyas1. Paradoks penyebaran dokterspesialis ini merupakan hal serius karenamembahayakan pemerataan pelayanan kesehatanbagi keluarga miskin yang saat ini didanai pemerintahpusat melalui program Askeskin. Dikhawatirkan danapelayanan rumah sakit bagi masyarakat miskin akanterserap di daerah yang ada spesialis dan peralatanmediknya. Hal ini akan memperbesar kesenjanganantara Jawa dan luar Jawa.

    Bagaimana cara mengatasi paradokspenyebaran spesialis ini? Salah satu cara adalahpercepatan pendidikan dokter spesialis. Cara inidianggap penting karena pendidikan spesialis saatini dirasakan lambat dan lulusannya banyak yangtidak cocok untuk bekerja di daerah-daerah yangkekurangan spesialis.

    Dalam konteks pendidikan spesialis untukdaerah-daerah tertentu ada beberapa pertanyaanpenting: (1) Apa yang disebut sebagai kompetensispesialis dalam suasana global yang mempunyaiteknologi tinggi dengan kekurangan dokter spesialisyang terutama di daerah terpencil atau yang

    ekonominya kurang; (2) Apakah ada suatukompetensi medik yang minimal mengingatkebutuhan yang berbeda di berbagai daerah?; (3)Apakah ada kompetensi perilaku dan budaya yangperlu dibahas dalam pendidikan?; dan (4)Bagaimanakah metode pendidikan untuk percepatanpenambahan jumlah spesialis.

    Secara kompetensi medik, Majelis KolegiumKedokteran Indonesia (MKKI) menganjurkan setiapprogram pendidikan dokter spesialis mengacu padaGlobal Standards in Postgraduate Medical Educa-tion yang dikeluarkan oleh World Federation forMedical Education (WFME, 2003). Walaupun adaperbedaan dalam tradisi mengajar, budaya, kondisisosial ekonomi, spektrum kesehatan dan penyakit,serta berbagai macam sistem pelayanan kesehatanpada tiap negara, namun dasar Ilmu Kedokteran danevidence based medicine dalam praktik klinisnyaharus tetap mengacu pada pedoman universal.Standar internasional dapat dimodifikasiberdasarkan kebutuhan dengan prioritas regional,nasional dan institusional. Modifikasi boleh dilakukandengan catatan setiap negara bertanggung jawabuntuk memastikan bahwa Postgraduate MedicalTraining Program (PMPT) ini mendukung tujuannasional pelayanan kesehatan. Dalam praktiknya,penyesuaian standar global dengan local wisdomsangat bervariasi. Dalam standar global WFME rasioantara kurikulum inti dengan kurikulum pilihan dapatberkisar antara 60% 80% dengan 20% 40%2.Dengan mengingat pedoman gobal ini maka ada duastandar yang perlu dipertimbangkan yaitu: basicstandard yang harus dipenuhi dan terlihat pada prosesevaluasi, dan standard for quality development.

    Dalam konteks ini maka terbuka peluang untukpengembangan kurikulum yang dapat memenuhikebutuhan dasar dan mutu pelayanan di berbagaidaerah. Diharapkan akan ada percepatan pendidikanresidensi dengan mengacu pada kebutuhan lokalnamun tidak mengabaikan kompetensi dasar kliniksesuai dengan standar internasional.

    Salah satu hal penting adalah kebijakanpemerintah daerah dan pusat dalam hal rekrutmencalon spesialis dan kerja sama dengan perguruantinggi dan rumah sakit pendidikan. Diharapkan ada

    JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 09 No. 03 September l 2006 Halaman 107 - 108

    Editorial

  • 108 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Andreasta Meliala: Peranan Pemerintah Daerah Dalam Mengatasi Maldistribusi Tenaga Dokter

    kebijakan yang merekrut spesialis berdasarkankecocokan profil individu dokter dengan keadaanekonomi dan budaya rumah sakit yang akanditempatinya. Dengan kecocokan ini diharapkanseumur hidup dokter spesialis akan berkarier ditempatnya tanpa harus pindah ke daerah lain. Kerjasama antara pemerintah daerah/pusat denganfakultas kedokteran diharapkan mampu untukmelakukan inovasi-inovasi yang baik agar hasilpendidikan dokter spesialis tersebut dapat cocokbekerja di tempatnya, termasuk kompeten dalam

    berinteraksi dengan sistem sosial dan budayasetempat. (Laksono Trisnantoro, [email protected])

    KEPUSTAKAAN1. Ilyas Y., Determinan Distribusi Dokter Spesialis

    di Kota/Kabupaten Indonesia. JurnalManajemen Pelayanan Kesehatn. FakultasKedokteran UGM. Yogyakarta 2006; 09(03)/September: 145-54.

    2. Sunarto, Y., Emilia, O. Tantangan PendidikanSpesialis Anak. Mimeo. 2005.

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 109

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    CONTRACTING OUT PELAYANAN KESEHATAN:SEBUAH ALTERNATIF SOLUSI KETERBATASAN

    KAPASITAS SEKTOR PUBLIK

    CONTRACTING OUT FOR HEALTH SERVICE;AN ALTERNATIVE SOLUTION

    TO THE CAPACITY CONSTRAINT OF PUBLIC SECTOR

    Bhisma MurtiBagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran,

    Universitas Sebelas Maret,Surakarta, Jawa Tengah

    ABSTRACTContracting out is the practice of public sector or private firms ofemploying and financing an outside agent to perform somespecific task rather than managing it themselves. The rationalefor contracting is that public providers lack the incentive to useresources efficiently, and that private (or autonomous) providersare more efficient than public providers. Contracting out clearlyseparates the roles of purchaser and provider, and tightly linkspayment to performance of the provider. According to classicaleconomic theory, contracting stimulates competition amongproviders in managed markets, induces cost awareness amongproviders and purchasers, and enhances transparency innegotiations. Providers are forced to minimize production costand adjust the prices to meet the demand and requirements ofpurchasers. All these factors contribute to efficiency. In addition,contracting would promote decentralization managerialresponsibility, a shift that would translate in efficiency gains incontrast to the old highly-centralized, bureaucratic structure,considered insensitive of the cost implications of allocativedecisions. As is the case with any model, contracting out approachis not a panacea to all health problems. But in light of the limitedabsorptive capacity of the public sector, it is an alternative strategyworth considering for increasing the coverage and the quality ofservices in developing countries such as Indonesia. Monitoringand evaluation is an indispensible instrument for contracting outto exhibit its relative advantages.

    Keywords: contracting, health services, public, private, managedmarket

    ABSTRAKContracting out merupakan praktik yang dilakukan pemerintahatau perusahaan swasta untuk mempekerjakan dan membiayaiagen dari luar untuk menyediakan pelayanan tertentu daripadamengelolanya sendiri. Alasan mengontrakkan adalah bahwapenyedia pelayanan publik kurang memiliki motivasi untukmenggunakan sumber daya dengan efisien, dan bahwa penyediaswasta (atau mandiri) lebih efisien daripada penyedia publik.Contracting memisahkan dengan jelas peran sebagai pembayaratau pembeli dan peran sebagai penyedia pelayanan, sertamengaitkan pembayaran dengan kinerja penyedia pelayanan.Menurut teori ekonomi klasik, contracting merangsang kompetisidi antara penyedia pelayanan dalam pasar terkelola, mendorongkesadaran biaya di antara penyedia maupun pembeli pelayanan,dan memperbaiki transparansi dalam negosiasi. Penyediapelayanan dipaksa untuk meminimalkan biaya produksi, sertamenyesuaikan harga-harga untuk memenuhi permintaan dan

    keperluan pembeli pelayanan. Semua ini memberikansumbangan ke arah efisiensi. Selain itu, contracting meningkatkantanggung jawab manajerial desentralisasi, suatu pergeseran yangakan menghasilkan efisiensi dibandingkan dengan strukturbirokratik lama yang sangat sentralistis, yang tidak peka terhadapimplikasi biaya dari setiap keputusan alokasi. Sebagaimana modelpenyediaan pelayanan kesehatan apapun, pendekatan kontrakbukan merupakan panasea (=obat mujarab bagi segalapenyakit) untuk semua masalah kesehatan. Tetapi sehubungandengan keterbatasan kapasitas absorbsi di sektor pemerintah,contracting out merupakan sebuah alternatif strategi yangpantas dipertimbangkan untuk meningkatkan cakupan dankualitas pelayanan di negara-negara berkembang sepertiIndonesia. Monitoring dan evaluasi merupakan instrumen pentinguntuk menunjukkan keunggulan relatif contracting out.

    Kata kunci: contracting, pelayanan kesehatan, pemerintah,swasta, managed competition

    PENGANTARSejak dekade 1980-an terdapat dorongan

    kebijakan internasional yang kuat untukmemperkenalkan mekanisme pasar dalampelayanan kesehatan di negara-negara berkembangdan mengurangi peran negara. Alasan yang melataridorongan itu adalah tidak memadainya sumber-sumber daya pemerintah untuk menyediakanpelayanan kesehatan universal. Selain itu, strukturtipikal di sektor pemerintah atau publik di negara-negara berkembang tidak selalu kondusif untukmemperluas akses, meningkatkan kualitaspelayanan, maupun memastikan efisiensipenggunaan dana.1 Upaya untuk memperbaikikualitas pelayanan publik umumnya gagal karenaterbentur oleh keterbatasan kapasitas pemerintah,campur tangan politik, sumber daya yang tidakmemadai, kekakuan pemanfaatan tenaga kerja.1,2,3,4Sebagai contoh, sebagian besar fasilitas kesehatandi Kamboja menunjukkan kinerja yang buruk karenakekurangan dana, manajemen tidak adekuat,penggunaan sumber daya tidak efisien, dan motivasiyang buruk di kalangan pegawai negeri.5 Di sisi lain,

    JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 09 No. 03 September l 2006 Halaman 109 - 117

    Makalah Kebijakan

  • 110 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Bhisma Murti: Contracting Out Pelayanan Kesehatan: ...

    sektor swasta berkembang dengan pesat dalampenyediaan pelayanan kesehatan. Timbul minatuntuk memobilisasi sumber-sumber daya sektorswasta dalam rangka memperluas danmeningkatkan skala pelayanan kesehatan (misalnya,Global Fund, PEPFAR, MDGs).3

    Dengan konteks keterbatasan kapasitaspemerintah di satu pihak dalam memperluas aksespelayanan kesehatan dan pesatnya perkembangansektor swasta di lain pihak, salah satu isu kebijakanreformasi kesehatan yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini adalah model penyelenggaraan pelayanankesehatan yang disebut contracting out. Dengancontracting out, pihak pemerintah tidak menyediakansendiri pelayanan kesehatan, melainkan melakukankontrak dengan agen luar yang disebut kontraktoruntuk menyediakan barang atau pelayanankesehatan kepada penerima pelayanan(beneficiary).6 Dengan contracting out, pemerintahdapat memobilisasi sumber daya sektor swastauntuk kepentingan tercapainya tujuan-tujuankesehatan nasional. Secara teoretis contracting outmemberikan sejumlah keuntungan, dengan caramengaitkan pembiayaan pemerintah dan kinerjapenyedia pelayanan dalam memberikan pelayanan.7Mengontrakkan pelayanan sektor publik merupakanpraktik lumrah di negara-negara maju.Pertanyaannya, dapatkah model contracting outditerapkan di negara berkembang seperti Indonesiauntuk menyediakan pelayanan kesehatan? Jika yajawabannya, untuk kondisi permasalahan dan jenispelayanan bagaimana contracting out tepat untukditerapkan?

    Makalah ini menyajikan definisi contracting,mengupas alasan rasional melakukan contracting,menyajikan jenis pelayanan, serta kemampuannyauntuk dikontrakkan, menguraikan sejumlah kasuspengalaman implementasi contracting di negara-negara lain, dan mengulas sejumlah isu berkaitandengan contracting pelayanan kesehatan.

    DEFINISIHarding dan Preker8 mendefinisikan contracting

    a purchasing mechanism used to acquire a specifiedservice, of a defined quantity, quality, at an agreed-on price, from a specific provider, for a specifiedperiod. Artinya, contracting adalah suatumekanisme pembelian yang digunakan untukmendapatkan pelayanan tertentu, dengan kuantitasdan kualitas tertentu, dan harga yang disepakati,dari suatu penyedia pelayanan tertentu, selamasuatu periode waktu tertentu. Berbeda dengantransaksi sesaat antara pembeli dan penjual, istilahcontracting mengandung arti sebuah hubungan

    terus - menerus selama suatu periode, didukungdengan kesepakatan kontrak. Kontrak formal (formalcontracting) menyebutkan dengan eksplisit jenis,kuantitas, dan periode waktu pemberian pelayananoleh sebuah penyedia pelayanan swasta atas namapemerintah, disertai aturan pembayaran, dalamformat yang mengikat secara hukum.6 Tetapimenurut Palmer sebagaimana dikutip Waters, et al.6ada juga kontrak informal (informal contracting)yang berisikan perjanjian implisit antara pemerintahdan agen sektor swasta, biasanya berdasarkankepercayaan (trust) dan hubungan jangka panjang.Gambar 1 menyajikan pola umum contractingpelayanan.

    Berdasarkan jenis pelayanan kesehatan yangdikontrakkan, contracting dapat dibedakan menjadi(Rosen seperti dikutip Waters et al.,6: (1) pelayanankesehatan; (2) pelayanan penunjang (ancillary ser-vices); dan (3) manajemen. Mills2 membagi duajenis pelayanan yang dikontrakkan: (1) pelayananklinis; (2) pelayanan nonklinis. Berdasarkan desainperjanjian kontrak itu sendiri, contracting dibedakanmenjadi1,9: (1) contracting out; (2) contracting in;(3) franchising; (4) leasing.

    Pavignani dan Colombo10 memberikan batasancontracting out the practice of public sector orprivate firms of employing and financing an outsideagent to perform some specific task rather thanmanaging it themselves. Artinya, contracting outadalah praktik yang dilakukan oleh sektor pemerintahatau perusahaan swasta untuk mempekerjakan danmembiayai agen dari luar untuk melakukan sejumlahtugas-tugas tertentu daripada mengelolanya sendiri.Liu, et al.3 mendefinisikan contracting out theimplementation of an agreement between thegovernment (purchaser) and providers in whichproviders are paid for the provision of defined servicesto specified target populations for defined results.

    NGO

    Penerima pelayanan (Beneficiary)

    Kontrak M&E Pembayaran

    Pelayanan

    Mengelola & membayar

    Mengelola & membayar M

    Depkes

    Gambar 1. Contracting Pelayanan

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 111

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    Artinya, contracting out adalah implementasi darisuatu perjanjian antara pemerintah (pembeli) danpenyedia pelayanan yaitu penyedia pelayanandibayar untuk memberikan pelayanan tertentukepada populasi sasaran tertentu dengan hasil - hasiltertentu. Sebagai contoh, pemerintahmengontrakkan fungsi-fungsi dinas kesehatan sepertipelayanan preventif dasar, atau kampanyependidikan kesehatan, kepada organisasi swasta,yang beroperasi di luar fasilitas pemerintah ataupublik. Gambar 2 menyajikan desain dan mekanismekerja contracting.

    Perhatikan, karakteristik kunci dalamcontracting adalah adanya pernyataan eksplisittentang elemen-elemen kontrak yang disepakati olehpihak pemberi kontrak dan kontraktor untukdiwujudkan dalam periode waktu tertentu. Kontraktormemiliki tanggung jawab penuh dalam halmanajemen internal untuk menyediakan pelayanan,baik dalam mengangkat pekerja, memecat pekerja,menentukan upah dan gaji, maupun mengadakandan mendistribusikan barang dan pelayanan.Karakteristik penting lainnya adalah adanyaketerikatan yang jelas antara pembayaran (payment)dan kinerja (performance) pemberi pelayanan3, yangdidukung oleh sistem monitoring dan evaluasi (M&E).Indikator kinerja mencakup akses, efisiensi, kualitas,dan keadilan, yang ditunjukkan oleh kontraktor,tercantum dalam perjanjian kontrak. Dengandemikian, M&E merupakan instrumen yang sangatvital dalam contracting out.

    Pavignani dan Colombo10 mendefinsikan con-tracting in a subdivision of the parent organization(such as a hospital, a number of doctors, etc) sub-contracted for the provision of goods or services.Artinya, contracting in adalah melakukan subkontrakkepada sebuah divisi yang berada di bawah strukturorganisasi yang bersangkutan (misalnya sebuahrumah sakit, sejumlah doktor, dan sebagainya) untuk

    menyediakan barang atau pelayanan. Dengan katalain, kontraktor dalam contracting in adalah bagianatau divisi dari organisasi itu sendiri. Sebagai contoh,sebuah rumah sakit pemerintah mengontrak sebuahorganisasi swasta untuk menyediakan prosedur-prosedur rutin (pelayanan laboratorium), ataupelayanan spesialistik (radiologi) di dalam rumahsakit, untuk melengkapi pelayanan yang dilakukanoleh rumah sakit sendiri. Tetapi contracting in bisajuga berarti memasukkan manajemen swasta dariluar untuk menjalankan pelayanan pemerintah.Sebagai contoh, sebuah rumah sakit menyewaperusahaan swasta untuk menjalankan pekerjaankebersihan dan penyediaan makanan (catering) didalam fasilitas rumah sakit tersebut.

    Franchising adalah suatu bentuk contractingyaitu pemerintah memberikan hak kepadakontraktor (hak tersebut bisa eksklusif ataunoneksklusif), untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu yang akan dibayar oleh pasiendari suatu populasi.9 Leasing adalah bentuk con-tracting yaitu pemerintah mengadakan fasilitas atauperalatan dari sumber luar berdasarkanpersetujuan sewa, bukan memiliki fasilitas atauperalatan itu.1

    MENGAPA CONTRACTING OUT?Terdapat sejumlah alasan teoretis untuk

    melakukan contracting out. Pertama, contractingout memisahkan dengan jelas peran sebagaipembayar atau pembeli dan peran sebagaipenyedia pelayanan, serta mengaitkanpembayaran dengan kinerja penyedia pelayanan.Di banyak negara berkembang, yang selama inikerap terjadi adalah sebagian besar fasilitas-fasilitas kesehatan khususnya rumah sakitpemerintah, dibiayai melalui alokasi anggaran(disebut global budget) yang tidak secara langsungberhubungan dengan jumlah maupun kualitaspelayanan kesehatan yang diberikan. Meskipunfasilitas-fasilitas itu diawasi departemen kesehatan,tetapi biasanya bersifat sangat umum, normatif,dan tidak efektif. Hukuman terhadap kinerja burukmerupakan kejadian langka.11 Akibatnya, staf disektor pemerintah tidak berkepentingan untukmenunjukkan kinerja yang baik. Model contractingout membedakan dengan jelas peran pihakpembayar dan penyedia pelayanan, sehinggatanggung jawab dan akuntabilitas manajerial dipihak pemberi pelayanan maupun di pihak pembayarakan meningkat.7,10,11 Desentralisasi pengambilankeputusan membuat para penyedia pelayanankesehatan lebih leluasa untuk membuat keputusanalokasi yang lebih efisien daripada yang dihasilkan

    Gambar 2. Desain dan Mekanisme KerjaContracting Out

    Elemen-elemen kontrak: 1. Jenis pelayanan 2. Kuantitas pelayanan 3. Kualitas pelayanan 4. Penerima pelayanan

    (beneficiary) 5. Syarat pembayaran 6. Metode pembayaran 7. Harga 8. Waktu pembayaran 9. Sistem M&E 10. Durasi 11. Pemecahan masalah

    perselisihan 12. Syarat penghentian

    kontrak

    Pemberi pelayanan

    Pembayaran

    Penerima pelayanan

    (beneficiary)

    M&E Kontrak

    Pelayanan

    Pembayar

  • 112 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Bhisma Murti: Contracting Out Pelayanan Kesehatan: ...

    melalui birokrasi yang sangat sentralistis dan kurangpeka terhadap implikasi biaya dari keputusan-keputusan alokasi.4,10 Keterikatan pembayarandengan kinerja membuat penyedia pelayanankesehatan bekerja dengan lebih keras.11 Dengancara demikian, contracting out mendorong terjadinyaefisiensi alokatif, yaitu situasi yang input ataupunoutput digunakan sebaik mungkin dalam ekonomisedemikian sehingga tidak mungkin lagi dicapaipertambahan output ataupun kesejahteraan yanglebih baik.12

    Kedua, contracting out memaparkan parapenyedia pelayanan kepada pasar kompetitif.Struktur pasar memberikan pengaruh besar terhadapperilaku penyedia pelayanan. Menurut teori ekonomiklasik, kompetisi menimbulkan tekanan kepadapemberi pelayanan pemerintah maupun swastauntuk meningkatkan kinerja, baik dalam pelayananmaupun harga.8,10,13 Kompetisi memaksa pemberipelayanan untuk menyesuaikan harga (disebut pricetaking, bukannya price setting seperti dalam situasimonopoli), sesuai dengan permintaan dan kebutuhanpembeli pelayanan. Hubungan kontraktual dalamcontracting out mendorong para manajer penyediamaupun pembeli pelayanan untuk sadar terhadapbiaya tinggi. Tanpa menurunkan kualitas yang sudahdisepakati dalam perjanjian kontrak, para manajerakan berusaha meminimalkan biaya produksi. Dalampasar kompetitif sempurna, bidding kompetitif akanmenghasilkan tingkat harga yang secara sosialoptimum, artinya optimum dari perspektif masyarakatkeseluruhan. Contoh, penelitian Keeler et al., sepertidikutip Waters dan Hussey14 menunjukkan, hargapelayanan medik rumah sakit lebih murah diCalifornia, sebab tingkat konsentrasi rumah sakit diCalifornia lebih rendah daripada negara bagianlainnya.

    Salah satu cara penyedia pelayananmeminimalkan biaya produksi adalah mengadopsiteknologi inovatif. Gambar 3 menyajikan perubahanbiaya produksi sebagai implikasi penerapanteknologi inovatif, dengan asumsi tidak adaperubahan kualitas pelayanan.12,15 Gambar 3Amenunjukkan keadaan yang adopsi teknologimenurunkan biaya produksi, sehingga barang ataupelayanan yang dihasilkan menjadi lebih murah.Sebaliknya, Gambar 3B menunjukkan keadaan yangadopsi teknologi membuat produk menjadi lebihmahal tanpa meningkatkan kualitas.

    Manajer penyedia pelayanan tentu memilih teknologiyang menurunkan, bukannya meningkatkan ongkosproduksi, untuk menghasilkan tingkat output yangsama. Dengan demikian, contracting out mendorongterjadinya efisiensi teknis, yaitu keadaan yangkuantitas output tertentu diproduksi dengankombinasi biaya terendah.16 Implikasi dari efisiensiteknis di tingkat mikro, contracting out dalamlingkungan pasar kompetitif membawa kepadaalokasi sumber daya yang lebih efisien daripadayang dapat diharapkan dari ekonomi terpimpin(command economy) ataupun solusi nonpasar ditingkat makro.13 Di sisi lain, contracting jugamenumbuhkan pasar dan merangsang kompetisi.3

    Ketiga, contracting out mendorong perencanaanyang lebih baik, di pihak pembayar/ pembelipelayanan maupun kontraktor penyedia pelayanan.Sebab dengan contracting, kuantitas pelayanan,kualitas pelayanan, daya tanggap (responsiveness),populasi sasaran pelayanan, kebutuhan kesehatan,dan berbagai isu lainnya, perlu diidentifikasi denganjelas. Baik pemberi kontrak maupun kontraktormemfokuskan kepada pencapaian hasil-hasil yangterukur dengan objektif. Implikasinya, pemberikontrak maupun kontraktor terdorong untukmembuat perencanaan dengan lebih baik.

    Keempat, contracting out mengurangi kerepotanpemerintah dalam pemberian pelayanan, sehinggapemerintah dapat lebih memfokuskan kepada peranpenting stewardship, seperti perencanaan,penetapan standar mutu, regulasi, dan pembiayaan.4Pemerintah dapat memanfaatkan contracting outuntuk penyediaan pelayanan kelompok masyarakatrawan di daerah-daerah yang kurang atau tidakmendapatkan pelayanan (unserved atauunderserved). Dengan demikian memperbaikikeadilan akses pelayanan.2,17 Kelima, contractingmembantu pemerintah mengatasi keterbatasan

    E E

    Pekerja (L)

    Modal (K)

    Q=100 Q=100

    0

    Isocost= Rp 1,000,000

    Isocost= Rp 750,000

    E E

    Pekerja (L)

    Modal (K)

    Q=100

    Q=100

    0

    Isocost= Rp 1,200,000

    Isocost= Rp 1,000,000

    A. Teknologi menurunkan biaya produksi B. Teknologi meningkatkan biaya produksi

    Gambar 3. Perubahan Teknologi MengakibatkanPenurunan (A) atau Peningkatan (B) Biaya Produksi

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 113

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    absorptive capacity3,18 Victora et al.19mendefinisikan kapasitas absorpsi, the degree towhich additional funds can be effectively spent.Artinya, kapasitas absorpsi adalah derajatkemampuan membelanjakan tambahan danadengan efektif. Asumsi yang digunakan lembagadonor, aliran bantuan luar negeri memberikan dampakpositif terhadap laju pertumbuhan negara resipien.Demikian pula Tujuan-Tujuan PembangunanMilenium (MDGs) mengasumsikan, tujuan-tujuanpembangunan kesehatan dapat dicapai dengan lebihcepat jika skala intervensi kesehatan ditingkatkan(scaling-up).20 Tetapi benarkah demikian? Temuankontroversial akhir-akhir ini menunjukkan, efektivitasbantuan luar negeri terhadap pertumbuhantergantung kualitas institusi dan kebijakan negarapenerima donor.21 Sebagaimana disajikan Gambar4, sampai pada titik saturasi tertentu, aid saturationpoint, yaitu sekitar 15% - 45% dari PDB, manfaatmarginal dari pertambahan aliran bantuan akanmenjadi negatif!20 Menurut de Renzio20, makin besardan cepat peningkatan aliran bantuan, makin cepatpula terjadi dampak marginal yang makin menurun(diminishing return), dan makin cepat terjadi saturasi(kejenuhan), sebab hujan bantuan akan membuatsistem berada di bawah tekanan alias kewalahanatau kedodoran.

    (3) Hambatan teknis dan manajerial; (4) Hambatanyang ditimbulkan oleh perilaku donor. Contohhambatan teknis dan manajerial, Oliviera-Cruz et al.22mengatakan, kapasitas absorpsi berhubungan eratdengan beberapa isu institusional dan administratif,seperti bertele-telenya (over-cumbersome) aturan,regulasi, dan prosedur, rendahnya kemampuan danmotivasi staf, larangan rekrutmen (kekakuanpenggunaan tenaga kerja), kontrak yang tidakmemungkinkan pemecatan staf, dan rendahnyakomitmen manajer. Pertanyaannya, apakah karenaefektivitas penggunaan dana menjadi negatif setelahtitik saturasi, lalu aliran sumber daya perlu dikurangiatau distop? Vademoortele dan Roy23 tidakberpendapat demikian. Penyerapan dana yang tidakmemadai memang mengakibatkan inefisiensi.Tetapi, kapasitas absorpsi, seperti disebutkan dimuka, dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidakbersifat tetap, bisa berubah dalam jangka pendek.Reformasi struktural dan peningkatan kapasitasinstitusi yang dibutuhkan untuk memperbaikimanajemen dan melawan korupsi, yang diperlukanuntuk memperbaiki kapasitas absorpsi, semuanyamembutuhkan uang ekstra. Ketidakmemadaianpenyerapan dan inefisiensi bukan merupakankeadaan yang berdiri sendiri, melainkan sangatsaling tergantung. Artinya, hambatan kapasitasabsorpsi terjadi juga karena kurangnya dana. Jadi,tambahan sumber daya merupakan prasyarat untukmengurangi keterbatasan kapasitas absorbsi, bukansebaliknya, kapasitas absorpsi dapat ditingkatkandengan mengurangi sumber daya.23

    JENIS PELAYANAN DAN TINGKATKEMAMPUANNYA UNTUK DIKONTRAKKAN

    Menjawab pertanyaan di awal artikel ini tentangdapatkah model contracting out diterapkan di negaraberkembang seperti Indonesia untuk menyediakanpelayanan kesehatan, dan jika ya, untuk kondisipermasalahan dan jenis pelayanan bagaimana con-tracting out tepat untuk diterapkan. Berikut disajikanTabel 1 tentang jenis pelayanan dan kemampuannyauntuk dikontrakkan.2,3

    De Renzio20 menyebut sejumlah kemungkinan faktorpenyebab keterbatasan kapasitas absorpsi: (1)hambatan makroekonomi (misalnya, Dutch DiseaseEffect); (2) hambatan institusional dan kebijakan;

    Dampak positif, tetapi pertambahan

    marginal menurun

    Kurva datar, dampak nol

    Dampak negatif

    Aliran bantuan (%PDB)

    Tingkat pertumbuhan

    15% 45%

    Titik saturasi bantuan

    Gambar 4. Kapasitas Absorpsi Aliran BantuanOleh Sektor Publik

  • 114 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Bhisma Murti: Contracting Out Pelayanan Kesehatan: ...

    Tabel 1. Jenis Pelayanan dan Kemampuannyauntuk Dikontrakkan

    Karakteristik pelayanan

    Lebih mudah dikontrakkan

    Lebih sulit dikontrakkan

    Pelayanan tunggal versus

    pelayanan majemuk

    Pelayanan tunggal (misalnya, imunisasi dengan antigen tunggal, program DOTS untuk tuberkulosis)

    Pelayanan majemuk yang melibatkan berbagai penyakit (misalnya, MTBS, manajemen terpadu balita sakit)

    Tingkat kebutuhan

    Pelayanan yang kuantitas kebutuhannya dapat didefinisikan dengan jelas (misalnya, ANC)

    Pelayanan yang kuantitas kebutuhannya tidak dapat didefinisikan dengan jelas (misalnya, kunjungan rawat jalan)

    Korelasi pelayanan dengan hasil

    Pelayanan yang berhubungan erat dengan hasil

    Pelayanan yang penyediaan maupun hasilnya sulit diukur

    Ketersediaan petunjuk teknis

    Pelayanan yang memiliki protokol yang jelas dan standar

    Pelayanan tanpa protokol yang jelas dan standar

    Kompleksitas teknis

    Pelayanan yang secara teknis sederhana (misalnya, pelayanan nonklinis)

    Pelayanan yang secara teknis kompleks (misalnya, pelayanan klinis)

    PENGALAMAN CONTRACTINGDI NEGARA LAIN

    Mengontrakkan pelayanan kesehatanmerupakan hal lumrah di negara-negara maju,misalnya AS, Finlandia, Kanada, Belanda, danInggris. Sebagai contoh, sejak 1948 National HealthService (NHS) di Inggris telah melakukan negosiasi,merumuskan dan membuat perjanjian kontrakdengan General Practitioners (GP) sebagaikontraktor independen, untuk memberikan pelayanankesehatan primer.24 Demikian pula pendekatankontrak pelayanan kesehatan merupakan modelyang lumrah dilakukan dalam sistem managed caredi AS .

    Dalam 15 tahun terakhir, contracting pelayanankesehatan mulai dilakukan di sejumlah negaraberpendapatan menengah maupun rendah. Sebagaicontoh, Senegal dan Madagascar mengontrak NGOuntuk memberikan program pelayanan gizikomunitas dalam skala besar di daerah sangatmiskin perkotaan maupun pedesaan yang tidakmendapatkan pelayanan kesehatan pemerintahmaupun swasta.6,25 Kedua proyek bertujuanmemperbaiki keadilan akses pelayanan, denganfokus pemberian pelayanan untuk populasi rawan,seperti anak-anak, wanita hamil, dan wanitamenyusui.

    Di Senegal dan Madagascar, NGO lokaldikontrak melalui tender, dengan kriteria eligibilitasyang jelas. Proses bidding mencakup tiga area: (1)Pelaksanaan keseluruhan proyek; (2) Seleksi NGO/GIE yang akan melakukan supervisi; (3) Seleksi

    pekerja gizi komunitas (Community NutriitionWorkers, CNW). Di Senegal, Agetip ditunjuk melaluitender nonkompetitif sebagai pelaksana proyekkeseluruhan atas nama pemerintah. Di Madagascar,sebuah unit proyek dibentuk oleh pemerintah dengannama Secaline sebagai pelaksana proyekkeseluruhan. Kontrak yang diberikan kepada NGOdan GIE menyebutkan dengan eksplisit pekerjaanyang harus dilakukan dan kinerja yang diharapkan.Untuk memonitor kualitas pelayanan dibangunsistem informasi manajemen yang sederhana tetapiefektif, dengan indikator monitoring antara lain: (1)persen anak yang ditimbang setiap bulan di antarakohor penerima pelayanan; (2) persen wanita yangmenghadiri tes mingguan pendidikan kesehatan dangizi. Tabel 2 menyajikan, jenis pelayanan yangdikontrakkan tidak hanya pelayanan kesehatantetapi juga manajemen, supervisi, pelatihan, danriset. Di Senegal, pelayanan nutrisi dikontrakkankepada Groupement dInteret Economique (GIE),Tiap-tiap GIE terdiri dari empat kawula muda,biasanya tidak memiliki pekerjaan, tinggal dilingkungan komunitas sasaran. Di Madagaskar,pelayanan nutrisi dikontrakkan kepada CNW,biasanya seorang wanita dari desa sasaran, yangdilatih oleh staf proyek (di Madagaskar), konsultanlokal atau lembaga pelatihan lokal (di Senegal).

    Tabel 2. Jenis Pelayanan yang Dikontrakkan padaMasing-Masing Proyek

    Menurut Marek et al.25 contracting out diSenegal dan Madagaskar berhasil menurunkanmalnutrisi dan memanfaatkan keterlibatanmasyarakat. Kedua proyek membuktikan bahwapelayanan gizi preventif dapat dikontrakkan kepadatenaga kerja nonspesialis. Tulis Marek, et al.25tentang faktor-faktor yang melatari keberhasilanproyek contracting out di kedua negara tersebut, In

    Jenis pelayanan yang dikontrakkan

    Senegal Madagascar

    Pemberian pelayanan

    GIE CNW

    Pelatihan Konsultan lokal, lembaga pelatihan lokal

    -

    Supervisi GIE atau NGO NGO Riset operasional Konsultan lokal,

    lembaga penelitian lokal

    Konsultan lokal, lembaga penelitian lokal, universitas

    Manajemen proyek keseluruhan

    Agetip Secaline (Projects Unit)

    GIE= Groupement dInteret Economique; CNW= Commnity Nutrition Worker; NGO= Non-Government Organization (Sumber: Marek et al)25

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 115

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    many African countries, competition for service pro-viders exists, especially in urban areas where un-employment rates are high, and the unemployed areoften highly educated and can put their skills to theservice of the community if they are given a chance.In Madagsacar, for example, 40% of medical doc-tors are unemployed. This untapped pool of humanresources, as well as local associations, institutions,and traditional NGOs, can be mobilized and orga-nized if the rules of the game are clear, understood,and transparent. Marek et al.,25 menyimpulkan,meskipun pendekatan kontrak bukan merupakanpanasea (=obat mujarab bagi segala penyakit) untukmemecahkan masalah nutrisi yang dihadapi Afrika,pendekatan tersebut memberikan alternatif yangperlu dipertimbangkan untuk meningkatkan cakupandan kualitas pelayanan. Bagaimanapun, klaimkeberhasilan proyek di Senegal dan Madagascartersebut harus ditanggapi dengan kritis, sebabsecara metodologis kesimpulan tersebut ditarikberdasarkan survei cross-sectional tanpa kontrol.

    Di bagian Afrika lainnya, Mills et al.sebagaimana dikutip Waters et al.6membandingkan biaya dan kualitas di dua rumahsakit pemerintah dan dua rumah sakit misi dipedalaman yang menerima hibah jumlah besar daripemerintah. Eksperimen terkontrol menunjukkan,kedua rumah sakit misi memberikan pelayanandengan kualitas serupa dengan rumah sakitpemerintah, tetapi dengan unit cost yang jauh lebihrendah. Artinya, rumah sakit misi yang dikontrakpemerintah bekerja dengan lebih efisien.

    Di Asia Tenggara, pada tahun 1999 DepartemenKesehatan di Kamboja melakukan contracting outdan contracting in dengan NGO dan perusahaanswasta nirlaba untuk memberikan paket pelayanankesehatan esensial di 12 rumah sakit distrik,menggunakan desain eksperimen random.1,5,6Pemberi pelayanan swasta dipilih melalui biddingkompetitif berdasarkan proposal teknis dan proposalkeuangan, dan dibayar per kapita yang diliput sesuaiharga bidding. Bukti awal menunjukkan, pelayananyang dikontrakkan menghasilkan cakupan antenatal,cakupan imunisasi, penggunaan pelayanankesehatan, dan kualitas pelayanan, yang lebih tinggi,serta biaya out-of-pocket yang lebih rendah daripadapelayanan pemerintah.

    Di Amerika Tengah, pemerintah El Salvadordan Guatemala melakukan eksperimen,menandatangani kontrak dengan NGO danorganisasi swasta sukarela (Private VoluntaryOrganizaion, PVO) untuk penyediaan pelayanankesehatan primer di daerah dengan cakupanpelayanan kesehatan formal rendah.6 Di El Salva-

    dor, Project Management Unit (PMU) membuatkontrak atas nama pemerintah dan BankPembangunan dengan NGO untuk penyediaanpelayanan kesehatan primer. Sebuah lembaga risetindependen, PHRplus, melakukan evaluasi apakahcontracting out memberikan pelayanan lebihbanyak dan berkualitas untuk dana yangdikeluarkan.17 Temuan evaluasi menunjukkan,NGO memberikan pelayanan lebih banyak, tetapidengan biaya lebih banyak pula. Selain ituditemukan kelemahan M&E internal olehkontraktor dan keengganan pemerintah untukmempertahankan model. Project Management Unit(PMU) tidak menganalisis data yang diperoleh dariNGO, dan pembayaran dilakukan otomatis tanpamengaitkan dengan kinerja. Kesimpulannya, M&Eperlu diperbaiki jika model contracting out akanditeruskan.

    Dana Asuransi Sosial Costa Rica (CCSS)membeli pelayanan kesehatan primer dari KoperasiCosta Rica, disebut COOPESALUD.26 Abramson26menganalisis M&E yang dilakukan CCSS. Temuan-temuan Abramson menunjukkan, data M&E yangdikumpulkan CCSS tidak mampu memberikankepada pembeli pelayanan informasi yanglangsung berkaitan dengan tujuan kontrak maupunkinerja kontraktor. Indikator dalam kontrak tidakmengukur hasil secara kuantitatif. Abramson26menyimpulkan, M&E yang dilakukan CCSSsuperfisial, didasarkan pada cakupan populasi,bukan pada efektivitas dan kualitas perlakuan,maupun efisiensi penggunaan sumber daya.

    Di Republik Dominika, tahun 1999 tiga buahdirektorat kesehatan provinsi mengontrak NGOuntuk mendistribusikan alat kontrasepsi,melakukan program kampanye pendidikankeluarga berencana, dan melatih petugaskesehatan dalam kesehatan reproduksi.Mengontrakkan fungsi pelatihan petugaskesehatan kepada NGO terbukti efektif. Sebuahperusahaan swasta yang didanai oleh USAIDmelakukan supervisi terhadap kontrak, atas namapemerintah.1

    BEBERAPA ISU DALAM CONTRACTINGPengalaman penerapan contracting out di

    negara-negera berkembang beragam. Para kritikusmencatat beberapa masalah berkaitan dengancontracting out6,10,14,27: (1) biaya transaksi; (2)kapasitas pemerintah; (3) kapasitas pemberipelayanan; (4) kompleksitas penentuan harga; (5)monitoring dan evaluasi (M&E). Pertama, menurutteori, dengan adanya kompetisi, penyedia

  • 116 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Bhisma Murti: Contracting Out Pelayanan Kesehatan: ...

    pelayanan akan berusaha meminimalkan biayaproduksi, sehingga mendorong terjadinya efisiensiteknis. Tetapi jika terjadi biaya transaksi yang tinggi,berkaitan dengan desain, penulisan, negosiasi,implementasi, M&E kontrak, ataupun penyelesaianmasalah perselisihan, maka pemerintah tidak dapatmemperoleh efisiensi yang diharapkan daricontracting.

    Kedua, M&E merupakan instrumen vital dalamcontracting. Jika pemerintah tidak mengalokasikansumber daya yang cukup untuk M&E terhadapkinerja kontraktor, pemerintah tidak akan dapatmenegakkan kontrak dengan efektif, dan tidakmemperoleh hasil strategis yang diharapkan.Sebagai contoh, pelaksanaan contracting outpelayanan preventif di Senegal dan Madagaskar,menganggarkan 13%-17% dari anggaran total proyekuntuk membiayai monitoring dan evaluasi.25

    Ketiga, jika jumlah penyedia pelayanan sedikit,maka sifat kompetisi terbatas. Keterbatasankompetisi bisa terjadi karena faktor politis, ekonomi,dan manajerial. Sebagai contoh, biaya modal (start-up cost) yang besar untuk memenuhi kebutuhanpelayanan sesuai perjanjian kontrak, kualifikasipendidikan tinggi yang dibutuhkan dari petugaskesehatan profesional, dan lisensi regulasi,merupakan barier pendatang baru untuk memasukimaupun keluar dari pasar kompetitif. Implikasi darirendahnya kompetisi, kontrak akan diberikan kepadapenyedia pelayanan yang suboptimal, dan penyediapelayanan menggunakan kekuatan monopolinyauntuk mendapatkan harga yang lebih tinggi daripadajika terdapat sejumlah kompetitor.

    Keempat, hubungan kontraktual biasanyabersifat jangka panjang agar biaya transaksi dapatditekan rendah. Akibat yang tidak diharapkan,pemberi pelayanan dapat menunjukkan perilakuoportunistik (aji mumpung), misalnya, pilih-pilihpasien (disebut adverse selection), ataumengendorkan semangat untuk berkinerja efisien.Kontrak jangka panjang juga berarti mengunci dana-dana publik hanya untuk suatu penggunaan tertentu,dan membatasi fleksibilitas realokasi untuk keperluanlain pada keadaan tidak terduga (misalnya, terjadinyaepidemi, bencana alam), sehingga mempengaruhiefisiensi dan keadilan alokasi sumber daya.

    Kelima, di banyak negara berkembang, pemberikontrak tidak memiliki informasi yang cukup tentangunit cost, volume kerja, dan biaya total pelayananyang akan dikontrakkan.14 Jika pemerintah menaksirterlalu tinggi kebutuhan sumber daya yang

    diperlukan untuk menyediakan suatu pelayanan,maka pemerintah akan terlalu tinggi membayarkontraktor, dengan demikian membuang-buangsumber daya. Jadi diperlukan studi biaya sebelumperjanjian kontrak pelayanan.

    Keenam, dalam contracting pelayanan bukantidak mungkin terjadi hubungan yang tidak diinginkanatau kolusi antara pembeli dan penyedia pelayanan,tipikal di negara-negara berkembang dengan tingkatkorupsi tinggi.3

    KESIMPULANContracting out merupakan praktik yang

    dilakukan pemerintah atau perusahaan swasta untukmempekerjakan dan membiayai agen dari luar untukmenyediakan pelayanan tertentu daripadamengelolanya sendiri. Dengan menggunakanparadigma pasar terkelola (managed market), secarateoretis mengontrakkan pelayanan publik kepadapenyedia swasta membawa kepada efisiensi yanglebih baik daripada dilakukan sendiri olehpemerintah. Sebab contracting memisahkan denganjelas peran sebagai pembayar/ pembeli dan peransebagai penyedia pelayanan, serta mengaitkanpembayaran dengan kinerja penyedia pelayanan.Penawaran kompetitif akan memaksa pemberipelayanan untuk meminimalkan biaya dalammemproduksi pelayanan dengan kualitas yangsudah ditetapkan. Pemerintah dapat memanfaatkanmodel contracting out untuk penyediaan pelayanankesehatan populasi rawan, khususnya yangbertempat tinggal di daerah terpencil, dengandemikian memperbaiki keadilan akses pelayanan.Sebagaimana model penyediaan pelayanankesehatan apapun, pendekatan kontrak memangbukan merupakan panasea (=obat mujarab bagisegala penyakit) untuk semua masalah kesehatan.Tetapi fakta keterbatasan kapasitas absorpsipemerintah di banyak negara berkembang dantersedianya teori yang kuat, merupakan alasan yangrasional untuk mempertimbangkan pendekatantersebut sebagai sebuah model alternatif untukmeningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan.Mengontrakkan penyediaan jenis pelayanan tertentu,misalnya pelayanan nonklinis atau pelayanan klinisyang tunggal dan sederhana, merupakan opsi yangfeasible untuk penerapan tahap awal contracting out.Monitoring dan evaluasi merupakan instrumen pentinguntuk menunjukkan keunggulan relatif contractingout.

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 117

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    KEPUSTAKAAN1. Marek, T., Yamamoto, C., Ruster J . Private

    health: Policy and regulatory options for privateparticipation. The World Bank Group PrivateSector and Infrastructure Network. 2003.

    2. Mills, A . To contract or not to contract? Issuesfor low and middle income countries. HealthPolicy and Planning, 1998; 13(1): 32-40.

    3. Liu, X., Hotchkiss, D., Bose, S., Bitran, R.Contracting out for primary health services:evidence of its effects and a framework forevaluation. PHRPlus Project unded by USAID.http://www.phrplus.org. 2004.

    4. Loevinsohn, B. Contracting for the delivery ofprimary health care in Cambodia: Desaign andinitial experience of a large pilot-test.Washington, DC: The World Bank. 2006.

    5. Soeters, R., Griffiths, F . Improving governmenthealth services through contract management:a case from Cambodia. Health Policy andPlanning, 2003; 18(1): 74-83.

    6. Waters, H., Hatt, L., Peters, D. Working withthe private sector for child health. Health Policyand Planning, 2003; 18(2): 127-37.

    7. Mc. Pake, B., Banda, N.E. Contracting Out ofHealth Services in Developing Countries.Health Policy and Planning. 1994;9(1):25-30.

    8. Harding, A., Preker, A., Private Participationin Health Services. Washington DC. 2003.

    9. Ruster, J., Yamamoto, C., Rogo, K. Franchisingin health: Emerging models, experiences, andchallenges in primary care. The World BankGroup Private Sector and InfrastructureNetwork. 2003.

    10. Pavignani, E., Colombo, A. Contracting forHealth Services.2006. www.who.org. DiaksesApril 2006.

    11. Gauri, V., Cercone, J., Briceno, R. Separatingfinancing from provision: evidence from 10years of partnership with health cooperativesin Costa Rica. Health Policy and Planning,2004; 19(5): 292-301.

    12. Folland, S., Goodman, A.C., Stano, S. Theeconomics of health and health care.Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc. 1993.

    13. Preker, A.S., Harding, A., Travis, P. Make orbuy decisions in the production of health caregoods and services: new insights frominstitutional economics and organizationaltheory. Bulletin of World Health Organization,2000; 78(6): 779-790.

    14. Waters, H.R., Hussey, P. Pricing health servicesfor puirchasers- a review of methods andexperiences. Health Policy, 2004; 70: 175-84.

    15. Clewer, A., Perkins, D. Economics of health caremanagement. London: Prentice Hall. 1998.

    16. Bitran, R. Contracting-out of primary health care:Rationale and evidence from of El Salvador.PHRplus Project (USAID funded). 2006.

    17. Folland, S., Goodman, A.C., Stano, S. Theeconomics of health and health care.Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc. 2001.

    18. Hanson, K., Ranson, M.K., Oliviera-Cruz, V.,Mills, A. Expanding access to priority healthinterventions: A framework for understandingthe constraints to scaling up. InternationalJournal of Development, 2003; 15: 1- 14.

    19. Victora, C.G., Hanson, K., Bryce, J., Vaughn,J.P. Achieving universal coverage with healthinterventions. Lancet, 2004; 364: 1563-48.

    20. De Renzio, P. Scaling up versus absortivecapacity: Challenges and opportunities forreaching the MDGs in Africa. Briefing Paper.Overseas Development Institute.www.odi.org.uk. Diakses Oktober 2005. 2005.

    21. Burnside, C., Dollar, D. Aids, policies, andgrowth: Revising the evidence. PolicyResearch Working Paper 3251. Washington,DC: World Bank. 2004

    22. Oliviera-Cruz, V., Kurowski, C., Mills, A.Delivery of priority health services: searchingfor synergies within the vertical versushorizobtal debate. Journal of InternationalDevelopment, 2003; 15: 67-86.

    23. Vandermoortele, J., Roy, R. Making sense ofMDG costing. New York: Bureau forDevelopment Policy. 2004.

    24. Sheaff, R., Lloyd, A. From compeition tocooperation: service agreements in primarycare. Manchester, UK: The University ofManchester. 1999.

    25. Marek, T., Diallo, I., Ndiaye, B., Rakotosalama,J. Successful contracting of preventionservices: fighting malnutrition in Senegal andMadagascar. Health Policy and Planning,1999; 14(4): 382-9.

    26. Abramson, W.B. Monitoring and evaluation ofcontracts for health service delivery in CostaRica. Health Policy and Planning, 2001; 18(4):404-11.

    27. World Bank. Contracting. The World BankGroup. 2006.

  • 118 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Dewi Marhaeni Diah Herawati: Decision Space dalam Program ...

    DECISION SPACE DALAM PROGRAM KESEHATANIBU DAN ANAK TAHUN 2006

    DECISION SPACE IN MATERNAL AND CHILD HEALTH PROGRAM, 2006

    Dewi Marhaeni Diah HerawatiDinas Kesehatan Bantul, Bantul,

    Daerah Istimewa Yogyakarta

    ABSTRACTBackground: The central government recently drew up abudget from deconcentration fund for health sector in 2005,and budgeted for maternal and child health services since2006. Departement of Health has established special menu formaternal and child health program activities, and determiningallocation of its funds for provinces. As a consequence of thisstrict rule, districts or towns have limited decision space, causetheyre simply act as implementer of activities.Subjects and methods: The subject of this study was budgetof deconcentration fund for maternal and child healthprogramme, and the method was a case study in Bantul District,Yogyakarta Special Territory. In-depth interviews and informaldiscussions were conducted with head of health service ofBantul District, maternal and child health programmer, and headof public health service.Result: Centers, Province of Yogyakarta Spesial Territory andDistrict of Bantul have wide, moderate and narrow decisionspace, respectively. This was consistent with the studyconducted by PMPK FK UGM, Yogyakarta.Conclusion: Centralization of budget occurred withindecentralization era. District, within deconcentration budgetfor maternal and child health programme, had strict or presseddecision space. Districts simply act as an implementer ofactivities. The activities presented was not consistent withtheir need.

    Keywords: deconsentration fund, material and child health,decision space

    ABSTRAKLatar Belakang: Pada tahun 2006 program kesehatan ibudan anak mendapat anggaran dana dekonsentrasi yang palingbesar di antara program-program yang lain. Departemenkesehatan telah menentukan menu utama kegiatan programkesehatan ibu dan anak serta penetapan alokasi dana untukprovinsi. Hal ini bisa dilihat dari draf Surat Keputusan MenteriKesehatan tentang Pedoman Pengelolaan Anggaran DanaDekonsentrasi Program Upaya Kesehatan Masyarakat DalamPeningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Tahun Anggaran 2006.Adanya aturan yang cukup rigid ini membuat kabupaten/kotatidak mempunyai decision space yang lebar, karena merekahanya sebagai pelaksana kegiatan saja.Subjek dan metode: Subjek penelitian adalah anggaran danadekonsentrasi program KIA. Metode penelitian adalah casestudy di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY (KabupatenBantul). Dilakukan wawancara mendalam dan diskusi informalkepada Kepala Dinas, Programmer KIA Dinas dan KepalaPuskesmas.Hasil: Pusat mempunyai decision space yang lebar, ProvinsiDIY mempunyai decision space yang sedang dan Kabupaten

    Bantul mempunyai decision space yang sempit. Hal ini sesuaidengan penelitian yang dilakukan oleh PMPK FK UGM,Yogyakarta.Kesimpulan: Pada era desentralisasi ini ternyata terjadisentralisasi anggaran. Kabupaten mempunyai decision spaceyang sempit dalam anggaran dekon program KIA. Kabupatenhanya sebagai pelaksana kegiatan, sehingga kegiatan yangada tidak sesuai dengan kebutuhannya.

    Kata Kunci: dana dekonsentrasi, kesehatan ibu dan anak,decision space

    PENGANTARStatus kesehatan masyarakat Indonesia

    khususnya angka kematian ibu dan bayi masihcukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, danlain lain. Oleh karenanya, pemerintah memberikanprioritas utama dalam akselerasi penurunan angkakematian ibu dan bayi, selain itu juga merupakanprogram dalam MDG. Target yang akan dicapai untukangka kematian ibu tahun 2015 adalah 125 per100.000 kelahiran hidup, sedang angka kematianbayi adalah 23 per 1000 kelahiran hidup. Untuk itu,pada tahun 2006, pemerintah mengalokasikan danayang sangat besar dalam bentuk dana dekonsentrasikepada provinsi. Dana tersebut akan dialokasikandan didistribusikan kepada kabupaten/kota dandipergunakan untuk membiayai kegiatan nonfisik.

    Berdasar konsep perimbangan keuangan pusatdan daerah1 dana dekonsentrasi adalah dana yangberasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernursebagai wakil pemerintah yang mencakup semuapenerimaan dan pengeluaran dalam rangkapelaksanaan dekonsentrasi. Dana tersebutdialokasikan untuk membiayai kegiatan nonfisik.Penentuan besaran dana dekonsentrasi dilakukanoleh menteri keuangan dengan memperhatikanpertimbangan menteri teknis dan atau pimpinanlembaga pemerintah nondepartemen, gubernur danatau perangkat pusat di daerah yang mendapatpelimpahan wewenang.2

    Aturan keuangan pusat dan daerah dalam satusisi untuk mendukung pelaksanaan pembangunan

    JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 09 No. 03 September l 2006 Halaman 118 - 120

    Artikel Penelitian

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 119

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    nasional, sedang di sisi lain untuk memfasilitasiproses pembangunan di daerah yang dijalankan dibawah skema otonomi daerah. Proses pengaturanoleh pusat tidak dimaksudkan untuk mengembalikansentralisme otoriter. Konsep perimbangandimaksudkan agar terjadi keadilan dalam pembagiansumber daya bagi kepentingan nasional dan daerah.

    Dalam era desentralisasi ini idealnya daerahharus mempunyai kewenangan dan decision spaceyang luas dalam transfer anggaran kesehatan,karena hal ini akan menunjukkan derajatdesentralisasi daerah. Konsep ini pertama kalidikemukakan oleh Bossert3 yang digunakan untukmengevaluasi pelaksanaan desentralisasi kesehatandi berbagai negara. Decision space adalah berbagaimacam fungsi dan kegiatan yang daerah tersebutmempunyai kewenangan yang dapat meningkatkanpilihan mereka.

    BAHAN DAN CARA PENELITIANPenelitian ini merupakan kajian studi kasus

    dengan analisis deskriptif dengan lokasi penelitiandi Kabupaten Bantul Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta (DIY). Unit analisis adalah anggarandana dekonsentrasi kabupaten. Objek penelitianadalah Kepala Dinas dan Programmer KIA. Dilakukantriangulasi kepada Programmer KIA Provinsi danKepala Puskesmas, serta Koordinator KIAPuskesmas. Pengumpulan data dilakukan denganmetode wawancara mendalam.

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANHasil penelitian menunjukkan adanya dana

    dekonsentrasi yang sangat besar cukupmengejutkan bagi Kabupaten Bantul, meskipunjumlah alokasi anggaran itu tidak dapat diketahuisecara pasti. Provinsi membagi anggaran mulai darimenu kegiatan, subkegiatan bahkan sampai satuananggaran. Kriteria atau dasar provinsi dalam membagianggaran ke kabupaten tidak jelas, terlebih padasubkegiatan. Kabupaten hanya sebagai pelaksanakegiatan saja, pengaturan yang sedemikian rigid inimembuat kabupaten tidak dapat mengalokasikanuntuk kegiatan yang menjadi kebutuhannya. Artinya,dana dekonsentrasi yang besar itu pun ternyatamasih belum dapat membiayai semua kebutuhankegiatan dalam akselerasi angka kematian ibu danbayi. Bahkan ada beberapa kegiatan yang justrudouble funding, seperti voucher ibu hamil (bumil)yang sasarannya adalah keluarga miskin (gakin).

    Hasil di atas didukung oleh beberapa pernyataanresponden tentang dana dekonsentrasi program KIA,seperti pernyataan di bawah ini:

    ..... kabupaten hanya sebagai pelaksana,semua yang ngatur provinsi.... kegiatan yangada tidak sesuai kebutuhan .... bahkan adakegiatan yang pembiayaannya sudah ada darigakin mendapat anggaran lagi dari danadekonsentrasi..., sementara kegiatan laintidak terbiayai... untuk setiap kegiatan yangakan dilakukan di kabupaten, kita akan mintaTOR-nya pada provinsi..., supaya kita tahutujuan dan output yang diharapkan. Kita akanusulkan pada provinsi agar pengelolaan danadekonsentrasi tahun depan tidak sepertisekarang...

    ( responden 1 )

    ...... selaku programmer di kabupaten sayapusing....., jika ada pelatihan provinsi seringmendadak memberi tahu...., sehingga sayasering dimarahi oleh teman puskesmas....kabupaten benar-benar nggak punya kewe-nangan dalam dana dekonsentrasi ini..., semuayang ngatur provinsi..., kami hanya memanggilpuskesmas sebagai peserta pelatihan.. danmencarikan tempat untuk pertemuan...,semua narasumber dari provinsi...

    (responden 2)

    ..... program voucher bumil mem-bingungkan...., karena di lapangan voucheritu dibagikan juga kepada bumil yang mem-punyai askeskin, serta bumil yang mampu....,hampir setiap hari kami didatangi perangkatdesa, puskesmas maupun bumilnya sendiriuntuk menanyakan program tersebut.....

    (responden 3)

    ......mengapa dinas provinsi selalu men-dadak memberi tahu jika ada pelatihan....,puskesmas khan tempat pelayanan .....,katanya provinsi sudah mensosialisasikanprogram voucher bumil ke BPS....., tapifaktanya BPS di wilayah kami belum ada yangtahu tentang program tersebut.....

    (responden 4)

    ...... Provinsi terpaksa membagi danadekonsentrasi ke setiap kabupaten sepertiitu....., karena pada waktu itu pemberitahuandari pusat juga sangat mendadak dan waktuyang diberikan untuk usulan kegiatan jugatidak lama....,

    (responden 5)

    Jika dilihat dari peta decision space, dapatdiketahui bahwa decision space Kabupaten Bantulsempit, Provinsi DIY sedang dan pemerintah pusat(Departemen Kesehatan) lebar. Hal ini jelasmenunjukkan bahwa derajat otonomi Kabupaten Bantuldalam dana dekonsentrasi program KIA kecil. Idealnyadalam era desentralisasi ini ruang keputusan dankewenangan yang dimiliki daerah harus lebar, karenaitu akan menunjukkan derajat desentralisasi mereka.Adapun variabel yang dinilai meliputi penentuan paguanggaran dan menu kegiatan, seperti Tabel 1.

  • 120 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Dewi Marhaeni Diah Herawati: Decision Space dalam Program ...

    Provinsi/ Kabupaten

    Sempit Sedang Lebar

    Provinsi Riau Kabupaten Kampar

    Sebagai pelaksana

    Menentukan pagu anggaran dan menu kegiatan

    -

    Provinsi Bengkulu Kabupaten Rejang Lebong dan Bengkulu Utara

    - Menentukan pagu anggaran

    Mengelola sepenuhnya (Block grant)

    Provinsi Sulawesi Tengah Kabupaten Parigi Moutong

    -

    -

    Menentukan pagu anggaran dan menerima usulan kabupaten

    Mengajukan usulan kegiatan dan anggaran

    -

    -

    Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten

    Sebagai pelaksana

    Menentukan pagu anggaran dan menu kegiatan

    -

    Provinsi Sulawesi Utara Kabupaten Bolaang Mongondow

    -

    -

    Menentukan pagu anggaran dan menerima usulan dari kabupaten

    Membuat usulan menu kegiatan KIA

    -

    -

    Provinsi Bali Kabupaten Buleleng

    Sebagai pelaksana

    Menentukan pagu anggaran dan menu kegiatan

    -

    Tabel 1. Peta Decision Space Dana DekonsentrasiProgram KIA di Provinsi DIY Tahun 2006

    Transfer Dana Dekon

    Program KIA

    Narrow Moderate Wide

    Pusat - - Menentukan menu

    dan pagu anggaran

    Provinsi - Merubah menu,

    Menentukan kegiatan, sub kegiatan sampai satuan anggaran

    -

    Kabupaten/Kota Pelaksana - -

    Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yangdilakukan oleh PMPK FK UGM4 di enam provinsiproyek DHS yaitu Provinsi Riau, Bengkulu, SulawesiUtara, Sulawsi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Bali.Gambaran decision space dalam anggaran danadekonsentrasi di kabupaten/kota dari enam provinsitersebut sebagai berikut:- tiga kabupaten mempunyai decison space

    sempit- dua kabupaten mempunyai decision space

    sedang- satu kabupaten mempunyai decision space

    lebar- Provinsi mempunyai decision space sedangAdapun mapping tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

    KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan

    Pada era desentralisasi ini jelas terlihat adanyasentralisasi anggaran dalam dana dekonsentrasiprogram KIA. Kewenangan dan decision space yangdimiliki kabupaten sempit, sehingga derajat otonomikabupaten dalam dana dekonsentrasi program KIAjuga sempit. Kabupaten hanya sebagai pelaksanakegiatan, yang kegiatan itu diterima tidak sesuaidengan kebutuhan daerah. Ada kegiatan yangdouble funding, sementara kegiatan yang lain tidakterbiayai.

    SaranPemerintah pusat agar mendesain kembali

    mekanisme transfer dana dekonsentrasi yang lebihmemberdayakan kabupaten. Alokasi anggarandekon diubah menjadi anggaran desentralisasi yangbisa langsung ke sektor kesehatan di kabupaten/kota seperti DAK. Pembagian anggaran untuk setiapjenis transfer anggaran sebaiknya mempunyai dasaratau kriteria yang jelas dalam bentuk formula agarunsur pemerataan dan keadilan dapat terpenuhi.

    KEPUSTAKAAN1. Undang-Undang No 33 Tahun 2004. Tentang

    Perimbangan Keuangan Antara PemerintahPusat & Pemerintah Daerah, Penerbit Fermana,Bandung.2004.

    2. Yani, A. Hubungan Keuangan AntaraPemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia,Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002.

    3. Bossert, T. Analyzing the Decentralization OfHealth Systems in Developing Countries:Decision Space, Innovations And Performance,Soc. Sci. Med. 1998;47(10).

    4. Pusat Manajemen Pelayanan KesehatanUniversitas Gadjah Mada. Review PascaPelatihan Perencanaan dan PenganggaranProgram KIA Di Provinsi Proyek DHS.2006.

    Tabel 2. Peta Decision Space Dana DekonsentrasiProgram KIA di Provinsi DHS Tahun 2006

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 121

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    PENERAPAN CLINICAL GOVERNANCE MELALUI ISO 9000:STUDI KASUS DI DUA RSUD PROVINSI JAWA TIMUR

    CLINICAL GOVERNANCE IMPLEMENTATION USING ISO 9000:CASE STUDIES IN TWO PUBLIC HOSPITALS IN EAST JAVA

    Hanevi DjasriPusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, FK UGM, Yogyakarta

    ABSTRACTBackground: Clinical governance implementation to improveclinical quality can be done through integration of organizationalmanagement and clinical management. There is a possibilitythat hospital with a comprehensive quality management systemlike ISO 9000 has succeeded to put in place the basic conceptof clinical governance into practice.Objective: Determine the impact of an ISO 9000 qualitymanagement system implementation on the clinical governanceimplementation and on clinical quality improvement activity inthe hospital.Method: Case study in two public hospital at East JavaProvince. Interview and document analysis were used fordata collection.Result: The two hospitals had comparable result. All basicclinical governance standard: (1) clinical care accountability;(2) policy and strategy; (3) organizational structure; (4)resources allocation; (5) communication; (6) professionaldevelopment; (7) effective measurement, were implementedand were supported by ISO 9000 quality management system.Conclusion and suggestion: ISO 9000 quality managementsystem implementation with focus to clinical care can help topresent clinical governance in hospital.

    Keywords: clinical governance, ISO 9000, quality managementsystem, clinical care quality

    ABSTRAKLatar belakang: Peningkatan mutu pelayanan klinis melaluipenerapan clinical governance dilakukan dengan caramemadukan pendekatan manajemen organisasi dan manajemenklinis secara bersama. Terdapat kemungkinan bahwa rumahsakit yang telah memiliki sistem manajemen mutu yangkomprehensif seperti sistem manajemen mutu ISO 9000 telahberhasil menerapkan dasar-dasar clinical governance.Tujuan: Menilai apakah sistem manajemen mutu ISO 9000 dirumah sakit dapat mendukung penerapan konsep dasar clincialgovernance dan mendukung terlaksananya kegiatan-kegiatanclinical governance.Metode: Studi kasus di dua Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)Provinsi Jawa Timur dengan pengumpulan data melaluiwawancara mendalam dan studi dokumen mutu rumah sakit.Analisis dan penyajian hasil dilakukan secara deskriptif.Hasil: Kedua RSUD menunjukkan hasil yang mirip. Seluruhstandar clinical governance yang terdiri dari standar: (1)Akuntabilitas pelayanan klinis; (2) Kebijakan dan strategi; (3)Struktur organisasi; (4) Alokasi sumber daya; (5) Komunikasi;(6) Pengembangan dan pelatihan profesional; dan (7)Pengukuran efektivitas, secara umum telah diterapkan danmendapat dukungan dari sistem manajemen mutu ISO 9000.

    Kesimpulan dan saran: Penerapan sistem manajemen mutuISO 9000 secara sungguh-sungguh di bidang pelayanan klinisdapat membantu terwujudnya clinical governance di rumahsakit.

    Kata Kunci: clinical governance, ISO 9000, sistem manajemenmutu, mutu pelayanan klinis

    PENGANTARRumah Sakit (RS) adalah lembaga yang

    terutama memberikan pelayanan klinik, sehinggamutu pelayanan klinik merupakan indikator pentingbagi baik-buruknya RS. Baik dan buruknya prosespelayanan klinik dipengaruhi oleh penampilan kerjapara dokter, perawat dan tenaga klinik yang lain.Sebagaimana sistem governance di manajemen,saat ini dikembangkan sistem governance di bidangklinik. Pengembangan ini dipelopori oleh NationalHealth Service (NHS) Inggris pada dekade 90-andengan menggunakan istilah clinical governance.1

    Clinical governance timbul karena berbagaikenyataan buruk dalam sistem pelayanan kesehatanseperti tingginya kasus malpraktik. Di samping itu,clinical governance muncul karena putus-asanyapemerintah dan manajer sarana pelayanankesehatan di Inggris dalam mengimplementasipendekatan total quality management (TQM) ataucontinuous quality improvement (CQI) untukpelayanan kesehatan dengan alasan tidak dapatditerima secara luas karena para staf klinik menilaiTQM dan CQI tersebut terlalu berbau manajementanpa identifikasi peran yang jelas untuk para klinikidalam meningkatkan mutu tersebut.2

    Konsep dasar dari clinical governance adalah:(1) accountability, yaitu bahwa setiap upaya medisharus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,etik, moral dan berbasis pada bukti terkini danterpercaya (evidence-based medicine); (2)continuous quality improvement, yaitu bahwa upayapeningkatan mutu harus dilaksanakan secarasistematik, komprehensif dan berkesinambungan;

    JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATANVOLUME 09 No. 03 September l 2006 Halaman 121 - 128

    Artikel Penelitian

  • 122 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Hanevi Djasri: Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000

    (3) high quality standard of care, yangmengisyaratkan agar setiap upaya medis selaludidasarkan pada standard tertinggi yang diakuisecara profesional; dan (4) memfasilitasi danmenciptakan lingkungan yang menjaminterlaksananya pelaksanaan pelayanan kesehatanyang bermutu.3

    Kegiatan untuk menerapkan konsep dasar clini-cal governance terdiri dari kegiatan: audit klinik,menyediakan data klinik dengan mutu yang baik,pengukuran outcome, manajemen risiko klinik,praktik berdasarkan evidens, manajemen kinerjaklinik yang buruk, dan mekanisme untuk memonitoroutcome pelayanan.4

    Di Indonesia belum terdapat catatan resmitentang RS yang telah menerapkan konsep dasarclinical governance, atau apabila ada, belumdiketahui bagaimana cara penerapannya. Namunapabila dilihat bahwa prinsip dasar dalam penerapanclinical governance adalah melalui pengembangansebuah sistem manajemen mutu, dengan caramemadukan pendekatan manajemen organisasi danmanajemen klinik secara bersama-sama5, makaterdapat kemungkinan bahwa ada beberapa RS diIndonesia yang telah menerapkan dasar-dasar clini-cal governance, yaitu RS yang telah memiliki sistemmanajemen mutu yang komprehensif, yangmendukung peningkatan mutu seluruh pelayanan,termasuk pelayanan klinik, melalui penerapan sistemmanajemen mutu ISO 9000.

    Studi kasus di dua buah Rumah Sakit UmumDaerah (RSUD) dilakukan untuk menilai apakahsistem manajemen mutu ISO 9000 yangdikembangkan di sebuah RS dapat mendukungpenerapan konsep dasar clincial governance. Secaraspesifik, apakah sistem manajemem mutu ISO 9000dapat memberikan dasar-dasar bagi terlaksananyakegiatan clinical governance.

    Hasil studi ini diharapkan dapat digunakan olehpara pengambil keputusan di RS dalam menetapkankebijakan implementasi clinical governance maupunimplementasi sistem manajemen mutu ISO 9000.

    BAHAN DAN CARA PENELITIANPenilaian penerapan konsep dasar clinical

    governance dilakukan dengan menggunakanpendekatan kualitatif, melalui pengumpulan datayang bertumpu pada wawancara mendalam sertaanalisis dokumen.

    Data RS di Indonesia yang telah memilikisertifikasi ISO 9000 tidak tersedia, sehinggapemilihan RS yang telah menerapkan sistemmanajemen mutu ISO 9000 pada penelitian ini dipilihsecara purposive sebanyak dua buah RSUD, yaituRSUD A dan RSUD B. Keduanya terletak di Provinsi

    Jawa Timur dan telah menerapkan sistemmanajemen mutu ISO 9000 untuk seluruh unitpelayanannya.

    Dasar pemilihan keempat RS tersebut adalahsama-sama RS milik pemerintah daerah (kabupaten/kota) dengan kelas yang sama, berada dilokasi yangrelatif dekat, sehingga memiliki sumber daya danpasar yang mirip.

    Subjek atau peserta wawancara mendalam jugadipilih secara purposive, yaitu para staf RS yangbertanggung jawab (key person) terhadap satu ataulebih unit pelayanan klinik (pelayanan klinik yangdimaksud adalah pelayanan: rawat jalan, rawat inap,gawat darurat, kamar bedah, kamar bersalin, ICU,farmasi, laboratorium, radiologi, dan sebagainya)yang terdiri dari: direktur, ketua komite medis, kepalaatau koordinator unit pelayanan klinik, dokterspesialis, perawat senior dan wakil manajemen(management representatif).

    Instrumen untuk wawancara dikembangkan daristandard clinical governance untuk Western Aus-tralian Health Service.6 Instrumen wawancara initerdiri dari 7 standar, masing-masing standar terdiridari 2-5 pertanyaan. Setiap pertanyaan terdiri daripertanyaan untuk menilai sejauh mana standar clini-cal governance telah tercapai dan apa peran darisistem manajemen mutu ISO 9000. Istilah clinicalgovernance disetiap pertanyaan diganti denganistilah peningkatan mutu pelayanan klinik karenatidak seluruh staf telah memahami arti dari clinicalgovernance (sehingga istilah clinical governance danpeningkatan mutu pelayanan klinik digunakan secarabergantian dalam artikel ini).

    Standar tersebut terdiri dari: 1) akuntabilitaspelayanan klinik, 2) kebijakan dan strategi, 3)struktur organisasi, 4) alokasi sumber daya yangdibutuhkan, 5) komunikasi, 6) pengembangan danpelatihan profesional, 7) pengukuran efektivitas.

    Untuk memperkuat pengambilan data yangdiperoleh dari wawancara mendalam, makadilakukan triangulasi dengan membandingkan hasilyang didapat pada wawancara terhadap data yangterdapat dalam dokumen dan rekaman/catatan RSyang terkait kegiatan clinical governance. Dokumenterutama berasal dari dokumen-dokumen ISO 9000milik RS yang terdiri dari dokumen manual mutu,dokumen prosedur kerja dan dokumen rekamanmutu.

    Data yang berasal dari wawancara dan analisisdokumen diolah secara kualitatif untuk menilaisejauh mana konsep dasar clinical governance didua RSUD tersebut telah diterapkan dan sejauh manasistem manajemen mutu ISO 9000:2000 membantupenerapan tersebut.

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 123

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANPenelitian dilakukan di dua RSUD di Provinsi

    Jawa Timur pada bulan Juli-Agustus 2005, RSUD Atelah menerapkan sistem manajemen ISO 9000sejak 1,5 tahun lalu serta telah mendapatkansertifikat sejak 6 bulan lalu dan RSUD B telahmenerapkan sistem manajemen ISO 9000 sejak 1tahun lalu dan pada saat penelitian dilakukan sedangmempersiapkan diri untuk mendapatkan sertifikat.Kedua RSUD menunjukkan hasil yang hampir sama,kemungkinan besar karena kedua RSUDmenggunakan konsultan ISO 9000 yang sama.

    Penilaian penerapan standar clinical governancedan sejauh mana sistem manajemen ISO 9000berperan dalam hal tersebut di kedua RSUD disajikansebagai berikut:

    Standar 1. Akuntabilitas pelayanan klinikTanggung jawab dari direktur untuk peningkatan mutupelayanan klinik (menerapkan clinical governance)tidak terlihat secara khusus, namun terdapattanggung jawab direktur untuk meningkatkan mutupelayanan secara umum. Bila dilihat dari pemetaan

    Pelayanan admterpadu

    Pelayanan kamaroperasi

    Pelayanan rawatjalan

    Pelayananradiologi

    Pelayananlaboratorium

    Pelayanan rawatinap

    Proses Realisasi Pelayanan Kesehatan

    Manajemen sumber daya Pengukuran, analisa dan perbaikan

    Tanggung jawab manajemen

    Pengelolaan pegawai

    Penetapan kompetesi karyawan

    Pendidikan dan pelatihan

    Pemeliharaan sarana

    Sanitasi lingkungan

    Pelayanan rawatdarurat

    Visi, Misi dan Kebijakan Mutu Sasaran Mutu Job Descreption

    Komunikasi internal Rapat tinjauan manajemen

    Evaluasi data dan pelaporan

    Audit mutu internal

    Pengukuran kepuasan pasien

    Penanganan pasien pulang paksa

    Tindakan koreksi dan pencegahan

    Pelayanan kamaroperasi

    Pelayanan ICU

    Pelayananradiologi

    Pelayananlaboratorium

    Penangananjenasah

    Pelayanan admterpadu

    Persyaratan pelanggan

    Kepuasan pelanggan

    Perbaikan mutu berkelanjutan

    proses pelayanan yang menjadi dasar untukmerencanakan peningkatan mutu, maka sebenarnyapeningkatan mutu pelayanan klinik telah menjadikegiatan utama dan menjadi tanggung jawab direktur(Gambar 1: Peta Proses Pelayanan RSUD).Pemetaan tersebut muncul setelah RSUDmenerapkan ISO 9000.

    Staf khusus yang diberikan tanggung jawabuntuk menerapkan dan mengorganisir kegiatanpeningkatan mutu pelayanan klinik (penerapan clini-cal governance) terdapat di komite medis yaitu dipanitia peningkatan mutu. Staf ini masih merangkaptugas sebagai staf medis fungsional. Uraian tugasdari panitia peningkatan mutu ini tidak mencakuptanggung jawab penerapan dan pengorganisasian dariseluruh kegiatan clinical governance, hanya terbataspada kegiatan audit klinik dan penyusunan standarpelayanan medis yang bersifat evidence-based.Panitia peningkatan mutu terbentuk sejak RSUDmengikuti program akreditasi KARS Depkes RIbeberapa tahun lalu, ISO 9000 hanya membakukandokumen-dokumen yang diperlukan.

    Gambar 1: Peta Proses Pelayanan di RSUD

  • 124 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Hanevi Djasri: Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000

    Uraian tugas dan tanggung jawab untukkegiatan peningkatan mutu pelayanan klinik terdapatdi seluruh unit pelayanan klinik (rawat jalan, rawatinap, laboratorium, radiologi, kamar operasi, dansebagainya). Namun secara umum uraian tugas dantanggung jawab kegiatan peningkatan mutupelayanan ada pada wakil manajemen (managementrepresentative) yang bertugas menjamin kesesuaiandan efektivitas kegiatan peningkatan mutu, termasukdi unit-unit pelayanan klinik. Uraian tugas dantanggung jawab peningkatan mutu pelayanantermasuk di pelayanan klinik disusun setelahpenerapan ISO 9000.

    Keterlibatan para staf dalam kegiatan clinicalgovernance terbatas pada kegiatan yang telahberjalan, yaitu kegiatan audit klinik dan penyusunanstandar praktik berdasarkan evidence-based.Kegiatan ini telah rutin dijalankan oleh komite medisjauh sebelum penerapan ISO 9000. Namun denganISO 9000 keterlibatan tersebut menjadi lebih baikkarena adanya prosedur komunikasi internal yanglebih baik.

    Standar 2. Kebijakan dan strategiMeskipun belum terdapat dokumen kebijakan

    dan strategi yang dikhususkan untuk penerapanclinical governance, namun telah terdapat dokumenkebijakan dan strategi untuk peningkatan mutupelayanan secara umum termasuk peningkatanmutu pelayanan klinik. Kebijakan dan strategi inidisusun pada saat implementasi ISO 9000.

    Kebijakan dan strategi tersebut telah sesuai/relevan dengan tujuan dan sasaran dari organisasi,namun keempat pilar dari kerangka kerja clinicalgovernance secara menyeluruh belum diterapkan,yaitu: Fokus kepada pelanggan. Beberapa

    kebijakan dan prosedur telah memperlihatkanpenerapan pilar ini, antara lain adanya prosedur:pendokumentasian persetujuan pasien(consent), manajemen komplain pasien danpenyusunan feedback dari kuesioner pasien,namum belum terdapat prosedur untukmelepaskan informasi pasien, membukainformasi kepada pasien dan keluarga mengenaiserious clinical incident atau sentinel events.Penerapan pilar ini telah dimulai sejak prosesakreditasi RS. Namun lebih dikuatkan denganpenerapan ISO 9000.

    Pengukuran dan evaluasi kinerja klinik.Kebijakan dan prosedur yang mendukungpenerapan pilar ini antara lain: prosedur

    penyusunan standar pelayanan medis yangtelah mempertimbangkan adanya evidence-based dan standar pelayanan yang dikeluarkanoleh organisasi profesi, dan prosedurpengukuran sasaran mutu pelayanan klinik, akantetapi belum terdapat prosedur untuk: auditklinik ataupun review rekam medis, dan proseduruntuk mendapatkan informasi terkini sepertiprotokol medis ataupun clinical pathways.Penerapan pilar ini khususnya untukpengukuran dan evaluasi kinerja klinik (sasaranmutu pelayanan klnik) banyak didorongpenerapan ISO 9000.

    Manajemen risiko klinik. Di kedua RSUD inibelum terdapat kebijakan dan prosedur yangterkait dengan manajemen risiko klinik seperti:prosedur pelaporan adanya clinical incident,sentinel event dan analisisnya menggunakanroot cause analysis atau kerangka kerja yanglain, dan prosedur identifikasi risiko klinik besertaanalisis dan tindak lanjutnya. Sebenarnya ISO9000 memiliki pesyaratan tentang pengendalianproduk/pelayanan tidak sesuai (terkait denganmanajemen risiko) namun di kedua RSUD halini baru diterapkan untuk pelayanan nonkliniksaja.

    Pengembangan dan pengelolaan stafprofesional. Telah terdapat prosedur untukorientasi, training staf, dan prosedur kredensial,namun belum terdapat prosedur untukpengukuran kinerja klinik untuk masing-masingstaf. Beberapa prosedur yang ada tersebut telahdisusun sejak proses akreditasi, sedangkanproses ISO 9000 hanya membakukan formatpenulisan yang berbeda dan dorongan yanglebih kuat untuk pelaksanaannya.

    Standar 3. Struktur organisasiMeskipun telah ada komite medis yang

    bertanggung jawab terhadap peningkatan mutupelayanan klinik (penerapan clinical governance)dengan uraian tugas yang menggambarkan tanggungjawab komite medis yang cukup luas dalampenerapkan konsep clinical governance namun tidakseluruh kegiatan clinical governance masuk di dalamuraian tugas tersebut.

    Struktur komite medis yang terdiri dari parakliniki (dokter, perawat, dan kliniki lain) sertaperwakilan dari staf manajemen telah tersusun sejaksebelum penerapan sistem manajemen mutu ISO9000. Komite medis melaporkan dan memberikanrekomendasi kepada direktur untuk perbaikan mutupelayanan klinik.

  • Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006 l 125

    Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan

    Standar 4. Alokasi sumber daya yangdiperlukan

    Kedua RSUD telah menyediakan sumber dayayang ditetapkan untuk mendukung kegiatanpeningkatan mutu pelayanan klinik, namun sumberdaya dalam bentuk informasi (sistem informasi)masih dalam proses pengembangan, sehingga tidakseluruh data-data yang terkait dengan pelayananklinik dapat diperoleh. Sistem manajemen ISO 9000berperan dalam memberikan kerangka kerja yangjelas untuk menetapkan sumber daya yangdibutuhkan.

    Standar 5. KomunikasiBelum terdapat bukti bahwa kebijakan

    peningkatan mutu pelayanan klinik dan strategipencapaiannya dikomunikasikan dengan tepatkepada para staf dan juga kepada publik(masyarakat/pasien). Hal ini berakibat tidak seluruhstaf mengerti dan mematuhi kewajiban untukmenerapkan clinical governance. Sebenarnyadokumen mutu ISO 9000 milik RS temasukdokumen rekaman mutu ISO 9000 dapat menjadireferensi mengenai penerapan peningkatan mutupelayanan klinik yang ada di RS. Standar ISO 9000sebenarnya mensyaratkan agar RS mempunyaisistem komunikasi yang diatur dengan baik untukmemastikan bahwa konsep peningkatan mutupelayanan (termasuk pelayanan klinik) telah disosialisasikan kepada seluruh staf RS, namunkomunikasi belum dilakukan kepada parastakeholders dan konsumen (pasien/keluarga).

    Standar 6. Pengembangan dan pelatihanprofesional

    Seluruh staf klinik, terutama dokter spesialistelah mendapatkan informasi yang cukup mengenaipelatihan ataupun pengembangan profesi, namunkeputusan untuk menghadiri kegiatan tersebutdiserahkan kepada mereka dan RS hanyamendukung dalam bentuk pemberian izin. Pelatihandan pengembangan profesional yang diikuti umumnyamengenai pengetahuan klinik dan sangat jarangmengenai manajemen klinik.

    Tidak tersedia catatan tentang keikutsertaandalam program pelatihan dan pengembangan sertatindak lanjut sesudah pelatihan, yang tersedia hanyacatatan kehadiran untuk perawat.

    Terdapat program orientasi bagi staf baru, namunprogram ini terbatas, tidak meliputi para dokter dandokter spesialis. Materi program orientasi juga tidakmemuat konsep clinical governanace.

    Program pengembangan dan pelatihan telah adasejak akreditasi RS, namun dengan penerapan ISO

    9000 maka program ini ditata ulang kembali sesuaidengan klausul ISO 9000 tentang sumber dayamanusia termasuk penentuan program pelatihan danmonitoring dan evaluasinya bagi para staf.

    Standar 7. Pengukuran efektivitasKedua RSUD telah memiliki sasaran mutu untuk

    setiap unit pelayanannya, termasuk pelayanan klinik.Beberapa indikator klinik yang digunakan seperti:angka kematian, waktu tunggu (respon time) diinstalasi gawat darurat, ketepatan hasilpemerikasaan di laboratorium, dan angka infeksinasokomial di rawat inap. Sasaran mutu pelayananklinik tersebut telah ditentukan targetnya dan diukurpencapaiannya secara berkala. Hasil pencapaiandianalisis untuk kemudian disusun rencana tindaklanjut, sehingga proses countinuous improvementberjalan. Hasil dari pencapaian kinerja klinik ini telahdimasukkan ke dalam laporan tahunan kegiatan RS,namun belum diletakkan secara khusus pada bagianclinical governance.

    Peran ISO 9000 adalah dengan mewajibkanseluruh unit/bagian memiliki sasaran mutu dengantarget pencapainnya masing-masing, dengan adanyakewajiban menjalankan proses audit internal makaISO 9000 mendorong adanya laporan dan tindaklanjut dari pencapaian sasaran mutu atau indikatorkinerja.

    PEMBAHASANPenerapan Sistem Manajemen Mutu ISO 9000di RS

    Pandangan RS terhadap mutu pelayanannyatelah mengalami evolusi, yang semula mutupelayanan tidak diperhatikan (era tanpa mutu) hinggakini menjadi hal yang utama (era manajemen mututerpadu) yaitu keterlibatan manajemen puncaksangat besar dan menentukan. Era ini dapatdidefinisikan sebagai sistem manajemen strategi danintegratif yang melibatkan semua manajer dankaryawan, serta menggunakan metode-metodekualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secaraberkesinambungan proses-proses RS agar dapatmemenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan, danharapan pelanggan, dikenal sebagai TQM.

    Rumah sakit (RS) yang benar-benar akanmelaksanakan TQM harus berusaha menyusunsistem manajemen mutu yang baik yang dapatdikembangkan dengan berbagai cara, salah satunyadengan mengadopsi standar sistem manajemenmutu ISO 9000. Standar ini telah dikembangkansejak tahun 1970-an hingga diterbitkannya standarsistem manajemen mutu versi pertama yaitu standarISO 9000:1987 yang memuat peraturan dan model

  • 126 l Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3 September 2006

    Hanevi Djasri: Penerapan Clinical Governance Melalui ISO 9000

    yang ketat dan cepat untuk dapat diikuti oleh sebuahorganisasi.7

    Versi terbaru standar sistem manajemen mutuyaitu standar ISO 9000:2000 didasarkan padadelapan prinsip manajemen mutu yang berintegrasidalam klausul-klausulnya8 dan dapat diterapkan diRS, yaitu: fokus kepada pelanggan, kelangsunganhidup RS sangat tergantung bagaimana pandanganpelanggan/pasien terhadap RS. Perlu dipastikanadanya keseimbangan antara kepuasan pelanggandengan pihak lain yang berkepentingan, sepertipemilik, karyawan, pemasok, pemodal, masyarakat,dan negara. Kepemimpinan, merupakan kemampuandari pemimpin RS untuk menciptakan visi, sertamenciptakan dan memelihara lingkungan internalagar semua staf tetap terlibat dalam mencapaisasaran.

    Keterlibatan staf, dalam semua tingkatan untukaktif dalam melihat peluang dalam peningkatankompetensi, pengetahuan, dan pengalaman.Pendekatan proses, didefinisikan sebagai kumpulanaktivitas yang saling berhubungan ataumempengaruhi yang terdapat perubahan dari inputmenjadi output. Ada hal-hal yang harus diperhatikanyaitu apakah input memadai, a