8
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Empirik
Beberapa penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini adalah :
1) Penelitian yang dilakukan oleh Atrisman Nukman, Abdur Rahman dkk
(2005) dengan judul Analiss dan Manajemen Risiko Kesehatan
Pencemaran Udara : Studi Kasus di Sembilan Kota Besar Padat
Transportasi menyatakan bahwa nilai RQ berbeda-beda besar dan
frekuensinya disetiap kota, Untuk tingkat bahaya yang berisiko kesehatan
(RQ > 1) mempunyai urutan menurut kotanya : Palembang > Bandung >
Jakarta > Banjarmasin > Medan > Surabaya > Yogyakarta > Semarang.
Sedangkan menurut agen risiko TSP > PM10>SO2>NO2>Pb.
2) Penelitian yang dilakukan oleh Niniek Herawati (2007) dengan judul
Analisis Risiko Lingkungan Aliran Lumpur Lapindo Ke Badan Air (Studi
Kasus Sungai Porong Dan Sungai Aloo Kabupaten Sidoarjo) menyatakan
bahwa ditemukan kandungan phenol yang berisiko tinggi terhadap
peruntukan /kelas air sungai porong dan sungai Aloo Kabupaten Sidoarjo
akibat aliran lumpur Lapindo
3) Penelitian yang dilakukan oleh Taufik Ashar (2007) dengan judul Analisis
Risiko Asupan Oral Pajanan Mangan Dalam Air Terhadap Kesehatan
Masyarakat menyatakan di tempat penelitian masyarakat sekitar TPA
rawa kucing memiliki risk quotient pajanan mangan adalah 0, 2347 dan
yang bermukim di luar kawasan TPA Rawakucing 0,2955 dan
9
masyarakat yang berada di dalam kawasan TPA berisiko gangguan
kesehatan sebesar 8,091 kali akibat mangan daripada masyakat di luar
TPA.
4) Penelitian yang dilakukan oleh Anwar Daud, Nur Nasri Noor, H.J Mukono
dan M Syahrul (2009) dengan judul Analisis Risiko Kesehatan terhadap
Kontaminasi Arsen pada Air Minum di daerah Buyat Sulawesi Utara
dengan metode observasional dengan pendekatan Analisis Risiko
Kesehatan Lingkungan dimana dari 25 buah sumur yang diperiksa dan 54
orang penduduk yang menderita kelainan kulit didaptkan hasil bahwa
90% air sumur di desa buyat tercemar arsen dengan konsentrasi
minimum (0,0063 mg/l), maksimum (0,1040 mg/l) dan rata-rata (0,040
mg/l) dan di peroleh risiko kesehatan telah melampaui angka 1 , duration
time yang aman 1,5 tahun dan laju konsumsi maksimum 53 ml/hari/orang
dengan berat badan rata-rata 35 kg.
2.2. Kajian Teori
2.2.1. Pengelolaan Sumber Daya Air
Air merupakan salah satu kebutuhan hidup dan merupakan dasar bagi
perikehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan tidak dapat
berlangsung. Oleh karena itu penyediaan air bersih merupakan salah satu
kebutuhan utama bagi manusia untuk kelangsungan hidup dan menjadi faktor
penentu dalam kesehatan dan kesejahteraan manusia.
10
Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan
mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan
mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan
makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan dayaguna, hasil
guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang
pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam(natural resources
depletion)
Untuk kelangsungan hidup perlu disadari bahwa sumber daya air, baik air
permukaan maupun air tanah harus mendapatkan perlindungan dari manusia
dengan sebaik-baiknya, supaya mendapatkan manfaat yang optimum dari
keberadaan sumber daya air dan mencegah terjadinya penurunan kuantitas dan
kualitas dari sumber daya air. Dalam memenuhi kebutuhan akan air, manusia
selalu memperhatikan aspek kualitas dan kuantitas air. Kuantitas air yang cukup
dimungkinkan karena adanya siklus hidrologi, yaitu siklus alami yang mengatur
tersedianya air permukaan dan air tanah .
Manusia masih bisa bertahan hidup dalam keadaan tanpa makanan
sampai hampir dua bulan, tetapi dalam keadaan tanpa air, hanya mampu
bertahan slama 3–4 hari. Banyak penelitian antropologis membuktikan bahwa
nenek moyang manusia membentuk kelompok masyarakat dan peradabannya
disekitar badan air
Air adalah zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara, 3/4
bagian tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorangpun dapat bertahan hidup lebih
11
dari 4-5 hari tanpa minum air. Disamping itu air juga dipergunakan untuk masak,
mencuci, mandi dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah untuk
keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, transportasi
dan lain-lain. Penyakit-penyakit yang menyerang manusia dapat juga ditularkan
dan menyebar melalui air dan dapat menimbulkan wabah penyakit dimana-mana.
Jumlah air dalam tubuh manusia rata-rata 65% dari berat tubuhnya, dan
sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara
bagian-bagian tubuh seseorang. Dalam beberapa organ tubuh manusia yang
mengandung banyak air antara lain adalah otak 74,5%, tulang 22%, ginjal
82,7%, otot 75,6% dan dalam darah 83%.
Setiap hari kurang lebih 1440 liter darah mengalir dan dibersihkan oleh
ginjal dan dikeluarkan 2 - 3 liter berupa urine. selebihnya diserap kembali masuk
ke aliran darah. Dalam kehidupan sehari-hari, air dipergunakan antara lain untuk
keperluan minum, mandi, masak, mencuci, membersihkan rumah, pelarut obat
dan pembawa bahan buangan industri.
Penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas akan memudahkan
timbulnya berbagai penyakit di masyarakat. Kebutuhan volume air rata-rata yang
diperlukan per orang setiap hari berkisar antara 150 - 200 liter atau 35 - 40 galon.
Kebutuhan air bervariasi dan tergantung dengan keadaan iklim, standar
kehidupan dan kebiasaan masyarakat.
Di alam jumlah air berlimpah tetapi tidak terdistribusi merata dan sudah
tercemar dan diperlukan proses purifiksi yang sederhana sehingga air tersebut
12
layak dipakai dan dikonsumsi,menurut data statistik hanya sekitar kurang dari 60
% penduduk kota-besar di Indonesia mendapatkan air bersih dari perusahaan air
minum pemerintah daerah dan swasta, penduduk yang hidup dipinggiran kota
dan perdesaan harus mendapatkan sumber air bersih dari tadah hujan, sumur
dangkal, sungai, danau, lebak dan memerlukan proses purifikasi sederhana
lebih dahulu baru dapat dipakai dan dikonsumsi untuk air minum,memasak dan
lain-lain.
Berdasarkan PP no 82 tahun 2001 dikatakan Pengendalian pencemaran
air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta
pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu
air; Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air yang diinginkan, maka perlu
upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air merupakan
upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi
alamiahnya.
Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik, di
samping nilai ekologik, dan sosial budaya. Upaya pemulihan kondisi air yang
cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar bila
dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari kegiatan yang
menyebabkan pencemarannya. Demikian pula bila kondisi air yang cemar
dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos, mengingat air
yang cemar akan menimbulkan biaya untuk menanggulangi akibat dan atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang cemar.
13
2.2.2 Siklus hidrologi
Adalah fenomena alam yang mempelajari siklus air pada semua tahap yang
dilaluinya, mulai dari proses evaporasi, kondensasi uap air, precipitasi,
penyebaran air di permukaan bumi, penyerapan air ke dalam tanah sampai
terjadi proses daur ulang.
Secara umum pergerakan air di alam terdiri dari berbagai peristiwa yaitu :
1. Penguapan air (evaporasi)
2. Pembentukan awan (kondensasi)
3. Peristiwa jatuhnya air ke bumi/hujan (presipitasi)
4. Aliran air pada permukaan bumi dan di dalam tanah (percolasi).
Gambar 2.1
Skema Representasi Siklus Hidrologi
14
2.2.3 Sumber air dan Kualitasnya
Secara sederhana sumber air besih dapat dibagi berdasarkan siklus
hidrologi : a. air hujan, b. air permukaan, c. air tanah
1) Air hujan
Air hujan merupakan penyubliman awan/uap murni air yang turun dan
melalui udara akan melarutkan benda-benda yang terdapat di udara
Merupakan sumber utama air bersih dan pada saat precipitasi merupakan
air yang paling bersih serta cenderung mengalami pencemaran ketika
berada di atmosfer oleh partikel debu, mikroorganisme dan gas seperti
carbon dioxida,nitrogen dan amoniak. dimana gas CO2 + air hujan akan
mennjadi asam carbonat; S2O3 + air hujan menjadi asam sulfat; N2O3 +
air hujan menjadi asam nitrit yang bersama sama akan membuat air
hujan menjadi asam atau Acid Rain yang bersifat korosif dan
mempengaruhi ekosistem perairan.
2) Air permukaan
Air permukaan merupakan salah satu sumber air yang dipakai untuk
bahan baku air bersih, dibanding pada tempat-tsumber air lain air
permukaan merupakan sumber air yang rawan pencemaran terutama
pada tempat-tempat yang dekat dengan pemukiman penduduk. Hampir
semua buangan dan sisa kegiatan manusia dilimpahkan kepada air atau
dicuci dengan air dan pada waktuanya akan di buang kedalam badan air
permukaan. Termasuk kedalam kelompok air permukaan adalah air yang
berasal dari sungai, selokan, rawa, parit, bendungan , danau dan lain
sebagainya.
15
3) Air tanah (ground water)
Berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi dan mengadakan
perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah serta sudah mengalami proses
filtrasi secara alamiah sehingga air tanah lebih baik dan lebih murni
dibandingkan dengan air permukaan. Air tanah biasanya bebas dari
kuman penyakit dan tidak perlu mengalami proses purifikasi atau
penyernihan, persediaan air cukup tersedia sepanjang tahun walaupun
pada musim kemarau tiba. Biasanya engandung zat-zat mineral dengan
konsentrasi tinggi seperti magnesium, calcium serta logam berat seperti
besi sehingga menimbulkan kekerasan pada air, dan memerlukan alat
pompa untuk mengisap dan mengalirkan air ke atas permukaan tanah.
2.2.4 Persyaratan Kualitas Air Bersih
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor 416/Menkes/Per/IX/1990
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air disebutkan bahwa untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, perlu dilaksanakan pengawasan
kualitas air secara intensif dan terus menerus; kualitas air yang digunakan
masyarakat harus memenuhi syarat kesehatan agar terhindar dari gangguan
kesehatan;dan kualitas Air harus memenuhi syarat kesehatan yang meliputi
persyaratan mikrobiologi, fisika kimia, dan radioaktif.
Persyaratan fisika antara lain harus memenuhi syarat bau, jumlah zat padat
terlarut, kekeruhan , suhu, rasa dan warna.
16
Persyaratan kimia harus memenuhi persyaratan kimia organik dan
anorganik, Syarat kimia anorganik antara lain tidak melebihi kadar maksimun
yang diperbolehkan parameter air raksa; arsen, besi; flourida, kadmium,
kesadahan, kromium valensi 6; mangan, nitrat, nitrit; pH; selenium; senga ,
sianida, sulfat dan timbal. Sedangkan kimia organik tidak boleh melebihi kadar
maksimum yang diperbolehkan parameter aldrin; dieldrin; benzene; benzo
pyrene; chloroform; 2,4 D; DDT; Detergen; dikloroethene; hexachlor; heptachlor;
Lindane; Metoklor, pentaklorpenol; total pestisida, tricloropenol, dan Kalium
permangat. Parameter pencemar kimia anorganik nerupakan bahan-bahan yang
bersifat racun bila terkandung dalam air melebihi jumlah tertentu dan menjadi
beracun bila dimakan manusia melalui media selain air. Sedangkan Parameter
kimia organik merupakan bahan-bahan kimia yang mempunyai pengaruh faeli
yang berbeda terhadap tubuh manusia tetapi pasti mempengaruhi penerima air
oleh masyarakat.
Syarat mikrobiologi meliputi total koliform dan koli tinja sedangkan syarat
radioaktifitas parameternya adalah gross alpha dan gross beta.
2.2.5. Sarana Air Bersih dan Syarat Sarana Air Bersih
Sarana air bersih adalah bangunan beserta peralatan dan
perlengkapannya yang menghasilkan, menyediakan dan mendistribisikan air
tersebut kepada masyarakat. Ada berbagai jenis sarana air bersih yang
digunakan masyarakat untuk menampung atau untuk mendapatkan air bagi
kebutuhan sehari-hari.
17
Air yang diperoleh melalui sarana-sarana tersebut sebenarnya berasal
dari tiga sumber air yang ada di alam, yaitu air permukaan, air tanah, dan air
hujan. Sarana air bersih (SAB) yang sering digunakan untuk keperluan hidup
sehari-hari antara lain SGL (Sumur Gali), SPT (Sumur Pompa Tangan baik
dangkal, sedang maupun dalam), PAH (Penampungan Air Hujan), PMA
(Perlindungan Mata Air) dan PP (Perpipaan).
Salah satu penyebab dari kurang baiknya kualitas air dari SAB tersebut
adalah karena Sarana Air Bersih (SAB) tersebut tidak terlindung dari
pencemaran. Kalau Sarana Air Bersih (SAB) tersebut dibuat memenuhi
persyaratan kesehatan (terlindungi) diharapkan pencemaran akan dikurangi,
berarti kualitas air yang diperoleh akan lebih baik.
Berikut ini dibahas persyaratan kualitas (persyaratan teknis kesehatan) dari
Sarana Air Bersih (SAB) tersebut (Depkes RI, 2007) :
a. Sumur Gali (SGL)
Sumur gali adalah merupakan sarana penyediaan air bersih yang mudah
dijumpai di masyarakat karena merupakan sarana air bersih yang mudah sekali
dalam pembuatannya. Biasanya sumur gali menampung air dangkal atau
kurang dari 7 meter
b. Sumur Pompa Tangan
Sumur pompa Tangan adalah sarana penyediaan air bersih yang untuk
menaikkan air dari sumur dengan menggunakan pompa air, baik itu pompa
tangan maupun pompa listrik. Ada beberapa jenis sumur pompa, antara lain :
18
1). Sumur pompa tangan dangkal (SPTDk) yaitu sumur yang dilengkapi
dengan pompa tangan, kedalaman sumur 7 meter.
2). Sumur pompa tangan sedang yaitu sumur yang dilengkapi dengan
pompa tangan, kedalaman sumur 7-20 meter .
3). Sumur pompa tangan dalam yaitu sumur yang dilengkapi dengan
pompa, dengan kedalaman sumur 20-30 meter
c. Penampungan Air Hujan (PAH)
Penampungan air hujan (PAH) adalah sarana penyediaan air bersih yang
digunakan untuk menampung air hujan sebagai persediaan air bersih dan
pengadaan air bersih .
d. Perpipaan (PP)
Perpipaan adalah sarana penyediaan air bersih yang menggunakan jaringan
pipa. PDAM mengolah air menggunakan saringan pasir dengan teknologi
tinggi yang hasilnya dapat dikonsumsi umum.
2.2.6 Tata Laksana Pegawasan Kualitas Air Minum
Monitoring secara konsisten dan konstan adalah cara yang efektif untuk
melindungi kualitas air minum. Sebelum didistribusikan, perlu diperhitungkan
apakan suplai air yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan air pada sebuah
populasi. Selain itu, perlu diketahui kualitas air dan dibandingkan dengan standar
kualitas air minum yang berlaku. Sumber air juga merupakan penentu utama
kualitas air yang harus diperhatikan. Misalnya jika sumber berasal dari sumur,
lokasi dan konstruksi sumur harus diverifikasi, pastikan bahwa sumur tersebut
19
terlindung dari drainase dan banjir; serta terlindung dari sampah dan buangan
hasil aktivitas manusia .
Di Indonesia, tata laksana pengawasan kualitas air minum diatur dalam
Permenkes RI No. 736/Menkes/Per/VI/2010. Menurut Permenkes tersebut,
dalam penyelenggaraan air minum perlu dilakukan pengawasan, baik internal
maupun eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan terhadap air minum
yang dilakukan oleh penyelenggara air minum; sedangkan pengawasan
eksternal adalah pengawasan terhadap air minum yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) khusus
untuk wilayah kerja KKP. Pengawasan internal dan eksternal dilakukan dengan 2
(dua) cara meliputi pengawasan berkala dan pengawasan atas indikasi
pencemaran.
Kegiatan pengawasan kualitas air minum meliputi:
1. Inspeksi sanitasi dilakukan dengan cara pengamatan dan penilaian kualitas
fisik air minum dan faktor risikonya
2. Pengambilan sampel air minum dilakukan berdasarkan hasil inspeksi sanitasi
3. Pengujian kualitas air minum dilakukan di laboratorium yang terakreditasi
4. Analisis hasil pengujian laboratorium
5. Rekomendasi untuk pelaksanaan tindak lanjut
6. Pemantauan pelaksanaan tindak lanjut
2.2.7 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
Menurut WHO kesehatan lingkungan merujuk pada semua faktor fisik,
kimia, dan biologi di luar manusia, beserta seluruh faktor yang saling terkait yang
20
merubah perilaku. Kesehatan lingkungan mencakup upaya penilaian dan
pengendalian faktor-faktor lingkungan yang berpotensi dapat mempengaruhi
kesehatan. Sasarannya adalah mencegah penyakit dan menciptakan lingkungan
yang sehat dan kondusif. Oleh karenanya, seorang praktisi kesehatan
masyarakat harus mampu melakukan penilaian (assessment) dan pengendalian
faktor risiko kesehatan lingkungan. Dalam melakukan penilaian terhadap kondisi
kesehatan lingkungan, dikemabngkan beberapa metode termasuk analisis risiko
kesehatan lingkungan yang diadaptasi dari berbagai negara lain yang telah
menjadikannya sebagai tools dalam perumusan kebijakan kesehatan lingkungan.
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) sebenarnya dipergunakan
pertama kali justru dalam bidang nuklir, bukannya di bidang kimia seperti yang
sering digunakan sekarang. Diawali dengan ditemukannya kematian yang
disebabkan oleh kanker dengan radiasi nuklir yang diduga sebagai
penyebabnya, pada tahun 1975 dilakukan analisis risiko secara mendalam untuk
menginvestigasinya. Teknik-teknik analisisnya kemudian diadopsi oleh Food and
Drug Administration Amerika Serikat. US.EPA selanjutnya menerbitkan pedoman
tentang analisis risiko karsinogen tahun 1986. Kini analisis risiko digunakan
untuk berbagai bahaya lingkungan, termasuk bahaya fisik dan biologis. Bahaya-
bahaya fisik, kimiawi dan biologis lingkungan bisa menimbulkan efek yang
merugikan kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan. Kajian efek kesehatan
dikenal dengan Health Risk Assessment (HRA, analisis risiko kesehatan),
sedangkan kajian efek lingkungan disebut Ecological Risk Assessment (ERA).
HRA dibedakan dengan Health Impact Assessment (HIA, analisis dampak
kesehatan). Dampak lebih bersifat umum yang berarti bisa positif atau negatif,
21
sedangkan risiko adalah dampak yang negatif. HRA biasanya digunakan untuk
menilai atau menaksir risiko yang disebabkan oleh bahaya-bahaya lingkungan
dulu, kini dan akan datang, sedangkan HIA umumnya merupakan bagian
perencanaan suatu kegiatan atau pembangunan baru. Meskipun
penggunaannya berbeda, prosedur HRA dan HIA pada prinsipnya adalah sama.
Perbedaan utama HRA dengan HIA terletak pada pemajanannya. Dalam HIA
pemajanan yang sesungguhnya belum ada (belum bisa diukur karena
kegiatannya belum ada), sedangkan dalam HRA pemajanan sudah ada (telah
dan sedang berlangsung). Selanjutnya HIA tumbuh dan berkembang secara
lebih spesifik menjadi Environmental Health Risk Assessment (EHRA) yang dialih
bahasakan menjadi analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.876/Menkes/SK/VIII/2001
tentang Pedoman teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan menyatakan
bahwa ARKL merupakan suatu pendekatan untuk mencermati potensi besarnya
risiko yang dimulai dengan mendeskripsikan masalah lingkungan yang telah
dikenal dan melibatkan penetapan risiko pada kesehatan manusia yang
berkaitan dengan masalah lingkungan yang bersangkutan. Bahasan ARKL dititik
beratkan pada risk agent berupa logam-logam berat yang memang banyak
menimbulkan kasus keracunan. Perlu dikemukakan bahwa umumnya risk agent
(risiko kesehatan) yang dibahas dalam ARKL meliputi 2 (dua) aspek yang
merugikan kesehatan manusia yaitu efek karsinogenik dan efek non karsinogenik
(Bapelkes Lemah Abang, 2009)
Dewasa ini dengan semakin banyaknya pembangunan, perubahan
lingkungan yang terjadi juga mempengaruhi aspek kesehatan masyarakat.
22
Analisis risiko kesehatan lingkungan sesuai dengan tantangan zaman, tidak
hanya untuk penilaian saja tetapi juga harus dapat mengakomodir manajemen
risiko. Mengacu pada Risk Assessment and Management Handbook tahun 1996,
analisis risiko mengenal dua istilah yaitu risk analysis dan risk assessment. Risk
analysis meliputi 3 komponen yaitu penelitian, assesmen risiko (risk assessment)
atau ARKL dan manajemen risiko. Di dalam prosesnya, analisis risiko dapat
diilustrasikan sebagai berikut :
Penelitian dimaksudkan untuk membangun hipotesis, mengukur, mengamati
dan merumuskan efek dari suatu bahaya ataupun agen risiko di lingkungan
terhadap tubuh manusia, baik yang dilakukan secara laboratorium, maupun
penelitian lapangan dengan maksud untuk mengetahui efek, respon atau
perubahan pada tubuh manusia terhadap dosis, dan nilai referensi yang
aman bagi tubuh dari agen risiko tersebut
Asesmen risiko (risk assessment) atau ARKL dilakukan dengan maksud
untuk mengidentifikasi bahaya apa saja yang membahayakan, memahami
hubungan antara dosis agen risiko dan respon tubuh yang diketahui dari
berbagai penelitian, mengukur seberapa besar pajanan agen risiko tersebut,
dan menetapkan tingkat risiko dan efeknya pada populasi
Manajemen risiko dilakukan bilamana perkiraan risiko menetapkan tingkat
risiko tidak aman atau tidak bisa diterima pada suatu populasi tertentu
melalui langkah-langkah pengembangan opsi regulasi, pemberian
rekomendasi teknis serta sosial ekonomi politis dan melakukan tindak lanjut.
23
Ilustrasi dari paradigma dan proses analisis risiko dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
Gambar 2.2 Paradigma dan Proses Analisis Risiko
24
Pada gambar diatas diatas diilustrasikan proses risk analysis secara utuh
dimulai dari penelitian terkait agen risiko, dosis serta respon/efeknya terhadap
kesehatan manusia yang dilakukan oleh peneliti. Sedangkan implementasi risk
assesment atau ARKL dan manajemen risiko dilakukan oleh praktisi kesehatan
lingkungan
Secara operasional, pelaksanaan ARKL diharapkan tidak hanya terbatas
pada analisis atau penilaian risiko suatu agen risiko atau parameter tertentu di
lingkungan terhadap kesehatan masyarakat, namun juga dapat menyusun
skenario pengelolaannya. Bagan alir penerapan ARKL sebagai bagian dari
analisis risiko dapat dilihat pada gambar 3:
Gambar 2.3 Bagan Alir Proses Analisis Risiko
25
Pada gambar 2.3 di atas dijelaskan bahwa ARKL merupakan pendekatan
yang digunakan untuk melakukan penilaian risiko kesehatan di lingkungan
dengan output adalah karakterisasi risiko (dinyatakan sebagai tingkat risiko) yang
menjelaskan apakah agen risiko/parameter lingkungan berisiko terhadap
kesehatan masyarakat atau tidak. Selanjutnya hasil ARKL akan dikelola dan
dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai tindak lanjutnya.
ARKL sebagai suatu tools termasuk metoda dan prosedurnya, merupakan
satu di antara jenis studi di bidang kesehatan lingkungan. Studi kesehatan
lingkungan dan kesehatan secara umum telah mengenal epidemiologi lebih
dahulu. Namun, jika diperbandingkan di antara kedua studi ini memiliki beberapa
perbedaan yang fundamental, sebagaimana tersaji dalam tabel 1 dan gambar 3
di bawah ini :
Tabel 2.1 Perbandingan Antara ARKL dan EKL
ARKL Epidemologi Kesehatan Pajanan agen risiko dinyatakan dengan intake
Pajanan tidak harus dinyatakan dengan asupan
Konsentrasi agen risiko, antropometri dan pola aktivitas populasi berisiko / populasi kajian mutlak diperlukan
Butuh konsentrasi agen risiko, namun antropometri dan pola aktivitas tidak wajib ada
Risiko non karsinogenik dan karsionogenik dibedakan
Risiko non karsinogenik dan karsionogenik tidak dibedakan
Tidak menguji hubungan faktor lingkungan dan outcome kesehatan
Menguji hubungan faktor lingkungan dan outcome kesehatan
Besaran risiko tidak dibaca sebagai kelipatan
Besaran risiko dibaca sebagai kelipatan
Kuantitas risiko digunakan untuk komunikasi dan manajemen risiko
Tidak merupakan satu kesatuan dengan komunikasi dan manajemen risiko
Sumber : Didi Purnama 2012
26
Gambar 2.4 : Perbedaan Analisa Risiko Kesehatan Lingkungangan dengan
Ekologi Kesehatan Lingkungan
Dampak buruk terhadap kesehatan yang ditimbulkan oleh agen risiko terjadi
karena adanya pemajanan dengan dosis dan waktu yang cukup. Suatu
organisme, sistem, sub/populasi terpajan agen risiko di lingkungan melalui
beberapa jalur pemajanan. Dampak buruk yang timbul akibat pajanan agen risiko
kimia di lingkungan diilustrasikan melalui gambar 2.5 di bawah ini :
Gambar 2.5 : Jalur Pajanan Agen Risiko
27
Dilihat dari gambar diatas dapat kita lihat bahwa suatu zat pencemar dapat
masuk ke tubuh manusia melalui jalur pajanan inhalasi, jalur pajanan oral dan
jalur pajajan kontak kulit (Purnama,Didi 2012)
2.2.7.1 Istilah , Definisi dan Terminologi dalam ARKL Di dalam pelaksanaan ARKL dikenal banyak istilah dan terminologi yang
perlu didefinisikan dahulu agar didapat kesamaan persepsi. Mengacu pada
International Program on Chemical Safety (IPCS, 2004) Risk Assessment
Terminology di bawah ini dijelaskan definisi dari setiap istilah yang umum
digunakan dalam pelaksanaan ARKL
1. Analisis : Pengujian terperinci dari sesuatu yang kompleks (rumit) dengan
maksud untuk memahami sifat dasarnya dan untuk menentukan
komponen/ciri-ciri dan sifat pentingnya
2. Analisis risiko : Sebuah proses untuk mengendalikan situasi atau keadaan
dimana organisme, sistim, atau sub/populasi mungkin terpajan bahaya.
Proses risk analysis meliputi 3 komponen yaitu risk assessment, manajemen
risiko, dan komunikasi risiko.
3. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) : Sebuah proses yang
dimaksudkan untuk menghitung atau memprakirakan risiko pada kesehatan
manusia, termasuk juga identifikasi terhadap keberadaan faktor
ketidakpastian, penelusuran pada pajanan tertentu, memperhitungkan
karakteristik yang melekat pada agen yang menjadi perhatian dan
karakteristik dari sasaran yang spesifik.
4. Analisis dosis respon (dose response assesment) : Analisis hubungan antara
jumlah total suatu agen yang diberikan, diterima, atau diserap oleh suatu
organisme sistim, atau sub/populasi dengan perubahan yang terjadi pada
28
suatu organisme, sistem atau sub/populasi
5. Analisis pajanan (exposure assesment) : Evaluasi pajanan agen dan
turunannya pada organisme sistim, atau sub/populasi. Analisis pajanan
merupakan langkah yang keempat dalam ARKL.
6. Agen (agent) : Zat, materi,atau makhluk dalam bentuk fisik, kimiawi atau
biologi yang kontak atau mengenai sasaran.
7. Bahaya (hazard) : Sifat yang melekat pada suatu agen atau situasi yang
berpotensi untuk menyebabkan dampak buruk ketika organisme, sistem atau
sub/ populasi terpajan agen tersebut.
8. Dampak buruk : perubahan pada morfologi, fisiologi , pertumbuhan
perkembangan, reproduksi, rentang hidup dari suatu organisme, sistem, atau
sub / populasi yang akan mengakibatkan gangguan pada kapasitas
fungsional ketidakmampuan dalam mengatasi stress (tekanan), atau
peningkatan kerentanan terhadap pengaruh-pengaruh lain.
9. Dosis : Jumlah total suatu agen yang diberikan, diterima atau diserap oleh
suatu organisme , sistem atau sub/populasi.
10. Dosis/konsentrasi referensi (RfD/ RfC) : Dosis/konsentrasi dari pajanan
harian agen risiko non karsinogenik yang diestimasi tidak menimbulkan efek
yang mengganggu walaupun pajanannya terjadi sepanjang hayat (seumur
hidup).
11. Dosis respon : Hubungan antara jumlah total suatu agen yang diberikan,
diterima, atau diserap oleh suatu organisme, sistim, atau sub/populasi dan
perubahan yang terjadi pada suatu organisme, sistim, atau sub/populasi
tersebut.
29
12. Efek : Perubahan keadaan atau dinamika suatu organisme, sistim atau
sub/populasi.
13. Ekses risiko kanker (excess cancer risk /ECR) : Besarnya risiko yang
dinyatakan dalam bilangan pecahan kelipatan pangkat ‘-10’ (eksponen)
tanpa satuan yang merupakan perhitungan perbandingan antara intake
dengan dosis/konsentrasi referensi dari suatu agen risiko karsinogenik
serta dapat juga diinterpretasikan sebagai dapat/tidak dapat diterimanya
suatu agen risiko terhadap organisme, sistim, atau sub/populasi dan
kelimpahan kasus kankernya (jumlah tambahan kasus kanker) dalam
satuan kasus populasi tertentu.
14. Identifikasi bahaya (hazard identification) : Identifikasi terhadap jenis dan
sifat serta kemampuan yang melekat pada suatu agen risiko yang dapat
menyebabkan dampak buruk organisme, sistim, atau sub/populasi.
Identifikasi bahaya merupakan langkah yang kedua dalam ARKL
15. Intake non karsinogenik (Ink) : Banyaknya suatu materi (bahan) atau agen
risiko yang memiliki efek non kanker (tidak menyebabkan kanker)
padasebuah media lingkungan, yang masuk ke dalam tubuh manusia setiap
harinya yang dinyatakan dalam satuan mg/kg/hari.
16. Intake karsinogenik (Ik) : Banyaknya suatu materi (bahan) atau agen risiko
yang memiliki efek kanker (terbukti dapat menyebabkan kanker) pada
sebuah media lingkungan, yang masuk ke dalamtubuh manusia setiap
harinya yang dinyatakan dalam satuan mg/kg/hari.
17. Karakteristik risiko (risk characterization) : Perhitungan kualitatif, jika
memungkinkan secara kuantitatif, meliputi probabilitas terjadinya potensi
30
dampak buruk suatu agen pada organisme, sistim, atau sub/populasi,
beserta faktor ketidakpastiannya.
18. Konsentrasi (concentration) : Banyaknya suatu materi (bahan) atau agen
yang terlarut atau terkandung dalam satuan jumlah pada sebuah media.
19. Lowest Observed Adverse effect level (LOAEL) : Dosis terendah yang
secara statistik atau biologis (masih) memperlihatkan efek merugikan pada
hewan uji atau pada manusia.
20. No observed adverse effect level (NOAEL) : Dosis tertinggi suatu zat pada
studi toksisitas kronik atau subkronik yang secara statistik atau biologis
tidak memperlihatkan efek merugikan pada hewan uji atau pada manusia.
21. Risiko (risk) : Kemungkinan atau kebolehjadian dari suatu dampak buruk
pada organisme, sistem, atau sub / populasi timbul akibat (disebabkan) oleh
terpajan suatu agen pada kondisi tertentu.
22. Risiko aman atau risiko yang dapat diterima (acceptable risk) : Istilah dalam
manajemen risiko yaitu dapat diterimanya risiko yang didasarkan pada data
ilmiah, faktor sosial, ekonomi, dan politik serta benefit dari pajanan suatu
agen.
23. Sloope factor (SF) : Dosis / konsentrasi dari pajanan harian agen risiko
karsinogenik yang diestimasi tidak menimbulkan efek yang mengganggu
atau tidak menyebabkan terjadinya kanker walaupun pajanannya terjadi
sepanjang hayat (seumur hidup).
24. Tingkat risiko (Risk Quotient/RQ) : Besarnya risiko yang dinyatakan dalam
angka tanpa satuan yang merupakan perhitungan perbandingan antara
intake dengan dosis / konsentrasi referensi dari suatu agen risiko non
31
karsinogenik serta dapat juga diinterpretasikan sebagai aman/ tidak
amannya suatu agen risiko terhadap organisme, sistem atau sub/populasi.
2.2.7.2 Jenis Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
Dalam studi epidemiologi, maka epidemiologi analitik akan menjelaskan
bagaimana suatu masalah kesehatan terjadi di masyarakat (apa penyebab
masalah kesehatan tersebut), salah satu praktik epidemiologi ditujukan untuk
mempelajari kemungkinan penyebab penyakit/keracunan dengan
membandingkan insiden rate pada kelompok terpapar dengan kelompok tidak
terpapar (relative risk). Risiko/ peluang penyebab penyakit/keracunan dari
kelompok terpapar lebih besar dari kelompok tidak terpapar sehingga informasi
risiko tersebut digunakan untuk mengambil tindakan penanggulangan secara
cepat. Sementara uji laboratorium menyusul kemudian untuk memastikan
penyebab penyakit/keracunan yang sesungguhnya.
Analisa Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) juga mempelajari
penyebab penyakit/keracunan yaitu dengan cara identifikasi risk agent.
Penyebab penyakit/keracunan diidentifikasi dengan 2 (dua) cara yaitu : pertama
menyeleksi risk agent pada daftar yang memperlihatkan kandungan risk agent
dari suatu sumber pencemar dan media lingkungan potensial. Kedua, menyeleksi
risk agent berdasarkan gejala-gejala penyakit/keracunan, gejala-gejala
penyakit/keracunan dijadikan titik tolak untuk memperkirakan penyebab
penyakit/keracunan. Berikutnya ARKL memperkirakan besarnya risiko/peluang
bahaya dari paparan risk agent dan membandingkannnya dengan standar
(paparan yang ditoleransi menurut penelitian pakar) lalu kemudian kondisi
32
paparan risk agent yang melebihi standar dikurangi melalui manajemen risiko
kesehatan lingkungan sehingga paparan risk agent berada pada tingkat kondisi
aman. ( Bapelkes Lemah Abang, 2009)
Secara umum ada dua jenis ARKL yang dapat digunakan yaitu, kajian
ARKL cepat atau kajian di atas meja (desktop study) dan kajian lapangan (field
study) tergantung sumber data yang digunakan. ARKL diatas meja tidak
menggunakan data lapangan tetapi menggunakan nilai-nilai default, rekomendasi
dan/atau asumsi, sedangkan kajian lapangan dilakukan dengan pengukuran
langsung kualitas lingkungan, pajanan (frekuensi, durasi ) dan data antropometri
(berat badan). Perbedaan antara kedua jenis ARKL tersebut dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :
Tabel 2.2 Perbandingan antara ARKL Desktop dengan ARKL Field
Variabel Desktop Field
Sumber data Data sekunder dan
asumsi/nilai default Data primer
Waktu pelaksanaan Durasi lebih singkat Durasi lebih lama
Besaran biaya yang
dibutuhkan Biaya kecil Biaya besar
Sumber : Didi Purnama 2012
Dalam melakukan analisa pemajanan pada ARKL desktop maka peneliti
tidak perlu melakukan pengumpulan data primer karena data yang menjadi dasar
perhitungan intake (asupan) menggunakan data sekunder dan asumsi. Dimana
data sekunder yang dibutuhkan untuk mengetahui konsentrasi agen risiko pada
media lingkungan yang merupakan hasil pengkuran yang pernah dilakukan oleh
pihak lain pada media lingkungan, wilayah yang sama sedangkan terkait dengan
variabel perhitungan yang lain (R, te, fe, Dt, Wb dan tavg) asumsi didasarkan
33
pada logika yang rasional atau nilai default yang sudah tersedia.. Adapun nilai
default untuk berbagai variabel pada desktop ARKL dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 2.3 Nilai Default Dari Faktor Pajanan
Tataguna Lahan
Jalur Pajanan
Asupan Harian Frekuensi Pajanan (hr/th)
Durasi Pajanan (tahun)
Berat Badan (kg)
Residensial/ Pemukiman
Air Minum 2 L (dewasa) 1 L (anak)
350 350
30 6
70 / 55b 15
Tanah/debu (tertelan)
100 mg (dewasa) 200 mg (anak)
350 350
24 6
70 / 55b 15
Terhirup 20 m3 dewasa (0,83 m3/jam) 12 m3 anak (0,5 m3/jam)
350 350
30 6
70 / 55b 15
Industri Air Minum 2 L (dewasa) 250
25 70 / 55b
Komersial pertania
Tanaman Pekarangan
42 g (buah) 80 g (sayur)
250 350
30 30
70 / 55b
Air Minum 2 L (dewasa) 1 L (anak)
350 350
30 6
70 / 55b 15
Tanah/debu (tertelan)
100 mg (dewasa) 200 mg (anak
350 350
24 6
70 / 55b 15
Terhirup 20 m3 (dewasa) (0,83 m3/jam)
350 35
30 70 / 55b 15
Rekreasi Ikan tangkapan
54 g 350 30 70 / 55b
Sumber Rahman:2007 Exposure Factor Handbook (EPA,1990) kecuali b Sumber Nukman et al , 2005 2.2.7.3 Prosedur/ Tahapan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
Sebenarnya makro prosedur ARKL sebenarnya juga mencakup
manajemen risiko dan komunikasi risiko, karena di akhir pelaksanaan ARKL
maka studi ARKL diharapkan mengemukakan saran-saran berdasarkan
manajemen risiko dan komunikasi risiko. Secara umum prosedur ARKL dimulai
dari identifikasi risiko sampai dengan komunikasi risiko dapat dilihat pada
diagram di bawah ini :
34
Gambar 2.6 Prosedur Lengkap ARKL
Identifikasi Bahaya
Identifikasi Sumber
Analisis Pemajanan Analsis Dosis Respon
Karakteristik Risiko
Manajemen Risiko
Komunikasi Risiko
35
1. Identifikasi Bahaya (hazard identification)
Merupakan langkah pertama yang digunakan dalam ARKL yang
digunakan untuk mengetahui jenis-jenis bahan berbahaya (risk agent)
meliputi : zat kimia, organisme dan fisik/energi) yang berpotensi
menyebabkan gangguan kesehatan bila tubuh terpajan. Cara
menetapkan jenis-jenis bahaya sesuai yang tercantum pada daftar agent
oriented . Data bisa diperoleh dari literatur/ hasil-hasil penelitian yang
mencantumkan sumber-sumber pencemar dan media lingkungan
potensial yang memperlihatkan kandungan jenis-jenis risk agent
Selanjutnya di review dan diseleksi dan ditetapkan jenis-jenis bahaya risk
agent yang tercantum dalam daftar disease oriented dan dilakukan survey
pada masyarakat sekitar lokasi penelitian untuk mendapatkan
keluhan/gejala penyakit terbanyak dan hubungkan denagn efek krisis
yang ditimbulkan risk agent, sehingga dihasilkan perkiraan jenis-jenis risk
agent yang aktual dan faktual potensial berbahaya pada lokasi sumber
pencemar dan atau pada media lingkungan yang diteliti.
Tahapan ini harus menjawab pertanyaan agen risiko spesifik apa yang
berbahaya, dimedia lingkungan yang mana agen risiko eksisting,
seberapa besar kandungan/konsentrasi agen risiko di media lingkungan,
gejala kesehatan apa yang potensial. Uraian apa yang harus dijawab
dalam identifikasi bahaya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
36
Tabel 2.4 Uraian Langkah Identifikasi Bahaya
Pertanyaan Uraian
Agen risiko spesifik yang
berbahaya
Agen risiko bahan kimia dijelaskan secara spesifik atau
senyawa kimia apa yang berbahaya secara jelas
contohnya Merkuri (Hg) dijelaskan apakah agen risiko
berupa elemental mercury, anorganic mercury atau
organic mercury/methyl mercury
Di media lingkungan yang mana
agen risiko eksisting
Dijelakan media lingkungan dimana agen eksisting
apakah di udara, ambient, air, tanah, sludge, biota,
hewan dll contohnya jika merkuri sebagai agen risiko
maka media lingkungan yang terkontaminasi antara
lain air bersih, sludge (pada pertambangan emas
rakyat) ataupun di hewan (ikan yang di konsumsi)
Seberapa besar
kandungan/konsentrasi agen
risiko di media lingkungan
Di jelaskan konsentrasi hasil pengukuran agen risiko di
media lingkungan
Gekala kesehatan yang
potensial
Di uraikan gejala / gangguan kesehatan yang dapat
terkait dengan agen risiko misalnya jika merkuri maka
gejala yang mungkin timbul antara lain tremor,
gemetaraan pada saat berdiri, nyeri pada tangan dan
kaki serta gangguan pada saraf pusat
Sumber : Bapelkes Lemah Abang 2009
2. Analisis Dosis Respon (dose response assesment)
Setelah melakukan identifikasi bahaya (agen risiko, konsentrasi dan
media lingkungan) maka tahap Setelah melakukan identifikasi bahaya
(agen risiko, konsentrasi dan media lingkungan ), maka tahap selanjutnya
adalah melakukan analisis dosis respons yaitu mencari nilai RfD,
dan/atau RfC, dan/atau SF dari agen risiko yang menjadi fokus ARKL,
37
serta memahami efek apa saja yang mungkin ditimbulkan oleh agen risiko
tersebut pada tubuh manusia. Analisis dosis respon ini tidak harus
dengan melakukan penelitian percobaan sendiri namun cukup dengan
merujuk pada literature yang tersedia.
Prakiraan dosis respon sebenarnya adalah hasil penelitian tentang
pajanan dosis tertinggi yang tidak menunjukan efek yang
merugikan/NOAEL (non observed adverse effect level) dan pajanan dosis
terendah yang masih menunjukan efek yang merugikan/LOAEL (lowest
adverse effect level).
Bahaya yang ditimbulkan risk agent dapat berbentuk bahaya keracunan
yang populer disebut istilah bahaya non kanker (non karsinogenik) dan
efek bahaya kanker (karsinogenik). Dimana setiap zat toksis dapat
menimbulkan efek non karsinogenik akan tetapi tidak semua zat-zat
toksik tersebut dapat menimbulkan kanker pada manusia. Efek bahaya
non karsinogenik ditandai dengan gejala awal yang jelas seperti
hiperpigmentasi kulit pada konsumsi arsen yang berlebih, berbeda
dengan efek non karsinogenik maka efek karsinogenik tidak ditandai
dengan gejala awal yang jelas artinya sekalipun individu terpajan oleh
carsinogenic risk agent, individu tersebut tidak menunjukkan gejala awal
padahal proses pertumbuhan abnormal dari dalam sel tubuh tengah
berlangsung bahkan sudah bermetastasis ke jaringan yang lain.
Perhitungan jumlah risk agent dibedakan untuk yang berefek non kanker
dan risiko yang berefek kanker, sedangkan perhitungan pajanan oral
(RfD) dan dengan pajanan inhalasi (RfC) tidak dibedakan.
38
a. Perhitungan efek non karsinogenik melalui absorpsi/ oral disebut
Reference Dose (RfD)
Lembaga Proteksi Lingkungan Amerika (US Enviromental Protection
Agency) melaui sistem informasi IRIS (Integrated Risk Information
System) telah menerbitkan nilai reference dose berdasarkan hasil
penelitian para pakar untuk beberapa risk agent dengan
menggunakan nilai NOAEL maupun LOAEL baik yang dilakukan pada
objek manusia langsunga maupun merupakan extrapolasi dari hewan
percobaan ke manusia.
b. Perhitungan efek non karsinogenik melalui inhalasi disebut
Reference Concentration(RfC)
Perbedaan pajanan inhalasi dengan pajanan melalui oral/absorpsi
adalah portal of entry (pintu masuk racun). Pada paparan inhalasi,
racun masuk melalui alat pernafasan sedangkan paparan oral racun
masuk melalui mulut/pencernaan. Baik pajanan oral (RfD) maupun
inhalasi oleh US EPA/IRIS dicantumkan dalam satu daftar/tabel yang
penting dicermati adalah pernyaannnya yakni apakah oral atau
inhalasi
c. Perhitungan efek karsinogenik dengan menggunakan cancer sloope
factor (CSR) dan Cancer Unit Risk (CUR)
Perbedaan perhitungan dosis respon antara efek non karsinogenik
dengan efek karsinogenik terletak pada durasi pajanan (Dt). Pada
efek non kanker durasi pajanan sebagai faktor
pembanding/denumerator ditetapkan 30 tahun sedangkan pada efek
39
kanker durasi pajanan ditetapkan 70 tahun (kesepakatan pakar).
Berdasarkan perbedaan durasi pajanan tersebut maka jumlah dosis
yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek karsinogenik lebih kecil
dibanding jumlah dosis risk agent yang menimbulkan efek non
karsinogenik.
Sebagai referensi berikut dikemukan dosis respon agent menurut
IRIS, US EPA 2004 sebagai berikut (Bapelkes Lemah Abang,2009)
Tabel 2.5 Nilai RfD
No Agent RfD/ SF Efek Kritis dan referensi
1. As (Arsen)
3E-4 mg/kg/day 1,5E+0 (mg/kg/day)−1
Hiperpigmentasi, keratosis dan kemungkinan komplikasi vaskular pajanan oral (Tseng, 1977 Tseng et al., 1968)
2. Ba (Barium) 2E-1 mg/kg/day Nefropati dalam 2 tahun pemberian air minum kepada mencit (NTP 1994)
3 B (Boron)
2E-1 mg/kg/day
Penurunan berat janin pada pajanan asam borat Gestasi
4 Cd (Kadmium) 5E-4 mg/kg/day
Proteinuria pajanan kronik manusia (USEPA)
5 Cl2 (Klorin) bebas
1E-1 mg/kg/day Pajanan kronik air minum tikus (NTP, 1992)
6 Cr6+ (Kromium Heksavalen)
3E-3 mg/kg/day Uji hayati air minum 1 tahun dengan tikus (McKenzie et al, 1958) dan pajanan air minum penduduk Jinzhou (zhang and Li, 1987)
7 CN- (Sianida) 2E-2 mg/kg/day Kehilangan berat, efek tiroid dan degradasi myelin dalam uji hayati subkronik sampai kronik oral pada tikus (Philbrick et al, 1979)
8 F- (Fluorida) 6E-2 mg/kg/day Flourisis gigi dan efek kosmetik dalam studi epidemiologi (Hodge, 1950 cited in Underwood 1977)
9 Mn (Mangan) 1 .4E- 1 mg/kg/day Hipokolesterolemia, epilepsi, kekurangan pankreas eksokrin, sklerosis berganda, katarak
40
osteoporosis, fenilketonuria & penyakit kencing maple syrup (inborn) pada ingesi kronik manusia (NRC 1989; Freeland- Graves et al,1987; WHO 1973)
10 Hg – MeHg (Merkuri metal merkuri)
1E-4 mg/kg/day Kelainan neuropsikologis perkembangan dalam studi epidemilogi (Grandjean et al 1997; Budz- Jergensen et al 1999)
11 NO2- (Nitrit) 1E-1 mg/kg/day Methemoglobinemia pada bayi yang terpajan kronik air minum (Walton 1951)
12 Se (Selenium) 5E-3 mg/kg/day Selenosis dari studi epidemiologi (Yang et al, 1989)
13 Zn (Seng) 3E-1 mg/kg/day Penurunan Cu eriytrosit dan aktifitas Zn superoksida dismutase pada relawan pria dan wanita (Yadrick et al 1989)
Sumber : Bapelkes Lemah Abang 2012
Tabel 2.6 Nilai RfC
No Agent RfD/ SF Efek Kritis dan referensi
1. NH3 2,86E-2 Kenaikan keparahan rinitis dan pneumonia dengan lesi pernafasan pada uji hayati tikus subkronik (Broderson et al 1976)
2. H2S 5,7 1E-4 Lesi nasal lendir olfaktori pada uji hayati tikus subkronik (Brenneman et al 2000)
3 Pb
4,93E-4 Perubahan tingkat enzim dan perkembangan neurobehavioral anak-anak (IRIS 2006)
4 NO2 2E-2 Gangguan saluran pernafasan (EPA/NAAQS,1990)
5 SO2 2,6E-2 Gangguan saluran pernafasan (EPA/NAAQS,1990)
6 TSP 2,42 Gangguan saluran pernafasan (EPA/NAAQS,1990)
Sumber : Bapelkes Lemah Abang 2012
Pada beberapa negara biasanya menggunakan bilangan pecahan
untuk menyatakan respon dosis akan tetapi pada literatur
41
internasional menggunakan penulisan dengan bilangan exponent
seperti pada tabel diatas, misalnya Rfd Arsen adalah 3E-4 mg/kg/day
maka dapat ditulis 0,0003 mg/kg/day.
Mengingat pemutakhiran (update) RfD, RfC, dan SF berlangsung
sangat cepat, RfD, RfC, dan SF yang tercantum pada tabel di atas
tidak bisa selamanya dijadikan acuan. RfD, RfC, dan SF dari agen
risiko yang lain serta update dari RfD, RfC, dan SF pada tabel di atas
dapat dilihat dengan mengakses www.epa.gov/iris.
3. Analisis Pajanan (exposure assessment)
Setelah jenis-jenis risk agent dapat diidentifikasi (langkah 1) kemudian
prakiraan dosis respon risk agen (RfD/RfC) dapat di tentukan berapa
mg/Kgbb/hari(langkah 2) maka langkah selanjutnya adalah adalah
prakiraan kondisi pajanan / exposure assesment risk agent.
Kondisi pajanan risk agent adalah adalah jumlah risk agent yang nyata
diterima oleh manusia sebagai individu yang dinyatakan dalam satuan
mg/kgbb/hari. Dalam berbagai literatur dikenal dengan nama asupan atau
Intake/int/I.
Untuk menghitung kondisi pajanan risk agen para pakar menggunakan
formula sebagai berikut :
avgb
tE
tWDfRCI
Dengan arti notasi variabel sebagai berikut :
42
a. Intake / Asupan (I) adalah jumlah risk agent yang diterima dalam
satuan mg/kgbb/hr atau jumlah konsentrasi agent risiko yang
masuk kedalam tubuh manusia dengan berat badan tertentu
b. Concentration (C) adalah konsentrasi agen risiko , untuk
pengukuran sampel minuman adalah mg/L
c. Rate (R) adalah laju konsumsi yaitu banyaknya volume air yang
masuk, untuk pengukuran sampel minuman adalah L/hari dengan
nilai default pada pemukiman orang dewasa sebesar 2 liter/hari ,
anak-anak 1 liter/hari sedangkan pada lingkungan kerja orang
dewasa sebesar 1 liter/hari.
d. Frekuensi of exposure (fE) adalah lamanya atau jumlah hari
terjadinya pajanan setiap tahunnya. Nilai default pada pemukiman
adalah 350 hari/tahun dan pada lingkungan kerja 250 hari/tahun.
e. Duration time (Dt) adalah lamanya atau jumlah tahun terjadinya
pajanan ataupun proyeksi lifetime/ life expectancy, dengan nilai
default pada pemukiman/ pajanan seumur hidup 30 tahun.
f. Weight of Body (Wb) adalah berat badan manusia/populasi
dengan nilai default menurut US EPA adalah 77 kg, sedangkan
menurut penelitian nukman (2005) berat badan orang indonesia
dewasa adalah 55 kg dan anak-anak 15 kg.
g. Time average (tavg) adalah periode waktu rata-rata untuk timbul
efek, waktu untuk efek non karsinogenik adalah 10.950 hari (30
tahun x 365 hari /tahun) sedangkan efek karsinogenik adalah
25.550 hari (70 tahun x 365 hari/tahun).
43
4. Karakteristik Risiko (risk characterization)
Langkah ARKL yang terakhir adalah karakterisasi risiko yang dilakukan
untuk menetapkan tingkat risiko atau dengan kata lain menentukan
apakah agen risiko pada konsentrasi tertentu yang dianalisis pada ARKL
berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat (dengan
karakteristik seperti berat badan, laju inhalasi/konsumsi, waktu, frekuensi,
durasi pajanan yang tertentu) atau tidak.
Karakteristik risiko dilakukan dengan membandingkan / membagi intake
dengan dosis /konsentrasi agen risiko tersebut. Variabel yang digunakan
untuk menghitung tingkat risiko adalah intake (yang didapatkan dari
analisis pemajanan) dan dosis referensi (RfD) / konsentrasi referensi
(RfC) yang didapat dari literatur yang ada (dapat diakses di situs
www.epa.gov/iris).
Efek non karsinogenik dilambangkan dengan notasi RQ(risk qoutient)
atau HQ (hazard quotient) dan efek karsinogenik dilambangkan dengan
notasi ECR (excess cancer risk).
Nilai RQ/ HQ diperoleh dengan membagi nilai intake/asupan dengan nilai
reference dose (RfD) agen risiko tersebut sedangkan ECR diperoleh
dengan mengalikan intake dengan sloope factor agen risiko tersebut.
Tingkat risiko yang diperoleh pada ARKL merupakan konsumsi pakar
ataupun praktisi, sehingga perlu disederhanakan atau dipilihkan bahasa
yang lebih sederhana agar dapat diterima oleh khalayak atau publik.
Tingkat risiko dinyatakan dalam angka atau bilangan desimal tanpa
satuan. Tingkat risiko non karsinogenik dikatakan AMAN bilamana intake
44
RQ<1.dikatakan TIDAK AMAN bilamana intake> RfD atau RfCnya atau
dinyatakan dengan RQ>1.
Narasi yang digunakan dalam penyederhanaan interpretasi risiko agar
dapat diterima oleh khalayak atau publik harus memuat sebagai berikut :
- Pernyataan risiko ‘aman’ atau ‘tidak aman’
- Jalur pajanan (dasar perhitungan) ‘inhalasi’ atau ‘ingesti’
- Konsentrasi agen risiko (dasar perhitungan) misalnya ‘0,00008 µg/m3’,
‘0,02 mg/l’.
- Populasi yang berisiko misalnya ‘pekerja tambang’, ‘masyarakat di
sekitar jalan tol’.
- Kelompok umur populasi (dasar perhitungan) ‘dewasa’ atau ‘anak –
anak'.
- Berat badan populasi (dasar perhitungan) misalnya. ‘15 kg’, ‘55 kg’, ‘65
kg’, ‘70 kg’.
- Frekuensi pajanan (dasar perhitungan) misalnya‘350 hari/tahun’, ‘250
hari/tahun’.
- Durasi pajanan (dasar perhitungan) misalnya yang terpajan selama ‘10
tahun’, ‘30 tahun’.
Contoh : Tingkat risiko
RQ untuk pajanan Pb (inhalasi) sebesar 0,00008 µg/m3 pada
masyarakat dewasa yang tinggal di sekitar jalan tol dengan berat badan
rata - rata 55 kg dan telah terpajan 350 hari/tahun selama 20 tahun
diketahui sebesar 0,098.
45
Maka dalam interprestasi risiko dapat dinyatakan pajanan Pb sebesar
0,00008 µg/m3 secara inhalasi pada masyarakat dewasa yang tinggal di
sekitar jalan tol dengan berat badan 55 Kg, masih aman untuk frekuensi
pajanan 350 hari/tahun hingga 20 tahun mendatang.
Sedangkan pada efek karsinogenik Tingkat risiko dinyatakan dalam
bilangan exponen tanpa satuan (cth. 1,3E-4). Tingkat risiko dikatakan
acceptable atau aman bilamana ECR ≤ E-4 (10-4) atau dinyatakan dengan
ECR ≤ 1/10.000. Tingkat risiko dikatakan unacceptable atau tidak aman
bilamana ECR> E-4 (10-4) atau dinyatakan dengan ECR> 1/10.000
Contoh : ECR = 1,3E-5 (1,3 x 10-5) dapat diinterpretasikan sebagai
berikut : “terdapat 1,3 kasus dalam 100.000 orang yang dapat
berkembang menjadi kasus kanker” atau “terdapat 1,3 orang yang
berisiko terkena kanker pada 100.000 orang populasi”.
Narasi yang digunakan dalam risiko karsinogenik harus memuat sebagai
berikut :
- Pernyataan risiko ‘acceptable’ atau ‘unacceptable’ (‘aman’ atau ‘tidak
aman’)
- Jalur pajanan (dasar perhitungan) ‘inhalasi’ atau ‘ingesti’
- Konsentrasi agen risiko (dasar perhitungan) misalnya ‘0,00008 µg/m3’,
‘0,02 mg/l’.
- Populasi yang berisiko misalnya ‘pekerja tambang’, ‘masyarakat di
sekitar jalan tol’.
- Kelompok umur populasi (dasar perhitungan) ‘dewasa’ atau ‘anak –
anak'
46
- Berat badan populasi (dasar perhitungan) misalnya ‘15 kg’, ‘55 kg’, ‘65
kg’, ‘70 kg’.
- Frekuensi pajanan (dasar perhitungan) misalnya ‘350 hari/tahun’, ‘250
hari/tahun’.
- Durasi pajanan (dasar perhitungan) misalnya yang terpajan selama ‘10
tahun’, ‘30 tahun’.
- Risiko kanker misalnya “terdapat 1,3 kasus dalam 100.000 orang yang
dapat berkembang menjadi kasus kanker” atau “terdapat 1,3 orang yang
berisiko terkena kanker pada 100.000 orang populasi”. (Didi Purnama,
2012)
2.2.8 Manajemen Risiko Kesehatan Lingkungan Secara umum manajemen risiko adalah suatu pendekatan
terstruktur/metodologi dalam mengelola risiko, pengelolaan disini berarti
penilaian risiko, pengembangan strategi pengelolaannnya dan mitigasi risiko
sehingga ancaman risiko menjadi aman bagi manusia.
Berkaitan dengan risiko maka manajemen risiko kesehatan lingkungan
menjelaskan bagaimana pengelolaan risiko bagi manusia sehingga manusia itu
dapat menghindari atau mengantisipasi ancaman bahaya dari lingkungannnya
baik berupa zat/biologi atau energi. Dengan kata lain manajemen risiko adalah
suatu pola pikir komprensif antisipatif yang mengutamakan upaya preventif dan
promotif dalam mengelola atau mengamankan kesehatan masyarakat dari
bahaya yang dapat terjadi akibat dari suatu proses yang sedang berlangsung
atau kejadian yang akan datang.
47
Menurut The Commision Risk Management Framework Final Report
(1997) menyatakan definisi Manajemen Risiko sebagai berikut : “ Risk
Management is the process of identifiying, evaluating, selecting and
implementating actions to reduce risk to human health and ecosystem
(manajemen risiko adalah proses mengidentifikasi, evaluasi, penyeleksian, dan
melakukan upaya untuk mengurangi risiko terhadap kesehatan manusia dan
ekosistem )
Setelah melakukan keempat langkah ARKL di atas maka telah dapt
diketahui apakah suatu agen risiko aman/dapat diterima atau tidak. Manajemen
risiko bukan termasuk langkah ARKL melainkan tindak lanjut yang harus
dilakukan bilamana hasil karakterisasi risiko menunjukkan tingkat risiko yang
tidak aman ataupun unacceptable.
Berdasarkan pengertian manajemen risiko diatas maka usaha
manajemen risiko dimulai dari identifikasi risiko sesuai empat langkah ARKL
kemudian dilakukan evaluasi komprehensif dengan memperhatikan karakteristik
risiko, jalur pajanan yang paling berpengaruh dan populasi yang paling berisiko,
faktor sosial politik di masyarakat, teknologi pengurangan risiko agent yang
tersedia dan analisis pemanfaatan teknologi tersebut.
Setelah evaluasi komprehensif dilakukan terhadap aspek-aspek tersebut
kemudian dilanjutkan dengan perencanaan upaya-upaya pengelolaan risiko baik
terhadap sumber pencemar, media lingkungan dan pengendalian jalur-jalur risk
agent selanjutnya perencanaan tersebut di implementasikan/dilaksanakan dan di
monitor (Bapelkes Lemah Abang, 2009)
48
Adapun cara manajemen risiko adalah cara atau metode yang akan
digunakan untuk mencapai batas aman bagi agent risiko terhadap manusia .
Cara manajemen risiko meliputi beberapa pendekatan yaitu pendekatan
teknologi, pendekatan sosial ekonomis dan pendekatan institusional (Didi
Purnama, 2012)
2.2.8.1 Manajemen Risiko dengan Pendekatan Teknologi
Manajemen risiko menggunakan pendekatan teknologi yang tersedia meliputi
penggunaan alat, bahan serta teknik tertentu yang efektif untuk menurunkan,
mengurangi dan menanggulangi besaran risiko agent baik pada sumber
pencemar, media lingkungan, jalur-jalur pajanan atau pada perlindungan
populasi yang berisiko dengan mempertimbangkan efisiensi yakni memilih
teknologi yang murah tapi efektif dan tahan lama serta membutuhkan biaya
operasioanal yang tidak mahal. Contoh manajemen risiko dengan pendekatan
teknologi adalah penerapan penggunanaan IPAL, pengolahan/penyaringan air,
modifikasi cerobong asap, penanaman tanaman penyerap polutan dan
sebagainya.
2.2.8.2 Manajemen Risiko dengan Pendekatan Sosial Ekonomi
Manajemen risiko menggunakan pendekatan sosial ekonomi meliputi pelibat
sertaan pihak lain, efisiensi proses, subtitusi dan penerapan sistem kompensasi.
Contoh Contoh manajemenrisiko dengan pendekatan sosial – ekonomis antara
lain : 3R (reduce, reuse, dan recycle) limbah, pemberdayaan masyarakat yang
berisiko, pemberian kompensasi pada masyarakatyang terkena dampak,
49
permohonan bantuan pemerintah akibat keterbatasan pemrakarsa (pihak yang
bertanggung jawab mengelola risiko)
2.2.8.3 Manajemen Risiko dengan Pendekatan Institusional
Manajemen risiko dengan menempuh jalur dan mekanisme kelembagaan
dengan cara melakukan kerjasama dengan pihak lain. Contoh manajemen risiko
dengan pendekatan institusional antara lain : kerjasama dalam pengolahan
limbah B3, mendukung pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah,
menyampaikan laporan kepada instansi yang berwenang, pembuatan peraturan
yang mengatur tentang baku mutu maupun syarat-syarat kesehatan.
2.2.9 Komunikasi Risiko Kesehatan Lingkungan
2.2.9.1 Pengertian dan Unsur Komunikasi
Asal kata dari komunikasi adalah Cum dan Umus yang dalam bahasa latin berarti
dengan atau bersama dengan dan satu. Dari asal kata tersebut berkembang
pengertian komunikasi menjadi seluruh proses yang digunakan untuk memahami
apa yang dipikirkan oleh orang lain. Pengertian lain dari komunikasi Upaya
membuat pendapat; menyatakan perasaan; menyampaikan informasi agar
dipahami oleh orang lain; Berbagi informasi; bertukar pendapat/perasaan dsb,
ataupun suatu proses membangkitkan ingatan. Bertolak dari pengertian tersebut,
komunikasi kita definisikan sebagai bentuk interaksi dengan orang lain berupa
percakapan biasa, membujuk, mengajar, & negosiasi. Komunikasi terdiri dari
beberapa unsur yaitu komunikator, pesan, channel, dan komunikan. Selain dari
unsur tersebut, dalam proses komunikasi juga terdapat gangguan dan umpan
50
balik. Skema dari proses dan unsur komunikasi dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 2.7: Gambar Proses dan Unsur Komunikasi
Unsur Komunikasi dapat dilihat pada keterangan dibawah ini
1. Komunikator adalah orang yang mula – mula memberikan aksi komunikasi
atau memberikan pesan kepada penerima, pengirim pesan biasa juga
disebut komunikator. Dalam membuat pesan kepada penerima terjadi proses
encoding (pengkodean) yaitu proses menerjemahkan gagasan ke dalam
symbol – symbol yang umum atau sudah dikenal ( kata, bahasa, gambar dan
sebagainya ) menjadi pesan yang mudah dipahami. Sumber informasi bisa
individu/perorangan atau lembaga yang memulai proses komunikasi.
2. Pesan adalah informasi yang ingin disampaikan oleh pengirim kepada
penerima. Pesan yang disampaikan bisa berupa pesan verbal yaitu semua
jenis komunikasi lisan yang menggunakan kata-kata, bisa juga berupa pesan
non verbal seperti bahasa tubuh (ekspresi wajah, sikap tubuh, nada suara,
51
gerakan tangan, cara berpakaian dan sebagainya ), musik tarian atau
bahasa isyarat.
3. Saluran adalah media atau sarana yang digunakan supaya pesan dapat
disampaikan oleh sumber kepada si penerima. Saluran seringkali disebut
dengan metode komunikasi. Saluran komunikasi bisa saja sederhana,
misalnya mengunakan kata-kata/suara, tetapi juga prosesnya bisa tidak
sederhana. Misalnya kita bisa menggunakan radio untuk kampanye tingkat
kota, bisa menggunakan arisan warga untuk kampanye di tingkat RW
dengan menggunakan berbagai media seperti leaflet, kartu bergambar dan
sebagainya.
4. Komunikan adalah orang –orang yang menerima pesan dari komunikator,
biasa juga disebut penerima. Saat menerima pesan dari pengirim, terjadi
proses penafsiran kembali pesan – pesan yang diterimanya yang disebut
encoding. Proses decoding sangat dipengaruhi oleh persepsi dan latar
belakang sosial budaya dari komunikan
5. Umpan balik mengacu pada segala informasi yang diperoleh kembali si
pengirim pesan dari si penerima. (Maria nes, 2012)
52
2.2.9.2 Komunikasi Risiko
Komunikasi risiko dilakukan untuk menyampaikan informasi risiko pada
masyarakat (populasi yang berisiko) dan pihak yang berkepentingan lainnya.
Komunikasi risiko merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan ARKL dan
merupakan tanggung jawab daripemrakarsa atau pihak yang menyebabkan
terjadinya risiko.
Objek komunikasi risiko adalah sasaran individu, kelompok atau pemangku
kepentingan yang terkait dengan risiko lingkungan yang dikenal dengan sasaran
primer , sekunder dan tersier.
Sasaran primer adalah individu, kelompok atau masyarakat yang diharapakan
akan berubah perilakunya dalam mencegah atau mengurangi akibat pengaruh
dari risiko lingkungan di tempatnya masing-masing.
Sasaran sekunder adalah individu, kelompok atau organisasi yang
mempengaruhi perubahan –perubahan perilaku dari sasaran primer. Kelompok
ini antara lain adalah kader, tokoh masyarakat, tokoh agama, organisasi profesi,
organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat
dan sebagainya.
Sasaran tersier adalah individu, kelompok atau organisasi yang memiliki
kewenangan untuk membuat kebijakan dan keputusan dalam pelaksanaan
penanggulangan akibat risiko lingkungan atau dampak yang ditimbulkan akibat
risiko lingkungan.
53
2.2.10 Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas)
Sejak tahun 2008 Pamsimas dilaksanakan, dampaknya positif bagi
masyarakat desa yang tersebar di 15 provinsi. Sebagai program stimulan dengan
pendekatan berbasis masyarakat, program Pamsimas menempatkan masyarakat
sebagai pelaku utama dan sekaligus sebagai penanggungjawab pelaksanaan
kegiatan.
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai target
Millennium Develepment Goals sektor Air Minum dan Sanitasi (WSS-MDG), yaitu
menurunkan separuh dari proporsi penduduk yang belum mempunyai akses air
minum dan sanitasi dasar pada tahun 2015. Sejalan dengan itu, Kebijakan
Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat menggariskan bahwa tujuan pembangunan Air Minum dan
Penyehatan Lingkungan adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
pengelolaan pelayanan air minum dan penyehatan yang berkelanjutan.
Sejak diberlakukan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, pemerintah daerah bertanggung jawab penuh untuk
memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat di daerahnya, termasuk
pelayanan air minum dan sanitasi. Namun demikian, bagi daerah-daerah dengan
wilayah perdesaan relatif luas, berpenduduk miskin relatif tinggi dan mempunyai
kapasitas fiskal rendah, pada umumnya kemampuan mereka terbatas, sehingga
memerlukan dukungan finansial untuk menyediakan pelayanan dasar kepada
masyarakat, baik untuk investasi fisik dalam bentuk sarana dan prasarana,
54
maupun investasi non fisik dalam bentuk manajemen, dukungan teknis dan
pengembangan kapasitas.
Program Pamsimas merupakan salah satu program pemerintah (pusat
dan daerah) untuk meningkatkan penyediaan air minum, sanitasi, dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama dalam menurunkan angka
penyakit diare dan penyakit lain yang ditularkan melalui air dan lingkungan.
Ruang lingkup kegiatan program Pamsimas mencakup 5 (lima) komponen
kegiatan: 1) Pemberdayaan Masyarakat dan Pengembangan Kelembagaan
Lokal; 2) Peningkatan Kesehatan dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dan
Pelayanan Sanitasi; 3) Penyediaan Sarana Air Minum dan Sanitasi Umum; 4)
Insentif Desa/kelurahan dan Kabupaten/kota; dan 5) Dukungan Pelaksanaan dan
Manajemen Proyek.
Program Pamsimas dilaksanakan dengan pendekatan berbasis
masyarakat melalui pelibatan masyarakat (perempuan dan laki-laki, kaya dan
miskin, dan lain-lain.) dan pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat (demand responsive approach). Kedua pendekatan tersebut
dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan
prakarsa, inisiatif, dan partisipasi aktif masyarakat dalam memutuskan,
merencanakan, menyiapkan, melaksanakan, mengoperasikan dan memelihara
sarana yang telah dibangun, serta melanjutkan kegiatan peningkatan derajat
kesehatan di masyarakat termasuk di lingkungan sekolah.
Program Pamsimas bertujuan untuk meningkatkan jumlah warga miskin
perdesaan dan pinggiran kota (peri-urban) yang dapat mengakses fasilitas air
minum dan sanitasi yang layak serta mempraktekan perilaku hidup bersih dan
55
sehat, sebagai bagian dari usaha pencapaian target MDGs sektor air minum dan
sanitasi melalui upaya pengarusutamaan dan perluasan program berbasis
masyarakat secara nasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut, program Pamsimas terlebih dahulu
harus mencapai sasaran program, yakni sebagaimana ditetapkan dalam indikator
performance Pamsimas, yaitu Sekitar 6 – 7 juta penduduk menurut status sosial
ekonomi yang dapat mengakses sarana air minum; Sekitar 2 – 3 juta penduduk
yang mengakses sarana sanitasi yang layak dan berkelanjutan; Sekitar 80%
masyarakat Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Sekitar 80%
masyarakat yang mengadopsi program Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS);.
Adanya rencana pengembangan kapasitas untuk mendukung adopsi dan
pengarusutamaan pendekatan Pamsimas dan kemajuan mencapai tujuan; .
Pemda mengalokasikan anggaran kabupaten yang diperlukan untuk
pemeliharaan sarana air minum dan sanitasi serta perluasan untuk mencapai
MDGs.
Top Related