Download - 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

Transcript
Page 1: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Pada Anak

Oleh:

Ahmad Rahmawan

Oldi Dedya

Haudhiya

Pembimbing:

dr. Ida Bagus Ngurah Swabawa, Sp.THT

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT FK UNLAM – RSUD ULIN

BANJARMASIN

Mei, 2009

Page 2: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya

merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.

Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk

seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan

insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis,

ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis

hipertrofi.1,2

Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai

gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif

sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA

merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran

napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen

secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi

merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis.

Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang

disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan

operatif.2-4

Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu

konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa,

yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan

1

Page 3: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

2

menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk

abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi

tonsilektomi perlu dilakukan.5,6

Pada kasus yang tidak tertangani dengan baik, tonsilitis kronis hipertrofi

secara keseluruhan akan mempengaruhi kualitas hidup anak, baik fisik maupun

psikis. Kualitas anak dalam prestasi belajar akan terganggu. Hal ini diperkuat oleh

penelitian Farokah dkk (2007) yang membuktikan adanya perbedaan yang

bermakna antara prestasi belajar siswa yang menderita tonsilitis kronis dan yang

tidak. Dampak lainnya adalah meningkatnya permasalahan psikologi yang

mencakup gangguan emosional, gangguan perilaku, dan neurokognitif.2

Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan

dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai

mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang

tepat dan rasional.

Page 4: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Tonsilitis Kronis Hipertrofi Pada Anak

Tonsil adalah salah satu struktur yang terdapat di rongga orofaring. Tonsil

merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan

ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil, yaitu tonsil faringeal

(adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingualis yang membentuk lingkaran yang

disebut cincin waldeyer. Adanya reaksi inflamasi akibat iritasi atau infeksi akan

menyebabkan tonsillitis akut, yang apabila tidak ditangani dengan baik akan

berlanjut menjadi kronis.6,7

Gangguan fungsi normal pada penderita tonsilitis kronik dengan hipertrofi

dan dampaknya terhadap kualitas hidup telah banyak diteliti. Penderita tonsilitis

kronik hipertrofi yang terganggu fungsi respirasi dan deglutisi mengalami

penurunan kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan kesehatan dan

kehilangan waktu untuk sekolah atau bekerja. Pada obstructive sleep apnea

syndrome (OSAS), dimana angka prevalensi 1 – 3 % pada anak TK dan usia

sekolah, menimbulkan permasalahan menyangkut kesulitan bernafas malam hari

terutama saat tidur, gangguan emosional, gangguan perilaku, dan gangguan

neurokognitif.6,8

Hipertrofi dan hiperplasia tonsilar obstruktif merupakan salah satu bentuk

tonsilitis kronik yang paling sering memberikan indikasi untuk dilakukan

tonsilektomi pada anak. Penderita mengalami obstruksi jalan napas pada saat tidur

3

Page 5: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

4

dalam berbagai derajat. Gejala yang muncul berupa snoring yang keras (dengan

periode napas yang tidak teratur), batuk dan tersedak saat tidur, sering terbangun

dan kualitas tidur menurun, disfagia, hipersomnolen sepanjang hari, dan

perubahan perilaku. Keadaan jangka panjang yang serius bagi penderita ini adalah

pertumbuhan terhambat dan kor pulmonal, meskipun jarang.8,9

B. Etiopatogenesis Tonsilitis Kronis Hipertrofi

Kuman penyebab sama dengan kuman yang menyebabkan terjadinya

tonsilitis akut terutama Streptococcus hemoliticus (50%), Streptococcus viridans.

Sisanya disebabkan virus. Penyebarannya melalui percikan ludah (droplet

infection). Penyakit ini ada kecenderungan bersifat residif secara periodic.8

Mula-mula terjadi infiltrasi pada lapisan epitel. Bila epitel terkikis, maka

jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi, terdapat pembentukan radang

dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Proses ini secara klinis tampak pada

kriptus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan

kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas. Tonsilitis kronis merupakan

kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinik pada tonsil. Biasanya

terjadi pembesaran tonsil sebagai akibat hipertropi folikel-folikel kalenjar limfe.

Pada anak-anak biasanya disertai hipertropi adenoid sehingga sering disebut

adenotonsilitis.1,9,10

Pada radang kronis tonsil terdapat 2 bentuk, yaitu hipertrofi tonsil dan

atrofi tonsil. Karena proses radang berulang, maka selain epitel mukosa terkikis,

jaringan limfoid juga terkikis, sehingga pada proses penyembuhan, jaringan

limfoid diganti oleh jaringan ikat fibrosa. Jaringan ikat ini sesuai dengan sifatnya

Page 6: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

5

akan mengalami pengerutan, sehingga ruang antar kelompok jaringan limfoid

melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran kriptus, dan kriptus ini

diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga terbentuk kapsul, akhirnya

timbul perlengketan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak, proses

ini disertai dengan proses pembesaran kalenjar limfe submandibularis.1,8

C. Aspek Imunologi Tonsilitis Kronis

Pada tonsilitis kronis telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil.

Penurunan fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten

pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten

berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-

8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4. Secara sistematik proses imunologis di tonsil

terbagi menjadi 3 kejadian yaitu :11

1) respon imun tahap I,

2) respon imun tahap II, dan

3) migrasi limfosit.

Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring

mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai

barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier

epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa

bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti

makrofag dan sel dendritik.11

Respons imun tonsila palatina tahap II terjadi setelah antigen melalui

epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid.8 Adapun

Page 7: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

6

respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari

penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke

tonsil melaui HEVdan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak

hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi

(ICAM-1 dan L-selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte

akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte.11

D. Gambaran Klinis dan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada

anamnesis dapat diperoleh keterangan dari penderita mengenai nyeri tenggorok

atau nyeri menelan ringan yang bersifat kronik, rasa mengganjal di tenggorokan,

mulut berbau, badan lesu, nafsu makan berkurang, sakit kepala, mendengkur, dan

kadang disertai sesak.1

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil yang membesar, tonsil tidak

hiperemi, kripta melebar dan terisi detritus.1,9

Tabel 1. Perbedaan tonsilitis akut, eksaserbasi akut, dan kronis.

Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis Eksaserbasi akut

Tonsilitis Kronis

Hiperemis dan edema

Hiperemis dan edema

Membesar/mengecil tidak hiperemis

Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+) Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+) Antibiotika, analgetika, obat kumur

Sembuhkan radangnya, lakukan 2 – 6 minggu setelah peradangan tenang

Bila mengganggu lakukan tonsilektomi

(Sumber: Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F, Allen Ed.eMedicine.com.inc.2002:1– 10)

Standar pemeriksaan klinis untuk tonsil telah dibuat oleh banyak pusat

penelitian dan kesehatan. Biasanya, meskipun tidak selalu, hipertrofi obstruktif

Page 8: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

7

terjadi pada tonsil dan adenoid, dimana keadaan ini harus segera ditangani.

Permasalahan yang timbul adalah apabila obstruksi adenoid telah tampak, namun

pembesaran tonsil masih +1 atau +2. Pada kasus ini, keputusan klinik yang tepat

harus dibuat. Kecuali bila hipertrofi tonsil tampak signifikan, maka operasi tonsil

in situ dapat dilakukan.12

Standar klasifikasi derajat pembesaran tonsil dibuat berdasarkan rasio

tonsil terhadap orofaring (dari sisi medial ke lateral) di antara pillar anterior.12

- 0 : bila tonsil berada di dalam fosa

- +1 : < 25% tonsil menutupi orofaring

- +2 : 25 – 50% tonsil menutupi orofaring

- +3 : 50 – 75% tonsil menutupi orofaring

- +4 : > 75% tonsil menutupi orofaring

E. Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Tonsilitis Kronis Hipertrofi

Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan gangguan tidur berulang yang

ditandai menurunnya sirkulasi udara. Salah satu tanda gangguan ini adalah

snoring, disebabkan oleh obstruksi faring yang inkomplit atau adanya perubahan

konfigurasi saluran napas atas selama tidur. Suara yang dihasilkan bersumber dari

kolapsnya sebagian saluran napas atas, bergetarnya uvula, palatum, dan tonsil.

Pada tonsil yang hipertrofi, risiko terjadinya snoring menjadi meningkat..13

Tonsilitis hipertrofi merupakan salah satu penyebab tersering obstructive

sleep apnea (OSA) pada anak. Selain tonsilitis, banyak jenis penyakit yang juga

bermanifestasi sama. Sehingga penting untuk memastikan penyebab sleep apnea.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik cukup bermanfaat untuk menegakkan diagnosis.

Apabila penyebab sleep apnea adalah akibat hipertrofi tonsil, maka tindakan

operasi tonsilektomi perlu dilakukan.13,14

Page 9: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

8

Pada anak, perubahan fisiologi mendasar yang terjadi pada OSA adalah

hipoksia dan hiperkapnea akibat obstruksi, yang kemudian menstimulasi

baroreseptor dan kemoreseptor perifer. Terganggunya kontinuitas tidur dan

penurunan rapid-eye-movement bermanifestasi pada keadaan mudah mengantuk

sepanjang hari.Tingginya insidensi OSA pada anak dengan hipertrofi tonsil

disebabkan volume jaringan limfoid yang meningkat pada usia 6 bulan sampai

dengan masa pubertas, dan mencapai maksimum pada usia anak sekolah. Meski

demikian, OSA tidak selalu muncul walaupun terjadi penyempitan saluran napas,

karena pada keadaan normal, tonsil yang hipertrofi tidak mengalami kolaps

sewaktu tidur.15

Meskipun secara klinis terdapat banyak kesamaan antara OSA pada anak-

anak dan dewasa, namun terdapat sejumlah perbedaan yang perlu diketahui, yaitu:

Tabel 2. Perbedaan OSA pada Dewasa dan Anak-anak

Gambaran Klinis Dewasa Anak

Snoring Intermiten kontinu

Bernapas lewat mulut Jarang Sering

Obesitas Sering Jarang

Failure to Thrive Jarang Sering

Hipersomnolen Sering Jarang

Predisposisi Gender Laki-laki Laki-laki dan perempuan

Keadaan Obstruksi Apnea Hipopnea

Terbangun saat tidur Sering Jarang (Sumber: Poole MD, Pereira KS. Pediatric Sleep-Disordered Breathing. In: Head and Neck Surgery – Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.)

Page 10: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

9

Derajat keparahan gangguan ini dibagi menjadi 3 tingkatan berdasarkan

indeks apnea dan saturasi oksigen, yaitu ringan, sedang, dan berat. Indeks apnea

adalah jumlah periode apnea yang terjadi dalam 1 jam tidur.13

- Derajat ringan apabila saturasi oksigen > 85% atau indeks apnea 5-20.

- Derajat sedang apabila nilai saturasi oksigen 65-84% atau indeks apnea 21-40.

- Derajat berat bila saturasi oksigen < 65% atau indeks apnea > 40.

Polisomnografi (PSG) multichannel merupakan pemeriksaan gold

standard untuk menegakkan diagnosis OSA. Data PSG normatif menunjukkan

bagaimana karakter OSA pada anak berbeda dengan dewasa. Dari pernyataan

American Thoracic Society, bahwa apnea obstruktif dengan berbagai durasi harus

di nilai skoring. Apnea Index yang dihitung lebih dari satu dalam satu jam

menunjukkan klinis yang signifikan. Mengingat pada anak, OSA secara berkala

menyebabkan hipopnea persisten dengan hipoventilasi daripada apnea obstruksi

total, maka penting untuk mengukur kadar CO2 pada puncak tidal. Bila

meningkat, menunjukkan hipoventilasi telah terjadi.12,15

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tonsilitis kronis terdiri dari terapi lokal dan terapi radikal.

Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut, dengan menggunakan obat kumur atau

obat hisap. Antibiotik dapat diberikan bila penyebab adalah bakteri. Terapi radikal

ialah dengan melakukan operasi tonsilektomi setelah tanda-tanda infeksi hilang.9

Page 11: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

10

Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology,

Head and Neck Surgery : 7,9,10

1. Indikasi absolut:

- Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia

menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar

- Abses peritonsil yang tidak respon terhadap pengobatan medis

- Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi

- Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan)

2. Indikasi relatif :

- Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam

setahun meskipun dengan terapi yang adekuat

- Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis

kronis tidak responsif terhadap terapi media

- Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang

resisten terhadap antibiotik betalaktamase

- Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma

3. Kontra indikasi :

- Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi

- Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak

mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi

- Infeksi saluran nafas atas yang berulang

- Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.

- Celah pada palatum

Page 12: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

11

Terdapat beberapa teknik operasi tonsilektomi, antara lain cara guillotine,

diseksi, electrosurgery, radiofrekuensi, skalpel harmonik, coblation, tonsilektomi

parsial intraskapular, dan teknik laser (CO2-KTP). Teknik tersering yang

dilakukan di Indonesia adalah teknik guillotine dan diseksi.14

Teknik guillotine dilakukan dengan mengangkat tonsil dan memotong

uvula yang edematosa atau elongasi dengan menggunakan tonsilotom atau

guillotine. Teknik ini merupakan teknik tonsilektomi tertua dan aman. Teknik

diseksi memiliki prinsip yang sama, meliputi fiksasi tonsil, membawanya ke garis

tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil

dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan

hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada

daerah tersebut dengan salin. Teknik electrosurgery, radiofrekuensi, skalpel

harmonik, coblation, tonsilektomi parsial intraskapular, dan teknik laser

merupakan modifikasi lain dari teknik diseksi.16

Page 13: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSUD Dr. Soetomo. Tonsilitis Kronis. Dalam Panitia Medik Farmasi dan terapi. Ed. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab UPF Ilmu Penyakit THT. Surabaya : RSUD Dr. Soetomo 1994 : 53-54

2. Farokah, Suprihati, Suyitno S. Hubungan tonsillitis kronik dengan prestasi

belajar pada siswa kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Cermin Dunia Kedokteran 2007;155:87-92

3. Sankar V, Zapanta PE, Truelson JM. Snoring and Obstructive Sleep Apnea,

Physiologic Approach. Emergency Medicine Textbook, 2007. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 23 Mei 2009)

4. Nűńez-Fernández D, Garcia-Osornia MA. Snoring and Obstructive Sleep

Apnea, Upper Airway Evaluation. Emergency Medicine Textbook, 2008. (diakses dari website www.medscape.com, pada tanggal 23 Mei 2009)

5. Hermani B, fachrudin D, Syahrial, et al. Tonsilektomi Pada Anak dan

Dewasa. HTA Indonesia, 2004. hal 1-25. 6. Aritomoyo, D. Insiden Tonsilitis Akuta dan Kronika Pada Poliklinik THT RS.

Dr. Kariadi Semarang Tahun 1978 Dalam Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional VI PERHATI. Medan, 1980 : 249 – 255

7. Adams GL. Penyakit – Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Adams

GL, Boies LR, Higler PA. Ed. Buku Ajar penyakit THT. Jakarta : EGC, 1997 :320 -55

8. Rusmarjono, Soepardi EA. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring. Dalam :

Soepardi EA, Iskandar N. Ed. Buku Ajar Ilmu THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1997 : 176 – 83

9. Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F, Allen

Ed. EMedicine.com.inc.2002 : 1 – 10 10. Hatmansjah. Tonsilektomi. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta 1993 :

19 – 21 11. Nave H, Gebert A, Pabst. 2001. Morphology and immunology of the human

palatine tonsil. Anat Embryol 2004: 367-373.

Page 14: 49521337-CaseReport-ChronicTonsilitiswithSnooringinChildren

13

12. Brodsky L, Poje C. Tonsillitis, Tonsillectomy, And Adenoidectomy. in: Head and Neck Surgery – Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.

13. Walker RP. Snoring and Obstructive Sleep Apnea. in: Head and Neck Surgery

– Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.

14. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM. Child behavior and

quality of life before and after tonsillectomy and adenoidectomy. Arch Otolaryngol, Head Neck Surg 2002;128:770-5

15. Poole MD, Pereira KS. Pediatric Sleep-Disordered Breathing. in: Head and

Neck Surgery – Otolaryngology. 3rd Edition. Editor: Bailey BJ, Calhoun KH, Healy GB, et al, 2001.

16. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy.

Laryngoscope 2002;112:3-5