28
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan Kondisi Geografis
Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu kabupaten yang termasuk
dalam wilayah Pemerintahan Aceh yang terletak di daerah barat selatan aceh.
Secara geografis Kabupaten Aceh Barat terletak di posisi : 040 06’– 040 47’ LU
dan 950 52’– 96 30’ BT. Secara administrasi Kabupaten Aceh Barat berbatasan
dengan Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie di sebelah utara, dengan Aceh Tengah dan
Nagan Raya di sebelah timur, dengan Samudera Indonesia dan Kabupaten Nagan
Raya di sebelah barat dan selatan. Kabupaten ini memiliki luas wilayah daratan
2.927,95 km2 atau 292.795 ha, dengan panjang garis pantai diperkirakan 50,55 km
dan dengan luas laut 233 km2 mempunyai wilayah yang sangat potensial untuk
salah satu daerah hasil laut yang produktif (DKP, 2007). Menurut Badan Pusat
Statistik (2010), Kabupaten Aceh Barat memiliki 321 desa dengan 12 (dua belas)
kecamatan, dan juga memiliki empat kecamatan yang berbatasan langsung dengan
Samudera Indonesia yaitu kecamatan pesisir meliputi Kecamatan Johan Pahlawan,
Meureubo, Samatiga dan Kecamatan Arongan Lambalek, serta delapan kecamatan
daratan yaitu Kaway XVI, Sungai Mas, Pantee Ceureumen, Panton Ree, Bubon,
Woyla, Woyla Barat dan Woyla Timur. Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa
Kecamatan Kaway XVI merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Aceh Barat
dengan luas mencapai 510,18 km2 kemudian diikuti Kecamatan Pante Ceureumen
dengan luas 490,25 km2, kedua kecamatan ini adalah kecamatan daratan yang
tidak ada pesisir. Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Panton Reu dengan luas
83,04 km2 merupakan kecamatan pemekaran pada tahun 2007, dan Kecamatan
Johan Pahlawan dengan Luas Wilayah 44,91 km2 atau 1,53% dari luas kabupaten
kecamatan ibu Kota Aceh Barat. Kecamatan ini merupakan tempat lokasi
penelitian di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Meulaboh Desa Ujung Baroh,
Kecamatan Johan Pahlawan dengan luas area pelabuhan 1,5 hektar (BPS, 2010).
29
Tabel 4 Nama-nama kecamatan, ibu kota kecamatan, jumlah desa/gampong dan luas wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Barat.
No Kecamatan Ibukota Kecamatan Jumlah
Desa Luas (km2)
1 Johan Pahlawan Meulaboh 21 44,91 2 Samatiga Suak Timah 32 140,69 3 Bubon Banda Layung 17 129,58 4 Arongan L Drien Rampak 27 130,06 5 Woyla Kuala Bhee 43 249,04 6 Woyla Barat Pasi Mali 24 123,00 7 Woyla Timur Tangkeh 26 132,60 8 Kaway XVI Keudee Aron 43 510,18 9 Meureubo Meureubo 26 112,87 10 Pante C Pante C 25 490,25 11 Panton Reu Meutulang 19 83,04 12 Sungai Mas Kajeung 18 781,73
Jumlah 321 2.927,95 Sumber : BPS, Kabupaten Aceh Barat dalam Angka 2010 4.2 Penduduk dan Mata Pencaharian
Kabupaten Aceh Barat terdiri beberapa suku asli Aceh dan pendatang dari
berbagai daerah. Kelompok etnis pendatang terbesar sampai saat ini adalah
Padang dan Jawa. Banyaknya penduduk pendatang ini akibat adanya program
transmigrasi penduduk dari daerah lain ke aceh dan juga akibat tsunami tahun
2004, banyak suku pendatang yang mencari rizki ke Kabupaten Aceh Barat
seiring dengan pembangunan kembali kabupaten ini oleh BRR (badan rehabilitasi
dan rekontruksi) Aceh-Nias, yang kemudian sebagian besar diantaranya menetap
tinggal di Kabupaten Aceh Barat. Jumlah Penduduk Kabupaten Aceh Barat yang
tercatat oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 adalah 184.147 orang, yang
terdiri dari laki-laki sebanyak 87.682 orang dan perempuan 85.214 orang.
Setelah gempa dan gelombang tsunami dengan kekuatan 9,8 skala richter
yang melanda Pemerintahan Aceh tanggal 26 Desember 2004, sekitar 80%
bangunan fisik Kota Aceh hancur total. Keadaan yang seperti itu jumlah
penduduk Kabupaten Aceh Barat akhir Desember 2005 tercatat 150.450 jiwa,
sehingga dalam periode waktu 2004–2009 Kabupaten Aceh Barat mempunyai
rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 2,96% per tahun.
Dari tahun 2005 sampai tahun 2009, Kecamatan Johan Pahlawan
menduduki posisi pertama dengan jumlah penduduk di Kabupaten Aceh Barat.
Hal ini dikarenakan Kecamatan Johan Pahlawan terletak di pusat kota Meulaboh,
30
sebagai ibu kota dari Kabupaten Aceh Barat, kemudian diikuti diposisi kedua oleh
Kecamatan Meureubo dengan jumlah penduduk 22.999 jiwa dan Kecamatan
Kaway XVI pada posisi ketiga tahun 2009 mencapai 18.133 jiwa. Pada tahun
2006 penduduk di Kecamatan Kaway XVI ini mencapai angka tertinggi 25.365
jiwa, namun pada tahun 2007 terjadi pemakaran sehingga mengalami penurunan
27,35% (18,429 jiwa) dan pembentukan kecamatan baru yaitu Kecamatan Panton
Reu di Kabupaten Aceh Barat yang sebelumnya merupakan wilayah Kecamatan
Kaway XVI. Perkembangan jumlah penduduk menurut Kecamatan dalam
Kabupaten Aceh Barat dari tahun 2004-2009 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perkembangan penduduk di kecamatan pesisir dan daratan dalam
Kabupaten Aceh Barat periode 2004-2009
Kecamatan Penduduk (jiwa) 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kecamatan Pesisir 1. Johan Pahlawan 52.118 43.804 44.139 45.654 66.35 65.182 2. Meureubo 24.018 18.417 18.557 19.194 21.013 22.999 3. Samatiga 14.794 12.492 12.587 13.019 14.85 15.058 4. Arongan L 12.293 10.058 10.134 10.481 11.763 11.808 Jumlah 103.223 84.771 85.417 88.348 113.976 115.047
Kecamata daratan 5. Woyla 11.538 11.613 11.701 12.102 12.489 12.759 6. Woyla Barat 7.793 6.869 6.921 7.158 7.402 7.443 7. Woyla Timur 5.324 4.009 4.039 4.178 4.520 4.500 8. Kaway XVI 23.684 25.174 25.365 18.429 18.429 18.133 9. Bubon 5.098 5.481 5.523 5.712 5.751 5.892 10. Pante C 11.317 9.125 9.194 9.509 10.406 10.65 11. Panton Reu - - - 3.552 5.930 6.064 12. Sungai Mas 4.653 3.408 3.434 4.306 3.662 3.659 Jumlah 69.407 65.679 66.177 64.946 68.589 69.1 Jumlah Keseluruhan 172.630 150.450 151.594 153.294 182.565 184.147
Sumber : BPS, Kabupaten Aceh Barat dalam Angka 2010
31
172.63
150.45 151.594 153.294
182.565184.147
0.000
25.000
50.000
75.000
100.000
125.000
150.000
175.000
200.000
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
Pend
uduk
(Jiw
a)
Tahun Gambar 3 Grafik perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Aceh Barat periode
2004-2009 Kabupaten Aceh Barat adalah salah satu kabupaten yang kemajuannya
sangat pesat pasca tsunami pada tahun 2004. Jumlah keseluruhan penduduk
Kabupaten Aceh Barat 184.147 jiwa sampai tahun 2010, dengan berbagai macam
mata pencaharian diantaranya petani (ladang, tambak), nelayan, pegawai negeri
sipil, tetapi di kabupaten ini yang lebih dominan mata pencahariannya adalah
petani dengan luas lahan hingga tahun 2009 mencapai 221.520 hektar. Luas areal
budidaya tambak (brackish waterpond) dan kolam (fresh waterpond) yang sudah
dimanfaatkan di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2008 tercatat 150,85 hektar
dengan hasil produksinya 36,5 ton. Masyarakat pencari kerja/pengangguran dari
tahun 2008-2009 mencapai 5.375 jiwa. Potensi lahan dan areal yang sangat
banyak di Kabupaten ini Aceh Barat belum dimanfaatkan secara efektif oleh
masyarakat sehingga jumlah pengangguran masih tinggi di daerah ini. Pemerintah
kabupaten harus bekerja lebih keras lagi untuk menangulangi tingkat
pengangguran. Salah satu langkahnya adalah memberikan penyuluhan kepada
masyarakat sehingga lahan yang tersisa bisa digarap secara efektif dan mata
pencaharian masyarakat menjadi lebih beragam di masa yang akan datang.
4.3 Deskripsi Keadaan Perikanan Tangkap
4.3.1 Armada penangkapan
Kapal adalah salah satu sarana penunjang kegiatan produksi perikanan yang
harus ada dalam operasi penangkapan ikan. Menurut Undang-undang No. 45
tahun 2009 tentang perikanan, kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat
32
apung yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi
penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengelohan ikan,
pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan.
Armada penangkapan ikan yang beroperasi di Kabupaten Aceh Barat,
terdiri dari sampan atau jukung (perahu tanpa motor), perahu motor (PM) dan
Kapal motor. Kapal motor yang terdapat di PPI Meulaboh adalah yang berukuran
<10-30 GT (Gross Tonage). Jenis armada penangkapan yang paling banyak
digunakan oleh nelayan adalah jenis kapal motor dimana alat tangkap yang sering
digunakan seperti pukat cincin, jaring insang, payang (lampara), rawai hanyut,
pancing tonda.
Tabel 6 Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh
Barat periode tahun 2005-2009
Tahun
Perahu Tanpa Motor (unit)
Motor Tempel (unit)
Kapal Motor (unit) Jumlah (unit)
< 10 GT 10- 20 GT 20-30 GT
2005 257 60 440 102 4 863 2006 70 85 544 67 7 773 2007 62 85 563 50 9 769
2008 43 72 558 43 9 725 2009 25 40 509 75 12 661
Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat 2005-2009; diolah kembali Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah kapal yang ada di PPI Meulaboh
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah kapal (perahu tanpa motor,
motor tempel dan kapal motor) tertinggi terjadi pada tahun 2005 yaitu 863 unit
dan terendah pada tahun 2009 sebesar 661 unit. Perkembangan jenis kapal tidak
sama, seperti terlihat pada Tabel 6. Penurunan jumlah kapal pada tahun 2008
terjadi pada perahu tanpa motor, motor tempel dan kapal motor yang berukuran
10-20 GT.
33
bali Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat 2010; diolah kem
863
773 769725
661
500
550
600
650
700
750
800
850
900
2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
Arm
ada
Pena
ngka
pan
(uni
t)
Tahu n
Gambar 4 Grafik Perkembangan jumlah armada penangkapan ikan periode 2005-2009
Berdasarkan Gambar 4, armada penangkapan yang terdapat di Kabupaten
Aceh Barat pada tahun 2005 sebanyak 863 unit dan tahun 2006 mengalami
penurunan drastis menjadi 773 unit atau turun 10,42%, dan pada tahun 2009
jumlah armada penangkapan yang masih operasi di Kabupaten ini turun menjadi
661 unit (8,82%). Penurunan jumlah unit kapal salah satunya karena NGO atau
LSM yang membantu masyarakat dalam bidang perikanan dan kelautan di
Pemerintahan Aceh telah berakhir masa kontraknya dengan pemerintah yang
diwakili oleh BRR (Badan rehabilitasi dan rekontruksi) Aceh-Nias. Selain itu juga
kurangnya modal yang dimiliki nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan
sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang semakin mahal, sebagian
nelayan lebih memilih beralih profesi lain seperti menjadi pedagang pengecer ikan
dan juga nelayan menjual armadanya.
Tahun 2009, pemerintah pusat (Kementrian Kelautan dan Perikanan) dan
pemerintah daerah memberikan beberapa bantuan unit kapal kepada kelompok
nelayan dengan ukuran >20 GT supaya nelayan bisa melakukan penangkapan ikan
dengan jangkuan yang lebih jauh dan hasil yang banyak, bagus serta punya
kualitas eskpor.
34
.3.2 Alat tangkap
n atau alat penangkap ikan merupakan salah satu komponen
yan
erdaya ikan oleh nelayan secara optimal tentunya sangat
did
ak
dila
Neg
7
4
Alat tangkap ika
g sangat penting bagi nelayan karena menjadi alat utama dari mata
pencahariannya dalam menghasilkan produksi perikanan, baik yang berupa ikan
maupun yang non ikan.
Pemanfaatan sumb
ukung oleh teknologi alat penangkapan yang digunakan. Unit penangkapan
ikan yang digunakan memerlukan pengkajian yang mendalam untuk mendapatkan
unit penangkapan yang tepat guna atau unggulan yaitu unit penangkapan ikan
yang memiliki kriteria: (1) tidak merusak kelestarian sumberdaya, (2) secara
teknis efektif digunakan, (3) dari segi sosial diterima oleh masyarakat nelayan, (4)
secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan (Malanesia, 2008).
Jenis perkembangan alat tangkap dan usaha penangkapan yang bany
kukan oleh nelayan di Kabupaten Aceh Barat adalah beragam yaitu payang,
gill net, pukat pantai, jaring hanyut, jaring insang, trammel net, rawai, pancing
tonda dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tahun 2008 alat tangkap rawai memiliki
jumlah terbanyak dibandingkan alat tangkap lainnya yaitu 260 unit, dan secara
keseluruhan alat tangkap yang dominan digunakan nelayan di Kabupaten ini
adalah rawai dari tahun 2005-2009 dengan jumlah 1.062 unit.
Peristiwa gempa dan tsunami tahun 2004 di Aceh mengakibatkan banyak
ara yang telah membantu Pemerintahan Aceh sehingga telah membawa
perubahan, terutama dalam hal teknologi alat tangkap yang sering digunakan oleh
nelayan Kabupaten Aceh Barat. Tabel 7 memperlihatkan bahwa jenis dan jumlah
unit alat tangkap pukat pantai menunjukkan peningkatan yang cukup drastis di
tahun 2009 karena dioperasikannya sebanyak 60 unit pukat pantai, begitu juga
dengan alat tangkap pukat cincin sebanyak 71 unit dan alat tangkap jaring insang
sebanyak 18 unit. Seperti dijelaskan pada Tabel 7, jenis dan alat tangkap yang
dioperasikan di Kabupaten Aceh Barat hingga tahun 2009 berjumlah 3.443 unit.
Alat tangkap jaring klitik mengalami kenaikan dari tahun 2005-200
sebanyak 174 unit, tetapi pada tahun 2008 mengalami penurunan yang sangat
drastis menjadi 15 unit (91%) dan pada tahun 2009 menunjukkan jaring klitik
tidak digunakan lagi oleh nelayan di Kabupaten Aceh Barat. Begitu juga alat
35
tangkap trammel net mulai mengalami penurunan dari tahun 2008 sebanyak 86
unit (17%) dan tahun 2009 nelayan tidak mengoperasikan alat tangkap ini lagi.
Berdasarkan hasil wawancara, alasan nelayan lebih memilih alat tangkap pancing
tonda dan rawai disebabkan biaya perawatan jaring lebih mahal dibandingkan alat
tangkap pancing tonda dan rawai sehingga nelayan lebih memilih mengoperasikan
alat tangkap pancing tonda dan rawai yang lebih baik dari segi hasil tangkapan
secara ekonomis dan lebih efektif. Penurunan juga diakibatkan banyak nelayan
menjual alat tangkapnya ke kabupaten lain.
Jumlah alat tangkap yang beroperasikan di Kabupaten Aceh Barat pada
tahun 2006 meningkat 31,45%, kemudian pada tahun 2007 total alat tangkap
mengalami kenaikan lagi menjadi 870 unit (4,60%). Pada tahun 2008 jumlahnya
turun drastis hingga mencapai 645 unit (-34,88%) dan pada tahun 2009 jumlahnya
alat tangkap menjadi 529 unit atau turun 21,93%.
Tabel 7 Jenis dan jumlah alat tangkap yang dioperasikan di Kabupaten Aceh Barat
tahun 2005-2009
Jenis Alat Tangkap Tahun Jumlah (unit) 2005 2006 2007 2008 2009
Payang 27 19 24 15 60 145 Pukat pantai 0 2 2 2 60 66 pukat cincin 0 0 0 0 71 71 Jaring hanyut 51 0 16 21 21 109 Jaring klitik 31 168 174 15 0 388 Jaring insang 0 0 0 0 18 18 Trammel net 18 129 101 86 0 334 Rawai 212 198 258 260 134 1062 Pancing tonda 136 140 144 151 150 721 pancing yang lain 94 174 151 95 15 529 Jumlah total 569 830 870 645 529 3443
Pertumbuhan(%) - 31.45 4.60 -34.88 -21.93 Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat 2005-2009; diolah kembali
Jumlah alat tangkap yang paling dominan digunakan oleh nelayan di
Kabupaten Aceh Barat pada 5 (lima) tahun terakhir ini adalah rawai (rawai kakap
dan hiu) yaitu 30,85 %, kedua pancing tonda sebesar 20,94 %, ketiga yang sering
digunakan oleh nelayan adalah jaring kritik sebesar 11,27 %, sedangkan yang
keempat trammel net sebesar 9,70 %.
36
4.21 1.922.06
3.17
11.27
0.52
9.70
30.85
20.94Payang
Pukat pantai
pukat cincin
Jaring hanyut
Jaring klitik
Jaring insang
Trammel net
Rawai
Pancing tonda
Sumber: DKP Kabupaten Aceh Barat 2010; diolah kembali
Gambar 5 Diagram komposisi jumlah alat tangkap dan jenis yang dioperasikan di Kabupaten Aceh Barat tahun 2005-2009
4.3.3 Daerah dan musim penangkapan ikan
Daerah penangkapan ikan (DPI) yang biasa dilakukan oleh nelayan
Kabupaten Aceh Barat adalah di sekitar perairan Laut Sinabang, yaitu perairan
meliputi daerah Bubon dan Arongan Lambalek. Perairan tersebut merupakan
bagian dari Samudera Hindia. Khusus nelayan yang mengoperasikan alat tangkap
rawai, daerah penangkapannya ikan sampai ke Kepulauan Andaman dan Nicobar,
karena daerah ini memiliki potensi ikan yang sangat beragam dan banyak seperti
ikan hiu, kakap dan cakalang.
Penentuan daerah penangkapan ikan oleh nelayan di Kabupaten Aceh Barat
biasanya hanya berdasarkan pengalaman dan informasi dari nelayan lain dan
panglima laot. Tidak ada alat bantu seperti fish finder untuk menentukan daerah
penangkapan ikan (DPI).
Penangkapan ikan di suatu DPI yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
kabupaten ini sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Para nelayan tersebut
akan melakukan operasi penangkapan ikan di saat perairan tenang dan pada saat
gelap bulan (bulan mati) terutama nelayan yang mengoperasikan alat tangkap
pukat cincin. Jika cuaca tidak mendukung seperti adanya musim penghujan yang
disertai badai (terutama musim barat), maka nelayan memilih untuk tidak melaut.
Selain keadaan diatas, nelayan aceh tidak melaut karena terkait dengan adat
istiadat dan hukom laot (hukum laut) yang telah dianut turun-temurun oleh
37
.3.4 Volume dan nilai produksi
i yang berpusat di Samudera Hindia sebelah
n kembali sektor perikanan tangkap di
nelayan dan masyarakat adat di Kabupaten Aceh Barat memiliki hari atau tanggal
tertentu yang tidak diperbolehkan melaut atau pantang melaut (pantang laot)
yaitu:
1) Kenduri adat laot, dilakukan selambat-lambatnya tiga tahun sekali atau
tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan setempat. Pantangan melaut
pada acara kenduri tersebut dihitung 3 hari sejak Rabu matahari terbit pada hari
kenduri hingga matahari terbenam pada hari Jum'at;
2) Hari Jum'at yang dihitung sejak tenggelam matahari pada hari Kamis hingga
terbenam matahari pada hari Jum'at;
3) Hari Raya Idul Fitri dilarang melaut selama dua hari dihitung sejak tenggelam
matahari pada hari meugang hingga terbenam matahari pada hari raya (Syawal)
kedua;
4) Hari Raya Idul Adha, dilarang melaut selama dua hari dihitung sejak
tenggelam matahari pada hari meugang hingga terbenam matahari pada hari
raya (Dzulhijjah) kedua;
5) Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, dilarang melaut selama satu hari
dihitung sejak tenggelam matahari pada tanggal 16 Agustus hingga terbenam
matahari tanggal 17 Agustus.
Apabila nelayan melanggar hari-hari yang telah ditentukan untuk tidak
melaut, maka nelayan yang melakukan pelanggaran tersebut akan dikenakan
sanksi hukum berupa:
1) Seluruh hasil tangkapan disita;
2) Dilarang melaut sekurang-kurangnya tiga hari dan paling lamanya tujuh hari. 4
Musibah gempa dan tsunam
barat Kabupaten Aceh Barat memberikan dampak negatif dan positif terhadap
masyarakat di kabupaten ini, salah satu dampak positif adalah banyaknya bantuan
yang disalurkan oleh pemerintah lewat BRR Aceh-Nias terutama dalam bidang
perikanan (kapal, alat tangkap dll).
Seiring dengan pembanguna
Kabupaten Aceh Barat yang ditandai dengan pembangunan kembali PPI
Meulaboh oleh BRR Aceh-Nias pada tahun 2005 dan bertambahnya juga armada
38
08,8 ton atau
ng
Tabel 8 Volume dan nilai produksi hasil tangkapan di Kabupaten Aceh Barat
Tahun Produksi ikan Pertumbuhan Nilai Produksi Pertumbuhan
penangkapan ikan serta alat tangkap, maka terlihat volume produksi mulai pada
tahun 2005-2006 mengalami kenaikan 14.284.07 (2,19%). Volume produksi juga
mengalami perkembangan positif pada tahun 2007 yaitu 16.060,20 ton atau naik
12,43%. Pada tahun 2008 pertumbuhan produksi ikan terus terjadi peningkatan
sehingga mencapai angka 17.177,60 ton atau mengalami kenaikan sebesar 6,95%,
dengan nilai jual produksi Rp 286.514.770,00 (44,36%) (Tabel 8).
Tahun 2009 produksi hasil tangkapan ikan hanya 8.1
me alami penurunan sebesar (95,27%) dengan nilai produksi Rp 116.395.463,00
(-59.37). Penyebab terjadinya penurunan hasil tangkapan diduga, karena banyak
nelayan tidak melaut disebabkan oleh mahalnya kebutuhan nelayan atau keperluan
nelayan seperti BBM (solar), es dan makanan sehari-hari untuk melaut dan tidak
ada lagi donator (BRR Aceh-Nias) yang membantunya.
periode 2005-2009
(ton) (%) (Rp) (%)
2005 13 2 0 143 25 .976,7 .007.7 0 2006 14.284,07 2 1,98 ,19 145.846.230 2007 16.060,20 12,43 198.471.700 36,08 2008 17.177,60 6,95 286.514.770 44,36 2009 8.108,8 - 95,27 116.395.463 -59,37
Sum P Kabup Barat 200 iolah kem
4
h
ak pada 40’070” LU dan 960 30’ BT di
ber: DK aten Aceh 5-2009; d bali
.4 Keadaan Umum PPI Meulaboh
4.4.1 Letak dan sejarah PPI Meulabo
PPI Meulaboh secara geografis terlet
wilayah Kelurahan Ujung Baroh Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh
Barat. Lokasi PPI Meulaboh sebelum tsunami statusnya adalah sebagai tempat
pendaratan ikan (TPI) dan hancur total akibat gempa dan tsunami tahun 2004.
Pembangunan kembali lokasi PPI Meulaboh ini mendapat dukungan dari APBD
dan BRR Aceh-Nias dan statusnya resmi menjadi PPI Meulaboh. Pembangunan
kembali PPI ini dilaksanakan pada akhir 2005 dan saat ini telah berfungsi kembali
sebagai sentral ekonomi perikanan Kota Meulaboh Kabupaten Aceh Barat.
39
Gambar 6 Kantor operasional PPI Meulaboh setelah perbaikan akibat tsunami
4.4.2 Prasarana dan sarana ke PPI Meulaboh 1) Transportasi
Akses transportasi umum yang ada di Kota Meulaboh sangat beragam
diantaranya adalah ada labi-labi, L300, becak, becak motor. Jenis transportasi ini
melayani penduduk tiap hari mulai jam 4.30 sampai 22.00 WIB. Namun khusus
jenis transportasi yang langsung menuju ke PPI Meulaboh adalah becak dan becak
motor, karena Dinas Perhubungan melarang mobil angkutan umum masuk ke
areal PPI.
PPI ini berada di pusat Kota Meulaboh dan sangat mudah dijangkau dengan
berbagai macam transportasi. Kira-kira jaraknya dengan jalan utama kota hanya
1,5 km dan lebar jalan menuju ke PPI Meulaboh berkisar 5-6 meter sehingga
angkutan yang keluar masuk PPI lancar setiap hari dan proses distribusi hasil
tangkapan yang didaratkan di PPI Meulaboh berjalan baik. Oleh karena itu, untuk
menunjang agar perikanan tangkap dapat berkembang setiap tahun maka
dibutuhkan kerjasama dengan semua pihak yang terkait (pemda dan masyarakat)
terhadap sarana dan prasarana transportasi yang baik dalam melayani semua
aktivitas di PPI Meulaboh.
2) Pasar Umum
Areal di dekat PPI Meulaboh juga terdapat pasar umum dengan jarak 50
meter dari PPI. Pasar umum ini merupakan pasar induk Kota Meulaboh yang
memulai aktivitas dari jam 04.30-18.00 WIB. Pasar tersebut menyediakan
40
berbagai macam kebutuhan untuk masyarakat setiap hari. Lingkungan pasar
umum ini terdapat pasar ikan yang menjual berbagai jenis ikan /hasil tangkapan
yang dibawa dengan becak motor dari PPI Meulaboh.
3) Toko Sarana Penangkapan
Toko sarana penangkapan di PPI Meulaboh menyediakan berbagai macam
kebutuhan perlengkapan nelayan untuk melaut, seperti alat pancing, bahan jaring,
lampu petromak, tali dan umpan buatan. Toko-toko ini berada di sepanjang jalan
menuju ke kompleks PPI Meulaboh dan dibuka setiap hari dari pukul 08.00-16.00
WIB. Toko sarana penangkapan ini jumlahnya sekitar 15 unit yang diusahakan
secara perseorangan oleh penduduk yang umumnya berada di sekitar Pangkalan
Pendaratan Ikan. Toko-toko ini dinilai oleh nelayan sangat bermanfaat untuk
persiapan perbekalan melaut dan harganya juga masih bisa terjangkau oleh
nelayan.
4). Pasar Bina Usaha (pasar modern)
Akses transportasi yang baik ke Kabupaten Aceh Barat dari kabupaten lain
membuat para pengusaha menanamkan modalnya di Kota Meulaboh, antara lain
berdirinya Pasar Bina usaha yang baru selesai dibangun pada tahun 2010. Pasar
Bina Usaha ini merupakan pusat pasar terbesar di Kabupaten Aceh Barat yang
menjual berbagai macam kebutuhan masyarakat seperti, pakaian, celana,
aksesoris, elektronik dan perlengkapan rumah. Pasar ikan ini termasuk pasar
hiegienis yang mempunyai kualitas ikan tetap terjaga dibandingkan pasar ikan
lainnya. Desain jenis-jenis barang di Pasar Bina Usaha ini seperti Pasar Aceh
(Banda Aceh), Mini Mall atau Giant.
4.5 Lembaga Perikanan dan Kelautan
Pemerintah pusat memberikan otonomi kepada setiap daerah untuk
mengelola sumberdaya alam khususnya dibidang perikanan, salah satunya adalah
daerah Pemerintahan Aceh yang didukung dengan Undang-Undang Pemerintahan
Aceh (UUPA) Tahun 2006. Lembaga Perikanan dan Kelautan di Pemerintahan
Aceh (Kabupaten Aceh Barat) berbeda dengan provinsi lain seperti lembaga
hukum adat laut aceh (Panglima Laot) memiliki fungsi dan peranan Panglima
41
Laot yang berbeda dengan DKP dan sistem kelembagaan nelayan yang ada di
Kabupaten Aceh Barat.
4.5.1 Lembaga perikanan dan kelautan yang ada di Kabupaten Aceh Barat
Kelembagaan perikanan dan kelautan yang terdapat di Kabupaten Aceh
Barat meliputi panglima laot (Lembaga hukum adat laut Aceh), HNSI (Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia), koperasi, GAPI (Gabungan Pedagang Ikan) dan
GAPIKA (Gabungan Pengolah Ikan).
Panglima laot merupakan lembaga adat yang berfungsi sebagai ketua adat
bagi kehidupan nelayan di pantai/masyarakat pesisir, dan penghubung antara
pemerintah dengan nelayan dalam mengsukseskan program pembangunan
perikanan serta program-program pemerintah secara umumnya. Fungsi dan tugas
Panglima laot diharapkan dapat menbantu pemerintah dalam pembangunan
perikanan, melestarikan adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat
nelayan (DKP, 2006).
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat secara fungsional
bermitra dengan himpunan nelayan seluruh Indonesia (HNSI) yang memiliki
peran dan fungsi yang sangat penting untuk menampung berbagai aspirasi
masyarakat nelayan. Berbagai program pembangunan perikanan perlu
disinergiskan dengan program-program yang ada di organisasi tersebut. Dengan
demikian organisasi HNSI Kabupaten Aceh Barat menjadi salah satu organisasi
yang dapat dimanfaatkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan untuk berbagi
berbagai informasi dalam rangka pembangunan dan mengembangkan kegiatan
perikanan. Keadaan organisasi HNSI pasca tsunami di Kabupaten Aceh Barat
memiliki aktivitas yang lebih rendah akibat hancurnya kantor dan rusak berbagai
fasilitas yang ada (DKP, 2006).
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Barat mendirikan koperasi
sebagai lembaga yang bergerak di bidang Kelautan dan Perikanan yang
diharapkan bisa eksis dalam menopang perekonomian masyarakat nelayan.
Jumlah koperasi di Kabupaten Aceh Barat masih sangat terbatas dan belum
mampu memfasilitasi kegiatan nelayan secara keseluruhan. Keadaan tersebut
disebabkan selain sangat mininya koperasi yang bergerak dibidang perikanan juga
keterbatasan modal menjadi kendala dalam menggerakkan para nelayan dan
42
pembudidaya serta masyarakat pengolah hasil perikanan (DKP, 2006). Lebih jelas
nama-nama koperasi perikanan di Kabupaten Aceh Barat dapat dilihat pada Tabel
9.
Tabel 9 nama dan jumlah Koperasi Perikanan di Kabupaten Aceh Barat
No Nama Desa Kecamatan
1 Koppal Hareukat Laot Ujung Baroh Johan Pahlawan
2 Koperasi Perikanan Bina Nelayan Panggong Johan Pahlawan
3 Koperasi Perikanan Karya Usaha Suak Timah Sama Tiga
4 Koperasi Perikanan PNTII Bunga Laut Ujung Baroh Johan Pahlawan Sumber; DKP Kabupaten Aceh Barat, 2006 4.5.2 Fungsi dan tugas panglima laot
Berdasarkan fungsi, peranan dan wilayah administrasinya, Panglima Laot di
wilayah Kabupaten Aceh Barat terbagi menjadi Panglima Laot Lhok, Panglima
Laot Kabupaten/Kota, dan Panglima Laot Provinsi. Wilayah-wilayah tersebut
secara struktur organisasi terdiri dari penasehat, ketua, wakil ketua, sekretaris dan
bendahara (DKP, 2006).
Panglima Laot berfungsi dan bertugas sebagai pembantu pemerintah dalam
membantu pembangunan perikanan, melestarikan adat istiadat dan kebiasaan-
kebiasaan dalam masyarakat nelayan yaitu (Panglima Laot, 2005):
1) Panglima Laot Lhok menyelesaikan sengketa antar nelayan di wilayah
kerjanya;
2) Panglima Laot Kabupaten/Kota melaksanakan penyelesaian sengketa antara
nelayan dari dua atau lebih, dimana Panglima Laot Lhok belum bisa
menyesaikannya, serta mengatur jadwal Kenduri Adat Laot sehingga tidak
terjadi kenduri yang dilaksanakan pada hari yang sama dalam satu
Kabupaten/Kota;
3) Panglima Laot Propinsi mengkoordinir pelaksanaan Hukum Adat Laot di
Propinsi Pemerintahan Aceh dan menjembatani serta mengurus kepentingan-
kepentingan nelayan di tingkat propinsi.
43
Lembaga Adat Aceh (Panglima Laot) melaksanakan fungsi dan tugasnya
antara lain:
1) Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan hukum adat dan adat laot;
2) Mengkoordinir dan mengawasi setiap usaha penangkapan ikan di laut;
3) Menyelesaikan perselisihan/sengketa yang terjadi di antara sesama anggota
nelayan dan kelompoknya;
4) Mengurus dan menyelenggarakan Upacara Adat Laot;
5) Menjaga/mengawasi agar pohon-pohon (manggrove) di tepi pantai tetap terjaga
supaya daerah fishing ground untuk nelayan-nelayan kecil tidak terlalu jauh
(perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi daerah setempat);
6) Badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan Panglima Laot
dengan Panglima Laot lainnya;
7) Meningkatkan taraf hidup nelayan pesisir pantai. 4.5.3 Sistem kelembagaan nelayan di Kabupaten Aceh Barat
Kabupaten Aceh Barat memiliki sistem kelembagaan nelayan yang sama
seperti di tingkat Pemerintahan Aceh yaitu lembaga adat laut, harapannya semakin
mudah nelayan/masyarakat pesisir untuk menyampaikan aspirasinya kepada
pemerintah daerah (PEMDA) atau pemerintah propinsi, agar kesejahteraan
masyarakat pesisir/nelayan dapat meningkat. Kelembagaan adat ini (Panglima
Laot) berperan dalam memonitoring pelaksanaan pembangunan yang dilakukan
pemerintah, terkait dengan pembangunan di daerah masyarakat pesisir/nelayan
agar pembangunan tersebut dapat terlaksana dengan baik, berhasil guna (efektif)
dan berdaya guna (efisien). Pelaku sistem kenelayanan di Kabupaten Aceh Barat
terdiri dari Panglima Laot, Toke Boat, Toke Bangku, Toke Penampung dan
nelayan. Sistem kenelayanan disini berdasarkan adat, budaya serta kebiasaan-
kebiasaan lokal (masyarakat Nelayan Aceh Barat) yang sudah dijalani turun-
temurun, lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 10.
44
Tabel 10 Pelaku sistem kelembagaan nelayan di Kabupaten Aceh Barat
No Pelaku Fungsi dan Peran
1. Panglima Laot Mengayomi, menjaga,memelihara, membina sistem adat kenelayanan dan keluatan
2. Toke Boat Pemilik boat/kapal yang dipakai oleh nelayan dalam mencari dan mendapatkan hasil tangkapan di laut
3. Toke Bangku Penyedia modal kerja melaut Menjaga stabilitas harga ikan dari dan ke pasar Menerima dan membeli hasil tangkapan Menjual hasil tangkapan ke Toke Penampung
4. Toke Penampung Memasarkan, mengolah, mendistribusikan hasil tangkapan baik lokal maupun luar daerah
5. Nelayan Melaksanakan aktivitas penangkapan ikan (melaut).
Top Related