II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. INDUSTRI PANGAN JASA BOGA
2.1.1. Definisi dan Karakteristik
Saat ini usaha jasa penyediaan makanan dan minuman atau jasa boga atau
katering adalah usaha yang memberikan prospek yang baik jika dilakukan dengan
benar, karenanya banyak sekali bermunculan usaha jasa boga di kota-kota besar di
Indonesia. Setiap usaha jasa boga haruslah memiliki izin yang dikeluarkan oleh
pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan setempat. Berbagai persyaratan harus
dipenuhi oleh usaha jasa boga, tergantung dari kriteria atau golongan usaha
tersebut. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003,
yang mengatur tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Pada tahun 2011
Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes RI No. 1096/Menkes/PER/VI/2011
guna menyempurnakan Kepmenkes No. 715/Menkes/SK/V/2003 yang dianggap
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum. Untuk usaha jasa
boga yang telah memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi berdasarkan
Kepmenkes RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, sertifikat tersebut masih berlaku
sampai habis masa berlakunya. Sedangkan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi yang
sedang dalam proses sebelum Permenkes 2011 diberlakukan, maka
pelaksanaannya sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
715/Menkes/SK/V/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga.
Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 ditetapkan pada tanggal 7 Juni
2011, dan untuk selanjutnya akan menjadi acuan yang digunakan dalam penelitian
ini.
Sesuai definisi Jasa Boga menurut Permenkes RI Nomor
1096/Menkes/PER/VI/2011, usaha jasa boga termasuk di dalamnya usaha katering
adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan
makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Sedangkan
pengolahan dari jasa boga itu sendiri adalah kegiatan yang meliputi penerimaan
bahan mentah atau makanan terolah, pembuatan, pengubahan bentuk,
pengemasan, pewadahan, pengangkutan dan penyajian. Usaha jasa boga dibagi
menjadi tiga golongan, yakni golongan A, B, dan C dimana golongan tersebut
didasarkan pada luasnya jangkauan pelayanan dan kemungkinan besarnya risiko
8
yang dilayani. Jasa boga golongan A adalah usaha yang melayani kebutuhan
masyarakat umum, yang terdiri dari A1, A2, dan A3. Sedangkan golongan B
yakni jasa boga yang melayani kebutuhan khusus seperti asrama penampungan
jemaah haji, perusahaan, pengeboran lepas pantai, angkutan umum dalam negeri,
dan sarana pelayanan rumah sakit. Untuk golongan C yakni jasa boga yang
melayani kebutuhan untuk alat angkutan umum internasional dan pesawat udara.
Sedangkan beberapa kriteria serta persyaratan yang harus dipenuhi pengusaha saat
memulai usaha di bidang jasa boga adalah sebagai berikut :
1. Golongan A, yang terdiri dari :
1.1. Golongan A1 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat
umum, menggunakan dapur rumah tangga dan dikelola keluarga,
serta kapasitas pengolahan yang kurang dari 100 porsi.
1.2. Golongan A2 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat
umum, menggunakan dapur rumah tangga dan memperkerjakan
tenaga kerja (karyawan), dan kapasitas pengolahan antara 101-500
porsi.
1.3. Golongan A3 dengan kriteria melayani kebutuhan masyarakat
umum, menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga
kerja (karyawan) dan kapasitas pengolahan yang lebih dari 500
porsi.
2. Golongan B dengan kriteria melayani kebutuhan khusus untuk asrama
seperti asrama penampungan jemaah haji, asrama transito, pengeboran
lepas pantai, perusahaan, angkutan umum dalam negeri dan sebagainya,
menggunakan dapur khusus dan mempekerjakan tenaga kerja (karyawan).
3. Golongan C dengan kriteria melayani kebutuhan alat angkutan umum
internasional dan pesawat udara, menggunakan dapur khusus dan
mempekerjakan tenaga kerja (karyawan).
Untuk persyaratan usaha jasa boga termasuk katering, Permenkes No.
1096/Menkes/PER/VI/2011 memberikan persyaratan sebagai berikut :
1. Golongan A, yang terdiri dari :
1.1. Golongan A1 :
9
1.1.1. Ruang pengolahan makanan tidak boleh dipakai sebagai
ruang tidur.
1.1.2. Menyediakan ventilasi yang cukup.
1.1.3. Pembuangan udara kotor/asap tidak menimbulkan gangguan
terhadap lingkungan.
1.1.4. Tersedia tempat cuci tangan yang permukaannya halus dan
mudah dibersihkan.
1.1.5. Tersedia sedikitnya satu buah lemari es sebagai tempat
penyimpanan makanan mudah basi.
1.2. Golongan A2 :
1.2.1. Memenuhi persayaratan jasaboga golongan A1.
1.2.2. Ruang pengolahan makanan harus dipisahkan dengan ruang
lain.
1.2.3. Dilengkapi alat pembuangan asap dari dapur.
1.2.4. Tersedia sedikitnya satu buah lemari es untuk menyimpan
makanan yang cepat busuk.
1.2.5. Tersedia tempat penyimpanan dan ganti pakaian.
1.3. Golongan A3 :
1.3.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan A2.
1.3.2. Ruang pengolahan makan terpisah dengan bangunan tempat
tinggal.
1.3.3. Pembuangan asap dari dapur dilengkapi dengan alat
pembuangan asap dan cerobong asap.
1.3.4. Tempat memasak terpisah secara jelas dengan tempat
penyiapan makanan.
1.3.5. Tersedia lemari pendingin yang dapat mencapai suhu -5o
Celcius.
1.3.6. Tersedia kendaraan pengangkut makanan yang khusus dan
hanya digunakan untuk mengangkut makanan jadi.
1.3.7. Alat atau tempat angkut makanan harus tertutup sempurna,
dibuat dari bahan kedap air dan mudah dibersihkan.
10
1.3.8. Kotak yang digunakan sekali pakai untuk mewadahi
makanan harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin
usaha, serta laik hygiene sanitasi.
1.3.9. Jasaboga yang tidak mempunyai kotak dalam penyajiannya,
harus mencantumkan nama perusahaan, nomor izin usaha
serta laik hygiene sanitasi di tempat penyajian yang mudah
diketahui umum.
2. Golongan B yakni :
2.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan A3.
2.2. Pembuangan air kotor dilengkapi grease trap (penangkap lemak).
2.3. Pertemuan lantai dan dinding tidak terdapat sudut mati agar tidak
menjadi tempat berkumpulnya kotoran.
2.4. Memiliki ruang kantor dan ruang untuk belajar yang terpisah dari
ruang pengolahan makanan.
2.5. Dilengkapi penangkap asap (hood), alat pembuangan asap dan
cerobong asap.
2.6. Fasilitas pencucian dari bahan yang kuat, permukaan halus dan
mudah dibersihkan.
2.7. Setiap peralatan dibebas hamakan dengan larutan kaporit atau air
panas selama 2 menit.
2.8. Setiap tempat pengolahan makanan dilengkapi tempat cuci tangan
yang diletakkan didekat pintu.
2.9. Ruang pengolahan makanan terpisah dengan ruangan tempat
penyimpanan bahan makanan mentah.
2.10.Tersedia lemari penyimpanan dingin yang dapat mencapai suhu
-10oC sampai -5
oC.
3. Golongan C yakni :
3.1. Memenuhi persyaratan jasaboga golongan B.
3.2. Dilengkapi penangkap asap (hood), alat pembuang asap, cerobong
asap, saringan lemak yang dapat dibuka dan dipasang untuk
dibersihkan secara berkala.
3.3. Dilengkapi alat pengatur suhu ruangan.
11
3.4. Tempat pencucian alat dan bahan terbuat dari bahan logam tahan
karat seperti stainless steel.
3.5. Air untuk pencucian peralatan dan cuci tangan harus mempunyai
tekanan sedikitnya 5ps.
3.6. Tersedia lemari penyimpanan dingin untuk makanan secara terpisah
sesuai dengan jenis makanan/bahan makanan yang digunakan.
3.7. Tersedia gudang tempat penyimpanan makanan untuk bahan kering,
makanan terolah dan bahan yang tidak mudah membusuk.
3.8. Rak penyimpanan makanan harus mudah dipindah dengan
menggunakan roda penggerak.
2.1.2. Persyaratan Hygiene dan Sanitasi
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1096/Menkes/PER/VI/2011, tentang persyaratan hygiene sanitasi jasa boga atau
usaha katering yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan, setiap usaha jasa
boga atau usaha katering harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor risiko
terjadinya kontaminasi terhadap pangan, baik yang berasal dari bahan makanan,
orang, tempat dan peralatan agar aman dikonsumsi. Pengelolaan makanan oleh
jasaboga harus memenuhi higiene sanitasi dan dilakukan sesuai cara pengolahan
makanan yang baik.
Untuk memiliki izin usaha jasa boga atau usaha katering, pengusaha harus
memiliki sertifikat hygiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat. Dalam hal jasaboga akan menyajikan hasil olahan
makanan di wilayah pelabuhan, bandar udara, pos pemeriksaan lintas batas, harus
memperoleh rekomendasi dari Kepala KKP. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi
Jasaboga untuk jasaboga yang berada di wilayah pelabuhan, bandar udara, pos
pemeriksaan lintas batas, dikeluarkan oleh Kepala KKP atau Kantor Kesehatan
Pelabuhan. KKP adalah unit pelaksana teknis Kementerian Kesehatan di wilayah
pelabuhan, bandara dan pos lintas batas darat. Sertifikat Laik Higiene Sanitasi
Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga.
12
Berkaitan langsung dengan bahan makanan dan kesehatan masyarakat
dalam usaha jasa boga atau usaha katering, perolehan Sertifikat Laik Hygiene
Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering merupakan persyaratan mutlak
berjalannya usaha. Untuk memperoleh Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga
atau Usaha Katering, pengusaha dapat mengajukan permohonan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota/Pelabuhan setempat (Lampiran 2). Untuk
perusahaan Jasa Boga atau Usaha Katering yang telah lolos, diberikan Sertifikat
Laik Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering yang berlaku selama 3
(tiga) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi syarat. Sertifikat Laik
Hygiene Sanitasi Jasa Boga atau Usaha Katering yang diperoleh oleh perusahaan
harus dipasang di dinding yang mudah dilihat oleh petugas atau masyarakat
umum.
Pengajuan permohonan Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi Jasaboga oleh
pengusaha kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat disertai
lampiran-lampiran yang diwajibkan.
Dalam rangka pemberian Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk Tim
Pemeriksa Uji Kelaikan Jasa Boga yang bertugas melakukan penilaian terhadap
kelengkapan persyaratan. Tim Pemeriksa terdiri dari orang-orang yang memiliki
pengetahuan di bidang higiene sanitasi dan bertugas melakukan pemeriksaan
lapangan dan menilai kelaikan higiene sanitasi jasaboga.
Pemeriksaan Hygiene Sanitasi Jasa Boga menggunakan formulir uji
kelaikan fisik hygiene sanitasi jasaboga (Lampiran 6) dan formulir pengambilan
atau pengiriman contoh dan spesimen (lampiran 4). Penilaian Hygiene Sanitasi
Jasa Boga didasarkan kepada nilai pemeriksaan yang dituangkan di dalam berita
acara kelaikan fisik (Lampiran 3) dan berita acara pemeriksaan contoh atau
specimen (Lampiran 5), sebagai berikut :
1. Pemeriksaan fisik
1.1. Golongan A1, minimal nilai 65 maksimal 70, atau rangking
65 – 70%
1.2. Golongan A2, minimal nilai 70 maksimal 74, atau rangking
70 – 74%
13
1.3. Golongan A3, minimal nilai 74 maksimal 63, atau rangking
74 – 83%
1.4. Golongan B, minimal nilai 83 maksimal 92, atau rangking
83 – 92%
1.5. Golongan C, minimal nilai 92 maksimal 100, atau rangking
92 – 100%
2. Pemeriksaan laboratorium
2.1. Angka kuman E.coli pada makanan 0/gr contoh makanan
2.2. Angka kuman pada alat makan dan minum 0 (nol)
2.3. Tidak diperoleh adanya carrier (pembawa kuman patogen) pada
penjamah makanan yang diperiksa.
2.4. Cemaran kimia pada makanan negatif
Jika hasil pemeriksaan fisik yang telah memenuhi syarat, tetapi belum
didukung dengan hasil laboratorium, maka pemberian Rekomendasi Laik Hygiene
Sanitasi kepada Pengusaha Jasa Boga ditunda sampai hasil laboratorium
memenuhi syarat.
Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha jasa boga juga diatur dalam
Permenkes RI Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011, Dinas Kesehatan sewaktu-
waktu dapat melakukan uji petik audit hygiene sanitasi dan pengujian mutu jasa
boga untuk menilai kondisi fisik, fasilitas dan lingkungan Tempat Pengelolaan
Makanan (TPM), tingkat cemaran makanan dan atau dalam hal ada kejadian luar
biasa atau wabah dan keadaan yang membahayakan lainnya. Uji petik
dilaksanakan dalam rangka pemantapan pelaksanaan pengawasan dan untuk
tujuan pembinaan dan pengembangan pengawasan jasa boga. Biaya pelaksanaan
uji petik dibebankan pada anggaran Pemerintah.
2.2. BATASAN KEAMANAN PANGAN SIAP SAJI
2.2.1. Bahaya Keamanan Pangan
Pangan siap saji dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat
memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya.
Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan
jenis pangan, kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan segi kesehatan
14
dan berat badan. Faktor keamanan pangan yang umumnya tidak dapat diketahui
atau dideteksi langsung oleh konsumen biasanya dihubungkan dengan segi
kebersihan pangan tersebut. Pangan yang terlihat bersih, baik penampakannya,
cara penjualannya maupun lingkungan tempat penjualan, biasanya dianggap aman
oleh konsumen untuk dikonsumsi. Hal ini seringkali menimbulkan kekeliruan,
karena pangan yang terlihat bersih pada waktu penyajiannya, belum tentu baik
dalam pengolahan atau persiapannya, sehingga masih mungkin mengandung jasad
renik atau bahan berbahaya yang dapat menyebabkan keracunan.
Bahan-bahan berbahaya yang mungkin mencemari pangan dapat berupa
bahaya biologis seperti bakteri, virus, kapang, parasit dan protozoa, bahaya kimia
seperti logam berat, pestisida, bahan tambahan berbahaya, dan racun, atau bahaya
fisik seperti pecahan gelas, potongan tulang, kerikil, kawat, dan sebagainya.
Bahan-bahan berbahaya tersebut dapat masuk ke dalam pangan melalui udara, air,
bahan pangan, pekerja, hewan, serangga, atau alat-alat memasak. Pekerja dapat
mencemari pangan dengan bakteri patogen melalui hidung, kotoran (feses) dan air
ludah.
Beberapa sumber pencemaran utama pada pangan siap saji adalah sebagai
berikut:
1. Cemaran biologis
Beberapa penyebab terjadinya cemaran biologis pada pangan misalnya:
penggunaan bahan mentah dan air yang tercemar jasad renik dalam jumlah
tinggi, lingkungan pengolahan dan penjualan/penyajian yang tidak bersih
(udara kotor, dekat tempat pembuangan sampah), pekerja yang kotor atau
menderita sakit infeksi, peralatan wadah yang tidak bersih, dan kontaminasi
silang antara pangan yang telah dimasak dengan bahan mentah.
2. Cemaran kimia
Adanya cemaran kimia pada pangan dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, misalnya: penggunaan bahan mentah yang tercemar logam berat,
pestisida, atau racun, penggunaan peralatan atau wadah dari bahan beracun,
dan penggunaan bahan tambahan kimia yang tidak tepat.
15
3. Cemaran fisik
Cemaran fisik dapat disebabkan oleh kecerobohan dalam pengolahan, atau
penggunaan bahan mentah yang tidak bersih/kotor. Cemaran fisik tidak
menimbulkan penyakit atau keracunan tetapi dapat menimbulkan bahaya,
menandakan rendahnya sanitasi dan hygiene, serta memberi citra buruk bagi
pangan yang disajikan.
4. Pemantauan Terhadap Proses Pemasakan
Variabel proses pemasakan pangan siap saji yang memerlukan pemantauan
khusus terutama adalah suhu, waktu, kadar keasaman (pH) makanan, dan
penambahan bahan-bahan pembantu.
Pangan yang dipersiapkan dalam jumlah besar mungkin mendapatkan
risiko bahwa pemasakan yang dilakukan tidak merata sehingga setiap bagian
pangan tidak mendapatkan perlakuan panas yang sama. Akibatnya pada beberapa
bagian pangan mungkin masih ditemukan jasad renik dalam jumlah tinggi dan
menyebabkan pangan menjadi mudah busuk/basi, atau menyebabkan keracunan.
Tabel 1 menyajikan pemanasan minimal pada beberapa makanan.
Tabel 1. Pemanasan minimal pada beberapa makanan*
Jenis makanan
Pemanasan minimal
Suhu (oC) Waktu
Daging potongan tebal (>5cm)
107-135 4-8 jam
Daging potongan tipis (<5cm) Macam-macam saus (tergan-tung pH/keasamannya)
121-204
93
2-40 menit
2 menit-6 jam
Buah-buahan, sayuran, makanan berpati
100-21 10 menit
Roti, adonan kue 177 5-40 ment
•Snyder(1986)
Dari segi mikrobiologi, pangan yang baik untuk dihidangkan adalah
pangan yang tidak basi atau busuk atau berbau menyimpang, dan aman untuk
16
dikonsumsi. Jasad renik pembusuk yang terdapat di dalam pangan, termasuk
bakteri, kapang maupun khamir, dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan
perubahan-perubahan pada pangan misalnya menimbulkan bau basi/busuk, bau
tengik, bau dan rasa asam, pelendiran, perubahan wama, atau menimbulkan
gas/busa.
Pangan siap saji sebenanarnya bukan merupakan pangan yang steril karena
tidak dikemas secara rapat, oleh karena itu tidak pernah bebas dari pencemaran
oleh jasad renik pembusuk. Tabel 2 menyajikan jumlah minimal setiap bakteri
patogen untuk menimbulkan gejala sakit atau keracunan, dan jumlah yang
diperbolehkan di dalam bahan mentah sebelum pemasakan.
Tabel 2. Jumlah minimal beberapa bakteri yang dapat menyebabkan sakit
atau keracunan
Penyebab Makanan yang
sering tercemar
Jumlah minimal
yang
menyebabkan
sakit pada orang
dewasa sehat (sel)
Jumlah yang
diperbolehkan pada
bahan mentah
sebelum dimasakb
(sel/g)
Salmonella Telur, daging
unggas < 10
5 < 10
Staphylococcus Makanan
berprotein 10
6 < 100
Clostridium
perfringens
Makanan
berprotein 10
6 < 100
Bacillus cereus Beras/nasi >106 < 100
Vibrio
parahaemolyticus
Makanan hasil laut 10
5 - 10
7 < 100
Vibrio cholera* Air, makanan
mentah 10
5 < 10
Shigefla Air, makanan
mentah 10
1 – 10
2 < 1
Listeria
monocytogenos
Susu, daging 10
5 < 1
Eschrichia coli Air, makanan
mentah 10
6 < 10
b 1-10 sel untuk bayi dan manula. Sumber : Fardiaz, S (1994)
Meskipun pangan siap saji biasanya telah mengalami proses pemanasan
atau pemasakan sehingga jumlah jasad renik patogen telah berkurang sampai pada
jumlah yang sangat kecil, tetapi jika kondisi penyimpanan makanan tersebut,
terutama suhu dan kelembaban, menyebabkan jasad renik dapat berkembang biak
17
dengan cepat, maka memungkinkan terjadinya kebusukan sebelum pangan sampai
ke tangan konsumen, atau menyebabkan keracunan jika kebetulan terdapat bakteri
patogen yang dapat berkembang biak dengan baik. Untuk mencegah terjadinya hal
tersebut, maka Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan bahwa untuk
menjamin suatu pangan siap saji tidak busuk dan aman untuk dikonsumsi, maka
sebaiknya pangan disimpan pada suhu lemari es yaitu maksimal 5oC untuk pangan
yang dikonsumsi dalam keadaan dingin seperti berbagai macam salad dan
minuman dingin, atau pada suhu di atas 60oC untuk pangan yang dikonsumsi
dalam keadaan panas/hangat. Suhu di antara 5°C dan 60°C merupakan suhu kritis
(danger zone) karena jasad renik dapat berkembang biak dengan cepat dan
menyebabkan kebusukan atau keracunan pangan. Di Indonesia, pangan siap saji
yang disajikan dalam keadaan hangat (hotfood) belum mendapat pengawasan
khusus mengenai suhu yang diterapkannya, sehingga kemungkinan risiko bahwa
penyimpanan hangat justru menjadi inkubator bagi pertumbuhan jasad renik dapat
terjadi.
Jika jumlah jasad renik pembusuk dan patogen di dalam pangan cukup
kecil dan dipertahankan supaya tidak berkembang biak selama penyimpanan maka
pangan tersebut masih dapat diterima dan aman untuk dikonsumsi. Dengan kata
lain pangan tidak mengalami perubahan yang menyimpang atau menyebabkan
keracunan atau penyakit karena jumlah bakteri patogen masih di bawah jumlah
minimmal yang dapat menimbulkan penyakit.
Berbeda dengan industri pangan olahan dalam kemasan pada umumnya,
industri jasa boga yang menyediakan pangan siap saji merupakan suatu sistem
yang sangat kompleks karena menyangkut bahan baku yang bermacam-macam
dalam usaha penyediaannya. Oleh karena itu sampai sekarang belum ada standar
yang diterapkan untuk pangan semacam ini. Sebagai pegangan untuk
menghasilkan pangan yang bermutu dan aman terutama perlu diperhatikan segi
kebersihan dan sanitasi dalam pengolahan dan penyajiannya, serta tetap mengikuti
peraturan-peraturan yang ada mengenai penggunaan bahan tambahan yang
diijinkan di dalam makanan.
18
2.2.2. Permasalahan Keamanan Pangan Pada Industri Jasa Boga
(Katering)
Perkembangan industri yang bergerak dalam pengolahan dan penyajian
makanan siap santap yang disebut industri jasa boga atau katering telah
berkembang dengan pesat pada saat ini. Industri semacam ini banyak
dimanfaatkan untuk penyediaan makanan di berbagai tempat dan untuk berbagai
keperluan, seperti penyajian makanan-makanan di suatu pesta, seminar, atau
untuk karyawan pabrik dan perkantoran. Data sampai tahun 2004, di Bali saja
tercatat ada 326 usaha jasa katering, 1498 usaha restoran atau rumah makan, dan
145 hotel berbintang yang menyediakan jasa boga (Antara, 2005). Menjamurnya
usaha jasa boga ini terjadi karena kebutuhan akan makanan yang praktis dan siap
dikonsumsi oleh konsumen yang serba sibuk, sehingga konsumen tidak perlu
membuang waktu terlalu lama hanya untuk mempersiapkan dan menyajikan
pangan.
Namun demikian, usaha jasa boga yang menyediakan pangan siap saji
mempunyai resiko kemunginan dapat terjadinya penyakit yang ditularkan melalui
pangan (foodborne disease) apabila tidak dilakukan penanganan yang baik. Dari
laporan-laporan di berbagai media massa diketahui bahwa pangan yang berasal
dari katering sering menimbulkan masalah keracunan yang meminta korban cukup
banyak. Kasus keracunan pangan yang dilaporkan di media massa umumnya yang
menyerang sekelompok orang dalam jumlah besar, misalnya yang menyerang
karyawan-karyawan di suatu pabrik yang mengkonsumsi pangan yang dipesan
dari pengusaha jasa boga atau katering. Terdapat pula kasus keracunan pangan
tetapi tidak dilaporkan, biasanya terjadi pada kelompok kecil konsumen atau yang
konsumennya menyebar.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kasus keracunan pangan 31% berasal dari
produk pangan katering, 20% dari produk olahan pangan, dan 13% lainnya
berasal dari jajanan. Berdasarkan data Badan Perlindungan Konsumen (BPKN)
bidang pangan, Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus keracunan pangan setiap
tahunnya selalu meningkat baik dari jumlah korban maupun yang sakit. Tahun
2005 terjadi 184 KLB, dimana dari 23.864 orang yang mengkonsumsi pangan
tercatat 8.949 orang jatuh sakit dan 49 orang di antaranya meninggal. Sementara
19
tahun 2006, dalam kurun waktu 8 bulan terjadi 62 KLB. Dari 11.745 orang yang
mengkonsumsi pangan, 4.235 di antaranya jatuh sakit dan 10 di antaranya
meninggal dunia (BPKN, 2011).
Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 2004 adalah adanya 2 orang penderita atau lebih dengan gejala-gejala yang
sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi pangan dan adanya dugaan pangan
sebagai sumber keracunan yang dibuktikan secara epidemilogis (menunjukkan
hubungan sebab akibat).
Hasil penelitian Sparingga (2011) menunjukkan bahwa dugaan penyebab
KLB keracunan pangan paling banyak disebabkan oleh mikroba yaitu sebesar 21
persen, sedangkan bahan kimia 13 persen dan sisanya tidak ada sampel.
Sedangkan kasus-kasus keracunan pangan penyebab kejadian luar biasa diperoleh
data karena beberapa hal yaitu : (1) pangan rumah tangga (562 kasus); (2) pangan
olahan (205 kasus); (3) pangan jasa boga atau jasa katering (271 kasus); (4)
pangan jajanan (186 kasus); (5) lain-lain (15 kasus); (6) tidak dilaporkan (25
kasus).
Menurut Fardiaz (1994) dari Bryan (1988) yang dilaporkan oleh Ganowiak
(1992), di negara Amerika Serikat, sebanyak 11% kasus keracunan pangan yang
terjadi disebabkan oleh pangan yang dipersiapkan oleh industri jasa boga
(katering dan restoran), 20% kasus disebabkan oleh pangan yang dimasak di
rumah, dan hanya 3% kasus disebabkan oleh makanan yang diproduksi oleh
industi pangan. Hal ini menunjukkan bahwa di negara-negara yang sudah
majupun pangan jasa boga atau katering memegang peranan penting sebagai
penyebab keracunan pangan. Dengan kata lain, pangan siap saji merupakan
pangan berisiko tinggi dari segi keamanannya jika tidak dipersiapkan dengan baik.
Menurut data Center for Disease Control and Prevention, faktor-faktor
penyebab keracunan pangan di negara Amerika Serikat ternyata yang terbanyak
(37%) disebabkan oleh suhu penyimpangan yang tidak tepat seperti praktek
pendinginan yang tidak tepat. Hal ini disebabkan di negara-negara tersebut banyak
pangan yang disajikan dan dikonsumsi dalam keadaan dingin, misalnya berbagai
salad, baik yang berasal dari bahan nabati maupun hewani. Selain suhu
pendinginan, penyimpanan hangat yang tidak tepat juga menjadi faktor.
20
Penyebab-penyebab keracunan lain yang cukup tinggi yaitu higiene pekerja
pengolah makanan yang tidak baik (19%), peralatan yang tercemar (16%), proses
pemasakan yang kurang termasuk pemanasan kembali yang tidak cukup (11%),
bahan baku dari sumber tercemar (6%), dan penyebab-penyebab lain seperti
menyiapkan makanan terlalu lama (lebih dari 12 jam) sebelum dikonsumsi (11%).
Di Indonesia diperkirakan penyebab utama kasus keracunan dari pangan
katering diantaranya adalah penggunaan bahan mentah yang tercemar
mikroorganisme patogen, pangan didiamkan cukup lama sebelum dikonsumsi,
dan proses pemanasan kembali yang tidak cukup. Seringkali pangan katering
tersebut dipersiapkan pada malam hari dan baru dihidangkan untuk makan siang
pada hari berikutnya, sedangkan proses pemanasan kembali mungkin tidak cukup
karena jumlah pangan yang dipersiapkan terlalu banyak. Selain itu jika selama
waktu menunggu tersebut telah terbentuk racun bakteri yang relatif tahan panas,
misalnya enterotoksin Staphylococcus aureus, kemungkinan pemanasan yang
diberikan tidak cukup untuk menginaktifkan racun tersebut. Penggunaan bahan
tambahan pangan yang berbahaya dan cemaran kimia sukar untuk dideteksi secara
langsung karena gejalanya pada umumnya tidak bersifat akut (Fardiaz, 1994).
Masih banyaknya kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh pangan
yang disediakan oleh industri jasa boga disebabkan pengusaha atau pedagang
makanan, termasuk pengusaha katering dan restoran, pada umumnya tidak
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam praktek sanitasi yang baik
dalam pengolahan dan penyajian makanan sehingga makanan yang dihidangkan
cukup terjamin keamanannya. Menurut survei yang dilakukan di Indonesia,
sebanyak 87,5% dari manager katering dan 19,7% dari perusahaan katering belum
pernah mendapatkan petunjuk atau pengetahuan mengenai sanitasi pangan
(Purawidjaja, 1992).
Di negara-negara yang telah maju pada umumnya telah dilakukan inspeksi
secara rutin terhadap kesehatan dan praktek sanitasi di industri-industri jasa boga.
Akan tetapi kegiatan inspeksi tersebut umumnya hanya dapat digunakan untuk
mendeteksi masalah yang dihadapi, sedangkan untuk mencegah supaya pangan
tersebut tidak terkontaminasi oleh bakteri patogen diperlukan suatu sistem
managemen yang baik. Pengawasan pangan yang mengandalkan pada uji produk
21
akhir tidak dapat mengimbangi kemajuan yang pesat dalam industri pangan dan
tidak dapat menjamin keamanan makanan yang beredar di pasaran, karenanya
dibutuhkan suatu tindakan preventif yang efektif untuk mengidentifikasi berbagai
bahaya sejak tahap awal persiapan, pengolahan sampai penyajian makanan,
menilai risiko-risiko yang terkait dan menentukan kegiatan dimana prosedur
pengendalian akan berdaya guna. Sehingga, prosedur pengendalian lebih
diarahkan pada kegiatan tertentu yang penting dalam menjamin keamanan
makanan.
Jumlah inspektur pangan yang masih sangat terbatas di Indonesia
menyebabkan prioritas inspeksi terutama hanya dilakukan terhadap industri
pangan, sedangkan industri jasa boga yang jumlahnya semakin banyak belum
mendapat inspeksi yang memadai. Cara yang terbaik untuk mengatasi hal ini
adalah dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan kepada pengusaha-
pengusaha pangan, baik pengusaha katering, restoran, hotel, maupun pedagang
pangan jajanan mengenai praktek sanitasi yang baik dalam mengolah dan
mempersiapkan serta menyajikan pangan, serta pengetahuan mengenai
kemungkinan bahaya yang timbul jika praktek pengolahan dan persiapan pangan
tidak dilakukan dengan benar.
2.3. JAMINAN KEAMANAN PANGAN UNTUK JASA BOGA
Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator dan regulator di bidang pangan
telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu
dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu
dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta terciptanya
perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab. Beberapa peraturan antara
lain : Permenkes No. 23/MenKes/SK/I/78 tentang Pedoman Cara Produksi Pangan
yang Baik (CPPB), Kepmenkes RI Nomor 1096 Tahun 2011 tentang Persyaratan
Hygiene Sanitasi Jasaboga, Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996
tentang keamanan pangan, Pedoman Hygiene Makanan Tahun 1996 dan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2004 tentang keamanan pangan, mutu dan gizi
pangan (Badan POM, 2004).
22
Selain peraturan-peraturan tersebut, sejak akhir tahun 2003, Badan POM
telah mengembangkan program keamanan pangan terpadu yaitu Program Piagam
Bintang Keamanan Pangan. Program ini terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang
keamanan pangan yaitu Piagam Bintang Satu, Piagam Bintang Dua, dan Piagam
Bintang Tiga.
Namun demikian, di Indonesia telah diakui beberapa sertifikasi keamanan
pangan yang menyangkut pengadaan pangan oleh jasa boga. Beberapa sertifikasi
tersebut bersifat wajib dimiliki oleh jasa boga sebagai ijin usahanya yang tertuang
dalam peraturan pemerintah, dan beberapa yang lain bersifat sukarela, atau
merupakan persyaratan kerjasama dari rekan bisnis usaha jasa boga itu sendiri.
Beberapa jenis sertifikasi keamanan pangan untuk usaha jasa boga yang diakui di
Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Sertifikasi Laik Hygiene Sanitasi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1096/Menkes/PER/VI/2011, Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi merupakan
persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh setiap usaha jasa boga, dengan
demikian sertifikat ini bersifat wajib (mandatory).
Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga adalah bukti tertulis yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang terhadap jasaboga yang telah
memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sertifikat ini diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota daerah
setempat dimana usaha jasa boga tersebut beroperasi. Sertifikat Laik Higiene
Sanitasi Jasaboga dikeluarkan sesuai golongan jasaboga serta berlaku selama 3
(tiga) tahun dan untuk selanjutnya dapat diperpanjang jika memenuhi syarat.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP membentuk
Tim Pemeriksa yang bertugas melakukan penilaian, kunjungan dan
pemeriksaan untuk menilai kelaikan persyaratan bangunan, peralatan,
ketenagaan, dan bahan makanan baik fisik, kimia, maupun bakteriologis dan
seluruh rangkaian proses produksi pangan.
Pemeriksaan terhadap bahan pangan harus dilakukan melalui uji
laboratorium terhadap sampel pangan di laboratorium yang memiliki
kemampuan.
23
Tim Pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala KKP yang telah menugaskannya
dalam berita acara kelaikan fisik (Lampiran 3), berita acara pemeriksaan
sampel makanan (Lampiran 5), dan surat rekomendasi laik higiene sanitasi
(Lampran 6). Sertifikat Laik Higiene Sanitasi Jasaboga dapat dikeluarkan
setelah pemohon dinyatakan telah memenuhi persyaratan oleh Tim Pemeriksa
yang melihat langsung ke lokasi pengolahan pangan (Lampran 7).
2. Program Piagam Bintang Keamanan Pangan
Pada akhir tahun 2003, Badan POM menyelenggarakan Pilot Project
program Piagam Bintang Keamanan Pangan. Program ini merupakan salah
satu kegiatan dari Sistem Keamanan Pangan Terpadu yang terdiri dari tiga
tingkatan piagam bintang keamanan pangan, yaitu Piagam Bintang Satu,
Piagam Bintang Dua, dan Piagam Bintang Tiga.
Piagam Bintang Satu diberikan kepada industri pangan yang telah
menerapkan prinsip-prinsip dasar keamanan pangan. Piagam Bintang Dua
diberikan kepada industri pangan yang telah menerapkan Cara Produksi
Pangan yang Baik (CPPB) dan mengembangkan prosedur serta mengisi lemar
kerja. Piagam Bintang Tiga diberikan kepada industri pangan yang telah
menerapkan manajemen Keamanan Pangan berdasarkan prinsip Hazard
Analysis and Critical Control Point (HACCP). Namun demikian, sifat dari
Program Piagam Bintang Keamanan Pangan ini adalah sukarela (voluntary)
sebagai penghargaan Pemerintah kepada industri pangan atas usaha mereka
menerapkan keamanan pangan di industrinya.
3. Program CPPB (Cara Produksi Pangan yang Baik)
Program persyaratan kelayakan dasar merupakan suatu ukuran untuk
mengetahui suatu unit pengolahan pangan sudah memenuhi persyaratan, baik
dalam segi/aspek sanitasi dan higiene maupun dalam aspek cara berproduksi.
Program persyaratan kelayakan dasar sebaiknya terdokumentasi dengan baik
dalam standard operating procedures (SOP) yang tertulis dan sebaiknya
dimengerti dan dihayati oleh setiap karyawan yang bekerja di industri pangan
yang bersangkutan. Bahkan program persyaratan kelayakan dasar ini jika
24
diperlukan dapat ditinjau ulang dan direvisi kembali oleh setiap industri
pangan guna menjamin bahwa program yang didesain dan direncanakan,
diimplementasikan secara efektif sesuai dengan tujuan keamanan pangan yang
hendak dicapai (NACMCF, 1998).
Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua
bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good
manufacturing practice (GMP) dan standar prosedur operasional sanitasi atau
sanitation standard operation procedures (SSOP). Di Indonesia, BPOM telah
menerbitkan pedoman CPPB atau GMP sesuai Surat Keputusan Kepala Badan
POM No. HK.00.05.5.1639 tahun 2003. Surat Keputusan ini menetapkan
bahwa seluruh aspek dan rangkaian kegiatan pengolahan pangan wajib
berpedoman pada CPPB. Hanya saja SK BPOM No. HK 00.05.5.1639
berlaku wajib untuk industri rumah tangga. Untuk usaha jasa boga, belum ada
pedoman CPPB yang khusus disusun untuk pengolahan pangan siap saji jasa
boga, namun demikian prinsip-prinsip hygiene sanitasi dapat diadaptasi pada
usaha jasa boga. Pedoman penerapan GMP disusun berdasarkan pedoman
umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan,
terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Pada Usaha jasa boga,
penerapan GMP lebih ditekankan pada GHP (Good Hygiene Practice).
Menurut Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan (Ditjen POM,
1996), tujuan penerapan CPPB adalah menghasilkan produk akhir pangan
yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan
konsumen, baik lokal maupun internasional. Sedangkan tujuan khusus
penerapan GHP adalah : (1) memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting
dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan untuk
menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi;
(2) mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi,
seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan,
proses, mutu produk akhir serta persyaratan higiene personal; (3)
mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara
untuk meningkatkan keamanan pangan.
25
Pedoman penerapan CPPB ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar
untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara
produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) melindungi konsumen dari
penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi
persyaratan; (2) memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang
dikonsumsi merupakan pangan yang layak; (3) mempertahankan dan
meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara
internasional; (4) memberikan bahan acuan dalam program pendidikan
kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen.
Standar prosedur operasional sanitasi atau sanitation standard operation
procedures (SSOP) juga merupakan salah satu unsur/komponen program
persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan
menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses.
Program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs yang
perlu dipersiapkan oleh setiap industri pangan untuk mendukung penerapan
sistem manajemen HACCP menurut Codex Alimentarius Commission atau
CAC (2003) dalam General Principles of Food Hygiene mencakup : desain
bangunan, fasilitas dan peralatan produksi, pengendalian proses produksi
(pengendalian bahaya, sistem pengendalian higiene, persyaratan bahan
mentah, pengemasan, pengolahan air, manajemen dan supervisi, dokumentasi
dan rekaman), pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan,
program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular,
pengelolaan dan pengolahan limbah, dan keefektifan pemantauan),
higiene/kebersihan personil/karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan
personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung), transportasi (persyaratan,
penggunaan dan pemeliharaan), informasi produk, serta pelatihan.
Dalam penerapan CPPB untuk industri jasa boga, untuk menyajikan
pangan siap saji yang bermutu baik dan aman, perlu diketahui variabel yang
memerlukan pemantauan khusus. Yang perlu diketahui oleh pengusaha jasa
boga adalah sumber pencemaran bahan berbahaya yang mungkin masuk ke
dalam pangan, pemantauan terhadap proses pemasakan, dan kondisi
penyimpanan atau penyajian yang aman. Tempat atau wadah penyimpanan
26
harus sesuai dengan jenis bahan pangan contohnya bahan pangan yang cepat
rusak disimpan dalam lemari pendingin dan bahan pangan kering disimpan
ditempat yang kering dan tidak lembab. Penyimpanan bahan pangan harus
memperhatikan suhu seperti disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Suhu penyimpanan bahan makanan
No Jenis bahan makanan
Digunakan dalam waktu
3 hari atau
kurang
1 minggu atau
kurang
1 minggu atau
lebih
1 Daging, ikan, udang
dan olahannya -5
o s/d 0
oC -10
o s/d -5
oC > -10
oC
2 Telor, susu dan
olahannya 5
o s/d 7
oC -5
o s/d 0
oC > -5
oC
3 Sayur, buah dan
minuman 10
oC 10
oC 10
oC
4 Tepung dan biji 25
oC atau
suhu ruang
25oC atau
suhu ruang
25oC atau
suhu ruang Permenkes No.1096/2011
Selain itu, penyimpanan pangan yang telah masak atau jadi tidak dicampur
dengan bahan pangan mentah. Tabel 4 menyajikan suhu penyimpanan pangan
jadi/masak.
Tabel 4. Suhu penyimpanan pangan jadi /masak
No Jenis pangan
Suhu penyimpanan
Disajikan
dalam waktu
lama
Akan segera
disajikan
Belum segera
disajikan
1 Makanan kering 25o s/d 30
oC
2 Makanan basah
(berkuah) > 60
oC -10
oC
3 Makanan cepat basi
(santan, telur, susu) ≥ 65,5
oC -5
o s/d -1
oC
4 Makanan disajikan
dingin 5
o s/d 10
oC < 10°C
Permenkes No.1096/2011
Pengangkutan makanan jadi/masak/siap saji tidak boleh bercampur dengan
bahan berbahaya dan beracun (B3), menggunakan kendaraan khusus
pengangkut makanan jadi/masak dan harus selalu higienis, setiap jenis
makanan jadi mempunyai wadah masing-masing dan bertutup, wadah harus
utuh, kuat, tidak karat dan ukurannya memadai dengan jumlah makanan yang
27
akan ditempatkan, isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap
makanan yang mencair (kondensasi).
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan pemanasan terhadap
suatu pangan adalah pH/keasaman, dan komposisi makanan. Makanan
berasam tinggi (pH rendah) memerlukan pemanasan yang lebih sedikit
dibandingkan makanan netral (pH sekitar 7). Makanan yang mengandung
garam, gula, protein dan lemak dalam jumlah tinggi memerlukan pemanasan
yang lebih tinggi dibandingkan makanan dengan kandungan bahan-bahan
tersebut dalam jumlah lebih rendah.
4. Sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
Pemerintah melalui BSN (Badan Standarisasi Nasional) telah mengadopsi
sistem HACCP (CAC HACCP System : Guidlines for application ) menjadi
SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis,HACCP-serta Pedoman Penerapannya) dan telah menetapkan
panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-2002 tentang panduan penyusunan
rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACCP
(Suprapto, 1999). Di Indonesia, penerapan HACCP masih bersifat sukarela
(voluntary) dan biasanya karena kebutuhan sebagai persyaratan perdagangan.
HACCP atau Hazard Analysis Critical Control Point adalah suatu
pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk
mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan
pangan (NACMCF, 1998). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
intinya adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya
masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap
penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah satu bentuk
manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan
dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan
jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen.
Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk
mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu
pangan guna memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem
pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir
28
Prinsip 1
Prinsip 2
Prinsip 7
Prinsip 6
Prinsip 5
Prinsip 4
Prinsip 3
diproduksi, didistribusikan, dan disajikan. Oleh karena itu dengan
diterapkannya sistem HACCP akan mencegah resiko komplain karena adanya
bahaya pada suatu produk pangan.
Gambar 1. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem
HACCP dalam industri pangan menurut standar
NACMCF (National Advisory Committee on
Microbiological Criteria for Foods) dan CAC (Codex
Alimentarius Commission)
Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip
sebagai berikut : (1) Analisis bahaya dan penetapan resiko, (2) Identifikasi
titik kendali kritis atau CCP (critical control point), (3) Penetapan batas kritis
untuk setiap CCP yang telah diidentifikasi, (4) Penetapan prosedur
pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor, (5) Menentukan tindakan
koreksi yang harus diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi
penyimpangan pada batas kritisnya, (6) Penetapan dan pengembangan sistem
1.Menyusun Tim HACCP
2. Mendeskripsikan Produk
3. Identifikasi Penggunaan
Produk
4. Menyusun Diagram Alir
5. Melakukan Verifikasi
Diagram Alir di tempat
6. Mendaftar semua Bahaya Potensial
Melakukan Analisis Bahaya
Menentukan Tindakan Pengendalian
7. Menentukan CCP
8. Menetapkan Batas
Kritis untuk Setiap CCP
9. Menetapkan Sistem Monitoring
untuk Setiap CCP
10. Menetapkan tindakan koreksi
untuk penyimpangan yang
mungkin terjadi
11. Menetapkan Prosedur
Verifikasi
12. Menetapkan Cara
Penyimpanan Catatan dan
Dokumentasi
29
dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record keeping) dan
merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP, (7) Penetapan prosedur
verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan
baik.
Implementsi prinsip-prinsip di atas tergantung dari jenis perusahaannya.
Bagi perusahaan jasa boga, sistem HACCP tersebut dapat dilakukan dengan
cara yang sederhana dan mudah untuk diterapkan di lapangan.
Untuk menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP, tahap pertama
yang harus dipenuhi adalah adanya komitmen dari manajemen kepemimpinan
perusahaan dengan fokus keamanan pangan serta pemenuhan terhadap
persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP. Hal ini berarti dari pihak
manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat dalam proses
produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan
pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaan.
Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar
NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan pada Gambar 1. Langkah 1
sampai 5 pada Gambar 1 merupakan lima tahap pendahuluan sedangkan
langkah 6 sampai 12 merupakan tujuh langkah prinsip penerapan dan
pengembangan sistem HACCP.
Langkah 1
Menyusun Tim HACCP
Langkah awal yang harus dilakukan dalam penyusunan rencana HACCP
adalah membentuk Tim HACCP yang melibatkan semua komponen dalam
usaha pangan jasa boga yang terlibat dalam menghasilkan produk pangan
yang aman.
Langkah 2
Mendeskripsikan Produk
Tim HACCP yang telah dibentuk kemudian menyusun deskripsi atau
uraian dari produk pangan yang akan disusun rencana HACCPnya. Deskripsi
produk yang dilakukan berupa keterangan lengkap mengenai produk,
30
termasuk jenis produk, komposisi, formulasi, proses pengolahan,
penyimpanan, cara penyajian, serta keterangan lain yang berkaitan dengan
produk. Semua informasi tersebut diperlukan Tim HACCP untuk melakukan
evaluasi.
Langkah 3
Identifikasi Penggunaan Produk
Dalam kegiatan ini, tim HACCP menuliskan kelompok konsumen yang
mungkin berpengaruh pada keamanan produk. Tujuan penggunaan produk
harus didasarkan pada pengguna akhir produk tersebut. Konsumen ini dapat
berasal dari orang umum atau kelompok masyarakat khusus, misalnya
kelompok vegetarian, kelompok diet bahan pangan tertentu, kelompok
penderita penyakit tertentu, atau kelompok orang tua. Pada kasus khusus harus
dipertimbangkan kelompok populasi pada masyarakat beresiko tinggi.
Langkah 4
Menyusun Diagram Alir Proses
Penyusunan diagram alir proses pembuatan produk dilakukan dengan
mencatat seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai dengan
penyajian produk. Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk
menggambarkan keseluruhan proses produksi. Diagram alir proses ini selain
bermanfaat untuk membantu tim HACCP dalam melaksanakan kerjanya,
dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi orang atau lembaga lainnya yang
ingin mengerti proses dan verifikasinya.
Langkah 5
Melakukan Verifikasi Diagram Alir Proses
Diagram alir proses yang dibuat harus lengkap dan sesuai dengan
pelaksanaan di lapangan, sehingga tim HACCP harus kembal meninjau proses
produksinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan serta kesempurnaan
diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses tersebut tidak
tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi. Diagram alir
proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
31
Langkah 6
Analisa Bahaya (Prinsip 1)
Setelah lima tahap pendahuluan terpenuhi, tim HACCP melakukan
analisa bahaya dan mengindentifikasi bahaya beserta cara-cara pencegahan
untuk mengendalikannya. Analisa bahaya amat penting untuk dilakukan
terhadap bahan baku, komposisi, setiap tahapan proses produksi, penyimpanan
produk, distribusi, hingga tahap penyajian ke konsumen. Tujuan analisis
bahaya adalah untuk mengenali bahaya-bahaya apa saja yang mungkin terjadi
dalam suatu proses pengolahan sejak awal hingga ke tangan konsumen.
Analisis bahaya terdiri dari tiga tahap yaitu, identifikasi bahaya,
penetapan tindakan pencegahan (preventive measure), dan penentuan kategori
resiko atau signifikansi suatu bahaya. Dengan demikian, perlu dipersiapkan
daftar bahan mentah dan ingredient yang digunakan dalam proses, diagram
alir proses yang telah diverifikasi, serta deskripsi dan penggunaan produk
yang mencakup kelompok konsumen beserta cara konsumsinya, cara
penyimpanan, dan lain sebagainya.
Tabel 5. Jenis-jenis bahaya
Jenis Bahaya Contoh
Biologi
Sel Vegetatif : Salmonella sp, Eschericia coli
Kapang : Aspergillus, Penicillium, Fusarium
Virus : Hepatitis A
Parasit : Cryptosporodium sp
Spora Bakteri :
Kimia Toksin mikroba, bahan tambahan yang tidak diijinkan,
residu pestisida, logam berat, bahan allergen
Fisik Pecahan kaca, potongan kaleng, ranting kayu, batu atau
kerikil, rambut, kuku, perhiasan, plastic, serangga dan
kotorannya
Bahaya (hazard) adalah suatu kemungkinan terjadinya masalah atau
resiko secara fisik, kimia dan biologi dalam suatu produk pangan yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia dapat dilihat pada Tabel 5.
Bahaya-bahaya (hazard) tersebut di atas dapat dikategorikan ke dalam enam
kategori bahaya, yaitu bahaya A sampai F yang dapat dilihat pada Tabel 6.
32
Tabel 6. Karakteristik bahaya
Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya
Bahaya A
Produk-produk pangan yang tidak steril dan
dibuat untuk konsumsi kelompok beresiko
(lansia, bayi, immunocompromised )
Bahaya B Produk mengandung ingridient sensitif terhadap
bahaya biologi, kimia atau fisik
Bahaya C
Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang
terkendali yang secara efektif membunuh
mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya
kimia atau fisik
Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi
setelah pengolahan sebelum pengemasan
Bahaya E
Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan
selama distribusi atau oleh konsumen yang
menyebabkan produk berbahaya
Bahaya F
Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah
pengemasan atau di tangan konsumen atau tidak
ada pemanasan akhir atau tahap pemusnahan
mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki
pabrik (untuk bahan baku) atau tidak ada cara
apapun bagi konsumen untuk mendeteksi,
menghilangkan atau menghancurkan bahaya
kimia atau fisik
Tindakan pencegahan ( preventive measure ) adalah kegiatan yang dapat
menghilangkan bahaya atau menurunkan bahaya sampai ke batas aman.
Beberapa bahaya yang ada dapat dicegah atau diminimalkan melalui
penerapan prasyarat dasar pendukung sistem HACCP seperti GHP ( Good
Hygiene Practices) , SSOP (Sanitation Standard Operational Procedure) ,
SOP (Standard Operational Procedure), dan sistem pendukung lainnya.
Untuk menentukan resiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya,
maka dapat dilakukan penetapan kategori resiko. Dari beberapa banyak
bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, maka dapat diterapkan kategori
resiko I sampai VI ( Tabel 7 ). Selain itu, bahaya yang ada dapat juga
dikelompokkan berdasarkan signifikansinya (Tabel 8). Signifikansi bahaya
dapat diputuskan oleh tim dengan mempertimbangkan peluang terjadinya (
reasonably likely to occur) dan keparahan ( severity ) suatu bahaya.
33
Tabel 7. Penetapan kategori resiko
Karakteristik Bahaya Kategori Resiko Jenis Bahaya
0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F
(+) I Mengandung satu bahaya B sampai F
(+ +) II Mengandung dua bahaya B sampai F
(+ + +) III Mengandung tiga bahaya B sampai F
(+ + + +) IV Mengandung empat bahaya B sampai F
(+ + + + +) V Mengandung lima bahaya B sampai F
A+(kategori khusus)
dengan atau tanpa
bahaya B-F
VI Kategori resiko paling tinggi (semua
produk yang mempunyai bahaya A)
Tabel 8. Signifikansi bahaya
Tingkat Keparahan (Severity)
L M H
Peluang Terjadi
(Reasonable likely to occur)
l Ll Ml Hl
m Lm Mm Hm*
h Lh Mh* Hh*
*) Umumnya dianggap signifikan dan akan diteruskan/dipertimbangkan dalam
penetapan CCP
Keterangan : L=l= low, M=m= medium, H=h=high
Analisa bahaya adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
penyusunan suatu rencana HACCP. Untuk menetapkan rencana dalam rangka
mencegah bahaya keamanan pangan, maka bahaya yang signifikan atau
beresiko tinggi dan tindakan pencegahan harus diidentifikasi. Hanya bahaya
yang signifikan atau yang memiliki resiko tinggi yang perlu dipertimbangkan
dalam penetapan critical control point.
Langkah 7
Menentukan Critical Control Point (Prinsip 2)
CCP atau Titik Kendali Kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah
atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan
pangan dapat dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat
diterima. Pada setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses
sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu
bahaya dapat dikendalikan.
34
Gambar 2. Diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis (CCP) atau CCP
decision tree
Masing-masing titik penerapan tindakan pencegahan yang telah
ditetapkan diuji dengan menggunakan diagram alir pohon penentuan titik
kendali kritis (CCP) atau CCP decision tree yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Decision tree ini berisi urutan pertanyaan mengenai bahaya yang mungkin
muncul dalam suatu langkah proses, dan dapat juga diaplikasikan pada bahan
baku untuk mengidentifikasi bahan baku yang sensitif terhadap bahaya atau
35
untuk menghindari kontaminasi silang. Suatu CCP dapat digunakan untuk
mengendalikan satu atau beberapa bahaya, misalnya suatu CCP secara
bersama-sama dapat dikendalikan untuk mengurangi bahaya fisik dan
mikrobiologi.
Langkah 8
Penetapan Critical Limit (Prinsip 3)
Critical limit (CL) atau batas kritis adalah suatu kriteria yang harus
dipenuhi untuk setiap tindakan pencegahan yang ditujukan untuk
menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai batas aman. Batas ini akan
memisahkan antara "yang diterima" dan "yang ditolak", berupa kisaran
toleransi pada setiap CCP. Batas kritis ditetapkan untuk menjamin bahwa CCP
dapat dikendalikan dengan baik. Penetapan batas kritis haruslah dapat
disesuaikan, artinya memiliki alasan kuat mengapa batas tersebut digunakan
dan harus dapat divalidasi artinya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
serta dapat diukur. Penentuan batas kritis ini biasanya dilakukan berdasarkan
studi literatur, regulasi pemerintah, para ahli di bidang mikrobiologi maupun
kimia, CODEX dan lain sebagainya.
Suatu CCP mungkin memiliki berbagai komponen yang harus
dikendalikan untuk menjamin keamanan produk. Secara umum batas kritis
dapat digolongkan ke dalam batas fisik (suhu, waktu), batas kimia (pH, kadar
garam).
Tabel 9. Contoh Critical Limit (Batas Kritis) pada CCP
Critical Control Point Komponen Kritis
Proses Penerimaan Udang
Segar
Suhu
Pemasakan Rendang Daging
Sapi
Suhu pemasakan
Waktu pemasakan
Penambahan asam ke
minuman asam
pH produk akhir
Deteksi logam pada
pengolahan biji-bijian
Kalibrasi detektor
Sensitivitas detektor
Penggunaan batas mikrobiologi (jumlah mikroba dan sebagainya)
sebaiknya dihindari karena memerlukan waktu untuk mengukurnya, kecuali
36
jika terdapat uji cepat untuk pengukuran tersebut. Tabel 9 menunjukkan
contoh batas kritis suatu proses dalam industri pangan.
Langkah 9
Menetapkan Sistem Monitoring CCP (Prinsip 4)
Kegiatan pemantauan (monitoring) adalah pengujian dan pengamatan
terencana dan terjadwal terhadap efektifitas proses mengendalikan CCP dan
CL untuk menjamin bahwa CL tersebut menjamin keamanan produk. CCP dan
CL dipantau oleh personel yang terampil serta dengan frekuensi yang
ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, misalnya kepraktisan.
Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu
checklist atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu
data sheet. Pada tahap ini, tim HACCP perlu memperhatikan mengenai cara
pemantauan, waktu dan frekuensi, serta hal apa saja yang perlu dipantau dan
orang yang melakukan pemantauan.
Langkah 10
Menetapkan Tindakan Koreksi (Prinsip 5)
Tindakan koreksi dilakukan apabila terjadi penyimpangan terhadap batas
kritis suatu CCP. Tindakan koreksi yang dilakukan jika terjadi penyimpangan,
sangat tergantung pada tingkat risiko produk pangan. Pada produk pangan
berisiko tinggi misalnya, tindakan koreksi dapat berupa penghentian proses
produksi sebelum semua penyimpangan dikoreksi/diperbaiki, atau produk
ditahan/tidak disajikan dan diuji keamanannya. Tindakan koreksi yang dapat
dilakukan selain menghentikan proses produksi antara lain mengeliminasi
produk dan kerja ulang produk.
Langkah 11
Menetapkan Prosedur Verifikasi (Prinsip 6)
Verifikasi adalah metode, prosedur dan uji yang digunakan untuk
menentukan bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang
ditetapkan. Dengan verifikasi maka diharapkan bahwa kesesuaian program
HACCP dapat diperiksa dan efektifitas pelaksanaan HACCP dapat dijamin.
Verifikasi harus dilakukan secara rutin dan tidak terduga untuk menjamin
37
bahwa CCP yang ditetapkan masih dapat dikendalikan. Verifikasi juga
dilakukan jika ada informasi baru mengenai keamanan pangan atau jika terjadi
keracunan pangan oleh produk tersebut.
Langkah 12
Menetapkan Cara Penyimpanan Catatan dan Dokumentasi
(Prinsip 7)
Dokumentasi program HACCP meliputi pendataan tertulis seluruh
program HACCP sehingga program tersebut dapat diperiksa ulang dan
dipertahankan selama periode waktu tertentu. Dokumentasi mencakup semua
catatan mengenai CCP, CL, rekaman pemantauan CL, tindakan koreksi yang
dilakukan terhadap penyimpangan, catatan tentang verifikasi dan sebagainya.
Oleh karena itu dokumen ini dapat ditunjukkan kepada inspektur pengawas
makanan jika dilakukan audit eksternal dan dapat juga digunakan oleh
operator.
Pendataan tertulis seluruh program HACCP menjamin bahwa program
tersebut dapat diperiksa kembali dan dipertahankan selama periode waktu
tertentu. Dokumentasi program HACCP termasuk juga catatan mengenai
seluruh CCP kritis yang telah ditetapkan di dalam proses produksi pangan.
Verifikasi yaitu metode, prosedur atau uji yang digunakan untuk menentukan
bahwa sistem HACCP telah sesuai dengan rencana HACCP yang ditetapkan.
2.4. Implementasi Sistem HACCP Dalam Industri Jasa Boga
(Katering)
Penerapan HACCP bersifat spesifik untuk setiap produk pangan dan setiap
proses. HACCP dapat diterapkan dalam pengolahan dan penyajian berbagai
pangan siap saji atau katering, sehingga keamanan pangan tersebut lebih terjamin.
Untuk pangan semacam ini, yang hanya memerlukan waktu beberapa jam dari
mulai pemasakan pangan sampai pangan siap dikonsumsi, maka kegiatan
pengawasan mutu secara konvensional yang hanya mengandalkan hasil
pengamatan produk akhir saja mulai dirasa tidak cukup apalagi jika kemudian
terjadi kasus keracunan akibat mengkonsumsi pangan. Oleh karena itu penerapan
38
HACCP menjadi perlu diimplementasikan oleh pengusaha jasa boga atau
katering.
Penyusunan rencana HACCP untuk pangan jasa boga dapat
disederhanakan dengan menggunakan pendekatan tiga jenis diagram alir yang
disajikan pada Gambar 3. Penyusunan rencana HACCP dapat mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut yaitu langkah 2 sampai 5, produk dapat dikelompokkan
berdasarkan tiga jenis diagram alir proses yang disajikan pada Gambar 3.
Pada langkah 6 (Prinsip 1), analisis bahaya dilakukan dengan
mempertimbangkan frekuensi produk melewati danger zone (suhu kritis), yaitu
suhu di antara 5°C dan 60°C yang merupakan suhu kritis karena jasad renik dapat
berkembang biak dengan cepat dan menyebabkan kebusukan atau keracunan
pangan. Langkah 7 (Prinsip 2), CCP (Critical Control Point) umumnya berupa
penerimaan, persiapan (thawing, sortasi, pencucian), pemasakan, reheating, dan
penyajian. Langkah 8 (Prinsip 3) CL (Critical Limit) atau batas kritis pada pangan
siap saji umumnya berupa kombinasi suhu dan waktu.
(A) :
Penerimaan Bahan Baku (receive)
Penyimpanan Produk (hold)
Penyiapan (prepare)
Penyimpanan Bahan Baku (store)
Penyajian Produk (serve)
39
(B) :
(C) :
Gambar 3. Pendekatan tiga jenis diagram alir produk untuk pangan jasa boga;
(A) Diagram Alir I : Pangan yang tidak melalui proses pemanasan,
(B) Diagram Alir II : Pangan yang diolah dan disajikan pada hari yang sama,
(C) Diagram Alir III : Pangan dengan pengolahan kompleks (USFDA,1998)
Penyiapan (prepare)
Penyimpanan Bahan Baku (store)
Penyajian Produk (serve)
Penyimpanan Produk (hold)
Penerimaan Bahan Baku (receive)
Pemasakan (Cook)
Penyiapan (prepare)
Penyimpanan Bahan Baku (store)
Pemanasan Kembali Produk (reheat)
Pendinginan Produk (cool)
Penyimpanan panas Produk (hot hold)
Penyajian Produk (serve)
Penerimaan Bahan Baku (receive)
Pemasakan (cook)
Top Related