Universitas Kristen Petra
13
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dinamika Genre di Dunia Perfilman Hollywood
Dari masa ke masa film semakin berkembang, demikian pula genre. Genre
memang bukanlah sebuah kata yang muncul di setiap percakapan tentang film,
tetapi idenya ada dan disadari oleh semua orang. Film berada dalam cakupan
genre-genre seperti manusia berada dalam keluarga atau kelompok etnis (Altman,
2004, p. 13). Hollywood sebagai industri perfilman terbesar di dunia sejak awal
dijadikan titik tolak perkembangan genre-genre besar dan berpengaruh (Pratista,
2008, p. 12). Dalam dunia perfilman seperti Hollywood, genre menjadi sentral
dari produksi film mereka. Dalam studio, bahkan sebelum sutradara ditunjuk atau
pemain dipilih, film-film direncanakan dan ditulis dalam sebuah bingkai genre
(Sklar, 2002, p. 10).
Genre sangat dinamis, dan bergerak sesuai dengan pergerakan zaman. Satu
pandangan mengatakan bahwa genre punya sebuah siklus hidup, di mana mereka
berkembang, menjadi dewasa, dan menurun. Hal ini bisa membantu menjelaskan
mengapa film-film western, yang pernah menjadi salah satu genre paling penting
dalam dunia Hollywood, semakin jarang dibuat sejak pertengahan 1970-an. Selain
itu, kepopuleran genre dipengaruhi pula oleh keadaan kultural dan historis yang
spesifik, yang menjelaskan mengapa genre seperti horor dan fiksi ilmiah
tenggelam di periode waktu tertentu dan berjaya di periode lain (Sklar, 2002, p.
10).
Neale mengatakan bahwa istilah genre cukup baru untuk dunia media
massa. Sebelum abad ke 19, genre lebih banyak dihubungkan dengan literatur
atau kesenian lain. Tetapi dengan pengaruh dari teknologi-teknologi baru di tahun
1800-an, sarana hiburan massa pun menjadi lebih mudah diakses, dan membalik
keadaan. Di dalam dunia perfilman, sebuah film sangat jarang bersifat murni. Hal
ini tidak mengejutkan bila kita menilik dari warisan film yang berasal dari bentuk
hiburan lain (gedung pertunjukan, musikal, teater, novel, dan lain-lain). Karena
genre tidak statis, genre dapat bermutasi (Hayward, 2006, p. 186).
Universitas Kristen Petra
14
Hampir semua genre besar mengalami pasang surut dalam
perkembangannya dan tidak selalu populer sepanjang masa. Contohnya seperti
film-film musikal kini tidak sepopuler dan sesukses masa keemasan di era 1940-
an. Pada era tersebut film-film terlaris didominasi oleh jenis musikal, seperti
“Singing in the Rain”, “The Sound of Music”, serta “Westside Story”. Namun
kini tercatat hanya beberapa film saja yang sukses (Pratista, 2008, p. 11). Pada era
sekarang ini, studio Walt Disney pun mendominasi produksi film animasi-
musikal, seperti “Beauty and the Beast”, “Aladdin”, dan “The Lion King”
(Pratista, 2008, p. 18).
Leo Braudy percaya bahwa genre berfungsi sebagai barometer untuk
masalah sosial dan kultural di penonton. Sejak sebelum pertengahan tahun 1950-
an, pengertian awal dari identitas nasional yang aman di Amerika dibentuk oleh
film-film bergenre western, yang merepresentasikan spirit Amerika yang menjadi
pemimpin dan pionir. Namun hal ini kemudian digoyahkan dengan film-film
tertentu dimulai dari “Broken Arrow” milik Delmer Daves (1950) yang
memunculkan kemungkinan dan keraguan bagaimana bangsa Barat benar-benar
menang (Hayward, 2006, p. 187).
Sebelum tahun 1950 juga menjadi era di mana film noir tetap berpegang
pada mise-en-scene nya yang gelap, dan representasi dari dunia malam. Tetapi
film-film seperti ini semakin jarang muncul di tahun 1950-an, dan focus ceritanya
pun mulai berubah. Cerita-cerita tentang pria yang dikelilingi femme fatales
digantikan dengan konteks yang lebih institusional, dengan naratif dari film-film
tahun 1950-an yang berpusat pada polisi, perang dingin, dan nuklir – dan
perempuan jahat yang berusaha keras untuk menjadi baik. Contoh paling baik dari
film noir di masa ini adalah “The Big Heat” (1953) yang disutradarai oleh Fritz
Lang, yang merupakan pendukung dari pergerakan film noir di akhir Perang
Dunia II (Sklar, 2002, p. 325). Genre yang juga berkembang pada periode 1950-
an ini adalah genre fiksi ilmiah. Setelah Perang Dunia II, perkembangan dari
roket, ketertarikan terhadap luar angkasa, perhatian untuk dunia ilmiah dan
konsekuensi dari tenaga nuklir menyebabkan munculnya berbagai film fiksi
ilmiah (Sklar, 2002, p. 32).
Universitas Kristen Petra
15
Pada perkembangan selanjutnya, dunia film Hollywood pernah dipenuhi
dengan film-film parodi, yang dimulai tahun 1970-an. Film-film western diejek
oleh Mel Brook lewat filmnya “Blazzing Saddles” (1974), dan genre mata-mata
dijadikan lelucon lewat film “The Long Goodbye” (1973). Tahun 1970an ini
menandai menjamurnya parodi dan masa di mana genre-genre sangat
dibengkokkan sehingga penonton mempertanyakan apa yang baru saja
ditontonnya. “Chinatown” (Roman Polanski, 1974) dan “The French
Connection” (William Friedkin, 1971) adalah contoh-contoh baik dari masa ini.
Pembelokan dari kode-kode umum sangatlah besar dalam kedua film ini sehingga
penonton merasakan jarak yang lebar antara film dan dirinya – karena kita tidak
terlalu memahami apa yang kita lihat dan tidak mampu mengidentifikasikan siapa
protagonis utama film tersebut (Hayward, 2006, p. 187).
Dinamika genre di dunia Hollywood nampak pula pada genre horor yang
amat sukses dan populer di era 1930-an, dan baru bangkit kembali di era 1970-an
melalui film-film horor supernatural. Film-film bencana sejak era 1990-an hingga
kini masih sangat populer namun sebenarnya genre ini telah mengalami masa
keemasan pada era 1970-an (Pratista, 2008, p. 11).
Pada akhir abad ke-20, Hollywood dideskripsikan sebagai sebuah industri
dan tempat budaya film populer mengalami banyak perubahan revolusioner.
Memasuki abad ke-21, transformasi di Hollywood menjadi sangat tampak dan
lebih kuat daripada dekade-dekade sebelumnya. Pada abad ke-21 sampai
sekarang, genre di dunia perfilman Hollywood menjadi sangat hybrid (bercampur
satu sama lain), dan banyak memanfaatkan teknologi-teknologi mutakhir seperti
computer-generated imagery (CGI). Film-film fantasi seperti “Tron” (1982) milik
Disney menjadi sangat sukses. Film animasi Pixar yaitu “Toy Story” (1995) pun
menjadi tanda pergerakan genre di abad ke-21 ini, sementara film-film dengan
genre drama kehilangan popularitasnya bila dibandingkan dengan film dengan
teknologi efek khusus seperti “Gladiator” (2000) (Sklar, 2002, p. 536).
Dengan demikian dapat dilihat bahwa genre memang datang dan pergi
sesuai dengan perkembangan: film-film western dan musikal saat ini sudah tidak
tren lagi, sementara film-film perang tengah mengalami suatu kebangkitan, dan
film gangster telah bertahan dengan melakukan banyak perubahan sejak masa
Universitas Kristen Petra
16
kejayaannya. Satu-satunya genre yang nampaknya tidak pernah tersingkir adalah
komedi, mungkin karena genre komedi begitu fleksibel (Stokes, 2007, p. 89).
Genre di dunia Hollywood akan terus berkembang, karena genre tidaklah tetap
dan cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan. Hal ini memungkinkan
penonton untuk merasa bahwa ekspektasi mereka terhadap genre suatu film
terpenuhi, di samping membuat penonton merasakan perbedaan yang cukup
sehingga mereka tidak merasa sedang menonton film yang familiar lagi (Taylor &
Willis, 1999, p. 60).
2.2 Film Animasi
Sejak dulu, film animasi menjadi salah satu pilihan hiburan bagi
masyarakat, menjadi sangat populer dan disukai baik oleh orang dewasa maupun
anak-anak (Clarke, 2012, p. 2). Bila dilihat dari sejarahnya, maka film animasi
mempunyai tradisi yang panjang dan lebih tua dari yang terlihat. Kekuatan dari
film animasi terletak pada fakta bahwa, seperti film lainnya, animasi bermain
dengan ilusi optik yang dikenal sebagai ‘persistence of vision’. Apa yang kita lihat
di layar kaca bukan ‘gambar bergerak’, tetapi rangkaian dari gambar diam – 24
gambar tiap detiknya – yang diperlihatkan dalam rentang waktu yang begitu cepat
sehingga menipu mata penonton (Lord & Sibley, 2007, p. 17).
Paul Wells, dalam Understanding Animation, mengatakan bahwa film
animasi punya peranan penting yang seringkali diremehkan, namun sebenarnya
dapat membawa arti dan pesan-pesan penting yang dekat dengan isu-isu sosial.
Film animasi mempunyai kapasitas untuk meredefinisikan ortodoksi narasi dari
film live-action, dan menunjukkan kondisi manusia dengan kekuasaan dan
pandangan sebanyak yang bisa dilakukan film-film live action. (p. 6).
Berbeda dengan live-action, animasi menarik elemen-elemen untuk
dijadikan film dari material mentah yang dibuat secara eksklusif oleh ide-ide
manusia. Ide-ide berbeda yang dipunyai oleh animator-animator mengenai benda-
benda, makhluk hidup, pergerakan dan artinya direpresentasikan melalui gambar-
gambar yang dibuat dengan tangan mereka sendiri (Wells, p. 7). Dalam dunia film
animasi, makna didapatkan melalui ‘kosakata-kosakata’ unik yang dipunyai sang
animator, yang bukanlah sesuatu yang dilakukan oleh pembuat film live-action.
Universitas Kristen Petra
17
Film animasi berurusan dengan realitas metafisik, bukan tentang bagaiman
sesuatu terlihat, tetapi apa arti dari sesuatu tersebut. Animasi dapat melawan
hukum gravitasi, menantang persepsi kita tentang ruang dan waktu, menghadirkan
benda mati dengan cara yang kaya dan dinamis (p. 11).
Sebagai salah satu media komunikasi massa, film dan genre punya
hubungan penting. Melalui genre, pengalaman manusia dapat direkonstruksi,
disusun ulang, dan diimajinasikan kembali. Sebagai salah satu cara untuk
mengorganisir, membingkai, dan mengarahkan pengalaman dan pengetahuan,
serta sebagai alat bagi industri, genre telah menjadi sentral dalam dunia film sejak
awal adanya media komunikasi ini (Dawning, 2004, p. 413).
2.3 Genre
Genre merupakan istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan teks-
teks media ke dalam kelompok-kelompok tertentu dengan karakteristik sejenis.
Konsep genre ini berguna untuk melihat bagaimana teks-teks media diorganisir,
dikategorisasi, dan dikonsumsi. Genre bisa diaplikasikan pada televisi, teks cetak
dan radio, juga untuk film. Konsep genre mengatakan bahwa ada tipe-tipe tertentu
dari materi media, yang dapat disadari melalui beberapa elemen yang sama,
seperti style, naratif, struktur, yang digunakan berulang-ulang untuk membuat
genre tertentu (Reyner, 2003, p. 54). Jane Stokes, dalam How to Do Media and
Cultural Studies, menuliskan bahwa genre adalah salah satu cara untuk
mengklasifikasikan film yang paling mudah diidentifikasi karena telah siap
digunakan oleh industri film, khususnya industri film Hollywood, demi tujuan
pemasaran (2007, p. 90).
Genre membuat penonton mengorganisir tipe-tipe film, yang dapat
membantu untuk menentukan narasi dasar dari sebuah film. Mengategorisasikan
film-film dalam genre yang telah ada tidak hanya memampukan penonton untuk
mengidentifikasi struktur cerita sebuah film, tetapi juga dapat membantu baik
produser maupun distributor untuk memasarkan produk-produk mereka dengan
lebih mudah (Sterin, 2012 p. 164). Mempelajari mengenai genre membantu kita
untuk memahami bagaimana sistem klasifikasi kultural dan selera
Universitas Kristen Petra
18
distratifikasikan secara sosial, dan dengan demikian merefleksikan dan
memperkuat relasi terhadap kekuatan tertentu (Branston, 2006, p. 48).
Dari perspektif industri film dan televisi, genre menyediakan keuntungan
ekonomi yang substansial. Di lain sisi, genre juga sebuah bentuk yang kuat dari
ekspresi. Faktanya, genre kembali kepada topik, isu, masalah, dan peristiwa yang
signifikan, baik secara historis, sosial, maupun kultural (Downing, 2004, p. 424).
Dalam teori film, genre dapat dikenali utamanya dari ikonografi yang
berulang, pengulangan kode-kode dan konvensi-konvensi, juga plot yang familiar.
Ikonografi mengacu pada elemen-elemen yang membentuk aspek-aspek visual
dari sebuah teks – misalnya, dalam genre Western, terdapat gaya tertentu untuk
berpakaian dan setting yang familiar untuk aksinya seperti sebuah padang pasir
atau kota kecil di Amerika – dengan kuda-kuda – yang diharapkan ada. Kode dan
konvensi dapat dijelaskan sebagai elemen-elemen teknis yang berkontribusi untuk
menghasilkan arti, termasuk di dalamnya adalah tarian dan lagu-lagu di musikal,
atau shot-shot kamera dari sudut pandang orang pertama dengan nuansa gelap dan
lagu mencekam di sebuah film horor (Hartley, 2002, p. 112).
Perlu diingat juga bahwa genre dapat saling tumpang-tindih satu sama
lain, dan ada juga lebih dari satu genre yang bercampur dalam satu produk. David
Buckingham, seperti dikutip oleh Chandler, berargumen bahwa genre berada
dalam sebuah proses konstan untuk negosiasi dan perubahan. Dengan demikian,
genre bersifat dinamis dan berubah seiring berjalannya waktu. Konvensi-konvensi
dalam setiap genre dapat berubah, genre baru dan sub-genre bermunculan, dan
terdapat pula genre yang berakhir. Genre baru adalah transformasi dari satu atau
beberapa genre lama (2000, p. 3). Dalam dunia media, menabrak aturan-aturan
dalam genre dapat digunakan sebagai alat kreatif untuk memunculkan ironi, tawa,
kejutan, dan kontemplasi (Branston, 2006, p. 47).
Sementara itu, Rick Altman menjelaskan lebih jauh bahwa genre adalah
konsep yang kompleks dengan banyak arti, yang dapat diidentifikasikan sebagai
berikut (2004, p. 14):
- genre sebagai blueprint, sebagai sebuah formula dalam program-
program dan pola dalam produk-produk industri;
Universitas Kristen Petra
19
- genre sebagai struktur, sebagai kerangka formal di mana film-film
ditemukan secara individual;
- genre sebagai label, sebagai nama dari sebuah kategori yang penting
untuk mengambil keputusan dan komunikasi para distributor dan
ekshibitor;
- genre sebagai kontrak, sebagai posisi melihat (viewing position) yang
dibutuhkan oleh audiens dalam tiap genre film.
Gill Branston, dalam Understanding Genre, menyebutkan bahwa
pelabelan genre (romance, science fiction, news, dll) digunakan oleh beberapa
pihak untuk tujuan-tujuan yang berbeda (p. 45):
- Audiens media, untuk mencari kesenangan dari familiaritas dan
keyakinan dalam mengetahui secara luas apa yang mungkin terjadi di
sebuah teks media.
- Industri-industri media, untuk menghindari resiko dan memastikan
perbedaan-perbedaan yang menguntungkan;
- Kritikus media, dan orang lain dengan kekuatan untuk
mengklasifikasikan media, untuk membentuk, menjaga, dan mengubah
hierarki dari nilai dan status sosial.
Genre juga dapat dilihat turut terlibat dalam mengonstruksi penontonnya. John
Fiske melihat genre sebagai alat untuk mengonstruksi baik audiens maupun
subjek pembacaan (seperti film, buku) (Fiske, dalam Chandler, 2000, p. 9). Genre
di media massa memainkan perananan dalam mengonstruksi perbedaan dan
identitas, terutama dalam hubungannya dengan perbedaan seksual dan identitas.
Misalnya, film peperangan dan western cenderung diasumsikan sebagai genre
yang ‘maskulin’, sementara opera sabun dan musikal cenderung dianggap
‘feminim’ (Nealle, dalam Chandler, 2000, p. 9).
2.4 Jenis Genre Film
Walaupun beberapa pihak mengatakan bahwa animasi adalah genre
tersendiri, peneliti lebih setuju dengan banyak pihak, salah satunya Brad Bird,
sutradara film animasi dari Warner Bros. yang mengatakan bahwa animasi
hanyalah salah satu cara bercerita, salah satu bentuk kesenian dan salah satu
Universitas Kristen Petra
20
teknik pembuatan film, dengan demikian bukanlah sebuah genre. Sedangkan
genre pada film animasi sendiri bisa sangat bervariasi layaknya film live action,
mulai dari western, horor, science fiction, musikal, sampai drama (Deneroff,
2012).
Tabel 2.1 Skema Genre Induk Primer dan Sekunder
Genre Induk Primer Genre Induk Sekunder
Aksi Bencana
Drama Biografi
Epik Sejarah Detektif
Fantasi Film Noir
Fiksi-ilmiah Melodrama
Horor Olahraga
Komedi Perjalanan
Kriminal dan Gangster Roman
Musikal Superhero
Petualangan Supernatural
Perang Spionase
Western Thriller
Sumber: Pratista, 2008, p. 13
Genre dalam film sendiri sangat beragam, variasi genre sendiri jumlahnya
bisa mencapai ratusan. Kebanyakan film merupakan kombinasi dari beberapa
genre sekaligus, namun biasanya sebuah film tetap memiliki satu atau dua genre
yang dominan (Pratista, 2008, p. 11). Himawan Pratista membagi genre film ke
dalam dua kelompok besar, yaitu genre induk primer dan genre induk sekunder.
Genre induk primer merupakan genre-genre pokok yang telah ada dan populer
sejak awal perkembangan sinema era 1900-an hingga 1930-an. Dapat dikatakan
bahwa tiap film pasti mengandung setidaknya satu unsur genre induk primer,
namun lazimnya sebuah film adalah kombinasi dari beberapa genre induk
sekaligus. (Pratista, 2008, p. 13). Di bawah ini adalah jenis-jenis genre induk
primer:
Universitas Kristen Petra
21
a. Aksi (Pratista, 2008, p. 13-14)
Film-film aksi berhubungan dengan adegan-adegan aksi fisik seru,
menegangkan, berbahaya, nonstop dengan tempo cerita yang cepat. Film-film aksi
umumnya berisi adegan aksi-kejar-mengejar, perkelahian, tembak menembak,
balapan, berpacu dengan waktu, ledakan, serta aksi-aksi fisik lainnya. Aksi kejar-
mengejar seringkali menggunakan berbagai cara dan moda transportasi seperti
berlari, berkuda, sepeda, mobil, truk, kereta api, kapal, helikopter, pesawat, dan
sebagainya. Film-film aksi umumnya juga memiliki karakter protagonis dan
antagonis yang jelas serta konflik berupa konfrontasi fisik. Tokoh protagonis
biasanya mahir dalam pertempuran senjata maupun tangan kosong. Biasanya
tokoh protagonis adalah seorang penegak hukum seperti polisi, detektif, agen
pemerintah, tentara, veteran perang, dan sebagainya.
Dalam cerita film, umumnya pihak protagonis selalu terancam jiwanya
dan selalu berada di bawah tekanan pihak antagonis. Film aksi umumnya
menggunakan karakter laki-laki sebagai tokoh utama, dan sasaran penonton pun
biasanya ditujukan untuk kaum pria.
Genre aksi adalah salah satu genre yang paling adaptif dengan genre
lainnya. Genre ini mampu dikombinasikan dengan semua genre induk, seperti
petualangan, thriller, kriminal, fiksi-ilmiah, drama, komedi, perang, fantasi, dan
bencana. Film-film aksi seringkali menghabiskan biaya produksi besar karena
menggunakan bintang-bintang populer serta adegan aksi yang spektakuler. Film
aksi seringkali sukses di pasaran, walaupun kualitasnya masih sering
dipertanyakan.
b. Drama (p. 14-15)
Film drama bisa jadi merupakan genre yang paling banyak diproduksi
karena jangkauan ceritanya yang sangat luas. Film-film drama umumnya
berhubungan dengan tema cerita, setting, karakter, serta suasana yang memotret
kehidupan nyata. Konflik bisa dipicu oleh lingkungan, diri sendiri, maupun alam.
Kisahnya seringkali menggugah emosi, dramatis, dan mampu menguras air mata
penontonnya.
Universitas Kristen Petra
22
Tema umumnya mengangkat isu-isu sosial baik skala besar (masyarakat)
maupun skala kecil (keluarga) seperti ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi,
rasialisme, ketidakharmonisan, masalah kejiwaan, penyakit, kemiskinan, politik,
kekuasaan, dan sebagainya. Film-film drama umumnya tidak terfokus pada aksi
fisik atau komedi dan jarang sekali menggunakan efek visual. Kisahnya seringkali
diadaptasi dari pertunjukan, karya sastra, novel, puisi, catatan harian, dan
sebagainya.
Seperti halnya film aksi, genre drama mampu berkombinasi dengan genre
apapun seperti komedi, thriller, fiksi-ilmiah, western, kriminal, fantasi, horor,
serta perang. Genre roman, melodrama, biografi, merupakan pengembangan
langsung dari genre drama. Film-film drama umumnya bisa ditonton oleh semua
kalangan namun sering kali juga membidik kalangan penonton tertentu seperti
keluarga, remaja, dan anak-anak.
Tidak seperti genre aksi, film-film drama kadang kurang berhasil di
pasaran namun seringkali mendapat pengakuan tinggi dari pengamat film. Film-
film yang mampu memenangkan penghargaan film terbaik dari berbagai ajang
festival umumnya adalah film bergenre drama beserta pengembangannya.
c. Epik Sejarah (p. 15)
Genre ini umumnya mengambil tema periode masa silam (sejarah) dengan
latar belakang sebuah kerajaan, peristiwa atau tokoh besar yang menjadi mitos,
legenda, atau kisah biblikal. Film berskala besar (kolosal) ini seringkali
menggunakan setting mewah dan megah, ratusan, hingga ribuan figuran, variasi
kostum dengan aksesori yang unik, serta variasi perlengkapan perang seperti
pedang, tameng, tombak, helm, kereta kuda, panah, dan sebagainya.
Film epik sejarah juga sering menyajikan aksi pertempuran skala besar
yang berlangsung lama. Tokoh utama biasanya merupakan sosok heroik yang
gagah berani dan disegani oleh semua lawannya. Genre biografi merupakan
pengembangan dari genre epik sejarah. Namun tidak seperti biografi, tingkat
keakuratan cerita dalam epik sejarah seringkali dikorbankan.
Universitas Kristen Petra
23
d. Fantasi (p.15-16)
Film fantasi berhubungan dengan tempat, peristiwa, serta karakter yang
tidak nyata. Film fantasi berhubungan dengan unsur magis, mitos, negeri
dongeng, imajinasi, halusinasi serta alam mimpi. Film-film fantasi berhubungan
dengan pedang dan mantra gaib, naga, kuda terbang, karpet terbang, dewa-dewi,
penyihir, jin, serta peri. Film fantasi juga terkadang berhubungan dengan aspek
religi seperti Tuhan atau malaikat yang turun ke bumi, campur tangan kekuatan
ilahi, surga dan neraka, dan lain sebagainya. Film-film fantasi seringkali
mengadaptasi kisah 1001 malam serta mitos dewa-dewi Yunani. Genre fantasi
biasanya bersinggungan dengan fiksi ilmiah, petualangan, supernatural, dan horor.
Film-film animasi juga sering diproduksi menggunakan teknik animasi oleh
studio Walt Disney, seperti “Little Mermaid”, “Beauty and the Beast”, dan
“Aladdin”. Film fantasi umumnya ditujukan untuk penonton remaja dan anak-
anak namun juga mampu memikat kalangan dewasa.
e. Fiksi Ilmiah (p. 16)
Film fiksi ilmiah berhubungan dengan masa depan, perjalanan angkasa luar,
percobaan ilmiah, penjelajahan waktu, invasi, atau kehancuran bumi. Fiksi ilmiah
seringkali berhubungan dengan teknologi serta kekuatan yang berada di luar
jangkauan teknologi masa kini. Film fiksi ilmiah biasanya berhubungan dengan
karakter non-manusia atau artifisial, seperti makhluk asing, robot, monster, hewan
purba dan sebagainya. Film fiksi ilmiah mengalami masa emas pada era 1950-an
dan hingga kinipun masih sangat populer. Film-film fiksi ilmiah umumnya kaya
akan efek visual sehingga menghabiskan biaya produksi yang sangat besar. Genre
fiksi ilmiah juga mampu berkombinasi dengan genre apapun seperti aksi,
petualangan, fantasi, drama, horor, film noir, western, dan komedi. Sasaran
penonton pun sangat bervariasi, namun umumnya lebih disukai kaum pria.
f. Horor (p. 16-17)
Film horor memiliki tujuan utama memberikan efek rasa takut, kejutan,
serta terror yang mendalam bagi penontonnya. Plot film horor umumnya
sederhana, yakni bagaimana usaha manusia untuk melawan kekuatan jahat dan
Universitas Kristen Petra
24
biasanya berhubungan dengan dimensi supernatural atau sisi gelap manusia. Film
horor umumnya menggunakan karakter-karakter antagonis non-manusia yang
berwujud fisik menyeramkan. Pelaku terror bisa berwajah manusia, makhluk gaib,
monster, hingga makhluk asing. Film horor biasanya berkombinasi dengan genre
supernatural, fiksi ilmiah, serta thriller. Film horor umumnya memiliki suasana
setting gelap, dengan dukungan ilustrasi musik yang mencekam. Sasaran film
horor biasanya ditujukan untuk kalangan penonton remaja dan dewasa.
g. Komedi (p. 17)
Komedi boleh jadi merupakan genre yang paling populer diantara semua
genre lainnya sejak era silam. Komedi adalah jenis film yang tujuan utamanya
memancing tawa penontonnya. Film komedi biasanya berupa drama ringan yang
melebih-lebihkan aksi, situasi, bahasa, hingga karakternya. Film komedi juga
biasanya selalu berakhir dengan penyelesaian cerita yang memuaskan
penontonnya (happy ending). Film komedi secara umum dibagi menjadi dua jenis,
yakni komedi situasi (unsur komedi menyatu dengan cerita), serta komedi
lawakan (unsur komedi bergantung pada figur komedian). Kedua jenis komedi ini
juga sering berkombinasi.
Genre komedi secara khusus dapat dipecah menjadi beberapa jenis dan
bentuk, yakni slapstick (menekankan aksi konyol), komedi verbal (menekankan
dialog), screwball comedy (komedi tim berpasangan dan populer di era 40-an),
serta parodi atau satir (imitasi film-film populer).
Genre komedi sering berkombinasi dengan genre aksi, drama, musikal,
serta roman. Sasaran film komedi umumnya ditujukan untuk penonton remaja,
keluarga, dan anak-anak.
h. Kriminal dan Gangster (p. 17-18)
Film-film kriminal dan gangster berhubungan dengan aksi-aksi kriminal
seperti perampokan bank, pencurian, pemerasan, perjudian, pembunuhan,
persaingan antar kelompok, serta aksi kelompok bawah tanah yang bekerja di luar
sistem hukum. Seringkali film jenis ini mengambil kisah kehidupan tokoh
kriminal besar yang diinspirasi dari kisah nyata. Genre ini juga menampilkan
Universitas Kristen Petra
25
perseteruan antara pelaku kriminal dengan penegak hukum seperti detektif swasta,
polisi, pengacara, atau agen rahasia. Tidak seperti genre aksi, film-film kriminal
dan gangster sering menampilkan adegan-adegan kekerasan yang tidak
manusiawi (sadis). Ciri khas adegan aksinya adalah menggunakan tongkat
pemukul, senapan mesin, serta bom mobil.
Tokoh kriminal biasanya adalah sosok laki-laki ambisius, materialistis,
sadis, imoral, dan menggunakan cara apapun untuk mencapai tujuannya.
Sebaliknya, sosok penegak hukum biasanya adalah sosok yang taat hukum, keras,
serta menggunakan caranya sendiri untuk menangkap buruannya. Cerita film
umumnya mengambil latar kota besar dengan penduduk yang padat. Dalam
sejarah perkembangannya, genre ini berkembang menjadi detektif (misteri), film
noir, serta film penjara atau narapidana.
i. Musikal (p. 18)
Genre musikal adalah film yang mengkombinasi unsur musik, lagu, tari
serta gerak. Lagu-lagu dan tarian biasanya mendominasi sepanjang film dan
biasanya menyatu dengan cerita. Penggunaan musik dan lagu bersama liriknya
biasanya mendukung jalannya alur cerita. Cerita film-film musikal umumnya
berkisah ringan seperti percintaan, kesuksesan, serta popularitas. Sasaran film
musikal lebih ditujukan untuk penonton keluarga, remaja, dan anak-anak. Pada
era sekarang ini, film musikal telah jarang diproduksi. Studio Walt Disney
mendominasi produksi film animasi-musikal, seperti “Beauty and The Beast”,
“Aladdin”, dan “Lion King”.
j. Petualangan (p. 19)
Film petualangan berkisah tentang perjalanan, eksplorasi, atau ekspedisi
ke suatu wilayah asing yang belum pernah tersentuh. Film-film petualangan selalu
menyajikan panorama alam eksotis seperti hutan rimba, pegunungan, savanna,
gurun pasir, lautan, serta pulau terpencil. Plot film umumnya seputar pencarian
sesuatu yang bernilai seperti harta karun, artefak, kota yang hilang, mineral (emas
& berlian), dan sebagainya; atau usaha penyelamatan diri dari suatu wilayah tak
dikenal; atau bisa juga usaha penaklukan sebuah wilayah.
Universitas Kristen Petra
26
Film-film petualangan seringkali berkombinasi dengan genre aksi, epik
sejarah, fantasi, fiksi ilmiah, serta perang. Sasaran penonton film petualangan
biasanya ditujukan untuk semua umur. Adegan-adegan aksinya biasanya juga
lebih halus daripada film-film aksi yang selalu mengumbar kekerasan. Film
petualangan terutama di era klasik kadang juga melibatkan tokoh-tokoh pahlawan,
seperti “Tarzan”, “Robin Hood”, “Sinbad” dan “Zorro”. Film-film petualangan
biasanya menghabiskan biaya produksi yang sangat besar namun suksesnya luar
biasa di pasaran.
k. Perang (p. 19-20)
Genre perang mengangkat tema kengerian serta teror yang ditimbulkan
oleh aksi perang. Film-film perang umumnya menampilkan adegan pertempuran
seru baik di darat, laut, maupun udara. Film-film perang biasanya memperlihatkan
kegigihan, perjuangan, dan pengorbanan para tentara dalam melawan musuh-
musuh mereka. Tidak seperti epik sejarah, film perang umumnya menampilkan
adegan pertempuran dengan kostum, peralatan, perlengkapan, serta strategi yang
relatif modern, mulai dari seragam, topi, sepatu bot, pistol, senapan mesin, granat,
meriam, tank, helikopter, rudal, torpedo, pesawat jet, kapal tempur, kapal selam,
dan lain sebagainya. Film-film perang seringkali mengambil latar periode perang
sipil di Amerika dan Rusia, perang dunia pertama dan kedua, perang Vietnam,
perang Teluk, serta konflik di Timur Tengah.
Genre perang sangat mudah berkombinasi dengan genre drama, fiksi
ilmiah, western, petualangan, roman, thriller, komedi, serta epik sejarah. Film-
film perang juga digunakan sebagai media propaganda anti perang melalui isu-isu
seputar moral serta kehancuran akibat perang.
l. Western (p. 20)
Western adalah sebuah genre orisinil milik Amerika. Tidak seperti genre-
genre sebelumnya, western memiliki beberapa ciri karakter tema serta fisik yang
sangat spesifik. Tema film western umumnya seputar konflik antara pihak baik
dan jahat. Setting seringkali menampilkan kota kecil, bar, padang gersang, sungai,
rel kereta api, pohon kaktus, ranch atau peternakan, serta perkampungan suku
Universitas Kristen Petra
27
indian. Western juga memiliki karakter-karakter khas, yakni koboi, indian,
kavaleri, sherrif, deputi; juga binatang seperti kuda, sapi, keledai, ular derik,
burung bangkai, dan sebagainya. Film western umumnya berisi aksi tembak-
menembak, aksi berkuda, lempar tali (laso), serta yang menjadi trademark yakni,
aksi duel. Karakter-karakternya memiliki perlengkapan serta kostum yang khas
seperti pistol, senapan, jaket kulit, sabuk, topi, sepatu bot, hingga aksen (dialog)
yang khas. Film-film western juga sering berkombinasi dengan genre drama,
perang, dan petualangan. Spaghetti western adalah salah satu contoh genre
pengembangan western produksi Italia pada era 1960-an.
Genre berikutnya adalah kelompok genre induk sekunder. Genre induk
sekunder adalah genre-genre besar dan populer yang merupakan pengembangan
atau turunan dari genre induk primer. Genre induk sekunder memiliki ciri-ciri
karakter yang lebih khusus dibandingkan dengan genre induk primer (Pratista,
2008, p. 21). Genre induk sekunder tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Bencana (Pratista, 2008, p. 21)
Film-film bencana (disaster) berhubungan dengan tragedi atau musibah
baik skala besar maupun kecil yang mengancam jiwa banyak manusia. Secara
umum, film bencana dibagi dalam dua jenis, bencana alam dan bencana buatan
manusia. Bencana alam adalah aksi bencana yang melibatkan kekuatan alam yang
merusak dalam skala besar, serangan hewan atau binatang seperti virus, lebah,
ular, burung, kelelawar, dan sebagainya. Bencana buatan manusia umumnya
berhubungan dengan tindak kriminal atau faktor ketidaksengajaan manusia,
seperti aksi terorisme, kecelakaan pesawat terbang, kebocoran reaktor nuklir,
kebakaran gedung, malfungsi komputer, kapal karam, dan sebagainya.
Film bencana umumnya menghabiskan biaya produksi yang sangat besar
karena skala filmnya yang sangat luas serta penggunaan efek visual yang begitu
intensif. Film bencana juga dapat bersinggungan dengan fiksi ilmiah yakni akibat
invasi makhluk luar angkasa. Seperti halnya film-film fiksi ilmiah dan superhero,
film-film bencana pada dua dekade belakangan ini biasanya menjadi jaminan
suksesnya sebuah film di pasaran.
Universitas Kristen Petra
28
b. Biografi (Pratista, 2008, p. 22)
Biografi secara umum merupakan pengembangan dari genre drama dan
epik sejarah. Film biografi menceritakan penggalan kisah nyata atau kisah hidup
seorang tokoh berpengaruh di masa lalu maupun masa kini. Film biografi
umumnya mengambil kisah berupa suka duka perjalanan hidup sang tokoh
sebelum ia menjadi orang besar atau keterlibatan sang tokoh dalam peristiwa
besar. Dalam perkembangannya, film-film biografi dapat dikombinasikan dengan
genre lain yang lebih spesifik sesuai dengan latar-belakang sang tokoh seperti
pahlawan perang, spiritualis, kriminal, penyanyi atau kelompok musik, pelukis,
dan lain sebagainya. Film biografi seringkali juga mendapat pengakuan terhormat
dari para pengamat film.
c. Detektif (p. 22)
Genre detektif merupakan pengembangan dari genre kriminal dan
gangster dan lebih populer pada era klasik daripada kini. Inti cerita umumnya
berpusat pada kasus kriminal pelik yang belum terselesaikan. Sang tokoh biasanya
seorang detektif atau polisi yang menelusuri kembali jejak kasus tersebut dengan
merangkai semua bukti, mencari bukti baru, menginterogasi saksi, dan
sebagainya. Alur ceritanya sulit diduga serta penuh dengan misteri. Pada akhir
cerita tokoh utama biasanya menemukan bukti konkret yang memberatkan
seorang tersangka. Pelaku kejahatan biasanya adalah orang yang sama sekali tidak
diduga sebelumnya dan pada klimaks cerita seringkali terjadi konfrontasi fisik
dengan tokoh utama. Film-film detektif di era modern sering berkombinasi
dengan genre aksi dan thriller.
d. Film Noir (Pratista, 2008, p. 23)
Film noir yang bermakna gelap atau suram merupakan turunan dari genre
kriminal dan gangster yang mulai populer pada awal dekade 1940-an hingga akhir
1950-an. Film noir merupakan genre dengan pendekatan tema serta sinematik
yang paling unik ketimbang genre-genre lainnya. Tema selalu berhubungan
dengan tindak kriminal seperti pembunuhan, pencurian, serta pemerasan. Alur
ceritanya penuh misteri, sulit ditebak, serta kadang membingungkan. Film noir
Universitas Kristen Petra
29
juga sering menggunakan penuturan kilas-balik serta narator. Tokoh-tokoh utama
pria biasanya seorang penyelidik seperti seorang detektif swasta, polisi, agen
pemerintah, petugas asuransi, veteran perang, atau kriminal. Sementara tokoh
utama wanitanya sering diistilahkan sebagai femme-fatale, yakni seorang wanita
cantik berambut pirang yang memiliki karakter manipulatif, bermuka dua,
misterius, dan berbahaya.
Film noir memiliki elemen-elemen estetik yang khas dalam membentuk
mood-nya. Setting cerita umumnya berlangsung malam hari dan sering
mengambil lokasi di jalanan beraspal basah, lorong, bar, rumah, apartemen,
kantor, gudang, dan lain-lainnya yang bernuansa gelap. Asap rokok juga dominan
dalam banyak adegannya. Tata cahayanya menggunakan low-key lighting serta
sering menggunakan efek bayangan. Tata kamera biasanya menggunakan teknik
low-angle serta kadang deep focus.
e. Melodrama (p. 23-24)
Melodrama merupakan pengembangan dari genre drama yang juga sering
diistilahkan opera sabun atau film “cengeng” (menguras air mata). Melodrama
menggunakan cerita yang mampu menggugah emosi penontonnya secara
mendalam dengan dukungan unsur “melodi” (ilustrasi musik). Karakter utama
biasanya seorang wanita dan sering menggunakan tema seputar kegagalan cinta,
perkawinan yang retak, perceraian, tragedi atau musibah, trauma, serta masalah-
masalah sosial lainnya. Tokoh utama lazimnya mendapat tekanan besar dari
lingkungan sosialnya, pasangan, keluarga, anak, teman, tempat kerja, serta
lainnya. Alur cerita biasanya memperlihatkan bagaimana sang tokoh mengalami
masa-masa sulit dalam hidupnya namun mampu menjalaninya dengan tegar,
berani, penuh keteguhan hati, serta pengorbanan. Sasaran film melodrama
umumnya ditujukan untuk penonton wanita dan keluarga.
f. Olahraga (p. 24)
Film olahraga mengambil kisah seputar aktifitas olahraga baik atlet,
pelatih, agen maupun kompetisinya sendiri. Film olahraga diadaptasi dari kisah
nyata baik biografi, maupun sebuah peristiwa olahraga besar. Jenis olahraga yang
Universitas Kristen Petra
30
paling sering diadaptasi adalah basket, tinju, American football, baseball, hoki es,
sepak bola, balapan mobil, golf, surfing, serta balap kuda. Cerita filmnya
seringkali mengambil kisah seorang pemula atau mantan atlet yang kembali
berlaga. Film olahraga biasanya penuh dengan momen emosional yang
menggambarkan perjuangan, tekad, dan semangat sang atlet untuk meraih
kejayaan. Film olahraga sering bersinggungan dengan genre drama, aksi, komedi,
fiksi ilmiah, serta fantasi. Sasaran film olahraga biasanya penonton keluarga,
anak-anak dan remaja.
g. Perjalanan (p. 24)
Seperti halnya western, genre perjalanan atau sering diistilahkan road
films merupakan genre khas milik Amerika yang sangat populer di era klasik.
Film perjalanan sering bersinggungan dengan genre aksi, drama, serta
petualangan. Genre ini biasanya mengisahkan perjalanan darat jarak jauh dari satu
tempat ke tempat lain dengan atau tanpa tujuan tertentu. Perjalanan seringkali
menjadi tempat pelarian, pencarian, perenungan kehidupan, cinta, kebebasan,
spiritual, serta eksistensi diri. Sepanjang perjalanan para tokohnya biasanya juga
mengalami berbagai peristiwa secara episodik yang nantinya tanpa disadari
mendewasakan diri mereka.
h. Roman (p. 25)
Roman seperti halnya melodrama merupakan pengembangan dari genre
drama. Film roman lebih memusatkan cerita pada masalah cinta, baik kisah
percintaannya sendiri maupun pencarian cinta sebagai tujuan utamanya. Tema
film roman umumnya adalah pasangan yang mencintai satu sama lain namun
menghadapi banyak ujian serta masalah dari dalam maupun luar yang
menghalangi hubungan mereka atau bisa pula bagaimana usaha seseorang untuk
mendapatkan pasangan impiannya. Kisah film umumnya berakhir dengan bahagia
untuk “selama-lamanya”, sepasang kekasih akhirnya mampu melewati cobaan,
atau tokoh utama akhirnya mendapatkan pasangan impiannya. Namun tak jarang
pula mereka gagal atau berakhir tragis. Film roman juga seringkali berkombinasi
Universitas Kristen Petra
31
dengan genre komedi dan musikal. Film jenis ini biasanya ditujukan untuk
kalangan penonton wanita remaja dan dewasa.
i. Superhero (p. 25)
Superhero adalah sebuah genre fenomenal yang merupakan perpaduan
antara genre fiksi ilmiah, aksi, serta fantasi. Film superhero adalah kisah klasik
perseteruan antara sisi baik dan sisi jahat, yakni kisah kepahlawanan sang tokoh
super dalam membasmi kekuatan jahat. Karakter superhero memiliki kekuatan
serta kemampuan fisik ataupun mental jauh di atas manusia rata-rata. Cerita
biasanya diawali dengan latar belakang sang superhero mendapatkan kekuatannya
dan selalu diakhiri dengan duel melawan si tokoh jahat. Film superhero umumnya
juga penuh dengan adegan-adegan aksi menawan yang kaya efek visual. Film
superhero biasanya menghabiskan biaya produksi yang sangat besar namun
hingga kini masih menjadi formula ampuh untuk menarik penonton dari kalangan
manapun.
j. Supernatural (p. 26)
Film-film supernatural berhubungan dengan makhluk-makhluk gaib
seperti hantu, roh halus, keajaiban serta kekuatan mental seperti membaca pikiran,
masa depan, masa lalu, telekinesis, dan lainnya. Film-film supernatural sangat
mudah bersinggungan dengan genre seperti horor, fantasi, drama, dan fiksi ilmiah.
Genre supernatural bila berdiri sendiri tidak ditujukan untuk memancing rasa
takut penontonnya. Film-film supernatural biasanya juga ditujukan untuk
penonton anak-anak dan remaja.
k. Spionase (p. 26)
Spionase atau agen rahasia adalah satu genre populer kombinasi antara
genre aksi, petualangan, thriller, serta politik, dengan karakter utama seorang
mata-mata atau agen rahasia. Film spionasi seringkali berlatar cerita periode
perang dingin atau intrik internasional antar negara. Tema biasanya berurusan
dengan senjata pemusnah masal, seperti nuklir, senjata biologis, teknologi, atau
informasi penting yang dapat mengganggu keamanan nasional negara atau dunia.
Universitas Kristen Petra
32
Tokoh utama biasanya adalah seorang laki-laki dewasa berpenampilan menarik,
cerdas, cekatan, menguasai dan mahir dalam menggunakan berbagai jenis senjata
serta moda transportasi, menguasai banyak bahasa, serta mahir perkelahian tangan
kosong. Film-film spionase selalu berisi adegan aksi-aksi seru dan menegangkan
berpacu dengan waktu.
l. Thriller (p. 26-27)
Film thriller memiliki tujuan utama memberi rasa ketegangan, penasaran,
ketidak pastian, serta ketakutan pada penontonnya. Alur cerita film thriller
seringkali berbentuk aksi nonstop, penuh misteri, kejutan, serta mampu
mempertahankan intensitas ketegangan hingga klimaks filmnya. Film thriller
biasanya mengisahkan seorang biasa yang terjebak dalam situasi luar biasa,
seperti seorang yang terlibat perkara kriminal yang tidak ia lakukan. Karakter
utama bisa siapa saja, yakni seorang pembunuh, kriminal, pelarian, psikopat,
teroris, politikus, wartawan, agen pemerintah, polisi, detektif, dan lainnya. Film
thriller lazimnya bersinggungan dengan beragam genre seperti drama, aksi,
kriminal, politik, dan lainnya.
2.5 Studi Genre
Genre sekarang dilihat sebagai sebuah bagian penting dari struktur dan
tradisi pembuatan film di Hollywood, dan diakui memainkan peranan penting
dalam bagaimana film-film populer menghasilkan makna (Taylor, 1999, p. 61).
Pada film-film terdapat kode-kode dan konvensi yang serupa yang
menjadi bagian dari genre tertentu. Misalnya unsur-unsur seperti lokasi, gaya, dan
mise-en-scene, seluruhnya merupakan bagian dari sistem terkode yang dapat
diidentifikasi melalui analisis genre. Genre sekaligus merupakan kategori naratif:
struktur gadis bertemu jejaka dalam film-film roman, selalu merupakan struktur
semua film dalam genre tersebut. Kesenangan lain dari film genre adalah melihat
bagaimana unsur kunci ditafsirkan dan direka ulang untuk kebiasaan-kebiasaan
dan nilai-nilai kontemporer, mengingat genre senantiasa berubah sepanjang waktu
(Stokes, 2007, p. 91).
Universitas Kristen Petra
33
Penelitian genre menjawab dua pertanyaan utama. Yang pertama adalah
sejauh mana teks tertentu berkompromi dengan sebuah genre. Secara retoris,
peneliti perlu menetapkan dengan jelas tipikal konvensi kedua genre, genre
pertama yaitu yang diasumsikan orang lain merupakan genre film tersebut,
sedangkan genre kedua mewakili penilaian peneliti mengenai teks yang akan
didemonstrasikan di dalam penelitian sesungguhnya termasuk dalam genre ini
(artinya melawan kelaziman orang yang cenderung mengasumsikan teks film
yang diteliti termasuk dalam genre yang pertama).
Yang kedua, penelitian genre mencari apakah ada sebuah genre baru yang
sedang berkembang. Mengembangkan neologisme (kata-kata atau ekspresi baru
untuk memberi makna baru sebuah kata) untuk sebuah genre baru merupakan hal
yang baik untuk penelitian genre. Jika menurut peneliti terdapat serangkaian film
yang memiliki suatu kesamaan, tetapi belum diidentifikasi sebelumnya, maka
peneliti bisa membuat sebuah kasus untuk sebuah genre baru (Stokes, 2007, p. 94-
95).
Analisis genre mensituasikan teks dalam konteks tekstual dan sosial,
menggarisbawahi sifat sosial dari produksi dan pengartian teks. Dengan demikian,
analisis genre tidak hanya menjawab pertanyaan penelitian yang bersifat
intratekstual, tetapi juga intertekstual, yakni aspek-aspek yang berkaitan dengan
teks lain dengan genre serupa, dan ekstratekstual, yakni aspek-aspek yang
bersangkutan dengan konteks di mana genre teks tersebut diproduksi dan
dikonsumsi (Chandler, 2000, p. 10).
2.5.1 Konvensi-konvensi Genre
Studi genre adalah studi dengan melakukan suatu analisis retoris atas
sebuah teks atau serangkaian teks. Jenis-jenis hipotesis didasarkan pada sejauh
mana teks tersebut mematuhi atau tidak mematuhi konvensi-konvensi genre.
Konvensi-konvensi tersebut mungkin bersifat semiotik, naratif, atau
representasional. Studi tekstual genre bekerja dengan melihat konvensi-konvensi
genre melalui 6 kategori, yaitu setting, lokasi, ikonografi, peristiwa-peristiwa
naratif, karakter-karakter, dan struktur plot (Stokes, 2007).
Universitas Kristen Petra
34
Setting adalah seluruh latar bersama segala propertinya. Properti dalam hal
ini adalah semua benda tidak bergerak seperti perabot, pintu, jendela, kursi,
lampu, pohon, dan sebagainya. Setting yang digunakan dalam sebuah film
umumnya dibuat senyata mungkin dengan konteks cerita. Setting harus mampu
meyakinkan penonton jika film tersebut tampak sungguh-sungguh terjadi pada
lokasi dan waktu sesuai konteks cerita filmnya (Pratista, 2008, p. 62).
Lokasi adalah tempat di mana sebuah adegan dilakukan, yang dapat
berupa indoor atau outdoor (Tomaric, 2008, p. 258). Ikonografi mengacu pada
motif-motif visual yang mengijinkan penonton untuk mengidentifikasi film-film
tertentu kepada genre tertentu. Ikonografi membantu penonton untuk mengerti
dengan cepat berbagai informasi tentang karakter, aksi, dan setting dari kostum,
set, dan objek-objek yang familiar (Taylor & Willis, 1999, p. 61). Secara lebih
rinci Chandler menjelaskan bahwa ikonografi adalah stok gambar atau motif,
konotasi yang sudah pasti; utamanya bersifat visual tapi tidak selalu, termasuk di
dalamnya adalah dekorasi, kostum dan objek, aktor-aktor tertentu, pola dialog
yang sudah familiar, karakteristik musik dan suara, dan topografi fisik yang
sesuai; teknik film – posisi-posisi kamera, pencahayaan, rekaman suara,
penggunaan warna, editing, dan lain-lain (Chandler, 2000, p. 13) .
Naratif adalah suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain
dan terikat oleh logika sebab akibat (kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang
dan waktu. Dalam sebuah film cerita sebuah kejadian pasti disebabkan oleh
kejadian sebelumnya. Logika sebab akibat muncul akibat tuntutan dan keinginan
dari pelaku cerita. Segala aksi dan tindakan para pelaku cerita akan memotivasi
terjadinya peristiwa berikutnya dan terus memotivasi peristiwa berikutnya lagi.
Perubahan ini membentuk peristiwa-peristiwa naratif. Pola naratif umumnya
disajikan secara linier dimana sebuah rangkaian peristiwa berjalan sesuai dengan
urutan waktu sebenarnya. Peristiwa naratif dapat berada di dalam plot dan dapat
juga tidak ditampilkan dalam plot (Pratista, 2008, p. 33-34).
Karakter-karakter dalam film dapat dibedakan dalam 3 karakter utama,
yaitu protagonis, antagonis, dan karakter pendukung. Semua genre memiliki
karakter-karakter yang memegang peran utama atau protagonis. Tidaklah lazim
bagi protagonis untuk menjadi penjahat. Kadang-kadang, pria dan wanita pemeran
Universitas Kristen Petra
35
utama ini sangat dapat diprediksi, sehingga mereka memiliki pelbagai kualitas
yang sama di sejumlah genre. Pria-pria seperti itu berani dan rupawan, dan
mungkin menolong seorang wanita yang sedang mengalami kesulitan yang berat.
Demikian pula, wanita pemeran utama mungkin sangat cantik, dan menjadi orang
kedua setelah sang pahlawan pria (Graeme, 2008, p. 99). Pemeran protagonis
merupakan “orang baik-baik” dalam cerita. Karakter ini hampir selalu diceritakan
sedang mengalami “perubahan” dalam hidupnya di mana kepribadian dan
motivasinya selalu lebih ditonjolkan dibandingkan dengan karakter-karakter
lainnya. Sebuah cerita umumnya bercerita tentang karakter protagonis dan fokus
pada cerita tentang perjalanannya, penemuannya, dan perubahannya. Sementara
itu, karakter antagonis adalah kebalikan dari protagonis. Antagonis menghadirkan
halangan, tantangan, dan situasi yang harus dihadapi oleh protagonis dan karakter
pendukung. Karakter pendukung ini ditampilkan sebagai pendukung protagonis
maupun antagonis dan biasanya memiliki tujuan yang sama. Karakter ini juga
memiliki permasalahannya sendiri walaupun hanya ditampilkan sebagai
pendukung (Tomaric, 2008, p. 21-22).
Struktur plot adalah rangkaian peristiwa yang disajikan secara visual
maupun audio dalam film. Struktur plot ini terbagi ke dalam dua jenis, yaitu pola
linier dan pola nonlinier (Pratista, 2008, p. 36-38):
a. Pola Linier
Plot film sebagian besar dituturkan dengan pola linier dimana waktu
berjalan sesuai urutan aksi peristiwa tanpa adanya interupsi waktu yang
signifikan. Penuturan cerita linier memudahkan kita untuk melihat hubungan
kausalitas jalinan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Jika urutan waktu cerita
dianggap sebagai A-B-C-D-E maka urutan waktu plotnya juga sama, yakni A-B-
C-D-E. Sepanjang apapun rentang waktu cerita jika tidak terdapat interupsi waktu
yang signifikan maka polanya tetap linier. Sekalipun menggunakan multi-plot
(tiga cerita atau lebih) disajikan secara simultan dan terjadi dalam waktu yang
relatif sama, maka polanya juga tetap dianggap linier. Plot film seringkali
diinterupsi oleh teknik kilas balik atau kilas depan. Namun interupsi waktu
Universitas Kristen Petra
36
dianggap tidak signifikan selama teknik tersebut tidak mengganggu alur cerita
secara keseluruhan.
b. Pola Nonlinier
Nonlinier adalah pola urutan waktu plot yang jarang digunakan dalam film
cerita. Plot ini memanipulasi urutan waktu kejadian dengan mengubah urutan
plotnya sehingga membuat hubungan kausalitas menjadi tidak jelas. Pola
nonlinier cenderung menyulitkan penonton untuk bisa mengikuti alur cerita
filmnya. Jika urutan waktu cerita dianggap A-B-C-D-E maka urutan plotnya dapat
C-D-E-A-B atau D-B-C-A-E atau lainnya. Jika cerita film berlangsung selama
sehari, maka penuturan kisahnya disajikan secara tidak urut, misalkan malam,
pagi, sore, dan siang. Satu lagi pola nonlinier yang sangat jarang digunakan
adalah membalik urutan plotnya. Urutan plot sengaja dibalik dari masa kini ke
masa silam. Jika urutan waktu cerita adalah A-B-C-D-E maka urutan waktu
plotnya adalah E-D-C-B-A.
2.6. Konstruksi Sosial Media Massa
Konstruksi sosial ketika diaplikasikan pada komunikasi massa
mengasumsikan audiens sebagai khalayak yang aktif. Media berperan dalam
mentransmisikan budaya kepada audiens. Teori konstruksi sosial mengenal
tipifikasi, yaitu kemampuan audiens untuk mengklasifikasikan objek dan aksi
yang diobservasi, dan kemudian mengondisikan diri untuk melakukan respon
balasan. Dengan demikian, segala bentuk media massa, termasuk film, yang ada
di masyarakat adalah hasil konstruksi dari media sebagai produsen, yang dibuat
sedemikian rupa untuk menyampaikan makna, ataupun budaya, kepada khalayak
luas (Bungin, 2008).
2.7 Nisbah Antar Konsep
Film dan genre sejak awal punya kaitan erat. Melalui genre, pengalaman
manusia dapat direkonstruksi, disusun ulang, dan diimajinasikan kembali. Di
dalam dunia perfilman Hollywood, genre berkembang dan berubah dari waktu ke
waktu, sesuai dengan kondisi historis dan kultural di masyarakat. Dinamika genre
Universitas Kristen Petra
37
di dunia Hollywood turut mempengaruhi isi cerita dari film itu sendiri dan
penontonnya. Genre di dunia Hollywood akan terus berkembang, karena genre
tidaklah tetap dan cukup fleksibel untuk mengakomodasi perubahan. Hal ini
memungkinkan penonton untuk merasa bahwa ekspektasi mereka terhadap genre
suatu film terpenuhi, di samping membuat penonton merasakan perbedaan yang
cukup sehingga mereka tidak merasa sedang menonton film yang familiar lagi.
“Wreck It Ralph” juga dapat merupakan bagian dari film yang mungkin membawa
pergeseran genre akibat dinamika yang ada di dunia perfilman Hollywood.
“Wreck It Ralph” yang menjadi objek penelitian ini adalah film dengan
bentuk animasi. Film animasi sudah lama ada di dunia perfilman dan disukai baik
oleh anak-anak maupun orang dewasa. Film animasi punya peranan penting yang
seringkali diremehkan, namun sebenarnya dapat membawa arti dan pesan-pesan
penting yang dekat dengan isu-isu sosial. Walaupun banyak dianggap sebagai
sebuah genre, sebenarnya animasi hanyalah salah satu cara bercerita, salah satu
bentuk kesenian dan salah satu teknik pembuatan film, dengan demikian bukanlah
sebuah genre. Sedangkan genre pada film animasi sendiri bisa sangat bervariasi
layaknya film live action, mulai dari western, horor, science fiction, musikal,
sampai drama
Penelitian ini akan meneliti konstruksi genre dalam “Wreck It Ralph”.
Maka dari itu, penting untuk mengetahui dengan jelas apa yang disebut dengan
genre. Genre merupakan istilah yang digunakan untuk mengklasifikasikan teks-
teks media ke dalam kelompok-kelompok tertentu dengan karakteristik sejenis.
Konsep genre ini berguna untuk melihat bagaimana teks-teks media diorganisir,
dikategorisasi, dan dikonsumsi. Genre bisa diaplikasikan pada televisi, teks cetak
dan radio, juga untuk film. Genre dapat dikenali utamanya dari ikonografi yang
berulang, pengulangan kode-kode dan konvensi-konvensi, juga plot yang familiar.
Terdapat enam kategori yang akan dipakai penulis untuk melakukan analisis genre
dalam “Wreck It Ralph”, yaitu setting, lokasi, ikonografi, peristiwa-peristiwa
naratif, karakter-karakter, dan struktur plot. Keenam kategori ini mengacu pada
kategori yang diutarakan oleh Jane Stokes. Sebagai produk media massa, genre
adalah hasil konstruksi dari produsen film itu sendiri, yang dibuat sedemikian
Universitas Kristen Petra
38
rupa untuk menyampaikan pesan ataupun mentransmisikan budaya kepada
masyarakat atau penonton.
Terdapat ratusan genre film, tetapi secara khusus Himawan Pratista
membagi genre film ke dalam dua bagian besar, yaitu genre induk primer dan
genre induk sekunder. Genre induk primer adalah genre pokok yang telah ada dan
populer sejak awal perkembangan sinema. Genre induk sekunder adalah
pengembangan atau turunan dari genre induk primer. Berbagai macam genre yang
dijabarkan di bab ini akan digunakan untuk membantu analisis peneliti dalam
menentukan konstruksi genre pada film “Wreck It Ralph” di bab 4.
2.8 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber: Olahan Peneliti, 2013
“Wreck It Ralph” sebagai film Disney Animation Studios membawa banyak konvensi dan kode yang berbeda dari
film Disney biasanya
Genre
Genre Induk Primer Genre Induk Sekunder
Setting Lokasi Peristiwa Naratif Karakter Plot
Konstruksi Genre Dalam Film “Wreck It Ralph”
Ikonografi
Top Related