Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 1 of 93
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 2 of 93
I
aka, timbullah keinginannya untuk mengenal orang itu dari
dekat. Karena itu segera ia meloncat dan berlari secepat-
cepatnya ke arah bayangan yang melintas itu. Namun
ternyata Mahesa Jenar samasekali tidak berhasil. Yang terbentang
di hadapannya hanyalah wajah malam yang hitam kelam.
Sedangkan bayangan itu samasekali sudah tidak ada lagi.
Meskipun demikian perhatiannya kini telah berpindah dari
pertempuran yang baru saja terjadi kepada orang yang berjubah
abu-abu itu. Siapakah gerangan orang yang telah menjadi teka-
teki sampai bertahun-tahun itu? Kalau saja saat itu Ki Ageng Gajah
Sora ada disampingnya, maka ia akan dapat mencari
pertimbangan, bahwa pasti orang itulah yang telah mengambil
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.
Tetapi apakah gerangan maksud yang sebenarnya? Dan
kenapakah orang itu tiba-tiba saja muncul pada saat dirinya
terancam bahaya? Bahaya yang hampir saja tak dapat
dihindarkan. Apalagi dalam pertanggungjawabannya terhadap
seluruh anak buahnya. Tetapi bayangan itu kini sudah lenyap.
Yang tinggal hanyalah beberapa masalah, pertanyaan-pertanyaan
dan teka-teki yang bercampur baur berputar-putar di dalam otak
Mahesa Jenar. Campurbaur antara gambaran – gambaran hari
esok serta kenangan hari kemarin yang kadang-kadang tak dapat
ditemukan sendi-sendi penyambungnya.
Dalam pada itu sekali lagi Mahesa Jenar terkejut. Kali ini lamat-
lamat ia mendengar suara tembang. Jauh sekali, meskipun setiap
kata yang terlontar dapat didengarnya dengan jelas.
Mahesa Jenar menjadi termangu-mangu. Siapakah yang
berdendang di tengah malam, di antara bau mayat dan darah ini…?
Mula-mula pikirannya terbang kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Namun ternyata suara itu lain. Bukan suara yang sudah sering
didengarnya.
M
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 3 of 93
Ketika dendang itu telah genap satu bait, ternyata terdengar
diulangnya kembali. Kata demi kata didengarnya dengan seksama.
“Memanising manungsa sejati,
sesantine mring laku utama,
lukita mesu budine,
meruhi hawa lan napsu, mrih sampurna lair lan batin,
kanti atapa brata, gegulang mrih hayu, hayuningrat sak isinya,
rumantine rinakit budi pakarti,
tata gatining jalma.”
Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar tembang itu. Suatu
gambaran tentang manusia idaman. Manusia sejati, yang
bersemboyan, berusaha sebaik-baiknya untuk mengenal bentuk-
bentuk hawa nafsu, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan
batin. Dengan penuh prihatin dan memeras diri. Berjuang untuk
kesejahteraan dunia dengan segala isinya. Menuju ke arah
masyarakat yang tata tentram kerta raharja.
Dengan tanpa sadarnya Mahesa Jenar mengangguk-
anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan isi tembang itu.
Demikianlah hendaknya manusia. Namun agaknya manusia yang
demikian itu masih harus dilahirkan. Manusia yang dapat mengenal
dengan seksama segala bentuk-bentuk nafsu, serta
menghindarinya, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin.
Tetapi jelas dikatakan oleh tembang itu, bahwa manusia itu tidak
menunggu datangnya tata masyarakat yang diidamkan, tetapi
manusia yang demikian harus berjuang untuk mencapainya.
Mahesa Jenar meraba dadanya. Di sinilah kadang-kadang letak
persimpangan jalan yang berbahaya. Harus ditarik garis yang jelas
antara berjuang untuk masyarakat yang dicitakan, dengan unsur-
unsur nafsu yang menyusup kedalamnya tanpa disadari. Dalam
pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar memandang jauh kepada dirinya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 4 of 93
sendiri. Ia telah sekian lama berjuang untuk satu cita-cita yang
menurut keyakinannya akan dapat mendatangkan keteguhan
pemerintahan yang seterusnya akan dapat menciptakan
masyarakat yang dicita-citakan. Dan bersyukurlah ia bahwa
sampai saat ini samasekali tidak timbul nafsu di dalam dirinya,
seperti golongan hitam yang juga sedang berjuang dengan tujuan
yang sama. Menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten. Tetapi bagi mereka, penemuan itu samasekali bukan
suatu perjuangan untuk menegakkan pemerintahan, tetapi bahkan
mereka menganggap bahwa siapa yang menemukan sepasang
keris itu, akan mampu menguasai golongannya dan dengan
kekuatan mereka, mereka dapat merebut tahta Demak.
Untunglah bahwa keris itu sudah dapat direnggutnya dari
tangan mereka, meskipun kini keris itu masih harus dicarinya
kembali. Mahesa Jenar menegakkan kepalanya, untuk mencoba
mengetahui dari manakah suara tembang itu dilontarkan. Tetapi
untuk beberapa lama ia tidak berhasil. Suara itu seolah-olah
bergulung-gulung dari segala arah membentur dan melontar
kembali dari tebing-tebing bukit di sekitarnya. Bahkan akhirnya ia
merasa, bahwa ia tak akan berhasil menemukannya. Dengan
demikian Mahesa Jenar dapat kesimpulan bahwa suara tembang
itu telah dilontarkan oleh seorang sakti yang sengaja
membingungkannya. Bahkan dalam penilaiannya orang itu pasti
lebih sakti dari Ki Ageng Pandan Alas. Dalam tingkatannya
sekarang, ia samasekali tidak akan mengalami banyak kesulitan
untuk dapat berdiri sejajar dengan orang tua itu. Tetapi orang ini,
yang berdendang dengan asiknya, bukanlah orang sejajarnya.
Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah
abu-abu yang baru saja menampakkan diri di hadapannya. Dengan
demikian ia menduga bahwa orang itulah yang telah melagukan
tembang dimalam yang sunyi itu. Maka, kemudian Mahesa Jenar
mengambil keputusan untuk tidak mencarinya lebih lanjut. Sebab
usahanya pasti akan sia-sia saja, sebelum orang itu atas kehendak
sendiri menunjukkan tempatnya berada.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 5 of 93
Tetapi yang tumbuh kemudian didalam dada Mahesa Jenar
adalah dugaan-dugaan yang bersimpang siur tentang orang itu.
Orang yang aneh dalam pandangan matanya. Meskipun dalam
sepintas lalu, orang itu benar-benar mirip dengan bentuk
Pasingsingan, namun ia pasti bahwa orang itu samasekali bukan
Pasingsingan. Kalau orang itu juga berjubah abu-abu dan juga
memakai wajah yang bukan wajah aslinya, mungkin hanyalah
suatu kebetulan saja, meskipun kebetulan yang masih meragukan.
Dengan teka-teki yang masih berkecamuk di kepalanya itulah
Mahesa Jenar melangkah kembali ke padukuhan Gedangan. Di
sepanjang perjalanannya, ia samasekali tak dapat melepaskan diri
dari persoalan orang berjubah abu-abu itu.
Ketika ia sampai di padukuhan, dilihatnya di rumah Wiradapa
masih lengkap duduk mengelilingi pelita minyak, Kebo Kanigara
beserta anaknya di belakangnya, Wanamerta yang tampak sangat
kelelahan, serta beberapa orang lainnya, yang kemudian
mempersilahkan Mahesa Jenar untuk duduk di antara mereka.
Kepada mereka itu Mahesa Jenar minta untuk tetap bersiaga
dan memberikan beberapa petunjuk apabila besok pertempuran
masih harus dilakukan. Setelah itu maka segera ia minta diri untuk
beristirahat, malahan ia menasehatkan kepada orang-orang lain
untuk beristirahat pula.
Setelah Mahesa Jenar membersihkan dirinya, terasalah bahwa
tubuhnya menjadi segar kembali. Apalagi setelah ia mengisi perut
sekadarnya. Tubuhnya yang telah diperas sehari penuh itu merasa
sehat dan kekuatannya telah utuh seperti semula.
Sebelum ia memasuki ruangannya di bagian depan rumah
Wiradapa, mula-mula ia perlu menengok keadaan Rara Wilis.
Ketika ia masuk dilihatnya Rara Wilis duduk bercakap-cakap
dengan Widuri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 6 of 93
Melihat kedatangan Mahesa Jenar, segera Widuri berdiri untuk
meninggalkan ruangan itu, tetapi cepat Wilis menangkap
lengannya. “Mau kemana kau Widuri?”
“Tidur, Bibi,” jawab gadis itu.
“Bukankah kau akan menemani aku malam ini?” sahut Rara
Wilis.
Widuri berhenti. Tetapi ia termangu-mangu.
“Bukankah kau sudah berjanji…?” Wilis meneruskan.
Widuri mengangguk.
“Nah, kalau begitu, kau tidak boleh pergi,” sambung Mahesa
Jenar.
Widuri tidak jadi meninggalkan ruangan itu, tetapi ia duduk
kembali disamping Rara Wilis.
“Silahkan masuk Kakang...” Wilis mempersilahkan. Tetapi
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan terlalu
lama tinggal di ruang itu, sebab ia perlu beristirahat.
“Aku hanya ingin melihat apakah kau telah baik kembali Wilis,”
kata Mahesa Jenar.
“Pangestumu Kakang,” jawab Wilis.
“Syukurlah dan tidurlah. Siapa tahu tenaga kita masih
diperlukan besok atau lusa,” sambung Mahesa Jenar. Setelah itu
segera ia minta diri untuk pergi ke ruang tidurnya
Di dalam ruangan itu dilihatnya lampu minyak yang terayun-
ayun dipermainkan angin yang menyusup lubang-lubang dinding
bambu. Cahaya yang dilontarkan membuat bayang-bayang yang
selalu bergerak-gerak pula. Sebuah bayangan hitam yang terlukis
di dinding tampak seperti sebuah lukisan hitam yang berguncang-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 7 of 93
guncang. Itulah bayang-bayang Arya Salaka yang masih saja
duduk dipembaringannya memeluk lutut.
Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar masuk, segera ia
membetulkan letak duduknya. Wajahnya masih nampak suram
setelah mengalami peristiwa yang membentur langsung lubuk
hatinya yang paling dalam, bahkan agaknya mandi pun Arya
Salaka masih belum sempat.
Melihat keadaan Arya Salaka, hati Mahesa Jenar terketuk
kembali. Ia tahu apakah yang dirasakan oleh anak murid satu-
satunya itu. Karena itu maka ia mencoba untuk meredakannya.
“Katanya Jangan banyak kau pikirkan apa yang sudah kau lakukan
Arya. Menurut pendapatku kau telah melakukan hal yang sebaik-
baiknya.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Meskipun tampak
perubahan di wajahnya, tetapi tidaklah begitu jelas. Namun ketika
ia menyahut, terasalah bahwa ia belum yakin akan kata-kata
gurunya. “Paman, tidakkah aku mengecewakan Paman?”
“Kenapa aku harus kecewa Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak dapat membunuhnya. Tidak dapat,” jawab Arya
sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya.
“Justru karena itu aku mengagumimu,” potong Mahesa Jenar.
Arya memandang gurunya dengan mata yang memancarkan
keraguan. Namun ia kenal betul watak gurunya. Kalau ia berkata
demikian, maka hatinyapun akan berkata demikian pula. Karena
itu ia menjadi terharu. Bahkan mata itu kemudian menjadi
berkilat-kilat memantulkan sinar pelita karena air yang
membayang didalamnya.
“Sudahlah Arya. Jangan kau terbenam dalam angan-angan.
Bagiku kau telah bertindak benar dan terpuji. Sekarang
beristirahatlah. Mandilah supaya kau menjadi segar. Dan adakah
kau telah makan?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 8 of 93
Arya Salaka menggeleng.
“Nah, pergilah ke belakang. Mandi dan mintalah kepada Bibi
Wiradapa makan secukupnya. Siapa tahu besok kita masih harus
bekerja keras.”
Arya tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan dengan gontai
melangkah keluar ruangan.
Dengan segar Arya pergi ke perigi. Sesaat kemudian
terdengarlah gerit timba yang digerakkan oleh Arya, disusul
dengan suara guyuran air yang dingin segar.
Dalam pada itu, ketika Arya sedang menikmati sejuknya air,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah bayangan orang berjubah yang
berdiri di belakangnya. Arya menjadi terkejut dan agak bingung.
Dalam keadaannya sekarang, selagi ia tidak berpakaian, sulitlah
agaknya untuk melawan seandainya orang itu tiba-tiba
menyerang. Meskipun demikian ia harus bersiaga. Tetapi sampai
beberapa lama orang itu berdiri diam mematung. Dalam pada itu
Arya ingin mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Cepat ia
meloncat untuk menyambar, setidak-tidaknya kainnya. Namun ia
menjadi terkejut pula ketika orang itu sudah menghadangnya
dengan samasekali tak diketahuinya, kapan ia melontarkan diri.
Karena hal itu, segera Arya Salaka mengetahui bahwa orang yang
berjubah itu pasti seorang tokoh sakti. Tiba-tiba ia teringat
gurunya pernah berceritera tentang seorang yang berjubah abu-
abu dan bertopeng jelek. Yaitu Pasingsingan. Apakah orang ini
Pasingsingan, guru Lawa Ijo? Tetapi orang ini samasekali tidak
mempergunakan topeng yang jelek, meskipun wajahnya
tampaknya juga tidak wajar. Dengan demikian Arya Salaka
menjadi berdebar-debar.
Tiba-tiba orang itu melangkah maju, setapak demi setapak,
seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus. Dalam
keadaan itu, Arya Salaka tidak dapat berbuat lain daripada
bersiaga untuk melawan. Bahkan kemudian ia lupa akan keadaan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 9 of 93
dirinya yang samasekali tidak berpakaian itu. Ia tidak mau mati di
tangan seorang yang bagaimanapun juga saktinya tanpa
perlawanan.
Maka ketika orang yang berjubah itu sudah sedemikian dekat,
Arya pun telah siap melakukan hal-hal yang perlu untuk
melindungi dirinya. Dalam keremangan malam Arya melihat orang
itu perlahan-lahan menjulurkan tangannya. Demikian perlahan-
lahan sehingga agaknya itu bukanlah suatu serangan. Namun Arya
tidak mau tertipu. Iapun perlahan-lahan surut beberapa langkah.
Tetapi kemudian orang itu meloncat dengan cepatnya untuk
menangkap pinggangnya. Arya
yang telah siap itupun segera
meloncat menghindar dan bahkan
dengan sekuat tenaga ia
membalas menyerang dengan
kakinya ke arah lambung orang
yang belum dikenalnya itu. Kalau
saja pada saat ia bertempur
melawan orang-orang Pamingit,
tidak berada di sayap kanan, maka
setidak-tidaknya ia dapat melihat
orang yang berjubah abu-abu yang
sekarang berdiri di hadapannya
itu. Namun seandainya demikian
iapun pasti tidak mau diserang
tanpa sebab dan pasti akan
melawannya.
Tetapi anehnya, meskipun ia telah merasa menghindarkan diri
dan bahkan menyerang orang itu dengan sekuat tenaga, namun
agaknya bagi orang berjubah abu-abu itu, gerakannya samasekali
tidak berarti. Sehingga apa yang diketahuinya, pinggangnya
benar-benar telah dapat ditangkap. Tangan orang itu terasa
demikian kerasnya seperti sebuah himpitan besi yang tak dapat
direnggangkan. Demikianlah Arya Salaka dalam sekejap telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 10 of 93
hampir tak berdaya. Meskipun kedua tangannya bebas, namun
karena himpitan itu terasa seolah-olah tenaganya lenyap, seperti
tulang belulangnya terlepas dari tubuhnya. Tetapi Arya bukan
orang yang lekas berputus asa. Dengan sisa tenaganya ia melawan
sejadi-jadinya. Kaki dan tangannya bergerak sedapat-dapat untuk
menyerang. Bahkan ia berusaha dengan kedua jari-jari tangannya
menyerang mata orang itu. Namun usahanya samasekali tak
berarti.
Tangan yang menjepit pinggangnya itu semakin lama terasa
semakin keras dan sejalan dengan itu tenaganya menjadi semakin
surut semakin surut. Bahkan akhirnya tubuhnya menjadi tidak
lebih dari selembar kain yang samasekali tidak dapat digerakkan
atas kemauan sendiri.
Demikianlah Arya Salaka kini tidak dapat berbuat lain daripada
menunggu apa yang bakal terjadi. Hanya matanyalah yang dapat
memancarkan cahaya kemarahan yang meluap-luap. Sedangkan
mulutnya samasekali tidak berhasil mengeluarkan suara. Meskipun
dalam keadaan yang demikian kesadarannya samasekali tidak
terganggu. Ia dapat merasa dan mengetahui apa yang terjadi atas
dirinya.
Setelah Arya tidak mampu untuk berbuat apapun, maka
kemudian orang itu melepaskan jepitannya perlahan-lahan.
Kemudian dengan kedua tangannya Arya dipapahnya kedalam
kelam, dibawah daun-daun yang lebat rimbun di halaman belakang
rumah Wiradapa.
Di tempat itu perlahan-lahan Arya diletakkan berbaring.
Seperti seorang bayi, bahkan lebih dari itu, sebab ia samasekali
tidak mampu menggerakkan jarinya sekalipun.
Kemudian ia melihat orang itu berdiri tegap di sampingnya.
Diangkatnya kepala sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Namun yang terdengar hanyalah kemerisik daun yang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 11 of 93
digoyangkan angin, serta bunyi-bunyi jangkrik bersahutan dengan
suara bilalang. Sedang malam semakin bertambah malam jua.
Padukuhan Gedangan telah terbenam dalam kesunyian yang
lelap. Hampir setiap orang telah nyenyak tertidur, kecuali
beberapa orang yang bertugas ronda. Mahesa Jenar yang telah
membaringkan dirinya samasekali tidak curiga tentang keadaan
Arya Salaka. Ketika ia sudah tidak mendengar guyuran air, ia
hanya mengira bahwa Arya sedang pergi ke dapur untuk minta
makan kepada Nyai Wiradapa. Karena itulah maka ia samasekali
tidak memperhatikannya lagi. Dalam pada itu, malahan kenangan
Mahesa Jenar kembali melontar kepada orang yang berjubah abu-
abu yang telah menyelamatkan laskarnya dari kehancuran. Ia
mencoba untuk menghubung – hubungkan orang itu dengan
orang-orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang aneh-
aneh dan orang-orang yang telah menyisihkan diri dari pergaulan.
Diingatnya nama-nama Radite dan Anggara. Kedua-duanya adalah
murid Pasingsingan, yang bahkan Radite adalah orang yang
sebenarnya berhak mempergunakan gelar Pasingsingan beserta
tanda kebesarannya. Namun sebagai manusia ia mengalami
kekhilafan, sehingga akhirnya ia merasa bahwa hidupnya seolah-
olah tak berarti lagi. Ia merasa bahwa setiap dosa yang dibuat oleh
Umbaran, orang yang kemudian memiliki tanda-tanda serta
pusaka-pusaka Pasingsingan adalah akibat dari dosanya.
Tetapi dalam penilaian Mahesa Jenar, Radite dan Umbaran
tidaklah jauh terpaut, bahkan mungkin masih berada dalam
deretan yang sejajar dengan gurunya, dengan Ki Ageng Sora
Dipayana, dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga dengan
demikian ia tidak akan dapat melampaui Kebo Kanigara. Tetapi
orang yang datang itu adalah orang yang terpaut banyak
daripadanya, yang telah menemukan inti dari ilmu perguruan
Pengging. Sehingga dengan demikian orang itu pasti bukan salah
seorang di antara Radite maupun Anggara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 12 of 93
Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Arya
Salaka. Anak itu sudah terlalu lama pergi. Terlalu lama bagi
seorang yang hanya mandi dan makan saja.
Setelah ia menyabarkan diri beberapa saat lagi, akhirnya
perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin tidak enak. Karena itu,
iapun bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam ruang
tidurnya. Sekali dua kali ia masih mencoba untuk menanti saja
kedatangan anak itu, tetapi kemudian ia menjadi tidak sabar.
Bahkan kemudian ia menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang
tidak wajar. Untung kalau saja anak itu pergi berjalan-jalan untuk
menenangkan dirinya.
Maka dengan perlahan-lahan agar tidak mengejutkan orang-
orang lain yang tertidur nyenyak, Mahesa Jenar berjalan ke
halaman belakang. Dadanya berdesir ketika ia melihat lampu
dapur telah padam. Sehingga jelas bahwa anak itu tidak ada di
sana. Kemudian Mahesa Jenar pergi ke perigi, meskipun ia
menduga bahwa anak itu sudah tidak ada di sana. Tetapi tiba-tiba
dadanya bergelora cepat sekali. Ia menemukan pakaian Arya
lengkap diatas sebuah batu di tepi sumur itu. Pakaiannya saja. Lalu
kemanakah anak itu pergi? Pasti tidak mungkin kalau Arya sengaja
meninggalkan pakaian di sana, meskipun seandainya ia berganti
dengan pakaian lain. Karena itu Mahesa Jenar mendapat
kesimpulan bahwa Arya telah mengalami suatu hal yang tidak
wajar, yang bahkan mungkin berbahaya. Menilik keadaannya,
serta tidak adanya sesuatu yang didengarnya, maka Mahesa Jenar
menjadi berteka-teki. Ia menjadi heran kepada dirinya sendiri
ketika tanpa sadarnya ia menjengukkan kepalanya ke dalam
perigi, ke dalam lingkaran yang hitam kelam. Seolah-olah ia
sedang mencari Arya Salaka di sana. “Suatu pikiran gila,” gerutu
Mahesa Jenar. “Tak mungkin Arya berbuat demikian, apapun yang
dihadapinya.”
Dengan demikian maka kesimpulan yang terakhir, yang
mengganggu otaknya adalah, bahwa Arya telah mendapat bahaya
dari seseorang yang jauh melampaui ketangguhan anak muda itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 13 of 93
Dengan kesimpulannya itu Mahesa Jenar menjadi marah sekali.
Siapakah yang telah berani mengganggu murid satu-satunya itu?
Murid yang diharapkan untuk dapat mewarisi ilmu serta
mengembangkannya. Bahkan murid yang keselamatannya
menjadi tanggung jawabnya atas permintaan ayah anak itu
sendiri.
Mahesa Jenar mencoba untuk menemukan jawabnya. Namun
ia menjadi bingung. Tidak mungkin kalau hal itu dapat dilakukan
oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun kedua Uling itu
menyerangnya bersama, namun pasti akan terjadi perkelahian
yang cukup lama untuk memberinya kesempatan mendengar dan
membantu. Tetapi apa yang terjadi adalah sangat mengagumkan.
Anak itu agaknya begitu saja hilang sebelum ia sempat berbuat
sesuatu.
Darah Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora. Untuk
beberapa saat ia berdiri diatas kedua kakinya yang renggang.
Wajahnya sedikit terangkat. Dicobanya untuk menangkap setiap
suara yang berdesir di sekitarnya. Namun ia tidak mendengar
sesuatu. Juga matanya yang tajam, setajam mata burung hantu
itupun tidak dapat menangkap sesuatu yang mencurigakan.
Karena itu ia menjadi gelisah. Kemana agaknya Arya Salaka harus
dicari…?
Sambil berpikir keras, Mahesa Jenar demikian saja melangkah
meninggalkan tempat itu. Yang mula-mula dilakukan adalah
berjalan berkeliling halaman. Kalau-kalau ada hal-hal yang
mencurigakan yang dapat dipakainya untuk bahan pencariannya.
Dalam hal ini, ia samasekali tidak ingin mengganggu orang lain. Ia
ingin mencarinya seorang diri. Baru apabila ia tidak berhasil, ia
akan minta pertolongan Kebo Kanigara.
Tetapi tiba-tiba, ketika ia baru mendapat separo dari
perjalanan kelilingnya itu ia terhenti. Perlahan-lahan didengarnya
nafas seseorang yang mengalir dengan teratur. Mahesa Jenar
mencoba untuk meyakinkan pendengarannya. Perlahan-lahan ia
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 14 of 93
melangkah setapak maju. Dan benarlah. Ia telah mendengar nafas
seseorang.
Menilik tarikannya yang teratur itu, Mahesa Jenar dapat
menduga bahwa di halaman itu terdapat seseorang yang tertidur.
Karena itu ia menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Adakah Arya
Salaka yang tertidur di situ…? Anehlah kalau demikian.
Bagaimanapun letih serta kantuknya, tetapi tidak mungkin bahwa
ia tidak sempat berpakaian, lalu begitu saja menjatuhkan diri dan
tertidur di situ.
Karena itu, ia tidak membiarkan dirinya mendapatkan sesuatu
hal yang tak dikehendaki. Jangan-jangan hal yang serupa telah
menyeret Arya kedalam bencana, karena ia kurang hati-hati atas
suara desah nafas yang dikiranya orang yang sedang tertidur
nyenyak.
Dengan demikian malahan Mahesa Jenar menjadi bersiaga
penuh. Setiap saat ia dapat bertindak. Bahkan setiap saat, apabila
ia benar-benar berhadapan dengan bahaya yang besar, ilmunya
Sasrabirawa siap untuk dilontarkan.
Setelah beberapa saat ia menunggu dengan tidak ada
perubahan apapun, kembali ia maju setapak. Sekali lagi setapak
demi setapak dengan penuh kewaspadaan.
Akhirnya suara desah nafas itu sudah sedemikian dekatnya.
Dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar bergerak beberapa jengkal
maju. Matanya tajam dipergunakannya sebaik-baiknya menembus
daerah yang gelap pekat karena daun-daun yang rimbun.
Perlahan-lahan seolah-olah muncul dari daerah yang hitam
sesosok tubuh yang terbujur diam. Melihat tubuh itu Mahesa Jenar
menjadi berdebar-debar. Sejengkal lagi ia bergeser maju. Dengan
demikian tubuh yang nampak lamat-lamat itu menjadi semakin
jelas. Dan apakah yang nampak kemudian sangat
mengejutkannya. Ketika tubuh itu menjadi jelas segera Mahesa
Jear dapat mengenalnya. Tubuh itu adalah tubuh Arya Salaka. Dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 15 of 93
dari tubuh itu pulalah Mahesa Jenar dapat mendengar desah
nafasnya yang teratur. Nafas orang yang sedang tidur nyenyak.
Meskipun tubuh yang terbaring tanpa pakaian itu adalah Arya
Salaka namun Mahesa Jenar tidak tergesa-gesa mendekatinya. Ia
masih belum tahu pasti, apakah tidak ada hal-hal yang berbahaya.
Baru setelah beberapa saat tidak terdengar sesuatu selain nafas
Arya, Mahesa Jenar melangkah perlahan-lahan mendekati. Ketika
ia meraba tubuh anak itu, terasa bahwa tubuh itu tetap hangat
seperti biasa.
Demikian tubuh Arya tersentuh tangan Mahesa Jenar,
tampaklah anak itu terkejut. Cepat ia meloncat bangkit dan
bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika
yang dilihat berdiri dihadapannya adalah Mahesa Jenar, iapun
segera mengendorkan perasaannya.
Dalam keadaan yang penuh dengan tanda tanya. Mahesa Jenar
berkata, “Kau tertidur Arya?”
Arya menganggukkan kepalanya.
“Tetapi kenapa pakaianmu kau tinggalkan…?” Mahesa Jenar
meneruskan.
Arya terkejut mendengar teguran itu. Ia baru merasa bahwa
ia masih belum mengenakan pakaiannya. Karena itu segera ia
meloncat berlari ke perigi. Mahesa Jenar menjadi semakin heran.
Namun kemudian ia pasti, bahwa sesuatu telah terjadi.
Setelah Mahesa Jenar sekali lagi memperhatikan keadaan
sekelilingnya, serta tidak ada sesuatu yang mencurigakan, iapun
segera berjalan mengikuti arah langkah Arya Salaka. Sampai di
tepi sumur, Arya segera menyambar pakaiannya. Ia tidak sempat
membersihkan debu serta tanah lembab yang melekat pada
tubuhnya.
Setelah Arya lengkap berpakaian, Mahesa Jenar tidak segera
bertanya tentang apa yang telah terjadi atasnya, tetapi diajaknya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 16 of 93
Arya untuk masuk kembali ke dalam ruang tidurnya, setelah Arya
menolak membangunkan Nyai Wiradapa untuk minta disediakan
makan buatnya.
Baru setelah mereka duduk di pembaringan, Mahesa Jenar
segera bertanya kepada anak muridnya, apakah sebabnya anak itu
telah melakukan suatu pekerjaan yang aneh. Tidur di halaman
belakang, di bawah daun-daun yang lebat rimbun serta samasekali
tidak berpakaian.
Arya sendiri mula-mula heran, bahwa ia telah tertidur di
halaman belakang tanpa pakaian samasekali. Diingatnya kembali
apa yang telah terjadi atasnya. Perlahan-lahan sekali, semakin
lama menjadi semakin jelas tampak kembali apa yang pernah
dialaminya. Maka diceriterakannya apa saja yang terjadi atas
dirinya. Pada saat ia sedang mandi, dan tiba-tiba muncullah
seorang berjubah menangkapnya.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Lalu sambil
mengangguk-angguk iabertanya, “Apa yang dilakukan atasmu
ketika kau telah terbaring di bawah daun-daun yang lebat itu, dan
adakah ia berkata sesuatu kepadamu?”
Setelah mengingat-ingat sebentar Arya menjawab, “Ya,
Paman... Memang ada yang dikatakan kepadaku. Ketika itu
pendengaranku sudah menjadi lamat-lamat. Sebab pada saat itu
terasa bahwa kantukku tiba-tiba menjadi tidak tertahan lagi.” Arya
berhenti sebentar, lalu ia meneruskan. “Mula-mula dipijitnya
seluruh tubuhku. Dari ubun-ubun sampai ke ujung ibu jari kakiku.
Mula-mula terasa betapa sakitnya. Setiap jari-jari orang itu
menyentuh kulitku terasa seolah – olah seluruh tubuhku menjadi
nyeri tak terhingga. Namun aku samasekali tidak bisa
mengucapkan sepatah katapun, bahkan berdesispun tidak. Tetapi
semakin lama perasaan sakit itu menjadi semakin berkurang.
Bahkan akhirnya pijitan itu terasa nyaman sekali. Sehingga aku
menjadi ngantuk bukan buatan. Sesaat sebelum aku tertidur aku
masih mendengar orang itu berkata, “Arya Salaka, kau telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 17 of 93
terlalu lama menyiksa tubuhmu dengan pekerjaan-pekerjaan
berat. Namun kau samasekali tidak memelihara urat-urat darah
serta otot-ototmu. Dengan demikian kau telah menyia-nyiakan
sebagian dari tenaga dahsyat yang sebenarnya dapat kau ikut
sertakan dalam setiap lontaran tenaga.” Sekali lagi Arya berhenti,
kemudian, “Sesudah itu aku tidak ingat apa-apa lagi sampai
Paman membangunkan aku.”
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera Arya.
Ia memang pernah mendengar suatu ilmu yang dapat
dipergunakan memperkokoh tubuh seseorang serta memperbesar
tenaganya denga membuka segenap saluran yang ada di dalam
tubuh. Memperlancar jalan darah serta memperbaiki letak otot –
ototnya sehingga pada orang itu tidak lagi diperlukan tenaga untuk
mengatasi kesulitan – kesulitan di dalam tubuh sendiri. Dengan
demikian segenap cadangan tenaga apabila diperlukan dapat
dipergunakan seluruhnya dan disalurkan lewat bagian-bagian
tubuh yang dikehendaki. Tetapi masih belum jelas, apakah orang
itu telah memperlakukan Arya demikian atau sebaliknya, membuat
beberapa rintangan di dalam tubuhnya sehingga dalam pelontaran
tenaga akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan. Karena itu
segera ia bertanya, “Arya, bagaimanakah rasanya tubuhmu
sekarang?”
Dengan tidak sesadarnya, Arya mengamat-mati tubuhnya
sendiri. Kakinya, tangannya, lengannya dan jari-jarinya. Semula ia
samasekali tidak memperhatikan, apakah ada perubahan –
perubahan di dalam dirinya. Tetapi ketika Mahesa Jenar bertanya
kepadanya, terpaksa ia memperhatikan setiap perasaan yang lain
di dalam dirinya. Tentang peredaran darahnya, detak jantungnya
serta sendi – sendi anggota badannya.
Tiba-tiba saja ia merasa betapa segar darah yang mengalir di
dalam tubuhnya, merambat sampai kesegenap ujung rambut di
seluruh badannya. Setiap anggota badannya terasa menjadi
betapa ringannya. Dan dengan demikian ia dapat bergerak
bertambah cepat dan lincah. Detak jantungnya yang lunak teratur
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 18 of 93
serta sendi-sendi anggota badannya yang licin, namun seakan-
akan bertambah kokoh.
Demikianlah akhirnya ia berkesimpulan bahwa kini ia telah
mendapat suatu perasaan yang luar biasa. Yang bahkan ia tidak
tahu bagaimana harus mengatakan. Sehingga yang dapat
diucapkan hanyalah beberapa kata saja. “Tubuhku menjadi
bertambah baik Paman.”
Jawaban itu sendiri tidak begitu meyakinkan bagi Mahesa
Jenar. Tetapi wajah Arya yang berseri, caranya menggerakkan
tangan dan kakinya, serta betapa tampak anak itu keheran-
heranan sendiri, adalah jawaban yang cukup jelas. Jawaban yang
telah mengandung suatu ceritera bahwa tubuh Arya kini telah
berbeda dengan tubuh Arya beberapa saat yang lalu. Anak itu
agaknya kini telah memiliki kesempurnaan tata nadi dalam
tubuhnya. Mahesa Jenar sendiri merasa bahwa selama ini ia telah
memaksa anak itu bekerja keras, berlatih, berkelahi, berjalan dan
berlari setiap hari. Namun ia tidak dapat melakukan hal yang lain
bagi tata nadi anak itu. Meskipun ia sendiri dahulu pernah juga
mempelajari beberapa pengetahuan mengenai urat dan jalan
darah, namun apa yang dapat dilakukan tidak lebih dari daripada
saling memijit sesama prajurit apabila mereka sedang kelelahan.
Baik didalam latihan-latihan maupun didalam pertempuran-
pertempuran yang sebenarnya.
Tetapi tidaklah demikian yang terjadi atas Arya. Orang yang
berjubah itu tidak sekadar memijit Arya supaya Arya tidak lagi
merasa lelah. Lebih daripada itu. Orang itu telah menolong Arya
untuk dapat mengerahkan segenap tenaga yang tersimpan
didalam tubuhnya yang tegap kekar itu. Meskipun mula-mula
Mahesa Jenar merasa cemas bahwa yang terjadi adalah
sebaliknya, namun terhadap orang yang berjubah abu-abu yang
belum dikenalnya itu, ia telah menumpahkan kepercayaan bahwa
tidaklah mungkin ia akan berbuat jahat terhadap Arya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 19 of 93
Bersamaan dengan itu, makin kuatlah dugaan yang telah
tumbuh di dalam dadanya, bahwa orang itupun samasekali tidak
bermaksud jahat atas perbuatannya mengambil kedua keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru, meskipun akibat
hilangnya kedua keris itu sangat dahsyat atas tanah perdikan
dilereng bukit Telamaya itu.
Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Namun tak
habis-habisnya ia mengagumi tubuh muridnya yang sedang
menginjak dewasa itu. Selama ini meskipun hampir setiap saat,
siang dan malam, ia tidak pernah terpisah darinya, tetapi seolah-
olah baru sekarang ia melihat alangkah gagahnya anak ini. Anak
Ki Ageng Gajah Sora, yang dalam usianya yang masih sangat
muda itu telah dapat mencerminkan kebesaran jiwa yang
diwarisinya dari orang tuanya, serta pendidikan yang diberikannya.
Arya yang merasa selalu dipandangi oleh gurunya, menjadi
tertunduk. Namun ia merasa bahwa gurunya samasekali tidak
menyesal atas kejadian yang baru saja dialami. Karena itu iapun
tidak perlu mencemaskannya lagi. Bahkan perasaan yang segar
yang memancar didalam tubuhnya, telah menumbuhkan suatu
harapan dalam dirinya. Harapan atas masa depan yang lebih baik.
Sedang yang tersangkut di dalam otak Arya Salaka kemudian
adalah pertanyaan-pertanyaan tentang orang yang berjubah itu.
Orang yang dengan serta merta menangkapnya, dan
menjadikannya tertidur di dalam semak-semak. Karena itu
kemudian ia bertanya kepada gurunya, “Paman, adakah Paman
mengenal orang yang berjubah itu?”
Mahesa Jenar menggeleng. “Tidak,” jawabnya. “Tetapi aku
pernah melihatnya beberapa tahun yang lalu di Banyubiru.”
“Di Banyubiru…?” Arya bertambah heran.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar pendek.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 20 of 93
Kemudian kembali mereka berdiam diri. Dingin malam
semakin tajam menusuk sampai ke tulang sungsum.
“Tidurlah Arya,” desis Mahesa Jenar kemudian sambil
membaringkan dirinya. Dan sejenak kemudian mereka berdua
telah lelap ditelan oleh sunyi malam. Arya Salaka tertidur dengan
sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Ia tidak merasa lagi
punggungnya menjadi gatal-gatal oleh serangga yang
menggigitnya. Serangga yang terbawa oleh tanah lembab ketika
ia terbaring di semak-semak halaman belakang. Sedang Mahesa
Jenar pun kemudian tertidur karena kelelahan.
Padukuhan Gedangan kini benar-benar telah terbenam dalam
suasana yang hening. Beberapa orang peronda yang berjalan hilir-
mudik di sudut-sudut desa kadang-kadang harus berdesis
menahan angin malam yang mengalir lembut, membawa udara
pegunungan yang dingin.
Ketika di timur tampak fajar mulai membayangkan cahaya
kemerahan, datanglah beberapa orang yang dikirim untuk
menyelidiki keadaan pasukan lawan. Dari mereka, pimpinan ronda
mendapat laporan bahwa pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidur
sudah tidak lagi berada di perkemahan mereka. Agaknya mereka
telah merasa, bahwa meskipun mereka meneruskan pertempuran,
namun mereka pasti tidak akan berhasil. Karena itu, lebih baik
mereka menarik diri.
Karena laporan itulah, pasukan Gedangan tidak perlu lagi
mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan yang akan
datang.
Meskipun tidak terdengar tanda-tanda bahaya, namun Mahesa
Jenar dan Arya Salaka, bangun pada saatnya. Pada saat terang-
terang tanah. Ketika mereka keluar dari ruang tidur, mereka
melihat beberapa orang telah berada di halaman depan. Tetapi
demikian Mahesa Jenar melihat sikap mereka, segera Mahesa
Jenar mengetahui bahwa tidak ada lagi bahaya yang mengancam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 21 of 93
pedukuhan itu. Setidak-tidaknya untuk waktu-waktu yang cukup
untuk menyembuhkan luka-luka yang diderita oleh laskar
Gedangan dalam pertempuran kemarin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar memerintahkan juga laskar
Gedangan bersiap untuk melakukan pembersihan daerah yang
kemarin dipergunakan sebagai ajang pertempuran.
Demikianlah sehari itu, yang dilakukan oleh orang-orang
Gedangan adalah bekerja keras, mengubur mayat-mayat yang
berserak-serakan, baik dari kawan sendiri maupun dari lawan.
Ketika matahari condong ke barat, selesailah pekerjaan
mereka. Mereka kini boleh kembali kepada keluarga masing-
masing, meskipun tetap untuk tidak meninggalkan kewaspadaan.
Beberapa orang secara bergilir masih harus tetap berada di gardu-
gardu penjagaan. Siang maupun apabila nanti malam datang.
Dalam keadaan yang demikian terasalah, betapa akibat
pertempuran telah merampas kegembiraan seluruh penduduk
Gedangan. Apalagi yang terpaksa melepaskan salah seorang
anggota keluarga mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain
daripada menyerahkan beberapa orang terbaik dari pedukuhan
mereka sebagai tawur dalam perjuangan mempertahankan hak
dan ketenteraman hidup mereka untuk seterusnya.
Ketika pekerjaan mereka telah selesai seluruhnya, barulah
mereka dapat menarik nafas lega. Demikian juga Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri dan Arya Salaka. Mereka kini
telah dapat berkumpul bercakap-cakap dengan tenang. Namun
agaknya Arya tidak begitu tertarik duduk bercakap-cakap di antara
mereka. Agaknya beberapa masalah masih selalu
mengganggunya. Karena itu ia minta diri untuk berjalan-jalan
menikmati cahaya matahari sore. Selain Arya Salaka, ternyata
Widuri pun lebih senang berjalan-jalan dan berlari-lari diluar.
Sehingga dengan demikian, ia minta diri pula untuk ikut serta
bersama Arya Salaka bermain-main.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 22 of 93
Demikianlah mereka berdua berjalan menyusur jalan-jalan
pedukuhan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang Widuri minta
Arya Salaka berceritera tentang dirinya, tentang pengalamannya
dan tentang cita-citanya. Sebaliknya kadang-kadang ia bercerita
tentang segala sesuatu yang disenanginya. Tentang burung –
burung yang terbang bebas di udara. Tentang bunga-bunga yang
mekar di halaman. Dan kadang-kadang dengan penuh keingin-
tahuan, Widuri menanyakan tentang daerah-daerah yang jauh di
seberang punggung-punggung bukit, daerah dimana langit dan
bumi seolah-olah berpadu dalam satu garis yang membujur
panjang sekali.
Dalam percakapan yang asik itu Arya selalu berusaha untuk
menjawab sedapat-dapatnya. Diceriterakan apa yang pernah
dilihatnya dibalik pegunungan yang berjajar seperti wayang di
pakeliran. Diceriterakannya betapa di sana tergelar pantai yang
luas serta laut tanpa tepi. Betapa nelayan di lautan bekerja keras
untuk mencari kekayaan yang tersimpan di dalam lautan.
Diam-diam Widuri menjadi kagum kepada anak muda itu.
Kagum akan pengalamannya yang luas, serta kagum akan
ketetapan hatinya memandang hari kemudian. Hari yang bakal
datang. Sebaliknya, Arya pun menjadi tertarik perhatiannya
kepada gadis itu. Dengan pertanyaan-pertanyaan ia dapat
mengetahui betapa banyak kemauan dan cita-cita yang tersimpan
didalam dadanya.
Demikianlah dengan tidak merasakan lelah, mereka berjalan
terus. Meskipun sejak pagi Arya Salaka telah memeras keringat
membantu orang-orang Gedangan membuat lubang-lubang kubur.
Namun dalam kesejukan angin senja, ia lebih senang berjalan-
jalan bersama Widuri daripada beristirahat dan bercakap-cakap
dengan orang-orang yang tidak sebayanya.
Karena itulah maka dengan tidak terasa, mereka telah
melewati ladang persawahan beberapa tonggak dari pedukuhan.
Bahkan mereka telah menyusur jalan-jalan sempit yang membujur
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 23 of 93
ke dalam daerah-daerah hutan-hutan kecil. Jalan setapak yang
selalu dilewati oleh orang-orang yang pergi mencari kayu ke dalam
hutan itu, tanpa prasangka dan raga-ragu.
Bahkan dengan wajah yang berseri-seri mereka memandang
ujung-ujung daun-daun muda yang bergoyang-goyang ditiup
angin. Cahaya matahari yang tersangkut di pucuk-pucuk dahan
kayu tampak berkilau-kilau dengan riangnya, seriang suara burung
yang berkicau mengantar datangnya senja. Selembar awan yang
menggantung di langit bergerak perlahan-lahan dihanyutkan angin
dari selatan.
Ketika kemudian dari arah barat membayang warna merah
kekuning-kuningan, Widuri memejamkan matanya sambil
bergumam, “Layung... layung senja, jangan kau pancarkan
penyakit ke mataku, pancarkan kepada anak nakal di sampingku.”
Arya Salaka tertawa mendengarnya, sahutnya, “Layung-
layung senja selalu baik kepadaku. Karena itu aku tidak pernah
sakit mata.” Kemudian Arya Salaka berdiri menatap langit-langit
yang berwarna merah itu, sambil seolah-olah berkata kepadanya,
“Layung... layung senja yang baik. Simpanlah segala macam
penyakit. Berikanlah kepada kami sejahtera dan sentosa.”
“Tidak bisa,” potong Widuri sambil tertawa. “Candhik ala tidak
bisa memberi sejahtera dan sentosa. Ia hanya punya benih
penyakit mata.”
“Penyakit matapun tidak,” sahut Arya Salaka.
Kemudian terdengarlah mereka tertawa bersama-sama.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Dari balik semak-
semak hutan yang tidak begitu lebat, mereka mendengar suara
berdesir. Telinga mereka yang sudah terlatih baik segera dapat
mengetahui bahwa suara itu suara langkah orang. Karena itu
mereka tidak bergurau lagi. Perhatian mereka tertuju kepada
telapak kaki yang terdengar semakin lama semakin dekat. Bahkan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 24 of 93
suara langkah itu samasekali tidak tertahan-tahan, sehingga
mereka menduga bahwa orang yang datang itu sengaja akan
menjumpainya tanpa bersembunyi-sembunyi.
II
Ketika mereka menoleh ke dalam semak-semak di belakang
mereka masih belum ada seseorangpun yang tampak. Suara
langkah itu masih berada di dalam semak-semak yang sudah mulai
suram. Tiba-tiba dari balik daun-daun yang lebat itu terdengar
suara orang tertawa. Mirip dengan ringkik kuda liar yang
kehausan. Widuri bukanlah seorang gadis penakut, namun
mendengar suara tertawa yang mengerikan itu ia bergeser setapak
mendekati Arya Salaka. Kecuali itu, sekaligus Arya Salaka dan
Widuri dapat mengetahui bahwa orang yang berada di dalam
semak-semak itu tidaklah hanya seorang, tetapi sedikitnya dua
orang, yang tertawa bersama-sama.
Dalam pada itu perasaan Arya Salaka menjadi tidak enak.
Seolah-olah ia mendapat suatu firasat yang kurang baik. Karena
itu iapun segera bersiap-siap untuk menanti, apakah yang bakal
terjadi.
Sesaat kemudian tampaklah daun-daun semak-semak itu
tersibak. Yang mula-mula tampak adalah tangan-tangan kasar
yang menyisihkan daun-daun yang lebat itu. Kemudian muncullah
di hadapan kedua anak muda itu dua orang yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan, berwajah runcing, dengan tepi mata yang
terangkat tinggi. Demikian mereka berdiri tegak di luar semak-
semak, kembali terdengar suara tertawa mereka yang
mengerikan, seperti ringkik kuda-kuda liar.
Melihat kedua orang itu hati Arya Salaka berdebar-debar. Ia
sudah mengenal keduanya. Beberapa kali ia pernah melihat.
Bahkan sejak ia masih tinggal di Banyubiru. Dua orang itu tidak
lain sepasang Uling dari Rawa Pening, dengan ikat pinggang yang
lebar, bergambar dua ekor Uling yang saling berlilitan.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 25 of 93
Kedua orang itu masih beberapa langkah lagi maju mendekati
Arya Salaka dan Endang Widuri.
Endang Widuri masih belum mengenal keduanya. Tetapi dalam
pertempuran yang terjadi kemarin, sepintas lalu ia melihat kedua
orang yang menyerang dari belakang itu, dan kemudian dapat
diusir oleh Mahesa Jenar. Dengan demikian iapun segera merasa
bahwa ia kini berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh.
Karena itu bagaimanapun juga, Widuri harus memperhitungkan
kemampuan diri. Dirinya sendiri dan Arya Salaka, satu-satunya
kawan yang ada di tempat itu. Tetapi karena di dalam tubuh Widuri
mengalir darah keturunan Pengging, maka ia tidak gentar
menghadapi lawan yang bagaimanapun juga.
Tetapi, yang justru menggoncangkan dadanya, bukanlah
kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya, apabila ia
benar-benar harus bertempur melawan sepasang Uling itu. Dalam
hal yang demikian, sedikit banyak ia telah menerima latihan-
latihan yang berat dari ayahnya. Setidak-tidaknya ia akan dapat
bertempur sambil menarik diri mendekati pedukuhan Gedangan.
Apalagi di dekatnya ada Arya Salaka, meskipun ia masih belum
dapat mengukur kekuatan tenaga anak muda itu dibandingkan
dengan orang-orang yang tak dikenalnya itu. Tetapi yang lebih
mengerikan baginya adalah cara kedua orang itu mengamat-amati
dirinya. Seolah-olah tubuhnya itu bulat-bulat akan ditelan mereka.
Lebih-lebih lagi ketika tampak di bibir kedua orang itu membayang
senyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba bulu kuduk Endang Widuri
berdiri serentak, meskipun ia tidak tahu maksud yang terkandung
dalam senyuman yang aneh itu.
Apalagi ketika kemudian terdengar salah seorang dari mereka
berkata, “Selamat bertemu putera Ki Ageng Gajah Sora.” Suara
yang terdengar adalah suara yang serak parau.
Arya Salaka memandang kedua orang itu dengan seksama. Ia
sudah pasti bahwa hal yang tak diinginkan akan terjadi. Maka
dengan tidak melepaskan pandangannya kepada sepasang Uling
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 26 of 93
itu ia menjawab, “Selamat bertemu sahabat. Adakah kau akan
menyampaikan kabar tentang daerahku…?”
Terdengar Uling Putih tertawa berderai. “Ya… ya… Tuan muda.
Aku membawa kabar untuk Tuan. Ketahuilah bahwa di daerah
Tuan kini terjadi malapetaka yang hebat. Adik Tuan, Sawung Sariti
dengan leluasa dapat membunuh setiap orang yang dikehendaki.
Bahkan akhirnya Tuan sendiri. Sesudah itu, tahukah Tuan apa
yang akan terjadi…? Banyubiru akan sepenuhnya jatuh ke tangan
Sawung Sariti. Tetapi itu bukanlah peristiwa yang terakhir yang
terjadi atas daerah Tuan itu. Sebab akhirnya Sawung Sariti,
maupun ayahnya Ki Ageng Lembu Sora itu akan mati juga. Kau
ingin tahu siapakah yang akan membunuhnya…?” Uling Putih
berhenti sejenak, seolah-olah ia menunggu kata-katanya itu
meresap ke dalam dada Arya Salaka. Kemudian ia meneruskan,
“Yang membunuh mereka beserta para pengikutnya adalah aku
dan adikku. Uling Kuning.” Seterusnya kembali terdengar suara
tertawa sepasang Uling yang mengerikan itu.
Dada Arya Salaka terguncang oleh kata-kata itu. Namun ia
tidak ingin segera bertindak, sebab ia tahu betapa perkasanya
kedua Uling itu.
Sesaat kemudian terdengar Uling itu berkata lagi, “Tetapi Tuan
muda, aku sudah terlalu lama menunggu. Sawung Sariti tidak juga
berhasil membunuh Tuan. Nah sekarang aku akan menolong
mempercepat rencana itu, supaya aku lebih cepat menguasai
daerah Banyubiru itu sebagai kepala daerah perdikan yang
dihormati, tidak sebagai sepasang perampok seperti sekarang itu.”
Jantung Arya Salaka terasa seperti diguncang-guncang
mendengar kata-kata Uling Putih itu. Karena itu dengan suara
gemetar karena marah ia menjawab, “Sepasang Uling yang
perkasa… aku adalah ahli waris yang sah atas daerah itu. Dengan
demikian aku tidak harus menuntut atas hak saja, tetapi aku harus
bertanggungjawab pula atas daerah itu dengan menunaikan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 27 of 93
kewajiban-kewajibanku sebaik-baiknya. Salah satu dari
kewajibanku adalah menyelamatkan daerah Banyubiru.”
Mendengar jawaban Arya Salaka, Uling Kuning tertawa keras-
keras. Katanya, “Tuan adalah seorang yang mengagumkan.
Seorang yang sudah terusir dari kedudukannya, namun masih
merasa bertanggungjawab. Tetapi Tuan tidak usah menunggu
lama. Sebab sebentar lagi Tuan harus sudah benar-benar
melupakan impian Tuan untuk kembali ke Banyubiru. Sesudah itu,
jalan yang akan kami lalui menjadi bertambah lapang. Apalagi
sepeninggal Kakang Sima Rodra suami istri, maka jalan ke
Pamingit telah terbuka pula.” Kemudian terdengar Uling Putih
menyambung, “Apalagi dengan kedua keris Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten. Jangankan Banyubiru dan Pamingit. Bahkan
Demak pun akan dapat kami gulung.”
“Impian yang indah,” sahut Arya Salaka, “Tetapi kau lupa
bahwa di Banyubiru ada Eyang Sora Dipayana. Seandainya kau
dapat membunuh aku dan kemudian Adi Sawung Sariti, bahkan
Paman Lembu Sora sekalipun, apa yang akan dapat kau lakukan
atas Eyang Sora Dipayana itu?”
Kembali terdengar Uling Putih tertawa. Jawabnya, “Adakah kau
mengira bahwa umur kakekmu itu akan dapat mencapai puluhan
tahun lagi? Kalau semuanya sudah dapat aku bereskan, maka
orang tua itu pasti akan mati kesedihan dan putus asa. Kalau tidak,
seandainya orang tua itu tidak takut melihat kenyataan hari
depannya yang patah, maka aku pun dapat mempertemukannya
dengan orang sebayanya, yang datang ke Rawa Pening, khusus
untuk keperluan itu.”
“Gurumu…?” tanya Arya Salaka.
Kedua Uling itu mengangguk bersama-sama. Jawab Uling
Putih, “Ya, guruku Sura Sarunggi.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 28 of 93
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Agaknya Uling Rawa
Pening itu telah benar-benar menyusun kekuatan untuk dapat
sampai ke kedudukan yang diinginkan.
Dalam pada itu ia sudah tidak melihat kemungkinan lain
daripada menghadapi sepasang Uling itu dengan kekerasan.
Seperti juga Widuri yang selama ini berdiam diri mendengarkan
percakapannya dengan sepasang Uling itu, maka iapun harus
memperhitungkan kekuatan diri. Untunglah bahwa Widuri telah
memiliki bekal untuk membela dirinya sendiri. Namun sekarang
bagaimanakah imbangan kekuatan dari mereka berdua dengan
kekuatan Uling itu sepasang…?
“Tuan muda....” tiba-tiba Uling Kuning masih meneruskan,
“Sepeninggal Tuan jangan Tuan cemaskan gadis Tuan itu.
Meskipun kami sudah tidak semuda Tuan, namun kami akan
berusaha untuk memeliharanya baik-baik.”
Widuri menjadi muak mendengar perkataan itu. Apalagi ketika
kemudian disusul dengan suara tertawa mereka yang mirip ringkik
kuda yang sudah hampir gila. Namun Widuri masih dapat menahan
dirinya ia menyerahkan segenap persoalan kepada Arya Salaka.
Namun Arya Salaka pun menjadi marah mendengar
perkataan-perkataan yang menyakitkan hati itu. Maka dengan
lantang iapun menjawab, “Sepasang Uling yang baik. Terima kasih
atas berita yang telah kau sampaikan kepadaku. Dan terima kasih
pula atas perhatianmu terhadap diriku sehingga untuk seorang
anak-anak, kau berdua telah memberikan waktu yang cukup
banyak serta tenaga yang besar sekali. Dengan demikian aku
merasa mendapat kehormatan dari sepasang orang perkasa.
Meskipun demikian sebaiknya kau mempertimbangkan sekali lagi,
apakah kau ingin meneruskan rencanamu itu, ataukah lebih baik
kau tetap menjadi perampok kecil-kecilan yang bersarang di Rawa
Pening.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 29 of 93
Sepasang Uling itu terkejut mendengar jawaban Arya Salaka.
Sindiran itu sudah jelas bagi mereka, bahwa Arya Salaka
samasekali tidak gentar menghadapinya. Meskipun mereka telah
memperhitungkan bahwa anak itu
pasti tidak akan menyerahkan
lehernya begitu saja, namun
mereka samasekali tidak menduga
bahwa anak itu berani
merendahkannya. Karena itu
dengan suara yang keras parau
Uling Putih menjawab, “Hati-
hatilah kau berbicara anak muda.
Supaya aku tidak membiarkan kau
menderita pada saat ajalmu
datang.”
Arya Salaka samasekali tidak
mempedulikan ancaman itu,
jawabnya, “Sebaiknya kau kembali
saja ke Rawa Pening. Lebih baik
kau menghadap Paman Lembu
Sora dan minta menjadi
pekatiknya. Kau akan mendapat jaminan seumur hidupmu. Kau
tidak akan kelaparan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Uling Kuning sambil melangkah
maju. Ternyata darahnya agak lebih panas dari kakaknya.
“Berlututlah dan minta ampun, supaya kau tidak mengalami
siksaanku.”
Arya menatap mata Uling Kuning itu dengan penuh kebencian.
Dengan dada menengadah ia menjawab, “Maaf Uling Kuning, aku
tidak bisa berjongkok dan minta ampun. Kalau kau telah biasa
melakukan itu kau sajalah yang berjongkok dan minta ampun.”
Darah Uling Kuning maupun Uling Putih menjadi mendidih
karenanya. Tetapi pada saat Uling Kuning hampir saja lupa diri dan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 30 of 93
meloncat menyerang, tiba-tiba terpandanglah olehnya Endang
Widuri. Karena itu tiba-tiba ia mengurungkan serangannya.
Bahkan kemudian ia menoleh kepada Uling Putih sambil berkata,
“Apakah yang harus kita lakukan terhadap anak yang telah
menghina kebesaran nama Sepasang Uling dari Rawa Pening ini
Kakang?”
Uling Putih yang telah marah itu menjawab, “Menyingkirlah,
biar aku sayat kulit mukanya, dan akan aku biarkan ia hidup
sampai matahari terbit esok.”
Ancaman itu sungguh mengerikan. Suatu siksaan yang tiada
taranya. Namun Arya Salaka samasekali tidak gentar. Ia masih
berdiri dengan dada menengadah menghadapi setiap
kemungkinan. Juga kemungkinan untuk disayat kulit wajahnya,
dan dibiarkan hidup sampai besok.
Dalam pada itu Uling Kuning tersenyum di dalam hati. Memang
sebenarnya ia ingin menyerahkan Arya Salaka kepada kakaknya.
Sebab ia lebih tertarik untuk menangkap gadis yang menjelang
dewasa yang datang kepadanya seolah-olah hadiah dari langit.
Meskipun demikian ia masih berpura-pura berkata, “Adakah
Kakang perlu menanganinya sendiri?”
Uling Putih menjawab, “Biar puas hatiku, jangan kau ikut
campur.”
Uling Kuning mundur selangkah. Matanya dengan liar
merambat ke segenap bagian tubuh Endang Widuri. Tubuh yang
tepat pada usia kemekaran menjelang masa remaja.
Sementara itu Uling Putih telah siap. Dengan wajah yang
mengerikan ia melangkah maju. Selangkah demi selangkah.
Tangannya yang panjang telah siap sepenuhnya untuk merobek-
robek kulit Arya Salaka.
Arya Salaka pun segera mempersiapkan dirinya. Ia harus
melawan Uling itu mati-matian. Sebab ia tahu betul, bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 31 of 93
sepasang Uling Rawa Pening adalah orang-orang yang hampir
seluruh hidupnya diwarnai oleh noda-noda yang hitam kelam.
Karena itu, Arya Salaka berpendapat bahwa ia harus mencoba
untuk dapat memusnahkannya. Tetapi ia masih belum dapat
mengukur, apakah ilmu yang selama ini dipelajarinya akan cukup
mampu untuk melawan Uling Putih itu. Namun dalam pada itu,
yang tergores didalam hatinya, adalah perbuatan yang sebaik-
baiknya sebagai suatu pernyataan kebaktian yang tulus kepada
sesama. Tetapi yang masih sedikit mengganggu pikirannya adalah
Endang Widuri. Ia melihat suatu tanda-tanda yang mencemaskan
pada Uling Kuning. Ia melihat bagaimana cara Uling Kuning itu
memandang Endang Widuri. Karena itu maka mau tidak mau ia
merasa bertanggungjawab pula atas keselamatan gadis itu.
Uling Putih kini sudah dekat berdiri di depannya. Giginya
gemeretak didalam mulutnya yang terkatub rapat. Tetapi sesaat
kemudian terdengar ia menggeram, “Tidak sia-sia aku berdua
tinggal untuk beberapa hari di sini. Sekarang aku akan puas
menghisap darahmu.”
Arya Salaka tidak menjawab. Tetapi ia menarik kaki kirinya
setengah langkah surut.
Bersamaan dengan itu, Uling Putih meloncat dengan
garangnya menyerang dada Arya Salaka. Cepat Arya Salaka
menekuk lutut sambil membungkukkan tubuhnya. Sementara itu
tangannya menyambar lambung lawannya dengan gerak yang
mendatar.
Dalam pada itu Arya Salaka menjadi terkejut sendiri dengan
gerakannya. Sebab tiba-tiba ia merasa seolah-olah ada tenaga
kuat yang mendorong dari dalam. Tenaga yang selama ini seolah-
olah tersembunyi. Bahkan dalam gerakannya itu, terasa benar
bahwa segala sesuatu di dalam tubuhnya telah berubah. Mungkin
itulah yang dimaksud dengan penyempurnaan tata nadi yang
dilakukan oleh orang berjubah abu-abu. Dan dengan demikian
geraknya menjadi cepat dan kuat.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 32 of 93
Uling Putih terkejut melihat kecepatan gerak anak itu. Bahkan
ia terkejut pula ketika melihat tangan lawannya menyambar
lambung. Karena ia samasekali tidak menduga bahwa hal yang
demikian akan terjadi, maka iapun kurang mempersiapkan dirinya.
Ia mengira bahwa anak itu hanya dapat berloncat-loncatan sedikit.
Ia tidak tahu bahwa Arya Salaka dalam perkelahian seorang lawan
seorang telah dapat mengalahkan Sawung Sariti. Sebab Sawung
Sariti sendiri selalu mengatakan bahwa ia harus bertempur
menghadapi beberapa orang yang datang membantu Arya Salaka.
Dengan demikian Uling Putih itu tidak sempat berbuat lain daripada
membentur tangan Arya Salaka. Uling Putih menarik kaki
kanannya, kemudian memutar tubuhnya dan menghantam lengan
lawannya itu dengan kedua belah tangannya. Arya Salaka masih
belum dapat menguasai geraknya sendiri sebaik-baiknya. Sebab
sejak ia bertemu dengan laki-laki aneh yang berjubah abu-abu
serta menidurkannya di dalam semak-semak, ia belum pernah
mencoba tenaganya. Ini adalah yang pertama kalinya ia dapat
melihat akibat dari kejadian malam yang mendebarkan itu. Karena
itu ia tidak dapat menghindarkan diri dari benturan yang terjadi.
Benturan antara lengannya dengan kedua tangan Uling Putih.
Akibatnya diluar dugaan Uling Putih dan Arya Salaka sendiri. Uling
Putih yang pada dasarnya memandang rendah kepada lawannya,
sengaja tidak mengerahkan segenap kekuatannya. Sebab ia
mengira bahwa sebagian tenaganya saja ia akan mampu
mematahkan lengan anak yang dianggapnya terlalu sombong itu.
Tetapi yang terjadi samasekali tidaklah demikian. Tenaga
tangan Arya ternyata besar sekali, sehingga Uling Putih terdorong
surut beberapa langkah, sedang Arya sendiri tetap tidak bergeser
dari tempatnya.
Mengalami peristiwa itu, dada Uling Putih seolah-olah menyala
karena hatinya yang panas. Disamping perasaan heran yang tak
habis-habisnya terhadap kekuatan tenaga anak yang dianggapnya
tidak lebih dari seekor kelinci yang lemah itu, juga menggelora di
dalam dadanya suatu perasaan malu, marah, dendam dan nafsu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 33 of 93
bercampur baur. Karena itu, maka segera ia mengerahkan
segenap perhatiannya untuk satu tujuan, membunuh dan
menyayat-nyayat putera kepala daerah Perdikan Banyubiru itu.
Demikianlah dengan garangnya ia menyerang kembali.
Serangan yang datang menggelombang dengan dahsyatnya. Arya
Salaka pun kemudian melayaninya dengan tangguhnya. Ia telah
mewarisi hampir segenap jenis unsur-unsur gerak dari perguruan
Pengging, ditambah dengan tata nadinya yang telah
disempurnakan. Dengan demikian anak muda itu seolah-olah
dapat bertempur seperti burung elang di udara, menyambar-
nyambar dengan garangnya. Tetapi kemudian ia mampu pula
bertempur laksana banteng yang tangguh kukuh, tenang dan
meyakinkan.
Uling Kuning dan Endang Widuri berdiri terpaku menyaksikan
pertempuran itu. Pertempuran yang berjalan dengan sengitnya.
Yang sekali waktu berjalan cepat, tetapi kemudian menjadi lambat,
namun penuh dengan ketegangan yang mendebarkan.
Uling Kuning, yang mula-mula menjadi sangat gembira ketika
kakaknya bermaksud untuk membunuh Arya Salaka dengan
tangannya sendiri, karena dengan demikian ia dapat berbuat
leluasa atas gadis cantik itu, kemudian terpaksa mengikuti
pertempuran itu dengan seksama. Bahkan kadang-kadang
timbullah kecemasan di hatinya. Sebab kadang-kadang ia melihat
serangan Arya Salaka seperti air yang mengalir dengan derasnya,
melanda setiap usaha yang akan merintanginya. Untunglah bahwa
Uling Putih adalah seorang yang penuh dengan pengalaman
bertempur. Dalam keadaan-keadaan yang sulit, ia masih mampu
untuk membebaskan dirinya. Namun dengan demikian
anggapannya terhadap Arya Salaka telah berubah. Ia kemudian
menganggap anak muda itu seorang lawan yang berbahaya tak
henti-hentinya, yang rasa-rasanya datang dari segenap penjuru.
Dalam keadaan yang demikian Uling Putih harus memeras
keringatnya untuk dapat mencapai titik keseimbangan. Namun
agaknya anak muda itu benar-benar luar biasa. Meskipun Uling
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 34 of 93
Putih telah berusaha membentengi tubuhnya dengan gerakan-
gerakan yang cepat dan berubah-ubah, tetapi ia tidak bisa
menutup mata, atas suatu kenyataan bahwa dadanya menjadi
semakin sesak oleh pukulan-pukulan Arya Salaka, yang meluncur
seperti tatit menyambar tanpa dapat dihindari. Bahkan beberapa
kali, ia tidak dapat berhasil membebaskan diri seluruhnya atas
serangan-serangan kaki lawannya yang masih sangat muda itu.
Meskipun Uling Kuning melihat kenyataan itu, namun ia terlalu
mengagumi kakaknya, seperti ia mengagumi dirinya sendiri yang
seolah-olah tak seorangpun dari angkatan sebayanya, apalagi
anak-anak seperti Arya Salaka, akan mampu mengalahkannya.
Karena itu, ia tidak mengalami sendiri tekanan-tekanan maut yang
mendesing-desing di telinga, ia tidak sedemikian mencemaskan
keadaan Uling Putih. Bahkan tiba-tiba ia teringat kepada
kepentingannya sendiri. Kepada gadis yang berdiri tak seberapa
jauh darinya.
Dengan sudut matanya sekali lagi ia memandang Endang
Widuri yang masih asik melihat pertempuran antara Arya Salaka
dan Uling Putih. Dan sekali lagi dada Uling Kuning itu bergetar.
Kalau saja ia nanti berhasil membawa anak itu ke Rawa Pening,
pasti akan merupakan barang yang sangat berharga di daerah
yang tersekat dari pergaulan. Berbeda dengan daerah
Nusakambangan, pusat kerajaan Ular Laut yang tampan, dimana
terdapat berpuluh-puluh gadis korbannya yang disimpan di sana.
Berbeda pula dengan cara hidup Sima Rodra muda dari Gunung
Tidar. Yang seolah-olah telah kehilangan tingkat tata pergaulan
hidup manusia yang wajar, dimana laki-laki dan perempuan
dibiarkan mengalami suatu penghidupan yang buas dalam segala
segi-seginya.
Karena itu maka kemudian perlahan-lahan perhatiannya
berkisar dari titik pertempuran kepada Endang Widuri. Bahkan
kemudian iapun menggeser kakinya setapak demi setapak ke arah
gadis itu. Ia ingin menangkapnya di tempat itu pula. Dengan
demikian, kecuali ia akan mendapat sesuatu yang dianggapnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 35 of 93
permainan yang menyenangkan, sekaligus ia dapat mempengaruhi
perhatian Arya Salaka. Dengan demikian secara tidak langsung ia
sudah membantu kakaknya. Sebab sedikit saja Arya Salaka
lengah, maka kakaknya pasti akan dapat mempergunakan
kesempatan itu sebaik – baiknya.
Ketika ia sudah mendapat keputusan bulat atas rencananya
itu. Uling Kuning tersenyum-senyum sendiri. Ia memastikan
bahwa rencana itu akan berhasil. Menangkap Endang Widuri dan
sekaligus menyebabkan Arya Salaka binasa.
Sementara itu, pertempuran berjalan semakin sengit. Arya
Salaka terpaksa mengakui ketangguhan lawannya. Tahulah ia
sekarang, mengapa ayahnya dahulu tidak tergesa-gesa bertindak
terhadap kedua orang yang berbahaya itu. Pada waktu itu pasti
ayahnya sedang mempersiapkan segala kemungkinan serta
perhitungan-perhitungan yang masak. Ternyata kedua orang itu
benar-benar luar biasa. Untunglah bahwa pada saat itu, ia telah
banyak menerima tuntunan langsung atau tidak langsung,
sehingga dengan demikian ia dapat melawan Uling Putih dengan
sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ternyata bahwa ia berhasil
mendesaknya. Apalagi setelah ia mengalami pijatan-pijatan di
seluruh permukaan tubuhnya, terasa sekali betapa ia bertambah
segar, kuat dan lincah. Tenaganya dapat melontar bebas tanpa
sesuatu rintangan.
Uling Putih kemudian mengumpat-umpat di dalam hati. Ia
samasekali tidak menduga bahwa Arya Salaka memiliki keteguhan
serta ketangguhan yang sedemikian besarnya. Karena itu ia
menjadi bertambah marah. Dikerahkannya segenap ilmunya.
Tetapi ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa setelah ia
memeras diri, ia tetap tidak mampu untuk menundukkan
lawannya. Akhirnya ia menjadi gelisah. Bahkan ia mengharap agar
adiknya melihat kesulitannya. Ia tidak dapat berteriak memintanya
ikut bertempur sebab ia masih memperhatikan harga dirinya.
Namun apabila keadaan memaksa, ia tidak akan pedulikan lagi,
apalagi dengan demikian ia dianggap licik atau apapun. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 36 of 93
sebelum ia benar-benar minta adiknya menolongnya, dalam
sekilas ia melihat Uling Kuning perlahan-lahan mendekati gadis
kecil yang sedang asik melihat perkelahian itu. Dalam pada itu
timbulah suatu harapan padanya. Mudah-mudahan gadis itu
ditangkap oleh adiknya. Kalau gadis itu kemudian menjerit,
saatnya tiba, Arya Salaka pasti akan lengah. Dan pada saat itu saat
yang sebaik-baiknya untuk menghancurkannya.
Pada saat itu, malam telah turun perlahan-lahan. Warna-warna
merah di langit telah lenyap disapu oleh warna-warna kelam.
Bulan telah mulai menampakkan dirinya kembali di antara taburan
bintang-bintang. Awan yang tipis bertebaran disana-sini menghias
langit.
Perhatian Endang Widuri sebenarnya memang sedang
tertumpah pada perkelahian yang sengit antara Arya Salaka
melawan Uling Putih. Dengan keheran-heranan ia melihat Arya
Salaka melontarkan diri, membelit dan kemudian meloncat dengan
garangnya menghantam lawannya. Tetapi ia mengerti pula bahwa
Uling Putih pun mempunyai kekuatan yang cukup untuk dapat
mempertahankan dirinya. Ia bergerak setapak-setapak, bergeser,
meloncat dan berputar untuk menjaga agar ia tetap dapat
menghadapi Arya Salaka yang seperti bayangan saja. Sekali
muncul di sana, kemudian muncul di tempat lain. Kalau saja
lawannya bukan orang yang cukup kuat, maka ia pasti akan
menjadi pening dan kebingungan.
Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin seru. Arya
Salaka semakin mendesak lawannya pula. Melihat peristiwa itu
Endang Widuri menjadi gembira, sehingga gadis itu tersenyum-
senyum sendiri. Bahkan ia kadang-kadang bergerak pula seperti
anak-anak mendengar gamelan. Sekali ia bergeser maju, sekali ke
samping. Bahkan kadang-kadang ia meremas-remas tangannya
sendiri dengan kuatnya.
Tetapi ketika Uling Putih telah benar-benar terdesak, tiba-tiba
tangannya menarik tali yang membelit pinggangnya. Demikian tali
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 37 of 93
yang besar itu terurai, tampaklah bahwa sebenarnya yang
membelit pinggangnya itu adalah sebuah cemeti. Arya Salaka
tertegun melihat cambuk yang lemas di tangan Uling Putih. Ia tahu
benar bahwa cambuk itulah senjata andalannya. Dengan demikian
ia harus berhati-hati menghadapinya.
Ketika itulah Uling Putih itu menyerang dengan garangnya.
Cambuknya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Sebuah
sambaran mendatar mengarah ke dada Arya Salaka. Dengan
tangkasnya Arya membungkuk dalam-dalam, serta dengan sekali
berputar, kakinya menyambar perut Uling Putih. Namun Uling
Putih sempat menarik dirinya setapak mundur. Bersamaan dengan
itu, ia telah sempat menarik cambuknya mendatar pula. Kali ini
Arya tidak dapat membungkuk lebih rendah lagi. Tetapi ia harus
meloncat mundur. Uling Putih tidak mau memberinya kesempatan.
Dengan loncatan yang panjang ia memburu Arya sambil
mengayunkan cambuknya sendhal pancing. Arya yang mengetahui
betapa bahaya yang mengancam apabila ia sampai terkena
pukulan itu, segera meloncat kesamping. Ketika ujung cemeti itu
berdesing disamping telinganya, ia melontar dengan cepatnya
maju dekat sekali dengan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia
menghantam dada lawannya. Uling Putih terkejut melihat gerakan
yang cepat dan tak terduga-duga itu. Dengan tangan kirinya ia
mencoba menahan tangan Arya, sedang tangan kanan memutar
cambuknya cepat-cepat untuk menyerang dalam jarak yang
pendek itu. Demikianlah dengan kerasnya tangan Arya
menghantam tangan kiri Uling Putih yang mencoba melindungi
dadanya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah
Uling Putih mengaduh tertahan. Tangan kirinya ternyata tidak
mampu menahan tekanan tangan lawannya, sehingga
bagaimanapun juga, terasa sesuatu mendesak dadanya. Desakan
itu demikian kuatnya, sehingga ia terlontar mundur dan kemudian
jatuh terguling. Tetapi dalam pada itu, Uling Putih agaknya
memang ahli memainkan senjatanya. Meskipun pada saat itu Arya
berdiri hampir melekat tubuhnya, ujung cambuknya berhasil juga
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 38 of 93
menyentuh pundaknya, sehingga terasalah betapa nyerinya, dan
bahkan terasa bahwa kulitnya terkelupas.
Arya menyeringai menahan pedih. Tanpa disengaja tangannya
meraba tempat yang terluka itu. Terasa betapa darahnya yang
hangat mengalir. Dalam pada itu Uling Putih segera melenting
berdiri. Namun terasa betapa dadanya semakin sesak.
Dalam pada itu, baik Uling Putih maupun Arya Salaka telah
mencapai puncak kemarahannya. Mereka masing-masing telah
merasakan betapa tubuh mereka telah berhasil disakiti oleh
lawannya. Maka terdengarlah Uling Putih menggeram penuh
dendam. Matanya yang menyala merah menjadi semakin liar. Arya
Salaka pun kemudian menggigil karena kemarahan. Jantungnya
berdebar keras, sedang tangannya bergetaran, siap untuk
menghancurkan lawannya.
Uling Putih yang telah dapat menguasai dirinya kembali,
segera melangkah maju. Ia telah melihat hasil serangannya pada
lengan lawannya. Dengan demikian ia menjadi sedikit berbesar
hati. Mudah-mudahan luka ditangan Arya itu dapat mempengaruhi
keteguhan hatinya. Tetapi ia salah harap. Karena luka itu Arya
malah menjadi semakin garang. Bahkan tiba-tiba tangannya yang
gemetar telah menggenggam pusaka kebesaran tanah perdikan
Banyubiru, Kyai Bancak.
Demikianlah pertempuran itu berkobar kembali. Cambuk Uling
Putih berputar seperti baling-baling. Bergulung-gulung seolah-olah
ingin melibas lawannya dan membenamkan kedalamnya.
Demikian dahsyatnya Uling Putih memainkan senjatanya sehingga
terdengarlah angin mendesing-desing menggoyang daun-daun
pepohonan di sekitarnya serta merontokkan daun-daun kering
yang sudah tidak mampu lagi berpegangan di batang-batangnya
lebih erat lagi.
Tetapi ia berhadapan dengan murid keturunan dari perguruan
Pengging yang telah mengalami pembajaan diri yang luar biasa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 39 of 93
beratnya. Bahkan telah mendapat pertolongan dari seorang ahli
tata nadi memperbaiki letak otot-otot serta syaraf-syarafnya.
Sehingga Arya Salaka dapat mempergunakan segenap tenaganya
dalam lontaran-lontaran kekuatan tanpa dipengaruhi oleh
penggunaan tenaga cadangan di dalam tubuhsendiri. Apalagi kini
di tangannya telah tergenggam tombak sipat kandel yang dapat
melipatgandakan kemampuannya melawan Uling Putih itu.
Dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah gulungan sinar
keputih-putihan melingkar-lingkar mengerikan yang seolah-olah
sedang berusaha untuk melanda sinar yang menyala kebiru-
biruan. Itulah cahaya tombak Kyai Bancak. Namun sinar yang
kebiru-biruan itu selalu berhasil menghindarkan dirinya, dan
bahkan sekali-sekali dengan dahsyatnya menyusup langsung ke
pusat gulungan sinar putih itu. Dengan demikian maka tampaklah
betapa Arya Salaka dapat mengimbangi lawannya dengan baik.
Bahkan kemudian Uling Putih terpaksa memeras keringat habis-
habisan untuk dapat mengimbangi permainan tombak bertangkai
pendek, sependek tangkai pedang, yang digerakkan oleh tangan
yang kokoh kuat dan terlatih baik.
Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Dan sejalan dengan itu perhatian Endang Widuri pun menjadi
semakin terikat. Ia menjadi semakin kagum atas ketangkasan
Arya Salaka. Kalau beberapa saat yang lalu, ia pernah berlatih
bersama-sama dengan anak muda itu, maka sekarang dengan
penuh keheranan ia melihat Arya Salaka telah melangkah jauh
kedepan. Pada waktu Arya bertempur melawan Sawung Sariti pun,
tenaganya masih belum sedahsyat sekarang ini. Tetapi ia tidak
tahu bahwa di dalam tubuh Arya, baru saja terdapat beberapa
perubahan tata nadi yang sangat menguntungkannya.
Tetapi karena keasyikannya melihat pertempuran itulah maka
ia samasekali tidak menduga bahwa Uling Kuning telah menjadi
semakin dekat, semakin dekat di belakangnya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 40 of 93
Maka, tiba-tiba saja dirasanya sepasang tangan yang kuat
telah memegang kedua belah lengannya. Dengan demikian
Endang Widuri menjadi terkejut sekali, sehingga tanpa disengaja
ia memekik kecil.
Saat itulah yang memang ditunggu-tunggu oleh kedua Uling
bersaudara itu. Sebab dengan demikian mereka mengharap Arya
akan menjadi lengah. Dan apa yang mereka harapkan itu benar-
benar terjadi. Arya terkejut mendengar suara Widuri. Tetapi ia
tidak menjadi lengah karenanya. Untuk dapat mengetahui keadaan
gadis itu. Arya Salak meloncat jauh-jauh ke belakang. Meskipun
demikian, karena perhatiannya sebagian terampas oleh peristiwa
lain, maka terasalah sebuah sengatan pedih di pinggangnya.
Ternyata sekali lagi Uling Putih berhasil mengenainya dengan
cambuknya yang sangat berbahaya. Terdengarlah Arya berdesis
menahan sakit. Meskipun demikian ketika jaraknya telah menjadi
agak jauh dari lawannya, ia sempat juga memandang kearah
Widuri yang berdiri tidak begitu jauh dari titik perkelahian itu.
Tetapi yang terjadi kemudian, samasekali tidak seperti yang
diharapkan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening itu. Luka di
pinggang Arya itu ternyata telah membakar semangat Arya lebih
dahsyat lagi. Dengan menyeringai menahan pedih, ia menggeram
penuh kemarahan. Meskipun demikian otaknya masih dapat
bekerja dengan baik. Ia tidak mau terlibat dalam pertempuran
yang liar.
Uling Kuning, yang berhasil menangkap Widuri tanpa diketahui
sebelumnya, agaknya menjadi menyesal sekali. Ketika ia
memegang lengan gadis itu, ia terlalu berhati-hati, seperti seorang
yang memegang sebuah permainan ringkih, sehingga ia takut
kalau merusakkannya. Tetapi ia samasekali tidak menduga, bahwa
gadis kecil itu tidak ubahnya sebagai seekor lebah kuning yang
manis namun sengatnya sangat berbahaya.
Demikian Endang Widuri merasa tangkapan pada lengannya,
ia menjadi sadar bahwa Uling Kuning telah menyerangnya. Tetapi
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 41 of 93
otaknya yang cerdas merasakan betapa tangan Uling Kuning itu
terlalu hati-hati meraba kulitnya. Itulah sebabnya, maka dengan
satu gerakan merendah, sambil memutar tubuhnya setengah
lingkaran, kakinya dengan cepatnya telah berhasil mengenai perut
Uling Kuning bagian bawah. Uling Kuning samasekali tidak
menduga bahwa hal yang demikian dapat terjadi, sehingga ia
samasekali tidak bersiaga. Karena itu terdengarlah ia mengaduh
kesakitan. Bahkan kekuatan Endang Widuri cukup melempar-
kannya beberapa langkah dan kemudian membantingnya jatuh ke
tanah.
Untunglah Uling Kuning telah mempunyai cukup pengalaman.
Dengan cepatnya ia meloncat berdiri dan mencoba menghadapi
setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Namun demikian, kaki
gadis kecil, puteri Ki Kebo Kanigara, yang telah dibekali dengan
pengetahuan yang cukup, terasa telah menggoncangkan isi
perutnya. Perasaan mual berputar-putar mengganggu sekali,
seolah-olah isi perutnya diaduk dengan hebatnya. Belum lagi Uling
Kuning benar-benar sadar atas apa yang terjadi, dilihatnya gadis
kecil itu melayang dengan lincahnya, menyerang seperti semburan
air hujan yang datang ke segenap bagian tubuhnya. Uling Kuning
terpaksa surut beberapa langkah. Namun demikian ia mempunyai
cukup kesempatan untuk membentengi dirinya dengan tangkisan-
tangkisan yang rapat. Tetapi Endang Widuri cukup lincah dan
cekatan untuk membingungkannya.
Ketika Arya Salaka melihat bahwa Endang Widuri ternyata
telah berhasil menolong dirinya sendiri, ia menjadi berbesar hati.
Ia percaya bahwa gadis itu akan mampu untuk menahan serangan
Uling Kuning dalam waktu yang cukup lama. Ia mengharap bahwa
keadaan akan memungkinkannya untuk membantu. Apalagi ketika
dilihatnya Uling Kuning menjadi gelisah karena serangan pertama
kaki Widuri yang tepat mengenai bagian bawah perutnya. Ternyata
bahwa akibat dari serangan itu sangat menguntungkan. Sebab
untuk seterusnya tenaga Uling Kuning sangat terpengaruh oleh
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 42 of 93
perasaan muak dan sakit yang melilit-lilit di dalam rongga
perutnya.
Tetapi Arya tidak mempunyai kesempatan lebih lama lagi
untuk menilai pertempuran antara Widuri dan Uling Kuning. Sebab
pada saat itu Uling Putih telah menyerangnya pula, bagaikan badai
yang datang bergulung-gulung. Tetapi agaknya badai itu
menghantam gunung yang tegak dengan perkasanya, serta tak
setapakpun bergeser dari tempatnya.
Demikianlah di tempat yang sepi itu telah terjadi dua lingkaran
pertempuran. Uling Putih yang menyesal, bahwa ia tak berhasil
mempergunakan saat yang ditunggu-tunggu menjadi semakin
marah. Cambuknya berputar-putar semakin cepat. Tetapi
lawannya menjadi semakin garang pula. Luka di lengan dan
lambung Arya telah menambahnya semakin teguh. Ujung
tombaknya yang bercahaya kebiru-biruan, mematuk-matuk ke
segenap bagian tubuh lawan seolah-olah menjadi beribu-ribu mata
tombak yang datang dari segala arah.
Sejalan dengan itu, dada Uling Putih terasa menjadi semakin
sesak. Beberapa kali ia meloncat menjauhi lawannya untuk
mendapat kesempatan menarik nafas dalam-dalam. Namun
lawannya bukan pula seorang yang tidak mengetahui keadaannya.
Karena setiap ia berusaha untuk mendapat kesempatan itu, Arya
Salaka selalu dengan garangnya mendesak maju. Kepada
lawannya yang sangat berbahaya itu, Arya samasekali tidak mau
memberi kesempatan samasekali. Bahkan kemudian, tiba-tiba ia
teringat pada suatu pagi yang cerah di Banyubiru. Pada saat ia
berhasil menangkap seekor Uling dari Rawa Pening. Pada saat itu
Mahesa Jenar berkata kepadanya, bahwa bukan Uling seperti yang
ditangkapnya itulah yang berbahaya di daerah sekitar Rawa
Pening, tetapi sepasang Uling yang sekarang berhadapan
melawannya itulah yang dicemaskan. Diingatnya pada saat itu, ia
seolah-olah berjanji kepada Mahesa Jenar, bahwa sepasang Uling
itu pun kelak akan dibunuhnya. Sepasang Uling yang selalu
membayangi kekuasaan ayahnya di Banyubiru. Bahkan telah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 43 of 93
berterus terang kepadanya, bahwa sepasang Uling itupun
sekarang sedang dalam perjuangan untuk dapat merebut
kedudukan ayahnya itu lewat segala macam lekuk-liku dan cara-
cara yang licik. Karena itu, dada Arya Salaka menjadi semakin
menggelegak. Baginya tidak ada pilihan lain daripada berusaha
untuk memenuhi harapannya, membinasakan sepasang Uling yang
berhati hitam itu.
Dengan demikian, kebulatan tekadnya itu seolah-olah telah
mempengaruhi tenaganya. Ia seolah-olah telah mendapat tenaga
yang maha besar mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahnya ke
segenap bagian tubuhnya. Karena itu, maka apa yang terjadi
kemudian sangat mengejutkan lawannya. Dengan penuh
keyakinan di dalam dadanya, Arya melanda lawannya seperti
ombak lautan yang digoncangkan badai. Dengan garangnya,
segulung demi segulung, berturut-turut menghantam tebing, yang
akhirnya akan runtuh berguguran. Demikianlah Uling Putih
akhirnya merasakan, bahwa tekanan serangan Arya Salaka
menjadi semakin dahsyat. Bahkan tiba-tiba ketika ia sedang mati-
matian mempertahankan dirinya, terasa tangannya yang
memegang cambuk itu bergetar. Dan apa yang dilihatnya sangat
mengejutkannya. Ternyata ujung cambuknya telah terpotong oleh
ketajaman tombak Arya Salaka. Dengan demikian, Uling Putih
menjadi cemas. Satu-satunya senjata yang selama ini dibangga-
banggakannya telah terpotong. Ia menjadi bertambah cemas lagi
ketika ia melirik ke arah adiknya. Dalam sekilas Arya menyaksikan
gadis itu dapat melawan Uling Kuning dengan baiknya setelah
UlingKuning dikenainya lebih dahulu. Dengan demikian ia tidak
dapat mengharap Uling Kuning akan dapat membantunya.
Tetapi Uling Putih adalah seorang yang berhati batu. Meskipun
pertempuan yang telah berlangsung itu mengatakan kepadanya
bahwa Arya Salaka bukanlah anak-anak yang hanya dapat bermain
loncat-loncatan, namun ia telah bertekad untuk memenangkan
pertempuran itu dan membunuhnya. Karena itu ia menjadi
semakin buas. Geraknya semakin lama menjadi semakin liar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 44 of 93
Dalam keadan yang demikian itulah Arya benar-benar berusaha
menguasai keadaan. Ia bertempur dengan hati-hati. Ia tidak saja
mempergunakan tenaganya, tetapi ia memperhitungkan pula
setiap keadaan dan kemungkinan.
Demikianlah, ketika bulan muda telah membenamkan dirinya
di balik punggung pegunungan, terdengarlah suatu jeritan ngeri
mengumandang membentur dinding-dinding bukit. Jerit ngeri
yang patah. Dan kemudian disusul dengan suara tubuh yang jatuh
terbanting.
Sesaat kemudian kembali malam terlempar ke dalam suasana
yang sepi, Arya Salaka tampak tegak berdiri dengan tangan yang
gemetar memegang Kiai Bancak yang berlumuran darah. Darah
Uling Putih yang kini terbaring tak bernafas di hadapannya. Yang
terdengar pada saat itu hanya dengus nafas Arya Salaka yang
melonjak-lonjak. Tetapi Arya Salaka tidak mendapat kesempatan
untuk menyaksikan tubuh lawannya itu lebih lama lagi. Sebab tiba-
tiba ia melihat sebuah bayangan yang meloncat lari. Itulah Uling
Kuning yang setelah tertegun sejenak bersama lawannya, Endang
Widuri, yang seperti terpesona, menjadi sadar bahwa bahaya maut
telah mengancamnya. Karena itu ia akan berusaha untuk
menghindarkan dirinya. Tetapi Arya telah melihat bayangannya.
Dengan secepat kilat dikejarnya Uling Kuning itu. Terhadap orang-
orang yang demikian itu Arya tidak dapat berbuat lain kecuali
membinasakan. Itulah sebabnya maka Arya samasekali tidak mau
lagi memberi kesempatan kepada Uling Kuning untuk meloloskan
diri.
Demikian pula Endang Widuri. Ia tidak mau pula ketinggalan.
Maka segera iapun berlari mengejar kedua bayangan yang berlari
berkejar-kejaran. Namun kedua bayangan itu kemudian lenyap
menyusup ke dalam semak-semak. Untuk seterusnya Endang
Widuri kehilangan jejak. Karena itu ia menjadi bingung. Ia tidak
tahu kemana ia harus pergi. Sedang jalan kembalipun tak
diketahuinya pula. Untuk beberapa saat Endang Widuri berdiri
termangu-mangu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 45 of 93
Tiba-tiba, ketika ia sedang mencari-cari jalan terdengarlah
gemersik daun di belakangnya. Cepat ia meloncat memutar
tubuhnya, dan berdiri dengan teguhnya diatas kedua kakinya yang
renggang setengah langkah serta tangannya yang disilangkan di
muka dadanya, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang
akan terjadi.
Dalam sepi malam, terdengar langkah itu semakin jelas.
Bahkan kemudian dilihatnya dalam gelap malam dua bayangan
yang berjalan dengan tetap ke arahnya.
Endang Widuri yang baru saja bertempur melawan Uling
Kuning, masih saja merasa dipengaruhi oleh suasana perkelahian.
Karena itu ia menyambut kedatangan dua bayangan itu dengan
sikap yang garang, siap untuk bertempur. Tetapi kemudian ia
terkejut ketika didengarnya sebuah tawa yang lunak, yang sudah
terlalu sering didengarnya.
“Ayah…!” teriaknya sambil berlari menyambut kedatangan
bayangan yang sudah semakin dekat.
“Apa yang kau kerjakan di sini?” tanya Kebo Kanigara.
“Berkelahi,” jawab gadis itu.
“Hem… desis ayahnya. Aku memang sudah mengira. Apalagi
ketika aku jumpai sesosok mayat dibalik semak-semak di sebelah.”
“Kakang Arya telah membunuhnya,” jawab Widuri.
Kebo Kanigara memandang wajah Mahesa Jenar, kawannya
berjalan dengan wajah yang berkerut. Ia ingin mengetahui
bagaimanakah pendapatnya mengenai muridnya.
“Aku sudah menduga pula, bahwa anak itu akan
membunuhnya pada suatu saat. Dan sekarang hal itu sudah
dilakukannya,” gumam Mahesa Jenar seperti kepada dirinya
sendiri.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 46 of 93
“Darimana ayah dan Paman Mahesa Jenar tahu bahwa kami
berada di sini?” tanya Widuri.
“Ketika hari sudah gelap, dan kau berdua tidak juga datang,
aku menjadi cemas. Seseorang telah melihat kau berjalan ke arah
ini sore tadi. Dan yang terakhir teriakan seseorang, yang mungkin
adalah teriakan Uling Putih pada saat dadanya disobek oleh
tombak Arya, telah menuntun aku kemari. Tepat pada saat kami
datang, kami melihat kau berlari-lari. Karena itulah maka aku
dapat menemukan kau di sini,” jawab ayahnya.
“Tetapi aku kehilangan jejak Kakang Arya Salaka,” sahut
Widuri.
“Marilah kita cari. Agaknya ia akan terlibat pula dalam
pertempuran melawan Uling Kuning. Padahal tenaganya sudah
jauh susut karena kelelahan,” potong Mahesa Jenar.
Mereka tidak berkata-kata lagi. Tetapi segera mereka
melangkah menyibak daun-daun yang pekat, yang menghadang di
hadapan mereka. Dengan matanya yang tajam, Mahesa Jenar
dapat melihat bekas-bekas ranting yang tersibak patah-patah oleh
injakan dan sentuhan tubuh Uling Kuning dan Arya Salaka, yang
berkejar-kejaran. Dengan demikian meskipun agak sulit dan
perlahan-lahan, Mahesa Jenar dapat mencari jejak mereka berdua.
Ternyata perjalanan itu cukup panjang. Ketika mereka telah
hampir tidak sabar lagi, tiba-tiba kaki mereka menginjak tanah
yang gembur basah. Semakin lama semakin dalam. Dan sejalan
dengan itu, semak-semaknya pun menjadi bertambah tipis.
“Tanahnya mengandung air,” desis Mahesa Jenar.
“Aku kira kita sampai ke rawa atau telaga,” sahut Kebo
Kanigara.
Dan apa yang mereka perkirakan adalah benar. Sesaat
kemudian mereka sampai ke daerah yang ditumbuhi batang-
batang ilalang, dan kemudian di hadapan mereka terbentang
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 47 of 93
telaga yang tidak terlampau luas. Agaknya Uling Kuning berusaha
melarikan diri dengan bersembunyi di telaga itu.
Ketika mereka sudah berdiri di tepi telaga, serta melayangkan
pandangan berkeliling, tiba-tiba terlihatlah sesuatu yang bergerak-
gerak di dalam telaga itu.
Demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat bayangan
itu, segera mereka mengerti bahwa yang bergerak-gerak itu
pastilah Arya Salaka dan Uling Kuning yang sedang bertempur di
dalam air. Untuk sesaat Mahesa Jenar tertegun. Ia menjadi cemas
melihat pertempuran di dalam air itu. Apalagi Kebo Kanigara.
Sebab mereka tahu bahwa hampir sepanjang hidupnya Uling
Kuning berada di sekitar tanah yang berawa-rawa, sehingga
baginya, air merupakan tempat berlindung yang terbaik.
Kemudian Widuri pun melihat perkelahian itu, namun baginya
tidaklah demikian jelas, apakah yang terjadi.
Sementara itu, Arya Salaka yang tidak mau melepaskan Uling
Kuning, terpaksa mengejarnya pula terjun ke dalam telaga. Ia
sadar bahwa Uling Kuning berharap, lewat telaga itu ia akan
mampu melepaskan dirinya. Atau kalau terpaksa ia terlibat di
dalam perkelahian, maka perkelahian di dalam air akan banyak
memberinya keuntungan. Dan apa yang diharapkan itu terjadilah.
Arya tidak peduli lagi apa yang akan terjadi, meskipun ia terpaksa
berkelahi di dalam air.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya.
Disamping mereka harus berjuang untuk tidak terbinasakan oleh
lawan, mereka juga harus menjaga diri mereka supaya tidak
tenggelam.
Uling Kuning adalah seorang yang seolah-olah dapat hidup di
dalam air. Tangan dan kakinya benar-benar dapat dipergunakan
dengan baik seperti itik mempergunakan sayap serta kakinya, atau
binatang air mempergunakan sirip-siripnya. Karena itu, ia dapat
dengan lincahnya bertempur. Namun sayang bahwa perasaan
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 48 of 93
muak dan nyeri di dalam perutnya tidak juga mau hilang. Apalagi
yang dihadapi adalah Arya Salaka. Uling Kuning tidak pernah
mimpi bahwa anak itu pernah hidup sebagai anak nelayan di pantai
Tegal Arang. Bahkan meskipun tidak begitu lama, namun Arya
telah memiliki pengalaman yang cukup untuk menaklukan air.
Tidak hanya air setenang air telaga itu, tetapi air yang sedang
murka sekalipun. Arya Salaka pernah terjun ke dalam gelombang
yang ganas untuk menyelamatkan alat-alat penangkap ikannya
bersama-sama kawan-kawannya. Bahkan darah pelaut yang
mengalir di dalam tubuh ayahnya, ternyata mengalir pula di dalam
tubuhnya. Pada masa kanak-kanaknya ia telah berani berkelahi
dengan seekor uling yang cukup besar di dalam rawa. Sedang pada
saat ia menginjak dewasa, ia menerjunkan diri dalam dunia
kehidupan nelayan. Karena itu, dengan tidak diduga oleh Uling
Kuning, Arya Salaka pun dengan dahsyatnya berhasil menyerang
lawannya dari arah yang membingungkan. Sekali-kali ia
melenyapkan diri dari permukaan air, kemudian muncullah ia di
tempat yang tak terduga-duga. Seandainya musuhnya bukan
seorang yang memang sejak kecil hidup bergulat dengan air, maka
Arya pasti akan dengan mudahnya dapat membinasakan. Tetapi
sekarang ia menemukan lawan yang seimbang.
Maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Air di sekitar tempat itu menjadi seolah-olah mendidih. Buih-buih
yang putih bergolak dengan hebatnya di antara bayangan hitam
yang timbul-tenggelam bersama-sama. Bahkan kedua bayangan
itu akhirnya seolah-olah berpadu menjadi satu dan bergolak bukan
main hebatnya.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Endang Widuri yang
berdiri di tepi telaga menjadi cemas. Apalagi ketika tiba-tiba
bayangan yang hitam itu lenyap seperti ditelan putaran air yang
melingkar-lingkar.
Mahesa Jenar kemudian menjadi tidak sabar lagi menunggui
saja di tepi telaga. Karena itu segera ia melepas baju serta
kainnya. Hanya dengan celana saja Mahesa Jenar meloncat pula
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 49 of 93
ke dalam air, dan berenang cepat-cepat ke arah kedua bayangan
itu tenggelam.
Sementara itu Arya berjuang mati-matian melawan maut.
Uling Kuning benar-benar tangguh bertempur di dalam air.
Tangannya benar-benar dapat melilit seperti seekor Uling yang
melilit korbannya. Untunglah bahwa Arya memiliki tenaga raksasa,
sehingga dengan pukulan-pukulan yang keras, ia selalu dapat
membebaskan diri dari belitan Uling Kuning. Namun akhirnya
usaha Uling Kuning itu berhasil. Seperti gila ia tidak menghiraukan
samasekali pukulan-pukulan terakhir yang dilontarkan oleh Arya
Salaka yang tenaganya semakin lama semakin kendor. Bahkan
tiba-tiba terasa sesuatu menjerat di lehernya. Ternyata Uling
Kuning telah berhasil mengurai cambuk lemasnya, dan berhasil
membelit leher Arya dengan senjatanya itu. Dengan demikian
seolah-olah nafas Arya menjadi tersumbat. Ia meronta sekuat
tenaga, namun tenaga Uling Kuning itu semakin erat menarik
belitan cambuknya pada leher Arya. Dalam keadaan demikian Arya
menjadi marah bukan buatan dan mengamuk sejadi-jadinya.
Dengan kakinya ia menangkap tubuh Uling Kuning dan tidak mau
melepaskannya lagi. Sedang kedua tangannya berusaha untuk
mencekik leher lawannya. Namun sayang ia tidak berhasil.
Meskipun demikian kakinya menjadi seperti terkunci dan dengan
kerasnya membelit perut lawannya. Perasaan muak dan nyeri pada
perut Uling Kuning menjadi semakin hebat. Dengan sekuat tenaga
ia mencoba untuk menahan perasaan itu. Sebab pada hematnya,
sebentar lagi Arya pasti sudah tidak akan dapat bernafas dan
dengan demikian ia akan bebas.
Dalam keadaan yang demikian itulah mereka bersama-sama
berputar-putar dan akhirnya bersama-sama tenggelam. Bagi Arya
tidak ada jalan lain kecuali mati bersama-sama daripada mati
seorang diri. Itulah sebabnya, ketika terasa senjata Uling Kuning
membelit lehernya semakin keras, kakinya pun menjadi semakin
keras menekan perut lawannya itu, supaya Uling Kuning ikut serta
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 50 of 93
terseret ke dalam air. Sedang tangannya berusaha untuk
mengurangi tekanan lilitan cambuk di lehernya.
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba ia teringat bahwa pada saat ia
menerjunkan diri ke dalam air. Kiai Bancak telah disarungkannya.
Tepat pada saat-saat terakhir, dengan sisa tenaga yang ada Arya
menarik tombak pusaka kebesaran
Banyubiru, dan dengan sepenuh
nafsu kemarahannya ditekankan
ujung tombak itu ke dalam perut
lawannya. Terdengarlah suara
menggelegak sesaat. Setelah itu
terasa tarikan cambuk yang
membelit lehernya menjadi
semakin kendor. Sadarlah Arya
bahwa ia berhasil membunuh Uling
Kuning dengan tombaknya. Karena
itu dilepaskannya belitan kakinya,
dan setelah air di sekitarnya
dipenuhi dengan merahnya darah,
ia berusaha untuk berenang ke
permukaan air. Namun tenaganya
sudah sedemikian lemahnya.
Bagaimanapun juga ia berusaha,
tetapi pada saat ia berhasil menegakkan kepalanya ke permukaan
air terasa bahwa matanya menjadi berkunang-kunang. Ketika Arya
mencoba memandang bintang-bintang yang gemerlapan di langit,
maka yang tampak seolah-olah mendung yang tebal menggantung
di udara. Hitam dan kelam. Yang diingatnya pada saat terakhir
adalah menyarungkan tombaknya yang baginya sama harganya
dengan kepalanya, kembali ke dalam sarungnya. Sesudah itu
semuanya seperti lenyap dari ingatannya.
Ketika ia tersadar, terasa seolah-olah sebuah mimpi yang
indah membayang di hadapannya. Meskipun tubuhnya masih
terasa dingin oleh pakaiannya yang basah, namun dilihatnya
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 51 of 93
beberapa orang duduk di sekitarnya, pada sebuah balai-balai
besar. Sebuah lampu minyak yang terang, menyala-nyala dengan
riangnya, seolah-olah ikut serta bergembira untuk keselamatan
Arya Salaka.
Ketika ia sempat mengamat-amati wajah-wajah di sekitarnya,
tampaklah gurunya yang sedang merenunginya dengan seksama.
Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, Wiradapa dan
beberapa orang lagi yang dikenalnya sebagai orang-orang
Gedangan.
Demikian ia mulai menggerakkan matanya, tampaklah
keriangan membersit di wajah-wajah mereka yang dengan
kecemasan menungguinya. Apalagi Mahesa Jenar. Dengan
tergopoh-gopoh ia bergerak maju dan dengan hati-hati
ditempelkannya kupingnya pada dada Arya untuk mendengarkan
detak jantung anak itu.
“Arya....” bisiknya.
Arya mencoba tersenyum, namun kulit wajahnya serasa
membeku.
“Kakang Wiradapa....” kata Mahesa Jenar perlahan-lahan.
“Pinjamilah anak ini pakaian kering.”
Dengan tergesa-gesa Wiradapa bangkit, dan sesaat kemudian
ia telah kembali dengan pakaian-pakaian kering. Dengan kain
panjang, tubuh Arya diselimuti rapat-rapat, dan kemudian
dilepaskannya pakaian-pakaiannya yang basah. Sesaat kemudian
terasa tubuhnya menjadi agak hangat. Tetapi dalam pada itu,
ingatannya masih belum pulih benar. Ia masih belum mengerti
dimana ia berada. Dinding-dinding ruangan itu nampaknya masih
kabur serta dilapisi selaput yang buram.
Dengan susah payah akhirnya terdengar ia berdesis, “Di
manakah aku sekarang…?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 52 of 93
“Kau berada di Kelurahan Gedangan, Arya. Tenangkan
pikiranmu. Semuanya sudah selesai,” sahut Mahesa Jenar.
“Uling Kuning…?” bisiknya perlahan.
“Ia tidak akan mengganggumu lagi,” jawab Mahesa Jenar.
“Jadi, aku berhasil…?” sambungnya.
“Ya, kau berhasil,” jawab Mahesa Jenar pula.
Arya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengarlah ia
bergumam, “Tuhan Maha Besar.”
Yang mendengar gumaman Arya itu menjadi terharu. Mereka
semakin yakin bahwa anak itu tidak saja akan menjadi seorang
yang berjiwa besar, tetapi ia juga akan menjadi seorang pemimpin
yang saleh. Seorang pemimpin yang akan membawa rakyatnya
berjalan sepanjang jalan Allah. Dalam usianya yang semuda itu,
sudah tampaklah sifat-sifat Arya Salaka yang cemerlang. Jauh dari
kesombongan dan nafsu membalas dendam. Cinta kepada
manusia dan kemanusiaan, serta memandang alam ini dengan
penuh cinta kasih pula.
Demikianlah setelah mengucapkan kata-kata itu hati Arya
menjadi tenteram. Tetapi bersamaan dengan perasaan itu,
tubuhnya mulai berasa betapa penat dan sakitnya. Tulang-
tulangnya serasa berderak-derak patah, serta sendi-sendinya
seperti terlepas. Luka di lengan serta lambungnya menjadi pedih
sekali. Cambuk Uling itu telah menyobek kulitnya. Disamping itu,
lehernyapun terasa nyeri. bekas-bekas cambuk Uling Kuning masih
meninggalkan bekas-bekas goresan merah. Meskipun demikian
Arya Salaka berusaha untuk melupakan semua sakit-sakit yang
dideritanya.
Tetapi suatu pekerjaan yang berat, bahkan sangat berat telah
diselesaikan. Melenyapkan Uling Putih dan Uling Kuning sekaligus.
Kemudian tahulah ia, bahwa Mahesa Jenar lah yang telah
menolongnya, ketika ia pingsan di tengah-tengah telaga, setelah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 53 of 93
ia berkelahi melawan Uling Kuning. Gurunya itu datang tepat pada
saatnya, yang kemudian menyambarnya dan menariknya ke tepi.
Kalau saja Mahesa Jenar terlambat beberapa saat saja, mungkin
ia pun telah binasa seperti Uling Kuning.
Ketika orang-orang yang mengerumuninya mengetahui bahwa
keadaannya telah berangsur baik, maka satu demi satu mereka
meninggalkan tempat itu. Yang tinggal kemudian hanya beberapa
orang saja. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri,
Wanamerta dan Wiradapa. Dengan pertolongan beberapa orang,
Kebo Kanigara mendapatkan beberapa macam daun-daunan serta
akar-akar yang diperlukan untuk mengobati luka Arya. Untunglah
bahwa dalam beberapa hal Kebo Kanigara telah belajar pada
Panembahan Ismaya, sehingga dengan cekatan ia dapat
mengobati luka-luka itu.
Beberapa saat kemudian tampaklah keadaan Arya Salaka
berangsur baik. Bahkan kemudian ia sudah dapat tidur. Dengan
demikian ia dapat beristirahat lahir dan batin.
Demikianlah, untuk beberapa hari Arya perlu beristirahat
benar-benar untuk menyembuhkan luka-lukanya serta
memulihkan tenaganya. Sebab setelah ia bertempur mati-matian,
terasa seolah – olah tenaganya telah terhisap habis.
Dalam saat-saat itu, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah
berusaha menjadikan orang-orang Gedangan lebih masak lagi.
Sebab untuk seterusnya tidaklah selalu Mahesa Jenar, Arya Salaka
dan Kebo Kanigara akan dapat berada di tempat itu. Meskipun
menurut perhitungan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, musuh
tidak akan datang kembali. Orang-orang yang berkepentingan
langsung dengan daerah Gedangan telah binasa. Sedangkan laskar
Pamingit pun menurut dugaan Mahesa Jenar tidak akan segera
kembali. Mereka pasti harus mempertimbangkan kekuatan yang
ada di daerah kecil ini. Mereka pada saat-saat yang lalu pasti tidak
akan menduga bahwa di daerah ini ada orang-orang seperti Kebo
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 54 of 93
Kanigara dan bahkan orang yang berjubah abu-abu, yang tanpa
diduga-duga datang menolong.
Setelah Arya sudah pulih kembali kesehatan serta tenaganya,
maka mulailah mereka mempertimbangkan apa yang akan
dilakukan seterusnya. Menurut pertimbangan Kebo Kanigara,
maka yang sebaik baiknya adalah menghadap Panembahan
Ismaya dan melaporkan apa yang telah terjadi serta menyatakan
keselamatan diri.
Demikianlah kemudian mereka terpaksa minta diri kepada
orang-orang Gedangan, setelah mereka mengalami suka duka
bersama, berjuang bersama. Tentu saja orang-orang Gedangan
menjadi kecewa atas perpisahan itu. Tetapi perpisahan itu harus
terjadi, sebagaimana matahari akan tenggelam pada senja hari
setelah sehari penuh sinarnya memancari permukaan bumi.
Demikianlah pula setiap pertemuan pasti akan diikuti dengan
perpisahan. Cepat atau lambat. Karena tak ada sesuatu yang kekal
di muka bumi ini. Setiap kali selalu ada perubahan-perubahan dan
putaran-putaran peristiwa. Seperti berputarnya bola bumi itu
sendiri. Sekali sebagian wajahnya menjadi terang benderang
karena cahaya matahari tetapi sekali menjadi gelap oleh
bayangannya sendiri.
Kepada orang-orang Gedangan Mahesa Jenar mencoba untuk
menjelaskan hal itu. Kemudian katanya, “mengakhiri karena itu
selagi kita berada ditempat yang terang. janganlah kita
bersombong diri. Janganlah kita menganggap bahwa di sana ada
dunia yang gelap, yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang
tidak berhak menikmati terangnya sinar matari. Tetapi dalam
keadaan demikian, kita justru harus mengucapkan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bahwa kita masih berkesempatan untuk
memandang udara yang cerah. Sebab pada saat yang lain, kitapun
akan sampai pada daerah yang kelam. Pada saat yang demikian
kita harus berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menerangi
hati kita menjelang masa depan yang cerah.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 55 of 93
Akhirnya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya
Salaka, Endang Widuri dan Wanamerta terpaksa dilepas pergi,
meskipun dengan berat hati. Meskipun demikian, mereka
berkesempatan untuk mengadakan sekedar selamatan
perpisahan, meskipun sederhana.
Demikianlah ketika cerahnya matahari pagi sedang memercik
di atas dedaunan, berjalanlah sebuah rombongan yang kecil
meninggalkan desa Gedangan menuju ke pebukitan Karang
Tumaritis. Di sepanjang jalan tidaklah banyak yang mereka
percakapkan, sebab kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh
kenangan-kenangan atas peristiwa yang baru saja terjadi. Tetapi
tidaklah demikian dengan Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Selain
kenangan-kenangan yang sekali-sekali membayang di dalam
ingatannya, mereka juga berangan-angan tentang masa depan.
Tentang Sawung Sariti beserta ayahnya Ki Ageng Lembu Sora.
Tentang daerah perdikan Banyubiru. Dan yang tidak kalah
pentingnya, tentang pusaka-pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten. Dengan diketemukannya kedua keris itu, maka
banyak hal yang sekaligus dapat diurai. Sebab keadaan Ki Ageng
Gajah Sora pun sebagian tergantung pada keris-keris itu.
Yang juga terlintas di dalam otak Mahesa Jenar adalah cara
penyelesaian yang secepat-cepatnya mengenai Banyubiru.
Tidaklah sepantasnya kalau Arya Salaka masih harus
menyembunyikan diri terus-menerus. Karena itu bagi Mahesa
Jenar, sebaiknya Arya Salaka yang datang ke Banyubiru, dan
dengan berterus terang menyatakan diri sebagai pengganti
ayahnya, kepala daerah perdikan Banyubiru.
Tetapi pelaksanaan rencana itu haruslah diolah semasak-
masaknya. Sebab setiap kesalahan akan dapat menimbulkan
akibat yang samasekali tidak diharapkan.
Demikianlah rombongan kecil itu berjalan menyusur jalan-
jalan pegunungan dengan tenangnya. Sekali-kali mereka harus
meloncat-loncat di atas batu-batu padas. Dan dengan demikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 56 of 93
mereka telah mengejutkan burung-burung liar yang sedang
bertengger di atas karang-karang terjal yang menjorok di tebing-
tebing pegunungan.
III Hari yang Cerah
Pada saat rombongan kecil, yang terdiri dari Kebo Kanigara
beserta putrinya Endang Widuri. Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya
Salaka dan Wanamerta sampai di Padepokan Karang Tumaritis,
mereka melihat Panembahan Ismaya sedang duduk dikerumuni
beberapa orang cantrik. Agaknya Panembahan itu sedang
bercakap-cakap atau berceritera tentang suatu hal yang sangat
menarik. Sebab tidaklah lazim Panembahan Ismaya memberi
wejangan dan pelajaran dengan cara yang demikian.
Ketika salah seorang cantrik melihat kedatangan rombongan
itu, serta memberitahukan kepada Panembahan Ismaya, maka
dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu berdiri dan
menyambut. Dipersilahkannya rombongan itu duduk pula
bersama-sama dengan para cantrik.
Yang pertama-tama ditanyakan adalah keselamatan mereka
yang baru saja datang menghadap.
Kebo Kanigara lah yang mewakili menjawab setiap pertanyaan
Panembahan Ismaya, serta menyampaikan bakti mereka
bersama-sama.
Panembahan Ismaya mendengarkan semua ceritera Kebo
Kanigara dengan penuh perhatian. Kata demi kata seolah-olah
dicernakan kembali didalam otaknya untuk dapat menangkap
saripatinya.
“Syukurlah kalau kalian selamat,” katanya kemudian, namun
wajahnya tampak muram.
“Karena pangestu Panembahan,” jawab Kebo Kanigara.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 57 of 93
“Sebenarnya aku telah mendengar apa yang terjadi di
Gedangan, dari tembang-rawat-rawat bakul sinambi wara. Juga
seorang cantrik yang sedang turun untuk menukarkan hasil
pertanian kami, mendengar pula ceritera tentang pertempuran
yang terjadi di Gedangan.” Panembahan Ismaya berhenti sejenak.
Wajahnya yang muram itu menatap dengan tajam ke arah mata
Kebo Kanigara yang kemudian menundukkan kepalanya. “Dan aku
mendengar pula....” sambung Panembahan Ismaya, “Bahwa pada
kedua belah pihak jatuh korban.”
“Ya.” jawab Kanigara pendek sambil masih menekurkan
kepalanya.
“Dalam setiap perselisihan dan kekerasan akan jatuh korban,”
sambung Panembahan Ismaya bergumam seperti kepada dirinya
sendiri. “Besar atau kecil, seperti apa yang baru saja terjadi.”
Sekali lagi Panembahan tua itu berhenti, menelan ludahnya. Lalu
kemudian ia berkata kepada salah seorang cantrik, “Kenapa belum
kalian sajikan minuman untuk para tamu ini?”
Seorang cantrik segera berdiri dan pergi ke belakang untuk
menyiapkan minuman bagi rombongan yang memang kehausan
itu.
Setelah mengucapkan kata-kata itu. Panembahan Ismaya
tidak meneruskan kata-katanya. Bahkan kemudian tampaklah ia
menundukkan wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang menyumbat
kerongkongannya.
Yang melihat hal itu, tak seorang pun yang berani
mengucapkan sepatah katapun. Meskipun hati mereka diliputi oleh
berbagai pertanyaan namun mulut mereka terkatub rapat.
Baru beberapa saat kemudian Panembahan tua itu berkata,
“Anak-anakku semua. Baru saja aku memperkatakan angger Arya
Salaka. Aku dengar bahwa angger mengalami peristiwa yang
hampir menyeretnya kedalam kesulitan.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 58 of 93
Arya Salaka membungkukkan badannya, dan dengan
hormatnya ia menjawab, “Benar Panembahan. Tetapi Tuhan yang
Maha Murah telah membebaskan aku dari cengkeraman maut.”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya lirih, “Angger, baru saja memperkatakan angger dengan
para cantrik. Peristiwa seperti apa yang terjadi atas daerah
Perdikan Banyubiru itu telah berulang kali terjadi. Dalam
lingkungan yang besar dan dalam lingkungan yang lebih kecil.
Pertentangan yang terjadi di antara keluarga sendiri.”
Panembahan Ismaya berhenti sesaat, seolah-olah hendak
menunggu sampai kata-katanya meresap kedalam otak bocah itu.
Kemudian ia meneruskan, “Baru saja aku berceritera kepada para
cantrik. Ceritera tentang masa-masa lalu, yang pernah aku dengar
dari mulut ke mulut, atau yang pernah aku baca dari lontar-lontar.
Keretakan demi keretakan, perselisihan demi perselisihan dan
pertempuran demi pertempuran telah berulang kali menusuk
jantung kita sendiri. Usaha yang telah dikerjakan dengan bekerja
keras dan penuh keprihatinan, akhirnya dihancurkan oleh
ketamakan dan pemanjaan nafsu.”
“Kisah tentang kebesaran Baginda Erlangga di Jawa Timur
adalah satu di antaranya. Dengan susah payah baginda Erlangga
berusaha untuk membina persatuan dari seluruh kerajaannya.
Dibekali dengan sakit dan lapar. Dengan mesu raga disepanjang
bukit dan hutan. Sehingga oleh Empu Kanwa Baginda
dipersamakan dengan Arjuna dalam Kakawin Arjunawiwaha.
Tetapi yang kemudian terpaksa membagi daerah yang dengan
susah payah disatukan itu menjadi dua. Itu sebenarnya bukanlah
peristiwa yang paling menyedihkan didalam hidupnya. Tetapi lebih
daripada itu pewaris-pewarisnya ternyata telah menyobek-nyobek
dada sendiri. Terutama Janggala, yang semakin lama menjadi
semakin surut. Dan akhirnya lenyap dari percaturan sejarah.
Sedang Kediri agaknya masih dapat bertahan lebih lama lagi.
Namun negara ini pun mengalami peristiwa yang sama. “Baginda
Jayabaya terpaksa harus berperang melawan kadang sendiri, yaitu
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 59 of 93
Jayasaba. Tetapi apa yang mereka dapatkan dari perselisihan-
perselisihan itu? Kediri pun semakin lama semakin surut. Dan
hanyutlah Kediri pada jaman Baginda Kertajaya, dilanda oleh
kekuatan yang tumbuh dari lingkungan yang tak dapat diketahui.
“Ken Arok, yang kemudian bergelar Rajasa Sang Amurwabhumi.
Tetapi kekuatan inipun kemudian terpecah belah. Pertengkaran-
pertengkaran timbul. Golongan yang satu melawan golongan yang
lain. Pengikut-pengikut Anusapati dari darah Tunggul Ametung
melawan golongan Tohjaya dari darah Sang Amurwabhumi dengan
isterinya yang kedua Ken Umang. Juga mereka tidak mendapatkan
sesuatu dari pertengkaran ini kecuali kelemahan dan mendorong
diri sendiri ke tepi jurang keruntuhan. Ketika golongan-golongan
itu telah tidak lagi saling berdesak-desakan, datanglah
Kertanegara. Tetapi tanpa disangka-sangka, di dalam tubuh
kekuasaan Kertanegara terdapatlah Ardaraja, yang membantu
kekuatan dari luar untuk menghancurkan Singasari. Juga Singasari
kemudian runtuh. Setelah itu lahirlah Majapahit dengan
megahnya. Kesatuan dan persatuan dapat dibina dengan cucuran
keringat Sang Maha Patih Gajah Mada. Karena itulah Majapahit
menjadi mercusuar dari negara-negara yang terserak-serak dari
Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik dan banyak daerah-daerah lagi. Juga dengan
negara-negara tetangga Syangka, Darmanegari, Campa, Kamboja
dan masih banyak lagi.” Sekali lagi Panembahan Ismaya berhenti
untuk sesaat.
Arya mendengar ceritera Panembahan Ismaya itu dengan
penuh perhatian. Beberapa dari ceritera itu pernah didengarnya
dari gurunya. Namun kali ini rasa-rasanya ceritera itu lebih
meresap daripada yang pernah didengarnya.
“Tetapi” Panembahan Ismaya meneruskan, “Majapahit pun
kemudian menjadi surut. Sepeninggal Gajah Mada dan Baginda
Hayam Wuruk, Majapahit seolah-olah kehilangan alas. Perang
yang timbul di antara keluarga sendiri semakin mempercepat
kehancurannya. Perang Saudara yang menyedihkan terjadi, ketika
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 60 of 93
Blambangan tidak mau tunduk lagi. Sebab Adipati Blambangan
merasa berhak pula atas tahta Majapahit. Akibat perang saudara
yang disebut Perang Paregreg inilah maka Majapahit benar-benar
telah menghancurkan dirinya sendiri. Sebab setelah itu Kerajaan
Besar yang telah mengalami perang saudara selama 5 tahun itu
benar-benar telah lumpuh dan tidak mampu mengembangkan
sayapnya kembali. Raja-raja yang ada kemudian samasekali tidak
berarti. Adipati-adipati dan Bupati-bupati kemudian lebih senang
memisahkan diri dan mendirikan negara-negara kecil yang
terpecah belah.”
“Dalam pada itu, bangkitlah kemudian kerajaan Demak. Nah,
dalam hal ini anakmas Mahesa Jenar akan lebih banyak tahu
daripada aku. Namun satu hal yang sekarang sangat
mencemaskan. Kebesaran Demakpun agaknya terganggu. Dua
garis keturunan yang aku dengar sekarang ini sedang dalam
keadaan yang kurang menyenangkan. Garis keturunan Sultan
Trenggana dan garis keturunan Sekar Seda Lepen.”
Panembahan Ismaya mengakhiri ceriteranya. Pandangan
matanya yang lunak beredar dari wajah yang satu ke wajah yang
lain. Sedangkan mereka yang mendegarkan ceritera itu, dengan
cermatnya mengikuti setiap persoalan. Apalagi Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara. Mereka tidak mendengar kisah itu sebagai kisah
melulu. Kisah yang harus disesali bahwa hal-hal yang
menyedihkan itu telah terjadi. Tetapi lebih daripada itu, masa yang
lampau itu hendaknya menjadi cermin atas masa datang
perpecahan demi perpecahan, perselisihan demi perselisihan
antara keluarga sendiri. Dan itu terjadi sekarang.
Ya, sekarang ini.
Dan ini mengancam keselamatan kerajaan Demak.
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Demikian pula Kebo
Kanigara sebagai seorang bangsawan cucu dari salah seorang yang
pernah merajai Majapahit, hatinya tersentuh pula.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 61 of 93
Arya Salaka yang tidak mengerti terlalu jauh tentang ceritera
itu berusaha untuk menghubungkan dengan peristiwa di
daerahnya, Banyubiru. Setiap kali ia merasa, bahwa memang hal
yang serupa telah terjadi. Dalam lingkungan yang kecil, Tanah
Perdikan Banyubiru. Namun demikian ia tidak tahu, bagaimana
seharusnya ia memecahkan masalah yang dihadapinya. Tetapi ia
tidak perlu bingung. Sebab nanti akan dapat menanyakan itu
kepada gurunya.
Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar Panembahan Ismaya
berkata dengan nada yang berbeda, “Nah anak-anak sekalian. Aku
terlalu tergesa-gesa untuk berceritera, sampai aku lupa bahwa
kalian sedang lelah dan perlu beristirahat. Karena itu, silahkan
kalian membersihkan diri, dan kemudian biarlah para cantrik
melayani kalian makan bersama. Akupun perlu beristirahat setelah
terlalu lama bermain-main dengan para cantrik.”
Kemudian ditinggalkannya Kebo Kanigara beserta
rombongannya oleh Panembahan Ismaya untuk mengaso di dalam
sanggarnya.
Demikianlah kemudian merekapun segera menempati tempat
mereka masing-masing seperti pada saat mereka berada di tempat
itu. Dan untuk waktu-waktu seterusnya, kembalilah mereka
menjadi bagian dari masyarakat kecil di atas bukit Karang
Tumaritis.
Kebo Kanigara kembali dalam kedudukannya sebagai seorang
Putut bersama Mahesa Jenar dan Arya Salaka, Wilis dan Widuri pun
kembali pula hidup di antara para Endang di padukuhan itu.
Tetapi dalam pada itu, ada yang selalu menyentuh-nyentuh
perasaan Mahesa Jenar. Ceritera Panembahan Ismaya tentang
keadaan Demak sekarang sangat menarik perhatiannya. Ia selalu
menghubung-hubungkan ceritera itu dengan pusaka-pusaka
Demak yang hilang. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 62 of 93
Apakah kalau pusaka itu diketemukan, dan kemudian dimiliki
oleh salah seorang dari garis keturunan itu, keadaan lalu jadi
tenang?
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang
yang berjubah abu-abu, yang pernah datang ke Banyubiru dan
mengambil kedua keris itu. Lebih daripada itu. Mahesa Jenar
teringat dengan gamblangnya seorang yang berjubah abu-abu
pula, yang dijumpainya di perjalanannya pada saat ia sedang
kehilangan akal. Pada saat hatinya seolah-olah pecah karena
hubungannya dengan Rara Wilis yang pada saat itu diantarkan oleh
Sarayuda. Pada saat ia meninggalkan Arya Salaka di perjalanan
dan berusaha untuk melupakan anak itu. Pada saat itu dijumpainya
orang yang berjubah abu-abu itu. Teringat dengan jelasnya orang
itu berkata kepadanya, ketika ia bertanya di mana kedua keris itu
berada. Katanya, “Mahesa Jenar, kedua keris itu berada di dalam
kekerasan hatimu serta usahamu”. Lalu orang berjubah itu
meneruskan, “Hati-hatilah kelak kau memilih. Ada dua keturunan
yang merasa berhak memiliki keris itu. Keturunan Trenggana dan
Keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa di antara mereka yang
mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan negara.
Kepadanya keris itu kau serahkan.”
Suara itu seolah-olah kini terngiang kembali dalam telinganya.
Suara orang yang berjubah abu-abu. Tiba-tiba ia menghubungkan
pesan orang berjubah abu-abu itu dengan ceritera Panembahan
Ismaya. Dua garis keturunan yang diam-diam mengandung
pertentangan, garis keturunan Sultan Trenggana dan garis
keturunan Sekar Seda Lepen.
Hati Mahesa Jenar kemudian menjadi berdebar-debar. Apakah
hubungannya antara ceritera Panembahan Ismaya dan orang yang
berjubah abu-abu itu. Dan apakah sebabnya maka orang yang
berjubah abu-abu itu tiba-tiba saja muncul di dalam pertempuran
yang terjadi beberapa saat yang lalu, ketika pasukannya sedang
dalam keadaan yang sangat berbahaya?
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 63 of 93
Persoalan-persoalan itu selalu melingkar-lingkar di dalam
relung dada Mahesa Jenar, bahkan kemudian telah mendorongnya
untuk menilai setiap keadaan paling kecilpun dalam usahanya
untuk menemukan jawaban teka-teki yang selalu mengganggu
otaknya itu.
Malahan lebih daripada itu, ia sudah bertekad untuk
menemukan suatu kepastian, bahwa orang yang berjubah abu-abu
dan orang yang menamakan dirinya Panembahan Ismaya pastilah
ada tali yang menghubungkan mereka itu.
Dalam usahanya itu mula-mula Mahesa Jenar tidak ingin
berkata kepada seorangpun. Untuk sementara ia ingin bekerja
sendiri. Dihubung-hubungkannya semua yang pernah dilihat dan
didengarnya, yang pernah dialami dan pernah dihayati selama ini.
Meskipun dalam beberapa hari kemudian tak ada sesuatu yang
menjelaskan dugaannya, namun dengan sabarnya ia bekerja
terus. Sebab apabila hal itu bisa dipecahkan, akan terbukalah
beberapa masalah sekaligus.
Tetapi akhirnya kepada Kebo Kanigara, seorang yang telah
banyak memberi bantuan kepadanya dalam pencapaiannya atas
taraf peresapan ilmunya lebih sempurna lagi, Mahesa Jenar
ternyata tidak dapat berahasia. Kepada Kebo Kanigara
diceriterakannya semua yang pernah dialami dan semua dugaan
yang tersimpan di dalam dadanya.
Mendengar semuanya itu, Kanigara mengerutkan keningnya
tinggi-tinggi. Wajahnya berubah menjadi tegang. Dan dengan hati-
hati ia menjawab, “Mahesa Jenar, meskipun aku telah agak lama
tinggal di padepokan ini, namun banyak hal yang tidak aku ketahui
tentang Panembahan Ismaya. Yang aku ketahui adalah,
Panembahan Ismaya memang sering meninggalkan padepokan ini.
Seterusnya aku tidak tahu.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 64 of 93
Mahesa Jenar dapat mempercayai kata-kata Kebo Kanigara itu.
Sebab orang yang berjubah abu-abu itu pasti tidak menginginkan
seorangpun mengetahui keadaan sebenarnya.
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar mendapatkan suatu
pikiran yang barangkali akan dapat memperjelas persoalan. Dan
ketika pikirannya itu disampaikan kepada Kanigara, ia menjadi
tersenyum dan menjawab, “Mahesa Jenar, otakmu benar-benar
terang. Dan beruntunglah semua pengalaman yang pernah kau
alami dapat kau pergunakan sebaik-baiknya. Aku sependapat
dengan rencanamu, dan aku akan membantumu.”
Kemudian bersepakatlah mereka untuk mencoba memecahkan
teka-teki yang rumit itu. Kali ini mereka akan menempuh jalan
yang sedikit berbahaya. Namun apabila jalan yang dilewatinya
benar, akan terpecahkanlah persoalan itu.
Demikianlah pada suatu malam, Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Kepada Rara
Wilis dan Endang Widuri, mereka berpesan bahwa mereka akan
menempuh suatu perjalanan yang agak panjang, untuk
menyelesaikan banyak persoalan, sehingga mereka tidak perlu
ikut. Sedang kepada Arya Salaka, dipesankan untuk
menyampaikan kepergian mereka besok pagi, langsung kepada
Panembahan Ismaya, tidak kepada orang lain. Juga tidak kepada
Rara Wilis dan Endang Widuri.
Ketika pada pagi harinya Arya Salaka menyampaikan pesan itu
kepada Panembahan Ismaya, panembahan tua itu tiba-tiba
mengerutkan keningnya. Wajahnya berubah membayangkan
kecemasan. Kepada Arya, ia bertanya, “Arya… kapankah mereka
berangkat?”
“Semalam Panembahan,” jawab Arya.
“Kenapa mereka tidak mengatakan keperluannya itu
kepadaku?”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 65 of 93
“Kedua paman itu takut kalau Panembahan tidak mengijinkan.
Sebab Panembahan selalu tidak memperkenankan paman-paman
itu untuk melakukan kekerasan untuk mencapai maksudnya,
apabila tidak terpaksa sekali.”
Kembali Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Namun
karena kebijaksanaannya, Arya tidak dapat mengerti tanggapan
apa yang menjalar dalam dada orang tua itu.
“Arya....” kata Panembahan pula, “Adakah paman-pamanmu
itu yakin bahwa mereka akan menemukan apa yang dicarinya?”
“Ya Eyang… kedua paman itu yakin bahwa yang dicarinya itu
ada di sana,” jawab Arya.
“Seharusnya mereka minta ijin dulu kepadaku,” gumamnya,
lalu katanya meneruskan, “Tetapi semuanya sudah terlanjur.
Kaulah sekarang yang harus menggantikan kedua pamanmu
menuntun para cantrik dan semua penghuni padepokan ini.”
Demikianlah Panembahan tua itu menyesali perbuatan Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara. Dalam hal ini, Arya Salaka pun menjadi
heran. Apakah salahnya kalau kedua pamannya minta ijin lebih
dulu? Kalau masalahnya benar-benar penting, apalagi menyangkut
kedua keris pusaka Demak itu, pasti Panembahan Ismaya akan
mengijinkan. Tetapi Arya Salaka tidak mau berpikir terlalu
panjang. Kalau kedua pamannya itu berbuat demikian, pastilah
ada hal yang memaksa mereka melakukan itu.
Sementara itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah jauh
meninggalkan Padepokan Karang Tumaritis. Mereka pergi ke arah
timur dan kadang-kadang mereka mengarah ke utara, dengan
tujuan Banyubiru.
Perjalanan itu memang agak jauh. Lewat tanah-tanah yang
berbatu-batu tajam dan kadang-kadang mereka harus mendaki
lereng-lereng terjal. Untunglah bahwa sebelum mereka
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 66 of 93
menempuh perjalanan itu mereka sempat singgah di Gedangan
untuk mendapatkan dua ekor kuda yang baik.
Dengan kuda itulah mereka menempuh perjalanan. Diiringi
oleh derap kaki-kaki kuda mereka yang berirama menyentuh batu-
batu padas di bawah sinar matahari pagi, setelah mereka
beristirahat beberapa lama. Burung-burung yang hinggap di
batang-batang pohon liar memandang kedua penunggang kuda itu
dengan kagumnya. Seolah-olah mereka sudah mengenalnya
dengan baik, bahwa kedua orang itu adalah dua orang perkasa
yang sedang dalam perjalanan yang berbahaya.
Namun demikian, wajah-wajah mereka itu tampak betapa
cerahnya secerah matahari pagi, yang memandang jalan yang
terbentang di hadapannya dengan penuh keyakinan. Meskipun
batu-batu padas menjorok menghadang perjalanan mereka,
mereka samasekali tidak mempedulikannya.
Demikianlah kuda-kuda itu berlari dengan kecepatan sedang.
Beberapa saat kemudian mereka menyusup hutan-hutan yang
tidak begitu lebat. Tetapi semakin mereka menyusup ke jantung
hutan itu, terasa bahwa hutan itu menjadi semakin padat.
Meskipun demikian perjalanan mereka samasekali tidak
terganggu. Kuda-kuda mereka pun seolah-olah terpengaruh oleh
kebesaran tekad para penunggangnya.
Ketika matahari menjadi terik, seakan-akan ingin membakar
hutan itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menghentikan
perjalanan mereka, pada saat mereka menjumpai air. Mereka
segera membiarkan kuda-kuda mereka minum, sedang mereka
berduapun beristirahat pula. Setelah puas, barulah mereka
meneruskan perjalanan kembali.
Tujuan mereka yang sebenarnya bukanlah kota Banyubiru.
Banyubiru bagi Mahesa Jenar hanyalah merupakan ancar-ancar ke
arah tujuannya. Karena beberapa orang Banyubiru telah
mengenalnya, maka ia sengaja memasuki kota itu, setelah malam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 67 of 93
menjadi gelap. Dari Banyubiru, Mahesa Jenar menyusup ke utara.
Melewati hutan-hutan yang tidak begitu lebat untuk kemudian
membelok ke arah Timur. Mendaki lambung Bukit Gajahmungkur
dan seterusnya menyusur sepanjang lerengnya ke utara.
Pada sebuah puncak kecil dari
bukit-bukit yang merentang
membujur ke utara itu Mahesa
Jenar berhenti.
“Kakang Kanigara, di sini aku
pernah berkelahi melawan orang-
orang dari golongan hitam hampir
seluruhnya,” kata Mahesa Jenar.
“Siapa saja?” tanya Kebo
Kanigara.
“Sima Rodra muda suami istri,
sepasang Uling, Lawa Idjo dan
Lembu Sora,” jawab Mahesa Jenar.
“Jaka Soka…?” tanya Kanigara
pula.
“Tidak. Ia sedang bertengkar dengan Lembu Sora saat itu,”
jawab Mahesa Jenar pula.
“Dapatkah kau mengatasi keadaan?”
“Tidak. Aku hampir saja mati. Untunglah aku terperosok ke
dalam jurang karena pertolongan seseorang.”
“Bagaimana ia menolongmu?”
“Ia adalah orang yang cukup sakti untuk meruntuhkan tebing
dimana pada saat itu aku sedang terdesak.”
Kanigara tersenyum. Hebat juga orang yang telah
menolongnya itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 68 of 93
“Siapakah dia?”
“Dialah yang aku sebut-sebut bernama Radite.”
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
katanya, “Jadi… orang yang sebenarnya berhak menamakan diri
Pasingsingan itukah?”
“Ya.”
Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Angin malam
berhembus perlahan mengusap wajah-wajah yang segar itu.
Kanigara memandang berkeliling. Di sebelah Barat tampak
berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan, permukaan air Rawa
Pening yang tenang seperti kaca. Sedikit ke arah barat tampaklah
seperti gelombang hitam, batang-batang padi yang bergerak-
gerak tersentuh angin.
“Inikah daerah yang harus dipimpin oleh Arya Salaka kelak?”
tanya Kebo Kanigara.
“Ya. Membujur ke barat dan menjorok ke utara sepanjang tepi
Rawa Pening,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi.
Memang Banyubiru adalah tanah yang patut diperebutkan. Daerah
yang subur dan memiliki sungai-sungai yang cukup, sehingga
sawah ladangnya tidak saja selalu tergantung pada jatuhnya
hujan.
Sesaat kemudian kembali mereka meneruskan perjalanan.
Ketika mereka sampai di sebuah hutan kecil, mereka berhenti
untuk melepaskan lelah.
Ketika matahari pagi mulai menerangi punggung-punggung
bukit, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mulai dengan
perjalanannya kembali. Kuda-kuda mereka nampaknya menjadi
segar dan berlari-lari dengan riangnya. Hutan-hutan di daerah ini
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 69 of 93
bukanlah merupakan hutan-hutan yang lebat. Sebab hampir setiap
hari daerah ini dirambah oleh orang-orang yang mencari kayu.
Kaki-kaki kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terdengar
berderap-derap dalam irama angin pagi. Debu yang putih tipis
mengepul-ngepul dilemparkan oleh kaki-kaki kuda itu. Tetapi
sesaat kemudian telah lenyap terhambur oleh hembusan angin.
Demikianlah mereka menempuh perjalanan pada hari terakhir.
Mereka mengharap bahwa malam nanti mereka telah sampai pada
arah yang harus mereka tuju.
Di daerah ini perjalanan mereka tidaklah dapat begitu lancar.
Karena Mahesa Jenar masih harus mengingat-ingat jalan manakah
yang pernah ditempuhnya dahulu. Sebab baru sekali ia pernah ke
tempat yang ditujunya sekarang. Itu saja pada arah yang
berlawanan. Untunglah bahwa ketajaman ingatannya cukup
terlatih untuk mengenal daerah-daerah baru. Sebagai seorang
prajurit, hal yang sedemikian adalah sangat berguna.
Mereka sampai ke tempat tujuan ketika matahari masih
tampak tergantung di langit sebelah barat. Meskipun sinarnya
sudah tidak begitu kuat, namun pantulan cahaya ujung-ujung
dedaunan nampak berkilat-kilat. Alangkah segarnya alam.
Karena itu mereka masih harus beristirahat kembali sambil
menunggu matahari itu membenamkan diri, sebelum mereka
memasuki daerah yang disebut oleh penghuninya Pudak
Pungkuran.
Demikianlah, sambil beristirahat mereka memperbincangkan
apakah yang kira-kira akan terjadi. Mereka mengharap bahwa
mereka menempuh jalan yang benar. Dalam pada itu merekapun
masih harus menilai-nilai diri. Terutama Mahesa Jenar. Apakah
dalam tingkatannya yang sekarang ia sudah dapat menempatkan
dirinya sejajar dengan angkatan gurunya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 70 of 93
“Mahesa Jenar....” kata Kebo Kanigara, “Menurut pendapatku,
kau benar-benar sudah mencapai tingkatan ayah Pengging Sepuh.
Bahkan andaikata ayah Pengging Sepuh itu masih ada sekarang,
belum tentu ayah dapat menang bertempur melawanmu. Sebab
tenagamu masih penuh, disamping pengalamanmu yang aneh-
aneh yang barangkali tidak terlalu banyak orang lain mengalami.
Kesenanganmu bersama muridmu mengamat-amati gerak-gerik
binatang adalah sangat berguna bagi ilmumu. Dan bukankah kau
telah pernah membuktikannya pula untuk melawan Sima Rodra
tua. Kekalahan Sima Rodra adalah karena ia hanya mengagumi
ketangkasan dan kekuatan seekor harimau. Sedang kau tidak. Kau
mengagumi ketangkasan harimau tetapi kau mengagumi pula
kelincahan seekor kijang, bahkan seekor kelinci sekalipun.”
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Jawabnya,
“Terima kasih Kakang. Dan bukankah itu berkat hadirnya seorang
Mahesa Jenar palsu di kaki bukit Karang Tumaritis?”
Kanigara tersenyum pula. “Aku hanya merupakan lantaran
supaya kau sudi sedikit membuang waktu untuk mendalami
ilmumu. Tidak saja berjalan dari satu daerah ke daerah yang lain,
meskipun kehadiranmu di daerah-daerah itu ternyata sangat
berguna pula.”
Sementara itu langit telah bertambah buram. Dan sesaat
kemudian lenyaplah cahaya matahari yang terakhir. Meskipun
kemudian bulan muncul pula di langit, namun sinarnya tidaklah
terlalu cerah.
Pada saat yang demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
meneruskan perjalanan mereka, memasuki sebuah pedukuhan
kecil yang masih belum banyak mengalami perubahan seperti
empat atau lima tahun yang lalu.
Ketika mereka sampai di depan sebuah rumah di ujung
pedukuhan kecil itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 71 of 93
meloncat turun dan kemudian menambatkan tali kudanya pada
sebatang pohon.
Mereka samasekali tidak memperdulikan wajah-wajah yang
terheran-heran mengintip dari sela-sela daun pintu hampir dari
setiap rumah, ketika penduduk di pedukuhan terpencil itu
mendengar derap dua ekor kuda di jalan-jalan mereka. Hal yang
demikian adalah jarang sekali, bahkan hampir belum pernah
terjadi.
Ketika penghuni rumah di ujung jalan itu mendengar langkah
kuda di halaman, maka segera tampaklah ia membuka pintu
rumahnya. Sebuah wajah yang telah meninggalkan usia
pertengahan menjelang saat-saat senja dalam edaran hidupnya,
menjenguk keluar. Mula-mula tampak keningnya berkerut. Lalu
kemudian membayanginya sebuah senyuman yang jernih.
Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Wajah yang ditandai
oleh dahi yang lebar, bibir yang tebal, dan hidung yang besar, serta
rambut yang mulai memutih, namun dari bawah dahinya
memancarkan sinar matanya yang bersih lembut.
Ketika orang itu dengan tergopoh-gopoh datang
menyongsongnya, Mahesa Jenar membungkuk hormat serta
berkata, “Selamat malam Kiai. Mudah-mudahan kedatanganku
tidak mengejutkan Kiai.”
“Tidak, tidak Angger. Aku senang kau sudi menjenguk aku
kembali,” jawabnya.
Kemudian Mahesa Jenar memperkenalkan Kebo Kanigara
sebagai seorang Putut dari Padepokan Karang Tumaritis dan
bernama Putut Karang Jati.
“Marilah Angger berdua, marilah masuk,” ajaknya.
Kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengikuti orang
tua itu memasuki rumahnya. Belum lagi mereka mulai dengan
sebuah percakapan, tiba-tiba sebuah tubuh yang tinggi kekurus-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 72 of 93
kurusan berkulit merah tembaga terbakar oleh teriknya matahari,
namun bermata terang seterang bintang-bintang di langit, telah
berdiri di muka pintu. Dengan sebuah tawa yang memancar
langsung dari dadanya ia menyambut kedatangan Mahesa jenar.
Katanya, “Aku tidak mimpi apapun malam tadi, serta siang tadi
burung-burung prenjak tidak berkicau. Tetapi tiba-tiba
membayanglah teja di langit.”
Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula
kepada orang itu. Demikian pula Kebo kanigara. Melihat kedua
orang itu, segera Kebo Kanigara mengetahui, bahwa meskipun
mereka berpakaian petani seperti kebanyakan petani, namun
kedua orang itu pasti bukanlah sembarang petani. Karena itu
segera ia dapat menebak, bahwa kedua orang itulah yang oleh
Mahesa Jenar dimaksud bernama Paniling dan Darba, atau yang
bernama sebenarnya Radite dan Anggara.
“Ketika aku mendengar derap kuda,” Darba meneruskan, “aku
bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang terperosok ke
pedukuhan kecil ini? Tetapi beberapa orang yang sempat
mengintip dari celah-celah pintu berkata kepadaku, bahwa orang
berkuda itu menuju ke rumah Kakang Paniling. Karena itulah aku
segera datang kemari. Dan dugaanku benar. Bahwa pasti orang
yang datang dari jauhlah yang telah mengunjungi rumah ini.”
“Demikianlah Paman....” jawab Mahesa Jenar. Dan kepada
Darba pun Mahesa Jenar memperkenalkan Putut Karang Jati.
Demikianlah mereka setelah masing-masing mengucapkan
salam selamat, mulailah Paniling dan Darba bertanya-tanya
mengenai keadaan Mahesa Jenar selama ini tanpa prasangka
apapun. Namun Mahesa Jenar hanya berusaha menjawab
beberapa hal saja.
Sehingga, akhirnya Paniling dan Darba merasa bahwa sikap
Mahesa Jenar agaknya kurang wajar. Karena itu kemudian Paniling
bertanya “Angger, aku sangka kedatangan Angger mengandung
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 73 of 93
suatu keperluan yang penting, yang barangkali agak tergesa-gesa.
Nah, angger. Katakanlah. Kalau saja kami berdua dapat menolong
kesulitan angger, biarlah kami berusaha untuk menolongnya.”
Sesaat Mahesa Jenar menjadi ragu-ragu. Beberapa kali ia
memandang kepada Kebo Kanigara. Tetapi karena Kebo Kanigara
sedang menundukkan mukanya, merenungi lantai, maka ia tidak
melihatnya.
Akhirnya Mahesa Jenar memutuskan untuk melaksanakan
rencananya. Meskipun dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi
ia berdoa agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan baik.
Maka kemudian berkatalah ia, “Paman berdua… benarlah
dugaan Paman. Aku datang dengan suatu keperluan yang penting.
Meskipun dengan berat hati, namun terpaksalah aku akan
melakukan kewajibanku, kewajiban kepada negara dan rakyat.”
Paniling dan Darba bersama-sama mengerutkan keningnya.
Mereka menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Mahesa
Jenar berdasarkan atas kewajibannya kepada negara dan rakyat?
“Paman....” Mahesa Jenar meneruskan, “Setelah beberapa
tahun aku berkeliling hampir seluruh sudut negeri ini untuk
mencari kedua keris Demak yang lenyap seperti yang pernah aku
katakan dahulu, dan samasekali aku tidak menemukan jejaknya,
maka berdasarkan pengamatanku, atas seseorang yang
mengambil keris itu langsung dari Banyubiru, akhirnya aku
berkesimpulan, bahwa tidak ada orang lain yang demikian
saktinya, melampaui kesaktian Pasingsingan, serta berjubah abu-
abu seperti Pasingsingan pula, selain salah seorang dari kedua
paman ini. Paman Radite atau Paman Anggara.”
Perkataan Mahesa Jenar yang diucapkan kata demi kata
dengan jelasnya itu, bagi Paniling dan Darba, seolah-olah
menggelegarnya berpuluh-puluh guntur bersama-sama diatas
kepala mereka. Sehingga dengan demikian, malahan seolah-olah
tidak sepatah katapun yang dapat mereka tangkap dengan jelas.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 74 of 93
Karena itu dengan agak ragu-ragu pada pendengarannya, Paniling
bertanya, “Angger, apakah yang Angger katakan itu?”
“Maafkanlah aku Paman,” Mahesa Jenar menjelaskan, “Bahwa
aku akhirnya berkesimpulan. Keris -keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten agaknya berada di tangan paman salah seorang atau
kedua-duanya.”
Paniling dan Darba bersama-sama menarik nafas panjang.
Untunglah bahwa umur mereka yang telah lanjut, menyebabkan
mereka dapat mengendapkan setiap perasaan yang paling pedih
sekalipun.
Dengan sareh terdengar Paniling menjawab, “Angger,
beberapa tahun yang lampau telah aku katakan, bahwa akupun
ikut merasa sedih atas lenyapnya kedua keris itu. Tetapi orang
yang berjubah abu-abu itu bukanlah salah seorang di antara kami.
Apakah pamrih kami dengan menyimpan kedua keris itu…? Kami
telah merasa berbahagia hidup di padepokan ini bersama-sama
dengan para petani. Sebab mereka adalah orang-orang yang
berhati terbuka. Demikian yang dikatakan, demikian pulalah yang
dipikirkan. Di sini aku merasa bahwa hidup kami telah penuh
dengan arti.”
“Paman....” jawab Mahesa Jenar, “Sekali lagi aku mohon maaf.
Tetapi sayang Paman, bahwa aku tidak dapat berkesimpulan lain
daripada itu.”
Darba menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mata yang
suram ia berkata, “Bagaimana aku dapat menduga yang demikian
Angger. Kami samasekali tidak melihat adanya suatu keuntungan
apapun dengan menyimpan kedua keris itu. Sedang kami tahu,
bahwa orang lain sangat memerlukannya. Seandainya kedua keris
itu ada pada kami, maka dengan senang hati akan kami serahkan
kepada Angger Mahesa Jenar.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 75 of 93
“Paman, aku tidak tahu siapakah yang berdiri di belakang
Paman. Aku juga tidak tahu, apakah Paman mempunyai seorang
calon untuk merebut tahta.”
Kembali Paniling dan Darba terkejut bukan buatan. Perlahan-
lahan tanpa disadarinya mereka mengelus dada. Katanya, “O…
Ngger... Jangan berpikiran demikian. Aku berdua samasekali tidak
mempunyai seorang muridpun. Juga kami berdua tidak
mempunyai anak keturunan. Apalagi membayangkan seseorang
untuk menduduki tahta kerajaan. Sungguh Ngger, mimpi pun aku
tidak berani.”
Mahesa Jenar tertawa dingin. Sahutnya, “Aku sudah bertanya
kepada lebih dari seratus orang. Semuanya menjawab seperti
jawaban Paman berdua itu. Apalagi Paman berdua adalah dua
orang sakti yang hampir tak ada bandingnya di dunia ini.”
Sekali lagi Paniling dan Darba menarik nafas dalam-dalam.
Terdengarlah Darba menjawab dengan nada sedih, “Angger
Rangga Tohjaya… Angger seharusnya bijaksana. Seandainya kami
berdua benar-benar sakti seperti apa yang Angger sebutkan.
Namun mustahillah bahwa kami berdua akan dapat menguasai
seluruh prajurit dan pengawal kerajaan, meskipun kami
menyimpan sipat kandel Demak. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten.”
Mahesa Jenar tertawa semakin keras. “Hampir setiap anak
kecilpun mengetahui, bahwa dengan berpegangan pada kedua
sipat kandel itu Paman berdua mengharapkan seluruh istana akan
tunduk dengan sendirinya tanpa kekerasan.”
“Angger....” potong Paniling, “Pandanglah wajah-wajah kami
yang telah mulai berkeriput ini. Apakah terbayang nafsu duniawi
yang berlebih-lebihan? Kalau demikian maka kami adalah orang-
orang tua yang paling berdosa di dunia ini. Kami yang telah
bertekad untuk meninggalkan segala nafsu duniawi dan berusaha
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 76 of 93
untuk menenteramkan diri serta mendekatkan diri pada
sesembahan kami yang langgeng. Tuhan Yang Maha Besar.”
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Dengan tajam ia
memandang Paniling dan Darba berganti -ganti. Lalu katanya
dengan lantang, “Aku tidak percaya, bahwa kalian sudah tidak
mempunyai pamrih duniawi lagi. Dan ketahuilah, bahwa pada
wajah kalian memang terbayang nafsu yang berlebih-lebihan.”
Paniling dan Darba tersentak mendengar jawaban itu.
Beberapa saat wajah mereka menjadi tegang. Tetapi sesaat
kemudian wajah-wajah itu menjadi semakin sayu. Dengan nada
yang sedih terdengar Paniling menjawab, “Jadi, adakah Angger
Mahesa Jenar tetap pada pendirian Angger, menyangka bahwa
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada kami…?”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar tegas.
“Kalau demikian, lalu apakah yang akan Angger lakukan?”
lanjut Paniling.
“Serahkanlah keris-keris itu kepadaku.” Suara Mahesa Jenar
menjadi semakin tegas.
“Sayang, kami tidak dapat melakukan karena tidak ada yang
dapat kami serahkan,” jawab Paniling pula.
“Aku akan membuktikan bahwa keris itu berada di tempat ini,”
potong Mahesa Jenar.
Paniling dan Darba menggeleng-gelengkan kepala. Untuk
beberapa lama mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya
terdengarlah Paniling menjawab dengan suara yang agak dalam,
“Kalau Angger ingin membuktikan, kami persilakan dengan senang
hati.”
Mahesa Jenar menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin Paniling dan
Darba menjadi marah. Karena itu ia membentak seperti
membentak pesakitan, “Hai paman berdua, jangan coba berputar-
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 77 of 93
putar lagi. Aku dapat bertindak lunak. Tetapi aku juga dapat
berbuat kasar. Jangan membantah lagi. Berdirilah dan tunjukkan
kedua keris itu, di mana kau sembunyikan.”
Dahi Paniling dan Darba menjadi bertambah berkerut.
Akhirnya dengan lemah terdengar Paniling menjawab, “Angger…
barangkali Angger benar. Bahwa aku telah berbuat diluar tahuku
sendiri. Kalau demikian terserahlah kepada Angger. Kalau Angger
ingin menghukum kami berdua, hukumlah. Lakukanlah yang
Angger anggap paling benar dan adil. Kami tidak akan ingkar.
Kalau Angger menganggap bahwa kami sepantasnya dihukum
mati, dipancung atau digantung, lakukanlah itu. Kami akan
menjalani penuh keiklasan dan kami akan tersenyum pada saat
akhir kami.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Demikian
agaknya Kebo Kanigara. Mereka samasekali tidak menduga bahwa
kedua orang itu sudah demikian iklasnya menghadapi maut
sekalipun, untuk membuktikan betapa bersih mereka.
Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata ia tidak
berhasil membuat kedua orang itu marah dan menantangnya
berkelahi. Bahkan kemudian Mahesa Jenar menjadi terharu
sehingga terpaksa menundukkan kepala.
Apalagi ketika terdengar Darba melanjutkan kata-kata
Paniling, “Anakmas agaknya mempunyai wewenang untuk
bertindak. Baik sebagai seorang yang setia pada keyakinannya
atau bahkan barangkali Anakmas sekarang benar-benar sedang
mengemban tugas sebagai seorang prajurit. Kalau dengan
menjalani tindak kekerasan, kami dapat melapangkan tugas
Angger maka kami akan merasa bahagia karenanya.”
Mahesa Jenar kemudian tidak mengerti lagi apa yang harus
dilakukan. Ia sudah berusaha untuk memancing kemarahan kedua
orang itu, namun ternyata sia-sia.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 78 of 93
Dalam pada itu Kebo Kanigara yang sebenarnya terharu pula
atas keiklasan kedua orang itu untuk pasrah diri, tiba-tiba tertawa
nyaring. “Hai orang-orang yang berjiwa kerdil… buat apa kami
membunuh kalian? Ketahuilah bahwa sebenarnya aku adalah
seorang petugas dari Istana. Akulah yang bernama Tumenggung
Surajaya. Kalau kalian tidak mau menyerahkan kedua keris itu
sekarang, maka kalian akan kami bawa menghadap ke Istana
Demak. Aku berwenang untuk menghukum kalian, dan hukuman
yang aku rencanakan adalah mengikat leher kalian, serta
menggiring kalian keliling kota. Setiap orang yang berpapasan
harus mengucapkan kata-kata penghinaan terhadap kalian.
Perempuan dan anak-anak harus melempari kalian dengan batu.
Sedang laki-laki dapat berbuat sekehendaknya atas kalian.”
Mahesa Jenar sendiri terkejut mendengar kata-kata itu,
sehingga tanpa disengaja ia mengawasi Kebo Kanigara dengan
tajamnya. Namun Kanigara masih saja tertawa, malahan semakin
keras.
Bagaimanapun jernihnya hati yang tersimpan di dalam dada
Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia juga. Manusia
yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya sebagai manusia.
Karena itu, ketika mereka mendengar kata-kata hinaan tamunya,
dada mereka terasa bergetar juga.
Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada
Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka
sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar,
beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia
mencoba menahan diri supaya ia tidak melakukan hal-hal yang
dapat mengotori diri mereka.
Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat
Darba berkata, “Tuan… maafkanlah kami. Kalau kami tidak
mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi datang ke pondok kami
adalah seorang tumenggung. Karena itu terimalah sembah bekti
kami berdua.”
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 79 of 93
Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya, “Aku samasekali
tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti itu.
Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar
daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”
“Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya
semakin berdesakan di dalam rongga dadanya. “Tetapi memang
seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa
Tuan telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”
“Apa…?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata.
“Kau bilang aku kurang bijaksana…? Hai orang-orang yang tak
berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil
mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan mulutmu.”
Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi tidak
senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap bahwa Kebo
Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar,
kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat
marah.
“Baiklah, aku mohon maaf,” sahut Darba, “Namun biarlah aku
tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab
barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.”
Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak. “Patuhi
perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya. “Sekarang aku
menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan
Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria
yang berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian
tidak pantas mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi
manusia yang paling hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”
Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya dihina
lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama Radite dan
Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak
dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya
kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 80 of 93
yang terpendam di dalam dada. Kemudian katanya, “Terserahlah
kepada Tuan. Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti
yang Tuan maksudkan.”
Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi merah.
Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk di
hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di
depan pintu, ia berteriak, “Hai kau tua bangka, suruh adikmu
melakukan perintahku.”
Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya. Terdengar
suaranya lirih namun terasa betapa getaran kemarahan melontar
hampir tak terkendali. “Tidak, Tuan. Aku tidak dapat menyuruhnya
berbuat demikian.”
“Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara. “Atau aku harus
datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti
yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”
Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang paling
dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam kata hinaan.
Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri. Matanya
memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang
hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya
bergetar. Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar
Pasingsingan. Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat
lain untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata kata-
kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas Kebo
Kanigara dan Mahesa Jenar. “Angger berdua… aku sudah
mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang iklaskan. Tetapi
Angger berdua minta terlalu banyak dariku. Karena itu biarlah aku
berikan yang paling berharga yang ada padaku, yaitu namaku
Radite. Tetapi nama itu agak berbeda dengan nama Paniling,
seorang petani yang tidak berharga. Tuan boleh berbuat
sekehendak Tuan atas seorang petani yang bernama Paniling dan
Darba. Tetapi tidak demikian atas nama Radite dan Anggara. Nah,
Tuan… apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 81 of 93
Tetapi jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu saja.
Nama itu adalah sama berharganya dengan nyawa kami.”
Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar
kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap Paniling dan
Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian benar-
benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang
sakti yang jarang dicari bandingannya.
Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula. Seorang
yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang
telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging
Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu
Perguruan Pengging. Apalagi mereka telah melakukan semuanya
itu dengan sengaja. Sengaja memancing pertengkaran dan
pertempuran dengan orang yang bernama Radite dan Darba,
murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh.
Demikianlah kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah
tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara
berkata, “Bagus… bagus... Begitulah seharusnya orang yang
bernama Radite berkata. Aku, Tumenggung Surajaya,
kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga Tohjaya pasti akan
melakukan tugasnya dengan baik. Nah, keluarlah. Biar aku
renggut nama kebanggaanmu dengan usaha seorang laki-laki.”
Kebo Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-
katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu, diikuti oleh
Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula ketika
dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam
gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk
mencoba mencari kembali pikirannya yang bening. Namun
akhirnya ketika dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu,
dengan ragu iapun keluar.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 82 of 93
IV
Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia
melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak, “Hati-
hatilah, hai orang yang bernama Radite. Aku datang untuk
membunuhmu.”
Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah
tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki
Paniling.
Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali
mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar biasa
kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti
lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya,
tentang orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya.
Tetapi ia sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak
demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus
melayaninya.
Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian
antara dua orang sakti yang sukar dicari bandingnya. Dalam pada
itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite benar-benar
seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai
tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya.
Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak bergerak,
namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur yang sangat
berbahaya.
Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat, Radite
pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda itu. Dalam
usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu
yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat
membingungkan. Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur
gerak yang dikenalnya dengan baik. Unsur-unsur gerak dari
sahabatnya almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 83 of 93
beberapa hal telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-
unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu.
Demikianlah kemudian per-
tempuran itu semakin lama
menjadi semakin sengit. Dua
orang yang sakti, yang dengan
ilmu-ilmunya sedang berjuang
untuk menguasai lawannya.
Karena Kanigara masih belum
berkenalan sebelumnya maka ia
dapat bertempur dengan baik
tanpa segan-segan. Dan karena itu
pula, pertempuran itu pun menjadi
seru sekali.
Darba dan Mahesa Jenar
melihat pertempuran itu dengan
kagumnya. Bahkan Darba pun
akhirnya melihat pula persamaan
antara orang yang menamakan
dirinya Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging
Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah orang itu
dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh serta
Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran,
bahwa Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris
pusaka Demak berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba
menyangka bahwa orang itu pasti mempunyai garis keturunan
ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk
mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi
penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang diharapkan
akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam
hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik
memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara,
berteriaklah Mahesa Jenar, “Paman Anggara… karena Paman
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 84 of 93
Anggara ikut pula dalam usaha menyembunyikan pusaka-pusaka
Istana itu, maka Paman pun harus menerima hukumannya.”
Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba, terkejut.
Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar…? Dan ketika ia melihat
Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah
heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang
itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan
dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan
orang lain, namun terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya
kalau ia terpaksa bertempur. Karena itu Darba pun menjawab,
“Angger Mahesa Jenar… biarlah pamanmu Radite memperta-
hankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak
usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau
juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti
Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar… namun biarlah
pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang
Radite binasa karena benar-benar berdosa terhadap negara,
biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi kalau ternyata Kakang
Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula kenyataan itu.
Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami
menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”
Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi ragu.
tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara dan
Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau
tinggal diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia
mengharap segala sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia
telah menempuh jalan yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi
ia berteriak, “Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi
Rangga Tohjaya wajib melakukan kewajibannya.”
Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar meloncat
dan langsung menyerang dada Anggara dengan kecepatan luar
biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak mau
secara naluriah terpaksa meloncat mengelak. Sebenarnya Anggara
masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 85 of 93
Mahesa Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia
berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung Anggara
dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-benar tidak
disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan kecepatan
penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara
bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa
untuk bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja,
serangannya itu benar-benar telah membahayakan lawannya,
sehingga ia menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-
benar tidak sempat menghindari.
Sementara itu, anggara yang tidak menduga sebelumnya,
bahwa Mahesa Jenar mampu bergerak secepat itu, benar-benar
telah kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karena itu,
segera ia menekuk kakinya, sedikit merendahkan tubuhnya,
sambil melindungi lambungnya dengan sikunya untuk menangkis
serangan Mahesa Jenar. Dengan demikian maka terjadilah
benturan yang sengit antara kaki Mahesa Jenar dengan siku
Anggara. Akibatnya mengejutkan. Bahkan tidak diduga-duga oleh
Mahesa Jenar dan juga oleh Anggara. Dalam benturan yang
terjadi, Anggara dan Mahesa Jenar masing-masing terdorong
surut. Bagi Mahesa Jenar yang sejak semula mengagumi kesaktian
kedua tokoh murid Pasingsingan itu, menjadi heran bahwa
kekuatan yang ada pada dirinya, setelah ia bekerja keras untuk
menemukan inti sari dari ilmunya, dapat mengimbangi kekuatan
Anggara. Sedangkan Anggara menjadi heran dan bertanya-tanya
di dalam hati, siapakah yang telah mengubah Mahesa Jenar dalam
waktu-waktu terakhir ini menjadi seorang yang demikian kuatnya.
Tetapi karena itulah maka akhirnya Anggara menjadi sadar, bahwa
Mahesa Jenar benar-benar telah memiliki bekal untuk melakukan
tugasnya. Dengan demikian. Anggara kemudian benar-benar telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar menyerang dengan
cepatnya. Tetapi kali ini Anggara telah dapat mengetahui, bahwa
Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 86 of 93
lalu, ketika bersama-sama dengan Mantingan, Wiraraga, Gajah Alit
dan Paningron bertempur melawan Sima Rodra tua dari Lodaya
dan Pasingsingan. Ketika itu Mahesa Jenar berlima tidak lebih
daripada lima ekor tikus melawan dua ekor kucing yang ganas.
Tetapi tikus itu kini telah berubah tidak saja sebagai seekor kucing
yang ganas, namun benar-benar telah berubah menjadi seekor
harimau yang garang.
Karena itulah maka Anggara pun menyambut serangan
Mahesa Jenar dengan penuh kewaspadaan. Kewaspadaan seorang
sakti yang mempunyai perbendaharaan pengalaman seluas lautan.
Demikianlah di ujung padukuhan kecil yang sepi itu terjadilah
dua lingkaran pertempuran yang sengit. Dua pasang orang-orang
sakti. Namun karena kepercayaan mereka pada diri sendiri, serta
sifat-sifat kejantanan yang mereka miliki, maka pertempuran itu
tidak banyak menimbulkan keributan. Masing-masing bertempur
dengan berdiam diri. Hidup atau mati mereka sepenuhnya mereka
percayakan kepada sumber hidup mereka.
Tetapi pertempuran itu sendiri merupakan pertempuran yang
dahsyat tiada taranya. Kebo Kanigara memiliki ketangguhan
seperti seekor banteng yang kuat tiada taranya. Sepasang kakinya
yang kokoh telah membawakan tubuhnya pada keadaan-keadaan
yang menguntungkan. Kadang-kadang kedua kaki itu tampak
seolah-olah tertancap dalam-dalam membenam di tanah
tempatnya berpijak, seperti batu karang yang kokoh kuat berdiri
dengan tegaknya. Namun kemudian kakinya itu pula dapat
berloncatan dengan lincah dan kecepatan yang mengagumkan.
Sebaliknya, Radite pun mempunyai keistimewaan yang sukar ada
bandingnya. Meskipun kadang-kadang seakan-akan ia hanya
bergeser setapak demi setapak, namun kadang-kadang seakan-
akan kakinya seakan-akan tidak berpijak di atas tanah. Dengan
tangan yang mengembang ia berloncatan kesana kemari, seperti
seekor Garuda yang dengan garangnya bertempur mati-matian,
mempertahankan serangannya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 87 of 93
Di tempat lain, tampak Mahesa Jenar dengan gigihnya
bertempur melawan Anggara, murid Pasingsingan yang termuda.
Namun murid termuda ini pun memiliki ilmu yang luar biasa
tingginya. Sebagai seekor naga yang bersayap, ia menyerang
Mahesa Jenar dari segala jurusan. Menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya. Tangan dan kakinya seolah-olah telah berubah
menjadi sayap menyebar angin maut. Namun Mahesa Jenar adalah
seorang yang luar biasa pula. Dengan mesu diri serta meraga-
sukma tanpa seorang penuntun langsung ia berhasil menemukan
intisari dari ilmu perguruan Pengging. Ditambah dengan
kecerdasan otaknya yang cemerlang seperti bintang di langit, serta
usahanya untuk menyesuaikan diri dengan alam, telah menjadikan
ilmu dari perguruan Pengging itu suatu ilmu yang tiada
bandingnya. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha
secermat-cermatnya, menyesuaikan diri untuk melawan Anggara
yang bertempur sebagai seekor naga bersayap. Demikianlah
Mahesa Jenar berusaha pula untuk dapat mengimbangi lawannya.
Sebagai seekor burung rajawali ia berjuang dengan dahsyatnya.
Tangannya yang hanya sepasang itu seolah-olah berubah menjadi
puluhan bahkan ratusan pasang sayap yang mengibas bersama-
sama, menimbulkan desing angin yang menderu-deru, disamping
kaki-kakinya yang menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh
lawannya.
Ternyata, ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa
lama, kekuatan mereka tampak berimbang. Kebo Kanigara benar-
benar dapat mengimbangi kesaktian murid Pasingsingan yang
pernah mendapat kepercayaan untuk mempergunakan topeng
yang terkenal sebagai wajah Pasingsingan, pernah memiliki pula
jubah abu-abu serta akik kelabang sayuta beserta sebuah pisau
belati panjang kuning gemerlapan, yang bernama Kyai Suluh.
Radite bukan seorang yang sombong, yang menganggap
kesaktiannya tanpa tanding. Namun terhadap orang ini, yang
menamakan diri Tumenggung Surajaya, ia menjadi heran. Ilmu
orang itu pasti bersumber pada ilmu seketurunan dengan
sahabatnya Pengging Sepuh. Namun ia menjadi heran, bahwa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 88 of 93
orang ini benar-benar dapat menguasainya dengan baik, bahkan
memiliki perkembangan-perkembangan yang mengagumkan.
Menurut pengertiannya, Ki Ageng Pengging Sepuh hanya
mempunyai seorang murid, yang bernama Mahesa Jenar, dan
bergelar Rangga Tohjaya. Dalam pada itu, keheranannya, dalam
pengamatannya yang hanya sepintas, tidak segera dapat
menguasai Mahesa Jenar yang menyerangnya. Bahkan dalam
beberapa lama, pertempuran mereka masih tetap dalam keadaan
seimbang.
Tetapi justru karena itulah, maka akhirnya mereka benar-
benar telah mengerahkan segenap tenaga serta kemampuan
mereka. Pertempuran itu benar-benar telah menjadi semakin seru
dan dahsyat. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah bayangan-
bayangan hitam di dalam gelapnya malam, yang berloncat-
loncatan, berputar-putar semakin lama semakin cepat. Yang
akhirnya menjadi seolah-olah dua pasang Wisnu dalam bentuknya
yang hitam cemani, menari-nari dengan lincahnya,
mengungkapkan sebuah tarian maut yang mengerikan.
Sementara itu, malam menjadi semakin dalam. Orang-orang
di pedukuhan kecil yang sepi itu, yang mula-mula mengintip dari
balik pintu-pintu mereka, ketika mereka tidak mendengar apapun
lagi, maka mereka samasekali tidak merasa tertarik untuk
mengetahui lebih banyak tentang dua orang berkuda yang
menyusur jalan-jalan sempit di padepokan mereka. Mereka hanya
mengira, bahwa kedua orang itu adalah perantau-perantau yang
memasuki mulut lorong dari satu arah dan keluar dari mulut lorong
di arah lain. Mereka berhenti di ujung padepokan mereka, dan
kemudian bertempur mati-matian dengan orang cikal bakal
pedukuhan itu. Kalau saja mereka mengetahui hal itu, apapun
yang terjadi, pastilah mereka akan membantunya. Namun kalau
mereka sempat menyaksikan pertempuran itu, mereka akan
menjadi keheran-heranan, bahwa orang-orang yang setiap hari
mereka panggil Ki Paniling dan Ki Darba, yang hanya mereka kenal
sebagai seorang petani yang rajin, mampu bertempur sedemikian
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 89 of 93
dahsyatnya, bahkan pasti diluar kemampuan pengamatan mereka,
atau malahan mereka akan jatuh pingsan karenanya.
Demikianlah pertempuran itu masih belum tampak akan
berakhir. Masing-masing sudah berjuang dengan sepenuh tenaga,
namun seolah-olah mereka bertempur melawan hantu yang tak
dapat disentuhnya.
Dalam saat-saat yang demikian itulah, terlintas di dalam otak
masing-masing, suatu cara penyelesaian yang lebih cepat. Sudah
pasti mereka mengerti bahwa setiap orang sakti memiliki ilmu-ilmu
simpanan yang tak akan dipergunakan dalam sembarang waktu.
Bagi Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, dalam hal yang demikian
tidaklah sewajarnya mempergunakan ilmu-ilmu pamungkas
mereka. Sebaliknya, Radite dan Anggara pun tak terlintas di dalam
otak mereka untuk mengakhiri pertempuran dengan ilmu terakhir.
Karena itu, mereka telah mempersiapkan diri mereka untuk
mengadakan pertempuran yang lama. Sebab mereka tidak dapat
mengandalkan kekuatan maupun kecepatan bergerak serta unsur-
unsur gerak yang dapat membingungkan lawan-lawan mereka,
sebab ternyata apa yang mereka lakukan selalu dapat diimbangi
oleh setiap pihak. Meskipun demikian pertempuran itu masih tetap
berlangsung dengan sengitnya. Sebab bagaimanapun juga mereka
tetap berusaha untuk setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh lawan
masing-masing.
Tetapi justru dalam hal yang demikian itulah kadang-kadang
orang terpaksa untuk berpikir lebih banyak. Dan dalam keadaan
yang terpaksa demikian itulah kadang-kadang muncul
kesanggupan-kesanggupan yang tidak pernah dirasakan ada di
dalam dirinya. Kesanggupan yang malahan dapat mengejutkan diri
sendiri.
Demikian pula apa yang terjadi dalam kancah pertarungan itu.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang masih memiliki masa depan
yang lebih panjang dari lawan-lawan mereka, dapat
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 90 of 93
memanfaatkan pertempuran itu dengan baiknya. Dalam masa-
masa yang masih memungkinkan perkembangan yang menanjak
terus, mereka selalu berusaha untuk melengkapi ilmunya dengan
apapun yang mereka ketemukan dalam perjalanan hidup mereka.
Namun dengan satu bekal yang tak akan tanggal dari hati mereka,
bahwa ilmu-ilmu mereka harus mereka amalkan untuk kebajikan.
Kebajikan bagi tanah tumpah darah, kebajikan bagi rakyat yang
hidup di atasnya, serta kebajikan bagi umat manusia.
Ketika kemudian terdengar kokok ayam jantan bersahut-
sahutan menjelang lingsir malam pertempuran itu masih
berlangsung terus. Namun demikian tak seorangpun penduduk
padukuhan itu yang mendengar keributan itu. Pertempuran yang
sengit itu berlangsung dengan tertibnya. Samasekali tidak nampak
kekasaran-kekasaran seperti yang pernah terjadi, ketika Mahesa
Jenar dalam tingkatannya pada waktu itu bertempur melawan Jaka
Soka, Lawa Ijo atau Sima Rodra. Tetapi dalam keadaan yang
terasa tertib itu melontarlah pukulan-pukulan yang dahsyat dan
penuh mengandung bahaya.
Dalam keadaan yang demikian, ketika keempat orang sakti itu
sedang terbenam dalam arus pertempuran yang merampas
segenap perhatian mereka, tiba-tiba terasalah udara yang aneh
mengalir mengusap tubuh mereka. Udara yang seakan-akan
mengandung pengaruh yang tajam, yang langsung menyusup ke
dalam tulang sungsum, sehingga dengan demikian tenaga mereka
seolah-olah ikut serta terhembus oleh aliran udara aneh itu.
Demikianlah perlahan-lahan tenaga mereka menjadi semakin
lemah. Bahkan kemudian seperti lenyap samasekali. Dengan
penuh keheranan, mereka masih tetap berusaha untuk
mempertahankan diri mereka sekuat tenaga. Sebab mula-mula
mereka mengira bahwa kesaktian lawan-lawan mereka telah
mempengaruh tenaga mereka. Tetapi ketika serangan-serangan
lawanpun menjadi jauh susut, akhirnya mereka mengetahui,
bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu diluar lingkaran pertempuran
itu.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 91 of 93
Mereka berempat adalah orang-orang yang cukup sakti. Yang
tanggap akan kejadian-kejadian di dalam maupun di luar diri
mereka sendiri. Karena itu, ketika mereka merasa bahwa suatu
kekuatan diluar kemampuan mereka, telah mempengaruhi diri
mereka, segera mereka menghentikan pertempuran itu. Dengan
sekuat tenaga jasmaniah dan batiniah, mereka berusaha untuk
menyelamatkan sisa-sisa tenaga mereka.
Tetapi pengaruh dari udara yang aneh itu demikian besarnya,
sehingga tiba-tiba saja, mereka tidak saja merasa tenaga mereka
susut, namun mereka juga merasa, bahwa mereka telah
dipengaruhi oleh kantuk yang luar biasa.
Radite adalah yang tertua di antara mereka berempat. Ialah
orang yang memiliki pengalaman yang terbanyak. Pengalaman
yang kadang-kadang hampir tak masuk akal sekalipun pernah
dijumpainya. Karena itulah maka segera ia mengenal bentuk aliran
udara yang aneh itu. Karena itu terdengar ia berdesis perlahan,
“Alangkah kuatnya sirep ini.”
Anggara dan Kebo Kanigara pun mengenal pula, bahwa
seseorang dapat mempergunakan pengaruh kekuatan batin atas
orang lain. Bahkan apabila ditekuni, dapatlah orang itu melahirkan
suatu ilmu sirep semacam ini.
Sedang Mahesa Jenar sendiri pernah mengalami betapa
pengaruh sirep itu dapat melenyapkan kesadaran seseorang,
sehingga orang yang berada di dalam lingkungan itu dapat seolah-
olah tidur nyenyak sekali. Ketika itu ia sedang bertugas di Istana,
beberapa tahun yang lampau. Ia pernah mengalami pengaruh
sirep yang dilontarkan oleh Lawa Ijo. Kecuali itu diatas Gunung
Tidar, ketika ia berusaha untuk menemukan keris-keris Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, ia pernah terkena arus sirep itu
pula. Sirep yang disebarkan oleh Gajah Sora, namun yang
sebenarnya telah dapat dilenyapkan oleh Sima Rodra tua, kalau
saja pada saat itu seorang yang bernama Titis Anganten dari ujung
timur tidak membantunya.
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 92 of 93
Sekarang, kembali ia mengalami pengaruh sirep. Seandainya
kekuatan sirep ini sama dengan kekuatan sirep yang pernah
mempengaruhinya, maka dalam tingkatannya yang sekarang ini,
kekuatan sirep itu tidak akan banyak pengaruhnya. Tetapi ternyata
kekuatan sirep yang sekarang jauh lebih besar dari yang pernah
mempengaruhinya dahulu. Bahkan dalam tingkatannya yang
sekarang hampir-hampir ia tidak mampu untuk mempertahankan
kesadarannya. Apalagi tenaganya.
Dalam keadaan yang demikian, akhirnya mereka berempat
hanya dapat duduk bersila sambil mengheningkan diri, berusaha
untuk tetap dalam keadaan sadar.
Malam yang kelam masih saja terserak di permukaan bumi. Di
daun-daun pepohonan bergayutan titik-titik yang setetes demi
setetes berjatuhan mengusik rumput-rumput kering yang
bertebaran disana-sini dengan liarnya. Suasana kemudian menjadi
hening sepi. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara-suara
jangkrik seperti teriakan bayi yang kehausan susu ibunya.
Dalam pada itu, ketika mereka sedang tekun berjuang untuk
tidak kehilangan kesadaran, tiba-tiba melayanglah sebuah
bayangan yang hitam, yang kemudian dengan cepat sekali,
seolah-olah tidak menyentuh tanah, telah berdiri di hadapan
mereka. Dan bersamaan dengan itu, terasa bahwa pengaruh sirep
itupun menjadi semakin kendor, bahkan kemudian dengan
cepatnya lenyap dari diri mereka berempat.
Meskipun mereka terkejut pula atas kehadiran seseorang
tanpa diduganya lebih dahulu, namun mereka sempat pula
menarik nafas lega atas kebebasan mereka dari ikatan udara yang
aneh itu.
Ketika mereka telah sempat memperhatikan bayangan yang
berdiri di hadapan mereka, tahulah mereka bahwa orang itu adalah
orang yang mengenakan jubah yang hanya tampak kehitam-
hitaman di dalam gelap malam, namun dalam pada itu Mahesa
Nagasasra dan Sabuk Inten| S.H. Mintardja -------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Koleksi Syamsul Noor Al-Sajidi| 93 of 93
Jenar segera mengenal, bahwa orang itu adalah orang yang selalu
dikenalnya mengenakan jubah abu-abu.
Karena itu segera terpancarlah cahaya yang cerah dari
wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara, sehingga tanpa
disengajanya ia bergeser sejengkal maju.
Top Related