REFLEKSI KASUS
Penyusun :
Arif Yudho Prabowo, S.Ked
(0918011031)
Pembimbing :
dr. Handayani Dwi Utami, M.Kes, Sp.F
KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK PROPINSI LAMPUNG
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
1
2014
REFLEKSI KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
Nama Dokter Muda / NPM : Arif Yudho Prabowo / 0918011031
Stase : Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Identitas Pasien
Nama / Inisial : Sdr. X No. RM : 1234567
Umur : 14 tahun Jenis kelamin : Laki-laki
Diagnosis/ kasus : Apendisitis
Aspek pengkajian :
a. Etika
b. Agama
Form Uraian
1. Resume kasus yang diambil (yang menceritakan kondisi lengkap pasien/kasus yang
diambil).
Pasien laki-laki usia sekitar 14 tahun datang dari UGD dengan diagnosa Observasi
Febris Suspek Typoid Fever. Pasien mengeluhkan demam sejak 5 minggu sebelum
masuk rumah sakit disertai mual-muntah dan nyeri perut sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Muntah rata-rata dikeluhkan ≥ 4x/hari. Nyeri awalnya dirasakan di ulu hati
namun sekarang berpindah ke kanan bawah. Ketika pasien nyeri, ia menahannya hingga
saat pemeriksaan kaki kiri pasien sangat sulit digerakkan.
Pasien mengaku 2 minggu sebelum masuk rumah sakit juga pernah sakit tipus namun
tidak dirawat dan hanya dirawat di rumah dengan pengobatan yang diberikan oleh dokter
selama 5 hari. Setelah perawatan di rumah, keadaan pasien membaik. Pasien juga
mengaku jarang makan dan nafsu makan menurun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri perut pada kanan bawah, nyeri lepas dan kaki
kanan nyeri saat digerakan
2. Latar belakang/alasan ketertarikan pemilihan kasus
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
2
Saya memilih kasus ini untuk dijadikan refleksi kasus dikarenakan pasien ini merupakan
pasien pertama yang membuat saya merasa sangat dihormati dan dihargai baik dari
pasien, keluarga pasien ataupun konsulen saya mengingat posisi saya sebagai Dokter
Muda yang notabene masih dalam tahap mencari ilmu serta pengalaman.
Mengingat posisi saya sebagai Dokter Muda, mungkin ada sebagaian pasien dan
keluarga pasien yang menganggap saya belum kompeten dalam mendiagnosa serta
memberikan terapi terhadap kondisi pasien itu sendiri. Begitu juga dengan konsulen,
yang notabene hampir sebagian besar dari mereka menganggap bahwa ilmu mereka,
pendapat merekam diagnosa dan terapi dari mereka adalah benar sehingga bagi kami,
Dokter Muda, yang mungkin baru “cetek” dan tidak seberapa ilmu-nya tidak dianggap
sama sekali. Mungkin ini salah satu cerita dan bukti bahwa seseorang yang dengan teliti,
rinci dan telaten dalam melakukan pekerjaannya dapat membuat orang lain percaya
dengan kemampuan yang kita miliki. Konsulen adalah manusia biasa yang tentunya juga
memiliki kekurangan.
3. Penatalaksanaan dari Konsulen?
Hari I: (dari UGD)
S : Demam hari ke-5 + riwayat demam tipoid 2 minggu SMRS
O :
A : Typoid Fever
P :
a. Cek DL, Widal, Malaria, Dengue
b. IVFD RL 20 tpm
c. Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
d. Inj. Amphicillin 1 g/6 jam
e. Parasetamol 3 x 500 mg
Hari II:
S : Demam hari ke-6 + nyeri perut kanan bawah + nafsu makan menurun + muntah +
riwayat demam tipoid2 minggu SMRS
O : Rovshing sign (+) + Nyeri tekan McBurney (+) + Blumberg sign (+) + Psoas sign
(+)
Hasil laboratorium belum keluar
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
3
A : Typoid fever
P :
a. IVFD RL 20 tpm
b. Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
c. Inj. Amphicillin 1 g/6 jam
d. Parasetamol 3 x 500 mg
Hari ke III:
S : Demam hari ke-7 + nyeri perut kanan bawah + nafsu makan menurun + muntah +
riwayat demam tipoid2 minggu SMRS
O : Rovshing sign (+) + Nyeri tekan McBurney (+) + Blumberg sign (+) + Psoas sign
(+)
Hasil laboratorium:
a. Leukositosis
b. Hitung jenis leukosit shift to the left
c. Widal meningkat
A : Apendisitis
P :
a. Konsul dr. Sp.B Pro Appendektomi
b. IVFD RL 20 tpm
c. Inj. Amphicillin 1 g/6 jam
d. Parasetamol 3 x 500 mg
4. Ada Tidak Perbedaan?
Dalam kasus ini terdapat perbedaan antara penulis dengan diagnosa dari UGD ataupun
Konsulen. Diagnosa dari UGD atau konsulen yaitu typoid fever sedangkan penulis
appendisitis kronis + typoid fever. Perbedaan kedua hal ini sangat mendasar dikarenakan
akan membedakan pula prioritas tatalaksananya.
Kenapa bisa berbeda? Apa Landasannya?
Demam tipoid adalah suatu infeksi akut yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi. Demam tipoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi
yang paling sering pada anak-anak dan anak laki-laki lebih banyak daripada perempuan
dengan perbandingan 2:1.
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
4
Gambaran klinis dari penyakit ini yang utama adalah demam. Demam adalah gejala
yang paling konstan diantara semua penampakan klinis. Dalam minggu pertama, keluhan
dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut yang umumnya berupa demam, sakit
kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air
beberapa hari sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh meningkat dan
menetap. Suhu tubuh meningkat terutama sore dan malam hari.
Setelah minggu kedua, maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi terus
menerus, napas bau tak sedap, lidah ditutupi dengan selaput putih kotor dengan ujung
dan tepinya bergemetaran bila keadaan semakin parah dapat menimbulkan penurunan
kesadaran. Jadi ada 3 komponen utama dari demam tipoid yaitu: demam berkepanjangan
(lebih dari 7 hari), gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Pada pemeriksaan serologis Widal sangat membantu dalam penegakkan diagnosis
walaupun 1/3 pasien memperlihatkan titer yang tidak bermakna atau tidak meningkat.
Uji Widal bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan serial tiap minggu dengan kenaikan
titer sebanyak 4x.
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis
infeksinya adalah bakteri. Kloramfenikol merupakan pilihan pertama dengan dosis yang
diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4x pemberian selama 10-14 hari atau 5-7 hari
setelah demam turun. Amphisilin memberikan respon perbaikan klinis yang kurang
apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis amphisilin yang dianjurkan adalah
200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4x pemberian intravena. Amoksisilin dengan dosis 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4x pemberian per oral memberikan hasil yang setara dengan
kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama. Pemberian sefalosporin generasi
ketiga seperti seftriaxon 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis pemberian
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3-4 dosis.
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Infeksi ini bisa mengakibatkan pernanahan. Bila infeksi bertambah parah,
apendiks itu bisa pecah. Apendisitis dapat dibagi menjadi 2 yaitu apendisitis akut dan
apendisitis kronis. Keduanya berbeda dalam segi waktu. Ada sejumlah narasumber yang
menyebutkan bahwa apendisitis akut terjadi dalam 24 jam pertama, ada yang
menyebutkan dalam 2 minggu pertama sedangkan apendisitis kronis apendisitis kronis
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
5
terjadi lebih dari 24 jam dan ada yang menyebutkan lebih dari 2 minggu.
Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari : Mual, muntah dan
nyeri yang hebat di perut kanan bagian bawah. Nyeri bisa secara mendadak dimulai
diperut sebelah atas atau di sekitar pusar, lalu timbul mual dan muntah. Setelah beberapa
jam, rasa mual hilang dan nyeri berpindah ke perut kanan bagian bawah. Jika dokter
menekan daerah ini, penderita merasakan nyeri tumpul dan jika penekanan ini
dilepaskan, nyeri bisa bertambah tajam.
Demam bisa mencapai 37,8-38,8° Celsius. Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat
menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak
terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila usus buntu
pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa
menyebabkan syok.
Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm³ dengan pergeseran ke kiri (lebih
dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada. 96 persen diantaranya
leukositosis atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal. Tetapi beberapa pasien
dengan apendisitis memiliki jumlah leukosit yang normal. Pada urinalisis tampak
sejumlah kecil eritrosit atau leukosit.
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya
pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak
diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis
perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan
abses atau perforasi. Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi Mc Burney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi
terlebih dahulu.
Dalam kasus ini pasien memang memiliki riwayat sakit demam tipoid dan saat dilakukan
pemeriksaan Widal dan darah tepi memang menunjukan titer Widal yang meningkat
serta leukositosis. Namun, yang harus dicermati kenaikan titer Widal belum tentu
menunjukan atau memastikan arah diagnosis demam tipoid, karena pemeriksaan ini
sensitivitas dan spesifitasnya tidak 100% (masih memungkinkan terjadinya
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
6
misdiagnosis). Begitu juga dengan leukositosis, semua penyakit yang berhubungan
dengan bakteri dapat menyebabkan leukositosis, jadi bukan hanya demam tipoid saja.
Gejala klinis antara demam tipoid dan apendisitis juga hampir menyerupai, namun yang
membedakan terletak pada nyeri-nya. Khas nyeri pada apendisitis yaitu nyeri yang
berpindah menuju ke kanan bawah dan hal inilah yang ditemukan pada pasien ini setelah
beberapa hari perawatan.
5. Rencana Terapi Penulis?
Hari I – III :
S : Demam + nyeri perut kanan bawah + nafsu makan menurun + muntah +
riwayat demam tipoid2 minggu SMRS
O : Rovshing sign (+) + Nyeri tekan McBurney (+) + Blumberg sign (+) + Psoas sign
(+)
Hasil laboratorium:
a. Leukositosis
b. Hitung jenis leukosit shift to the left
c. Widal meningkat
A : Apendisitis + Typoid Fever
P :
a. Konsul dr. Sp.B Pro Appendektomi
b. IVFD RL 20 tpm
c. Inj. Amphicillin 1 g/6 jam
d. Parasetamol 3 x 500 mg
6. Apa yang Anda Dilakukan Bila Suatu Hari Bertemu dengan Kasus yang Sama?
Bila saya menemukan kasus yang sama dikemudian hari saya akan melakukan hal yang
sama saat saya menemukan kasus ini, yaitu jangan mudah percaya dengan diagnosa
rekan sejawat sebelum kita memeriksa kembali pasien dengan teliti dan cermat mulai
dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan lain-lain sehingga apa yang kita lakukan tidak
merugikan pasien.
7. Apa yang Harus Diketahui Oleh Keluarga?
Keluarga harus mengetahui bagaimana ciri-ciri dari kedua jenis penyakit tersebut
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
7
sehingga kedepannya bila ada salah satu anggota keluarga yang mengenai penyakit yang
sama dapat segera mengetahui. Walaupun gejala klinis dari kedua penyakit tersebut
sebagian besar hampir serupa namun ada beberapa gejala yang khas yang mengarah pada
salah satu penyakit sehingga penatalaksanaannya pun berbeda.
8. Refleksi dari aspek etika moral beserta penjelasan evidence / referensi yang sesuai
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia :
a. Kumpulan tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral;
b. Kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut golongan atau masyarakat.
Jadi Etika adalah ilmu tentang adat kebiasaan yang mencakup nilai – nilai dan norma –
norma sebagai pegangan dalam melaksanakan tingkah laku.
Berikut ini kajian antara 4 aspek prinsip bioetik dengan kasus yang diangkat:
a. Berbuat baik (beneficence).
Pengertian ”berbuat baik” disini diartikan sebagai bersikap ramah, menolong, sopan,
memperlakukan pasien seperti dokter sendiri ingin diperlakukan, lebih dari sekedar
memenuhi kewajiban sehingga seorang dokter dapat mengupayakan pasiennya tetap
terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare).
Pada kasus ini, dengan kita mengikuti perkembangan penyakit pasien, melakukan
anamnesa yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat sehingga diperoleh
diagnosa yang tepat dan dini merupakan bentuk-bentuk dari nilai berbuat baik
terhadap pasien.
b. Tidak berbuat merugikan (non-maleficence)
Dalam praktik kedokteran haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya
dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku dan
harus diikuti.
Pada kasus ini, dokter hanya mengarah pada hasil anamnesa yang menyatakan bahwa
pasien sebelumnya pernah sakit tipoid tanpa memandang hasil temuan/pemeriksaan
yang penulis lakukan sehari-hari sehingga mengakibatkan penyakit utama pasien
tidak ditemukan secara dini dan ini merupakan salah satu bentuk merugikan pasien.
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
8
c. Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy)
Menghormati martabat manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan
sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri),
dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu
mendapatkan perlindungan.
Berikan informasi yang sebenarnya tentang keadaan pasien (tell the truth).
Hormatilah hak privasi, mintalah persetujuan pasien dalam melakukan setiap
tindakan, bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting.
Pada kasus ini, ada kekurangan yang nyata bahwa dokter memeriksa pasien tanpa
memberikan penjelasan mengenai kondisi pasien dan itu seharusnya tidak boleh
terjadi.
d. Justice ( Keadilan )
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham
kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan
jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak
ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.
Pada kasus ini, seorang dokter harus tetap melakukan pelayanan secara optimal
terhadap pasien tanpa melihat usia pasien, tingkat ekonomi dan lain-lain.
9. Refleksi ke-Islaman beserta penjelasan evidence / referensi yang sesuai
Merugikan pasien merupakan perbuatan tercela dan sudah berbuat zalim. Pada kasus ini,
bila seorang seorang dokter tidak memeriksa pasiennya dengan teliti dan cermat
sehingga pasien tersebut tidak mendapatkan terapi yang tepat termasuk perbuatan zalim
dalam agama Islam. Sebagaimana Rasulullah bersabda : “Dari Abu Dzar ra. dari
Rasulullah saw. sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wajalla bahwa Dia
berfirman: Wahai hambaku, sesungguhnya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-
Ku dan Aku telah menetapkan haram (kezaliman itu) diantara kalian, maka janganlah
kalian saling berlaku zalim...” (H.R. Muslim)
Dalam kedokteran, sikap yang harus ditumbuhkan oleh seorang dokter terhadap
pasiennya adalah empati yaitu ikut merasakan/menempatkan posisi seperti apa yang
dialami pasien namun tidak larut kedalamnya. Anggaplah pasien seperti saudara,
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
9
keluarga, kakak, adik, ayah, ibu, anak, cucu kita sendiri sehingga apa yang dokter
lakukan dapat terjadi semaksimal mungkin demi kebaikan pasien itu sendiri. Terlebih
dalam Islam dan sering kita dengar sehari-hari, “sesama muslim adalah bersaudara”.
Rasulullah bersabda : “Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik ra. pembantu Rasulullah saw
dari Rasulullah saw beliau bersabda: Tidak beriman salah satu diantara kamu hingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (H.R. Bukhori dan
Muslim).
Rasulullah pun bersabda dalam hadits lainnya yaitu: “Siapa yang menyelesaikan
kesulitan seseorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan
memudahkan kesulitannyahari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang
kesulitan niscaya Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat...” (H.R. Muslim).
Umpan balik dari pembimbing
Dokter Pembimbing
dr. Handayani Dwi Utami, M.Kes, Sp.F
Bandar Lampung, 7 Januari 2014
Dokter Muda
Arif Yudho Prabowo
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
10
DAFTAR PUSTAKA
Arthur C Guyton, John E Hall. 2008. Textbook of Medical Physiology 11 edition. Delhi :
Saunders Elsevier.
Behrman, RE. 2006. Nelson Textbook of Pediatrics 15th. Jakarta : EGC.
C. Radde, Ingeborg. 1999. Farmakologi & Terapi Pediatri. Jakarta : Hipokrates.
Hadits Arba’in.
Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinis Edisi VI. Jakarta : EGC.
Lange. 2011. Current Medical Diagnosis & Treatment. Mc Graw Hill.
Sudoyo, dkk. 2008. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK UI.
Soedarmo, Sumarno S dkk. 2012. Buku ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Jakarta:
IDAI.
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
REFLEKSI KASUS | Stase Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUD Abdoel Moeloek 2014
11
Top Related