FAKTOR SOSIAL BUDAYA DAN PEMERIKSAAN KEHAMILAN YANG
BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN BBLR (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas
Singkawang Tengah di Kota Singkawang)
Risa Alisanra Julhana 1, Andri Dwi Hernawan 2, Ismael Saleh 3
SOCIAL CULTURE AND PRENATAL CARE FACTORS RELATED TO LOW
BIRTH WEIGHT CASES (A Study at Work Area of Puskesmas Singkawang Tengah,
Kota Singkawang)
1Peminatan Epidemiologi Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Pontianak tahun 2014 ([email protected] ) 2Peminatan Epidemiologi Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Pontianak ([email protected]) 3Peminatan Epidemiologi Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Pontianak ([email protected])
ABSTRAK
Latar Belakang : Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah berat pertama janin yang
diukur dalam satu jam pertama setelah lahir yang kurang dari 2.500 gram (hingga 2.499
gram). BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas
neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang baik dari segi fisik
maupun psikis terhadap kehidupannya di masa depan. Kejadian BBLR di Singkawang
sebanyak 151 bayi dari 3.875 bayi yang ditimbang (3,9%). Di Wilayah Kerja Puskesmas
Singkawang Tengah pada tahun 2013 terdapat 77 bayi (5,93%) dengan BBLR dan 3 kematian
dikarenakan BBLR. Faktor determinan BBLR adalah faktor ibu, faktor kehamilan, dan faktor
janin. Penelitian ini penting dilakukan karena bayi dengan BBLR mempunyai kontribusi
terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal serta mengalami gangguan mental
dan fisik pada usia tumbuh kembang selanjutnya.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor sosial budaya
dan pemeriksaan kehamilan dengan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR).
Metode : Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional
analitik dengan desain kasus kontrol. Jumlah responden adalah 66 orang yang terdiri dari 22
kasus dan 44 kontrol. Sampling dari populasi kasus dan kontrol dilakukan dengan teknik
matching meliputi umur dan paritas. Analisis data menggunakan analisis univariat dan
bivariat dengan uji statistik Chi square.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peran orang tua (p
value = 0,006; OR = 5,400), kebiasaan makan (p value = 0,015; OR = 4,333), pemeriksaan
kehamilan (p value = 0,023; OR = 4,457) dan tidak ada hubungan antara kebiasaan minum
jamu dengan kejadian BBLR.
Saran : Disarankan adanya pelibatan tokoh masyarakat dalam mensosialisasikan pencegahan
BBLR baik dengan komunikasi langsung berupa penyuluhan maupun perantara media.
Sehingga dari hal tersebut, masyarakat diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan, gizi,
dan kesadaran tinggi untuk memeriksakan kehamilannya sesuai standar yang berlaku
sehingga dapat mencegah terjadinya BBLR secara dini.
Kata kunci : peran orang tua, kebiasaan makan, jamu, pemeriksaan kehamilan, BBLR.
ABSTRACT
Background : Low birth weight is defined as a birth weight of a liveborn infant of less than
2,500 g. It is considered as a major factor in the increase of mortality, morbidity, and
disability in infants and children neonates. Also, it psychologically and physically raises long
and short terms impacts for their future lives. The number of the low birth weight cases in
Singkawang was 151 (3,9%) of 3.875 infants. In 2013, the same cases occurred at work area
of Puskesmas Singkawang Tengah; 77 (5,93%) low birth weight cases and 3 mortality cases
due to the low birth weight. Determinant factors of low birth weight cases were maternal,
prenatal, and fetal factors. Therefore, this study is regarded important to be conducted as
infants with low birth weight have significant contribution to mortality cases and are
vulnerable to experience mental and physical developmental disorder.
Objective : This study aimed at figuring out the correlation of social culture, prenatal care
factors, and low birth weight cases.
Methods : An observational analytic, as well as case control design, was carried out in this
study. The respondents were divided into two groups; 22 case groups and 44 control groups.
These sampling were grouped by using matching technique which includes age and parity.
Then, the data were statistically analyzed by using Chi square test.
Result : The study revealed two findings. First, the were correlation of parental roles (p
value = 0,006; OR = 5,400), eating habits (p value = 0,015; OR = 4,333), and prenatal care
(p value = 0,023; OR = 4,457). Second, there was no correlation of herbal medicine
consumption and low birth weight cases.
Conclusions : From the findings, the local public figures are encourage to socialize low birth
weight preventions by providing grouped counseling and individual communication. Thus,
the local people can increase their knowledge on nutrition and prenatal care information. At
last, the cases of low birth weight can slowly be reduced.
Keywords : parental roles, eating habits, herbal medicine, prenatal care, low birth weight
Pendahuluan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
adalah berat pertama janin yang diukur
dalam satu jam pertama setelah lahir yang
kurang dari 2.500 gram (hingga 2.499
gram).1
Statistik menunjukkan 90% kejadian
BBLR terjadi di negara berkembang atau
sosial ekonomi rendah dan angka
kematiannya 35 kali lebih tinggi
dibandingkan bayi dengan berat lahir lebih
dari 2.500 gram.2 Prevalensi global BBLR
di dunia adalah 15,5% yang mana 20 juta
bayi dengan BBLR lahir setiap tahunnya
dan 96,5% terjadi di negara berkembang.3
Proporsi BBLR di Indonesia sebagai
negara berkembang masih cukup tinggi
dan masih menjadi masalah utama. Dari
data Riskesdas 2007 proporsi BBLR di
Indonesia berdasarkan 33 provinsi adalah
11,5%, mengalami sedikit penurunan
menjadi 11,1% menurut laporan Riskesdas
2010 dan dari data Riskesdas 2013 terus
menurun menjadi 10,2%. Proporsi BBLR
di Kalimantan Barat masih jauh di atas
proporsi Indonesia yaitu 16,6%.
Berdasarkan Riskedas 2010, proporsi
BBLR di Kalimantan Barat mengalami
penurunan menjadi 13,9%. Namun
meningkat kembali menjadi 14,4 menurut
laporan Riskesdas 2013 bahkan menjadi
provinsi dengan tingkat BBLR tertinggi
setelah Sulawesi Tengah (16,8%) dan NTT
(15,5%) 4, 5, 6
Proporsi BBLR di Kota Singkawang
masih cukup tinggi. Berdasarkan data 5
tahun terakhir proporsi BBLR pada tahun
2009 adalah 1,29% dan meningkat menjadi
4,27% pada tahun 2010. Pada 2011
mengalami penurunan menjadi 2,39%
namun mengalami kenaikan kembali
menjadi 3,3% pada 2012 dan terus
meningkat menjadi 3,9% pada tahun 2013.
Proporsi BBLR di Kota Singkawang
cenderung meningkat setiap tahunnya dan
hampir selalu lebih tinggi dari proporsi
Kalimantan Barat dan bahkan pada 2010
kota Singkawang merupakan
kota/kabupaten dengan proporsi tertinggi
BBLR dari 14 kab/kota di Kalimantan
Barat yaitu sebesar 4,27%. Berdasarkan
data tahun 2013 yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kota Singkawang terdapat 151
bayi dengan BBLR dari 3.875 bayi yang
ditimbang (3,9%). Jumlah BBLR dimulai
dari proporsi terendah yaitu di Singkawang
Selatan sebanyak 11 bayi (1,26%),
Singkawang Utara sebanyak 13 bayi
(2,8%) dengan 3 kematian, Singkawang
Barat sebanyak 33 bayi (3,91%),
Singkawang Timur sebanyak 17 bayi
(4,33%), dan yang tertinggi di Singkawang
Tengah sebanyak 77 bayi (5,93%) dengan
3 kematian.7
Faktor determinan BBLR adalah
berat lahir ibu yang rendah, asupan
makanan (nutrisi) ibu dari kelahiran
hingga kehamilan, komposisi tubuhnya
pada saat pembuahan, bertubuh pendek,
tinggal di dataran tinggi, gaya hidup,
penyakit ibu, dan sosial ekonomi rendah.8
Beberapa faktor risiko yang dapat
menyebabkan BBLR adalah faktor ibu
yang meliputi gizi saat hamil, umur ibu
kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35
tahun, jarak kehamilan kurang dari 2
tahun, paritas, dan penyakit yang diderita
ibu. Faktor risiko yang kedua adalah faktor
kehamilan yang meliputi hamil dengan
hidramnion, perdarahan antepartum,
preeklamsi/eklamsi, dan ketuban pecah
dini. Faktor risiko yang ketiga adalah
faktor janin yang meliputi cacat bawaan
dan infeksi dalam rahim.9
Baik masalah kematian maupun
kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya
tidak terlepas dari faktor-faktor sosial
budaya dan lingkungan dalam masyarakat
dimana mereka berada. Disadari atau
tidak, faktor-faktor kepercayaan dan
pengetahuan budaya seperti konsepsi-
konsepsi mengenai berbagai pantangan,
hubungan sebab-akibat antara makanan
dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan
ketidaktahuan, seringkali membawa
dampak baik positif maupun negatif
terhadap kesehatan reproduksi ibu dan
kesehatan anak. Hal ini terlihat bahwa
setiap daerah mempunyai pola makan
tertentu, termasuk pola makan ibu hamil
dan anak yang disertai dengan
kepercayaan akan pantangan, tabu, dan
anjuran terhadap beberapa makanan
tertentu. Pantangan atau tabu adalah suatu
larangan untuk mengkonsumsi jenis
makanan tertentu karena terdapat ancaman
bahaya terhadap barang siapa yang
melanggarnya. Tampaknya berbagai
pantangan atau tabu pada mulanya
dimaksudkan untuk melindungi kesehatan
anak-anak dan ibunya, tetapi tujuan ini
bahkan ada yang berakibat sebaliknya,
yaitu merugikan kondisi gizi dan
kesehatan.10
Perawatan kehamilan merupakan
salah satu faktor penting untuk
diperhatikan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian ketika
persalinan, disamping itu juga untuk
menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin.
Memahami perilaku perawatan kehamilan
(antenatal care) adalah penting untuk
mengetahui dampak kesehatan bayi dan si
ibu sendiri. Kenyataannya berbagai
kalangan masyarakat di Indonesia, masih
banyak ibu-ibu yang menganggap
kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah
dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu
memeriksakan dirinya secara rutin ke
bidan ataupun dokter.10
Dari survei awal yang dilakukan
pada bulan Oktober terhadap 10 ibu yang
melahirkan bayi dengan BBLR pada bulan
Januari hingga Mei didapatkan bahwa
terdapat 3 ibu (30%) yang pantang makan
ikan dengan alasan takut anaknya berbau
amis, 6 ibu (60%) pantang makan
mentimun dan nanas karena beranggapan
dapat menyebabkan keputihan dan
keguguran, 5 ibu (50%) pantang minum air
es karena dikhawatirkan tubuh anaknya
terlalu besar sehingga susah untuk
dilahirkan, dan 2 ibu (20%) pantang
makan daging kambing dengan alasan
dapat menyebabkan panas serta 2 ibu
(20%) pernah mengkonsumsi jamu kunyit
asam. Seluruh ibu (100%) yang berpantang
mengaku disuruh oleh orangtua/mertua.
Selain itu terdapat 6 ibu (60%) dengan
pemeriksaan kehamilan kurang dari 4 kali.
Faktor sosial budaya dan
pemeriksaan kehamilan cukup penting
terhadap kejadian BBLR. Dengan
mengetahui hubungan antara faktor sosial
budaya dan pemeriksaan kehamilan
dengan kejadian BBLR maka upaya
pencegahan atau penjaringan risiko
terjadinya BBLR bisa dilakukan. Kejadian
BBLR di Singkawang Utara dan
Singkawang Tengah masih cukup tinggi.
Masyarakat memiliki pantangan makanan
ketika masa kehamilan serta angka
pemeriksaan kehamilan yang rendah.
Kajian terhadap faktor determinan BBLR
perlu dilakukan untuk rencana program
pencegahan BBLR selanjutnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah apakah faktor sosial budaya dan
pemeriksaan kehamilan berhubungan
dengan kejadian berat badan lahir rendah
(BBLR).
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional analitik dengan pendekatan
case control, yaitu suatu penelitian yang
membandingkan kelompok kasus dengan
kelompok kontrol untuk mengetahui
proporsi kejadian berdasarkan riwayat ada
tidaknya paparan yang mengkaji hubungan
dan besarnya risiko faktor sosial budaya
dan pemeriksaan kehamilan yang
berhubungan dengan kejadian BBLR.
Populasi dalam penelitian ini terdiri
dari dua kelompok yaitu kasus dan kontrol.
Kelompok kasus adalah keseluruhan ibu
yang memiliki bayi dengan BBLR (Berat
Badan Lahir Rendah) di Wilayah Kerja
Puskesmas Singkawang Tengah pada
tahun 2013 yang berjumlah 77 orang.
Sedangkan populasi pembanding (kontrol)
adalah keseluruhan ibu yang memiliki bayi
dengan BBLN (Berat Badan Lahir
Normal) yaitu berat lahir ≥ 2.500 gram di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang
Tengah pada tahun 2013 yang berjumlah
1.221 orang.
Data diperoleh melalui kuesioner
dan wawancara langsung serta observasi
KMS pada responden. Analisis data
dilakukan secara bertahap meliputi analisis
univariat dan bivariat diuji secara statistik
Chi Square dengan derajat ketepatan 95%
(α = 0,05).
Hasil Penelitian
Gambaran Umum
Puskesmas Singkawang Tengah
merupakan salah satu dari lima puskesmas
kecamatan yang terletak di Kota
Singkawang. Luas wilayah Kecamatan
Singkawang Tengah adalah 22.448 ha dan
terbagi menjadi 6 kelurahan. Penduduk
Kecamatan Singkawang Tengah pada
tahun 2013 diperkirakan sebanyak 60.551
jiwa yang terdiri dari 30.968 penduduk
laki-laki dan 29.583 penduduk
perempuan.11
Distribusi Karakteristik Responden
1. Umur
Umur N Mean SD SE P
value
Kasus 22 27,77 6,661 1,410 0,854
Kontrol 44 27,45 6,457 0,973
Sumber : Data Primer
Rata-rata umur responden pada
kelompok kasus adalah 27,77 dengan
standar deviasi 6,611 sedangkan pada
kelompok kontrol rata-rata umur adalah
27,45 dengan standar deviasi 6,457.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan
nilai p value = 0,854 yang artinya tidak
ada perbedaan yang signifikan rata-rata
umur antara kelompok kasus dan
kelompok kontrol.
2. Pendidikan
Pendidikan Kasus Kontrol
N % N %
SD 10 45,5 21 47,7
SMP 7 31.8 10 22.7
SMA 5 22,7 13 29,5
Total 22 100 44 100
Sumber : Data Primer
Diketahui bahwa sebagian besar
responden memiliki latar belakang
pendidikan terakhir SD (Sekolah Dasar)
pada kelompok kasus yaitu sebesar 45,5%
dan pada kelompok kontrol sebesar 47,7%.
3. Pekerjaan
Pendapatan Kasus Kontrol
N % N %
Tidak Bekerja 20 90,9 35 79,5
Petani 1 4,5 4 9,1
Nelayan 1 4,5 5 11,4
Total 24 100 48 100
Sumber : Data Primer
Diketahui bahwa sebagian besar
responden tidak bekerja yaitu pada
kelompok kasus sebesar 90,9% dan pada
kelompok kontrol sebesar 79,5%.
4. Paritas
Paritas Kasus Kontrol
N % N %
Primipara 7 31,8 14 31,8
Multipara 14 63,6 26 59,1
Grandemultipara 1 4,5 4 9,1
Total 22 100 44 100
Sumber : Data Primer
Diketahui bahwa sebagian besar
responden memiliki paritas multipara
(kelahiran ke dua hingga ke empat) yaitu
pada kelompok kasus sebesar 63,6% dan
pada kelompok kontrol sebesar 59,1%.
Analisa Univariat
Variabel Kasus Kontrol
N % N %
Peran Orang Tua
Menganjurkan pantang 12 54,5 8 18,2
Tidak menganjurkan pantang
10 45,5 36 81,8
Kebiasaan makan
Kurang baik 13 59,1 11 25
Baik 9 40,9 33 75 Kebiasaan minum jamu
Mengkonsumsi 5 22,7 7 15,9
Tidak mengkonsumsi 17 77,3 37 84,1 Pemeriksaan Kehamilan
Tidak memenuhi
standar
8 36,4 5 11,4
Memenuhi standar 14 63,6 39 88,6
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel di atas dapat
diketahui bahwa distribusi frekuensi
berdasarkan peran orang tua pada
kelompok kasus memiliki orang tua yang
menganjurkan untuk melakukan pantangan
terhadap makanan/minuman tertentu yaitu
sebesar 54,5% sedangkan pada kelompok
kontrol memiliki orang tua yang tidak
menganjurkan untuk melakukan pantangan
terhadap makanan/minuman tertentu
sebagian besar yaitu sebesar 81,8%.
Distribusi frekuensi berdasarkan
kebiasaan makan pada kelompok kasus
memiliki kebiasaan makan kurang baik
yaitu sebesar 59,1% sedangkan pada
kelompok kontrol sebagian besar memiliki
kebiasaan makan baik yaitu sebesar 75%.
Distribusi frekuensi berdasarkan
kebiasaan mengkonsumsi jamu sebagian
besar responden tidak memiliki kebiasaan
minum jamu yaitu pada kelompok kasus
sebesar 77,3% dan pada kelompok kontrol
sebesar 84,1%.
Distribusi frekuensi berdasarkan
pemeriksaan kehamilan pada kelompok
kasus maupun kontrol memiliki
pemeriksaan kehamilan yang memenuhi
standar yaitu minimal 1 kali pada trimester
pertama, minimal 1 kali pada trimester
kedua, dan minimal 2 kali pada trimester
ketiga yaitu sebesar 63,6% pada kelompok
kasus dan 88,6% pada kelompok kontrol.
Analisa Bivariat
Variabel P
Value OR 95% CI
Peran orang tua 0,006 5,400 1,733-16,822
Kebiasaan makan 0,015 4,333 1,45 –12,888
Kebiasaan minum
jamu 0,515 1,555 0,431- 5,610
Pemeriksaan Kehamilan
0,023 4,457 1,248 -15,924
Sumber : Data Primer
Hasil analisis variabel peran orang
tua dengan kejadian BBLR berdasarkan
uji statistik Chi Square didapatkan nilai p
value = 0,006 (< 0,05), dapat disimpulkan
ada hubungan antara peran orang tua
dengan kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Singkawang Tengah di Kota
Singkawang Dari hasil analisa diperoleh
nilai Odds Ratio 5,400 yang artinya peran
orang tua yang menganjurkan anaknya
berpantang terhadap makanan/minuman
tertentu selama masa kehamilan memiliki
risiko 5,400 kali terkena BBLR jika
dibandingkan dengan peran orang tua yang
tidak menganjurkan anaknya berpantang
terhadap makanan/minuman tertentu
selama masa kehamilan.
Hasil analisis variabel kebiasaan
makan dengan kejadian BBLR
berdasarkan uji statistik Chi Square
didapatkan nilai p value = 0,015 (< 0,05),
dapat disimpulkan ada hubungan antara
kebiasaan makan dengan kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang
Tengah di Kota Singkawang. Dari hasil
analisa diperoleh nilai Odds Ratio 4,333
yang artinya kebiasaan makan yang tidak
baik selama masa kehamilan memiliki
risiko 4,333 kali terkena BBLR.
Hasil analisis variabel kebiasaan
minum jamu dengan kejadian BBLR
berdasarkan uji statistik Chi Square
didapatkan nilai p value = 0,515 (< 0,05),
dapat disimpulkan tidak ada hubungan
antara kebiasaan minum jamu dengan
kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Singkawang Tengah.
Hasil analisis variabel pemeriksaan
kehamilan dengan kejadian BBLR
berdasarkan uji statistik Chi Square
didapatkan nilai p value = 0,023 (< 0,05),
dapat disimpulkan ada hubungan antara
pemeriksaan kehamilan dengan kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas
Singkawang Tengah di Kota Singkawang.
Dari hasil analisa diperoleh nilai Odds
Ratio 4,457 yang artinya pemeriksaan
kehamilan yang tidak memenuhi standar
selama masa kehamilan memiliki risiko
4,457 kali terkena BBLR.
PEMBAHASAN
BBLR adalah berat pertama janin
yang diukur dalam satu jam pertama
setelah lahir yang kurang dari 2.500 gram
(hingga 2.499 gram). Ada dua macam
BBLR yaitu kelahiran prematur (sebelum
37 minggu kehamilan) dan pertumbuhan
janin yang terbatas.12
Budaya berperan dalam status gizi
masyarakat. Kebudayaan menuntun orang
dalam cara bertingkah laku dan memenuhi
kebutuhan dasar biologisnya, termasuk
kebutuhan pangan. Budaya mempengaruhi
seseorang dalam menentukan apa yang
akan dimakan, bagaimana pengolahannya,
persiapan, dan penyajiannya, serta untuk
siapa, dan dalam kondisi bagaimana
pangan tersebut dikonsumsi. Kebudayaan
juga menentukan kapan seseorang boleh
dan tidak boleh mengonsumsi suatu
makanan.13 Faktor sosial budaya yang
berpengaruh terhadap BBLR adalah peran
orang tua dalam mempengaruhi pola
makan, kebiasaan makan, dan kebiasaan
minum jamu.
Selain itu, pemeriksaan kehamilan
atau yang dikenal dengan pelayanan
antenatal (antenatal care) juga bisa
menjadi pengaruh pada bayi yang akan
dilahirkan. Pelayanan antenatal adalah
pelayanan kesehatan oleh tenaga
professional (dokter spesialis kebidanan,
dokter umum, bidan, dan perawat bidan)
untuk ibu hamil selama masa
kehamilannya sesuai dengan standar
minimal pelayanan antenatal.14 Pelayanan
antenatal hanya diberikan oleh tenaga
profesional dan tidak dapat dilakukan oleh
dukun bayi. Frekuensi pelayanan antenatal
minimal 4 kali selama kehamilan, dengan
ketentuan minimal 1 kali pada trimester
pertama, minimal 1 kali pada trimester
kedua, dan minimal 2 kali pada trimester
ketiga.15
A. Hubungan kondisi dinding rumah
dengan kejadian filariasis
Berdasarkan uji statistik Chi
Square didapatkan nilai nilai p value =
0,006 (≤0,05), dapat disimpulkan ada
hubungan antara peran orang tua
dengan kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Singkawang Tengah
di Kota Singkawang Dari hasil analisa
diperoleh nilai Odds Ratio 5,400 yang
artinya peran orang tua yang
menganjurkan anaknya berpantang
terhadap makanan/minuman tertentu
selama masa kehamilan memiliki risiko
5,400 kali terkena BBLR jika
dibandingkan dengan peran orang tua
yang tidak menganjurkan anaknya
berpantang terhadap makanan/minuman
tertentu selama masa kehamilan.
Orang tua responden memiliki
kecenderungan untuk menganjurkan
pantang terhadap makanan/minuman
tertentu kepada anaknya yang sedang
hamil. Orang tua yang menganjurkan
pantang cenderung akan ditaati oleh
anaknya karena khawatir apabila
pantangan tersebut dilanggar maka anak
yang dilahirkan tidak sempurna fisiknya
(cacat).
Orang tua yang menganjurkan
untuk berpantang makanan/minuman
tertentu kepada anaknya cenderung
akan berpengaruh terhadap pola makan
anak. Seorang anak cenderung akan
mentaati anjuran ataupun larangan
ibunya terlebih lagi pada masa
kehamilan karena orang tua dianggap
lebih berpengalaman. Perilaku
ditentukan oleh tiga faktor yaitu
predisposing factor (faktor
predisposisi), enabling factor (faktor
pemungkin), dan reinforcing factor
(faktor penguat). 16 Pengetahuan, sikap,
dan keyakinan termasuk ke dalam
faktor predisposisi. Perilaku pantang
makanan/minuman tertentu pada ibu
hamil bersumber dari pengetahuan dan
sikap orang tua dalam meyakini tradisi
tersebut.
Ada berbagai faktor penyebab gizi
yang tidak tepat atau kurang gizi pada
ibu. Pada sebagian besar masyarakat,
tabu makanan ditujukan pada seorang
wanita, terutama mereka yang berada
dalam usia subur. Dalam situasi
tertentu, kepercayaan terhadap budaya
dan tahayul yang berlaku di dalam
masyarakat lokal harus dipelajari dan
jika memungkinkan, ibu hamil harus
dibantu untuk melihat bahwa
menjalankan tabu tersebut merupakan
sumber bahaya, tidak hanya pada
kesehatannya sendiri, tapi juga terhadap
kesehatan bayi yang dikandungnya.
Mengurangi nutrisi pada ibu hamil
merupakan hal yang tidak masuk akal.
Ibu hamil adalah anggota keluarga yang
sudah dewasa, oleh karena itu maka
makanannya juga akan sama dengan
kebiasaan makan anggota keluarga
lainnya.17
Ada beberapa hambatan dalam
pemenuhan gizi, salah satunya adalah
pengetahuan yang tidak memadai serta
praktik-prakik yang tidak tepat. Pada
umumnya, orang tidak menyadari
pentingnya gizi selama masa
kehamilan.18 Tingkat pengetahuan gizi
seseorang berpengaruh terhadap sikap
dan perilaku dalam pemilihan makanan
yang pada akhirnya akan berpengaruh
pada keadaan gizi yang bersangkutan.
Makanan pantangan sebenarnya
tidak secara langsung berhubungan
dengan BBLR tetapi biasanya ibu hamil
yang banyak memiliki makanan
pantangan maka asupan gizi yang
dibutuhan selama hamil tidak tercukupi.
Masalah timbul apabila masih banyak
makanan yang seharusnya dikonsumsi
tapi masih ditabukan. Akibat tabu
makanan tersebut, ibu hamil tidak
memakan makanan tertentu sehingga
dapat mengurangi intake makanan dan
pada akhirnya akan menurunkan status
gizi mereka.19
Apabila asupan makan rendah, ibu
rentan terkena anemia dalam kehamilan
dan bayi yang dilahirkan berisiko
BBLR. Kebutuhan energi dan zat gizi
lain meningkat selama masa kehamilan
untuk pertumbuhan dan perkembangan
janin sehingga kekurangan zat gizi
tertentu dapat menyebabkan janin
tumbuh tidak sempurna. Ibu dengan
kondisi kurang gizi kronis pada masa
kehamilan sering melahirkan bayi
BBLR.20 Ibu hamil yang menderita
KEK mempunyai risiko kematian ibu
mendadak pada masa perinatal atau
risiko melahirkan bayi dengan berat
lahir rendah (BBLR).21
Dari penelitian yang telah
dilakukan didapatkan bahwa orang tua
yang berperan dalam menganjurkan
anaknya untuk pantang terhadap
makanan/minuman tertentu memiliki
risiko BBLR. Dapat disimpulkan bahwa
responden yang memiliki orang tua
yang menganjurkan untuk pantang
terhadap makanan/minuman tertentu
memiliki peluang lebih besar
mengalami BBLR.
Dengan demikian perlu
pelaksanaan KIE (Komunikasi,
Informasi, dan Edukasi) yang terus
menerus tidak hanya pada ibu hamil
tetapi juga pada keluarga khususnya
orang tua (ibu) maupun mertua yang
mana dapat dilakukan melalui
pendidikan informal seperti
penyuluhan. Selain itu juga dapat
melalui kegiatan-kegiatan masyarakat
seperti pengajian, arisan, ataupun
kegiatan lain yang melibatkan orang
banyak khususnya orang tua (ibu)
maupun mertua. Melalui berbagai
kegiatan tersebut dapat diselipkan
informasi mengenai praktek yang
bernilai positif untuk dipertahankan dan
mengurangi/menghilangkan
pemahaman nilai-nilai yang tidak
mendukung seperti persepsi mengenai
makanan/minuman pantangan yang
tidak sesuai dengan pemenuhan gizi
masa kehamilan. Apabila pemahaman
orang tua (ibu) dan mertua sudah sesuai
dengan konsep gizi yang baik maka
anak yang cenderung akan mengikuti
anjuran orang tuanya juga akan
memiliki pemahaman yang baik pula.
B. Hubungan kebiasaan makan dengan
kejadian BBLR
Berdasarkan uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p value = 0,015
(≤0,05), dapat disimpulkan ada
hubungan antara kebiasaan makan
dengan kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Singkawang Tengah
di Kota Singkawang. Dari hasil analisis
diperoleh nilai OR = 4,333 yang artinya
responden yang memiliki kebiasaan
makan tidak baik selama masa
kehamilan memiliki risiko 4,333 kali
terkena BBLR.
Status gizi ibu hamil selain
berpengaruh terhadap ibu juga
berpengaruh terhadap tumbuh kembang
janin yang sedang dikandung. Ibu hamil
dengan kekurangan zat gizi akan
menyebabkan ibu kekurangan energi.
Wanita dengan kebiasaan makan yang
baik dan mempunyai berat badan
normal sebelum kehamilan tidak akan
menyebabkan masalah selama
kehamilan. Sebaliknya pada ibu yang
mengalami kurang gizi akan melahirkan
bayi BBLR. Guna menjamin
pertumbuhan dan perkembangan janin
yang optimal maka peranan gizi sangat
menentukan selama kehamilan maupun
setelah persalinan.22
Pola makan sehari-hari dari ibu
hamil dipengaruhi juga dengan adanya
faktor budaya yaitu adanya kepercayaan
memantang terhadap makanan tertentu
untuk di konsumsi dengan alasan
apabila dikonsumsi pada saat hamil
akan mengakibatkan kecacatan pada
bayi yang dilahirkan sehingga asupan
makanan pada ibu hamil menjadi
kurang.23
Kehamilan membuat nutrisi yang
dikonsumsi harus dibagi dengan janin
sehingga membuat tubuh membutuhkan
ekstra tambahan nutrisi. Oleh karena
itu, perlu diperhatikan dengan cermat
bahwa makanan yang dikonsumsi
aman, sehat, dan tentunya kaya akan
nutrisi penting yang dibutuhkan oleh
keduanya. Nutrisi yang baik tentu akan
sangat menunjang kesehatan dan
pertumbuhan perkembangan janin di
dalam kandungan.23
Beberapa hasil penelitian
menemukan Ibu yang memiliki status
gizi yang berisiko (LILA <23,5 cm)
memiliki risiko mengalami kejadian
BBLR dibanding yang berstatus gizi
baik. Selain itu, ibu yang memiliki
pantangan makanan tertentu selama
masa kehamilan memiliki risiko
mengalami kejadian BBLR dibanding
yang tidak mempunyai pantangan
makanan tertentu selama masa
kehamilan.24, 25
Dari penelitian yang telah
dilakukan dan hasil penelitian
sebelumnya beserta teori-teori yang
mendukung, terdapat kesamaan bahwa
kebiasaan makan yang tidak baik
berisiko memiliki status gizi yang tidak
baik pula sehingga berisiko mengalami
BBLR. Dapat disimpulkan bahwa
responden yang memiliki kebiasaan
makan tidak baik memiliki peluang
lebih besar mengalami BBLR.
Dengan demikian pelaksanaan KIE
masih penting untuk terus dilakukan
terutama mengenai kebiasaan makan
sehingga ibu hamil dapat meningkatkan
pola hidup sehat yang mana dapat
meningkatkan gizinya. Petugas
kesehatan juga perlu melakukan
pemantauan status gizi secara intensif
sebelum dan selama kehamilan untuk
mencegah terjadinya BBLR. Konseling
khusus untuk wanita usia subur (WUS)
yang akan menikah juga dapat
dilakukan.
C. Hubungan Kebiasaan Minum Jamu
dengan kejadian filariasis
Berdasarkan uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p value = 0,515
(>0,05), dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara kebiasaan minum
jamu dengan kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang
Tengah di Kota Singkawang.
Beberapa hasil penelitian
menemukan bahwa kebiasaan minum
jamu selama masa kehamilan tidak
berpengaruh terhadap bayi yang
dilahirkan.
Jamu merupakan obat yang berasal
dari bahan tumbuh-tumbuhan atau
tumbuhan obat yang memiliki khasat
tertentu. Kandungan zat gizi jamu
hanya terdiri dari beberapa mineral,
vitamin, dan zat berkhasiat obat
(fitokimia). Sehingga tubuh tetap
membutuhkan asupan zat gizi untuk
mencapai kesuburan.26
Jamu boleh dikonsumsi asalkan
jamu tersebut terbukti aman dan
bermanfaat. Walaupun ibu hamil biasa
minum jamu, sebaiknya dikonsultasikan
dulu jamu yang hendak dikonsumsi
pada tenaga kesehatan. Walaupun jamu
diproduksi dari bahan alami, namun
bisa saja bahan alami yang digunakan
mengandung zat tertentu (misalnya
alkohol) yang dapat mempengaruhi
rahim atau membahayakan janin.27 Ibu
hamil boleh mengonsumsi jamu dengan
syarat harus paham betul ramuan dari
jamu yang dikonsumsi dan manfaatnya
baik bagi ibu sendiri maupun janin yang
dikandung.28
Beberapa hasil penelitian
menemukan bahwa kebiasaan minum
jamu selama masa kehamilan tidak
memiliki risiko mengalami BBLR.29, 30
Dari penelitian yang telah
dilakukan dan hasil penelitian
sebelumnya beserta teori-teori yang
mendukung, terdapat kesamaan bahwa
kebiasaan minum jamu tidak memiliki
risiko mengalami BBLR. Dapat
disimpulkan bahwa kebiasaan minum
jamu selama kehamilan tidak
berpengaruh terhadap kejadian BBLR.
Dengan demikian, mengkonsumsi
jamu diperbolehkan asalkan jamu yang
dikonsumsi terbukti aman dan
bermanfaat. Sebaiknya dikonsultasikan
dulu jamu yang hendak dikonsumsi
pada tenaga kesehatan sehingga ibu
hamil paham betul ramuan dari jamu
yang dikonsumsi dan manfaatnya baik
bagi ibu sendiri maupun janin yang
dikandung.
D. Hubungan Pemeriksaan Kehamilan
dengan Kejadian BBLR
Berdasarkan uji statistik Chi
Square didapatkan nilai p value = 0,023
(≤0,05), dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara pemeriksaan
kehamilan dengan kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang
Tengah di Kota Singkawang. Dari hasil
analisa diperoleh nilai OR = 4,457
(95% CI 1,248-15,924), yang artinya
responden yang memiliki pemeriksaan
kehamilan yang tidak memenuhi
standar selama masa kehamilan
memiliki risiko 4,457 kali terkena
BBLR.
Pelayanan antenatal adalah
pelayanan kesehatan oleh tenaga
professional (dokter spesialis
kebidanan, dokter umum, bidan, dan
perawat bidan) untuk ibu hamil selama
masa kehamilannya sesuai dengan
standar minimal pelayanan antenatal.31
Perawatan kehamilan merupakan salah
satu faktor penting untuk diperhatikan
untuk mencegah terjadinya komplikasi
dan kematian ketika persalinan,
disamping itu juga untuk menjaga
pertumbuhan dan kesehatan janin.32
Selain itu pelayanan antenatal
hanya diberikan oleh tenaga profesional
dan tidak dapat dilakukan oleh dukun
bayi. Ditetapkan pula bahwa frekuensi
pelayanan antenatal minimal 4 kali
selama kehamilan, dengan ketentuan
minimal 1 kali pada trimester pertama,
minimal 1 kali pada trimester kedua,
dan minimal 2 kali pada trimester
ketiga. Standar waktu pelayanan
antenatal tersebut ditentukan untuk
menjamin mutu pelayanan, khususnya
untuk memberikan kesempatan yang
cukup dalam menangani kasus risiko
tinggi yang ditentukan.33
Beberapa hasil penelitian
menemukan bahwa pemeriksaan
kehamilan yang tidak memenuhi
standar bersiko untuk terjadinya BBLR
dibandingkan dengan pemeriksaan
kehamilan yang memenuhi standar.34, 35
Dari penelitian yang telah
dilakukan dan hasil penelitian
sebelumnya beserta teori-teori yang
mendukung, terdapat kesamaan bahwa
pemeriksaan kehamilan yang tidak
memenuhi standar memiliki risiko
mengalami kejadian BBLR. Dapat
disimpulkan bahwa responden yang
memiliki pemeriksaan kehamilan tidak
memenuhi standar memiliki peluang
lebih besar mengalami kejadian BBLR.
Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan adalah ibu hamil dianjurkan
unuk memperhatikan kesehatannya
dengan memeriksakan kehamilan secara
dini dan teratur. Perlu adanya
penyampaian informasi melalui KIE
pada pertama kali ibu hamil
memeriksakan kehamilannya mengenai
pentingnya pemeriksaan kehamilan
secara tepat sehingga ibu hamil dapat
rutin memeriksakan kehamilannya.
Konseling KMS ibu hamil dapat
digunakan sebagai media edukasi
sederhana. Selain itu perlu ada upaya
peningkatan jumlah kader aktif bagi
posyandu agar indikator proses dan
indikator output di posyandu dapat
tercapai sehingga posyandu strata
Purnama dan Mandiri yang selama ini
belum ada dapat terbentuk. Dengan
tercukupinya jumlah kader maka
diharapkan pelayanan kesehatan pada
ibu hamil bisa maksimal.
SIMPULAN
1. Ada hubungan antara peran orang tua
dengan kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Singkawang Tengah
di Kota Singkawang.
2. Ada hubungan antara kebiasaan makan
dengan kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Singkawang Tengah
di Kota Singkawang.
3. Tidak ada hubungan antara kebiasaan
minum jamu dengan kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang
Tengah di Kota Singkawang.
4. Ada hubungan antara pemeriksaan
kehamilan dengan kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang
Tengah di Kota Singkawang.
SARAN
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota
Singkawang perlu melibatkan tokoh
masyarakat baik formal maupun
informal seperti camat, lurah, kader
PKK, kader posyandu maupun tokoh
agama dalam mensosialisasikan
pencegahan dan penanganan BBLR.
Sosialisasi dapat disampaikan melalui
media elektronik maupun media cetak
hingga melalui kelompok kesehatan
maupun non kesehatan.
2. Bagi bidan/petugas kesehatan
Puskesmas Kecamatan Singkawang
Tengah agar melaksanaan KIE
(Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
yang terus menerus tidak hanya bagi
ibu hamil namun juga keluarganya yang
bertujuan untuk mempertahankan
praktek yang positif dan
mengurangi/menghilangkan
pemahaman nilai-nilai yang tidak
mendukung seperti persepsi mengenai
makanan/minuman pantangan yang
tidak sesuai dengan pemenuhan
kebutuhan gizi masa kehamilan.
3. Bagi masyarakat agar meningkatkan
pola hidup sehat terutama peningkatan
gizi ibu hamil dengan memperbaiki
pola makan serta lebih memperhatikan
kesehatannya dengan memeriksakan
kehamilan secara dini dan teratur untuk
mencegah BBLR.
4. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
referensi untuk melakukan penelitian
lanjutan karena pada dasarnya masih
banyak terdapat faktor-faktor
determinan penyebab terjadinya BBLR
yang belum diteliti oleh penulis seperti
penyebab tidak langsung yang terdiri
dari faktor lingkungan, faktor ibu,
faktor janin, faktor plasenta, dan faktor
perilaku serta penyebab langsung yang
terdiri dari status gizi dan status infeksi
ibu. Selain itu peneliti selanjutnya juga
diharapkan dapat menambah jumlah
sampel agar menghindari terjadinya
bias.
DAFTAR PUSTAKA
1. UNICEF dan WHO. 2004. Low
Birthweight: Country, Regional,
and Global Estimates. New York:
UNICEF.
2. Pantiawati, I. 2010. Bayi dengan
BBLR (Berat Badan Lahir
Rendah). Yogyakarta: Nuha
Medika.
3. WHO. 2012. Care of the preterm
and/or low-birth-weight newborn.
http://www.who.int/maternal_child
_adolescent/topics/newborn/care_o
f_preterm/en/ (Diakses 17 Juli
2013)
4. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2007.
Riset Kesehatan Dasar 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
5. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2010.
Riset Kesehatan Dasar 2010.
Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
6. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2013.
Riset Kesehatan Dasar 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI.
7. Profil Kesehatan Kota Singkawang
Tahun 2013
8. UNICEF dan WHO. 2004. Low
Birthweight: Country, Regional,
and Global Estimates. New York:
UNICEF.
9. Manuaba, I.B.G. 2010. Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan,
dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
10. Khasanah, N. 2011. Dampak
Persepsi Budaya terhadap
Kesehatan Reproduksi Ibu dan
Anak di Indonesia. Jurnal
Muwazah. 3: 487-492. Pekalongan.
Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Pekalongan. Pekalongan.
11. Profil Puskesmas Singkawang
Tengah tahun 2012.
12. UNICEF dan WHO. 2004. Low
Birthweight: Country, Regional,
and Global Estimates. New York:
UNICEF.
13. Sulistyoningsih, H. 2011. Gizi
untuk Kesehatan Ibu dan Anak.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
14. Mufdlilah. 2009. Antenatal Care
Focussed. Yogyakarta: Nuha
Medika.
15. Syafrudin., dan Hamidah. 2009.
Kebidanan Komunitas. Jakarta:
EGC.
16. Mubarak, W., dkk. 2007. Promosi
Kesehatan: Sebuah Pengantar
Proses Belajar Mengajar dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
17. Ebrahim, G.J. 1991. Practical
Mother and Child Health in
Developing Countries: A Manual
for the Community Health Nurse
and Rural Health Centre Staff.
London: ELBS with Macmillan.
18. UNICEF Indonesia. 2012.
Ringkasan Kajian: Gizi Ibu dan
Anak. Jakarta: UNICEF Indonesia.
19. Sukandar, D. 2010. Makanan Tabu
di Rokan Hulu, Riau. Hasil
Penelitian. Universitas Sumatera
Utara. 113-117. Departemen Gizi
Masyarakat Fakultas Ekologi
Manusia (FEMA) IPB dan
PERGIZI Pangan Indonesia.
Bogor.
20. Najoan, J.A., dan Manampiring,
A.E. 2011. Hubungan Tingkat
Sosial Ekonomi dengan Kurang
Energi Kronik pada Ibu Hamil di
Kelurahan Kombos Barat
Kecamatan Singkil Kota Manado.
Laporan Penelitian. Universitas
Sam Ratulangi. Manado.
21. Ausa, E.S., Jafar, N., dan
Indriasari, R. 2013. Hubungan Pola
Makan dan Status Sosial Ekonomi
dengan Kejadian KEK pada Ibu
Hamil di Kabupaten Gowa Tahun
2013. Artikel Penelitian. Program
Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas
Hasanuddin. Makassar.
22. Jaya, N. 2009. Analisis Faktor
Risiko Kejadian Berat Badan Lahir
Rendah di Rumah Sakit Ibu dan
Anak Siti Fatimah Kota Makassar.
Media Gizi Pangan. VII: 49-54.
Jurusan Keperawatan Politeknik
Kesehatan. Makassar.
23. Riksani, R. 2013. 203 Tanya
Jawab Seputar Kehamilan. Jakarta:
Dunia Sehat.
24. Rochadi, W., dan Faizah, Z. 2005.
Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan BBLR (Studi di
Kab.Wonosobo, Jawa Tengah).
Jurnal Penelitian. 2: 41-45.
Universitas Muhammadiyah
Semarang. Semarang.
25. Tazkiah, M. 2013. Determinan
Epidemiologi Kejadian BBLR pada
Daerah Endemis Malaria di
Kabupaten Banjar Provinsi
Kalimantan Selatan. Jurnal
Berkala Epidemiologi. I: 266-276.
Departemen Epidemiologi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga. Surabaya.
26. Anggraini, D.R., dan Subakti, Y.
2013. Kupas Tuntas Seputar
Kehamilan. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
27. Indiarti, MT., dan Wahyudin, H.
2008. Bahagia Menjalani
Kehamilan Sehat. Yogyakarta:
Pegasus.
28. Andapita, V. 2013. Ibu Hamil dan
Bayi Aman Meminum Jamu, Asal…
http://health.detik.com/read/2013/1
1/08/090037/2407055/763/ibu-
hamil-dan-bayi-aman-meminum-
jamu-asal. Jakarta: DetikHealth.
(Diakses 9 Januari 2014)
29. Nurhadi. 2006. Faktor Risiko Ibu
dan Layanan Antenatal terhadap
Kejadian Berat Badan Lahir
Rendah (Studi Kasus di BP RSUD
Kraton Pekalongan). Tesis.
Universitas Diponegoro Semarang.
(tidak dipublikasikan)
30. Rochadi, W., dan Faizah, Z. 2005.
Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan BBLR (Studi di
Kab.Wonosobo, Jawa Tengah).
Jurnal Penelitian. 2: 41-45.
Universitas Muhammadiyah
Semarang. Semarang.
31. Najoan, J.A., dan Manampiring,
A.E. 2011. Hubungan Tingkat
Sosial Ekonomi dengan Kurang
Energi Kronik pada Ibu Hamil di
Kelurahan Kombos Barat
Kecamatan Singkil Kota Manado.
Laporan Penelitian. Universitas
Sam Ratulangi. Manado.
32. Khasanah, N. 2011. Dampak
Persepsi Budaya terhadap
Kesehatan Reproduksi Ibu dan
Anak di Indonesia. Jurnal
Muwazah. 3: 487-492. Pekalongan.
Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Pekalongan. Pekalongan.
33. Syafrudin., dan Hamidah. 2009.
Kebidanan Komunitas. Jakarta:
EGC.
34. WHO. 2012. Care of the preterm
and/or low-birth-weight newborn.
http://www.who.int/maternal_child
_adolescent/topics/newborn/care_o
f_preterm/en/ (Diakses 17 Juli
2013)
35. Rochadi, W., dan Faizah, Z. 2005.
Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan BBLR (Studi di
Kab.Wonosobo, Jawa Tengah).
Jurnal Penelitian. 2: 41-45.
Universitas Muhammadiyah
Semarang. Semarang.
Top Related