1. Pengertian Keuangan Daerah
Dalam arti sempit, keuangan daerah yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan
APBD. Oleh sebab itu keuangan daerah identik dengan APBD. Berdasarkan PP Nomor 58
Tahun 2005, “Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala
bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut”. Hak dan kewajiban
daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan
keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan Negara dan merupakan
elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23) keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang
maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh
negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan
yang berlaku.
Mardiasmo (2000:3), mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka
perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah
adalah :
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented);
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumya dan anggaran daerah
pada khususnya;
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait
dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan perangkat daerah lainnya;
4. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan
daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan
akuntabilitas;
5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS Daerah, baik ratio
maupun dasar pertimbangannya;
6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-
tahunan;
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional;
8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan
publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi
informasi anggaran kepada publik;
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan
peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah
daerah;
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi
anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap
penyebarluasan informasi.
Menurut Halim (2004:18), “Ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari keuangan daerah
yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan
langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan barang-barang inventaris milik
daerah. Sedangkan keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD)”.
Dalam pengertian lain keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156
ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai
berikut:
“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan
segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
2. Pengelola Keuangan Daerah
Mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah yang dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan
pengelola keuangan daerah. Dijelaskan tentang uraian para pengelola keuangan termasuk Kepala
Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan
mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kepala
Daerah perlu menetapkan pejabat-pejabat tertentu dan para bendahara untuk melaksanakan
pengelolaan keuangan daerah. Para pengelola keuangan daerah tersebut adalah:
1. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah (Koordinator PKD).
2. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD).
3. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB).
4. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
5. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
6. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran.
Berikut ini adalah uraian tentang tugas-tugas para pejabat pengelola keuangan daerah tersebut.
1. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah
Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah mempunyai kewenangan:
1. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
2. Menetapkan kebijakan tentang pengelolaan barang daerah.
3. Menetapkan kuasa pengguna anggaran/pengguna barang.
4. Menetapkan bendahara penerimaan dan/atau bendahara pengeluaran.
5. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah.
6. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah.
7. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah.
8. Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan
pembayaran.
Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah melimpahkan sebagian
atau seluruh kekuasaannya kepada:
Sekretaris Daerah selaku Koordinator Pengelola Keuangan Daerah.
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD).
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna
anggaran/pengguna barang.
Pelimpahan tersebut ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berdasarkan prinsip pemisahan
kewenangan antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima atau mengeluarkan uang,
yang merupakan unsur penting dalam sistem pengendalian intern.
2. Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
Sekretaris daerah selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah membantu kepala
daerah menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan
daerah termasuk pengelolaan keuangan daerah. Sekretaris Daerah selaku koordinator
pengelolaan keuangan daerah mempunyai tugas koordinasi di bidang:
1. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
2. Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan pengelolaan barang daerah.
3. Penyusunan rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD.
4. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD, perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
5. Tugas-tugas pejabat perencana daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, dan pejabat
pengawas keuangan daerah.
6. Penyusunan laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
Selain mempunyai tugas koordinasi, Sekretaris Daerah mempunyai tugas:
Memimpin Tim Anggaran Pemerintah Daerah,
Menyiapkan pedoman pelaksanaan APBD,
Menyiapkan pedoman pengelolaan barang daerah,
Memberikan persetujuan pengesahan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA-SKPD) /
Dokumen Perubahan Pelaksanaan Anggaran (DPPA), dan
Melaksanakan tugas-tugas koordinasi pengelolaan keuangan daerah lainnya berdasarkan
kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
Koordinator pengelolaan keuangan daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas
tersebut kepada kepala daerah.
3. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) selaku Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah (PPKD) mempunyai tugas:
1. Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah,
2. Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD,
3. Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah,
4. Melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah (BUD),
5. Menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD; dan
6. Melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
PPKD dalam melaksanakan fungsinya selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) berwenang:
Menyusun kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
Mengesahkan DPA-SKPD/DPPA-SKPD;
Melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
Memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah;
Melaksanakan pemungutan pajak daerah;
Menetapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);
Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian pinjaman atas nama pemerintah
daerah;
Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
Menyajikan informasi keuangan daerah; dan
Melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik
daerah.
PPKD selaku BUD menunjuk pejabat di lingkungan satuan kerja pengelola keuangan
daerah selaku Kuasa Bendahara Umum Daerah (Kuasa BUD). PPKD mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Penunjukan Kuasa BUD oleh PPKD ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Kuasa
BUD mempunyai tugas:
Menyiapkan anggaran kas;
Menyiapkan Surat Penyediaan Dana (SPD);
Menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D);
Menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan kekayaan daerah;
Memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga
keuangan lainnya yang ditunjuk;
Mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;
Menyimpan uang daerah;
Melaksanakan penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan investasi daerah;
Melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna anggaran atas beban
rekening kas umum daerah;
Melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
Melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan
Melakukan penagihan piutang daerah.
Kuasa BUD bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada BUD.
PPKD dapat melimpahkan kepada pejabat lainnya di lingkungan SKPKD untuk
melaksanakan tugas-tugas sebagai berikut:
Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
Melakukan pengendalian pelaksanaan APBD;
Melaksanakan pemungutan pajak daerah;
Menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah;
Melaksanakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
Menyajikan informasi keuangan daerah; dan
Melaksanakan kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik
daerah.
4. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku Pejabat Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang (PPA/PB) mempunyai tugas:
1. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD);
2. Menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD);
3. Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja;
4. Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
5. Melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran;
6. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
7. Mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang
telah ditetapkan;
8. Menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM);
9. Mengelola utang dan piutang yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;
10. Mengelola barang milik daerah/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD
yang dipimpinnya;
11. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya;
12. Mengawasi pelaksanaan anggaran SKPD yang dipimpinnya;
13. Melaksanakan tugas-tugas pengguna anggaran/pengguna barang lainnya berdasarkan
kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.
Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Pejabat Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang dalam melaksanakan tugas-tugasnya dapat melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada Kepala Unit Kerja pada SKPD selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Barang.
Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah,
besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau
rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya. Pelimpahan sebagian kewenangan tersebut
ditetapkan oleh kepala daerah atas usul kepala SKPD. Kuasa pengguna anggaran/kuasa
pengguna barang mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada pengguna
anggaran/pengguna barang.
5. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD
Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Barang dalam melaksanakan program dan kegiatan menunjuk pejabat pada unit kerja
SKPD selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Penunjukan pejabat tersebut
berdasarkan pertimbangan kompetensi jabatan, anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi, dan/atau
rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.
PPTK bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada pengguna
anggaran/pengguna barang atau kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang yang telah
menunjuknya. Tugas-tugas tersebut adalah:
1. Mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
2. Melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan; dan
3. Menyiapkan dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan, yang
mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi yang terkait
dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan.
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD
Untuk melaksanakan anggaran yang dimuat dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran
SKPD (DPA-SKPD), Kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha
keuangan pada SKPD sebagai Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD (PPKSKPD). PPK-SKPD
mempunyai tugas:
1. Meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Langsung (SPP-LS) pengadaan
barang dan jasa yang disampaikan oleh bendahara pengeluaran dan diketahui/ disetujui
oleh PPTK;
2. Meneliti kelengkapan Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP), Surat
Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persediaan (SPP-GU), Surat Permintaan
Pembayaran Tambah Uang Persediaan (SPP-TU) dan SPP-LS gaji dan tunjangan PNS
serta penghasilan lainnya yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang diajukan oleh bendahara pengeluaran;
3. Melakukan verifikasi Surat Permintaan Pembayaran (SPP);
4. Menyiapkan Surat Perintah Membayar (SPM);
5. Melakukan verifikasi harian atas penerimaan;
6. Melaksanakan akuntansi SKPD; dan
7. Menyiapkan laporan keuangan SKPD.
PPK-SKPD tidak boleh merangkap sebagai pejabat yang bertugas melakukan
pemungutan penerimaan negara/daerah, bendahara, dan/atau PPTK.
7. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan Bendahara Penerimaan dan Bendahara
Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pada
SKPD. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran tersebut adalah pejabat fungsional.
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran baik secara langsung maupun tidak langsung
dilarang melakukan kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau
bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan, serta membuka rekening/giro pos
atau menyimpan uang pada suatu bank atau lembaga keuangan lainnya atas nama pribadi.
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran dalam melaksanakan tugasnya dapat
dibantu oleh Bendahara Penerimaan. Pembantu dan/atau Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran secara fungsional bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugasnya kepada PPKD selaku BUD.
3. Prinsip – Prinsip Anggaran Daerah
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah yang
berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam
Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
1. Kesatuan
Azas ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu
dokumen anggaran.
2. Universalitas
Azas ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen
anggaran.
3. Tahunan
Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu
4. Spesialitas
Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.
5. Akrual
Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang
seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima,
walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas
6. Kas
Azas ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/
penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah.
Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003,
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan
pengukuran berbasis kas.
4. Sumber Penerimaan Daerah
Pendapatan atau sumber pendapatan daerah dapat berasal dari pendapatan asli daerah
sendiri, pendapatan asli daerah yang berasal dari pembagian pendapatan asli daerah, dana
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pinjaman daerah, dan
pendapatan daerah lainnya yang sah.
Dalam kehidupan bernegara yang layak pajak merupakan sumber pendapatan yang utama
untuk membiayai kegiatan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang tidak
dihasilkan oleh swasta. Pajak disamping berperan sebagai sumber pendapatan (budgetary
function) yang utama juga berperan sebagai alat pengatur (regulatory function). Dalam
pengenaan pajak, ada yang bersifat langsung dan tidak langsung, artinya seluruh beban pajak itu
diterima atau dipikul oleh wajib pajak dan tidak dapat digeserkan kepada orang lain. Disamping
itu ada juga pajak yang bersifat tidak langsung artinya beban pajaknya tidak selalu dipikul
seluruhnya oleh si wajib pajak, tetapi beban pajak itu dapat digeserkan seluruh atau sebagiannya
kepada orang lain, biasanya adalah pembeli atau pemasok bahan mentah dalam kegiatan
produksi barang.
Adapun sumber-sumber penerimaan daerah yang lain ialah :
PDAS :
a. Pajak daerah
b. Retribusi daerah
c. Laba PDAM
d. Laba BPM
e. BKK
f. Penerimaan lain-lain
Bagi hasil :
a. PBB
b. PBB-KB
c. BPH-TB
d. Bukan pajak
Iuran hasil hutan
Pemberian hak atas tanah
Pemeriksaan kulit
Sumbangan dan bantuan :
a. Subsidi
b. Ganjaran
c. SBBO-RSUD
d. SBPP-SDN
e. SPP-OD
f. Bantuan desa
g. Sumbangan dati-I
h. OPRS-JPS
i. Dana pembangunan dati-II
j. Bantuan APBD Tk I
k. BLN _ Loan IBRD
5.Pengeluaran Daerah
Untuk mengembangkan daerahnya, pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengelola atau
mengatur keuangan daerahnya sendiri-sendiri. Komponen pengeluaran daerah adalah sebagai
berikut:
a. Belanja aparatur negara, meliputi belanja administrasi umum, belanja operasional dan
pemeliharaan, dan belanja modal.
b. Belanja pelayanan publik, meliputi belanja administrasi umum, belanja operasional dan
pemeliharaan, dan belanja modal.
c. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan.
d. Belanja tidak disangka.
Belanja merupakan pengeluaran kas daerah yang menjadi beban daerah dalam periode
tahun anggaran tertentu. Pos-pos belanja daerah dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Belanja administrasi umum, adalah belanja tidak langsung dan tidak menambah aset tetap.
Misalnya belanja gaji pegawai, listrik, air, telepon, dan pemeliharaan kendaraan.
b. Belanja operasional dan pemeliharaan, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi
oleh adanya kegiatan tetapi tidak menambah aset. Misalnya operasi penertiban pedagang
kaki lima.
c. Belanja modal, adalah belanja yang besar atau kecilnya dipengaruhi oleh adanya kegiatan
secara langsung dan menambah aset. Misalnya pembangunan gedung, pembelian
kendaraan bermotor, dan pembangunan jalan.
d. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan. Belanja ini bersifat langsung tanpa indikator
kinerja. Misalnya belanja provinsi untuk alokasi bagi hasil. Alokasi tersebut bisa berupa
pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor ke kabupaten atau kota,
bantuan kepada organisasi kemasyarakatan, olahraga, dan profesi.
e. Belanja tidak disangka, dialokasikan untuk mendanai kebutuhan daerah yang mendesak
untuk dilaksanakan tetapi belum ada anggarannya.
Kebijakan anggaran
Kebijakan anggaran diperlukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi
masyarakat sehingga pendapatan nasional meningkat. Jenis-jenis kebijakan anggaran adalah
sebagai berikut:
a. Kebijakan anggaran berimbang, terjadi jika penerimaan negara sama dengan belanja
negara. Hal ini dapat diterapkan jika kondisi perekonomian stabil.
b. Kebijakan anggaran tidak berimbang, dapat terdiri atas:
1. Anggaran defisit. Kebijakan anggaran defisit terjadi jika pengeluaran pemerintah akan
lebih besar dibandingkan penerimaan yang ada. Kebijakan ini dapat dilakukan ketika
tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, terjadi inflasi, dan daya beli masyarakat turun.
2. Anggaran surplus. Kebijakan anggaran surplus terjadi jika pengeluaran pemerintah
lebih kecil dibandingkan penerimaan yang ada. Kebijakan ini dapat dilakukan untuk
mengatasi terjadinya inflasi. Oleh karena tidak semua penerimaan dibelanjakan,
pemerintah dapat mengakumulasi tabungan.
6. Hubungan antara keuangan daerah dan keuangan negara
Pasal 1 UUD 1945 menetapkan negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menyatakan bahwa
daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom dan bersifat daerah administrasi.
Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber-sumber daya nasional yang
memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga merupakan subsistem dari pemerintahan
negara sehingga antara keuangan daerah dengan keuangan negara akan mempunyai hubungan
yang erat dan saling mempengaruhi.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas,
nyata dan bertanggung jawab di daerah serta secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah
dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia
dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan
penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Sedangkan penugasan dari pemerintah pusat
kepada daerah dalam rangka tugas pembantuan disertai pengalokasian anggaran.
Dari ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut, hanya pelimpahan wewenang dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi saja yang merupakan sumber keuangan daerah melalui alokasi
dana perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan alokasi dana dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan
tidak merupakan sumber penerimaan APBD dan diadministrasikan serta dipertanggungjawabkan
secara terpisah dari administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan desentralisasi.
7. Undang-undang yang mengatur tentang keuangan daerah
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
Pasal 16
1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun
dengan Peraturan Daerah.
2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah.
4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 17
1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah.
2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada
rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam
Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 18
1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya
sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD
kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah
Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon
anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pasal 19
1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku
pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
tahun berikutnya.
2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai
3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja
untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun
4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD
untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD
5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola
keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
tahun berikutnya.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 20
1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama
bulan Oktober tahun sebelumnya.
2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-
undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan.
5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja.
6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat
melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran
sebelumnya.
BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan
fiskal dan moneter
Pasal 22
1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah
atau sebaliknya.
3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain
dengan persetujuan DPRD.
Pasal 23
1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman
dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.
2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diteruspinjam-kan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/
Perusahaan Daerah
BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26
1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 27
1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis
untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-
lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara
DPR dan Pemerintah Pusat.
3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama
DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN
tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan
dalam APBN.
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau
disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun
anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 28
1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis
untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-
lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara
DPRD dan Pemerintah Daerah.
3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama
DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas
APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD,
dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD
tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir.
Pasal 29
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD
ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD
Pasal 30
1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung-
jawaban
pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, selambat lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Pasal 31
1) Gubernur/Bupati/Walikotamenyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggung jawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah
diperiksa oleh badan pemeriksaan keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah
tahun anggaran terakhir.
2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan daerah.
Pasal 32
1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan.
2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu
komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah
terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 33
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undan -
undang tersendiri.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 1999
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
BAB II
DASAR-DASAR PEMBIAYAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 2
1) Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dibiayai atas beban A
PBD.
2) Penyelenggaraan tugas Pemerintahan Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah Propinsi
dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.
3) Penyelenggaraan tugas Pemerintahan Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Des
a dalam rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN.
4) Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan
kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota diikuti dengan
pembiayaannya.
BAB III
SUMBER-SUMBER PENERIMAAN PELAKSANAAN DESENTRALISASI
Bagian Pertama
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pasal 3
Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi adalah:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan;
c. Pinjaman Daerah;
d. Lain-lain Penerimaan yang sah.
Bagian Kedua
Sumber Pendapatan Asli Daerah
Pasal 4
Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a terdiri dari:
a. hasil pajak Daerah;
b. hasil retribusi Daerah;
c.
hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
d. lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
Pasal 5
1) Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
huruf a dan huruf b diatur dengan Undang-undang.
2) Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang
dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Dana Perimbangan
Pasal 6
1) Dana Perimbangan terdiri dari :
a. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tana
h dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
b. Dana Alokasi Umum;
c. Dana Alokasi Khusus.
2) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh pe
rsen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
3) Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbanga
n 20%
(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
4) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen)
penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerinta
h
Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten
dan Kota.
5) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan
sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat da
n 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
6) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang
dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:
a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah se
telah
dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbanga
n 85%
(delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) untuk D
aerah.
b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah
dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbang
70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30 % untuk daerah.
Pasal 5
1) Ketentuan mengenai pajak Daerah dan retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
huruf a dan huruf b diatur dengan Undang-undang.
2) Ketentuan mengenai perusahaan milik Daerah dan pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang
dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Dana Perimbangan
Pasal 6
1) Dana Perimbangan terdiri dari :
a. Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tana
h dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
b. Dana Alokasi Umum;
c. Dana Alokasi Khusus.
2) Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh pe
rsen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
3) Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbanga
n 20%
(dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
4) 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen)
penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari Pemerinta
h
Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dibagikan kepada seluruh Kabupaten
dan Kota.
5) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, da
n
sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat da
n 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
6) Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang
dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut:
a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah se
telah
dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbanga
n 85%(delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lima belas persen) u
ntuk Daerah.
b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setela
h
dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbanga
n 70%(tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Da
erah.
Pasal 7
1) Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Peneri
maan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
2) Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan m
asing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi Umu
m sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1).
3) Dalam hal terjadi perubahan kewenangan diantara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/
Kota
persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaim
ana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan perubahan tersebut.
4) Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian ju
mlah
Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan po
rsi Daerah Propinsi yang bersangkutan.
5) Porsi Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan proporsi bobot Daerah
Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesi
a.
6) Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan
perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan
dalam APBN dengan porsi daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
7) Porsi Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan proporsi bobot
Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/
Kota di seluruh Indonesia.
8) Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan :
a. kebutuhan wilayah otonomi Daerah;
b.potensi ekonomi Daerah.
9) Penghitungan dana alokasi umum berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ay
at
(5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
Pasal 8
1) Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membantu
membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
2) Kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum; dan/
atau
b. kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
3) Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk yang berasal dari dana
reboisasi.
4) Dana reboisasi dibagi dengan imbangan:
a. 40% (empat puluh persen) dibagikan kepada Daerah penghasil sebagaimana Dana Alokasi
Khusus.
b. 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah Pusat.
5) Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan kebutuhan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai denga
n kemampuan Daerah yang bersangkutan.
Pasal 9
Besarnya jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan set
iap tahun anggaran dalam APBN.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penghitungan dan penyaluran atas bagian Daerah dari
penerimaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), da
n ayat(6) dan rumus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), da
n ayat (8),serta Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peratur
an Pemerintah.
Top Related