Download - syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

Transcript
Page 1: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

DINAMIKA FATWA DI TENGAH KEBERAGAMAN MASYARAKAT

(Antara Progresivitas dan Regresivitas)1

Dr. M. Usman, S.Ag, M.AgDekan Fakultas Syariah IAIN Surakarta

AbstrakTulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi dinamika pergumulan “fatwa hukum” dengan realitas sosial. Sebagai bentuk refleksi, setidaknya artikel ini mencoba memberikan gambaran atau potret eksistensi “fatwa” ditengah masyarakat dengan berbagai pro-kontranya, dengan harapan, hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk perbaikan kedepannya, sehingga melahirkan produk “fatwa” yang berpijak pada realitas masyarakat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka kajian pokok yang akan dibahas melalui tulisan ini adalah, pertama, urgensi “fatwa (keagamaan)” ditengah masyarakat. Kedua, fenomena “Fatwa” dengan berbagai pro-kontranya yang melahirkan progresivitas dan regressivitas. Ketiga, potensi “fatwa” sebagai penyokong bingkai NKRI dan kebangsaan.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk menilai validitas “sebuah fatwa” maupun lembaga apapun yang mengeluarkan fatwa, karena itulah pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah social-historical approach (sosial historis), yang mencoba mengkaji kondisi sosial-politik yang mengelilingi lahirnya sebuah fatwa, serta implikasi atau dampak sosial yang berwujud reaksi masyarakat terhadap “fatwa” tersebut.

Kata Kunci: Fatwa, Keberagamaan dan Kebangsaan

A. PendahuluanHukum Islam di Indonesia termanifestasikan dalam

bentuk produk hukum. Setidaknya ada empat produk pemikiran hukum Islam yang berkembang dan dikenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu, kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama dan peraturan

1 Makalah ini dipresentasikan dalam acara “Seminar Program Studi Ahwal Syakhshiyyah (Fatwa dan Otoritas Keagamaan dalam Konteks Negara Demokrasi Pancasila) Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam”. Di STAIN Kudus, Rabu, 26 Juli 2017. Penulis adalah Dosen Syariah IAIN Surakarta.

1

Page 2: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

perundangan di negeri-negeri Muslim. Keempat produk hukum tersebut memiliki ciri khas masing-masing.2

Kitab-kitab fiqh lebih bersifat menyeluruh dan meliputi semua aspek bahasan hukum Islam. Sedangkan ‘fatwa’ ulama bersifat kasuistik karena merupakan respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa tidak mempunyai daya ikat/tidak mengikat apa lagi ‘hak memaksa’, dalam arti si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi/hukum fatwa yang diberikan kepadanya. Biasanya fatwa bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa.

Keputusan-keputusan pengadilan agama bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara. Sampai tingkat tertentu keputusan pengadilan agama juga bersifat dinamis karena merupakan usaha memberi jawaban sekaligus menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan pada suatu waktu tertentu. Adapun peraturan perundangan di negeri-negeri Muslim memiliki sifat yang lebih mengikat dengan wilayah yang lebih luas. Orang yang terlibat dalam perumusannya juga tidak terbatas pada fuqaha atau ulama, melainkan juga para politisi dan cendikiawan lainnya.

Paper ini mencoba memfokuskan kajiannya pada “fatwa”, dengan pertimbangan, pertama, fatwa lebih bersifat responsif terhadap permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat. Kedua, sebuah fatwa tidak muncul dari ruang

2 Muhammad Atho Mudzhar dkk, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqh (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm. 203; Muhammad Atho Mudzhar , Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam. Hlm.. 1-2. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Reaktualisasi.html. bandingkan Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia Edisi I, Cet III (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hlm. 8-9.

2

Page 3: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

hampa, artinya banyak faktor yang mempengaruhinya baik yang bersifat internal maupun aksternal. Ketiga, diakui atau tidak belakangan ini “fatwa” menjadi isu sensitif yang banyak diperbincangkan, bahkan implikasi dari sebuah fatwa memunculkan kontroversial pada domain sosial dan politik, “fatwa juga mampu memobilisasi masa menjadi kekuatan yang kokoh. Hal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya.

B. Urgensi Fatwa di Tengah MasyarakatTidak diragukan lagi bahwa hukum Islam (fiqh)

merupakan manifestasi konkrit dari syari>’ah3 yang dianggap sebagai representasi kehendak Allah swt. Setiap orang muslim terlebih yang sudah terbebani taklif (mukallaf) akan senantiasa menyelaraskan segala aktifitas kehidupannya dengan hukum Islam, baik yang bersifat mahdah maupun muamalah. Seiring dengan perkembangan zaman persoalan yang dihadapi umat Islam menjadi semakin kompleks, tidak hanya persoalan yang berkaitan dengan ibadah murni (mahdah), melainkan juga persoalan-persoalan yang berdimensi sosial yang implikasinya tidak hanya melibatkan kaum muslimin tetapi juga umat-umat lain di luar Islam.

Perkembangan hukum Islam pada masa awal sesungguhnya amat dipengaruhi oleh perluasan kekuasaan

3 Istilah syari>’ah, Fiqh dan Hukum Islam merupakan istilah yang berbeda satu sama lain, baik secara historis maupun literal. Namun dalam penggunaannya, istilah-istilah tersebut menjadi identik dan bahkan yang hampir dianggap baku adalah istilah hukum Islam. Lihat, Hasbi as-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm.12-20. Mun’im Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risa>lah Gusti, 1996), hlm. 1-7, Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka 1984), hlm. 1-5.

3

Page 4: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

Islam dan perkembangan sosial yang makin kompleks, sehingga ‘produk hukum’ di masing masing distrik pusat kekuasaan Islam juga mengalami dinamika perubahan yang terakumulasi dalam bentuk madzhab-madzhab klasik. Pada masa tabi’in, aktivitas hukum secara independen telah berlangsung di tiga devisi geografis dunia Islam, yaitu Iraq, Hijaz dan Syiria. Lebih jauh lagi Iraq terbagi menjadi dua (Bashrah dan Kuffah) yang masing masing mengembangkan tradisi hukum. Hijaz (Makkah dan Madinah). Sementara di Mesir, sebagian ulama mengikuti doktrin Iraq, sebagaian lain lagi mengikuti doktrin Madinah, Imam Ibn Layts bin Sa’ad merupakan salah satu figur utama dalam perkembangan hukum di Mesir.4 Formulasi hukum Islam di tangan para tabi’in ini menimbulkan beberapa perbedaan mencolok di masing masing distrik dan lebih diwarnai oleh faktor faktor lokal dan regional.

Terlebih lagi di masa sekarang ini, dimana transformasi sosial budaya terus berkembang menjadikan kebutuhan umat Islam terhadap ‘status hukum’ dari berbagai persoalan yang secara eksplisit belum ditetapkan syara’ menjadi semakin

4 Masing masing wilayah penting terdapat tokoh yang pendapatnya memberi kontribusi bagi perkembangan pemikiran hukum. Diantaranya adalah: Makkah (‘Atha b Abi Rabi’ah, ‘Amr b Dinar), Madinah (Said b Musayyab, ‘Urwah b Zubayr, Abu Bakr b Abd Rahman, ‘Ubaidillah b Abdullah, Kharijah b Zayd, Sulaiman b Yassar, Qassim b Muhammad) mereka dikenal dengan tujuh ulama Madinah. Disamping itu terdapat juga nama nama seperti Salim b Abdullah b Umar, Ibn Syihab al-Zuhri, Rabiah b Abdurrahman, sementara Malik b Anas adalah eksponen terakhir bagi madzhab hukum Madinah. Bashrah (Muslim b Yassar, al-hasan b Yassar, Muhammad b sirrin. Kuffah (‘Alqamah b Qais, Masruq b al-Ajda,al-Aswad b Yazid, Syuraih b Harits mereka adalah pengikut Abdullah b Mas’ud), terdapat juga nama Ibrahim al-nukha’i, al-sya’bi, Hammad b Abi sulaiman, al-Asy’ari dan Abu Hanifah. Syiria (Qbaisy b Duwayb, Umar b Abd al-Aziz, Makhul al-Auza’i, Ahmad Hasan. Lihat Shofiyulloh, MZ, Epistemologi Ushul Fikih Al-Syafi’i (Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010), hlm. 168. Merujuk pada Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University, 1952), hlm. 260-261.

4

Page 5: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

meningkat.5 Disinilah letak urgensi “fatwa” sebagai jawaban bagi masyarakat muslim yang mempertanyakan status hukum sebuah persoalan. Kondisi ini juga yang menjadikan hukum Islam terus berkembang menjadi sumber inspirasi moral yang dapat digelar dan diaktualisasikan dalam pentas keragaman hidup pada setiap zaman dan kondisi sosial yang berbeda-beda.6

Pelaksaan pemberian fatwa berjalan sejak masa agak dini, tercatat tokoh seperti Ibrahim al-Nakhai (w.96 H), Atha bin Abi Rabiah (w.115 H) dan Abdullah bin Abi Nujaih (w.132 H) dianggap sebagai tokoh-tokoh awal yang telah memberikan fatwa kepada masyarakat.7 Pekerjaan menghimpun fatwa

5 Perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan gejala umum. Dalam arti bahwa perubahan tersebut akan mengenai gejala sosial yang dinamakan hukum. Sehingga, di sadari atau tidak, perubahan yang terjadi dalam praksis sosial dan budaya akan berpengaruh terhadap nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum. Budaya (cultur) berarti hasil karya, rasa dan cipta yang didasarkan atas karsa, sedang berkaitan dengan kebiasaan (customary of law), berarti hukum yang timbul dari adat istiadat yang diakui oleh masyarakat. Definisi tentang sosial dan budaya terlihat jelas seperti yang di kemukakan oleh Moeslim Abdurrahman, dengan mengutip pendapat Tolcott Parsons dalam Theories of Society bahwa budaya adalah sistem yang berkaitan dengan ide-ide dan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat tertentu. Sosial berarti suatu sistem yang berkaitan dengan interaksi sejumlah kelompok-kelompok dalam masyarakat. Baca Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, cet. ke-2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 173 dan 175; Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Rajawali Pers, t.t.), hlm. 74, 176, 177 dan 334.

6 Beberapa catatan penting tentang perubahan sosial dalam kaitannya dengan perubahan hukum Islam, baca Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Phylosophy: A Study of Abu Ishaq Al-Shatibi’s Life and Thought (Pakistan: Islamic Research Institute Islamabad, 1977), hlm. 1-5, 20-24 dan 287-311; idem, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, alih bahasa Yudian W. Asmin (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 23-28, 42-49, 297-311 dan 329-342; Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2004), hlm. 211-220 dan 246-258; Lihat juga Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet. ke-2 (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 32-36; idem, Membuka Pintu Ijtihad, alih bahasa Anas Mahyuddin, cet. ke-3 (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 265-271; idem, Islam, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet. ke-4 (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 376-393.

7 Joseph Schacht, Introduction to Islamic Law (Oxford: Clarendon Press, 1964), hlm. 73. Lihat juga Abu Ishaq al-Syirazi, Thabaqat al-Fuqaha (Beirut:

5

Page 6: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

belum dilakukan hingga abad ke-12. Dikalangan mazhab Hanafi kumpulan fatwa paling awal dilakukan oleh Burhanuddin bin Mazza (w.570 H/1174 M) dengan karyanya yang berjudul Zakhirat al-Burhaniyyah. Dalam mazhab Maliki penghimpunan kumpulan fatwa yang paling awal dilakukan oleh al-Wanyarisi (w. 914 H/1508 M) dengan kitabnya berjudul al-Mi’yar al-Maghrib. Sedangkan dalam mazhab Hambali terdapat Ibnu Tainiyah melalui kitabnya Kitab Majmu al-Fatawa.8

Pada abad ke-19, sewaktu kekaisaran Turki Usmani mulai memasukan hukum Barat ke dalam dunia Islam yang mengakibatkan lahirnya dikotomi antara hukum umum dan hukum syari’at, jangkauan fatwa-fatwa menjadi terbatas pada hukum perorangan (pribadi). Dalam dunia Islam kontemporer paling sedikit ada tiga jenis negeri yang menonjol dalam persoalan fatwa. Pertama, negeri-negeri yang masih menganggap syariat sebagai hukum dasar dan menerapkannya sedikit banyak dalam keseluruhannya, tipe ini diwakili oleh negeri Arab Saudi dimana praktik pemberian fatwa menjadi amat penting baik dalam masalah perorangan maupun sosial politik.9

Kedua, negeri-negeri yang telah menghapuskan hukum syariat sama sekali dan menggantinya dengan hukum sekuler. Turki adalah negeri paling tepat sebagai contoh jenis ini, dimana praktik pemberian fatwa dianggap menjadi persoalan

Dar al-Ra’yd, 1970), hlm. 69, 71. 8 H.A.R Gibb dan J.H. Kramers, (ed.), “Malik bin Anas” dan “Hanafie”

dalam Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1961) 9 Bahkan peralihan kekuasaan kepada raja Faishal pada tahun 1964

telah dimungkinkan oleh fatwa ulama Saudi. Lihat John L. Esposito (ed.), “The Role of Islam in Saudi Arabia’s Political Development” dalam Islam and Development: Religion and Sociopolitical Change (Syracuse University Press, 1980), hlm. 128.

6

Page 7: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

yang paling kurang menonjol, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Ketiga, negeri-negeri yang mengkompromikan dua wilayah hukum tersebut, seperti Mesir, Tunisia, Iraq, Syiria, Indonesia. Indonesia termasuk dalam jenis ini karena di samping masih menerima tradisi hukum dari bangsa Belanda, masih pula mempertahankan peradilan agama untuk hukum keluarga. Di negeri-negeri jenis ketiga ini praktik pemberian fatwa dapat diharapkan berjalan terus serta merupakan gejala yang sngat penting bagi perkembangan pemikiran hukum Islam.10

Di Indonesia tugas pemeberian fatwa sepenuhnya dilakukan oleh para ulama. Istilah fuqaha dan mufti tidak dipergunakan secara umum meskipun istilah tersebut tidak asing sama sekali bagi masyarakat Muslim Indonesia. Hingga permulaan abad ke-20, fatwa-fatwa di Indonesia telah diberikan oleh ulama secara perorangan.11 Pada kuartal kedua abad ke-20, beberapa fatwa telah mulai diberikan oleh ulama secara berkelompok. Hal ini ditandai dengan munculnya ormas-ormas Islam, diantaranya oleh tiga Ormas Islam yang memiliki

10 Untuk penggolongan tipologi negeri-negeri ini lihat J.N.D Anderson, Islamic Law in the Modern World (New York University, 1959), hlm. 81.

11 Deliar Noer, Modernist Muslim in Indonesia 1900-1942 (Singapura: East Asian Historical Monograph , Oxford University Press, 1973), hlm. 8.

7

Page 8: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

anggota yang cukup besar, yaitu PERSIS12, Muhammadiyyah13 dan Nahdlatul

Ulama’ (NU).14

C. Istilah “Fatwa” dalam Jurisprudensi IslamMunculnya fatwa dikarenakan adanya suatu perkara akibat

perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Fatwa merupakan sesuatu yang

krusial karena merupakan respon internal terhadap pelbagai persoalan di mana

anggota-anggota ummah sendiri memandangya sebagai hal yang sangat

penting dalam rangka menunaikan kewajiban yang diberikan Tuhan dengan

benar.

12 PERSIS (Persatuan Islam), suatu organisasi sosial, pendidikan dan keagamaan yang didirikan di Bandung 17 september 1923 (1342 H) atas prakarsa K.H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dua orang saudagar asal Palembang. Organisasi ini bertujuan untuk mengamalkan segala ajaran Islam, dalam segi kehidupan anggotanya dan masyarakat, dan untuk menempatkan kaum muslimin pada ajaran akidah dan syari’at yang murni berdasarkan al-Qur’an dan as-sunnah. Lihat Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 764

13 Muhammadiyyah adalah organisasi kemasyarakatan yang memiliki basis agama dalam gerakannya. Didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Untuk memberikan kepastian hukum dalam perspektif Islam (fikih) terhadap problem yang terjadi pada masyarakat. Yang meliputi permasalahan ibadah, ekonomi, politik, kesehatan dan lain sebagainya. Muhammadiyah membentuk lembaga yang disebut dengan Majelis Tarjih. Majelis Tarjih merupakan sebuah lembaga di bawah pimpinan pusat Muhammadiyah dan Lajnah Tarjih adalah sidang yang akan membahas masalah-masalah yang akan ditarjih. Lajnah Tarjih memusatkan perhatiannya untuk melakukan penelitian dalam bidang ilmu agama dan hukum Islam sehingga didapatkan kemurniannya. Lihat pula Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3S, 1985), hlm. 92-93. Lihat juga Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 24.

14 NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) di wilayah Kertopaten Surabaya. Lihat Choirul Anam, Pertumbuhan Dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, cet. I, (Solo: Jatayu, 1985), hlm. 15. Dalam NU, fatwa-fatwa dirumuskan melalui forum yang digelar secara reguler yang dinamakan bahtsul masail. Sebagai institusi fatwa dalam tubuh NU, lembaga bahstsul masail (LBM) bertanggung jawab memberikan kepastian hukum terhadap persoalan yang berkembang di masyarakat. Persoalan hukum tersebut merupakan masalah-masalah yang diajukan untuk dicarikan kepastian hukumnya . Masalah yang diajukan dibahas dalam forum Lembaga Bahtsul Masail dengan perangkat metodologi yang dianutnya. Lihat Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU (Surabaya: Khalista, 2007), hlm. 75. Lihat pula John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, j.4 (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 148

8

Page 9: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

Fatwa berasal dari bahasa Arab yang berarti الفتوي jawaban atau

keputusan. Orang yang memberikan fatwa disebut mufti.15 Quraish Shihab

mengartikan fatwa sebagai penjelasan hukum tentang persoalan yang

musykil.16 Definisi yang lain menyebutkan:

“Fatwa is a formal opinion or decision, treating a moral, legal or doctrinal question, issued by some one recognized as knowledgeable in the juridical sciences of islam. While it has no binding force, it is regarded as an authoritative interpretation”17

Pengertian fatwa menurut syara’sebagaimana yang diungkapkan oleh

Yusuf al-Qardawi ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu permasalahan

sebagai jawaban dari suatu pertanyaan baik si penanya itu jelas identitasnya

maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.18 Sedangkan makna fatwa

menurut MUI, fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai

masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.19

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan

bahwa fatwa adalah menjelaskan hukum suatu permasalahan dengan

berlandaskan dalil-dalil syar’i kepada orang yang bertanya. Fatwa juga dapat

difahami sebagai suatu jawaban dari suatu pertanyaan atau penjelasan hukum

tentang persolan yang musykil, yang diberikan seseorang atau lembaga yang

diakui kredibilitasnya secara umum.

Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat penting, karena

mufti (pemberi fatwa) -sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Syatibi -

15 Louis Ma’loef, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lām, cet. 37 (Beirut: Dar al-Masyriq, 1998), hlm. 569. Lihat pula Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 275

16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.2, cet. IV (Ciputat: Lentera Hati, 2006), hlm. 602

17 Jonathan Z. Smith (edt), The Harper Collin Dictiionary of Religion (American Academy of Religion, 1995), hlm. 358.

18 Yusuf Qardhawi, Al-Fatwa Baina Al-Indhibat Wat Tasyayub, diterjemahkan oleh Ahmad Yasin, Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm.5

19 Www. MUI.or.id/ Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia/akses 25 Pebruari 2010

9

Page 10: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

merupakan pelanjut tugas Nabi Saw. sehingga ia berkedudukan sebagai

khalifah dan ahli waris beliau :

.االنبياء ورثة العلماء Seorang mufti menggantikan kedudukan Nabi saw. Dalam

menyampaikan hukum-hukum syariat, mengajar manusia, dan memberi

peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-hati. Di samping

menyampaikan apa yang diriwayatkan dari shāhib al-syarī’ah (Nabi saw),

mufti juga menggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukum

yang digali dari dalil-dalil hukum melalui analisis dan ijtihadnya, sehingga jika

dilihat dari sisi ini seorang mufti juga sebagai pencetus hukum yang wajib

diikuti dan dilaksanakan keputusannya. Inilah –sebagaimana yang dikatakan

oleh al-Syatibi- khilafah (penggantian tugas) yang sebenarnya.20

Fatwa lahir dari munculnya persoalan yang musykil dan belum jelas

hukumnya. Hal ini karena tidak didapati dalil-dalil dari al-Qur’an dan al-hadis

yang secara jelas menerangkannya. Fatwa senantiasa dilematis, di satu sisi ia

sangat dibutuhkan oleh umat sementara di sisi lain ia ditolak karena perbedaan

pandangan dan kepentingan. Dalam bidang muāmalah lebih banyak memicu

terjadinya ikhtilāf21(perbedaan pendapat) dibanding dengan persoalan

‘ubūdiyah. Hal ini karena persoalan-persoalan muāmalah senantiasa

berkembang dan kompleks sejalan dengan perkembangan zaman. Sementara

persoalan-persoalan ibadah tetap dan tidak banyak mengalami perubahan.

20 Al-Syatibi, Al-Muwāfaqāt fi ushul al-syari’ah, j.4, tahqiq oleh Abdullah Darrāz (ttp: 1975), hlm. 244-246

21 Ikhtilaf berarti pertentangan antara seorang dengan yang lainnya dalam hal metode yang ditempuh baik dalam perkatan maupun perbuatan. Ada 3 macam khilaf: al-khilāf amlāhu al-hawā (khilaf yang ditunggangi oleh ahwa nafsu dan kepentingan priibadi), al-khilāf amlāhu al-haq (khilaf dalam kebenaran) dan al-khilāf baina al-madh wa al-dzamm (khilaf antara yang terpuji dan tercela). Lihat Taha Jabir Fayyad al-Alwani, Kitab Al-Ummah, Adab Al-Ikhtilaf Fi Al-Islam (Kuwait: Dar al-Qalam, tt), hlm. 23-31

10

Page 11: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

Keputusan hukum tentang suatu persoalan (fatwa) adalah hasil ijtihād22

dari seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad), dan meskipun masing-

masing mujtahid menempuh metode dan prosedur yang sama dalam meng-

istimbath-kan hukum hasilnya tidak selalu sama dan bahkan berbeda.

Perbedaan ini dipengaruhi oleh kepribadian mujtahid, latar belakang sosial dan

keilmuan serta kondisi masyarakat di mana ia tinggal.

Fatwa tidak bersifat mengikat, otoritas fatwa berlaku bagi mereka yang

meyakininya atau anggota-anggota dari pihak yang mempunyai otoritas fatwa.

Hal ini dikarenakan esensi fatwa adalah nasehat. Sebagaimana yang

dinyatakan oleh Ahmad Muhsin Kamaludiningrat,23 MUI tidak menjadikan

fatwa sebagai harga mati yang harus dipatuhi semua masyarakat, fatwa bersifat

nasehat dan oleh karenanya terserah kepada pendengarnya apakah ia akan

mematuhi atau menolaknya melaksanakan atau tidak.

Secara normatif ‘fatwa’ menempati kedudukan yang mulia, hal ini

merujuk pada firman Allah swt dalam Al-Qur’an surat al-Nisa 127 :

....

‘Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka...’

Dari sini dapat difahami bahwa sesungguhnya fatwa hakekatnya muncul dari Allah swt, dengan begitu fatwa dianggap bagian dari hukum syar’i. Karena itulah seorang mufti memiliki tugas mulia yang hakekatnya menyampaikan suatu hukum yang bersifat ilahiah. Seorang mufti juga dianggap sebagai penerus Nabi Muhammad saw dalam

22 Ijtihad berasal dari akar kata jahada, yang berarti “mencurahkan segala kemampuan” atau “menanggung beban”. Ijtihad menurut arti bahasa ialah, usaha yang optimal dan menanggung beban berat. Lihat Louis Ma’luf, Al-Munjd fī al-Lugat wa al-A’lām (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 105-106. Dalam terminologi fikih ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan fikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dengan syarat tertentu. Lihat Abdul Aziz Dahlan, dkk, (edt), Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 136

23 A. Muhsin Kamaludiningrat, Sekretaris Umum MUI propinsii DIY Yogyakarta Periode 2006-2011,

11

Page 12: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

melaksanakan tugas menjelaskan suatu permasalahan kepada umat Islam. Imam Qarafi menyatakan bahwa “seorang ‘mufti’ dianggap sebagai orang yang mampu menerjemahkan maksud dan keinginan Allah”. Ibnu al-Qayyim pun mengibaratkan mufti sebagai seorang menteri yang mengawal raja, apabila seorang menteri mendapatkan kemuliaan dan kehormatan karena melayani raja, maka bagaimana dengan pengawal raja langit dan bumi yakni Allah swt.24

Karena kedudukannya yang mulia ini, seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan maksud ingin dihormati, dipuji manusia, terlebih berniat buruk. Dan fatwa harus dikeluarkan dengan amat hati-hati. Diperingatkan oleh Nabi Muhammad saw, bahwa “tindakan sembrono dalam mengeluarkan fatwa dapat mengantarkan orang itu masuk ke dalam neraka Jahanam”.25 Imam al-Nawawi mengatakan “sesungguhnya berfatwa itu dapat menimbulkan bahaya tetapi memiliki keutamaan yang agung”.26

Oleh karena itu seorang mufti haruslah orang yang memiliki kompetensi dalam bidangnya yakni ulama yang mampu melakukan isntinbat al-ahkam dengan berbagai

24 Ali Jum’ah, Al-Bayan Lima Yusghilu al-Adzhan, jilid II, alih bahasa, M. Farud Wajdi, Fiqh Rahmatan Lil Alamin (Pustaka Ilmu Group: Yogyakarta, 2014), hlm. 124-126. Merujuk pada Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya I’lamul Muwaqiin.

25 Hadis Riwayat al-Darimi 26 Berangkat dari hal ini banyak para ulama terdahulu yang amat berhati-

hati sampai terkadang enggan memberi fatwa, diriwayatkan dari Abdurrahman bin Laila, beliau berkata “aku menjumpai 120 orang sahabat Rasul saw dari kaum Anshor, ketika seseorang dari mereka ditanya tentang suatu masalah, mereka enggan menjawan dan melemparkannya kepada yang lain, begitu seterusnya sampai kembali pada sahabat yang pertama kali ditanya”. Dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata “barang siapa yang mengeluarkan fatwa atas apa saja yang ditanyakan, maka ketahuilah bahwa dia adalah orang gila”. Imam Al-Syafi’i pernah ditanya “mengenai suatu masalah tetapi ia tidak menjawab, kemudaian ada yang berkata, ‘mengapa engkau tidak menjawab’, beliau berkata, sampai aku tahu apakah kemuliaan itu ada dalam diam atau menjawab”. Lihat Ali Jum’ah, Al-Bayan Lima Yusghilu al-Adzhan, jilid II...hlm. 127.

12

Page 13: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

perangkatnya (ilmu ushul fiqh, fiqh dll), disamping itu seorang mufti juga harus diakui integritas pribadinya (akhlak dan etika) baik secara lahir maupun batin. Pada masa Khalifah ‘Abbâsiyyah al-Manshûr (w. 158 H./775 M.) menawarkan untuk menerapkan fatwa hukum Imam Mâlik ibn Anas (w. 179 H./796 M.) sebagai hukum formal negara Islam, Mâlik menolak dan menegaskan bahwa tidak ada klaim eksklusif atas kebenaran Ilahiah. Orang tahu bagaimana Mâlik bersikukuh bahwa tidak ada alasan yang sah untuk memaksakan seperangkat pendapat hukum tertentu untuk diterapkan di seluruh negeri, karena akan berlawanan dengan perangkat pendapat hukum yang lain.27 Hal ini menunjukkan ketawadluan seorang Imam Malik bin Anas.

Istilah al-ifta’ (fatwa) seringkali maknanya hampir sama dengan al-fiqh dan al-Qadla (keputusan hukum dari hakim). Jika fiqh difahami sebagai kumpulan hukum-hukum syar’i berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang dihasilkan dari dalil-dalil terperinci. Sedangkan fatwa adalah menjelaskan kesimpulan hukum yang dihasilkan dari suatu permasalahan. Adapun al-Qadla difahami sebagai sebuah ketetapan hukum yang diwajibkan oleh pemerintah kepada yang bersangkutan atas suatu permasalahan yang telah diserahkan kepada pemerintah.

27 Lihat al-Syawkânî, al-Qawl al-Mufîd, hlm. 52; Ahmad ibn ‘Abd al-Rahîm Syâh Walî Allâh al-Fârûqî al-Dahlawî, al-Inshâf fî Bayân Sabab al-Ikhtilâf fî al-Ahkâm al-Fiqhiyyah (Kairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1385 H.), hlm. 12; Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, Ikhtilâf al-Madzâhib, editor: ‘Abd al-Qayyûm Muhammad Syafi‘ al-Basthâwî (Kairo: Dâr al-I‘tishâm, 1404 H), hlm 22-23; Yasin Dutton, The Origins of Islamic Law: The Qur’an, the Muwaththa’, and Madinan ‘Amal (Surrey: Curzon Press, 1999), hlm. 29; Patricia Crone dan Martin Hinds, God’s Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), hlm. 86. Sebagai catatan, ada perselisihan pendapat tentang apakah Khalifah yang dimaksud adalah al-Manshûr atau Hârûn al-Rasyîd (memerintah 170-193 H./786-809 M.).

13

Page 14: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

Dari relasi tersebut maka seorang al-Qadli (hakim), mufti (mengeluarkan fatwa) dan Faqih (ahli fiqh) memiliki keterkaitan yang kuat. Seorang al-Qadli melakukan pemikiran hukum Islam dengan jalan pelaksanaan ilmu hukum melalui keputusan pengadilan, sedangkan Mufti melalui fatwa-fatwanya. Hasil pemikiran hukum seorang al-Qadli mengikat pihak-pihak yang bersangkutan karena mereka berhadapan dengan badan peradilan. Sedangkan ‘fatwa’ dari seorang mufti lebih bersifat bimbingan dan nasehat yang tidak punya daya paksa. Adapun seorang faqih menghasilkan pemikiran hukum islamnya melalui karya-karyanya (kitab fiqh).

Meskipun demikian, Akan tetapi keputusan-keputusan hukum para al-Qadli tidak selalu lebih tinggi tingkatannya dari pada fatwa-fatwa mufti. Bahkan dalam beberapa hal adalah sebaliknya, karena banyak seorang al-Qadli yang menggunakan fatwa-fatwa para mufti setempat dalam keputusan-keputusan peradilan mereka. Adakalanya mufti diikut sertakan dalam pengadilan agama untuk memberikan nasehat dan masukan bagi para al-Qadli.28

Ketiga otoritas ini memiliki posisi dan peran masing-masing, seorang al-Faqih (ahli fiqh) menghasilkan hukum Allah dari dalil-dalil terperinci untuk mewujudkan maksud dan tujuan syareat secara umum. Al-Mufti seorang yang mempelajari suatu permasalahan kemudian merujuk kepada sang Faqih untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada satu kasus tertentu agar sesuai dengan maksud dan tujuan syareat. Sedangkan al-Qadli adalah orang yang memutuskan suatu hukum permasalahan dengan berbagai konsekuensinya

28 E.Tyan, “Fatwa” dalam “Ensiklopedia Islam”, lihat juga Muhammad Atha Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 2.

14

Page 15: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

kepada orang yang bersangkutan. Meskipun ketiganya berbeda dan memiliki peran masing-masing, tetapi seringkali tumpang tindih dalam melaksanakan fungsinya. Ada hakim yang melaksanakan peran sebagai faqih dan mufti. Ada faqih yang berperan sebagai mufti dan sebaliknya.

D. ‘Fatwa’ antara Progresivitas dan Regresivitas

Pada sub bab ini penulis mencoba memotret reaksi sosial masyarakat terhadap fatwa-fatwa yang muncul ditengah realitas umat. Reaksi sosial ini terindikasi melalui seberapa jauh masyarakat dapat menerima atau menolak fatwa fatwa yang muncul, termasuk pula kontroversi yang ditimbulkan. Hal ini untuk memberikan gambaran kepada kita bahwa disamping pentingnya posisi ‘fatwa’, akan tetapi ‘fatwa’ juga dapat menimbulkan gejolak ditengah masyarakat jika fatwa tersebut terlahir dari kondisi yang tidak memadai.

Fatwa yang terlahir dari proses dan pemikiran yang tepat akan melahirkan progresifitas berupa gerak sosial yang produktif bagi masyarakat, demikian sebaliknya, jika fatwa itu terlahir dari berbagai intervensi tidak jarang menimbulkan regresifitas yang justru menjadikan kontra produktif terhadap masyarakat. Dalam konteks Indonesia dengan masyarakat multikulturalnya, fatwa-fatwa merupakan persentuhan kreatif yang luar biasa antara teks-teks keagamaan dan realitas sosio-politik kontemporer yang terkadang melahirkan kompleksitas persoalan.

Fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan MUI nampaknya kerapkali membawa dampak gejolak ditengah masyarakat.29

29 Tidak bermaksud untuk menghakimi, menilai validitas fatwa, apalagi mendeskreditkan lembaga tersebut. Dipilihnya fatwa MUI sebagai sampling, setidaknya dengan beberapa alasan, pertama, dari fakta sosial, fatwa-fatwa

15

Page 16: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

Satu tahun setelah kelahiran MUI 1976 sampai 1984, MUI cukup banyak memproduksi ‘fatwa-fatwa’,setelah tahun 1984 MUI hanya mengeluarkan beberapa fatwa. Pada tahun 1987 MUI tercatat hanya mengeluarkan dua fatwa, hingga menimbulkan pertanyaan, apakah tugas mengeluarkan fatwa telah berhenti?, jawabannya adalah tidak, agaknya pada masa itu MUI ingin menghindari pengeluaran fatwa terlampau banyak, karena telah mendapat kritikan dari banyak pihak sebagai terlampau sering gagal dalam mengadakan pilihan yang tepat terhadap persoalan-persoalan yang ada. Bahkan MUI pernah di cela habis-habisan karena telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa adu tinju dilarang oleh agama Islam. Masyarakat ramai beranggapan bahwa persoalan itu tidak perlu sama sekali diberi tanggapan.30

Menarik untuk dicermati, pada tahun 1984 pemerintah pernah menganjurkan para petani untuk beternak kodok hijau di propinsi Sumatra Barat. Agar pemerintah mendapat dukungan dalam program itu, maka kantor Departemen Daerah Sumatra Barat mengirim surat kepada Majelis Ulama daerah propinsi tersebut meminta pendapat resmi mengenai hukum beternak kodok dan memakan dagingnya. Atas

yang terlahir dari MUI memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat beserta gejolak pro dan kontra yang dimunculkan. Kedua, sebagai ormas Islam MUI terbentuk dengan orientasi utamanya adalah ‘fatwa’, sehingga sejak didirikannya pada tahun 1975 sampai saat ini, MUI telah melahirkaan fatwa yang cukup banyak, meliputi berbagai persoalan dari mulai ritual keagamaan, pernikahan, kebudayaan, ekonomi, politik, kedokteran dan ilmu pengetahuan, yang sebagian besar dikumpulkan dalam Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984). Meskipun banyak diantara fatwa-fatwa itu diterima dengan baik oleh masyarakat, namun ada pula yang telah menimbulkan gejolak, bahkan pimpinan MUI dianggap lebih condong kepada persoalan sosial politik dengan mengabaikan substansi ajaran Islam.

30 Muhammad Atha Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 84-85.

16

Page 17: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

pertanyaan tersebut Majelis Ulama daerah bersidang pada tanggal 21 Juli 1984 yang mengeluarkan kesimpulan bahwa beternak kodok hijau dan memakan dagingnya dibolehkan oleh agama Islam. Fatwa ini membawa gejolak teramat besar di masyarakat hingga Majelis Ulama daerah NTB mengeluarkan fatwa yang isinya bertentangan dengan fatwa yang telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama daerah Sumatra Barat, yakni bahwa beternak kodok maupun memakan dagingnya dilarang dalam Islam.31

Rangkaian gejolak yang terjadi memaksa MUI untuk membatasi diri dalam mengeluarkan fatwa. Agaknya hal ini disepakati oleh MUI dan Komisi Fatwanya, bahwa tidak setiap persoalan yang diajukan oleh umum atau pemerintah kepada MUI akan ditanggapi dalam bentuk fatwa. Beberapa pertanyaan hendaknya cukup dilayani dengan ‘surat nasehat’ dan tidak harus dengan fatwa yang lengkap. Dari hari ke hari fatwa dipandang oleh MUI sebagai pilihan terakhir, sedangkan nasehat dianggap sebagai sarana yang lebih tepat dan ampuh.32 Tapi rupanya fenomena fatwa terus bergejolak ditengah masyarakat, terlebih ketika menyngkut persoalan yang berkaitan dengan kepentingan politik sebagaimana yang terjadi belakangan ini di Jakarta terhadap kasus Ahok yang di vonis oleh fatwa MUI bahwa statemennya mengandung unsur ‘penodaan agama’, gejolak besar terjadi bahkan memunculkan GNPF (gerakan nasional pengawal fatwa), yang secara struktur tidak terdapat di dalam MUI, secara normatif, bukankah fatwa

31 Ibid., hlm. 85-86. 32 Dasar pembenaran mundur dari kebiasaan memberikan fatwa itu mengacu pada ayat

empat Anggaran Dasar MUI dengan jelas menyatakan bahwa salah satu tugas MUI adalah memberikan nasehat dan fatwa kepada pemerintah dan masyarakat umumtentang masalah keagamaan dan sosial. Lihat Majelis Ulama Indonesia, Muqaddimah, Pedoman Dasar, Pedoman Rumah Tangga, Pedoman Penetapan Fatwa (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 1986), hlm. 25-28.

17

Page 18: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

tidak punya daya pakasa lalu kenapa muncul GNPF?, lagi pula kenapa hanya fatwa yang berkaitan dengan ‘penodaan agama’ saja yang dikawal, bukankah MUI banyak mengeluarkan fatwa?, terlepas kita setuju atau tidak, inilah dinamika fatwa ditengah masyarakat berbangsa. Implikasi dapat membawa progresifitas bahkan sebaliknya dapat memunculkan rgresifitas.

E. Potensi ‘Fatwa’ dalam menjaga bingkai NKRI

dan Kebangsaan

Salah satu ciri yang menonjol dari Indonesia adalah keanekaragaman,

baik secara fisik maupun sosial-budaya. Indonesia adalah negeri dengan

heteroginitas tertinggi di muka bumi, Heteroginitas sosial–budaya juga

didukung oleh heteroginitas agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Budha,

Hindu dan Konghucu. Fakta autentik ini membuktikan bahwa kebangsaan

Indonesia disusun berdasarkan gabungan dari berbagai etnis yang sedemikian

beragam. Bagi bangsa Indonesia, kemajemukan adalah blessing in disguise,

karena tak akan ada entitas bangsa dan negara Indonesia, jika tidak ada

kemajemukan.

Sebagai nation building dengan masyarakat yang “multikultural”,

Indonesia memiliki kekayaan sosio-kultural yang tidak ternilai, akan tetapi di

sisi lain, Indonesia juga berpotensi untuk terjerumus ke dalam anarki jika gagal

menemukan formula federasi pluralis yang memadai. Inilah tantangan terbesar

bagi “masyarakat majemuk” yang memperlihatkan adanya kebutuhan

mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebangsaan dan kebudayaan

nasional Indonesia”33 yang dapat menjadi integrating force yang mengikat 33 “kebangsaan” berakar dari kata “bangsa” yang berarti “sekumpulan

manusia yang bersatu pada satu wilayah dan mempunyai keterikatan dengan wilayah tersebut, dengan batas teritori tertentu dan terletak dalam geografis tertentu”. Ernes Renant menergaskan bahwa bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bangsa adalah sautu masyarakat yang anggota-anggotanya bersatu karena pertumbuhan sejarah yang sama, karena merasa senasib dan seperjuangan, serta mempunyai kepentingan dan cita-cita yang sama. Lihat http://www.masbied.com/2011/08/03/pengertian-bangsa-menurut-para-ahli/.

18

Page 19: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Salah satu langkah strategis

dalam hal ini adalah melalui “fatwa dan otoritas keagamaan”.

Fatwa merupakan cerminan dari otoritas keagamaan yang disandang oleh

para ulama dan cendekiawan. Karena dari merekalah ‘fatwa-fatwa’ ini lahir,

hal ini menunjukkan para tokoh agamawan memiliki peran yang amat vital

untuk menjaga kedaulatan NKRI serta memperkokoh jiwa kebangsaan umat.

Dalam konteks Indonesia dengan masyarakat multikultur dan multireligius-

nya, agama amat potensial memunculkan konflik. Sejarah menyebutkan

lahirnya konflik ini selain dipicu oleh karena adanya perbedaan keyakinan dan

keragaman pemahaman terhadap doktrin-normatif (kitab suci khususunya),

juga muncul terutama ketika agama telah terkait sedemikian eratnya dengan

kepentingan ekonomi dan politik para pemeluknya yang tidak saja melahirkan

konflik intern di dalam suatu kelompok keagamaan.34 Akan tetapi yang jauh

lebih besar dan sangat mengkhawatirkan adalah munculnya konflik lintas

agama dan lintas kultur yang seringkali berkait-kelindan dengan persoalan

sosial, politik, ekonomi, ras, gender dan lain sebagainya.35

Peran ulama dan cendekiawan melalui fatwanya semakin dibutuhkan

pada saat ini, dimana banyak terjadi dis-orientasi atau krisis sosial budaya

dikalangan masyarakat kita ditengah meningkatnya penetrasi dan ekspansi

budaya Barat.36 Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya “alien”

Musthafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), hlm. 11.

34Syafa'atun Elmirzana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog (Analisa dan Refleksi)”, Esensia, 2. Januari, 2001, hlm. 41. Nurcholish Madjid mencontohkannya dalam tradisi klasik dan abad pertengahan Islam, lihat Nurcholis Madjid dalam Mark R. Wood Ward (ed), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung : MIZAN, 1999), hlm. 100.

35Lihat Asghar Ali Engineer, “On Religious And Intercultural Dialogue”, http/.www.global.net.com. lihat pula Hasan Hanafi, Islam in The Modern World: Tradition, Revolution and Culture Vol.II (Kairo : Dar Kebaa Bookshop, 2000), hlm. 557-559.

36 Meminjam istilah Edwar Said, gejala ini disebut sebagai “cultural imperialism” baru, menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam “orientalisme”. Kondisi ini juga memunculkan kecendrungan kecendrungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai, positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa. Lihat Amer Al-Roubaie, Globalization and The Muslim World. Ed. Shah Alam (Slangor: Malita Jaya, 2002), hlm. 22.

19

Page 20: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

(asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat

kita semakin tumbuh subur sehingga muncul budaya hybrid, budaya gado-gado

tanpa identitas, yang bersumber dari dominasi dan hegemoni politik, informasi

dan ekonomi (Barat).37 Kondisi ini tidak jarang akan menimbulkan konflik

sosial baik yang bernuansa politis, etnis maupun agama, seperti yang pernah

terjadi di berbagai wilayah Indonesia, sejak dari peristiwa Situbondo,

Tasikmalaya, Rengasdengklok, Poso, Ambon, Mataram, Sambas, Sampit,

vandalisme politik di Solo, Bali, Surabaya, lepasnya Timor-Timur dan gejolak

sosial yang tiada henti di Aceh dan Papua menjadi bukti betapa rapuhnya

konstitusi kebangsaan berbasis multikulturalisme di negara kita.38 Kondisi ini

kemudian memunculkan krisis identitas (kebangsaan), padahal identitas

nasional dan lokal tersebut sangat mutlak bagi terwujudnya integrasi sosial,

kultur dan politik bagi negara bangsa Indonesia.Peran ulama sebagai lambang otoritas keagamaan

dalam kancah penegakan kebangsaan di Indonesia bukanlah fenomena baru. Jejak-jejaknya bisa dilacak dalam banyak dokumentasi sejarah. Sebagaimana catatan Harry J. Benda misalnya, menunjukkan bahwa keterlibatan para tokoh agamawan dalam perjuangan kemerdekaan sudah berlangsung sejak awal masuk dan berkembangnya Islam di kepulauaan Indonesia.39 Pada zaman kolonialis, perlawanan-

37 Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hlm. 8.

38Syafri Saimin (1992), memetakan akar-akar konflik dalam masyarakat majemuk, yakni: (1) perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi, acces to economic resources and to means of production, (2) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansions); dan (3) benturan kepentingan politik, ideologi dan agama (conflict of political, ideology and religious interest) baca, Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan kita, (Yogyakarta: IRCISOD, cet. 1, 2004), hlm. 190 dan 240 – 242.

39 Harry J. Benda menegaskan bahwa sejak awal masuknya Islam di kepulauan Indonesia kiai dan ulama merupakan unsur penting dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu sejak awal munculnya kerajaan-kerajaan Islam, para penguasa yang baru saja dinobatkan harus bersandar diri kepada para ahli agama. Kiai dan ulama kemudian banyak

20

Page 21: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

perlawanan terhadap kaum penjajah hampir seluruhnya dipelopori oleh tokoh agama melalui ‘fatwa jihadnya’, seperti perang Padri di Sumatera Barat, perang Diponegoro dan Sentot Alibasya di Jawa, perang Banten dan perang Aceh.40

Atau dalam lingkup yang lebih kecil dan tidak begitu poluler seperti perlawanan Kiai Mojo di Tegalrejo Magelang, Kiai Ahmad Rifa’ie di Kalisasak Batang Jawa Tengah, pemberontakan Kiai Haji Zainal Musthafa di Sukamamah Tasikmalaya dan daerah lainnya.41

Peran ulama dalam politik kebangsaan juga tampak di masa kemerdekaan Indonesia, bahkan Hasyim As’ary dan Agus Salim merupakan dua di antara tim perumus yang tergabung dalam panitia kecil bentukan Soekarno setelah BPUPKI mengalami kebuntuan dalam pergulatan sengit menentukan ideologi negara, merupakan sosok kiai.42 Hal ini menurut Thomas Stamford Rafless yang dikutip oleh Noor Huda bahwa ulama (kiai) sebagai sosok kharismatik sehingga mempunyai kekuatan untuk menggalang massa (melalui

ditempatkan disekitar lingkaran istana. Para kiai dan ulama difungsikan sebagai penasihat, hakim, guru-guru agama dan lain sebagainya. Meskipun masih dalam batasan-batasan tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran kiai dan ulama sejak semula tidak hanya pada persoalan keagamaan belaka akan tetapi mencakup persoalan sosial dan politik. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 27-34.

40 Suismanto, Menelusuri Jejak Pesantren (Yogyakarta: Alief Press, 2004), hlm. 80.

41 Amin Haedari dkk, Masa Depan Pesantren, dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global (Jakarta: IRD Press, 2004), hlm. 10-11.

42 Mengenai pergulatan disekitar pencarian ideologi negara di era kemerdekaan lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, alih bahasa, Syilvia Tiwon (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 102. Lihat juga Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai (Yogyakarta: LkiS, 2007), hlm. 119-126.

21

Page 22: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

fatwanya) mengingat tingginya kedudukan kiai di mata masyarakat Indonesia.43

43 Noor Huda, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 223.

22

Page 23: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, dkk, (edt), Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Abu Ishaq al-Syirazi, Thabaqat al-Fuqaha, Beirut: Dar al-Ra’yd, 1970.

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, alih bahasa, Syilvia Tiwon, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995.

Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka 1984.

Ahmad ibn ‘Abd al-Rahîm Syâh Walî Allâh al-Fârûqî al-Dahlawî, al-Inshâf fî Bayân Sabab al-Ikhtilâf fî al-Ahkâm al-Fiqhiyyah, Kairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1385 H.

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia Edisi I, Cet III, Jakarta: Raja Grafindo, 1998.

Ali Jum’ah, Al-Bayan Lima Yusghilu al-Adzhan, jilid II, alih bahasa, M. Farud Wajdi, Fiqh Rahmatan Lil Alamin, Pustaka Ilmu Group: Yogyakarta, 2014.

Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan kita, Yogyakarta: IRCISOD, cet. 1, 2004.

Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai, Yogyakarta: LkiS, 2007.Al-Syatibi, Al-Muwāfaqāt fi ushul al-syari’ah, j.4, tahqiq oleh

Abdullah Darrāz, ttp: 1975.Amer Al-Roubaie, Globalization and The Muslim World. Ed. Shah

Alam, Slangor: Malita Jaya, 2002.Amin Haedari dkk, Masa Depan Pesantren, dalam Tantangan

Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta: IRD Press, 2004

Asghar Ali Engineer, “On Religious And Intercultural Dialogue”, http/.www.global.net.com.

Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007.

Choirul Anam, Pertumbuhan Dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, cet. I, Solo: Jatayu, 1985.

23

Page 24: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

Deliar Noer, Modernist Muslim in Indonesia 1900-1942, Singapura: East Asian Historical Monograph , Oxford University Press, 1973.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet. ke-2, Bandung: Pustaka, 2000.

H.A.R Gibb dan J.H. Kramers, (ed.), “Malik bin Anas” dan “Hanafie” dalam Encyclopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1961)

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980

Hasan Hanafi, Islam in The Modern World: Tradition, Revolution and Culture Vol.II, Kairo : Dar Kebaa Bookshop, 2000.

Hasbi as-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

J.N.D Anderson, Islamic Law in the Modern World, New York University, 1959.

Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûthî, Ikhtilâf al-Madzâhib, editor: ‘Abd al-Qayyûm Muhammad Syafi‘ al-Basthâwî, Kairo: Dâr al-I‘tishâm, 1404 H.

John L. Esposito (ed.), “The Role of Islam in Saudi Arabia’s Political Development” dalam Islam and Development: Religion and Sociopolitical Change, Syracuse University Press, 1980.

Jonathan Z. Smith (edt), The Harper Collin Dictiionary of Religion, American Academy of Religion, 1995.

Joseph Schacht, Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendon Press, 1964).

-------, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: Oxford University, 1952.

Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, alih bahasa R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004.

Louis Ma’loef, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lām, cet. 37, Beirut: Dar al-Masyriq, 1998.

24

Page 25: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

Majelis Ulama Indonesia, Muqaddimah, Pedoman Dasar, Pedoman Rumah Tangga, Pedoman Penetapan Fatwa, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 1986.

Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, cet. ke-2, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Muhammad Atho Mudzhar dkk, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern: Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqh, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Phylosophy: A Study of Abu Ishaq Al-Shatibi’s Life and Thought, Pakistan: Islamic Research Institute Islamabad, 1977.

Mun’im Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar, Surabaya: Risa>lah Gusti, 1996.

Musthafa Kamal Pasha, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002.

Noor Huda, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

Nurcholis Madjid dalam Mark R. Wood Ward (ed), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung : MIZAN, 1999.

Shofiyulloh, MZ, Epistemologi Ushul Fikih Al-Syafi’i, Yogyakarta: Cakrawala Media, 2010.

Soeleiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi Sejarah Istilah Amaliah Uswah NU, Surabaya: Khalista, 2007.

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, Jakarta: Rajawali Pers, t.t. Syafa'atun Elmirzana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog, Analisa

dan Refleksi”, Esensia, 2. Januari, 2001. Taha Jabir Fayyad al-Alwani, Kitab Al-Ummah, Adab Al-Ikhtilaf Fi

Al-Islam, Kuwait: Dar al-Qalam, tt.Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1995. Yasin Dutton, The Origins of Islamic Law: The Qur’an, the

Muwaththa’, and Madinan ‘Amal, Surrey: Curzon Press, 1999 Yusuf Qardhawi, Al-Fatwa Baina Al-Indhibat Wat Tasyayub,

diterjemahkan oleh Ahmad Yasin, Fatwa Antara Ketelitian Dan Kecerobohan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

25

Page 26: syariah.iain-surakarta.ac.id · Web viewHal ini menunjukkan bahwa “fatwa” memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap keberagamaan masyarakat Indonesia khususnya. Urgensi Fatwa

26