Sinopsis EPISTEMOLOGI PENGETAHUAN

28
TUGAS FILSAFAT DASAR DIBUAT OLEH GEIDAR HAFIZ NAHAVANDIAN NIM : 120160050 FAKULTAS TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

Transcript of Sinopsis EPISTEMOLOGI PENGETAHUAN

TUGASFILSAFAT DASAR

DIBUAT OLEH

GEIDAR HAFIZ NAHAVANDIANNIM : 120160050

FAKULTAS TEKNIK ARSITEKTURUNIVERSITAS MALIKUSSALEH

2013

EPISTEMOLOGI PENGETAHUAN DAN KAITANNYA DALAM

ARSITEKTUR

Sinopsis

Epistemologi merupaka ilmu yang mempelajari

dasar-dasar dan batasan pengetahuan. Oleh karena itu,

jika pertarungan terjadi pada tataran epistemologi,

maka bisa dipastikan aman-aman saja. Sebab pada

tataran ini perdebatan masih di sekitar teori

pengetahuan Namun, perkembangan kian rawan apabila

dari epistemologi yang kemudian beranjak pada

pandangan tentang alam ini melahirkan berbagai bentuk

ideologi. Dan pada tataran ideologi inilah terjadinya

puncak kerawanan, sebab ideologi menyangkut eksekusi

atas deretan perintah dan larangan yang, sudah pasti,

berbeda bahkan bertentangan antara satu ideologi

dengan ideologi lainnya. Yang menjadi pertanyaan,

mengapa mesti terjadi perdebatan, mengapa mesti

terjadi perbedaan ideologi? Dan apakah ideologi yang

dianut sudah berpangkal pada epistemologi yang benar?

Murthada Muthaharri berupaya mengupas habis jawaban

atas pertanyaan tersebut dan pertanyaan-pertanyaan

filosofis lainnya. Beliau merambah belantara

epistemologi dengan menguraikan berbagai pandangan

filsafat dari filosof Barat maupun Islam. Nilai dan

pentingnya epistemologi menjadi kajian awal yang

kemudian dilanjutkan dengan masalah ontologi. Lalu,

kita diajak untuk memfungsikan alat-alat epistemologi

berupa panca indera dan rasio, yang apabila satu

indera saja tidak berfungsi maka hilanglah satu

bentuk epistemologi, atau sebagaimana kata

Aristoteles "hilanglah satu ilmu". Puncak kajian yang

teramat penting adalah melalui paparan

epistemologinya ini, terbukti betapa rapuhnya

ideologi-ideologi dunia saat ini dan betapa kokohnya

ideologi yang lahir dari epistemologi Islam dan

pandangan Islam tentang alam. Akhirnya, buku ini

terasa lengkap karena disertai dalil dari Al-Qur'an

dan hadis yang merupakan sumber kebenaran dari

epistemologi, pandangan alam dan ideologi.

A. Epistemologi

Perdebatan tentang epistemologi adalah sesuatu

yang diperdebatkan sepanjang sejarah karena

epistemologi adalah hal yang sangat substansil dalam

melakukan penilain terhadap sesuatu, ada hal yang

mendasar dalam diskusi-diskusi tentang epistemologi,

yaitu perdebatan tentang apakah epistemologi yang

lebih dulu ada dari ontologi ataukah ontologilah yang

lebih dulu ada dari epistemologi.

Para filosof yang bermazhab emperisme dalam

membuktikan tentang kelebih-dahuluan epistemologi

dari ontologi mengatakan bahwa epistemologilah yang

yang lebih dulu ada, karena dia membuktikan lewat

sebuah analisa pengetahuan yang sifatnya emperikal

sementara filosof yang lain mengatakan bahwa

ontologilah yang lebih dulu ada, dua hal ini kemudian

yang memetakan antara aliran pemikiran yang bersifat

materialistis dan aliran pemikiran yang bersifat

metafisika, pada umumnya tokoh-tokoh filosof dibarat

seperti, John Look, Thomas Hobbes, karl Marx dan

David Home, mereka mengatakan bahwa epitemologilah

yang lebih dulu ada dari pada ontologi, namun ada

pertanyaan yang bisa diajukan kepada mereka:

1.bagaimana caranya mereka bisa mengetahui sesuatu

itu ada tanpa adanya realitas.

2.apakah keberadaan sesuatu itu karena kita

memberikan konsepsi kepada sesuatu itu, ataukah

memang dia mempunyai keberadaan tanpa kita

memberikan penilaian bahwa dia itu mempunyai

keberadaan.

jawaban dari pertanyaan diatas akan memberikan

gambaran kepada kita bahwa apakah realitas itu

ada tanpa kita memberikan penilaian keberadaan

terhadap keberadaannya. Mazhab berpikir emperisme

mengatakan bahwa untuk membuktikan sesuatu itu

ada maka kita memerlukan pengetahuan atau

epistemologi sebagai sumber dari pengetahuan kita

sehingga kita bisa mengatakan dia ada atau tidak

ada karena kita punya pengetahuan tentangnya,

namun pertanyaan kemudian yang diajukan kepada

kaum emperik adalah dari mana pengetahuan itu

bisa ada kalau tidak ada realitas yang lebih dulu

ada, ini adalah menjadi problem dalam sebuah

sains atau pengetahuan yang berdiri diatas

pijakan yang emperisme terutama yang dibangun di

Eropa terutama pasca Fransisco Bacon

Mazhab Metafisika mencoba menjawab, bahwa

ontologilah yang lebih dulu mempunyai keberadaan,

karena tanpa realitas maka mustahil kita bisa

mengetahui sesuatu, dan sesuatu itu akan tetap

mempunyai keberadaan tanpa kita secara subyektif

memberikan penilaian tentang keberadaannya, seperti

keberadaan bulan dan bintang adalah sesuatu yang

niscaya adanya tanpa kita memberikan penilaian bahwa

dia ada atau tidak, karena memang pada kenyataannya

dia memang sudah mempunyai keberadaan.

Dalam Epistemologi terdiri dari beberapa mazhab

pemikiran diantaranya:

1.Mazhab Emperisme

Adapun doktrin dan landasan penilaiannya

adalah sesuai dengan pengalaman, bahwa sesuatu

hanya dikatakan benar ketika dia bersifat

material sehingga keberadaan Tuhan dan yang

bersifat non emperik mereka tolak, tokoh-tokohnya

antara lain seperti karl Marx, David Home dan

John Look, mereka mengatakan bahwa ukuran

kebenaran adanya sesuatu harus bisa dibuktikan

secara empirik lewat penelitian dan bisa

dibuktikan secara ilmiah, padahal kerangka

berpikir yang seperti ini akan membawa kita

kepada paradigma yang meniadakan keberadaan

sesuatu yang bersifat non emperik yang tidak bisa

diindrai, dan sebuah konsekwensi logis bila kita

memakai prinsip berpikir seperti ini (kerangka

berpikir ilmiah), maka kita akan meniadakan Tuhan

dan hal-hal yang bersifat metafisika. Ada

beberapa pertanyaan yang penulis ingin ajukan

kepada kaum emperikal yaitu:

1.kalau memang hanya dengan pengalaman kita bisa

mengetahui sesuatu maka bagaimana kita bisa

meyakini bahwa segi tiga tidak sama dengan segi

empat, sedangkan kita tidak mempunyai

pengalaman akan hal itu dan belum pernah

melihat secara inderawi.

2.Apakah dengan pengalaman bisa membawa kita

kepada sebuah prinsip yang niscaya kebenarannya

yang tidak perlu dibuktikan lagi dengan

pengalaman.

Dari dua pertanyaan diatas penulis mengira

cukup mewakili untuk menguji validitas kebenaran

mazhab berpikir emperikal tanpa merasa untuk

menghakimi kaum emperisme, namun penulis hanya

ingin mengatakan bahwa emperisme bukanlah

landasan penilaian dalam menilai sesuatu tapi dia

lebih cenderung hanya sebagai methodologi dalam

mengumpulkan data-data dalam mengambil keputusan

yang bersifat emperikal tanpa harus meniadakan

bahwa hal yang sifatnya tidak material juga

mempunyai keberadaan hanya saja keterbatasan

indra dalam melihat realitas tersebut.

Jika kaum emperisme menjawab pertanyaan

pertama bahwa itu berdasarkan pengalaman, maka

itu akan membawa mereka kepada kesalahan yang

fatal, dan ketika mereka menjawab karena itu

rasional, maka dengan sendirinya mereka telah

menggugurkan prinsip berpikir mereka, karena

ukuran kebenaran dan rasional bukan karena

berdasarkan indrawi saja tapi ukuran kebenaran

dan rasional sesuatu karena memang dia rasional

dan mempunyai nilai kebenaran itu sendiri

sebagaimana halnya diatas bahwa kita tidak pernah

melihat segi tiga tidak sama dengan segi empat,

akan tetapi kita bisa memberikan penilaian tanpa

harus didahului pengalam indrawi untuk melihat

hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang

sifatnya niscaya lagi rasional, bahwa sesuatu

hanya sama dengan dirinya dan tidak mungkin

sesuatu itu menjadi bukan dirinya karena dia

mustahil keluar dari kediriannya, dalam artian

bahwa sesuatu itu terbatas dalam wujud

kediriannya.

Pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan yang

sangat sulit dijawab oleh orang yang mempunyai

landasan penilaian yang bedasarkan emperisme

karena bagaimanapun pengalaman sifatnya terbatas

oleh ruang dan waktu, dan jika seandainya mereka

menjawab bahwa pengalamanlah yang akan menentukan

penilaian kebenaran dan bisa membawa kita kepada

suatu kebenaran yang sifatnya niscaya, maka ini

adalah sesuatu yang kontradiksi dari prinsip

mereka sendiri, dimana mereka mengatakan bahwa

pengalaman adalah ukuran dalam menilai sesuatu,

sementara kebenaran yang berdasarkan pada

pengalaman akan selalu mengalami perubahan dan

tidak menutup kemungkinan mengandung kesalahan

didalam mengambil kesimpulan, dimana

kesimpulannya kemunginan benar, dan mungkin juga

salah, yang menjadi masalah adalah apakah manusia

mempunyai keinginan untuk mengambil suatu

keyakinan yang sifatnya relatif, ini adalah

sesuatu yang mustahil karena manusia selalu

merindukan kebenaran yang sifatnya pasti apalagi

berkaitan dengan keyakinan dan prinsip hidup. Ini

adalah beberapa kelemahan dalam Mazhab Emperisme

(Kerangka berpikir ilmiah), akan tetapi saya

tidak bermaksud menghilangkan methode berpikir

ilmiah, hanya menempatkan pada wilayah yang

proporsional, bahwa doktrin empirisme dan

pengalaman lebih cenderung pada wilayah

methodologi penelitian dalam pengumpulan data-

data yang bersifat emperik, bukan menjadi suatu

landasan penilaian yang akan membawa kita pada

pemahaman yang sifatnya niscaya lagi rasional,

karena pengalaman sendiri masih perlu diuji oleh

pengalaman berikutnya, begitulah seterusnya

pengalaman menguji pengalaman dan akan

menghasilkan kebenaran relatif.

2.Mazhab Skriptualisme

Mazhab berpikir skriptualisme mempunyai

landasan penilaian berdasarkan teks atau wahyu

(kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita

bisa memberikan penilaian terhadap sebuah

realitas dan dengan wahyu pulalah kita bisa

mengatakan bahwa sesuatu itu benar dan salah,

tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan

sebuah penilaian.

B. Refleksi dasar-Dasar Kepercayaan

Adapun pembahasan yang mendasar pada pembahasan

ini adalah tentang wujud yang sifatnya metafisika,

apakah dia mempunyai keberadaan dan bila memang dia

mempunyai keberadaan, lalu bagaimana

membuktikannya, benturan pemikiran antara orang

yang ateis dan teis adalah akibat suatu pandangan

dunia yang materialistik dan pandangan dunia yang

monoteistik (Tauhid), ini disebabkan dari mazhab

berpikir yang berbeda, sebagaimana yang telah kami

bahas sebelumnya dalam pembahsan Epistemologi,

bahwa cara berpikir yang materialistik akan

mengantarkan kita kepada sebuah paradigma yang

menafikan tentang adanya wujud yang sifatnya non

emperik itulah sebabnya kenapa saya melakukan

perubahan terhadap kerangka berpikir ilmiah menjadi

epistemologi, karena cara berpikir ilmiah akan

membuat paradigma kita dalam memberikan penilaian

berdasarkan data-data yang emperik, sementara pada

pembahasan tentang ketuhanan adalah sesuatu

mustahil untuk kita buktikan melalui angka dan

penelitian-penelitian ilmiah, sehingga kerangka

berpikir ilmiah tidak bisa kita pakai untuk

melakukan pembuktian tentang ketuhanan dan dengan

sendirinya kerangka berpikir ini harus digantikan

dengan mazhab berpikir baru, sebagimana yang telah

saya bahas dalam pembahasan epistemologi.

1.Pembuktian Tentang Adanya Tuhan

Pembahasan tentang wujud adalah pembahasan

yang mendasar dalam tradisi filsafat, mulai dari

pemikiran klasik pada masa Yunani sampai

sekarang, dan pengaruh pemikiran Yunani tentang

wujud banyak mempengaruhi dalam aliran pemikiran

Islam, terutama ketika terjadi translition besar-

besaran pada masa Bani Abbasyiah, bahkan salah

satu tokoh Filosof dari dunia Islam Ibnu Rusyd

dikenal sebagai tokoh penerjemah karena dialah

satu-satunya yang menguasai bahasa yunani pada

waktu itu.

Wujud dalam filsafat sering didefenisikan

sebagai Tuhan dimana bila kita melihat pemikiran

Al-Farabi dan Ibnu Zina tentang wujud, dimana

dalam teori Al-farabi dalam membuktikan wujud,

dia menjelaskan dalam gradasi wujud sampai

sepuluh tingkatan, dalam filsafat biasa disebut

dengan istilah dari akal pertama sampai akal

sepuluh dan dia membagi wujud dalam dua bagian.

Wujud wajib dan wujud mungkin, yang kemudian Ibnu

Zina menambahnya dengan mustahil wujud, sehingga

defenisi tentang wujud dan wajibul wujud dalam

filasafat dinisbatkan kepada Tuhan, karena

mungkin itulah kata yang paling tepat untuk

mewakilinya sekalipun sebenarnya kata itu sendiri

terbatas. Namun wujud adalah sesuatu yang

mewakili dari semua yang ada karena sesuatu yang

mempunyai keberadaanlah yang bisa dikatakan ada

dan yang tidak mempunyai keberadaan adalah tiada,

sehingga tidak mungkin penisbatan ketiadaan itu

diberikan kepada yang ada sebagai wajib adanya

(Tuhan). Salah seorang filosof yang masyhur Mulla

Shadra memberikan penjelasan bahwa semua yang ada

adalah merupakan tajalli-tajallinya karena ada

itu sendiri hanya satu dan selain dari keberadaan

adalah ketiadaan, dan ketiadaan tidak akan

mungkin pernah bisa memberikan efek karena dia

sendiri tidak punya keberadaan untuk memberikan

efek, ada itu hanya satu tapi bergradasi

sebagaimana antara sinar matahari dan pancaran

sinar yang semakin jauh semakin melemah atau

gradasi wujud yang paling terendah adalah wujud

materi.

2.Beberapa teori tentang pembuktin keberadaan Tuhan

Sebelum kita membuktikan keberadan Tuhan dengan

hukum kausalitas, maka sebelumnya saya akan

menguraikan beberapa teori tentang sebab akibat

diantaranya sebagai berikut:

a.Hukum sebab akibat meniscayakan bahwa sebablah

yang wujud dan akibat tidak mempunyai

eksistensi yang sejati sebagaimana keberadaan

matahari dengan sinarnya, bahwa mataharilah

yang punya eksistensi sejati sedangkan

sinarnya hanya bisa mewujud dengan adanya

matahari.

b.Kesemasaan sebab akibat, bahwa sebab dan

akibat bukan terpisah antara ruang dan waktu,

melainkan dia semasa sebagaimana api dan

panasnya bukan sesuatu yang terpisah, akan

tetapi panasnya api tidak bisa maujud tanpa

adanya api sebagai sebab untuk meniscayakan

adanya panas sebagai sifat dari api itu

sendiri.

c.Satu sebab mengeluarkan satu akibat, dimana

prinsip mengatakan bahwa satu sebab tidak

mungkin mengeluarkan akibat yang sifatnya

ganda, sebagaimana seorang ibu hanya

melahirkan anaknya saja

d.Akibat hanya berasal dari sebabnya saja,

karena tidak mungkin satu akibat lahir tanpa

suatu sebab dan mustahil akibat lahir dari

bukan sebabnya, sebagaimana seorang anak hanya

lahir dari ibunya saja. Adalah suatu

kemustahilan bahwa seorang anak akan lahir

dari bukan ibunya, karena itu adalah menyalahi

prinsip yang sifatnya niscaya lagi rasional

yaitu prinsip non-kontradiksi dan identitas,

yang tidak perlu melalui analisa untuk

mengetahuinya karena dia sudah sifatnya

dharuri pada diri kita.

e.Sebab sederhana dan sebab rangkap. Sebab yang

sederhana sebab yang tidak tersusun atau tidak

murakkab, sedangkan sebab rangkap adalah sebab

yang tersusun, seperti pada contoh, bahwa

maujudnya karena adanya dua sebab yaitu

hidrogen dan oksigen yang keduanya menyatu dan

menyebabkan keberadaan air. Dan sebab ini

terbagi kepada dua yaitu: Sebab rangkap

lengkap dan sebab rangkap yang kurang, adapun

contoh dari sebab rangkap lengkap, seperti

pada tanaman yang kita tanam dan menghasilkan

sesuai yang kita inginkan karena syarat-syarat

untuk tumbuh dan berkembang terpenuhi,

sedangkan sebab rangkap kurang adalah seperti

pada contoh diatas akan tetapi tidak

menghasilkan hasil sesuai keinginan kita

karena ada beberapa syarat yang tidak

terpenuhi.

f.Sebab hanya sama dengan sebab dan akibat hanya

sama dengan akibat, dan sebab mustahil

sekaligus adalah akibat karena sebab tidak

sama dengan akibat demikian pula sebaliknya

akibat tidak sama dengan sebab yang

meniscayakan bahwa sebab tidak mungkin menjadi

bukan sebab.

SALAH SATU pertanyaan epistemologi yang amat

penting adalah: “Apakah manusia mampuh mengetahui

sesuatu sebagaimana adanya”?. Pertanyaan ini telah

melahirkan ragam pendapat dalam perdebat epistemologi.

Diantaranya, Immanuel Kant (1714-1804). salah seorang

filosof asal Jerman berpandangan bahwa manusia sebagai

subjek pengetahuan tidak mungkin mengetahui sesuatu

sebagaimana adanya. Bagi Kant, pengetahuan hanya dapat

diperoleh dengan sintesis antara indra dan dua belas

kategori dalam pikiran manusia.

Ketidakmampuan subjek untuk mengetahui sesuatu

sebagaimana adanya dikarenakan manusia selalu berada

dalam ruang kesadaran (keakuannnya) sehingga untuk

menjadi sesuatu adalah hal yang tidak mungkin,

demikian pandangan Immanuel Kant. Kant kemudian

bekesimpulan bahwa das Ding an sich, tidak terjangkau

oleh akal murni, hanya bisa diterima dengan akal

praktis. Keyakinan filosofis yang demikian, telah

menjadi model epistemologi dominant. Terutama dalam

pentas filsafat Eropa/Barat

Keyakinan yang demikian ini bisa dipandang sebagai

bentuk ketidaktahuan. Karena pengetahuan itu sendiri

tidak hanya berkaitan dengan dimensi rasio kognitif

saja, melainkan juga terkait dengan dimensi intuisi.

Pernyataan ini bukanlah klaim yang tidak berdasar,

akan tetapi muncul dari penyelidikan filosofis yang

mendalam terhadap kemungkinan adanya univikasi

eksistensial antara subjek dan objek yang berpijak

pada hati sebagai salah satu instrument pengetahuan.

Lantas bagimana kita menelusuri kemungkinan tersebut?

Esensi-Eksistensi

Shadr Al-Din Syirazi-1572-1640 M. (Syyed Hossein

Nasr dan Olyver Leamen, New York, 1996). atau lebih

dikenal dengan Mullah Sadra (selanjutnya disebut

Sadra), adalah salah seorang filosof muslim yang bisa

dipandang telah menelurkan sebuah basis filsafat untuk

menjawab kompleksistas problem epistemologi diatas.

Konstruksi filosofis yang dibangun Sadra bermula dari

cara pandang terhadap realitas eksistensi

(being/wujud) dengan meyakini segala sesuatu sebagai

eksistensi yang tunggal. Keberdaan bagi Sadra, Wujud

merupakan realitas satu-satunya yang mendahului esensi

(ke-apa-an). Bahkan Mullah Sadra meyakini bahwa esensi

bukanlah realitas utama. Esensilah hanya menjadikan

segala sesuatu yang ada terkesan berbeda dan

dibedakan. Ketika kita menginderai sesuatu, yang

ditangkap oleh pikiran kita adalah esensi atau batasan

sesuatu, sehingga kitapun berkeyakinan bahwa Kursi

misalnya, tidaklah sama dengan Pensil disebabkan Kursi

tersebut memiliki cirri atau bentuk tertentu yang

tidak sama dengan Pensil. Munurut Mullah Sadra,

mestilah disimpulkan bahwa kemampuan untuk menangkap

esensi tersebut hanya bisa kerena adanya Wujud

(keberdaan/eksistensi) yang mendasarinya. Singkatnya,

kita tidak bisa membayangkan esensi itu sendiri jika

kursi itu tidak ada!.

Telah kita ketahui bahwa eksistenisilah satu-

satunya realitas yang fundamental dan bersifat tunggal

yang mendasari semua benda objektif. Pada nokta ini

sebagian filosof mengatakan bahwa wujud hanya berlaku

bagi Tuhan, sedangkan selainnya (langit, bumi dan

segala isinya) bukanlah wujud. Menanggapi hal ini,

Sadra memberikan sebuah jawaban, bahwa karena wujud

(ADA) merupakan realitas satu-satunya yang real, maka

negasi atau lawan dari wujud itu sendiri adalah tidak

ada (not being). Oleh sebab itu, bila segala sesuatu

selain Tuhan itu bukanlah wujud, maka tentulah segala

sesuatu itu tidak mungkin ada. Jelaslah bahwa ini

adalah sebuah kontardiksi yang nyata. (baca Non-

Kontradiksi).

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa esensilah yang

membuat segala sesuatunya berbeda. Namun bagi Sadra,

perbedaan itu merupakan akibat dari status ontologis

wujud yang bertingkat-tingkat. Keberadaan sesuatu

sangat ditentukan oleh satatus ontologisnya manusia

misalnya, untuk mengada membutuhkan banyak sayarat.

Berbeda dengan Tuhan, keberadaan-Nya adalah puncak

eksistensi yang tidak bergantung pada sesuatu apapun

selain diri-Nya sendiri. Meskipun demikian, wujud itu

sendiri tidaklah berada dalam keadaan yang statis,

melainkan senantisa bergerak (berubah) secara evolutif

tanpa jedah. Gerak yang terdapat dalam tatanan wujud

itu sendiri disebabkan oleh adanya perubahan substansi

dari setiap sesuatu. Berbeda dengan sebagian besar

filsuf yang memandang perubahan itu hanya terjadi pada

aksiden wujud saja, Sadra justru meyakini bahwa

perubahan pada aksiden atau penampakan wujud itu tidak

mungkin terjadi jika substansinya tidak berubah. Jika

kita mengurai benda material, maka akan ditemukan ini

terdalam yang mendasari sesuatu itu. Oleh karena itu,

sesuatu tersebut barulah barubah jika subsatansi atau

inti keberadaanya juga berubah. Perubahan subsatansi

bukanlah tidak bertujuan, melainkan selalu mengarah

pada derajat wujud yang lebih tinggi dan sederhana.

Yang merupakan sebab final dari gerakan yang terjadi.

Jika segala sesuatu selain manusia berubah secara

alamiah, maka tidak demikian dengan manusia. Perubahan

yang terjadi dalam diri manusia selalu memiliki dua

makna, yakni gerak menyempurna (gerak spiritual) dan

gerak yang mengarahkan manusia kepeda derajat terendah

dalam hirarki eksistensi. Hal ini karena manusia

memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya

sendiri.

Teori Persepsi

Mullah Sadra memiliki defenisi yang menarik tentang

epistemologi. Bagi Sadra, pengetahuan adalah

“kehadiran objek yang diketahui didalam yang

mengetahui” (Mustamin Al-Mandari, 2003). Akan tetapi,

kehadiran itu tidak terjadi pada persepsi indra.

Karena jiwa yang mengetahui berada pada tingkat

eksistensi non- material sehingga entitas material

tidak mungkin hadir padanya. Kesatuan itu hanya bisa

terjadi apabila antara yang diketahui dan yang

mengetahui berada pada status ontologis yang sama.

Sadra membagi persepsi menjadi indra, akal dan

imajinasi(inteleksi). Bagi Sadra, bentuk yang muncul

dalam imajinasi itu memiliki realitas yang nyata. Oleh

karena itu, kehadiran bentuk sesuatu dalam diri subjek

bukanlah sebentuk abstraksi pikiran seperti yang

diyakini Aristoteles, akan tetapi kehadiran objek

tersebut disebabkan karena adanya derajat ontologis

yang sama. Keterangan ini juga sekaligus memperkuat

basisi filsafat kesatuan wujud itu sendiri. Selain

itu, pengetahuan pada tahap imajinasi tidak mengenal

distingsi antara subjek yang mengetahui dengan objek

yang diketahui. Sedangkan tingkatan tertinggi dari

pengetahuan manusia adalah univikasi eksistensial

antara hakikat segala sesuatu dan manusia itu sendiri,

dimana pengetahuan ini tidak bersifat

representasional.

Jika pada tahap imajinasi bentuk objek yang menghadir

dalam fakultas imajinatif itu didahului oleh

persentuhan langsung dengan objek terindrai, maka pada

pengetahuan yang terkahir ini (representasional),

objek tidak muncul dari aksi intensional yang

mendahului, melainkan objek yang diketahui berada

dalam kesatuan eksistensial dengan pelaku persepsi.

Pernyataan seperti “aku mengetahui bahwa aku sedang

bahagia” tidak bisa diandaikan sebagai adanya subjek

yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Yang

mengetahui itu sendiri adalah “aku”, dan yang

diketahui itu juga adalah diriku. Dengan demikian,

tidak ada maknanya menjelaskan model pengetahuan non-

representasional tersebut sebagai terdiri dari subyek

dan obyek. Pengetahuan yang demikian ini menjadi

terkesan bersifat representasional (subjek-objek),

ketika ia masuk kedalam tatanan simbolik-bahasa (Mehdi

Hairi Yazdi 2003). Namun hal tersebut sama sekali

tidak mempengaruhi univikasi subjek–objek dalam

pengetahuan non-representasional. Jika kita

mengandaikan bahwa pengetahuan tentang diri itu

bersifat representasional, maka haruslan terdapat dua

kutub yang terpisah yakni Aku sebagai yang mengetahui,

dan Dia sebagai objek pengetahuan. Hal ini tentu akan

memunculkan kontardiksi yang jelas, karena “aku” pada

saat yang bersamaan telah menjadi “dia”. Aku, sebagai

yang mengetahui, dan dia yang diketahui. Namun ini

tidaklah bisa dibenarkan, seperti pada penjelasan

diatas, bahwa subjek dan objek dalam pengetahuan diri

adalah satu dan sama. Akhirnya dapat disimpulakan

bahwa pengetahuan terhadap sesuatu sebagaimana adanya

adalah hal yang mungkin.

Jarum Sejarah Pengetahuan

              Sebelum abad ke 17 atau abad Penalaran

(The Age of Reason), tidak ada perbedaan antara

jenis-jenis pengetahuan. Pada masa itu pengetahuan

bersifat universal dan hanya dimiliki oleh orang-

orang tertentu spt raja atau orang pintar. Seorang

kepala suku misalnya dia merangkap sebagai hakim,

penghulu, tukang tenung, panglima perang dan ahli

pengobatan.

              Setelah abad ke 17 diferensiasi dalam

ilmu cepat terjadi. Ada pembedaan antara berbagai

pengetahuan berdasarkan apa yagn diketahui

(ontologi), bagaimana cara mengetahui (epistemologi)

dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan

(aksiologi). Cabang-cabang pengetahuan  berkembang

menurut jalannya sendiri bergantung dengan jenisnya

dan mentodenya. Kapling-kapling setiap disiplin ilmu

semakin jelas.

              Makin kecilnya kapling pengetahuan

menimbulkan masalah untuk menghadapi kenyataan yang

kompleks dalam kehidupan. Oleh karena itu butuh

pendekatan inter-disipliner dengan tidak mengaburkan

otonomi masing-masing disiplin keilmuwan.

Pengetahuan

Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental

yang secara langsung ataupun tak langsung memperkaya

kehidupan kita. Pengetahuan pada hakikatnya segenap

apa yang kita ketahui tentang objek tertentu.

Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui

oleh manusia. Macam bagian pengetahuan lain adalah

seni dan agama. Pengetahuan merupakan sumber jawaban

bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.

              Setiap jenis pengetahuan mempunyai

ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana

(epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan

itu disusun. Ketiga landasan itu saling berkaitan.

Jadi ontologi ilmu berkaitan dengan epistemologi ilmu

dan selanjutnya aksiologi ilmu.

              Ilmu mempelajari alam sebagaimana

adanaya dan terbatas pasa lingkup pengelaman kita.

Pengetahuan dikumpulkan ilmu untuk menjawab

permasalahan kehidupan yang sehari-hari ditemui

manusia. Pengetahuan ilmiah atau dikenal dengan ilmu

dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia untuk

memecahkan berbagai persolanan yang dihadapinya.

Pemecahan tersebut dengan meramalkan dan mengontrol

gejala alam.

              Seni merupakan bagian lain dari

pengetahuan yang mencoba mendeskripsikan gekala

dengan sepenuh maknanya. Seni mencoba mengungkapkan

objek penelaahan sehingga bermakna bagi penciptanya

dan meraka yang meresapinya. Seni merupakan produk

dar daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas

dari berbagai cengkraman dan belenggu ikatan. Model

pengungkapan dalam senin bersifat penuh dan rumit

namin tidak sistematis. Model tersebut tidak bisa

digunakan untuk meramalkan dan mengontrol gejala

alam.

              Seni terbagi menjadi fine art (seni halus)

dan applied art(seni terapan). Seni terapan mempunyai

kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari.

Seni hakikatnya mempuyai dua ciri yang pertama adalah

deskriptif dan fenomenologis, dan yang ke dua adalah

ruang lingkupnya terbatas. Deskriptif di sini

maksudnya seni menggambarkan objek namun tidak

mengembangkan konsep yang bersifat teoritis.

              Ilmu mencoba mencarikan penjelasan

mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum

dan impersonal. Sedangkan seni tetap bersifat

individual dan personal dengan memusatkan

perhatiannya pada pengalaman hidup perorangan.

Ketidakmungkinan ilmu mengembangkan konsep teoritis

yang menyebabkan mengapa sebuah peradapan dengan seni

terapan yang tinggi tidak mampu mengembangkan diri

dalam bidang keilmuwan. Karena konsep teoritislah

yang dijadikan tumpuan untuk mengembahkan pengetahuan

ilmiah. Ilmu juga kurang berkembang di kebudayaan

timur yang karena aspek kultural lebih mengembangkan

berpikir etis dan kearifan dari pada cara berpikir

ilmiah.

              Akal sehat (common sense) didefinisikan

sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman

tidak sengaja dan bersifat sporadis dan kebetulan.

Menurut Titus karakteristik akal sehat adalah sbb:

1. karena landasannya yagn berakar pada adat dan

tradisi maka akal sehat cenderung bersifat

kebiasaan dan pengulangan

2. karena landasannya berakar kurang kuat maka akal

sehat cenderung kabur dan sama-samar.

3. karena kesimpulannya yang ditariknya sering

berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih

lanjutmaka akal sehat cenderung mejadi pengetahuan

yang tidak teruji.

              Seiring tumbuh rasionalisme tradisi

yang bersifat dogmatik mulai ditinggalkan.

Rasionalisme membangun pemikiran dengan cara deduktif

di sekita r objek pemikiran tertentu. Rasionalisme

dengan pemikiran deduktifnya sering menghasilkan

kesimpulan yang benar walau tidak selalu sesuai

dengan pengalaman.

              Selanjutnya berkembanglah aliran

empirisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan  yagn

benar itu didapatkan dari pengalaman. Sehingga

kemudia berkembanglah cara berpikir yang menjauhi

spekulasi teoritis dan metafisis. Namun cara berpikir

empirisme ini pun tidak luput dari kelemahan, karena

metode induktif dengan statistikapun kurang bisa

menunjukkan hubungan kausalitas.

              Menurut Bertrand Russel ilmu mempunyai

dua peranan yaitu sebagai metafisika dan dan sebagai

akal sehat yang terdidik. Untuk menjembatani

rasinalisme dan pembuktian empiris maka

dikembangkanlah sebua metode eksperimen. Metode

eksperimen mulanya dikembangkan oleh ilmuwa Muslim

pada abad keemasan Islam. Semangat mencari kebenaran

ilmuwan Yunani yang hampir hilang pada masa Romawi

dihidupkan kembadi dalam kebudayaan Islam. Secara

konseptual metode eksperimen ini dikembangkan oleh

sarjana Muslim  dan secara sosiologis dimasyarakatkan

oleh Francis Bacon.

              Dengan Metode eksperimen dapat menguji

berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan

kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian

mulailah pertemuan antara rasionalisme dan empirisme

yang berkembang menjadi metode ilmiah yang

menggabungkan caa berpikir deduktif dan induktif.

Pionir yang mengembangkan cara berpikir deduktif-

induktif ini adalah Galileo dan Newton.