PENGEMBANGAN KEBIJAKAN AMDAL DALAM MENCEGAH KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA KEGIATAN USAHA MIGAS

212
PENGEMBANGAN KEBIJAKAN AMDAL DALAM MENCEGAH KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA KEGIATAN USAHA MIGAS YUSNI YETTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Transcript of PENGEMBANGAN KEBIJAKAN AMDAL DALAM MENCEGAH KERUSAKAN LINGKUNGAN PADA KEGIATAN USAHA MIGAS

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN AMDAL

DALAM MENCEGAH KERUSAKAN LINGKUNGAN

PADA KEGIATAN USAHA MIGAS

YUSNI YETTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

2

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengembangan Kebijakan AMDAL dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan pada Kegiatan Usaha Migas adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, April 2008

Yusni Yetti P062040304

3

ABSTRACT

Yusni Yetti. 2008. Policy Development of EIA in Protecting Environmental Damage on Oil and Gas Activities. Under Advisory Committee of Syamsul Ma’arif as Chairman. Surjono Hadi Sutjahjo and Imam Santosa as Members. Environment Impact Assessment (EIA) is a study for high and important impact any development process. The objectives of the research were to formulate the EIA policy to protect the negative impact on the environment in the oil and gas activities. The methods of the research were: 1) principle component analysis, 2) analytical hierarchy process, 3) focus group discussion and 4) total economic valuation. The results of the research was found that the important components to develop EIA policy of oil and gas were arranging efficiency, completing of document, document substantial, community involvement mechanism, compiler team of EIA, developing of EIA method, environment economic value, emergency, waste management technology, simplification of arrangement, increasing of human resources, law enforcement and contribution of oil and gas activities. Formulation to policy development on effective and efficient of EIA to environment damage protection on oil and gas activities consist of, 1) strategy to quality improvement of EIA document with developing EIA method including ecology, economic and social aspects. Method of main issue on Term of Reference of Environmental Impact Analysis, method of estimation and impact evaluation on Environmental Impact Analysis document, alternative technology on Environmental Management Planning and institution on Environmental Monitoring Planning. Complier quality improving EIA consist of independent, competence, and composition aspects, and then necessary integration of emergency on technical guide of arrangement of EIA, 2) strategy to law enforcement and institution consist of quality improving of human resources, center EIA commission specially (environmental ministry ), and technical team (energy and resources ministry), implementation of administration and punishment sanction (c.g Law No. 23/1997 about is Environmental Management), community involvement mechanism improving, and supervise institution of environmental management planning and environmental monitoring planning implementation 3) strategy to arrangement procedure completing of EIA oil and gas consist of time of arrangement to document agreement, time of community publication and agreement to EIA study arrangement by independent institution. Key words: Policy, EIA, Oil and Gas

4

RINGKASAN Yusni Yetti. 2008. Pengembangan Kebijakan AMDAL dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan pada Kegiatan Usaha Migas. Di bawah bimbingan Syamsul Ma’arif, Surjono Hadi Sutjahjo dan Imam Santosa. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting dari suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan tersebut. AMDAL merupakan bagian kegiatan studi kelayakan perencanaan usaha atau kegiatan serta merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha. AMDAL di Indonesia telah diterapkan lebih dari 20 tahun, namun demikian berbagai hambatan dan masalah dalam penerapannya masih terjadi. Kualitas komisi penilai AMDAL yang sangat beragam kemampuannya sangat berpengaruh terhadap proses penilaian dokumen AMDAL selama ini, tidak adanya kriteria dan indikator penilaian yang standar, menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif. Tujuan penelitian adalah merumuskan kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan tahapan penelitian sebagai berikut: review kebijakan AMDAL saat ini, analisis kualitas dokumen AMDAL migas, analisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL kegiatan migas, analisis kebutuhan stakeholders terhadap kebijakan AMDAL migas dimasa mendatang dan merumuskan strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai September 2007. Penelitian dilakukan pada tujuh lokasi kegiatan usaha migas, yakni: 1) Pertamina Plaju Palembang Sumatera Selatan, 2) PT. CPI Duri Riau, 3) Suryaraya Teladan Muara Enim Sumatera Selatan, 4) Lapindo Berantas Sidoarjo Jawa Timur, 5) Expan Toili Morowali Sulawesi Tengah, 6) BP Tangguh Sorong Papua dan 7) Hess Pangkah Gresik Jawa Timur. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian terdiri atas: 1) principle component analysis, 2) analytical hierarchy process, 3) focus group discussion dan 4) total economic valuation.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan AMDAL saat ini memiliki beberapa kelemahan dalam hal pedoman dan petunjuk teknis penyusunan AMDAL, PP No.27 tahun 1999, Permen LH No.11 tahun 2006, Permen LH No.08 tahun 2006, Kepmen ESDM No.1457 tahun 2000, Kepdal No.229 tahun 1996 dan Kepdal No.08 tahun 2000, antara lain: penentuan dampak penting, efisiensi dalam penyusunan, kedudukan komisi AMDAL, metode pelingkupan dan metode studi yang digunakan, aspek sosial ekonomi, mekanisme keterlibatan masyarakat, serta belum diaplikasikannya analisis valuasi ekonomi lingkungan dan pengkajian keadaan darurat. Hasil analisis kualitas dokumen diperoleh enam dokumen dikategorikan kurang baik yakni dokumen AMDAL PT.CPI Duri, Pertamina Plaju, Suryaraya Teladan, Lapindo Brantas, BP Tangguh dan Hess Pangkah, serta satu dokumen dikategorikan cukup baik yakni dokumen AMDAL Expan Toili, sedangkan hasil analisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL pada enam lokasi kegiatan usaha migas diperoleh kualitas limbah cair, kualitas udara dan kebisingan di bawah baku mutu, untuk aspek sosial ekonomi menunjukkan peningkatan yang signifikan khususnya kontribusi PDRB,

5

sementara pendidikan dan kesehatan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.

Kebutuhan stakeholders AMDAL migas di masa mendatang antara lain: RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan, simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL migas, peningkatan SDM komisi AMDAL pusat, mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas, AMDAL sebagai dokumen yang berkekuatan hukum, pengembangan metodologi AMDAL migas, perlu akreditasi lembaga penyusun AMDAL migas, pengkajian nilai ekonomi lingkungan, serta perlunya mengintegrasikan kajian keadaan darurat dengan dokumen AMDAL.

Pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas dirumuskan kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien meliputi: a) Peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas dengan memperbaiki metode-metode di dalam penyusunan AMDAL untuk aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Metode penentuan isu pokok untuk kerangka acuan, metode prakiraan dan evaluasi dampak untuk dokumen ANDAL, teknologi alternatif untuk RKL dan institusi/kelembagaan untuk RPL. Selain itu juga diperlukan peningkatan kualitas penyusun AMDAL migas yang mencakup independensi, kompotensi dan komposisi serta perlunya pengintegrasian kajian keadaan darurat/emergency di dalam AMDAL dan dicantumkan dalam pedoman teknis penyusunan AMDAL migas. b) Penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas meliputi penguatan sumberdaya manusia, khususnya komisi AMDAL pusat (KLH) dan tim teknis AMDAL migas, penerapan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perbaikan mekanisme keterlibatan masyarakat dan kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas. c) Penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL meliputi waktu penyusunan persetujuan dokumen, waktu pengumuman masyarakat serta penunjukan pelaksana studi AMDAL oleh lembaga independen.

6

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN AMDAL

DALAM MENCEGAH KERUSAKAN LINGKUNGAN

PADA KEGIATAN USAHA MIGAS

Oleh:

Yusni Yetti P062040304

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

8

Penguji Ujian Tertutup : Dr. Ir. Etty Riani, MS. (Sekretaris PS. PSL SPs IPB)

Penguji Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. H. Kahar Mustari, MS. (Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNHAS) : Dr. Ir. Irwandi Idris, M.Si. (Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K DKP.RI)

9

Judul Disertasi : Pengembangan Kebijakan AMDAL dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan pada Kegiatan Usaha Migas

Nama : Yusni Yetti

NIM : P062040304

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M.Eng. Ketua

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Dr. Ir. Imam Santosa, MS. Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan SPs

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

Tanggal ujian: 29 Februari 2008 Tanggal lulus:

10

KATA PENGANTAR

Disertasi ini merupakan penelitian kebijakan (policy research) dengan metode deskriptif dan teknik analisis decission making. Obyek penelitian adalah kebijakan AMDAL pada kegiatan usaha migas. Melalui bidang kebijakan publik diterangkan dan dievaluasi peran AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas.

Untuk menentukan alternatif kebijakan yang efektif dan efisien dilakukan melalui aplikasi analytical hierarchy process. Deskripsi ringkas dari konteks bidang dan fokus obyek dan tujuan penelitian tercermin dalam judul disertasi “Pengembangan Kebijakan AMDAL dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan pada Kegiatan Usaha Migas”. Karya ilmiah yang dipublikasikan adalah: Analisis kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas (Jurnal Ilmiah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2008); Pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas (Jurnal LEMIGAS, 2008); Analisis Valuasi Ekonomi Lingkungan dalam pengembangan kebijakan AMDAL migas (Jurnal Ilmiah PPLH UGM, 2008).

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ketua komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Syamsul Ma’arif, M.Eng, dan anggota komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS, dan Dr. Ir. Imam Santosa, MS yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam melaksanakan penelitian dan penulisan disertasi ini. Begitu pula kepada Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang banyak memberikan arahan dan bantuan selama penulis menempuh studi hingga akhir penulisan disertasi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Suryo Suwito. P, Pertamina Direktorat Eksplorasi dan Produksi, pimpinan Ditjen Migas dan staf Lindungan Lingkungan Ditjen Migas, pimpinan dan staf PT.CPI, pimpinan dan staf Amerada Hess, pimpinan dan staf INRR yang telah banyak memberikan bantuan dan data untuk keperluan penelitian. Terima kasih pula kepada ananda Amanda tersayang yang selalu memberikan dorongan dan semangat serta segenap keluarga atas doa dan motivasi selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membatu, semoga amal ibadahnya mendapat ridho ALLAH SWT. Amin.

Akhirnya penulis berharap bahwa dengan penelitian ini diperoleh outcomes berupa kebijakan AMDAL yang lebih efektif dan efisien pada kegiatan usaha migas di masa datang.

Bogor, April 2008

Yusni Yetti

11

RIWAYAT HIDUP

Yusni Yetti. Penulis lahir di Padang Sumatera Barat, menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA di Sumatera Barat, yang kemudian dilanjutkan di jurusan biologi fakultas MIPA Universitas Andalas Padang Sumatera Barat dan memperoleh gelar sarjana (S1) pada tahun 1983. Penulis menyelesaikan pendidikan magister (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan tahun 2000. Pada tahun 2005 mengikuti pendidikan Doktor (S3) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga mengikuti pendidikan informal antara lain: Oil Spill Preventing and Combating Technology Course IMO-Marpol Asia Pacific (1990), Environmental Impact Assesment UI (1991), Technology Management Oil Field Corrosion Control PT.CPI (1991), Oil Drift Modelling ASCOPE (1993), Environmental Audit ITB (1994), Exploration and Production Health, Safety and Environment Training, Texaco dan Chevron, USA (1994-1995), Fire Fighting Program, Texas A&M University System, USA (1995), Oil Spill Control Course, Centre for Marine Training and Safety Galveston Island, Texaco, USA (1995), Intensive English Program for 314 hours, Caltex Pacific Indonesia (1995), Environmental Segment of Safety Health and Environmental Training Train The Trainers, Caltex Pacific Indonesia (1997), The Safety and Industrial Hygiene Segment of Safety Health, Caltex Pacific Indonesia (1997), ISO 14000 Training Course Environmental International and Industry Lestari Environmental (1997), Indonesia Society of Technolgy Course, UNPAD (1999), Training Course on Challenge to Environmental Pollution Control in Refineries, Japan Cooperation Centre Petroleum, Jepang (2001), Condensate/Oil Spill Response Training Course Level I, Global Alliance EARL (2003), Studi banding pemotongan kepala sumur, Norwegia (2005), Studi banding bioremediasi pengelolaan limbah minyak dan tanah terkontaminasi oleh Minyak Bumi, Perancis (2007). Selain itu penulis juga mengikuti beberapa seminar yang berkaitan dengan lingkungan hidup antara lain: National Seminar Coservation Technology, Jakarta (1996), International Seminar on Sustainable Development of Coastal and Marine Resources, Bogor (1996) dan National Seminar Toxicology, Jakarta (1997).

Mendapat penugasan di bidang lingkungan antara lain: Inspeksi pengujian bejana tekan, Perancis (2003), Inspeksi kompresor gas, USA (2004), Inspeksi bejana tekan, USA (2004), Inspeksi pengujian bejana tekan, Korea (2004), Inspeksi pengujian bejana tekan, Jepang (2004), Inspeksi barge, Singapura (2004), Inspeksi barge, New Zealand (2005), Inspeksi barge, Singapura (2005), Pengujian bejana tekan peralatan pemurnian gas, Perancis (2007).

Riwayat pekerjaan penulis yaitu sebagai Dosen di Fakultas MIPA jurusan Biologi Universitas Pakuan Bogor dari tahun 1983 sampai 1995. Mulai bekerja di Migas tahun 1989 sampai sekarang. Saat ini, penulis menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Lindungan Lingkungan Direktorat Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Migas Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Penulis pernah mendapatkan tanda jasa dan penghargaan antara lain Satya Lancana Karya Satya Pengabdian 10 tahun.

Bogor, April 2008 Yusni Yetti

12

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.................................................................................................... x DAFTAR TABEL............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Kerangka Pemikiran............................................................................ 6 1.3 Perumusan Masalah ........................................................................... 8 1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................ 11 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................. 11 1.6 Kebaruan Penelitian ............................................................................ 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 12

2.1 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup ........................................ 12 2.2 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan .......................................... 17 2.2.1 Definisi AMDAL ....................................................................... 17 2.2.2 Landasan Hukum Pelaksanaan AMDAL................................... 20 2.2.3 Prosedur Pelaksanaan AMDAL ................................................. 21 2.3 Kegiatan Minyak dan Gas Bumi ........................................................ 30 2.4 Konsep Valuasi Ekonomi.................................................................... 31 2.5 Hasil Penelitian Terdahulu.................................................................. 36

III. KEGIATAN MIGAS DI INDONESIA .................................................... 41

3.1 Sejarah Kegiatan Migas di Indonesia ................................................. 41 3.2 Potensi Minyak dan Gas Bumi Indonesia ........................................... 43 3.3 Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia......................................... 44 3.4 Kontribusi Migas terhadap Devisa Negara ........................................ 46 3.5 Permasalahan dalam Kegiatan Migas ................................................ 49

IV. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 53

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................. 53 4.2 Tahapan Penelitian .............................................................................. 54 4.3 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 55 4.4 Rancangan Penelitian ......................................................................... 56 4.4.1 Metode Pengumpulan Data ........................................................ 56 4.4.2 Metode Analisis Data ................................................................ 57 4.4.2.1 Analisis Komponen Utama ............................................ 57 4.4.2.2 Analytical Hierarchy Process ........................................ 58 4.4.2.3 Focus Group Discussion ................................................ 58 4.4.2.4 Analisis Total Economic Valuation ............................... 59

13

V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................... 63 5.1 Kebijakan AMDAL............................................................................. 63 5.1.1 Peraturan Pemerintah tentang AMDAL...................................... 63 5.1.2 Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup ...................................................................... 72 5.1.3 Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan... 75 5.2 Kualitas Dokumen AMDAL Migas .................................................... 79 5.3 Kinerja Lingkungan Kegiatan Usaha Migas ....................................... 106 5.3.1 Tumpahan Minyak ..................................................................... 107 5.3.2 Kualitas Limbah Cair ................................................................. 110 5.3.3 Kualitas Udara dan Kebisingan.................................................. 115 5.3.4 Aspek Sosial Ekonomi ............................................................... 120 5.3.5 Nilai Ekonomi Lingkungan........................................................ 128 5.4 Kebutuhan Stakeholders ..................................................................... 137 5.5 Komponen Utama Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas.......... 142 5.6 Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas.......................... 148 5.6.1 Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas ....................... 149 5.6.2 Penyempurnaan Prosedur Penyusunan AMDAL Migas............. 153 5.6.3 Penguatan Hukum dan Kelembagaan AMDAL Migas............... 156 5.7 Prioritas Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas ............ 160 5.8 Rumusan Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas ........................ 166

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 169 6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 169 6.2 Saran.................................................................................................... 170

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 172 LAMPIRAN..................................................................................................... 178

14

DAFTAR TABEL Tabel Teks Halaman 1 Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan AMDAL dan valuasi

ekonomi................................................................................................... 36 2 Cadangan minyak bumi dan kondesat Indonesia tahun 2006 ................. 43 3 Cadangan gas bumi Indonesia tahun 2006.............................................. 44 4 Kegiatan usaha migas yang berpotensi menimbulkan dampak

lingkungan dan yang diwajibkan menyusun AMDAL Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.17 tahun 2001 .......................... 51

5 Skala banding secara berpasangan dalam AHP ...................................... 58 6 Review kebijakan AMDAL dengan substansi penentuan dampak

penting..................................................................................................... 64 7 Review kebijakan AMDAL dengan substansi kerangka acuan............... 65 8 Review kebijakan AMDAL dengan substansi ANDAL.......................... 67 9 Review kebijakan AMDAL dengan substansi RKL................................ 68 10 Review kebijakan AMDAL dengan substansi RPL ................................ 69 11 Review kebijakan AMDAL dengan substansi kedudukan komisi

penilai AMDAL ...................................................................................... 70 12 Review kebijakan AMDAL dengan substansi pembiayaan .................... 71 13 Kelemahan-kelemahan kebijakan AMDAL............................................ 77 14 Analisis kualitas dokumen AMDAL....................................................... 103 15 Frekuensi dan jumlah tumpahan minyak (barrel) periode 2003 –2005 .. 107 16 Tumpahan minyak (barrel) periode 2000-2007 ...................................... 108 17 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Ujung Pangkah, 2007............ 129 18 Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Mandau, 2007 ............... 133

15

DAFTAR GAMBAR Gambar Teks Halaman 1 Kerangka pikir penelitian........................................................................ 7 2 Aktivitas pembangunan menimbulkan dampak ...................................... 18 3 Perkembangan produksi minyak bumi indonesia ................................... 45 4 Perkembangan produksi gas bumi indonesia .......................................... 46 5 Tahapan penelitian .................................................................................. 55 6 Volume tumpuhan minyak pada kegiatan hulu dan hilir migas.............. 109 7 Kandungan minyak lemak di enam lokasi kegiatan usaha migas ........... 111 8 Kandungan H2S di enam lokasi kegiatan usaha migas ........................... 112 9 Kandungan COD di enam lokasi kegiatan usaha migas ......................... 113 10 Kandungan Amoniak di enam lokasi kegiatan usaha migas................... 114 11 Kandungan SO2 di enam lokasi kegiatan usaha migas ........................... 116 12 Kandungan H2S di enam lokasi kegiatan usaha migas ........................... 117 13 Kandungan NOx di enam lokasi kegiatan usaha migas........................... 118 14 Kebisingan di enam lokasi kegiatan usaha migas ................................... 119 15 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan

Kabupaten Bengkalis .............................................................................. 121 16 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kota Palembang ...................................................................................... 122 17 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan

Kabupaten Sidoarjo................................................................................. 123 18 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan

Kabupaten Muara Enim .......................................................................... 124 19 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan

Kabupaten Musi Banyuasin .................................................................... 125 20 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan

Kabupaten Morowali............................................................................... 126 21 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan

Kabupaten Sorong................................................................................... 127 22 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Ujung Pangkah, 2007............ 132 23 Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Mandau, 2007 ............... 134 24 Diagram alir penentuan komponen utama .............................................. 143 25 Hasil analisis penentuan komponen utama ............................................. 144 26 Diagram strategi peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas.......... 150 27 Prosedur penyusunan AMDAL migas saat ini........................................ 154 28 Diagram strategi penyempurnaan prosedur AMDAL migas .................. 155 29 Diagram strategi penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL............ 156 30 Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas ................................ 160 31. Diagram strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas .................. 168

16

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Teks Halaman 1 Peta cadangan minyak bumi Indonesia ................................................... 178 2 Peta cadangan gas bumi Indonesia.......................................................... 179 3 Peta lokasi penelitian KKKS HESS Gresik Jawa Timur ........................ 180 4 Peta lokasi penelitian PT. CPI Mandau Riau .......................................... 181 5 Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Bengkalis .................. 182 6 Perkembangan aspek sosial ekonomi Kota Palembang .......................... 183 7 Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Sidoarjo..................... 184 8 Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Muara Enim .............. 185 9 Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Musi Banyuasin ........ 186 10 Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Morowali................... 187 11 Perkembangan aspek sosial ekonomi Kabupaten Sorong....................... 188 12 Nilai manfaat langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan Ujung

Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur ............................................... 189 13 Nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan

Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur .................................... 189 14 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Kecamatan Ujung Pangkah,

Kabupaten Gresik, Jawa Timur............................................................... 189 15 Nilai manfaat langsung ekosistem hutan sekunder Kecamatan

Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau...................................................... 190 16 Nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan sekunder Kecamatan

Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau...................................................... 190 17 Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder, Kecamatan Mandau,

Kabupaten Bengkalis, Riau..................................................................... 190 18 Output analisis komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL

di masa datang dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas ............................................................................................. 191

19 Hasil analytical hierarchy process strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan ....................... 195

17

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang turut aktif dalam

menandatangani kesepakatan internasional tahun 1972 di Stockholm Swedia,

terkait dengan penerapan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu integrasi

aspek lingkungan ke dalam proses pembangunan. Konsep pembangunan

berkelanjutan (sustainable development) dirumuskan sebagai suatu upaya

mengelola sumberdaya alam dan lingkungan secara arif dan bijaksana untuk

memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi yang akan datang dengan

tanpa merusak dan menurunkan kualitas lingkungan (WCED, 1987). Dengan kata

lain, pertumbuhan ekonomi negara terus meningkat dan fungsi lingkungan tetap

lestari serta kondisi sosial masyarakat tetap stabil, harmonis dan sejahtera

(Munasinghe, 1993).

Pemanfaatan sumberdaya alam harus diusahakan secara cermat dan

bijaksana agar tidak merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal tersebut

berarti bahwa dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan, integrasi

pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan syarat mutlak yang

harus dianut dalam proses pembangunan disemua sektor. Salah satu upaya dalam

mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan adalah hasil pertemuan para

pemimpin dunia yang sepakat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK)

yang diatur dalam Kyoto Protokol tahun 1997 dan telah diratifikasi oleh Indonesia

melalui UU No. 17 tahun 2004 tentang ratifikasi Kyoto Protokol.

Keputusan Kyoto Protokol yang paling utama adalah kesepakatan negara-

negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan mengurangi tingkat

emisi sebanyak 5% dari tahun 1990. Keputusan lainnya adalah turut sertanya

negara-negara berkembang dalam menjaga dan memelihara hutan melalui

pemberian insentif karbon yang dapat dipakai untuk mengelola lingkungan

(Murdiyarso, 2003).

Tindakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca merupakan bukti

kesadaran manusia terhadap lingkungan yang kondisinya makin memperhatinkan.

18

Pemanasan global yang berdampak sangat besar terhadap lingkungan menjadi

ancaman bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi.

Karbon dioksida (CO2) di atmosfer merupakan senyawa gas yang

berpotensi menimbulkan pemanasan global. Gas tersebut dihasilkan dari berbagai

aktivitas manusia dalam pembangunan, diantaranya adalah produksi dan konsumsi

energi serta aktivitas industri. Aktivitas produksi dan konsumsi energi merupakan

penyumbang terbesar penghasil gas rumah kaca (GRK) berupa gas CO2 yang

sangat berperan dalam peningkatan pemanasan global yakni sekitar 57%.

Aktivitas tersebut mencakup pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak, gas

dan batu bara sebagai sumber energi bagi keperluan rumah tangga, industri dan

transportasi (Kristanto, 2002).

Tingginya kontribusi gas CO2 di atmosfer yang bersumber dari

penggunaan bahan bakar fosil tidak lain disebabkan oleh kebutuhan dunia

terhadap energi yang sangat tinggi yakni diperkirakan mencapai 88% atau sekitar

13.700 metrik ton pada tahun 2030. Kondisi tersebut akan menyebabkan

peningkatan emisi CO2 sekitar 43 miliar metrik ton. Disisi lain kontribusi kegiatan

usaha migas dalam perubahan iklim adalah bersumber dari pembakaran sisa gas

bumi dengan flare stake yang merupakan salah satu teknologi pengelolaan

lingkungan namun masih menghasilkan gas CO2. Data Ditjen Migas (2007)

menunjukkan bahwa pada tahun 2006 gas bumi yang dibakar di flare stake adalah

sebesar 111.831.560 MSCF (306.388 MSCFD). Jumlah tersebut berasal dari

kegiatan usaha migas di daratan sebesar 73.336.374 MSCF (200.922 MSCFD)

dan di lepas pantai 38.495.185 MSCF (105.466 MSCFD).

Menyadari akan pentingnya kebutuhan energi di satu sisi dan

kelangsungan hidup manusia di sisi lain, maka upaya penurunan emisi gas CO2

sebagai upaya pelestarian fungsi lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak

baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Upaya pencegahan kerusakan

lingkungan hidup harus senantiasa dilakukan dengan prediksi dan antisipasi

terhadap berbagai potensi dampak penting yang akan terjadi akibat adanya

kegiatan pembangunan tersebut, sejak tahap perencanaan, tahap konstruksi, tahap

operasi hingga tahap pasca operasi. Selanjutnya berbagai alternatif solusi untuk

mencegah dan menanggulangi dampak, harus dirumuskan sejak awal yakni pada

19

tahap perencanaan kegiatan serta dievaluasi secara terus menerus pada tahapan

kegiatan selanjutnya.

Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan migas juga sangat berpengaruh

terhadap kualitas lingkungan perairan, berupa kandungan minyak dan H2S

terlarut. WHO merekomendasikan kadar sulfat yang diperkenankan pada air

minum sekitar 400 mg/liter dan kadar hidrogen sulfida (H2S terlarut) sekitar 0,05

mg/liter (Moore, 1991). Disamping itu, sulfur yang diemisikan dari bahan bakar

fosil (minyak bumi) yang berlebihan di atmosfir (kualitas udara) dapat juga

membentuk gas hidrogen sulfida (H2S) yang bersifat asam.

Secara ekonomi kegiatan migas memberikan pengaruh yang besar

terutama dalam peningkatan pendapatan penduduk karena dapat menyerap

peluang tenaga kerja dari masyarakat setempat. Dengan demikian kegiatan

minyak dan gas tersebut menjadi salah satu sumber perekonomian bagi

masyarakat yang berada di sekitarnya. Namun bila dilihat secara ekologis dan

kesehatan lingkungan, keberadaan kilang minyak tersebut berpotensi

menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat di sekitar lokasi. Permasalahan

lingkungan yang terjadi di lokasi kegiatan migas diantaranya berupa peningkatan

kadar debu, kebisingan, bau dan gangguan kenyamanan. Hasil survey PPLH

UNRI (2004) menunjukkan bahwa penyakit ISPA yang disebabkan oleh debu

merupakan penyakit yang paling banyak terjadi di masyarakat sekitar lokasi

kilang minyak yaitu sebesar 42,7%. Kondisi tersebut semakin memprihatinkan,

sehingga dibutuhkan kesadaran dan kepedulian akan pengelolaan lingkungan

hidup sebagai upaya terpadu dalam pemanfaatan sumberdaya alam, sejalan

dengan kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Sebagaimana yang diamanahkan dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang

pengelolaan lingkungan hidup, bahwa setiap orang berkewajiban memelihara

pelestarian lingkungan, mencegah dan menanggulangi lingkungan. Demikian pula

dinyatakan dalam UU No. 21 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, bahwa

upaya preventif yang dilakukan adalah dengan mewajibkan semua kegiatan usaha

migas untuk melakukan penanggulangan pencemaran lingkungan sejak tahap

perencanaan hingga pasca operasi dan menjamin keteknikan yang baik.

20

Salah satu upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan dalam

mencegah terjadinya kerusakan lingkungan adalah dengan melakukan studi

AMDAL. Dalam PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL dinyatakan bahwa

analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai

dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada

lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang

penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. AMDAL berfungsi sebagai upaya

preventif dalam menjaga dan mempertahankan kualitas lingkungan serta menekan

pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Oleh karena

itu dokumen AMDAL bersifat mengikat berbagai pihak yang terlibat di dalamnya

serta mempunyai konsekuensi bagi status perijinan dari usaha dan atau kegiatan

(Suratmo, 2002).

Proses AMDAL kemudian bersifat wajib (mandatory) untuk dilakukan

bagi setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat

menimbulkan dampak penting. AMDAL terdiri atas kerangka acuan (KA),

analisis dampak lingkungan (ANDAL), rencana pengelolaan lingkungan (RPL)

dan rencana pemantuan lingkungan (RPL). KA adalah dokumen pertama yang

berisi pedoman penyusunan ANDAL. ANDAL adalah kajian utama tentang

dampak besar dan penting dari suatu usaha atau kegiatan. RKL adalah dokumen

alternatif solusi yang dibuat dalam pengelolaan dampak lingkungan dari suatu

kegiatan. RPL adalah dokumen yang berisikan alternatif pemantauan dampak dari

suatu kegiatan. Dengan demikian AMDAL yang terdiri atas empat dokumen

tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan

satu sama lain, fleksibel dan terbuka untuk selalu dikoreksi dan menjadi salah satu

sistem manajemen lingkungan (SML).

SML adalah suatu sistem atau cara dalam menangani lingkungan hidup

yang mencakup: 1) organisasi dan kebijakan lingkungan, 2) perencanaan, 3)

implementasi dan operasi, 4) pengawasan dan tindakan koreksi, dan 5) pengkajian

manajemen. SML lainnya dalam upaya pengelolaan lingkungan yang dapat

dilakukan bagi perencana dengan penerapan ISO 14000. Namun penerapan ISO

14000 hanya bersifat voluntary (sukarela), sementara AMDAL bersifat mandatory

(wajib).

21

AMDAL diperkenalkan pertama kali pada tahun 1969 oleh National

Environmental Policy Act di Amerika Serikat. Penerapan sistem evaluasi laporan

AMDAL di Kanada untuk proyek-proyek federal dikeluarkan oleh kabinet pada

tanggal 20 Desember 1973. Sedangkan penerapan AMDAL di Indonesia

dilakukan sejak dikeluarkannya PP No. 29 tahun 1986.

Untuk sektor migas, studi lingkungan telah dimulai sejak tahun 1987 yang

dikenal dengan dokumen studi evaluasi mengenai dampak lingkungan

(SEMDAL) bagi kegiatan yang sudah berjalan dan dokumen AMDAL bagi

kegiatan yang akan dilaksanakan berdasarkan PP No. 29 tahun 1986 (periode

1986-1993). Dokumen studi evaluasi mengenai dampak lingkungan (SEMDAL)

terdiri atas: KA-SEL, SEL, RKL/RPL, sedang dokumen AMDAL terdiri atas:

KA-ANDAL, ANDAL, RKL/RPL. Dokumen SEMDAL yang telah disetujui

dalam periode 1986-1993 sebanyak 23 dokumen dan dokumen AMDAL sebanyak

16 dokumen. Sejak tahun 1993 studi SEMDAL ditiadakan, sehingga studi

lingkungan keseluruhan dikenal dengan studi AMDAL untuk kegiatan yang

berdampak penting berdasarkan PP No. 51 tahun 1993 (periode 1993-1997),

jumlah dokumen yang telah disetujui sebanyak 22 dokumen. Pada tahun 1999

sampai sekarang dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka terjadi perubahan

PP No. 51 tahun 1993 menjadi PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, dengan

perubahan mendasar antara lain komisi pusat AMDAL yang tadinya berada pada

masing-masing sektor dibagi menjadi dua yakni: komisi pusat AMDAL

berkedudukan di kementerian lingkungan hidup dan komisi daerah yang

berkedudukan di propinsi dan kabupaten. Khusus untuk sektor migas karena

merupakan industri yang strategis, sehingga berada di bawah komisi pusat

AMDAL KLH. Sesuai PP No. 27 tahun 1999, bahwa kegiatan yang mempunyai

dampak besar dan penting terhadap lingkungan harus menyusun dokumen

AMDAL. Dokumen AMDAL yang telah disetujui hingga saat ini sebanyak 30

dokumen.

Walaupun kebijakan AMDAL telah diterapkan pada kegiatan usaha migas

lebih dari 20 tahun, namun masih terdapat persepsi negatif dari masyarakat

terhadap pengelolaan lingkungan kegiatan migas dan masih terdapat isu

pencemaran lingkungan serta sering terjadi emergency (antara lain: tumpuhan

22

minyak). Mengingat pentingnya kegiatan pengelolaan lingkungan berdasarkan

uraian di atas, maka kajian mengenai pengembangan kebijakan AMDAL dalam

mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas menjadi sangat

penting untuk dilakukan.

1.2 Kerangka Pemikiran

Kegiatan usaha migas di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1968.

Kegiatan tersebut meliputi: eksplorasi, eksploitasi, pengolahan pengangkutan dan

pemasaran/niaga. Hingga saat ini terdapat sebanyak 115 kegiatan usaha migas

yang beroperasi di Indonesia, sekitar 30% beroperasi di lepas pantai (off shore)

dan 70% beroperasi di darat (on shore).

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam migas untuk

memenuhi devisa dalam negeri dilakukan dengan berbagai upaya inovasi

teknologi terutama dalam mencari sumber-sumber baru, teknik eksploitasi, teknik

pengolahan, serta sistem ketataniagaan yang efektif dan efisien. Di sisi lain

kegiatan tersebut juga menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan manusia.

Kondisi demikian menjadi sangat dilematis. Oleh karena itu, mutlak dilakukan

pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya sinergitas antara aspek ekologi,

ekonomi dan sosial.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 dinyatakan bahwa setiap

usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting wajib

dilengkapi dokumen AMDAL. Namun dalam peraturan perundang-undangan

tersebut belum diatur secara komprehensif sejauh mana kedalaman studi AMDAL

tersebut, yang merupakan studi ilmiah yang mengkaji dampak besar dan penting

yang ditimbulkan dari suatu kegiatan terhadap komponen biologi, geologi, fisik,

kimia serta sosial ekonomi dan budaya. Meskipun kebijakan AMDAL telah

diterapkan sejak diterbitkannya PP No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993 dan

PP No. 27 tahun 1999, namun hingga saat ini masih banyak permasalahan

lingkungan yang muncul seperti pencemaran, degradasi lahan dan sumberdaya

alam serta konflik sosial. Kondisi tersebut disebabkan karena masih lemahnya

hasil kajian studi AMDAL yang dilakukan oleh pihak-pihak terlibat.

AMDAL berperan sebagai instrumen SML untuk mencegah kerusakan

lingkungan hidup. AMDAL merupakan kajian kelayakan lingkungan hidup

23

Rumusan Kebijakan AMDAL Migas yang Efektif dan Efisien dalam Mencegah

Kerusakan Lingkungan

Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas

Permasalahan Lingkungan

Kegiatan Usaha Migas (1960)

Komponen Utama Kebijakan AMDAL Migas

Kegiatan Usaha Migas Berwawasan Lingkungan

Kebijakan AMDAL (1986)

Perlu Kajian Pengembangan Kebijakan

AMDAL Migas yang

Prioritas Strategi Kebijakan AMDAL Migas

Kebutuhan Stakeholders

Review Kebijakan AMDAL saat ini

Kualitas Dokumen AMDAL saat ini

Penilaian Kinerja

Lingkungan Implementasi

AMDAL

mengenai dampak besar dan penting tentang perubahan lingkungan hidup yang

sangat mendasar dari suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada

lingkungan hidup. Pesatnya aktivitas manusia dan pembangunan ekonomi untuk

mencapai kesejahteraan manusia hampir pasti selalu diiringi dengan timbulnya

dampak lingkungan. Untuk menghindari timbulnya dampak lingkungan negatif

yang tidak dapat ditoleransi tersebut, maka perlu dipersiapkan langkah-langkah

operasional rencana pengendalian dampak lingkungan tersebut sekaligus dengan

rencana pemantauannya dalam bentuk dokumen RKL dan RPL. Dengan

demikian, AMDAL bertujuan untuk menjamin tujuan-tujuan proyek

pembangunan dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat tanpa merusak

kualitas lingkungan hidup.

Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan analisis efektifitas

dan efisiensi kebijakan AMDAL dalam mencegah terjadinya kerusakan

lingkungan pada kegiatan usaha migas. Hasil analisis kebijakan diharapkan

menghasilkan rumusan kebijakan implementatif yang lebih efektif dan efisien.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Pencemaran

Konflik Sosial

24

1.3 Perumusan Masalah

Mencermati amanat dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan

lingkungan hidup dan PP No. 27 tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak

lingkungan (AMDAL) maka permasalahan pengelolaan lingkungan pada dasarnya

merupakan tanggung jawab semua pihak baik sebagai pelaku pembangunan

maupun masyarakat. Sasaran pengelolaan lingkungan adalah terjaminnya mutu

hidup generasi masa kini dan generasi yang akan datang tanpa merusak

sumberdaya alam dan lingkungan. Namun kenyataannya selama kurang lebih 25

tahun sejak diterbitkannya undang-undang lingkungan hidup (UU No. 04 tahun

1982) dan telah lebih 20 tahun diterapkannya kebijakan AMDAL (PP No. 29

tahun 1986), kemajuan dari pengelolaan lingkungan hidup sangat lambat bahkan

kualitas lingkungan cenderung turun, yang ditandai dengan seringnya terjadi

gejolak-gejolak masyarakat, dan isu pencemaran serta seringnya terjadi tumpahan

minyak, limbah B3 yang semakin menumpuk dan belum jelasnya solusi

pengelolaannya. Akhir-akhir ini banyak sorotan bahwa dokumen AMDAL hanya

bersifat formalitas karena yang seharusnya dokumen AMDAL disusun sebelum

kegiatan berjalan yang merupakan studi kelayakan lingkungan tetapi dalam

kenyataannya, dokuemen AMDAL disetujui oleh komisi AMDAL setelah

kegiatan berjalan.

Tiga faktor penting yang sangat berpengaruh dalam dokumen AMDAL: (a)

peraturan perundang-undangan, (b) penyusun AMDAL dan pemrakarsa, (c)

komisi penilai AMDAL dan tim teknis serta instansi yang bertanggung jawab dan

instansi yang terkait dari pusat dan daerah. Tiga faktor ini berpengaruh dalam

penerapan prosedur dan substansi dokumen AMDAL untuk menentukan kualitas

dokumen AMDAL. Apabila tiga faktor ini berjalan dengan baik maka kualitas

AMDAL akan baik dan dapat bersifat operasional. Selanjutnya masuk tahap

implementasi (pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan) serta

pengawasan pelaksanaannya yang dilakukan oleh instansi terkait dan penegakan

hukum.

Prosedur penyusunan AMDAL yang telah berjalan selama ini adalah tim

penyusun dokumen AMDAL ditunjuk oleh Pemrakarsa dan belum terakreditasi

oleh pemerintah. Dalam hal ini pemrakarsa dimungkinkan dapat mempengaruhi

25

tim penyusun (tidak bersifat independen). Substansi dokumen AMDAL mengenai

kajian-kajian analisis ekonomi, kajian dampak terhadap ekosistem sangat minim

dan tidak memperhitungkan dampak perubahan lingkungan yang potensial

(eksternalitas) yang tidak diatur secara jelas di dalam peraturan perundang-

undangan atau kebijakan saat ini sehingga dokumen AMDAL yang telah disetujui

sulit untuk diimplementasikan oleh pemrakarsa.

Penentuan isu pokok di dalam kerangka acuan (KA-ANDAL), serta

penentuan dampak besar dan penting di dalam dokumen ANDAL masih bersifat

umum, tidak dikaji secara komprehensif dan belum memasukkan kajian-kajian

aspek ekologi, ekonomi dan sosial, sehingga penentuan dampak penting seringkali

kurang tepat dan pada akhirnya dokumen AMDAL kualitasnya diragukan dan

tidak bersifat operasional. Hal tersebut menyebabkan dokumen AMDAL yang

merupakan acuan di dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan selama

kegiatan berlangsung tidak dapat diterapkan di lapangan, sehingga mengakibatkan

terjadinya pencemaran lingkungan bahkan kerusakan lingkungan.

Sesungguhnya dokumen AMDAL merupakan hasil studi kelayakan

lingkungan yang mengkaji secara cermat dan mendalam tentang berbagai dampak

penting yang akan terjadi, sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang akan

dilaksanakan tidak layak atau layak lingkungan, maka kegiatan dapat ditolak dan

atau sebaliknya. Proses persetujuan dokumen AMDAL dari KA-ANDAL, RKL

dan RPL membutuhkan waktu paling cepat 2-3 tahun. Penilaian AMDAL yang

dibantu oleh tim teknis dan para pakar hanya pada waktu rapat komisi seterusnya

evaluasi untuk persetujuan AMDAL dilaksanakan oleh komisi dan disetujui oleh

komisi.

Dokumen AMDAL yang efektif dan efisien ditentukan dari peraturan

perundangan dan atau kebijakan yang dipakai sebagai acuan di dalam penyusunan

dokumen AMDAL tersebut, prosedur penyusunan AMDAL, waktu penyusunan,

kualitas penyusun AMDAL dan pemrakarsa, kinerja komisi penilai dan tim teknis

AMDAL serta kualitas dokumen AMDAL (substansi dokumen AMDAL) maka

dirumuskan hal-hal sebagai berikut:

1. Kebijakan AMDAL yang ditetapkan selama ini belum efektif dan belum

efisien, kekurangan dari peraturan perundangan yang sudah ada antara lain:

26

PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL yang tidak mengatur substansi-

substansi untuk prakiraan dampak penting dan evaluasi dampak penting

sehingga muncul isu bahwa dokumen AMDAL hanya bersifat formalitas dan

mahal.

2. Kinerja komisi penilaian AMDAL belum efektif dan belum efisien yang

menyebabkan kualitas AMDAL diragukan. keputusan menteri negara

lingkungan hidup No. 40 tahun 2000 tentang pedoman tata kerja komisi

penilai AMDAL, tim teknis tidak ikut memberikan evaluasi dalam penerbitan

persetujuan AMDAL hanya ikut diwaktu penilaian sidang komisi.

3. Pelaksanaan dan waktu pengumuman masyarakat serta waktu penerbitan

persetujuan dokumen AMDAL terlalu lama. Keputusan kepala Bapedal No.

08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL,

menentukan waktu terlalu lama untuk mengumpulkan pendapat masyarakat

dan berdasarkan PP. 27 tahun 1999 tentang AMDAL bahwa dokumen KA-

ANDAL disetujui selama 75 hari kerja dan dokumen ANDAL, RKL, RPL

disetujui juga selama 75 hari.

4. Kualitas tim penyusun AMDAL tidak independen dan ditunjuk langsung oleh

Pemrakarsa. Sampai saat ini belum ada landasan hukum yang mengatur

tentang konsultan penyusun AMDAL.

5. Pedoman penyusunan AMDAL lebih terfokus pada sistematika penulisan

dokumen, sedangkan penentuan isu pokok dan prakiraan dampak besar dan

penting serta evaluasi dampak penting tidak terdapat arahan metode-metode

yang baku untuk aspek ekologi, ekonomi dan sosial, tidak memasukkan

metode valuasi ekonomi (sesuai Kepdal No. 229 tahun 1996). Namun hanya

disebutkan secara garis besar memakai metode formal/non formal, baik di

dalam peraturan menteri negara lingkungan hidup No. 08 tahun 2006 tentang

pedoman penyusunan AMDAL maupun di dalam keputusan menteri energi

sumberdaya mineral No.1457 tahun 2000 tentang pedoman penyusunan

AMDAL kegiatan usaha migas.

Dengan demikian maka pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan

dalam penelitian ini adalah:

27

1. Bagaimana efektivitas dan efisiensi kebijakan AMDAL migas yang ada saat

ini ?

2. Bagaimana merumuskan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan efisien di

masa mendatang ?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah merumuskan kebijakan AMDAL yang efektif dan

efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Untuk

mencapai tujuan tersebut secara operasional dilakukan tahapan penelitian

meliputi:

1. Mereview kebijakan AMDAL saat ini.

2. Menganalisis kualitas dokumen AMDAL migas.

3. Menganalisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL kegiatan migas.

4. Menganalisis kebutuhan stakeholders terhadap kebijakan AMDAL migas

dimasa mendatang

5. Merumuskan strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dari sisi ilmiah adalah sebagai upaya pengembangan

ilmu dan pengetahuan, khususnya kajian lingkungan yang menyangkut analisis

mengenai dampak lingkungan dalam kegiatan usaha migas.

Manfaat penelitian dari sisi praktis adalah sebagai bahan pertimbangan

dalam penetapan kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien pada kegiatan usaha

migas di masa datang serta sebagai acuan atau pedoman dalam penyusunan

dokumen AMDAL migas.

1.6 Kebaruan Penelitian

Kebaruan dari penelitian ini berupa kajian terhadap kebijakan AMDAL

yang efektif dan efisien yang terfokus pada substansi, prosedur dan kelembagaan

di dalam AMDAL kegiatan usaha migas. Kebaruan dari aspek metode pendekatan

yang digunakan yakni melibatkan semua stakeholder dengan teknik analisis yang

terintegrasi antara FGD, PCA dan AHP serta valuasi ekonomi.

28

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan dan makhluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang

mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk

hidup lainnya (UU No. 23 tahun 1997). Lingkungan hidup sebagai suatu sistem

yang terdiri atas: lingkungan alam (ecosystem), lingkungan buatan (technosystem)

dan lingkungan sosial (sociosystem) dimana ketiga sub sistem ini saling

berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang dinamis. Ketahanan masing-

masing sub sistem akan memberikan jaminan berkelanjutan yang tentunya akan

memberikan peningkatan kualitas hidup setiap makhluk hidup didalamnya

(Hendartomo, 2001).

Masalah lingkungan hidup pada dasarnya timbul karena dinamika

penduduk, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang kurang bijaksana serta

kurang terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju.

Dampak negatif yang sering timbul dari kemajuan ekonomi yang seharusnya

positif dan memberikan manfaat yang besar terhadap manusia seringkali terjadi

sebaliknya, manusia menjadi korban akibat dampak yang ditimbulkan dari

aktivitas ekonomi yang dilakukan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup

merupakan dua permasalahan yang paling banyak timbul, sebagai dampak dari

kegiatan ekonomi dan pembangunan.

Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya

makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup

oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukannya, sedangkan kerusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan

atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam

menunjang pembangunan berkelanjutan (UU No. 23 tahun 1997).

Dalam perspektif ekonomi lingkungan dipandang sebagai asset gabungan

yang menyediakan berbagai jasa/fungsi yakni untuk mendukung kehidupan

29

manusia dan memenuhi kebutuhan manusia. Lingkungan menyediakan bahan

baku yang ditransformasikan ke dalam bentuk barang dan jasa melalui proses

produksi dan energi selanjutnya menghasilkan residual yang kembali ke

lingkungan (Kusumastanto, 2000).

Hubungan timbal balik antara aspek ekonomi dan sumberdaya alam dan

lingkungan kemudian menjadi sangat penting. Ekstraksi terhadap sumberdaya

alam yang dilakukan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan

menghasilkan benefit dan limbah. Aktivitas manusia secara langsung maupun

tidak langsung telah dan akan memberikan dampak terhadap resistensi

sumberdaya alam dan lingkungan.

Manusia melakukan aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya alam (air, udara, tanah, hutan,

minyak, dan ikan) namun disisi lain pemanfaatan tersebut juga menimbulkan

residual (limbah) yang kembali ke lingkungan, dan berdampak terhadap kualitas

lingkungan tersebut. Sebagai salah satu negara yang luas di dunia, Indonesia

tidak hanya memiliki wilayah daratan dan perairan yang luas tetapi juga kaya

dengan sumberdaya alam. Hutan tropis yang luasnya diperkirakan mencapai 144

juta hektar sangat kaya dengan ribuan jenis burung, ratusan jenis mamalia dan

puluhan ribu jenis tumbuhan. Perairan yang luas menjadi tempat bagi

perkembangan populasi ikan dan hasil perairan lainnya. Demikian pula dengan

buminya yang mengandung deposit berbagai jenis mineral dalam jumlah yang

tidak sedikit.

Pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu hal yang sangat penting

dibicarakan dan dikaji dalam kerangka pelaksanaan pembangunan nasional kita.

Dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah sesungguhnya kita dapat

melaksanakan proses pembangunan bangsa ini secara berkelanjutan tanpa harus

dibayangi rasa cemas dan takut akan kekurangan modal bagi pelaksanaan

pembangunan tersebut. Pemanfaatan secara optimal kekayaan sumberdaya alam

ini akan mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh bangsa

Indonesia.

Namun demikian perlu kita sadari eksploitasi secara berlebihan tanpa

perencanaan yang baik bukannya mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan

30

namun malah sebaliknya akan membawa malapetaka yang tidak terhindarkan.

Akibat dari pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang tidak memperhatikan

keseimbangan dan kelestarian lingkungan dapat kita lihat pada kondisi lingkungan

yang mengalami degradasi baik kualitas maupun kuantitasnya. Hutan tropis yang

kita banggakan setiap tahun luasnya berkurang sangat cepat, demikian juga

dengan jenis flora dan dan fauna di dalamnya sebagian besar sudah terancam

punah. Perairan yang sangat luas sudah tercemar sehingga ekosistemnya

terganggu. Demikian juga dengan dampak eksploitasi mineral yang terkandung

dalam perut bumi juga mulai merusak keseimbangan dan kelestarian alam sebagai

akibat proses penggalian, pengolahan dan pembuangan limbah yang tidak

dilakukan secara benar.

Pengelolaan sumberdaya alam selama ini tampaknya lebih mengutamakan

meraih keuntungan dari segi ekonomi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan

aspek sosial dan kerusakan lingkungan. Pemegang otoritas pengelolaan

sumberdaya alam berpusat pada negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat,

sedangkan daerah tidak lebih sebagai penonton. Berbagai kebijakan yang

dikeluarkan cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala menjadi kebijakan

yang tumpang tindih. Sentralisasi kewenangan tersebut juga mengakibatkan

pengabaian perlindungan terhadap hak azasi manusia. Selama puluhan tahun

praktek pengelolaan sumberdaya alam tersebut dilaksanakan telah membawa

dampak yang sangat besar bagi daerah.

Berdasarkan implementasi dari UU No. 23 tahun 1997 tentang

pengelolaan lingkungan hidup yang mendefinisikan tiga konsep utama dalam

pembangunan berkelanjutan yaitu: kondisi SDA, kualitas lingkungan dan faktor

demografi. Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi usaha untuk menyusun

penghitungan kualitas lingkungan. Tujuan dari penghitungan kualitas lingkungan

adalah: a) memberikan deskripsi tujuan dari aktivitas manusia (sosial dan

ekonomi) dan fenomena alami keadaan lingkungan dan demografi, b)

memberikan informasi yang komprehensif untuk masyarakat dan pembuat

kebijakan, c) sebagai alat yang sangat membantu dalam mengevaluasi

pengelolaan demografi dan lingkungan (Landiyanto dan Wardaya, 2005).

31

Agar upaya pelestarian lingkungan berjalan secara efektif dan efisien serta

berkelanjutan, dibutuhkan kebijakan untuk mewujudkan hal tersebut. Dalam

skenario politik ekonomi yang rumit saat ini, amatlah penting untuk menetapkan

kebijakan lingkungan dan sosial yang kuat disemua tingkatan. Demikian juga

penegakan hukum harus berjalan secara efektif agar pelestarian keanekaragaman

hayati dapat berjalan dengan baik.

Kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk

dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (mempengaruhi pertumbuhan)

baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum.

Kebijakan dikatakan efektif apabila penerapan kebijakan dan instrumennya dapat

menghasilkan perubahan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Sedangkan

dikatakan efisien jika kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang rendah.

Tahapan kebijakan terdiri dari fase formulasi kebijakan dan fase implementasi

kebijakan, sedangkan analisis kebijakan aktivitas menciptakan pengetahuan

tentang proses pembuatan kebijakan Clay dan Shaffer (1984) dalam Sanim

(2003).

Salah satu tindakan pemerintah dalam analisis kebijakan lingkungan

adalah dengan menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan dalam setiap

pelaksanaan usaha atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. AMDAL merupakan

kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap

perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Tujuan secara umum

AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan

pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin.

AMDAL di Indonesia telah lebih dari 20 tahun diterapkan. Meskipun

demikian berbagai hambatan dan masalah selalu muncul dalam penerapannya,

seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang

lainnya. Dalam komisi penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam

proses penilaian, dengan tidak adanya kriteria dan indikator penilaian yang

standar, sehingga menjadikan proses penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif.

Kriteria dan indikator merupakan jembatan yang menghubungkan antara

tujuan dan aksi yang dilakukan. Ada empat indikator untuk melihat keberhasilan

sebuah kebijakan (Kusumastanto, 2003) yakni: 1) kebijakan tersebut harus

32

memiliki instrumen yang efektif untuk menjalankannya (policy tools) dengan

kriteria: dapat diaplikasikan secara leluasa (discretionary) dan universal, serta

dapat ditegakkan secara hukum dan memiliki kewenangan administratif yang

mencakup aspek insentif dan regulatif, 2) kebijakan tersebut dapat memberikan

dampak terhadap perekonomian domestik maupun global. Artinya, kebijakan itu

mendapatkan dukungan/konsensus secara nasional (khususnya di level pemerintah

dan legislatif) maupun internasional, 3) kebijakan tersebut harus efisien dan

efektif secara ekonomi serta adil, sehingga mampu mendorong pertumbuhan dan

pemerataan kesejahteraan rakyat, dan 4) kebijakan tersebut harus mampu

mendorong kemandirian rakyat dan berlandaskan nilai-nilai luhur agama dan

moralitas.

Agar indikator atau persyaratan tersebut dapat terpenuhi, maka diperlukan

beberapa pendekatan, yakni: 1) pendekatan pasar yang didukung oleh instrumen

kebijakan yang diterapkan, misalnya pajak, pungutan, sanksi dan insentif serta

disinsentif, 2) pendekatan kelembagaan. Aturan yang diterapkan dalam

pendekatan ini harus dikenal dan diikuti secara baik oleh seluruh pemangku

kepentingan (stakeholders) dan memberi naungan serta konstrain terhadap

mereka. Kebijakan ini mampu memberikan perlindungan dan pembatasan akses

terhadap sumberdaya, adanya peraturan perundangan yang mendukungnya.

Aturan ini ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, atau tidak

ditulis formal sampai pada aturan adat dan norma masyarakat serta kearifan lokal.

Aspek penting lainnya dari aturan tersebut adalah dapat diprediksi, essentially

stable dan dapat diaplikasikan pada situasi berulang, 3) pendekatan percampuran

pasar dan bukan pasar serta pendekatan kelembagaan yang efektif dan efisien.

Pendekatan ini dapat menilai sumberdaya alam dan lingkungan secara wajar dan

tidak undervalue, sehingga kesejahteraan yang hakiki bagi masyarakat Indonesia

serta pembangunan yang bersifat lestari dapat terwujud.

Optimalisasi nilai manfaat sumberdaya alam dan lingkungan yang ada bagi

pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum

secara luas, diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan pengelolaan dalam

pengembangan wilayah. Pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan dapat

terselenggara secara optimal jika arah kebijakan pengembangan wilayah dan

33

tata ruang menjadi instrumen intervensi kebijakan dengan memperhatikan

kepentingan stakeholders selain didukung oleh program-program sektoral yang

melibatkan para pihak yang terkait dalam pengelolaan wilayah.

Kebijakan dengan berbagai indikator dan pendekatan yang dilakukan

merupakan upaya untuk senantiasa menjaga keberhasilan dalam implementasi

kebijakan yang dilakukan. Dalam kaitannya dengan kebijakan pengelolaan

lingkungan pada kegiatan usaha migas, berbagai undang-undang, peraturan

pemerintah hingga keputusan menteri diterbitkan, sebagai upaya untuk menjaga

keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup

dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian lingkungan,

mencegah dan menanggulangi pencemaran. Kemudian dalam UU No. 22 tahun

2001 tentang migas dinyatakan bahwa semua kegiatan usaha migas wajib

melakukan pengelolaan lingkungan hidup, mulai tahap perencanaan hingga pasca

operasi. Artinya kegiatan usaha migas harus menyusun AMDAL sebelum

kegiatan operasi baik kegiatan hilir maupun kegiatan hulu.

2.2 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

2.2.1 Defenisi AMDAL

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian

mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang

direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan

keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. AMDAL merupakan

bagian kegiatan studi kelayakan perencanaan usaha dan atau kegiatan dan

merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha yang mana hasil dari AMDAL

digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah.

AMDAL adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang

direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses

pengambilan keputusan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL

dirumuskan sebagai suatu analisis mengenai dampak lingkungan dari suatu proyek

yang meliputi pekerjaan evaluasi dan pendugaan dampak proyek dari

pembangunannya (Suratmo, 2002).

34

Dampak lingkungan adalah perubahan yang terjadi dalam lingkungan

akibat adanya aktivitas manusia. Aktivitas tersebut dilakukan sebagai upaya untuk

memenuhi kebutuhan hidup. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, kimia, fisik

maupun biologi. Dampak kemudian menjadi permasalahan akibat perubahan yang

terjadi dan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan.

Dampak dalam kaitannya dengan pembangunan memiliki dua batasan

yakni: 1) Dampak pembangunan terhadap lingkungan yakni perbedaan antara

kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan setelah ada pembangunan, 2)

Dampak pembangunan terhadap lingkungan, yakni perbedaan antara kondisi

lingkungan yang diperkirakan terjadi tanpa adanya pembangunan dan yang

diperkirakan terjadi dengan adanya pembangunan tersebut (Mun, 1979 dalam

Sumarwoto, 2005). Lebih jauh Clark (1978) dalam Sumarwoto (2005) bahwa

aktivitas pembangunan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat

menimbulkan efek yang tidak direncanakan di luar sasaran yaitu yang disebut

dampak. Dampak dapat bersifat biofisik dan atau sosial-ekonomi-budaya yang

memiliki pengaruh terhadap sasaran yang ingin dicapai. Dampak primer dapat

menimbulkan dampak sekunder dan tersier. Lebih rinci, tampak pada Gambar 2.

Gambar 2 Aktivitas pembangunan menimbulkan dampak (Clark, 1978 dalam Suratmo, 2002)

Dampak

Dampak Sekunder

Dampak Sosial-Ekonomi-Budaya

Dampak Biofisik

Pembangunan

Kenaikan Kesejahteraan

Dampak Biofisik

Dampak Sosial-Ekonomi-Budaya

Kegiatan Dampak

Tujuan

Dampak Primer

35

Dampak yang muncul kemudian harus teridentifikasi dan diketahui secara

dini, apakah dampak tersebut menimbulkan dampak besar dan penting terhadap

lingkungan hidup. Untuk mengukur dan menentukan dampak besar dan penting

tersebut, digunakan beberapa kriteria yakni: a) besarnya jumlah manusia yang

akan terkena dampak rencana usaha dan atau kegiatan, b) luas wilayah

penyebaran dampak, c) intensitas dan lamanya dampak berlangsung, d)

banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak, e) sifat

kumulatif dampak dan f) sifat berbalik (reversible) dan tidak berbalik

(irreversible) dampak (Hendartomo, 2001).

Mengacu pada PP No. 27 tahun 1999 pasal 3 ayat 1 bahwa usaha dan atau

kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting

terhadap lingkungan hidup meliputi: a) pengubahan bentuk lahan dan bentang

alam, b) eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui (renewable) maupun

yang tak terbaharui (non-renewable), c) proses dan kegiatan yang secara potensial

dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup,

serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya, d) proses dan

kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan

dan lingkungan sosial budaya, e) proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat

mempengaruhi pelesatarian kawasan konservasi sumberdaya dan atau

perlindungan cagar budaya, dan f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan

dan jenis jasad renik.

Tujuan umum AMDAL adalah menjaga dan meningkatkan kualitas

lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi

serendah mungkin. Sementara tujuan studi AMDAL adalah mengidentifikasi

rencana kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak penting,

mengidentifikasi komponen atau parameter lingkungan yang akan terkena dampak

penting, melakukan prakiraan dan evaluasi dampak penting sebagai dasar untuk

menilai kelayakan lingkungan, menyusun strategi pengelolaan dan pemantauan

lingkungan. Menurut Mukono (2005) bahwa tujuan dan sasaran AMDAL adalah

untuk menjamin suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat berjalan secara

berkesinambungan tanpa merusak lingkungan hidup. Dengan melalui studi

AMDAL diharapkan usaha dan/atau kegiatan pembangunan dapat memanfaatkan

36

dan mengelola sumberdaya alam secara efisien, meminimumkan dampak negatif

dan memaksimalkan dampak positip terhadap lingkungan hidup.

Untuk itu, AMDAL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang

pelaksanaan rencana kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan

hidup. Proses AMDAL kemudian menjadi wajib dilakukan bagi setiap rencana

usaha dan atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak penting.

2.2.2 Landasan Hukum Pelaksanaan AMDAL

Landasan hukum pelaksanaan AMDAL migas di Indonesia adalah:

1. UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

2. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL.

3. Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan

pengendalian pencemaran air.

4. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1974 tentang pengawasan pelaksanaan

eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai.

5. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran

dan atau perusakan laut.

6. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran

udara.

7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2006 tentang jenis

rencana usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL.

8. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2006 tentang

pedoman penyusunan AMDAL.

9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 02 tahun 1998 tentang

pedoman penetapan baku mutu lingkungan.

10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 42 tahun 1996 tentang

baku mutu limbah cair bagi kegiatan minyak dan gas serta panas bumi.

11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1998 tentang

baku mutu tingkat kebisingan.

12. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 02 tahun 2000 tentang

panduan penilaian dokumen AMDAL.

37

13. Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No. 1457 tahun 2000

tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan dibidang pertambangan dan

energi.

14. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 08 tahun

2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses

AMDAL.

15. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 299 tahun

1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan AMDAL.

2.2.3 Prosedur Pelaksanaan AMDAL

Proses pelaksanaan AMDAL terdiri atas: 1) penapisan (screening) atau

penentuan rencana kegiatan wajib AMDAL atau tidak, 2) pelingkupan (scoping)

adalah proses pemusatan studi pada hal-hal penting yang barkaitan dengan

dampak penting. Pelingkupan dampak penting yakni identifikasi dampak penting,

evaluasi dampak potensial dan pemusatan dampak penting. Pelingkupan wilayah

studi dengan memperhatikan batas proyek, batas ekologi, batas sosial, dan batas

administratif. Beanlands dan Dunker (1983) dalam Suratmo (2002)

mengelompokkan scoping sosial yaitu scoping yang menetapkan dampak penting

berdasarkan pandangan dan penilaian masyarakat. Scoping ekologis adalah proses

dari scoping yang menetapkan dampak penting berdasarkan nilai-nilai ekologi

atau peranannya di dalam ekologi, 2) penyusunan dokumen kerangka acuan (KA-

ANDAL) merupakan ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan

yang merupakan hasil pelingkupan yang memuat isu pokok yang perlu dikaji di

dalam dokumen AMDAL, 3) melaksanakan studi analisis dampak lingkungan

(ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar

dan penting suatu rencana usaha dan atau kegiatan yang direncanakan, 4)

penyusunan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya

pengelolaan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang

ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan, dan 5) penyusunan

rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan

komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari

rencana usaha dan atau kegiatan.

38

Proses AMDAL tersebut menghasilkan empat buah dokumen AMDAL

terdiri atas: a) dokumen KA-ANDAL, b) dokumen ANDAL, c) dokumen RKL

dan d) dokumen RPL. Untuk menghasilkan keempat dokumen tersebut, dilakukan

prosedur pelaksanan AMDAL yakni: a) penapisan (screening), b) proses

pengumuman dan konsultasi masyarakat, c) penyusunan dan penilaian KA-

ANDAL, dan penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL dan RPL (Hendartomo,

2001).

Proses penapisan merupakan proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yakni

untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib AMDAL atau tidak,

sementara proses pengumuman dan konsultasi masyarakat didasarkan pada UU

No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa:

a) setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta

menanggulangi kerusakan dan pencemarannya, b) setiap orang mempunyai hak

dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup

dan c) lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan

lingkungan hidup serta mengacu pada keputusan Kepala Bapedal No. 08 tahun

2000, bahwa pemrakarsa wajib mengumunkan rencana kegiatannya selama waktu

yang ditentukan dalam peraturan tersebut menanggapi masukan yang diberikan

dan melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun

KA-ANDAL.

Berdasarkan undang-undang dan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut

maka tujuan dasar dari partisipasi masyarakat di Indonesia ialah: a)

mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, b)

mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan negara dan c) membantu

pemerintah untuk dapat mengambil kebijakan dan keputusan yang lebih baik dan

tepat.

Diharapkan manfaat dari partisipasi masyarakat dalam penyusunan

dokumen AMDAL pada suatu kegiatan usaha yaitu: 1) masyarakat mendapatkan

informasi mengenai rencana pembangunan didaerahnya sehingga dapat

mengetahui dampak apa yang akan terjadi baik yang positif maupun yang negatif

dan cara menanggulangi dampak negatif yang akan dan harus dilakukan. 2)

masyarakat akan ditingkatkan pengetahuannya mengenai masalah lingkungan,

39

pembangunan, dan hubungan pembangunan dengan lingkungan sehingga

pemerintah dapat menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan

tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup dan 3) masyarakat dapat

menyampaikan informasi dan pendapatnya atau persepsinya kepada pemerintah

terutama masyarakat di tempat proyek yang akan terkena dampak.

Implementasi AMDAL sangat perlu disosialisasikan tidak hanya kepada

masyarakat namun perlu juga pada para calon investor agar dapat mengetahui

perihal AMDAL di Indonesia. Karena proses pembangunan digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya.

Dengan implementasi AMDAL yang sesuai dengan aturan yang ada, maka

diharapkan akan berdampak positif pada pembangunan yang berwawasan

lingkungan dan berkelanjutan (Mukono, 2005).

AMDAL didasarkan atas berbagai regulasi nasional yang telah ditetapkan

dengan baik serta berbagai acuan yang dikenal di seluruh sektor utama di

pemerintahan. Prosedur review dan persetujuan secara relatif telah menjadi

kebiasaan yang diterima dengan baik di dalam organisasi dan berlaku secara

umum di tingkat nasional dan propinsi, berdasarkan komite administratif dan

teknis lintas pemerintahan. Sistem tersebut didukung oleh suatu jaringan pusat

studi lingkungan yang menyediakan berbagai masukan teknis, pelatihan formal

dan kendali mutu, sementara berbagai reformasi penting juga telah dilakukan

untuk mencoba menstimulasi keterlibatan publik dalam jumlah yang lebih besar

dalam AMDAL (Purnama, 2003).

Secara lebih rinci prosedur teknis penyusunan dokumen AMDAL di

Indonesia sebagaimana termaktub dalam PP No. 27 tahun 1999 terdiri atas:

1. Pemrakarsa kegiatan menyampaikan ke instansi yang bertanggung jawab

terhadap rencana kegiatan.

2. Instansi yang bertanggung jawab berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan

Hidup No. 17 tahun 2001 yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup No. 11 tahun 2006 tentang kegiatan-kegiatan yang wajib

AMDAL.

3. Pemrakarsa diwajibkan melakukan pengumuman masyarakat dalam waktu 30

hari kerja dan selanjutnya menunggu tanggapan dari masyarakat.

40

4. Pemrakarsa menyusun kerangka acuan (KA-ANDAL).

5. Kerangka acuan dinilai oleh tim teknis, pakar pada sidang komisi.

6. Komisi AMDAL menerbitkan surat keputusan kelayakan dalam waktu 75 hari

kerja.

7. Pemrakarsa menyusun AMDAL bersama dengan pihak ketiga yang ditunjuk

oleh pemrakarsa.

8. Dokumen AMDAL dinilai oleh tim teknis dan para pakar pada sidang komisi

(sidang komisi 1 dan sidang komisi 2).

9. AMDAL disetujui dalam jangka 75 hari kerja.

AMDAL bukanlah suatu proses yang berdiri sendiri tetapi merupakan

bagian dari proses AMDAL yang lebih besar dan lebih penting sehingga AMDAL

dapat dikatakan berguna bagi pengelolaan lingkungan, pemantauan lingkungan,

pengelolaan proyek, pengambilan keputusan, dan menjadi dokumen yang penting.

Sedangkan peranan AMDAL dalam pengelolaan kegiatan yakni sebagai: a) fase

identifikasi, b) fase studi kelayakan, c) fase desain kerekayasaan (engineering

design) atau disebut juga sebagai fase rancangan, d) fase pembangunan proyek, e)

fase proyek berjalan atau fase proyek beroperasi, dan f) fase proyek telah berhenti

beroperasi atau pascaoperasi.

Lingkupan dan fase-fase dalam proses penyusunan AMDAL tersebut

memerlukan pengembangan metodologi. Metode yang dipakai dalam penentuan

dampak besar dan penting antara lain:

1. Metode Leopold ini juga dikenal sebagai Matriks Leopold atau matriks

interaksi dari Leopold. Metode matriks ini mulai diperkenalkan oleh Leopold

dan teman-temannya pada tahun 1971. Matriks yang diperkenalkan adalah

matriks dari 100 macam aktivitas dari suatu proyek dengan 88 komponen

lingkungan. Identifikasi dampak lingkungan dari proyek ditulis dalam

interaksi antara aktivitas dan komponen lingkungan. Macam-macam aktivitas

proyek dan komponen-komponen lingkungan dalam Matriks Leopold.

Aktivitas proyek dibagi menjadi 100 aktivitas yang terdiri dari 10 kelompok:

a) modifikasi areal 13 aktivitas, b) perubahan lahan dan pembuatan bangunan

fisik, c) ekstraksi sumberdaya, d) pemrosesan, e) perubahan lahan, f)

pembaharuan sumberdaya, g) perubahan lalu lintas, h) penempatan dan

41

pengolahan limbah, i) pengolahan bahan kimia dan j) kecelakaan. Komponen

lingkungan dibagi menjadi 88 yang terdiri dari 5 kelompok sebagai berikut: a)

fisik dan kimia yang terdiri dari bumi, air, atmosfer dan proses, b) keadaan

biologi yang terdiri dari flora dan fauna dan c) sosial budaya yang terdiri dari

tata guna lahan, rekreasi, estetika dan minta masyarakat, status budaya,

fasilitas dan aktivitas buatan manusia, ekologi dan lain-lain komponen.

2. Metode yang diperkenalkan Moore tahun 1973 dikenal pula dengan nama

Matriks dampak dari Moore. Keistimewaan dari metode Moore adalah

dampak lingkungan dilihat dari sudut dampak pada kelompok daerah yang

sudah atau sedang dimanfaatkan manusia atau dapat digambarkan pula sebagai

proyek pembangunan manusia lainnya.

3. Metode yang dikembangkan Sorenson pada tahun 1971 merupakan analysis

networks yang pertama. Disusun untuk digunakan pada proyek pengerukan

dasar laut (dreging). Bentuk jaringan kerja ini diberi nama sebagai aliran

dampak.

Penggunaan metode-metode tersebut merupakan metode standar yang

umumnya digunakan dalam penyusunan AMDAL. Selain itu untuk lebih

mengetahui sisi AMDAL di Indonesia, berbagai pengalaman penyusunan

AMDAL di negara maju dan berkembang dapat dijadikan sebagai bahan

perbandingan ke arah yang lebih baik. AMDAL negara lain diambil untuk melihat

kegiatan usaha AMDAL di negara berkembang yaitu Filipina dan negara maju

yakni Kanada.

1. Philipina

Pedoman sistem evaluasi laporan AMDAL di Filipina ditetapkan pada

tahun 1978 oleh National Environmental Protection Council (NEPC) yang berada

di bawah departemen sumberdaya alam. Skema dapat dijelaskan secara singkat

sebagai berikut:

Langkah pertama NEPC menetapkan instansi mana yang akan menjadi

instansi yang bertanggung jawab atau lead agency dari proyek yang diusulkan.

Langkah kedua pemrakarsa proyek menyampaikan usulan proyeknya

dengan laporan Initial Environmantal Evaluation (IEE) atau PIL yang disusun

42

menyampaikan usulan proyeknya dengan pemerintah kepada instansi yang

bertanggung jawab.

Langkah ketiga instansi yang bertanggung jawab mengevaluasi usulan dan

laporan IEE untuk menetapkan perlu studi AMDAL atau tidak. Hasil evaluasi

yang merupakan tiga kemungkinan sebagai berikut: a) apabila diputuskan perlu

studi AMDAL maka pemrakarsa proyek diberitahu untuk menyelenggarakan studi

ANDAL, b) apabila diputuskan tidak perlu mengadakan studi AMDAL maka

proses perizinan dapat dilakukan untuk dapat membangun proyek, c) apabila

instansi yang bertanggung jawab ragu-ragu atau tidak tahu maka instansi ini dapat

berkonsultasi dan menanyakan kepada NEPC.

Langkah keempat adalah langkah yang harus dilakukan pemrakarsa

proyek apabila ditetapkan harus melakukan studi ANDAL. Maka pelaksanaan

studi ANDAL merupakan tanggung jawab pemrakarsa proyek dan kemudian

menyusun laporan draft ANDAL. Masih disebut draft karena belum dievaluasi

dan belum disetujui oleh yang mengevaluasi.

Langkah kelima menyerahkan laporan draft ANDAL kepada instansi yang

bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab mengirim ke instansi-

instansi lain yang erat hubungannya dengan proyek (berdasarkan suatu pedoman

atau suatu surat keputusan) untuk mendapatkan pendapat-pendapat atau saran-

sarannya. Instansi yang bertanggung jawab tersebut juga menetapkan apakah

usulan proyek ini perlu dengar pendapat atau public hearing karena tidak semua

proyek harus ada dengar pendapat. Apabila dianggap perlu pemrakarsa proyek

diberitahu. Apabila ditetapkan perlu dengar pendapat maka instansi yang

bertanggung jawab menyelenggarakan dengar pendapat.

Langkah keenam merupakan kesibukan dari instansi yang bertanggung

jawab untuk mengumpulkan semua pendapat-pendapat dari berbagai instansi yang

ikut mengevaluasi (secara tertulis) dan hasil dari dengar pendapat kalau diadakan,

kemudian mengirimkannya ke NEPC. NEPC menyusun reviews dari laporan

draft, pendapat-pendapat dari berbagai instansi pemerintah dan dengar pendapat

apabila ada. NEPC menyampaikan hasil reviews kepada instansi yang

bertanggung jawab. Instansi yang bertanggung jawab meneruskan reviews ke

pemrakarsa proyek. Pemrakarsa proyek berdasarkan review termasuk saran-saran

43

dari NEPC menyusun laporan akhir AMDAL dan dikirim ke instansi yang

bertanggung jawab.

2. Kanada

Sistem evaluasi laporan AMDAL di Kanada yang berlaku untuk proyek-

proyek federal dikeluarkan oleh kabinet pada tanggal 20 Desember 1973. Sistem

evaluasi di Kanada disebut sebagai Environmental Assestment and Review

Process (EARP) atau proses pendugaan dampak dan review. Berdasarkan

pedoman yang telah diperbaiki dan dikeluarkan pada tahun 1979, pedoman sistem

evaluasi yang dikeluarkan tahun 1973 tersebut terus dilakukan penyempurnaan, di

antaranya penyempurnaan pedoman pada tahun 1979, tahun 1984, dan pada tahun

1985 sedang disempurnakan lagi pada bagian penyaringan dan pelaksanaan PIL.

Secara garis besar skema tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pemrakarsa proyek menyampaikan usulannya kepada instansi yang

bertanggung jawab terhadap proyek tersebut dan melakukan penyaringan

atau screening untuk menilai potensi dampak lingkungan dari proyek.

Pedoman dari penyaringan dibuatkan oleh kantor lingkungan yang disebut

The Federal Environtmental Assestment Review Office (FEARO) dalam

pekerjaannya memberikan laporannya langsung kepada Menteri Lingkungan

Federal.

2. Secara garis besar kesimpulan dari penyaringan tersebut adalah: a) proyek

yang tidak ada dampak negatifnya atau dampak negatifnya ada tetapi tidak

nyata atau penting atau telah tersedia teknologi yang dapat menekan atau

menghilangkan dampak tersebut maka proyek tersebut dapat dibangun tanpa

PIL atau ANDAL, b) proyek yang mempunyai potensi dampak lingkungan

yang tidak atau belum diketahui maka perlu dilakukan studi IEE atau PIL

yang kemudian akan dilakukan penyaringan kembali untuk menentukan

apakah potensi dampaknya nyata atau tidak. Kalau dianggap perlu

mengadakan review dari dengar pendapat masyarakat, maka suatu panel

yang dibentuk oleh FEARO akan menyelenggarakan penyaringan tersebut.

Bila penyaringan menghasilkan kesimpulan bahwa potensi dampak

lingkungan tidak dapat diterima atau tidak diizinkan terjadi maka proyek

tersebut dapat ditolak untuk dibangun atau apabila pemrakarsa proyek

44

bersedia mengadakan perubahan dalam usulan proyeknya maka akan dapat

dilakukan evaluasi atau penyaringan lagi. Kalau hasil dari studi PIL

menyimpulkan bahwa proyek tersebut potensi dampaknya tidak ada atau

tidak nyata atau tersedia teknologi untuk menekan proyek tersebut boleh

dibangun tanpa membuat ANDAL tetapi kalau hasil penyaringan

menunjukkan dampak negatif nyata dan penting proyek tersebut harus

melakukan ANDAL. Dua langkah pertama yaitu penyaringan dan studi PIL

masih merupakan tanggung jawab instansi atau departemen yang

bertanggung jawab mengenai proyek, sedang FEARO dan Departemen

Lingkungan belum ikut berperan walaupun konsultasi dan permintaan

pedoman penyaringan dan IEE diminta dari FEARO.

3. Apabila ada proyek yang diputuskan oleh instansi yang bertanggung jawab

bahwa proyek tersebut perlu melakukan studi AMDAL maka usulan proyek

dikirim ke FEARO. Kemudian FEARO akan membentuk suatu kelompok

ahli yang disebut panel khusus untuk menangani ANDAL proyek tersebut.

Biasanya panel ini terdiri dari empat sampai delapan anggota yang dipilih

berdasarkan keahliannya dan pengalamannya yang berhubungan dengan

AMDAL, proyek tersebut, pengetahuan dan pengalaman dalam lingkungan

dan dampak sosial pada proyek tersebut. Ketua FEARO atau wakilnya yang

ditunjuk akan menjadi sekretaris eksekutif dari panel.

4. Setelah panel dibentuk maka panel menyusun pedoman atau TOR mengenai

penyusunan analisis dampak lingkungan (ANDAL) khusus untuk usulan

proyek tersebut dan menyampaikan kepada pemrakarsa proyek untuk

dijalankan. Dalam penyusunan pedoman tersebut panel juga mengadakan

konsultasi dengan instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang sangat

erat hubungannya dengan proyek tersebut dan juga masyarakat.

5. Kemudian pemrakarsa atau konsultasi yang diminta bantuannya melakukan

studi ANDAL dan menyusun laporan ANDAL. Dalam melakukan studinya

atau penyusunan laporan ANDAL-nya selalu dapat melakukan konsultasi

dengan panel.

6. Hasil laporan ANDAL akan langsung dievaluasi oleh panel apakah sudah

cukup baik atau masih ada kekurangan dan kalau masih ada kekurangan

45

pemrakarsa proyek harus melengkapinya. Dalam melakukan evaluasi

laporan ini panel dapat meminta bantuan pendapat dari berbagai instansi

yang erat hubungannya dengan proyek.

7. Apabila laporan ANDAL tersebut sudah dinilai baik dan diterima oleh panel

maka panel lalu menyelenggarakan review. Dalam review ini panel

mengumpulkan pendapat-pendapat dari berbagai instansi teknis dan

masyarakat baik secara tertulis maupun secara lisan dalam suatu pertemuan.

Bila panel akan menyelenggarakan dengar pendapat masyarakat atau public

hearing, maka biasanya diselenggarakan di tempat proyek yang akan

dibangun. Dengan demikian masyarakat setempat yang akan terkena dampak

dapat memberikan pendapatnya.

8. Setelah semua pendapat-pendapat baik dari instansi-instansi pemerintah,

ahli-ahli, dan masyarakat maka panel melakukan evaluasi pendapat-pendapat

dan menyusun sarannya atau rekomendasinya mengenai proyek tersebut

langsung kepada menteri lingkungan dan menteri yang bertanggung jawab

atas proyek tersebut. Dalam menyusun rekomendasi tersebut panel selalu

dapat berkonsultasi dengan kedua menteri tersebut. Apabila proses review

yang dilakukan oleh panel selesai maka akan disusun suatu laporan hasil

review untuk menteri lingkungan yang biasanya sebagai berikut : a) sejarah

kejadian-kejadian yang berhubungan dengan pembangunan proyek, b)

deskripsi dari proyek, c) keadaan dan sifat lingkungan dari lokasi yang

dimasukkan akan dibangun proyek tersebut, d) dampak lingkungan dan

sosial dari proyek dalam review termasuk pendapat instansi pemerintah, ahli-

ahli, dan masyarakat, e) kesimpulan dan saran atau rekomendasi dari panel

mengenai pelaksanaan pembangunan proyek. Saran dari panel dapat

berbentuk tiga kemungkinan sebagai berikut: a) proyek boleh dibangun atau

dijalankan sesuai dengan rencana, b) proyek boleh dibangun tetapi dengan

perubahan baik dalam proyeknya ataupun pengelolaan lingkungan, c) proyek

tidak boleh dibangun.

9. Menteri lingkungan dan menteri yang bertanggung jawab atas proyek akan

mempertimbangkan saran panel apakah dapat diterima. Bila kedua menteri

telah mendapatkan suatu kesepakatan maka menteri lingkungan

46

mengeluarkan keputusan yang akan dilaksanakan oleh departemen atau

instansi yang bertanggung jawab atas proyek. Namun apabila kedua menteri

tidak menemukan kesepakatan, maka persoalan tersebut akan dibawa ke

kabinet untuk diputuskan.

2.3 Kegiatan Minyak dan Gas Bumi

Berdasarkan UU No. 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Minyak

bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan

dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral

atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan tetapi tidak

termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang

diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan

gas bumi.

Gas bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam

kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari

proses penambangan minyak dan gas bumi. Bahan bakar minyak adalah bahan

bakar yang berasal dan atau diolah dari minyak bumi. Kegiatan migas meliputi

eksplorasi, eksploitasi, pemurnian/pengolahan dan pengangkutan/pemasaran. Pada

saat ini terdapat kurang lebih 115 perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia,

baik yang berstatus eksplorasi maupun produksi. Perusahaan-perusahaan tersebut

sekitar 70% beroperasi di darat (on shore) dan sekitar 30% beroperasi di lepas

pantai (off shore) baik di laut dangkal maupun di laut dalam. Operasi di laut

dangkal antara lain di Laut Jawa, Kalimantan Timur, dan Sumatera sedangkan

yang operasi di laut dalam mencakup perairan laut Makasar, Natuna, Irian Jaya

dan Selat Malaka.

Kegiatan migas pada masa mendatang dengan kemajuan teknologi dan

perkembangan ilmu pengetahuan dimungkinkan untuk mencari cebakan minyak

pada daerah-daerah "frontier" khususnya Indonesia bagian Timur ke arah laut

dalam. Sebagaimana pengembangan migas 25 tahun mendatang antara lain

meningkatkan produksi dan pengembangan lapangan-lapangan migas lepas pantai

(off shore) yang sudah berproduksi, meningkatkan eksplorasi ke kawasan timur

47

Indonesia seperti cekungan Makassar, Irian Jaya dan juga kawasan karat

Indonesia.

Kegiatan migas di Indonesia tersebar pada beberapa kepulauan yaitu di

pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan serta Irian Jaya meliputi:

1. Kegiatan hulu terdiri dari eksplorasi dan eksploitasi, kegiatan eksploitasi

yaitu: a) kegiatan pemboran eksplorasi untuk mencari cadangan minyak

kegiatan ini tidak berdampak penting sesuai keputusan menteri LH No. 11

tahun 2006 tidak mewajibkan menyusun AMDAL, b) kegiatan eksploitasi

yaitu kegiatan operasi produksi, memproduksi minyak dan pemboran sumur-

sumur produksi, c) kegiatan yang berstatus eksplorasi dan produksi (hulu)

antara lain :1) Pertamina eksplorasi: Sumatera Utara, Sumatera bagian tengah

(Riau, Sumatera Selatan), Jawa Barat (Cirebon, Cepu), Kalimantan, dan

Papua, 2) kontraktor/kontrak kerja sama (KKS), swasta-swasta asing maupun

nasional antara lain, Chevron Pasifik Indonesia (CPI), Total Indonesia,

UNOCAL, CONOCO Phillip, CNOOC, dan Petrochina. 3) JOB : Joint

Operation Body dan 4) TAC Technic Assistance Contract.

2. Kegiatan hilir terdiri dari: a) unit pengolahan minyak (UP) yaitu pengelolaan

minyak untuk menjadi produk BBM antara lain : UP I Pangkalan Berandan,

UP II Dumai, UP III Pelaju Sungai Gerong, UP IV Cilacap, UP V Balikpapan,

UP VI Balongan dan UP VII Sorong, b) unit pengolahan gas LPG dan LNG,

dan c) kegiatan niaga/pemasaran yang tersebar di seluruh Indonesia.

2.4 Konsep Valuasi Ekonomi

Valuasi ekonomi adalah suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif

terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan

terlepas dari apakah nilai pasar (market price) tersedia atau tidak (Fauzi, 1999).

Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan dari teori ekonomi neo-

klasikal yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen. Berdasarkan

pemikiran neo-klasik ini dikemukakan bahwa setiap individu pada barang dan jasa

tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar (willingness to pay) dengan

biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut (Barbier, 1995).

48

Nilai ekonomi dapat diartikan sebagai ukuran jumlah keinginan

maksimum seseorang yang bersedia mengorbankan barang dan jasa untuk

mendapatkan barang dan jasa lainnya. Konsep ini sering disebut sebagai

keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa

yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (tidak selalu bahwa nilai tersebut harus

diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya). Sebaliknya dapat diukur dari

sisi lain yakni seberapa besar masyarakat harus diberikan kompensasi untuk

menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan

lingkungan.

Dalam memberikan penilaian terhadap hasil dari suatu kegiatan, perlu

diketahui urutan dalam memberikan penilaian (Suparmoko, 2000), yaitu: 1)

mengidentifikasi dampak penting lingkungan, 2) mengkuantifikasi besarnya

dampak dan 3) perubahan kuantitas fisik kemudian diberi harga/nilai uang dalam

rupiah.

Masalah yang perlu diperhatikan dalam penilaian ekonomi adalah hasil

total atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang

dipakai dalam suatu kegiatan untuk masyarakat sehingga diperoleh ”social

returns” atau ”economic return” yang paling tinggi (Kadariah et al., 1978).

Setiap kegiatan pembangunan umumnya menghasilkan dampak terhadap

lingkungan, demikian pula dalam setiap tahap kegiatan industri minyak dan gas

bumi termasuk unit pengolahan minyak. Industri ini berpotensi menimbulkan

dampak yang bersifat positif maupun yang negatif terhadap lingkungan alam

(ekosistem), sosial budaya, sosial politik dan ekonomi (Abda’oe, 1994). Dampak

lingkungan, ekonomi dan sosial dari kegiatan unit pengolahan minyak secara

umum dapat terlihat dari pengaruhnya secara langsung terhadap aktivitas utama di

wilayah pesisir. Permasalahan dan isu lingkungan mengenai dampak aktivitas

migas di suatu wilayah, namun tidak jarang hanya ditanggapi dengan melakukan

identifikasi tanpa ada tindak lanjut untuk menghitung besarnya nilai ekonomi

yang ditimbulkan dari pemanfaatan sumberdaya alam. Kondisi ini diperparah

dengan tidak tersedianya data ekonomi dan lingkungan suatu wilayah. Tujuan

valuasi ekonomi pada dasarnya adalah membantu pengambil keputusan untuk

menduga efisiensi ekonomi dari berbagai pemanfaatan (competing use) yang

49

mungkin dilakukan terhadap ekosistem yang ada. Asumsi yang mendasari fungsi

ini adalah bahwa alokasi sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu

menghasilkan manfaat bersih bagi masyarakat (net gain to society) yang diukur

dari manfaat ekonomi dari alokasi tersebut dikurangi dengan biaya alokasi

sumberdaya tersebut (Adrianto, 2005)

Pengelolaan lingkungan dapat dicapai dengan menerapkan ekonomi

lingkungan sebagai instrumen yang mengatur alokasi sumberdaya secara rasional

(Steer, 1996). Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam

sangat peran dalam penentuan kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan

alternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Hilangnya ekosistem

atau sumberdaya alam dan lingkungan merupakan masalah ekonomi karena

hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk

menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus, hilangnya ekosistem ini

tidak dapat dikembalikaqn seperti sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan

pembangunan yang melibatkan sumberdaya alam (ekosistem) seperti kebijakan

tetap mempertahankan ekosistem apa adanya atau dikonversi menjadi

pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan

dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi (Adrianto, 2006).

Valuasi ekonomi sumberdaya alam adalah seluruh manfaat yang

disediakan oleh sumberdaya alam dari yang digunakan saat ini dan manfaat untuk

masa yang akan datang. Valuasi ekonomi adalah salah satu dari banyak cara

untuk menggambarkan dan mengukur nilai sumberdaya alam, baik yang bernilai

pasar (dapat diperdagangkan) maupun yang tidak bernilai pasar (tidak dapat

diperdagangkan) (Williamson, 2003).

Tujuan penilaian ekonomi lingkungan adalah untuk memperkuat mata

rantai antara lingkungan dan ekonomi. Penerapan penilaian ekonomi dalam

sumberdaya alam dan lingkungan melalui berbagai teknik ekonomi adalah salah

satu metode untuk mempromosikan pengintegrasian dari lingkungan, ekonomi

dan sosial (Williamson, 2003). Selain itu, tujuan valuasi ekonomi pada dasarnya

adalah membantu pengambil keputusan untuk menduga efisiensi ekonomi dari

berbagai pemanfaatan (competing use) yang mungkin dilakukan terhadap

ekosistem yang ada. Asumsi yang mendasari fungsi ini adalah bahwa alokasi

50

sumberdaya yang dipilih adalah yang mampu menghasilkan manfaat bersih bagi

masyarakat (net gain to society) yang diukur dari manfaat ekonomi dari alokasi

tersebut dikurangi dengan biaya alokasi sumberdaya tersebut (Adrianto, 2005).

Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam valuasi ekonomi

sumberdaya alam adalah konsep total economic value (TEV) atau nilai ekonomi

total. Terdapat tiga metode yang digunakan secara umum dalam valuasi ekonomi

dan dampak ekonomi terhadap lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah: 1)

Market valuation adalah pendekatan yang menggunakan penilaian ekonomi dari

sumberdaya alam alam berdasar nilai pasar. Pendekatan ini biasanya digunakan

untuk menilai aset ekonomi (economic asset) dari sumberdaya alam. Apabila nilai

pasar dari sumberdaya alam tidak tersedia, karena jumlah sumberdaya alam

tersebut tidak diketahui, nilai ekonomi dari sumberdaya alam tersebut dapat

ditemukan dari jumlah penerimaan potensial dari sumberdaya tersebut dengan

pendekatan diskonto, 2) Maintenance valuation adalah pendekatan yang

didasarkan pada penilaian terhadap opportunity cost yang hilang sebagai akibat

suatu tindakan ekonomi dan juga opportunity cost dari tindakan maintenance

untuk mengurangi dampak kegiatan ekonomi terhadap lingkungan, dan 3)

Contingent and related damaged valuation adalah pendekatan yang didasarkan

penggunaaan cost-benefit analysis dan feasibility study dalam melakukan kegiatan

ekonomi (Bartelmus and Vespers, 1999).

Pendekatan ini sangat efektif untuk digunakan dalam penilaian kegiatan

ekonomi skala kecil, akan tetapi sangat sulit untuk diimplementasikan dalam

penilaian skala luas/nasional. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam

merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam

mengalokasikan SDA yang semakin langka (Kramer et al., 1995). Penilaian

manfaat lingkungan secara ekonomi dengan sangat kecil atau sangat besar harus

ditinggalkan, saat ini barang atau jasa lingkungan yang diperoleh harus dinilai

keuntungannya secara finansial (Barbier, 1995).

Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh para peneliti saat menghitung nilai

suatu sumberdaya adalah adanya nilai dari barang atau jasa yang tidak dapat

dikuantifikasikan dengan nilai pasar, karena memang barang atau jasa tersebut

tidak dijual di pasaran, seperti keindahan alam. Memahami permasalahan tersebut,

51

Krutila (1967) dalam Fauzi (2002) memperkenalkan konsep total economic value

(TEV) atau nilai ekonomi total bagi setiap individu atas sumberdaya alam dan

lingkungan. Secara garis besar jenis-jenis nilai dari TEV dibagi menjadi dua,

yaitu nilai kegunaan dan nilai bukan kegunaan.

1. Nilai Kegunaan

Nilai kegunaan adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari

barang dan jasa seperti menangkap ikan, menebang kayu dan sebagainya. Nilai ini

juga termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan

oleh sumberdaya alam, misalnya ikan dan kayu yang hasilnya dapat dijual (Fauzi,

2002). Nilai kegunaan ini merupakan nilai manfaat yang dirasakan oleh

masyarakat. Nilai kegunaan ini lebih mudah diukur dengan menggunakan harga

pasar. Nilai kegunaan sendiri dibagi menjadi dua yaitu nilai kegunaan langsung

yakni: 1) nilai kegunanaan langsung dari suatu sumberdaya yang dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara komersial maupun non komersial.

Misalkan jika kita sedang menghitung nilai ekonomi dari sumberdaya danau,

maka yang dimaksud dengan nilai kegunaan langsung adalah menangkap ikan, 2)

nilai kegunaan tidak langsung yaitu nilai yang dirasakan secara tidak langsung

oleh masyarakat terhadap suatu sumberdaya. Contoh dari nilai ini adalah fungsi

pencegah abrasi pada hutan mangrove.

2. Nilai Bukan Kegunaan

Nilai bukan kegunaan atau non use value merupakan nilai yang tidak

berhubungan dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa yang dihasilkan oleh

sumberdaya alam (Fauzi, 2002). Nilai bukan kegunaan ini bersifat sulit diukur

karena nilai-nilai tersebut sulit dikuabtifikasikan dengan harga pasar dan

menyangkut kesukaan (preferensi) seseorang.

Nilai bukan kegunaan ini secara lebih mendetail dibagi lagi menjadi tiga

jenis yaitu option value, existence value dan bequest value. Option value atau nilai

pilihan adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat atas adanya pilihan untuk

menikmati barang atau jasa dari sumberdaya alam dimasa yang akan datang

(Fauzi, 2002). Pada dasarnya option value ini mengandung makna ketidakpastian

atas ketersediaan sumberdaya pada masa yang akan datang maka nilai option

52

value kita akan menjadi nol. Begitu juga sebaliknya nilai dari option value akan

semakin besar jika masyarakat tidak yakin akan ketersediaan suatu sumberdaya

pada masa yang akan datang.

Existence value atau nilai keberadaan adalah nilai yang diberikan atas

keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan meskipun

masyarakat tidak akan memanfaatkan atau mengunjunginya. Nilai eksistensi ini

sering juga disebut dengan intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya

alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam itu (Fauzi,

2002).

Bequest value atau nilai pewarisan artinya nilai yang diberikan oleh

generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan (bequest) sumberdaya untuk

generasi mendatang atau mereka yang belum lahir. Jadi bequest value diukur

berdasarkan keinginan membayar masyarakat untuk memelihara (to preserve)

sumberdaya alam dan lingkungan untuk generasi mendatang (Fauzi, 2002).

2.5 Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang telah dilakukan yang berhubungan dengan

kebijakan AMDAL dan valuasi ekonomi sebagai berikut:

Tabel 1 Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebijakan AMDAL dan valuasi ekonomi

Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Alshuwaikkat (2004)

Strategic Environment Assessment (SEA) sebagai Alternatif Pengelolaan Lingkungan Hidup di Negara Berkembang

- SEA dapat memunculkan dampak dari aktivitas skala kecil yang sesungguhnya dampaknya penting.

- SEA memunculkan dampak kumulatif dari beberapa proyek, mampu menjelaskan dampak potensial yang tidak diatur dalam undang-undang, serta dapat menunjukkan aktivitas proaktif yang terstruktur terhadap pengaruh kebijakan dan perencanaan

Purnama (2003) Public Involment in the Indonesia EIA Process, Perceptions, and Alternative

- EIA sama pada semua negara berkembang, khususnya pada peran masyarakat, keterbatasan panduan, dasar hukum yang

53

Lanjutan Tabel 1

Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian kurang memadai, perencanaan TOR kurang jelas, perbaikan hukum dan perencanaan yang menyeluruh.

Tiwi (2003) Evaluasi AMDAL dalam Menunjang Pengelolaan Pantai Terpadu di Teluk Banten

- Ketersediaan informasi lingkungan di Tk II dalam hal ini kawasan Teluk Banten untuk menyusun dan menilai laporan AMDAL maupun dari hasil pemantauan lingkungan adalah sangat terbatas, terutama informasi tentang biologi laut, informasi penting dalam pengelolaan pantai terpadu.

- Penelitian penunjang keberadaan informasi tersebut juga masih terbatas, kalaupun ada informasinya berada di instansi tingkat pusat.

- Pertukaran informasi lingkungan yang tersebar di beberapa instansi juga belum terjadi, sementara pemda sendiri belum dilengkapi dengan peraturan yang mendukung aksesibilitas mereka terhadap informasi lingkungan tentang daerahnya.

- Kapasitas Pemda Tk II pada kasus Teluk Banten masih membutuhkan suatu perbaikan dalam penyediaan informasi lingkungan baik untuk proses AMDAL maupun untuk pengelolaan terpadu kawasan pantainya.

Finnveden et al., (2002)

Metode Aplikasi SEA dalam Sektor Energi

- SEA yang berhubungan dengan pencemaran energi diusulkan antara lain: ecological impact assesment, envromentally estended input/output analysis,

54

Lanjutan Tabel 1

Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian multiple atribut analysis, environmental objective, dan risk assessment.

Azis (2006) Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir sebagai Alternatif Pengelolaan

- Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp. 1,24 milyar per tahun.

Santoso (2005) Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat,

- Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp.3,7 milyar per tahun.

Sofyan (2003) Pengkajian Nilai

Ekonomi Lingkungan Ekosistem Hutan Mangrove, di Desa Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat

- Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove yaitu Rp.2,8 milyar per tahun.

Supriyadi dan Wouthuyzen (2005)

Valuasi Ekonomi terhadap Ekosistim Mangrove di Teluk Kotania, Propinsi Maluku

- Nilai ekonomi total dari hutan mangrove di Teluk Kotania pada tahun 1999 adalah Rp.64,8 milyar atau Rp.60,9 juta per ha. Nilai ini masih terlalu rendah, karena masih banyak komponen lain pada hutan mangrove yang sulit untuk ditentukan baik fungsi maupun harga pasarnya.

- Keunikan mangrove di Teluk Kotania dimana mangrove, padang lamun dan terumbu karang hidup berdampingan secara harmonis.

- Khusus untuk kasus Teluk Kotania, valuasi ekonomi perlu dilalukan untuk ketiga ekosistim tersebut.

Haya et al., (2003)

Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang dengan Studi Kasus Penangkapan

- Kebijakan yang ada dalam menanggulangi penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde, tidak efektif dan efisien.

55

Lanjutan Tabel 1

Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Ikan Yang Merusak (sianida dan bom) di Kepulauan Spermonde, Propinsi Sulawesi Selatan

- Pembuatan produk hukum dan perundangan tidak didasarkan pada kepentingan publik dan kelestarian terumbu karang sehingga aktivitas tersebut terus berlangsung.

- Dengan menggunakan pendekatan AHP dalam kerangka manfaat dan biaya (B/C) diperoleh empat opsi kebijakan untuk menanggulangi kasus penggunaan sianida dan bom di Kepulauan Spermonde yaitu: pendidikan dan informasi lingkungan (0,275) diversifikasi usaha dan pengembangan mata pencaharian alternatif (0,273) koordinasi antar stakeholders (0,253) serta peraturan dan penegakkan hukum (0,199).

Rahmalia (2003) Analisis Tipologi dan Pengembangan Desa-Desa Pesisir Kota Bandar Lampung

- Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa para stakeholders cenderung lebih memilih industri sebagai prioritas utama dalam pengembangan dan pengelolaan desa-desa pesisir Kota Bandar Lampung yang dititik beratkan pada aspek ekonomi melalui kriteria utama peningkatan lapangan kerja dengan pelaku utama pemerintah diikuti swasta.

- Sektor industri sifatnya tidak sensitif terhadap perubahan preferensi dan untuk hasil analisis analisis tipologi sebagian besar desa pesisir tergolong tipologi II yaitu wilayah dengan tingkat perkembangan rendah atau kurang maju dibanding

56

Lanjutan Tabel 1

Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian kelurahan-kelurahan lain di Bandar Lampung.

- Adapun ciri-ciri dari tipologi II ini adalah: tingkat kesejahteraan penduduknya rendah ditandai dengan tingginya jumlah keluarga prasejahtera dan besarnya surat keterangan miskin yang dikeluarkan kantor desa. Walaupun demikian dijumpai beberapa pemukiman mewah sebagai rumah peristirahatan di lokasi ini.

- Aksesibilitas cukup tinggi tetapi tidak ditunjang oleh fasilitas kesehatan yang cukup.

PPLH UNRI (2004)

Aspek Sosial Ekonomi Budaya di PT.Pertamina Kilang Produksi UP II Dumai, Riau

- Ada beberapa dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar kilang seperti gangguan bau, debu dan kebisingan.

- Persepsi masyaralkat terhadap pertamina memperlihatkan kecenderungan makin positif, proporsi yang mempunyai hubungan akrab dengan karyawan mengalami peningkatan dari 23% (tahun 2000) menjadi 505 (tahun 2003 dan 2004) demikian pula halnya dengan buruh kontraktor (mitra kerja pertamina) pada umumnya positif, dengan proporsi 49% responden (tahun 2000) akrab dengan buruh kontraktor dan meningkat menjadi 75,5% (tahun 2003 dan 2004).

57

III. GAMBARAN UMUM KEGIATAN MIGAS DI INDONESIA

3.1 Sejarah Kegiatan Migas di Indonesia

Kegiatan pencarian minyak dan gas bumi di Indonesia telah berlangsung

sejak tahun 1871, hanya berselang dua belas tahun setelah minyak dunia pertama

di bor di Pennsylvania. Produksi komersil pertama minyak dan gas bumi di

Indonesia dimulai pada tahun 1885 dan pada pengujung abad 1800, minyak bumi

telah diproduksi di kilang-kilang Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur dan

Kalimantan.

Pada tahun 1912 Standard Oil of New Jersey masuk ke Indonesia dan

kemudian menggabungkan kepentingan mereka di timur jauh dengan Mobil Oil

untuk membentuk Stanvac. Pada tahun 1936 terjadi penggabungan saham Asia

dengan Texaco untuk membentuk Caltex. Dengan demikian tercatat lima

perusahaan minyak internasional di Indonesia pada tahun 1940an. Pada tahun

tersebut produksi minyak Indonesia berada pada tingkat kelima di dunia, namun

dua puluh lima tahun kemudian, turun menjadi peringkat kedua belas dunia,

sekalipun terdapat kenaikan produksi minyak secara signifikan.

Pada tahun 1961 lahirlah Undang-undang No. 44 tahun 1961 tentang

migas. Selain itu dibentuk pula 3 (tiga) perusahaan negara bidang migas yaitu PT.

Permina, PT. Permigan dan PT. Pertamin. Dari ketiga perusahaan negara tersebut

hanya Permina dan Pertamin saja yang mampu beroperasi dengan baik, sedangkan

Permigan dilikuidasi. Penggabungan selanjutnya dilakukan terhadap Permina dan

Pertamin menjadi Pertamina pada 20 Agustus 1968 melalui dekrit. Pada tahun

1962 selanjutnya ditandatangani 40 kontrak dengan pendapatan lebih kurang US$

6 juta. Pada awal penggabungan, Permina memiliki kapal sebanyak 55 unit kapal,

dengan tonase lebih dari 320.000 DWT. Pertamina terus meluaskan armadanya,

baik domestik maupun internasional. Data tahun 2007 Pertamina memiliki 36 unit

kapal yang terdiri dari tipe LR/MR/GP/Small/Lighter dengan tonase lebih kurang

770.000 DWT dan mengoperasikan lebih dari 100 unit kapal bukan milik, dengan

konsentrasi trading domestik untuk menjalankan misi pemerintah (PSO) dalam

menjamin keamanan supply BBM nasional. Meskipun dalam kurun waktu hampir

58

40 tahun terjadi peningkatan tonase kapal milik sebesar lebih dari 100%, namun

dengan jumlah ketersediaan cargo yang diangkut mencapai 28,359 juta LT (crude

oil) dan 47,174 juta LT (BBM) serta 805 ribu ton (non BBM) atau total 76,338

juta LT (2005).

Era kebangkitan kembali industri migas terjadi pada tahun 1970-an di

mana Indonesia kembali di barisan depan dalam pengembangan minyak dunia,

setelah Pertamina berhasil menemukan sumber-sumber minyak baru di berbagai

tempat di penjuru tanah air seperti di Jatibarang, Sumatera Utara, Kalimantan

Timur, yang diteruskan dengan melakukan pembangunan stasiun pengumpul

minyak dan prasarana lifting cargo, pengambil alihan Stanvac (Sungai Gerong)

oleh Pertamina dan pembangunan kilang minyak baru Dumai serta meningkatnya

jumlah penandatanganan kontrak bagi hasil (production sharing contract) dengan

IIAPCO, Total dan Union. Hal tersebut menunjukkan bahwa bisnis migas

Indonesia adalah bisnis internasional dan Pertamina telah memperoleh tempatnya

dalam masyarakat minyak dunia.

Pada 15 September 1971 disahkan dan diberlakukan undang-undang No.

08 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara

(Pertamina). Dengan undang-undang ini Pertamina memperoleh hak kuasa

pertambangan dengan batas-batas wilayah dan persyaratan yang ditetapkan oleh

Presiden se-panjang mengenai pertambangan minyak dan gas bumi (migas).

Melalui undang-undang ini Pertamina melakukan peningkatan pengusahaan migas

di seluruh wilayah Indonesia dan pengem-bangan usaha, baik yang terkait dengan

migas maupun yang bukan migas.

Pada tanggal 17 September 2003, Pertamina berubah menjadi sebuah

perseroan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang

migas. Kedudukan Pertamina sama dengan perusahaan lain yang wajib tunduk

dengan UU No. 01 tahun 1995 tentang perseroan terbatas, UU No. 19 tahun 2003

tentang BUMN dan ketentuan lain yang berlaku bagi perseroan pada umumnya.

Dari hasil produksi migas tahun 2006 dapat mencapai keuntungan sebesar US$ 3

miliar atau sekitar Rp. 24 triliun dan menjadi BUMN terbesar di Indonesia.

Berdasarkan data OPEC (2006), sekitar 77% (922 milyar barrel) minyak

dunia bersumber dari negara-negara anggota OPEC dan selebihnya sekitar 23%

59

(272 milyar barrel) bersumber dari negara-negara non OPEC. Indonesia

merupakan salah anggota OPEC yang memberikan sumbangan terhadap

pemenuhan kebutuhan minyak dunia, bersama Kuwait, Lybia, Nigeria, Venezuela,

Qatar, dan Anggola menyumbang sekitar 44% (405,68 milyar barrel), sementara

Saudi Arabia, Irak dan Iran menyumbang sekitar 56% (516,32 milyar barrel).

3.2 Potensi Minyak dan Gas Bumi Indonesia

Potensi cadangan minyak bumi dan kondensat Indonesia secara total pada

tahun 2006 yaitu 8.928,50 MMSTB (million million stock tank barrel), terdiri

atas: cadangan terbukti 4.558,20 MMSTB dan cadangan potensial 4.370,30

MMSTB. Cadangan tersebut mengalami penurunan, khususnya dalam kurun

waktu tujuh tahun terkahir, dengan cadangan minyak bumi dan kondesat pada

tahun 2001 tercatat secara total sebesar 9.753,40 MMSTB terdiri atas: cadangan

terbukti 5.094,60 MMSTB dan cadangan potensial 4.689,90 MMSTB. Data

tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan telah terjadi penuruan cadangan

minyak bumi dan kondensat sebesar 724,30 MMSTB atau sekitar 14,22%.

Cadangan minyak bumi dan kondensat tersebut tersebar pada 13 propinsi

yakni dengan cadangan terbesar terdapat di propinsi Riau dengan total potensi

yaitu 4.692,00 MMSTB. Sedangkan cadangan potensi terendah berada di propinsi

Sulawesi Selatan yaitu 23,39 MMSTB.

Tabel 2 Cadangan minyak bumi dan kondensat Indonesia tahun 2006 No. Propinsi Cadangan (MMSTB) 1 Nangroe Aceh Darussalam 114,29 2 Sumatera Utara 141,24 3 Riau 4,692,00 4 Sumatera Selatan 874,95 5 Kepulauan Riau 54,41 6 Jawa Barat 719,70 7 Jawa Timur 947,30 8 Sulawesi Selatan 23,39 9 Sulawesi Tengah 69.,07 10 Kalimantan Timur 985,48 11 Kalimantan Selatan 60,63 12 Maluku 97,89 13 Papua 148,94 Total 8.929,50

Sumber: Ditjen Migas, 2007 (MMSTB: million million stock tank barrel)

60

Cadangan gas bumi Indonesia secara total pada tahun 2006 yaitu sebesar

187,16 TSCF (triliun stock crude fuel) terdiri atas: cadangan gas terbukti 94,00

TSCF dan cadangan potensial 93,10 TSCF. Dalam kurun waktu tujuh tahun

terakhir kondisi cadangan gas bumi Indonesia meningkat sebesar 18,90 TSCF atau

naik sekitar 11,24% dari total cadangan gas bumi pada tahun 2001 yaitu 168,20

TSCF terdiri atas cadangan gas terbukti 92,10 TSCF dan cadangan potensial 76,10

TSCF. Cadangan gas bumi tersebut tersebar pada 14 propinsi yakni dengan

cadangan terbesar terdapat di Kepulauan Riau (Natuna) dengan total potensi yaitu

53,58 TSCF dan cadangan terendah berada di Propinsi Maluku yaitu 0,006 TSCF.

Tabel 3 Cadangan gas bumi Indonesia tahun 2006

No. Propinsi Cadangan (TSCF) 1 Nangroe Aceh Darussalam 4,57 2 Sumatera Utara 1,38 3 Riau 7,83 4 Sumatera Selatan 24,30 5 Kepulauan Riau 53,58 6 Jawa Barat 6,04 7 Jawa Timur 6,20 8 Salawesi Selatan 0,79 9 Sulawesi Tengah 3,92 10 Kalimantan Timur 42,40 11 Kalimantan Selatan 2,37 12 Maluku 0,006 13 Papua 24,47 14 Nusa Tenggara Timur 6,30

Total 184,16 Sumber: Ditjen Migas, 2007

3.3 Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia

Total produksi minyak bumi Indonesia tahun 2006 adalah sekitar 1 juta

barel per hari, terdiri atas produksi minyak 883 ribu barel per hari dan kondesat

yaitu 123 ribu barel per hari. Produksi minyak dalam kurun waktu tujuh tahun

terkahir, telah terjadi penurunan produksi minyak bumi sekitar 335 ribu barel per

hari atau sekitar 24,99% dibanding produksi pada tahun 2001 yaitu 1,3 juta barel

per hari, terdiri atas produksi minyak sebanyak 1,2 juta barel per hari dan

kondensat sebanyak 132 ribu barel per hari. Perkembangan produksi minyak bumi

Indonesia dalam kurun waktu 2001 hingga 2006.

61

Gambar 3 Perkembangan produksi minyak bumi Indonesia (Ditjen Migas, 2007)

Kondisi produksi gas bumi Indonesia berbeda dengan produksi minyak

bumi. Produksi gas bumi mengalami peningkatan dalam kurun waktu tujuh tahun

terkahir. Tercatat bahwa produksi gas bumi Indonesia pada tahun 2006 yaitu

sebesar 8.093,0 MMSCFD terdiri atas pemanfaatan 7.783,0 MMSCFD dan

dibakar 308,0 MMSCFD.

Produksi gas bumi Indoensia pada tahun 2001 yaitu hanya sebesar 7.690,0

MMSCFD terdiri atas pemanfaatan 7.188,0 MMSCFD dan dibakar 502,0

MMSCFD. Data produksi tersebut menunjukkan peningkatan produksi gas bumi

Indonesia sebesar 403,0 MMSCFD atau sekitar 5,24%. Perkembangan produksi

gas bumi Indonesia dalam kurun waktu tahun 2001 hingga 2006.

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

Rib

u Ba

rel P

erha

ri

Total 1,340.6 1,249.4 1,146.8 1,094.4 1,062.1 1,005.6

Minyak 1,208.7 1,117.6 1,013.0 965.8 934.8 883.0

Kondensat 131.9 131.8 133.8 128.6 127.3 122.6

2001 2002 2003 2004 2005 2006

62

Gambar 4 Perkembangan produksi gas bumi Indonesia (Ditjen Migas, 2007)

3.4 Kontribusi Minyak dan Gas Bumi

Peranan minyak dan gas bumi sangat penting antara lain: penghasil devisa

negara, penyedia energi dalam negeri, penyedia bahan baku industri, wahana alih

teknologi, pencipataan lapangan kerja, mendorong pengembangan sektor non

migas dan pendukung pengembangan wilayah. Meskipun kontribusi sektor

minyak dan gas bumi terhadap devisa dan APBN semakin menurun seiring

menurunnya produksi minyak, namun kontribusi tersebut masih signifikan

terhadap pendapatan negara. Sebagai sumber energi dalam negeri peran minyak

dan gas bumi dalam penerimaan negara/devisa (pajak dan bukan pajak) sekitar

30% dari penerimaan negara keseluruhan. Penerimaan minyak dan gas bumi

dipengaruhi antara lain: besarnya tingkat produksi minyak mentah dan kondesat,

volume ekspor LNG dan LPG, harga minyak mentah dari biaya produksi.

Penurunan produksi minyak terjadi disebabkan oleh sumur-sumur yang ada sudah

tua, teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan iklim investasi di sektor

pertambangan minyak kurang kondusif sehingga tidak banyak perusahaan asing

maupun nasional melakukan investasi di sektor perminyakan.

Disisi konsumsi terhadap produk minyak/bahan bakar minyak yang terus

mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan

0

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

8,000

9,000

MM

SCFD

Produksi 7,690 8,318 8,644 8,278 8,179 8,093

Pemanfaatan 7,188 7,890 8,237 7,909 7,885 7,785

Dibakar 502 428 407 369 294 308

2001 2002 2003 2004 2005 2006

63

ekonomi di Indonesia. Sejak tahun 2004, jika hasil produksi minyak Indonesia di

semua kilang dihitung, maka hasilnya tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan

dalam negeri. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mengalami defisit sebesar 49,3

ribu barel per hari. Namun demikian peranan minyak bumi tidak bisa diabaikan

(Dartanto, 2005).

Fluktuasi harga minyak dunia selain berpengaruh terhadap penerimaan

negara juga berpengaruh terhadap pengeluaran negara khususnya subsidi bahan

bakar dan bagi hasil sumberdaya alam kepada pemerintah daerah. Perhitungan

bagi hasil minyak dan gas antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan

mekanisme bagi hasil berdasarkan berbagai skema kontrak kerjasama (Dartanto

dan Khoirunurrofik, 2006).

Dengan demikian bahwa produksi minyak Indonesia bukan hanya milik

pemerintah semata, akan tetapi juga dibagi dengan kontraktor perusahaan minyak

asing (production sharing contract) yang beroperasi. Skema bagi hasil yaitu

sebesar 85% pemerintah dan 15% kontraktor. Pembagian 85%:15% tersebut

merupakan hasil produksi minyak bersih artinya nilai produksi dikurangi dengan

biaya ekploitasi, pajak, land-rent, dan royalti. Sehingga bagi hasil minyak mentah

antara pemerintah dan KPS umumnya menjadi 60% untuk pemerintah dan 40%

untuk kontraktor. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka minyak mentah yang

diterima pemerintah adalah sebesar 656.64 ribu barel per hari (60% x 1.094,4)

sedangkan KPS menerima 437.76 ribu barel per hari (40% x 1.094,4). Bagian

minyak KPS diekspor keluar negeri dan semua hasilnya merupakan milik KPS.

Selanjutnya berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan

daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan

daerah, maka hasil minyak yang diperoleh pemerintah pusat harus dibagi dengan

daerah penghasil dengan proporsi 85% dan 15%. Pada pasal 14 UU No. 33 tahun

2004 bagi hasil sumberdaya alam khususnya minyak dan gas bumi dijabarkan

sebagai berikut: a) penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari

wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan

pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan

imbangan 84,50% untuk pemerintah dan 15,50% untuk daerah, b) penerimaan

pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan

64

setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 69,50% untuk pemerintah dan

30,50% untuk daerah, c) pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah

daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak

(PNBP), dibagi dengan perimbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk

daerah (Dartanto dan Khoirunurrofik, 2006).

Berdasarkan pasal 19 ayat 2 UU No. 33 tahun 2004, 15,5% bagian

pemerintah daerah yang disebutkan pada pasal 14 huruf e angka dibagi dengan

rincian lebih kurang sebagai berikut: 3% untuk pemerintah propinsi, 6% untuk

kabupaten/kotamadya penghasil, 6% untuk kabupaten/kotamadya lain di dalam

satu propinsi. Penerimaan pemerintah pusat dari sumberdaya alam minyak bumi

dan gas alam yang akan dibagihasilkan ke daerah adalah bagian pemerintah dari

hasil produksi minyak bumi dan gas alam yang sudah dikurangi pajak dan

pungutan lainnya. Pola bagi hasil antara pemerintah dengan korporasi yakni: 1)

pola bagi hasil produksi antara kontraktor (production sharing contractor dan

joint operation body) dan pemerintah diatur berdasarkan NOI (net operating

income), pada dasarnya NOI merupakan lifting (hasil produksi minyak bumi/gas

alam yang dijual) setelah dikurangi biaya eksplorasi.

Bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor ini baru dilakukan setelah

biaya eksplorasi tertutupi. Jika pemerintah tidak mendapatkan penerimaan dari

sumberdaya alam ini pada awal periode kontraktor berproduksi. Kebijakan ini

diterapkan karena resiko kerugian (eksplorasi) ditanggung sepenuhnya oleh

perusahaan/kontraktor yang terlibat. Ketentuan bagi hasil antara kontraktor dan

pemerintah ini disebut sebagai equity share (entitlement) dan 2) equity share

(entitlement) pada dasarnya belum mengeluarkan komponen pajak pusat (masih

ada pajak perseroan dan pajak dividen di dalamnya). Bagian pemerintah dari

kontraktor yang telah dikurangi komponen pajak dan pungutan inilah yang akan

dibagihasilkan ke daerah.

Besarnya penerimaan pemerintah yang akan dibagihasilkan ke daerah

dipengaruhi oleh: 1) proses produksi (eksploitasi) yang terdiri dari primary

recovery, secondary recovery dan third recovery, 2) pola bagi hasil atau equity

65

share (entitlement) yang tentunya tergantung dari jenis production sharing dan 3)

rejim pajak yang berlaku (Dartanto dan Khoirunurrofik, 2006).

Mengingat kontribusi yang besar terhadap devisa negara, maka upaya-

upaya pengembangan akan tetap dilakukan. Upaya tersebut diimplementasikan

dengan meningkatkan cadangan dan produksi migas serta mengembangkan

lapangan marginal dan optimalisasi penerapan teknologi echanges oil recovery

(EOR), serta insentif untuk daerah remote, laut dalam, lapangan marginal dan

brown field.

Pengembangan lapangan marginal, daerah remote dan laut dalam,

merupakan sasaran pengembangan kedepan. Dengan demikian pengaruh limbah

dan eksternalitas negatif yang dapat muncul dari kegiatan usaha migas, menjadi

kecil. Pengembangan tersebut dilakukan dengan program produksi bersih, zero

discharge, penggunaan bahan dasar non toxic, serta desain peralatan pengolahan

limbah.

3.5 Permasalahan dalam Kegiatan Migas

Kegiatan usaha migas tidak hanya memberikan keuntungan dari sisi

ekonomi dan pendapatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai

permasalahan-permasalahan yang umumnya dihadapi seperti: perijinan usaha,

konflik pemanfaatan ruang, konflik sosial dengan masyarakat lokal, permasalahan

lingkungan akibat limbah dan ekses dari aktivitas yang dilakukan serta

permasalahan kesehatan masyarakat disekitar lokasi kegiatan.

Permasalahan perijinan merupakan permasalahan klasik yang umum

dihadapi oleh investor (pemrakarsa) dalam rencana pelaksanaan kegiatannya.

Permasalahan ini merupakan permasalahan administratif birokrasi yang dihadapi

oleh hampir semua proses perijinan di Indonesia. Permasalahan perijinan

seringkali menjadi batu sandungan pertama ayang dihadapi oleh para investor.

Sehingga tidak sedikit biaya dan waktu yang dibutuhkan oleh investor dalam

proses perijinan suatu kegiatan.

Permasalahan pemanfaatan ruang seringkali muncul menjadi konflik

sektoral pada suatu kegiatan usaha migas. Kegiatan migas yang sekitar 70%

berada di daerah on shore dan 30% di daerah off shore berpotensi memunculkan

konflik ruang dengan berbagai aktivitas pembangunan lainnya seperti

66

perhubungan laut, untuk alur laut Kepulauan Indonesia. Konflik sektoral dengan

Departemen Kehutanan tentang cagar alam, kawasan lindung dan kawasan

konservasi. Konflik dengan Departemen Pariwisata tentang taman wisata alam

dan cagar budaya. Konflik dengan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk

areal pertambakan dan kawasan nelayan. Konflik dengan Departemen Perumahan

Rakyat untuk areal pemukiman penduduk.

Konflik sosial antara KPS dengan masyarakat lokal, juga sering menjadi

permasalahan dalam kegiatan usaha migas. Seringkali, masyarakat sulit untuk

menerima keberadaan kegiatan migas di suatu lokasi, disebabkan minimnya

umpan balik dari kegiatan tersebut terhadap masyarakat. Kondisi ini, tidak

terlepas dari kenyataan bahwa kegiatan usaha migas merupakan kegiatan dengan

teknologi tinggi (high tech) dan sifat bukan kegiatan padat karya. Sehingga

penyerapan tenaga kerja lokal, sangat sulit terakomodir dalam pelaksanaan

kegiatan. Kenyataan lainnya sumberdaya manusia yang berada di sekitar lokasi

kegiatan migas juga tidak memenuhi kualifikasi pekerjaan yang dilakukan,

sehingga alternatif umpan balik dari pelaksanaan kegiatan usaha tersebut,

umumnya dilakukan dalam bentuk community development. Kasus yang terjadi di

Kecamatan Ujung Pangkah Gresik, dimana kegiatan usaha migas oleh HESS sulit

sekali diterima oleh masyarakat dan membutuhkan waktu 3-4 tahun dalam proses

negosiasi pelaksanaannya. Kasus lainnya terjadi pada PT. CPI Riau yang

masyarakat lokalnya meminta kepada perusahaan agar penyerapan tenaga kerja

lokal dapat ditingkatkan sementara di sisi lain kegiatan tersebut tidak memerlukan

tenaga kerja dengan kualifikasi yang dimaksud, sehingga konflik sosial seperti

dalam bentuk demonstrasi seringkali terjadi.

Permasalahan krusial lainnya yang umumnya terjadi pada kegiatan usaha

migas adalah pengelolaan limbah dan ekses negatif dari kegiatan usaha yang

dilakukan. Permasalahan ini terklasifikasi dalam kelompok permasalahan

lingkungan. Isu lingkungan hidup dalam dua dekade terakhir menjadi isu global

dan permasalahan bersama. Permasalahan lingkungan yang dihadapi pada

hakikatnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah ini timbul karena perubahan

lingkungan yang mengakibatkan lingkungan tersebut tidak atau kurang sesuai

67

dengan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia akibatnya

adalah terganggunya kesejahteraan umat manusia.

Kegiatan usaha migas berpotensi menimbulkan dampak dan efek terhadap

lingkungan seperti dari limbah hasil proses produksi yang dihasilkan seperti:

emisi SO2, NOx, hidrogen sulfida, HCs, bensen, CO, CO2, gas metan, kandungan

organik berbahaya, kaustik, tumpahan minyak, fenol, kalium, efluen gas, serta

efluen lumpur. Bahan dan gas tersebut dapat menyebabkan pemanasan global

secara makro dan degradasi sumberdaya serta kerusakan lingkungan hidup secara

mikro serta berdampak terhadap kesehatan manusia. Bahan dan gas-gas tersebut

tidak hanya menimbukan pemanasan global, tetapi juga menyebabkan kenaikan

muka air laut (sea level rise) sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan bumi,

yang disebabkan oleh efek rumah kaca (green house effect) dan penipisan lapisan

ozon. Selain itu juga dapat menimbulkan terjadinya hujan asam, dan dampaknya

menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian organisme hidup.

Tabel 4 Kegiatan usaha migas yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan yang diwajibkan menyusun AMDAL keputusan menteri negara lingkungan hidup No.17 tahun 2001

No Kegiatan Migas Limbah yang dihasilkan Potensi Dampak

1. Kegiatan hulu/produksi

- Air terproduksi

- Sludge minyak

- Gas emisi

- Tumpahan minyak

- Kebocoran pipa dan kapal

- Penurunan kualitas air, tanah, air tanah dan udara

2. Kegiatan hilir/pengolahan

- Sludge minyak

- Limbah cair

- Limbah padat

- Tumpahan minyak

- Penurunan kualitas air, tanah, air tanah dan udara

3. Niaga/pemasaran

- Tumpahan minyak

- Kebocoran pipa

- Kebocoran kapal

- Penurunan kualitas air

68

Pelaksanaan kegiatan migas terdiri dari empat tahapan baik di darat

maupun di laut yakni: 1) Tahap pra konstruksi, pada tahap pra-konstruksi akan

dilakukan beberapa kegiatan, yakni perizinan dan pembebasan lahan. 2) Tahap

konstruksi untuk kegiatan di darat terdiri atas: pembuatan mobilisasi dan

demobilisasi tapak sumur pemboran serta mobilisasi peralatan dan material,

mobilisasi tenaga kerja, pemasangan pipa penyalur minyak dan gas: mobilisasi

peralatan dan material, mobilisasi tenaga kerja, pembangunan fasilitas produksi

pemrosesan produksi stasiun pengumpul minyak dan gas dan fasilitas penunjang

dan penyerapan tenaga kerja, sedangkan untuk kegiatan di laut terdiri atas:

mobilisasi tenaga kerja di laut untuk pemasangan anjungan tapak sumur (wellhead

platform/WHP), pembangunan compression and processing platform/CPP,

pembangunan pipa penyalur dan uji hidrostatis. 3) Tahap operasi terdiri atas:

produksi, pengoperasian pipa penyalur (dasar laut dan darat), pemisahan minyak

dan gas serta pengolahan minyak dan gas. 4) Tahap pasca operasi.

69

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai September 2007.

Penelitian dilakukan pada tujuh lokasi kegiatan usaha migas, yakni: 1) Pertamina

Plaju Palembang, 2) PT. CPI Duri Riau, 3) Suryaraya Teladan Muara Enim, 4)

Lapindo Berantas Sidoarjo, 5) Expan Toili Morowali, 6) BP Tangguh Sorong dan

7) Hess Pangkah Gresik. Kegiatan review kebijakan AMDAL migas, analisis

kualitas dokumen AMDAL migas dan analisis kinerja lingkungan implementasi

AMDAL migas dilakukan pada tujuh KKKS tersebut. Kegiatan analisis

kebutuhan stakeholders dan focus group discussion dilakukan di Jakarta.

Sementara kegiatan analisis ekonomi lingkungan dilakukan pada dua lokasi

kegiatan migas yakni: Hess di Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Jawa

Timur dan PT. CPI di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Riau.

Kedua lokasi yang dipilih sebagai penggambaran dari kegiatan usaha

migas yang ada di Indonesia. KKKS Hess Pangkah merupakan corparate yang

baru memulai melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sehingga dapat

menjadi sampel yang mewakili corparate yang baru memulai suatu kegiatan

usaha. PT. CPI Riau merupakan corparate yang telah lama melakukan kegiatan

eksplorasi, eksploitasi dan juga penghasil minyak terbesar di Indonesia.

Kabupaten Gresik mempunyai posisi yang strategis dan secara geografis

terletak pada 70 LS – 80 LS dan 1120 BT – 1130 BT. Sebagian besar wilayahnya

merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-12 meter di atas permukaan

laut. Kabupaten Gresik secara administratif berbatasan dengan Laut Jawa di

sebelah utara, Selat Madura di sebalah timur, Kabupaten Sidoarjo di sebelah

selatan dan Kabupaten Lamongan di sebelah barat.

Kabupaten Bengkalis memiliki luas wilayah 11.481,77 km2 yang meliputi

pesisir timur pulau Sumatera dan daerah kepulauan. Kabupaten Bengkalis secara

geografis terletak pada 00 170 LU – 20 300 LU dan 00 520 BT – 10 200 BT. Secara

administratif berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, Kabupaten Siak di

sebelah selatan, Kota Dumai di sebelah barat dan Kepulauan Riau di sebelah

timur.

70

4.2 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah

kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas terdiri atas lima tahapan,

sebagai berikut:

Tahap pertama: melakukan review kebijakan AMDAL saat ini dengan

menggunakan metode studi literatur dengan pendekatan analisis deskriptif. Tahap

ini dimaksudkan untuk mereview kebijakan AMDAL yakni terhadap PP No. 29

tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993 dan PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL,

Permen LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL dan

Permen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis kegiatan yang wajib AMDAL,

Kepmen ESDM No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan

lingkungan di bidang pertambangan dan energi, keputusan Kepdal No. 229 tahun

1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan AMDAL dan

keputusan Kepdal No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan

keterbukaan informasi dalam proses AMDAL. Selanjutnya melakukan analisis

kualitas dokumen AMDAL migas. Melakukan penilaian kinerja lingkungan

sebagai implementasi AMDAL pada tujuh perusahaan yakni: PT.CPI Lapangan

Duri, Pertamina UP III Plaju, PT.Lapindo Brantas, Suryaraya Teladan Pendopo,

BP Tangguh, Expan Toili dan Hess Pangkah. Metode studi yang digunakan yakni:

studi literatur dengan pendekatan analisis deskriptif dan studi lapangan (survei)

untuk analisis ekonomi lingkungan dengan pendekatan total economic valuation.

Kemudian melakukan analisis kebutuhan stakeholders.

Tahap kedua: menentukan komponen utama pengembangan kebijakan

AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan. Tahapan ini dilakukan

dengan mengidentifikasi komponen-komponen penting dari hasil review

kebijakan, analisis kualitas dokumen, analisis kinerja lingkungan serta analisis

kebutuhan stakeholders. Tahapan ini dilakukan dengan pendekatan principle

component analysis (PCA).

Tahap ketiga: menyusun strategi pengembangan kebijakan AMDAL

migas. Tahapan ini didasarkan pada hasil penentuan komponen utama kebijakan

AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan. Pendekatan focus group

discussion digunakan dalam penyusunan strategi.

71

Tahap keempat: melakukan penentuan prioritas strategi pengembangan

kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan. Pendekatan

analytical hierarchy process digunakan dalam penentuan prioritas strategi.

Tahap kelima: merumuskan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan

efisien dalam mencegah kerusukan lingkungan. Tahapan ini dilakukan dengan

pendekatan focus group discussion.

Gambar 5 Tahapan penelitian

4.3 Jenis dan Sumber Data

Data sekunder yang dibutuhkan yakni: perundang-undangan dan peraturan

tentang AMDAL, luas kawasan, pertambakan, perkebunan dan hutan, jumlah

penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan kesehatan, PDRB dan data

hasil pemantauan kegiatan usaha migas. Data sekunder dikumpulkan melalui studi

pustaka bersumber dari Ditjen Migas, KLH, Departemen Kehutanan, Departemen

Kelautan dan Perikanan, KKKS, Bappeda, Bapedal, BPS dan instansi terkait

lainnya. Data primer yang diperlukan yakni: pendapat tentang pelaksanaan

AMDAL dan data sosial ekonomi masyarakat seperti: jenis mata pencaharian,

biaya produksi, jumlah produksi, jumlah tenaga kerja, modal, pendapatan,

pendidikan, jumlah anggota keluarga dan data yang terkait dengan kajian sosial-

AD

Review Kebijakan

AMDAL saat ini

Tahap-2 Kualitas

Dokumen AMDAL saat ini

Penilaian Kinerja

Lingkungan sebagai

Implementasi AMDAL

Kebutuhan Stakeholders

Komponen Utama

Kebijakan AMDAL Migas

Strategi Pengembangan

Kebijakan AMDAL Migas

Prioritas Strategi

Kebijakan AMDAL Migas

Rumusan Kebijakan

AMDAL Migas yang Efektif dan

Efisien dalam Mencegah Kerusakan

Lingkungan

Tahap-1

Tahap-4

Tahap-3

Tahap-5

72

ekonomi masyarakat di sekitar perusahaan. Data primer dikumpulkan melalui

wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden.

4.4 Rancangan Penelitian

4.4.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data terdiri atas studi pustaka dan survei.

Pengumpulan data untuk review kebijakan AMDAL, dilakukan dengan metode

studi literatur. Jenis data sekunder yang dikumpulkan terdiri atas: PP No. 29 tahun

1986, PP No. 51 tahun 1993 dan PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL serta

peraturan menteri negara LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan

AMDAL dan peraturan menteri LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana

usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi amdal serta keputusan menteri

esdm No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan di

bidang pertambangan dan energi. Keputusan kepala badan pengendalian dampak

lingkungan No. 299 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial dalam

penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan dan keputusan kepala badan

pengendalian dampak lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan

masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses analisis mengenai dampak

lingkungan hidup.

Pengumpulan data untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan stakeholders

pada kebijakan AMDAL dalam upaya pengembangan ke arah yang lebih efektif

dan efisien di masa datang dilakukan dengan interview dan pengisian kuesioner

oleh stakeholders yang terdiri atas keterwakilan instansi/lembaga masing-masing

oleh satu orang. Stakeholders terdiri atas Direktorat Jenderal Minyak dan Gas

Departemen ESDM, BP Migas, KLH, Pemerintah Daerah, Pemrakarsa, Perguruan

Tinggi, dan LSM.

Penentuan nilai ekonomi lingkungan dilakukan dengan metode survei

dengan pendekatan pengisian kuesioner. Penentuan responden untuk analisis nilai

ekonomi lingkungan dilakukan pada 2 lokasi sampling yakni Kecamatan Ujung

Pangkah sebanyak 115 responden terdiri atas: 43 orang nelayan, 37 orang petani

tambak, dan 35 orang pemanfaat hutan mangrove. Jumlah responden Kecamatan

Mandau sebanyak 95 responden terdiri atas: 30 orang nelayan, 32 orang petani

73

kebun, dan 33 orang pemanfaat hutan. Penentuan responden dilakukan dengan

metode purposive sampling yang merupakan masyarakat pemanfaat sumberdaya

alam dan lingkungan.

Perumusan strategi implementasi kebijakan AMDAL yang efektif dan

efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas

dilakukan dengan pendekatan FGD. Kegiatan ini untuk menerima masukan dari

stakeholders tentang langkah-langkah strategis kebijakan AMDAL di masa

datang. Penentuan peserta diskusi dilakukan dengan memilih stakeholders kunci

yang merupakan keterwakilan dari masing-masing stakeholders yang terdiri atas:

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Departemen ESDM, BP Migas, Pertamina,

KLH, Pemerintah Daerah, Pemrakarsa, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian

dan LSM.

4.4.2 Metode Analisis Data

4.4.2.1 Analisis Komponen Utama

Analisis komponen utama/principle component analysis (PCA) dilakukan

untuk menjawab faktor-faktor yang utama berpengaruh terhadap kebijakan

AMDAL dengan melihat korelasi antara variabel yang signifikan. Tujuan PCA

adalah untuk melihat korelasi antara variabel dan melihat similarity antar individu

(Bengen, 2002). Analisis PCA dalam penelitian ini menggunakan software

statistic 6.0 dengan tahapan sebagai berikut:

1. Membuat simbol variabel.

2. Menyusun struktur data asal (kualitatif) kedalam data kuantitatif.

3. Menginput data kuantitatif ke dalam software statistic 6.0..

4. Menentukan jumlah faktor utama berdasarkan eigenvalues tertinggi.

5. Menyederhanakan variabel berdasarkan tingkat korelasi (α=0,05), dan tingkat

kontribusi tertinggi dari masing-masing variabel terhadap faktor utama.

6. Menyimpulkan hasil analisis komponen utama.

Hasil review kebijakan, review kualitas dokumen, review kinerja

lingkungan dan analisis kebutuhan stakeholders selanjutnya dianalisis dengan

pendekatan principle component analysis dengan menggunakan perangkat lunak

statistic 6.0.

74

4.4.2.2 Analytical Hierarchy Process

Analytical hierarchy process (AHP) merupakan metode analisis yang

dapat digunakan secara luwes yang memungkinkan pengambilan keputusan

dengan mengkombinasikan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis

sehingga dapat ditentukan skala prioritas dalam pengambilan keputusan (Ma’arif

dan Tanjung, 2003). Beberapa tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan tujuan berdasarkan hasil identifikasi permasalahan.

2. Menyusun struktur hirarki strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas.

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh

relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang

setingkat di atasnya. Perbandingan berdasarkan “judgement” dari pengambil

keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan

dengan elemen lainnya. Pembobotan penilaian menggunakan skala Saaty

(1993) seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Skala banding secara berpasangan dalam AHP

Tingkat Kepentingan Keterangan

1 3 5 7 9

2,4,6,8 Kebalikan

Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i

Sumber: Saaty (1993)

4. Menyusun data yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner AHP.

5. Menginput data kedalam software expert choice.

6. Menyimpulkan hasil analisis hirarki proses.

4.4.2.3 Focus Group Discussion

Focus group discussion (FGD) merupakan teknik penggalian informasi

secara luas yang dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari stakeholder

secara bersamaan dalam satu kelompok diskusi, dan setiap kegiatan akan

75

menggali informasi yang lebih fokus ke topik-topik tertentu yang paling penting

untuk dianalisa (Eriyatno dan Sofyar, 2005). Dalam penelitian ini FGD

dimaksudkan sebagai teknik untuk merumuskan strategi implementasi kebijakan

AMDAL yang efektif dan efisien. Menurut Whelan (1996) bahwa FGD sudah

menjadi prosedur riset yang dapat diandalkan guna mengkaji perihal yang

kompleks dan dinamik tanpa harus melakukan reduksi faktor.

Pelaksanaan focus group discussion (FGD) dilakukan dengan tahapan

sebagai berikut:

1). Presentasi tentang topik dan tujuan dari pelaksanaan FGD. Moderator

menyampaikan tujuan dan topik disdukusi kepada peserta. Disukusi dilakukan

dalam 2 sesi yakni :. Sesi-1 adalah menyusun strategi implementasi kebijakan

AMDAL migas serta menyusun tahapan strategi implementasi kebijakan

AMDAL migas. Sesi-2 adalah merumuskan pengembangan kebijakan

AMDAL migas yang efektif dan efisien

2). Diskusi merupakan tahapan inti pelaksanaan FGD. Pada tahap ini masing-

masing peserta diminta untuk menyampaikan tanggapan, pendapat dan

rumusan tentang topik yang didiskusikan. Tahapan ini menjadi penting

sebagai wahana sharing pendapat dan tanggapan atas apa yang telah

disampaikan, untuk selanjutnya didiskusikan secara mendalam dan

merumuskan hasil bersama sebagai sebuah kesimpulan.

3). Perumusan hasil yang telah didiskusikan selanjutnya disampaikan secara detil

dan terstruktur kepada peserta.

4.4.2.4 Analisis Nilai Ekonomi Total

Pada dasarnya nilai ekonomi suatu sumberdaya secara garis besar dibagi

menjadi dua, yaitu nilai manfaat (use value) dan nilai bukan manfaat (non use

value). Nilai manfaat terbagi menjadi dua, yaitu: nilai manfaat langsung (direct

use value) dan nilai manfaat tidak langsung (indirect use value). Sedangkan nilai

bukan manfaat dibagi menjadi tiga, meliputi: nilai pilihan (option value), nilai

keberadaan (existence value), dan nilai pewarisan (bequest value).

76

1. Nilai Manfaat Langsung

Nilai manfaat langsung adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan

secara langsung dari suatu sumberdaya. Nilai manfaat langsung yang dihitung

merupakan nilai dari jenis manfaat langsung yang telah termanfaatkan oleh

masyarakat sekitar dan mempunyai nilai ekonomis. Sebagai contoh pada hutan

yang ada di lokasi penelitian, nilai manfaat langsung yang dapat diidentifikasi

antara lain: pemanfaatan kayu bakar, penangkapan satwa di sekitar hutan dan

pemanfaatan langsung lainnya. Nilai manfaat langsung dari hutan tersebut dapat

dirumuskan sebagai berikut :

∑= niNMLNML

1 Keterangan :

NML : Nilai Manfaat Langsung NML1 : Nilai Manfaat Langsung (kayu bakar) NML2 : Nilai Manfaat Langsung (penangkapan satwa) NMLn : Nilai Manfaat Langsung lainnya

2. Nilai Manfaat Tidak Langsung

Nilai manfaat tidak langsung adalah nilai manfaat dari suatu sumberdaya

yang dapat dimanfaatkan secara tidak langsung oleh masyarakat. Sebagai contoh,

manfaat tidak langsung dari hutan mangrove dapat berupa manfaat fisik yaitu

sebagai penahan abrasi air laut dan juga manfaat biologis yaitu sebagai tempat

pemijahan ikan, daerah asuhan ikan dan sebagai tempat penyedia makanan bagi

ikan.

Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai dapat

didekati dengan pembuatan beton pantai yang setara dengan fungsi hutan

mangrove sebagai penahan abrasi pantai. Metode yang digunakan untuk

mengukur nilai tersebut adalah replacement cost atau biaya pengganti. Biaya dari

pembuatan beton tersebut sebagai biaya pengganti akibat dampak lingkungan,

dapat digunakan sebagai perkiraan minimum dari manfaat yang diperoleh untuk

memelihara maupun memperbaiki lingkungan.

Estimasi manfaat hutan mangrove sebagai nursery ground, spawning

ground dan feeding ground bagi biota perairan didekati dari hasil tangkapan

nelayan untuk ikan di wilayah perairan laut sekitarnya. Menurut Adrianto (2005),

77

teknik pengukuran untuk menilai manfaat tersebut adalah pendekatan

produktivitas (productivity approach), karena ekosistem mangrove memiliki

fungsi sebagai tempat pembesaran ikan (nursery ground) sehingga luas ekosistem

menjadi input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir

bagi masyarakat. Nilai total dari manfaat tidak langsung dapat dirumuskan sebagai

berikut:

∑= 2

1NMTLiNTML

Keterangan:

NTML : Nilai Total Manfaat Tidak Langsung NMTL1 : Nilai Total Manfaat Tidak Langsung (penahan abrasi) NMTL2 : Nilai Total Manfaat Tidak Langsung (nursery ground)

3. Nilai Manfaat Pilihan

Manfaat pilihan umumnya didekati dengan menggunakan metode benefit

transfer yaitu dengan cara menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana

sumberdaya tersedia) kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh

perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan (Fauzi, 1999). Metode

tersebut didekati dengan cara menghitung besarnya nilai keanekaragaman hayati

(biodiversity) yang ada di ekosistem mangrove tersebut. Menurut Ruitenbeek

(1991) hutan mangrove Indonesia mempunyai nilai biodiversity sebesar US$15

per ha. Nilai ini dapat dipakai di seluruh hutan mangrove yang ada di Indonesia

apabila ekosistem hutan mangrovenya secara ekologis penting dan tetap dipelihara

secara alami. Nilai manfaat pilihan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:

MP : Manfaat Pilihan (US$15 per ha x Kurs Rupiah pada saat penelitian)

4. Nilai Manfaat Keberadaan

Manfaat keberadaan didefinisikan sebagai nilai yang dirasakan masyarakat

dari keberadaan sumberdaya. Metode yang digunakan dalam perhitungan ini

adalah contingent valuation method (CVM). Metode CVM ini didasarkan pada

MP = US$15 per ha x Luas hutan mangrove

78

kesediaan seseorang untuk membayar (willingness to pay) keberadaan sebuah

sumberdaya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan interview

kepada masyarakat/ responden. Pemilihan responden dilakukan secara purposive

sampling berdasarkan karakteristik masyarakat sekitar sumberdaya tersebut.

Menurut Fauzi (2004), pada metode pengukuran dengan teknik ini,

responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan ya atau tidak.

Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahapan

kegiatan atau proses. Tahapan tersebut sebagai berikut:

1) Membuat hipotesis pasar.

2) Mendapatkan nilai lelang (bids).

3) Menghitung rataan WTP.

Metode yang digunakan untuk mengukur besarnya WTP setiap responden,

yaitu model discrete choice. Menurut Adrianto (2005) rumus untuk rataan WTP

adalah sebagai berikut:

∑=

=n

iiy

nMWTP

1

1

Keterangan :

n : jumlah responden yi : besaran WTP yang diberikan responden ke-i

4) Memperkirakan kurva lelang (bid curve).

5) Mengagregatkan data: Mengagregasikan nilai rataan WTP terhadap populasi

masyarakat pengguna hutan mangrove (Grigalunas dan Conges, 1995).

5. Kuantifikasi Manfaat Total

Nilai ekonomi total/total economic value (TEV) merupakan penjumlahan

dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi, yaitu:

TEV = NML + NMTL + NMP + NMK

Keterangan:

TEV : Total Economic Value NML : Nilai Manfaat Langsung NMTL : Nilai Manfaat Tidak Langsung NMP : Nilai Manfaat Pilihan NMK : Nilai Manfaat Keberadaan

79

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kebijakan AMDAL

Kebijakan AMDAL selama ini diatur dalam peraturan pemerintah yakni:

PP No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993, PP No. 27 tahun 1999 tentang

AMDAL, serta dalam peraturan menteri yakni: Permen LH No. 08 tahun 2006

tentang pedoman penyusunan AMDAL dan Permen LH No. 11 tahun 2006

tentang jenis kegiatan yang wajib AMDAL. Kebijakan AMDAL diatur pula dalam

bentuk keputusan menteri ESDM No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis

pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi. Selanjutnya dalam

bentuk keputusan kepala Bapedal No. 299 tahun 1996 tentang kajian aspek sosial

ekonomi dalam penyusunan AMDAL, keputusan kepala Bapedal No. 08 tahun

2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses

AMDAL.

Kebijakan-kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif yang

berkekuatan hukum dalam mencegah terjadinya kerusakan fungsi lingkungan

hidup. Kebijakan-kebijakan tersebut baik dalam bentuk peraturan pemerintah,

keputusan menteri serta keputusan kepala Bapedal, diharapkan manpu menjamin

keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjaga fungsi-fungsi lingkungan

dengan baik melalui upaya pencegahan dampak terhadap lingkungan serta

penegakan hukum. Dengan demikian sasaran pengelolaan lingkungan dapat

terwujud yakni terpenuhinya devisa negara, lingkungan hidup lestari dan

kesejahteraan masyarakat meningkat.

5.1.1 Peraturan Pemerintah tentang AMDAL

Kebijakan pengelolaan lingkungan pada suatu usaha dan atau kegiatan

baik oleh perseorangan maupun badan hukum diatur dalam peraturan pemerintah.

Untuk kebijakan AMDAL, telah dilakukan penerapan kebijakan pengelolaan

lingkungan dengan menerbitkan peraturan pemerintah No. 29 tahun 1986,

kemudian direvisi menjadi PP No. 51 tahun 1993 dan terakhir PP No. 27 tahun

1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan.

80

Tabel 6 Review kebijakan AMDAL dengan substansi penentuan dampak penting

PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 Dampak penting adalah perubahan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan

Dampak penting adalah perubahan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan

Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu dan atau kegiatan

Kategori dampak dalam PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993

tidak disebutkan adanya dampak besar tetapi hanya mengkategorikan dampak

penting. Hal ini berbeda dengan kategori dampak dalam PP No. 27 tahun 1999

disebutkan bahwa dampak dari rencana suatu usaha dan atau kegiatan

dikategorikan menjadi dua yakni dampak besar dan penting. Namun

sesungguhnya kategori dampak besar tersebut merupakan satu kesatuan dalam

kategori dampak besar dan penting dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan.

Dalam PP No. 27 tahun 1999 dampak besar dan penting adalah perubahan

lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan

atau kegiatan. Selanjutnya bahwa kriteria dampak besar dan penting suatu usaha

dan atau kegiatan terhadap lingkungan hidup yakni: a) jumlah manusia yang

terkena dampak, b) luas wilayah penyebaran dampak, c) intensitas dan lamanya

dampak berlangsung, d) banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena

dampak, e) sifat kumulatif dampak dan f) berbalik (reversible) atau tidak

berbaliknya (irreversible) dampak.

Pembagian ketagori penentuan dampak berdasarkan dampak besar dan

dampak penting menjadi salah satu kelemahan PP No. 27 tahun 1999 dalam

kaitannya dengan penentuan dampak penting dari suatu kegiatan usaha migas.

Besaran dampak yang dikategorikan dapat menimbulkan dampak dari sisi besaran

dampak adalah untuk kegiatan eksploitasi minyak di darat > 5000 BOPD (barrel

oil per day), untuk eksploitasi gas > 30 MMSCFD (million million stock crude

feet per day). Sebagaimana yang ditetapkan dalam Kepmen No. 11 tahun 2006

tentang kegiatan yang wajib AMDAL bahwa penentuan besaran minimal tersebut

menjadi dasar penentapan suatu kegiatan usaha migas wajib AMDAL atau tidak.

Sehingga peluang terjadinya dampak terhadap lingkungan, sangat memungkinkan

81

dengan tidak diwajibkan studi AMDAL bagi suatu kegiatan usaha yang tingkat

produksinya di bawah ketentuan yang telah ditetapkan. Seharusnya, penentuan

dampak penting dan wajib tidaknya suatu kegiatan usaha untuk melakukan studi

AMDAL tidaklah didasarkan pada besaran produksinya, tetapi semua kegiatan

usaha migas yang memungkinkan menimbulkan dampak penting terhadap

lingkungan, diwajibkan melakukan studi AMDAL. Hal ini sangat mendasar,

mengingat kegiatan usaha migas merupakan kegiatan yang memiliki resiko tinggi

terhadap lingkungan, baik dari sisi ekologi, ekonomi maupun sosial.

Usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak

besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi: a) pengubahan bentuk

lahan dan bentang alam, b) eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui

maupun yang tak terbaharui, c) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat

menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta

kemorosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya, d) proses dan kegiatan

yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta

lingkungan sosial budaya, e) proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat

mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya dan atau perlindungan

cagar budaya, f) introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik,

g) pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati, h) penerapan

teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi

lingkungan hidup, i) kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan atau

mempengaruhi pertahanan negara (pasal 3 ayat 2 PP No. 27 tahun 1999 tentang

AMDAL) hal ini bertentangan dengan Kepmen LH No. 11 tahun 2006 tentang

kegiatan wajib AMDAL yang mana kategori kegiatan yang wajib menyusun

AMDAL berdasarkan volume produksi.

Tabel 7 Review kebijakan AMDAL dengan substansi kerangka acuan PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999

- Kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan ditetapkan oleh komisi dan disampaikan kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 12 hari sejak diterimanya pengajuan tersebut

- Kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan ditetapkan oleh komisi dan disampaikan kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 12 hari sejak diterimanya pengajuan

- Keputusan atas penilaian kerangka acuan diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 hari sejak tanggal diterimanya pengajuan

82

Aturan tentang penyusunan kerangka acuan disebutkan dalam PP No. 29

tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 bahwa apabila pemrakarsa berpendapat

bahwa rencana kegiatannya akan menimbulkan dampak penting terhadap

lingkungan hidup, maka pemrakarsa bersama instansi yang bertanggung jawab

langsung menyusun kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan

tanpa membuat penyajian informasi lingkungam terlebih dahulu, dimana kerangka

acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan ditetapkan oleh komisi dan

disampaikan kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari sejak

diterimanya pengajuan kerangka acuan tersebut. Sementara dalam PP No. 27

tahun 1999 disebutkan bahwa suatu rencana usaha dan atau kegiatan yang akan

menimbulkan dampak diwajibkan menyusun kerangka acuan, namun apabila

rencana usaha dan atau kegiatan tersebut diperkirakan tidak menimbulkan dampak

besar dan penting, maka diharuskan menyusun UKL dan UPL. Keputusan atas

penilaian kerangka acuan juga diatur dalam PP No. 27 tahun 1999 sebagaiman

termaktub dalam pasal 16 ayat 2, keputusan atas penilaian kerangka acuan

sebagaimana dimaksud pada jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh

lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan.

Hal ini menjelaskan bahwa kerangka acuan disetujui oleh instansi yang

bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima)

hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan tersebut. Perubahan

waktu atas keputusan penilaian kerangka acuan dari 12 (dua belas) hari menjadi

75 (tujuh puluh lima) hari kerja menjadi sangat penting mengingat kebutuhan

waktu yang lama dapat menghambat jalannya investasi, begitu pula waktu yang

sangat singkat, akan memberikan penilaian yang tidak maksimal, sehingga dengan

demikian waktu persetujuan kerangka acuan didasarkan pada kebutuhan waktu.

83

Tabel 8. Review kebijakan AMDAL dengan substansi ANDAL

PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan

- Keputusan atas andal diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampak lingkungan

- Apabila keputusan atas andal berupa penolakan berhubung kurang sempurnanya, maka keputusan perbaikan andal diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan kembali perbaikan analisis dampak lingkungan tersebut

- Keputusan atas andal diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya pengajuan analisis dampak lingkungan

- Apabila keputusan atas andal berupa penolakan berhubung kurang sempurnanya, maka keputusan perbaikan ANDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan kembali perbaikan analisis dampak lingkungan tersebut

- Telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan atau kegiatan

- Keputusan atas ANDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen ANDAL, RKL, RPL

- Apabila instansi yang bertangungjawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu tersebut maka rencana usaha dan atau kegiatan yang dimaksud dianggap layak lingkungan

Keputusan atas ANDAL diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya pengajuan analisis

dampak lingkungan tersebut. Apabila keputusan atas ANDAL berupa penolakan

berhubung kurang sempurnanya, maka keputusan perbaikan ANDAL diberikan

oleh instansi yang bertanggung jawab selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari

sejak diterimanya pengajuan kembali perbaikan analisis dampak lingkungan

tersebut. Dalam PP No. 27 tahun 1999 dibutuhkan waktu sebanyak 75 hari kerja

sebagaimana termaktub dalam pasal 20 ayat 1, instansi yang bertanggung jawab

menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu selambat-

lambatnya 75 (tujuh puluh lima) jari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya

84

dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan

hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup.

Namun demikian, waktu yang dibutuhkan tersebut (75 hari) tidak berdasar,

sehingga perlu direvisi mengingat lamanya proses persetujuan AMDAL tersebut

dapat menghambat iklim investasi dalam kegiatan usaha migas. Dari sisi efisiensi,

hal ini akan sangat berdampak terhadap rencana implementasi kegiatan yang akan

dilakukan. Penekan sesungguhnya bukanlah pada lamanya waktu prosedur

persetujuan AMDAL, namun lebih ditekankan pada tingkat kebutuhan usaha

dengan prinsip-prinsip kelestarian ekologi dan pertumbuhan ekonomi. Dalam

proses persetujuan dapat diterapkan prosedur yang mudah, cepat dan

bertanggungjawab dengan demikian semangat investasi dapat tetap terjaga dalam

upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan.

Tabel 9 Review kebijakan AMDAL dengan substansi RKL

PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Keputusan persetujuan atas rencana pengelolaan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggungjawab kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rencana pengelolaan lingkungan tersebut

- Keputusan persetujuan atas rencana pengelolaan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggungjawab kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya rencana pengelolaan lingkungan tersebut

- Keputusan persetujuan atas rencana pengelolaan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pengelolaan lingkungan tersebut

Prosedur persetujuan dokumen RKL dan RPL dalam PP No. 27 tahun

1999 dilakukan bersamaan dengan pengajuan dokumen ANDAL dengan waktu

yang dibutuhkan 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak diajukannya

dokumen tersebut. Sementara dalam PP No. 51 tahun 1993, prosedur persetujuan

dokumen RKL dan RPL dilakukan terpisah dengan pengajuan dokumen ANDAL.

Waktu yang dibutuhkan dalam proses persetujuan dokumen RKL dan RPL yakni

45 (empat puluh lima) hari kerja.

85

Tabel 10 Review kebijakan AMDAL dengan substansi RPL

PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Keputusan

persetujuan atas rencana pemantauan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggungjawab kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya rencana pemantauan lingkungan tersebut

- Keputusan persetujuan atas rencana pemantauan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggungjawab kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya rencana pemantauan lingkungan tersebut

- Keputusan persetujuan atas rencana pemantauan lingkungan diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab kepada pemrakarsa selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pemantauan tersebut

Seperti pada Tabel 10 tampak perubahan waktu keputusan persetujuan

RPL yang semakin lama yakni dari 30 hari kerja (PP No. 29 tahun 1986), 40 hari

kerja (PP No. 51 tahun 1993) dan menjadi 75 hari kerja (PP No. 27 tahun 1999).

Perubahan waktu persetujuan RPL tersebut tidak memiliki dasar penetapan waktu

yang jelas. Seharusnya waktu penyusunan tidak ditetapkan sama untuk semua

kegiatan, harus mempertimbangkan lokasi kegiatan yang sulit dijangkau, perlu

pengkajian yang mendalam berdasarkan ekosistem masing-masing kegiatan,

pertimbangan efisiensi waktu, yang dapat menghambat kegiatan karena kegiatan

usaha migas sangat dinamis, akhirnya dapat berakibat timbulnya pelanggaran-

pelanggaran, sebelum AMDAL disetujui kegiatan telah dimulai karena mengejar

produksi dan juga dapat menghambat investasi (investasi tidak kondusif).

Faktor lain yang juga penting dalam review kebijakan peraturan

pemerintah dalam kaitannya penerapan AMDAL yang efektif dan efisien adalah

tentang kedudukan komisi penilai atau komisi pusat AMDAL. Perubahan besar

yang terdapat dalam PP No. 27 tahun 1999 adalah disatukannya komisi penilai

pusat dan berkedudukan di kementerian negara lingkungan hidup. Apabila

penilaian tersebut tidak layak lingkungan maka instansi yang berwenang boleh

menolak permohonan ijin yang diajukan oleh pemrakarsa. Kedudukan komisi ini

menjadi sangat penting, khususnya dalam kaitannya dalam mencegah kerusakan

lingkungan pada kegiatan usaha migas. Kedudukan komisi penilai AMDAL pusat

saat ini berkedudukan di kementerian negara lingkungan hidup yang merupakan

86

instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Kondisi ini kemudian

menjadi sangat penting untuk direview mengingat kegiatan usaha migas yang

bersifat sangat teknis dengan aspek profesionalitas yang tinggi. Kegiatan usaha

migas menggunakan teknologi tinggi dalam operasinya, sehingga dampak

lingkungan yang ditimbulkan, sangat memungkinkan dari kesalahan teknis

operasional. Berdasarkan hal itu, maka dibutuhkan komisi penilai antara lain, ahli

dalam bidang perminyakan dan geologi, ahli proses untuk kilang, ahli kimia,

sehingga dapat memprediksi dan mengetahui kemungkinan-kemungkinan dampak

besar dan penting yang ditimbulkan dalam kegiatan.

Tabel 11 Review kebijakan AMDAL dengan substansi komisi penilai

PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Komisi AMDAL pusat

dibentuk oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen sektoral dan berkedudukan di departemen atau LPND, dengan status keanggotaan tetap dan anggota tidak tetap

- Komisi AMDAL daerah dibentuk oleh Gubernur dan berkedudukan di Bapedalda propinsi dengan status keanggotaan tetap dan tidak tetap

- Komisi AMDAL pusat dibentuk oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen sektoral dan berkedudukan di departemen atau LPND, dengan status keanggotaan tetap dan anggota tidak tetap

- Komisi AMDAL daerah dibentuk oleh Gubernur dan berkedudukan di Bapedalda propinsi dengan status keanggotaan tetap dan tidak tetap

- Komisi penilai AMDAL pusat dibentuk oleh menteri dan berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan

- Komisi penilai AMDAL daerah dibentuk oleh Gubernur dan berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan di tingkat I (Bapedalda propinsi)

Komisi pusat AMDAL dalam PP No. 27 tahun 1999 disebut komisi penilai

pusat yang dibentuk oleh kementerian negara lingkungan hidup dan berkedudukan

di Bapedal pusat dengan keanggotaan lebih representatif yang bertugas menilai

hasil AMDAL. Keberadaan komisi pusat AMDAL di bawah kewenangan

kementerian lingkungan hidup tersebut dianggap kurang tepat, mengingat

AMDAL pada kegiatan usaha migas sangat terkait dengan potensi dampak yang

muncul dari penerapan teknologi-teknologi yang digunakan. Untuk itu, keahlian

minyak dan gas dalam penilaian dokumen AMDAL menjadi sangat penting,

87

terkait dengan metode eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan dan tata

niaga. Metode-metode yang dikembangkan sangat spesifik dan membutuhkan

ahli-ahli di bidangnya. Dengan demikian, usulan pengembalian komisi pusat

AMDAL pada departemen teknis/sektor menjadi sangat penting.

Tabel 12 Review kebijakan AMDAL dengan substansi pembiayaan

PP No. 29 tahun 1986 PP No. 51 tahun 1993 PP No. 27 tahun 1999 - Biaya untuk membuat

KA-ANDAL,ANDAL, RKL, RPL dibebankan kepada pemrakarsa atau penanggung jawab kegiatan

- Untuk biaya tertentu dibebankan kepada menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup dan atau menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen yang membidangi kegiatan yang bersangkutan dan atau gubernur kepala daerah tingkat I

- Biaya penyusunan kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan dibebankan kepada pemrakarsa atau penanggung jawab kegiatan

- Biaya penyusunan dan penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup dibebankan kepada pemrakarsa

- Biaya pembinaan teknis dan pengawasan dibebankan pada anggaran instansi yang bertanggung jawab

Faktor pembiayaan juga menjadi penting untuk diperhatikan, mengingat

kualitas dokumen yang dihasilkan akan sangat dipengaruhi oleh besaran biaya

studi yang dialokasikan. Pembiayaan yang proporsional dan jelas akan

memberikan hasil yang baik. Biaya akan sangat penting bagi terlaksananya

kegiatan sebagaimana tujuan yang akan dicapai. Pembiayaan studi yang sesuai

dengan kegiatan akan menjamin pelaksanaan kegiatan yang baik. Untuk faktor

pembiayaan menjadi hal yang positif apabila dimanfaatkan sesuai dengan

proporsinya. Demikian pula sebaliknya, pembiayaan studi yang minim dan tidak

proporsional akan menyulitkan dalam pelaksanaan studi yang sesuai dengan

tujuan. Pembiayaan tentu terkait dengan keahlian dari penyusun dan biaya dapat

menunjukkan/mencerminkan kedalaman studi dan analisis yang digunakan oleh

penyusun. Namun, hal ini sulit diukur karena sangat bervariasi.

88

5.1.2 Peraturan Menteri, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Keputusan Menteri ESDM

Peraturan menteri dan keputusan menteri negara lingkungan hidup yang

terkait dalam pelaksanaan AMDAL di Indonesia antara lain Permen LH No. 08

tahun 2006 tentang pedoman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan

dan Kepmen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan

yang wajib dilengkapi dengan AMDAL.

Peratuan menteri negara lingkungan hidup No. 08 tahun 2006 tentang

pedoman penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan merupakan

penjabaran kebijakan AMDAL yakni PP No. 27 tahun 1999 pasal 14 ayat (2) dan

pasal 17 ayat (2). Dalam Permen LH No. 08 tahun 2006 tersebut terdapat

beberapa hal yang perlu direview antara lain; pelingkupan, metode studi,

penyusun, serta biaya dan waktu studi.

Pelingkupan merupakan proses awal untuk menentukan lingkup

permasalahan dan mengidentifikasi dampak penting (hipotesis) yang terkait

dengan rencana usaha dan atau kegiatan. Pelingkupan meliputi dampak penting

hipotetik, lingkup wilayah studi ANDAL didasarkan pada beberapa pertimbangan:

batas proyek, batas ekologis, batas sosial dan batas administratif, batas waktu

kajian, kedalaman studi ANDAL mencakup metode yang digunakan, jumlah

sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang dibutuhkan sesuai dengan sumberdaya

yang tersedia (dana dan waktu). Proses pelingkupan dampak penting terdiri atas;

identifikasi dampak potensial dan evaluasi dampak potensial. Hal ini sangat rancu

karena bila dampak potensial hanya sebagai dampak tunggal yang memperkirakan

potensi dampak, sedangkan isu pokok merupakan dampak yang terintegrasi dari

dampak yang komprehensif dan interaksi dampak kumulatif dari keseluruhan

dampak, jadi bukan hanya dampak tunggal, sangat penting didalam AMDAL

adalah isu pokok (main issue). Hal ini merupakan kelemahan dari Kepdal No. 08

tahun 2006 untuk menentukan dampak, pada skoping (pelingkupan) di KA-

ANDAL terdiri atas: skoping sosial, skoping ekologis, skoping perencanaan dan

kebijaksanaan (Beanlands dan Dunker, 1983).

Metode studi terdiri atas: metode pengumpulan data, metode analisa data,

metode prakiraan dampak dan metode evaluasi dampak. Metode disebutkan

89

merupakan metode yang baku dan sesuai dengan komponen lingkungan yang

dianggap akan terkena dampak (fisik, kimia, biologi, sosial, ekonomi dan budaya).

Dengan kejelasan metode yang digunakan akan memudahkan pemrakarsa dan

penyusun AMDAL dalam menyusun dokumen AMDAL yang berkualitas dan

sesuai dengan kondisi di lapangan. Peraturan ini semestinya menjadi pedoman

dan panduan bagi pemrakarsa dan penyusun AMDAL dalam menyusun dokumen

AMDAL yang efisien dan efektif.

Penyusun terdiri atas kualifikasi ketua dan anggota tim. Ketua tim

penyusun studi disebutkan harus bersertifikat AMDAL penyusun dan sesuai

ketentuan yang berlaku, sedang anggota tim harus memiliki keahlian yang sesuai

dengan lingkup studi yang dilakukan.

Biaya studi diprosentasekan berdasarkan jenis-jenis biaya yang dibutuhkan

dalam rangka penyusunan studi AMDAL termasuk biaya untuk pelaksanaan

konsultasi masyarakat. Sedang waktu studi merupakan jangka waktu pelaksanaan

studi ANDAL sejak tahap persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi yang

bertanggung jawab.

Keputusan menteri negara lingkungan hidup No. 11 tahun 2006 tentang

jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan analisis

mengenai dampak lingkungan hidup merupakan penjabaran dari PP No. 27 tahun

1999 pasal 3 ayat (2) dan ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia

untuk menanggulangi dampak penting negatif yang akan timbul. Namun dalam

penetapan jenis kegiatan khususnya pada sumberdaya minyak dan gas bumi

dengan menggunakan indikator jumlah produksi. Hal ini sangat tidak realiable

mengingat potensi dampak yang dapat terjadi tidak hanya pada skala usaha

dengan produksi yang tinggi, tapi juga pada setiap kegiatan usaha yang dilakukan

akan berpotensi menghasilkan dampak penting. Dampak tidak hanya dilihat dari

sisi kuantitas atau besaran dampak tetapi juga dari sisi berbahayanya dampak

tersebut terhadap lingkungan hidup dan manusia. Penentuan dampak terhadap

lingkungan didasarkan pada perubahan indikator-indikator kualitas lingkungan.

Untuk mengetahui suatu perubahan aspek lingkungan dari suatu kegiatan tidak

berarti cukup menggunakan satu indikator (Suratmo, 2002).

90

Review kebijakan AMDAL migas dilakukan terhadap keputusan menteri

energi dan sumberdaya mineral No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis

pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi. Ada dua poin penting

yang perlu diperhatikan yakni isu pokok dan metode prakiraan dampak. Isu pokok

harus telah tercantum di dalam kerangka acuan. Sedang metode prakiraan dampak

besar dan penting disebut menggunakan metode formal (matematik, statistik) dan

non formal (analog dan professional judgement), serta metode evaluasi dampak.

Penentuan dampak besar dan penting menjadi sangat krusial, mengingat

potensial dampak yang dapat terjadi pada suatu kegiatan usaha. Untuk itu, selain

kriteria dan identifikasi bentuk-bentuk kegiatan yang dapat menimbulkan dampak

besar dan penting, hal lain yang juga sangat menentukan adalah pengambil

keputusan penentuan dampak besar dan penting dari suatu rencana kegiatan.

Selama ini, sebagaimana diacu dalam PP No. 27 tahun 1999 pasal 5 ayat (2)

bahwa pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting ditetapkan oleh

kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pedoman penentuan dampak besar dan penting pada kegiatan usaha migas

ditetapkan oleh menteri ESDM. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk menetapkan

suatu dampak diperlukan tiga tahapan yakni: a) tahapan pertama yakni melakukan

identifikasi dampak yang terjadi pada komponen lingkungan, b) tahap kedua

yakni pengukuran atau perhitungan dampak yang akan terjadi pada komponen

lingkungan, dan c) tahapan ketiga yakni penggabungan beberapa komponen

lingkungan yang sangat berkaitan, kemudian dianalisis dan digunakan untuk

menetapkan refleksi dari dampak komponen-komponen sebagai indikator menjadi

gambaran perubahan lingkungan atau dampak lingkungan, d) menetapkan

parameter atau indikator dari komponen lingkungan yang akan diukur

(Sumarwoto, 2005).

Mengingat pentingnya penentuan dampak besar dan penting, sehingga

indikator penentuan dampak pada kegiatan usaha migas didasarkan pada aspek

teknologi, aspek produksi, aspek sosial budaya serta aspek ekonomi sumberdaya

alam dan lingkungan. Selain itu, penentuan dampak tersebut sebaiknya dilakukan

oleh lembaga independen yang terdiri atas unsur-unsur lembaga/instansi teknis,

kementerian lingkungan hidup, pemerhati lingkungan/LSM, praktisi lingkungan,

91

pakar/perguruan tinggi dan masyarakat dimana lokasi rencana kegiatan akan

dilakukan.

5.1.3 Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Peraturan dalam bentuk keputusan kepala badan pengendalian dampak

lingkungan merupakan penjabaran dari peraturan keputusan menteri lingkungan

hidup. Ada beberapa keputusan kepala Bapedal yang mendukung pelaksanan

AMDAL agar terlaksana dengan baik dan sesuai peraturan pemerintah yang telah

ditetapkan.

Keputusan kepala Bapedal yang direview antara lain keputusan kepala

badan pengendalian dampak lingkungan No. 229 tahun 1996 tentang pedoman

teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan analisis mengenai dampak

lingkungan dan kepala badan pengendalian dampak lingkungan No. 08 tahun

2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses

analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

a. Penggunaan kata aspek sosial dalam peraturan ini diusulkan menjadi kata

aspek sosial ekonomi.

b. Pada lampiran I bagian C ruang lingkup pada poin 1 dinyatakan bahwa

komponen sosial yang ditelaah meliputi: demografi, ekonomi dan budaya.

Komponen yang direview yakni: ekonomi, demografi dan budaya yang

merupakanbukan bagian dari komponan sosial namun merupakan komponen

yang berdiri sendiri.

c. Pada lampiran III bagian A poin 1.5 untuk indikator ekonomi yang nilai

moneternya tidak bisa dianalisis dengan akurat, diperlukan value judgement

dari penyusun AMDAL. Caranya antara lain dengan menggunakan analogi

terhadap fenomena-fenomena dampak penting yang timbul menurut dokumen

AMDAL sejenis. Pernyataan mengenai diperlukan value judgement dari

penyusun AMDAL akan terlaksana dengan baik jika penyusun AMDAL

merupakan ahli ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan karena dengan

hanya menggunakan metode analogi tidak akan cukup untuk memberikan

nilai ekonomi yang akurat pada suatu sumberdaya alam dan lingkungan

hidup.

92

d. Pada lampiran III bagian A poin 2.b metode informal antara lain: 1) penilaian

pakar (professional judgement), 2) komparatif antar budaya (cross cultural),

3) teknik analogi dan 4) metode delphi. Penjabaran metode informal menjadi

4 teknik salah satunya penilaian akan bersifat objektif dan tingkat terjadinya

bias terhadap penilaian akan lebih tinggi.

e. Keputusan Kepala Bapedal No. 229 tahun 1996 sebaiknya dijadikan pedoman

wajib dalam menilai komponen sosial ekonomi dalam menyusun dokumen

KA-ANDAL, ANDAL, RKL dan RPL pada kegiatan usaha migas karena

berdasarkan hasil review kualitas dokumen AMDAL migas tidak satupun

penyusun yang melaksanakan metode analisis data ekonomi dengan

pendekatan pemberian nilai moneter (lampiran III bagian A poin 1.5)

dinyatakan bahwa data ekonomi sedapat mungkin diberi nilai moneter

(valuation) karena sebagian besar indikator-indikator ekonomi dapat

dikuantifikasi.

Pendekatan memberikan nilai moneter pada sumberdaya alam sering

diistilahkan dengan pendekatan valuasi ekonomi atau lebih dikenal total economic

valuation. Metode ini merupakan salah satu metode ekonomi sumberdaya yang

dapat memberikan nilai moneter pada sumberdaya baik tidak bernilai pasar

maupun yang bernilai pasar. Selain itu, dengan menggunakan metode TEV akan

diperoleh informasi nilai estimasi moneter suatu lingkungan/lahan yang akan

dialih fungsikan misal dari hutan menjadi daerah kegiatan usaha migas serta

dengan mengetahui nilai moneter suatu lingkungan akan dapat dijadikan salah

satu acuan dalam menentukan nilai ganti rugi terhadap lahan yang terpakai oleh

kegiatan migas.

Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 08 tahun

2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses

analisis mengenai dampak lingkungan hidup, serta mekanisme keterlibatan

masyarakat dan keterbukaan informasi dalam PP No. 27 tahun 1999 disebutkan

secara jelas jangka waktu pelaksanaannya yakni 30 (tiga puluh) hari kerja sejak

diumumkannya rencana usaha dan atau kegiatan tersebut, serta merupakan bagian

tersendiri. Dalam penjelasannya tentang keterbukaan informasi dan peran

masyarakat yakni setiap usaha dan atau kegiatan wajib mengumumkan terlebih

93

dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai

dampak lingkungan hidup. Pengumuman dilakukan oleh instansi yang

bertanggungjawab dan pemrakarsa dan tatacara pengumuman serta tatacara

penyampaian saran, pendapat dan tanggapan ditetapkan oleh kepala instansi yang

ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dasar penentuan 30 hari kerja tidak

jelas, masyarakat hanya memberi tanggapan, selanjutnya tidak terlibat lagi sampai

pasca operasi.

Berdasarkan uraian dari hasil review kebijakan diperoleh sembilan

komponen mendasar yang merupakan perbedaan mendasar dan kelemahan dari

peraturan pemerintah No. 29 tahun 1986, PP No. 51 tahun 1993 dan PP No. 27

tahun 1999 tentang AMDAL, peraturan menteri negara LH No. 08 tahun 2006

tentang pedoman penyusunan AMDAL, dan Permen LH No. 11 tahun 2006

tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL,

keputusan menteri ESDM No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis

pengelolaan lingkungan di bidang pertambangan dan energi, keputusan kepala

badan pengendalian dampak lingkungan No. 229 tahun 1996 tentang pedoman

teknis kajian aspek sosial dalam penyusunan AMDAL dan keputusan kepala

badan pengendalian dampak lingkungan No. 08 tahun 2000 tentang keterlibatan

masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses AMDAL.

Tabel 13 Kelemahan-kelemahan kebijakan AMDAL migas

Substansi Kelemahan-kelemahan 1.Penentuan dampak

penting - Penentuan dampak tidak hanya didasarkan pada

dampak penting tetapi juga pada dampak besar, penyusunan AMDAL berdasarkan volume produksi bukan dampak penting dari suatu kegiatan migas.

- PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 dikategorikan dampak penting, sedangkan PP No. 27 tahun 1999 dikategorikan dampak besar dan penting

2. Efisiensi penyusunan AMDAL

- PP No. 27 tahun 1999 waktu penyusunan relatif lama yakni 75 hari KA dan 75 hari ANDAL, RKL dan RPL, pada PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 waktu penyusunan lebih singkat.

- Waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penyusunan AMDAL, mulai dari pengajuan hingga persetujuan AMDAL relatif 1-3 tahun.

- Biaya penyusunan AMDAL dibebankan kepada pemrakarsa tapi biaya lain dibebankan pada kementerian lingkungan hidup, departemen teknis/sektoral atau gubernur

94

Lanjutan Tabel 13 3. Komisi AMDAL

pusat - Komisi AMDAL dalam PP No. 27 tahun 1999

berada dibawah kewenangan kementerian lingkungan hidup

- Komisi AMDAL dalam PP No. 29 tahun 1986 dan PP No. 51 tahun 1993 berada pada masing-masing sektor

4. Metode pelingkupan

- Metode pelingkupan yang digunakan umumnya bergantung pada keahlian masing-masing penyusun, sehingga sulit melakukan penilaian metodologi yang tepat, kerena tidak adanya penetapan metode-metode standar/baku

5. Metode studi - Dalam Permen LH No. 08 tahun 2006 tentang pedoman penyusunan AMDAL, metode perkiraan dan evaluasi dampak hanya disebutkan metode formal dan professional judgement, tidak terdapat metode yang baku yang dapat diacu bersama

6. Aspek sosial ekonomi

- Dalam keputusan kepala Bapedal No. 229 tahun 1996, komponen sosial ekonomi masih sekitar penyerapan tenaga kerja dan bantuan-bantuan sosial seperti pembangunan jalan, gedung sekolah dan sarana umum lainnya, dan belum banyak mengedepankan aspek ekonomi lingkungan, sehingga ketika terjadi emergency yang berdampak terhadap lingkungan maka sangat sulit melakukan penilaian

7. Keterlibatan masyarakat

- Dalam keputusan kepala Bapedal No. 08 tahun 2000, keterlibatan masyarakat selama ini hanya bersifat formalitas yang porsinya adalah pada waktu pengumuman masyarakat, dengan demikian tidak ada check and balances dari masyarakat secara langsung terhadap dampak yang dapat terjadi

8. Analisis valuasi ekonomi lingkungan

- Analisis valuasi ekonomi lingkungan/total economic valution sesungguhnya telah dicantumkan dalam Keputusan Kepala Bapedal No. 229 tahun 1996 tentang pedoman teknis kajian aspek sosial ekonomi, namun belum ada peraturan yang mewajibkan penggunaan metode TEV dalam penyusunan AMDAL, sehingga hingga saat ini belum ada bukti penerapannya

9. Emergency/ Keadaan Darurat

- Masalah emergency/keadaan darurat tidak ada keterkaitan dengan AMDAL dan tidak disebutkan dalam Kepmen ESDM No. 1457 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan lingkungan

95

5.2 Kualitas Dokumen AMDAL Migas

Pelaksanaan AMDAL pada kegiatan usaha migas diterapkan mulai tahun

1986 dengan menghasilkan beberapa dokumen AMDAL. Untuk mengetahui

sejauhmana kualitas dokumen AMDAL pada kegiatan usaha migas maka perlu

dilakukan review dokumen. Hasil review terhadap kualitas dokumen AMDAL

pada tujuh dokumen AMDAL yang dimiliki oleh perusahaan menunjukkan bahwa

umumnya pemrakarsa dan tim penyusun AMDAL dapat memenuhi kriteria

indikator sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Analisis kualitas dokumen AMDAL migas dilakukan pada tujuh

perusahaan migas yaitu perusahaan PT.CPI Lapangan Duri, Pertamina UP III

Plaju, PT.Lapindo Brantas, KKKS Suryaraya Teladan Pendopo, BP Tangguh,

Expan Blok Toili dan KKKS Hess Pangkah.

1. PT.Chevron Pacific Indonesia Duri

Dokumen KA-ANDAL disahkan pada tahun 1990 sementara dokumen

ANDAL disetujui pada tahun 1991, RKL dan RPL-nya disetujui pada tahun 1993,

hal ini karena sesuai PP 29/1989 yang diajukan dan disetujui secara bertahap atau

terpisah oleh masing-masing dokumen setelah ANDAL disetujui dan kegiatan

berlangsung baru dimulai penyusunan dokumen RKL dan RPL dan disahkan oleh

komisi AMDAL.

Dokumen AMDAL ini disusun oleh tim penyusun dari PPLH UNRI dan

PT Bumi Prasidi. Hasil dari review dokumen ternyata tim penyusun tidak lengkap

yang mana ahli geologi dan ahli perminyakan tidak tersedia. Tim penyusun

AMDAL terbagi dalam dua tim yakni; a) tim inti yang terdiri atas penanggung

jawab, staf konsultan senior dan tim pemantau rona awal dan penilai lingkungan,

b) tim studi tata guna tanah, sosial ekonomi dan budaya, yang terdiri atas;

penanggung jawab, koordinator sosial ekonomi, koordinator sosial budaya, dan

koordinator tata guna tanah. Anggota tim terdiri: ahli ekonomi, ahli pertanian, ahli

pendidikan, ahli kepustakaan, ahli perikanan, ahli sosiologi.

Review dokumen KA-ANDAL PT. CPI Lapangan Duri bahwa deskripsi

rencana kegiatan dan rona lingkungan awal dijelaskan secara rinci dan lengkap

dan metode prakiraan dampak dalam dokumen ANDAL ini terdiri atas; a)

96

pemantauan meteorologi, b) pemantauan kualitas udara sekitar dan c) analisa

dampak kualitas udara. Demikian pula dengan uraian batas wilayah studi

dijelaskan dengan rinci dan dilengkapi dengan peta-peta. Namun, rumusan

pelingkupan tidak dijelaskan dalam dokumen ANDAL. Metode prakiraan dampak

sama dengan yang ada dalam dokumen KA-ANDAL, hanya lebih lengkap dan

detail. Sedangkan metode evaluasi dampak penting tidak disebutkan dalam

dokumen ANDAL ini dan tidak dilakukan evaluasi dampak penting yang di dalam

dokumen AMDAL.

Review dokumen RKL dan RPL yang disahkan pada tahun 1992,

menunjukkan bahwa dampak yang harus dikelola dan dipantau antara lain:

penurunan kualitas udara, penurunan air permukaan, penurunan kualitas air tanah,

perubahan vegetasi dan penurunan populasi fauna, terbukanya kesempatan kerja

dan jasa setempat. Dan langkah-langkah pengelolaan yang diterapkan antara lain :

membakar limbah gas di flare, memproses air limbah sebelum dibuang

kelingkungan, membuat kanal untuk pendingin air buangan (air terproduksi),

melakukan penghijauan pada areal-areal yang terbuka, melestarikan tanaman

hutan didaerah kantong antara lokasi sumur dan kawasan lain, penimbunan sludge

dan sisa lumpur pemboran tidak disebutkan teknologi dalam pengelolaan limbah

tersebut, memanfaatkan tenaga kerja dan jasa setempat. Sedangkan pemantauan

lingkungan yang dilakukan antara lain: pemantuan kualitas air limbah,

pemantauan kualitas udara, pemantauan kualitas air tanah, pemantauan flora dan

fauna.

2. Pertamina UP III Plaju

Dokumen KA-ANDAL Pertamina UP III Plaju Sungai Gerong, disahkan

pada tahun 1990 sementara dokumen ANDAL disetujui pada tahun 1991, RKL

dan RPL disetujui pada tahun 1993, hal ini karena sesuai PP 29/1989 yang

diajukan dan disetujui secara bertahap atau terpisah oleh masing-masing dokumen

setelah ANDAL disetujui dan kegiatan berlangsung baru dimulai penyusunan

dokumen RKL dan RPL dan disahkan oleh komisi AMDAL.

Kegiatan studi evaluasi lingkungan kilang Musi Pertamina UP III Plaju,

Sungai Gerong disusun oleh tim penyusun PT.Unisystem Utama (Ltd) dengan

kualifikasi terdiri atas ketua tim, ahli teknik proses kilang/perminyakan, ahli

97

iklim,udara dan bising, ahli hidrologi, ahli geologi, ahli biologi darat, ahli biologi

perairan, ahli kesehatan lingkungan, ahli sosio ekonomi dan ahli sosial budaya.

Berdasarkan hasil review kualitas dokumen KA-ANDAL bahwa deskripsi

rona lingkungan awal lengkap dan jelas. Deksripsi kegiatan terdiri atas tiga

kegiatan yaitu kegiatan utama, kegiatan utilitas dan kegiatan unit off site.

Parameter lingkungan yang perlu ditelaah yaitu:

a. Komponen fisik-kimia yang meliputi: suhu udara rata-rata dan increment

persatuan tinggi dari permukaan bumi), curah hujan, kecepatan angin rata-rata,

arah angin rata-rata, stabilitas angin, wind rose, fisiografi, stratiografi, adanya

keunikan, keistimewaan dan kerawanan bentuk lahan dan batuan secara

ekologi, parameter udara lingkungan, parameter emisi dari cerobong, kualitas

air tanah saat musim hujan dan musim kemarau, kualitas air sungai.

b. Komponen biologi meliputi: fauna darat dan air, flora darat dan air, flora dan

fauna yang dilindungi.

c. Komponen sosial ekonomi dan budaya meliputi: taraf hidup masyarakat,

lapangan kerja, pendidikan, mental ideologi dan agama, warisan alam dan

budaya, kesehatan masyarakat dan citra pertamina.

Metode analisis dan evaluasi dampak hanya menggunakan metode

identifikasi/prediksi dampak dengan menggunakan metode bagan alir dan matrik

dan evaluasi dampak penting yang sudah ada dan yang mungkin timbul dengan

mengacu pada keputusan menteri LH No. 49 tahun 1987.

Hasil review kualitas dokumen ANDAL menunjukkan bahwa batas

wilayah studi lengkap dan disertai dengan peta pengambilan sampel dengan skala

yang memadai. Komponen lingkungan yang ditelaah pada dokumen KA-ANDAL

dan ANDAL isinya sama namun dalam dokumen ANDAL lebih detail

dijelaskannya. Metode studi hanya dibuat dalam bentuk matriks. Metode studi

yang digunakan lebih banyak yang bersifat kuantitatif.

Hasil review kualitas dokumen RKL yang disahkan pada tahun 1993

bahwa pendekatan pengelolaan lingkungan yang diuraikan terdiri atas tiga

pendekatan yakni; pendekatan teknologi, ekonomi dan institusi. Uraian

pendekatan teknologi cukup jelas dan operasional dengan ditunjang oleh data-data

hasil monitoring, sedangkan untuk pendekatan ekonomi pembahasannya terbatas

98

pada dampak yang akan timbul terhadap prosedur dan alokasi anggaran

perusahaan tidak membahas masalah dampak ekonomi terhadap masyarakat dan

untuk pendekatan institusi tidak jelasnya sistem koordinasi yang dibentuk dan

dengan siapa perusahaan melakukan koordinasi dalam hal pengelolaan

lingkungan.

Dampak penting yang dikelola mencakup tiga dampak yaitu air limbah

kilang, emisi gas dan limbah padat dengan jenis dampak meliputi: kenaikan kadar

minyak di Sungai Komering dan Sungai Musi, akumulasi endapan minyak setebal

20 cm di dasar Sungai Komering sekitar outfall, akumulasi Pb dan Hg dalam

ruang, kerusakan ekosisten perairan sungai Komering dan sungai Musi yang

menjadi tidak produktif untuk mencari ikan sehingga sebagian besar kebutuhan

ikan di Palembang harus diproduksi di tambak dan didatangkan dari Riau,

menurunnya kualitas udara ambien sebagai akibat adanya emisi gas, indikasi

dominannya penyakit pada saluran pernapasan yang diduga salah satunya karena

pengaruh kualitas udara di Plaju dan Mariana.

Rencana pengelolaan lingkungan terdiri atas: perusahaan membangun

kanal khusus untuk mengalirkan discharge air pendingin sehingga outlet

pembuangan air pendingin terpisah dengan outlet pembuangan air, memperbaiki

sistem netralisasi di TA/PTA, memasang CPI di kilang plaju dan Sungai Gerong

pada lokasi tertentu dengan skala yang telah ditetapkan, pemilihan CCR yang

berkadar rendah, mengganti oil recovery dan membakar sludge di Incinerator,

mengganti strainer Incinerator TA/PTA, membuat dumping area kedap air.

Review kualitas dokumen RPL menunjukkan bahwa dampak penting yang

dipantau sama dan konsisten dengan dampak penting yang dikelola, yakni ada 3

buah dampak penting. Metode analisis yang digunakan dalam pemantauan

lingkungan adalah pemuaian, potensi metrik, gravimetrik, spektofotometrik dan

titrimetrik. Metode rencana pemantauan berdasarkan dampak penting tidak

dijelaskan secara jelas dan operasional.

3. PT. Lapindo Brantas Sidoarjo

Kegiatan pengembangan lapangan gas bumi wunut Blok Brantas,

Kabupaten Sidoarjo propinsi Jawa Timur disusun oleh tim penyusun PT.Corelab

Indonesia yang terdiri atas ketua tim, sub tim iklim dan kualitas udara, sub tim

99

hidrologi dan kualitas air, sub tim geologi, sub tim biologi terestrial, sub tim

tanah, ruang dan lahan, sub tim sosial ekonomi dan budaya. Dari hasil review

menunjukkan tidak tersedianya ahli perminyakan dalam tim penyusun AMDAL.

Berdasarkan hasil review kualitas dokumen KA-ANDAL diperoleh bahwa

komponen rencana kegiatan yang diduga akan menimbulkan dampak sehingga

perlu ditelaah berdasarkan tahapan kegiatan terdiri atas: tahap prakonstruksi

sebanyak dua kegiatan/parameter, tahap konstruksi dan pemboran sebanyak empat

kegiatan/parameter, tahap operasi produksi sebanyak 3 kegiatan/parameter, tahap

pasca operasi sebanyak 3 kegiatan/parameter.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam dokumen AMDAL

yakni pengumpulan data primer dan data sekunder namun tidak dijelaskan secara

rinci. Metode analisis data diolah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif, namun lebih banyak yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif.

Metode prakiraan dampak penting hanya menggunakan metoda formal yaitu

pendekatan matematis dan penggunaan baku mutu lingkungan seharusnya batas

baku mutu lingkungan bukan merupakan metode prakiraan dampak tapi sebagai

baku mutu lingkungan (BML) dan metoda informal berupa penilaian para ahli

(profesionel judgement).

Metode evaluasi dampak lingkungan dilakukan secara lintas disiplin yang

mencakup komponen lingkungan fisik, kimia, geologi, biologi, dan sosial

ekonomi serta budaya. Masing-masing dampak diberi bobot nilai pentingnya

dengan angka dan penilaiannya didasarkan pada penilaian para ahli penyusun

AMDAL dengan memperhatikan baku mutu lingkungan yang berlaku di lokasi

dimaksud. Dalam dokumen ini terdapat sub bab yang menjelaskan tentang metoda

penetapan arahan penanganan lingkungan.

Uraian rona lingkungan awal cukup jelas dan lengkap. Ada tiga komponen

lingkungan yang diuraikan yaitu; komponen lingkungan geofisik-kimia,

komponen lingkungan biologi dan komponen lingkungan sosial dan kesehatan

masyarakat.

Hasil review kualitas dokumen ANDAL menunjukkan bahwa komponen

rencana kegiatan yang diduga akan menimbulkan dampak sama dengan yang

diuraikan dalam dokumen KA-ANDAL. Uraian batas wilayah studi dijelaskan

100

dengan lengkap dan rinci serta dilengkapi dengan peta-peta lokasi kegiatan.

Dalam dokumen ANDAL ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah

pengumpulan data primer dan data sekunder dan tidak dijelaskan secara rinci.

Metode analisis data diolah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif, namun lebih banyak yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif.

Metode prakiraan dampak penting menggunakan metoda formal

(pendekatan matematis dan penggunaan baku mutu lingkungan) dan metoda

informal berupa penilaian para ahli (professional judgement). Metode evaluasi

dampak lingkungan dilakukan secara lintas disiplin yang mencakup komponen

lingkungan fisik, kimia, geologi, biologi, dan sosial ekonomi serta budaya.

Masing-masing dampak diberi bobot nilai pentingnya dengan angka dan

penilaiannya didasarkan pada penilaian para ahli penyusun AMDAL dengan

memperhatikan baku mutu lingkungan yang berlaku di lokasi dimaksud. Dalam

dokumen ini terdapat sub bab yang menjelaskan tentang metoda penetapan arahan

penanganan lingkungan. Uraian rona lingkungan awal cukup jelas dan lengkap.

Ada tiga komponen lingkungan yang diuraikan yaitu komponen lingkungan

geofisik-kimia, komponen lingkungan biologi dan komponen lingkungan sosial

dan kesehatan masyarakat

Dokumen ANDAL telah dilengkapi dengan matriks prakiraan dampak

penting yang cukup jelas demikian juga matriks dan bagan alir evaluasi dampak

penting ada dan jelas. Jumlah dan jenis dampak penting yang dievaluasi konsisten

dengan hasil prakiraan dampak penting. Arahan pengelolaan lingkungan dalam

dokumen ANDAL disajikan dan konsisten dengan hasil prakiraan dan evaluasi

dampak penting.

Hasil review dokumen RKL menunjukkan bahwa komponen lingkungan

yang akan dikelola; kualitas udara, kualitas air sungai, sosial ekonomi dan budaya,

uraian pendekatan pengelolaan dampak lingkungan cukup jelas, terdiri atas

pendekatan teknologi, sosial-ekonomi-budaya dan kelembagaan.

a. Pendekatan Teknologi

Penanganan dampak melalui pendekatan teknologi yang akan dilakukan;

teknologi pengendalian pencemaran kualitas udara akibat adanya pembakaran

limbah gas. CPF mempunyai sebuah flare stack yang bertujuan untuk membakar

101

gas dari degassing boot dan membakar gas yang harus dikeluarkan dari generator,

kompresor, reboiler, dan glycol. Teknologi pengendalian pencemaran kualitas

perairan akibat kegiatan proses pemisahan gas. Proses pemisahan gas dan cairan

(air dan kondesat) terjadi didalam separator. Pemisahan dilakukan dengan prinsip

perbedaan berat jenis antara gas dan cairan.

b. Pendekatan Sosial dan Ekonomi

Penanganan dampak lingkungan dari sudut pendekatan sosial ekonomi;

memprioritaskan penyerapan tenaga kerja penduduk setempat, sepanjang

kualifikasinya terpenuhi dan dibutuhkan, pelaksanaan ganti rugi pembebasan

lahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta

melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat atau agama setempat untuk

mencegah kemungkinan timbulnya keresahan sosial, memelihara dan

memperbaiki lahan sepanjang jalur pemasangan pipa (dengan lebar 3 meter) dan

memberi ganti rugi kepada petani yang tanamannya rusak karena proses

pemasangan pipa, penyuluhan kepada penduduk tentang adanya manfaat kegiatan

di daerahnya sehingga mereka dapat mempunyai kesempatan untuk mencari

peluang ekonomi maupun pekerjaan yang tadinya belum terpikirkan.

c. Pendekatan Kelembagaan

Penanganan dampak yang akan dilakukan melalui pendekatan

kelembagaan; melakukan koordinasi dengan Ditjen Migas (c.q. Direktorat Teknik

Pertambangan Migas) dalam rangka pembinaan dan pengawssan terhadap

kemungkinan timbulnya kasus pencemaran dan keselamatan kerja, melakukan

koordinasi dengan Pemda Dati II Sidoarjo Jawa Timur dalam rangka penyelesaian

masalah keamanan dan konflik sosial yang mungkin timbul, melakukan

koordinasi dengan Ditjen Migas, BPPKA Pertamina, bagian lingkungan Pemda

Dati II Sidoarjo Jawa Timur, serta Bapedal dan instansi terkait lainnya dalam

penanganan masalah pencemaran lingkungan.

Prioritas yang akan dilakukan dalam RKL ini diarahkan pada upaya

penanganan kemungkinan timbulnya dampak-dampak; penurunan kualitas

perairan sungai di sekitas lokasi pembuangan limbah cair hasil proses produksi,

bila kasus terburuk terjadi, penurunan kualitas udara di sekitar lokasi CPF dan

pemukiman terdekat akibat pembakaran gas, peningkatan pendapatan penduduk di

102

sekitar kegiatan akibat kemungkinan adanya kesempatan kerja dan kesempatan

memanfaatkan keberadaan proyek. Dokumen RKL dilengkapi dengan institusi

dan pelaksana pengelolaan lingkungan, peta lokasi pembuangan air terproduksi

dilengkapi dengan legenda dan skala 1:50000 dan matriks ringkasan rencana

pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan penjelasan narasinya.

Berdasarkan hasil review dokumen RPL menunjukkan bahwa dalam

dokumen RPL ada satu komponen dari tiga komponen yang dipantau berbeda

dengan komponen yang dikelola, komponen yang dikelola yaitu kualitas udara,

kualitas air dan sosial ekonomi budaya sedangkan komponen yang dipantau yaitu

kualitas udara, kualitas air terproduksi, sosial ekonomi dan budaya. Dokumen

RPL dilengkapi dengan peta lokasi rencana pemantauan dampak yang disajikan

per jenis dampak yang dipantau (air, udara dan sosial, ekonomi dan budaya) dan

matriks RPL yang sesuai dan konsisten dengan narasi dan RKL.

4. Pertamina-Suryaraya Teladan Pendopo

Dokumen ANDAL disetujui tanggal 6 Januari 2000 melalui surat No.

0022/31/SJN.T/2000. Kegiatan pengembangan lapangan minyak dan gas bumi

Benakat Barat, Pendopo disusun oleh PPLH UGM terdiri atas ketua tim, ahli fisik

kimia udara, ahli kimia limbah/perminyakan, ahli pertambangan, ahli

geomorfologi, ahli biotik, ahli sosial ekonomi budaya, ahli kesehatan masyarakat.

Berdasakan hasil review kualitas dokumen AMDAL dalam tim penyusun tidak

terdapat ahli perminyakan dan ahli geologi. Penyusun dokumen ANDAL yang

memiliki sertifikat AMDAL A dan B sejumlah 4 orang (44%), sedangkan Ketua

Tim hanya mempunyai sertifikat AMDAL B.

Dalam dokumen ANDAL, deskripsi kegiatan dan batas wilayah studi

cukup jelas dan lengkap serta disertai dengan peta-peta yang berskala memadai.

Adapun jenis rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak

lingkungan; tahap pra kontruksi meliptui pengadaan lahan, tahap kontruksi

meliputi pengerahan dan pelepasan tenaga kerja, mobilisasi peralatan dan

material, pembukaan dan pematangan lahan, pembangunan prasarana dan sarana,

pembangunan fasilitas produksi dan penunjangnya, pemboran sumur

pengembangan, uji hidrostatik, dan tahap operasi meliputi pengerahan dan

pelepasan tenaga kerja, proses produksi, kerja ulang sumur, injeksi sumur,

103

pembersihan tangki, serta tahap pasca operasi meliputi pengerahan dan pelepasan

tenaga kerja, penanganan lokasi, penanganan bahan kimia bekas, program

penghijauan dan demobilisasi alat.

Komponen lingkungan hidup yang diprakirakan akan terkena dampak

terdiri atas 12 (parameter) yakni; iklim dan kualitas udara, kebisingan, persepsi

masyarakat, kuantitas dan kualitas air permukaan, kesuburan tanah, pola

hubungan dan nilai tanah, flora dan fauna darat, erosi dan kualitas tanah,

pendapatan penduduk, kualitas dan kuantitas air formasi, struktur geologi dan

kualitas air tanah dangkal.

Jenis rencana kegiatan yang terdapat di KA-ANDAL dan dokumen

ANDAL sama dengan pembagian berdasarkan empat tahap kegiatan yaitu; tahap

pra konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi. Untuk komponen

lingkungan yang diprakirakan terkena dampak dalam dokumen ANDAL sama

dengan yang ada dokumen KA-ANDAL sebanyak 12 parameter. Namun dalam

komponen lingkungan hidup yang diprakirakan terkena dampak terdapat

inkonsistensi antara narasi dengan tabel, antara lain; kegiatan pembukaan dan

pembersihan lahan, dalam narasi disebutkan terdapat penurunan kuantitas dan

kualitas air permukaan sedangkan dalam tabel disebutkan terdapat run off,

pembangunan fasilitas produksi. Dalam narasi disebutkan terdapat kerusakan

struktur tanah, sedangkan dalam tabel disebutkan penurunan kualitas udara dan

peningkatan kebisingan, kerja ulang sumur, dalam narasi disebutkan terdapat

penurunan kualitas air formasi, sedangkan dalam tabel disebutkan ada

peningkatan kebisingan, penanganan lokasi, dalam narasi tidak disebutkan bahwa

terdapat perubahan pola hubungan nilai tanah, sedangkan dalam narasi disebutkan

terdapat perubahan pola hubungan nilai tanah.

Dampak penting yang dikaji pada dokumen ANDAL, yakni; tahap pra

kontruksi. Dalam kegiatan pengadaan lahan, dampak penting yang dikaji adalah

terganggunya pola hubungan dan nilai tanah (-P).

a. Tahap konstruksi. Beberapa kegiatan dalam tahap konstruksi yang

menimbulkan dampak penting yang perlu dikaji pada dokumen ANDAL

antara lain: 1) Dalam kegiatan pengerahan dan pelepasan tenaga kerja,

dampak penting yang dikaji adalah terganggunya persepsi masyarakat (-P), 2)

104

Dalam kegiatan mobilisasi peraltaan dan material, dampak penting yang

dikaji adalah terganggunya persepsi masyarakat (-P) dan perubahan sanitasi

lingkungan dan pola penyakit (-P) dan 3) Dalam kegiatan pembukaan dan

pematangan lahan, dampak penting yang dikaji adalah; peningkatan kuantitas

air permukaan (run off) (-P), penurunan kualitas air permukaan (-P),

peningkatan erosi (-P), perubahan bentuk lahan, relief dan sudut kemiringan

lereng (-P), turunnya tingkat kesuburan tanah (-P), kerusakan struktur tanah (-

P), perubahan tata ruang, lahan, dan tanah (-P), penurunan keanekaragaman

fauna darat (-P), penurunan tingkat penutupan lahan oleh flora darat (-P),

dalam kegiatan pembangunan sarana dan prasarana, dampak penting yang

dikaji adalah kerusakan struktur tanah (-P), dalam kegiatan pemboran sumur

pengembangan, dampak penting yang dikaji adalah penurunan kuantitas air

permukaan (-P) dan persepsi negatif masyarakat (-P).

b. Tahap operasi; beberapa kegiatan dalam tahap operasi yang menimbulkan

dampak penting yang perlu dikaji pada dokumen ANDAL antara lain; dalam

kegiatan pegerahan dan pelepasan tenaga kerja, dampak penting yang dikaji

adalah persepsi negatif masyarakat (-P), dalam kegiatan proses produksi,

dampak penting yang dikaji adalah penurunan kualitas udara (-P), penurunan

kualitas air permukaan (-P), dan penurunan kesuburan tanah (-P), dalam

kegiatan pembersihan tangki, dampak penting yang dikaji adalah tingkat

kesuburan tanah (-P), penurunan kualitas air tanah dangkal (-P), dan persepsi

negatif masyarakat (-P).

c. Tahap pasca operasi; beberapa kegiatan dalam tahap pasca operasi yang

menimbulkan dampak penting yang perlu dikaji pada dokumen ANDAL

antara lain; dalam kegiatan penanganan lokasi, dampak penting yang dikaji

adalah peningkatan kualitas air permukaan (+P), dalam kegiatan program

penghijauan, dampak penting yang dikaji adalah; peningkatan kualitas udara

(+P), penurunan kuantitas air permukaan (+P), peningkatan kualitas air

permukaan (+P), berkurangnya erosi (+P), meningkatnya kesuburan tanah

(+P), perbaikan struktur tanah (+P), perbaikan tata ruang, lahan dan tanah

(+P), peningkatan keanekaragaman fauna darat (+P), peningkatan penutupan

105

lahan flora darat (+P), peningkatan keanekaragaman flora darat (+P),

peningkatan kemelimpahan flora darat (+P).

Hasil review pada dokumen RKL untuk kegiatan pengembangan lapangan

migas Benakat Barat mempunyai dampak penting terhadap lingkungan yang

dibagi dalam 4 tahap yaitu tahap persiapan (pra-konstruksi), tahap pembangunan

(konstruksi), tahap operasi dan tahap pasca operasi. Pada tahap pra konstruksi

terdapat satu dampak lingkungan yang ditimbulkan, tahap konstruksi terdapat 15

dampak, tahap operasi terdapat delapan dampak dan tahap pasca operasi terdapat

13 dampak.

Komponen lingkungan yang akan dikelola terdiri atas: 1) komponen geo-

fisik-kimia yang dipantau adalah kualitas dan kuantitas air permukaan, run off,

erosi, bentuk lahan, relief, kemiringan lereng, struktur tanah, kesuburan tanah, tata

ruang-lahan-tanah, dan kualitas udara, 2) komponen biotis yang dipantau adalah

keanekaragaman flora dan fauna darat, penutupan lahan oleh flora darat,

keanekaragaman ikan, dan kelimpahan flora darat, 3) komponen sosial, ekonomi,

budaya-kesehata masyarakat yang dipantau adalah pola hubungan dan nilai tanah,

persepsi masyarakat, sanitasi lingkungan dan pola penyakit.

Uraian pendekatan pengelolaan dampak lingkungan cukup jelas terdiri atas

pendekatan teknologi, pendekatan ekonomi, sosial dan budaya dan pendekatan

institusi. Beberapa upaya pengelolaan dampak berdasarkan tahap kegiatan,antara

lain; pendekatan persuasif dan memberikan penggantian yang layak, negosiasi

langsung dengan pemilik tanah, pemberian penyuluhan, melibatkan pihak bank

pada saat pembayaran (apabila dimungkinkan), memberikan informasi yang jrlas

tentang tenaga kerja yang dibutuhkan, pendekatan masyarakat dan penyuluhan,

penyuluhan kesehatan masyarakat, penanaman tanaman pioner merambat yang

cepat tumbuh, memulihkan kembali tanah yang sudah rusak strukturnya,

meminimalkan perubahan tata ruang, lahan dan tanah setelah kegiatan proyek

selesai, mempertahankan keanekaragaman jenis fauna yang ada, menurangi

perluasan tanah terbuka, memulihkan kembali tanah yang sudah rusak

strukturnya, mencegah penurunan kuantitas air permukaan, mengelola penurunan

kuantitas air permukaan, pembakaran gas sisa di flare stake, menyediakan

tambahan pompa menjadi 3 sampai dengan 4 pompa dengan kapasitas injeksi

106

13000 barel/hari, menyediakan skimming pit, pemeliharaan atau pemantauan

pompa injeksi, bantuan ekonomi masyarakat, pengangkutan sisa-sisa pembersihan

tangki bleber ke unit pengelolaan limbah B3, tempat penimbunan sementara harus

pudal lapisan kedap air dan jauh dari badan air, mengembangkan kegiatan

penghijauan.

Hasil review untuk dokumen RPL bahwa dampak penting yang dipantau

sama dengan dampak penting yang dikelola yaitu pada tahap pra konstruksi ada

satu dampak lingkungan yang ditimbulkan, tahap konstruksi terdapat 15 dampak,

tahap operasi terdapat 8 dampak dan tahap pasca operasi terdapat 13 dampak.

Selain itu, komponen lingkungan yang dikelola sama dengan komponen

lingkungan yang dipantau. Komponen lingkungan yang akan dipantau terdiri atas:

1) komponen geo-fisik-kimia yang dipantau adalah kualitas dan kuantitas air

permukaan, run off, erosi, bentuk lahan, relief, kemiringan lereng, struktur tanah,

kesuburan tanah, tata ruang-lahan-tanah, dan kualitas udara, 2) komponen biotis

yang dipantau adalah keanekaragaman flora dan fauna darat, penutupan lahan oleh

flora darat, keanekaragaman ikan, dan kelimpahan flora darat dan 3) komponen

sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat yang dipantau adalah pola

hubungan dan nilai tanah, persepsi masyarakat, sanitasi lingkungan dan pola

penyakit.

Metode rencana pemantauan dampak lingkungan pada semua komponen

masih bersifat umum dan tidak operasional seperti metode rencana pemantauan

untuk komponen sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat

menggunakan metode wawancara dan pengamatan langsung dan untuk komponen

geo-fisik-kimia dan biologis menggunakan metode pengamatan di lapangan dan

analisis laboratorium. Dokumen RPL dilengkapi dengan peta lokasi dan matriks

rencana pemantauan dampak lingkungan.

5. Expan Toili Sulawesi

Kegiatan pengembangan minyak Tiaka dan fasilitas penunjangnya, blok

Toili, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah di susun

oleh PPLH-IPB dengan tim penyusun terdiri atas: ketua tim dan anggota tim,

fisik-kimia (9 orang), sub biologi (4 orang), sub tim sosial ekonomi budaya (8

107

orang), penyelam (2 orang), tenaga pendukung (6 orang) dan narasumber (1

orang).

Berdasarkan hasil review dokumen KA-ANDAL yang disetujui pada tahun

2002 menunjukkan bahwa komponen lingkungan yang diprakirakan terkena

dampak yakni: a) fisik kimia 10 parameter, b) biologi 3 parameter, dan c) sosial,

ekonomi, bududaya dan kesehatan lingkungan masyarakat 8 parameter. Deskripsi

rencana kegiatan terdiri atas 4 tahap yakni: tahap pra konstruksi, konstruksi,

operasi dan pasca operasi. Tahap pra konstruksi meliputi perizinan, survei

kelayakan teknis dan rekruitmen dan seleksi tenaga kerja, tahap konstruksi

meliputi mobiliasi tenaga kerja, pembangunan porta camp dan workshop,

pembangunan temporary jetty (di darat dan Gosong Tiaka), pengadaan dan

pengangkutan material reklamasi, reklamasi tapak kegiatan, pembangunan

pelabuhan khusus jetty, pembangunan porta camp, pemboran sumur produksi

dengan sistem cluster dan pembangunan fasilitas produksi dan fasilitas

pendukung, tahap operasi meliputi mobilisasi tenaga kerja, produksi dan

pengoperasian jetty dan tahap pasca operasi meliputi penutupan sumur produksi,

demobiliasi peralatan dan penanganan lokasi setelah penutupan.

Deskripsi rona lingkungan awal cukup jelas dan lengkap dengan isu pokok

yang diperoleh adalah; 1) penurunan produktivitas dan keanekaragaman hayati, 2)

pertumbuhan ekonomi daerah, dan 3) perubahan lingkungan fisik. Uraian batas

wilayah studi cukup jelas dan didukung oleh peta-peta. Dalam uraian metode studi

parameter yang diukur pada komponen fisik kimia, biologi, sosial ekonomi

budaya dan kesehatan lingkungan masyarakat cukup jelas. Demikian pula untuk

metode pengumpulan data dan analisis data cukup jelas. Sedangkan, dalam

metode prakiraan dampak penting juga dijelaskan secara jelas metode yang

digunakan yang terdiri atas; model matematik, baku mutu lingkungan, analog dan

penilaian para ahli.

Berdasarkan hasil review dokumen ANDAL yang disahkan pada tahun

2002 menunjukkan bahwa jenis rencanan kegiatan yang diprakirakan akan

menimbulkan dampak lingkungan sama dengan yang dibuat di KA-ANDAL

demikian pula pada komponen lingkungan yang diprakirakan terkena dampak

108

terdiri atas 21 buah parameter yaitu fisik kimia sebanyak 10 parameter, biologi

sebanyak tiga parameter dan sosekbud dan keslingmas sebanyak 8 parameter.

Rumusan isu pokok terdiri atas tiga isu yang berarti sama dengan yang

dirumuskan di KA-ANDAL dan dampak penting hipotetik yang dikaji pada

dokumen ANDAL ada 12 buah yang terdiri atas: kualitas air laut, kualitas udara,

fisiografi pulau, jenis dan kelimpahan biota perairan, satwa liar, hasil tangkapan

laut, kesempatan kerja dan berusaha, perekonomian lokal, resiko kecelakaan laut,

pengusahaan dan pemanfaatan pulau, kesehatan masyarakat, persepsi masyarakat

terhadap proyek.

Dokumen ANDAL telah dilengkapi dengan matriks prakiraan dampak

penting yang cukup jelas demikian juga matriks dan bagan alir evaluasi dampak

penting ada dan jelas. Jumlah dan jenis dampak penting yang dievaluasi konsisten

dengan hasil prakiraan dampak penting. Arahan pengelolaan lingkungan dalam

dokumen ANDAL disajikan dan konsisten dengan hasil prakiraan dan evaluasi

dampak penting.

Review dokumen RKL, uraian pendekatan pengelolaan lingkungan cukup

jelas yang terdiri atas pendekatan teknologi, pendekatan sosial ekonomi budaya

dan pendekatan institusi. Dampak yang akan dikelola terdiri atas tiga komponen

yaitu: komponen fisik-kimia terdiri atas kualitas air laut (pemboran sumur

produksi), kualitas udara dan kebisingan, komponen biologi terdiri atas biota laut,

komponen sosial ekonomi budaya terdiri atas kesempatan kerja dan berusaha,

resiko kecelakaan laut dan persepsi masyarakat.

Upaya pengelolaan dampak berdasarkan komponen yakni komponen fisik-

kimia meliputi; mencegah kebocoran pada saluran lumpur bor, menampung

limbah lumpur dan serbuk pemboran pada suatu struktur penampung yang

dirancang khusus, memperkecil jumlah lumpur bor yang digunakan dalam seluruh

kegiatan pemboran, mencegah kebocoran pada saluran minyak dalam drill steam

test (DST), menampung minyak mentah hasil DST pada wadah dengan

struktur,bahan, ukuran, jumlah dan penempatan yang layak dan aman, seluruh

sistem pemompaan dilakukan dengan sistem tertutup, pada titik-tritik rawan

sepanjang saluran pemompaan akan disediakan bak penampung untuk

meminimkan kemungkinan pencemaran lingkungan di sekitarnya, minyak mentah

109

yang ditampung sementara dalam tangki terapung akan dipindahkan setiap sekitar

15 hari sekali ke dalam tanker pengangkut, sarana pemindahan akan dibuat

dengan bahan dan rancangan terbaik untuk mencegah terjadinya kebocoran dan

atau tumpahan minyak ke lingkungan sekitarnya, menaati standard operation

procedure (SOP) tentang K3 dalam proses transportasi, pada pembakaran gas di

flare, diusahakan dalam keadaan normal dan hanya pilotnya yang menyala,

pemasangan flare trap, memasang tanda peringatan tentang konsentrasi gas yang

tinggi di sekitar sumur Tiaka, mobiliasi alat dan bahan dilakukan pada siang hari,

memasang rambu pembatas kecepatan kendaraan (maksimal 40 km/jam),

mewajibkan setiap pengemudi mematuhi peraturan lalu lintas.

Komponen biologi meliputi; membuat karang buatan dan transplantasi

karang. Komponen sosial ekonomi budaya meliputi; meningkatkan kualitas SDM

secara periodik melalui pendidikan dan pelatihan, mengadakan pelatihan bagi

masyarakat berupa kegiatan diversifikasi usaha selain usaha nelayan, membuat

dan menempatkan rambu-rambu lalulintas pelayaran, dan peta jalur keselamatan,

mobilisasi alat dan bahan dilakukan pada siang hari, identifikasi dan evaluasi

potensi resiko kecelakaan laut, mengadakan sarana dan prasarana untuk

penanganan kecelakaan laut, membuat organisasi keselamatan kerja, sosialisasi

prosedur dan instruksi kesiagaan dan tanggap darurat, pelatihan keselamatan

kerja, sosialisasi dan konsultasi publik, melakukan seleksi penerimaan secara

transparan dengan kriteria penerimaan yang jelas, memberikan prioritas

penerimaan kerja kepada tenaga kerja lokal, menerapkan standar upah sesuai

dengan upah minimum kabupaten, memberikan jaminan asuransi tenaga kerja,

meliputi asuransi jaminan hari tua, kecelakaan kerja, kematian dan kesehatan,

melakukan prosedur kegiatan mobilisasi alat dan bahan dengan benar,

menginformasikan jadwal kegiatan mobilisasi alat dan bahan kepada masyarakat.

Dokumen RPL, dampak penting yang dipantau sama dengan dampak

penting yang dikelolah. Komponen lingkungan yang dipantau meliputi:

Komponen fisik-kimia terdiri atas kualitas air laut (pemboran sumur produksi),

kualitas udara dan kebisingan. Komponen biologi terdiri atas biota laut.

Komponen sosial ekonomi budaya terdiri atas kesempatan kerja dan berusaha,

resiko kecelakaan laut dan persepsi masyarakat.

110

Metode rencana pemantauan berdasarkan komponen yang dipantau, yaitu:

komponen fisik-kimia menggunakan metode pengambilan contoh: air, lumpur,

sludge, pengukuran, analisis laboratorium, pengukuran lapang dan sound level

meter. Komponen biologi menggunakan pengamatan lapang terhadap

pertumbuhan karang (tingkat kepadatan/penutupan karang pada karang buatan).

Komponen sosial ekonomi budaya menggunakan metode survei, wawancara, data

sekunder perusahaan tentang rekruitmen tenaga kerja dan pengamatan lapang

(observasi).

6. BP Tangguh Sorong

Tim penyusun KA-ANDAL dan ANDAL, RKL, RPL adalah PT. Intersys

Kelola Maju, Continental Shelf Associates Inc, Research Institute of

Cenderawasih University, PT.Geotek Minergi. Bidang keahlian tim penyusun

AMDAL masih belum lengkap karena tidak ada anggota tim yang memiliki

keahlian perminyakan. Dokumen KA-ANDAL disahkan pada tahun 2001

sedangkan dokumen ANDAL, RKL dan RPL disahkan pada tahun 2002.

Diperlukan waktu satu tahun dari kerangka acuan ke penyusunan dokumen

ANDAL, RKL dan RPL.

Isu pokok dalam dokumen KA-ANDAL yang muncul dari identifikasi;

dampak sosial ekonomi, pemukiman kembali penduduk Desa Tanah Merah,

hilangnya hak ulayat masyarakat lokal atas tanah dan daerah perairan dekat

pantai, gangguan terhadap lahan, hilangnya kayu, dan hilangnya habitat satwa liar

karena pembukaan lahan, dampak terhadap daerah hutan mangrove dari perpipaan

dan fasilitas dermaga khusus, dampak terhadap kualitas air akibat pembuangan air

terproduksi (produced water), air limbah domestik, dan air buangan lainnya, dan

dari sedimen selama konstruksi dan saat pengerukan di dekat pantai dan juga

lepas pantai, dampak terhadap perikanan lepas pantai dan dekat pantai serta jalur

penangkapan ikan (right of way), limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri

dan kegiatan masyarakat, dampak kualitas udara selama konstruksi dan operasi

dari sumber bergerak dan tidak bergerak, dan dari debu halus lepasan (fugitive

dust), dampak kebisingan dan penyinaran (lampu), dampak dari keterbatasan

akses untuk daerah penangkapan ikan dekat pantai, daerah pertanian dan

perburuan tradisional, dan penggunaan lahan yang lain.

111

Deskripsi rencana kegiatan meliputi kegiatan pada tahap prakonstruksi,

konstruksi, operasi dan pasca operasi, pada bagian ini cukup jelas diuraikan secara

rinci. Namun penentuan batas wilayah studi keliru, karena batas administrasi

dianggap sebagai batas wilayah studi yang seharusnya batas wilayah studi

merupakan keseluruhan dari batas proyek, batas ekologis, batas sosial dan batas

administrasi.

Metode pengumpulan data cukup jelas, namun untuk metode analisis data

untuk komponen sosial kurang jelas lebih banyak menggunakan metode

kuantitatif. Dalam metode pengambilan sampel, komponen lingkungan fisik

kimiawi dan biologi diukur dengan mengacu pada buku panduan penyusunan

AMDAL Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan oleh Badan

Pengendalian Dampak Lingkungan tahun 1996. Untuk komponen fisika:

batimetri, debit sungai, arah dan kecepatan angin, pasang surut, gelombang, arus,

suhu, sedimentasi/erosi, tekstur sedimen, komponen kimiawi: salinitas,, kimia

sedimen, DO, pH, BOD5, phenol, minyak dan lemak, nutrien, logam berat, muatan

parameter tersuspensi, komponen biologi: plankton, benthos, nekton. Dalam

uraian metode studi parameter yang diukur pada komponen fisik-kimia dan

biologi, sosial, demografi, ekonomi dan kesehatan masyarakat cukup jelas.

Review terhadap kualitas dokumen ANDAL meliputi: rencana kegiatan

yang menimbulkan dampak penting yaitu; 1) tahap pra konstruksi, perijinan-

perijinan, 2) tahap konstruksi; pengeboran dan pemasangan anjungan lepas pantai,

pemasangan transmisi gas (jalur pipa lepas pantai), pembangunan kilang LNG dan

fasilitas penunjang, pembangunan pelabuhan khusus (dermaga/jeti), pembangunan

bandar udara khusus, 3) tahap operasi; eksploitasi/produksi gas, pemboran sumur-

sumur produksi, transmisi gas, pengoperasian kilang LNG, pengeoperasian

pelabuhan khusus, dan pengapalan, pengoperasian bandar udara khusus, 4) tahap

pasca operasi; penutupan lapangan apabila kegiatan telah berakhir antara lain

penutupan sumur-sumur produksi gas, pembongkaran anjungan lepas pantai,

penutupan kilang LNG dan pembongkaran fasilitas utama dan fasilitas penunjang,

5) metode prakiraan dampak besar dan penting serta evaluasi dampak penting

tidak disebutkan secara spesifik untuk masing-masing komponen lingkungan

(biologi, geologi, fisika, kimia dan sosial ekonomi dan budaya).

112

Dalam prakiraan dampak penting pada aspek biologi, geologi, fisika,

kimia seperti; kualitas udara dan kebisingan, ekologi daratan, ekologi lepas pantai

dan pantai dinyatakan tidak penting, ternyata di dalam evaluasi dampak penting

dikategorikan dampak penting kecuali kebisingan pada tahap operasi adalah; 1)

tahap pra konstruksi terdiri atas pembukaan lahan, perataan dan pemadatan tanah

dan mobilisasi dan demobilisasi tenaga kerja, 2) tahap konstruksi terdiri atas; a)

pengeboran sumur produksi (pembuangan lumpur bor dan serbuk bor), b) potensi

tumpahan bahan bakar kondensat, c) pengerukan, d) solid fill cause ways, e)

mobilisasi dan demobilisasi tenaga kerja, e) penerimaan tenaga kerja dan peluang

ekonomi, f) penempatan pipa transmisi gas di lepas pantai, g) penerimaan tenaga

kerja, h) kontrol klan terhadap sumberdaya alam, i) konstruksi dermaga, j)

konstruksi kilang LPG, k) mobilisasi dan demobilisasi peralatan/material. 3)

tahap operasi terdiri atas; a) potensi tumpahan bahan bakar kondensat, b)

pembuangan air ballast, c) potensi tumpahan minyak/bahan bakar, d) operasi

penerbangan berjadwal, e) pemukiman liar dan peladangan berpindah, f) kawasan

tertutup untuk keselamatan, g) pemasaran LNG, h) operasi kapal tunda, i)

penerimaan tenaga kerja. 4) tahap pasca operasi meliputi penanganan lokasi dan

instalasi dan penanganan prasarana.

Hal ini terlihat tidak konsisten antara prakiraan dampak dan evaluasi

dampak. Metode yang dipakai dalam prakiraan dampak tidak jelas disebutkan.

Seharusnya di dalam memprakirakan dampak penting harus ada matrik

identifikasi dampak penting untuk melihat dampak primer, sekunder, tersier dan

seterusnya. Dalam menentukan dampak penting negatif penting ataupun positif

penting. Dampak-dampak penting tersebut kemudian dilakukan evaluasi dampak

penting tersebut antara lain; apakah dampak penting tersebut bisa dikelola dengan

teknologi yang tersedia atau sebaliknya. Apakah dampak penting tersebut akan

berlangsung terus menerus sampai pasca operasi atau akan terus berlanjut ternyata

di dalam dokumen ini antara prakiraan dampak dan evaluasi dampak adalah sama.

Pada evaluasi dampak hanya mengulang yang sudah diuraikan dalam bab

prakiraan dampak. Di dalam evaluasi dampak ada dicantumkan matrik identifikasi

dampak, matrik prakiraan dampak yang seharusnya matrik-matrik tersebut

113

dilakukan pada prakiraan dampak. Di dalam dokumen ini tidak ada arahan

RKL/RPL.

Rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak

lingkungan pada dokumen ANDAL terdiri atas 12 kegiatan. Baik jumlah maupun

jenisnya, rencana kegiatan pada dokumen ANDAL tersebut sama dengan apa

yang dijelaskan pada dokumen KA-ANDAL. Sebanyak 904 dampak potensial

teridentifikasi dalam 6 matrik untuk masing-masing dari ke-6 kegiatan utama

proyek. Sebanyak 25 dampak potensial ditambahkan pada matrik berkenaan

dengan adanya sedikit revisi pada deskripsi proyek. Sub komponen fisik, kimia

dan biologi terdiri atas: kualitas udara dan kebisingan, ekologi daratan (tidak

termasuk kualitas udara dan kebisingan), ekologi lepas pantai dan dekat pantai

(tidak termasuk kualitas udara dan kebisingan).

Metode studi lebih lengkap atau ada perubahan (antara lain pada

komponen biologi, sosek-budaya. Dalam metode prakiraan dampak penting yang

dibahas hanya parameter: emisi udara, kebisingan, pembuangan lumpur dan

serbuk bor, lintasan tumpahan potensial diesel dan kondesat, pembuangan air

terproduksi (di lepas pantai), pembuangan material keruk, pembuangan air dari uji

hidrostatik perpipaan, pembuangan air limbah dari kilang LNG, erosi tanah.

Sedangkan, metode prakiraan dampak tidak disebutkan secara kuantitatif.

Deskripsi rencana kegiatan: lebih banyak, kuantitatif dan ilustratif

(didukung oleh gambar dan peta-peta). Demikian juga rona lingkungan hidup

disajikan dan dideskripsikan lebih lengkap dan didukung oleh hasil analisis data

primer (laboratorium).

Berdasarkan hasil review kualitas dokumen RKL menunjukkan bahwa

RKL/RPL tidak bersifat operasional, harusnya didalam RKL/RPL ada pendekatan

institusional, teknologi dan sosial. Untuk pengelolaan ekologi (biogeofisikkimia)

tidak disebutkan peralatan yang dipakai, dimensi, ukuran dan kapasitasnya serta

waktu kapan penglolaan dilaksanakan. Teknologi pengelolaan lingkungan masih

bersifat naratif seperti teknologi pengelolaan, periode pengelolaan.

Pengelolaan lingkungan masih bersifat alternatif-alternatif. Upaya

pengelolaan sosial terdiri atas mengurangi tingkat pengangguran, meningkatkan

nilai lahan di lokasi dan di desa-desa sekitarnya, mengganggu kegiatan perikanan,

114

mengurangi pendapatan keluarga dari perikanan, meningkatkan potensi terjadinya

konflik karena adanya daerah-daerah tempat terjadinya kegiatan penangkapan

ikan secara berlebihan, mempengaruhi sikap dan persepsi masyarakat terhadap

proyek, mengganggu ketertiban masyarakat di desa-desa sekitarnya, dan merubah

gaya hidup penduduk di Desa Tanah Merah. Semua upaya yang dilakukan seperti

ini namun tidak disebutkan cara pelaksanaannya/teknisnya, waktu/tahapan, lokasi

dan siapa yang melaksanakan. Pada tahap operasi, dampak sosial tidak ada

dampak penting terhadap lingkungan karena disebutkan pada saat penjualan LNG

akan menimbulkan dampak positif ekonomi lokal dan regional.

Hasil review kualitas dokumen RPL menunjukkan bahwa upaya

pemantauan tidak jelas pemantauan yang dipantau, teknik pemantauan, frekwensi

pemantauan, alat pemantauan, waktu pemantauan, cara pemantauan, parameter

yang dipantau. Beberapa pemantauan masih bersifat alternatif, salah satu contoh

untuk pemantauan dampak sosial memantau penurunan peredaran uang di pusat-

pusat pertumbuhan ekonomi.

7. Hess Pangkah Gresik

Tim penyusun AMDAL pada kegiatan pengembangan lapangan minyak

dan gas Ujung Pangkah, Blok Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur terdapat

perbedaan penyusun KA-ANDAL yang disusun oleh LP UNAIR dan LP ITS 10

Nopember dan PPLH-LPM IPB yang menyusun ANDAL, RKL dan RPL. Bidang

keahlian tim penyusun AMDAL masih belum lengkap karena tidak ada anggota

tim yang memiliki keahlian ekonomi atau ekonomi sumberdaya atau ekonomi

lingkungan, padahal dalam metode studi dicantumkan akan menggunakan metode

valuasi ekonomi dalam studi ANDAL. Sebagian besar (58%) anggota tim

penyusun sudah memiliki sertifikat AMDAL. Sertifikat AMDAL A dimiliki oleh

3 orang anggota tim, AMDAL A dan B oleh 7 orang dan AMDAL A, B, dan C

oleh 1 orang. Anggota tim yang tidak memiliki sertifikat AMDAL ada 8 orang

(42%). Salah seorang anggota tim penyusun tidak dilengkapi dengan CV (daftar

riwayat hidup).

Dokumen KA-ANDAL disahkan pada tahun 2003 sementara Dokumen

ANDAL, RKL dan RPL-nya disahkan pada tahun 2006. Diperlukan waktu 3

tahun untuk menyusun Dokumen ANDAL, RKL dan RPL. Penyebab hal tersebut

115

tidak ada penjelasannya di dalam dokumen, tetapi diduga karena adanya

perubahan tim penyusun dokumen dari LP UNAIR dan LP ITS 10 Nopember

(sebagai penyusun KA-ANDAL) menjadi PPLH-LPM IPB (penyusun ANDAL,

RKL, RPL).

Deskripsi rencana kegiatan meliputi kegiatan pada tahap prakonstruksi,

konstruksi, operasi dan pascaoperasi. Kelemahan yang ditemukan dalam bagian

ini adalah (1) deskripsi kegiatan sosialisasi rencana proyek pada bagian ruang

lingkup sangat minim (naratif kualitatif), sedangkan aspek yang sama dijelaskan

cukup panjang pada bagian pendahuluan dengan dibuatnya satu subbagian

kegiatan konsultasi masyarakat, dan (2) deskripsi kegiatan mobilisasi peralatan

pada tahap konstruksi kurang jelas (tidak ada kuantifikasi peralatan yang akan

digunakan). Kelebihan deskripsi kegiatan antara lain tim penyusun menyajikan

alternatif rencana kegiatan dalam hal jalur pipa.

Rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak

lingkungan tidak mudah disarikan pada bagian narasi. Jika dilihat pada matriks

identifikasi dampak potensial terdapat 11 kegiatan pada tahap prakonstruksi, 3

kegiatan utama pada tahap konstruksi, 8 kegiatan pada tahap operasi dan 2

kegiatan pada tahap pascaoperasi yang diprakirakan akan menimbulkan dampak

lingkungan. Tiga rencana kegiatan utama pada tahap konstruksi meliputi sekitar

14 sub-kegiatan. Pada matriks tersebut ditemukan minimal ada 4 (empat) rencana

kegiatan yang tidak diketahui dampaknya terhadap lingkungan hidup, yakni; 1)

pengurusan perijinan penentuan lokasi WHP, 2) pengurusan perijinan penentuan

lokasi pipa bawah laut, 3) pengurusan perijinan penentuan lokasi pipa di darat,

dan 4) pengurusan perijinan penentuan lokasi fasilitas pengolahan gas. Semua

rencana kegiatan tersebut ada pada tahap pra-konstruksi. Apabila rencana kegiatan

tersebut diprakirakan tidak mempunyai dampak lingkungan maka tidak perlu

dicantumkan pada matriks identifikasi tersebut.

Deskripsi rona lingkungan awal lengkap dan jelas serta cukup banyak yang

disajikan secara kuantitatif. Deskripsi rona lingkungan hidup yang diprakirakan

akan terkena dampak rencana kegiatan dijelaskan cukup baik dan meliputi

Komponen fisik-kimia, biologi, sosial, ekonomi, budaya, sanitasi lingkungan dan

kesehatan lingkungan masyarakat, Transportasi darat dan laut dan komponen

116

lingkungan lain (utilitas lain, suplai air bersih dan suplai gas). Secara keseluruhan

dari matriks identifikasi dampak potensial ada 35 buah komponen lingkungan

hidup (parameter) yang diprakirakan akan terkena dampak rencana kegiatan.

Namun demikian dampak potensial yang tertera pada bagan alir pelingkupan ada

34 buah mencakup komponen fisik, kimia, biologi, sosial, ekonomi, budaya,

kesehatan lingkungan masyarakat, transportasi dan lingkungan lainnya. Ada

ketidakkonsistenan antara matriks dan bagan alir terkait dengan parameter tata

guna Lahan yang ada pada matriks tetapi tidak ditemukan pada bagan alir.

Dampak penting hipotetik sebagai hasil evaluasi dampak potensial ada 31

buah. Ada tiga buah dampak potensial yang dievaluasi tidak menjadi dampak

penting hipotetik, yakni; 1) arus dan gelombang, 2) transport sedimen dan 3) flora

darat. Isu pokok yang dirumuskan dalam dokumen KA-ANDAL masih dibatasi

oleh komponen lingkungan, misalnya pada komponen fisik-kimia ada tujuh buah

isu pokok, komponen sosial ekonomi dan budaya ada dua isu pokok dan

seterusnya sehingga isu pokok ada 15 buah. Hal itu tidak lazim.

Uraian batas wilayah studi cukup jelas dan didukung oleh peta-peta yang

berskala (namun terlalu kasar atau skala peta kecil, sekitar 1:400.000) dan

berwarna. Pada uraian metode studi parameter yang diukur pada komponen fisik-

kimia dan biologi cukup jelas, tetapi pada komponen sosek-budaya kurang jelas,

misalnya tidak dijelaskan apa yang akan diukur untuk menjelaskan parameter

kamtibmas. Pada dokumen AMDAL sektor lain kamtibmas (keamanan dan

ketertiban masyarakat) merupakan komponen lingkungan hidup yang terpisah,

bukan merupakan parameter.

Metode pengumpulan dan analisis data cukup jelas, tetapi kuesioner untuk

aspek sosek-budaya tidak dilampirkan. Metode prakiraan dampak pentingnya

cukup jelas, bahkan disajikan juga penggunaan metode valuasi ekonomi untuk

menganalisis besar dan pentingnya dampak, sedangkan metode evaluasi dampak

pentingnya kurang jelas, dinyatakan menggunakan pertimbangan pakar.

Dalam dokumen ANDAL, rencana kegiatan yang diprakirakan akan

menimbulkan dampak lingkungan pada dokumen ANDAL terdiri atas 11

kegiatan, baik jumlah maupun jenisnya. Rencana kegiatan pada dokumen

ANDAL tersebut sangat berbeda dengan apa yang dijelaskan pada dokumen KA-

117

ANDAL. Jenis rencana kegiatan yang diprakirakan akan menimbulkan dampak

lingkungan tersebut adalah perijinan, sosialisasi, mobilisasi/demobilisasi,

pemboran, pemasangan anjungan dan pipa, produksi minyak dan gas, penjualan

minyak dan gas, pemeliharaan fasilitas, pembongkaran fasilitas dan penutupan

sumur.

Komponen lingkungan hidup yang diprakirakan akan terkena dampak

terdiri atas 16 buah (parameter), jumlah dan jenis komponen lingkungan hidup

yang diprakirakan akan terkena dampak tersebut berbeda dengan (lebih sedikit

daripada) isi dokumen KA-ANDAL. Rumusan isu pokok pada dokumen ANDAL

terdiri atas 7 isu rumusan isu pokok tersebut lebih sederhana daripada isi dokumen

KA-ANDAL yang memuat 15 buah isu pokok dengan demikian isu pokok KA-

ANDAL dan ANDAL sangat berbeda.

Metode studi lebih lengkap atau ada perubahan (antara lain pada

komponen biologi, sosek-budaya). Namun demikian dalam hal metode prakiraan

dampak penting tidak mencantumkan lagi metode valuasi ekonomi, padahal dari

segi bidang keahlian tim studi memungkinkan untuk menggunakan metode

tersebut.

Deskripsi rencana kegiatan: lebih banyak, kuantitatif dan ilustratif

(didukung oleh gambar dan peta-peta). Demikian juga rona lingkungan hidup

disajikan dan dideskripsikan lebih lengkap dan didukung oleh hasil analisis data

primer (laboratorium). Dampak penting hipotetik yang dikaji pada dokumen

ANDAL ada 12 buah. Jumlah dampak penting hipotetik di atas berbeda dengan

apa yang diuraikan dalam dokumen KA-ANDAL (31 buah). Hasil prakiraan

dampak penting tersebut adalah 10 dampak penting yang terdiri atas 2 buah

dampak penting positif dan 9 buah dampak penting negatif.

Hal yang cukup menarik untuk dikritisi adalah semua rencana kegiatan

pada tahap prakonstruksi dan pascaoperasi dinilai (diprakirakan) tidak akan

menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan (agak tidak logis!). Hal

tersebut antara lain dapat disebabkan karena rencana kegiatan perijinan dan

sosialisasi proyek (pada tahap prakonstruksi) hanya dianalisis dampaknya

terhadap keresahan dan persepsi masyarakat (nelayan dan petambak), sedangkan

dampaknya (khususnya proses perijinan) terhadap PAD tidak dianalisis.

118

Kemudian prakiraan dampak penting pada tahap pascaoperasi, yakni rencana

kegiatan pembongkatan fasilitas, penutupan sumur hanya dianalisis terhadap

aktivitas nelayan dan petambak, pendapatan masyarakat, persepsi dan keresahan

masyarakat (nelayan dan petambak), dan lalu-lintas laut, sedangkan terhadap

karyawan dan (hilangnya) kesempatan kerja dan berusaha tidak dilakukan.

Dokumen ANDAL telah dilengkapi dengan matriks prakiraan dampak

penting yang cukup jelas. Demikian juga matriks dan bagan alir evaluasi dampak

penting ada dan jelas. Jumlah dan jenis dampak penting yang dievaluasi konsisten

dengan hasil prakiraan dampak penting. Justifikasi kelayakan lingkungannya

bersifat kualitatif-naratif. Rumusan kalimat utama yang digunakan yakni: segala

dampak negatif yang akan timbul pada dasarnya dapat diatasi dengan biaya yang

lebih rendah daripada manfaat yang akan diperoleh. Padahal tidak ada kajian

berapa besar biaya pengelolaan dampak-dampak tersebut dan berapa besar

manfaat rencana kegiatannya.

Arahan pengelolaan lingkungan dalam dokumen ANDAL disajikan dan

konsisten dengan hasil prakiraan dan evaluasi dampak penting. Arahan tersebut,

masing-masing untuk rencana kegiatan pada tahap konstruksi dan operasi yang

menjadi sumber dampak penting terhadap lingkungan.

Dokumen RKL dilengkapi dengan surat pernyataan pihak pemrakarsa

dengan materai yang cukup sehingga memenuhi aspek legal. Uraian pendekatan

pengelolaan dampak lingkungan cukup jelas, terdiri atas pendekatan teknologi,

sosial-ekonomi-budaya dan institusi. Dampak penting yang dikelola mencakup 10

dampak penting dan sesuai dengan hasil prakiraan dampak penting. Dokumen

RKL dilengkapi pula dengan peta lokasi pengelolaan dampak disajikan per jenis

dampak yang dikelola (udara dan kesehatan masyarakat, kualitas air laut, biota

laut, sosek-budaya) dilengkapi dengan legenda dan skala (sekitar 1:400.000 atau

cukup kecil/kasar) dan matriks RKL yang sesuai dengan penjelasan narasinya.

103

Tabel 14 Analisis kualitas dokumen AMDAL migas

Indikator PT.CPI Duri (PP 29/1986)

Pertamina UP III Plaju

(PP 29/1986)

PT.Lapindo Brantas Sidoarjo

(PP 51/1993)

Pertamina-Suryaraya Teladan Pendopo

(PP 51/1993)

Exspan Toili Sulawesi (PP 27/1999)

BP Tangguh Sorong

(PP 27/1999)

Hess Pangkah Gresik

(PP 27/1999)

Kelengkapan Dokumen Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap Lengkap

Penyusun AMDAL

Tim penyusun tidak lengkap, ahli geologi dan ahli perminyakan tidak tersedia PPLH UNRI dan PT Bumi Prasidi Tidak ada CV penyusun

Bidang keahlian tim penyusun tidak sesuai dengan dampak penting yang akan dianalisis (tidak lengkap) yaitu ahli perminyakan tidak tersedia PT.Unisystem Utama (Ltd) Pengalaman Ketua tim 14 tahun

Tim penyusun tidak lengkap, ahli perminyakan tidak tersedia PT. CORELAB INDONESIA Pengalaman Ketua Tim 3 tahun

Tim penyusun tidak lengkap, ahli geologi tidak tersedia Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM Pengalaman Ketua Tim 3 tahun

Tersedia semua ahli sesuai dengan kebutuhan penyusunan dokumen PPLH IPB Pengalaman ketua tim 11 tahun

Tim penyusun tidak lengkap, ahli perminyakan tidak tersedia PT.INTERSYS Kelola Maju Pengalaman Ketua Tim 13 tahun

Tersedia semua ahli sesuai dengan kebutuhan penyusunan dokumen PPLH IPB Pengalaman ketua tim 10 tahun

Substansi Dokumen 1. KA-ANDAL a. Pendahuluan b. Ruang Lingkup Studi c. Metode Studi d. Pelaksana Studi

Lengkap

Lengkap

Lengkap

Lengkap

Lengkap

Lengkap

Lengkap

104

Indikator PT.CPI Duri (PP 29/1986)

Pertamina UP III Plaju

(PP 29/1986)

PT.Lapindo Brantas Sidoarjo

(PP 51/1993)

Pertamina-Suryaraya Teladan Pendopo

(PP 51/1993)

Exspan Toili Sulawesi (PP 27/1999)

BP Tangguh Sorong

(PP 27/1999)

Hess Pangkah Gresik

(PP 27/1999)

2. ANDAL meliputi: a. uraian kegiatan b. rona lingkungan awal c. Metode Studi d. prakiraan dampak

penting e. evaluasi dampak

penting f. diagram alir dampak

penting g. matrik identifikasi

dampak h. matrik prakiraan

dampak i. arahan RKL dan RPL j. daftar pustaka k. lampiran

Lengkap

Lengkap Tidak ada arahan RKL dan RPL yang ada hanya tindak lanjut

Lengkap

Lengkap

Lengkap

Lengkap, Tidak ada arahan RKL dan RPL

Lengkap

RKL mencakup: a. Ringkasan evaluasi

dampak penting b. Pendekatan

pengelolaan lingkungan: teknologi, institusi/kelembagaan, social ekonomi

c. Rencana pengelolaan lingkungan,

d. matrik pengelolaan

Tidak ada ringkasan (tidak dipersyaratkan dalam Kepmen PE No.0185/1988 dan 1158/1989

Tidak ada ringkasan (tidak dipersyaratkan dalam Kepmen PE No.0185/1988 dan 1158/1989 Tidak ada pendekatan sosial

Lengkap

Lengkap

Tidak ada ringkasan

Tidak ada pendekatan sosial ekonomi RKL tidak bersifat operasional, teknologi masih bersifat alternatif

Tidak ada ringkasan

Lanjutan Tabel 14

105

Indikator PT.CPI Duri (PP 29/1986)

Pertamina UP III Plaju

(PP 29/1986)

PT.Lapindo Brantas Sidoarjo

(PP 51/1993)

Pertamina-Suryaraya Teladan Pendopo

(PP 51/1993)

Exspan Toili Sulawesi (PP 27/1999)

BP Tangguh Sorong

(PP 27/1999)

Hess Pangkah Gresik

(PP 27/1999)

lingkungan dan peta lokasi

e. institusi dan pelaksana pengelolaan lingkungan

Program RKL tidak membahas masalah sosial budaya dan sosial ekonomi

RPL mencakup: a. Identitas proyek dan

ringkasan ANDAL, b. rencana pemantauan, c. pelaksanaan

pemantauan lingkungan,

d. matrik pemantuan e. peta pemantuan

Lengkap

Lengkap

Lengkap

Lengkap

Lengkap

Tidak ada bab identitas proyek dan ringkasan ANDAL

Lengkap

Waktu Penyusunan a. KA-ANDAL/KA-SEL b. ANDAL/SEL c. RKL/RPL

1 tahun 1 tahun

1 tahun 1 tahun 3 tahun

1 tahun 1 tahun

1 tahun 1 tahun

1 tahun 1,5 tahun

1 tahun 1 tahun

1 tahun 3 tahun

Lanjutan Tabel 14

106

Berdasarkan hasil penilaian diperoleh bahwa secara umum kualitas

dokumen AMDAL kurang. Hal ini tampak pada empat indikator yang digunakan

dalam penilaian yakni; kelengkapan dokumen, tim dan lembaga penyusun,

substansi dokumen dan waktu penyusunan. Meskipun keempat indikator tersebut

terpenuhi, namun ada beberapa hal esensial yang belum dipenuhi dari ketentuan

yang telah ditetapkan, seperti tidak tercantumnya biodata penyusun, tidak adanya

ahli perminyakan dan geologi dalam tim penyusun, minimnya pengalaman tim

penyusun, rendahnya kualifikasi tim penyusun khususnya anggota tim, serta

adanya dokumen yang tidak memberikan arahan dan minimnya kajian sosial

ekonomi serta waktu penyusunan yang relatif lama yakni berkisar antara satu

hingga tiga tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas dokumen

AMDAL dipengaruhi oleh masih terdapatnya beberapa kelemahan-kelemahan

mendasar dalam kebijakan AMDAL migas.

5.3 Kinerja Lingkungan Implementasi AMDAL Kegiatan Migas

Kegiatan usaha migas antara lain pemboran sumur, pengembangan

lapangan, pembangunan fasilitas produksi/transmisi dan pengoperasiannya,

perawatan sumur dan eksploitasi migas serta pengolahan minyak dan gas yang

merupakan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan.

Evaluasi kinerja lingkungan untuk kegiatan usaha migas dilakukan dengan

mengevaluasi volume tumpuhan minyak yang terjadi, kualitas limbah cair,

kualitas udara dan kebisingan serta perkembangan produk domestik regional bruto

(PDRB), perkembangan pendidikan dan kesehatan masyarakat di daerah operasi

kegiatan usaha migas.

Mengingat hal di atas, maka perlu dilakukan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan seperti yang dirumuskan dalam dokumen rencana pengelolaan

lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL). Pemantauan

dilakukan terhadap tumpuhan minyak, kualitas limbah cair meliputi: kandungan

minyak dan lemak, konsentrasi H2S, konsentrasi COD, dan kandungan amoniak

bebas dalam air. Parameter kualitas udara dan kebisingan meliputi: kandungan

SO2, kandungan H2S, kandungan NOx, dan tingkat kebisingan yang ditimbulkan

dari aktivitas migas tersebut.

107

5.3.1 Tumpahan Minyak

Pelaksanaan kegiatan usaha migas, pada hakekatnya merupakan kegiatan

yang memiliki standar operasional prosedur (SOP), dimana setiap rangkaian

kegiatan memiliki prosedur yang baku, mulai tahap persiapan hingga pasca

operasi, begitu juga kondisi emergency. Pelaksanaan kegiatan migas terdiri dari

empat tahapan baik di darat maupun di laut yakni: 1) tahap pra konstruksi, 2)

tahap konstruksi, 3) tahap operasi dan 4) tahap pasca operasi. Pada beberapa

tahapan kegiatan, berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti

dari limbah hasil proses produksi yang dihasilkan maupun dari kejadian

emergency. Bahan-bahan yang menjadi limbah dari sisa hasil produksi dan

emergency tersebut dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan hidup

dan sumberdaya alam.

Pada tahap operasi potensi tumpahan minyak dapat terjadi melalui

kebocoran pipa dan semburan liar sewaktu pengeboran sumur produksi.

Sedangkan pada tahap pasca operasi, tumpuhan minyak dapat terjadi sewaktu

pengapalan dan pengangkutan. Tumpahan minyak tersebut dapat berdampak

secara langsung terhadap ekosistem dan lingkungan hidup serta manusia yang ada

disekitarnya. Besaran dampak akibat tumpahan minyak sangat ditentukan oleh

volume dan frekuensi tumpahan yang terjadi.

Tabel 15 Frekuensi dan jumlah tumpuhan minyak pada KKKS

2003 2004 2005 2006 2007 KKKS frek barel frek barel frek barel frek barel frek barel

BP Indonesia - - - - 1 47.0 1 3.5 - -

Caltex Pacific Indonesia

6 274.0 6 470.0 5 189.0 - - - -

Conoco Phillips 9 364.0 - - 2 52.5 - - 2 200.0

Exxon Mobil Oil Indonesia

- - - - 1 55.0 - - - -

Unocal Indonesia 20 554.1 - - - - 1 13.5 - -

Total EP Indonesia - - - - - - - - - -

CNOOC SES - - 2 195.0 1 183.3 1 6.6 1 31.7

Petro China - - - - - - - - 2 177.0

Medco EP Indonesia - - 1 250.0 5 130.0 - - 3 118.0

Kondur Petroleum - - 1 20.0 1 15.0 - - 1 6.9

Pearl Oil (Tungkal) Ltd - - - - 1 89.4 - - - -

PT Pertamina EP - - - - 2 25.0 2 111.0 5 452.0

Total 35 1192.1 10 935.0 19 786.2 19 786.2 19 786.2

Sumber: Ditjen Migas, 2007

108

Pada tahun 2003, tumpahan minyak terjadi sebanyak 35 kali dengan

volume 1.192,1 barrel. Tumpahan tertinggi terjadi pada KKKS Unocal Indonesia

yakni sebanyak 20 kali dengan volume sekitar 554,1 barrel. Sementara pada tahun

2004, tumpahan minyak terjadi sebanyak 10 kali dengan volume 935,0 barrel.

Tumpahan tertinggi terjadi pada KKKS Caltex Pacific Indonesia yakni sebanyak 6

kali dengan volume sekitar 470,0 barrel. Tumpahan minyak pada tahun 2005,

terjadi sebanyak 19 kali dengan volume 786,2 barrel, dengan tumpahan tertinggi

terjadi pada KKKS Caltex Pacific Indonesia yakni sebanyak 5 kali dengan volume

189,0 barrel.

Tabel 16 Tumpahan minyak (barel) periode 2000-2007 Tahun Hilir Hulu 2000 4.007,6 17.570,0 2001 - 11.522,0 2002 - 6.467,0 2003 - 1.192,1 2004 5.000,0 9.801,6 2005 - 770,9 2006 - 1.188,6 2007 452,0 144,9

Sumber: Ditjen Migas, 2007

Potensi tumpahan minyak juga dapat terjadi pada operasi hilir atau

pemasaran/niaga, baik dari transportasi melalui pipa maupun kapal.

Sesungguhnya tumpuhan minyak yang terjadi, umumnya merupakan kejadian

emergency, yang terjadi karena kebocoran atau pecahnya tanker. Tumpahan

minyak dapat menimbulkan dampak pencemaran bahkan kerusakan lingkungan

hidup bila tidak ditanggulangi dengan segera, karena lapisan minyak yang

menutupi permukaan air dapat menyebabkan kurangnya cahaya yang masuk

kedalam perairan, sehingga fotosintensis tidak terjadi dan berdampak terhadap

matinya berbagai biota perairan, termasuk matinya terumbu karang. Jika

tumpuhan minyak menutupi akar mangrove serta tumbuhan hijau di daratan.

Tumpahan minyak tersebut menutupi akar nafas dari mangrove, sehingga

mangrove mengalami kekurangan oksigen dan akhirnya mengalami kematian

(Dahuri et al., 1996).

109

Tumpahan minyak merupakan keadaan darurat (emergency) yang selama

ini tidak dikaji di dalam AMDAL, padahal hal tersebut dapat menimbulkan

pencemaran dan bahkan kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan hidup

menurut UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah

masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen

lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat

berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Definisi tersebut sangat sulit dijabarkan,

sehingga perlu dirumuskan definisi pencemaran lingkungan hidup yang lebih

operasional. Hasil penelitian diperoleh bahwa pencemaran lingkungan hidup

adalah turunnya kualitas lingkungan hidup dan atau ekosistem yang disebabkan

oleh aktivitas manusia, sehingga tidak berfungsi lagi sesuai peruntukkannya pada

waktu dan wilayah tertentu. Sedangkan perusakan lingkungan hidup menurut UU

No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup adalah tindakan yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik

dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi

dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Pada hakekatnya, kerusakan

lingkungan hidup adalah terjadinya perubahan ekosistem (fisik, kimia, hayati

termasuk sosial ekonomi dan budaya) yang disebabkan oleh aktivitas manusia

Gambar 6 Volume tumpahan minyak pada kegiatan hulu dan hilir migas

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

18000

Barel

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Tahun

HULUHILIR

110

secara langsung maupun tidak langsung sehingga menyebabkan terhambatnya

pembangunan yang berkelanjutan pada waktu tertentu.

Masih seringnya terjadi tumpuhan minyak (emergency) yang

menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sehingga

membutuhkan penanganan keadaan darurat yang terencana. Menurut Suratmo

(2002), bahwa walaupun dampak emergency belum pasti terjadi (uncertain

negative impact), tapi harus dikaji di dalam AMDAL.

Selain dari tumpahan minyak dapat juga terjadi pencemaran dan kerusakan

lingkungan akibat semburan liar (blow out) dari sumur pemboran baik umur

eksploitasi maupun sumur produksi, semburan liar yang biasanya diikuti dengan

kebakaran yang dapat mengakibatkan kerugian waktu, biaya dan rusaknya

lingkungan. Semburan liar merupakan peristiwa mengalirnya fluida (minyak, gas

dan air) dari formasi kedalam sumur, lalu menyembur ke permukaan tanpa dapat

dikendalikan (Purnomo dan Tobing, 2007).

5.3.2 Kualitas Limbah Cair

Polusi air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, bukan

dari kemurniannya. Air yang tersebar di alam tidak pernah terdapat dalam bentuk

murni, tapi bukan berarti semua air terpolusi. Sebagai contoh, meskipun di daerah

pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara yang bersih dan bebas dari

polusi, air hujan selalu mengandung bahan-bahan terlarut seperti CO2, O2 dan N2

serta bahan-bahan tersuspensi seperti debu dan partikel-partikel lainnya yang

terbawa dari atmosfer (PPLH UNSRI, 2003).

Salah satu hasil sampingan dari kegiatan industri migas adalah limbah cair

dengan kadar minyak yang tinggi, limbah cair ini dapat mencemari terhadap

perairan di sekitarnya, dapat menurunkan kualitas lingkungan dan menimbulkan

dampak negatif terhadap kualitas air apabila dibuang secara langsung tanpa diolah

terlebih dahulu. Untuk mengurangi kadar minyak yang tinggi tersebut maka

diperlukan suatu sistem pengolahan (Effendi, 2003).

Kualitas air digunakan baku mutu kualitas air limbah untuk kegiatan usaha

migas yang ditetapkan berdasarkan surat keputusan menteri negara lingkungan

hidup No. 42 tahun 1996 tentang baku mutu limbah bagi usaha dan/atau kegiatan

111

minyak dan gas serta panas bumi. Parameter kualitas limbah cair yang dianalisis

yakni minyak dan lemak, COD, sulfida dan amoniak.

a. Minyak dan Lemak

Keberadaan minyak dan lemak dalam limbah cair atau dalam badan air

akan membentuk lapisan yang tipis disebut film minyak pada permukaan air

(massa jenis minyak/lemak lebih kecil dari massa jenis air). Lapisan tipis ini akan

menghambat kelarutan udara terutama oksigen ke dalam badan air padahal

kelarutan oksigen dalam air dibutuhkan oleh biota perairan. Selain itu keberadaan

lapisan minyak dalam badan air akan menghambat masuknya cahaya matahari ke

dalam air, sehingga proses fotosintesis dalam badan air akan terhambat. Proses

fotosintesis sangat berguna untuk meningkatkan kandungan oksigen yang terlarut

dalam badan air. Kadar maksimum minyak dan lemak dalam limbah cair adalah

35 mg/l.

Kandungan minyak dan lemak dalam perairan dapat berasal dari berbagai

sumber, antara lain: pembersihan dan pencucian kapal tangker (water blase),

pengeboran minyak di dekat perairan, kebocoran kapal pengangkut minyak serta

sumber-sumber lainnya seperti buangan pabrik. Hal tersebut, disebabkan karena

minyak tidak larut dalam air, sehingga apabila terjadi tumpahan minyak di

perairan maka, minyak akan mengapung dan dalam beberapa hari akan

mengalami penguapan dan mengalami emulsifikasi yang akhirnya air dan minyak

dapat bercampur.

Gambar 7 Kandungan minyak lemak di enam lokasi kegiatan usaha migas

- 5 10 15 20 25 30 35 40

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

mg/L

CPI Duri Pertamina PlajuSuryaraya Teladan Lapindo BrantasExpan Toili BP Tangguh Baku Mutu Lingkungan

112

Hasil pemantauan yang dilakukan pada enam perusahaan migas, pada

masing-masing lokasi masih memiliki kandungan minyak dan lemak di bawah

baku mutu lingkungan yang ditetapkan. Kondisi tersebut dimungkinkan karena

pada umumnya perusahaan migas dalam melakukan operasi telah menerapkan dan

menggunakan teknologi tinggi, dengan kemungkinan kebocoran minyak yang

sangat kecil. Disisi lain, apabila terjadi kebocoran minyak, kesiapan penanganan

keadaan darurat (emergency response plan) dan treatment merupakan prosedur

utama, sehingga kemungkinan untuk menjumpai luberan minyak ataupun

kandungan minyak lemak di atas ambang batas sangat jarang. Kadar minyak dan

petroleum yang diperkenankan terdapat pada air minum berkisar antara 0,01-0,1

mg/l. Kadar yang melebihi 0,3 mg/l bersifat toksik terhadap beberapa jenis ikan

air tawar (Effendi, 2003).

b. Hidrogen Sulfida

Senyawa hidrogen sulfida (H2S) merupakan senyawa yang terbentuk dari

penguraian anaerobik terhadap senyawa yang mengandung belerang. Senyawa ini

akan menimbulkan bau dan warna terhadap badan air dimana H2S ini bersifat

racun terhadap biota perairan. Baku mutu lingkungan berdasarkan Kepmen LH

No. 42 tahun 1996 untuk bahan pencemar adalah 1,0 mg/l.

Gambar 8 Kandungan H2S di enam lokasi kegiatan usaha migas

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

mg/L

Pertamina Plaju CPI Duri Suryaraya Teladan

Lapindo Brantas BP Tangguh Expan Toili

Buku Mutu Lingkungan

113

Hasil pemantauan yang dilakukan pada enam perusahaan migas,

ditemukan bahwa pada tahun 1993 di lokasi Pertamina UP III Plaju kandungan

H2S melebihi baku mutu lingkungan yang ditetapkan namun di tahun berikutnya

hingga tahun 2007 kadungan H2S di bawah baku mutu lingkungan yang

ditetapkan (0,5 mg/l). Sedangkan pada perusahaan PT.CPI Lapangan Duri,

kandungan H2S melebihi baku mutu lingkungan (1,0 mg/l) terjadi pada tahun

1994-1995 dan selanjutnya terjadi penurunan hingga tahun 2006. Gambar 8

menunjukkan bahwa perusahaan sangat peduli pada lingkungan. Hal tersebut

tergambarkan pada nilai H2S yang dari tahun ke tahun berada di bawah baku mutu

lingkungan untuk H2S (0,5 mg/l).

c. Kebutuhan Oksigen Kimiawi

Kebutuhan oksigen kimiawi/chemical oxygen demand (COD)

menunjukkan kandungan bahan organik dan anorganik yang dapat didegradasi

dan dinyatakan dengan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses

degradasinya. Makin tinggi nilai COD pada badan air (air permukaan) dan air

limbah maka kualitas air tersebut makin buruk. COD menggambarkan jumlah

total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi,

baik yang dapat didegradasi secara biologi (biodegradable) maupun yang sukar

didegradasi secara non biologi (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O

(Effendi, 2003).

0

50

100

150

200

250

300

350

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

mg/L

Pertamina Plaju CPI Duri Suryaraya Teladan Lapindo Brantas BP Tangguh Expan ToiliBaku Mutu Lingkungan

Gambar 9 Kandungan COD di enam lokasi kegiatan usaha migas

114

Hasil pemantauan diperoleh bahwa pada enam lokasi kegiatan usaha migas

ternyata tidak terdapat kandungan kebutuhan oksigen kimiawi (COD) yang

melebihi baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan (300 mg/l). Hal tersebut

dimungkinkan karena dalam kegiatan usaha migas telah diterapkan penggunaan

teknologi yang ramah lingkungan, serta telah dilakukan pengelolaan limbah.

Kesemua hal tersebut menjadi perhatian serius dari perusahaan yang beroperasi,

sehingga kemungkinan kandungan COD yang melebihi baku mutu lingkungan

tidak dan jarang terjadi.

d. Amoniak Bebas

Amoniak dalam air permukaan (badan air) dapat berasal dari hasil degradasi

baik secara aerobik maupun anaerobik, bahan yang mengandung unsur nitrogen

misalnya protein. Adanya amoniak dalam air permukaan dapat menimbulkan bau.

Batas maksimum amoniak yang diperbolehkan berdasarkan Kepmen LH No. 42

tahun 1996 adalah 10 mg/l.

Gambar 10 Kandungan amoniak di enam lokasi kegiatan usaha migas

Berdasarkan Gambar 10 menunjukkan bahwa kandungan amoniak di

Pertamina-Suryaraya Teladan pada awal operasi melebihi baku mutu amoniak

yang telah ditetapkan (10 mg/l) dan mengalami penurunan mulai dari tahun 2001

hingga tahun 2006. Hal ini terjadi karena meningkatnya penggunaan teknologi

0

2

4

6

8

10

12

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

mg/L

Pertamina Plaju CPI DuriSuryaraya Teladan Lapindo BrantasBP Tangguh Expan ToiliiBaku Mutu Lingkungan

115

yang digunakan untuk mengurangi kandungan amoniak. Sedangkan pada PT.CPI

Lapangan Duri dan Pertamina UP III Plaju, kandungan amoniaknya dari tahun

1993-2006 tidak melampaui baku mutu amoniak yang telah ditetapkan (10 mg/l).

Demikian pula kandungan amoniak di BP Tangguh, PT.Lapindo dan Expan Blok

Toili yang dipantau dari tahun 2001-2006 tidak melampaui batas baku mutu yang

telah ditetapkan (10 mg/l).

5.3.3 Kualitas Udara dan Kebisingan

Pencemaran udara didefinisikan sebagai masuknya atau dimasukkannya

zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam udara ambien oleh kegiatan manusia,

sehingga mutu udaara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang meyebabkan

udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Sedangkan yang dimaksud

dengan emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari

suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya kedalam udara ambien yang

mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar (PPLH

UNSRI, 2003).

Udara adalah media pencampur untuk limbah gas. Limbah gas atau asap

yang diproduksi dari sisa pembakaran dan kendaraan bermotor, gas buangan

keluar menempati ruang atmosfir yang selanjutnya bercampur dengan asap hasil

pembakaran dan udara. Secara alamiah udara mengandung unsur kimia seperti

O2, N2, NO2, CO2, H2 dan lain-lain. Penambahan gas kedalam udara melampaui

kandungan alami akibat kegiatan manusia khususnya dalam pembukaan lahan,

pertambangan dan kegiatan migas dapat menimbulkan polusi yang akan

menurunkan kualitas udara.

Zat pencemar melalui udara diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu

partikel dan gas. Partikel adalah butiran halus yang masih mungkin terlibat

dengan mata telanjang seperti uap air, debu, asap, kabut dan fume, namun yang

dikaji dalam penelitian ini hanya partikel debu. Sedangkan pencemaran berbentuk

gas hanya dapat dirasakan melalui penciuman (untuk gas tertentu) atau akibat

langsung antara lain SO2, Nox, CO, CO2, hidrogen dan lain-lain.

116

a. Kandungan SO2

Sifat dari gas SO2 adalah gas yang tidak berwarna, namun memiliki bau

sangat tajam. Bahan-bahan yang mengandung belerang teroksidasi membentuk

sulfur dioksida. Sulfur dioksida dapat berubah menjadi asam belerang (asam

sulfat) di atmosfir dan di dalam jaringan tubuh manusia. Sulfur dioksida stabil

dalam beberapa hari, di udara teroksidasi menjadi SO3 yang akhirnya membentuk

aerosol asam higroskopik H2SO4 lalu akan terjadi hujan asam. Gas SO2 dapat

merusak tanaman, menyebabkan korosi pada permukaan logam dan merusak

bahan nilon dan lain-lain (PPLH-UNSRI, 2003).

Kandungan SO2 di udara diduga berasal dari bocoran gas alam pada SKG,

bocoran dari separator minyak pada stasiun pengumpul, sisa pembakaran pada

flare dan genset. Data hasil pemantauan untuk enam lokasi kegiatan usaha migas

menunjukkan bahwa nilai kandungan SO2 di lingkungan relatif sangat kecil, jauh

di bawah baku mutu (0,365 ppm) berdasarkan peraturan pemerintah No. 41 tahun

1999 tentang pengendalian pencemaran udara (baku mutu ambien nasional).

Gambar 11 Kandungan SO2 di enam lokasi kegiatan usaha migas

b. Kandungan H2S

Senyawa H2S dalam bentuk gas bersifat racun dan berbau busuk, H2S di

udara pada musim hujan akan larut dalam air yang merubah sifak fisik air

0

100 200 300 400 500 600 700 800 900

1000

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Pertamina Plaju CPI Duri Suryaraya Teladan Lapindo BrantasBP Tangguh ExpanToili Baku Mutu Lingkungan

117

menjadi hitam, dan dengan senyawa besi membentuk Fe2S. Kandungan H2S

dapat berasal dari sisa pembakaran pada flare atau pada genset dan sisa tumpahan

minyak mentah yang tercecer maupun pada oil catcher yang menguap akibat dari

penguapan oleh panas matahari.

Nilai kandungan dalam udara di lingkungan dari hasil pelaporan relatif

sangat kecil dan masih di bawah baku mutu lingkungan yang ditetapkan.

Indikator ini diperkuat dengan tidak adanya keluhan dari pekerja dan masyarakat

desa sekitar mengenai gangguan pernafasan. Demikian juga tingkat korosif di

lokasi yang dipantau umumnya kurang terlihat.

Gambar 12 Kandungan H2S di enam lokasi kegiatan usaha migas

c. Kandungan NOx

Kandungan NOx terbentuk pada temperatur tinggi dan pada kondisi kaya

oksigen. Sumber pembentuk NOx dari kegiatan penambangan minyak dapat

berasal dari flare pada gas buangan di daerah pengeboran maupun pada stasiun

pengumpul dan dapat berasal dari aktivitas kendaraan operasional dari dan

menuju lokasi.

Dengan demikian, temperatur tinggi pada pembakaran gas sisa di flare,

kendaraan operasional, dari knalpot genset dapat mendorong terbentuknya

nitrogen monoksida. Jika pada saat pembentukan pada temperatur tinggi dan pada

0.0000

0.0050

0.0100

0.0150

0.0200

0.0250

0.0300

0.0350

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Pertamina Plaju CPI Duri Suryaraya Teladan Lapindo BrantasBP Tangguh Expan Toili Baku Mutu Lingkungan

118

kondisi oksigen berlebihan. Kehadiran NOx adalah sama seperti kandungan SO2.

Hasil pelaporan pemantauan di enam lokasi kegiatan usaha migas menunjukkan

bahwa tingkat kandungan NOx dalam udara di lingkungan relatif rendah masih di

bawah nilai baku mutu lingkungan. Oleh karena itu wajar, bila pengaruh terhadap

lingkungan pada saat ini belum terjadi seperti belum adanya gangguan

pertumbuhan vegetasi ataupun kesehatan pekerja.

Gambar 13 Kandungan NOx di enam lokasi kegiatan usaha migas

Hasil pemantuan kinerja lingkungan tampak bahwa kandungan NOx pada

enam lokasi pengamatan untuk enam lokasi kegiatan usaha minyak dan gas

diperoleh bahwa kandungan NOx terukur tidak melebihi baku mutu lingkungan

yang dipersyaratkan. Kandungan NOx dari masing-masing lokasi pengamatan

menunjukkan kecenderungan yang menurun dari tahun ke tahun. Kondisi ini

mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan pada kegiatan usaha migas telah

menjadi perhatian utama. Penggunaan teknologi pengelolaan limbah dan buangan

serta dampak yang dapat muncul telah menjadi salah satu prioritas utama dalam

kegiatan usaha migas.

d. Kebisingan

Pengukuran kualitas udara dan kebisingan dilakukan pada lokasi lapangan

minyak dan gas yang sudah beroperasi. Analisis terhadap data kualitas lingkungan

0.0000

50.0000

100.0000

150.0000

200.0000

250.0000

300.0000

350.0000

400.0000

450.0000

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Pertamina Plaju CPI Duri Suryaraya Teladan Lapindo BrantasBP Tangguh Expan Toili Baku Mutu Lingkungan

119

yang diperoleh dari lapangan akan selalu didasarkan pada baku mutu lingkungan

(BML) yang telah ditetapkan. Penilaian untuk kebisingan digunakan baku mutu

bagi kawasan industri berdasarkan keputusan menteri LH No. 48 tahun 1996.

Hasil analisis kebisingan pada pemantauan periode 1993-2006 disajikan pada

Gambar 14.

Sumber bising pada lokasi pemantauan berasal dari kompresor gas pada

booster dan SKG, selain dari genset dan pompa. Pemantauan dilakukan hanya

untuk kawasan industri (pusat) dengan baku mutu bising (>70 dBA) berdasarkan

keputusan menteri LH No. 48 tahun 1996 untuk kawasan industri.

Berdasarkan Gambar 14 menunjukan bahwa tingkat kebisingan pada enam

lokasi kegiatan migas tidak ada yang melampaui baku mutu bising sebagaimana

yang telah ditetapkan pada Kepmen LH No. 48 tahun 1996. Hasil ini diperkuat

dengan tidak adanya keluhan dari pekerja dan masyarakat sekitar daerah industri.

Tingkat kebisingan merupakan hal yang perlu dicermati karena dapat diukur

secara langsung (didengar) oleh pekerja dan masyarakat di sekitarnya. Untuk

mereduksi kebisingan dapat dilakukan penanaman pohon-pohon seperti bambu

atau pohon-pohon tegakan tinggi di sekitar sumber kebisingan (pompa, genset

atau kompresor).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Pertamina Plaju CPI Duri Suryaraya Teladan Lapindo BrantasBP Tangguh Expan Toili Baku Mutu Lingkungan

Gambar 14 Kebisingan di enam lokasi kegiatan usaha migas

120

5.3.4 Aspek Sosial Ekonomi

Aspek sosial ekonomi di dalam penyusunan dokumen AMDAL didasarkan

pada keputusan menteri No. 229 tahun 1996 tentang pedoman kajian aspek sosial

ekonomi. Di dalam keputusan menteri tersebut, salah satu parameter untuk

mengukur aspek sosial adalah pendapatan domestik regional bruto (PDRB).

Perkembangan PDRB merupakan salah satu kriteria penilaian keberhasilan

pembangunan daerah. Keadaan ekonomi makro regional suatu daerah dapat

dilihat dari perkembangan PDRB, baik dari besaran nilainya maupun perkapita.

Distribusi PDRB suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya sumbangan yang

diberikan oleh tiap-tiap sektor yang terbagi dalam beberapa sub sektor.

Indikator lain yang digunakan untuk mengukur aspek sosial ekonomi pada

enam kegiatan usaha migas adalah aspek pendidikan dan kesehatan. Kedua aspek

tersebut merupakan aspek sosial masyarakat yang umumnya banyak digunakan

sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dari sisi sosial masyarakat. Aspek

pendidikan dapat diidentifikasi berdasarkan perkembangan jumlah gedung

sekolah maupun taraf pendidikan (lamanya sekolah), sedang aspek kesehatan

diidentifikasi berdasarkan perkembangan jumlah gedung kesehatan dan tingkat

kesehatan masyarakat.

Berdasarkan daerah operasi kegiatan migas yang dikaji pada enam lokasi

kegiatan usaha migas yakni PT.CPI Duri Kabupaten Bengkalis, Pertamina UP III

Plaju Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin, Pertamina-Suryaraya

Teladan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi Banyuasin, PT.Lapindo

Kabupaten Sidoarjo, Expan Toili Sulawesi Kabupaten Morowali dan BP Tangguh

Kabupaten Sorong.

121

Gambar 15 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan

Kabupaten Bengkalis (BPS Kabupaten Bengkalis, 1986-2005)

Berdasarkan Gambar 15 menunjukkan bahwa kontribusi sektor migas

sangat mempengaruhi perekonomian daerah Kabupaten Bengkalis. Kondisi ini

terjadi seiring berkembangnya sektor migas salah satunya sejak beroperasinya

PT.CPI Lapangan Duri di Kabupaten Bengkalis. Namun, peningkatan sektor

migas terhadap PDRB Kabupaten Bengkalis tidak mempengaruhi perkembangan

jumlah gedung sekolah sebagai salah satu parameter dari sektor pendidikan

demikian halnya pada perkembangan jumlah fasilitas kesehatan. Hal ini

menggambarkan bahwa kontribusi sektor migas tidak dinikmati secara merata,

khususnya yang berkaitan dengan dimensi sosial masyarakat. Saat ini, sumbangsih

sektor migas lebih menjadi sumber APBD yang selanjutnya menjadi bagian dari

belanja dan penggunaan anggaran daerah dalam pembangunan. Rendahnya

korelasi antara sumbangan migas terhadap pertumbuhan pendidikan dan

kesehatan, lebih disebabkan oleh fokus dan penekanan pembangunan daerah

bersangkutan. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan sarana penerangan

(listrik) lebih menjadi fokus pemerintah daerah Kabupaten Bengkalis.

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

1986

19

87

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gedung sekolah (unit)Fasilitas kesehatan (unit)PDRB tanpa Migas (Rp. X 10000)PDRB dengan Migas (Rp. X 10000)

122

Gambar 16 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kota Palembang (BPS Kota Palembang, 1986-2005)

Berdasarkan Gambar 16 menunjukkan bahwa dengan berkembangnya

sektor migas di Kota Palembang, perekonomian daerah (PDRB) meningkat secara

signifikan. Kondisi ini terjadi sejak beroperasinya Pertamina UP III Plaju pada

tahun 1993. Namun, peningkatan ini tidak diiringi oleh peningkatan jumlah

gedung sekolah dan jumlah fasilitas kesehatan di Kota Palembang. Hal ini berarti

peningkatan kontribusi sektor migas tidak mempengaruhi sektor pendidikan dan

sektor kesehatan di Kota Palembang.

Kontribusi sektor migas terhadap PDRB Kota Palembang, menunjukkan

perkembangan yang signifikan. Kontribusi migas tampak pada tahun 2002,

mengalami peningkatan terus menerus hingga tahun 2005. Namun kondisi

tersebut belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap kondisi sosial

masyarakat seperti pertumbuhan taraf pendidikan yang ditandai dengan masih

minimnya gedung sekolah serta perkembangan jumlah tahunan yang rendah.

Demikian pula untuk sektor kesehatan dimana perkembangan jumlah gedung

kesehatan belum menunjukkan hubungan yang signifikan dengan sumbangan

sektor migas di Kota Palembang.

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gedung sekolah (unit)

Fasilitas kesehatan (unit)

PDRB tanpa Migas(Rp. x10000)

PDRB dengan Migas(Rp. x10000)

123

Gambar 17 Perkembangan PDRB, gedung dan fasilitas kesehatan Kabupaten Sidoarjo (BPS Kabupaten Sidoarjo, 1986-2005)

Berdasarkan Gambar 17 menunjukkan bahwa kontribusi sektor migas

tidak terlalu signifikan mempengaruhi perekonomian daerah Kabupaten Sidoarjo.

Kontribusi sektor migas baru dinikmati mulai pada tahun 2001 karena pada tahun

tersebut sektor migas mulai berkembang, salah satunya dengan beroperasinya

PT.Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo. Namun, kontribusi sektor migas tidak

mempengaruhi perkembangan jumlah gedung sekolah dan fasilitas kesehatan di

Kabupaten Sidoarjo.

Kontribusi sektor migas terhadap PDRB dan pertumbuhan ekonomi yang

diukur dari sisi kesejahteraan sosial di Kabupaten Sidoarjo tidak menunjukkan

hubungan yang signifikan. Kondisi tersebut, sangat dipengaruhi oleh kondisi

daerah secara umum yang didominasi oleh sektor industri. Hal ini, tampak pada

perkembangan PDRB tanpa migas sama dengan perkembangan PDRB dengan

migas. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi secara mikro di Kabupaten

Sidoarjo dalam kaitannya dengan sumbangan PDRB sektor migas masih sangat

rendah. Namun demikian, perkembangan ekonomi secara makro tetap

memberikan sumbangan yang besar. Kesempatan kerja dan peluang berusaha di

sektor migas tetap menjadi bagian dari perkembangan dan pertumbuhan ekonomi

Kabupaten Sidoarjo.

0

50

100

150

200

250

300

350

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gedung sekolah (unit)

Fasilitas kesehatan (unit)

PDRB tanpa Migas(Rp. x100000)

PDRB dengan Migas(Rp. x100000)

124

Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Muara Enim diukur

dari perkembangan PDRB dengan migas, PDRB tanpa migas dan jumlah gedung

sekolah. Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa sejak tahun 1995

perkembangan sektor migas memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

perekonomian daerah, hal ini terlihat dari perkembangan PDRB dengan migas dan

PDRB tanpa migas. Namun, kontribusi sektor migas terhadap PDRB ternyata

tidak mempengaruhi perkembangan jumlah gedung sekolah dan fasilitas

kesehatan di Kabupaten Muara Enim.

Masih minimnya sumbangsih sektor migas terhadap pertumbuhan

ekonomi mikro dan kesejahteraan sosial masyarakat, lebih disebabkan oleh

konsep pemerataan pembangunan daerah yang masih sangat bergantung pada

pertumbuhan dan perkembangan jumlah APBD. Prioritas pembangunan lebih

dikedepankan pada infrastruktur jalan dan aksesibilitas informasi serta

pembiayaan pembangunan dan belanja daerah.

Gambar 18 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Muara Enim (BPS Kabupaten Muara Enim, 1986-2005)

Kondisi di Kabupaten Muara Enim tidak jauh berbeda dengan yang terjadi

di Kabupaten Musi Banyuasin. Kontribusi sektor migas sangat mempengaruhi

perekonomian daerah, terlihat dari perbedaan nilai PDRB tanpa migas dan PDRB

dengan migas yang tinggi mulai tahun 1995. Namun, disisi lain perkembangan

0

200

400

600

800

1000

1200

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gedung sekolah (unit)

Fasilitas kesehatan (unit)

PDRB tanpa Migas(Rp. x10000)

PDRB dengan Migas(Rp. x10000)

125

jumlah gedung sekolah dan jumlah fasilitas kesehatan sangat jauh berbeda dengan

perkembangan PDRB dengan migas. Jumlah gedung sekolah dan fasilitas

kesehatan berdasarkan Gambar 19 tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan

atau dianggap tidak ada peningkatan dari tahun ke tahun.

Gambar 19 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin (BPS Kabupaten Musi Banyuasin, 1986-2005)

Sumbangan sektor migas terhadap PDRB menunjukkan nilai yang

signifikan terutama pada dua tahun terakhir. Kondisi ini menunjukkan bahwa

sektor migas di Kabupaten Musi Banyuasin menjadi tulang punggung

pembangunan daerah. Namun demikian sumbangan sektor yang besar tersebut,

belum memberikan sumbangan yang nyata terhadap aspek kesejahteraan sosial

masyarakat seperti taraf pendidikan dan tingkat kesehatan. Kedua aspek tersebut

diukur dari sisi perkembangan jumlah fasilitas gedung sekolah dan gedung

kesehatan. Berdasarkan data yang diperoleh kedua aspek tersebut belum

mengalami perkembangan yang berarti. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh

pemerataan pembangunan dan prioritas pembiayaan pembangunan. Kedua faktor

tersebut menjadi jawaban terhadap belum signifikannya sumbangan migas

terhadap aspek kesejahteraan sosial.

Perkembangan PDRB dengan migas dan PDRB tanpa migas Kabupaten

Morowali, menunjukkan perbedaan yang sangat kecil. Kontribusi sektor migas

0 200 400

600 800

1000 1200

1400 1600 1800

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gedung sekolah (unit)

Fasilitas kesehatan (unit)

PDRB tanpa Migas(Rp. x10000)

PDRB dengan Migas(Rp. x10000)

1992

126

mulai terlihat pada tahun 2001, yakni pada tahun tersebut sektor migas mulai

berkembang dengan beroperasinya PT.Expan Toili di Kabupaten Morowali.

Gambar 20 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Morowali (BPS Kabupaten Morowali, 1986-2005)

Perkembangan PDRB tanpa migas tidak berbeda dengan perkembangan

PDRB dengan migas. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh besarnya peranan

sektor-sektor lain seperti perkebunan dan pertanian, perikanan dan kelautan serta

kehutanan. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan

pembangunan sumbangan sektor migas belum memberikan dampak yang nyata

khususnya terhadap aspek sosial masyarakat yakni: taraf pendidikan dan tingkat

kesehatan masyarakat.

Kontribusi sektor migas di Kabupaten Sorong salah satunya dapat diukur

dari perkembangan PDRB. Pada Gambar 21 terlihat bahwa dari tahun 1993 sektor

migas mulai berkembang dengan nilai kontribusi terhadap perekonomian daerah

yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Namun, perkembangan sektor migas

tidak menujukkan pengaruh yang positif terhadap perkembangan jumlah gedung

sekolah dan fasilitas kesehatan di Kabupaten Sorong. Jumlah gedung sekolah dan

fasilitas kesehatan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan kenaikan. Hal ini

berarti kontribusi sektor migas yang begitu besar tidak merata pada seluruh sektor

di Kabupaten Sorong.

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gedung sekolah (unit)Fasilitas kesehatan (unit)

PDRB tanpa Migas(Rp.x1000)PDRB dengan Migas(Rp.x1000)

127

Gambar 21 Perkembangan PDRB, gedung sekolah dan fasilitas kesehatan Kabupaten Sorong (BPS Kabupaten Sorong, 1986-2005)

Perkembangan aspek sosial ekonomi yang diukur dari nilai PDRB, gedung

sekolah dan fasilitas kesehatan pada tujuh kabupaten/kota di enam lokasi kegiatan

usaha migas menunjukkan bahwa kontribusi sektor migas yang begitu besar tidak

dinikmati secara merata pada seluruh sektor di daerah.

Peningkatan PDRB secara umum dengan keberadaan perusahaan migas,

menunjukkan nilai yang signifikan. Kabupaten/kota dengan PDRB yang tinggi,

diharapkan mampu memberikan perkembangan terhadap pertumbuhan ekonomi

daerah, pemerataan sosial dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Peningkatan PDRB secara umum pada kabupaten/kota dimana perusahaan

beroperasi, ternyata tidak diikuti dengan perkembangan kondisi sosial yang

signifikan. Aspek pendidikan dan kesehatan merupakan indikator yang dapat

digunakan untuk melihat bagaimana kondisi sosial masyarakat.

Berdasarkan evaluasi aspek sosial ekonomi pada tujuh kabupaten/kota di

enam lokasi kegiatan usaha migas, diperoleh bahwa meskipun aspek ekonomi

makro yakni PDRB daerah mengalami peningkatan yang signifikan dengan

kehadiran perusahaan-perusahaan minyak tersebut, namun disisi lain aspek sosial

dengan menggunakan indikator pendidikan yakni perkembangan jumlah gedung

dan jumlah fasilitas kesehatan tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.

0

50

100

150

200

250

300

350

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

Gedung sekolah (unit)

Fasilitas kesehatan (unit)

PDRB tanpa Migas(Rp. X 10000)

PDRB dengan Migas(Rp. X 10000)

128

Kondisi ini menjadi permasalahan klasik yang umum dijumpai di daerah-daerah

lokasi kegiatan usaha migas dilakukan. Hal tersebut disebabkan karena tidak

diwajibkannya pembangunan dimensi sosial oleh perusahaan-perusahaan yang

beroperasi, namun hal tersebut hanya bersifat voluntary, sehingga dimensi sosial

masyarakat seperti pengembangan pendidikan masyarakat lokal sangat bergantung

pada keberpihakan perusahaan yang beroperasi. Dengan demikian, secara umum

pembangunan dimensi sosial tidak menjadi tanggung jawab perusahaan, namun

hanya menjadi bagian dari program kepedulian sosial semata. Tanggung jawab

kemudian dilimpahkan pada pemerintah daerah yang memperoleh share lifting

dari kegiatan usaha migas.

5.3.5 Nilai Ekonomi Lingkungan

Nilai ekonomi lingkungan merupakan nilai moneter dari sumberdaya alam

dan lingkungan. Estimasi nilai moneter telah banyak dilakukan dalam kerangka

pengembangan perhitungan biaya kerugian akibat dampak yang ditimbulkan dari

suatu kegiatan usaha pembangunan. Kegiatan usaha migas yang merupakan

kegiatan ektraksi sumberdaya alam memungkinkan menimbulkan dampak

terhadap lingkungan. Estimasi nilai ekonomi sejak awal perencanaan kegiatan,

semestinya dilakukan sebagai bagian dari penggambaran rona awal lingkungan

serta sebagai dasar atau acuan kompensasi kerusakan lingkungan.

Perhitungan nilai ekonomi lingkungan dalam penelitian ini, dilakukan

pada dua lokasi kegiatan usaha migas yakni pada perusahaan yang baru akan

beroperasi dan perusahaan yang telah lama beroperasi, dengan maksud kedua

lokasi kegiatan tersebut dapat menggambarkan nilai ekonomi lingkungan sebelum

kegiatan usaha migas dan setelah kegiatan usaha migas beroperasi.

1. Kabupaten Gresik

Kabupaten Gresik memiliki kawasan kepulauan yakni Pulau Bawean dan

beberapa pulau kecil di sekitarnya. Luas daratan wilayah Kabupaten Gresik

seluruhnya 1.192,25km2 terdiri dari 996,14 km2 luas daratan ditambah sekitar

196,11 km2 luas Pulau Bawean. Sedangkan luas wilayah perairan adalah 5.773,80

km2 yang sangat potensial dari sub sektor perikanan laut.

129

Jumlah penduduk Kabupaten Gresik yaitu 1.164.024 jiwa terdiri atas: laki-

laki 586.484 jiwa dan perempuan 577.540 jiwa yang tergabung dalam 286.986

keluarga. Jumlah pencari kerja di Kabupaten Gresik sebanyak 19.023 orang terdiri

atas: laki-laki 10.023 orang dan perempuan 9.211 orang. Tingkat pendidikan di

Kabupaten untuk tingkat SD/MI yaitu 187.041 orang (25,94%), tingkat SMP/MTs

sebanyak 638.933 orang (54,89%), tingkat SMA/MA 129.516 orang (11,13%),

dan untuk tingkat akademi/sarjana 11.175 (0.96%). Berdasarkan struktur

pendidikan, jumlah pencari kerja terdiri atas: tamat SD 3 orang (0,02%), tamat

SLTP 267 orang (1,39%), tamat SMA 6.918 rang (35.97%), tamat sekolah

kejuruan 5.188 orang (26,97%), tamat akademi 2.637 (13,71%) dan sarjana 4.221

(21,95%). Jumlah yang tenaga kerja yang telah ditempatkan sebanyak 1.822 orang

terdiri atas: laki-laki 1016 orang (55,76%) dan perempuan 806 orang (44,24%).

Perusahaan minyak di Gresik saat beroperasi kegiatan usaha Hess dengan

produksi maksimum minyak 20.000 barrel per hari dan produksi gas 100

MMSCFD. Ladang produksi diperkirakan selama 20 tahun.

Hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik baik

secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan manfaat kepada

masyarakat disekitarnya. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan suatu konsep

pengelolaan yang diawali dengan mengetahui seberapa besar total nilai ekonomi

dari hutan mangrove yang menjamin keberlanjutan sumberdaya.

Total nilai ekonomi hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah

dihitung dari manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan

manfaat keberadaan. Hasil perhitungan valuasi ekonomi diperoleh nilai ekonomi

total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah sebesar Rp.

1.235.996.678,00 per hektar per tahun dengan rinciannya disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Ujung Pangkah, 2007 No Jenis Manfaat Manfaat Ekonomi (Rp/ha/tahun)

1 Manfaat Langsung 541.677.344,00

2 Manfaat Tidak Langsung 692.096.552,00

3 Manfaat Pilihan 138.000,00

4 Manfaat Keberadaan 2.084.783,00

Nilai Ekonomi Total 1.235.996.678,00

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007

130

Berdasarkan hasil identifikasi, manfaat langsung hutan mangrove

mencakup manfaat usaha tambak, manfaat hasil kayu bakar dan manfaat

penangkapan hasil perikanan seperti kepiting, udang dan ikan. Sedangkan manfaat

tidak langsung dari hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah diperoleh

dengan pendekatan manfaat fisik dan manfaat biologi. Manfaat fisik adalah

sebagai penahan abrasi pantai yang diestimasi melalui replacement cost dengan

pembuatan beton pantai untuk pemecah gelombang (break waters). Hasil yang

diperoleh berdasarkan biaya pengganti dari nilai pemecah gelombang, yang diacu

dari estimasi yang dilakukan Aprilwati (2001) yaitu bahwa biaya pembangunan

fasilitas pemecah gelombang (break waters) ukuran 1 m x 11 m x 2,5 m (panjang

x lebar x tinggi) dengan daya tahan 10 tahun sebesar Rp. 4.153.880,00. Panjang

pantai hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah adalah 140 km, maka biaya

pembuatan pemecah gelombang dengan daya tahan 10 tahun seluruhnya adalah

Rp. 58,15 milyar.

Selain manfaat tidak langsung berupa fisik, hutan mangrove juga

memberikan manfaat biologi. Manfaat biologi berupa hutan mangrove sebagai

spawning ground yang diperoleh dengan pendekatan menghitung manfaat hutan

mangrove sebagai penyedia pakan alami bagi udang. Luas hutan mangrove pada

saat ini adalah 84,10 ha. Hal ini berarti bahwa udang yang dapat diproduksi

sebesar 16,32 ton per tahun. Produksi udang dikalikan dengan harga udang yang

ada dipasaran saat ini yaitu sebesar Rp. 125.000 per kg, diperoleh nilai manfaat

hutan mangrove sebagai spawning ground sebesar Rp. 606.421.000 per hektar

per tahun.

Untuk mengetahui manfaat pilihan ekosistem hutan mangrove di

Kecamatan Ujung Pangkah diperoleh dengan pendekatan manfaat sebagai

keanekaragaman hayati (biodiversity) dari ekosistem mangrove, dengan

menggunakan metode benefit transfer. Menurut Krupnick (1993) dalam Fauzi

(2004) bahwa benefit transfer bisa dilakukan jika sumberdaya alam tersebut

memiliki ekosistem yang sama, baik dari segi tempat maupun karakteristik pasar

(market characteristic). Mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan

mangrove di Teluk Bintuni Irian Jaya adalah sebesar US$ 15 per ha per tahun oleh

131

Ruitenbeek (1991). Nilai manfaat pilihan diasumsikan sama dengan nilai

biodiversity di Teluk Bintuni Irian Jaya.

Nilai manfaat pilihan didapatkan dengan mengalikan nilai biodiversity

dengan nilai kurs rupiah terhadap dollar pada saat penelitian yaitu sebesar Rp.

9.200. Berdasarkan perhitungan maka diperoleh hasil bahwa nilai manfaat pilihan

hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah adalah sebesar Rp. 138.000 per

hektar per tahun. Luas hutan mangrove di Kecamatan Ujung Pangkah adalah

seluas 84,10 ha, sehingga nilai manfaat pilihan (option value) secara keseluruhan

adalah Rp. 11.605.800 per tahun. Nilai tersebut dijadikan sebagai dasar untuk

melindungi sumberdaya alam dari kemungkinan pemanfaatannya untuk masa

datang.

Menghitung nilai manfaat keberadaan dari hutan mangrove didekati

dengan menggunakan teknik contingent valuation method (CVM). Metode ini

diterapkan kepada responden yang dipilih secara sengaja (purposive) sebanyak

115 responden. Nilai manfaat keberadaan hutan mangrove yang diperoleh sebesar

Rp. 2.084.783,00 per ha per tahun. Alasan dari responden menilai sumberdaya

seperti nilai di atas karena responden baik yang berhubungan langsung dengan

hutan mangrove maupun yang tidak berhubungan langsung akan bersedia untuk

mengeluarkan sejumlah uang untuk melindungi ekosistem hutan mangrove di

Kecamatan Ujung Pangkah. Umumnya responden mempunyai kesadaran bahwa

melindungi lingkungan dan sumberdaya alam merupakan tanggung jawab setiap

manusia agar tetap dapat mendukung kehidupannya secara berkelanjutan.

Berdasarkan Tabel 17 diperoleh manfaat tidak langsung memberikan nilai

manfaat hutan mangrove tertinggi dan memiliki persentasi paling besar

dibandingkan dengan manfaat lainnya. Manfaat tidak langsung dengan presentase

55,48% dengan nilai sebesar Rp. 692.096.552,00 per hektar per tahun. Nilai

tersebut lebih besar dari manfaat lainnya karena manfaat fisik berupa penahan

abrasi dan manfaat biologi sebagai penyedia pakan alami ternyata memiliki nilai

paling tinggi. Persentase nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove di Kecamatan

Ujung Pangkah dapat dilihat pada Gambar 22.

132

Manfaat Tidak

Langsung 55.48%

Manfaat Langsung 43.42%

Manfaat Pilihan 0.93%

Manfaat Keberadaan

0.17%

Gambar 22 Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Ujung Pangkah, 2007

Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Ujung

Pangkah sebesar Rp. 1.235.996.678,00 per hektar per tahun. Nilai ini masih terlalu

rendah bila melihat fungsi-fungsi ekosistem itu sendiri. Namun dengan nilai

tersebut, menggambarkan bahwa ternyata sumberdaya alam dan lingkungan hidup

dalam pemanfaatan minimal sekalipun memberikan nilai yang cukup tinggi.

Keberadaan nilai menjadi sangat penting sehubungan dengan keberlanjutan

pembangunan. Ketersedian sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan hidup

menjadi entry point pembangunan berkelanjutan. Selain itu nilai tersebut

memberikan alternatif dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan.

2. Kabupaten Bengkalis

Wilayah Kabupaten Bengkalis merupakan daratan rendah, rata-rata

ketinggian 2,0 – 6,1 meter diatas permukaan laut, sebagian besar merupakan tanah

organosol, yakni jenis tanah yang banyak mengandung bahan organik. Terdapat

sungai, danau serta pulau besar dan kecil yang berjumlah 26 buah.

Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis yaitu 711.233 jiwa, terdiri atas:

378.003 jiwa (53,15%) laki-laki dan 333.230 jiwa (46,85%) perempuan.

Berdasarkan tingkat pendidikan terdiri atas: tidak tamat sekolah sebanyak 143.811

jiwa (20,22%), tamat SD sebanyak 227.381 (31,97%), tamat SLTP sebanyak

138.619 (19,49%), tamat SLTA sebanyak 129.587 (18,22%), 42.603 (5,99%),

tamat sekolah kejuruan sebanyak 4.054 (0,57%), tamat diploma sebanyak 9.317

133

(1,31%), dan sarjana sebanyak 15.932 (2,24%). Untuk jumlah pencari kerja

sebanyak 3.064 orang terdiri atas: laki-laki 1.707 orang dan perempuan 1.359

orang. Sedang struktur penduduk pencari kerja berdasarkan pendidikan terdiri

atas: tamat SD 9 orang, tamat SLTP 49 orang, tamat SMA 1.970 orang, tamat

akademi 529 orang dan sarjana sebanyak 409 orang. Untuk lowongan pekerjaan

yang ada terdiri atas: sektor pertanian 7 orang, pertambangan 56 orang, industri

pengolahan 11 orang dan perbankan 36 orang.

Kabupaten Bengkalis merupakan potensi penghasil minyak terbesar kedua

di Indonesia setelah Kutai. Saat ini ladang-ladang minyak bumi terdapat di

Kecamatan Mandau, Bukit Batu dan Merbau pengelolaannya dilakukan oleh

perusahaan minyak PT. Caltex Pasific Indonesia dengan wilayah operasi di

Kecamatan Mandau dan Bukit Batu serta perusahaan minyak Kondur Petroleum

S.A yang wilayah konsesi/operasinya meliputi Kecamatan Merbau, Tebing

Tinggi, Rangsang, Bengkalis dan perairan Bengkalis sekitar Selat Malaka.

Produksi minyak mentah oleh PT CPI yaitu 295.000 barrel per hari, lebih dari

separuh produksi minyak Propinsi Riau yaitu 455.000 barrel per hari.

Selain memiliki potensi minyak bumi yang melimpah Kabupaten

Bengkalis juga memiliki potensi sumberdaya alam terbarukan antara lain: sektor

perikanan, pertanian dan holtikultura, serta sektor kehutanan. Untuk sektor

kehutanan Kabupaten Bengkalis memiliki hutan produksi seluas 322.931,46 ha,

atau sekitar 48,25% dari total hutan produksi propinsi Riau. Hutan produksi

tersebut dikelola oleh 13 perusahaan dengan total produksi per tahun mencapai

1.127.209 meter kubik.

Hasil perhitungan valuasi ekonomi Kecamatan Mandau Kabupaten

Bengkalis berupa hutan sekunder sebesar Rp. 1.244.786.305,00 per ha per tahun.

Nilai ekonomi total merupakan penjumlahan dari manfaat langsung, manfaat tidak

langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan.

Tabel 18 Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Mandau, 2007 No Jenis Manfaat Manfaat Ekonomi (Rp/Ha/Th) 1 Manfaat Langsung 1.160.141.198,00 2 Manfaat Tidak Langsung 80.400.000,00 3 Manfaat Pilihan 302.250,00 4 Manfaat Keberadaan 3.942.857,00

Nilai Ekonomi Total 1.244.786.305,00 Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007

134

Berdasarkan hasil identifikasi manfaat langsung yang diperoleh

masyarakat dari hutan sekunder adalah hasil getah karet, kelapa sawit dan arang.

Untuk manfaat tidak langsung dari ekosistem hutan sekunder yang berhasil

diidentifikasi adalah besarnya peranan ekosistem hutan sekunder sebagai

pencegah erosi, penjaga siklus makanan serta habitat flora dan fauna langka.

Untuk menghitung besarnya biaya pencegah erosi didekati berdasarkan

penggantian dari biaya yang diperlukan untuk rehabilitasi lahan apabila tidak ada

ekosistem hutan sekunder. Penafsiran penjaga silkus makanan terukur dari 20 ton

per ha per tahun serasah setara dengan harga kompos @ Rp3.700/kg. Sedangkan

untuk habitat flora dan fauna didekati dengan biaya penghijauan (reboisasi).

Manfaat pilihan hutan sekunder dalam penelitian ini diperhitungkan

berdasarkan manfaat keanekaragaman hayati yang dapat diperoleh dari

keberadaan hutan. Nilai manfaat keanekaragaman hayati hutan sekunder sebesar

US$32,5 per hektar per tahun, apabila keberadaan hutan tersebut secara ekologis

penting dan tetap terpelihara relatif alami (Ministry of State for Population and

Environment USA, 1993). Berdasarkan hasil analisis dengan 42 responden

diperoleh nilai manfaat keberadaan hutan mangrove sebesar Rp. 3.942.857,00 per

hektar per tahun. Persentase nilai ekonomi ekosistem hutan sekunder di

Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis, disajikan pada Gambar 23.

Manfaat Keberadaan,

0.32%

Manfaat Tidak Langsung,

5.39%

Manfaat Pilihan 0.02%

Manfaat Langsung,

94.26%

Gambar 23 Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Mandau, 2007

135

Nilai ekonomi total hutan sekunder di Kecamatan Mandau Kabupaten

Bengkalis yaitu Rp. 1.244.786.305,00 per hektar per tahun. Nilai ini sangat rendah

bila dibandingkan nilai produksi dari kegiatan usaha migas yang dilakukan,

namun dengan nilai sumberdaya tersebut telah memberikan gambaran yang jelas

bahwa pemanfaatan yang sangat minimal sekalipun sumberdaya alam dan

lingkungan hidup telah memberikan nilai yang cukup signifikan. Estimasi nilai

ekonomi lingkungan tersebut dapat memberikan pilihan-pilihan dalam

pemanfaatan sumberdaya alam.

Nilai ekonomi total tersebut memberikan gambaran betapa nilai dari suatu

sumberdaya dengan tingkat pemanfaatan yang paling sederhana sekalipun dapat

memberikan manfaat yang besar terhadap ekosistem dan manusia. Hasil ini

memberikanan gambaran bahwa suatu sumberdaya memiliki potensi pemanfaatan

dengan berbagai alternatif.

Berdasarkan nilai ekonomi lingkungan yang diperoleh dari hasil analisis

TEV, mengindikasikan bahwa sumberdaya alam dan lingkungan memerlukan

penghargaan yang lebih tinggi dan dapat menjadi dasar informasi secara

kuantitatif untuk menentukan berbagai pilihan pengelolaan sumberdaya alam serta

menjadi informasi dalam penentuan alternatif kebijakan. Penilaian dampak

pembangunan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan merupakan suatu

langkah menuju pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Namun,

pemahaman akan pentingnya pelaksanaan valuasi ekonomi masih sangat kurang

khususnya di kalangan pemerintah dan perusahaan. Hal ini terlihat dalam hasil

analisis PCA dan AHP, dimana strategi pengkajian nilai ekonomi lingkungan

sebagai pengembangan metode analisis dampak lingkungan dianggap kurang

penting bagi kalangan pemerintah dan pelaksana kegiatan (perusahaan migas).

Metode valuasi ekonomi lingkungan merupakan salah satu metode

pengumpulan data dan analisis data sebagaimana diatur dalam Kepdal No. 299

tahun 1996. Berdasarkan hasil review dokumen pada 7 lokasi kegiatan usaha

migas tidak satupun penyusun dokumen AMDAL yang menghitung valuasi

ekonomi. Hal ini terjadi karena penerapan Kepdal No. 299 tahun 1996 bukan

merupakan peraturan yang wajib dilaksanakan dalam menyusun dokumen

AMDAL.

136

Pada dasarnya valuasi ekonomi lingkungan penting dilakukan agar

lingkungan dipertimbangkan sebagai aset ekonomi sehingga AMDAL yang juga

merupakan bagian dari kelayakan suatu proyek dapat melihat untung rugi dari

konteks lingkungan secara moneter. AMDAL yang merupakan kajian dampak

besar dan penting terhadap lingkungan hidup, digunakan sebagai pertimbangan

pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL aspek fisik-

kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai

pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

Selain itu, nilai ekonomi lingkungan yang diperoleh dari hasil estimasi

sumberdaya alam dan lingkungan dapat dijadikan sebagai standar perhitungan

kompensasi maupun asuransi lingkungan (environment insurence). Dengan

demikian, suatu rencana kegiatan dapat berjalan dengan baik, sekalipun terjadi

hal-hal emergency maupun pencemaran terhadap lingkungan hidup (Fauzi, 2004).

Adapun pertimbangan-pertimbangan tentang pentingnya pelaksanaan

valuasi ekonomi dalam penyusunan AMDAL antara lain:

1) Sebagai salah satu aspek yang perlu ditambahkan dalam pengkajian proses

AMDAL.

2) Sebagai salah satu bahan pembuatan keputusan dalam pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan di sekitar kegiatan migas seperti mangrove,

perikanan, DAS, hutan, dan ekosistem lainnya.

3) Memberikan input informasi dalam mengukur jasa lingkungan.

4) Menggambarkan nilai suatu dampak lingkungan dari rencana usaha dan/atau

kegiatan secara lebih jelas dengan menyajikan kerugian lingkungannya.

5) Sebagai dasar perhitungan nilai ganti rugi lahan atas dampak lingkungan yang

akan ditimbulkan.

6) Memberikan nilai moneter terhadap dampak lingkungan yang diprakirakan

akan timbul. Hasil perhitungan tersebut akan menjadi dasar bagi penentuan

nilai penting suatu dampak pada tahap evaluasi dampak penting.

Valuasi ekonomi dimasukkan dalam penyusunan KA-ANDAL sebagai

bagian dari isu pokok, kemudian dikaji di dalam ANDAL yang dilakukan sebagai

salah satu analisis dampak besar dan penting terhadap sumberdaya alam dan

lingkungan hidup.

137

Valuasi ekonomi dipersyaratkan sebagai salah satu metode dalam

penyusunan AMDAL migas, yang nantinya hasil valuasi ekonomi dapat dijadikan

sebagai acuan di dalam penentuan ganti rugi atau kompensasi terhadap

pembebasan lahan masyarakat, tuntutan dari terjadinya pencemaran dan sebagai

dasar penentuan dana jaminan lingkungan sewaktu pasca operasi (penutupan

lapangan).

5.4 Kebutuhan Stakeholders

Hasil analisis kebutuhan stakeholders dalam pengembangan AMDAL

migas di masa datang diperoleh 12 komponen. Kedua belas komponen tersebut

merupakan hasil identifikasi dari stakeholders yang terdiri atas: Direktorat

Jenderal Migas DESDM, BP Migas, Kementerian Lingkungan Hidup, Pemerintah

Daerah Kabupaten Gresik dan Kabupaten Bengkalis, PT.CPI dan Hess Pangkah,

perguruan tinggi (IPB dan UI) serta masyarakat/LSM (INRR).

Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa kebutuhan stakeholders

dalam pengembangan AMDAL migas di masa datang pada umumnya sama

dengan AMDAL migas saat ini membutuhkan pengembangan yang lebih

komprehensif, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan metodologi.

Penekanan stakeholders adalah bagaimana melakukan AMDAL migas yang

efektif dan efisien di masa datang. Pengembangan tersebut terkait pada beberapa

aspek yakni: aspek pembiayaan dan metodologi, aspek prosedur persetujuan

AMDAL, aspek kualitas penyusun, lembaga penyusun dan komisi penilai, serta

keterlibatan masyarakat.

1. RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan

2. Pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan bagian dari anggota komisi AMDAL

3. Simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL migas 4. Peningkatan SDM komisi AMDAL pusat 5. Mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas 6. Penetapan proporsi/persentase pembiayaan studi yang jelas/baku 7. Estimasi pembiayaan pengelolaan lingkungan selama umur kegiatan

dengan mempertimbangkan teknologi alternatif, sesuai dengan perkembangan teknologi

8. AMDAL sebagai dokumen yang berkekuatan hukum 9. Pengembangan metodologi AMDAL migas 10. Perlu akreditasi lembaga penyusun AMDAL migas

138

11. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan 12. Perlunya mengintegrasikan kajian keadaan darurat dengan dokumen

AMDAL

RKL/RPL seharusnya secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan

perubahan teknologi yang digunakan. Hal tersebut mengingat apabila terjadi

perubahan teknologi yang digunakan, maka akan menyebabkan terjadinya

perubahan-perubahan lingkungan di sekitar kegiatan dengan hasil monitoring

yang dilakukan selama operasi. Dengan demikian perubahan-perubahan

lingkungan yang terjadi mengharuskan pemrakarsa untuk merevisi dokumen

RKL/RPL. Perubahan teknologi yang digunakan dalam suatu kegiatan usaha

menjadi sangat penting mengingat perkembangan teknologi yang kian maju

memungkinkan bagi setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha migas

mengadopsi teknologi-teknologi baru dalam rangka efisiensi dan efektivitas

operasionalisasi. Adopsi teknologi tersebut sangat memungkinkan terjadi

mengingat kegiatan usaha migas merupakan kegiatan yang bersifat high tech

dalam setiap fase kegiatannya. Dengan demikian dinamika RKL/RPL menjadi

kunci perkembangan AMDAL yang dinamis, efektif dan efisien.

Pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan bagian

dari anggota komisi AMDAL. Komponen tersebut menjadi kebutuhan lainnya

dari stakeholders mengingat peran pemerintah daerah dan masyarakat diera

otonomi menjadi sangat krusial. Pelibatan pemerintah daerah dan lembaga

swadaya masyarakat dalam komisi AMDAL daerah menjadi alternatif objektivitas

penilaian suatu studi AMDAL.

Simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL juga menjadi

kebutuhan stakeholders dalam pengembangan AMDAL migas di masa datang.

Penyederhanaan antara pembahasan dan persetujuan diharapkan dapat mereduksi

perbedaan antara hasil pembahasan dengan rekomendasi persetujuan sehingga

efektivitas dan efisiensi AMDAL dapat terwujud.

Peningkatan SDM komisi AMDAL pusat perlu dilakukan mengingat

kualitas dokumen AMDAL selain ditentukan oleh kualitas penyusun, juga sangat

dipengaruhi oleh kualitas komisi AMDAL. Hal ini menjadi penting mengingat

kajian tentang lingkungan hidup dalam dua dekade terakhir menjadi sangat serius

139

dan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dunia. Pemanasan global

akibat dampak yang muncul dari aktivitas pembangunan telah mengancam

kelansungan hidup manusia. Akibat tersebut menimbulkan polusi dan kerusakan

lingkungan sehingga dokumen AMDAL sebagai upaya untuk menjaga kelestarian

lingkungan dalam keberlanjutan menjadi sangat penting. Komisi penilai AMDAL

pusat adalah salah satu komponen penting yang berperan dalam kegiatan

penyusunan AMDAL migas. Sumberdaya manusia yang berkualitas khususnya

untuk kegiatan migas akan sangat menentukan hasil studi AMDAL migas selain

kualitas tim penyusun itu sendiri. Sinergitas antara tim penyusun dengan komisi

penilai dengan sumberdaya yang berkualitas diharapkan menghasilkan dokumen

AMDAL yang berkualitas pula.

Mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas juga menjadi

perhatian stakeholders. Keterlibatan masyarakat lokal selama ini hanya sebatas

pada tahap pengumuman masyarakat. Tahap ini merupakan satu-satunya tahap

keterlibatan masyarakat dengan pemberian tanggapan dan masukan akan rencana

kegiatan. Kondisi demikian menyebabkan keterwakilan masyarakat sering tidak

diperhatikan sehingga peran serta masyarakat menjadi sangat minim. Disisi lain

masyarakat merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan.

Pertimbangan umum pelibatan masyarakat adalah masyarakat merupakan

komponen yang akan merasakan langsung dampak yang ditimbulkan dari suatu

kegiatan usaha. Selain itu masyarakat juga merupakan komponen yang paling

mengetahui kondisi wilayah dimana kegiatan tersebut dilakukan.

Penetapan pengumuman masyarakat selama 30 hari di dalam Kepdal

No.08 tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat kurang tepat. Dasar penentuan

waktu 30 hari tidak jelas, keterlibatan masyarakat didalam kegiatan usaha migas

bukan hanya sekedar memberikan pengumuman/pemberitahuan bahwa suatu

kegiatan akan dimulai tapi yang lebih penting memberikan pembekalan

pengetahuan tentang kegiatan migas secara rinci dari awal perencanaan sampai

pasca operasi antara lain dampak positif dan dampak negatif dari kegiatan usaha

migas secara nasional, regional dan lokal. Sehingga dengan demikian mekanisme

keterlibatan masyarakat lokal perlu diatur secara jelas dan berkekuatan hukum

140

agar dalam pelaksanaannya mendapat perhatian yang serius dari penyusun

AMDAL.

Penetapan proporsi atau persentase pembiayaan studi AMDAL untuk

masing-masing komponen lingkungan khususnya pada komponen pembiayaan

studi lapangan dan pembiayaan laboratorium. Kedua komponen tersebut perlu

mendapat persentase yang cukup tinggi, mengingat keberhasilan studi dan kualitas

dokumen AMDAL terletak pada pelaksanaan studi lapangan serta pengujian

sampel yang tepat. Hal ini dapat mengukur sejauh mana kedalam dari studi

AMDAL tersebut. Persentase pembiayaan perlu diperhitungkan secara cermat,

mengingat kegiatan studi AMDAL senantiasa memerlukan pembiayaan yang

cukup besar.

Estimasi pembiayaan pengelolaan lingkungan selama umur kegiatan

dengan mempertimbangkan teknologi alternatif sesuai dengan perkembangan

teknologi juga menjadi perhatian stakeholders dalam pengembangan AMDAL di

masa datang. Estimasi pembiayaan pengelolaan lingkungan yang mencakup

perkembangan teknologi yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan kegiatan

dan teknologi perlu mendapat perhatian yang serius mengingat sering terjadi

permasalahan lingkungan akibat minimnya pembiayaan yang dialokasikan.

Langkah preventif dan antisipatif seringkali diabaikan, khususnya yang berkaitan

dengan aspek lingkungan hidup, sehingga tidak mengherankan bila akhir-akhir ini

banyak terjadi kerusakan lingkungan akibat dampak yang dihasilkan dari suatu

kegiatan yang kurang memperhatikan aspek pembiayaan lingkungan selama

kegiatan itu berlangsung. Umumnya, pembiayaan lingkungan dialokasikan ketika

telah terjadi kerusakan lingkungan sehingga sering menjadi terlambat.

Kebutuhan selanjutnya adalah dokumen AMDAL migas sebaiknya dapat

dijadikan sebagai dokumen yang memiliki kekuatan hukum. Hal ini sangat

penting mengingat cakupan yang komprehensif dari dokumen AMDAL dalam

upaya pencegahan kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Selain itu

dokumen AMDAL juga menjadi dasar pemberian ijin pelaksanaan suatu kegiatan

dan atau usaha dari aspek lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti degradasi

lahan, punahnya flora dan fauna, serta rusaknya ekosistem dapat menimbulkan

kerugian yang cukup besar terhadap lingkungan itu sendiri serta bagi masyarakat

141

di sekitar dampak tersebut. Class action dengan kasus lingkungan hidup akhir-

akhir ini marak terjadi. Namun dokumen AMDAL migas yang ada belum dapat

dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat dalam pengajuan gugatan terhadap

kerusakan lingkungan yang terjadi.

Perlunya memperhatikan lembaga tim penyusun AMDAL migas yang

independen dan terakreditasi. Akreditasi lembaga merupakan bukti kualifikasi

sebuah lembaga. Dengan demikian, harapan akan peningkatan kualitas dokumen

AMDAL migas di masa datang dapat terwujud dengan persyaratan penyusunan

AMDAL migas harus dilakukan oleh lembaga yang independen dan telah

terakreditasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga lembaga-lembaga yang tidak

memenuhi kualifikasi serta lembaga-lembaga sempalan yang tidak memiliki

integritas dan tanggung jawab yang baik dalam pelaksanaan studi AMDAL migas.

Pengkajian nilai ekonomi lingkungan sebagai pengembangan metodologi

AMDAL migas di masa datang perlu dilakukan mengingat isu lingkungan hidup

saat ini yang banyak berkaitan dengan etimasi nilai moneter lingkungan. Ekonomi

sumberdaya merupakan suatu cabang ilmu yang memadukan antara ekonomi dan

lingkungan. Ekonomi sumberdaya kemudian sering digunakan sebagai justifikasi

penilaian lingkungan dari sisi moneter. Konversi nilai sumberdaya alam dan

lingkungan kedalam nilai moneter menjadi salah satu kajian yang banyak

mendapat perhatian para ilmuan dan praktisi serta aktivis lingkungan dan

ekonomi. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan dalam suatu kegiatan AMDAL

saat ini belum pernah dilaksanakan sehingga kedepan harapan stakeholders akan

penghitungan estimasi nilai ekonomi lingkungan dapat menjadi bagian dari studi

AMDAL yang dilakukan pada kegiatan usaha migas.

Mengingat besarnya tumpuhan minyak yang terjadi setiap tahunnya, maka

dampak dari kondisi darurat yang ditimbulkan (emergency) harus dikaji didalam

ANDAL untuk penanggulangannya. Didalam pengkajian ANDAL terdapat

pengkajian dampak penting kondisi normal dan kondisi darurat, didalam RKL

terdapat pengelolaan kondisi normal dan kondisi darurat, sementara dalam RPL

terdapat lembaga pengawasan kondisi normal dan kondisi darurat (emergency).

Senantiasa dilakukan sebagai bagian dari langkah antisipatif terhadap tumpahan

maupun kebocoran minyak yang dapat terjadi kapan saja. Meskipun,

142

sesungguhnya segala kemungkinan telah diprediksi dan diperkirakan dengan

sebaik-baiknya, namun kejadian emergency juga selalu terjadi. Untuk itu

emergency response plan, menjadi sangat penting sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari upaya pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan khususnya

pada kegiatan usaha migas. Hasil perhitungan nilai ekonomi lingkungan dan

sumberdaya alam, dapat dijadikan basis perhitungan risk analysis. Seperti nilai

ekonomi lingkungan yang diestimasi pada lokasi lapangan Duri PT.CPI sebesar

1,24 milyar per hektar per tahun dan lokasi lapangan Pangkah Hess Limited

Indonesia sebesar 1,23 milyar per hektar per tahun. Nilai-nilai ekonomi tersebut,

selanjutnya menjadi dasar perhitungan asuransi lingkungan dan sosial maupun

perhitungan biaya kompensasi (ganti kerugian) yang dapat terjadi kapan saja.

5.5 Komponen Utama Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas

Pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan

lingkungan selanjutnya dianalisis dengan menentukan komponen utama

pengembangan kebijakan yakni meliputi: komponen kebijakan, komponen

kualitas dokumen, komponen kinerja lingkungan dan komponen kebutuhan

stakeholders.

Komponen kebijakan terdiri atas: penentuan dampak penting (DAM),

efisiensi penyusunan (EFI), kedudukan komisi AMDAL (KOM), metode

pelingkupan (PEL), metode studi (MET), aspek sosial ekonomi (ASP),

keterlibatan masyarakat (KTL), analisis total economic valuation (TEV) dan

pengkajian keadaan darurat/emergency (KAD). Komponen kualitas dokumen

meliputi: kelengkapan dokumen (KEL), penyusun AMDAL (PEA), substansi

dokumen (SUB) dan prosedur penyusunan AMDAL (PRO). Komponen kinerja

lingkungan meliputi: teknologi pengelolaan limbah minyak (TLM), teknologi

pengelolaan limbah gas (TLG), kontribusi migas terhadap PDRB (KTR), taraf

pendidikan dan tingkat kesehatan (PDK), serta tumpuhan minyak (TPM).

Komponen kebutuhan stakeholders terdiri atas: RKL/RPL secara dinamis

dapat diperbaharui seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan (RPL),

pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat merupakan bagian dari

anggota komisi AMDAL (PEM), simplifikasi pembahasan dan persetujuan

dokumen AMDAL (SIM), peningkatan SDM komisi AMDAL pusat (SDM),

143

mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas (KET), penetapan

proporsi/persentase pembiayaan studi yang jelas/baku (PER), estimasi

pembiayaan pengelolaan lingkungan selama umur kegiatan dengan

mempertimbangkan teknologi alternatif, sesuai dengan perkembangan teknologi

(EST), AMDAL sebagai dokumen yang berkekuatan hokum (HUK),

pengembangan metodologi AMDAL (PMA), akreditasi lembaga penyusun

AMDAL (AKR), dan nilai ekonomi lingkungan (NEL) serta melakukan

pengkajian dan pengintegrasian keadaan darurat/emergency (INT). Selanjutnya

dilakukan analisis penentuan komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL

migas di masa mendatang dengan melihat komponen-komponen kebijakan

AMDAL yang ada.

Hasil review kebijakan diperoleh sembilan komponen yang merupakan

kelemahan-kelemahan mendasar dalam peraturan kebijakan AMDAL, selanjutnya

hasil analisis kualitas dokumen AMDAL diperoleh empat komponen mendasar

dalam kaitannya dengan kualitas sebuah dokumen AMDAL, hasil evaluasi kinerja

lingkungan diperoleh lima komponen serta hasil analisis kebutuha stakeholders di

masa mendatang terhadap kebijakan AMDAL diperoleh dua belas komponen.

Dengan demikian, diperoleh tiga puluh total komponen mendasar yang

mendukung pengembangan kebijakan AMDAL migas di masa mendatang.

Review Kebijakan AMDAL

Analisis Kualitas

Dokumen

Analisis Kinerja

Lingkungan

13 Komponen

Analisis Kebutuhan

Stakeholders

9 Komponen

30 Komponen

3 Faktor

4 Komponen

5 Komponen

12 Komponen

Gambar 24 Diagram alir penentuan komponen utama

144

Berdasarkan hasil analisis komponen utama (principle component

analysis), diperoleh 13 komponen yang berpengaruh yakni: efisiensi penyusunan

(EFI), kelengkapan dokumen (KEL), substansi dokumen (SUB), keterlibatan

masyarakat (KTL) dan penyusun AMDAL (PEA), pengembangan metodologi

AMDAL (PMA), nilai ekonomi lingkungan (NEL), teknologi pengelolaan limbah

minyak (TLM), keadaan darurat (KAD) dan simplifikasi penyusunan AMDAL

(SIM), peningkatan sumberdaya manusia (SDM), kontribusi migas terhadap

PDRB (KTR) dan AMDAL berkekuatan hukum (HUK). Ketigabelas komponen

tersebut termasuk dalam tiga faktor utama (komponen utama).

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)

Active

DAM

PEM

KOM EFI

PMA

PER

ASP

NEL

KET

KEL

SDM

AKR

TEV

PEL

TLM

MET PDK

TPM

RPL

INT SUB KTR

HUK

KTL

KAD

PRO PEA

EST

SIM

TLG

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

Factor 1 : 25.27%

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

Fact

or 2

: 21

.58%

Gambar 25 Hasil analisis penentuan komponen utama

Komponen biaya dalam penyusunan AMDAL merupakan komponen

langsung dalam implementasi kebijakan AMDAL. Komponen tersebut merupakan

faktor yang penting dalam penyusunan AMDAL. Biaya yang rendah akan

berdampak terhadap hasil penyusunan AMDAL begitu pula pada penggunaan

biaya yang tinggi akan membebani pemrakarsa sehingga efisiensi penyusunan

menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Dengan demikian diharapkan biaya

penyusunan AMDAL memperhitungkan aspek proporsional dalam analisis

145

dampak lingkungan. Penetapan proporsi atau persentase pembiayaan studi

AMDAL untuk masing-masing komponen lingkungan khususnya pada komponen

pembiayaan studi lapangan dan pembiayaan laboratorium. Kedua komponen

tersebut perlu mendapat persentase yang cukup tinggi, mengingat keberhasilan

studi dan kualitas dokumen AMDAL terletak pada pelaksanaan studi lapangan

serta pengujian sampel yang tepat. Hal ini dapat mengukur sejauh mana kedalam

dari studi AMDAL tersebut. Persentase pembiayaan perlu diperhitungkan secara

cermat, mengingat kegiatan studi AMDAL senantiasa memerlukan pembiayaan

yang cukup besar.

Kelengkapan dokumen AMDAL meliputi: dokumen kerangka acuan,

dokumen ANDAL, dokumen RKL dan RPL. Selain itu perlu pula diperhatikan

ketersediaan, ringkasan ekskutif. Ketidaklengkapan dokumen merupakan pertanda

terhadap lemahnya dokumen hukum akan kewajiban pelaksanaan AMDAL.

Kelengkapan dokumen merupakan indikator utama kualitas dokumen AMDAL

yang disusun. Kelengkapan menjadi sangat penting, mengingat keterkaitan

keempat dokumen utama (KA-ANDAL, ANDAL, RKL dan RPL) sangat

berhubungan. KA-ANDAL merupakan acuan penyusunan ANDAL, RKL dan

RPL. Sehingga apabila terjadi ketidaklengkapan dokumen akan sangat berpenaruh

terhadap kinerja pengelolaan lingkungan yang dilakukan. Dengan demikian,

kekuatan hukum dan persyaratan administratif secara hukum positif tidak

terpenuhi, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan klaim.

Pengkajian nilai ekonomi lingkungan dalam suatu kegiatan AMDAL saat

ini belum pernah dilaksanakan sehingga kedepan harapan stakeholders akan

estimasi nilai ekonomi lingkungan dapat menjadi bagian dari studi AMDAL yang

dilakukan. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan perlu dilakukan dalam

penyusunan AMDAL migas sehingga diharapkan dampak suatu kegiatan tidak

hanya dilihat dari sisi biofisik-kimia semata, tetapi juga dari nilai estimasi

ekonomi lingkungan. Kegiatan ini diharapkan menjadi estimasi moneter dari

sumberdaya alam dan lingkungan yang ada dalam wilayah kegiatan tersebut

dengan demikian kerusakan lingkungan yang umumnya terjadi baik kualitas

maupun kuantitas dapat diestimasi dengan baik. Nilai estimasi ekonomi

lingkungan ini dapat juga dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menentukan

146

nilai kompensasi (ganti rugi) terhadap pengelolaan sumberdaya lingkungan

tersebut.

Simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen AMDAL juga menjadi

kebutuhan stakeholders dalam pengembangan AMDAL migas di masa datang.

Penyederhanaan antara pembahasan dan persetujuan diharapkan dapat mereduksi

perbedaan antara hasil pembahasan dengan rekomendasi persetujuan sehingga

efektivitas dan efisiensi AMDAL dapat terwujud. Simplifikasi pembahasan dan

persetujuan dokumen AMDAL migas perlu dilakukan mengingat pemisahan

kedua prosedur tersebut akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dan inefektivitas

dalam pelaksanaannya. Dengan demikian pembahasan yang awalnya terpisah

dengan prosedur persetujuan membutuhkan waktu dan sumberdaya yang banyak.

Simplifikasi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi dualisme penilaian

dokumen AMDAL migas.

Akreditasi lembaga penyusun AMDAL merupakan komponen kebutuhan

yang penting di masa datang. Lembaga penyusun sangat menentukan kualitas

dokumen AMDAL. Dengan demikian, kualitas lembaga menjadi perhatian yang

serius, untuk itu indikator kinerja dan profesionalitas lembaga penyusun dapat

dilihat dari akreditasi lembaga yang dimiliki. Lembaga yang terakreditasi sangat

mungkin diragukan kualitas dan profesionalitasnya.

Waktu persetujuan kerangka acuan merupakan salah satu komponen

efektivitas AMDAL. Saat ini waktu persetujuan untuk dokumen AMDAL

didasarkan pada PP No.27 tahun 1999 adalah 75 hari. Waktu tersebut terbilang

cukup lama sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan. Terlebih lagi

penyusunan dokumen ANDAL, RKL dan RPL tidak dapat dilaksanakan sebelum

dokumen KA-ANDAL disetujui. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap

efektivitas penyusunan AMDAL. disisi lain waktu pengambilan keputusan

masyarakat juga terbilang tidak proporsional. Saat ini, waktu pengumuman dan

pengambilan keputusan masyarakat ditentukan 30 hari kerja, sejak

diumumkannya. Masyarakat diberi kesempatan untuk memberi tanggapan dan

masukan kepada pemrakarsa, pemerintah dan penyusun AMDAL untuk kemudian

segera memperbaiki sesuai dengan tanggapan yang masuk. Waktu yang terbilang

singkat tersebut, akan sangat berpengaruh terhadap tanggapan dan masukan yang

147

terbatas. Dengan demikian dokumen AMDAL menjadi tidak berkualitas

disebabkan karena minimnya tanggapan yang masuk dari masyarakat. Akhirnya

AMDAL yang dihasilkan dalam implementasinya tidak menjadi efektif.

Dokumen AMDAL migas harus berkekuatan hukum sehingga dapat

dijadikan sebagai dasar penuntutan hukum bagi para pelanggar hukum. Dokumen

AMDAL secara umum selama ini hanya menjadi dokumen pelengkap dalam ijin

pelaksanaan suatu kegiatan. Kondisi ini kemudian menjadikan dokumen AMDAL

hanya formalitas dan hanya merupakan suatu studi lingkungan biasa termasuk

pula AMDAL migas. Kebutuhan selanjutnya adalah dokumen AMDAL migas

sebaiknya dapat dijadikan sebagai dokumen yang memiliki kekuatan hukum. Hal

ini sangat penting mengingat cakupan yang komprehensif dari dokumen AMDAL

dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Selain

itu dokumen AMDAL juga menjadi dasar pemberian ijin pelaksanaan suatu

kegiatan dan atau usaha dari aspek lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti

degradasi lahan, punahnya flora dan fauna, serta rusaknya ekosistem dapat

menimbulkan kerugian yang cukup besar terhadap lingkungan itu sendiri serta

bagi masyarakat di sekitar dampak tersebut. Class action dengan kasus

lingkungan hidup akhir-akhir ini marak terjadi. Namun dokumen AMDAL migas

yang ada belum dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat dalam pengajuan

gugatan terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi.

Kualitas penyusun AMDAL sangat berpengaruh terhadap hasil studi

AMDAL yang dilakukan. Tim penyusun yang berkualitas diyakini menghasilkan

dokumen AMDAL yang berkualitas pula. Dengan demikian AMDAL akan

menjadi efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Perlunya memperhatikan

lembaga tim penyusun AMDAL migas yang independen dan terakreditasi.

Akreditasi lembaga merupakan bukti kualifikasi sebuah lembaga. Dengan

demikian, harapan akan peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas di masa

datang dapat terwujud dengan persyaratan penyusunan AMDAL migas harus

dilakukan oleh lembaga yang independen dan telah terakreditasi. Hal ini

dimaksudkan untuk menjaga lembaga-lembaga yang tidak memenuhi kualifikasi

serta lembaga-lembaga sempalan yang tidak memiliki integritas dan tanggung

jawab yang baik dalam pelaksanaan studi AMDAL migas. Kebutuhan

148

stakeholders tersebut selanjutnya dianalisis untuk menentukan komponen utama

yang berpengaruh, sebagaimana disajikan pada Gambar 25. Kualitas komisi

penilai AMDAL juga menjadi salah satu komponen efektivitas AMDAL pada

kegiatan usaha migas. Kualitas komisi penilai akan menentukan hasil akhir dari

penyusunan dokumen AMDAL. Komisi penilai yang berkualitas, diharapkan

mampu menghasilkan hasil review dokumen yang baik. Kualitas komisi penilai

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kualitas dokumen AMDAL.

Mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang jelas juga menjadi

perhatian stakeholders. Keterlibatan masyarakat lokal selama ini hanya sebatas

pada tahap pengumuman masyarakat. Tahap ini merupakan satu-satunya tahap

keterlibatan masyarakat dengan pemberian tanggapan dan masukan akan rencana

kegiatan. Kondisi demikian menyebabkan keterwakilan masyarakat sering tidak

diperhatikan sehingga peran serta masyarakat menjadi sangat minim. Disisi lain

masyarakat merupakan komponen penting dalam pelaksanaan kegiatan.

Pertimbangan umum pelibatan masyarakat adalah masyarakat merupakan

komponen yang akan merasakan langsung dampak yang ditimbulkan dari suatu

kegiatan usaha. Selain itu masyarakat juga merupakan komponen yang paling

mengetahui kondisi wilayah dimana kegiatan tersebut dilakukan.

Pengembangan metodologi untuk menentukan isu pokok harus terus

dilakukan dan isu pokok tersebut harus telah tercantum pada KA-ANDAL, tidak

hanya dampak potensial yang teridentifikasi. Sehingga dokumen KA-ANDAL

menjadi lebih baik dan komprehensif. Dokumen ini selanjutnya menjadi dasar

penyusunan dokumen ANDAL. Pengembangan metodologi akan memberikan

pengaruh yang nyata terhadap kualitas dokumen AMDAL yang disusun. Metode

praktis dan memiliki validitas yang tinggi akan memberikan hasil yang maksimal.

Dengan demikian, dampak dari kegiatan migas selama ini terhadap lingkungan

dan sumberdaya alam dapat diminimalisir dan mengarah pada zero discharge.

5.6 Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas

Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dilakukan dengan

pendekatan expert judgement. Penyusunan strategi didasarkan pada hasil

penentuan komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam

mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Hasil focus group discussion

149

diperoleh tiga strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas, yakni:

peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas, penyempurnaan prosedur

penyusunan AMDAL migas, serta penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL

migas.

Peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas meliputi: perbaikan

metode-metode di dalam penyusunan AMDAL untuk aspek ekologi dan sosial

ekonomi. Metode penentuan isu pokok untuk kerangka acuan, metode prakiraan

dan evaluasi dampak ANDAL, teknologi RKL dan institusi/kelembagaan dalam

RPL. Selain itu juga dilakukan peningkatan kualitas penyusun AMDAL migas

yang mencakup independensi, kompotensi dan komposisi serta perlunya

mengintegrasikan dalam ANDAL dengan kajian keadaan darurat/emergency dan

dicantumkan dalam kebijakan AMDAL migas yakni dalam peraturan perundang-

undangan teknis AMDAL. Penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL

meliputi: waktu penyusunan persetujuan dokumen, waktu pengumuman

masyarakat serta penunjukan pelaksanaan studi AMDAL oleh lembaga

independen. Penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas meliputi:

penguatan sumberdaya manusia, khususnya komisi AMDAL pusat (KLH) dan tim

teknis AMDAL migas, penerapan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No.

23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, perbaikan mekanisme

keterlibatan masyarakat dan kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan

pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Selanjutnya berdasarkan hasil

rumusan tersebut, disusun strategi implementasi kebijakan AMDAL migas.

5.6.1 Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas

Strategi peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas didasarkan pada

proses pelaksanaan AMDAL itu sendiri yakni: a) proses pelingkupan, b)

penyusunan dokumen KA-ANDAL, c) dokumen ANDAL, d) dokumen RKL dan

e) dokumen RPL. Untuk meningkatkan kualitas dokumen AMDAL, kelima

komponen tersebut menjadi sangat penting diperhatikan. Perlunya ditetapkan

metode-metode yang baku dalam pelingkupan, seperti metode dalam penentuan

isu pokok untuk KA-ANDAL dan bukan penentuan prioritas dampak penting

hipotetik sebagaimana yang diatur di dalam Permen LH No. 08 tahun 2006,

seharusnya dalam KA-ANDAL dari suatu kegiatan yang direncanakan telah

150

muncul isu pokok yang akan dikaji di dalam ANDAL. Metode prakiraan dampak

penting dan evaluasi dampak penting dalam dokumen ANDAL, harus telah

dicantumkan metode untuk aspek ekologi, fisik, kimia seperti kualitas air, kualitas

udara, tanah, biota perairan, flora dan fauna, sosial, ekonomi dan budaya dengan

menerapkan metode valuasi ekonomi untuk penilaian sumberdaya alam dan

lingkungan yang terkena kegiatan usaha migas. Teknologi pengelolaan

lingkungan untuk aspek limbah cair, gas, limbah padat dan limbah B3 di dalam

RKL harus telah dicantumkan teknologi alternatif sesuai dengan perkembangan

teknologi, sehingga apabila terdapat perubahan teknologi di dalam

pelaksanaannya tanpa harus merevisi dokumen RKL dan RPL. Dokumen RKL

harus bersifat dinamis dengan pengelolaan dampak negatif dan pengembangan

dampak positif. Institusi/kelembagaan di dalam dokumen RPL harus dicantumkan

secara jelas. Metode-metode ini dicantumkan dalam rumusan kebijakan baru

sebagai hasil dari konfirmasi dan modifikasi dari kebijakan terdahulu (PP No. 27

tahun 1999, Permen LH No. 08 tahun 2006, Permen LH No. 11 tahun 2006,

Kepmen ESDM No. 1457 tahun 2000, Kepdal No. 08 tahun 2000, dan Kepdal No.

229 tahun 1996).

Gambar 26 Diagram strategi peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas

Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas

Substansi Dokumen

Pelingkupan

KA-ANDAL

ANDAL

RKL

RPL

metode, isu pokok

metode perkiraan &

evaluasi

teknologi alternatif

teknologi, kelembagaan

metodologi

Kualitas Tim Penyusun

Independensi Kompetensi

Kualifikasi

Pengalaman

Integritas

Komposisi

Data Base

Keahlian Struktur

Terdaftar di Migas

1. Ekologi- Fisika kimia - Biologi

lingkungan - pencemaran

2. Keteknikan - geologi

- perminyakan 3. Sosial budaya 4. Ekonomi

1. Tim Ahli - tenaga ahli - asisten ahli - operator

2. Tim Pengolahan dan Analisis Data

Keadaan Darurat/ Emergency

151

Peningkatan kualitas penyusun AMDAL dapat ditempuh melalui langkah-

langkah strategis yakni: melakukan standarisasi kompetensi tim penyusun dengan

memperhatikan kualifikasi, integritas dan tanggungjawab serta memiliki reputasi

yang baik. Menjaga independensi tim penyusun melalui penunjukan oleh

pemerintah atau lembaga yang independen.

Kualitas penyusun AMDAL sangat berpengaruh terhadap hasil studi

AMDAL yang dilakukan. Tim penyusun yang berkualitas diyakini menghasilkan

dokumen AMDAL yang berkualitas pula. Dengan demikian AMDAL akan

menjadi efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Perlunya memperhatikan

lembaga tim penyusun AMDAL migas yang independen dan terakreditasi.

Akreditasi lembaga merupakan bukti kualifikasi sebuah lembaga. Dengan

demikian, harapan akan peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas di masa

datang dapat terwujud dengan persyaratan penyusunan AMDAL migas harus

dilakukan oleh lembaga yang independen dan telah terakreditasi. Hal ini

dimaksudkan untuk menjaga lembaga-lembaga yang tidak memenuhi kualifikasi

serta lembaga-lembaga sempalan yang tidak memiliki integritas dan tanggung

jawab yang kurang baik dalam pelaksanaan studi AMDAL migas, melakukan

studi ANDAL.

Kualifikasi tim penyusun minimal bersertifikat AMDAL-A bagi anggota

tim dan bersertifikat minimal AMDAL-B untuk ketua tim serta telah memiliki

pengalaman dibidangnya. Pentingnya kualitas tim penyusun AMDAL sangat

berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi studi ANDAL. Kegiatan akan menjadi

lebih efisien dan efektif bila dilakukan oleh tenaga-tenaga yang telah memiliki

pengalaman dalam penyusunan dokumen AMDAL, sehingga inovasi-inovasi

dalam studi dapat diimplementasikan dengan baik. Tim penyusun yang telah

berpengalaman serta berkualifikasi baik dalam penyusunan dokumen akan

memberikan hasil yang lebih baik. Tim penyusun AMDAL migas selanjutnya

disusun berdasarkan kualifikasi yang dimiliki dan disusun dalam data base

(sistem informasi).

Studi AMDAL merupakan studi komprehensif dan kajian multidisiplin

ilmu sehingga sangat membutuhkan tim penyusun yang berpengalaman dibidang

kajian AMDAL. Penguasaan metodologi yang baik dengan pengembangan-

152

pengembangan yang inovatif memungkinkan terjadi pada tim yang memiliki

pengalaman lebih banyak. Kondisi ini menjadi sangat penting mengingat

perkembangan keilmuan dan metodologi studi yang begitu pesat. Komposisi tim

penyusun AMDAL migas, selain ahli-ahli lingkungan biologi, fisika, kimia dan

sosial ekonomi budaya juga perlu ahli perminyakan dan geologi.

Disisi lain setiap tenaga ahli hanya diperbolehkan tergabung pada tiga

lembaga konsultan dengan persyaratan tenaga ahli tidak boleh duduk sebagai tim

teknis dan atau komisi AMDAL. Tim penyusun harus terdiri atas: tim ahli, tim

pengambil sampel di lapangan dan tim pengolahan data. Contoh: kualifikasi

lembaga konsultan dan tim ahli yang telah berpengalaman lebih dari lima tahun

diberi warna biru, telah berpengalaman 3-5 tahun diberi warna kuning dan kurang

dari tiga tahun diberi warna hijau. Sementara lembaga atau atau tenaga ahli yang

dianggap bermasalah berdasarkan kinerja selama melakukan pekerjaan AMDAL

migas diberi warna merah.

Kualitas dokumen AMDAL haruslah ditunjang oleh substansi dokumen

yang terdiri atas dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KA-

ANDAL), dokumen analisis dampak lingkungan (ANDAL), dokumen rencana

pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan dokumen rencana pemantauan

lingkungan hidup (RPL). Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk

menentukan lingkup studi dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus

diperhatikan dalam penyusunan AMDAL. Dokumen KA-ANDAL dinilai oleh

komisi penilai AMDAL dan bila telah disetujui maka kegiatan penyusunan

dokumen ANDAL, RPL dan RKL dilaksanakan. Ketiga dokumen tersebut

merupakan bahan penilaian bagi komisi AMDAL untuk kemudian menjadi dasar

penentuan rencana kegiatan usaha layak secara lingkungan atau tidak dan apakah

perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Selain itu dokumen AMDAL

juga menjadi bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah, memberi masukan

dalam penyusunan desain teknis rencana kegiatan usaha, serta memberi informasi

bagi masyarakat atas dampak yang dapat ditimbulkan.

Pengkajian keadaan darurat/emergency juga menjadi bagian dari upaya

peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas. Pengkajian keadaan darurat

merupakan upaya antisipasi dari kegiatan diluar kondisi normal, seperti kejadian

153

tumpahan minyak. Pengkajian keadaan darurat harus diintegrasikan dalam

dokumen AMDAL.

5.6.2 Penyempurnaan Prosedur Penyusunan AMDAL Migas

Prosedur persetujuan dokumen AMDAL migas yang telah berjalan selama

ini terdiri atas: proses penapisan, proses pengumuman dan konsultasi masyarakat,

penyusunan dan penilaian KA-ANDAL, serta penyusunan penilaian ANDAL,

RKL dan RPL. Proses penapisan merupakan proses seleksi wajib AMDAL yakni

untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau

tidak. Proses ini sangat penting, mengingat pentingnya suatu kegiatan untuk

menyusun AMDAL, sehingga dampak terhadap lingkungan (eksternalitas) dapat

diminimalisasi.

Penentuan suatu kegiatan wajib AMDAL atau UKL/UPL didasarkan pada

Permen LH No. 11 tahun 2006 tentang jenis kegiatan yang wajib menyusun

AMDAL. Kegiatan usaha migas yang wajib menyusun AMDAL yakni didasarkan

pada volume produksi. Kegiatan eksploitasi di onshore untuk minyak lebih dari

5000 BOPD dan untuk gas lebih dari 30 MMSCFD, serta kegiatan eksploitasi di

offshore untuk minyak lebih dari 15000 BOPD dan untuk gas lebih dari 90

MMSCFD, diwajibkan menyusun AMDAL. Selanjutnya untuk kegiatan

pemasangan pipa wajib AMDAL lebih dari 100 km dengan diameter pipa lebih

dari 20 inchi. Penentuan suatu kegiatan wajib AMDAL atau tidak pada kegiatan

usaha migas menjadi penting, mengingat potensi dampak pada setiap rencana

kegiatan akan senantiasa muncul.

Prosedur penyusunan AMDAL migas selama ini yakni pengajuan

dilakukan oleh pemrakarsa kepada kementerian lingkungan hidup. Penentuan

kegiatan tersebut wajib AMDAL atau UKL/UPL didasarkan pada Permen LH No.

11 tahun 2006. Kegiatan yang wajib AMDAL, selanjutnya menyusun KA-

ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL dilakukan oleh konsultan penyusun yang

ditunjuk langsung oleh pemrakarsa. Pengajuan dokumen KA-ANDAL dievaluasi

dan disetujui selama 75 hari oleh komisi AMDAL pusat (KLH) dibantu tim teknis

(Ditjen Migas), selanjutnya dikembalikan dan apabila telah disetujui maka

pemrakarsa dapat melakukan kegiatan penyusunan dokumen ANDAL, RKL dan

RPL. Namun apabila belum disetujui maka pemrakarsa dan atau penyusun

154

AMDAL diharuskan untuk melengkapinya. 2) pengajuan Dokumen ANDAL,

RKL dan RPL kepada komisi AMDAL untuk dilakukan penilaian selama 75 hari

dan apabila ketiga dokumen telah memenuhi syarat dan diterbitkannya SK

persetujuan maka dapat diajukan untuk mendapat ijin usaha. Namun apabila

ketiga dokumen tersebut belum memenuhi persyaratan AMDAL maka diharuskan

untuk melengkapinya. Lebih detil, prosedur penyusunan AMDAL migas selama

ini disajikan pada Gambar 27 berikut.

Gambar 27 Prosedur penyusunan AMDAL migas selama ini

Penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas dilakukan dengan

pemrakarsa menyampaikan pelaksanaan kegiatan ke Ditjen Migas, selanjutnya

Ditjen Migas menyampaikan ke lembaga independen untuk penentuan jenis studi,

apakah wajib atau tidak. Apabila wajib AMDAL, maka lembaga independen

menunjuk konsultan penyusun melalui tender dan sekaligus lembaga independen

menentukan biaya studi yang didasarkan pada kedalaman studi dan komposisi tim

penyusun (kualifikasi) serta jenis data yang ditampilkan. Lembaga independen

UKL & UPL Ya Tidak

Pemrakarsa

Penilaian oleh Komisi-Tim Teknis

(Ditjen Migas)

Layak Lingkungan

KLH

Dampak Penting (Permen No.11/2006)

SK KA-ANDAL Oleh Komisi

Penilaian oleh Komisi -Tim Teknis

Persetujuan Komisi AMDAL pusat (KLH)

Konsultan Penyusun

KA-ANDAL

Penyusunan ANDAL, RKL dan RPL

155

juga akan membayar biaya studi kepada konsultan penyusun, agar dalam

penyusunan dapat bersifat independen.

Pengajuan KA-ANDAL ke komisi yang selanjutnya dibahas dalam sidang

komisi bersama tim teknis dan pakar serta wakil dari instansi terkait. Setelah SK

KA-ANDAL diterbitkan, selanjutnya dilakukan penyusunan dokumen ANDAL

dan RKL/RPL yang dinilai oleh tim teknis AMDAL migas, dan dibahas dalam

sidang komisi beserta pakar dan wakil dari instansi terkait. Apabila dokumen

tersebut layak lingkungan maka diterbitkan SK bersama antara menteri ESDM

dan ketua komisi AMDAL, dan apabila tidak layak maka dokumen AMDAL

ditolak.

Simplifikasi penyusunan terkait dengan masalah waktu penyusunan

dokumen AMDAL. Waktu penyusunan sesungguhnya sangat relatif dan

bergantung pada kasus per kasus, sehingga sangat sulit untuk menentukan waktu

yang dibutuhkan dalam penyusunan AMDAL. Penilaian KA-ANDAL selama ini

Gambar 28 Diagram strategi penyempurnaan prosedur AMDAL migas

KA-ANDAL UKL & UPL Ya Tidak

Pemrakarsa

Penilaian oleh Komisi AMDAL –

Tim Teknis

Konsultan Penyusun

Layak Lingkungan Penolakan Persetujuan

SKB KLH dan DESDM

KA-ANDAL

Ya

Ditjen Migas

Dampak Penting

SK KA-ANDAL Oleh Komisi

Penyusunan ANDAL, RKL/RPL

Penilaian oleh Komisi -Tim Teknis

Tidak

Lembaga Independen

156

dilakukan selama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja sejak diterimanya dokumen

tersebut. Begitu pula untuk penilaian dokumen ANDAL, RKL dan RPL yang

diajukan secara bersama-sama untuk dinilai selama 75 (tujuh puluh lima) hari

kerja. Namun, seringkali dalam implementasi, sebagaimana hasil analisis kualitas

dokumen AMDAL migas diperoleh bahwa waktu penyusunan relatif lama yakni

1-3 tahun. Semestinya, waktu penilaian disesuaikan dengan kebutuhan usaha

untuk masing-masing kegiatan yang berbeda. Disisi lain penambahan anggota tim

komisi harus dilakukan sebagai upaya efisiensi waktu pemeriksaan dan penilaian.

5.6.3 Penguatan Hukum dan Kelembagaan AMDAL Migas

Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah

kerusakan lingkungan harus dilakukan melalui penguatan hukum dan

kelembagaan. Komponen penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL terdiri

atas: peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) pada semua tingkatan,

namun lebih ditekankan pada tingkat komisi AMDAL pusat dan tim teknis

AMDAL migas. Penerapan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No. 23

tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Mekanisme keterlibatan

masyarakat yang jelas dalam penyusunan AMDAL migas. Lembaga pengawas

pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan usaha migas.

Gambar 29 Diagram strategi penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas

Keterlibatan Masyarakat

Pemahaman dan Pengetahuan

Perguruan Tinggi

Tokoh Masyarakat

Pemerintah

Penguatan Hukum dan Kelembagaan

AMDAL Migas

Tahap Perencanaa

Tahap Operasi

Tahap Pasca Operasi

Penguatan SDM

Komisi AMDAL Pusat

Tim Teknis AMDAL Migas

Penerapan Sanksi

Sanksi Administrasi

Sanksi Pidana (UU N0.23/1997)

Perizinan Pengawasan Pelaksanaan RKL, RPL

Ditjen Migas

Pemda Instansi Terkait

Komponen Masyarakat

157

Penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas dalam rangka

pengembangan dilakukan dengan tiga pendekatan terintegrasi yakni: penguatan

SDM, penerpanan sanksi administrasi dan pidana sesuai UU No. 23 tahun 1997

tentang pengelolaan lingkungan hidup, perbaikan mekanisme keterlibatan

masyarakat dan kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan pada kegiatan usaha migas. Penguatan SDM ditekankan pada

penguatan kualitas SDM komisi AMDAL pusat (KLH) dan tim teknis AMDAL

migas (Ditjen Migas). Kualitas komisi penilai AMDAL juga menjadi salah satu

komponen efektivitas AMDAL pada kegiatan usaha migas. Kualitas komisi

penilai akan menentukan hasil akhir dari penyusunan dokumen AMDAL. Komisi

penilai yang berkualitas, diharapkan mampu menghasilkan hasil review dokumen

yang baik. Kualitas komisi penilai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari

kualitas dokumen AMDAL. Kualitas tim teknis merupakan komponen yang juga

berpengaruh terhadap efektivitas kebijakan AMDAL dalam upaya mencegah

kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas. Kualitas tim teknis sangat

penting mengingat kegiatan studi AMDAL merupakan kegiatan multidisiplen

dengan aspek linkungan sebagai inti kajian. Kualitas tim teknis sangat terkait

dengan keahlian dibidangnya. Kegiatan usaha migas merupakan kegiatan dengan

teknologi tinggi serta bersifat teknis profesional sehingga dibutuhkan kajian

AMDAL yang mendalam dan komprehensif agar dihasilkan kualitas AMDAL

yang baik, khususnya dalam upaya pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan.

Tim teknis diharapkan mampu memberikan hasil yang lebih baik dalam

keterlibatannya dalam pengkajian dan penilaian AMDAL.

Penerapan sanksi terhadap pelanggaran AMDAL yang dilakukan sangat

penting diterapkan, mengingat aspek penguatan hukum merupakan salah satu

faktor penting pengembangan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan

lingkungan pada kegiatan usaha migas. Penerapan sanksi dapat dilakukan berupa

sanksi administrasi maupun sanksi pidana sesuai dengan UU No. 23 tahun 1997.

Penerapan sanksi diharapkan manpu menekan tingkat pelanggaran yang terjadi,

sehingga efisiensi dan efektifitas kbijakan AMDAL dapat terwujud.

Peningkatan keterlibatan masyarakat dilakukan melalui pelibatan

masyarakat pada setiap tahap kegiatan. Pembekalan pemahaman tentang AMDAL

158

yang diinisiasi oleh pemrakarsa dengan bekerjasama dengan lembaga penelitian,

perguruan tinggi dan atau organisasi non-pemerintah. Melakukan sosialisasi

kegiatan lebih awal kepada masyarakat serta memastikan keterwakilan

masyarakat dari semua komponen. Mekanisme keterlibatan masyarakat dapat

dilakukan melalui pengumuman pada media massa baik lokal maupun nasional,

diskusi interaktif secara langsung dengan masyarakat yang kemungkinan terkena

dampak serta dilibatkan sejak penyusunan dokumena AMDAL sampai tahap

pelaksanaan kegiatan mulai persiapan sampai pasca operasi. Pola pendekatan

yang digunakan disarankan bersifat partisipatif.

Pendekatan partisipatif merupakan pola distribusi kekuasaan dari

pengelola ke masyarakat. Dengan pola partisipasi masyarakat tidak hanya

dilibatkan sebagai objek tapi juga bagian dari subjek, sehingga kegiatan dan atau

usaha yang dilakukan menjadi tanggung jawab bersama. Pola ini juga akan

memberikan kesadaran yang tinggi terhadap masyarakat dengan mengharapkan

partisipasi yang lebih bermanfaat. Prinsip partisipasi adalah mendorong setiap

warga menggunakan hak menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan

keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung

maupun tidak langsung. Analisis partisipatif dilakukan guna memahami suara

masyarakat bawah tentang apa yang mereka hadapi serta mengakomodasikan

suara masyarakat bawah dalam perumusan kebijakan. Partisipasi masyarakat

selalu memiliki ciri-ciri bersifat proaktif dan bukan reaktif (artinya masyarakat

ikut menalar baru bertindak) ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua yang

terlibat, ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut, ada pembagian

kewenangan dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara.

Partisipasi dimaksudkan untuk menjamin setiap kebijakan yang diambil

dapat mencerminkan aspirasi masyarakat. Saluran komunikasi sebagai salah satu

wadah atau media yang sangat urgen bagi masyarakat dalam memudahkan

penyampaian pendapatnya kerap menjadi salah satu kendala tersendiri dalam

memaksimalkan peran partisipasi masyarakat. Dengan demikian perlu penyediaan

sarana maupun jalur komunikasi yang efektif meliputi pertemuan-pertemuan

umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat baik tertulis maupun

tidak tertulis.

159

Perencanaan partisipatif juga merupakan salah satu metode yang efektif

untuk menstimulasi keterlibatan masyarakat menyiapkan agenda pembangunan

yang diawali dengan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pengawasan secara

partisipatif dalam upaya penyelesaian masalah-masalah di masyarakat yang

dilakukan secara bersama-sama. Satu hal terpenting dalam menjamin hak warga

masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan

adalah adanya keinginan dari semua pihak, mulai dari tataran pemerintah pusat

sampai ke daerah, sehingga masyarakat itu sendiri mengedepankan nilai-nilai

luhur dan prinsip-prinsip yang harus dijunjung tinggi dan dilestarikan (demokrasi,

partisipasi, transparansi dan akuntabilitas serta desentralisasi).

Berpegang pada nilai dan prinsip tersebut, diharapkan akan terbangun

kebersamaan yang berdampak pada terbukanya akses bagi masyarakat lokal dalam

merumuskan dan menentukan arah kebijakan bagi dirinya sendiri tanpa terus

menerus tergantung pada pihak-pihak tertentu. Ini sudah tentu harus didukung

oleh keberpihakan pemerintah dan pihak-pihak peduli lainnya terhadap

masyarakat, terutama masyarakat lokal. Tumbuhnya rasa kepercayaan masyarakat

kepada pemerintah dan pemrakarsa serta sebaliknya diharapkan dapat

meningkatkan peran masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan.

Kegunaan keterlibatan masyarakat adalah sebagai sumber informasi

keadaan lingkungan, sumber informasi persepsi masyarakat terhadap kegiatan,

ikut memantau dampak yang terjadi, sebagai mitra dalam memecahkan masalah

yang timbul serta sebagai penerima sarana-sarana penunjang (Carter, 1977 dalam

Suratmo, 2002). Dengan dua sub aspek penekanan yakni komponen masyarakat

yang terlibat dan pemberian pemahaman dan pengetahuan secara dini tentang

kegiatan usaha migas dan kemungkinan dampak yang dapat terjadi beserta seluruh

resiko dan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh.

Kelembagaan pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan

lingkungan pada kegiatan usaha migas perlu diatur secara jelas antara pengawasan

aspek teknis oleh Ditjen Migas antara lain instalasi dan atau peralatan yang akan

digunakan di dalam operasi migas termasuk peralatan pencegahan

penanggulangan pencemaran. Pengawasan aspek sosial ekonomi dan budaya oleh

pemerintah daerah dan pengawasan terhadap media penerima limbah oleh

160

pemerintah daerah antara lain penetapan baku mutu badan air penerima limbah

ditetapkan oleh pemerintah daerah. Koordinasi kelembagaan untuk izin lokasi

kegiatan usaha migas sebelum beroperasi wajib mendapat izin dari instansi terkait

sesuai rencana pemanfaatan kegiatan seperti kehutanan, perhubungan laut,

kelautan dan perikanan.

5.7 Prioritas Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas

Didasarkan pada hasil perumusan kebijakan dan penyusunan strategi

implementasi selanjutnya dilakukan penentuan strategi pengembangan kebijakan

AMDAL migas dengan pendekatan hierarchy process analysis. Penentuan strategi

pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada

kegiatan usaha migas, dilakukan dengan pendekatan aspek aktor dan tujuan

pengembangan AMDAL migas.

Analisis prioritas strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas

disusun dengan lima level yakni level-1 goal: strategi pengembangan kebijakan

AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan, level-2 aktor: penyusun,

pemrakarsa serta komisi AMDAL dan tim teknis, level-3 tujuan: efektif dan

efisien, level-4 sub tujuan: operasional, menjadi acuan, implementatif, biaya,

waktu dan sumberdaya manusia, level-5 alternatif: peningkatan kualitas dokumen

AMDAL migas, penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas, serta

penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas.

Strategi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan

Peningkatan Kualitas Dokumen

AMDAL Migas (0.441)

Penyempurnaan Prosedur Penyusunan AMDAL Migas (0.263)

Penguatan Hukum dan Kelembagaan

AMDAL Migas (0.296)

Penyusun (0.297)

Pemrakarsa (0.163)

Komisi-Tim Teknis (0.540)

Efektif (0.500) Efisien (0.500)

Operasional (0.270)

Acuan (0.082)

Implementasi (0.149)

Biaya (0.143)

Waktu (0.072)

SDM (0.286)

Gambar 30 Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas

161

Strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah

kerusakan lingkungan dilakukan dengan pendekatan aktor yakni: komisi dan tim

teknis (0.540), penyusunan (0.297) dan pemrakarsa (0.163). Komisi AMDAL dan

tim teknis merupakan aktor utama dalam pengembangan kebijakan AMDAL

migas. Hasil menunjukkan bahwa bobot peranan komisi AMDAL dan tim teknis

merupakan bobot tertinggi dari kedua aktor lainnya. Komisi dan tim teknis

menjadi kunci kualitas dokumen AMDAL yang dihasilkan. Komisi penilai

merupakan komponen yang sangat penting dalam implementasi kebijakan

AMDAL. Komisi penilai akan sangat berperan dalam penilaian dokumen

AMDAL yang telah disusun, diterima atau ditolaknya dokumen tersebut.

Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL yakni

pasal 1 ayat (11) bahwa komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai

dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup dengan pengertian di

tingkat pusat oleh komisi penilai pusat dan di tingkat daerah oleh komisi penilai

daerah. Komisi penilai menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan

hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan

lingkungan hidup.

Tim teknis merupakan tim yang membantu komisi penilai dalam

memberikan pertimbangan teknis terhadap dokumen AMDAL yang diajukan oleh

pemrakarsa. Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang

AMDAL yakni pasal 8 ayat (4) bahwa dalam menjalankan tugasnya, komisi

penilai dibantu oleh tim teknis yang bertugas memberikan pertimbangan teknis

atas kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan

lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Selanjutnya pasal

12 ayat (1) bahwa tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri

atas para ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan atau kegiatan yang

bersangkutan dan instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan serta

ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait. Ketentuan lebih lanjut mengenai

susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud pada pasal 12 ayat (1)

ditetapkan oleh menteri untuk komisi penilai pusat dan oleh gubernur untuk

komisi penilai daerah tingkat I.

162

Kualitas tim teknis merupakan komponen yang juga berpengaruh terhadap

efektivitas kebijakan AMDAL dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan pada

kegiatan usaha migas. Kualitas tim teknis sangat penting mengingat kegiatan studi

AMDAL merupakan kegiatan multidisiplen dengan aspek linkungan sebagai inti

kajian. Kualitas tim teknis sangat terkait dengan keahlian dibidangnya. Kegiatan

usaha migas merupakan kegiatan dengan teknologi tinggi serta bersifat teknis

profesional sehingga dibutuhkan kajian AMDAL yang mendalam dan

komprehensif agar dihasilkan kualitas AMDAL yang baik, khususnya dalam

upaya pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan. Tim teknis diharapkan

mampu memberikan hasil yang lebih baik dalam keterlibatannya dalam

pengkajian dan penilaian AMDAL.

Aktor berikutnya adalah penyusun. Kualitas penyusun terdiri atas

kualifikasi ketua dan anggota tim. Ketua tim penyusun studi disebutkan harus

bersertifikat AMDAL penyusun dan sesuai ketentuan yang berlaku, sedang

anggota tim harus memiliki keahlian yang sesuai dengan lingkup studi yang

dilakukan. Kualitas penyusun AMDAL sangat berpengaruh terhadap hasil studi

AMDAL yang dilakukan. Tim penyusun yang berkualitas diyakini menghasilkan

dokumen AMDAL yang berkualitas pula. Dengan demikian AMDAL akan

menjadi efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. Bobot penyusun lebih tinggi,

bila dibandingkan dengan bobot aktor, lebih dikarenakan peran dan tugas dari

penyusun yang sangat menentukan isi dan kualitas dokumen yang dihasilkan.

Dalam pelaksanaan dan penyusunan dokumen AMDAL, kualifikasi dan integritas

penyusun sangat menentukan. Selain itu pengalaman penyusun dalam menyusun

AMDAL juga sangat penting, mengingat kompleksitas aspek dan dimensi-dimensi

dalam suatu studi AMDAL.

Aktor pemrakarsa juga menjadi bagian dari pengembangan kebijakan

AMDAL migas yang efektif dan efisien. Pemrakarsa merupakan pihak pengguna

langsung kebijakan AMDAL. Pemrakarsa memiliki kewenangan menunjuk

langsung tim penyusun AMDAL kegiatan usaha yang dilakukan, begitu pula

dengan pembiayaan kegiatan studi AMDAL. Kewenangan dalam penentuan

pelaksana studi dan penyusun dokumen AMDAL sangat penting, mengingat

otoritas sepenuhnya yang dimiliki oleh pemrakarsa, menjadi awal kualitas

163

dokumen AMDAL yang dihasilkan. Penunjukan tim penyusun yang tepat, akan

memberikan hasil yang baik dengan kualitas dokumen AMDAL yang dihasilkan.

Disisi lain, pemrakarsa merupakan pengguna langsung dari dokumen AMDAL

yang dihasilkan. Analisis mengenai dampak penting yang teridentifikasi akan

menjadi rambu-rambu pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.

Selanjutnya indikator efektif dan efisien sebagai pendekatan untuk melihat

sejauh mana pengembangan kebijakan AMDAL migas di masa datang. Indikator

efektivitas dan efisiensi meliputi: operasional (0.270), menjadi acuan (0.082) dan

implementasi (0.149), biaya penyusunan (0.143), waktu penyusunan (0.072) dan

sumberdaya manusia (0.286).

Kebijakan AMDAL yang operasional, implementatif serta dapat menjadi

acuan dalam pengelolaan lingkungan pada kegiatan usaha migas, merupakan

sesuatu yang sangat penting, mengingat kebijakan AMDAL adalah dokumen

kebijakan, dokumen publik dan berkekutan hukum. Dokumen AMDAL adalah

satu-satunya dokumen pengelolaan lingkungan khususnya dalam pengendalian

dampak pada suatu kegiatan usaha. Dengan demikian, dokumen tersebut harus

bersifat operasional, dapat diimplementasikan serta dapat menjadi acuan dalam

pengelolaan lingkungan dalam kaitannya dengan pengendalian dampak

lingkungan.

Peningkatan SDM penyusunan AMDAL perlu dilakukan mengingat

kualitas dokumen AMDAL selain ditentukan oleh kualitas penyusun, juga sangat

dipengaruhi oleh kualitas komisi AMDAL. Hal ini menjadi penting mengingat

kajian tentang lingkungan hidup dalam dua dekade terakhir menjadi sangat serius

dan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dunia. Pemanasan global

akibat dampak yang muncul dari aktivitas pembangunan telah mengancam

kelansungan hidup manusia. Akibat tersebut menimbulkan polusi dan kerusakan

lingkungan sehingga dokumen AMDAL sebagai upaya untuk menjaga kelestarian

lingkungan dalam keberlanjutan menjadi sangat penting. Komisi penilai AMDAL

pusat adalah salah satu komponen penting yang berperan dalam kegiatan

penyusunan AMDAL migas. Sumberdaya manusia yang berkualitas khususnya

untuk kegiatan migas akan sangat menentukan hasil studi AMDAL migas selain

kualitas tim penyusun itu sendiri. Sinergitas antara tim penyusun dengan komisi

164

penilai dengan sumberdaya yang berkualitas diharapkan menghasilkan dokumen

AMDAL yang berkualitas pula.

Komponen efisiensi kebijakan AMDAL lainnya adalah biaya dalam

penyusunan dokumen. Komponen pembiayaan sangat berpengaruh terhadap

kualitas AMDAL yang dihasilkan. Pembiayaan yang minim akan menyulitkan

dalam kegiatan studi, sehingga komponen pembiayaan menjadi sulit dilakukan

dan menyebabkan kegiatan menjadi sekedar dilaksanakan. Disisi lain pembiayaan

yang tinggi akan memberatkan pemrakarsa dan pemborosan biaya dapat terjadi

sehingga kegiatan studi menjadi tidak efisien. Untuk itu, proporsionalisasi

pembiayaan menjadi sangat penting, mengingat efisien kebijakan AMDAL.

Komponen waktu merupakan salah satu indikator efisiensi kebijakan

AMDAL. Waktu persetujuan dokumen AMDAL 75 hari kerja yang didasarkan

pada PP No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL. Waktu tersebut terbilang cukup

lama sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan. Terlebih lagi

penyusunan dokumen ANDAL, RKL dan RPL tidak dapat dilaksanakan sebelum

dokumen KA-ANDAL disetujui. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap

efisiensi penyusunan AMDAL. Waktu pengambilan keputusan kelayakan

dokumen AMDAL menjadi penting dalam kaitannya dengan efisiensi kebijakan

AMDAL untuk mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas.

Waktu yang dibutuhkan dalam pengambilan kelayakan dokumen AMDAL secara

keseluruhan yakni 150 hari teridir dari 75 hari untuk penilaian persetujuan

dokumen KA-ANDAL dan 75 hari untuk penilaian persetujuan dokumen

ANDAL, RKL dan RPL. Dengan demikian kurang lebih lima bulan waktu yang

dibutuhkan untuk mengeluarkan keputusan kelayakan lingkungan. Sementara

waktu pengambilan keputusan masyarakat dimana saat ini ditentukan sekitar 30

hari sejak diumumkannya. Masyarakat diberi kesempatan untuk memberi

tanggapan dan masukan kepada pemrakarsa, pemerintah dan penyusun AMDAL

untuk kemudian segera memperbaiki sesuai dengan tanggapan yang masuk.

Waktu yang terbilang singkat tersebut, akan sangat berpengaruh terhadap

tanggapan dan masukan yang terbatas. Dengan demikian dokumen AMDAL

menjadi tidak berkualitas disebabkan karena minimnya tanggapan yang masuk

165

dari masyarakat. Akhirnya AMDAL yang dihasilkan dalam implementasinya

tidak menjadi efektif.

Hasil penentuan prioritas strategi pengembangan kebijakan AMDAL

migas dalam mencegah kerusakan lingkungan berturut-turut: peningkatan kualitas

dokumen (0.441), penguatan hukum dan kelembagaan (0.296) dan

penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL (0.263). Peningkatan kualitas

dokumen menjadi strategi utama, mengingat AMDAL sebagai dokumen

manajemen lingkungan, dokumen publik dan dokumen hukum. Kualitas dokumen

AMDAL migas merupakan salah satu strategi penting dan kaitannya dengan

pengembangan kebijakan AMDAL. Strategi tersebut harus didukung oleh

peningkatan kualitas penyusun, meliputi; kualifikasi, independensi dan komposisi.

Perbaikan substansi dokumen AMDAL dengan memperbaiki metode-metode

didalam penyusunan AMDAL seperti; kajian aspek ekologi dan sosial ekonomi.

Selain itu, juga harus dilakukan pengintegrasian dengan kajian emergency dalam

penyusunan AMDAL, dengan harapan bahwa hal-hal emergency, seperti yang

sering terjadi selama ini yakni tumpuhan minyak dapat diatasi.

Kualitas dokumen AMDAL merupakan komponen yang terdiri atas

dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KA-ANDAL), dokumen

analisis dampak lingkungan (ANDAL), dokumen rencana pengelolaan lingkungan

hidup (RKL) dan dokumen rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL).

Dokumen KA-ANDAL disusun terlebih dahulu untuk menentukan lingkup studi

dan mengidentifikasi isu-isu pokok yang harus diperhatikan dalam penyusunan

AMDAL. Dokumen KA-ANDAL dinilai oleh komisi penilai AMDAL dan bila

telah disetujui maka kegiatan penyusunan dokumen ANDAL, RPL dan RKL

dilaksanakan. Ketiga dokumen tersebut (ANDAL, RKL dan RPL), merupakan

bahan penilaian bagi komisi penilai AMDAL untuk kemudian menjadi dasar

penentuan rencana usaha dan atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau

tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Selain itu

dokumen AMDAL juga menjadi bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah,

memberi masukan untuk penyusunan disain teknis dari rencana usaha dan atau

kegiatan, serta memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan

dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan.

166

Strategi kedua dalam upaya pengembangan kebijakan AMDAL kaitannya

dengan mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas adalah

penguatan aspek hukum dan kelembagaan. Dokumen AMDAL yang merupakan

dokumen hukum, harus menjadi barometer keberlanjutan pembangunan dari sisi

ekologi. Hal ini sangat terkait dengan dampak yang senantiasa mengikuti aktivitas

pembangunan yang dilakukan. Dokumen AMDAL kemudian menjadi sangat

penting, sebagai dokumen yang bersifat preventif (pencegahan) akan terjadinya

kerusakan lingkungan. Penegakan hukum (law enforcement) terhadap

pelanggaran-pelanggaran lingkungan, diharapkan menjadi prioritas penguatan

hukum dan kelembagaan AMDAL migas.

Strategi ketiga adalah penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL

migas. Strategi ini juga menjadi penting, mengingat salah satu permasalahan yang

umumnya dihadapi dalam investasi pembangunan adalah aspek prosedural yang

seringkali berbelit-berbelit dan membutuhkan waktu yang lama. Kondisi ini

diperparah dengan banyaknya birokrasi yang harus dilalui dalam kaitannya

dengan penanam investasi tersebut. Demikian pula halnya dalam kegiatan

penyusunan AMDAL. Pemrakarsa dan penyusun seringkali mengalami hambatan,

terutama dalam aspek waktu dan pembiayaan yang begitu besar.

5.8 Rumusan Kebijakan AMDAL Migas

Hasil focus group discussion diperoleh rumusan pengembangan kebijakan

AMDAL migas yang efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan

adalah dengan peningkatan kualitas dokumen, penguatan hukum dan kelembagaan

serta penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL migas. Rumusan kebijakan

AMDAL migas tersebut didasarkan pada hasil analisis komponen utama dan

analytichal hierarchy process yang dirumuskan secara bersama-sama dengan

stakeholders AMDAL migas beserta pakar dibidang lingkungan hidup.

Rumusan pengembangan kebijakan AMDAL migas yang efektif dan

efisien dalam mencegah kerusakan lingkungan diimplementasikan dalam strategi-

strategi kebijakan AMDAL migas yakni: peningkatan kualitas dokumen AMDAL

migas, penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL migas serta penyempurnaan

prosedur penyusunan AMDAL migas.

167

Mengingat pentingnya strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas

tersebut, maka perlu dilakukan pengintegrasian strategi secara komprehensif,

antara strategi peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas, strategi penguatan

hukum dan kelembagaan AMDAL migas, serta strategi penyempurnaan prosedur

penyusunan dokumen AMDAL migas. Dengan demikian, AMDAL migas

diharapkan dapat menjadi efektif dan efisien dalam mencegah kerusakan

lingkungan pada kegiatan usaha migas.

168

SK KA-ANDAL oleh Komisi

KA-ANDAL

UKL & UPL

Dampak Penting ya tidak

Pemrakarsa Ditjen Migas

Lembaga Independen

Komisi AMDAL Tim Teknis

Konsultan Penyusun

ANDAL, RKL, RPL

SKB KLH dan DESDM

KA-ANDAL

Komisi-Tim Teknis

tidak layak

Peningkatan Kualitas Dokumen AMDAL Migas

Penguatan Hukum dan Kelembagaan

AMDAL Migas

Substansi Dokumen

metode, isu pokok

metode perkiraan evaluasi dampak

teknologi alternatif

teknologi, kelembagaan

Penerapan Sanksi

sanksi administrasi

sanksi pidana (UU N0.23/1997)

penilaian

penilaian

penyusunan

layak lingkungan

pelingkupan

independensi

kompetensi komposisi

Keadaan Darurat/ Emergency

Keterlibatan Masyarakat

pemahaman, pengetahuan

komponen masyarakat

integrasi

Gambar 31 Diagram strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas

Lembaga Pengawas Pengelolaan, Pemantauan

Ditjen Migas

Pemda

Instansi terkait

Penguatan SDM

Penyempurnaan Prosedur AMDAL Migas

Penolakan

169

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil review kebijakan terdapat beberapa kelemahan dalam pedoman dan

petunjuk teknis penyusunan AMDAL baik di level PP No. 27 tahun 1999,

Permen LH No. 11 tahun 2006 Permen LH No. 08 tahun 2006, Kepmen

ESDM No. 1457 tahun 2000, Kepdal No. 229 tahun 1996 dan Kepdal No. 08

tahun 2000, antara lain: penentuan dampak penting, efisiensi dalam

penyusunan, kedudukan komisi AMDAL, metode pelingkupan dan metode

studi yang digunakan, aspek sosial ekonomi, mekanisme keterlibatan

masyarakat, serta belum diaplikasikannya analisis valuasi ekonomi lingkungan

dan pengkajian keadaan darurat/emergency.

2. Hasil analisis kualitas dokumen diperoleh enam dokumen termasuk kategori

kurang baik yakni dokumen AMDAL PT.CPI Duri, Pertamina Plaju,

Suryaraya Teladan, Lapindo Brantas, BP Tangguh dan Hess Pangkah, serta

satu dokumen dikategorikan cukup baik yakni dokumen AMDAL Expan

Toili, sedangkan hasil analisis kinerja lingkungan implementasi AMDAL pada

enam lokasi kegiatan usaha migas diperoleh kualitas limbah cair, kualitas

udara dan kebisingan di bawah baku mutu, untuk aspek sosial ekonomi

menunjukkan peningkatan yang signifikan khususnya kontribusi PDRB,

sementara pendidikan dan kesehatan tidak menunjukkan pengaruh yang

signifikan.

3. Kebutuhan stakeholders AMDAL migas di masa mendatang antara lain:

RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui seiring dengan perubahan

teknologi yang digunakan, simplifikasi pembahasan dan persetujuan dokumen

AMDAL migas, peningkatan SDM komisi AMDAL pusat, mekanisme

keterlibatan masyarakat lokal yang jelas, AMDAL sebagai dokumen yang

berkekuatan hukum, pengembangan metodologi AMDAL migas, perlu

akreditasi lembaga penyusun AMDAL migas, pengkajian nilai ekonomi

lingkungan, serta perlunya mengintegrasikan kajian keadaan

darurat/emergency dengan dokumen AMDAL.

170

4. Rumusan kebijakan AMDAL yang efektif dan efisien dalam mencegah

kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas meliputi: a) Peningkatan

kualitas dokumen AMDAL migas dengan memperbaiki metode-metode di

dalam penyusunan AMDAL untuk aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Metode

penentuan isu pokok untuk KA-ANDAL, metode prakiraan dampak penting

dan evaluasi dampak penting untuk dokumen ANDAL, teknologi alternatif

untuk RKL dan institusi/kelembagaan untuk RPL. Selain itu juga diperlukan

peningkatan kualitas penyusun AMDAL migas yang mencakup independensi,

kompotensi dan komposisi serta perlunya pengintegrasian kajian keadaan

darurat/emergency di dalam AMDAL dan dicantumkan dalam pedoman teknis

penyusunan AMDAL migas. b) Penguatan hukum dan kelembagaan AMDAL

migas meliputi; penguatan sumberdaya manusia, khususnya komisi AMDAL

pusat (KLH) dan tim teknis AMDAL migas, penerapan sanksi administrasi

dan pidana sesuai UU No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan

hidup, perbaikan mekanisme keterlibatan masyarakat dan kelembagaan

pengawas pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada kegiatan

usaha migas. c) Penyempurnaan prosedur penyusunan AMDAL meliputi

waktu penyusunan persetujuan dokumen, waktu pengumuman masyarakat

serta penunjukan pelaksana studi AMDAL oleh lembaga independen.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil dan kesimpulan yang diperoleh tersebut disarankan:

1. Perlu dilakukan revisi terhadap pedoman teknis AMDAL migas, begitu pula

pedoman umum penyusunan AMDAL dengan mencantumkan metode-

metode ilmiah yang harus diacu di dalam penyusunan AMDAL (KA-

ANDAL, ANDAL, RKL dan RPL)

2. Untuk peningkatan kualitas dokumen AMDAL migas perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut untuk menetapkan metode-metode yang diterapkan

untuk aspek ekologi, ekonomi dan sosial sebagai penyempurnaan pedoman

teknis dalam penyusunan AMDAL migas.

3. Perlu mengintegrasikan kajian penanggulangan keadaan darurat/emergency

di dalam AMDAL migas.

171

4. Pembentukan lembaga independen dalam prosedur pelaksanaan AMDAL

migas perlu pengkajian lebih lanjut.

5. Hasil penelitian ini, perlu diimplementasikan.

172

DAFTAR PUSTAKA

Abda’oe, F. 1994. Peran Direktur Utama Pertamina dalam Mengenal Potensi

Dampak Lingkungan dan Pengelolaannya di Sekitar Migas dan Panas Bumi dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta

Adrianto, L. 2006. Ekonomi dan Pengelolaan Mangrove dan Terumbu Karang.

Working Papaer Program Pascasarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Institut Pertanian Bogor.

Adrianto, L. 2005. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi

Sumberdaya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Alshuwaikkat, H.A. 2004. Strategic Environtmental Assessment can Help Solve

Environmental Developing Countris. Internasional Journal of Environmental Impact Assessment Review. Departemen of City and Regional Planning King Fahd University of Petroleum & Mineral, Vol. 25 (2005): 307-317.

Azis, N. 2006. Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. [Tesis]. Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Barbier, E.B. 1995. The Economics of Forestry and Conservation: Economic

Values and Policies. Journal of Commonwealth Forestry Review. Vol 74. Bartelmus, P and Vesper, A.1999. Green Accounting and Material Flow Analysis:

Alternatives of Complement. Journal of Environtment and Energy. Wuppertal Institute of Climmate.

Bealands and Dunker, P.N. 1983. Effect monitoring in environmental impact

assessment. Paper for work and management on New Directions in Environmental Assessment : The Canadian experience. Departement of Georaphy and Institute for Environmental Studies, University of Toronto.

Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut

serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB. Institut Pertanian Bogor.

BPS Kabupaten Bengkalis, (1986-2005). Kabupaten Bengkalis Dalam Angka.

Kerjasama BPS dan Bappeda Kabupaten Bengkalis. BPS Kabupaten Muara Enim, (1986-2005). Muara Enim Dalam Angka.

Kerjasama BPS dan Bappeda Kabupaten Muara Enim.

173

BPS Kabupaten Musi Banyuasin, (1986-2005). Musi Banyuasin Dalam Angka. Musi Banyuasin.

BPS Kota Palembang, (1986-2005). Kota Palembang Dalam Angka. Palembang. BPS Kabupaten Sidoarjo, (1986-2005). Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka.

Kerjasama BPS dengan Bappekab Sidoarjo. BPS Kabupaten Morowali, (1986-2005). Morowali Dalam Angka. Kerjasama

BPS dan Bappeda Kabupaten Morowali. BPS Kabupaten Sorong, (1986-2005). Sorong Dalam Angka. Kerjasama BPS dan

Bappeda Kabupaten Sorong. BPS Indonesia, (1993-2005). PDRB Kabupaten/Kotamdya di Indonesia Tahun

1993-2005. Jakarta. Clark, J.R.1978. Thermal Pollution and Aquatic Life. Scientific American. 220

(3): 19-27. Dahuri, R., dan Rais, J., Ginting, S.P. 1996. Pengelolaan Sumerdaya Wilayah

Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dartanto, T dan Khoirunurrofik. 2006. Perhitungan Bagi Hasil Minyak dan Gas di

Indonesia. Studi Kasus: Blok Cepu, Bojonegero, Jawa Timur. Jurnal Indonesia Energy Information Center.

Dartanto, T. 2005. BBM, Kebijakan Energi, Subsidi dan Kemiskinan di Indonesia.

Jurnal Inovasi Online Edisi 5/XVII/November 2005. [Ditjen MIGAS] Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. 2007. Perkembangan

Cadangan dan Produksi MIGAS 2001-2006. Jakarta. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta. Eriyatno dan Sofyar, F. 2005. Riset Kebijakan. Metode Penelitian Untuk

Pascasarjana. IPB Press. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan.

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi, A. 2002. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. [Bahan

Pelatihan]. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Semarang. Universitas Diponegoro.

Fauzi, A. 1999. Teknik Valuasi Ekosistem Mangrove. Bahan Pelatihan

Management for Mangrove Forest (Rehabilitation). Bogor.

174

Finnveden, G., Nilson, M., Johansson, J., Persson, A., Moberg, A, dan Carlsson, T. 2002. Strategic Enviromental Assessment Methodologies Application within the Energy Sector, Volume 25.

Grigalunas, T. A and Conges, R. 1995. Environmental Economics for Integrated

Coastal Area Management: Valuation Methods and Policy Instrument. UNEP Regional Seas Report and Studies. No.164.

Hendartomo, T. 2001. Permasalahan dan Kendala Penerapan AMDAL dalam

Pengelolaan Linkungan. www.freewebs.com/mastomi. Kadariah. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Universitas Indonesia.

Fakultas Ekonomi. [Kepmen LH 04/2007] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04

tahun 2007 tentang Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Jakarta. [Kepmen LH 08/2006] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08

tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyusunan AMDAL. Jakarta. [Kepmen LH 129/2003] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor

129 tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. Jakarta.

[Kepmen LH 42/1996] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 42

tahun 1996 tentang Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Jakarta. [Kepmen LH 48/1996] Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 48

tahun 1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan. Jakarta. [Kepmen ESDM 1457/2000] Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral

Nomor 1457 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan Bidang Pertambangan Dan Energi.Jakarta.

[Kepdal 08/2000] Keputusan Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup

Nomor 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Jakarta.

[Kepdal 299/1996] Keputusan Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup

Nomor 299 tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial Dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta.

Kramer, R.A. 1995. Valuing Tropical Forest. Washington DC. Journal of World

Bank. Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Andi. Yogyakarta.

175

Kusumastanto, T. 2003. Ocean policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Kusumastanto, T. 2000. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. [Makalah]

Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Haya, L.O.M.Y. Zubair, H dan Salman, D. 2003. Analisis Kebijakan Pengelolaan

Sumberdaya Terumbu Karang. Studi Kasus Penangkapan Ikan yang Merusak (Sianida dan Bom) di Kepulauan Spermonde, Propinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Pascasarjana UNHAS. Vol. 1. No. 02.

Landiyanto, E. A dan Wardaya, W. 2005. Framework of Regional Development in

Agenda 21: Sustainability and Environmental Vision. Jurnal Munich Personal RePEc Archive (MPRA). Vol. No. 2381.

Ma’arif, S dan Tanjung, H. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif untuk Manajemen.

Jakarta: Grasindo. Moore, J.W. 1991. Inorganic Contaminations of Surface Water. Springer-Verlag,

New York. 334 p. Murdiyarso D, 2003. Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang.

PT Kompas Media Nusantara. Jakarta. Munasinghe, M. 1993. Economic and Policy Issues in Natural Habitats and

Protected Crew. Protected Area Economis and Policy: Lingking Conservation and Sustainable Development. Edited by Mohan Munasinghe and Jeffrey McNeely. Washington DC. Journal of World Bank.

Mukono, H.J. 2005. Kedudukan AMDAL dalam Pembangunan Berwawasan

Lingkungan yang Berkelanjutan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 02 Juli. [Permen LH 08/2006] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08

tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta.

[Permen LH 11/2006] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11

tahun 2006 tentang Jenis Kegiatan yang Wajib dilengkapi AMDAL. Jakarta. [PP 41/1999] Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian

Pencemaran Udara (Baku Mutu Ambien Nasional). Jakarta. [PP 27/1999] Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta. [PP 51/1993] Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1993 tentang Analisis

Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta.

176

[PP 29/1986] Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Jakarta.

Purnama, D. 2003. Public Involment In The Indonesian EIA Process, Perceptions,

and Alternatif. Department or geographical and Enviromental Studies. University of Adelaide.

Purnama, D. 2003b. Reformasi atas proses AMDAL di Indonesia: meningkatkan

peran dari keterlibatan publik. Kajian Pemantuan Dampak Lingkungan. Jurnal INDENI. Vol 23: 415-439.

Purnomo, H dan E.M.L. Tobing. 2007. Pengembangan Simulator Pengendalian

Sumur pada Pemboran Vertikal, Berarah Maupun Horizontal. Lembaran Publikasi LEMIGAS. Vol. 41. No.1 April.

Rahmalia, E. 2003. Analisis Tipologi Dan Pengembangan Desa-Desa Pesisir Kota

Bandar Lampung. [Tesis]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Ruitenbeek, H.I. 1991. Mangrove Management: An Economic Analysis of

Management Option with a Focus an Bintury Bay Irian Jaya. EMDI. Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin (Proses Hierarki

Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks). Terjemahan. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Saaty, T.L. 1994. Decision Making in Economic, Political, sosial and

Technological Environments With the Analytical Hierarchy Process. America : University of Pittssburgh.

Sanim, B. 2003. Environmental Protection and Regional Development. Paper

disampaikan pada The 16th General Conference of IFSSO On Environmental Protection and Regional Development.

Santoso, J. 2005. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kawasan

Pondok Ball, Desa Legonwetan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Sofyan, A. 2003. Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Hutan Mangrove di Desa

Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Sumarwoto, O. 2005. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah Mada

University Press. Yogyakarta. Suparmoko. 2000. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. UGM

Yokyakarta.

177

Supriyadi, H. I dan Wouthuyzen, S. 2005. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat, Provinsi Maluku. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2005. No. 38 : 1 – 21.

Suratmo, G.F. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. UGM. Yogyakarta. Steer, A. 1996. Ten Principles of the New Environmentalism. Journal of Finance

and Development. Tiwi, D.A. 2003. Evaluasi AMDAL dalam Menunjang Pengelolaan Pantai

Terpadu. Prosiding Seminar Teknologi. Vol. IV hal 29-31. BPPT. [UU 17/2004] Undang-Undang Nomor 17 tahun 2004 tentang Ratifikasi Kyoto

Protokol. Jakarta. [UU 22/2001] Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Bumi. Jakarta. [UU 6/1999] Undang-Undang Nomor 06 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konversi

Perubahan Iklim. Jakarta. [UU 23/1997] Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup dan Penjelasannya. Jakarta. [WCED] World Commision on Environment and Development. 1987. A Global

Perspective. Oxford UK. Blackwell Business. Whelan, S. A. 1996. An Initial Exploration of the Relevance of Complexity Theory

to Group Research and Practice. J. of System Practice. Vol. 9 (1), 49:70. Williamson, M. 2003. Introduction to Environmental Economic Valuation and Its

Relationship to Environmental Impact Assessment: Environmental Impact Assessment. Journal of Environmental Protection Agency. Queensleand GB.

178

148.940.000 Papua

97.890.000 Maluku

90.460.000 Sulawesi

1.046.110.000 Kalimantan

1.667.010.000 Jawa

5.876.890.000 Sumatera

Cadangan Minyak (Barrel) Wilayah

CADANGAN MINYAK BUMI (Barrel)

TERBUKTI = 4.370,29 MMSTB = 4.370.290.000 Bbl POTENSIAL = 4.558,16 MMSTB = 4.558.160.000 Bbl TOTAL = 8.928,45 MMSTB = 8.928.450.000 Bbl

WILAYAH KERJA KEGIATAN MIGAS

WILAYAH KEPULAUAN INDONESIA

WILAYAH KEPULAUAN NEGARA LAIN

CADANGAN MINYAK

Lampiran 1. Cadangan minyak bumi Indonesia

179

24.470.000 Papua

6.000 Maluku

6.300.000 Nusa Tenggara

4.710.000 Sulawesi

47.770.000 Kalimantan

12.240.000 Jawa

91.640.000 Sumatera

Cadangan Gas (Kubik Feet)

Wilayah

WILAYAH KERJA KEGIATAN MIGAS

WILAYAH KEPULAUAN INDONESIA

WILAYAH KEPULAUAN NEGARA LAIN

CADANGAN MINYAK

CADANGAN GAS BUMI (Kubik Feet)

TERBUKTI = 93,95 TSCF =93.950.000 MMSCF/Ft3 POTENSIAL = 93,14 TSCF =93.140.000 MMSCF/Ft3 TOTAL = 187,09 TSCF =187.090.000 MMSCF/Ft3

Lampiran 2. Cadangan gas bumi Indonesia

180

Lampiran 3. Peta lokasi penelitian KKKS Hess Pangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur

181

Lampiran 4. Peta Lokasi penelitian PT. CPI, Kabupaten Bengkalis, Riau

Lampian 3d. Peta Lokasi Amerada Hess di Blok Pangkah, Gresik Jawa Timur

182

Lampiran 5. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Bengkalis Tahun Gedung

Sekolah Fasilitas

Kesehatan PDRB

tanpa Migas PDRB

dengan Migas 1986 370 11 442.219 - 1987 370 11 507.497 - 1988 370 11 597.180 - 1989 370 13 730.655 - 1990 370 19 839.135 - 1991 370 36 996.585 - 1992 437 44 1.146.595 - 1993 437 44 1.324.246 11.121.327 1994 440 51 1.525.051 11.030.805 1995 440 51 1.735.724 10.755.327 1996 440 59 1.990.883 11.960.796 1997 441 65 2.239.646 13.159.208 1998 460 73 2.779.740 23.787.273 1999 460 73 3.595.194 27.359.563 2000 520 73 1.623.629 14.536.379 2001 534 74 3.358.116 15.755.622 2002 534 87 4.323.472 25.135.143 2003 534 92 5.711.969 26.141.326 2004 535 92 7.253.462 30.906.866 2005 538 93 8.771.652 37.873.971

Sumber: BPS Kabupaten Bengkalis (1986-2005)

183

Lampiran 6. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kota Palembang Tahun Gedung

Sekolah Fasilitas

Kesehatan PDRB

tanpa Migas PDRB

dengan Migas 1986 526 116 1.242.990 - 1987 526 120 1.448.969 - 1988 526 120 1.558.291 - 1989 526 124 1.744.069 - 1990 526 131 1.860.222 - 1991 526 131 2.100.531 - 1992 540 134 2.386.222 - 1993 540 136 3.224.275 - 1994 540 139 2.012.060 3.145.213 1995 545 145 3.011.539 3.344.913 1996 545 147 3.576.032 3.980.787 1997 545 147 4.238.830 4.670.319 1998 545 150 6.189.483 6.809.872 1999 545 150 7.169.264 7.941.073 2000 545 155 8.019.471 9.362.828 2001 545 155 9.301.812 12.329.627 2002 545 155 10.699.707 14.460.830 2003 545 156 12.425.650 16.815.478 2004 545 156 14.508.625 19.287.616 2005 545 156 17.278.525 24.595.162

Sumber: BPS Kota Palembang (1986-2005)

184

Lampiran 7. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Sidoarjo Tahun Gedung

Sekolah Fasilitas

Kesehatan PDRB tanpa

Migas PDRB dengan

Migas 1986 846 69 658.900 - 1987 846 69 759.212 - 1988 846 73 886.795 - 1989 846 75 1.097.246 - 1990 870 77 1.417.150 - 1991 870 78 1.770.102 - 1992 870 78 1.988.359 - 1993 870 87 2.358.832 - 1994 870 88 2.862.438 - 1995 879 88 4.226.782 - 1996 879 91 4.895.642 - 1997 879 97 5.781.614 - 1998 879 97 8.348.791 - 1999 879 97 9.548.538 - 2000 886 100 10.707.550 - 2001 886 117 18.999.062 18.999.098 2002 886 117 21.490.066 21.490.102 2003 886 122 23.825.672 23.825.758 2004 886 120 27.071.870 27.072.023 2005 886 129 31.841.543 31.841.677

Sumber: BPS Kabupaten Sidoarjo (1986-2005)

185

Lampiran 8. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Muara Enim Tahun Gedung

sekolah Fasilitas

Kesehatan PDRB tanpa

Migas PDRB dengan

Migas 1986 427 103 486.209 - 1987 427 117 633.068 - 1988 427 118 731.043 - 1989 427 121 938.293 - 1990 474 122 1.195.898 - 1991 474 126 1.375.651 - 1992 474 127 1.301.252 - 1993 474 132 2.338.335 - 1994 474 133 2.502.145 - 1995 546 136 1.326.817 2.042.088 1996 550 136 1.587.853 2.440.630 1997 550 136 2.047.810 3.258.753 1998 550 137 2.730.911 5.203.269 1999 550 137 2.627.335 5.235.797 2000 571 138 3.324.127 6.135.777 2001 571 144 4.236.087 6.698.215 2002 571 144 3.982.794 6.157.875 2003 572 144 4.517.749 6.874.889 2004 571 144 5.048.118 7.683.414 2005 568 144 5.849.054 9.825.106

Sumber: BPS Kabupaten Muara Enim (1986-2005)

186

Lampiran 9. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Musi Banyuasin

Tahun Gedung sekolah

Fasilitas Kesehatan

PDRB tanpa Migas

PDRB dengan Migas

1986 725 83 1.048.082 - 1987 725 83 1.318.721 - 1988 725 83 1.487.754 - 1989 725 83 1.674.059 - 1990 740 85 1.676.838 - 1991 740 90 1.916.567 - 1992 740 95 2.084.757 - 1993 740 95 2.115.927 - 1994 740 96 2.082.876 - 1995 756 96 1.715.467 2.496.290 1996 756 98 2.012.979 2.880.787 1997 756 98 2.370.597 3.404.768 1998 756 100 3.457.637 5.504.512 1999 756 103 3.933.373 6.305.896 2000 756 103 4.860.637 8.695.098 2001 756 105 5.587.388 12.811.508 2002 756 105 6.187.942 12.505.302 2003 756 107 3.585.087 9.950.942 2004 756 107 4.206.525 12.046.457 2005 756 107 5.032.206 16.962.398

Sumber: BPS Kabupaten Musi Banyuasin (1986-2005)

187

Lampiran 10. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Morowali

Tahun Gedung sekolah

Fasilitas Kesehatan

PDRB tanpa Migas

PDRB dengan Migas

1986 280 69 67.934 - 1987 280 69 98.456 - 1988 280 69 112.285 - 1989 280 75 135.285 - 1990 280 75 155.125 - 1991 280 78 171.145 - 1992 280 81 187.989 - 1993 280 82 208.925 - 1994 280 82 201.407 - 1995 280 82 223.084 - 1996 280 84 334.491 - 1997 280 85 398.078 - 1998 280 85 467.031 - 1999 280 87 680.987 - 2000 291 87 708.750 - 2001 291 89 826.456 826.456 2002 291 89 949.424 949.424 2003 291 99 1.041.321 1.041.321 2004 291 87 1.167.923 1.167.923 2005 291 92 1.333.342 1.333.749

Sumber: BPS Kabupaten Morowali (1986-2005)

188

Lampiran 11. Perkembangan aspek sosial ekonomi di Kabupaten Sorong

Tahun Gedung Sekolah

Fasilitas Kesehatan

PDRB tanpa Migas

PDRB dengan Migas

1986 121 41 447.024 - 1987 121 41 428.316 - 1988 121 41 469.409 - 1989 121 47 487.519 - 1990 131 47 639.793 - 1991 131 47 681.128 - 1992 131 47 810.207 - 1993 131 47 445.283 683.401 1994 131 50 496.840 794.851 1995 133 50 563.649 836.871 1996 133 50 641.339 920.140 1997 133 50 932.798 1.272.016 1998 133 55 1.327.589 2.154.606 1999 133 57 613.643 1.237.666 2000 133 57 752.437 1.718.854 2001 133 57 778.241 1.910.443 2002 133 58 876.414 2.035.147 2003 138 58 557.729 1.961.384 2004 138 58 623.551 2.525.057 2005 138 59 701.871 3.185.063

Sumber: BPS Kabupaten Sorong (1986-2005)

189

Lampiran 12. Nilai manfaat langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Langsung (Rp/Ha/Th)

1 Perikanan budidaya (tambak) 45.956.080,00

2 Perikanan tangkap 416.499.500,00

3 Pemanfaatan mangrove 4.766.500,00

Total 467.222.080,00

Sumber: Data primer setelah diolah, 2007 Lampiran 13. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove

Kecamatan Ujung Pangkah, Gresik Jawa Timur

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Tidak Langsung (Rp/Ha/Th)

1 Penahan abrasi 691.490.131,00

2 Penyedia pakan 606.421,00

Total 692.096.552,00

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007

Lampiran 14. Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Kecamatan Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur

No Jenis Manfaat Nilai Ekonomi Total (Rp/Ha/Th)

1 Manfaat Langsung 541.677.344,00

2 Manfaat Tidak Langsung 692.096.552,00

3 Manfaat Pilihan 138.000,00

4 Manfaat Keberadaan 2.084.783,00

Nilai Ekonomi Total 1.235.996.678,00

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007

190

Lampiran 15. Nilai manfaat langsung ekosistem hutan sekunder Kecamatan Mandau Bengkalis Riau

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Langsung (Rp/Ha/Th)

1 Karet 947.184.625,00

2 Sawit 179.015.627,00

3 Arang 4.821.750,00

Total 1.131.022.002,00

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007 Lampiran 16. Nilai manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove Kecamatan Mandau Bengkalis Riau

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Tidak Langsung (Rp/Ha/Th)

1 Penjaga siklus makanan 74.000.000,00

2 Habitat flora dan fauna 6.400.000,00

Total 80.400.000,00

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007

Lampiran 17. Nilai ekonomi total ekosistem hutan sekunder Kecamatan Mandau Bengkalis Riau

No Jenis Manfaat Nilai Ekonomi Total

(Rp/Ha/Th)

1 Manfaat Langsung 1.160.141.198,00

2 Manfaat Tidak Langsung 80.400.000,00

3 Manfaat Pilihan 302.250,00

4 Manfaat Keberadaan 3.942.857,00

Nilai Ekonomi Total 1.244.786.305,00

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2007

191

Lampiran 18. Output analisis komponen utama pengembangan kebijakan AMDAL di masa datang dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha migas

Akar ciri (Eigenvalues)

Faktor Eigenvalue % Total Variance

Cumulative Eigenvalue Cumulative %

1 7.581975 25.27325 7.58198 25.27332 6.475323 21.58441 14.05730 46.85773 5.976343 19.92114 20.03364 66.77884 4.547562 15.15854 24.58120 81.93735 3.136916 10.45639 27.71812 92.39376 2.281880 7.60627 30.00000 100.0000

Korelasi variabel terhadap Faktor (Faktor Loadings)

Variabel Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Factor 5 Factor 6DAM 0.572315 0.668309 -0.175141 0.164647 0.291000 0.288712PEM 0.631812 0.282424 0.402482 -0.126324 -0.578404 -0.092467KOM 0.433909 -0.588774 -0.047886 0.090932 0.650822 -0.175887EFI 0.780436 -0.531174 -0.078891 0.249747 0.199162 -0.022619

PMA 0.287117 -0.744378 -0.217735 0.158115 -0.181278 0.508128PER 0.321887 -0.610896 -0.358335 0.619594 0.082598 0.063801ASP -0.065825 0.145063 0.026324 0.525801 -0.308308 -0.776151NEL -0.333307 0.828284 0.207863 0.006437 0.397837 0.036453KET 0.673554 0.150831 0.370755 0.537225 0.019316 0.311659KEL -0.740202 0.457702 -0.045598 -0.036489 0.397277 -0.285253SDM -0.067131 -0.126517 -0.900558 0.073379 -0.307393 0.261929AKR -0.698597 0.242914 0.604627 0.166308 0.209087 0.126515TEV 0.062316 0.076154 -0.234570 0.063624 -0.894152 -0.362957PEL -0.367453 -0.277770 -0.505995 0.702820 -0.056711 -0.186060TLM -0.037097 0.820541 0.025622 0.397996 -0.292256 0.284369MET -0.672690 -0.450729 0.368219 0.037076 -0.195231 0.411408PDK -0.437703 -0.521981 0.611848 -0.028950 0.394042 0.074071TPM -0.294854 -0.435724 0.527832 0.649084 -0.152476 0.006238RPL 0.519144 -0.060685 0.624669 0.570415 -0.102748 0.025802INT 0.140138 0.256923 0.221134 0.581552 0.521930 -0.504815SUB 0.861342 0.139896 -0.163321 -0.365501 -0.082282 -0.267365KTR 0.023969 0.178216 0.913453 -0.255431 -0.257579 0.040941HUK 0.397941 0.265276 -0.800348 -0.282867 0.193253 0.115559

192

Variabel Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Factor 5 Factor 6KTL 0.783056 -0.056537 0.244456 -0.511839 0.048272 -0.244047KAD 0.211708 0.773777 -0.301940 0.471693 0.127226 0.163096PRO 0.673554 0.150831 0.370755 0.537225 0.019316 0.311659PEA 0.767618 0.178686 0.582782 0.157066 -0.025141 -0.117886EST 0.566712 -0.681228 -0.099773 -0.278456 0.331501 -0.131836SIM 0.209503 0.753345 -0.551657 0.184016 0.184910 0.127281TLG -0.367453 -0.277770 -0.505995 0.702820 -0.056711 -0.186060

Kontribusi variabel terhadap faktor

Variabel Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Factor 5 Factor 6DAM 0.043200 0.068975 0.005133 0.005961 0.026995 0.036529PEM 0.052649 0.012318 0.027106 0.003509 0.106650 0.003747KOM 0.024832 0.053535 0.000384 0.001818 0.135027 0.013557EFI 0.080333 0.043572 0.001041 0.013716 0.012645 0.000224

PMA 0.010873 0.085571 0.007933 0.005498 0.010476 0.113150PER 0.013666 0.057633 0.021485 0.084418 0.002175 0.001784ASP 0.000571 0.003250 0.000116 0.060794 0.030302 0.263997NEL 0.014652 0.105949 0.007230 0.000009 0.050455 0.000582KET 0.059836 0.003513 0.023001 0.063465 0.000119 0.042566KEL 0.072263 0.032352 0.000348 0.000293 0.050313 0.035659SDM 0.000594 0.002472 0.135703 0.001184 0.030122 0.030066AKR 0.064368 0.009113 0.061170 0.006082 0.013936 0.007014TEV 0.000512 0.000896 0.009207 0.000890 0.254871 0.057732PEL 0.017808 0.011915 0.042841 0.108620 0.001025 0.015171TLM 0.000182 0.103977 0.000110 0.034832 0.027229 0.035438MET 0.059683 0.031374 0.022687 0.000302 0.012151 0.074174PDK 0.025268 0.042077 0.062640 0.000184 0.049497 0.002404TPM 0.011467 0.029320 0.046618 0.092645 0.007411 0.000017RPL 0.035546 0.000569 0.065293 0.071549 0.003365 0.000292INT 0.002590 0.010194 0.008182 0.074370 0.086840 0.111679SUB 0.097852 0.003022 0.004463 0.029376 0.002158 0.031327KTR 0.000076 0.004905 0.139617 0.014347 0.021150 0.000735HUK 0.020886 0.010868 0.107182 0.017595 0.011906 0.005852KTL 0.080873 0.000494 0.009999 0.057609 0.000743 0.026101KAD 0.005911 0.092464 0.015255 0.048926 0.005160 0.011657

193

Variable Factor 1 Factor 2 Factor 3 Factor 4 Factor 5 Factor 6 PRO 0.059836 0.003513 0.023001 0.063465 0.000119 0.042566PEA 0.077716 0.004931 0.056830 0.005425 0.000201 0.006090EST 0.042359 0.071668 0.001666 0.017050 0.035032 0.007617SIM 0.005789 0.087645 0.050922 0.007446 0.010900 0.007100TLG 0.017808 0.011915 0.042841 0.108620 0.001025 0.015171

Proyeksi variabel terhadap faktor utama 1 dan 2

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)

Active

DAM

PEM

KOM EFI

PMA

PER

ASP

NEL

KET

KEL

SDM

AKR

TEV

PEL

TLM

MET PDK

TPM

RPL

INT SUB KTR

HUK

KTL

KAD

PRO PEA

EST

SIM

TLG

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

Factor 1 : 25.27%

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

Fact

or 2

: 21

.58%

194

Keterangan:

No. Komponen Simbol 1. Dampak penting DAM 2. Keadaan darurat/emergency KEA 3. Komisi AMDAL KOM 4. Efisiensi penyusunan EFI 5. Pelingkupan PEL 6. Metode studi MET 7. Aspek sosial ekonomi ASP 8. Keterlibatan masyarakat KTL 9. Analisis TEV TEV 10. Kelengkapan dokumen KEL 11. Penyusun AMDAL PEA 12. Substansi dokumen SUB 13. Prosedur penyusunan PRO 14. Teknologi pengelolaan limbah minyak TLM 15. Teknologi pengelolaan limbah gas TLG 16. Kontribusi PDRB KTR 17. Taraf pendidikan dan Kesehatan PDK 18. Tumpahan Minyak TPM 19. RKL/RPL secara dinamis dapat diperbaharui

seiring dengan perubahan teknologi yang digunakan

RPL

20. Integrasi keadaaan darurat dengan AMDAL INT 21. Pemerintah daerah dan lembaga swadaya

masyarakat merupakan bagian dari anggota komisi AMDAL

PEM

22. Simplifikasi penyusunan AMDAL SIM 23. Peningkatan SDM komisi AMDAL pusat SDM 24. Mekanisme keterlibatan masyarakat lokal yang

jelas KET

25. Penetapan proporsi/persentase pembiayaan studi yang jelas/baku

PER

26. Estimasi pembiayaan pengelolaan lingkungan selama umur kegiatan dengan mempertimbangkan teknologi alternatif, sesuai dengan perkembangan teknologi

EST

27. AMDAL sebagai dokumen yang berkekuatan hukum

HUK

28. Pengembangan metodologi AMDAL PMA 29. Perlu akreditasi lembaga penyusun AMDAL AKR 30. Pengkajian nilai ekonomi lingkungan NEL

195

Lampiran 19. Hasil analytical hierarchy process strategi pengembangan kebijakan AMDAL migas dalam mencegah kerusakan lingkungan

Model Name: AHP-OK

Treeview

Goal: Stretegi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas dalam MencegahKerusakan Lingkungan

PENYUSUN (L: .297) EFEKTIF (L: .500)

Operasional (L: .540) Menjadi Acuan (L: .163) Implementasi (L: .297)

EFISIEN (L: .500) Biaya (L: .286) Waktu (L: .143) SDM (L: .571)

PEMRAKARSA (L: .163) EFEKTIF (L: .500)

Operasional (L: .286) Menjadi Acuan (L: .143) Implementasi (L: .571)

EFISIEN (L: .500) Biaya (L: .571) Waktu (L: .286) SDM (L: .143)

KOMISI DAN TIM TEKNIS (L: .540) EFEKTIF (L: .500)

Operasional (L: .400) Menjadi Acuan (L: .400) Implementasi (L: .200)

EFISIEN (L: .500) Biaya (L: .143) Waktu (L: .286) SDM (L: .571)

196

Model Name: AHP-OK

Priorities with respect to: Goal: Stretegi Pengembangan Kebi...

KOMISI DAN TIM TEKNIS .540PENYUSUN .297PEMRAKARSA .163 Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.

Model Name: AHP-OK

Synthesis: Summary

Synthesis with respect to: Goal: Stretegi Pengembangan Kebijakan AMDAL Migas dalam Mencegah Kerusakan Lingkungan

Overall Inconsistency = .01

Peningkatan Kualitas Dokumen .441Penyempurnaan Prosedur .263Penguatan Hukum dan .296