List of Adjectives

39
List of Adjectives Click here for a list of over 1,100 adjectives. The list of adjectives is something of wonder. Behold the modest adjective. It can leap tall buildings in a single bound. It makes the average citizen smarter and kinder. It keeps you in the cleanest car on the block. Such potent words should be used wisely. Read on and learn how to use your adjective powers for good. An adjective's job is to modify a noun or pronoun. They are always near the noun or pronoun they are describing. Be careful how you use adjectives such as interesting, beautiful, great, wonderful, or exciting. Many adjectives like these are overused and add little definition to a sentence. Instead, show your reader or listener what you are talking about by using verbs and nouns creatively. Sprinkle fewer well-chosen adjectives for interest. Adjectives are often used to describe the degree of modification. The adjective forms are positive, comparative, and superlative. This tree is tall. (positive) That tree is taller. (comparative) The last tree in the row is the tallest. (superlative) A handful of adjectives have irregular forms of positive, comparative, and superlative usage.

Transcript of List of Adjectives

List of Adjectives

Click here for a list of over 1,100 adjectives.

The list of adjectives is something of wonder. Behold the modest adjective. It can leap tall buildings in a single bound. It makes the average citizen smarter and kinder. It keeps you in the cleanest car on the block. Such potent words should be used wisely. Read on and learn how to use your adjective powers for good.

An adjective's job is to modify a noun or pronoun. They are always near the noun or pronoun they are describing. Be careful how you use adjectives such as interesting, beautiful, great, wonderful, or exciting. Many adjectives like these are overused and add little definition to a sentence. Instead, show your reader or listener what you are talking about by using verbs and nouns creatively. Sprinkle fewer well-chosen adjectives for interest.

Adjectives are often used to describe the degree of modification.

The adjective forms are positive, comparative, and superlative.

This tree is tall. (positive)

That tree is taller. (comparative)

The last tree in the row is the tallest. (superlative)

A handful of adjectives have irregular forms of positive, comparative,and superlative usage.

These include good/better/best, bad/worse/worst, little/less/least, much-many-some/more/most, far/further/furthest.

My lunch was good, hers was better, and yours was the best.

Proper adjectives are derived from proper nouns. They commonly describe something in terms of nationality, religious affiliation, or culture. Like proper nouns, proper adjectives have their first letter capitalized. Some examples of proper adjectives include:

American

French

Japanese

Latino

Asian

Australian

Catholic

Lutheran

Jewish

The following lists are just a sampling of adjectives in the English language. They are categorized by the type of attribute they describe.Use your dictionary or thesaurus to add to each list or use the complete list below this one.

Appearance Adjectives

adorable

beautiful

clean

drab

elegant

fancy

glamorous

handsome

long

magnificent

old-fashioned

plain

quaint

sparkling

ugliest

unsightly

wide-eyed

Color Adjectives

red

orange

yellow

green

blue

purple

gray

black

white

Condition Adjectives

alive

better

careful

clever

dead

easy

famous

gifted

helpful

important

inexpensive

mushy

odd

powerful

rich

shy

tender

uninterested

vast

wrong

Feelings (Bad) Adjectives

angry

bewildered

clumsy

defeated

embarrassed

fierce

grumpy

helpless

itchy

jealous

lazy

mysterious

nervous

obnoxious

panicky

repulsive

scary

thoughtless

uptight

worried

Feelings (Good) Adjectives

agreeable

brave

calm

delightful

eager

faithful

gentle

happy

jolly

kind

lively

nice

obedient

proud

relieved

silly

thankful

victorious

witty

zealous

Shape Adjectives

broad

chubby

crooked

curved

deep

flat

high

hollow

low

narrow

round

shallow

skinny

square

steep

straight

wide

Size Adjectives

big

colossal

fat

gigantic

great

huge

immense

large

little

mammoth

massive

miniature

petite

puny

scrawny

short

small

tall

teeny

teeny-tiny

tiny

Sound Adjectives

cooing

deafening

faint

hissing

loud

melodic

noisy

purring

quiet

raspy

screeching

thundering

voiceless

whispering

Time Adjectives

ancient

brief

early

fast

late

long

modern

old

old-fashioned

quick

rapid

short

slow

swift

young

Taste/Touch Adjectives

bitter

delicious

fresh

greasy

juicy

hot

icy

loose

melted

nutritious

prickly

rainy

rotten

salty

sticky

strong

sweet

tart

tasteless

uneven

weak

wet

wooden

yummy

Touch Adjectives

boiling

breeze

broken

bumpy

chilly

cold

cool

creepy

crooked

cuddly

curly

damaged

damp

dirty

dry

dusty

filthy

flaky

fluffy

freezing

hot

warm

wet

Quantity Adjectives

abundant

empty

few

full

heavy

light

many

numerous

sparse

substantial

Muhammadiyah Serukan Capres Kedepankan Politik Adiluhung

"Muhammadiyah mengimbau kepada calon presiden dan wakil presiden, tim sukses dan para pendukungnya agar mengedepankan politik adiluhung, persaingan sehat, kejujuran, kesantunan, saling menghormati, menghindari praktik politik uang, dan mengedepankan kepentingan dan persatuan bangsa," ujar Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam rilis yang dibagikan kepada media.

Menurut Din, kualitas pelaksanaan pemilu legislatif pada 9 April lalu sangat rendah. hal itu ditandai dengan maraknya praktik politik uang dan kecurangan masif yang terstruktur dan sistemik. Muhammadiyah menurutnya, menyayangkan keterlibatan oknum KPU di sejumlah wilayah yang tidak netral dan terlibat jaringan kejahatan politik yang tidak berkeadaban. 

Muhammadiyah, lanjut Din, mengkhawatirkan kinerja legislatif 2014-2019hasil pemilu rendah dan gagal menghasilkan keputusan legislasi yang memajukan harkat martabat bangsa. Hal itu karena sistem proporsional terbuka yang diterapkan. 

"Untuk Pileg 2019, Muhammadiyah mendesak diberlakukannya sistem pemiluproporsional tertutup. Sedangkan untuk pilpres 2014, Muhammadiyah mendesak KPU segera melakukan langkah-langkah strategis untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu, terutamadaftar pemilih tetap, proses pemilihan dan penghitungan suara, serta menjaga netralitas dan objektivitas," imbuh Din.

Muhammadiyah berharap agar Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014 berjalan aman, damai, adil, dan bermutu serta menghasilkan presiden dan wakil presiden yang berkualitas, mampu memajukan kehidupan bangsa menuju tercapainya cita-cita nasional.

Dinamika politik jelang penyelenggaraan pemilu presiden pada 9 Juli mendatang makin panas. Tak jarang dalam kompetisi pilpres, antar capres saling melontarkan manuver-manuver negatif. Muhammadiyah mengimbau kepada para capres dan cawapres agar mengedepankan etika dalam berpolitik. 

RUU Pilkada untuk Rakyat atau Politisi

OPINI | 09 September 2014 | 08:40 Dibaca: 159   Komentar: 1   2

Pandu WibowoMahasiswa Ilmu Politik UIN JakartaPeneliti Central of Information and Development Studies (CIDES).

Rancangan Undang undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (RUU Pilkada) saat ini tengah dibahas Kementerian Dalam Negeri dan DPR. Panja RUU Pilkada saat ini sedang digodok oleh DPR. Ada tiga opsi yang ditawarkan dan menjadi pro dan kontra antar fraksi di DPR. Opsi pertama, pasangan Gubernur, Walikota, dan Bupati dipilih langsung seperti sekarang. Dalam opsi ini didukung oleh PDIP, Hanura, PKB dan pemerintah. Opsi kedua, pasangan Gubernur, Walikota, dan Bupati dipilih oleh DPRD didukung oleh Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKS dan Gerindra. Opsi ketiga, Gubernur dipilih langsung, namun Bupati, wali kota dipilih DPRD yang hanya didukung oleh DPD.

Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD memang sedang digodok. Ada yang Pro dan juga ada Kontra terkait RUU ini. Yang paling lantang menyetujui RUU ini adalah partai partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Sedangkan partai partai yang tergabung dalam koalisi Jokowi JK menolak UU tersebut. Alasan Koalisi Merah Putih mendukung RUU Pemilihan Kepada Daerah harus

melalui DPRD sebenarnya cukup simple yakni kerugian pilkada langsung lebih besar dari manfaatnya. Menurut Politisi PAN Shaleh P. Daulay, Selain merangsang munculnya raja-raja kecil di daerah, pilkada langsung ditenggarai telah menyuburkan praktik korupsi di daerah-daerah. Belum lagi, pilkada langsung membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan yang paling sering terjadi dari Pilkada langsung adalah rawan akan konflik di masyarakat.

Berbeda dengan Kolaisi Merah Putih, Partai partai Kolaisi Jokowi JK menolak UU pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tetap dengan sikapnya yang menolak pemilihan kepala daerah dikembalikan melalui DPRD. Sistem pemilihan tidak langsung itu dinilai tidak sesuai dengan makna demokrasi yang selama ini telah dijalankan. Semenatara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tak masalah jika opsi pilkada langsung dalam Panja RUU Pilkada didukung oleh minoritas fraksi di DPR. PKB yakin, bahwa pilkada langsung dilakukan untuk menyelamatkan demokrasi dan mandat rakyat.

Pro dan Kontra ini seakan menjadi pertanyaan besar. Apakah ada unsur unsur kepentingan politik dalam RUU ini? Secara garis besar, jika hitung hitungan Koalisi Merah Putih lebih diuntungkan kalau RUU ini disahkan. Mengapa? Sebab, jika ketentuan menghapus Pilkada langsung itu berhasil disahkan, maka pemilihan kepala daerah di 34 provinsi seluruh Indonesia ke depan, berpotensi bakal disapu bersih oleh KMP. Pasalnya, di hampir semua DPRD Provinsi seluruh Indonesia, kepemilikankursi KMP yang ikut disokong Partai Demokrat merupakan mayoritas. Dengan menguasai kursi DPRD, dibayangkan kader kader dari partai anggota KMP lah yang akan menduduki kursi kursi eksekutif di daerah. Sedangkan PDIP dan partai koalisinya tentu tidak menginginkan hal ini terjadi. Mereka yang tergabung dengan Koalisi Jokowi JK pasti merasa dirugikan kalau UU ini benar benar disahkan. Pasalnya sudah jelas jumlah kursi Koalisi Jokowi JK kalah dengan jumlah kursi KMP. Ini akanmelemahkan kekuatan PDIP dan partai partai koalisinya secara perlahan di daerah. Dan ini akan berdampak di perolehan suara mereka di Pileg 2019.

Memang ada plus dan minus jika UU Pilkada ini disahakan. Namun yang menjadi diskusi panjanganya adalah, jangan sampai para pendukung UU

Pilkada ini setuju hanya karena agar melemahkan kekuatan politik lawan(Koalisi Jokowi JK) dan dengan mudah mendapatkan posisi kepala daerah.Kemudian juga jangan sampai yang tidak mendukung UU Pilkada ini setujutidak disahkan hanya karena khawatir jabatan posisi kepala daerah sulit didapatkan. Kalau pandangan para perancang UU Pilkada sudah seperti ini, mereka bukan lagi memikirkan kepentingan rakyat sebagai acuan utama. Namun mereka menjadikan kepentingan politik untuk partainya sebagai kepentingan utamanya. Ini merupakan sebuah tindakan yang tidak bijak dari para politisi. Mereka duduk di pemerintahan karena rakyat. Maka dari itu kepentingan rakyat harus lebih dikedapankan, bukan sebaliknya kepentingan politik yang dikedepankan.

Para politisi, baik dari KMP atau Koalisi Jokowi JK harus menghilangkan dahulu kepentingan kepntingan politik mereka dalam menyusun RUU Pilkada ini. Mereka harus lebih berfikir kedepan tentang dampak dari disahkan atau tidaknya RUU ini kedepannya. Percuma misalkan jika di lima tahun kedepan ketika partai partai KMP menjadi penguasa kembali dan partai partai kolisi Jokowi JK diluar pemerintahan merubah lagi UU Pilkada yang sudah disahkan. Misalkan partai partai KMP yang sudah masuk lagi kelingkup kekuasaan mencoba menghapus atau mengganti UU Pilkada ini lagi. Sebaliknya partai partaiyang dulu menjadi Koalisi Jokowi JK malah balik mendukung UU ini kalaumisalkan disahkan. Perdebatan ini akan terus panjang, bahkan DPR haruskerja dua kali dalam menyusun RUU Pilkada ini kedepannya. Kalau itu benar benar terjadi, ini akan berdampak pada ketidakstabilan politik dan tata hukum di Negara kita, terutama dalam Pilkada. Juga akan menyita banyak waktu para dewan dalam memikirkan RUU ini. Yang paling penting yang perlu kita ketahui dalam politik adalah “tidak ada teman yang abadi”. Bisa saja dipertengahan jalan atau lima tahun kedepan salah satu partai pendukung KMP membelot tidak mendukung kebijakan KMP. Dan bisa juga salah satu partai pendukung Koalisi Jokowi JK mebelot pula untuk tidak mendukung kebijkan Koalisi Jokowi JK. Bahkan kata Koalisi Permanen nampaknya tidak akan selamanya hidup beriringan.

Solusi dari polemik RUU Pilkada ini hemat penulis adalah, lakukanlah kajian dan diskusi lebih dalam lagi. Libatkan banyak pakar politik danhukum tata Negara untuk sama sama menyumbangkan idenya terkait RUU Pilkada. Fikirkan dampak kedepannya kalau RUU Pilkada disahkan atau

tidak. Karena sesungguhnya jika RUU ini disahkan atau tidak yang terkena dampaknya juga adalah rakyat di daerah masing masing.

@pandu_wibowo

Pandu Wibowo

Political Science Student UIN Jakarta

Researchers Central of Information and Development Studies (cides).

Draft Law of Regional Head General Election (Election Bill) is currently being discussed Interior Ministry and Parliament. Panja election bill currently being deliberated by the House of Representatives. There are three options offered and be pros and cons between factions in the House. The first option, couples Governor, theMayor, and the Regents elected directly as it is now. This option is supported by PDIP, Hanura, PKB and government. The second option, couples Governor, Mayor, and Regents elected by the Council supported by Democrats, Golkar, PAN, PPP, PKS and Gerindra. The third option, the governor is directly elected, but the regent, mayor chosen parliament that is only supported by the DPD.

Draft Law (RUU) local elections through Parliament is being deliberated. There are pros and cons related to this bill there. The most outspoken approve this bill is the parties who are members of theCoalition Red White (KMP). While the parties who are members of the coalition Jokowi JK reject the law. Reason Coalition Red White To support the Regional Elections bill to go through Parliament is actually quite simple ie direct election losses greater than the benefits. According to PAN politician Saleh P. Daulay, In addition to stimulating the emergence of small kings in the area, direct election allegedly had nourished corruption in these areas. Not to mention, direct election requires no small cost. And the most common of direct elections is prone to conflict in society.

Unlike Kolaisi Red and White, JK Jokowi Kolaisi party party rejects election law through parliament Regional Head. Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) remained with attitude that refuses local elections returned through Parliament. The system of indirect

elections was considered incompatible with the meaning of democracy that have been executed. Semenatara National Awakening Party (PKB) is not a problem if the direct election option in the Working Committee elections bill supported by a minority faction in parliament. CLA believes that direct election is made to save democracy and the people's mandate.

Pros and Cons of this seemed to be the big question. Are there elements of political interest in this bill? Broadly speaking, if the count count Coalition Red White better off if the bill was passed. Why? For, if the removing provisions that direct elections are successfully passed, the local elections in 34 provinces throughout Indonesia in the future, would potentially wiped out by KMP. Because, in almost all over Indonesia Provincial Parliament, who co-ownership of KMP chair supported the Democratic Party is the majority. By mastering the seat of Parliament, envisioned a cadre of party cadres KMP members who will occupy seats in the executive chair. While the coalition party PDIP and certainly do not want this to happen. Those who joined the Coalition Jokowi JK must have felt aggrieved if this law really passed. The reason is obvious Jokowi JK Coalition of seats lost by the number of seats KMP. This will weaken the strength of the PDI-P and its coalition parties in the area slowly. And this will havean impact on their vote totals in Pileg 2019.

Indeed, there are pluses and minuses if this disahakan Election Law. However, the discussion panjanganya is, not to the Election Act's supporters agree simply because in order to weaken the political powerof the opponent (Coalition Jokowi JK) and easily get the position of the head area. Then also do not get that do not support the election law was passed just agree not fearing regional head office positions difficult to obtain. If the view of the drafters of the election law has been like this, they are no longer thinking about the interests ofthe people as the main reference. But they make political gain for hisparty as his main interest. This is an unwise action from politicians.They sat in the government because of the people. Thus the interests of the people must be dikedapankan, not the other way political interests put forward.

The politicians, both from KMP or Jokowi JK Coalition should eliminatekepntingan advance their political interests in the drafting of this election. They should be thinking about the future impact of this billpassed or not in the future. Useless suppose if in five years when theparty became the ruling party of the KMP back and Jokowi JK coalition parties outside the government again changed the election laws that have been passed. Suppose that parties who have entered again KMP kelingkup power trying to delete or change the election laws of this again. Conversely parties that used to be behind the Coalition Jokowi JK even if suppose to support this law was passed. This debate will continue long, even the House must work twice in the drafting of this future elections. If that really happened, this would have an impact on the political instability and the rule of law in our country, especially in local elections. Also it will take a lot of time thinking about the board in this bill. The most important thing we need to know in politics is "no eternal friends". It could be mid-way or five years one of the party's supporters defected KMP KMP does not support the policy. And it could be one of the parties supporting the coalition Jokowi JK mebelot also not to support the development policyJokowi JK Coalition. Even the word Permanent Coalition is unlikely to live forever hand in hand.

The solution of this election bill polemic opinion of the writer is, do a study and discussion deeper. Involve many political scientist andconstitutional law at the same State to donate his election-related bill. Think about the impact of future elections if the bill was passed or not. For indeed if the bill is passed or not affected are also the people in their respective areas.

pandu_wibowo

Salah satu isu yang masih alot yang dibahas dalam revisi UU Pemilu Kada saat ini adalah mengenai cara pemilihan kepala daerah, terutama di tingkat provinsi.

Terkait dengan isu ini, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri sepertinya tetap menginginkan pemilihan gubernur dikembalikan kepada DPRD.

Model pemilihan seperti ini menguat kembali setelah pemerintah menemukan banyaknya implikasi negatif pemilihan gubernur secara langsung yang melibatkan masyarakat.  Di antara implikasi tersebut adalah dari aspek biaya pelaksanaan, kemanfaatan bagi masyarakat dan kestabilan politik di daerah.

Dari segi biaya, pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini terkesan boros karena menghabis biaya yang cukup besar ditambah dengan biaya lain yang harus ditanggung calon kepala daerah seperti biaya tim sukses, biaya pengalangan massa, dan biaya kampanye.

Sementara, manfaat langsung dari Pemilukada ini belum sepenuhnya dapatdirasakan oleh masyarakat.  Sebaliknya, pemilihan kepala daerah ini malah menyebabkan munculnya konflik horizontal karena adanya proses mobilisasi yang dilakukan elite politik untuk kepentingan tertentu.

Kenyataan ini mendorong pemerintah mencari alternatif untuk menentukanbagaimana sebaiknya gubernur tersebut dipilih. Wacana yang berkembang yang memicu kontroversi adalah pemerintah tetap kukuh ingin mengembalikan pemilihan gubernur tersebut kepada DPRD sepertimana yangpernah dilakukan sebelum ini karena ia tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi.

Walaupun masih sebatas draf UU, namun pemilihan gubernur melalui alternatif ini mengundang reaksi banyak pihak.  Banyak kalangan me-nolak model pemilihan seperti ini karena dianggap tidak sesuai dengan semangat reformasi yang seharusnya mendorong adanya partisipasi masyarakat.

Pertanyaanya mungkinkah dicarikan jalan tengah, misalnya, dengan meng-gabungkan pemilihan langsung dan tidak langsung sehingga dapat menye-lesaikan pro–kontra model pemilihan gubernur ke depan?

Pemilihan gubernur dengan melibatkan anggota DPRD sebagai pemilih, memang bukanlah solusi yang tepat untuk saat ini.

Apalagi di tengah menguatnya keinginan publik terlibat dalam proses politik secara langsung.  Sebelum UU No.32/2004 diterbitkan, di bawah UU No. 22/1999 pemilihan gubernur/kepala daerah memang melalui mekanisme DPRD ini.

Dalam pemilihan tersebut anggota DPRD menjadi faktor penentu kemenangan seorang gubernur.  Pentingnya peran anggota DPRD ini membawa implikasi menguatnya politik transaksional yang mendorong gubernur “membeli” suara anggota DPRD agar memilihnya.

Akibatnya, model pemilihan melalui DPRD ini menyisakan banyak kasus korupsi dan suap di daerah.  Tidak sampai disitu saja, model pemilihanseperti ini juga disertai dengan ancaman dan penculikan terhadap anggota DPRD.

Jelas apa yang terjadi pada masa lalu inilah yang ditakuti sehingga dianggap tidak akan mengubah proses Pemilukada menjadi lebih baik.

Dari segi lain, pemilihan gubernur mellaui DPRD ini semakin menjauhkanproses politik dari konstituennya karena kelompok oligarki partai cenderung mengendalikan proses pemilihan dan mengarahkan anggota DPRD untuk memilih calon tertentu.

Akhirnya yang dihasilkan adalah tawar menawar politik jangka pendek untuk kepentingan segolongan eite tertentu.  Inilah kelemahan model pemilihan melalui DPRD ini.

Pertanyaannya adakah alternatif lain yang dapat dilakukan?  Perlu diingat seharusnya dalam menetapkan model pemilihan gubernur ini, makakita perlu mempertimbangkan dua kepentingan besar dalam penye-lenggaraan pemerintah daerah, yaitu kepentingan pusat di daerah dan kepentingan daerah itu sendiri.  Sesuai dengan UU No. 32/2004 secara jelas dinyatakan bahwa gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah.

Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah gubernur harus ber-tanggungjawab kepada pemerintah pusat dalam melaksanakan tugasnya.  Walaupun begitu, dalam konteks tertentu, gubernur juga menjadi kepala daerah otonom di tingkat provinsi dengan kewenangan otonomi yang terbatas.

Ini karena kewenangan utama penyelenggaraan otonomi daerah sudah dise-rahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten/kota.  Singkatnya, dengan adanya dua fungsi gubernur yang harus dilaksanakan ini menyebabkan pemerintah pusat harus mempertimbangkan kedua peran tersebut dalam mencarikan model yang sesuai untuk memilih gubernur.

Akan tetapi, jika dilihat konsepsi NKRI dengan titik berat otonomi adapada daerah kabupaten/kota, maka idealnya kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat itu haruslah besar ketimbang kewenangannya sebagai kepala daerah otonom.  Dengan porsi kewenangan ini, maka idealnya gubernur hanya melaksanakan kewenangannya untuk mengo-ordinasikan, mengawasi, dan membina otonomi daerah yang dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota.

Konsekuensi dari penjabaran tugas dan wewenang gubernur ini bermuara pada bagaimana cara gubernur itu ditentukan.

Dalam realitanya, sesuai dengan PP No.23 tahun 2011 kewenangan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat jauh lebih besar ketimbang ke-wenangannya sebagai kepala daerah otonom.  Oleh karena itu, idealnya gubernur cukup ditentukan oleh presiden sebagai kepala pemerintahan direpublik ini.

Namun, keputusan untuk menentukan gubernur di tangan Presiden ini tentu akan mendapat reaksi negatif dari masyarakat yang sudah me-nikmati demokrasi langsung selama ini.

Supaya peran presiden yang besar ini tidak bertentangan dengan semangat demokrasi, maka peran tersebut harus dibatasi sehingga tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat.  Caranya adalah dengan melibatkan DPRD sebagai wakil masyarakat daerah dalam menentukan calongubernur.

Artinya, pilihan presiden menentukan calon gubernur haruslah berasal dari calon yang diusulkan oleh DPRD yang sebelumnya sudah menyaring nama calon gubernur dari masyarakat.  Lalu bagaimana cara melaksanakannya?  Ini bisa dilakukan melalui referendum atau survey yang metodologinya diperketat sehingga aspirasi masyarakat lebih terjamin.

Dengan cara ini pemerintah pusat dapat meminimalkan gejolak yang ada dalam pemilihan gubernur yang selama ini dikhawatirkan banyak pihak.  Namun, aspek penting dari model pemilihan gubernur seperti ini adalah tidak mengurangi hakikat demokrasi perwakilan yang sedang dilaksanakansekaligus memperkuat kembali peran DPRD untuk melaksanakan fungsi perwakilan politiknya di daerah.

 

 

ASRINALDI A

(Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas)

One issue that was discussed a lot in the revision of the election lawKada today is about how the local elections, especially at the provincial level.

Related to this issue, the government through the Ministry of Home Affairs seems to still want gu¬bernur returned to Parliament elections.

Models such as this election pe¬merintah rebounded after finding negative implications ba¬nyaknya direct gubernatorial elections involving masya¬rakat. Among these are the implications of aspects of implementation costs, benefits to the community and political stability in the region.

In terms of cost, the implementation of these local elections seem wasteful because annihilate the substantial costs plus other costs to be borne by the candidate head regions such as the cost of a successful team, mass pengalangan costs, and the cost of the campaign.

Meanwhile, the direct benefits of this have not been fully Election di¬rasakan by the community. Se¬baliknya, pe¬milihan head area insteadled to the emergence of horizontal conflict because of the mobilization process is carried out in the interests of the political elite ter¬tentu.

This fact encourages the government to find an alternative for determining how the governor should be chosen. Ber¬kem¬bang discourse that trigger kon¬troversi is the government remained firm wanted to restore the election of governors to DP¬RD sepertimana ever done this before because he was not against the principle of democracy.

Although the draft law is still limited, but this alternative gubernatorial elections through the reaction of many party invites. Many me¬nolak models like this election because they did not fit with the spirit re¬formasi which should encourage community participation.

The question is it possible to look for a middle way, mi¬salnya, de¬ngan me¬ng¬g¬abung¬kan pe¬milihan directly and indirectly so as to me¬nye¬lesaikan pros and cons of the model next gubernatorial election?

Gubernatorial elections involving members of parliament as voters, it is not the right solution for now.

Especially in the middle me¬nguatnya public will be involved in the political process directly. Before the Law No.32 / 2004 published, under Law No. 22/1999 pe¬milihan governor / head dae¬rah is through the mechanism of this Parliament.

In the election of members of Parliament be the deciding factor of victory a governor. The importance of the role of legislators is strengthening political implications transa¬k¬sio¬nal that encourages governors to "buy" votes in order me¬mi¬lihnya legislators.

As a result, the model pe¬mi¬lihan through this Parliament me¬nyisakanmany cases of corruption and bribery in the area. Does not end there,as the selection of the model is also accompanied by threats and kidnappings of members of parliament.

Clearly what happened in the past, this is considered to be feared that will not change for the better Pe¬milukada process.

On the other hand, Parliament rehabilitated and reconstructed gubernatorial election process is increasingly distanced from its constituents ka¬rena po¬li¬tik par¬tai oligarchic groups tend

me¬ngen¬dalikan pe¬milihan process and me-ngarahkan legislators to vote a particular candidate.

Eventually produced was a short-term political bargaining to ke¬pen¬tingan certain class of elites. This is the weakness of the model pe¬milihan through this Parliament.

The question is there any other alter¬natif to do? Should keep in mindin these gubernatorial elections set the model, then we need to consider two major ke¬pentingan pe¬nye¬lenggaraan local governments, namely in the area of central interest and the interest of the region itself. In accordance with Law No. 32/2004 clearly di¬nyatakan that governors are representatives of the central government in the regions.

As deputy governor of the central hub of pe¬me¬rintah must ber¬tanggungjawab to pe¬merintah center in me¬laksanakan duties. Wa¬laupun so, in particular kon¬teks, the governor also become the head of the provincial-level autonomous regions with limited autonomy authority.

This is because the main organizing authority oto¬nomi dae¬rah alreadydise¬rahkan se¬pe¬nuhnya to the district / city. In short, the existence of two functions should be governor lak¬sanakan This causes the central government must mem¬pertimbangkan both roles in finding a suitable model for the governor.

However, when viewed with emphasis Homeland conception of autonomy exist in the district / city, then ideally the authority of the governor as the representative of the central government must be greater than its authority as the head of the autonomous region. With a portion of this authority, then ideally the governor only exercise its powers to mengo¬ordinasikan, supervise, and foster local autonomy of the government ka¬bupaten / city.

The consequences of the duties and authority of the governor pen¬jabaran it boils down to how the governor was determined.

In reality, in accordance with Regulation 23 of 2011 authorized the governor as the representative of the central government is much

larger than the ke¬wenangannya as head of an autonomous region. Therefore, ideally determined by the governor enough se¬bagai president head of government in this republic.

However, the decision to determine the governor in this presidential ta¬ngan would men¬dapat negative reaction from masya¬rakat already me¬nikmati direct democracy over the years.

To be a great president's role is not contrary to the spirit of democracy, then the role must be limited so as not me¬nimbulkan turmoil in society. The trick is to involve the legislature as a representative of society dae¬rah in determining a candidate for governor.

That is, determine the choice of presidential candidates for governor must come from the candidates proposed by legislators who had previously been a candidate for governor of the filter name public. Then how do I implement it? This can be done through a referendum or survey methodology is tightened so that the aspirations of the people more secure.

In this way the central government can minimize the volatility that exists in the se¬lama pe¬milihan governor is feared by many parties. However, an important aspect of the model such as the governor's election is not the essence of representative democracy me¬ngurangi being di¬laksanakan once mem¬perkuat Parliament to carry out the role of political representation in dae¬rah function.

Refleksi UU Pilkada dan UU Pemda: Antisipasi Arah Demokrasi ke Depan

Toni Sudibyo - detikNews

Halaman 1 dari 2

Jakarta - UU Pemilihan Kepala Daerah yang disahkan pada 26 Sepember lalu akhirnya menetapkan mekanisme pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Banyak pihak berpendapat, hal ini bertentangan dengan semangat reformasi yang baru berjalan 16 tahun.

Sejak 2005, pilkada dilaksanakan secara langsung. Semangat dilaksanakannya adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak

langsung atau perwakilan di era sebelumnya. Melalui pilkada langsung, masyarakat berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dan bebas dari diskriminasi.

Berkaca pada teori dan praktek demokrasi di negara-negara yang sudah terlebih dahulu memakai sistem demokrasi, maka sesungguhnya kedaulatantertinggi ada di tangan rakyat. Karena itu hampir seluruh negara demokrasi memakai pemilihan langsung untuk memilih pemimpinnya, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Berbagai pembenaran pun berusaha dibangun oleh Koalisi Merah Putih sebagai pihak yang menginginkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Dimulai dari biaya yang besar, rakyat yang dinilai belum cerdas dan siap dengan pilkada langsung, prinsip demokrasi keterwakilan, dan berbagai alasan lainnya. Namun, apa pun pembenaran yang berusaha dibangun, sesungguhnya UU Pilkada yang baru telah mencederai demokrasisecara substansial.

Pertama, proses demokrasi tidak bisa disederhanakan dan diserahkan pada elit politik atau penguasa. Setiap warga negara memiliki hak menentukan pilihan politiknya, termasuk dalam memilih pemimpinnya. Hakpolitik tidak boleh dirampas penguasa atas nama penyederhanaan pengaturan. Apabila memang alasan biaya yang dipakai misalnya, maka pilkada dapat diselenggarakan secara serentak.

Kedua, para anggota DPRD memang memiliki hak dan legitimasi dari rakyat untuk menjalankan fungsinya sebagai legislatif di daerah. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa tidak seorang pun di antara mereka terbebas dari koordinasi paksa oleh pimpinan parpol. Para politisi dikendalikan secara terstruktur langsung dari pimpinan pusat setiap parpol. Jika ada anggota yang membangkang, risikonya disingkirkan atau diganti dengan anggota lainnya dengan mekanisme pergantian antar waktu.

Ketiga, koalisi yang terbentuk dari tingkat pusat hingga daerah sesunguhnya akan menghasilkan oligarki atau kartel dalam politik.

Kebijakan ke depan nantinya tidak akan berdasarkan apa kepentingan rakyat dan kebenaran yang harus diperjuangkan. Namun, konstestasi antar koalisi merupakan agenda utama dalam setiap pilkada. Jadi tidak masalah dengan kualitas calon pemimpin yang akan diusung. Hal yang terpenting calon dari koalisi itulah yang akan menang. Hal ini tentunya akan sangat mengerikan bagi nasib demokrasi ke depan.

Keempat, politik dagang sapi tentunya tidak akan terhindarkan dalam pilkada. Logikanya akan lebih mudah untuk membeli sekitar 30 suara atau 60 persen anggota DPRD di daerah, daripada harus membayar sekian juta masyarakat yang memiliki hak memilih. Dapat dipastikan, bahwa calon pemimpin daerah ke depan akan didominasi oleh para pengusaha atau elit politik yang telah mapan. Dengan demikian, kesempatan orang 'kecil' tetapi memiliki niat besar untuk bekerja dan berbakti untuk bekerja semakin redup. Calon independen juga semakin kecil khasnya untuk terpilih, karena para partai politik pastinya tidak akan mau melepas kesempatan untuk menjadi penguasa daerah.

Kelima, pemilu tidak langsung justru membuat rakyat semakin tidak cerdas di dalam politik. Dikatakan behwa rakyat sekarang kurang cerdasdalam memilih pemimpinnya secara langsung. Namun, bila rakyat semakin dijauhkan dari proses demokrasi, maka 'kecerdasan' tersebut tidak akanpernah tercapai. Justru masyarakat akan belajar dari setiap keputusan,kesalahan, dinamika politik yang mereka lihat dan amati.

UU Pemerintahan Daerah

Terkait dengan UU Pilkada, maka pada hari yang sama, DPR RI juga mensahkan UU Pemerintahan Daerah yang terdiri atas 27 Bab dengan 414 pasal. Salah satu hal yang positif dari UU baru ini ialah semakin ketatnya usulan untuk mengusulkan daerah pemekaran. Next

Refleksi UU Pilkada dan UU Pemda: Antisipasi Arah Demokrasi ke Depan

Toni Sudibyo - detikNews

Halaman 2 dari 2

UU Pemda mengamanatkan Gubernur berwenang mengajukan usulan daerah otonomi baru kepada DPR. Namun, mesti melalui proses persiapan jangka waktu tiga tahun. UU Pemda juga diberikan wewenang yang lebih luas dalam menentukan arah pembangunan, dan program-program yang akan diselenggarakan.

Namun, potensi ancaman terhadap demokrasi pun masih ada dalam UU yang baru ini. Seperti halnya UU Pemerintahan Daerah terdahulu. Terdapat beberapa sektor yang harus diputuskan oleh Pemerintahan Pusat yakni seperti urusan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, manajemen penegakan hukum, urusan agama yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta moneter dan fiskal nasional.

Sesungguhnya keenam sektor hal tersebut merupakan wilayah dari negara,namun pada pelaksanaannya kewenangan tersebut perlu kerja sama dan dukungan dari pemda.

Menyangkut urusan pertahanan negara, sesungguhnya, pemda sangat penting perannya dalam ikut mempersiapkan SDM. Misalnya, penjagaan daerah-daerah perbatasan dalam konteks pertahanan akan bernilai strategis bagi daerah terkait jika mereka ikut dilibatkan. Jika pemda dibebaskan dari urusan ini, yang terjadi bisa saja sikap tak acuh serta tidak ada rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab dalam upaya pertahanan negara. Pemda juga akan sangat berpengaruh bila ke depan pemerintah dan DPR akan membahas RUU Perbantuan dan RUU Komponen Cadangan.

Kemudian urusan keamanan, keamanan nasional menjadi kewenangan pusat, tetapi keamanan lokal jelas merupakan kewenangan daerah untuk mengaturdan mengurusnya. UU Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Konflik Sosial juga telah mengangkat konsep keamanan lokal dan menjabarkan

kewenangan daerah dalam menjaga keamanan serta mengembangkan kewaspadaan. Pada praktiknya ada program perpolisian masyarakat (polmas) dan lain sebagainya yang melibatkan partisipasi pemda, terutama dalam kerja sama dan pendanaan.

Terakhir, dalam manajemen penegakan hukum, nyatanya tidak bisa berjalan efektif tanpa dukungan pemda. Oleh karena itu, pemda perlu dilibatkan dalam upaya-upaya penegakan hukum yang terkait dengan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam, kejahatan lintas batas,perdagangan manusia dan lain-lain.

Menyangkut urusan agama, justru monopoli pusat dapat mengancam pendekatan kedaerahan yang berbeda di setiap wilayah. Indonesia merupakan negara yang plural dengan kekhasan masing-masing daerah. Jadi pengewajantahan peraturan tentang keagamaan tidak dapat dipukul rata di setiap daerah.

*) Toni Sudibyo adalah alumnus Fisip Universitas Jember dan alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia

Halaman 1 2

« Prev

Akhiri hari anda dengan menyimak beragam informasi penting dan menariksepanjang hari ini, di "Reportase Malam" pukul 01.30 WIB, hanya di Trans TV

(nwk/nwk)

Jakarta - Regional Head Election Law passed on Sept. 26 and then finally set the local election mechanism chosen by Parliament. Many

argue, it is contrary to the spirit of reform that has been running for 16 years.

Since 2005, the election is held directly. The spirit is a correction to the implementation of the system of indirect or representative democracy in an earlier era. Through direct election, the public is entitled to vote in person in accordance with the will of his conscience, without intermediaries, and freedom from discrimination.

Reflecting on the theory and practice of democracy in countries that have first put the democratic system, then indeed the highest sovereignty is in the hands of the people. Therefore almost all democratic countries taking direct elections to choose their leaders, both at the national and local levels.

Various justifications were trying to build the Red and White as the Coalition parties want a local election by parliament. Starting from alarge fee, people who considered not smart and ready with direct elections, the principle of representative democracy, and a variety ofother reasons. However, whatever the justification is trying to build,actually the new election law has hurt democracy substantially.

First, the democratic process can not be simplified and handed over tothe political elite or ruling. Every citizen has the right to determine their political choices, including in choosing leaders. Should not be deprived of their political rights in the name of simplification setting ruling. If it is used for example for cost reasons, the election can be held simultaneously.

Second, the members of parliament does have the right and the legitimacy of the people to carry out their functions as legislators

in the area. However, who can guarantee that none of them is free fromthe forced coordination by leaders of political parties. Politicians structured controlled directly from the central leadership of each political party. If any member of the renegade, the risk is removed orreplaced by other members of the mechanism of the change over time.

Third, a coalition formed from central to local level actually means will result in a political oligarchy or cartel. Future policy will notbe based on what the interests of the people and the truth that must be fought. However, konstestasi coalition between the main agenda in every election. So no problem with the quality of leaders that will becarried. The most important thing a candidate of a coalition that willwin. This would be devastating for the fate of democracy in the future.

Fourth, the political horse-trading course will be unavoidable in the elections. Logically it would be easier to buy about 30 votes or 60 percent of legislators in the area, rather than having to pay many millions of people who have the right to vote. It is certain, that theregional leaders in the future will be dominated by entrepreneurs or established political elite. Thus, the chance of a 'small but has great intentions for the work and devotion to work increasingly dim. Independent candidates also smaller signature for elect, because the political parties certainly would not want to take the opportunity to become the ruler of the region.

Fifth, the indirect election actually makes people less intelligent inpolitics. Told behwa now less intelligent people in choosing their leaders directly. However, when people are increasingly kept away fromthe democratic process, the 'intelligence' that will never be reached.Instead the public will learn from every decision, a mistake, the political dynamics they see and observe.

Local Government Act

Related to the election law, the same day, the Parliament also passed Law Local Government consisting of 27 Chapters with 414 chapters. One of the positives of the new law is more strict proposals to propose a new autonomous regions. next

Reflections on Election Law and Government Law: Anticipation Directionfor the Future of Democracy

Toni Sudibyo - headline

Page 2 of 2

Government Law mandates that the Governor is authorized to propose to Parliament a new autonomous region. However, it should be through the process of preparing a three year period. Government Law is also givenbroader authority in determining the direction of development, and programs will be held.

However, the potential threat to democracy still exist in this new law. As with the previous Local Government Act. There are some sectorsthat should be decided by the Central Government such as foreign affairs, defense, national security, law enforcement management, strategic affairs and religion have broad impact, as well as monetary and national fiscal.

Indeed, it is the sixth sector of the region of the country, but in practice these powers need cooperation and support from the government.

Regarding matters of national defense, in fact, a very important role in the local government to prepare human resources involved. For example, guarding the border areas in the context of the defense of strategic value for the region will be related if they are involved. If local governments are exempt from this affair, which happened to beignorance, and no sense of belonging and a sense of responsibility in the defense of the country. The local government also would be devastating if the next government and Parliament will discuss the bill and the bill perbantuan Reserve Components.

Then security affairs, national security became the central authority,but local security is clearly a regional authority to manage and take care of it. Law No. 2 of 2013 on Social Conflict Handling has also raised security concepts of local and regional authority lays in maintaining security and develop awareness. In practice there is a program of community policing (community policing) and others that involve the participation of local governments, especially in the cooperation and funding.

Lastly, in the management of law enforcement, in fact, can not be effective without the support of government. Therefore, local governments need to be involved in law enforcement efforts related to the management and protection of natural resources, cross-border crime, human trafficking and others.

On religious affairs, the central monopoly it could threaten regional approach is different in each region. Indonesia is a pluralistic country with the peculiarities of each region. So pengewajantahan religious rules can not be beaten on price in every area....

Pro-Kontra Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2014

Diposkan oleh Tawakkal Ikom | Selasa, 21 Oktober 2014

Publik dikagetkan oleh kelahiran undang-undang (UU) nomor 22 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pasalnya, UU itumengubah sistem dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi oleh DPRD.

Saya kira opini publik yang terbentuk di tengah-tengah masyarakat terkait dengan RUU Pilkada adalah sangat menyayangkan dengan kemundurun sistem demokrasi di Indonesia dikarenakan masyarakat tidak ikut serta lagi dalam pemilihan kepala daerahnya. Namun disisi lain, RUU Pilkada juga dipilih atau disetujui oleh sebagian dengan alasan bosan atau mungkin bisa dikatakan geram dengan pemilihan yang baru-baru ini. dimana banyak sekali ditemukan kecurangan-kecurangan ketika proses pemilihan berlangsung. Contohnya saja dipemilihan presiden yangbaru lewat ini, banyak terjadi penggelembungan suara misalnya di Papuadan beberapa daerah lainnya.

Mereka yang pro menyatakan, pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan pilihan tepat. Selain sebagai upaya kembali mengamalkan pancasila secara utuh, khususnya sila ke-4, terutama untuk menghindari konflik politik, baik vertikal maupun horizontal, yang kerap terjadi dalam pilkada langsung oleh rakyat.

Sebaliknya, pernyataan mereka yang kontra terkesan lebih tajam dan menikam. Mereka menyatakan, pilkada melalui DPRD merupakan langkah mundur di era reformasi. Mereka berpendapat demikian mungkin karena menganggap “reformasi” adalah perubahan total dari sistem sebelumnya, padahal arti kata reformasi adalah kembali ke format yang benar. Pernyataan tajam itu terutama menyangkut adanya tudingan, bahwa denganmelalui DPRD, kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota) ke depan

ditentukan oleh penguasa koalisi partai politik (parpol) pemenang pemilu legislatif masing-masing daerah.

Terlepas dari pro-kontra, kebiasaan para incumbent (sedang menjabat saat ini pada periode masa jabatan pertama). Melakukan aksi penggalangan dukungan kepada rakyat dengan beragam kegiatan di tengah masyarakat yang kerap diistilahkan sebagai aksi pencitraan. Dengan terbitnya UU 22 / 2014 para incumbent akan langsung tiarap: dengan kata lain, mereka akan menghentikan kegiatan pencitraan di tengah publik, selanjutnya memokuskan perhatian, energi dan materi untuk melakukan lobi-lobi politik kepada pimpinan parpol pemenang pemilu berikut dengan mitra koalisinya.

Pros and Cons Act (Act) No. 22 of 2014

Posted by resignation Ikom | Tuesday, October 21, 2014

Public shocked by the birth of a law (Act) No.22 of 2014 regarding theelection of governors, regents and mayors. Because the Act was to change the system of direct election by the people into the parliament.

I think public opinion is formed in the middle of the community related to the elections bill is deeply regretted by kemundurun democratic system in Indonesia is because people do not participate inelections to the regional head. On the other hand, the elections bill also selected or approved by most of the reason may be said to be bored or infuriated by the election recently. where many found fraud when election process. For instance dipemilihan through this new president, a vote such a lot happening in Papua and other areas.

Those who are pro-states, local elections (elections) through the Regional Representatives Council (DPRD) is the right choice. Aside

from being a return to practice of Pancasila as a whole, especially the 4th precepts, especially to avoid political conflict, both vertically and horizontally, which often occurs in the direct electionby the people.

Instead, they are counter-statement seem more sharp and stabbing. Theystate, election through parliament is a step back in the reform era. They think so probably because they think "reform" is a total change from the previous system, but the meaning of the word reform is back to the correct format. The sharp statement, especially in regards to the allegations, that the through parliament, regional head (governors, regents and mayors) to the next is determined by the ruling coalition of political parties (parties) legislative election winner of each region.

Regardless of the pros and cons, the habit of the incumbent (Incumbentcurrently in the period of the first term). Doing actions to mobilize support to people with a variety of activities in the community that are often termed as an act of imaging. With the enactment of Law 22/2014 of the incumbent will directly hit the deck: in other words, they will stop imaging activities in public, then were focused attention, energy and material to conduct political lobbying to the leadership of political parties following the election winner with itscoalition partners.