Konferensi iciss

30
1 PARA LELEMBUT PEREMPUAN DALAM ALAMING LELEMBUT 1 Oleh Sunu Wasono, M.Hum. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia [email protected] Abstracs The lelembut (as ghost, demon) has always been the object of creativity of artists (short story writer or novelist). In the field of cinematography, film depicting the life of a ghost is always present. In the Panjebar Semangat magazine, there is a rubric Alaming Lelembut containing stories about lelembut in relation to humans. Various types of lelembut appear in the story, and they recounted as part of human life. The women ghosts were present as being teased and hurt people, especially men. However, they are also willing to help people, both men and women, who want to become rich. This paper examines a number stories of women ghosts in Panjebar Semangat magazine. Attention is mainly focused on aspects of the characterizations and theme of the story. Of the study is expected to be seen how the women ghosts portrayed in the context of what the characters were present in relation of human life, especially men. Key words: lelembut, pesugihan, penyesatan, arwah gentayangan A. Pendahuluan Secara tematik karya sastra dapat berbicara tentang keseluruhan hidup manusia dengan masalah yang melingkupinya. Persoalan yang dihadapi manusia tidak hanya terbatas pada hubungan individu dengan individu lain dalam masyarakat (hubungan antarmanusia), hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusia dengan makhluk halus. Khusus yang terkait dengan hubungan manusia dengan makhluk halus, Riyono Praktikno telah mencoba menggarapnya pada tahun 1950-an dalam sejumlah cerpen- 1 Makalah disajikan dalam International Conference on Indonesian Studies di Bali, 8—11 Februari 2012.

Transcript of Konferensi iciss

1

PARA LELEMBUT PEREMPUAN DALAM ALAMING LELEMBUT1

Oleh Sunu Wasono, M.Hum.

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

[email protected]

Abstracs

The lelembut (as ghost, demon) has always been the object of creativity ofartists (short story writer or novelist). In the field of cinematography, filmdepicting the life of a ghost is always present. In the Panjebar Semangatmagazine, there is a rubric Alaming Lelembut containing stories about lelembutin relation to humans. Various types of lelembut appear in the story, and theyrecounted as part of human life. The women ghosts were present as being teasedand hurt people, especially men. However, they are also willing to help people,both men and women, who want to become rich. This paper examines a numberstories of women ghosts in Panjebar Semangat magazine. Attention is mainlyfocused on aspects of the characterizations and theme of the story. Of the studyis expected to be seen how the women ghosts portrayed in the context of whatthe characters were present in relation of human life, especially men.

Key words: lelembut, pesugihan, penyesatan, arwahgentayangan

A. Pendahuluan Secara tematik karya sastra dapat berbicara tentang

keseluruhan hidup manusia dengan masalah yang melingkupinya.Persoalan yang dihadapi manusia tidak hanya terbatas padahubungan individu dengan individu lain dalam masyarakat(hubungan antarmanusia), hubungan manusia dengan alam,hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan manusiadengan makhluk halus. Khusus yang terkait dengan hubunganmanusia dengan makhluk halus, Riyono Praktikno telah mencobamenggarapnya pada tahun 1950-an dalam sejumlah cerpen-

1 Makalah disajikan dalam International Conference on Indonesian Studiesdi Bali, 8—11 Februari 2012.

2

cerpennya yang kemudian diterbitkan sebagai buku denganjudul Si Rangka. Harijadi S. Hartowardojo juga pernah menulissebuah novel dengan judul Perjanjin dengan Maut yangmenggambarkan hubungan manusia (pemuda-pejuang) dengan NyaiRara Kidul. Dalam sastra Jawa, khususnya dalam Babad TanahJawi, kisah tentang manusia yang menjalin hubungan manusiadengan makhluk halus juga ditemukan. Pada jilid keempatbabad tersebut, misalnya, terdapat kisah yang melukiskanhubungan cinta Panembahan Senapati dengan Nyai Rara Kidul.Tidak hanya itu, dalam perkembangan kemudian, kisah-kisahyang melukiskan hubungan manusia dengan makhluk halus dapatdijumpai di majalah mingguan berbahasa Jawa, seperti dimajalah Panjebar Semangat, Djaka Lodang, dan Damar Jati.

Kisah-kisah itu ditampung dalam rubrik Alaming Lelembut(untuk Panjebar Semangat), Jagading Lelembut (untuk DjakaLodang), dan Jagading Siluman (untuk Damar Jati). Keberadaanrubrik dalam ketiga majalah berbahasa Jawa tersebutmenandakan bahwa kisah-kisah tentang lelembut tampaknyadibutuhkan—bahkan mungkin disukai—pembaca. Dalam“Pangudarasa” (Panjebar Semangat, 1 September 2007:4)—semacamtajuk rencana Panjebar Semangat—yang mewakili sikap pengelolamajalah Panjebar Semangat, misalnya, dinyatakan bahwa meskipunpengelola/redaksi kurang menyukai rubrik Alaming Lelembut,pihaknya mempertahankan rubrik itu karena sebagian besarpembaca menyukainya. Dijelaskannya bahwa Panjebar Semangatdapat diibaratkan sebuah restoran yang menyediakan berbagaimenu untuk para pelanggannya. Keanekaragaman menu yangdisajikan disesuaikan dengan selera/keinginanpembeli/pelanggan. Dalam konteks itu, rubrik AlamingLelembut diadakan tidak lain untuk memenuhi sebagian besarpelanggan majalah tersebut. Dari angket yang pernahdiadakan, ternyata rubrik Alaming Lelembut paling disukaipembaca. Itulah sebabnya ketika ada pembaca yang mengusulkanagar rubrik Alaming Lelembut ditiadakan saja karena dianggapsyirik dan musyrik, redaksi tidak dapat memenuhi permintaanpengusul tersebut. Dengan berdalih pada hasil angket, rubrikAlaming Lelembut tetap dipertahankan.

Penolakan terhadap usulan agar Alaming Lelembutditiadakan menandakan bahwa kisah-kisah dalam Alaming

3

Lelembut pada Panjebar Semangat disukai dan dibutuhkanpembaca. Barangkali alasan redaksi Djaka Lodang mengadakanrubrik Jagading Lelembut juga tidak berbeda dengan alasanredaksi Panjebar Semangat tersebut. Pencantuman judul ceritapada Jagading Lelembut dalam sampul luar Djaka Lodang bahkandapat ditafsirkan sebagai upaya redaksi untuk memancingminat pembaca.Dengan kata lain, pencantuman judul cerbutpada sampul luar itu menyiratkan anggapan bahwa kisahtentang lelembut menjadi semacam magnit bagi pembaca.

Meskipun secara kuantitatif jumlah cerita dalam rubriktersebut banyak (dalam sebulan empat cerita sehingga setahunmencapai kurang lebih 48 buah cerita), hingga kini ceritaatau kisah dalam ketiga rubrik tersebut belum dinamai.Kalau dikembalikan ke rubrik-rubrik sejenis yang ada dalammajalah tersebut, rubrik Alaming Lelembut—juga JagadingLelembut dan Jagading Siluman—merupakan rubrik yangmengetengahkan cerita/narasi, tetapi tanpa (menggunakan)label crita/cerita. Pada Panjebar Semangat, misalnya, jugapada Djaka Lodang dan Damar Jati, ada rubrik Crita Rakyat,Crita Cekak, dan Crita Sambung yang isinya berupakisah/narasi mengenai sesuatu. Cerita dalam rubrik CritaRakyat dan Crita Sambung biasanya tidak selesai dalam satukali pemuatan atau satu kali terbit. Keduanya disampaikansecara bersambung, sementara cerita dalam rubrik Crita Cekak—sesuai dengan namanya yang cekak atau pendek—disampaikandalam satu kali pemuatan. Umumnya cerita dalam rubrikAlaming Lelembut dimuat/disampaikan dalam satu kali terbit.Kalaupun ada yang bersambung (dua atau tiga kali pemuatan),jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan yang hanya satukali muat.

Dari sini terlihat bahwa dari segi bentuk, cerita dalamrubrik Alaming Lelembut hampir tidak bisa dibedakan dengancerkak. Hakikatnya keduanya menyajikan sepenggal kisah yangtidak memungkinkan cerita berkembang sedemikian rupasehingga panjang. Jadi, pengolahan unsur-unsur formal dalamkedua jenis cerita itu tidak memungkinkan tampil dalamformat panjang. Keduanya sama-sama disajikan dalam formatcekak atau pendek. Mungkin yang paling membedakan keduanyaadalah kecenderungan tematik dan keberadaan tokoh. Cerita

4

dalam rubrik Alaming Lelembut selain menghadirkan tokohmanusia, juga menghadirkan tokoh bukan manusia, khususnyamakhluk halus yang berada dalam dunia lelembut. Secaratematik cerita dalam Alaming Lelembut berbicara tentangpengalaman manusia dalam kaitannya dengan makhluk halus(lelembut) atau sebaliknya. Terlepas dari soal format, satuhal jelas bahwa rubrik Alaming Lelembut dan dua rubriklainnya, sebagaimana telah disebutkan, memuat kisah ataucerita. Oleh karena itu, ada baiknya jika kisah atau ceritayang termuat dalam ketiga rubrik tersebut diberi nama ataulabel. Dalam konteks itu, karena kisah-kisah dalam AlamingLelembut berbicara tentang lelembut dalam kaitannya denganmanusia atau sebaliknya, saya mengajukan nama atau istilahuntuk itu sebagai crita lelembut (cerita lelembut) yang bisadisingkat cerbut. Singkatnya, dalam pembicaraan inidiusulkan sebuah nama untuk jenis cerita semacam itu, yaitucrita lelembut. Dengan sederhana crita lelembut dapat dibatasisebagai kisah tentang lelembut dalam kaitannya dengankehidupan manusia.

Yang menjadi masalah kemudian adalah apa sebetulnyapengertian lelembut itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(Depdiknas, 2008:807) kata lelembut dibatasi sebagai ‘makhlukhalus’; ‘hantu’. Sementara itu, dalam Kamus Jawa Kuna Indonesiayang disusun L. Mardiwarsita, tidak dijumpai lema lelembut,yang ada hanyalah kata lembut (Mardiwarsita, 1981:316) yangartinya ‘halus’. Kata lembut yang artinya ‘halus’ ditemukanjuga dalam Kamus Jawa Kuna Indonesia karya Zoetmulder danRobson (1995:584). Barulah pada Kamus Basa Jawi Alus katalelembut ditemukan. Dalam kamus itu, kata lelembut yang bentukkramanya lelembat mengandung makna ‘roh halus’ (Haryanto,1997:96). Pada kamus lain, Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) yangdisusun Balai Bahasa Yogyakarta (2001:462), kata lelembutdiberi makna (1) ‘samu barang sing lembut’ (segala sesuatuyang lembut) dan (2) dhemit (jin, peri, lsp). Makna keduaitu bisa diterjemahkan menjadi demit (jin, peri, dansebagainya). Dalam kamus ini juga ditemukan lema dhemit (hlm.152) yang maknanya (1) ‘memedi’, ‘lelembut’, dan (2)‘cilik,’ ‘lembut’.

5

Dalam buku-buku yang mengkaji budaya Jawa yang ditulisoleh antropolog, seperti Koentaraningrat (1994), Geertz(1983), Pemberton (2003),Beatty (2001), Triyoga (1991),juga Suyono (2007), terdapat sejumlah bagian yangmenyinggung makhluk halus. Ini menandakan bahwa makhlukhalus merupakan isu atau unsur penting dalam budaya Jawa.Pada majalah Panjebar Semangat juga pernah diturunkan tulisanyang menjelaskan jenis-jenis lelembut. Dalam “KapercayanMarang Anane Badan Alus” (Panjebar Semangat, No. 39, 1997,hlm. 32—33), misalnya, Sugeng Wiyadi menyebutkan ada 14jenis (nama) lelembut di Jawa. Sementara itu, dalam PanjebarSemangat, No. 26 dan 27, Juni 2011, Ki Begawan Tjipto Adimendaftarkan nama-nama lelembut yang mencapai 70 jenis.2

Pada sejumlah literatur yang terkait dengan sastra danbudaya Jawa, didaftarkan dan dipetakan makhluk halus yangada di Pulau Jawa. Suwardi Endraswara, dalam salah satubukunya (2004), juga Purwadi (2005), mencoba menjelaskanjenis dan keberadaan makhluk halus (hantu, dalam persepsiEndraswara) di Pulau Jawa.

Dari sekian banyak studi tentang makhluk halus dalambudaya/masyarakat Jawa, tampaknya tidak ditemukan satubatasan yang sama tentang apa itu lelembut. Saya mencobamerumuskan sendiri dari penelusuran itu, baik dari kajianpara ahli maupun dari kamus. Hakikatnya, lelembut tidak lainadalah makhluk halus. Selain itu, kata lelembut juga identikdemit, memedi, peri, dan jin. Jika istilah lelembut dikaitkandengan kisah-kisah dalam ketiga rubrik yang disebutsebelumnya, nyatalah bahwa demit, jin, dan peri hanyalahbeberapa dari sekian banyak nama lagi yang semuanya menghuniatau berada dalam dunia atau alam lelembut. Jadi, katalelembut itu, setidaknya jika dikaitkan dengan kisah-kisahdalam ketiga rubrik yang disebut, adalah makhluk halus yangberada dalam dunia yang berbeda dengan dunia manusia. Duniaitu tidak terlihat oleh mata manusia pada mumnya. Daripenjelasan itu sekali lagi, dapat disimpulkan bahwa lelembut

2 Tampaknya daftar yang dibuatnya mencakup nama-nama yang bukan lelembut. Misalnya mayit, arwah, jisim, nyawa, tulak,dsb. Nama-nama yangdia daftarkan mungkin lebih tepat disebut nama-nama yang terkait dengan dunia lelembut.

6

bermakna makhluk halus. Jenisnya bisa bermacam-macam: arwahmanusia, jin, banaspati, lampor, angga-inggi, wewe,gendruwo, dsb. Lelembut juga dapat digolongkan berdasarkanjenis kelaminnya: lelembut laki-laki dan lelembut perempuan.Makalah ini akan membahas jenis lelembut perempuan. Objekkajian dibatasi pada kisah-kisah yang terdapat dalam majalahPanjebar Semangat. Lelembut perempuan tergolong dominan—meskibelum dihitung secara keseluruhan—dalam kisah-kisahlelembut. Dibandingkan dengan media lain yang sejenis,Panjebar Semangat adalah media tertua dan sudah cukup lama(sejak 1970-an) mengadakan rubrik yang menampung ceritalelembut. Itulah yang menjadi dasar pertimbangan media itudipilih sebagai objek kajian.

B. Penggambaran Lelembut Perempuan

Sebagaimana disinggung sebelumnya, tokoh lelembut dalamcerbut beragam. Dilihat dari asal-usulnya, secara umum adadua jenis, yakni lelembut yang berupa arwah manusia yanggentayangan dan lelembut yang bukan arwah gentayangan.Lelembut yang berupa arwah manusia yang gentayangan memilikinama yang sama dengan nama ketika ia masih hidup sebagaimanusia, sedangkan lelembut yang bukan berasal dari arwahmanusia mempunyai nama yang bermacam-macam, seperti binatangsiluman (ular, kucing, tikus, serigala), dhanyang, peri,banaspati, sundel, angga inggi, gendruwo, thetekan, lampor,jerangkong, ratu kidul, nyi blorong, dan glundung pringis .Perlu ditambahkan bahwa nama tokoh lelembut yang bukanarwah manusia kadangkala mirip dengan nama manusia. Tokohlelembut yang namanya mirip dengan nama manusia itu biasanyaadalah mereka yang bersemayam dan atau menguasai (mbaurekso)suatu daerah. Dengan kata lain, mereka adalah dhanyang danatau dhemit/siluman yang berada dan atau menjaga suatudaerah/tempat tertentu.

Para lelembut yang muncul dalam cerbut selalu bertindakatau bergerak di dalam konteks kegiatan manusia. Tidak adacerbut yang hanya melukiskan kehidupan lelembut. Paralelembut dalam cerbut senantiasa hadir dalam kaitannyadengan aksi/aktivitas manusia. Dalam konteks itu, para

7

tokoh-manusia dalam cerbut oleh narator digambarkan sebagaiorang-orang yang pernah menyaksikan, bahkan mengalamikejadian-kejadian yang tidak masuk akal (nyalawedi). Merekajuga digambarkan sebagai makhluk yang dapat berhubungandengan lelembut, baik karena kebetulan maupun karenakesengajaan. Hubungan antara tokoh manusia dan lelembutdilakukan melalui mimpi, suara (tanpa penampakan) ataupertemuan langsung (dengan penampakan). Pertemuan langsungdapat terjadi apabila tokoh manusia masuk dalam jagatlelembut melalui cara-cara tertentu, seperti tokoh manusiadikelabuhi penglihatannya atau dapat juga melalui ritualtertentu (mendatangi tempat tertentu lalu tidak tidursemalaman dan memohon pertolongan pada lelembut yang ingindijumpai, membakar kemenyan, memberikan sesaji, ataumembacakan mantera).

Kontak tokoh manusia dengan lelembut tidak akanberlangsung terus. Artinya, bila sudah tiba masanya lelembutkembali ke jagat mereka, kontak itu berakhir. Tokoh-manusiakembali ke alam nyata (alam fana) atau menemui ajal dantokoh lelembut raib atau hilang begitu saja. Pertemuantokoh-manusia dengan tokoh-lelembut akan disertaikehadiran/penghadiran latar atau suasana yang khas. Daripertemuan itulah kisah akan berkembang dan persoalan punmuncul. Dalam cerbut yang bertemakan pesugihan, lelembutmuncul sebagai tanggapan atas permintaan manusia yangmenginginkan bantuan lelembut untuk mengumpulkan kekayaan.Sebaliknya, pada cerbut bertema arwah gentayangan, lelembuthadir untuk menggoda (menakut-nakuti) manusia atau memintapertolongan manusia guna menunjukkan jalan baginya (baca:lelembut) menuju ke alam kelanggengan. Pada cerbut yangbertema penyesatan dan penculikan, lelembut muncul sebagaibagian dari usaha lelembut untuk menggoda dan ataumencelakakan manusia. Perlu diketahui bahwa tema cerbuttidak terkait dengan jenis kelamin para lelembut. Jadi,lelembut perempuan, misalnya, bisa saja hadir dalam temapesugihan, penyesatan, pencarian jalan, atau penculikan.

Nama-nama lelembut berjenis perempuan jumlahnya bisabanyak. Lelembut yang berupa arwah manusia gentayangantentulah yang terbanyak. Nama-nama lelembut yang bukan arwah

8

manusia juga beragam. Nama lelembut perempuan yang menguasaidaerah tertentu atau menjadi dhanyang tempat tertentutampaknya mirip dengan nama manusia. Misalnya: Nyi Cempoko,Nyi Sobrah, Dewi Lanjar. Sejumlah nama lelembut yang bukanarwah manusia biasanya sudah amat dikenal masyarakat Jawalewat cerita lisan yang beredar dari mulut ke mulut. Nama-nama seperti Nyai Rara Kidul, Kuntilanak, Sundel Bolong, NyiBlorong, Wewe (Gombel) merupakan lelembut perempuan nonarwahmanusia yang sudah dikenal masyarakat.

Dalam pembicaraan berikut akan ditunjukkan bagaimanapara lelembut perempuan itu digambarkan. Sejumlah tekscerbut bertokoh lelembut perempuan yang terkait dengan empattema (pencarian jalan/arwah gentayangan, pesugihan,penyesatan, dan penculikan) akan didiskripsikan dandianalisis. Fakta menunjukkan bahwa pola pengisahan cerbutdari waktu ke waktu memperlihatkan kesamaan. Oleh karenaitu, hampir tidak ada perbedaan antara kisah yang ditulispada tahun 1970-an dengan yang ditulis pada tahun 2000-an.Kisah tentang lelembut perempuan yang memperdaya (ngerjain)manusia (laki-laki) yang terbit pada tahun 1970-an denganyang terbit tahun 2000-an memperlihatkan pola yang sama:laki-laki diajak/terbujuk perempuan sehingga menurut sajaketika diminta perempuan untuk mengantarkan pulang ataudimintai bantuan lain, laki-laki itu baru sadar danketakutan ketika dia berada di kuburan atau tempat-tempatangker. Pola seperti itu muncul berulang-ulang, bahkantokoh-tokoh tertentu, seperti Sundel Bolong, Nyi Blorong,Nyai Rara Kidul, Wewe, Peri, berkali-kali hadir, baik padakisah yang terbit pada tahun 1970-an, 1980-an, 1990-an,maupun tahun 2000-an, meski dengan pengarang yang berbeda-beda. Atas dasar itu, tampaknya mengambil cerita yang terbitkapan pun sebagai bahan kajian tidak menjadi masalah. Olehkarena itu, dalam pemaparan dan analisis berikut teks ceritabisa diambil dari tahun kapan saja, yang penting teks itudiambil dari Panjebar Semangat. Pemaparan/analisis dilakukanberdasarkan tema.

9

1.Cerbut Bertema Arwah Gentayangan/Pencarian Jalan

Isi teks pertama yang terkait dengan tema pencarianjalan arwah manusia menuju ke alam kelanggengan/arwahgentayangan akan dipaparkan lebih dulu. Teks itu adalah“Miyak Wewadine Kenya Ayu Sri Wiyati.” Cerbut ini berkisahtentang lelembut (arwah Ayu Sri Wiyati) yang gentayanganuntuk meminta bantuan manusia guna mencari jalan menuju kealam kelanggengan sekaligus membalas dendam atas kekejamanpada dirinya yang dilakukan laki-laki. Sri Wiyati adalahseorang gadis cantik yang menjadi korban pemerkosaan danpembunuhan laki-laki. Setelah terbunuh, arwahnyagentayangan. Ia belum menemukan jalan menuju ke alam yangseharusnya dihuninya sehingga arwahnya gentayangan. Ia baruakan bisa menemukan tempat itu apabila dibantu manusia.Dalam kondisi seperti itulah ia bertemu dengan Darso,seorang wartawan. Darso menjalin persahabatan dengan arwahSri Wiyati. Arwah Sri Wiyati menuturkan penderitaannya,juga sebab-musabab kenapa ia menderita. Ia menderita karenaarwahnya belum dapat menemukan tempat yang dituju. Ia jugamenuturkan bahwa dirinya tidak dapat menerima kekejaman yangdilakukan pemerkosa dan pembunuhnya sehingga masihterbebani oleh keinginan untuk menunjukkan pelaku kejahatantersebut kepada pihak lain yang mempunyai wewenang untukmenangani tindak kejahatan. Darso yang kebetulan berprofesiwartawan merupakan pihak yang dapat menyampaikankeinginannya itu kepada penegak hukum. Justru karena itulah,arwah Wiyati senantiasa menampakkan diri pada Darso danbukan pada yang lain. Penuturan Wiyati direkam Darso, laludilaporkan ke polisi. Akhirnya, berkat petunjuk Wiyati, parapenjahat yang memerkosa dan membunuh Wiyati tertangkap.

Dari deskripsi singkat itu terlihat bahwa kemunculanlelembut (arwah Sri Wiyati yang gentayangan) terkait dengankebelumberhasilan atau ketidaktenangan arwah Sri Wiyati dialam kematian. Untuk itulah ia hadir atau menampakkan diriguna membantu pihak yang berwajib menangani kasus yangmenimpa dirinya. Sebelum rahasia kematiannya terkuak, iaakan mengalami penderitaan batin terus-menerus. Penderitaan

10

batin arwah Sri Wiyati, antara lain, terlukis sebagaiberikut.

Alon-alon mripate melek kekembeng luh, tangane kumlawe nyekel tanganku,njaluk tulung dilinggihake. Dak sangga pundhakku, dak jejeri lungguh. Sakapangrasaku bocah iki ayu tenan. Sirahe sumendhe pundhakku, tangane nggegemkenceng tanganku, lambene geter ngucap “Mas Darso …taksuwun kersa nyimpenkalungku sauntara, kuwi mengko bakal bisa njangkepi katrangan bab sapa lan sakangendi asalku..”

(Perlahan ia membuka matanya yang basah, tangannya memegangtanganku, minta tolong agar didudukkan. Kusangga ia denganpundakku, kudampingi ia duduk. Menurut perasaanku, gadis inimemang cantik. Kepalanya bersandar di pundakku, tangannyamenggenggam kuat-kuat tanganku, bibirnya gemetar berucap, ‘MasDarso ..saya mohon Mas mau menyimpan kalungku sementara, kalungitu nanti akan bisa melengkapi informasi tentang siapa dan darimana saya ini..”)

Satu hal dapat dicatat dari petikan di atas. Selainmenggambarkan penderitaan batin arwah orang yang mati karenadibunuh, kutipan tersebut juga menunjukkan bahwa tokohmanusia dapat berdialog atau berhubungan dengan arwahmanusia yang gentayangan, bahkan ia bisa menyerahkanbenda/barang berupa kalung (maksudnya, bukan barang jadi-jadian) yang menjadi alat bukti dalam penyidikan. Daripetikan itu juga terlihat bahwa arwah manusia yanggentayangan dapat berlaku santun dan mau membantu manusiauntuk suatu tujuan yang baik. Di sini terlihat bahwa arwahgentayangan tidak senantiasa tampil sebagai sosok pengganggumanusia. Arwah Sri Wiyati dalam “Miyak Wewadine Kenya AyuSri Wiyati” justru membantu manusia dalam mengungkapkanrahasia kematiannya. Lewat penuturan dia pada Darso yangoleh Darso direkam dengan tape recorder, polisi (LetnanMaaruf dan anak buahnya) berhasil menangkap para pelakukejahatan. Hasil rekaman percakapan/wawancara atau ceritayang dituturkan arwah gentayangan tersebut dapat menjadipetunjuk polisi untuk menguak tabir kejahatan yang menimpadiri perempuan tersebut. Dengan terungkapnya kasuskematian Sri Wiyati, pihak yang terbantu ternyata bukan saja

11

manusia, melainkan juga arwah Sri Wiyati sendiri karenadengan terkuaknya rahasia kematiannya, perjalanan arwahnyamenuju ke alam kematian tidak terhambat.

Dari “Miyak Wewadine Kenya Ayu Sri Wiyati” dapatditarik kesimpulan bahwa arwah manusia bisa mengalamipenderitaan di alam lain. Penderitaan itu terkait denganstatus arwahnya yang seakan-akan berada dalam tempat yangtidak semestinya. Dalam pandangan orang Jawa, kematian SriWiyati adalah kematian yang salah (mati salah). Ia menjadikorban dari tindak kejahatan. Kematian semacam itu merupakankematian yang tidak wajar sehingga perjalanan arwahnya kealam kelanggengan terganggu. Bagaimanapun, Sri Wiyati masihdiliputi rasa dendam yang mengakibatkan arwahnya dalamstatus bergentayangan. Arwah seperti itu dalam pandanganorang Jawa kelak akan kembali juga ke haribaan YangMahakuasa, tetapi proses menuju ke sana tidak berjalan mulusseperti arwah manusia yang mati ngurag, mati wajar, yaknimati karena janji Allah.

Karena statusnya yang belum jelas, arwah Wiyati menjadiarwah gentayangan yang hadir atau masuk dalam jagad wadag.Kehadiran arwah yang seharusnya berada di alam kelanggengan

di tengah-tengah kehidupan manusia, bagaimanapun, akanmendatangkan gangguan. Namun, karena motivasi arwah SriWiyati baik, yakni ingin menyingkap rahasia kematiannya agarpara pelaku tertangkap dan mendapat hukuman yang setimpal,ia tidak mengganggu, setidaknya bagi orang yangdipercayainya atau dimintai tolong, dalam hal ini Darso yangberprofesi wartawan. Begitulah, setelah dendam terpenuhi,yang berarti urusan duniawi terselesaikan, arwah Sri Wiyatidapat kembali ke alam kelanggengan.

Seperti pada “Miyak Wewadine Kenya Ayu Sri Wiyati,”pada cerbut/teks “Tumbale Skripsi” terlukis betapa ulaharwah gentayangan lebih memperlihatkan sikap makhlukpembantu daripada penggoda manusia. Penampakan Tiwisekalipun pada awalnya menakutkan Adhit dan pacarnya,akhirnya justru membantu manusia dalam membongkar kejahatan.Pada saat manusia menghadapi kesulitan, di situ arwahgentayangan memberikan pertolongan. Sama dengan yangtergambar dalam “Miyak Wewadine Kenya Ayu Sri Wiyati,”

12

melalui “Tumbale Skripsi” ditunjukkan bahwakejahatan/kebusukan seseorang pada akhirnya akan terbongkar.Dalam kisah ini ditekankan bahwa terbongkarnya suatu kasuskejahatan yang membuat korban berada dalam posisi mati salahtelah mengantarkan arwah korban ke haribaan Yang Mahakuasa.

Agak berbeda dengan dua cerbut yang telah diuraikan,cerbut “Gresik Surabaya” memperlihatkan ciri yang unikterkait dengan cara narator melukiskan hubungan antaraarwah gentayangan dan manusia. Keunikan itu akan terlihatdari deskripsi berikut. Yatinah ketika masih hidupberprofesi sebagai agen majalah Panjebar Semangat. Perempuanitu digambarkan sebagai pribadi yang bertanggung jawab,gesit, dan memiliki pengetahuan sastra/budaya yang cukup.Kelebihan-kelebihan itu dimilikinya tidak lain karena iagemar membaca Panjebar Semangat. Pengetahuan dia tentangsastra (paramasastra, sanepan, parikan, tembung sandi) diperolehnyatentu karena ia menjadi agen Panjebar Semangat. Sayangnya,rasa tanggung jawab terhadap profesinya itu harus berhadapandengan pelanggan Panjebar Semangat yang kurang disiplin dalammembayar. Kalau ada pelanggan yang terlambat membayar,Yatinahlah yang menalanginya. Akan tetapi, lama-kelamaanYatinah tidak sanggup menalangi terus-menerus. Utang Yatinahpada Tata Usaha Panjebar Semangat pun makin menumpuk.Akibatnya, Yatinah jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Iameninggal tepat pada malam Selasa Kliwon. Setelah tujuh harikematiannya, terjadi peristiwa yang menggemparkan. Bilamalam dari makam Yatinah keluar asap yang lama-kelamaanberubah dan membentuk sosok manusia. Sosok itu gentayangandan sekali-kali memperlihatkan diri sambil mengeluarkansuara “Gresik Surabaya.” Arwah Yatinah yang gentayanganitu mendatangi orang-orang yang masih menunggak pembayaranPanjebar Semangat.

Masyarakat dibuat heboh oleh peristiwa ini. Merekaresah, takut, dan merasa terganggu oleh ulah arwah Yatinah.Setelah dipelajari dengan saksama, terkuaklah rahasiaungkapan Gresik terus nyang Surabaya. Ungkapan itu dihubungkandengan kidungan Cak Basman yang berbunyi “Menyang Gresik terusSurabaya, mangane dhisik mbayare semaya.” (Ke Gresik lanjut keSurabaya, makan [diutamakan] dulu, giliran membayar janji

13

melulu). Ungkapan (parikan atau pantun Jawa) yang diucapkanarwah gentayangan tidak lain berkaitan dengan utang parapelanggan Panjebar Semangat yang belum dibayar. Hal itudiperkuat dengan parikan berikutnya yang sering diucapkanarwah Yatinah yang gentayangan di pintu masuk rumah orang-orang yang masih menunggak utang. Bunyi parikan itu sebagaiberikut,“Tuku capar nyang pasar Darmo, sing ora mbayar bakal tak gawa”(Beli capar ke pasar Darma, yang tidak [mau] membayar, akansaya bawa.”). Setelah dikaji masyarakat dan ditemukan intimasalahnya, solusi ditemukan. Pada hari keempat puluhmeninggalnya Yatinah diadakanlah tahlilan sekaliguspembayaran utang para penunggak di rumah Pramono, suamiYatinah. Setelah itu, arwah Yatinah tidak gentayangan dankehidupan desa kembali normal.

Dari deskripsi ringkas itu terlihat betapa kadang-kadang arwah gentayangan yang hadir dalam kehidupan manusiatidak menunjukkan keinginannya secara eksplisit. Ia hadirdengan isyarat yang harus dipecahkan maknanya oleh manusia.Isyarat itu tampaknya mengandung tiga pesan, yang pertamaterkait dengan manfaat Panjebar Semangat, yang kedua terkaitdengan kewajiban membayar utang, dan yang ketiga terkaitdengan pentingnya keluarga yang ditinggal mati anggotanyamenyelesaikan urusan duniawi, khususnya urusan utang-piutang. Pemunculan isyarat dalam kisah itu dapatditafsirkan bahwa Panjebar Semangat mempunyai manfaat yangbesar bagi pembaca. Yatinah dapat memilih parikan sebagaiisyarat karena ia menjadi pembaca majalah itu. Ia adalahcontoh yang tepat bagi sosok agen dan pembaca PanjebarSemangat yang bertanggung jawab. Pemunculannya dalam wujudarwah gentayangan tidak terlepas dari rasa tanggung jawabnyasebagai agen majalah itu sehingga perlu ditolong.

Di sini akhirnya masalahnya bukan sekadar menyangkutarwah yang tidak menemukan jalan untuk menuju ke alamkelanggengan, melainkan juga bagaimana seharusnya pelangganmajalah Panjebar Semangat memenuhi kewajiban mereka: membayartepat waktu kepada agen. Demikianlah cerbut inimemperlihatkan fungsi gandanya. Di satu sisi inginditunjukkan bagaimana arwah manusia bisa dihadapkan padakesulitan dalam mencari jalan menuju ke alam kelanggengan

14

sebelum urusan duniawi terselesaikan (utang-piutang)meskipun yang bersangkutan mati ngurag, di sisi lainditunjukkan pentingnya para pembaca majalah Panjebar Semangatmemenuhi kewajibannya setelah haknya dipenuhi. Secaratersirat tampaknya ada pesan juga bahwa keluarga yangditinggal mati anggotanya berkewajiban menyelesaikan utang-utang dia.

Dari beberapa contoh cerbut tersebut, diperlolehgambaran mengenai kematian dalam kaitannya dengan arwahgentayangan. Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah matingurag dan mati salah (Subagya, 2005). Mati ngurag merupakanmati wajar (mati karena janji Allah). Manusia yang menempuhkematiannya secara wajar (mati ngurag) tidak akan menemuihambatan dalam menuju ke alam kelanggengan kecuali yangbersangkutan masih mempunyai urusan duaniawi yang terkaitdengan utang-piutang, namun tidak demikian halnya bagimereka yang mati salah, mati karena bunuh diri atau dibunuh,mati karena mendapat kecelakaan (ditabrak kereta ataumobil).

Perjalanan arwah orang yang mengalami kematiansemacam itu tidak akan mulus karena pada dasarnya kematianmereka tidak iklas. Mereka harus menyelesaikan urusanduniawi agar dapat kembali ke haribaan Sang Mahakuasa.Cerbut dengan tema itu memperlihatkan pola kisah yang khas.Tokoh lelembutnya—tidak harus perempuan, bisa juga laki-laki, tetapi dalam majalah Panjebar Semangat umumnya tokohnyaberjenis kelamin perempuan—digambarkan sebagai arwahgentayangan dan menampakkan diri sebagai manusia biasa yangmencari orang untuk dijadikan tempat pengaduan ataupermintaan tolong. Ia akan muncul pada waktu malam hariyang ditandai dengan bau wangi yang mencolok hidung (ndulek).Jika keinginannya sudah dipenuhi, artinya persoalan sudahterselesaikan, arwah gentayangan itu tidak akan menampakkandiri lagi. Ia sudah lega dan memperoleh ketenangan di alamkematian.

Yang perlu dicatat dari kisah-kisah yang menampilkanarwah gentayangan adalah bahwa ternyata pada cerbut yangmenampilkan tokoh lelembut berjenis kelamin laki-laki punmemperlihatkan pola penceritaan yang mirip. Tidak ada

15

perbedaan yang signifikan. Dalam “Bakso Godres” karya TriHendrayana dalam PS No. 29 dan No. 30, Juli 2007 lelembutyang arwahnya gentayangan, Pak Dul, melakukan tindakan yangsama dengan Sri Wiyati. Arwah Pak Dul gentayangan karenatidak dapat menerima kematiannya begitu saja. Seperti arwahSri Waiyati, arwah Pak Dul bisa berkomunikasi denganmanusia, bahkan dapat mengirim SMS kepada polisi yangmencari pembunuh Pak Dul. Akhirnya, berkat keterlibatan danperan aktif arwah Pak Dul kasus pembunuhan dapat terungkap.

Cerbut dengan tema arwah gentayangan sebagaimanaterurai di atas berulang-ulang muncul dalam rubrik AlamingLelembut. Pola kisah dan persoalan (tema) yang tampil hampirtak ada bedanya. Yang membedakan hanya nama tokoh. Peristiwayang menimpa diri tokoh pada dasarnya sama. Kalaupun adaperbedaan, letak perbedaan itu hanya pada kontekspembunuhan. Tokoh tertentu terbunuh karena dirampok, tokohyang lain terbunuh karena menuntut pertanggungjawabanpembunuh (soal kehamilan yang tidak dikehendaki karena belumterikat perkawinan), atau tokoh mati karena bunuh diri.Dalam kisah-kisah seperti ini terkandung unsur balas dendamdari tokoh arwah gentayangan terhadap tindakan manusia yangmenyebabkan tokoh arwah gentayangan menderita di alamkematiannya.

Kiranya jelas bahwa akar persoalan para arwahgentayangan terkait dengan cara/jenis kematian mereka.Kematian mereka adalah kematian yang tidak sempurna. Matikarena dibunuh jelas bukan mati yang benar sekalipun hal itubukan atas kehendak atau pilihan sendiri. Kematian semacamitu membutuhkan penyelematan dari manusia yang masih hidupdi alam wadag. Pengiriman doa dan penyingkapan kasusmerupakan wujud dari bantuan itu. Dari kisah-kisah itutergambar citra ideal kematian. Para tokoh yang berwujudarwah gentayangan dimunculkan tidak semata-mata untukmemberi gambaran tentang alam kematian itu sendiri, tetapijuga untuk memberikan gambaran betapa pentingnya manusiayang masih hidup di alam fana ini memikirkan nasib parakerabat atau orang-orang dekat yang menjalani kematianmereka secara tidak wajar. Bagaimanapun, orang-orang yangmasih hidup harus menunjukkan kepeduliannya terhadap mereka

16

yang telah lebih dulu meninggalkan alam yang fana ini sebab,jika tidak, gangguan dari arwah mereka yang belum menemukanjalan terang menuju ke alam kelanggengan akan terus muncul.Sebaik apa pun kemunculan arwah itu dalam kehidupan manusiayang masih hidup di alam wadag ini akan menghasilkangangguan. Itulah kesimpulan-kesimpulan yang dapat diambildari kisah tentang arwah gentayangan.

2. Cerbut Bertema Pesugihan

Pembicaraan berikut akan berfokus pada cerbut yangmenggambarkan persekutuan manusia dengan lelembut (temapesugihan). Sebagaimana cerbut dengan tema perjalalan/usahaarwah manusia menemukan kesempurnaan kematian, cerbut dengantema pesugihan, baik yang memunculkan tokoh lelembut laki-laki maupun perempuan, juga muncul berulang-ulang dalamrubrik Alaming Lelembut. Cerbut bertemakan pesugihanditandai oleh kehadiran tokoh manusia yang bersekutu danmengadakan kontrak/perjanjian dengan lelembut yang bukanmerupakan arwah gentayangan. Lelembut yang bersekutu denganmanusia biasanya adalah dhanyang atau roh (dhemit) yangmendiami suatu tempat, seperti makam, sumber air, gunung,atau tempat-tempat yang dianggap wingit atau angker. Dalamkontrak atau perjanjian itu biasanya manusia berada dalamposisi lemah. Ia terikat dengan perjanjian yang ketentuannyatidak dapat direvisi atau dibatalkan. Apa yang telah menjadikesepakatan atau disepakati manusia harus dijalankan, tidakada tawar-menawar, atau keringanan.

Dalam konteks itu, manusia selalu menjadi korban atautumbal dari apa yang telah didapatkannya: kekayaan. Agarlebih konkret bagaimana kontrak antara manusia dan lelembutterjadi, ada baiknya dipaparkan beberapa cerbut yangbertemakan pesugihan di sini. Jenis pesugihan dalampandangan orang Jawa bermacam-macam: ada kandang bubrah,jaran panoleh, thuyul, dsb. Salah satu jenis pesugihan yangpopuler adalah pesugihan yang terkait dengan Nyi Blorong.Orang yang memelihara pesugihan ini dipercaya akan kayaraya. Namun, pesugihan ini minta korban manusia. Jadi,pemelihara harus menyediakan korban manusia. Wujud Nyi

17

Blorong adalah separuh badannya berupa ular, separuhnyasosok manusia, perempuan cantik. Cerbut yang menampilkanlelembut Nyi Blorong versinya bermacam-macam, tetapi padaintinya sama: Nyi Blorong membutuhkan imbalan berupa manusiaatas jasa yang diberikan kepada manusia yang menginginkankekayaan. Gambaran seperti itu terlihat, misalnya, dalamcerbut “Nyi Blorong” karya Cak Nang (PS, No. 41, 8 Oktober2011) dan “Blorong Pesugihan,” karya Latif S (PS, No. 9, 24Februari 1990). Pada cerbut pertama dilukiskan bagaimanaseorang buruh, Sulaiman, yang bekerja pada babah Liongterhindar dari mangsa Nyi Blorong setelah melakukanperlawanan. Sulaiman dilukiskan sebagai anak muda yang barusaja bekerja sebagai pegawai di toko babah Liong. Olehnarator digambarkan bahwa toko babah Liong makin hari makinbanyak dikunjungi pembeli sehingga para kayawan yangmelayaninya dibuat sibuk. Suatu hari Sulaiman bersamatemannya—narator dalam kisah ini—diminta babah Liong untukmenunggui rumahnya untuk beberapa hari karena babah Liongpergi ke luar kota. Menjelang hari ketiga, muncullah NyiBlorong di kamar yang mereka tiduri. Untunglah Sulaimantanggap terhadap situasi. Sebelum Nyi Blorong menampakkandiri, ia mengajak temannya keluar dari kamar dan memantaudari atap rumah. Saat Nyi Blorong masuk ke kamar dan tidakada siapa pun di situ ia marah. Ia berkata bahwa babah Liongtelah ingkar janji: tidak menyediakan hidangan (korban) saathidangan itu mestinya ada. Setelah Sulaiman dan temannyakeluar dari rumah, tidak lama kemudian ada kabar bahwa babahLiong telah meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan. Iatelah dimangsa Nyi Blorong yang marah. Teman Sulaiman barupercaya bahwa babah Liong ternyata memang punya pesugihan.Ia juga baru tahu bahwa Sulaiman ternyata utusan ustad Usmanyang sengaja menyaru sebagai pegawai babah Liong untukmengakhiri jatuhnya korban pada orang-orang yang bekerjasebagai pegawai di toko babah Liong.

Cerbut kedua mirip dengan cerbut pertama. Hanya pelakudan latar kejadiannya yang berbeda. Cerbut kedua melibatkantokoh orang Barat (Belanda) yang hidup pada masa kolonial(1830—1870). Kisah diawali dengan penculikan terhadap PakKaryo dan Mbok Karyo, penduduk desa Cepogo, oleh serdadu

18

Belanda. Mareka diculik di rumahnya, lalu dibawa ke kawasanperkebunan di Sumatra (Deli). Di Deli Pak Karyo dipekerjakandi rumah Tuan Fendy van Wijck. Mereka diperlakukan denganbaik oleh Van Wijck. Namun, pada tahun ketiga, merekadiminta untuk tidur di “kamar agung” keluarga van Wijck,padahal menurut pengalaman yang sudah-sudah, mereka yangmasuk ke kamar itu akan raib. Tampaknya nasib baik masihberpihak pada Pak Karyo dan Mbok Karyo. Mereka bisa lolos.Dengan kain Mbok Karyo, mereka keluar kamar dan menunggu diatap rumah. Blorong mengobrak-abrik kamar tidur. Besoknyavan Wijck kecele. Meskipun ia telah mengerahkan anak buahnyauntuk mengejar dan menangkap Pak Karyo dan Mbok Karyo, usahaitu tidak berhasil. Pak Karyo dan Mbok Karyo menyamarsebagai pedagang. Pada akhir cerita dikisahkan bahwa merekamenjadi saudagar, lalu pulang ke Jawa. Mereka meninggal diCirebon. Pak Karyo atau Raden Rahmat meninggal pada 1901,sementara Mbok Karyo meninggal pada 1915.

Ada yang menarik untuk dicatat dari kedua kisah itu.Pada kisah pertama dilukiskan bahwa akhirnya pemeliharaBlorong menjadi korban Blorong itu sendiri, sementara padacerbut kedua dilukiskan bahwa pemelihara hanya gagalmengumpankan korban, tidak diceritakan bagaimana kelanjutannasib Van Wijck. Hanya ada keanehan, bagaimana seorangBelanda sampai bisa memelihara pesugihan? Ini yang tidaklazim. Agaknya kalau dilihat dari segi latar dan tokohnya,cerbut ini menyampaikan pesan tertentu yang terkait dengankekejamanan Belanda di masa kolonial. Latar kejadian dalamcerbut dinyatakan dengan kurun waktu yang eksplisit: 1930—1870. Secara historis ini adalah masa Tanam Paksa di masapemerintahan kolonial. Masa itu adalah masa ketika orangIndonesia dipaksa untuk bekerja di perkebunan-perkebunan,baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dibuka pemerintahkolonial. Pak Karyo adalah representasi dari rakyat jelatayang menjadi korban pemaksaan. Secara historis pada masaTanam Paksa penduduk Indonesia, khususnya Jawa, dipaksapemerintah kolonial menyerahkan tanahnya untuk membukaperkebunan. Petani jatuh miskin dan hanya menjadiburuh/pekerja di perkebunan milik orang-orang asing(Belanda) seperti digambarkan dengan tepat dalam novel

19

sebelum perang, Rasa Merdika Hikayat Soedjanmo karya Soemantriyang terbit tahun 1922. Dalam konteks “Blorong Pesugihan,”sejak cerita dibuka, kekerasan dan paksaan itu sudahditunjukkan dan ditonjolkan. Mengapa dibawa ke Deli itu jugamenjadi indikasi bahwa Pak Karyo, juga tokoh-tokoh lain yangsejenis Pak Karyo, adalah representasi dari orang-orang Jawayang di masa kolonial dipaksa untuk bekerja di perkebunan diSumatra, khususnya di Deli. Jadi, cerbut ini boleh dikatakanmelambangkan sesuatu. Pesugihan (Nyi Blorong) tidak lainmelambangkan kerakusan Belanda yang ingin memperkaya diridengan cara menindas sumberdaya manusia dan mengeruk sumberdaya alam Indonesia.

Berbeda dengan “Blorong Pesugihan,” cerbut “NyiBlorong” dikaitkan dengan golongan pengusaha (pemilik toko).Kisah tentang Nyi Blorong, sebagaimana telah diungkapkan,lazim terdengar di masyarakat Jawa. Dari satu sisi, kisahsemacam ini bisa dianggap sebagai bagian dari kisah-kisahyang bisa dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Olehkarena itu, pesan yang muncul dapat dikaitkan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Jawa:ngono yo ngono ning ojo ngono yang maknanya bisa luas. Dalamkonteks kehartaan, ungkapan tersebut bisa diterjemahkansebagai “boleh saja orang menjadi kaya, tetapi pakailahcara-cara yang benar.” Di sisi lain, kisah atau cerita diseputar pesugihan dapat dikaitkan dengan bentuk sentimenatau perasaan anti atau rasa tidak suka dari golongan lemahterhadap golongan yang secara ekonomis bisa dikatakan mampu.Tafsir seperti itulah, antara lain, yang terlontar darisejarawan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong(2003:43). Ia menyatakan bahwa kemunculan fenomena pesugihandalam masyarakat di masa lalu terkait dengan perselisihanantara petani dan pedagang. Para pedagang yang umumnyamenguasai ekonomi ditempatkan dalam posisi yang merugikanpetani ketika permasalahan ekonomi muncul. Ia dianggapsebagai setan yang menyebabkan kelaparan dan malapetaka.Dalam kondisi semacam itulah muncul stigma bahwa kekayaanyang dimiliki pedagang diperoleh dengan cara-cara yang tidakwajar. Muncullah rumor tentang pedagang yang memeliharathuyul atau babi ngepet untuk mencari kekayaan.

20

Kisah-kisah tentang manusia yang membuat perjanjiandengan lelembut mengisyaratkan perasaan anti orang kaya.Dengan kisah itu kekayaan orang kaya, para pengusaha, tidakmempunyai legitimasi karena diperoleh dengan cara-cara yangtidak wajar, yakni bersekutu dengan lelembut. Jika orangkaya itu seorang Cina, maka akan muncul perasaan anti Cina.Mereka yang dianggap memperoleh kekayaan tidak lewat cara-cara yang sah/wajar dianggap bukan Jawa (Ong, 2003:182).

Paparan di atas disampaikan oleh Ong untuk menanggapiheboh di sekitar seminar thuyul pada tahun 1980-an. Sebagaisebuah tafsiran, pendapat Ong sah sebab bagaimanapun kisah-kisah tentang manusia yang bersekutu dengan lelembutmengandung dimensi ekonomi. Alasan yang mendasari manusiauntuk bersekutu dengan lelembut, dalam cerbut, senantiasamaterial sifatnya, yakni kekayaan. Kata kekayaan akanterkait dengan kesejahteraan, kemiskinan, dan penderitaan.Dalam situasi atau ketika orang dihadapkan pada kemiskinandan penderitaan, di alam bawah sadarnya akan muncul perasaantidak senang, curiga terhadap mereka yang menguasai ekonomi.Di situlah muncul rumor dari mulut ke mulut tentangpenguasaha tertentu atau orang kaya tertentu memperolehkekayaannya dengan cara-cara yang tidak sah, yakni bersekutudengan lelembut. Rumor itu akan beredar dari mulut ke mulutsehingga lama-kelamaan menjadi cerita. Hal itu sangatdimungkinkan bila dikaitkan dengan kepercayaan orang Jawatentang lelembut. Namun, apa pun wujudnya, kisah-kisahtentang manusia yang mencari kekayaan lewat persekutuandengan lelembut mengandung dimensi yang kaya (tidaktunggal). Ia bisa dikaitkan dengan persoalan nyata (ekonomi)dalam masyarakat, tetapi bisa juga dikaitkan denganreligi/kepercayaan masyarakat yang sudah turun-temurun.

3. Cerbut Bertema Penyesatan/Penculikan

Kisah-kisah yang melibatkan lelembut perempuan dan yangtidak terkait dengan pesugihan atau arwah gentayangantampaknya justru lebih sering muncul dalam Alaming Lelembut.Kisah-kisah itu biasanya terkait dengan penyesatan yangdilakukan lelembut terhadap manusia.Tema ini muncul dalam

21

bentuk kisah yang menggambarkan bagaimana lelembut dapatmengelabuhi manusia melalui berbagai cara. Kisah yang seringmuncul adalah kisah tentang manusia (laki-laki) yangtertarik atau tergoda pada kemolekan dan tingkah lakulelembut yang memba (menyaru) perempuan. Setelah tertarik,tokoh-manusia akan mengikuti apa yang diminta perempuan(mengantarkan pulang, menumpang, mengawini, menyetubuhi)sampai akhirnya tokoh-manusia menyadari bahwa ia diperdayalelembut. Berikut, merupakan paparan singkat cerbut “UlahSaresmi Karo Lelembut Tuwa” (“Bersanggama dengan LelembutTuwa”) yang dimuat dalam PS, No. 34, 21 Agustus 2010, yangmenampilkan hubungan seksual antara lelembut perempuan danmanusia. Seorang pemuda, Darwaka, tiba-tiba hilang di malamhari, usai pulang dari pos ronda. Ia baru muncul pada harikelima, namun dengan keadaan yang tidak wajar: tidak adaselembar pakain pun yang menempel di badannya. Setelahditelusuri sebab-musababnya dengan bantuan “wong pinter,”semacam dukun/paranormal, Darwaka berbuat demikian karenateperdaya makhluk halus di alam lelembut. Waktu pulang daripos ronda, ia (Darwaka) diajak mampir ke rumah orang yangsedang melakukan pesta perkawinan. Kebetulan dalam pesta ituada pertunjukan wayang. Darwaka yang memang pencinta wayangkulit tentu saja menyambut ajakan itu dengan antusias.Selama lima hari ia menonton wayang. Pada pesta itu adaaturan yang unik: semua yang ikut dalam pesta itu haruslukar busana. Darwaka ikut saja dengan aturan itu. Ternyatadalam pesta itu juga diadakan pesta seks. Aturan yangberlaku dalam pesta seks: laki-laki tua bersanggama denganperempuan yang masih muda, sebaliknya perempuan tuabersanggama dengan laki-laki muda. Maka selama 5 hariDarwaka bersanggama dengan perempuan tua. Meskipun pasanganDarwaka perempuan yang sudah tua, ternyata permainanperempuan itu tidak kalah dengan perempuan muda, bahkanDarwaka hampir kewalahan. Namun, anehnya Darwaka sepertimendapat energi baru sehingga ia bisa mengimbangipasangannya. Justru akhirnya Darwaka seperti kecanduan, iasenantiasa ingin mengulang apa yang telah dilakukannya(tuman). Baru pada hari kelima, menjelang jam lima pagi,

22

Darwaka keluar dari tempat itu dan pulang tanpa menggunakanpakaian sedikit pun.

Pada kisah-kisah bertema penyesatan/pengelabuhan yangmelibatkan lelembut perempuan, unsur seks sangat menonjol.Begitu menonjolnya unsur itu, hingga kadang-kadangmenimbulkan pertanyaan: apakah seks di situ sekadar rempah-rempah atau masalah. Kisah-kisah yang terkait denganpesugihan juga ada yang menampilkan seks, tetapi kurangmenonjol, dalam arti frekuensinya tidak sesering kisah yangbertema penyesatan. Dalam “Ulah Saresmi karo Lelembut Tuwa”jelas terlihat bahwa unsur seks memainkan peranan pentingsebagaimana tersurat dalam judulnya. Dari segipenggambarannya, tampaknya kesan yang ditonjolkan dalamkisah itu adalah bahwa dunia lelembut merupakan duniakebalikan dari dunia manusia, khususnya dalam soal seks.Satu hal lagi, ada kesan bahwa yang terpancar dari dunialelembut adalah perilaku rusak (pesta seks gila-gilaan).

Meskipun tidak seekstrem “Ulah Saresmi karo LelembutTuwa,” cerbut “Ratri” juga menghadirkan unsur seks. Padacerbut ini tokoh-manusia yang berprofesi sebagai juru remkereta api, Susmono, tersesat di Alas Roban sewaktu keretayang dinaikinya melewati Alas Roban. Ia seperti diajak olehseorang perempuan cantik ke rumahnya. Ia menginap di rumahperempuan yang membawanya. Selama menginap semalam itumereka bersanggama sebanyak tiga kali. Paginya baru sadarbahwa Susmono tersesat di lubang babi. Ternyata Ratri adalahpenjelmaan babi siluman di Alas Roban.

Jika pada “Ulah Saresmi karo Lelembut Tuwa” gambaranfisik tokoh lelembut tidak dideskripsikan, maka pada “Ratri”dilukiskan secara rinci. Deskripsi itu secara keseluruhanmenumbuhkan citra bahwa Ratri tidak sekadar cantik, tetapijuga genit dan memiliki daya tarik seksual, seperti terlihatdalam cuplikan berikut.

“….Ratri wis ganti sandhangan kebaya putih lan jarit parang. Nyatamilangoni wewayangan weweging badan. Lan nalika kuwi rambute diorengrembyak nganti nutupi geger, kaya disengaja…Ratri ora nganggosandhangan rangkepan. Cengkir gadhing sing mungal nantang kuwi sayanantang saka suwalike kebaya sing nrawang…”

23

(Ratri sudah berganti kebaya putih dan kain bermotifparang. Sungguh terbayang kesekalan tubuhnya. Saat iturambutnya dibiarkan tergerai hingga menutup bagian tubuhbelakangnya, seakan disengaja.. Ratri tidak menggunakanpakaian dalaman. Dari balik kebayanya yang tembus pandangitu buah dada Ratri yang menonjol bagai kepala gading itumakin menantang.

Dialog dan bahasa tubuh lelembut yang memperdayamanusia umumnya digambarkan sedemikian rupa sehingga manusiatergoda dan teperdaya. Seperti disinggung sebelumnya, cerbutmodel beginilah yang sering hadir dalam rubrik AlamingLelembut. Pada cerbut macam ini, lelembut perempuandigambarkan sebagai sosok yang kecantikannya luar biasa(uleng-ulengan atau tumpuk undung). Kadang pernyataan itudiikuti dengan deskripsi yang rinci. Dirinci atau tidak,yang jelas kecantikan lelembut perempuan itu bisa menggodadan memperdaya manusia. Ketergodaan itu juga dimungkinkanoleh bahasa tubuh lelembut yang bersangkutan, sepertikedipan mata, senyum yang menawan, atau cubitan yang mesra.Penampilan yang seronok yang ditandai dengan pakaian yangtembus pandang, ketat, atau terbuka di bagian tertentu jugamerupakan faktor-faktor yang membuat manusia tergoda. Semuagambaran atau citra itu menjurus atau bermuara pada satutitik: daya tarik seks. Meskipun tidak semua cerita yangbertema pengelabuhan/penyesatan itu diikuti denganpenggambaran adegan persanggamaan, boleh dikatakan bahwahampir semuanya disangkutkan dengan birahi laki-laki,kecuali cerbut yang ditokohi lelembut tertentu, seperti NyaiRara Kidul. Pada cerbut yang menempatkan Nyai Rara Kidulsebagai tokoh, narator cenderung tidak menyangkutkan ataumengasosiasikan tokoh itu dengan seks. Dari judul kisahnya,kita dapat membaca nada kisah itu. Perhatikan diksi daricerbut berikut yang semuanya menampilkan Nyai RaraKidul/Ratu Kidul sebagai tokoh: “Ditimbali Kanjeng RatuKidul” (PS, No. 6, 5 Februari 2011), “Nderekake Tindake NyaiRatu” (PS, No. 16, 2008), dan “Putri Kedhaton” (PS, No. 34,23 Agustus 1975). Diksi judul itu menunjukkan sikap/ rasahormat terhadap tokoh lelembut tersebut. Oleh karena itu,

24

kisahnya pun tidak menghadirkan, apalagi menonjolkan, unsurseks.3

Tema lain yang juga menarik adalah tema penculikan.Dari kisah-kisah yang termuat dalam Panjebar Semangatterdapat kesan bahwa lelembut pada dasarnya cenderungmengganggu manusia. Dalam wujud tema apa pun kecenderunganitu tampak, kecuali untuk beberapa. Dalam cerbut yangbertema penculikan, tokoh lelembut dilukiskan sebagai sosokpengganggu manusia. Dari judul-judulnya, seperti “DigondholLampor Gunung Merapi”, “Digondhol Sundel” (Diculik Sundel),“Digondhol Angga Inggi” (Diculik Angga Inggi), “DigondholLampor” (Diculik Lampor), sudah terlihat kesan itu. Kisah-kisah yang bertema penculikan selalu menempatkan tokoh-manusia sebagai sasaran tokoh lelembut yang sekadar isengingin menggoda manusia atau memang berniat menculik sebagaireaksi atas tindakan manusia yang tidak menyenangkanlelembut.

Dalam “Digondhol Angga-Inggi” tokoh-manusia diculiklelembut yang bernama Angga Inggi. Dikisahkan bahwa dalammimpinya Sukijo bertemu dengan Angga Inggi yang menyarankanagar kalau belajar berenang Sukijo belajar di dekat pohon loyang berada di pinggir Kali Ploso. Angga Inggi adalahlelembut yang berjenis kelamin perempuan dengan parascantik, seperti dituturkan Sukijo sebagai berikut.

“Tenan kok! Aku ngimpi tenan. Rumangsaku. Angga Inggi iku wujud wongwedok ayuuuu banget. Awake wiwit saka bangkekan sa-mendhuwur, kayauwong biasa. Nanging wiwit bangkekan sa-mengisor jebul ula. “

(“Sungguh kok! Aku benar-benar bermimpi. Menurutperasaanku Angga-Inggi itu berwujud perempuan cantik sekali.Tubuhnya mulai dari pinggang ke atas seperti badan manusiabiasa, tetapi dari pinggang ke bawah berupa tubuh ular.”)

3 Anehnya, dalam Babad Tanah Jawi yang menggambarkan hubungan antara Panembahan Senapati dan Nyai Rara Kidul seks muncul. Dikisahkan dalambabad itu bahwa Panembahan Senapati selama berhari-hari bercinta dengan Nyai Rara Kidul. Mungkinkah ketidakmunculan seks dalam cerbut di PS mengisyaratkan bahwa tokoh-tokoh manusia biasa (bukan raja) dalam persepsi orang Jawa dianggap tidak pantas bercinta dengan kekasih raja. Manusia biasa mungkin juga dianggap tidak seimbang/selevel dengan Nyai Rara Kidul yang menjadi kekasih raja orang Jawa.

25

Dari deskripsi terlihat bahwa Angga Inggi adalah lelembutyang wujud fisiknya setengah manusia, setengah ular.Lelembut ini menghuni tempat di daerah perairan.4 Di tempatitulah sering terjadi seorang anak tenggelam (kalap). Dalamcerbut “Digondhol Angga Inggi” tokoh-manusia, dalam hal inibernama Sukijo, diculik lelembut Angga Inggi dan tidakdikembalikan dalam keadaan hidup. Dalam konteks itu, Sukijoyang kalap itu telah menjadi korban dari lelembut.

Tidak semua tokoh-orang yang diculik lelembut dibunuholeh lelembut. Dalam cerbut “Digondhol Lampor Gunung Merapi”tokoh-manusia, Pariyem, diculik salah satu jenis lelembut,lampor. Ia dipanggil di tengah malam untuk keluar rumah.Pariyem yang masih dalam keadaan tidur seperti kenahipnotis, ia keluar rumah dan dibawa lampor untukdipersembahkan kepada atasannya. Namun, aksi penculikan itudigagalkan di tengah perjalanan oleh arwah nenek Pariyemyang kebetulan melihat adegan penculikan itu. Kemudian oleharwah nenek Pariyem ia diletakkan di pinggir jurang danditemukan oleh Pak Citra yang sedang mencari rumput dilereng Gunung Merapi. Ia selamat dan dapat kembali berkumpulbersama keluarga.

Cerbut dengan tema penculikan memperlihatkan polapenceritaan yang konsisten. Kisah ini selalu melibatkantokoh lelembut yang menginginkan manusia. Latar kisah tidakdibatasi pada tempat-tempat yang dianggap angker. Bisa jadipenculikan dilakukan di tempat yang tidak angker. TokohPariyem dalam “Digondhol Lampor Gunung Merapi,” misalnyadiculik di rumah sendiri. Penculikan dapat dilakukan dimalam hari atau siang hari. Pada dua contoh tersebut latarterjadi di malam hari dan sore hari. Korban penculikan yangmeninggal, jasadnya akan berada di sekitar kejadian,sedangkan korban yang tidak meninggal biasanya ditempatkandi daerah atau tempat-tempat yang tersembunyi. Pada “WeweGombel,” misalnya, seorang anak yang diculik Wewe ditemukandi pohon, dalam “Digondhol Lampor Gunung Merapi” korbannyaditempatkan di pinggir jurang, sedangkan dalam “Digondhol

4 Tiap daerah memiliki nama untuk jenis lelembut ini. Di daerah Wonogiriada jenis lelembut yang bernama kapurita. Lelembut ini berada di sungai.

26

Sundel” korbannya, Ngasiban, dibebaskan di lubang gua yangtembus bendungan tempat ia diculik Sundel.

C. PenutupDari deskripsi dan analisis terhadap sejumlah cerbut

terlihat bahwa pada dasarnya tokoh lelembut perempuan bisahadir dalam berbagai tema. Belum diketahui secarakuantitatif apakah tokoh lelembut perempuan lebih banyakhadir dalam cerbut. Namun, dari pengalaman saya membacacerbut, saya menduga bahwa kehadiran tokoh lelembutperempuan dalam cerbut lebih banyak daripada tokoh lelembutlaki-laki. Pada majalah Panjebar Semangat, cerbut yangmengangkat tema penyesatan dan arwah gentayangan barangkalilebih banyak muncul daripada tema pesugihan. Dari kisahsemacam itulah tokoh lelembut perempuan hadir. Kalaudikembalikan pada sumber kisah yang umumnya berasal daricerita lisan yang turun-temurun, boleh jadi banyaknya kisahitu terkait dengan kepercayaan masyarakat mengenai kematiandan makhluk halus. Munculnya sejumlah tokoh manusia, sepertidukun, wong pinter, wong tuwa, kyai dalam cerbut tentu bisadikaitkan dengan pandangan dan kepercayaan masyarakatmengenai peranan tokoh-tokoh itu dalam kehidupan masyarakat.Namun, seiring dengan dinamika yang terjadi dalammasyarakat, kisah-kisah dalam cerbut bisa dikaitkan denganperanan media. Sejumlah cerbut menghadirkanbarang-barang/benda-benda (HP, tape recorder, kamera) yangdisangkutpautkan dengan media. Kisah tentang wewe atau arwahgentayangan yang tersaji dalam media majalah (tertulis)mungkin akan cenderung menunjukkan gaya atau model tertentusebagai akibat dari aturan main yang berlaku dalam media.Ketika cerbut itu hadir sebagai cerita lisan, ia seakantidak terbatasi oleh ruang sehingga kisah bisa panjang danmelebar ke mana-mana dengan bumbu-bumbu cerita yang relevandengan tempat bergulirnya cerita itu. Namun, ketika ituberalih sebagai cerita tertulis, ia harus dibatasi olehruang sehingga akan muncul sebagai kisah yang barangkalitidak memungkinkan deskripsi yang panjang lebar. Namun,setelah membaca sekian banyak kisah dalam Alaming Lelembut,jejak sastra lisan/gaya penuturan sastra lisan masih tampak.

27

Misalnya penulis menyapa langsung pembaca di bagian awalatau akhir kisah yang menyatakan bahwa kisah itu benar-benarmerupakan pengalaman nyata.

Yang juga perlu ditambahkan adalah bahwa cerbut dengantokoh dan tema apa pun, pada dasarnya memperlihatkan satuciri atau unsur yang sama, yakni tokoh-manusia yang bermaindalam kisah itu berada dalam posisi terganggu. Manusia yangberhasil bersetubuh dengan lelembut—betapapun indah dannikmatnya—tetap saja akan memperoleh kerugian: terganggumentalnya atau mendapat malu karena bertindak menyimpang,ketakutan, terperosok ke tempat kotor (lubang babi), dsb.Dalam kisah yang memperlihatkan bahwa lelembut dapatdiperdaya manusia tanpa terkait pesugihan, tetap saja unsurmengganggu itu ada. Dalam “Gendruwo Ngenger,” misalnya.Meski gendruwo itu dapat membantu pekerjaan rumah tangga,kadangkala ulahnya tetap mengganggu orang yang dingengeri(diikuti). Paling tidak, istri dari yang menemukan gendruwodi tengah perjalanan sering dibuat kaget oleh ulah gendruwosebab lelembut itu kadang menyamar sebagai suami. Meskipunmaksudnya baik, tetap saja bagi istri, ulah gendruwo itumembuat dia tidak nyaman.

Lukisan semacam itu kiranya menyiratkan pesan bahwapersekutuan dengan lelembut pada akhirnya akan dirasakansebagai bentuk gangguan, bahkan ketidakselamatan.Persentuhan dua dunia yang melibatkan penghuni masing-masingakan menimbulkan suatu kondisi tidak normal. Keadaan normalakan tercipta kembali bilamana para penghuni itu beradadalam habitat masing-masing.Manusia, bagaimanapun, terikatpada wadagnya sehingga dalam menghadapi makhluk halus duakemungkinan akan terjadi: nyawa yang menjadi penyanggahidup manusia melayang, dan ini berarti kematian, atau nyawatetap menyatu dengan badan/wadag. Ini berarti kembali kepadakehidupan semula, namun tetap dengan satu catatan, yaknibahwa ia bisa saja tidak kembali pulih seperti sedia kala:mentalnya bisa saja terganggu. Bila manusia mendapatidirinya dalam kondisi semacam itu, maka berarti kontakmanusia dengan lelembut bagaimanapun menimbulkan masalah.

Sebagai penutup, bagaimanapun, kajian ini masih mentah.Mudah-mudahan dalam kajian yang lebih utuh dan menyeluruh,

28

beberapa aspek yang perlu mendapat tekanan dan hal-hal yangmasih merupakan pernyataan umum dapat diikuti/dilengkapidengan analisis dan contoh/ilustrasi yang memadai.

Acuan

Balai Bahasa Yogyakarta. (2001). Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa).Yogyakarta:

Kanisius, Depdiknas. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi IV).Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 2004. Dunia Hantu Orang Jawa. Yogyakarta:Narasi.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam MasyarakatJawa, terj. Aswab

Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.

Haryanto, Sapto. Kamus Basa Jawi Alus. 1997. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa (Cet. II). Jakarta:Balai Pustaka.

Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Ende-Flores:Nusa Indah.

Ong, Hok Ham. 2003. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong (cet. III).Jakarta: Penerbit

Kompas.

Pemberton, John. 2003. Jawa, terj. Hartono Hadikusumo.Yogyakarta: MataBangsa.

Subagya, Y. Tri. 2005.Menemui Ajal: Etnografi Jawa tentang Kematian.Yogyakarta:

Kepel Press.

29

Suyono, Capt. R.P. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, BendaMagis.

Yogyakarta:Lkis.

Triyoga, Lucas Sasongko. 1991. Manusia Jawa dan Gunung Merapi:Persepsi dan

Sistem Kepercayaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress.

Zoetmoelder, PZ dan SO Robson. 1995. Kamus- Jawa-Kuna-Indonesia.Jakarta:

Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkundedan Gramedia Pustaka

Utama, 1995.

30