Imunologi

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak tepat dan kerapkali membahayakan terhadap substansi yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi alergi merupakan manifestasi cedera jaringan yang terjadi akibat interaksi akibat interaksi antara antigen dan antibodi. Saat tubuh diinvasi oleh antigen yang biasanya berupa protein yang dikenali tubuh sebagai benda asing, maka akan terjadi serangakaian peristiwa dengan tujuan untuk membuat penginvasi tersebut tidak berbahaya, menghancurkannya dan kemudian membebaskan tubuh darinya. Jika limfosit bereaksi terhadap antigen, kerapkali antibodi dihasilkan. Reaksi alergi umum akan terjadi ketika sistem imun pada seseorang yang rentan bereaksi secara agresif terhadap suatu substansi yang normalnya tidak berbahaya. Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya akan terjadi sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen.

Transcript of Imunologi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Alergi merupakan respons sistem imun yang tidak

tepat dan kerapkali membahayakan terhadap substansi

yang biasanya tidak berbahaya. Reaksi alergi merupakan

manifestasi cedera jaringan yang terjadi akibat

interaksi akibat interaksi antara antigen dan antibodi.

Saat tubuh diinvasi oleh antigen yang biasanya berupa

protein yang dikenali tubuh sebagai benda asing, maka

akan terjadi serangakaian peristiwa dengan tujuan untuk

membuat penginvasi tersebut tidak berbahaya,

menghancurkannya dan kemudian membebaskan tubuh

darinya. Jika limfosit bereaksi terhadap antigen,

kerapkali antibodi dihasilkan. Reaksi alergi umum akan

terjadi ketika sistem imun pada seseorang yang rentan

bereaksi secara agresif terhadap suatu substansi yang

normalnya tidak berbahaya.

Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya akan terjadi

sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen.

Reaksi terjadi pada kontak ulang sesudah seseorang yang

memiliki predisposisi mengalami sensitisasi.

Sensitisasi memulai respon humoral atau pembentukan

antibodi. Reaksi hipersensitivitas ini dibagi menjadi 4

tipe. Dalam makalah ini, akan dipaparkan Tipe ke-III

pada reaksi hipersensitivitas yang juga penting untuk

diketahui.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan reaksi kompleks antigen-

antibodi ?

2. Bagaimana mekanisme reaksi kompleks antigen-

antibodi pada reaksi hipersesitivitas tipe III?

3. Apa saja manifestasi penyakit yang dapat

ditimbulkan oleh reaksi hipersesitivitas tipe III?

4. Apa saja faktor yang mempengaruhi reaksi

hipersesitivitas tipe III?

C. Tujuan

1. Mengetahui dan memahami reaksi kompleks antigen-

antibodi.

2. Mengetahui mekanisme reaksi kompleks antigen-

antibodi pada reaksi hipersesitivitas tipe III.

3. Mengetahui manifestasi penyakit yang dapat

ditimbulkan oleh reaksi hipersesitivitas tipe III.

4. Mengetahui faktor yang mempengaruhi reaksi

hipersesitivitas tipe III.

BAB II

PEMBAHASAN

Hipersensitivitas tipe III merupakan

hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan

adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil

dan terlarut dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan

timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi

normal, kompleks antigen-anibodi yang diproduksi dalam

jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan

adanya fagosit. Namun terkadang kehadiran bakteri,

virus, lingkungan anatu antigen seperti spora fungi,

bahan sayuran, dan hewan yang persisten akan membuat

tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap

senyawa asing tersebut, sehingga terjadi pengendapan

kompleks antigen-antibodi secara terus menerus.

Pengendapan antigen-antibodi tersebut akan menyebar

pada membran sekresi aktif dan didalam saluran kecil,

sehingga dapat memengaruhi beberapa organ seperti

kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian

koroid pleksus otak.

A. Reaksi Kompleks Antigen-Antibodi (Tipe III)

Kompleks imun sebenarnya terbentuuk setiap kali

antibodi bertemu dengan antigen, tetapi dalam keadaan

normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkn

secara efktif oleh jaringan retikuloendotel, tetapi

adakalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan Reaksi

Hipersensitivitas. Keadaan imunopatologik akibat

pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat

digolongkan dalam 3 golongan, yaitu :

1. Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan

respons antibodi yang lemah, menimbulkan

pembentukan kompleks imun kronis yang dapat

mengendap di berbagai jaringan.

2. Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembetukan

autoantibodi secara terus menerus yang berikatan

dengan jaringan self

3. Kompleks imun terbetnuk pada permukaan tubuh,

misalnya dalam paru – paru, akibat terhirupnya

antigen secara beulang kali.

(Siti Boedina, dkk. 2003: 150)

Reaksi hipersensitivitas tipe III ini juga

disebabkan adanya reaksi antara antigen dan antibodi,

tetapi antigennya tidak menempel pada sel/jaringan

seperti pada reaksi Tipe II, melainkan antibodi dengan

antigen tersebut mengendap dalam jaringan, yang

selanjutnya akan diikuti beberapa peristiwa yang akan

menjurus kepada kerusakan jaringan

Reaksi hipersensitivitas tipe III timbul jika

antigennya berbentuk larutan . penyakit akan

bermanifestasi jika terjadi pengendapan (presipitasi)

agregat kompleks imun dalam jaringan tertentu. Seperti

kita ketahui, terbentuknya kompleks imun berlangsung

pada setiap respon imun humoral (antibodi). Potensi

patogenik kompleks imun tersebut ditentukan sebagian

oleh ukuran senyawa kompleks imun. Ukuran agregat yang

lebih besar akan mengikat komplemen dan segera

dibersihankan dari peredaran darah oleh sistem fagosit

mononuklear, sedang agregat yang lebih kecil ukurannya

karena berlebihan antigen, cenderung diendapkan pada

dinding pembuluh darah, dan sinilah akan dimulai

kerusakan melalui ikatan dengan reseptor Fc dan

komponen komplemen pada permukaan endotel yang pada

gilirannya akan menyebabkan kerusakan dinding pembuluh

darah.

Reaksi hipersensitivitas tipe III setempat dapat

dipicu dalam jaringan kulit individu yang telah

disensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik

terhadap antigen pemicu sensitisasi (respon imun)

tersebut. Apabila kemudian antigen disuntikkan dalam

kulit undividu tersebut, antibodi IgG yang telah

berdifusi dalam jaringan kulit akan membentuk senyawa

kompleks imun setempat. Kompleks imun tersebut mengikat

reseptor Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan

komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu

respons peradangan setempat dengan disertai peningkatan

permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan

permeabilitas ini akan memudahkan cairan dan sel-sel

darah, khususnya sel-sel netrofil, masuk dalam jaringan

pengikat setempat di sekitas pembuluh darah tersebut

(Gambar 3-13).

Pada umumnya kerusakan jaringan sebagai adanya

pengendapan kompleks imun berlangsung melalui 4 tahap :

1) Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks

imun.

2) Dalam kondisi tertentu, kompleks imun akan

mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel,

kulit, ginjal dan persendian.

3) Faktor humoral seperti komplemen atau enzim

fagosit dan faktor selular akan berkumpul di daerah

pengendapan.

4) Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral

dan selular.

B. Mekanisme Reaksi:

Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat

merangsang pembentukan antibodi yang umumnya tergolong

IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi

hipersensitivitas tipe I. Antibodi bereaksi dengan

anitgen bersangkutan membentuk kompleks antigen –

antibodi yang kemudian dapat mengendap pada salah satu

tempat dalam jaringan tubuh. Pembentukan kompleks

antigen – antibodi (kompleks imun) itu akan menimbulkan

reaksi inflamasi. Aktivitas sistem komplemen,

menyebabkan pelepasan anafilatoksin yang kemudian

merangsang penglepasan berbagai mediator oleh mastosit.

Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang

menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga

merangsang PMN sehingga sel – sel tersebut melepaskan

isi granula berupa enzim – enzi proteolitk diantaranya

proteinase, kolagenase, dan enzim pembentuk kinin.

Apabila kompleks antigen – antibodi itu mengendap

dijaringan, proses diatas bersama – sama dengan

aktivitas komplemen dapat sekaligus merusak jaringan

sekitar kompleks. Jadi dengan demikian jelas bahwa

kompleks imun dapat menyalut berbagai jeni proses

inflamasi, karena; 1) kompleks imun berinteraksi dengan

sistem komplemen dan menghasilkan C3a dan C5a

(anafilatoksin). Fragmen-fragmen komplemen ini

merangsang penglepasan vasoactive amin (termasuk histamin)

dan faktor khemotaktik yang brasal dari mastosit dan

basofil. C5a juga merupakan faktor khemotaktik bagi

basofil, eosinofil dan neutrofil; 2) Makrofag

distimulasi untuk melepaskan sitokin, khususnya TNF-α

dan IL-1yang mempunyai peran penting pada inflamsi; 3)

Kompleks imun segera berinteraksi dengan basofil dan

trombosit melalui reseptor Fcan menghasilkan vasoative

amine. Substansi ini menyebabkan retraksi sel endotel

dengan demikian meningkatkan permaebilitas vaskular,

memberi kesempatan untuk pengendapan kompleks imun pada

dinding pembuluh darah dan endapan kompleks imun itu

kemudian mmbentuk C3a dan C5a lebih lanjut. sel-sel

PMN ditarik ketempat bersangkutan dan seharusnya

dapat menelan kompleks imun tetapi hal ini sulit

dilakukaan karena kompleks imun melekat pada dinding

pembuluh darah. Untuk mengatasi hal itu PMN melepaskan

enzim lisosom dengan cara eksositosis untuk

menghancurkan deposit kompleks imun yang melekat pada

jaringan pembuluh darah, maka enzim lisosom sekaligus

dapat merusak jaringan.

C. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks

imun in vivo, bukan saja tergantung pada jumlah absolut

antigen dan antibodi, tetapi juga bergantung pada

perbandingan relatif antara kadar antigen dengan

antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila

kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi

daripada antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat

mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkan adalah

kelainan setempat berupa infiltrasi hebat dari sel-sel

PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian

menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini disebut

reaksi arthus. Agregasi trombosit dapat meningkatkan

penglepasan vasoactive-amine atau mungkin juga

menimbulkan mikro-trombus yang berakibat iskemia lokal.

Dalam suasana antigen berlebihan, kompleks yang

terbentuk adalah kompleks yang larut dan beredar dalam

sirkulasi sehingga mungkin menimbulkan reaksi sistem

yang disebut serum sickness atau terperangkap di berbagai

jaringan di seluruh tubuh dan menimbulkan reaksi

inflamasi setempat seperti yang terjadi pada

glomerulonefritis dan arthritis rheumatoid.

JENIS

PENYAKIT

ANTIGEN YANG

TERLIBAT

MEKANISME MANIFESTASI

KLINIK

SLE DNA,

Nukleoprotei

n, lain-lain

Inflamasi

diperantarai

reseptor

komplemen

dan reseptor

Fc

Nefritis,

artritis dan

vaskulitis

Poliarteritis

nodosa

Hbs Ag Inflamasi

diperantarai

reseptor

komplemen

dan reseptor

Fc

Vaskulitis

Glomerulonefr

itis pasca

streptococcus

Antigen

dinding

streptokokus

mungkin

Inflamasi

diperantarai

reseptor

komplemen

Nefritis

mengendap

pada

membrane

basal

glomerulus

dan reseptor

Fc

(Siti Boedina, dkk. 2003: 150-151).

Beberapa contoh penyakit yang melibatkan mekanisme

reaksi tipe III akan dibahas menunjang pemahaman

reaksi hipersensitivitas. Penyakit-penyakit kompleks

imun sistemik, dapat berkembang sesudah pemberiaan

antigen-antigen yang tidak mudah dikatabolisme dalam

jumlah besar. Ada dua jenis reaksi kompleks imun, yang

terlibat dalam penyakit kompleks imun, yaitu reaksi

Arthus yang berlangsung setempat dan serum sicknes yang

berlangsung melalui penyuntikan secara sistemik.

1) Reaksi Arthus

Seorang ilmuan Perancis bernama Arthus dalam tahun

1903 meneliti pada hewan coba kelinci yang telah

diimunisasi dengan serum kuda melalui penyuntikan

intradermal berulangkali. Setelah beberapa minggu

kemudian, beliau mengamati bahwa pada setiap

penyuntikan yang berurutan tersebut dihasilkan adanya

peningkatan reaksi pada daerah penyuntikan yang

semakin parah. Pada awalnya tampak eritema kulit yang

tidak seberapa dan edema yang muncul 2-4 jam setelah

penyuntikan. Reaksi-reaksi ini akan mereda tanpa ada

akibat apa-apa pada keesokan harinya, tetapi sesudah

penyuntikan berikutnya tampak respons edema yang

lebih besar, dan menjelang suntikan ke-5 dan ke-6

reaksinya berubah menjadi perdarahan dan nekrosis

yang lambat sembuh. Fenomena ini, dinamakan reaksi

Arthus. Reaksi Arthus ini merupakan prototipe semua

reaksi kompleks imun atau reaksi yang diperantarai

oleh agregat senyawa antibodi dan antigen.

Antigen (pada percobaan Arthus serum kuda) yang

disuntikkan intradermal ke dalam hewan yang imun akan

berdifusi menuju pembuluh darah yang mengandung

antibodi yang sedang beredar. Jika antigen telah

terikat oleh antibodi spesifiknya, terbentuknya

kompleks imun yang larut dalam pembuluh darah atau di

sekitar venula dan berkumpul seperti pada kondisi in

vitro dalam reaksi imunodifusi Ochterlony. Jika

agregat telah cukup besar, bagian fc dari molekut-

molekul IgG mengikat kimponen pertama komplemen (C1)

yang mengakibatkan aktivitas sistem komplemen.

Pembentukan C3 dan C5a (anafilaktoxin) menyebabkan

peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga

terjadi kebocoran yang menyebabkan gejala udema.

Komponen lain yang bersifat kemotaktik akan menarik

sel-sel netrofil dan trombosit dari peredaran darah.

Sel-sel netrofil bersama trombosit akan menumpuk pada

daerah reaksi. Akhirnya terjadi bendungan darah dan

hambatan pembuluh darah. Netrofil yang teraktivasi

akan memfagositosis kompleks imun dan bersama dengan

gumpalan trombosit melepaskan rangkaian enzim

protease, kolagenase, dan substansi vasoaktif.

Seluruh peristiwa ini beakhir dengan perdarahan yang

dibarengi oleh nekrosis jaringan stempat. (Gambar 3-

13).

2) Serum sickness

Serum sickness merupakan fenomena jenis ke dua

pada reaksi kompleks imun. Istilah tersebut muncul

sekitar seabad yang lalu ketika von Pirquet dan Schick

menyuntikkan serum imun dari kuda dalam rangka

mengobati penderita beberapa penyakit menular, berupa

difteri dan tetanus. Secara umum telah diketahui bahwa

penyakit difteri dan tetanus, yang masing-masing

disebabkan oleh Corynebacterium dan Clostridium

menghasilkan toksin yang sangat merusak jaringan dari

penderita yang terinfeksi, sedangkan bakterinya

sendiri tidak terlalu invasive dan hanya sedikit

menyebabkan kerugian. Maka strategi para dokter waktu

itu, dengan segera menghilangkan dampak yang merugikan

dari toksin sebelum berdampak merusak jaringan

penderitaan, dengan cara menetralisasidengan antibodi

yang dibuat dalam serum kuda. Karena imunisasi aktif

pada manusia memerlukan waktu beberapa minggu agar

cukup antibodi dalam menetralkan toksin, maka

dilakukan “imunisasi pasif” dengan menyuntikkan serum

dalam jumlah banyak yang mengandung anti-toksinsegera

setelah penyakit dapat didiagnosis. Kuda-kuda yang

mudah diperoleh dan mudah diimunisasi dan mampu

memberikan antisera dalam jumlah yang sangat banyak,

merupakan pilihan hewan sebagai penghasil antibodi

anti-toksin. Tetapi kini kita telah mengetahui bahwa

dengan menyuntikkan serum dari hewan heterologus)

dalam jumlah banyak akan membangkitkan respon imun

terhadap keasingannya berupa satu penyaklit serum

sickness pada beberapa orang.

Dengan menggunakan antiserum kuda untuk imunusasi

pasif, dapat berkembang reaksi yang tidak diinginkan.

Kira-kira 1-2 minggu setelah menerima serum kuda,

mereka mengalami demam dan rasa gatal-gatal, bengkak-

bengkak di sebagian tubuh, rasa sakit pada persendian

yang bengkak, serta adanya kelenjar limfe. Kadang-

kadang dalam urine mereka ditemukan eritrosit dan

albumin. Temuan ini menandakan adanya tanda-tanda

peradangan glomerulus dalam ginjal. Pada saatnya,

semua gejala tersebut mereda dengan sedikit sisa-sisa

kerusakan, tetapi penyuntikan berulang serum kuda

dapat menginduksi gejala yang lebih parah dan bahkan

dapat berakhir dalam kematian. Walaupun urutan

peristiwa tersebut dapat diinduksi oleh banyak jenis

antigen lain dalam hal ini antigen serum kuda

dipandang sebagai antigen), penyakit yang timbul tetap

dinamakan “serum sickness”. Bentuk hipersensitivitas

tersebut, lagi-lagi menjadi pertimbangan penting pada

penderita yang mendapatkan pengobatan antibodi

monoclonal yang dibuat dari mencit atau tikus,

terhadap penyakit keganasan, penolakan jaringan

cangkok, dan penyakit autoimun.

Mekanisme yang berlangsung yang bercirikan jenis

rekasi seperti pada “serum sickness” akan menjadi lebih

jelas dipahami jika mengacu pada model hewan. Dalam

model hewan ini, seekor kelinci disuntik dengan

protein asing dalam jumlah banyak. Misalnya disuntik

dengan albumin serum sapi (bovine serum albumin=BSA). Selama

percobaan dipantau kadar albumin bebas, antibodi anti-

albumin dan senyawa kompleks imun yang terbentuk.

Setelah terjadi perimbangan dalam cairan tubuh,

protein yang disuntikkan mulai menghilang dengan

kecepatan yang khas terjadi dalam proses biodegradasi

normal. Setelah 8-10 hari kemudian, terjadilah

perubahan mendadak dalam kecepatan penurunan kadarnya

yang berakhir dengan lenyapnya sisa-sisa protein bebas

dalam peredaran. Peristiwa ini disebut dengan

eliminasi imun. Setelah terjadi eliminasi imun segera

diikuti oleh adanya antibodi anti-BSA yang beredar

bebas dalam darah. Jadi pada saat lenyapnya antigen

bebas dalam serum, segera diikuti meningkatnya

antibodi anti-BSA yang merupakan saat timbulnya tanda-

tanda “serum sickness”. Pada saat yang bersamaan terjadi

penurunan kadar normal aktivitas komplemen dalam

serum. Perubahan-perubahan tersebut dijelaskan dengan

temuan dalam peredaran darah adanya kompleks imun

(senyawa antibodi anti-BSA dan terbentuklah kompleks

imun pertama yang melibatkan antibodi yang masih

berkadar rendah dengan kadar antigen yang masih

tinggi. Kompleks imun yang beredar dalam darah

biasanya dibersihkan oleh system retikuloendothelial.

Lagipula eritrosit yang memiliki reseptor C3b dapat

mengikat kompleks imunyang telah mengikat komplemen

dan kemudian diangkut ke hepar. Dalam hepar kompleks

imun dilenyapkan oleh sel-sel kuppffer. Dibawah

beberapa kondisi tertentu, kompleks imun tidak

dibersihkan oleh sistem retikuloendothelial, melainkan

ditimbun dalam jaringan ginjal, persendian atau kulit.

Penimbunan ini akan memicu kerusakan jaringan karena

mekanisme aktivasi sistem komplemen.

Ukuran kompleks imun sangat penting; senyawa yang

berukuran besar dibersihkan oleh hepar, sedang yang

berukuran kecil dapat tidak ditimbun semua. Kompleks

imun berukuran sedang agaknya dapat menyebabkan

kerusakan jaringan setempat.

Penanganan penyakit-penyakit infeksi dengan

“imunisasi passif” memang berhasil mengatasi penyakit

yang diderita, walaupun sebagian akan menunjukkan

reaksi hipersensitivitas.. namun setelah pengetahuan

vaksinasi berhasil dikembangkan, maka cara penanganan

tersebut diganti dengan pemberian vaksin dengan cara

imunisasi aktif.

3) Penyakit Kompleks Imun Berkaitan dengan Infeksi

Beberapa penyakit digolongkan dalam penyakit

kompleks imun, karena terjadi kerusakan jaringan

dengan mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe III.

Dalam peristiwa berbagai infeksi dan peristiwa lain

yang belum jelas, beberapa individu menghasilkan

antibodi yang bereaksi silang dengan beberapa bagian

dari sel/jaringan normal. Kerusakan jaringan juga

merupakan konsekuensi berkumpulnya sel-sel netrofil

yang melepaskan enzim degradatif. Namun sindroma

Goodpasture kadang-kadang dianggap melalui reaksi

hipersensitivitas tipe II, karena kerusakan jaringan

yang terjadi melibatkan efek sitotoksik melalui

perantaraan antibodi terhadap sel-sel normal.

Perbedaan antara penyakit yang diperantarai

antibodi dan terkait infeksi ini dengan penyakit

agregasi imun dari serum sickness yaitu terungkap pada

pengamatan jaringan yang mengalami jejas dengan

mikroskop imunofluoresens. Pada sayatan jaringan

glomerulus ginjal akan terlihat timbunan antibodi

sebagai pita sepanjang membran basalis, apabila

menggunakan antibodi anti-Ig manusia yang berlabel

pewarnaan fluoresensi. Penampilan ini disebabkan

karena adanya kompleks imun dari ikatan antibodi

dengan antigen sepanjang membran basalis. Sebaliknya

ada kasus serum sickness, timbunan agregat kompleks imun

pada membrana basalis tampak berbenjol-benjol tidak

rata.

Penyakit Rheumatic fever dapat didahului oleh

infeksi streptokokus Aa pada tenggorokan, dapat

melibatkan radang dan kerusakan jantung, persendian

dan ginjal. Peristiwa ini dijelaskan dengan temuan

berbagai jenis antigen pada dinding dan membran sel

streptokokus yang bereaksi silang dengan antigen

yang ada pada otot jantung manusia, kartilago dan

membrana basalis glomerulus renalis. Kerusakan tersebut

diduga melalui mekanisme yang sama seperti contoh

diatas. Telah diduga bahwa antibodi terhadap antigen

streptokokus meningkat komponen jaringan normal

tersebut dan menginduksi reaksi peradangan melalui

lintasan yang sama dengan penjelasan di atas.

Dalam Rheumatic Arthritis (RA) telah terbukti adanya

produksi Rheumatoid faktor (RF) yang merupakan

autoantibody dari kelas IgM. RF tersebut mengikat

bagian F dari IgG normal penderita. Kompleks imun

yang terbentuk tersebut oleh beberapa peneliti diduga

bertanggung jawab dalam peradangan dan kerusakan

sendi, yang merupakan ciri khas dari penyakit ini.

Dalam sejumlah penyakit infeksi (malaria, virus

dan kusta) mungkin pada saat-saat tertentu selama

berlangsungnya infeksi, apabila antigen dan antibodi

berada bersama dalam jumlah banyak akan menyebabkan

terbentuknya agregat imun yang ditimbun pada

berbagai lokasi. Maka adanya kumpulan gejala yang

kompleks dalam sembarang penyakit tersebut dapat

mencakup sebuah komponen yang melekat pada reaksi

hipersensitivitas tipe III.

Penyakit Okupasional

Farmer’s lung merupakan bentuk prototype reaksi

tipe III yang digolongkan dalam penyakit okupasional.

Bagi individu yang peka, berhubungan dengan jerami

yang berkapang akan menjurus ke gangguan pernapasan

yang parah dalam waktu 6-8 jam setelah terpapar

sebagai pneumonitis. Telah diungkapkan bahwa individu

yang terkena gangguan akan memproduksi antibodi IgG

yang spesifik terhadap spora aktinomisetes termofilik

yang tumbuh dalam jerami yang terlantarkan. Hirupan

udara yang mengandung spora kapang tersebut mendorong

ke dalam reaksi dalam paru-paru yang mirip dengan

reaksi Arthus pada kulit yaitu terbentukknya agragat

kompleks imun yang berlanjut dalam proses peradangan.

Banyak jenis reaksi tipe III dalam paru-paru

yang mengandung nama yang berkaitan dengan pekerjaan

atau profesi seseorang atau agen penyebabnya. Dapat

disebutkan beberapa contoh di sini : pigeon breeder’s

disease (penyakit peternak merpati), cheese washer’s

disease, bagagois (bagasse adalah serat batang tebu),

maple bark stripper’s disease, paprika worker’s disease dan lain-

lainnya. Pekerjaan dalam lingkungan kotor, melibatkan

paparan bahan-bahan berpotensi antigenik rupanya

memberikan risiko berkembangnya penyakit okupasional

melalui mekanisme reaksi hipersensitivitas Tipe III.

(Subowo. 2010. Imunologi Klinik: 75-84)

D. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh:

1. Ukuran kompleks imun

Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit,

kompleks imun harus mempunyai ukuran yang sesuai.

Kompleks imun yang berukuran besar biasanya dapat

disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit

tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar

dalam sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan

bahwa efek genetik yang memudahkan produksi idengan

afinitas rendah yang dapat menyebabkan pembentukan

kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu

bersangkutan mudah menderita penyakit kompleks imun.

a. Kelas immunoglobulin

Pembersihan (clearance) kompleks imun juga

dipengaruhi oleh kelas immunoglobulin yang membentuk

kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan

dikeluarkan secara perlahan-lahan dari sirkulasi,

tetapi tidak demikian halnya dengan IgA yang tidak

mudah melekat pada eritrosit dan tidak dapat

disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan

kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan

misalnya ginjal, paru dan otak.

b. Aktivasi komplemen

Salah satu faktor penting lain yang turut

menentukan manifestasi klinik adalah berfungsinya

aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi

komplemen melalui jalur klasik dapat mencegah

pengendapan kompleks imun karena C3b yang terbentuk

dapat menghambat pembentukan kompleks besar.

Kompleks yang terikat pada C3b akan melekat pada

eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar

dimana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila

sistem ini terganggu, misalnya pada defisiensi

komplemen, maka kompleks diatas akan membentuk

kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia

terperangkap di berbagai jaringan atau organ. Telah

diketahui bahwa kompleks imun yang dibentuk dalam

suasana antigen berlebihan merupakan kompleks imun

yang paling merusak apabila ia mengendap atau

terperangkap dalam jaringan.

c. Permeabilitas pembuluh darah

Penyulut yang penting untuk pengendapan

kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas

vaskuler. Peningkatan permeabilitas vaskuler

disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya oleh

peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang

berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus

dipertimbangkan misalnya komplemen, mastosit,

basophil dan trombosit yang dapat memberikan

kontribusinya pada peningkatan permeabilitas

vaskuler.

d. Proses hemodinamik

Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi

ditempat-tempat dengan tekanan darah tinggi da nada

turbulensi. Banyak kompleks imun mengendap dalam

glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4

kali dan dalam dinding percabangan arteri dan

tempat-tempat terjadinya filtrasi , seperti fleksus

choroid dimana terdapat turbulensi.

(Siti Boedina, dkk. 2003: 152-153).