DIKTAT PERPETAAN

183
1. PENDAHULUAN Pada era pembangunan dewasa ini ketersediaan peta menjadi sesuatu hal yang tak dapat ditinggalkan, terlebih-lebih untuk pembangunan fisik. Sebagaimana kemajuan di bidang ilmu dan teknologi yang demikian pesat, wahana atau teknik pemetaan pun sudah sedemikian berkembang, baik dalam hal teknik pengumpulan datanya maupun proses pengolahannya dan penyajiannya baik secara spasial maupun system informasi kebumian lainnya. Cakupan wilayah kajiannya pun menjadi tidak terbatas, demikian pula wilayah kerjanya. Permasalahan tersebut di atas termasuk dalam wilayah kerja atau disiplin ilmu geodesi geomatika. 1.1. GEODESI DAN ILMU UKUR TANAH Ilmu ukur tanah adalah bagian dari ilmu geodesi yang mempelajari cara-sara pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah untuk berbagai keperluan seperti pemetaan dan penentuan posisi relatif pada daerah yang relatif sempit sehingga unsur kelengkungan permukaan buminya dapat diabaikan. Sedangkan geodesi mencakup kajian dan pengukuran yang lebih luas, tidak sekadar pemetaan dan penentuan posisi di darat, namun juga di dasar laut untuk berbagai keperluan, juga penentuan bentuk dan dimensi bumi baik dengan pengukuran di bumi dan dengan bantuan pesawat udara, maupun dengan satelit dan system informasinya. Tujuan, cakupan, lingkup dan wahana untuk penyajian tersebut berbeda-beda, oleh karenanya disiplin dari surveying dapat digolongkan dalam beberapa bidang studi, yaitu ; 1. Survei geodesi (geodetic surveying) 2. Survei permukaan tanah datar (plane surveying) a. Survei topografi (topographic surveying) b. Survei kadaster (cadastral surveying) c. Survei rekayasa (engineering surveying) 1 Ilmu Ukur Tanah

Transcript of DIKTAT PERPETAAN

1. PENDAHULUAN

Pada era pembangunan dewasa ini ketersediaan peta menjadi

sesuatu hal yang tak dapat ditinggalkan, terlebih-lebih untuk

pembangunan fisik. Sebagaimana kemajuan di bidang ilmu dan teknologi

yang demikian pesat, wahana atau teknik pemetaan pun sudah sedemikian

berkembang, baik dalam hal teknik pengumpulan datanya maupun proses

pengolahannya dan penyajiannya baik secara spasial maupun system

informasi kebumian lainnya. Cakupan wilayah kajiannya pun menjadi

tidak terbatas, demikian pula wilayah kerjanya. Permasalahan tersebut

di atas termasuk dalam wilayah kerja atau disiplin ilmu geodesi

geomatika.

1.1. GEODESI DAN ILMU UKUR TANAH

Ilmu ukur tanah adalah bagian dari ilmu geodesi yang

mempelajari cara-sara pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah

untuk berbagai keperluan seperti pemetaan dan penentuan posisi

relatif pada daerah yang relatif sempit sehingga unsur kelengkungan

permukaan buminya dapat diabaikan.

Sedangkan geodesi mencakup kajian dan pengukuran yang lebih

luas, tidak sekadar pemetaan dan penentuan posisi di darat, namun

juga di dasar laut untuk berbagai keperluan, juga penentuan bentuk

dan dimensi bumi baik dengan pengukuran di bumi dan dengan bantuan

pesawat udara, maupun dengan satelit dan system informasinya.

Tujuan, cakupan, lingkup dan wahana untuk penyajian tersebut

berbeda-beda, oleh karenanya disiplin dari surveying dapat digolongkan

dalam beberapa bidang studi, yaitu ;

1. Survei geodesi (geodetic surveying)

2. Survei permukaan tanah datar (plane surveying)

a. Survei topografi (topographic surveying)

b. Survei kadaster (cadastral surveying)

c. Survei rekayasa (engineering surveying)

1

Ilmu Ukur Tanah

d. Survei tambang (mine surveying)

3. Survey hidrografi (hidrographic surveying)

4. Survei fotogrametri (photogrammetric surveying)

5. Survei radargrametri (radargrammetric surveying)

Survey geodesi (geodetic surveying) meliputi penentuan bentuk dan

ukuran bumi, medan grafitasi dan pembuatan jaringan control pemetaan.

Aktivitasnya di sini juga dikembangkan hingga beberapa hal tentang

astronomi dan penentuan posisi dengan satelit.

Survei permukaan tanah datar (plane surveying) meliputi

pengukuran dalam areal yang terbatas sehingga efek kelengkungan

permukaan buminya dapat diabaikan dan perhitungannya dapat langsung

direferensikan pada bidang datar. Untuk itu titik-titik kontrol yang

digunakan merupakan perapatan dari titi control geodesi, seperti

halnya pada ilmu ukur tanah dan survey rekayasa (bangunan, jembatan,

terowongan dll).

Survei fotogrametri (photogrammetric surveying) meliputi aspek-

aspek pengukuran dan pemetaan dari foto udara dan foto teristris

(darat), teknik penginderaan jauh dan interpretasi foto. Subyeknya

meliputi : perencanaan, aspek fisik fotografi, peralatan, perpaduan

sistem (integrated system) analog dan analitis, penginderaan jauh, foto

interpretasi dan holografi.

Survei radargrametri (radargrammetric surveying) subyeknya sama

dengan fotogrametri, yang berbeda hanya panjang gelombang yang

digunakan dan sensornya. Pada radargrametri menggunakan gelombang

mikro dengan sensor aktif.

Survei topografi (topographic surveying) yaitu pemetaan permukaan

bumi fisik dan kenampakan hasil budaya manusia. Unsur relief

disajikan dalam bentuk garis kontur. Skala peta berkisar antara 1 :

1.500 sampai 1: 250.000 dengan interval garis kontur antaran 0,25 -

2

Ilmu Ukur Tanah

100 meter. Peta jenis ini yang bersakala lebih besar dari 1:2500

disebut peta teknik dan yang tanpa garis kontur disebut dengan plan.

Survei kadaster (cadastral surveying) adalah pengukuran untuk

menentukan posisi batas-batas pemilikan tanah (persil), pemetaan

bidang-bidang tanah untuk pendaftaran hak atas tanah dan untuk

kepastian hukum pemilikan tanah (sertifikat), serta pemetaan untuk

pajak bumi dan bangunan (PBB) atau kadastral fiskal.

Survei rekayasa (engineering surveying) mencakup pemetaan

topografi skala besar sebagai dasar dari perencanaan dan desain

rekayasa seperti jalan, jembatan, bangunan gedung, jalan layang dan

bendungan.

Survei tambang (mine surveying) mencakup teknik-teknik khusus

yang diperlukan untuk menentukan posisi-posisi dan gambar proyeksi

obyek, baik di bawah tanah (dalam tambang bawah tanah) maupun di

permukaan bumi (tambang terbuka).

Survei hidrografi (hidrographic surveying) berkaitan dengan areal

permukaan dan bawah air, terdiri dari dua cabang yaitu :

a. Survei lepas pantai

b. Survei dekat pantai

Selain disiplin-disiplin surveying tersebut di atas, untuk

keperluan penggambaran peta masih diperlukan disiplin lain yaitu

kartografi. Kartografi adalah ilmu dan seni pembuatan peta agar

penyajian peta menjadi informative dan menarik. Subyeknya meliputi

proyeksi peta, kartometri, desain, kompilasi, reproduksi, prosedur

otomatisasi dan lain-lain.

1.2. PROYEKSI PETA

Proyeksi peta adalah suatu sistem yang memberikan hubungan

antara posisi titik-titik di permukaan bumi dan di atas peta.

3

Ilmu Ukur Tanah

Permukaan bumi fisis yang tidak teratur mengakibatkan hubungan

matematis antara posisi di permukaan bumi dan posisi di atas peta

sulit ditentukan. Oleh karena itu diambil pendekatan permukaan bumi

fisis yang mudah diurai secara matematis dan mendekati bentuk bumi

yang sebenarnya, yaitu bentuk ellipsoid dengan ukuran-ukuran yang

tertentu. Bentuk ini pun ternyata masih agak sulit diuraikan secara

matematis, sehingga diambil pendekatan kedua yang lebih simpel yaitu

bentuk bola, dengan jari-jari 6.370, 283 km. namun dengan bantuan

computer, perhitungan – perhitungan yang pada awalnya dirasa sulit

sekarang sudah tidak menjadi masalah lagi, sehingga perhitungan dapat

langsung dilakukan dari bidang elipsoid ke bidang proyeksi.

Posisi titik pada permukaan bumi yang berupa bidang lengkung

biasanya dinyatakan dengan lintang dan bujur (,), sedangkan posisi

titik pada peta yang berupa bidang datar dinyatakan dengan koordinat

koartesian (x,y) karena sulit untuk mendatarkan bidang lengkung tanpa

adanya perubahan-perubahan atau distorsi, baik distorsi luas, jarak,

bentuk, maupun arahnya. Bidang proyeksi yang bisa didatarkan antara

lain bidang datar itu sendiri, kerucut dan bidang silinder. Sistem

proyeksi yang menggunakan bidang datar sebagai bidang proyeksi

dinamakan proyeksi azimutal, yang menggunakan bidang kerucut

dinamakan proyeksi konik, dan yang menggunakan bidang silinder

dinamakan proyeksi merkator.

4

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 1.1. Macam-macam bidang proyek dan posisinya terhadap bola bumi

(Sumber : Aryono Prihandito, 1988)

Posisi sumbu bidang proyeksi terhadap sumbu bumi juga bisa

bermacam-macam, yang sejajar atau berimpit dinamakan proyeksi normal,

yang miring dengan sudut tertentu dinamakan proyeksi miring atau obliq, dan

yang saling tegak lurus dinamakan proyeksi transversal. Demikian pula

hubungan antara bidang proyeksi dan bola bumi, ada yang besinggungan

atau tangent, ada yang memotong atau secant, ada pula yang tidak

bersinggungan.

Posisi pusat proyeksi juga bermacam-macam, yang berasal dari

pusat bumi dinamakan proyeksi gnomonis, yang berasal dari kulit bumi

yang berhadapan dengan bidang proyeksi dinamakan proyeksi

stereografis dan yang pusatnya tak terhitung sehingga garis-garis

proyeksinya sejajar dinamakan proyeksi orthografis. Penggambaran

permukaan bumi yang bersifat lengkung ke bidang proyeksi yang

mendatar dapat dilakukan dengan menggunakan rumus matematis tertentu.

5

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 1.2. Proyeksi gnomonis, stereografis dan orthografis

Berdasarkan unsur-unsur yang dipertahankan kebenarannya,

terhadap tiga proyeksi. Bila yang dipertahankan kebenarannya adalah

bentuknya, dinamakan proyeksi konform; bila yang dipertahankan

kebenarannya adalah luasnya, dinamakan proyeksi ekuifalen; dan bila

yang dipertahankan kebenarannya adalah jaraknya, dinamakan proyeksi

ekuidistan.

Pemilihan system proyeksi dipengaruhi oleh tujuan pemetaan,

unsur yang dipertahankan, lokasi dan bentuk daerah yang dipetakan,

tingkat kesulitan perhitungan dan keterkaitan dengan system pemetaan

secara nasional.

Untuk daerah yang relatif sempit (maksimum 30 km x 30 km),

permukaan bumi dapat dianggap sebagai bidang datar, sehingga pemetaan

pada daerah tersebut dapat langsung digambarkan dari hasil

pengukurannya, tanpa penggunakan salah satu dari sistem proyeksi peta

tersebut di atas.

1.3. ILMU UKUR TANAH DAN JENIS-JENIS PETA

Sebagaimana batas-batas pada bagian terdahulu, ilmu ukur tanah

dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengajarkan tentang teknik-

teknik pengukuran di permukaan bumi dan bawah tanah dalam areal yang

terbatas untuk keperluan pemetaan dan lain-lain.

Mengingat areal yang terbatas di sini, maka unsur kelengkungan

permukaan bumi dapat diabaikan sehingga system proyeksinya

6

Ilmu Ukur Tanah

menggunakan proyeksi orthogonal di mana sinar-sinar proyektor saling

sejajar satu sama lain dan tegak lurus bidang proyeksi. Sedangkan

peta dapat didefinisikan sebagai gambaran dari sebagian permukaan

bumi pada bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi tertentu.

Gambar 1.3. Proyeksi orthogonal

Peta dapat digolong-golongkan berdasarkan beberapa hal sebagai

berikut.

a. Atas dasar pengukurannya

- Peta teristris

- Peta fotogrametris

- Peta radargrametris

- Peta videografis

- Peta satelit

b. Atas dasar skala peta

- Peta skala kecil (< 1:250.000)

- Peta skala menengah (1:50.000 – 1:250.000)

- Peta skala besar (1:5000 – 1:50.000)

- Peta skala sangat besar / peta teknik (>1:5000)

c. Atas dasar isinya

- Peta umum (topografi)

- Peta khusus (tematik)

d. Atas dasar penyajiannya

- Peta garis, adalah peta yang penyajiannya dalam bentuk garis

dan symbol-simbol tertentu.

- Peta foto, adalah peta yang penyajiannya dalam bentuk foto yang

telah direktifikasi sehingga skalanya seragam dan dilengkapi

dengan garis kontur.

7

Ilmu Ukur Tanah

- Peta digital, adalah peta dalam bentuk data digital, baik dalam

bentuk data vector, raster, atau kombinasi keduanya. Hasil

cetakan dari peta digital pada dasarnya adalah peta garis

apabila datanya dalam bentuk vector, ataupun peta foto jika

datang dalam bentuk foto atau citra.

e. Atas dasar hirarkhinya

- Peta manuskrip

- Peta dasar (minut)

- Peta induk

- Peta turunan

1.4. SKALA PETA

Ukuran suatu titik di permukaan bumi tidak mungkin sama besar

dengan ukuran titik tersebut dip peta. Oleh karena itu diperlukan

perbandingan antara ukuran dipeta dan dipermukaan bumi. Perbandingan

tersebut disebut skala peta.

Skala peta dapat dinyatakan dalam beberapa cara, antara lain :

a. Angka perbandingan

Missal 1:1.000.000 menyatakan 1 cm atau 1 inchi dip eta sama

dengan 1.000.000 cm atau 1.000.000 inchi di permukaan bumi.

b. Perbandingan nilai

Misal 1 inchi untuk 16 mil, 1 cm untuk 1 km

c. Skala bar atau skala garis

Garis ini ditempatkan atau digambarkan dalam peta dan dibagi-bagi

dalam interval yang sama, setiap interval menyatakan besaran

panjang yang tertentu. Pada ujung yang lain, biasanya satu

interval dibagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil dengan

tujuan agar pembaca peta dapat mengukur panjang dalam peta secara

lebih teliti. Sebagai contoh adalah gambar 1.4.

8

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 1.4. Skala bar atau skala garis

Beberapa skala peta yang umum dipakai di Indonesia dan

ekuivalensinya antara lain sebagai berikut :

Skala peta 1 cm menyatakan 1. km dinyatakan menjadi 1:500

1:1000

1:2000

1:5000

1:10.000

1:20.000

1:25.000

1:50.000

1: 100.000

1: 125.000

1 : 250.000

1: 500.000

1: 1.000.000

5 m

10 m

20 m

50 m

100 m

200 m

250 m

500 m

1 km

1,25 km

2,5 km

5 km

10 km

2 m

1 m

0,5 m

20 cm

10 cm

5 cm

4 cm

2 cm

1 cm

8 mm

4 mm

2 mm

1mm

1.5. PROSES PEMETAAN TERISTRIS

Pemetaan teristris adalah proses pemetaan yang pengukurannya

langsung dilakukan di permukaan bumi dengan peralatan tertentu.

Teknik pemetaan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan

ilmu dan teknologi. Dengan perkembangan peralatan ukur tanah secara

elektronis, maka proses pengukuran menjadi semakin cepat dengan

tingkat ketelitian yang tinggi, dan dengan dukungan computer langkah

9

Ilmu Ukur Tanah

dan proses perhitungan menjadi semakin mudah dan cepat dan

penggambarannya dapat dapat dilakukan secara otomatis.

Demikian pula, wahana pemetaan tidak hanya dapat dilakukan

secara teristris, namun dapat pula secara fotoframetris

radargrametris, videografis, bahkan sudah merambah pada wahana ruang

angkasa dengan teknologi satelit dengna berbagai kelebihannya.

Setiap wahana mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-

masing, sehingga pemilihannya sangat tergantung dari tujuan pemetaan,

tingkat kerincian obyek yang harus disajikan, serta cakupan wilayah

yang akan dipetakan. Adapun proses pemetaan secara teristris dapat

digambarkan seperti Gambar 1.5.

Gambar 1.5. Bagan Pemetaan Teristris

10

Ilmu Ukur Tanah

2. SATUAN, ARAH DAN PENENTUAN POSISI DALAM ILMU UKUR

TANAH

2.1 SATUAN – SATUAN SUDUT

Satuan sudut dalam ilmu ukur tanah lazimnya ada tiga macam,

yaitu satuan sexagesimal, centicimal dan radian.

a. Sexagesimal

Dalam satuan sexagesimal satu lingkaran dibagi menjadi 360 derajat

(360o), 1 derajat = 60 menit (60’), 1 menit = 60 secon (60”).

b. Centicimal

Dalam satuan centicimal satu lingkaran dibagi menjadi 400 grade

(400g), 1 grade = 10 desigrade, 1 desigrade = 10 centigrade (10c),

1 centigrade = 10 miligrade (10cc), 1 miligrade = 10 desimligrade.

Istila grade = gon.

c. Radian

Dalam satuan radian satuan lingkaran dibagi menjadi 2 radian.

Sombil radian dinyatakan dengan (rho).

11

Ilmu Ukur Tanah

Ada satuan lain yang tidak lazim digunakan dalam ilmu ukur

tanah, yaitu militer. Dalam satuan ini, satu lingkaran dibagi menjadi

6400 mils.

Ketiga system satuan tersebut dapat dikonversi satu sama lain

karena satu lingkaran = 360o = 400g = 2 radian = 6400 mils. Konversi

antara derajat dan grade dan sebaliknya adalah :

1o = 1g, 111 1g = 08, 9

1’ = 1c, 652 1c = 0’, 54

1” = 3cc, 086 1cc = 1”,324

Dalam perhitungan kadang – kadang diperlukan jarak busur dari

unit lingkaran, yaitu radian. Transformasi dari sudut ukuran ()

dalam jarak busur () dan sebaliknya adalah :

dan = b.

Di sini : o = 180 : 0 = 57o,3 = 63g,6620

’ = 180 x 60 : = 3437’,7 = 6366c,20

” = 180 x 60 x 60 : = 206265” = 636620cc

3.2 SUDUT ARAH DAN KUADRAN

Sudut arah dalam ilmu ukur tanah tidak sama dengan sudut arah

dalam ilmu ukur sudut (goneometri). Dalam ilmu ukur tanah, sudut

dimulai dari arah utara (sumbu Y positif) ke arah timur searah

putaran jarum jam, sedang dalam ilmu ukur sudut dimulai dari arah

timur (sumbu X positif) berputar berlawanan arah putaran jarum jam.

Demikian pula dengan posisi kuadran.

12

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 3.1. Sudut arah dan kuadran

Dalam ilmu ukur tanah, sudut arah dinamakan pula sudut jurusan

atau azimuth. Berkaitan dengan peralatan ukur tanah yang menggunakan

kompas sebagai penunjuk arah, dikenal pula azimuth kompas atau

azimuth boussole dan ada pula istilah bearing.

Selain sudut arah yang berbeda, letak kuadran juga berbeda,

pada ilmu ukur sudut, urutan kuadran berlawanan arah dengan putaran

jarum jam, sedang pada ilmu ukur tanah urutan kuadran searah putaran

jarum jam. Namun rumus-rumus goneometri sepenuhnya dapat dipakai

dalam ilmu ukur tanah.

Ilmu Ukur Sudut Ilmu Ukur TanahKuadran I II III IV Kuadran I II III IVSb X + - - + Sb X + + - -Sb Y + + - - Sb Y + - - +Sin + + - - Sin + + - -

Cos + - - + Cos + - - +

Tg + - + - Tg + - + -

3.3. SATUAN JARAK

Di Indonesia, sebagai satuan jarak umumnya digunakan metrik

atau meter. Namun demikian, ada pula yang menggunakan satuan lain

yaitu feet atau kaki. Sebagai satuan luas umumnya digunakan meter

13

Ilmu Ukur Tanah

persegi (m2) atau hektar (hekto are/ha) di mana 1 ha = (100 x 100) m

atau = 10.000 m2. Untuk satuan volume tanah dipakai meter kubik (m3),

jarang yang menggunakan feet kubik.

3.4. PRINSIP DASAR PENENTUAN POSISI (PLANIMETRIS)

Dalam ilmu ukur tanah di mana titik-titik di permukaan bumi

dapat dianggap dalam suatu bidang datar, posisi tiga buah titik yang

sebidang (A,B,C) dapat ditentukan dengan beberapa cara, antara lain

secara grafis (dilukis) dan secara numeris (koordinat).

3.6.1. Cara Grafis

3.6.1.1. Cara Grafis dengan Mengukur Jarak-Jaraknya

Di sini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu trilaterasi dan

offsetting. Trilaterasi artinya pengukuran jarak ketiga sisinya.

Missal diukur sisi AB, AC, BC. Apabila AB digambarkan dalam bidang

gambar dengan skala tertentu, maka titik C dapat ditentukan posisinya

dari perpotongan busur lingkaran yang dibuat dari titik A dengan

jari-jari AC dan dari titik B dengan jari-jari BC (Gambar 3.7.a)

Gambar 3.7. Penentuan posisi dengan ukuran semua jarak

Cara ini dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu :

a. Garis dan sudut siku-siku. Apabila diukur jarak AO dan OB pada

garis AB dan garis OC diukur tegak lurus AB, maka posisi titik C

dapat digambarkan. Metode ini disebut dengan offsetting.

b. Sebuah garis dan kedua sudut alasnya. Apabila diketahui garsi AB,

dan diukur kedua sudut alasnya CAB dan CBA, maka posisi titik C

14

Ilmu Ukur Tanah

dapat ditentukan dengan cara mengeplot ukuran sudut CAB di A dan

sudut CBA di B dengan busur derajat, dan perpotongan dari

perpanjangan sisi AC adalah posisi titik C.

Gambar 3.8. BTM baru atau surveyor kompasKeterangan gambar :

1. Sekrup penyetel 11. Ronsel penjelasan bayangan

2. Alhidade horizontal 12. Nivo teropong

3. Klem teropong (sumbu II) 12a. Sekrup koreksi nivo

4. Penggerak halus teropong 13. Skala lingkaran kompas

5. Mikroskop pemb. Lingkaran vertical 14. Jarum kompas

6. Nonius lingkaran vertical 15. Nivo kotak

7. Klem jarum kompas 15a. Sekrup koreksi novo

8. Vesir pembantu 16. Lensa okuler teropong

9. Klem horizontal (sumbu I) 17. Ring penutup diafragma

10. Penggerak halus horizontal

3.6.1.2. Cara Grafis dengan Mengukur Jarak-jaraknya

Cara ini dapat dibagi menjadi dua yaitu :

a. Triangulasi. Apabila garis AB diukur dan sudut-sudut BAC dan ABC

diukur dengan peralatan pengukuran sudut mendatar, maka apabila

garis AB digambarkan, posisi C dapat ditentukan dengan mengeplot

sudut BAC dan ABC dengan busur derajat atau sisi AC dan BC

dihitung, kemudian digambarkan dengan trilaterasi.

15

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 3.9. Penentuan posisi dengan jarak dan sudut.

b. Koordinat kutub. Apabila garis AB dan AC serta sudut CAB diukur,

maka hasil pengukuran dapat diplot untuk menentukan posisi C

dengan mistar skala untuk jaraknya, dan busur derajat untuk

sudutnya, seperti dalam triangulasi di atas.

Apabila yang diukur adalah dua jarak/sisi dan sudut yang

diapitnya dikenal dengan metode poligon.

3.6.2. Cara Numeris

Pada cara numeris, posisi suatu titik dinyatakan dalam sistem

koordinat. Adapun prinsip dasar penentuan posisi secara numeris ada

tiga cara atau metode yaitu :

1. Dengan sudut jurusan atau azimuth dan jarak

2. Dengan pemotongan ke muka (intersection)

3. Dengan pemotongan ke belakang (resection)

Pada bab ini hanya akan dibahas metode sudut jurusan dan jarak,

sedangkan metode pemotongan ke muka dank e belakang akan dibahas pada

Bab 8.

Apabila jarak antara titik A dan B diukur (dAB) dan demikian

pula sudut jurusan atau azimuth AB diukur (AB) dan koordinat A

diketahui (XA, YA), maka posisi titik B dapat ditentukan dengan

rumus :

XB = XA + dAB sin AB

16

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 3.10. Penentuan posisi dengan jarak dan sudut jurusan

Demikian pula sebaliknya, apabila dua buah titik A dan B

masing-masing diketahui koordinatnya (XA, YA) dan (XB, YB) maka dari

padanya dan ditentukan sudut jurusan dan jaraknya :

AB = arc tg

dAB = .................................(3.17)

Harga arc dapat + (positif) maupun – (negatif). Nilai positif bisa

berasal dari + / + atau - / -, demikian pula yang negative bisa

berasal dari + /- atau -/+. Oleh karenanya kita harus jeli

menghitungnya, karena kalkulator kadang-kadang tidak menunjukkan arah

yang sebenarnya.

Contoh :

17

Ilmu Ukur Tanah

1. arc tg 6/4 = arc tg 1,5 kalkulator akan menghitung =

56o18’35”,76 Berarti pada kuadran I, maka azimutnya : =

56o18’35”,76

2. arc tg 6/-4 = arc tg = 1,5 kalkulator akan menghitung =

56o18’35”,76

berarti pada kuadran II, maka azimutnya : = 180o - 56o18’35”,76 =

123o41’24”,24.

3. arc tg -6/-4 = arc tg + 1,5 kalkulator akan menghitung =

56o18’35”,76 Tetapi ini berada pada kuadran III, maka azimutnya :

= 180o + 56o18’35”,76 = 236o18’35”’76.

4. arc tg -6 / 4 = arc tg-1,5 kalkulator akan menghitung = -

56o18’35”,76 Karena berada pada kuadran IV, maka azimutnya : =

360o - 56o18’35”,76 = 303o41’24”,24

3. ALAT UKUR SUDUT DAN

JARAK OPTIS

3.1. BAGIAN-BAGIAN ALAT UKUR TEODOLIT DAN FUNGSINYA

Alat ukur teodolit dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

bagian atas, nagian tengah dan bagian bawah.

3.1.1. Bagian Atas

1. Teropong

Teropong digunakan untuk membidik atau mengamati benda yang

jauh agar terlihat dekat, jelas dan besar. Teropong teodolit

menggunakan prinsip kepler, yaitu terdiri dari lensa positif sebagai

18

Ilmu Ukur Tanah

lensa obyektif dan lensa negative sebagai lensa mata atau okuler,

yang bertindak sebagai loupe. Lensa obyektif memberikan bayangan

nyata terbalik dan diperkecil. Bayangan ini digunakan sebagai benda

oleh lensa okuler untuk selanjutnya bayangannya menjadi diperbesar,

dekat dan terbalik.

Keterangan :

1. Pembantu visir

2. Klem sumbu II

3. Lensa obyektif

4. Sumbu II

5. Nivo teropong

6. Ronsel lensa tenganh

7. Reflektor sinar

8. Mikroskopbacaan lingkaran

horiz. A

9. Klem horizontal

10. Penggerak halus limbus

11. Skrup penyetel ABC

12. Plat dasar / tatakan

13. Kepala statip

14. Sek. Koreksi nivo alhidade

vertical

15. Nivo alhidade vertikal

16. Tabungan sinar

17. Alhidade vertika

18. Mikroskop pemb. Lingk.

Vertical

19. Ringk pelindung diafragma

20. Lensa okuler

21. Mikroskop pemb. Lingk.

Horiz. B

22. Skrup penggerak halus

vertical

23. Skrup koreksi nivo

alhidade horiz.

24. Nivo alhidade horizontal

25. Skrup penggerak halus

alhid. Horiz.

26. Kaki statip

27. Penggantung unting—unting

19

Ilmu Ukur Tanah

28. Baut instumen

Gambar 6.2. Teodolit Fennel Kassel lama dan bagian-bagiannya.

Rumus umum pembentukan bayangan pada lensa adalah :

....................................................(3.1)

Dalam hal ini :

f = jarak focus / titik api

b = jarak benda

v = jarak bayangan

Gambar 6.3. Pembentukan bayangan pada teropongKeterangan gambar :

1. Plat dasar

2. Skrup penyetel (ABC)

3. Tribrach 14. Klem limbus

4. Penggerak halus limbus 15. Reflektor sinar

5. Alhidade horizontal 16. Penggerak halus alhidade vertikal

6. Nivo kotak 17. Nivo alhidade vertikal

7. Lensa okuler teropong 17.a. plat pelindung 17

8. Skrup koreksi nivo 11 18. Prisma penglihat gelombung nivo 17

9. Ronsel penjelas banyangan 19. Lensa obyektif teropong

10. Visir pembentuk pendidikan 20. mikroskop pembaca

11. Klem sumbu horizontal (II) 21. Penggerak halus vertikal

11.a. Nivo tabung teropong 22. Nivo alhidade horizontal

12. Sentering optis 23. Skrup koreksi 22

12.a. Skrup koreksi 12 24. Penggerak halus horozintal

13. Klem alhidade horizontal 25. Knop per penggerak balik

Perbesaran bayangan dinyatakan dengan rumus :

20

Ilmu Ukur Tanah

.......................................................(3.2)

Dalam hal ini :

P = perbesaran bayangan

f1 = jarak fokus lensa obyektif

f2 = jarak fokus lensa okuler

Agar benda kelihatan jelas, maka bayangan yang terbentuk oleh

lensa obyektif harus jatuh pada bidang bakar (bidang focus) dari

okuler. Karena jarak benda yang diamati berbeda-beda, maka jarak

bayangan pun demikian, sehingga agar bayangan tetap jatuh pada bidang

bakar lensa okuler maka lensa okuler dibuat dalam tabung yang

terpisah dengan tabung obyektif dan dibuat gigi-gigi yang dapat

digerakkan dengan skrup pengatur atau ronsel agar dapat bergerak maju

atau mundur. Dengan demikian teropong semacam ini dapat menjadi

panjang atau pendek.

Pada alat yang baru permasalahan tersebut dipecahkan dengan

memasang lensa positif yang dapat digeser maju-mundur di antata

obyektif dan okuler (lensa sentra) dan berlaku pula sebagai lensa

pembalik sehingga teropong panjang tetap dan bayangan menjadi tegak.

Gambar 6.5. Pembentukan bayangan pada teropong tegak.Keterangan

AA’ = obyektif yang diamati L1 = lensa obyektif

BB’ = bayangan akhir L2 = lensa pembalik

CC’ = bayangan dari lensa obyektif L3 = lensa okuler

DD’ = bayangan dari lensa pembalik F1’ = fokus ke-2 lensa obyektif

F2’ = fokus ke-2 lensa pembalik F3’ = fokuw ke-2 lensa okuler

21

Ilmu Ukur Tanah

Selanjutnya sentral, teropong juga dilengkapi dengan benang

silang pada diafragma untuk pembidikan dan skrup koreksi diafragma

kiri, kanan, atas dan bawah untuk pengaturan garis bidik.

Gambar 6.6. Teropong sederhana, lensa tengah

dan garis bidik

Gambar 6.7. Irisan teropong lengkap dan diafragma

Keterangan gambar :

1. Lensa obyektif

2. Lensa tengah (penjelasan bayangan)

3. Tabungan dalam tempat lensa tengah (2)

4. Ronsel penggerak (3)

5. Skrup penghubung tabung teropong dan tabunga okuler

6. Ring pelindung diafragma

7. Pen pelepas diafragma

8. Diafragma

9. Lensa okuler

10. Skrup klem/koreksi diafragma

11. Skrup koreksi nivo teropong

12. Nivo teropong

13. Engsel nivo teropong

a. Tabung okuler

b, c, d. Skrup koreksi diafragma

22

Ilmu Ukur Tanah

Garis bidik adalah garis khayal yang menghubungkan antara titik

silang benar silang pada diafragma dengan sumbu optis lensa obyektif.

Diafragma adalah pelat kaca yang dipasang di depan lensa okuler.

Benang silang dan benang stadia (benang atas dan benang bawah)

digrafir pada permukaan kaca (diafragma) ini.

2. Lingkaran vertikal

Adalah piringan dari metal atau kaca tempat skala lingkaran.

Lingkaran ini berputar bersama teropong dan dilindugi oleh alhidade

vertikal.

3. Sumbu mendatar (sumbu II)

Adalah sumbu perputaran teropong yang disangga oleh dua tiang

penyangga kiri dan kanan. Pada teodolit lama sumbu ini dapat diatur

(dikoreksi) agar tegak lurus sumbu vertikal (sumbu I). sedang pada

alat yang baru, pabrik yang memproduksi teodolit sudah membuat sumbu

ini tegak lurus dengan sumbu vertikal.

4. Klem teropong dan penggerak halus

Klem teropong digunakan untuk mematikan gerakan teropong,

sedangkan skrup penggerak halus digunakan untuk gerakan halus. Gerak

halus ini berfungsi apabila klem telah dimatikan.

5. Alhidade vertikal dan nivo

Alhidade vertikal digunakan untuk melindungi piring vertikal

dan nivo alhidade vertikal digunakan untuk mengatur mikroskop pembaca

lingkaran vertikal. Pada alat-alat yang baru, nivo ini sudah tidak

ada lagi.

6. Nivo teropong

Nivo teropong digunakan untuk membuat garis bidik mendatar.

Pada kebanyakan teodolit yang baru, nivo teropong sudah tidak ada

lagi.

23

Ilmu Ukur Tanah

6.1.2. Bagian Tengah

1. Kali penyangga sumbu II (sumbu mendatar)

Pada teodolit yang baru (optis), kaki penyangga sumbu mendatar

berisi prisma-prisma pemantul sinar pembacaan lingkaran

horizontal.

2. Alhidade horizontal

Merupakan pemersatu dari kaki penyangga sumbu II dan pelindung

lingkaran horizontal.

3. Piringan lingkaran horizontal

Merupakan tempat skala lingkaran horizontal, terbuat dari metal

atau kaca. Pada teodolit repetisi lingkaran ini terpisah dari

tribrach dan dapat diatur kedudukannya, sedang pada teodolit

reiterasi menjadi satu dengan tribrach dan posisinya tetap.

4. Klem dan penggerak halus alhidade horizontal

Seperti halnya pada teropong, klem ini dipakai untuk mematikan

gerakan sumbu I (sumbu tegak), dan gerakan hals dilakukan dengan

memutar skrup penggerak halus alhidade horizontal.

5. Klem dan penggerak halus limbus

Klem dan penggerak halus limbus hanya ada pada teodolit repetisi

(sumbu ganda), digunakan untuk mengatur kedudukan piringan

horizontal.

6. Nivo (tabung) alhidade horizontal

Nivo alhidade horizontal digunakan untuk membuat sumbu I vertikal

secara halus, setelah dilakukan pendekatan dengan nivo kotak.

Kadang-kadang nivo kotak juga berdekatan dengan nivo tabung,

artinya terletak pada alhidade horizontal, namun ada pula yang

berada pada tribrach atau kiap.

7. Mikroskop pembacaan lingkaran horizontal

Pada alat yang baru (optical theodolite), mikroskop pembacaan

lingkaran horizontal dijadikan satu dengan pembacaan lingkaran

vertikal, dan untuk pembacaan yang lebih teliti, dilengkapi dengan

skrup micrometer.

6.1.3. Bagian Bawah

24

Ilmu Ukur Tanah

1. Tribrach

Tribach merupakan tempat tumpuan dari sumbu I.

2. Nivo kotak

Nivo kotak dipakai sebagai penolong dalam pengaturan sumbu I

vertikal secara pendekatan.

3. Skrup penyetel ABC

Terdiri dari tiga buah skrup, digunakan untuk mengatur sumbu I

agar vertikal skrup ini juga disebut leveling screw.

Gambar 6.8. Nivo tabung, nivo kotak dan tribrach atau kiap

Gambar 6.9. Sumbu teodolit repetisi dan reiterasi.

4. Plat dasar

Plat dasar digunakan untuk menyatukan alat dengan statip. Bagian

tengah dasar diberi lubang drat untuk baut insrumen.

25

Ilmu Ukur Tanah

a,b,c : statip dengan permukaan kepala statip mendatar

d : permukaan kepala statip sferis

e : kepala statip dengan sentering tongkat teleskopik

Gambar 6.10. Macam-macam statip dan bentuk permukaan kepalanya.

5. Alat sentering optis (pada alat baru)

Pada alat lamat piranti sentering berupa tempat penggantung tali

unting-unting yang berada pada baut instrument. Beberapa alat

buatan kern menggunakan sentering dengan tongkat teleskopik.

6. Statip

Merupakan piranti untuk mendirikan alat di lapangan yang terdiri

dari kepala statip dan kaki tiga yang dapat distel ketinggiannya.

Statip terbuat dari kayu atau dari metal atau aluminium sehingga

lebih ringan. Ketinggian statip dapat diatur, disesuaikan dengan

ketinggian si pengamat dan pemutaran baut statip jaringan terlalu

keras agar tidak cepat rusak. Kepala statip ada yang datar,

melengkung (sferis), ada pula yang menyerupai bonggol (Kern)

dengan sambungan alat sentering tongkat teleskopik sekaligus untuk

mengukur tinggi alat.

3.2 SISTEM PEMBACAAN LINGKARAN

26

Ilmu Ukur Tanah

Sistem pembacaan lingkaran teodolit ada beberapa macam, antara

lain skala garis, digital dan elektronik. Skala garis dapat dibagi

menjadi empat, yaitu :

1. Garis lurus 3.nonius

2. Garis lurus dan skala 4.Mikrometer

Garis lurus dan nonius terdapat pada teodolit dengan ketelitian

rendah dimana bacaan langsung pada skala lingkarannya disebut pula

dengan vernier. Skala micrometer terdapat pada teodolit dengan

ketelitian tinggi (teodolit optis).

Pada teodolit lama pembacaan lingkaran horizontal dan

vertikalnya masing-masing ada dua, mikroskop I dan II atau kiri dan

kanan. Sedang pada teodolit yang baru, lingkaran horizontal dan

vertikalnya umumnya masing-masing satu. Pada teodolit optis yang

piringan horiaontal dan vertikalnya terbuat dari kaca atau mika

sehingga tembus sinar, system bacaan lingkarannya bias dibuat

koinsiden, maksudnya bacaan mirkoskop I dan II dijadikan satu. Bahkan

antara bacaan horizontal dan vertikal yang masing-masing koinsiden

dijadikan satu dalam piranti mikroskup pembacaan.

3.2.1 Garis Lurus

Pada teodolit dengan ketelitian rendah, umumnya pada alat

pembacaan hanya ada garis-garis pembagian derajat dan puluhan menit

saja. Garis pembacaan dinamakan garis indeks. Garis ini diam tidak

berputar bersama skala lingkaran, berada di depan lensa mikroskop

pembacaan. Angka yang menunjukkan banyaknya menit dikira-kira

(diestimasi).

27

Ilmu Ukur Tanah

6.11. Bacaan Garis Lurus

3.2.2 Garis Lurus dan Skala

Gambar 6.12. Pembacaan system garis lurus dan skala

Pada system ini pembagian terkecil dari piringan pembacaan

hanya sampai dalam derajat. Selain itu masih ada skala lain yang

tidak ikut berputar bersama piringan lingkaran dan angka-angka

pembagiannya berlawanan arah dengan angka pembagian lingkaran.

Sebagai garis indeks adalah tasi derajat dari piringan lingkaran.

3.2.3 Nonius (Vernier)

Nonius adalah skala bantu pembacaan, agar diperoleh perkiraan

pembacaan yang relatif lebih teliti dari sebelumnya. Skala nonius

tidak ikut berputar bersama lingkaran. Arah angka dan garis skala

nonius searah dengan angka dan garis skala lingkaran. Garis skala nol

dari nonius akan berlaku sebagai garis indeks. Untuk itu perlu dicari

lebih dulu besarnya kesatuan nonius yaitu berapa besar harga satu

kolom dari skala nonius. Hal ini dapat dicari dengan membagi besar

harga satu kolom dari skala lingkaran (R) dengan banyaknya kolom dari

nonius (n).

Missal besar harga satu kolom lingkaran (R) = 10’ dan banyaknya

kolom nonius (n) = 30, maka kesatuan noniusnya adalah :

Banyaknya menit dan sekon dicari dengan melihat garis nonius

mana yang tepat berimpit dengan garis skala lingkaran.

28

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 6.13. Pembacaan dengan nonius.

3.2.4 Mikrometer

Mikrometer sebenarnya berupa sebuah prisma yang dipasang di

depan lensa mikroskop pembacaan. Prisma ini dapat diputar – putar

kedudukannya dengan skrup pemutar (skrup mikrometer) untuk

memanipulasi jalannya sinar dari piringan skala.

Gambar 6.14. Pembacaan dengan sistem micrometer

Sedangkan sistem pembacaannya sebenarnya sistem nonius. Apabila

prisma tersebut diputar, maka bayangan skala nonius dan skala

lingkaran bergerak berlawanan arah. Selain itu biasanya kesatuan

nonius di sini lebih kecil disbanding dengan system sebelumnya. Garis

indeks pada system pembacaan mikrometer berupa dua buah garis sejajar

dan pembacaan baru bias dilakukan apabila salah satu garis skala

lingkaran telah masuk di tengah antara dua garis indeks tersebut.

Untuk memasukkannya digunakan skrup mikrometer.

29

Ilmu Ukur Tanah

3.2.5 Pembacaan Ganda atau Koinsiden

Koinsiden atau pembacaan ganda adalah dua buah pembacaan dari

mikroskop I dan II dalam piringan yang sama, yang dijadikan satu

dengan memanipulasi sinar yang masuk pada piranti pembacaan teodolit.

Koinsiden dijelaskan sebagaimana Gambar 6.15 berikut.

Gambar 6.15. Sistem pembacaan koinsiden

Sistem pembacaan ganda ada yang dilengkapi mikrometer dan ada

pula yang tidak. Apabila dilengkapi dengan mikrometer, dengan

sendirinya skala atas dan bawah atau kiri dan kanan harus diimpitkan

lebih dulu dengan menggunakan skrup mikrometer ini. Apabila tidak

dilengkapi mikrometer maka sebagai garis indeks untuk pembacaan

adalah angka atau garis derajat yang saling berhadapan dan berselisih

180o, dapat dibaca angka skala atas atau bawah yang hasilnya

berselisih 180o.

30

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 6.16. Jalan sinar pembacaan koinsiden.

Gambar 6.17. Teodolit kompas Wild T0 lama dengan system koinsiden da

T0 baru

31

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 6.18. Teodolit Wild T1 dan T2

3.3. SYARAT PEMAKAIAN DAN CARA PENGATURAN ALAT UKUR TEODOLIT

Apabila alat ukur teodolit akan dipakai untuk pengukuran di

lapangan, maka surveyor terlebih dahulu harus memahami sistem-sistem

pembacaan pada alat ukur teodolit yang digunakan. Tanpa pemahaman

system pembacaan, surveyor tidak mungkin dapat mengatur dan

menggunakan alat tersebut untuk pengukuran.

Adapun yang dimaksud dengan syarat pemakaian adalah

persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum

alat tersebut digunakan untuk pengukuran agar data yang dihasilkan

terbebas dari kesalahan sistematis. Adapun syarat-syaratnya adalah :

1. Sentering

2. Sumbu I (sumbu V-V) harus vertical.

Kedua syarat di atas dinamakan syarat dinamis. Maksudnya,

setiap kali alat dipindahkan ke stasiun yang lain, alat harus diatur

kembali agar persyaratan tersebut terpenuhi. Sedangkan alat ukurnya

sendiri (teodolit) harus berada dalam kondisi yang baik, agar tidak

dihinggapi kesalahan sistematis berikut.

1. Sumbu II (sumbu H-H) tegak lurus sumbu I atau mendatar

2. Garis bidik / kolimasi (Z-Z) tegak lurus sumbu II

32

Ilmu Ukur Tanah

3. Tidak ada kesalahan indeks vertical atau kesalahan indeks vertika

= 0 (ZZ/AA)

Gambar 6.19. Sumbu-sumbu pada teodolitKeterangan gambar :

HH : sumbu II atau mendatar / sumbu teropong

VV : sumbu I atau sumbu vertikal

AA : garis atah nivo alhodade vertical

ZZ : garis arah nivo teropong

1. Skrup koreksi nivo alhidade vertical

2. Skrup koreksi nivo teropong

4. Garis bidik (Z-Z) sejajar garis arah nivo (N-N) apabila ada nivo

teropongnya keempat syarat tersebut cukup diatur sekali,

selanjutnya bersifat tetap atau disebut syarat statis.

6.3.1. Sentering

Yang dimaksud dengan sentering adalah bahwa sumbu I (sumbu

vertikal) teodolit segaris dengan garis gaya berat yang melalui titik

tempat berdiri alat (paku atau titik selang di atas patok di tanah).

Sentering dapat dilakukan dengan bantuan salah satu alat di bawah ini

:

33

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 6.20. Sentering dengan unting-unting dan optis

1. Dengan bantuan unting-unting yang digantung pada baut instrumen di

bawah kepala statip.

2. Dengan bantuan alat sentering optik

3. Dengan bantuan alat sentering tongkat teleskopik

4. Dengan bantuan sentering laser.

Gambar 6.21. Sentering dengan laser dan tongkat teleskopi

Alat bantu sentering dipilih berdasar tipe alat yang digunakan.

Adapun caranya adalah sebagai berikut :

1. Buku ketiga klem kaki statip, dirikan statip di atas patok dengna

merentangkan ketiga kaki statip hingga ketiga ujung kaki statip

membentuk segitiga sama sisi dengan patok sebagai pusatnya.

2. Tarik statip bagian atas hingga tinggi kepala statip kira-kira

sedikit di bawah dada dan kepala statip mendatar. Gantung unting-

unting pada baut instrument, hingga unting-unting tepat berada di

atas patok dengan mengatur ketinggian kaki statip. Kokohkan

34

Ilmu Ukur Tanah

kedudukan statip dengan menginjak pijakan di ujung bawah statip,

kemudian kencangkan ketiga baut statip.

3. Pasang instrument di atas statip, hubungkan dengan cara memutar

baut instrument di lubang dratnya pada plat dasar instrumen, namun

tidak kencang.

4. Perhatikan apakah ujung unting-unting atau tanda silang pada alat

sentering optic atau ujung bawah tongkak teleskopik sudah tepat

berada di atas titik pada patok. Bila belum, geser-geser

instrument dengan car amenekan plat dasarnya yang menempel di atas

kepala statip, sedemikian hingga ujung unting-unting atau tanda

silang sentering optik atau ujung bawah tongkat teleskopik tepat

di atas tanda titik di atas patok.

5. Kencangkan baut instrument secukupnya (jangan terlalu keras,

karena akan menyulitkan saat melepaskan kembali).

Apabila alat yang berada dalam keadaan tidka sentering

digunakan untuk mengukur sudut horizontal, maka sudut hasil

pengukurannya akan dihinggapi kesalahan. Pada Gambar 6.22, β0 (sudut

ABC) adalah sudut horizontal yang seharusnya diukur. Tetapi karena

adanya kesalahan sentering, maka titik B menjadi B1. Harga BB1 (=e)

adalah kesalahan linier dari sentering. Kesalahan ini akan

menyebabkan kesalahan pengukuran sudut horizontal sebesar β

Gambar 6.22. Kesalahan suduh akibat kesalahan sentering.

β = β0 – β = β’ + β”

Apabila jarak BB1 = e dianggap kecil, maka :

β’ = ’

dan β’ = ’ ......................................(6.3)

35

Ilmu Ukur Tanah

dalam hal ini 11 dan 12 = 50 m dan kesalahan sentering e = 2 mm,

maka kesalahan sudut horizontal yang terjadi adalah :

β = 3438 x 0,002 = 0,27504’ = 16”,5

Contoh di atas menunjukkan bahwa kesalahan sentering sebesar 2

mm akan mengakibatkan kesalahan sudut yang cukup berarti, terlebih

untuk pengukuran yang teliti.

6.3.2. Mengatur Sumbu I Menjadi Vertikal

Apabila sumbu I tidak vertikal seperti Gambar 6.23, missal

sumbu I teodolit C’ miring membentuk sudut v terhadap garis

vertical C. A’B’ adalah arah kemiringan maksimum lingkaran

horizontal. Apabila teropong berputar pada sumbu II dengan sasaran S

pada sudut elevasi h dalam keadaan di mana sumbu I vertikal, maka

lintasan teropong adalah CSD dalam arah sebesar u dari arah

kemiringan maksimum, sedang dalam keadaan sumbu I miring sebesar v

akan diperoleh lintasa teropong C’ SD’ dalam arah sebesar u’ dari

kemiringan maksimumnya.

Gambar 6.23. Kesalahan sumbu I dan kesalahan sumbu II.

Dari kedua lintasan tersebut akan diperoleh gambaran segitiga

bola SCC’ dan dari padanya kesalahan sumbu vertikal β dapat

dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

Β = u’ – u = v sin u’ cot (90o – h) = v sin u’ tg h.......(6.5)

Kesalahan ini tidak dapat dihilangkan dengan merata-rata

pengamatan biasa dan luar biasa. Oleh karenanya, saat pengukuran,

sumbu I harus benar-benar vertikal. Komponen yang digunakan untuk

mengatur sumbu I agar vertical adalah nivo kotak, nivo tabung dan

36

Ilmu Ukur Tanah

ketiga skrup penyetel ABC (leveling screw). Adapun cara mengaturnya

dijelaskan dalam Gambar 6.24.

Gambar 6.24. Mengatur nivo kotak dan nivo tabung

a. Pendekatan dengan bantuan nivo kotak

1. Setelah alat atau instrument sentering, perhatikan posisi

gelembung nivo kotak.

2. Missal mula-mula kedudukan gelombang nivo kota pada posisi 1,

kemudian bawalah gelembung pada posisi 2 dengan memutar skrup

penyetel A dan B bersama-sama kea rah luar atau dalam.

3. Kemudian bawalah gelembung pada posisi 3 (tengah) dengan

memutar skrup penyetel C.

b. Penghalusan dengan mengatur gelembung nivo tabung alhidade

horizontal

1. Putar teodolit pada sumbu I hingga nivo tabung sejajar dengan

skrup penyetel A dan B (posisi 1). Seimbangkan gelembung nivo

dengan memutar skrup penyetel A dan B.

2. Putar teodolit pada sumbu I 180o (nivo pada posisi 2). Apabila

gelembung bergeser, setengah pergeseran ditengahkan dengan

skrup penyetel A dan atau B dan setengah pergeseran sisanya

dengan memutar skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.

3. Putar teodolit pada sumbu I sebesar ± 900 (posisi 3). Apabila

gelembung tidak di tengah, tengahkan dengan memutar skrup C.

Cek : putar alat pada sumbu I sembarang. Apabila gelembung

seimbang, berarti sumbu I telah vertical. Tetapi bila gelembung

masih belum seimbang, maka ulangi langkah b hingga pada posisi

sembarang, gelembung nivo tabung tetap seimbang.

37

Ilmu Ukur Tanah

6.3.3. Mengatur Sumbu II Tegak Lurus Sumbu I

Kesalahan sumbu II yang tidak tegak lurus sumbu I hanya ada

pada alat ukur teodolit tipe lama. Pada alat yang ada di pasaran

sekarang, kesalahan tersebut sudah tidak ada karena pabrik telah

membuat sumbu II tegak lurus sumbu I. dengan demikian apabila sumbu I

telah vertical, berarti sumbu II akan mendatar.

Misalkan pada gambar di atas terdapat kesalahan, yaitu sumbu II

miring sebesar I, sumbu menjadi A’B’. apabila teropong mengarah pada

titik S dan diputar pada sumbu II maka tempat kedudukannya menjadi

C’SD’. Sedang apabila tak ada kesalahan sumbu II akan menjadi CSD.

Dalam segitiga bola SDD’, DD’ = adalah kesalahan sumbu II apabila

sumbu miring sebesar i. dari rumus segitiga bola :

sin = ....................(6.6)

karena dan h biasanya sangat kecil, maka persamaan di atas

menjadi :

= I tg h .............................................(6.7)

Apabila teropong dibidikkan dalam posisi biasa dan luar biasa,

maka tanda kesalahannya menjadi berbalikan sehingga andaikan hasil

bacaan dirata-rata maka kesalahannya akan menjadi hilang.

6.3.4. Membuat Garis Bidik Tengah Lurus Sumbu II

Kesalahan garis bidik yang tidak tegak lurus sumbu II disebut

kesalahan kolimasi. Pada gambar di bawah, AOB adalah sumbu II, ADBE

adalah lingkaran horizontal dan busur CD adalah tempat kedudukan

garis kolimasi yang berputar mengelilingi sumbu II. Apabila sasaran S

dibidik dengan kemiringan kolimasi sebesar sudut maka kedudukan

garis kolimasi menjadi seperti yang tergambar dengan garis putus-

putus.

38

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 6.25. Kesalahan Kolimasi

Dengan maksud untuk membidik sasaran S dan alat yang tidak ada

kesalahan kolimasinya, teropong atau garis kolimasi dputar sebesar β.

Jadi β disebut dengan kesalahan kolimasi. Apabila busur SH adalah

busur yang tegak lurus terhadap busur CD, amak SH = . Apabila sudut

elevasi sasaran = h, maka dari rumus segitiga bola :

sin = sin C sin (90o – h)...............................(6.8)

sehingga :

sin C = sin sec h ....................................(6.9)

karena C dan h sangat kecil maka kesalahan kolimasi dapat

dihitung dengan persamaan :

β = C = sec h .........................................(6.9)

karena C dan h sangat kecil maka kesalahan kolimasi dapat

dihitung dengan persamaan :

β = C = sec h ........................................(6.10)

apabila teropong dibuat luar biasa, maka kesalahan kolimasi

menjadi –β dan karenanya dengan merata-rata pengamatan biasa dan luar

biasa, kesalahan ini akan menjadi hilang. Kesalahan ini dapat

dihilangkan dengan prosedur seperti berikut :

1. Setelah alat ukur teodolit disetel di atas statip dan sumbu I

telah dibuat vertical, bidikkan teropong pada posisi biasa ke

sebuah titik, baca lingkaran horisontalnya, missal = B.

2. Teropong dibuat luar biasa dan bidikkan kembali apda titik semula

dan baca lingkaran horizontalnya, missal = LB.

3. Hitung besarnya kesalahan kolimasi dengan rumus :

a. Untuk pembagian skala searah jarum jam

β = .......................................(6.11)

39

Ilmu Ukur Tanah

b. Untuk pembagian skala berlawanan arah jarum jam

c. β = .......................................(6.12)

Cara koreksi : β ditambahkan pada pembacaan sudut terakhir (LB)

dengan cara memutar skrup penggerak halus alhidade horizontal. Akibat

penambahan β, maka garis bidik tidak lagi mengarah pada titik

sasaran. Kemudian garis bidik diarahkan kembali pada titik sasaran

dengan cara memutar, pembacaan lingkaran vertical tidak tepat pada

angka 0o/90o/180o/270o. hal ini disebabkan belum diaturnya nivo

alhidade vertical, atau kesalahan haris bidik pada alat yang tidak

mempunyai nivo alhidade vertikal.

Pembagian skala dan posisi angka nol pada piringan vertical

pada setiap alat ukur teodolit tidak selalu sama. Ada yang 1 x 360o,

2 x 180o, 4 x90o, ada yang posisi angka nolnya di bagian atas, dan ada

yang posisi nolnya mendatar. Apabila posisi nol di atas, maka yang

terbaca adalah sudut zenith, dan apabila posisi nol mendatar maka

yang terbaca adalah sudut miring atau helling.

Gambar 6.26. Macam-macam pembagian skala lingkaran vertical

Adapun car mencari kelsahan indeks vertical adalah sebagai

berikut :

Misal kesalahan indeks vertikal = p. Teropong dibidikkan pada

suatu titik dalam keadaan biasan (B) dan luar biasa (LB), dan missal

sudut miring yang sebenarnya = h, maka didapat hubungan sebagai

berikut :

40

Ilmu Ukur Tanah

..............................................(6.13)

a. Pada system pembacaan 1 x 360o

Gambar 6.27. Kesalahan indeks

pada lingkaran 1 x 360o

P = 180o - ……………..(6.14)

b. Pada sistem pembacaan 2 x 180o

B = h – p

LB = 180 o h – p

B + LB = 180o – 2p

Gambar 6.28. Kesalahan indeks

pada lingkaran 2 x 180o

P = 90o - ……………..(6.15)

c. Pada sistem pembacaan 4 x 90o

…………..(6.16)

Gambar 6.29. Kesalahan indeks

pada pembagian lingkaran 4 x 90o

Pelaksanaan pencarian harga p (kesalahan indeks vertikal)

dikerjakan sebagai berikut :

- Bidikkan teropong pada posisi biasa pada sebuah titik K, baca

lingkaran vertikalnya : B.

- Buat teropong luar biasa dan bidikkan kembali pada titik K dan

baca lingkaran vertikalnya : LB.

- Lakukan hal seperti tersebut di atas pada titik-titik yang lain

dengan sudut miring yang berbeda-beda.

- Cari harga p (kesalahan indeks vertikal) dan harga rata-

ratanya.

41

Ilmu Ukur Tanah

Apabila harga kesalahan + (plus) maka koreksinya – (minus) dan

sebaliknya. Cara pemberian koreksi pada alat ukur teodolit ada dua

kemungkinan :

1. Pada teodolit tanpa invo alhidade vertikal

Besarnya koreksi p ditambahkan pada pembacaan terakhir dengna

memutar skrup penggerak halus teropong. Akibatnya garis bidik

tidak mengarah lagi pada titik sasaran semula. Kembalikan garis

bidik pada titik sasaran semual dengan cara memutar skrup koreksi

diafragma atas dan bawah dengan pe koreksi.

2. Pada teodolit yang dilengkapi denga nivo alhidade vertikal

Di sini ada dua cara, cara pertama yang dikoreksi garis bidiknya

seperti halnya pada teodolit tanpa nivo alhidade vertikal (seperti

pada no. 1 di atas). Sedang cara kedua, p ditambahkan pada

pembacaan terakhir dengan menggunakan sekrup penggerak halus

alhidade vertikal. Akibatnya nivo alhidade vertikal menjadi titik

seimbang. Seimbangkan kembali gelombung nivo ini dengan memutar

skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.

Catatan : pada alat-alat yang baru, kesalahan ini umumnya tidak

ada atau kecil sekali, bahka dengan perkembangan teknologi yang

terakhir, indeks vertikal telah dibuat otomatis dengan pendulum.

Cara lain untuk mengetahui adanya kesalahan sumbu II yang belum

sumbu I, garis bidik yang belum sumbu II dan kemungkinan

kombinasi dari keduanya adalah sebagai berikut :

1. Stel teodolit ± m di depan tembok. Setelah sumbu I dibuat

vertikal, teropong diatur mendatar dan diarahkan pada tembok. Beri

tanda titik silang benang silang pada tembok dengan titik S.

2. Gantungkan benang unting-unting setinggi 2 x tinggi alat melalui

titik S. pasang mistar pada lantai di bawah unting-unting setinggi

2 x tinggi alat melalui titik S. pasang mistar pada lantai di

bawah unting-unting, kira-kira unting-unting berada di tengah

mistar. Baca angka yang ditunjuk oleh ujung unting-unting.

3. Matika sumbu I (vertikal), bukan klem sumbu II, putar teropong ke

atas setinggi 2 x tinggi alat dank e bawah sampai ke mistar.

Apabila sumbu II telah sumbu I dan garis bidik juga telah

42

Ilmu Ukur Tanah

sumbu II, bayangan titik silang benang silang akan berjalan pada

benang unting-unting (Gambar 6.30a). Apabila sumbu II belum

sumbu I tetapi garis bidik sudah sumbu II, maka bayangan titik

silang benang silang pada tembok akan seperti Gambar 6.30.b.

(jarak penyimpangan atas dan wabah sama, namun pada arah sisi yang

bersilangan). Apabila sumbu II telah sumbu I dan garis bidik

belum sumbu II, maka bayangan titik silang benang silang akan

kelihatan seperti pada Gamar 6.30.c (besar penyimpangan di atas

dan dibawah sama, dan pada arahj sisi benang unting-unting yang

sama pula). Apabila kesalahannya kombinasai, yaitu sumbu II belum

sumbu I dan garis bidik juga belum sumbu II, maka bayangan

titik silang benang silang di tembok akan kelihatan seperti pada

Gambar 6.30.d. (besar simpangan di atas dan di bawah tidak sama

dan arahnya pun tidak tentu sama). Simpangan garis bidik terhadap

ujung unting-unting saat membidik ke bawah dapat dibaca pada

mistar, demikian pula saat membidik ke atas dapat diukur dengan

mistar.

4. Hitung besarnya penyimpangan yang terjadi. Untuk kesalahan sumbu

II saja sebesar t (gambar 6.30.b) atau penyimpangan garis bidik

saja sebesar u, dapat dibaca pada mistar. Untuk kesalahan

kombinasi, besarnya kesalahan sumbu II adalah :

t = ...........................................(6.17)

untuk penyimpangan garis bidik terhadap sumbu II besar :

t = .............................................(6.18)

5. Untuk koreksi sumbu II yang belum sumbu I (Gambar 6.30.b),

bidikkan teropong ke mistar, klem sumbu I dan II matikan, dan

putar skrup koreksi sumbu II hingga garis bidik mengarah pada

ujung unting-unting.

6. Untuk koreksi kesalahan garis bidik yang belum sumbu II saja

(Gambar 6.30c) bidikkan teropong pada mistar, klem sumbu I dan II

dimatikan, putar skrup koreksi diafragma kiri dan kanan hingga

43

Ilmu Ukur Tanah

titik silang benang silang mengarah pada angka yang berada di

ujung unting-unting.

Gambar 6.30. Pendeteksian kesalahan sumbu II dan garis bidik

7. Untuk kesalahan kombinasi, koreksi garis bidik sebesar u

dihilangkan dengan skrup koreksi diafragma, dan koreksi sumbu II

sebesar t dengan koreksi sumbu II

6.3.6. Kesalahan Pabrik

Kesalahan-kesalahan tersebut diatas adalah jenis-jenis

kesalahan yang masih bisa dibetulkan atau dikoreksi, walaupun ada

beberapa macam teodolit yang tak dapat dikoreksi dikarenakan bentuk

dan konstruksinya yang tertutup. Selain itu masih dimungkinkan adanya

kesalahan lain dari pabrik (kesalahan sistematis) yang tak dapat

dikoreksi, namun perlu untuk diperiksa atau diketahui agar bisa

dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam pemakaiannya nanti. Perlu

atau tidak kesalahan tersebut diperhitungkan, diperlukan cara

pengukuran tertentu agar kesalahannya dapat tereleminir atau

pengaruhnya dibuat sekecil mungkin sehingga tidak mempengaruhi

ketelitian hasil pengukuran (diabaikan). Adapun jenis kesalahan

tersebut antara lain :

1. Kesalahan dalam pembagian skala lingkaran, missal pembagiannya

tidak seragam

2. Kesalahan eksentrisitas

3. Kesalahan diameteral

6.3.6.1. Kesalahan Pebagian Lingkungan

Besar kesalahan ini tergantung dari tingkat kepresisian dan

keahlian membagi busur lingkaran. Kesalahan ini terdiri dari dua

44

Ilmu Ukur Tanah

komponen, yaitu periodik dan acak atau random. Kesalahan ini dapat

disimak secara laboratories dengna prosedur yang dinamakan sebagai

Tes Heuvelink’s yaitu dengna cara mengukur besar sudut tertentu

menggunakan berbagai bagian dari lingkaran tersebut. Umumnya

kesalahan ini relative kecil dan dapat dieleminir dengan cara

mengukur sudut dengan berbagai bagian skala lingkaran horizontal,

khususnya pada alat ukur teodolit tipe repetisi atau yang positif

lingkaran horizontalnya dapat diputar-putar. Namun cara tersebut

hanya terbatas pada pengukuran sudut horizontal, sedangkan untuk

sudut vertikal hal tersebut tidak dimungkinkan.

6.3.6.2. Kesalahan Eksetrisitas

Kesalahan ini serupa dengan kesalahan sentering, terjadi karena

sumbu vertikal (sumbu I) sebagia pusat perputaran tidak tepat

berimpit dengan pusat lingkaran horizontal. Kesalahan ini sering

terjadi pada teodolit dengan sumbu ganda (tipe repetisi). Pada Gambar

6.31, missal M adalah titik tengah lingkaran dan N adalah posisi

sumbu vertikal, NM = e = kesalahan eksentrisitas. Missal teodolit

mempunyai dua buah mikroskop bacaan lingkaran horizontal kiri (A) dan

kanan (A’) (posisi diametral). Di lapangan diukur sudut ANB =

tetapi pada alhidade terbaca sudut AMB = ’, pada mikroskop lain

terbaca ”. Pada Gambar 6.31 dapat dilihat :

Sudut = ½ busur AB + ½ busur A’B’ = ½ ’ + ½ ” = ½ (’ +

”)

Dengan kata lain, kalau kit abaca kedua mikroskop dan kita

ambil harga rata-ratanya, maka pengaruh kesalahannya akan menjadi

hilang. Demikian pula pada teodolit dengna system bacaan koinsiden,

pengaruh kesalahan ini akan hilang juga. Namun pada teodolit yang

sistem bacaan piringan horizontalnya hanya satu mikroskop, kesalahan

ini tak dapat dihilangkan. Pada teodolit modern kesalahan

eksentrisitas ini dapat mencapai 0,007 mm. apabila diameter lingkaran

horizontal 9 cm, maka besar kesalahan sudut ukuran akan menjadi

(rumus 6.9) ± 30”. Kesalahan sebesar itu untuk pengukuran yang teliti

tak dapat diabaikan begitu saja.

45

Ilmu Ukur Tanah

Keterangan gambar :

A = mikroskop bacaan kanan

A’ = mikroskop bacaan kiri

N = posisi sumbu vertikal

M = posisi titik tengah

lingkaran

NM = e = kesalahan

eksentrisitas

= besar sudut di lapangan

’ = besar sudut hasil

pengukuran

B = arah bidikan biasa

B’ = arah bidikan luar biasa

Gambar 6.31. Kesalahan eksentrisitas

6.3.6.3. Kesalahan Diametral

Kesalahan diametral adalah kesalahan yang terjadi karena garis

hubungan antara mikroskop kiri dan kanan tidak melewati pusat sumbu

vertikal. Kesalahan tersebut dapat dihitung dengan cara-cara

tertentu, dan pengaruh dari padanya akan hilang atau tereleminir

dengan cara merata-rata hasil bacaan mikroskop kiri dan kanan pada

pengamatan biasa dan luar biasa.

e = besar eksentrisitas

= kesalahan eksentrisitas

= kesalahan diametral

d = penyimpangan akibat kesalahan

eksentrisitas dan diametral

Gambar 6.23. Kesalahan eksentrisitas dan diametral

6.7. PENGUKURAN SUDUT HORIZONTAL

Sudut horizontal adalah selisih dari dua arah. Sudut horizontal

pada suatu titik di lapangan dapat dibagi dalam sudut tunggal dan

sudut yang lebih dari satu sehingga teknik pengukurannya juga

berbeda.

46

Ilmu Ukur Tanah

Apabila titik yang akan dibidik tidak dapat langsung dibidik

pusat tanda silang atau pakunya maka dibantu dengan target khusus

atau benang unting-unting yang digantungkan di atas titik tersebut.

Gambar 6.36. Macam-macam target untuk pengukuran sudut horizontal

6.7.1. Pengukuran Sudut Tunggal

Pengukuran sudut tunggal ada tiga cara yaitu ;

1. Cara pengukuran tunggal

2. Cara pengukuran seri (rangkap)

3. Cara pengukuran repetisi

4. Cara pengukuran reiterasi

6.7.1.1. Pengukuran tunggal

Missal akan diukur sudut B yang arah-arahnya A dan C. langkah-

langkahnya sebagai berikut :

1. Stel (dirikan) alat ukur teodolit di atas titik B dengan bantuan

alat senteringnya.

2. Buat sumbu I vertikal seperti pada subbab 6.3.1. Bidikkan teropong

pada target di A dengan cara mengarahkan teropong pada target.

Apabila bidikan telah mendekati target, matikan klem horizontal

dan vertikal dan tepatkan garis bidik pada target dengan memutar

skrup penggerak halusnya. Baca lingkaran horizontalnya, missal R1.

47

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 6.37. Pengukuran sudut di B dengan target di A dan C

3. Buka kedua klem dan alat diputar pada sumbu I. Bidik target di C

dengan cara yang sama seperti pada langkah 2 di atas. Baca

lingkaran horizontalnya, missal R2-

Maka besarnya sudut B = = R2 – R1

Cara di atas biasanya hanya dilakukan untuk pengukuran detil,

tidak untuk pengukuran titik kontrol.

6.7.1.2. Pengukuran Seri

Apabia sudut yang akan diukur akan dipakai untuk menentukan

koordinat titik control dalam pemetaan, cara pengukuran sudut tunggal

tidak dibenarkan. Mengapa ? Pengukuran minimal dilakukan lebih dari

satu kali (seri). Cara pengukuran seri ini ada dua macam, yaitu seri

tunggal dan seri rangkap/seri ganda. Untuk seri tunggal,

pelaksanaannya seperti pengukuran sudut tunggal di atas, hanya

dilakukan pengukuran ulang, dari langkah 2 dan 3 sesuai dengan

banyaknya seri yang akan dilakukan. Sedangkan untuk seri rangkap,

pengukurannya dilakukan dengan posisi teroping biasa dan luar biasa.

Adapun caranya sebagai berikut :

Setelah langkah 3 di atas, teropong diputar balik menjadi

kedudukan luar biasa dan bidikkan kembali pada target di titik C dan

baca lingkaran horizontalnya, misal R’ 2, dan kemudian dengan cara

yang sama bidikkan pada target di titik A dan baca lingkaran

horizontalnya, misal R’1.

Besarnya sudut ukur : (B = biasa) = R2 – R1

(LB = luar biasa) = R’1 = R’1

= ..........................................(6.19)

48

Ilmu Ukur Tanah

Pengukuran cara demikian, dinamakan pengukuran satu seri

rangkap.

Apabila diperlukan lebih dari satu seri rangkap maka cara

tersebut tinggal diulang saja, tetapi apda seri berikutnya posisi

dari skala lingkaran horizontalnya diubah dengan menambah 90o atau

besaran yang lain.

Contoh :

Alat Arah BidikanBacaan Link

Hor Biasa

Bacaan

Lingk. Hor

Luar biasa

Besar Sudut

O A

B

54o13’36”

91o08’57”

234o13’35”

271o08’58”

36o55’36”

91o08’57”

+ 90o A

B

144o13’35”

181o08’57”

324o13’37”

1o08’58”

36o55’22”

36o55’21”

= 36o 55’21”75

6.7.1.3. Pengukuran Repetisi

Cara ini hanya dapat dilakukan dengan alat teodolit tipe

repetisi atau teodolit yang mempunyai sumbu vertikal ganda. Langkah-

langkahnya adalah sebagai berikut.

1. Stel teodolit di

titik B, buat sumbu

I vertikal.

2. Bidik titik A.

dengan skrup klem

dan penggerakn halus

limbus, bacaan pada

titik A dapat diatur

agar menjadi nol

atau angka yang

lain. Cacat

pembacaan ini = p

49

Ilmu Ukur Tanah

3. Matikan klem limbus

dan buka klem

horizontal. Bidik

teropong pada titik

C. setelah tepat,

matika klem

horizontal. Baca q,

diperoleh sudut .

Gambar 6.38. Pengukuran

cara repetisi

4. Bawa pembacaan q ke pembimbing A dengan cara membuka klem limbus.

Setelah tepat, matika klem limbus.

5. Buka klem horozintal, bidikkan teropong pada titik C. Dengan cara

ini, akan didapatkan sudut β lagi. Bila ini diulang n kali, akan

diperoleh n.β kali.

Pada cara ini cukup dicatat pembacaan awal p, pembacaan kedua q

dan pembacaan terakhir r.

Β = ......................................(6.20)

Di sini m adalah berapa kali pembacaan melewati 360o atau :

m = ..............................................(6.21)

Contoh :

Alat Bidikan

(target)

Bacaan

Lingk.

Hor.Pertama

(p)

Bacaan

Link Hor.

Kedua (q)

Bacaan

Link Hor.

Terakhir

(r)

Keterangan

B A

C:1x

C:6x

12o15’05”

78o20’25”

48o47’10”

360oterlewati 1x

Β kasar = 78o20’25” – 12o15’05” = 66o05’20”

50

Ilmu Ukur Tanah

m =

jadi, β =

6.7.1.4. Pengukuran Reiterasi

Cara reiterasi sebenarnya mirip dengan repetisi, yaitu setelah

mengukur sudut β, pembacaan q ditambah dengan besaran sudut tertentu,

missal 30o. Pembacaan ini kemudian dibawah ke A dan klem limbus

dimatikan lagi. Selanjutnya klem horizontal dibuka dan teropong

dibidikkan ke C lagi. Pekerjaan pengukuran ini diulang-ulang sampai n

kali.

Besarnya sudut β = ........................(6.22)

Atau

Β ..........................................(6.23)

Gambar 6.39. Pengukuran sudut cara reiterasi.

Contoh :

Alat Target Bacaan Link.

Horizontal

Keterangan

A B

C

B = C + 30o

C

B = C + 30o

C

14o17’16”

32o19’20’

62o19’30”

80o20’25”

110o20’25’

128o21’29”

q1 = 417o23’26”

pi = 435o18’30”

Β =

51

Ilmu Ukur Tanah

B = C + 30o

C

158o21’29’

176o22’32”

6.7.2.......................................Pengukuran Sudut Banyak

Yang dimaksud pengukuran sudut banyak adalah bahwa pada satu

titik harus diukur lebih dari sebuah sudut. Missal pada Gambar 6.40,

pada titik O akan diukur arah A, B, C, D, E. ada dua cara pengukuran

sudut banyak, yaitu metode arah atau Bessel dan metode sudut atau

kombinasi.

6.7.2.1.Metode Arah

Langkah – langkahnya adalah sebagai berikut :

1. Stel instrumen di titik O. dengan teropong dalam posisi biasa (B),

bidik berturut-turut A, B, C, D, E. Baca masing-masing lingkaran

horizontalnya.

2. Buat Teropong dalam posisi luar biasa (LB). Bidik berturut-turut

titik E, D, C, B, A.

Gambar 6.40. Pengukuran sudut banyak

Rangkaian tersebut dinamakan satu seri. Dan selanjutnya, jika

diperlukan, dapat dilaksanakan seri berikutnya. Untuk seri

berikutnya, biasanya posisi lingkaran horizontal diubah, yaitu

ditambah dengan sudut tertentu, misalnya 45o.

Contoh : Alat Teropong Arah Bidikan

(target)

Bacaan

lingkaran

Horizontal

Perhitungan

52

Ilmu Ukur Tanah

O Biasa A

B

C

D

E

14o46’28”

38o28’48”

86o58’18”

124o14’10”

152o34’38”

α = 23o 42’ 20”

β = 48o 29’ 30”

= 37o 15’

52”

= 28o 20’ 28”

Luar biasa E

D

C

B

A

332o 34’ 40”

304o 14’ 11”

266o 58’ 20”

218o 28’ 50”

194o 48’ 29”

α = 23o 42’ 21”

β = 48o 29’ 30”

= 37o 15’

51”

= 28o 20’ 29”

6.7.2.2.Metode Sudut Atau Kombinasi

Sebenarnya cara ini sama dengan metode arah, hanya saja

perhitungannya dimanipulasi. Dari n buah arah akan didapatkan

kombinasi sudut sebesar ½ n (n-1) buah sudut. Meskipun cara ini

dipandang tidak ekonomis sehingga kurang disukai, pada pengukuran dan

perhitungan geodesi cara ini kadang-kandag masih digunakan.

6.7.3............................................Sentering Terpaksa

Pengukuran sudut untuk menentukan posisi titik control

horizontal harus dilakukan dengan teliti. Salah satu hal yang dapat

mengurangi ketelitian pengukuran sudut horizontal adalah kesalahan

sentering. Artinya, sumbu vertical teodolit atau target tidak

berimpit dengan titik ynag ada di atas patok (dapat berupa paku

paying atau tanda silang). Target pengukuran sudut yang teliti

sebagaimana Gambar 6.36 terpasang pada kiap atau ribrach (Gambar

6.7). pada kiap inilah piranti sentering berada, baik sentering optis

maupun mekanis. Pada pengukuran sudut yang berurutan (missal

pengukuran sudut-sudut polygon) targetnya dua buah, di muka dan di

belakang. Missal pada pengukuran sudut di titik 2, target berada di

titik 1 (belakang) dan di titik 3 (depan). Apabila pengukuran sudah

akan dilakukan di titik 3, maka teodolit yang tadinya distel pada

titik 2 dilepas dari kiapnya saja (statip dan kiap masih tetap

berdiri). Demikian pula target yang berada di titik 3 hanya dilepas

53

Ilmu Ukur Tanah

dari kiapnya saja. Kemudian teodolit yang tak berkiap ini dipasang

pada kiap yang masih tegak berdiri di titik 3, dan statip yang

berkiap di titik 2 dipasangi target yang tidak berkiap. Target dan

statip yang semula berada di titik 1 kemudian dipidahkan ke titik 4.

Demikian selanjutnya sehingga teodolit tidak menempati statip yang

baru didirikan, tetapi menempati statip bekas berdiri target yang

berada di depannya. Dengan demikian kesalahan pengukuran sudut yang

diakibatkan kesalahan sentering dapat dihindari. Cara ini hanya bias

dilakukan untuk teodolit yang kiap dan targetnya dapat dilepas, serta

kiapnya dapat dipakai (compatible) dengan target dan statipnya.

6.8. Sistem Stadia

Pengukuran jarak optis dapat dilakukan karena pada teropong

(teodolit, sipat datar, BTM, planet table, dll) dilengkapi dengan garis

bidik (benang silang) dan benang stadia yang diarsir pada diafragma.

Bentuk benang silang pada setiap teropong tidak sama, tergantung dari

pabrik pembuatnya. Bentuk-bentuk tersebut antara lain dapat dilihat

dalam Gambar 6.41.

Adapun yang dimaksud dengan garis bidik adalah garis khayal

yang menghubungkan titik silang benang silang dengan sumbu optis

lensa obyektif teropong. Sebagaimana telah disebutkan di muka,

pengukuran jarak secara optis dapat dilakukan dengan beberapa cara,

antara lain :

Gambar 6.41. Bentuk-bentuk benang silang

- Sistem stadia (stadia system)

- Sistem tangensial (tangensial system)

- Sistem rambu mendatar (substerbar system)

- Sistem bayangan rangkap (optical wege system)

54

Ilmu Ukur Tanah

6.8.1. Sistem Stadia

Pengukuran jarak dengan system stadia dilakukan jika pada

teropong terdapat tiga benang stadia, yaitu benang atas (BA), benang

tengah (BT) dan benar bawah (BB). Posisi teropong pada alat ukur

tanah dapat mendatar ataupun miring. Jarak optic pada kedua posisi

teropong dijelaskan dalam uraian di bawah ini.

6.8.1.1. Teropong mendatar

Garis besar jalannya sinar dari benarn silang pada posisi

teropong mendatar adalah sebagai berikut :

Dari gambar di bawah dapat dilihat bahwa d : S = f : i

......................................................(6.24)

DAB = c + f + d = c + f + ................................(6.25)

c + f adalah konstan, dimisalkan = B

juga konstan = A (oleh pabrik biasanya dibuat = 100)

maka rumus jarak datar menjadi : DAB = B + A. S................(6.26)

Gambar 6.42. Jarak optis pada teropong mendatarKeterangan gambar :

BA : bacaan benang atas pada rambu

BT : bacaan benang tengah pada rambu

BB : bacaan benang bawah pada rambu

c : jarak sumbu II – lensa obyektif

f : fokus lensa obyektif

i : jarak BA-BB pada diafragma

s : jarak BA-BB pada rambu ukur

d : jarak dari focus ke rambu ukur

DAB : jarak mendatar dari A ke B.

55

Ilmu Ukur Tanah

Catatan : A disebut konstanta pengali teropong

B disebut konstanta penambah

Karena B umumnya kecil, maka untuk jarak relative jauh B

diabaikan, bahkan pada alat yang baru dibuat B = 0 dengan sistem

optis yang tertentu (lensa analaktik). Apabila tinggi garis bidik

diukur misal = t, maka beda tinggi (hAB) adalah = t – BT. Apabila

ketinggian titik A diketahui, missal = HA’ maka tinggi titik B :

HB = HA + hAB = HA + t – BT .............................(6.27)

6.8.1.2. Teropong Miring

Untuk teropong dengan kemiringan terhadap bidang mendatar

yang melalui sumbu II teropong, maka :

S S* = S cos

D d* = d cos

B B cos

Gambar 6 43. Jarak optis pada teropong miring

Andaikata jarak dari bidang mendatar yang melalui sumbu II

sampai BT rambu kita namakan V (naik / turun), maka:

tg = V = DAB.tg

= (B cos A.S. cos2 ) tg

= (B cos A.S. cos2 )

= B sin + A.S. cos . sin

= B sin + ½ A. S . sin 2

Karena B sin dianggap kecil atau bahkan nol, maka :

56

Ilmu Ukur Tanah

V = ½ A.S. sin 2 ......................................(6.29)

Dari gambar di atas didapat hubungan :

t + V = hAB + BT

hAB = t + V = BT

Sehingga :

HB = HA + t+V-BT.........................................(6.30)

Dengan demikian, selain dapat digunakan untuk mencari jarak

datar, teropong juga dapat digunakan untuk mengukur beda tinggi.

Pengukuran jarak datar dan beda tinggi dengan pembacaan benang stadia

pada rambu serta sudut miring teropong disebut dengan pembacaan

benang stadia pada rambu serta sudut miring teropong disebut dengan

takhimetri (tachymetry).

Perlu diingat bahwa sebelum kita mengadakan pengukuran dengan

teropong, kita tahu lebih dulu besar konstante penambah (B) dan

konstante pengali (A) dari teropong. Andaikata A dan B belum

diketahui, maka dapt dicari dengan cara sebagai berikut :

Ukur dua penggal garis AB dan BC dalam satu garis lurus dengan

pita ukur, misal masing-masing 10 m, maka jarak AB = 10 m dan AC = 20

m. dirikan dan atur alat ukur di A dan buat teropong mendatar, serta

bidikkan pada rambu di B dan C, kemudian masing-masing dibaca BA dan

BB-nya, sehingga didapat S1 dan S2.

Dari padanya dapat disusun persamaan :

D1 = B + A . S1

D2 = B + A . S2

Karena D1, D2, S1, S2 ada, maka A dan B bias didapat.

Gambar 6.44. Cara menentukan konstante penambah dan pengali teropong

6.8.2.............................................Sistem Tangensial

57

Ilmu Ukur Tanah

Sistem ini dipakai karena teropong tidak mempunyai benang

stadia, sehingga rambu hanya dibaca benang tengahnyas saja. Untuk itu

dilakukan pembacaan kerambut minimal dua kali dengan sudut miring

yang tidak sama. Dari Gambar 6.45 didapat hubungan :

BT1 – E = DAB.tg 1 V = DAB . tg 1

BT2 – E = DAB.tg 2 hAB = t + V - BT1

S = DAB . (tg 2 - tg1) = DAB . tg 1 + V – BT1

DAB = .......................................(6.32)

HB = HA + DAB . tg 1 + V – VT1............................(6.32)

Gambar 6.45. Sistem tangensialKeterangan gambar :

DAB : jarak datar AB

T : tinggi alat

V : naik/turun

E : Perpotongan bidang datar melalui sumbu dengan

garis gaya berat melalu B.

BT1,BT2 : pembacaan benang tengah ke rambut

1, 1 : sudut miring teropong

S : BT2-BT1

Dari gambar di atas didapat hubungan :

BT1 - E = DAB . tg 1 V = DAB . tg 1

BT2 - E = DAB . tg 2 hAB t + V - BT1

S = DAB (tg 2 – tg 2)

= DAB tg 1 + V – BT1)

DAB = ..........................................(6.33)

58

Ilmu Ukur Tanah

HB = HA + DAB . tg 1 + V – BT1...............................(6.34)

6.8.3. Sistem Rambu Mendatar (Substenbar System)

Berbeda dengan sistem sebelumnya, di sini rambu dipasang pada

statip khusus sehingga posisinya mendatar. Selain itu pada tengah

rambu diberi alat khusus sehingga rambu dapat distel tegak lurus

terhadap garis hubungan instrument ke tengah rambut,. Serta target di

ujung-ujung rambu dapt diberi sinar sehingga dapat dilakukan

pengukuran pada hari yang gelap dan panjang rambu sudah tertentu

(2m).

Gambar 6.46. Sistem rambu mendatar (substenbar)

Pada cara ini yang diukur adalah sudut horizontal dari ujung-

ujung rambu. Dari gambar di atas didapat hubungan :

DAB = H = ......................................(6.35)

Apabila dibutuhkan tinggi tempat berdiri rambu, maka setelah

pengamatan sudut mendatar, bidik tengah-tengah rambu dan baca sudut

miringnya () kemudian ukur tinggi rambu dan tinggi alat ukurnya.

V = H tg

Apabila tinggi rambu = hr dan tinggi alat ukur = t, maka beda

tinggi adalah :

hAB = t ± V - hr

dan tinggi B adalah :

HB = HA + t ± V – hr ....................................(6.36)

6.8.4. Sistem Bayangan Rangkap

59

Ilmu Ukur Tanah

Sistem ini sebenarnya hamper sama dengan rambut mendatar,

karena di sini rambu juga dibuat mendatar. Bedanya di sini sudut

mendatar diperoleh dengan prisma akhromatis yang dipasang di depan

lensa obyektif sehingga garis bidik akan kelihatan menjadi dua, yang

satu lurus dan yang lain dibiaskan ke samping dengan sudut deviasi

() tertentu. Perbedaan bacaan rambu akan menentukan panjang deviasi

pada target/rambu (S). Pembacaan pada rambu dapat teliti, sebab di

sini.

Gambar 6.47. Sistem bayangan rangkap

Dilengkapi dengna nonius rambu. Sedang rumus untuk menentukan

jarak seperti jarak optis biasa yaitu :

D = B + A . S

Termasuk dalam ketode pengukuran ini adalah pengukuran jarak

menggunakan alat rangefinder dan teletop.

60

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 6.48. Teletop

61

Ilmu Ukur Tanah

4. KERANGKA DASAR PEMETAAN

4.1. POLIGON ATAU RAVERSE

Polygon berasal dari kata poli yang berarti banyak dan gonos

yang berarti sudut. Secara harfiahnya, poligon berarti sudut banyak.

Namun arti yang sebenarnya adalah rangkaian titik-titik secara

berurutan, sebagai kerangka dasar pemetaan.

Sebagai kerangka dasar, posisi atau koordinat titik-titik

polygon harus diketahui atau ditentukan secara teliti. Karena akan

digunakan sebagai iaktan detil, pengukuran polygon harus memenuhi

criteria atau persyaratan tertentu.

4.1.1. Macam-Macam Poligon

Poligon ada bermacam-macam. Poligon dibedakan berdasarkan pada

kriteria tertentu, antara lain :

a. Atas dasar titik ikat : terikat sempurna, terikat tidak sempurna,

terikat sepihak, bebas (tanpa ikatan).

b. Atas dasar bentuk terbuka, tertutup, bercabang

c. Atas dasar alat yang digunakan untuk pengukuran : polygon teodolit

(poligon sudut) dan polygon kompas.

d. Atas dasar penyelesaian : polygon hitungan (numerik) dan poligon

grafis.

e. Atas dasar tingkat ketelitian : tingkat I, tingkat II, tingkat

III, tingkat IV (rendah).

f. Atas dasar hirarkhi dalam pemetaan : polygon utama (induk) dan

polygon cabang (anakan / ray).

62

Ilmu Ukur Tanah

4.1.2. Poligon Secara Umum

Rumus umum penentuan koordinat suatu titik, misal titik 2 yang

diikat dari titik 1 yang telah diketahui koordinatnya adalah :

X2 = X1 + d1 – 2 sin 1-2

Y2 = Y1 + d1 – 2 cos 1-2.....................................(8.1)

Titik 1 disebut titik ikat, 1-2 disebut sudut jurusan atau

azimuth sisi 1-2, d1-2 adalah jarak sisi 1-2. Apabila sudut diukur

pada titik 2 dan jarak diukur dari titik 2 ke titik 3 maka koordinat

titik 3 dapat dicari. Demikian seterusnya, sehingga unsur yang diukur

dalam poligon adalah jarak dan sudut.

Gambar 8.2. Poligon terikat sempurnaKeterangan gambar :

a dan P : titik ikat awal

B dan Q : titik ikat akhir

AP : azimut awal

BQ : azimut akhir

sudut ukuran A : 1, 2, 3, …………n, B,

sudut ukuran dA1 : d12, d23, …………d(n-1)n, dnB,

Sesuai teori kesalahan dalam pengukuran jarak dan sudut, semakin

jauh dari titik ikat, kesalahan akan semakin besar. Oleh karena itu

agar kesalahan tersebut tidak merambat, akhir dari polygon perlu

dikontrol, baik berupa control koordinat maupun control jurusannya

(azimutnya). Poligon yang demikian dinamakan polygon terikat

sempurna.

63

Ilmu Ukur Tanah

.....Apabila dari data ukuran sudut dan jarak langsung dihitung

koordinat titik-titik polygon dengan titik ikat awal (A) sampai titik

B, maka akan didapat koordinat titik B yang tidak sama dengan

koordinat titik ikat B yang diketahui, dikarenakan pengukuran sudut

dan jarak dipengaruhi oleh adanya kesalahan. Oleh karena itu sebelum

penghitungan koordinat dilakukan, dilakukan penelitan sudut-sudut dan

jarak-jarak ukuran terlebih dahulu. Untuk dapat melakukan penelitian

kedua unsur tersebut, maka harus diketahui dan ditentukan lebih dulu

syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh suatu poligon.

Telah diketahui bahwa sudut-susut ukuran dipakai untuk mencari

sudut jurusan atau azimut sisi poligon, yang selanjutnya dengan data

jarak digunakan untuk mencari koordinat. Maka akan dicari sudut

jurusan atau azimuth semua sisi poligon terlebih dahulu.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa :

A1 = A1 + A

12 = A1 + 1 – 180o

= AP + A + 1 - 180o

23 = 12 + 2 – 180o

= AP A + 1 + 2 – 360o

34 = 23 + 3 – 180

= AP A + 2 + 3 – 540o

4B = 34 + B – 180

= AP A + 2 + 3 + 4 – 720o

BQ = 4B + B – 180o

= AP A + 2 + 3 + 4 – 900o

3B = 23 + 3 – 180o

= AP 1 + 2 + 3 – 540o

BQ = 3B + 4 – 180o

= AP 1 + 2 + 3 + 4 – 720o

atau :

BQ = AP + - 4 . 180o

atau secara umum dapat ditulis :

= (akhir - awal) + n . 180o (Syarat I) .................(4.2)

64

Ilmu Ukur Tanah

Ruas kiri adalah jumlah sudut-sudut yang diukur, sedang ruas

kanan terdiri dari dua suku, yang pertama adalah selisih jurusan atau

azimuth akhir dan awal, dan suku yang kedua berisi keliput dari 180o.

Sudut jurusan awal dan akhir diketahui atau dihitung dari koordinasi

titik-titik awal dan akhir yaitu A, P, dan B, Q :

AP = arc tg .................(4.3)

Dengan demikian didapat syarat yang harus dipenuhi oleh sudut-

sudut polygon yang diukur, yakni jumlah sudut-sudut yang diukur harus

sama dengan selisih sudut jurusan akhir dan awal ditambah kelipatan

dari 180o, atau :

= (akhir - awal) + n . 180o..............................(4.5)

Dalam kenyataannya karena ukuran sudut-sudut dihinggapi

kesalahan, maka :

= (akhir - awal) + n . 180o ± f.........................(4.5)

f dinamakan kesalahan penutup sudut. Kesalahan ini dikreksikan

kepada setiap sudut ukuran dengan prinsip sama rata, atau :

I = f/n................................................(4.6)

Apabila fα tidak habis dibagi, maka sisanya diberikan pada

sudut-sudut yang mempunyai mempunyai kaki pendek.

Untuk mendapatkan syarat sisi poligon yang harus dipenuhi,

proyeksikan sisi-sisi poligon tersebut pada sumbu X (menjadi d’) dan

pada sumbu Y (menjadi d”). Dari gambar dapat dicari :

d1’ = d1 sin A1 d1” = d1 cos A1

d2’ = d2 sin 12 d2” = d2 cos 12

d3’ = d3 sin 23 d3” = d3 cos 23

d4’ = d4 sin 34 d4” = d4 cos 34

d5’ = d 4 sin 4B d5” = d 2 cos 4B

d’= d sin d” = d cos

Seharusnya :

d sin α = XB – XA dan cos = YB - YA..................(8.7)

65

Ilmu Ukur Tanah

Ini merupakan syarat II dan III. Dengan perkataan lain, jumlah d

sin α harus sama dengan selisih absis titik akhir dan awal poligon.

Demikian pula, jumlah d cos α harus asma dengan selisih ordinat titik

akhir dan awal poligon.

Dalam kenyataannya :

d sin α = (Xakhir – Xawal) ± fx

d sin α = (Yakhir – Yawal) ± fx............................(4.8)

fx dinamakan kesalahan penutup absis dan fy dinamakan kesalahan

penutup ordinat, sedang kesalahan penutup jarak (linier) poligon:

fl = ..........................................(4.9)

fx : kesalahan penutup

absis

fy : kesahan penutup

ordinat

fl : kesalahan penutup

jarak (linier)

Titik B : Titik ikat akhir

Titik B’: Posisi titik B yang

dihitung dari data

ukuran yang masih

dihinggapi kesalahan

Gambar 8.3.

Kesalahan penutup poligon

Kesalahan fx dan fy dikoreksikan pada setiap penambahan absis (d

sin α) dan penambahan ordinat (d cos α) dengan perbandingan lurus

dengan jarak-jarak sisi polygon, atau dapat ditulis :

66

Ilmu Ukur Tanah

Xi = ....................(4.10)

Langkah penghitungan koordinat titik – titik polygon secara

sistematis adalah sebagai berikut :

1. Jumlahkan sudut-sudut hasil ukuran. Hitung αakhir dan αawal dari

koordinat titik ikat akhir dan 2 titik ikat awal (rumus 4.3). dari

padanya tentukan fα dan kemudian dikoreksikan pada masing-masing

sudut hasil ukuran (rumus 4.6) agar syarat pertama dipenuhi.

2. Atas dasar sudut jurusan (azimut) awal, dengan sudut-sudut

polygon ynag telah dikoreksi, hitung sudut jurusan (azimut) dari

setiap sisi poligon dengan aturan :

αn (n+1) = α (n+1)n ± 180o

Apabila perhitungannya benar, azimut BQ akan sama dengan azimut

akhir yang dihitung dari koordinat titik BQ.

3. Dengan sudut jurusan yang diperoleh dari langkah 2 di atas, hitung

d sin α dan d cos α. Hitung selisih antara Xakhir dan Xawal serta Yakhir

dan Yawal, kemudian hitung fx dan fy serta koreksikan pada masing-

masing dsinα dan dcosα sebanding dengan jarak-jaraknya (rumus

4.10).

4. Akhirnya dapat dihitung koordinat titik-titik polygon dari

koordinat titik yang ada di depannya dengan Rumus 4.1.

5. Agar perhitungan dapat dilakukan secara sistematis, dibuat

formulir perhitungan seperti contoh pada akhir bab ini.

4.1.3. Poligon Tertutup

Poligon tertutup adalah polygon yang titik awal dan akhirnya

menjadi satu. Poligon semacam ini merupakan poligon yang paling

disukai di lapangan karena tidak membutuhkan titik ikat yang banyak

yang memang sulit didapatkan di lapangan, namun hasil ukurannya cukup

terkontrol.

67

Ilmu Ukur Tanah

Karena bentuknya tertutup maka akan membentuk segi banyak atau

segi n (n = banyaknya titik poligon). Oleh karenanya syarat-syarat

geometris dari poligon tertutup adalah :

Gambar 8.4. Poligon tertutup

1. Syarat sudut

= (n – 2). 180o, apabila sudut dalam ...................(4.11)

= (n + 2). 180o, apabila sudut luar ....................(4.12)

2. Syarat absis

d sin α = 0

d cos α = 0..............................................(8.13)

Adapun prosedur perhitungannya sama dengan prosedur perhitungan

pada poligon terikat sempurna di atas. Pada poligon terikat sepihak,

poligon terbuka tanpa ikatan, syarat-syarat geometris tersebut tidak

dapat diberlakukan di sini. Hal ini mengakibatkan posisinya sangat

lemah karena tidak adanya kontrol pengukuran dan kontrol perhitungan.

Jadi sebaiknya poligon semacam ini dihindari. Posisi titik-titik

poligon yang ditentukan dengan cara menghitung koordinat-koordinatnya

dinamakan penyelesaian secara numeris atau poligon hitungan.

4.1.4. Poligon Terikat Hanya pada Koordinat Awal dan Akhir

Apabila sebuah poligon terikat pada awal dan akhir, masing-

masing pada titik A dan titik B yang telah diketahui koordinatnya

namun tidak diketahui azimutnya, maka kondisi tersebut dapat

diselesaikan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah menentukan azimut

68

Ilmu Ukur Tanah

awal yang diambil dengan pendekatan atau diukur dengan kompas. Dengan

azimut ini dan dengan titik ikat awal yang telah diketahui

koordinatnya, selanjutnya poligon dihitungan sebagai poligon lepas,

sehingga didapat koordinat titik B’. dari titik A dan titik B’ dapat

dihitung azimut AB’. Demikian pula, dari titik ikat awal A dan titik

akhir B dapat dihitung azimut AB. Selisih dari keduanya merupakan

besar sudut rotasi yang harus diberikan pada azimut pendekatan.

Pada perhitungan tahap kedua, poligon dihitung kembali dengan

azimut awal hasil rotasi tahap pertama, sebagai poligon terikat

sempurna.

4.1.5 Poligon Kompas

Pada poligon teodolit sebagaimana paragraph di atas, semua

sudutnya dihitung. Sudut-sudut ini akan dipakai untuk mencari sudut

jurusan atau azimut dari sisi-sisi poligon yang berikutnya.

Namun pada alat ukur sudut yang telah menggunakan kompas, pada

setiap arah yang dibidk akan terbaca sudut jurusannya (azimut

kompas). Missal pada gambar di bawah ini kita memasang alat di titik

1 dan kemudian membidik titik 2, maka kita akan mendapatkan sudut

jurusan α12. Kemudian alat ukur kita pindahkan ke titik 2 dan dari

titik ini kita membidik titik 1 dan 3 sehingga kita mendapatkan dua

jurusan sekaligus, yaitu α23 yaitu α21 – 180o. jadi kita tidak perlu

memasang alat ukur di titik 1.

Gambar 8.9. Poligon Kompas

Demikian selanjutnya, kita tidak perlu memasang alat di titik 3,

tapi dari titik 2 langsung ke titik 4, karena dari titik 4 kita dapat

69

Ilmu Ukur Tanah

membidik titik 3 untuk mendapatkan sudut jurusan α43 dan daripadanya

kita bias menghitung α34. Dengan demikian jika poligon diukur dengan

kompas, alat ukur tidak perlu dipasang di setiap titik poligon,

melainkan berselang satu-satu (lompat kijang), yaitu dari titik 2

pindah ke titik 4, titik 6, titik 8 dan seterusnya.

8.1.6. Poligon Grafis

Apabila suatu poligon telah diketahui sudut-sudutnya, arah –

arahnya serta jarak sisi-sisinya, penggambarannya dapat dilakukan

dengan lebih dulu menghitung koordinat titik-titik poligon tersebut,

atau dapat pula digambarkan langsung dari data sudut atau jurusan

dengan busur derajat dan dari data jarak dengan mistar skala.

Penggambaran poligon yang terakhir ini dinamakan poligon grafis.

Missal berdasarkan hasil pengukuran sudut, arah dan jarak sisi-

sisinya, poligon tertutup A, B, C, D, E, F, A akan diplot secara

berurutan dari A sampai ke A lagi. Pada umumnya titik A yang terakhir

tidak akan berimpit dengan titik A semula, tetapi bergeser ke A.

Gambar 4.10. Poligon grafis

Gambar 4.11. Koreksi poligon grafis

Jarak linier dari A-A* dinamakan kesalahan penutup jarak. Arah

kesalahannya adalah dari A ke A*, sehingga arah koreksinya dari A* ke

70

Ilmu Ukur Tanah

A. di setiap titik poligon hasil plot dibuat arah sejajar A* - A.

besar koreksi di setiap titik poligon sebanding dengan jarak dari

titik awal. Setelah semua posisi titik-titik poligon dikoreksi, semua

titik digubungkan kembali secara berurutan, sehingga didapatkan

poligon yang telah dikoreksi.

Pada umumnya poligon grafis adalah poligon yang diukur dengna

kompas, sedang poligon numeris (hitungan) adalah poligon yang diukur

dengan teodolit (poligon sudut).

4.1.7. Poligon Simpul

Pada poligon yang dibuat dari tiga buah titik tetap (yang telah

tertentu koordinatnya) atau lebih dan bertemu pada sebuah titik,

titik pertemuan dari poligon-poligon tersebut dinamakan titik simpul

atau titik sekutu.

Gambar 4.12. Poligon simpul

Pada Gambar 4.12 di atas, titik S adalah titik simpul poligon

AS, BS dan CS, sedangkan titik A, B dan C adalah titik tetap awal

masing-masing poligon dan telah terdapat pula azimut-azimutnya

sebagai azimut pengikat. Apabila setiap poligon dihitung sendiri-

sendiri, maka akan didapat tiga koordinat titik S, yang mungkin

harganya berbeda satu sama lain. Koordinat-koordinat titik S yang

berbeda ini perlu diratakan menggunkan ilmu hitung perataan untuk

mendapatkan sebuah koordinat titik simpul S. untuk itu digunakan

unsur berat karena adanya perbedaan ketelitian dari masing-masing

poligon tersebut. Perbedaan ketelitian tersebut, mungkin disebabkan

oleh jarak masing-masing poligon yang tidak sama, atau banyaknya

71

Ilmu Ukur Tanah

titik sudut poligon. Oleh karenanya perambatan kesalahan pada titik

simpul S dari setiap poligon memberikan pengaruh yang tidak sama

pula.

Sesuai dengan teori ilmu hitung perataan (tak dibahas disini)

langkah perataannya adalah sebagai berikut :

a. Perataan Azimut

Untuk perataan azimut di titik S, diambil sisi sekutu missal S-

11. Azimut sisi S-11 dihitung dari azimut ikatan pada setiap poligon.

Missal diperoleh hasil sebagai berikut :

- Dari titik ikat A : αS-11 = 134o 22’ 48” = 134o 22’ 30” + 18”

- Dari titik ikat B : αS-11 = 134o 22’ 40” = 134o 22’ 30” + 10”

- Dari titik ikat C : αS-11 = 134o 22’ 36” = 134o 22’ 30” + 6”

Dari ketiga azimut yang diperoleh, untuk menyederhanakan

perhitungan selanjutnya diambil pendekatannya (134o 22’ 30”) dan

sisinya dianggap sebagai pengamatan-pengamatan yang akan diratakan.

Dengna demikian kita bekerja dengan bilangan-bilangan yang kecil.

Pada masing-masing poligon dimasukkan factor berat yang

berbanding terbalik dengan banykanya titik sudut poligon. Missal

banyaknya masing-masing titik sudut poligon adalah 10, 11 dan 8 buah,

dengan demikian perbandingan beratnya adalah : 1/10, 11, 1/8 atau

dalam perbandingan serupa adalah 10 : 9,1 : 12,5. Menurut ilmu hitung

perataan, apabila ada sejumlah pengamatan P1, P2, P3 …Pn masing-masing

dengan berat g1, g2, g3 … gn maka pengamatan pukul rata diperoleh

dengan rumus:

..................(4.8)

Sehingga dari azimut-azimut sisi S-10 di atas, hasil pukul ratanya

adalah :

72

Ilmu Ukur Tanah

134o 22’ 20” +

Setelah hasil tersebut diperoleh, azimut masing-masing poligon

koreksi kembali. Missal poligon A mendapt koreksi sebesar : 134o 22’

40”, 9 – 134o 22’ 48” = -7”,1. Koreksi ini diberikan sama rata kepada

masing-masing azimut sisi-sisi poligon dari A ke S. demikian pula,

koreksi sisi-sisi poligon dari B ke S dan dari C ke S dihitung dengan

cara yang sama.

b. Perataan Koordinat

Setelah azimut setiap sisi poligon dikoreksi, langkah

selanjutnya adalah menghitung koordinat titik S dari masing-masing

poligon. Missal diperoleh data sebagai berikut :

- Dari poligon A-S didapat :

Xs = + 27856,420 m = + 27856,400 m + 0,020 m

Ys = - 12475,826 m = - 12475,800 m + 0,026 m

- Dari poligon B-S didapat :

Xs = + 27856,428 m = + 27856,400 m + 0,020 m

Ys = - 12475,842 m = - 12475,800 m + 0,042 m

- Dari poligon C-S didapat :

Xs = + 27856,438 m = + 27856,400 m + 0,038 m

Ys = - 12475,828 m = - 12475,800 m - 0,028 m

Sebagai berat diambil bilangan-bilangan yang berbanding terbalik

dengan jumlah jarak sisi-sisi poligon. Misal jumlah jarak sisi

poligonm AS = 1234,50 m, BS = 2643,0 m, CS = 1756, 70 m, maka

perbandingan berat dari masing-masing poligon menjadi :

maka koordinat titik S

ditetapkan sebagai berikut :

Xs = + 27856,400 + = + 27856,427

m

73

Ilmu Ukur Tanah

Ys = + 27475,800 + = + 12475,830

m

Setelah koordinat titik S ditetapkan, maka poligon AS, BS, dan

CS sekarang menjadi poligon terikat sempurna. Selanjutnya masing-

masing poligon dihitung berapa kesalahan penutup absis dan ordinatnya

dan kemudian dikoreksi pada masing-masing d sin α dan d cos α, yang

selanjutnya digunakan untuk menghitung koordinat titik-titik poligon

yang bersangkutan.

4.1.8. Tingkat Ketelitian Pengukuran Poligon

Karena unsur poligon adalah sudut dan jarak, maka tingkat

ketelitian pengukuran poligon didasarkan pada ketelitian pengukuran

sudut dan jarak pula. Pada poligon yang tertutup atau terikat

sempurna di mana jumlah sudut hasil pengukuran serta jumlah d sin α

dan d cos α sudah tertentu maka tingkat ketelitian poligon didasarkan

pada besarnya kesalahan penutup sudut dan jarak. Dengna dasar

tersebut ketelitian poligon dibedakan menjadi :

Kelas ketelitian

poligon

I II III IV

Kesalahan penutup sudut

Koreksi masimum

persudut ketelitian

penutup pajak

2” 1”

1:35.000

10” 2”

1:10.000

30” 3”

1:5.000

60”

6”

1:2.000

74

Ilmu Ukur Tanah

5. SIFAT DATAR

Sifat datar bertujuan menentukan beda tinggi antara titik-titik

di atas permukaan bumi secara teliti. Tinggi suatu obyek di atas

permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi, yaitu bidang

yang ketinggiannya dianggap nol. Dalam geodesi, bidang ini disebut

bidang geoid, yaitu bidang equipotensial yang berimpit dengan

permukaan air laut rata-rata (mean sea level). Bidang equipotensial

juga disebut bidang nivo. Bidang-bidang ini selalu tegak lurus dengan

arah gaya berat di mana saja di permukaan bumi.

Gambar 9.1. Bidang referensi ketinggian

75

Ilmu Ukur Tanah

Beda tinggi di atas permukaan bumi dapat ditentukan dengan

berbagai cara, antara lain :

1. Sipat datar (spirit levelling)

2. Takhimetrik (tachymetric levelling)

3. Trigonometri (trigonometri levelling)

4. Barometrik (barometrik levelling)

Urutan tersebut juga merupakan urutan tingkat ketelitian dari

cara atau metode pengukuran beda inggi. Pada bab ini akan dijelaskan

metode yang pertama. Metode yang kedua, yaitu metode takhimetrik,

telah dibicarakan pada bab sebelumnya. Sedangkan metode yang ketiga

dan keempat akan dibicarakan pada Bab lain.

Karena sipat datar merupakan metode penentuan beda tinggi yang

paling teliti, maka metode ini biasanya dikerjakan untuk menentukan

ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan atau pekerjaan-

pekerjaan rekayasa yang membutuhkan ketelitian yang tinggi.

5.1. Sipat Datar

Istilah sipat datar di sini berarti konsep penentuan beda tinggi

antara dua titik atau lebih dengan garis bidik mendatar / horizontal

yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertical.

Sedangkan alat ukurnya dinamakan penyipat datar atau waterpas.

Gambar 9.2. Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipat datarKeterangan gambar :

A dan B : titik di atas permukaan bumi yang akan diukur beda tingginya

a dan b : bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik di titik A dan

B

HA dan HB : ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi

hAB : beda tinggi antara titik A dan B

76

Ilmu Ukur Tanah

Beda tinggi antara A dan B dirumuskan sebagai :

(hAB) = a – b .................................................(9.1)

Apabila (a-b) hasilnya positif (plus), maka dari A ke B berarti

naik, atau B lebih tinggi daripada A. Sebaliknya, apabila (a-b)

negative (minus), maka dari A ke B turun atau B lebih rendah daripada

A.

Garis bidik adalah garis lurus (khayal) pada teropong. Untuk

mendatarkan garis bidik, dibutuhkan nivo tabung. Dengan demikian,

selain teropong dan kelengkapan lain alat ukur penyipat datar juga

dilengkapi dengan nivo tabung untuk membantu mendatarkan garis bidik.

Tidak seperti teodolit, alat ukur penyipat datar hanya dapat diputar

pada sumbu I (sumbu vertikal) saja, tidak mempunyai sumbu II (sumbu

horizontal). Untuk mematikan gerakan pada sumbu I, alat dilengkapi

dengan klem sumbu I dan skrup penggerak halus.

Alat ukur penyipat datar ada berbagai tipe, secara garis besar

adalah sebagai berikut.

Gambar 5.3. Alat penyipat datar sederhana, tipe semua tetap tanpa

skrup ungkit

.

1. Tipe semua tetap

a. Tanpa skrup ungkit (dumty level)

b. Dengan skrup ungkit (tilting level)

2. Tipe otomatis (automatic level)

3. Tipe sinar laser

4. Tipe elektronik

77

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 5.4. Penyipat datar tipe semua tetap dengan skrup ungkit

Alat penyipat datar diproduksi oleh perusahaan yan memproduksi

teodolit. Oleh karenanya merknya juga sama.

Alat penyipat datar dengan skrup ungkit, teropongnya selain

dapat digerakkan pada sumbu vertical (grakan menggeleng), juga dapat

digerakkan sedikit ke atas dan ke bawah (gerakan mengangguk) secara

terbatas dengna menggunakan skrup ungkit. Alat ukur penyipat datar

teliti sebenarnya juga tergolong dalam tipe ini, tetapi nivonya jauh

lebih sensitive (harga sudut nivo kecil) dan dilengkapi dengan plat

plan paralel yang dipasang di depan lensa obyektif untuk mengatur

penempatan garis bidik pada rambu ukur. Untuk melihat apakah nivo

berada dalam posisi seimbang atau tidak, dibuat sistem optis tertentu

sedemikian hingga bayangan gelombung nivo dapat dilihat langsung pada

teropong secara koinsiden seperti pada Gambar 5.5. di bawah.

Tipe baru yang sekarang berkembang luas di pasaran adalh tipe

otomatis atau automatic level, maksudnya apabila sumbu I telah

vertical atau mendekati vertikal (dengan kemiringan terbatas) garis

bidik akan mendatar secara otomatis. Dalam hal ini, meskipun setiap

pabrik memiliki pemecahan yang berbeda-beda, namun prinsipnya

menggunakan prisma pendulum (gantung) yang akan selalu mencari posisi

sesuai arah gaya beratnya. Dengan demikian, apabila sumbu I sedikit

miring, pendulum akan bergerak sesuai arah gaya berat yang baru, dan

garis bidik akan mendatar kembali seperti Gambar 9.6. jadi, alat yang

bertipe otomatis tidak lagi menggunakan nivo tabung untuk mendatarkan

garis bidiknya.

78

Ilmu Ukur Tanah

Pada alat-alat yang baru, kiap (tribrach) juga dilengkapi dengan

pembacaan lingkaran horizontal, sehingga selain dapat digunakan untuk

menentukan beda tinggi, akat juga dapat digunakan untuk mengukur

arahnya, sehingga dalam keadaan terbatas (lapangan relative datar),

alat tersebut dapat dipakai untuk pengukuran detil situasi.

Gambar 5.5 Bayangan gelembung nivo koinsiden

Sebagaimana teodolit, alat penyipat datar juga memerlukan statip

untuk dari berdiri di lapangan, serta rambu ukur untuk pembacaan

tinggi garis bidik di titik yang akan diukur beda tingginya. Rambu

ukur juga bermacam-macam ; ada yang terbuat dari kayu, metal, atau

aluminium dan ada pula yang terbuat dari invar untuk pengukuran

teliti. Konstruksinya ada yang dapat dilipat dengan sistem engsel,

ada yang dilipat ke dalam atau teleskopik, ada yang satu batang

penuh. Panjang rambu umumnya 3 m, walaupun ada pula yang 4 m bahkan 5

m. agar dapat berdiri tegak di lapangan, rambu dibantu dengan nivo

rambu, dan juga sepatu rambu serta statip rambu untuk pengukuran

teliti.

Keterangan

gambar:

1. Garis bidik

2. Ronsel lensa

tengah

79

Ilmu Ukur Tanah

3. Prisma

4. Prisma

pendulum

5. Lensa obyektif

6. Lensa okuler

7. Sumbu vertika

(I)

8. Skrup penyetel

(ABC)

9. Plat dasar

(tatakan)

10. Lensa

sentral/tengah

Gambar 9.6. Penyipat datar otomatis Zeiss Ni-2 dan prisma pendulum

5.2. Syarat-Syarat Pemakaian Alat Ukur Penyipat Datar

Dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat khususnya dalam

peralatan ukur tanah, persyaratan dan cara pemakaian alat ukur

menjadi semakin sederhana. Namun demikian andaikata kita telah dapat

mengatur alat tipe lama atas tipe semua tetap, alat ukur yang modern

akan menjadi lebih mudah lagi digunakan.

Gambar 9.7. Macam-macam rambu peyipat datar. a,c,e adalah rambu invar

Agar dapat digunakan di lapangan, alat ukur penyipat datar harus

memenuhi beberapa syarat tertentu, baik syarat utama yang tak dapat

ditawar-tawar lagi maupun syarat tambahan yang dimaksudkan untuk

80

Ilmu Ukur Tanah

memperlancar pelaksanaan pengukuran di lapangan. Adapun syarat-syarat

pemakaian alat penyipat datar pada umumnya adalah :

a. Syarat dinamis : sumbu I vertical.

b. Syarat statis

1. Garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo

2. Garis arah nivo tegak lurus sumbu I (sumbu vertikal)

3. Garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I

Urutan persyaratan statis memang demikian. Namun agar

pengaturannya lebih sistematis dan tidak berulang-ulang, urutan

pengaturannya dibalik dari poin 3 ke 1.

5.2.1. Mengatur Garis Mendatar Diafragma Tegak Lurus Sumbu I

Pada umumnya garis mendatar (benang silang mendatar) telah

dibuat tegak lurus sumbu I oleh pabrik yang memproduksi alat ukur.

Namun untuk mengetahui apakah hal tersebut masih tetap atau telah

berubah, dilakukan percobaan sebagai berikut.

Gambar 9.8. Benar silang belum mendatar

Pasang alat ukur sipat datar di atas statif dan buat sumbu I

vertikal dengan mengatur nivo kotak dengan skrup ABC. Bidikkan

teropong pada tembok dan beri tanda di tembok titik yang berimpit

dengan ujung kiri benang silang mendatar. Apabila bayangan titik

tetap berada pada bennag silang mendatar, berarti benar silang

mendatar telah tegak lurus sumbu I. sebaliknya apabila benang sumbu

I, maka bayangan titik tersebut akan berjalan di luar benang silang.

81

Ilmu Ukur Tanah

Cara koreksi, kendorkan semua skrup koreksi diafragma dengan pen

koreksi, kemudian diafragma diputar hingga benang silang horizontal

betul-betul mendatar, dan kencangkan kembali skrup koreksi.

9.2.2. Mengatur Garis Arah Nivo Tegak Lurus Sumbu Bertikal (I)

Pada alat ukur penyipat datar tipe semua tetap tanpa skrup

ungkit, syarat ini penting sekali. Namun pada alat dengan skrup

ungkit, syarat ini agak sedikit longgar karena apabila ada sedikit

pergeseran nivo dalam pengukuran, dapat diseimbangkan dengan skrup

ungkit ini. Adapun cara mengatur agar garis arah nivo tegak lurus

sumbu I, prosedurnya sama dengan membuat sumbu I vertikal pada

teodolit dengan nivo tabung alhidade horizontal (subbab 6.3.2.).

Adapun maksud dari persyaratan ini adalah apabila sumbu I telah

dibuat vertikal, ke mana pun teropong diputar, gelembung nivo akan

tetap seimbang. Ini berarti garis bidik selalu mendatar karena garis

bidik telah dibuat sejajar dengan garis arah nivo (subbab 5.2.3.).

5.2.3. Membuat Garis Bidik Sejajar Garis Arah Nivo

Pada penyipat datar, yang diperlukan adalah garis bidik

mendatar. Masalahnya, kita tidak dapat mengerti secara langsung

apakah garis bidik sudah betul-betul mendatar atau tidak. Hal ini

dapat dibantu dengan nivo tabung. Jika gelembung nivo seimbang, garis

arah nivo pasti mendatar. Dengan demikian jika kita bias membuat

garis bidik sejajar dengan garis arah nivo, maka pada saat nivo

seimbang, garis bidik akan mendatar.

Untuk mengetahui apakah garis bidik pada suatu alat penyipat

datar sudah sejajar dengan garis arah nivo atau belum dan sekaligus

mengoreksinya, dapat dilakukan beberapa cara, antara lain sebagai

berikut.

1. Buat tiga buah penggal garis sama panjang dalam satu garis lurus

di lapangan Misal ditandai dengan titik A, B, C, D masing-masing

berjarak 10 m.

82

Ilmu Ukur Tanah

2. Dirikan rambu vertikal di A dan C, ukur beda tingginya dengan

penyipat datar distel di atas titik B. saat membidik rambu di A

dan C, atur agar gelembung nivo tabung selalu seimbang atau di

tengah. Jika garis bidik belum sejajar garis arah nivo, maka yang

terbaca di rambu A menjadi a1 dan di rambu C menjadi c1. Jika garis

bidik sudah sejajar garis arah nivo (garis bidik mendatar), akan

terbaca ao dan co. Beda tinggi antara A dan C terbaca a1-c1, maka

beda tinggi tersebut salah, karena seharusnya adalah ao –co. akan

tetapi karena jarak AB – BC, maka a1 – c1 = ao – co-.

3. Pindahkan alat ukur ke titik D sebagaimana langkah (2) di atas.

Baca rambu di C dan A dengan posisi nivo teropong seimbang.

Apabila garis bidik telah sejajar garis arah nivo, maka bacaan

rambu di A dan C masing-masing a3 dan c3, tetapi karena ada

kesalahan, yaitu garis bidik belum sejajar garis arah nivo, maka

akan terbaca masing-masing a2 dan c2. Kesimpulannya adalah apabila

a2 – c2 tidak sama dengan a1 – c1, berarti garis bidik belum

sejajar garis arah nivo. Kesalahan yang terjadi pada rambu A

adalah dari a2 a3 dan pada rambu C dari c2 c3, yang besarannya

akan kita cari sebagai besaran koreksi.

4. Buat garis pertolongan dari c2 mendatar ke rambu A. Misal

pembacaan di rambu A = a4, maka pembacaan a4 ini = c2 + (a1 – c1).

Dengan demikian jarak dari a2 ke a4 = a2 – {c2 + (a1 – c1)} missal

x, dan dari a4 ke a3 = y.

Gambar 5.9. Membuat garis bidik sejajar dengan garis arah nivo

83

Ilmu Ukur Tanah

Segitiga a2 . c2 dan segitiga a2 . a3 . D’ adalah sebangun,

sehingga :

x + y : x = 3 : 2, sehingga

x + y = 3/2 x

= 3/2 { (a2 - c2) – (a1 – c1)}

Karena bacaan-bacaan tersebut ada, maka x + y = K dapat dihitung.

5. Pelaksanaan koreksi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.

a. Untuk alat tipe semua tetapi tanpa skrup ungkit

Arahkan garis bidik pada angka (a2 – K) pada rambu A dengan

memutar sikrup koreksi diafragma atas dan bawah dengan pen

koreksi dan gelembung nivo tetap seimbang.

b. Untuk alat tipe semua tetap dengan skrup ungkit

Koreksi untuk alat tipe semua tetap dengan skrup ugkit dapat

dilakukan dengan dua cara :

1. Koreksi sama seperti pada tipe tanpa skrup ungkit seperti

poin a di atas.

2. Arahkan garis bidik apda angka (a2 – K) pada rambu A dengan

memutar skrup ungkit, sehingga gelembung nivo teropong

menjadi tidak seimbang, kemudian diseimbangkan kembali dengan

memutar skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.

Catatan : pada alat ukur penyipat datar tipe otomatis, kesalahan

garis bidik masih dimungkinkan ada sehingga perlu dicek dan

dibetulkan, dan prosedur koreksinya sama dengna pada alat tipe semua

tetap tanpa skrup ungkit.

5.3. PENGUKURAN BEDA TNIGGI ANTARA DUA BUAH TITIK

Jarak bidik optimum alat penyipat datar berkisar antara 40-60 m,

sehingga apabila dua buah titik yang akan diukur beda tingignya cukup

dekat dan relatif datar, maka pengukuran dapat dilakukan dengan

beberapa kemungkinan seperti pada gambar berikut.

84

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 9.10. Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik yang

relative dekat

Apabila alat didirikan di antara dua buah rambu, maka antara dua

buah rambu dinamakan slag yang terdiri dari bidikan ke rambu muka dan

rambu belakang. Selain garis bidik atau benarn tengah (BT), pada

umumnya teropong dilengkapi dengan benar stadia yaitu benang atas

(BA) dan benang bawah (BB). Selain untuk pengukuran jarak optis,

pembacaan BA dan BB juga untuk control pembacaan benang tengah (BT)

di mana seharusnya pembacaan BT = ½ (BA + BB).

Apabila jarak antara dua buah titik yang akan diukur beda

tingginya relatif jauh, maka dilakukan pengukuran berantai atau sipat

datar memanjang. (diferential leveling).

5.4. PENGUKURAN SIPAT DATAR BERANTAI

Jika jarak antartitik control pemetaan relatif jauh, pengukuran

beda tinggi dengan penyipat datar tak dapat dilakukan dengan satu

kali berdiri alat. Oleh karena itu antara dua buah titik control yang

berurutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu dan

pengukurannya dibuat secara berantai (differential leveling).

Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda

tinggi juga tidak cukup dilakukan dengan sekali jalan, tetapi dibuat

pengukuran pergi-pulang, yang pelaksanaannya dapat dilakukan dalam

85

Ilmu Ukur Tanah

satu hari (dinamakan seksi), serta dimulai dan diakhiri pada titik

tetap. Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek.

Gambar 5.11. Pengukuran sipat datar berantaiKeterangan gambar :

A dan B : titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya

1,2,3,4,…. : titik – titik bantu pengukuran

a1,a2,a3 … : bacaan rambu belakang

b1,b2,b3 …. : bacaan rambu muka

pada gambar di atas, A dan B adalah titik yang akan ditentukan

beda tingginya. Karena jarak keduanya cukup jauh, maka dibuat

beberapa slag. Beda tingginya adalah kumulatif dari beda tinggi

setiap slag, yaitu :

hA1 = a1 – b1

h12 = a2 – b2

h23 = a3 – b3

---------------------------

hAB = h = a – ...................................(9.2)

Dalam hal ini : S

a : jumlah pembacaan rambu belakang

b : jumlah pembacaan rambu muka

h : beda tinggi setiap slag

Karena data pembacaan cukup banyak, agar nantinya tidak

menimbulkan kesulitan perhitungan, data ditulis secara sistematis

dalam buku ukur atau lembaran formulir pengukuran seperti contoh pada

halaman berikut.

Pembacaan angka pada rambu adalah dalam milimeter, sehingga

angka terdiri dari 4 digit tanpa tanda koma. Sebagai missal, untuk

menghilangkan kerancuan angka 17 mm sebaiknya ditulis 0017. Tuliskan

garus urut dan sistematis, serta sejelas mungkin. Apabila ada salah

86

Ilmu Ukur Tanah

tulis sebaiknya dicoret saja yang salah dan pembetulan ditulis di

atasnya atau disampingnya dengan jelas. Jangan menggunakan alat tulis

yang mudah terhapus (missal pensil 2B), tetapi gunakan pensil yang

keras (2H) atau ballpoint.

Selain dengan pengukuran pergi-pulang, pengukuran sipat datar

berantai kadang-kadang dilakukan dengan dua kali berdiri alat pada

setiap pengukuran beda tinggi tiap slag (double stand). Namun cara ini

tidak dianjurkan.

5.5. PENGUKURAN SIPAT DATAR TELITI

Untuk keperluan pengadaan jaringan-jaringan tinggi nasional

maupun kerangka kontrol vertikal/ tinggi pada pemetaan dan pekerjaan

rekayasa yang membutuhkan ketelitian yang tinggi, diperlukan

pengukuran sipat datar teliti. Untuk itu diperlukan alat ukur

penyipat datar yang teliti dengan ciri-ciri antara lain :

1. Sensitivitas nivo atau pendulum tinggi (harga sudut nivonya kecil)

2. Perbesaran bayangan teropong lebih besar (20 s/d 30 kali)

3. Dilengkapi dengan plat planparalel

4. Menggunakan rambu invar, sepatu rambudan nivo rambu.

Rambu invar adalah rambu yang garis-garis angkanya dituliskan

pada plat invar (campuran besi dan nikel). Plat ini tahan terhadap

perubahan suhu udara karena koefisien muainya sangat kecil. Pada

rambu ini angka rambu terdiri dari dua sisi kanan dan kiri, sehingga

saat pembidikan ke rambu akan didapat dua bacaan kanan dan kiri,

sekaligus dipakai sebagai kontrol pembacaan.

87

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 5.12. Penyipat datar teliti, plat planparalel dan pembacaan

pada rambu invar.

Plat planparalel adalah sebuah prisma datar yang dipasang di

depan lensa obyektif dan dapat diputar-putar pada sumbu mendatar

untuk mengatur penempatan garis bidik pada garis pembagian rambu

ukur. Perputaran plat planparalel ini dapat dibaca pada tromol, untuk

mendapatkan bacaan rambu sampai 1/100 mm.

Pada pengukuran sipat datar teliti, bacaan rambu tidak boleh

terlalu rendah minimal 0,5 m di atas permukaan tanah. Rambu harus

diberi sepatu dan berdiri tegak dengan statip dan nivo rambu. (Gambar

9.7 dan Gambar 9.16).

5.6. PERATAAN BEDA TINGGI UKURAN SIPAT DATAR

Apabila pengukuran beda tinggi pada satu slag diukur pergi-

pulang atau dua kali, akan didapat beda tinggi pergi (hpg) dan beda

tinggi pulang (hpl) yang besarnya tidak selalu sama. Beda tinggi

definitifnya adalah rata-rata dari hpg dan hpl atau secara

matematis :

hrata-rata atau (hr) = ..........................(9.3)

Pada pengukuran sipat datar berantai, pengukuran setiap seksi

juga dilakukan pergi dan pulang, sehingga pada umumnya tidak

menghasilkan angka beda tinggi yang sama. Selisih dari padanya serta

jarak antaranya, akan menentukan apakah ukuran beda tinggi tersebut

diterima atau tidak. Angka atau besaran yang menyatakan bahwa beda

pengukuran pergi dan pulang suatu ukuran diterima atau tidak diterima

dinamakan toleransi. Apabila selisih pengukuran pergi dan pulang

lebih kecil atau sama dengan (≤) toleransi, maka pengukuran tersebut

diterma. Sebaliknya apabila lebih besar (>) dari toleransi, akan

ditolak atau tidak diterima, yang berarti pengukuran harus diulangi

lagi. Besar toleransi ini ditentukan oleh tingkat pengukuran sipat

datar pergi – pulang. (9.8).

88

Ilmu Ukur Tanah

Apabila pengukuran pergi-pulang lebih kecil (<) dari toleransi

(diterima), maka beda tinggi definitif antara keduanya adalah rata-

rata antara beda tinggi pergi dan pulang, sebagaimana Rumus 9.3 di

atas. Selisih hpg atau hpl dikoreksi sebanding dengan jarak-

jaraknya, atau :

.............................................(9.4)

di sini :

hi : koreksi beda tinggi slag ke i

di : jarak slag ke i

d : jumlah jarak dalam seksi

fh : kesalahan atau penyimpangan pengukuran.

Apabila pengukuran terdiri dari beberapa seksi dan berbentuk

tertutup (loop/sircuit), maka persyaratan untuk setiap seksi sendiri

harus ≤ toleransi, demikian pula untuk syarat pengukuran tertutup

juga harus ≤ toleransi. Untuk pengukuran yang berbentuk tertutup,

selian syarat di atas, juga ada syarat lain yaitu jumlah beda tinggi

rata-rata loop seksi harus sama dengan nol, atau:

hRS = 0(9.5)

Apabila tidak sama dengan nol, maka besaran tersebut dinamakan

kesalahan penutup beda tinggi atau fH. Apabila harga fH ini ≤

toleransi, maka pengukuran diterima, dan untuk memenuhi syarat (9.5)

maka beda tinggi rata-rata setiap seksi dikoreksi sebesar :

.............................................(9.6)

di sini :

Hi : koreksi beda tinggi slag ke I

Di : jarak slag ke i (jarak rata-rata pergi-pulang)

D : jumlah jarak pengukuran tertutup.

fH : kesalahan penutup tinggi.

89

Ilmu Ukur Tanah

Koreksi setiap seksi yang didapat digunakan untuk mengoreksi

setiap slag sebagaimana Rumus 9.4 di atas. Apabila bentuk

pengukurannya berupa jaring-jaring dengan berbagai distribusi titik

ikat, maka perataannya menggunakan ilmu hitung perataan (kuadrat

terkecil) maupun metode lain di luar buku ini.

5.7. SUMBER KESALAHAN DAN CARA MENGATASI

Walaupun sebelum pengukuran peralatan telah dikoreksi dan

syarat-syarat lain telah dipenuhi, namun karena hal-hal yang tak

terduga sebelumnya, kesalahan-kesalahan yang lain tetap dapat

terjadi, yang menurut sumbernya adalah sebagai berikut :

1. Bersumber dari alat ukur, antara lain :

a. Garis bidik tidka sejajar garis arah nivo

b. Kesalahan titik nol rambu

c. Rambu tidak betul-betul vertical

d. Penyinaran pada alat tidak merata

2. Bersumber dari sisi pengukur, antara lain :

a. Kurang paham tentang pembacaan rambu

b. Mata cacat atau lelah

c. Kondisi fisik yang lemah

d. Pendengaran yang kurang

3. Bersumber dari alam, antara lain :

a. Kelengkungan permukaan bumi

b. Refraksi sinar

c. Undulasi

d. Kondisi tanah tidak stabil

Setiap kesalahan di atas perlu dikaji agar kita dapat menemukan

cara menghindarinya.

5.7.1. Kesalahan Garis Bidik Tidak Sejajar Haris Arah Nivo

Akibat kesalahan ini, garis bidik akan menjadi miring: pada

pengukuran.

90

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 9.13. Kesalahan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo

Satu slag pembacaan rambu belakang yang seharusnya terbaca ao

menjadi a1, demikian pula pembacaan rambu muka yang seharusnya ao

menjadi b1.

Akibatnya, beda tinggi antara A dan B (hAB) yang seharusnya (ao

- bo) menjadi (a1 – b1). Pergeseran angka pembacaan rambu garis bidik

ke belakang = a1 – a0, dan untuk rambu muka = b1 – b0. Karena sudut

kemiringan garis bidik ke belakang dank e muka sama besar a1 – a0 akan

sama dengan b1 – b0 akan sama dengan b1 – b0 apabila jarak alat ukur

ke rambu belakang sama dengan jarak alat ukur ke rambu muka. Dengna

kata lain, pengaruh garis bidik yang tidak sejajar dengan garis arah

nivo akan hilang dengan cara membuat jarak alat ukur ke rambu muka

sama dengan jarak alat ukur ke rambu belakang.

Pada pengukuran sipat datar berantai yang merupakan gabungan

dari berapa slag, ketentuan ini juga berlaku atau jumlah jarak ke

rambu belakang sama dengan jumlah jarak ke rambu muka. Artinya, tidak

harus jarak sumbu muka sama dengan jarak ke rambu belakang pada

setiap slag. Cara yang terakhir ini tidak berlaku apabila titik-titik

akan dihitung pula ketinggiannya.

9.7.2. Kesalahan Titik Nol Rambu

Kesalahan ini bias terjadi dari pabrik, namun bias pula terjadi

karena alas rambu yang aus dimakan usia atau sebab yang lain. Missal

kedua rambu yang dipakai dalam pengukuran keduanya salah, masing-

91

Ilmu Ukur Tanah

masing sebesar 2 bertanda positif (missal karena kesalahan dari

pabrik). Akan kita lihat pengaruhnya pada pengukuran berantai, di

mana pada pengukuran berantai biasanya kedudukan rambu akan dibuat

berselang-seling, dari rambu muka pada slag sebelumnya menjadi rambu

belakang pada slag berikutnya, demikian pula sebaliknya.

Pada gambar di bawah, beda tinggi pada slag pertama :

Beda tinggi yang sebenarnya antara 1 dan 2 = h12 = a0 – b0’

Dari pembacaan rambu : h12 = (a0 + 1) - (a0 + 2)

= (a0 + b0) - (1 + 2)

Gambar 9.14. Pengaruh kesalahan titik nol rambu

Beda tinggi antara titik 2 dan 3 :

h23 sebenarnya = c0 – d0

h23 dari pembacaan =c – d

= (c0 - 2) - (c0 - 1)

= (c0 – d0) - (1 - 2)

Beda tinggi (h) antara titik 1 dan 3 = h12 + h23

h13 yang sebenarnya = (a0 – b0) - (c0 - d1)

h13 dari pembacaan rambu = (a0 – b0) - (1 - 2) + (c0 – d0) -

(1 - 2)

= (a0 – b0) - (c0 – d0)

Beda tinggi antara titik 3 dan 4 (h34) :

h34 yang sebenarnya = e0 – f0

h34 dari pembacaan rambu = e – f

= (e0 + 1) – (d0 - 2)

= (e0 + f0) – (0 - 2)

92

Ilmu Ukur Tanah

Beda tinggi antara titik 1 dan 4 (h14) :

h14 yang sebenarnya = h12 + h23 + h34

h14 dari pembacaan rambu = (a0 – b0) + (c0 – d0) + (e0 –

f0)

(1 – 2)

Dengan demikian akan terlihat bahwa untuk beda tinggi satu slag

akan muncul + (1 – 2), untuk dua slag tidak muncul, tiga slag muncul

lagi dan untuk empat slag tidak muncul lagi, demikian seterusnya,

kalau ganjil muncul dan kalau genap tidak muncul. Kesimpulannya,

titik nol rambu pengaruhnya akan hilang apabila jumlah slag dibuat

genap.

5.7.3. Kesalahan Karena Rambu yang Tidak Betul-Betul Vertikal

Misal rambu kesatu dengan kemiringan 1, rambu kedua dengan

kemiringan 2, dan pembacaan pada masing-masing rambu a dan b. Pada

rambu vertikal akan terbaca.

Gambar 9.15. Kesalahan karena rambu tidak vertical

ao = ...............................(9.7)

sehingga beda tinggi antara titik 1 dan 2 yang benar : .

ao-bo =

93

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 9.16. Nivo rambu dan alas rambu

5.7.4. Kesalahan Karena Penyinaran yang Tidak Merata

Sinar matahari yang jatuh tidak merata pada alat ukur sipat

datar akan menyebabkan panas dan pemuaian pada alat penyipat datar

yang tidak merata pula, khususnya nivo teropong, sehingga pada saat

gelembung seimbang, garis arah nivo tidak mendatar dan garis bidik

juga tidak mendatar. Untuk menghindari keadaan semacam ini sebaiknya

alat ukur dipayungi agar tidak langsung terkena sinar matahari.

9.7.5. Kesalahan Karena Kurang Paham Tentang Pembacaan Rambu

Sebelum pengukuran dilakukan, seharusnya para surveyor sudah

betul-betul paham terhadap sisitem pembacaan rambu agar kesalahan

jenis ini tidak terjadi Kesalahan ini biasanya akan menimbulkan

blunder atau kesalahan besar. Missal angka 6 dibaca 9, kolom ke-7

pada rambu dikira kolom ke-2, sehingga missal 1273 dibaca 1223.

Untuk menghindari kesalahan ini, pembacaan dikontrol dengan

pembacaan benang atas (BA) dan benang bawah (BB) di mana BT – ½ (BA

+BB).

5.7.6. Kesalahan Karena Mata Catat Atau Lelah

Apabila pengamat mempunyai cacat mata (minus atau plus), pada

saat mengamati melalui teropong seharusnya pengamat menggunkan

kecamatan yang sesuai sehingga tidak timbul kesalahan pembacaan.

94

Ilmu Ukur Tanah

Pada umumnya pengamat senang menggunakan satu mata pada saat

mengamati dan mata yang lain dipicingkan. Akibatnya, lama-kelamaan

mata akan menjadi lelah sehinggadaya penglihatannya menjadi

berkurang. Demikian pula, perkiraan pembacaannya menjadi kasar.

Untuk menghindari kesalahan ini sebaiknya mata yang cacat

menggunakan kacamatan dan pengamatan dilakukan dengan mata secara

bergantian. Mata yang sedang tidak digunakan untuk membidik tidak

perlu dipejamkan atau dipicingkan.

5.7.7. Kesalahan Karena Kondisi Fisik yang Lemah

Apabila pengamat kondisi fisiknya melemah, daya pemisah dari

mata dalam membaca rambu juga akan menjadi kasar atau kurang teliti.

Hal ini biasanya terjadi karena lapar atau haus serta menurunnya

kesehatan pengamat. Untuk menghindari keadaan yang demikian, survetor

perlu istirahat di tengah hari, maka teratur dan selalu menjaga

kondisi tubuh.

5.7.8. Kesalahan Karena Pendengaran yang berkurang

Pada pengukuran yang dilakukan oleh dua orang di mana seorang

sebagai pengamat dan seorang yang lain sebagai pencatat atau

rekorder, pengamat harus membaca rambu dan didengarkan oleh si

pencatat data. Apabila pendengaran pencatat kurang baik, bias terjadi

yang diucapkan oleh pengamat akan laindengan didengar oleh pencatat,

missal satu lima satu lima terdengar satu tiga satu tiga.

5.7.9. Kesalahan Karena Kelengkungan Permukaan Bumi

Pada awal bab ini telah dikemukakan bahwa bidang nivo adalah

bidang lengkung seperti halnya permukaan bumi, sedang garis bidik

adalah mendatar.

Pada Gambar 5.17, alat ukur di A dan berdiri vertical, demikian

pula rambu di B. Garis CA dan EB tegak lurus permukaan bumi kea rah

pusat bumi P. Garis CD adalah bidang nivo yang melalui C dan memotong

95

Ilmu Ukur Tanah

rambu di D. Garis CE mendatar melalui teropong memonotng rambu di E.

Jarak ED = kesalahan karena kelengkungan permukaan bumi. Karena

tinggi alat dan tinggi pembacaan rambu sangat kecil bila dibandingkan

dengna jari-jari bumi rata-rata (6.378 km), maka jarak CP dan DP kita

namakan R = ½ (RA + RB). Dalam ECP siku-siku di C, terdapat hubungan

:

EP2 = CP2 + CE2

Atau

(ED + DP)2 = CP2 + CE2

Atau

( + R)2 = R2 + s2 2 + 2R + R2 = R2 + s2

Karena 2 kecil dan diabaikan, maka :

....................................................(9.8)

Dari persamaan di atas terlihat bahwa pengaruh kelengkungan

permukaan bumi sebanding dengan kuadrat jarak dua titik yang

bersangkutan. Hubungan antara s dan kira-kira sebagai berikut :

s : 50 m 100 m 200 m 500 m 1 km

10 km

: 0,2 mm 0,78 mm 3,1 mm 1,96 cm 7,85 cm

7,85 m

Gambar 5.17. Kesalahan Karena kelengkungan permukaan bumi dan

refraksi

96

Ilmu Ukur Tanah

Karena jarak bidik optimum teropong penyipat datar kurang dari

100 m, maka pengaruh kesalahan untuk pengukuran yang tidak teliti

sekali dapat diabaikan dan pengaruh kesalahan ini dapat dihilangkan

dengan membuat jarak rambu muka sama dengan jarak rambu belakang.

5.7.10. Kesalahan Karena Refraksi Sinar

Permukaan bumi diselimuti dengan lapisan-lapisan udara yang

ketebalannya tidak sama karena suhu dan tekanan yang tidak sama. Hal

ini akan mengakibatkan sinar yang sammpai pada teropong dari obyek

yang dibidik akan menjadi melengkung ke atas sehingga yang terbaca

menjadi terlalu besar. Oleh karenanya koreksi menjadi minus. Bentuk

koreksinya adalah :

.................................................(9.9)

Di sini = koefisien rekraksi, dapat diambil rata-rata 0,14.

Umumnya kesalahan refraksi digabungkan dengan kelengkungan bumi

menjadi :

= - (1 - ) ......................................(9.10)

di sini :

s : jarak alat ukur ke rambu

: koefisien refreakssi

R : jari-jari bumi rata-rata

P : koreksi kelengkungan bumi dan refraksi

Hubungan besaran kesalahan kombinasi antara kelengkungan bumi

dan refraksi dengan jarak alat ukur ke rambu dapat dituliskan sebagai

berikut :

s : 10 m 20 m 30 m 40 m 50 m 60 m 70 m

80 m

p : 0,02 mm 0,07 mm 0,15 mm 0,27 mm 0,42 mm

0,60 m m 0,81 mm 1,00 mm

97

Ilmu Ukur Tanah

5.7.11. Kesalahan Karena Undulasi

Pada tengah hari yang panas antara pukul 11 sampai pukul 14

sering terjadi undulasi, yaitu udara di permukaan bumi yang bergerak

naik karena panas (fatamorgana). Jika rambu ukur didirikan di tempat

yang demikian, maka apabila dibidik dengan teropong akan kelihatan

seolah-olah rambu tersebut bergerak – bergelombang, sehingga sukar

sekali untuk menentukan angka mana yang berimpit dengan garis bidik

atau benang silang. Sehingga apabila terjadi undulasi sebaiknya

pengukuran dihentikan.

5.7.12. Kesalahan Karena Kondisi Tanah Tidak Stabil

Akibat kondisi tanah tempat berdiri alat atau rambu tidak

stabil, maka setelah pembidikan ke rambu belakang, pengamat pindah

posisi untuk mengamat ke rambut muka ketinggian alat atau statip akan

mengalami perubahan sehingga beda tinggi yang didapat akan mengalami

kesalahan.

Apabila kondisi semacam ini di tempat berdiri rambu, maka pada

saat rambu dibalik dari rambu muka menjadi rambu belakang akan

mengalami pula perubahan ketinggian.

Adapun cara menghindari kesalahan ini yaitu dengan memilih

tempat berdiri alat dan rambu yang betul-betul stabil dan rambu

diberi alas atau sepatu rambu.

5.8. TINGKAT KETELITIAN PENGUKURAN SIPAT DATAR

Ketelitian pengukuran sipat datar dapat ditentukan berdasarkan

suatu bilangan yang menyatakan besarnya kesalahan menengah untuk

setiap kilometer sipat datar tunggal, yang dinyatakan dengan rumus :

98

Ilmu Ukur Tanah

= ............................................(9.11)

di sini : : kesalahan menengah tiap km sipat datar

h : selisih beda tinggi pengukuran pergi – pulang

n : jumlah seksi

D : panjang / jarak seksi dalam km

Kesalahan menengah dapat dihitung dari :

a. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap seksi

b. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap trayek

c. Kesalahan penutup dari sipat datar keliling

Kesalahan menengah pukul rata pengukuran pergi-pulang

dinyatakan dengan rumus :

m = ................................................(9.12)

untuk sipat datar tingkat pertama m harus <1 mm, dan untuk

tingkat yang lain antara 1 – 3 mm. berdasarkan batas toleransi

kesalahan menengah pengukuran pergi-pulang dinyatakan dengan rumus :

ms = ..............................................(9.13)

berdasarkan statistika toleransi yang diperbolehkan untuk

pengukuran pergi-pulang adalah 3 ms sehingga dari pernyataan tersebut

di atas, tingkat ketelitian pengukuran sipat datar pergi-pulang dapat

dibagi menjadi 5 tingkatan, yaitu :

1. Pengukuran sipat datar tingkat 0 (Zero Order Levelling), yaitu

pengukuran sipat dapat pergi-pulang dimana selisih beda tinggi

antara pengukuran pergi-pulang 2 mm (D = jarak dalam km)

2. Pengukuran sipat datar tingkat I (1st order leveling) yaitu pengukuran

sipat datar pegi-pulang dimana selisih beda tinggi antara

pengukuran pergi – pulang 8 mm (D = jarak dalam km).

3. Pengukuran sipat datar tingkat II (2nd order leveling) yaitu

pengukuran sipat datar pergi-pulang dimana selisih beda tinggi

antara pengukuran pergi-pulang 8 mm

99

Ilmu Ukur Tanah

4. Pengukuran sipat datar tingkat III (3rd order leveling) yaitu

pengukurang sipat datar pergi-pulang dimana selisih beda tinggi

antara pengukuran pergi-pulang 12 mm .

5. Pengukuran sipat datar tingkat yang lebih rendah dari 12 mm

Apabila tingkat ketelitian pengukuran sipat datar telah memenuhi

syarat yang ditentukan, maka besarnya kesalahan penutup beda

tinggi diratakan pada setiap slag atau seksi sebanding dengan

jarak-jaraknya.

5.11. PENGUKURAN SIPAT DATAR PROFIL

Pada pekerjaan-pekerjaan rekayasa seperti perencanaan jalan

raya, jalan kereta api, saluran irigasi, lapangan udara dll, sangat

dibutuhkan bentuk profil atau tampak pada arah tertentu untuk

perencanaan kemiringan sumbu proyek, maupun hitungan volume galian

atau timbunan tanah dan lain-lain.

Pengukuran profil umumnya dibedakan atas profil memanjang searah

dengan sumbu proyek dan profil melintang dengan arah memotong

tegaklurus sumbu proyek pada interval jarak yang tertentu.

Karena profil memanjang variable jarak biasanya lebih besar dari

variable tinggi, maka dalam penggambaran, skala jarak lebih kecil

dari skala tinggi, pada umumnya spersepuluhnya (1/10). Sedangkan untuk

gambar profil melintang umumnya skala jarak dan tinggi dibuat sama,

namun jumlah gambarnya biasanya jauh lebih banyak.

Profil memanjang diukur dengan sipat datar memanjang, sedang

profil melintangnya dibuat untuk menentukan tinggi titik-titik detil

dengan pertolongan tinggi garis bidik. Tinggi garis bidik di titk A

adalah tinggi titik tersebut terhadap bidang nivo ditambah dengan

pembacaan benang tengah pada rambu ukur yang didirikan pada titik

detil tersebut. Tinggi titik-titik detil lainnya adalah tinggi garis

100

Ilmu Ukur Tanah

bidik pada titik A dikurangi dengan pembacaan rambu pada titik-titik

yang bersangkutan.

Tinggi garsi bidik pada titik A adalah : HA + ha

Tinggi titik B : HB = (HA + Ha) - hb

Tinggi titik I : HI = (HA + ha) – h1 bila ha = tinggi alat ukur

Prinsip hitungan sipat datar profil memanjang dan melintang sama

dengan sipat datar memanjang. Akan tetapi profil memanjang dan

melintang sama dengan sipat datar memanjang. Akan tetapi dalam

pengukuran profil, detil-detil yang diukur dipilih sedemikian hingga

dapt mewakili bentuk permukaan tanah yang diukur. Hanya pada profil

memanjang, kadang-kadang interval jarak antar detil sudah ditentukan

sebelumnya, missal setiap 10 m, 25 m, 50 m dan yang lain, tergantung

macam proyeknya. Dengan diketahuinya ketinggian titik awal terhadap

bidang referensi tertentu, maka ketinggian titik-titik yang lain

dapat dicari. Jarak titik-titik detil pada profil memanjang biasanya

diukur langsung dengan pita ukur dan titik-titiknya (stadium) telah

diberi identitas berupa patok kayu beserta nomor-nomornya.

Gambar 5.20. Pengukuran tinggi titik detil dengan pertolongan garis

bidik

5.11.1. Pengukuran profil memanjang

Missal dari A ke B akan diukur profil memanjang untuk setiap

interval 10 m yaitu titik 1,2,3, …. n, B, dan pada setiap titik

tersebut akan diukur pula profil melintangnya, seperti pada gambar

9.21.

101

Ilmu Ukur Tanah

Apabila permukaan tanah titik begitu besar beda tingginya, maka

alat pertama kali berdiri bias berada di antara titik 3 dan 4 sebagai

rambut awal (belakang) di A dan rambu muka di titik 6, sedang titik

1,2,3,4,5 diukur sebagai detil dalam slag pertama. Pada slag kedua,

rambu di titik 6 sebagai rambu belakang dan rambu muka di titik 12,

titi 7,8,9,10,11 sebagai detil. Namun apabila beda tingginya besar,

mungkin satu slag malah hanya antara dua nomor titik yang berurutan.

Gambar 9.21. Pengukuran profil memanjang

Rambu dibaca secara lengkap, artinya dibaca ketiga benangnya

yaitu BA, BT dan BB nya dan dicatat dalam formulir ukur yang telah

dipersiapkan sebelumnya.

Missal tinggi titik A = 100 m

hA1 = btA-bt1 H1 = 100 + hA1

hA2 = btA-bt2 H2 = 100 + hA2

hA3 = btA-bt3 H3 = 100 + hA3

- - - - - -

- - - - - -

- - - - - -

hA6 = btA-bt6 H6 = 100 + hA6

Penggambaran profil memanjang :

Setelah data pengukuran dioalah (dihitung) dan ketinggian semua

titik stasiun telah diketahui di atas bidang referensi serta jarak-

jaraknya, maka profil memanjang dapat digambarkan. Bidang referensi

terdekat yang dijadikan dasar penggambaran semua titik ditentukan

dahulu, kemudian digambar di atas keras millimeter. Posisi mendatar

(sumbu X) untuk jarak horizontal antar titik dengan skala yang telah

ditentukan (missal 1:1000) dan kearah tegak (sumbu Y) untuk

ketinggian dengan skala yang 10x skala horizontal (missal 1:100).

102

Ilmu Ukur Tanah

Kemudian dari gambar ketinggian titik-titik tersebut dihubungkan

secar aberurutan sehingg amembentuk garis profil memanjang.

Di bawah garis referensi biasanya dibuat kolom-kolom tertentu

yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam perhitungan selanjutnya,

seperti contoh pada gambar 9.22 dibawah. Dalam gambar profil inilah

kemudian ditentukan ketinggian dan kemiringan sumbu proyek, sehingga

dapat dihitung selisih tinggk antara permukaan tanah asli dan sumbu

proyek di setiap titik stasiun yang merupakan dalamnya penggalian

atau tinggi penimbunan di titik-titik tersebut.

Contoh gambar profil memanjang seperti pada halanan berikut ini

Gambar 5.22. Profil memanjang (dari data pada halaman 192)

5.11.2. Pengukuran Profil Melintang

Arah profil melintang di setiap stasiun umumnya diambil tegak

lurus terhadap sumbu proyek, sebagai dasar ketinggian di setiap

profil adalah titik-titik stasiun yang telah diukur dari profil

memanjang. Lebar profil tergantung dari kebutuhan dan tujuan proyek,

missal 25 m arah kanan kiri dari sumbu proyek. Pengukuran detilnya

dilakukan seperti pada pengukuran profil memanjang dan sebagai detil

dipilih titik-titik yang dapat mewakili topografi setempat.

Pada daerah yang relative datar, satu profil melintang mungkin

dengan satu kali kedudukan alat. Namun pada daerah yang mempunai

topografi curam atau bergelombang tidak cukup dengan sekali berdiri

alat, mungkin dua kali atau lebih adapun cara hitungan dan

penggambarannya pada prinsipnya sama dengan pengambaran profil

memanjang, hanya skala jarak dan tinggi di sini biasanya diambil

sama.

103

Ilmu Ukur Tanah

Di atas gambar profil inilah digambarkan tampang atau irisan

dari rencana proyek dan luasan yang terjadi antara permukaan tanah

asli dengan tampang proyek merupakan luas tampang galian atau

timbunan yang diperlukan atau dibuang dengan mengkombinasikan antara

tampang memanjang dan melintang maka volume dari tubuh tanah yang

ditimbun atau digali dapat dihitung.

Gambar 5.23. Pengukuran profil melintang

Gambar 5.24. Gambar profil melintang

104

Ilmu Ukur Tanah

6. PENGUKURAN DETIL

......Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang

besifat alamiah seperti sungai, lembah, bukit, alur, stasiun,

selokan, dan batas-batas pemilikan tanah yang aka dijadikan isi dari

peta yang akan dibuat.

.....Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam

pemetaan sangat tergantung dari skala dan tujuan peta itu dibuat.

Misal untuk peta kadaster atau pendaftaran hak atas tanah, yang

diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan tanah, sedang beda

tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedangkan untuk peta

teknik, yang diperlukan adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah

serta hasil budaya manusia yang konkrit ada di lapangan.

. Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-

titik kerangka pemetaan yang terdekat yang telah diukur sebelumnya,

atau mungkin juga ditentukan dari garis ukur, yang merupakan sisi-

sisi dari kerangka peta ataupun garis yang dibuat khusus untuk itu.

... .Ada beberapa metode atau cara pengukuran (penentuan posisi)

titik detik antara lain :

A. Metode offset

Metode ini dapat dibagi menjadi :

1. Metode siku-siku atau koordinat ortogonal, hanya menentukan posisi

planimetris (x,y).

2. Metode mengikat, hanya menentukan posisi planimetris (x,y), dibagi

menjadi :

a. Mengikat sembarang

b. Perpanjangan sisi

c. Trilaterasi sederhana

Metode-metode tersebut di atas telah dijelaskan pada Bab 5 dan

penggambaran posisi atau plottingnya dilakukan secara grafis.

105

Ilmu Ukur Tanah

B. Metode polar atau koordinat kutub

. Metode ini mengukur posisi tiga dimensi (x, y, z). pada metode

ini posisi detil ditentukan dengan komponen azimuth (sudut arah),

jarak, dan beda tinggi dari titik ikat. Karena detil yang diukur

banyak, pengukuran dilakukan dengan teknik yang cepat, yang disebut

takhimetri (tachymetry, tacheo = cepat, metri = pengukuran). Di sini

azimut/sudut diukur dengan alat BTM atau teodolit, jarak diukur

secara optis, dan beda tinggi diukur secara trigonometric. Metode ini

dibagi menjadi :

1. Pengukuran dengan azimut

2. Pengukuran dengan sudut

C. Metode Pemotongan (ke muka)

... .Pada metode ini, jika selain pembacaan lingkaran horizontal

dibaca pula sudut miringnya, maka posisi titik yang dibidik dapat

ditentukan dalam tiga dimensi (x, y, z).

6.1. METODE KOORDINAT KUTUB

Metode ini memerlukan peralatan pengukuran sudut di lapangan

seperti teodolit atau BTM serta rambu ukur. Cara ini juga disebut

takhimetri, di mana jarak detil ditentukan dengan cara optis, beda

tinggi ditentukan dengan bacaan sudut vertical atau sudut miring dan

arah ditentukan dengan sudut horizontal dari sisi polygon tertentu

(arah).

6.1.1. Penentuan Arah dengan Azimut

Cara ini menggunakan peralatan yang dapat menunjukkan azimut-

kompas seperti BTM, To atau teodolit offset boussole. Pada detil yang

akan ditentukan posisinya didirikan rambu ukur, kemudian arah bidikan

atau azimut dibaca pada kompas dan pada rambu dibaca BA, BT, BB serta

sudut kemiringan teropongnya.

106

Ilmu Ukur Tanah

Pada gambar, P adalah titik poligon sebagai kerangka peta,

sedangkan a, b, c, d adalah titik-titik detil. Azimut a, b, c, d

dibaca pada alat BTM atau teodolit kompas, masing-masing a, b, c,

d,. Jarak ditentukan secara optis dan beda tinggi dihitung dari

pembacaan sudut miring (h) dengan rumus :

Gambar 10.1 Cara koordinat kutub dengan azimut

Jarak mendatar (D) = A.S. cos2 h

Naik / turun (V) = ½ A.S. sin 2 h......................(10.1)

Beda tinggi (h) = t V – BT

Dalam hal ini :

A : Konstante pengali teropong (umumnya = 100)

S : selisih bacaan benang atas (BA) dan benang bawah (BB).

h : bacaan sudut miring teropong.

t : tinggi alat ukur.

Posisi titik detil dihitung dengan rumus :

Xa = Xp + dPa sin Pa

Ya = Yp + dPa cos Pa......................................(10.2)

Za = Zp + hPa

Dalam hal ini :

a : titik detil

P : titik poligon yang telah diketahui koordinatnya

Pa : azimut sisi Pa

Pengambilan detil dipilih dari titik poligon yang terdekat dan

mudah. Sket dari detil lapangan perlu dibuat agar penggambarannya

menjadi lebih mudah.

Untuk pencatatan data ukuran dibuat formulir takhimetri atau

buku ukur seperti contoh di halaman akhir bab ini. Pada cara ini

107

Ilmu Ukur Tanah

posisi titik detil (x,y,z) dapat pula dihitung, dapat pula

digambarkan segara grafis.

10.1.2. Penentu Arah dengan Sudut

Cara ini paling banyak digunakan dalam pemetaan topografi atau

peta teknis. Pada prinsipnya sama dengan cara di atas, tetapi karena

di sini alat tidak ada kompas atau boussolenya, maka arah detil

ditentukan dengan menambahkan atau mengurangkan azimut sisi poligon

yang diacu dengan sudut mendatar antara sisi poligon dan detil yang

diukur (i), yang diperoleh dari selisih bacaan lingkaran horizontal

ke titik acuan (poligon) dan ke titik detil. Oleh karena pada setiap

kedudukan alat ukur, sebelum membidik titik-titik detil terlebih

dahulu membidik salah satu titik poligon di muka atau belakangnya

sebagai dasar acuan untuk menghitung sudut horizontal antara arah

titik detil dan arah sisi poligon (i), sekaligus untuk menentukan

azimut titik detil tersebut (Aa = AB a), karena azimut sisi

poligon (AB) telah diketahui dari perhitungan kerangka peta.

Gambar 10.2. Cara Koordinat Kutub dengan sudut

Sedangkan jarak datar dan beda tingginya diperoleh dari bacaan

rambu dan sudut miring (takhimetri) sebagaiaman rumus 10.1. di atas.

Data ukuran detil dicatat dan dibuatkan sketnya dalam formulir atau

buku ukur agar sistematis dan tidak bercerai berai. Contoh formulir

ukur dapat dilihat pada bagian akhir bab ini.

108

Ilmu Ukur Tanah

Alat ukur (teodolit) yang digunakan untuk pengukuran detil

umumnya memiliki tingkat ketelitian yang rendah, tidak seteliti yang

digunakan untuk pengukuran kerangka peta (poligon).

102. METODE PEMOTONGAN KE MUKA

Apabila karena sesatu hal orang tidak dapat mendatangi detil

yang akan ditentukan posisinya untuk menempatkan rambu, dari tempat

berdiri alat hanya bisa dibidik arah dan sudut miringnya saja. Oleh

karenanya diperlukan pengukuran dari dua tempat berdiri alat yang

telah diketahui posisinya (titik poligon). Cara ini merupakan cara

pemotongan ke muka.

Pada gambar 10.3, titik-titik detil a, b, c, d tak dapat

didatangi. Namun karena identitasnya jelas dan bisa dibidik dari

titik poligon P dan Q, maka dari titik P dan Q sudut arah atau

azimuth dan sudut miring titik-titik tersebut dapat diukur, sehingga

titik detil tersebut nantinya dapat digambarkan (secar grafis) dengan

cara melukis segitiga yang diketahui basis atau sisi alas dan kedua

sudut alasnya (dua dimensi) atau dihitung posisinya menggunakan rumus

segitiga (tiga dimensi. Meski demikian cara ini kurang praktis,

sehingga sebisa mungkin dihindari agar proses pemetaan bisa berjalan

cepat.

Gambar 10.3. Penentuan posisi detil dengan cara pemotongan ke muka

10.2. REDUKSI TAKHIMETRI

109

Ilmu Ukur Tanah

Pada metode takhimetri, jarak titik detil diukur dengan cara

optis metode stadia dan beda tinggi dihitung dengan rumus

trigonometric seperti pada rumus 6.1. muka. Oleh karena itu,

penentuan posisi titik detil dengan metode ini memerlukan perhitungan

dengan waktu yang agak lama, terlebih – lebih apabial daerah yang

dipetakan cukup luas dan topografinya bervariasi. Untuk mempercepat

perhitungan jarak dan beda tinggi antara titik ikat dan titik detil,

telah dibuat beberapa alat ukur teodolit tipe khusus, yang dapat

menghitung langsung jarak datar dan beda tinggi antara titik stasiun

berdiri alat dan titik detil, dengan hanya membaca rambu dengan sistem

reduksi takhimetri.

Walaupun tujuannya sama, yaitu untuk mendapatkan jarak datar dan

beda tinggi secara langsung, namun setiap pabrik menggunakan system

pemecahan berbeda-beda, sebagaimana telah dibahas dalam Bab 6 di

muka. Dengan alat ukur yang menggunakan sistem tersebut, pelaksanaan

pemetaan akan menjadi lebih cepat. Berikut ini adalah contoh formulir

pengukuran poligon dan contoh formulir pengukuran poligon dan

detil/situasi.

110

Ilmu Ukur Tanah

7. PLOTTING (PENGGAMBARAN)

Agar pengukuran dapat diwujudkan dalam bentuk peta, setelah

semua data lapangan dihitung, meliputi perhitungan koordinat (X,Y),

titik-titik kerangka pemetaan (poligon), perhitungan ketinggian

titik-titik poligon dari pengukuran sipat datar (Z), sudut arah dan

jarak titik-titik detil serta ketinggiannya (takhimetri), langkah

selanjutnya adalah plotting atau penggambaran. Adapun garis besar

langkah-langkahnya adalah :

1. Plotting titik-titik kerangka pemetaan (X,Y,Z) dengan skala yang

telah ditentukan

2. Ploting detil (X,Y,Z) atau grafis

3. Penarikan garis-garis kontur

4. Editing

7.1. PLOTTING TITIK-TITIK KERANGKA PEMETAAN

Apabila plotting akan dilakukan pada kertas gambar polos, maka

terlebih dahulu dibuat jala-jala grid setiap 10 cm pada kertas gambar

sehingga seluruh permukaan kertas gambar terpenuhi jala-jala grid.

Agar posisi gambar terletak simetris (di tengah) kertas plot, angka

absis dan ordinat maksimum dan minimumnya harus diketahui dan

kemudian daripadanya dicari panjang gambar pada arah sumbu X dan Y,

kemudian kita bagian dua. Posisi absis dan ordinat tengah kertas

gambar diberi angka sebesar :

Absis = Harga absis minimum + ½ panjang gambar pada sumbu X

Ordinat = Harga ordinat minimum + ½ panjang gambar pada arah

sumbu Y

Contoh :

Harga absis maksimum = + 500 m

Harga absis minimum = - 200 m

Maka :

Panjang gambar pada sumbu X = 500 m + 200 m = 700 m

Setengah panjang gambar = 350 m

111

Ilmu Ukur Tanah

Absis pada tengah kertas plot = -200 m + 350 m = + 150 m

Harga ordinat minimum = + 400 m

Harga ordinat maksimum = + 1000 m

Maka :

Panjang gambar pada arah sumbu Y = 1000 m – 400 m = 600 m

Setengah panjang gambar pada arah sumbu Y = 300 m

Absis pada tengah kertas plot = 400 m + 300 m = 700 m

Koordinat pusat kertas plot : X = 150 m dan Y = + 700 m

Selanjutnya posisi setiap titik poligon kita plot sesuai dengan

absis dan ordinatnya dan sesuai dengan skala yang telah ditentukan,

dengna mengunakan mistar skala, diukur dari titik jala grid yang

terdekat. Titik – titik hasil plot ini diberi identitas sesuai dengan

nomornya di lapangan dan angka ketinggiannya dituliskan di dekatnya,

atau apabila angka ketinggian tersebut ada komanya, missal 98,60 m,

maka titik plot sebagai koma dari angka ketinggian.

Contoh : 4

98.60 maksudnya titik poligon nonomt 4 tingginya 98,60

m.

7.2. PLOTTING DETIL

Plotting detil disesuaikan dengan cara perhitungan posisi detil

tersebut. Apabila posisi detil ditentukan secara numeris (X,Y,Z) maka

posisi planimetrisnya ditentukan dengan mengeplot koordinat (X,Y) dan

angka ketinggiannya dituliskan.

Apabila posisi detil akan ditentukan dengan cara grafis, alat

yang dipakai antara lain busur derajat, mistar skala atau transverscal,

jangka tusuk, dan pensil. Detil-dtil diplot dari titik kerangka

pemetaan (poligon) yang sesuai pada waktu pengukurannya di lapangan.

Sudut arah detil diukur pada kertas plot dengan busur derajat dengan

ketelitian 15’, jarak detil ditentukan dengan mistar skala atau

transverskal dan jangka tusuk, kemudian ketinggiannya dituliskan

112

Ilmu Ukur Tanah

sebagaimana pada plotting kerangka. Apabila arah detil berupa azimut,

maka di titik poligon dibuat arah utara sejajar dengan sumbu Y dari

jala grid dan angka nol busur derajat diimpitkan dengan arah utara

tersebut, azimuth detil tinggal diplot sesuai pembacaan alat ukur

pada busur derajat.

Apabila arah detil menggunakan sudut antara detil dan sisi

poligon, maka besar sudut tidak harus dihitung, tetapi dengan cara

mengimpitkan angka busur derajat yang sama dengan angka pembacaan ke

titik acuan dalam pengukuran di lapangan, kemudian arah detil juga

disamakan dengan pembacaan pada alat ukur di lapangan. Untuk ini

harus digunakan busur derajat yang berbentuk lingkaran penuh.

Demikianlah hingga semua detil diplot. Unuk detil yang berbentuk

bangunan, detil dihubungkan dari titik-titik yang sesuai, demikian

pula untuk bentuk-bentuk detil yang lain. Dalam melukis detil sangat

dibutuhkan sket lapangan agar tidak terjadi salah sambung antara

detil-detil yang seharusnya berhubungan dan yang tidak. Oleh

karenanya dalam formulir ukur diberi kolom sket agar para surveyor

dapat memberikan gambaran lapangan sejelas mungkin. Kesulita sering

timbul apabila sket lapangan kurang jelas dan yang memplot bukan si

pengukur.

11.3. PENARIKAN GARIS KONTUR

Gambar peta dari plotting detil di atas sebenarnya sudah

menunjukkan pengukuran tiga demensi, di mana dimensi tinggi

dinyatakan dengan angka-angka ketinggian. Namun demikian peta ini

masih terlihat acak-acakan dan kurang bisa menggambarkan bentuk

topografi yang sebenarnya. Bentuk penyajian unsure ketinggian yang

dapat menggambarkan topografi medan antara lain adalah garis kontur,

yaitu garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang sama tinggi.

Garis kontur mempunyai beberapa sifat antara lain :

- Tidak berpotongan

- Tidak bercabang

113

Ilmu Ukur Tanah

- Tidak bersilang

- Semakin jarang menunjukkan daerah semakin datar

- Semakin rapat menunjukkan daerah semakin curam

- Tidak berhenti di dalam peta.

Di sini ada istilah interval kontur, yaitu selisih tinggi antara

dua garis kontur yang berurutan. Besar interval kontur biasanya

tergantung dari kebutuhan atau tujuan peta tersebut dibuat, namun

pada umumnya adalah 1/2000 x skala peta (dalam meter). Missal skala

peta 1:1000, maka besar interval kontur = 1/2000 x 1000 m = 0,5 m.

Karena angka ketinggian detil bermacam-macam sedangkan angka

ketinggian garis kontur sudah tertentu, maka perlu dicari tempat-

tepmat yang mempunyai ketinggian yang sesuai dengan kelipatan

interval kontur dari titik-titik yang terdekat yang telah diketahui

angka ketinggiannya. Untuk itu dikenal beberapa metode penarikan

garis kontur antara lain :

1. Metode langsung

2. Metode tak langsung

a. Metode matematis atau interpolasi linier

b. Metode semi matematis

c. Metode grafis

11.3.1. Metode Langsung

Pada metode mangsung titik-titik yang sama tinggi ditentukan di

lapangan secara langsung. Untuk ini diperlukan alat penyipat datar

dan rambu ukur serta mungkin patok-patok yang cukup banyak jumlahnya.

114

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 11.1 Pembuatan garis kontur secara langsung

Misal pada gambar di atas ketinggian titik ikat adalah 94,070

m. alat ukur ditetakkan pada suatu tempat yang memiliki kapabilitas

pengukuran yang baik, kemudian bidik rambu pada titik ikat, missal

terbaca 1630 mm. berarti tinggi garis bidik adalah 95,700 m. apabila

ketinggian garis kontur yang kita butuhkan adalah 94,000 m, maka

garis bidik di titik detil yang tingginya 94,000 m harus terbaca 1700

mm. untuk itu orang yang memegang rambu harus maju atau mundur

sedemikian hingga si pengamat membaca rambu pada angka tersebut. Pada

titik berdiri rambu tersebut kemudian diberi tanda dengan patok,

bahwa tinggi di tempat tersebut adalah 94,000 m. demikian selanjutnya

untuk titi yang lain dengan tinggi yang sama, maupun untuk ketinggian

yang lain, sehingga seluruh daerah yang dipetakan terbentuk garis

konturnya. Posisi patok-patok ini kemudian diukur dengan alat

teodolit yang kemudian digambarkan pada kertas plot, kemudian

dirangkai dengan titik tinggi lainnya yang berharga sama.

Dari uraian di atas terlihat bahwa cara ini kurang praktis dan

akan membutuhkan banyak waktu di lapangan. Cara ini biasanya

dikerjakan hanya untuk pemetaan dengan alat planet table (Bab 16).

11.3.2. Metode Tidak Langsung

Pada metode tidak langsung, garis kontur digambar atas dasar

ketinggian detil-detil hasil plotting yang tidak merupakan kelipatan

dari interval kontur yang diperlukan, sehingga diperlukan penentuan

posisi (secara numeris/grafis) titik-titik yang mempunyai ketinggian

kelipatan dari interval kontur. Untuk itu ada beberapa cara atau

metode yang dapat dilakuan antara lain :

11.3.2.1. Metode Matematis

Cara ini juga disebut dengan interpolasi linier, maksudnya

interpolasi yang sebanding dengan jaraknya. Missal pada gambar di

bawah, titik A tingginya 90,70 m dan titik B tingginya 92,50m. jarak

115

Ilmu Ukur Tanah

antara keduanya dalam gambar 20 cm (AB’). Kita akan mencari posisi

titik (K) yang berketinggian 92, 00 m, yang pada gambar menjadi K’.

Gambar 11.2. Interpolasi Linier

Beda tinggi antara A dan B = 1,80 m, beda tinggi antara A dan K

= (92,00-90,70) m = 1,30 m, sehingga :

Jarak AK’ =

Perhitungan dengan cara ini memang sangat tepat, tetapi akan

memakan banyak waktu sehingga diperlukan alat bamboo hitung atau

kalkulator. Namun demikian, pada cara ini juga masih dibutuhkan

banyak kerja. Pada pemetaan secara otomatis di mana garis kontur

digambar menggunakan computer atau software, prinsip interpolasi

linier juga digunakan.

11.3.2.2. Metode Semi Matematis

Pada metode ini digunakan sepasang mistar segitiga yang padanya

ada angka pembagian sampai milimeter. Caranya adalah sebagai

berikut :

Misal pada kertas plot ketinggian titik A dan B masing-masing

91,20 m dan 98,70 m. hubungan A dan B dengna garis tipis. Garis 1,2

cm pada mistar pertama diimpitkan dengan titik A. selanjutnya mistar

kedua dipasang tegak lurus pada mistar pertama, dan tepi mistar kedua

tepat pada garis 8,7 cm. orientasikan kedua mistar dengan titik tumpu

garis 1,2 cm pada mistar pertama tetap pada titik A, sedemikian

hingga posisi antara kedua mistar tetap, tetapi tepi mistar kedua

menyinggung titik B. usahakan posisi mistar pertama ini tetap diam.

116

Ilmu Ukur Tanah

Andaikata yang diperlukan ketinggian 95 m, maka mistar kedua kita

geser dalam posisi tetap tegak lurus mistar pertama sampai tepi

mistar kedua berimpit dengan garis 5 cm pada mistar pertama dan tepi

mistar kedua memotong garis AB. Maka titik potong mistar kedua dengan

garis AB tersebut tingginnya 95,0 m. demikian selanjutnya kita bisa

memilih tinggi-tinggi yang lain secara cepat dan praktis.

Gambar 11.3. Metode semi matematis

Selain cara di atas, metode ini dapta juga dikerjakan dengan

alat interpolasi radialgraph yang tersebut dari kertas transparan

seperti Gambar 11.4.

Gambar 11.4. Interpolasi dengna radialgraph

Misal antara titik A yang tingginya 91, 6 m dan titik B yang

tingginya 93,2 m akan dicari posisi titik dengna tinggi 92,0 m. beda

tinggi antara A dan B =1,6 m. Impitkan garis mendatar radialgraph

117

Ilmu Ukur Tanah

pada AB. Garis radial antara A dan B diambil 16 kolom, sehingga

setiap kolom berharga beda tinggi 0,1 m. Posisi 92 m terletak pada

kolom yang keempat dari titik A. kemudian titik tersebut ditusuk

dengan jangka tusuk hingga membekas pada kertas gambar.

11.3.2.3. Metode Grafis

Metode ini sebenarnya hanya perkiraan saja, namun karena metode

ini memang lebih cepat, orang biasanya lebih suka menggunakan metode

ini. Untuk peta-peta skala menengah dan kecil di mana ketelitian

ketinggian tidak banyak dituntut, cara ini merupakan pilihan yang

dianggap tepat. Namun untuk peta-peta teknik, pemakaian metode ini

masih perlu dipertimbangkan.

Selain titik-titik tinggi sesuai dengan interval kontur

ditentukan posisinya, ditarik garis melalui titik-titik yang

mempunyai harga ketinggian sama, sehingga terbentuklah garis-garis

kontur dengan ketinggian-ketinggian yang tertentu. Pada setiap garis

kontur diberi angka ketinggian dan setiap lima buah kontur atau angka

kelipatan tertentu garis kontur dibuat agak tebal.

Untuk menghindari adanya kesalahan morfologi dari garis kontur,

distribusi dari detil ketinggian harus disesuaikan dengan kondisi

topografi medan dan skala peta yang akan dibuat. Apabila medan

bergelombang, maka untuk medan yang beda tingginya lebih besar

daripada besarnya kontur interval, harus diukur (didetil), namun pada

medan yang kemiringannya seragam (monoton) cukup diukur pada awal dan

akhir kemiringan tersebut walaupun jaraknya cukup jauh.

Gambar 11.5. Pengambilan detil ketinggian

11.4. EDITING

118

Ilmu Ukur Tanah

Meskipun detil-detil dan garis-garis kontur telah selesai

digambarkan, belum berarti peta tersebut sudah jadi. Peta masih perlu

disempurnakan dengan informasi-informasi lain yang dianggap perlu,

sebagai penjelasan atau sarana komunikasi antara si pembuat peta

dengan si pemakai. Proses ini dinamakan editing. Pekerjaan editing

ini meliputi antara lain :

1. Pemberian nama-nama (jalan, desa, bangunan, sungai dll).

2. Pembuatan simbol-simbol untuk detil atau obyek-obyek yang

tertentu

3. Keterangan tepi, yang berisi antara lain :

a. Judul peta

b. Skala peta dalam angka dan garis (bar)

c. Arah orientasi (arah utara)

d. Indeks dan nomor lembar

e. Keterangan legenda

f. Keterangan si pembuat dan waktu pembuatannya

g. Kolom pengesahan

Pekerjaan editing ini termasuk di dalamnya adalah desain

tampilan peta/lay out yang diatur sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu

kortografis dan sesuai dengan skala dan tujuan peta itu dibuat.

Simbol-simbol yang umum digunakan dalam pemetaan topografi skala

besar disajikan dalam Subbab 11.6 Contoh desain dari tampilan peta

disajikan di bawah ini.

Gambar 11.6. Contoh beberapa desain tampil peta/lay out

11.5. SIMBOLISASI

119

Ilmu Ukur Tanah

Obyek-obyek yang ada di permukaan bumi tidak semuanya dapat

digambarkan secara utuh pada peta, terlebih-lebih apabila peta dibuat

dalam skala menengah sampai kecil. Oleh karena itu, untuk

menginformasikan kepada si pengguna peta, obyek-obyek tersebut

digantikan dengan simbol-simbol kartagrafis yang lazim digunakan.

Demikian pula nama-nama unsure geografis yang di lapangan tidak ada,

perlu dituliskan pada peta, sehingga peta menjadi lebih komunikatif.

Simbol dalam pemetaan skala besar berikat penggolongannya antara lain

:

A. Simbol batas administrasi B. Simbol vegetasi :

+ + + + + : batas negara : pohon misiman

+ - + - + -: batas proponsi : pohon tak terpengarum musim

+. + + . +: batas kabupaten : pohon berdaun jarum

. . . . . : batas kecamatan : tanaman perkebunan

- . - . - . - .: batas desa : tanaman perkebunan

. . . . . . . . : batas dusun : hutan

: padang rumput

: semak-belukar

C. Unsur transportasi

: jalan aspal : jalan kereta api

: jalan diperkeras tak beraspal ...............: jalan lori

: jalan tanah / tak diperkeras : jembatan bamboo / kayu

: jalan setapak : jembatan besi / baja

: gorong-gorong : jembatan konstruksi beton

: jalan dalam galian : jalan dalam timbunan

D. Unsur bangunan

: bangunan non permanen : pagar hidup

: bangunan semi permanen : pagar kawat

: bangunan permanen lantai satu : pagar tembok

: bangunan bertingkat : pintu gerbang

E. Unsur Hidrografi dan topografi

120

Ilmu Ukur Tanah

: Sungai : rawa-rawa

: Anak sungai : danau/kolam

: Saluran irigasi teknis : saluran drainase alamiah

: saluran drainase permanen : alur air

: garis kontur / garis ketinggian ........: pintu air / dam

F. Titik stasiun atau benda tetap lainnya.

a. Titik control pemetaan

: patok beton

: patok besi

: patok beton pralon

: patok kayu

b. Lainnya :

: tiang listrik tegangan tinggi

: tiang telpon

: hidran

G. Toponimi

Meliputi :

- Nama unsure geografi : dusun, desa, kecamatan, kabupaten,

propinsi (Huruf Times New Roman)

- Nama unsure hidrografi : sungai, danau, rawa, bendungan, saluran

(huruf italic)

- Nama unsur budaya : bangunan-bangunan, nama jalan, obyek wisata

(huruf Arial).

- Dan lain-lain

11.6. LANGKAH-LANGKAH PEMETAAN TERISTRIS

Dari uraian bab-bab terdahulu, secara garis besar langkah-

langkah pemetaan secara teristiris adalah sebagai berikut :

1. Persiapan, yang meliputi : peralatan, perlengkapan dan

personil.

121

Ilmu Ukur Tanah

2. Survei pendahuluan (reconisance survey), maksudnya peninjauan

lapangan lebih dahulu untuk melihat kondisi medan secara

menyeluruh, sehingga dari hasil survey ini akan dapat

ditentukan :

a. Teknik pelaksanaan pengukurannya

b. Penentuan posisi titik-titik kerangka peta yang

representatif dalam arti distribusinya merata, intervalnya

seragam, aman dari gangguan, mudah didirikan alat ukur,

mempunyai kapbilitas yang baik untuk pengukuran detil,

saling terlihat dengan titik sebelum dan sesudahnya, dll.

3. Survei pengukuran, meliputi :

a. Pengukuran kerangka peta (missal poligon) meliputi : sudut,

jarak, beda tinggi.

b. Pengukuran detil (missal dengan takhimetri)

c. Pengukuran khusus (bila diperlukan)

4. Pengolahan data (perhitungan)

a. Perhitungan kerangka peta (X, Y, Z)

b. Perhitungan detil (X, Y, Z) atau cukup sudut arah/azimutnya,

jarak datar, dan beda tinggi dari titik ikat.

5. Plotting atau penggambaran, meliputi :

a. Plotting kerangka peta

b. Plotting detil

c. Konturing atau penarikan garis kontur

d. Editing

11.7. ARTI PENTING GARIS KONTUR

Garis kontur mempunyai arti yang sangat penting bagi

perencanaan rekayasan, karena dari peta kontur dapat direncanakan

antara lain :

- Penentuan rute jalan atau saluran irigasi

- Bentuk irigasi atau tampang pada arah yang dikehendaki

- Gambar isometric dari galian / timbunan

- Besar volume galian/timbunan tanah

- Penentuan batas genangan pada waduk

122

Ilmu Ukur Tanah

- Arah drainase

1. Merencanakan arah jalur atau trase dari peta tanches atau peta

topografi

Dalam menentukan trase kita perlu mengetahui kemiringan

maksimum yang diperbolehkan, skala peta yang digunakan dan interval

garis konturnya. Adapun caranya sebagai berikut :

Misal kemiringan maksimum yang diperbolehkan 5% atau 1 : 20 (I

= 20), skala peta yang digunakan 1:10.000 (s = 10.000), kontur

interval 5 meter (a = 5). Untuk beda tinggi 5 m, jarak horizontal (d)

yang diperlukan = 100 m. pada peta skala 1 : 10.000, jarak 100 m =1

cm, jarak terpendek dari trase yang melalui dua garis kontur yang

berturutan dan 1 cm, atau dengan rumus matematis dinyatakan :

d = (meter) .......................................(11.1)

Dengan panjangan tersebut (1 cm) kit adapt memilih beberapa

alternatif jalur, selanjutnya dipilih yang paling baik atas dasar

dukungan data-data lain seperti data teknis dan social ekonomi.

Contoh mentrase pada peta topografi / peta kontur :

Gambar 11.7. Mantrase pada peta kontur

2. Membuat gambar tampang

Membuat gambar tampang/profil pada arah x-x pada peta kontur.

Skala horizontal sama dengan skala peta, sedangkan skala vertical

umumnya 10 x lebih besar. Garis basis dibuat sejajar dengan X-X dan

123

Ilmu Ukur Tanah

di setiap perpotongna antara garis X-X dan garis kontur dibuat garis

tegak lurus X-X sebagai arah ketinggian.

Gambar 11.8. Cara membuat gambar tampang dari peta kontur

Dari garis basis tingginya diukur sesuai dengan skala yang

digunakan, kemudian titik-titik ketinggian ini dihubungkan secara

berurutan, sehingga akan terbentuk profil atau tampang melintang

sepanjang X-X yang dimaksud.

Gambar 11.9 Pembuatan gambar dari peta kontur / topografi

3. Gambar isometric rencana galian atau timbunan

Sebelum volume pekerjaan tanah dari peta kontur dihitung,

biasanya dibuatkan gambar isometrik lebih dulu sebagai penolong agar

gambarannya menjadi jelas, sebagaimana dalam contoh berikut ini.

124

Ilmu Ukur Tanah

Misal dari peta kontur yang tersaji akan dibuat jalan mendatar

dari A ke B dengan level (ketinggian permukaan) jalan 10 m dan lembar

jalar 10 m dengan miring talud 1:1. Maka di sampingnya dapat dibuat

gambar isometric sebagiamana Gambar 11.10.

Gambar 11.10 Gambar isometrik suatu penimbunan pada rencana jalan

Adapun caranya adalah sebagai berikut :

1. Gambarkan permukaan jalan 10 m pada peta kontur

2. Karena miring talud 1:1, maka untuk beda tinggi (jarak vertikal) 1

meter, jarak horizontalnya juga satu meter. Buat garis-garis

sejajar tepi jalan dengan interval 1 meter (kali skala gambar)

sehingga garis-garis tersebut berturut-turut mempunyai tinggi

9,8,7 dst.

3. Tentukan perpotongan garis kontur yang berharga sama dengan garis

ketinggian yang sejajar dengan jalan (kanan dan kiri), kemudian

hubungan secara bertururutan, sebagaimana Gambar 11.11.

Gambar 11.11. Teknik penggambaran isometrik

Contoh lain :

125

Ilmu Ukur Tanah

1. Misal direncanakan jalan dari A ke B menanjak dengan kemiringan

1:20. Tinggi permukaan jalan di A = 70 m. penyelesaian

isometriknya adalah sebagai berikut (Gambar 11.12).

Missal jarak A-B = 60 m, maka ketinggian titik B = 70,00 +

m = 73,00 m dan tinggi A = 70 m menjadi 3 m di bawah level B.

apabila miring talud 1:2, maka untuk beda tinggi 3 m pada jarak

korizontal menjadi 6 m, sehingga titik C dan D masing-masing

berjarak 6 m dari tepi jalan di B dan ini dihubungkan masing-

masing dengan titik E dan F yang mempunyai level 70 m. setiap

kontur lain dengan interval 1 m sejajar dengan garis tersebut

dengan interval jarak horizontal 2 m.

2. Pada Gambar 11.13, peta kontur dengan interval 2 m dan rencana

jalan dari A ke B ditentukan sebagai berikut :

a. Lebar formasi 6 m

b. Tinggi permukaan jalan (level) di A = 60 m

c. Miring permukaan jalan 1:25 dan A-B

d. Miring talud 1:2

Gambar 11.12 Penggambaran isometrik pada rencana jalan miring

Gambarkan outline pekerjaan tanah yang akan terjadi.

Penyelesaiannya seperti pada Gambar 11.14.

Gambar 11.13. Rencana jalan

126

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 11.14. Pekerjaan tanah pada rencana jalan Gambar 11.13

3. Gambar 11.15 memperlihatkan posisi rencana bangunan dan jalan

pengubungnya. Level bangunan 83,5 m dan jalan 83 m. miring talud

halian / timbunan 1:1. Gambarkan pekerjaan tanahnya.

Penyelesaiannya ada pada Gambar 11.16.

Gambar 11.15. Rencana dasar bangunan dan jalan

127

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 11.16. Rencana pekerjaan tanah (galian dan timbunan)

4. Penentuan areal tangkapan air hujan

Peta kontur atau topografi dapat juga digunakan untuk

menentukan daerah tangkapan air hujan dengan cara mengamati punggung-

punggung bukit yang akan memisahkan aliran air hujan, dan dari

padanya dibuatkan garis-garis pemisah aliran ini yang akhirnya dapat

ditentukan areal daerah tangkapan hujan dari sesuatu daerah aliran

sungai.

128

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 11.17. Penentu daerah genangan dan tangkapan air hujan

Keterangan : ----------- : batas daerah tangkapan

air hujan

: daerah genangan

Apabila akan direncanakan sebuah dan pada aliran sungai, maka

dapat diperkirakan lokasinya yaitu dengan melihat daerah yang

tercuram di arah kanan dan kiri aliran sungai tersebut dengan melihat

kerapatan garis kontur yang ada. Apabila rencana ketinggian dan atau

bendungan telah ditetapkan, maka dapat pula ditentukan daerah

genangan dan luasnya serta volume air yang dapat ditampung. Sebagai

gambaran dapat diperlihatkan pada Gambar 11.17 di atas.

129

Ilmu Ukur Tanah

8. PENENTUAN LUAS DAN VOLUME

Penentuan luas dan volume tanda tangan erat kaitannya denagn

rekayasa, seperti halnya dalam penentuan ganti rugi dalam pembebasan

tanah untuk keperluan suatu proyek, penentuan volume galia ndan

timbunan, penentuan volume bending dan lain-lain yang erat kaitannya

dengan biaya suatu pekerjaan rekayasa.

Penentuan volume pekerjaan tanah membutuhkan pula data luas

dari suatu irisan atau tampang sehingga sebelum membicarakan

penentuan volume tanah akan dibahas lebih dahulu penentuan luas.

13.1. PENENTUAN LUAS

Yang dimaksud luas di sini adalah luas yang dihitung dalam

peta, yang merupakan gambaran permukaan bumi dengan proyeksi

orthogonal, sehingga selisih tinggi dari batas-batas yang diukur

diabaikan. Luas suatu bidang tanah dapat ditentukan dengan salah satu

cara tersebut di bawah ini, tergantung dari data dasar yang tersedia.

1. Penentuan luas cara numeris

Di sini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

a. Dengan memakai koordinat, apabila titik-titik batas tanah

diketahui koordinatnya.

b. Dengan ukuran dari batas tanah, jika batas-batas tanah diukur

langsung (disebut juga angka-angka ukur).

2. Penentuan luas secara grafis

Cara ini dilakukan apabila gambar tanah hanya diketahui

skalanya saja tanpa dukunngan data lain seperti angka ukur dan lain-

lain, serta batas tanah berupa garis-garis lurus. Untuk itu

diperlukan piranti pengukur jarak dalam gambar seperti mistar skala,

jangka tusuk dan sebagainya. Penentuan luas secara grafis dapat

dilakukan dengan tiga cara yaitu :

130

Ilmu Ukur Tanah

a. Dengan membagi-bagi gambar tanah menjadi bentuk-bentuk geometris

yang sederhana, sehingga dengan penjangkaan atau pengukuran

beberapa sisinya dapat dihitung luasannya.

b. Dengan mengubah bentuk gambar tanah menjadi bentuk geometri yang

lebih sederhana dengan luas yang sama, sehingga dengan penjangkaan

beberapa sisinya dapat dihitung luasnya. Cara ini disebut pula

cara transformasi.

c. Dengan menggunakan mal gril yang terbuat dari kertas transparan,

misalnya millimeter kalkir, sehingga luas tanah akan diukur

dihitung dengan kelipatan dari luas jala-jala grid.

3. Penentuan luas secara grafis mekanis

Cara ini dipakai apabila batas-batas gambar tanah dibatasi oleh

garis-garis nonlinier (tidak lurus), yaitu berupa garis-garis

lengkung atau kurva. Cara ini menggunakan peralatan yang disebut

planimeter.

13.1.1. Penentuan Luas secara Numeris

A. Penentuan Luas dengan Koordinat

Misal sebidang tanah dibatasi oleh titik-titik A, B, C, D yang

diketahui koordinatnya : A (X1, Y1), B (X2, Y2), C (X3, Y3), D (X4, Y4)

Gambar 13.1 Luasan dengan angka koordinat

131

Ilmu Ukur Tanah

Luas segi empat ABCD = Luas trapesium A1ABB1 + luas trapesium B1BCC1-

luas trapesium D1 DCC1 – luas trapesium D1 ADD1

= ½ (X2, - X1) (Y2, + Y1) + ½ (X3 - Y2) (Y3 + Y2) – ½ (X3 - X4)

(Y3 - Y4) – ½ (X4 – X1) – ½ (Y4 + X1)

Luas ABCD = ½ (X2 - X1) (Y2 + Y1) + ½ (X3 - Y2) (Y3 + Y2) – ½

(X4 – X3) (Y4 + Y3) + ½ (X1 – Y4) (Y1 + Y4)

Disederhanakan menjadi :

2 Luas ABCD = [(Yn – Yn-1) (Xn – Xn-1)] ...................(13.1)

Apabila gambar diproyeksikan terhadap sumbu – Y maka akan menjadi :

2 Luas = [(Yn – Yn-1) (Xn – Xn-1)]..........................(13.1)

Kedua rumus di atas dapat disederhanakan menjadi :

2 Luas = [ Xn (Yn-1 - Xn-1)]

= [ Xn (Yn+1 - Xn-1)]...............................(13.3)

B. Penentuan Luas dengan Angka-Angka Ukur

Apabila gambar tanah atau persil telah diketahui angka-angka

ukurnya, maka untuk menghitung luasnya digunakan rumus-rumus

planimetrik. Namun dalam kenyataannya, jarang sekali bentuk-bentuk

gambar tanah yang dapat langsung dihitung dengan rumus planimetrik,

sehingga bentuk tersebut harus dibagi-bagi menjadi bangun-bangun yang

dapat ditentukan luasnya dengan rumus-rumus planimetrik, kecuali

bentuk-bentuk.

- Lingkaran atau bagian dariapdanya

- Segitiga

- Bentuk-bentuk di mana absis dan ordinat dari semua titik sudut

diketahui berada dalam satu garis.

1. Lingkaran atau bagian dari padanya

Gambar tanah yang berbentuk bagian dari lingkaran memang agak

jarang, kecuali di beberapa lokasi missal di perpotongan atau

tikungan jalan dengan sudut-sudut yang dibulatkan.

132

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 13.2. Luas bagian lingkaran

Apabila R (jari-jari lingkaran) dan K (panjang tali busur)

diketahui atau ditentukan dengan cara-cara yang lain, besar sudut

puncak dapat ditentukan dengan rumus :

Sin ½ = .................................(13.5)

Luas sector lingkaran (juring) adalah :

x R atau

x ½ R2 ...........................................(13.5)

Untuk menghitung luas tembereng (yang diarsir), maka sama

dengan luas juring dikurangi dengan luas segitiga sama kaki ( ½ R2

sin), sehingga menjadi :

L = ½ R2

(13.5)

Apabila sudut pusatnya lebih besar dari 215o maka lebih baik

dihitung luas dari seluruh lingkaran, kemudian dikurangi dengan luas

jaringan yang sudut pusatnya lebih kecil dari 180o.

2. Segitiga

Apabila sisa segitiga diketahui jarak-jaraknya, maka rumus yang

digunakan adalah rumus “S”, yaitu :

Luas = ; 2s = a + b + c ...........(13.7)

Dalam kasus tertentu rumus “S” sebaiknya tidak dipakai, yaitu

dalam hal :

a. Salah satu sudutnya sangat lancip

b. Salah satu sudutnya sangat tumpul

133

Ilmu Ukur Tanah

Apabila menemui bentuk segitiga yang demikian, lebih baik

digunakan rumus alas x ½ tinggi. Sebagai unsur tinggi diambil

proyeksi titik sudut ke sisi yang terpendek atau perpanjangannya,

sehingga apabila pengukuran tingginya kurang teliti akan menghasilkan

kesalahan luas yang tidak terlalu besar karena dikalikan dengan sisi

yang pendek.

3. Bentuk - bentuk di mana absis dan ordinat titik sudut diketahui

hanya terhadap satu garis.

Sebagai contoh seperti gambar di bawah ini :

Gambar 13.3. Absis dan ordinat titik sudut diketahui hanya

terhadap satu garis

I, A, B, C, dan II sebagian dari titik batas suatu bidang

tanah. Garis I-II sebagai garis ukur dan absis dan ordinat titik A,

B, C ditentukan dari garis tersebut.

Luas bidang tanah yang dibatasi oleh titik-titik sudut tersebut

adalah :

Contoh :

Gambar 13.4

134

Ilmu Ukur Tanah

Luas bidang tanah abcdefgh = Luas adg + ½ ab’.bb’ + ½ b’ c’

(bb’ – cc’) – ½ cc’ . c’d + ½ d’. ee’ + ½ e’ f’ (ee’ + ff’) + ½ f’ –

½ hh’ . Ag.

13.1.2.Penentuan Luas Secara Grafis

Cara ini dilakkan apabila batas-batas bidang tanah yang akan

ditentukan luasnya dalam peta tidak ada angka-angka ukurnya, serta

batas-batas tersebut berupa garis-garis lurus. Di sini dikenal dua

cara yaitu :

1. Dengan membagi-bagi gambar asli menjadi beberapa bentuk yang mudah

dihitung dengan rumus-rumus planimetrik

2. Dengan mengubah bentuk gambar asli emnjadi bentuk lain yang lebih

sederhana sehingga dengan penjangkaan atau pengukuran beberapa

sisis dan dihitung luas keseluruhan dari bentuk aslinya

(transformasi).

13.1.2.1. Membagi-bagi Gambar

Cara ini dilakukan apabila bentuk gambar yang akan ditentukan

luasnya tidak dapat sekaligus ditentukan dengan rumus planimetris

seperti segitiga, empat persegi panjang, bujur sangkar, jajaran

genjang, trapezium, dan lain-lain.

Gambar 13.5. Membagi-bagi bentuk gambar

Apabila akan menggunakan rumus luas segitiga = ½ alas x tinggi,

maka perlu penarikan garis proyeksi (untuk tinggi) ke garis alas dan

pengukuran jaraknya dengan mistar skala atau transverskal dan jangka

tusu. Misal pada Gambar 14.6 :

Sisa AB kita proyeksikan pada garis basis AC dan proyeksi titik

B pada garis AC adalah titik D, sehingga BD adalah garis tinggi yang

135

Ilmu Ukur Tanah

akan diukur panjangnya. Karena panjang adalah tetap, maka kesalahan

dari tinggi yang diukur tergantung dari penarikan garis proyeksi dan

pengukurannya.

Kesalahan pengukuran atau penjangkaan garis tinggi dapat

terjadi dalam tiga keadaan, tergantung dari sudut A, kecuali keadaan

yang bersifat khusus, yaitu :

- Jika sudut A = 90o .....................................h = a

- Jika sudut A = 0o .....................................h = 0

- Jika sudut A = 45o .....................................h = p

Gambar 14.6

Keadaan Pertama

p = h; A = 45o, misal a = 10m. dengan rumus sinus didapat p = 7,07 m.

Misal dengan penjangkaan dalam peta skala 1:500 didapat 7,20 m maka

harga p apabila dihitung menjadi

Hasil penjangkaan proyeksi ini lebih besar 13 cm dan tinggi

yang dihitung adalah lebih kecil bila dianggap kecil dapat

diabaikan.

Keadaan Kedua

Sudut A < 45o. jika sudut A semakin kecil, p semakin mendekati

A. Misal A – 30o dan a = 10 m, maka akan didapat h = 5 m dan p = 8,66

m (dengan rumus cosines). Misal dengan penjangkaan didapat hasil 8,6

m dalam peta skala 1:500, maka dengan hitungan didapat h = 4,76 m,

sehingga penjangkaan proyeksi lebih besar 14 cm dan tinggi yang

dihitung adalah 23 cm lebih kecil.

Kesimpulan : karena penjangkaan pada garis basis (p) merugikan,

penjangkaan lebih baik dilakukan terhadap tingginya.

Keadaan ketiga

Misal A > 45O. Jika sudut A semakin besar, maka h semakin

mendekati a. Misal A = 60o dan a = 10 m h = 8,66 m dan p = 5 m.

Misal dalam skala peta 1:500 penjangkaan p = 5,15 m, maka h dihitung

136

Ilmu Ukur Tanah

menjadi 8,57 m. penjangkaan proyeksi 15 cm lebih besar dan tinggi

yang dihitung menjadi lebih kecil 9 cm.

Kesimpulan :

a. Sebagai basis hendaknya dipilih sisi yang terpendek

b. h harus diukur seteliti mungkin sehingga apabila dikalikan

dengan setengah basis hasilnya tidak menimbulkan keraguan.

Ketelitian penentuan luas dengan cara ini secara tidak langsung

dipengaruhi oleh :

- ketelitian dari penarikan proyeksi

- ketelitian dari penjangkaan

- skala dari peta atau gambar yang diukur luasnya.

- Besarnya basis

13.1.2.2. Mengubah Bentuk Gambar Tanah (Transformasi)

Transformasi dimaksudkan untuk mempermudah pengukuran,

dilakukan dengan mengubah bentuk gambar menjadi bentuk yang lebih

sederhana dengan luas yang sama, sehingga tidak perlu banyak

penjangkaan dan perhitungan. Kelitian transformasi tergantung dari :

- Cara kerja transformasi

- Peralatan yang tepat dan baik

- Pemakaian alat dengan benar

Contoh transformasi :

Segi lima ABCDE ditransofmasi menjadi segi empat FCDE dengan cara

menarik garis BF//CA sehingga luas ABC = luas AFC. Selanjutnya

segi empat FCDE ditransformasikan kembali menjadi FCG.

a. Jangan sampai ada perpotongan garis transformasi yang tajam,

karena akan memberikan penjangkaan garis yagn tidak teliti.

b. Apabila akan memperpanjang garis hendaklah dilakukan dengan

teliti, karena akan mempengaruhi letak titik potong.

13.1.3.Penentuan Luas Cara Grafis Mekanis

Cara ini terutama digunakan untuk mengukur luas bangun-bangun

yang dibatasi oleh bukan garis lurus (garis nonlinier) seperti kurva-

kurva yang tidak beraturan. Di sini digunakan alat yang namanya

137

Ilmu Ukur Tanah

planimeter. Dilihat dari konstruksinya, planimeter dapat dibagi

menjadi tiga macam, yaitu :

1. Planimeter kutub

2. Planimeter cakra kutub

3. Planimeter cakra roda

Bagan dari ketiga macam planimeter tersebut dapat dilihat pada

gambar di bawah ini.

A : Tangan penjelajah

D : engse

L : roda tromol

T : plat lingk. Bacaan

putaran tromol

G : kutub / pemberat

Gambar 13.8. Bagan planimeter kutub

S: piringan tumpuan roda

tromol

L : roda tromol

d : klem pengatur panjang

tangan pejelajah

e : pegangan

f : jarum perunut

n : nonius pembacaan

putaran roda tromol

Gambar 13. 9. Bagan planimeter cakra kutub

Gambar : 13.10 Bagain planimeter cakra roda

138

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 13.11. Planimeter digital

Gambar 13.12. Pengukuran luas dengan planimeter (kutub luar)

Demikian pula apabila bergerak ke A2 B2, A3 B3, maka luas yang

terbentuk ABB1B2B3A3A2A1A sebagai sebagai luas yang positif. Apabila

berputar kembali ke A melalui A4 maka luas yang terbentuk terakhir

ini adalah A3B3B4A3AA4A3 sebagai luas yang negetif.

Gambar 13.13. Prinsip pengukuran luas dengan planimeter

139

Ilmu Ukur Tanah

Misal luas yang terbentuk oleh ujung tongkat A = La dan ujung B

= Lb, maka luas yang terbentuk adalah Lb – La. Bilamana ujung A diam,

maka La =0, sehingga luasnya = Lb. inilah dasar dari planimeter

kutub, dimana salah satu ujung tongkatnya diam (sebagai kutub) dan

ujung yang lain bergerak mengukuti batas gambar yang akan diukur

luasnya. Piranti yang digunakan untuk mengikuti batas gambar

dinamakan stift tracer (berupa jarum) atau floating mark apabila

ujungnya berupa lensa pembesar.

Skema planimeter kutub.AB : batang yang dinamakan tangan

penjelajah (fahr arm)

PB : tangan kutub (pool arm)

P : kutub

B : engsel

A : sift atau jarum untuk menjalani

batas gambar

C : tromol ukur yang sumbunya sejajar

dengan tangan penjelajah

Gambar 13.14. Skema planimeter kutub

Posisi C kadang-kadang di C’ namun tidak akan berpengaruh

terhadap teori perhitungan luas tersebut. Dalam menentukan luas

gambar, jarum A digerakkan mengikuti batas gambar. Akibatnya roda

tromol akan berputar dan bergeser (rolling dan sliding). Gambar 13.15 di

bawahi ini menunjukkan jarum yang bergerak dari A ke A”, sehingga

pergerakan tangan penjelajah dan tangan kutub melukiskan luasan

seperti yang diarsir. Banyaknya perputaran roda tromol dapat dibaca

pada angka perputara tromolnya.

Gambar 13.15. Luas yang dibentuk oleh planimeter

140

Ilmu Ukur Tanah

Misal pada saat stift berjlaan dari A sampai A’ melewati A”,

tangan penjelajah berputar sebesar d dan kutub berputar sebesar d.

maka luas terbentuk oleh kedua tangan adalah :

dL = Luas PBB’ + luas B’ A” A’ + luas BBA A’B’

= ½ c2 d + ½ a2 d + a.B’ D ..............................(13.7)

B’ D = C’ C” + CC’, di mana CC’ adalah perputaran linier dari tromol.

Perpindahan tromol dari tempat semula ke C” dianggap sebagai

pergerakan sliding dan dari sini rolling ke C’ sehingga :

B’ D = b d + d.........................................(13.8)

Persamaan (13.8) disubstitusikan ke (13.7) memberikan :

dL = ½ c2 d + ½ a2 d + a.b d + a. d..................(13.9)

dalam mengukur luas gambar, kedudukan kutub ada dua

kemungkinan, yaitu di luar di dalam gambar.

Ada rumus

Kutub di luar gambar

Apabila jarum berputar mengelilingi gambar dan kembali ke A lagi,

maka :

. . .(13.10)

Luas = (13.11)

Gambar 13.17. Kutub di luar gambar

Akhir rumus luas untuk kutub di luar gambar :

Luas = a 2. r. U = A. U ...................................(13.12)

A : Konstanta pengali

Luas di sini hanya tergantung dari panjang tangan penjelajah (fahr

arm) a saja.

Kutub di dalam gambar

Apabila suatu kutun berada di dalam gambar,

Maka pada rumus (4), sehingga

Rumus (4) menjadi :

Luas = 2 ( ½ c2 + ½ a2 + a.b) + a.

141

Ilmu Ukur Tanah

= (c2 + a2 + 2. a.b) + a.

= B + A. U .............................................(13.13)

Gambar 13.17. Kutub dalam gambar

B : konstanta penambah

Besaran (c2 + a2 + 2 a.b) = adalah kuadrat

Jari-jari, lingkaran dasar, yaitu lingkaran

dengan pusat P dan PC tegak lurus tangan penjelajah

serta terletak dalam bidang tromol C.

(PA)2 = (a + b)2 + (c2 – b2)

= a2 + 2ab + b2 + c2 - b2

= a2 + 2ab + c2

=

Gambar 13.18. Lingkaran

Sehingga B = luas lingkaran dasar

Pada pengukuran luas dengan kutub dalam, ada kemungkinan luas

bangun yang diukur lebih kecil dari luas lingkaran dasar, sehingga

rumus luas tidak menggunakan Rumus 13.13 namun menjadi :

L = B – A.U ..........................................(13.14)

Gambar 13.19. Luas Lingkaran dasar lebih besar dari luas bangun yang

diukur.

142

Ilmu Ukur Tanah

Panjang tangan penjelajah (fahr arm) dapat disetel sedemikian

rupa sehingga faktor pengalinya (A) menjadi 1 atau 100. Karena

umumnya r = 1 cm maka :

A = a. 2. 1 cm = 1 atau 100, maka

A = cm = 0,159 cm, atau a = cm = 15,9 cm

Dengan penyeten a = 15,9 cm, kita mengadakan percobaan

perhitungan luas dari segi empat percobaan ynag luasnya 100 cm2

misalkan dengan planimeter diperoleh luas 97,6 cm2 maka diadakan

perubahan penyetelan lagi.

Karena luas = 2 ra1 U1 = 2 ra2 U2 maka :

a1 : a2 = U2 : U1

15,9 : a2 = 100 : 97,6 sehingga a2 = 15,9 x

a1 – a2 = a = 15,9 x - 15,9 = - 15,9

= =0,38 cm

Panjang a harus diperkecil dengan jumlah proses yang sama

dengan kekurangan luas.

Contoh di atas :

Kekurangan luas adalah 2,4 %, maka a harus diperkecil dengan

2,4% x 15,9 cm = 0,38 cm.

Pada planimeter yang baru, pada tangan penjelajah terdapat

suatu pembagian ½ mm dan biasanya juga tidak dibaca jumlah putaran

penuh, tetapi 1/100 bagian dari putaran yang disebut kesatuan norius.

Misalkan yang terakhir ini dinyatakan dengan n’, maka U = n’/100.

Misalkan penyetelan tangan penjelajah dinyatakan dengan e dan

jarak dari titik nol pada pembagian tangan penjelajah terhadap engsel

dinyatakan dengan eo, maka :

a = (e – e0). ½ mm = ½ (e – e0) mm

143

Ilmu Ukur Tanah

Jadi,

Luas = 2 r ½ (e – e0) U mm2

= r (e – e0) U mm2

Atau

Luas = (e – e0) k n’ mm2

Di mana k =

Gambar 13.20

Kalau luas diukur di atas peta dengan skala 1 : m, maka

L’ = (e – e0) k n

= w n’

Di mana w = (e – e0) k n = harga dari kesatuan nonius

dalam M2

Pada umumnya pabrik telah membuat suatu table tentang e dan w

bagi tiap-tiap skala peta, yang terdapat pada kotak-kotak penyimpan

dari planimeter tersebut.

Kalau e0 = 3,0; 1 / k = 33,3 dan w ditetapkan, maka e dicari

dengan rumus :

e = e0 + ......................................(13.15)

Di bawah ini disusun table yang bersangkutan. Skala

1 : m

Penempatan nonius

Pada tangan

penjelajah

Harga kesatuan nonius

(w)

1:1000

1:1250

1:2000

1:500

1:250

336,0

169,2

169,2

336,0

136,2

10 M2

12,5 M2

20 M2

2,5 M2

0,25 M2

Apabila panjang tangan penjelajah diatur sedemikian hingga

besaran konstante pengali A = 100, maka besaran konstante penambah B

144

Ilmu Ukur Tanah

dapat dicari dengan cara mengukur luasan yang sudah pasti, misal

luas lingkaran dengan jari-kari yang tertentu, kemudian diukur dengan

planimeter dengan kutub dalam sehingga diperoleh banyaknya putaran

roda tromol U. karena L, A dan U sudah tertentu, besaran konstante

penambahan B dan ditentukan dengan rumus (13.13) atau (13.14).

13.1.3.3. Beberapa Pedoman Pemakaian Planimeter Kutub

Menentukan luas tanah dengan planimeter selalu kurang teliti

daripada menentukan luas dari angka-angka ukur. Namun demikian tidak

berarti bahwa semua luas harus ditentukan dari angka-angka ukur. Ada

daerah – daerah yang sangat luas di mana penentuan luas yang sangat

teliti tidak diperlukan. Dalam hal ini planimeter dapat dipakai dan

harus dipakai untuk menghemat waktu.

Ketelitian penentuan luas secara grafis mekanis ini dapat

dipertinggi dengan jalan :

a. Pengukuran luas dengan planimeter dikerjakan di atas peta yang

dikalkir sendiri dan berskala besar (1:250, 1:500)

b. Mempergunakan planimeter cakra kutub dari pabirk yang terkenal

(misal: Coradi) dan harus ada loupe (kaca pembesar) untuk membaca

dan loupe untuk stift.

c. Instrument harus diatur secara tetap (misalnya tiak tahun oleh

seorang ahli diberihkan dan direvisi).

Planimeter adalah instrument yang sangat peka dan mudah sekali

mengalami gangguan. Kesalahan terutama pada alat ini adalah tidak

sejajarnya sumbu tromol ukur dengan tangan penjelajah. Oleh karena

itu dibuatlah planimeter kutub kompensasi (compensating polar

planimeter). Cirri dari planimeter kompoensasi adalah tangan

penjelajahnya dapat berputar terus di bawah tangan kutub sehingga

kutub kini berada di bagian yang lain dari tangan penjelajah.

Pengaruh kesalahan sumbu

tromol ukur dapat pula ditiadakan

dengan menempatkan planimeter

sedemikian rupa sehingga persil

terbagi dua oleh lingkaran berat,

145

Ilmu Ukur Tanah

yaitu lingkaran yang dibuat oleh

stift jika tangan kutub tegak luas

tangan penjelajah.

Agar lingkaran berat dapat

membagi dua persil dilakukan cara

sebagai berikut :

Titik berat dari persil harus

berada pada lingkaran berat. Oleh

karena itu stift ditempatkan lebih

dulu pada titik berat tersebut dan

kemudian kutub digeserkan

sedemikian hingga tangan penjelajah

tegak lurus tangan kutub.

Gambar 13.21. Penempatan planimeter

Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi dalam pemakaian

planimeter adalah :

a. Dengan mempertimbangkan besarnya gambar yang akan ditentukan

luasnya, hendaknya diambil penyetelan panjang tangan penjelajah

sependek mungkin, karena panjang tangan penjelajah akan berbanding

terbalik dengan banyaknya perputaran tromol. Artinya apabila

panjang tangan penjelajah semakin pendek, perputaran tromol

semakin besar (banyak) sehingga ketelitiannya semakin tinggi.

b. Menghindari sliding dari tromol. Artinya stift bergerak tetapi

roda tromol tidak berputar. Hal ini terjadi apabila gerakan dari

stift sejajar dengan sumbu tromol. Biasanya sliding terjadi

apabila stift menjalani lingkaran dasar. Oleh karena itu keliling

persil hendaknya sedikit mungkin pada jarak pendek sejajar pada

lingkaran dasar. Hal ini dicapai jika kutub ditempatkan dalam arah

memanjang dari persil.

c. Tidak awal dipilih pada batas gambar sedemikian hingga

ketidaktepatan titik awal dan akhir tidak memberikan pengaruh yang

besar.

146

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 13.22. Penempatan planimeter untuk menghindari sliding dari

roda tromol

d. Sedapat mungkin diperhitungkan susutan dari kertas gambar, dengan

cara sebagai berikut :

Apabila susutan sepanjang sumbu X = p% dan sepanjang sumbu Y =

q%, maka luas yang diperoleh harus ditambah dengan (p + q)%. Apabila

peta yang diukur luasnya mempunyai jaringan-jaringan grid, maka

dianjurkan untuk menentukan luas secara relative, maksudnya dengan

penyetelan tangan penjelajah sembarang, kita ukur luas sebuah

jarring-jaring grid dan luas persil yang bersangkutan, misal hasinya

masing-masing N dan N’ kesatuan nonius dan jika luas jaring-jaring

grid yang sebenarnya = Q, sehingga luas persil = (N’/N). Q.

Hal tersebut di atas juga dilakukan apabila penyetelan tangan

penjelajah meragukan, agar diperoleh hasil yang baik. Selain itu

ketelitian perputaran tromol juga dipengaruhi oleh kualitas kertas

peta yang diukur. Hal ini merupakan kelemahan planimeter kutub di

mana roda tromol langsung menempel pada kertas gambar yang akan

diukur luasnya. Kelemahan yang terahir ini dapat ditiadakan apabila

menggunakan planimeter cakra kutub.

13.1.3.4. Pemakaian Planimeter Cakra Kutub

Pada planimeter cakra kutub, roda tromol berputar di atas suatu

cakra kerja / piringan yang mempunyai pemukaan yang licin. Cakra

kerja ini dikerakkan oleh suatu ronsel, yang dengan pertolongan roda

gigi bergerak di sepanjang keliling dari pelat kutub atau cakra kutub

yang sangat berat.

a. Tromol bergerak di atas suatu cakra yang melekat pada permukaan

yang licin, jadi tidak di atas permukaan gambar yang diukur

luasnya, yang biasanya kasar dan kotor.

147

Ilmu Ukur Tanah

b. Karena adanya pemindahan putaran dengan pertolongan roda gigi,

putaran tromol dapat 10 kali lebih besar, jadi kita membaca satu

angka lebih.

Planimeter cakra kutub bukan merupakan planimeter kompensasi,

sehingga diperlukan penempatan kutub yang teliti. Karena kutub sangat

berat, penggesertan kutub untuk mencari kedudukan yang baik dapat

menimbulkan kerusakan pada kertas gambar, sehingga perlu dibuat suatu

alat pertolongan yang dinamakan “pencari kutub”.

Pencari kutub dibuat dari kertas transparan atau kalkir, yang

dia tasnya digambarkan lingkaran-lingkaran batas luar dan dalam serta

lingkaran dasar yang dalam hal ini sama dengan lingkarna berat.

Dengan kertas transparan ini kita tentukan lebih dulu letak kutub

sedemikian rupa sehingga terlihat lingkaran dasarnya membagi dua

persil. Baru kemudian pelat kutub kita letakkan pada tempat kedudukan

kutub yang telah ditentukan oleh pencari kutub.

Gambar 13.23. Pencari kutub

Rumus luas pada planimeter cakra ini adalah :

L = A. U (kutub di luar gambar) .................(13.16)

L = A. U + B (kutub di dalam gambar).............(13.17)

L = B – A. U (Kutub dalam, tetapi luas bangun yang diukur

kecil dari luas lingkaran dasar)................(13.18)

Di mana

U = selisih pembacaan tromol pada akhir dan permulaan

pengukuran luas, atau banyaknya perputaran roda

tromol.

148

Ilmu Ukur Tanah

A = .............Konstante pengali = 2

B = Konstante penambah = (a2 + 2ab + c2)

Disini :

a = panjang tangan penjelajah

b = panjang tangan kutub

d = jarak antara titik pusat ronsel sampai titi kengsel

dari tangan kutub sampai tangan penjelajah.

r = jari-jari tromol

t1 = jumlah gigi-gigi dari ronsel

t2 = jumlah gigi-gigi dari cakra kutub

konstante A dapat pula ditulis = qA di mana q = 2

Pada planimeter cakra kutub dari Coradi, q kira-kira 0,0066 mm.

13.1.3.5. Ketelitian Penentuan Luas dengan Planimeter

Sumber – sumber kesalahan dalam penentuan luas dengan planimeter

adalah :

a. Tidak terpatnya penempatan titik mula dan titik akhir sewaktu

plianimeter berputar keliling.

b. Ketidaktelitian dalam membaca tromol

c. Tidak teraturnya perputaran tromol

d. Ketidakterlitian dalam mengikuti batas persil

Pengaruh kesalahan putaran keliling perseorangan ini hanya

ditetapkan berdasarkan perbandingan – perbandingan dari sejumlah

besar pengamatan yang dilakukan oleh berbagai orang pada berbagai

bentuk persil dan dalam keadaan yang berlainan pula (misal :

penyinara, suhu, landasan dsb). Dari sejumlah pengamatan ini

ditentukan kesalahan menengahnya. Kesalahan menengah menurut ilmu

hitung kuadrat terkecil adalah :

149

Ilmu Ukur Tanah

..................................(13.19)

Di sini :

= kesalahan menengah atau simpangan baku atau standar devisi

n = banyaknya pengamatan.

13.1.3.6. Perkembangan Alat Planimeter

Alat ukur planimeter sekarang sudah semakin canggih, baik dari

segi konstruksi, cara pemakaian, kapabilitas dan system pembacaan

tromol, perhitungan luas, serta tingkat ketelitiannya. Pada alat

planimeter merk Planix buata Tayama Jepang, misalnya, dengan system

pembacaan tromol eketronik atau digital yang dimilikinya, kita dapat

memasukkan skala peta langsung dengan menekan tombol skala sehingga

kita dapat memperoleh luas yang diukur dalam satuan meter persegi

(m2) atau fee persegi (f2) tergantung dari kebutuhan kita. Demikian

pula dengan planimeter cakra rodanya, kita dapat mengukur luasan

gambar yang panjangnya “tak terbatas”. Bahkan pada produk yang

terakhir telah dilengkapi dengan printer, sehingga hasil pengukuran

luas dapat langsung dicetak (diprint).

Gambar 13.24. Digital planimeter

Dalam perencanaan rekayasa, penentuan volume tanah adalah suatu

hal yang sangat lazim. Seperti halnya pada perencanaan fondasi,

galian dan timbunan pada rencana irigasi, jalan raya, jalan kereta

api, penanggulan sepanjang aliran sungai, penghitungan volume tubuh

bending dan lain-lain, tanah harus digali dan dibuang ke tempat lain,

atau sebaliknya, harus diambil dari tempat lain untuk ditimbun di

150

Ilmu Ukur Tanah

lokasi proyek. Semua kegiatan itu menggali, mengangkut dan menimbun

serta memadatkannya membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya

tersebut dapat dirancang apabila perencanaan dapat menghitung lebih

dulu berupa volume tubuh tanah yang dibutuhkan atau yang harus

dipindahkan secara tepat.

Pada dasarnya penentuan volume tubuh tanah dan dilakukan dengan

salah satu dari tiga cara atau metode dibawah ini :

1. Dengan tampang melintang (cross-section)

2. Dengan garis kontur

3. Dengan sipatdatar dan penggalian (spot level)

13.2.1. Penentuan Volme dengan Tampang Melintang (cross-Sections)

Dalam metode ini, tampang melintang diambil tegak lurus

terhadap sumbu proyek dengan interval jarak tertentu. Metode ini

cocok digunakan untuk pekerjaan tanah yang bersifat memanjang seperti

perencanaan jalan raya, jalan kereta api, saluran irigasi,

penanggulangan sungai, dan penggalian pipa.

Gambar 13.25. Bangun dengan tampang-tampang melintang

Volume tubuh tanah antara dua buah tampang yang berurutan dapat

dihitung apabila luas dari tampang-tampang tersebut dapat dihitung.

Adapun perhitungan-perhitungan luas telah diuraikan dalam subbab

13.1, antara lain dengan cara numeris, grafis dan grafis mekanis

dengan alat planimeter.

Luas konstruksi yang bersifat memanjang dengan bentuk tampang

yang seragam dan lebar formasi serta kemiringan sisi galian atau

timbunan (talud) yang konstan dapat ditentukan dengan rumus-rumus

yang disederhanakan sehingga perhitungannya lebih mudah dan cepat.

151

Ilmu Ukur Tanah

Rumus – rumus perhitungan luas di bawah ini telah disesuaikan

dengan kemungkinan-kemungkinan bentuk tampang yang terjadi, antara

lain:

a. Tampang dengan permukaan tanah asli mendatar (one level section)

b. Tampang dengan permukaan tanah asli miring (two level section)

c. Tampang dengan permukaan tanah asli mempunyai dua kemiringan

(three level section).

d. Tampang dengan permukaan tanah asli dalam galian dan timbunan

(side hill two level section)

Notasi-notasi yang digunakan dalam rumus-rumus tersebut adalah :

b : Lebar formasi

h : Tinggi timbunan / dalam penggalian

h1, h2 : jarak vertikal dari permukaan formasi sampai perpotongan

sisi talud dengan permukaan tanah asli

w : jarak mendatar dari sumbu tampang sampai perpotongan

sisi talud dengan permukaan tanah asli.

1:m : Kemiringan sisi talud (1 = unit tinggi, m = unit jarak

mendatar)

1:k : Kemiringan permukaan tanah asli

1:1 : kemiringan permukaan tanah asli kedua

A : Luas tampang

13.2.1.1. Tampang dengan Permukaan Tanah Asli Mendatar (One Level

Section)

Gambar 13.26. Tampang denga nsatu permukaan

152

Ilmu Ukur Tanah

b = Lebar formasi

w = Lebar sisi dari sumbu sampai perpotongan tanah asli dengan sisi

timbunan / halian

w = + mh...................................................(13.20)

AC = 2 w = b + 2 mh

Luas tampang = A =

A = h (b + mh)...............................................(13.21)

Contoh :

Suatu tampang timbunan apda permukaan tanah asli yang mendatar,

tinggi timbunan 3,10 m. Apabila lebar formasi 12.50 m, hitung (a)

lebar sisi, dan (b) luas tampang apabila kemiringan talud 1:2,5

(maksudnya 1 untuk verikal dan 2,5 untuk horizontal).

Perhitungan :

B = 12,50 m

m = 2,5

h = 3,10 m

Luas tampang = h (b + mh)

= 3,10 (12,50 + 2,5 x 3,10)

= 62,78 m2

Lebar sisi kedua-arahnya sama =

= 6,25 + 2,5 x 3,10

= 14,0 m

Pemasangan patok di lapangan (setting out) untuk batas tepi

timbunan / galian, dengan pemasangan patok di A dan C pada jarak 14,0

m dari titik sumbu B normal atau tegak lurus terhadap sumbu proyek.

13.2.1.2. Tampang dengan Permukaan Tanah Asli Miring (Two Level

Section)

153

Ilmu Ukur Tanah

Pada kasus ini permukaan tanah asli miring terhadap arah sumbu

proyek sehingga lebar sisi dari titik sumbu menjadi titik sama.

Gambar 13.27. Tampang dengan dua permukaan

Di sini : C1B = merupakan beda tinggi antara titik B dan C

karena kemiringan tanah asli 1 : k sepanjang jarak w1, demikian

pula :

A1B =

Demikian pula apabila sisi miring berpotongan di G, maka GE

akan menjadi beda tinggi untuk jarak horizontal sepanjang ,

sehingga GE =

Karena C1 CG sebangun dengan EFG maka :

w1

w1 .......................................(13.22)

Demikian pula :

154

Ilmu Ukur Tanah

Sehingga :

w2 = .....................................(13.23)

Luas tampang galian atau timbunan adalah ACFDA:

= luas BCG + luas ABG – luas DFG

= ½ w1

= ½ w1

= .............................(13.24)

Beda tinggi antara C dan F :

= h + = ½ w1 ........................................(13.25)

Beda tinggi antara A dan D :

= h - .............................................(13.26)

Dalam pemasangan patok A dan C, lebar sisi dapat diskala dari

gambar tampang dengan hari-hari dan seteliti mungkin atau dengan alat

penyipat datar, rambu dan pita ukur (Gambar 13.28)

Pembacaan pada rambu di A dan B masing-masing H2 dan H. apabila

h kedalam formasi di bawah B, maka dalam hal tersebut :

h2 + H2 = H + h

atau

h2 = H – H2 + h

155

Ilmu Ukur Tanah

tetapi h2 =

Oleh sebab itu : x = m (H – H2 + h)

w2 =

w2 = ........................(13.27)

Demikian pula : w1 = .......................(13.28)

Setelah pengambilan pembacaan rambu di B sebesar H, pemegang

rambu mengambil beberapa kemungkinan posisi (coba-coba) untuk

mendapatkan posisi titik A, setelah didapat kemudian diukur dan

dicatat jaraknya dengan pita ukur dari.

B. Pembacaan rambu H2 sekarang diamati dan besaran m (H-H2+h).

dihitung.

Harga w2 sekarang dapat dicari berdasarkan persamaan (13.27)

dengna menambahkan . Apabila harga sama dengan panjang ukuran

dengan pita ukur, berarti posisi A sudah betul. Apabila belum cocok,

maka dicoba lagi atau diulangi lagi oleh si pemegang rambu,

sedemikian hingga besaran ukuran jarak pita dari B ke A sama dengan

hitungan.

156

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 13.28. Pemasangan patok batas galian / timbunan

Metode ini akan lebih cepat dan praktis dibandingkan cara

dengan skala, terlebih-lebih apabila surveyor sudah berpengalaman.

Hal ini dapat lebih disederhanakan dengan pemasangan harga tinggi

akhir dari formasi dan tinggi garis bidik dari instrument. Perbedaan

tinggi di antara harga tersebut sama dengan (H + h) misalnya = Y,

maka :

w2 = ..............................(13.29)

Papan profil (bouw-plank) kemudian dipasang untuk memiringan 1 :

m sedemikian hingga kemiringan yang sebenarnya dapat direalisasi

selama kontruksi (pembangunan). Untuk penggalian, papan ini dipasang

sedikit di luar dari lebar sisinya, sedangkan untuk penimbunan,

dipasang tepat pada pertemuan antara batas penimbunan dengan

permukaan tanah asli.

Contoh :

Hitung lebar sisi dan luas tampang suatu timbunan untuk jalan

raya apabila diketahui lebar formasi 12,50 m, kemiringan talud 1:2,

tinggi timbunan di sumbu proyek 3,10 m dan kemiringan tanah asli 1:2

tegak lurus arah sumbu proyek.

Hitungan :

Berdasarkan Gambar 13.25.b:

w1 =

Di sini : b = 12,50 k = 12 m 2 h = 3,10

w1 =

= 14,94 meter

w2 =

= 10,67 meter

Dari persamaan (13.25) :

157

Ilmu Ukur Tanah

Luas =

=

= 60,18 m2

Contoh :

Pada contoh sebelumnya, apabila pemasangan patok A (Gambar

13.26.b) dengan penyipat datar, pembacaan rambu di B adalah 3,636 m

dan pembacaan rambu di titik A ( coba-coba ) adalah 2,768 m serta

pengukuran jarak dengan pita ukur 10,67 m. apakah posisi tersebut

benar ?

Hitungan :

Pembacaan rambu di B = H = 3,636

Pembacaan rambu di titik coba-coba = H2 = 2,68

Atas dasar geometri bentuk timbunan, persamaan (13.27) dan

(13.28) perlu kita modifikasi sehingga menjadi :

w1 = ..................................(a)

w2 = ...................................(b)

Substitusi pada harga coba-coba pada persamaan (b) :

w2 = 6,625 + 2 (2,746) + 3,10 – 3,636)

Harga ini sama dengan hasil pengukuran dengan pita ukur

sebelumnya, berarti penempatan patok A dari batas timbunan

sudah benar.

13.2.1.3. Tampang denga npermukaan Tanah Asli Mempunyai Dua

kemiringan (Three Level Section / Variabel Level)

Pada tampang yang demikian maka kemiringan tanah asli adalah

1:k dan 1:/. Rumus untuk lebih sisi di sini menjadi :

w1 = ...........................(13.30)

158

Ilmu Ukur Tanah

w2 = ...........................(13.31)

apabila BA menurun dari garis sumbu maka :

w2 = ...........................(13.32)

Gambar 13.29. Tampang dengan tiga permukaan

Luas tampang A = ½ w1 ½ w2 - ½ b.

= ½ -

= ................(13.33)

13.2.1.4. Tampang dengan Tanah Asli dalam Galian dan Timbunan (Side

Hill Two Level Section)

Biasaya kemiringan talud penimbunan tidak sama dengan

kemiringan talud penggalian, misal kemiringan talud penimbunan 1 : m

dan kemiringan talud penggalian 1 : n. demikian pula, perpotongan

antara bidang formasi dan tanah asli tidak harus berada pada garis

sumbu proyek.

Pada Gambar 13.30, GBA sebangun dengan EBJ.

Dengan demikian :

159

Ilmu Ukur Tanah

Akan tetapi GB + BE = w2 dan BE = k.h

Gambar 13.30. Tampang dalam galian dan timbunan

Sehingga : w2 = k (h + h2)

Demikian pula GD = mh2

= GE – DE = w2 –

Dengan demikian :

h2 =

w2 = ...........................(13.34)

Dengan cara yang sama, lebar sisi yang lain direkduksi dari gambar di

atas :

Dengan demikian :

Sehinggan : EL = w1 = k (h1 – h)

Akan tetapi FL = nh1 = w1 -

Sehingga :

160

Ilmu Ukur Tanah

h1 =

w1 = k

jadi w2 = ..........................(13.35)

Luas timbunan

½ h2 DB = ½ h2

= ½

= ½ ..........................(13.36)

Luas galian :

½ h1 BF = ½ h1

= ½

= ½ .....................(13.37)

Apabila tampang timbul berada pada garis sumbu tidak seperti

pada Gambar 13.29, maka rumus di atas perlu dimodifikasi menjadi :

Luas timbunan = ½ ...............................(13.38)

Luas galian = ½ ...................................913.39)

Pemasangan patok (setting out) pada tampang yang demikian,

dengan alat penyipat datar yang distel di atas titik C seperti pada

161

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 13.28, patok harus dipasang di A sejauh w2 dari sumbu =

Apabila Y adalah tinggi garis bidik di atas bidang formasi, maka h2

harus sama dengan pembacaan rambu yang didirikan di A, misal H2, minus

Y.

Dengan demikian : h2 = H2 – Y

Besaran w2 untuk harga pembacaan rambu H2 pada titik atau patok

yang akan dipasang dihitung dengan persamaan :

w2 =

Bandingkan hasil perhitungan menggunakan rumus ini dengan hasil

pengukuran menggunakan pita ukur. Apabila tidak sama, rambu harus

dipindah-pindahkan naik atau turun pada garis profil/tampang

sedemikian hingga harga pembacaan rambu untuk perhitungan w sesuai

dengan jarak pengukuran dengan pita ukur.

Apabila garis bidik penyipat datar berada di bawah level bidang

formasi, maka Y harus ditambahkan pada pembacaan rambu di posisi

titik coba-coba.

Contoh :

Sebuah rencana jalan dengan lebar formasi 9,50 meter, dengan

kemiringan talud 1:1 di daerah penggalian dan 1:3 di daerah

penimbunan. Permukaan tanah asli mempunyai kemiringan 1:5. Apabila

kedalaman penggalian di garis sumbu proyek 0,50 meter, hitung lebar

sisi dan luas tampang galian dan timbunannya.

Perhitungan :

Dari rumus (13.34), (13.35), (13.36), (13,27) kita dapatkan :

w2 = = (4,75 – 3 x 0,5)

= 7,88 meter

w2 = = (4,75 – 3 x 0,5)

= 6,56 meter

162

Ilmu Ukur Tanah

Luas timbunan = ½ = ½

= 1,27 m2

Luas galian = ½ = ½

= 6,57 m2

Permukaan tanah asli dapat diperoleh dari pengukuran profil

melintang seperti telah dijelaskan dalam Bab.11.2 atau dari peta

topografi (kontur) seperti pada Bab 10.6. lebar formulir tergantung

dari macam proyek dan kelas-kelasnya (jalan raya, saluran irigasi,

tanggul dll), sedangkan kemiringan talud ditentukan oleh factor

kekompakan material tanahnya.

Untuk perhitungan volume tubuh tanahnya dapat digunakan

beberapa rumus, antara lain :

1. Rumus Tampang Rata-rata (Mean Areas)

Dalam rumus ini volume didapat dengan mengalikan luas rata-rata

dari tampang yang ada dengan jarak antara tampang awal dari akhir.

Apabila tampang-tampang tersebut A1, A2, A3, …… An-1, An’ dan jarak

antara tampang A1 ke An = L, maka :

Volume = V = ...................(13.40

2. Rumus Dua Tampung (End Areas)

Apabila A1 dan A2 adalah luas tampang yang berjarak D, maka

volume antara dua tampang tersebut :

V = D. ............................................(13.41)

Rumus ini benar sepanjang tampang tengah antara A1 dan A2

merupakan rata-rata dari keduanya. Seandainya tidak, maka penggunaan

rumus tersebut harus dikoreksi (koreksi prismoida).

Apabila tampang-tampang di sini banyak dan jarak-jarak antar

tampang bervariasi missal D1, D2, D3, dst. maka :

163

Ilmu Ukur Tanah

Volume = V = ∑ +........(13.42)

Rumus ini didasarkan pada rumus trapesium untuk volume.

Contoh :

Sebuah pekerjaan penimbunan dengan kemiringan 1:20 ke arah

memanjang (longitudinal). Tubuh tanah tesebujt dibatasi oleh tiga

buah tampang yang masing-masing berjarak 20 meter dan tinggi timbunan

pada masing-masing tampang adalah 6,00; 7,60 dan 9,20 meter di atas

permukaa tanah asli yang mendatar. Apabila kemiringan talud 1:1 dan

lebar formasi 6,00 meter, hitung volume timbunan tersebut dengan

rumus trapezoid.

Perhitungan

Dengan rumus (13.21) :

A = h (b + mh)

A1 = 6,00 (6,00 + 6,00) = 72,00 m2

A2 = 7,60 (6,00 + 7,60) = 103,36 m2

A3 = 9,20 (6,00 + 9,20) = 139,48 m2

Catatan : tampang tengah (A2) tidak sama dengan rata-rata kedua

tampang luar A1 dan A3.

V =

= 4185,60 m3

Apabila digunakan rumus dua tampang terluar :

V =

= 4236,80 m3

3. Rumus Prismoida

Rumus ini adalah rumus yang paling baik di antara rumus-rumus yang

lain. Prisma adalah sebuah bangun yang bidang sisi-sisinya berupa

bidang datar, sedang bidang alas dan atasnya sejajar.

Bentuk rumus prismoida adalah :

V = ...............................(13.43)

164

Ilmu Ukur Tanah

Di sini :

A1 dan A2 : penapang luar (atas dan bawah)

D : jarak antara A1 dan A2

M : luas penampang tengah

Apabila M adalah rata-rata dari A1 dan A2, maka :

V =

= D x

Rumus di atas sama dengan rumus volume dengan dua permukaan

(end area), dan dapat dikembangkan untuk volume piramida, yaitu

prisma di mana luas alas berupa bujur sangkar dan luas atasnya =0,

sehingga apabila sisi alas = x, maka :

Luas alas : A = x2

Luas penampang tengah : M =

Luas panampang atas = 0

V =

=

Gambar 13.31. Piramida dan prisma segitiga

Dengan cara yang sama, volume prisma segitiga dengan panjang a,

lebar b dan tinggi D adalah :

165

Ilmu Ukur Tanah

V =

=

Rumus Simpson :

Apabila tampang-tampang tersebut banyak, missal A1, A2, A3, A4,

….. An, maka dapat dihitung volume untuk setiap bangun yang dibatasi

tiga tampang (sisi) :

V1 =

V2 = , dan seterusnya sehingga :

V =

(13.44)

Di sini :

n = nomor-nomor ganjil

D = jarak antar dua tampang

Koreksi prismoida :

Perhitungan volume dengan rumus prisma (prismoida) lebih baik

bila dibandingkan dengan rumus end area. Oleh karenanya, apabila

hitungan dilakukan dengan metode atau rumus end area sebaiknya

dikoreksi dengan koreksi prismoida atau prismoida correction untuk

mendapatkan hasil yang baik.

Misal D adalah jarak antara dua tampang A1 dan A2 adalah dua

tampah ujung-ujungnya, M adalah tampang tengah, h1 dan h2 adalah beda

tinggi antara bidang formasi dan permukaan tanah asli, dan b adalah

lebar formasi. Kemudian dari persamaan (13.21) :

A1 = h1 (b + mh1)

A2 = h2 (b + mh2)

Sehingga :

V end area =

166

Ilmu Ukur Tanah

Dengan anggapan hm (beda tinggi antara bidang formasi

tampang tengah dengna permukaan tanah asli), maka :

M =

=

Sehingga :

V prismoida =

Vp =

=

Jadi :

VEA - Vp =

= . m (h1 - h2)2..............................(13.45)

= koreksi prismoida untuk tampang satu permukaan

Karena besaran (h2 – h2)2 selalu positif, maka koreksi selalu

dikurangkan terhadap volume yang dihitung dengan rumus volume dengan

dua tampang atau end area formula.

Dengan cara yang sama dapat diperoleh kokresi prismoida untuk

tampang dengan dua permukaan atau two level sections :

VEA – Vp = (A1 + A2) - (A1 + 4M + A2)

= (A1 – 2M + A2)..............................(13.46)

167

Ilmu Ukur Tanah

= ........................(13.47)

Seperti halnya pada tampang dengan satu permukaan, di sini

koreksi prismoida selalu positif, sehingga k>m. pada tampang dua

permukaan di mana sebagian dalam timbunan dan sebagian lagi dalam

galian :

Timbunan KP = .....................(13.48)

Galian KP = .......................(13.49)

Contoh :

Dari contoh sebelumnya yang diselesaikan dengan metode end

area, hitung kembali volumenya dengan rumus prismoida.

Perhitungan :

a. Dengan mengambil D = 40 meter

V =

= 4168,50 m2

b. Dengan D untuk setiap 20 meter, menggunakan koreksi prismoida

V1 =

= 1753,60 m2

KP = (h1 – h2)2

= 20 x 1 ( ) (6,00 – 7,60)2

= 8,53 m3

V2 =

= 2432 m2

KP =

= 8,53 m2

Jumlah volume = 4168,5 m3

168

Ilmu Ukur Tanah

Ternyata hasil perhitungan volume dengan metode end area dan

koreksi prismoida adalah sama. Hal ini dikarenakan luas penampang

tengah sama besar dengan rata-rata antara dua penampang luasnya.

Contoh :

Suatu penggalian dilakukan pada tanah asli yang mempunyai

kemiringan 1:5 Lebar formasi 8,00 meter, kemiringan talud 1:2.

Apabila kedalaman penggalian pada sumbu proyek di tampang 1,2,3, yang

masing-masing berjarak 20 meter adalah 2,50 meter; 3,10 meter dan

4,30 meter, hitung volume tubuh tanah yang dibatasi oleh ketiga

tampang tersebut.

Perhitungan :

Dengan rumus (13.13)

A =

Dan dari rumus (13.30) dan (13.31) :

W1 =

W2 =

Sehingga di dapat : untuk m = 2 dan k = 5

Dari hitungan di dapa : = , =

A1 = 40,24 m²

169

Ilmu Ukur Tanah

A2 = 53,94 m²

A3 = 86,50 m²

a. Apabila dihitung dengan rumus prismoida :

V = (40,24 + 4 x 53,94 + 86,50)

= 2283,30 m³

b. Dihitung dengan rumus end area dengan koreksi prismoida :

VEA = (40,24 + 2 x 53,94 + 86,50)

= 2346,20 m³

Dari rumus 13.45 :

KP = . . m (h1 – h2)²

= . . 2

= 14,30 m³

Sehingga :

Vp = 2346,20 – 14,30

= 2331,90 m³

Contoh

Sebuah rencana jalan dengan lebar formasi 9,00 meter dan

kemiringan talud 1:1 dalam penggalian dan 1:3 dalam timbunan.

170

Ilmu Ukur Tanah

Permukaan tanah asli mempunyai kemiringan 1:5. Apabila kedalaman

penggalian dari dua tampang dalam sumbu proyek yang 20 masing-masing

adalah 0,40 meter dan 0,60 meter, hitung volume galian dan timbunan

dalam sector ini.

Perhitungan :

Dari rumus 13.36 dan 13.37:

Luas tampang timbunan =

Luas tampang galian =

Pada tampang 1 :

Luas tampang timbunan = = 1,56

Luas tampang galian = = 1,56

Pada tampang 2 :

Luas tampang timbunan = = 0,56

Luas tampang galian = = 7,03

171

Ilmu Ukur Tanah

Timbunan :

VEA = (1,56 + 0,56) = 21,20 m³

Dari rumus (11.46) :

KP = x 25 x 0,20² = 0,80 m³

= x 25 x 0,20² = 0,80 m³

Jadi. Vp = 20,40 m³

Galian :

VEA = .(5,28 + 7,07) = 123,10 m³

Dari rumus 13.49 :

KP = (h1 – h2)²

= x 25 x 0,20² = 0,4 m³

172

Ilmu Ukur Tanah

Jadi, Vp = 122,70 m³

Dengan demikian, penggalian lebih besar 102,3 m³ dari timbunan.

4. Rumus Frustum

Rumus ini berlaku untuk bangun-bangun yang mendekati bentuk

kerucut terpancung di mana luas penampang atas ≤ 0,5 dari luas

penampang bawah. Adapun bentuk dari rumus Frustum adalah :

V = 1/3 . t . (A1 + A2 +

) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(13.50)

Dalam hal ini :

t : tinggi/jarak antara penampang atas dan bawah

A1 : luas penampang atas

A2 : luas penampang bawah.

Gambar 13.32. Frustum

13.2.1.5. Pengukuran Kelengkungan

Sejauh ini kita beranggapan bahwa sumbu proyek lurus dan

tampang-tampang melintang yang ada tegak lurus terhadap garis sumbu.

Apabila garis sumbu proyek melengkung, tampang-tampang tersebut tidak

lagi saling sejajar satu sama lain, melainkan akan berbentuk radial,

sehingga volumenya akan menjadi lebih kecil dariapda yang bergaris

sumbu lurus. Untuk itu perlu diberikan koreksi kelengkungan seperti

yang dijelaskan dalam teori Pappus.

Teori Pappus menyatakan bahwa volume suatu tampang yang

berputar sama dengan luas tampang tersebut dikalikan dengan jarak

yagn ditempuh oleh titik berat dari tampang yang berputar. Apabila

173

Ilmu Ukur Tanah

luas tampang-tampang tidak seragak, maka volumenya dapat dihitung

dengan cara sebagaimana yang digambarkan berikut ini:

Gambar 13.33. Tampang dengan jarak titik berat yang tidak sama

Apabila tubuh tanah berbentuk melingkar dan tampang awal dan

akhir tidak sama, maka jarak masing-masing titik beratnya terhadap

sumbu adalah = ………., dan radius 2 jarak jari-jari lingkaran yang

dijalani oleh titik berat menjadi R ± . Tanda minum digunakan jika

rata-rata pusat gaya berat berada di antara garis sumbu proyek dan

pusat lingkaran, dan tanda positif digunakan jika berada di luar

sumbu proyek. Apabila jarak antar tampang = D, maka sudut pusat yang

mengapit = ………….. sehingga jarak yang ditempuh oleh titik berat

………………….

Sehingga volume (pendekatan) menjadi :

V = 1/2 (A1 + A2) . D

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

(13.51)

Posisi titik berat mungkin berpindah-pindah terhadap garis sumbu,

apabila kemiringan permukaan tanah berubah. Oleh karena itu harga

dihitung secara aljabar dari harga 1 dan 2. Sebagai alternatif

yang lain, yang dikreksi adalah luas tampangnya, misalnya A1

menjadi A1 , sehingga setiap tampang setelah dikoreksi

menjadi , …dst, dan luas tampang terkoreksi tersebut

digunakan dalam rumus prismoida.

Contoh :

174

Ilmu Ukur Tanah

Suatu penggalian dengan sumbu proyek melengkung berjari-jari

120 m. permukaan tanah asli mendatar, memiringan talud 1:1,5; lebar

formasi dari 6 m melebar menjadi 9 m secara kontinu pada jarak 90 m

dari awal penggalian. Apabila kedalaman penggalian di sumbu proyek

bertambah secara kontinu dari 2,40 m sampai 5,10 m, hitung volume

tanda yang harus digali.

Penyelesaian :

Berdasarkan Gambar 13.34, luas tampang galian A = 3h. untuk

sembarang kedalam yang diberikan pada sumbu proyek (h)

X = x = h meter

Oleh karenanya eksentirisitas dari titik berat menjadi 4,5 +

dari sumbu sebelumnya, sehingga dapat dibuat table sebagai berikut

:

Gambar 13.34.

175

Ilmu Ukur Tanah

Catatan :

Apabila tidak dikoreksi dengan koreksi kelengkungan, volume

bangun di atas 1012,5 m3 sehingga akan kelebihan sebesar 6,5%.

13.2.2. Penentuan Volume dengan Garis Kontur

Sebagaimana telah kita ketahui, garis kontur atau tranches pada

peta adalah garis-garis yang menghubungkan tempat-tempat yang sama

tinggi sehingga bidang yang terbentuk oleh sebuah garis kontur akan

berupa bidang datar. Apabila kita mempunyai peta yang bergaris

kontur, maka volumenya dapat dihitung sebagaimana menghitung volume

pada peta yang berpenampang-penampang melintang.

Luas setiap penampang di sini adalah luas yang dibatasi oleh

suatu garis kontur, sedangkan tinggi atau jarak antara penampang

adalah besarnya interval garis kontur, yaitu beda harga antara dua

garis kontur yang berurutan.

Karena bangun atau bidang yang dibatasi oleh sebuah garis

kontur bentuknya tidak teratur, maka penentuan luas di sini

dikerjakan dengan planimeter. Volumenya dapat dihitung dengan rumus

end area untuk setiap dua buah tampang yang berurutan, rumus

prismoida untuk setiap tiga buah tampang, atau rumus Simpson untuk

tampang yang banyak.

176

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 13.35. Garis kontur pada bukit.

Karena garis kontur digambar dengan interval yang tertentu

tergantung dari skala peta yang dipakai, missal 1 meter, 5 meter, 10

meter, atau 25 meter maka harga kontur yang lain dapat diinterpolasi

dari harga kontur yang telah ada.

Perhitungan volume dengan garis kontur umumnya dilakukan untuk

perhitungan volume yang tidak membutuhkan ketelitian yang tinggi,

seperti perkiraan volume air yang dapat ditampung dalam suatu waduk

atau bendungan, volume tubuh bending, volume bahan tambang dalam

suatu bukit. Ketelitian perhitungan volume tergantung pada ketelitian

peta yang digunakan.

Contoh :

Pada peta dengan interval kontur 1 meter di bawah ini (gambar

13.36) akan didirikan bangun dengan tinggi dasar lantai (level) 32,0

meter. Hitung volume material yang digali apabila kemiringan talus

1:2.

Perhitungan :

1. Karena kemiringan talud 1:2 maka untuk interval kontur 1 meter

jarak horizontalnya adalah 2 meter.

2. Garis potong antara permukaan tanah asli dan galian seperti yang

digambarkan dengan haris patah-patah. Catatan : teknik

penggambarna isometric lihat subbab 11.6. di muka.

177

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 13.26. Perhitungan volume dengan kontur

3. Luas setiap garis kontur yang tertutup dihitung dengan planimeter.

Luas kontur 32 meter adalah bangun A1CD; luas kontur 33 adalah

bangun yang dibatasi oleh titik-titik bernomor 2.2.2.2; luas

kontur 34 adalah bangun yang dibatasi oleh titik yang bernomor

3.3.3; dan luas kontur 35 adalah bangun yang dibatasi titik

bernomor 4.4.4, sedang luas kontur 36 =0

4. Misal dengan planimeter luasan-luasan tersebut didapat :

5. Volume dihitung dengan rumus Simpson :

13.1.3. Penentuan Volume dengan sipat datar dan penggalian (Borrow

Pit/Spot Level

Metode ini banyak dipakai pada pekerjaan penggalian yang besar

dan luas. Pelaksanaannya di lapangan meliputi pembuatan jarring-

jaring grid yang berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang

dengan panjang sisi yang tertentu, missal 10 meter, 15 meter atau

yang lain. Titik – titik grid di lapangan ditandai dengan patok kayu,

kemudian diadakan pengukuran sipat datar untuk mengetahui ketinggian

setiap patok.

178

Ilmu Ukur Tanah

Apabila penggalian akan dikerjakan hingga pada level yang

tertentu, maka selisih tinggi untuk setiap patok dapat dihitung.

Ataupun apabila penggalian dilakukan terlebih dahulu baru dihitung

volume tanah yang telah tergali, maka sesudah penggalian pada patok-

patok tersebut diadakan pengukuran sipat datar kembali untuk

mengetahui kedalaman penggalian di setiap patok. Dari selisih-selisih

ketinggian tersebut kemudian dihitung volumenya dengan rumus prisma

terpancung dengan alas prisma berupa empat persegi panjang atau

segitiga, sedang tinggi prisma diambil dari rata-rata dalamnya

penggalian di titik – titik grid (patok).

Contoh :

Pada suatu daerah yang

dibatasi dengan titik- titik

grid (gambar 13.37) setelah

penggalian diadakan

pengukuran tinggi ulang, beda

tinggi seperti dalam contoh

di bawah, hitunglah volume

tanah yang tergali tersebut.

Perhitungan :

a. Diasumsikan bangun

tersebut dibagi dalam

empat buah empat persegi

panjang yang terpisah

dengan luas alas yang sama

dan tinggi setiap prisma

diambil rata-rata dari

ketinggian keempat

sudutnya. Karena

ketinggian titik sudut ada

yang digunakan lebih dari

satu kali, perhitungan

dibuat dalam tabel berikut

:

179

Ilmu Ukur Tanah

Gambar 13.37

b. Dengan menganggap prisma segitiga, tinggi prisma adalah rata-rata

dari ketiga tinggi sisinya.

Volume =

= 3492 m³

13.1.4.Diagram Mass-Haul

Pada pekerjaan tanah yang besar dan memanjang seperti halnya

perencanaan jalan kereta api, jalan arteri, saluran irigasi primer,

dan lain-lain, peran diagram Mass-Haul sangat penting dalam

perencanaan dan konstruksi.

Diagram Mass adalah suatu lengkungan yang menunjukkan

penjulahan aljabar dari volume galian dan timbunan, dari stasiun

yangtertentu sampai stasiun berikutnya. Pada diagram ini stasiun

ditempatkan pada sumbu absis dan jumlah volume ditempatkan pada

ordinat. Skala pada absis sama dengan skala horizontal pada gambar

profil memanjang, skala ordinat disesuaikan dengan volume dalam meter

kubik, missal 1 cm untuk 1003. Sebelum menggambar diagram ini,

180

Ilmu Ukur Tanah

sebaiknya volume galian (+) dan timbunan (-) disusun dulu dalam suatu

tabel.

Sebagian besar meterial (tanah/batuan) volumenya akan bertambah

setelah digali, tetapi akan menyusun setelah digunakan untuk

menimbulkan dan dipadatkan. Apabila factor penyusutan ini diketahui

maka ada baiknya hal ini turut dimasukkan dalam diagram Mass ini.

Haul

Biaya penggalian dan angkutan materi ditentukan oleh beberapa

factor, di antaranya jarak angkut. Besarnya biaya unit price dari

penggalian dan angkutan telah dihitung dalam jarak angkut yang telah

tertentu, missal 500 meter. Jarak ini dinamakan dengan free haul.

Apabila material harus diangkut melebihi jarak tersebut, maka

kelebihan jarak tersebut dinamakan overhaul. Dengan demikian haul

adalah volume x jarak angkut untuk ditimbun. Hal ini akan sama dengan

jumlah volume dari galian x jarak dari pusat harian ke pusat

timbunan.

Diagram di bawah adalah contoh pengeplotan dari data di halaman

sebelumnya untuk jarak 1000 meter. Dalam membuat diagram, ada

beberapa hal yang perlu dikemukakan, antara lain :

a. Kurva naik menunjukkan galian, sehingga volume akumulasi bertambah

terus (yaitu J ke B) dan titik maksimum adalah akhir dari galian

(yaitu b,e).

b. Kurva menurun menunjukkan timbunan (yaitu B ke M dan N ke D) dan

titik minimum adalah akhir dari timbunan (yaitu d).

c. Jika sembarang haris horizontal memotong kurva, missal garis lm,

maka volume galian akan sama dengan timbunan. Garis ini dinamakan

garsi keseimbangan. Apabila kurva berada di atas garis

keseimbangan, material harus dipindahkan ke kanan, seperti pada

LBM dan apabila kurva berada di bawah garis keseimbangan, material

181

Ilmu Ukur Tanah

harus dipindahkan ke sebeh kiri, seperti pada RGS.

Gambar 13.38. Diagram Mass-Haul

Garis basis juga bias berlaku sebagai garis keseimbangan, namun

tidak selalu dipakai untuk itu. Garis keseimbangan dapat dipilih yang

sesuai dan tidak harus bersambungan untuk seluruh diagram, seperti lm

182

Ilmu Ukur Tanah

dan np yang terpotong oleh jembatan dan antara np dan grs yang sama

sekali terpisah. Titik yang berada di antara dua garis keseimbangan

yang berbeda berarti tidak termasuk dalam keseimbangan, seperti

antara K dan L dan antara P dan Q pada kurva yang naik. Ini berarti

kelebihan material dan harus diambil dan dibuang (waste) sedang

apabila menurun berarti kekurangan material yang harus diambilkan

dari tempat lain untuk penimbunannya. Hal ini mungkin malah lebih

ekonomis daripada membuat haris keseimbangan yang lebih panjang,

namun menjadi tidak ekonomis karena angkutannya terlalu jauh.

Dengan pertimbangan di atas, apabila harga free haul telah

ditentukan, beberapa tempat dalam kurva dapat diplot dan jarak ekstra

untuk overhaul dapat diperhitungkan. Missal jarak free haul 500 m,

maka antara KMB yang ditandai dengan xy pada kurva Mass-Haul dan yang

lain np, qr menjadi garis keseimbangan yang cukup baik. Bagian luasan

kurva yang dipotong oleh garis keseimbangan yaitu Ibm dinamakan haul

di tempat itu sehingga haul adalah hasil kali volume dan jarak.

Luas free haul adalah uxbyyu dan luas overhaul adalah (ibml-

uxbyyu). Jarak overhaul adalah jarak dari titik berat luasan 1 xu ke

titik berat luasan vym (missal-f).

Overhaul volume station = (Ibml-uxbyyu). F meter4

Volume lux dapat dilihat dalam ordinat ux pada kurva, sedangkan

volume vym besarnya dinyatakan dalam ordinat vm. Besarnya over haul

inilah yang memerlukan biaya ekstra.

183

Ilmu Ukur Tanah