DIKTAT PERPETAAN
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of DIKTAT PERPETAAN
1. PENDAHULUAN
Pada era pembangunan dewasa ini ketersediaan peta menjadi
sesuatu hal yang tak dapat ditinggalkan, terlebih-lebih untuk
pembangunan fisik. Sebagaimana kemajuan di bidang ilmu dan teknologi
yang demikian pesat, wahana atau teknik pemetaan pun sudah sedemikian
berkembang, baik dalam hal teknik pengumpulan datanya maupun proses
pengolahannya dan penyajiannya baik secara spasial maupun system
informasi kebumian lainnya. Cakupan wilayah kajiannya pun menjadi
tidak terbatas, demikian pula wilayah kerjanya. Permasalahan tersebut
di atas termasuk dalam wilayah kerja atau disiplin ilmu geodesi
geomatika.
1.1. GEODESI DAN ILMU UKUR TANAH
Ilmu ukur tanah adalah bagian dari ilmu geodesi yang
mempelajari cara-sara pengukuran di permukaan bumi dan di bawah tanah
untuk berbagai keperluan seperti pemetaan dan penentuan posisi
relatif pada daerah yang relatif sempit sehingga unsur kelengkungan
permukaan buminya dapat diabaikan.
Sedangkan geodesi mencakup kajian dan pengukuran yang lebih
luas, tidak sekadar pemetaan dan penentuan posisi di darat, namun
juga di dasar laut untuk berbagai keperluan, juga penentuan bentuk
dan dimensi bumi baik dengan pengukuran di bumi dan dengan bantuan
pesawat udara, maupun dengan satelit dan system informasinya.
Tujuan, cakupan, lingkup dan wahana untuk penyajian tersebut
berbeda-beda, oleh karenanya disiplin dari surveying dapat digolongkan
dalam beberapa bidang studi, yaitu ;
1. Survei geodesi (geodetic surveying)
2. Survei permukaan tanah datar (plane surveying)
a. Survei topografi (topographic surveying)
b. Survei kadaster (cadastral surveying)
c. Survei rekayasa (engineering surveying)
1
Ilmu Ukur Tanah
d. Survei tambang (mine surveying)
3. Survey hidrografi (hidrographic surveying)
4. Survei fotogrametri (photogrammetric surveying)
5. Survei radargrametri (radargrammetric surveying)
Survey geodesi (geodetic surveying) meliputi penentuan bentuk dan
ukuran bumi, medan grafitasi dan pembuatan jaringan control pemetaan.
Aktivitasnya di sini juga dikembangkan hingga beberapa hal tentang
astronomi dan penentuan posisi dengan satelit.
Survei permukaan tanah datar (plane surveying) meliputi
pengukuran dalam areal yang terbatas sehingga efek kelengkungan
permukaan buminya dapat diabaikan dan perhitungannya dapat langsung
direferensikan pada bidang datar. Untuk itu titik-titik kontrol yang
digunakan merupakan perapatan dari titi control geodesi, seperti
halnya pada ilmu ukur tanah dan survey rekayasa (bangunan, jembatan,
terowongan dll).
Survei fotogrametri (photogrammetric surveying) meliputi aspek-
aspek pengukuran dan pemetaan dari foto udara dan foto teristris
(darat), teknik penginderaan jauh dan interpretasi foto. Subyeknya
meliputi : perencanaan, aspek fisik fotografi, peralatan, perpaduan
sistem (integrated system) analog dan analitis, penginderaan jauh, foto
interpretasi dan holografi.
Survei radargrametri (radargrammetric surveying) subyeknya sama
dengan fotogrametri, yang berbeda hanya panjang gelombang yang
digunakan dan sensornya. Pada radargrametri menggunakan gelombang
mikro dengan sensor aktif.
Survei topografi (topographic surveying) yaitu pemetaan permukaan
bumi fisik dan kenampakan hasil budaya manusia. Unsur relief
disajikan dalam bentuk garis kontur. Skala peta berkisar antara 1 :
1.500 sampai 1: 250.000 dengan interval garis kontur antaran 0,25 -
2
Ilmu Ukur Tanah
100 meter. Peta jenis ini yang bersakala lebih besar dari 1:2500
disebut peta teknik dan yang tanpa garis kontur disebut dengan plan.
Survei kadaster (cadastral surveying) adalah pengukuran untuk
menentukan posisi batas-batas pemilikan tanah (persil), pemetaan
bidang-bidang tanah untuk pendaftaran hak atas tanah dan untuk
kepastian hukum pemilikan tanah (sertifikat), serta pemetaan untuk
pajak bumi dan bangunan (PBB) atau kadastral fiskal.
Survei rekayasa (engineering surveying) mencakup pemetaan
topografi skala besar sebagai dasar dari perencanaan dan desain
rekayasa seperti jalan, jembatan, bangunan gedung, jalan layang dan
bendungan.
Survei tambang (mine surveying) mencakup teknik-teknik khusus
yang diperlukan untuk menentukan posisi-posisi dan gambar proyeksi
obyek, baik di bawah tanah (dalam tambang bawah tanah) maupun di
permukaan bumi (tambang terbuka).
Survei hidrografi (hidrographic surveying) berkaitan dengan areal
permukaan dan bawah air, terdiri dari dua cabang yaitu :
a. Survei lepas pantai
b. Survei dekat pantai
Selain disiplin-disiplin surveying tersebut di atas, untuk
keperluan penggambaran peta masih diperlukan disiplin lain yaitu
kartografi. Kartografi adalah ilmu dan seni pembuatan peta agar
penyajian peta menjadi informative dan menarik. Subyeknya meliputi
proyeksi peta, kartometri, desain, kompilasi, reproduksi, prosedur
otomatisasi dan lain-lain.
1.2. PROYEKSI PETA
Proyeksi peta adalah suatu sistem yang memberikan hubungan
antara posisi titik-titik di permukaan bumi dan di atas peta.
3
Ilmu Ukur Tanah
Permukaan bumi fisis yang tidak teratur mengakibatkan hubungan
matematis antara posisi di permukaan bumi dan posisi di atas peta
sulit ditentukan. Oleh karena itu diambil pendekatan permukaan bumi
fisis yang mudah diurai secara matematis dan mendekati bentuk bumi
yang sebenarnya, yaitu bentuk ellipsoid dengan ukuran-ukuran yang
tertentu. Bentuk ini pun ternyata masih agak sulit diuraikan secara
matematis, sehingga diambil pendekatan kedua yang lebih simpel yaitu
bentuk bola, dengan jari-jari 6.370, 283 km. namun dengan bantuan
computer, perhitungan – perhitungan yang pada awalnya dirasa sulit
sekarang sudah tidak menjadi masalah lagi, sehingga perhitungan dapat
langsung dilakukan dari bidang elipsoid ke bidang proyeksi.
Posisi titik pada permukaan bumi yang berupa bidang lengkung
biasanya dinyatakan dengan lintang dan bujur (,), sedangkan posisi
titik pada peta yang berupa bidang datar dinyatakan dengan koordinat
koartesian (x,y) karena sulit untuk mendatarkan bidang lengkung tanpa
adanya perubahan-perubahan atau distorsi, baik distorsi luas, jarak,
bentuk, maupun arahnya. Bidang proyeksi yang bisa didatarkan antara
lain bidang datar itu sendiri, kerucut dan bidang silinder. Sistem
proyeksi yang menggunakan bidang datar sebagai bidang proyeksi
dinamakan proyeksi azimutal, yang menggunakan bidang kerucut
dinamakan proyeksi konik, dan yang menggunakan bidang silinder
dinamakan proyeksi merkator.
4
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 1.1. Macam-macam bidang proyek dan posisinya terhadap bola bumi
(Sumber : Aryono Prihandito, 1988)
Posisi sumbu bidang proyeksi terhadap sumbu bumi juga bisa
bermacam-macam, yang sejajar atau berimpit dinamakan proyeksi normal,
yang miring dengan sudut tertentu dinamakan proyeksi miring atau obliq, dan
yang saling tegak lurus dinamakan proyeksi transversal. Demikian pula
hubungan antara bidang proyeksi dan bola bumi, ada yang besinggungan
atau tangent, ada yang memotong atau secant, ada pula yang tidak
bersinggungan.
Posisi pusat proyeksi juga bermacam-macam, yang berasal dari
pusat bumi dinamakan proyeksi gnomonis, yang berasal dari kulit bumi
yang berhadapan dengan bidang proyeksi dinamakan proyeksi
stereografis dan yang pusatnya tak terhitung sehingga garis-garis
proyeksinya sejajar dinamakan proyeksi orthografis. Penggambaran
permukaan bumi yang bersifat lengkung ke bidang proyeksi yang
mendatar dapat dilakukan dengan menggunakan rumus matematis tertentu.
5
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 1.2. Proyeksi gnomonis, stereografis dan orthografis
Berdasarkan unsur-unsur yang dipertahankan kebenarannya,
terhadap tiga proyeksi. Bila yang dipertahankan kebenarannya adalah
bentuknya, dinamakan proyeksi konform; bila yang dipertahankan
kebenarannya adalah luasnya, dinamakan proyeksi ekuifalen; dan bila
yang dipertahankan kebenarannya adalah jaraknya, dinamakan proyeksi
ekuidistan.
Pemilihan system proyeksi dipengaruhi oleh tujuan pemetaan,
unsur yang dipertahankan, lokasi dan bentuk daerah yang dipetakan,
tingkat kesulitan perhitungan dan keterkaitan dengan system pemetaan
secara nasional.
Untuk daerah yang relatif sempit (maksimum 30 km x 30 km),
permukaan bumi dapat dianggap sebagai bidang datar, sehingga pemetaan
pada daerah tersebut dapat langsung digambarkan dari hasil
pengukurannya, tanpa penggunakan salah satu dari sistem proyeksi peta
tersebut di atas.
1.3. ILMU UKUR TANAH DAN JENIS-JENIS PETA
Sebagaimana batas-batas pada bagian terdahulu, ilmu ukur tanah
dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengajarkan tentang teknik-
teknik pengukuran di permukaan bumi dan bawah tanah dalam areal yang
terbatas untuk keperluan pemetaan dan lain-lain.
Mengingat areal yang terbatas di sini, maka unsur kelengkungan
permukaan bumi dapat diabaikan sehingga system proyeksinya
6
Ilmu Ukur Tanah
menggunakan proyeksi orthogonal di mana sinar-sinar proyektor saling
sejajar satu sama lain dan tegak lurus bidang proyeksi. Sedangkan
peta dapat didefinisikan sebagai gambaran dari sebagian permukaan
bumi pada bidang datar dengan skala dan sistem proyeksi tertentu.
Gambar 1.3. Proyeksi orthogonal
Peta dapat digolong-golongkan berdasarkan beberapa hal sebagai
berikut.
a. Atas dasar pengukurannya
- Peta teristris
- Peta fotogrametris
- Peta radargrametris
- Peta videografis
- Peta satelit
b. Atas dasar skala peta
- Peta skala kecil (< 1:250.000)
- Peta skala menengah (1:50.000 – 1:250.000)
- Peta skala besar (1:5000 – 1:50.000)
- Peta skala sangat besar / peta teknik (>1:5000)
c. Atas dasar isinya
- Peta umum (topografi)
- Peta khusus (tematik)
d. Atas dasar penyajiannya
- Peta garis, adalah peta yang penyajiannya dalam bentuk garis
dan symbol-simbol tertentu.
- Peta foto, adalah peta yang penyajiannya dalam bentuk foto yang
telah direktifikasi sehingga skalanya seragam dan dilengkapi
dengan garis kontur.
7
Ilmu Ukur Tanah
- Peta digital, adalah peta dalam bentuk data digital, baik dalam
bentuk data vector, raster, atau kombinasi keduanya. Hasil
cetakan dari peta digital pada dasarnya adalah peta garis
apabila datanya dalam bentuk vector, ataupun peta foto jika
datang dalam bentuk foto atau citra.
e. Atas dasar hirarkhinya
- Peta manuskrip
- Peta dasar (minut)
- Peta induk
- Peta turunan
1.4. SKALA PETA
Ukuran suatu titik di permukaan bumi tidak mungkin sama besar
dengan ukuran titik tersebut dip peta. Oleh karena itu diperlukan
perbandingan antara ukuran dipeta dan dipermukaan bumi. Perbandingan
tersebut disebut skala peta.
Skala peta dapat dinyatakan dalam beberapa cara, antara lain :
a. Angka perbandingan
Missal 1:1.000.000 menyatakan 1 cm atau 1 inchi dip eta sama
dengan 1.000.000 cm atau 1.000.000 inchi di permukaan bumi.
b. Perbandingan nilai
Misal 1 inchi untuk 16 mil, 1 cm untuk 1 km
c. Skala bar atau skala garis
Garis ini ditempatkan atau digambarkan dalam peta dan dibagi-bagi
dalam interval yang sama, setiap interval menyatakan besaran
panjang yang tertentu. Pada ujung yang lain, biasanya satu
interval dibagi-bagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil dengan
tujuan agar pembaca peta dapat mengukur panjang dalam peta secara
lebih teliti. Sebagai contoh adalah gambar 1.4.
8
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 1.4. Skala bar atau skala garis
Beberapa skala peta yang umum dipakai di Indonesia dan
ekuivalensinya antara lain sebagai berikut :
Skala peta 1 cm menyatakan 1. km dinyatakan menjadi 1:500
1:1000
1:2000
1:5000
1:10.000
1:20.000
1:25.000
1:50.000
1: 100.000
1: 125.000
1 : 250.000
1: 500.000
1: 1.000.000
5 m
10 m
20 m
50 m
100 m
200 m
250 m
500 m
1 km
1,25 km
2,5 km
5 km
10 km
2 m
1 m
0,5 m
20 cm
10 cm
5 cm
4 cm
2 cm
1 cm
8 mm
4 mm
2 mm
1mm
1.5. PROSES PEMETAAN TERISTRIS
Pemetaan teristris adalah proses pemetaan yang pengukurannya
langsung dilakukan di permukaan bumi dengan peralatan tertentu.
Teknik pemetaan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
ilmu dan teknologi. Dengan perkembangan peralatan ukur tanah secara
elektronis, maka proses pengukuran menjadi semakin cepat dengan
tingkat ketelitian yang tinggi, dan dengan dukungan computer langkah
9
Ilmu Ukur Tanah
dan proses perhitungan menjadi semakin mudah dan cepat dan
penggambarannya dapat dapat dilakukan secara otomatis.
Demikian pula, wahana pemetaan tidak hanya dapat dilakukan
secara teristris, namun dapat pula secara fotoframetris
radargrametris, videografis, bahkan sudah merambah pada wahana ruang
angkasa dengan teknologi satelit dengna berbagai kelebihannya.
Setiap wahana mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-
masing, sehingga pemilihannya sangat tergantung dari tujuan pemetaan,
tingkat kerincian obyek yang harus disajikan, serta cakupan wilayah
yang akan dipetakan. Adapun proses pemetaan secara teristris dapat
digambarkan seperti Gambar 1.5.
Gambar 1.5. Bagan Pemetaan Teristris
10
Ilmu Ukur Tanah
2. SATUAN, ARAH DAN PENENTUAN POSISI DALAM ILMU UKUR
TANAH
2.1 SATUAN – SATUAN SUDUT
Satuan sudut dalam ilmu ukur tanah lazimnya ada tiga macam,
yaitu satuan sexagesimal, centicimal dan radian.
a. Sexagesimal
Dalam satuan sexagesimal satu lingkaran dibagi menjadi 360 derajat
(360o), 1 derajat = 60 menit (60’), 1 menit = 60 secon (60”).
b. Centicimal
Dalam satuan centicimal satu lingkaran dibagi menjadi 400 grade
(400g), 1 grade = 10 desigrade, 1 desigrade = 10 centigrade (10c),
1 centigrade = 10 miligrade (10cc), 1 miligrade = 10 desimligrade.
Istila grade = gon.
c. Radian
Dalam satuan radian satuan lingkaran dibagi menjadi 2 radian.
Sombil radian dinyatakan dengan (rho).
11
Ilmu Ukur Tanah
Ada satuan lain yang tidak lazim digunakan dalam ilmu ukur
tanah, yaitu militer. Dalam satuan ini, satu lingkaran dibagi menjadi
6400 mils.
Ketiga system satuan tersebut dapat dikonversi satu sama lain
karena satu lingkaran = 360o = 400g = 2 radian = 6400 mils. Konversi
antara derajat dan grade dan sebaliknya adalah :
1o = 1g, 111 1g = 08, 9
1’ = 1c, 652 1c = 0’, 54
1” = 3cc, 086 1cc = 1”,324
Dalam perhitungan kadang – kadang diperlukan jarak busur dari
unit lingkaran, yaitu radian. Transformasi dari sudut ukuran ()
dalam jarak busur () dan sebaliknya adalah :
dan = b.
Di sini : o = 180 : 0 = 57o,3 = 63g,6620
’ = 180 x 60 : = 3437’,7 = 6366c,20
” = 180 x 60 x 60 : = 206265” = 636620cc
3.2 SUDUT ARAH DAN KUADRAN
Sudut arah dalam ilmu ukur tanah tidak sama dengan sudut arah
dalam ilmu ukur sudut (goneometri). Dalam ilmu ukur tanah, sudut
dimulai dari arah utara (sumbu Y positif) ke arah timur searah
putaran jarum jam, sedang dalam ilmu ukur sudut dimulai dari arah
timur (sumbu X positif) berputar berlawanan arah putaran jarum jam.
Demikian pula dengan posisi kuadran.
12
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 3.1. Sudut arah dan kuadran
Dalam ilmu ukur tanah, sudut arah dinamakan pula sudut jurusan
atau azimuth. Berkaitan dengan peralatan ukur tanah yang menggunakan
kompas sebagai penunjuk arah, dikenal pula azimuth kompas atau
azimuth boussole dan ada pula istilah bearing.
Selain sudut arah yang berbeda, letak kuadran juga berbeda,
pada ilmu ukur sudut, urutan kuadran berlawanan arah dengan putaran
jarum jam, sedang pada ilmu ukur tanah urutan kuadran searah putaran
jarum jam. Namun rumus-rumus goneometri sepenuhnya dapat dipakai
dalam ilmu ukur tanah.
Ilmu Ukur Sudut Ilmu Ukur TanahKuadran I II III IV Kuadran I II III IVSb X + - - + Sb X + + - -Sb Y + + - - Sb Y + - - +Sin + + - - Sin + + - -
Cos + - - + Cos + - - +
Tg + - + - Tg + - + -
3.3. SATUAN JARAK
Di Indonesia, sebagai satuan jarak umumnya digunakan metrik
atau meter. Namun demikian, ada pula yang menggunakan satuan lain
yaitu feet atau kaki. Sebagai satuan luas umumnya digunakan meter
13
Ilmu Ukur Tanah
persegi (m2) atau hektar (hekto are/ha) di mana 1 ha = (100 x 100) m
atau = 10.000 m2. Untuk satuan volume tanah dipakai meter kubik (m3),
jarang yang menggunakan feet kubik.
3.4. PRINSIP DASAR PENENTUAN POSISI (PLANIMETRIS)
Dalam ilmu ukur tanah di mana titik-titik di permukaan bumi
dapat dianggap dalam suatu bidang datar, posisi tiga buah titik yang
sebidang (A,B,C) dapat ditentukan dengan beberapa cara, antara lain
secara grafis (dilukis) dan secara numeris (koordinat).
3.6.1. Cara Grafis
3.6.1.1. Cara Grafis dengan Mengukur Jarak-Jaraknya
Di sini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu trilaterasi dan
offsetting. Trilaterasi artinya pengukuran jarak ketiga sisinya.
Missal diukur sisi AB, AC, BC. Apabila AB digambarkan dalam bidang
gambar dengan skala tertentu, maka titik C dapat ditentukan posisinya
dari perpotongan busur lingkaran yang dibuat dari titik A dengan
jari-jari AC dan dari titik B dengan jari-jari BC (Gambar 3.7.a)
Gambar 3.7. Penentuan posisi dengan ukuran semua jarak
Cara ini dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu :
a. Garis dan sudut siku-siku. Apabila diukur jarak AO dan OB pada
garis AB dan garis OC diukur tegak lurus AB, maka posisi titik C
dapat digambarkan. Metode ini disebut dengan offsetting.
b. Sebuah garis dan kedua sudut alasnya. Apabila diketahui garsi AB,
dan diukur kedua sudut alasnya CAB dan CBA, maka posisi titik C
14
Ilmu Ukur Tanah
dapat ditentukan dengan cara mengeplot ukuran sudut CAB di A dan
sudut CBA di B dengan busur derajat, dan perpotongan dari
perpanjangan sisi AC adalah posisi titik C.
Gambar 3.8. BTM baru atau surveyor kompasKeterangan gambar :
1. Sekrup penyetel 11. Ronsel penjelasan bayangan
2. Alhidade horizontal 12. Nivo teropong
3. Klem teropong (sumbu II) 12a. Sekrup koreksi nivo
4. Penggerak halus teropong 13. Skala lingkaran kompas
5. Mikroskop pemb. Lingkaran vertical 14. Jarum kompas
6. Nonius lingkaran vertical 15. Nivo kotak
7. Klem jarum kompas 15a. Sekrup koreksi novo
8. Vesir pembantu 16. Lensa okuler teropong
9. Klem horizontal (sumbu I) 17. Ring penutup diafragma
10. Penggerak halus horizontal
3.6.1.2. Cara Grafis dengan Mengukur Jarak-jaraknya
Cara ini dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Triangulasi. Apabila garis AB diukur dan sudut-sudut BAC dan ABC
diukur dengan peralatan pengukuran sudut mendatar, maka apabila
garis AB digambarkan, posisi C dapat ditentukan dengan mengeplot
sudut BAC dan ABC dengan busur derajat atau sisi AC dan BC
dihitung, kemudian digambarkan dengan trilaterasi.
15
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 3.9. Penentuan posisi dengan jarak dan sudut.
b. Koordinat kutub. Apabila garis AB dan AC serta sudut CAB diukur,
maka hasil pengukuran dapat diplot untuk menentukan posisi C
dengan mistar skala untuk jaraknya, dan busur derajat untuk
sudutnya, seperti dalam triangulasi di atas.
Apabila yang diukur adalah dua jarak/sisi dan sudut yang
diapitnya dikenal dengan metode poligon.
3.6.2. Cara Numeris
Pada cara numeris, posisi suatu titik dinyatakan dalam sistem
koordinat. Adapun prinsip dasar penentuan posisi secara numeris ada
tiga cara atau metode yaitu :
1. Dengan sudut jurusan atau azimuth dan jarak
2. Dengan pemotongan ke muka (intersection)
3. Dengan pemotongan ke belakang (resection)
Pada bab ini hanya akan dibahas metode sudut jurusan dan jarak,
sedangkan metode pemotongan ke muka dank e belakang akan dibahas pada
Bab 8.
Apabila jarak antara titik A dan B diukur (dAB) dan demikian
pula sudut jurusan atau azimuth AB diukur (AB) dan koordinat A
diketahui (XA, YA), maka posisi titik B dapat ditentukan dengan
rumus :
XB = XA + dAB sin AB
16
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 3.10. Penentuan posisi dengan jarak dan sudut jurusan
Demikian pula sebaliknya, apabila dua buah titik A dan B
masing-masing diketahui koordinatnya (XA, YA) dan (XB, YB) maka dari
padanya dan ditentukan sudut jurusan dan jaraknya :
AB = arc tg
dAB = .................................(3.17)
Harga arc dapat + (positif) maupun – (negatif). Nilai positif bisa
berasal dari + / + atau - / -, demikian pula yang negative bisa
berasal dari + /- atau -/+. Oleh karenanya kita harus jeli
menghitungnya, karena kalkulator kadang-kadang tidak menunjukkan arah
yang sebenarnya.
Contoh :
17
Ilmu Ukur Tanah
1. arc tg 6/4 = arc tg 1,5 kalkulator akan menghitung =
56o18’35”,76 Berarti pada kuadran I, maka azimutnya : =
56o18’35”,76
2. arc tg 6/-4 = arc tg = 1,5 kalkulator akan menghitung =
56o18’35”,76
berarti pada kuadran II, maka azimutnya : = 180o - 56o18’35”,76 =
123o41’24”,24.
3. arc tg -6/-4 = arc tg + 1,5 kalkulator akan menghitung =
56o18’35”,76 Tetapi ini berada pada kuadran III, maka azimutnya :
= 180o + 56o18’35”,76 = 236o18’35”’76.
4. arc tg -6 / 4 = arc tg-1,5 kalkulator akan menghitung = -
56o18’35”,76 Karena berada pada kuadran IV, maka azimutnya : =
360o - 56o18’35”,76 = 303o41’24”,24
3. ALAT UKUR SUDUT DAN
JARAK OPTIS
3.1. BAGIAN-BAGIAN ALAT UKUR TEODOLIT DAN FUNGSINYA
Alat ukur teodolit dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
bagian atas, nagian tengah dan bagian bawah.
3.1.1. Bagian Atas
1. Teropong
Teropong digunakan untuk membidik atau mengamati benda yang
jauh agar terlihat dekat, jelas dan besar. Teropong teodolit
menggunakan prinsip kepler, yaitu terdiri dari lensa positif sebagai
18
Ilmu Ukur Tanah
lensa obyektif dan lensa negative sebagai lensa mata atau okuler,
yang bertindak sebagai loupe. Lensa obyektif memberikan bayangan
nyata terbalik dan diperkecil. Bayangan ini digunakan sebagai benda
oleh lensa okuler untuk selanjutnya bayangannya menjadi diperbesar,
dekat dan terbalik.
Keterangan :
1. Pembantu visir
2. Klem sumbu II
3. Lensa obyektif
4. Sumbu II
5. Nivo teropong
6. Ronsel lensa tenganh
7. Reflektor sinar
8. Mikroskopbacaan lingkaran
horiz. A
9. Klem horizontal
10. Penggerak halus limbus
11. Skrup penyetel ABC
12. Plat dasar / tatakan
13. Kepala statip
14. Sek. Koreksi nivo alhidade
vertical
15. Nivo alhidade vertikal
16. Tabungan sinar
17. Alhidade vertika
18. Mikroskop pemb. Lingk.
Vertical
19. Ringk pelindung diafragma
20. Lensa okuler
21. Mikroskop pemb. Lingk.
Horiz. B
22. Skrup penggerak halus
vertical
23. Skrup koreksi nivo
alhidade horiz.
24. Nivo alhidade horizontal
25. Skrup penggerak halus
alhid. Horiz.
26. Kaki statip
27. Penggantung unting—unting
19
Ilmu Ukur Tanah
28. Baut instumen
Gambar 6.2. Teodolit Fennel Kassel lama dan bagian-bagiannya.
Rumus umum pembentukan bayangan pada lensa adalah :
....................................................(3.1)
Dalam hal ini :
f = jarak focus / titik api
b = jarak benda
v = jarak bayangan
Gambar 6.3. Pembentukan bayangan pada teropongKeterangan gambar :
1. Plat dasar
2. Skrup penyetel (ABC)
3. Tribrach 14. Klem limbus
4. Penggerak halus limbus 15. Reflektor sinar
5. Alhidade horizontal 16. Penggerak halus alhidade vertikal
6. Nivo kotak 17. Nivo alhidade vertikal
7. Lensa okuler teropong 17.a. plat pelindung 17
8. Skrup koreksi nivo 11 18. Prisma penglihat gelombung nivo 17
9. Ronsel penjelas banyangan 19. Lensa obyektif teropong
10. Visir pembentuk pendidikan 20. mikroskop pembaca
11. Klem sumbu horizontal (II) 21. Penggerak halus vertikal
11.a. Nivo tabung teropong 22. Nivo alhidade horizontal
12. Sentering optis 23. Skrup koreksi 22
12.a. Skrup koreksi 12 24. Penggerak halus horozintal
13. Klem alhidade horizontal 25. Knop per penggerak balik
Perbesaran bayangan dinyatakan dengan rumus :
20
Ilmu Ukur Tanah
.......................................................(3.2)
Dalam hal ini :
P = perbesaran bayangan
f1 = jarak fokus lensa obyektif
f2 = jarak fokus lensa okuler
Agar benda kelihatan jelas, maka bayangan yang terbentuk oleh
lensa obyektif harus jatuh pada bidang bakar (bidang focus) dari
okuler. Karena jarak benda yang diamati berbeda-beda, maka jarak
bayangan pun demikian, sehingga agar bayangan tetap jatuh pada bidang
bakar lensa okuler maka lensa okuler dibuat dalam tabung yang
terpisah dengan tabung obyektif dan dibuat gigi-gigi yang dapat
digerakkan dengan skrup pengatur atau ronsel agar dapat bergerak maju
atau mundur. Dengan demikian teropong semacam ini dapat menjadi
panjang atau pendek.
Pada alat yang baru permasalahan tersebut dipecahkan dengan
memasang lensa positif yang dapat digeser maju-mundur di antata
obyektif dan okuler (lensa sentra) dan berlaku pula sebagai lensa
pembalik sehingga teropong panjang tetap dan bayangan menjadi tegak.
Gambar 6.5. Pembentukan bayangan pada teropong tegak.Keterangan
AA’ = obyektif yang diamati L1 = lensa obyektif
BB’ = bayangan akhir L2 = lensa pembalik
CC’ = bayangan dari lensa obyektif L3 = lensa okuler
DD’ = bayangan dari lensa pembalik F1’ = fokus ke-2 lensa obyektif
F2’ = fokus ke-2 lensa pembalik F3’ = fokuw ke-2 lensa okuler
21
Ilmu Ukur Tanah
Selanjutnya sentral, teropong juga dilengkapi dengan benang
silang pada diafragma untuk pembidikan dan skrup koreksi diafragma
kiri, kanan, atas dan bawah untuk pengaturan garis bidik.
Gambar 6.6. Teropong sederhana, lensa tengah
dan garis bidik
Gambar 6.7. Irisan teropong lengkap dan diafragma
Keterangan gambar :
1. Lensa obyektif
2. Lensa tengah (penjelasan bayangan)
3. Tabungan dalam tempat lensa tengah (2)
4. Ronsel penggerak (3)
5. Skrup penghubung tabung teropong dan tabunga okuler
6. Ring pelindung diafragma
7. Pen pelepas diafragma
8. Diafragma
9. Lensa okuler
10. Skrup klem/koreksi diafragma
11. Skrup koreksi nivo teropong
12. Nivo teropong
13. Engsel nivo teropong
a. Tabung okuler
b, c, d. Skrup koreksi diafragma
22
Ilmu Ukur Tanah
Garis bidik adalah garis khayal yang menghubungkan antara titik
silang benar silang pada diafragma dengan sumbu optis lensa obyektif.
Diafragma adalah pelat kaca yang dipasang di depan lensa okuler.
Benang silang dan benang stadia (benang atas dan benang bawah)
digrafir pada permukaan kaca (diafragma) ini.
2. Lingkaran vertikal
Adalah piringan dari metal atau kaca tempat skala lingkaran.
Lingkaran ini berputar bersama teropong dan dilindugi oleh alhidade
vertikal.
3. Sumbu mendatar (sumbu II)
Adalah sumbu perputaran teropong yang disangga oleh dua tiang
penyangga kiri dan kanan. Pada teodolit lama sumbu ini dapat diatur
(dikoreksi) agar tegak lurus sumbu vertikal (sumbu I). sedang pada
alat yang baru, pabrik yang memproduksi teodolit sudah membuat sumbu
ini tegak lurus dengan sumbu vertikal.
4. Klem teropong dan penggerak halus
Klem teropong digunakan untuk mematikan gerakan teropong,
sedangkan skrup penggerak halus digunakan untuk gerakan halus. Gerak
halus ini berfungsi apabila klem telah dimatikan.
5. Alhidade vertikal dan nivo
Alhidade vertikal digunakan untuk melindungi piring vertikal
dan nivo alhidade vertikal digunakan untuk mengatur mikroskop pembaca
lingkaran vertikal. Pada alat-alat yang baru, nivo ini sudah tidak
ada lagi.
6. Nivo teropong
Nivo teropong digunakan untuk membuat garis bidik mendatar.
Pada kebanyakan teodolit yang baru, nivo teropong sudah tidak ada
lagi.
23
Ilmu Ukur Tanah
6.1.2. Bagian Tengah
1. Kali penyangga sumbu II (sumbu mendatar)
Pada teodolit yang baru (optis), kaki penyangga sumbu mendatar
berisi prisma-prisma pemantul sinar pembacaan lingkaran
horizontal.
2. Alhidade horizontal
Merupakan pemersatu dari kaki penyangga sumbu II dan pelindung
lingkaran horizontal.
3. Piringan lingkaran horizontal
Merupakan tempat skala lingkaran horizontal, terbuat dari metal
atau kaca. Pada teodolit repetisi lingkaran ini terpisah dari
tribrach dan dapat diatur kedudukannya, sedang pada teodolit
reiterasi menjadi satu dengan tribrach dan posisinya tetap.
4. Klem dan penggerak halus alhidade horizontal
Seperti halnya pada teropong, klem ini dipakai untuk mematikan
gerakan sumbu I (sumbu tegak), dan gerakan hals dilakukan dengan
memutar skrup penggerak halus alhidade horizontal.
5. Klem dan penggerak halus limbus
Klem dan penggerak halus limbus hanya ada pada teodolit repetisi
(sumbu ganda), digunakan untuk mengatur kedudukan piringan
horizontal.
6. Nivo (tabung) alhidade horizontal
Nivo alhidade horizontal digunakan untuk membuat sumbu I vertikal
secara halus, setelah dilakukan pendekatan dengan nivo kotak.
Kadang-kadang nivo kotak juga berdekatan dengan nivo tabung,
artinya terletak pada alhidade horizontal, namun ada pula yang
berada pada tribrach atau kiap.
7. Mikroskop pembacaan lingkaran horizontal
Pada alat yang baru (optical theodolite), mikroskop pembacaan
lingkaran horizontal dijadikan satu dengan pembacaan lingkaran
vertikal, dan untuk pembacaan yang lebih teliti, dilengkapi dengan
skrup micrometer.
6.1.3. Bagian Bawah
24
Ilmu Ukur Tanah
1. Tribrach
Tribach merupakan tempat tumpuan dari sumbu I.
2. Nivo kotak
Nivo kotak dipakai sebagai penolong dalam pengaturan sumbu I
vertikal secara pendekatan.
3. Skrup penyetel ABC
Terdiri dari tiga buah skrup, digunakan untuk mengatur sumbu I
agar vertikal skrup ini juga disebut leveling screw.
Gambar 6.8. Nivo tabung, nivo kotak dan tribrach atau kiap
Gambar 6.9. Sumbu teodolit repetisi dan reiterasi.
4. Plat dasar
Plat dasar digunakan untuk menyatukan alat dengan statip. Bagian
tengah dasar diberi lubang drat untuk baut insrumen.
25
Ilmu Ukur Tanah
a,b,c : statip dengan permukaan kepala statip mendatar
d : permukaan kepala statip sferis
e : kepala statip dengan sentering tongkat teleskopik
Gambar 6.10. Macam-macam statip dan bentuk permukaan kepalanya.
5. Alat sentering optis (pada alat baru)
Pada alat lamat piranti sentering berupa tempat penggantung tali
unting-unting yang berada pada baut instrument. Beberapa alat
buatan kern menggunakan sentering dengan tongkat teleskopik.
6. Statip
Merupakan piranti untuk mendirikan alat di lapangan yang terdiri
dari kepala statip dan kaki tiga yang dapat distel ketinggiannya.
Statip terbuat dari kayu atau dari metal atau aluminium sehingga
lebih ringan. Ketinggian statip dapat diatur, disesuaikan dengan
ketinggian si pengamat dan pemutaran baut statip jaringan terlalu
keras agar tidak cepat rusak. Kepala statip ada yang datar,
melengkung (sferis), ada pula yang menyerupai bonggol (Kern)
dengan sambungan alat sentering tongkat teleskopik sekaligus untuk
mengukur tinggi alat.
3.2 SISTEM PEMBACAAN LINGKARAN
26
Ilmu Ukur Tanah
Sistem pembacaan lingkaran teodolit ada beberapa macam, antara
lain skala garis, digital dan elektronik. Skala garis dapat dibagi
menjadi empat, yaitu :
1. Garis lurus 3.nonius
2. Garis lurus dan skala 4.Mikrometer
Garis lurus dan nonius terdapat pada teodolit dengan ketelitian
rendah dimana bacaan langsung pada skala lingkarannya disebut pula
dengan vernier. Skala micrometer terdapat pada teodolit dengan
ketelitian tinggi (teodolit optis).
Pada teodolit lama pembacaan lingkaran horizontal dan
vertikalnya masing-masing ada dua, mikroskop I dan II atau kiri dan
kanan. Sedang pada teodolit yang baru, lingkaran horizontal dan
vertikalnya umumnya masing-masing satu. Pada teodolit optis yang
piringan horiaontal dan vertikalnya terbuat dari kaca atau mika
sehingga tembus sinar, system bacaan lingkarannya bias dibuat
koinsiden, maksudnya bacaan mirkoskop I dan II dijadikan satu. Bahkan
antara bacaan horizontal dan vertikal yang masing-masing koinsiden
dijadikan satu dalam piranti mikroskup pembacaan.
3.2.1 Garis Lurus
Pada teodolit dengan ketelitian rendah, umumnya pada alat
pembacaan hanya ada garis-garis pembagian derajat dan puluhan menit
saja. Garis pembacaan dinamakan garis indeks. Garis ini diam tidak
berputar bersama skala lingkaran, berada di depan lensa mikroskop
pembacaan. Angka yang menunjukkan banyaknya menit dikira-kira
(diestimasi).
27
Ilmu Ukur Tanah
6.11. Bacaan Garis Lurus
3.2.2 Garis Lurus dan Skala
Gambar 6.12. Pembacaan system garis lurus dan skala
Pada system ini pembagian terkecil dari piringan pembacaan
hanya sampai dalam derajat. Selain itu masih ada skala lain yang
tidak ikut berputar bersama piringan lingkaran dan angka-angka
pembagiannya berlawanan arah dengan angka pembagian lingkaran.
Sebagai garis indeks adalah tasi derajat dari piringan lingkaran.
3.2.3 Nonius (Vernier)
Nonius adalah skala bantu pembacaan, agar diperoleh perkiraan
pembacaan yang relatif lebih teliti dari sebelumnya. Skala nonius
tidak ikut berputar bersama lingkaran. Arah angka dan garis skala
nonius searah dengan angka dan garis skala lingkaran. Garis skala nol
dari nonius akan berlaku sebagai garis indeks. Untuk itu perlu dicari
lebih dulu besarnya kesatuan nonius yaitu berapa besar harga satu
kolom dari skala nonius. Hal ini dapat dicari dengan membagi besar
harga satu kolom dari skala lingkaran (R) dengan banyaknya kolom dari
nonius (n).
Missal besar harga satu kolom lingkaran (R) = 10’ dan banyaknya
kolom nonius (n) = 30, maka kesatuan noniusnya adalah :
Banyaknya menit dan sekon dicari dengan melihat garis nonius
mana yang tepat berimpit dengan garis skala lingkaran.
28
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 6.13. Pembacaan dengan nonius.
3.2.4 Mikrometer
Mikrometer sebenarnya berupa sebuah prisma yang dipasang di
depan lensa mikroskop pembacaan. Prisma ini dapat diputar – putar
kedudukannya dengan skrup pemutar (skrup mikrometer) untuk
memanipulasi jalannya sinar dari piringan skala.
Gambar 6.14. Pembacaan dengan sistem micrometer
Sedangkan sistem pembacaannya sebenarnya sistem nonius. Apabila
prisma tersebut diputar, maka bayangan skala nonius dan skala
lingkaran bergerak berlawanan arah. Selain itu biasanya kesatuan
nonius di sini lebih kecil disbanding dengan system sebelumnya. Garis
indeks pada system pembacaan mikrometer berupa dua buah garis sejajar
dan pembacaan baru bias dilakukan apabila salah satu garis skala
lingkaran telah masuk di tengah antara dua garis indeks tersebut.
Untuk memasukkannya digunakan skrup mikrometer.
29
Ilmu Ukur Tanah
3.2.5 Pembacaan Ganda atau Koinsiden
Koinsiden atau pembacaan ganda adalah dua buah pembacaan dari
mikroskop I dan II dalam piringan yang sama, yang dijadikan satu
dengan memanipulasi sinar yang masuk pada piranti pembacaan teodolit.
Koinsiden dijelaskan sebagaimana Gambar 6.15 berikut.
Gambar 6.15. Sistem pembacaan koinsiden
Sistem pembacaan ganda ada yang dilengkapi mikrometer dan ada
pula yang tidak. Apabila dilengkapi dengan mikrometer, dengan
sendirinya skala atas dan bawah atau kiri dan kanan harus diimpitkan
lebih dulu dengan menggunakan skrup mikrometer ini. Apabila tidak
dilengkapi mikrometer maka sebagai garis indeks untuk pembacaan
adalah angka atau garis derajat yang saling berhadapan dan berselisih
180o, dapat dibaca angka skala atas atau bawah yang hasilnya
berselisih 180o.
30
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 6.16. Jalan sinar pembacaan koinsiden.
Gambar 6.17. Teodolit kompas Wild T0 lama dengan system koinsiden da
T0 baru
31
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 6.18. Teodolit Wild T1 dan T2
3.3. SYARAT PEMAKAIAN DAN CARA PENGATURAN ALAT UKUR TEODOLIT
Apabila alat ukur teodolit akan dipakai untuk pengukuran di
lapangan, maka surveyor terlebih dahulu harus memahami sistem-sistem
pembacaan pada alat ukur teodolit yang digunakan. Tanpa pemahaman
system pembacaan, surveyor tidak mungkin dapat mengatur dan
menggunakan alat tersebut untuk pengukuran.
Adapun yang dimaksud dengan syarat pemakaian adalah
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
alat tersebut digunakan untuk pengukuran agar data yang dihasilkan
terbebas dari kesalahan sistematis. Adapun syarat-syaratnya adalah :
1. Sentering
2. Sumbu I (sumbu V-V) harus vertical.
Kedua syarat di atas dinamakan syarat dinamis. Maksudnya,
setiap kali alat dipindahkan ke stasiun yang lain, alat harus diatur
kembali agar persyaratan tersebut terpenuhi. Sedangkan alat ukurnya
sendiri (teodolit) harus berada dalam kondisi yang baik, agar tidak
dihinggapi kesalahan sistematis berikut.
1. Sumbu II (sumbu H-H) tegak lurus sumbu I atau mendatar
2. Garis bidik / kolimasi (Z-Z) tegak lurus sumbu II
32
Ilmu Ukur Tanah
3. Tidak ada kesalahan indeks vertical atau kesalahan indeks vertika
= 0 (ZZ/AA)
Gambar 6.19. Sumbu-sumbu pada teodolitKeterangan gambar :
HH : sumbu II atau mendatar / sumbu teropong
VV : sumbu I atau sumbu vertikal
AA : garis atah nivo alhodade vertical
ZZ : garis arah nivo teropong
1. Skrup koreksi nivo alhidade vertical
2. Skrup koreksi nivo teropong
4. Garis bidik (Z-Z) sejajar garis arah nivo (N-N) apabila ada nivo
teropongnya keempat syarat tersebut cukup diatur sekali,
selanjutnya bersifat tetap atau disebut syarat statis.
6.3.1. Sentering
Yang dimaksud dengan sentering adalah bahwa sumbu I (sumbu
vertikal) teodolit segaris dengan garis gaya berat yang melalui titik
tempat berdiri alat (paku atau titik selang di atas patok di tanah).
Sentering dapat dilakukan dengan bantuan salah satu alat di bawah ini
:
33
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 6.20. Sentering dengan unting-unting dan optis
1. Dengan bantuan unting-unting yang digantung pada baut instrumen di
bawah kepala statip.
2. Dengan bantuan alat sentering optik
3. Dengan bantuan alat sentering tongkat teleskopik
4. Dengan bantuan sentering laser.
Gambar 6.21. Sentering dengan laser dan tongkat teleskopi
Alat bantu sentering dipilih berdasar tipe alat yang digunakan.
Adapun caranya adalah sebagai berikut :
1. Buku ketiga klem kaki statip, dirikan statip di atas patok dengna
merentangkan ketiga kaki statip hingga ketiga ujung kaki statip
membentuk segitiga sama sisi dengan patok sebagai pusatnya.
2. Tarik statip bagian atas hingga tinggi kepala statip kira-kira
sedikit di bawah dada dan kepala statip mendatar. Gantung unting-
unting pada baut instrument, hingga unting-unting tepat berada di
atas patok dengan mengatur ketinggian kaki statip. Kokohkan
34
Ilmu Ukur Tanah
kedudukan statip dengan menginjak pijakan di ujung bawah statip,
kemudian kencangkan ketiga baut statip.
3. Pasang instrument di atas statip, hubungkan dengan cara memutar
baut instrument di lubang dratnya pada plat dasar instrumen, namun
tidak kencang.
4. Perhatikan apakah ujung unting-unting atau tanda silang pada alat
sentering optic atau ujung bawah tongkak teleskopik sudah tepat
berada di atas titik pada patok. Bila belum, geser-geser
instrument dengan car amenekan plat dasarnya yang menempel di atas
kepala statip, sedemikian hingga ujung unting-unting atau tanda
silang sentering optik atau ujung bawah tongkat teleskopik tepat
di atas tanda titik di atas patok.
5. Kencangkan baut instrument secukupnya (jangan terlalu keras,
karena akan menyulitkan saat melepaskan kembali).
Apabila alat yang berada dalam keadaan tidka sentering
digunakan untuk mengukur sudut horizontal, maka sudut hasil
pengukurannya akan dihinggapi kesalahan. Pada Gambar 6.22, β0 (sudut
ABC) adalah sudut horizontal yang seharusnya diukur. Tetapi karena
adanya kesalahan sentering, maka titik B menjadi B1. Harga BB1 (=e)
adalah kesalahan linier dari sentering. Kesalahan ini akan
menyebabkan kesalahan pengukuran sudut horizontal sebesar β
Gambar 6.22. Kesalahan suduh akibat kesalahan sentering.
β = β0 – β = β’ + β”
Apabila jarak BB1 = e dianggap kecil, maka :
β’ = ’
dan β’ = ’ ......................................(6.3)
35
Ilmu Ukur Tanah
dalam hal ini 11 dan 12 = 50 m dan kesalahan sentering e = 2 mm,
maka kesalahan sudut horizontal yang terjadi adalah :
β = 3438 x 0,002 = 0,27504’ = 16”,5
Contoh di atas menunjukkan bahwa kesalahan sentering sebesar 2
mm akan mengakibatkan kesalahan sudut yang cukup berarti, terlebih
untuk pengukuran yang teliti.
6.3.2. Mengatur Sumbu I Menjadi Vertikal
Apabila sumbu I tidak vertikal seperti Gambar 6.23, missal
sumbu I teodolit C’ miring membentuk sudut v terhadap garis
vertical C. A’B’ adalah arah kemiringan maksimum lingkaran
horizontal. Apabila teropong berputar pada sumbu II dengan sasaran S
pada sudut elevasi h dalam keadaan di mana sumbu I vertikal, maka
lintasan teropong adalah CSD dalam arah sebesar u dari arah
kemiringan maksimum, sedang dalam keadaan sumbu I miring sebesar v
akan diperoleh lintasa teropong C’ SD’ dalam arah sebesar u’ dari
kemiringan maksimumnya.
Gambar 6.23. Kesalahan sumbu I dan kesalahan sumbu II.
Dari kedua lintasan tersebut akan diperoleh gambaran segitiga
bola SCC’ dan dari padanya kesalahan sumbu vertikal β dapat
dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
Β = u’ – u = v sin u’ cot (90o – h) = v sin u’ tg h.......(6.5)
Kesalahan ini tidak dapat dihilangkan dengan merata-rata
pengamatan biasa dan luar biasa. Oleh karenanya, saat pengukuran,
sumbu I harus benar-benar vertikal. Komponen yang digunakan untuk
mengatur sumbu I agar vertical adalah nivo kotak, nivo tabung dan
36
Ilmu Ukur Tanah
ketiga skrup penyetel ABC (leveling screw). Adapun cara mengaturnya
dijelaskan dalam Gambar 6.24.
Gambar 6.24. Mengatur nivo kotak dan nivo tabung
a. Pendekatan dengan bantuan nivo kotak
1. Setelah alat atau instrument sentering, perhatikan posisi
gelembung nivo kotak.
2. Missal mula-mula kedudukan gelombang nivo kota pada posisi 1,
kemudian bawalah gelembung pada posisi 2 dengan memutar skrup
penyetel A dan B bersama-sama kea rah luar atau dalam.
3. Kemudian bawalah gelembung pada posisi 3 (tengah) dengan
memutar skrup penyetel C.
b. Penghalusan dengan mengatur gelembung nivo tabung alhidade
horizontal
1. Putar teodolit pada sumbu I hingga nivo tabung sejajar dengan
skrup penyetel A dan B (posisi 1). Seimbangkan gelembung nivo
dengan memutar skrup penyetel A dan B.
2. Putar teodolit pada sumbu I 180o (nivo pada posisi 2). Apabila
gelembung bergeser, setengah pergeseran ditengahkan dengan
skrup penyetel A dan atau B dan setengah pergeseran sisanya
dengan memutar skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.
3. Putar teodolit pada sumbu I sebesar ± 900 (posisi 3). Apabila
gelembung tidak di tengah, tengahkan dengan memutar skrup C.
Cek : putar alat pada sumbu I sembarang. Apabila gelembung
seimbang, berarti sumbu I telah vertical. Tetapi bila gelembung
masih belum seimbang, maka ulangi langkah b hingga pada posisi
sembarang, gelembung nivo tabung tetap seimbang.
37
Ilmu Ukur Tanah
6.3.3. Mengatur Sumbu II Tegak Lurus Sumbu I
Kesalahan sumbu II yang tidak tegak lurus sumbu I hanya ada
pada alat ukur teodolit tipe lama. Pada alat yang ada di pasaran
sekarang, kesalahan tersebut sudah tidak ada karena pabrik telah
membuat sumbu II tegak lurus sumbu I. dengan demikian apabila sumbu I
telah vertical, berarti sumbu II akan mendatar.
Misalkan pada gambar di atas terdapat kesalahan, yaitu sumbu II
miring sebesar I, sumbu menjadi A’B’. apabila teropong mengarah pada
titik S dan diputar pada sumbu II maka tempat kedudukannya menjadi
C’SD’. Sedang apabila tak ada kesalahan sumbu II akan menjadi CSD.
Dalam segitiga bola SDD’, DD’ = adalah kesalahan sumbu II apabila
sumbu miring sebesar i. dari rumus segitiga bola :
sin = ....................(6.6)
karena dan h biasanya sangat kecil, maka persamaan di atas
menjadi :
= I tg h .............................................(6.7)
Apabila teropong dibidikkan dalam posisi biasa dan luar biasa,
maka tanda kesalahannya menjadi berbalikan sehingga andaikan hasil
bacaan dirata-rata maka kesalahannya akan menjadi hilang.
6.3.4. Membuat Garis Bidik Tengah Lurus Sumbu II
Kesalahan garis bidik yang tidak tegak lurus sumbu II disebut
kesalahan kolimasi. Pada gambar di bawah, AOB adalah sumbu II, ADBE
adalah lingkaran horizontal dan busur CD adalah tempat kedudukan
garis kolimasi yang berputar mengelilingi sumbu II. Apabila sasaran S
dibidik dengan kemiringan kolimasi sebesar sudut maka kedudukan
garis kolimasi menjadi seperti yang tergambar dengan garis putus-
putus.
38
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 6.25. Kesalahan Kolimasi
Dengan maksud untuk membidik sasaran S dan alat yang tidak ada
kesalahan kolimasinya, teropong atau garis kolimasi dputar sebesar β.
Jadi β disebut dengan kesalahan kolimasi. Apabila busur SH adalah
busur yang tegak lurus terhadap busur CD, amak SH = . Apabila sudut
elevasi sasaran = h, maka dari rumus segitiga bola :
sin = sin C sin (90o – h)...............................(6.8)
sehingga :
sin C = sin sec h ....................................(6.9)
karena C dan h sangat kecil maka kesalahan kolimasi dapat
dihitung dengan persamaan :
β = C = sec h .........................................(6.9)
karena C dan h sangat kecil maka kesalahan kolimasi dapat
dihitung dengan persamaan :
β = C = sec h ........................................(6.10)
apabila teropong dibuat luar biasa, maka kesalahan kolimasi
menjadi –β dan karenanya dengan merata-rata pengamatan biasa dan luar
biasa, kesalahan ini akan menjadi hilang. Kesalahan ini dapat
dihilangkan dengan prosedur seperti berikut :
1. Setelah alat ukur teodolit disetel di atas statip dan sumbu I
telah dibuat vertical, bidikkan teropong pada posisi biasa ke
sebuah titik, baca lingkaran horisontalnya, missal = B.
2. Teropong dibuat luar biasa dan bidikkan kembali apda titik semula
dan baca lingkaran horizontalnya, missal = LB.
3. Hitung besarnya kesalahan kolimasi dengan rumus :
a. Untuk pembagian skala searah jarum jam
β = .......................................(6.11)
39
Ilmu Ukur Tanah
b. Untuk pembagian skala berlawanan arah jarum jam
c. β = .......................................(6.12)
Cara koreksi : β ditambahkan pada pembacaan sudut terakhir (LB)
dengan cara memutar skrup penggerak halus alhidade horizontal. Akibat
penambahan β, maka garis bidik tidak lagi mengarah pada titik
sasaran. Kemudian garis bidik diarahkan kembali pada titik sasaran
dengan cara memutar, pembacaan lingkaran vertical tidak tepat pada
angka 0o/90o/180o/270o. hal ini disebabkan belum diaturnya nivo
alhidade vertical, atau kesalahan haris bidik pada alat yang tidak
mempunyai nivo alhidade vertikal.
Pembagian skala dan posisi angka nol pada piringan vertical
pada setiap alat ukur teodolit tidak selalu sama. Ada yang 1 x 360o,
2 x 180o, 4 x90o, ada yang posisi angka nolnya di bagian atas, dan ada
yang posisi nolnya mendatar. Apabila posisi nol di atas, maka yang
terbaca adalah sudut zenith, dan apabila posisi nol mendatar maka
yang terbaca adalah sudut miring atau helling.
Gambar 6.26. Macam-macam pembagian skala lingkaran vertical
Adapun car mencari kelsahan indeks vertical adalah sebagai
berikut :
Misal kesalahan indeks vertikal = p. Teropong dibidikkan pada
suatu titik dalam keadaan biasan (B) dan luar biasa (LB), dan missal
sudut miring yang sebenarnya = h, maka didapat hubungan sebagai
berikut :
40
Ilmu Ukur Tanah
..............................................(6.13)
a. Pada system pembacaan 1 x 360o
Gambar 6.27. Kesalahan indeks
pada lingkaran 1 x 360o
P = 180o - ……………..(6.14)
b. Pada sistem pembacaan 2 x 180o
B = h – p
LB = 180 o h – p
B + LB = 180o – 2p
Gambar 6.28. Kesalahan indeks
pada lingkaran 2 x 180o
P = 90o - ……………..(6.15)
c. Pada sistem pembacaan 4 x 90o
…………..(6.16)
Gambar 6.29. Kesalahan indeks
pada pembagian lingkaran 4 x 90o
Pelaksanaan pencarian harga p (kesalahan indeks vertikal)
dikerjakan sebagai berikut :
- Bidikkan teropong pada posisi biasa pada sebuah titik K, baca
lingkaran vertikalnya : B.
- Buat teropong luar biasa dan bidikkan kembali pada titik K dan
baca lingkaran vertikalnya : LB.
- Lakukan hal seperti tersebut di atas pada titik-titik yang lain
dengan sudut miring yang berbeda-beda.
- Cari harga p (kesalahan indeks vertikal) dan harga rata-
ratanya.
41
Ilmu Ukur Tanah
Apabila harga kesalahan + (plus) maka koreksinya – (minus) dan
sebaliknya. Cara pemberian koreksi pada alat ukur teodolit ada dua
kemungkinan :
1. Pada teodolit tanpa invo alhidade vertikal
Besarnya koreksi p ditambahkan pada pembacaan terakhir dengna
memutar skrup penggerak halus teropong. Akibatnya garis bidik
tidak mengarah lagi pada titik sasaran semula. Kembalikan garis
bidik pada titik sasaran semual dengan cara memutar skrup koreksi
diafragma atas dan bawah dengan pe koreksi.
2. Pada teodolit yang dilengkapi denga nivo alhidade vertikal
Di sini ada dua cara, cara pertama yang dikoreksi garis bidiknya
seperti halnya pada teodolit tanpa nivo alhidade vertikal (seperti
pada no. 1 di atas). Sedang cara kedua, p ditambahkan pada
pembacaan terakhir dengan menggunakan sekrup penggerak halus
alhidade vertikal. Akibatnya nivo alhidade vertikal menjadi titik
seimbang. Seimbangkan kembali gelombung nivo ini dengan memutar
skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.
Catatan : pada alat-alat yang baru, kesalahan ini umumnya tidak
ada atau kecil sekali, bahka dengan perkembangan teknologi yang
terakhir, indeks vertikal telah dibuat otomatis dengan pendulum.
Cara lain untuk mengetahui adanya kesalahan sumbu II yang belum
sumbu I, garis bidik yang belum sumbu II dan kemungkinan
kombinasi dari keduanya adalah sebagai berikut :
1. Stel teodolit ± m di depan tembok. Setelah sumbu I dibuat
vertikal, teropong diatur mendatar dan diarahkan pada tembok. Beri
tanda titik silang benang silang pada tembok dengan titik S.
2. Gantungkan benang unting-unting setinggi 2 x tinggi alat melalui
titik S. pasang mistar pada lantai di bawah unting-unting setinggi
2 x tinggi alat melalui titik S. pasang mistar pada lantai di
bawah unting-unting, kira-kira unting-unting berada di tengah
mistar. Baca angka yang ditunjuk oleh ujung unting-unting.
3. Matika sumbu I (vertikal), bukan klem sumbu II, putar teropong ke
atas setinggi 2 x tinggi alat dank e bawah sampai ke mistar.
Apabila sumbu II telah sumbu I dan garis bidik juga telah
42
Ilmu Ukur Tanah
sumbu II, bayangan titik silang benang silang akan berjalan pada
benang unting-unting (Gambar 6.30a). Apabila sumbu II belum
sumbu I tetapi garis bidik sudah sumbu II, maka bayangan titik
silang benang silang pada tembok akan seperti Gambar 6.30.b.
(jarak penyimpangan atas dan wabah sama, namun pada arah sisi yang
bersilangan). Apabila sumbu II telah sumbu I dan garis bidik
belum sumbu II, maka bayangan titik silang benang silang akan
kelihatan seperti pada Gamar 6.30.c (besar penyimpangan di atas
dan dibawah sama, dan pada arahj sisi benang unting-unting yang
sama pula). Apabila kesalahannya kombinasai, yaitu sumbu II belum
sumbu I dan garis bidik juga belum sumbu II, maka bayangan
titik silang benang silang di tembok akan kelihatan seperti pada
Gambar 6.30.d. (besar simpangan di atas dan di bawah tidak sama
dan arahnya pun tidak tentu sama). Simpangan garis bidik terhadap
ujung unting-unting saat membidik ke bawah dapat dibaca pada
mistar, demikian pula saat membidik ke atas dapat diukur dengan
mistar.
4. Hitung besarnya penyimpangan yang terjadi. Untuk kesalahan sumbu
II saja sebesar t (gambar 6.30.b) atau penyimpangan garis bidik
saja sebesar u, dapat dibaca pada mistar. Untuk kesalahan
kombinasi, besarnya kesalahan sumbu II adalah :
t = ...........................................(6.17)
untuk penyimpangan garis bidik terhadap sumbu II besar :
t = .............................................(6.18)
5. Untuk koreksi sumbu II yang belum sumbu I (Gambar 6.30.b),
bidikkan teropong ke mistar, klem sumbu I dan II matikan, dan
putar skrup koreksi sumbu II hingga garis bidik mengarah pada
ujung unting-unting.
6. Untuk koreksi kesalahan garis bidik yang belum sumbu II saja
(Gambar 6.30c) bidikkan teropong pada mistar, klem sumbu I dan II
dimatikan, putar skrup koreksi diafragma kiri dan kanan hingga
43
Ilmu Ukur Tanah
titik silang benang silang mengarah pada angka yang berada di
ujung unting-unting.
Gambar 6.30. Pendeteksian kesalahan sumbu II dan garis bidik
7. Untuk kesalahan kombinasi, koreksi garis bidik sebesar u
dihilangkan dengan skrup koreksi diafragma, dan koreksi sumbu II
sebesar t dengan koreksi sumbu II
6.3.6. Kesalahan Pabrik
Kesalahan-kesalahan tersebut diatas adalah jenis-jenis
kesalahan yang masih bisa dibetulkan atau dikoreksi, walaupun ada
beberapa macam teodolit yang tak dapat dikoreksi dikarenakan bentuk
dan konstruksinya yang tertutup. Selain itu masih dimungkinkan adanya
kesalahan lain dari pabrik (kesalahan sistematis) yang tak dapat
dikoreksi, namun perlu untuk diperiksa atau diketahui agar bisa
dipakai sebagai bahan pertimbangan dalam pemakaiannya nanti. Perlu
atau tidak kesalahan tersebut diperhitungkan, diperlukan cara
pengukuran tertentu agar kesalahannya dapat tereleminir atau
pengaruhnya dibuat sekecil mungkin sehingga tidak mempengaruhi
ketelitian hasil pengukuran (diabaikan). Adapun jenis kesalahan
tersebut antara lain :
1. Kesalahan dalam pembagian skala lingkaran, missal pembagiannya
tidak seragam
2. Kesalahan eksentrisitas
3. Kesalahan diameteral
6.3.6.1. Kesalahan Pebagian Lingkungan
Besar kesalahan ini tergantung dari tingkat kepresisian dan
keahlian membagi busur lingkaran. Kesalahan ini terdiri dari dua
44
Ilmu Ukur Tanah
komponen, yaitu periodik dan acak atau random. Kesalahan ini dapat
disimak secara laboratories dengna prosedur yang dinamakan sebagai
Tes Heuvelink’s yaitu dengna cara mengukur besar sudut tertentu
menggunakan berbagai bagian dari lingkaran tersebut. Umumnya
kesalahan ini relative kecil dan dapat dieleminir dengan cara
mengukur sudut dengan berbagai bagian skala lingkaran horizontal,
khususnya pada alat ukur teodolit tipe repetisi atau yang positif
lingkaran horizontalnya dapat diputar-putar. Namun cara tersebut
hanya terbatas pada pengukuran sudut horizontal, sedangkan untuk
sudut vertikal hal tersebut tidak dimungkinkan.
6.3.6.2. Kesalahan Eksetrisitas
Kesalahan ini serupa dengan kesalahan sentering, terjadi karena
sumbu vertikal (sumbu I) sebagia pusat perputaran tidak tepat
berimpit dengan pusat lingkaran horizontal. Kesalahan ini sering
terjadi pada teodolit dengan sumbu ganda (tipe repetisi). Pada Gambar
6.31, missal M adalah titik tengah lingkaran dan N adalah posisi
sumbu vertikal, NM = e = kesalahan eksentrisitas. Missal teodolit
mempunyai dua buah mikroskop bacaan lingkaran horizontal kiri (A) dan
kanan (A’) (posisi diametral). Di lapangan diukur sudut ANB =
tetapi pada alhidade terbaca sudut AMB = ’, pada mikroskop lain
terbaca ”. Pada Gambar 6.31 dapat dilihat :
Sudut = ½ busur AB + ½ busur A’B’ = ½ ’ + ½ ” = ½ (’ +
”)
Dengan kata lain, kalau kit abaca kedua mikroskop dan kita
ambil harga rata-ratanya, maka pengaruh kesalahannya akan menjadi
hilang. Demikian pula pada teodolit dengna system bacaan koinsiden,
pengaruh kesalahan ini akan hilang juga. Namun pada teodolit yang
sistem bacaan piringan horizontalnya hanya satu mikroskop, kesalahan
ini tak dapat dihilangkan. Pada teodolit modern kesalahan
eksentrisitas ini dapat mencapai 0,007 mm. apabila diameter lingkaran
horizontal 9 cm, maka besar kesalahan sudut ukuran akan menjadi
(rumus 6.9) ± 30”. Kesalahan sebesar itu untuk pengukuran yang teliti
tak dapat diabaikan begitu saja.
45
Ilmu Ukur Tanah
Keterangan gambar :
A = mikroskop bacaan kanan
A’ = mikroskop bacaan kiri
N = posisi sumbu vertikal
M = posisi titik tengah
lingkaran
NM = e = kesalahan
eksentrisitas
= besar sudut di lapangan
’ = besar sudut hasil
pengukuran
B = arah bidikan biasa
B’ = arah bidikan luar biasa
Gambar 6.31. Kesalahan eksentrisitas
6.3.6.3. Kesalahan Diametral
Kesalahan diametral adalah kesalahan yang terjadi karena garis
hubungan antara mikroskop kiri dan kanan tidak melewati pusat sumbu
vertikal. Kesalahan tersebut dapat dihitung dengan cara-cara
tertentu, dan pengaruh dari padanya akan hilang atau tereleminir
dengan cara merata-rata hasil bacaan mikroskop kiri dan kanan pada
pengamatan biasa dan luar biasa.
e = besar eksentrisitas
= kesalahan eksentrisitas
= kesalahan diametral
d = penyimpangan akibat kesalahan
eksentrisitas dan diametral
Gambar 6.23. Kesalahan eksentrisitas dan diametral
6.7. PENGUKURAN SUDUT HORIZONTAL
Sudut horizontal adalah selisih dari dua arah. Sudut horizontal
pada suatu titik di lapangan dapat dibagi dalam sudut tunggal dan
sudut yang lebih dari satu sehingga teknik pengukurannya juga
berbeda.
46
Ilmu Ukur Tanah
Apabila titik yang akan dibidik tidak dapat langsung dibidik
pusat tanda silang atau pakunya maka dibantu dengan target khusus
atau benang unting-unting yang digantungkan di atas titik tersebut.
Gambar 6.36. Macam-macam target untuk pengukuran sudut horizontal
6.7.1. Pengukuran Sudut Tunggal
Pengukuran sudut tunggal ada tiga cara yaitu ;
1. Cara pengukuran tunggal
2. Cara pengukuran seri (rangkap)
3. Cara pengukuran repetisi
4. Cara pengukuran reiterasi
6.7.1.1. Pengukuran tunggal
Missal akan diukur sudut B yang arah-arahnya A dan C. langkah-
langkahnya sebagai berikut :
1. Stel (dirikan) alat ukur teodolit di atas titik B dengan bantuan
alat senteringnya.
2. Buat sumbu I vertikal seperti pada subbab 6.3.1. Bidikkan teropong
pada target di A dengan cara mengarahkan teropong pada target.
Apabila bidikan telah mendekati target, matikan klem horizontal
dan vertikal dan tepatkan garis bidik pada target dengan memutar
skrup penggerak halusnya. Baca lingkaran horizontalnya, missal R1.
47
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 6.37. Pengukuran sudut di B dengan target di A dan C
3. Buka kedua klem dan alat diputar pada sumbu I. Bidik target di C
dengan cara yang sama seperti pada langkah 2 di atas. Baca
lingkaran horizontalnya, missal R2-
Maka besarnya sudut B = = R2 – R1
Cara di atas biasanya hanya dilakukan untuk pengukuran detil,
tidak untuk pengukuran titik kontrol.
6.7.1.2. Pengukuran Seri
Apabia sudut yang akan diukur akan dipakai untuk menentukan
koordinat titik control dalam pemetaan, cara pengukuran sudut tunggal
tidak dibenarkan. Mengapa ? Pengukuran minimal dilakukan lebih dari
satu kali (seri). Cara pengukuran seri ini ada dua macam, yaitu seri
tunggal dan seri rangkap/seri ganda. Untuk seri tunggal,
pelaksanaannya seperti pengukuran sudut tunggal di atas, hanya
dilakukan pengukuran ulang, dari langkah 2 dan 3 sesuai dengan
banyaknya seri yang akan dilakukan. Sedangkan untuk seri rangkap,
pengukurannya dilakukan dengan posisi teroping biasa dan luar biasa.
Adapun caranya sebagai berikut :
Setelah langkah 3 di atas, teropong diputar balik menjadi
kedudukan luar biasa dan bidikkan kembali pada target di titik C dan
baca lingkaran horizontalnya, misal R’ 2, dan kemudian dengan cara
yang sama bidikkan pada target di titik A dan baca lingkaran
horizontalnya, misal R’1.
Besarnya sudut ukur : (B = biasa) = R2 – R1
(LB = luar biasa) = R’1 = R’1
= ..........................................(6.19)
48
Ilmu Ukur Tanah
Pengukuran cara demikian, dinamakan pengukuran satu seri
rangkap.
Apabila diperlukan lebih dari satu seri rangkap maka cara
tersebut tinggal diulang saja, tetapi apda seri berikutnya posisi
dari skala lingkaran horizontalnya diubah dengan menambah 90o atau
besaran yang lain.
Contoh :
Alat Arah BidikanBacaan Link
Hor Biasa
Bacaan
Lingk. Hor
Luar biasa
Besar Sudut
O A
B
54o13’36”
91o08’57”
234o13’35”
271o08’58”
36o55’36”
91o08’57”
+ 90o A
B
144o13’35”
181o08’57”
324o13’37”
1o08’58”
36o55’22”
36o55’21”
= 36o 55’21”75
6.7.1.3. Pengukuran Repetisi
Cara ini hanya dapat dilakukan dengan alat teodolit tipe
repetisi atau teodolit yang mempunyai sumbu vertikal ganda. Langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut.
1. Stel teodolit di
titik B, buat sumbu
I vertikal.
2. Bidik titik A.
dengan skrup klem
dan penggerakn halus
limbus, bacaan pada
titik A dapat diatur
agar menjadi nol
atau angka yang
lain. Cacat
pembacaan ini = p
49
Ilmu Ukur Tanah
3. Matikan klem limbus
dan buka klem
horizontal. Bidik
teropong pada titik
C. setelah tepat,
matika klem
horizontal. Baca q,
diperoleh sudut .
Gambar 6.38. Pengukuran
cara repetisi
4. Bawa pembacaan q ke pembimbing A dengan cara membuka klem limbus.
Setelah tepat, matika klem limbus.
5. Buka klem horozintal, bidikkan teropong pada titik C. Dengan cara
ini, akan didapatkan sudut β lagi. Bila ini diulang n kali, akan
diperoleh n.β kali.
Pada cara ini cukup dicatat pembacaan awal p, pembacaan kedua q
dan pembacaan terakhir r.
Β = ......................................(6.20)
Di sini m adalah berapa kali pembacaan melewati 360o atau :
m = ..............................................(6.21)
Contoh :
Alat Bidikan
(target)
Bacaan
Lingk.
Hor.Pertama
(p)
Bacaan
Link Hor.
Kedua (q)
Bacaan
Link Hor.
Terakhir
(r)
Keterangan
B A
C:1x
C:6x
12o15’05”
78o20’25”
48o47’10”
360oterlewati 1x
Β kasar = 78o20’25” – 12o15’05” = 66o05’20”
50
Ilmu Ukur Tanah
m =
jadi, β =
6.7.1.4. Pengukuran Reiterasi
Cara reiterasi sebenarnya mirip dengan repetisi, yaitu setelah
mengukur sudut β, pembacaan q ditambah dengan besaran sudut tertentu,
missal 30o. Pembacaan ini kemudian dibawah ke A dan klem limbus
dimatikan lagi. Selanjutnya klem horizontal dibuka dan teropong
dibidikkan ke C lagi. Pekerjaan pengukuran ini diulang-ulang sampai n
kali.
Besarnya sudut β = ........................(6.22)
Atau
Β ..........................................(6.23)
Gambar 6.39. Pengukuran sudut cara reiterasi.
Contoh :
Alat Target Bacaan Link.
Horizontal
Keterangan
A B
C
B = C + 30o
C
B = C + 30o
C
14o17’16”
32o19’20’
62o19’30”
80o20’25”
110o20’25’
128o21’29”
q1 = 417o23’26”
pi = 435o18’30”
Β =
51
Ilmu Ukur Tanah
B = C + 30o
C
158o21’29’
176o22’32”
6.7.2.......................................Pengukuran Sudut Banyak
Yang dimaksud pengukuran sudut banyak adalah bahwa pada satu
titik harus diukur lebih dari sebuah sudut. Missal pada Gambar 6.40,
pada titik O akan diukur arah A, B, C, D, E. ada dua cara pengukuran
sudut banyak, yaitu metode arah atau Bessel dan metode sudut atau
kombinasi.
6.7.2.1.Metode Arah
Langkah – langkahnya adalah sebagai berikut :
1. Stel instrumen di titik O. dengan teropong dalam posisi biasa (B),
bidik berturut-turut A, B, C, D, E. Baca masing-masing lingkaran
horizontalnya.
2. Buat Teropong dalam posisi luar biasa (LB). Bidik berturut-turut
titik E, D, C, B, A.
Gambar 6.40. Pengukuran sudut banyak
Rangkaian tersebut dinamakan satu seri. Dan selanjutnya, jika
diperlukan, dapat dilaksanakan seri berikutnya. Untuk seri
berikutnya, biasanya posisi lingkaran horizontal diubah, yaitu
ditambah dengan sudut tertentu, misalnya 45o.
Contoh : Alat Teropong Arah Bidikan
(target)
Bacaan
lingkaran
Horizontal
Perhitungan
52
Ilmu Ukur Tanah
O Biasa A
B
C
D
E
14o46’28”
38o28’48”
86o58’18”
124o14’10”
152o34’38”
α = 23o 42’ 20”
β = 48o 29’ 30”
= 37o 15’
52”
= 28o 20’ 28”
Luar biasa E
D
C
B
A
332o 34’ 40”
304o 14’ 11”
266o 58’ 20”
218o 28’ 50”
194o 48’ 29”
α = 23o 42’ 21”
β = 48o 29’ 30”
= 37o 15’
51”
= 28o 20’ 29”
6.7.2.2.Metode Sudut Atau Kombinasi
Sebenarnya cara ini sama dengan metode arah, hanya saja
perhitungannya dimanipulasi. Dari n buah arah akan didapatkan
kombinasi sudut sebesar ½ n (n-1) buah sudut. Meskipun cara ini
dipandang tidak ekonomis sehingga kurang disukai, pada pengukuran dan
perhitungan geodesi cara ini kadang-kandag masih digunakan.
6.7.3............................................Sentering Terpaksa
Pengukuran sudut untuk menentukan posisi titik control
horizontal harus dilakukan dengan teliti. Salah satu hal yang dapat
mengurangi ketelitian pengukuran sudut horizontal adalah kesalahan
sentering. Artinya, sumbu vertical teodolit atau target tidak
berimpit dengan titik ynag ada di atas patok (dapat berupa paku
paying atau tanda silang). Target pengukuran sudut yang teliti
sebagaimana Gambar 6.36 terpasang pada kiap atau ribrach (Gambar
6.7). pada kiap inilah piranti sentering berada, baik sentering optis
maupun mekanis. Pada pengukuran sudut yang berurutan (missal
pengukuran sudut-sudut polygon) targetnya dua buah, di muka dan di
belakang. Missal pada pengukuran sudut di titik 2, target berada di
titik 1 (belakang) dan di titik 3 (depan). Apabila pengukuran sudah
akan dilakukan di titik 3, maka teodolit yang tadinya distel pada
titik 2 dilepas dari kiapnya saja (statip dan kiap masih tetap
berdiri). Demikian pula target yang berada di titik 3 hanya dilepas
53
Ilmu Ukur Tanah
dari kiapnya saja. Kemudian teodolit yang tak berkiap ini dipasang
pada kiap yang masih tegak berdiri di titik 3, dan statip yang
berkiap di titik 2 dipasangi target yang tidak berkiap. Target dan
statip yang semula berada di titik 1 kemudian dipidahkan ke titik 4.
Demikian selanjutnya sehingga teodolit tidak menempati statip yang
baru didirikan, tetapi menempati statip bekas berdiri target yang
berada di depannya. Dengan demikian kesalahan pengukuran sudut yang
diakibatkan kesalahan sentering dapat dihindari. Cara ini hanya bias
dilakukan untuk teodolit yang kiap dan targetnya dapat dilepas, serta
kiapnya dapat dipakai (compatible) dengan target dan statipnya.
6.8. Sistem Stadia
Pengukuran jarak optis dapat dilakukan karena pada teropong
(teodolit, sipat datar, BTM, planet table, dll) dilengkapi dengan garis
bidik (benang silang) dan benang stadia yang diarsir pada diafragma.
Bentuk benang silang pada setiap teropong tidak sama, tergantung dari
pabrik pembuatnya. Bentuk-bentuk tersebut antara lain dapat dilihat
dalam Gambar 6.41.
Adapun yang dimaksud dengan garis bidik adalah garis khayal
yang menghubungkan titik silang benang silang dengan sumbu optis
lensa obyektif teropong. Sebagaimana telah disebutkan di muka,
pengukuran jarak secara optis dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain :
Gambar 6.41. Bentuk-bentuk benang silang
- Sistem stadia (stadia system)
- Sistem tangensial (tangensial system)
- Sistem rambu mendatar (substerbar system)
- Sistem bayangan rangkap (optical wege system)
54
Ilmu Ukur Tanah
6.8.1. Sistem Stadia
Pengukuran jarak dengan system stadia dilakukan jika pada
teropong terdapat tiga benang stadia, yaitu benang atas (BA), benang
tengah (BT) dan benar bawah (BB). Posisi teropong pada alat ukur
tanah dapat mendatar ataupun miring. Jarak optic pada kedua posisi
teropong dijelaskan dalam uraian di bawah ini.
6.8.1.1. Teropong mendatar
Garis besar jalannya sinar dari benarn silang pada posisi
teropong mendatar adalah sebagai berikut :
Dari gambar di bawah dapat dilihat bahwa d : S = f : i
......................................................(6.24)
DAB = c + f + d = c + f + ................................(6.25)
c + f adalah konstan, dimisalkan = B
juga konstan = A (oleh pabrik biasanya dibuat = 100)
maka rumus jarak datar menjadi : DAB = B + A. S................(6.26)
Gambar 6.42. Jarak optis pada teropong mendatarKeterangan gambar :
BA : bacaan benang atas pada rambu
BT : bacaan benang tengah pada rambu
BB : bacaan benang bawah pada rambu
c : jarak sumbu II – lensa obyektif
f : fokus lensa obyektif
i : jarak BA-BB pada diafragma
s : jarak BA-BB pada rambu ukur
d : jarak dari focus ke rambu ukur
DAB : jarak mendatar dari A ke B.
55
Ilmu Ukur Tanah
Catatan : A disebut konstanta pengali teropong
B disebut konstanta penambah
Karena B umumnya kecil, maka untuk jarak relative jauh B
diabaikan, bahkan pada alat yang baru dibuat B = 0 dengan sistem
optis yang tertentu (lensa analaktik). Apabila tinggi garis bidik
diukur misal = t, maka beda tinggi (hAB) adalah = t – BT. Apabila
ketinggian titik A diketahui, missal = HA’ maka tinggi titik B :
HB = HA + hAB = HA + t – BT .............................(6.27)
6.8.1.2. Teropong Miring
Untuk teropong dengan kemiringan terhadap bidang mendatar
yang melalui sumbu II teropong, maka :
S S* = S cos
D d* = d cos
B B cos
Gambar 6 43. Jarak optis pada teropong miring
Andaikata jarak dari bidang mendatar yang melalui sumbu II
sampai BT rambu kita namakan V (naik / turun), maka:
tg = V = DAB.tg
= (B cos A.S. cos2 ) tg
= (B cos A.S. cos2 )
= B sin + A.S. cos . sin
= B sin + ½ A. S . sin 2
Karena B sin dianggap kecil atau bahkan nol, maka :
56
Ilmu Ukur Tanah
V = ½ A.S. sin 2 ......................................(6.29)
Dari gambar di atas didapat hubungan :
t + V = hAB + BT
hAB = t + V = BT
Sehingga :
HB = HA + t+V-BT.........................................(6.30)
Dengan demikian, selain dapat digunakan untuk mencari jarak
datar, teropong juga dapat digunakan untuk mengukur beda tinggi.
Pengukuran jarak datar dan beda tinggi dengan pembacaan benang stadia
pada rambu serta sudut miring teropong disebut dengan pembacaan
benang stadia pada rambu serta sudut miring teropong disebut dengan
takhimetri (tachymetry).
Perlu diingat bahwa sebelum kita mengadakan pengukuran dengan
teropong, kita tahu lebih dulu besar konstante penambah (B) dan
konstante pengali (A) dari teropong. Andaikata A dan B belum
diketahui, maka dapt dicari dengan cara sebagai berikut :
Ukur dua penggal garis AB dan BC dalam satu garis lurus dengan
pita ukur, misal masing-masing 10 m, maka jarak AB = 10 m dan AC = 20
m. dirikan dan atur alat ukur di A dan buat teropong mendatar, serta
bidikkan pada rambu di B dan C, kemudian masing-masing dibaca BA dan
BB-nya, sehingga didapat S1 dan S2.
Dari padanya dapat disusun persamaan :
D1 = B + A . S1
D2 = B + A . S2
Karena D1, D2, S1, S2 ada, maka A dan B bias didapat.
Gambar 6.44. Cara menentukan konstante penambah dan pengali teropong
6.8.2.............................................Sistem Tangensial
57
Ilmu Ukur Tanah
Sistem ini dipakai karena teropong tidak mempunyai benang
stadia, sehingga rambu hanya dibaca benang tengahnyas saja. Untuk itu
dilakukan pembacaan kerambut minimal dua kali dengan sudut miring
yang tidak sama. Dari Gambar 6.45 didapat hubungan :
BT1 – E = DAB.tg 1 V = DAB . tg 1
BT2 – E = DAB.tg 2 hAB = t + V - BT1
S = DAB . (tg 2 - tg1) = DAB . tg 1 + V – BT1
DAB = .......................................(6.32)
HB = HA + DAB . tg 1 + V – VT1............................(6.32)
Gambar 6.45. Sistem tangensialKeterangan gambar :
DAB : jarak datar AB
T : tinggi alat
V : naik/turun
E : Perpotongan bidang datar melalui sumbu dengan
garis gaya berat melalu B.
BT1,BT2 : pembacaan benang tengah ke rambut
1, 1 : sudut miring teropong
S : BT2-BT1
Dari gambar di atas didapat hubungan :
BT1 - E = DAB . tg 1 V = DAB . tg 1
BT2 - E = DAB . tg 2 hAB t + V - BT1
S = DAB (tg 2 – tg 2)
= DAB tg 1 + V – BT1)
DAB = ..........................................(6.33)
58
Ilmu Ukur Tanah
HB = HA + DAB . tg 1 + V – BT1...............................(6.34)
6.8.3. Sistem Rambu Mendatar (Substenbar System)
Berbeda dengan sistem sebelumnya, di sini rambu dipasang pada
statip khusus sehingga posisinya mendatar. Selain itu pada tengah
rambu diberi alat khusus sehingga rambu dapat distel tegak lurus
terhadap garis hubungan instrument ke tengah rambut,. Serta target di
ujung-ujung rambu dapt diberi sinar sehingga dapat dilakukan
pengukuran pada hari yang gelap dan panjang rambu sudah tertentu
(2m).
Gambar 6.46. Sistem rambu mendatar (substenbar)
Pada cara ini yang diukur adalah sudut horizontal dari ujung-
ujung rambu. Dari gambar di atas didapat hubungan :
DAB = H = ......................................(6.35)
Apabila dibutuhkan tinggi tempat berdiri rambu, maka setelah
pengamatan sudut mendatar, bidik tengah-tengah rambu dan baca sudut
miringnya () kemudian ukur tinggi rambu dan tinggi alat ukurnya.
V = H tg
Apabila tinggi rambu = hr dan tinggi alat ukur = t, maka beda
tinggi adalah :
hAB = t ± V - hr
dan tinggi B adalah :
HB = HA + t ± V – hr ....................................(6.36)
6.8.4. Sistem Bayangan Rangkap
59
Ilmu Ukur Tanah
Sistem ini sebenarnya hamper sama dengan rambut mendatar,
karena di sini rambu juga dibuat mendatar. Bedanya di sini sudut
mendatar diperoleh dengan prisma akhromatis yang dipasang di depan
lensa obyektif sehingga garis bidik akan kelihatan menjadi dua, yang
satu lurus dan yang lain dibiaskan ke samping dengan sudut deviasi
() tertentu. Perbedaan bacaan rambu akan menentukan panjang deviasi
pada target/rambu (S). Pembacaan pada rambu dapat teliti, sebab di
sini.
Gambar 6.47. Sistem bayangan rangkap
Dilengkapi dengna nonius rambu. Sedang rumus untuk menentukan
jarak seperti jarak optis biasa yaitu :
D = B + A . S
Termasuk dalam ketode pengukuran ini adalah pengukuran jarak
menggunakan alat rangefinder dan teletop.
60
Ilmu Ukur Tanah
4. KERANGKA DASAR PEMETAAN
4.1. POLIGON ATAU RAVERSE
Polygon berasal dari kata poli yang berarti banyak dan gonos
yang berarti sudut. Secara harfiahnya, poligon berarti sudut banyak.
Namun arti yang sebenarnya adalah rangkaian titik-titik secara
berurutan, sebagai kerangka dasar pemetaan.
Sebagai kerangka dasar, posisi atau koordinat titik-titik
polygon harus diketahui atau ditentukan secara teliti. Karena akan
digunakan sebagai iaktan detil, pengukuran polygon harus memenuhi
criteria atau persyaratan tertentu.
4.1.1. Macam-Macam Poligon
Poligon ada bermacam-macam. Poligon dibedakan berdasarkan pada
kriteria tertentu, antara lain :
a. Atas dasar titik ikat : terikat sempurna, terikat tidak sempurna,
terikat sepihak, bebas (tanpa ikatan).
b. Atas dasar bentuk terbuka, tertutup, bercabang
c. Atas dasar alat yang digunakan untuk pengukuran : polygon teodolit
(poligon sudut) dan polygon kompas.
d. Atas dasar penyelesaian : polygon hitungan (numerik) dan poligon
grafis.
e. Atas dasar tingkat ketelitian : tingkat I, tingkat II, tingkat
III, tingkat IV (rendah).
f. Atas dasar hirarkhi dalam pemetaan : polygon utama (induk) dan
polygon cabang (anakan / ray).
62
Ilmu Ukur Tanah
4.1.2. Poligon Secara Umum
Rumus umum penentuan koordinat suatu titik, misal titik 2 yang
diikat dari titik 1 yang telah diketahui koordinatnya adalah :
X2 = X1 + d1 – 2 sin 1-2
Y2 = Y1 + d1 – 2 cos 1-2.....................................(8.1)
Titik 1 disebut titik ikat, 1-2 disebut sudut jurusan atau
azimuth sisi 1-2, d1-2 adalah jarak sisi 1-2. Apabila sudut diukur
pada titik 2 dan jarak diukur dari titik 2 ke titik 3 maka koordinat
titik 3 dapat dicari. Demikian seterusnya, sehingga unsur yang diukur
dalam poligon adalah jarak dan sudut.
Gambar 8.2. Poligon terikat sempurnaKeterangan gambar :
a dan P : titik ikat awal
B dan Q : titik ikat akhir
AP : azimut awal
BQ : azimut akhir
sudut ukuran A : 1, 2, 3, …………n, B,
sudut ukuran dA1 : d12, d23, …………d(n-1)n, dnB,
Sesuai teori kesalahan dalam pengukuran jarak dan sudut, semakin
jauh dari titik ikat, kesalahan akan semakin besar. Oleh karena itu
agar kesalahan tersebut tidak merambat, akhir dari polygon perlu
dikontrol, baik berupa control koordinat maupun control jurusannya
(azimutnya). Poligon yang demikian dinamakan polygon terikat
sempurna.
63
Ilmu Ukur Tanah
.....Apabila dari data ukuran sudut dan jarak langsung dihitung
koordinat titik-titik polygon dengan titik ikat awal (A) sampai titik
B, maka akan didapat koordinat titik B yang tidak sama dengan
koordinat titik ikat B yang diketahui, dikarenakan pengukuran sudut
dan jarak dipengaruhi oleh adanya kesalahan. Oleh karena itu sebelum
penghitungan koordinat dilakukan, dilakukan penelitan sudut-sudut dan
jarak-jarak ukuran terlebih dahulu. Untuk dapat melakukan penelitian
kedua unsur tersebut, maka harus diketahui dan ditentukan lebih dulu
syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi oleh suatu poligon.
Telah diketahui bahwa sudut-susut ukuran dipakai untuk mencari
sudut jurusan atau azimut sisi poligon, yang selanjutnya dengan data
jarak digunakan untuk mencari koordinat. Maka akan dicari sudut
jurusan atau azimuth semua sisi poligon terlebih dahulu.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa :
A1 = A1 + A
12 = A1 + 1 – 180o
= AP + A + 1 - 180o
23 = 12 + 2 – 180o
= AP A + 1 + 2 – 360o
34 = 23 + 3 – 180
= AP A + 2 + 3 – 540o
4B = 34 + B – 180
= AP A + 2 + 3 + 4 – 720o
BQ = 4B + B – 180o
= AP A + 2 + 3 + 4 – 900o
3B = 23 + 3 – 180o
= AP 1 + 2 + 3 – 540o
BQ = 3B + 4 – 180o
= AP 1 + 2 + 3 + 4 – 720o
atau :
BQ = AP + - 4 . 180o
atau secara umum dapat ditulis :
= (akhir - awal) + n . 180o (Syarat I) .................(4.2)
64
Ilmu Ukur Tanah
Ruas kiri adalah jumlah sudut-sudut yang diukur, sedang ruas
kanan terdiri dari dua suku, yang pertama adalah selisih jurusan atau
azimuth akhir dan awal, dan suku yang kedua berisi keliput dari 180o.
Sudut jurusan awal dan akhir diketahui atau dihitung dari koordinasi
titik-titik awal dan akhir yaitu A, P, dan B, Q :
AP = arc tg .................(4.3)
Dengan demikian didapat syarat yang harus dipenuhi oleh sudut-
sudut polygon yang diukur, yakni jumlah sudut-sudut yang diukur harus
sama dengan selisih sudut jurusan akhir dan awal ditambah kelipatan
dari 180o, atau :
= (akhir - awal) + n . 180o..............................(4.5)
Dalam kenyataannya karena ukuran sudut-sudut dihinggapi
kesalahan, maka :
= (akhir - awal) + n . 180o ± f.........................(4.5)
f dinamakan kesalahan penutup sudut. Kesalahan ini dikreksikan
kepada setiap sudut ukuran dengan prinsip sama rata, atau :
I = f/n................................................(4.6)
Apabila fα tidak habis dibagi, maka sisanya diberikan pada
sudut-sudut yang mempunyai mempunyai kaki pendek.
Untuk mendapatkan syarat sisi poligon yang harus dipenuhi,
proyeksikan sisi-sisi poligon tersebut pada sumbu X (menjadi d’) dan
pada sumbu Y (menjadi d”). Dari gambar dapat dicari :
d1’ = d1 sin A1 d1” = d1 cos A1
d2’ = d2 sin 12 d2” = d2 cos 12
d3’ = d3 sin 23 d3” = d3 cos 23
d4’ = d4 sin 34 d4” = d4 cos 34
d5’ = d 4 sin 4B d5” = d 2 cos 4B
d’= d sin d” = d cos
Seharusnya :
d sin α = XB – XA dan cos = YB - YA..................(8.7)
65
Ilmu Ukur Tanah
Ini merupakan syarat II dan III. Dengan perkataan lain, jumlah d
sin α harus sama dengan selisih absis titik akhir dan awal poligon.
Demikian pula, jumlah d cos α harus asma dengan selisih ordinat titik
akhir dan awal poligon.
Dalam kenyataannya :
d sin α = (Xakhir – Xawal) ± fx
d sin α = (Yakhir – Yawal) ± fx............................(4.8)
fx dinamakan kesalahan penutup absis dan fy dinamakan kesalahan
penutup ordinat, sedang kesalahan penutup jarak (linier) poligon:
fl = ..........................................(4.9)
fx : kesalahan penutup
absis
fy : kesahan penutup
ordinat
fl : kesalahan penutup
jarak (linier)
Titik B : Titik ikat akhir
Titik B’: Posisi titik B yang
dihitung dari data
ukuran yang masih
dihinggapi kesalahan
Gambar 8.3.
Kesalahan penutup poligon
Kesalahan fx dan fy dikoreksikan pada setiap penambahan absis (d
sin α) dan penambahan ordinat (d cos α) dengan perbandingan lurus
dengan jarak-jarak sisi polygon, atau dapat ditulis :
66
Ilmu Ukur Tanah
Xi = ....................(4.10)
Langkah penghitungan koordinat titik – titik polygon secara
sistematis adalah sebagai berikut :
1. Jumlahkan sudut-sudut hasil ukuran. Hitung αakhir dan αawal dari
koordinat titik ikat akhir dan 2 titik ikat awal (rumus 4.3). dari
padanya tentukan fα dan kemudian dikoreksikan pada masing-masing
sudut hasil ukuran (rumus 4.6) agar syarat pertama dipenuhi.
2. Atas dasar sudut jurusan (azimut) awal, dengan sudut-sudut
polygon ynag telah dikoreksi, hitung sudut jurusan (azimut) dari
setiap sisi poligon dengan aturan :
αn (n+1) = α (n+1)n ± 180o
Apabila perhitungannya benar, azimut BQ akan sama dengan azimut
akhir yang dihitung dari koordinat titik BQ.
3. Dengan sudut jurusan yang diperoleh dari langkah 2 di atas, hitung
d sin α dan d cos α. Hitung selisih antara Xakhir dan Xawal serta Yakhir
dan Yawal, kemudian hitung fx dan fy serta koreksikan pada masing-
masing dsinα dan dcosα sebanding dengan jarak-jaraknya (rumus
4.10).
4. Akhirnya dapat dihitung koordinat titik-titik polygon dari
koordinat titik yang ada di depannya dengan Rumus 4.1.
5. Agar perhitungan dapat dilakukan secara sistematis, dibuat
formulir perhitungan seperti contoh pada akhir bab ini.
4.1.3. Poligon Tertutup
Poligon tertutup adalah polygon yang titik awal dan akhirnya
menjadi satu. Poligon semacam ini merupakan poligon yang paling
disukai di lapangan karena tidak membutuhkan titik ikat yang banyak
yang memang sulit didapatkan di lapangan, namun hasil ukurannya cukup
terkontrol.
67
Ilmu Ukur Tanah
Karena bentuknya tertutup maka akan membentuk segi banyak atau
segi n (n = banyaknya titik poligon). Oleh karenanya syarat-syarat
geometris dari poligon tertutup adalah :
Gambar 8.4. Poligon tertutup
1. Syarat sudut
= (n – 2). 180o, apabila sudut dalam ...................(4.11)
= (n + 2). 180o, apabila sudut luar ....................(4.12)
2. Syarat absis
d sin α = 0
d cos α = 0..............................................(8.13)
Adapun prosedur perhitungannya sama dengan prosedur perhitungan
pada poligon terikat sempurna di atas. Pada poligon terikat sepihak,
poligon terbuka tanpa ikatan, syarat-syarat geometris tersebut tidak
dapat diberlakukan di sini. Hal ini mengakibatkan posisinya sangat
lemah karena tidak adanya kontrol pengukuran dan kontrol perhitungan.
Jadi sebaiknya poligon semacam ini dihindari. Posisi titik-titik
poligon yang ditentukan dengan cara menghitung koordinat-koordinatnya
dinamakan penyelesaian secara numeris atau poligon hitungan.
4.1.4. Poligon Terikat Hanya pada Koordinat Awal dan Akhir
Apabila sebuah poligon terikat pada awal dan akhir, masing-
masing pada titik A dan titik B yang telah diketahui koordinatnya
namun tidak diketahui azimutnya, maka kondisi tersebut dapat
diselesaikan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah menentukan azimut
68
Ilmu Ukur Tanah
awal yang diambil dengan pendekatan atau diukur dengan kompas. Dengan
azimut ini dan dengan titik ikat awal yang telah diketahui
koordinatnya, selanjutnya poligon dihitungan sebagai poligon lepas,
sehingga didapat koordinat titik B’. dari titik A dan titik B’ dapat
dihitung azimut AB’. Demikian pula, dari titik ikat awal A dan titik
akhir B dapat dihitung azimut AB. Selisih dari keduanya merupakan
besar sudut rotasi yang harus diberikan pada azimut pendekatan.
Pada perhitungan tahap kedua, poligon dihitung kembali dengan
azimut awal hasil rotasi tahap pertama, sebagai poligon terikat
sempurna.
4.1.5 Poligon Kompas
Pada poligon teodolit sebagaimana paragraph di atas, semua
sudutnya dihitung. Sudut-sudut ini akan dipakai untuk mencari sudut
jurusan atau azimut dari sisi-sisi poligon yang berikutnya.
Namun pada alat ukur sudut yang telah menggunakan kompas, pada
setiap arah yang dibidk akan terbaca sudut jurusannya (azimut
kompas). Missal pada gambar di bawah ini kita memasang alat di titik
1 dan kemudian membidik titik 2, maka kita akan mendapatkan sudut
jurusan α12. Kemudian alat ukur kita pindahkan ke titik 2 dan dari
titik ini kita membidik titik 1 dan 3 sehingga kita mendapatkan dua
jurusan sekaligus, yaitu α23 yaitu α21 – 180o. jadi kita tidak perlu
memasang alat ukur di titik 1.
Gambar 8.9. Poligon Kompas
Demikian selanjutnya, kita tidak perlu memasang alat di titik 3,
tapi dari titik 2 langsung ke titik 4, karena dari titik 4 kita dapat
69
Ilmu Ukur Tanah
membidik titik 3 untuk mendapatkan sudut jurusan α43 dan daripadanya
kita bias menghitung α34. Dengan demikian jika poligon diukur dengan
kompas, alat ukur tidak perlu dipasang di setiap titik poligon,
melainkan berselang satu-satu (lompat kijang), yaitu dari titik 2
pindah ke titik 4, titik 6, titik 8 dan seterusnya.
8.1.6. Poligon Grafis
Apabila suatu poligon telah diketahui sudut-sudutnya, arah –
arahnya serta jarak sisi-sisinya, penggambarannya dapat dilakukan
dengan lebih dulu menghitung koordinat titik-titik poligon tersebut,
atau dapat pula digambarkan langsung dari data sudut atau jurusan
dengan busur derajat dan dari data jarak dengan mistar skala.
Penggambaran poligon yang terakhir ini dinamakan poligon grafis.
Missal berdasarkan hasil pengukuran sudut, arah dan jarak sisi-
sisinya, poligon tertutup A, B, C, D, E, F, A akan diplot secara
berurutan dari A sampai ke A lagi. Pada umumnya titik A yang terakhir
tidak akan berimpit dengan titik A semula, tetapi bergeser ke A.
Gambar 4.10. Poligon grafis
Gambar 4.11. Koreksi poligon grafis
Jarak linier dari A-A* dinamakan kesalahan penutup jarak. Arah
kesalahannya adalah dari A ke A*, sehingga arah koreksinya dari A* ke
70
Ilmu Ukur Tanah
A. di setiap titik poligon hasil plot dibuat arah sejajar A* - A.
besar koreksi di setiap titik poligon sebanding dengan jarak dari
titik awal. Setelah semua posisi titik-titik poligon dikoreksi, semua
titik digubungkan kembali secara berurutan, sehingga didapatkan
poligon yang telah dikoreksi.
Pada umumnya poligon grafis adalah poligon yang diukur dengna
kompas, sedang poligon numeris (hitungan) adalah poligon yang diukur
dengan teodolit (poligon sudut).
4.1.7. Poligon Simpul
Pada poligon yang dibuat dari tiga buah titik tetap (yang telah
tertentu koordinatnya) atau lebih dan bertemu pada sebuah titik,
titik pertemuan dari poligon-poligon tersebut dinamakan titik simpul
atau titik sekutu.
Gambar 4.12. Poligon simpul
Pada Gambar 4.12 di atas, titik S adalah titik simpul poligon
AS, BS dan CS, sedangkan titik A, B dan C adalah titik tetap awal
masing-masing poligon dan telah terdapat pula azimut-azimutnya
sebagai azimut pengikat. Apabila setiap poligon dihitung sendiri-
sendiri, maka akan didapat tiga koordinat titik S, yang mungkin
harganya berbeda satu sama lain. Koordinat-koordinat titik S yang
berbeda ini perlu diratakan menggunkan ilmu hitung perataan untuk
mendapatkan sebuah koordinat titik simpul S. untuk itu digunakan
unsur berat karena adanya perbedaan ketelitian dari masing-masing
poligon tersebut. Perbedaan ketelitian tersebut, mungkin disebabkan
oleh jarak masing-masing poligon yang tidak sama, atau banyaknya
71
Ilmu Ukur Tanah
titik sudut poligon. Oleh karenanya perambatan kesalahan pada titik
simpul S dari setiap poligon memberikan pengaruh yang tidak sama
pula.
Sesuai dengan teori ilmu hitung perataan (tak dibahas disini)
langkah perataannya adalah sebagai berikut :
a. Perataan Azimut
Untuk perataan azimut di titik S, diambil sisi sekutu missal S-
11. Azimut sisi S-11 dihitung dari azimut ikatan pada setiap poligon.
Missal diperoleh hasil sebagai berikut :
- Dari titik ikat A : αS-11 = 134o 22’ 48” = 134o 22’ 30” + 18”
- Dari titik ikat B : αS-11 = 134o 22’ 40” = 134o 22’ 30” + 10”
- Dari titik ikat C : αS-11 = 134o 22’ 36” = 134o 22’ 30” + 6”
Dari ketiga azimut yang diperoleh, untuk menyederhanakan
perhitungan selanjutnya diambil pendekatannya (134o 22’ 30”) dan
sisinya dianggap sebagai pengamatan-pengamatan yang akan diratakan.
Dengna demikian kita bekerja dengan bilangan-bilangan yang kecil.
Pada masing-masing poligon dimasukkan factor berat yang
berbanding terbalik dengan banykanya titik sudut poligon. Missal
banyaknya masing-masing titik sudut poligon adalah 10, 11 dan 8 buah,
dengan demikian perbandingan beratnya adalah : 1/10, 11, 1/8 atau
dalam perbandingan serupa adalah 10 : 9,1 : 12,5. Menurut ilmu hitung
perataan, apabila ada sejumlah pengamatan P1, P2, P3 …Pn masing-masing
dengan berat g1, g2, g3 … gn maka pengamatan pukul rata diperoleh
dengan rumus:
..................(4.8)
Sehingga dari azimut-azimut sisi S-10 di atas, hasil pukul ratanya
adalah :
72
Ilmu Ukur Tanah
134o 22’ 20” +
Setelah hasil tersebut diperoleh, azimut masing-masing poligon
koreksi kembali. Missal poligon A mendapt koreksi sebesar : 134o 22’
40”, 9 – 134o 22’ 48” = -7”,1. Koreksi ini diberikan sama rata kepada
masing-masing azimut sisi-sisi poligon dari A ke S. demikian pula,
koreksi sisi-sisi poligon dari B ke S dan dari C ke S dihitung dengan
cara yang sama.
b. Perataan Koordinat
Setelah azimut setiap sisi poligon dikoreksi, langkah
selanjutnya adalah menghitung koordinat titik S dari masing-masing
poligon. Missal diperoleh data sebagai berikut :
- Dari poligon A-S didapat :
Xs = + 27856,420 m = + 27856,400 m + 0,020 m
Ys = - 12475,826 m = - 12475,800 m + 0,026 m
- Dari poligon B-S didapat :
Xs = + 27856,428 m = + 27856,400 m + 0,020 m
Ys = - 12475,842 m = - 12475,800 m + 0,042 m
- Dari poligon C-S didapat :
Xs = + 27856,438 m = + 27856,400 m + 0,038 m
Ys = - 12475,828 m = - 12475,800 m - 0,028 m
Sebagai berat diambil bilangan-bilangan yang berbanding terbalik
dengan jumlah jarak sisi-sisi poligon. Misal jumlah jarak sisi
poligonm AS = 1234,50 m, BS = 2643,0 m, CS = 1756, 70 m, maka
perbandingan berat dari masing-masing poligon menjadi :
maka koordinat titik S
ditetapkan sebagai berikut :
Xs = + 27856,400 + = + 27856,427
m
73
Ilmu Ukur Tanah
Ys = + 27475,800 + = + 12475,830
m
Setelah koordinat titik S ditetapkan, maka poligon AS, BS, dan
CS sekarang menjadi poligon terikat sempurna. Selanjutnya masing-
masing poligon dihitung berapa kesalahan penutup absis dan ordinatnya
dan kemudian dikoreksi pada masing-masing d sin α dan d cos α, yang
selanjutnya digunakan untuk menghitung koordinat titik-titik poligon
yang bersangkutan.
4.1.8. Tingkat Ketelitian Pengukuran Poligon
Karena unsur poligon adalah sudut dan jarak, maka tingkat
ketelitian pengukuran poligon didasarkan pada ketelitian pengukuran
sudut dan jarak pula. Pada poligon yang tertutup atau terikat
sempurna di mana jumlah sudut hasil pengukuran serta jumlah d sin α
dan d cos α sudah tertentu maka tingkat ketelitian poligon didasarkan
pada besarnya kesalahan penutup sudut dan jarak. Dengna dasar
tersebut ketelitian poligon dibedakan menjadi :
Kelas ketelitian
poligon
I II III IV
Kesalahan penutup sudut
Koreksi masimum
persudut ketelitian
penutup pajak
2” 1”
1:35.000
10” 2”
1:10.000
30” 3”
1:5.000
60”
6”
1:2.000
74
Ilmu Ukur Tanah
5. SIFAT DATAR
Sifat datar bertujuan menentukan beda tinggi antara titik-titik
di atas permukaan bumi secara teliti. Tinggi suatu obyek di atas
permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang referensi, yaitu bidang
yang ketinggiannya dianggap nol. Dalam geodesi, bidang ini disebut
bidang geoid, yaitu bidang equipotensial yang berimpit dengan
permukaan air laut rata-rata (mean sea level). Bidang equipotensial
juga disebut bidang nivo. Bidang-bidang ini selalu tegak lurus dengan
arah gaya berat di mana saja di permukaan bumi.
Gambar 9.1. Bidang referensi ketinggian
75
Ilmu Ukur Tanah
Beda tinggi di atas permukaan bumi dapat ditentukan dengan
berbagai cara, antara lain :
1. Sipat datar (spirit levelling)
2. Takhimetrik (tachymetric levelling)
3. Trigonometri (trigonometri levelling)
4. Barometrik (barometrik levelling)
Urutan tersebut juga merupakan urutan tingkat ketelitian dari
cara atau metode pengukuran beda inggi. Pada bab ini akan dijelaskan
metode yang pertama. Metode yang kedua, yaitu metode takhimetrik,
telah dibicarakan pada bab sebelumnya. Sedangkan metode yang ketiga
dan keempat akan dibicarakan pada Bab lain.
Karena sipat datar merupakan metode penentuan beda tinggi yang
paling teliti, maka metode ini biasanya dikerjakan untuk menentukan
ketinggian titik-titik kerangka dasar pemetaan atau pekerjaan-
pekerjaan rekayasa yang membutuhkan ketelitian yang tinggi.
5.1. Sipat Datar
Istilah sipat datar di sini berarti konsep penentuan beda tinggi
antara dua titik atau lebih dengan garis bidik mendatar / horizontal
yang diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertical.
Sedangkan alat ukurnya dinamakan penyipat datar atau waterpas.
Gambar 9.2. Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipat datarKeterangan gambar :
A dan B : titik di atas permukaan bumi yang akan diukur beda tingginya
a dan b : bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik di titik A dan
B
HA dan HB : ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi
hAB : beda tinggi antara titik A dan B
76
Ilmu Ukur Tanah
Beda tinggi antara A dan B dirumuskan sebagai :
(hAB) = a – b .................................................(9.1)
Apabila (a-b) hasilnya positif (plus), maka dari A ke B berarti
naik, atau B lebih tinggi daripada A. Sebaliknya, apabila (a-b)
negative (minus), maka dari A ke B turun atau B lebih rendah daripada
A.
Garis bidik adalah garis lurus (khayal) pada teropong. Untuk
mendatarkan garis bidik, dibutuhkan nivo tabung. Dengan demikian,
selain teropong dan kelengkapan lain alat ukur penyipat datar juga
dilengkapi dengan nivo tabung untuk membantu mendatarkan garis bidik.
Tidak seperti teodolit, alat ukur penyipat datar hanya dapat diputar
pada sumbu I (sumbu vertikal) saja, tidak mempunyai sumbu II (sumbu
horizontal). Untuk mematikan gerakan pada sumbu I, alat dilengkapi
dengan klem sumbu I dan skrup penggerak halus.
Alat ukur penyipat datar ada berbagai tipe, secara garis besar
adalah sebagai berikut.
Gambar 5.3. Alat penyipat datar sederhana, tipe semua tetap tanpa
skrup ungkit
.
1. Tipe semua tetap
a. Tanpa skrup ungkit (dumty level)
b. Dengan skrup ungkit (tilting level)
2. Tipe otomatis (automatic level)
3. Tipe sinar laser
4. Tipe elektronik
77
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 5.4. Penyipat datar tipe semua tetap dengan skrup ungkit
Alat penyipat datar diproduksi oleh perusahaan yan memproduksi
teodolit. Oleh karenanya merknya juga sama.
Alat penyipat datar dengan skrup ungkit, teropongnya selain
dapat digerakkan pada sumbu vertical (grakan menggeleng), juga dapat
digerakkan sedikit ke atas dan ke bawah (gerakan mengangguk) secara
terbatas dengna menggunakan skrup ungkit. Alat ukur penyipat datar
teliti sebenarnya juga tergolong dalam tipe ini, tetapi nivonya jauh
lebih sensitive (harga sudut nivo kecil) dan dilengkapi dengan plat
plan paralel yang dipasang di depan lensa obyektif untuk mengatur
penempatan garis bidik pada rambu ukur. Untuk melihat apakah nivo
berada dalam posisi seimbang atau tidak, dibuat sistem optis tertentu
sedemikian hingga bayangan gelombung nivo dapat dilihat langsung pada
teropong secara koinsiden seperti pada Gambar 5.5. di bawah.
Tipe baru yang sekarang berkembang luas di pasaran adalh tipe
otomatis atau automatic level, maksudnya apabila sumbu I telah
vertical atau mendekati vertikal (dengan kemiringan terbatas) garis
bidik akan mendatar secara otomatis. Dalam hal ini, meskipun setiap
pabrik memiliki pemecahan yang berbeda-beda, namun prinsipnya
menggunakan prisma pendulum (gantung) yang akan selalu mencari posisi
sesuai arah gaya beratnya. Dengan demikian, apabila sumbu I sedikit
miring, pendulum akan bergerak sesuai arah gaya berat yang baru, dan
garis bidik akan mendatar kembali seperti Gambar 9.6. jadi, alat yang
bertipe otomatis tidak lagi menggunakan nivo tabung untuk mendatarkan
garis bidiknya.
78
Ilmu Ukur Tanah
Pada alat-alat yang baru, kiap (tribrach) juga dilengkapi dengan
pembacaan lingkaran horizontal, sehingga selain dapat digunakan untuk
menentukan beda tinggi, akat juga dapat digunakan untuk mengukur
arahnya, sehingga dalam keadaan terbatas (lapangan relative datar),
alat tersebut dapat dipakai untuk pengukuran detil situasi.
Gambar 5.5 Bayangan gelembung nivo koinsiden
Sebagaimana teodolit, alat penyipat datar juga memerlukan statip
untuk dari berdiri di lapangan, serta rambu ukur untuk pembacaan
tinggi garis bidik di titik yang akan diukur beda tingginya. Rambu
ukur juga bermacam-macam ; ada yang terbuat dari kayu, metal, atau
aluminium dan ada pula yang terbuat dari invar untuk pengukuran
teliti. Konstruksinya ada yang dapat dilipat dengan sistem engsel,
ada yang dilipat ke dalam atau teleskopik, ada yang satu batang
penuh. Panjang rambu umumnya 3 m, walaupun ada pula yang 4 m bahkan 5
m. agar dapat berdiri tegak di lapangan, rambu dibantu dengan nivo
rambu, dan juga sepatu rambu serta statip rambu untuk pengukuran
teliti.
Keterangan
gambar:
1. Garis bidik
2. Ronsel lensa
tengah
79
Ilmu Ukur Tanah
3. Prisma
4. Prisma
pendulum
5. Lensa obyektif
6. Lensa okuler
7. Sumbu vertika
(I)
8. Skrup penyetel
(ABC)
9. Plat dasar
(tatakan)
10. Lensa
sentral/tengah
Gambar 9.6. Penyipat datar otomatis Zeiss Ni-2 dan prisma pendulum
5.2. Syarat-Syarat Pemakaian Alat Ukur Penyipat Datar
Dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat khususnya dalam
peralatan ukur tanah, persyaratan dan cara pemakaian alat ukur
menjadi semakin sederhana. Namun demikian andaikata kita telah dapat
mengatur alat tipe lama atas tipe semua tetap, alat ukur yang modern
akan menjadi lebih mudah lagi digunakan.
Gambar 9.7. Macam-macam rambu peyipat datar. a,c,e adalah rambu invar
Agar dapat digunakan di lapangan, alat ukur penyipat datar harus
memenuhi beberapa syarat tertentu, baik syarat utama yang tak dapat
ditawar-tawar lagi maupun syarat tambahan yang dimaksudkan untuk
80
Ilmu Ukur Tanah
memperlancar pelaksanaan pengukuran di lapangan. Adapun syarat-syarat
pemakaian alat penyipat datar pada umumnya adalah :
a. Syarat dinamis : sumbu I vertical.
b. Syarat statis
1. Garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo
2. Garis arah nivo tegak lurus sumbu I (sumbu vertikal)
3. Garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I
Urutan persyaratan statis memang demikian. Namun agar
pengaturannya lebih sistematis dan tidak berulang-ulang, urutan
pengaturannya dibalik dari poin 3 ke 1.
5.2.1. Mengatur Garis Mendatar Diafragma Tegak Lurus Sumbu I
Pada umumnya garis mendatar (benang silang mendatar) telah
dibuat tegak lurus sumbu I oleh pabrik yang memproduksi alat ukur.
Namun untuk mengetahui apakah hal tersebut masih tetap atau telah
berubah, dilakukan percobaan sebagai berikut.
Gambar 9.8. Benar silang belum mendatar
Pasang alat ukur sipat datar di atas statif dan buat sumbu I
vertikal dengan mengatur nivo kotak dengan skrup ABC. Bidikkan
teropong pada tembok dan beri tanda di tembok titik yang berimpit
dengan ujung kiri benang silang mendatar. Apabila bayangan titik
tetap berada pada bennag silang mendatar, berarti benar silang
mendatar telah tegak lurus sumbu I. sebaliknya apabila benang sumbu
I, maka bayangan titik tersebut akan berjalan di luar benang silang.
81
Ilmu Ukur Tanah
Cara koreksi, kendorkan semua skrup koreksi diafragma dengan pen
koreksi, kemudian diafragma diputar hingga benang silang horizontal
betul-betul mendatar, dan kencangkan kembali skrup koreksi.
9.2.2. Mengatur Garis Arah Nivo Tegak Lurus Sumbu Bertikal (I)
Pada alat ukur penyipat datar tipe semua tetap tanpa skrup
ungkit, syarat ini penting sekali. Namun pada alat dengan skrup
ungkit, syarat ini agak sedikit longgar karena apabila ada sedikit
pergeseran nivo dalam pengukuran, dapat diseimbangkan dengan skrup
ungkit ini. Adapun cara mengatur agar garis arah nivo tegak lurus
sumbu I, prosedurnya sama dengan membuat sumbu I vertikal pada
teodolit dengan nivo tabung alhidade horizontal (subbab 6.3.2.).
Adapun maksud dari persyaratan ini adalah apabila sumbu I telah
dibuat vertikal, ke mana pun teropong diputar, gelembung nivo akan
tetap seimbang. Ini berarti garis bidik selalu mendatar karena garis
bidik telah dibuat sejajar dengan garis arah nivo (subbab 5.2.3.).
5.2.3. Membuat Garis Bidik Sejajar Garis Arah Nivo
Pada penyipat datar, yang diperlukan adalah garis bidik
mendatar. Masalahnya, kita tidak dapat mengerti secara langsung
apakah garis bidik sudah betul-betul mendatar atau tidak. Hal ini
dapat dibantu dengan nivo tabung. Jika gelembung nivo seimbang, garis
arah nivo pasti mendatar. Dengan demikian jika kita bias membuat
garis bidik sejajar dengan garis arah nivo, maka pada saat nivo
seimbang, garis bidik akan mendatar.
Untuk mengetahui apakah garis bidik pada suatu alat penyipat
datar sudah sejajar dengan garis arah nivo atau belum dan sekaligus
mengoreksinya, dapat dilakukan beberapa cara, antara lain sebagai
berikut.
1. Buat tiga buah penggal garis sama panjang dalam satu garis lurus
di lapangan Misal ditandai dengan titik A, B, C, D masing-masing
berjarak 10 m.
82
Ilmu Ukur Tanah
2. Dirikan rambu vertikal di A dan C, ukur beda tingginya dengan
penyipat datar distel di atas titik B. saat membidik rambu di A
dan C, atur agar gelembung nivo tabung selalu seimbang atau di
tengah. Jika garis bidik belum sejajar garis arah nivo, maka yang
terbaca di rambu A menjadi a1 dan di rambu C menjadi c1. Jika garis
bidik sudah sejajar garis arah nivo (garis bidik mendatar), akan
terbaca ao dan co. Beda tinggi antara A dan C terbaca a1-c1, maka
beda tinggi tersebut salah, karena seharusnya adalah ao –co. akan
tetapi karena jarak AB – BC, maka a1 – c1 = ao – co-.
3. Pindahkan alat ukur ke titik D sebagaimana langkah (2) di atas.
Baca rambu di C dan A dengan posisi nivo teropong seimbang.
Apabila garis bidik telah sejajar garis arah nivo, maka bacaan
rambu di A dan C masing-masing a3 dan c3, tetapi karena ada
kesalahan, yaitu garis bidik belum sejajar garis arah nivo, maka
akan terbaca masing-masing a2 dan c2. Kesimpulannya adalah apabila
a2 – c2 tidak sama dengan a1 – c1, berarti garis bidik belum
sejajar garis arah nivo. Kesalahan yang terjadi pada rambu A
adalah dari a2 a3 dan pada rambu C dari c2 c3, yang besarannya
akan kita cari sebagai besaran koreksi.
4. Buat garis pertolongan dari c2 mendatar ke rambu A. Misal
pembacaan di rambu A = a4, maka pembacaan a4 ini = c2 + (a1 – c1).
Dengan demikian jarak dari a2 ke a4 = a2 – {c2 + (a1 – c1)} missal
x, dan dari a4 ke a3 = y.
Gambar 5.9. Membuat garis bidik sejajar dengan garis arah nivo
83
Ilmu Ukur Tanah
Segitiga a2 . c2 dan segitiga a2 . a3 . D’ adalah sebangun,
sehingga :
x + y : x = 3 : 2, sehingga
x + y = 3/2 x
= 3/2 { (a2 - c2) – (a1 – c1)}
Karena bacaan-bacaan tersebut ada, maka x + y = K dapat dihitung.
5. Pelaksanaan koreksi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Untuk alat tipe semua tetapi tanpa skrup ungkit
Arahkan garis bidik pada angka (a2 – K) pada rambu A dengan
memutar sikrup koreksi diafragma atas dan bawah dengan pen
koreksi dan gelembung nivo tetap seimbang.
b. Untuk alat tipe semua tetap dengan skrup ungkit
Koreksi untuk alat tipe semua tetap dengan skrup ugkit dapat
dilakukan dengan dua cara :
1. Koreksi sama seperti pada tipe tanpa skrup ungkit seperti
poin a di atas.
2. Arahkan garis bidik apda angka (a2 – K) pada rambu A dengan
memutar skrup ungkit, sehingga gelembung nivo teropong
menjadi tidak seimbang, kemudian diseimbangkan kembali dengan
memutar skrup koreksi nivo dengan pen koreksi.
Catatan : pada alat ukur penyipat datar tipe otomatis, kesalahan
garis bidik masih dimungkinkan ada sehingga perlu dicek dan
dibetulkan, dan prosedur koreksinya sama dengna pada alat tipe semua
tetap tanpa skrup ungkit.
5.3. PENGUKURAN BEDA TNIGGI ANTARA DUA BUAH TITIK
Jarak bidik optimum alat penyipat datar berkisar antara 40-60 m,
sehingga apabila dua buah titik yang akan diukur beda tingignya cukup
dekat dan relatif datar, maka pengukuran dapat dilakukan dengan
beberapa kemungkinan seperti pada gambar berikut.
84
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 9.10. Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik yang
relative dekat
Apabila alat didirikan di antara dua buah rambu, maka antara dua
buah rambu dinamakan slag yang terdiri dari bidikan ke rambu muka dan
rambu belakang. Selain garis bidik atau benarn tengah (BT), pada
umumnya teropong dilengkapi dengan benar stadia yaitu benang atas
(BA) dan benang bawah (BB). Selain untuk pengukuran jarak optis,
pembacaan BA dan BB juga untuk control pembacaan benang tengah (BT)
di mana seharusnya pembacaan BT = ½ (BA + BB).
Apabila jarak antara dua buah titik yang akan diukur beda
tingginya relatif jauh, maka dilakukan pengukuran berantai atau sipat
datar memanjang. (diferential leveling).
5.4. PENGUKURAN SIPAT DATAR BERANTAI
Jika jarak antartitik control pemetaan relatif jauh, pengukuran
beda tinggi dengan penyipat datar tak dapat dilakukan dengan satu
kali berdiri alat. Oleh karena itu antara dua buah titik control yang
berurutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu dan
pengukurannya dibuat secara berantai (differential leveling).
Seperti halnya pengukuran jarak dan sudut, pengukuran beda
tinggi juga tidak cukup dilakukan dengan sekali jalan, tetapi dibuat
pengukuran pergi-pulang, yang pelaksanaannya dapat dilakukan dalam
85
Ilmu Ukur Tanah
satu hari (dinamakan seksi), serta dimulai dan diakhiri pada titik
tetap. Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek.
Gambar 5.11. Pengukuran sipat datar berantaiKeterangan gambar :
A dan B : titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya
1,2,3,4,…. : titik – titik bantu pengukuran
a1,a2,a3 … : bacaan rambu belakang
b1,b2,b3 …. : bacaan rambu muka
pada gambar di atas, A dan B adalah titik yang akan ditentukan
beda tingginya. Karena jarak keduanya cukup jauh, maka dibuat
beberapa slag. Beda tingginya adalah kumulatif dari beda tinggi
setiap slag, yaitu :
hA1 = a1 – b1
h12 = a2 – b2
h23 = a3 – b3
---------------------------
hAB = h = a – ...................................(9.2)
Dalam hal ini : S
a : jumlah pembacaan rambu belakang
b : jumlah pembacaan rambu muka
h : beda tinggi setiap slag
Karena data pembacaan cukup banyak, agar nantinya tidak
menimbulkan kesulitan perhitungan, data ditulis secara sistematis
dalam buku ukur atau lembaran formulir pengukuran seperti contoh pada
halaman berikut.
Pembacaan angka pada rambu adalah dalam milimeter, sehingga
angka terdiri dari 4 digit tanpa tanda koma. Sebagai missal, untuk
menghilangkan kerancuan angka 17 mm sebaiknya ditulis 0017. Tuliskan
garus urut dan sistematis, serta sejelas mungkin. Apabila ada salah
86
Ilmu Ukur Tanah
tulis sebaiknya dicoret saja yang salah dan pembetulan ditulis di
atasnya atau disampingnya dengan jelas. Jangan menggunakan alat tulis
yang mudah terhapus (missal pensil 2B), tetapi gunakan pensil yang
keras (2H) atau ballpoint.
Selain dengan pengukuran pergi-pulang, pengukuran sipat datar
berantai kadang-kadang dilakukan dengan dua kali berdiri alat pada
setiap pengukuran beda tinggi tiap slag (double stand). Namun cara ini
tidak dianjurkan.
5.5. PENGUKURAN SIPAT DATAR TELITI
Untuk keperluan pengadaan jaringan-jaringan tinggi nasional
maupun kerangka kontrol vertikal/ tinggi pada pemetaan dan pekerjaan
rekayasa yang membutuhkan ketelitian yang tinggi, diperlukan
pengukuran sipat datar teliti. Untuk itu diperlukan alat ukur
penyipat datar yang teliti dengan ciri-ciri antara lain :
1. Sensitivitas nivo atau pendulum tinggi (harga sudut nivonya kecil)
2. Perbesaran bayangan teropong lebih besar (20 s/d 30 kali)
3. Dilengkapi dengan plat planparalel
4. Menggunakan rambu invar, sepatu rambudan nivo rambu.
Rambu invar adalah rambu yang garis-garis angkanya dituliskan
pada plat invar (campuran besi dan nikel). Plat ini tahan terhadap
perubahan suhu udara karena koefisien muainya sangat kecil. Pada
rambu ini angka rambu terdiri dari dua sisi kanan dan kiri, sehingga
saat pembidikan ke rambu akan didapat dua bacaan kanan dan kiri,
sekaligus dipakai sebagai kontrol pembacaan.
87
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 5.12. Penyipat datar teliti, plat planparalel dan pembacaan
pada rambu invar.
Plat planparalel adalah sebuah prisma datar yang dipasang di
depan lensa obyektif dan dapat diputar-putar pada sumbu mendatar
untuk mengatur penempatan garis bidik pada garis pembagian rambu
ukur. Perputaran plat planparalel ini dapat dibaca pada tromol, untuk
mendapatkan bacaan rambu sampai 1/100 mm.
Pada pengukuran sipat datar teliti, bacaan rambu tidak boleh
terlalu rendah minimal 0,5 m di atas permukaan tanah. Rambu harus
diberi sepatu dan berdiri tegak dengan statip dan nivo rambu. (Gambar
9.7 dan Gambar 9.16).
5.6. PERATAAN BEDA TINGGI UKURAN SIPAT DATAR
Apabila pengukuran beda tinggi pada satu slag diukur pergi-
pulang atau dua kali, akan didapat beda tinggi pergi (hpg) dan beda
tinggi pulang (hpl) yang besarnya tidak selalu sama. Beda tinggi
definitifnya adalah rata-rata dari hpg dan hpl atau secara
matematis :
hrata-rata atau (hr) = ..........................(9.3)
Pada pengukuran sipat datar berantai, pengukuran setiap seksi
juga dilakukan pergi dan pulang, sehingga pada umumnya tidak
menghasilkan angka beda tinggi yang sama. Selisih dari padanya serta
jarak antaranya, akan menentukan apakah ukuran beda tinggi tersebut
diterima atau tidak. Angka atau besaran yang menyatakan bahwa beda
pengukuran pergi dan pulang suatu ukuran diterima atau tidak diterima
dinamakan toleransi. Apabila selisih pengukuran pergi dan pulang
lebih kecil atau sama dengan (≤) toleransi, maka pengukuran tersebut
diterma. Sebaliknya apabila lebih besar (>) dari toleransi, akan
ditolak atau tidak diterima, yang berarti pengukuran harus diulangi
lagi. Besar toleransi ini ditentukan oleh tingkat pengukuran sipat
datar pergi – pulang. (9.8).
88
Ilmu Ukur Tanah
Apabila pengukuran pergi-pulang lebih kecil (<) dari toleransi
(diterima), maka beda tinggi definitif antara keduanya adalah rata-
rata antara beda tinggi pergi dan pulang, sebagaimana Rumus 9.3 di
atas. Selisih hpg atau hpl dikoreksi sebanding dengan jarak-
jaraknya, atau :
.............................................(9.4)
di sini :
hi : koreksi beda tinggi slag ke i
di : jarak slag ke i
d : jumlah jarak dalam seksi
fh : kesalahan atau penyimpangan pengukuran.
Apabila pengukuran terdiri dari beberapa seksi dan berbentuk
tertutup (loop/sircuit), maka persyaratan untuk setiap seksi sendiri
harus ≤ toleransi, demikian pula untuk syarat pengukuran tertutup
juga harus ≤ toleransi. Untuk pengukuran yang berbentuk tertutup,
selian syarat di atas, juga ada syarat lain yaitu jumlah beda tinggi
rata-rata loop seksi harus sama dengan nol, atau:
hRS = 0(9.5)
Apabila tidak sama dengan nol, maka besaran tersebut dinamakan
kesalahan penutup beda tinggi atau fH. Apabila harga fH ini ≤
toleransi, maka pengukuran diterima, dan untuk memenuhi syarat (9.5)
maka beda tinggi rata-rata setiap seksi dikoreksi sebesar :
.............................................(9.6)
di sini :
Hi : koreksi beda tinggi slag ke I
Di : jarak slag ke i (jarak rata-rata pergi-pulang)
D : jumlah jarak pengukuran tertutup.
fH : kesalahan penutup tinggi.
89
Ilmu Ukur Tanah
Koreksi setiap seksi yang didapat digunakan untuk mengoreksi
setiap slag sebagaimana Rumus 9.4 di atas. Apabila bentuk
pengukurannya berupa jaring-jaring dengan berbagai distribusi titik
ikat, maka perataannya menggunakan ilmu hitung perataan (kuadrat
terkecil) maupun metode lain di luar buku ini.
5.7. SUMBER KESALAHAN DAN CARA MENGATASI
Walaupun sebelum pengukuran peralatan telah dikoreksi dan
syarat-syarat lain telah dipenuhi, namun karena hal-hal yang tak
terduga sebelumnya, kesalahan-kesalahan yang lain tetap dapat
terjadi, yang menurut sumbernya adalah sebagai berikut :
1. Bersumber dari alat ukur, antara lain :
a. Garis bidik tidka sejajar garis arah nivo
b. Kesalahan titik nol rambu
c. Rambu tidak betul-betul vertical
d. Penyinaran pada alat tidak merata
2. Bersumber dari sisi pengukur, antara lain :
a. Kurang paham tentang pembacaan rambu
b. Mata cacat atau lelah
c. Kondisi fisik yang lemah
d. Pendengaran yang kurang
3. Bersumber dari alam, antara lain :
a. Kelengkungan permukaan bumi
b. Refraksi sinar
c. Undulasi
d. Kondisi tanah tidak stabil
Setiap kesalahan di atas perlu dikaji agar kita dapat menemukan
cara menghindarinya.
5.7.1. Kesalahan Garis Bidik Tidak Sejajar Haris Arah Nivo
Akibat kesalahan ini, garis bidik akan menjadi miring: pada
pengukuran.
90
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 9.13. Kesalahan garis bidik tidak sejajar garis arah nivo
Satu slag pembacaan rambu belakang yang seharusnya terbaca ao
menjadi a1, demikian pula pembacaan rambu muka yang seharusnya ao
menjadi b1.
Akibatnya, beda tinggi antara A dan B (hAB) yang seharusnya (ao
- bo) menjadi (a1 – b1). Pergeseran angka pembacaan rambu garis bidik
ke belakang = a1 – a0, dan untuk rambu muka = b1 – b0. Karena sudut
kemiringan garis bidik ke belakang dank e muka sama besar a1 – a0 akan
sama dengan b1 – b0 akan sama dengan b1 – b0 apabila jarak alat ukur
ke rambu belakang sama dengan jarak alat ukur ke rambu muka. Dengna
kata lain, pengaruh garis bidik yang tidak sejajar dengan garis arah
nivo akan hilang dengan cara membuat jarak alat ukur ke rambu muka
sama dengan jarak alat ukur ke rambu belakang.
Pada pengukuran sipat datar berantai yang merupakan gabungan
dari berapa slag, ketentuan ini juga berlaku atau jumlah jarak ke
rambu belakang sama dengan jumlah jarak ke rambu muka. Artinya, tidak
harus jarak sumbu muka sama dengan jarak ke rambu belakang pada
setiap slag. Cara yang terakhir ini tidak berlaku apabila titik-titik
akan dihitung pula ketinggiannya.
9.7.2. Kesalahan Titik Nol Rambu
Kesalahan ini bias terjadi dari pabrik, namun bias pula terjadi
karena alas rambu yang aus dimakan usia atau sebab yang lain. Missal
kedua rambu yang dipakai dalam pengukuran keduanya salah, masing-
91
Ilmu Ukur Tanah
masing sebesar 2 bertanda positif (missal karena kesalahan dari
pabrik). Akan kita lihat pengaruhnya pada pengukuran berantai, di
mana pada pengukuran berantai biasanya kedudukan rambu akan dibuat
berselang-seling, dari rambu muka pada slag sebelumnya menjadi rambu
belakang pada slag berikutnya, demikian pula sebaliknya.
Pada gambar di bawah, beda tinggi pada slag pertama :
Beda tinggi yang sebenarnya antara 1 dan 2 = h12 = a0 – b0’
Dari pembacaan rambu : h12 = (a0 + 1) - (a0 + 2)
= (a0 + b0) - (1 + 2)
Gambar 9.14. Pengaruh kesalahan titik nol rambu
Beda tinggi antara titik 2 dan 3 :
h23 sebenarnya = c0 – d0
h23 dari pembacaan =c – d
= (c0 - 2) - (c0 - 1)
= (c0 – d0) - (1 - 2)
Beda tinggi (h) antara titik 1 dan 3 = h12 + h23
h13 yang sebenarnya = (a0 – b0) - (c0 - d1)
h13 dari pembacaan rambu = (a0 – b0) - (1 - 2) + (c0 – d0) -
(1 - 2)
= (a0 – b0) - (c0 – d0)
Beda tinggi antara titik 3 dan 4 (h34) :
h34 yang sebenarnya = e0 – f0
h34 dari pembacaan rambu = e – f
= (e0 + 1) – (d0 - 2)
= (e0 + f0) – (0 - 2)
92
Ilmu Ukur Tanah
Beda tinggi antara titik 1 dan 4 (h14) :
h14 yang sebenarnya = h12 + h23 + h34
h14 dari pembacaan rambu = (a0 – b0) + (c0 – d0) + (e0 –
f0)
(1 – 2)
Dengan demikian akan terlihat bahwa untuk beda tinggi satu slag
akan muncul + (1 – 2), untuk dua slag tidak muncul, tiga slag muncul
lagi dan untuk empat slag tidak muncul lagi, demikian seterusnya,
kalau ganjil muncul dan kalau genap tidak muncul. Kesimpulannya,
titik nol rambu pengaruhnya akan hilang apabila jumlah slag dibuat
genap.
5.7.3. Kesalahan Karena Rambu yang Tidak Betul-Betul Vertikal
Misal rambu kesatu dengan kemiringan 1, rambu kedua dengan
kemiringan 2, dan pembacaan pada masing-masing rambu a dan b. Pada
rambu vertikal akan terbaca.
Gambar 9.15. Kesalahan karena rambu tidak vertical
ao = ...............................(9.7)
sehingga beda tinggi antara titik 1 dan 2 yang benar : .
ao-bo =
93
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 9.16. Nivo rambu dan alas rambu
5.7.4. Kesalahan Karena Penyinaran yang Tidak Merata
Sinar matahari yang jatuh tidak merata pada alat ukur sipat
datar akan menyebabkan panas dan pemuaian pada alat penyipat datar
yang tidak merata pula, khususnya nivo teropong, sehingga pada saat
gelembung seimbang, garis arah nivo tidak mendatar dan garis bidik
juga tidak mendatar. Untuk menghindari keadaan semacam ini sebaiknya
alat ukur dipayungi agar tidak langsung terkena sinar matahari.
9.7.5. Kesalahan Karena Kurang Paham Tentang Pembacaan Rambu
Sebelum pengukuran dilakukan, seharusnya para surveyor sudah
betul-betul paham terhadap sisitem pembacaan rambu agar kesalahan
jenis ini tidak terjadi Kesalahan ini biasanya akan menimbulkan
blunder atau kesalahan besar. Missal angka 6 dibaca 9, kolom ke-7
pada rambu dikira kolom ke-2, sehingga missal 1273 dibaca 1223.
Untuk menghindari kesalahan ini, pembacaan dikontrol dengan
pembacaan benang atas (BA) dan benang bawah (BB) di mana BT – ½ (BA
+BB).
5.7.6. Kesalahan Karena Mata Catat Atau Lelah
Apabila pengamat mempunyai cacat mata (minus atau plus), pada
saat mengamati melalui teropong seharusnya pengamat menggunkan
kecamatan yang sesuai sehingga tidak timbul kesalahan pembacaan.
94
Ilmu Ukur Tanah
Pada umumnya pengamat senang menggunakan satu mata pada saat
mengamati dan mata yang lain dipicingkan. Akibatnya, lama-kelamaan
mata akan menjadi lelah sehinggadaya penglihatannya menjadi
berkurang. Demikian pula, perkiraan pembacaannya menjadi kasar.
Untuk menghindari kesalahan ini sebaiknya mata yang cacat
menggunakan kacamatan dan pengamatan dilakukan dengan mata secara
bergantian. Mata yang sedang tidak digunakan untuk membidik tidak
perlu dipejamkan atau dipicingkan.
5.7.7. Kesalahan Karena Kondisi Fisik yang Lemah
Apabila pengamat kondisi fisiknya melemah, daya pemisah dari
mata dalam membaca rambu juga akan menjadi kasar atau kurang teliti.
Hal ini biasanya terjadi karena lapar atau haus serta menurunnya
kesehatan pengamat. Untuk menghindari keadaan yang demikian, survetor
perlu istirahat di tengah hari, maka teratur dan selalu menjaga
kondisi tubuh.
5.7.8. Kesalahan Karena Pendengaran yang berkurang
Pada pengukuran yang dilakukan oleh dua orang di mana seorang
sebagai pengamat dan seorang yang lain sebagai pencatat atau
rekorder, pengamat harus membaca rambu dan didengarkan oleh si
pencatat data. Apabila pendengaran pencatat kurang baik, bias terjadi
yang diucapkan oleh pengamat akan laindengan didengar oleh pencatat,
missal satu lima satu lima terdengar satu tiga satu tiga.
5.7.9. Kesalahan Karena Kelengkungan Permukaan Bumi
Pada awal bab ini telah dikemukakan bahwa bidang nivo adalah
bidang lengkung seperti halnya permukaan bumi, sedang garis bidik
adalah mendatar.
Pada Gambar 5.17, alat ukur di A dan berdiri vertical, demikian
pula rambu di B. Garis CA dan EB tegak lurus permukaan bumi kea rah
pusat bumi P. Garis CD adalah bidang nivo yang melalui C dan memotong
95
Ilmu Ukur Tanah
rambu di D. Garis CE mendatar melalui teropong memonotng rambu di E.
Jarak ED = kesalahan karena kelengkungan permukaan bumi. Karena
tinggi alat dan tinggi pembacaan rambu sangat kecil bila dibandingkan
dengna jari-jari bumi rata-rata (6.378 km), maka jarak CP dan DP kita
namakan R = ½ (RA + RB). Dalam ECP siku-siku di C, terdapat hubungan
:
EP2 = CP2 + CE2
Atau
(ED + DP)2 = CP2 + CE2
Atau
( + R)2 = R2 + s2 2 + 2R + R2 = R2 + s2
Karena 2 kecil dan diabaikan, maka :
....................................................(9.8)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa pengaruh kelengkungan
permukaan bumi sebanding dengan kuadrat jarak dua titik yang
bersangkutan. Hubungan antara s dan kira-kira sebagai berikut :
s : 50 m 100 m 200 m 500 m 1 km
10 km
: 0,2 mm 0,78 mm 3,1 mm 1,96 cm 7,85 cm
7,85 m
Gambar 5.17. Kesalahan Karena kelengkungan permukaan bumi dan
refraksi
96
Ilmu Ukur Tanah
Karena jarak bidik optimum teropong penyipat datar kurang dari
100 m, maka pengaruh kesalahan untuk pengukuran yang tidak teliti
sekali dapat diabaikan dan pengaruh kesalahan ini dapat dihilangkan
dengan membuat jarak rambu muka sama dengan jarak rambu belakang.
5.7.10. Kesalahan Karena Refraksi Sinar
Permukaan bumi diselimuti dengan lapisan-lapisan udara yang
ketebalannya tidak sama karena suhu dan tekanan yang tidak sama. Hal
ini akan mengakibatkan sinar yang sammpai pada teropong dari obyek
yang dibidik akan menjadi melengkung ke atas sehingga yang terbaca
menjadi terlalu besar. Oleh karenanya koreksi menjadi minus. Bentuk
koreksinya adalah :
.................................................(9.9)
Di sini = koefisien rekraksi, dapat diambil rata-rata 0,14.
Umumnya kesalahan refraksi digabungkan dengan kelengkungan bumi
menjadi :
= - (1 - ) ......................................(9.10)
di sini :
s : jarak alat ukur ke rambu
: koefisien refreakssi
R : jari-jari bumi rata-rata
P : koreksi kelengkungan bumi dan refraksi
Hubungan besaran kesalahan kombinasi antara kelengkungan bumi
dan refraksi dengan jarak alat ukur ke rambu dapat dituliskan sebagai
berikut :
s : 10 m 20 m 30 m 40 m 50 m 60 m 70 m
80 m
p : 0,02 mm 0,07 mm 0,15 mm 0,27 mm 0,42 mm
0,60 m m 0,81 mm 1,00 mm
97
Ilmu Ukur Tanah
5.7.11. Kesalahan Karena Undulasi
Pada tengah hari yang panas antara pukul 11 sampai pukul 14
sering terjadi undulasi, yaitu udara di permukaan bumi yang bergerak
naik karena panas (fatamorgana). Jika rambu ukur didirikan di tempat
yang demikian, maka apabila dibidik dengan teropong akan kelihatan
seolah-olah rambu tersebut bergerak – bergelombang, sehingga sukar
sekali untuk menentukan angka mana yang berimpit dengan garis bidik
atau benang silang. Sehingga apabila terjadi undulasi sebaiknya
pengukuran dihentikan.
5.7.12. Kesalahan Karena Kondisi Tanah Tidak Stabil
Akibat kondisi tanah tempat berdiri alat atau rambu tidak
stabil, maka setelah pembidikan ke rambu belakang, pengamat pindah
posisi untuk mengamat ke rambut muka ketinggian alat atau statip akan
mengalami perubahan sehingga beda tinggi yang didapat akan mengalami
kesalahan.
Apabila kondisi semacam ini di tempat berdiri rambu, maka pada
saat rambu dibalik dari rambu muka menjadi rambu belakang akan
mengalami pula perubahan ketinggian.
Adapun cara menghindari kesalahan ini yaitu dengan memilih
tempat berdiri alat dan rambu yang betul-betul stabil dan rambu
diberi alas atau sepatu rambu.
5.8. TINGKAT KETELITIAN PENGUKURAN SIPAT DATAR
Ketelitian pengukuran sipat datar dapat ditentukan berdasarkan
suatu bilangan yang menyatakan besarnya kesalahan menengah untuk
setiap kilometer sipat datar tunggal, yang dinyatakan dengan rumus :
98
Ilmu Ukur Tanah
= ............................................(9.11)
di sini : : kesalahan menengah tiap km sipat datar
h : selisih beda tinggi pengukuran pergi – pulang
n : jumlah seksi
D : panjang / jarak seksi dalam km
Kesalahan menengah dapat dihitung dari :
a. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap seksi
b. Selisih antara pengukuran pergi-pulang tiap trayek
c. Kesalahan penutup dari sipat datar keliling
Kesalahan menengah pukul rata pengukuran pergi-pulang
dinyatakan dengan rumus :
m = ................................................(9.12)
untuk sipat datar tingkat pertama m harus <1 mm, dan untuk
tingkat yang lain antara 1 – 3 mm. berdasarkan batas toleransi
kesalahan menengah pengukuran pergi-pulang dinyatakan dengan rumus :
ms = ..............................................(9.13)
berdasarkan statistika toleransi yang diperbolehkan untuk
pengukuran pergi-pulang adalah 3 ms sehingga dari pernyataan tersebut
di atas, tingkat ketelitian pengukuran sipat datar pergi-pulang dapat
dibagi menjadi 5 tingkatan, yaitu :
1. Pengukuran sipat datar tingkat 0 (Zero Order Levelling), yaitu
pengukuran sipat dapat pergi-pulang dimana selisih beda tinggi
antara pengukuran pergi-pulang 2 mm (D = jarak dalam km)
2. Pengukuran sipat datar tingkat I (1st order leveling) yaitu pengukuran
sipat datar pegi-pulang dimana selisih beda tinggi antara
pengukuran pergi – pulang 8 mm (D = jarak dalam km).
3. Pengukuran sipat datar tingkat II (2nd order leveling) yaitu
pengukuran sipat datar pergi-pulang dimana selisih beda tinggi
antara pengukuran pergi-pulang 8 mm
99
Ilmu Ukur Tanah
4. Pengukuran sipat datar tingkat III (3rd order leveling) yaitu
pengukurang sipat datar pergi-pulang dimana selisih beda tinggi
antara pengukuran pergi-pulang 12 mm .
5. Pengukuran sipat datar tingkat yang lebih rendah dari 12 mm
Apabila tingkat ketelitian pengukuran sipat datar telah memenuhi
syarat yang ditentukan, maka besarnya kesalahan penutup beda
tinggi diratakan pada setiap slag atau seksi sebanding dengan
jarak-jaraknya.
5.11. PENGUKURAN SIPAT DATAR PROFIL
Pada pekerjaan-pekerjaan rekayasa seperti perencanaan jalan
raya, jalan kereta api, saluran irigasi, lapangan udara dll, sangat
dibutuhkan bentuk profil atau tampak pada arah tertentu untuk
perencanaan kemiringan sumbu proyek, maupun hitungan volume galian
atau timbunan tanah dan lain-lain.
Pengukuran profil umumnya dibedakan atas profil memanjang searah
dengan sumbu proyek dan profil melintang dengan arah memotong
tegaklurus sumbu proyek pada interval jarak yang tertentu.
Karena profil memanjang variable jarak biasanya lebih besar dari
variable tinggi, maka dalam penggambaran, skala jarak lebih kecil
dari skala tinggi, pada umumnya spersepuluhnya (1/10). Sedangkan untuk
gambar profil melintang umumnya skala jarak dan tinggi dibuat sama,
namun jumlah gambarnya biasanya jauh lebih banyak.
Profil memanjang diukur dengan sipat datar memanjang, sedang
profil melintangnya dibuat untuk menentukan tinggi titik-titik detil
dengan pertolongan tinggi garis bidik. Tinggi garis bidik di titk A
adalah tinggi titik tersebut terhadap bidang nivo ditambah dengan
pembacaan benang tengah pada rambu ukur yang didirikan pada titik
detil tersebut. Tinggi titik-titik detil lainnya adalah tinggi garis
100
Ilmu Ukur Tanah
bidik pada titik A dikurangi dengan pembacaan rambu pada titik-titik
yang bersangkutan.
Tinggi garsi bidik pada titik A adalah : HA + ha
Tinggi titik B : HB = (HA + Ha) - hb
Tinggi titik I : HI = (HA + ha) – h1 bila ha = tinggi alat ukur
Prinsip hitungan sipat datar profil memanjang dan melintang sama
dengan sipat datar memanjang. Akan tetapi profil memanjang dan
melintang sama dengan sipat datar memanjang. Akan tetapi dalam
pengukuran profil, detil-detil yang diukur dipilih sedemikian hingga
dapt mewakili bentuk permukaan tanah yang diukur. Hanya pada profil
memanjang, kadang-kadang interval jarak antar detil sudah ditentukan
sebelumnya, missal setiap 10 m, 25 m, 50 m dan yang lain, tergantung
macam proyeknya. Dengan diketahuinya ketinggian titik awal terhadap
bidang referensi tertentu, maka ketinggian titik-titik yang lain
dapat dicari. Jarak titik-titik detil pada profil memanjang biasanya
diukur langsung dengan pita ukur dan titik-titiknya (stadium) telah
diberi identitas berupa patok kayu beserta nomor-nomornya.
Gambar 5.20. Pengukuran tinggi titik detil dengan pertolongan garis
bidik
5.11.1. Pengukuran profil memanjang
Missal dari A ke B akan diukur profil memanjang untuk setiap
interval 10 m yaitu titik 1,2,3, …. n, B, dan pada setiap titik
tersebut akan diukur pula profil melintangnya, seperti pada gambar
9.21.
101
Ilmu Ukur Tanah
Apabila permukaan tanah titik begitu besar beda tingginya, maka
alat pertama kali berdiri bias berada di antara titik 3 dan 4 sebagai
rambut awal (belakang) di A dan rambu muka di titik 6, sedang titik
1,2,3,4,5 diukur sebagai detil dalam slag pertama. Pada slag kedua,
rambu di titik 6 sebagai rambu belakang dan rambu muka di titik 12,
titi 7,8,9,10,11 sebagai detil. Namun apabila beda tingginya besar,
mungkin satu slag malah hanya antara dua nomor titik yang berurutan.
Gambar 9.21. Pengukuran profil memanjang
Rambu dibaca secara lengkap, artinya dibaca ketiga benangnya
yaitu BA, BT dan BB nya dan dicatat dalam formulir ukur yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
Missal tinggi titik A = 100 m
hA1 = btA-bt1 H1 = 100 + hA1
hA2 = btA-bt2 H2 = 100 + hA2
hA3 = btA-bt3 H3 = 100 + hA3
- - - - - -
- - - - - -
- - - - - -
hA6 = btA-bt6 H6 = 100 + hA6
Penggambaran profil memanjang :
Setelah data pengukuran dioalah (dihitung) dan ketinggian semua
titik stasiun telah diketahui di atas bidang referensi serta jarak-
jaraknya, maka profil memanjang dapat digambarkan. Bidang referensi
terdekat yang dijadikan dasar penggambaran semua titik ditentukan
dahulu, kemudian digambar di atas keras millimeter. Posisi mendatar
(sumbu X) untuk jarak horizontal antar titik dengan skala yang telah
ditentukan (missal 1:1000) dan kearah tegak (sumbu Y) untuk
ketinggian dengan skala yang 10x skala horizontal (missal 1:100).
102
Ilmu Ukur Tanah
Kemudian dari gambar ketinggian titik-titik tersebut dihubungkan
secar aberurutan sehingg amembentuk garis profil memanjang.
Di bawah garis referensi biasanya dibuat kolom-kolom tertentu
yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam perhitungan selanjutnya,
seperti contoh pada gambar 9.22 dibawah. Dalam gambar profil inilah
kemudian ditentukan ketinggian dan kemiringan sumbu proyek, sehingga
dapat dihitung selisih tinggk antara permukaan tanah asli dan sumbu
proyek di setiap titik stasiun yang merupakan dalamnya penggalian
atau tinggi penimbunan di titik-titik tersebut.
Contoh gambar profil memanjang seperti pada halanan berikut ini
Gambar 5.22. Profil memanjang (dari data pada halaman 192)
5.11.2. Pengukuran Profil Melintang
Arah profil melintang di setiap stasiun umumnya diambil tegak
lurus terhadap sumbu proyek, sebagai dasar ketinggian di setiap
profil adalah titik-titik stasiun yang telah diukur dari profil
memanjang. Lebar profil tergantung dari kebutuhan dan tujuan proyek,
missal 25 m arah kanan kiri dari sumbu proyek. Pengukuran detilnya
dilakukan seperti pada pengukuran profil memanjang dan sebagai detil
dipilih titik-titik yang dapat mewakili topografi setempat.
Pada daerah yang relative datar, satu profil melintang mungkin
dengan satu kali kedudukan alat. Namun pada daerah yang mempunai
topografi curam atau bergelombang tidak cukup dengan sekali berdiri
alat, mungkin dua kali atau lebih adapun cara hitungan dan
penggambarannya pada prinsipnya sama dengan pengambaran profil
memanjang, hanya skala jarak dan tinggi di sini biasanya diambil
sama.
103
Ilmu Ukur Tanah
Di atas gambar profil inilah digambarkan tampang atau irisan
dari rencana proyek dan luasan yang terjadi antara permukaan tanah
asli dengan tampang proyek merupakan luas tampang galian atau
timbunan yang diperlukan atau dibuang dengan mengkombinasikan antara
tampang memanjang dan melintang maka volume dari tubuh tanah yang
ditimbun atau digali dapat dihitung.
Gambar 5.23. Pengukuran profil melintang
Gambar 5.24. Gambar profil melintang
104
Ilmu Ukur Tanah
6. PENGUKURAN DETIL
......Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang
besifat alamiah seperti sungai, lembah, bukit, alur, stasiun,
selokan, dan batas-batas pemilikan tanah yang aka dijadikan isi dari
peta yang akan dibuat.
.....Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam
pemetaan sangat tergantung dari skala dan tujuan peta itu dibuat.
Misal untuk peta kadaster atau pendaftaran hak atas tanah, yang
diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan tanah, sedang beda
tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedangkan untuk peta
teknik, yang diperlukan adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah
serta hasil budaya manusia yang konkrit ada di lapangan.
. Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-
titik kerangka pemetaan yang terdekat yang telah diukur sebelumnya,
atau mungkin juga ditentukan dari garis ukur, yang merupakan sisi-
sisi dari kerangka peta ataupun garis yang dibuat khusus untuk itu.
... .Ada beberapa metode atau cara pengukuran (penentuan posisi)
titik detik antara lain :
A. Metode offset
Metode ini dapat dibagi menjadi :
1. Metode siku-siku atau koordinat ortogonal, hanya menentukan posisi
planimetris (x,y).
2. Metode mengikat, hanya menentukan posisi planimetris (x,y), dibagi
menjadi :
a. Mengikat sembarang
b. Perpanjangan sisi
c. Trilaterasi sederhana
Metode-metode tersebut di atas telah dijelaskan pada Bab 5 dan
penggambaran posisi atau plottingnya dilakukan secara grafis.
105
Ilmu Ukur Tanah
B. Metode polar atau koordinat kutub
. Metode ini mengukur posisi tiga dimensi (x, y, z). pada metode
ini posisi detil ditentukan dengan komponen azimuth (sudut arah),
jarak, dan beda tinggi dari titik ikat. Karena detil yang diukur
banyak, pengukuran dilakukan dengan teknik yang cepat, yang disebut
takhimetri (tachymetry, tacheo = cepat, metri = pengukuran). Di sini
azimut/sudut diukur dengan alat BTM atau teodolit, jarak diukur
secara optis, dan beda tinggi diukur secara trigonometric. Metode ini
dibagi menjadi :
1. Pengukuran dengan azimut
2. Pengukuran dengan sudut
C. Metode Pemotongan (ke muka)
... .Pada metode ini, jika selain pembacaan lingkaran horizontal
dibaca pula sudut miringnya, maka posisi titik yang dibidik dapat
ditentukan dalam tiga dimensi (x, y, z).
6.1. METODE KOORDINAT KUTUB
Metode ini memerlukan peralatan pengukuran sudut di lapangan
seperti teodolit atau BTM serta rambu ukur. Cara ini juga disebut
takhimetri, di mana jarak detil ditentukan dengan cara optis, beda
tinggi ditentukan dengan bacaan sudut vertical atau sudut miring dan
arah ditentukan dengan sudut horizontal dari sisi polygon tertentu
(arah).
6.1.1. Penentuan Arah dengan Azimut
Cara ini menggunakan peralatan yang dapat menunjukkan azimut-
kompas seperti BTM, To atau teodolit offset boussole. Pada detil yang
akan ditentukan posisinya didirikan rambu ukur, kemudian arah bidikan
atau azimut dibaca pada kompas dan pada rambu dibaca BA, BT, BB serta
sudut kemiringan teropongnya.
106
Ilmu Ukur Tanah
Pada gambar, P adalah titik poligon sebagai kerangka peta,
sedangkan a, b, c, d adalah titik-titik detil. Azimut a, b, c, d
dibaca pada alat BTM atau teodolit kompas, masing-masing a, b, c,
d,. Jarak ditentukan secara optis dan beda tinggi dihitung dari
pembacaan sudut miring (h) dengan rumus :
Gambar 10.1 Cara koordinat kutub dengan azimut
Jarak mendatar (D) = A.S. cos2 h
Naik / turun (V) = ½ A.S. sin 2 h......................(10.1)
Beda tinggi (h) = t V – BT
Dalam hal ini :
A : Konstante pengali teropong (umumnya = 100)
S : selisih bacaan benang atas (BA) dan benang bawah (BB).
h : bacaan sudut miring teropong.
t : tinggi alat ukur.
Posisi titik detil dihitung dengan rumus :
Xa = Xp + dPa sin Pa
Ya = Yp + dPa cos Pa......................................(10.2)
Za = Zp + hPa
Dalam hal ini :
a : titik detil
P : titik poligon yang telah diketahui koordinatnya
Pa : azimut sisi Pa
Pengambilan detil dipilih dari titik poligon yang terdekat dan
mudah. Sket dari detil lapangan perlu dibuat agar penggambarannya
menjadi lebih mudah.
Untuk pencatatan data ukuran dibuat formulir takhimetri atau
buku ukur seperti contoh di halaman akhir bab ini. Pada cara ini
107
Ilmu Ukur Tanah
posisi titik detil (x,y,z) dapat pula dihitung, dapat pula
digambarkan segara grafis.
10.1.2. Penentu Arah dengan Sudut
Cara ini paling banyak digunakan dalam pemetaan topografi atau
peta teknis. Pada prinsipnya sama dengan cara di atas, tetapi karena
di sini alat tidak ada kompas atau boussolenya, maka arah detil
ditentukan dengan menambahkan atau mengurangkan azimut sisi poligon
yang diacu dengan sudut mendatar antara sisi poligon dan detil yang
diukur (i), yang diperoleh dari selisih bacaan lingkaran horizontal
ke titik acuan (poligon) dan ke titik detil. Oleh karena pada setiap
kedudukan alat ukur, sebelum membidik titik-titik detil terlebih
dahulu membidik salah satu titik poligon di muka atau belakangnya
sebagai dasar acuan untuk menghitung sudut horizontal antara arah
titik detil dan arah sisi poligon (i), sekaligus untuk menentukan
azimut titik detil tersebut (Aa = AB a), karena azimut sisi
poligon (AB) telah diketahui dari perhitungan kerangka peta.
Gambar 10.2. Cara Koordinat Kutub dengan sudut
Sedangkan jarak datar dan beda tingginya diperoleh dari bacaan
rambu dan sudut miring (takhimetri) sebagaiaman rumus 10.1. di atas.
Data ukuran detil dicatat dan dibuatkan sketnya dalam formulir atau
buku ukur agar sistematis dan tidak bercerai berai. Contoh formulir
ukur dapat dilihat pada bagian akhir bab ini.
108
Ilmu Ukur Tanah
Alat ukur (teodolit) yang digunakan untuk pengukuran detil
umumnya memiliki tingkat ketelitian yang rendah, tidak seteliti yang
digunakan untuk pengukuran kerangka peta (poligon).
102. METODE PEMOTONGAN KE MUKA
Apabila karena sesatu hal orang tidak dapat mendatangi detil
yang akan ditentukan posisinya untuk menempatkan rambu, dari tempat
berdiri alat hanya bisa dibidik arah dan sudut miringnya saja. Oleh
karenanya diperlukan pengukuran dari dua tempat berdiri alat yang
telah diketahui posisinya (titik poligon). Cara ini merupakan cara
pemotongan ke muka.
Pada gambar 10.3, titik-titik detil a, b, c, d tak dapat
didatangi. Namun karena identitasnya jelas dan bisa dibidik dari
titik poligon P dan Q, maka dari titik P dan Q sudut arah atau
azimuth dan sudut miring titik-titik tersebut dapat diukur, sehingga
titik detil tersebut nantinya dapat digambarkan (secar grafis) dengan
cara melukis segitiga yang diketahui basis atau sisi alas dan kedua
sudut alasnya (dua dimensi) atau dihitung posisinya menggunakan rumus
segitiga (tiga dimensi. Meski demikian cara ini kurang praktis,
sehingga sebisa mungkin dihindari agar proses pemetaan bisa berjalan
cepat.
Gambar 10.3. Penentuan posisi detil dengan cara pemotongan ke muka
10.2. REDUKSI TAKHIMETRI
109
Ilmu Ukur Tanah
Pada metode takhimetri, jarak titik detil diukur dengan cara
optis metode stadia dan beda tinggi dihitung dengan rumus
trigonometric seperti pada rumus 6.1. muka. Oleh karena itu,
penentuan posisi titik detil dengan metode ini memerlukan perhitungan
dengan waktu yang agak lama, terlebih – lebih apabial daerah yang
dipetakan cukup luas dan topografinya bervariasi. Untuk mempercepat
perhitungan jarak dan beda tinggi antara titik ikat dan titik detil,
telah dibuat beberapa alat ukur teodolit tipe khusus, yang dapat
menghitung langsung jarak datar dan beda tinggi antara titik stasiun
berdiri alat dan titik detil, dengan hanya membaca rambu dengan sistem
reduksi takhimetri.
Walaupun tujuannya sama, yaitu untuk mendapatkan jarak datar dan
beda tinggi secara langsung, namun setiap pabrik menggunakan system
pemecahan berbeda-beda, sebagaimana telah dibahas dalam Bab 6 di
muka. Dengan alat ukur yang menggunakan sistem tersebut, pelaksanaan
pemetaan akan menjadi lebih cepat. Berikut ini adalah contoh formulir
pengukuran poligon dan contoh formulir pengukuran poligon dan
detil/situasi.
110
Ilmu Ukur Tanah
7. PLOTTING (PENGGAMBARAN)
Agar pengukuran dapat diwujudkan dalam bentuk peta, setelah
semua data lapangan dihitung, meliputi perhitungan koordinat (X,Y),
titik-titik kerangka pemetaan (poligon), perhitungan ketinggian
titik-titik poligon dari pengukuran sipat datar (Z), sudut arah dan
jarak titik-titik detil serta ketinggiannya (takhimetri), langkah
selanjutnya adalah plotting atau penggambaran. Adapun garis besar
langkah-langkahnya adalah :
1. Plotting titik-titik kerangka pemetaan (X,Y,Z) dengan skala yang
telah ditentukan
2. Ploting detil (X,Y,Z) atau grafis
3. Penarikan garis-garis kontur
4. Editing
7.1. PLOTTING TITIK-TITIK KERANGKA PEMETAAN
Apabila plotting akan dilakukan pada kertas gambar polos, maka
terlebih dahulu dibuat jala-jala grid setiap 10 cm pada kertas gambar
sehingga seluruh permukaan kertas gambar terpenuhi jala-jala grid.
Agar posisi gambar terletak simetris (di tengah) kertas plot, angka
absis dan ordinat maksimum dan minimumnya harus diketahui dan
kemudian daripadanya dicari panjang gambar pada arah sumbu X dan Y,
kemudian kita bagian dua. Posisi absis dan ordinat tengah kertas
gambar diberi angka sebesar :
Absis = Harga absis minimum + ½ panjang gambar pada sumbu X
Ordinat = Harga ordinat minimum + ½ panjang gambar pada arah
sumbu Y
Contoh :
Harga absis maksimum = + 500 m
Harga absis minimum = - 200 m
Maka :
Panjang gambar pada sumbu X = 500 m + 200 m = 700 m
Setengah panjang gambar = 350 m
111
Ilmu Ukur Tanah
Absis pada tengah kertas plot = -200 m + 350 m = + 150 m
Harga ordinat minimum = + 400 m
Harga ordinat maksimum = + 1000 m
Maka :
Panjang gambar pada arah sumbu Y = 1000 m – 400 m = 600 m
Setengah panjang gambar pada arah sumbu Y = 300 m
Absis pada tengah kertas plot = 400 m + 300 m = 700 m
Koordinat pusat kertas plot : X = 150 m dan Y = + 700 m
Selanjutnya posisi setiap titik poligon kita plot sesuai dengan
absis dan ordinatnya dan sesuai dengan skala yang telah ditentukan,
dengna mengunakan mistar skala, diukur dari titik jala grid yang
terdekat. Titik – titik hasil plot ini diberi identitas sesuai dengan
nomornya di lapangan dan angka ketinggiannya dituliskan di dekatnya,
atau apabila angka ketinggian tersebut ada komanya, missal 98,60 m,
maka titik plot sebagai koma dari angka ketinggian.
Contoh : 4
98.60 maksudnya titik poligon nonomt 4 tingginya 98,60
m.
7.2. PLOTTING DETIL
Plotting detil disesuaikan dengan cara perhitungan posisi detil
tersebut. Apabila posisi detil ditentukan secara numeris (X,Y,Z) maka
posisi planimetrisnya ditentukan dengan mengeplot koordinat (X,Y) dan
angka ketinggiannya dituliskan.
Apabila posisi detil akan ditentukan dengan cara grafis, alat
yang dipakai antara lain busur derajat, mistar skala atau transverscal,
jangka tusuk, dan pensil. Detil-dtil diplot dari titik kerangka
pemetaan (poligon) yang sesuai pada waktu pengukurannya di lapangan.
Sudut arah detil diukur pada kertas plot dengan busur derajat dengan
ketelitian 15’, jarak detil ditentukan dengan mistar skala atau
transverskal dan jangka tusuk, kemudian ketinggiannya dituliskan
112
Ilmu Ukur Tanah
sebagaimana pada plotting kerangka. Apabila arah detil berupa azimut,
maka di titik poligon dibuat arah utara sejajar dengan sumbu Y dari
jala grid dan angka nol busur derajat diimpitkan dengan arah utara
tersebut, azimuth detil tinggal diplot sesuai pembacaan alat ukur
pada busur derajat.
Apabila arah detil menggunakan sudut antara detil dan sisi
poligon, maka besar sudut tidak harus dihitung, tetapi dengan cara
mengimpitkan angka busur derajat yang sama dengan angka pembacaan ke
titik acuan dalam pengukuran di lapangan, kemudian arah detil juga
disamakan dengan pembacaan pada alat ukur di lapangan. Untuk ini
harus digunakan busur derajat yang berbentuk lingkaran penuh.
Demikianlah hingga semua detil diplot. Unuk detil yang berbentuk
bangunan, detil dihubungkan dari titik-titik yang sesuai, demikian
pula untuk bentuk-bentuk detil yang lain. Dalam melukis detil sangat
dibutuhkan sket lapangan agar tidak terjadi salah sambung antara
detil-detil yang seharusnya berhubungan dan yang tidak. Oleh
karenanya dalam formulir ukur diberi kolom sket agar para surveyor
dapat memberikan gambaran lapangan sejelas mungkin. Kesulita sering
timbul apabila sket lapangan kurang jelas dan yang memplot bukan si
pengukur.
11.3. PENARIKAN GARIS KONTUR
Gambar peta dari plotting detil di atas sebenarnya sudah
menunjukkan pengukuran tiga demensi, di mana dimensi tinggi
dinyatakan dengan angka-angka ketinggian. Namun demikian peta ini
masih terlihat acak-acakan dan kurang bisa menggambarkan bentuk
topografi yang sebenarnya. Bentuk penyajian unsure ketinggian yang
dapat menggambarkan topografi medan antara lain adalah garis kontur,
yaitu garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang sama tinggi.
Garis kontur mempunyai beberapa sifat antara lain :
- Tidak berpotongan
- Tidak bercabang
113
Ilmu Ukur Tanah
- Tidak bersilang
- Semakin jarang menunjukkan daerah semakin datar
- Semakin rapat menunjukkan daerah semakin curam
- Tidak berhenti di dalam peta.
Di sini ada istilah interval kontur, yaitu selisih tinggi antara
dua garis kontur yang berurutan. Besar interval kontur biasanya
tergantung dari kebutuhan atau tujuan peta tersebut dibuat, namun
pada umumnya adalah 1/2000 x skala peta (dalam meter). Missal skala
peta 1:1000, maka besar interval kontur = 1/2000 x 1000 m = 0,5 m.
Karena angka ketinggian detil bermacam-macam sedangkan angka
ketinggian garis kontur sudah tertentu, maka perlu dicari tempat-
tepmat yang mempunyai ketinggian yang sesuai dengan kelipatan
interval kontur dari titik-titik yang terdekat yang telah diketahui
angka ketinggiannya. Untuk itu dikenal beberapa metode penarikan
garis kontur antara lain :
1. Metode langsung
2. Metode tak langsung
a. Metode matematis atau interpolasi linier
b. Metode semi matematis
c. Metode grafis
11.3.1. Metode Langsung
Pada metode mangsung titik-titik yang sama tinggi ditentukan di
lapangan secara langsung. Untuk ini diperlukan alat penyipat datar
dan rambu ukur serta mungkin patok-patok yang cukup banyak jumlahnya.
114
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 11.1 Pembuatan garis kontur secara langsung
Misal pada gambar di atas ketinggian titik ikat adalah 94,070
m. alat ukur ditetakkan pada suatu tempat yang memiliki kapabilitas
pengukuran yang baik, kemudian bidik rambu pada titik ikat, missal
terbaca 1630 mm. berarti tinggi garis bidik adalah 95,700 m. apabila
ketinggian garis kontur yang kita butuhkan adalah 94,000 m, maka
garis bidik di titik detil yang tingginya 94,000 m harus terbaca 1700
mm. untuk itu orang yang memegang rambu harus maju atau mundur
sedemikian hingga si pengamat membaca rambu pada angka tersebut. Pada
titik berdiri rambu tersebut kemudian diberi tanda dengan patok,
bahwa tinggi di tempat tersebut adalah 94,000 m. demikian selanjutnya
untuk titi yang lain dengan tinggi yang sama, maupun untuk ketinggian
yang lain, sehingga seluruh daerah yang dipetakan terbentuk garis
konturnya. Posisi patok-patok ini kemudian diukur dengan alat
teodolit yang kemudian digambarkan pada kertas plot, kemudian
dirangkai dengan titik tinggi lainnya yang berharga sama.
Dari uraian di atas terlihat bahwa cara ini kurang praktis dan
akan membutuhkan banyak waktu di lapangan. Cara ini biasanya
dikerjakan hanya untuk pemetaan dengan alat planet table (Bab 16).
11.3.2. Metode Tidak Langsung
Pada metode tidak langsung, garis kontur digambar atas dasar
ketinggian detil-detil hasil plotting yang tidak merupakan kelipatan
dari interval kontur yang diperlukan, sehingga diperlukan penentuan
posisi (secara numeris/grafis) titik-titik yang mempunyai ketinggian
kelipatan dari interval kontur. Untuk itu ada beberapa cara atau
metode yang dapat dilakuan antara lain :
11.3.2.1. Metode Matematis
Cara ini juga disebut dengan interpolasi linier, maksudnya
interpolasi yang sebanding dengan jaraknya. Missal pada gambar di
bawah, titik A tingginya 90,70 m dan titik B tingginya 92,50m. jarak
115
Ilmu Ukur Tanah
antara keduanya dalam gambar 20 cm (AB’). Kita akan mencari posisi
titik (K) yang berketinggian 92, 00 m, yang pada gambar menjadi K’.
Gambar 11.2. Interpolasi Linier
Beda tinggi antara A dan B = 1,80 m, beda tinggi antara A dan K
= (92,00-90,70) m = 1,30 m, sehingga :
Jarak AK’ =
Perhitungan dengan cara ini memang sangat tepat, tetapi akan
memakan banyak waktu sehingga diperlukan alat bamboo hitung atau
kalkulator. Namun demikian, pada cara ini juga masih dibutuhkan
banyak kerja. Pada pemetaan secara otomatis di mana garis kontur
digambar menggunakan computer atau software, prinsip interpolasi
linier juga digunakan.
11.3.2.2. Metode Semi Matematis
Pada metode ini digunakan sepasang mistar segitiga yang padanya
ada angka pembagian sampai milimeter. Caranya adalah sebagai
berikut :
Misal pada kertas plot ketinggian titik A dan B masing-masing
91,20 m dan 98,70 m. hubungan A dan B dengna garis tipis. Garis 1,2
cm pada mistar pertama diimpitkan dengan titik A. selanjutnya mistar
kedua dipasang tegak lurus pada mistar pertama, dan tepi mistar kedua
tepat pada garis 8,7 cm. orientasikan kedua mistar dengan titik tumpu
garis 1,2 cm pada mistar pertama tetap pada titik A, sedemikian
hingga posisi antara kedua mistar tetap, tetapi tepi mistar kedua
menyinggung titik B. usahakan posisi mistar pertama ini tetap diam.
116
Ilmu Ukur Tanah
Andaikata yang diperlukan ketinggian 95 m, maka mistar kedua kita
geser dalam posisi tetap tegak lurus mistar pertama sampai tepi
mistar kedua berimpit dengan garis 5 cm pada mistar pertama dan tepi
mistar kedua memotong garis AB. Maka titik potong mistar kedua dengan
garis AB tersebut tingginnya 95,0 m. demikian selanjutnya kita bisa
memilih tinggi-tinggi yang lain secara cepat dan praktis.
Gambar 11.3. Metode semi matematis
Selain cara di atas, metode ini dapta juga dikerjakan dengan
alat interpolasi radialgraph yang tersebut dari kertas transparan
seperti Gambar 11.4.
Gambar 11.4. Interpolasi dengna radialgraph
Misal antara titik A yang tingginya 91, 6 m dan titik B yang
tingginya 93,2 m akan dicari posisi titik dengna tinggi 92,0 m. beda
tinggi antara A dan B =1,6 m. Impitkan garis mendatar radialgraph
117
Ilmu Ukur Tanah
pada AB. Garis radial antara A dan B diambil 16 kolom, sehingga
setiap kolom berharga beda tinggi 0,1 m. Posisi 92 m terletak pada
kolom yang keempat dari titik A. kemudian titik tersebut ditusuk
dengan jangka tusuk hingga membekas pada kertas gambar.
11.3.2.3. Metode Grafis
Metode ini sebenarnya hanya perkiraan saja, namun karena metode
ini memang lebih cepat, orang biasanya lebih suka menggunakan metode
ini. Untuk peta-peta skala menengah dan kecil di mana ketelitian
ketinggian tidak banyak dituntut, cara ini merupakan pilihan yang
dianggap tepat. Namun untuk peta-peta teknik, pemakaian metode ini
masih perlu dipertimbangkan.
Selain titik-titik tinggi sesuai dengan interval kontur
ditentukan posisinya, ditarik garis melalui titik-titik yang
mempunyai harga ketinggian sama, sehingga terbentuklah garis-garis
kontur dengan ketinggian-ketinggian yang tertentu. Pada setiap garis
kontur diberi angka ketinggian dan setiap lima buah kontur atau angka
kelipatan tertentu garis kontur dibuat agak tebal.
Untuk menghindari adanya kesalahan morfologi dari garis kontur,
distribusi dari detil ketinggian harus disesuaikan dengan kondisi
topografi medan dan skala peta yang akan dibuat. Apabila medan
bergelombang, maka untuk medan yang beda tingginya lebih besar
daripada besarnya kontur interval, harus diukur (didetil), namun pada
medan yang kemiringannya seragam (monoton) cukup diukur pada awal dan
akhir kemiringan tersebut walaupun jaraknya cukup jauh.
Gambar 11.5. Pengambilan detil ketinggian
11.4. EDITING
118
Ilmu Ukur Tanah
Meskipun detil-detil dan garis-garis kontur telah selesai
digambarkan, belum berarti peta tersebut sudah jadi. Peta masih perlu
disempurnakan dengan informasi-informasi lain yang dianggap perlu,
sebagai penjelasan atau sarana komunikasi antara si pembuat peta
dengan si pemakai. Proses ini dinamakan editing. Pekerjaan editing
ini meliputi antara lain :
1. Pemberian nama-nama (jalan, desa, bangunan, sungai dll).
2. Pembuatan simbol-simbol untuk detil atau obyek-obyek yang
tertentu
3. Keterangan tepi, yang berisi antara lain :
a. Judul peta
b. Skala peta dalam angka dan garis (bar)
c. Arah orientasi (arah utara)
d. Indeks dan nomor lembar
e. Keterangan legenda
f. Keterangan si pembuat dan waktu pembuatannya
g. Kolom pengesahan
Pekerjaan editing ini termasuk di dalamnya adalah desain
tampilan peta/lay out yang diatur sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu
kortografis dan sesuai dengan skala dan tujuan peta itu dibuat.
Simbol-simbol yang umum digunakan dalam pemetaan topografi skala
besar disajikan dalam Subbab 11.6 Contoh desain dari tampilan peta
disajikan di bawah ini.
Gambar 11.6. Contoh beberapa desain tampil peta/lay out
11.5. SIMBOLISASI
119
Ilmu Ukur Tanah
Obyek-obyek yang ada di permukaan bumi tidak semuanya dapat
digambarkan secara utuh pada peta, terlebih-lebih apabila peta dibuat
dalam skala menengah sampai kecil. Oleh karena itu, untuk
menginformasikan kepada si pengguna peta, obyek-obyek tersebut
digantikan dengan simbol-simbol kartagrafis yang lazim digunakan.
Demikian pula nama-nama unsure geografis yang di lapangan tidak ada,
perlu dituliskan pada peta, sehingga peta menjadi lebih komunikatif.
Simbol dalam pemetaan skala besar berikat penggolongannya antara lain
:
A. Simbol batas administrasi B. Simbol vegetasi :
+ + + + + : batas negara : pohon misiman
+ - + - + -: batas proponsi : pohon tak terpengarum musim
+. + + . +: batas kabupaten : pohon berdaun jarum
. . . . . : batas kecamatan : tanaman perkebunan
- . - . - . - .: batas desa : tanaman perkebunan
. . . . . . . . : batas dusun : hutan
: padang rumput
: semak-belukar
C. Unsur transportasi
: jalan aspal : jalan kereta api
: jalan diperkeras tak beraspal ...............: jalan lori
: jalan tanah / tak diperkeras : jembatan bamboo / kayu
: jalan setapak : jembatan besi / baja
: gorong-gorong : jembatan konstruksi beton
: jalan dalam galian : jalan dalam timbunan
D. Unsur bangunan
: bangunan non permanen : pagar hidup
: bangunan semi permanen : pagar kawat
: bangunan permanen lantai satu : pagar tembok
: bangunan bertingkat : pintu gerbang
E. Unsur Hidrografi dan topografi
120
Ilmu Ukur Tanah
: Sungai : rawa-rawa
: Anak sungai : danau/kolam
: Saluran irigasi teknis : saluran drainase alamiah
: saluran drainase permanen : alur air
: garis kontur / garis ketinggian ........: pintu air / dam
F. Titik stasiun atau benda tetap lainnya.
a. Titik control pemetaan
: patok beton
: patok besi
: patok beton pralon
: patok kayu
b. Lainnya :
: tiang listrik tegangan tinggi
: tiang telpon
: hidran
G. Toponimi
Meliputi :
- Nama unsure geografi : dusun, desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi (Huruf Times New Roman)
- Nama unsure hidrografi : sungai, danau, rawa, bendungan, saluran
(huruf italic)
- Nama unsur budaya : bangunan-bangunan, nama jalan, obyek wisata
(huruf Arial).
- Dan lain-lain
11.6. LANGKAH-LANGKAH PEMETAAN TERISTRIS
Dari uraian bab-bab terdahulu, secara garis besar langkah-
langkah pemetaan secara teristiris adalah sebagai berikut :
1. Persiapan, yang meliputi : peralatan, perlengkapan dan
personil.
121
Ilmu Ukur Tanah
2. Survei pendahuluan (reconisance survey), maksudnya peninjauan
lapangan lebih dahulu untuk melihat kondisi medan secara
menyeluruh, sehingga dari hasil survey ini akan dapat
ditentukan :
a. Teknik pelaksanaan pengukurannya
b. Penentuan posisi titik-titik kerangka peta yang
representatif dalam arti distribusinya merata, intervalnya
seragam, aman dari gangguan, mudah didirikan alat ukur,
mempunyai kapbilitas yang baik untuk pengukuran detil,
saling terlihat dengan titik sebelum dan sesudahnya, dll.
3. Survei pengukuran, meliputi :
a. Pengukuran kerangka peta (missal poligon) meliputi : sudut,
jarak, beda tinggi.
b. Pengukuran detil (missal dengan takhimetri)
c. Pengukuran khusus (bila diperlukan)
4. Pengolahan data (perhitungan)
a. Perhitungan kerangka peta (X, Y, Z)
b. Perhitungan detil (X, Y, Z) atau cukup sudut arah/azimutnya,
jarak datar, dan beda tinggi dari titik ikat.
5. Plotting atau penggambaran, meliputi :
a. Plotting kerangka peta
b. Plotting detil
c. Konturing atau penarikan garis kontur
d. Editing
11.7. ARTI PENTING GARIS KONTUR
Garis kontur mempunyai arti yang sangat penting bagi
perencanaan rekayasan, karena dari peta kontur dapat direncanakan
antara lain :
- Penentuan rute jalan atau saluran irigasi
- Bentuk irigasi atau tampang pada arah yang dikehendaki
- Gambar isometric dari galian / timbunan
- Besar volume galian/timbunan tanah
- Penentuan batas genangan pada waduk
122
Ilmu Ukur Tanah
- Arah drainase
1. Merencanakan arah jalur atau trase dari peta tanches atau peta
topografi
Dalam menentukan trase kita perlu mengetahui kemiringan
maksimum yang diperbolehkan, skala peta yang digunakan dan interval
garis konturnya. Adapun caranya sebagai berikut :
Misal kemiringan maksimum yang diperbolehkan 5% atau 1 : 20 (I
= 20), skala peta yang digunakan 1:10.000 (s = 10.000), kontur
interval 5 meter (a = 5). Untuk beda tinggi 5 m, jarak horizontal (d)
yang diperlukan = 100 m. pada peta skala 1 : 10.000, jarak 100 m =1
cm, jarak terpendek dari trase yang melalui dua garis kontur yang
berturutan dan 1 cm, atau dengan rumus matematis dinyatakan :
d = (meter) .......................................(11.1)
Dengan panjangan tersebut (1 cm) kit adapt memilih beberapa
alternatif jalur, selanjutnya dipilih yang paling baik atas dasar
dukungan data-data lain seperti data teknis dan social ekonomi.
Contoh mentrase pada peta topografi / peta kontur :
Gambar 11.7. Mantrase pada peta kontur
2. Membuat gambar tampang
Membuat gambar tampang/profil pada arah x-x pada peta kontur.
Skala horizontal sama dengan skala peta, sedangkan skala vertical
umumnya 10 x lebih besar. Garis basis dibuat sejajar dengan X-X dan
123
Ilmu Ukur Tanah
di setiap perpotongna antara garis X-X dan garis kontur dibuat garis
tegak lurus X-X sebagai arah ketinggian.
Gambar 11.8. Cara membuat gambar tampang dari peta kontur
Dari garis basis tingginya diukur sesuai dengan skala yang
digunakan, kemudian titik-titik ketinggian ini dihubungkan secara
berurutan, sehingga akan terbentuk profil atau tampang melintang
sepanjang X-X yang dimaksud.
Gambar 11.9 Pembuatan gambar dari peta kontur / topografi
3. Gambar isometric rencana galian atau timbunan
Sebelum volume pekerjaan tanah dari peta kontur dihitung,
biasanya dibuatkan gambar isometrik lebih dulu sebagai penolong agar
gambarannya menjadi jelas, sebagaimana dalam contoh berikut ini.
124
Ilmu Ukur Tanah
Misal dari peta kontur yang tersaji akan dibuat jalan mendatar
dari A ke B dengan level (ketinggian permukaan) jalan 10 m dan lembar
jalar 10 m dengan miring talud 1:1. Maka di sampingnya dapat dibuat
gambar isometric sebagiamana Gambar 11.10.
Gambar 11.10 Gambar isometrik suatu penimbunan pada rencana jalan
Adapun caranya adalah sebagai berikut :
1. Gambarkan permukaan jalan 10 m pada peta kontur
2. Karena miring talud 1:1, maka untuk beda tinggi (jarak vertikal) 1
meter, jarak horizontalnya juga satu meter. Buat garis-garis
sejajar tepi jalan dengan interval 1 meter (kali skala gambar)
sehingga garis-garis tersebut berturut-turut mempunyai tinggi
9,8,7 dst.
3. Tentukan perpotongan garis kontur yang berharga sama dengan garis
ketinggian yang sejajar dengan jalan (kanan dan kiri), kemudian
hubungan secara bertururutan, sebagaimana Gambar 11.11.
Gambar 11.11. Teknik penggambaran isometrik
Contoh lain :
125
Ilmu Ukur Tanah
1. Misal direncanakan jalan dari A ke B menanjak dengan kemiringan
1:20. Tinggi permukaan jalan di A = 70 m. penyelesaian
isometriknya adalah sebagai berikut (Gambar 11.12).
Missal jarak A-B = 60 m, maka ketinggian titik B = 70,00 +
m = 73,00 m dan tinggi A = 70 m menjadi 3 m di bawah level B.
apabila miring talud 1:2, maka untuk beda tinggi 3 m pada jarak
korizontal menjadi 6 m, sehingga titik C dan D masing-masing
berjarak 6 m dari tepi jalan di B dan ini dihubungkan masing-
masing dengan titik E dan F yang mempunyai level 70 m. setiap
kontur lain dengan interval 1 m sejajar dengan garis tersebut
dengan interval jarak horizontal 2 m.
2. Pada Gambar 11.13, peta kontur dengan interval 2 m dan rencana
jalan dari A ke B ditentukan sebagai berikut :
a. Lebar formasi 6 m
b. Tinggi permukaan jalan (level) di A = 60 m
c. Miring permukaan jalan 1:25 dan A-B
d. Miring talud 1:2
Gambar 11.12 Penggambaran isometrik pada rencana jalan miring
Gambarkan outline pekerjaan tanah yang akan terjadi.
Penyelesaiannya seperti pada Gambar 11.14.
Gambar 11.13. Rencana jalan
126
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 11.14. Pekerjaan tanah pada rencana jalan Gambar 11.13
3. Gambar 11.15 memperlihatkan posisi rencana bangunan dan jalan
pengubungnya. Level bangunan 83,5 m dan jalan 83 m. miring talud
halian / timbunan 1:1. Gambarkan pekerjaan tanahnya.
Penyelesaiannya ada pada Gambar 11.16.
Gambar 11.15. Rencana dasar bangunan dan jalan
127
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 11.16. Rencana pekerjaan tanah (galian dan timbunan)
4. Penentuan areal tangkapan air hujan
Peta kontur atau topografi dapat juga digunakan untuk
menentukan daerah tangkapan air hujan dengan cara mengamati punggung-
punggung bukit yang akan memisahkan aliran air hujan, dan dari
padanya dibuatkan garis-garis pemisah aliran ini yang akhirnya dapat
ditentukan areal daerah tangkapan hujan dari sesuatu daerah aliran
sungai.
128
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 11.17. Penentu daerah genangan dan tangkapan air hujan
Keterangan : ----------- : batas daerah tangkapan
air hujan
: daerah genangan
Apabila akan direncanakan sebuah dan pada aliran sungai, maka
dapat diperkirakan lokasinya yaitu dengan melihat daerah yang
tercuram di arah kanan dan kiri aliran sungai tersebut dengan melihat
kerapatan garis kontur yang ada. Apabila rencana ketinggian dan atau
bendungan telah ditetapkan, maka dapat pula ditentukan daerah
genangan dan luasnya serta volume air yang dapat ditampung. Sebagai
gambaran dapat diperlihatkan pada Gambar 11.17 di atas.
129
Ilmu Ukur Tanah
8. PENENTUAN LUAS DAN VOLUME
Penentuan luas dan volume tanda tangan erat kaitannya denagn
rekayasa, seperti halnya dalam penentuan ganti rugi dalam pembebasan
tanah untuk keperluan suatu proyek, penentuan volume galia ndan
timbunan, penentuan volume bending dan lain-lain yang erat kaitannya
dengan biaya suatu pekerjaan rekayasa.
Penentuan volume pekerjaan tanah membutuhkan pula data luas
dari suatu irisan atau tampang sehingga sebelum membicarakan
penentuan volume tanah akan dibahas lebih dahulu penentuan luas.
13.1. PENENTUAN LUAS
Yang dimaksud luas di sini adalah luas yang dihitung dalam
peta, yang merupakan gambaran permukaan bumi dengan proyeksi
orthogonal, sehingga selisih tinggi dari batas-batas yang diukur
diabaikan. Luas suatu bidang tanah dapat ditentukan dengan salah satu
cara tersebut di bawah ini, tergantung dari data dasar yang tersedia.
1. Penentuan luas cara numeris
Di sini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
a. Dengan memakai koordinat, apabila titik-titik batas tanah
diketahui koordinatnya.
b. Dengan ukuran dari batas tanah, jika batas-batas tanah diukur
langsung (disebut juga angka-angka ukur).
2. Penentuan luas secara grafis
Cara ini dilakukan apabila gambar tanah hanya diketahui
skalanya saja tanpa dukunngan data lain seperti angka ukur dan lain-
lain, serta batas tanah berupa garis-garis lurus. Untuk itu
diperlukan piranti pengukur jarak dalam gambar seperti mistar skala,
jangka tusuk dan sebagainya. Penentuan luas secara grafis dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu :
130
Ilmu Ukur Tanah
a. Dengan membagi-bagi gambar tanah menjadi bentuk-bentuk geometris
yang sederhana, sehingga dengan penjangkaan atau pengukuran
beberapa sisinya dapat dihitung luasannya.
b. Dengan mengubah bentuk gambar tanah menjadi bentuk geometri yang
lebih sederhana dengan luas yang sama, sehingga dengan penjangkaan
beberapa sisinya dapat dihitung luasnya. Cara ini disebut pula
cara transformasi.
c. Dengan menggunakan mal gril yang terbuat dari kertas transparan,
misalnya millimeter kalkir, sehingga luas tanah akan diukur
dihitung dengan kelipatan dari luas jala-jala grid.
3. Penentuan luas secara grafis mekanis
Cara ini dipakai apabila batas-batas gambar tanah dibatasi oleh
garis-garis nonlinier (tidak lurus), yaitu berupa garis-garis
lengkung atau kurva. Cara ini menggunakan peralatan yang disebut
planimeter.
13.1.1. Penentuan Luas secara Numeris
A. Penentuan Luas dengan Koordinat
Misal sebidang tanah dibatasi oleh titik-titik A, B, C, D yang
diketahui koordinatnya : A (X1, Y1), B (X2, Y2), C (X3, Y3), D (X4, Y4)
Gambar 13.1 Luasan dengan angka koordinat
131
Ilmu Ukur Tanah
Luas segi empat ABCD = Luas trapesium A1ABB1 + luas trapesium B1BCC1-
luas trapesium D1 DCC1 – luas trapesium D1 ADD1
= ½ (X2, - X1) (Y2, + Y1) + ½ (X3 - Y2) (Y3 + Y2) – ½ (X3 - X4)
(Y3 - Y4) – ½ (X4 – X1) – ½ (Y4 + X1)
Luas ABCD = ½ (X2 - X1) (Y2 + Y1) + ½ (X3 - Y2) (Y3 + Y2) – ½
(X4 – X3) (Y4 + Y3) + ½ (X1 – Y4) (Y1 + Y4)
Disederhanakan menjadi :
2 Luas ABCD = [(Yn – Yn-1) (Xn – Xn-1)] ...................(13.1)
Apabila gambar diproyeksikan terhadap sumbu – Y maka akan menjadi :
2 Luas = [(Yn – Yn-1) (Xn – Xn-1)]..........................(13.1)
Kedua rumus di atas dapat disederhanakan menjadi :
2 Luas = [ Xn (Yn-1 - Xn-1)]
= [ Xn (Yn+1 - Xn-1)]...............................(13.3)
B. Penentuan Luas dengan Angka-Angka Ukur
Apabila gambar tanah atau persil telah diketahui angka-angka
ukurnya, maka untuk menghitung luasnya digunakan rumus-rumus
planimetrik. Namun dalam kenyataannya, jarang sekali bentuk-bentuk
gambar tanah yang dapat langsung dihitung dengan rumus planimetrik,
sehingga bentuk tersebut harus dibagi-bagi menjadi bangun-bangun yang
dapat ditentukan luasnya dengan rumus-rumus planimetrik, kecuali
bentuk-bentuk.
- Lingkaran atau bagian dariapdanya
- Segitiga
- Bentuk-bentuk di mana absis dan ordinat dari semua titik sudut
diketahui berada dalam satu garis.
1. Lingkaran atau bagian dari padanya
Gambar tanah yang berbentuk bagian dari lingkaran memang agak
jarang, kecuali di beberapa lokasi missal di perpotongan atau
tikungan jalan dengan sudut-sudut yang dibulatkan.
132
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 13.2. Luas bagian lingkaran
Apabila R (jari-jari lingkaran) dan K (panjang tali busur)
diketahui atau ditentukan dengan cara-cara yang lain, besar sudut
puncak dapat ditentukan dengan rumus :
Sin ½ = .................................(13.5)
Luas sector lingkaran (juring) adalah :
x R atau
x ½ R2 ...........................................(13.5)
Untuk menghitung luas tembereng (yang diarsir), maka sama
dengan luas juring dikurangi dengan luas segitiga sama kaki ( ½ R2
sin), sehingga menjadi :
L = ½ R2
(13.5)
Apabila sudut pusatnya lebih besar dari 215o maka lebih baik
dihitung luas dari seluruh lingkaran, kemudian dikurangi dengan luas
jaringan yang sudut pusatnya lebih kecil dari 180o.
2. Segitiga
Apabila sisa segitiga diketahui jarak-jaraknya, maka rumus yang
digunakan adalah rumus “S”, yaitu :
Luas = ; 2s = a + b + c ...........(13.7)
Dalam kasus tertentu rumus “S” sebaiknya tidak dipakai, yaitu
dalam hal :
a. Salah satu sudutnya sangat lancip
b. Salah satu sudutnya sangat tumpul
133
Ilmu Ukur Tanah
Apabila menemui bentuk segitiga yang demikian, lebih baik
digunakan rumus alas x ½ tinggi. Sebagai unsur tinggi diambil
proyeksi titik sudut ke sisi yang terpendek atau perpanjangannya,
sehingga apabila pengukuran tingginya kurang teliti akan menghasilkan
kesalahan luas yang tidak terlalu besar karena dikalikan dengan sisi
yang pendek.
3. Bentuk - bentuk di mana absis dan ordinat titik sudut diketahui
hanya terhadap satu garis.
Sebagai contoh seperti gambar di bawah ini :
Gambar 13.3. Absis dan ordinat titik sudut diketahui hanya
terhadap satu garis
I, A, B, C, dan II sebagian dari titik batas suatu bidang
tanah. Garis I-II sebagai garis ukur dan absis dan ordinat titik A,
B, C ditentukan dari garis tersebut.
Luas bidang tanah yang dibatasi oleh titik-titik sudut tersebut
adalah :
Contoh :
Gambar 13.4
134
Ilmu Ukur Tanah
Luas bidang tanah abcdefgh = Luas adg + ½ ab’.bb’ + ½ b’ c’
(bb’ – cc’) – ½ cc’ . c’d + ½ d’. ee’ + ½ e’ f’ (ee’ + ff’) + ½ f’ –
½ hh’ . Ag.
13.1.2.Penentuan Luas Secara Grafis
Cara ini dilakkan apabila batas-batas bidang tanah yang akan
ditentukan luasnya dalam peta tidak ada angka-angka ukurnya, serta
batas-batas tersebut berupa garis-garis lurus. Di sini dikenal dua
cara yaitu :
1. Dengan membagi-bagi gambar asli menjadi beberapa bentuk yang mudah
dihitung dengan rumus-rumus planimetrik
2. Dengan mengubah bentuk gambar asli emnjadi bentuk lain yang lebih
sederhana sehingga dengan penjangkaan atau pengukuran beberapa
sisis dan dihitung luas keseluruhan dari bentuk aslinya
(transformasi).
13.1.2.1. Membagi-bagi Gambar
Cara ini dilakukan apabila bentuk gambar yang akan ditentukan
luasnya tidak dapat sekaligus ditentukan dengan rumus planimetris
seperti segitiga, empat persegi panjang, bujur sangkar, jajaran
genjang, trapezium, dan lain-lain.
Gambar 13.5. Membagi-bagi bentuk gambar
Apabila akan menggunakan rumus luas segitiga = ½ alas x tinggi,
maka perlu penarikan garis proyeksi (untuk tinggi) ke garis alas dan
pengukuran jaraknya dengan mistar skala atau transverskal dan jangka
tusu. Misal pada Gambar 14.6 :
Sisa AB kita proyeksikan pada garis basis AC dan proyeksi titik
B pada garis AC adalah titik D, sehingga BD adalah garis tinggi yang
135
Ilmu Ukur Tanah
akan diukur panjangnya. Karena panjang adalah tetap, maka kesalahan
dari tinggi yang diukur tergantung dari penarikan garis proyeksi dan
pengukurannya.
Kesalahan pengukuran atau penjangkaan garis tinggi dapat
terjadi dalam tiga keadaan, tergantung dari sudut A, kecuali keadaan
yang bersifat khusus, yaitu :
- Jika sudut A = 90o .....................................h = a
- Jika sudut A = 0o .....................................h = 0
- Jika sudut A = 45o .....................................h = p
Gambar 14.6
Keadaan Pertama
p = h; A = 45o, misal a = 10m. dengan rumus sinus didapat p = 7,07 m.
Misal dengan penjangkaan dalam peta skala 1:500 didapat 7,20 m maka
harga p apabila dihitung menjadi
Hasil penjangkaan proyeksi ini lebih besar 13 cm dan tinggi
yang dihitung adalah lebih kecil bila dianggap kecil dapat
diabaikan.
Keadaan Kedua
Sudut A < 45o. jika sudut A semakin kecil, p semakin mendekati
A. Misal A – 30o dan a = 10 m, maka akan didapat h = 5 m dan p = 8,66
m (dengan rumus cosines). Misal dengan penjangkaan didapat hasil 8,6
m dalam peta skala 1:500, maka dengan hitungan didapat h = 4,76 m,
sehingga penjangkaan proyeksi lebih besar 14 cm dan tinggi yang
dihitung adalah 23 cm lebih kecil.
Kesimpulan : karena penjangkaan pada garis basis (p) merugikan,
penjangkaan lebih baik dilakukan terhadap tingginya.
Keadaan ketiga
Misal A > 45O. Jika sudut A semakin besar, maka h semakin
mendekati a. Misal A = 60o dan a = 10 m h = 8,66 m dan p = 5 m.
Misal dalam skala peta 1:500 penjangkaan p = 5,15 m, maka h dihitung
136
Ilmu Ukur Tanah
menjadi 8,57 m. penjangkaan proyeksi 15 cm lebih besar dan tinggi
yang dihitung menjadi lebih kecil 9 cm.
Kesimpulan :
a. Sebagai basis hendaknya dipilih sisi yang terpendek
b. h harus diukur seteliti mungkin sehingga apabila dikalikan
dengan setengah basis hasilnya tidak menimbulkan keraguan.
Ketelitian penentuan luas dengan cara ini secara tidak langsung
dipengaruhi oleh :
- ketelitian dari penarikan proyeksi
- ketelitian dari penjangkaan
- skala dari peta atau gambar yang diukur luasnya.
- Besarnya basis
13.1.2.2. Mengubah Bentuk Gambar Tanah (Transformasi)
Transformasi dimaksudkan untuk mempermudah pengukuran,
dilakukan dengan mengubah bentuk gambar menjadi bentuk yang lebih
sederhana dengan luas yang sama, sehingga tidak perlu banyak
penjangkaan dan perhitungan. Kelitian transformasi tergantung dari :
- Cara kerja transformasi
- Peralatan yang tepat dan baik
- Pemakaian alat dengan benar
Contoh transformasi :
Segi lima ABCDE ditransofmasi menjadi segi empat FCDE dengan cara
menarik garis BF//CA sehingga luas ABC = luas AFC. Selanjutnya
segi empat FCDE ditransformasikan kembali menjadi FCG.
a. Jangan sampai ada perpotongan garis transformasi yang tajam,
karena akan memberikan penjangkaan garis yagn tidak teliti.
b. Apabila akan memperpanjang garis hendaklah dilakukan dengan
teliti, karena akan mempengaruhi letak titik potong.
13.1.3.Penentuan Luas Cara Grafis Mekanis
Cara ini terutama digunakan untuk mengukur luas bangun-bangun
yang dibatasi oleh bukan garis lurus (garis nonlinier) seperti kurva-
kurva yang tidak beraturan. Di sini digunakan alat yang namanya
137
Ilmu Ukur Tanah
planimeter. Dilihat dari konstruksinya, planimeter dapat dibagi
menjadi tiga macam, yaitu :
1. Planimeter kutub
2. Planimeter cakra kutub
3. Planimeter cakra roda
Bagan dari ketiga macam planimeter tersebut dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
A : Tangan penjelajah
D : engse
L : roda tromol
T : plat lingk. Bacaan
putaran tromol
G : kutub / pemberat
Gambar 13.8. Bagan planimeter kutub
S: piringan tumpuan roda
tromol
L : roda tromol
d : klem pengatur panjang
tangan pejelajah
e : pegangan
f : jarum perunut
n : nonius pembacaan
putaran roda tromol
Gambar 13. 9. Bagan planimeter cakra kutub
Gambar : 13.10 Bagain planimeter cakra roda
138
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 13.11. Planimeter digital
Gambar 13.12. Pengukuran luas dengan planimeter (kutub luar)
Demikian pula apabila bergerak ke A2 B2, A3 B3, maka luas yang
terbentuk ABB1B2B3A3A2A1A sebagai sebagai luas yang positif. Apabila
berputar kembali ke A melalui A4 maka luas yang terbentuk terakhir
ini adalah A3B3B4A3AA4A3 sebagai luas yang negetif.
Gambar 13.13. Prinsip pengukuran luas dengan planimeter
139
Ilmu Ukur Tanah
Misal luas yang terbentuk oleh ujung tongkat A = La dan ujung B
= Lb, maka luas yang terbentuk adalah Lb – La. Bilamana ujung A diam,
maka La =0, sehingga luasnya = Lb. inilah dasar dari planimeter
kutub, dimana salah satu ujung tongkatnya diam (sebagai kutub) dan
ujung yang lain bergerak mengukuti batas gambar yang akan diukur
luasnya. Piranti yang digunakan untuk mengikuti batas gambar
dinamakan stift tracer (berupa jarum) atau floating mark apabila
ujungnya berupa lensa pembesar.
Skema planimeter kutub.AB : batang yang dinamakan tangan
penjelajah (fahr arm)
PB : tangan kutub (pool arm)
P : kutub
B : engsel
A : sift atau jarum untuk menjalani
batas gambar
C : tromol ukur yang sumbunya sejajar
dengan tangan penjelajah
Gambar 13.14. Skema planimeter kutub
Posisi C kadang-kadang di C’ namun tidak akan berpengaruh
terhadap teori perhitungan luas tersebut. Dalam menentukan luas
gambar, jarum A digerakkan mengikuti batas gambar. Akibatnya roda
tromol akan berputar dan bergeser (rolling dan sliding). Gambar 13.15 di
bawahi ini menunjukkan jarum yang bergerak dari A ke A”, sehingga
pergerakan tangan penjelajah dan tangan kutub melukiskan luasan
seperti yang diarsir. Banyaknya perputaran roda tromol dapat dibaca
pada angka perputara tromolnya.
Gambar 13.15. Luas yang dibentuk oleh planimeter
140
Ilmu Ukur Tanah
Misal pada saat stift berjlaan dari A sampai A’ melewati A”,
tangan penjelajah berputar sebesar d dan kutub berputar sebesar d.
maka luas terbentuk oleh kedua tangan adalah :
dL = Luas PBB’ + luas B’ A” A’ + luas BBA A’B’
= ½ c2 d + ½ a2 d + a.B’ D ..............................(13.7)
B’ D = C’ C” + CC’, di mana CC’ adalah perputaran linier dari tromol.
Perpindahan tromol dari tempat semula ke C” dianggap sebagai
pergerakan sliding dan dari sini rolling ke C’ sehingga :
B’ D = b d + d.........................................(13.8)
Persamaan (13.8) disubstitusikan ke (13.7) memberikan :
dL = ½ c2 d + ½ a2 d + a.b d + a. d..................(13.9)
dalam mengukur luas gambar, kedudukan kutub ada dua
kemungkinan, yaitu di luar di dalam gambar.
Ada rumus
Kutub di luar gambar
Apabila jarum berputar mengelilingi gambar dan kembali ke A lagi,
maka :
. . .(13.10)
Luas = (13.11)
Gambar 13.17. Kutub di luar gambar
Akhir rumus luas untuk kutub di luar gambar :
Luas = a 2. r. U = A. U ...................................(13.12)
A : Konstanta pengali
Luas di sini hanya tergantung dari panjang tangan penjelajah (fahr
arm) a saja.
Kutub di dalam gambar
Apabila suatu kutun berada di dalam gambar,
Maka pada rumus (4), sehingga
Rumus (4) menjadi :
Luas = 2 ( ½ c2 + ½ a2 + a.b) + a.
141
Ilmu Ukur Tanah
= (c2 + a2 + 2. a.b) + a.
= B + A. U .............................................(13.13)
Gambar 13.17. Kutub dalam gambar
B : konstanta penambah
Besaran (c2 + a2 + 2 a.b) = adalah kuadrat
Jari-jari, lingkaran dasar, yaitu lingkaran
dengan pusat P dan PC tegak lurus tangan penjelajah
serta terletak dalam bidang tromol C.
(PA)2 = (a + b)2 + (c2 – b2)
= a2 + 2ab + b2 + c2 - b2
= a2 + 2ab + c2
=
Gambar 13.18. Lingkaran
Sehingga B = luas lingkaran dasar
Pada pengukuran luas dengan kutub dalam, ada kemungkinan luas
bangun yang diukur lebih kecil dari luas lingkaran dasar, sehingga
rumus luas tidak menggunakan Rumus 13.13 namun menjadi :
L = B – A.U ..........................................(13.14)
Gambar 13.19. Luas Lingkaran dasar lebih besar dari luas bangun yang
diukur.
142
Ilmu Ukur Tanah
Panjang tangan penjelajah (fahr arm) dapat disetel sedemikian
rupa sehingga faktor pengalinya (A) menjadi 1 atau 100. Karena
umumnya r = 1 cm maka :
A = a. 2. 1 cm = 1 atau 100, maka
A = cm = 0,159 cm, atau a = cm = 15,9 cm
Dengan penyeten a = 15,9 cm, kita mengadakan percobaan
perhitungan luas dari segi empat percobaan ynag luasnya 100 cm2
misalkan dengan planimeter diperoleh luas 97,6 cm2 maka diadakan
perubahan penyetelan lagi.
Karena luas = 2 ra1 U1 = 2 ra2 U2 maka :
a1 : a2 = U2 : U1
15,9 : a2 = 100 : 97,6 sehingga a2 = 15,9 x
a1 – a2 = a = 15,9 x - 15,9 = - 15,9
= =0,38 cm
Panjang a harus diperkecil dengan jumlah proses yang sama
dengan kekurangan luas.
Contoh di atas :
Kekurangan luas adalah 2,4 %, maka a harus diperkecil dengan
2,4% x 15,9 cm = 0,38 cm.
Pada planimeter yang baru, pada tangan penjelajah terdapat
suatu pembagian ½ mm dan biasanya juga tidak dibaca jumlah putaran
penuh, tetapi 1/100 bagian dari putaran yang disebut kesatuan norius.
Misalkan yang terakhir ini dinyatakan dengan n’, maka U = n’/100.
Misalkan penyetelan tangan penjelajah dinyatakan dengan e dan
jarak dari titik nol pada pembagian tangan penjelajah terhadap engsel
dinyatakan dengan eo, maka :
a = (e – e0). ½ mm = ½ (e – e0) mm
143
Ilmu Ukur Tanah
Jadi,
Luas = 2 r ½ (e – e0) U mm2
= r (e – e0) U mm2
Atau
Luas = (e – e0) k n’ mm2
Di mana k =
Gambar 13.20
Kalau luas diukur di atas peta dengan skala 1 : m, maka
L’ = (e – e0) k n
= w n’
Di mana w = (e – e0) k n = harga dari kesatuan nonius
dalam M2
Pada umumnya pabrik telah membuat suatu table tentang e dan w
bagi tiap-tiap skala peta, yang terdapat pada kotak-kotak penyimpan
dari planimeter tersebut.
Kalau e0 = 3,0; 1 / k = 33,3 dan w ditetapkan, maka e dicari
dengan rumus :
e = e0 + ......................................(13.15)
Di bawah ini disusun table yang bersangkutan. Skala
1 : m
Penempatan nonius
Pada tangan
penjelajah
Harga kesatuan nonius
(w)
1:1000
1:1250
1:2000
1:500
1:250
336,0
169,2
169,2
336,0
136,2
10 M2
12,5 M2
20 M2
2,5 M2
0,25 M2
Apabila panjang tangan penjelajah diatur sedemikian hingga
besaran konstante pengali A = 100, maka besaran konstante penambah B
144
Ilmu Ukur Tanah
dapat dicari dengan cara mengukur luasan yang sudah pasti, misal
luas lingkaran dengan jari-kari yang tertentu, kemudian diukur dengan
planimeter dengan kutub dalam sehingga diperoleh banyaknya putaran
roda tromol U. karena L, A dan U sudah tertentu, besaran konstante
penambahan B dan ditentukan dengan rumus (13.13) atau (13.14).
13.1.3.3. Beberapa Pedoman Pemakaian Planimeter Kutub
Menentukan luas tanah dengan planimeter selalu kurang teliti
daripada menentukan luas dari angka-angka ukur. Namun demikian tidak
berarti bahwa semua luas harus ditentukan dari angka-angka ukur. Ada
daerah – daerah yang sangat luas di mana penentuan luas yang sangat
teliti tidak diperlukan. Dalam hal ini planimeter dapat dipakai dan
harus dipakai untuk menghemat waktu.
Ketelitian penentuan luas secara grafis mekanis ini dapat
dipertinggi dengan jalan :
a. Pengukuran luas dengan planimeter dikerjakan di atas peta yang
dikalkir sendiri dan berskala besar (1:250, 1:500)
b. Mempergunakan planimeter cakra kutub dari pabirk yang terkenal
(misal: Coradi) dan harus ada loupe (kaca pembesar) untuk membaca
dan loupe untuk stift.
c. Instrument harus diatur secara tetap (misalnya tiak tahun oleh
seorang ahli diberihkan dan direvisi).
Planimeter adalah instrument yang sangat peka dan mudah sekali
mengalami gangguan. Kesalahan terutama pada alat ini adalah tidak
sejajarnya sumbu tromol ukur dengan tangan penjelajah. Oleh karena
itu dibuatlah planimeter kutub kompensasi (compensating polar
planimeter). Cirri dari planimeter kompoensasi adalah tangan
penjelajahnya dapat berputar terus di bawah tangan kutub sehingga
kutub kini berada di bagian yang lain dari tangan penjelajah.
Pengaruh kesalahan sumbu
tromol ukur dapat pula ditiadakan
dengan menempatkan planimeter
sedemikian rupa sehingga persil
terbagi dua oleh lingkaran berat,
145
Ilmu Ukur Tanah
yaitu lingkaran yang dibuat oleh
stift jika tangan kutub tegak luas
tangan penjelajah.
Agar lingkaran berat dapat
membagi dua persil dilakukan cara
sebagai berikut :
Titik berat dari persil harus
berada pada lingkaran berat. Oleh
karena itu stift ditempatkan lebih
dulu pada titik berat tersebut dan
kemudian kutub digeserkan
sedemikian hingga tangan penjelajah
tegak lurus tangan kutub.
Gambar 13.21. Penempatan planimeter
Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi dalam pemakaian
planimeter adalah :
a. Dengan mempertimbangkan besarnya gambar yang akan ditentukan
luasnya, hendaknya diambil penyetelan panjang tangan penjelajah
sependek mungkin, karena panjang tangan penjelajah akan berbanding
terbalik dengan banyaknya perputaran tromol. Artinya apabila
panjang tangan penjelajah semakin pendek, perputaran tromol
semakin besar (banyak) sehingga ketelitiannya semakin tinggi.
b. Menghindari sliding dari tromol. Artinya stift bergerak tetapi
roda tromol tidak berputar. Hal ini terjadi apabila gerakan dari
stift sejajar dengan sumbu tromol. Biasanya sliding terjadi
apabila stift menjalani lingkaran dasar. Oleh karena itu keliling
persil hendaknya sedikit mungkin pada jarak pendek sejajar pada
lingkaran dasar. Hal ini dicapai jika kutub ditempatkan dalam arah
memanjang dari persil.
c. Tidak awal dipilih pada batas gambar sedemikian hingga
ketidaktepatan titik awal dan akhir tidak memberikan pengaruh yang
besar.
146
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 13.22. Penempatan planimeter untuk menghindari sliding dari
roda tromol
d. Sedapat mungkin diperhitungkan susutan dari kertas gambar, dengan
cara sebagai berikut :
Apabila susutan sepanjang sumbu X = p% dan sepanjang sumbu Y =
q%, maka luas yang diperoleh harus ditambah dengan (p + q)%. Apabila
peta yang diukur luasnya mempunyai jaringan-jaringan grid, maka
dianjurkan untuk menentukan luas secara relative, maksudnya dengan
penyetelan tangan penjelajah sembarang, kita ukur luas sebuah
jarring-jaring grid dan luas persil yang bersangkutan, misal hasinya
masing-masing N dan N’ kesatuan nonius dan jika luas jaring-jaring
grid yang sebenarnya = Q, sehingga luas persil = (N’/N). Q.
Hal tersebut di atas juga dilakukan apabila penyetelan tangan
penjelajah meragukan, agar diperoleh hasil yang baik. Selain itu
ketelitian perputaran tromol juga dipengaruhi oleh kualitas kertas
peta yang diukur. Hal ini merupakan kelemahan planimeter kutub di
mana roda tromol langsung menempel pada kertas gambar yang akan
diukur luasnya. Kelemahan yang terahir ini dapat ditiadakan apabila
menggunakan planimeter cakra kutub.
13.1.3.4. Pemakaian Planimeter Cakra Kutub
Pada planimeter cakra kutub, roda tromol berputar di atas suatu
cakra kerja / piringan yang mempunyai pemukaan yang licin. Cakra
kerja ini dikerakkan oleh suatu ronsel, yang dengan pertolongan roda
gigi bergerak di sepanjang keliling dari pelat kutub atau cakra kutub
yang sangat berat.
a. Tromol bergerak di atas suatu cakra yang melekat pada permukaan
yang licin, jadi tidak di atas permukaan gambar yang diukur
luasnya, yang biasanya kasar dan kotor.
147
Ilmu Ukur Tanah
b. Karena adanya pemindahan putaran dengan pertolongan roda gigi,
putaran tromol dapat 10 kali lebih besar, jadi kita membaca satu
angka lebih.
Planimeter cakra kutub bukan merupakan planimeter kompensasi,
sehingga diperlukan penempatan kutub yang teliti. Karena kutub sangat
berat, penggesertan kutub untuk mencari kedudukan yang baik dapat
menimbulkan kerusakan pada kertas gambar, sehingga perlu dibuat suatu
alat pertolongan yang dinamakan “pencari kutub”.
Pencari kutub dibuat dari kertas transparan atau kalkir, yang
dia tasnya digambarkan lingkaran-lingkaran batas luar dan dalam serta
lingkaran dasar yang dalam hal ini sama dengan lingkarna berat.
Dengan kertas transparan ini kita tentukan lebih dulu letak kutub
sedemikian rupa sehingga terlihat lingkaran dasarnya membagi dua
persil. Baru kemudian pelat kutub kita letakkan pada tempat kedudukan
kutub yang telah ditentukan oleh pencari kutub.
Gambar 13.23. Pencari kutub
Rumus luas pada planimeter cakra ini adalah :
L = A. U (kutub di luar gambar) .................(13.16)
L = A. U + B (kutub di dalam gambar).............(13.17)
L = B – A. U (Kutub dalam, tetapi luas bangun yang diukur
kecil dari luas lingkaran dasar)................(13.18)
Di mana
U = selisih pembacaan tromol pada akhir dan permulaan
pengukuran luas, atau banyaknya perputaran roda
tromol.
148
Ilmu Ukur Tanah
A = .............Konstante pengali = 2
B = Konstante penambah = (a2 + 2ab + c2)
Disini :
a = panjang tangan penjelajah
b = panjang tangan kutub
d = jarak antara titik pusat ronsel sampai titi kengsel
dari tangan kutub sampai tangan penjelajah.
r = jari-jari tromol
t1 = jumlah gigi-gigi dari ronsel
t2 = jumlah gigi-gigi dari cakra kutub
konstante A dapat pula ditulis = qA di mana q = 2
Pada planimeter cakra kutub dari Coradi, q kira-kira 0,0066 mm.
13.1.3.5. Ketelitian Penentuan Luas dengan Planimeter
Sumber – sumber kesalahan dalam penentuan luas dengan planimeter
adalah :
a. Tidak terpatnya penempatan titik mula dan titik akhir sewaktu
plianimeter berputar keliling.
b. Ketidaktelitian dalam membaca tromol
c. Tidak teraturnya perputaran tromol
d. Ketidakterlitian dalam mengikuti batas persil
Pengaruh kesalahan putaran keliling perseorangan ini hanya
ditetapkan berdasarkan perbandingan – perbandingan dari sejumlah
besar pengamatan yang dilakukan oleh berbagai orang pada berbagai
bentuk persil dan dalam keadaan yang berlainan pula (misal :
penyinara, suhu, landasan dsb). Dari sejumlah pengamatan ini
ditentukan kesalahan menengahnya. Kesalahan menengah menurut ilmu
hitung kuadrat terkecil adalah :
149
Ilmu Ukur Tanah
..................................(13.19)
Di sini :
= kesalahan menengah atau simpangan baku atau standar devisi
n = banyaknya pengamatan.
13.1.3.6. Perkembangan Alat Planimeter
Alat ukur planimeter sekarang sudah semakin canggih, baik dari
segi konstruksi, cara pemakaian, kapabilitas dan system pembacaan
tromol, perhitungan luas, serta tingkat ketelitiannya. Pada alat
planimeter merk Planix buata Tayama Jepang, misalnya, dengan system
pembacaan tromol eketronik atau digital yang dimilikinya, kita dapat
memasukkan skala peta langsung dengan menekan tombol skala sehingga
kita dapat memperoleh luas yang diukur dalam satuan meter persegi
(m2) atau fee persegi (f2) tergantung dari kebutuhan kita. Demikian
pula dengan planimeter cakra rodanya, kita dapat mengukur luasan
gambar yang panjangnya “tak terbatas”. Bahkan pada produk yang
terakhir telah dilengkapi dengan printer, sehingga hasil pengukuran
luas dapat langsung dicetak (diprint).
Gambar 13.24. Digital planimeter
Dalam perencanaan rekayasa, penentuan volume tanah adalah suatu
hal yang sangat lazim. Seperti halnya pada perencanaan fondasi,
galian dan timbunan pada rencana irigasi, jalan raya, jalan kereta
api, penanggulan sepanjang aliran sungai, penghitungan volume tubuh
bending dan lain-lain, tanah harus digali dan dibuang ke tempat lain,
atau sebaliknya, harus diambil dari tempat lain untuk ditimbun di
150
Ilmu Ukur Tanah
lokasi proyek. Semua kegiatan itu menggali, mengangkut dan menimbun
serta memadatkannya membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya
tersebut dapat dirancang apabila perencanaan dapat menghitung lebih
dulu berupa volume tubuh tanah yang dibutuhkan atau yang harus
dipindahkan secara tepat.
Pada dasarnya penentuan volume tubuh tanah dan dilakukan dengan
salah satu dari tiga cara atau metode dibawah ini :
1. Dengan tampang melintang (cross-section)
2. Dengan garis kontur
3. Dengan sipatdatar dan penggalian (spot level)
13.2.1. Penentuan Volme dengan Tampang Melintang (cross-Sections)
Dalam metode ini, tampang melintang diambil tegak lurus
terhadap sumbu proyek dengan interval jarak tertentu. Metode ini
cocok digunakan untuk pekerjaan tanah yang bersifat memanjang seperti
perencanaan jalan raya, jalan kereta api, saluran irigasi,
penanggulangan sungai, dan penggalian pipa.
Gambar 13.25. Bangun dengan tampang-tampang melintang
Volume tubuh tanah antara dua buah tampang yang berurutan dapat
dihitung apabila luas dari tampang-tampang tersebut dapat dihitung.
Adapun perhitungan-perhitungan luas telah diuraikan dalam subbab
13.1, antara lain dengan cara numeris, grafis dan grafis mekanis
dengan alat planimeter.
Luas konstruksi yang bersifat memanjang dengan bentuk tampang
yang seragam dan lebar formasi serta kemiringan sisi galian atau
timbunan (talud) yang konstan dapat ditentukan dengan rumus-rumus
yang disederhanakan sehingga perhitungannya lebih mudah dan cepat.
151
Ilmu Ukur Tanah
Rumus – rumus perhitungan luas di bawah ini telah disesuaikan
dengan kemungkinan-kemungkinan bentuk tampang yang terjadi, antara
lain:
a. Tampang dengan permukaan tanah asli mendatar (one level section)
b. Tampang dengan permukaan tanah asli miring (two level section)
c. Tampang dengan permukaan tanah asli mempunyai dua kemiringan
(three level section).
d. Tampang dengan permukaan tanah asli dalam galian dan timbunan
(side hill two level section)
Notasi-notasi yang digunakan dalam rumus-rumus tersebut adalah :
b : Lebar formasi
h : Tinggi timbunan / dalam penggalian
h1, h2 : jarak vertikal dari permukaan formasi sampai perpotongan
sisi talud dengan permukaan tanah asli
w : jarak mendatar dari sumbu tampang sampai perpotongan
sisi talud dengan permukaan tanah asli.
1:m : Kemiringan sisi talud (1 = unit tinggi, m = unit jarak
mendatar)
1:k : Kemiringan permukaan tanah asli
1:1 : kemiringan permukaan tanah asli kedua
A : Luas tampang
13.2.1.1. Tampang dengan Permukaan Tanah Asli Mendatar (One Level
Section)
Gambar 13.26. Tampang denga nsatu permukaan
152
Ilmu Ukur Tanah
b = Lebar formasi
w = Lebar sisi dari sumbu sampai perpotongan tanah asli dengan sisi
timbunan / halian
w = + mh...................................................(13.20)
AC = 2 w = b + 2 mh
Luas tampang = A =
A = h (b + mh)...............................................(13.21)
Contoh :
Suatu tampang timbunan apda permukaan tanah asli yang mendatar,
tinggi timbunan 3,10 m. Apabila lebar formasi 12.50 m, hitung (a)
lebar sisi, dan (b) luas tampang apabila kemiringan talud 1:2,5
(maksudnya 1 untuk verikal dan 2,5 untuk horizontal).
Perhitungan :
B = 12,50 m
m = 2,5
h = 3,10 m
Luas tampang = h (b + mh)
= 3,10 (12,50 + 2,5 x 3,10)
= 62,78 m2
Lebar sisi kedua-arahnya sama =
= 6,25 + 2,5 x 3,10
= 14,0 m
Pemasangan patok di lapangan (setting out) untuk batas tepi
timbunan / galian, dengan pemasangan patok di A dan C pada jarak 14,0
m dari titik sumbu B normal atau tegak lurus terhadap sumbu proyek.
13.2.1.2. Tampang dengan Permukaan Tanah Asli Miring (Two Level
Section)
153
Ilmu Ukur Tanah
Pada kasus ini permukaan tanah asli miring terhadap arah sumbu
proyek sehingga lebar sisi dari titik sumbu menjadi titik sama.
Gambar 13.27. Tampang dengan dua permukaan
Di sini : C1B = merupakan beda tinggi antara titik B dan C
karena kemiringan tanah asli 1 : k sepanjang jarak w1, demikian
pula :
A1B =
Demikian pula apabila sisi miring berpotongan di G, maka GE
akan menjadi beda tinggi untuk jarak horizontal sepanjang ,
sehingga GE =
Karena C1 CG sebangun dengan EFG maka :
w1
w1 .......................................(13.22)
Demikian pula :
154
Ilmu Ukur Tanah
Sehingga :
w2 = .....................................(13.23)
Luas tampang galian atau timbunan adalah ACFDA:
= luas BCG + luas ABG – luas DFG
= ½ w1
= ½ w1
= .............................(13.24)
Beda tinggi antara C dan F :
= h + = ½ w1 ........................................(13.25)
Beda tinggi antara A dan D :
= h - .............................................(13.26)
Dalam pemasangan patok A dan C, lebar sisi dapat diskala dari
gambar tampang dengan hari-hari dan seteliti mungkin atau dengan alat
penyipat datar, rambu dan pita ukur (Gambar 13.28)
Pembacaan pada rambu di A dan B masing-masing H2 dan H. apabila
h kedalam formasi di bawah B, maka dalam hal tersebut :
h2 + H2 = H + h
atau
h2 = H – H2 + h
155
Ilmu Ukur Tanah
tetapi h2 =
Oleh sebab itu : x = m (H – H2 + h)
w2 =
w2 = ........................(13.27)
Demikian pula : w1 = .......................(13.28)
Setelah pengambilan pembacaan rambu di B sebesar H, pemegang
rambu mengambil beberapa kemungkinan posisi (coba-coba) untuk
mendapatkan posisi titik A, setelah didapat kemudian diukur dan
dicatat jaraknya dengan pita ukur dari.
B. Pembacaan rambu H2 sekarang diamati dan besaran m (H-H2+h).
dihitung.
Harga w2 sekarang dapat dicari berdasarkan persamaan (13.27)
dengna menambahkan . Apabila harga sama dengan panjang ukuran
dengan pita ukur, berarti posisi A sudah betul. Apabila belum cocok,
maka dicoba lagi atau diulangi lagi oleh si pemegang rambu,
sedemikian hingga besaran ukuran jarak pita dari B ke A sama dengan
hitungan.
156
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 13.28. Pemasangan patok batas galian / timbunan
Metode ini akan lebih cepat dan praktis dibandingkan cara
dengan skala, terlebih-lebih apabila surveyor sudah berpengalaman.
Hal ini dapat lebih disederhanakan dengan pemasangan harga tinggi
akhir dari formasi dan tinggi garis bidik dari instrument. Perbedaan
tinggi di antara harga tersebut sama dengan (H + h) misalnya = Y,
maka :
w2 = ..............................(13.29)
Papan profil (bouw-plank) kemudian dipasang untuk memiringan 1 :
m sedemikian hingga kemiringan yang sebenarnya dapat direalisasi
selama kontruksi (pembangunan). Untuk penggalian, papan ini dipasang
sedikit di luar dari lebar sisinya, sedangkan untuk penimbunan,
dipasang tepat pada pertemuan antara batas penimbunan dengan
permukaan tanah asli.
Contoh :
Hitung lebar sisi dan luas tampang suatu timbunan untuk jalan
raya apabila diketahui lebar formasi 12,50 m, kemiringan talud 1:2,
tinggi timbunan di sumbu proyek 3,10 m dan kemiringan tanah asli 1:2
tegak lurus arah sumbu proyek.
Hitungan :
Berdasarkan Gambar 13.25.b:
w1 =
Di sini : b = 12,50 k = 12 m 2 h = 3,10
w1 =
= 14,94 meter
w2 =
= 10,67 meter
Dari persamaan (13.25) :
157
Ilmu Ukur Tanah
Luas =
=
= 60,18 m2
Contoh :
Pada contoh sebelumnya, apabila pemasangan patok A (Gambar
13.26.b) dengan penyipat datar, pembacaan rambu di B adalah 3,636 m
dan pembacaan rambu di titik A ( coba-coba ) adalah 2,768 m serta
pengukuran jarak dengan pita ukur 10,67 m. apakah posisi tersebut
benar ?
Hitungan :
Pembacaan rambu di B = H = 3,636
Pembacaan rambu di titik coba-coba = H2 = 2,68
Atas dasar geometri bentuk timbunan, persamaan (13.27) dan
(13.28) perlu kita modifikasi sehingga menjadi :
w1 = ..................................(a)
w2 = ...................................(b)
Substitusi pada harga coba-coba pada persamaan (b) :
w2 = 6,625 + 2 (2,746) + 3,10 – 3,636)
Harga ini sama dengan hasil pengukuran dengan pita ukur
sebelumnya, berarti penempatan patok A dari batas timbunan
sudah benar.
13.2.1.3. Tampang denga npermukaan Tanah Asli Mempunyai Dua
kemiringan (Three Level Section / Variabel Level)
Pada tampang yang demikian maka kemiringan tanah asli adalah
1:k dan 1:/. Rumus untuk lebih sisi di sini menjadi :
w1 = ...........................(13.30)
158
Ilmu Ukur Tanah
w2 = ...........................(13.31)
apabila BA menurun dari garis sumbu maka :
w2 = ...........................(13.32)
Gambar 13.29. Tampang dengan tiga permukaan
Luas tampang A = ½ w1 ½ w2 - ½ b.
= ½ -
= ................(13.33)
13.2.1.4. Tampang dengan Tanah Asli dalam Galian dan Timbunan (Side
Hill Two Level Section)
Biasaya kemiringan talud penimbunan tidak sama dengan
kemiringan talud penggalian, misal kemiringan talud penimbunan 1 : m
dan kemiringan talud penggalian 1 : n. demikian pula, perpotongan
antara bidang formasi dan tanah asli tidak harus berada pada garis
sumbu proyek.
Pada Gambar 13.30, GBA sebangun dengan EBJ.
Dengan demikian :
159
Ilmu Ukur Tanah
Akan tetapi GB + BE = w2 dan BE = k.h
Gambar 13.30. Tampang dalam galian dan timbunan
Sehingga : w2 = k (h + h2)
Demikian pula GD = mh2
= GE – DE = w2 –
Dengan demikian :
h2 =
w2 = ...........................(13.34)
Dengan cara yang sama, lebar sisi yang lain direkduksi dari gambar di
atas :
Dengan demikian :
Sehinggan : EL = w1 = k (h1 – h)
Akan tetapi FL = nh1 = w1 -
Sehingga :
160
Ilmu Ukur Tanah
h1 =
w1 = k
jadi w2 = ..........................(13.35)
Luas timbunan
½ h2 DB = ½ h2
= ½
= ½ ..........................(13.36)
Luas galian :
½ h1 BF = ½ h1
= ½
= ½ .....................(13.37)
Apabila tampang timbul berada pada garis sumbu tidak seperti
pada Gambar 13.29, maka rumus di atas perlu dimodifikasi menjadi :
Luas timbunan = ½ ...............................(13.38)
Luas galian = ½ ...................................913.39)
Pemasangan patok (setting out) pada tampang yang demikian,
dengan alat penyipat datar yang distel di atas titik C seperti pada
161
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 13.28, patok harus dipasang di A sejauh w2 dari sumbu =
Apabila Y adalah tinggi garis bidik di atas bidang formasi, maka h2
harus sama dengan pembacaan rambu yang didirikan di A, misal H2, minus
Y.
Dengan demikian : h2 = H2 – Y
Besaran w2 untuk harga pembacaan rambu H2 pada titik atau patok
yang akan dipasang dihitung dengan persamaan :
w2 =
Bandingkan hasil perhitungan menggunakan rumus ini dengan hasil
pengukuran menggunakan pita ukur. Apabila tidak sama, rambu harus
dipindah-pindahkan naik atau turun pada garis profil/tampang
sedemikian hingga harga pembacaan rambu untuk perhitungan w sesuai
dengan jarak pengukuran dengan pita ukur.
Apabila garis bidik penyipat datar berada di bawah level bidang
formasi, maka Y harus ditambahkan pada pembacaan rambu di posisi
titik coba-coba.
Contoh :
Sebuah rencana jalan dengan lebar formasi 9,50 meter, dengan
kemiringan talud 1:1 di daerah penggalian dan 1:3 di daerah
penimbunan. Permukaan tanah asli mempunyai kemiringan 1:5. Apabila
kedalaman penggalian di garis sumbu proyek 0,50 meter, hitung lebar
sisi dan luas tampang galian dan timbunannya.
Perhitungan :
Dari rumus (13.34), (13.35), (13.36), (13,27) kita dapatkan :
w2 = = (4,75 – 3 x 0,5)
= 7,88 meter
w2 = = (4,75 – 3 x 0,5)
= 6,56 meter
162
Ilmu Ukur Tanah
Luas timbunan = ½ = ½
= 1,27 m2
Luas galian = ½ = ½
= 6,57 m2
Permukaan tanah asli dapat diperoleh dari pengukuran profil
melintang seperti telah dijelaskan dalam Bab.11.2 atau dari peta
topografi (kontur) seperti pada Bab 10.6. lebar formulir tergantung
dari macam proyek dan kelas-kelasnya (jalan raya, saluran irigasi,
tanggul dll), sedangkan kemiringan talud ditentukan oleh factor
kekompakan material tanahnya.
Untuk perhitungan volume tubuh tanahnya dapat digunakan
beberapa rumus, antara lain :
1. Rumus Tampang Rata-rata (Mean Areas)
Dalam rumus ini volume didapat dengan mengalikan luas rata-rata
dari tampang yang ada dengan jarak antara tampang awal dari akhir.
Apabila tampang-tampang tersebut A1, A2, A3, …… An-1, An’ dan jarak
antara tampang A1 ke An = L, maka :
Volume = V = ...................(13.40
2. Rumus Dua Tampung (End Areas)
Apabila A1 dan A2 adalah luas tampang yang berjarak D, maka
volume antara dua tampang tersebut :
V = D. ............................................(13.41)
Rumus ini benar sepanjang tampang tengah antara A1 dan A2
merupakan rata-rata dari keduanya. Seandainya tidak, maka penggunaan
rumus tersebut harus dikoreksi (koreksi prismoida).
Apabila tampang-tampang di sini banyak dan jarak-jarak antar
tampang bervariasi missal D1, D2, D3, dst. maka :
163
Ilmu Ukur Tanah
Volume = V = ∑ +........(13.42)
Rumus ini didasarkan pada rumus trapesium untuk volume.
Contoh :
Sebuah pekerjaan penimbunan dengan kemiringan 1:20 ke arah
memanjang (longitudinal). Tubuh tanah tesebujt dibatasi oleh tiga
buah tampang yang masing-masing berjarak 20 meter dan tinggi timbunan
pada masing-masing tampang adalah 6,00; 7,60 dan 9,20 meter di atas
permukaa tanah asli yang mendatar. Apabila kemiringan talud 1:1 dan
lebar formasi 6,00 meter, hitung volume timbunan tersebut dengan
rumus trapezoid.
Perhitungan
Dengan rumus (13.21) :
A = h (b + mh)
A1 = 6,00 (6,00 + 6,00) = 72,00 m2
A2 = 7,60 (6,00 + 7,60) = 103,36 m2
A3 = 9,20 (6,00 + 9,20) = 139,48 m2
Catatan : tampang tengah (A2) tidak sama dengan rata-rata kedua
tampang luar A1 dan A3.
V =
= 4185,60 m3
Apabila digunakan rumus dua tampang terluar :
V =
= 4236,80 m3
3. Rumus Prismoida
Rumus ini adalah rumus yang paling baik di antara rumus-rumus yang
lain. Prisma adalah sebuah bangun yang bidang sisi-sisinya berupa
bidang datar, sedang bidang alas dan atasnya sejajar.
Bentuk rumus prismoida adalah :
V = ...............................(13.43)
164
Ilmu Ukur Tanah
Di sini :
A1 dan A2 : penapang luar (atas dan bawah)
D : jarak antara A1 dan A2
M : luas penampang tengah
Apabila M adalah rata-rata dari A1 dan A2, maka :
V =
= D x
Rumus di atas sama dengan rumus volume dengan dua permukaan
(end area), dan dapat dikembangkan untuk volume piramida, yaitu
prisma di mana luas alas berupa bujur sangkar dan luas atasnya =0,
sehingga apabila sisi alas = x, maka :
Luas alas : A = x2
Luas penampang tengah : M =
Luas panampang atas = 0
V =
=
Gambar 13.31. Piramida dan prisma segitiga
Dengan cara yang sama, volume prisma segitiga dengan panjang a,
lebar b dan tinggi D adalah :
165
Ilmu Ukur Tanah
V =
=
Rumus Simpson :
Apabila tampang-tampang tersebut banyak, missal A1, A2, A3, A4,
….. An, maka dapat dihitung volume untuk setiap bangun yang dibatasi
tiga tampang (sisi) :
V1 =
V2 = , dan seterusnya sehingga :
V =
(13.44)
Di sini :
n = nomor-nomor ganjil
D = jarak antar dua tampang
Koreksi prismoida :
Perhitungan volume dengan rumus prisma (prismoida) lebih baik
bila dibandingkan dengan rumus end area. Oleh karenanya, apabila
hitungan dilakukan dengan metode atau rumus end area sebaiknya
dikoreksi dengan koreksi prismoida atau prismoida correction untuk
mendapatkan hasil yang baik.
Misal D adalah jarak antara dua tampang A1 dan A2 adalah dua
tampah ujung-ujungnya, M adalah tampang tengah, h1 dan h2 adalah beda
tinggi antara bidang formasi dan permukaan tanah asli, dan b adalah
lebar formasi. Kemudian dari persamaan (13.21) :
A1 = h1 (b + mh1)
A2 = h2 (b + mh2)
Sehingga :
V end area =
166
Ilmu Ukur Tanah
Dengan anggapan hm (beda tinggi antara bidang formasi
tampang tengah dengna permukaan tanah asli), maka :
M =
=
Sehingga :
V prismoida =
Vp =
=
Jadi :
VEA - Vp =
= . m (h1 - h2)2..............................(13.45)
= koreksi prismoida untuk tampang satu permukaan
Karena besaran (h2 – h2)2 selalu positif, maka koreksi selalu
dikurangkan terhadap volume yang dihitung dengan rumus volume dengan
dua tampang atau end area formula.
Dengan cara yang sama dapat diperoleh kokresi prismoida untuk
tampang dengan dua permukaan atau two level sections :
VEA – Vp = (A1 + A2) - (A1 + 4M + A2)
= (A1 – 2M + A2)..............................(13.46)
167
Ilmu Ukur Tanah
= ........................(13.47)
Seperti halnya pada tampang dengan satu permukaan, di sini
koreksi prismoida selalu positif, sehingga k>m. pada tampang dua
permukaan di mana sebagian dalam timbunan dan sebagian lagi dalam
galian :
Timbunan KP = .....................(13.48)
Galian KP = .......................(13.49)
Contoh :
Dari contoh sebelumnya yang diselesaikan dengan metode end
area, hitung kembali volumenya dengan rumus prismoida.
Perhitungan :
a. Dengan mengambil D = 40 meter
V =
= 4168,50 m2
b. Dengan D untuk setiap 20 meter, menggunakan koreksi prismoida
V1 =
= 1753,60 m2
KP = (h1 – h2)2
= 20 x 1 ( ) (6,00 – 7,60)2
= 8,53 m3
V2 =
= 2432 m2
KP =
= 8,53 m2
Jumlah volume = 4168,5 m3
168
Ilmu Ukur Tanah
Ternyata hasil perhitungan volume dengan metode end area dan
koreksi prismoida adalah sama. Hal ini dikarenakan luas penampang
tengah sama besar dengan rata-rata antara dua penampang luasnya.
Contoh :
Suatu penggalian dilakukan pada tanah asli yang mempunyai
kemiringan 1:5 Lebar formasi 8,00 meter, kemiringan talud 1:2.
Apabila kedalaman penggalian pada sumbu proyek di tampang 1,2,3, yang
masing-masing berjarak 20 meter adalah 2,50 meter; 3,10 meter dan
4,30 meter, hitung volume tubuh tanah yang dibatasi oleh ketiga
tampang tersebut.
Perhitungan :
Dengan rumus (13.13)
A =
Dan dari rumus (13.30) dan (13.31) :
W1 =
W2 =
Sehingga di dapat : untuk m = 2 dan k = 5
Dari hitungan di dapa : = , =
A1 = 40,24 m²
169
Ilmu Ukur Tanah
A2 = 53,94 m²
A3 = 86,50 m²
a. Apabila dihitung dengan rumus prismoida :
V = (40,24 + 4 x 53,94 + 86,50)
= 2283,30 m³
b. Dihitung dengan rumus end area dengan koreksi prismoida :
VEA = (40,24 + 2 x 53,94 + 86,50)
= 2346,20 m³
Dari rumus 13.45 :
KP = . . m (h1 – h2)²
= . . 2
= 14,30 m³
Sehingga :
Vp = 2346,20 – 14,30
= 2331,90 m³
Contoh
Sebuah rencana jalan dengan lebar formasi 9,00 meter dan
kemiringan talud 1:1 dalam penggalian dan 1:3 dalam timbunan.
170
Ilmu Ukur Tanah
Permukaan tanah asli mempunyai kemiringan 1:5. Apabila kedalaman
penggalian dari dua tampang dalam sumbu proyek yang 20 masing-masing
adalah 0,40 meter dan 0,60 meter, hitung volume galian dan timbunan
dalam sector ini.
Perhitungan :
Dari rumus 13.36 dan 13.37:
Luas tampang timbunan =
Luas tampang galian =
Pada tampang 1 :
Luas tampang timbunan = = 1,56
Luas tampang galian = = 1,56
Pada tampang 2 :
Luas tampang timbunan = = 0,56
Luas tampang galian = = 7,03
171
Ilmu Ukur Tanah
Timbunan :
VEA = (1,56 + 0,56) = 21,20 m³
Dari rumus (11.46) :
KP = x 25 x 0,20² = 0,80 m³
= x 25 x 0,20² = 0,80 m³
Jadi. Vp = 20,40 m³
Galian :
VEA = .(5,28 + 7,07) = 123,10 m³
Dari rumus 13.49 :
KP = (h1 – h2)²
= x 25 x 0,20² = 0,4 m³
172
Ilmu Ukur Tanah
Jadi, Vp = 122,70 m³
Dengan demikian, penggalian lebih besar 102,3 m³ dari timbunan.
4. Rumus Frustum
Rumus ini berlaku untuk bangun-bangun yang mendekati bentuk
kerucut terpancung di mana luas penampang atas ≤ 0,5 dari luas
penampang bawah. Adapun bentuk dari rumus Frustum adalah :
V = 1/3 . t . (A1 + A2 +
) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(13.50)
Dalam hal ini :
t : tinggi/jarak antara penampang atas dan bawah
A1 : luas penampang atas
A2 : luas penampang bawah.
Gambar 13.32. Frustum
13.2.1.5. Pengukuran Kelengkungan
Sejauh ini kita beranggapan bahwa sumbu proyek lurus dan
tampang-tampang melintang yang ada tegak lurus terhadap garis sumbu.
Apabila garis sumbu proyek melengkung, tampang-tampang tersebut tidak
lagi saling sejajar satu sama lain, melainkan akan berbentuk radial,
sehingga volumenya akan menjadi lebih kecil dariapda yang bergaris
sumbu lurus. Untuk itu perlu diberikan koreksi kelengkungan seperti
yang dijelaskan dalam teori Pappus.
Teori Pappus menyatakan bahwa volume suatu tampang yang
berputar sama dengan luas tampang tersebut dikalikan dengan jarak
yagn ditempuh oleh titik berat dari tampang yang berputar. Apabila
173
Ilmu Ukur Tanah
luas tampang-tampang tidak seragak, maka volumenya dapat dihitung
dengan cara sebagaimana yang digambarkan berikut ini:
Gambar 13.33. Tampang dengan jarak titik berat yang tidak sama
Apabila tubuh tanah berbentuk melingkar dan tampang awal dan
akhir tidak sama, maka jarak masing-masing titik beratnya terhadap
sumbu adalah = ………., dan radius 2 jarak jari-jari lingkaran yang
dijalani oleh titik berat menjadi R ± . Tanda minum digunakan jika
rata-rata pusat gaya berat berada di antara garis sumbu proyek dan
pusat lingkaran, dan tanda positif digunakan jika berada di luar
sumbu proyek. Apabila jarak antar tampang = D, maka sudut pusat yang
mengapit = ………….. sehingga jarak yang ditempuh oleh titik berat
………………….
Sehingga volume (pendekatan) menjadi :
V = 1/2 (A1 + A2) . D
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(13.51)
Posisi titik berat mungkin berpindah-pindah terhadap garis sumbu,
apabila kemiringan permukaan tanah berubah. Oleh karena itu harga
dihitung secara aljabar dari harga 1 dan 2. Sebagai alternatif
yang lain, yang dikreksi adalah luas tampangnya, misalnya A1
menjadi A1 , sehingga setiap tampang setelah dikoreksi
menjadi , …dst, dan luas tampang terkoreksi tersebut
digunakan dalam rumus prismoida.
Contoh :
174
Ilmu Ukur Tanah
Suatu penggalian dengan sumbu proyek melengkung berjari-jari
120 m. permukaan tanah asli mendatar, memiringan talud 1:1,5; lebar
formasi dari 6 m melebar menjadi 9 m secara kontinu pada jarak 90 m
dari awal penggalian. Apabila kedalaman penggalian di sumbu proyek
bertambah secara kontinu dari 2,40 m sampai 5,10 m, hitung volume
tanda yang harus digali.
Penyelesaian :
Berdasarkan Gambar 13.34, luas tampang galian A = 3h. untuk
sembarang kedalam yang diberikan pada sumbu proyek (h)
X = x = h meter
Oleh karenanya eksentirisitas dari titik berat menjadi 4,5 +
dari sumbu sebelumnya, sehingga dapat dibuat table sebagai berikut
:
Gambar 13.34.
175
Ilmu Ukur Tanah
Catatan :
Apabila tidak dikoreksi dengan koreksi kelengkungan, volume
bangun di atas 1012,5 m3 sehingga akan kelebihan sebesar 6,5%.
13.2.2. Penentuan Volume dengan Garis Kontur
Sebagaimana telah kita ketahui, garis kontur atau tranches pada
peta adalah garis-garis yang menghubungkan tempat-tempat yang sama
tinggi sehingga bidang yang terbentuk oleh sebuah garis kontur akan
berupa bidang datar. Apabila kita mempunyai peta yang bergaris
kontur, maka volumenya dapat dihitung sebagaimana menghitung volume
pada peta yang berpenampang-penampang melintang.
Luas setiap penampang di sini adalah luas yang dibatasi oleh
suatu garis kontur, sedangkan tinggi atau jarak antara penampang
adalah besarnya interval garis kontur, yaitu beda harga antara dua
garis kontur yang berurutan.
Karena bangun atau bidang yang dibatasi oleh sebuah garis
kontur bentuknya tidak teratur, maka penentuan luas di sini
dikerjakan dengan planimeter. Volumenya dapat dihitung dengan rumus
end area untuk setiap dua buah tampang yang berurutan, rumus
prismoida untuk setiap tiga buah tampang, atau rumus Simpson untuk
tampang yang banyak.
176
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 13.35. Garis kontur pada bukit.
Karena garis kontur digambar dengan interval yang tertentu
tergantung dari skala peta yang dipakai, missal 1 meter, 5 meter, 10
meter, atau 25 meter maka harga kontur yang lain dapat diinterpolasi
dari harga kontur yang telah ada.
Perhitungan volume dengan garis kontur umumnya dilakukan untuk
perhitungan volume yang tidak membutuhkan ketelitian yang tinggi,
seperti perkiraan volume air yang dapat ditampung dalam suatu waduk
atau bendungan, volume tubuh bending, volume bahan tambang dalam
suatu bukit. Ketelitian perhitungan volume tergantung pada ketelitian
peta yang digunakan.
Contoh :
Pada peta dengan interval kontur 1 meter di bawah ini (gambar
13.36) akan didirikan bangun dengan tinggi dasar lantai (level) 32,0
meter. Hitung volume material yang digali apabila kemiringan talus
1:2.
Perhitungan :
1. Karena kemiringan talud 1:2 maka untuk interval kontur 1 meter
jarak horizontalnya adalah 2 meter.
2. Garis potong antara permukaan tanah asli dan galian seperti yang
digambarkan dengan haris patah-patah. Catatan : teknik
penggambarna isometric lihat subbab 11.6. di muka.
177
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 13.26. Perhitungan volume dengan kontur
3. Luas setiap garis kontur yang tertutup dihitung dengan planimeter.
Luas kontur 32 meter adalah bangun A1CD; luas kontur 33 adalah
bangun yang dibatasi oleh titik-titik bernomor 2.2.2.2; luas
kontur 34 adalah bangun yang dibatasi oleh titik yang bernomor
3.3.3; dan luas kontur 35 adalah bangun yang dibatasi titik
bernomor 4.4.4, sedang luas kontur 36 =0
4. Misal dengan planimeter luasan-luasan tersebut didapat :
5. Volume dihitung dengan rumus Simpson :
13.1.3. Penentuan Volume dengan sipat datar dan penggalian (Borrow
Pit/Spot Level
Metode ini banyak dipakai pada pekerjaan penggalian yang besar
dan luas. Pelaksanaannya di lapangan meliputi pembuatan jarring-
jaring grid yang berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang
dengan panjang sisi yang tertentu, missal 10 meter, 15 meter atau
yang lain. Titik – titik grid di lapangan ditandai dengan patok kayu,
kemudian diadakan pengukuran sipat datar untuk mengetahui ketinggian
setiap patok.
178
Ilmu Ukur Tanah
Apabila penggalian akan dikerjakan hingga pada level yang
tertentu, maka selisih tinggi untuk setiap patok dapat dihitung.
Ataupun apabila penggalian dilakukan terlebih dahulu baru dihitung
volume tanah yang telah tergali, maka sesudah penggalian pada patok-
patok tersebut diadakan pengukuran sipat datar kembali untuk
mengetahui kedalaman penggalian di setiap patok. Dari selisih-selisih
ketinggian tersebut kemudian dihitung volumenya dengan rumus prisma
terpancung dengan alas prisma berupa empat persegi panjang atau
segitiga, sedang tinggi prisma diambil dari rata-rata dalamnya
penggalian di titik – titik grid (patok).
Contoh :
Pada suatu daerah yang
dibatasi dengan titik- titik
grid (gambar 13.37) setelah
penggalian diadakan
pengukuran tinggi ulang, beda
tinggi seperti dalam contoh
di bawah, hitunglah volume
tanah yang tergali tersebut.
Perhitungan :
a. Diasumsikan bangun
tersebut dibagi dalam
empat buah empat persegi
panjang yang terpisah
dengan luas alas yang sama
dan tinggi setiap prisma
diambil rata-rata dari
ketinggian keempat
sudutnya. Karena
ketinggian titik sudut ada
yang digunakan lebih dari
satu kali, perhitungan
dibuat dalam tabel berikut
:
179
Ilmu Ukur Tanah
Gambar 13.37
b. Dengan menganggap prisma segitiga, tinggi prisma adalah rata-rata
dari ketiga tinggi sisinya.
Volume =
= 3492 m³
13.1.4.Diagram Mass-Haul
Pada pekerjaan tanah yang besar dan memanjang seperti halnya
perencanaan jalan kereta api, jalan arteri, saluran irigasi primer,
dan lain-lain, peran diagram Mass-Haul sangat penting dalam
perencanaan dan konstruksi.
Diagram Mass adalah suatu lengkungan yang menunjukkan
penjulahan aljabar dari volume galian dan timbunan, dari stasiun
yangtertentu sampai stasiun berikutnya. Pada diagram ini stasiun
ditempatkan pada sumbu absis dan jumlah volume ditempatkan pada
ordinat. Skala pada absis sama dengan skala horizontal pada gambar
profil memanjang, skala ordinat disesuaikan dengan volume dalam meter
kubik, missal 1 cm untuk 1003. Sebelum menggambar diagram ini,
180
Ilmu Ukur Tanah
sebaiknya volume galian (+) dan timbunan (-) disusun dulu dalam suatu
tabel.
Sebagian besar meterial (tanah/batuan) volumenya akan bertambah
setelah digali, tetapi akan menyusun setelah digunakan untuk
menimbulkan dan dipadatkan. Apabila factor penyusutan ini diketahui
maka ada baiknya hal ini turut dimasukkan dalam diagram Mass ini.
Haul
Biaya penggalian dan angkutan materi ditentukan oleh beberapa
factor, di antaranya jarak angkut. Besarnya biaya unit price dari
penggalian dan angkutan telah dihitung dalam jarak angkut yang telah
tertentu, missal 500 meter. Jarak ini dinamakan dengan free haul.
Apabila material harus diangkut melebihi jarak tersebut, maka
kelebihan jarak tersebut dinamakan overhaul. Dengan demikian haul
adalah volume x jarak angkut untuk ditimbun. Hal ini akan sama dengan
jumlah volume dari galian x jarak dari pusat harian ke pusat
timbunan.
Diagram di bawah adalah contoh pengeplotan dari data di halaman
sebelumnya untuk jarak 1000 meter. Dalam membuat diagram, ada
beberapa hal yang perlu dikemukakan, antara lain :
a. Kurva naik menunjukkan galian, sehingga volume akumulasi bertambah
terus (yaitu J ke B) dan titik maksimum adalah akhir dari galian
(yaitu b,e).
b. Kurva menurun menunjukkan timbunan (yaitu B ke M dan N ke D) dan
titik minimum adalah akhir dari timbunan (yaitu d).
c. Jika sembarang haris horizontal memotong kurva, missal garis lm,
maka volume galian akan sama dengan timbunan. Garis ini dinamakan
garsi keseimbangan. Apabila kurva berada di atas garis
keseimbangan, material harus dipindahkan ke kanan, seperti pada
LBM dan apabila kurva berada di bawah garis keseimbangan, material
181
Ilmu Ukur Tanah
harus dipindahkan ke sebeh kiri, seperti pada RGS.
Gambar 13.38. Diagram Mass-Haul
Garis basis juga bias berlaku sebagai garis keseimbangan, namun
tidak selalu dipakai untuk itu. Garis keseimbangan dapat dipilih yang
sesuai dan tidak harus bersambungan untuk seluruh diagram, seperti lm
182
Ilmu Ukur Tanah
dan np yang terpotong oleh jembatan dan antara np dan grs yang sama
sekali terpisah. Titik yang berada di antara dua garis keseimbangan
yang berbeda berarti tidak termasuk dalam keseimbangan, seperti
antara K dan L dan antara P dan Q pada kurva yang naik. Ini berarti
kelebihan material dan harus diambil dan dibuang (waste) sedang
apabila menurun berarti kekurangan material yang harus diambilkan
dari tempat lain untuk penimbunannya. Hal ini mungkin malah lebih
ekonomis daripada membuat haris keseimbangan yang lebih panjang,
namun menjadi tidak ekonomis karena angkutannya terlalu jauh.
Dengan pertimbangan di atas, apabila harga free haul telah
ditentukan, beberapa tempat dalam kurva dapat diplot dan jarak ekstra
untuk overhaul dapat diperhitungkan. Missal jarak free haul 500 m,
maka antara KMB yang ditandai dengan xy pada kurva Mass-Haul dan yang
lain np, qr menjadi garis keseimbangan yang cukup baik. Bagian luasan
kurva yang dipotong oleh garis keseimbangan yaitu Ibm dinamakan haul
di tempat itu sehingga haul adalah hasil kali volume dan jarak.
Luas free haul adalah uxbyyu dan luas overhaul adalah (ibml-
uxbyyu). Jarak overhaul adalah jarak dari titik berat luasan 1 xu ke
titik berat luasan vym (missal-f).
Overhaul volume station = (Ibml-uxbyyu). F meter4
Volume lux dapat dilihat dalam ordinat ux pada kurva, sedangkan
volume vym besarnya dinyatakan dalam ordinat vm. Besarnya over haul
inilah yang memerlukan biaya ekstra.
183
Ilmu Ukur Tanah