Catinon Methylone Suryo
-
Upload
sanata-dharma -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Catinon Methylone Suryo
MAKALAH
KATINON DAN METHYLONE
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
APOTEK SANITAS
Jl. M. T. HARYONO No. 44 YOGYAKARTA
Disusun oleh:
Suryo Halim, S Farm.
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
A. PENDAHULUAN
Belakangan ini sering sekali dibahas mengenai kasus
yang terkait psikotropika dan narkotika yang menimpa salah
seorang artis di Indonesia. Kasus ini berhubungan dengan
senyawa katinon dan methylon terutama dalam aspek
legalitas. Pada makalah ini akan dibahas apa sebenarnya
perbedaan psikotropika dan narkotika terutama katinon dan
methylon, efek yang ditimbulkannya dan golongan dari jenis
kedua zat tersebut. Persoalan besar yang sedang dihadapi
bangsa Indonesia, dan juga bangsa-bangsa lainnya di dunia
saat ini adalah maraknya penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.
1. Katinon
Katinon merupakan senyawa yang awalnya dapat
diekstraksi dan diisolasi dari daun tanaman Khat (Catha
edulis Forsk.) yang banyak tumbuh di wilayah Afrika timur dan
timur tengah namun saat ini sudah banyak katinon hasil
sintesis. Berdasarkan struktur kimia, katinon merupakan
golongan senyawa alkaloid analog amfetamin. Katinon
memiliki struktur kimia yang hampir identik dengan
amfetamin kecuali bahwa molekul hidrogen digantikan oleh
molekul oksigen (beta keton amfetamin).
Struktur Kimia Katinon Dan Amfetamin
Katinon Amfetamin
Efek amfetamin dan turunannya terdapat pada reseptor
simpatetik dan sebagai media pelepasan norephinephrine dari
penyimpanannya di terminal saraf simpatetik (Levine, 1978).
Efek katinon dan amfetamin sama yaitu memiliki potensi yang
kuat dalam merangsang sistem saraf pusat (SSP). Sebagian
besar efek diperkirakan berasal dari dua phenylalkylamines –
katinon dan katin – yang secara struktural mirip dengan
amfetamin. Pada sistem saraf pusat, katinon berperan
sebagai stimulan yang berikatan langsung dengan reseptor
adrenergik (VMAT) yang menyebabkan pelepasan katekolamin
yang mengakibatkan jumlah neurotransmitter golongan
monoamina (dopamin, norepinefrin, dan serotonin) dari saraf
pra-sinapsis meningkat. Katinon menginduksi pelepasan
dopamine sehingga memberikan efek stimulant (Kalix, 1981).
Molekul katinon dan amfetamin memiliki struktur yang mirip
dengan dopamin dan norepinefrin. Sehingga reseptor VMAT
dapat berikatan juga dengan katinon dan amfetamin. Katinon
dapat meningkatkan kadar dopamin di otak (Patel, 200).
Turunan sederhana katinon seperti methcathinone dan N,N-
dimethylcathinone dapat disintesis melalui oksidasi
ephedrine (atau pseudoephedine) dan N-methupephedrine (atau
N-methylpseudoephedrine) (European Monitoring Centre for
Drugs and Drug Addiction, 2012).
2. Methylone
Methylone berupa serbuk kristal sama seperti katinon
sintetik lainnya, Methylone umumnya berwarna putih atau
terang yang larut dalam air. Methylone meningkatkan
pelepasan serotonin dan menghambat reuptake serotonin dan
dopamin di dalam sinaptosom otak tikus dan di dalam sel
yang mengekspresikan dopamin transporter (DAT),
norepinefrin transporter (NET), dan serotonin transporter
(SERT). Seperti metamfetamin dan MDMA, Methylone memperoleh
pelepasan dopamin, norepinefrin, dan serotonin dari sel
yang mengekspresikan DAT, NET, dan SERT. Methylone juga
meningkatkan kadar serotonin dan dopamin ekstraseluler
seperti MDMA. Meningkatnya kadar monoamina di sistem saraf
pusat diduga menimbulkan efek stimulan dan halusinasi.
Selain itu, Methylone juga bersifat sitotoksik terhadap sel
hati.
Methylone lebih kurang efektif dalam menghambat
dopamin dan norepinefrin tetapi efektif dalam menghambat
serotonin daripada metamfetamin. Namun, potensi Methylone
dalam menghambat transporter dopamin dan norepinefrin sama
dengan MDMA. Methylone mempunyai potensi yang lemah dalam
menghambat vesicular monoamine transporter.
Struktur Kimia Methylone dan MDMA
Methylone MDMA
Peredaran dan penggunaan narkotika diatur dalam
Undang-Undang No 35 tahun 2009, sedangkan psikotropika
diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1997. Namun, masih
banyak juga kasus yang tidak tersentuh oleh peraturan
tersebut. Salah satu contohnya adalah kasus penggunaan
narkoba “jenis baru” yaitu Methylone yang melibatkan artis
ibukota yang dikenal masyarakat, timbulah berbagai
pertanyaan terutama terkait jenis narkoba yang digunakan,
apakah sudah diatur dalam undang-undang ataukah belum. Dari
kasus ini, dapat dilihat masyarakat mulai pintar dan cerdik
untuk mengambil celah di dalam kelemahan undang-undang yang
berlaku. Badan Narkotika Nasional (BNN) mengatakan bahwa
narkoba yang digunakan tersebut belum diatur dalam undang-
undang. Namun, pernyataan tersebut kemudian dibantah oleh
Menteri Kesehatan yang menyatakan bahwa bahan tersebut
telah diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Selain itu terdapat pula kejangalan yang terdapat
dalam UU No 35 tahun 2009. Dalam UU No 35 tahun 2009 juga
dijelaskan jenis psikotropika golongan I dan golongan II
telah dipindahkan menjadi narkotika golongan I. Definisi
psikotropika sendiri menurut Menurut UU No. 5 tahun 1997,
psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Hal ini membingungkan masyarakat sekaligus tenaga
kesehatan karena obat yang seharusnya bukan narkotika
tetapi masuk ke dalam daftar golongan narkotika.
B. ASPEK FARMAKOLOGI
1. Perbedaan Psikotropika dan Narkotika Secara Umum
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang
Kesehatan, definisi obat adalah bahan atau paduan
bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Namun, obat
juga sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan
kepuasan sesaat, obat-obatan yang sering disalahgunakan
adalah obat golongan narkotika dan psikotropika.
Menurut UU No 35 tahun 2009, narkotika adalah zat
atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri,
dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke
dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-
Undang ini. Narkotika digolongkan menjadi 3 golongan
sebagaimana tertuang dalam lampiran 1 undang-undang
tersebut.
Menurut UU No. 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat
atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika mempunyai
potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Terdapat 4
golongan psikotropika menurut undang-undang tersebut.
Perbedaan Narkotika Dan Psikotropika
Keterangan Psikotropika Narkotika
Sifat
kerja
Selektif Selektif
Tempat
kerja
Susunan saraf pusat
(SSP)
Susunan saraf pusat
(SSP)
Efek utama Aktivitas mental
dan perilaku
(psikoaktif)
Perubahan
kesadaran,
perubahan rasa
terutama rasa nyeri
(analgesik)
Kegunaan Terapi gangguan
psikiatrik
Analgetik,
antitusif,
antispasmodik,
premedikasi
anestesi
Contoh Alprazolam,
diazepam,
fenobarbital
Morfin, petidin,
Kodein
Efek
samping
Sindroma
ketergantungan
Ketergantungan
Penyalahgunaan Psikotropik
Penyalahgunaan psikotropik dapat menimbulkan Sindrom
Ketergantungan (dependence syndrome) dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Kesulitan dalam menguasai (loss of control) perilaku
menggunakan zat (memulai, menghentikan, atau membatasi
jumlahnya).
b. Pengurangan atau penghentian penggunaan zat
menimbulkan keadaan putus zat dengan perubahan
fisiologis tubuh yang tidak menyenangkan sehingga
memaksa pemakainya menggunakan kembali zat itu atau zat
sejenis untuk menghilangkan gejala putus zat.
c. Adanya gejala toleransi, yaitu peningkatan dosis zat
psikoaktif yang diperlukan untuk memperoleh efek yang
sama.
d. Terus menggunakannya walaupun pemakai menyadari adanya
efek yang merugikan kesehatan.
Penyalahgunaan Narkotika
Penyalahgunaan narkotika menimbulkan ketergantungan
narkotika yang ditandai adanya dorongan untuk menggunakan
narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang
meningkat supaya menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-
tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
a. Ketergantungan fisik
Ciri-ciri ketergantungan fisik adalah adanya gejala
abstinensi (pantang) bila penggunaan obat yang berulangkali
dihentikan dan yang kadang-kadang menimbulkan efek “rebound”
yang berlebihan. Sistem saraf pusat (SSP) menggunakan zat
sejenis morfin (endorphin) sebagai neurotransmitter yang
produksinya dihentikan, bila misalnya karena diberi suatu
opiat. Bila kemudian pemberian opiat ini mendadak
dihentikan, segera timbul kekurangan endorphin dan
terjadilah gejala abstinensi, yang bisa berlangsung sampai
berminggu-minggu. Pada jenis ketergantungan ini, dapat
menimbulkan toleransi. Toleransi adalah kecenderungan untuk
secara progresif meningkatkan dosis dari suatu obat untuk
mencapai efek semula. Efek obat berkurang setelah
penggunaan (lama) dalam dosis yang sama, sehingga
diperlukan dosis yang semakin besar untuk mencapai efek
yang sama sehingga dapat menimbulkan efek toksik.
b. Ketergantungan psikis
Penggunaan “drugs” dapat menciptakan suatu keadaan
seolah-olah seseorang dapat melepaskan diri dari keadaan
konflik dan melarikan diri dari kesulitan maupun konfilk.
Namun, begitu penggunaannya dihentikan, segala masalah dan
kesulitan akan timbul kembali, sehingga untuk dapat
melupakannya penggunaan harus terus dilanjutkan. Secara
mental, sesorang tergantung dari penggunaan “drug”. Obat-
obat yang menimbulkan ketergantungan psikis pada umumnya
bekerja terhadap otak dan menimbulkan antara lain efek
sebagai berikut:
1) Menghilangkan/mengurangi
ketegangan dan kecemasan.
2) Memberikan perasaan nyaman
(euphoria).
3) Menimbulkan perasaan meningkatnya
kemampuan fisik maupun mental.
2. Mekanisme Kation dan Methylone
Istilah sistem reward pada manusia perlu dipahami
terlebih dahulu untuk menjelaskan tentang adiksi. Pada
umumnya, manusia suka mengulangi perilaku yang dapat
menghasilkan sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang
menyebabkan rasa menyenangkan tersebut dikatakan
memiliki efek reinforcement positif. Pengaturan perasaan dan
perilaku ini ada pada jalur tertentu di otak, yang disebut
reward pathway. Reward bisa berasal secara alami,
seperti makanan, air, sex, kasih sayang, dan lain-lain yang
membuat orang merasakan senang ketika makan, minum,
disayang, dan lain-lain. Salah satu asal reward adalah obat-
obatan. Perilaku-perilaku yang didorong oleh reward alami
ini dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk survived
(mempertahankan kehidupan).
Tempat Kontrol Adiksi Pada Otak (Nestler, 2001)
Otak berperan penting dalam reward pathway. Bagian otak
yang terlibat adalah ventral tegmental area (VTA), nucleus
accumbens, dan prefrontal cortex. VTA terhubung dengan nucleus
accumbens dan prefrontal cortex melalui jalur reward ini yang
akan mengirim informasi melalui saraf. Saraf di VTA
mengandung neurotransmitter dopamin, yang akan dilepaskan
menuju nucleus accumbens dan prefrontal cortex. Jalur reward ini
akan teraktivasi jika ada stimulus yang memicu pelepasan
dopamin, yang kemudian akan bekerja pada sistem reward.
Contoh Senyawa Narkotika dan Psikotropika Beserta Struktur
Kimianya
Contoh
psikotrop
ika
Struktur
kimia
Contoh
narkotika
Struktur kimia
Alprazola Morfin
m
Diazepam Kodein
Fenobarbi
tal
Kokain
Klonazepa
m
Methadone
1. Katinon
Pada keadaan normal, dopamin maupun norepinefrin yang
merupakan neurotransmiter akan dilepaskan ke celah sinapsis
melalui mekanisme eksositosis. Neurotransmiter akan dibawa
di dalam sebuah vesikel (vesicular monoamin transporter = VMAT)
dan dilepaskan ke celah sinapsis menuju reseptor. Kemudian
setelah menimbulkan efek, neurotransmiter akan dibawa
kembali ke sel saraf melalui monoamin transporter menuju
vesikel.
Mekanisme Katinon Melewati VMAT
Katinon dan amfetamin akan berkompetisi dengan
dopamin dan norepinefrin untuk melewati monoamin
transporter (VMAT) dan masuk ke vesikel sehingga ada
sebagian dopamin dan norepinefrin yang tertinggal pada
celah sinapsis. Kemudian penumpukan dopamin dan
norepinefrin ini yang akan menimbulkan efek stimulan.
Reseptor-reseptor VMAT meliputi : aspartat, asparagin,
glisin, treonin, dan glutamat.
Reseptor-Reseptor VMAT
Ikatan Dopamin Dengan Resesptor VMAT
Mekanisme ikatan antara dopamin dan reseptor VMAT
terlihat ada dua interaksi yang terbentuk yaitu interaksi
ion dipol antara dopamin dengan treonin dan glutamat serta
interaksi transfer muatan dengan aspartat.
Ikatan Amfetamin (Dextroamfetamin) Dengan Resesptor VMAT
Ikatan Katinon Dengan Resesptor VMAT
Mekanisme ikatan antara amfetamin dan katinon dengan
reseptor VMAT terdapat kesamaan, yaitu terbentuk interaksi
ion dipol dengan aspartat dan treonin serta interaksi
hidrofobik dengan glutamat. Dengan adanya kesamaan
interaksi ini maka antara amfetamin dan katinon mempunyai
efek yang sama dalam ‘bersaing’ dengan dopamin pada saat
berikatan dengan reseptor VMAT.
Katinon bersifat lipofil sehingga dapat dengan mudah
menembus sistem saraf pusat dan perifer, seperti amfetamin.
Katinon memiliki efek merangsang peningkatan kadar
neurotransmiter (zat pengantar impuls saraf) dopamin yang
menimbulkan rasa senang, gembira, dan meningkatkan tenaga.
Efek perifer terutama pada saraf simpatomimetik yaitu
meningkatkan pernapasan, suhu tubuh, tekanan darah, detak
jantung dan mydriasis (dilatasi pupil). Efek buruk lainnya
adalah dehidrasi, kerusakan jaringan otot, dan gagal ginjal
yang berujung pada kematian. Penggunaan katinon dalam
jangka lama dan berlebihan menyebabkan kerusakan sel otak.
Akibatnya, orang menjadi paranoid dan mudah berhalusinasi.
Perubahan struktur kimia pada katinon menghasilkan berbagai
macam turunan zat atau komponen kimia baru yang biasa
disebut katinon sintetis. Katinon sintesis di pasaran
khususnya di Amerika dikenal sebagai “bath salts”. Istilah
“bath salts” digunakan untuk menghindari tertangkapnya oleh
pihak yang berwenang. Katinon tidak mempunyai sifat
psychoactive (drug-like). “Bath salts” umumnya berbentuk serbuk
kristal putih atau coklat dan dijual dalam kemasan plastik
kecil atau foil yang berlabel “not for human consumption”, “plant
food”, atau “jewelry cleaner”, atau “phone screen cleaner”. “Bath
salts” biasanya digunakan secara oral, inhalasi, atau
injeksi. Salah satu jenis katinon sintesis adalah Methylone.
Methylone (3,4 methylenedioxy methcathinone) adalah turunan
dari katinon yang mempunyai efek sebagai stimulan dan
psikoaktif seperti katinon. Efek Methylone yang lebih besar
dibandingkan dengan katinon diperoleh karena adanya
penambahan struktur dioxy pada senyawa induk katinon mampu
memperkuat ikatan dengan reseptor dalam tubuh sehingga
susah untuk diekskresikan.
2. Methylone
Methylone (2-methylamino-1-[3,4-methylenedioxyphenyl]propane-1-one)
sebagai salah satu katinon sintesis mempunyai struktur
kimia mirip dengan MDMA (3,4-methylenedioxy-methamphetamine)
atau ecstasy. Oleh karena itu, Methylone diduga bekerja pada
sistem monoaminergic. Methylone berefek psikoaktif dan
tergolong sebagai obat yang dapat menimbulkan kecanduan
(addictive drug). Hal ini terbukti dalam suatu penelitian
menggunakan uji Conditioned Place Preference (CPP) dengan suatu
immunohistochemical untuk menganalisis FosB yang
terakumulasi di nucleus aacumbens setelah administrasi kronis
obat yang sering disalahgunakan. Hasil CPP menyatakan bahwa
administrasi kronis Methylone dapat menyebabkan akumulasi
FosB yang signifikan pada neuron nucleus accumbens. Methylone
dan MDMA secara signifikan menginduksi FosB mRNA di
striatum. Itu sebabnya, Methylone dikatakan memiliki efek
psikoaktif dan dipertimbangkan menjadi obat adiktif (yang
menimbulkan kecanduan) (Miyazawa, Kojima and Nakaji, 2011).
Katinon, amfetamin dan MDMA tergolong dalam golongan
psikotropika karena efek utamanya berupa efek psikoaktif.
Hal ini sesuai dengan definisi psikotropika yaitu
psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Sedangkan Methylone berdasarkan efek utama yang
dihasilkan maka seharusnya Methylone pun termasuk dalam
psikotropika karena berkhasiat psikoaktif dan menyebabkan
perubahan aktivitas mental dan perilaku. Selain itu,
dilihat dari ikatan antara amfetamin dan katinon dengan
reseptor VMAT, dapat disimpulkan bahwa mekanisme dan efek
yang ditimbulkan oleh katinon sama dengan amfetamin. Pada
lampiran Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika pada tabel daftar psikotropika, amfetamin
termasuk dalam kategori psikotropika golongan II, sedangkan
katinon termasuk dalam kategori psikotropika golongan I.
Hal ini sesuai karena keduanya menunjukkan mekanisme reaksi
dan efek yang sama, sehingga keduanya termasuk dalam
kategori psikotropika. MDMA yang mempunyai kemiripan
struktur dengan Methylone yang merupakan turunan katinon pun
termasuk dalam kategori psikotropika golongan I.
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika terdapat hal yang rancu dan menjadi multitafsir
mengenai Methylone sebagai narkoba ”jenis baru” ini apakah
tergolong narkotika? Jika dibaca pada bagian lampiran, di
sana tidak disebutkan secara eksplisit tentang turunan
narkotika jenis katinon, bahkan tentang tanaman khat-pun
tidak tertulis. Pada Undang-Undang tersebut tertulis
katinon dan metkatinon yang masuk dalam narkotika golongan
1. Sementara yang baru ditemukan pada kasus “terbaru” ini
adalah turunan katinon yang bernama Methylone. Methylone
jelas merupakan zat sintesis atau turunan yang diproduksi
dari katinon. Methylone memiliki struktur kimia inti katinon
dengan modifikasi pada salah satu rantai kimianya. Efek
farmakologi dari Methylone lebih kuat dan dahsyat dibanding
katinon, berbagai literatur menunjukkan Methylone mempunyai
efek dan toksisitas yang lebih besar dari katinon. Dilihat
lebih detail mengenai bagian lampiran Undang-Undang Nomor
35 tahun 2009 tentang Narkotika, lampiran narkotika
golongan I hanya memuat 65 macam bahan narkotika, dimana
katinon dan metkatinon merupakan dua bahan yang berhubungan
dengan katinon, sedangkan turunan katinon dan tanaman khat
tidak tertulis di dalamnya. Dalam lampiran golongan I ini
juga tidak dituliskan kalimat “Garam-garam dari Narkotika
dalam golongan I tersebut diatas” seperti yang tertulis
pada golongan II dan golongan III. Contoh pertama,
narkotika jenis opioid. Mulai dari tanamannya, bentuk
mentahnya, bentuk ekstraksinya, bentuk aktif hingga
turunannya semua tertulis dengan jelas. Contoh lain,
narkotika jenis kokain, mulai dari tanaman, bentuk ekstrak
dan produk turunanya juga tertulis dengan lengkap, begitu
juga dengan narkotika jenis ganja. Untuk zat katinon ini
hanya ditulis katinon dan metkatinon, tidak dari tanamannya
khat, zatnya katinon dan turunannya dimungkinkan karena
barangnya belum ada atau belum masuk ke Indonesia. Namun,
begitu marak terjadinya penyalahgunaan katinon dan
turunannya di luar Indonesia seperti Amerika, Eropa
seharusnya dijadikan pertimbangan untuk memasukkan tanaman
khat dan turunan katinon ini ke dalam undang-undang
tersebut.
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa psikotropika
dan narkotika merupakan dua zat/senyawa yang berbeda dengan
efek utama di dalam tubuh yang berbeda, efek samping
berbeda, dan dasar rumus bangun yang berbeda. Sehingga
harus dijelaskan mengenai peraturan UU No 35 tahun 2009
mengenai narkotika dan UU No 5 tahun 1997 mengenai
psikotropika mengenai penjelasan penggolongannya karena
dari pengertian narkotika dan psikotropika jelas berbeda.
Perubahan ini tentunya menimbulkan kerancuan, bagaimana zat
atau obat yang bukan narkotika bisa dimasukkan sebagai
narkotika dan mengapa rasemat, metilfenidat dan
sekobarbital (termasuk dalam lampiran Golongan II
Psikotropika UU No 5 tahun 1997) tidak dicantumkan dalam
lampiran Narkotika Golongan I UU No 35 tahun 2009.
Perubahan ini menjadikan kebingungan dalam memahami
peraturan yang ada karena suatu Undang-Undang yang
dijadikan acuan hukum menjadi sebuah kontroversi dan saling
bertentangan antar 1 pasal dengan pasal lainnya.
C. Aspek Hukum
Dalam perkembangannya permasalahan narkotika semakin
kompleks. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
menyatakan, penggerebekan di rumah salah satu artis ibukota
yang mengandung unsur senyawa katinon memang tidak lazim
ditemui di Indonesia. Senyawa ini disebut bisa menimbulkan
efek euforia terhadap pemakainya. Namun zat tersebut tidak
tercantum dalam UU Narkotika baik pada Lampiran I, maupun
Lampiran II. Apabila dikaitkan dengan asas legalitas,
pengguna zat ini tidak dapat diancam pidana. Mengenai asas
legalitas, Moeljatno menyebutkan bahwa asas legalitas
mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi (kias).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Berdasarkan asas legalitas menurut Moeljatno, maka :
1. Artis Indonesia beserta teman-temannya yang
menggunakan zat katinon tidak dapat diancam pidana karena
zat tersebut tidak diatur dalam undang-undang narkotika.
2. Terkait analogi, BNN tidak dapat menerapkan penafsiran
analogi terhadap zat katinon ini.
3. Apabila mengenai aturan-aturan hukum pidana tidak
berlaku surut, bila nantinya muncul peraturan perundang-
undangan yang mengatur zat katinon sebagai narkotika,
maka pengguna zat ini tidak dapat pula diancam pidana
karena perbuatan itu lebih dulu ada daripada peraturan
perundang-undangannya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44
tahun 2010 tentang Prekursor mencantumkan dan mengatur
senyawa-senyawa yang digunakan untuk pembuatan narkotika
dan psikotropika. Dengan munculnya peraturan yang baru ini,
senyawa Methylone sudah mempunyai payung hukum, serta
senyawa-senyawa berbahaya lain yang belum dicantumkan pada
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2010
tentang Prekursor, pasal 1 poin 1 menyebutkan prekursor
adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
digunakan dalam pembuatan narkotika dan psikotropika.
Sedangkan pasal 3 menyebutkan pengaturan prekusor bertujuan
:
1. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
prekursor
2. Mencegah dan memberantas peredaran gelap prekursor
3. Mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan
prekursor
4. Menjamin ketersediaan prekursor untuk industr
farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
1. Penggolongan
Penggolongan prekursor sudah ditetapkan oleh Menteri
dan bidang yang terkait dengan narkotika, psikotropika
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
44 tahun 2010 pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) sudah
diuraiakan mengenai penggolongan prekursor narkotika dan
psikotropika.
Penggolongan Prekursor
Penggolongan I Penggolongan II
1. Acetic Anhydride
2. N-Acetylanthranilic Acid
3. Ephedrine
4. Ergometrine
5. Ergotamine
6. Isosafrole
7. Lysergic Acid
8. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-
propanone
9. Norephedrine
10. 1-Phenyl-2-Propanone
11. Piperonal
12. Potassium Permanganat
13. Pseudoephedrine
14. Safrole
1. Acetone
2. Anthranilic
Acid
3. Ethyl Ether
4. Hydrochloric
Acid
5. Methyl Ethyl
Ketone
6. Phenylacetic
Acid
7. Piperidine
8. Sulphuric Acid
9. Toluene
2. Pengadaan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44
tahun 2010 tentang Prekursor pasal 6 ayat (1), pengadaan
prekursor diperoleh melalui impor ataupun dapat di produksi
di dalam negeri. Pada pasal 4 ayat (2) disebutkan prekursor
hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi,
industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kemudian untuk alat-alat yang kemungkinan dapat
disalahgunakan, pemerintah mengatur bahwa untuk pengadaan
dan penggunaan prekursor tersebut harus diatur oleh Menteri
dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya. Hal
ini dapat meminimalisir peredaran prekursor secara bebas di
tengah-tengah masyarakat.
3. Produksi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44
tahun 2010 tentang Prekursor pasal 7 menyebutkan bahwa
prekursor hanya dapat diproduksi oleh industri yang telah
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Prekursor untuk industri farmasi harus memenuhi
standar Farmakope Indonesia dan standar lainnya. Pasal 7
ayat (4) menyebutkan prekursor untuk industri non farmasi
harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. Penyimpanan
Penyimpanan prekursor diatur pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2010 tentang
Prekursor pasal 9 ayat (1), prekursor wajib disimpan
pada tempat penyimpanan yang aman dan terpisah dari
penyimpanan lain. Prekursor disimpan di tempat lain yang
terpisah, dan dipastikan keamanannya untuk menjaga kualitas
dan kuantitas dari bahan baku ini. Proses penyimpanan
prekursor harus jelas, prekursor tersebut didapatkan dari
mana dan siapa serta prosesnya harus legal (ada surat
persetujuan impor). Prekursor yang disimpan sebagaimana
dimaksud pada pasal 9 ayat (1) harus dibuktikan diperoleh
secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan dalam mengelola prekursor
harus jelas. Hal ini diatur pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2010 tentang Prekursor
pasal 16 ayat (2), pencatatan yang harus dilakukan
sekurang-kurangnya memuat:
1. Jumlah prekursor yang masih ada dalam persediaan
2. Jumlah dan banyaknya prekursor yang diserahkan
3. Keperluan atau kegunaan prekursor oleh pemesan.
Pencatatan ini kemudian secara berkala dilaporkan dan
memudahkan dalam pengawasan peredaran prekursor narkotik
dan psikotropika ini. Mengingat kebutuhan yang mendesak
akan payung hukum yang jelas untuk narkotika “jenis baru”
yang akan terus muncul, “update” peraturan perundangan
secara rutin juga harus dilakukan. Jika memang pada tingkat
undang-undang membutuhkan waktu yang lama, peraturan pada
tingkat kementerian sepertinya sudah sangat memadai, sesuai
dengan yang diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 5 tahun
1997 tentang Psikotropika pasal 2 ayat (3) dan (4).
Oleh karena itu, pemerintah melalui kementerian
kesehatan, BNN, BPOM secara rutin ke depannya diharapkan
selalu melakukan penelitian terhadap zat-zat psikoaktif
baru baik yang belum maupun diduga telah beredar sebagai
produk ilegal, yang hasilnya bisa direkomendasikan sebagai
bahan dalam pembuatan peraturan perundangan. Dunia obat-
obatan dan kesehatan merupakan salah satu ilmu yang sangat
cepat perkembangannya, akan selalu muncul narkotika jenis
baru, untuk itu hendaknya pemerintah juga selalu menyiapkan
perundangan yang menaunginya, tentu saja untuk melindungi
masyarakat.
D. Kesimpulan
1. Perubahan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 tentang Narkotika pasal 153 bahwa lampiran
Golongan I dan II Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika dipindahkan menjadi Narkotika
Golongan I menimbulkan kerancuan karena dari pengertian
narkotika dan psikotropika jelas berbeda.
2. Amfetamin, MDMA, katinon, dan Methylone bersifat
sebagai psikoaktif dan tergolong psikotropika apabila
didasarkan atas definisi dari psikotropika.
3. Katinon mempunyai struktur yang hampir sama dengan
amfetamin (termasuk dalam kategori psikotropika golongan
II sebelum dilakukan perubahan dengan adanya Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pasal 153)
sehingga mekanisme reaksi dan efeknya juga sama
(psikoaktif). Oleh karena itu, katinon layak disebut
sebagai psikotropika dan demikian juga dengan Methylone
yang merupakan turunan katinon.
4. Pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, tidak disebutkan secara eksplisit tentang
turunan narkotika jenis katinon. Methylone merupakan
turunan dari katinon sehingga belum jelas apakah Methylone
dianggap sudah masuk dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun
2009 atau belum. Kasus ini menjadi bukti undang-undang di
Indonesia ini masih banyak menjadi sebuah kontroversi dan
multitafsir.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun
2010 tentang Prekursor belum dapat dilaksanakan dengan
baik. Sehingga perlu ditinjau kembali mengapa peraturan
tersebut tidak atau belum dapat dilaksanakan
E. Saran
1. Jika psikotropika golongan I dan II tetap dimasukkan
dalam narkotika golongan I maka perlu dilakukan perubahan
atau revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika mengenai definisi psikotropika
dimana kata-kata “bukan narkotika” dihapus.
2. Perlu dilakukan perubahan atau revisi pada Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika bagian
lampiran nomor 35 perlu ditambahkan kata-kata ”... dan
turunannya” sehingga Methylone sebagai turunan katinon
secara eksplisit sudah masuk dan diatur dalam undang-
undang tersebut.
3. Pemerintah diharapkan secara rutin melakukan penilaian
dan penelitian terhadap zat-zat psikoaktif baru baik yang
belum maupun diduga telah beredar sebagai produk ilegal
secara global, yang hasilnya bisa direkomendasikan
sebagai bahan dalam pembuatan peraturan perundangan.
4. Sesuai pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, pasal 3 ayat (3), yang menyebutkan: jenis
psikotropika I psikotropik, golongan II, golongan III,
golongan IV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
pertama kali ditetapkan dan dilampirkan dalam undang-
undang ini yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dan
ayat (4) : Ketentuan lebih lanjut untuk menetapkan dan
perubahan jenis-jenis psikotropika sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur oleh Menteri yang berarti : Bahwa
Menteri Kesehatan berwewenang menetapkan karena adanya
kesamaan struktur maka Methylone merupakan turunan katinon.
5. Dunia obat-obatan dan kesehatan merupakan salah satu
ilmu yang sangat cepat perkembangannya, akan selalu
muncul narkotika jenis baru. Hendaknya pemerintah juga
selalu menyiapkan perundangan yang menaunginya, tentu
saja untuk melindungi masyarakat dengan cara terus
mengevaluasi peraturan-peraturan yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA
European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction,
2012, Synthetic Cathinone,
http://www.emcdda.europa.eu/publications/drug-
profiles/synthetic-cathinones
Kalix, P., 1990. Pharmacological properties of the
stimulant khat. Pharmacol. Ther.48, 397–416.
Levine, Ruth R., 1978, Pharmacology: Drug action and Reactions, Ed.
2, Little, Brown and Company (Inc.), United State of
America.
Miyazawa, M., dkk, 2011, Hirosaki Med. J.: Behavioral and Rewarding
Effects of Methylone, An Analog of MDMA In Mice, Jepang.
Nestler , 2001, Molecular Neuropharmacology, 90-122, New Jersey
Medical School; New Jersey.