Agresivitas - for merge
-
Upload
univesitaspadjadjaran -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Agresivitas - for merge
1
BAB I
PENDAHULUAN
Agresivitas merupakan perilaku yang menimbulkan
cedera, permusuhan atau bersifat destruktif, sering
disebabkan oleh frustrasi. Agresivitas pada manusia
merupakan suatu fenomena yang terjadi di mana-mana dan
menyebabkan banyak kerugian di masyarakat. Tenaga
kesehatan jiwa sering dibutuhkan untuk mengevaluasi
bentuk-bentuk agresivitas individu yang patologis pada
seting klinis, forensik maupun sekolah.1
Agresivitas pada pasien-pasien dengan gangguan
jiwa juga merupakan masalah yang besar, baik ketika
berada di masyarakat maupun di institusi rumah sakit.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa perilaku
agresivitas lebih sering terjadi di antara individu
dengan gangguan psikotik, terutama ketika mereka
memiliki waham curiga dan halusinasi ataupun komorbid
dengan gangguan penggunaan zat. Individu-individu
agresif dengan ancaman verbal yang sangat sering dan
2
tidak dapat diprediksi, melempar benda-benda, merusak
perabot dan jendela, serta menyerang secara fisik
cenderung menghuni bangsal psikiatrik dalam jangka
waktu lama.2
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas sudah
seharusnya seorang calon psikiater memahami lebih dalam
tentang agresivitas. Makalah ini bertujuan untuk
membahas definisi, jenis-jenis, etiologi, prediktor,
neurobiologi, evaluasi, pencegahan dan pengendalian
agresivitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Agresivitas
Agresivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti hal (sifat, tindak) agresif; keagresifan.3
Sedangkan menurut Kaplan agresi itu sendiri merupakan
tindakan yang bertujuan dan penuh tenaga, dapat berupa
3
verbal ataupun fisik; aspek motorik yang menyertai
afek marah atau permusuhan.4
Moyer mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang
jelas dan memiliki maksud untuk menimbulkan stimulasi
yang merugikan.5 Menurut Berkowitz agresi diartikan
sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk
menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun verbal.6
Menurut Ludy T. Benjamin agresi memiliki dua ciri,
yaitu pertama tindakan haruslah mengandung permusuhan
dan memiliki potensi membahayakan. Kedua, korban
agresi harus merupakan pihak yang tidak menginginkan
hal tersebut. Bukan merupakan agresi bila korban
memicu serangan untuk memenuhi keinginan pribadinya.7
Menurut Gordon H.Bower kata kunci yang menyertai
tindakan agresi adalah maksud (intention). Luka yang
diakibatkan karena kecelakaan atau ketidaksengajaan
tidak dianggap sebagai agresi.8
4
2.2 Jenis-jenis Agresivitas1
Agresivitas dapat diklasifikasikan dalam beberapa
cara, misal berdasarkan targetnya (diri sendiri atau
orang lain), berdasarkan cara dilakukannya (fisik atau
verbal, langsung atau tidak langsung), atau penyebab
agresivitas (misal medis ).
Klasifikasi yang paling banyak digunakan dan
mungkin paling bernilai secara heuristis adalah
agresivitas yang terencana dibandingkan dengan
agresivitas impulsif. Agresivitas yang terencana
merupakan perilaku yang direncanakan dan tidak
berkaitan dengan frustrasi atau respon terhadap ancaman
yang segera. Bentuk agresivitas ini disebut juga
sebagai agresivitas predator, instrumental, atau juga
proaktif. Agresivitas terencana tidak selalu disertai
dengan gejala otonom dan direncanakan dengan tujuan
yang jelas. Kadang-kadang bentuk agresivitas ini
diberikan sanksi secara sosial. Sebaliknya agresivitas
impulsif ditandai dengan gejala otonom yang sangat kuat
dan terdapat presipitasi yang berkaitan dengan emosi
5
negatif seperti kemarahan atau ketakutan. Agresifitas
impulsif biasanya merupakan suatu respon terhadap stres
yang dirasakan. Agresivitas impulsif disebut juga
sebagai agresivitas reaktif, agresivitas afektif
ataupun agresivitas bermusuhan. Tipe agresivitas ini
menjadi patologis jika respon agresif berlebihan dalam
kaitannya dengan provokasi emosi yang terjadi. Apabila
ancaman yang ada bersifat membahayakan dan mengancam
maka agresivitas yang tidak terencana ini dapat disebut
sebagai agresivitas defensif dan merupakan bagian dari
dinamika perilaku manusia yang normal.
2.3 Epidemiologi Agresivitas1
Data dari WHO baru-baru ini menyebutkan estimasi
sebanyak 1,43 juta orang meninggal setiap tahunnya di
seluruh dunia akibat kekerasan melibatkan diri sendiri
ataupun antar personal, dan jumlah yang lebih besar
untuk korban-korban kekerasan yang non-fatal.
6
Kebanyakan dari kekerasan tersebut tidak terencana atau
merupakan agresivitas impulsif.
Terdapat juga laporan bahwa seperempat dari
seluruh laki-laki dan hampir setengah dari jumlah
wanita mengadukan tentang tindakan agresivitas fisik
setelah usia 18. Agresivitas impulsif dan episodik
secara verbal maupun fisik dapat berhubungan dengan
berbagai gangguan psikiatrik dan seringkali dijumpai
pada gangguan kepribadian seperti gangguan kepribadian
ambang dan antisosial. Konsekuensi dari perilaku-
perilaku ini dapat berakibat serius, meliputi
penganiayaan pasangan, cedera, kehilangan pekerjaan,
tindak kriminal, pemerkosaan atau pembunuhan. Di antara
pelaku kekerasan sebanyak 47 % dari laki-laki dan 21 %
dari perempuan memiliki gangguan kepribdian antisosial.
2.4 Agresivitas dan Kekerasan9
Kekerasan menjadi sebuah kontroversi di antara
etolog. Istilah tersebut telah digunakan untuk
menggambarkan bentuk-bentuk agresivitas yang mengalami
7
eskalasi abnormal dan patologis ditandai dengan
serangan yang sering dan berkelanjutan serta periode
laten yang singkat. Perbedaan di antara kekerasan dan
agresivitas secara kuantitatif yaitu di mana kekerasan
ditandai dengan periode laten serangan yang pendek,
frekuensi yang lebih sering dan durasi yang lebih lama
dibandingkan agresivitas yang adaptif. Sementara secara
kualitatif kekerasan digambarkan sebagai serangan yang
tidak tergantung pada konteks, diarahkan kepada lawan
tanpa memperhatikan jenis kelamin, kesiagaan ataupun
tempat kejadian. Oleh karena itu secara prinsip
kekerasan mengacu pada agresivitas yang mengalami
peningkatan atau bentuk agresivitas yang secara
kualitatif abnormal.
2.5 Etiologi Agresivitas4
2.5.1 Faktor-faktor Psikologis
2.5.1.1 Perilaku Instingtual
Pada awal karyanya, Sigmund Freud mengemukakan
bahwa semua perilaku manusia berasal dari insting
8
hidup (Eros) yang mana energi atau libidonya ditujukan
untuk perbaikan hidup dan reproduksi. Dalam kerangka
ini, agresivitas dipandang sebagai sebuah reaksi
terhadap penggagalan dorongan libidinal. Setelah Perang
Dunia I, Freud mengemukakan adanya insting kedua yaitu
insting kematian (Thanatos) yang mana energinya
ditujukan ke arah pengrusakan atau terminasi kehidupan.
Menurut Freud semua perilaku manusia berakar dari
interaksi yang kompleks antara Eros dan Thanatos serta
ketegangan yang konstan di antara keduanya.
Insting kematian jika tidak dibatasi akan
mengakibatkan kerusakan pada diri, sehingga Freud
mengemukakan hipotesis bahwa energi Thanatos diarahkan
ke dunia luar dan merupakan dasar untuk agresivitas
terhadap orang lain. Maka pendapat Freud kemudian bahwa
agresivitas secara primer berasal dari pengalihan
pengrusakan diri yang diarahkan terhadap orang lain.
2.5.1.2 Pendapat Lorenz
Menurut Konrad Lorenz agresivitas berasal dari
insting berkelahi yang dimiliki manusia terhadap
9
organisme lain. Energi yang berhubungan dengan insting
ini dihasilkan secara spontan dalam organisme secara
konstan. Probabilitas terjadinya agresivitas meningkat
seiring dengan berfungsinya sejumlah energi yang
tersimpan dan keberadaan stimulus pencetus agresivitas.
Saat itu agresivitas tak terelakkan dan ledakan spontan
terjadi.
2.5.1.3 Perilaku Yang Dipelajari
Ditinjau dari perspektif lain agresivitas secara
primer merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang
dipelajari dan dipertahankan dengan cara yang sama
seperti aktivitas lain. Menurut Albert Bandura sumber
dari agresivitas bukanlah dorongan untuk melakukan
kekerasan yang bersifat bawaan dan dibangkitkan oleh
frustrasi. Menurutnya seseorang memperoleh kemampuan
tersebut hampir seperti perilaku lain, melalui
pengalaman pribadi maupun pengamatan terhadap orang
lain. Perilaku yang dipelajari ini bervariasi antara
budaya. Pada saat yang bersamaan seseorang juga belajar
10
melalui pengalaman siapa-siapa atau situasi apa saja
yang membenarkan adanya suatu agresivitas.
2.5.2 Faktor-faktor Sosial
2.5.2.1 Frustrasi
Cara satu-satunya yang paling ampuh untuk
memancing seseorang melakukan agresivitas adalah
membuat frustrasi. Pendapat ini bersumber dari
hipotesis John Dollard mengenai frustrasi dan
agresivitas. Hipotesis tersebut menyebutkan bahwa
frustrasi selalu mengarah kepada suatu bentuk
agresivitas dan agresivitas selalu bersumber dari
frustrasi.
Namun demikian orang-orang yang frustrasi tidak
selalu berespon dengan pemikiran, kata-kata atau
tindakan agresif. Mereka dapat menunjukkan reaksi yang
bervariasi yang berkisar mulai dari menarik diri,
depresi, dan putus asa dalam menghadapi sumber
frustrasinya. Begitu pula tidak semua agresivitas
diakibatkan oleh frustrasi. Beberapa orang seperti
petinju dan pemain sepak bola bertindak agresif karena
11
berbagai alasan dan sebagai responnya terhadap berbagai
stimulus.
Penyelidikan terhadap bukti-bukti mengindikasikan
bahwa apakah frustrasi akan meningkatkan atau gagal
memunculkan agresivitas tergantung pada dua faktor.
Pertama, frustrasi akan meningkatkan agresivitas ketika
intensitasnya kuat. Kedua, frustrasi kemungkinan akan
meningkatkan agresivitas ketika dipersepsikan sebagai
sesuatu yang sewenang-wenang dan tidak logis.
2.5.2.2 Provokasi Langsung
Penelitian membuktikan bahwa penganiayaan fisik
dan ejekan dari orang lain sering menimbulkan
tindakan-tindakan agresif. Sekali agresivitas
dicetuskan seringkali menjadi semakin menjadi-jadi,
bahkan teguran ringan atau tatapan sekilas dapat
memprovokasi lebih jauh.
2.5.2.3 Kekerasan Di Media
Media dapat mempengaruhi perilaku melalui modeling,
disinhibisi, desensitisasi, pembangkitan perasaan
agresivitas, dan dorongan untuk mengambil risiko.
12
Paparan terhaadap materi-materi kekerasan dilaporkan
meningkatkan fantasi kekerasan terutama pada laki-laki.
Remaja sangat rentan terhadap paparan tersebut.
2.5.3 Faktor-faktor Lingkungan
2.5.3.1 Polusi Udara
Paparan terhadap bau yang mengganggu, misal yang
dihasilkan oleh industri kimia, dapat meningkatkan
iritabilitas seseorang dan agresivitas, meskipun dampak
dari hal ini hanya berlaku hingga batas tertentu.
2.5.3.2 Bising
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang-orang
yang dipaparkan terhadap bunyi keras dan mengganggu
melakukan kekerasan lebih kuat dibandingkan dengan
orang-orang yang tidak terpapar bunyi keras.
2.5.3.3 Kesesakan
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa
kesesakan menimbulkan peningkatan agresivitas, namun
penelitian lainnya gagal membuktikan hubungan tersebut.
Kesesakan dapat meningkatkan kemungkinan meledaknya
13
agresivitas bila reaksi yang timbul bersifat negatif
(misal jengkel dan frustrasi).
2.5.4 Faktor-faktor Situasional
2.5.4.1 Tingginya Dorongan Fisiologis
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa dorongan
fisiologis yang tinggi yang berasal dari berbagai
sumber seperti keikutsertaan dalam kompetisi, olah raga
yang penuh tenaga, dan paparan terhadap film yang
provokatif meningkatkan agresivitas yang nyata.
2.5.4.2 Dorongan Seksual
Penelitian baru-baru ini mengindikasikan bahwa
efek dorongan seksual pada timbulnya agresivitas sangat
tergantung pada materi-materi erotik yang digunakan
untuk menginduksi reaksi agresivitas. Ketika keerotisan
yang ditampilkan ringan, msal foto-foto bugil,
agresivitas berkurang. Ketika keerotisan ditampilkan
secara eksplisit, misal film-film tentang pasangan yang
melakukan berbagai aktivitas seksual, agresivitas
meningkat.
14
2.5.4.3 Nyeri
Nyeri dapat membangkitkan dorongan agresivitas
yang berlanjut pada pencarian target termasuk orang-
orang yang tidak berkaitan dengan nyeri yang dialami
sang agresor.
2.5.5 Faktor-faktor Biologis
2.5.5.1 Hormon
Beberapa penelitian menghubungkan tingkat
agresivitas dengan kadar androgen. Penelitian-
penelitian ini menunjukkan adanya sindrom non-
sensitivitas androgen ( di mana terdapat defek
pengikatan androgen pada protein yang menyebabkan anak
laki-laki dengan penampilan feminim dan kecenderungan
yang rendah untuk bermain kasar) dan sindrom
androgenital ( di mana janin terpapar secara berlebihan
oleh hormon androgen dari korteks adrenal ibu yang
meningkat sehingga menyebabkan maskulinisasi pada anak
perempuan).
2.5.5.2 Obat-obatan
15
Dosis kecil alkohol menghambat agresivitas
sedangkan dosis besar meningkatkan agresivitas. Efek
dari barbiturat sama dengan alkohol. Obat-obat
ansiolitik secara umum menghambat agresivitas.
Ketergantungan opioid berhubungan dengan peningkatan
agresivitas, seperti halnya penggunaan stimulan,
kokain, halusinogen dan pada beberapa kasus juga ganja
pada dosis yang bervariasi.
2.5.5.3 Kerusakan neuroanatomi
Beberapa peneliti mengemukakan hipotesis bahwa
akar dari perilaku agresivitas yang kronis pada orang-
orang tertentu adalah kerusakan organik pada otak.
Pendapat ini adalah perluasan dari teori bahwa
agresivitas merupakan perilaku sosial yang dipelajari,
kemudian bahwa pada orang yang pernah menjadi korban
penganiayaan fisik berat dapat mengalami sekuele
neurologis yang bersifat sekunder akibat penganiayaan
tersebut dan sekuele yang terjadi merupakan faktor
predisposisi biologis untuk perilaku agresivitas.
2.5.5.4 Neurotransmiter
16
Secara umum mekanisme kolinergik dan
katekolaminergik tampaknya terlibt dalam induksi dan
peningkatan agresivitas predator. Sementara itu sistem
serotonergik dan GABA tampaknya menghambat perilaku
agresivitas. Sistem katekolaminergik dan serotonergik
terbukti memodulasi agresivitas afektif. Dopamin
tampaknya memfasilitasi agresivitas sementara
norepinefrin dan seerotonin menghambatnya.
2.5.5.5 Faktor-faktor genetik
Penelitian mengenai perilaku meneliti pengaruh
kromosom, khususnya sindrom XYY 47-kromosom terhadap
agresivitas. Orang dengan sindrom tersebut memiliki
karakteristik tinggi, intelegensi di bawah rata-rata,
memiliki kemungkinan untuk ditangkap dan dipenjara
akibat perilaku kriminal. Namun demikian penelitian-
penelitian selanjutnya membuktikan bahwa sindrom XYY
hanya berkontribusi pada sebagian kecil kasus perilaku
agresivitas.
2.6 Prediktor Agresivitas 4
17
Kebanyakan orang dewasa yang melakukan perilaku
agresivitas kemungkinan besar melakukannya terhadap
orang yang mereka kenal, biasanya anggota keluarga.
Pengecualian dapat terjadi pada remaja laki-laki yang
sering melakukan agresi terhadap orang yang dikenal
sepintas lalu atau orang asing.
Secara umum kemungkinan perilaku agresivitas
meningkat ketika seseorang secara psikologis mengalami
dekompensasi dan mungkin juga ketika onset gangguan
mental terjadi dengan cepat. Dekompensasi yang
berlangsung episodik dapat terjadi pada mereka yang
mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar. Lebih dari 50
% orang-orang yang melakukan tindakan kriminal
pembunuhan dan yang melakukan penganiayaan dilaporkan
mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang signifikan
sebelumnya.
Berikut beberapa prediktor keberbahayaan terhadap
orang lain :
- Niat yang kuat untuk melukai,
- Adanya korban,
18
- Ancaman yang terang-terangan dan sering,
- Rencana yang konkret,
- Akses terhadap alat untuk melakukan kekerasan,
- Riwayat kehilangan kontrol,
- Kemarahan, permusuhan atau kebencian yang terus-
menerus,
- Kenikmatan melakukan atau menonton kekerasan,
- Kurangnya rasa belas kasihan,
- Memandang diri sendiri sebagai korban,
- Kebencian terhadap otoritas,
- Kebrutalan atau deprivasi pada masa kanak-kanak,
- Kurangnya kasih sayang dan kehangatan di rumah,
- Kehilangan orang tua sejak dini,
- Sering bermain-main dengan api, mengompol dan kejam
terhadap binatang,
- Riwayat kekerasan sebelumnya,
- Menyetir dengan ugal-ugalan.
Di antara kesemuanya prediktor terbaik untuk
agresivitas adalah riwayat kekerasan sebelumnya.
19
2.7 Agresivitas dan Gangguan Psikiatrik1,4,10
Terdapat hubungan yang jelas antara agresivitas
dan gangguan psikiatrik. Perilaku agresif merupakan
bagian integral dari beberapa gangguan psikiatrik.
Beberapa gangguan psikiatrik yang berhubungan
dengan agresivitas :
- Retardasi mental
- Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
- Gangguan perilaku (conduct disorder)
- Gangguan kognisi : delirium dan demensia
- Gangguan psikotik : skizofrenia dan gangguan psikotik
YTT
- Gangguan mood : akibat kondisi medis umum ataupun
akibat penggunaan zat
- Gangguan eksplosif intermitten
- Gangguan penyesuaian
- Gangguan kepribadian : paranoid, antisosial,
borderline, narsisistik
Pada pasien gangguan jiwa terdapat suatu
kerentanan untuk timbulnya agresivitas. Manifestasi
20
dari kerentanan tersebut berbeda-beda tergantung dari
konteks psikopatologinya (Gambar 1). Misalnya pada
konteks adanya psikopati yang ditandai dengan tidak
adanya empati dan perilaku tidak berperasaan kepada
orang lain, agresivitas rentan untuk timbul sebagai
agresivitas instrumental dengan karakteristik gangguan
kepribadian antisosial. Ketika kerentanan berhubungan
dengan kelemahan kognitif atau disorganisasi proses
pikir maka agresivitas dapat bermanifestasi pada pasien
psikotik atau pada perilaku menyimpang seperti
pembunuhan, pemerkosaan dan pembunuhan serial. Individu
dengan predisposisi ansietas yang kemudian terpapar
dengan trauma memiliki kerentanan untuk menjadi
agresif. Agresivitas pada pasien tersebut timbul bila
dipicu oleh sinyal-sinyal yang membangkitkan trauma
terdahulu, sama halnya pada PTSD (Post Traumatic Stress
Disorder).
Agresivitas reaktif atau impulsif sering terjadi
dalam konteks adanya sensitivitas yang ekstrim dan
disregulasi emosional seperti pada gangguan kepribadian
21
ambang. Kerentanan terhadap agresivitas dapat
dimungkinkan oleh adanya perubahan mood atau keadaan
ansietas seperti pada gangguan bipolar, gangguan cemas
menyeluruh, atau gangguan panik. Agresivitas yang
bersifat episodik dan kekerasan sering menyertai
demensia. Gangguan penyalahgunaan zat merupakan
komorbid yang biasanya terjadi, yang mana gangguan ini
berkontribusi terhadap distorsi kognitif maupun
timbulnya disinhibisi.
Gambar 1. Kerentanan terhadap agresivitas dan Gangguan
Psikiatrik
2.8 Neurobiologi Agresivitas1
Menurut konsep diatesis dari agresivitas terjadi
suatu ketidakseimbangan antara kontrol “top-down” atau
22
“brakes” dari korteks orbito-frontal dan anterior
cingulatum yang berfungsi dalam kaliberasi perilaku
terhadap norma sosial, memodulasi atau mensupresi
perilaku agresif, dengan dorongan “bottom-up” yang
berlebihan yang dicetuskan oleh area limbik seperti
amigdala dan insula.
Pada Gambar 2, stimulus yang memprovokasi emosi
yang berperan sebagai pencetus agresivitas akan
diproses oleh pusat pemroses sensori auditori, visual
dan sensori lain. Pada tahap ini defisit sensori misal
gangguan pendengaran atau penglihatan maupun distori
sensori yang disebabkan oleh obat-obatan, alkohol atau
gangguan metabolik dapat mengakibatkan kesan sensori
yang tidak lengkap atau terdistorsi yang dapat
meningkatkan kemungkinan bahwa stimulus diartikan
sebagai ancaman atau provokasi. Setelah pemrosesan
sensori, penilaian stimulus akan diolah di pusat
pemrosesan informasi sosial dan tentunya di regio
asosiasi yang lebih tinggi, termasuk korteks
prefrontal, temporal dan parietal.
23
Tahap awal pemrosesan informasi awal ini dapat
dipengaruhi oleh budaya dan faktor-faktor sosial yang
mungkin memodulasi persepsi tentang provokasi. Selain
itu dapat juga terdistorsi oleh kelemahan kognitif
sehingga mengarah pada kecenderungan timbulnya ide
paranoid atau idea of reference dan dapat mengalami bias
oleh skema negatif akibat perkembangan stres/trauma
ataupun pengalaman negatif yang berkepanjangan yang
berakibat berkurangnya rasa percaya. Akhirnya
pemrosesan stimulus ini dalam kaitannya dengan
conditioning emosi di masa lalu yang diolah di amigdala
dan area limbik yang terkait akan mencetuskan dorongan
untuk bertindak agresif. Sementara korteks
orbitofrontal dan girus anterior cingulatum akan
memodulasi secara “top-down” respon-respon emosi ini
dan berperan untuk mensupresi perilaku-perilaku dengan
konsekuensi negatif.
24
Gambar 2. Inisiasi dan modulasi agresivitas
Berbagai abnormalitas spesifik lainnya pada
struktur otak dan neuromodulator yang meregulasi sistem
agresivitas kemungkinan dapat berperan dalam
menyebabkan kerentanan terhadap agresivitas (Gambar 3).
Gambar 3. Sirkuit otak dan neuromodulator yang
meregulasi agresivitas
25
Serotonin memfasilitasi inhibisi di prefrontal
sehingga aktivitas serotonorgik yang insufisien dapat
meningkatkan agresivitas. Sementara aktivitas
gabaminergik di reseptor GABA dapat mengurangi
reaktivitas subkortikal sehingga aktivitas gabaminergik
yang berkurang dapat meningkatkan agresivitas.
Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguan
psikiatrik bervariasi (Gambar 4), namun cenderung
melibatkan ketidakseimbangan regulasi kortikal dan
subkortikal. Aplikasi dari neurobiologi agresivitas
untuk pemilihan farmakoterapi dapat dilihat pada Gambar
5.
Gambar 4. Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguanpsikiatrik
26
Gambar 5. Implikasi neurobiologi terhadap farmakoterapi
agresivitas
2.9 Evaluasi Agresivitas5
Evaluasi pasien yang menunjukkan agresivitas dapat
menjadi problematik. Perhatian terhadap keamanan fisik
dari pasien, dokter dan staf merupakan prasyarat bagi
asesmen klinis yang akurat dan obyektif. Klinisi harus
mengetahui sumber-sumber dan keterbatasan dari situasi
klinis untuk manajemen perilaku agresif.
Ketika melakukan pendekatan terhadap pasien
agresif diperlukan sekali penilaian yang baik dan
pengalaman. Meski demikian beberapa pedoman umum dapat
menjadi pertimbangan. Pasien-pasien yang agresif secara
verbal atau motorik dibedakan dari pasien-pasien yang
tindakan agresinya telah menjadi kekerasan secara
27
fisik. Indikasi bahwa pasien telah atau mungkin akan
melakukan kekerasan dapat diperoleh dari beberapa
sumber. Jika sumber laporan mengenai kekerasan tersebut
berasal dari staf unit gawat darurat atau keluarga maka
klinisi sebaiknya menyelidiki bagaimana laporan
tersebut disampaikan dalam upaya mengevaluasi derajat
keakuratan dan obyektivitasnya. Klinisi juga sebaiknya
meminta data observasional dan riwayat pasien yang
mendukung dugaan bahwa pasien mungkin akan melakukan
kekerasan. Seringkali perilaku pasien yang aneh dapat
memicu fantasi-fantasi mengenai kekerasan di dalam
pikiran pengamat, meskipun faktanya tidak ada
kemungkinan untuk hal itu. Kejadian seperti ini
khususnya terjadi pada orang-orang yang tidak
berpengalaman dalam menangani dan mengamati masalah-
masalah psikiatri.
Secara umum bukti awal mengenai adanya kekerasan
harus dianggap valid dan perhatian untuk keselamatan
pasien dan staf harus mendahului pertimbangan tentang
diagnosis. Butir selanjutnya adalah bahwa penyerangan
28
terhadap staf akibat kewaspadaan keamanan yang tidak
adekuat, mengakibatkan kemunduran yang berat dan
ireversibel dalam kinerja unit dan moril institusi.
Butir ketiga yang tidak kalah penting adalah tak ada
klinisi yang takut akan penyerangan fisik, dapat
mengevaluasi kondisi pasien dengan adekuat dan
obyektif.
Riwayat kekerasan atau potensi perilaku kekerasan
yang didapat di awal harus dianggap serius dan
kewaspadaan harus diterapkan untuk keselamatan selama
evaluasi. Hal ini mungkin termasuk memanggil petugas
keamanan. Penting juga untuk menyingkirkan benda-benda
yang berbahaya atau dapat dirusak oleh pasien dari
area, demikian juga orang-orang yang rentan misal
pasien-pasien lain. Jika kemampuan pasien untuk
mengontrol dorongan untuk melakukan kekerasan diragukan
maka satu atau lebih petugas keamanan harus mendampingi
selama evaluasi. Hal ini harus dilakukan tanpa rasa
bersalah dan penuh kesadaran diri disertai penjelasan
kepada pasien bahwa prosedur ini rutin dilakukan
29
apabila petugas tidak yakin tentang situasi yang ada.
Staf atau keluarga yang ketakutan terhadap pasien
dengan perilaku kekerasan mungkin memanggil psikiater
dengan asumsi bahwa psikiater secara ajaib dapat
mengontrol atau kebal terhadap kekerasan. Asumsi
seperti itu harus dikoreksi oleh klinisi, baik di dalam
pikirannya maupun pikiran pasien, keluarga dan staf.
Keberadaan personil yang adekuat untuk mengontrol
potensi kekerasan dapat memberikan rasa tenang pada
semua yang terlibat.
Ketika melakukan pendekatan terhadap pasien yang
tidak dapat diprediksi di ruang pemeriksaan maka
biarkan pintu terbuka. Klinisi harus menjaga agar
pasien tidak menghalangi antara dirinya dan pintu.
Kewaspadaan seperti itu harus dijelaskan tanpa adanya
rasa bersalah. Klinisi harus tetap tenang, penuh empati
dan hindari menampilkan postur yang bersifat otoriter
atau mengontrol, kecuali keadaan menjadikan ini sebuah
keharusan. Jika pasien mengatakan keinginan agresif
maka klinisi dapat meminta pasien agar mengontrol
30
keinginannya tersebut. Jika pasien mengatakan ia tidak
bisa melakukannya maka keberadaan personil yang adekuat
untuk mengontrol potensi kekerasan dapat memberikan
efek tenang pada semua yang terlibat.
Obat-obatan sebaiknya tidak diberikan sebelum
evaluasi klinis yang lengkap. Hal tersebut dikarenakan
perilaku agresif pasien mungkin diakibatkan oleh
kondisi organik yang dapat tersamarkan atau diperburuk
oleh agen-agen psikofarmaka. Maka dari itu sangat
penting dilakukan pre-evaluasi dan kewaspadaan untuk
mengontrol kekerasan.
Jika situasi sudah stabil maka klinisi dapat
melanjutkan untuk evaluasi. Anamnesis harus diperoleh
dari pasien, keluarga, teman, ataupun petugas yang
membawa pasien. Pemeriksaan status mental dan fisik
(termasuk neurologis) harus dilakukan hingga batas
yang memungkinkan dengan kondisi pasien. Evaluasi awal
harus mengarahkan pada beberapa diagnosis banding yang
mungkin. Klinisi kemudian dapat memilih apakah
31
diperlukan rawat inap atau tidak untuk melanjutkan
evaluasi lebih jauh, mengobati ataupun merujuk.
2.10 Instrumen Penilaian Agresivitas
Berikut beberapa instrumen yang dapat dgunakan
untuk menilai gejala agresivitas.
1. Overt Aggression Scale (OAS)11
Instrumen ini termasuk skala yang bersifat
obyektif (dinilai oleh pemeriksa). Pada instrumen ini,
perilaku agresif dibagi menjadi 4 kategori yaitu: 1)
agresivitas verbal, 2) agresivitas fisik terhadap
benda-benda, 3) agresivitas fisik terhadap diri
sendiri, dan 4) agresivitas fisik terhadap orang lain.
Dalam setiap kategori perilaku agresif dinilai
berdasarkan beratnya. Contoh perilaku yang mewakili
digunakan untuk mendefinisikan skala nilai-nilai dan
menuntun pemeriksa dalam menentukan beratnya perilaku
agresif. Beratnya perilaku agresif dinilai dalam 4
tingkatan.
2. The aggression questionnaire12
32
Instrumen ini dikembangkan oleh Buss, A. H. dan
Perry, M. P. pada tahun 1992, berisi 29 pertanyaan dan
bersifat self-rating. Pertanyaan 1-9 untuk menilai
agresivitas fisik, 10-14 agresivitas verbal, 15-21
kemarahan, 22-29 menilai permusuhan.
3.The Displaced Aggression Questionnaire13
Instrumen ini dikembangkan oleh Denson T. F.,
Pedersen W. C., dan Miller N pada tahun 2006, berisi 31
pertanyaan dan bersifat self-rating, digunakan untuk
mengukur aspek emosional, kognitif, dan perilaku dari
agresi yang dipindah-tempatkan (displacement) kepada
obyek yang tidak bersalah.
2.11 Pencegahan dan Pengendalian Agresivitas4
Pencegahan terjadinya kematian dan disabilitas
yang diakibatkan oleh perilaku agresivitas, kekerasan
atau pembunuhan dimulai dari tingkat individual dan
meliputi rujukan psikiatrik, pemberitahuan kepada pihak
yang berwenang (bersifat wajib pada kasus seperti
33
penganiayaan anak dan ancaman penganiayaan terhadap
seseorang), dan konseling oleh terapis yang ahli.
Berikut ini beberapa cara yang dapat digunakan
untuk mencegah dan mengendalikan agresivitas.
a. Hukuman
Hukuman kadang-kadang merupakan pencegahan yang
efektif untuk agresivitas yang nyata, namun hukuman
tidak selalu dapat mencegah agresivitas. Penerima
hukuman seringkali menginterpretasikan hukuman sebagai
suatu penyerangan terhadapnya.
b. Katarsis
Hpotesis mengenai katarsis adalah kepercayaan
bahwa dengan terlibat dalam aktivitas seperti berlari
atau tinju membuat seseorang dapat menyalurkan
kemarahannya sehingga mengurangi agresivitas.
c. Pelatihan Keterampilan Sosial
Alasan utama mengapa banyak orang terlibat dalam
agresivitas yang berulang-ulang adalah kurangnya
kemampuan sosial yang mendasar. Orang-orang ini tidak
mengetahui bagaimna cara berkomunikasi dengan efektif
34
sehingga mereka menggunakan cara kasar untuk
mengekspresikan diri. Ketidakmampuan yang tampak
misalnya dalam menyampaikan permintaan, bernegosiasi,
mengajukan komplain, sering mengiritasi teman, kenalan
ataupun orang asing. Kekurangan dalam hal
bersosialisasi yang parah menandakan bahwa mereka
mengalami frustrasi yang berulang dan kemarahan yang
sering terhadap orang yang mereka temui. Sebuah teknik
untuk mengurangi frekuensi perilaku tadi adalah
memberikan mereka keterampilan sosial.
Pelatihan keterampilan sosial sudah diaplikasikan
pada berbagai grup seperti remaja, polisi dan bahkan
orang tua yang menganiaya anaknya. Dalam banyak kasus
tampak suatu perubahan yang dramatis dalam perilaku
(misal komunikasi antar-personal dan kemampuan
menghadapi stres dan penolakan yang meningkat) serta
berkurangnya perilaku agresivitas.
c. Induksi Respon-respon yang Berlawanan dengan
Agresivitas
35
Hal ini mencakup paparan yang menimbulkan reaksi-
reaksi misal empati, humor, rasa bersalah, ataupun
bangkitan gairah seksual yang ringan. Selain itu dapat
juga dengan melibatkan pasien dalam tugas-tugas
kognitif misal menyelesaikan soal-soal matematika.
2.12 Algoritma Penatalaksanaan Agresivitas
Algoritma penatalaksanaan agresivitas dapat
dilihat pada Gambar 6 .
36
Sumber : The Expert Consensus Guideline™: Treatment of
Behavioral Emergencies. Allen MH, Currier GW, Hughes
DH, Reyes-Harde M, & Docherty JP (2001). The MGraw-Hill
Companies, Inc14
37
Beberapa jenis obat dapat membantu dalam
penatalaksanaan pasien agresivitas secara optimal,
seperti pada Gambar 7 di bawah ini.
38
BAB III
KESIMPULAN
Agresivitas merupakan segala sesuatu yang
berkenaan dengan perilaku yang memiliki maksud untuk
menyakiti orang lain atau memiliki potensi
membahayakan, di mana korban merupakan pihak yang tidak
menginginkan hal tersebut. Agresivitas dapat secara
fisik maupun verbal, dapat ditujukan terhadap diri
sendiri, orang lain ataupun obyek. Selain itu juga
dikenal agresivitas yang terencana dan agresivitas
impulsif. Etiologi agresivitas berasal dari faktor-
faktor psikologis, sosial, lingkungan, situasional dan
biologis.
Agresivitas sering ditemukan pada berbagai
gangguan psikiatrik. Evaluasi yang obyektif dan adekuat
39
diperlukan untuk memperoleh diagnosis yang tepat,
dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan pasien,
dokter, staf, dan keluarga.
Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguan psikiatrik
bervariasi, namun cenderung melibatkan
ketidakseimbangan regulasi kortikal dan subkortikal.
Berbagai usaha dapat dilakukan untuk mencegah dan
mengendalikan agresivitas sehingga tidak menimbulkan
kematian maupun kerugian lainnnya. Beberapa jenis
farmakoterapi seperti antipsikotik, antidepresan,
antikonvulsan, benzodiazepin maupun stimuln dapat
diberikan sesuai dengan etiologi yang mendasari
agresivitas.
DAFTAR PUSTAKA
40
1. Siever LJ. Neurobiology of Aggression and
Violence. American Journal Psychiatry.
2008;165:429-42.
2. Frey REC, Weller J. Behavioral Management of
Aggression Through Teaching Interpersonal Skills.
Psychiatric Services. 2000;51:607-9.
3. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional; 2008.
4. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis
of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry. 10th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
5. Cavenar JO, Brodie HKH. Sign and Symptomps in
Psychiatry. Philadelphia: J.B Lippincott Company;
1983.
6. Berkowitz, L. Aggression: Its causes,
consequences, and control. New York, NY: McGraw-
Hill; 1993
41
7. Benjamin LT, Hopkins JR, Nation JR. Psychology.
New York: Macmillan Publishing Company; 1987.
8. Bower GH, Bootzin RR, Zajonc RB. Principles of
Psychology Today. 1st ed. New York: Random House
Inc.; 1987.
9. Takahashi A, Quadros IM, Almeida RMMd, Miczek KA.
Behavioral and Pharmacogenetics of Aggressive
Behavior. Curr Top Behav Neurosci. 2012;12:73–138.
10. Huband N, Ferriter M, Nathan R, Jones H.
Antiepileptics for aggression and associated
impulsivity. Cochrane Database Syst Rev. 2010.
11. Yudofsky SC, Silver JM, Jackson W, Endicott
J, Williams D. The Overt Aggression Scale for the
Objective Rating of Verbal and Physical
Aggression. Am J Psychiatry 1986;143:35-9.
12. Buss, A. H., & Perry, M. P. The aggression
questionnaire. Journal of Personality and Social
Psychology. 1992; 63: 452-459
42
13. Denson, T. F., Pedersen, W. C., & Miller, N.
The Displaced Aggression Questionnaire. Journal of
Personality and Social Psychology. 2006; 90: 1032-1051
14. Allen MH, Currier GW, Hughes DH, Reyes-Harde
M, & Docherty JP. The Expert Consensus Guideline™:
Treatment of Behavioral Emergencies. A
Postgraduate Medicine Special Report. The MGraw-
Hill Companies, Inc. ; 2001. Diunduh dari
www.psychguides.com/Behavioral%20Emergencies.pdf