Agresivitas - for merge

43
1 BAB I PENDAHULUAN Agresivitas merupakan perilaku yang menimbulkan cedera, permusuhan atau bersifat destruktif, sering disebabkan oleh frustrasi. Agresivitas pada manusia merupakan suatu fenomena yang terjadi di mana-mana dan menyebabkan banyak kerugian di masyarakat. Tenaga kesehatan jiwa sering dibutuhkan untuk mengevaluasi bentuk-bentuk agresivitas individu yang patologis pada seting klinis, forensik maupun sekolah. 1 Agresivitas pada pasien-pasien dengan gangguan jiwa juga merupakan masalah yang besar, baik ketika berada di masyarakat maupun di institusi rumah sakit. Data epidemiologi menunjukkan bahwa perilaku agresivitas lebih sering terjadi di antara individu dengan gangguan psikotik, terutama ketika mereka memiliki waham curiga dan halusinasi ataupun komorbid dengan gangguan penggunaan zat. Individu-individu agresif dengan ancaman verbal yang sangat sering dan

Transcript of Agresivitas - for merge

1

BAB I

PENDAHULUAN

Agresivitas merupakan perilaku yang menimbulkan

cedera, permusuhan atau bersifat destruktif, sering

disebabkan oleh frustrasi. Agresivitas pada manusia

merupakan suatu fenomena yang terjadi di mana-mana dan

menyebabkan banyak kerugian di masyarakat. Tenaga

kesehatan jiwa sering dibutuhkan untuk mengevaluasi

bentuk-bentuk agresivitas individu yang patologis pada

seting klinis, forensik maupun sekolah.1

Agresivitas pada pasien-pasien dengan gangguan

jiwa juga merupakan masalah yang besar, baik ketika

berada di masyarakat maupun di institusi rumah sakit.

Data epidemiologi menunjukkan bahwa perilaku

agresivitas lebih sering terjadi di antara individu

dengan gangguan psikotik, terutama ketika mereka

memiliki waham curiga dan halusinasi ataupun komorbid

dengan gangguan penggunaan zat. Individu-individu

agresif dengan ancaman verbal yang sangat sering dan

2

tidak dapat diprediksi, melempar benda-benda, merusak

perabot dan jendela, serta menyerang secara fisik

cenderung menghuni bangsal psikiatrik dalam jangka

waktu lama.2

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas sudah

seharusnya seorang calon psikiater memahami lebih dalam

tentang agresivitas. Makalah ini bertujuan untuk

membahas definisi, jenis-jenis, etiologi, prediktor,

neurobiologi, evaluasi, pencegahan dan pengendalian

agresivitas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Agresivitas

Agresivitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

berarti hal (sifat, tindak) agresif; keagresifan.3

Sedangkan menurut Kaplan agresi itu sendiri merupakan

tindakan yang bertujuan dan penuh tenaga, dapat berupa

3

verbal ataupun fisik; aspek motorik yang menyertai

afek marah atau permusuhan.4

Moyer mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang

jelas dan memiliki maksud untuk menimbulkan stimulasi

yang merugikan.5 Menurut Berkowitz agresi diartikan

sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk

menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun verbal.6

Menurut Ludy T. Benjamin agresi memiliki dua ciri,

yaitu pertama tindakan haruslah mengandung permusuhan

dan memiliki potensi membahayakan. Kedua, korban

agresi harus merupakan pihak yang tidak menginginkan

hal tersebut. Bukan merupakan agresi bila korban

memicu serangan untuk memenuhi keinginan pribadinya.7

Menurut Gordon H.Bower kata kunci yang menyertai

tindakan agresi adalah maksud (intention). Luka yang

diakibatkan karena kecelakaan atau ketidaksengajaan

tidak dianggap sebagai agresi.8

4

2.2 Jenis-jenis Agresivitas1

Agresivitas dapat diklasifikasikan dalam beberapa

cara, misal berdasarkan targetnya (diri sendiri atau

orang lain), berdasarkan cara dilakukannya (fisik atau

verbal, langsung atau tidak langsung), atau penyebab

agresivitas (misal medis ).

Klasifikasi yang paling banyak digunakan dan

mungkin paling bernilai secara heuristis adalah

agresivitas yang terencana dibandingkan dengan

agresivitas impulsif. Agresivitas yang terencana

merupakan perilaku yang direncanakan dan tidak

berkaitan dengan frustrasi atau respon terhadap ancaman

yang segera. Bentuk agresivitas ini disebut juga

sebagai agresivitas predator, instrumental, atau juga

proaktif. Agresivitas terencana tidak selalu disertai

dengan gejala otonom dan direncanakan dengan tujuan

yang jelas. Kadang-kadang bentuk agresivitas ini

diberikan sanksi secara sosial. Sebaliknya agresivitas

impulsif ditandai dengan gejala otonom yang sangat kuat

dan terdapat presipitasi yang berkaitan dengan emosi

5

negatif seperti kemarahan atau ketakutan. Agresifitas

impulsif biasanya merupakan suatu respon terhadap stres

yang dirasakan. Agresivitas impulsif disebut juga

sebagai agresivitas reaktif, agresivitas afektif

ataupun agresivitas bermusuhan. Tipe agresivitas ini

menjadi patologis jika respon agresif berlebihan dalam

kaitannya dengan provokasi emosi yang terjadi. Apabila

ancaman yang ada bersifat membahayakan dan mengancam

maka agresivitas yang tidak terencana ini dapat disebut

sebagai agresivitas defensif dan merupakan bagian dari

dinamika perilaku manusia yang normal.

2.3 Epidemiologi Agresivitas1

Data dari WHO baru-baru ini menyebutkan estimasi

sebanyak 1,43 juta orang meninggal setiap tahunnya di

seluruh dunia akibat kekerasan melibatkan diri sendiri

ataupun antar personal, dan jumlah yang lebih besar

untuk korban-korban kekerasan yang non-fatal.

6

Kebanyakan dari kekerasan tersebut tidak terencana atau

merupakan agresivitas impulsif.

Terdapat juga laporan bahwa seperempat dari

seluruh laki-laki dan hampir setengah dari jumlah

wanita mengadukan tentang tindakan agresivitas fisik

setelah usia 18. Agresivitas impulsif dan episodik

secara verbal maupun fisik dapat berhubungan dengan

berbagai gangguan psikiatrik dan seringkali dijumpai

pada gangguan kepribadian seperti gangguan kepribadian

ambang dan antisosial. Konsekuensi dari perilaku-

perilaku ini dapat berakibat serius, meliputi

penganiayaan pasangan, cedera, kehilangan pekerjaan,

tindak kriminal, pemerkosaan atau pembunuhan. Di antara

pelaku kekerasan sebanyak 47 % dari laki-laki dan 21 %

dari perempuan memiliki gangguan kepribdian antisosial.

2.4 Agresivitas dan Kekerasan9

Kekerasan menjadi sebuah kontroversi di antara

etolog. Istilah tersebut telah digunakan untuk

menggambarkan bentuk-bentuk agresivitas yang mengalami

7

eskalasi abnormal dan patologis ditandai dengan

serangan yang sering dan berkelanjutan serta periode

laten yang singkat. Perbedaan di antara kekerasan dan

agresivitas secara kuantitatif yaitu di mana kekerasan

ditandai dengan periode laten serangan yang pendek,

frekuensi yang lebih sering dan durasi yang lebih lama

dibandingkan agresivitas yang adaptif. Sementara secara

kualitatif kekerasan digambarkan sebagai serangan yang

tidak tergantung pada konteks, diarahkan kepada lawan

tanpa memperhatikan jenis kelamin, kesiagaan ataupun

tempat kejadian. Oleh karena itu secara prinsip

kekerasan mengacu pada agresivitas yang mengalami

peningkatan atau bentuk agresivitas yang secara

kualitatif abnormal.

2.5 Etiologi Agresivitas4

2.5.1 Faktor-faktor Psikologis

2.5.1.1 Perilaku Instingtual

Pada awal karyanya, Sigmund Freud mengemukakan

bahwa semua perilaku manusia berasal dari insting

8

hidup (Eros) yang mana energi atau libidonya ditujukan

untuk perbaikan hidup dan reproduksi. Dalam kerangka

ini, agresivitas dipandang sebagai sebuah reaksi

terhadap penggagalan dorongan libidinal. Setelah Perang

Dunia I, Freud mengemukakan adanya insting kedua yaitu

insting kematian (Thanatos) yang mana energinya

ditujukan ke arah pengrusakan atau terminasi kehidupan.

Menurut Freud semua perilaku manusia berakar dari

interaksi yang kompleks antara Eros dan Thanatos serta

ketegangan yang konstan di antara keduanya.

Insting kematian jika tidak dibatasi akan

mengakibatkan kerusakan pada diri, sehingga Freud

mengemukakan hipotesis bahwa energi Thanatos diarahkan

ke dunia luar dan merupakan dasar untuk agresivitas

terhadap orang lain. Maka pendapat Freud kemudian bahwa

agresivitas secara primer berasal dari pengalihan

pengrusakan diri yang diarahkan terhadap orang lain.

2.5.1.2 Pendapat Lorenz

Menurut Konrad Lorenz agresivitas berasal dari

insting berkelahi yang dimiliki manusia terhadap

9

organisme lain. Energi yang berhubungan dengan insting

ini dihasilkan secara spontan dalam organisme secara

konstan. Probabilitas terjadinya agresivitas meningkat

seiring dengan berfungsinya sejumlah energi yang

tersimpan dan keberadaan stimulus pencetus agresivitas.

Saat itu agresivitas tak terelakkan dan ledakan spontan

terjadi.

2.5.1.3 Perilaku Yang Dipelajari

Ditinjau dari perspektif lain agresivitas secara

primer merupakan suatu bentuk perilaku sosial yang

dipelajari dan dipertahankan dengan cara yang sama

seperti aktivitas lain. Menurut Albert Bandura sumber

dari agresivitas bukanlah dorongan untuk melakukan

kekerasan yang bersifat bawaan dan dibangkitkan oleh

frustrasi. Menurutnya seseorang memperoleh kemampuan

tersebut hampir seperti perilaku lain, melalui

pengalaman pribadi maupun pengamatan terhadap orang

lain. Perilaku yang dipelajari ini bervariasi antara

budaya. Pada saat yang bersamaan seseorang juga belajar

10

melalui pengalaman siapa-siapa atau situasi apa saja

yang membenarkan adanya suatu agresivitas.

2.5.2 Faktor-faktor Sosial

2.5.2.1 Frustrasi

Cara satu-satunya yang paling ampuh untuk

memancing seseorang melakukan agresivitas adalah

membuat frustrasi. Pendapat ini bersumber dari

hipotesis John Dollard mengenai frustrasi dan

agresivitas. Hipotesis tersebut menyebutkan bahwa

frustrasi selalu mengarah kepada suatu bentuk

agresivitas dan agresivitas selalu bersumber dari

frustrasi.

Namun demikian orang-orang yang frustrasi tidak

selalu berespon dengan pemikiran, kata-kata atau

tindakan agresif. Mereka dapat menunjukkan reaksi yang

bervariasi yang berkisar mulai dari menarik diri,

depresi, dan putus asa dalam menghadapi sumber

frustrasinya. Begitu pula tidak semua agresivitas

diakibatkan oleh frustrasi. Beberapa orang seperti

petinju dan pemain sepak bola bertindak agresif karena

11

berbagai alasan dan sebagai responnya terhadap berbagai

stimulus.

Penyelidikan terhadap bukti-bukti mengindikasikan

bahwa apakah frustrasi akan meningkatkan atau gagal

memunculkan agresivitas tergantung pada dua faktor.

Pertama, frustrasi akan meningkatkan agresivitas ketika

intensitasnya kuat. Kedua, frustrasi kemungkinan akan

meningkatkan agresivitas ketika dipersepsikan sebagai

sesuatu yang sewenang-wenang dan tidak logis.

2.5.2.2 Provokasi Langsung

Penelitian membuktikan bahwa penganiayaan fisik

dan ejekan dari orang lain sering menimbulkan

tindakan-tindakan agresif. Sekali agresivitas

dicetuskan seringkali menjadi semakin menjadi-jadi,

bahkan teguran ringan atau tatapan sekilas dapat

memprovokasi lebih jauh.

2.5.2.3 Kekerasan Di Media

Media dapat mempengaruhi perilaku melalui modeling,

disinhibisi, desensitisasi, pembangkitan perasaan

agresivitas, dan dorongan untuk mengambil risiko.

12

Paparan terhaadap materi-materi kekerasan dilaporkan

meningkatkan fantasi kekerasan terutama pada laki-laki.

Remaja sangat rentan terhadap paparan tersebut.

2.5.3 Faktor-faktor Lingkungan

2.5.3.1 Polusi Udara

Paparan terhadap bau yang mengganggu, misal yang

dihasilkan oleh industri kimia, dapat meningkatkan

iritabilitas seseorang dan agresivitas, meskipun dampak

dari hal ini hanya berlaku hingga batas tertentu.

2.5.3.2 Bising

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang-orang

yang dipaparkan terhadap bunyi keras dan mengganggu

melakukan kekerasan lebih kuat dibandingkan dengan

orang-orang yang tidak terpapar bunyi keras.

2.5.3.3 Kesesakan

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa

kesesakan menimbulkan peningkatan agresivitas, namun

penelitian lainnya gagal membuktikan hubungan tersebut.

Kesesakan dapat meningkatkan kemungkinan meledaknya

13

agresivitas bila reaksi yang timbul bersifat negatif

(misal jengkel dan frustrasi).

2.5.4 Faktor-faktor Situasional

2.5.4.1 Tingginya Dorongan Fisiologis

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa dorongan

fisiologis yang tinggi yang berasal dari berbagai

sumber seperti keikutsertaan dalam kompetisi, olah raga

yang penuh tenaga, dan paparan terhadap film yang

provokatif meningkatkan agresivitas yang nyata.

2.5.4.2 Dorongan Seksual

Penelitian baru-baru ini mengindikasikan bahwa

efek dorongan seksual pada timbulnya agresivitas sangat

tergantung pada materi-materi erotik yang digunakan

untuk menginduksi reaksi agresivitas. Ketika keerotisan

yang ditampilkan ringan, msal foto-foto bugil,

agresivitas berkurang. Ketika keerotisan ditampilkan

secara eksplisit, misal film-film tentang pasangan yang

melakukan berbagai aktivitas seksual, agresivitas

meningkat.

14

2.5.4.3 Nyeri

Nyeri dapat membangkitkan dorongan agresivitas

yang berlanjut pada pencarian target termasuk orang-

orang yang tidak berkaitan dengan nyeri yang dialami

sang agresor.

2.5.5 Faktor-faktor Biologis

2.5.5.1 Hormon

Beberapa penelitian menghubungkan tingkat

agresivitas dengan kadar androgen. Penelitian-

penelitian ini menunjukkan adanya sindrom non-

sensitivitas androgen ( di mana terdapat defek

pengikatan androgen pada protein yang menyebabkan anak

laki-laki dengan penampilan feminim dan kecenderungan

yang rendah untuk bermain kasar) dan sindrom

androgenital ( di mana janin terpapar secara berlebihan

oleh hormon androgen dari korteks adrenal ibu yang

meningkat sehingga menyebabkan maskulinisasi pada anak

perempuan).

2.5.5.2 Obat-obatan

15

Dosis kecil alkohol menghambat agresivitas

sedangkan dosis besar meningkatkan agresivitas. Efek

dari barbiturat sama dengan alkohol. Obat-obat

ansiolitik secara umum menghambat agresivitas.

Ketergantungan opioid berhubungan dengan peningkatan

agresivitas, seperti halnya penggunaan stimulan,

kokain, halusinogen dan pada beberapa kasus juga ganja

pada dosis yang bervariasi.

2.5.5.3 Kerusakan neuroanatomi

Beberapa peneliti mengemukakan hipotesis bahwa

akar dari perilaku agresivitas yang kronis pada orang-

orang tertentu adalah kerusakan organik pada otak.

Pendapat ini adalah perluasan dari teori bahwa

agresivitas merupakan perilaku sosial yang dipelajari,

kemudian bahwa pada orang yang pernah menjadi korban

penganiayaan fisik berat dapat mengalami sekuele

neurologis yang bersifat sekunder akibat penganiayaan

tersebut dan sekuele yang terjadi merupakan faktor

predisposisi biologis untuk perilaku agresivitas.

2.5.5.4 Neurotransmiter

16

Secara umum mekanisme kolinergik dan

katekolaminergik tampaknya terlibt dalam induksi dan

peningkatan agresivitas predator. Sementara itu sistem

serotonergik dan GABA tampaknya menghambat perilaku

agresivitas. Sistem katekolaminergik dan serotonergik

terbukti memodulasi agresivitas afektif. Dopamin

tampaknya memfasilitasi agresivitas sementara

norepinefrin dan seerotonin menghambatnya.

2.5.5.5 Faktor-faktor genetik

Penelitian mengenai perilaku meneliti pengaruh

kromosom, khususnya sindrom XYY 47-kromosom terhadap

agresivitas. Orang dengan sindrom tersebut memiliki

karakteristik tinggi, intelegensi di bawah rata-rata,

memiliki kemungkinan untuk ditangkap dan dipenjara

akibat perilaku kriminal. Namun demikian penelitian-

penelitian selanjutnya membuktikan bahwa sindrom XYY

hanya berkontribusi pada sebagian kecil kasus perilaku

agresivitas.

2.6 Prediktor Agresivitas 4

17

Kebanyakan orang dewasa yang melakukan perilaku

agresivitas kemungkinan besar melakukannya terhadap

orang yang mereka kenal, biasanya anggota keluarga.

Pengecualian dapat terjadi pada remaja laki-laki yang

sering melakukan agresi terhadap orang yang dikenal

sepintas lalu atau orang asing.

Secara umum kemungkinan perilaku agresivitas

meningkat ketika seseorang secara psikologis mengalami

dekompensasi dan mungkin juga ketika onset gangguan

mental terjadi dengan cepat. Dekompensasi yang

berlangsung episodik dapat terjadi pada mereka yang

mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar. Lebih dari 50

% orang-orang yang melakukan tindakan kriminal

pembunuhan dan yang melakukan penganiayaan dilaporkan

mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang signifikan

sebelumnya.

Berikut beberapa prediktor keberbahayaan terhadap

orang lain :

- Niat yang kuat untuk melukai,

- Adanya korban,

18

- Ancaman yang terang-terangan dan sering,

- Rencana yang konkret,

- Akses terhadap alat untuk melakukan kekerasan,

- Riwayat kehilangan kontrol,

- Kemarahan, permusuhan atau kebencian yang terus-

menerus,

- Kenikmatan melakukan atau menonton kekerasan,

- Kurangnya rasa belas kasihan,

- Memandang diri sendiri sebagai korban,

- Kebencian terhadap otoritas,

- Kebrutalan atau deprivasi pada masa kanak-kanak,

- Kurangnya kasih sayang dan kehangatan di rumah,

- Kehilangan orang tua sejak dini,

- Sering bermain-main dengan api, mengompol dan kejam

terhadap binatang,

- Riwayat kekerasan sebelumnya,

- Menyetir dengan ugal-ugalan.

Di antara kesemuanya prediktor terbaik untuk

agresivitas adalah riwayat kekerasan sebelumnya.

19

2.7 Agresivitas dan Gangguan Psikiatrik1,4,10

Terdapat hubungan yang jelas antara agresivitas

dan gangguan psikiatrik. Perilaku agresif merupakan

bagian integral dari beberapa gangguan psikiatrik.

Beberapa gangguan psikiatrik yang berhubungan

dengan agresivitas :

- Retardasi mental

- Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas

- Gangguan perilaku (conduct disorder)

- Gangguan kognisi : delirium dan demensia

- Gangguan psikotik : skizofrenia dan gangguan psikotik

YTT

- Gangguan mood : akibat kondisi medis umum ataupun

akibat penggunaan zat

- Gangguan eksplosif intermitten

- Gangguan penyesuaian

- Gangguan kepribadian : paranoid, antisosial,

borderline, narsisistik

Pada pasien gangguan jiwa terdapat suatu

kerentanan untuk timbulnya agresivitas. Manifestasi

20

dari kerentanan tersebut berbeda-beda tergantung dari

konteks psikopatologinya (Gambar 1). Misalnya pada

konteks adanya psikopati yang ditandai dengan tidak

adanya empati dan perilaku tidak berperasaan kepada

orang lain, agresivitas rentan untuk timbul sebagai

agresivitas instrumental dengan karakteristik gangguan

kepribadian antisosial. Ketika kerentanan berhubungan

dengan kelemahan kognitif atau disorganisasi proses

pikir maka agresivitas dapat bermanifestasi pada pasien

psikotik atau pada perilaku menyimpang seperti

pembunuhan, pemerkosaan dan pembunuhan serial. Individu

dengan predisposisi ansietas yang kemudian terpapar

dengan trauma memiliki kerentanan untuk menjadi

agresif. Agresivitas pada pasien tersebut timbul bila

dipicu oleh sinyal-sinyal yang membangkitkan trauma

terdahulu, sama halnya pada PTSD (Post Traumatic Stress

Disorder).

Agresivitas reaktif atau impulsif sering terjadi

dalam konteks adanya sensitivitas yang ekstrim dan

disregulasi emosional seperti pada gangguan kepribadian

21

ambang. Kerentanan terhadap agresivitas dapat

dimungkinkan oleh adanya perubahan mood atau keadaan

ansietas seperti pada gangguan bipolar, gangguan cemas

menyeluruh, atau gangguan panik. Agresivitas yang

bersifat episodik dan kekerasan sering menyertai

demensia. Gangguan penyalahgunaan zat merupakan

komorbid yang biasanya terjadi, yang mana gangguan ini

berkontribusi terhadap distorsi kognitif maupun

timbulnya disinhibisi.

Gambar 1. Kerentanan terhadap agresivitas dan Gangguan

Psikiatrik

2.8 Neurobiologi Agresivitas1

Menurut konsep diatesis dari agresivitas terjadi

suatu ketidakseimbangan antara kontrol “top-down” atau

22

“brakes” dari korteks orbito-frontal dan anterior

cingulatum yang berfungsi dalam kaliberasi perilaku

terhadap norma sosial, memodulasi atau mensupresi

perilaku agresif, dengan dorongan “bottom-up” yang

berlebihan yang dicetuskan oleh area limbik seperti

amigdala dan insula.

Pada Gambar 2, stimulus yang memprovokasi emosi

yang berperan sebagai pencetus agresivitas akan

diproses oleh pusat pemroses sensori auditori, visual

dan sensori lain. Pada tahap ini defisit sensori misal

gangguan pendengaran atau penglihatan maupun distori

sensori yang disebabkan oleh obat-obatan, alkohol atau

gangguan metabolik dapat mengakibatkan kesan sensori

yang tidak lengkap atau terdistorsi yang dapat

meningkatkan kemungkinan bahwa stimulus diartikan

sebagai ancaman atau provokasi. Setelah pemrosesan

sensori, penilaian stimulus akan diolah di pusat

pemrosesan informasi sosial dan tentunya di regio

asosiasi yang lebih tinggi, termasuk korteks

prefrontal, temporal dan parietal.

23

Tahap awal pemrosesan informasi awal ini dapat

dipengaruhi oleh budaya dan faktor-faktor sosial yang

mungkin memodulasi persepsi tentang provokasi. Selain

itu dapat juga terdistorsi oleh kelemahan kognitif

sehingga mengarah pada kecenderungan timbulnya ide

paranoid atau idea of reference dan dapat mengalami bias

oleh skema negatif akibat perkembangan stres/trauma

ataupun pengalaman negatif yang berkepanjangan yang

berakibat berkurangnya rasa percaya. Akhirnya

pemrosesan stimulus ini dalam kaitannya dengan

conditioning emosi di masa lalu yang diolah di amigdala

dan area limbik yang terkait akan mencetuskan dorongan

untuk bertindak agresif. Sementara korteks

orbitofrontal dan girus anterior cingulatum akan

memodulasi secara “top-down” respon-respon emosi ini

dan berperan untuk mensupresi perilaku-perilaku dengan

konsekuensi negatif.

24

Gambar 2. Inisiasi dan modulasi agresivitas

Berbagai abnormalitas spesifik lainnya pada

struktur otak dan neuromodulator yang meregulasi sistem

agresivitas kemungkinan dapat berperan dalam

menyebabkan kerentanan terhadap agresivitas (Gambar 3).

Gambar 3. Sirkuit otak dan neuromodulator yang

meregulasi agresivitas

25

Serotonin memfasilitasi inhibisi di prefrontal

sehingga aktivitas serotonorgik yang insufisien dapat

meningkatkan agresivitas. Sementara aktivitas

gabaminergik di reseptor GABA dapat mengurangi

reaktivitas subkortikal sehingga aktivitas gabaminergik

yang berkurang dapat meningkatkan agresivitas.

Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguan

psikiatrik bervariasi (Gambar 4), namun cenderung

melibatkan ketidakseimbangan regulasi kortikal dan

subkortikal. Aplikasi dari neurobiologi agresivitas

untuk pemilihan farmakoterapi dapat dilihat pada Gambar

5.

Gambar 4. Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguanpsikiatrik

26

Gambar 5. Implikasi neurobiologi terhadap farmakoterapi

agresivitas

2.9 Evaluasi Agresivitas5

Evaluasi pasien yang menunjukkan agresivitas dapat

menjadi problematik. Perhatian terhadap keamanan fisik

dari pasien, dokter dan staf merupakan prasyarat bagi

asesmen klinis yang akurat dan obyektif. Klinisi harus

mengetahui sumber-sumber dan keterbatasan dari situasi

klinis untuk manajemen perilaku agresif.

Ketika melakukan pendekatan terhadap pasien

agresif diperlukan sekali penilaian yang baik dan

pengalaman. Meski demikian beberapa pedoman umum dapat

menjadi pertimbangan. Pasien-pasien yang agresif secara

verbal atau motorik dibedakan dari pasien-pasien yang

tindakan agresinya telah menjadi kekerasan secara

27

fisik. Indikasi bahwa pasien telah atau mungkin akan

melakukan kekerasan dapat diperoleh dari beberapa

sumber. Jika sumber laporan mengenai kekerasan tersebut

berasal dari staf unit gawat darurat atau keluarga maka

klinisi sebaiknya menyelidiki bagaimana laporan

tersebut disampaikan dalam upaya mengevaluasi derajat

keakuratan dan obyektivitasnya. Klinisi juga sebaiknya

meminta data observasional dan riwayat pasien yang

mendukung dugaan bahwa pasien mungkin akan melakukan

kekerasan. Seringkali perilaku pasien yang aneh dapat

memicu fantasi-fantasi mengenai kekerasan di dalam

pikiran pengamat, meskipun faktanya tidak ada

kemungkinan untuk hal itu. Kejadian seperti ini

khususnya terjadi pada orang-orang yang tidak

berpengalaman dalam menangani dan mengamati masalah-

masalah psikiatri.

Secara umum bukti awal mengenai adanya kekerasan

harus dianggap valid dan perhatian untuk keselamatan

pasien dan staf harus mendahului pertimbangan tentang

diagnosis. Butir selanjutnya adalah bahwa penyerangan

28

terhadap staf akibat kewaspadaan keamanan yang tidak

adekuat, mengakibatkan kemunduran yang berat dan

ireversibel dalam kinerja unit dan moril institusi.

Butir ketiga yang tidak kalah penting adalah tak ada

klinisi yang takut akan penyerangan fisik, dapat

mengevaluasi kondisi pasien dengan adekuat dan

obyektif.

Riwayat kekerasan atau potensi perilaku kekerasan

yang didapat di awal harus dianggap serius dan

kewaspadaan harus diterapkan untuk keselamatan selama

evaluasi. Hal ini mungkin termasuk memanggil petugas

keamanan. Penting juga untuk menyingkirkan benda-benda

yang berbahaya atau dapat dirusak oleh pasien dari

area, demikian juga orang-orang yang rentan misal

pasien-pasien lain. Jika kemampuan pasien untuk

mengontrol dorongan untuk melakukan kekerasan diragukan

maka satu atau lebih petugas keamanan harus mendampingi

selama evaluasi. Hal ini harus dilakukan tanpa rasa

bersalah dan penuh kesadaran diri disertai penjelasan

kepada pasien bahwa prosedur ini rutin dilakukan

29

apabila petugas tidak yakin tentang situasi yang ada.

Staf atau keluarga yang ketakutan terhadap pasien

dengan perilaku kekerasan mungkin memanggil psikiater

dengan asumsi bahwa psikiater secara ajaib dapat

mengontrol atau kebal terhadap kekerasan. Asumsi

seperti itu harus dikoreksi oleh klinisi, baik di dalam

pikirannya maupun pikiran pasien, keluarga dan staf.

Keberadaan personil yang adekuat untuk mengontrol

potensi kekerasan dapat memberikan rasa tenang pada

semua yang terlibat.

Ketika melakukan pendekatan terhadap pasien yang

tidak dapat diprediksi di ruang pemeriksaan maka

biarkan pintu terbuka. Klinisi harus menjaga agar

pasien tidak menghalangi antara dirinya dan pintu.

Kewaspadaan seperti itu harus dijelaskan tanpa adanya

rasa bersalah. Klinisi harus tetap tenang, penuh empati

dan hindari menampilkan postur yang bersifat otoriter

atau mengontrol, kecuali keadaan menjadikan ini sebuah

keharusan. Jika pasien mengatakan keinginan agresif

maka klinisi dapat meminta pasien agar mengontrol

30

keinginannya tersebut. Jika pasien mengatakan ia tidak

bisa melakukannya maka keberadaan personil yang adekuat

untuk mengontrol potensi kekerasan dapat memberikan

efek tenang pada semua yang terlibat.

Obat-obatan sebaiknya tidak diberikan sebelum

evaluasi klinis yang lengkap. Hal tersebut dikarenakan

perilaku agresif pasien mungkin diakibatkan oleh

kondisi organik yang dapat tersamarkan atau diperburuk

oleh agen-agen psikofarmaka. Maka dari itu sangat

penting dilakukan pre-evaluasi dan kewaspadaan untuk

mengontrol kekerasan.

Jika situasi sudah stabil maka klinisi dapat

melanjutkan untuk evaluasi. Anamnesis harus diperoleh

dari pasien, keluarga, teman, ataupun petugas yang

membawa pasien. Pemeriksaan status mental dan fisik

(termasuk neurologis) harus dilakukan hingga batas

yang memungkinkan dengan kondisi pasien. Evaluasi awal

harus mengarahkan pada beberapa diagnosis banding yang

mungkin. Klinisi kemudian dapat memilih apakah

31

diperlukan rawat inap atau tidak untuk melanjutkan

evaluasi lebih jauh, mengobati ataupun merujuk.

2.10 Instrumen Penilaian Agresivitas

Berikut beberapa instrumen yang dapat dgunakan

untuk menilai gejala agresivitas.

1. Overt Aggression Scale (OAS)11

Instrumen ini termasuk skala yang bersifat

obyektif (dinilai oleh pemeriksa). Pada instrumen ini,

perilaku agresif dibagi menjadi 4 kategori yaitu: 1)

agresivitas verbal, 2) agresivitas fisik terhadap

benda-benda, 3) agresivitas fisik terhadap diri

sendiri, dan 4) agresivitas fisik terhadap orang lain.

Dalam setiap kategori perilaku agresif dinilai

berdasarkan beratnya. Contoh perilaku yang mewakili

digunakan untuk mendefinisikan skala nilai-nilai dan

menuntun pemeriksa dalam menentukan beratnya perilaku

agresif. Beratnya perilaku agresif dinilai dalam 4

tingkatan.

2. The aggression questionnaire12

32

Instrumen ini dikembangkan oleh Buss, A. H. dan

Perry, M. P. pada tahun 1992, berisi 29 pertanyaan dan

bersifat self-rating. Pertanyaan 1-9 untuk menilai

agresivitas fisik, 10-14 agresivitas verbal, 15-21

kemarahan, 22-29 menilai permusuhan.

3.The Displaced Aggression Questionnaire13

Instrumen ini dikembangkan oleh Denson T. F.,

Pedersen W. C., dan Miller N pada tahun 2006, berisi 31

pertanyaan dan bersifat self-rating, digunakan untuk

mengukur aspek emosional, kognitif, dan perilaku dari

agresi yang dipindah-tempatkan (displacement) kepada

obyek yang tidak bersalah.

2.11 Pencegahan dan Pengendalian Agresivitas4

Pencegahan terjadinya kematian dan disabilitas

yang diakibatkan oleh perilaku agresivitas, kekerasan

atau pembunuhan dimulai dari tingkat individual dan

meliputi rujukan psikiatrik, pemberitahuan kepada pihak

yang berwenang (bersifat wajib pada kasus seperti

33

penganiayaan anak dan ancaman penganiayaan terhadap

seseorang), dan konseling oleh terapis yang ahli.

Berikut ini beberapa cara yang dapat digunakan

untuk mencegah dan mengendalikan agresivitas.

a. Hukuman

Hukuman kadang-kadang merupakan pencegahan yang

efektif untuk agresivitas yang nyata, namun hukuman

tidak selalu dapat mencegah agresivitas. Penerima

hukuman seringkali menginterpretasikan hukuman sebagai

suatu penyerangan terhadapnya.

b. Katarsis

Hpotesis mengenai katarsis adalah kepercayaan

bahwa dengan terlibat dalam aktivitas seperti berlari

atau tinju membuat seseorang dapat menyalurkan

kemarahannya sehingga mengurangi agresivitas.

c. Pelatihan Keterampilan Sosial

Alasan utama mengapa banyak orang terlibat dalam

agresivitas yang berulang-ulang adalah kurangnya

kemampuan sosial yang mendasar. Orang-orang ini tidak

mengetahui bagaimna cara berkomunikasi dengan efektif

34

sehingga mereka menggunakan cara kasar untuk

mengekspresikan diri. Ketidakmampuan yang tampak

misalnya dalam menyampaikan permintaan, bernegosiasi,

mengajukan komplain, sering mengiritasi teman, kenalan

ataupun orang asing. Kekurangan dalam hal

bersosialisasi yang parah menandakan bahwa mereka

mengalami frustrasi yang berulang dan kemarahan yang

sering terhadap orang yang mereka temui. Sebuah teknik

untuk mengurangi frekuensi perilaku tadi adalah

memberikan mereka keterampilan sosial.

Pelatihan keterampilan sosial sudah diaplikasikan

pada berbagai grup seperti remaja, polisi dan bahkan

orang tua yang menganiaya anaknya. Dalam banyak kasus

tampak suatu perubahan yang dramatis dalam perilaku

(misal komunikasi antar-personal dan kemampuan

menghadapi stres dan penolakan yang meningkat) serta

berkurangnya perilaku agresivitas.

c. Induksi Respon-respon yang Berlawanan dengan

Agresivitas

35

Hal ini mencakup paparan yang menimbulkan reaksi-

reaksi misal empati, humor, rasa bersalah, ataupun

bangkitan gairah seksual yang ringan. Selain itu dapat

juga dengan melibatkan pasien dalam tugas-tugas

kognitif misal menyelesaikan soal-soal matematika.

2.12 Algoritma Penatalaksanaan Agresivitas

Algoritma penatalaksanaan agresivitas dapat

dilihat pada Gambar 6 .

36

Sumber : The Expert Consensus Guideline™: Treatment of

Behavioral Emergencies. Allen MH, Currier GW, Hughes

DH, Reyes-Harde M, & Docherty JP (2001). The MGraw-Hill

Companies, Inc14

37

Beberapa jenis obat dapat membantu dalam

penatalaksanaan pasien agresivitas secara optimal,

seperti pada Gambar 7 di bawah ini.

38

BAB III

KESIMPULAN

Agresivitas merupakan segala sesuatu yang

berkenaan dengan perilaku yang memiliki maksud untuk

menyakiti orang lain atau memiliki potensi

membahayakan, di mana korban merupakan pihak yang tidak

menginginkan hal tersebut. Agresivitas dapat secara

fisik maupun verbal, dapat ditujukan terhadap diri

sendiri, orang lain ataupun obyek. Selain itu juga

dikenal agresivitas yang terencana dan agresivitas

impulsif. Etiologi agresivitas berasal dari faktor-

faktor psikologis, sosial, lingkungan, situasional dan

biologis.

Agresivitas sering ditemukan pada berbagai

gangguan psikiatrik. Evaluasi yang obyektif dan adekuat

39

diperlukan untuk memperoleh diagnosis yang tepat,

dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan pasien,

dokter, staf, dan keluarga.

Mekanisme agresivitas pada berbagai gangguan psikiatrik

bervariasi, namun cenderung melibatkan

ketidakseimbangan regulasi kortikal dan subkortikal.

Berbagai usaha dapat dilakukan untuk mencegah dan

mengendalikan agresivitas sehingga tidak menimbulkan

kematian maupun kerugian lainnnya. Beberapa jenis

farmakoterapi seperti antipsikotik, antidepresan,

antikonvulsan, benzodiazepin maupun stimuln dapat

diberikan sesuai dengan etiologi yang mendasari

agresivitas.

DAFTAR PUSTAKA

40

1. Siever LJ. Neurobiology of Aggression and

Violence. American Journal Psychiatry.

2008;165:429-42.

2. Frey REC, Weller J. Behavioral Management of

Aggression Through Teaching Interpersonal Skills.

Psychiatric Services. 2000;51:607-9.

3. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa

Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional; 2008.

4. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Synopsis

of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical

Psychiatry. 10th ed. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2007.

5. Cavenar JO, Brodie HKH. Sign and Symptomps in

Psychiatry. Philadelphia: J.B Lippincott Company;

1983.

6. Berkowitz, L. Aggression: Its causes,

consequences, and control. New York, NY: McGraw-

Hill; 1993

41

7. Benjamin LT, Hopkins JR, Nation JR. Psychology.

New York: Macmillan Publishing Company; 1987.

8. Bower GH, Bootzin RR, Zajonc RB. Principles of

Psychology Today. 1st ed. New York: Random House

Inc.; 1987.

9. Takahashi A, Quadros IM, Almeida RMMd, Miczek KA.

Behavioral and Pharmacogenetics of Aggressive

Behavior. Curr Top Behav Neurosci. 2012;12:73–138.

10. Huband N, Ferriter M, Nathan R, Jones H.

Antiepileptics for aggression and associated

impulsivity. Cochrane Database Syst Rev. 2010.

11. Yudofsky SC, Silver JM, Jackson W, Endicott

J, Williams D. The Overt Aggression Scale for the

Objective Rating of Verbal and Physical

Aggression. Am J Psychiatry 1986;143:35-9.

12. Buss, A. H., & Perry, M. P. The aggression

questionnaire. Journal of Personality and Social

Psychology. 1992; 63: 452-459

42

13. Denson, T. F., Pedersen, W. C., & Miller, N.

The Displaced Aggression Questionnaire. Journal of

Personality and Social Psychology. 2006; 90: 1032-1051

14. Allen MH, Currier GW, Hughes DH, Reyes-Harde

M, & Docherty JP. The Expert Consensus Guideline™:

Treatment of Behavioral Emergencies. A

Postgraduate Medicine Special Report. The MGraw-

Hill Companies, Inc. ; 2001. Diunduh dari

www.psychguides.com/Behavioral%20Emergencies.pdf

43