Zona Ekonomi Eksklusif
-
Upload
andreas-wewen-sitompul -
Category
Documents
-
view
20 -
download
0
description
Transcript of Zona Ekonomi Eksklusif
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara Kepulauan (Archipelagic State) terbesar di dunia.
Indonesia mempunyai perairan laut seluas ± 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang
81.000 km dan terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 serta
perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2 dengan potensi
lestari sumber daya ikan sebesar 6,11 juta ton per tahun. Untuk landas kontinen,
Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan
kedalaman 200 meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan
perbatasan ZEE sejauh 200 mil dari garis dasar laut.
Setelah Perang Dunia (PD) ke II, Hukum Laut yang merupakan cabang Hukum
Internasional telah mengalami perubahan yang mendalam. Faktor yang menyebabkan
perubahan tersebut adalah banyaknya negara yang sudah merdeka setelah PD II,
kemajuan teknologi dunia, dan bertambah tergantungnya bangsa-bangsa kepada laut
sebagai sumber daya alam. Peran hukum laut bukan hanya karena 70% dari permukaan
bumi terdiri dari laut, laut sebagai jalur yang menghubungkan suatu bangsa dengan
bangsa yang lain ke seluruh belahan bumi untuk berbagai macam kegiatan, dan bukan
hanya karena kekayaannya.
Pada zaman dahulu, hukum laut pada pokoknya hanya mengurus kegiatan-kegiatan
di atas permukaan laut, namun sekarang ini juga telah diarahkan pada dasar laut dan
dengan semua biota laut yang vital bagi kehidupan manusia dan kekayaan mineral yang
terkandung di dalamnya. Hukum laut dulunya bersifat unidimensional, tetapi sekarang
berubah menjadi pluridimensional yang sekaligus mengubah filosofi dan konsepsi
hukum laut di masa lalu.
Diadakannya perjanjian internasional yang bertujuan sebagai bentuk menghargai
laut dan memberi batas-batas wilayah laut suatu negara, adalah Konvensi Hukum Laut
yang merupakan perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga yang berlangsung dari tahun 1973
sampai dengan tahun 1982, yaitu United Nations Convention On The Law Of The Sea,
2
yang disingkat dengan UNCLOS1. UNCLOS mengakui bahwa Indonesia merupakan
Negara Kepulauan.
Dengan ditetapkannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan, menjadi keuntungan
tersendiri yang sangat besar bagi Indonesia bahkan diberikan pula ZEE. Dengan
demikian, Indonesia yang ditetapkan sebagai Negara Kepulauan harus bertanggungjawab
untuk menjaga keutuhan wilayah lautnya, serta melestarikan dan melindungi sumber
daya alam di wilayah lautnya itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Eksklusif?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan Zona Ekonomi Eksklusif di dunia dan di
Indonesia?
3. Bagaimana Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan hak-hak lain yang dimiliki
Indonesia dalam Zona Ekonomi Ekslusif?
4. Apa saja kegiatan yang dapat dilakukan Indonesia terhadap Zona Ekonomi Eksklusif
yang dimiliki?
5. Bagaimana penentuan batas luar dan lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif?
6. Bagaimana Delimitasi terhadap Zona Ekonomi Eksklusif?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian Zona Ekonomi Eksklusif.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Zona Ekonomi Eksklusif di dunia dan di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan hak-hak lain yang
dimilliki Indonesia dalam Zona Ekonomi Eksklusif.
4. Untuk mengetahui kegiatan yang dapat dilakukan Indonesia terhadap Zona Ekonomi
Eksklusif yang dimiliki.
5. Untuk mengetahui penentuan batas luar dan lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif.
6. Untuk mengetahui Delimitasi terhadap Zona Ekonomi Eksklusif.
1 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, https://id.wikipedia.org/wiki/, terakhir diakses 18 Juni 2015.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar
pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas
kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan
bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.2
Berdasarkan Pasal 2 UU RI No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar
dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah
di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari
garis pangkal laut wilayah Indonesia.3
Zona Ekonomi Eksklusif juga dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah laut diluar
laut teritorial, dimana negara-negara pantai memiliki kedaulatan atas semua sumber daya
alam didalamnya.
Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar
sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk
memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada
persiapan untuk UNCLOS III.
B. Sejarah Perkembangan ZEE di Dunia dan Indonesia
Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman, telah
mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, “Policy of the United States with respect to
the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the Continental Shelf”. Latar
belakang yang mendasari keluarnya Proklamasi Truman adalah;
1. Banyaknya negara yang merdeka atau menyatakan merdeka;
2. Kemajuan teknologi;
3. Banyak negara yang menyadari laut sebagai sumber daya alam yang potensial.
2 Boer Mauna, Hukum Internasional, Bandung: PT. Alumni, 2005, hlm. 653 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983.
4
Pada pokoknya, proklamasi ini melontarkan pengertian baru tentang rezim
Continental Shelf (Landas Kontinen). Menurut Truman, landas kontinen merupakan
suatu kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dengan tujuan mengamankan dan
mencadangkan sumber kekayaan alam serta penguasaan atas sumber daya alam di
bawahnya tanpa adanya effective occupation. Isi dari proklamasi Truman adalah sebagai
berikut;
1. Perlu pencarian Sumber Daya Alam baru dari minyak bumi dan mineral lain untuk
kebutuhan jangka panjang.
2. Perlu adanya eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam yang terdapat di
seabed dan subsoil landas kontinen Negara Amerika Serikat dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi.
3. Landas kontinen Amerika Serikat merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan
sehingga usaha untuk mengolah kekayaan alamnya memerlukan kerjasama dan
perlindungan dengan negara pantai yang berbatasan.
Tindakan sepihak Amerika Serikat tersebut berpengaruh terhadap perkembangan
rezim hukum ZEE 200 mil dan diikuti oleh negara-negara Amerika Latin yang
mengemukakan argumentasi yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber kekayaan
alam yang banyak terdapat di perairan sejauh 200 mil, termasuk dasar laut dan tanah di
bawahnya. Negara-negara tersebut antara lain; Argentina, dengan teori “Epi Continental
Sea”; Ekuador, Cili dan Peru dengan teori “Bloma”. Lalu diikuti oleh Meksiko,
Honduras, Kostarika, dan El-Salvador.
Pada tahun 1952, lahirlah suatu deklarasi, yaitu Deklarasi Santiago yang
ditandatangani oleh negara Cili, Ekuador dan Peru. Tujuan utama deklarasi itu adalah
pelaksanaan yurisdiksi eksklusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam yang terdapat
diperairannya yang sejauh 200 mil laut dimana sumber-sumber tersebut sangat
bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di negara-negara peserta deklarasi.
Dalam lingkaran sejauh 200 mil itu, hak-hak lintas damai (innocent passage), tidak
terganggu (inoffensive) dan tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan
klaim beberapa negara mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB menyelenggarakan
Konferensi Hukum Laut (UNCLOS) I pada tahun 1958, dan UNCLOS II pada tahun
1960 di Jenewa, terutama bertujuan untuk menetapkan lebar laut wilayah. Namun, usaha
dari konvensi tersebut gagal dan mengakibatkan meluasnya tindakan negara-negara
dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang berbatasan dengan pantainya,
termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang sekitar tahun 1960-
5
1970, terutama yang mengklaim yurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas hanya pada negara-
negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai pada negara-negara di Asia-
Afrika.4
Negara-negara seperti Benin, Brazilia, Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone
dan Somalia tetap mengklaim yurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah, tetapi negara-
negara seperti Argentina, Bangladesh, Cili, Kostarika, El-Salvador, Guatemala,
Honduras, India, Eslandia, Meksiko, Nikaragua, Uruguai dan Amerika Serikat
mengajukan klaim mereka yang sejalan dan selaras dengan tuntunan yang telah diajukan
oleh negara-negara peserta Deklarasi Santiago. Dalam perkembangannya, delegasi
Kenya secara resmi telah mengajukan usul draft article yang mengatur tentang ZEE
dalam persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan
dalam List of Subjects and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III.5
Di antara negara-negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil tersebut
mempunyai pendapat yang berbeda-beda dengan apa yang telah dideklarasikan
sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan yang sengit diantara negara-
negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara mempertahankan kepentingannya
yang menjadi latar belakang klaimnya itu. Perdebatan tersebut merupakan bagian laut
bebas apakah memiliki rezim hukum spesifik.
Negara Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang
dengan pendapatnya bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan ketentuan;
Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya; dan Kebebasan
lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan militer, tetap terjamin
bagi semua bangsa.
Sedangkan Negara-negara pantai terutama negara-negara yang tergabung dalam
kelompok 77 tetap mempertahankan pendapatnya bahwa konsep ZEE merupakan suara
konsepsi sui generis (tidak ada bentuk ilmu lain yang dapat dibandingkan dengan ilmu
hukum) yang memiliki rezim khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
negaranya. Dengan demikian, negara-negara kelompok 77 tetap menentang
dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui beberapa kebebasan
dilaut lepas dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan
tegas.
4 Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut; Suatu Ringkasan, terjemahan Rudi M. Rizki, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1991, hlm.18
5 ) Loc.cit.
6
Negara-negara tak berpantai (Landlocked States) dan negara-negara secara geografis
tidak beruntung (Geographically Disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama
dengan negara-negara pantai, baik di bidang perikanan maupun sumber-sumber
kekayaan laut lainnya di dasar laut.
Namun, negara-negara pantai hanya bersedia memberikan surplus perikanan yang
tidak dapat diambil oleh negara-negara pantai kepada negara-negara yang tidak memiliki
pantai. Dasar tuntutan mereka adalah prinsip “Common Heritage of Mankind” yang
mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk mengambil kekayaan
alam di ZEE tersebut.
Dengan jalan perundingan dan mufakat, kemudian perbedaan pendapat dapat
dipersatukan sehingga perjuangan mengenai rezim hukum ZEE 200 mil akhirnya dapat
dirumuskan. Kepentingan semua pihak ditampung tanpa saling merugikan. Dengan
demikian, ZEE 200 mil tidak dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak sebagai laut
wilayah, namun sebagai suatu rezim sui generis, ZEE mempunyai ketentuan hukum
sendiri.
Setelah mengalami amandemen-amandemen dalam Informal Single Negotiating
Text (INST) dan Revised Singel Negotiating Text (RSNT), ketentuan-ketentuan
mengenai ZEE 200 mil dimuat dalam pasal 55-75 Bab V Informal Composite
Negotiating Text (ICNT).
Indonesia pun turut menyuarakan pernyataan atas kepemilikan ZEE dengan
Deklarasi Djuanda, yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana
Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi Djuanda adalah
deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut
sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah
NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada
Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen
Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan ini, pulau-pulau di wilayah
Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut
di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas
melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara
kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari
beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik
7
Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi
UU No.4/PRP/1960 Tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik
Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan
pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui
secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau
terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang
8.069,8 mil laut.
Setelah melalui perjuangan yang panjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya
dapat diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke III. Isi dari
Deklarasi Djuanda yang ditulis pada 13 Desember 1957 itu sendiri, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak
tersendiri,
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan,
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah
Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:
a. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan
bulat,
b. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara
Kepulauan,
c. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI.
Menlu RI, Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai Pengumuman
Pemerintah tentang ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980, menegaskan bahwa
walaupun ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam Bab V ICNT belum berhasil
diresmikan menjadi suatu Konvensi Hukum Laut Internasional, dengan semakin
banyaknya negara yang mengumumkan ZEE 200 mil, maka rezim itu melalui proses
pembentukan Hukum Kebiasaan Internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut
Internasional yang baru. Konvensi Hukum Laut Internasional ke III ini telah
ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982.
Kemudian, Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut ke dalam bentuk undang-
undang, yakni UU RI No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations
Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang
8
Hukum Laut) dan secara khusus juga mengatur tentang ZEE Indonesia dengan UU RI
No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
C. Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan Hak-Hak Lain Yang Dimiliki Indonesia
dalam ZEE
Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan hak-hak lain yang dimiliki Indonesia
dalam ZEE di atur dalam Pasal 4 UU RI No.5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa:
(1) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan
melaksanakan:
a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di
bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan
eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan
angin;
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan
bangunan-bangunan lainnya;
2. Penelitian ilmiah mengenai kelautan;
3. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum
Laut yang berlaku.
(2) Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat,
hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan
Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia
dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang
berlaku.
(3) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan
internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.6
Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang tersebut tidak sama
atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983.
9
oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam di perairan yang berada dibawah
kedaulatan Republik Indonesia tersebut.
Sedangkan yurisdiksi Indonesia di zona itu adalah yurisdiksi membuat dan
menggunakan pulau buatan, instalasi, dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut. Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah
hak Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap
kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan Indonesia mengenai ZEE. Kewajiban lainnya berdasarkan hukum
internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk menghormati hak-hak negara
lain, misalnya kebebasan pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and
overflight) dan kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of
the laying of submarine cables and pipelines) dan kewajiban menetapkan batas-batas
ZEE Indonesia dengan negara tetangga berdasarkan perjanjian, pembuatan peta dan
koordinat geografis serta menyampaikan salinannya ke Sekjen PBB.
Hak dan kewajiban negara lain di ZEE diatur oleh Pasal 58 Bab V Konvensi Hukum
Laut, yaitu sebagai berikut:7
1. Di Zona Ekonomi Eksklusif, semua negara baik negara berpantai atau tidak berpantai
menikmati dengan tunduk pada ketentuan yang relevan konvensi ini, kebebasan-
kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa
bawah laut yang disebutkan dalam pasal 87 dan penggunaan laut yang berkaitan
dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kebel serta pipa di bawah laut, dan
sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini.
2. Pasal 88 sampai pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku
diterapkan bagi ZEE sepanjang tidak bertentangan dengan bab ini.
3. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini di ZEE,
negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban
negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional
sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini.
Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasan tersebut, Negara lain harus
menghormati peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai negara pantai yang
7) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.
10
mempunyai zona ekonomi eksklusif tersebut. Negara pantai dapat menegakkan peraturan
perundang-undangannya sebagaimana di cantumkan dalam pasal 73 yaitu:8
1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona
ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal,
memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan
untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai
dengan ketentuan konvensi ini,
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya kapalnya harus segera dibebaskan setelah
diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainya,
3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-
undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan,
jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau
setiap bentuk hukuman badan lainya,
4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera
memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai
tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan
Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di ZEE Indonesia adalah TNI
Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
ini adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana
dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang.
D. Kegiatan yang dapat Dilakukan Indonesia Terhadap ZEE yang Dimiliki
Kegiatan-kegiatan tersebut yakni untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya
alam atau kegiatan-kegiatan lainnya, untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis
seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di ZEE Indonesia yang dilakukan
oleh WNI atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik
Indonesia. Apabila kegiatan-kegiatan tersebut yang dilakukan oleh negara asing, orang
atau badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan negara asing yang bersangkutan. Dalam syarat-syarat
perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
8) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.
11
yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di
zona tersebut, antara lain kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah
Republik Indonesia.9
Sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali, namun tidak
berarti tak terbatas. Dengan adanya sifat-sifat yang demikian, maka dalam melaksanakan
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia
menetapkan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di ZEE
Indonesia.
Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan
seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah
tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest)
Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah Republik
Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang
diperbolehkan ada 1.000 (seribu) ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia
baru mencapai 600 (enam ratus) ton maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa
400 (empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan
persetujuan internasional.10
E. Batas Luar dan Lebarnya ZEE
Angka yang dikemukakan mengenai lebarnya ZEE adalah 200 mil atau 370,4 km.
Kelihatannya angka ini tidak menimbulkan kesukaran dan dapat diterima oleh negara-
negara berkembang dan negara-negara maju. Semenjak dikemukakannya gagasan ZEE,
angka 200 mil dari garis pangkal sudah menjadi pegangan. Sekiranya lebar laut wilayah
12 mil sudah diterima. Kenyataannya, lebar sebenarnya ZEE adalah 200-12 = 188 mil.
Sebagaimana telah dikemukakan hak-hak negara pantai atas kedua laut tersebut berbeda
yaitu kedaulatan penuh atas laut wilayah (teritorial) dan hak-hak berdaulat atas ZEE
untuk tujuan eksploitasi sumber kekayaan yang terdapat di daerah laut tersebut.
Garis batas terluar ZEE dan garis penetapan batas yang ditarik sesuai dengan
ketentuan Pasal 74 Konvensi UNCLOS, harus dicantumkan pada peta dengan skala atau
skala-skala yang memadai untuk menentukan posisinya. Bilamana perlu, daftar titik-titik
koordinat geografis yang memerinci datum geodetik dapat menggantikan garis batar
terluar atau garis-garis penetapan yang demikian.9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983.10 ) Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya, Bandung: PT. Refika Aditama, 2014,
hlm.90
12
Negara pantai harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar
koordinat geografis demikian dan harus memberikan salinan setiap peta atau daftar
demikian kepada Sekjen PBB
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak boleh
melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan.
Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil adalah batas maksimum dari
ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya
kurang dari itu, negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-
negara pantai tidak akan memilih mengurangi wilayah ZEEnya kurang dari 200 mil,
selain karena kehadiran wilayah ZEE negara tetangga.
Luas 200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE karena berdasarkan sejarah dan
politik, 200 mil tidak memiliki geografis umum, ekologis dan, biologis nyata. Pada awal
Konvensi UNCLOS, zona yang paling banyak di klaim oleh negara pantai adalah 200
mil, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah
persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak
mewakili klaim yang telah ada.
200 mil dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Cili yang
awalnya mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas
pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil. contoh yang paling
menjanjikan muncul dalam perlindungan zona adalah diadopsi dari Deklarasi Panama
1939. Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil, padahal
faktanya luasnya beranekaragam dan tidak lebih dari 300 mil.11
F. Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif
Mengingat ZEE yang merupakan zona baru, dalam penerapannya oleh negara-
negara menimbulkan situasi bahwa negara-negara yang berhadapan atau berdampingan
yang jarak pantainya kurang dari 200 mil laut harus melakukan suatu delimitasi (batasan)
ZEE satu sama lain. Seperti halnya delimitasi batas landas kontinen, prinsip hukum
delimitasi ZEE diatur dalam pasal 74 Konvensi Hukum Laut 1982. Rumusan pasal ini
secara mutatis mutandis sama dengan pasal 83 tentang delimitasi landas kontinen.
11) Joko P. Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002, hlm.72
13
Sebelum zona ini lahir, negara-negara pada umumnya mengenal konsepsi zona
perikanan sehingga perjanjian yang dibuat adalah perjanjian batas zona perikanan pula
perjanjian batas ZEE antar negara berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 masih belum
begitu banyak. Indonesia baru menetapkan perjanjian ZEE hanya dengan Australia
melalui perjajian antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Australia
tentang penetapan batas ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu yang ditandatangani di
Perth pada tanggal 14 Maret 1997. Indonesia masih harus membuat perjanjian ZEE
dengan negara yang berbatasan laut dengan Indonesia selain Australia.
Penetapan batas ZEE antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu
pemecahan yang adil. Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang
pantas, negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prsedur yang ditentukan
dalam Bab XV yaitu proses konsiliasi.12
Sambil menunggu suatu persetujuan, negara-negara yang bersangkutan, dengan
semangat baik pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk
mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama peralihan ini tidak
membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan
demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai
perbatasan.13
Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara yang
bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas ZEE harus
ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu.14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
12) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.13) Loc.cit.14) Loc.cit.
14
Dengan banyaknya aktivitas di zona ZEE, keberadaan rezim legal dari ZEE dalam
Konvensi Hukum Laut sangat dibutuhkan. Berdasarkan Pasal 2 UU RI No. 5 Tahun 1983,
Zona Ekonomi Eksklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai,
yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam
di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi,
terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.
Awal mula ZEE muncul dari kebutuhan-kebutuhan negara-negara yang dengan
melakukan pengakuan (klaim) dan untuk memperluas batas yurisdiksi negara pantai atas
lautnya. Bahkan Indonesia pun ikut menyuarakan klaim atas kepemilikan ZEE dengan
sebuah deklarasi yang disampaikan oleh dikarenakan wilayah Indonesia terdiri dari
banyak pulau Perbedaan pendapat dari banyak negara tersebut dapat dipersatukan tanpa
ada pihak yang rugi setelah dua kali Konvensi tersebut dilakukan namun gagal, tetapi
berhasil pada Konvensi yang ketiga yang kemudian disahkan di Montego Bay, Jamaika,
pada tanggal 10 Desember 1982.
Dengan keuntungan yang dimiliki Indonesia (pengakuan oleh UNCLOS atas ZEE),
Indonesia berdaulat atas hak-hak yang dimiliki dan juga dapat melakukan beberapa
kegiatan atas ZEE yang dimiliki dan tentu saja sangat berguna bagi perkembangan dan
kemajuan negara.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
15
Koers, Albert W. 1991. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut; Suatu Ringkasan. Diterjemahkan oleh: Rudi M. Rizki. Yoyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Konsepsi Hukum Negara Nusantara: Pada Konferensi Hukum Laut III. Bandung: PT. Alumni.
Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2). Bandung: PT. Alumni.
Sodik, Dikdik Mohamad. 2014. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Bandung : PT. Refika Aditama.
Subagyo, P. Joko. 2002. Hukum Laut Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sumber Perundangan:Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekskusif Indonesia.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut
Sumber Internet:
https://id.wikipedia.org/wiki/ Diakses pada tanggal 18 Juni 2015.