zakqi amsar
-
Upload
zakqi-amsar-sudiyanto -
Category
Documents
-
view
27 -
download
2
Transcript of zakqi amsar
LAPORAN PENELITIAN
PENERIMAAN REMAJA LAKI – LAKI
DENGAN PERILAKU ANTISOSIAL TERHADAP
PERAN AYAHNYA DI DALAM KELUARGA
Oleh :
M. SALIS YUNIARDI, S. Psi, M. Psi
NIP – UMM : 109 0203 0368
Dibiayai oleh Anggaran Dana Pembinaan Pendidikan (DPP)
Universitas Muhammadiyah Malang berdasarkan SK Pembantu
Rektor I Nomor e.d/846/BAA-UMM/IX/2008
LEMBAGA PENELITIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2008 - 2009
P2I
HALAMAN PENGESAHAN
NASKAH LAPORAN
PENELITIAN PENGEMBANGAN IPTEKS
1. Judul : PENERIMAAN REMAJA LAKI – LAKI DENGAN PERILAKU
ANTISOSIAL TERHADAP PERAN AYAHNYA DI DALAM
KELUARGA
2. Ketua Peneliti :
a. Nama Lengkap : M. Salis Yuniardi, S. Psi, M. Psi
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Pangkat / Golongan : III A
d. NIP UMM : 109 0203 0368
e. Fakultas/Jurusan : Psikologi
f. Universitas : Universitas Muhammadiyah Malang
g. Bidang Ilmu Diteliti : Psikologi
3. Anggota : -
4. Lokasi Penelitian : Malang
5. Jangka Waktu Penelitian : Satu Tahun
6. Biaya Penelitian : Rp. 4. 000.000, -
7. Sumber Biaya : Universitas / DPP
Malang, 07 Mei 2009
Mengetahui,
Dekan Fakultas Psikologi Ketua Peneliti
Universitas Muhammadiyah Malang
Drs. Tulus Winarsunu, M. Si M. Salis Yuniardi, S. Psi, M. Psi
Ketua Lembaga Penelitian
Universitas Muhammadiyah Malang
Dr. Maftuchah
PENERIMAAN REMAJA LAKI – LAKI DENGAN PERILAKU
ANTISOSIAL TERHADAP PERAN AYAHNYA DI DALAM KELUARGA
M. Salis Yuniardi1
ABSTRAKSI
Masa remaja sering dianggap sebagai masa yang rentan masalah. Salah satunya
adalah munculnya perilaku antisosial. Faktor yang diduga menjadi penyebab utama
adalah keluarga Beberapa penelitian diantaranya dilakukan oleh Lamb (1971),
Heteringthon (1976), Baruch & Barnett (1981) menyatakan bahwa ketidak-adanya
peranan ayah dalam pendidikan anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi
tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya. Penelitian ini mengkaji bagaimana
penerimaan remaja laki – laki dengan perilaku antisosial terhadap peran ayah dalam
keluarga. .
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan mengambil subyek
penelitian yaitu remaja laki – laki yang berusia antara 16 – 19 tahun yang berperilaku anti
sosial sehingga mendapat atau pernah mendapat hukuman pidana. Subyek yang diambil
sebanyak tiga orang.
Dari hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa kesemua subyek melihat ayah
mereka belum menjalankan seluruh peran sebagai ayah yang baik. Ada beberapa ayah
yang sudah menjalankan fungsinya sebagai economic providers, namun hampir semua
ayah subyek kurang mampu dengan baik menjalankan fungsi : caregivers, friend and
playmate, teacher and role model, monitor and disciplinarian, protector. Kurangnya
kelengkapan dalam menjalankan peran tersebut menimbulkan berbagai perasaan negatif
pada para subyek, seperti merasa tidak diperhatikan, tidak dekat, kurang merasa diawasi,
bahkan perasaan kesal dan dendam. Pada akhirnya perasaan – perasaan negatif tersebut
berujung pada munculnya perilaku anti sosial.
Kata kunci : remaja laki-laki, perilaku anti sosial, peran ayah..
1 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 65144, Telp. 0341-464318 psw 170
Email: [email protected]
DAFTAR ISI
Lembar Judul
Lembar Pengesahan ....................................................................................
Abstrak .......................................................................................................
Daftar Isi .....................................................................................................
i
ii
iii
Bab I Pendahuluan ................................................................................
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
B. Perumusan Masalah .............................................................
C. Tujuan Dan Manfaat ............................................................
1
1
8
8
Bab II Tinjauan Teoritis .........................................................................
A. Remaja .................................................................................
A.1. Definisi Remaja ..............................................................
A.2. Ciri – Ciri Masa Remaja ................................................
A.3. Identifikasi Pada Remaja Terhadap Orang Tua .............
A.4. Perubahan Sistem Keluarga Dari Remaja ......................
B. Perilaku Antisosial ...............................................................
B. 1. Definisi Perilaku Antisosial ............................................
B.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Antisosial
C. Peran Ayah ...........................................................................
D. 1. Pengertian Peran Ayah (Fathering) ...............................
9
9
9
9
12
13
15
15
16
18
18
C. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peran Ayah ...........
C. 3. Peran Ayah Dalam Keluarga ..........................................
20
23
Bab III Metode Penelitian .......................................................................
A. Pendekatan Penelitian ..........................................................
B. Subyek Penelitian Dan Sampel ............................................
C. Metode Pengambilan Data ...................................................
D. Alat Pengumpul Data ...........................................................
E. Pelaksanaan Pengambilan Data ...........................................
F. Prosedur Analisa Data ..........................................................
G. Metode Analisa Data ............................................................
29
29
29
30
31
33
34
35
Bab IV Analisis Data ...............................................................................
A. Gambaran Umum Subyek ....................................................
B. Analisis Intra Kasus .............................................................
C. Analisis Antar Kasus ............................................................
D. Pembahasan
37
37
37
58
61
Bab V Kesimpulan Dan Saran ................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................
B. Saran .....................................................................................
70
70
71
Daftar Pustaka 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masa remaja yang dimulai pada sekitar usia 11 atau 12 tahun hingga
sekitar usia 20an, merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan masa
dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif, maupun sosial
(Papalia, Old, & Feldman, 2001), atau merupakan masa peralihan yang ditandai
perubahan-perubahan dalam diri individu, baik secara psikologis, fisiologis,
seksual, dan kognitif, serta adanya berbagai tuntutan dari masyarakat dan
perubahan sosial yang menyertai mereka untuk menjadi dewasa yang mandiri.
Oleh karena masa transisi yang disertai perubahan-perubahan tersebut,
masa remaja sering dianggap sebagi masa yang paling rentan terhadap masalah.
Sebagaimana Erikson (1968) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa
paling kritis dalam delapan tahap perkembangan manusia. Sedangkan Hurlock
(1987) menyatakan bahwa sesungguhnya setiap periode memiliki masalahnya
sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi.
Terdapat dua alasan bagi kesulitan ini. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak,
sebagian masalah diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan
remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua karena para remaja
seringkali merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru.
Selain itu, rawannya masa remaja tersebut adalah karena semua perubahan
tersebut berada pada masa transisinya. Contohnya secara psikososial, pada masa
remaja mulai muncul kebutuhan akan identitas diri sebagai human being yang
unik dan dewasa, lepas dari bayang-bayang orang tua. Lepas dari bayang-bayang
orang tua ternyata juga bukan hal yang mudah karena dalam kenyataan mereka
masih tergantung dan membutuhkan orang tua. Mereka menginginkan dan
menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan
akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tanggung
jawab tersebut (Hurlock, 1987).
Selain itu gambaran mengenai identitas diri yang mereka inginkan
biasanya belum tergambar jelas sehingga mereka tetap mencari model, dan model
yang paling dekat biasanya adalah orang tua, terutama yang berjenis kelamin
sama (Erikson, dalam Bosma, 1994). Terhadap model tersebut mereka berusaha
melakukan identifikasi diri, proses dimana individu mengidentifikasikan dirinya
dengan sesuatu, seseorang, atau institusi dan berpikir, merasa, serta bertingkah
laku secara konsisten sesuai dengan gambaran mental dari model tersebut
(Benner, dalam Bosma, 1994). Oleh karena itu bagi remaja laki - laki, bagaimana
sikap dan perilaku ayah yang dilihatnya sejak ia masih kanak – kanak adalah
seringkali menjadi acuan bagaimana sikap dan perilakunya kelak.
Salah satu wujud dari masalah-masalah tersebut adalah apa yang kemudian
dikenal sebagai kenakalan remaja, yang dapat berupa perilaku minum-minuman
keras, menggunakan obat-obatan, terlibat perbuatan seks, membolos sekolah,
perkelahian, mencuri, atau perilaku antisosial lainya. Perilaku-perilaku tersebut
biasa disebut perilaku antisosial dan bahkan beberapa diantaranya sudah
dikategorikan melanggar hukum.
Perilaku antisosial lebih umum ditemukan pada remaja laki – laki.
Perbedaan gender sendiri seringkali ditemukan dalam perilaku antisosial yang
spesifik. Remaja laki – laki seringkali lebih terlibat pada perkelahian, pencurian,
vandalisme, permasalahan disiplin sekolah, dan penyalah gunaan obat – obatan
dan minuman beralkohol. Sedangkan pada remaja perempuan lebih sering
muncul perilaku berbohong, pergi dari rumah, dan prostitusi (Rutter, Giller, &
Hagel, 1998).
Masalah perilaku antisosial pada remaja ini perlu mendapat perhatian
penting, karena beberapa alasan. Pertama, perilaku antosial remaja mewakili
gambaran sosial masyarakat, masalah sosial, dan masalah klinis yang signifikan.
Kedua dan berhubungan, perilaku agresif dan antisosial seringkali memberikan
konsekuensi merugikan bagi orang lain dan masyarakat. Selain itu, perilaku
antisosial selalu menjadi bagian dari perkembangan yang apabila tidak dicegah
maka akan lahir kriminal-kriminal dewasa yang lebih mengerikan. Selanjutnya,
biaya, baik finansial maupun sosial, dari perilaku antisosial remaja adalah sangat
besar, baik kerugian yang ditimbulkan maupun rehabilitasinya (Kazdin, dalam
Eron, Gentry, Schlegel, 1996).
Ada banyak faktor yang diduga berperan pada timbulnya perilaku
antisosial pada remaja, di antara faktor-faktor tersebut adalah faktor psikososial.
Sebagaimana diungkap Erickson (1987) bahwa faktor psikologi dan lingkungan
sudah dianggap oleh para sosiolog, psikiater, dan psikolog klinis sebagai faktor
paling berpengaruh terhadap terjadinya perilaku antisosial pada remaja. Salah
satu faktor yang tercakup dalam psikosial adalah faktor keluarga.
Hal ini tentu dapat dimengerti, karena keluargalah lingkungan sosial
pertama tempat di mana remaja mengembangkan dirinya. Jika remaja mengalami
masalah dalam perkembangan sosialnya, maka keluargalah yang bertanggung
jawab atas masalah tersebut (Andayani & Koentjoro, 2004). Selain itu, menyimak
kembali bahasan pada alinea – alinea awal bahwa setiap sikap dan perilaku remaja
pasti tidak lepas dari bagaimana sikap dan perilaku orang tuanya karena dalam
proses pencarian identitas dirinya, remaja melakukan identifikasi terhadap model,
dan model paling dekat adalah orang tua, terutama yang berjenis kelamin sama.
Bila ia seorang remaja laki – laki, maka model yang seringkali paling besar
pengaruhnya adalah ayahnya.
Namun berbicara mengenai keluarga dan kaitannya dengan anak,
seringkali fokus kita akan secara langsung menengok pada peran ibu. Hal ini
tentu dapat dimengerti pula karena keyakinan bahwa anak adalah urusan ibu
bukanlah keyakinan masyarakat Indonesia saja, melainkan bersifat universal
sebagaimana diyakini berbagai budaya di dunia ini (Andayani & Koentjoro,
2004).
Hal ini senada dengan pernyataan psikolog Dr. Yuke Siregar, M.Pd, yang
menyatakan bahwa kultur di Asia, termasuk Indonesia, memisahkan dengan tegas
pembagian peran ayah dan ibu pada wilayah domestik (urusan rumah -red), dan
urusan di luar rumah. Satu sama lain bertugas sesuai dengan perannya. Ayah
lebih banyak di luar untuk mencari nafkah serta bertanggung jawab sebagai kepala
keluarga, sementara ibu bertugas di rumah memelihara keluarga
(http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/ 0205/20/hikmah/utama03.htm).
Serupa dengan pernyataan psikolog sosial Achmad Gimmy Pratama, Drs., M.Si,
bahwa peran ayah sering diidentikkan sebagai sosok yang menjaga dan
melindungi keluarga agar terasa aman serta nyaman, baik bagi pasangannya
maupun bagi anak-anaknya. Tugas ini berkaitan dengan tanggung jawabnya
mencukupi kebutuhan keluarga, serta tugas-tugas kepemimpinan. Sementara
peran ibu, tak lain bertugas menjaga lingkungan domestik dan lebih ditekankan
pada kompetensinya memelihara menjadi baik, mengasuh, serta melakukan
aktivitas rumah tangga lainnya yang lebih besar bersentuhan langsung dengan
anak (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/20/hikmah /utama02.htm).
Bukan hanya dalam keyakinan masyarakat, dalam penelitian-penelitian
ilmiah mengenai orang tua, baik mengenai perkembangan anak maupun sosiologi
keluarga, cenderung melihat ibu bukan hanya sebagai penangggung jawab utama
pengasuhan (caregivers), tetapi juga agen utama sosialisasi, dan sumber
terpenting mengenai pola asuh (parenting) dan perkembangan anak dalam
keluarga. Hal ini memberi keyakinan bahwa perawatan dan kompetensi ibu
merupakan kunci utama kesuksesan anak secara sosial, emosional, dan dalam
perkembangan kognitif, tanpa memperhatikan kualitas dari peran ayah terhadap
kesuksesan tersebut (newson 7 Newson, 1963, 1968; Pederson & Robson, 1969;
Scaffer & Emerson, 1964 dalam Bronstein & Cowan, 1988).
Namun pola di dalam keluarga, termasuk pembagian peran orang tua
dalam keluarga, berubah seiring dengan perubahan masyarakat dunia pasca
revolusi industri pada tahun 1950-an (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/
2005/0205/20/hikmah/utama02.htm) dan pergerakan wanita pada 1960-an
(Bronstein & Cowan, 1988). Seorang wanita tidak lagi terkurung dalam rutinitas
domestik, melainkan punya kesempatan sama dalam karier, begitupun dalam
tanggung jawab pengasuhan.
Seiring dengan perubahan masyarakat tersebut, peran ayah dalam
keluarga-pun mendapat perhatian dalam kajian-kajian ilmiah terbaru. Beberapa
penelitian diantaranya dilakukan oleh Lamb (1971), Heteringthon (1976), Baruch
& Barnett (1981), serta beberapa lagi menyimpulkan bahwa ayah juga merupakan
agen penting dalam perkembangan anak (Bronstein & Cowan, 1988). Sedangkan
penelitian Watson & Lindgren (1973) menyimpulkan bahwa kelompok anak yang
kurang mendapat perhatian ayah cenderung memiliki kemampuan akademik
menurun, aktivitas sosial terhambat, & interaksi sosial terbatas. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian di AS terhadap 15.000 remaja sebagai sampelnya
menujukkan jika peranan ayah berkurang/ terabaikan atau tak dilakukan maka
terjadi peningkatan yang signifikan: (1) Jumlah anak putri belasan tahun hamil
tanpa menikah, (2) Kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak, dan (3) Patologi
psiko-sosial (Daugherti dan Kurosaka: 2002).
Temuan ini senada dengan hasil penelitian National Parent Teacher
Asosiation (2002) yang mendasarkan hasil-hasil penelitian selama 30 tahun
terakhir, menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya
tumbuh kembang anak secara fisik, sosio-emosional, ketrampilan kognitif,
pengetahuan. Di samping siswa mendapat nilai yang tinggi, mereka memiliki
sikap yang positif terhadap sekolah sehingga rajin mengikuti kegiatan baik intra
maupun ekstra kurikuler, akan menangkal anak dari keterlibatannya dalam
kenakalan remaja, seperti mangkir, tawuran, miras, narkoba, kehamilan dini dan
kriminalitas
Lebih lanjut ditemukan juga bahwa absennya peranan ayah jauh lebih
signifikan dampak negatifnya bagi anak (seperti di atas) dibanding absennya
peranan ibu. Maka wajar jika US Departemen of Justice pada tahun 1988
menyatakan bahwa ketidak-adanya peranan ayah dalam pendidikan anak menjadi
prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan anak-anaknya
(Fathering Interprises: 1995-1996, dalam http://artikel.us/slameto2.html).
Menyimpulkan sebuah asumsi dari penelitian-penelitian di atas, peran
ayah tampaknya sangat berperanan dalam munculnya berbagai perilaku
ketidakpatuhan terhadap hukum-hukum dan norma-norma, atau dengan kata lain
berperan dalam munculnya perilaku antisosial pada remaja, terutama remaja laki -
laki. Selanjutnya sangatlah menarik untuk mengkaji mengenai hal yang
sebaliknya, yaitu bagaimana persepsi remaja sendiri, secara khusus remaja laki –
laki dengan perilaku antisosial, terhadap peran ayah dalam keluarga. Sebagai
sebuah studi awal, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan diatas dengan
mengungkap lebih dalam mengenai persepsi dari remaja laki – laki dengan
perilaku antisosial mengenai pentingnya peran ayah dalam keluarga, penghayatan
subyektif terhadap peran ayahnya dalam keluarga, serta identifikasi terhadap
peran ayahnya selama ini bilamana ia menjadi seorang ayah kelak .
B. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini masalah yang hendak ditemukan jawabannya adalah:
Bagaimana penerimaan remaja laki – laki dengan perilaku antisosial terhadap
peran ayahnya di dalam keluarga?
C. TUJUAN DAN MANFAAT
C.1. Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang
lebih terang mengenai penerimaan remaja bermasalah terhadap peran ayah dalam
keluarga. Diharapkan dengan temuan ini dapat bermanfaat untuk memperkaya
teori-teori psikologi perkembangan dan klinis, terutama memperkaya literatur
mengenai peran ayah (fathering) yang dirasa masih sangat kurang.
C.2. Aplikasi
Setara dengan tujuan teoritis, secara aplikatif penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai peran-peran yang dapat atau
seharusnya dimainkan seorang ayah dalam keluarga sehingga anaknya tidak
tumbuh menjadi remaja dengan perilaku antisosial. Dari temuan penelitian ini
nantinya diharapkan dapat memberi pemahamanan pada masyarakat mengenai
pentingnya peran seorang ayah dalam keluarga, terutama guna mencegah anak
tidak tumbuh menjadi seorang remaja dengan perilaku antisosial.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
D. REMAJA
A.1. Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja ) yang berarti ”tumbuh” atau “
tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence, seperti yang pergunakan saat ini,
mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kamatangan mental, emosional, sosial,
dan fisik (Hurlock, 1980).
Masa Remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dengan
masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif, maupun sosial.
Masa remaja dimulai pada sekitar usia 11 atau 12 tahun hingga sekitar usia 20an
(Erickson dalam Sprinthall & Collins, 1995; Papalia, Old, & Feldman, 2001).
A.2. Ciri – Ciri Masa Remaja
Seperti halnya dengan semua periode dalam rentang kehidupan, masa
remaja mempunyai ciri-ciri tertentu (Hurlock, 1980), mencakup:
1. Masa remaja sebagai periode penting
Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat
psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama penting.
Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya
perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya
membentuk sikap, nilai, dan minat baru.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan
Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas dan terdapat
keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini, remaja bukan lagi
seorang anak dan juga bukan seorang dewasa. Kalau remaja berperilaku anak-
anak, ia akan diajari untuk “bertindak sesuai umurnya”. Kalau remaja bertindak
seperti orang dewasa, ia dimarahi karena mencoba bertindak seperti orang
dewasa.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Ada lima perubahan mendasar pada masa remaja, yaitu meningginya
emosi, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan kelompok sosial, nilai-
nilai, dan sikap yang ambivalen terhadap kebebasan.
4. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Sesungguhnya setiap periode memiliki masalahnya sendiri, namun
masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Terdapat dua
alasan bagi kesulitan ini. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, sebagai an
masalah diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak
berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua karena para remaja seringkali
merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri,
menolak bantuan orang tua dan guru.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pada masa remaja mulai muncul kebutuhan akan identitas diri sebagai
human being yang unik dan dewasa, lepas dari bayang-bayang orang tua. Namun
gambaran mengenai identitas diri yang mereka inginkan biasanya belum
tergambar jelas sehingga mereka tetap mencari model. Jika model yang diambil
tepat dan orang tua mampu memberi dukungan positif maka remaja akan melalui
tugasnya dengan baik, dan sebaliknya jika dukungan yang di dapat negatif atau
remaja mendapat model yang buruk maka identitas diri yang negatiflah yang akan
terbangun (Erikson, 1968).
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Banyak anggapan populer tentang rejmaa yang mempunyai arti dan
bernilai, sayangnya banyak diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan
stereotipe bahwa remaja adalah tidak rapih, tidak dapat dipercaya, dan cenderung
berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing
mereka menjadi takut bertanggung jawab dan akhirnya bersikap tidak simpatik
terhadap remaja yang normal. Stereotipe ini juga mempengaruhi konsep diri dan
sikap remaja terhadap dirinya.
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis
Remaja cenderung memandang kehidupan malalui kaca berwarna merah
jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia harapkan
dan bukan sebagaimana ia adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang
tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan
teman-temannya, dan sering menyebabkan meningginya emosi.
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Remaja gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk
memberikan kesan bahwa mereka sudah dewasa. Oleh karena itu mereka mulai
memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu
merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat
perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini memberikan citra yang
mereka inginkan.
A.3. Identifikasi Pada Remaja Terhadap Orang Tua
Memasuki masa remaja, pada setiap individu mulai merasakan munculnya
kebutuhan akan identitas diri sebagai human being yang unik dan dewasa. Namun
dalam kegamangan perkembangan dimana secara fisik, kognitif, emosi dan
kemampuan sosial belum matang sepenuhnya, maka gambaran mengenai
identitas diri yang mereka inginkan biasanya belum tergambar jelas sehingga
mereka tetap membutuhkan model, dan model yang paling dekat biasanya adalah
orang tua, terutama yang berjenis kelamin sama (Erikson, dalam Bosma, 1994).
Terhadap model tersebut mereka berusaha melakukan identifikasi diri,
proses dimana individu mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu, seseorang,
atau institusi dan berpikir, merasa, serta bertingkah laku secara konsisten sesuai
dengan gambaran mental dari model tersebut. Tujuan dari proses ini adalah
untuk melindungi individu dari ancaman devaluasi diri dan untuk meningkatkan
harga diri individu tersebut (Benner, dalam Bosma, 1994).
Menurut Erikson (dalam Papalia et al, 2001) remaja tidak membentuk
identitas diri mereka dengan hanya memodel atau mencontohnya dari orang lain,
tetapi juga memodifikasi dan menyatukan hasil identifikasi awal di atas menjadi
suatu struktur psikologis yang baru, dan lebih besar dari penjumlahan bagian-
bagiannya. Oleh karena itu bagi remaja laki - laki, bagaimana sikap dan perilaku
ayah yang dilihatnya sejak ia masih kanak – kanak adalah seringkali menjadi
acuan bagaimana sikap dan perilakunya kelak.
A.4. Perubahan Sistem Keluarga Dari Remaja
Mengikuti perubahan yang terjadi saat anak tumbuh menjadi seorang
remaja, sistem interaksi dalam keluargapun diharapkan dapat berubah. Gaya
pengasuhan dan aturan perilaku dalam keluarga harus berubah mengikuti
perubahan – perubahan kebutuhan dari remaja. Namun demikian, memenuhi
kebutuhan dari remaja yang mencoba mulai mandiri dan bahkan seringkali
memisahkan diri dari sistem keluarga yang telah ada tentu menjadi sebuah
tantangan yang besar bagi orang tua (Bigner,1994).
Para pakar dalam bidang keluarga menekankan bahwa salah satu tantangan
paling sulit dalam pengasuhan remaja adalah menentukan batas yang tepat antara
memberikan dukungan terhadap usaha individu remaja untuk mulai mandiri dan
memisahkan diri dari sistem keluarga, sambil memelihara batasan tertentu dan
aturan tegas mengenai perilaku yang tepat (Becnel, dalam Bigner, 1994).
Terdapat dua alasan yang menjelaskan mengapa hal ini sangat suliti
diterapkan (Bigner,1994), yaitu : kekhawatiran budaya (cultural impoverishment)
dan tekanan kepribadian (personality constrictions). Kekhawatiran budaya
merujuk pada permasalahan – permasalahan orang tua dalam mengantisipasi
kejadian – kejadian dan situasi – situasi yang akan anak remajanya hadapi di masa
depan mereka. Karena perubahan sosial yang sangat cepat di waktu kemarin
hingga sekarang, orang tua khawatir bahwa pola – pola, aturan –aturan, keyakinan
– keyakinan, dan nilai – nilai dalam sistem keluarga tidak akan berlaku lagi di
masa depan.
Sedangkan kekakuan kepribadian merujuk pada pengalaman konflik –
konflik mengenai pendefinisian ulang peran pengasuhan dari mereka. Orangtua
khawatir mereka tidak akan dibutuhkan lagi sebagaimana peran mereka di awal
kehidupan anak –anaknya.
Oleh karena itu, kesadaran orang tua mengenai perubahan ini sangatlah
penting. Biasanya komunikasi untuk mendefinisikan ulang dan mengosiasi ulang
mengenai peran dan bagaimana hak dan kewajiban masing – masing pihak, orang
tua dan remaja, menjadi metode terbaik untuk menghindari hal – hal buruk yang
dikhawatirkan malah terjadi. Komunikasi ini, juga biasanya menjadi hal yang
paling diinginkan remaja dari orang tuanya, sekaligus mereka anggap sebagai
pengakuan orang tua akan kedewasaan mereka.
E. PERILAKU ANTISOSIAL
B. 1. Definisi Perilaku Antisosial
Menetapkan terminologi perilaku antisosial adalah hal yang sangat sulit
(Rutter, Giller, & Hagell, 1998). Banyak istilah yang memiliki kedekatan dan
seringkali menimbulkan kerancuan, seperti : Deliquency, Conduct Disorder,
crime, antisocial personality disorder, dan juga antisocial behaviors sendiri.
Banyak pula bidang yang terlibat dalam pembahasannya, mencakup : sosiologi,
hukum, kriminologi, psikiatri, dan juga psikologi. Di dalam pendekatan
multiaxis, perilaku-perilaku yang dinilai sebagai antisosial, berdasar klasifikasi
symtoms, dapat terkait dengan axis I ( psychoactive substance use disorder, sexual
disorders (sexual crimes), impulse control disorders, ataupun kondisi lain yang
menjadi fokus treatment: child or adolescent antisocial behavior), axis II
(developmental dan personality disorders), axis IV (severity of psychosocial
stressors), dan juga axis V (global level functioning) (dalam Blackburn, 2001).
Rutter, Giller, & Hagell (1998) secara ringkas memberikan definisi
perilaku antisosial sebagai perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang
merujuk pada perilaku orang-orang usia muda. Sedangkan Patterson (1982,
dalam Eddy & Reid, 2001) menjelaskan perilaku antisosial sebagai sekumpulan
perilaku yang saling terkait (a cluster of related behaviors), meliputi : tidak patuh,
agresi, temper tantrums, berbohong, mencuri, dan kekerasan. Beberapa dari
perilaku ini adalah normatif pada usia tertentu sesuai perkembangan anak, dan
seringkali dimunculkan selama masa remaja, yang menjadi prediktor kuat dari
adjustement problems, termasuk perilaku kriminal pada masa dewasa (Kohlberg,
Ricks, & Snarey, 1984, dalam Eddy & Reid, 2001). Perilaku bergerak dari
tindakan kriminal semcam serangan terhadap orang lain atau properti (misal
mencuri atau vandalism) hingga perilaku - perilaku yang secara sosial tidak dapat
diterima, semacam membolos sekolah dan mengganggu anak yang lebih muda
(Smart, Vassallo, Sanson, Dussuyer, 2004).
Lebih lengkap apa yang termuat pada Engglish Glosarry
(http://glossary.adoption.com/anti+social-behavior.html), perilaku anti-sosial
adalah perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma baku. Perilaku-
perilaku ini memiliki variasi derajat, dan didasarkan pada lingkungan sosial
dimana anak atau remaja tersebut hidup. Macam dari perilaku ini mencakup :
membolos sekolah, terlibat perkelahian, lari dari rumah, sering berbohong,
menggunakan alkohol dan obat - obatan terlarang, mencuri, perilaku vandalism,
terbiasa memunculkan perilaku agresif dan kekerasan terhadap individu lain,
melanggar peraturan sekolah, aturan rumah, dan hukum kriminal setempat.
Selanjutnya, berdasar uraian diatas, peneliti memberi definisi perilaku
antisosial sebagai perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma baku,
baik aturan keluarga, sekolah, masyarakat, maupun hukum yang dilakukan oleh
remaja.
B.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Antisosial
Banyak faktor yang diduga berperan dalam munculnya perilaku antisosial,
yang faktor-faktor tersebut sulit dilihat sebagai faktor-faktor terpisah. Perilaku
antisosial paling baik dijelaskan dengan penyebab ganda (multile causes) yang
saling mempengaruhi (Shaw & Bell dalam Mash & Wolfe, 1999).
Rutter, Giller, & Hagell (1998) melihat bahwa perilaku antisosial dapat
dipengaruhi faktor-faktor :
1. Peranan fitur-fitur individual, mencakup : genetik, komplikasi obstetric,
kecerdasan, fitur temperament dan kepribadian, bias dalam proses kognitif
seperti irasionalitas dalam memahami fakta atau informasi sosial,
pengaruh alkohol dan obat-obatan, serta mediator - mediator biologis
semacan metabolisme serotonin.
2. Peranan fitur-fitur psikososial, mencakup : pengaruh keluarga (karakter
orang tua, besar keluarga, broken homes, abuse, dan pola asuh serta
supervisi yang tidak efektif), peer, kemiskinan dan ketimpangan sosial,
serta pengangguran.
3. Pengaruh Masyarakat, mencakup : media massa, efek sekolah, variasi
etnik, dan hukum.
Sedang Mash & Wolfe (1999) menjelaskan penyebab perilaku antisosial,
yaitu :
1. Faktor biologis, mencakup : early temperament, genetik, dan
neurobiologis, seperti : rendahnya serotonin (Pine dalam Mash & Wolfe,
1999), tingginya kadar testosteron McBurnett & Lahey dalam Mash &
Wolfe, 1999), dan kadar timah hitam dalam tulang (Needleman dalam
Mash & Wolfe, 1999).
2. Faktor Kognitif Sosial, mencakup : egosentrisme dan ketidakmatangan
dalam berfikir (Selman dalam Mash & Wolfe, 1999), defisiensi kognitif
karena kegagalan anak menggunakan perantara verbal dalam meregeluasi
tingkah laku (Meichenbaum dalam Mash & Wolfe, 1999), dan distorsi
dalam interpretasi informasi (Crick & dodge dalam Mash & Wolfe, 1999)
3. Faktor Keluarga, diantaranya : konflik pernikahan, perpisahan dari
keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, penerapan disiplin yang lemah,
tidak menentu, atau tidak konsisten, kurangnya pengawasan orang tua atau
dominasi berlebihan salah satu anggota keluarga (Hinshaw & Anderson
dalam Mash & Wolfe, 1999)
4. Faktor sosial, mencakup : pengaruh lingkungan tempat tinggal dan
sekolah, dan media
5. Faktor Budaya dan Etnis. Perbedaan budaya dalam mengekspresikan
tingkah laku agresif sangat beragam, dan dalam budaya apapun, sosialisasi
terhadap agresi ditemukan sebagai salah satu yang paling kuat untuk
memprediksi tingkah laku antisosial (Mash & Wolfe, 1999).
F. PERAN AYAH
C. 1. Pengertian Peran Ayah (Fathering)
Guna mendapatkan definisi mengenai peran ayah (fathering), maka
rujukan pertama adalah memahami arti dari peran orang tua (parenting) atau biasa
dikenal sebagai peran pengasuhan. Menurut Shanock (dalam Garbarino & Benn,
1992), parenting adalah suatu peran yang berkaitan dengan tugas untuk
mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya, baik secara fisik dan
biologis. Parenting adalah suatu hubungan yang intens berdasarkan kebutuhan
yang berubah secara pelan sejalan dengan perkembangan anak. Parenting adalah
suatu perilaku yang pada dasarnya mempunyai kata-kata kunci yaitu hangat,
sensitif, penuh penerimaan, bersifat resiprokal, ada pengertian, dan respon yang
tepat pada kebutuhan anak (Garbarino & Benn, 1992). Pengasuhan dengan ciri-
ciri tersebut melibatkan kemampuan untuk memahami kondisi dan kebutuhan
anak, kemampuan untuk memilih respon yang paling tepat baik secara emosional
afektif maupun instrumental. Selain itu keterlibatan dalam parenting
mengandung aspek waktu, interaksi, dan perhatian (Andayani & Koentjoro,
2004).
Parenting berbeda dari parenthood. Menurut Shanock (dalam Garbarino
& Benn, 1992), parenthood lebih merujuk pada masa menjadi orang tua dengan
kewajiban memenuhi kebutuhan anak yang selalu berubah dari waktu ke waktu
sesuai perkembangannya. Dalam kalimat lain, parenthood lebih memberi arti
status sebagai orang tua.
Peran ayah atau fathering lebih merujuk dengan pengertian parenting. Hal
ini karena fathering merupakan bagian dari parenting. Idealnya, ayah dan ibu
mengambil peranan yang saling melengkapi dalam menjalankan rumah tangga
dan perkawinan, termasuk di dalamnya berperan memberikan model yang lengkap
bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan (Andayani & Koentjoro, 2004).
Berdasar pemahaman diatas, peran ayah (fathering) dapat dijelaskan
sebagai suatu peran yang dimainkan seorang ayah dalam kaitannya dengan tugas
untuk mengarahkan anak menjadi mandiri di masa dewasanya, baik secara fisik
dan biologis. Peran ayah sama pentingnya dengan peran ibu dan memiliki
pengaruh pada perkembangan anak walau pada umumnya menghabiskan waktu
relatif lebih sedikit dengan anak dibandingan dengan ibu. Hal ini karena, menurut
Fromm (dalam Lugo & Hershey, 1979) cinta ayah didasarkan pada syarat tertentu,
berbeda dengan ibu yang tanpa syarat. Dengan demikian cinta ayah memberi
motivasi anak untuk lebih menghargai nilai-nilai dan tanggung jawab.
C. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Peran Ayah (Fathering)
Berikut ini akan diuraikan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
orang tua, yang berarti tercakup di dalamnya peran ayah :
1. Faktor personal orang tua
Kepribadian orang tua dan perasaan terhadap diri mereka sendiri dan
terhadap peran mereka sangat mempengaruhi tindakan pengasuhan. Orang tua
yang maladjusted (misal neurotik) menyebabkan suasana dan pendekatan
terhadap kehidupan yang dikomunikasikan ke anak maladjusted pula (Sukadji,
1998). Selain itu, sikap dan keyakinan ayah mengenai pengasuhan juga
mengarahkan perilaku ayah dan berpengaruh terhadap kurangnya keterlibatan
ayah dalam pengasuhan (Andayani & Koentjoro, 2004).
Selanjutnya, kualitas pernikahan, yang di dalamnya faktor personal
berperan, juga mempengaruhi kepuasan pasangan terhadap pernikahannya, dan
menjadi perantara dalam cara pengasuhan anak Miller, Cowan, Hetherington,
dalam Andayani & Koentjoro, 2004).
2. Karakteristik anak
Interaksi anak dan orang tua adalah bersifat resiprokral dengan prinsip
pertukaran sosial (Simons, Whitbeck, Conger, & Melby, 1990, dalam Andayani &
Koentjoro, 2004). Oleh karena itu, kualitas temperamental anak akan terbawa
pada proses pengasuhan. Selain itu, urutan kelahiran juga mempengaruhi cara
pengasuhan. Orang tua biasanya lebih berpengalaman saat mengasuh anak kedua.
Anak sulung, misalnya dituntut lebih berprestasi dan bisa menjadi contoh bagi
adik-adiknya (Sukadji, 1998; Andayani & Koentjoro, 2004).
Jenis kelamin juga mempengaruhi sikap orang tua, terutama ayah. Secara
konsisten ayah lebih terlibat langsung dalam pengasuhan anak laki-laki (Lamb,
1981). Ayah juga lebih terlibat dalam permainan yang menstimulasi fisik pada
anak laki-lakinya (Berk, 1997). Ayah juga lebih menekankan pencapaian pretasi
pada anak laki-laki (Lytton & Romney, dalam Berk, 1997).
3. Besar keluarga
Orang tua yang memiliki lebih sedikit anak ditemukan lebih sabar dan
menggunakan lebih sedikit hukuman pada anak-anaknya. Mereka juga lebih
banyak memiliki waktu untuk melakukan aktifitas bersama anak, seperti
membantu pekerjaan sekolah anak, atau kebutuhan lain. Namun pada keluarga
kecil terkadang orang tua memberi penekanan yang berlebih sehingga anak
menjadi mudah cemas (Sukadji, 1998)
4. Status sosial ekonomi
Perbedaan pengasuhan dalam kelas sosial dapat dilihat dari konteks
perbedaan kondisi hidup. Misalnya, orang tua dari kelas menengah cenderung
lebih mengendalikan, otoriter, menekankan ketaatan, dan cenderung
menggunakan hukuman (Berk, 1997). Hal ini mungkin terkait dengan rasa tidak
memiliki kekuatan dan tidak memiliki pengaruh dalam hubungan di luar rumah
(Berk, 1997)
5. Pendidikan
Menurut Margolin (dalam Sukadji, 1988) yang penting dari tingkat
pendidikan orang tua adalah adanya minat orang tua untuk tetap mengikuti
perkembangan informasi. Mereka yang berpendidikan tinggi cenderung lebih
mengembangkan diri daripada yang berpendidikan rendah. Selanjutnya, mereka
cenderung lebih terbuka, luwes, dan mengikuti perkembangan dinamika sosial dan
lebih menyadari diri sehingga mempermudah hubungan orang tua dan anak.
6. Kesukuan dan Budaya
Setiap suku bangsa memiliki keyakinan dan praktek pengasuhan yang
berbeda. Beberapa melibatkan perbedaan dalam tuntutan yang terlihat adaptif
dengan nilai budaya dan konteks dimana orang tua dan anak berada (Hamner &
Turner, 1990).
C. 3. Peran Ayah Dalam Keluarga
Peran ayah dan ibu dalam parenting menurut Hoffman (dalam Lamb,
1981) memiliki paling sedikit empat dimensi. Pertama, orang tua menjadi teladan
bagi anak baik melalui perkataan maupun tindakannya. Kedua, orang tua
memberikan disiplin pada anak dan memberikan penjelasan mengapa mereka
mendukung tingkah laku tertentu dan tidak mendukung tingkah laku yang lain.
Ketiga, orang tua sebagai orang yang utama dalam memenuhi kebutuhan kasih
sayang anak. Keempat, orang tua bertindak sebagai penghubung antara anak
dengan masyarakat yang lebih luas, dalam cara : (1) membawa tuntutan dan
harapan masyarakat ke dalam rumah dan melaksanakannya pada anak; (2)
berdasar pada posisi ayah dan ibu di masyarakat, mereka memberikan status
tertentu pada anak yang khususnya menjadi penting ketika anak mulai memahami
dunia luar di mana ia berpijak.
Sebagaimana diulas dalam sub bab sebelumnya, banyak faktor yang
menentukan peran ayah dalam keluarga. Salah satunya adalah persoalan nilai-
nilai budaya dimana keluarga tersebut berada. Beberapa penelitian di Amerika
Serikat telah mencoba menggali mengenai bagaimana peran ayah dalam keluarga.
Beberapa penelitian tersebut antara lain salah satunya dilakukan oleh Parsons
(dalam Lamb, 1981). Berdasar hasil penelitiannya ia kemudian menyimpulkan
bahwa peran yang lebih khusus untuk ayah yaitu merepresentasikan pengambil
keputusan, berorientasi pada tindakan, berlaku sebagai penghubung utama antara
sistem keluarga dengan sistem sosial di luar keluarga, bertanggung jawab untuk
mengenalkan anak pada peran jenis kelamin pada dunia yang lebih luas, dan
mendorong anak untuk memperoleh kompetensi yang diperlukan untuk
beradaptasi dengan dunia. Sedangkan peran ibu lebih bersifat ekspresif, nurturan,
empatik.
Selanjutnya, beberapa penelitian lain diantaranya oleh McAdoo (2002)
menyimpulkan bahwa ayah dalam keluarga memainkan peranan sebagai: (1)
Provider (penyedia dan pemberi fasilitas), (2) Protector (pemberi perlindungan),
(3) Decision Maker (pembuat keputusan), (4) Child Specialiser and Educator
(pendidik dan yang menjadikan anak sosial) dan (5) Nurtured Mother
(pendamping ibu).
Menurut Riley & Shalala (2000) peran ayah ada empat yaitu: (1) Modeling
adult male behavior, (2) Making Choices, (3) Problem Solving abilities, (4)
Providing Finansial and Emotional Support. Sedangkan Evans (1999) menyebut
peranan ayah pada umumnya itu dengan Five Ps yaitu: (1) Problem-Solver, (2)
Playmate, (3) Punisher, (4) Provider, dan (5) Preparer. Selanjutnya, Hilliard
(1996) menemukan peran ayah dalam hubungannya dengan anak menjadi 3 faktor
yaitu Communication, Commitment, dan Religiosity. Sedangkan Jain, Belsky dan
Crnic (1996) menyimpulkan peran ayah kedalam 4 tipe yang ditentukannya yaitu
(1) Caretakers, (2) Playmates-Teacher, (3) Disciplin-arians, dan (4) Disengaged.
Hal tersebut beda dengan Hart (1999) yang tegas langsung mengatakan
arti keterlibatan ayah bagi anak sebagai:
(1) Economic Provider
Dalam pandangan tradisional, ayah dilihat sebagai sumber pendukung
finansial dan perlindungan bagi keluarga. Sekalipun ayah tidak tinggal bersama
anak-anaknya, mereka tetap dituntut memberikan kontribusinya dalam memenuhi
kebutuhan anak akan pangan, sandang, dan papan. Dengan tidak mampu
menyediakan pendukung ekonomi bagi keluarga, akan mempengaruhi interaksi
antara anak dengan ayah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Ayah yang bekerja sepanjang waktu mungkin memiliki keterbatasan waktu dalam
berinteraksi dengan anaknya, namun mereka tetap menjadi model yang positif dan
penting bagi anak-anaknya. Ada banyak bukti bahwa dengan menjadi penyedia
ekonomi, ayah telah berperan dalam perkembangan anak. Dengan ayah
memenuhi kebutuhan finansial anak, anak merasa aman karena kebutuhannya
dalam proses pertumbuhan dijamin pemenuhannya.
(2) Friend and Playmate
Beberapa penelitian telah menunjukkan bila ayah sering dianggap sebagai ”fun
parent” dan lebih memiliki waktu untuk bermain dengan anak-anaknya daripada
ibu. Ayah cenderung berhubungan dengan anaknya dengan memberi stimulasi
aktifitas fisik. Selain itu, melalui permainan dengan anak, ayah dapat
bergurau/humor yang sehat, dapat menjalin hubungan yang baik sehingga
problem, kesulitan dan stress dari anak dapat dikeluarkan, pada akhirnya tidak
mengganggu belajar dan perkembangannya.
(3) Caregiver
Ayah ayah dapat dengan sering melakukan stimulasi afeksi dalam berbagai bentuk
sehingga membuat anak merasa nyaman dan penuh kehangatan. Bahkan banyak
penelitian telah menunjukkan bila ayah dapat sehangat dan merawat anak sebaik
ibu.
(4) Teacher and Role Model
Ayah, sebagaimana ibu, bertanggung jawab tentang apa saja yang diperlukan anak
untuk kehidupan selanjutnya dalam berbagai kehidupan melalui latihan dan
teladan yang baik sehingga berpengaruh positif bagi anak. Pelajaran hidup ini
mulai dari bentuk paling sederhana yang diberikan ketika anak masih balita, misal
mengenai abjad dan berhitung, hingga anak tumbuh lebih besar, misal membantu
dalam pekerjaan rumah, atau melatih anak bagaimana bergaul dengan orang lain.
Seringkali, ayah mengajar anak lebih melalui model. Contohnya, seorang ayah
dapat mengajarkan anak mengenai empati dengan cara menunjukkan sikap sensitif
dan perilaku menolong orang lain.
(5) Monitor and Disciplinarian
Bertentangan dengan keyakinan umum, ayah bukanlah pemeran utama dalam
mendidik disiplin pada anak. Khususnya di dua tahun pertama usia anak, ibu
yang lebih mengajarkan disiplin pada anak. Namun demikian, ayah juga
memenuhi peran penting ini dengan memonitor/mengawasi perilaku anak,
terutama begitu ada tanda-tanda awal penyimpangan sehingga disiplin anak bisa
segera ditegakkan.
(6) Protector
Ayah mengontrol dan mengorganisasi lingkungan anak sehingga anak terbebas
dari kesulitan resiko/bahaya, serta mengajarkan bagaimana anak seharusnya
menjaga keamanan diri mereka terutama selagi ayah atau ibu tidak bersamanya,
misalnya agar tidak berbicara dengan orang asing.
(7) Advocate
Ayah menjamin kesejahteraan anaknya dalam berbagai macam bentuk, termasuk
memenuhi kebutuhan anak ketika berda dalam institusi lain di luar keluarga.
Selain itu, ayah siap membantu, mendampingi dan membela anak jika ada
kesulitan/masalah, dengan demikian anak merasa aman, tidak sendiri, dan ada
tempat untuk berkonsultasi, dan itu adalah ayahnya sendiri. Contohnya,
penelitian telah menunjukkan bila keterlibatan ayah dalam kegiatan sekolah
anaknya berhubungan dengan baiknya prestasi belajar anak.
(8) Resource
Dengan berbagai cara dan bentuknya, ayah dapat mendukung keberhasilan anak
dengan memberikan dukungan di belakang layar. Contohnya, seorang ayah dapat
menyediakan dukungan emosional bagi ibu dan membantu kegiatan perawatan
anak. Selain itu, ayah dapat juga memenuhi kebutuhan anak dengan
menghubungkan anak dengan keluarga besar atau sumber-sumber masyarakat.
Dengan memperkenalkan anak pada keluarga besar, ayah melakukan transmisi
sejarah keluarga dan pengetahuan budaya pada anak. Secara khusus pada anak
yang lebih tua, hubungan dengan sumber-sumber masyarakat dapat menolong
anak membangun kemampuan sosialnya.
Selanjutnya, National Center on Father and Families (2001) berhasil
mengembangkan indikator ayah sebagai kerangka kerja/alat untuk penelitian
kuantitatif maupun kualitatif sebagai berikut: (1) father presence - engagement,
availability and responsibility; (2) care-giving - nurturance and maintenance of
child's well-being, health and appearance; (3) social competence - efforts to
develop and enhance child's social competence and academic achievement; (4)
cooperative parenting - parents and other caregivers have a supportive,
interdependent relationship aimed at optimal child development; (5) fathers'
healthy living - serving as a role model through healthy lifestyle, education and
appropriate social behaviors; and (6) material and financial contributions -
engaging in consistent activities that provide material and financial support to
children.
Bagiamana peran ayah dalam budaya Indonesia sendiri tampaknya masih
sangat terbatas penelitiannya. Oleh karena itu, menjadi sebuah alasan pula untuk
mengadakan penelitian ini. Selanjutnya, atas pertimbangan kelengkapan definisi
dan keluasan cakupan, penelitian ini menggunakan indikator-indikator yang
diberikan Hart (1999) sebagai aspek-aspek dari peran ayah dalam keluarga.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. PENDEKATAN PENELITIAN
Penelitian kualitatif bertujuan menerangkan gejala tingkah laku manusia
menurut penghayatan dan sudut pandang pelaku sendiri (Bogdan & Taylor, 1995).
Penelitian kualitatif memberi penekanan pada dinamika dan proses serta lebih
memfokuskan diri pada variasi pengalaman dari individu – individu atau
kelompok – kelompok yang berbeda (Patton, 1990
B. SUBYEK PENELITIAN DAN SAMPEL
B.1. Kriteria Subyek Penelitian
Penelitian ini mengambil subyek penelitian berdasarkan kriteria:
1) Remaja berusia antara 16 – 20 tahun.
2) Berperilaku antisosial, dibuktikan oleh keberadaan remaja tersebut pernah
menjalani hukuman pidana atas perilaku melanggar Undang-Undang Pidana.
3) Masih tinggal atau berhubungan dengan ayah kandung.
B.2. Jumlah Subyek Penelitian
Menurut Sarantoks (1993, dalam Poerwandari, 2001), prosedur
pengambilan subyek penelitian dalam penelitian kualitatif umumnya
menampilkan karakteristik-karakteristik tertentu, antara lain:
1. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-
kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian;
2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam
hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman
konseptual yang berkembang dalam penelitian;
3. Tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah / peristiwa acak)
melainkan pada kecocokan konteks.
Dengan karakteristik-karakteristik tersebut, jumlah subyek dalam
penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara tegas di awal penelitian.
Selanjutnya dalam proses penelitian, peneliti mengambil tiga orang subyek.
B.3. Teknik Pengambilan Subyek Penelitian
Penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan pendekatan purposif.
Subyek penelitian tidak diambil secara acak melainkan justru dipilih mengikuti
kriteria tertentu. Teknik pengambilan subyek penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah theory-based/operational construc sampling (pengambilan
subyek penelitian berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional).
Subyek penelitian ditentukan dengan kriteria tertentu berdasarkan dengan tujuan
penelitian. Hal ini dilakukan agar subyek penelitian sungguh-sungguh mewakili
fenomena yang dipelajari (Poerwandari, 2001). Dalam penelitian ini, kriteria
subyek penelitian adalah sebagaimana disebutkan dalam sub bab sebelumnya
(B.1. Kriteria Subyek Penelitian).
C. METODE PENGAMBILAN DATA
Data yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah data deskriptif, berupa
gambaran penerimaan remaja dengan perilaku antisosial terhadap peran ayah.
Untuk itu, metode perolehan data yang digunakan oleh peneliti adalah wawancara.
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2001). Wawancara kualitatif
dilaksanakan jika peneliti bermaksud untuk mendapatkan pengetahuan tentang
makna-makna subyektif yang dipahami individu sehubungan dengan
permasalahan yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu
tersebut.
Pada penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara
dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini peneliti dilengkapi
pedoman wawancara yang sangat umum di mana di dalamnya terdapat isu-isu
yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, atau mungkin tanpa ada
suatu bentuk pertanyaan yang eksplisit. Selain untuk menjadi pengingat bagi
peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, pedoman ini juga berfungsi
sebagai daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah
dibahas atau ditanyakan.
D. ALAT PENGUMPUL DATA
Alat pengumpul data yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah
peneliti, kuesioner, pedoman umum wawancara, alat perekam, kertas, dan alat
untuk mencatat.
D.1. Peneliti
Peneliti adalah instrumen kunci dalam penelitian kualitatif karena peneliti
berperan besar dalam seluruh proses, mulai dari pemilihan topik, mendekati topik,
mengumpulkan data, menganalisa dan menginterpretasi (Poerwandari, 1998).
D.2. Pedoman Umum Wawancara
Pedoman umum wawancara ini digunakan sebagai acuan bagi jalannya
pengambilan data, dan untuk menjaga agar wawancara tidak menyimpang dari
tujuan penelitian. Melalui penyusunan pedoman umum wawancara tersebut
dimungkinkan bagaimana sebuah pertanyaan akan dijabarkan dalam suatu kalimat
tanya sehingga pertanyaan yang diajukan sesuai dengan konteks aktual saat
wawancara berlangsung. Dengan demikian memungkinkan subyek penelitian
mampu memberikan respon dengan nyaman, akurat, dan jujur mengenai masalah-
masalah yang diangkat dalam penelitian.
Menurut Bungin (2001) pedoman wawancara ini juga memiliki fungsi:
1. Membimbing alur wawancara terutama mengarahkan tentang hal-hal yang
harus ditanyakan;
2. Untuk mengantisipasi melupakan beberapa persoalan yang relevan dengan
masalah penelitian;
3. Dapat meningkatkan kredibilitas penelitian karena secara ilmiah
wawancara yang dilakukan dapat meyakinkan orang lain bahwa apa yang
dilakukannya dapat dipertanggung-jawabkan secara tertulis.
Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibaca
dalam lampiran.
D.3. Alat Perekam, Kertas, Dan Alat Untuk Mencatat
Alat perekam audio digunakan untuk kemudahan dalam merekam hasil
wawancara. Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui
perekam, sedang lembaran untuk data kontrol dan jalannya wawancara /
observasi.
E. PELAKSANAAN PENGAMBILAN DATA
E.1. Tahap Persiapan
Persiapan penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
i) Penyusunan Pedoman Wawancara. Penyusunan pedoman wawancara
dimulai terlebih dahulu dengan menyusun landasan teori yang digunakan.
Selanjutnya, berdasar dari landasan teori tersebut disusunlah sejumlah pertanyaan
yang menjadi pedoman wawancara. Setelah pedoman wawancara tersusun, maka
dilakukan expert judgement pada pembimbing untuk mengetahui apakah pedoman
wawancara tersebut sudah mencakup seluruh aspek yang ingin digali dalam
penelitian ini. Selanjutnya, hasil akhir dari Pedoman Wawancara yang tersusun
dan disetujui pembimbing dapat dibaca pada lampiran.
ii) Menyiapkan alat – alat penelitian seperti tape recorder, alat pencatat, serta
(kertas dan alat tulis), serta pedoman wawancara itu sendiri.
E.2. Tahap Pengambilan Data
Peneliti melakukan wawancara terhadap subyek. Subyek pertama
diwawancara di rumahnya. Subyek ketiga diwawancara di UPT. BK UMM. Data
subyek pertama dan ketiga diambil pada kurun Oktober 2008 sampai Maret 2009.
Sedangkan subyek kedua diwawancara di PSMP Handayani tempat subyek
menjalani masa rehabilitasi. Data diambil pada tahun 2007 saat peneliti belum
mengajukan proposal penelitian. Setiap subyek diwawancara sebanyak tiga kali.
F. PROSEDUR ANALISA DATA
Analisa data menurut Patton (1990) adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan dasar. Smith
dalam Poerwandari (1998) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat
dilakukan dalam melakukan analisa data, yaitu:
1. Menuangkan hasil wawancara menjadi transkrip
2. Membaca transkrip / verbatim secara berulang – ulang hingga dapat
memahami kasus tersebut
3. Menuliskan tema – tema atau kata – kata kunci yang merupakan inti dari
teks yang dibaca
4. Membuat analisa hubungan antara tema – tema yang ada
5. Menyusun daftar tema – tema serta kategori – kategori yang ada, sehingga
terbentuk suatu pola hubungan antar kategori.
G. METODE ANALISA DATA
Dua strategi umum yang digunakan dalam menganalisa studi kasus adalah:
1)mendasarkan pada proposisi teoritis; dan 2) membangun deskripsi kasus (Yin,
2004). Pada penelitian ini digunakan strategi analisa dengan mendasarkan pada
proposisi teoritis. Dalam strategi ini, sejak awal tujuan dan desain studi kasus
dibuat dengan sejumlah proposisi teoritis yang tercermin dalam pertanyaan
penelitian, tinjauan literatur dan pemahaman hal-hal baru. Proposisi teoritis yang
dijadikan dasar kemudian kemudian membentuk perencanaan pengumpulan data
dan membantu peneliti untuk memusatkan diri pada data tertentu. Dengan cara
ini, proposisi teoritis tentang hubungan timbal balik dapat menjawab pertanyaan
“apa” dan “bagaimana”.
Selanjutnya ada dua macam proses analitis yang biasa dilakukan dalam
menganalisa hasil penelitian, yaitu: dilakukan secara intra kasus dan antar kasus.
a) Analisa Intra Kasus
Miles dan Huberman (1994) menyatakan bahwa proses analisis intra kasus
dilakukan untuk mengetahui apa (what) apa yang terjadi pada setiap kasus, dan
bagaimana (how) hal tersebut terjadi, mengapa (why) hal tersebut terjadi,
penjelasan logis (logical explanation) untuk memahami fenomena yang diteliti
tersebut. Walaupun desain penelitian adalah multiple case study, analisa intra
kasus dilakukan seolah-olah setiap kasus adalah kasus tersendiri dan diperlakukan
sebagai single case study. Gambaran yang diperoleh dari masing-masing kasus
dalam penelitian akan menegaskan sejumlah proposisi teoritis yang menjadi dasar
untuk generalisasi analitis dari masing-masing masalah yang diteliti.
b) Analisa Antar Kasus
Miles dan Huberman (1994) menyatakan bahwa masing-masing kasus
unik. Walaupun begitu, analisis antar kasus perlu dilakukan untuk mengetahui
gambaran umum yang terjadi pada masing-masing kasus. Analisa yang digunakan
adalah pendekatan strategi orientasi pada variabel. Analisis dilakukan dengan cara
mencari tema dalam setiap kasus.
Pada penelitian ini lebih mengutamakan kedalaman sehingga analisis
dilakukan terlebih dalam bentuk intra kasus. Data yang berasal dari wawancara
dan observasi per-kasus dialihkan menjadi teks tertulis untuk dianalisa.
Selanjutnya, untuk mengetahui gambaran umum yang terjadi pada masing-masing
kasus dilakukan analisis antar kasus.
BAB IV
ANALISIS DATA
E. GAMBARAN UMUM SUBYEK
Tabel 4.1. Gambaran Umum Subyek
Subyek 1 Subyek 2 Subyek 3
Inisial A AD P
Alamat Belimbing Malang Koja Jakarta Utara Semarang
Usia 17 tahun 17 tahun 19 tahun
Agama Islam Islam Islam
Suku Jawa Betawi Jawa
Pendidikan
terakhir SMP SD SMA
Pekerjaan Pelajar STM Kelas
3 - Mahasiswa
Kasus Kurir narkoba Kurir Narkoba Pengedar
Narkoba
Hukuman 3 bln 5 bln 13 bln
F. ANALISIS INTRA KASUS
B. 1. SUBYEK 1
B.1.1. Observasi
A berperawakan dengan tinggi badan + 163 cm dan berat + 43 kg. A
berkulit coklat gelap dengan beberapa luka bekas koreng di kedua lengan
tangannya yang menurut pengakuannya itu adalah penyakit rabi, penyakit yang ia
dapat dari lapas, akibat air kotor. A memiliki potongan rambut bergaya Indian
Tomahawk, panjang + 5 cm yang disisir tegak ke atas dikumpulkan di bagian
tengah.
Pada pertemuan pertama, A sama sekali tidak berani bertatap muka. A
menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukan peneliti dengan suara yang
kurang keras dan pendek-pendek. Pada pertemuan ke dua A mulai berani bertatap
muka dengan peneliti, namun lebih sering menghindari kontak mata. Sama
dengan saat wawancara pertama, A menjawab pertanyaan peneliti dengan
jawaban yang pendek-pendek.
B.1.2. Gambaran Subyek
A adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ayah A bekerja sebagai
mandor kuli dan ibunya bekerja sebagai pedagang nasi. Berikut data orang tua
dari A :
Tabel 4.2. Identitas Orang Tua A
Ayah Ibu
Nama TM AS
Umur + 44 tahun + 43 tahun
Suku Bangsa Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Pendidikan SD SD
Pekerjaan Mandor Buka warung nasi
Kakak perempuan A, selepas lulus SMP, bekerja sebagai buruh di sebuah
pabrik boneka di Jakarta. Kakak perempuan A tidak melanjutkan sekolah karena
kondisi ekonomi saat itu yang belum mapan, sehingga diputuskan ia harus
mengalah agar A dapat melanjutkan sekolah. Sekitar 3 tahun terakhir, semenjak
ibu membantu ekonomi keluarga dengan berjualan nasi, ekonomi keluarga mulai
sedikit membaik. Kebutuhan sekolah A dapat lancar terpenuhi, begitupun
ayahnya bisa membeli sepeda motor untuk aktivitas sehari – harinya.
Meskipun saat masih kanak – kanak ekonomi keluarga belum mapan,
namun A sudah dimanja orang tuanya. Apapun permintaannya selalu diusahakan
orang tuanya agar terpenuhi. Namun semenjak ia masuk STM, disaat ekonomi
keluarga malah sudah membaik, A merasakan perubahan sikap dari ke dua orang
tuanya. Permintaan – permintaannya seringkali tidak dipenuhi orang tuanya, baru
dipenuhi biasanya setelah A merengek – rengek dan menarik – narik baju ibunya.
Beberapa permintaannya yang hingga saat ini belum dipenuhi orang tuanya adalah
: permintaannya untuk dibelikan sepeda motor dan permintaannya agar uang
sakunya ditambah. Uang saku A sehari – harinya adalah sebesar sepuluh ribu
rupiah, yang mana lima ribunya habis untuk PS dan sisanya untuk jajan. A tidak
mengeluarkan uang untuk transportasi karena sekolahnya dekat dan ia biasa jalan
kaki.
Sehari-hari A adalah pelajar kelas satu sebuah STM swasta. Walau
demikian, menurut pengakuan A sendiri, ia sering membolos sekolah. Seringkali
ia membolos sekolah untuk kemudian bermain PS atau duduk nongkrong di
warung bersama teman-temannya, kadang minum minuman beralkohol dan juga
menggunakan ganja. Begitupun bila malam hari, A yang sekolah siang begitu
sore sampai rumah biasanya istirahat sejenak, dan setelah ayahnya berangkat kerja
lagi, A pun berangkat untuk main bersama teman – temannya. Ayah A, yang
memang pendiam dan jarang marah, tidak tahu dengan perilaku A ini. Sedang
ibunya juga jarang mengetahui karena bila malam hari biasanya berdagang sampai
dini hari baru pulang.
Menurut pengakuan A, di daerahnya memang anak – anak seusianya
banyak yang juga mengkonsumsi ganja. Bahkan banyak pula anak – anak yang
usianya lebih muda, seperti anak – anak yang masih duduk di bangku SMP.
Sedangkan para orang dewasa, seperti orang tua maupun tetangga –tetangganya,
biasanya tidak perduli, bahkan banyak yang juga memakai dan memanfaatkan
mereka untuk menjadi kurir. Sedangkan A sendiri mengkonsumsi ganja lebih
karena ikut – ikutan teman, sebagai bagian dari pergaulan.
Sekitar bulan november 2005, A ditangkap polisi karena tertangkap tangan
membawa ganja. Namun demikian A bukanlah seorang pengedar ataupun kurir
ganja meski memang mengkonsumsinya. Saat itu ia hanya dititipi barang oleh T,
teman sekampungnya yang saat ini masih buron. Walau demikian, karena tidak
tahan dengan pemukulan yang diterima waktu pemeriksaan oleh Polisi, A terpaksa
mengaku bahwa dirinya memang kurir. A kemudian dijatuhi hukuman 3 bulan
subsider 1 bulan. Seusai menghabiskan hukumannya A kembali ke keluarga dan
melanjutkan sekolahnya.
B.1.3. Hasil Wawancara
A menilai tugas terpenting seorang ayah adalah mencari nafkah untuk
menghidupi keluaga. Terkait tugas ini, A menilai ayahnya cukup bertanggung
jawab dan saat ini sudah cukup memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini berbeda
dengan saat A masih kecil, dimana ekonomi keluarga belum terlalu mapan
sehingga kakak perempuannya tidak bisa melanjutkan sekolah sebagaimana
dirinya. Menurut A, ekonomi keluarga membaik setelah ibunya membantu
dengan berjualan nasi. Walau demikian, A tetap menganggap ayahnya sudah
cukup bertanggung jawab, karena sudah bisa memenuhi kebutuhan makan sehari
– hari.
Kalaupun ibu harus bekerja untuk membantu ekonomi kelurga dan ia
sendiri masih merasa uang saku sekolahnya kurang karena setiap harinya ia hanya
mendapat uang saku sepuluh ribu rupiah - yang mana lima ribu rupiahnya biasa ia
habiskan untuk bermain PS, A merasa ayahnya sudah bekerja keras untuk bisa
menafkahi keluarga, bahkan meskipun sesungguhnya ayahnya menderita sakit
tekanan darah tinggi.
Kerja keras ayahnya ini membuat A di satu sisi kagum, namun di sisi yang
lain merasa kasihan. Karena rasa kagumnya, A ingin meniru ayahnya dalam
bekerja keras. Dan karena rasa kasihannya ia ingin secepatnya bisa pulang,
sekolah lagi, belajar komputer, dan membantu ekonomi keluarga dengan bekerja
di tempat ayahnya, sesuai janji ayahnya saat ia cuti kemarin.
Namun demikian, untuk memenuhi tanggung jawabnya, ayahnya bekerja
sangat keras, bahkan sekalipun menderita tekanan darah tinggi. Namun karena
kerja kerasnya, ayah juga menjadi jarang bisa berkumpul dengan keluarga dan
mengobrol dengan A. Ayah tidak lagi bisa menunjukkan kehangatan bagi A
(ceregiver). A hanya mengobrol dengan ayahnya setiap kali makan malam yang
kadang dilakukan bersama – sama duduk satu meja, namun obrolan ini hanya
menyangkut topik – topik umum, semisal ayahnya menyuruh A untuk menambah
nasi atau lauk.
Dengan kata lain, ayahnya dapat dikatakan kurang lagi perduli dengan A,
baik dalam pendidikan maupun dalam pergaulannya. Di dalam pendidikan, Ayah
kadang menanyakan bagaimana sekolah A dan juga menyuruh A untuk belajar.
Namun antara ayah dengan ibu, ibu lebih sering yang mengingatkan A untuk
belajar, meskipun itu dilakukan sambil lalu seperti sambil mengobrol dengan
tetangga di luar rumah. Setelah mengingatkan untuk belajar, ayah biasanya juga
lalu pergi untuk bekerja lagi.
Karena kurangnya pengawasan ini, membuat A juga tidak merasa
terdorong untuk lalu belajar dan menuruti nasehat ayahnya. Biasanya, malam hari
begitu ayah berangkat kerja lagi, A akan segera pergi main ke PS atau duduk –
duduk nongkrong bersama teman – temannya.
Sedangkan dalam pendidikan agama, ayahnya kurang begitu
memperhatikan. Ayah, dan juga ibu, tidak pernah mengajarkan maupun memberi
contoh A bagaimana beribadah. Namun ibunya, saat A masih kanak – kanak dulu
kadang mengingatkan dirinya untuk mengaji seperti teman-teman yang lain, dan
hal ini berbeda dengan ayahnya yang tidak pernah sama sekali menyuruh dirinya
untuk mengaji. Hal ini membuatnya tidak terlalu bermasalah sekalipun jarang
sholat dan juga tidak bisa mengaji dengan baik.
Selain itu, ayah juga kurang perduli apakah ia memiliki masalah ataukah
tidak. Ayahnya hampir tidak pernah menanyakan bagaimana kondisi A, punya
masalah ataukah tidak, ada yang mengganggu ataukah tidak. Selama ini, lebih
sering ibunya yang membantu dan membela bila A mendapat masalah.
Begitupun saat A tertangkap polisi. Ayah A tidak bisa mendampingi A
selama proses pemeriksaan dan persidangan, serta tidak pernah menjenguk A di
tahanan. Hal ini dikarenakan ayah A menderita darah tinggi sehingga takut
bilamana melihat A di tahanan ataupun ia mengikuti persidangan, maka ia
pingsan.
Selain kurang peduli, ayahnya hampir tidak pernah menegur ataupun
menghukum A meski hampir setiap hari A main dan pulang malam, bahkan malah
seringkali membela dirinya bila ia dimarahi ibunya.
Hal ini kadang membuatnya bingung harus menurut yang mana. Namun ia
biasanya hanya diam dan masuk kamar. A tidak kemudian merasa bersalah
karena telah pulang malam dan menyebabkan kedua orang tunya bertengkar.
Dalam ingatan A, ayahnya hanya pernah menegurnya ketika mengetahui A
merokok dengan berkata bila A boleh merokok jika sudah bekerja nantinya. Ayah
A sendiri seorang perokok. Karena teguran ini, A tidak berani merokok bila
berada di rumah. Namun karena ayah sendiri tidak pernah mengawasi, A di luar
rumah tetap merokok meskipun sembunyi – sembunyi. Sikap ayahnya ini, selain
karena ayahnya memang tidak pernah tahu kegiatan A, memang demikianlah
watak ayahnya. A memang melihat ayahnya memang seseorang yang tidak
banyak bicara dan sesungguhnya baik.
Walau demikian, A merasa takut terhadap ayahnya meskipun ayahnya
tidak pernah memarahi dirinya, Sikap pendiam ayahnya ternyata malah membuat
A merasa segan, bahkan untuk meminta uang saku sekalipun ia meminta pada
ibunya, apalagi bila harus bercerita bila ia memiliki masalah. Setiap ia mendapat
masalah, A tidak berani berbagi dengan ayahnya dan akan berusaha
menyelesaikan sendiri.
Hal ini dirasa A membuat ayahnya menjadi kurang dekat lagi dengan
dirinya dan hubungan keduanya menjadi kurang hangat berbeda dengan saat ia
masih kecil dimana ayahnya sering mengobrol dengan dirinya dan bahkan
mengajaknya jalan-jalan.
Hal ini berbeda dengan hubungan antara A dengan ibunya, yang sampai
sekarang masih hangat, sering mengobrol bersama, dan biasa bercanda. Hal ini
membuatnya merasa sedih bilamana berpisah dengan ibu, sebuah perasaan yang
tidak begitu ia rasakan bilamana berpisah dengan ayah.
Selanjutnya, karena sikap ayahnya tersebut, ia juga menjadi merasa sepi
bila di berada di rumah. Ayahnya sibuk bekerja, begitupun ibu, dan kakak yang
sebenarnya juga dekat dengan dirinya kini tidak lagi tinggal di rumah karena juga
bekerja. Oleh karena itu, ia kemudian berusaha mencari hiburan dengan bermain
bersama teman – temannya, mulai dari nongkrong bareng, merokok, hingga
kemudian coba – coba mengkonsumsi ganja.
Walau demikian, hal ini tetap membuat A sedikit merasa kecewa karena ia
melihat ayahnya tidak lagi seperti dulu. Selain itu, sesungguhnya A tetap lebih
merasa senang bilamana ia memiliki ayah yang bisa membantunya bila ia
mengalami masalah. Namun sekali lagi, kondisi yang ada membuatnya ia harus
menerima. Oleh karena itu, sesungguhnya A sangat berharap ayahnya berubah
dan kembali lagi seperti dulu, dimana hubungan mereka sangat dekat.
B. 2. SUBYEK 2
B.2.1. Observasi
AD berperawakan dengan tinggi badan + 163 cm dan berat + 45 kg. AD
berkulit kuning dengan rambut lurus cepak, + 5 cm, yang disisir acak. Pada
telapak luar tangannya terlihat tato kecil berbentuk segitiga. Pada pertemuan
pertama AD langsung berani bertatap muka dengan peneliti.
Pada pertemuan kedua, saat bertemu, AD langsung menyalami peneliti.
Saat wawancara, AD tidak pernah menghindari kontak mata dengan peneliti. AD
juga menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti dengan cerita-cerita yang panjang,
dengan seringkali intonasi suara meninggi, terutama saat menceritakan
kemarahan-kemarahannya. Namun saat menceritakan perjalanan hidupnya
setelah perceraian kedua orang tuanya, terlihat mata AD berkaca-kaca dan
suaranya bergetar.
B.2.2. Gambaran Subyek
AD adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kedua orangtuanya sudah
bercerai sejak A masih kanak – kanak dan belum begitu mengerti mengenai
peristiwa yang terjadi. Setelah perceraian ia kemudian berpindah-pindah tempat,
mulai dari Cengkareng di tempat neneknya, kemudian pindah ke tempat nenek
tirinya di Sumedang, lalu kemudian pindah ke Cisalak berkumpul ibunya dan
ayah tirinya sampai kelas lima SD, dan kemudian pindah ke Priok ikut ayah
kandungnya yang telah menikah kembali pula. Keputusan ini diambil sendiri oleh
AD karena ia merasa kehidupan di Priok lebih bebas, tidak ada yang mengatur-
aturnya. Selain itu, ia enggan tinggal bersama ibunya karena merasa tidak enak
hati dibiayai oleh ayah tirinya yang sesungguhnya baik serta memperhatikan
dirinya. Namun ia saat ini menyesali keputusannya tersebut dan ingin selepas dari
rehabilitasi nanti, ia akan pindah ikut ibunya kembali.
Ayah kandung A adalah seorang pengangguran, setelah berhenti menjadi
bandar togel. Setahun setelah perceraian, ia kemudian juga menikah lagi dan
tidak memiliki anak. A tidak ingat bagaimana perlakuan ayah pada dirinya saat ia
masih kanak – kanak karena ia tidak tinggal di sana. Namun sebelum ia kemudian
memilih tinggal bersama ayahnya, bilamana ia main ke tempat ayahnya, ayahnya
sangat baik padanya. Suka membelikan macam – macam dan tidak pernah
memarahi dirinya. Namun hal ini berbeda dengan saat ia kemudian memutuskan
pindah tinggal bersama ayahnya, terlebih sejak kemudian ayahnya menikah lagi.
Sejak itu ayahnya semakin mengabaikan dirinya, tidak mau mengurus dirinya, dan
sering memperlakukan dirinya dengan kasar terlebih bila AD bertengkar dengan
ibu tirinya.
Sedangkan ibu kandung AD adalah seorang ibu rumah tangga. Namun ibu
sesungguhnya masih memiliki pendapatan dari uang kontrakan rumahnya dulu di
Priok, yang dibikinkan orang tuanya atau kakek AD, yang setelah perceraian
dengan ayah AD kemudian disewakan kepada orang. Uang sewa ini kemudian
dimintakan tolong kepada ayah kandung AD agar mengurusnya untuk keperluan
AD setiap bulannya, yang ternyata uang itu sering habis dipakai oleh ayah
kandung AD sendiri. Sementara itu, suaminya yang sekarang - yang adalah
teman dari suami pertamanya atau ayah kandung AD – adalah seorang sopir
pribadi pejabat di Mabes Polisi. Ayah tiri AD ini, menurut AD, orangnya baik
dan perhatian pada anak. Namun demikian, sebagaimana diungkap diatas, AD
tetap merasa kurang dekat karena bukan ayah kandungnya.
Berikut data mengenai orang tua kandung AD :
Tabel 4.3. Identitas Orang tua AD
Ayah Ibu
Nama S D
Umur + 47 thn + 40 thn
Suku Bangsa Sunda Betawi
Agama Islam Islam
Pendidikan SMP SMP
Pekerjaan Penganguran Ibu Rumah Tangga
Sedangkan kakak kandung AD – yang sejak awal memang ikut ibu – saat
ini masih duduk di bangku kelas tiga sebuah SMEA di Cisalak. Sedang dari
ibunya yang telah menikah kembali, AD memiliki dua adik tiri yang masih duduk
di bangku sekolah dasar. AD juga merasa dekat dan sayang pada kedua adik
tirinya ini. Saat penelitian ini dilaksanakan, salah seorang adik tiri AD sakit dan
dirawat di Sumedang, dan AD merasa sedih dengan hal ini serta ingin sekali
menengoknya.
AD sendiri adalah tamatan SD, namun ia tidak mau melanjutkan sekolah
karena ia merasa tidak ada yang mau membiayainya. Terakhir ia bersekolah
sampai kelas dua SMP. Sebelum keluar sekolah dan setelahnya, AD banyak
menghabiskan waktunya dengan teman-temannya untuk bermain band,
mengamen, main judi, main bilyard, minum-minuman keras, dan menggunakan
ganja. Hal ini ia lakukan karena untuk menghilangkan rasa stress akibat kondisi
keluarganya, terutama sikap ayahnya yang mengabaikan dirinya.
Selain itu, menurut AD, di Priok yang memang daerah pelabuhan, adalah
sangat mudah mendapatkan barang – barang semacam ganja atau minuman keras.
Hampir setiap hari, orang dewasa dan anak – anak sebayanya banyak yang dengan
mudah ditemui sedang pesta ganja atau mabuk – mabukan.
Selain mengkonsumsi ganja dan mabuk – mabukan, sering pula AD
memalak anak-anak sekolah untuk mendapat uang dan karena iri melihat mereka
bisa bersekolah. AD beberapa kali terlibat perkelahian di kampungnya yang
berujung dengan berurusan dengan Polisi. AD juga pernah menjadi buron karena
terlibat pencurian di sebuah toko penyalur gas elpiji dan penodongan di bis kota.
Di kampungnya sendiri, AD ditakuti teman – teman sebayanya maupun yang
lebih dewasa. Hal ini karena nyali AD yang besar dan ia juga banyak punya
“abang” atau preman – preman yang selalu melindungi dirinya. Selain itu, bila
AD berkelahi, maka ayahnya yang juga bernyali besar pasti selalu membelanya.
Saat ini AD sedang menjalani sisa hukumannya selama 2 bulan di
Handayani, setelah sebelumnya ia dipenjara di Lapas Anak Pondok Bambu karena
tertangkap tangan menjadi kurir narkoba. AD sendiri mengaku jika memang
dirinya yang memiliki barang tersebut, titipan seorang pembeli yang ternyata
seorang intel dan menjebaknya. Karena kasus ini, ia mendapat hukuman 4 bulan
subsider 1 bulan. Seusai menjalani rehabilitasi di Handayani, AD berencana
pindah tinggal bersama ibunya di Cisalak dan bila bisa ia ingin melanjutkan
sekolah kembali.
B.2.3. Hasil Wawancara
AD melihat bila ayahnya bukanlah seorang ayah yang bertanggung jawab.
Ayahnya adalah seorang pengangguran yang tidak punya pekerjaan tetap. Sehari-
harinya hanya bermain togel.
Oleh karena itu, ayahnya tidak bisa menghidupi keluarga dan juga
mencukupi kebutuhan - kebutuhan AD sebagai anaknya. Bukan hanya biaya
sekolah, untuk makan pun sering kali AD pergi ke rumah uwak-nya untuk
meminta makan dan uang jajan atau sering pula ia mengamen dan memalak anak
sekolah.
Selain itu, ayahnya juga selalu mengambil uang usaha kontrakan milik
ibunya, yang seharusnya menjadi haknya, dan bahkan telah beberapa kali
mencoba dan memanfaatkan dirinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi,
seperti menghasut dirinya untuk memaksa meminta sepeda motor kepada ibunya
dan memanfaatkan kondisi AD yang berada di tahanan dengan cara sering
meminta sumbangan uang dari ibu kandung AD maupun saudara-saudara yang
lain dengan alasan untuk membebaskan AD dan uang saku AD, namun ternyata
uang itu dibelikan TV baru oleh ayahnya.
Pada satu sisi AD merasa kasihan dengan ayahnya, pada sisi lain, ia
merasa malu dengan status ayahnya ini. Namun yang lebih membuat malu dan
jengkel adalah karena perilaku ayahnya yang suka menipu saudara-saudaranya,
paman atau bibi AD, untuk mendapatkan uang.
Selain itu, AD juga merasa marah karena ayahnya juga tidak mau
mengurusnya. AD merasa bahwa ayahnya, dimana ia tinggal bersamanya setelah
perceraian dengan ibu, mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dirinya terutama
kebutuhan sekolahnya dengan tidak pernah mau membiayainya.
Tidak adanya perhatian ayahnya terhadap pendidikannya ini membuatnya
malas sekolah. Hal ini karena setiap kali waktunya membayar spp, ia harus minta
ke saudara – saudaranya atau pergi ke rumah ibunya untuk meminta uang, padahal
ibunya juga tidak bekerja dan bapak tirinya juga sudah membiayai kakak kandung
dan dua adik tirinya. Hal ini membuatnya malu karena harus meminta – minta
pada orang yang bukan ayah kandungnya. Selain itu, ia juga sesungguhnya telah
diberi hak atas uang kontrakan rumah milik ibunya, namun uang itu dihabiskan
ayahnya. Hal ini juga membuatnya kesal pada ayahnya, namun ia tidak punya
pilihan lain karena ia enggan kembali ikut ibunya.
Selain menjadi malas sekolah karena malu selalu telat membayar SPP,
perilaku ayahnya yang tidak pernah perduli dengan dirinya dan pendidikannya ini
juga membuatnya tidak bisa konsentrasi sekolah.
Setelah AD keluar dari sekolah, maka sebagai pelariannya ia kemudian
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain – main, keluar malam,
mengkonsumsi narkoba. Selain itu, untuk melampiaskan kekesalannya karena
tidak bisa lagi sekolah, AD memalak anak –anak yang pulang sekolah karena
merasa iri dirinya tidak bisa melanjutkan sekolah seperti mereka.
Bukan hanya melakukan pengabaian dalam hal pendidikan umum, ayah
AD juga tidak pernah perhatian terhadap pendidikan agama dari AD. Ayah,
dimana ia tinggal bersama, tidak pernah mengingatkan dirinya ataupun
menyuruhnya untuk beribadah, begitupun ayahnya juga dilihat AD tidak pernah
melakukan ibadah.
Kurangnya pengetahuan agama ini kadang membuat AD di dalam hatinya
merasa minder dengan teman – temannya. Terutama bila melihat anak – anak
sebayanya yang bila romadhon pergi ke masjid, sementara dirinya tidak bisa
sholat.
Selain tidak perduli dengan pendidikan AD, ayah juga tidak pernah bisa
dekat dengan dirinya, bahkan untuk sekedar mengajaknya ngobrol, bercanda, atau
beraktivitas bersama, semacam jalan - jalan pun ayahnya hampir tidak pernah.
Pernah sekali ia dijanjikan akan diajak jalan-jalan ke Glodok, namun saat AD
mandi ternyata ia ditinggal. Perlakuan ayah ini berbeda dengan perlakuan ibu
yang setiap kali jalan-jalan maka akan memanggil AD untuk ikut bersama, seperti
ke Anyer. Oleh karena itu, AD sama sekali tidak punya kenangan manis
mengenai ayahnya.
AD melihat ayahnya bukan saja telah mengabaikan dirinya dan tidak
mengurusnya. Lebih dari itu, bahkan sejak AD masih kanak - kanak, ayahnya
sering sekali menganiaya dirinya, mulai dari membiarkan dirinya kedinginan di
luar rumah, menampar, sampai menusuk dengan pancingan ketika marah hingga
mengakibatkan AD terluka. Perlakuan ini membuat AD menentang ayahnya
sehingga mereka berdua sering berantem (bertengkar).
Semua perilaku ayahnya ini membuat AD sangat marah. Ayahnya bukan
saja tidak memenuhi kebutuhannya sebagai anak yang menjadi tanggung jawab
orang tua, melainkan juga malah membuat malu dan memanfaatkan dirinya untuk
mendapatkan keuntungan pribadi. Dulu saat masih tinggal bersama ayahnya,
kekesalan pada perilaku ayahnya ini membuat AD sering kali bertengkar dan
kemudian lari ke “minum – minuman keras” untuk melupakan masalah keluarga.
Sedangkan saat kini, kekesalan pada ayahnya ini membuat dirinya tidak lagi mau
tinggal ataupun menghormati ayahnya. Selain itu, karena merasa kesal karena
telah diabaikan ayahnya, AD kemudian seringkali melampiaskan rasa marahnya
ini pada orang lain.
Selain itu, perlakuan ayahnya ini juga membuat AD sering merasa sedih
dengan diri dan keadaan dirinya, terlebih bila ada orang yang bercerita mengenai
ayah mereka, baik mengenai ayah yang baik maupun ayah yang buruk. Semua
cerita itu mengingatkan perlakuan ayahnya pada dirinya, dan itu membuatnya
menjadi merasa sangat sedih.
Namun demikian, dibalik sikap ayahnya, AD merasakan adanya
kebebasan yang tidak bisa ia dapat bila ikut ibunya. Hal inilah yang membuatnya
dulu memutuskan pindah dan bertahan tinggal bersama ayahnya. Ayahnya tidak
pernah perduli ia main kemanapun, keluar malam, merokok, dan mabuk-mabukan.
Awalnya dulu ayah kandungnya juga kadang menegur AD bila ia merokok,
namun rokok tersebut kemudian ia ambil dan ia hisap sendiri. Lama- kelamaan ia
membiarkan semua perilaku AD.
Selain kebebasan, ayahnya juga selalu mendukung dirinya bila ia berkelahi
dengan cara memberinya pedang atau samurai dan mendorongnya untuk
membalas lawan-lawannya. Dukungan ayahnya ini membuat dirinya bertambah
berani dan bernyali. Pada akhirnya, ia merasa menjadi disegani di kampungnya,
baik oleh remaja – remaja sebayanya maupun oleh yang lebih tua usianya.
Seperti kejadian saat ia berkelahi dengan salah seorang tetangganya yang
menganiaya uwak (paman), tetangganya yang anak perempuannya ia tampar
karena menghina dirinya, atau dengan preman yang mengambil uangnya saat
main jackpot.
Meskipun ayahnya sering membelanya bila ia punya masalah, AD tetap
merasa kesal terhadap ayahnya karena disaat ia mengalami krisis, ayahnya tidak
pernah membantu dirinya. Seperti saat ia menjadi buron karena mencuri tabung
gas, ayah memberi uang lima ribu rupiah dan menyuruhnya kabur, bahkan kalau
perlu merantau sekalian dan tidak usah kembali ke rumah. Saat itu yang
mengurus dirinya malah uwaknya (bibi), yang menjual perhiasan emasnya
seharga lima ratus ribu rupiah dan diserahkan ke polisi agar tidak lagi mengejar-
ngejar AD. Hal itu membuat AD merasa kesal dan kecewa dengan ayahnya. Ia
kemudian menganggap ayahnya bukanlah ayah yang baik karena tidak mau
membantu anaknya yang dalam kesulitan.
Selain kejadian itu, saat ia ditahan sekarang ini, ayahnya bukan hanya
tidak membantu dan malah melecehkan dirinya, namun juga memanfaatkan
dirinya untuk menipu ibu dan saudara-saudara yang lain dengan cara meminta
sumbangan dengan alasan untuk kepentingan AD, yang belakangan hari ternyata
untuk kepentingan sendiri yaitu membeli TV.
Kekesalan ini terlebih bila ia membandingkan sikap ayah tirinya yang
begitu membela dirinya sewaktu ia dihina salah seorang saudara di Sumedang dan
usaha – usahanya untuk membebaskan AD dengan meminta tolong majikannya
yang pejabat Mabes Polisi.
Kekesalan terhadap ayahnya yang semakin besar ini membuat AD tidak
lagi mau kembali tinggal bersama ayahnya, lebih jauh lagi ia merasa tidak perlu
lagi menghormati ayahnya.
Sesungguhnya ia berharap besar bisa bersandar kepada ayahnya, figur
yang menurutnya bisa bertanggung jawab terhadap dirinya. Namun demikian
pengabaian ayahnya membuat AD menjadi kehilangan pegangan hidup. Ia tidak
lagi merasa punya sumber kekuatan yang memberinya dorongan untuk hidup
damai menggapai cita – citanya. Pada akhirnya AD semakin merasa frustasi
karena tidak memiliki seseorang yang bisa membelanya disaat ia mengalami
kesulitan.
B. 3. SUBYEK 3
B.3.1. Observasi
P berperawakan agak kurus dengan tinggi + 170 cm dan berat badan + 55
kg. Kulitnya coklat terang dan bersih. Rambutnya terpotong rapi cepak 1 cm.
Tatapannya tajam namun kala awal bertemu suaranya pelan terlebih tidak banyak
bicara saat satu ruang dengan ayahnya. Namun demikian pada wawancara kedua
dan ketiga subyek sudah cukup terbuka baik terhadap peneliti maupun ayah
ibunya. P dan orang tua secara lisan juga setuju untuk dijadikan subyek penelitian.
B.3.2. Gambaran Subyek
P adalah anak ke dua dari dua bersaudara. Kakaknya bekerja sebagai PNS
di departemen keuangan Jakarta. Ayah P adalah seorang mantan kepala bagian di
lingkup Pemkot Semarang dan saat ini memasuki masa menjelang pensiun,
sedangkan ibu P bekerja guru. Ayah P, bapak AM, juga dikenal sebagai pengurus
salah satu ormas Islam.
Berikut data orang tua dari P :
Tabel 4.4. Identitas Orang tua P
Ayah Ibu
Nama AM SF
Umur 55 52
Suku Bangsa Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Pendidikan Sarjana Sarjana
Pekerjaan PNS PNS
Menurut P, kedua orang tuanya sebenarnya adalah orang yang baik.
Semua anak-anak dididik pendidikan agama yang kuat. Sholat lima waktu
berjamaah selalu diajarkan dan dicontohkan. Namun mungkin karena ditanamkan
secara keras ini malah membuat anak-anaknya terkekang dan bermasalah.
Kakaknya berbohong dengan ayahnya kalau suaminya masih Islam, ternyata
suaminya setelah perkawinan kembali lagi ke agamanya semula, nasrani. Ia
sendiri malah kena kasus narkoba dan di penjara.
Awal mula keterlibatan P memakai narkoba dimulai saat kuliah dimana ia
merasa tertekan karena jurusan kuliah yang ia ambil ia rasa tidak sesuai bakat dan
minatnya. Ia sebenarnya ingin kuliah di jurusan desain namun terpaksa
mengambil hukum karena ayahnya menginginkan ia bisa meneruskan ayahnya.
Selanjutnya ada teman yang menawari shabu-shabu dan dikatakan bisa
menghilangkan stres. Tergoda oleh bujukan tersebut dan karena kejenuhan yang ia
rasa sudah terlalu berat sementara ia merasa tidak ada tempat bercerita maka ia
pun mencoba dan selanjutnya ketagihan. Lebih dari itu, semenjak memakai dua
bulan ia kemudian ditawari temannya tersebut untuk memodali atau kalau perlu
menjadi bandar. Semanjak itu pula ia kemudian menjadi bandar dan beberapa
temannya yang kemudian menjadi pengedarnya. Dengan demikian pekerjaan
sebagai bandar ini sudah ia lakoni hampir 3 bulan sampai akhirnya ia tertangkap.
Tertangkapnya sendiri terjadi di rumah P. Saat itu ayah dan ibunya sedang
ke Jakarta menyelesaikan urusan rumah tangga kakaknya. Melihat rumah kosong
maka P mengajak teman-temannya untuk berpesta shabu-shabu dan yakin tidak
akan tertangkap karena ayahnya termasuk pejabat. Namun tanpa diduga ternyata
ia sudah menjadi Target Operasi dan gerak-geriknya diamati polisi. Saat berpesta
itulah ia bersama teman-temanya di grebek polisi.
Setelah penangkapan tersebut ayah dan ibu P segera pulang dan begitu
ketemu kemarahan ayah tidak terbendung. P ditampar. Hal in membuat P semakin
benci kepada ayahnya. Namun demikian P masih merasakan perasaan sayang
ayahnya terbukti dari usaha ayah untuk meringankan hukuman bahkan rela
menjual mobil untuk menyuap polisi yang memeriksanya. Oleh karena itu meski
ia sebenarnya bandar namun hukumannya kurang dari 2 tahun.
B.3.3. Hasil Wawancara
P melihat ayahnya merupakan figur yang bertanggung jawab terhadap
keluarga. Secara ekonomi, mulai dari kecil ia merasa tercukupi bahkan seiring
karir ayahnya yang meningkat maka kehidupan keluarganyapun lebih dari cukup.
Apapun yang ia inginkan pasti dipenuhi ayahnya.
Ia juga melihat sebenarnya ayahnya sangat perduli dengan anak-anaknya.
Ayah mendidiknya tentang agama dengan baik. Selama di rumah apabila ada
ayahnya pun P selalu tidak pernah lupa sholat lima waktu berjamaah. Ia juga
melihat ayahnya bukan orang yang sekedar bicara tentang agama melainkan juga
membuktikan dalam perilaku nyata. Salah satu yang dikagumi P adalah ketekunan
ayahnya untuk selalu sholat lima waktu berjamaah di masjid dan juga sholat
malam.
Ayah juga dinilai P merupakan figur yang bisa jadi suri tauladan baik
dalam hal pendidikan maupun karir. Ayah selalu mendorong anak-anaknya untuk
berprestasi dan berharap anaknya termasuk P bisa sukses kelak sebagaimana
dirinya. Namun hal inilah yang membuat P malah sering merasa tertekan. Ia selalu
merasa dibandingkan dengan ayahnya dan juga kakaknya. Ia merasa selalu
dituntut untuk berprestasi dan dicela apabila gagal. Hal inilah yang membuat ia
meski rajin belajar namun sebenarnya tidak pernah masuk ke otaknya.
Selain itu, satu hal yang sangat dibenci P dari ayahnya. Ia merasa ayahnya
terlalu otoriter dan tidak pernah mau mendengar pendapat anak-anaknya. Ia juga
merasa ayahnya semakin jauh dari dirinya. Dahulu pada waktu ecil sering ia
bermain bersama ayahnya namun semenjak ia SMP belum pernah mereka
bercanda apalagi bermain bersama seperti dulu. Setiap dekat ayahnya maka hanya
nasehat-nasehat dan tuntutan-tuntutan yang ia dengar.
G. ANALISIS ANTAR KASUS
Dari keseluruhan subyek memiliki persepsi yang hampir serupa mengenai
peran ayah. Kesemua subyek melihat jika peran ayah dalam sebuah keluarga
adalah sangat penting. Ia adalah kepala, pemimpin, dan tiangnya keluarga.
Dalam perannya ini, tugas paling utama dari seorang ayah adalah sebagai pencari
nafkah bagi keluarga sehinga bisa menjamin kehidupan anak-anak dan istrinya.
Bahkan A melihat bahwa ayah dapat dihormati dan dituruti perkataannya bila
ayah telah memenuhi tugasnya ini. Oleh karena pentingnya ini, beberapa subyek
menyebutkan jika peran ayah lebih penting daripada peran ibu.
Selain sebagai pencari nafkah keluarga, seorang ayah juga diharapkan
dapat memberi perhatian, kasih sayang, pembinaan, dan bimibingan bagi anak-
anaknya, terutama agar tidak salah melangkah.
Walau memiliki persepsi yang hampir serupa mengenai apa itu peran
seorang ayah, namun masing-masing subyek tetap memiliki perbedaan -
perbedaan dalam penerimaan mengenai bagaimana peran ayahnya dalam keluarga
sesuai dengan kondisi kehidupan masing-masing, disamping keserupaan –
keserupaan dalam penerimaan beberapa aspek dari peran seorang ayah. Seperti
mengenai peran sebagai pencari nafkah (providers) yang menjamin pemenuhan
kebutuhan keluarga.
Subyek pertama dan kedua berasal dari keluarga dengan status sosial
ekonomi menengah ke bawah. Persoalan kesulitan ekonomi menjadi
permasalahan dasar dalam keluarga mereka. Kurangnya perhatian ayah pada
keluarga karena harus bekerja keras hampir sepanjang harinya membuat mereka
merasa ayahnya tidak lagi dekat pada keluarga, jarang mengobrol, bercanda, dan
menjadi kurang perhatian. Ayah tidak lagi bisa memberi kehangatan bagi anak –
anaknya (caregiver). Suatu hal yang berbeda dengan yang mereka alami saat
masih kanak-kanak dimana mereka dulu sering bermain bersama. Saat ini,
jangankan bermain bersama (friend and playmate), mengobrol saja mereka sangat
jarang.
Sedangkan yang terjadi pada AD, ketidak mampuan ayahnya untuk
bekerja dan mencari nafkah benar-benar membuat dirinya tidak mendapat
perhatian dan terabaikan, baik kebutuhan sehari-harinya maupun kebutuhan
sekolahnya, sehingga memaksa dirinya untuk keluar dari sekolah.
Hal ini berbeda dengan keluarga P dimana secara ekonomi keluarganya
tergolong mapan. Namun demikian diperoleh satu kesimpulan, pada semua
subyek kurangnya perhatian membuat mereka tidak terawasi pergaulannya.
Mereka lebih banyak di jalanan yang ternyata memberi pengaruh buruk, mulai
dari membolos kuliah, mabuk, berkelahi, narkoba, hingga melakukan pencurian.
Selanjutnya, subyek pertama dan ketiga juga merasa ayahnya kurang
memberi pendidikan ataupun perhatian terhadap pendidikan itu sendiri, yang
sesungguhnya merupakan hak dari setiap anak dan kewajiban setiap orangtua
untuk memenuhinya (teacher and role model). Ayah tidak pernah
memperhatikan bagaiamana sekolah anak-anaknya, mendorongnya untuk belajar,
bahkan pada kasus AD, ayah sama sekali tidak mau membiayai sekolahnya.
Sejalan dengan perhatian pada pendidikan umum, ayah dari kedua subyek juga
kurang memperhatikan pendidikan agama anak-anaknya. Mereka hampir tidak
pernah mengajarkan pendidikan agama pada anak-anaknya. Sekalipun memberi
perhatian dengan cara mengingatkan, namun mereka sendiri kurang memberi
contoh bagaimana kehidupan beragama tersebut, seperti menjalankan ibadah
dengan tertib.
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada P. Ayahnya sanat perduli
dengan pendidikan anak-anaknya baik pendidikan umum maupun agama.
Ayahnya juga selalu “mendorong” anak-anaknya untuk bisa berprestasi dan
sukses seperti dirinya. Namun pembandingan dan tuntutan inilah yang malah
membuat P merasa tertekan.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, kurangnya perhatian ini juga
diwujudkan tidak hanya dari kurangnya kedekatan dengan ayah dan kurangnya
perhatian terhadap pendidikan, melainkan juga kurangnya peran ayah dalam
melatih kedisiplinan dan memberi pengawasan (monitor and disciplinarian).
Mereka tidak tahu jika anak-anaknya sering membolos, mabuk, berantem, dan
bahkan mengkonsumsi ganja. Kalaupun mereka menegur, itu dilakukan sambil
lalu. Pada akhirnya, mereka menjadi tidak menyadari bilamana dirinya mendapat
teguran karena telah berbuat suatu kesalahan. Dalam kalimat lain, mereka tidak
mendapat insight atas kesalahannya dari teguran yang diberikan ayahnya.
Sedangkan ayah AD, sekalipun ia mengetahui perilaku AD, namun ia
mengabaikannya, malah mendukung dengan cara mendorong AD untuk
mengambil senjata tajam dan membantai lawan-lawannya.
Namun demikian, disaat para subyek mengalami situasi krisis, seperti saat
mereka tertangkap polisi dan kemudian ditahan, penerimaan para subyek terhadap
peran ayahnya berbeda-beda. Sebagian besar melihat ayahnya masih mau
membantu menyelesaikan masalah mereka dengan berusaha menguruskan
keringanan hukuman di kantor Polisi (advocate). Menerima kenyataan bahwa
anaknya telah melakkan tindakan kriminal dan ditangkap polisi, ayah A tidaklah
kemudian menyalahkan, sedangkan ayah P langsung marah-marah. Namun
demikian mereka berusaha membantu mengurangi hukuman dengan cara
menyuap polisi dan jaksa agar anak-anak mereka dapat bebas atau minimal
dikurangi hukumannya.
Sebaliknya dengan AD, ayah bukan membantu AD agar bisa belajar dari
kesalahannya dengan menunjukkan empati, melainkan ia melecehkan AD atas
peristiwa yang terjadi dan malah memanfaatkan kondisi AD untuk mengumpulkan
sumbangan uang dari ibu AD dan juga saudara-saudara yang lain, yang kemudian
uangnya ia gunakan untuk kepentingan pribadi.
H. PEMBAHASAN
Peran ayah dalam keluarga adalah sangat penting dan sama pentingnya
dengan peran ibu, meskipun tugas utama keduanya berbeda. Menurut para subyek,
seorang ayah adalah seorang kepala keluarga yang memiliki tugas utama sebagai
pencari nafkah bagi keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat psikolog Achmad
Gimmy Pratama, Drs., M.Si (http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/0205/20/hikmah/utama02.htm), bahwa peran ayah dan ibu
adalah sama penting. Peran ayah sering diidentikkan sebagai sosok yang menjaga
dan melindungi keluarga agar terasa aman serta nyaman, baik bagi pasangannya
maupun bagi anak-anaknya. Tugas ini berkaitan dengan tanggung jawabnya
mencukupi kebutuhan keluarga, serta tugas-tugas kepemimpinan. Menarik adalah,
walaupun telah terjadi pergesaran budaya masyarakat ke arah industrialisasi
sehingga pria maupun wanita memiliki kesempatan yang sama dalam dunia kerja,
namun pembebanan tangung jawab sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga
tetaplah dipikul ayah.
Selain sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab menafkahi
keluarga, seorang ayah tetaplah juga dituntut untuk juga memberi perhatian, kasih
sayang, pendidikan, dan pembinaan bagi anak-anaknya. Tugas ini tidak dapat
dibebankan semata kepada figur ibu. Bahkan seiring dengan semakin egaliternya
masyarakat sehingga banyak pula istri yang bekerja di luar rumah untuk
membantu ekonomi keluarga dan bagian dari hak wanita untuk beraktualisasi diri,
maka tuntutan bagi ayah untuk berperan sebagai sumber kasih sayang dan
perhatian serta pendidik anak juga semakin besar. Ayah harus bekerja sama
dengan ibu sebagai pasangan co-parenting.
Harus menjadi catatan adalah bahwa pemenuhan kewajiban sebagai
pencari nafkah oleh seorang ayah bukanlah ukuran dari kasih sayang bagi
keluarga, utamanya anak. Oleh karena itu kesediaan ayah untuk membagi waktu
guna memberi perhatian dan kasih sayang bagi anak tetaplah diperlukan. Hal
inilah yang ditemukan pada penerimaan para subyek mengenai ayah mereka. Para
subyek menilai jika ayah mereka tidak pernah memberi perhatian pada mereka
sebagai anak-anaknya, bahkan salah seorang subyek merasa diabaikan serta
mendapat penganiayaan dari ayahnya.
Namun demikian, faktor tuntutan ekonomi kembali menjadi masalah dasar
bagi ayah para subyek untuk dapat memberi perhatian pada anak-anaknya, selain
kemungkinan faktor lain. Hal ini sebagaimana diungkap Sukadji (1998), bahwa
faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pola asuh orang
tua, yang berarti tercakup di dalamnya peran ayah, selain faktor-faktor lain
semisal karakteristik dan pendidikan orang tua.
Sebagaimana yang terjadi pada para ayah dari sebagian besar subyek
dalam penelitian ini, bahwa karena dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga
yang juga besar, maka ayah para subyek bekerja keras hampir sepanjang harinya.
Hal ini mengakibatkan mereka, dalam penerimaan para subyek, menjadi jarang di
rumah, berkumpul dan mengobrol bersama keluarga, bercanda, dan
memperhatikan pendidikan maupun pergaulan anak-anaknya. Para subyek merasa
ayahnya tidak dekat dengan mereka, minimal tidak sedekat dulu sewaktu para
subyek masih kanak-kanak.
Temuan ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Andayani terhadap
figur ayah di Indonesia. (2000, dalam Andayani & Koentjoro, 2004). Kebanyakan
ayah cenderung mengambil jarak dengan anak-anaknya. Ayah lebih sibuk dengan
dunia di luar rumah, termasuk dengan pekerjaannya, dan sedikit sekali
bersinggungan dengan anak-anaknya. Dengan kata lain, ayah menjadi figur asing
bagi anak-anaknya sehingga anak tidak berani atau enggan berurusan dengan ayah
mereka dan hal ini terutama biasa ditemukan pada anak-anak yang bermasalah.
Penelitian Andayani ini sesuai dengan hasil pada penelitian ini bahwa selain
karena ayahnya memang tidak menanyakan apakah mereka punya masalah
ataukah tidak, baik di sekolah maupun dalam pergaulan di masyarakat, sikap ayah
yang seperti itu juga membuat anak menjadi segan untuk berbagi dengan ayah
bilamana mereka mempunyai masalah.
Apa yang terjadi pada beberapa subyek, ayah mereka akan selalu
memarahi mereka setiap kali tahu mereka mendapat masalah, baik yang karena
memang ditimbulkan oleh mereka maupun yang sebenarnya bukan, tampaknya
kembali lagi pada masalah ekonomi. Sebagaimana diungkap Berk (1997),
perbedaan pengasuhan dalam kelas sosial dapat dilihat dari konteks perbedaan
kondisi hidup. Misalnya, orang tua dari kelas menengah cenderung lebih
mengendalikan, otoriter, menekankan ketaatan, dan cenderung menggunakan
hukuman. Hal ini mungkin terkait dengan rasa tidak memiliki kekuatan dan tidak
memiliki pengaruh dalam hubungan di luar rumah.
Walau demikian, ayah yang masih bisa mencari nafkah tetap menjadi
model identifikasi yang positif bagi anak-anaknya. Hal ini diungkap oleh dua
orang subyek yang sekalipun mereka tidak dekat dengan ayah mereka dan tidak
ingin meniru metode ayahnya dalam mendidik anak dan membina keluarga,
namun mereka tetap memiliki keinginan bisa meniru ayahnya yang seorang
pekerja keras. Sebagaimana dikatakan Hart (1999), bahwa ayah yang bekerja
sepanjang waktu mungkin memiliki keterbatasan waktu dalam berinteraksi
dengan anaknya, namun mereka tetap menjadi model yang positif dan penting
bagi anak-anaknya.
Kurangnya perhatian terhadap keluarga dan anak-anak juga ditunjukkan
oleh kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak, baik pendidikan umum
maupun pendidikan agama. Hal ini sebagaimana diceritakan para subyek bahwa
ayah mereka tidak pernah menanyakan bagaimana sekolah anak-anaknya, punya
pekerjaan rumah ataukah tidak, dan juga tidak pernah mendorong anak-anaknya
untuk belajar giat. Pada kebanyakan subyek, semua tanggung jawab urusan
pendidikan anak diurus oleh ibu mereka, dan pada salah seorang subyek, urusan
pendidikan diserahkan pada bude-nya. Bahkan pada salah seorang subyek, ayah
sama sekali tidak mau membiayai pendidikan anaknya. Sedangkan menurut
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, US Departemen of Justice pada
tahun 1988 menyatakan bahwa ketidak-adanya peranan ayah dalam pendidikan
anak menjadi prediktor yang paling signifikan bagi tindak kriminal dan kekerasan
anak-anaknya (Fathering Interprises: 1995-1996, dalam
http://artikel.us/slameto2.html).
Sedangkan mengenai pendidikan agama, peneliti belum menemukan
peneilitian yang mengkaji pengaruh perhatian ayah tentang pendidikan agama
pada anak dengan kecenderungan perilaku anti sosial pada anak. Namun
demikian, sejalan dengan perhatian pada pendidikan umum, perhatian ayah dari
para subek terhadap pendidikan agama anak-anaknya ditemukan juga sangat
kurang. Ayah sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah mengajarkan anak untuk
beribadah ataupun memberi contoh bahwa mereka melakukan ibadah secara
benar, seperti jika dalam agama para subyek adalah sholat lima waktu dan
mengaji al-Qur’an. Sesungguhnya, peneliti melihat jika sholat lima waktu, ibadah
sesuai agama para subyek, juga mengajarkan disiplin yang menurut asumsi
peneliti, sangat berkaitan dengan disiplin dalam arti luas, seperti ketaatan pada
norma dan hukum.
Selanjutnya, kedisplinan ini tampaknya juga terkait sekali dengan peran
ayah dalam pengawasan terhadap pergaulan, penanaman peraturan, dan
membimbing serta membantu bila anak mendapat masalah, yang kesemuanya
juga merupakan bentuk dari perhatian. Sesuai dengan yang dikatakan Hart (1999),
bahwa peran ayah juga mencakup tugas-tugas yang diantaranya adalah monitoring
and disciplinarian, protector, advocate.
Terlihat pada hampir keseluruhan subyek, yang kesemuanya merupakan
remaja dengan perilaku antisosial, menceritakan bila ayah mereka tidak pernah
memperhatikan pergaulan mereka dan tidak tahu kegiatan mereka di luar rumah,
seperti : mabuk-mabukan, menggunakan ganja, atau perkelahian. Beberapa
subyek bahkan mengaku bila ayah mereka sama sekali tidak tahu atau beberapa
subyek lain menceritakan bila sekalipun ayah mereka mengetahui anaknya jarang
pulang, ayah mereka hanya menegur saja secara sambil lalu. Bahkan, salah satu
mengaku bila ayah mereka tahu semua kenakalan mereka, bukan hanya
membiarkan, bahkan ayah mereka terkesan mendorong, semisal agar subyek
berani membantai lawan-lawannya dengan samurai yang diberikan ayahnya.
Dari uraian tersebut terlihat bila ayah dari para subyek kurang
memperhatikan penerapan disipilin serta kurang mengawasi pergaulan dan
perilaku anak-anaknya. Hal ini tentu sangat disayangkan karena apabila ayah para
subyek dapat lebih peka terhadap perilaku pelanggaran-pelanggaran disiplin yang
ditunjukkan anak-anak mereka, diasumsikan, maka pelanggaran hukum yang
dilakukan anak-anak mereka tentu dapat dicegah. Sebagaimana ungkap Hart
(1999), ayah juga harus mengawasi perilaku anak, terutama begitu ada tanda-
tanda awal penyimpangan sehingga disiplin perilaku anak bisa pula segera
ditegakkan.
Apa yang terjadi pada ketiga subyek tersebut, dan sesungguhnya juga
terjadi pada subyek-subyek yang lain, membuktikan apa yang menjadi hipotesa
dari Adler (Hall, Lindzet, & Campbell, 2004). ada tiga kondisi yang dapat
menyebabkan seorang individu kurang berkembang minat sosialnya dan menjadi
maladjustment. Kondisi pertama dan kedua terkait dengan pola asuh, yaitu : gaya
hidup manja dan gaya hidup diabaikan. Sedangkan kondisi ketiga adalah alamiah
diluar pola asuh, yakni: cacat fisik yang buruk.
Terakhir, semua perilaku ayah mereka membuat para subyek berfikir
mengenai apa yang ingin mereka tiru dan apa yang tidak bilamana suatu saat
kelak mereka menjadi seorang ayah. Kecuali ingin meniru sikap kerja kerasnya,
secara keseluruhan subyek ingin menjadi figur ayah yang berbeda dengan
ayahnya. Mereka ingin menjadi ayah yang lebih bertanggung jawab secara
ekonomi namun juga bisa memberi perhatian pada keluarga. Mereka ingin
menyayang anaknya, mendidik dan membina anak-anaknya agar tidak menjadi
seperti mereka. Sekalipun penelitian ini tidak dapat menyimpulkan bahwa peran
ayah menjadi sebab perilaku anti sosial dari para subyek, namun berdasar temuan
yang ada, kita dapat berharap semoga apa yang diharapkan para subyek dapat
terwujud, yaitu mereka dapat menjadi ayah yang lebih baik sehingga anak – anak
mereka tidak akan tumbuh menjadi remaja dengan perilaku anti sosial
sebagaimana mereka para subyek. Semoga.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
C. KESIMPULAN
Dari hasil analisis data, dapat disimpulkan beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Para subyek memiliki persepsi bahwa peran ayah dalam sebuah
keluarga adalah sangat penting. Ia adalah kepala, pemimpin, dan
tiangnya keluarga. Dalam perannya ini, tugas paling utama dari
seorang ayah adalah sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Selain
sebagai pencari nafkah keluarga, seorang ayah juga diharapkan dapat
memberi perhatian, kasih sayang, dan bimbingan bagi anak-anaknya.
2. Kesemua subyek melihat ayah mereka masing – masing pada dasarnya
belum menjalankan seluruh peran sebagai ayah yang baik. Ada
beberapa ayah yang sudah menjalankan fungsinya sebagai economic
providers, namun hampir semua ayah subyek kurang mampu dengan
baik menjalankan fungsi : caregivers, friend and playmate, teacher
and role model, monitor and disciplinarian, protector. Hampir semua
ayah dari subyek dinilai oleh para subyek masih menjalankan fungsi
advocate, namun hanya beberapa dari ayah subyek yang dinilai oleh
para subyek bisa saling mendukung antara ayah dan ibu serta
mengembangkan sumber – sumber dari mereka atau fungsi resource.
Kurangnya kelengkapan dalam menjalankan peran tersebut
menimbulkan berbagai perasaan negatif pada para subyek, seperti
merasa tidak diperhatikan, tidak dekat, diabaikan, kurang merasa
diawasi, bahkan perasaan kesal dan dendam. Pada akhirnya perasaan –
perasaan negatif tersebut seringkali berujung pada munculnya perilaku
anti sosial.
3. Karena penerimaan yang berbeda-beda mengenai peran ayahnya
selama ini, maka dalam identifikasi yang mereka lakukan terhadap
ayah bilamana mereka menjadi seorang ayah kelak juga sedikit
berbeda - beda. Namun diantara perbedaan tersebut dapat ditarik
sebuah kesamaan yaitu mereka ingin meniru apa yang dianggap positif
dari ayahnya, seperti sikap kerja kerasnya. Sebaliknya, mereka ingin
memperbaiki apa yang telah mereka rasa salah dari perilaku – perilaku
ayahnya di dalam menjalankan perannya sebagai ayah, seperti ingin
lebih bisa membagi waktu sehingga bisa lebih dekat dengan keluarga,
bisa lebih tegas dalam menerapkan peraturan namun sebisa mungkin
tidak asal marah, dan tidak akan memanjakan secara materi anak –
anaknya kelak.
D. SARAN
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disarankan
beberapa hal, yaitu :
C.1. Saran Bagi Subyek
Bagaimana sukses tidaknya hidup adalah tanggung jawab indiviu masing –
masing, terutama bila mereka telah beranjak dewasa. Oleh karena itu, disarankan
bagi para subyek
1. Untuk lebih melihat ke masa depan daripada terus terpaku pada masa
lalu. Salah satunya adalah dengan memaafkan ayah perilaku ayah
mereka apabila ada kesalahan dan bisa mengambil untuk ditiru bila
memang mereka rasa ada sikap dari ayahnya yang memang baik dan
berguna.
2. Selanjutnya, mereka dapat mulai menata kembali harapan masa depan
dengan cara belajar giat dan bekerja keras untuk mewujudkan cita –
cita mereka. Bagi subyek yang ingin melanjutkan sekolah kembali,
maka mereka harus berkomitmen untuk bersungguh-sungguh dalam
belajar di sekolah. Sedangkan bagi para subyek yang tidak ingin
melanjutkan sekolah, maka mereka disarankan untuk juga belajar
sungguh – sungguh selama di PSMP Handayani, sehingga apa yang
mereka peroleh nantinya dapat menjadi bekal mereka dalam bekerja.
3. Terakhir, mereka hendaknya juga dapat menjadi ayah yang lebih baik
bilamana mereka menjadi ayah kelak dengan tidak berperilaku sama
dengan beberapa perilaku ayahnya yang salah.
C.2. Saran Bagi Para Ayah, Orang Tua, dan Masyarakat Pembaca
1. Peran orang tua dalam membina dan mengarahkan anak merupakan hal
yang sangat penting bagi kesuksesan anak dalam kehidupannya. Peran itu tidak
dapat hanya dibebankan pada salah satu pihak, ayah atau ibu, melainkan tanggung
jawab bersama dari ayah ibu. Oleh karena itu, antara ayah dan ibu disarankan
lebih saling berkomunikasi dan bekerja sama dalam memainkan peran dan
memenuhi kewajibannya sebagai orang tua, seperti bagaimana lebih
memperhatikan dan mendidik anak.
2. Sikap pengabaian maupun pemanjaan kembali dibuktikan berpengaruh
terhadap timbulnya kecenderungan perilaku anti sosial pada anak. Oleh karena itu,
orang tua hendaknya lebih pintar memainkan dalam memainkan perannya.
Mereka disarankan untuk lebih berkomunikasi dengan anak secara empatis,
terutama pada anak yang telah mulai beranjak menjadi dewasa. Hargai pendapat,
kemauan, dan minat mereka, namun tetap diarahkan agar menjadi lebih baik.
Sedangkan sikap tidak mau tahu, hanya asal marah, mengabaikan anak, atau
memberikan apapun keinginan anak bukanlah sebuah metode yang baik dalam
mendidik anak.
C.3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Sangat disadari bahwa penelitian ini masih memiliki beberapa
kelemahan, seperti sempitnya masalah yang diteliti dan jumlah subyek
yang sedikit. Oleh karena itu peneliti selanjutnya diharapkan dapat
mengembangkan penelitian dengan memperluas masalah, menambah
jumlah subyek, dan memperdalam analisa. Memperluas masalah
misalnya dengan juga meneliti bagaimana peran ibu dibandingkan
peran ayah, bagaimana persepsi para ayah sendiri mengenai perannya,
dan adakah perbedaan penerimaan antara remaja dengan perilaku anti
sosial dengan remaja lainnya. Selain itu, dapat juga mengembangkan
penelitian dengan meneliti bagaimana peran ayah di Indonesia dalam
kajian psikologi lintas budaya. Selain itu, sangat penting untuk
mengembangkan penelitian dengan cara menambah subyek untuk
mendapatkan variabilitas data yang lebih luas.
2. Pengembangan penelitian juga dapat dilakukan dengan cara melihat
masalah peran ayah dalam metode penelitian yang lain, yaitu
kuantitatif. Studi-studi perbedaan dan pengaruh dapat diperoleh dari
metode penelitian jenis ini, sehingga praduga-praduga yang dihasilkan
dalam penelitian ini lebih dapat disimpulkan secara akurat, misalnya
mengenai pengaruh peran ayah terhadap kecenderungan remaja untuk
berperilaku antisosial.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, B., & Koentjoro. (2004). Peran Ayah Menuju Coparenting.
Sepanjang: CV. Citra Media.
Berk, L. (1997). Child Development 3rd
ed. Boston : Allyn & Bacon, Inc.
Blacburn, R. (2001). The Psychology of Criminal Conduct : Theory,
Research, and Practice. Chicester : Jonh Wiley & Sons, Inc.
Bigner, J. J. (1994). Parent Child Relations. An Introduction to Parenting.
New Jersey : Prentice Hall.
Bogdan, R. & Taylor, S. J. (1995) Introduction to Qualitative Research
Method. New York : John Willey & Sons
Bosma, A., Graafsma, T. B. L, dkk. (1994). Identity and Development .
London. Sage Publication.
Bronstein, Phyllis & Cowan, Carollyn Pape. (1988). Fatherhood Today :
Men’s Changing Role in The Family. New York: John Willey &
Sons, Inc
Bungin, B. (2001). Metodologi Penelitian Sosial : Format-Format
Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya : AUP Press.
Crabtree, B. F. & Miller, W. L. (1992). Doing Qualitative Research.
California : SAGE Publication, Inc.
Dougherty, T. & Kurosaka, L. 2002, USCB Study of Children from
Fatherless Homes. http://www.fathermag.com/news/2776-
USCB.shtml.(12/14/02)
Eddy, J. M., & Reid, J. B. (2001). The Antisocial Behavior of the
Adolescent Children of Incarcerated Parents:
A Developmental Perspective. http://aspe.hhs.gov/hsp/
prison2home02/eddy.htm
Engglish Glosarry (http://glossary.adoption.com/anti+social-behavior.html)
Erikson, E. H. (1968). Identity, Youth, and Crisis. International University
Press. New York.
Erickson, M. T. (1987). Behavior Disorders of Children and Adolescent.
New Jersey: prentice Hall, Inc.
Eron, L. D., Gentry, J. H., & schlegel, P. (1996). Reason to Hope : A
Psychological Perspective on Violence & Youth. Washington :
American Psychological Association.
Garbarino, J. & Benn, J.L. (1992). The Ecology of Childbearing and Child
Rearing. In Garbarino, J. (1992). Children and Families in The
Social Environment, 2nd
ed. New York: Aldeline de Gruyter.
Hamner, T. J., & Turner, P., (1990). Parenting in Contemporary Society,
2nd
ed. New Jersey : Prentice Hall, Inc.
Hart, J. (1999). The Meaning of Father Involvement for Children.
http://fairfield.osn. edu/parent/parentparthjune20.htm/
Hilliard, D.R. (1996) Qualities of Successful Father-child Relationships.
http://www.YouthandReligion.org/Resources/ref_age.htm/
Hurlock, E. B. (1980). Developmental Psychology : A Life Span Approach,
5th
ed. Boston: Mc Graw-Hill
Jaim, A. Belsky, J. & Crnic, K. (1996). Beyond Fathering Behaviors: Types
of Dads. Journal of Family Psychology,V.10/4.
http://www.questio.com/
Koentjoroningrat. (1993). Metode Penelitian Masyarakat 3rd
ed. Jakarta :
PT. Gramedia Pustaka Tama.
Lamb, M. E. (1981). The Role of Father in Child Development 2nd
ed.
Canada : John Willey & Sons, Inc.
Lugo, J. O. & Hershey, G. L. (1979). A Psychological, Biological and
Sociological Approach to The Life Span Human Development 2nd
ed.
New York : Macmillan Publishing Co., Inc
Mash, E. J., & Wolfe, D. A. (1999). Abnormal Child Psychology. New
York : Wadsorth Publishing Company.
McAdoo, J.L. (1993). Understanding Fathers: Human Services
Perspectives in Theory and Practice.
http://npin.org/library/2001/n00598 /n00598.htm/.
Miles, M. & Huberman, M. (1994). Analisis Data Kualitatif. Terjemahan
Tjejep Rohendi Rohidi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI
Press).
Moelong, L. J. (1994). Metodologi Penelitian Qualitative. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
National Center on Father and Families. (2001). Fathering Indicator Frame
Work: A Tool for Quantative and Qualitative Analysis.
http://www.ncoff.qse. upenn.edu/fif/FoF_report.pdf.
National Parent Teachers Association. (2002). What Research Tell Us:
Benefits of Family Involvement in Education.
http://www.myschoolonline.com/ page/0,18H,0-105130-297979,
00.htm/ (12/17/02) Nord, C.W., 1998 rev. 2000, Father Involvement
in Schools. http://ericcus.uncg.edu/virtualib/violence/1402.htm/
Papalia, D. E., Olds, S.W., & feldman, R.D. (2001). Human Development
8th
ed. New York: McGraw – Hill
Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods 2nd
ed.
California : SAGE Publications, Inc
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitative Dalam Penelitian
Psikologi. LPSP3 : F. Psikologi Universitas Indonesia
Rilley, R.W. & Shalala, D.E. (2000). A Call Commitment: Fathers'
Involvement in Children's Learning. US Dep. Of Education & US
Dep. of Healtba and Human Services. http://www.ed.qov/pubs/
parents/calltocommit/ title.htm/
Rutter, M., Giller, H., & Hagell, A. (1998). Antisocial Behavior by Young
People. Cambridge : Cambridge University Press.
Slameto. (2002). Peranan Ayah Dalam Pendidikan Anak
Dan Hubungannya Dengan Prestasi Belajarnya.
http://artikel.us/slameto2.html
Smart, D., Vassallo, S., Sanson A., & Dussuyer, I. (2004) Patterns of
Antisocial Behaviour from Early to Late Adolescence.
http://www.aic.gov.au/publications/tandi2/tandi290.pdf
Sprinthall, N. A., & Collins, W. A. (1995). Adolescent Psychology : A
developmental View 3rd
ed. Boston : McGraw-Hill, Inc.
Sukadji, S. (1988). Keluarga & Keberhasilan Pendidikan. Depok : Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Wade, C. & Tavris, C. (1998). Psychology 5th
ed. New York : Adison –
Wesley Educational Publishers Inc,
Yin, R. K. (1994), Case Study Research : designing & Methods. California :
Newburry Park
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/20/hikmah/utama02.htm.
Peran Ayah dan Ibu tidak Lagi Dibedakan. Minggu, 20 Februari
2005.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0205/20/hikmah/utama03.htm.
Bila Ayah Harus Benar-benar ”Sendiri”. Minggu, 20 Februari 2005