Zakiah Skenario B 24

57
Nama : Zakiah Khoirunnisa NIM : 04121001007 L2 Skenario B blok 24 Bram, laki-laki 8 bulan dibawa ke RSMH karena belum bisa tengkurap. Bram baru bisa memiringkan badannya pada usia 6 bulan. Sampai saat ini belum bisa makan bubur sehingga asih diberi susu formula. Bram juga belum bisa makan biscuit sendiri. Bram belum bisa mengoceh dan meraih benda. Bram adalah ank kelima dari ibu usia 36 tahun. Lahir spontan dengan bidan pada kehamilan 37 minggu dengan berat badan waktu lahir 2.400 gram. Selama hamil ibu tidak ada keluhan dan periksa kehamilan ke bidan 3 kali. Segera setelah lahir bayi tidak menangis,skor APGAR 1 menit 3 , dan menit kelima 5. Dirawat di RS selama 10 hari karenasusah bernafas Pemeriksaan fisik Berat badan 6,2 kg, panjang badan 68 cm, lingkaran kepala 38 cm Tidak ada gambaran dismorfik. Anak sadar, kontak mata baik, mau melihat tapi tidak mau tersenyum kepada pemeriksa. Menoleh ketika dipanggil namanya dengan keras. Tidak terapat gerakan yang tidak terkontrol pada posisi ditengkurapkan dapatmengangkat dan menahan kepala beberapa detik. Refleks moro dan refleks menggenggam masih ditemukan. Kekuatan kedua lengan dan tungkai 3, lengan

description

scscsc

Transcript of Zakiah Skenario B 24

Nama : Zakiah KhoirunnisaNIM : 04121001007L2

Skenario B blok 24Bram, laki-laki 8 bulan dibawa ke RSMH karena belum bisa tengkurap. Bram baru bisa memiringkan badannya pada usia 6 bulan. Sampai saat ini belum bisa makan bubur sehingga asih diberi susu formula. Bram juga belum bisa makan biscuit sendiri. Bram belum bisa mengoceh dan meraih benda. Bram adalah ank kelima dari ibu usia 36 tahun. Lahir spontan dengan bidan pada kehamilan 37 minggu dengan berat badan waktu lahir 2.400 gram. Selama hamil ibu tidak ada keluhan dan periksa kehamilan ke bidan 3 kali. Segera setelah lahir bayi tidak menangis,skor APGAR 1 menit 3 , dan menit kelima 5. Dirawat di RS selama 10 hari karenasusah bernafasPemeriksaan fisik Berat badan 6,2 kg, panjang badan 68 cm, lingkaran kepala 38 cm Tidak ada gambaran dismorfik. Anak sadar, kontak mata baik, mau melihat tapi tidak mau tersenyum kepada pemeriksa. Menoleh ketika dipanggil namanya dengan keras. Tidak terapat gerakan yang tidak terkontrol pada posisi ditengkurapkan dapatmengangkat dan menahan kepala beberapa detik. Refleks moro dan refleks menggenggam masih ditemukan. Kekuatan kedua lengan dan tungkai 3, lengan dan tungkai kaku dan susah untuk ditekuk, refleks tendon meningkat, refleks babinsky (+). Tidak ada kelainan anatomi pada kedua tungkai dan kaki

a. Apa saja kemungkinan perawatan yang didapat oleh Bram selama 10 hari tersebut ?

Penanganan pasca resusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia perinatal sangat kompleks dan membutuhkan monitoring yang ketat dan tindakan antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko mengalami disfungsi multiorgan dan perubahan dalam kemampuan mempertahankan homeostasis fisiologis. Deteksi dan intervensi dini terhadap gangguan fungsi organ sangat mempengaruhi keluaran dan harus dilakukan di ruang perawatan intensif untuk mendapatkan perawatan dukungan, monitoring, dan evaluasi diagnostik yang lebih lanjut.Prinsip umum dari penanganan pasca resusitasi neonatus diantaranya melanjutkan dukungan kardiorespiratorik, koreksi hipoglikemia, asidosis metabolik, abnormalitas elektrolit, serta penanganan hipotensi. Dalam melaksanakan stabilisasi pasca resusitasi neonatus terdapat acuan dalam melakukan pemeriksaan dan stabilisasi, yaitu S.T.A.B.L.E, yang terdiri dari: S-SUGAR Adalah langkah untuk menstabilkan kadar gula darah neonatus. Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh. Hipoglikemia berhubungan dengan keluaran neurologis yang buruk. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa kejadian hipoglikemik yang bersamaan dengan hipoksik-iskemik menunjukkan daerah infark yang lebih besar dan menunjukkan angka keselamatan yang lebih rendah. Pada neonatus kadar glukosa darah harus dipertahankan pada kadar 50-110 mg/dl.Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk stabilisasi gula darah neonatus adalah:1. Tidak memberikan makanan perenteral.2. Memberikan glukosa melalui jalur intravena.3. Beberapa neonatus berisiko tinggi mengalami hipoglikemia.Bayi yang berisiko tinggi mengalami hipoglikemia diantaranya adalah: Bayi prematur (usia kehamilan 60 kali/menit (takipnea) dapat disebabkan karena berbagai hal, dapat berhubungan dengan kelainan di saluran respiratorik atau dari tempat lain. Laju nafas 12 tahun:Dosis 20 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari, maksimal 80 mg/hari3. DantroleneObat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga kontraksi otot tidak bekerja. Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hariObat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk periode singkat, tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat- obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk, dan efek jangka panjang pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu solusi untuk menghindari efek samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru untuk memberi obat- obat tersebut1.Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan yang dapat membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk golongan antikolinergik, bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang merupakan bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan mencetuskan terjadinya kontraksi otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi trihexyphenidyl, benztropine dan procyclidine hydrochloride1.Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan alkohol atau injeksi alkohol kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk periode singkat. Tehnik tersebut sering digunakan klinisi saat hendak melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang diinjeksikan kedalam otot akan melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan memberikan waktu untuk melakukan bracing, terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut dapat menunda kebutuhan untuk melakukan pembedahan1.

Botulinum Toxin (BOTOX)Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan acetilcholine dari presinaptik pada pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan kelemahan otot. Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan menguatkan otot yang berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau mencegah kontraktur yang akan berkembang sesuai dengan pertumbuhan tulang. Intervensi ini digunakan jika otot yang menyebabkan deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya spastisitas pada tumit yang menyebabkan gait jalan berjinjit (Toe-heel gait) atau spastisitas pada otot flexor lutut yang menyebabkan crouch gait. Perbaikan tonus otot sering akibat mulai berkembangnya saraf terminal, yang merupakan proses dengan puncak terjadi pada 60 hari1.Intervensi botulinum dapat digunakan pada deformitas ekstremitas atas yang secara sekunder akibat tonus otot abnormal dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering dijumpai adalah aduksi bahu dan rotasi internal, fleksi lengan, pronasi telapak tangan dan fleksi pergelangan tangan dan jari-jari. Botulinum toksin sangat efektif untuk memperbaiki kekakuan siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah diduga sebelumnya, fungsi motorik halus tidak banyak mengalami perbaikan. Keuntungan dari segi kosmetik untuk memperbaiki fleksi siku sangat dramatik1.Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal. Nyeri akibat injeksi minimal, biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit setelah injeksi. Efikasi tercapai dalam 48-72 jam dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu penggunaan botulinum toksi dilanjutkan tergantung dari derajat abnormalitas tonus otot, respon penderita dan kemampuan untuk memelihara fungsi yang diinginkan1.

Baclofen IntratekalBaclofen merupakan GABA agonis yang diberikan secara intratekal melalui pompa yang ditanam akan sangat membantu penderita dalam mengatasi kekakuan otot berat yang sangat mengganggu fungsi normal tubuh . Karena Baclofen tidak dapat menembus 4B secara efektif, obat oral dalam dosis tinggi diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan jika dibandingkan dengan cara pemberian intratekal. Dijumpai penderita dengan baclofen oral akan tampak letargik1.Baclofen intratekal diberikan pertama kali sejak tahun 1980 sebagai obat untuk mengendalikan spasme otot berat akibat trauma pada tulang belakang. Sejak tahun 1990, metode pengobatan ini mulai digunakan untuk koreksi pada penderita CP dan menunjukkan efikasi yang baik1.Terapi BedahPembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat dan menyebabkan masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan mengukur panjang otot dan tendon, menentukan dengan tepat otot mana yang bermasalah. Menentukan otot yang bermasalah merupakan hal yang sulit, berjalan dengan cara berjalan yang benar, membutuhkan lebih dari 30 otot utama yang bekerja secara tepat pada waktu yang tepat dan dengan kekuatan yang tepat. Masalah pada satu otot dapat menyebabkan cara berjalan abnormal. Lebih jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap otot yang bermasalah dapat tidak tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan dokter untuk melakukan analisis gait. Analisis gait menggunakan kamera yang merekam saat penderita berjalan, komputer akan menganalisis tiap bagian gait penderita. Dengan menggunakan data tersebut, dokter akan lebih baik dalam melakukan upaya intervensi dan mengkoreksi masalah yang sesungguhnya. Mereka juga menggunakan analisis gait untuk memeriksa hasil operasi1.Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot tersebut lebih lemah, pembedahan untuk koreksi kontraktur selalu diamati selama beberapa bulan setelah operasi. Karena hal tersebut, dokter berusaha untuk menentukan semua otot yang terkena pada satu waktu jika memungkinkan atau jika lebih dari satu produser pembedahan tidak dapat dihindarkan, mereka dapat mencopba untuk menjadwalkan operasi yang terkait secara bersama-sama1.Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal root rhizotomy, ditujukan untuk menurunkan spastisitas pada otot tungkai dengan menurunkan jumlah stimulasi yang mencapai otot tungkai melalui saraf. Dalam prosedur tersebut, dokter berupaya melokalisir dan memilih untuk memotong saraf yang terlalu dominan yang mengontrol otot tungkai. walaupun disini terdapat kontroversi dalam pelaksanaannya1.Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik cerebellar dan stereotaxic thalamotomy. Pada stimulasi kronik cerebelar, elektroda ditanam pada permukaan cerebelum yang merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam koordinasi gerakan, dan digunakan untuk menstimulasi saraf-saraf cerebellar, dengan harapan bahwa teknik tersebut dapat menurunkan spastisitas dan memperbaiki fungsi motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut masih belum jelas. Beberapa penelitan melaporkan perbaikan spastisitas dan fungsi, sedang lainnya melaporkan hasil sebaliknya1.Stereotaxic thalamotomy meliputi memotong bagian thalamus, yang merupakan bagian yang melayani penyaluran pesan dari otot dan organ sensoris. Hal ini efektif hanya untuk menurunkan tremor hemiparesis1.

Daftar pustaka

Alvian R. 2012. Pendekatan Brain Based Learning untuk meningkatkan prestasi belajar IPA anak cerebral palsy. Available from: eprints.uny.ac.id/9555/2/bab%202%20-%2005103241017.pdfHardjono S, Sulaiman I, Moersintowarti B.N. Gagal Tumbuh (Failure To Thrive).Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak No. 32, Oktober 2002

Jan MMS. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Update. Ann Saudi Med 2006;26(2):123-132

Kurniasih, Dedeh. Panduan Tumbuh Kembang Bayi usia 1-12 bulan. Penyunting: RiniSekartini.

Latif S. 2010. Cerebral palsy in children and young people. Available from: https://www.cerebra.org.uk/SiteCollectionDocuments/CP%20brief.pdf

Mardiani E. 2006. Faktor-Faktor Risiko Prenatal dan Perinatal Kejadian Cerebral Palsy. Universitas Diponegoro: Semarang.

Narendra MB, suryawan A, irwanto. 2006. Naskah lengkap continuing education ilmu kesehatan anak XXXVI penyimpangan tumbuh kembang anak. bag/SMF ilmu kesehatan anak FK UNAIR. Surabaya.

Reddihough DS, Collins KJ. The epidemiology and causes of cerebral palsy. Australian Journal of Physiotherapy 49: 7-12

Saharso D. Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana. Continuing Education: Surabaya.pp.1-33

Syarif WS. Perawatan Dental Anak dengan Cerebral Palsy. Prosiding Temu Ilmiah Bandung Densitry 9: Bandung.pp.1-8

Soetjiningsih. Perkembangan Anak dan Permasalahannya, Dalam : Tumbuh kembangAnak dan Remaja. Penyunting : Narendra M, Sularyo T, Suyitno H, Gde Ranuh.Sagung Seto. \ Jakarta, 2002: 86-93.

Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Ed, Gde Ranuh. Penerbit buku kedokteranEGC; \ Jakarta, 1995: 1-31, 37-42, 63-65