Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM...

22
Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 129 POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK TERTULIS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN Mohammad Jamin Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret E-mail: [email protected] Abstract It is empirical fact in Indonesia not only has written law which imposed by state power ( state law). Beside written law there is also unwritten law which often called the non state law. Political of law to uniting as one political unity and enforce the legal sentralism has disregarded the fact of legal pluralism ( the political of ignorance). Political of law of the Judicial Power Code which imposed during the time does not clearly arrange the state recognation to unwritten law, even unwritten law is recognnized, but still very sumir and floating. Although Code No. 48/2009 about Judicial Power adopt the politics of legal pluralism and recognizes the existence unwritten law, but it is still sham (weak legal pluralism), causing that in fact predominate the state law still happened and unwritten law only becoming complement to state law. Political forwards legal pluralism in Judicial Power Code ideally is not made conditional. The political legal pluralism of Judicial Power Code must to adopt strong legal pluralism, so can accommodate pluralism in society. Key Words : Legal Pluralism, Judicial Power, Unwritten Law. A. Pendahuluan Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup dinamis, ditandai dengan perubahan perundang-undangan yang mengaturnya, hingga perkembangan lembaga-lembaga peradilan yang kian kompleks. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang dijalankan secara independen, profesional, untuk mewujudkan cita hukum (rechts idee) sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch yaitu bergerak untuk menciptakan keadilan (gerechtmatigheid/justice), kemanfaatan (doelmatigheid/utility), dan kepastian hukum (rechtmatigheid/legal certainty) (I Nyoman Nurjaya. 2008 : 3). Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, oleh karena itu untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri dipandang perlu adanya pemisahan yang jelas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Dalam konteks ini, kekuasaan kehakiman perlu diatur secara cermat dan sistematis dalam suatu perundang-undangan khusus (exceptional acts). Dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, kekuasaan kehakiman diatur dalam 2 (dua) pasal yaitu Pasal 24 dan Pasal 25. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Hasil Amandemen ke tiga dan ke empat UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman diatur lebih lengkap dalam 5 (lima) Pasal yaitu Pasal 24, 24A, 24B, 24C dan 25. Secara historis, sejak kemerdekaan Indonesia telah berlaku berbagai undang-undang kekuasaan kehakiman. Berdasarkan pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, maka susunan pengadilan masih menggunakan seperti yang diatur di dalam Undang-Undang N0. 34 Tahun 1942 (yang merupakan peninggalan pemerintahan Jepang). Kemudian terbitlah Undang- Undang No. 7 tahun 1947 tentang Susunan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947. Pada tahun 1948, Undang-Undang No. 7 tahun 1947 diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dalam pasal 50 ayat 1 memberi penegasan bahwa Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan federal tertinggi. Setelah kembali ke Undang- Undang Dasar 1945 maka pada tahun 1965 dibuat UndangUndang yang

Transcript of Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM...

Page 1: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 129

POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANGKEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

TERTULIS DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANGKEKUASAAN KEHAKIMAN

Mohammad JaminFakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

E-mail: [email protected]

Abstract

It is empirical fact in Indonesia not only has written law which imposed by state power ( state law).Beside written law there is also unwritten law which often called the non state law. Political of law touniting as one political unity and enforce the legal sentralism has disregarded the fact of legalpluralism ( the political of ignorance). Political of law of the Judicial Power Code which imposedduring the time does not clearly arrange the state recognation to unwritten law, even unwritten law isrecognnized, but still very sumir and floating. Although Code No. 48/2009 about Judicial Power adoptthe politics of legal pluralism and recognizes the existence unwritten law, but it is still sham (weaklegal pluralism), causing that in fact predominate the state law still happened and unwritten law onlybecoming complement to state law. Political forwards legal pluralism in Judicial Power Code ideallyis not made conditional. The political legal pluralism of Judicial Power Code must to adopt stronglegal pluralism, so can accommodate pluralism in society.

Key Words : Legal Pluralism, Judicial Power, Unwritten Law.

A. PendahuluanSejak awal kemerdekaan hingga

saat ini, kekuasaan kehakiman diIndonesia mengalami perkembangan yangcukup dinamis, ditandai dengan perubahanperundang-undangan yang mengaturnya,hingga perkembangan lembaga-lembagaperadilan yang kian kompleks. Kekuasaankehakiman merupakan kekuasaan yangdijalankan secara independen, profesional,untuk mewujudkan cita hukum (rechtsidee) sebagaimana dikemukakan GustavRadbruch yaitu bergerak untukmenciptakan keadilan(gerechtmatigheid/justice), kemanfaatan(doelmatigheid/utility), dan kepastianhukum (rechtmatigheid/legal certainty) (INyoman Nurjaya. 2008 : 3). Kekuasaankehakiman adalah kekuasaan yangmerdeka, oleh karena itu untukmewujudkan kekuasaan kehakiman yangmandiri dipandang perlu adanyapemisahan yang jelas antar fungsi-fungsiyudikatif dari eksekutif. Dalam konteksini, kekuasaan kehakiman perlu diatursecara cermat dan sistematis dalam suatuperundang-undangan khusus (exceptionalacts).

Dalam UUD 1945 sebelumdiamandemen, kekuasaan kehakimandiatur dalam 2 (dua) pasal yaitu Pasal 24dan Pasal 25. Perubahan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 telah membawa perubahan dalamkehidupan ketatanegaraan, khususnyadalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman.Hasil Amandemen ke tiga dan ke empatUUD 1945 tentang kekuasaan kehakimandiatur lebih lengkap dalam 5 (lima) Pasalyaitu Pasal 24, 24A, 24B, 24C dan 25.

Secara historis, sejakkemerdekaan Indonesia telah berlakuberbagai undang-undang kekuasaankehakiman. Berdasarkan pasal II aturanPeralihan Undang-Undang Dasar 1945,maka susunan pengadilan masihmenggunakan seperti yang diatur di dalamUndang-Undang N0. 34 Tahun 1942 (yangmerupakan peninggalan pemerintahanJepang). Kemudian terbitlah Undang-Undang No. 7 tahun 1947 tentang SusunanKekuasaan Mahkamah Agung danKejaksaaan Agung yang mulai berlakupada tanggal 3 Maret 1947. Pada tahun1948, Undang-Undang No. 7 tahun 1947diganti dengan Undang-Undang No. 19tahun 1948 tentang Kekuasaan Kehakimanyang dalam pasal 50 ayat 1 memberipenegasan bahwa Mahkamah AgungIndonesia ialah pengadilan federaltertinggi.

Setelah kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 maka pada tahun1965 dibuat UndangUndang yang

Page 2: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 130

mencabut Undang-Undang No. 19 tahun1948 dengan Undang-Undang No. 19Tahun 1964 (Lembaran Negara Tahun1964 Nomor 107) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.Dalam perkembangannya, di era OrdeBaru karena dalam praktekpelaksanaannya Undang-Undang No. 19Tahun 1964 telah menyimpang dariUndang-Undang Dasar 1945, antara lainpada pasal 19 yang memberikanwewenang kepada presiden untuk dalam”beberapa hal dapat turun atau campurtangan dalam soal pengadilan”, sertadalam rangka pemurnian pelaksanaanUndang-Undang Dasar 1945, makaundang-undang tersebut dicabut dandigantikan oleh Undang-Undang No. 14Tahun 1970 tentang Ketentuan-KetentuanPokok Kekuasaan Kehakiman. Setelahdimulainya Era Reformasi UU No. 14Tahun 1970 mengalami perubahan denganberlakunya UU Nomor 35 Tahun 1999TentangPerubahan Atas Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 Tentang KetentuanPokok Kekuasaan Kehakiman.

Selanjutnya UU 14 Tahun 1970jo. UU No. 35 Tahun 1999 diganti oleh UUNo. 4 Tahun 2004 tentang KekuasaanKehakiman, dan yang terakhir UU inidiganti oleh UU No. 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman. Dari rentangberlakunya semua undang-undangkekuasaan kehakiman, UU No. 4 Tahun2004 memiliki ”usia” paling pendek.Mengenai alasan digantinya UU No. 4Tahun 2004 dapat diketahui dalamPenjelasan Umum UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman. Padadasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telahsesuai dengan perubahan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 di atas, namun substansi Undang-Undang tersebut belum mengatur secarakomprehensif tentang penyelenggaraankekuasaan kehakiman, yang merupakankekuasaan yang merdeka yang dilakukanoleh sebuah Mahkamah Agung dan badanperadilan yang berada di bawahnya dalamlingkungan peradilan umum, lingkunganperadilan agama, lingkungan peradilanmiliter, lingkungan peradilan tata usahanegara, dan oleh sebuah MahkamahKonstitusi, untuk menyelenggarakanperadilan guna menegakkan hukum dankeadilan. Selain pengaturan secara

komprehensif, Undang-Undang ini (UU No48 Tahun 2009) juga untuk memenuhiputusan Mahkamah Konstitusi Nomor005/PUU/2006, yang salah satu amarnyatelah membatalkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentangKekuasaan Kehakiman. Putusan MahkamahKonstitusi tersebut juga telah membatalkanketentuan yang terkait dengan pengawasanhakim dalam Undang-Undang Nomor 22Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Secara teoritis perundang-undangan merupakan penjabaran politikhukum suatu negara yang mengatur materisesuai undang-undang yang bersangkutan.Undang-undang kekuasaan kehakimandengan demikian adalah juga merupakanimplementasi politik hukum di bidangkekuasaan kehakiman di Indonesia.

Adalah suatu fakta sosiologisbahwa di Indonesia berlaku bukan hanyahukum undang-undang yang dibuat dandiberlakukan oleh kekuasaan negara(state), yang sering juga disebut sebagaihukum tertulis, state law(http://soetandyo.wordpress.com/2010/08/19/masalah-pluralisme-dalam-sistem-hukum-nasional/,12/8/2011), hukumformal, atau hukum positip. Di sampinghukum tertulis terdapat juga hukum tidaktertulis yang sering juga disebut non statelaw, living law (Eugen Erlichmengartikannya sebagai hukum yanghidup atau das lebend Recht, the livinglaw yang dianut rakyat dengan segalakeyakinannya, (Sutandyo Wignjosoebroto.2006 : 1), yang dapat disamakan denganhukum adat (adat recht) (Iman Sudiyat.1991 : 1), customary law (I NyomanNurjaya, 2006 : 8), atau indigenous law(Marc Galanter. 1981 : 175). Hukumnegara (state law) bukan satu-satunyawujud hukum yang berlaku dalammasyarakat.

Pengalaman pemerintah kolonialHindia Belanda untuk menyandingkanhukum yang diberi sanksi negara denganhukum adat yang dianut rakyat lewatkebijakan dualisme, yang sedikit banyakboleh dibilang “sukses”, justru takditeruskan di era pemerintahan RepublikIndonesia. Sekalipun perlu diingat bahwaPemerintah Hindia Belanda tetapmenganggap hukum adat tidak setarafdengan hokum Eropa yang mempunyaiposisi superior atau lebih bagus dan lebihtinggi dari derajadnya daripada hukum

Page 3: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 131

adat (Mahadi. 1991 : 102-103). Dualismeyang mengakui koeksistensi riil antarahukum Barat dan the people’s living law,dan pluralisme yang melihat secara riilbanyaknya macam ragam hukum yangsama-sama signifikan dalam kehidupannasional ini (Marc Galanter. 1981 : 1-47),ternyata tidak dipertimbangkan oleh parapemuka Republik. Cita-cita nasional untuk"menyatukan" Indonesia sebagai satukesatuan politik dan di bawah kesatuanpemerintahan yang berhukum tunggaltelah mengabaikan (the political ofignorance) (I Nyoman Nurjaya, 2006 : 2)fakta kemajemukan hukum yang berlakudalam masyarakat (Bernadinus Steni.2008). Alih-alih menyadari danmempertimbangkan ulang kebijakan yangada, justru kebijakan unifikasi hukumitulah yang terus saja dikukuhi (SoetandyoWignjosoebroto. 2008: 237-252).

Sejalan dengan itu, keberadaandan keberlakuan hukum tidak tertulisdalam konstelasi hukum yang sekarangberlaku menjadi penting untuk dikajikarena adanya kecenderungan sejakhukum itu memasuki era hukum tertulis,yang menjadi salah satu ciri hukummodern, panggung hukum pun berubahmenjadi panggung hukum tertulis. Lebihdaripada itu, hukum tertulis inibergandengan tangan dengan dominasinegara modern, yang muncul pada abadke-18. Sejak saat itu, semua institusi,termasuk hukum, didominasi oleh negara.Terjadilah hegemoni hukum negara, mulaidari pengadilan negeri, pengadilan tinggidan seterusnya (Bradford W. Morse &Gordon R. Woodman (eds), 1987: 101-120).

Kemungkinan hubungan hukumnegara dengan hukum rakyat sebagaiberikut (Satjipto Rahardjo, 1995: 12-13).

Pertama, negara penjajah samasekali menolak hukum rakyatatau adat setempat. Dalamkeadaan yang demikian itukedua sistem normatif berdiridan bekerja sendiri-sendiri, tanpaada interaksi satu sama lain samasekali. Kedua, adalah modelkerjasama. Ada berbagai bentukatau kemungkinan (option) yangdapat dimasukkan ke dalammodel ini. Pertama, masing-masing sistem beroperasisendiri-sendiri, tetapi secara

formal sebetulnya ada hubunganantara keduanya, yaitu dalambentuk (garis batas) yang jelasmemisahkan yurisdiksi masing-masing. Suatu mekanisme yangdapat dilakukan adalah denganmembuat perjanjianinternasional (treaty).Kemungkinan kedua adalahmelalui pencaplokan(incorporation). pihak yangdominan dapat memilih untukmencaplok bagian-bagian darihukum setempat atau seluruhnyayang tidak bertentangan dengansistem yang dimilikinya.Kemungkinan lain berupalangkah yang langsung, yaituberdasarkan pengakuan tentangpatutnya dibiarkan hukumsetempat untuk tetap bekerjamengatur masyarakatnya sendiri,tetapi dengan carapengadministrasian yangdijalankan oleh pengadilan yangdidirikan oleh pihak yangdominan. Sedangkan modelketiga adalah yang sama sekalimenolak keabsahan dari hukumsetempat. Ini didasarkan padaberbagai kualifikasi terhadaphukum asli, seperti ”primitif”dan ”tidak beradab”.

Pengutamaan dan konsentrasipada hukum negara merupakan hasil suatuperkembangan yang panjang yangmemuncak pada munculnya negaramodern dan negara konstitusional. Negaramodern adalah suatu perkembanganpolitik yang luar biasa yang meminggirkansusunan masyarakat yang sebelumnyalebih bersifat majemuk. Hukum negarasebagai satu-satunya yang harusdiberlakukan dan dengan demikianmelihat hukum nasional berlaku absolut diseluruh wilayah negara (Widodo DwiPutro. 2009 : 12). Penglihatan mengenaihukum nasional demikian itu membawakita kepada paham sentralisme hukum(legal centralism). Sebagaimana ditulisSatjipto Raharjo :

”Sentralisme hukum, pertama-tama melihat hukum itu sebagaihukum negara (state law) dantidak lain daripada itu. Di luar itutidak ada hukum lain. Kalau toh

Page 4: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 132

ada yang lain, makakehadirannya mendapatkanlegitimasinya dari hukum negaratersebut. Pandangan seperti itudianut oleh sistem hukum HindiaBelanda yang berlaku diIndonesia sebelum kemerdekaan.Kata-kata yang terkenal dariPasal 15 ”AlgemeeneBepalingen van Wetgeving”berbunyi ”....geeft gewoontegeen recht dan alleen wanneerde wet daaro veraiist” (SatjiptoRahardjo, 1995 : 1).

Sejalan dengan faham sentralismehukum, maka hukum bukan lagidikonsepsikan sebagai asas-asas moralmetayuridis yang abstrak tentang hakekatkeadilan, melainkan ius yang telahmengalami positivisasi sebagai lege ataulex. Sebagai konsekuensinya berkembangfaham positivisme yang melihat hukumhanyalah semata-mata undang-undanglegal formal yang berlaku secara positip(Adi Sulistiyono, 2004 : 8). Menurut TheoHuijbers prinisp-prinsip dasar daripositivisme adalah :

”Pertama, suatu tatanan hukumnegara berlaku bukan karenamempunyai dasar kehidupandalam kehidupan sosial (menurutComte dan Spencer) bukan jugakarena bersumber pada jiwabangsa (menurut Savigny), danjuga bukan karena dasar-dasarhukum alam, melainkan karenamendapat bentuk positifnya dariinstansi yang berwenang; Kedua,hukum semata-mata harusdipandang dalam bentukformalnya; ketiga, isi hukum(material) diakui ada, tetapibukan bahan ilmu hukum karenadapat merusak kebenaran ilmiahilmu hukum” (Theo Huijbers.1982: 129).

Faham atau paradigmapositivisme (H.R. Otje Salman dan AntonF. Susanto. 2004: 79-80) yang membabi-buta ini yang menurut Satjipto Rahardjomenjadi salah satu penyebab tidak dapatberfungsinya hukum untuk melayanimanusia dan justru sebaliknya manusiamenjadi pelayan hukum. Kondisi ini yangkemudian menyebabkan pengadilan dan

keputusan-keputusan hakim hanyamelahirkan apa yang disebut formaljustice dan bukan substansial justice.Paradigma positivisme kurang mendukungpemenuhan keadilan substansial (C. MayaIndah S.,2010: 115).

Selanjutnya dikatakan olehSatjipto Raharjo bahwa hukum itu tidakada untuk dirinya sendiri, melainkan untuksesuatu yang lebih luas dan lebih besar.Maka setiap kali ada masalah dalam dandengan hukum, hukumlah yang harusditinjau dan diperbaiki dan bukan manusiayang dipaksa-paksa untuk dimasukan kedalam skema hukum (tertulis) (SatjiptoRahardjo. 2004: 2).

Hakim sebagai pelaksanakekuasaan kehakiman mempunyai fungsimemberikan keputusan terhadap perkarayang dihadapkan padanya untuk diadili.Namun, ketika dihadapkan pada kasusyang belum diatur dalam peraturanperundang-undangan, hakim wajibmengisi kekosongan hukum tersebutdengan menggali, memahami nilai-nilaihukum, dan rasa keadilan yang hidupdalam masyarakat. Hakim bukanlah mulutundang-undang atau hukum positip.Walaupun demikian apabila hakimdihadapkan pada pilihan antara ketentuanhukum tertulis dengan hukum tidaktertulis, hakim harus mengutamakan ataumendahulukan hukum tertulis. Namunpenerapan ini harus memperhatikan hal-hal berikut : a. Mengutamakan ataumendahulukan hukum tertulis apabiladiketahui atau secara rasional dipahamibahwa ketentuan hukum tertulismerupakan pembharauan terhadap hukumtidak terulis atau terjadi transformasiketentuan hukum tidak tertulis menjadihukum tertulis. b. Mengutamakan ataumendahulukan hukum tidak tertulisdilakukan apabila ketentuan hukum tidaktertulis merupakan suatu yang tumbuh,kemudian sebagai koreksi atau penafsiranterhadap suatu ketentuan hukum tertulis.Koreksi merupakan kenyataan hukumyang hidup dalam masyarakat dan dapatterjadi karena hukum tertulis telah usingatau ada kekosongan hukum tertentudalam ketentuan hukum tertulis ( M. HattaAli. 2007 : 88-89).

Kritik yang diberikan terhadappengadilan dan hakim di Indonesia yangmenganut sistem civil law adalah putusan-putusan yang konservatif dan sangat

Page 5: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 133

legalistik. Secara teori para hakim dinegara dengsn sistem civil law lebihdikenal sebagai juru bicara undang-undang(speakers of law), mengenai hal inibandingkan dengan pendapat Richard A.Posner mengenai the judge as occasionallegislator ( Richard A. Posner, 2010:79-92), dan karena itu jarang ditemukanpertimbangan-pertimbangan hukum hakimyang keluar dari perspektif legalistik; kayadengan penjelasan-penjelasan sosial yangluas dan mendalam (Amzulian Rifai,et.all. 2010: 59-61). Dalam hal ini timbulpermasalahan, yang pertama,bagaimanakah politik hukum yang dianutoleh pembentuk Undang-Undang Nomor48 tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman dalam mengatur pengakuanterhadap hukum tidak tertulis?, yangkedua, bagaimana idealitas politikpluralisme hukum yang seharusnyadikembangkan dalam sistem kekuasaankehakiman di Indonesia dalam rangkamembangun lembaga peradilan yang ideal?

B. Politik Hukum Sebagai PemanduPembangunan Hukum

Banyak definisi tentang politikhukum dijumpai dalam referensi ilmuhukum. Imam Syaukani dan A. AhsinThohari (2008 : 18) membagi definisipolitik hukum yang dikemukakanbeberapa pakar menjadi dua kategoriyaitu perspektif etimologis danterminologis.

Dalam perspektif etimologispolitik hukum merupakan terjemahandaribahasa Belanda, rechtspolitiek.Recht dalam bahasa Indonesia berartihukum, sementara kata hukum berasaldari bahasa Arab hukm yang berartiputusan (judgement), ketetapan(provision), perintah (command), danpengertian lainnya. Sementara katapolitiek mengandung arti beleid, yaitukebijakan (policy). Politik, dalampenelusuran beberapa literatur berasaldari bahasa Yunani "Πολιτικά"(politika) yang berarti hubungan yangterjadi antar individu (anggotamasyarakat) dalam suatu negara.Dalam hubungan (interaksi) yangresiprokal tersebut, terjadikesepakatan-kesepakatan terhadapsuatu keputusan atau kebijakan yangbersifat kolektif. Dengan demikian,

secara etimologis, politik hukumadalah kebijakankebijakan yangdirencanakan dan dilaksanakan dalambidanghukum, termasuk pengambilankeputusan-keputusan hukum yangbersifat kolektif.

Dalam Kamus Besar BahasaIndonesia (KBBI), politik hukumdidefinisikan sebagai rangkaiankonsep dan asas yang menjadi garisbesar dan dasar rencana dalampelaksanaan suatu pekerjaan,kepemimpinan, dan cara bertindak.Definisi dari KBBI tersebut lebihmelihat politik hukum sebagaiblueprint terhadap sekalian kebijakanyang akan diambil dalam rangkapenegakan hukum pada segenapdimensi kehidupan masyarakat.Dengan demikian, politik hukummerupakan patronase bagistakeholder dalam melaksanakantugas, fungsi, dan kewenangannya dibidang hukum.

Dalam perspektifterminologis, beberapa pengertianyang diberikan oleh para pemikiryang mendalami kajian politik hukumsebagai berikut.

Menurut Satjipto Rahardjopolitik hukum adalah aktivitasmemilih dan cara (metode) yang akandigunakan dalam upaya mencapaisuatu tujuan sosial dan hukum tertentudalam masyarakat (negara). Berdasarpada definisi tersebut, SatjiptoRahardjo mengemukakan beberapapertanyaan mendasar yang munculdalam studi politik hukum, yaitu (1)tujuan apa yang ingin dicapai dengansystem hukum yang ada (diterapkan);(2) cara-cara (mekanisme) apa yangdianggap paling baik (efektif) untukmencapai tujuan tersebut; (3) kapandan bagaimana hukum harus diubah;dan (4) dapatkah dirumuskan suatupola yang baku dan mapan yang dapatmembantu kita memutuskan tujuan-tujuan serta cara-cara (mekanisme)untuk mencapai tujuan tersebutdengan baik (Satjipto Raharjo. 1991 :352-353).

Padmo Wahjono berpendapatbahwa politik hukum merupakankebijakan dasar yang menentukanarah, bentuk, maupun isi (substansi)hukum yang akan dibentuk (Padmo

Page 6: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 134

Wahyono. 1986 : 160). Definisi inikemudian diperjelas oleh PadmoWahyono dalam tulisan lain yangmengatakan bahwa politik hukumadalah kebijakan penyelenggaranegara tentang apa yang dijadikancriteria untuk menghukumkan sesuatuyang didalamnya mencakuppembentukan, penerapan danpenegakan hukum (Padmo Wahyono.1991: 65).

Soedarto menyatakan bahwapolitik hukum adalah kebijakannegara melalui institusi-institusinegara yang berwenang untukmenetapkan peraturan yangdikehendaki yang diperkirakan akandipergunakan untuk mengekspresikanapa yang terkandung dalammasyarakat untuk mencapai apa yangdicita-citakan (Soedarto, 1986 : 151).

Abdul Hakim GarudaNusantara memberikan pengertianpolitik hukum adalah Kebijakanhukum (legal policy) yang hendakatau telah dilaksanakan secaranasional oleh pemerintah yang dalamimplementasinya meliputi: 1)pelaksanaan secara konsistenketentuan hukum yang telah ada; 2)pembangunan hukum yang berintikanpembaruan atas hukum yang telah adadan pembuatan hukum-hukum baru;3) penegasan fungsi lembaga danpembinaan para anggota penegakhukum; 4) peningkatan kesadaranhukum masyarakat menurut persepsielit pengambil kebijakan (AbdulHakim Garuda Nusantara. 1985: tanpahalaman).

Sunaryati Hartono tidak secaraeksplisit merumuskan arti politikhukum. Namun dari substansipengertian yang diberikan ketikamenyebut hukum sebagai alat makasecara praktis politik hukum adalahmerupakan alat atau sarana danlangkah yang digunakan olehpemerintah untuk menciptakan sistemhukum nasional yang dapoatdipergunakan untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara (CFG.Sunaryati Hartono. 1991: 1).

Moh. Mahfud MD mencobamenyederhanakan pengertian politikhukum sebagai arahan atau garisresmi yang dijadikan dasar pijak dan

cara untuk membuat dan melaksnakanhukum dam rangka mencapai tujuanbangsa dan negara (Moh. MahfudMD. 2006: 3). Selanjutnya dikatakanbahwa politik hukum juga sebagaijawaban atas pertanyaan tentang maudiapakan hukum itu dalam perspektifformal kenegaraan guna mencapaitujuan negara. Di dalam pengertian inipijakan utama politik hukum nasionaladalah tujuan negara yang kemudianmelahirkan sistem hukum nasionalyang harus dibangun dengan pilihanisi dan cara tertentu. Dengan demikianpolitik hukum mengandung dua sisiyang tak terpisahkan yakni sebagaiarahan pembuatan hukum atau legalpolicy lembaga-lembaga negara dalampembuatan hukum dan sebagai alatuntuk menilai dan mengkritisi apakahhuykum yang dibuat sudah sesuai atautidak dengan kerangka pikir legalpolicy tersebut untyuk mencapaitujuan negara.

Dalam tulisan lain Moh.Mahfud memberikan pengertianpolitik hukum secara agak berbeda.Politik hukum adalah legal policyyang akan atau telah dilaksnakansecara nasional oleh pemerintah.Legal policy itu meliputi pertama,pembangunan hukum yang berintikanpembuatan dan pembaruan terhadapmateri-materi hukum agar dapatsesuai dengan kebutuhan. Kedua,pelaksanaan ketentuan hukum yangtelah ada, termasuk penegasan fungsilembaga dan pembinaan para penegakhukum. Dari pengertian itu, politikhukum mencakup proses pembuatandan pelaksanaan hukum, yang dapatmenunjukkan sifat dan ke arah manahukum akan dibangun dan ditegakkan(Moh. Mahfud MD., 2010 : 3).

Berangkat dari pengertiantersebut menurut Moh Mahfud MD.Pembahasan politik hukum untukmencapai tujuan negara dengan satusistem hukum nasional mencakupsekurang-kurangnya hal-hal berikut(Moh. Mahfud MD., 2010a : 21):

”(1) tujuan negara ataumasyarakat Indonesia yangdididamkan sebagai orientasipolitik hukum, termasukpenggalian nilai-nilai dasartujuan negara sebagai pemadu

Page 7: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 135

politik hukum; (2) sistemhuykum nasional yangdiperlukan untuk mencapaitujuan itu serta faktor-faktoryang mempengaruhinya; (3)perencanaan dan kerangkapikir dalam perumusankebijakan hukum; (4) isihukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya;(5) pemagaran hukum denganprolegnas dan judicial review,legislative review dansebagainya”.

C. Teori Pluralisme Hukum versusSentralisme Hukum

Pluralisme hukum (legalpluralism) kerap diartikan sebagaikeragaman hukum. Menurut JohnGriffiths, pluralisme hukum adalahhadirnya lebih dari satu aturan hukumdalam sebuah lingkungan sosial(Griffiths, John. 1986 : 1). Padadasarnya, pluralisme hukummelancarkan kritik terhadap apa yangdisebut John Griffiths sebagaiideologi sentralisme hukum (legalcentralism). Gagasan pluralismehukum sebagai sebuah konsep, mulaimarak pada dekade 1970an,bersamaaan dengan berseminya ilmuantropologi hukum.

Konsep pluralism hukum dariGrifffiths dapat dibedakan menjadidua macam yaitu strong legalpluralism dan weak legal pluralism (INyoman Nurjaya. 2007 : 14). Suatukondisi dapat dikatakan strong legalpluralism jika masing-masing sistemhukum yang beragam itu otonom daneksistensinya tidak tergantung kepadahukum negara. Jika keberadaanpluralisme hukum itu tergantungkepada pengakuan dari hukum negaramaka kondisi ini disebut dengan weakpluralism (Kurnia Warman. 2009:25).

Sentralisme hukum memaknaihukum sebagai ”hukum negara” yangberlaku seragam untuk semua orangyang berada di wilayah yurisdiksinegara tersebut. Dengan demikian,hanya ada satu hukum yangdiberlakukan dalam suatu negara,yaitu hukum negara. Hukum hanyadapat dibentuk oleh lembaga negara

yang ditugaskan secara khusus untukitu. Manakala tidak ada kesepahamananatara hukum adat dengan hukumpositif milik negara. Negara sebagaipemangku kekuasaan merasa berhakmelakukan pemaksaan terhadapdihormatinya hukum positip miliknegara sehingga segala persoalan danperselisihan yang terjadi di dalamwilayah negara RI mau tidak mauharus diselesaikan denganmenggunakan hukum positip miliknegara (Anonim. 2009: 32).

Senada dengan itu, sebagaikonsekuensinya terjadi kondisi sepertiyang dikatakan Anne Griffiths :

“Meskipun ada kaidah-kaidahhukum lain, sentralisme hukummenempatkan hukum negaraberada di atas kaidah hukumlainnya, seperti hukum adat,hukum agama, maupunkebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebutdianggap memiliki daya ikatyang lebih lemah dan harustunduk pada hukum negara”(Griffiths, Anne. 2005: 71),(Roger Cotterrel. 2006: 29-44).

Di samping itu, konsekuensilain adalah terjadi pula konflikkultural yang disebabkan hukumnegara yang tertulis dikitab-kitab dandokumen-dokumen undang-undangtidak selamanya mencerminkanhukum rakyat yang beragam danplural. Kenyataan seperti itusesungguhnya mencerminkan pulatelah terjadinya apa yang disebutcultural conflict. Isi kaidah yangterkandung dalam hukum negaradengan yang terkandung dalamhukum yang dianut rakyat tidak hanyatak bersesuaian satu sama lainmelainkan juga bahkan acap kalibertentangan (http://soetandyo.wordpress.com/2010/08/19/masalah-pluralisme-dalam-sistem-hukum-nasional/, 12/9/2011).

Dalam perkembangannya,narasi besar tentang pluralisme hukumtelah mengalami redefinisi. Pada saatini pendekatan pluralism hukum yangbaru memandang pendekatan lamatidak dapat digunakan lagi. Dalampendefinisian ulang ini diperlihatkan

Page 8: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 136

bahwa hukum dari berbagai level; danpenjuru dunia bergerak memasukiwilayah-wilayah yang tanpa batas,dan terjadi persentuhan, interaksi,kontestasi, dan saling adopsi yangkuat di antara hukum internasional,nasional dan lokal. Terciptalah hukumtransnational dan transnationalizedlaw (Sulistyowati Irianto. 2007: 3),(Sulistytowati Irianto. 2009: 29).Pluralisme dalam perspektif barutersebut dapat dirumuskan berikut ini.“…it is mainly understood as thecoexistence of state, international andtransnational law, and analysisremain limites to the question ofwether such transnational connectioninfluence stse law at the national level(Benda-Beckmann F, K. Benda-Beckmann and Anne Griffiths. 2005:6).

Hukum tertulis selaluberupaya untuk mengatur hampirsegala segi kehidupan manusiadan oleh karena itu hukumterlihat powerfull. Keperkasaanhukum ini ditunjang dengansegala sarana dan prasarana yangmemungkinkannya untukmelakukan tindakan pemaksaansecara legal seperti yang dimilikioleh aparat penegak hukum.

Hukum modern yang ada diIndonesia saat ini pun telahmenjadi teknologis danmenjauhkan diri dari wacanamoral. Persoalan moral inimerupakan salah satu keterbatasanhukum modern (John Stanton,2006: tanpa halaman). AntonyAllott juga berpendapat serupa,bahwa hukum adalah sesuatu yangberkaitan dengan fakta, hukum adaatau norma itu ada dan tidakberkaitan dengan nilai. Sejak ituhukum memberi peluang terjadinyapengebirian hukum darikandungan moral, sebabmenegakkan atau menjalankanhukum dapat menjadi sinonimdengan menjalankan peraturansemata (Antony Allott. 1980: 58).

Menegakkan danmenjalankan hukum tidak samapersis dengan memproses keadilan,karena hukum modern sudahbanyak berubah menjadi institusi

formal dan birokratis. Dalamkonteks kehidupan yangmenggunakan hukum modern, bisamuncul diskrepansi antarakeadilan formal atau keadilanperaturan dengan keadilansubstansial (Satjipto Rahardjo,2003: 56,62, 191).

Posisi hukum modernyang esoterik menjadikan ia tidakpeka terhadap perubahan danperkembangan jaman. Hukum tidakbergerak dalam ruang hampa, iaselalu berada dalam tatanan sosialtertentu dan manusia yang hidup(Esmi Warassih. 2005: 3).

Hukum juga harusmemperhatikan faktor-faktor diluar hukum yang memberikanpengaruh pada perkembanganilmu dan praktik hukum.Undang-undang bukan segala-galanya karena sebuah undang-undang yang dibuat akan selaluberubah substansinya, baik karenaperubahan normal maupun cara-caralain. Sebagaimana dikatakan OliverWindell Holmes bahwa the life ofthe law has not been logic butexperience (Satjipto Rahardjo.2000: 18).

Ketertutupan hukummodern menyebabkan ia kesulitanuntuk menemukan jawaban atasperistiwa-peristiwa yang tidak adadalam peraturan tertulis (undang-undang), sehingga menyebabkanhukum modern menjadi collapse.Peristiwa-peristiwa yang tidaksesuai norma dari aturan yangtelah dibuat menunjukkan bahwahukum modern yang begituperkasa pun memiliki keterbatasankemampuan dalam menjelaskan hal-hal di luar pakemnya. Oleh sebabitu muncul berbagai kritik yangbertujuan untuk membuat hukumlebih peka pada perubahan danperkembangan masyarakat. Kritiktidak hanya ditujukan padaketerbatasan kemampuan dalam halteori, akan tetapi juga berkaitandengan praktik, terutama ketikahukum itu dioperasikan oleh hakimdi pengadilan.

Terhadap keterbatasankemampuan hukum dalam

Page 9: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 137

mengatasi persoalan masyarakatyang timbul, menurut Allott,adopsi atau penerimaan mayoritasterhadap hukum baru tidakmenjamin kemampuan hukum.Allot memberi dua argumensebagai jalan keluar, yaitupendekatan pragmatis sebagaijalan terbaik agar hukum efektifdan pendekatan moral.Selanjutnya ia menekankanpenggunaan customary law yangdidasarkan pada prinsip konsensusdengan dukungan dari sanksi sosialdinilai akan lebih efektif dalampelaksanaan hukum (Antony Allott,1980: 288).

Menghadapi kompleksitaspermasalahan yang dihadapi hukummenyelesaikan setiap masalah yangtimbul, maka sebaiknya kitamempertanyakan kembali politikhukum dalam undang-undangkekuasaaan kehakiman yang telahdijalankan selama ini. Diperlukanpengkajian kembali terhadap apayang ingin disebut sebagai ”politiksentralisme”, yang dipraktekkanselama ini.

Secara umum politikhukum kita sangat menekankankepada aspek kesatuan atausentralisme hukum. Sementara itulambang negara kita dengan bagusmengatakan ”Bhinneka TunggalIka”. Pasal 36 A UUD 1945, yangmenegaskan bahwa LambangNegara ialah Garuda Pancasiladengan semboyan Bhineka TunggalIka. Hal ini mempunyai arti pentingsendiri, seperti dikatakan JimlyAsshiddiqie, bahwa selama ini haltersebut belum pernah diatur,sehingga penyebutan GarudaPancasila sebagai lambang negara,hanya didasarkan atas konvensitidak tertulis (Jimly Asshiddiqie.2003: 80). Pengakuan tentanglambang sekaligus penegasantentang seloka yang terpampangpada lambang Bhineka Tunggal Ika.Menurut Wertheim, BhinekaTunggal Ika berarti “persatuandalam perbedaan” merupakan mottoresmi Republik Indonesia.Ungkapan ini mengekspresikansuatu keinginan yang kuat, tidak

hanya di kalangan pemimpin politik,tetapi juga di kalangan berbagailapisan penduduk, untuk mencapaikesatuan, meskipun ada karakteryang heterogen pada negara baruyang terbentuk itu. Pada gilirannya,persamaan itu akan mensyaratkanadanya karakteristik budaya yangsama yang mendasari heterogenitasitu (Wartheim WF. 1999: 1).

Dengan ditegaskannyaBhineka Tunggal Ika dalamkonstitusi, maka segala konsekuensidari penegasan itu juga harus diterimadalam berbagai aspek kehidupantermasuk kehidupan hukum.Pengakuan tentang perlunyaketunggalan hukum (unifikasi)sebagaimana yang dicanangkan dalamberbagai kebijakan pembangunanhukum perlu untuk ditinjau kembali(Abdurrahman. 2006:6).Keberagaman hukum (pluralismehukum) sepanjang kenyataannyamemang demikian, tidak bolehdinafikan begitu saja, apalagi kalauhal ini diartikan sebagai identitasbudaya (cultural identity)sebagaimana yang ditegaskan dalamPasal 28 Ayat (3) Undang-UndangDasar 1945. Karena itu konstitusinegara RI boleh dikatakan sebagaikonstitusi pluralis (Yanis Maladi.2010 : 456).

Konsep ”kesatuan” dan”perbedaan” didukung olehpendekatan dan pemahaman hukumsecara sosiologis, yang tidakmenerima sistem atau tatanan hukumsebagai sesuatu yang absolut, tunggaldan monolitik. Optik sosiologismelihat, bahwa tatanan dan tertibmasyarakat merupakan suatu totalitasyang terdiri dari berbagai komponentatanan, kendati pada tingkat kekuatanyang berbeda-beda, ada yang ”moreorder”, ada yang ”less order”.

Apabila politik hukumbergerak melawan arus tersebut,maka gangguan dan persoalanpunakan bermunculan. Kita lihat padaperkembangan sistem hukummodern menuju kepada keadaanyang monolitik, yangmengutamakan hukum negara danmeminggirkan wilayah-wilayahyang bukan hukum negara. Pada

Page 10: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 138

akhirnya hukum negara tidakmampu untuk mengakomodasisekalian wilayah tersebut dan padaakhirnya harus menyerah denganmemberikan pengakuan terhadapwilayah-wilayah kehidupan di luaryang resmi negara tersebut.

Dalam hubungan denganhal-hal yang diuraikan di atas,menarik sekali pembahasan MarcGalanter tentang apa yangdisebutnya sebagai fenomena”justice in many rooms” yang telahdisinggung di muka. Denganmerujuk kepada masalah bekerjanyapengadilan-pengadilan negara, makapenglihatan sosiologis menunjukkanbahwa pengadilan tersebutsebetulnya tidak selalu menjalankantugasnya secara otoritatif. Tidaksering pengadilan negaramenjalankan ”fullblownadjudication”, yaitu memeriksa danmengadili secara penuh, melainkanapa yang oleh Knookin danKornhauser disebut sebagai ”in theshadow of the law”. Putusan hakimhanya meligitimasi saja kesepakatan(settlement) yang sebetulnya dicapaioleh para pihak (Marc Galanter.1981: 155).

Galanter jugamengemukakan kritiknya terhadapkehadiran dan fenomena ”sistemhukum nasional” di dunia.Dikatakan oleh Galanter,

”One of the strikingfeatures of the modernworld has been theemergence of thoseinstitutional-intellectualcomplexes that we identifyas national legal systems.Such a system consists ofinstitutions, connected tothe state, guided by andpropounding a body ofnormative learning,purporting to encompassand control all the otherinstitutions in the societyand subject them to aregime of general rules.These complexesconsolidated and displacedthe earlier diverse array ofnormative orderings in

society, reducing them to asubordinate and interstitialstatus” (Marc Galanter.1981: 163).

Tentang hukum setempatyang pada kita dapat disamakandengan hukum adat, Galantermenyebutnya indigenous law dansistemnya disebut indigenousordering. Galanter juga inginmelihat, bahwa hukum setempattersebut tidak dapat diserap habis kedalam sistem hukum nasional begitusaja. Hukum negara tidak dapatmenyelesaikan tugasnya secara totaldan absolut, dengan mengatursemua masalah secara tuntas,melainkan hanya melakukannyasecara sepotong-potong. “……legalregulation in modern societies, as inothers, has a more uneven,patchwork character” (MarcGalanter. 1981: 165).

Untuk merangkum hukumtidak tertulis secara substansial kedalam sistem hukum nasional, makakita tidak dapat membangun suatusistem tatanan yang monolitik,melainkan yang memberi suaturuangan bagi otonomi pengaturandan mendorong terciptanya suatuhubungan sinergistis antara hukumnegara dan lain-lain penataan,termasuk hukum adat.

D. Pluralisme Dalam Arah PolitikPembangunan Hukum di Indonesia

Dengan dikumandangkannyaProklamasi Kemerdekaan dan setelahdiundangkannya UUD 1945 pada 18Agustus 1945 seharusnya segeraberlaku suatu sistem hukum nasionalyang utuh guna menghapus semuawarisan hukum pemerintahan kolonialBelanda yang ditransplantasikan diIndonesia (Sutandyo Wignjosoebroto.2002: 258). Hal ini disadari karenahukum-hukum kolonial itu tidakselaras dengan cita-cita proklamasi,juga bersifat menindas daneksploitatif. Namun padakenyataannya hukum-hukum itu tetapdipakai sebagai rujukan dandipertahankan untuk menghindarikekosongan hukum.

Page 11: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 139

Bersamaan dengan ituperundang-undangan ternyata jugamasih mengakui berlakunya hukumadat, dan hukum Islam. Karena itu,politik hukum unifikasi dalampembaharuan hukum dilaksanakanuntuk mendorong kebijakanpembaharuan hukum yang mengarahpada penggantian hukum-hukumwarisan kolonial, dan pengkooptasianhukum adat yang sangat beragamserta hukum Islam menjadi hukumpositif negara (H. Andi Mattalatta.2009: 4). Sebagaimana juga dikatakanoleh Satya Arinanto bahwa :

“…permasalahan utamapolitik pembangunan hukumnasional antara lain adalahsebagai berikut: (1)memperbarui atau menggantiperaturan hukum dari masakolonial yang masih berlakumelalui Aturan PeralihanUUD 1945; dan (2)menciptakan hukum baruyang secara utuh bersumberpada Pancasila dan UUD1945 (termasuk Perubahan-perubahannya), sesuaidengan tuntutan danperkembangan masyarakatpada tingkat lokal, nasional,regional, dan internasionaldalam era globalisasi” (SatyaArinanto. 2006: 68-98).

Kenyataannya dalampelaksanaan politik hukum unifikasitidak sepenuhnya dapat terlaksana.Kekuasaan negara untuk melakukanunifikasi hukum memilikiketerbatasan. Bahkan dalam negarayang menganut sistem politik totalitersekalipun, tidak begitu saja dapatmenghapuskan keanekaragamanhukum yang hidup dan berkembang diwilayah kekuasaannya. Karena selainketerbatasan kemampuan negara tadi,hukum dalam kenyataannya tidaksemata-mata “ditemukan” dalammasyarakat seperti yang dipikirkanoleh von Savigny. Hukum hakekatnyaadalah aturan atau ketentuan yangmerupakan hasil interelasi sistemsosial-politik yang terkait dalam rantaisejarah, nilai-nilai dalam masyarakat,perilaku elit kekuasaan serta pengaruh

nilai-nilai dari luar wilayahkekuasaan. Dan pembaharuan hukumadalah politik hukum yangdipengaruhi oleh ketentuan-ketentuanhukum yang telah ada sebelumnya,dan dominasi sistem politik yangmenyelimuti. Di mana dari berbagaipenilitian yang telah ada dapatdisimpulkan adanya tiga tipe hukumyang terkait dengan relasinya denganpolitik yaitu hukum represif, hukumotonom dan hukum responsif(Philippe Nonet dan Philip Selznick.2008: 19).

Meskipun demikian, yangterpenting dalam politik hukumunifikasi perundang-undangan iniadalah bagaimana mengambilsebanyak mungkin nilai-nilai daripluralisme hukum yang hidup danberkembang di dalam masyarakattersebut menjadi hukum positifnegara, sehingga hukum yangdilahirkan dapat diterima oleh seluruhwarga negara sebagai energi positifdalam mewujudkan cita-cita bangsa.Karenanya, kemungkinan masihadanya pluralisme hukum di masayang akan datang semata-mata hanyauntuk mewadahi kearifan lokal yangmemang merupakan kekhasan daerahdan atau etnis tertentu yang justrumemberikan keuntungan lebih jikatidak dilaksanakan politik hukumunifikasi secara kaku.

Arah politik pembangunanhukum Indonesia ke depan dapatdiuketahui dari Undang-UndangRepublik IndonesiaNomor 17 Tahun2007 Tentang Rencana PembangunanJangka Panjang Nasional Tahun2005–2025. Pada Bab IV Arah,Tahapan, Dan Prioritas PembangunanJangka Panjang Tahun 2005–2025antara lain dinyatakan :

“Terwujudnya Indonesiayang demokratis, berlandaskanhukum dan berkeadilan ditunjukkanoleh hal-hal berikut: 1. Terciptanyasupremasi hukum dan penegakkanhak-hak asasi manusia yangbersumber pada Pancasila danUndang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 sertatertatanya sistem hukum nasionalyang mencerminkan kebenaran,keadilan, akomodatif, dan aspiratif.

Page 12: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 140

Terciptanya penegakan hukum tanpamemandang kedudukan, pangkat, danjabatan seseorang demi supremasihukum dan terciptanya penghormatanpada hak-hak asasi manusia.” (Lihat :Undang-Undang RepublikIndonesiaNomor 17 Tahun 2007Tentang Rencana PembangunanJangka Panjang Nasional Tahun2005–2025. Bab IV.1 ARAHPEMBANGUNAN JANGKAPANJANG TAHUN 2005–2025.Sekretariat Negara RI. Halaman 41).

Sementara itu mengenaiarah pembangunan jangka panjangtahun 2005–2025, pada huruf E.Reformasi Hukum dan Birokrasi,ditegaskan :

“……….Pembangunanhukum dilaksanakan melaluipembaruan materi hukumdengan tetap memerhatikankemajemukan tatanan hukumyang berlaku dan pengaruhglobalisasi sebagai upayauntuk meningkatkankepastian dan perlindunganhukum, penegakan hukumdan hak-hak asasi manusia(HAM), kesadaran hukum,serta pelayanan hukum yangberintikan keadilan dankebenaran, ketertiban dankesejahteraan dalam rangkapenyelenggaraan negarayang makin tertib, teratur,lancar, serta berdaya saingglobal.”

Dari ketentuan Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 TentangRencana Pembangunan JangkaPanjang Nasional Tahun 2005–2025dapat disimpulkan bahwa kata kuncidalam arah pembangunan hukum kedepan adalah membangun hukumyang berkeadilan dan memperhatikankemajemukan hukum. Arah politikpembangunan hukum yang demikianitu mengindikasikan bahwapluralisme hukum diakui dan akandikembangkan sebagai landasansistem hukum nasional yang akandibangun.

E. Politik Pluralisme Hukum danPengakuan Terhadap Hukum TidakTertulis Dalam UU No. 48 Tahun2009 Tentang KekuasaanKehakiman

Politik hukum suatu undang-undang dapat diketahui antara laindengan menganalisis kandungannilai-nilai yang terdapat dalam normayang ada di dalamnya. Kandungannilai-nilai politik hukum dalamundang-undang tidak terlepas ataudipengaruhi oleh proses politik dankekuatan-kekuatan politik yangmelingkupinya. Selain itu politikhukum dalam suatu undang-undangdapat pula dipengaruhi olehkonfigurasi ekonomi, sosial, budaya,religi atau ideologi (partai) danbahkan oleh tekanan negara-negarapemberi pinjaman kepada Indonesiadan politik ekonomi global.

Hampir semua undang-undang kekuasan kehakiman yangpernah berlaku memberikan pintumasuk bagi hakim untuk menggalidan mengangkat hukum tidak tertulis(hukum adat) dalam pertimbanganputusan. Melalui ketentuan tersebutputusan hakim akan menjadi hukumpositip yang baik dan agar memilikidaya keberlakuan tinggi harus sesuaidengan the living law (Ade Saptomo.2009: 15-16).

Dalam UU No. 48 Tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakimantidak dapat ditemukan kata pluralismhukum pada norma yang terkandungdalam pasal-pasal maupun ayat-ayatnya. Namun demikian, tidakberarti bahwa UU ini tidak menganutatau setidaknya mengakui keberadaanpluralisme hukum, yaitu adanyapengakuan terhadap adanya sistemhukum lain di luar sistem hukumnegara. Hal ini sejalan dengan arahpolitik hukum yang dianut olehUndang-Undang No. 17 Tahun 2007Tentang Rencana PembangunanJangka Panjang Nasional Tahun2005–2025, bahwa pembangunanhukum dilaksanakan melaluipembaruan materi hukum dengantetap memerhatikan kemajemukantatanan hukum yang berlaku.

Persoalannya adalah, sejauhmana pengakuan terhadap hukum

Page 13: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 141

tidak tertulis tersebut dan pada normamana yang mengakui adanyapluralisme (kemajemukan) hukum.Jika dicermati dari seluruh pasal-pasaldalam UU No. 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman terdapatbeberapa yang terkait danmengandung politik hukum yangmemberikan pengakuan terhadapkeberadaan hukum tidak tertulis.

Pasal 2 (2) UU No. 48 Tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakimandinyatakan “Peradilan negaramenerapkan dan menegakkan hukumdan keadilan berdasarkan Pancasila”.Dari redaksi pasal ini tidak adakejelasan hukum apa yang dimaksud,apakah hukum negara (state law),hukum tidak tertulis (non state law)atau kedua-duanya. Namun demikian,karena redaksi pasal ini menegaskanbahwa peradilan yang dimaksuddalam pasal tersebut adalah peradilannegara, maka dapat disimpulkan bawahukum yang diterapkan danditegakkan oleh kekuasaan kehakimanadalah hukum negara (state law),sehingga pasal ini mengesankanbahwa UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakimanmenganut politik sentralisme hukumdan tidak mengakui keberlakukanhukum tidak tertulis (non state law).Sayangnya, Penjelasan Pasal 2 Ayat(2) menyatakan “Cukup jelas”,sehingga pendirian yang terakhir iniseolah menjadi semakin mendapatpenegasan.

Selanjutnya dalam Pasal 4(1) UU No. 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman menyatakan“Pengadilan mengadili menuruthukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Sebagaimana Pasal 2ayat (2) di atas, dalam pasal ini jugatidak ada kejelasan hukum apakahyang dimaksud, dan jika dibaca dalamPenjelasan Pasal 4 hanya dikatakan“Cukup jelas”. Sampai di sinitampaknya politik hukum yang dianutoleh UU No 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman mengikutifaham sentralisme hukum yaitu hanyahukum tertulis, atau hukum positipdalam perundang-undangan yangditerapkan dan ditegakkan.

Pasal 5 (1) UU No. 48 Tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakimanmenyatakan “Hakim dan hakimkonstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum danrasa keadilan yang hidup dalammasyarakat”. Ketentuan pasal inimulai membuka peluang bagipenerapan dan penegakan hukumtidak tertulis oleh badan-badanperadilan sebagai pelaksanakekuasaan kehakiman. Redaksi yangmenyatakan hakim wajib menggali,mengikuti dan memahami nilai-nilaihukum dan rasa keadilan yang hidupdalam masyarakat mengandungmakna yaitu nilai-nilai hukum danrasa keadilan yang tidak terdapatdalam hukum tertulis dalam undang-undang tetapi ada dan hidup dalamdunia empiris yaitu masyarakat.Meminjam istilah yang digunakanoleh Erlich, nilai-nilai hukum dan rasakeadilan yang hidup dimasyarakatadalah apa yang disebut living law(Sutandyo Wignjosoebroto. 2006: 4).

Perintah pasal ini dapatdiartikan bahwa selain hakimmenerapkan dan menegakkan hukumnegara tetapi juga diwajibkan untukmenggali, mengikuti dan memahaminilai-nilai hukum yang hidup dalammasyarakat di luar hukum negara.Dari makna pasal ini dapatdisimpulkan bahwa UU No. 48 tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakimanmengakui keberadaan dankeberlakukan non state law disamping hukum negara (state law).Pasal 5 ayat 1 tersebut mendapatmenegasan dalam Penjelasan Pasal 5Ayat (1) yang menyatakan “Ketentuanini dimaksudkan agar putusan hakimdan hakim konstitusi sesuai denganhukum dan rasa keadilanmasyarakat”. Penjelasan pasal inilebih tegas mengatakan dengan frasa“hukum dan rasa keadilanmasyarakat”, jadi bukan hanya nilai-nilai-nya yang harus menjadi acuandalam setiap putusan hakim tetapiadalah hukum (norma) dan rasakeadilan masyarakat. Dari pemikiranini maka dapat dikatakan bahwa UUNo. 48 Tahun 2009 menganut politikpluralism hukum, setidaknyamengakui keberadaan hukum tidak

Page 14: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 142

tertulis selain hukum negara yangselalu bersifat tertulis.

Pasal 10 (1) UU No.48Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman menyatakan “Pengadilandilarang menolak untuk memeriksa,mengadili, dan memutus suatuperkara yang diajukan dengan dalihbahwa hukum tidak ada atau kurangjelas, melainkan wajib untukmemeriksa dan mengadilinya”.Sementara itu dalam Penjelasan Pasal10 dinyatakan “Cukup jelas”.Ketentuan pasal ini mengandung artibahwa pengadilan (melalui hakim)tidak boleh menolak memeriksa,mengadili dan memutus perkarasekalipun hukum negara yang adadalam perundang-undangan tidak ada(tidak mengatur) atau kurang jelas(mengatur). Artinya, hakim wajibmencari dan menemukan hukum tidaktertulis di luar undang-undang (nonstate law) untuk memeriksa,mengadili dan memutus perkara yangtidak ada atau kurang jelas aturannyadalam hukum negara. Ketentuan pasal10 (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman ini jugamengandung politik pluralism hukumyaitu adanya pengakuan terhadaphukum tidak tertulis di sampinghukum tertulis.

Pasal 50 (1) UU N0. 48Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman menyatakan “Putusanpengadilan selain harus memuatalasan dan dasar putusan, jugamemuat pasal tertentu dari peraturanperundang-undangan yangbersangkutan atau sumber hukum taktertulis yang dijadikan dasar untukmengadili”. Selanjutnya PenjelasanPasal 50 menyebutkan “Cukup jelas”.Ketentuan pasal ini menegaskanketentuan pasal sebelumnya bahwapengadilan setelah hakim menggali,mengikuti dan memahami rasakeadilan yang hidup dalammasyarakat dan mencari danmenemukan hukum tidak tertulis diluar undang-undang (non state law)untuk memeriksa, mengadili danmemutus perkara yang tidak ada ataukurang jelas aturannya dalam hukumnegara, maka hasilnya dituangkansebagai alasan dan dasar putusan.

Pasal 50 (1) UU N0. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakimanmerupakan klimaks dari pengakuanterhadap keberadaan hukum tidaktertulis di luar hukum negara yangtertulis. Dapat dikatakan bahwa pasalini merupakan puncak dari politikpluralism hukum yang dianut oleh UUNo. 48 Tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman.

Dari analisis pasal-pasal diatas, dapat disimpulkan bahwasekalipun UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakimanmenganut politik pluralism hukumdan mengakui keberadaan dankeberlakuan hukum tidak tertulis,namun politik pluralism hukum yangdigunakan masih semu, yangberakibat bahwa sesungguhnyadominasi hukum negara masih terjadidan hukum tidak tertulis hanyamenjadi pelengkap terhadap hukumnegara. Konsekuensinya, jikaterhadap suatu perkara sudah diaturoleh hukum negara maka hukum tidaktertulis harus dikesampingkansekalipun hukum negara itu tidakmemberikan rasa keadilan kepadamasyarakat. Hukum tidak terulis(hukum adat) hanya bolehdiberlakukan manakala hukum negaratidak memberi pengaturan samasekali. Manakala tidak adakesepahaman antara hukum adatdenagn hukum positif milik negara,negara sebagai pemangku kekuasaanmerasa berhak melakukan pemaksaanterhadap dihormatinya hukum positipmilik negara sehingga segalapersoalan dan perselisihan yangterjadi di dalam wilayah negara RImau tidak mau harus diselesaikandengan menggunakan hukum positipmilik negara (Anonim. 2009:32).

F. Politik Pluralisme Hukum danPengakuan Terhadap Hukum TidakTertulis Dalam Undang-UndangKekuasaan Kehakiman Di MasaDatang

Politik pluralisme hukumdalam undang-undang kekuasaankehakiman di masa datang sangatterkait dengan konsep negara hukumyang dianut oleh Indonesia. Pada

Page 15: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 143

awalnya konsep negara hukum sangatlekat dengan tradisi politik negara-negara barat yaitu freedom under therule of law. Karena itu menurutTamanaha, liberalisme yang lahirpada akhir abad ketujuh belas awalabad kedelapan belas menempatiruang yang sangat esensial bagikonsep negara hukum dan negarahukum pada masa kini secarakeseluruhan dipahami dalam istilahleberalisme, Tamanaha menulis“…every version of liberalism reserveand essential place for the rule oflaw, and the rule of law today isthoroughly understood in the terms ofliberalism.” Akan tetapi di atassegala-galanya dari liberalisme dalamtradisi politik barat adalah kebebasanindividu, seperti dalam terminologiklasik yang dikemukan oleh JohnStuart Mill “…the only freedom whichdivers the name, is that of pursuingour own good in our own way, so longas we do not attempt to deprive othersof theirs or impede their efforts toobtain it.” (Hamdan Zoelva. 2009:46). Ide mengenai negara dalamsuatu tatanan hukum yang adil terusmenerus berkembang di Eropa dariabad ke-16 hingga permulaan abadke-20. Dalam dekade waktu itu terjadiperkembangan pemikiran mengenaikonsep negara; dari negara hukumklasik (pengertian negara dalam artisempit) sampai dengan negara hukumformal.

Dalam khasanah ilmu hukumIndonesia terdapat dua istilah yangditerjemahkan sama ke dalam BahasaIndonesia menjadi ”negara hukum”yaitu rechtsstaat dan the rule of law.The Rule of Law dalam literatur-literatur terkemuka memilikipengertian yang sama dengan NegaraHukum. Demikian juga dalamkepustakaan Indonesia istilah NegaraHukum merupakan penterjemahanlangsung dari Rechtstaat. Pernyataanini dikuatkan pendapat para pakar –pakar hukum di Indonesia,diantaranya adalah Notohamidjojodan Sumrah, yang mengatakan :

”Dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yangdirumuskan dalamkonstitusi-konstitusi dari

abad IX itu, maka timbuljuga istilah Negara hukum(rechstaat). Yang sudah kitakenal lama adalah pengertianRechstaat atau negara hukumatau menjamin kata-katadalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, negarayang berdasarkan atashukum.” (O. Notohamidjojo.1970: 31).

Begitu juga dengan apa yangdinamakan rule of law memilikipengertian yang sama dengan negarahukum. Hal ini dikemukakan olehSunaryati Hartono sebagaimana yangdikutip Azhary, bahwa agar supayatercipta suatu Negara Hukum yangmembawa keadilan bagi seluruhrakyat yang bersangkutan, penegakanthe rule of law itu harus diartikandalam arti yang materiil(Azhary.1995: 31). Menurut SudargoGautama sebagaimana dikutip TeguhPresetyo, ada persamaan utuh antaraRule of Law dengan Negara Hukum,sebagaimana dinyatakan :

”.... dan jika berbuatdemikian, maka pertama-tama kita melihat bahwadalam suatu negara hukum,terdapat pembatasankekuasaan negara terhadapperseorangan. Negara tidakmaha kuasa, tidak bertindaksewenang-wenang.Tindakan-tindakan negaraterhadap warganya dibatasioleh hukum. Inilah yang olehahli hukum Inggris dikenaldengan Rule of Law” (TeguhPrasetyo. 2010: 132).

Pendapat dari sisi yangberbeda dikemukakan oleh Moch.Kusnardi, yang menyatakan, laindaripada negara Eropa Barat, diInggris sebutan Negara Hukum(rechsstaat) adalah the rule of law,sedangkan di Amerika Serikatdiucapkan sebagai government of law,but not of man (Moch. Kusnardi danHarmaily Ibrahim. 1976: 79). Hadjonbertolak belakang dengan pendapatpara ahli hukum tersebut. Hadjonmengemukakan konsep berdasarkan

Page 16: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 144

latar belakang sistem hukum yangmenjadi sandaran istilah tersebut,sebagaimana dinyatakan (Philipus M.Hadjon. 1987: 72) :

”Konsep rechtstaat lahir darisuatu perjuangan menentangabsolustisme, sehinggasifatnya revolusioner,sebaliknya konsep the rule oflaw berkembang secaraevolusioner. Hal ini nampakdari isi atau kriteriarechtstaat dan kriteria therule of law. Konseprechtstaat dan kriteria therule of law. Konseprechtstaat bertumpu atassistem hukum kontinentalyang disebut civil law,modern roman law,sedangkan konsep the rule oflaw, bertumpu atas sistemhukum yang disebut commonlaw”.

Sekalipun terjemahan dalamBahasa Indonesia sama tetapi keduaistilah tersebut sebenarnya memilikiperbedaaan sebagaimanadiidentifikasi oleh Roscoe Pound.Rechtsstaat memiliki karakteradministratif sedangkan the rule oflaw berkarakter judicial (RoscoePound. 1957: 7).

Rechtsstaat bersumber daritradisi hukum negara-negara EropahKontinental yang bersandar pada civillaw dan legisme yang menganggaphukum adalah hukum tertulis atauundang-undang. Kebenaran hukumdan keadilan di dalam Rechtsstaatterletak pada pada ketentuan bahkanpembuktian tertulis. Hakim yang baikmenurut paham civil law (legisme) didalam rechtsstaat adalah hakim yangdapat menerapkan atau membuatputusan sesuai dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada hukum tertulisdan paham legisme di rechtsstaatkarena menekankan kepastian hukum.

Sedangkan the rule of lawberkembang dalam tradisi hukumnegara-negara anglo saxon yangmengembangkan common law(hukum tak tertulis).

Kebenaran hukum dankeadilan di dalam the rule of lawbukan semata-mata hukum tertulis,bahkan di sini hakim dituntut untukmembuat hukump-hukum sendirimelalui yurisprudensi tanpa harusterikat secara ketat kepada hukumtertulis. Putusan hakimlah yang lebihdianggap hukum yang sesuangguhnyadaripada hukum tertulis. Hakim diberikebebasan untuk menggali nilai-nilaikeadilan dan membuat keputusansesuai dengan rasa keadilan yangdigalinya dari masyarakat. Hakimyang baik di sini adalah hakim yangdapat membuat keputusan berdasarnilai keadilan yang keadilanmasyarakat. Pemberian keleluasaanbagi hakim untuk tidak terlalu terikatpada hukum tertulis di sini karenapenegakan hukum ditekankan padapemenuhan rasa keadilan bukan padahukum-hukum formal.

Pendapat yang samadikemukakan oleh Philipus M.Hadjon yang menyatakan (PhilipusM. Hadjon, 1987: 72) :

”Di dalam catatan sejarahdiungkapkan bahwa konsepnegara hukum dapatdibedakan menurut konsepEropa Kontinental yang basadikenal dengan Rechstaatdan dalam konsep AngloSaxon dikenal denganRechstaat dan dalam konsepAnglo Saxon dikenal denganRule of Law. Dengandemikian dapat dikatakanbahwa Rechstaat tersebutdireduksi dalam sistemhukum yang dinamakan CivilLaw atau yang biasa kitasebut dengan Modern RomanLaw. Konsep Rechtstaat iniditelaah secara historismerupakan penentangansecara tajam atas pemikirankaum Hegelianisme yangmengembangkanabsolutisme, jadi dapatdikatakan sebagairevolusioner. Berbedadengan Rule of Law yangberkembang dengan metodeevolusioner, yang direduksi

Page 17: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 145

dalam sistem hukumCommon Law.”

Negara hukum Indonesiayang berdasar Pancasila dan UUD1945 mengambil konsep prismatikatau integratif dari dua konseptersebut sehingga prinsip kepastianhukum dan rechsstaat dipadukandengan prinsip keadilan dalam therule of law. Indonesia tidak memilihsalah satunya tetapi memasukkanunsur-unsur dari keduanya, sehinggadapat dikatakan Indonesia menganutkonsep negara hukum prismatic.Menurut F.W. Riggs (1964: 126-132),masyarakat prismatik (prismaticsociety) adalah kesatuan masyarakatyang dibangun diantara duakepentingan. Konsep negara hukumprismatik menjadi keniscayaandikarenakan (Moh. Mahfud MD.2006: 14):

”Pada saat ini sudah sulitmenarik perbedaan yangsubstantif antara rehcttstaatdan the rule of law.Kepastian hukum harusditegakkan untukmemastikan bahwa keadilandi dalam masyarakat jugategak. Dalam praktekperpaduan ini kemudianseringkali menimbulkanekses komplikatif dimanakonsep yang semuladimaksudkan sebagaiintegrasi dari keduanyaternyata dipilih-pilih salahsatunya sebagai alternatifyang lebih menguntungkandalam kasus konskrit baikoleh penegak hukum maupunoleh justiciabelen.

Setelah empat kaliamandemen UUD 1945 pada saat initidak lagi tercantum istilah rehctsstaatsecara eksplisit. Ini semakinmenegaskan tentang konsep negarahukum prismatik tersebut. Istilahrechtstaat semula tercantum di dalamPenejelasan UUD 1945 pada BagianUmum, Sub Bagian SistemPemerintahan Negara, menyebutkanistilah rechtsstaat sampai dua kaliyakni Angka I yang berbunyi

”Indonesia ialah negara yang berdasaratas hukum (rechtsstaat)”, dan AngkaI butir I yang berbunyi ”NegaraIndonesia berdasar atas hukum(rechtsstaat), tidak berdasarkekuasaan belaka (machtsstaat).Namun setelah MPR menyepakatibahwa dalam melakukanamandemaen Penjelasan ditiadakandari UUD 1945 dan isinya yangbersifat normatif dimasukkan didalam pasal-pasal maka istilahrechtsstaat ditiadakan. Padaamandemen ke tiga UUD 1945 (tahun2001) prinsip negara hukumkemudian dicantumkan di dalamPasal 1 ayat (3) dengan istilah yangnetral (tanpa menyebut rechtsstaatatau the rule of law).

Dengan latar belakangseperti diuraikan di atas sebenarnyatidak ada alasan bagi UU No. 48Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman untuk ragu-ragu dalammenganut politik pluralism hukumkarena Indonesia menganut konsepnegara hukum prismatik. Ketegasandalam menganut politik pluralismehukum harus ditegaskan melaluikeberpihakan terhadap pluralismeyang kuat dan bukan pluralisme yanglemah. Jika UU UU No. 48 Tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakimanmenganut paham pluralism yanglemah, sesungguhnya yang terjaditetaplah sentralisme hukum.Sebagaimana dikatakan oleh INyoman Nurjaya (2007 : 18) :

“Pluralisme yang lemahsesungguhnya merupakanbentuk lain dari sentralismehukum (legal centralism),karena walaupun dalamkenyataannya hukum negara(state law) mengakui adanyasistem-sistem hukum laindalam masyarakat, tetapihukum negara tetapdipandang sebagai superioratau super-ordinasi, dansementara itu sistem-sistemhukum yang lain bersifatinferior atau sub-ordinasidalam hierarki sistem hukumnegara. Ilustrasi dari weaklegal pluralism adalahkonsep pluralism hukum

Page 18: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 146

dalam konteks interaksiantara sistem mhukumpemerintah kolonial dengansistem hukum rakyat (folklaw) dan hukum agama(religius law) yangberlangsung di negeri-negerijajahan”.

Senada dengan itu, sebagaikonsekuensinya terjadi kondisi sepertiyang dikatakan Anne Griffiths bahwasentralisme hukum menempatkanhukum negara berada di atas kaidahhukum lainnya, seperti hukum adat,hukum agama, maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum laintersebut dianggap memiliki daya ikatyang lebih lemah dan harus tundukpada hukum negara (Anne Griffiths,2005: 71).

G. Penutup

Dari pembahasan yang telahdiuraikan di atas dapat disimpulkanhal-hal sebagai berikut.a) UU No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakimanmenganut politik pluralismhukum dan mengakuikeberadaan dan keberlakuanhukum tidak tertulis, namun

politik pluralism hukum yangdigunakan masih semu (weaklegal pluralism), yang berakibatbahwa sesungguhnya dominasihukum negara masih terjadi danhukum tidak tertulis hanyamenjadi pelengkap terhadaphukum negara.

b) Ke depan politik pluralismehukum dalam UU KekuasaanKehakiman idealnya tidakdibuat bersyarat yaitu hukumtidak tertulis hanya bolehditerapkan dan digunakansebagai dasar putusan jikahukum negara tidak mengatur.Seharusnya politik pluralismmenganut apa yang disebutstrong legal pluralism.Sehingga kemajemukan tatananhukum dalam masyarakat(hukum negara dan hukumtidak tertulis) dipandang samakedudukannya.

H. SaranPerlu dilakukan rekonstruksi

terhadap politik pluralism yangdianut oleh UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman agarkemajemukan hukum dapat benar-benar dapat terakomodasi dalamsistem hukum di Indonesia.

Page 19: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 147

Daftar Pustaka

Abdul Hakim Garuda Nusantara. 1985. “Politik Hukum Nasional”. Makalah Karya LatihanBantuan Hukum, YLBHI dan LBH Surabaya. September 1985.

Abdurrahman. 2006. “Peranan Hukum Adat Dalam Aplikasi Kehidupanberbangsa Dan Bernegara”.Makalah Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen.Jakarta 29-31 Mei 2006. BPHN. Departemen Hukum Dan HAM RI.

Ade Saptomo. 2009. Revitalisasi Hukum Adat Nusantara Ke Dalam Pengembangan Ilmu Hukumdan Pembangunan Hukum Nasional. Makalah Rapat Senat Terbuka Dalam Rangka DiesNatalis ke 63 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 17 Pebruari 2009.

Adi Sulistiyono, 2004. “Kematian Positivisme Dalam Ilmu Hukum ?”. Jurnal Newsletter No. 59Desember 2004. Yayasan Pusat Pengkajian Hukum. Jakarta.

Amzulian Rifai, et.all. 2010. Wajah Hakim Dalam Putusan Studi Atas Putusan HakimBerdimensi HAM. PUSHAM UII, Norwegian Center for Human Rights, Komisi YudisialRI.

Anne Griffiths. 2005. “Law in a Transnational World : Legal Pluralism Revisited”. The FirstAsian Initiative Meeting. School of Industrial Fisheries and School of Legal Studies.Cochin University of Science and Technology. Kochi. Keralaya:

Anonim. 2009. “Laporan Khusus :Hukum Adat di Persimpangan Jalan”. Buletin Komisi Yudisial.Vol. IV No. 1 Agustus 2009.

Antony Allott. 1980. The Limit of Law. London. Butterworths.

Azhary. 1995. Negara Hukum Indonesia – Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya. UIPress. Jakarta.

Benda-Beckmann F, K. Benda-Beckmann and Anne Griffiths. 2005. Mobile People Mobile Law.Expanding Legal Relations in a Colntracting Worl. Ashgate. USA.

Bernadinus Steni. 2008. “Transplantasi Hukum, Posisi Hukum Lokal dan Persoalan Agraria”.http://my.opera.com/bernads/blog/transplantasi-hukum-posisi-hukum-lokal-dan-persoalan-agraria.

Bradford W. Morse. 1987 “Indigenous law and state legal system : conflict and compatibility”,dalam Indigenous Law and the State, Bradford W. Morse & Gordon R. Woodman (eds).

C.F.G. Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum, Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional. Alumni.Bandung.

C. Maya Indah S. “Refleksi Atas Paradigma Positivisme Dalam Ilmu Hukum Menuju Keadilan”.Jurnal Refleksi Hukum. Edisi Oktober 2010. FH UKSW.

Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis. Suryandaru Utama. Semarang.

F.W. Riggs. 1964. Administration in Developing Countries : The Theory of Prismatic Society.Houghton Miflin Company. Boston.

H. Andi Mattalatta. 2009. Politik Hukum Perundang-Undangan. http://www.djpp.info/htn-dam-puu/64-politik-hukum-perudang-undangan.html.

Hamdan Zoelva. 2009. “ Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila”. Jurnal Negarawan. ISSN1907-6991. Sekretariat Negara RI.

Page 20: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 148

H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto. 2004. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan danMembuka Kembali). PT. Refika Aditama. Bandung.

I Nyoman Nurjaya. 2007. Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara Dalammasyarakat Multikultural : Perspektif Antropologi Hukum. Pidato Pengukuhan JabatanGuru Besar Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.Malang.

------------------------. 2008. ” Potensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Politik PembangunanHukum Nasional “. Makalah Seminar Hukum Adat dalam Politik Hukum Nasional,diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga pada tanggal 20 Agustus2008 di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Iman Sudiyat. 1991. Asas-Asas Hukum Adat, Bekal Pengantar. Liberty. Jogyakarta.

Jimly Asshiddiqie. 2003. Konsolidasi Naskah UUD 1945. Penerbit Yarsif Watampone. Jakarta.

John Stanton. 2006. The Limit of Law. Stanford Encyclopaedia of Philosophy.

Kurnia Warman. 2009. Kedudukan Hukum Adat Dalam Realitas Pembangunan Hukum AgrariaIndonesia. Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 4 Nopember 2009.

M. Saihu. Tanpa Tahun. “Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman”(Online).(http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3%3Aindependesi-dan-akuntabilitas-kekuasaan-kehakiman&catid=1%3Alatestnews&Itemid=50&lang=in, 21/7/2010).

Mahadi. 1991. Uraian Singfkat Tentang Hukum Adat Sejak RR- Tahun 1854. Alumni. Bandung.

Marc Galanter. 1981. “Justice in Many Rooms” dalam Access to Justice and the Walfare State”.Mauro Cappelletti (ed).

---------------.1981. “Law In Many Rooms”, Journal of Legal Pluralism, Th. 1981. No. 9.

Moh. Mahfud MD. 2006. “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional”.Makalah Seminar Atah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen.BPHN Departemen Hukum dan HAM RI, 29-31 Mei 2006.

---------------. 2010. Mengawal Arah Politik Hukum : Dari Prolegnas Sampai Judicial Review. MKRI, 20 Pebruari 2010.

---------------. 2010a. “Mengawal Arah Politik Hukum nasional Melalui Prolegnas dan JudicialReview”. Buletin Komisi Yudisial. Vol. IV No. 4 Februari – Maret 2010.

Moch. Kusnardi dan Harmaily Ubrahim. 1976. Pengatar Hukum Tata Negara Indonesia. PusatStudi HTN. UI. Jakarta.

O. Notohamidjojo. 1970. Makna Negara Hukum. Badan Penerbit Kristen. Jakarta.

Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indoesia. Bina Ilmu. Surabaya.

Padmo Wahyono. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Cetakan II. GhaliaIndonesia. Jakarta.

-----------------. 1991. “Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-Undangan”. MajalahForum Keadilan No. 29 April 1991.

Philippe Nonet dan Philip Selznick. 2008. Hukum Responsif (terjemahan). Nusamedia. Bandung.

Richard A. Posner. 2010. How Judges Think. Harvard University Press. Massachusetts.

Page 21: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 149

Roger Cotterrel. 2006. Law, Culture and Society Legal Ideas in The Mirror of Social Theory.Ashgate. Hampshire England.

Roscoe Pound. 1957. The Development of Constitution Guarantee of Liberty. Yale UniversityPress. New Haven. London.

Satjipto Raharjo, 1991. Ilmu Hukum. Cetakan III, Citra Aditya Bhakti. Bandung,

---------------. 1995. ”Hubungan Hukum Adat Dan Hukum Nasional Dalam PembangunanNasional”. Simposium Tentang Integrasi Hukum Adat Ke Dalam Hukum Nasional Selama50 Tahun Terakhir. Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum NasionalDepartemen Kehakiman Jakarta, 09 – 10 Januari 1995.

---------------, 1995. “Hubungan Hukum Adat Dan Hukum Nasional Dalam PembangunanNasional”, Makalah Simposium Tentang Integrasi Hukum Adat Ke Dalam HukumNasional Selama 50 Tahun Terakhir, Diselenggarakan Oleh : Badan Pembinaan HukumNasional Departemen Kehakiman Jakarta, 09 – 10 Januari 1995.

----------------. 1999. “Masalah Kebhinekaan Sosial Budaya Dalam Reformasi Hukum NasionalMenuju Masyarakat Madani”. Makalah Seminar Hukum Nasional BPHN : Jakarta.

----------------. 2000. “Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teaching OrderFinding Disorder) Tigapuluh Tahun Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan”.Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Pada Fakultas HukumUniversitas Diponegoro. 15 Desember 2000.

----------------. 2003. Sisi-sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Jakarta. PB. Kompas.

----------------. 2010. “Di Luar Pengadilan”. Surat Kabar Kompas. 15 Januari 2010.

Satya Arinanto. 2006. Jurnal Konstitusi vol. 3 no. 3 (Sep. 2006), Mahkamah Konstitusi RI.

Soedarto, 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

---------------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Sutandyo Wignjosoebroto.2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. ELSAMdan HuMa. Jakarta.

----------------. 2006. “Masalah Pluralisme Dalam Pemikiran Dan Kebijakan Perkembangan HukumNasional”. Makalah Seminar Nasional Pluralisme Hukum : Perkembangan di BeberapaNegara, Sejarah Pemikirannya di Indonesia dan Pergulatannya Dalam GerakanPembaharuan Hukum. 21 November 2006 Universitas Al Azhar, Jakarta.

----------------. 2008. Hukum Dalam Masyarakat : Perkembangan dan Masalah. Bayumedia.Malang.

----------------, 2010, “Masalah Pluralisme dalam Sistem Hukum Nasional”,http://soetandyo.wordpress.com/2010/08/19/masalah-pluralisme-dalam-sistem-hukum-nasional/. 12/8/2011

Sulistyowati Irianto. 2007 “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global”. Jurnal Law, Society &Development. Vol. 1. No. 3. Agustus 2007.

------------------. 2009. Hukum Yang Bergerak. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

------------------. 2009. Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi. Yayaysan Obor. Jakarta.

Teguh Prasetyo. 2010. “Rule Of Law Dalam Dimensi Negara Hukum Indonesia”. Jurnal ReleksiHukum. Edisi Oktober 2010.

Page 22: Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme ...€¦ · POLITIK PLURALISME HUKUM DALAM HUKUM UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN : KAJIAN TERHADAP PENGAKUAN HUKUM TIDAK

Yustisia Vol.1 No.2 Mei – Agustus 2012 Politik Pluralisme Hukum Dalam... 150

Theo Huijbers. 1982. Filsafat hukum Dalam Lintasan Sejarah. Kanisius Jogyakarta.

Wartheim WF. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi Studi Perubahan Sosial. PT. TiaraWacana. Yogyakarta.

Widodo Dwi Putro. 2009. “Mengkritisi Positivisme Hukum, : Langkah Awal Memasuki DiskursusMetodologis Dalam Penelitian Hukum”. Metode Penelitian Hukum Konsteleasi danRefleksi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Yanis Maladi. 2010. “Eksistensi Hukum Adat Dalam Konsitusi Negara Pascaamandemen”. JurnalMimbar Hukum. Volume 22 Nomor 3 Oktober 2010.