Yovi Maulana

20
PENDAHULUAN Salmonella Typhi (S. Typhi) adalah bakteri penyebab penyakit infeksi sistemik yaitu demam tifoid, menyerang manusia dengan masuk ke saluran pencernaan dan melalui aliran peredaran darah masuk ke hati dan limpa 33 . Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun 11 . Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagain besar kasus (80%) ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan termasuk Indonesia 10 . Indonesia merupakan salah satu wilayah endemis demam tifoid dengan mayoritas angka kejadian terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun sebesar 91% kasus 17 . Menurut WHO, demam tifoid terjadi sekitar 15 juta kasus pertahun di dunia dan Indonesia merupakan negara dengan angka kejadian demam tifoid yang tinggi yaitu sekitar 900.000 kasus pertahun disertai 20.000 kematian pertahun 41 . Demam tifoid berada diurutan keempat dari 10 penyebab penyakit utama yang rawat inap di rumah sakit di Indonesia tahun 2003 2 . Center for Disease Control (CDC) Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai 358- 810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan angka mortalitas bervariasiantara 3,1 – 10,4% pada pasien rawat inap 46 . Pengobatan utama untuk demam tifoid adalah dengan pemberian antibiotik. Antibiotika pilihan utama untuk demam tifoid adalah kloramfenikol. 27 Obat-obat antibiotika lainya yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid antara lain kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisillin dan amoksilin, Sefalosporin, dan florokuinolon. 46 Namun beberapa tahun terakhir ini, ditemukan adanya kasus resisten terhadap antibiotik yang lazim digunakan untuk demam tifoid. Resistensi pada galur S. Typhi untuk kloramfenikol dilaporkan pertama kali terjadi di Inggris tahun 1950 dan di India tahun 1972. 33 Resistensi tersebut ternyata diikuti oleh antibiotik yang lain, misalnya galur

description

sains

Transcript of Yovi Maulana

Page 1: Yovi Maulana

PENDAHULUAN

Salmonella Typhi (S. Typhi)

adalah bakteri penyebab penyakit

infeksi sistemik yaitu demam tifoid,

menyerang manusia dengan masuk

ke saluran pencernaan dan melalui

aliran peredaran darah masuk ke

hati dan limpa33. Dalam empat

dekade terakhir, demam tifoid telah

menjadi masalah kesehatan global

bagi masyarakat dunia. Diperkirakan

angka kejadian penyakit ini

mencapai 13-17 juta kasus di

seluruh dunia dengan angka

kematian mencapai 600.000 jiwa per

tahun11. Daerah endemik demam

tifoid tersebar di berbagai benua,

mulai dari Asia, Afrika, Amerika

Selatan, Karibia, hingga Oceania.

Sebagain besar kasus (80%)

ditemukan di negara-negara

berkembang, seperti Bangladesh,

Laos, Nepal, Pakistan, India,

Vietnam, dan termasuk Indonesia10.

Indonesia merupakan salah

satu wilayah endemis demam tifoid

dengan mayoritas angka kejadian

terjadi pada kelompok umur 3-19

tahun sebesar 91% kasus 17.

Menurut WHO, demam tifoid terjadi

sekitar 15 juta kasus pertahun di

dunia dan Indonesia merupakan

negara dengan angka kejadian

demam tifoid yang tinggi yaitu

sekitar 900.000 kasus pertahun

disertai 20.000 kematian pertahun41.

Demam tifoid berada diurutan

keempat dari 10 penyebab penyakit

utama yang rawat inap di rumah

sakit di Indonesia tahun 20032.

Center for Disease Control (CDC)

Indonesia melaporkan prevalensi

demam tifoid mencapai 358-

810/100.000 populasi pada tahun

2007 dengan angka mortalitas

bervariasiantara 3,1 – 10,4% pada

pasien rawat inap46.

Pengobatan utama untuk

demam tifoid adalah dengan

pemberian antibiotik. Antibiotika

pilihan utama untuk demam tifoid

adalah kloramfenikol.27 Obat-obat

antibiotika lainya yang sering

digunakan untuk mengobati demam

tifoid antara lain kloramfenikol,

tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisillin

dan amoksilin, Sefalosporin, dan

florokuinolon.46

Namun beberapa tahun

terakhir ini, ditemukan adanya kasus

resisten terhadap antibiotik yang

lazim digunakan untuk demam tifoid.

Resistensi pada galur S. Typhi untuk

kloramfenikol dilaporkan pertama

kali terjadi di Inggris tahun 1950 dan

di India tahun 1972.33 Resistensi

tersebut ternyata diikuti oleh

antibiotik yang lain, misalnya galur

Page 2: Yovi Maulana

S. Typhi yang resisten terhadap

ampisilin dilaporkan pertama kali di

Meksiko tahun 1973. 27

Pada perkembangan

selanjutnya, beberapa negara

melaporkan adanya galur S. Typhi

yang telah resisten terhadap dua

atau lebih golongan antibiotik yang

lazim digunakan yaitu ampisilin,

kloramfenikol, dan kotrimoksazol

dinamai galur multi drug resistance

(MDR) S. Typhi. Thailand

merupakan negara yang pertama

kali melaporkan adanya MDR pada

demam tifoid pada tahun 1984,

selanjutnya diikuti oleh negara lain.27

Penelitian di India tahun 2001 pada

pasien demam tifoid, ditemukan

adanya resistensi S. Typhi pada

amoksilin, kloramfenikol, ampisilin

dan kotrimoksazol.33

Penelitian yang dilakukan

pada 78 isolat S. Typhi yang berasal

dari Dhaka, Bangladesh yang

diisolasi dari tahun 1994 sampai

1995 menunjukkan bahwa 67%

merupakan isolate yang bersifat

resisten terhadap antibiotika ganda

(MDR). Sebagian besar isolate S.

Typhi bersifat Multi Drug Resistance

(MDR) terhadap kloramfenikol,

ampisilin, trimetoprim, streptomisin,

sulfamethoxazole, dan tetrasiklin. 28

Hasil dari penelitian yang

dilakukan pada tahun 2000 pada

isolate S.Typhi yang berasal dari

India yang dikumpulkan pada kurun

waktu tahun 1979 – 1998 yaitu

dibagi menjadi 3 periode. Periode

yang pertama adalah antara tahun

1979 - 1989 untuk kotrimoksazol

adalah 40,9%. Pada periode kedua

antara tahun 1990 – 1998 adalah

39% dan untuk periode ketiga

adalah 9%. Pada kloramfenikol

periode pertama adalah 50% dan

untuk periode kedua adalah 54%.

Pada periode ketiga hasilnya adalah

31,8%. 36

Di Indonesia pernah

dilakukan pengamatan resistensi S.

Typhi pada anak yang didiagnosis

secara klinis demam tifoid di Bagian

Ilmu Kesehatan RSCM jakarta.

Penelitian dilakukan pada tahun

1990-1994. Selama waktu penelitian

telah dirawat 645 orang anak

dengan diagnosis klinis demam

tifoid,131 (20,3%) dikonfirmasi

dengan biakan positif terhadap S.

Typhi, dan 61 (9,5%) kasus

diantaranya mempunyai hasil uji

resistensi.

Penelitian ini

terutama ditujukan untuk

mengetahui apakah bakteri S.Typhi

masih bersifat sensitive terhadap

Page 3: Yovi Maulana

antibiotika jenis beta lactam

(amoksilin dan cefadroxil) dan

antibiotka non beta lactam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol).

Berdasarkan uraian di atas

maka penelitian ini diajukan untuk

menjawab rumusan masalah,

Apakah bakteri S. Typhi masih

bersifat sensitif terhadap antibiotika

beta lactam (amoksilin dan

cefadroxil) dan antibiotika non beta

lactam (kloramfenikol dan

kotrimoksazol) jika digunakan di

Indonesia?

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui sensitivitas yang terjadi

pada bakteri S. Typhi terhadap

antibiotika beta laktam (amoksilin

dan cefadroxil) dan antibiotika non

beta laktam (kloramfenikol dan

kotrimoksazol).

Menentukan sensitivitas

bakteri S. Typhi terhadap antibiotika

beta laktam (amoksilin dan

cefadroxil) dan antibiotika non beta

laktam (kloramfenikol dan

kotrimoksazol).

Hasil dari penelitian ini dapat

dijadikan untuk :

Sumber informasi

mengenai pola sensitivitas bakteri S.

Typhi terhadap antibiotika beta

laktam (amoksilin dan cefadroxil)

dan antibiotika non beta laktam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol).

Mengetahui beberapa

obat yang bersifat sensitif dan

resisten terhadap bakteri S. Typhi.

Sumber referensi

penelitian selanjutnya mengenai

pola sensitivitas terhadap S. Typhi.

Hasil penelitian ini dapat

dijadikan tambahan informasi dalam

terapi penyakit yang disebabkan

oleh S.Typhi dan untuk

meningkatkan kualitas penulisan

resep dokter, mempengaruhi

kebijakan penggunaan antibiotik di

rumah sakit, membantu pemerintah

dan swasta untuk membuat

kebijakan dalam suplai dan promosi

antibiotik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

rancangan deskriptif. Penulisan

dilakukan dengan mendeskripsikan

pola resistensi bakteri S. Typhi

terhadap antibiotika beta laktam dan

antibiotika non beta laktam. Di mana

sampel yang dipakai adalah isolate

S. Typhi koleksi dari Laboratorium

Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya.

Penelitian ini akan dilakukan

dalam kurun waktu 1 bulan, yaitu

bulan Desember 2011 dan

dilaksanakan di Laboratorium

Page 4: Yovi Maulana

Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya.

Bakteri S. Typhi diperoleh

dari stok koleksi yang di simpan di

Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya

yang berasal dari isolat 10 kota yaitu

Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang,

Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,

Denpasar, Makassar.

Dalam penelitian ini terdapat

4 kelompok antibiotik yang terdiri

dari antibiotika beta laktam dan non

beta laktam, yaitu kelompok kontrol

dengan pemberian kloramfenikol

dan kotrimoksazol sebagai antibiotik

non beta laktam dan pemberian

amoksilin dan cefadroxil sebagai

antibiotik beta laktam, dengan

demikian jumlah sampel yang

diperlukan dapat dihitung

menggunakan rumus sebagai

berikut:

P (n-1) ≥ 15 29

4 (n-1) ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4,75

Keterangan:

P = jumlah kelompok

n = jumlah replikasi

Dengan demikian replikasi

harus dilakukan minimal sebanyak 5

kali untuk masing-masing kelompok

kontrol positif dan perlakuan.

Golongan dan jenis obat

antibiotika yang digunakan :

antibiotika beta laktam yaitu

amoksilin dan cefadroxil serta

antibiotika non beta laktam yaitu

kortimoksazol dan kloramfenikol.

Persentase resistensi bakteri

S. Typhi terhadap antibiotika beta

laktam dan antibiotika non beta

laktam.

Definisi Operasional

1. S. Typhi didapat dan

diperoleh dari stok koleksi yang di

simpan di Laboratorium Mikrobiologi

Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya yang berasal dari isolat

dari 10 kota yaitu Jakarta, Bogor,

Bandung, Magelang, Salatiga,

Madiun, Surabaya, Malang,

Denpasar, Makassar.

2. Pola sensitivitas

dihitung menggunakan tabel NCCLS

dengan kriteria sensitivitas ada 3

yaitu resisten, intermediate,

sensitive. Pada penelitian ini untuk

kriteria intermediate dimasukkan

sebagai sensitif, sehingga hasil

kepekaannya adalah sensitif dan

resisten.

Alat yang digunakan : Tabung

reaksi, mikropipet, tip kecil, cawan

petri, ose, lidi kapas, lampu spiritus,

pinset, lemari pendingin, inkubator,

vortex, gelas obyek,.

Page 5: Yovi Maulana

Bahan yang digunakan :

a) Bahan utama :Koleksi isolat

bakteri S. Typhi dari Laboratorium

Mikrobiologi FK UB.

b) Antibiotika golongan beta

laktam yang terdiri dari amoksilin

dan cefadroxil

c) Antibiotika golongan non

beta laktam yang terdiri dari

kotrimoksazol dan kloramfenikol

d) Media tanam padat : Bismuth

Sulfit agar dan Muller Hinton agar

e) Cat gram

Prosedur penelitian :

a) Identifikasi bakteri S. Typhi

Dari isolate yang telah

tersedia kemudian dibiakkan pada

medium bifasik (MHI agar + BHI

broth) pada suhu 370C selama 18

jam – 24 jam. Dari koloni yang

tumbuh dilakukan pewarnaan Gram,

dilanjutkan penanaman pada

medium diferensial MacConkey dan

medium selektif BSA pada suhu

37oC, selama 18 – 24. Koloni yang

tumbuh pada medium MacConkey

dilakukan uji oksidase.

b) Pengenceran bakteri dengan

NaCl 0,9 %

Disiapkan tabung – tabung

yang diisi dengan NaCl 0,9 %

sebanyak 1-22 cc. BHI berisi bakteri

yang sudah diinkubasi selama

semalam pada suhu 370C diambil

engan mikropipet kemudian

dimaksukkan ke dalam tabung berisi

NaCl sedikit demi sedikit hingga

tepat keruh. Tujuannya adalah untuk

mendapatkan kepadatan bakteri

108CFU.

c) Uji Kepekaan S. Typhi

Ambil isolat bakteri kemudian

bakteri ditanam pada Bismuth Sulfit

Agar. Selanjutnya dilakukan deteksi

untuk melihat sifat resisten bakteri S.

Typhi terhadap antibiotika beta

laktam (amoksilin dan cefadroxil)

dan antibiotika non beta laktam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol).

Metode yang digunakan ialah

menggunakan metode difusi cakram

ganda, berdasarkan prosedur dari

National Comittee for Clinical

Laboratory Standards (NCCLS).

Lempeng agar MHA ditandai

dengan nama , tanggal dan

mikroorganisme yang akan diuji.

Kapas Lidi (cotton swab) steril

dicelupkan dalam suspensi biakan

uji, dengan OD : 0,1 CFU/ml,

kemudian kapas lidi diputar pada

dinding tabung (diperas) agar cairan

tidak menetes dari bagian kapas

tersebut. Sebar mikroganinisme

pada seluruh permukaan lempeng

agar dengan cara dioleskan, untuk

mendapatkan pertumbuhan yang

merata, kapas lidi dioleskan secara

Page 6: Yovi Maulana

mendatar, kemudian diputar

lempeng agar 900 dan dibuat

olesan kedua , dengan lempeng

agar diputar 450 dan dibuat olesan

ketiga. Lempeng agar dibiarkan

mengering kurang lebih 5 menit,

kemudian tempatkan kertas cakram

yang sudah direndam dengan

sampel yang diujikan pada

permukaan lempeng agar. Dalam 1

lempeng agar dapat digunakan 5-6

macam dosis perlakuan, jarak

antara kertas cakram harus cukup

luas , sehingga wilayah jernih tidak

saling berhimpitan yang nantinya

akan menyulitkan dalam proses

pengukuran zona hambat. Kertas

cakram ditekan dengan pinset, tidak

perlu terlalu keras karena akan

merusak permukaan agar. Lempeng

yang sudah ditempelkan kertas

cakram diinkubasi pada suhu

optimal tumbuh dari bakteri patogen

yang sedang diujikan. Setelah

bakteri uji sudah tumbuh merata,

dan terlihat adanya zona jernih

dipermukaan agar, maka luas zona

jernih dapat diukur dengan

mengukur diameternya.

Selanjutanya dilakukan pengukuran

zona inhibisi untuk setiap antibiotika

dan diamati apakah resisten atau

tidak. Tes dikatakan positif resisten

terhadap antibiotika jika terdapat

penurunan zona inhibisi oleh satu

atau lebih antibiotika dari empat

antibiotika (amoksilin, cefadroxil,

kloramfenikol, kotrimoksazol).

HASIL PENELITIAN

1. Identifikasi S. Typhi

Penelitian ini menggunakan

10 isolat koleksi dari Laboratorium

Mikroba Universitas Brawijaya yang

berasal dari 10 kota yaitu Jakarta,

Bogor, Bandung, Magelang,

Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,

Denpasar, Makassar. Isolate

kemudian diidentifikasi, hasil

identifikasi untuk S. Typhi dengan

menggunakan pewarnaan gram

adalah sel bakteri S. Typhi yang

dikultur pada medium MacConkey

menunjukkan batang Gram negatif

(berwarna merah). Dari identifikasi

koloni pada medium MacConkey

menunjukkan pertumbuhan koloni

bakteri yang bulat dan tidak

berwarna, sedang pada medium

selektif BSA (Bismuth Sulfit Agar)

tampak koloni yang bulat berwarna

hitam karena bakteri membentuk

H2S. Produksi H2S juga dapat

dilihat pada medium TSI (Triple

Sugar Iron).

Page 7: Yovi Maulana

Hasil Identifikasi S. Typhi pada edium Mac Conkey agar dan medium BSA (Bismuth Sulfit Agar) Keterangan :

A : Koloni S. Typhi berwarna putih pada

medium MacConkey agar.

B : Koloni S. Typhi berwarna hitam dan

bentuk bulat pada medium BSA

(Bismuth Sulfit Agar).

Pengecatan Gram Bakteri S. Typhi Dilihat Menggunakan Mikroskop

Dengan Pembesaran Obyektif 100x

( Tanda panah menunjukkan bakteri

batang Gram negatif )

A

B

S1 S2 S4 S3 S6 S5 S7

Page 8: Yovi Maulana

Hasil Identifikasi S. Typhi pada

Medium TSI (Triple Sugar Iron) (Alkali/asam, H2S positif, Gram

negatif) Keterangan : Koloni S. Typhi berwarna

hitam karena membentuk H2S

S1 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Jakarta

S2 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Bogor

S3 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Bandung

S4 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Magelang

S5 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Salatiga

S6 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Madiun

S7 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Surabaya

S8 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Malang

S9 = isolat S. Typhi berasal dari daerah

Denpasar

S10 = isolat S. Typhi berasal dari

daerah Makassar

Hasil uji kepekaan Antibiotika beta lactam (amoksilin dan cefadroksil) dan Antibiotika non beta lactam (kloramfenikol dan kotrimoksazol) terhadap S. Typhi dengan menggunakan Metode Difusi Cakram (Kirby Bauer)

Uji kepekaan Antibiotika beta

lactam (amoksilin dan cefadroksil)

dan Antibiotika non beta lactam

(kotrimoksazol dan kloramfenikol)

terhadap S. Typhi dilakukan dengan

menggunakan Metode Difusi

Cakram (Kirby Bauer) pada isolate

koleksi Laboratorium Mikroba

Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya pada 10 isolate yang

berasal dari 10 kota yaitu Jakarta,

Bogor, Bandung, Magelang,

Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,

Denpasar, Makassar. Dari hasil

penelitian yang telah dilakukan

didapatkan tabel distribusi uji

kepekaan antibiotika beta lactam

(amoksilin dan cefadroksil) dan

antibiotika non beta lactam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol)

terhadap bakteri S. Typhi adalah

sebagai berikut.

S1

S2

Page 9: Yovi Maulana

Keterangan :

S1 = isolat S. Typhi berasal

dari daerah Jakarta

S2 = isolat S. Typhi berasal

dari daerah Bogor

S3 = isolat S. Typhi berasal

dari daerah Bandung

S4 = isolat S. Typhi berasal

dari daerah MagelangS5 = isolat S.

Typhi berasal dari daerah Salatiga

S6 = isolat S. Typhi

berasal dari daerah Madiun

S7 = isolat S. Typhi

berasal dari daerah Surabaya

S8 = isolat S. Typhi

berasal dari daerah Malang

S9 = isolat S. Typhi

berasal dari daerah Denpasar

S10 = isolat S. Typhi

berasal dari daerah Makassar

Hasil penelitian di atas

tampak zona inhibisi tiap antibiotika

terhadap S.Typhi yang berasal dari

S3

S4

S5

S6

S9

S7

S8

S10

Page 10: Yovi Maulana

10 kota menunjukkan hasil yang

berbeda. Zona inhibisi diukur

berdasarkan zona atau daerah yang

tampak berwarna lebih terang

(menunjukkan bakteri mati).

Pengukuran zona inhibisi dengan

cara diukur jarak diameternya, untuk

mengetahui sifat kepekaannya

menggunakan standar nilai dari

NCCLS.

Berdasarkan hasil di atas

didapatkan frekuensi kepekaan S.

Typhi terhadap antibiotika beta

lactam (amoksilin dan cefadroksil)

dan antibiotika non beta lactam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol)

memiliki nilai yang sama yaitu 10

sampel bersifat resisten (100%).

NCCLS telah menyediakan

pedoman khusus untuk uji kepekaan

antibiotika beta lactam (amoksilin

dan cefadroksil) dan antibiotika non

beta lactam (kloramfenikol dan

kotrimoksazol) pada Tabel 5.2

dengan menggunakan tiga kriteria

yaitu resisten, intermediate dan

sensitive. Pada amoksilin batas

untuk resisten adalah < 13 mm, dan

untuk intermediate adalah 14 – 17

mm, untuk nilai sensitive adalah > 18

mm. Cefadroksil batas nilai resisten

adalah < 14 mm, dan untuk

intermediate adalah 15 – 17 mm,

untuk nilai sensitive adalah > 18 mm.

Pada kloramfenikol untuk resisten

adalah < 12 mm, dan untuk

intermediate 13 – 17 mm, untuk nilai

sensitive > 18 mm. Kotrimoksazol

untuk nilai resisten adalah < 10 mm,

dan untuk nilai intermediate adalah

11 – 15 mm, dan untuk nilai

sensitive adalah > 16 mm.

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pola kepekaan bakteri

S. Typhi terhadap antibiotika yang

sering digunakan saat ini untuk

terapi yaitu amoksilin, cefadroksil,

kotimoksazol, dan kloramfenikol. Uji

kepekaan antibiotika beta lactam

(amoksilin dan cefadroksil) dan

antibiotika non beta lactam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol)

terhadap bakteri S. Typhi yang

berasal dari 10 kota yaitu, Jakarta,

Bogor, Bandung, Magelang,

Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,

Denpasar, Makassar menunjukkan

bahwa semua isolate bersifat

resisten.

NCCLS telah menyediakan

pedoman khusus untuk uji kepekaan

antibiotika beta lactam (amoksilin

dan cefadroksil) dan antibiotika non

beta lactam (kloramfenikol dan

kotrimoksazol) dengan

menggunakan tiga kriteria yaitu

resisten,intermediate dan sensitive

Page 11: Yovi Maulana

(NCCLS,2000). Pada amoksilin

batas untuk resisten adalah < 13

mm, dan untuk intermediate adalah

14 – 17 mm, untuk nilai sensitive

adalah > 18 mm. Cefadroksil batas

nilai resisten adalah < 14 mm, dan

untuk intermediate adalah 15 – 17

mm, untuk nilai sensitive adalah > 18

mm. Pada kloramfenikol untuk

resisten adalah < 12 mm, dan untuk

intermediate 13 – 17 mm, untuk nilai

sensitive > 18 mm. Kotrimoksazol

untuk nilai resisten adalah < 10 mm,

dan untuk nilai intermediate adalah

11 – 15 mm, dan untuk nilai

sensitive adalah > 16 mm.

Pada penelitian ini kriteria

yang digunakan adalah resisten dan

sensitif, untuk nilai intermediate

dimasukkan dalam kriteria sensitive.

Hasil dari penelitian yang telah

dilaksanakan di Laboratorium

Mikrobiologi Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya pada bulan

Desember 2011 menggunakan

sepuluh isolate yang berasal dari

sepuluh kota yaitu, Jakarta, Bogor,

Bandung, Magelang, Salatiga,

Madiun, Surabaya, Malang,

Denpasar, Makassar, menunjukkan

hasil resistensi untuk amoksilin dari

semua isolate memiliki hasil resisten

yaitu, memiliki diameter 6 mm dan

pada satu isolate S6 (Madiun)

berdiameter 10 mm. Pada

cefadroksil menunjukkan hasil yang

bersifat resisten yaitu memiliki hasil

diameter yang beragam mulai dari 6

mm sampai dengan 12 mm. Pada

kloramfenikol hasilnya adalah

bersifat resisten yaitu 6 mm. Pada

kotrimoksazol memiliki hasil yang

bersifat resisten yaitu berdiameter 6

mm.

Pada dasarnya mekanisme

kerja dari antibiotika golongan beta

lactam adalah dengan menghambat

sintesis dinding sel. Pada amoksilin

mekanisme kerjanya adalah dengan

menghambat pembentukan

mukopeptida yang diperlukan untuk

sintesis dinding sel mikroba. Obat

bergabung dengan PBS (Penicilin

Binding Protein) pada kuman.

Selanjutnya terjadi hambatan

sintesis dinding sel kuman karena

proses transpeptidasi antar rantai

rantai peptidoglikan terganggu.

Kemudian terjadi aktivasi enzim

proteolitik pada dinding sel.

Mekanisme cefadroksil adalah

dengan menghambat sintesisi

dinding sel mikroba pada reaksi

transpeptidase tahap ketiga dalam

rangkain reaksi pembentukan

dinding sel.32

Antibiotika golongan non

beta lactam bekerja dengan cara

Page 12: Yovi Maulana

mengganggu sintesis pembentukan

protein. Pada kotrimoksazol

aktivitas antibakterinya terdiri dari

dua tahap yang berurutan dalam

reaksi enzimatik untuk membentuk

asam tetrahidrofat. Sulfonamide

bekerja dengan menghambat

masuknya molekul PABA ke dalam

molekul asam folat dan trimethoprim

menghambat terjadinya reaksi

reduksi dari dihidrofolat menjadi

tetrahidrofolat. Trimetropim juga

menghambat enzim dihidrofolat

reduktase mikroba secara efektif.

Mekanisme kerja kloramfenikol

adalah dengan menghambat sintesis

protein kuman. Obat ini terikat pada

ribosom subunit 50s dengan

menghambat enzim peptidil

transferase sehingga ikatan peptide

tidak terbentuk pada proses sintesisi

protein kuman. 32

Penelitian yang dilakukan

oleh Hermans, et al, tahun 1996

pada 78 isolat S. Typhi yang berasal

dari Dhaka, Bangladesh yang

diisolasi dari tahun 1994 sampai

1995 menunjukkan bahwa 67%

merupakan isolate yang bersifat

resisten terhadap antibiotika ganda

(MDR). Sebagian besar isolate S.

Typhi bersifat MDR (Multi Drug

Resistance) terhadap kloramfenikol,

ampisilin, trimetoprim, streptomisin,

sulfamethoxazole, dan tetrasiklin.

Penelitian lain menyebutkan angka

reisitensi pada S. Typhi yang terjadi

pada kurun waktu 1979 – 1998 yang

dilakukan oleh Nath G, et al yaitu

untuk antibiotika kloramfenikol

memiliki prosentase 31,8% dan pada

antibiotika kotrimoksazol adalah

29,7%

Menurut hipotesis awal dari

penelitian, seharusnya bakteri S.

Typhi masih bersifat sensitive

terhadap antibiotika beta lactam

(amoksilin dan cefadroksil) dan

antibiotika non beta lactam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol)

karena antibiotika tersebut menjadi

obat pilihan utama untuk terapi.

Terutama kloramfenikol yang telah

menjadi obat pilihan pertama untuk

terapi S.Typhi sejak beberapa

dekade ini. Namun dalam penelitian

ini ternyata hasil yang didapatkan

adalah semua isolate S. Typhi yang

berasal dari sepuluh kota yaitu

Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang,

Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,

Denpasar, Makassar telah bersifat

resisten. Penurunan kepekaan

kloramfenikol dan kotrimoksazol

pada strain resisten dapat

disebabkan oleh berbagai factor

antara lain penggunaan antibiotika.

McGowan mengajukan biological

Page 13: Yovi Maulana

model untuk menjelaskan hubungan

antara penggunaan antimikroba dan

timbulnya resistensi. Pada tingkat

individu penggunaan antimikroba

memicu terjadinya perubahan besar-

besaran pada flora normal tubuh.

Hasilnya berupa galur yang sensitive

akan digantikan dengan galur yang

resisten. Pada tingkat kolektif,

penggunaan antibiotika di rumah

sakit memungkinkan tetap adanya

galur yang multi resisten yang

berada pada pasien, pekerja

kesehatan, dan lingkungan.1

Mekanisme resistensi

amoksilin pada S. Typhi yaitu ada

tiga cara. Pertama dikarenakan oleh

berkurangnya atau tidak adanya

outer membran cell wall channel

yang berfungsi sebagai transport

masuknya obat ke dalam sel bakteri.

Kedua adalah karena adanya enzim

beta lactamase yang dihasilkan oleh

bakteri golongan gram negative.

Enzim tersebut berfungsi untuk

menghidrolisa obat sebelum masuk

ke dalam sel bakteri. Ketiga

disebabkan oleh adanya mekanisme

efflux-pump yang terdiri dari

komponen protein sitoplasma dan

periplasma yang mendorong obat

untuk keluar sel sebelum obat

teraktivasi. Mekanisme resistensi

dari cefadroksil adalah adanya beta

lactamase yang dihasilkan oleh

bakteri yang dapat menghidrolisis

dan merusak cincin beta lactam.26

Mekanisme resisten dasi

kloramfenikol adalah dengan

dihasilkannya enzim

chloramphenicol acetyl transferase

oleh bakteri. Chloramphenicol acetyl

transferase menempel pada

kelompok acetil dari acetil-Coa ke

kloramfenikol sehingga

menyebabkan kloramfenikol tidak

dapat menempel pada ribosom.

Resisten pada kloramfenikol

disebabkan oleh adanya produksi

enzim chloramphenicol acetyl

transferase yang di kode oleh

plasmid sehingga obat tersebut

bersifat inaktif. Pada bakteri

golongan gram negative resistensi

semakin berkembang.4

Pada kotrimoksazol

mekanisme resistensi ada 2 cara

yang pertama dari resistensi

sulfonamide adalah ditentukan oleh

adanya plasmid IncH yang berfungsi

untuk membawa dan merubah fase

tipe Vi. Resistensi yang kedua

adalah resistensi dari trimethoprim

yang dipengaruhi oleh transposon,

Tn7 yang terdapat pada plasmid lain

yaitu IncI.19

Pada penelitian sebelumnya,

pada daerah dengan tingkat

Page 14: Yovi Maulana

resistensi tinggi,pengurangan

penggunaan antimikroba memiliki

efek yang lambat untuk terjadinya

resistensi pada antibiotic non beta

lactam.21 Hal ini bisa terjadi karena

adanya mekanisme genetik dari

masing-masing individu terhadap

resistensi obat dan atau adanya

mekanisme resistensi molecular

yang dimilki oleh agen penginfeksi.3

Faktor yang mempengaruhi

pola sensitivitas antibiotik terhadap

S. Typhi antara lain riwayat penyakit

demam tifoid sebelumnya, riwayat

pemakaian antibiotika yaitu

pemakaian antibiotika pada saat

sakit, cara mengetahui aturan pakai

dari antibiotika yang diperoleh

dengan resep dokter dan tanpa

resep dokter yaitu apakah sesuai

anjuran dokter atau tidak, baik dalam

hal dosis, cara dan lamanya

pemberian.6 Penyebab terjadinya

MDR pada demam tifoid diduga

karena, Pemakaian antibiotik yang

berlebihan (over-use), Penggunaan

antibiotik yang salah (mis-use), dan

Pemberian antibiotik yang kurang

tepat (in-appropriate), di samping

Adanya faktor intrinsik mikrobiologi

yaitu plasmid mediated. 7

Secara keseluruhan hasil

dari penelitian uji kepekaan S. Typhi

terhadap antibiotika beta lactam

(amoksilin dan cefadroksil) dan

antibiotika non beta lactam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol)

apabila dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya terdapat

peningkatan angka resistensi jika

dibandingkan dengan penelitian

yang telah dilakukan pada tahun

1996 dan tahun 2000. Bahkan hasil

yang didapatkan adalah 100% dari

semua isolate S. Typhi bersifat

resisten.

Penggunaan amoksilin,

cefadroksil, kloramfenikol,

kotrimoksazol masih menjadi pilihan

terapi utama untuk S. Typhi di

Indonesia. Beberapa penelitian telah

dilakukan di beberapa daerah di

Indonesia tentang uji kepekaan

dengan hasil yang resisten. Oleh

karena itu,penelitian berikutnya

difokuskan untuk jenis antibiotika

lain yang lebih efektif untuk

pengobatan S. Typhi dan dengan

dosis yang tepat sehingga lebih

efisien. Diharapkan penelitian

mendapatkan dukungan dari

berbagai pihak baik pemerintah

maupun pihak swasta karena

mengingat Indonesia adalah daerah

endemic dari S. Typhi dan angka

kejadian masih tinggi.

KESIMPULAN

Page 15: Yovi Maulana

Dari hasil penelitian yang

dilakukan secara prospektif pada

bulan Desember 2011 pada 10

isolate bakteri S. Typhi yang berasal

dari sepuluh kota yaitu Jakarta,

Bogor, Bandung, Magelang,

Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,

Denpasar, Makassar dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

S. Typhi resisten terhadap

antibiotika beta lactam (amoksilin

dan cefadroksil), maupun terhadap

antibiotika non beta lactam

(kloramfenikol dan kotrimoksazol).

DAFTAR PUSTAKA

1. Adar, J. 2006. Molecular

Epidemiology of clinical and

carriers strains of Salmonella

Typhi in The Hospital

Settings of North India.

Annals of Clinical

Microbiology and

Antimicrobials. No 5 p. 115-

120.

2. Anonim. 2005. 10 Penyakit

yang Menyebabkan Rawat

Inap. (http://www.Cnn.com/

Health/library). Diakses

tanggal 10 November 2011.

3. Aracil, B., Minambres, M.,

Oteo, J., Gomez-Garces,

J.L., Alos, J.I. 2001. High

Prevalence of Erithromycin-

Resistant and Clindamycin-

Susceptible (M-Phenotype)

Viridians Group Streptococci

From Pharingeal Samples. J

Antimicrob Chemother. p.

592-4.

4. Balbi, H.J. 2004,

Chloramphenicol American

Academy of Pediatrics.

Pediatrics in Review 25.

pp:284-288.

5. Balbisi, E,A. 2002. A new

Aminothiazolyl

Cephalosporin.

Pharmacology. No 22. p.

1278.

6. Baron. 2005. Medical

Microbiology. Edisi 4 The

University of Texas Medical

at Galveston.

7. Bhutta, Z.A. 1998. MDR

Typhoid: a potential

algorithmic approach to

diagnosis and management.

Dipresentasikan pada Third

Asia-Pacific Symposium on

Typhoid Fever and Other

Salmonellosis. Bali, 11

Desember 1998

8. Bhutta, Z.A. 2004. MDR

Typhoid: a potential

algorithmic approach to

diagnosis and management.

Dipresentasikan pada Third

Page 16: Yovi Maulana

Asia-Pacific Symposium on

Typhoid Fever and Other

Salmonellosis. Bali, 11

Desember 1997.

9. Brooks, Naheed, A., Hossain,

M.A., Baker, S. 2004.

Medical Microbiology and

Imunology. New York: Lange

Medical Books.

10. Brusch. 2006. Daerah

Endemik Demam Tifoid

(Online). (http://www.

go4healthylife.com/ articles/

2906/ 1/ Demam-Tifoid.

Html). Di akses tanggal 10

November 2011.

11. Cammie F. Lesser, Samuel I.

Miller. 2005. Salmonellosis.

Harrison’s Principles of

Internal Medicine (16th ed).

897-900.

12. Chamber, H.F. 2001.

Antimicrobial Agents, Protein

Synthesis Inhibitors and

Miscellaneous Antibacterial

Agents. In : Hardman J.G.,

Limbird L.E., eds. Goodman

& Gilman’s the

Pharmacological Basis of

Therapeutics. New York :

McGraw-Hill. p. 1239-1350.

13. Chamber, H.F. 2004. Beta-

Laktam Antibiotics 7 Other

Inhibitors of Cell Wall

Synthesis. In

14. Katzung B.G., ed. Basic &

Clinical Pharmacology.

Singapore : McGraw-Hill. p.

734-751.

15. Chamber, H.F. 2004.

Chloramphenicol,

Tetracyclines, Macrolides,

Clindamycin, and

Streptogramins. In : Katzung

B.G., ed. Basics & Clinical

Pharmacology. Singapore :

McGraw-Hill. p. 754-758.

16. Chamber, H.F. 2004.

Sulfonamides, Trimethopri, &

Quinolones. In : Katzung

B.G., ed. Basic & Clinical

Pharmacology. Singapore :

McGraw-Hill. p. 773-777.

17. Chambers, H.F. 2006.

Multidrug Resistance in

Salmonella Typhi : Molecular

and Biochemical Basis and

Clinical Implication. p. 781-

791.

18. Craig, W.A. 2003. Clinical

Implications of Antimicrobial

Pharmacokinetics. Infect Dis

Clin North Ann. No 17. p. 479

19. Datta, N., Richards, H.,

Datta, C., 2005. Salmonella

typhi in vivo acquires

resistance to both

Page 17: Yovi Maulana

chloramphenicol and

cotrimoxazole. Lancet;

i:1181-1183.

20. Dzen, S.J., Roekitiningsih,

Sanarto, S., Winarsih, S.

2003. Bakteriology Medical.

Malang: Banyumedia

Publishing. Hal. 116-121.

21. Enne., Livermore, D.M.,

Stephene, P., Hail, L.C.M.

2001. Persistance of

Sulphonamide Resistance in

E. Coli in UK Despite

National Prescribing

Restriction. Lancet. p. 1325-

8.

22. Gassen, M.H., Keuter, M.,

Dolmas, W.M.V., van der

Ven-Jongekrijg, J.,

Djokomoeljanto, R., van der

Meer, J.W.M. 2003.

Persistence of Salmonella in

Blood and Bone Marrow :

Randomized Controlled Trial

Comparing Ciprofloxacin and

Chloramphenicol Treatment

Against Enteric Fever.

Antimicrob Ag Chemother 47.

p. 1727-1731.

23. Giguere, S. 2007. Rational

Dosing of Antimicrobial

Agents for Bovine

Respiratory Disease.

University of Georgia College

of Vetenirary Medicine

Departement of Large Animal

Medicine. Vol 9 No.4 p: 342-

352.

24. Glaxo Smith Kline

Biologicals. 2007. Salmonella

Typhi.

http://microbewiki.kenyon.ed

u/index.php/Salmonella_typhi

. Diakses pada 12 Desember

2011.

25. Gotuzzo, E.,Guerra, J.G.,

Benavente L., Palomino,

J.C., Carillo C., Lopera, J., et

al. 1988. Use of Norfloxacin

to Treat Chronic Typhoid

Carries. J infect Dis 157. p.

1221-1225.

26. Grady, O., Powling, J., Tan,

A., Andersson, Y. 1999.

Collecting and Using Drug

Use Indicators in Districts.

[Availabe on Internet]

http://www.hst.org.za/uploads

/files/kwiksk19.pdf [Accessed

on: 18 January 2012].

27. Hadinegoro, S.R.

Pengobatan Seftriakson

Dosis Satu Kali Sehari pada

Demam Tifoid Anak.

Dipresentasikan pada

KONIKA IX, di Semarang 13-

17 Juni 1999.

Page 18: Yovi Maulana

28. Hermans, P.M.W., Saha,

S.K., Leeuwen van,W.J., et

al. 1996. Molecular Typing of

Salmonella Typhi Strain from

Dhaka (Bangladesh) and

Development of DNA Probes

Identifying Plasmid-Encoded

Multidrug-Resistant isolates.

Journal of Clinical

Microbiology. p.1373-1379.

29. Indra, M.R., 1999. Penelitian

Experimental Dalam Buku

Ajar Metodologi Penelitian

Seri 1 Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya.

Malang.

30. Ivan Tri, K., 2010. Kajian

Penggunaan Antibiotik Pada

Penderita Demam Tifoid di

Instalasi Rawat Inap RSUD

Kabupaten Cilacap Tahun

2008. Surakarta. Program

Studi Farmasi Universitas

Muhamadiyah Surakarta.

31. Jawetz, E., Levinson, E.W.

1996. Medical Microbiology

ang Immunology. New York:

Lange Medical Book.

32. Katzung, B. 2003. Basic And

Clinical Farmacology. New

York: Lange Medical Book.

33. Marhamah. 2010. Evaluasi

Penggunaan Antibiotik Pada

Pasien Demam Tifoid

Dewasa di Instalansi Rawat

Inap Rumah Sakit Umum

Daerah Pambalah Batung

Kabupaten Hulu Sungai

Utara. Surakarta. Program

Studi Farmasi Universitas

Muhamadiyah Surakarta.

34. McGowan, J.E., Gerding,

D.N. 2004. Report of The

Iowa Antibiotik Resistance

Task Force. New Horizon.

p.370-376.

35. Muliawan S.Y. and Julius E.

Surjawidjaja. 1999. Tinjauan

Ulang Peranan Uji Widal

sebagai Alat Diagnostik

Penyakit Demam Tifoid di

Rumah Sakit. Bagian

Mikrobiologi, Fakultas

Kedokteran Universitas

Trisakti, Jakarta

36. Nath, G.T., Anjali, M.

Harmesh, T. Ani, Gulati.

2000. Drug resistance in

Salmonella typhi in North

India with special reference

to ciprofloxacin. Oxford

University Press.

37. National Committee for

Clinical Laboratory

Standards. 1999.

Performance Standards for

Antimicrobial Susceptibility

Testing. NCCLS approved

Page 19: Yovi Maulana

standard M100-S9. National

Committee for Clinical

Laboratory Standards.

Wayne. PA.

38. Park, M.A., Li, J.T. 2005.

Diagnosis ang Management

of Penicillin Alergy. Mayo

Clin Proc. No 80. p. 405.

39. Park, J.Y., Kim K.A., Kim,

S.L., 2003. Chloramphenicol

is a Potent Inhibitor of

Cytochrome P450 Isoform

CYP2C19 and CYP3A4 in

Human Liver Microsomes.

Antimicrob Ag Chemother 47.

p. 1179-1187.

40. Petri, W.A. Jr. 2001.

Penicillins, Cephalosporins,

and Other β-Lactam

Antibiotics. In : Hardman

J.G., Limbird L.E., eds.

Goodman & Gilman’s the

Pharmacological Basis of

Therapeutics. New York :

McGraw-Hill. p. 1189-1215.

41. Punjabi, N.H. 2004. Interaksi

Pejamu dengan Salmonella

Typhi. Medika. p.795-797.

42. Rampengan, T.H. 2008.

Penyakit Infeksi Tropik pada

Anak, Edisi II. EGC

Jakarta.pp: 46-64.

43. RSPI. 2004. Health First.

Jakarta : Pondok Indah

Medical Grop.

44. Salyers, A.A, Whitt D.D.,

2000. Salmonella Infections.

Dalam : Bacterial

Pathogenesis. A molecular

Approach. Hal: 229-43.

45. Sjahrurachman A, Ikaningsih,

Sudiro. T.M. 2006. Profil

Etiologi Bakteremi dan

Resistensinya Terhadap

Antibiotika di RSCM Jakarta

tahun 1999-2002. Maj

Kedokteran Indo 2006. 54:

260-4.

46. Widodo, D. 2007. Demam

Tifoid, Ilmu Penyakit Dalam.

Edisi IV Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Jakarta. P. 1752-1758.

Page 20: Yovi Maulana

Menyetujui,

Pembimbing 1

Dr. Dra. Sri Winarsih, Apt, M.Si

NIP. 19540823 198103 2 001