Yovi Maulana
-
Upload
dimastrend -
Category
Documents
-
view
46 -
download
0
description
Transcript of Yovi Maulana
PENDAHULUAN
Salmonella Typhi (S. Typhi)
adalah bakteri penyebab penyakit
infeksi sistemik yaitu demam tifoid,
menyerang manusia dengan masuk
ke saluran pencernaan dan melalui
aliran peredaran darah masuk ke
hati dan limpa33. Dalam empat
dekade terakhir, demam tifoid telah
menjadi masalah kesehatan global
bagi masyarakat dunia. Diperkirakan
angka kejadian penyakit ini
mencapai 13-17 juta kasus di
seluruh dunia dengan angka
kematian mencapai 600.000 jiwa per
tahun11. Daerah endemik demam
tifoid tersebar di berbagai benua,
mulai dari Asia, Afrika, Amerika
Selatan, Karibia, hingga Oceania.
Sebagain besar kasus (80%)
ditemukan di negara-negara
berkembang, seperti Bangladesh,
Laos, Nepal, Pakistan, India,
Vietnam, dan termasuk Indonesia10.
Indonesia merupakan salah
satu wilayah endemis demam tifoid
dengan mayoritas angka kejadian
terjadi pada kelompok umur 3-19
tahun sebesar 91% kasus 17.
Menurut WHO, demam tifoid terjadi
sekitar 15 juta kasus pertahun di
dunia dan Indonesia merupakan
negara dengan angka kejadian
demam tifoid yang tinggi yaitu
sekitar 900.000 kasus pertahun
disertai 20.000 kematian pertahun41.
Demam tifoid berada diurutan
keempat dari 10 penyebab penyakit
utama yang rawat inap di rumah
sakit di Indonesia tahun 20032.
Center for Disease Control (CDC)
Indonesia melaporkan prevalensi
demam tifoid mencapai 358-
810/100.000 populasi pada tahun
2007 dengan angka mortalitas
bervariasiantara 3,1 – 10,4% pada
pasien rawat inap46.
Pengobatan utama untuk
demam tifoid adalah dengan
pemberian antibiotik. Antibiotika
pilihan utama untuk demam tifoid
adalah kloramfenikol.27 Obat-obat
antibiotika lainya yang sering
digunakan untuk mengobati demam
tifoid antara lain kloramfenikol,
tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisillin
dan amoksilin, Sefalosporin, dan
florokuinolon.46
Namun beberapa tahun
terakhir ini, ditemukan adanya kasus
resisten terhadap antibiotik yang
lazim digunakan untuk demam tifoid.
Resistensi pada galur S. Typhi untuk
kloramfenikol dilaporkan pertama
kali terjadi di Inggris tahun 1950 dan
di India tahun 1972.33 Resistensi
tersebut ternyata diikuti oleh
antibiotik yang lain, misalnya galur
S. Typhi yang resisten terhadap
ampisilin dilaporkan pertama kali di
Meksiko tahun 1973. 27
Pada perkembangan
selanjutnya, beberapa negara
melaporkan adanya galur S. Typhi
yang telah resisten terhadap dua
atau lebih golongan antibiotik yang
lazim digunakan yaitu ampisilin,
kloramfenikol, dan kotrimoksazol
dinamai galur multi drug resistance
(MDR) S. Typhi. Thailand
merupakan negara yang pertama
kali melaporkan adanya MDR pada
demam tifoid pada tahun 1984,
selanjutnya diikuti oleh negara lain.27
Penelitian di India tahun 2001 pada
pasien demam tifoid, ditemukan
adanya resistensi S. Typhi pada
amoksilin, kloramfenikol, ampisilin
dan kotrimoksazol.33
Penelitian yang dilakukan
pada 78 isolat S. Typhi yang berasal
dari Dhaka, Bangladesh yang
diisolasi dari tahun 1994 sampai
1995 menunjukkan bahwa 67%
merupakan isolate yang bersifat
resisten terhadap antibiotika ganda
(MDR). Sebagian besar isolate S.
Typhi bersifat Multi Drug Resistance
(MDR) terhadap kloramfenikol,
ampisilin, trimetoprim, streptomisin,
sulfamethoxazole, dan tetrasiklin. 28
Hasil dari penelitian yang
dilakukan pada tahun 2000 pada
isolate S.Typhi yang berasal dari
India yang dikumpulkan pada kurun
waktu tahun 1979 – 1998 yaitu
dibagi menjadi 3 periode. Periode
yang pertama adalah antara tahun
1979 - 1989 untuk kotrimoksazol
adalah 40,9%. Pada periode kedua
antara tahun 1990 – 1998 adalah
39% dan untuk periode ketiga
adalah 9%. Pada kloramfenikol
periode pertama adalah 50% dan
untuk periode kedua adalah 54%.
Pada periode ketiga hasilnya adalah
31,8%. 36
Di Indonesia pernah
dilakukan pengamatan resistensi S.
Typhi pada anak yang didiagnosis
secara klinis demam tifoid di Bagian
Ilmu Kesehatan RSCM jakarta.
Penelitian dilakukan pada tahun
1990-1994. Selama waktu penelitian
telah dirawat 645 orang anak
dengan diagnosis klinis demam
tifoid,131 (20,3%) dikonfirmasi
dengan biakan positif terhadap S.
Typhi, dan 61 (9,5%) kasus
diantaranya mempunyai hasil uji
resistensi.
Penelitian ini
terutama ditujukan untuk
mengetahui apakah bakteri S.Typhi
masih bersifat sensitive terhadap
antibiotika jenis beta lactam
(amoksilin dan cefadroxil) dan
antibiotka non beta lactam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol).
Berdasarkan uraian di atas
maka penelitian ini diajukan untuk
menjawab rumusan masalah,
Apakah bakteri S. Typhi masih
bersifat sensitif terhadap antibiotika
beta lactam (amoksilin dan
cefadroxil) dan antibiotika non beta
lactam (kloramfenikol dan
kotrimoksazol) jika digunakan di
Indonesia?
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui sensitivitas yang terjadi
pada bakteri S. Typhi terhadap
antibiotika beta laktam (amoksilin
dan cefadroxil) dan antibiotika non
beta laktam (kloramfenikol dan
kotrimoksazol).
Menentukan sensitivitas
bakteri S. Typhi terhadap antibiotika
beta laktam (amoksilin dan
cefadroxil) dan antibiotika non beta
laktam (kloramfenikol dan
kotrimoksazol).
Hasil dari penelitian ini dapat
dijadikan untuk :
Sumber informasi
mengenai pola sensitivitas bakteri S.
Typhi terhadap antibiotika beta
laktam (amoksilin dan cefadroxil)
dan antibiotika non beta laktam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol).
Mengetahui beberapa
obat yang bersifat sensitif dan
resisten terhadap bakteri S. Typhi.
Sumber referensi
penelitian selanjutnya mengenai
pola sensitivitas terhadap S. Typhi.
Hasil penelitian ini dapat
dijadikan tambahan informasi dalam
terapi penyakit yang disebabkan
oleh S.Typhi dan untuk
meningkatkan kualitas penulisan
resep dokter, mempengaruhi
kebijakan penggunaan antibiotik di
rumah sakit, membantu pemerintah
dan swasta untuk membuat
kebijakan dalam suplai dan promosi
antibiotik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
rancangan deskriptif. Penulisan
dilakukan dengan mendeskripsikan
pola resistensi bakteri S. Typhi
terhadap antibiotika beta laktam dan
antibiotika non beta laktam. Di mana
sampel yang dipakai adalah isolate
S. Typhi koleksi dari Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya.
Penelitian ini akan dilakukan
dalam kurun waktu 1 bulan, yaitu
bulan Desember 2011 dan
dilaksanakan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya.
Bakteri S. Typhi diperoleh
dari stok koleksi yang di simpan di
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya
yang berasal dari isolat 10 kota yaitu
Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang,
Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,
Denpasar, Makassar.
Dalam penelitian ini terdapat
4 kelompok antibiotik yang terdiri
dari antibiotika beta laktam dan non
beta laktam, yaitu kelompok kontrol
dengan pemberian kloramfenikol
dan kotrimoksazol sebagai antibiotik
non beta laktam dan pemberian
amoksilin dan cefadroxil sebagai
antibiotik beta laktam, dengan
demikian jumlah sampel yang
diperlukan dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai
berikut:
P (n-1) ≥ 15 29
4 (n-1) ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 4,75
Keterangan:
P = jumlah kelompok
n = jumlah replikasi
Dengan demikian replikasi
harus dilakukan minimal sebanyak 5
kali untuk masing-masing kelompok
kontrol positif dan perlakuan.
Golongan dan jenis obat
antibiotika yang digunakan :
antibiotika beta laktam yaitu
amoksilin dan cefadroxil serta
antibiotika non beta laktam yaitu
kortimoksazol dan kloramfenikol.
Persentase resistensi bakteri
S. Typhi terhadap antibiotika beta
laktam dan antibiotika non beta
laktam.
Definisi Operasional
1. S. Typhi didapat dan
diperoleh dari stok koleksi yang di
simpan di Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya yang berasal dari isolat
dari 10 kota yaitu Jakarta, Bogor,
Bandung, Magelang, Salatiga,
Madiun, Surabaya, Malang,
Denpasar, Makassar.
2. Pola sensitivitas
dihitung menggunakan tabel NCCLS
dengan kriteria sensitivitas ada 3
yaitu resisten, intermediate,
sensitive. Pada penelitian ini untuk
kriteria intermediate dimasukkan
sebagai sensitif, sehingga hasil
kepekaannya adalah sensitif dan
resisten.
Alat yang digunakan : Tabung
reaksi, mikropipet, tip kecil, cawan
petri, ose, lidi kapas, lampu spiritus,
pinset, lemari pendingin, inkubator,
vortex, gelas obyek,.
Bahan yang digunakan :
a) Bahan utama :Koleksi isolat
bakteri S. Typhi dari Laboratorium
Mikrobiologi FK UB.
b) Antibiotika golongan beta
laktam yang terdiri dari amoksilin
dan cefadroxil
c) Antibiotika golongan non
beta laktam yang terdiri dari
kotrimoksazol dan kloramfenikol
d) Media tanam padat : Bismuth
Sulfit agar dan Muller Hinton agar
e) Cat gram
Prosedur penelitian :
a) Identifikasi bakteri S. Typhi
Dari isolate yang telah
tersedia kemudian dibiakkan pada
medium bifasik (MHI agar + BHI
broth) pada suhu 370C selama 18
jam – 24 jam. Dari koloni yang
tumbuh dilakukan pewarnaan Gram,
dilanjutkan penanaman pada
medium diferensial MacConkey dan
medium selektif BSA pada suhu
37oC, selama 18 – 24. Koloni yang
tumbuh pada medium MacConkey
dilakukan uji oksidase.
b) Pengenceran bakteri dengan
NaCl 0,9 %
Disiapkan tabung – tabung
yang diisi dengan NaCl 0,9 %
sebanyak 1-22 cc. BHI berisi bakteri
yang sudah diinkubasi selama
semalam pada suhu 370C diambil
engan mikropipet kemudian
dimaksukkan ke dalam tabung berisi
NaCl sedikit demi sedikit hingga
tepat keruh. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan kepadatan bakteri
108CFU.
c) Uji Kepekaan S. Typhi
Ambil isolat bakteri kemudian
bakteri ditanam pada Bismuth Sulfit
Agar. Selanjutnya dilakukan deteksi
untuk melihat sifat resisten bakteri S.
Typhi terhadap antibiotika beta
laktam (amoksilin dan cefadroxil)
dan antibiotika non beta laktam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol).
Metode yang digunakan ialah
menggunakan metode difusi cakram
ganda, berdasarkan prosedur dari
National Comittee for Clinical
Laboratory Standards (NCCLS).
Lempeng agar MHA ditandai
dengan nama , tanggal dan
mikroorganisme yang akan diuji.
Kapas Lidi (cotton swab) steril
dicelupkan dalam suspensi biakan
uji, dengan OD : 0,1 CFU/ml,
kemudian kapas lidi diputar pada
dinding tabung (diperas) agar cairan
tidak menetes dari bagian kapas
tersebut. Sebar mikroganinisme
pada seluruh permukaan lempeng
agar dengan cara dioleskan, untuk
mendapatkan pertumbuhan yang
merata, kapas lidi dioleskan secara
mendatar, kemudian diputar
lempeng agar 900 dan dibuat
olesan kedua , dengan lempeng
agar diputar 450 dan dibuat olesan
ketiga. Lempeng agar dibiarkan
mengering kurang lebih 5 menit,
kemudian tempatkan kertas cakram
yang sudah direndam dengan
sampel yang diujikan pada
permukaan lempeng agar. Dalam 1
lempeng agar dapat digunakan 5-6
macam dosis perlakuan, jarak
antara kertas cakram harus cukup
luas , sehingga wilayah jernih tidak
saling berhimpitan yang nantinya
akan menyulitkan dalam proses
pengukuran zona hambat. Kertas
cakram ditekan dengan pinset, tidak
perlu terlalu keras karena akan
merusak permukaan agar. Lempeng
yang sudah ditempelkan kertas
cakram diinkubasi pada suhu
optimal tumbuh dari bakteri patogen
yang sedang diujikan. Setelah
bakteri uji sudah tumbuh merata,
dan terlihat adanya zona jernih
dipermukaan agar, maka luas zona
jernih dapat diukur dengan
mengukur diameternya.
Selanjutanya dilakukan pengukuran
zona inhibisi untuk setiap antibiotika
dan diamati apakah resisten atau
tidak. Tes dikatakan positif resisten
terhadap antibiotika jika terdapat
penurunan zona inhibisi oleh satu
atau lebih antibiotika dari empat
antibiotika (amoksilin, cefadroxil,
kloramfenikol, kotrimoksazol).
HASIL PENELITIAN
1. Identifikasi S. Typhi
Penelitian ini menggunakan
10 isolat koleksi dari Laboratorium
Mikroba Universitas Brawijaya yang
berasal dari 10 kota yaitu Jakarta,
Bogor, Bandung, Magelang,
Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,
Denpasar, Makassar. Isolate
kemudian diidentifikasi, hasil
identifikasi untuk S. Typhi dengan
menggunakan pewarnaan gram
adalah sel bakteri S. Typhi yang
dikultur pada medium MacConkey
menunjukkan batang Gram negatif
(berwarna merah). Dari identifikasi
koloni pada medium MacConkey
menunjukkan pertumbuhan koloni
bakteri yang bulat dan tidak
berwarna, sedang pada medium
selektif BSA (Bismuth Sulfit Agar)
tampak koloni yang bulat berwarna
hitam karena bakteri membentuk
H2S. Produksi H2S juga dapat
dilihat pada medium TSI (Triple
Sugar Iron).
Hasil Identifikasi S. Typhi pada edium Mac Conkey agar dan medium BSA (Bismuth Sulfit Agar) Keterangan :
A : Koloni S. Typhi berwarna putih pada
medium MacConkey agar.
B : Koloni S. Typhi berwarna hitam dan
bentuk bulat pada medium BSA
(Bismuth Sulfit Agar).
Pengecatan Gram Bakteri S. Typhi Dilihat Menggunakan Mikroskop
Dengan Pembesaran Obyektif 100x
( Tanda panah menunjukkan bakteri
batang Gram negatif )
A
B
S1 S2 S4 S3 S6 S5 S7
Hasil Identifikasi S. Typhi pada
Medium TSI (Triple Sugar Iron) (Alkali/asam, H2S positif, Gram
negatif) Keterangan : Koloni S. Typhi berwarna
hitam karena membentuk H2S
S1 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Jakarta
S2 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Bogor
S3 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Bandung
S4 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Magelang
S5 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Salatiga
S6 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Madiun
S7 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Surabaya
S8 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Malang
S9 = isolat S. Typhi berasal dari daerah
Denpasar
S10 = isolat S. Typhi berasal dari
daerah Makassar
Hasil uji kepekaan Antibiotika beta lactam (amoksilin dan cefadroksil) dan Antibiotika non beta lactam (kloramfenikol dan kotrimoksazol) terhadap S. Typhi dengan menggunakan Metode Difusi Cakram (Kirby Bauer)
Uji kepekaan Antibiotika beta
lactam (amoksilin dan cefadroksil)
dan Antibiotika non beta lactam
(kotrimoksazol dan kloramfenikol)
terhadap S. Typhi dilakukan dengan
menggunakan Metode Difusi
Cakram (Kirby Bauer) pada isolate
koleksi Laboratorium Mikroba
Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya pada 10 isolate yang
berasal dari 10 kota yaitu Jakarta,
Bogor, Bandung, Magelang,
Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,
Denpasar, Makassar. Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan
didapatkan tabel distribusi uji
kepekaan antibiotika beta lactam
(amoksilin dan cefadroksil) dan
antibiotika non beta lactam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol)
terhadap bakteri S. Typhi adalah
sebagai berikut.
S1
S2
Keterangan :
S1 = isolat S. Typhi berasal
dari daerah Jakarta
S2 = isolat S. Typhi berasal
dari daerah Bogor
S3 = isolat S. Typhi berasal
dari daerah Bandung
S4 = isolat S. Typhi berasal
dari daerah MagelangS5 = isolat S.
Typhi berasal dari daerah Salatiga
S6 = isolat S. Typhi
berasal dari daerah Madiun
S7 = isolat S. Typhi
berasal dari daerah Surabaya
S8 = isolat S. Typhi
berasal dari daerah Malang
S9 = isolat S. Typhi
berasal dari daerah Denpasar
S10 = isolat S. Typhi
berasal dari daerah Makassar
Hasil penelitian di atas
tampak zona inhibisi tiap antibiotika
terhadap S.Typhi yang berasal dari
S3
S4
S5
S6
S9
S7
S8
S10
10 kota menunjukkan hasil yang
berbeda. Zona inhibisi diukur
berdasarkan zona atau daerah yang
tampak berwarna lebih terang
(menunjukkan bakteri mati).
Pengukuran zona inhibisi dengan
cara diukur jarak diameternya, untuk
mengetahui sifat kepekaannya
menggunakan standar nilai dari
NCCLS.
Berdasarkan hasil di atas
didapatkan frekuensi kepekaan S.
Typhi terhadap antibiotika beta
lactam (amoksilin dan cefadroksil)
dan antibiotika non beta lactam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol)
memiliki nilai yang sama yaitu 10
sampel bersifat resisten (100%).
NCCLS telah menyediakan
pedoman khusus untuk uji kepekaan
antibiotika beta lactam (amoksilin
dan cefadroksil) dan antibiotika non
beta lactam (kloramfenikol dan
kotrimoksazol) pada Tabel 5.2
dengan menggunakan tiga kriteria
yaitu resisten, intermediate dan
sensitive. Pada amoksilin batas
untuk resisten adalah < 13 mm, dan
untuk intermediate adalah 14 – 17
mm, untuk nilai sensitive adalah > 18
mm. Cefadroksil batas nilai resisten
adalah < 14 mm, dan untuk
intermediate adalah 15 – 17 mm,
untuk nilai sensitive adalah > 18 mm.
Pada kloramfenikol untuk resisten
adalah < 12 mm, dan untuk
intermediate 13 – 17 mm, untuk nilai
sensitive > 18 mm. Kotrimoksazol
untuk nilai resisten adalah < 10 mm,
dan untuk nilai intermediate adalah
11 – 15 mm, dan untuk nilai
sensitive adalah > 16 mm.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pola kepekaan bakteri
S. Typhi terhadap antibiotika yang
sering digunakan saat ini untuk
terapi yaitu amoksilin, cefadroksil,
kotimoksazol, dan kloramfenikol. Uji
kepekaan antibiotika beta lactam
(amoksilin dan cefadroksil) dan
antibiotika non beta lactam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol)
terhadap bakteri S. Typhi yang
berasal dari 10 kota yaitu, Jakarta,
Bogor, Bandung, Magelang,
Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,
Denpasar, Makassar menunjukkan
bahwa semua isolate bersifat
resisten.
NCCLS telah menyediakan
pedoman khusus untuk uji kepekaan
antibiotika beta lactam (amoksilin
dan cefadroksil) dan antibiotika non
beta lactam (kloramfenikol dan
kotrimoksazol) dengan
menggunakan tiga kriteria yaitu
resisten,intermediate dan sensitive
(NCCLS,2000). Pada amoksilin
batas untuk resisten adalah < 13
mm, dan untuk intermediate adalah
14 – 17 mm, untuk nilai sensitive
adalah > 18 mm. Cefadroksil batas
nilai resisten adalah < 14 mm, dan
untuk intermediate adalah 15 – 17
mm, untuk nilai sensitive adalah > 18
mm. Pada kloramfenikol untuk
resisten adalah < 12 mm, dan untuk
intermediate 13 – 17 mm, untuk nilai
sensitive > 18 mm. Kotrimoksazol
untuk nilai resisten adalah < 10 mm,
dan untuk nilai intermediate adalah
11 – 15 mm, dan untuk nilai
sensitive adalah > 16 mm.
Pada penelitian ini kriteria
yang digunakan adalah resisten dan
sensitif, untuk nilai intermediate
dimasukkan dalam kriteria sensitive.
Hasil dari penelitian yang telah
dilaksanakan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya pada bulan
Desember 2011 menggunakan
sepuluh isolate yang berasal dari
sepuluh kota yaitu, Jakarta, Bogor,
Bandung, Magelang, Salatiga,
Madiun, Surabaya, Malang,
Denpasar, Makassar, menunjukkan
hasil resistensi untuk amoksilin dari
semua isolate memiliki hasil resisten
yaitu, memiliki diameter 6 mm dan
pada satu isolate S6 (Madiun)
berdiameter 10 mm. Pada
cefadroksil menunjukkan hasil yang
bersifat resisten yaitu memiliki hasil
diameter yang beragam mulai dari 6
mm sampai dengan 12 mm. Pada
kloramfenikol hasilnya adalah
bersifat resisten yaitu 6 mm. Pada
kotrimoksazol memiliki hasil yang
bersifat resisten yaitu berdiameter 6
mm.
Pada dasarnya mekanisme
kerja dari antibiotika golongan beta
lactam adalah dengan menghambat
sintesis dinding sel. Pada amoksilin
mekanisme kerjanya adalah dengan
menghambat pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk
sintesis dinding sel mikroba. Obat
bergabung dengan PBS (Penicilin
Binding Protein) pada kuman.
Selanjutnya terjadi hambatan
sintesis dinding sel kuman karena
proses transpeptidasi antar rantai
rantai peptidoglikan terganggu.
Kemudian terjadi aktivasi enzim
proteolitik pada dinding sel.
Mekanisme cefadroksil adalah
dengan menghambat sintesisi
dinding sel mikroba pada reaksi
transpeptidase tahap ketiga dalam
rangkain reaksi pembentukan
dinding sel.32
Antibiotika golongan non
beta lactam bekerja dengan cara
mengganggu sintesis pembentukan
protein. Pada kotrimoksazol
aktivitas antibakterinya terdiri dari
dua tahap yang berurutan dalam
reaksi enzimatik untuk membentuk
asam tetrahidrofat. Sulfonamide
bekerja dengan menghambat
masuknya molekul PABA ke dalam
molekul asam folat dan trimethoprim
menghambat terjadinya reaksi
reduksi dari dihidrofolat menjadi
tetrahidrofolat. Trimetropim juga
menghambat enzim dihidrofolat
reduktase mikroba secara efektif.
Mekanisme kerja kloramfenikol
adalah dengan menghambat sintesis
protein kuman. Obat ini terikat pada
ribosom subunit 50s dengan
menghambat enzim peptidil
transferase sehingga ikatan peptide
tidak terbentuk pada proses sintesisi
protein kuman. 32
Penelitian yang dilakukan
oleh Hermans, et al, tahun 1996
pada 78 isolat S. Typhi yang berasal
dari Dhaka, Bangladesh yang
diisolasi dari tahun 1994 sampai
1995 menunjukkan bahwa 67%
merupakan isolate yang bersifat
resisten terhadap antibiotika ganda
(MDR). Sebagian besar isolate S.
Typhi bersifat MDR (Multi Drug
Resistance) terhadap kloramfenikol,
ampisilin, trimetoprim, streptomisin,
sulfamethoxazole, dan tetrasiklin.
Penelitian lain menyebutkan angka
reisitensi pada S. Typhi yang terjadi
pada kurun waktu 1979 – 1998 yang
dilakukan oleh Nath G, et al yaitu
untuk antibiotika kloramfenikol
memiliki prosentase 31,8% dan pada
antibiotika kotrimoksazol adalah
29,7%
Menurut hipotesis awal dari
penelitian, seharusnya bakteri S.
Typhi masih bersifat sensitive
terhadap antibiotika beta lactam
(amoksilin dan cefadroksil) dan
antibiotika non beta lactam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol)
karena antibiotika tersebut menjadi
obat pilihan utama untuk terapi.
Terutama kloramfenikol yang telah
menjadi obat pilihan pertama untuk
terapi S.Typhi sejak beberapa
dekade ini. Namun dalam penelitian
ini ternyata hasil yang didapatkan
adalah semua isolate S. Typhi yang
berasal dari sepuluh kota yaitu
Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang,
Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,
Denpasar, Makassar telah bersifat
resisten. Penurunan kepekaan
kloramfenikol dan kotrimoksazol
pada strain resisten dapat
disebabkan oleh berbagai factor
antara lain penggunaan antibiotika.
McGowan mengajukan biological
model untuk menjelaskan hubungan
antara penggunaan antimikroba dan
timbulnya resistensi. Pada tingkat
individu penggunaan antimikroba
memicu terjadinya perubahan besar-
besaran pada flora normal tubuh.
Hasilnya berupa galur yang sensitive
akan digantikan dengan galur yang
resisten. Pada tingkat kolektif,
penggunaan antibiotika di rumah
sakit memungkinkan tetap adanya
galur yang multi resisten yang
berada pada pasien, pekerja
kesehatan, dan lingkungan.1
Mekanisme resistensi
amoksilin pada S. Typhi yaitu ada
tiga cara. Pertama dikarenakan oleh
berkurangnya atau tidak adanya
outer membran cell wall channel
yang berfungsi sebagai transport
masuknya obat ke dalam sel bakteri.
Kedua adalah karena adanya enzim
beta lactamase yang dihasilkan oleh
bakteri golongan gram negative.
Enzim tersebut berfungsi untuk
menghidrolisa obat sebelum masuk
ke dalam sel bakteri. Ketiga
disebabkan oleh adanya mekanisme
efflux-pump yang terdiri dari
komponen protein sitoplasma dan
periplasma yang mendorong obat
untuk keluar sel sebelum obat
teraktivasi. Mekanisme resistensi
dari cefadroksil adalah adanya beta
lactamase yang dihasilkan oleh
bakteri yang dapat menghidrolisis
dan merusak cincin beta lactam.26
Mekanisme resisten dasi
kloramfenikol adalah dengan
dihasilkannya enzim
chloramphenicol acetyl transferase
oleh bakteri. Chloramphenicol acetyl
transferase menempel pada
kelompok acetil dari acetil-Coa ke
kloramfenikol sehingga
menyebabkan kloramfenikol tidak
dapat menempel pada ribosom.
Resisten pada kloramfenikol
disebabkan oleh adanya produksi
enzim chloramphenicol acetyl
transferase yang di kode oleh
plasmid sehingga obat tersebut
bersifat inaktif. Pada bakteri
golongan gram negative resistensi
semakin berkembang.4
Pada kotrimoksazol
mekanisme resistensi ada 2 cara
yang pertama dari resistensi
sulfonamide adalah ditentukan oleh
adanya plasmid IncH yang berfungsi
untuk membawa dan merubah fase
tipe Vi. Resistensi yang kedua
adalah resistensi dari trimethoprim
yang dipengaruhi oleh transposon,
Tn7 yang terdapat pada plasmid lain
yaitu IncI.19
Pada penelitian sebelumnya,
pada daerah dengan tingkat
resistensi tinggi,pengurangan
penggunaan antimikroba memiliki
efek yang lambat untuk terjadinya
resistensi pada antibiotic non beta
lactam.21 Hal ini bisa terjadi karena
adanya mekanisme genetik dari
masing-masing individu terhadap
resistensi obat dan atau adanya
mekanisme resistensi molecular
yang dimilki oleh agen penginfeksi.3
Faktor yang mempengaruhi
pola sensitivitas antibiotik terhadap
S. Typhi antara lain riwayat penyakit
demam tifoid sebelumnya, riwayat
pemakaian antibiotika yaitu
pemakaian antibiotika pada saat
sakit, cara mengetahui aturan pakai
dari antibiotika yang diperoleh
dengan resep dokter dan tanpa
resep dokter yaitu apakah sesuai
anjuran dokter atau tidak, baik dalam
hal dosis, cara dan lamanya
pemberian.6 Penyebab terjadinya
MDR pada demam tifoid diduga
karena, Pemakaian antibiotik yang
berlebihan (over-use), Penggunaan
antibiotik yang salah (mis-use), dan
Pemberian antibiotik yang kurang
tepat (in-appropriate), di samping
Adanya faktor intrinsik mikrobiologi
yaitu plasmid mediated. 7
Secara keseluruhan hasil
dari penelitian uji kepekaan S. Typhi
terhadap antibiotika beta lactam
(amoksilin dan cefadroksil) dan
antibiotika non beta lactam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol)
apabila dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya terdapat
peningkatan angka resistensi jika
dibandingkan dengan penelitian
yang telah dilakukan pada tahun
1996 dan tahun 2000. Bahkan hasil
yang didapatkan adalah 100% dari
semua isolate S. Typhi bersifat
resisten.
Penggunaan amoksilin,
cefadroksil, kloramfenikol,
kotrimoksazol masih menjadi pilihan
terapi utama untuk S. Typhi di
Indonesia. Beberapa penelitian telah
dilakukan di beberapa daerah di
Indonesia tentang uji kepekaan
dengan hasil yang resisten. Oleh
karena itu,penelitian berikutnya
difokuskan untuk jenis antibiotika
lain yang lebih efektif untuk
pengobatan S. Typhi dan dengan
dosis yang tepat sehingga lebih
efisien. Diharapkan penelitian
mendapatkan dukungan dari
berbagai pihak baik pemerintah
maupun pihak swasta karena
mengingat Indonesia adalah daerah
endemic dari S. Typhi dan angka
kejadian masih tinggi.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang
dilakukan secara prospektif pada
bulan Desember 2011 pada 10
isolate bakteri S. Typhi yang berasal
dari sepuluh kota yaitu Jakarta,
Bogor, Bandung, Magelang,
Salatiga, Madiun, Surabaya, Malang,
Denpasar, Makassar dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
S. Typhi resisten terhadap
antibiotika beta lactam (amoksilin
dan cefadroksil), maupun terhadap
antibiotika non beta lactam
(kloramfenikol dan kotrimoksazol).
DAFTAR PUSTAKA
1. Adar, J. 2006. Molecular
Epidemiology of clinical and
carriers strains of Salmonella
Typhi in The Hospital
Settings of North India.
Annals of Clinical
Microbiology and
Antimicrobials. No 5 p. 115-
120.
2. Anonim. 2005. 10 Penyakit
yang Menyebabkan Rawat
Inap. (http://www.Cnn.com/
Health/library). Diakses
tanggal 10 November 2011.
3. Aracil, B., Minambres, M.,
Oteo, J., Gomez-Garces,
J.L., Alos, J.I. 2001. High
Prevalence of Erithromycin-
Resistant and Clindamycin-
Susceptible (M-Phenotype)
Viridians Group Streptococci
From Pharingeal Samples. J
Antimicrob Chemother. p.
592-4.
4. Balbi, H.J. 2004,
Chloramphenicol American
Academy of Pediatrics.
Pediatrics in Review 25.
pp:284-288.
5. Balbisi, E,A. 2002. A new
Aminothiazolyl
Cephalosporin.
Pharmacology. No 22. p.
1278.
6. Baron. 2005. Medical
Microbiology. Edisi 4 The
University of Texas Medical
at Galveston.
7. Bhutta, Z.A. 1998. MDR
Typhoid: a potential
algorithmic approach to
diagnosis and management.
Dipresentasikan pada Third
Asia-Pacific Symposium on
Typhoid Fever and Other
Salmonellosis. Bali, 11
Desember 1998
8. Bhutta, Z.A. 2004. MDR
Typhoid: a potential
algorithmic approach to
diagnosis and management.
Dipresentasikan pada Third
Asia-Pacific Symposium on
Typhoid Fever and Other
Salmonellosis. Bali, 11
Desember 1997.
9. Brooks, Naheed, A., Hossain,
M.A., Baker, S. 2004.
Medical Microbiology and
Imunology. New York: Lange
Medical Books.
10. Brusch. 2006. Daerah
Endemik Demam Tifoid
(Online). (http://www.
go4healthylife.com/ articles/
2906/ 1/ Demam-Tifoid.
Html). Di akses tanggal 10
November 2011.
11. Cammie F. Lesser, Samuel I.
Miller. 2005. Salmonellosis.
Harrison’s Principles of
Internal Medicine (16th ed).
897-900.
12. Chamber, H.F. 2001.
Antimicrobial Agents, Protein
Synthesis Inhibitors and
Miscellaneous Antibacterial
Agents. In : Hardman J.G.,
Limbird L.E., eds. Goodman
& Gilman’s the
Pharmacological Basis of
Therapeutics. New York :
McGraw-Hill. p. 1239-1350.
13. Chamber, H.F. 2004. Beta-
Laktam Antibiotics 7 Other
Inhibitors of Cell Wall
Synthesis. In
14. Katzung B.G., ed. Basic &
Clinical Pharmacology.
Singapore : McGraw-Hill. p.
734-751.
15. Chamber, H.F. 2004.
Chloramphenicol,
Tetracyclines, Macrolides,
Clindamycin, and
Streptogramins. In : Katzung
B.G., ed. Basics & Clinical
Pharmacology. Singapore :
McGraw-Hill. p. 754-758.
16. Chamber, H.F. 2004.
Sulfonamides, Trimethopri, &
Quinolones. In : Katzung
B.G., ed. Basic & Clinical
Pharmacology. Singapore :
McGraw-Hill. p. 773-777.
17. Chambers, H.F. 2006.
Multidrug Resistance in
Salmonella Typhi : Molecular
and Biochemical Basis and
Clinical Implication. p. 781-
791.
18. Craig, W.A. 2003. Clinical
Implications of Antimicrobial
Pharmacokinetics. Infect Dis
Clin North Ann. No 17. p. 479
19. Datta, N., Richards, H.,
Datta, C., 2005. Salmonella
typhi in vivo acquires
resistance to both
chloramphenicol and
cotrimoxazole. Lancet;
i:1181-1183.
20. Dzen, S.J., Roekitiningsih,
Sanarto, S., Winarsih, S.
2003. Bakteriology Medical.
Malang: Banyumedia
Publishing. Hal. 116-121.
21. Enne., Livermore, D.M.,
Stephene, P., Hail, L.C.M.
2001. Persistance of
Sulphonamide Resistance in
E. Coli in UK Despite
National Prescribing
Restriction. Lancet. p. 1325-
8.
22. Gassen, M.H., Keuter, M.,
Dolmas, W.M.V., van der
Ven-Jongekrijg, J.,
Djokomoeljanto, R., van der
Meer, J.W.M. 2003.
Persistence of Salmonella in
Blood and Bone Marrow :
Randomized Controlled Trial
Comparing Ciprofloxacin and
Chloramphenicol Treatment
Against Enteric Fever.
Antimicrob Ag Chemother 47.
p. 1727-1731.
23. Giguere, S. 2007. Rational
Dosing of Antimicrobial
Agents for Bovine
Respiratory Disease.
University of Georgia College
of Vetenirary Medicine
Departement of Large Animal
Medicine. Vol 9 No.4 p: 342-
352.
24. Glaxo Smith Kline
Biologicals. 2007. Salmonella
Typhi.
http://microbewiki.kenyon.ed
u/index.php/Salmonella_typhi
. Diakses pada 12 Desember
2011.
25. Gotuzzo, E.,Guerra, J.G.,
Benavente L., Palomino,
J.C., Carillo C., Lopera, J., et
al. 1988. Use of Norfloxacin
to Treat Chronic Typhoid
Carries. J infect Dis 157. p.
1221-1225.
26. Grady, O., Powling, J., Tan,
A., Andersson, Y. 1999.
Collecting and Using Drug
Use Indicators in Districts.
[Availabe on Internet]
http://www.hst.org.za/uploads
/files/kwiksk19.pdf [Accessed
on: 18 January 2012].
27. Hadinegoro, S.R.
Pengobatan Seftriakson
Dosis Satu Kali Sehari pada
Demam Tifoid Anak.
Dipresentasikan pada
KONIKA IX, di Semarang 13-
17 Juni 1999.
28. Hermans, P.M.W., Saha,
S.K., Leeuwen van,W.J., et
al. 1996. Molecular Typing of
Salmonella Typhi Strain from
Dhaka (Bangladesh) and
Development of DNA Probes
Identifying Plasmid-Encoded
Multidrug-Resistant isolates.
Journal of Clinical
Microbiology. p.1373-1379.
29. Indra, M.R., 1999. Penelitian
Experimental Dalam Buku
Ajar Metodologi Penelitian
Seri 1 Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya.
Malang.
30. Ivan Tri, K., 2010. Kajian
Penggunaan Antibiotik Pada
Penderita Demam Tifoid di
Instalasi Rawat Inap RSUD
Kabupaten Cilacap Tahun
2008. Surakarta. Program
Studi Farmasi Universitas
Muhamadiyah Surakarta.
31. Jawetz, E., Levinson, E.W.
1996. Medical Microbiology
ang Immunology. New York:
Lange Medical Book.
32. Katzung, B. 2003. Basic And
Clinical Farmacology. New
York: Lange Medical Book.
33. Marhamah. 2010. Evaluasi
Penggunaan Antibiotik Pada
Pasien Demam Tifoid
Dewasa di Instalansi Rawat
Inap Rumah Sakit Umum
Daerah Pambalah Batung
Kabupaten Hulu Sungai
Utara. Surakarta. Program
Studi Farmasi Universitas
Muhamadiyah Surakarta.
34. McGowan, J.E., Gerding,
D.N. 2004. Report of The
Iowa Antibiotik Resistance
Task Force. New Horizon.
p.370-376.
35. Muliawan S.Y. and Julius E.
Surjawidjaja. 1999. Tinjauan
Ulang Peranan Uji Widal
sebagai Alat Diagnostik
Penyakit Demam Tifoid di
Rumah Sakit. Bagian
Mikrobiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas
Trisakti, Jakarta
36. Nath, G.T., Anjali, M.
Harmesh, T. Ani, Gulati.
2000. Drug resistance in
Salmonella typhi in North
India with special reference
to ciprofloxacin. Oxford
University Press.
37. National Committee for
Clinical Laboratory
Standards. 1999.
Performance Standards for
Antimicrobial Susceptibility
Testing. NCCLS approved
standard M100-S9. National
Committee for Clinical
Laboratory Standards.
Wayne. PA.
38. Park, M.A., Li, J.T. 2005.
Diagnosis ang Management
of Penicillin Alergy. Mayo
Clin Proc. No 80. p. 405.
39. Park, J.Y., Kim K.A., Kim,
S.L., 2003. Chloramphenicol
is a Potent Inhibitor of
Cytochrome P450 Isoform
CYP2C19 and CYP3A4 in
Human Liver Microsomes.
Antimicrob Ag Chemother 47.
p. 1179-1187.
40. Petri, W.A. Jr. 2001.
Penicillins, Cephalosporins,
and Other β-Lactam
Antibiotics. In : Hardman
J.G., Limbird L.E., eds.
Goodman & Gilman’s the
Pharmacological Basis of
Therapeutics. New York :
McGraw-Hill. p. 1189-1215.
41. Punjabi, N.H. 2004. Interaksi
Pejamu dengan Salmonella
Typhi. Medika. p.795-797.
42. Rampengan, T.H. 2008.
Penyakit Infeksi Tropik pada
Anak, Edisi II. EGC
Jakarta.pp: 46-64.
43. RSPI. 2004. Health First.
Jakarta : Pondok Indah
Medical Grop.
44. Salyers, A.A, Whitt D.D.,
2000. Salmonella Infections.
Dalam : Bacterial
Pathogenesis. A molecular
Approach. Hal: 229-43.
45. Sjahrurachman A, Ikaningsih,
Sudiro. T.M. 2006. Profil
Etiologi Bakteremi dan
Resistensinya Terhadap
Antibiotika di RSCM Jakarta
tahun 1999-2002. Maj
Kedokteran Indo 2006. 54:
260-4.
46. Widodo, D. 2007. Demam
Tifoid, Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Jakarta. P. 1752-1758.
Menyetujui,
Pembimbing 1
Dr. Dra. Sri Winarsih, Apt, M.Si
NIP. 19540823 198103 2 001