Xxxx
-
Upload
firman-viersalyno -
Category
Law
-
view
350 -
download
14
description
Transcript of Xxxx
BAB: I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Sebagai perwujudan komitmen Indonesia, dalam memberantas tindak pidana
transnasional yang terorganisasi melalui kerangka kerja sama bilateral, regional,
ataupun internasional, pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia sebagai salah satu
negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut menandantangani Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional
yang Terorganisasi atau terjemahan asli dalam bahasa Inggris “United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime”, adalah merupakan salah satu
upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam rangka meningkatkan kerja sama
internasional dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana /
kejahatan transnasional yang terorganisasi.
Upaya PBB tersebut, dibentuk dalam satu instrumen hukum berupa Resolusi
Majelis Umum PBB 55/25 15 November 2000 dan merupakan instrumen internasional
utama dalam memerangi kejahatan transnasional terorganisasi. Untuk tujuan tersebut,
Resolusi ini terbuka untuk ditandatangani oleh Negara-negara Anggota PBB pada
Konferensi Tingkat Tinggi Politik diadakan di Palermo, Italia, pada 12-15 Desember
2000 dan mulai berlaku pada tanggal 29 September 2003.
Guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sebagai bagian
dari masyarakat internasional dalam melakukan hubungan dan kerja sama internasional
untuk mencegah dan memberantas kejahatan transnasional yang terorganisasi dan
sebagai satu negara hukum, Pemerintah Republik Indonesia turut menandatangani
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) pada tanggal 15
Desember 2000 di Palermo, Italia;
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan dan kerja
sama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang
Perjanjian Internasional, maka atas dasar Instrumen Hukum Internasional yang telah
ditandatangani oleh Negara Republik Indonesia tersebut, kemudian Pemerintah
Indonesia telah mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi kedalam sistem hukum Indonesia
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan1 United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa
Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).
Dengan di sahkannya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang Terorganisasi kedalam sistem hukum Indonesia, maka
secara otomatis Indonesia mengikatkan diri kedalam Perjanjian tersebut.
B. Maksud dan Tujuan.
Tujuan dari Penulisan Makalah ini adalah sebagai Makalah Kelompok
Konsentrasi Hukum Pidana pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Tanjungpura Pontianak Ankgata 2012 / 2013 dalam pemenuhan Tugas Mata Kuliah
Hukum dan Kebijakan Kepolisian yang di asuh oleh bapak Brigjen Pol (Pur) Dr.Supriyadi
Wiryatmojo,S.H.,S.E.,M.Si
Selain itu, penulisan Makalah Kelompok Konsentrasi Hukum Pidana ini, adalah
untuk melihat Upaya Strategis Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan
Kejahatan Transnasional di Kalimantan Barat, yang setiap tahunnya belum
menunjukkan angka penurunan kasus-kasus Kejahatan Transnasional.
BAB: II.
PERMASALAHAN.
Provinsi Kalimantan Barat, merupakan salah satu dari 4 provinsi yang memiliki
kawasan perbatasan darat langsung dengan negara asing, selain Kalimantan Timur,
Papua, dan NTT. Dan adapun Kalimantan Barat memiliki 5 Kabupaten yaitu Kabupaten
Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang serta
Kabupaten Kapuas Hulu yang berbatasan langsung dengan negara bagian Serawak,
Malaysia Timur.2 Wilayah Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan wilayah
Sarawak sepanjang 847,3 yang melintasi 98 desa dalam 14 kecamatan di 5 kabupaten,
yaitu Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Kabupaten
Bengkayang3.
Adanya wilayah-wilayah darat di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan
langsung pada 5 kabupaten tersebut, telah terdapat pula pintu-pintu gerbang (border)
keluar masuk orang, kendaraan dan barang, yaitu pintu gerbang Paloh Sajingan
Kabupaten Sambas, Jagoi babang Kabupaten Bengkayang, Entikong di Kabupaten
Sanggau, Kabupaten Sintang serta Badau di Kabupaten Kapuas Hulu. Selain pintu-pintu
utama pada border tersebut, juga terdapat terdapat ± 62 jalan setapak atau “jalan tikus”
yang dapat dilalui masyarakat perbatasan tanpa pengawasan.
Secara umum, adanya kondisi perbatasan antara Indonesia pada Wilayah
Kalimantan Barat dengan Negara Malaysia (pada Negara bagian Serawak), yang belum
seluruhnya dapat dipantau pada pintu-pintu gerbang perbatasan, maupun jalan-jalan
setapak yang ada disetiap kabupaten yang berbatasan langsung, menciptakan kawasan
perbatasan Kalimantan Barat rentan terhadap bentuk-bentuk kejahatan lintas negara
atau Transnasional crime atau Kejahatan Transnasional dan menyuburkan bisnis-bisnis
ilegal.
Ada berbagai bentuk kejahatan Transnasional yang terjadi di wilayah Kalimantan
Barat, antara lain penyelundupan dan peredaran Narkotika dan obat-obatan terlarang
(ilicit drugs trafficking), penyelundupan makanan dan minuman, pembalakan liar (illegal
logging), penjualan kayu olahan ke negara Malaysia tanpa dilengkapi dokumen, illegal
fishing / penyelundupan ikan, penyelundupan manusia / perdagangan orang (human
trafficking), pengerahan buruh migran tak berdokumen (undocumented migrant
workers), penyelundupan minyak dan gas, jual beli senjata api, pencucian uang (Money
Loundry) dan kejahatan lainnya.
Berbagai bentuk kejahatan transnasional tersebut, dapat dengan mudah terjadi
melintasi batas-batas negara baik lewat darat, laut dan udara, terlebih seiring dengan
mudahnya akses setiap orang masuk-keluar perbatasan melalui pintu-pintu perbatasan,
baik yang dengan menggunakan dokumen resmi, dokumen palsu, atau bahkan tanpa
dokumen sekalipun, hingga melalui jalan-jalan setapak.
Salah satu kejahatan antar negara yang sering terjadi melewati perbatasan
Kalimantan Barat dengan perbatasan Malaysia adalah bentuk kejahatan perdagangan
perempuan dan anak, atau secara spesifik disebut sebagai human trafficking / trafficking
in person atau Perdagangan Orang.
Masalah perdagangan orang, telah menjadi salah satu masalah nasional dan
Internasional saat ini, selain masalah peredaran obat-obatan terlarang. Perempuan dan
anak-anak warga negara Indonesia yang diperdagangkan ke luar negeri, merupakan
masalah serius dari kejahatan transnasional, yang terjadi melalui pintu perbatasan yang
ada di propinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Negara Malaysia.
Kalimantan Barat juga memiliki track record yang kurang baik dalam kasus
trafficking ini, salah satunya pada tahun 2004 propinsi Kalimantan Barat menduduki
peringkat ketiga untuk kasus trafficking, dan pada tahun 2007 Kalimantan Barat naik
peringkat keposisi kedua setelah Batam sebagai daerah yang kasus perdagangan
manusianya terbesar di Indonesia5. Data yang di peroleh dari International Organization
for Migration (IOM), mengungkapkan kasus perdagangan manusia yang terjadi di
Kalimantan Barat periode Juni 2005 – Oktober 2006 sebanyak 1.231 kasus, dimana
persentase korban terbesar yaitu 80,89 persen berasal dari propinsi Kalimantan Barat
itu sendiri, dan pada tahun 2007 terjadi 56 kasus yang terungkap.6
Sedangkan menurut Lampiran Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 25/ KEP/ MENKO/ KESRA/ IX/2009
Tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) Dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009 – 2014, setiap tahun sedikitnya
450.000 warga Indonesia (70 persen adalah perempuan) diberangkatkan ke luar negeri.
Dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen dikirim secara ilegal. Tingginya arus migrasi
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, membuat tidak sedikit warga Indonesia, terutama
perempuan dan anak, menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan
ESA. Sebab migrasi tenaga kerja selama ini telah dijadikan sebagai modus utama tindak
kejahatan TPPO.
Bertitik tolak pada latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan di atas,
maka permasalahan pokok yang akan Kelompok Konsentrasi Pidana Magister Ilmu
Hukum Universitas Tanjungpura Angkatan XII bahas dalam Makalah ini, adalah pada
masalah “Upaya Strategis Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan
Kejahatan Trans Nasional Di Kalimantan Barat”.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
1. Defenisi
a. Kejahatan
Secara umum, diantara para sarjana pengertian tentang kejahatan itu sendiri
tidak terdapat kesatuan pendapat. Menurut W.A.Bonger pengertian tentang “Kejahatan”
dari sudut formil adalah suatau perbuatan, yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara)
diberi pidana, suatu uraian yang tidak memberi penjelesasan lebih lanjut seperti juga
defenisi-defenisi yang formil pada umumnya. Ditinjau lebih dalam samapai pada intinya,
suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan – perbuatan yang bertentangan
dengan kesusilaan.
Sedangkan menurut Emile Durkheim, kejahatan merupakan tindakan yang tidak
disepakati secara umum oleh anggota masing-masing masyarakat. Suatu tindakan
bersifat kejahatan ketika tindakan tersebut melanggar kesadaran bersama yang kuat
dan terdefinisi
Saparinah Sadli, sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief,
menyatakan bahwa kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu bentuk dari
“perilaku menyimpang. Dan menurutnya pula bahwa perilaku menyimpang itu
merupakan suatu ancaman yang nyata terhadap norma-norma sosial yang mendasari
kehidupan atau keteraturan sosial; dapat menimbulkan ketegangan – ketegangan sosial,
dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.
Sedangkan para pakar kriminologi yang lain berpendapat bahwa pengertian
kejahatan dari sudut pandang hukum atau perundang-undangan masih memiliki ruang
yang terbatas, seperti terabaikannya permasalahan tentang kejahatan “kerah putih” atau
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat (Sutherland,1949a)11
Adanya pengertian kejahatan dari apa yang diuraikan oleh beberapa sarjana
tersebut, maka kejahatan bukanlah suatu yang alamiah, akan tetapi merupakan suatu
perbuatan permasalahan sosial yang bertentangan dengan kesusilaan dalam
lingkungan sosial masyarakat dan dilarang oleh negara maupun oleh undang-undang.
b. Kejahatan Transnasional
Sebelum memberikan defenisi tentang Kejahatan Transnasional, maka terlebih
dahulu harus dibedakan antara Kejahatan International (International crimes) dengan
Kejahatan Transnasional (Transnasional Crimes).
Kejahatan Internasional menurut Bassiouni yang dikutip oleh Romli
Atmasasmita, adalah setiap tindakan yang ditetapkan didalam konvensi-konvensi
multilateral dan diikuti oleh sejumlah tertentu negara-negara peserta, sekalipun
didalamnya terkandung dalah satu dari kesepuluh karakteristik pidana.12
Menurut Romli Atmasasmita, “kejahatan internasional” harus dibedakan dari
“kejahatan transnasional”. Kejahatan internasional adalah suatu tindak pidana terhadap
dunia atau suatu masyarakat dan biasanya digerakan oleh motif ideologi atau politik.
Sebagai contoh dari kejahatan ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity) dan hak azasi manusia, kejahatan perang (war crimes), genosida
(genocide), dan lain-lain. Sedangkan kejahatan transnasional, hampir selalu berkaitan
dengan kejahatan dengan motif finansial, yang membawa dampak terhadap
kepentingan lebih dari satu negara. Kejahatan ini antara lain, perdagangan obat bius
(drug trafficking), kejahatan terorganisir lintas batas negara (transborder organized
criminal activity), pencucian uang (money laundering), kejahatan finansial (financial
crimes), perusakan lingkungan secara disengaja (willful damage to the environment),
dan lain-lain.13
Secara umum, kata kunci yang dapat digunakan sebagai panduan dalam
merumuskan pengertian transnasional crime adalah 1. Suatu perbuatan sebagai suatu
kejahatan, 2. Terjadi antar negara atau lintas negara. Sehingga dari dua kata kunci
tersebut, pengertian kejahatan Transnasional merupakan suatu kejahatan yang terjadi
lintas negara dalam penegertian bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai
kejahatan apabila terdapat piranti hukum yang dilanggar sehingga bisa saja terjadi suatu
perbuatan yang dirumuskan, dirancang, disiapkan, dilaksanak dalam suatu negara bisa
saja bukan merupakan kejahatan, namun ketika hasil kejahatan yang diatur, disiapkan
melakukan lintas batas negara untuk masuk ke yurisdiksi negara yang berbeda lantas
dikategorikan sebagai transnasional crime.
Atas dasar pengertian tentang kejahatan transnasional tersebut, di Indonesia
bentuk-bentuk perbuatan perdagangan orang untuk berbagai tujuan telah diatur sebagai
salah satu bentuk kejahatan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang tersebar di berbagai pasal dan kemudian diatur khusus pula dengan Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Adapun Bentuk-bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang menurut KUHP, yaitu
sebagai berikut: 1. Memperniagakan anak perempuan dan anak laki-laki (untuk tujuan
Prostitusi), terdapat dalam Pasal 297 KUHP 2. Menyerahkan anak untuk dieksploitasi,
terdapat dalam Pasal 301 KUHP 3. Memanjakan Perniagaan Budak, terdapat dalam
Pasal 324 s/d 328 KUHP 4. Melarikan orang (penculikan), terdapat dalam Pasal 328 5.
Dengan melawan dan membawah orang ketempat lain dari yang di janjikan untuk
melakukan suatu pekerjaan pada tempat tertentu, terdapat dalam Pasal 329 KUHP 6.
Dengan sengaja mencabut orang belum dewasa dari kuasanya yang syah (penjualan
Bayi), terdapat dalam Pasal 330 dan 227 KUHP 7. Menyembunyikan orang dewasa
yang dicabut dari kuasanya yang syah, terdapat dalam Pasal 331 KUHP 8. Melarikan
perempuan (anak-anak dan dewasa), terdapat dalam Pasal 332 KUHP 9. Merampas
kemerdekaaan orang atau meneruskan penahanan dengan melawan hukm, terdapat
dalam Pasal 333 KUHP 10. Dengan melawan hak memaksa untuk melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan diperlukan, terdapat dalam Pasal 335 KUHP 11. Setiap
orang menggerakkan, membawa, menempatkan atau menyerahkan laki-laki dibawah
umur 18 tahun atau perempuan kepada orang lain untuk melakukan perbuatan cabul
atau pelacuran atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, sanksi penjara 7 tahun
atau denda, terdapat dalam Pasal 433 ayat (1) KUHP 12. Dengan menjanjikan
perempuan tersebut memperoleh pekerjaan, tetapi ternyata diserahkan kepada orang
lain untuk melakukan perbuatan cabul, palacuran, atau perbuatan melanggar kesusilaan
pidana lainnya, maka pidana penjara menjadi paling lama 9 tahun, terdapat dalam Pasal
433 ayat (2) KUHP
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, mengatur secara tegas perihal kejahatan transnasional
perdagangan orang di Indonesia.
2. Kondisi Kejahatan Perdagangan Orang di Kalimantan Barat
a. Kondisi riel saat ini.
Sebagaimana telah diuraikan diatas, dengan kondisi negara Indonesia yang
berbatasan dengan negara asing, dan Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan salah
satu dari 4 provinsi yang memiliki kawasan perbatasan darat langsung dengan negara
Malaysia, dimana 5 Kabupaten yang ada yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten
Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang serta Kabupaten Kapuas Hulu
yang berbatasan langsung dengan negara bagian Serawak, Malaysia Timur (wilayah
Sarawak) sepanjang 847,3 yang melintasi 98 desa dalam 14 kecamatan di 5 kabupaten,
yaitu Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, dan Kabupaten Bengkayang
terdapat pintu-pintu gerbang keluar masuk orang, kendaraan dan barang, yang masing-
masing terdapat di Paloh Sajingan Kabupaten Sambas, Jagoibabang Kabupaten
Bengkayang, Entikong di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang serta Badau di
Kabupaten Kapuas Hulu. Selain pintu-pintu utama pada border tersebut, juga terdapat
terdapat ± 62 jalan setapak atau “jalan tikus” yang dapat dilalui masyarakat perbatasan
tanpa pengawasan.
Menurut data Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, wilayah Kalimantan Barat
memiliki ciri spesifik yang merupakan satu-satunya Provinsi di Indonesia yang secara
resmi telah mempunyai akses jalan darat untuk masuk dan keluar dari negara asing.15
Dengan keadaan akses jalan darat yang mudah untuk dilalui, baik melalui pintu-pintu
khusus, maupun jalan-jalan tikus, mobilisasi manusia dari dan ke luar negeri menjadi
sangat tinggi. Tidak hanya masyarakat atau penduduk Kalimantan Barat saja yang
dapat bepergian ke luar negeri melalau jalan-jalan tersebut, akan tetapi setiap orang
warga negara indonesia dapat menggunakan jalan tersebut. Dengan berbagai tujuan
dan alasan, banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang datang dari berbagai daerah
atau propinsi di Indonesia ke Kalimantan Barat dan kemudian melintasi perbatasan baik
secara legal maupun ilegal.
Banyak alasan yang menjadi tujuan WNI yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia yang bepergian melintasi wilayah perbatasan melalui Kalimantan Barat. Salah
satu yang sering muncul adalah karena alasan Ekonomi dan sosial. Dari alasan
ekonomi dan sosial tersebut, WNI yang melintasi batas negara kemudian di rekrut untuk
tujuan menjadi Tenaga Kerja (legal dan Illegal) baik yang terjadi akibat di tipu, di paksa
maupun dengan keinginan sendiri sebagai buruh migran maupun sebagai Pembantu
Rumah Tangga (PRT) tanpa mengetahui kondisi kerja yang menunggu mereka. Selain
itu, ada juga yang kemudian dipekerjakan di sektor-sektor informal sebagai prostitusi
atau pekerja seks, perbudakan bekedok pernikahan dalam bentuk perkawinan pesanan
maupun pekerja anak.
Proses keberangkatan para WNI yang melintasi batas negara melalui
Kalimantan Barat, seringkali terjebak kedalam model prekerutan dengan cara-cara ilegal
dengan janji-janji akan mendapatkan gaji yang besar dan dipekerjakan pada sektor-
sektor formal, akan tetapi setelah sampai di negara tujuan, ternyata kemudian para WNI
terutama perempuan dan anak, kemudian dipaksa dengan berbagai cara untuk bekerja
tanpa mendapatkan upah, bahkan kemudian diperjual belikan sebagai pekerja seks.
Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia terutama yang masih tinggal di daerah
pedesaan dan bekerja di sektor pertanian, serta banyaknya tenaga kerja yang
mengalami pemutusan hubungan kerja, yang mengakibatkan penganggur baru yang
kemudian harus mencari jalan lain untuk mencari nafkah, atau juga terpaksa kembali ke
kampung halaman dan desanya untuk bekerja sebagai buruh lepas atau untuk kembali
mengolah lahannya (sehingga kian memperburuk kemiskinan di pedesaan). Sehingga
berkumpulnya kembali para pengganggur di desa-desa, membuat mereka memilih
menjadi buruh migran dengan berbagai cara. Keberangkatan sebagai besar WNI atau
pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, kemudian sering dijadikan modus
kejahatan TPPO. Setiap tahun sedikitnya 450.000 warga Indonesia (70 persen adalah
perempuan) diberangkatkan ke luar negeri. Dari jumlah tersebut, sekitar 60 persen
dikirim secara ilegal. Tingginya arus migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri,
membuat tidak sedikit warga Indonesia, terutama perempuan dan anak, menjadi korban
TPPO dan ESA. Sebab migrasi tenaga kerja selama ini telah dijadikan sebagai modus
utama tindak kejahatan TPPO dan ESA. Masih tingginya angka kemiskinan,
pengangguran dan angka putus sekolah, rendahnya tingkat pendidikan serta tingginya
kesenjangan ekonomi antar negara, membuat masyarakat Indonesia – khususnya
perempuan dan anak, kian rentan terhadap TPPO dan ESA. Ini terbukti dari
meningkatnya jumlah korban TPPO, meskipun belum ada angka-angka yang tepat
tentang jumlah korban sesungguhnya, karena jumlah kasus ini merupakan fenomena
gunung es yang berarti gambaran yang sebenarnya jauh lebih besar dari apa yang
dilaporkan, namun dari laporan kepolisian dan beberapa lembaga yang menangani
korban, jumlah kasus yang didampingi cukup tinggi.
Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya perempuan dan anak warga
negara Indonesia di luar negeri, menjadi salah satu bentuk kejahatan lintas batas-batas
negara dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat
manusia, dan merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Korban dalam
hal ini diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan, dan dijual
kembali, serta dirampas hak asasinya, bahkan beresiko pada kematian. TPPO dan ESA
itu sendiri telah meluas baik dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir maupun
tidak terorganisir, baik yang bersifat antar negara (Internasional) maupun dalam negeri,
sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap
norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, bahwa pengertian Perdagangan Orang adalah “tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam
negara maupun antar negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi”. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau
serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam
TPPO tersebut, dimana bentuk-bentuk tindak pidananya terdiri dari Eksploitasi dengan
atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja
atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan,
pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan
tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materiil maupun immateriil. Ekspolitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan
organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan,
termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Yang di
rekrut dengan cara mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang
dari keluarga atau komunitasnya. Dan kemudian di kirim dan diberangkatkan ke suatu
tempat baik di dalam negeri maupun ke luar negeri dengan cara Kekerasan atau
perbuatan secara melawan hukum atau penjeratan Utang dengan atau tanpa
menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa,
badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
Sebagaimana dalam buku Perdagangan Perempuan Dan Anak di Indonesia
(Ruth Rosenberg:2003), diuraikan bahwa di masa lalu, perdagangan orang dipandang
sebagai pemindahan perempuan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi,
dengan sejumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan pada
aspek ini. Namun kemudian perdagangan didefinisikan sebagai perpindahan manusia
(khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan,
di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang
eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan (servile
marriage), sehingga memperluas definisi itu untuk mencakup lebih banyak isu dan jenis
kekerasan (Wijers & Lap-Chew, 1999:23-45). Perluasan seperti ini terhadap definisi
mempunyai arti bahwa kini lebih banyak bentuk eksploitasi yang dialami oleh
perempuan dan anak Indonesia yang digolongkan sebagai perdagangan daripada
sebelumnya. Dengan menyoroti perubahan-perubahan konseptual ini, kita akan
mempunyai pengertian yang lebih baik tentang bagaimana hal ini mempengaruhi
pemahaman kita tentang perdagangan di Indonesia. Kerangka konseptual baru untuk
perdagangan ini melambangkan pergeseran dalam beberapa situasi seperti yang
diuraikan di bawah ini. Poin-poin berikut ini didasari oleh Wijers dan Lap-Chew, 1999:
23-45. Dari Perekrutan Menjadi Eksploitasi: Kerangka tersebut berkembang dari
mengkonseptualisasi perdagangan sebagai sekadar perekrutan menjadi juga mencakup
kondisi eksploitatif yang dihadapi seseorang sebagai akibat perekrutannya. Pada tahun
1904, dibuat konvensi internasional pertama antiperdagangan, yaitu International
Agreement for the Suppression of the White Slave Trade (Kesepakatan Internasional
untuk Memberantas Perdagangan Budak Berkulit Putih). Sasaran konvensi ini adalah
perekrutan internasional yang dilakukan terhadap perempuan, di luar kemauan mereka,
untuk tujuan eksploitasi seksual. Sebuah konvensi baru pada tahun 1910 memperluas
konvensi ini dengan memasukkan perdagangan perempuan di dalam negeri. Kedua
konvensi hanya membahas proses perekrutan yang dilakukan secara paksa atau
dengan kekerasan terhadap perempuan dewasa untuk tujuan eksploitasi seksual.
Perluasan kerangka konseptual tersebut mencerminkan transisi dari memandang
perekrutan sebagai suatu tindakan terpisah menjadi konsep perdagangan yang lebih
kompleks sebagai suatu proses yang meliputi tindakan perekrutan dan kondisi kerja
akhir yang akan dialami oleh orang yang direkrut. Dalam kerangka ini, seorang
perempuan dapat diperdagangkan untuk pekerjaan yang telah ia pilih dengan sukarela.
Profesi pembantu rumah tangga akan memberikan sebuah ilustrasi yang baik untuk poin
ini. Pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga umumnya dipandang tidak eksploitatif
dan banyak perempuan dengan sukarela memilih untuk meninggalkan tempat asalnya
untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Kendati demikian, cara seorang
perempuan direkrut untuk pekerjaan itu dan kondisi kerjanya dapat mengubah pekerjaan
sebagai pembantu rumah tangga itu menjadi kerja paksa. Banyak perempuan dan anak
Indonesia bermigrasi atas kemauan mereka sendiri untuk mencari pekerjaan. Dalam
beberapa kasus, mereka bahkan membayar perekrut untuk mencarikan mereka
pekerjaan. Namun sifat pekerjaan dan kondisi yang eksploitatif baru akan diketahui
setelah mereka sampai di tempat tujuan. Dari Pemaksaan menjadi ‘dengan atau tanpa
Persetujuan’: Kerangka tersebut juga berubah dari mensyaratkan bahwa perdagangan
harus melibatkan unsur penipuan, kekerasan atau pemaksaan, menjadi pengakuan
bahwa seorang perempuan dapat menjadi korban perdagangan bahkan jika ia
menyetujui perekrutan dan pengiriman dirinya ke tempat lain. Pada tahun 1949, PBB
mengesahkan Convention for the Suppression of the Trafficking in Persons and of the
Exploitation of the Prostitution of Others (Konvensi untuk Memberantas Perdagangan
Manusia dan Eksploitasi untuk Melacurkan Orang Lain).
Konvensi ini mengutuk perdagangan untuk tujuan di dalam maupun ke luar
negeri, menghapus persyaratan bahwa perekrutan harus dilakukan secara paksa atau
dengan kekerasan, membuat perdagangan mungkin saja terjadi bahkan jika ada
persetujuan dari korban, dan membuat pencarian keuntungan dari pelacuran sebagai
perbuatan yang ilegal. Kendati demikian, karena perkembangan-perkembangan yang
lebih luas ini, banyak negara menolak menandatangani konvensi ini.
Di Indonesia, biasanya seseorang akan menyetujui perekrutan diri mereka,
bahkan ingin direkrut. Namun mereka tidak mengetahui kondisi kerja yang menunggu
mereka. Mereka mungkin akan dipaksa untuk bekerja dengan bayaran yang kecil atau
tanpa bayaran sama sekali karena menanggung utang yang menumpuk, untuk bekerja
dalam kondisi yang tidak aman atau tidak higienis, atau dipaksa untuk melakukan
pekerjaan yang lain dari yang dijanjikan sebelumnya.
Dari Prostitusi menjadi Perburuhan yang Informal dan Tidak Diatur oleh Hukum:
Pada tahun 1994 PBB mengesahkan suatu resolusi mengenai “Perdagangan
Perempuan dan Anak Perempuan” yang memperluas definisi perdagangan sehingga
memasukkan eksploitasi yang tidak hanya untuk tujuan prostitusi saja tetapi juga untuk
semua jenis kerja paksa. Resolusi ini juga mengakui bahwa perempuan sering kali
secara sadar mengijinkan dirinya dikirim ke luar negeri atau ke daerah lain, secara sah
atau tidak sah, namun mereka tidak mengetahui eksploitasi yang sudah menunggu
mereka.
Resolusi ini menyatakan bahwa perdagangan didefinisikan sebagai “tujuan akhir
dari memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi yang menekan
dan eksploitatif dari segi ekonomi ataupun seksual” (Wijers dan Lap-Chew, 1999: 28).
Meski perdagangan untuk tujuan eksploitasi seksual memang hanya dikenal di
Indonesia, diduga jumlah perempuan yang diperdagangkan untuk bentuk-bentuk
perburuhan lain jauh lebih banyak. Dari hampir setengah juta warga Indonesia yang
bermigrasi secara resmi untuk bekerja setiap tahunnya, 70% adalah perempuan (Hugo,
2001: 109); dan masih banyak lagi yang ditengarai bermigrasi melalui jalur-jalur tak
resmi, Sebagian besar perempuan bermigrasi untuk bekerja sebagai pramuwisma;
sebagian lainnya untuk bekerja di rumah makan, pabrik atau perkebunan. Dari hasil
penelitian, juga data dari LSM tentang buruh migran, kami menemukan bahwa banyak
dari antara perempuan ini yang menemukan diri mereka sendiri di dalam kondisi
eksploitatif, penjeratan utang (debt bondage), penyitaan identifikasi, dan pembatasan
gerak, yang merupakan unsur unsur perdagangan.
Dari Kekerasan terhadap Perempuan menjadi Pelanggaran Hak Asasi Manusia:
Perubahan dalam kerangka konseptual menunjukkan pergeseran dari memandang
perdagangan sebagai suatu isu yang sering dianggap sebagai isu domestik dan berada
di luar yuridiksi negara, menjadi memandangnya sebagai suatu pelanggaran terhadap
hak asasi manusia yang mendasar dan karena itu merupakan persoalan yang menjadi
tanggung jawab negara. Perspektif hak perempuan sebagai hak asasi manusia yang
terus berkembang ini terlihat paling jelas dalam Konferensi Dunia PBB mengenai Hak
Asasi Manusia pada tahun 1993 dan Konvensi.
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tahun 1979.
Demikian pula, Deklarasi/Program Aksi Wina (VDPA) menekankan perlunya
mengkonseptualisasi pelanggaran perdagangan sebagai pelanggaran hak asasi
manusia (Pasal I [18]).
Dari Perdagangan Perempuan menjadi Migrasi Ilegal: Pergeseran paradigma ini
terutama menunjukkan perubahan dalam persepsi negara-negara penerima terhadap
perdagangan sebagai suatu isu migrasi ilegal dan penyelundupan manusia. Perubahan
ini mempunyai konsekuensi yang negatif. Dengan memusatkan perhatian hanya kepada
status migrasi saja, kerangka yang berubah ini mengabaikan sebagian aspek penting
dalam perdagangan perempuan. Pertama, ada banyak kasus perdagangan di mana
perempuan masuk ke negara tujuan secara sah. Persepsi ini juga tidak
memperhitungkan kemungkinan perdagangan domestik. Kedua, dan mungkin yang
paling penting, kerangka ini menjauhkan perhatian dari korban. Tindak kejahatan
tersebut menjadi salah satu dari migrasi ilegal di mana korban adalah pelaku dan
negara menjadi korban
Adanya permasalahan Perdagangan Orang sebagai salah satu bentuk kejahatan
transnasional, tidak hanya melulu terjadi melalui pintu perbatasan Kalimantan Barat
dengan tujuan Malaysia, akan tetapi Kalimantan Barat juga dijadikan daerah transit
dengan tujuan akhir adalah, Asia dan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, Malaysia,
Singapura, Taiwan, dan Hong Kong, dimana para korbannya berasal dari Kalimantan
Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Banten serta
dari beberapa daerah lain.
Diperkirakan ada sekitar 1,7 juta pekerja yang bekerja tanpa dokumen yang sah,
termasuk 2,6 juta di Malaysia dan 1,8 juta orang di Timur Tengah. Selama tahun 2011,
Arab Saudi merupakan tujuan utama bagi para pekerja migran baru yang terdaftar oleh
Pemerintah Indonesia, diikuti oleh Malaysia dengan jumlah yang hampir sama.
Diperkirakan 69 persen dari keseluruhan pekerja Indonesia di luar negeri adalah wanita.
Pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa dua persen dari pekerja Indonesia di luar
negeri yang memiliki dokumen kerja yang sah menjadi korban perdagangan manusia.
Jumlah aktual pekerja Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia jauh lebih
tinggi, khususnya diantara lebih dari satu juta pekerja tanpa dokumen sah yang bekerja
diluar negeri. Selama tahun 2011, dilaporkan sejumlah TKI menjadi korban
perdagangan manusia di sejumlah negara seperti negera-negara teluk, Malaysia,
Taiwan, Chile, Selandia Baru, Filipina, Mesir, dan Amerika Serikat.
Sumber-sumber pemerintah dan non-pemerintah melaporkan adanya
peningkatan jumlah pekerja tanpa dokumen sah yang pergi ke luar negeri. Karena
pemerintah terus memperluas penggunaan dokumen perjalanan biometrik, dokumen
palsu menjadi lebih sulit dan lebih mahal untuk didapatkan, semakin banyak pekerja
tanpa dokumen sah yang melakukan perjalanan lewat laut, utamanya dari Batam dan
Kepulauan Riau serta lewat darat dari Kalimantan, ke Malaysia dimana mereka akan
menetap atau transit ke negara ketiga. Para pekerja tanpa dokumen sah memiliki resiko
yang jauh lebih besar untuk menjadi korban perdagangan manusia dibandingkan
pekerja dengan dokumen sah. Tren perdagangan pekerja yang menjadi perhatian
internasional selama tahun ini adalah pemaksaan kerja atas sejumlah pria Indonesia di
atas kapal ikan berbendera Korea yang beroperasi di perairan Selandia Baru dan juga
pemaksaan kerja atas sejumlah nelayan asal Birma dan Kamboja yang melarikan diri
dari kapal ikan Thailand saat kapal tersebut berada di perairan Indonesia. Berdasarkan
sejumlah laporan pers dan organisasi non-pemerintah, lebih dari 1.000 orang nelayan
tanpa dokumen sah yang berasal dari Birma terdampar di pulau Tual, salah satu pulau
terpencil Indonesia.
Menurut IOM (International Organization for Migration ), para perekrut tenaga
kerja bertanggungjawab atas lebih dari 50 persen dari jumlah pekerja wanita Indonesia
yang menjadi korban perdagangan orang di negara-negara tujuan. Sejumlah perekrut
bekerja secara perorangan sedangkan lainnya bekerja untuk perusahaan-perusahaan
pengerah tenaga kerja internasional yang berbasis di Indonesia yang disebut PJTKI.
Sejumlah PJTKI beroperasi persis seperti jaringan perdagangan manusia, yang
menjerumuskan pekerja pria dan wanita masuk kedalam perikatan hutang dan situasi
perdagangan manusia lainnya. Para pelaku perdagangan manusia beroperasi tanpa
mendapat hukuman dan lepas dari hukuman karena korupsi yang parah diantara para
pejabat penegakan hukum dan kurangnya komitmen pemerintah untuk menegakkan
peraturan hukum. Para korban perdagangan seringkali menumpuk hutang kepada para
pengerah tenaga kerja yang membuat para korban tersebut rentan akan ikatan hutang.
Perusahaan-perusahaan berijin dan tidak berijin menggunakan ikatan hutang,
penahanan dokumen, dan ancaman kekerasan untuk mejaga agar para pekerja migran
Indonesia tetap berada dalam kondisi kerja paksa.
Para wanita Indonesia bermigrasi ke Malaysia, Taiwan, dan Timur Tengah dan
kemudian menjadi korban kejahatan Transnasional dalam bentuk prostitusi paksa di luar
negeri.. Anak-anak yang diperdagangkan di dalam negeri dan di luar negeri utamanya
untuk pelayan rumah-tangga, prostitusi paksa dan bekerja di industri penginapan.
Banyak anak-anak perempuan korban perdagangan ini bekerja selama 14 hingga 16
jam sehari dengan upah yang sangat rendah, seringkali berada dibawah kondisi hutang
tanpa akhir untuk membayar uang muka yang telah diberikan kepada keluarga mereka
oleh para perantara orang Indonesia. Perikatan hutang khususnya sangat menonjol di
antara para korban perdagangan seks, dengan hutang awal yang setara dengan jumlah
600 hingga 1.200 dolar AS yang diberikan kepada para korban; dengan akumulasi
biaya-biaya dan hutang-hutang tambahan, para wanita dan anak perempuan seringkali
tidak mampu untuk lepas dari jerat hutang ini, walaupun sudah bertahun-tahun di dunia
prostitusi.
Para pelaku kejahatan transnasional perdagangan orang menggunakan
beragam cara untuk menarik dan mengendalikan para korban, termasuk dengan janji-
janji pekerjaan dengan upah tinggi, ikatan hutang, tekanan komunitas dan keluarga,
ancaman kekerasan, pemerkosaan, pernikahan palsu, serta penyitaan paspor. Para ahli
melaporkan adanya tren perekrutan para pekerja migran Indonesia di Malaysia untuk
Umroh, suatu perjalanan religi ke Mekah yang berlanjut sepanjang tahun ini; saat tiba di
Kerajaan Saudi, para imigran Indonesia ini diperdagangkan ke titik-titik lainnya di Timur
Tengah. Sejumlah anak-anak Indonesia direkrut kedalam perdagangan seks melalui
media jejaring sosial di Internet.
Menurut BAPPENAS, Kawasan perbatasan daerah lain seperti di Kabupaten
Sintang, Sambas, Kapuas Hulu, Malinau dan Kutai Barat masih belum memiliki pintu
perbatasan resmi dan masih dalam tahap
20 Ibid.
21 Ibid.
19
pembangunan. Sesuai kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo,
sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara bertahap di
beberapa kawasan perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Sambas, Sintang dan
Bengkayang.22 Namun demikian, masyarakat di sekitar perbatasan sudah menggunakan pintu-
pintu perbatasan tidak resmi sejak lama sebagai jalur hubungan tradisional dalam rangka
kekeluargaan atau kekerabatan. Pos-pos keamanan dan pertahanan yang tersedia di
sepanjang jalur tradisional tersebut masih sangat terbatas, demikian pula dengan kegiatan
patroli keamanan yang masih menghadapi kendala berupa minimnya sarana dan prasarana
transportasi.
Dalam mencegah terjadinya kejahatan transnasional berupa perdagangan orang, pemerintah
Indonesia belum mentaati secara penuh terhadap standar-standar minimum dalam
penghilangan perdagangan orang.
Adanya upaya-upaya yang signifikan yang telah dilakukan untuk memenuhi standar tersebut,
pemerintah telah melaksanakan upaya-upaya baru untuk meningkatkan perlindungan bagi para
pekerja migran Indonesia, khususnya melalui Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Tidak ada perkembangan dalam upaya pemerintah untuk
mengatasi keterlibatan para aparat keamanan dan pejabat senior Indonesia dalam
perdagangan manusia dan upaya untuk meningkatkan efektivitas para petugas penegak hukum
dan kehakiman dalam menegakkan undang-undang anti perdagangan manusia, yang akan
terindikasi dengan adanya peningkatan jumlah tuntutan dan hukuman terhadap para pelaku.
Struktur pemerintah yang terdesentralisasi memberikan tantangan yang cukup berat dalam
mengkoordinasikan program-program dan kebijakan-kebijakan anti perdagangan manusia yang
luas secara nasional; meskipun demikian, pemerintah tidak terlihat melakukan upaya untuk
memperbaiki pengumpulan data yang terpusat dari pemerintahan - pemerintahan daerah
mengenai penuntutan dan perlindungan korban. 22 BAPPENAS : Kawasan Perbatasan: Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia.
http://www.bappenas.go.id/node/108/828/kawasan-perbatasan-kebijakan-dan-strategi-nasional-pengelolaan-
kawasan-perbatasan-antarnegara-di-indonesia/ (11 April 2013)
20
Kejahatan transnasional perdagangan orang merupakan perbuatan illegal, akan tetapi karena
melibatkan perolehan keuntungan yang sangat besa. Faktor kemiskinan dan tidak tersedianya
lapangan kerja di pedesaan telah mendorong kaum perempuan bahkan anak-anak untuk
mencari pekerjaan sampai ke luar negeri. Kurangnya pendidikan dan terbatasnya informasi
yang dimiliki, menyebabkan WNI menjadi rentan terjebak dalam perdagangan orang. Titik
rawan kejahatan transnasional di Kalimantan Barat terdapat di Kabupaten Sambas, Kabupaten
Bengkayang (Seluas, Sanggau Ledo, Jagoi Babang), Kabupaten Sanggau (Entikong),
Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak,
Kabupaten Sekadau dan Kota Singkawang.23
Bahwa memang, bentuk-bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan transnasional
di berbagai negara akan berbeda-beda dikarenakan berbagai aspek. Akibat adanya perbedaan
kepentingan antar Negara, sehingga dilingkungan regional maupun Internasional sehingga tidak
semua kejahatan yang dikategorikan Kejahatan Transnational, dipersepsikan sebagai kejahatan
yang sama oleh setiap Negara. contoh ( inisiatif tiap Negara dalam ratifikasi Konvensi PBB
maupun Asean ) :Palermo Convention : Kejahatan Narkotika ,Kejahatan pembantaian
masal/genocide,Kejahatan Upal, Kejahatan laut bebas, Kejahatan maya/Cyber Crime Deklarasi
ASEAN : Illicit Drug Trafficking, Money Laundering, Terrorism, Arm Smuggling, Trafficking in
Person, Sea Piracy, Trans National economics crime & currency counterfeiting, Cyber Crime.
AMMTC (Asean Ministry Meeting on Trans National Crime), Information Exchange, Legal
Matters,Law Enforcement Matters, Training, Institutional Capacity – Building, Extra Regional
Cooperation24.
Kejahatan transnasional merupakan bagian dari kejahatan internasional yang mempunyai
dampak melewati batas territorial suatu negara. Kejahatan transnasional dapat dilakukan
secara individual atau kelompok terorganisir. Transnational Organized Crime Convention 2000
(Konvensi Palermo 2000). Konvensi Palermo 2000 mengatur tentang Kejahatan Transnasional
terorganisir dan kemudian dilengkapi dua protokol
23 Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat Dan Keluarga Berencana Provinsi Kalimantan Barat
Perdagangan Orang (Trafficking) Terutama Perempuan & Anak Di Kalimantan Barat.
http://kalbarprov.go.id/file/dokumen/trafficking2010.pdf (11 April 2013)
24 Jurnal Srigunting, Kejahatan Transnasional http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2011/12/05/kejahatan-
transnasional/ (12 April 2013)
21
tambahan yaitu – Protocol against the Smuggling of Migrants by land, Sea and Air, 2000; –
Protocol to prevent, Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and
Children.25
Didalam Article 1 disebutkan, Kejahatan dikatakan bersifat transnational apabila memiliki ciri-ciri
: “It is committed in more than one state It is committed in one state but a substantial part of its
preparation, planning, direction or control takes place in another state It is committed in one
state but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more in more
than one state; or It is committed in one state but has substantial effects in another state”
Menurut M Cherif Bassiouni, sifat transnasional dari kejahatan internasional adalah akibat
perbuatannya menimbulkan dampak lebih dari satu negara. Tindakannya melibatkan atau
menimbulkan dampak lebih dari satu warganegara; Sarana atau metode yang digunakan dalam
kejahatan melampui batas-batas teritorial suatu negara.26
Sedangkan unsur terorganisir dalam Article 2 (b) “Organized Criminal Group: a structured group
ofthree or more persons, existing for a period of time and acting in concert with the aim of
committing oneor more serious crime or offences esthablished inaccordance with this
convention, in order to obtaindirectly or indirectly a financial or another benefit” (kejahatan
teorganisir adalah suatu kelompok kejahatan yang beranggota 3 orang atau lebih dalamsuatu
periode waktu melakukan satu atau lebihkejahatan serius yang tercantum dalam konvensi
ini,dan secara langsung atau tidak langsung bertujuanmemperoleh keuntungan financial atau
keuntungan lainnya)27. Unsur Kejahatan terorganisir antara lain 1. adanya suatu kelompok
terstruktur dalam periode waktu tertentu yang terdiri dari tiga atau lebih anggotanya; 2.
melakukan kejahatan sesuai dengan Konvensi ini; 3. mempunyai tujuan untuk memperoleh
keuntungan financial secara langsung atau tidak langsung.
Maraknya kejahatan transnasional atau lintas negara mulai ditanggapi secara serius oleh
masyarakat internasional, tak terkecuali negara-negara di belahan Asia Tenggara yang
tergabung dalam ASEAN. Keseriusan
25 Masinus, Hukum Pidana Internasional, Kejahatan Internasional (International Crime) Dan Kejahatan
Transnasional Terorganisir (Transnational Organized Crime) Kejahatan
http://www.slideshare.net/bresharyvan/kejahatan-internasional-komplit (13 April 2013)
26 Ibid.
27 Ibid.
22
tersebut setidaknya tergambar dengan akan diselenggarakannya China-ASEAN Prosecutors-
General Conference (CAPGC) atau Konferensi Jaksa Agung negara-negara ASEAN plus
Republik Rakyat Cina (RRC). Pada 31 Juli 2006 sampai dengan 2 Agustus 2006 telah
diselenggarakan CAPGC III di Jakarta dengan mengusung tema Promoting Cooperation in
Combating Transnational Crimes (Meningkatkan Kerjasama dalam Pemberantasan Kejahatan
Transnasional) yang dihadiri wakil-wakil dari negara-negara ASEAN ditambah dengan RRC
beserta dua negara yang berstatus sebagai Special Administrative Region (wilayah administrasi
khusus, red.) yakni Hongkong dan Macao.28
Kasus-kasus perdagangan orang sebagai kejahatan transnasional juga dapat dilihat dari data
IOM, yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara asal
korban perdagangan manusia (trafficking). Hingga Juni 2011 lalu, sedikitnya tercatat ada 3.909
korban perdagangan manusia dan sebagian besar korbannya kaum perempuan.29
Sebagai kejahatan transnasional perdagangan orang bukanlah sesuatu yang baru. Modus
operandinya yang digunakan para pelaku kejahatan tersebut dapat beragam. Ada yang
menggunakan kedok PJTKI atau lembaga penyalur tenaga kerja dengan memalsukan
dokumen-dokumen (KTP, ijasah, akta kelahiran, dan surat izin orangtua atau yang berhak),
sehingga sering kali identitas korban kejahatan transnasional ini tidak tidak sama dengan
alamat aslinya. Ada juga dengan modus penyaluran tenaga kerja dengan tidak menjelaskan isi
perjanjian kontrak kerja antara pihak penyedia dengan pencari kerja dengan iming-iming kerja
enak, gaji besar, dan masa depan cerah yang kemudian berakhir ditempat-tempat prostitusi
bahkan diperjual belikan sebagai pemuas nafsu seksual di tempat-tempat hiburan, bukannya
ditempatkan di tempat kerja yang dijanjikan pada awalnya.
Kasus kejahatan transnasional berupa perdagangan orang dapat dikategorikan sebagai sebuah
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang seharusnya disejajarkan dengan tindak
kejahatan korupsi dan 28 Hukum Online, Para Jaksa Agung ASEAN Bahas Kejahatan Transnasional
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15246/para-jaksa-agung-asean-bahas-kejahatan-transnasional (13 April
2013)
29 Sidik Suhada , Kasus “Trafficking” dan Problem Agraria. http://www.kpa.or.id/?p=774 (13 April 2013)
23
terorisme, dan sepatutnya pulalah sanksi hukum pelaku kejahatan transnasional pun harus “luar
biasa”, dalam arti hukuman terberat.
Saat ini, berdasarkan Laporan Komisi Tinggi Urusan HAM PBB yang dikeluarkan tanggal 3 Juni
2005, Indonesia berada sebagai Negara dalam TIER 2, yaitu negara yang pemerintahannya
tidak sepenuhnya sesuai dengan standar minimum TVPA (Traffiking Victims Protection Act-
Undang- undang Perlindungan Korban Perdagangan Orang Amerika Serikat), tetapi membuat
upaya yang signifikan untuk membawa diri menjadi sesuai dengan standar tersebut. Sehingga
dalam hal ini, Indonesia telah dinilai selangkah lebih maju dalam melakukan langkah dan upaya
mencegah terjadinya Kejahatan Transnasional Perdagangan Orang. Sedangkan pada tahun
2002, berdasarkan Report yang dikeluarkan oleh Department of State, USA, tahun 2002,
Indonesia masuk kedalam TIER 3, yaitu Negara yang pemerintahannya tidak sepenuhnya
memenuhi standar minimum dan tidak membuat upaya yang signifikan untuk melakukannya.
Dimana pada saat itu, Indonesia dievaluasi sebagai negara pemasok perdagangan perempuan
dan anak, berkomitmen rendah, kurang serius dan kurang kepeduliannya dalam
pemberantasan kejahatan transnasional perdagangan orang dan belum memiliki undang-
undang yang tegas serta belum memiliki upaya strategis dalam mencegah terjadinya dan
memberantas kejahatan transnasional perdagangan orang yang memenuhi standard minimum
yang ditetapkan walaupun belum sepenuhnya.
Sebagai gambaran, berdasarkan laporan dari Internasional Organization for Migration (IOM)
tahun 2005 sampai dengan Januari 2009, telah dipulangkan 3.339 orang korban perdagangan
orang, yang sebagian besar adalah perempuan (89,5 %), termasuk bayi (0,15 %) dan anak-
anak (24,6 %), mereka dipulangkan sebagian besar dari Negara Malaysia, Saudi Arabia,
Singapore, Jepang, Syria, Kuwait, Taiwan, dan Iraq, di samping yang terjadi di wilayah
Indonesia. Berdasarkan daerah asal, maka para korban sebagian besar berasal dari Jawa
Barat (720), Kalimantan Barat (711), Jawa Timur (418), Jawa Tengah (371), Sumatera Utara
(230), Nusa Tenggara Barat (228), Lampung (167), dan Nusa Tenggara Timur (137).30
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Reserse dan Kriminal Polri (bareskrim) tahun
2007, dapat terlihat perkembangan kasus perdagangan manusia di Indonesia periode 2003-
2007, yaitu semakin
30 Ibid.
24
sedikit kasus perdagangan manusia yang terjadi setiap tahunnya (155 kasus di tahun 2003 dan
63 kasus di tahun 2007), dan semakin meningkatnya penanganan kasus perdagangan manusia
yang ditangani oleh Mabes Polri hingga ke tingkat JPU (20,3 % di tahun 2003 dan 61,9 % di
tahun 2007).31
Sedangkan pada tahun 2008 Bareskrim Mabes POLRI mencatat ada 199 kasus yang ditangani
oleh jajaran Reskrim se Indonesia dengan 291 pelaku TPPO yang ditangkap dan 107 kasus
diantaranya telah selesai di tingkat kejaksaan. Dari sejumlah 598 orang korban TPPO, 510
orang adalah orang dewasa, 88 orang lainnya adalah anak-anak. Tahun 2008 UNICEF juga
melansir adanya 100.000 perempuan dan anak Indonesia yang diperdagangkan, mayoritas
sebagai pekerja seks.32
Jumlah kejahatan transnasional yang ditangani Polri mengalami peningkatan. Penyelundupan
narkotika dari luar negeri ke Indonesia merupakan kejahatan transnasional yang paling
menonjol. Jenis kejahatan lain adalah terorisme, trafficking, kejahatan dunia maya, dan
penyelundupan manusia. Sebagaimana yang diakui oleh Kapolri, sepanjang 2012 Mabes Polri
menangani 21.457 kasus transnasional. Naik dari tahun sebelumnya yang ‘hanya’ 16.138
kasus. Kenaikan jumlah kejahatan transnaional itu mencapai 24,78 persen33
31 Zaky Alkazar Nasution, S.H, (Tesis) Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak
Korban Perdagangan Manusia (Trafficking In Persons) http://eprints.undip.ac.id/17904/1/Zaky_Alkazar_Nasution.pdf
(13 April 2013)
32 Lampiran RAN 33 Hukum Online, Kejahatan Transnasional Meningkat
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50f3a3710b543/kejahatan-transnasional-meningkat (13 April 3013)
25
b. Kondisi Ideal yang diharapkan.
Melihat kondisi riel yang ada saat ini terhadap kejahatan transnasional perdagangan orang,
sangatlah memungkinkan bagi indonesia untuk naik pada TIER 1, yaitu sebagai Negara yang
pemerintahannya sepenuhnya mematuhi Perlindungan standar minimum Korban Perdagangan
(TVPA / Trafficking and Violence Protection Act/ UU Perdagangan manusia dan Perlindungan
Kekerasan).
Berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah guna mencegah dan meminimalisir kejahatan
transnasional perdagangan orang serta perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai
korban perdagangan orang, relatif komprehensif. Mulai dari Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen ke-4 sebagai landasan konstitusional, telah secara tegas telah mengatur tentang
pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak-hak
perempuan dan anak-anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 B ayat (2), hingga
peraturan-peraturan di bawahnya.
Ditingkat Kementerian Koordinator (Menko) dan Kementrian Negara (Meneg), telah dilakukan
berbagai upaya kongkrit berkaitan dengan pencegahan perdagangan manusia,sebagaimana
dinyatakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) pada rapat Koordinasi
Bidang Kesra yang menegaskan bahwa Indonesia akan melakukan usaha sungguh-sungguh
dalam memerangi dan menghapus perdagangan manusia. Di samping itu, Pemerintah
Indonesia telah menetapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagai Vocal point
dalam melakukan usaha-usaha tersebut.34
Dengan keadaan riel saat ini terhadap adanya kejahatan transnasional berupa Perdagangan
orang yang terjadi melalui perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia, dalam upaya
perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, salah satunya melalui pencegahan dan
pemberantasan perdagangan manusia, perlu secara terus menerus dan berbagai peraturan
perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum bagi Pemberantasan Perdagangan
Orang dari kejahatan
34 Zaky Alkazar Nasution, S.H, (Tesis) Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak
Korban Perdagangan Manusia (Trafficking In Persons)
26
transnasioanal, khususnya Perempuan dan Anak (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak
(ESA), antara lain :
1. Undang-Undang RI No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
2. Undang-Undang RI No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian.
3. Undang-Undang RI No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
4. Undang-Undang RI No. 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Konvension No. 138
Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja).
5. Undang-Undang RI No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
6. Undang-Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi
ILO No. 182 Pengesahan ILO Convention No 182 Concerning the Prohibition and Immediate
Action for the Elimination of the Worst Form of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai
Pelarangan dan Tindakan segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak)
mengenai Pelarangan dan Tindakan Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk
Anak;
8. Undang-Undang RI No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
9. Undang-Undang RI No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
10. Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
11. Undang-Undang RI No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
12. Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
13. Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
14. Undang-Undang RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
15. Undang-Undang RI No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
16. Undang-Undang RI No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri.
17. Undang-Undang RI No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
18. Undang-Undang RI No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
19. Undang-Undang RI No. 5 tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation Convention Againt
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang Terorganisasi);
20. Undang-Undang RI No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
21. Undang-Undang RI No. 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress
and Punish Trafficking in Persons, Espacially Women and Children, Sipplementing the United
Nations Convention Againt Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah,
Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-Anak,
melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Tindak Pidana Transnasional
yang terorganisasi);
22. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
27
23. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
24. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pusat pelayanan
terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.
25. Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of
the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak).
26. Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia.
27. Keputusan Presiden No. 12 tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
28. Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
29. Peraturan Presiden No 69 tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
30. Peraturan KAPOLRI No. 10 tahun 2007 tentang Organisasi Tata Kerja Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
31. Peraturan KAPOLRI No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan
Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan /atau Korban Tindak Pidana.
32. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI No. 01 tahun 2009 tentang
Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu bagi saksi dan/atau korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Dan adapun Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Dalam Penanganan Kejahatan
Transnasional Perdagangan Orang antara lain:35
1. Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2007 Tentang Kependudukan Pembangunan Keluarga
Sejahtera.
2. Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2007 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang Terutama Perempuan Dan Anak.
3. Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 86 Tahun 2006 Tentang Rencana Aksi Daerah
Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak dan telah direvisi dengan Peraturan
Gubernur Kalimantan Barat Nomor 5 Tahun 2010.
4. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 262 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Dan Telah Direvisi
Dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 370 Tahun 2009 Tanggal 3 Juni 2009.
5. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 289 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Satuan
Tugas (Satgas) Dan Sekretariat Satgas Pelaksana Penanggulangan, Penempatan Dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Bermasalah Di Luar Negeri dan telah direvisi
dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 222/KESOS/2010
6. Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 178 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Tim
Koordinasi Penanggulangan, Penempatan, Dan
35 Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat Dan Keluarga Berencana Provinsi Kalimantan Barat :
Perdagangan Orang (Trafficking) Terutama Perempuan & Anak Di Kalimantan Barat
28
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Bermasalah Di Luar Negeri Provinsi Kalimantan
Barat dan telah direvisi dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 22/KESOS/ 2010.
7. Melakukan Kerjasama dalam bentuk Nota Kesepahaman tentang Penanganan Kekerasan
Terhadap Perempuan, Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Badan
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi
Jawa Tengah.
8. Melakukan Mou dengan Organisasi Keagamaan Tentang Pelaksanaan Strategi
Pengarusutamaan Gender untuk Peningkatan Status, Kondisi dan Posisi Perempuan dalam
Pembangunan.
9. Melakukan Mou dengan Kabupaten/Kota dalam Penanganan Kekerasan Terhadap
Perempuan, Anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
29
BAB: IV.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
a. Faktor Internal Pendukung
Ada beberapa faktor pendukung terjadinya kejahatan transnasional perdagangan orang di
Indonesia, khususnya Kalimantan Barat, antara lain
1) Faktor Pendukung. Faktor utama maraknya trafficking terhadap orang adalah kemiskinan
yang masih melanda sebagaian besar peduduk Indonesia. Masyarakat berusaha untuk
memperbaiki perekonomian dengan mencari kerja ke daerah lain, bahkan mencari kerja ke
negara lain. Tetapi apa yang mereka impikan untuk mencari kerja tidak semudah yang mereka
bayangkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi perdagangan orang di dalam negeri antara
lain masalah ekonomi, masalah keluarga tidak harmonis, perkawainan dan perceraian pada
usia dini, sebagai korban pelecehan seksual dan korban perkosaan, terbatasnya kesempatan
dan lapangan kerja, pendidikan rendah, tidak mempunyai keterampilan / keahlian, gaya hidup
hedonis, dan beberapa faktor lainnya. Sejumlah faktor yang memiliki korelasi tinggi dengan
perdagangan orang, yakni36: (a) Struktur masyarakat yang masih banyak menempatkan
perempuan sebagai warganegara kelas dua, sehingga menimbulkan gender-based
discrimination. Pada gilirannya kondisi ini menyebabkan terjadinya kemiskinan bagi kaum
perempuan; ditambah lagi dengan adanya gender-based violence yang kemudian mendorong
para perempuan yang menjadi korban untuk masuk dalam perangkap perdagangan orang; (b)
Struktur patriarkhal yang mendukung pola pendidikan pada perempuan untuk menjadi
submissive dan mengutamakan kehormatan dan kepentingan keluarga, yang seringkali berakhir
pada pengorbanan dirinya dalam perdagangan orang; (c) Keterbatasan sumber keuangan
menyebabkan suburnya pertumbuhan industri seks di berbagai negara yang kurang beruntung,
suatu kondisi yang dengan tidak manusiawi telah disalahgunakan dan dimanfaatkan oleh para
pelaku perdagangan orang;
36 Simela Victor Muhamad, Perdagangan Orang Antarnegara: Upaya Pencegahan Dan Penanganannya
Di Kalimantan Barat Dan Sumatera Utara, 2009 (dalam Buku Kajian Masalah Penyelundupan dan Perdagangan
Orang di Indonesia 2009: Bagian Ke empat) http://www.dpr.go.id/bukukajian/Masalah-Penyelundupan-dan-
Perdagangan-Orang-di-Indonesia-2009.pdf (14 April 2013)
30
(d) Terjadinya berbagai konflik di sejumlah negara yang kemudian menempatkan kaum
perempuan dan anak-anak dalam kondisi sangat rentan, kehilangan perlindungan, kehilangan
keamanan dan hak-hak asasi lainnya sehingga memaksa mereka untuk memasuki lingkaran
perdagangan orang; (e) Ketidakberdayaan negara-negara yang kurang beruntung untuk
menyediakan lapangan kerja sehingga migrasi menjadi pilihan yang dipersepsi sebagai upaya
paling mudah untuk mendapatkan nafkah. (f) Letak geografis Kalimantan Barat yang
berbatasan langsung dengan Malaysia Timur ( terdapat ± 62 jalan setapak yang dapat dilalui
masyarakat tanpa pengawasan ) mempermudah aksesibilitas ke negara tetangga (g)
Perbedaan tingkat perekonomian / penghidupan di wilayah perbatasan (h) Lemahnya sistim
administrasi kependudukan (i) Kurangnya kesempatan kerja dan peluang berusaha (j)
Kurangnya informasi yang benar mengenai lapangan kerja yang tersedia baik di dalam maupun
di luar negeri Bahwa terjadinya perdagangan orang dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
mulai dari faktor ekonomi hingga faktor sosial dan politik, bahkan juga struktur dan kultur
masyarakat. Ini artinya, terjadinya perdagangan orang antarnegara juga dapat disebabkan oleh
salah satu atau berbagai faktor tadi.37
2) Faktor Penghambat.
Pemerintah Indonesia memang telah meratifikasi Konvensi PBB untuk Perlindungan Hak-hak
Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (melalui UU No. 6 Tahun 2012), namun langkah ini
harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah harmonisasi kebijakan terkait buruh migran yang
selama ini masih bersifat diskriminatif terhadap buruh migran.38
Akan tetapi apabila berbagai bentuk Ratifikasi konvensi-konvensi internasional tersebut
kedalam peraturan perundangan-undangan di Republik Indonesia tidak dilaksanakan dengan
maksimal, maka arus perpindahan / migrasi WNI ke luar negeri sebagai korban perdagangan
orang akan tetap meningkat. Kurangnya sosialisasi terhadap aspek-aspek kejahatan
transnasional perdagangan orang kepada masyarakat pencari kerja ke luar negeri, serta belum
adanya upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah dalam mencegah terjadinya kejahatan
perdagangan orang, merupakan salah satu faktor penghambat mengapa kejahatan
perdagangan orang masih terjadi
37 Ibid.
38 Migrant CARE, Statement Migrant CARE utk International Migrant' Day 2012 http://www.migrantcare.net/ (14
April 2013)
31
dan sulit di berantas. Pemalsuan berbagai dokumen, hingga dokumen perjalanan ke Luar
Negeri dari Indonesia masih sering terjadi.
b. Faktor Eksternal.
Kejahatan Transnasional Perdagangan Orang adalah salah satu kejahatan yang melintasi
batas-batas wilayah negara dan dilakukan oleh dua atau lebih warga negara yang berbeda, di
negara yang berbeda pula.
1) Faktor Pendukung.
Terjadinya kejahatan transnasional perdagangan orang, selain didukung oleh faktor internal
dalam negeri Indonesia sendiri, juga didukung oleh berbagai faktor ekternal di luar negeri,
antara lain
1. Tingginya permintaan tenaga kerja murah baik yang memiliki ketrampilan (skill) maupun yang
tidak memiliki ketrampilan (unskill) dari Indonesia untuk dipekerjakan di berbagai sektor formal
dan informal di luar negeri.
2. Iming-iming gaji yang tinggi
3. Keterlibatan kelompok kejahatan terorganisasi di dunia dalam mengelola bisnis kejahatan
perdagangan orang.
4. Letak geografis perbatasan
5. Kurang seriusnya negara-negara penandatangan konvensi mengatasilah perdagangan
orang.
6. Belum adanya kerjasama bilateral yang maksimal antara negara-negara yang berbatasan
7. Belum tegasnya peraturan hukum pidana di negara asing dalam menindak pelaku kejahatan
perdagangan orang.
2). Faktor Penghambat.
Selain faktor pendukung ekternal dari negara lain, yang mengakibatkan masih terjadinya
kejahatan transnasional perdagangan orang juga terdapat faktor penghambat mengapa
kejahatan tersebut masih belum sepenuhnya dapat dicegah dan dapat di tindak di negara pihak
yaitu :
a. Pelaku kejahatan transnasional perdagangan orang tersebut berada dalam yurisdiksi negara
lain
b. Kejahatan transnasional perdagangan orang dilakukan oleh warga negara asing di luar
wilayah yurisdiksi Indonesia
c. Belum adanya pemahamam yang sama dari negara-negara pihak tentang korban
perdagangan orang bahwa negara pihak harus memfasilitasi dan melaksanakan pemulangan
korban serta menyediakan dokumen perjalanan yang perlu
32
d. Belum terlindunginya privasi para korban yang terlibat dalam proses hukum dan menjamin
bahwa korban menerima bantuan hukum dan konseling dinegara pihak.
e. Belum tersedianya tempat-tempat penampungan yang memadai bagi para korban kejahatan
perdagangan orang
f. Belum tersedianya fasilitas pemeliharaan kesehatan dan perawatan yang aman bagi korban
perdagangan orang, untuk membantu para korban dan proses pemulihan dan integrasi.
g. Negara pihak belum memberikan penyadaran yang maksimal terhadap para penegak
hukumnya dan pengadilan terkait adanya pelanggaran terhadap Konvensi dan faktor lain yang
mendorong terjadinya kejahatan transnasional perdagangan orang.
h. Seringnya mengkriminalisasi korban perdangangan orang oleh negara pihak, sehingga
pelaku kejahatan transnasional itu sendiri terbebas dari tuduhan.
i. Belum terciptanya atau belum adanya mekanisme pengaduan bagi korban perdagangan
orang di negara pihak (negara tujuan)
j. Belum tersedianya database yang lengkap terhadap warga negara indonesia yang bekerja di
negara pihak.
k. Belum terjalinnya kerjasama pertukaran informasi antara lembaga-lembaga penegak hukum
negara pihak dengan negara Indonesia mengenai orang-orang atau organisasi dan kelompok
yang terlibat dalam kejahatan transnasional perdagangan orang
l. Belum terciptanya kerja sama dalam memantau dan melacak pelaku kejahatan transnasional
perdagangan orang antar negara
m. Masih tingginya diskriminasi oleh warga negara di negara pihak terhadap warga negara
indonesia yang bekerja di luar negeri.
33
BAB V
Upaya Strategis
Pencegahan Dan Penanggulangan
Kejahatan Trans Nasional Di Kalimantan Barat
Melihat apa yang telah kami uraikan pada Kondisi Riel dan Kondisi Ideal dalam Bab
Pembahasan diatas, maka upya strategis dalam Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan
Trans-Nasional Di Kalimantan Barat adalah penting bagi negara-negara untuk “meningkatkan
kerjasama internasional untuk secara kolektif menanggulangi meningkatnya ancaman
kejahatan lintas negara” tersebut.
Kejahatan lintas negara berupa perdagangan orang, memang memiliki karakteristik yang
sangat kompleks. Perkembangan kualitas kejahatan lintas negara, setiap tahunnya semakin
meningkat, seolah-olah batas- batas teritorial antara satu negara dan negara lain semakin
menghilang. Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang telah di keluarkan guna
untuk mencegah terjadinya kejahatan lintas negara, yang disesuaikan dengan instrumen hukum
internasional yang telah disepakati tahun 2000 tersebut, diharapkan mampu berfungsi dengan
baik. Bagaimanapun, kejahatan transnasional tidak hanya terjadi karena orang, barang dan jasa
bisa menyeberang perbatasan. Mereka hanya melintasi perbatasan ketika ada alasan untuk itu.
Hal yang memungkinkan terjadinya kejahatan transnasional adalah bahwa barang-barang
tertentu yang tersedia di beberapa negara dan tidak pada negara lain (meskipun ada
permintaan untuk mereka), atau bahwa perbedaan harga membuat penyelundupan
menguntungkan. Jika alasan seperti itu ada, dan peluang transportasi meningkat maka lalu
lintas dapat membuat arus perdagangan kejahatan transnasional lebih mudah.39 Selain itu, Polri
juga harus menata kembali strategi aspek – aspek struktural, instrumental dan kultural, melalui
pembidangan pembangunan kekuatan, pembinaan kekuatan/ pembinaan ke-mampuan dan
operasional dalam mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya pelayanan
39 Mas Isharyanto, Globalisasi dan Kejahatan Transnasional http://hukum.kompasiana.com/2013/04/05/globalisasi-
dan-kejahatan-transnasional-548631.html (14 April 2013)
34
masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi
manusia dengan Upaya Strategis sebagai berikut :
a. Upaya Deteksi Intelijen.
Globalisasi dan diberlakukannya pasar bebas saat ini, akan meningkatkan mobilitas penduduk
secara global. Arus perpindahan penduduk yang terkadang tidak sejalan dan tidak didukung
dengan perkembangan ekonomi negara dan ekonomi penduduk, semakin membuka peluang
terjadinya berbagai tindak pidana dan Kamtibmas yang disebabkan menigkatnya kejahatan /
pelanggaran hukum, bencana (alam, industri) kebijakan pemerintah, sosial, budaya, politik,
ekonomi, perang, sengketa perbatasan dan gangguan keamanan didalam negeri sendiri.
Sementara itu, dengan mobilitas masyarakat internasional yang tinggi dengan tidak
mempermasalahkan batas-batas, memungkinkan juga berkembangnya bentuk-bentuk
kejahatan antar negara serta berkembangnya organisasi kejahatan lintas negara yang didukung
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta teknologi, menyebabkan kejahatan
transnasional mewarnai kondisi keamanan dalam negeri.
Penanganan kejahatan transnasional tersebut memerlukan efektifitas deteksi dini, fungsi
intelijen, jaringan kerjasama internasional, dan pengungkapan kasus yang pada akhirnya
peningkatan profesionalisme lembaga terkait termasuk kepolisian. Salah satu unsur pelaksana
tugas Polri berdasarkan PERPRES NO: 52 Tahun 2010 adalah Badan Intelijen Keamanan (BA
INTELKAM), dan pada tingkat Polda Kalbar ada Direktorat Intelijen Keamanan (Dit Intelkam)
sebagai unsur palaksana di daerah Kalbar dan Sat Intelkam di tingkat Polres pada setiap
kabupaten yang ada di wilayah Kalimantan Barat serta Unit Intelkam di tingkat polsek-polsek,
dimana Intelijen Keamanan bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi intelijen dalam
bidang keamanan bagi kepentingan pelaksanaan tugas operasional dan manajemen Polri
maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam rangka mewujudkan
keamanan dalam negeri. Dalam melaksanakan deteksi dini dan memberikan peringatan
masalah dan perkembangan masalah serta perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat,
terhadap bentuk-bentuk kejahatan transnasional, serta dapat
35
mengidentifikasi ancaman, gangguan, atau hambatan terhadap Kamtibmas, fungsi intelijen
merupakan Mata dan Telinga kesatuan Polri dalam upaya mengantisipasi ancaman kejahatan
transnasional serta ancaman terhadap integritas nasional serta tegaknya kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
sebagai prasyarat terwujudnya tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan , perdarnaian abadi dan keadilan sosial, maka disadari pentingya deteksi dini
atas ancaman tersebut, sebagai peringatan dini dan langkah pencegahan dini.
Upaya mendeteksi dini kejahatan transnasional, seyogianya harus dilakukan oleh POLRI
dengan melakukan kegiatan operasional intelijen keamanan guna terselenggaranya deteksi dini
dan peringatan dini, termasuk melalui pemberdayaan seluruh personel dalam mengemban
fungsi intelijen terhadap kejahatan-kejahatan transnasional di Wilayah Kalimantan Barat serta
menyusun perkiraan intelijen keamanan dan penyajian hasil analisis setiap perkembangan
kejahatan transnasional perdagangan orang.
b. Upaya Preemtif (Penangkalan)
Dengan adanya upaya deteksi dini kejahatan transnasional yang telah dilakukan oleh Intelijen
Keamanan Polri dengan melakukan kegiatan operasional intelijen keamanan, perkiraan intelijen
keamanan dan penyajian hasil analisis setiap perkembangan kejahatan transnasional
perdagangan orang, selayaknya telah mempermudah upaya Preemtif terjadinya kejahatan-
kejahatan lintas batas negara.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam upaya preemtif terhadap tindak pidana atau
kejahatan transnasional atau kejahatan lintas batas negara dapat dilakukan dengan menjalin
kemitraan dengan para tokoh agama, tokoh politik, tokoh adat, intelektual, pengusaha, media
masa, organisasi masyarakat, dan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat yang melibatkan
seluruh komponen masyarakat di Wilayah Kalimantan Barat, khususnya wilayah-wilayah yang
berbatasan langsung dengan Malaysia.
Pola Kemitraan dalam upaya preemtif ini, dapat dilakukan dengan cara melakukan kunjungan
ke rumah-rumah masyarakat ataupun kunjungan ke
36
kantong-kantong komunitas masyarakat di perbatasan, serta untuk menjamin rasa tenteram
penduduk dan pemberdayaan potensi masyarakat dengan pola
2. Pemberdayaan community policing (Polmas) melalui pemberdayaan kemitraan dengan
lembaga pendidikan, masyarakat, tokoh masyarakat, intansi, swasta, jasa pengamanan, tokoh
agama, dan LSM yang kemudian bersama-sama membangun opini publik yang positif tentang
bahaya kejahatan transnasional perdagangan orang, sehingga terbentuk kelompok-kelompok
masyarakata yang peduli anti kejahatan perdagangan orang serta maupun kelompok peduli
terhadap keamanan lingkungan sekitarnya
3. Pemberdayaan Pengamanan Swakarsa.
Dalam menjalankan upaya preemtif dengan pola Pemberdayaan Pengamanan Swakarsa,
penangkalan kejahatan lintas batas negara dapat dilakukan dengan mengembangkan kekuatan
komponen kamtibmas swakarsa, seperti melalui PPNS, Satpam, Polsus, Kamra, Pramuka,
Saka Bhayangkara, PKS, dan berbagi komponen lainnya.
Upaya preemtif ini, di arahkan untuk meningkatkan pemberdayaan peran serta masyarakat
dalam mengamankan diri maupun lingkunganya, dengan membentuk kelompok sadar dan
peduli terhadapa kejahatan lintas negara perdagangan orang.
Selain itu juga, di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia di wilayah
Kalimantan Barat yang belum memiliki pos-pos perbatasan, dibangun pos Siskamling atau
dengan memberdayakan pos-pos yang sudah ada, untuk menghidupkan peran siskamling di
seluruh lapisan masyarakat. di jalur-jalur yang dianggap rawan kejahatan untuk mencegah
terjadinya pungli yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung awab serta mengantisipasi
tindak kejahatan transnasional.
Pentingnya pola kemitraan dan pemberdayaan potensi masyarakat di wilayah kabupaten-
kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Malaysia, akan mendukung
tugas-tugas Polri dan Pemerintah Daerah Kalbar dalam menangkal terjadinya kejahatan lintas
batas negara di tersebut,
Upaya preemtif lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan menciptakan program kerjasama
keamanan dan ketertiban dengan unsur aparat di negara Malaysia untuk memelihara situasi
kamtibmas yang
37
kondusif di wilayah perbatasan masing-masing. Melihat strategisnya keberadaan Kalimantan
Barat dan Malaysia sebagai pelintasan orang dan barang melalui wilayah pintu perbatasan,
sangat diperlukan adanya kerjasama yang kuat antara Polri dan Pemerintah Kalimantan Barat
dengan Wilayah Negara Bagian Timur Malaysia untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di
wilayah hukumnya tersebut untuk menangkal kejahatan-kejahatan lintas negara.
Dengan adanya pola kerjasama ini diharapkan terwujud partisipasi aktif masing-masing negara
terhadap tugas - tugas keamanan dan penangkalan kejahatan transnasional sehingga tercipta
hubugan kerja yang harmonis antara negara, dalam rangka penertiban kawasan perbatasan,
dan penanggulangan kejahatan transnasional serta untuk mengantisipasi berbagai ancaman
stabilitas di daerah perbatasan Kalbar sesuai Protokol Menentang Penyelundupan Migran
Melalui Darat, Laut, dan Udara.
c. Upaya Preventif (Pencegahan)
Kejahatan Perdagangan orang lintas negara sangat terkait dengan lalu lintas orang, baik
sebagai pelaku atau korban serta terkait juga dengan Teknologi informasi dan komunikasi yang
telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global, dan menyebabkan dunia
menjadi tanpa batas (borderless), serta menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan.
Konsep dasar Kejahatan Perdagangan orang lintas negara adalah pemindahan manusia dari
satu tempat ke tempat lain, dalam hal ini dari satu negara ke negara lain secara melawan
hukum dengan tujuan mencari keuntungan.
Sebagai negara anggota PBB, sebagai perwujudan komitmen Indonesia dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana transnasional yang terorganisasi, termasuk tindak pidana
penyelundupan migran. Protokol Menentang Penyelundupan Migran tersebut telah diratifikasi
oleh DPR dengan Undang-Undang No.15 Tahun 2009
Pemerintah Indonesia telah urut menandatangani instrumen hukum internasional yang secara
khusus mengatur upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang
terorganisasi, yakni United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang
Terorganisasi) pada tanggal 15 Desember 2000 di Palermo, Italia beserta dua
38
protokolnya yaitu Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially
Women and Children, Supplementing the United Nations Convention against Transnational
Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang,
Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) dan Protocol against the
Smuggling of Migrans by Land, Sea and Air, Supplementing the United Nations Convention
against Transnational Organized Crime (Protokol Menentang Penyelundupan Migran melalui
Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang Terorganisasi)
Pasal 2 Protokol Menentang Penyelundupan Migran menyatakan bahwa tujuan Protokol ini
adalah untuk mencegah dan memberantas penyelundupan migran serta memajukan kerja
sama di antara Negara- Negara Pihak untuk mencapai tujuan tersebut, dengan melindungi hak-
hak migran yang diselundupkan.
Telah diuraikan diatas, terdapat pintu-pintu gerbang (border) keluar masuk orang, kendaraan
dan barang di wilayah Kalimantan Barat yang berbatasan langsung pada 5 kabupaten yaitu
pintu gerbang Paloh Sajingan Kabupaten Sambas, Jagoi babang Kabupaten Bengkayang,
Entikong di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang serta Badau di Kabupaten Kapuas Hulu
dan selain pintu-pintu utama pada border tersebut, juga terdapat terdapat ± 62 jalan setapak
atau “jalan tikus” yang dapat dilalui masyarakat perbatasan tanpa pengawasan.
Dalam upaya preventif terhadap kejahatan lintas negara tersebut, Pasal 11 ayat (1) Protokol
menyatakan bahwa tanpa mengurangi komitmen internasional terhadap kebebasan orang
bergerak (free movement of people), maka semua negara peserta harus memperkuat
pengawasan perbatasan yang diperlukan guna mencegah dan mendeteksi kejahatan tersebut.
Selain upaya preemtif yang telah di uraikan diatas, upaya preventif harus dapat dilakukan
dengan melakukan koordinasi dengan instansi terkait baik Kepolisian, Imigrasi, TNI, Pemda
Prop.Kalbar dan Pemda Kabupaten dalam melakukan pencegahan, pengamanan dan
pengawasan di pintu-pintu perbatasan-perbatasan, terutama di daerah yang memiliki “jalan
tikus” dengan perbatasan negara Malaysia.
39
Tanpa adanya koordinasi secara terpadu antara pihak terkait serta pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi, pencegahan kejahatan lintas negara dan pengawasan yang
dilakukan didaerah perbatasn, akan sangat sulit dilakukan Kerjasama berbagai instansi di
wilayah Kalimantan Barat serta kerjasama dengan negara lain terutama Malaysia dapat
dilakukan melalui perjanjian bilateral atau memorandum saling pengertian (Memorandum of
Understanding) merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu
perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, memorandum saling pengertian
dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk, dan dapat segera berlaku
setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan.
Upaya pencegahan kejahatan lintas negara dan pengawasan di perbatasan bukanlah hal yang
mudah. Pencegahan kejahatan lintas negara perdagangan orang yang ada saat ini dimana
tujuan utama perdagangan manusia dari Indonesia adalah Malaysia, Saudi Arabia, Kuwait, Uni
Emirat Arab, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Australia. Selain
sebagai pemasok, Indonesia juga menerima perdagangan orang, antara lain dari China,
Taiwan, Thailand, Uzbekistan, Belanda, Polandia, Rusia, Venezuela, Spanyol, dan Ukraina.
Tidak menutup kemungkinan Kalimantan Barat juga pada akhirnya sebagai daerah peneriman
perdagangan orang yang diakibatkan era dunia tanpa batas dan hak untuk mencari kehidupan
yang layak, pergerakan manusia antar negara dapat memberikan peluang terjadinya aktivitas-
aktivitas legal antar negara.
Akan tetapi, disisi lain dinamika pergerakan dinamika pergerakan manusia mencakup juga
aktivitas-aktivitas ilegal harus dicegah dan diberantas. Seiring dengan perkembangan teknologi
informasi, begitu pula tindak pidana atau kejahatan lintas negara perdagangan orang turut
berkembang dengan pola-pola yang berbeda. Hal tersebut terlihat dari semakin tingginya
tingkat kejahatan lintas negara yang terjadi di Kalimantan Barat.
Untuk itu, upaya pencegahan terjadinya kejahatan lintas negara dapat dilakukan dengan
memperkuat basis masyarakat di perbatasan dengan membangun sistem manajemen
perbatasan secara integral dan komprehensif, melalui kerjasama antar instansi terkait bidang
tugasnya yakni Pemda Kabupaten, Imigrasi, Bea Cukai, kepolisian, karantina, dan kelompok-
kelompok masyarakat untuk memutus mata rantai supply and demand.
40
d. Upaya Represif.
Upaya Preemtif dan Upaya Preventif, memang lebih baik dari upaya Represif
(Penindakan/pemberantasan) kejahatan lintas negara perdagangan orang. Akan tetapi setiap
hari, para pelaku kejahatan lintas negara ini, selalu mencari berbagai cara untuk dapat
melakukan perbuatan tersebut.
Upaya terakhir yang dapat dilakukan pemerinta terhadap kejahatan lintas negara perdagangan
orang adalah upaya penindakan terhadap pelaku kejahatan lintas negara dan penegakan
hukum terhadap ancaman kejahatan tersebut dengan memberikan sanksi yang tegas dan
konsisten sesuai undang-undang yang berlaku dengan melakukan penangkapan, dan
melimpahkan berkas perkaranya sampai ke pengadilan., memutuskan jalur perdagangan orang
serta mengungkap jaringan sindikat perdagangan orang dengan melakukan operasi intelijen
dan Operasi Rutin Kewilayahan dan Operasi Khusus terpusat secara kontinyu dan
mengedepankan fungsi Reserse.
Bentuk dan karakter kejahatan transnasional perdagangan orang sangat berbeda dengan jenis
kejahatan biasa (conventional). Dampak negatif yang ditimbulkan kejahatan perdagangan
orang, sangat berpengaruh luas terhadap korban, masyarakat maupun negara, dan
mempengaruhi dan merusak stabilitas kehidupan nasional, karena kejahatan lintas negara
mencakup juga unsur asing dan warga negara asing di dalamnya. Dengan kata lain kejahatan
transnasional perdagangan orang bersifat terorganisir dan sangat merugikan masyarakat
internasional.
Oleh karena itu, terlepas dari adanya unsur tekanan dari negara-negara lain, terhadap
kejahatan lintas negara perdagangan orang sudah sepatutnya di kriminalisasikan dan dilakukan
penindakan secara tegas wujud nyata yang sekaligus merupakan tekat bangsa Indonesia untuk
mencegah dan memberantas kejahatan lintas negara termasuk kejahatan perdagangan orang,
khususnya diwilayah Kalimantan Barat, karena telah menjadi ancaman terhadap masyarakat,
bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan
terhadap hak asasi manusia.
Upaya Preemtif, Preventif dan Represif terhadap kejahatan trans nasionla perdagangan orang
oleh aparat penegak hukum di Kalbar, juga tidak terlepas dari kerjasama dunia internasional,
guna memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi aparat penegak hukum khususnya
Polri untuk menyidik pelaku kejahatan tersebut.
41
Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, merupakan salah
satu landasan berpijak yang cukup kuat bagi aparat penegak hukum khususnya Polri untuk
menyidik dan menindak pelaku kejahatan perdagangan orang, dengan didasarkan pada nilai-
nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak
dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban.
Selain itu untuk membantu upaya strategis tersebut, perlu juga didukung dengan upaya yang
telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat, yakni Pembentukan
Jejaring Dalam Penanganan Korban Traffiking Sosialisasi Dan Advokasi Secara Terpadu Di
Lingkup Instansi Pemerintah Dan Masyarakat, Sosialisasi Dan Advokasi Secara Berjenjang
Dilingkup Pemerintah Provinsi Dan Kabupaten/Kota, Pelatihan Keterampilan Dan Pembekalan
Terutama Bagi Calon Pekerja Baik Dalam Negeri Maupun Luar Negeri, Pelatihan Keterampilan
Bagi Korban Trafficking, Pelatihanketerampilan Bagi Kelompok Perempuan Didaerah Rawan
Trafficking, Penindakan Dan Penegakan Hukum Secara Tegas, Konsisten Dan Terus Menerus
Terhadap Pelaku Perdagangan Orang Dan Mereka Yang Mendukungnya.40
40 Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat Dan Keluarga Berencana Provinsi Kalimantan Barat :
Perdagangan Orang (Trafficking) Terutama Perempuan & Anak Di Kalimantan Barat.
42
BAB VI.
PENUTUP.
a. Kesimpulan.
Kejahatan Lintas Negara atau Kejahatan Transnasional atau Transnational Crimes berupa
Perdagangan Orang, telah mewarnai bentuk kejahatan global yang melibatkan 2 atau lebih
warga negara. Meningkatnya intensitas perdagangan orang yang juga di sebabkan tingginya
supplay dan demand terhadap orang untuk diperjualbelikan telah menjadi ancaman keamanan
bentuk ancaman keamanan lintas negara yang paling menonjol pada dekade terakhir.
Kejahatan lintas negara tersebut telah mempengaruhi kebijakan keamanan global dan
pertahanan negara-negara besar yang menempatkan kejahatan lintas negara menjadi
permasalahan bersama dan bagi Indonesia khususnya Propinsi Kalimantan Barat, kejahatan
lintas negara telah sangat merugikan kepentingan nasional dan sendi-sendi kehidupan
masyarakat, sehingga merupakan prioritas untuk ditangani, termasuk bekerja sama dengan
sejumlah negara sahabat, terutama negara yang berbatasan langsung dengan Wilayah
Kalimantan Barat. Kejahatan perdagangan orang termasuk pelanggaran HAM. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat sejumlah ketentuan mengenai
perlindungan HAM, yaitu: a. setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat
(2)); b. setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal
28G ayat (1)); dan c. setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia (Pasal 28G ayat (2)); serta d. hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan hak untuk tidak diperbudak
(Pasal 28I ayat (1)). Kejahatan lintas negara perdagangan orang, merupakan tindakan yang
bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia,
sehingga harus diberantas, karena
43
perlindungan terhadap setiap Warga Negara Indonesia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa, yang memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang
dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga apabila upaya-upaya Strategis Dalam Rangka
Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Trans Nasional Di Kalimantan Barat berupa
upaya Intelijen, Preemtif, Preventif dan Represif tidak dilakukan dengan cepat, akan menjadi
ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan
yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kejahatan lintas negara, yang salah
satunya adalah Kejahatan Perdagangan Orang, telah pula menjadi isu penting bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan kedalam Buku Putih Pertahanan Indonesia
2008.41 Penegakan hukum terhadap kejahatan lintas negara harus dilaksanakan dan ditegakkan
dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Trans Nasional Di Kalimantan
Barat. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, tetapi penegakan hukum yang mengandung nilai-nilai yang sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.42
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah43:
1. Faktor hukumnya sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti
materiel, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun
daerah yang sah. Dengan demikian, maka undang-undang dalam arti materiel mencakup:
a. Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja
maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara.
b. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, karena mencakup mereka yang
secara langsung dan tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan.
41 Lihat Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 (Departemen Pertahanan Republik Indonesia)
http://www.balitbang.dephan.go.id/buku_putih/bukuputih.pdf (14 April 2013)
42 Buku Kajian, Masalah Penyelundupan dan Perdagangan Orang di Indonesia (DPR RI
http://www.dpr.go.id/bukukajian/Masalah-Penyelundupan-dan-Perdagangan-Orang-di-Indonesia-2009.pdf (14
April 2013)
43 Ibid.
44
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana atau fasilitas
tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi
yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam
masyarakat. Masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum.
5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasanya yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat.
b. Saran-Saran. Dengan upaya-upaya Strategis Dalam Rangka Pencegahan Dan
Penanggulangan Kejahatan Trans Nasional Di Kalimantan Barat berupa upaya Intelijen, upaya
Preemtif, upaya Preventif dan upaya Represif, harus dilakukan dengan cepat dan taktis serta
dengan memperkuat basis masyarakat di perbatasan dengan membangun sistem manajemen
perbatasan secara integral dan komprehensif, melalui kerjasama Polri dengan instansi terkait
dalam penegakan hukum kejahatan lintas negara di wilayah Propinsi Kalimantan Barat.
Dalam penegakan hukum dan upaya Strategis Dalam Rangka Pencegahan Dan
Penanggulangan Kejahatan Trans Nasional Di Kalimantan Barat, Kepolisian RI (Polri)
merupakan garda terdepan dalam menangani suatu tindak pidana. Polri bertindak sebagai
penyidik yang melakukan serangkaian tindakan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 1
angka 2 KUHAP. untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sebagaimana Pasal 58 UU No. 21 Tahun 2007 yang mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah untuk membentuk gugus tugas. Sangat penting di Kalimantan Barat dibentuk gugus
tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. Gugus
tugas tersebut merupakan lembaga yang bertugas:
a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerjasama;
45
c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi
rehabilitasi,pemulangan, dan reintegrasi sosial;
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi. Selain itu, hal yang paling utama dalam
melaksanakan upaya-upaya Strategis Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan
Kejahatan Trans Nasional Di Kalimantan Barat berupa upaya Intelijen, Preemtif, Preventif dan
Represif tidak dilakukan dengan cepat, adalah pentingnya komitmen Pemerintah dan
masyarakat yang peduli terhadap pencegahan kejahatan lintas negara serta penanganan
korban perdagangan orang dan masih kurangnya aturan pendukung terutama di daerah, serta
meningkatkan anggaran atau dana untuk mendukung upaya tersebut.
46
Daftar Pustaka dan Bahan Bacaan
Buku-Buku
Rosenberg, Ruth, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, International Catholic
Migration Commission (ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS),
2003.
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2007:24
Barda Nawawi Arief, dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung, Alumni, 1998:148 (Dalam Tesis Ridwan, S.H. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana
Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. 2010)
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT.Eresco. Bandung 1995:47
Mr.W.A.Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi,P.T.Pembangunan Djakarta,1970:10
Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat , Kalimantan Barat Dalam Angka 2012
Lampiran Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dan Eksploitasi Seksual Anak (PTPPO Dan ESA) 2009-2014
Undang-undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Undang-Undang RI No. 5 tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation Convention Againt
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak
Pidana Transnasional yang Terorganisasi);
Undang-Undang RI No. 14 tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and
Punish Trafficking in Persons, Espacially Women and Children, Sipplementing the United
Nations Convention Againt Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah,
Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak-Anak,
melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Tindak Pidana Transnasional
yang terorganisasi); PERPRES NO: 52 Tahun 2010 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata
Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia
Internet ( Website dan Blog)
BAPPENAS: Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara
di Indonesia. Bab II. https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6
47
&cad=rja&ved=0CGMQFjAF&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Fget-fileserver
%2Fnode
%2F2545%2F&ei=e7liUcueGcfMrQfW0IHoBA&usg=AFQjCNFhty6fpASWOcL7M3bM28fIpnzgz
Q&sig2=Q0dSpHpPvEhs-bU48MK7TA (5 April 2013)
Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat Dan Keluarga Berencana Provinsi
Kalimantan Barat : Perdagangan Orang (Trafficking) Terutama Perempuan & Anak Di
Kalimantan Barat http://kalbarprov.go.id/file/dokumen/trafficking2010.pdf (6 April 2013)
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/komunikasi/article/viewFile/2105/2540 (10 April 2013)
Manshur Zikri, Kejahatan:”apakah itu?”, Usaha mendefenisijan dan menakar masalah kejahatan
http://manshurzikri.wordpress.com/2012/04/06/kejahatan-apakah-itu-usaha-mendefinisikan-dan-
menakar-masalah-kejahatan-3/ (10 April 2013)
Sigit Fahrudin, Law Online Library. Kejahatan Transnasional. Apa Maksudnya?
http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/kejahatan-transnasional-apa-maksudyna.html (10
April 2013) 1Jurnal Srigunting, Kejahatan Transnasional.
http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2011/12/05/kejahatan-transnasional/ (10 April 2013)
Laporan Perdangangan Manusia 2012 Indonesia - Tier 2
http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/news/tip-report_2012.html (11 April 2013)
BAPPENAS : Kawasan Perbatasan: Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Antarnegara di Indonesia. http://www.bappenas.go.id/node/108/828/kawasan-
perbatasan-kebijakan-dan-strategi-nasional-pengelolaan-kawasan-perbatasan-antarnegara-di-
indonesia/ (11 April 2013)
Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat Dan Keluarga Berencana Provinsi
Kalimantan Barat Perdagangan Orang (Trafficking) Terutama Perempuan & Anak Di
Kalimantan Barat. http://kalbarprov.go.id/file/dokumen/trafficking2010.pdf (11 April 2013)
Jurnal Srigunting, Kejahatan Transnasional
http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2011/12/05/kejahatan-transnasional/ (12 April 2013)
Masinus, Hukum Pidana Internasional, Kejahatan Internasional (International Crime) Dan
Kejahatan Transnasional Terorganisir (Transnational Organized Crime) Kejahatan
http://www.slideshare.net/bresharyvan/kejahatan-internasional-komplit (13 April 2013) Hukum
Online, Para Jaksa Agung ASEAN Bahas Kejahatan Transnasional
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15246/para-jaksa-agung-asean-bahas-kejahatan-
transnasional (13 April 2013) ------------, Kejahatan Transnasional Meningkat
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50f3a3710b543/kejahatan-transnasional-meningkat
(13 April 3013)
Sidik Suhada , Kasus “Trafficking” dan Problem Agraria. http://www.kpa.or.id/?p=774 (13 April
2013)
48
Zaky Alkazar Nasution, S.H, (Tesis) Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak
Korban Perdagangan Manusia (Trafficking In Persons)
http://eprints.undip.ac.id/17904/1/Zaky_Alkazar_Nasution.pdf (13 April 2013)
Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, Masyarakat Dan Keluarga Berencana Provinsi
Kalimantan Barat : Perdagangan Orang (Trafficking) Terutama Perempuan & Anak Di
Kalimantan Barat
Simela Victor Muhamad, Perdagangan Orang Antarnegara: Upaya Pencegahan Dan
Penanganannya Di Kalimantan Barat Dan Sumatera Utara, 2009 (dalam Buku Kajian Masalah
Penyelundupan dan Perdagangan Orang di Indonesia 2009: Bagian Ke empat)
http://www.dpr.go.id/bukukajian/Masalah-Penyelundupan-dan-Perdagangan-Orang-di-
Indonesia-2009.pdf (14 April 2013)
Migrant CARE, Statement Migrant CARE utk International Migrant' Day 2012
http://www.migrantcare.net/ (14 April 2013)
Mas Isharyanto, Globalisasi dan Kejahatan Transnasional
http://hukum.kompasiana.com/2013/04/05/globalisasi-dan-kejahatan-transnasional-
548631.html (14 April 2013)
Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008 (Departemen Pertahanan Republik Indonesia)
http://www.balitbang.dephan.go.id/buku_putih/bukuputih.pdf (14 April 2013)
Buku Kajian, Masalah Penyelundupan dan Perdagangan Orang di Indonesia (DPR RI
http://www.dpr.go.id/bukukajian/Masalah-Penyelundupan-dan-Perdagangan-Orang-di-
Indonesia-2009.pdf (14 April 2013)