.XPSXODQ $EVWUDN - brsdm.kkp.go.idbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Kumpulan...
Transcript of .XPSXODQ $EVWUDN - brsdm.kkp.go.idbrsdm.kkp.go.id/__asset/__images/content_wysiwyg/Kumpulan...
Kumpulan AbstrakGelar Hasil Riset dan Inovasi Teknologi Kelautan dan PerikananTahun 2017
1 | P a g e
BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kappaficus alvarezii TERINTEGERASI DENGAN KEBUN
BIBIT RUMPUT LAUT DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA
BARAT
Oleh:
Bambang Priono*)
, Petrus Rani Pong-Massak**)
dan Endhay Kusnendar***)
*) Peneliti pada Puslitbang Perikanan Budidaya, Jakarta
**) Peneliti Loka Litbang Budidaya Rumput Laut, Gorontalo
***) Perekayasa Utama pada Puslitbang Perikanan Budidaya, Jakarta
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Usaha budidaya rumput laut telah berkembang demikian pesatnya, terutama di kawasan timur Indonesia,
namun produktivitasnya sangat berfluktuasi yang disebabkan oleh salah satunya adalah kurangnya ketersediaan bibit
berkualitas baik. Untuk mendapatkan bibit rumput laut yang berkualitas dengan pertumbuhan cepat dapat dilakukan
dengan pembuatan kebun bibit rumput laut. Kebun bibit umput yang dikelola dengan baik maka akan dapat
mengatasi kurangnya ketersediaan bibit rumput laut di tingkat pembudidaya. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengenalkan teknik pembibitan rumput laut dalam suatu kawasan yang diintegrasikan dengan budidaya rumput
lautKappaficus alfarezii. Metode penelitian yang digunakan adalah seleksi varietas dari satu populasi sehingga
diperoleh keseragaman bibit rumput laut terutama dari sisi laju pertumbuhan dan performasinya. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa dari satu populasi induk rumput laut yang dikembangkan ke dalam kawasan
budidaya seluas 33.000 m2
diperoleh bibit rumput laut yang memiliki laju pertumbuhan harian (LPH) rata-rata
berdasarkan statifikasinya adalah generasi 1 (G1) sebesar 5,4%, G2 sebesar 3,8% dan G3 sebesar 5,1%. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa bibit rumput laut yang dihasilkan memiliki keseragaman pertumbuhan
(performasi) yang sangat baik dan direkomendasikan dapat dikembangkan sebagai bibit rumput laut “unggul’”
karena memiliki rata-rata laju pertumbuhan diatas 3%.
Kata kunci: rumput lautK. alvarezii, budidya terintegerasi, kebun bibit, laju pertumbuhan harian
ABSTRACTS: Seaweeds cultured (Kappaficus alvarezii) on integrated with
farming field of seedling seaweed in Lombok Timur district
of West Nusa Tenggara province, by Bambang Priono, Petrus
Rani Pong-Massak dan Endhay Kusnendar. Seaweed cultured was developed in country, especially in east of Indonesia area, its production are
fluctually cause by not enough of goodseeds quality. Seeds of seaweed farming is ones solution to produces good
quality of seaweeds. The aim of these study are to introdeced the technic how to mantinence seaweeds farming on
integration by seaweeds cultured. Methodes of these researchs are selection of population seaweeds and cultured in
longline rafts. Research results shows that ones population produced of 5.4% of daily growth rates for G1 (first
harvesting), 3.8% of G2 (second harvesting and 5.1% of G3 (thirth harvesting). These means said that seeds of
seaweeds are has a good performances and can be recomended to seaweeds farming area.
Key words: K. Alvarezii seaweeds, seaweeds farming, daily growth rate.
1
KEPADATAN STOK, KOMPOSISI JENIS IKAN DEMERSAL DAN
UDANG DI SELAT TIWORO, SULAWESI TENGGARA
STOCK DENSITY, SPECIES COMPOSITION OF DEMERSAL FISH AND
SHRIMP IN TIWORO STRAIT, SOUTHEAST SULAWESI
Nurulludin1)
, Duranta Diandria Kembaren2)
dan Tri Ernawati2)
1Peneliti pada Pusat Riset Perikanan, Ancol-Jakarta
2Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Cibinong- Jawa Barat
ABSTRAK
Penelitian inidilakukan dengan kapal pukat tarik di Selat Tiworo, pada bulan Desember 2015.
Kapal yang digunakan berukuran 10 GT yang berbasis di Pangkalan Pendaratan Ikan, Bombana.
Estimasi kepadatan stok dilakukan dengan menggunakan metode sapuan dengan pengambilan
contoh acak bertingkat. Hasil penelitian diperoleh rata-rata laju tangkap ikan demersal 46,171
kg/jam dengan kepadatan stok rata-rata sebesar 3,6 ton/km2, sedangkanudang 1,537 kg/jam
dengan kepadatan stok 0,18 ton/km2. Kepadatan stok ikan demersal tertinggi 4.588,55
kg/km2terdapat pada strata kedalaman 30-40 m dan terendah 2.925 kg/km
2 pada strata kedalaman
20-30 m. Komoditas udang diperoleh kepadatan stok udang tertinggi pada kedalaman 10-20 m
(380,91 kg/km2) dan terendah 1,85 kg/km2 pada kedalaman 30-40 m. Komposisi 10 (sepuluh)
besar hasil tangkapan didominasi family Leiognathidae 17,78%, Nemipteridae 8,66 %, Serranidae
6,87%, Myxinidae 6,33%, Trichiuridae 5,66%, Psettodidae 5,21%, Tetraodontidae 4,54%,
Scianidae 4,13% dan Apogonidae 3,77%. Sumberdaya udang didominasi dari jenis Trachipenaeus
asver 35,59%, Metapenaeus ensis 22,73%, Penaeus semisulcatus 13,43%, Penaaeus longistilus
12,47%, Penaeus merguensis 4,27%, Penaeus monodon 1,71%, dan Penaeus indicus 0,07%.
Kata kunci : Demersal, Laju tangkap, Kepadatan stok, Selat Tiworo
ABSTRACT
The Research was conducted by trawling vessels in the Tiworo Strait, in December 2015. The
vessels used were 10 GT based on the Fish Landing Base, Bombana.The study was basically
conducted by applying swept area method withstratified random sampling. The result showed that
average demersal fish catch rate was 46,171 kg / hour with average stock density 3,6 ton / km2,
while shrimp 1,537 kg / hour with stock density 0,18 ton / km2. The highest demersal fish stock
density of 4,588.55 kg / km2 is found at the depth of 30-40 m and the lowest 2925 kg / km2in the
depth of 20-30 m. Shrimp commodities obtained highest shrimp stock density at depth 10-20 m
(380,91 kg / km2) and lowest 1,85 kg / km2 at 30-40 m depth. Composition of 10 (ten) big catches
dominated by Family is Leiognathidae 17,78%,Nemipteridae 8,66%, Serranidae 6,87%, Myxinidae
6,33%, Trichiuridae 5,66%, Psettodidae 5,21 %, Tetraodontidae 4.54%, Scianidae 4.13% and
Apogonidae 3.77%.Shrimp resources are dominated by Trachipenaeus asver species 35.59%,
Metapenaeus ensis 22.73%, Penaeus semisulcatus 13.43%, Penaeus longistilus 12.47%, Penaeus
merguensis 4.27%, Penaeus monodon 1.71%, and Penaeus indicus 0.07%.
KEYWORDS; Demersal fish, Shrimp, Catch rate, Stock density, Tiworo strait
PENDEDERAN POST PUERULUS LOBSTER PASIR (Panulirus homarus) DI BAK BETON
DENGAN KOMBINASI PAKAN BERBEDA
Bejo Slamet dan Ibnu Rusdi
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
BD Gondol, Ds Penyabangan, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng, Kotak pos 140,
Singaraja, Bali 81101
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Lobster pasir (Panulirus homarus) bernilai ekonomis tinggi di pasar Asia-Pasifik. Penelitian bertujuan
untuk mendapatkan kombinasi pakan terbaik untuk pendederan post-puerulus lobster pasir. Post puerulus
yang digunakan dengan berat badan 0,80±0,027 g dan panjang total 30,1±1,25 mm, serta padat tebar 25
ekor/wadah. Perlakuan kombinasi pakan yang diuji adalah A. ikan dan daging kerang hijau (1:1), B. ikan
dan udang rebon (1:1), C. ikan dan daging kerang darah (1:1) dan D. pelet kering. Penelitian
menggunakan acak lengkap dengan 3 ulangan. Pakan segar (perlakuan A, B dan C) diberikan 10%
biomass per hari, sedangkan pelet kering (perlakuan D) 5% biomass per hari. Pengamatan sintasan dan
pertumbuhan panjang dan berat dilakukan setiap bulan sekali selama 3 bulan pemeliharaan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sintasan tertinggi dihasilkan pada perlakuan D (42,13%) dan terendah
pada perlakuan B (17,80%), berbeda nyata (p<0,05) terhadap semua perlakuan sedangkan antara
perlakuan A (29,20%) dan C (26,33%) tidak berbeda nyata (p>0,05). Pertumbuhan panjang dan berat
badan yang tertinggi pada perlakuan A tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap C, disusul kemudian pada B
serta yang terendah pada D yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap semua perlakuan.
Kata kunci : lobster pasir, post puerulus, pendederan, kombinasi pakan
ABSTRACT : Nursery of scalloped spiny lobster (Panulirus homarus) post puerulus in concrete tank
with different feed combination. By : Bejo Slamet dan Ibnu Rusdi
Scalloped spiny lobster (Panulirus homarus) is a high economic value in Asian-Pasific markets. The
purpose of this study was to determine the best combination of feed for nursery. The post puerulus with
body weight 0.8±0.027 g and total length 30.1±1.25 mm was reared at density of 25 ind./cage. Four
different foods were used as treatments, i.e.: A. combination of fish and green mussel (1:1), B. fish and
krill (1:1) (B), C. fish and blood clam (1:1) and D. dry pellet. A complete random design was used as an
experiment design, with 3 replicated. Feeding with dose 10% of biomass for fresh fish (treatment A, B
and C) and 5% of biomass for dry pellet (treatment D). The sampling of fry were conducted every month
to measure of survival rate, total length and body weight. The study was conducted for 3 months. The
result show that the best survival rate on treatment D (42,13%), and lowest survival rate on treatment B
(17,80%), was significant different (p<0.05) among treatments; between A (29,20%) dan C (26,33%) was
not significant different (p>0,05). The best growth of total length and body weight was on treatment A,
was not significant different (p>0,05) with C, followed by treatment B and lowest on D was significant
different (p<0,05) among treatments.
Keywords: scalloped spiny lobster, post puerulus, nursery, feed combination
PEMBERIAN PAKAN DALAM BENTUK TEPUNG PADA PEMELIHARAAN
LARVA ABALON Haliotis squamata
Fitriyah Husnul Khotimah1, Gusti Ngurah Permana
1,
Ibnu Rusdi1, dan Bambang Susanto
1
1Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluh Perikanan,P.O. Box 140 Singaraja 81101,
Tel.: +62-36292278
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Kematian yang tinggi setelah abalone menempel pada plate pemeliharaan merupakan masalah umum
dalam produksi abalon. Umumnya kematian larva abalon terjadi pada dua bulan pertama setelah
penempelan (>90%). Penggunaan pakan dalam bentuk tepung untuk mengganti diatom sebagai pakan
postlarva beberapa spesies ikan, udangdan abalon sudah dilakukan.Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penggunaan pakan sebagai pengganti diatom yang sesuaiuntuk pertumbuhan larva abalon
(Haliotis squamata). Ada 5perlakuan pemberian pakan pada larva abalonyaitu tepung Spirulina
sp.,Ulva sp.,Chaetoceros sp., Gracilaria sp.dan diatom(kontrol). Masing-masingperlakuan diulang4
kali. Pakan yang akan digunakan dalam masing-masing perlakuan penelitian, terlebih dahulu
ditambahkan dengan larutan tepung agar yang sudah mendidih dengan konsentrasi 7,5 mg/mL dalam
air laut.Suhu larutan tersebut kemudian diturunkan hingga mencapai 40°C. Setelah itu larutan tersebut
ditambahkan 40 mg/mL tepungpakan pada masing-masing perlakuan.Pemberian pakan dilakukan
dengan cara menyemprotkan larutan pakan pada plate pemeliharaan larva. Penyemprotan dan
penambahan pakan dilakukan setiap 3 hari.Penelitian dilakukan selama30 hari. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa laju kelangsungan hiduplarva abalon setelah diberi makan menggunakan
Spirulina sp.berbeda nyata lebih tinggi (P<0,05)dari pada diatom, Chaetoceros sp. dan Ulva
sp.,masing-masing81,49 %; 79,25 %; 76,57 % dan 76,46 %, tetapi tidak berbeda nyata dengan yang
diberi pakan Gracilaria sp. 81,37 % (P>0,05). Laju pertumbuhan panjang cangkang harian larva abalon
yang diberi pakan pada perlakuan D (Gracilaria sp.) dan perlakuan A (Spirulina sp.) menunjukkan
nilai paling tinggi (P<0,05), sedangkan nilai laju pertumbuhan panjang cangkang harian paling rendah
(P>0,05)dijumpai pada perlakuan B (Ulva sp.).
Kata Kunci : Haliotis squamata, tepung pakan, laju kelangsungan hidup, pertumbuhan
ABSTRACT : Feeding in flour form for abalonHaliotis Squamata larvae maintenance.By : Fitriyah
Husnul Khotimah, Gusti Ngurah Permana, Ibnu Rusdi, and Bambang Susanto
High mortality after abalone settle is a common problem in abalone production. Most mortality occurs
during the first two months after larval settlement. Studies investigating the use of micro particle
dietsto replace natural feed for feeding postlarval have been performed in various species of fish,
shrimp and abalone. This research aimed to determine the information of suitable diet as a substitute
for diatom topromote the growth of abalone larvae. There were fivetreatments of abalone larvae
feeding on that Spirulina sp. powder, Ulva sp. powder, Chaetoceros sp. powder, Gracilaria sp. powder
and diatoms (control)Each treatment was repeated 4 times. The feed to be used in each of the research
treatments was firstly added to a boiling agar flour solution with a concentration of 7.5 mg / mL in
seawater. then the solution temperature was cooled to 40 ° C. After which 40 mg/mL powder feed was
added on each treatment. The solution was trasferred to a spayer. Spraying and the addition of feed
every 3 days.The study was conducted over 30 days. The results showed that the rate of survival and
growth of larval abalone after being fed using different Spirulina sp. significantly higher P <0.05) of
the diatom, Chaetoceros sp. and Ulva sp., respectively 81.49%; 79.25%; 76.57% and 76.46%, but not
significantly different from those fed Gracilaria sp. 81.37% (P> 0.05). Daily growth rate of abalone
larvae shell lenght fed with D treatment (Gracilaria sp.) and A treatment (Spirulina sp.) showed the
highest value (P <0.05), while the lowest daily shell length (P> 0.05) was found in treatment B (Ulva
sp.).
Keywords : Haliotis squamata, feed powder, the survival rate, growth
KEPADATAN OPTIMAL BENIH IKAN KERAPU SUNU, Plectrpomus Leopardus
PADA PENDEDERAN DALAM BAK TERKONTROL
Anak Agung Alit, dan Ketut Maha Setiawati
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
Email : a_alit@Yahoo. com
ABSTRAK
Ikan kerapu sunu merupakan salah satu komoditas perikanan yang dapat menghasilkan
devisa negara melalui ekspor. Oleh karena itu, usaha budidaya pembenihan dan
pendederan terus dilakukan untuk menigkatkan pertumbuhan dan sintasan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk memperoleh data kepadatan yang tepat pada pendederan
kerapu sunu yang mendukung pertumbuhan dan sintasan yang optimal. Penelitian telah
dilakukan di hatchery Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
Gondol, Bali. Wadah percobaan yang digunakan adalah bak fiber dengan ukuran volume
1m³ sebanyak 12 tangki. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah benih
kerapu sunu hasil pembenihan di hatchery dengan panjang total 2,98 – 3,10 cm , dan
bobot 0,44 – 0,48 g. Benih ikan kerapu sunu dipelihara di tangki fiber. Ikan diberi pakan
pelet komersil dengan kandungan protein 48%, dan pakan tambahan adalah udang mysid
(jembret) selama 10 hari pertama. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari (pukul 8.00,
12.00, dan 16.00 wita) selama 90 hari. Perlakuan kepadatan yang dicobakan dalam
penelitian adalah : Perlakuan A = 100 ekor/m³ , B = 150 ekor/m³, C = 200 ekor/m³, dan
D = 250ekor/m³. Penelitian didesain dengan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan
dan 3 kali. Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa menghasilkan sintasan 98,83% dan pertumbuhan harian (0,20
g/hari).
Kata Kunci : kerapu sunu, pendederan, padat tebar, pertumbuhan, dan sintasan.
ABSTRACT
Grouper of coral trout are one of the fishery commodities that can generate foreign
exchange through export. Therefore, the cultivation of hatchery and nursery continue to
increase the growth and survival rate. The objective of this study was to obtain an
appropriate density data on the nursery grouper of coral trout that supported optimal
growth and optimality. The research has been conducted in hatchery of the Institute for
Mariculture Research and Fishery Counseling (BBRBLPP), Bali. The experimental used
is a fiber tank with a volume size of 1m³ of 12 tanks. The animals used in this study were
seeding results of hatchery grouper in hatchery with a total length of 2.98 - 3.10 cm, and
weights 0.44 - 0.48 g. Seeds of grouper coral trout are kept in fiber tanks. Fish are fed
commercial pellets with 48% protein content, and additional feed is mysid shrimp
(jembret) for the first 10 days. Frequency of feeding 3 times a day (at 8:00, 12:00, and
16:00 local time) for 90 days. The density treatments in this study were: Treatment A =
100 pc / m³, B = 150 pc / m³, C = 200 pc / m³, and D = 250pc / m³. The study was
designed with a complete randomized design with 4 treatments and 3 times. Data were
analyzed using ANOVA and descriptive. The results showed that survival rate was
98.83%, and daily growth (0.20 g / day)..
Keywords : grouper of coral trout, nursery, density, growth, and survival rate
1
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN NUTRISI BENIH KERAPU SUNU (Plectropomus
leopardus)PADA SALINITAS BERBEDA
Ketut Maha Setiawati, Daniar Kusumawati, A.A. Ketut Alit
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan, Gondol-Bali
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap petumbuhan, nilai konversi
pakan (FCR) kelangsungan hidup, dan kandungan nutrisi (lemak,protein,abu dan total karotenoid)serta
kualitas air selama pemeliharaan benih kerapu sunu.Hewan uji benih kerapu sunu yang digunakan
berukuran panjang total 8,45 ±0,99 cm, 9,6±3 g. Setiap bak diisi ikan 20 ekor/bak. Perlakuan yang diuji
yaitu perbedaan salinitas A.15±1ppt (A), 20±1 ppt (B), 25±1 ppt (C), 30± ppt (D) dan air laut sebagai
kontrol 34 ppt (E). Salinitas diatur dengan menambahkan air tawar dan air laut sampai pada salinitas
yang diinginkan. Pakan yang diberikan berupa pakan buatan. Pemberian pakan dilakukan secara
adlibitum (sampai kenyang). Penelitian ini dilakukan selama 60 hari. Variabel yang diamati adalah
pertumbuhan (panjang dan berat tubuh), kualitas air (suhu air, pH, ammonia dan nitrit), konversi pakan,
dan kandungan nutrisi ikan(lemak,protein,abu dan total karotenoid). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemeliharaan benih kerapu sunu pada salinitas 15, 20,25, 30 dan 34 ppt menghasilkan sintasan
95-100%. SGR pada salinitas 15-30 ppt lebih tinggi (1,68-2.00%/hari) daripada salinitas air laut
(1,54%/hari). Pertumbuhan mutlak pada salinitas 15-30 ppt lebih tinggi (16,46-22,36g) daripada salinitas
air laut 34 ppt (15,5g). Konversi pakan pada salinitas 15-30ppt lebih rendah (1,43-1,56) daripada air laut
1,65. Perbedaan salinitas memberikan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap kandungan protein dan
lemak benih ikan kerapu sunu. Perbedaan salinitas berpengaruh sangat nyata pada kandungan total
karotenoid dan abu. Kandungan karotenoid pada perlakuan A, B, C, D dan E masing-masing adalah
5.709,5±16,3; 5.912,5±16,3; 7.818,0±15.6; 9.281.5±211,4; 10.456,0±479,4 µg/100g and ash in fish
7,36±0,11; 10,29±0,77; 14,6±0,67; 15,21±1,07; 16,6 ±0,52%.
Kata kunci : Benih kerapu sunu, salinitas, pertumbuhan, nutrisi.
ABSTRACT:The growth and nutrition content in coral trout fingerling (Plectropomus leopardus) in
different salinities
This aim of this study was to know the effect of salinity on growth, feed conversion rate (FCR) survival,
and the content of nutrients (fat, protein, ash and total carotenoids) of coral trout. Coral trout with total
length 8.45 ± 0.99 cm, 9.6 ± 3 g were used animal test. The density of fish 20ind/tank. Salinity treatment
were : 15 ± 1ppt (A), 20 ± 1 ppt (B), 25 ± 1 ppt (C), 30 ± ppt (D) and sea water as control 34 ppt
(E).Salinity was adjusted by adding fresh water and sea water.Water exchange system with recirculation
every 7 days around 25%. This research was done for 60 days. The variables measured were growth
(length and weight), water quality (water temperature, pH, ammonia and nitrite), feed conversion and
nutrient content of fish (fat, protein, ash and total carotenoids). The results showed that the maintenance
of coral trout fingerlings can survive at salinity 15 to 34 ppt, survival rate 95-100%. SGR at salinity 15-
30 ppt is higher (1.68 to 2% day-1
) than seawater (1.54% day-1
).salinity pp 15-30 t higher absolute growth
(16,46-22,36g) than 34 ppt salinity of sea water (15,5g). 15-30ppt feed conversion at lower salinity (1.43
2
to 1.56) than seawater 1.65. The content of total carotenoids increases with increasing salinity
5,709.5±16.3 ; 5.912.5±16.3; 7,818.0±15.6; 9,281.5±211.4; 10,456.0±479.4) and ash in fish 7,36±0,11;
10,29±0,77; 14,6±0,67; 15,21±1,07; 16,6 ±0,52.
Identification and life cycle of marine leech isolated from hybrid grouper under laboratory
conditions
Ketut Mahardika, Indah Mastuti, Sudewi, and Zafran
Institute for Mariculture Research and Fisheries Extension PO. Box 140 Singaraja, Bali 81101
Email: [email protected]
Abstract
The aims of this study were to identify and to determine life cycle of marine leech under
laboratory conditions. Marine leeches were isolated from hybrid grouper “cantik” (Epinephelus fuscoguttatus ♀ x E. polyphekadion ♂). Observation of the life cycle of the marine leech was done
using a petri-dish (diameter 9 cm) with two groups. In group 1, the petri-dish was filled with sterile
sea water (with daily water change) and the other group was filled with continuous running water.
Results of blast homology analysis exhibited that the amino acid sequence of the marine leech isolated
from hybrid grouper "cantik" showed high similarity (99%) with Zeylanicobdella arugamensis. One
adult leech could produce 1-63 eggs. The eggs were developed into morula, blastula, and gastrula on
day-3. The early phase of embryo with daily water change treatment was started on day-6, and hatch
into larvae on day-10. Meanwhile, the eggs incubated with continuous running water were hatched
faster (8 days). However, not all eggs were hatch at the same time, some of them were hatched 1-3
days later. Hatching rate of eggs varied from 2.70-100%. The newly hatched Z. arugamensis larva has
a transparent color and length of 1-1.5 mm. On day-6, Z. arugamensis larvae were already seen to
attach to the body of the fish. The size of the larvae was reached to 3-11 mm on day-9. In that stage,
they were able to produce eggs. Therefore, we could state that Z. arugamensis required 17-22 days to
develop into adult stage.
Key words: hybrid grouper “cantik”, life cycle, marine leech, Zeylanicobdella arugamensis
1
TEKNIK PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR IKAN BANDENG(Chanos
chanos) DI MASYARAKAT MELALUI BAHAN ADITIF PADA PAKAN
Muhammad Marzuqi, R. Andamari, N.W.W. Astuti, W. Andriyanto dan N.A. Giri
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap performa reproduksi induk ikan
bandeng. Pemeliharaan induk bandeng saat di masyarakat menggunakan pelet komersil. Namun pelet
komersil tersebut bukan merupakan pakan yang spesifik untuk induk bandeng sehingga perlu
diperkaya untuk dapat menghasilkan performa pemijahan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan performa pemijahan induk ikan bandeng melalui aplikasi bahan pengkaya pada pakan
induk. Penelitian dilakukan dengan menggunakan induk bandeng milik masyarakat di dua lokasi yaitu
di Desa Banyupoh dan Desa Sanggalangit, Bali Utara. Jumlah induk yang digunakan adalah 95 ekor
yang dipelihara dalam 2 buah bak volume 100 m3 (di Desa Banyupoh) dan 100 ekor yang dipelihara
dalam 2 buah bak volume 100 m3
(di Desa Sanggalangit). Bahan aditif yang digunakan adalah
campuran lesitin, minyak cumi, minyak ikan, minyak jagung, vitamin E dan vitamin C. Bahan aditif
tersebut dibuat dalam bentuk emulsi dan dicampur ke dalam pakan dengan dosis sebesar 120 g/kg
pakan. Sebagai kontrol digunakan pakan tanpa penambahan bahan aditif. Pakan diberikan 2-3 kali
sehari sampai ikan kenyang. Penelitian berlangsung selama 10 bulan. Parameter yang diamati
meliputi produksi dan kualitas telur serta frekuensi pemijahan. Hasil penelitian menunjukkan
pengunaan bahan aditif dalam pakan meningkatkan produksi telur masing-masing sebesar 56% dan
102% dibandingkan kontrol untuk induk di Desa Banyupoh dan di Sanggalangit. Pakan dengan bahan
aditif mampu meningkatkan frekuensi pemijahan induk dengan rerata sebanyak 5 kali/bulan di
Banyupoh dan 4 kali/bulan di Sanggalangit. Teknik penambahan bahan aditif pada pakan dapat
diterapkan pada pemeliharaan induk bandeng untuk mendukung produksi telur yang baik.
Kata Kunci : Bahan aditif, pakan, produksi telur, induk ikan bandeng
ABSTRACT
Feed is one of the factors that affect the reproduction performance of milkfish broodstock. The
milkfish rearing in the community using commercial pellets. However, the commercial pellet is not a
specific feed for milkfish, so needs to enriched feed for spawning performance.
The purpose of this study was to improve spawning performance of milkfish broodstockwith
application of feed additif formulation.The study was conducted by using community-owned milkfish
in two locations, namely in Banyupoh Village and Sanggalangit Village, North Bali. Thenumber of
broodstock used 95 pcs reared in 2 concrete tanks with a capacity of 100 m3 (at Banyupoh village)
and100 pcs reared in 2 concrete tanks with a capacity of 100 m3(at Sanggalangit Village).The feed
additif formulation used mixture of lecithin, squid oil, fish oil, corn oil, vitamin E and vitamin C. The
additif formulation was prepared in emulsion form and mixed with 120 g / kg dosage of feed. As
control feed used without additif feed.Feed frequency used 2-3 times per day to satition. The
experiment for 10 months.Parameters observed included egg production, egg quality and spawning
frequency. The results showed that feed additif formulation additives increased egg production to 56%
and 102%, compared to control feed in Banyupoh Village and in Sanggalangit, respectively. Feed
additif to increased on frequency spawning of broodstock with 5 times average / month in Banyupoh
and 4 times average / month in Sanggalangit. The technique of feed additif formulation to applied on
broodstock milkfish rearing to support the egg production .
Key Words: feed additif formulation, egg production, milk fish broodstock
2
PERFORMANSI PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN
KERAPU SUNU Plectropomus leopardus (Lacepède, 1802) DENGAN WAKTU AWAL
PEMBERIAN PAKAN BUATAN BERBEDA
Regina Melianawati dan Ni Wayan Widya Astuti
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
Po Box 140, Singaraja, Bali
ABSTRAK
Produksi benih ikan kerapu sunu dari hasil budidaya sudah dapat dilakukan, namun mortalitas
masih sering terjadi pada stadia larva. Hal tersebut diduga terkait dengan faktor pakan, utamanya
pakan buatan. Hingga kini belum diketahui secara pasti pada umur berapa larva mulai dapat
memanfaatkan pakan buatan dengan baik sehingga diperlukan informasi mengenai waktu pemberian
pakan buatan yang tepat bagi larva kerapu sunu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perfomansi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva kerapu sunu dengan perbedaan waktu awal
pemberian pakan buatan. Penelitian dilakukan di hatchery pada bak berkapasitas 6.000 L. Kepadatan
awal larva adalah 50.000 larva/bak. Selama pemeliharaan, larva diberi fitoplankton Nannochloropsis
oculata, zooplankton Brachionus sp. dan artemia serta pakan buatan berupa mikro pelet. Perlakuan
yang diujikan adalah perbedaan waktu awal pemberian pakan buatan, yaitu mulai diberikan pada larva
umur 8 hari (A) dan pada larva umur 15 hari (B). Penelitian dilakukan dengan tiga kali ulangan
waktu. Peubah biologis yang diamati meliputi panjang total, panjang duri sirip punggung, panjang
duri sirip perut dan jumlah rotifer dalam pencernaan larva serta kelangsungan hidup larva. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa larva umur 30 hari pada perlakuan A memiliki panjang total yang
cenderung lebih besar (12,63±0,14mm) dibandingkan pada perlakuan B (12,30±0,80 mm). Duri sirip
punggung dan duri sirip perut larva pada perlakuan B (7,48±0,12 mm dan 5,74±0,40 mm) lebih
panjang dibandingkan pada perlakuan A (6,70±0,10 mm dan 5,00±0,00 mm). Larva pada perlakuan A
cenderung mengkonsumsi pakan alami rotifer lebih banyak dibandingkan pada perlakuan B.
Kelangsungan hidup pada perlakuan B (0,34±0,31%) lebih tinggi dibandingkan perlakuan A
(0,29±0,16%). Berdasarkan pada hasil penelitian ini, pemberian pakan buatan bagi larva kerapu sunu
sudah dapat dilakukan pada larva umur 8 hari.
Kata kunci: kelangsungan hidup, larva kerapu sunu, pakan buatan, pertumbuhan
ABSTRACT: Growth performance and survival rate of coral trout larvae Plectropomus leopardus
(Lacepède, 1802) by different initial artificial feeding time.
By: Regina Melianawati and Ni Wayan Widya Astuti
Seed production of coral trout from cultured can already be done, but the mortality is still
occurred in larval stage. It is assumed related by feeding factor, mainly artificial feed. Until now it is
still not clear when the larvae can use artificial feed well, so it’s necessary to get information about
the right time to give artificial feed for coral trout larvae. This research was aimed to know the
growth performance and survival rate of coral trout larvae with different initial time of artificial
feeding. The experiment was done in hatchery at 4,000-6,000 L rearing tanks. The initial density of
larvae was 50,000/tank. During the rearing period, larvae were given phytoplankton
Nannochloropsis oculata, zooplankton Brachionus sp,. Artemia, mysid and micro pellet of artificial
feed. The treatment was different initial time of giving artificial feed, i.e. at 8 days old larvae (A) and
at 13 days old larvae (B). The experiment was repeated 3 times. Investigated biological characters
were total length, length of dorsal fin and ventral fin, number of rotifers inside larval digestive tract
and survival rate of larvae. The result indicated that at 30 days old larva, larvae on treatment A have
bigger total length (12.63±0.14mm) than those on treatment B (12.30±0.80 mm). Length of dorsal fin
and ventral fin on treatment (B) (7.48±0.12 mm and 5.74±0.40 mm) were longer than those on
treatment A (6.70±0.10 mm and 5.00±0.00 mm). Larvae on treatment A tended to consume more
rotifers than those on treatment B. The survival rate of larvae on treatment B (0.34±0.31%) was
higher than those on treatment A (0.29±0.16%). Based on this research, the initial feeding of artificial
feed can be done at 8 days old coral trout larvae.
Key words: artificial feed, coral trout larvae, growth, survival rate
PEMBESARAN BENIH TERIPANG PASIR, Holothuria scabra dan ABALON,
Haliotis squamata DALAM SISTEM POLIKULTUR
Sari Budi Moria Sembiring*, Ida Komang Wardana* dan Ketut Sugama**
*Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan, Gondol-Bali
** Pusat Riset Perikanan Jakarta
ABSTRAK
Tujuan penelitian untuk mengetahui efisiensi pembesaran benih teripang pasir,
Holothuria scabra bersama benih abalon, Haliotis squamata melalui sistem polikultur.
Asumsi bahwa benih teripang pasir dapat memanfaatkan limbah dari pemeliharan benih
abalon. Penelitian dilakukan di Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan
Perikanan Gondol, Bali. Wadah percobaan berupa bak fiber volume 1 m3, sedangkan
wadah pemeliharaan abalon menggunakan keranjang plastik berlubang ukuran 45x45x25
cm3 yang dilengkapi shelter sebagai tempat penempelan. Jumlah keranjang perbak
sebanyak 2 buah dan kepadatan abalon 50 ind/keranjang. Ukuran benih teripang yang
digunakan adalah 2,0 – 3,0 cm dan benih abalon 2,5 - 3,0 cm. Jenis pakan yang diberikan
untuk abalon berupa rumput laut Glacillaria sp dan pakan teripang adalah bentos.
Sebagai perlakuan adalah : A (pemeliharaan teripang dan abalon tanpa pemberian
bentos); B (pemeliharaan teripang dan abalon ditambah bentos) dan C (pemeliharaan
teripang tanpa abalon dan diberi bentos), masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3
kali. Penelitian berlangsung selama 6 bulan dan sampling dilakukan setiap bulan.
Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan sintasan benih teripang dan abalon,
kualitas air dan komposisi feces dari abalon. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
pertumbuhan benih teripang pasir antar perlakuan berbeda nyata (P<0,05), dimana pada
perlakuan B memberikan rata-rata panjang total dan bobot tubuh yang lebih tinggi (4,45 ±
1,06 cm; 8,06 ± 1,19 g) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan sintasan
benih teripang pasir tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0,05). Selama penelitian,
hewan uji abalon menunjukkan pertumbuhan yang baik dengan tingkat kelangsungan
hidup diatas 90%.
Kata Kunci: abalon, pembesaran, polikultur, teripang pasir
ABSTRACT : Grow out of Sea Cucumber, Holothuria scabra and Abalon, Haliotis
squamata fry in Polyculture System. By: Sari Budi Moria Sembiring,
Ida Komang Wardana dan Ketut Sugama
The aim of this research was to find the efficiency of grow out Sea Cucumber, Holothuria
scabra fry together with Abalon, Haliotis squamata fry in polyculture system, and
assumed that Sea Cucumber fry could utilize waste from grow out of abalon fry. Research
was conducted in Institute for Mariculture Research and Fisheries Extention, Gondol-
Bali. Research was conducted using nine fiberglass tanks each with volume of 1 m3, a
basket 45x45x25 cm3 equipped with shelters system was put into each tank. Abalon fry
were put into 2 baskets and each was 50 fry range from 2.5 – 3.0 cm of carapace length
and Sea Cucumber fry were put into 9 tanks and each 100 fry range from 2.0 – 3.0 cm of
total length. The type of feed for abalon is Glacillaria sp and sea cucumber feed is
bentos. Treatments were: A (Grow out of Sea Cucumber and Abalon without bentos); B
(Grow out of Sea Cucumber and Abalon with bentos) and C (Grow out of Sea Cucumber
with bentos but without Abalon), each treatment was 3 replications. Experiment was
conducted for 6 months and sampling was done every month. Parameters measured and
analyzed were growth of fry, survival rate of Sea cucumber and Abalon, water qualities
and proximate analysis of Abalon feces. Results showed that growth of sea Cucumber
was significant different (P<0.05), where on treatment B, mean of total length (4.45 ±
1.06 cm) and body weight (8.06 ± 1.19 g) was higher compared to two other treatments.
On the other hand, survival rate of Sea Cucumber fry were not significantly different
among treatments (P>0.05). Abalon showed good growth rate and survival rate reach
90% until the end of research.
Keywords abalon, grow out, polyculture, sea cucumber
VARIASI FENOTIP DAN GENOTIP CALON INDUK BANDENG, Chanos chanos DARI
PERAIRAN YANG BERBEDA
Sari Budi Moria Sembiring, Gigih Setia Wibawa, Tony Setiadharma dan Haryanti
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan Gondol- Bali
ABSTRAK
Ikan bandeng, Chanos chanos merupakan salah satu ikan ekonomis penting di pasar Asia. Benih
bandeng dari hatchery sekitar pantai utara di Bali, sepuluh tahun terakhir ini mendominasi pasar lokal
maupun eksport sehingga kualitas benih harus diutamakan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kualitas
induk bandeng sebagai kunci utama dalam proses pembenihan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
variasi fenotip dan genotip ikan bandeng yang berasal dari perairan Aceh, Bali dan Gorontalo. Karakter
fenotip ikan bandeng diamati dari pengukuran panjang dan berat benih hingga calon induk. Analisa
genotip diamati pada benih dan calon induk menggunakan metode RFLP DNA. Jumlah tiap sampel benih
dan calon induk sebanyak 15 ekor. Hasil pengamatan fenotip menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan
bandeng mulai dari benih hingga menjadi calon induk (ukuran 500 g), menunjukkan bahwa ikan bandeng
dari Aceh dan Bali mempunyai pertumbuhan panjang dan berat yang relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan ikan bandeng dari Gorontalo, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata (P<0,05). Hasil
analisis genotip terdapat lima komposit haplotipe dari 4 enzim restriksi yaitu Mbo I, Hae III, Hha I dan
Nla IV pada sekuens cytochrome-b. Jumlah rata-rata restriction site adalah 1-3 haplotip. Populasi Aceh
dan Bali memiliki jarak genetik yang lebih dekat (0,0010) dengan nilai keragaman genetik yang lebih
rendah (0,080 & 0) dibandingkan dengan calon induk dari benih Gorontalo (0,115).
Kata Kunci : fenotip, genotyp, calon induk, bandeng, perairan berbeda
ABSTRACT: Phenotypic and genotypic variation of candidate broodstock of Milkfish Chanos chanos
from different waters locations. By: Sari Budi Moria Sembiring, Gigih Setia Wibawa,
Tony Setiadharma and Haryanti.
Milkfish, Chanos chanos is one of economically important fish in Asian market. Ten year latest, Milkfish
fry produced from hatcheries around northern coast of Bali was dominated to both local and export
market, especially to Philippine, so fry quality become very important. Fry quality is very much closely
related to broodstock quality. The object of this research was to analyze phenotype and genotype
variations of Milkfish broodstock which were collected from Aceh, Bali and Gorontalo. Phenotype
analysis were conducted by measurement of length and weight of fry and candidate broodstock. Genotype
analysis by collected samples of fry and candidate broodstock then analysis mt-DNA using RFLP-method.
Phenotypic analysis showed that growth of length and weight of fry to candidate broodstock of Milkfish
(size:500 g) was not significantly different (P>0.05). On the other hands, genotype analysis showed there
are five haplotypes composite from four restriction enzymes i.e., Mbo I, Hae III, Hha I and Nla IV at on
cytochrome-b sequen. Average number of restriction site was 1-3 haplotype. Aceh and Bali population
have closed genetic distance (0.0010) with lower genetic variation (0.080 & 0.000) compared to
candidate broodstock which fry originally collected from Gorontalo waters (0.115).
KEYWORDS: phenotype, genotype, candidate broodstock, Milkfish, different waters.
FORMULASI PAKAN BUATAN PADA PENDEDERAN BENIH LOBSTER (Panulirus
homarus)
Wawan Andriyanto dan Nyoman Adiasmara Giri
Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan
E-mail: [email protected]
Usaha budidaya lobster di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini terkendala pada masalah
tingkat pertumbuhan yang lambat dan mortalitas yang tinggi selama pemeliharaan. Faktor nutrisi
dan ketersediaan pakan yang tepat berperan penting pada keberhasilan budidaya lobster terutama
pada stadia benih. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan pakan yang sesuai untuk mendukung
sintasan dan pertumbuhan benih lobster pasir, Panulirus homarus. Benih lobster dipelihara dalam
bak fiber ukuran 300 liter yang dilengkapi dengan shelter, sistem air mengalir dan aerasi. Berat
awal benih lobster adalah 0.2 ± 0.01 g, ditebar dengan kepadatan 50 ekor/bak. Benih lobster
diberi pakan percobaan 2 kali sehari sebanyak 10% bobot biomas selama 70 hari. Percobaan
dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan formulasi pelet dengan
kombinasi jenis pakan yang berbeda dan dilakukan 5 ulangan untuk setiap perlakuan. Peubah
biologi yang diamati meliputi pertumbuhan dan sintasan benih lobster. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pakan A, B, C dan D tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dengan
masing masing menghasilkan pertumbuhan bobot akhir (A) 1.39 ± 0.21 g; (B) 1.22 ± 0.26 g;
(C)1.29 ± 0.14 g, (D) 1.20 ± 0.08 g; pertumbuhan panjang total (A) 3.39 ± 0.09 cm; (B) 3.31 ±
0.19 cm; (C) 3.42 ± 0.13 cm; (D) 3.41 ± 0.06 cm, pertumbuhan panjang karapas (A) 1.75 ± 0.03
cm; (B) 1.76 ± 0.02 cm; (C) 1.60 ± 0.08; (D)1.70 ± 0.04 cm namun berbeda sangat nyata terhadap
sintasan, dimana perlakuan (A) menghasilkan sintasan sebesar 31.2 ± 0.12 %; berbeda sangat
nyata dengan perlakuan (B) 24.8 ± 0.16 %; (C) 26.4 ± 0.14 %; dan (D) 19.6 ± 0.08 %.
Pemeliharaan benih lobster pasir selama 70 hari pada bak dengan pakan perlakuan A
menghasilkan pertumbuhan lebih baik dan tingkat sintasan yang terbaik sehingga bisa menjadi
referensi dalam penyusunan formulasi pakan.
Kata kunci : Lobster pasir, pemeliharaan, bak fiber, formulasi pakan
VAKSIN KERING BEKU (FREEZE DRIED) DARI SEL UTUH BAKTERI Aeromonas
hydrophila
UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT IKAN AIR TAWAR
Desy Sugiani, Taukhid, dan Uni Purwaningsih
*Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar, Bogor
Email : [email protected]
ABSTRAK
Vaksinasi merupakan salah satu cara yang paling efektif dilakukan untuk pencegahan
penyakit pada ikan. Produk vaksin yang tersedia saat ini masih berbasis produk cair (water based
vaccines), yang memiliki kekurangan dalam tingginya biaya transportasi dan stabilitas produk yang
tidak tahan lama jika disimpan dalam suhu ruang. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan
metode preparasi sediaan produk vaksin melalui metode kering beku (freeze dried) untuk
pengendalian penyakit ikan. Penelitian dilakukan dengan membuat produk vaksin kering beku, uji
kualitas, uji efikasi, dan uji stabilitas. Penelitian ini telah menghasilkan produk vaksin kering beku
yang aman diaplikasikan pada ikan lele (Clarias gariepinus), nila (Oreochromis niloticus), dan
gurami (Osphronemus gouramy), dapat meningkatkan level titer antibodi dan dengan rata-rata nilai
RPS tertinggi sebesar 70 %.
Kata Kunci : vaksin kering beku, Aeromonas hydrophila, metode preparasi, RPS
ABSTRACT
Vaccination is one of the most effective ways to prevent disease in fish. Current vaccine
products are still in liquid-based products (water based vaccines), which have a deficiency in high
transportation costs and stability of products that are not durable if stored at room temperature.
This study aims to develop a method of preparation of vaccine product through the freeze dried
method for fish disease control. The study was conducted by develop freeze dried vaccine product,
quality test, efficacy test, and stability test. This research has produced frozen dried vaccine
products that are safely applied to Catfish (Clarias gariepinus), Tilapia (Oreochromis niloticus),
and gurami (Osphronemus gouramy), it can increase antibody titer level with the highest average
of RPS score are 70%.
Keywords: Freeze dried vaccine, Aeromonas hydrophila, preparation method, RPS
APLIKASI METODE LOOP MEDIATED ISOTHERMAL AMPLIFICATION (LAMP) UNTUK
DETEKSI LANGSUNG Edwarsiella ictaluri PADA IKAN PATIN (Pangasius sp.)
Hessy Novita dan Uni Purwaningsih
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan
email, [email protected]
ABSTRAK
Bakteri Edwarsilla ictaluri merupakan bakteri Gram negatif yang cukup potensial sebagai patogen
penyebab penyakit Enteric Septicemia of catfish (ESC) dan juga masih menjadi masalah besar pada
usaha budidaya ikan patin karena dapat menimbulkan kematian sampai 100%. Penelitian ini bertujuan
untuk pengembangan diagnosa bakteri secara molekuler berbasiskan DNA dengan menggunakan Loop
Mediated Isothermal Amplification Method (LAMP). Deteksi DNA bakteri E. ictaluri dari 9 isolat
diekstrasi di Laboratorium Kesehatan Ikan, depok, menggunakan empat buah primer spesifik dari gen Eip
18 dari Edwarsiella ictaluri. Amplifikasi DNA, untuk reaksi LAMP tanpa mesin thermocycler, hanya
menggunakan inkubator/waterbath/ oven, pada suhu 65oC selama 1 jam. Hasil dari deteksi dengan
LAMP, menunjukkan 8 isolat positif E.ictaluri yang ditandai perubahan warna SYBR Green I dari orange
menjadi hijau. Sedangkan 1 isolat negatif ditandai dengan SYBR Green tetap berwarna orange. LAMP
dapat mendeteksi penyakit ESC secara sederhana, cepat, mudah, dan murah dalam waktu 1 jam
dibandingkan dengan PCR dan dapat diaplikasikan dilapangan.
Kata kunci : Edwarsiella ictaluri, Loop Mediated Isothermal Amplification Method (LAMP), ikan patin,
gen Eip 18, SYBR Green.
ABSTRACT
APPLICATION OF LOOP MEDIATED ISOTHERMAL AMPLIFICATION (LAMP) METHOD FOR
DIRECT Edwarsiella ictaluri IN PATIN (Pangasius sp.). By: Hessy Novita dan Uni Purwaningsih
Edwarsilla ictaluri Bacteria is a potential Gram negative as pathogen causing Enteric Septicemia of
catfish (ESC) and also still a big problem in catfish because it can cause death to 100%. This study aims
to develop diagnosis DNA based on molecular using Loop Mediated Isothermal Amplification Method
(LAMP). Detection DNA of E. ictaluri bacteria from 9 isolates was extracted at Fish Health Laboratory,
in depok. used four pieces of specific primers from gene Eip 18 from Edwarsiella ictaluri. DNA
amplification, for LAMP reactions without a thermocycler machine, using only an incubator / waterbath /
oven, at 65oC for 1 hour. The result of detection with LAMP, showed that 8 isolate were positive of
E.ictaluri marked by SYBR green I color change from orange to green. While 1 isolate was negative
marked with SYBR Green remain orange. LAMP can detect ESC disease with simple, quickly, easily,
cheaply in 1 hour compared by PCR and can be applied in the field.
Keyword : Edwarsiella ictaluri, Loop Mediated Isothermal Amplification Method (LAMP), ikan patin, gen
Eip 18, SYBR Green.
Aplikasi Kupri Sulfat untuk Pengendalian Penyakit Parasitik pada Ikan Lele (Clarias
gariepinus)
Septyan Andriyanto, Taukhid, Hessy Novita dan Tuti Sumiati
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Aplikasi bahan kimiawi banyak digunakan dalam budidaya ikan untuk mengatasi serangan penyakit
parasitik. Meskipun belum banyak informasi mengenai efektivitas aplikasi bahan kimiawi yang aman
dan ramah lingkungan seperti kupri sulfat CuSO4 untuk pengobatan penyakit parasitik khususnya pada
ikan air tawar di Indonesia. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dosis efektif aplikasi kupri sulfat
CuSO4 terhadap infeksi ektoparasit pada ikan lele. Perlakuan yang digunakan yaitu pemberian CuSO4
dengan dosis: (A) 1 mg/L, (B) 2 mg/L, (C) 3 mg/L, (D) 4 mg/L, (E) 5 mg/L dan (F) kontrol atau tanpa
aplikasi CuSO4. Tiap perlakuan menggunakan tiga ulangan dan pengamatan dilakukan setiap hari
terhadap tingkat infestasi dan prevalensi ektoparasit. Hasil penelitian diperoleh CuSO4 dosis 2–5 mg/L
efektif menekan tingkat infestasi ektoparasit dan terdapat perbedaan yang nyata (P < 0,05) antara
perlakuan aplikasi CuSO4 dibandingkan tanpa aplikasi atau kontrol.
KATA KUNCI: prevalensi, ektoparasit, kupri sulfat
ABSTRACT: Copper sulfate application to control parasitic diseases in African catfish,
Clarias gariepinus. By: Septyan Andriyanto, Taukhid, Hessy Novita and Tuti
Sumiati
Chemicals application widely used in the treatment of parasitic diseases in fish culture. However, less
information on the application effectivity of copper sulfate, CuSO4 for parasitic diseases treatment in
Indonesia. The study aimed to determine the effective dose of copper sulfate on ectoparasites
infestation in catfish Clarias gariepinus. The treatment used is the applications of CuSO4 in different
doses: (a) 1 mg/L, (B) 2 mg/L, (C) 3 mg/L, (D) 4 mg/L, (E) 5 mg/L and (F) control or without CuSO4
application. The results showed that the application of copper sulfate dose of 2–5 mg/L effectively
suppress the infestation of ectoparasites and were significantly different (P <0.05) between the
application treatment of CuSO4 compared to no application of CuSO4 or control.
KEYWORDS: prevalence, ectoparasites, copper sulfate
KERAGAAN GENOTIPE DAN FENOTIPE IKAN UCENG Nemacheilus fasciatus
(Valenciennes, 1846) POTENSIAL BUDIDAYA ASAL BOGOR, TEMANGGUNG,
DAN BLITAR
MH Fariduddin Ath-thar1, Arifah Ambarwati
2, Dinar Tri Soelistyowati
2 dan Anang Hari
Kristanto1
*email: [email protected]
1 Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan Bogor
2 Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor
ABSTRAK
Ikan uceng (Nemacheilus fasciatus) merupakan ikan asli Indonesia yang hidup di sungai
dan potensial sebagai komoditas budidaya lokal yang bernilai ekonomi. Pengenalan
sumber genetik ikan uceng berdasarkan lokasi geografis perlu dilakukan untuk
pengembangan budidaya jangka panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
potensi genotipe dan fenotipe ikan uceng asal Bogor (Jawa Barat), Temanggung (Jawa
Tengah), dan Blitar (Jawa Timur). Tiga primer (OPA 12, OPC 04, dan OPC 06)
digunakan untuk analisis genotipe dengan metode PCR RAPD, sedangkan performa
fenotipik dievaluasi berdasarkan analisis truss morfometrik dan kinerja pertumbuhannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan uceng asal Temanggung memiliki
heterozigositas dan tingkat polimorfisme tertinggi yaitu 0,153 dan 34,69%. Fenotipe truss
morfometrik interpopulasi ikan uceng asal Temanggung dan Bogor memiliki tingkat
inklusivitas sebesar 10%, sedangkan populasi Blitar menunjukkan tingkat keseragaman
intrapopulasi yang tertinggi (96,7%). Tingkat kelangsungan hidup tertinggi yaitu populasi
ikan uceng asal Temanggung (96,66±3,33%) yang diikuti dengan peningkatan nilai faktor
kondisi, namun laju pertumbuhan spesifik tertinggi yaitu populasi asal Blitar
(1,082±0,164%). Berdasarkan keragaan genotipe dan fenotipe populasi ikan uceng asal
Temanggung menunjukkan potensial sebagai sumber genetik budidaya dengan tingkat
keragaman genetik, kelangsungan hidup, dan inklusivitas tertinggi.
Kata kunci: fenotipe, genotipe, Nemacheilus fasciatus, produksi, truss morfometrik
ABSTRACT: The Performance of Genotype and Phenotype of Barred Loach
Nemacheilus fasciatus (Valenciennes, 1846) Potentially for Aquaculture from Bogor,
Temanggung, and Blitar. by MH Fariduddin Ath-thar, Arifah Ambarwati, Dinar
Tri Soelistyowati and Anang Hari Kristanto. Barred loach (Nemacheilus fasciatus) is
Indonesian native fish and potentially for aquaculture which is economic valueble.
Genetics resource identification of barred loach based on geographycal location is
necessary available for aquaculture development. This research purpose to evaluate the
genotype and phenotype of barred loach fish originally from Bogor (West Java),
Temanggung (Central Java), and Blitar (East Java). Three primer (OPA 12, OPC 04, and
OPC 06) were used to genotype analysis with PCR RAPD method, while phenotype
performance was evaluated based on truss morphometric analysis and growth
performance. The result indicated that barred loach from Temanggung had highest
heterozigosity (0,153) and polymorphism (34,69%) compared to others. Truss
morphometric indicated that barred loach population from Blitar showed 96,7% of
sharing component index with others, while barred loach fish population between
Temanggung and Bogor was lower 10%. Specific growth rate barred loach fish
population from Blitar was highest (1,08±0,16%), whereas survival rate barred loach fish
from Temanggung was highest (96,66±3,33%). Factor condition of barred loach fish
origin Temanggung had increased (0,65±0,01) until 30th days, than decreased (0,62±0,01)
on the 40th days. In summary, the barred loach fish population from Temanggung was
potentially as genetic resources with highest polymorphism, inclusivity, and survival rate
than others.
Keywords: genotype, Nemacheilus fasciatus, phenotype, production, truss morphometric
Uji metoda aplikasi vaksin trivalen (Aeromonas hydrophila, Streptococcus agalactiae, dan
Mycobacerium fortuitum) untuk pencegahan penyakit bakteri potensial pada budidaya ikan air tawar
Taukhid*)
, Tuti Sumiati*)
dan Yani Aryati*)
*) Balai Penelitian Perikanan Budidaya Air Tawar, Jl. Sempur No. 1 Bogor
email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik aplikasi vaksin trivalen (Aeromonas
hydrophila-AHL0905-2, Streptococcus agalactiae-N14G, dan Mycobacterium fortuitum-31) yang
memberikan proteksi terbaik untuk pencegahan penyakit bakteri potensial pada budidaya ikan air tawar.
Ikan uji yang digunakan adalah ikan lele, nila, dan gurame; dimana masing-masing jenis ikan tersebut
merupakan representasi dari jenis ikan yang rentan terhadap infeksi bakteri Aeromonas hydrophila,
Streptococcus agalactiae, dan Mycobacterium fortuitum. Perlakuan yang diterapkan adalah metoda
aplikasi vaksin trivalen melalui: (A). perendaman, (B). pakan, (C). perendaman+booster, (D).
pakan+booster, dan (E). tanpa pemberian vaksin sebagai kontrol. Efektivitas metoda aplikasi vaksin
dievaluasi melalui nilai titer antibodi spesifik dan relative percentage survival (RPS) pasca uji tantang
terhadap patogen target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RPS dari metoda aplikasi vaksin trivalen
pada ketiga jenis ikan uji yang mencapai nilai ≥ 50% secara keseluruhan hanya diperoleh pada metoda
aplikasi rendam+booster. Oleh karena itu, metoda aplikasi tersebut harus menjadi salah satu persyaratan
teknis pada penggunaan sediaan vaksin tersebut.
Kata kunci: aplikasi, vaksin kombinasi ”trivalen”, dan penyakit bakterial
ABSTRACT: Application method of combined “trivalent” vaccine (Aeromonas hydrophila,
Streptococcus agalactiae, and Mycobacerium fortuitum) to prevent significant bacterial
diseases on freshwater aquaculture; by Taukhid, Tuti Sumiati, and Yani Aryati.
The study with aimed to know the best application methods of “three-valent” (Aeromonas
hydrophila-AHL0905-2, Streptococcus agalactiae-N14G, dan Mycobacterium fortuitum-31) vaccine to
prevent of bacterial diseases on freshwater aquaculture has been carried out at laboratory level. The fish
used in the study were catfish, tilapia, and giant goramy; all of the fish species mentioned above are
representative of susceptible species against Aeromonas hydrophila, Streptococcus agalactiae, and
Mycobacterium fortuitum infection. The treatment applied in the study are application methods of the
vaccine: (A). immersion, (B). oral, (C). immersion+booster, (D). oral+booster, and (E). unvaccinated as a
control group. Effectivity of the application methods were evaluated by the value of antibody titre and
relative percentage survival (RPS) after challange against targeted pathogen. The results of the study
revealed that the RPS value above 50% was achieved by immersion+booster application only. Therefore,
immersion+booster application should be included on the direction use of the mentioned vaccine. Key words: application, “three-valent” vaccine, and bacterial diseases.
SKRINING ISOLAT KANDIDAT VAKSIN BAKTERIN Edwardsiella ictaluri UNTUK
MENCEGAH PENYAKIT Enteric Septicemia of Catfish (ESC) PADA IKAN PATIN (Pangasius
sp.)
Uni Purwaningsih , Hessy Novita, Desy Sugiani dan Septyan Andriyanto
Instalasi Litbang Pengendalian Penyakit Ikan, Jl. Perikanan 13 Depok
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluh Perikanan
E-mail : [email protected] ; [email protected] ; [email protected] :
ABSTRAK
Penyakit Enteric Septicemia of Catfish (ESC) merupakan penyakit potensial pada budidaya ikan
patin yang disebabkan oleh bakteri Edwardsiella ictaluri. E. ictaluri termasuk kelompok golongan bakteri
gram negatif. Infeksi bakteri tersebut ditandai dengan gejala klinis antara lain bercak keputihan pada
organ internal, pendarahan pada pangkal sirip dan ekor. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat
E. ictaluri lokal yang potensial sebagai isolat kandidat vaksin melalui uji karakterisasi dan uji
patogenitas.. Uji patogenitas dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi bakteri E. ictaluri pada ikan
patin dengan melihat pola kematian ikan uji. Sampel patin sakit diperoleh dari lokasi budidaya yang
terduga terinfeksi antara lain dari Jatiluhur, Sukabumi dan Sukamandi. Berdasarkan hasil uji karakterisasi
secara biokimia diperoleh 8 isolat yang definitif sebagai E. ictaluri, hal ini juga didukung dengan
diagnosa persumtif Polymerase Chain Reaction dan sekuensing DNA dimana ke – 8 isolat menunjukkan
pita pada 2000 bp dan memiliki tingkat simiarlity sebesar 99%. Berdasarkan uji patogenitas diperoleh
hasil bahwa isolat E. ictaluri dengan kode Pjh 01 sebagai isolat kandidat vaksin dengan nilai LD50 sebesar
3.23 x 108 cfu.
Kata kunci : E.ictaluri, patin, patogenitas, skrining
Abstract : SCREENING ISOLATE BACTERINE VACCINES CANDIDATE Edwardsiella ictaluri
TO PREVENT Enteric Septicemia of Catfish (ESC) ON CATFISH (Pangasius sp.)
By : Uni Purwaningsih , Hessy Novita, Desy Sugiani dan Septiyan Andriyanto
Enteric Septicemia of Catfish (ESC) is a potential disease of catfish culture caused by bacteria
Edwardsiella ictaluri. E. ictaluri belongs to the class of gram-negative bacteria. The E. ictaluri infection
was characterized by clinical symptoms such as whitish spots on internal organs, bleeding at the base of
the fins and tail. The aim of the study was to obtain potential E. ictaluri local isolate as vaccine candidate
isolates through characterization and pathogenicity testing. The pathogenic test was performed to
determine the level of bacterial infection of E. ictaluri in catfish by observing the change of death pattern.
Sample of sick patin was obtained from the cultivation location of the suspected infected among others
from Jatiluhur, Sukabumi and Sukamandi. Based on biochemical characterization test results, 8 isolates
were identified as E. ictaluri, it was also supported by the persistent diagnosis of Polymerase Chain
Reaction and DNA sequencing where all 8 isolates showed bands at 2000 bp and had a simiarity level of
99%. Based on the pathogenity test, it was found that E. ictaluri isolate with code Pjh 01 as vaccine
candidate isolate with LD50 value of 3.23 x 108 cfu.
Keyword : E.ictaluri, catfish, patogenicity, screening
1
EVALUASI RAGAM GENOTIPE TIGA GENERASI IKAN TENGADAK Barbonymus
schwanenfeldii (Bleeker 1854) ASAL KALIMANTAN BARAT BERDASARKAN RAPD
Deni Radona�, Irin Iriana Kusmini, M.H. Fariduddin A, Sri Sundari dan Rudhy Gustiano
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan
Jln. Sempur No. 1 Bogor 16151 �[email protected]
ABSTRAK
Dalam rangka keberhasilan suatu program domestikasi dan budidaya berkelanjutan perlu
dilakukan evaluasi keragaman genetik ikan tengadak 3 generasi asal Kalimantan Barat. Analisis
genetik dilakukan secara molekuler menggunakan metode RAPD dengan tiga jenis primer, yaitu
OPA 08, OPA 09 dan OPC 02. Jumlah sampel yang digunakan untuk analisis RAPD sebanyak
10 ekor setiap generasi. Spesimen yang digunakan untuk analisis RAPD adalah sirip caudal.
Hasil analisis menunjukkan persentase polimorfisme dan nilai heterozigositas dari G0 sampai
G2 mengalami penurunan dengan nilai berturut-turut 42,50 % ; 0,163 (G0), 27,50 % ; 0,105
(G1) dan 15,00 % ; 0,071 (G2). Berdasarkan dendrogram hubungan kekerabatan interpopulasi
ikan tengadak hasil domestikasi menunjukkan jarak genetik berkisar 0,36. Jarak genetik terdekat
adalah ikan tengadak G1 dan G2, yaitu sebesar 0,26. Proses domestikasi yang telah dilakukan
dapat menyebabkan penurunan keragaman genotipe ikan tengadak.
Kata Kunci : RAPD; heterozigositas; polimorfisme; generasi; ikan tengadak.
ABSTRACT : Evaluation of genetic diversity of three generations tinfoil barb from West
Kalimantan based on RAPD. By: Deni Radona, Irin Iriana Kusmini, M.H.
Fariduddin A and Sri Sundari.
In order to succes of domestication programe and sustainable of aquaculture, it is necessary to
evaluate the genetic diversity of three generations of tinfoil barb from West Kalimantan.
Genetic analyzest was conducted by genotype trails using RAPD methods with three primers
(OPA 08, OPA 09 and OPC 02). The samples used for the analysis of RAPD was as much as 10
individuals in each generation. Specimens used for RAPD analysis was a caudal fin. The result
showed that the percentage polymorphism and heterozygosity values of G0 to G2 has decreased
with value 42.50 % ; 0.163 (G0), 27.50 % ; 0.105 (G1) and 15.00 % ; 0.071 (G2), respectively.
Based on the dendrogram phylogenetic relationship interpopulation of tinfoil barb of
domesticated showed the genetic distance ranged 0.36. The closest genetic distance was G1 and
G2(0.26).The domestication process that has been done can caused reduction in genotype
diversity of tinfoil barb.
Keywords : RAPD; heterozygosity; polymorphism; generation; tinfoil barb.
KERAGAAN KEMATANGAN GONAD IKAN GABUS (Channa striata)
BERDASARKAN PANJANG BOBOT DAN FAKTOR KONDISI POPULASI PARUNG,
JAWA BARAT
Irin Iriana Kusmini✉, Deni Radona, MH Fariduddin Ath-thar dan
Fera Permata Putri Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan
Jl. Sempur No. 1, Bogor 16151
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Ikan gabus merupakan komoditas lokal yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan ini sudah
dapat dibudidayakan namun belum optimal. Sejauh ini suplai ikan gabus sebagian besar
merupakan hasil tangkapan dari alam, baik berupa ukuran konsumsi maupun benih. Peningkatan
kebutuhan ikan gabus dapat mempengaruhi populasi di perairan umum dan dapat mengancam
kelangsungan hidup dihabitat aslinya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi
tentang keragaan hasil tangkapan ikan gabus diperairan rawa Parung, Jawa Barat diantaranya
pola pertumbuhan ikan gabus melalui analisis hubungan panjang-bobot, faktor kondisi serta
perkembangan gonad. Koleksi data meliputi pengamatan indeks kematangan gonad, indeks
gonad dan pengamatan pertumbuhan melalui pengukuran hubungan panjang-bobot ikan serta
faktor kondisi. Ikan sampel diambil sebanyak 35 ekor untuk diukur panjang, bobot tubuh dan
bobot gonad. Hasil penghitungan panjang-bobot diperoleh nilai koefisien regresi (b) 2,875, nilai
ini menunjukan bahwa ikan bersifat allometrik negative, dan faktor kondisi ikan berkisar 0,31-
1,89 dengan nilai determinan (R2) 0,95. Jika dilihat dari nilai IG ikan betina yang berkisar 1,76-
66,42 dengan nilai IKG berkisar 0,22-6,94%, angka ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan
cenderung ikan-ikan yang telah matang gonad dan terdapat hubungan yang erat antara bobot
gonad dengan bobot tubuh ikan, dengan nilai keragaman ikan jantan 16,31 % dan ikan betina
19,99 %.
Kata kunci : faktor kondisi, Channa striata, indeks kematangan gonad, Parung,
Jawa Barat
EVALUASI PRODUKSI VAKSIN BAKTERI IN-AKTIF UNTUK PENCEGAHAN
PENYAKIT MOTILE AEOMONADS SEPTICEMIA PADA IKAN LELE (Clarias sp.)
Tuti Sumiati, Taukhid, dan Angela M. Lusiastuti
Instalasi Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Ikan - BRPBATPP
Jl. Perikanan No. 13, Pancoan Mas - Depok
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan spesifik suatu individu
terhadap suatu penyakit. Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) disebabkan oleh infeksi
bakteri Aeromonas hydrophila, merupakan salah satu permasalahan dalam perikanan budidaya air
tawar. Hydrovac merupakan sediaan vaksin bakteri dari sel A. hydrophila yang diinaktivasi dengan
penambahan formalin 0,3% (formalin killed) merupakan produk yang diharapkan menjadi salah
satu alternatif untuk pencegahan penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
stabilitas, viabilitas, sterilitas dan kajian keamanan vaksin serta efikasinya pada ikan. Vaksin
disimpan pada refrigerator, kemudian setiap periode tertentu dilakukan pengujian terhadap
viabilititas, sterilitas, keamanan dan efikasinya terhadap ikan lele sebagai model. Vaksin yang
disimpan pada suhu dingin selama 0, 1, 2, 3, 6 dan 12 bulan masih stabil, tidak ada kontaminasi
mikroorganisme dan tidak terjadi pertumbuhan kembali bakteri setelah dilakukan uji in vitro.
Selama penyimpanan tersebut, vaksin masih efektif diaplikasikan dengan tingkat kelangsungan
hidup ikan diatas 60% untuk setiap perlakuan dibandingkan kontrol 40% setelah diuji tantang.
Hasil uji keamanan produk, tingkat kelangsungan hidup ikan setelah vaksinasi rata-rata diatas
96,67%.
KATA KUNCI: penyakit bakteri; vaksin; Motile Aeromonads Septicemia; Aeromonas hydrophila
ABSTRACT: Evaluation of inactive bacterial vaccine production for disease prevention of
Motile Aeromonads Septicemia on freshwater aquaculture. By: Tuti Sumiati, Taukhid, Angela
M. Lusiastuti
Vaccination is one way to improve an individual's specific immunity against a disease. Motile
Aeromonads Septicemia caused by bacterial infection of Aeromonas hydrophila, was one of the
problems in freshwater aquaculture. Hydrovac a bacterial vaccine preparation from Aeromonas
hydrophila cells were inactivated by the addition of 0.3% formalin (formalin killed) is a product
that is expected to be one alternative for the prevention of disease. Stability, viability, sterility, and
vaccine safety were studied as the standardization of product quality. Vaccines were stored in the
refrigerator for 0, 1, 2, 3 and 6 months was still stabel, and there was no contamination and no
bacterial regrowth occurred after the in vitro assays. During storage, the vaccine was still
effectively applied to the fish survival rate was still above 60% for each treatment compared to
kontrols only 40% after the challenge test. The results of product safety testing, the survival rate of
fish after vaccination on average above 96.67%.
KEYWORDS: bacterial disease; vaccine; Motile Aeromonads Septicemia; Aeromonas hydrophila
KINETIKA DAN DERAJAT PENETASAN SERTA SINTASAN LARVA IKAN
BAUNG (Hemibagrus nemurus) PADA DUA SISTEM
PENETASAN BERBEDA
Vitas Atmadi Prakoso, Jojo Subagja, Deni Radona,
Anang Hari Kristanto, dan Rudhy Gustiano
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Salah satu komoditas ikan air tawar di Indonesia yang memiliki prospek untuk budidaya
adalah ikan baung (Hemibagrus nemurus). Namun, teknologi budidaya ikan baung masih
perlu disempurnakan, khususnya perbenihannya untuk meningkatkan produktivitas
budidaya ikan baung. Salah satu teknologi yang dapat dikembangkan adalah melalui
teknik penetasan telur. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati kinetika penetasan serta
meningkatkan derajat penetasan dan sintasan larva ikan baung melalui dua sistem
penetasan yang berbeda. Penelitian dilakukan di Instalasi Riset Plasma Nutfah Perikanan
Air Tawar, Cijeruk, Bogor pada bulan Agustus 2017. Telur diperoleh dari induk ikan
baung generasi kedua hasil domestikasi (Bobot induk betina: 443,3 ± 70,9 g; Bobot induk
jantan: 486,7 ± 83,3 g). Metode penetasan yang diuji yaitu sistem baki (tray) dan corong
(funnel) dengan masing-masing sistem penetasan terdiri dari empat ulangan. Parameter
yang diamati adalah kinetika penetasan, derajat penetasan, dan sintasan larva selama dua
hari. Pengukuran kualitas air yang diamati meliputi suhu, oksigen terlarut, dan pH. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada kisaran suhu yang sama, larva menetas pertama kali
saat 34 jam setelah pembuahan pada sistem corong. Sementara itu pada sistem baki, larva
pertama kali menetas saat 36 jam setelah pembuahan. Derajat penetasan pada sistem
corong (65,79 ± 5,49 %) lebih tinggi dibandingkan pada sistem baki (30,60 ± 1,91 %)
(P<0,05). Sintasan larva ikan baung selama dua hari tidak berbeda nyata antar sistem
penetasan. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa sistem penetasan
pada corong menghasilkan waktu penetasan telur dua jam lebih cepat dan derajat
penetasan yang lebih tinggi dibandingkan sistem baki.
KATA KUNCI: Hemibagrus nemurus; penetasan; kinetika penetasan; sintasan
ABSTRACT: HATCHING KINETIC, HATCHING RATE AND SURVIVAL RATE
OF LARVAE IN ASIAN REDTAIL CATFISH JUVENILE
(Hemibagrus nemurus) ON TWO DIFFERENT INCUBATION
SYSTEMS. By: Vitas Atmadi Prakoso, Jojo Subagja, Deni Radona,
Anang Hari Kristanto, and Rudhy Gustiano
One of the freshwater fish species in Indonesia with good aquaculture prospects is Asian
redtail catfish (Hemibagrus nemurus). However, its aquaculture technology is still needed
to be enhanced especially its hatchery system to improve the aquaculture productivity for
this species. One of the technologies that could be developed is egg-hatching technique.
This study aims to observe the hatching kinetics and increase hatching rate and survival
rate of Asian redtail catfish larvae in two different incubation systems. The research was
conducted at Installation for Freshwater Aquaculture Germplasm Research, Cijeruk,
Bogor in August, 2017. Eggs were obtained from second generation of domesticated
Asian redtail catfish (Female weight: 443.3 ± 70.9 g; Male weights: 486.7 ± 83.3 g). The
hatching methods tested were tray and funnel system with each incubation system
consisting of four replications. The parameters observed were hatching kinetics, hatching
rate, and two-day survival rate of larvae. Water quality measurements observed include
temperature, dissolved oxygen, and pH. The results showed that at the same temperature
range, the first larvae hatched at 34 h after fertilisation in the funnel system. Meanwhile
in the tray system, the larvae first hatch at 36 h after fertilisation. The hatching rate on the
funnel system (65.79 ± 5.49%) was higher than in the tray system (30.60 ± 1.91%)
(P<0.05). There was no significant different found on survival rate during two days of
larva rearing between each incubation system. Based on these results, it can be concluded
that the funnel incubation system produced two hours faster of egg-hatching time and
higher hatching rate than the tray system.
KEYWORDS: Hemibagrus nemurus; incubation; hatching kinetic; survival rate
1
BUDIDAYA KARANG HIAS POLIP BESAR PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA
(Plerogyra sp, Physogyra sp, Nemenzophyllia sp) DI ALAM DAN SISTIM RESIRKULASI
Ofri Johan, Rendy Ginanjar
Jl. Perikanan No. 13, Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat. 16436. Indonesia.
Email: [email protected]
ABSTRAK
Karang polip besar cukup tinggi permintaan sebagai karan hias dari Indonesia sehingga perlu
dilakukan penelitian bududayanya. Penelitian ini telah dilakukan pada tahun 2016 untuk melihat
tingkat keberhasilan budidayanya dengan adaptasi pada 2 sistem yang berbeda yaitu sistem pertama
di alam pada kedalaman yang berbeda 5m, 10m dan 15m dengan 3 jenis karang uji (Plerogyra sp,
Physogyra sp dan Nemenzophyllia sp). Sistem kedua yaitu pada farm dengan bak semen dengan
system resirkulasi. Penelitian dilakukan tahun 2016 dengan tujuan untuk melihat tingkat
keberhasilan hidup dalam adaptasi pada kondisi perairan berbeda dan pada sister resirkulasi.
Pengamatan meliputi tingkat kematian, laju pertumbuhan, perubahan warna karang sebagai indikasi
stress karang dan kelimpahan zooxanthellae. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh karang
Physogyra sp mengalami fluktuasi meskipun kembali membaik, sementara dua jenis lain Plerogyra
sp dan Nemenzophyllia sp mengalami perubahan warna kearah kondisi baik pada farm dengan
system resirkulasi. Pengamatan perubahan warna di alam mengalami stress ditandai dengan
perubahan warna kearah putih baik kedalaman 5m, 10m dan 15m. Kelimpahan zooxanthellae
menurun dengan bertambahnya kedalaman, nilainya berkisar antara 284.167 - 1.184.167 cells/mm3
pada koloni karang Plerogyra dan 271.111 – 535.833 cells/mm3 pada koloni karang Physogyra
pada semua kedalaman. Pengamatan tingkat kematian setelah 33 hari diperoleh tingkat kematian
100% pada kedalaman 5m, 10m untuk semua jenis, namun pada kedalaman 15m dapat bertahan
Phygogyra sp dan Plerogyra sp dengan tingkat kematian berturut-turut adalah 71,4% dan 50,0%.
Kematian dan pemutihan yang tinggi berhubungan erat dengan kondisi suhu dan intensitas cahaya
pada bulan Juli-Agustus 2017.
TRANSFER GEN GREEN FLOURESCENT PROTEINTERHADAP EMBRIO IKAN
CUPANG BETTA SPLENDENS
Eni Kusrini1)
, Alimuddin2)
, dan Syuhada Restu Pratama2)
2)
Peneliti pada Balai Riset Budidaya Ikan Hias 2)
Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan transfer gen green
fluorescent protein (GFP) pada embrio ikan cupang (Betta splendens) menggunakan metode
transfeksi dan elektroporasi. Ikan cupang dipijahkan secara alami dengan perbandingan jantan
: betina adalah 1:1, kemudian telur diambil sebanyak 200 butir/perlakuan. Metode transfeksi
terdiri atas 2 perlakuan (perlakuan dan kontrol) dengan ulangan 4 kali. Metode elektroporasi
menggunakan 3 perlakuan (perlakuan, PBS, kontrol) dan 3 ulangan. Transfer gen dilakukan
pada embrio fase pembelahan 2 sel. Larutan transfeksi dibuat dengan mencampurkan
transfektan (transfast) sebanyak 0,75 µL, DNA 0,25 µL, dan NaCl 99 µL,volume akhir 100 μL
media. Transfeksi dilakukan selama 30 menit pada suhu ruang ±25oC. Metode elektroporasi
menggunakan 4 perlakuan 3 ulangan yaitu konsentrasi DNA 30 µL, 50 µL, perlakuan PBS dan
kontrol. Elektroporasi dilakukan menggunakan program kejut 125 Volt cm-1
, pulse frequency
3x, pulse length 7 mikrodetik, dan interval 1 detik. Dalam kuvet elektroporasiplasmid DNA
dan PBS dicampur hingga mencapai volume akhir 800 µL. Keberhasilan transfer gen GFP
dianalisis menggunakan metode PCR dengan primer spesifik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa transfeksi pada benih F0 menghasilkan 65% membawa gen GFP, sedangkan dengan
metode elektroporasi sebesar 70%. Derajat penetasan telur pada perlakuan transfeksi adalah
67,08%, sedangkan dengan metode elektroporasi adalah 72,09%. Kelangsungan hidup larva
pada perlakuan transfeksi adalah 73,00%, sedangkan dengan elektroporasi adalah 75,00%.
Dengan demikian, transfer gen pada ikan cupang dapat dilakukan menggunakan metode
transfeksi dan elektroporasi.
Kata kunci: elektroporasi, embrio, ikan cupang, transfeksi, transfer gen
ABSTRACT: Transfer of Green Flourescent Protein Gene to Betta splendens. By:
Eni Kusrini, Alimuddin, and Syuhada Restu Pratama
Transfection and electroporation methodshave a high possibillity to apply towards
transgenic production of small eggs size fish species. This study aimed to examinethe potential
of transfection and electroporation methods to use for transferringa foreign gene into betta fish
(Betta splendens) embryos using green flourescent protein (GFP) gene as a model. Fish were
spawned naturally in the ratio of male: female was 1:1, then the eggs total 200 eggs were taken
for each treatment. Transfection was performed for 30 minutes (room temperature of about 25
℃) at two-cell stage of embryos using transfast reagent. Transfection reaction consisted of 0,75
µL transfast reagen, 0,25 µL GFP expression vector (DNA concentration: 50 µg/µL) and 99 µL
NaCl solution (concentration: 0,9 %). Electroporation was performed using 125 volt cm-1
, 3
times pulse frequency at one second interval and pulse length of 7 microseconds. A volume of
800 µL GFP expression vector solution (DNA concentration: 50 µg/µL) in PBS was used for
electroporation. The successful of foreign gene transfer was determined by PCR method with
GFP specific primers. The results showed that hatching rate of eggs in transfection treatment
was 67.08%, while the electroporation was 72.09%. Survival of larvae in transfection treatment
was 73.00%, while the electroporation was 75.00%. The results of PCR analysis showed that
transfection method allowed 65% of the survived fish carrying GFP gene, whereas the
electroporation method was 70%. Thus, foreign gene transfer in betta fish can be conducted
using the transfection and electroporation method.
2 Keywords: Betta splendens, electroporation, embryo, gene transfer, transfection
APLIKASI VAKSIN KHV UNTUK IKAN HIAS KOI (Cyprinus carpio) DI LAHAN BUDIDAYA
CISEENG, JAWA BARAT
Erma Primanita Hayuningtyas, Eni Kusrini, Riani Rahmawati, dan Anjang Bangun Prasetio
Balai Riset Budidaya Ikan Hias
Jl. Perikanan No. 13, Pancoranmas, Depok
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Ikan Koi merupakan ikan hias yang paling digemari dikalangan pembudidaya ikan hias dan hobiis.
Jenisnya yang bervariasi baik corak maupun warna yang beragam membuat ikan ini selalu digemari.
Namun produksi ikan hias Koi tidak luput dari kendala serangan penyakit viral yaitu Koi Herpes Virus
(KHV) yang dapat menurunkan produksi ikan hias. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi
ikan koi yang berkualitas mencapai ukuran maksimal untuk dijual tanpa ada kendala serangan penyakit
khususnya KHV dapat dilakukan dengan vaksinasi. Instalasi Penelitian dan Pengembangan Pengendalian
Penyakit Ikan telah melakukan penelitian pembuatan vaksin KHV untuk ikan mas dan ikan koi (Cyprinus
carpio). Aplikasi pemberian vaksi KHV guna pencegahan penyakit KHV dilakukan pada Kelompok
Pembudidaya Ikan (POKDAKAN) Koi di Ciseeng, Jawa Barat. Tujuan kegiatan pengembangan ini
adalah untuk meningkatkan produksi benih berkualitas yang bebas KHV sampai usia jual yang maksimal
atau calon induk. Pemberian vaksi KHV dilakukan dengan metode perendaman. Hasil dari kegiatan
pengembangan ini adalah penggunaan vaksin dapat meningkatkan survival rate benih koi sebesar 82,5%
dibandingkan kontrol 75,9%. Sedangkan pertumbuhan benih yang divaksin lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Sehingga vaksin KHV tersebut dapat direkomendasi sebagai vaksin masa depan untuk
menanggulangi serangan KHV yang sering menyerang ikan mas dan ikan koi.
Kata Kunci: Koi Herpes Virus (KHV), Vaksin, Ikan Koi (Cyprinus carpio Koi)
ABSTRACT: APPLICATION OF KHV VACCINES FOR KOI (Cyprinus carpio) FISH IN
CULTIVATION OF CISEENG CULTIVATION, WEST JAVA
Koi fish is the most popular ornamental fish among ornamental fish farmers and hobbyists. The type that
varies in both shades and different colors make this fish always favored. But Koi ornamental fish
production did not escape from the constraints of viral disease that is Koi Herpes Virus (KHV) which can
decrease the production of ornamental fish. Efforts are made to increase the production of quality koi fish
to reach the maximum size for sale without any problems of disease attacks, especially KHV can be done
with vaccination. Installation of Research and Development of Fish Disease Control has conducted
research on KHV vaccine for carp and koi fish (Cyprinus carpio). Application of KHV vaccination for
KHV disease prevention was carried out in the Koi Fish Cultivation Group (Koi) in Ciseeng, West Java.
The purpose of this development activity is to increase the production of quality seeds that are KHV-free
until the maximum selling age or prospective mothers. KHV vaccination is performed by immersion
method. The result of this development activity is the use of vaccine to increase the survival rate of koi
seeds by 82.5% compared to 75.9% control. While the growth of vaccinated seeds is higher than the
control. So that KHV vaccine can be recommended as a future vaccine to combat KHV attacks that often
attack carp and koi fish.
Keywords: Koi Herpes Virus (KHV), Vaccine, Koi fish (Cyprinus carpio Koi)
IDENTIFIKASI PROTEIN PADA MUKOSA EPIDERMIS IKAN RINGAU (Datniodes
quadrifasciatus)
Ahmad Musa dan Sulasy Rohmy
Balai Riset Budidaya Ikan Hias
Jln. Perikanan No. 13, Pancoran Mas, Depok.
Telp. 021-7520482, email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian untuk mengidentifikasi protein yang terdapat pada mukosa di lapisan epidermis kulit ikan
ringau (Datniodes quadrifasciatus) telah dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Ikan Hias. Ikan uji yang digunakan sebanyak 12 ekor dengan kisaran bobot 316,5 – 2108,5 g dan
panjang 24,8 – 47,5 cm. Jumlah ikan yang diketahui berjenis kelamin jantan dan betina masing-
masing sebanyak dua ekor, sedang delapan ekor lainnya belum diketahui. Pengambilan mukosa
menggunakan spons dan disimpan dalam wadah tabung mikro. Identifikasi protein dilakukan dengan
metode SDS-PAGE. Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa sedikitnya terdeteksi 10 jenis protein
yang berbeda-beda pola dan konsentrasinya pada setiap ikan uji.
Kata kunci : protein, mukosa, Datniodes quadrifasciatus.
Abstract : Identification of Proteins in Epidermal Mucus of Tigerfish (Datniodes quadrifasciatus).
By : Ahmad Musa and Sulasy Rohmy.
A study to identify the proteins contained in epidermal mucus of the tigerfish (Datniodes
quadrifasciatus) have been conducted in the Research and Development Institute for Ornamental Fish
Culture. 12 fish with a weight range of 316.5 to 2108.5 g and length 24.8 to 47.5 cm were used as test
fish. Number of known fish-sex male and female respectively were two fishes, another eight was
unknown. Mucus was collected using a sponge and stored in a micro tube container. Protein
identification performed by SDS-PAGE methods. Electrophoresis results showed that at least 10 types
of protein were detected where the pattern and concentration were different in each test fish.
Keywords : protein, mucus, Datniodes quadrifasciatus.
PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN HIAS KOI (Cyprinus carpio) PADA KOLAM TANAH
DENGAN APLIKASI VAKSIN KHV (Koi Herpes Virus)
Eni Kusrini, Anjang Bangun Prasetio, Sawung Cindelaras, dan Shofihar Sinansari
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias
Jl. Perikanan No. 13, Pancoranmas, Depok
Tlp/Fax. 012-7520482
ABSTRAK
Tujuan kegiatan pengembangan budidaya ikan hias koi tersebut adalah untuk pencegahan penyakit akibat
infeksi koi herpes virus (KHV) sebagai upaya dapat meningkatkan kelangsngan hidup dan produksi ikan
koi melalui vaksinasi. Penelitian ini menggunakan vaksin KHV yang diproduksi massal pada Instalasi
Penelitian dan Pengembangan Pegendalian Penyakit Ikan (IP4I) melalui pembuatan vaksin inaktif dengan
formalin 0.3% (v/v). Vaksinasi dilakukan secara perendaman selama 30 menit dalam container plastik
dengan dosis 50 mL vaksin untuk 50 L air atau 1 mL vaksin untuk setiap 1 L air. Vaksinasi dilakukan di
desa Babakan, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan masa pemeliharaan selama 3
bulan menggunakan 2 perlakukan vaksinasi dan tanpa vaksinasi (kontrol) dengan 2 ulangan. Hasil yang
diperoleh vaksinasi pada benih ikan koi mampu meningkatkan sintasan benih 100% dibandingkan kontrol
dengan sintasan 85%. Sedangkan pertumbuhan benih ikan koi yang divaksin lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Vaksinasi dengan vaksin KHV sangat direkomendasikan sebagai penanggunalangan
serangan KHV yang sering menyerang ikan mas dan koi.
KATA KUNCI: Cyprinus carpio, inaktivasi formalin, KHV, vaksin
ABSTRACT: Development Of Cultivation Of Koi (Cyprinus Carpio) Fish Culture In Land Pool With
Vaccine Application KHV (Koi Herpes Virus) By: Eni Kusrini, Anjang Bangun
Prasetio, Sawung Cindelaras, and Shofihar Sinansari
The objective of the development of koi ornamental fish culture is to prevent the disease due to infection
of koi herpes virus (KHV) as an effort to improve the survival and production of koi fish through
vaccination. This study used mass-produced KHV vaccine at the Research and Development Institute of
Fish Disease Control (IP4I) through the inactivation of vaccine with formalin 0.3% (v/v. Vaccination is
done by immersion for 30 minutes in a plastic container with a dose of 50 mL vaccine for 50 L of water
or 1 mL of vaccine for every 1 L of water. Vaccination was performed in Babakan village, Parung sub-
district, Bogor regency, West Java with a maintenance period of 3 months using 2 vaccinations and
without vaccination (control) with 2 replications. The results obtained by vaccination on koi fish seeds
were able to increase the seed synthesis by 100% compared to control with 85% synthesis. While the
growth of vaccinated koi fish seeds was higher compared to controls. Vaccination with KHV vaccine is
highly recommended as a prevention of KHV attack that often attacks carp and koi.
KEYWORDS: Cyprinus carpio, inactivation of formalin, KHV, vaccine
Perbanyakan In-Vitro Tanaman Hias Air Endemik Kalimantan Bucephalandra, sp untuk
Aquascape Bebas Patogen
Media Fitri Isma Nugraha**1)
dan Rossa Yunita2)
1)
Balai Riset Budidaya Ikan Hias – BRSDM - KKP
Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas Depok 2)
Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor
Jl. Tentara Pelajar no 3A Bogor
*) Korespondence autor: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini perbanyakan secara in-vitro tanaman hias air belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan benih sekaligus melestarikan tanaman hias air
endemik kalimantan, Bucephalandra, sp. Balai riset Budidaya Ikan hias bekerja sama dengan Balai
besar bioteknologi dan sumberdaya genetik pertanian bogor telah melakukan konservasi materi
genetik dan memperbanyak tanaman dengan menggunakan teknologi kultur in vitro. Metode yang di
gunakan menggunakan medium MS (Murashige & Skoog) yang perkaya dengan zat pengatur tumbuh
BAP konsentrasi 0.1 mg/l. Pengamatan dilakukan selama 9 bulan, secara visual pada trimester
perkembangan . Hasil yang didapatkan adalah, pertumbuhan Bucephalandra, sp sangat bervariasi
tergantung spesiesnya.
Abstract
Study in vitro propagation of aquatic plants has never been carried out in Indonesia. The aim of this
research is to provide the ornamental aquatic plants and save of endemic ornamenal aquatic plant
from Kalimantan, Bucephalandra, sp. Research institut of ornamental fish Ministry Marine and
Fisheries collaboration with Reseach centre for Biotechnology and Agricultural Resources Ministry
Agriculture has made conservation of the genetic material and reproduced the ornamental aquatic
plant using the in vitro culture technique. The method used Murashige & Skoog mediaun enriched
with growth regulator hormone BAP (Benzyl Amino Purine) concentration 0.1 mg / l. Observations
were in 9 months, visually in the developmental in every trimester. The results obtained are, the
growth of Bucephalandra, sp varies greatly depending on the species
EFEKTIFITAS PRODUKSI VITELOGENIN IKAN ARWANA PINOH
(Scleropages macrocephalus) DENGAN STIMULASI HORMON ESTRADIOL
SECARA INJEKSI DAN ORAL
Ahmad Musa* dan Rina Hirnawati
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias
Jln. Perikanan No. 13, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, 16436, Telp. 021-7520482
*Correspondence author’s email: [email protected]
ABSTRAK
Ikan arwana pinoh (Scleropages macrocephalus) merupakan hias komersil asli Indonesia
yang sebarannya terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Vitelogenin merupakan
protein prekursor kuning telur yang dapat dimanfaatkan untuk proses deteksi kelamin
maupun kematangan gonad ikan betina. Penelitian ini bertujuan untuk merangsang
sintesis Vitelogenin pada ikan arwana pinoh melalui rangsangan hormon Estradiol baik
secara injeksi maupun oral. Tiga ekor ikan arwana diberi rangsangan hormon Estradiol 50
mg/kg bobot badan, dua ekor melalui injeksi pada bagian intraperitoneal dan seekor
secara oral melalui akumulasi pada pakan. Sampel plasma diambil sebelum (kontrol),
tujuh dan sepuluh hari setelah stimulasi rangsangan hormon. Pengujian sampel plasma
hari ke-7 dengan SDS-PAGE pada gel 7.5 % Acrylamide menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan pita pada sumur yang berisi plasma kontrol dan setelah perlakuan. Sumur yang
berisi plasma setelah injeksi maupun oral menunjukkan pita tebal yang berbeda dari
kontrol pada berat molekul 180 kiloDalton. Hasil ini menunjukkan bahwa stimulasi
hormon secara oral selain lebih mengacu ke animal welfare juga efisien untuk proses
produksi Vitelogenin ikan arwana. Proses stimulasi hormon estradiol secara oral untuk
produksi Vitelogenin merupakan metode baru yang dapat digunakan selain secara injeksi.
KATA KUNCI : Vitelogenin, arwana pinoh, Scleropages macrocephalus, estradiol, oral
ABSTRACT
The effectivity of Arowana Pinoh (Scleropages macrocephalus) Vitellogenin production
using estradiol stimulation by injection and oral. Arowana pinoh (Scleropages
macrocephalus) is an Indonesian native commercial ornamental fish which it’s spreading
are was in Sumatra, Kalimantan and Papua. Vitellogenin is an egg yolk protein
precursor which can be utilized for the detection of female fish sex and gonadal maturity.
This study was aimed to stimulate the synthesis of Vitellogenin on arowana pinoh through
Estradiol stimulation either by induction or oral. Three arowana fishes was given
Estradiol stimulation 50 mg/kg body weight, two of them through intraperitoneal
induction and one through orally by accumulation in feed. Plasma samples were taken
before (control), seven and ten days after hormonal stimulation. Investigation using SDS-
PAGE on a 7.5% Acrylamide gel showed that there was band difference on wells that
contain plasma control and after treatment. Wells containing plasma after oral and
induction showed a thick band that is different from the control on 180 kiloDalton of the
molecular weight. These results indicated that orally Estradiol stimulation in addition to
referring more to animal wellfare was also efficient for the Vitelogenin production
process of arowana pinoh. The process of orally estradiol stimulation to produce
Vitelogenin was a new method that can be used rather than induction.
KEYWORDS: Vitellogenin, arowana pinoh, Scleropages macrocephalus, Estradiol,
oral
INTERAKSI KALSIUM KARBONAT DAN PADAT TEBAR TERHADAP KERAGAAN
PERTUMBUHAN DAN SINTASAN BENIH IKAN
RAINBOW KURUMOI (Melanotaenia parva)
Nurhidayat1 dan Nuriwati
2
1. Balai Riset Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok
1*Balai Riset Budidaya Air Tawar Dan Penyuluhan Perikanan Ikan Hias
Jl. Sempur No. 1 Kota Bogor
Tlp/Fax :0251-8313200
e-mail:[email protected]
2. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Satya Negara Indonesia
Jl. Arteri Pondok Indah No.11, Kebayoran Lama Utara, Kebayoran Lama, Jakarta 12240,
e-mail:[email protected]
Abstract
Rainbowfish Kurumoi (Melanotaenia parva) is endemic ornamental fish from Papua, currently
in its natural habitat is endangered and rarely found. Until now these fish have succeedded
domestication and spawning in research and development centers of ornamental fish culture Depok.
The problems that arise from the fish farming is the low rate of growth and a high mortality rate
allegedly due to decreased water quality and stocking density is not appropriate. Hardness is one
element that acts as the contributor of calcium wich normally binds to the anion as a constituent of the
carbonate and bicarbonate alkalinity. This study was conducted to determine the effect of calcium
carbonate and stocking density on the growth and survival of fish seed Rainbow Kurumoi. Treatment
consisted of two factors, the factor A (addition of CaCO3) consisting of 4 dose levels is 0 mg/l CaCO3,
25 mg/l CaCO3, 50 mg/l CaCO3, 75 mg/l CaCO3. And factor B (stocking density) consists of 3 levels,
the stocking density 10 fish/l, 15 fish/l and 20 fish/l, respectively each repetition as much as 3 times.
The treatment used in the field with a total combined treatment consisting of 36 units,respectively –
each unit is equipped aeration experiment. The feed is in the form of natural food (Moina) with a
frequency of twice daily and given ad satiation. The results obtained by the best from factor A dose of
50 mg/l CaCO3 generate growth in length o,690 ± 0,380 cm and weigting 0,042 ± 0,022 grams with a
survival rate of 98,89 ± 1,92%. The best result of factor B with stocking density, stocking densities
obtained 10 fish/l, 15 fish/l and 20 fish/l with growth of 0,692 ± 0,301 cm long and 0,053 ± 0,018
gram weight with survival rate of 100 ± 0,00%. The results obtained with the combination dosage
from of interaction CaCO3 and stocking density obtained the best result at a dose 50 mg/l CaCO3 and
stocking density 10 fish/l result in the growth of 1,075 ± 0,642 cm long and weighing 0,067 ± 0,046
gram with survival rate of 100 ±0,00%.
Keywords: Rainbow Kurumoi, CaCO3 dose, Stocking density, Growth and Survival
Abstrak
Ikan Rainbow Kurumoi (Melanotaenia parva) adalah ikan hias endemik dari Papua, saat ini di
habitat aslinya sudah hampir punah dan mulai jarang ditemukan. Sampai saat ini ikan ini sudah berhasil
di domestikasikan dan dipijahkan di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok.
Permasalahan yang muncul dari budidaya ikan ini adalah rendahnya laju pertumbuhan dan tingkat
kematian yang tinggi yang diduga akibat penurunan kualitas air dan padat tebar yang tidak sesuai.
Kesadahan merupakan salah satu unsur yang berperan sebagai penyumbang kalsium yang biasanya
berikatan dengan anion sebagai penyusun alkalinitas yaitu karbonat dan bikarbonat. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan kalsium karbonat dan padat tebar terhadap
pertumbuhan dan sintasan benih ikan Rainbow Kurumoi. Perlakuan yang diberikan terdiri dari dua
faktor, yaitu faktor A (penambahan CaCO3) yang terdiri dari 4 taraf yaitu dosis 0 mg/l CaCO3, 25 mg/l
CaCO3, 50 mg/l CaCO3, 75 mg/l CaCO3 dan faktor B (padat tebar) terdiri dari 3 taraf, yaitu padat tebar
10 ekor/l, 15 ekor/l dan 20 ekor/l, masing – masing dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Perlakuan
yang digunakan dengan total kombinasi perlakuan dilapangan terdiri dari 36 unit, masing – masing unit
percobaan dilengkapi aerasi. Pakan yang diberikan berupa pakan alami (Moina) dengan frekuensi dua
kali sehari dan diberikan secara ad satiation. Hasil penelitian terbaik diperoleh oleh faktor A berupa
dosis CaCO3 dengan dosis 50 mg/l CaCO3 menghasilkan pertumbuhan panjang 0,690 ± 0,380 cm dan
berat 0,042 ± 0,022 gram dengan sintasan sebesar 98,89 ± 1.92%. Hasil terbaik dari faktor B dengan
padat tebar diperoleh padat tebar 10 ekor/l dengan pertumbuhan panjang 0,692 ± 0,301 cm dan berat
0,053 ± 0,018 gram dengan sintasan sebesar 100 ± 0,00%. Hasil terbaik adanya interaksi dosis CaCO3
dan padat tebar diperoleh hasil terbaik pada dosis 50 mg/l CaCO3 dan padat tebar 10 ekor/l dengan
pertumbuhan panjang 1,075 ± 0,642 cm dan berat 0,067 ± 0,046 gram serta sintasan sebesar 100 ±
0,00%.
Kata kunci: Rainbow Kurumoi, Dosis CaCO3, Padat Tebar, Pertumbuhan dan Sintasan
1
PENGLONAN GEN PENYANDI VIRAL PROTEIN 15 (VP-15) WSSV DAN
APLIKASINYA SEBAGAI VAKSIN REKOMBINAN PADA UDANG WINDU
Andi Parenrengi, Sri Redjeki Mulyaningrum, Andi Tenriulo, dan Agus Nawang.
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan
ABSTRAK
White spot syndrome virus (WSSV) merupakan salah satu virus patogen paling berbahaya
yang menyebakan kematian udang budidaya yang meluas di dunia termasuk udang windu
Penaeus monodon di Indonesia. Nuecapsid viral protein 15 (VP-15) memiliki perang
yang sangat penting pada infeksi udang secara sistematis. Oleh karena itu, gene VP-15
WSSV dapat dikembangkan untuk menginduksi respon imun dan netralisasi infeksi
WSSV pada udang penaeid. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan melakukan
pengklonan gen penyandi VP-15 dari WSSV, serta menganalisis aplikasinya sebagai
vaksin rekombinan atau dikenal sebagai dsRNA pada udang windu. Gen VP-15 diisolasi
dari udang windu yang terinfeksi WSSV dan dikloning ke dalam vektor TOPO TA
Cloning Kit dan selanjutnya ditranformasikan ke bakteri Escheria coli DH5α The plasmid
diisolasi untuk keperluan sekuensing nukleotida. Produksi vaksin rekombinan dilakukan
dengan teknik in-vitro menggunakan kit MEGAscript RNAi dan diaplikasikan ke udang
windu melalui metode injeksi dengan dosis tunggal 0,2 µg dan kontrol tanpa vaksin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen penyandi VP-15 telah berhasil diisolasi dari
udang windu dan produksi vaksin rekombinan telah dilakukan secara in-vitro. Analisis
sekuens nukleotida memperlihatkan bahwa sisipan DNA mengandung 253 bp dan analisis
BLAST-N menunjukkan kemiripan yang tinggi (sampai 99%) dengan VP-15 pada
GenBank. Penggunaan vaksin rekombinan dengan dosis 0,2 ug memperlihatkan sintasan
udang windu yang lebih tinggi 36,7% dibandingan dengan tidak menggunakan vaksin
dsRNA (kontrol). Histopatologi jaringan hepatopabkreas menunjukkan adanya kerusakan
inti sel pada udang yang tidak divaksin akibat dari infeksi virus. Gene VP-15
menunjukkan potensi yang besar dalam produksi vaksin recombinan dsRNA melawan
inveksi WSSV.
Katakunci: Pengklonan; VV-15 WSSV; vaksin rekombinan; dsRNA; udang windu.
ABSTRACT: Cloning of a gene encoding viral protein 15 (VP-15) of white spot
syndrome virus and its Application of recombinant vaccine to tiger
shrimp Penaeus monodon. By: Andi Parenrengi, Sri Redjeki
Mulyaningrum, Andi Tenriulo, and Agus Nawang
White spot syndrome virus (WSSV) is one of the most virulent virus that has led to
severe mortalities of cultures shrimp worldwide, included tiger shrimp Penaeus monodon
in Indonesia. A nucleocapsid viral protein-15 (VP-15) of WSSV plays an important role
in the systemic infection of shrimp. Based on this protein, it is possible to develop for
inducing the immune response and neutralize WSSV infection of penaeid shrimp. The
aim of this study is to isolate and clone the VP-15 WSSV as well as to assess the
application its dsRNA vaccine to tiger shrimp. VP-15 gen was isolated from the
genomic DNA of infected tiger shrimp and cloned into the TOPO TA Cloning kit and
transformed to the Escheria coli DH5α The VP-15 was isolated from the plasmid for
nucleotide sequencing. The dsRNA vaccine from VP-15 was produced on in-vitro by
using the MEGAscript RNAi kit and applied to protect the tiger shrimp by muscular
injection at single dozes of 0.2 µg and without dsRNA as a control treatment. The results
of study showed the successful in isolation and cloning of VP-15 gene from tiger shrimp,
as well as production of dsRNA by in-vitro. Analisis of nucleotide sequence showed that
the insert DNA contained about 253 bp and BLAST-N analysis showed the high
similarity (up to 99%) with VP-15 gene deposed in the GenBank. Application of dsRNA
showed that the doses of 0.2 µg showed the higher survival rate 36.7% compared with
2
without dsRNA application (control). Hepatopankreas histology indicated that the broken
cell on the un-vaccinated tiger shrimp by infection of virus The VP-15 gene is very
promising as a candidate for recombinant vaccine dsRNA against WSSV infection.
Keywords: Cloning; VP-15 WSSV; recombinant vaccine; dsRNA; tiger shrimp.
1
CRABLET PRODUCTION OF MUD CRAB Scylla tranquebarica BY THEIR LARVAE
REARING SUPPLEMENTED WITH DIFFERENT DOSAGES OF COMMERCIAL
FEED
Gunarto*, M. N. Syafaat, Herlinah, Sulaeman and Muliani
Research Institute for Coastal Aquaculture and Fisheries Extension
Maros 90512 South Sulawesi, Indonesia
Abstract
Usually, only rotifer and Artemia nauplii are given to the mud crab larvae rearing until larvae
develop to the crablet stage. The supplementation of commercial feed at zoea-3 stage is
expected to provide an essential nutrient required for larvae growth and development. The
research aimed at determining the suitable dosage of commercial feed for successful larval
rearing in hatchery. The healthy new hatched larvae are stocked in the tank at the density of 100
ind./L. The larvae from zoea-1 to zoea-2 and from zoea-3 to megalopa stages are fed on rotifer
and Artemia naupli respectively. Microbound commercial feed sized <100 micron (protein
52%, fat 14,5%, fiber 3% and water content 10%) was supplemented to the larvae from zoea-3
to crablet stage at different dosages namely: a). 0.5 mg/L/2 days; b). 0.75 mg/L/2 days; c). 1.0
mg/L/2 days ; d). 1.25 mg/L/2 days. Water exchanged in the larvae rearing tank was started at 7
dph until 27 dph at a rate of 10 to 50% of total water in the tank. Larvae population, megalopa
occurrence index (MOI) and crablet production were calculated. Water quality (ammonium,
nitrite, Total Organic Matter (TOM), total Vibrio sp was also monitored. The LDI, MOI, and
crablet production from each treatment were compared and tested using voneway- ANOVA and
continuou to Tukey test (α=0.05) whenever any significant difference among treatments was
found. The result showed that the survival rate of larvae at zoea-5 ranged 29-33%. The LDI
values were not significantly different (P>0.05) among treatments. However, the value of MOI
of treatment A and B at 21 dph (the fourth days of megalopa occurrence) were significantly
higher (P<0.05) compared with treatment C and D. In addition, the crablet production at
treatment B, C and D were significantly higher (P<0.05) compared with treatment A. From this
research can be concluded that supplementation of commercial feed in larval rearing of S.
tranquebarica can applied at the dosages of 0.75-1.25 mg/L/2-days from zoea-3 until crablet
(C-7) stage.
Key word: mangrove crab, Scylla tranquebarica, dosage, supplemented feed
1
DETEKSI Vibrio harveyi MENGGUNAKAN PRIMER IAVh PADA BENUR UDANG YANG
DIINFEKSI DENGAN LAMA PERENDAMAN YANG BERBEDA
Ince Ayu K Kadriah*1, Nurbaya
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau
Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129. Maros 90511, Sul-Sel
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Metode deteksi dini bakteri Vibrio berpendar patogenik akan sangat membantu dalam
pencegahan awal yang tepat waktu untuk mengurangi kematian udang akibat Vibriosis. Penelitian ini
bertujuan untuk mengukur sensitivitas primer haemolysin IAVh dalam mendeteksi Vibrio harveyi
patogen pada benur udang windu. Penelitian dilakukan di laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) di Maros Sulawesi Selatan. Pada
penelitian ini benur udang windu diinfeksi dengan bakteri V. harveyi patogen menggunakan metode
perendaman pada konsentrasi 105, 10
6, dan 10
7
CFU/mL. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu
pemaparan 6 jam, 12 jam, dan 24 jam. Keberadaan gen haemolysin dideteksi dengan primer IAVh
menggunakan Tehnik PCR (Polymerase Chain Reaction). Hasil elektroforesis memperlihatkan bahwa
pada pemaparan 6 jam sudah dapat terdeteksi keberadaan bakteri V. harveyi patogen walaupun pita DNA
yang dihasilkan masih terlihat tipis. Pada pemaparan 12 jam terlihat sangat jelas pita-pita DNA dari
bakteri V. harveyi patogen. Sedangkan pada pemaparan 24 jam sudah tidak terdeteksi keberadaan gen
haemolysin dari bakteri V. harveyi patogen. Hasil yang sama diperoleh untuk semua konsentrasi bakteri
yang dicobakan. Hal ini diduga disebabkan terjadinya penurunan populasi bakteri V. harveyi yang hidup
dalam tubuh dan media pemeliharaan udang. Pentingnya deteksi cepat diawal udang terinfeksi bakteri (0
– 12 jam) karena setelah 12 jam paska infeksi sudah sulit untuk mendeteksi keberadaan bakteri patogen di
dalam tubuh udang.
Kata kunci: Primer spesifik, bakteri Vibrio berpendar patogenik, metode PCR, udang windu
1
PENGGUNAAN TEPUNG DAUN MURBEI DALAM PAKAN PEMBESARAN KEPITING
BAKAU, Scylla olivacea
Kamaruddin, Usman, dan Asda Laining
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau
Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros, Sulawesi Selatan 90511
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kepiting bakau merupakan hewan pemakan segala (omnivora), dapat mencerna bahan
nabati dengan baik sehingga bahan tersebut berpotensi digunakan sebagai bahan baku utama yang
diramu menjadi pakan yang “low-cost effective” salah satu bahan nabati tersebut adalah daun
murbei. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan dosis optimum penggunaan tepung daun
murbei dalam pakan pembesaran kepiting bakau. Hewan uji yang gunakan berupa juvenil kepiting
bakau yang memiliki ukuran rata-rata sekitar 50 g, menggunakan krab box sebanyak 120 buah
dengan kepadatan 1 ekor/box. Perlakuan yang dicobakan adalah kandungan daun murbei yang
berbeda dalam pakan yaitu: (DM ) 10%; (DM) 12,5%; (DM) 15%; (DM) 17,5%; (DM) 20% dan
(DM0) 0% (kontrol). Pakan tersebut memiliki kandungan sekitar 35%, lemak 6,3%, energi 2626
kkal DE/kg. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan petang hari sebanyak 3-5% per hari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa meskipun secara deskriptif rata-rata pertumbuhan tertinggi terjadi
pada kepiting bakau yang diberi pakan dengan kandungan tepung daun murbei sebanyak 10%
dalam pakan, namun secara statistik menunjukkan bahwa penggunaan tepung daun murbei hingga
20% dalam pakan pembesaran kepiting tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara
perlakuan (P>0,05) bagi pertumbuhan dan sintasan kepiting bakau. Ecdisteron yang terkandung
dalam daun murbei tampaknya belum memberikan pengaruh positif yang signifikan dalam
peningkatan pertumbuhan (molting) juvenil kepiting bakau. Meskipun penambahan kandungan
daun murbei di atas 10% dapat mempengaruhi kecernaan total pakan (P<0,05), sedangkan
penambahan di atas 15% kandungan daun murbei dalam pakan juga mempengaruhi kecernaan
protein pakan (P<0,05).
KATA KUNCI: Daun murbei, pakan pembesaran, Scylla olivacea
ABSTRACT: The use of mulberry leaf meal in feed enlargement mud crab Scylla olivacea, By:
Kamaruddin, Usman and Asda Laining.
Mud crab is an animal eating everything (omnivorous), can digest the plant material so
well that the material could potentially be used as the main raw materials are mixed into feed that
"low-cost effective" one of the vegetable material is mulberry leaves. The purpose of this study is to
obtain the optimum dose use mulberry leaf meal in feed enlargement mud crab. Test animals were
used in the form of juvenile mud crabs which have an average size of about 50 g, using krab box of
120 pieces with a density of 1 fish / box. The treatment is tested is different mulberry leaf content in
the feed, namely: (DM) 10%; (DM) 12.5%; (DM) 15%; (DM) 17.5%; (DM) 20% and (DM0) 0%
(control). The feed has a content of about 35%, fat 6.3%, Energy 2626 kcal DE / kg. Feeding is
done in the morning and evenings as much as 3-5% per day. The results showed that although
Descriptive average highest growth of mangrove crabs are fed with content of flour mulberry
leaves as much as 10% in feed, but statistics show that the use of flour mulberry leaves up to 20%
in feed enlargement crab did not show any difference real among treatments (P> 0.05) for the
growth and survival rate of mud crab. Ecdisteron contained in mulberry leaves apparently not
provide a significant positive effect on growth (molting) juvenile mud crab. Although the addition
of mulberry leaf content above 10% can affect the total digestibility of feed (P <0.05), while the
2
addition of above 15% mulberry leaf content in feed also affects protein feed digestibility (P
<0.05).
KEYWORDS: Mulberry leaves, feed enlargement, Scylla olivacea
STUDI PERKAWINAN SILANG ANTAR POPULASI KEPITING BAKAU,
Scylla tranquebarica (Fabricius, 1798)
Muhammad Nur Syafaat, Gunarto dan Sulaeman
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan
Jl. Makmur Dg Sitakka, No.129, Maros. 90512, South Sulawesi, Indonesia
*e-mail : [email protected]
Abstrak
Perkawinan silang (crossbreeding/outbreeding) dalam satu spesies (intra-spesies) dari
induk yang memiliki variasi genetik yang berbeda diharapkan menghasilkan heterozigositas yang
akan menguatkan individu-individunya terhadap perubahan lingkungan. Pada penelitian ini,
perkawinan silang kepiting bakau dilakukan dengan mengkombinasikan pasangan jantan dan betina
dari tiga lokasi yang berbeda yaitu Maros, Kendari dan Balikpapan. Parameter yang diamati yaitu
keberhasilan kawin antar populasi, keberhasilan perkawinan berdasarkan rasio ukuran jantan dan
betina, waktu yang dibutuhkan dari mulai dipasangkan sampai kawin, waktu yang dibutuhkan
setelah kopulasi sampai memijah, masa inkubasi dan produksi larva zoea1 dan krablet. Hasil
penelitian menunjukkan dari total 22 pasangan antar populasi didapatkan 5 pasangan yang berhasil
kawin (22,72%) dan waktu yang diperlukan sejak dipasangkan sampai melakukan kawin (kopulasi)
adalah 5-9 hari. Pasangan yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih jauh memiliki tingkat
keberhasilan kawin yang lebih tinggi dibandingkan pasangan yang memiliki hubungan kekerabatan
yang lebih dekat yaitu 26,67% dan 14,28% secara berurutan namun waktu yang dibutuhkan sejak
dipasangkan sampai kawin lebih lama pada pasangan yang memiliki hubungan kekerabatan yang
lebih jauh dibandingkan dengan pasangan yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat
yaitu 7 dan 5 hari secara berurutan. Pasangan yang memiliki ukuran jantan yang lebih kecil dari
betina dapat melakukan prekopulasi namun keberhasilan untuk melakukan kopulasi lebih tinggi
untuk pasangan yang memiliki ukuran jantan yang lebih besar.
Keywords : perkawinan silang, antar populasi, kepiting bakau
1
PERFORMA REPRODUKSI UDANG WINDU, Penaeus monodon TRANSGENIK
PASCA INSEMINASI BUATAN MENGGUNAKAN SUMBER SPERMATOFOR
YANG BERBEDA
Samuel Lante, Andi Tenriulo, dan Andi Parenrengi
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros
Jl. Mamur Dg. Sitakka No. 129, Maros, Sulawesi Selatan 90511
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Udang windu transgenik merupakan udang hasil rekayasa dengan mengintroduksikan
gen antivirus yang diisolasi dari udang windu untuk menghasilkan genotipe yang lebih
baik.Domestikasi udang windu transgenik pmAV untuk menghasilkan calon induk secara
morfologis sudah mencapai bobot ≥ 100 g/ekor udang betina dan ≥ 70 g/ekor udang
jantan.Udang windu tersebut dapat memijah dan manghasilkan telur, tetapi telurnya tidak fertil
disebabkan pembuahan tidak terjadi atau udang betina tidak kawin ditandai tidak membawa
spermatofor ditelikumnya.Upaya untuk mendapatkan telur fertil udang adalah inseminasi buatan
(IB).Tujuan penelitian untuk mengevaluasi performa reproduksi udang windu transgenik
dengan IB menggunakan sumber spermatofor yang berbeda. Penelitian ini dirancang dengan
tiga perlakuan yaitu: IB menggunakan spermatofor udang windu transgenik (SJT), spermatofor
udang windu perairan Sulawesi Selatan (SJS),dan spermatofor udang windu perairan Aceh
(SJA).IB dilakukan pada induk udang windu betina transgenik setelah dua hari moulting. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa udang windu transgenik perlakuan SJT menghasilkan total
fekunditas sebanyak 1.097.205 butir dari 13 ekor induk memijah, total telur fertil adalah
766.949 butir dari 8 ekor dan total nauplii sebanyak 410.390 ekor, perlakuan SJS menghasilkan
total fekunditas sebanyak 961.953 butir dari 8 ekor induk memijah, total telur fertil adalah
535644 butir dari 4 ekor induk memijah dan total nauplii sebanyak 287.560 ekor, sedangkan
perlakuan SJA menghasilkan total fekunditas sebanyak 852.682 butir dari 12 ekor induk
memijah, total telur fertil adalah 678.016 butir dari 8 ekor induk memijah, dan total nauplii
sebanyak 371.983 ekor. Namun daya tetas telur fertil pada ketiga perlakuan relatif sama yaitu
53,5% pada SJT, 53,7% pada SJS, dan 55,0% pada SJA.Vitalitas benih udang dengan
perendaman formalin konsentrasi berbeda, perendaman air tawar dan pengeringan waktu
berbeda menghasilkan sintasan larva yang relatif sama antar ketiga perlakuan. Demikian pula
nilai morfologi larva perlakuan SJT (85) dan SJA (84.5) tidak berbeda, namun keduanya relatif
lebih tinggi dibandingkan nilai morfologi larva perlakuan SJS yaitu 75.Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa IB menggunakan spermatofor udang jantan transgenik, jantan alam
perairan SulSel dan perairan Aceh pada induk udang windu betina transgenik memberikan
performa reproduksi induknya dan vitalitas larva udang yang dihasilkan tidak berbeda antara
ketiga perlakuan.
ABSTRACT:REPRODUCTION PERFORMANCE OF TRANSGENIC TIGER SHRIMP,
Penaeus monodon BY ARTIFICIAL INSEMINATION USING DIFFERENT
SOURCE OF SPERMATOPHORES, By : Samuel Lante, Andi Tenriulo, and
Andi Parenrengi
Transgenic tiger shrimp Penaeus monodon is a genetic manipulation organism by
introduction of antivirus gene isolated from tiger shrimp itself to produce the superior fenotype.
2
Domectication of transgenic tiger shrimp broodstock production on pond would be reach in
body weight of ≥ 100 g/ind for female and ≥ 70 g/ind for male. The broodstock colud be
spawned to product eggs, but it was not fertile due to the unmating process by indication of un-
bearing spermatophore at telicum of female tiger shrimp. To obtain the fertile egg, artificial
insemination (IB) should be performed to tiger shrimp broodstock. This study aimed to evaluate
the reproduction performance of transgenic tiger shrimp by IB using different source of
spermatophores, such as : transgenic male spermatophore (SJT), spermatophore wild male from
South Sulawesi (SJS) and spermatophore wild male from Aceh (SJA). IB was conducted to
female two days after moulting. The results showed that transgenic tiger shrimp treatment SJT
produced total fecundities, total fertile, and total nauplii respectively: 1,097,205 eggs from 13
broodstock after spawned, 766,949 pcs, and 410, 390 ind. Transgenic tiger shrimp treatment
SJS produced total fecundities was 961,953 eggs from 8 broodstock, total fertile eggs was
535,644 pcs, and total nauplii was 287,560 ind, and transgenic tiger shrimp treatment SJA
produced total fecundities was 852,682 pcs, total fertile egg was 678,016 pcs, and total nauplii
was 371,983 ind. Nevertheless the hacthing rate of fertile eggs of third treatments relatifely
sames was 53,5% for SJT, 53,7% for SJS, dan 55,0% for SJA. Result of larval vitality test by
soaking formalin and freshwater treatment as well as drying at different duration showed no
significant difference of larvae survival rate among three treatments. The scoring of larval
morphology was also not significantly different with value 85.8, 84.5 and 75.0 for SJT, SJS and
SJA respectively. The results indicated that reproduction of transgenic tiger shrimp of female by
IB at different source of spermatophores was not significantly affected to hatching rate, larval
performance of vitality and morphology of transgenic tiger shrimp, Penaeus monodon.
1
APLIKASI VAKSIN dsRNA VP-24 PADA UDANG WINDU Penaeus monodon
DENGAN DOSIS BERBEDA
Sri Redjeki Hesti Mulyaningrum, Andi Parenrengi, Bunga Rante Tampangallo dan
Ike Trismawanty
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan
Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
Email : [email protected]
ABSTRAK
Upaya peningkatan produksi udang windu Penaeus monodon terus ditingkatkan, salah
satunya dengan peningkatan respon imun udang terhadap serangan penyakit WSSV.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respon imun udang terhadap pemberian
vaksin dsRNA VP-24 pada berbagai dosis. Konstruksi vaksin dsRNA VP-24 sebagai
bahan vaksin dilakukan menggunakan Megascript kit dengan DNA genom VP-24 sebagai
template. Vaksinasi dilakukan dengan metode injeksi pada udang windu yang berukuran
rata-rata (15,88±3,50) gram, dan dipelihara dalam bak terkontrol selama 5 hari. Dosis
vaksin yang diujikan adalah 2 µg; 0,2 µg dan 0,02 µg, sebagai kontrol adalah udang yang
tidak diberi vaksin. Penelitian terdiri dari 8 unit dengan 2 ulangan untuk masing-masing
perlakuan. Uji tantang dilakukan dengan menginjeksi virus WSSV. Pengamatan terhadap
kelangsungan hidup udang dilakukan setiap hari, sedangkan pengamatan total hemocyte
count (THC) dan ProPO dilaksanakan pada hari I, III dan VI setelah diinfeksi WSSV.
Pada akhir pengujian dilakukan pengambilan sampel hepatopankreas untuk analisa
histopatologi. Analisis data dilakukan secara secara statistic dengan analisis ragam
(ANOVA). Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa injeksi vaksin dsRNA VP-24
dengan dosis 0,2 µg memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kelangsungan hidup dan
respon imun udang (P<0,05). Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kelangsungan
hidup udang windu sebesar 65%.
Kata kunci: dsRNA, VP-24, P. monodon, WSSV, dosis
APPLICATION of dsRNA VP-24 VACCINE ON Penaeus monodon IN
DIFFERENT DOSES. By Sri Redjeki Hesti Mulyaningrum, Andi Parenrengi,
Bunga Rante Tampangallo and Ike Trismawanty
Efforts to increase tiger shrimp production Penaeus monodon are continue to be
improved, one of the efforts is by increasing of shrimp immune response to against
WSSV disease. This study aims to evaluate shrimp immune response to dsRNA VP-24
vaccination at various doses. Construction of dsRNA VP-24 vaccine was performed using
Megascript kit with the VP-24 DNA genome as a template. Vaccination was done by
injection method on (15.88 ± 3.50) gram shrimp, and reared in a controlled bath for 5
days. The tested vaccine dose is 2 μg; 0.2 μg; 0.02 μg, and unvaccinated shrimp as
control. The study was consisted of 8 units with 2 replications for each treatment. The
challenge test was performed by injecting the WSSV virus. Observation on shrimp
survival rate was done daily, while total hemocyte count (THC) and ProPO observation
were performed on 1st day, 3
rd day and 6
th day after WSSV infection. At the end of
experiment, sampling of hepatopancreas for analysis was performed. Data was
statistically analyzed by ANOVA. Injection of 0.2 µg dsRNA VP-24 vaccine had
significantly effect to survival rate and immune response of shrimp (P<0,05). Present
study increase the survival rate of shrimp P. monodon up to 65%.
2
Keywords: dsRNA, VP-24, P. monodon, WSSV, dose
APLIKASI PAKAN BUATAN DALAM PEMELIHARAAN LARVA
KEPITING BAKAU, Scylla olivacea
Usman*)
, Kamaruddin, dan Asda Laining
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan
Jl. Mamur Dg. Sitakka No. 129, Maros, Sulawesi Selatan 90511
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Adanyamolting death sindromyang umumnya terjadi pada stadia zoea-5 ke megalopa dan ke
crablet-1 diduga berkaitan dengan ketidakcukupan nutrien yang dikonsumsi larva, sehingga
perlu dicobakan penggunaan pakan buatan (mikro) pada stadia tersebut. Penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan dosis optimum penggunaan pakan buatan untuk mensubstitusi penggunan
naupli artemia dalam pemeliharaan larva kepiting. Hewan uji yang digunakan adalah larva
kepiting bakau stadia zoea 4-5. Hewan ujitersebut dipelihara dalam wadah bak fibre berisi air
laut 150 L dengan kepadatan 12 ind/L. Perlakuan yang dicobakan adalah pemberian pakan uji
berupa: naupli artemia sebanyak 100% (100% Art), naupli artemia 75% + pakan mikro 25%
(75% Art + 25% MD), naupli artemia 50% + pakan mikro 50% (50% Art + 50% MD), naupli
artemia 25% + pakan mikro 75% (25% Art + 75% MD), pakan mikro 100% (100% MD). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada penggunaan naupli artemia 50% + pakan mikro 50%
didapatkan sintasan krabet-1 tertinggi (5,6%) dan berbeda nyata (<0,05) dengan sintasan krablet
pada penggunaan 100% naupli artemia (sintasan 2,4%) dan 100% pakan mikro (sintasan 2,1%).
Bobot tubuh, lebar karapaks krablet, dan aktivtas enzim pencernaan relatif sama di antara
perlakuan. Penggunaan pakan mikro dapat menggantikan 50% penggunaan artemia dalam
pemeliharaan larva (zoea 5 hingga krablet-1) kepiting bakau.
KATA KUNCI: zoea 5; krablet; sintasan;pakan mikro; nauplii artemia
ABSTRACT: Application of artificial diet formud crab, Scylla olivacea, larvae rearing
Phenomenon of molting death syndrome on zoea-5 to megalopa and to crablet-1 relating
to the alleged insufficiency of nutrients consumed by the larvae, so it needs to be attempted
using artificial feed (micro) on the stadia. This study aims to obtain optimum dose use of
artificial diet to substitute the use of artemia nauplii in the crab-larva rearing. Test animals
used were mud crab larvae of zoea 4-5 stadia. The test animals were reared in the container
fibre tub, filled with sea water as much as 150 L, and stocked with a density of 12 ind / L. The
treatments tested were feeding test in the form of: artemia nauplii as much as 100% (100% Art),
artemia nauplii 75% + micro diet 25% (75% Art + 25% MD), artemia nauplii 50% + micro
diet 50% (50% Art + 50% MD), artemia nauplii 25% + 75% micro diet (25% Art + 75% MD),
and micro diet 100% (100% MD). The results showed that the use of artemia nauplii 50% +
50% micro diet, obtained the highest survival rate (5.6%) of crablet-1 and significantly different
(<0.05) with the survival rate of crablet fed 100% of artemia nauplii (survival rate of 2.4 %)
and crablet fed 100% micro feed (survival rate of 2.1%). Body weight, carapace width of
crablet, and digestive enzymes activities relatively similar between treatments. The use of micro
diet could replace 50% of the utilization of artemia nauplii in larvae (zoea 5 to crablet-1)
rearing of mudcrab.
KEYWORDS: zoea 5; crablet;survival rate, micro diet; nauplii artemia
1
DAYA ADAPTASI DAN STABILITAS FENOTIPE TIGA SPESIES IKAN PATIN PADA
LINGKUNGAN YANG BERBEDA
Evi Tahapari1)
, Jadmiko Darmawan1)
, Raden Roro Sri Pudji Sinarni Dewi2)
1)
Balai Riset Pemuliaan Ikan 2)
Pusat Riset Perikanan
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Spesies ikan patin yang umum dibudidayakan di Indonesia saat ini antara lain ikan patin siam,
ikan patin jambal, dan ikan patin pasupati. Evaluasi keunggulan dari masing-masing spesies telah
dilakukan antara lain pada karakter reproduksi, kualitas daging, dan pertumbuhan. Namun informasi
daya adaptasi dan stabilitas pertumbuhan dari setiap spesies di lingkungan yang berbeda belum
diketahui sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk menguji adanya interaksi antara genotipe dan
lingkungan. Penampilan fenotipe suatu organisme ditentukan oleh faktor genotipe dan faktor
lingkungan tempat organisme tersebut hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari daya
adaptasi dan stabilitas penampilan fenotipe khususnya pertumbuhan pada tiga spesies ikan patin yang
dipelihara di lokasi berbeda. Ikan patin siam, patin jambal, dan patin pasupati dipelihara di tiga lokasi
yang berbeda yaitu: kolam air tenang, tambak, dan keramba jaring apung. Selama pemeliharaan, ikan
diberi pakan berupa pelet komersial dengan kadar protein 30 – 32%. Jumlah pakan yang diberikan
pada bulan kesatu sampai keempat secara berturut-turut adalah sebanyak 5, 4, dan 3% dari total
biomas per hari. Pakan diberikan dengan frekuensi tiga kali sehari. Hasil penelitian menunjukkan
lingkungan ekosistem yang berbeda pada pemeliharaan ikan patin mengakibatkan keragaman
pertumbuhan. Genotipe yang memberikan hasil tertinggi pada suatu lokasi tidak sama dengan lokasi
lain. Berdasarkan hasil pengujian, ketiga jenis ikan patin menunjukkan pertumbuhan yang spesifik
jika dipelihara di lingkungan yang berbeda. Ikan patin jambal tumbuh dengan baik jika dipelihara di
keramba jaring apung (KJA). Ikan patin pasupati tumbuh dengan baik jika dipelihara di kolam air
tenang (KAT). Ikan patin siam tumbuh dengan baik jika dipelihara di kolam air tenang dan tambak.
Ketiga spesies ikan patin mempunyai daya adaptabilitas lingkungan yang sempit sehingga
budidayanya akan optimal jika dilakukan di lokasi tertentu saja.
KATA KUNCI: ikan patin, genotipe, lingkungan, fenotipe.
ABSTRACT: Adaptability And Stability Phenotype Three Spatials Of Siamese Catfish In A Different
Environment, by: Evi Tahapari, Jadmiko Darmawan, and Raden Roro Sri Pudji
Sinarni Dewi
Catfish species commonly cultured in Indonesia today include siamese catfish, jambal, and pasupati.
Evaluation of the benefits of each type has been done, among others, on the character, quality of
meat, and growth. However, nothing else needs to be done to improve the relationship between
genotype and the environment. The phenotypic appearance of an organism is determined by
genotypes and environmental factors in which the organism lives. This study aims to improve the
storage capacity of several catfish species that are maintained in different locations. Siamese catfish,
jambal, and pasupati are preserved in three different locations: Stagnant water pond, Brackiswater
pond, and Floating net cage. During the Treatment, fish were fed commercial pellets with 30 - 32%
protein content. The amount of feed given in the first month to ra is 5, 4, and 3% of the total biomass
per day. Feed is given with frequency three times a day. The results show different ecosystem
environment on siamese catfish maintenance. The genotype that gives the highest results in a location
is not the same as the other location. Based on the test results, the three catfish species show specific
growth if maintained in different environments. Jambal catfish grow well if kept in floating net cages
(KJA). Pasupati catfish grow well if kept in Stagnant water pond (KAT). Siamese catfish grow well if
kept in Stagnant water pond and Brackiswater pond. The three species of catfish have a narrow
environmental adaptability so that the cultured will be optimal if done in a particular location.
APPLICATIONS TRYPTOPHAN AND GLYCINE IN FEED AND ITS EFFECT ON THE
LEVEL OF POST LARVA CANNIBALISM AND SURVIVAL RATE
OF GIANT PRAWN (Macrobrachium rosenbergii, de Mann)
Suharyanto and Yogi Himawan
Research Institute for Fish Breeding
Jln. Raya 2 Sukamandi Subang 41263 West Java-Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The aims of this experiment was to obtain data and information on the percentage of decrease in
the levels of cannibalism, growth and survival rate of giant prawn (Macrobrachium rosenbergii) by
feeding pellet mixed with tryptophan and glycine. This research was conducted in the hatchery of giant
prawn on the Research Institute for Fish Breeding, West Java for 40 days using nine aquaria each
measuring 60x40x40 m3. Giant prawn juvenille (PL-7) from the hatchery were used for this study,
measuring 10,4 ± 0.2 mm in width and 0,02 ± 0.01 g in weight. One hundred juvenile of giant prawn were
stocked in each aquarium. The treatments applied were (A): pellet, (B): pellet + tryptophan and (C):
pellet + glycine, with three replicates per treatment. Feeding dose was 15% of the total biomass juvenille
while the dose of tryptophan and glycine were 1.0% of the amount of feed given per aquarium. Feeding
was done twice a day in the morning and evening. Variables observed were the growth in total length,
weight, level of cannibalism, survival rate and water quality parameters. The results showed that adding
the amino acids tryptophan and glycine in pellet feed at 1.0% of total biomass could significantly
(P<0.05) suppress the level of cannibalism seed without affecting the growth rate (weight and total
length) and increase the survival rate of the juvenile giant prawn.
Key word: canibalism, giant prawn, glycine, survival rate, tryptophan
PERBANDINGAN FEKUNDITAS DAN DIAMETER TELUR TONGKOL KOMO
(Euthynnus affinis) BERDASARKAN MUSIM DAN KONDISI SUHU PERAIRAN DI
SAMUDERA HINDIA SELATAN JAWA
COMPARISON BETWEEN FECUNDITY AND EGG DIAMETER OF KAWAKAWA
(Euthynnus affinis) BASED ON DIFFERENT MONSOONS
AND SEA SURFACE TEMPERATURE CONDITIONS
IN THE EASTERN INDIAN OCEAN
Khairul Amri1)
, Fajar Alfina Nora2)
, Dwi Ernaningsih3)
dan Thomas Hidayat 1)
1)Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut-Jakarta
2) Tenaga Laboran pada Lab. Biologi, Balai Penelitian Perikanan Laut-Jakarta
3) Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI-Jakarta
Kontak: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Ikan tongkol komo (Euthynnus affinis) merupakan sumber daya potensial yang
tertangkap nelayan di perairan Samudera Hindia selatan Jawa. Untuk keberlanjutan sumber daya
perlu dipahami aspek biologi reproduksinya. Penelitian ini menganalisis perbandingan fekunditas
dan diameter telur ikan tongkol komo dan hubungannya dengan musim serta kondisi suhu
permukaan laut (SPL) di Samudera Hindia selatan Jawa. Sampel gonad diperoleh dari 3 lokasi
pendaratan utama yaitu di Palabuhanratu, Sendang Biru dan Tanjung Luar tahun 2013.
Pengamatan dan analisa sampel gonad (dari 152 ekor sampel) dilakukan tahun 2014 di Lab.
Biologi, Balai Riset Perikanan Laut. Data SPL diperoleh dari citra satelit Aqua MODIS level 3
(2012-2013) yang di-download dari situs resmi NASA. Hubungan antar parameter dianalisa
secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan, musim pemijahan berlangsung bulan Mei-
Oktober (musim timur s.d musim peralihan II), durasinya lebih panjang dibandingkan di perairan
lainnya. Fase matang gonad dominan ditemukan pada bulan Juli (musim timur), dibuktikan 55%
sampel gonad betina dan 40% sampel gonad jantan berada pada tahap TKG IV. Berdasarkan
IKG, puncak musim pemijahan terjadi pada bulan September (musim peralihan II) dan sebulan
kemudian (Oktober) sekitar 11% sampel gonad ikan betina menunjukkan indikasi sudah memijah
(spent). Fekunditas tertinggi (2,389,667 butir telur) dengan kisaran dimater telur terbesar (0.28-
0.97 mm) ditemukan pada bulan Oktober. Jika dikaitkan dengan kondisi SPL, musim pemijahan
tongkol komo berlangsung bersamaan dengan kejadian upwelling di perairan ini, dibuktikan
temuan SPL rendah yaitu 25,4 - 29,30C (musim timur) dan 24,7-28,9
0C (musim peralihan II).
Terdapat kesamaan waktu antara puncak musim pemijahan dengan puncak musim penangkapan
dan jika tidak ada pengaturan dikhawatirkan mengancam keberlanjutan sumber daya.
KATA KUNCI: Fekunditas, diameter telur,SPL, tongkol komo ,musim, Samude-ra Hindia
selatan Jawa
ABTRACT
Kawakawa (Euthynnus affinis) is a important fish resource captured by fishermen in
the Eastern Indian Ocean. For the sustainability of its resources, it is necessary to understand the
reproductive biology aspect. This study aimed to analyze the comparison between fecundity and
egg diameter of kawakawa and its relation to monsoon and sea surface temperature (SST)
conditions. Gonad samples were obtained from 3 fish landing sites at Palabuhanratu, Sendang
Biru and Tanjung Luar in 2013. Observation and analysis of gonad samples (152 samples) were
conducted in 2014 at Biology Laboratory of Research Institute for Marine Fisheries. SST data
was taken from Aqua MODIS satellite imagery level 3 (2012-2013), downloaded from the
NASA website. The analysis is done descriptively. The results showed that spawning season of
kawakawa occurs in May-October (east monsoon to transition monsoon II), its duration was
longer than in other waters. Based on the gonad maturity stage, gonad mature (stage IV) found to
be dominant in July (east monsoon), which is 55% female and 40% of male gonad samples.
Based on the GSI value, spawning peak season occurred in September (transitional monsoon II)
and a month later (October) about 11% of female fish gonad samples showed an indication of
spawning (spent). The highest fecundity (2,389,667 eggs) with the largest egg dimater range
(0.28-0.97 mm) was found in October. Spawning season of kawakawa occurs along with
upwelling events in these waters, with lowest SST (25.4 - 29.30C) in east monsoon and 24.7-
28,90C (transitional monsoon II). The peak of the spawning season and the fishing season was
happened in the same time, which is become a threat to kawakawa sustainability.
KEY WORDS: Fecundity and egg diameter, SST, kawakawa, monsoon and Eastern Indian
Ocean
KAJIAN KUALITAS LINGKUNGAN DAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN
KAWASAN KONSERVASI IKAN TERUBUK BENGKALIS DARI DATA IN-SITU DAN
PENGINDERAAN JAUH
STUDY OF OCEANOGRAPHYC CONDITION AND NET PRIMARY PRODUCTIVITY IN
TERUBUK CONSERVATION AREA
BY USING IN-SITU AND REMOTE SENSING DATA
Khairul Amri1)
, Gathot Winarso2)
dan Muchlizar3)
1)Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta
2)Peneliti pada Pusfatja-LAPAN, Jakarta
3)Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis, Riau
Kontak: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Ikan terubuk bengkalis (Tenualosa macrura) yang hidup di estuaria Sungai Siak sudah
dimanfaatkan nelayan sejak lama dan dinyatakan terancam punah akibat eksploitasi berlebih dan
penurunan kualitas lingkungan. Penelitian terhadap kualitas lingkungan dan produktivitas primer
perairan habitat ikan terubuk ini dilakukan selama 7 bulan pada tahun 2015. Data yang digunakan
berupa data oseanografi pengukuran in-situ dan data penginderaan jauh yaitu citra Satelit Landsat 8
untuk pengamatan tutupan mangrove dan citra produktivitas primer/Net Primary Productivity (NPP)
yang dihitung dari sensor visible Satelit MODIS (Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer).
Hasil penelitian menunjukkan kualitas lingkungan kawasan konservasi ikan terubuk airnya terlalu
keruh (tingkat kecerahan 0,3 -2.0 m rata-rata 0,7 m). Nilai sebaran pH relatif rendah (rata-rata pH 7)
dan kandungan oksigen terlarut (DO) juga rendah (3,90 - 4,98 mg/l), berada di bawah Baku Mutu Air
Laut. Tutupan vegetasi mangrove di sepanjang pantai Bengkalis sebagai penunjang kehidupan biota
akuatik juga telah berkurang drastis dibandingkan dua dekade sebelumnya dengan laju kehilangan
372,5 Ha/tahun (2003-2015), lebih tinggi dibandingkan periode 1992-2002 yang laju kehilangannya
sebesar 201,21 Ha/tahun. Meskipun demikian, perairan ini tergolong subur (oligotropik) dengan
kelimpahan fitoplankton tinggi yang berkisar 23.584 - 95.616 sel/l dan kekayaan jenis berkisar 32-52
jenis. Tingkat produktifitas primer perairan juga tergolong tinggi berkisar antara 288-3466,4
mgC/m2/hari atau rata-rata 288,87 mgC/m
2/hari. Diperoleh estimasi besaran potensi biomassa ikan
berkisar antara 626,7 - 10.399,2 mgC m-2
atau setara dengan 5.322,8 - 10.622,7 ton (rata-rata 7.360,4
ton/tahun) dengan nilai potensi produksi sekitar 3.680,18 ton/tahun.
Kata Kunci: Kelimpahan plankton; luasan mangrove; Produktivitas Primer Bersih; kawasan
konservasi ikan terubuk bengkalis
ABSTRACT
Terubuk bengkalis (Tenualosa macrura) is an endemic tropical shad fish that live in estuary of
Siak River.This species have been exploited by fishermen for a long time and declared endangered due
to over exploitation and environmental degradation. The study on the environmental quality and net
primary productivity of terubuk habitat (terubuk conservation area) was conducted for 7 months in
2015. The data used in this research was in-situ measurement and remote sensing data: Landsat 8
Satellite imagery for mangrove cover observation and MODIS (Moderate-resolution Imaging
Spectroradiometer) imagery for Net Primary Productivity (NPP). The results showed that the water
quality was too turbid (brightness level 0.3-2.0 m average 0.7 m). The relatively low pH distribution
values (mean pH 7) and the dissolved oxygen content (DO) are also low (3.90 - 4.98 mg/l), under the
Sea Water Quality Standard. The cover of mangrove vegetation along the coast of Bengkalis island as
a living support for aquatic biota has also been decreased drastically compared to the previous two
decades with a loss rate of 372.5 Ha/year (2003-2015), higher than 1992-2002 with a loss rate of
201.21 Ha/year. However, these waters are oligothropic level category with a high abundance of
phytoplankton ranging from 23,584 - 95,616 cells/l and the species richness ranges from 32-52
species. The primary productivity level of waters was also quite high ranging from 288-3466.4
mgC/m2/day or an average of 288,87 mgC/m
2/day. Obtained estimation of potential of fish biomass
ranged from 626,7 - 10,399,2 mgC m2 or equal to 5,322,8 - 10,622,7 ton (average 7,360,4 ton/year)
with potential production value about 3,680,18 ton/year.
Keywords: Plankton abundance, mangroves coverages, Net Primary Productivity; conservation area
of terubuk bengkalis
1
STUDI PENDAHULUAN BEBERAPA PARAMETER PERTUMBUHAN
LOBSTER BATU (Panulirus penicillatus) DI PERAIRAN BIAK, PAPUA
Preliminary Study on Some Growth Parameter of Pronghorn Spiny Lobster
(Panulirus penicillatus) in Waters around Biak
Andina Ramadhani Putri Pane, Muhammad Taufik1
1Balai Riset Perikanan Laut, Bogor
Abstract
Biak waters which is located in FMA 717 is rich with fish resources such as large pelagic,
small pelagic, and also lobsters. Lobster fishing in Biak was conducted by fishermen
using hand only with dominan catch were Pronghorn Spiny Lobster (Panulirus
penicillatus). The research was conducted from June to November 2016 using survey
method. Result showed that the species’s growth were isometric with sex ratio 1:1,9. The
average length caught for P.penicillatus was 84,8 mm with exploitation rate at 0,76;
which mean a high exploitation rate. Management by fishing control must be apply to
protect the future of this species from over exploitation.
Key words : Lobster, Fishery Status, FMA 717
ABSTRAK
Kepulauan Biak yang terletak di WPP 717 merupakan perairan yang menghasilkan
banyak sumberdaya baik ikan pelagis besar, pelagis kecil dan lobster. Penangkapan
lobster dilakukan nelayan dengan menggunakan tangan dan lobster yang dominan
tertangkap adalah lobster batu (Panulirus penicillatus). Penelitian ini dilakukan dari bulan
Juni sampai dengan Nopember 2016 di dengan metode survey. Sifat pertumbuhan lobster
ini isometrik dengan nisbah kelamin betina dengan jantan 1 : 1,9. Nilai struktur ukuran
lobster yang rata – rata tertangkap (Lc) sebesar 84,8 mm dengan nilai pemanfaatan
sebesar 0,76 yang artinya pemanfaatan tinggi. Upaya pengendalian penangkapan harus
dilakukan agar lobster ini tetap terjaga populasi di alam.
Kata Kunci : Lobster, Status Perikanan, WPP 717
SELEKTIVITAS MATA JARING BUJUR SANGKAR YANG BERBEDA PADA
BUBU RAJUNGAN DI PERAIRAN JAWA
SELECTIVITY OF DIFFERENT SQUARE MESH ON SWIMMING CRAB TRAP
NET IN JAVA SEA WATERS
Baihaqi, Hufiadi dan Tri Wahyu Budiarti
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Cibinong – Bogor
ABSTRAK
Perikanan bubu rajungan yang berkembang di perairan utara Jawa merupakan alat
tangkap yang efektif dan selektif dalam memanfaatkan sumberdaya rajungan.
Permasalahan utama pada perikanan ini adalah adanya hasil tangkapan rajungan yang
berukuran kecil dan belum layak tangkap. Dalam upaya untuk mengurangi tangkapan
rajungan muda (panjang karapas <10 cm) yang belum layak tangkap telah dilakukan
observasi dan uji coba operasi penangkapan melalui penggunaan ukuran mata jaring bujur
sangkar yang berbeda pada alat tangkap bubu oleh nelayan Lamongan. Ukuran mata
jaring yang digunakan yaitu 1¼ inci, 2 inci, 2½ inci dan 3 inci. Analisis selektivitas
menggunakan model kurva logistik dengan bantuan Microsoft Excel. Hasil penelitian
menunjukkan penggunaan ukuran mata jaring yang berbeda dapat meloloskan rajungan
ukuran kecil dengan ukuran mata jaring 3 inci memiliki tingkat selektifitas rajungan
(Portunus pelagicus) terbaik pada tingkat seleksi 50% (FL50%).
Kata Kunci : bubu rajungan, mata jaring bujur sangkar, selektifitas, rajungan muda
PENGARUH UKURAN MATA JARING TERHADAP HASIL TANGKAPAN
BUBU LIPAT RAJUNGAN
Mahiswara*)
, Hufiadi*)
dan Baihaqi*)
*)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Nanggewer - Cibinong
ABSTRAK
Pemanfaatan sumberdaya rajungan (Portunus pelagicus) cenderung mengarah ke
kondisi lebih tangkap. Indikasi tangkap berlebih terlihat dari menurunnya hasil tangkapan
dan ukuran individu. Bubu lipat merupakan alat tangkap yang banyak dioperasikan
nelayan untuk menangkap rajungan, namun memiliki selektivitas rendah. Tingkat
selektivitas bubu lipat perlu ditingkatkan agar tangkapan rajungan memiliki ukuran layak
tangkap sesuai aturan. Uji coba pengoperasian bubu lipat rajungan dengan ukuran mata
jarring 1¼ , 2, 2½ dan 3 inci berbentuk bujur sangkar, telah dilakukan di perairan utara
Brondong, Lamongan-Jawa Timur, untuk mengetahui pengaruhnya terhadap jumlah dan
ukuran hasil tangkapan. Hasil analisis menunjukkan bahwa ukuran mata jarring
berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu lipat rajungan. Hasil tangkapan
rajungan bubu lipat mata jarring 2 inci (2,17 kg/setting) tidak berbeda nyata dengan 1¼
inci (2,08 kg/setting). Prosentase ukuran lebar karapas rajungan layak tangkap (> 100
mm) semakin tinggi dengan meningkatnya ukuran mata jarring. Nilai tertinggi
ditemukan pada bubu lipat ukuran mata jaring 3 inci sebesar 97,9%.
Kata Kunci : bubu lipat, hasil tangkapan, rajungan, ukuran mata jarring
ABSTRACT : Effect of Mesh Size to The Catchs of Collapsible Pot for Blue Swimming
Crab
Intensive utilization of blue swimming crab (Portunus pelagicus) resources tend to lead
overfishing condition. Indication of overfishing to the BSC resource have been seen by
declining in catches and individual size of BSC.Collapsible crab pot is a common fishing
gear that many operated by fishermen, however has a low selectivity. The selectivity level
2
of crab pot needs to be increased so that the size of crab catch has sizes corresponding to
the limited legal size. Fishing trial of crab pot with the mesh size of 1¼, 2, 2½ and 3 inch
square-shaped has been done in the north Brondong waters, Lamongan, East Java, to
determine the effect on the number and size of the catches. The results showed that mesh
size had a significant effect on the catch of crab pot. The crab catch of a 2 inch mesh size
crab pot (2.17 kg / setting) is not significantly different from 1¼ inch (2.08 kg / setting).
Crab catch percentage with carapace width > 100mm increased by increasing of mesh
size. The highest value was found in the 3-inch mesh-size crab pot of 97.9%.
Keyword: collapsible pot, catch, blue swimming crab, mesh size
DNA BARCODE IKAN BANYAR DI PERAIRAN SELAT MALAKA, LAUT JAWA DAN TELUK
TOMINI
Achmad Zamroni, Suwarso dan Tri Ernawati
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut
Komp. Raiser Ikan Hias Jl. Raya Bogor KM. 47 Nanggewer Mekar, Cibinong, Kab. Bogor
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Ikan Banyar merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi. Berdasarkan FAO terdapat tiga jenis ikan dengan genus Rastrelliger yang terdapat di perairan
Indonesia, yaitu Rastrelliger brachysoma, R. kanagurta dan R. faughni. Secara morfologi spesies R.
kanagurta dan R. faughni mempunyai banyak kemiripan atau disebut dengan istilah species criptic.
Metode yang tepat dan akurat dalam identifikasi adalah dengan DNA Barcode pada gen COI. Basis data
genetika ikan Banyar dari perairan Indonesia pada Bank Gen belum tersedia. Untuk itu penelitian
mengenai kajian DNA Barcode pada ikan Banyar dari perairan Indonesia sangat diperlukan. Sampel ikan
Banyar yang digunakan berasal dari Tanjung Balai Asahan (Selat Malaka), Pekalongan (Laut Jawa) serta
Gorontalo dan Bitung (Teluk Tomini). Sampel hasil sequencing ikan Banyar dari negara lain yang
diperoleh dari Bank Gen juga digunakan sebagai pembanding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan Bank Gen sampel ikan Banyar dari Indonesia teridentifikasi sebagai spesies Rastrelliger
kanagurta. Jarak genetika, uji disparitas, uji Monte Carlo dan rekonstruksi pohon filogeni bahwa ikan
Banyar dari perairan Indonesia berbeda dengan ikan Banyar dari perairan luar negeri. Variasi genetika
ikan Banyar di perairan Gorontalo dan Bitung (Teluk Tomini) masih tinggi.
Kata kunci: DNA Barcode, ikan banyar, gen COI, jarak genetika, pohon filogeni, selat malaka, laut
jawa, teluk tomini
ABSTRACT
Indian mackerel is one type of small pelagic fish that has high economic value. Based on the FAO
there are three types of fish with the genus Rastrelliger found in Indonesian waters, namely Rastrelliger
brachysoma, R. kanagurta and R. faughni. In morphology species R. kanagurta and R. faughni have many
similarities or called by the species criptic. The exact and accurate method of identification is with DNA
Barcode in the COI gene. The genetic database of Indian mackerel from Indonesian waters in Genes Bank
is not yet available. Therefore, research on the study of DNA Barcode in Indian mackerel from
Indonesian waters is needed. Samples of Indian mackerel used from Tanjung Balai Asahan (Malacca
Strait), Pekalongan (Java Sea) and Gorontalo and Bitung (Tomini Bay). Samples of Indian mackerel from
other countries obtained from Gene Bank are also used as a comparison. The result of the research shows
that based on Gene Bank, Indian mackerel samples from Indonesia are identified as Rastrelliger
kanagurta species. Genetic distance, disparity test, Monte Carlo test and phylogeny tree reconstruction
that Indian mackerel from Indonesian waters differ from Indian mackerel from other country waters.
Genetic variations of Indian mackerel in Gorontalo and Bitung waters (Tomini Bay) are still high.
Keywords: DNA Barcode, indian mackerel, COI gene, genetics distance, phylogeny tree, Malacca strait,
java sea, tomini bay
PERTUMBUHAN DAN STATUS PEMANFAATAN LOBSTER MUTIARA (Panulirus ornatus
Fabricius, 1798) DI PERAIRAN SORONG, PAPUA BARAT
GROWTH AND EXPLOITATION STATUS OF ORNATE SPINY LOBSTER (Panulirus ornatus
Fabricius, 1798) IN SORONG WATERS, WEST PAPUA
Tirtadanu1)
dan Helman Nur Yusuf1)
1Balai Riset Perikanan Laut, Kompl. Raiser Jl. Raya Bogor KM. 47 Nanggewer Mekar, Cibinong,
Bogor
ABSTRAK
Pengelolaan lobster mutiara (Panulirus ornatus Fabricius, 1798) di perairan Sorong memerlukan
informasi pertumbuhan dan status pemanfaatan karena lobster mutiara merupakan komoditas unggulan
yang rentan terhadap kepunahan. Penelitian ini bertujuan mengkaji pertumbuhan dan status
pemanfaatan lobster mutiara sebagai dasar dalam pengelolaan lobster di perairan Sorong. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Juni 2015 – Juni 2016. Parameter pertumbuhan dianalisis berdasarkan pergeseran
modus struktur ukuran lobster. Status pemanfaatan diduga berdasarkan estimasi rasio pemijahan
berbasis data panjang (LB-SPR) dan analisis hasil per penambahan baru berdasarkan model Beverton &
Holt. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan lobster relatif lambat dengan laju pertumbuhan (K)
sebesar 0,39 per tahun dan ukuran panjang karapas asimptotik sebesar 166,95. Estimasi rasio
pemijahan lobster mutiara saat ini diperoleh sebesar 0,25 lebih besar dari ambang batas penangkapan
berlebih sebesar 0,20. Analisis hasil per penambahan baru menunjukkan laju kematian penangkapan
saat ini (Fcur) sebesar 1,2 per tahun lebih kecil dibandingkan titik acuan upaya yang disarankan (F0,1)
sebesar 1,3 per tahun. Status pemanfaatan berdasarkan kedua model tersebut menunjukkan tingkat
pemanfaatannya masih berada di bawah titik optimum. Pengelolaan yang disarankan berdasarkan
penelitian ini adalah upaya dapat ditingkatkan sekitar 7% dari upaya saat ini dengan ketentuan ukuran
minimum tertangkap lebih besar dari ukuran pertama matang gonad sebesar 93 mm.
KATA KUNCI : Estimasi Rasio Pemijahan; Hasil per Penambahan Baru; Panulirus ornatus, Perairan
Sorong, Status pemanfaatan,
ABSTRACT
Management of ornate spiny lobster (Panulirus ornatus Fabricius, 1798) required information about
growth and exploitation status because the ornate spiny lobster was the leading commodity which was
vulnerable from extinction. Aims of this research were to study the growth and the exploitation status
of ornate spiny lobster as basis for lobster management in Sorong Waters. This research was
conducted in June 2015 - June 2016. The growth parameters were analysed based on the movement of
size structure mode. Exploitation status was estimated based on length based spawning potential ratio
(LB-SPR) and yield per recruit analysis based on Beverton & Holt model. The results showed that the
growth of lobster was relatively slow that the growth rate (K) was 0,39 year-1
and the asymptotic
carapace length was 166,95 mm. The current spawning potential ratio was 0,25, greater than the
overfishing threshold that was 0,2. Yield per recruit analysis showed that the current fishing mortality
that was 1,2 year-1
, lower than the reference point (F0,1) that was 1,3 year-1
. Exploitation status based
on both model showed that the exploitation status was still below of the optimum point. The suggested
management based on this study was that the efforts can be increased by approximately 7% of the
current effort with the rules that the minimum legal size was greater than length at first matured at 93
mm carapace length.
KEYWORDS : Exploitation status; Panulirus ornatus; Sorong waters; Spawning potential ratio; Yield
per recruit
1
Hubungan Fase Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Pukat Cincin di Pemangkat,
Kalimantan Barat
Tri Wahyu Budiarti1)
dan Mahiswara1)
1)
Balai Riset Perikanan Laut
Abstrak
Sumberdaya ikan pelagis merupakan salah satu hasil produksi perikanan terbesar
di PPN Pemangkat, dan salah satu alat penangkap dominannya adalah pukat cincin.
Keberhasilan upaya penangkapan pukat cincin selain dipengaruhi oleh kondisi alam,
armada penangkapan, teknologi perikanan dan kemampuan nelayan juga dipengaruhi
oleh metode penangkapannya. Salah satu metode penangkapan tersebut adalah kapan
waktu yang tepat untuk mengoperasikan pukat cincin. Tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara fase bulan yang terjadi saat pengoperasian pukat cincin
dengan hasil tangkapannya, dan kapan waktu yang tepat pengoperasian unit pukat cincin.
Data yang digunakan diperoleh dari data enumerator pukat cincin di PPN Pemangkat
bulan Januari- November 2014. Hasil penelitian menunjukkan, berdasarkan uji-t
diperoleh hubungan antara fase-fase bulan dengan hasil tangkapan yang diperoleh oleh
pukat cincin di Pemangkat. Jumlah hasil tangkapan pukat cincin yang paling banyak
diperoleh terjadi pada musim timur pada pengoperasian saat fase bulan gelap.
Kata kunci : Pemangkat, fase bulan, pukat cincin, musim timur
ABSTRACT
Pelagic fish resources are one of the largest fishery products in PPN Pemangkat, and one
of the dominant fishing gear is the purse seine. The fruitfulness of purse-seine operation
being influenced by natural conditions, fishing fleets, fishery technology and fishing
capabilities are also influenced by the method of fishing capture. The right time to
operate the purse seine is one such method of fishing capture. This research aims to
determine the relationship between the moon phase during the operation of the purse
seine with the catch, and when is the right time to operate it. The data used is obtained
from the data of purse seine enumerator in PPN Pemangkat January-November 2014.
The results showed, based on t-statistic obtained the relationship between the moon
phases with the catches. The highest number catches occur in the east of monsoon season
when it is operated in the dark moon phase.
Keywords: Pemangkat, the moon phases, purse seine, the east of monsoon season
DINAMIKA POPULASI DAN LAJU PEMANFAATAN IKAN SELAR BENTONG
(Selar crumenophthalmus Bloch, 1793) DI PERAIRAN KWANDANG, LAUT
SULAWESI
POPULATION DYNAMIC AND EXPLOITATION RATE OF BIG EYE SCAD (Selar
crumenophthalmus Bloch, 1793) IN KWANDANG WATERS-SULAWESI SEA
Umi Chodrijah1)
dan Ria Faizah2)
1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut-Bogor 2) Peneliti pada Pusat Riset Perikanan,, Jakarta
ABSTRAK
Ikan selar bentong (Selar crumenophthalmus Bloch, 1793) merupakan salah satu
ikan pelagis kecil penting yang dimanfaatkan di perairan Kwandang-Laut Sulawesi.
Pemanfaatan spesies ini meningkat setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui laju pertumbuhan, kematian dan laju eksploitasi selar bentong di perairan
Kwandang Laut Sulawesi selama bulan Januari hingga November 2016. Persamaan
pertumbuhan Von Bertalanffy diturunkan sebagai Lt = 25,95 (1 - e 1,01 (t + -0,16374)).
Ukuran pertama kali tertangkap (Lc) diperkirakan mencapai 18,69 cm. Rekruitmen
terjadi di bulan Mei. Tingkat kematian total, alami dan karena penangkapan masing-
masing adalah 4,28, 1,90 dan 2,38 per tahun. Laju eksploitasi diperkirakan (0,56) sangat
mendekati nilai optimum 0,5. Oleh karena itu stok bisa dianggap telah dieksploitasi
secara optimal di perairan Kwandang.
Kata Kunci : Dinamika populasi, laju pemanfaatan, selar bentong, Kwandang
ABSTRACT
Big eye scad (Selar crumenophthalmus Bloch, 1793) was one of important small
pelagic fishes exploited in Kwandang waters-Sulawesi Sea. The exploitation of this
species was increasing every year. This research was carried out to study the growth,
mortality and exploitation of bigeye scad in the Kwandang waters during January-
November 2016. The von Bertalanffy growth equation was derived as Lt = 25.95(1 - e
1,01(t+-0.16374)). The size at first capture (Lc) was estimated as 18.69 cm. The recruitment
occurred in Mei. The total, natural and fishing mortality rates were 4.28, 1.90 and 2.38
year−1, respectively. The estimated exploitation ratio (0.56) was very close to the
optimum value of 0.5. Hence, the stock can be considered as optimally exploited in
Kwandang waters.
Key Words : Population Dynamis, exploitation rate, big eye scad, Kwandang waters
ASPEK BIOLOGI DAN KEBIASAAN MAKAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI
PERAIRAN LAUT FLORES DAN SEKITARNYA
BIOLOGICAL ASPECTS AND FOOD HABITS OF SKIPJACK TUNA (Katsuwonus pelamis) IN
FLORES SEA AND ADJACENT WATERS
Yoke Hany Restiangsih 1)
dan Khairul Amri1)
1)Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta
Email : [email protected]
ABSTRAK
Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis penting dan
banyak tertangkap dengan huhate di perairan Laut Flores dan sekitarnya. Tujuan Penelitian ini adalah
mengetahui beberapa aspek biologi ikan cakalang meliputi sebaran ukuran panjang, hubungan panjang-
bobot, nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad dan ukuran rata-rata pertama kali matang gonad dan
kebiasaan makan berdasarkan hasil tangkapan huhate yang didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Amagarapati, Larantuka bulan Januari sampai Desember 2015. Hasil penelitian menunjukkan ukuran
panjang cagak berkisar antara 25 – 74 cm. Pola pertumbuhan bersifat alometrik positif dan Nisbah
kelamin jantan terhadap betina sebagai 1 : 1,14. Panjang pertama kali ikan tertangkap (Lc) dengan huhate
sebesar 48,8 cmFL dan pertama kali matang gonad (Lm) sebesar 49 cmFL. Hasil penelitian ini
menunjukkan musim pemijahan terjadi pada bulan Mei dan Oktober, dengan demikian pemijahan
dilakukan secara bertahap. Kebiasaan makan ikan cakalang di Laut Flores yang tertangkap dengan huhate
merupakan jenis ikan pelagis kecil (ikan umpan) dan krustasea.
Kata Kunci: Biologi, kebiasaan makan, Katsuwonus pelamis, Laut Flores
ABSTRACT
Skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) is one of fish that has an important economic value.The
species were many caught by pole and line in Flores Sea and adjacent waters. Research was conducted to
determine biological aspect of skipjack tuna that includes length distribution, length-weight relationship,
sex ratio, maturity stage and length at first mature, food habits, based on monthly catches landed at
Amagarapati fishing port in Larantuka during January to December 2015. The results showed that folk
length ranged from 25 to 74 cm. The growth pattern are alometric positif. The condition of sex ratio of
males to females was 1:1,14. Length at first capture(Lc) by pole and line was 48.8 cmFL and length at
first maturity(Lm) was 49 cmFL. The results showed spawning seasons occured in May and October. It
was indicated that the fish has partial spawner.Food habits of skipjack tuna in Flores Sea caught by pole
and line was small pelagic species (bait fish) dan crustasea.
Keywords : Biology, Food habits, Katsuwonus pelamis, Flores Sea
1
GENETIC CHARACTERIZATION OF WESTERN INDONESIAN LONGTAIL TUNA (Thunnus
tonggol) BASED ON PARTIAL SEQUENCE OF 16S RRNA GENE MITOCHONDRIAL DNA
Achmad Zamroni1, Suwarso
1 & Arif Wibowo
2*
1Research Institute for Marine Fisheries, Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of
Marine Affairs and Fisheries, Jl.Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman,
Penjaringan – 14440, North Jakarta.
2 Research Institute for Inland Fisheries, Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of
Marine Affairs and Fisheries, Jl. Beringin 08 Mariana, Palembang - 30763, South Sumatera. E-mail:
* Corresponding author. E-mail: [email protected]
Abstract : Although the Longtail tuna (Thunnus tonggol) is an important fish in Indonesia the
population structure has not been investigated. In this study, the genetic differences in geography are
analyzed to provide a clear picture of the structure of T. tonggol populations along a transect stretching
from Pemangat (western Kalimantan) to Pekalongan in the Java Sea. We also analyzed SNPs in the
16S rRNA gene of T. tonggol as potential molecular marker for the identification of the origin within
species. In total, 3 polymorphic sites (all represent singleton dimensions) were identified in the
sequence analysis of the 570-bp fragment among a total of 97 T. tonggol individuals from Pekalongan
and Pemangkat. Based on these polymorphic sites, four haplotypes were identified. The Pemangkat
samples had higher amount of haplotype and nucleotide diversity (h = 0.1556 ± 0.0680 and π =
0.000277 ± 0.000432), meanwhile samples Pekalongan show lower levels of diversity (h = 0.0400 ±
0.0380 and π = 0.000070 ± 0.000209). The study reveal a single, intermixing population of T. tonggol
across the sampled location. No significant structuring was observed between other pairwise
comparisons, this indicates gene flow between geographically adjacent locations.
Key words: longtail tuna, 16S rRNA, mitochondrial DNA
1
Genetic diagnosis and reproductive biology of translocated Mystacoleucus padangensis in the
Toba Lake, North Sumatra
Arif Wibowo1*
& Siswanta Kaban 1
1 Research Institute for Inland Fisheries, Ministry of Marine Affairs and Fisheries,
Jl. Gubernur. H. A. Bastari No. 08, Palembang - 30763, South Sumatera – Indonesia.
* Corresponding author. E-mail: [email protected]
Abstract
After M. padangensis has been introduced to Toba Lake, North Sumatra, the status of M.
padangensis stocks and their biological properties is unknown. In this study, we examine the
genetic patterns of the M. padangensis in Toba Lake, North Sumatra Province. Employing the
cytochrome c oxidase subunit I (COI) gene of the mtDNA, we profile the genetic variation within
M. padangensis in Toba Lake. We also analyzed reproductive characteristic and commercial
catches of M. padangensis. The result shown M. padangensis is a synonim for M. marginatus, in
total, 1 polymorphic sites (represent singleton dimensions) was identified and phylogenetic
reconstruction reveal low levels of genetic diversity with no clear pattern of haplotype-partitioning.
Nucleotide diversity analysis infer the present of two lineages. The Ne value of M. padangensis
(1,936 to 3,878), the population has not experienced population growth/expansion as expected and
the total production of M. padangensis in Toba Lake of the year for 2013 has ranged between
3347,05 – 6694,1 ton. M. padangensis in the Toba Lake share similar life history traits include
maximum body size, longevity, age at maturity, and fecundity (the number of eggs produced). M.
padangensis is categorized as the opportunistic strategy consisted of fishes with short generation
time, low batch fecundity, and low investment per offspring. This life history traits approach of M.
padangensis are important for guide fisheries management for its sustainability. More over the
information can be use as pilot data and apply it to data-poor species.
Key words: M. padangensis, Reproductive, DNA, Toba Lake
1
USING DNA USING DNA BARCODES TO CONNECT ADULTS AND EARLY LIFE
STAGES OF MARINE FISHES FROM THE BANDA SEA, INDONESIA
Arif Wibowo1, Asep Priatna
2 and Helman Nur Yusuf
3
1 Research Institute for Inland Fisheries and Extention,
2,3Research Institute for Marine Fisheries
Abstract
The sustainability of the exploitation of the Indonesian fishes depends heavily on many of fish’s
basic information include both larvae distribution and dispersal. However, the identification of fish
larvae and juvenile to species is very difficult. Here we use DNA Barcoding technigue to identify
fish’s larvae to species in the Banda Sea by comparing the querries with sequences from adult stage
as reference library to contribute on biodiversity information on that particular area. Also we
highlight the composition of the fish’s larvae as well as the spatial heterogeneity in theirs
the distribution. In order to reach a point of reliable, we tried to establish a barcode reference
sequence library for 56 species with robust identification of adult specimen from morphology
technique. The dataset was used as diagnostic tool to screen queries DNA sequences from fish
larva specimens collected in Banda Sea, Indonesia. For the adult specimens, after some of PCR
experiment, we have successfully amplified 27 individuals, only 8 sequences available. There are a
total 326 eggs and larvae have been collected from 19 stations, of the 28 successfully amplied PCR
samples, 11 sequences were available for DNA analysis. We prove the ability of COI barcodes to
identify species level resolution from query sequences. Results informed the benefit of public
domain reference libraries of trustworthy DNA barcodes, to classify species from distinct
geographical origins and determine of how the data retrieved give important information for
proposing plans for conserving and managing of fisheries in the sea waters.
Keywords: Banda Sea, DNA barcode, early life history
1
Using DNA Barcode to improve the identification of marine fish larvae in the coastal water
near Jakarta
Arif Wibowo1*
, Anthony Pangabean2 and Achmad Zamroni
2
1 Research Institute for Inland Fisheries, Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of
Marine Affairs and Fisheries, Jl. Beringin 08 Mariana, Palembang - 30763, South Sumatera –
Indonesia. 2Research Institute for Marine Fisheries, Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of
Marine Affairs and Fisheries, Jl.Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Nizam
Zachman, Penjaringan – 14440, North Jakarta.
E-mail: [email protected]
Abstract
The Jakarta Bay is economically vital for supporting fisheries production for local communities.
However the environmental pressures on Jakarta Bay have increased from eutrophication and
heavy pollutions which are responsible for negative impact to fisheries including the larval stage.
In this study, we employed DNA barcoding techniques to identify marine fish larvae to a species
level. The molecular marker of a 471 bp region of the mitchondrial cyctochrome c oxidase I gene
(COI) has been successfully found to be species-specific, within species (0.0 - 1.30 percent). There
are total of 8 families, 5 genera and 5 species from a total 15 successful PCR that could be used to
calculate the accuracy of larval fish identification in three taxonomic categories. Despite our
samplling size relatively small, we found that the occurrence of fish larvae varied spatially for
several species. The results of this work enhance our understanding for reproductive activity of
fishes in Jakarta bay for long-term monitoring of species diversity, abudance and distribution and
give us the potential for real-time at sea identification.
Key words: Jakarta bay, larvae, DNA barcode
1
Extracting more value from biodiversity observations through DNA barcoding analysis: case
study in the upper Mamberamo River watershed, Papua New Guinea
Dwi Atminarso1 & Arif Wibowo
1*
1 Research Institute for Inland Fisheries, Agency for Marine and Fisheries Research, Ministry of
Marine Affairs and Fisheries, Jl. Gubernur H. A. Bastari No. 08 Kel. Silaberanti, Kec. Seberang
Ulu I, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
New Guinea Island of Indonesia, West Papua is one of the world’s last unknown places. The main
rivers in Papua Island is Mamberamo River, forms the largest drainage system of Indonesian New
Guinea. The initial freshwater fishes have been conducted however additional ichthyological
surveys in the Mamberamo Basin are urgently required. In terms of adding new records to the
fauna and elucidating distributional patterns of the known fauna, we are endeavouring to provide
an initial biodiversity profile of freshwater fishes occurring in the Muara Nawa area through the
analysis of species richness, Simpson’s index and Shannon’s index and analysis of an informative
DNA seqment of Cytochrome Oxidase Sub unit1. We demonstrate that PCR, sequencing and
analysis of an informatif DNA can be a useful complement to morphological study for more
complete bodiversity assesments. The results show that the biodiversity of freshwater fish fauna of
Mamberamo River is poor. Application of molecular tools increasing the number of identified fish
to 17 species of small size and is dominated strongly by Barbonymus gonionotus, an introduced
species, the reason for this is because DNA barcoding presents several advantages compared to
morphological characters for species identification. Low diversity values of Shannon-Wiener and
high value of Simpson indices in the present study show that the selected sampling sites is unstable
to moderate stable ecosystem. Further inventory effort is urgently needed at all Mamberamo River
study sites, as anthropogenic changes may soon have an adverse effect on the local fish
assemblages.
Key words: Biodiversity, tropical river, fish
1
ASPEK BIOLOGI IKAN PALAU (Osteochilus hasseltii C.V) DI SUNGAI
BATANGHARI, JAMBI
BIOLOGICAL ASPECT OF SILVER SHARKMINNOW (Osteochilus
hasseltii C.V) IN BATANGHARI RIVER, JAMBI
Siswanta Kaban dan Asyari
Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan
Email: [email protected]
ABSTRAK
Ikan palau (Osteochilus hasselti) merupakan jenis ikan dominan dan juga ikan
konsumsi yang cukup penting di Propinsi Jambi. Tujuan dari penelitian adalah untuk
mengetahui beberapa aspek biologi ikan palau di Sungai Batanghari yang dilakukan pada
bulan Februari, April, Juni, September dan Oktober 2016. Penelitian menggunakan
metode survey, sedangkan pengambilan contoh dilakukan secara purposive sampling.
Diilakukan analisis terhadap panjang-berat, kebiasaan makan ikan menggunakan indeks
preponderan, kematangan gonad diamati secara morfologi, sedangkan penentuan
fekunditas dihitung dengan metode gravimetrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hubungan panjang-berat ikan palau mengikuti persamaan W = 0, 009 L 3,096 dengan
nilai b = 3. Hasil penelitian menunujkkan bahwa ikan palau mempunyai pola
pertumbuhan yang isometrik dimana terdapat keseimbangan antara pertumbuhan panjang
dengan pertumbuhan berat. Ikan palau termasuk golongan ikan herbivora dengan pakan
utama fitoplankton yaitu Bacillariophyceae 42,8% dan Chlorophyceae 39,6%. Pakan
pelengkapnya adalah Cyanophyceae 6,5 %, pakan tambahan terdiri dari makrofita 2,4 %,
Rotifera 1,8 % dan Crustacea 1,1 % serta sisanya sebesar 5,8 % yang tidak teridentifikasi.
Ikan palau dapat memijah sepanjang tahun secara parsial dengan fekunditas antara 2.726 -
19.202 butir telur. Indeks kematangan gonad antara antara 5,38 % - 11,44 %, sedangkan
diameter telur berkisar antara 0,40 – 1,27 mm.
KATA KUNCI : aspek bologi, ikan palau, fekunditas, Sungai Batanghari
ABSTACT :
The Palau fish (Osteochilus hasselti) is the dominant fish species and also the important
consumption fish in Jambi Province. The purpose of this research is to know some aspect
of fish biology in Batanghari River which conducted in February, April, June, September
and October 2016. The research used survey method, while sampling is done by
purposive sampling. Analyzed on length-weight, fish feeding habits using preponderant
index, gonad maturity was observed morphologically, while fecundity determination was
calculated by gravimetric method. The results showed that the long-weight relationship of
the Palau fish followed the equation W = 0, 009 L 3.096 with the value b = 3. It’s showed
that it had an isometric growth pattern where there was a balance between long growth
and heavy growth. It belong to herbivorous fish group with main feed of phytoplankton
such as Bacillariophyceae 42,8% and Chlorophyceae 39,6%. The complete feed is
Cyanophyceae 6,5%, additional feed consist of Macrofita 2,4%, Rotifera 1,8% and
Crustacea 1,1% and the rest of 5,8% unidentified. The fish can spawn year-round
partially with fecundity between 2,726 - 19,202 eggs. The gonad maturity index was
between 5.38% - 11.44%, while the egg diameter ranged from 0.40 to 1.27 mm
KEYWORD : biological aspect, silver sharkminnow, fecundity, Batanghari River
PENDUGAAN DAYA DUKUNG PERAIRAN UNTUK BUDIDAYA IKAN DALAM
KERAMBA JARING APUNG DI WADUK PONDOK, NGAWI JAWA TIMUR
CARRYING CAPACITY ESTIMATION FOR FISH CULTURE OF FLOATING NET
CAGES IN PONDOK RESERVOIR, NGAWI EAST JAVA
Siti Nurul Aida, Agus Djoko Utomo, Taufiq Hidayah
Abstrak
Waduk Pondok 380 ha berada di Ngawi Jawa Timur. Waduk tersebut mulai beroperasi
tahun 1995 merupakan waduk serbaguna. Budidaya ikan di Waduk Pondok sudah mulai
berkembang, hingga pada tahun 2016 mencapai 126 petak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui
tingkat kesuburan perairan, total fosfor yang terlepas ke peraian dari keramba jaring apung (KJA),
daya dukung perairan untuk KJA. Tingkat kesuburan perairan perairan waduk dianalisa dengan
nilai index status trofik menurut Carlson (1977). Untuk mengetahui total fosfor yang terlepas ke
perairan dan daya dukung perairan untuk KJA menggunakan pendekatan menurut Beveridge
(1996). Perairan waduk Pondok sudah termasuk katagori perairan eutrofik, dengan nilai TSI
62,1.Total P yang terlepas ke perairan yaitu 15,04 kg P/ton ikan. Daya dukung perairan Waduk
Pondok untuk KJA adalah 1500 kg/tahun atau 130 petak KJA. Jumlah KJA di Waduk Pondok
ada 126 petak, sudah optimum tidak dapat ditambah lagi.
Kata kunci: Daya dukung perairan, budidaya ikan, keramba jaring apung, waduk
Abstract.
Pondok Reservoir 380 ha is located in Ngawi, East Java. The Reservoir was began
operationed in 1995, is a multipurpose reservoir. Fish culture in Pondok Reservoir has begun to
grow until in 2016 reached 126 cages. The aim of this research is to know the trophicstatus, total
of phosphorus released to waters from floating net cage, carrying capacity for fish culture. Trophic
status index(TSI) was analyzed according to Carlson (1977). To find out the total phosphorus
released to waters and carrying capacity for fish culture use approach according to Beveridge
(1996). Pondok reservoir have been categorized as eutrophic status, with the value of TSI 62.1.
Total P released to the waters is 15.04 kg P / ton of fish. The carrying capacity of Pondok
Reservoir for fish culture is 1500 kg / year or 130 cages. The number fish culture in Pondok
Reservoir is 126 cages, is optimum can not be added anymore.
Key Word: Carrying capacity, fish culture, floating net cage, reservoir
KONDISI LIMNOLOGIS, POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN
SUMBERDAYA IKAN DI DANAU PANIAI, PROPINSI PAPUA
LIMNOLOGICAL CONDITIONS, POTENCY AND
UTILIZATION LEVEL OF FISH RESOURCES IN LAKE PANIA,
PAPUA PROVINCE
Vipen Adiansyah, Samuel dan Yoga Chandra Ditya
Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan,
Jl. Gubernur, H. A. Bastari No. 08 Jakabaring Palembang,Sumatera Selatan
ABSTRAK
Kajian limnologis perairan, potensi produksi dan tingkat pemanfaatan di suatu danau
memberikan informasi tentang bagaimana kondisi dan tingkat kesuburan air serta berapa
besar kemampuan perairan dapat memproduksi ikan dan seberapa besar pemanfaatannya.
Penelitian limnologis, potensi produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Danau
Paniai, bertujuan untuk mengevaluasi kondisi limnologis, mengestimasi potensi produksi dan
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya. Parameter yang diukur adalah parameter fisika,
kimia dan biologi perairan terdiri dari suhu, kecerahan, kedalaman, daya hantar listrik, pH,
oksigen terlarut, alkalinitas, kesadahan, amonia, nitrat, fosfat, total fosfor, klorofil-a, plankton
dan bentos. Pengukuran parameter dan pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan April,
Juli dan Oktober 2016 di tujuh stasiun pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan perairan
Danau Paniai mempunyai kualitas air yang masih baik untuk kehidupan ikan dengan nilai
status trofik berkisar antara 39-56, mengklasifikasikan perairan pada tingkat kesuburan
sedang-tinggi. Rerata potensi produksi ikan 34,6 kg/ha/tahun atau 524 ton/tahun. Jumlah hasil
tangkapan yang menggambarkan tingkat pemanfaatan ada sebesar 20,3 ton/tahun. Tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan dan udang ini bila dibandingkan dengan angka potensi
produksi rata-ratanya sebesar 524 ton/tahun, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di
Danau Paniai baru mencapai angka sebesar 4%.
Kata Kunci: Limnologi perairan; potensi produksi ikan; Danau Paniai
ABSTRACT
Study on aquatic limnology, potency of fish production and utilization rates in a lake
provides information on how the condition and level of water fertility and how much water
capacity can produce fish and how much its use. Limnological research, production potential
and utilization rate of fish resources in Paniai Lake, aimed to evaluate the limnological
conditions, estimating the potential of fish production and utilization rate of fish resources.
The parameters measured were physico-chemical and biological parameters consisting of
temperature, brightness, depth, conductivity, pH, dissolved oxygen, alkalinity, hardness,
ammonia, nitrate, phosphate, total phosphorus, chlorophyll-a, plankton and benthos.
Parameter measurements and sampling were conducted in April, July and October 2016 at
seven observation stations. The results showed that Lake Paniai waters had good water
quality for fish life with trophic status values was ranging from 39-56, classified waters at
medium-high fertility level. The average potential of fish production was 34.6 kg/ha/year or
524 tons/year. The number of catches that described the utilization rate was 20.3 tons/year.
The utilization rate of fish and shrimp resources compared to the average production
potential that was 524 tons/year, the utilization rate of fish resources in Lake Paniai only
reached 4%.
Keywords: Aquatic Limnology; potential of fish production; Lake Paniai
SOME POPULATION PARAMETERS ON FISH OF THE COMMON CARP
(Cyprinus carpio, Linnaeus, 1758) IN LAKE PANIAI, PAPUA
Yoga Candra Ditya, Samuel and Vipen Adiansyah
Balai Riset Perikanan Perairan Umum dan Penyuluhan Perikanan,
Jl. Gubernur, H. A. Bastari No. 08 Jakabaring Palembang,Sumatera Selatan
ABSTRACT:
Common carp (Cyprinus carpio) fish is known as a fish introductions on some
waters of the lake in Indonesia and included in a group of herbivore fish. The Common
carp fish population in Lake was in the dominant number, sothat its became the target
catch by fishermen. Estimation of some parameters on Common carp fish population in
Lake Paniai was aimed to evaluate the growth parameters, mortality, the fishing rate and
recruitment pattern. Taking and measuring the fish sample was done in the period from
February to October 2016 by using the fishing gear of gill nets with mesh sizes of 1.00 -
4.50 inches. The results showed that Common carp fish population in Lake Paniai was
dominated by individual lengths between 15-25 cm with a frequency of 55.78%, the
growth pattern of male fish were alometrik (-) and females were isometric. Asymptotic
length (L∞) = 61.43 cm and the growth coefficient (K) = 0.32 per year. The rate of
natural mortality (M) = 0.65 per year, the mortality rate of fishing (F) = 0.52 per year,
the total mortality rate (Z) = 1.17 per year and the exploitation rate (E) = 0.44. The
exploitation rate of Common carp fish was still below the its optimum value, thus an
attempt to catch this fish, could be still improved. Common carp fish populations caught
by mostly fishermen have had a chance to spawning thus Common carp fish population in
the lake was estimated to still preserved and could be utilized in a sustainable manner.
Peak recruitment occured only one year, namely in June.
KEYWORDS: Population parameters, Common carp fish, Lake Paniai, Papua.
SEBARAN INFEKSI MHD (MILKY HAEMOLYMPH DISEASE) PADA LOBSTER PASIR
(Panulirus homarus LINNAEUS, 1758) DAN LOBSTER MUTIARA (Panulirus ornatus
FABRICIUS, 1798) TANGKAPAN ALAM.
MHD (MILKY HAEMOLYMPH DISEASE) INFECTION DISTRIBUTION ON WILD-
CAPTURED SCALLOPED SPINY LOBSTERS (Panulirus homarus LINNAEUS, 1758) AND
ORNATE SPINY LOBSTER (Panulirus ornatus FABRICIUS, 1798).
Indriatmoko*, 1)
dan Danu Wijaya1)
1)
Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jl. Cilalawi No.1, Jatiluhur, Purwakarta - 41152, Jawa
Barat
*email: [email protected]
Abstrak
Lobster pasir (Panulirus homarus) dan lobster mutiara (Panulirus ornatus) merupakan komoditas
perikanan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi yang baik dengan permintaan pasar nasional dan
internasional yang tinggi. Potensi ini dimanfaatkan oleh pelaku perikanan lobster dengan
memanfaatkan lobster baik dari hasil tangkapan alam maupun hasil budidaya untuk memenuhi
kebutuhan pasar. Di Indonesia, beberapa lokasi dikenal memiliki beberapa lokasi lobster pasir
tangkapan alam potensial diantaranya, Simeuleu, Mandeh, Ujung kulon, Pangandaran, Pacitan,
Trenggalek, Tulung agung, Banyuwangi, dan Lombok. Isu paparan infeksi Milky Haemolymph
Disease (MHD) pada lobster saat ini telah menjadi perhatian utama. Dampak kematian secara cepat
yang terjadi setelah muculnya indikasi infeksi menjadi ancaman yang dapat berakibat menurunnya
kuantitas ketersediaan komoditas ini sekaligus mengancam stok lobster di alam. Riset ini menyajikan
informasi sebaran infeksi MHD dari lobster hasil tangkapan alam perairan Simeleu (nph = 15; npo = 0
), Mandeh (nph = 9; npo = 0), Ujung kulon (nph = 10; npo = 10), Pangandaran (nph = 18; npo = 14),
Pacitan (nph = 15; npo = 3), Trenggalek (nph = 11; npo = 1), Tulung agung (nph = 14; npo = 11),
Banyuwangi (nph = 18; npo = 16), dan Lombok (nph = 15; npo = 15). Hasil deteksi rickettsia-like
bacteria penyebab MHD secara molekuler menunjukan sebaran MHD sudah mencakup seluruh
lokasi penelitian dengan prosentase infeksi pada P. homarus yang bervariasi dengan infeksi individu
tinggi adalah Lombok > Pacitan > Banyuwangi > Ujung kulon > Simeuleu > Tulung agung >
Trenggalek > Mandeh. Prosentase infeksi MHD pada P. ornatus tertinggi pada
Pangandaran>Lombok>Tulungagung>Banyuwangi>Ujung kulon.
Kata Kunci : Panulirus homarus, milky haemolymph disease, rickettsia-like bacteria
Abstract
Spiny lobsters, Panulirus homarus and Panulirus ornatus, has becoming prime fisheries commodity
in Indonesia that highly valued economically followed by either nasional or international market
demand. This valuable potency had been used by numerous lobster fisheries stakeholders by
conducting capture and culture activities in order to meet the market demand. In Indonesia, several
locations were well-knowed as lobster wild-captured centers, e.g. Simeuleu, Mandeh, Ujung kulon,
Pangandaran, Pacitan, Trenggalek, Tulung agung, Banyuwangi, and Lombok. Most recent issue were
come from Milky Haemolymph Disease (MHD) in spiny lobster have becoming the main concern.
Rapid death in few days post to clinical symptom appears were considered to be potential threat
which largely affect to decreasing of the production quantitatively as well as potentially reduce wild-
stock lobster. This investigation providing information of MHD-infected wild-captured lobster
distribution from several captured area, i.e. Simeleu (nph = 15; npo = 0 ), Mandeh (nph = 9; npo = 0),
Ujung kulon (nph = 10; npo = 10), Pangandaran (nph = 18; npo = 14), Pacitan (nph = 15; npo = 3),
Trenggalek (nph = 11; npo = 1), Tulung agung (nph = 14; npo = 11), Banyuwangi (nph = 18; npo = 16),
and Lombok (nph = 15; npo = 15). Molecular detection of rickettsia-like bacteria (MHD infection
agent) showed that this disease had been spread all over investigated locations. Furthermore, highest
percentage of infected P. homarus were found in Lombok > Pacitan > Banyuwangi > Ujung kulon >
Simeuleu > Tulung agung > Trenggalek > Mandeh, while P. ornatus were found in
Pangandaran>Lombok>Tulungagung>Banyuwangi>Ujung kulon>Trenggalek.
Keywords : Panulirus homarus, milky haemolymph disease, rickettsia-like bacteria
KAJIAN LINGKUNGAN PERAIRAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEMATIAN IKAN
MASSAL DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT, INDONESIA
THE ASSESMENT OF WATERS ENVIRONMENTAL AND IMPACT ON MASS MORTALITY
OF FISH IN CIRATA RESERVOIR, WEST JAVA, INDONESIA.
Adriani Sri Nastiti1, Sri Turni Hartati
2 dan Budi Nugraha
2
1Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan
2Pusat Riset Perikanan
Email:[email protected]
ABSTRAK
Waduk Cirata telah dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya dengan sistem Keramba Jaring
(KJA), saat ini jumlah KJA sudah melebihi daya dukung yang menyebakan over nutrien. Hampir
setiap tahun terjadi kematian ikan. Kajian lingkungan perairan dan dampaknya terhadap kematian
ikan massal dilakukan pada akhir bulan September 2017, di beberapa lokasi meliputi : Zona II
(Cimanggu-Purwakarta), Zona I (Sangkalin, Cipicung- Bandung Barat), dan Zona III ( Jatinengang,
Patokbeusi-Cianjur). Parameter yang diukur meliputi : Suhu air/udara, Kedalaman, Kecerahan,
Kekeruhan, TDS, TSS, DHL, Warna air , Oksigen terlarut, ORP, CO2 bebas, Alkalinitas, pH, Nitrat,
Nitrit, Amonium, Fosfat, Sulfat, BOT, Sruktur komunitas fitoplankton, dan informasi tentang
kronologis kematian ikan massal. Metode kajian dengan pengukuran insitu, analisa di laboratorium,
wawancara dan dukungan referensi terkait. Hasil kajian bahwa perairan waduk Cirata mengalami
pencemaran. Tingkat kesuburan eutrofik, berdasarkan ORP menunjukan bahwa perairan waduk Cirata
tidak mampu melakukan proses dekomposisi limbah pakan yang terakumulasi. Kualitas air yang tidak
bagus dan dipicu fenomena umbalan terjadi kematian ikan massal budidaya sekitar 65 ton di zona III
(wilayah Cianjur), 25 ton di zona I (wilayah Purwakarta) , dan 20 ton, di zona I (wilayah Bandung
Barat).
Kata Kunci : Lingkungan perairan, dampak, kematian ikan, waduk Cirata.
ABSTRACT
Cirata reservoir has been used for fish culture activities by floating net cages system , the current
number of floating net cages has exceeded the carrying capacity that cause eutrophic waters. Almost
every year fish mortality occurs. The study of the aquatic environment and its impact on mass
mortality of fish was done at the end of September 2017, in several locations including: Zone II
(Cimanggu-Purwakarta), Zone I (Sangkalin, Cipicung-West Bandung), and Zone III (Jatinengang,
Patokbeusi-Cianjur) . Parameters measured include: Water / air temperature, Depth, Brightness,
Turbidity, TDS, TSS, Conductivity, Color of waters, Dissolved Oxygen, ORP, Free CO2, Alkalinity,
pH, Nitrate, Nitrite, Amonium, Phosphate, Sulphate, BOT, the structure of the phytoplankton
community, and information about the chronology of mass fish mortality. Methods of study with in
situ measurements, laboratory analysis, interviews and associated reference support. The results of
the study that the waters of the reservoir Cirata experienced pollution. based on ORP indicate that
Cirata reservoir waters are not capable of decomposed the accumulated of feed waste. Bad water
quality and triggered by the phenomenon of upwelling occurred mass mortality of fish, around 65
tons in zone III (Cianjur area), 25 tons in zone I (Purwakarta area), and 20 tons, in zone II (West
Bandung area).
Key words: Water environment, impact, mortality of fish, Cirata reservoir
1
FLUKTUASI TANGKAPAN DAN KONDISI HIU MERAK BULU, Carcharhinus
brevipinna (Müller & Henle, 1839) YANG DIDARATKAN DI TANJUNG LUAR,
LOMBOK TIMUR
CATCH FLUCTUATION AND CONDITION OF SPINNER SHARK Carcharhinus
brevipinna (Müller & Henle, 1839) LANDED IN TANJUNG LUAR, EAST LOMBOK
Agus Arifin Sentosa1)
, Umi Chodrijah2)
, dan Indriatmoko1)
1Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jalan Cilalawi No. 01 Jatiluhur, Purwakarta,
Jawa Barat, Indonesia-41152, 2Balai Riset Perikanan Laut, Komplek Raiser Jalan Raya Bogor km 47Nanggewer Mekar,
Cibinong Bogor, Jawa Barat, Indonesia-16912
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Hiu merak bulu sering tertangkap dan didaratkan di Tanjung Luar. Informasi ilmiah
terkait jenis tersebut relatif jarang sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
fluktuasi tangkapan dan faktor kondisi hiu merak bulu, Carcharhinus brevipinna (Müller
& Henle, 1839) yang didaratkan di Tanjung Luar. Penelitian dilakukan selama Agustus
2015 – November 2016 dengan pencatatan hasil tangkapan dibantu oleh enumerator.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kondisi hiu ditentukan berdasarkan faktor
kondisi relatif yang diperoleh dari hubungan panjang-beratnya. Hasil menunjukkan
terdapat sebanyak 1350 ekor (546 jantan dan 804 betina) dengan pola hasil tangkapan
yang fluktuatif sepanjang tahun. Hiu betina lebih banyak tertangkap dengan nisbah
kelamin 1 : 1,473. Pola pertumbuhan C. brevipinna bersifat alometrik negatif, baik jantan
dan betina. Faktor kondisi relatif tangkapan hiu jantan berkisar antara 0,191 – 4,165 dan
betina antara 0,216 – 3,453. Kondisi hiu merak bulu jantan dan betina relatif tidak
berbeda (P>0,05), namun jika dibandingkan antar kelas ukuran panjang dan antar bulan
kondisinya berbeda.
KATA KUNCI: Hiu merak bulu, Carcharhinus brevipinna, faktor kondisi
relatif, tangkapan, Tanjung Luar
ABSTRACT
The spinner shark was common commodity which was landed in Tanjung Luar, but its
scientific information had been rare. So, this study aimed to assess the catch fluctuation
and condition factors of spinner shark, Carcharhinus brevipinna (Müller & Henle, 1839)
landed in Tanjung Luar. The research was conducted during August 2015 - November
2016 with recording of the catches assisted by the enumerator. The data was analysed
descriptively and the shark condition was determined based on relative condition factor
which obtained from the length-weight relationship. The results showed the total catch
were 1350 individu (546 males and 804 females) with fluctuating catch patterns
throughout the year. Female shark was more caught with sex ratio of 1: 1,473. The
growth pattern of C. brevipinna was allometrically negative, both male and female. The
relative condition factor of males shark catch ranged from 0.191 - 4.165 and females
between 0.216 - 3.453. The condition of male and female spinner sharks were relatively
no different (P> 0.05), but when compared between size class of length and between
months the condition was different.
2
KEYWORDS: Spinner shark, Carcharhinus brevipinna, relative condition factor,
catch, Tanjung Luar
1
PERLINDUNGAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA
IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus) DI PERAIRAN KEPULAUAN
ANAMBAS (Naskah Akademik)
Amran Ronny Syam1)
, Fayakun Satria2)
, Didik Wahju Hendro Tjahjo1)
dan Masayu
Rahmia Anwar Putri1)
1)Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan
2)Balai Riset Perikanan Laut
ABSTRAK: Upaya perlindungan dan pemulihan ikan napoleon di perairan Anambas merupakan langkah pengelolaan agar sumberdaya ikan napoleon di perairan ini tetap lestari. Ikan napoleon merupakan komoditas unggulan perairan Anambas dari kegiatan budidaya (keramba jaring apung) berbasis penangkapan (CBA, capture based aquaculture). Besarnya nilai ekspor ikan napoleon lebih dari US$690.000/tahun. Ikan napoleon memiliki karakteristik biologi (pertumbuhan lambat, distribusi terbatas, jumlah populasi rendah, usia pertama kali memijah lama) sehingga pemanfaatannya perlu dilakukan dengan hati-hati. Direkomendasikan untuk melakukan perlindungan terbatas berdasarkan ukuran, wilayah, waktu dan metode penangkapan. Ukuran ikan napoleon yang boleh ditangkap di alam berkisar antara 3-100 mm dan hanya diperuntukkan bagi kegiatan KJA di perairan Anambas. Kegiatan penangkapan benih hanya diperbolehkan dilakukan di luar Pulau Teluk Pau dan dilakukan pada bulan Oktober-Desember (3 bulan) dengan menggunakan alat penangkapan benih ikan (serok) dan metode penangkapan yang tidak merusak habitat. Untuk menjamin ketersediaan induk di alam, petani KJA diharuskan melepaskan paling sedikit 10% dari total benih yang berukuran lebih besar dari 100 mm kembali ke alam. Upaya perlindungan dan pemulihan ini harus mendapatkan pengawasan yang ketat dari pemerintah dengan melibatkan masyarakat, pelaku usaha dan pemerhati lingkungan. .
KATA KUNCI : pemanfaatan terbatas, konservasi, ikan napoleon, Anambas
Estimasi Potensi Stok Sumberdaya Lobster melalui Pendekatan Mark and
Recapture, dan Tingkat Pemanfaatannya di Perairan Teluk Prigi Kabupaten
Trenggalek
Stock Potential Estimation Lobster Resources by Mark and Recapture Approach, and
Level Utilization in Gulf of Prigi, District of Trenggalek
Amula Nurfiarini, dan Danu Wijaya1
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Abstrak
Lobster merupakan komoditas perikanan unggulan yang keberadaan dan potensi
stok di alam cukup sulit di estimasi di banding komoditas lain dalam kelompok udang
udangan. Hal ini tidak terlepas dari tipologi habitat hidup lobster, cuaca, terbatasnya
kemampuan/teknologi penangkapan yang dimiliki, minimnya pencatatan data produksi,
dan aspek pasar. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan percobaan
penandaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan stok lobster, dinamika
pemanfaatanya, serta menetukan alternatif strategi pemanfaatan sumberdaya lobster
secara berkelanjutan di Perairan Teluk Prigi. Metode penelitian menggunakan
pendekatan tandai-lepas-tangkap kembali (Capture-mark-recapture/CMR), sedangkan
analisis stok lobster mengacu pada Petersen (2001). Hasil Penelitian menunjukkan
bahwa potensi stok lobster di Teluk Prigi mencapai 90,24 ton dengan tingkat pemanfaatan
sebesar 4,26 ton. Artinya bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya lobster di Teluk Prigi
baru sekitar 4,72 % dari total potensi stok lobster di perairan, sehingga masih dapat
ditingkatkan. Namun demikian, pola pemanfaatan masih belum memenuhi kaidah
ketentuan peraturan yang berlaku dimana produksi lobster didominasi oleh ukuran larang
tangkap (carapace length < 8 cm).
Kata kunci: Mark and Recapture, Stok, Pemanfaatan, Lobster, Teluk Prigi
Abstract
Spiny Lobster is a superior fishery commodity whose existence and potential of
stock in nature is quite difficult in estimation compared to other commodities in shrimp
crustacean group. This can not be separated from typology of lobster living habitat,
weather, limited capability / capture technology owned, lack of production data
recording, and market aspect. One approach that can be done is by tagging experiments.
This study aims to determine the availability of lobster stock, the dynamics of its use, and
determine the alternative strategy of sustainable lobster resource utilization in Gulf of
Prigi waters. The research method used a catch-mark-recapture (CMR) approach, while
lobster stock analysis refers to Petersen (2001). The results showed that the potency of
lobster stock in Prigi Bay reached 90.24 tons with utilization rate of 4.26 tons. This
means that the level of utilization of lobster resources in Gulf of Prigi is only about 4.72%
of the total lobster stock potential in the waters, so it can still be improved. However, the
utilization pattern still does not meet the rules of the prevailing rules of law where lobster
production is dominated by carapace length <8 cm.
KEY WORDS: Mark and Recapture, Stock, Utilization, Spiny Lobster, Gulf of Prigi
Upaya mitigasi beban cemar fosfor dari kegiatan budidaya dengan penebaran ikan di Waduk
Djuanda-Jawa Barat
Fish Restocking For Mitigation of Phosphorus Loading From Aquaculture Activity in Djuanda
Reservoir, West Java
Andri Warsa “1)”
dan Andika Luky Setiyo Hendrawan 1)
1) Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Abstrak
Buangan limbah dari budidaya yang umumnya mengandung fosfor (P) yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan biomassa fitoplankton. Beban masukkan P yang berlebih dapat
menyebabkan penyuburan perairan. atau eutrofikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi
jumlah benih ikan yang dapat ditebar sebagai upaya mitigasi akibat beban cemar P dari kegiatan
budidaya. Penelitian dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda pada bulan Februari, Juli, September dan
Oktober 2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status kesuburan perairan Waduk Ir. H. Djuanda
adalah hipereutrofik. Besarnya beban masukkan P dari kegiatan budidaya sebesar 1.263,1 ton.
Besarnya beban masukkan P tersebut menyebabkan terbentuknya konsentrasi klorofil-a sebesar 169,5
mg m-3
dan produktivitas primer sebesar 357,23 gC m-2
tahun-1
. Estimasi potensi produksi ikan akibat
dari beban masukkan P dari kegiatan budidaya sebesar 120,9-195,1 kg ha-1
tahun-1
. Berdasarkan nilai
potensi produksi tersebut maka dapat ditebar ikan planktivora sebanyak 2.500.000-4.000.000 ekor
tahun-1
. Jika mengacu pada kebutuhan fosfor ikan bandeng maka jumlah beban P yang dapat dikurangi
sebesar 1.204,2 kg atau sebesar 9,5%.
Kata Kunci: Beban fosfor, penebaran, mitigasi, waduk Ir. H. Djuanda
Abstract:
Waste from aquaculture activity contain phosphorus could stimulate phytoplankton growth and
finally caused eutrophication. The aim of the research to estimated number of seed can be restocking
as mitigation P loading from aquaculture activity. The research were done at February, July,
September and October 2015. The result of the research shown Ir. H. Djuanda reservoir is
hypereutrophic. Phoshorus loading from aquaculture is 1,2631.1 ton and caused increasing
chlorophyll-a and primary productivity were 169.5 mg m-3
and 357,23 gCm-2
tahun-1
respectively with
potential yield arround 120,9-195,1 kgha-1
year-1
. Based on chlorophyll-a concentration and primary
productivity, number of seed for stocking about 2,500,000-4,000,000 individu year-1
. It can be
decreasing P loading is 1,204.2 kg or 9.5%.
Key word: Phosphorus loading, stocking, mitigation, Ir. H. Djuanda reservoir.
1
KARAKTERISTIK HABITAT DAN POTENSI RASIO PEMIJAHAN IKAN BELIDA (Chitala
lopis) DI SUNGAI KAMPAR, RIAU
HABITAT CHARACTERISTICS AND SPAWNING POTENTIAL RATIO OF FEATHERBACK
(Chitala lopis) AT KAMPAR RIVER, RIAU
Andri Warsa “1)”
, Endi Setiadi Kartamihardja
2) dan Arif Wibowo
3)
E-mail: [email protected] “1)” Balai Riset Pemulihan Sumberdaya ikan
2) Pusat Riset Perikanan
3) Balai Riset Perikanan Perairan umum dan Penyuluhan Perikanan
ABSTRAK
Ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Kampar merupakan salah satu jenis ikan ekonomis penting
yang populasinya dilaporkan menurunan sehingga perlu langkah-langkah upaya pengelolaan dan
konservasinya.Keterbatasan data yang dapat digunakan untuk formulasi upaya pengelolaan dan
konservasi ikan belida di Sungai Kampar menjadi kendala.Salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk pengelolaan populasi ikan belida adalah rasio potensi pemijahan (Spawning Potential
Rasio, SPR).Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik habitat dan menganalisis SPR
sebagai dasar pengelolaan stok ikan belida di Sungai Kampar, Riau.Penelitian dilakukan pada Bulan
Mei, Agustus dan Oktober 2016.Karakteristik habitat ikan belida dianalisis berdasarkan data limnologi
dari Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri sedangkan analisis SPR dilakukan berdasarkan data
morfometri dan biologi ikan belida sampel yang diukur di tempat pendaratan ikan.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas air dan vegetasi rivarian habitat ikan belida di Sungai Kampar Kiri lebih
baik jika dibandingkan dengan habitat di Sungai Kampar Kanan.Ukuran panjang total ikan belida yang
dominan tertangkap lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran panjang pada pertama kali matang
gonad dengan nilai prosentase SPR sebesar 10%. Kondisi ini akan berdampak terhadap penurunan
populasi ikan belida. Nilai prosentase SPR ikan belida harus dinaikan menjadi lebih besar dari 20%
agar populasinya stabil.Hal ini dapat tercapai jika ukuran ikan belida yang ditangkap harus
mempunyai panjang total >80 cm. Regulasi penangkapan mengenai ukuran mata jaring yang boleh
digunakan harus dilakukan.
Kata kunci: Habitat, Potensi Rasio Pemijahan, Ikan Belida Chitala lopis, Sungai Kampar
ABSTRACT
2
The feather back, Chitala lopis is an important economic fish, inhabit Kampar River and its
population tend to decrease so that management and conservation efforts should be conducted.
Limited data of the feather back is one problems in formulating the management of the population.
Spawning potential ratio (SPR) approach is an option being used in the management of the fish stock
in the poor data.The study aimed to investigate habitat characteristics and to analysis spawning
potential ratio of the feather back in Kampar River, Riau has been conducted in May, August and
October 2016.Habitat characteristics were analyzed based on limnological data while the SPRwas
analyzed based on morphometry and biology of the feather back samples measured at landing
places.The results showed that water quality and riparian vegetation as the feather back habitat in
Kampar Kiri River more favorable compare to Kampar Kanan River.The total length catched (Lc) of
feather back less than the total length at first maturity (Lm) with the SPR value of 10%. This condition
can impact to decreasing the feather back stock. The SPR value should be increase to more than 20%
so the feather back population will be stable. Regulation of thefisheries mainly limited mesh size of the
gillnet operated should be applied.
Keywords: Habitat, spawning potential ratio, Featherback, Chitala lopis, Kampar River
LAJU PERTUMBUHAN LOBSTER PASIR (Panulirus homarus Linnaeus, 1758)
ber-TAG DI TELUK PRIGI
GROWTH RATE OF TAGGED SCALLOPED SPINY LOBSTER
(Panulirus homarus Linnaeus, 1758) IN GULF OF PRIGI
Danu Wijaya1)
dan Amula Nurfiarini1)
1)
Peneliti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan
Jl. Cilalawi No.1, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, 41152, Indonesia
[email protected] / 085664600800
ABSTRAK
Lobster pasir (Panulirus homarus) merupakan salah satu jenis yang cukup
banyak ditangkap dan mempunyai nilai ekonomis tinggi di Teluk Prigi. Informasi
mengenai laju pertumbuhan lobster di Indonesia belum banyak diketahui. Untuk
mengetahui laju pertumbuhan lobster dapat dilakukan dengan metode menangkap-
menandai-menangkap kembali atau Capture-mark-recapture (CMR). CMR dapat
menjelaskan tentang pertumbuhan, pergerakan di alam, tingkat kelangsungan hidup,
tingkat kematian dan perkiraan kelimpahan suatu biota. Rilis lobster pasir ber-tag di
Teluk Prigi dilakukan pada bulan Desember 2015 berjumlah 2.784 ekor. Lobster pasir di-
tag menggunakan tag jenis T-bar yang memiliki tingkat kelangsungan hidup yang cukup
baik pada lobster pasir yang telah di-tag. T-bar merupakan teknik standar untuk beberapa
spesies serta memiliki masa pakai cukup lama. Pengamatan lobster ber-tag yang
tertangkap kembali (recapture) dilakukan selama bulan Februari s.d. Desember 2016.
Lobster yang tertangkap kembali dicatat nomor tag, panjang karapas, berat dan jenis
kelaminnya. Laju pertumbuhan lobster ber-tag yang tertangkap kembali dihitung
berdasarkan pertumbuhan per satuan waktu yang sama dengan perubahan panjang atau
berat dibagi dengan perubahan umur. Lobster pasir ber-tag yang tertangkap kembali di
Perairan Prigi sebanyak 4,74%. Laju pertumbuhan panjang karapas lobster pasir ber-tag
pada beberapa kelompok ukuran berkisar 0,065±0,041 - 0,109±0,076 mm/hari untuk
jantan dan 0,082±0,057 - 0,128±0,075 mm/hari untuk betina. Laju pertumbuhan berat
lobster pasir ber-tag pada beberapa kelompok ukuran berkisar; 0,640±0,510 -
0,914±0,402 gram/hari untuk jantan dan 0,835±0,425 - 1,017±1,050 gram/hari untuk
betina. Laju pertumbuhan panjang karapas pada lobster pasir betina cenderung lebih
tinggi dibandingkan lobster pasir jantan.
KATA KUNCI: Lobster pasir, Panulirus homarus, laju pertumbuhan, tag, Teluk Prigi
ABSTRACT
Panulirus homarus is one of the most captured and high-value species in the Gulf
of Prigi. Information on the growth rate of lobsters in Indonesia has not been widely
known.To know the growth rate of lobster can be done by Capture-Mark-Recapture
(CMR) method. CMR could explains about growth, movement, survival rate, mortality
rate and estimation of abundance of an animal in a wild. A total of 2,784 P. homarus
were tagged with T-bar and were released in Gulf of Prigi in December 2015. T-bar has a
fairly good survival rate on the P. homarus that has been tagged. T-bar is a standard
technique for several species and has a long life span. Observations of recaptured lobsters
were conducted during February-December 2016. Recaptured lobsters are recorded the
tag number, carapace length, weight and gender. The growth rate per unit time is
equivalent to the change in length divided by the change in age. Recaptured rate of P.
homarus in Gulf of Prigi as much as 4.74%. The growth rate of carapace length of tagged
P. homarus in several sizes groups ranging from 0.065±0.041 - 0.109±0.076 mm/day for
males and 0.082±0.057 - 0.128±0.075 mm/day for females. Growth rates of weight of
tagged P. homarus in several sizes groups ranging from 0.640±0.510 - 0.914±0.402
grams/day for males and 0.835±0.425 - 1.017±1.050 grams/day for females.The rate of
growth of carapace length in female P. homarus tends to be higher than the male.
KEYWORDS: Spiny lobster, Panulirus homarus, growth rate, tag, Gulf of Prigi
Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Udang Windu (Penaeus monodon) di Pantai Timur Aceh,
Kabupaten Aceh Timur
Oleh:
Didik Wahju Hendro Tjahjo, Dimas Angga Hedianto, Astri Suryandari, Amula Nurfiarini,
Zulkarnaen Fahmi, Indriatmoko dan Joni Hariyadi
Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (BP2KSI)
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
ABSTRAK
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas udang utama di Kabupaten Aceh
Timur dengan nilai ekonomi tinggi. Perairan pantai Timur, Kabupaten Aceh Timur dikenal sebagai
penghasil induk udang windu dengan kualitas terbaik sehingga induk udang dari perairan tersebut banyak
ditangkap untuk dijadikan induk di panti-panti benih (hatchery) udang di seluruh wilayah Indonesia,
bahkan sampai ke luar negeri. Keberlanjutan usaha budidaya udang windu di Indonesia sangat tergantung
kepada ketersediaan induk dari alam. Upaya penangkapan udang tersebut masih banyak dilakukan dengan
menggunakan alat tangkap yang destruktif dan tidak selektif, sehingga keberadaanya cenderung terancam.
Ancaman terhadap sumberdaya udang windu tersebut merupakan issue sentral yang harus ditanggulangi.
Oleh karena, siklus hidup udang windu ini menempati habitat dengan keragaman ekosistem yang sangat
luas, mulai dari ekosistem perairan payau hingga perairan laut maka masing-masing ekosistem
memerlukan model pengelolaan tersendiri. Langkah-langkah pengelolaan dan konservasi sumberdaya
udang windu meliputi: pengendalian dan pemulihan degradasi lingkungan, pengendalian penyebaran
penyakit, pengendalian penangkapan juvenile udang windu dan pengembangan konservasi terhadap
daerah asuhan dan daerah pemijahan, serta revitalisasi dan pengembangan kelembagaan nelayan.
KATA KUNCI: Udang windu, Pengelolaan, Konservasi, perairan pantai Aceh Timur
ABSTRACTS
Tiger shrimp (Penaeus monodon) is one of the major shrimp fishery commodities in East Aceh district
with high economic value. East coastal waters, East Aceh district is known as a producer of tiger shrimp
brood stock with the best quality. Thus the shrimp broodstock captured from these waters many to be a
broodstock in hatchery shrimp throughout Indonesia, even out of the country. Sustainability tiger shrimp
farming in Indonesia is very dependent on the availability of the natural shrimp broodstock. On the other
hand, efforts of utilization is still done using gear that tends to destructive and non-selective, so that its
existence tends threatened. Threats to the tiger shrimp resource is a central issue that must be addressed.
The life cycle of tiger shrimp has a very wide diversity of ecosystems, from brackish water ecosystems to
ocean waters. Each of these ecosystems requires management model itself. Thus, Management measures
and conservation of tiger shrimp resource in the context of sustainable utilization, include: control and
restoration of environmental degradation, control the spread of disease, control of exploitation of tiger
shrimp juvenile and development of the conservation of the nursery and spawning areas, and the
revitalization and development of institutional fishermen.
KEYWORDS: Tiger shrimp, management, conservation, East coastal waters in East Aceh district
1
ASPEK REPRODUKSI IKAN LOUHAN SEBAGAI IKAN ASING INVASIF DI
DANAU MATANO, SULAWESI SELATAN
REPRODUCTION ASPECT OF FLOWERHORN CICHLID AS INVASIVE ALIEN
SPECIES IN LAKE MATANO, SOUTH SULAWESI
Dimas Angga Hedianto1)
, Agus Arifin Sentosa1)
, dan Hendra Satria1)
1) Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur
ABSTRAK
Aspek reproduksi ikan asing invasif merupakan salah satu bahan yang sangat dibutuhkan
untuk pengendalian dan pemberantasan populasinya. Penelitian mengenai biologi
reproduksi ikan louhan di Danau Matano sangat diperlukan sebagai data dasar untuk
bahan pengendalian ikan asing invasif. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek
reproduksi ikan louhan sebagai bahan untuk pengendalian ikan asing invasif di Danau
Matano, Sulawesi Selatan. Penangkapan ikan dilakukan menggunakan jaring insang
percobaan dengan berbagai ukuran mata jaring pada tahun 2015 (bulan Mei dan Oktober)
dan 2016 (bulan Februari, Juli, dan September) di 14 stasiun penelitian. Ikan louhan yang
tertangkap sebanyak 1.118 ekor terdiri atas 552 ekor ikan jantan; 512 ekor ikan betina;
dan 54 ekor tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya. Nisbah kelamin secara temporal
berada pada kondisi seimbang dengan perbandingan total sebesar 1,1:1. Ikan louhan
jantan dan betina mencapai rata-rata ukuran pertama kali matang gonad (Lm50) masing-
masing pada panjang total 12,6 cm dan 10,2 cm. Ikan jantan berukuran lebih besar
daripada betina pada tingkat kematangan gonad (TKG) yang sama. Diameter telur
berkisar antara 0,25-2,35 mm (rerata 1,31±0,37 mm) dengan fekunditas berkisar antara
104-3.375 butir. Ikan louhan termasuk tipe pemijah bertahap. Ikan louhan di Danau
Matano mampu memijah sepanjang tahun di berbagai tipe karakteristik habitat dengan
puncak pemijahan pada musim penghujan dan kemarau. Substrat dasar berupa pasir
berbatu di kedalaman ≥10 meter merupakan daerah utama pemijahan ikan louhan di
Danau Matano.
KATA KUNCI: reproduksi; pengendalian; pemijahan; ikan asing invasif; ikan
louhan; Danau Matano
ABSTRACT
Fish reproduction aspects of invasive alien species is one of the important data to control
and eradicate their population. Research on the reproductive biology of flowerhorn
cichlid in Lake Matano is essential as a baseline data for controlling the invasive alien
spesies. The objective of this research were to analyze reproductive aspects of flowerhorn
cichlid as baseline data for controlling the invasive alien spesies in Lake Matano, South
Sulawesi. Fishing was conducted using experimental gil net with various mesh sizes in
2015 (May and October) and 2016 (February, July, and September) at 14 research
stations. Flowerhorn cichlid observed were 1,118 fishes consists of 552 males; 512
females; and 54 unidentified. The temporary sex ratio indicated balance conditions with
total ratio 1.1:1. Length at first maturity (Lm50) of male and female of flowerhorn cichlid
reached at 12.6 cmTL and 10.2 cmTL, respectively. Males are larger than females at the
same gonad maturity stage. The eggs diameter ranged from 0.25 to 2.35 mm (average of
1.31 ± 0.37 mm) with fecundity ranged from 104-3.375 eggs. Flowerhorn cichlid was a
partial spawner. Flowerhorn cichlid in Lake Matano are able to spawned throughout the
2
year (multi spawning) in various types of habitat characteristics with spawning peaks in
the rainy and dry seasons. Substrates in the form of sandy rock in the depth of ≥10 meters
is the main of spawning area of flowerhorn cichlid in Lake Matano.
KEYWORDS: reproduction; controlling; spawning; invasive alien species;
flowerhorn cichlid; Lake Matano
KAJIAN KUALITAS AIR PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA
JARING APUNG SMART (KJA SMART)
Lismining Pujiyani Astuti1)
dan Andika Luki Setyo Hendrawan1)
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Abstrak
Sistem KJA Smart atau KJA Sistem Manajemen Air dengan Resirkulasi dan Tanaman
merupakan sistem budidaya KJA dengan meminimalisisr masukan bahan pencemar organik
yang berasal dari pakan yang terbuang dan eksresi ikan. Sistem ini diharapkan dapat menjadi
salah satu teknologi budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan sehingga dapat
diterapkan di perairan danau atau waduk. Sistem KJA saat ini manjadi salah satu penyebab
terjadinya degradasi lingkungan perairan. Tujuan penelitian mengkaji kualitas air pada sistem
KJA Smart. Penelitian dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda pada bulan November – Desember
2016. Penelitian dengan menggunakan konstruksi KJA Smart yang merupakan modifikasi sitem
KJA dipadu dengan sistem aquaponik dan KJA konvensional sebagai pembandingnya. Ikan uji
yang digunakan adalah ikan mas, yang merupakan ikan yang banyak dibudidayakan oleh
pembudidaya di Waduk Ir. H. Djuanda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu, pH,
padatan terlarut total, tidak jauh berbeda dengan KJA konvensional namun konsentrasi oksigen
lebih rendah dan fosfat lebih tinggi dibandingkan KJA konvensional. Estimasi sisa pakan dan
feses ikan yang terbuang dan mencemari perairan waduk lebih sedikit pada KJA Smart yang
sistemnya tertutup dan waktu tinggal lebih lama sehingga sebagian besar proses terjadi di dalam
kolam. Pola pertumbuhan ikan pada kedua sistem alometrik negatif namun nilai SGR (0,16%)
dan DWG (0,12 g/hari) lebih rendah daripada sistem KJA konvensional yaitu SGR sebesar
0,75% dan DWG sebesar 0,15 gr/hari.
Kata kunci : kualitas air, sisa pakan terbuang, pertumbuhan, KJA Smart
Abstract
Smart cage culture or Water Management with Recirculation and Plants System of
cage culture is a cage culture system by minimizing the input of organic pollutants derived
from uneaten feed and fish excretion. This system is expected to be one of the technology of
environmentally friendly cage culture so that it can be applied in the waters of the lake or
reservoir. Now, cage culture system is one of the causes of the aquatic environment
degradation. The objective of the study is to assess the water quality in Smart cage culture. The
research was conducted at Ir. H. Djuanda Reservoir in November - December 2016. Research
used Smart cage culture design which was a cage culture modification combined with
aquaponic and convensional cage culture system was as a comparison. The fish test used
common carp, which was a lot of fish cultivated in Ir. H. Djuanda Reservoir. The results
showed that the temperature, pH, total dissolved solid, was not different from conventional cage
culture but lower oxygen concentration and higher phosphate than conventional cage culture.
Estimated uneaten feed and fish feces were polution sources of the reservoir less in Smart cage
culture which was closed system and longer residence time so most of the process takes place
inside the pond. Fish growth pattern in both system negative allometric but SGR value (0,16%)
and DWG (0,12 g/day) lower than conventional cage culture was SGR 0,75% and DWG 0,15
g/day.
Keywords : water quality, uneaten feed, growth, Smart cage culture
HABITAT PREFERENCE BY THE EARLY LIFE OF ENDANGERED FISH,
NAPOLEON WRASSE (Cheilinus undulatus), IN ANAMBAS ISLANDS WATERS
Masayu Rahmia Anwar Putri1, Amran Ronny Syam
1, Mujiyanto
1, Fayakun Satria
2, Joni
Haryadi1 and Anastasia Rita Tisiana Dwi Kuswardani
3
1)Research Institute for Fish Enhancement, Jl. Cilalawi No. 1 Jatiluhur, Purwakarta
2)Research Institute for Marine Fisheries, Jl. Raya Bogor No. 02, Nanggewer Mekar,
Cibinong, Bogor 3)
Marine Research Center, Jl. Pasir Putih II, Ancol, Jakarta Utara
ABSTRACT
In the wild, the population and density of Napoleon wrasse (Cheilinus undulatus) is very
low. The data availability about humphead fishery was limited, causing major problems
in its management. The trade of Napoleon wrasse in Anambas and Natuna that has lasted
for several decades indicated important areas for Napoleon wrasse, such as spawning,
feeding and nursery areas. In order to support the management and sustainable utilization
of napoleon wrasse, environmental factors affecting its occurrence need to be identified.
This research aim to study habitat preference of early life’s Napoleon wrasse around
Anambas waters. The research was conducted on August and November 2014 in
Anambas waters, Riau Islands Province. Information about Napoleon wrasse distribution
obtained from interviewing local persons. The substrate was known by underwater visual
census (UVC) and surface visual census (SVC) at some study sites. Physical and
chemical water parameters measured in situ. Napoleon wrasse habitat were analyzed
descriptively. The result show that resource of Napoleon wrasse juvenile in Anambas
waters prefer to live around algae Sargassum spp. that associated with coral reefs.
KEYWORDS : habitat; endangered; Napoleon wrasse; Cheilinus undulatus;
Anambas
1
SUMBERDAYA KUDA LAUT (Hippocampus spp.) DI PERAIRAN PULAU BINTAN, TELUK
LAMPUNG DAN PULAU TANAKEKE
SEAHORSE RESOURCES (Hippocampus spp.) IN THE WATERS OF BINTAN ISLAND,
LAMPUNG BAY AND TANAKEKE ISLAND
Masayu Rahmia Anwar Putri, Astri Suryandari dan Joni Haryadi
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Pusat Riset Perikanan
ABSTRAK
Informasi tentang sumberdaya kuda laut sangat terbatas, dari 35 jenis spesies kuda laut yang terdaftar di
IUCN redlist, 20 jenis terdaftar sebagai “data deficient” yang menggambarkan kurangnya informasi
terkait kuda laut, bahkan untuk jenis yang sangat tereksploitasi. Penelitian ini dilakukan untuk
menginventarisir sumberdaya kuda laut (Hippocampus spp.) meliputi informasi jenis, ukuran, nisbah
kelamin dan kepadatan kuda laut dari tiga lokasi potensial, yaitu perairan Pulau Bintan, Teluk Lampung
dan Pulau Tanakeke. Observasi lapangan sumberdaya kuda laut dilakukan di Pulau Bintan (Provinsi
Kepulauan Riau) bulan Maret 2016, di Teluk Lampung (Provinsi Lampung) bulan Mei 2016 dan
Kepulauan Tanakeke (Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan) pada bulan Juni 2016 dengan metode
purposive sampling, wawancara dengan para nelayan dan pengepul kuda laut serta studi pustaka. Hasil
penelitian menunjukkan adanya perbedaan sumberdaya kuda laut yang ditemukan di ketiga lokasi
penelitian. Jenis kuda laut paling banyak ditemukan di perairan Bintan, sebanyak 4 spesies (H. comes, H.
spinossisimus, H. hystrix dan H. kuda), diikuti Teluk Lampung 2 jenis (H.comes dan H.kuda) dan di
perairan Tanakeke hanya ditemukan 1 jenis (H.barbouri). Ukuran dari kuda laut yang tertangkap
didominasi tinggi 11-12 cm, dimana kuda laut yang tertangkap di perairan Bintan berukuran antara 8,3-
14,5 cm, di Lampung 8-13,5 cm dan di perairan Tanakeke berkisar antara 7,6-14 cm. Nisbah kelamin
kuda laut yang ditemukan di perairan Bintan dan Tanakeke masing-masing adalah 1:0,75 dan 1:1,44
sedangkan semua kuda laut yang tertangkap di Teluk Lampung adalah betina. Kuda laut paling banyak
ditemukan di perairan Tanakeke dengan kepadatan berkisar antara 50-200 ind/ha.
KATA KUNCI : Kuda laut, Hippocampus, Pulau Bintan, Teluk Lampung, Pulau Tanakeke
ABSTRACT
Information on seahorse resources is very limited, from 35 species of marine species listed on the IUCN
redlist, 20 species are listed as "data deficient" which illustrates the lack of information related to sea
horses, even for highly exploited species. This research was conducted to inventory sea horse resources
(Hippocampus spp.), covering spesies information, size, sex ratio and density of seahorses from three
potential locations, they are Bintan Island, Lampung and Tanakeke Island Waters. Field observation for
seahorse resources was conducted at Bintan Island (Riau Islands Province) in March 2016, Lampung Bay
(Lampung Province) in May 2016 and Tanakeke Islands (Takalar Regency, South Sulawesi) in June 2016
by purposive sampling method, interview with fisherman and collector and also literature study. The
results of the study have shown differences in seahorse resources found from three locations. The high
number of seahorse species found in Bintan waters, as many as 4 species (H. comes, H. spinossisimus, H.
hystrix and H. kuda), followed by Lampung Bay 2 species (H.comes and H.kuda) and Tanakeke Islands
only 1 species (H.barbouri). The size of seahorse dominated by height 11-22 cm, where seahorse caught
2
in Bintan waters ranged from 8.3 to 14.5 cm, in Lampung 8-13.5 cm and in Tanakeke waters ranged from
7.6 to 14 cm. The sex ratios of seahorse resources found in Bintan and Tanakeke waters are 1:0.75 and
1:1.44, respectively, while all sea horses captured in Lampung Bay are females. Seahorses are most
caught from Tanakeke waters with density ranged between 50-200 ind/ha.
KEYWORDS : Seahorse, Hippocampus, Bintan Island, Lampung Bay, Tanakeke Island
ANALISIS KONSENTRASI LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA IKAN BANDENG
(Chanos Chanos) DI KAWASAN SILVOFISHERY BLANAKAN, SUBANG
ANALYSIS OF LEAD HEAVY METAL (Pb)
ON MILKFISH (Chanos Chanos)
IN SILVOFISHERY AREA BLANAKAN SUBANG
Anggi Permana1, Zahidah
2, Rusky Intan Pratama
2, Walim Lili
2
1Mahasiswa Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – Universitas
Padjadjaran 2Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – Universitas Padjadjaran
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi logam berat timbal (Pb) pada ikan bandeng
(Channos channos) yang dibudidayakan di kawasan silvofishery Blanakan, Kabupaten Subang.
Penelitian dilakukan pada tanggal 1 Februari hingga 15 April yang bertempat di tambak
silvofishery Desa Blanakan, Desa Langensari dan Desa Jayamukti. Penelitian menggunakan metode
survey sedangkan metode analisis logam berat menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom
(AAS) yang dilanjutkan dengan pembahasan secara deskriptif komparatif. Data penelitian yang
diambil meliputi konsentrasi logam berat timbal (Pb) pada air dan ikan bandeng serta kualitas air
meliputi suhu, derajat keasaman (pH), salinitas dan oksigen terlarut (DO). Hasil penelitian
menunjukan konsentrasi logam timbal (Pb) di badan air tidak melebihi baku mutu PP RI No. 82
Tahun 2001 dengan nilai <0,024 mg/l. Konsentrasi logam berat timbal (Pb) pada ikan bandeng
diantaranya, untuk daging (0,116-0,163 mg/kg), insang (0,036-0,048 mg/kg) dan hati (0,037-0,071
mg/kg). Rata-rata konsentrasi logam berat (Pb) pada ikan bandeng masih dibawah baku mutu yang
mengacu pada SNI No.7387.2009. Kemampuan ikan bandeng dalam mengakumulasi logam Pb
(Bioconcentration Factor) terhadap air tergolong sangat rendah karena nilainya 1,7-5,7. Batas
maksimum konsumsi ikan bandeng diantaranya, Langensari (204,08 gram/kg berat tubuh/ minggu),
Blanakan (181,81 gram/kg berat tubuh/ minggu) dan Jayamukti (168,91 gram/kg berat tubuh/
minggu).
Kata Kunci : Bandeng, Silvofishery, Timbal.
ABSTRACT
The purpose of this research is to determine the heavy metal content of lead (Pb) in milkfish
(Chanos chanos). The research was conducted on 1st February until 15
th April 2017 in silvofishery
area of Blanakan Village, Langensari Village and Jayamukti Village. The method of this research is
survey method and analysis of heavy metal used Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).
The research data included lead heavy metal (Pb) in water and milkfish and water quality as
temperature, acidity (pH), salinity and dissolved oxygen (DO). The results of this research showed
the content of lead heavy metal (Pb) in water didn’t exceed the quality standard of PP RI number
82 2001 with the value <0,024 mg/l. The content of lead heavy metal in meat of milkfish is 0.116-
0.163 mg/kg, in gills of milkfish is 0,036-0,048 mg/kg and in liver of milkfish is 0.037-0,071
mg/kg. The average content of lead heavy metals (Pb) in milkfish is still below the quality standard
which refers to SNI No.7387.2009. The ability of milkfish to accumulate Pb (Bioconcentration
Factor) tos water is very low with the value is 1,7-5,7. The maximum limit of milkfish
consumption allowed is Langensari Village (204,08 g/kg body weight/week), Blanakan Village
(181,81 g/kg body weight/week) and Jayamukti Village (168.91 g/kg body weight /week).
Keyword : Milkfish, Silvofishery, Lead.
1
Sebaran Logam Berat Timbal pada Makrozoobentos di Muara Sungai Citanduy Majingklak,
Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat
Distribution of Heavy Metals Plumbum on Macrozoobenthos in River Mouth Citanduy
Majingklak, Pangandaran District West Java Province
Dea Hari Utari¹, Herman Hamdani², Zuzy Anna², dan Isni Nurruhwati²
¹Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
²Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21 Jatinangor, Sumedang
Email Korespondensi : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kandungan logam timbal pada air, sedimen, dan
makrozoobentos serta untuk mengetahui kemampuan makrozoobentos dalam mengakumulasi logam
timbal di Muara Sungai Citanduy. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 26 Februari - 06 April 2017 di
Muara Sungai Citanduy Majingklak Kabupaten Pangandaran. Metode Penelitian yang digunakan ialah
dengan metode survei, yaitu melakukan pengambilan sampel air, sedimen dan makrozoobentos yang
diambil dari 3 stasiun secara composite sampling dengan 4 kali pengulangan kemudian diamati
kandungan timbal di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran. Hasil Penelitian menunjukan bahwa jenis
makrozoobentos yang teridentifikasi terdiri dari 4 genus dan 5 spesies yaitu Pleurocera sp, Pleurocera
acuta, Telescopium telescopium, Jujubinus striatus dan Neritina violocea. Kelimpahan
makrozoobentos yang didapatkan terdiri dari : stasiun I (254 ind/ m2), Stasiun II (262 ind/ m
2), Stasiun
III (374 ind/ m2). Parameter fisik yang terukur yaitu suhu berkisar 29-30
0C dan kecepatan arus
berkisar 0,1-0,33 m/s. Parameter kimiawi yang terukur yaitu oksigen terlarut berkisar 6-6,7 mg/l dan
derajat keasaman berkisar 7,12-7,22. Uji kandungan logam timbal pada makrozobentos rendah jika
dibandingkan dengan kandungan logam timbal pada sedimen. Kemampuan makrozoobentos dalam
mengakumulasi logam timbal (Bioconcentration Factor) temasuk ke dalam sifat akumulatif rendah
(0,2 – 0,7 mg/kg).
Kata Kunci: Bioconcentration Factor, Logam timbal, Makrozoobentos, Muara Sungai Citanduy
ABSTRACT
The aim of this research is to determine compotition of heavy metal plumbum in water, sediment, and
macrozoobenthos as well as its ability to accumulate plumbum in River Mouth of Citanduy. The
research was conducted on February 26 – April 6, 2017 in River Mouth of Citanduy Majingklak,
Pangandaran District. This research was conducted trough survey, by taking samples of water,
sediment, and macrozoobenthos from 3 station with composite sampling and 4 times repetition, then
being analyzed of composition of plumbum at Pusat Pengembangan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan (PPSDAL), Padjadjaran University. The results shows that the kind macrozoobenthos
which indentified are consist of 4 genus and 5 species there are Pleurocera sp, Pleurocera acuta,
Telescopium telescopium, Jujubinus striatus dan Neritina violocea. The abundance of
macrozoobenthos obtained in station 1 as 254 ind/m2, in station 2 as 262 ind/m
2, in station 3 as 374
2
ind/m2. Measurement of physical parameters are temperature ranged from 29
0-31
0C and current
velocity ranged from 0,1-0,33 m/s. measurement of chemical parameters are dissolved oxygen ranged
from 6-6,7 mg/l and acidity ranged from 7,12-7,22. Analyzed composition of plumbum heavy metal in
macrozoobenthos showed that lower than in sediment. Bioconcentration factor of macrozoobenthos on
accumulation plumbum heavy metals categorized low accumulation (0,2-0,7 mg/kg).
Keyword : Bioconcentration factor, Macrozoobenthos, Plumbum metal, River mouth Citanduy
Dinamika populasi ikan lemuru (Amblygaster sirm Walbaum, 1792) Di Perairan Selat Sunda
Population Dynamics of Spotted Sardinella (Amblygaster sirm Walbaum, 1792)
in Sunda Starit
Oleh:
Debie Tarini Sutopo1*, Mennofatria Boer
2, Isdradjad Setyobudiandi
2
1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor
2 Departemen Manajemen Sumber daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor
*Korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Ikan lemuru salah satu sumber daya yang tertangkap di PPP Labuan, Banten merupakan
pelagis kecil yang hidup pada perairan tropis. Penangkapan yang dilakukan terus menerus diduga
mengakibatkan penurunan populasi ikan lemuru di Selat Sunda. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dinamika populasi ikan lemuru di Perairan Selat Sunda. Penelitian dilakukan pada bulan
Mei-September 2016. Jumlah ikan lemuru contoh adalah 873 ekor yang terbagi dalam 553 jantan dan
320 betina dengan sebaran panjang 120-220 mm. Analisis pola pertumbuhan didapatkan hasil bahwa
ikan lemuru betina bersifat allometrik negatif sedangkan pada jantan bersifat isometrik. Berdasarkan
parameter pertumbuhan, didapatkan nilai koefisien pertumbuhan (K) pada ikan betina yaitu 0,26
sedangkan pada ikan jantan 0,24. Panjang ikan lemuru pertama kali tertangkap (Lc) pada ikan betina
dan jantan masing-masing adalah 164 dan 168 mm, sedangkan panjang pertama kali matang gonad
(Lm) masing-masing 204 dan 202 mm. Berdasarkan parameter mortalitas yang terdiri atas mortalitas
alami (M), penangkapan (F), dan total (Z) pada ikan betina berturut-turut adalah 0,35, 0,91, dan 1,26,
sedangkan pada ikan jantan adalah 0,33, 1,51, dan 1,83. Hasil analisis nilai laju eksploitasi pada ikan
betina dan jantan bernilai 0,72 dan 0,82. Berdasarkan laju ekploitasi, pemanfaatan ikan lemuru
terindikasi mengalami tangkap lebih. Gejala tangkap lebih yang terjadi adalah growth overfishing
karena nilai Lc < Lm.
Kata kunci: growth overfishing, ikan lemuru, laju eksploitasi
ABSTRACT
Spotted sardinella is one of resources which caught at the PPP Labuan, Banten, small
pelagic who lived at the tropic water. The impact of continously occurs for fishing activity can reduce
of spotted sardinella’s populations. This purpose of the research is to analyze population dynamics of
spotted sardinella in Sunda Strait. This research was conducted from May-September 2016. The
sample of fish taken during the study consisted of 553 male and 320 female with the length-
distribution 120-220 mm. Result of growth analysis for male and female are negative allometric.
Based on growth parameter, the value of K for female was 0,26 and for male was 0,12. Lenght at first
captured for female and male were 164 and 168 mm, while the value of lenght at first maturity for
both were 204 and 202 mm. Based on mortality parameters that belongs to natural (M), fishing (F),
and total mortality (Z) for female fishes were 0,35, 0,91, and 1,26, while for male fishes were 0,33,
1,51, and 1,83. The result of exploitation rate for female and male fishes were 0,72 and 0,82. Based
on exploitation rate, spotted sardinella had exceeded optimum exploitation level (0,5 or 50%), so that
indicated got overfishing. The value of Lc was smaller than Lm, so that belongs to growth overfishing.
Keywords: exploitation rate, growth overfishing, spotted sardinella
Aspek Reproduksi Kepiting Bakau (Scylla tranquebarica Fabricus, 1798) di Perairan Estuari
Segara Anakan Bagian Barat, Cilacap
Reproductive Aspect of Mud Crab (Scylla tranquebarica Fabricus, 1798)
in the Estuarine Water of Western Segara Anakan, Cilacap
Wahyu Dewantara*1)
, Sulistiono1)
, dan Zairion1)
1)
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor, Jalan Raya Dramaga, Bogor 16680, Jawa Barat
*Email: [email protected]
Abstrak
Kepiting bakau (Scylla tranquebarica) merupakan salah satu komoditas perikanan penting di
Segara Anakan Bagian Barat dengan informasi biologi yang masih terbatas. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis aspek reproduksi kepiting bakau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei
2016-Januari 2017 di perairan Segara Anakan Bagian Barat. Total 226 individu kepiting bakau
hasil tangkapan bubu memiliki nisbah kelamin jantan terhadap betina tertinggi pada bulan Mei
(Nisbah kelamin=1,8). Ukuran pertama kali matang gonad (CWm50) kepiting bakau jantan dan
betina masing-masing adalah 88,91 mm dan 112,94 mm. TKG dan IKG tertinggi untuk kepiting
bakau jantan dan betina terjadi di bulan Mei yang diduga merupakan puncak musim pemijahan
kepiting bakau. Nilai IKG rata-rata kepiting bakau jantan dan betina masing-masing adalah
0,7029±0,8740 dan 1,5776±3,0952. Fekunditas non-ovigerous kepiting bakau berkisar antara
912.300-2.881.400 butir. Diameter oosit kepiting bakau adalah 0,07±0,01 mm untuk TKG I,
0,08±0,01 mm untuk TKG II, 0,11±0,02 mm untuk TKG III, 0,13±0,02 mm untuk TKG IV, dan
0,15±0,02 mm untuk TKG V. Hasil analisis histologi menunjukkan bahwa gamet kepiting bakau
jantan dan betina berkembang seiring dengan peningkatan kematangan gonad
Kata kunci: nisbah kelamin, perkembangan gonad, potensi reproduksi, puncak musim pemijahan,
Scylla tranquebarica, ukuran matang gonad
Abstract
Mud crab (Scylla tranquebarica) is one of the important fisheries comodity in Western
Segara Anakan, which information concerning on its biological population is still limited. The
study aims to analyze the reproductive aspect of mud crab. Study was conducted on May 2016 to
January 2017 in estuarine of Western Segara Anakan. Total 226 samples ware colected during this
study using bamboo trap with the highest value of sex ratio (male:female) is shown on May (Sex
ratio=1,8). Size at maturity for male and female are 88.91 mm and 112.94 mm, respectively. The
result of maturity stages and Gonado Somatic Index (GSI) analysis shown that peak of mud crab
spawning season estimated during May. Maximum GSI for male and female are 0.7029±0.8740
and 1.5776±3.0952, respectively. Non-ovigerous fecundity of female mud crab range between
912,300-2,881,400 oocytes. Oocytes diameter for maturity stage I, II, III, IV, and V are 0.07±0.01
mm, 0.08±0.01 mm, 0.11±0.02 mm, 0.13±0.02 mm, dan 0.15±0.02 mm, respectively. Histological
analysis shown the result that diameter of the oocyte increased as the ovarian maturation stages
progressed.
Keywords: gonad development, maturity size, peak of spawning season, reproductive potential,
Scylla tranquebarica, sex ratio
Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata F.) dengan Jenis Pakan yang Berbeda pada
Budidaya Sylvofisheri di Ekosistem Mangrove Wonorejo
Nirmalasari Idha Wijaya1)
, Ninis Trisyani2)
, Ryan Aditya3)
1) 2) Staf Pengajar FTIK Universitas Hang Tuah Surabaya
3) Mahasiswa Jurusan Perikanan Universitas Hang Tuah Surabaya
Abstrak
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pakan, jenis kelamin kepiting, dan ukuran benih
terhadap laju pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata) yang dibudidayakan dengan sistem Battery
Cell pada tambak Sylvofisheri di ekosistem mangrove Wonorejo Surabaya. Metode yang digunakan
adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF) pola
faktorial 2x2x3 dengan perlakuan jenis pakan, ukuran benih, dan kelompok jantan betina, dimana
masing-masing perlakuan diulang 6 kali. Pertumbuhan berat kepiting bakau tidak secara nyata
dipengaruhi oleh perbedaan jenis pakan kepala belut atau daging trimming hiu, namun pakan kepala
belut memberikan pertambahan berat yang lebih besar dan memiliki kandungan nutrisi yang lebih
baik dibanding daging hiu. Kepiting jantan juga mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan kepiting
betina, namun ukuran benih besar atau kecil tidak berpengaruh nyata terhadap kecepatan pertumbuhan
berat kepiting. Hasil uji proximat terhadap daging kepiting hasil budidaya yang diberi jenis pakan
yang berbeda, yaitu daging trimming hiu dan kepala belut, menunjukkan keduanya memiliki
kandungan nutrisi yang mendekati sama.
Kata Kunci: Scylla serrata, sylvofisheri, pertumbuhan berat, mangrove, Wonorejo
Abstract
The purpose of this research is to know the effect of feeds, sex of crab, and size of seeds to
growth rate of mangrove crab (Scylla serrata) cultivated with battery cell system at sylvofisheri ponds
in mangrove ecosystem in Wonorejo Surabaya. This research was used experimental method with
Factorial Randomized Block Design (RAKF) 2x2x3 factorial pattern, where each of the treatment was
repeated on six times. The weight growth of mangrove crabs was not significantly influenced by the
difference of feeds that is eel head or trimming meat of shark, but eel head as feeds gave greater
weight gain and had better nutritional content than shark meat. Male crabs are also able to grow
faster than female crabs, but the size of crab seeds have no significant effect on the growth rate of
crab weight. Proximate test results of crab meat cultivated by different feed types, namely trimming
shark meat and eel head, showed both have nutritional content that is close to the same.
Key Words: Scylla serrata, sylvofisheri, the weight growth, mangrove, Wonorejo
Heavy Metal (Lead and Zinc) Concentration in Water, Sediments and Body Tissues of
Cerithidea obtusa Collected from the Coastal Tanjung Pasir Village, Riau Province
Rizki Syawalia Siregar
Abstract : Sea snails, especially Cerithidea obtusa, which are collected from various muddy
coastal areas, are used by the community as a nutritious seafood in Indragiri Hilir Regency
and some other Districts in Riau Province to Batam area. This coastal areas has received
household and industrial wastes from nearby residential and industrial areas and the use of
various pollutants from the Nyiur and Enok Rivers. The current research report is still
minimal about the ecology of C. obtusa habitat to assess the water quality, the presence of
heavy metals and bioaccumulation in C. obtusa as well as assess whether the suction snail is
still safe to consume to meet the demand of the culinary industry. Three locations for
collecting C. obtusa common by the community of Tanjung Pasir Village. The Tanjung Pasir
Village is a major source of supply of suction C. obtusa for household and restaurant
consumption which is evaluated the concentration of heavy metal pollutants in water,
sediment and body tissue of C. obtusa. Data revealed the presence of heavy metals in water
and sediments at sites collection and bioaccumulation of lead and zinc in body tissue of C.
obtusa. Lead ranged from 2.36 to 4.91 mg / kg and zinc 5.28 to 6.30 mg / kg of C. obtusa.
The study suggests that all the three location are polluted and C. obtusa contaminated with
heavy metals and unfit for consumption by the public.
Keywords: Cerithidea obtusa, heavy metal, sediment, body tissues, bioaccumulation
1
ANALISIS EKOLOGI PERAIRAN MUSIM HUJAN DAN MUSIM KEMARAU
UNTUK MENDUKUNG BUDIDAYA KERANG HIJAU
(Perna viridis L.) DI PESISIR KUALA LANGSA, ACEH
Andi Sagita1*)
, Rahmat Kurnia1, Sulistiono
1
1Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor
*)Corresponding Author : [email protected]
ABSTRAK
Lingkungan ekologi perairan merupakan faktor yang penting untuk dipertimbangkan
dalam pemilihan lokasi budidaya karena terbukti berpengaruh terhadap laju pertumbuhan
organisme budidaya. Penelitian bertujuan untuk menganalisis kondisi ekologi perairan pada
musim hujan dan musim kemarau untuk mendukung budidaya kerang hijau di pesisir Kuala
Langsa. Sampling data ekologi perairan pada Agustus, September dan Oktober 2016
mewakili musim hujan, sedangkan Maret, April dan Mei 2017 mewakili musim kemarau.
Berdasarkan uji-t menunjukkan bahwa parameter ekologi perairan pada musim hujan dan
musim kemarau meliputi suhu, salinitas, pH, DO dan arus, tidak berbeda signifikan pada taraf
uji 5% (P>0,05), dimana pada musim hujan, suhu berkisar 26,8 – 33,0oC; salinitas 27,5 –
33,0 ppt; DO 4,5 – 6,5 mg/l; pH 7,9 – 9,0; dan arus 0,1 – 0,5 m/s, sedangkan pada musim
kemarau suhu berkisar 27,9 – 34,0oC; salinitas 28,0 – 34,0 ppt; DO 4,5 – 6,2 mg/l; pH 7,9 –
8,7; dan arus 0,1 – 0,4 m/s. Kelimpahan fitoplankton di perairan pesisir Kuala Langsa adalah
482.850 individu/m3 (84,79%) dengan indeks diversitas 2,52 dan indeks keseragaman 0,71;
sedangkan kelimpahan zooplankton 86.626 individu/m3 (15,21%), dengan indeks diversitas
2,94 dan indeks keseragaman 0,97. Berdasarkan analisis komparatif dengan membandingkan
parameter ekologi perairan untuk budidaya kerang hijau berdasarkan literatur maka dapat
disimpulkan bahwa kondisi ekologi perairan pada musim hujan dan musim kemarau dapat
mendukung budidaya kerang hijau di pesisir Kuala Langsa.
KATA KUNCI : Budidaya kerang hijau; ekologi perairan; Kuala Langsa
ABSTRACT
Waters ecology environment is important factor to be considered in the aquaculture
site selection, because it proved to affect the growth rate of aquaculture organisms. This
research aims to analysis the waters ecology condition in the rainy and dry season for
support green mussel culture in coastal Kuala Langsa, Aceh. Data sampling of waters
ecology in August, September and October 2016 represents the rainy season, while March,
April and May 2017 represent the dry season. Based on the t-test, the waters ecology
parameters during the rainy and dry season, include temperature, salinity, pH, DO and
current velocity, not significantly at test level 5% (P > 0.05), where in the rainy season,
temperature 26.8 – 33.0oC; salinity 27.5 – 33.0 ppt; DO 4.5 – 6.5 mg/l; pH 7.9 – 9.0; and
curret velocity 0.1 – 0.5 m/s, whereas in dry season temperature range 27.9 – 34.0oC; salinity
28.0 – 34.0 ppt; DO 4.5 – 6.2 mg/l; pH 7.9 – 8.7; and current velocity 0.1 – 0.4 m/s. The
phytoplankton abundance in waters coastal Kuala Langsa was 482,850 individuals/m3
(84.79%) with diversity index of 2.52 and uniformity index of 0.71, while zooplankton
abundance was 86,626 individuals/m3 (15.21%), with diversity index of 2.94 and uniformity
index of 0.97. Based on the comparative analysis by comparing waters ecology parametes
for green mussel culture based on the literature, it can be concluded that the waters ecology
condition during the rainy and dry season can support green mussel culture in coastal Kuala
Langsa.
2
KEYWORDS : Green mussel culture; waters ecology; Kuala Langsa.
Keragaman Hiu Yang Didaratkan Di Pelabuhan Kedonganan Bali
Suko Wardono1, Yudisthio Wahyudi
1,
Dewa Gde Tri Bodhi Saputra 1.2
1 Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar
e-mail: [email protected]
2 Masyarakat Iktiologi Indonesia
Abstrak
Pada Pelabuhan Kedongan, hiu adalah tangkapan sampingan bagi mereka yang menggantungkan
hidupnya pada k e g i a t a n penangkapan ikan, mulai dari nelayan, pengumpul, penjual dan pengolah
ikan. Kurangnya informasi mengenai data tangkapan, potensi, keragaman jenis, biologi, dan tingkat
eksploitasi ikan hiu di Indonesia menjadi kendala dalam menentukan dasar rasional bagi penerapan
pengelolaan hiu yang berkelanjutan. Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan inventarisasi dan
identifikasi data serta informasi hiu yang meliputi jenis, jumlah dan tingkat kematangan kelamin hiu.
Kegiatan ini dilaksanakan dibulan Agustus hingga September tahun 2016 di Pelabuhan Kedonganan -
Bali. Jumlah hiu yang didaratkan adalah 280 ekor dari 14 spesies dengan jenis yang dominan dari
Squalus hemipinnis dan Mustelus manazo. Dengan perbandingan jantan dan betina 59% berbanding
41%. Selain itu kematangan dari keseluruhan hiu jantan yang didaratkan dilihat dari clasper
menunjukkan hiu yang tersebut dalam keadaan muda menuju dewasa. Perbandingan jumlah jantan
dan betina yang ditangkap cukup signifikan dan mengindikasikan bahwa populasi ikan dilokasi
tersebut sudah terpengaruh oleh adanya tekanan dari aktifitas penangkapan.
Kata kunci: Jenis hiu, Hiu, Kedonganan,
THE DIVERSITY OF SHARKS SPECIES LANDED AT
KEDONGANAN FISHING PORT - BALI
Suko Wardono1, Yudisthio Wahyudi
1,
Dewa Gde Tri Bodhi Saputra 1.2
1 Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar
e-mail: [email protected]
2 Masyarakat Iktiologi Indonesia
Abstrack
At Kedongan Fishing Port, sharks are a bycatch for those who depend on fishing activities, from
fishermen, collectors, sellers and fish processors. The lack of information on catch, potential, species
diversity, biology, and shark exploitation rates in Indonesia is an obstacle in determining the rationale for
the implementation of sustainable shark management. This activity aims to perform an inventory and
identification of data and shark information that includes the species, number and level of genital maturity
of sharks. This activity is held from July to September 2016 at Kedonganan Port - Bali. The number of
sharks landed was 280 of 14 species with the dominant species of Squalus hemipinnis and Mustelus
manazo. By male and female ratio 59% versus 41%. In addition, the maturity of the whole male shark that
is grounded from clasper shows the shark is in a state of youth to adulthood. The proportion of males and
females captured is significant and indicates that fish populations in the location are already affected by
the pressure of catching activities.
Keywords: Species of shark, Shark, Kedonganan.
Pengaruh Hormon Ecdyson Terhadap Sintasan dan Periode Molting pada Larva Kepiting
Bakau Scylla olivacea
Ecdyson Hormone Effect on Survival and Molting Period of Larvae Mud Crab Scylla
olivacea
Sutia Budi1, M. Yusri Karim
2, Dody. D. Trijuno
2, M. Natsir Nessa
2 dan Herlinah
3
1. Jurusan Perikanan Universitas Bosowa Makassar
2. Universitas Hasanuddin Makassar
3. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros
Email: [email protected]
Abstrak
Kepiting Bakau Scylla olivacea merupakan salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai
ekonomis yang sangat tinggi. Kendala yang dihadapi dalam kegiatan perbenihan kepiting bakau
adalah masih tingginya tingkat mortalitas. Penelitian dilakukan di Unit Stasiun Pembenihan
Kepiting Maranak BBBAP Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Hewan uji berupa larva kepiting
bakau Scylla spp stadia zoea. Pakan uji pada dalam penelitian ini adalah Rotifer dan Artemia
yang dilakukan pengkayaan dengan hormon ecdyson. Wadah penelitian berupa Akuarium 110
L berjumlah 12 buah yang diisi dengan air sebanyak 100 L dengan kepadatan larva 50 ekor/L.
Perlakuan yang di uji adalah berbagai dosis hormon ecdyson dalam pakan, yakni A = 0 ppm , B
= 0.5 ppm C = 1 ppm dan D = 1,5 ppm, dengan 3 kali ulangan. Parameter peubah yang diukur
sintasan dan periode molting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berbagai dosis
hormon ecdyson memberikan pengaruh yang baik terhadap sintasan dan periode molting larva
kepiting bakau.
Kata Kunci: Kepiting Bakau, Ecdyson, Sintasan, Periode Molting
Pengaruh Pemberian Probiotik Komersil Pada Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila
Nirwana (Oreochromis niloticus)
The Effects of Commercial Probiotics Appropriation on Feed on Nile tilapia
(Oreochromis niloticus)’s Growth
Syifa Zahidah1, Yuli Andriani
2, Zuzy Anna
2, Iskandar
2
1Jurusan Perikanan, Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran,
2Dosen Perikanan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran,
Jl. Raya Bandung Sumedang KM. 21, Jatinangor 45363, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis pemberian probiotik komersil yang tepat pada pakan
ikan sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan ikan nila nirwana (Oreochromis niloticus) tertinggi.
Penelitian ini dilakukan di Hatchery Indoor Biomethagreen, Sumedang. Pelaksanaannya dimulai
bulan Mei hingga Juni 2017. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 5 perlakuan dan 3 kali ulangan, yaitu perlakuan A (kontrol),
perlakuan B (5 ml/kg), perlakuan C (10 ml/kg), perlakuan D (15 ml/kg) dan perlakuan E (20 ml/kg)
pakan. Parameter yang diamati adalah kelangsungan hidup (SR), laju pertumbuhan harian, rasio
konversi pakan, efisiensi pemberian pakan dan kualitas air. Data dianalisis menggunakan analisis
sidik ragam dengan uji F dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan
dengan taraf kepercayaan 95%, sedangkan kualitas air dianalisis secara deskriptif dengan
membandingkan terhadap standar kualitas air. Hasil penelitian ini menunjukkan penambahan
probiotik pada pakan memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup, laju pertumbuhan harian
dan rasio konversi pakan benih ikan nila nirwana. Penambahan probiotik pada konsentrasi 5 ml/kg
memberikan hasil tertinggi terhadap laju pertumbuhan harian yaitu sebesar 2,01% dan rasio konversi
pakan sebesar 1,24. Berdasarkan analisis regresi laju pertumbuhan optimum diberikan dengan
konsentrasi probiotik 8,57 ml/kg, sedangkan untuk rasio konversi pakan optimum pada konsentrasi
8,80 ml/kg.
Kata Kunci : Ikan Nila, Laju Pertumbuhan Harian, Probiotik, Rasio Konversi Pakan
Abstract
This research aims to find out the proper dosage of commercial probiotics appropriation on fish feed,
which can be result in the highest growth of Nile tilapia (Oreochromis niloticus). This research is
conducted at Hatchery Indoor Biomethagreen in Sumedang. The research starts from May to June of
2017. Method used is the experimental method with Completely Randomized Design (CRD), which
consists of 5 treatments and 3 repetitions, which are treatment A (control), treatment B (5 ml/kg),
treatment C (10 ml/kg), treatment D (15 ml/kg), and treatment E (20 ml/kg) of feed. The parameter
observed during research is survival rate (SR), daily growth rate, feed conversion ratio (FCR), feed
appropriation efficiency and water quality. The data are analyzed using variance analysis with F check
and differences between treatments were tested by Duncan multiple range test with 95% of credential
extent., while water quality is analysed descriptively by comparing it to the water quality standard.
The result of this result shows that probiotics replenishment on feed gives effects on the daily growth
rate of Nile tilapia juvenils. Probiotics giving on 5 ml/kg concentration gives highest result on daily
growth rate, which is 2.01% and feed conversion ratio is 1.24%. According to the analysis regression
of the optimum growth rate is with 8.57 ml/kg of probiotics concentration, while for optimum feed
conversion ratio is 8.80% ml/kg of concentration.
Keywords: Daily Growth Rate, Feed Convertion Ratio, Nile tilapia, Probiotics
Kandungan logam berat kadmium (Cd) pada ikan asli Sungai Cimanuk (Hampala
macrolepidota dan Mystus gulio) yang tertangkap di Waduk Jatigede Kabupaten
Sumedang Provinsi Jawa Barat pada awal penggenangan
Herawati, T.*, Nurhayati, A. Yustiati, A
Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung - Sumedang KM 21 Jatinangor 45363. Telp: (022) - 84288888
email: [email protected]
Waduk Jatigede merupakan waduk multi fungsi sebagai sumber air irigasi, pembangkit
listrik, pengendali banjir, pariwisata, dan perikanan. Waduk ini membendung sungai Cimanuk
dan menggenangi lima kecamatan di kabupaten Sumedang, bendungan diresmikan pada 31
Agustus 2015. Kegiatan perikanan di waduk Jatigede berupa perikanan tangkap, ikan hasil
tangkapan untuk dikonsumsi. Sumber pencemar di Waduk Jatigede berasal dari : aliran Sungai
Cimanuk, daerah genangan berupa pencemar alami dari batuan dan tanah serta limbah dari
kegiatan masyarakat sebelum wilayah itu digenang. Bahan pencemar anorganik yang
membahayakan pada manusia adalah logam berat Kadmium (Cd), logam ini dapat terlarut dalam
air, terendapkan dalam sedimen dan terakumulasi pada organisme perairan seperti ikan. Tujuan
riset adalah menentukan konsentrasi Cd pada : air, sedimen, insang dan daging ikan Hampala
macrolepidota dan ikan Mystus gulio. Metode pengukuran Cd menggunakan Atomic Absorbance
Spektrofotometric, data dianalisis secara deskriptif mengacu pada SNI 7387 : 2009. Hasil
analisis menunjukkan bahwa cadmium telah terkontaminasi pada air Waduk Jatigede dan
terakumulasi pada daging dan insang ikan Hampala dan ikan Mystus tetapi konsentrasinya masih
berada dibawah batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan. Kadar kadmium di
perairan Waduk Jatigede sebesar 0,09 mg/L dalam daging dan insang Hampala masing-masing
adalah 0,09 mg/kg, dan 0,29 mg/kg dalam Mystus adalah 0,05 mg/kg, dan 0,08 mg/kg,
kandungan Cd dalam insang Hampala telah melampaui batas maksimum cemaran logam berat
dalam pangan. Kadar cadmium dalam sedimen di perairan Wado 0,82 mg/kg, dan di Sukamenak
0,33 mg/kg. Disarankan masyarakat setempat berhati-hati mengkonsumsi insang ikan Hampala.
Kata kunci : daging, insang, ikan Hampala macrolepidota, ikan Mystus gulio, logam berat Cd,
Waduk Jatigede
Perilaku Nelayan Rawai di Desa Kahyapu Sebagai Tolak Ukur Tingkat Keramahan
Lingkungan Dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap Yang Bertanggungjawab
Fisherman’s Behaviour at Kahyapu Village As A Benchmark Level
of Environmental Friendliness To Catch the Reef Fish
Ully Wulandari1*
, Domu Simbolon2 dan Ronny I Wahju
2
1Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Dr
Soetomo, Jl Semolowaru No. 84 Surabaya 2Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Jl Lingkar Kampus IPB Dramaga, Bogor, 16680.
Email Corresponding Author: [email protected]
Abstrak
Penelitian terhadap Perilaku Nelayan Rawai sebagai Tolak Ukur Tingkat Keramahan
Lingkungan dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab dilakukan di Desa
Kahyapu, Pulau Enggano. Analisis yang digunakan adalah analisis terhadap empat aspek
perilaku dan kebiasaan nelayan rawai di Desa Kahyapu saat melakukan operasi penangkapan
ikan di Perairan Pulau Enggano. Hasil dari penenitian menunjukkan bahwa keramah-lingkungan
nelayan rawai di Desa Kahyapu berdasarkan karakteristik dan komposisi hasil tangkapan
didominasi oleh ikan-ikan yang sudah layak tangkap, kerusakan fisik habitat terumbu karang
akibat pengoperasian armada dan alat tangkap rawai terjadi sebesar 26%, pencemaran
lingkungan oleh nelayan dalam operasi penangkapan ikan dilakukan sebesar 21%, dan perilaku
nelayan dalam memelihara serta melengkapi sarana keselamatan kerja diatas kapal adalah
sebesar 69%. Berdasarkan data yang telah dianalisis, hasil penelitian menyimpulkan bahwa
perilaku nelayan yang bertanggung jawab adalah mendominasi, yaitu sebesar 73%.
Abstract
Research of rawai fishermens behavior as a benchmark level of enviromtmental
friendliness to management of capture fisheries was conducted at Kahyapu village in Enggano
Island. The analysis was done by four aspects of the behavior of rawai fishermen during fishing.
The results show the environmental friendliness of a fishing village of rawai Kahyapubased
on the characteristics and composition of the catch was dominated by fish that is
already worth catching, physical damage coral habitats resulting from the operation of the fleet
and rawai are happened amounted to 26%, environmental pollution by fishermen in
a fishing operation was conducted amounted to 21%, and the behavior of rawai fishermen in
maintaining as well as complement the above shipsafety facility is amounting to 69%. Based
on the data that has been analyzed, the results of the study concluded that the behaviour of a
responsible fishing was dominating, that amounted to 73%.
1
SEBARAN LOGAM BERAT TIMBAL (Pb) PADA MAKROZOOBENTOS
SEBAGAI DAMPAK DARI KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK
TENAGA PANAS BUMI (PLTP) KAMOJANG DI SUNGAI CIKARO KABUPATEN
BANDUNG
DISTRIBUTION OF LEAD (Pb) IN MACROZOOBENTHOS
AS THE IMPACT OF KAMOJANG GEOTHERMAL POWER PLANT ACTIVITY
IN CIKARO RIVER, BANDUNG REGENCY
M. Yogi Andikha Surbakti, Zahidah Hasan, Titin Herawati, Asep Sahidin
Program Studi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi logam berat Timbal (Pb) yang terkandung
dalam makrozoobentos serta untuk mengetahui kemampuan makrozoobentos dalam
mengakumulasi logam Pb di aliran Sungai Cikaro Kabupaten Bandung. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu melakukan survei sampel air, sedimen dan
makrozoobentos yang diambil dari 4 stasiun secara purposive sampling dengan 3 kali pengulangan,
dan untuk analisis konsentrasi logam Pb dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Unpad. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 9 jenis makrozoobentos yang ditemukan, yaitu terdiri dari kelas
Gastropoda, kelas Bivalvia dan Kelas Malacostraca. Hasil analisis logam berat menunjukkan
bahwa konsentrasi logam Pb pada makrozoobentos lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi
logam Pb pada sedimen, yaitu berkisar antara 0,226 – 0,312 mg/kg pada makroozobentos dan
berkisar antara 0,052 - 0,128 mg/kg pada sedimen. Hal ini menunjukkan bahwa logam Pb yang
berada di lingkungan telah terakumulasi dalam tubuh makrozoobentos. Pada sampel air, hasil
analisis menunjukkan nilai rata-rata <0,024 mg/l sehingga konsentrasi logam Pb dalam air
tergolong rendah dan masih berada dalam baku mutu yang ditetapkan dalam PP. RI No. 82 Tahun
2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yaitu batas maksimal
sebesar 0,05 mg/l. Sedangkan kemampuan makrozoobentos dalam mengakumulasi logam Pb
(Bioconcentration Factor) masih tergolong sifat akumulatif rendah, karena nilai BCF masih < 100
mg/kg.
Kata Kunci: Logam berat timbal, makrozoobentos, Sungai Cikaro, akumulasi
ABSTRACT
This research aimed to determine the concentration of lead (Pb) contained in macrozoobenthos
and to know the ability of macrozoobentos in accumulating lead in Cikaro River of Bandung
Regency. The research used survey method i.e collecting water samples, sediments and
macrozoobenthos from four stations (purposive sampling with three times repetitions); and the
samples are measured for their lead content at the Laboratory of Research and Development of
Natural Resources and Environment (PPSDAL) Unpad. The results showed that 9 types of
macrozoobenthos were found, consists of: class Gastropoda; class Bivalvia; and class
Malacostraca. Lead contents in the macrozoobenthos was higher than those of the sediment; which
ranged from 0.226 - 0.312 mg/kg on macroozobenthos and ranged from 0.052 - 0.128 mg/kg in the
sediment. The fact indicated the lead in the environment had accumulated in the macrozoobenthos.
In water samples, the results of the analysis show an average value of <0.024 mg/l so that the
content of lead in the water is low and still within the quality standard specified in the PP. RI No.
82 of 2001 on the Management of Water Quality and Water Pollution Control is the maximum limit
of 0.05 mg/l. While the ability of macrozoobenthos in accumulating lead (Bioconcentration
Factor) is still considered low accumulative properties, because the BCF value is still <100 mg/kg.
Keywords: Heavy metal lead, macrozoobentos, Cikaro River, accumulation
1
URGENSI PEMIDANAAN KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA PERIKANAN
MENGGUNAKAN PERMA NOMOR 13 TAHUN 2016
Budi Suhariyanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan MA-RI
Jl. Jend. Ahmad Yani Kav.58 Cempaka Putih Timur Jakarta
Email: [email protected]
Abstrak
Kerugian Negara yang disebabkan oleh tindak pidana perikanan sangat besar dan belum
dapat dipulihkan sepenuhnya. Apalagi dengan hanya mengandalkan pemidanaan terhadap
pelaku orang tanpa dijeratnya korporasi yang selama ini dijadikan sebagai sarana
menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana perikanan. Undang-undang Perikanan
memiliki kelemahan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga
menimbulkan multitafsir dan menyulitkan penegak hukum dalam memidana korporasi pelaku
tindak pidana perikanan. Mahkamah Agung telah memberlakukan Perma Nomor 13 Tahun
2016 yang mengatur tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh korporasi. Perma
Nomor 13 Tahun 2016 berguna untuk mengisi kekosongan hukum dalam pemidanaan
korporasi pelaku tindak pidana perikanan. Jika pemidanaan korporasi dapat diefektifkan
maka pengembalian kerugian Negara akibat tindak pidana perikanan dapat dioptimalisasikan.
Kata kunci: Korporasi, Pelaku, Tindak Pidana Perikanan
1
IDENTIFIKASI IKAN HASIL TANGKAPAN PADA ALAT TANGKAP SERO DI
PESISIR KELURAHAN WAETUO DAN KELURAHAN PALLETTE,
KABUPATEN BONE
Agus Surachmat1)
, Yasser Arafat11)
, Ali Imran1)
Staf pengajar Politeknik Kelautan dan Perikanan Bone
Jl. Sungai Musi Km. 9 Kelurahan Waetuo
Kec. Tanete Riattang Timur, Kab. Bone, Sulawesi Selatan
Email : [email protected]
ABSTRAK
Kabupaten Bone merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang memiliki
potensi perikanan yang cukup besar. Jumlah alat tangkap ikan di Kabupaten Bone
meningkat seperti halnya dengan produksi perikanan dan armada penangkap ikan. Sero
adalah perangkap yang biasanya terdiri dari susunan pagar-pagar yang akan menuntun
ikan-ikan menuju perangkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis ikan
hasil tangkapan menggunakan alat tangkap sero di pesisir wilayah Kelurahan Waetuo dan
Kelurahan Pallette Kabupaten Bone dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2017.
Metode penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, pengamatan langsung di lokasi
penangkapan ikan serta analisa laboratorium. Lokasi alat tangkap sero sebanyak 5 titik
lokasi yaitu 3 lokasi alat tangkap sero di Kelurahan Waetuo dan 2 lokasi alat tangkap sero
di Kelurahan Pallette. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah hasil tangkapan ikan
pada alat sero terdiri dari family Siganidae sebanyak 19.51 %, family Leiognathidae
sebanyak 12.20 %, family Serranidae sebanyak 9.76 %, family Lutjanidae sebanyak 8.94
% dan family Synodonthidae sebanyak 8.13 %.
Kata kunci: Identifikasi ikan, hasil tangkapan, alat tangkap sero, Kabupaten Bone
1
UPAYA PENGELOLAAN LESTARI JENIS HIU MELALUI MONITORING PEREDARAN
PRODUK JENIS HIU DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
Demas Derian, Suko Wardono
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar, Jl. By Pass Prof. Ida Bagus Mantra, Desa
Pering,
Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, 80581.
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Sejak diterbitkannya rencana aksi nasional jenis hiu nasional tahun 2010 oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan, pengelolaan jenis hiu di Indonesia semakin terarah. Balai Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis konservasi jenis ikan
merupakan salah satu unit yang menjadi ujung tombak dalam pengumpulan data. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui volume peredaran produk jenis hiu dari bulan September 2016 sampai
dengan Bulan September 2017 di wilayah Nusa Tenggara Barat. Metode yang digunakan adalah analisa
kuantitatif terhadap rekomendasi peredaran jenis hiu yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Laut Denpasar, Wilayah Kerja Nusa Tenggara Barat. Hasil penelitian
menunjukkan sebanyak 36,2 ton dari 7 kategori produk jenis hiu yang diedarkan. Peredaran produk
terbanyak adalah sirip sebesar 39,65% dari total volume peredaran produk jenis hiu. Selain itu terdapat
perubahan pola pencatatan peredaran produk jenis hiu dari orientasi produk menjadi orientasi spesies
yang menyebabkan hanya sebesar 44,73% dari total peredaran produk jenis hiu yang dapat diidentifikasi
per spesies dengan Carcharinus falciformis sebagai spesies dengan pemanfaatan tertinggi. Seluruh
produk jenis hiu hanya diedarkan domestik dengan tujuan utamanya adalah Provinsi Jawa Timur.
Kata kunci : BPSPL Denpasar, CITES, Nusa Tenggara Barat, Peredaran produk jenis hiu
ABSTRACT
Since the launching of Indonesia’s NPOA-Shark by Ministry of Marine Affairs and Fisheries in
2010, national sharks species management is more focused. Regional Management Office for Coastal and
Marine Resource in Denpasar is one of technical unit concerned in species conservation which
responsible in gathering data. The purpose of this research is to recognize sharks product distribution
from September 2016 to September 2017 in Nusa Tenggara Barat region. Method use in this research are
quantitative analysis from sharks trade recommendation distribution paper. The result shows that
approximately 36.2 tonne from 7 product categories were distributed, with fin as the highest volume.
There were also a pattern change in data recording, from product oriented to species oriented resulting
only 44.73% of the total distribution volume can be identified as species-specific with Carcharinus
falciformis as the most utilized species. All products were distributed domestically with the main
destination is Jawa Timur.
Keywords : BPSPL Denpasar, CITES, Nusa Tenggara Barat, Sharks product distribution
development of a co-agglutination for rapid diagnostic red sea bream iridoviral Diseases
(RSIVD) in Grouper
Dwi Sulistiyono 1*
A.A. Gede Eka Susila1Surya Amanu
2, Kurniasih
2,
1)
Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan II
Tanjungpinang [email protected] 2)
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Abstrak
Red Sea Bream Iridovirus Disease (RSIVD), menyebabkan kerugian ekonomi yang besar di
beberapa negara asia termasuk Indonesia. Transmisinya yang cepat dengan tingkat kematian yang
tinggi menjadi ancaman serius bagi perkembangan perikanan di Indonesia, kusunya pada budidaya
Ikan Kerapu. Metode yang cepat dan akurat diperlukan untuk deteksi dini serangan penyakit, sehingga
dapat dengan segera dilakukan langkah penanganan untuk meminimalisir dampak kerugian yang lebih
besar. Stained imprints or tissue sections, Immunofluorescent Antibody Tests (IFAT), Polymerase
Chain Reaction (PCR) merupakan metode yang efektif untuk mendeteksi RSIVD, akan tetapi
dibutuhkan peralatan khusus dengan biaya yang mahal. Metode diagnostik berbasis serologi ko-
aglutinasi dengan kelebihan cepat, sakurat dan murah telah diperkenalkan. Tujuan dari penelitian ini
adalah membuat kit ko-aglutinasi sebagai rapid diagnostic test RSIVD dan melakukan uji lapang
didukung dengan uji molekuler untuk melihat diagnosis sensitivitas dan diagnosis spesivisitas dari kit
ko-aglutinasi dalam mendeteksi RSIVD dilapangan. Imunisasi vaksin red sea bream iridovirus
dilakukan pada kelinci melalui intraperitonial dengan dosis bertingkat setiap minggunya 0,5 cc, 1 cc,
2 cc dan 3 cc. Pada minggu kelima serum dipanen dari kelinci, diinaktivasi pada suhu 56oC selama 30
menit. Pemurnian imunoglobulin dari serum anti dilakukan dengan presipitasi amonium sulfat dan
dialisa. Imunoglobulin selanjutnya ditambahkan dengan volume yang sama protein A Staphylococcus
aureus, suspensi ini sebagai kit ko-aglutinasi RSIVD. Uji lapang kit ko-aglutinasi RSIVD dilakukan
dengan pengambilan 40 sampel ikan Kerapu (Epinephelus sp) pada area tidak bebas RSIVD di Kab.
Bintan Kepulauan Riau, dikonfirmasi dengan uji PCR dan dilakukan sequencing DNA. Untuk melihat
akurasi dan realibilitas, data hasil uji kemudian dianalisa diagnostik sensitivitas dan spesivitas. Hasil
penelitian menunjukkan aglutinasi berpasir setelah 10 menit untuk limpa positif, dan tidak ada
aglutinasi pada sampel ikan sehat (negatif) serta kontrol dengan PBS (negatif). Konfirmasi pengujian
dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer forward 1-F (5'-CTC-AAA-CAC-
TCT-GGC-TCA-TC-3 ') dan reverse 1-R (5'-GCA-CCA-ACA -CAT-CTC-CTA-TC-3 ')
menunjukkan hasil yang sama dengan nilai diagnostik sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hasil
sekuensing pada sampel positif menunjukkan kesamaan 99% identik dengan Megalocytovirus strain
RSIV. Pengujian dengan kit co-aglutinasi RSIVD memiliki kelebihan cepat, akurat dan murah dalam
mendeteksi penyakit red bream iridoviral (RSIVD).
Kata kunci : Kerapu, RSIVD, Ko-aglutinasi, PCR, Sequencing
PENGARUH PEMBERIAN JENIS PAKAN TERHADAP
PERTUMBUHAN IKAN PUTIH (Labeobarbus sp.)
F A H R U R O Z I
ABSTRAK
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis pakan yang paling baik
untuk pertumbuhan ikan putih (Labeobarbus sp..). Selain itu juga untuk
mengetahui apakah pemberian jenis pakan yang berbeda akan mempengaruhi
pertumbuhan ikan putih, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi usaha
perikanan pada umumnya dan bagi pembudidaya ikan putih (Labeobarbus sp..)
khususnya. Penelitian ini berlangsung selama 60 hari di Kelurahan Gunung alam,
Kecamatan Kota Arga Makmur, Kabupaten Bengkulu Utara. Ikan yang dijadikan
sebagai ikan uji adalah ikan putih (Labeobarbus sp..) yang berasal dari sungai air
Nokan, Desa Kemumu, Kecamatan Kota Arga Makmur, Kabupaten Bengkulu
Utara. Berat ikan berkisar antara 12,73 – 15,92 gram dan panjang berkisar antara
10,7 – 11,7 cm. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Bujur Sangkar
Latin (RBSL) yang disusun dengan tiga perlakuan, tiap-tiap perlakuan dengan tiga
ulangan. Dari hasil penelitian terhadap pertumbuhan dari tiga jenis pakan yang
diberikan tidak ada beda pengaruh yang nyata, baik pertumbuhan berat maupun
pertumbuhan panjang. Dari hasil perhitungan nilai konversi pakan maupun nilai
efisiensi pakan, yang terbaik adalah adalah pakan kombinasi atau campuran.
Tingkat kelangsungan hidup ikan uji selama penelitian, yaitu 100 % dalam artian
kematian tidak ada (0 %). Sedangkan kualitas air media selama penelitian : Suhu
antara 25 – 27 0C, Oksigen terlarut antara 6 -7,5 ppm dan pH antara 6 – 7. Dengan
demikian kualitas air media tersebut sudah dapat menjamin kehidupan ikan putih
(Labeobarbus sp..) untuk usaha budidaya dengan wadah buatan.
1
EVALUASI STATUS STOK IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis
Linnaeus, 1758) DI SAMUDRA HINDIA (WPP NRI-573) MENGGUNAKAN
RASIO POTENSI PEMIJAHAN
STOCK STATUS EVALUATION OF SKIPJACK TUNA (Katsuwonus pelamis
Linnaeus, 1758) IN THE INDIAN OCEAN (INDONESIAN TERITORY OF
FMA-573) USING SPAWNING POTENTIAL RATIO
Arief Wujdi*1, Zulkarnanen Fahmi
1, dan Fathur Rochman
1
1Loka Riset Perikanan Tuna
ABSTRAK
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang tersebar luas di Samudra Hindia selatan Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara telah dieksploitasi secara massif dengan berbagai alat tangkap. Aktivitas
penangkapannya dilakukan secara terus-menerus sepanjang tahun sehingga rentan mengalami
lebih tangkap. Namun, ketersediaan data yang terbatas menjadi penghambat dalam upaya
mengevaluasi status pemanfaatan stok, khususnya untuk kegiatan perikanan skala kecil. Penelitian
ini bertujuan untuk menentukan status terkini stok sumberdaya ikan cakalang di Samudra Hindia
berdasarkan analisis rasio potensi pemijahan berbasis frekuensi panjang. Pengumpulan ukuran
ikan dilakukan pada Februari-Desember 2016 di 4 lokasi pendaratan ikan di sepanjang Samudra
Hindia, yaitu Binuangeun, Sadeng, Prigi, dan Tanjung Luar. Data-data parameter life history
sebagai bahan input untuk analisis diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai SPR pada Faktual dan Lm adalah 27,16% dan 4%. Hal ini berarti status
stok ikan cakalang berada pada level sedang dan masih berpeluang untuk dikembangkan. Disisi
lain, banyaknya ikan berukuran kecil yang tertangkap mengindikasikan terjadinya growth
overfishing. Strategi penangkapan yang tepat perlu dilakukan sebagaimana dijelaskan dalam
penelitian ini agar tercapainya SPR20% sebagai ambang batas biologi untuk keberlanjutan
sumberdaya ikan.
Kata kunci: Status stok, rasio potensi pemijahan, ikan cakalang, Samudra Hindia
ABSTRACT:
Skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) regarded as cosmopolitan species and distributed vastly
along the Indian Ocean south of Java, Bali and Nusa Tenggara. Known to have high exploitation
by various fishing gear throughout the year, so that vulnerable to subject of overfishing. However,
lacking of the data constrained management measures to evaluate the stock status of fisheries, in
particular for small-scale fisheries. This study aims to determine the stock status of skipjack tuna
in the Indian Ocean through length-based spawning potential ratio. The data collection conducted
from January to December 2016 in four landing base along southern Java-Nusa Tenggara coast
where representing small-scale fisheries: Binuangeun, Sadeng, Prigi, and Tanjung Luar.
Literature synthesis from previous study also implemented to obtain life-history parameters as
supporting analysis. The results showed that SPR at Fcurrent and Lm were 27,16% and 4%
respectively. It means that there was a possibility to develop the fisheries. On the other hand,
growth overfishing has been occurred, which is fish caught are dominated by immature size. The
proper harvest strategy need to be carried out urgently as provided in this study to achieve the
SPR20% as limit reference point for fish resources sustainability.
Keywords: Stock status, SPR, skipjack tuna, Indian Ocean.
Komposisi Hasil Tangkapan Rawai Tuna Berdasarkan Kedalaman Renang di Samudera Hindia
Suciadi Catur Nugroho, Roy Kurniawan, Dian Novianto
Loka Riset Perikanan Tuna, Denpasar, Bali
Jl. Mertasari No. 140, Sidakarya, Denpasar Selatan, Bali, 80223
Korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Hasil tangkapan rawai tuna terdiri atas hasil tangkapan utama (target spesies) dan tangkapan
sampingan. Selain ikan tuna yang merupakan target spesies, pengoperasian rawai tuna juga menangkap
spesies lainnya yang tertangkap secara tidak sengaja dikarenakan adanya keterkaitan secara ekologi.
Beberapa jenis tuna dan ikan lainnya dapat ditemukan di kedalaman lapisan renang (swimming layer)
tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan lapisan renang ikan hasil tangkapan
rawai tuna di Samudera Hindia. Terdapat tiga trip pengamatan yang dilakukan oleh saintifik observer
selama tahun 2016. Trip pertama tercatat 693 ekor ikan selama operasi penangkapan dengan komposisi
hasil tangkapan tertinggi yaitu ikan naga (lancet fish) sebanyak 31,6% sedangkan pada trip kedua ikan
yang tertangkap sebanyak 1,911 ekor dengan komposisi tangkapan tertinggi yaitu tuna albakora sebesar
23,13%, sedangkan pada trip ketiga mendapatkan hasil tangkapan sebanyak 503 ekor ikan dengan
komposisi tertinggi adalah ikan setan (oil fish) sebesar 19,09%. Swimming layer jenis ikan tuna, hiu, pari,
serta ikan yang termasuk dalam kategori bony fish tertangkap di kedalaman antara 41,67 – 329,24 meter,
dan jenis ikan berparuh (billfish) lebih sering tertangkap pada kedalaman rata-rata yang relatif dangkal
yaitu pada kedalaman antara 41,67 – 238,92 meter, sedangkan untuk jenis penyu umumnya tertangkap di
kedalaman antara 41,67 – 178,14 meter dan paling banyak tertangkap pada kedalaman rata-rata 44,51
meter.
Kata kunci : Komposisi hasil tangkapan; rawai tuna; kedalaman renang
ABSTRACT
The tuna longline catches consists of the main-catch and by-catch. In addition to the tuna species
that are the target species, the operation of the tuna longline is also catching other species caught
unintentionally due to the ecological linkage. Several types of tuna and other fish can be found in the
depth of a particular swimming layer. This study aims to determine the composition and the swimming
layer of fish tuna longline catches in the Indian Ocean. There were three observation trips performed by
the scientific observer during 2016. The first trip was recorded 693 individuals during the catching
operation with highest catchment composition i.e lancet fish of 31.6% while on the second trip caught of
1,911 individuals with highest catchment composition is albacore tuna 23,13%, and on the third trip
recorded 503 individual with the highest composition were oil fish equal to 19,09%. Swimming layer for
tuna species, shark, stingray, and bony fish were caught in depth between 41.67 - 329.24 meters, and for
billfish species more often caught at a relatively shallow with average depth that is in depth between
41.67 - 238.92 meters, while for the type of turtle is generally caught in the depth between 41.67 - 178.14
meters and most caught at an average depth of 44.51 meters.
Keywords : Catch composition; tuna longline; swimming layer
A REVIEW OF INDONESIAN INDUSTRIAL TUNA LONGLINE FISHERY
DATA COLLECTION AND STATISTIC BASED IN BENOA PORT 2012-2015
Fathur Rochman1)
, Irwan Jatmiko1)
and Zulkarnaen Fahmi1)
1Research Institute for Tuna Fisheries, Mertasari Road, No. 140 Br. Suwung Kangin, Desa Sidakarya,
Denpasar Selatan, Denpasar-Bali, Indonesia 80224
Email : [email protected]
ABSTRACT
This study presents brief information on industrial tuna longline fisheries data
collection and statistic in Indonesia. The data collection and statistic comes from tuna
longline fisheries landed in Benoa port-Bali. Benoa port is one of three main fishing port
in Indonesia beside Nizam Zachman (Jakarta) and Cilacap (Central Java). However,
Benoa has contributes the largest number of tuna catches, reaching up to 60% of the total
Indonesian industrial tuna catches in Indian Ocean and will made Benoa port as a main
barometer of industrial tuna longline in Indonesia and Indian Ocean. An industrial
longline fisheries activity has decreases significantly up to 76% from 2004 to 2015. The
highest decreases of the number of landed longliners was occurred in 2004 to 2006 (43%)
followed by 2009 to 2010 (41%) and 2014-2015 (19%). The coverage data was 57% to
64% of the total boat landing. Export product was dominated followed by reject (local
quality) and by catch product. Catches composition was dominated by four tuna species
(BET, YFT, SBT and ALB) reaching up 88% of the total catches followed by by catch
(6.23%) and billfish (5.46%). In period of 2012 to 2014, fishing effort of tuna longliners
based in Benoa port was directly proportional to the number of vessel and tuna
production but in 2015 fishing effort and CPUE was increased with the decreased of the
number of vessel.
KEY WORD: Longline, data collection, statistic and Benoa port
INTRODUCTION
An Indonesian tuna fishery is one of the largest in the word especially in Eastern
Indian Ocean (Pillai & Satheshkumar, 2013). Total catches of Indonesian tuna fisheries
was reaching up to 15% of Indian Ocean production with the total landing estimation
185,675 ton consisting of yellowfin tuna (65,686 ton), bigeye tuna (34,400 ton), skipjack
(79,999 ton) and albacore (5,590 ton) (DGCF, 2014). Indonesian tuna longline vessel
consist of 916 units (2010), 1,083 units (2011) (IOTC, 2012). In 2012, the number of tuna
longline vessel has increased to 1,179 units (Moreno & Herrera, 2013). However, at the
end of 2014 the number of vessel has decreased up to 17% from previous year. It was
happened due to the implementation of Indonesian Minister of Marine and Fisheries
Regulation number 56 year 2014 and number 10 year 2015 about moratorium enforcement
of capture fisheries. Moratorium enforcement and evaluation was applied to the vessel
which constructed in overseas (Rochman et al., 2016a).
In Indonesia, there are three main of industrial tuna longline fishing ports operated
in Indian Ocean i.e. Benoa (Bali), Nizam Zachman (Jakarta) and Cilacap (Central Java)
(Proctor et al., 2003). However, from the three ports, Benoa has contributes the largest
number of tuna catches, reaching up to 60% of the total Indonesian industrial tuna catches
in Indian Ocean (Proctor et al., 2003). The industrial scale of tuna fishery in Benoa port
can be made as a barometer of fisheries industrial development in Indonesia based in
Indian Ocean.
Data collection and statistic of industrial tuna fisheries in Benoa port conducted
using an integrated port-based catch monitoring program (enumeration method). This
enumeration method was established in mid-2002 (Prisantoso et al., 2009). It was
a collaborative research program between Indonesian Research Centre for Capture
Fisheries/Research Institute for Marine Fisheries (RCCF/RIMF) and Directorate General
for Capture Fisheries (DGCF), CSIRO Marine and Atmospheric Research, Australia’s
Department of Agriculture of Fisheries and Forestry (DAFF), Australian Centre for
International Agricultural Research (ACIAR), Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) and
Overseas Fisheries Cooperation Foundation of Japan (OFCF). The aims of the monitoring
program was to monitor the catches of all tuna species landed, and also to record the
number of landings by Benoa-based longline vessel (Prisantoso et al., 2009). This
enumeration activity is useful as an input for IOTC in managing Indian Ocean Tuna
Fisheries.
The aim of this study is to provide a comprehensive overview of data collection and
statistic on Indonesian industrial tuna longline fisheries in Indian Ocean.
MATERIAL AND METHODS
Data Collection and Analysis
This study was based on data analysis of enumeration program conducted by
Research Institute for Tuna Fisheries (RITF) enumerators in Benoa port Bali from
January 2012 to December 2015. We were used random sample to determine the vessel to
be enumerated with minimum limit 30% of landed longliners according to IOTC
requirement (IOTC, 2002). We were also used census method to record the whole of
catches data. The data collected consists of:
1. The number of vessel (landing and or entrusting) the catch at Benoa port from
January 2012 to December 2015.
2. Production of catches landing at Benoa port of both tuna and non-tuna which
includes: the data of main catch (export), by catch and local quality (reject). Fish
export quality has a good quality and usually shipped directly to the overseas in
fresh form, while local quality of fish (reject) delivered at local market or processed
at the fish factory (canning) before distributed at domestic or abroad. There are
several type of species landed at Benoa Port i.e. yellowfin tuna (Thunnus
albacares), bigeye tuna (Thunnus obesus), Southern Bluefin tuna (Thunnus
maccoyii), albacore (Thunnus alalunga) and billfish (marlin, sailfish, shortbill
spearfish and swordfish). By catch of longline tuna fisheries are sickle pomfret,
oilfish, wahoo, shark and escolar.
3. Catch per Unit of Effort (CPUE) fish catches (kg) per unit of effort (day at sea)
vessel which landed and or entrusted fish catches at Benoa port. The number of
effort (day at sea) from each vessel determined by the time difference between fish
landing before and after.
RESULT AND DISCUSSION
Result
Landed Longliners and Covered Data
An industrial longline fisheries activity has decreases significantly up to 76% from
2004 to 2015. The highest decreases of the number of landed longliners was occurred in
2004 to 2006 (43%) followed by 2009 to 2010 (41%) and 2014-2015 (19%) (Figure 1).
2,922
2,439
1,664 1,916 1,965
1,850
1,099 921
775 753 858 699
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015Nu
mbe
r of
Lan
ded
Lon
gli
ner
s
Year
Figure 1. The number of landed longliners in Benoa port from 2004-2015
The coverage data of RITF enumeration activity ranged from 57-64% of the total boat
landed in Benoa port- Bali (Figure 3). The data of boat landing and boat sampled from
2012 to 2015 presented in Figure 2.
69
55
71 71
54 46
73 80
58
71
62 65
42
33 41
35 34 26
43 46
33
46
36 37
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
The
Nu
mbe
r of
Boa
t (U
nit
)
2012
Boat Landing Boat Sampled
55
71
53
42
59 62
86
58 51
67 74 75
35
46
30 30 34 32
50
34 35 35 34 36
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Th
e N
um
ber
of B
oat
(Un
it)
2013
Boat Landing Boat Sampled
68
43
76 66
72 83
128
49 57 59
88
69
40 28
45 39
33
53
86
32 36 43 42 44
0
20
40
60
80
100
120
140
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
The
Nu
mb
er
of
Bo
at (
Un
it)
2014
Boat Landing Boat Sampled
73 76
64 58
64 59 60
42
56
72
33
42 48 46
38 39 37 43
36
28
39
48
21 24
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
The
Nu
mb
er
of
Bo
at (
Un
it)
2015
Boat Landing Boat Sampled
Figure 2. Boat landing and boat sampled of enumeration activity in Benoa port-Bali
2012-2015
775 753
858
699
452 431 521 447
58 % 57 % 61 %
64 %
52
54
56
58
60
62
64
66
0
200
400
600
800
1000
2012 2013 2014 2015
Cove
rag
e of
Sam
pli
ng
(%
)
Th
e N
um
ber of
Boat
(Un
it)
Year
Boat Landing Boat Sampled Coverage (%)
Figure 3. The coverage data of RITF enumeration method in Benoa port ranged from
2012 to 2015.
Production and Catch Composition
The production of industrial tuna longline fisheries landed in Benoa port from 2012
to 2015 was dominated by export product with an average of 2,965 ton year-1
followed by
reject (local quality) 2,799 ton year-1
and by catch product 1,792 ton year-1
(Figure 4a). The
highest annual production obtained in 2015 by 8,291 ton year-1
followed respectively by
7,791 ton year-1
(2012), 7,525 ton year-1
(2014) and 6,816 ton year-1
(2013) (Figure 4b).
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
2012 2013 2014 2015
Produ
cti
on
(t
on)
Year
Industrial Tuna LL. Production
By Catch Exsport Reject
7791
6816 7525
8291
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
2012 2013 2014 2015
Produ
cti
on
(t
on
)
Year
Annual Production from 2012 to 2015 (ton)
(a) (b)
Figure 4. Annual production of industrial tuna longline landed in Benoa port 2012 to 2015.
(a) based on product, (b) total annual catch
The analysis result of catch composition, there were 26 species caught by longliner
in Benoa port. Four main of tuna were dominated the catches, there were bigeye tuna
(33.72%), yellowfin tuna (29.83%), southern bluefin tuna (13.90%) and albacore (10.57%).
Besides that, the catches of billfish were dominated by swordfish (3.92%), blue marlin
(1.16%) and black marlin (0.38%) (Figure 5)
0.00%
0.01%
0.01%
0.03%
0.03%
0.03%
0.04%
0.04%
0.05%
0.07%
0.09%
0.10%
0.13%
0.14%
0.19%
0.33%
0.38%
0.99%
1.16%
2.07%
2.17%
3.92%
10.57%
13.90%
29.83%
33.72%
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%
Thresser Shark
Shilky Shark
Barracuda
Pomfret
Long Nose Chimaeras
Skipjack
Common Dolphin Fish
Shortbill Spearfish
Sickle Pomfret
Mako Shark
Butterfly Kingfish
Oceanic Whitetip Shark
Stripped Marlin
Sailfish
Oilfish
Wahoo
Black Marlin
Blue Shark
Blue Marlin
Escolar
Moonfish
Swordfish
Albacore
Southern Bluefin Tuna
Yellowfin Tuna
Bigeye Tuna
Catch Composition
Figure 5. Catch composition of industrial tuna longline based on enumeration methods
from 2012 to 2015
Production and Effort
Total production of industrial tuna longline fisheries landed in Benoa port in 2012
was estimated reaching up to 7,791 ton year-1
with the average production was
649 ton month-1
. The total number of effort was 31,521 (day at sea) year-1
with an average
of catch effort 2,627 (day at sea) month-1
(Figure 6a).
In 2013, the total production tends to decrease compared with previous year.
The total amount of production was 6,816 ton year-1
and 586 ton month-1
. The total
number of effort was comparabled with previous year amounted to 31,932 (day at sea)
year-1
with an average of catch effort by 2,661 (day at sea) month-1
(Figure 6b).
In 2014, the total production of tuna longliner has risen with total value close to the
acquisition in 2012 with the total production was reaching up to 7,525 ton year-1
with the
average production was 627 ton month-1
. Meanwhile, total fishing effort in 2014 was
increased compared with previous years of 32,992 (day at sea) year-1
with an average of
catch effort 2,749 (day at sea) month-1
(Figure 6c).
Entering 2015, the total production of tuna longliner has increased significantly
reaching up to 8,291 ton year-1
with an average production was 691 ton month-1
. The
increasing of production followed by the increasing of effort by 32,501 (day at sea) year-1
with an average effort of 2,708 (day at sea) month-1
(Figure 6d).
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
The
Num
ber
of E
ffor
t (d
ay a
t sea
)
Prod
uctio
n (k
g)
2012
Production (kg) The Number of Effort
(a)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
The
Num
ber
of E
fforts
(day
at s
ea)
Prod
uctio
n (k
g)
2013
Production (kg) The Number of Efforts (Day at Sea)
(b)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
The
Num
ber
of E
ffor
ts (
Day
at S
ea)
Prod
uctio
n (k
g)
2014
Production (kg) The Number of Efforts (Day at Sea)
(c)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
The
Num
ber
of E
ffor
ts (
Day
at S
ea)
Prod
uctio
n (k
g)
2015
Production (kg) The nUmber of Efforts (Day at Sea)
(d)
Figure 6. Production and catch effort of tuna longline fleets landed in Benoa port in 2012
to 2015.
Catch Per Unit of Effort (CPUE)
An average of catch per unit of effort (CPUE) of tuna longliner was 245 kg (day at
sea)-1
in 2012, 213 kg (day at sea)-1
in 2013, 232 kg (day at sea)-1
in 2014 and 253 kg (day
at sea)-1
in 2015. The highest CPUE obtained in 2015 followed by 2012, 2014 and 2013
(Table 1).
Table 1. Catch per unit of effort (CPUE) of tuna longline based in Benoa port (2012-2015)
2012 2013 2014 2015
Jan 189 298 215 293
Feb 195 141 170 308
Mar 231 204 152 209
Apr 246 153 162 203
May 196 251 205 378
Jun 366 241 387 271
Jul 348 239 248 260
Aug 203 178 333 188
Sep 314 213 220 305
Oct 217 183 209 283
Nov 206 229 286 165
Dec 226 228 201 179
Average 245 213 232 253
Month
CPUE (kg/day at sea)
Year
In the period of 2012-2014 fluctuations in production have directly proportional
with fishing effort and the number of vessel which was operated and landed in Benoa port.
In 2015, there were significant increase in production and effort although with fewer
vessels due to government policy on moratorium of capture fisheries. In 2015, there was a
decreased in number of fishing vessel in ranged of 159 units compared to the previous year
(Table 2). The average increase of tuna longline production in 2015 was 10 % compared
with previous year. It’s also happened in catch per unit of effort value (Table 2).
Table 2. The number of boats, effort, production and CPUE of tuna longliners landed in
Benoa port 2012-2015.
The Number of Boats Efforts Production CPUE
(unit) (Day at Sea) (kg) (kg/Day at Sea)
2012 775 2,627 7,791,205 245
2013 753 2,661 6,815,951 213
2014 858 2,749 7,525,103 232
2015 699 2,708 8,291,226 253
Year
Discussion
Entering 2006 to 2010 there was a decreased of landed longliner in Benoa port Bali.
In those years, longline tuna industry was faced by various changes and challenges as the
impact of the increase of fuel price. The increase of fuel prices greatly affects the
operational cost and total production of catches. According to (Barata et al., 2011;
Rochman & Nugraha., 2014), tuna longliner in Benoa port is fresh tuna longline where
catching activity carried out on the high seas and far from coast line. The majority of tuna
longliners have fishing area in the outside IEEZ (Indonesian Exclusive Economic Zone)
with more than 15 nautical mil from coast line. Industrial tuna longline as high seas
fisheries is requires high fuel consumption. Fuel cost production was reaching up to 28-
60% of the total cost production (Rochman & Nugraha, 2014; Sumaila et al., 2008; Schau
et al., 2009). In 2006 to 2010, there was a gradual increase in fuel prices with an increase
of 114.28% (Rp 2,100 to Rp 4,500) and greatly affect on the increase of operational cost.
So it was found that some of company reduced of the number of vessel and the day of
operation. The reduction was resulted in a decrease of the total production of tuna landed at
Benoa port. The highest production was occurred in 2009 amounted to 17,421 ton and it
was declined in the following year by 10,075 ton (ATLI, 2010). ATLI (2010), was
estimated that total tuna catches landed by tuna longline vessel in Benoa port indicating
that the catches was fluctuated and there was a drastically decline in 2010 (Figure 7). One
example was put forward by Hapsari (2006), stating that total production of tuna longline
effort owned by Perikanan Samodra Besar Ltd (now Perikanan Nusantara Ltd), before and
after the increasing fuel price was decreased by 14.37% from the previous years.
Figure 7. Catch estimation of tuna landed at Port of Benoa, 2005- 2010.
Source : (ATLI, 2010)
In 2010 to 2014, the number of landed longliners was steady in the ranged of
753 to 1,099 units. It was because the fisherman have been able to adapt with the
increasing of fuel price volatility and have been able to manage of all fishing management
including suppressing expenditure and to determine the appropriate fishing area in which
accordance with existing environmental condition (Rochman et al., 2016a).
At the end of 2014 and mid of 2015, Indonesian government through the Ministery of
Marine Affairs and Fisheries (MMAF) has issued a new regulation that stops the
operational activities of fishing vessels in which developed in overseas. This regulation
was resulted in a decrease of the number of longline vessel operating in Indian Ocean with
0
2500
5000
7500
10000
12500
15000
17500
20000
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ton
BET YFT ALB SBT Total
a reduction in the number of vessel by 150 units. According to (Davies et al., 2014), over
capacity in industrial tuna longline fleets both in term of the number of vessels and their
ability to catch and to store fish, is a serious concern in tuna fisheries management and
conservation of tuna stock, resulting in overfishing and significant economic waste. In line
with the above statement, the aims of this regulation was to actualize responsible fisheries
management and countermeasure of illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing in
Indonesian Fisheries Management Area (FMA).
Total of 3,085 vessels were landed from January 2012 to December 2015 and 1,851
vessels were covered (60%). This number was higher than the minimum requirements
issued by IOTC of 30% (IOTC, 2002). According to (Jatmiko et al., 2017), the number of
covered data was increased a half from around 40% in 2010 to 60 % in 2015. Generally,
the percentage of observed vessels increase about 7% up to 12 % from 2012 to 2015.
Generally, tuna longline operated in Benoa port was dominated by mid and deep
longline type with the number of hooks between float was 12 to 18 hooks and hooks depth
of 117 to 450 m depth ( Barata et al, 2011). This kind of longline was operated in
thermocline zone and below thermocline layer in depth of 118 to 291 meter (Rochman et
al., 2016b; Domokos et al., 2007; Latumeten et al., 2013; Chen et al., 2005; William et al.,
2014). This longline type was focused on deep sea tuna and billfish such as yellowfin tuna,
big eye tuna, albacore, southern bluefin tuna, swordfish, marlin, sailfish and shortbill
spearfish (Rochman et al., 2016b ; Nugraha & Triharyuni, 2009). This resulted in a total
catch of 93.77% were dominated by four species of tunas and six species of billfish
(Figure 5). On the other hand, there were some by catch species such as shark, escolar,
pompret, common dolphinfish, skip jack, longnose chimaeras and wahoo with small
proportion (6.23%) of the total catches. As by catch species, sharks species were caught
using surface longline attached to the buoy with depth not more than 10 meter and usually
using escolar meat as a bait. The water with a depth less than 10 meter is a warmer water
with temperature was over 22°C (Rochman et al., 2016b) in which resulted in blooms of
diatom that will be associated with an increase abundance and diversity of teleosts and
chondrichthyans (Clark et al., 1996; Lamberth et al., 1995). This teleosts and
chondrichthyans were prey for shark species (Kock et al., 2013; Weltz et al., 2013). Prey
density was an exsternal factor that influence shark distribution and catch rate of shark
(Sims et al., 2003; Hammerschlag et al., 2012; Brown et al., 2010; Tickler et al., 2017).
In 2012 to 2014, fishing effort directly proportional to the number of vessel but in
2015 fishing effort was increased with the decreased of the number of vessel. It was
becaused of the increasing of catches was followed by a large number of vessel which
entrusted fish catches through carrier vessels.
In period of 2012 to 2014, fishing effort of tuna longliners based in Benoa port was
directly proportional to the number of vessel and tuna production. Meanwhile entering
2015, catch effort has increased despite the reduction of the number of vessel. It was due to
the increasing of tuna catches followed by the number of tuna longline vessels that
entrusted the catch through carrier vessels. One (1) times the cultivation of the catch in the
carrier vessel is calculated as one (1) time of effort. Generally, tuna longliners entrusted the
catch one time in two weeks but in 2015 become twice in two weeks despite a decrease the
number of vessel (Table 2).
CONCLUSION
This study shows that the number of vessel was decreased since 2006 to 2015.
Integrated port-based catch monitoring program (enumeration) covered more than 50% of
the total tuna cathes in Benoa port. This number was higher than minimum requirement of
IOTC by 30% of the total catches. Four species of tuna and six species of billfish were
dominated the catches. In period of 2012 to 2014, fishing effort directly proportional to
the number of vessel but entering 2015, catch effort has increased with the decreasing
number of vessel.
ACKNOWLEDGEMENT
I would like to thanks to Ministry of Marine and Fisheries Affair, The Agency of
Research & Development Marine and Fisheries, Fisheries Research & Development Centre
and Research Institute for Tuna Fisheries for all financial support. The authors also wish to
thank the RITF scientific enumerators who performed valuable role in fisheries data
collection and statistic. In addition, we would like to thanks to MR Zulkarnaen Fahmi as
RITF director for valuable input and comment.
REFERENCE
ATLI (Asosiasi Tuna Longline Indonesia). (2010). Nominal catch by species. Indonesian
Tuna Longline Association. Benoa. 2 pp.
Barata,A., Novianto, D., & Bahtiar,A.(2011). Sebaran ikan tuna berdasarkan suhu dan
kedalaman di Samudera Hindia. Jurnal Ilmu Kelautan Indonesia. 16(3), 165-170.
Brown, A. C., D. E. Lee, R. W. Bradley & S. Anderson. (2010). Dynamic of white shark
predation on pinnipeds in California: Effect of prey abundance. Copeia; May 20,
2010; Biological Science Database. 232 p.
Chen I. C., Lee P. F., & Tzeng, N. W. (2005). Distribution of albacore (Thunnus alalunga)
in the Indian Ocean and its relation to environmental factor. Fish Oceanography. 14
(1), 71-80 pp.
Clark, B. M., Bennett, B. A., Lambert, S. J. (1996). Temporal variation in surf zone fish
assemblages from False Bay, South Africa. Mar Ecol Prog Ser 131: 35-47
Davies, T.K., Chris, C. & E. J. Milner-Gulland. (2014). Modelling the spatial behaviour of
a tropical tuna purse seine fleet. PLoS ONE 9 (12): e114037. doi:
10.137/jounal.pone.0114037.
DGCF (Directorate General of Capture Fisheries). (2014). Statistics of Marine Capture
Fisheries 2014.Directorate General of Capture Fisheries,MMAF. Jakarta.
Domokos, R., Seki,M.P., Polovina., & Hawn, J. J. D. R., (2007). Oceanographic
investigation of the American samoa albacore (Thunnus alalunga) habitat and
longline fishing grounds. Fish. Oceanography.16, 555-572pp.
Hammerschlag, N., Luo, J., Irschick, D. J., Ault, J. S. (2012). A Comparison of Spatial and
Movement Patterns between Sympatric Predators: Bull Sharks (Carcharhinus
leucas) and Atlantic Tarpon (Megalops atlanticus). PLoS ONE 7(9): e45958.
doi:10.1371/journal.pone.0045958
Hapsari, A.T. (2006). Optimalisasi produksi usaha penangkapan tuna pasca kenaikan harga
BBM pada PT Perikanan Samodra Besar cabang Benoa Bali. Skripsi. Manajemen
Bisnis dan Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 pp.
IOTC (Indian Ocean Tuna Commission). 2002. Field manual for data collection on tuna
landing from longliners. IOTC Secretariat. Seychelles. 21 pp.
IOTC. (2012). Indonesian national report to the scientific committee of the Indian Ocean
Tuna Commission 2012. IOTC-2012-NR 10 Rev_1. 18.
Jatmiko, I., F. Rochman & Z. Fahmi.(2017). Enumeration methods used to investigated the
production of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Indian Ocean; case study of
tuna monitoring in Benoa port, Bali, Indonesia. 2nd
International forum on
sustainable future in Asia, 2nd
NIES International forum January 26-28, 2017 Bali,
Indonesia. 20-25 pp.
Kock, A., O’Riain, M. J., Mauf, K., Meyer, M. A, Kotze, D. (2013). Residency habitat use
and sexual segregation of white shark, Carcharodon carcharias in False Bay, South
Africa. PLoS ONE 8(1): e55048. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0055048
Lamberth, S. J., Clark, B. M., Bennett, B.A.(1995). Seasonal of beach-seine catches in
False Bay, South Africa and implication for management. S. Afr. J. Mar. Sci 15:
157-167 pp
Latumeten, A. L., Purwanti, F., & Hartoko, A.(2013). The analysis of relationship between
sea surface temperature, chlorophyll-a of Modis satelite data and sub-surface
temperature ofArgo Float data to the number of tuna catches in Indian Ocean.
Management of Aquatic Resource Journal. Diponegoro University. 2(2), 1-8 pp.
Moreno,G., & Herrera,M. (2013). Estimation of fishing capacity by tuna fishing fleets in
Indian Ocean. IOTC-2013-SC16-INF04. p. 76 .
Nugraha, B. & S. Triharyuni. (2009). The Effect of Temperature and Hook Depth of Tuna
Longline to Catch of Tuna in Indian Ocean. Indonesian Fisheries Research
Journal. Research Centre for Fisheries Management and Conservation. Indonesian
Fisheries and Marine Affairs. 15 (3) : 239-247
Pillai, N. G. K. & Satheskhumar. (2013). Conservation and management of tuna fisheries
in Indian Ocean and Indian EEZ. International Journal of Marine Science, Vol (3)
no. 24. 187-192 pp.
Prisantoso, B. I.,Andamari, R., & Proctor, C. (2009). The catch of SBT by the Indonesian
longline fishery operating out of Benoa, Bali in 2008. CCSBT 14th
Meeting of the
10 Scientific Committee (incorporating the Extended Scientific Committee), Busan,
Korea, 5 - 11 September 2009. CCSBTESC/ 0909/SBT Fisheries - Indonesia.
Proctor, C.H., Merta, I.G.S., Sondita, M.F.A., Wahju, R.I., Davis, T.L.O., Gunn, J. S., &
Andamari, R.(2003). A review of Indonesian ocean tuna fisheries. ACIAR country
status report. p. 106.
Rochman, F. & B. Nugraha. (2014). Productivity and economic analysis of the Indian
Ocean Longline fishery landed at Benoa port Bali Indonesia. Indonesian Fisheries
Research Journal , 20 (2).76-86 pp.
Rochman, F., B. Setyadji & I. Jatmiko (2016a). Impact of moratorium enforcement on the
fishing effort and production of industrial scale longline tuna fisheries based in
Benoa port-Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 22 (3): 181-188 pp.
Rochman, F., W. Pranowo & I. Jatmiko (2016b). The influence of swimming layer and
sub-surface oceanographic variables on catch of albacore (Thunnus alalunga) in
Eastern Indian Ocean. Indonesian Fisheries Research Journal, Vol (22) no. 2.
69-76 pp.
Schau, E. M., Ellingsen, H., Endal,A., & Aanonsend, S. A. (2009). Energy consumption in
Norwegian fisheries. Journal of Cleaner Production. 17, 325- 334.
Sims, D. W., E. J. Southall, D. A. Merrett & J. Sanders. (2003). Effect of zooplankton
density and diel period on surface-swimming duration of basking sharks. J. Mar.
Biol.Ass. U.K (2003), 83, 643-646 pp
Sumaila U. R., The L., Watson R., Tyedmers P., & Pauly D. (2008). Fuel price increase,
subsidies, overcapacity, and resource sustainability. ICES Journal of Marine
Science, 65, 832-840.
Tickler, D. M., Letessier, T. B., Koldewey, H. J., Meeuwig, J. J.(2017). Drivers of
abundance and spatial distribution of reef-associated sharks in an isolated atoll reef
system. PLoS ONE 12(5): e0177374. https://doi.org/10.1371/journal. pone.0177374
Weltz, K., Kock, A. A., Winker, H., Attwood, C., Sikweyiya, M. (2013). The Influence of
Environmental Variables on the Presence of White Sharks, Carcharodon carcharias
at Two Popular Cape Town Bathing Beaches: A Generalized Additive Mixed
Model. PLoS ONE 8(7): e68554. doi:10.1371/journal.pone.00
Williams, A. J., Allain, V., Nicol, J. J., Evans, K. J.,Hoyle, S. D., Dupoux, C., Vaorey, E.,
& Dubosc, J. (2014). Vertical behavior and diet of albacore tuna (Thunnus
alalunga) vary with latitude in the South Pacific Ocean. Deep-Sea Res. II (2014),
http://dx.doi.org/10.1016/ j.dsr2.2014.03.010i.
BIOLOGI REPRODUKSI MADIDIHANG (Thunnus albacares
Bonnaterre, 1788) DI SAMUDRA HINDIA BAGIAN TIMUR
REPRODUCTIVE BIOLOGY OF YELLOWFIN TUNA
(Thunnus albacares Bonnaterre, 1788) IN EASTERN INDIAN OCEAN
Gussasta Levi Arnenda, Irwan Jatmiko dan Fathur Rochman
Loka Riset Perikanan Tuna – Benoa
Korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Madidihang (Thunnus albacares) adalah salah satu hasil tangkapan penting bagi
nelayan di Samudra Hindia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi
reproduksi madidihang yaitu: tingkat kematangan gonad, dugaan musim pemijahan dan
panjang pertama kali matang gonad (Lm). Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari
hingga November 2016 dengan dengan mengambil sampel gonad di beberapa tempat
pendaratan ikan yaitu: Padang, Palabuhanratu, Cilacap, Kedonganan, Benoa, Tanjung
Luar dan Kupang. Sebanyak 191 ekor madidihang dikumpulkan dengan sebaran panjang
cagak 54-162 cm dan rata-rata panjang cagak 131 cm. Tingkat kematangan gonad (TKG)
madidihang yang tertangkap didominasi oleh TKG IV sebesar 50%, diikuti oleh TKG I
(31%), TKG III (9%), TKG II (7%) dan TKG V (3%). Rata-rata Gonadosomatic index
(GSI) madidihang adalah 1,03 (0,11-7,81). Sebaran GSI tiap bulan menunjukkan bahwa
GSI tertinggi terjadi pada bulan November sebesar 1,32 sedangkan terendah terjadi pada
bulan Juni sebesar 0,74. Panjang pertama kali matang gonad terjadi pada ukuran 94,6 cm
(82,7-108,2). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi basis data untuk
mendukung pengelolaan perikanan madidihang secara lestari.
KATA KUNCI: Madidihang, tingkat kematangan gonad, GSI, panjang pertama
kali matang gonad.
ABSTRACT
Yellowfin tuna (Thunnus albacares) is one of the important catches for fishermen
in the Indian Ocean. This study aims to determine the aspects of reproductive biology
yellowfin tuna namely: the level of gonad maturity, spawning season and the length at
first maturity (Lm). The study was conducted from February to November 2016 by taking
samples of gonads at several fish landing sites: Padang, Palabuhanratu, Cilacap,
Kedonganan, Benoa, Tanjung Luar and Kupang. A total of 191 yellowfin tuna collected
with a fork length distribution of 54-162 cm and the average fork length of 131 cm. The
gonad maturity stage (TKG) was dominated by TKG IV by 50%, followed by TKG I
(31%), TKG III (9%), TKG II (7%) and TKG V (3%). The average Gonadosomatic index
(GSI) of yellowfin tuna is 1.03 (0.11 - 7.81). The monthly GSI distribution showed that the
highest GSI occurred in November with 1.32 while the lowest occurred in June with 0.74.
The length at first maturity occurred at 94.6 cm (82.7-108.2). The results from this study
are expected to be the data base to support sustainable management of yellowfin tuna
fishery.
KEYWORDS: Yellowfin Tuna, maturity stage, GSI, Eastern Indian Ocean.
KAJIAN BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN BELOSO (Saurida micropectoralis)
DI PERAIRAN LAMPUNG TIMUR
Nur’ainun Muchlis, Tri Ernawati
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta
ABSTRAK
Perairan Lampung Timur adalah salah satu daerah penyebaran ikan bloso (Saurida
micropectoralis) Ciri-ciri morfologi ikan beloso bentuk badan agak bulat memanjang, mempunyai
bentuk kepala seperti kepala kadal, dibelakang sirip punggung terdapat sirip lemah yang tanpa duri
dan berukuran kecil, mata berukuran kecil, sisik tebal dan kuat. Tujuan penelitian ini untuk melihat
data dan informasi tentang beberapa aspek biologi ikan beloso diantaranya sebaran frekuensi panjang,
hubungan panjang berat, Pendugaan ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc), rasio kelamin,
sebaran kematangan gonad dan analisis kebiasaan makan ikan beloso. Ukuran panjang ikan beloso
berkisara antara 11-43 cmFL dengan puncak modus pada jenis kelamin betina berada pada ukuran 21
cmFL, sedangkan pada jenis kelamin jantan puncak modus berada pada ukuran 22 cmFL. Nilai SL 50
ikan beloso lebih rendah dibandingkan nilai Lm, menandakan bahwa telah terjadi eksploitasi berlebih
terhadap sumber daya tersebut yang mengarah pada kelebihan tangkap rekrutmen (recruitment
overfishing). Pengamatan terhadap Tingkat Kematangan Gonad (TKG) diperlukan untuk mengetahui
musim pemijahan ikan disuatu perairan, pada jenis ikan beloso ditemukan dominan matang gonad
pada bulan Agustus, dimana pada bulan tersebut diperkirakan puncak musim pemijahan di perairan
Lampung Timur. Berdasarkan hasil analisa isi lambung (stomach content) ikan beloso dengan
menggunakan index of preponderans (IP), ditemukan 14 (empat belas) jenis isi lambung didominasi
oleh potongan-potongan ikan yaitu sebanyak 71,8 %, selanjutnya cumi-cumi 11,7 % dan jenis udang
sebanyak 7 %, sisanya terdiri dari beberapa jenis ikan demersal.
KATA KUNCI : ikan beloso, aspek biologi, perairan Lampung Timur
KINERJA SALINITAS OPTIMUM TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN
DAN GAMBARAN DARAH BENIH IKAN SEPAT SIAM Trichopodus pectoralis
Lies Setijaningsih∗)
, Imam Taufik, Triheru dan Adang Saputra
Balai Riset Perikanan Budidya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan
surel: [email protected]
ABSTRAK
Ikan sepat siam Trichopodus pectoralis merupakan ikan endemik, termasuk jenis
ikan yang sangat dimintai masyarakat Indonesia. Pemenuhan kebutuhan ikan sepat siam
masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam, sehingga populasi di alam mengalami
penurunan. Peningkatan produksi ikan sepat siam dari budidaya masih terkendala dengan
sintasan dan pertumbuhan lambat pada fase benih. Tujuan penelitian ini adalah
menentukan salinitas optimum terhadap performa sintasan, pertumbuhan, kerja osmotik
dan gambaran darah benih ikan sepat siam. Percobaan dirancang adalah rancangan acak
lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan masing-masing diulang 3 kali. Perlakuan
yang diujikan adalah, salinitas 0 ‰, salinitas 1‰, salinitas 3 ‰, dan 5‰. Ikan yang
digunakan berukuran 0,49±0,13 g dan panjang 2,96±0,42 cm, padat tebar masing-masing
25 ekor/akuarium (1 ekor/L). Selama 28 hari masa pemeliharaan, ikan sepat siam diberi
pakan berupa cacing sutra (Tubifex sp.) Hasil penelitian menunjukkan sintasan dan
pertumbuhan terbaik yang dipelihara pada salinitas 3 ‰. Pada salinitas 3‰ juga
mengambarkan gradien gambaran darah yang paling stabil, sehingga benih ikan sepat
terhindar dari respon stress. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi dasar untuk
pemeliharaan benih ikan sepat siam supaya petumbuhannya optimum.
KATA KINCI: salinitas, sintasan, pertumbuhan, gambaran darah, sepat siam
ABSTRACT : Optimum salinity performance on growth and hematological of snakeskin
gourami juvenile (trichopodus pectoralis) By: Lies Setijaningsih, Imam
Taufik, Triheru and Adang Saputra
Snakeskin gourami Trichopodus pectoralis is an endemic fish that was highly demand by
Indonesian society. The population stock declining was the main problem cause its
availability still rely from the nature catch. The increase of its production from culture is
still constrained by the slow rate of growth and survival rate in seed phase. The purpose
of this research is to determine the optimal survival rate performance on growth, osmotic
performance and blood description of snakeskin gourami Trichopodus pectoralis. A
completely Randomized Design (CRD) was used in this study with four different
treatments and each treatment was consisted of three replicates. Salinity test consist of : 0
g L-1, b. 1 g L-1, c. 3 g L-1, and 5 g L-1 salinity. The fish used were 0.49 ± 0.13 g and
length 2.96 ± 0.42 cm with stock density is 25 fish/aquarium (1 fish/L). During 28
maintanance days, fish test was feed by Tubifex sp. The results showed that the optimal
survival rate and growth at salinity 3 ‰. In salinity 3 ‰ also describes the most stable
blood level, that the fish could avoid stress response. Hopefully these findings results will
be the basis for optimum growth cultivation of Snakeskin gourami Trichopodus
pectoralis.
KEYWORDS: salinity, survival rate, growth, hematological, Trichopodus pectoralis
1
INFLUENCE OF SQUID LIVER MEAL AS THE MAJOR PROTEIN SOURCE IN
MATURATION DIET ON GROWTH AND GONADAL AMINO ACID CONTENT OF
RABBITFISH, Siganus guttatus
Asda Laining*, Ike Trismawanti, Usman and Muhammad Hafid Masruri
*Research Institute for Coastal Aquaculture (RICA)
Ministry of Marine Affairs and Fisheries
Jl. Makmur Dg. Sitakka No.129, Maros 90512
South Sulawesi, INDONESIA
Protein and other certain nutrients have been reported to play an important role in
reproductive performances of fish in particular protein from squid meal. A five months feeding
trial was conducted to evaluate two maturation diets containing either fishmeal (SLM0) or squid
liver meal (SLM1) as the major protein source for the GSI and bio-chemical content of oocite and
spermatocite of golden rabbitfish Siganus guttatus. The two tested diets were formulated to be iso-
nitrogenous (40%) and iso-lipidic (14%) and supplemented with several micronutrients specifically
for gonadal development including vitamin C and E as well as carotenoid mixture. Initial weight of
rabbitfish used were 352.6±45.0 g and stocked into four of 2x2x2.5 m3 net cages with 25 fish per
cage. The test diets were fed to the stocks twice a day in the morning at 0800 and in the afternoon
at 1600. Variables observed were growth, gonadosomatic index (GSI) and amino acid profiles of
gonads and fillet of both male and female broodstock. After five months feeding, the weight gains
(WG) of broodstock fed the two diets were nearly similar in which SLM0 had WG of 40.1±2.2%
and 42.8±2.0% for SLM1. The GSI of male fed SLM1 diet was relatively higher than that of fed
with SLM0 which was 7.5±0.2% and 8.1±0.3%, respectively. The GSI of female was 5.6±0.1%
much lower than GSI of female fed SLM1 which was 11.4±0.5%. Furthermore, total amino acid
(TAA) in gonad of male stock was positively influenced by dietary SLI indicated by its higher
TAA (62.4%) compared to TAA content of SLM0 group (46.1%). The TAA content in oocite of
female stock was slightly improved when fed SLM1 rather than SLM0 (49.3% vs 30.1%,
respectively). The dietary squid liver meal seemed not affect the TAA content in the fillet of
rabbitfish when fed at maturation stage demonstrated by the similarity of the fillet TAA content in
the two groups which was 55.6% for SLM0 and 54.1% for SLM1. Dietary SLM enhanced GSI of
both male and female broodstocks and profile of amino acid in the gonad of golden rabbitfish,
Siganus guttatus.
Key words: squid liver meal, maturation diet, gonadal amino acid content, rabbitfish
1
KINERJA INSTALASI PENGOLAH AIR LIMBAH TAMBAK SUPERINTENSIF
Rachman Syah, Mat Fahrur, Hidayat S. Suwoyo, dan Makmur
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan
Jl. Makmur Dg. Sitakka. No.129. Maros, Sulawesi Selatan
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pengolahan air buangan tambak superintensif (TSI) adalah usaha untuk mengurangi beban bahan
pencemar yang terkandung di dalam air buangan TSI sehingga aman dan tidak membahayakan saat
dibuang ke lingkungan. Untuk menghindari dampak yang merugikan dari air buangan TSI, maka
diperlukan Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
desain dan kinerja IPAL-TSI dalam memperbaiki kualitas air buangan TSI sebelum dibuang ke
badan air. IPAL terdiri dari kolam sedimentasi, dua kolam aerasi, dan satu kolam penampungan.
Terdapat dua buah kincir masing-masing di kolam aerasi dan satu kincir di kolam penampungan.
Ke dalam kolam penampungan ditebari ikan mujahir serta rumput laut Gracilaria sp yang
dibudidayakan dengan metode long-line, berfungsi sebagai biokoltrol. Sampel diambil di bagian
inlet IPAL, oulet kolam sedimentasi atau inlet kolam aerasi-1, outlet kolam aerasi-1 atau inlet
kolam aerasi-2, outlet kolam aerasi-2 atau inlet kolam penampungan, serta outlet kolam
penampungan, setiap dua minggu selama 105 hari pemeliharaan. Parameter yang diukur adalah
total padatan tersuspensi (TSS), Total Amonia Nitrogen (TAN), Nitrit, Nitrat, Phosphat, bahan
organik terlarut (BOT) dan biological oxygen demand (BOD-5). Spesifikasi teknis IPAL yang
diamati meliputi ukuran dan volume IPAL, volume dan waktu tinggal air buangan tambak, dan
efisiensi kinerja IPAL, serta rasio volume IPAL dan volume total air tambak. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa IPAL dapat mengurangi beban bahan pencemar dengan tingkat efisiensi
antara 53,1-99,4%, namun masih diperlukan peningkatan kapasitas dalam mengurangi konsentrasi
BOT. IPAL menghasilkan efisiensi yang tinggi terhadap TSS, TAN, nitrit, TN dan phosphat. Rasio
volume IPAL dan volume air tambak 30:70 dengan waktu tinggal minimal 3 hari, dapat dijadikan
acuan dalam pembangunan IPAL tambak superintensif.
KATA KUNCI: Tambak superintensif, udang vaname, air buangan tambak, Instalasi Pengolah Air
Limbah (IPAL)
ABSTRACT: THE PERFORMANCE OF WASTEWATER TREATMENT PLANT OF
SUPERINTENSIVE Litopenaeus vannamei SHRIMP AQUACULTURE: Rachman Syah*, Mat
Fahrur, Hidayat S. Suwoyo, and Makmur
Wastewater treatment plant (WTP) of super-intensive shrimp farm is aimed to reduce organic
matters loads contained in super-intensive shrimp farm effluent which is eventually safe and
harmless for receiving environments. To avoid devastating impacts of super-intensive shrimp farm
effluents, the WTP is crucial to build. This aims of this study are to evaluate the design and
perform of WTP in reconditioning water quality released from super-intensive shrimp farm prior to
release to water bodies. The WTP consists of a series of sedimentation pond, two aeration ponds
and one reservoir or equalitation pond. Two paddle wheels are installed in aeration pond and the
other one was in the equalitation pond. The Tilapia fish and seaweed, Gracilaria sp., were stocked
in equalitation pond where the seaweed was cultured in long-line method; these organisms were
aimed as biocontrol. Samples were collected fortnightly during 105 days of culturing duration,
which were from the WTP inlet, outlet of sedimentation pond or at inlet of the first aeration pond;
outlet of the first aeration pond or inlet of the second aeration pond, outlet of the second aeration
pond or inlet of equalitation pond and the outlet of equalitation pond. The measured variables were
total suspended solid (TSS), Total ammonia nitrogen (TAN), nitrite, nitrate, phosphate, total
organic matters (TOM) and 5 days biological oxygen demand (BOD5). The evaluated technical
2
performances of the plant were its size and volume; volume and retention time of effluent,
efficiency of WTP performance and volume ratios of the WTP and total volume of shrimp pond.
The results of the study indicated that the WTP was able to reduce concentrations of nutrients and
solids in effluent by 53.1-99.4% of efficiency; however, its capacity need to be increased due to
reducing concentrations of TOM. The was highly efficient in reducing concentrations of TSS,
TAN, nitrite, total N and phosphate. The volume ratios between the plant and pond waters were
30:70 with minimum resident time 3 days could be proposed for wastewater treatment pond for
super-intensive shrimp ponds.
Keywords: super-intensive pond, vannamei shrimp, shrimp pond effluent, wastewater treatment
plant.
KEYWORDS: superintensive pond, vanname shrimp, effluent pond, wastewater treatment plan
identifikasi musim produktif rumput laut Eucheuma striatum Di Perairan
Gorontalo Utara
Pustika Ratnawati *)
, Petrus Rani Pong-Masak
Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut
Jl. Pelabuhan Etalase Perikanan, Desa Tabulo Selatan, Kec. Mananggu, Kab. Boalemo
Email : [email protected]
ABSTRAK
Minimnya informasi ditingkat pembudidaya mengenai waktu tanam yang
produktif sesuai spesifikasi lokasi dan perubahan musim membuat produktifitas
lahan dikelola kurang optimal. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi terkait
dengan musim optimal dalam pemanfaatan lahan secara produktif sebagai bagian
dari manajemen budidaya untuk meningkatkan produksi rumput laut. Tujuan
penelitian ini adalah menentukan musim produktif rumput laut di wilayah perairan
Teluk Langge, Gorontalo Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Januari-
Desember 2015 di Desa Langge, Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo.
Unit percobaan disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 kali
ulangan pada 3 titik lokasi budidaya (perlakuan), dengan jarak 100 m (1), 500 m
(2), dan 1000 m (3) dari daratan. Peubah utama yang diamati adalah
pertumbuhan/produksi, sedangkan peubah pendukung adalah kualitas perairan dan
identifikasi respon performansi talus dan wadah pemeliharaan. Rumput laut
sebagai bahan percobaan adalah jenis Eucheuma striatum yang dibudidaya dengan
metode “longline” dengan bobot awal tanam 50 g/rumpun dan panjang tali ris 35
m. Pada setiap bentangan diberi penanda/label sebanyak 10 titik dan dilakukan
pengamatan setiap interval waktu 15 hari hingga satu siklus (45 hari). Hasil
pengamatan selama tujuh siklus budidaya menunjukkan bahwa jenis E. striatum
optimum pada bulan Mei hingga Desember. Perbedaan musim produktif dilihat
dari pertumbuhan dan performansi talus pada setiap lokasi uji, dimana
penempatan unit budidaya di sekitar hulu teluk memberikan pengaruh nyata
terhadap pertumbuhan dan produksi rumput laut. Musim tanam rumput laut dapat
memberikan informasi waktu yang tepat dan luas areal tanam untuk melakukan
kegiatan budidaya.
Kata kunci : Eucheuma striatum, Gorontalo Utara, Musim produktif,
Teluk Langge.
ABSTRACT
Identification of productive season for Seaweed Eucheuma striatum in Langge
Bay North Gorontalo. The lack of information at the level of farmers regarding
productive planting time according to specifications location and seasonal
changes make less than optimal productivity of the land is managed. Therefore, it
is necessary to study the optimization of productive land use as part of the
management of aquaculture to increase production of seaweed. The purpose of
this study was to identification season in the productive seaweed cultivation area
in the waters of the Gulf Langge, North Gorontalo,. The study was conducted in
January-December 2015 in the village of Langge, District of North Gorontalo,
Gorontalo. The units are arranged experiment with completely randomized design
(CRD) with 3 repetitions at 3 point location (treatment). The treatment is the
distance between the observation point from the mainland (upper bay), namely (1)
= 100 m, (2) = 500 m, and (3) = 1000 m. The main variables measured were
growth / production, while supporting variable is the quality of the waters and the
response performance of the thallus and container maintenance. Seaweed as
experimental material is Eucheuma striatum were cultivated by the method of
"longline" at the beginning of the growing weight of 50 g / clump and ris rope
length of 35 m. At any given stretch of marker / label as much as 10 points and
observed every interval of 15 days to 1 cycle (45 days). The observation for 7
cycles of cultivation shows that the type of E. striatum optimum from May until
December. Differences season of growth and performance of the talus on each
test site, where in downstream growth response showed more productive. System
seaweed growing season can provide timing information the right to carry out
farming activities, so farmers know the potential time of planting.
Key words : Eucheuma striatum, Langge Bay, productive season, North
Gorontalo
PENDAHULUAN
Sumber karaginan berasal dari kelompok alga merah (Rhodophyta) yang
banyak dikenal dengan Kappaphycus alvarezii, Eucheuma denticulatum, dan
Eucheuma striatum (Utomo, 2011). Hasil karaginofit dapat diolah menjadi
berbagai produk industri seperti ATC (Alkali Treated Cottonii) dalam bentuk
chips atau tepung ((Utomo, 2011)
Sampai saat ini sebagian besar pembudidaya menggunakan jenis
Kappaphycus alvarezii karena dianggap lebih mudah dan menguntungkan.
Permasalahan yang mulai muncul di tingkat pembudidaya adalah terjadinya
penurunan produksi rumput laut yang disebabkan karena faktor penyakit dan
cuaca ekstrim.
Petumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pemilihan lokasi, musim tanam, dan varietas sehingga pengembangan rumput laut
berdasarkan pemilihan jenis yang sesuai dengan lokasi dan musim tanam
(Parenrengi et al., 2011)
Provinsi Gorontalo memiliki sentral budidaya rumput laut yang berada di
kawasan Kabupaten Gorontalo Utara, salah satunya di perairan Teluk Langge,
dilokasi ini sudah banyak terdapat kelompok-kelompok pembudidaya yang secara
aktif melakukan kegiatan budidaya sepanjang tahun. Minimnya informasi di
tingkat pembudidaya mengenai waktu tanam yang optimal sesuai spesifikasi
lokasi dan perubahan musim membuat produktifitas lahan yang mereka kelola
kurang optimal.
Terbatasnya data dan informasi tentang faktor lingkungan yang optimal
berdasarkan perubahan musim menyebabkan belum teridentifikasinya musim
produktif dengan baik. Pola munculnya penyakit ice-ice pada waktu-waktu
tertentu belum bisa dipetakan untuk menjadi acuan musim tanam yang selektif.
Gangguan penyakit dan kondisi alam yang menyulitkan untuk bekerja
sehingga seringkali memaksa kegiatan budidaya dihentikan oleh pembudidaya.
Faktor perubahan iklim seperti kondisi cuaca, pemanasan global, dan fenomena
anomali iklim global (El-nino dan La-nina) membuat budidaya rumput laut rentan
terhadap kegagalan.
Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi melalui suatu ujicoba untuk
memprediksi musim-musim tanam optimum serta faktor fisika-kimia lingkungan
perairan yang berpengaruh (Nurdjana, 2006), sehingga dapat meningkatkan
produksi rumput laut dengan pemanfaatan lahan secara produktif. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui musim produktif rumput laut Eucheuma
striatum di wilayah perairan Teluk Langge, Gorontalo Utara.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di perairan Teluk Langge, Kabupaten Gorontalo
Utara, Provinsi Gorontalo dari bulan Januari-Desember 2015. Unit percobaan
ditempatkan di lokasi pengembangan budidaya rumput laut yang sudah dikelola
masyarakat pembudidaya (Gambar 1).
Lokasi 1 : 00 48’ 32” LU
1220 50’ 48” BT
Lokasi 2 : 00 48’ 57” LU
1220 50’ 52” BT
Lokasi 3 : 00 49’ 33” LU
1220 50’ 33” BT
Gambar 1. Lokasi penelitian pola musim tanam rumput laut di Teluk Langge,
perairan Gorontalo Utara, Provonsi Gorontalo
Figure 1. Site location for planting periods of seaweed in Langge Bay,
North Gorontalo
Desain Penelitian
Penelitian dilakukan selama 45 hari pemeliharaan yang diamati secara
berkesinambungan selama tujuh siklus tanam. Lokasi penelitian berada di Teluk
Teluk Langge
Langge yang terbagi menjadi tiga wilayah pengamatan sesuai dengan kegiatan
budidaya oleh masyarakat, dengan jarak:100 m (titik 1), 500 m (titik 2) dan 1000
m (titik 3) dari daratan utama (Gambar 1).
Unit percobaan disusun dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
sebanyak 3 kali ulangan pada setiap jenis rumput laut. Rumput laut yang dijadikan
percobaan adalah jenis Eucheuma striatum. Bibit rumput laut diperoleh dari
pembibitan pembudidaya di sekitar lokasi penelitian, bagian bibit yang digunakan
adalah ujung dan masih muda (Kahar et al., 1993) yang selanjutnya dipotong
dengan bobot awal tanam 50 g per rumpun, kemudian diikat dengan jarak 15 cm
antar rumpun pada konstruksi longline pada tali bentangan. Tali bentangan diikat
pada tali ris utama (tali induk) dengan membentuk barisan pada jarak 1 m antar
tali bentangan (Gambar 2).
Gambar 2. Metode longline untuk kegiatan budidaya rumput laut
Figure 2. Longline Methods for seaweed cultivation
Pengukuran pertumbuhan rumput laut dilakukan dengan cara menimbang
bobot rumput laut per rumpun yang telah diberi label. Data produksi pada setiap
lokasi dan unit budidaya diukur dengan menimbang bobot basah rumput laut pada
setiap tali bentangan pada saat panen.
Pengumpulan Data Primer dan Sekunder
Identifikasi berdasarkan dari pengumpulan data primer seperti kualitas
lingkungan perairan diukur pada tiga lokasi penelitian, secara in-situ (suhu (°C),
salinitas (ppt), dan kecepatan arus (m/dt)) dan ex-situ (nitrat (mg/l) dan fosfat
(mg/l)). Pengumpulkan data primer tentang pola musim tanam rumput laut
Eucheuma striatum di Perairan Teluk Langge dilakukan dengan mengamati data
pertumbuhan dan morfologi rumput laut yang meliputi: pertumbuhan thallus,
warna thalus, suspensi/partikel, pertumbuhan rimbun atau kerdil, efifit, bulu tikus,
biofouling/tritip, penyakit ice-ice di tiga lokasi pengamatan.
Tabel 1. Form identifikasi parameter budidaya
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penempelan epifit
(lumut)
Tali bentangan dibersihkan dan
digoyangkan
Penyakit ice-icePilihlah bibit yang tahan terhadap
penyakit dan istirahat tanam
Penempelan
biofouling (teritip)
Rumput laut dan tali bentangan
dibersihkan dan dipindahkan
ketempat yang berarus
Penempelan
suspensi (kotoran)
Tali bentangan dibersihkan dan
digoyangkan
Gelombang/arus
kencang
Melakukan rotasi tanam di wilayah
yang terlindung agar terhindar dari
gelombang tinggi
Musim hujan
Melakukan rotasi tanam ke tempat
yang jauh dari muara/daratan serta
menurunkan bentangan hingga
kedalaman 50 cm
Musim kemarau
Melakukan rotasi tanam ke tempat
yang dekat dari muara/daratan
serta menurunkan bentangan
hingga kedalaman 50 cm
Musim produktif Optimalkan bentangan
Parameter
Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan
Pemecahan MasalahBulan
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mencari data dukung
seperti data curah hujan (BMKG) dan wawancara dengan petani lokal. Data-data
yang diperoleh dianalisis secara statistik dan dibahas secara deskriptif untuk
menentukan kalender musim tanam rumput laut yang produktif pada lokasi
pengamatan.
Analisa Data
Pengamatan pertumbuhan rumput laut dan kualitas perairan dilakukan
setiap interval waktu 15 hari hingga satu siklus (45 hari), dan dilakukan secara
berulang hingga tujuh siklus pemeliharaan. Data selanjutnya dianalisis dengan
ANNOVA untuk mengetahui perbedaan uji perlakuan. Laju Pertumbuhan Harian
dihitung dengan rumus (Effendi, (2003)):
( ln Wt – ln Wo)
LPH = x 100 %
t
LPH = Laju pertumbuhan harian (%/hari)
Wt = berat rata-rata pada waktu ke-t (gram)
Wo = berat rata-rata awal (gram)
t = waktu (hari)
HASIL DAN BAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Wilayah perairan Teluk Langge berada di Kecamatan Anggrek yang
termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo.
Secara geografis Teluk Langge merupakan lokasi perairan yang berada di bagian
utara dengan posisi yang menjorok ke daratan utama serta di kelilingi oleh
perbukitan. Wilayah perairan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk
aktivitas budidaya ikan kerapu di KJA, budidaya rumput laut, dan penangkapan
ikan dengan menggunakan bagan. Kawasan budidaya rumput laut yang dikelola
masyarakat berada di sepanjang perairan, dari hulu teluk hingga hilir teluk.
Perairan Teluk Langge berbatasan dengan Laut Sulawesi, sehingga kondisi
perairan secara umum dipengaruhi oleh cuaca di wilayah utara. Beberapa faktor
iklim dan lingkungan perairan seperti suhu, intensitas cahaya, dan salinitas dapat
mempengaruhi pertumbuhan rumput laut (Kartono et al., 2008). Parameter iklim
berupa data curah hujan menjadi informasi penting dalam pembuatan kalender
musim tanam rumput laut, mengingat setiap lokasi budidaya memiliki
karakteristik perairan yang berbeda-beda, sehingga pemetaan potensi budidaya
juga berbeda.
Pengambilan data parameter pembatas seperti suhu dan salinitas serta
informasi klimatologi berupa data curah hujan (stasiun BMKG Anggrek) selama
satu tahun memperlihatkan terjadinya fluktuasi hingga akhir pengamatan (Gambar
3). Informasi curah hujan sepanjang tahun 2015 (Gambar 3A) memperlihatkan
curah hujan tertinggi terjadi di bulan Januari sebesar 536 mm hingga bulan
Februari yang mencapai 479 mm.
(A)
(B)
(C)
Gambar 3. Informasi curah hujan (A;stasiun BMKG Anggrek), salinitas (B) dan
suhu perairan (C) di 3 lokasi pengamatan Teluk Langge, Gorontalo
Utara 2015
Figure 3. Rainfall information (A; Anggrek Port Station), salinity (B), and
temperature (C) at three locations in Langge Bay area, North
Gorontalo 2015
Intensitas curah hujan mulai menurun dibulan Maret dan terjadi
peningkatan kembali pada bulan April sebesar 261 mm. Penurunan terjadi pada
bulan Mei yang hanya mencapai 12 mm dan meningkat kembali di bulan Juni
dengan intensitas mencapai 262 mm. Memasuki musim kemarau dibulan Juli yang
ditandai dengan tidak adanya hujan hingga bulan September, dan mulai terjadi
peningkatan dengan intensitas yang masih rendah (<100 mm) di bulan Oktober
hingga Desember.
Intensitas curah hujan sangat berpengaruh terhadap fluktuasi salinitas
perairan. Terjadinya penurunan salinitas (31 ppt) di tiga lokasi pengamatan ketika
curah hujan tinggi pada bulan Januari-Februari (Gambar 3B). Pada bulan Maret
terjadi peningkatan salinitas (33 ppt) yang disebabkan karena rendahnya curah
hujan dan kurangnya limpahan air tawar dari daratan. Peningkatan curah hujan
pada bulan April membuat salinitas menurun dengan nilai terendah 27 ppt (titik 1)
hingga 32 ppt (titik 3), dan meningkat kembali saat memasuki musim kemarau
pada bulan Mei dengan kisaran 33-35 ppt di tiga lokasi pengamatan hingga bulan
Desember.
Salinitas pada lokasi 1 (hulu teluk) cenderung lebih rendah pada musim
hujan jika dibandingkan dengan lokasi 2 dan lokasi 3 (hilir teluk), yang
disebabkan karena besarnya limpahan air tawar dari daratan yang menuju hulu
teluk, sehingga menurunkan salinitas perairan. Menurut Parenrengi et al., (2011)
salinitas yang sesuai untuk budidaya rumput laut berada pada kisaran 28-35 ppt
dan optimum pada 32-35 ppt.
Pengamatan suhu perairan di tiga lokasi menunjukkan di bulan Februari
lokasi 1 memiliki suhu yang paling rendah (280C) jika dibandingkan dengan
lokasi 2 (300C) dan lokasi 3 (31
0C), dan semakin meningkat hingga bulan April
dengan kisaran 31-320C (titik 1). Pada bulan Mei-Oktober mulai terjadi penurunan
di tiga lokasi pengamatan dengan kisaran suhu mencapai 28-300C, dan memasuki
bulan November-Desember terjadi penigkatan yang cukup signifikan hingga
mencapai 31-330C di semua lokasi pengamatan.
Suhu perairan di hulu teluk (titik 1) cenderung lebih rendah, dan semakin
meningkat ke arah hilir teluk (titik 3), hal ini disebabkan karena posisi perairan
yang berada dekat daratan cenderung lebih teduh karena banyak dilewati oleh
angin yang turun dari perbukitan, dimana karakteristik dari lokasi Desa Langge
adalah daerah perbukitan. Selain itu, peningkatan suhu perairan juga disebabkan
karena dampak musim kemarau yang panjang di wilayah tersebut, perubahan ini
diduga disebabkan adanya fenomena anomali iklim global yang disebut El-nino.
Fenomena El-nino merupakan peningkatan suhu muka laut di sekitar Pasifik
Tengah dan Timur sepanjang ekuator (Stewart, 2008), di tahun 2015 diprediksi
terjadi pada tahun 2015 hingga awal tahun 2016.
.
Identifikasi Musim Produktif Rumput Laut
Pemilihan komoditas rumput laut juga disesuaikan dengan jenis/varian
yang sudah banyak dikembangkan seperti Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma
striatum. Jenis E. striatum memiliki morfologi yang cukup unik dengan bentuk
talus yang besar dan kokoh (Anggadiredja et al., 2011), dan merupakan kelompok
alga merah peghasil karaginan. Variasi musim dan karakteristik lokasi
pengembangan (kesesuaian lahan) merupakan faktor penting yang perlu
diperhatikan untuk mendukung keberhasilan disetiap kawasan budidaya rumput
laut (Radiarta et al., 2013).
Pengamatan pertumbuhan rumput laut pada tiga lokasi diperiode awal
tidak menunjukkan pertumbuhan positif, hal ini disebabkan karena terjadinya
banjir akibat curah hujan tinggi sehingga banyak material daratan yang terbawa ke
perairan dan menyebabkan rumpun banyak yang jatuh dan hanyut (Gambar 4).
Tingginya curah hujan pada bulan Januari-Februari (Gambar 3A) menyebabkan
turunnya salinitas hingga 29-30 ppt, yang berakibat banyak rumput laut yang mati
(musim non-produktif), akibat terganggunya proses osmoregulasi yang membuat
talus menjadi rapuh dan rontok (Radiarta et al.,2013).
Pada siklus 2 (Maret-April) pertumbuhan tertinggi hanya mencapai 1%
(lokasi 3), sedangkan lokasi 1 dan lokasi 2 memiliki LPH <1% (musim non-
produktif). Meningkatnya suhu perairan (31-320C) dan berkurangnya curah hujan
menjadi indikasi rumput laut tidak tumbuh secara optimal. Pada bulan Maret
ditemukan beberapa talus terserang ice-ice, sehingga memperlambat laju
pertumbuhan. Peningkatan suhu dapat memicu serangan ice-ice yang dapat
menyebabkan terjadinya kegagalan panen (Pong-Masak et al., 2009).
Gambar 4. Rata-rata laju pertumbuhan harian rumput laut E. striatum selama tujuh
periode budidaya di Teluk Langge, Gorontalo Utara (Huruf yang
berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05))
Figure 4. Average daily growth rate of E. striatum from seven cultivation periods
in Langge Bay, North Gorontalo. (Different letters indicate the
significant different of the result (P<0.05))
Memasuki periode April - Juni mulai terjadi peningkatan pertumbuhan
dengan LPH 2.6% pada lokasi 1 dan LPH 2.5% pada lokasi 2 (musim produktif).
Hasil uji lanjut memperlihatkan pertumbuhan pada siklus 3 berbeda nyata
(P<0.05) antara lokasi 1 dengan lokasi 3 (1.5%). Periode tanam pada bulan Juni-
Juli juga menunjukan peningkatan pertumbuhan (musim produktif) di tiga lokasi
pengamatan, dengan LPH tertinggi pada lokasi 1 (4.1%) diikuti dengan lokasi 2
dengan LPH 3.8% dan yang terendah sebesar 3% di lokasi 3 (P<0.05). Menurut
Anggadiredja et al., (2006) bahwa pertumbuhan rumput laut dikatakan baik bila
laju pertumbuhan hariannya (LPH) tidak kurang dari 3 %.
Pertumbuhan rumput laut E. striatum mengalami puncaknya pada periode
Juli hingga September dengan LPH tertinggi mancapai 4.7% di lokasi 1 (musim
produktif), sedangkan untuk lokasi 2 dan lokasi 3 mengalami penurunan
pertumbuhan dengan LPH akhir 3% (P<0.05). Meningkatnya pertumbuhan
dipengaruhi oleh kondisi perairan, dimana terjadi peningkatan salinitas akibat
berkurangnya curah hujan dan menurunnya suhu perairan.
Rendahnya suhu perairan disebabkan oleh intensitas cahaya dan sirkulasi
udara yang rendah di perairan. Kisaran suhu perairan selama musim produktif
yaitu 28-300C. Erlania et al., (2014) melaporkan musim produktif untuk budidaya
Kappaphycus striatum di Teluk Gerupuk terjadi pada bulan Juli-Oktober dengan
suhu optimum pada kisaran 26-290C, biasanya rumput laut jenis Eucheuma dapat
tumbuh dengan kisaran suhu antara 26 -30
0C (Anggadiredja et al., (2011)).
Pada periode September-November terjadi penurunan yang cukup
signifikan (P<0.05) di setiap lokasi pengamatan, dimana rumput laut hanya
tumbuh pada lokasi 1 (LPH 1,8%), hingga di periode akhir November-Desember
pertumbuhan semakin menurun di lokasi 1 (LPH 1,5 %) dan untuk lokasi 2 dan
lokasi 3 banyak rumput laut yang mati. Pada bulan Oktober-November terjadi ice-
ice di semua lokasi pengamatan. Munculnya ice-ice diduga karena perubahan
lingkungan perairan akibat peningkatan salinitas (35 ppt) dan suhu perairan. Pada
musim non-produktif suhu perairan lebih tinggi dengan kisaran 300C -32
0C jika
dibandingkan dengan musim produktif (28-300C).
Perubahan faktor lingkungan membuat rumput laut stress yang
ditunjukkan dengan munculnya lendir dari talus dan memacu pertumbuhan bakteri
(Hutardo & Agbayani, 2000; Mintardjo, 1990). Gejala yang diperlihatkan adalah
pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna pada talus yang kemudian
menjadi putih dan busuk (Santoso & Nugraha, 2008) sehingga terjadi penurunan
bobot secara keseluruhan.
Laju pertumbuhan harian berkorelasi terhadap tingkat produksi budidaya
rumput laut (Gambar 5A). Pertumbuhan maksimal pada musim produktif diikuti
oleh tingginya hasil produksi/panen yang dihasilkan. Selama tiga periode
budidaya dari bulan April-September, produksi optimum terdapat pada bulan
Juni-September yang mencapai 5 ton/unit (lokasi 1), sedangkan lokasi 2 produksi
optimum mencapai 3,2 ton/unit dan yang terendah pada lokasi 3 dengan produksi
2.5 ton/unit. Pada musim non-produktif capaian produksinya lebih rendah (<1
ton/unit) dan bahkan tidak menghasilkan/gagal panen untuk lokasi 2 dan lokasi 3.
(A) (B)
Gambar 5. Produksi rumput laut segar (A) dan produksi kering rumput laut (B) di
tiga lokasi pengamatan di perairan Teluk Langge, Gorontalo Utara
Figure 5. Fresh production (A) and dried production of seaweed (B) at three
locations in Langge Bay area, North Gorontalo
Potensi produksi ini digunakan sebagai capaian untuk memprediksi hasil
panen kering rumput laut dalam setiap periode tanam. Produksi rumput laut kering
tertinggi pada bulan Juli-September di lokasi 1 dengan capaian 500 kg/unit
(Gambar 5B). Pada lokasi 2 produksi rumput laut kering tertinggi pada periode
Juni-Juli yang mencapai 320 kg/unit, sedangkan produksi kering tertinggi di
lokasi 3 pada periode Juni-September dengan capaian 250 kg/unit.
Rumput laut yang dipelihara pada lokasi 1 memperlihatkan hasil yang
lebih baik jika dibandingkan dengan lokasi lainnya. Pengukuran kadar nitrat dan
fosfat perairan pada musim produktif (April-September) menunjukkan pada lokasi
1 kandungan nitrat lebih tinggi (>0,3 ppm) jika dibandingkan lokasi lainnya (<0,2
ppm). Kandungan fosfat pada musim produktif juga menunjukkan nilai tertinggi
pada lokasi 1 (1,8 ppm) pada bulan Juni (Gambar 6). Kedua unsur ini merupakan
salah satu indikasi tingkat kesuburan perairan.
Gambar 6. Kandungan nitrat dan fosfat pada musim produktif di tiga lokasi
pengamatan Perairan Teluk Langge, Gorontalo Utara.
Figure 6. Nitrate and phosphate at three locations when productive season in
Langge Bay area, North Gorontalo
Secara umum kisaran nitrat terendah untuk pertumbuhan alga yaitu 0,3 –
0,9 mg/l dan untuk pertumbuhan optimum pada kisaran 0,91 – 3,5 mg/l (Effendi,
2000). Batas terendah konsentrasi fosfat untuk pertumbuhan rumput laut berkisar
antara 0,018 – 0,090 ppm apabila nitrogen dalam bentuk nitrat (Ambas, 2006).
Tingginya kandungan fosfat bisa disebabkan karena adanya tambahan sumber
alami fosfor diperairan yang bersumber dari dekomposisi bahan organik dan
sumber antropogenik dari limbah dan domestik (Effendi, 2003), mengingat lokasi
1 dekat dengan daratan sehingga diduga banyak buangan organik dari daratan
yang mengalir ke laut,
Pemetaan pola musim tanam harus berdasarkan kondisi lingkungan dari
setiap titik pengamatan. Berdasarkan pengamatan selama satu tahun pada tiga
lokasi menunjukkan musim produktif di lokasi 1 terjadi pada bulan Maret-
Desember, penyakit ice-ice terjadi pada bulan Mei, Oktober, dan November ketika
suhu perairan meningkat (musim kemarau). Khusus di lokasi 1 banyak terdapat
penempelan epifit dan suspensi pada bulan Januari-Maret dan Agustus-Desember,
hal ini sebabkan karena posisi yang lebih dekat dengan daratan, sehingga banyak
menerima limbah organik.
Potensi produktif pada lokasi 2 dimulai pada bulan Maret dan Mei hingga
November dengan kemunculan ice-ice pada bulan April, Okober hingga
Desember. Pada lokasi 3 musim produktif berada pada bulan Januari hingga
September, dengan potensi serangan ice-ice terjadi pada bulan Mei, Oktober
hingga Desember (Tabel 1).
Karakteristik perairan secara umum memperlihatkan lokasi 1 cenderung
memiliki arus yang tenang dengan kedalaman perairan dangkal (<2 meter), dan
menunjukkan morfologi rumput laut dengan warna talus yang lebih gelap dan
besar serta cenderung banyak terdapat endapan suspensi/epifit pada talus jika
dibandingkan dengan lokasi 2 dan lokasi 3. Penempatan unit pada lokasi 2 dan 3
dengan kedalaman rata-rata 7 meter, pada kondisi angin maka lokasi ini cukup
bergelombang, karena termasuk posisi berada tengah teluk yang jauh dari daratan.
Tabel 1. Musim tanam rumput laut E. striatum di Teluk Langge, Gorontalo Utara
Table 1. Planting period of seaweed E. striatum in Langge Bay, North Gorontalo
Lokasi Parameter Bulan (Months) Pemecahan Masalah
Location Parameters 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Problem solution
Titik 1
Penempelan
epifit/suspensi +++ +++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++
Tali bentangan dibersihkan
dan digoyangkan
Penyakit ice-
ice ++ + ++
Pilihlah bibit tahan
penyakit, dan rotasi tanam
Gelombang/ar
us kencang + +++ ++ + + ++ ++ ++ ++ ++ ++
Melakukan rotasi tanam di
wilayah yang terlindung
Musim hujan
+++ +++ +++ ++ + + + ++
Melakukan rotasi tanam ke
tempat yang jauh dari
muara/daratan
Musim
kemarau + ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++ +
Melakukan rotasi tanam
yang dekat muara/daratan
Musim
produktif + + + ++ +++ +++ ++ + ++ ++ Optimalkan bentangan
Titik 2
Penempelan
epifit/suspensi +++ ++ + + ++ + + +
Tali bentangan dibersihkan
dan digoyangkan
Penyakit ice-
ice + ++ ++ ++ +++ +++
Pilihlah bibit tahan
penyakit, dan rotasi tanam
Gelombang/ar
us kencang + + + + ++ +++ +++ +++ +++ ++ ++
Melakukan rotasi tanam di
wilayah terlindung
Musim hujan
+++ +++ +++ ++ + + + ++
Melakukan rotasi tanam ke
tempat yang jauh dari
muara/daratan
Musim
kemarau + ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++ +
Melakukan rotasi tanam
yang dekat muara/daratan
Musim
produktif + + + ++ ++ +++ ++ + + + Optimalkan bentangan
Titik 3
Penempelan
epifit/suspensi + + + + + + + +
Tali bentangan dibersihkan
dan digoyangkan
Penyakit ice-
ice ++ ++ +++ +++
Pilihlah bibit tahan
penyakit, dan rotasi tanam
Gelombang/ar
us kencang + + + + ++ +++ +++ +++ +++ ++ ++
Melakukan rotasi tanam di
wilayah terlindung
Musim hujan
+++ +++ +++ ++ + + + ++
Melakukan rotasi tanam ke
tempat yang jauh dari
muara/daratan
Musim
kemarau + ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++ +
Melakukan rotasi tanam ke
dekat muara/daratan
Musim
produktif + ++ + + ++ +++ ++ ++ ++ Optimalkan bentangan
Keterangan : rendah (+), sedang (++), tinggi (+++)
Identifikasi musim produktif ini dapat dikembangkan menjadi kalender
tanam rumput laut berdasarkan lokasi. Secara umum musim produktif rumput laut
E. striatum terjadi pada bulan Mei hingga Desember. Data informasi yang terdapat
dalam kalender musim tanam bersifat dinamis dan dapat diperbaharui sesuai
dengan perkembangan teknologi budidaya dan perkembangan perubahan cuaca.
Pengelompokan parameter seperti ini merupakan langkah awal terkait informasi
waktu yang tepat melakukan kegiatan budidaya, sehingga petani mengatahui
potensi, waktu tanam, dan luas areal berpotensi.
KESIMPULAN
Musim produktif rumput laut E. striatum dapat dilakukan dengan
penanaman awal Mei hingga Desember. Penempatan unit budidaya di sekitar hulu
teluk memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi rumput
laut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh tim pola musim tanam
LP2BRL, DKP Gorontalo Utara, Universitas Negeri Gorontalo, dan kelompok
pembudidaya di Teluk Langge, Gorontalo Utara yang telah membantu dalam
pengumpulan informasi dan kelengkapan data di lapangan. Penelitian ini
sepenuhnya dibiayai oleh DIPA LP2BRL T.A 2015.
DAFTAR ACUAN
Anggadiredja, JT., A. Zatnika., H. Purwoto., S. Istini. (2011). Rumput Laut:
pembudidayaan pengolahan, dan pemasaran komoditas perikanan potensial.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Ambas, I. (2006). Budidaya Rumput Laut. Pelatihan Budidaya Laut Coremap
Tahap II Kabupaten Selayar. Yayasan Mattirotasi, Makasar.
Effendi, H. (2000). Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan perairan (p.258). Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut
Pertanian Bogor.
Effendi, I. (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan (p.249). Yogyakarta : Kanisius.
Erlania., & I. N. Radiarta. (2014). Perbedaan musim tanam terhadap performa
budidaya empat varian rumput laut Eucheumatoids di Teluk Gerupuk, Nusa
Tenggara Barat. Jurnal Riset Akuakultur, 9 (2), 331-342.
Hurtado. A.C., Agbayani, R.F. (2000). The farming of seaweed Kappaphycus.
Extention manual 32 (p.25). Philippines : SEAFDEC.
Hurtado, A., Critchley, A. & Trespoey, A. (2008). Growth and carrageenan
quality of Kappahycus atriatum var. sacol grown at different stocking densities,
duration of culture and depth. Journal Appl Phycol. 20 (2), 551-555.
Kartono, I., Sutimin. M., & Insani, D. (2008). Analisis Model Dinamik
Pertumbuhan Biomassa Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Forum Jurnal
Matematika. Semarang. Indonesia. Jurusan Matematika. Universitas Diponegoro.
Mintardjo. K. (1990). Status of production and utilization of seaweed in
Indonesia. Regional Workshop on the production and utilization of seaweed.
Philippines.
Mattjik, A. A. dan M. Sumertajaya. (2000). Perancangan percobaan dengan
aplikasi SAS dan Minitab. Bogor : IPB Press.
Muslimin., Pong-Masak, P.R., & Adhiyudanto, N.B. (2014). Pengamatan
Pertumbuhan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dengan Metode Longline di
Perairan Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Forum Inovasi Teknologi
Akuakultur (p.145-153). Jakarta, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Nurdjana, M.L. (2006). Pengembangan budi daya rumput laut di Indoesia. Dalam
Diseminasi Teknologi dan Temu Bisnis Rumput Laut (p.1-35). Jakarta, Indonesia:
Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Orbita, M.L.S & Arnaiz, J.A. (2014). Seasonal changes and carrageenan yield of
Kappaphycus alvarezii and Kappaphycus striatum (Rhodophyta, Gigartinales)
cultivated in Kolambungan, Lanao del Norte. Advances in Agriculture &
Botanics-International Journal of the Bioflux Society. 6 (2), 134-144
Parenrengi, A., Rachmansyah, & Suryati, E. (2010). Budidaya Rumput Laut
Penghasil Karaginan (karaginofit) (p.54). Balai Riset Perikanan Budidaya Air
Payau, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pong-Masak, P.R., Tjaronge, M., Suryati, E., & Rachmansyah. (2006). Musim
tanam rumput laut yang produktif di perairan Polewali Kabupaten Polman,
Sulawesi Barat (p.18). Maros : Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.
Pong-Masak, P.R., Tjaronge, M. (2010). Musim Tanam Rumput Laut yang
produktif di perairan Polewali, Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Maros.
Indonesia : Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Radiarta, I N., Erlania & Rusman. (2013). Pengaruh iklim terhadap musim tanam
rumput laut Kappaphucus alvarezii di Teluk Gerupuk Kabupaten Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Riset Akuakultur, 8(3): 453-456.
Santoso, L., dan Nugraha. Y.T. (2008). Pengendalian penyakit ice-ice untuk
meningkatkan produksi rumput laut Indonesia. Jurnal Saintek Perikanan 3 (2):
37-43.
Utomo, B. S. Bandol (2011). Prospek pengembangan teknologi pengolahan
rumput laut di Indonesia. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (p. 1143-1152).
Jakarta, Indonesia : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
1
Sistem rotasi budidaya rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii di perairan Teluk Langge, Gorontalo
Utara
Rotation system for seaweed culture of Kappaphycus alvarezii
in Langge Bay, North Gorontalo.
Petrus Rani Pong-Masak dan Pustika Ratnawati
Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut
Jl. Pelabuhan Etalase Perikanan, Desa Tabulo Selatan, Kec. Mananggu, Kab. Boalemo
Email: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Penentuan musim produktif rumput laut di setiap kawasan budidaya sangat penting sebagai acuan dan
informasi yang tepat bagi pembudidaya, mengingat produktifitas lahan sangat tergantung terhadap
karakteristik lokasi perairan dan dinamika perubahan musim setiap tahun. Tujuan penelitian adalah
menentukan sistem rotasi dalam budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii di perairan Teluk Langge,
Kabupaten Gorontalo Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Desember 2015. dengan pengambilan
data primer dan data sekunder. Data pertumbuhan rumput laut dianalisis Ragam, sedangkan data dukung
dianalisis dan dibahas dengan statistika deskriptif. Rumput laut sebagai bahan percobaan adalah K. alvarezii
yang diperoleh dari pembudidaya lokal, dan dipelihara selama 45 hari/siklus dengan metode long line.
Penelitian dilakukan pada lokasi berbeda jarak dari daratan, yakni di bagian hulu (Lokasi 1:100 m), tengah
(Lokasi 2: 500 m), dan hilir teluk (Lokasi 3: 1000 m). Hasil penelitian menunjukkan bahwa awal tahun
budidaya (musim penghujan) LPH tertinggi mencapai 3% dengan produksi 2.5 ton/unit. Pada musim ini
budidaya dapat dilakukan dibagian tengah hingga hilir teluk sampai peralihan ke musim kemarau (April-
Mei). Saat puncak musim kemarau (Juni-September) bentangan dapat dirotasi ke bagian hulu dan tengah
teluk, laju pertumbuhan pada musim produktif mencapai 4.8% dengan potensi produksi 4.5 ton/unit.
Peralihan musim hujan (Oktober-Desember) bentangan dirotasi kembali di bagian hulu teluk untuk
mengurangi kematian, laju pertumbuhan rata-rata hanya 1.8% dengan produksi 1.5 ton/unit. Penerapan
sistem rotasi rumput laut dapat meningkatkan produktifitas lahan sehingga kegiatan budidaya dapat berjalan
sepanjang tahun.
Kata kunci : Kappaphycus alvarezii, musim tanam, rotasi, Teluk Langge
ABSTRACT
Determination of productive season in seaweed cultivation area could provide timing information and right
location for farmers, because water productivity based on the characteristics of water location and change
of seasons in every years. The purpose of this study was to determine the rotation system for seaweed
culture of K. alvarezii in the waters of the Langge Bay, North Gorontalo,. The study was conducted in
January-December 2015 with collecting primatry and secondary data, the data is analyze and discussed in
descriptive statistcs. Seaweed as experimental material is Kappahycus alvaerzii from the local farmers were
cultivated by the method of "longline" until 45 days. Research conduct on different site, each : upstream
(Site 1:100 m), middle stream (Site 2: 500 m), and down stream (Site 3: 1000 m). The observation of
cultivation shows that in the early years (rainy season) the highest DGR is 3% with production 2,5 ton/unit,
cultivation can do at the downstream and middle bay until transitional dry season (April-May). During the
peak of dry season, the ropes can rotated into the upper bay (June-September), with highest DGR is 4,8 %
with total production 4,5 ton/unit. Entering the transitional for rainy season the ropes can rotated to the
upper bay to reduce the mortality, average DGR only 1,8% with production 1.5 ton/unit. The application of
rotation can increase the productivity of the waterland so the cultivation can be carried out throughout the
year.
Key words : Kappaphycus alvarezii, planting season, rotation, Langge Bay
2
PENGARUH KEPADATAN TERHADAP SINTASAN, PERTUMBUHAN DAN
GAMBARAN DARAH BENIH IKAN BETUTU Oxyeleotris marmorata
(Effect of Stocking Density on Survival Rate, Growth, and Hematological Parameters
Sand Goby Oxyeleotris marmorata Juvenile)
Tri Heru Prihadi∗)
, Adang Saputra, Gleni Hasan Huwoyon, Brata Pantjara
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan
Jalan Sempur, No 1. Bogor 14165 ∗)
surel: [email protected]
ABSTRAK
Ikan betutu Oxyeleotris marmorata merupakan ikan lokal potensial menjadi komoditas
budidaya. Performa pertumbuhan dan sintasan dapat ditingkatkan melalui optimalisasi
padat penebaran. Tujuan penelitan adalah menentukan kepadatan selama pemeliharaan
untuk menghasilkan sintasan dan pertumbuhan tinggi, serta respon fisiologis terbaik.
Perlakuan yang diberikan berupa kepadatan 50 ekor/kolam, 100 ekor/kolam dan 150
ekor/kolam. Ukuran benih yang digunakan 4,24±0,58 cm dengan bobot 2,74±0,45 g.
Selama 60 hari masa pemeliharaan, pakan yang diberikan adalah cacing sutra Tubifex sp.
secara sekenyangnya. Kolam yang digunakan berukuran 2 x 1 x 1 m (volume air 1 m3).
Hasil penelitian menunjukkan sintasan 99,0 ± 0,58%, pertumbuhan spesifik panjang
individu/bobot total benih ikan betutu (1,50±0,37% dan 1,95±0,32%) serta perubah
respon fisiologis berupa gambaran darah paling stabil dicapai pada kepadatan 50
ekor/kolam. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dasar untuk melakukan
pendederan ikan betutu secara terkontrol.
KATA KUNCI: kepadatan; sintasan; perumbuhan; ikan betutu, Oxyleotris marmorata
ABSTRACT : Effect of Stocking Density on Survival Rate, Growth, and
Hematological Parameters Sand Goby Oxyeleotris marmorata
Juvenile
Sand goby Oxyeleotris marmorata is a locally-potential fish species for aquaculture.
Improvement on growth and survival rate could be applied by optimization of stocking
density. The research objective was to determine the optimal stocking density during
maintenance to produce high growth and survival rate, as well as the best physiological
response. The stocking density treatments were 50, 100, and 150 individual / pond. The
experimental fish was 4.24 ± 0.58 cm of length, with a weight of 2.74 ± 0.45 g. During 60
days of rearing period, fish were fed by Tubifex sp. (ad satiation). Ponds dimension used
in this experiment was 2 x 1 x 1 m (water volume: 1 m3). The results showed survival rate
of 99.0 ± 0.58%, specific growth on length of 1.50 ± 0.37%, specific growth on weight of
1.95 ± 0.32%, and the most stable physiological response related to its hematological
parameters was found at stocking density of 50 individual / pond. The result of this study
could be applied as basic information for sand goby rearing on controlled environment.
KEYWORDS: stocking density; survival rate; growth; sand goby, Oxyeleotris
marmorata
DINAMIKA NITROGEN DAN PHOSPHORUS PADA BUDIDAYA IKAN GABUS
Channa striata DENGAN APLIKASI PROBIOTIK DAN GULMA AIR Eichhornia
crassipes
(Dynamics of Nitrogen and Phosphorus on Fish Cultivation Snakehead Channa Striata
With Probiotic Application And Aquatic Weed Eichhornia crassipes)
Adang Saputra∗)
, Lies Setijaningsih, Yosmaniar, Tri Heru Prihadi
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan
Jalan Sempur No. 1 Bogor 14163
surel: [email protected]
ABESTRAK
Permasalahan yang dihadapi para budidaya ikan dengan sistem intensif adalah
meningkatnya limbah yang terakumulasi pada air dan sedimen. Limbah budidaya ikan
pada umumnya berupa padatan dan nutrien terlarut pada air terutama nitrogen dan fosfor.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji dinamikan total nitrogen dan total fosfor pada
budidaya ikan gabus secara intensif yang diberi gulma air dan probiotik. Penelitian
dirancang menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan pemberian kombinasi
gulma air dengan probiotik, pemberian gulma air, dan pemberian probiotik. Benih ikan
gabus yang digunakan berukuran panjang 14,74±0,01 cm dan bobot 25,53±0,09 g dengan
padat tebar 175 ekor/kolam (50 ekor/m3). Selama 90 hari masa pemeliharaan, ikan gabus
diberi pakan berupa pelet dengan kandungan protein sekitar 30%. Jumlah pemberian
pakan 5% dari total biomasa dengan frekuensi pemberian 4 kali dalam sehari (pagi, siang,
sore dan malam). Hasil penelitian menunjukkan dinamika nitrogen dan fosfor pada
budidaya ikan gabus terdistribusi pada gulma air, sedimen, air dan ikan. Gulma air
menyerap nitrogen dan fosfor paling tinggi dibandingkan air, ikan dan sedimen. Laju
pertumbuhan spesifik bobot (4,37±0,01%) dan biomassa (1,88±0,01g) ikan gabus
tertinggi dicapai pada pemberian kombinasi antara gulma air dan probiotik. Hasil ini
dapat dijadikan landasan untuk pengelolaan limbah nitrogen dan fosfor pada budiaya ikan
secara intensif dan terkontrol.
KATA KUNCI: nitrogen; fosfor; ikan gabus; tanaman air; probiotik
ABSTRACT
The problem for aquaculture with intensive system is the increase of waste that
accumulates in water and sediment. Aquaculture wastes are generally solids and
nutrients dissolved in water, especially nitrogen and phosphorus. The purpose of this
study is to dynamics of nitrogen and total phosphorus in intensive aquaculture with
aquatic weeds and probiotics. The study was designed using a completely randomized
design with treatment of combination of aquatic weed with probiotic, aquatic weed, and
probiotic. The seeds snakehead length 14.74±0.01 cm and weight 25.53±0.09 g, with 175
individual/pond (50 individual/m3) stoking density. During 90 days of rearing, fed with
pellet with protein content of about 30%. The amount of feeding 5% of the total biomass
with the frequency of giving 4 times a day (morning, afternoon, afternoon and evening).
The results showed the dynamics of nitrogen and phosphorus in the cultivation snakehead
distributed to aquatic weed, sediment, water and fish. Aquatic weed absorb the most
nitrogen and phosphorus compared to water, fish and sediment. Specific growth rate
(4.37±0.01%) and biomass (1.88 ± 0.01g) of the in the cultivation snakehead were
achieved in combination of aquatic weed and probiotic. These results can be used as a
basis for the management of nitrogen and phosphorus wastes in intensive and controlled
fish farming.
KEYWORDS: nitrogen; phosphor; snakehead; aquatic weed; probiotic
Kombinasi Cacing Sutra Tubifex sp Hidup dan Segar untuk Pertumbuhan dan
Kelangsungan Hidup Larva Ikan Baung (Hemibagrus nemurus).
Mas Tri Djoko Sunarno1)
, Bela Sumartina2)
Dodi Hermawan2)
Achmad Noerkhaerin
Putra2)
Mas Tri Djoko Sunarno1)
, Bela Sumartina2)
, Dodi Hermawan2)
Mas Bayu Syamsunarno2)
1)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan, 2)
Jurusan Perikanan Faperta UNTIRTA
Abstrak
Ikan asli ekonomis penting - baung (Hemibagrus nemurus) sudah berhasil dipijahkan
secara terkontrol. Larvanya mengandalkan pakan hidup Artemia sp. Tujuan dari
percobaan adalah mengevaluasi penggunaan kombinasi pakan cacing sutera (Tubifex sp)
hidup dan segar pada pemeliharaan larva ikan baung. Perlakuannya adalah kombinasi
cacing sutera hidup dan segar masing-masing P1 (0%:100%), P2 (25%:75%), P3 (50
%:50%), P4 (75%:25%.) dan P5 (100%:0%). Larva ikan baung umur 3 hari
(0,0079±0,019 g; 8,96±0,48 mm) ditebar secara merata ke dalam 15 buah wadah plastik
ukuran 40x25x17 cm dengan kepadatan 160 ekor per wadah dan diberi pakan uji
sebanyak 10% dari biomas per hari selama 21 hari masa pemeliharaan. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa penggunaan cacing sutera (Tubifex sp.) hidup dan beku berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan baung (P<0.05).
Kombinasi 75 % cacing sutera hidup dan 25% cacing sutera segar memberikan laju
pertumbuhan bobot (18,43±0,38%) dan panjang total (6,24±0,12%) serta tingkat
kelangsungan hidup tertinggi (88,96±3,08%).
Kata kunci: Larva, baung, Hemibagrus nemurus, Tubifex sp
Abstract
Economical important native species - catfish (Hemibagrus nemurus) has successful
spawned. It’s larval fed on expensive natural food of Artemia sp. There for, this study in
propose of evaluating silk worms (Tubifex sp.) for suitable feeding larvae of catfish. The
treatments were various combinations of silk worms in term of live and frozen at a
respective rate of P1 (0:100), P2 (25%:75%), P3 (50:50), P4 (75:25) and P5 (100:0).
The larvae of 3 years old (0.0079 ± 0.0019 g in weight and 8.96 ± 0.48 mm in length)
were randomly stocked in 15 plastic tanks of 40x25x17 cm in dimension size at 160 per
tank and fed on tested diet at 10% of biomass per day for 21 days of culture period. The
results showed that the use of silk worm in term of live and frozen affected significantly
on growth and survival rate (P<0.05). The combination of 75 % live form and 25%
frozen gave highly growth rate in term of weight (18.43±0.38%) and total length
(6.24±0.12%) and survival rate of the larvae of catfish (88.96±3.08%) as well.
Keyword : Larvae, catfish, Hemibagrus nemurus, Tubifex sp
1
PERFORMA REPRODUKSI IKAN TAMBAKAN (Helostoma temminckii) PADA
BERBAGAI PROTEIN PAKAN
Reza Samsudin1)
, Brata Pantjara1)
, Mas Tri Djoko Sunarno1)
, Regina Audia Ningtias2)
,
Dodi Hermawan2)
, dan Mas Bayu Syamsunarno2)
1)
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan, 2)
Jurusan Perikanan Faperta UNTIRTA
Abstrak
Perkembangan gonad dan kualitas benih ikan dipengaruhi salah satunya oleh kandungan
protein pakan. Oleh karena itu, suatu percobaan telah dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan kandungan protein pakan yang dapat meningkatkan performa reproduksi
ikan tambakang (Helostoma temminckii). Perlakuannya adalah berbagai kandungan
protein pakan isokalori, yaitu: 32, 37 dan 42%. Pakan komersil digunakan sebagai
pembanding. Ulangannya adalah individu. Induk betina tambakang (67.34±24.31 g)
ditebar secara acaka ke dalam 4 bak fiber dengan kepadatan 8 ekor per wadah dan diberi
pakan uji secara ad libitum pada pagi, siang dan sore selama 104 hari masa pemeliharaan.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa kandungan protein 42% secara nyata menghasilkan
performa reproduksi ikan tambakang (P<0.05).
Kata kunci: Protein pakan, tambakang, Helostoma temminckii, performa reproduksi
Abstract
Gonad development and seed quality of fish is affected such of protein diet. It is therefore,
an experiment in propose of determining protein diet for improving reproduction
performance of kissing gourami (Helostoma temminckii). The treatments were various
protein diet of 32, 37 and 42% and commercial diet, respectively. Replication used
individual fish. The female fish (67.34±24.31 g) was randomly reared in 4 fiber tanks at
density of 8 per tank and fed in test diet at ad libitum at morning, noon and evening for
104 days of culture period. The result showed that diet protein of 42% significantly
produced the highest reproduction performance (P<0.05).
Key-words: Protein diet, kissing gourami, Helostoma temminckii, reproduction
performance