xii DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL BAHASA INDONESIA ...
Transcript of xii DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL BAHASA INDONESIA ...
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL BAHASA INDONESIA .................................................... i HALAMAN SAMPUL BAHASA INGGRIS ........................................................ ii HALAMAN JUDUL ............................................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iv HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. v HALAMAN MOTO ............................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vii KATA PENGANTAR ........................................................................................... viii INTISARI ................................................................................................................. x ABSTRACT .............................................................................................................. xi DAFTAR ISI .......................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 10 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 11 1.4 Tinjauan Pustaka................................................................................... 12 1.5 Landasan Teori .................................................................................... 14 1.6 Metode Penelitian ................................................................................ 23 1.7 Sistematika Laporan Penelitian ........................................................... 25
BAB II HEGEMONI TOKOH-TOKOH BELANDA ATAS PRIBUMI
DALAM NOVEL RAHASIA MEEDE ................................................ 26 2.1 Konteks Sosial Pada Masa Terbitnya Rahasia Meede ........................... 28 2.2 Wacana Kontinuitas Penjajahan ............................................................. 31 2.3 Superioritas Belanda .............................................................................. 34 2.3.1 Inlander-phobia ................................................................................ 38 2.3.2 Pribumi Sebagai Kutukan ................................................................ 39 2.3.3 Barat Sebagai Puncak Peradaban ..................................................... 40
2.3.4 Pelabelan Pribumi Yang Malas ........................................................ 43 2.3.5 Diskriminasi Rasial .......................................................................... 55
2.4 Sikap Inferior Pribumi ............................................................................ 58
xiii
2.5 Sikap Pro-Barat Rian .............................................................................. 61 2.6 Bentuk Hegemoni Sebagai Kritik Sosial ................................................ 65
BAB III RESISTENSI PRIBUMI TERHADAP BARAT PADA MASA PASCAKOLONIAL DALAM NOVEL RAHASIA MEEDE. ........................... 66 3.1 Kesadaran Akan Ketertindasan .............................................................. 68
3.2 Pembalikkan Stereotipe .......................................................................... 75 3.3 Pandangan Suhadi terhadap VOC .......................................................... 79 3.4 Larangan Untuk Meniru Penjajah .......................................................... 80 3.5 Kolonialisme Sebagai Akar Penderitaan ................................................ 83 3.6 Paradoks Resistensi ................................................................................ 84
BAB IV Kesimpulan ............................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 93 LAMPIRAN ........................................................................................................... 95
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Menjelang tahun 1914, Eropa menguasai total 85 persen wilayah bumi
sebagai daerah koloni, protektorat, tanah jajahan, dominion, dan persemakmuran.
Dalam sejarah, tidak ada koloni sebesar itu, tidak ada yang demikian terkuasai,
dan tidak ada yang menjadi begitu lemah di hadapan metropolis Barat (Said,
1995: 38). Itulah sebabnya kemudian Ashcroft, dkk (2003: xxi) menyebutkan
bahwa lebih dari tiga perempat umat manusia yang hidup di dunia saat ini, atau
pada abad ke-21, telah mengalami pemberangusan karakter akibat kolonialisme
yang menimpa mereka.
Kolonialisme, secara ringkas dipahami sebagai penguasaan oleh suatu
negara atas daerah atau bangsa lain. Dalam pengertian yang lebih spesifik,
kolonialisme diartikan sebagai penguasaan bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris,
Perancis, Spanyol, Portugis, Belanda, dan lain-lain, atas bangsa-bangsa di luar
wilayah Eropa yang dimulai pada abad ke-15 hingga berakhir pada awal abad ke-
20. Bangsa-bangsa di luar wilayah Eropa yang mengalami masa di bawah
kekuasaan bangsa Eropa itulah yang disebut Ashcroft, dkk (2003: xxi) mengalami
dekarakterisasi. Indonesia merupakan salah satu negara yang pernah mengalami
masa di bawah kekuasaan salah satu bangsa Eropa, yaitu Belanda.
2
Ekspedisi pertama bangsa Belanda yang berlayar menuju kepulauan
Nusantara berangkat pada tahun 1595 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman
dengan armada empat kapal dan awaknya berjumlah 249 serta dipersenjatai 64
pucuk meriam (Ricklefs, 2005: 70). Pada bulan Juni 1596, rombongan tersebut
tiba di Banten, yang merupakan pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat pada saat
itu. Satu tahun kemudian, sisa-sisa ekspedisi kembali ke negeri Belanda dengan
membawa cukup banyak rempah-rempah di atas kapal mereka untuk
menunjukkan bahwa mereka mendapat keuntungan. Keberhasilan de Houtman
memancing perusahaan-perusahaan ekspedisi lain di Belanda untuk turut serta
memperoleh bagian rempah-rempah Indonesia.
Selanjutnya, terjadi persaingan di antara perusahaan atau perseroan itu
hingga akhirnya pada bulan Maret 1602, perseroan-perseroan yang terlibat
persaingan sepakat untuk bergabung dan membentuk kongsi dagang bernama
Perserikatan Maskapai Hindia-Timur, atau lebih dikenal sebagai VOC, Vereenig-
de Oost-Indische Compagnie (Ricklefs, 2005: 71). Sekitar tahun 1630, Belanda
melalui VOC telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar
militer untuk mendapatkan monopoli perdagangan dan perniagaan laut di
Indonesia. Mereka menguasai Ambon sebagai pusat kepulauan penghasil rempah-
rempah, dan mendirikan markas besar di Batavia. Dengan demikan, VOC tidak
lain merupakan tonggak berdirinya kolonialisme dan imperialisme Belanda di
Indonesia yang kemudian berkembang menjadi penjajahan dan menguasai
sebagian besar wilayah di kepulauan Indonesia selama lebih dari tiga abad.
3
Termasuk dalam penguasaan itu adalah peralihan kekuasaan dari VOC kepada
pemerintah kolonial Hindia Belanda menjelang abad 19.
Kolonisasi tersebut tidak berlangsung tanpa perlawanan dari penduduk di
wilayah yang menjadi koloni. Perlawanan terhadap kolonisasi berujung pada
dekolonisasi. Sutrisno, dkk (2004: 178), mengartikan dekolonisasi sebagai proses
ketika si terjajah mulai mengusir keluar si penjajah dan kemudian si terjajah
mengorganisasikan hasrat kebebasan mereka menjadi gerakan kemerdekaan
nasional. Dengan perkataan lain, dekolonisasi adalah pelepasan daerah-daerah
yang sebelumnya menjadi daerah koloni atau daerah jajahan bangsa-bangsa
Eropa. Daerah-daerah yang melepaskan diri tersebut selanjutnya menjadi daerah
yang berdiri sendiri atau otonom. Istilah dekolonisasi juga dapat diartikan sebagai
awal mula kemerdekaan secara politik bagi daerah-daerah jajahan.
Akhir Perang Dunia II menjadi penanda dimulainya proses dekolonisasi
yang terjadi di banyak daerah jajahan bangsa Eropa. Di Indonesia, dekolonisasi
terjadi pada tahun 1945. Meski sempat dikuasai Jepang selama kurang lebih tiga
tahun (1942--1945), pada tahun 1945, lebih tepatnya pada tanggal 17 Agustus
1945, Indonesia yang diwakili Sukarno dan Mohammad Hatta pada akhirnya
memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan pernyataan kemerdekaan tersebut,
Indonesia secara politik terbebas dari praktik kolonialisme dan secara praktis
penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, telah berakhir.
Akan tetapi, meskipun Indonesia dinilai sudah terbebas dari praktik
kolonialisme, dampak ataupun efek dari kolonialisme—terutama yang
dipraktikkan Belanda karena dari segi waktu jauh lebih lama dibanding Jepang—
4
tidak hilang begitu saja setelah Indonesia merdeka. Efek dari kolonialisme itu
masih dapat diamati hingga pada masa pasca-kemerdekaan. Relasi yang terbentuk
antara pihak penjajah dan pihak terjajah selama masa kolonialisme pun tidak
berubah secara signifikan meski kolonialisme dinyatakan telah berakhir.
Sebelumnya, pada masa pra-kemerdekaan atau masa kolonialisme, relasi antara
bangsa Belanda sebagai penjajah dan bangsa bumiputra sebagai bangsa terjajah
berlangsung tidak setara karena dalam stratifikasi sosial kolonial bumiputra
berada pada posisi inferior di hadapan bangsa Belanda yang superior. Relasi
semacam itu yang terus berlangsung hingga pada masa pasca-kemerdekaan, oleh
Ashcroft, dkk, (2003: xxii) disebut sebagai kontinuitas penjajahan, yang di
dalamnya meliputi penjajahan budaya.
Said (2010: 7), menyebutkan bahwa relasi antara Barat dan Timur adalah
relasi kekuasaan, dominasi, dan hegemoni yang kompleks. Barat yang
dimaksudkan oleh Said adalah istilah untuk menyebut bangsa Eropa selaku
penjajah, sedangkan Timur adalah bangsa yang dijajah bangsa Eropa. Akan tetapi,
pada perkembangannya, dimensi geografis Barat tidak hanya mengacu pada
bangsa-bangsa yang berasal dari wilayah Eropa saja, melainkan juga Amerika
Serikat. Mahbubani (2011: 119) mengatakan, secara teritorial, kumpulan negara-
negara di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada), Eropa (27 negara
anggota Uni Eropa), Australia, dan Selandia Baru, dengan penuh kesadaran
mendefinisikan diri mereka sebagai anggota dari komunitas masyarakat Barat.
Belanda sebagai salah satu anggota Uni Eropa pun turut menyatakan diri sebagai
bagian dari Barat.
5
Berkaitan hal tersebut, Faruk (2007: 364) berpendapat bahwa dalam batas
tertentu penjajahan Belanda di Indonesia memperlihatkan kekuatan pengaruh
yang sama dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa lainnya di seluruh dunia.
Penjajahan itu tidak hanya merupakan dominasi politik dari bangsa-bangsa
penjajah terhadap bangsa-bangsa terjajah, melainkan juga suatu hegemoni yang
bersifat kultural. Oleh sebab itu, penjajahan Belanda atas Indonesia, jika
dipandang dalam perspektif yang lebih luas, merupakan penjajahan Barat atas
Timur: Belanda sebagai representasi Barat, dan Indonesia sebagai representasi
Timur.
Dampak ataupun efek dari relasi antara Barat dan Timur yang terbentuk
pada masa kolonialisme dan terus berlangsung hingga pada masyarakat pasca-
kemerdekaan dapat diamati di berbagai bidang kehidupan seperti politik, sosial,
ekonomi, budaya, sastra, dan lain-lain. Akan tetapi, jejak-jejak kolonialisme itu
secara umum seringkali tidak kelihatan dalam kerangka perseptual masyarakat
kontemporer yang cenderung berupaya melupakan trauma penjajahan masa lalu.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ashcroft, dkk, (2003: xxi) berpendapat bahwa
karya sastra merupakan media alternatif paling efektif yang mampu
mengekspresikan kehidupan sehari-hari masyarakat terjajah. Dalam tulisanlah,
sebagaimana juga dalam karya lukis, patung, musik, dan tari, kondisi suatu
masyarakat diekspresikan dengan baik. Karya-karya sastra yang terlahir dari
pengalaman kolonial itu, oleh Ashcroft, dkk (2003: xxiii) disebut sebagai
kesusastraan poskolonial.
6
Kesusastraan poskolonial memilik dua karakter utama (Ashcroft. dkk, 2003:
xxiii). Pertama, dalam bentuk paling mutakhirnya, karya sastra itu terlahir dari
pengalaman kolonisasi. Kedua, pernyataan-pernyataannya mengungkapkan
ketegangan-ketegangan berkaitan dengan hadirnya kekuatan imperial, dan
sekaligus menekankan perbedaannya dengan asumsi-asumsi yang dibangun oleh
pusat imperial. Relasi yang terjalin antara sastra dan kajian kultural serta
kolonialisme Eropa ditunjukkan secara tegas oleh Spivak (dalam Morton, 2008:
261). Spivak (dalam Morton, 2008: 34) memfokuskan diri pada naskah-naskah
yang mampu menentang atau mempersulit narasi otoritas kolonial yang dominan
dalam sastra dan budaya Eropa dengan cara menuliskan kembali narasi-narasi
tersebut dari sudut pandang sejarah dan budaya yang berbeda. Selain itu, Spivak
juga menekankan analisisnya pada sudut pandang kaum subaltern yang tertindas
oleh kolonialisme, ketidakadilan gender, kebijakan pembangunan internasional,
dan lain sebagainya.
Senada dengan Spivak, Said (1995: 12) juga menaruh perhatian khusus pada
karya sastra berupa novel dalam kajian mengenai imperialisme Barat atas Timur
karena menurutnya novel memiliki peranan penting dalam pembentukan sikap,
acuan, dan pengalaman imperial. Said (1995: 13) beranggapan bahwa novel
merupakan satu-satunya objek estetika yang sangat menarik untuk dipelajari. Said
mempunyai dua alasan kenapa ia memilih novel sebagai bahan dalam kajiannya.
Pertama, ia menganggap novel merupakan karya seni dan sekaligus ilmu
pengetahuan yang patut dihargai dan dikagumi karena dengan membaca novel
akan mendapatkan kesenangan serta manfaat. Kedua, mengaitkan karya-karya itu
7
bukan hanya dengan kesenangan dan manfaat melainkan juga dengan proses
imperial di mana mereka secara terbuka dan dengan jelas-jelas merupakan
bagiannya; bukan mengutuk atau mengabaikan peran serta mereka di dalam apa
yang dapat dikatakan sebagai realitas yang tidak dapat diragukan dalam
masyarakat mereka.
Selain itu, Ratna (2008: 108) juga memberikan sedikitnya lima alasan
menjadikan karya sastra sebagai objek yang representatif untuk dikaji melalui
studi poskolonial. Pertama, sebagai gejala budaya, sastra menampilkan sistem
komunikasi yang kompleks. Komunikasi ini menjadi mediator antara masa
lampau dengan masa depan. Kedua, karya sastra menampilkan berbagai
problematika kehidupan, emosionalitas, fiksi dan fakta, sehingga membuat karya
sastra menjadi kehidupan tersendiri. Ketiga, karya sastra tidak terikat ruang dan
waktu, kontemporaritas adalah manifestasinya yang sangat signifikan. Keempat,
karya sastra adalah bahasa, sedangkan bahasa merupakan alat utama dalam
mentransformasikan ideologi. Kelima, dalam karya sastra, segala persoalan
cenderung dimunculkan secara implisit, simbolis, terselubung, sehingga tujuan-
tujuan yang sesungguhnya tidak tampak, dan di sinilah letak salah satu peran dari
studi poskolonial, yaitu untuk membongkar ideologi yang tersembunyi dari suatu
karya sastra.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini menggunakan objek berupa
novel yang diasumsikan cukup merepresentasikan kondisi masyarakat sekaligus
relasi antara Barat dan Timur pada masa sesudah berakhirnya kolonialisme,
khususnya yang terjadi Indonesia. Novel yang dipilih sebagai objek penelitian ini
8
berjudul Rahasia Meede karya Eddri Sumitro atau yang lebih dikenal dengan
nama pena ES Ito. Novel Rahasia Meede adalah novel kedua dari ES Ito.
Sebelumnya, ES Ito menulis sebuah novel berjudul Negara Kelima, yang bercerita
tentang mitos bahwa kepulauan nusantara sesungguhnya adalah negeri Atlantis
yang termuat dalam cerita seorang filosof dari Yunani kuno, Plato. Negara
Kelima juga bercerita tentang suatu kelompok separatis radikal, bernama
Kelompok Patriotik Radikal (Keparad), yang berupaya membubarkan negara
Indonesia dan membentuk negara baru. Melalui cita-cita kelompok radikal itulah
ES Ito menyuarakan beberapa keburukan dari pemerintah. Novel ini tampak
menjadi media yang digunakan ES Ito untuk mengkritisi penguasa. Koran Tempo,
dalam endorsment-nya, menyebut bahwa novel Negara Kelima adalah novel
provokatif yang asyik.
Hampir sama dengan novel pertamanya, pada novel kedua berjudul Rahasia
Meede, ES Ito kembali bercerita tentang mitos tetapi didukung dengan beberapa
fakta sejarah. Bahkan, dapat dikatakan pula novel ini merupakan novel sejarah.
Kesamaan lainnya antara Rahasia Meede dan Negara Kelima adalah adanya
kelompok yang mengkritisi pemerintahan yang tengah berkuasa. Rahasia Meede
bercerita tentang perburuan harta karun peninggalan VOC yang diduga masih
tersimpan di bumi Indonesia dan sempat digunakan sebagai alat diplomasi oleh
delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949.
Karena berkaitan dengan VOC, maka pencarian harta karun tersebut pun secara
praktis berarti menelusuri kembali sejarah imperialisme di Indonesia. Perburuan
harta itu melibatkan beberapa kelompok yang tidak hanya berasal dari dalam
9
negeri, tetapi juga dari luar negeri, yakni dari Belanda. Dengan berbagai kedok,
seperti penelitian ilmiah, menjaga stabilitas negara, atau memperkaya diri sendiri,
terjadi interaksi di antara kelompok-kelompok yang terlibat persaingan tersebut.
Dari interaksi tersebut, khususnya antara tokoh-tokoh dari Belanda dan tokoh-
tokoh berkewarganegaraan Indonesia, wacana-wacana mengenai hubungan antara
penjajah dan terjajah beserta dampak yang ditimbulkannya kembali muncul.
Selain itu, hal tersebut juga memunculkan pertanyaan mengenai apa maksud
pengarang menghadirkan tokoh-tokoh asal Belanda untuk mencari harta di
Indonesia pada masa yang lebih terkini. Dapat diasumsikan bahwa melalui novel
ini pengarang tengah menawarkan suatu cara pandang baru dalam memandang
hubungan antara Belanda dan Indonesia yang dahulu berarti hubungan antara
penjajah dan terjajah tetapi pada masa yang lebih kekinian. Lebih jauh lagi, bukan
sekadar hubungan antara Belanda dan Indonesia, tetapi antara Barat dan Timur,
seperti yang dikatakan Faruk (2007: 364) bahwa dalam batas tertentu penjajahan
Belanda di Indonesia memperlihatkan kekuatan pengaruh yang sama dengan
penjajahan bangsa-bangsa Eropa lainnya di seluruh dunia.
Dari uraian yang telah dikemukakan, novel Rahasia Meede layak untuk
dikaji melalui studi poskolonial karena novel tersebut menyatakan ketegangan-
ketegangan yang terjadi antara pihak Barat yang direpresentasikan oleh tokoh-
tokoh berkewarganegaraan Belanda dan Timur yang direpresentasikan oleh tokoh-
tokoh bumiputra atau berkewarganegaraan Indonesia. Novel Rahasia Meede
berlatar waktu masa kini atau pada masa novel tersebut terbit, yakni tahun 2007,
tetapi banyak menyinggung sejarah bangsa Indonesia terkait dengan pengalaman
10
imperial, utamanya mengenai sejarah VOC. Oleh sebab itu, novel ini menarik
untuk dijadikan bahan kajian guna mengetahui jejak-jejak kolonialisme dan sejauh
mana efek-efek kolonialisme tampak dalam gambaran kondisi kehidupan
masyarakat Indonesia pada masa pasca-kolonial dalam perspektif pengarangnya
sebagai salah satu bagian dari masyarakat Indonesia. Seperti yang disitir
sebelumnya, bahwa dampak kolonialisme yang mungkin masih berlangsung pada
masa pascakolonial adalah wacana keunggulan Barat atas Timur yang selanjutnya
membuat Barat mendapatkan kekuasaan yang bersifat hegemonik. Bentuk-bentuk
kuasa secara hegemonik inilah yang akan menjadi salah satu titik tolak penelitian
ini. Pada sisi lain, dekolonisasi telah secara praktis meruntuhkan kekuasaan politik
kolonial, sehingga perlawanan seperti yang ditunjukkan pada masa kolonial
dengan tujuan utama mengusir penjajah secara fisik sudah tidak lagi relevan pada
masa pascakolonial. Bentuk-bentuk resistensi yang muncul pada masa pada masa
pascakolonial ini pula yang akan menjadi fokus pembacaan terhadap novel
Rahasia Meede. Efek-efek dari kolonialisme pada masa pasca-kolonial yang
diperlihatkan dalam novel Rahasia Meede itulah yang akan dijadikan tujuan
utama dalam penelitian ini, yaitu hegemoni dan resistensi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dijawab dalam penelitian ini dibagi menjadi dua butir sebagai berikut.
11
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk hegemoni Barat yang direpresentasikan
tokoh Belanda terhadap Timur yang direpresentasikan tokoh Indonesia
yang ditampilkan dalam novel Rahasia Meede?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk resistensi yang ditunjukkan Timur
sebagai reaksi atas hegemoni Barat yang ditampilkan dalam novel
Rahasia Meede?
Dua rumusan masalah ini akan menggiring penelitian untuk
mengungkapkan apa intensi pengarang menunjukkan bentuk-bentuk hegemoni
dan resistensi tersebut dalam konteks pascakolonial.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan praktis. Tujuan
teoretis dari penelitian ini mencakup dua hal. Pertama, mendeskripsikan bentuk-
bentuk hegemoni Barat yang diwakili bangsa Belanda atas budaya timur yang
diwakili oleh Indonesia. Kedua, mendeskripsikan bentuk-bentuk resistensi dari
Timur terhadap hegemoni Barat.
Tujuan praktis dari penelitian ini yaitu untuk menunjukkan kepada pembaca
bahwa meskipun secara politik Indonesia telah merdeka dari kolonialisme
Belanda, tetapi efek dari kolonialisme tersebut tidak berarti hilang begitu saja.
Efek-efek itu terekam dalam bentuk karya sastra. Oleh karena itu, penelitian ini
diharapkan akan menambah wawasan pembaca mengenai gambaran kondisi
masyarakat Indonesia berkaitan dengan pengalaman imperial. Selain itu,
penelitian ini juga sebagai bentuk apresiasi penulis terhadap karya sastra,
12
sehingga diharapkan juga penelitian ini dapat menambah perbendaharaan
penelitian sastra, sekaligus juga memicu penelitian lain yang lebih sempurna.
1.4 Tinjauan Pustaka
Novel Rahasia Meede yang pertama kali terbit tahun 2007 pernah dijadikan
sebagai objek kajian penelitian oleh Wiradi Putra, mahasiswa jurusan Sastra
Indonesia, Universitas Sumatera Utara. Wiradi Putra menulis skripsi berjudul
“Unsur-unsur Detektif dalam Novel Rahasia Meede Karya ES Ito” yang terbit
pada tahun 2009 (Universitas Sumatera Utara, 2009). Wiradi Putra mengkaji
novel Rahasia Meede menggunakan teori semiotika sastra, yaitu dengan
melakukan teknik analisis deskriptif data-data yang dihasilkan melalui
pembacaan heuristik dan hermeneutik. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mendeskripsikan unsur-unsur detektif yang terdapat di dalam novel Rahasia
Meede.
Penelitian lain yang menggunakan objek material novel Rahasia Meede
dilakukan oleh Tuslianingsih dari jurusan Studi Indonesia, Universitas Indonesia.
Penelitian yang ditulis Tuslianingsih dan dijadikan skripsi itu berjudul “Analisis
Unsur Intrinsik Novel Rahasia Meede Karya ES Ito dan Novel The Da Vinci
Code Karya Dan Brown: Sebuah Perbandingan” (Universitas Indonesia, 2010).
Penelitian tersebut menggunakan teori sastra bandingan, yaitu membandingkan
unsur intrinsik dari novel Rahasia Meede dan novel The Da Vinci Code untuk
dilihat persamaan ataupun perbedaannya. Tuslianingsih menitikberatkan
13
penelitiannya pada cara pecerita dalam menyajikan unsur sudut pandang dan
fokus pengisahan, alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan.
Dari penelurusan literatur yang telah dilakukan penulis, penulis belum
menemukan kajian terhadap novel Rahasia Meede menggunakan analisis
poskolonial. Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki nilai kebaruan dari segi
pemilihan teori untuk mengkaji novel yang menjadi objek.
Pada sisi lain, penelitian yang menggunakan kerangka berpikir poskolonial
telah cukup banyak dilakukan. Salah satu penelitian yang memiliki kemiripan
tema dengan penelitian ini pernah dilakukan oleh Dhany Hartanto dari Jurusan
Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2013. Dalam skripsi
berjudul: “Dominasi kolonial Belanda dan Resistensi Bumiputra: Analisis
Pascakolonial Terhadap Novel Glonggong Karya Junaedi Setiyono”, Hartanto
berfokus pada bagaimana dominasi yang dipraktikkan oleh penjajah Belanda dan
resistensi yang dilakukan oleh bumiputra yang digambarkan dalam novel
Glonggong. Hasil dari kajiannya antara lain, seperti yang ditunjukkan pada
bagian abstraksi dari skripsi tersebut, pertama, kedudukan bumiputra pada masa
kolonial digambarkan sangat memprihatinkan. Mereka digambarkan sebagai
rakyat jelata yang tidak beradab, mudah diperdaya, dan berkhianat. Kedua,
dominasi Belanda terhadap bumiputra terjadi dalam sektor kebudayaan, politik,
ekonomi, dan pendidikan. Salah satu contohnya adalah kebijakan pajak yang
seringkali membuat para petani tersiksa. Ketiga, ada upaya resistensi diam-diam
yang dilakukan oleh bumiputra terhadap Belanda. Resistensi ini terkadang
bersifat oposisional antagonistik, yang dipraktikkan lewat genjatan senjata;
14
terkadang pula subversif, yang memperlihatkan kelemahan terselubung dalam
praktik hibridasi Belanda; dan terkadang pula bersifat transformatif, yang
dilakukan dengan melawan dominasi patriarkal dan kolonial selama ini.
Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan Dhany Hartanto dengan
yang akan dilakukan penulis salah satunya adalah pada objek kajian. Novel yang
menjadi objek kajian pada penelitian Dhany Hartanto berlatar waktu masa
penjajahan, tepatnya penjajahan Belanda atas Indonesia, sehingga dominasi
penjajah memang tampak jelas terlihat. Sementara itu, latar waktu pada novel
Rahasia Meede telah lebih mutakhir sehingga memiliki nilai lebih untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh kolonialisme ataupun wacana-wacana yang
berkaitan dengan kolonial yang disuarakan oleh penulis novel tersebut pada masa
yang lebih terkini.
1.5 Landasan Teori
Asal kata poskolonial tidak dapat dilepaskan dari kolonialisme.
Kolonialisme berasal dari bahasa Latin colonia yang berarti pertanian atau
pemukiman. Koloni berarti daerah pendudukan, penaklukan, atau penguasaan,
sedangkan kolonial adalah pihak yang meng-koloni. Proses penaklukan pihak
kolonial terhadap daerah koloni disebut kolonisasi. Dari istilah-istilah tersebut
selanjutnya lahir kolonialisme, yang berarti penaklukan dan penguasaan atas
tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang dan selanjutnya
membentuk pemukiman baru. Dalam membentuk pemukiman baru oleh
pendatang kerap terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah
15
manusia, antara penduduk lama dan pendatang. Sianipar (2004: 9) menyebutkan
bahwa terkadang pembentukan koloni baru ini ditandai oleh usaha membubarkan
komunitas-komunitas yang sudah ada dengan melibatkan praktik-praktik
perdagangan, penjarahan, pembunuhan massal, perbudakan, dan pemberontakan-
pemberontakan.
Penjajahan, penindasan, atau penguasaan terhadap penduduk asli oleh
pendatang tidaklah berlangsung tanpa perlawanan. Berbagai bentuk perlawanan
juga ditunjukkan oleh penduduk asli yang pada akhirnya berujung pada
dekolonisasi, yaitu pengusiran penjajah oleh terjajah. Dengan terusirnya penjajah
atau pihak kolonial tersebut, maka secara harfiah kolonialisme sudah berakhir,
dan penduduk yang sebelumnya menjadi koloni secara langsung berada dalam
masa poskolonial (dalam bahasa Inggris: post-colonial).
Akan tetapi, Loomba (dalam Sianipar, 2004: 25) mempersoalkan bahwa
ketika kolonialisme diartikan sebagai penaklukkan negara imperial terhadap
negara koloni, sedangkan dalam tata dunia global penguasaan terhadap negara-
negara koloni belum berakhir, maka sebenarnya kolonialisme ini belum berakhir.
Oleh karena itu, penggunaan istilah poskolonial menjadi kurang relevan sebab
proses penguasaan yang dialami lewat bentuk-bentuk dan sistem-sistem baru
belumlah berakhir. Dasar-dasar epistemologi poskolonial pun kemudian menjadi
perdebatan di berbagai kalangan.
Salah satu contoh, Budianta (2008: 22) menggunakan konsep differance
yang digagas oleh Derrida untuk menguraikan istilah poskolonial. Menurutnya,
pertama-tama kata poskolonial (postcolonial) dapat dimaksudkan untuk
16
membedakan antara masa kolonial dan masa selepasnya. Namun, pada saat yang
sama, masa post atau selepas tersebut selalu berada dalam keterkaitan dengan
kolonialisme. Jadi di satu pihak ada pembedaan (to differ), dan di lain pihak ada
ketertundaan (to defer). Hasil penguraian Budianta: poskolonial tidak pernah
sampai pada titik pelepasan yang sempurna dari kolonialisme.
Studi poskolonial yang relatif masih baru memang menimbulkan
kegairahan, kebingungan, skeptisisme, sekaligus kesulitan bagi pelbagai pihak
yang mendalaminya (Sianipar, 2004: 7). Kesulitan itu sebagian akibat dari sifat
interdisipliner studi poskolonial yang merentang dari analisis literer hingga ke
riset atas arsip-arsip pemerintah kolonial, dari kritik atas naskah medis hingga
teori ekonomis, serta terkadang menggabungkan bidang tertentu dengan bidang
lainnya, seperti bidang sejarah, sosial, budaya, hingga politik.
Meskipun demikian, beberapa teoretikus dalam bidang poskolonial telah
mampu merumuskan ruang lingkup kajian studi ini dengan cukup jelas. Rumusan
tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan awal bagi akademisi lainnya
yang hendak mendalami studi poskolonial. Dalam penelitian ini akan dipaparkan
gagasan-gagasan dari beberapa ahli dalam bidang poskolonial, sehingga
kemudian akan terlihat karakteristik yang khas dari kajian poskolonial.
Dasar semantik istilah poskolonial berkaitan dengan kebudayaan-
kebudayaan nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial (Aschroft, dkk, 2003:
xxii). Istilah poskolonial digunakan untuk mencakup seluruh kebudayaan yang
pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun
waktu masa kini. Hal ini disebabkan adanya kontinuitas penjajahan yang terus
17
berlangsung semenjak dimulainya agresi imperial bangsa Eropa hingga sekarang
ini. Oleh sebab itu, menurut Aschroft, dkk (2003: xxii), istilah poskolonial
merupakan istilah paling tepat untuk menyebut kritik-kritik lintas-budaya yang
muncul akhir-akhir ini serta wacana yang dibentuknya.
Akan tetapi, di sisi lain, istilah poskolonial juga tidak jarang digunakan
untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Hal ini dapat
menimbulkan kerancuan makna dari istilah tersebut. Istilah poskolonial
merupakan serapan dari bahasa Inggris post-colonial. Apabila dikaitkan dengan
bahasa Indonesia, kata post juga dapat dipadankan dengan kata pasca yang
berarti masa sesudah. Oleh karena itu, terdapat pula istilah pascakolonialisme,
seperti yang digunakan oleh Faruk. Menurut Faruk (2007: 5), pascakolonialisme
adalah sebuah terminologi dalam ilmu pengetahuan humaniora yang mengkaji
seluk beluk pengaruh kekuasaan politik dan kebudayaan kolonial terhadap bangsa
terjajah sampai masa kemerdekaan bangsa tersebut.
Pada dasarnya antara istilah poskolonial dan pascakolonial memiliki
cakupan makna yang sama. Namun, untuk menghindari kerancuan makna
ataupun kesalahpahaman tafsir, dalam penelitian ini akan dibedakan penggunaan
kedua terminologi tersebut. Istilah poskolonial selanjutnya akan digunakan untuk
menyebut kritik lintas budaya yang meliputi seluruh kebudayaan yang pernah
mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun waktu
saat ini, sedangkan istilah pascakolonial akan digunakan untuk menyebut masa
sesudah kolonial atau masa sesudah runtuhnya kekuasaan imperial.
18
Teori poskolonial mencakup tiga kemungkinan pilihan perhatian. Pertama,
pada kebudayaan masyarakat-masyarakat yang pernah mengalami penjajahan
bangsa Eropa, baik berupa efek penjajahan yang masih berlangsung sampai pada
masa pascakolonial maupun kemungkinan transformasinya ke dalam bentuk-
bentuk yang disebut neokolonialisme (internal maupun global). Kedua, respons
perlawanan atau wacana tandingan dari masyarakat terjajah maupun yang lainnya
terhadap penjajahan itu, tanpa menghilangkan perhatian pada kemungkinan
adanya ambiguitas atau ambivalensi. Ketiga, segala bentuk marginalitas yang
dikaitkan oleh segala bentuk kapitalisme (Lo dan Helen dalam Faruk, 2007: 15).
Melalui sudut pandang ini, poskolonial dapat diartikan sebagai suatu perangkat
teori untuk menjelaskan relasi antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam
masa kolonial, serta dampak dari penjajahan tersebut hingga pada masa
pascakolonial.
Ashcroft, dkk, (1998: 192) mengartikan pembacaan poskolonial sebagai
strategi membaca dan pembacaan kembali teks-teks, baik teks budaya
metropolitan maupun budaya koloni, yang memberikan perhatian mendalam atas
efek-efek terpendam dan tidak terelakkan dari kolonialisme Eropa dalam suatu
produksi literatur. Oleh karena itu, kerangka berpikir pembacaan poskolonial
dapat diaplikasikan untuk meneliti teks-teks pascakolonial, atau merupakan
pembacaan yang bersifat dekonstruktif terhadap teks-teks yang menjadi objek
kajiannya. Kerangka berpikir pembacaan poskolonial ini sering disebut dengan
istilah poskolonialisme. Day dan Foulcher (2006: 3), menggunakan istilah
poskolonialisme untuk menyebut suatu strategi kritik yang ingin mengajukan
19
pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu mengidentifikasikan jejak-jejak
kolonialisme dalam teks-teks sastra maupun kritik, serta mengevaluasi sifat dan
arti penting efek-efek tekstual dari jejak-jejak itu. Istilah poskolonialisme tidak
hanya mengacu pada jejak-jejak sastra dan efek-efek kolonialisme, tetapi juga
mengacu pada posisi subjek dari penulis pascakolonial dan suara-suara
naratifnya, dengan cara mengarahkan perhatian pada konteks lebih luas di mana
makna diproduksi di dalam dan di seputar teks sastra atau teks kritik tersebut.
Loomba (2003: 92) mengatakan, teks sastra merupakan sebuah zona kontak
yang penting dalam kajian poskolonial. Dalam sebuah teks, berbagai perbedaan
ideologis dalam masyarakat kolonial berinteraksi dan saling berkonflik. Melalui
lembaga-lembaga seperti pasar dan institusi pendidikan, teks-teks sastra
memainkan peranan penting dalam membangun suatu otoritas kultural bagi para
penjajah, baik pada wilayah metropolis maupun kolonial.
Gandhi (1998: 4), memaknai poskolonialisme sebagai visi-visi perlawanan
akibat ketimpangan relasi antara penjajah dan rakyat terjajah. Pendapat Gandhi
tersebut sejalan dengan gagasan Said (2010: 7), yang menganggap hubungan
Barat dengan Timur adalah hubungan kekuatan, dominasi, dan berbagai derajat
hegemoni yang kompleks, yang mencakup jalinan antara politik dan ilmu
pengetahuan. Hegemoni merupakan satu konsep dari Antonio Gramsci yang
diterapkan oleh Said untuk membedah relasi antara Barat dan Timur.
Gramsci (dalam Faruk, 2010: 141) mendefinisikan hegemoni sebagai
kepemimpinan moral dan intelektual. Termasuk di dalam hegemoni adalah
kemampuan mengatur dan menguasai kelompok–kelompok lawannya. Secara
20
lebih luas, hegemoni menurut Gramsci (dalam Ashcroft, 1998: 116-117) adalah
penyebaran kekuasaan dari suatu kelas tertentu dalam meyakinkan kelas-kelas
lain untuk memiliki kepentingan yang sama. Pada hakikatnya, hegemoni
merupakan upaya untuk menggiring orang agar memandang berbagai
problematika sosial dalam kerangka yang telah ditentukan. Hegemoni menjadi
hal yang penting dalam relasi antara pihak kolonial dengan masyarakat terjajah
karena hegemoni memungkinkan adanya dominasi. Kondisi ini memungkinkan
pihak kolonial berada pada posisi sentral, sedangkan masyarakat terjajah sebagai
sesuatu yang berada di pinggiran. Ashcroft (1998: 215-218) selanjutnya
mengatakan bahwa dalam konsep teori poskolonial, akibat proses hegemoni
tersebut adalah kelas terdominasi dikuasai secara politik, ekonomi, sosial, dan
budaya oleh pihak kolonial.
Untuk mencapai kekuasaan yang hegemonik, penjajah perlu menyebarkan
ideologinya kepada terjajah karena ideologi merupakan instrumen yang penting
untuk menggiring masyarakat terjajah memandang permasalahan kehidupan
sesuai dengan kerangka yang telah ditentukan oleh penjajah. Mengenai ideologi,
Alatas (1988: 1-2) mengemukakan konsep ideologi dengan ciri-ciri sebagai
berikut: (a) untuk mencari pembenaran suatu tata sosial, ekonomi dan politik
tertentu; (b) dalam usaha ini, ia membelokkan bagian dari kenyataan sosial yang
tampaknya tidak sesuai dengan anggapan utamanya; (c) ia berwujud terutama
dalam bentuk isi pikiran yang tampak (manifest), berbeda dari isinya yang
tersembunyi (latent); (d) ia bersifat otoriter; (e) ia mewakili kepentingan
kelompok tertentu; (f) ketika berkuasa ia menciptakan kesadaran palsu bagi
21
kelompok yang ia wakili dan kelompok yang ia kuasai; (g) ia dapat mengambil
ide-idenya dari sumber apa saja, ilmu, agama, kebudayaan, ekonomi, sejarah, dan
sebagainya; (h) ia muncul dari berbagai kelompok, dalam suatu masyarakat
dengan pembagian kerja dan kelas sosial yang tegas; dan (i) gagasan utamanya
pada akhirnya, sebagian besar ditentukan oleh pola produksi menurut waktu dan
tempat tertentu.
Ideologi penjajah disebut juga sebagai ideologi kolonial. Ideologi ini
menempatkan penjajah sebagai pusat yang dominan dan terjajah sebagai
pinggiran. Dalam perwujudan empiris historisnya, menurut Alatas (1988: 2),
ideologi kolonial memanfaatkan gagasan tentang pribumi yang malas untuk
membenarkan praktik-praktik penindasan dan ketidakadilan dalam mobilisasi
tenaga kerja di koloninya. Ideologi kolonial menggambarkan citra negatif tentang
pribumi untuk membenarkan alasan penaklukan dan penguasaan Eropa atas
wilayah yang menjadi koloni. Dalam sejarahnya, hegemoni ideologi kolonial
pernah mencapai kekuasaan yang begitu luas. Seperti yang telah disebutkan di
muka, bahwa hegemoni ideologi kolonial ini pernah membuat Eropa mampu
menguasai 85 persen wilayah bumi.
Dalam relasi pihak kolonial dengan pribumi yang timpang, muncullah
konsekuensi berupa perlawanan. Masyarakat terjajah memberikan reaksi atas
hegemoni Barat dengan melakukan berbagai tindakan gugatan maupun
perlawanan. Bentuk gugatan atau perlawanan tersebut bermacam-macam, dapat
berupa perlawanan fisik seperti tindak kekerasan bersenjata, atau dapat pula
berupa perlawanan ideologi. Semua bentuk perlawanan itu terartikulasi dalam
22
terminologi resistensi. Selwyn Cudjoe (Ashcroft, 2001: 28), mendefinisikan
resistensi sebagai tindakan atau sekumpulan tindakan yang dibentuk untuk
membebaskan rakyat dari penindasnya. Pengalaman penindasan tersebut
selanjutnya terangkum secara keseluruhan menjadi prinsip estetika yang hampir
otonom, termasuk dalam karya sastra. Resistensi kesusastraan, menurut Cudjoe,
adalah jenis penulisan sastra yang muncul sebagai bagian integral dari suatu
perjuangan terorganisasi demi kemerdekaan nasional. Pendapat tersebut diperkuat
oleh Loomba (2003: 97), yang berargumen bahwa teks-teks sastra tidak hanya
mencerminkan hegemoni ideologi-ideologi dominan, tetapi juga mengandung
unsur-unsur yang menentang ideologi dominan. Pada dasarnya, resistensi
merupakan sifat inti kritik sastra poskolonial.
Sasaran resistensi antara lain menyerang dominasi kekuasaan kolonial di
bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Bentuk-bentuk resistensi
tersebut dapat dibedakan berdasarkan situasi kolonialisme yang mendominasi.
Ashcroft (2001: 19-21) membagi resistensi menjadi dua jenis, yaitu resistensi
radikal dan resistensi pasif. Resistensi radikal mengacu pada perlawanan
masyarakat terjajah terhadap kekuasaan penjajahan dan dilakukan secara
penyerangan langsung atau dengan memproduksi teks atau bacaan yang memuat
wacana tandingan. Jenis resistensi yang kedua, yakni resistensi pasif, lebih
bersifat perlawanan ideologis. Resistensi ini merupakan perwujudan dirinya
untuk menolak, yaitu dengan mempertahankan identitas dan kepemilikan budaya.
Berkaitan dengan resistensi pasif, Bhabha (dalam Loomba, 2003: 117) menyebut
bahwa proses meniru, bisa menjadi proses resistensi pribumi, sebab proses
23
peniruan tidak pernah lengkap atau sempurna. Begitupun dengan hasilnya, bukan
sebuah gambaran yang sempurna karena otoritas kolonial dibuat ‘ambivalen’,
sehingga membuka ruang bagi terjajah untuk menyelewengkan wacana induk.
Dari uraian singkat mengenai dua bentuk resistensi tersebut, secara sederhana
dapat dikatakan bahwa resistensi radikal cenderung dilakukan dengan kekerasan,
sedangkan resistensi pasif dilakukan tanpa kekerasan.
Berdasarkan sejumlah uraian mengenai teori poskolonial yang dikemukakan
beberapa akademisi di atas, dapat ditarik satu garis besar bahwa teori ini
berangkat dari asumsi adanya ketimpangan relasi antara Barat dan Timur.
Ketimpangan tersebut, seperti yang telah dikemukakan Said (2010: 7), utamanya
disebabkan oleh ideologi kolonial yang ditanamkan Barat kepada Timur pada
masa kolonial. Ideologi tersebut terus-menerus diproduksi atau ter-produksi dalam
berbagai bentuk meski masa kolonial telah berakhir. Teori poskolonial bertugas
untuk menelusuri jejak-jejak kolonialisme pada masyarakat pascakolonial yang
terekam dalam bentuk karya sastra.
1.6 Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian, cara kerja yang bersistem atau metode
yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas tiga tahap. Pertama, tahap
persiapan penelitian. Pada tahap ini, penulis menentukan topik, memilih objek,
mencari teori yang tepat, dan melakukan studi pustaka. Dari hasil pengamatan
yang dilakukan penulis, penelitian terhadap objek kajian novel Rahasia Meede
dengan menggunakan teori poskolonial belum pernah dilakukan. Penggunaan
24
teori poskolonial untuk mengkaji novel Rahasia Meede diasumsikan penulis
sebagai pilihan yang tepat karena novel tersebut menyajikan data-data sejarah
kolonial tetapi dengan latar waktu masa kini, juga mengungkapkan kondisi
masyarakat pada masa pascakolonial.
Tahap kedua, analisis data. Analisis data ini dilakukan dengan metode
penelitian deskriptif analisis, yaitu metode yang dilaksanakan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul analisis (Ratna, 2012: 53). Analisis
data yang dilakukan tidak semata-mata menguraikan, tetapi juga memberikan
pemahaman dan penjelasan. Langkah-langkah analisis dilaksanakan dengan cara
pembacaan berulang-ulang dan mendalam terhadap data pokok, yaitu novel
Rahasia Meede, kemudian menentukan fragmen-fragmen di dalam novel lalu
mengidentifikasi dan mengklasifikasi data yang sesuai dengan rumusan masalah
dan yang sesuai dengan kerangka teori poskolonial. Tahap ketiga atau terakhir,
penyusunan hasil analisis. Penyusunan ini dilakukan dengan sistematis dan
deskriptif.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian
Hasil penelitian ini akan disusun dengan sistematika penyajian sebagai
berikut. Bab pertama mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penyajian. Bab kedua berisi analisis mengenai hegemoni kolonial
terhadap masyarakat di daerah bekas koloni yang ditunjukkan dalam novel
Rahasia Meede. Bab ketiga akan membahas mengenai bentuk-bentuk resistensi
25
masyarakat bekas koloni terhadap hegemoni kolonial yang tetap ada pada masa
pasca-kolonial seperti yang diperlihatkan dalam novel Rahasia Meede. Bab
keempat atau bab terakhir berisi kesimpulan hasil analisis.