Wrap Up

76
Alim Muslimah Suryantoro FK A / 1102013020 / A1 LI 1. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi dan Biokimia Insulin 1.1 Sintesis Insulin Insulin merupakan polipeptida yang terdiri atas dua rantai, yaitu rantai A dan B, yang saling dihubungkan oleh dua jembatan disulfida antar-rantai yang menghubungkan A7 ke B7 dan A20 ke B19. Jembatan disulfida intra-rantai yang ketiga menghubungkan residu 6 dan 11 pada rantai A. lokasi ketiga jembatan disulfida ini selalu tetap, dan rantai A serta B masing-masing mempunyai 21 dan 31 asam amino pada sebagian besar spesies. Insulin Disintesis sebagai Preprohormon Insulin disintesis sebagai suatu preprohormon dan merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekusor yang lebih besar. Rangkaian pra atau rangkaian “pemandu” yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan molekul proinsulin dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukan jembatan disulfida yang sempurna. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida yang tapakspesifik sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C yang ekuimolar. Sintesis Insulin 1

description

Sk 1 Endokrin

Transcript of Wrap Up

Page 1: Wrap Up

Alim Muslimah Suryantoro

FK A / 1102013020 / A1

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi dan Biokimia Insulin

1.1 Sintesis InsulinInsulin merupakan polipeptida yang terdiri atas dua rantai, yaitu rantai A dan B, yang saling dihubungkan oleh dua jembatan disulfida antar-rantai yang menghubungkan A7 ke B7 dan A20 ke B19. Jembatan disulfida intra-rantai yang ketiga menghubungkan residu 6 dan 11 pada rantai A. lokasi ketiga jembatan disulfida ini selalu tetap, dan rantai A serta B masing-masing mempunyai 21 dan 31 asam amino pada sebagian besar spesies.

Insulin Disintesis sebagai PreprohormonInsulin disintesis sebagai suatu preprohormon dan merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekusor yang lebih besar. Rangkaian pra atau rangkaian “pemandu” yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan molekul proinsulin dengan berat molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukan jembatan disulfida yang sempurna. Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida yang tapakspesifik sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C yang ekuimolar.

Sintesis Insulin

http://www.nbs.csudh.edu/chemistry/faculty/nsturm/CHE450/Images14-20/InsulinProces.gif

1

Page 2: Wrap Up

Proinsulin disintesis oleh ribosom pada retikulum endoplasma yang kasar, dan pengeluaran enzimatik peptida pemandu (pre) memotong ikatan disulfide serta pelipatan terjadi di dalam sisterna organel ini. Molekul proinsulin diangkut ke apparatus Golgi, di sini proteolisis serta pengemasan ke dalam granul sekretorik dimulai. Granul terus mematangkan diri ketika melintasi sitoplasma menuju membran plasma. Proinsulin dan insulin keduanya bergabung dengan seng untuk membentuk heksamer, tetapi karena sekitar 95% dari proinsulin tersebut diubah menjadi insulin, kristal hormon terakhir inilah yang memberikan keistimewaan morfologik kepada granul tersebut. Peptida C dengan jumlah ekuimolar terdapat di dalam granul ini, kendati molekul ini tidak membentuk struktur kristal. Dengan perangsangan yang tepat, granul yang matur akan menyatu dengan membran plasma dan melepaskan isinya ke dalam cairan ekstrasel lewat proses eksositosis.(Murray K. R, Granner D. K, Mayes P. A, Rodwell V. W. 2006. Biokimia harper.ed 27. Jakarta: EGC.)

http://www.nature.com/ncb/journal/v14/n10/images/ncb2594-f1.jpg a, Insulin secretion after a meal is typically initiated by a rise in extracellular glucose, which is detected by a metabolic signalling pathway. Aerobic glycolysis and mitochondrial oxidation produce metabolic signals, such as a rise in the ATP to ADP concentration ratio. This closes K+

ATP-channels, depolarizes the plasma membrane, and causes calcium influx that stimulates exocytosis. At the same time, the incretin hormones GLP1 and GIP bind to their receptors, which are highly expressed on rodent and human pancreatic β-cells. This causes the activation of Gs proteins. The glucose and GLP1 signalling pathways converge on AC8, an isoform of adenylate cyclase that is abundant in pancreatic β-cells and fully activated when both Gαs–GTP and calcium–calmodulin are bound. The subsequent rise in cellular cAMP triggers exocytosis by protein kinase A (PKA) and EPAC2 (also known as RAPGEF4). b, Fonseca et al.2 show that WFS1 is important for glucose- and GLP1-induced cAMP production by virtue of its interaction with AC8 and calmodulin. Wolfram-syndrome-associated WFS1 mutations compromise complex formation with AC8 and calmodulin. It is not clear whether the role of WFS1 in insulin secretion is related to its function in the

2

Page 3: Wrap Up

UPR. Both activities could be related in that cAMP also increases insulin mRNA synthesis, thereby increasing the protein folding demand. As long as folding conditions are optimal (1), WFS1 stays associated with AC8, and pancreatic β-cells continue to generate and secrete insulin. When the load on the ER increases and the ER stress response is activated (2), WFS1 translocates back to the ER, contributing to the UPR. This concomitantly inhibits insulin secretion and biosynthesis.

1.2 Metabolisme InsulinWaktu paruh insulin dalam sirkulasi pada manusia adalah sekitar 5 menit. Insulin berikatan dengan reseptor insulin lalu sebagian mengalami internalisasi. Insulin dirusak oleh protease di dalam endosom yang terbentuk melalui proses endositosis.

Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh terutama

metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses utilisasi glukosa

oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis

reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan

antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses

regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja

yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam

meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada

mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah

yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami

metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain

diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang

berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap

insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.

Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme

glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai

kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah

jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar

glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen

yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses

ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin.

Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut

3

Page 4: Wrap Up

terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal.

Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap

proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari

hepar.

1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6. kembali kesuasana semula.

Gambar. 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan perifer ( Girard, 1995 )

1.3 Faktor yang Menstimulasi dan Menghambat Insulin

Tabel 1. Faktor dan kondisi yang meningkatkan atau mengurangi sekresi insulin (Guyton & Hall, 11th ed.)Meningkatkan sekresi insulin Menurunkan sekresi insulin

Peningkatan kadar gula darah Peningkatan kadar AL bebas

dalam darah Peningkatan kadar AA darah Hormone GI (gastrin,

kolesistokinin, sekretin, gastric inhibitory peptide)

Glucagon, hormon pertumbuhan, kortisol

Rangsangan parasimpatis, asetilkolin

Penurunan kadar glukosa darah Puasa Somatostatin Aktivitas α-adrenergik Leptin

4

Page 5: Wrap Up

Rangsangan β-adrenergik Resistensi insulin, obesitas Obat-obatan, sulfonylurea

LI 2. Memahami dan Menjelaskan Diabetes Melitus2.1 Definisi

Menurut Perkeni (2011) dan ADA (2012) Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.

(American Diabetes Association. 2012. Diagnosis and Clasiffication of Diabetes Melitus. Diabetes Care, Volume 35, Supplement 1, January 2012.)

(Perkeni, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. PB. Perkeni : Jakarta)

Diabetes Melitus (DM) adalah gejala dari gangguan metabolisme yang ditandai dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh kekurangan sekresi insulin absolut atau kekurangan efek biologis dari insulin atau keduanya. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat, tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana di dapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.

(WHO. Global Prevalence of Diabetes in Epidemiology/ Health Services/ Psychosocial Research, http://www.who.int/diabetes/facts/en/diabcare0504.pdf)

2.2 Etiologi

DM TIPE 1

Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena paparan agen infeksi atau lingkungan, yaitu racun, virus (rubella kongenital, mumps, coxsackievirus dan cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum dan susu sapi).

Beberapa teori ilmiah yang menjelaskan penyebab diabetes mellitus tipe 1 sebagai berikut:

1. Hipotesis sinar matahari

Teori yang paling terakhir adalah "hipotesis sinar matahari," yang menyatakan bahwa waktu yang lama dihabiskan dalam ruangan, dimana akan mengurangi paparan sinar matahari kepada anak-anak, yang akan mengakibatkan berkurangnya kadar vitamin D. Bukti menyebutkan bahwa vitamin D memainkan peran integral dalam sensitivitas dan sekresi

5

Page 6: Wrap Up

insulin. Berkurangnya kadar vitamin D, dan jarang terpapar dengan sinar matahari, dimana masing-masing telah dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 1.

2. Hipotesis higiene "Hipotesis kebersihan"

Teori ini menyatakan bahwa kurangnya paparan dengan prevalensi patogen, dimana kita menjaga anak-anak kita terlalu bersih, dapat menyebabkan hipersensitivitas autoimun, yaitu kehancuran sel beta yang memproduksi insulin di dalam tubuh oleh leukosit. Dalam penelitian lain, peneliti telah menemukan bahwa lebih banyak eksposur untuk mikroba dan virus kepada anak-anak, semakin kecil kemungkinan mereka menderita penyakit reaksi hipersensitif seperti alergi. Penelitian yang berkelanjutan menunjukkan bahwa "pelatihan" dari sistem kekebalan tubuh mungkin berlaku untuk pencegahan tipe 1 diabetes. Kukrija dan Maclaren menunjukkan bahwa pencegahan diabetes tipe 1 mungkin yang akan datang melalui penggunaan imunostimulasi, yakni memaparkankan anak-anak kepada bakteri dan virus yang ada di dunia, tetapi yang tidak menyebabkan efek samping imunosupresi.

3. Hipotesis Susu Sapi

Teori ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu formula pada 6 bulan pertama pada bayi dapat menyebabkan kekacauan pada sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko untuk mengembangkan diabetes mellitus tipe 1 di kemudian hari. Dimana protein susu sapi hampir identik dengan protein pada permukaan sel beta pankreasyang memproduksi insulin, sehingga mereka yang rentan dan peka terhadap susu sapi maka akan dire spon oleh leukosit, dan selanjutnya akan menyerang sel sendiri yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi dibetes mellitus tipe 1. Peningkatan pemberian ASI di 1980 tidak menyebabkan penurunan terjadinya diabetes tipe 1, tetapi terjadi peningkatan dua kali lipat diabetes mellitus tipe 1. Namun, kejadian diabetes tipe 1 lebih rendah pada bayi yang diberi ASI selama 3 bulan.

4. Hipotesis POP

Hipotesis ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap polutan organik yang persisten (POP) meningkatkan risiko kedua jenis diabetes. Publikasi jurnal oleh Institut Nasional Ilmu Kesehatan Lingkungan menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik dalam tingkat rawat inap untuk diabetes dari populasi yang berada di tempat Kode ZIP yang mengandung limbah beracun.

5. Hipotesis Akselerator

Sebuah teori yang menunjukkan bahwa tipe 1 diabetes merupakan bagian sederhana dari kontinum yang sama dari tipe 2, tetapi muncul lebih dulu. Hipotesis akselerator menyatakan bahwa peningkatan berat dan tinggi anak-anak pada abad terakhir ini telah "dipercepat", sehingga kecenderungan mereka untuk mengembangkan tipe 1 dengan menyebabkan sel beta di pankreas di bawah tekanan untuk produksi insulin. Beberapa kelompok mendukung teori ini, tetapi hipotesis ini belum merata diterima oleh profesional diabetes.

Faktor yang mempengaruhi DM TIPE 1:

6

Page 7: Wrap Up

Faktor genetik Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapimewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinyaDM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yangmemiliki tipe antigen HLA.

Faktor-faktor imunologiAdanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimanaantibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.

Faktor lingkunganVirus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yangmenimbulkan destruksi selbeta.

DM TIPE 2

Faktor risiko diabetes tipe 2 terbagi atas:

Faktor risiko yang tidak dapat diubah seperti ras, etnik, riwayat keluarga dengan diabetes, usia > 45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4 kg, riwayat pernah menderita DM Gestasional dan riwayat berat badan lahir rendah < 2,5 kg.

Faktor risiko yang dapat diperbaiki seperti berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2, kurang aktivitas fisik, hipertensi(>140/90 mmHg), dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl dan diet tinggi gula rendah serat.

Faktor risiko lain yang terkait dengan risiko diabetes seperti penderita sindrom ovarium poli-kistik, atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resitensi insulin, sindrom metabolik, riwayat toleransi glukosa terganggu (IGT)/glukosa darah puasa terganggu (IFG) dan riwayat penyakit kardiovascular (stroke, penyempitan pembuluh darah koroner jantung, pembuluh darah arteri kaki).

a. Genetik atau Faktor Keturunan

DM cenderung diturunkan atau diwariskan, dan tidak ditularkan. Faktor genetis memberi peluang besar bagi timbulnya penyakit DM. Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar menderita DM dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Apabila ada orangtua atau saudara kandung yang menderita DM, maka seseorang tersebut memiliki resiko 40 % menderita DM. DM Tipe 1 lebih banyak dikaitkan dengan faktor keturunan dibandingkan dengan DM Tipe 2. Sekitar 50 % pasien DM Tipe 1 mempunyai orang tua yang juga menderita DM, dan lebih dari sepertiga pasien mempunyai saudara yang juga menderita DM. Pada penderita DM Tipe 2 hanya sekitar 3-5 % yang mempunyai orangtua menderita DM juga.

Pada DM tipe 1, seorang anak memiliki kemungkinan 1:7 untuk menderita DM bila salah satu orang tua anak tersebut menderita DM pada usia < 40 tahun dan 1:13 bila salah satu orang tua anak tersebut menderita DM pada usia ≥ 40 tahun. Namun bila kedua orang tuanya menderita DM tipe 1, maka kemungkinan menderita DM adalah 1:2.

a. Usia

7

Page 8: Wrap Up

DM dapat terjadi pada semua kelompok umur, terutama ≥ 40 tahun karena resiko terkena DM akan meningkat dengan bertambahnya usia dan manusia akan mengalami penurunan fisiologis yang akan berakibat menurunnya fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. DM tipe 1 biasanya terjadi pada usia muda yaitu pada usia <40 tahun, sedangkan DM tipe 2 biasanya terjadi pada usia ≥ 40 tahun. Di negara-negara barat ditemukan 1 dari 8 orang penderita DM berusia di atas 65 tahun, dan 1 dari penderita berusia di atas 85 tahun.

Menurut penelitian Handayani di RS Dr. Sardjito Yogyakarta (2005) penderita DM Tipe 1 mengalami peningkatan jumlah kasusnya pada umur < 40 tahun (2,7%), dan jumlah kasus yang paling banyak terjadi pada umur 61-70 tahun (48 %). Menurut hasil penelitian Renova di RS. Santa Elisabeth tahun 2007 terdapat 239 orang (96%) pasien DM berusia ≥ 40 tahun dan 10 orang (4%) yang berusia < 40 tahun.

c. Jenis Kelamin

Perempuan memiliki resiko lebih besar untuk menderita Diabetes Mellitus, berhubungan dengan paritas dan kehamilan, dimana keduanya adalah faktor resiko untuk terjadinya penyakit DM. Dalam penelitian Martono dengan desain cross sectional di Jawa Barat tahun 1999 ditemukan bahwa penderita DM lebih banyak pada perempuan (63%) dibandingkan laki-laki (37%). Demikian pula pada penelitian Media tahun 1998 di seluruh rumah sakit di Kota Bogor, proporsi pasien DM lebih tinggi pada perempuan (61,8%) dibandingkan pasien laki-laki (38,2%)

d. Pola Makan dan Kegemukan (Obesitas)

Perkembangan pola makan yang salah arah saat ini mempercepat peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia. Makin banyak penduduk yang kurang menyediakan makanan yang berserat di rumah. Makanan yang kaya kolesterol, lemak, dan natrium (antara lain dalam garam dan penyedap rasa) muncul sebagai tren menu harian, yang ditambah dengan meningkatnya konsumsi minuman yang kaya gula.

Kegemukan adalah faktor resiko yang paling penting untuk diperhatikan, sebab meningkatnya angka kejadian DM Tipe 2 berkaitan dengan obesitas. Delapan dari sepuluh penderita DM Tipe 2 adalah orang-orang yang memiliki kelebihan berat badan. Konsumsi kalori lebih dari yang dibutuhkan tubuh menyebabkan kalori ekstra akan disimpan dalam bentuk lemak. Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah. Seseorang dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) 30 kg/m2 akan 30 kali lebih mudah terkena DM dari pada seseorang dengan IMT normal (22 Kg/m2). Bila IMT ≥ 35 kg/m2, kemungkinan mengidap DM menjadi 90 kali lipat. Melakukan aktivitas fisik seperti olahraga secara teratur dapat membuang kelebihan kalori sehingga dapat mencegah terjadinya kegemukan dan kemungkinan untuk menderita DM. Pada saat tubuh melakukan aktivitas/gerakan, maka sejumlah gula akan dibakar untuk dijadikan tenaga gerak. Sehingga sejumlah gula dalam tubuh akan berkurang dan kebutuhan akan hormon insulin juga akan berkurang. Pada orang yang jarang berolah raga zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar, tetapi hanya akan ditimbun dalam tubuh sebagai

8

Page 9: Wrap Up

lemak dan gula. Proses perubahan zat makanan dan lemak menjadi gula memerlukan hormon insulin. Namun jika hormon insulin kurang mencukupi, maka akan timbul gejala DM.

(Tjokroprawiro, Askandar. 2003. Diabetes Mellitus - Klasifikasi, Diagnosis dan Dasar-dasar Terapi. Jakarta : PT Garamedia Pustaka Utama)

(Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC)

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi dari Diabetes Melitus berdasarkan ADA (2012) dan Perkeni (2011) adalah sebagai berikut

I. Diabetes Melitus Tipe 1

(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut):

A. Melalui Proses ImunologikB. Idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2

(Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi insulin disertaidefesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

III. Diabetes Melitus Tipe LainA. Defek Genetik fungsi sel Beta :

Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3) Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1) Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY4) Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5) Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitochondria, dan lainnya

C. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A,leprechaunism, sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik,lainnya

D. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi,neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibrokalkulus, lainnya

E. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya

F. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya

G. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnyaH. Imunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptorinsulin

lainnyaI. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter,sindrom Turner,

sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington, sindrom

9

Page 10: Wrap Up

Laurence-Moon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya

IV. Diabetes kehamilan

2.4 Epidemiologi

Diabetes Melitus tipe 1

Di seluruh penjuru dunia jumlah penyandang Diabetes melitus (DM) terus mengalami peningkatan. Demikian pula jumlah penyandang DM pada anak, yang dikenal dengan DM tipe 1 terus meningkat. Di Amerika Serikat pada tahun 2007 dilaporkan terdapat 186 300 anak usia kurang dari 20 tahun yang menyandang DM tipe 1 atau tipe 2. Angka tersebut sama dengan 0,2% penduduk Amerika pada kelompok umur tersebut. Di Finlandia, tidak sulit menemukan DM tipe 1 karena angka kejadiannya dilaporkan paling tinggi di dunia, sedangkan Jepang memiliki angka paling rendah.

Di Indonesia jumlah pasti penyandang DM tipe 1 belum diketahui meskipun angkanya dilaporkan meningkat cukup tajam akhir-akhir ini. Sebagai gambaran saja, jumlah anak DM tipe 1 dalam Ikatan Keluarga Penderita DM Anak dan Remaja (IKADAR) jumlahnya sudah mencapai 400-an orang. Karena belum banyaknya jumlah DM pada anak yang ditemukan di Indonesia, maka orang tua dan dokter sering tak waspada dengan penyakit tersebut. Banyak orang tua bahkan tidak percaya anaknya menyandang DM dan baru menyadari saat sakitnya sudah cukup berat.

(UKK Endokrinologi Anak dan Remaja.2009. Konsensus Nasional Pengelolaan DMTipe 1. Jakarta; Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.)

Diabetes Melitus tipe 2

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.

Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade 1980-anmenunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun1980-2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan meroket lagimenjadi 12,8% pada tahun 2001. Berdasarkan data Badan

10

Page 11: Wrap Up

Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%,pada daerah rural,maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia di atas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapatdi Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesardi Propinsi Maluku Utara dan Kalimanatan Barat yang mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai 21,8% di Propinsi Papua Barat.

Data-data di atas menunjukkan bahwa jumlah penyandang diabetesdi Indonesia sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialisataubahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, maka semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, sudah seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan.

Diabetes Melitus Gestasional

Prediabetes dan diabetes melitus gestasional menjadi masalah global dilihat dari angka kejadian dan dampak yang ditimbulkannya. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus gestasional terjadi 7% pada kehamilan setiap tahunnya. Prevalensi diabetes gestasional bervariasi yaitu 1%-14%. Angka ini tergantung pada populasi yang diteliti dan kriteria penyaringan yang digunakan. Diabetes melitus gestasional terjadi sekitar 4% dari semua kehamilan di Amerika Serikat, dan 3-5% di Inggris (ADA, 2004). Prevalensi diabetes melitus gestasional di Eropa sebesar 2-6%.

Prevalensi prediabetes di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 10% sedangkan prevalensi diabetes melitus gestasional di Indonesia sebesar 1,9%-3,6% pada kehamilan umumnya (Soewardono dan Pramono, 2011). Pada ibu hamil dengan riwayat keluarga diabetes melitus, prevalensi diabetes gestasional sebesar 5,1%. Angka ini lebih rendah dari pada prevalensi di Negara Ingris dan Amerika Serikat. Meskipun demikian, masalah diabetes gestasional di Indonesia masih membutuhkan penanganan yang serius melihat jumlah penderita yang cukup banyak serta dampak yang ditimbulkan pada ibu hamil dan janin.

2.5 Patofisiologi

11

Page 12: Wrap Up

DM TIPE 1

DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kehancuran selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Pada awalnya didugabahwa antigen B8 dan B15 HLA kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada frekuensi di penderita diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, baru-baru fokus telah bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA DQ telah terlibat dalam kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen panjang polimorfisme (RFLP) dan disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) untuk memperkuat urutan DNA spesifik, telah meningkatkan pemahaman kami tentang kompleks HLA dan keterlibatan alel HLA dalam kerentanan penyakit. Bukti diajukan menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberikan kerentanan atau resistensi terhadap DM tipe 1 berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-HLA-DQ. Penggunaan lokus spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai b-HLA urutan DQ telah membantu untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan jenis DM tipe 1 terkait DQ alel.

Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe yang membawa alel DQW8 pada lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe 1. Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM tipe 1 dan kontrol menunjukkan bahwa haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda dengan yang secara negatif berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain pertama rantai b-HLA-DQ. Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin pada posisi 57,sedangkan haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan pada posisi 57, tapi beberapa pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57". Yang terpenting adalah ditemukan DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki asam aspartat pada posisi 57, di Jepang pasien DM tipe 1 sangat berhubungan dengan DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa mekanisme lain harus terlibat untuk menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di beberapa kelompok. Hubungan yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan sebagai konsekuensi dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1. Keterlibatan rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat menunjukkan bahwa fungsi

presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan untuk kerentanan DM tipe 1. Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena autoimun Nepons telah menyarankan model dimana alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai berikut: a). susunan dimer kelas II yang dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu, bervariasi afinitasnya untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta; b). hanya dimer kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu rentan jika produk dari gen kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk gen tidak rentan yang ada dalam individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini produk-produk

12

Page 13: Wrap Up

dari alel HLA tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun terhadap sel beta pankreas.

Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang terikat keantigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA. Kontribusi dari autoantigens disebutkan di atas untuk induksi dan atau kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi. Jelas, bahwa identifikasi dari autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan diagnostik dan untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.

Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah dianalisis dalam model hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan tikus MLD STZ dengan diabetes yang diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk memahami proses yang menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan yang diambil dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia, maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T CD4+ spesifik menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke tikus prediabetes atau nondiabetes, menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga bahwa sel T CD4+ cukup untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T CD8+ berkontribusi pada kerusakan yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti bahwa insulitis di pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi dengan tidak adanya sel T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel imunokompeten yang diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya hanya satu subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk induksi penyakit. Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari hewan yang dirawat dengan adjuvanjuga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+ saling mempengaruhi. Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan diterbitkan) menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan tidak menghalangi respon autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin Th-1 ke Th-2. Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma

13

Page 14: Wrap Up

ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun model eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan mengaktifkan makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang islets.

Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan bahwa Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-α), dua sitokin terutama diproduksi oleh makrofag, menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak berkontribusi dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk dapat diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1.

Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian untuk DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar identik. Kesesuaiannya kurang dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I telah memberikan kontribusi ke sebuah penelusuran faktor lingkungan yang terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan bahwa urutan asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope virus rubella yang akan mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi dalam DM tipe I. Peran faktor lingkungan juga disarankan oleh analisis respon imun terhadap protein susu sapi, dimana hampir semua pasien DM tipe 1 memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan menunjukkan respon sel T untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang ada di permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari kontrol. Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1) peningkatan glukoneogenesis (pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.

(Thomas RC, et al. 2010. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill University Medical School, Montreal, Canada; 47(2): 51–71)

DM TIPE 2

14

Page 15: Wrap Up

a. Resistensi insulin

Penurunan kemampuan insulin untuk beraksi pada jaringan target perifer (terutama otot dan hati) merupakan ciri yang menonjol pada DM tipe II dan merupakan kombinasi dari kerentanan genetik dan obesitas. Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin dan meningkatkan keluaran glukosa hepatik, keduanya menyebabkan hiperglikemia.

Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor (ClareSalzler, et al., 2007). Polimorfisme pada IRS-1 mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dalam berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan resistensi insulin. Patogenesis resistensi insulin saat ini berfokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran plasma, diantara kelainan lainnya. Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis DM tipe II. Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi insulin

b. Gangguan Sekresi Insulin

Defek pada sekresi insulin bersifat samar dan secara kuantitatif kurang berarti jika dibandingkan dengan yang terjadi pada DM tipe I. Pada awal perjalanan penyakit DM tipe II, sekresi insulin tampaknya normal dan kadar insulin plasma tidak berkurang. Namun pola sekresi insulin yang berdenyut dan osilatif lenyap, dan fase pertama sekresi insulin (yang cepat) yang dipicu oleh glukosa menurun.

Secara kolektif hal ini dan pengamatan lain mengisyaratkan adanya gangguan sekresi insulin yang tipe II, dan bukan defisiensi sintesa insulin. Namun pada perjalanan penyakit berikutnya, terjadi defisiensi absolut yang ringan sampai sedang, yang lebih ringan dibanding DM tipe I . Penyebab defisiensi insulin pada DM tipe II masih belum sepenuhnya jelas. Berdasarkan data mengenai hewan percobaan dengan DM tipe II, diperkirakan mula-mula resistensi insulin menyebabkan peningkatan kompensatorik massa sel beta dan produksi insulinnya. Pada mereka yang memiliki kerentanan genetik terhadap DM tipe II, kompensasi ini gagal. Pada perjalanan penyakit selanjutnya terjadi kehilangan 20 - 50% sel beta, tetapi jumlah ini belum dapat menyebabkan kegagalan dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Namun, tampaknya terjadi gangguan dalam pengenalan glukosa oleh sel beta. Dasar molekuler gangguan sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa ini masih belum dipahami.

Peningkatan asam lemak bebas (NEFA = non-esterified fatty acids) juga mempengaruhi sel beta. Secara akut, NEFA menginduksi sekresi insulin setelah makan, sedangkan pajanan kronik terhadap NEFA menyebabkan penurunan sekresi insulin yang melibatkan lipotoksisitas yang menginduksi apoptosis sel islet dan/ atau menginduksi uncoupling protein-2 (UCP-2) yang menurunkan membran potensial, sintesa ATP dan sekresi insulin. Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM tipe II dilaporkan berkaitan dengan

15

Page 16: Wrap Up

pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien DM tipe II ditemukan endapan amiloid pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini, secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan resistensi insulin pada fase awal DM tipe II menyebabkan peningkatan produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amiloid yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting, amiloid bersifat toksik bagi sel beta sehingga mungkin berperan menyebabkan kerusakan sel beta yang ditemukan pada kasus DM tipe II tahap lanjut.

(Clare – Salzler, M.J., Crawford, J.M., & Kumar, V., 2007. Pankreas. Dalam: Kumar, V., Cotran R.S., Robbins, S.L. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC, 718 – 724.)

DM GESTASIONAL

Diabetes gestasional disebabkan oleh perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan. Peningkatan kadar beberapa hormon yang dihasilkan plasenta membuat sel-sel tubuh menjadi kurang responsif terhadap insulin (resistensi insulin). Karena plasenta terus berkembang selama kehamilan, produksi hormonnya juga semakin banyak dan memperberat resistensi insulin yang telah terjadi.

Biasanya, pankreas pada ibu hamil dapat menghasilkan insulin yang lebih banyak (sampai 3x jumlah normal) untuk mengatasi resistensi insulin yang terjadi. Namun, jika jumlah insulin yang dihasilkan tetap tidak cukup, kadar glukosa darah akan meningkat dan menyebabkan diabetes gestasional. Kebanyakan wanita yang menderita diabetes gestasional akan memiliki kadar gula darah normal setelah melahirkan bayinya. Namun, mereka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita diabetes gestasional pada saat kehamilan berikutnya dan untuk menderita diabetes tipe 2 di kemudian hari.

Peningkatan glukosa yang menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik merupakan faktor utama sehingga menimbulkan komplikasi diabetes melalui 4 jalur yaitu :

1. Jalur pembentukan AGEs (advanced glycation end products)

Jalur pembentukan AGEs (advanced glycation end products) jalur non enzimatik, adalah proses perlekatan glukosa secara kimiawi ke gugus amino bebas pada protein tanpa bantuan enzim. Derajat glikosilasi non enzimatik tersebut berikatan dengan kadar gula darah, karena dalam pemeriksaan ini menghasilkanindeks rerata kadar gula darah selama usia eritrosit 120 hari. Pembentukan AGEs (advanced glycosylation end products) pada protein seperti kolagen, membentuk ikatan silang di antara berbagai polipeptida yang dapat menyebabkan terperangkapnya protein interstisium dan plasma yang tidak terglikosilasi. AGEs juga dapat mempengaruhi struktur dan fungsi kapiler, termasuk glomerulus ginjal yang mengalami penebalan membran basal dan menjadi bocor. AGE’s berikatan dengan reseptor pada berbagai tipe sel seperti sel endotel, monosit, limfosit,makrofag dan sel mesangial. Pengikatan tersebut menyebabkan berbagai aktivitas

16

Page 17: Wrap Up

biologi termasuk migrasi sel neutrofil, pengeluaran sitokin, peningkatan permeabilitas endotel, peningkatan proliferasi fibroblas serta sintesis matrik ekstraseluler.

2. Jalur poliol

Jalur poliol, merupakan hiperglikemi intrasel dimana glukosa dimetabolisme oleh aldose reduktase menjadi sorbitol. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal. Jalur poliol yang merupakan sitosolik monomerik oksidoreduktase yang mengkatalisa NADPH- dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glikosa. Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (reactive ox igen species ) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel, aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione ( GSH ) yang merupakan tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan NAD sebagai kofaktor.

3. Jalur Protein kinase C

Protein Kinase C, Hiperglikemi dalam sel akan meningkatkan sintesismolekul diasil gliserol yang merupakan kofaktor penting pada aktifasi PKC, yang akan menimbulkan berbagai efek ekspresi gen. Aktifasi protein kinase C (PKC), yang berefek terhadap:

Produksi molekul proangiogenik VEGF yang berimplikasi terhadap neovaskularisasi, karakteristik komplikasi diabetik.

Peningkatan aktivitas vasokonstriktor endotelin-1 dan penurunan aktivitas vasodilator endothelial nitrit oksida sinthase (eNOS).

Produksi molekul profibrinogenik serupa TGF- ȕ yang akan memicu deposisi matrik ekstraseluler dan material membran basal.

Produksi molekul prokoagulan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), memicu penurunan fibrinolisis dan kemungkinan terjadinya oklusi vaskuler.

Produksi sitokin pro-inflamasi oleh sel endotel vaskuler.

4. Pembentukan reactive oxygen species (ROS) atau stress oksidatif

Stres oksidatif timbul bila pembentukan reactive oxygen species (ROS) melebihi kemampuan sel dalam mengatasi radikal bebas, yang melibatkan sejumlah enzim dan vitamin yang bersifat antioksidan. Stres oksidatif pada diabetes mellitus disebabkan karena ketidak seimbangan reaksi redoks akibat perubahan metabolisme karbohidrat dan lipid, sehingga terjadi penurunan kapasitas antioksidan. Stres oksidatif dapat meningkat jika terjadi glikasi yang labil, autooksidasi glukosa, aktivitas intrasel jalur poliol. Metabolisme karbohidrat pada hiperglikemi akan menghasilkan energi yang ekuivalen untuk mendorong sintesa ATP di mitokondria yang akan menghasilkan radikal bebas dan superokside karena pengaruh kadar glukosa yang tinggi. Autooksidasi glukosa juga akan menaikkan radikal bebas menjadi stress oksidatif yang akan menurunkan kadar NO, merusak protein sel, meningkatkan adhesi sel leukosit pada endotel sedang fungsinya sebagai pertahanan terhambat.

17

Page 18: Wrap Up

(Saputro SH, Setiawan H. 2007. Epidemiologi dan factor-faktor risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2.Dalam: Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Padmomartono FS, eds. Naskah lengkap diabetes mellitus ditinjau dari berbagai aspek penyakit dalam. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro: p.133-54)

2.6 Manifestasi Klinis

Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh serta menimbulkan berbagai macam keluhan dan gejalanya sangat bervariasi. Diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan.

Gejala awal (klasik) : Poliuria (sering kencing), polidipsi (sering haus), polifagi (sering makan), berat badan menurun, badan sering terasa lemah dan mudah capai.

Gejala lanjutannya ditemukan : Luka yang tidak dirasakan, sering kesemutan, sering merasakan gatal tanpa sebab, kulit kering, mudah terkena infeksi, dan gairah sex menurun.

Gejala setelah terjadi komplikasi : Gangguan pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah mata (gangguan penglihatan), pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), pembuluh darah ginjal (gagal ginjal), serta pembuluh darah kaki (luka yang sukar sembuh/gangren).

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa (tidak ada asupan kalori selama 8 jam) ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

4. A1c ≥6,5% oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

18

Page 19: Wrap Up

2.8 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitass hidup penyandang diabetes. Sedangkan tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Jangka Pendek Jangka Panjang

Menghilangkan keluhan dan tanda DM

Mempertahankan rasa nyaman

Mencapai target pengendalian glukosa darah

Mencegah & hambat progresivitas penyulit (makroangipati, mikroangio-pati dan neuropati)

Tabel 4. Tujuan penatalaksanaan diabetes mellitus jangka pendek dan jangka panjang

Pilar penatalaksanaan diabetes mellitus :

1. Edukasi

19

Page 20: Wrap Up

2. Terapi gizi medis3. Latihan jasmani4. Intervensi farmakologis

1. EdukasiPasien diberikan pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan

gejala hipoglikemia

Materi edukasi tingkat awal Materi edukasi tingkat lanjut

- Materi tentang perjalanan penyakit DM

- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan

- Penyulit DM dan risikonya- Intervensi farmakologis dan non-

farmakologis serta target pengobatan- Interaksi antara asupan makanan,

aktivitas fisik, dan OHO atau insulin serta obat-obatan lain

- Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

- Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia

- Pentingnya latihan jasmani yang teratur

- Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia padakehamilan)

- Pentingnya perawatan kaki- Cara mempergunakan fasilitas

perawatan kesehatan.

- Mengenal dan mencegah penyulit akut DM

- Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM

- Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain

- Makan di luar rumah- Rencana untuk kegiatan khusus- Hasil penelitian dan pengetahuan

masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM

- Pemeliharaan/perawatan kaki

2. Terapi gizi medisTerapi gizi medis akan dijelaskan pada learning index berikutnya.

3. Latihan jasmani

20

Page 21: Wrap Up

a. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit.

b. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,berkebun harus tetap dilakukan.

c. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah

d. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

e. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. f. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,

sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. g. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.

Tabel 5. Aktivitas Fisik Sehari-hari (Konsensus pengendalian dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)

4.

Intervensi farmakologisintervensi farmakologis akan dijelaskan pada learning index selanjutnya.

Penilaian hasil terapi

Hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah :

1. Pemeriksaan kadar glukosa darahTujuan :

- Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai- Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.- Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau

glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai kebutuhan 2. Pemeriksaan A1C- Tes hemoglobin terglikosilasi (glikogemoglobin) untuk menilai efek perubahan terapi 8-

12 minggu sebelumnya. - Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.- Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun

21

Page 22: Wrap Up

3. Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM)Pemantauan kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Pemeriksaan kadar

glukosa darah mandiri dilakukan dengan alat pengukur cara reagen kering. Secara berkala. Hasil pemantauan dengan cara reagen kering dibandingkan dengan cara konvensional.

Waktu yang dianjurkan : a. Sebelum makanb. 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa)c. Menjelang waktu tidur ( menilai risiko hipoglikemia)d. Diantara siklus tidur (menialai adanya hipoglikemia nocturnal yang kadang tanpa

gejala) e. Ketika mengalami gejala hypoglycemic spells

PGDM dianjurkan pada :

a. Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin (atau pemicu sekresi insulin)b. Penyandang DM dengan terapi insulin berikut :

- Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi- Wanita yang merencanakan hamil- Wanita hamil dengan hiperglikemia- Kejadian hipoglikemia berulang

Tabel 6. Prosedur pemantauan (Konsensus pengendalian dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011)

4. Pemeriksaan glukosa urin- Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar

glukosa darah. - Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada

beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama.

22

Page 23: Wrap Up

- Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

5. Pemantauan benda keton- Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama

pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL).

- Pada penyandang diabetes yang sedang hamil. - Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang

penting adalah asam beta hidroksibutirat. - Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam

darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. - Kadar asam beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0

mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD.- Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat

mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.

Tabel 7. Target pengendalian DM

23

Page 24: Wrap Up

Algoritme Pengelolaan DM tipe 2 tanpa dekompensasi

24

Page 25: Wrap Up

2.9 Komplikasi1. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah:

A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).

Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe 1. Hal ini bisa juga terjadi pada DM tipe 2. Hal ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan mengalami hal berikut:7

• Hiperglikemia

• Hiperketonemia

• Asidosis metabolik

Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis ,peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok.

Akhimya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin.

• Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis Diabetik

1. Dehidrasi 8. Poliuria

2. Hipotensi (postural atau supine) 9. Bingung

3. Ekstremitas Dingin/sianosis perifer 10. Kelelahan

4. Takikardi 11. Mual-muntah

5. Kusmaul breathing 12. Kaki kram

6. Nafas bau aseton 13. Pandangan kabur

7. Hipotermia 14. Koma (10%)

B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)

Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut:

25

Page 26: Wrap Up

• Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.

• Dehidrasi berat

• Uremia

Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.

• Penatalaksanaan HHNK

Penatalaksanaan berbeda dari ketoasidosis hanya dua tindakan yang terpenting adalah:Pasien biasanya relatif sensitif insulin dan kira-kira diberikan dosis setengah dari dosis insulin yang diberikan untuk terapi ketoasidosis, biasanya 3 unit/jam.7

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk, memperlihatkan kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM. Meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya.

• Penyebab Hipoglikemia :

1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan

2. Berat badan turun

3. Sesudah olah raga

4. Sesudah melahirkan

5. Sembuh dari sakit

6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa

Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.

• Tanda-tanda Hipoglikemia

1. Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.

26

Page 27: Wrap Up

2. Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitug sederhana.

3. Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau tangan, berdebar-debar.

4. Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral

ataupun suntikan. Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:

1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.

2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa diperkirakan pada puncak kerjanya, misalnya:

• Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan

• Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan

• P.Z.I : 18 jam setelah suntikan

3) Obat oral sedikit memberikan gejala saraf otonom (parasimpatik dan simpatik), sedangkan akibat insulin sangat menonjol.

2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang

A. Mikrovaskular / Neuropati

- Retinopati, catarak → penurunan penglihatan

- Nefropati → gagal ginjal

- Neuropati perifer → hilang rasa, malas bergerak

- Neuropati autonomik → hipertensi, gastroparesis

- Kelainan pada kaki → ulserasi, atropati

B. Makroangiopati

- Pembuluh darah jantung

- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal clauditio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

- Pembuluh darah otak

2.10 Pencegahan

Usaha pencegahan pada penyakit DM terdiri dari: pencegahan primordial yaitu pencegahan kepada orang-orang yang masih sehat agar tidak memilki faktor resiko untuk terjadinya DM, pencegahan primer yaitu pencegahan kepada mereka yang belum terkena DM namun

27

Page 28: Wrap Up

memiliki faktor resiko yang tinggi dan berpotensi untuk terjadinya DM agar tidak timbul penyakit DM, pencegahan sekunder yaitu mencegah agar tidak terjadi komplikasi walaupun sudah terjadi penyakit, dan pencegahan tersier yaitu usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi.

1. Pencegahan Primordial

Pencegahan primordial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor predisposisi/resiko terhadap penyakit DM. Sasaran dari pencegahan primordial adalah orang-orang yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki faktor resiko yang tinggi untuk penyakit DM. Edukasi sangat penting peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan seperti penyuluhan mengenai pengaturan gaya hidup, pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola makan sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk dan menghindari obat yang bersifat diabetagenik.

2. Pencegahan Primer

Sasaran dari pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum terkena DM, tetapi berpotensi untuk mendapatkan penyakit DM. pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya DM dan upaya untuk mengeliminasi faktor-faktor tersebut

Pada pengelolaan DM, penyuluhan menjadi sangat penting fungsinya untuk mencapai tujuan tersebut. Materi penyuluhan dapat berupa : apa itu DM, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM, usaha untuk mengurangi faktor-faktor tersebut, penatalaksanaan DM, obat-obat untuk mengontrol gula darah, perencanaan makan, mengurangi kegemukan, dan meningkatkan kegiatan jasmani.

a. Penyuluhan

Edukasi DM adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan mengenai DM. Disamping kepada pasien DM, edukasi juga diberikan kepada anggota keluarganya, kelompok masyarakat beresiko tinggi dan pihak-pihak perencana kebijakan kesehatan. Berbagai materi yang perlu diberikan kepada pasien DM adalah definisi penyakit DM, faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya DM dan upaya-upaya menekan DM, pengelolaan DM secara umum, pencegahan dan pengenalan komplikasi DM, serta pemeliharaan kaki.

b. Latihan Jasmani

Latihan jasmani yang teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) memegang peran penting dalam pencegahan primer terutama pada DM Tipe 2. Orang yang tidak berolah raga memerlukan insulin 2 kali lebih banyak untuk menurunkan kadar glukosa dalam darahnya dibandingkan orang yang berolah raga. Manfaat latihan jasmani yang teratur pada penderita DM antara lain:

Memperbaiki metabolisme yaitu menormalkan kadar glukosa darah dan lipid darah Meningkatkan kerja insulin dan meningkatkan jumlah pengangkut glukosa Membantu menurunkan berat badan

28

Page 29: Wrap Up

Meningkatkan kesegaran jasmani dan rasa percaya diri Mengurangi resiko penyakit kardiovaskular

Laihan jasmani yang dimaksud dapat berupa jalan, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

c. Perencanaan Pola Makan

Perencanaan pola makan yang baik dan sehat merupakan kunci sukses manajemen DM. Seluruh penderita harus melakukan diet dengan pembatasan kalori, terlebih untuk penderita dengan kondisi kegemukan. Menu dan jumlah kalori yang tepat umumnya dihitung berdasarkan kondisi individu pasien.

Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolaan DM, meski sampai saat ini tidak ada satupun perencanaan makan yang sesuai untuk semua pasien, namun ada standar yang dianjurkan yaitu makanan dengan komposisi yang seimbang dalam karbohidrat, protein, dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

Karbohidrat = 60-70 %, Protein = 10-15 %, dan Lemak = 20-25 %.

Jumlah asupan kolesterol perhari disarankan < 300 mg/hari dan diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani.

3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini DM serta penanganan segera dan efektif. Tujuan utama kegiatan-kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk mengembangkan atau memperparah penyakit.

Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sedapat mungkin dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi menahun. Edukasi dan pengelolaan DM memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat.

a. Diagnosis Dini Diabetes Mellitus

Dalam menetapkan diagnosis DM bagi pasien biasanya dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darahnya. Pemeriksaan kadar glukosa dalam darah pasien yang umum dilakukan adalah :

Pemeriksaan kadar glukosa darah setelah puasa.

Kadar glukosa darah normal setelah puasa berkisar antara 70-110 mg/dl. Seseorang didiagnosa DM bila kadar glukosa darah pada pemeriksaan darah arteri lebih dari 126 mg/dl dan lebih dari 140 mg/dl jika darah yang diperiksa diambil dari pembuluh vena.

29

Page 30: Wrap Up

Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu.

Jika kadar glukosa darah berkisar antara 110-199 mg/dl, maka harus dilakukan test lanjut. Pasien didiagnosis DM bila kadar glukosa darah pada pemeriksaan darah arteri ataupun vena lebih dari 200 mg/dl.16

Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO).

Test ini merupakan test yang lebih lanjut dalam pendiagnosaan DM. Pemeriksaan dilakukan berturut-turut dengan nilai normalnya : 0,5 jam < 115 mg/dl, 1 jam < 200 mg/dl, dan 2 jam < 140 mg/dl.

Selain pemeriksaan kadar gula darah, dapat juga dilakukan pemeriksaan HbA1C atau glycosylated haemoglobin. Glycosylated haemoglobin adalah protein yang terbentuk dari perpaduan antara gula dan haemoglobin dalam sel darah merah.18 Nilai yang dianjurkan oleh PERKENI untuk HbA1C normal (terkontrol) 4 % - 5,9 %.17 Semakin tinggi kadar HbA1C maka semakin tinggi pula resiko timbulnya komplikasi. Oleh karena itu pada penderita DM kadar HbA1C ditargetkan kurang dari 7 %.

Ketika kadar glukosa dalam darah tidak terkontrol (kadar gula darah tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. bila kadar gula darah tinggi dalam beberapa minggu maka kadar HbA1C akan tinggi juga. Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan umur eritrosit). Kadar HbA1C akan menggambarkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.19 Jadi walaupun pada saat pemeriksaan kadar gula darah pada saat puasa dan 2 jam sesudah makan baik, namun kadar HbA1C tinggi, berarti kadar glukosa darah tetap tidak terkontrol dengan baik.

b. Pengobatan Segera

Intervensi fakmakologik ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani. Dalam pengobatan ada 2 macam obat yang diberikan yaitu pemberian secara oral atau disebut juga Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan pemberian secara injeksi yaitu insulin. OHO dibagi menjadi 3 golongan yaitu : pemicu sekresi insulin (Sulfonilurea dan Glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin (Metformin dan Tiazolidindion), penambah absobsi glukosa (penghambat glukosidase alfa).

Selain 2 macam pengobatan tersebut, dapat juga dilakukan dengan terapi kombinasi yaitu dengan memberikan kombinasi dua atau tiga kelompok OHO jika dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai. Dapat juga menggunakan kombinasi kombinasi OHO dengan insulin apabila ada kegagalan pemakaian OHO baik tunggal maupun kombinasi.

4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi. Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecatatan

30

Page 31: Wrap Up

tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan. Sebagai contoh, acetosal dosis rendah (80-325 mg) dapat dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyakit makroangiopati.

Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien pasien dengan dokter mapupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Penyuluhan juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit DM. Dalam penyuluhan ini yang perlu disuluhkan mengenai:

Maksud, tujuan, dan cara pengobatan komplikasi kronik diabetes Upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan Kesabaran dan ketakwaan untuk dapat menerima dan memanfaatkan keadaan hidup dengan

komplikasi kronik.

Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait juga sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu seperti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskuler, radiologi, rehabilitasi, medis, gizi, pediatri dan sebagainya.

2.11 Prognosis

Prognosis Diabetes Melitus usia lanjut tergantung pada beberapa hal dan tidak selamanya buruk, pasien usia lanjut dengan Diabetes Melitus tri II (Diabetes Melitus III) yang terawat baik prognosisnya baik pada pasien Diabetes Melitus usia lanjut yang jatuh dalam keadaan koma hipoklikemik atau hiperosmolas, prognosisnya kurang baik. Hipoklikemik pada pasien usia lanjut biasanya berlangsung lama dan serius dengan akibat kerusakan otak yang permanen. Karena hiporesmolas adalah komplikasi yang sering ditemukan pada usia lanjut dan angka kematiannya tinggi.

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Retinopati Diabetik3.1 Definisi

Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa.

(Noble J, Chaudhary V. Diabetic retinopathy. CMAJ. 2010;182(15):1646.)

Retinopati diabetic adalah suatu mikroangiopati yang mengenai arteriola prekapiler retina, kapiler dan venula, akan tetapi pembuluh darah yang besarpun dapat terkena. Keadaan ini merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus yang menyebabkan kerusakan pada mata dimana secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata sehingga mengalami kebocoran.

(Kaji Y. 2005. Prevention of diabetic keratopathy. British journal of ophthalmology;89:254-255)

31

Page 32: Wrap Up

3.2 Etiologi

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.

Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain :

Adhesif platelet yang meningkat. Agregasi eritrosit yang meningkat. Abnormalitas lipid serum. Fibrinolisis yang tidak sempurna. Abnormalitas dari sekresi growth hormon Abnormalitas serum dan viskositas darah.

Faktor resiko yang berpengaruh :

1. Lama menderita diabetes

Bila diabetes didiagnosa sebelum usia 30 tahun, resiko terjadinya retinopati diabetik sekitar 2%. Dan apabila sudah menderita selama 7 tahun resiko untuk menderita retinopati 50% sedangkan apabila menderita selama 25 tahun kemungkinan menderita retinopati diabetik 90%. Penderita diabetes dengan durasi 25 sampai 50 tahun 26% kemungkinan akan mengalami bentuk proliferatif. Penurunan penglihatan dibawah 20/40 dijumpai pada penderita diabetes tergantung insulin sekitar 10% pada penderita diabetes anak, dan 38% pada penderita diabetes dewasa. Serta 24% pada penderita diabetes tidak tergantung insulin.

2. Kontrol kadar gula darah

Berdasarkan suatu penelitian pemberian insulin untuk mengontrol kadar gula darah dengan ketat mengurangi resiko terjadinya retinopati hingga sekitar 50%.

3. Ibu hamil, hipertensi, merokok, hiperlipidemia dan anemia.

3.3 Klasifikasi

Retinopati diabetik dapat diklasifikasikan dalam 2 jenis:

1. Nonproliferatif retinopati diabetik (NPRD)

Pada nonproliferatif retinopati diabetik, perubahan mikrovaskular retina hanya terbatas pada retina saja, tidak menyebar ke membran limitan interna. Karakteristik NPRD termasuk, mikroaneurisma, area kapiler nonperfusi, infark dari nerve fibre layer, IRMAs, perdarahan

32

Page 33: Wrap Up

dot and blot intraretina, edema retina, hard eksudat, arteriol abnormalitas, dilatasi dan beading vena retina. NPRD dapat mengganggu fungsi visual dengan 2 mekanisme:

• Berbagai derajat sumbatan kapiler intraretina menimbulkan makular iskemik• Peningkatan permeabilitas vaskularisasi retina menimbulkan edem makula

Diabetik Makular Edema

Diagnosis diabetik makular edema (DME) sangat baik menggunakan slitlamp biomikroskopis, untuk pemeriksaan segmen posterior menggunakan lensa kontak untuk memperjelas visualisasi. Penemuan penting pada pemeriksaan termasuk:

- Lokasi retina yang menebal relatif terhadap fovea

- Adanya eksudat dan lokasinya

- Adanya cystoid makular edema

Fluoresein angiografi digunakan untuk melihat kebocoran pembuluh darah retina akibat kerusakan barier pembuluh darah retina. Manifestasi diabetik makular edema berupa penebalan retina secara fokal atau difus dengan atau tanpa eksudat. Karakteristik edem makula fokal adanya kebocoran fokal dari lesi kapiler spesifik. Edem tersebut berkaitan dengan ring hard exudate. Edem makula difus mempunyai karakteristik dengan kelainan kapiler retina yang luas berhubungan dengan kebocoran yang luas dari kerusakan ekstensif barir darah-retina, dan sering dengan cystoid macular edema.

• Penanganan diabetik makular edema

Strategi pengobatan untuk diabetik makular edema meliputi modifikasi gaya hidup, olah raga, berhenti merokok, kontrol gula darah, tekanan darah, kadar lemak darah dan massa indeks tubuh.

• Penatalaksanaan laser pada diabetik makular edema

Beberapa paradigma pengobatan yang terbaru berasal dari Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) menetapkan tentang clinically significant macular edema (CSME) dan merekomendasi penatalaksanaan dengan laser fotokoagulasi fokal untuk berikut ini:

- Edema retina yang berlokasi pada atau dalam area 500 mikrometer dari sentralmakula.

- Hard exudates pada atau dalam area 500 mikrometer dari sentral jika berhubungan dengan penebalan retina yang berdekatan.

- Daerah yang mengalami penebalan lebih besar dari 1 area diskus jika lokasinya dalam 1 diameter diskus dari sentral makula.

• Penatalaksanaan medikal pada diabetik makular edema

33

Page 34: Wrap Up

- Pada pasien DM yang sulit disembuhkan, injeksi triamsinolon asetonid sub-tenon posterior dapat memperbaiki penglihatan dalam 1 bulan dan menstabilkan penglihatan sampai satu tahun dalam suatu penelitian retrospektif.

- Pada pasien CSME yang sulit disembuhkan, intra vitreal kortikosteroid dapat memperbaiki penglihatan dalam jangka singkat dan mengurangi ketebalan makula selama 2 tahun folow up. Pada masa yang akan datang, kortikosteroid dan anti VEGF dapat bermanfaat dalam penanganan diabetik makular edem.

• Penatalaksanaan bedah pada diabetik makular edema

Vitrektomi pars plana dan detachment posterior hyaloid juga bermanfaat untuk mengatasi diabetik makular edema, khususnya dengan traksi hialoid posterior dan diabetik makular edema difus. Diabetik Makular Iskemik

Kapiler retina nonperfusi merupakan gambaran yang berhubungan dengan NPRD yang progresif. Angiografi fluoresein menunjukkan kapiler nonperfusi yang luas. Mikroaneurisma cendrung berkelompok pada pinggir zona kapiler nonperfusi. Tertutupnya arteriol retina menimbulkan area nonperfusi yang lebih besar dan iskemik progresif. Meluasnya zona avaskular fovea lebih besar dari 1000 mikrometer diameter umumnya bermakna penurunan penglihatan.

Progresifitas menjadi PRD

NPRD berat ditetapkan oleh ETDRS dalam aturan 4:2:1, dengan karakteristik 1 dari yang berikut:

1. Perdarahan intra retinal difus dan mikroaneurisma pada 4 kuadran

2. Venous beading pada 2 kuadran

3. IRMAs (intra retinal mikrovascular abnormality) pada 1 kuadran EDTRS mendapatkan NPRD berat mempunyai peluang 15% progresif menjadi high risk PRD dalam kurun waktu 1 tahun. Very severe NPRD mempunyai 2 dari gambaran diatas dengan peluang 45% progresif menjadi high-riskPRD dalam waktu 1 tahun.Pelepasan faktor-faktor vasoproliferatif meningkat sesuai derajat iskemik retina. Satu faktor vasoproliferatif, VEGF, telah diisolasi dari spesimen vitrektomi pasien PRD. VEGF ini dapat menstimulasi neovaskularisasi pada retina, papil nervus optikus, atau segmen anterior.

2. Proliferatif retinopati diabetik(PRD)

Proliferasi fibrovaskular ekstra retina memperlihatkan variasi stadiumperkembangan PRD. Pembuluh darah baru berkembang dalam 3 stadium:

Pembuluh darah baru dengan jaringan fibrous minimal yang melintasi dan meluas mencapai membrana limitan interna.

Pembuluh darah baru meningkat ukurannya dan meluas, dengan meningkatnya komponen fibrous.

34

Page 35: Wrap Up

Pembuluh darah baru mengalami regresi, meninggalkan sisa proliferasi fibrovaskular di sepanjang hialoid posterior.

Berdasarkan luasnya proliferasi, PRD dibagi dalam tingkatan early, highrisk, atau advance.

• Penatalaksanaan medikal pada retinopati diabetik

Prinsip utama penatalaksanaan medikal adalah memperlambat dan mencegah komplikasi. Ini bisa dicapai oleh pelaksanaan pemeriksaan lokal dan menyeluruh yang mempengaruhi onset NPRD dan progresifitasnya menjadi PRD. Hipertensi, bila tidak terkontrol selama beberapa tahun sering menyebabkan progresifitas menjadi lebih tinggi dari DME dan retinopati diabetik. Penyakit oklusi arteri karotis berat dapat menimbulkan PRD advance sebagai bagian dari sindroma iskemik okular. Kehamilan dapat berkaitan dengan memburuknya retinopati, oleh karena itu, wanita diabetes yang hamil memerlukan evaluasi retina yang lebih sering.

Faktor yang paling penting dalam penatalaksanaan medikal pada retinopati diabetik adalah mempertahankan kontrol gula yang baik.

• Penatalaksanaan laser pada PRD

Penanganan utama PRD meliputi penggunaan laser fotokoagulasi termal dalam pola panretina untuk menimbulkan regresi. Penatalaksanaan scatter panretinal photocoagulation (PRP) hampir selalu direkomendasikan. Tujuan scatter PRP adalah menyebabkan regresi dari jaringan neovaskular yang ada dan menjaga progresifitas neovaskularisasi selanjutnya.

• Penatalaksanaan bedah pada PRD

Ada dua kelainan utama pada advance PRD adalah perdarahan vitreous dan tractional retinal detachment.

- Bedah vitrektomi, indikasinya pada pasien PRD dengan perdarahan vitreous yang tidak membaik sampai lebih satu tahun. The diabetic retinopathy vitrectomy study (DRVS) telah menetapkan vitrektomi di awal pada perdarahan vitreous sekunder dari PRD.

- Tractional Retinal detachment : vitrektomi bertujuan untuk memperbaiki traksi vitreoretina dan memfasilitasi perlekatan kembali retina oleh penarikan atau pengelupasan vitreous kortikal atau hialoid posterior.

(American Academy of Ophthalmology, Basic and Clinical Science Course,Retinal Vascular Disease in Retina and Vitreous, section 12, chapter 5, 2009-2010, p. 109-131)

(Sony P, Venkatesh P and all, Step by Step Optical Coherence Tomography,

Jaypee Brothers, Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi, 2007, p.205-211

Lisegang TJ, Deutsch TA, Grand MG, Ocular development, Fundamentals and principles of ophthalmology section 2, Sanfransisco, American Academy of Ophthalmology, 2005-2006, p.133-157.

35

Page 36: Wrap Up

Boulton M. The pathogenesis of diabetika retinopathy: old concepts and new questions. Eye.2004; 16:242-260)

3.4 Epidemiologi

Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa. Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi 154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% diantaranya terancam mengalami kebutaan. The DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferatif.

Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin lamanya seseorang menyandang DM. Faktor risiko lain untuk retinopati DM adalah ketergantungan insulin pada penyandang DM tipe II, nefropati, dan hipertensi. Sementara itu, pubertas dan kehamilan dapat mempercepat progresivitas retinopati DM. Kebutaan akibat retinopati DM menjadi masalah kesehatan yang diwaspadai di dunia karena kebutaan akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita yang akhirnya menimbulkan beban sosial masyarakat. Masalah utama dalam penanganan retinopati DM adalah keterlambatan diagnosis karena sebagian besar penderita pada tahap awal tidak mengalami gangguan penglihatan.

(Wong TY , Yau J, Rogers S, Kawasaki R, Lamoureux EL, Kowalski J. Global prevalence of diabetic retinopathy: Pooled data from population studies from the United States, Australia, Europe and Asia. Prosiding The Association for Research in Vision and Opthalmology Annual Meeting; 2011.)

(Soewondo P , Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW, Tjokroprawiro A. 2010. The DiabCare Asia 2008 study - Outcomes on control and complications of type 2 diabetic patients in Indonesia. Med J Indones. 2010;19(4):235-43.)

3.5 Patofisiologi

Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan factor vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah kerusakan.

Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reductase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel.

36

Page 37: Wrap Up

Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.

(Bloomgarden ZT. Screening for and managing diabetic retinopathy: Current approaches. Am J Health-Syst Pharm.2007;64(Suppl12):S8-14.)

3.6 Manifestasi Klinis

Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa :

• Kesulitan membaca • Penglihatan kabur • Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata • Melihat lingkaran-lingkaran cahaya • Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

Gejala Objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa :

• Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.

• Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior.

• Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok. • Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu

iregular, kekuning-kuningan Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

• Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.

• Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok , dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula–mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerahpreretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid ( preretinal ) maupun perdarahan badan kaca.

37

Page 38: Wrap Up

• Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan

(Diabetic Retinopathy, http://www.kellogg.umich.edu/patientcare/conditions/diabetic.retinopathy.html.)

3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Pemeriksaan Funduskopi Direk pada Retinopati DM

Pemeriksaan funduskopi direk bermanfaat untuk menilai saraf optik, retina, makula dan pembuluh darah di kutub posterior mata. Sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta untuk melepaskan kaca mata atau lensa kontak, kemudian mata yang akan diperiksa ditetesi midriatikum. Pemeriksa harus menyampaikan kepada pasien bahwa ia akan merasa silau dan kurang nyaman setelah ditetesi obat tersebut. Risiko glaukoma akut sudut tertutup merupakan kontraindikasi pemberian midriatikum.

Pemeriksaan funduskopi direk dilakukan di ruangan yang cukup gelap. Pasien duduk berhadapan sama tinggi dengan pemeriksa dan diminta untuk memakukan (fiksasi) pandangannya pada satu titik jauh. Pemeriksa kemudian mengatur oftalmoskop pada 0 dioptri dan ukuran aperture yang sesuai. Mata kanan pasien diperiksa dengan mata kanan pemeriksa dan oftalmoskop dipegang di tangan kanan.

Hasil OCT Normal (A) dan Edema Makula pada Retinopati DM (B)

Mula-mula pemeriksaan dilakukan pada jarak 50 cm untuk menilai refleks retina yang berwarna merah jingga dan koroid. Selanjutnya, pemeriksaan dilakukan pada jarak 2-3 cm dengan mengikuti pembuluh darah ke arah medial untuk menilai tampilan tepi dan warna diskus optik, dan melihat cup-disc ratio. Diskus optik yang normal berbatas tegas, disc berwarna merah muda dengan cup berwarna kuning, sedangkan cup-disc ratio <0,3. Pasien lalu diminta melihat ke delapan arah mata angin untuk menilai retina. Mikroaneurisma, eksudat, perdarahan, dan neovaskularisasi merupakan tanda utama retinopati DM. Terakhir, pasien diminta melihat langsung ke cahaya oftalmoskop agar pemeriksa dapat menilai makula. Edema makula dan eksudat adalah tanda khas makulopati diabetikum.

38

Page 39: Wrap Up

Retinopati DM Nonproliferatif Derajat sedang dengan Edema Makula (A) dan Retinopati DM Proliferatif dengan Edema Makula dan Perdarahan Pre-retina (B)

(Garg S, Davis RM. Diabetic retinopathy screening update. Clinical Diabetes. 2009;27(4):140-5.

Westerfeld CB, Miller JW . Neovascularization in diabetic retinopathy. In: Levin LA, Albert DM, editor. Ocular disease: mechanisms and management. USA: Saunders; 2010. p. 514-7)

Diagnosis

Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina.

Metode diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology (AAO) adalah fundus photography. Keunggulan pemeriksaan ter tersebut adalah mudah dilaksanakan, interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga mampu laksana di pelayanan kesehatan primer. Selanjutnya, retinopati DM dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS). Di pelayanan primer pemeriksaan fundus photography berperanan sebagai pemeriksaan penapis. Apabila pada pemeriksaan ditemukan edema makula, retinopati DM nonproliferatif derajat berat dan retinopati DM proliferatif maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata.

Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari pemeriksaan visus, tekanan bola mata, slit-lamp biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus photography dengan pemberian midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan optical coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography bila perlu. OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk menemukan kelainan yang sulit terdeteksi oleh pemeriksaan lain dan menilai edema makula serta responsnya terhadap terapi. Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila visualisasinya terhalang oleh perdarahan vitreous atau kekeruhan media refraksi.

39

Page 40: Wrap Up

3.8 Tatalaksana

Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah perburukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan. Panretinal laser photocoagulation harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi pilihan.

(Chu C, Salmon J. Examination of the fundus. The Journal of Clinical Examination. 2007;2:7-14)

3.9 Komplikasi

Kebutaan, glaucoma, katarak diabetik

40

Page 41: Wrap Up

3.10 Pencegahan

Suatu fakta dikemukakan bahwa insiden retinopati diabetik ini tergantung pada durasi menderita diabetes mellitus dan pengendaliannya. Hal sederhana yang terpenting yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes untuk dapat mencegah terjadinya retinopati adalah dengan mengontrol gula darah, selain itu tekanan darah, masalah jantung, obesitas dan lainnya harus juga dikendalikan dan diperhatikan.

Deteksi Dini Retinopati DM

Pada tahun 2010, The American Diabetes Association menetapkan beberapa rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM ditegakkan. Kedua, penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda retinopati progresif. Kelima, perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya dan/atau perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang risiko tersebut.

Peranan dokter umum dalam tata laksana retinopati DMvadalah mengendalikan faktor risiko, yaitu kadar gula, kadar lipid, dan tekanan darah yang abnormal. Pengendalian atas ketiga faktor ini terbukti mampu menurunkan risiko dan memperlambat progresivitas retinopati DM. Target optimal yang harus dicapai adalah kadar HbA1c <7%, kadar low-density lipoprotein (LDL) <100 mg/dL, kadar high-density lipoprotein >50 mg/dL, kadar trigliserida <150 mg/dL dan tekanan darah <130/80 mmHg. Edukasi oleh dokter umum mengenai DM dan komplikasi retinopati akan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan penderita DM menjalani pemeriksaan mata rutin. Dengandemikian rujukan ke dokter spesialis mata dapat dilakukan pada saat yang tepat. Hal tersebut akan menurunkan angka kebutaan akibat retinopati DM.

(PaulusYM, Gariano RF. Diabetic retinopathy: Agrowing concern in an aging population. Geriatrics. 2009;64(2):16-26.)

3.11 Prognosis

Pada mata yang mengalami edema makular dan iskemik yang bermakna akan memiliki prognosa yang lebih jelek dengan atautanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan perfusi yang relatif baik.

41

Page 42: Wrap Up

LI 4. Memahami dan Menjelaskan Menghitung Kebutuhan Kalori

Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.

Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang

dimodifikasi adalah sbb:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm -100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm -100) x 1 kg.

BB Normal : BB ideal ± 10 % Kurus : < BBI -10 % Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2)

Klasifikasi IMT*

BB Kurang <18,5 BB Normal 18,5-22,9 BB Lebih ≥23,0 Dengan risiko 23,0-24,9 Obes I 25,0-29,9 Obes II > 30

42

Page 43: Wrap Up

Faktor-faktor yang menentukankebutuhan kalori antara lain :

Jenis KelaminKebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.

UmurUntuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara60 dan69 tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.

Aktivitas Fisik atau Pekerjaan Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat, 20%

pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.

Berat BadanBila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan

Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.

Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%),dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

C. Pilihan Makanan

Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan untuk penyandang diabetes.

43

Page 44: Wrap Up

I. Sumber karbohidrat dikonsumsi 3-7 porsi/penukar sehari (tergantung status gizi).

II. Sumber vitamin dan mineral: sayuran 2-3 porsi/penukar, buah 2-4 porsi/penukar sehari.

III. Sumber protein: lauk hewani 3 porsi/penukar, lauk nabati 2-3 porsi/penukar sehari.

IV. Batasi konsumsi gula, lemak / minyak dan garam.

LI 5. Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana Diabetes Melitus

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

44

Page 45: Wrap Up

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatansekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.*golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaanakan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

E. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1

45

Page 46: Wrap Up

diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36) amide yang tidak aktif.

Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).

Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

Sulfonilurea:15 –30 menit sebelum makan Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Suntikan1. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) Insulin kerja pendek (short acting insulin) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) Insulin kerja panjang (long acting insulin)

46

Page 47: Wrap Up

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat

menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin:

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.

Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).

Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.

Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).

Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

Cara Penyuntikan Insulin

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.

Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja

menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut.

Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.

47

Page 48: Wrap Up

Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.

Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100 unit/mL).

2. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.

LI 6. Memahami dan Menjelaskan Makanan yang Halal dan Baik

48

Page 49: Wrap Up

Pengertian Thayyib

Al Raghib al Isfahani berkata: thayyib (baik). Dikatakan untuk sesuatu yang benar-benar baik adalah thayyib. Pada dasarnya, kata ini berarti sesuatu yang dirasakan enak oleh indera dan jiwa. Al Thayyibat adalah bentuk jamak dari thayyib, yang diambil dari derivasi thaba-yathibu-thayyib-thayyibah; sesuatu yang baik maka disebut thayyib. Kata ini memiliki banyak makna; (1) Zaka wa thahara (suci dan bersih); (2) Jada wa hasuna (baik dan elok); (3) ladzdza (enak); (4) menjadi halal.

Thayyib (baik) adalah sesuatu yang dirasakan enak oleh indera atau jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan. Al Quran menyebutkan kata ‘al-thayyib’ ini berulang kali. Pertama, Al Quran menyebutkan dalam bentuk mufrad mudzkakkar (laki-laki tunggal), sebanyak 4 kali digunakan sebagai sifat makanan halal; yaitu dalam surat Al Baqarah : 168 (halalan thayyiban), al Maidah: 88 (halalan thayyiban), al-Anfal: 69 (halalan thayyiban), dan an-Nahl :114 (halalan thayyiban).

Dan sebanyak 2 kali untuk menjelaskan tanah atau debu (sebagai syarat tayamum) dan tidak ada kaitannya dengan makanan, yaitu dalam surat An-Nisa (sha’idan thayyiban) dan Al-Maidah: 6 (sha’idan thayyiban).

Di samping itu, Al Quran juga menyinggung kata ini dengan bentuk mufrad muannats (perempuan tunggal), yaitu ‘thayyibah’ sebanyak 9 kali. Semuanya disebutkan sebagai kata sifat untuk sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan makanan, yaitu: dalam surat Ali Imran: 38 (dzurriyah thayyibah), At-Taubah :72 (masakin thayyibah), Yunus : 22 (birihin thayyibah), Ibrahim: 24 (kalimah thayyibah, Ibrahim : 24 (syajarah thayyibah), dan An Nahl :97 (hayah thayyibah).

Adapun bentuk jamak, yaitu “thayyibah”, Al Quran menyebutkan sebanyak 21 kali. Semuanya merujuk pada 4 pengertian : sifat makanan, sifat usaha atau rezeki, sifat perhiasan, dan sifat perempuan.

Al Maidah 4-5

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya".

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-

49

Page 50: Wrap Up

gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Al A’raf: 157

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Halal Thayyib

Al Quran menyebut lafadz ‘al-thayyib’ dalam bentuk mufrad mudzakkar sebanyak 6 kali, dan 4 diantaranya mengenai sifat makanan, contohnya yang terlihat dalam surat Al Baqarah : 168

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”

Apakah pengertian thayyib (baik) dalam ungkapan ayat di atas? Apakah thayyib (baik) itu sama dengan halal, sehingga ia berfungsi untuk menguatkan kata ‘halal’? Atau kata ‘thayyib’ di sini berbeda dengan halal?

Tampaknya para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah al’thayyib secara syar’i pada ayat di atas. Imam Ibn Jarir al-Thabari berkata, “Adapun firman Allah: thayyiban artinya adalah suci, tidak najis dan tidak diharamkan.

Imam Ibn Katsir dalam menafsirkan ayat ini (Al Baqarah: 168) berkata,” Setelah Allah Menjelaskan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Dia. Dialah Tuhan yang tidak bergantung pada makhluk, maka Dia Menjelaskan bahwa Dialah Tuhan Yang Maha Pemberi rizki kepada semua makhluk-Nya. Ketika menyebutkan karunia-Nya, Dia Membolehkan mereka untuk memakan apa yang halal di muka bumi, sebagai karunia dari Allah. ‘Al Thayyib’ (baik) yaitu zatnya dinilai baik, tidak membahayakan tubuh dan akal.

Jenis Makanan yang Dihalalkan dalam Islam

Makanan yang dihalalkan dalam Islam sangat banyak sekali, berbagai macam makanan mulai dari yang dihasilkan dari tumbuhan ataupun dari hasil ternakan (hewan). Dalam Al Qur’an telah dijelaskan Oleh Allah SWT, dalam Surat Al – Baqarah ayat 168 yang Artinya sebagai berikut:

“ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di Bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.

50

Page 51: Wrap Up

Dari itu Allah SWT juga berfirman dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 172 yang artinya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”.

Pada pembahasan ini makanan yang dihalalkan dalam Islam meliputi beberapa hal yaitu:

1.      Halal Secara Zatnya

Makanan yang dimakan tidak mengandung zat yang dapat membuat haram makanan. Adapun kemungkinan suatu makanan menjadi haram karena memberi Mudharat bagi manusia seperti racun, barang-barang menjijikkan dan sebagainya.

2.      Halal cara prosesnya

Makanan yang halal tetapi bila diproses dengan cara yang tidak halal, maka menjadi haram. Memproses secara tidak halal itu bila dilakukan:

a)Penyembelihan hewan yang tidak dilakukan oleh seorang muslim, dengan tidak menyebut atas nama Allah dan menggunakan pisau yang tajam.

b) Penyembelihan hewan yang jelas-jelas diperuntukkan atau dipersembahkan kepada berhala (sesaji)

c) Karena darah itu diharamkan, maka dalam penyembelihan, darah hewan yang disembelih harus keluar secara tuntas, dan urat nadi lehar dan saluran nafasnya harus putus dan harus dilakukan secara santun, menggunakan pisau yang tajam.

d) Daging hewan yang halal tercemar oleh zat haram atau tidak halal menjadi tidak halal. Pengertian tercemar disini bisa melalui tercampurnya dengan bahan tidak halal, berupa bahan baku, bumbu atau bahan penolong lainnya. Bisa juga karena tidak terpisahnya tempat dan alat yang digunakan memproses bahan tidak halal.

e) Adapun ikan baik yang hidup di air tawar maupun yang hidup di air laut semuanya halal, walaupun tanpa disembelih, termasuk semua jenis hewan yang hidup di dalam air.

f)  Selain yang tersebut diatas, ada beberapa jenis binatang yang diharamkan oleh sementara pendapat ulama namun dasarnya masih mengundang perbedaan pendapat.

3.      Halal cara memperolehnya

Seorang muslim yang taat sangat memperhatikan makanan yang dikonsumsinya. Islam memberikan tuntunan agar orang Islam hanya makan dan minum yang halal dan thoyyib, artinya makanan yang sehat secara spiritual dan higienis. Mengkonsumsi makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal berarti tidak halal secara spiritual akan sangat berpengaruh negatif terhadap kehidupan spiritual seseorang. Darah yang mengalir dalam tubuhnya menjadi sangar, sulit memperoleh ketenangan, hidupnya menjadi beringas, tidak

51

Page 52: Wrap Up

pernah mengenal puas, tidak pernah tahu bersyukur, ibadah dan doanya sulit diterima oleh Tuhan.

Manfaaf  Makan Makanan dan Minuman yang Dihalalkan

Makanan dan minuman yang halalan thoyyibah atau  halal dan baik serta bergizi tentu sangat berguna bagi kita, baik untuk kebutuhan jasmani dan rohani. Apabila makanan dan minuman yang didapatkan dari hasil yang halal tentu sangat berguna untuk diri kita dan keluarga kita. Hasil dari makanan minuman yang halal sangat membawa berkah, barakah bukan bererti jumlahnya banyak, meskipun sedikit, namun uang itu cukup untuk mencukupi kebutuhan sahari-hari dan juga bergizi tinggi. Bermanfaat bagi pertumbuhan tubuh dan perkembangan otak. Lain halnya dengan hasil dan jenis barang yang memang haram, meskipun banyak sekali, tapi tidak barokah, maka Allah menyulitkan baginya rahmat sehingga uangnnya terbuang banyak hingga habis dalam waktu singkat.

Diantara beberapa manfaat menggunakan makanan dan minuman halal, yaitu :

1). Membawa ketenangan hidup dalam kegiatan sehari-hari,

2). dapat menjaga kesehatan jasmani dan rohani,

3). Mendapat perlindungan dari Allah SWT,

4). Mendapatkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT,

5). Tercermin kepribadian yang jujur dalam hidupnya dan sikap apa adanya,

6). Rezeki yang diperolehnya membawa barokah dunia akhirat.

(Disalin dari Mimbar Jumat Masjid Istiqlal Jakarta, No. 522/XI/09 Jumat 10 Juli 2009/ 17 Rajab 1430 H)

52