Wellbeing and Integrity

96
HUBUNGAN ANTARA INTEGRITY DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRISNA WREDHA MELANIA Skripsi Diajukan untuk memenuhi tugas sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi Oleh: Donna Olivia 105070002230 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M

description

Wellbeing and Integrity

Transcript of Wellbeing and Integrity

Page 1: Wellbeing and Integrity

HUBUNGAN ANTARA INTEGRITY DENGAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANJUT USIA

DI PANTI SOSIAL TRISNA WREDHA MELANIA

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi tugas sebagai persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Donna Olivia

105070002230

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1431 H / 2010 M

Page 2: Wellbeing and Integrity

DAFTAR ISI

Pernyataan ………………………………………………………………….. ii

Lembar Pengesahan ………………………………………………………… iv

Moto …………………………………………………………………………... v

Abstrak ………………………………………………………………………. vi

Kata Pengantar ……………………………………………………………… viii

Daftar Isi …………………………………………………………………….. x

Daftar Tabel …………………………………………………………………. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………… 1

1.2 Batasan Masalah…………………………………………………………. 7

1.4 Rumusan Masalah……………………………………………………….. 9

1.5 Tujuan dan Manfaat……………………………………………………… 9

1.6 Sistematika Penulisan…...………………………………………………. 10

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

2.1 Integrity ….……………………………………………………………..... 11

2.1.1 Teori Erikson……………………………………………………. 11

2.1.2 Tahapan Perkembangan Psikososial Bayi Sampai Dewasa ….… 14

2.1.3 Integrity Pada Lanjut Usia ………………..……………………. 16

2.2 Psychological Well Being

2.2.1 Definisi Psychological Well-Being…………………………….. 18

2.2.2 Dimensi Psychological Well-Being……………………………. 20

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological

Well-Being……………………………………………………... 23

2.2.4 Psychological Well-Being Lanjut Usia………………………… 26

2.3 Lanjut usia

2.3.1 Definisi Lanjut Usia…………………………………………….. 28

2.3.2 Keadaan Lanjut Usia……………………………………………. 30

Page 3: Wellbeing and Integrity

2.3.3 Batasan-Batasan Umur Lanjut Usia…………………………….. 33

2.3.4 Tugas Perkembangan Lanjut Usia……………………………… 34

2.4 Panti Werdha…………………………………………………………….. 35

2.5 Hubungan Psychological Well-Being dengan Integrity vs Despair Lanjut

Usia……………………………………………………………………… 37

2.6 Kerangka Berfikir………………………………………………………... 38

2.7 Hipotesis…………………………………………………………………. 39

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

3.1.1 Pendekatan Penelitian…………………………………………… 40

3.1.2 Metode Penelitian………………………………………………. 40

3.2 Definisi Variabel, Konseptual, dan Operasional

3.2.1 Definisi Variabel………………………………………………… 41

3.2.2 Definisi Konseptual…………………………………………….. 41

3.2.3 Definisi Operasional……………………………………………. 42

3.3 Subjek Penelitian

3.3.1 Populasi dan Sampel………………………………………......... 43

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel……………………………………. 43

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Metode dan Instrumen Penelitian………………………………. 43

3.4.2 Teknik Uji Instrument…………………………………………... 46

3.5 Hasil Uji Instrument……………………………………………………… 48

3.5.1 Hasil Uji Coba Alat Ukur Integrity…………..………….……… 48

3.5.2 Hasil Uji Coba Alat Ukur Psychological Well-Being …………… 49

3.6 Teknik Analisa Data………………………………………………………. 50

3.7 Prosedur Penelitian………………………………………………………... 50

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Hasil Penelitian………………………………………………. 52

Page 4: Wellbeing and Integrity

4.2 Uji Persyaratan

4.2.1 Uji Hipotesis……………………………………………………… 54

4.2.2 Analisa Uji Hipotesis……………………………………………… 56

4.3 Hasil Tambahan

4.3.1 Gambaran Umum Responden…………………………………….. 56

4.3.2 Hasil Analisa Uji Regresi………………………………………… 61

BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan……………………………………………………………… 62

5.2 Diskusi.…………………………………………………………………. 62

5.3 Saran

5.3.1 Saran Teoritis…………………………………………………….. 67

5.3.2 Saran Praktis……………………………………………………… 68

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 5: Wellbeing and Integrity

iii 

 

HUBUNGAN INTEGRITY DENGAN

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANJUT USIA

DI PANTI SOSIAL TRISNA WREDHA MELANIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

Donna Olivia

NIM: 105070002230

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Netty Hartati, M.Si M. Avicenna, M. HSc. Psy

NIP.195310021983032001 NIP. 197709062001122004

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/ 2010 M

Page 6: Wellbeing and Integrity

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul HUBUNGAN INTEGRITY DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL TRISNA WREDHA MELANIA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 November 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 25 November 2010

Sidang Munaqasyah

Dekan / Pembantu Dekan /

Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP: 130 885 522 NIP: 195612231983032001

Anggota:

Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si Dra. Netty Hartati, M.Si

NIP: 19620724198902001 NIP: 195310021983032001

M. Avicenna, M. HSc. Psy

NIP: 197709062001122004

iv  

Page 7: Wellbeing and Integrity

PERYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Donna Olivia

NIM : 105070002230

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Integrity Dengan

Psychological Well-Being Lanjut Usia Di Panti Sosial Trisna Wredha Melania” adalah

benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan

skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya

cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika

ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian peryataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 15 Desember 2010

Donna Olivia

NIM : 105070002230

ii  

Page 8: Wellbeing and Integrity

ABSTRAK A) Fakultas Psikologi B) November 2010 C) Donna Olivia D) Hubungan Integrity Dengan Psychological Well-Being Lanjut Usia

Di Panti Sosial Trisna Wredha Melania E) Halaman: xiii + 68 Halaman + Lampiran F) Pada abad 21 sekarang dalam segi kehidupan berkeluarga, terjadi perubahan sosial dari tatanan keluarga yang berorientasi pada nilai-nilai keluarga luas menjadi keluarga inti, sehingga lansia “terlempar keluar” dari keluarga kecil yang memiliki nilai-nilai kekerabatan yang baru. Sehingga pada saat ini lebih sedikit anak usia produktif yang dapat menampung orangtua yang sudah lanjut usia dalam keluarga, dikarenakan pola kehidupan tradisional yang berciri hadirnya kaum ibu dalam rumah tangga yang secara penuh dan dapat memberikan pelayanan menyeluruh terhadap keluarganya mulai menghilang. Nilai-nilai kemandirian, tidak ingin berada dalam ketergantungan pada anak-anak, merupakan nilai-nilai yang berasal dari masyarakat modern. Sehingga dengan beberapa alasan lansia memilih tinggal di panti wreda. Lansia tersebut akan mengalami kebahagiaannya jika kehidupan pada masa sebelumnya mengalami pengalaman yang baik dan dapat menerima dengan lapang dada kondisinya saat ini, sebaliknya lansia tersebut tiak akan mendapatkan kebahagiaan jika ia selalu mengeluhkan apa yang telah ia jalani dan dapatkan saat ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara integrity

dengan psychological well-being lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wreda Melania. Integrity yang dimaksud adalah tahapan terakhir dari psikososial Erikson pada masa lansia. Lansia akan mengalami integrity bila ia mengembangkan suatu harapan yang positif di setiap periode sebelumnya, maka pandangan tentang masa lalu dan kenangan akan menampakkan suatu gambaran dari kehidupan yang dilewatkan dengan baik, dan ia akan merasa puas (Santrock, 2002). Sedangkan psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki, yang terdiri dari 6 dimensi yaitu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik.

Metode penelitian ini adalah korelasional. Populasinya adalah lansia yang

tinggal di Panti Sosial Trisna Wredha Melania dengan sampel sebanyak 35 orang lansia. Instrument pengumpulan data menggunalan skala Likert untuk integrity, despair, dan psychological well-being. Analisis data penelitian ini adalah dengan menggunakan metode korelasi Spearman pada taraf signifikansi 1% pada two tailed

vi  

Page 9: Wellbeing and Integrity

vii  

test. Hasil penelitian menyatakan bahwa nilai koefisien korelasi (rhitung) antara integrity dengan psychological well-being adalah 0,473 > rtabel (Sig. 1%), maka hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan psychological well-being dengan integrity pada lanjut usia di panti wreda diterima dengan arah hubungan positif, yang bermakna semakin tinggi psychological well-being lansia, maka integrity yang dimilikinya juga cendrung semakin baik.

Saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah agar dapat dilakukan

penelitian lanjutan dengan metode kualitatif sehingga data yang diperoleh lebih mendalam, melakukan penelitian juga untuk tahapan perkembangan sebelum lansia (remaja dan dewasa), dan dilakukan pada sampel yang lebih besar. G) Daftar Pustaka: 22 buku + 3 jurnal + 6 pustaka online (1969 – 2009)

Page 10: Wellbeing and Integrity

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim

Penulis memanjatkan puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat

segala kekuasaan dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam

terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Terselesaikannya skripsi ini sebenarnya juga tidak luput dari bantuan pihak luar, oleh

karena itu, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph. D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif HIdayatullah Jakarta,

beserta jajarannya.

2. Dosen pembimbing Ibu Dra. Netty Hartati, M. Si sebagai dosen pembimbing I dan Bapak

M. Avicenna, M. SHc. Psy sebagai dosen pembimbing II, yang telah meluangkan waktu,

tenaga, dan pikiran serta kesabarannya dalam memberikan bimbingan, arahan, dan

motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Pembimbing akademik Ibu Dra. Diana Mutiah, M. Si

4. Bapak dan Ibu staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas

kerjasamanya.

5. Kepada kedua orang tua Papa Fachri Bachtiar dan mama Tetty Desriwanti untuk kasih

sayang, kesabaran, perhatian, pengertian, dukungan, serta do’a yang tidak pernah putus

untuk kesuksesan penulis.

6. Kakek dan nenek, para om dan tante, serta adik-adik penulis tersayang atas dukungan dan

semangatnya.

7. Kepada Bapak Tonny Effendy selaku pengurus Panti Sosial Tresna Werdha Budhi

Dharma dan mbah-mbah yang menjadi respoden penelitian ini dan banyak membantu

penulis dalam penelitian ini.

8. Kepada Ibu Irene Trisiana T. selaku pengurus Panti Sosial Trisna Wredha Melania dan

opa dan oma yang menjadi respoden penelitian ini dan banyak membantu penulis dalam

penelitian ini.

viii  

Page 11: Wellbeing and Integrity

ix  

9. Untuk teman-teman Psikologi UIN Jakarta (Dina, Naddiya, Niar, Jihan, Eva, Lia,

Yulistin) yang telah memberikan semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan

skripsi, teman-teman psikologi dari kampus lain (Lia, Hayya) yang telah membantu

langsung dalam penyebaran angket.

10. Akbar, Kamal, Onah, Yunus, Faros, Zaki, Hiva, Sami, Fira, Icha, Karin, Lulu, Zia, Laras,

Keyla, dan Ubay untuk do’a, motivasi, dan semangat dalam segala hal (kekeluargaan,

persahabatan, dan sharing) yang telah diberikan selama ini, thanks a lots for all.

11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, karena dukungan moral, doa serta

pengertian mereka penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Hanya asa dan doa yang penulis panjatkan semoga pihak yang membantu penyelesaian

skripsi ini memdapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, amiin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan

saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi

penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.

Jakarta, Desember 2010

Penulis

Page 12: Wellbeing and Integrity

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Pemberian skor pada penelitian menggunakan skala Likert ……….. 44

Tabel 3.2 : Blue print skala integrity (try out) ………………………………….. 45

Tabel 3.3 : Blue print skala psychological well-being (try out) ………………… 46

Tabel 3.4 : Blue print skala integrity (field test) ………………………………… 48

Tabel 3.5 : Blue print skala psychological well-being (field test) ………………. 49

Tabel 4.1 : Deskriptive statistics integrity dan despair ………………………….. 52

Tabel 4.2 : Kategorisasi skor ……………………………...……………………... 53

Tabel 4.3 : Deskriptive statistics psychological well-being …………………….. 53

Tabel 4.4 : Kategorisasi skor skala psychological well-being …………………… 54

Tabel 4.5 : Korelasi integrity dengan psychological well-being ………………. 55

Tabel 4.6 : Kategori jenis kelamin ………………………………………………. 57

Tabel 4.7 : Kategori usia …………………………………………………………. 58

Tabel 4.8 : Kategori status pernikahan ……………………………………………59

Tabel 4.9 : Kategori sosial ekonomi ……………………………………………. 60

Tabel 4.10 : Model summary hasil uji regresi …………………………………… 61

xiii  

Page 13: Wellbeing and Integrity

Orang lanjut usia yang berorientasi

pada kesempatan adalah orang muda

yang tidak pernah menua;

tetapi pemuda yang berorientasi pada keamanan,

telah menua sejak muda

(Mario Teguh)

v  

Page 14: Wellbeing and Integrity

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan pada manusia terjadi seiring dengan berjalannya waktu dengan

melalui tahap-tahap perkembangan, yaitu periode pranatal, masa bayi, masa kanak-

kanak, masa remaja, masa dewasa, dan berakhir di masa lanjut usia (lansia). Dimana

pada masing-masing tahapan tersebut melalui masa perkembangan dan karakteristik

yang berbeda-beda.

Seseorang yang memiliki kesehatan yang baik dan umur panjang pasti akan

mengalami tahap perkembangan masa lansia dimana hal tersebut pasti terjadi dan tidak

dapat dihindari. Dengan kata lain menurut Hurlock (1980), seiring dengan

bertambahnya usia, manusia akan menjadi tua yaitu suatu periode dimana sesorang telah

“beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan.

Pada tahap dewasa akhir (lansia), Erikson menyatakan bahwa lansia akan

mengalami tahapan kedelapan dalam siklus kehidupan, yaitu integrity vs despair. Pada

masa ini, individu melihat kembali apa yang telah dilakukannya dalam kehidupannya.

Integrity bisa dicapai bila lansia mengembangkan suatu harapan yang positif di setiap

periode sebelumnya. Jika demikian, pandangan tentang masa lalu dan kenangan akan

menampakkan suatu gambaran dari kehidupan yang dilewatkan dengan baik, dan ia

1

Page 15: Wellbeing and Integrity

2

akan merasa puas. Sebaliknya, jika lansia tersebut tidak mengalami integrity maka ia

akan mengalami despair (Santrock, 2002).

Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, lansia

ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan,

apakah pria atau wanita lansia tersebut akan melakukan penyesuaian diri secara baik

atau buruk (Hurlock, 1980).

Kondisi fisik dan psikologis lansia seringkali dipengaruhi oleh pengalaman

tahapan perkembangan sebelumnya. Untuk itu lansia perlu mengelola pengalaman yang

kurang baik agar tidak teringat kembali pada saat yang kurang menyenangkan, yang

dapat menyebabkan lansia merasa sedih. Begitu pula sebaliknya, pengalaman yang

menyenangkan perlu dimunculkan agar semangat hidupnya tetap tinggi.

Menurut Sartini Nuryoto (dalam Rahadyanti, 2007), lansia harus mampu

melakukan reorganize. Lansia perlu menyadari bahwa kondisi sekarang berbeda dengan

kondisi di masa muda. Karenanya, lansia juga harus mampu mengukur kemampuan diri,

menyesuaikan pekerjaan dengan kemampuan. Ia juga menyarankan agar para lansia

memfokuskan diri untuk mengerjakan satu kegiatan yang benar-benar disenangi. Dalam

menjalankan aktivitas tersebut, lansia juga perlu menyadari bahwa kondisi fisik yang

sudah berbeda tentu akan mempengaruhi kecepatan penyelesaian pekerjaan. Jadi, lansia

dan keluarganya harus lebih sabar menghadapi perubahan tersebut.

Page 16: Wellbeing and Integrity

3

Supaya lebih tenang dan bahagia dalam menerima diri menjalani masa tua,

lansia juga harus rela melepaskan segala sesuatu yang pernah dicapai atau dimiliki

sebelum memasuki masa tua. Mereka yang sudah memasuki masa pensiun, misalnya,

perlu menerimanya dengan hati terbuka dan meyakini bahwa pengabdian yang selama

ini mereka lakukan sudah banyak memberi arti bagi keluarga, masyarakat, maupun

negara.

Soemiarti (2001) mengatakan, pada saat ini pola kehidupan keluarga tradisional

dengan berciri hadirnya kaum Ibu dalam rumah tangga yang secara penuh dan dapat

memberikan pelayanan menyeluruh terhadap keluarganya mulai menghilang. Banyak

lansia yang beranggapan dengan keluarnya kaum perempuan dari keluarga ke dunia

kerja, tidak dapat lagi diandalkan sepenuhnya sebagai service provider bagi keluarganya

termasuk bagi lansia dalam keluarga itu.

Pada saat sekarang, banyak ditemukan kenyataan bahwa keluarga tidak lagi

secara penuh dapat menjadi basis kekuatan yang menopang kesejahteraan lansia. Nilai-

nilai kemandirian, tidak ingin berada dalam ketergantungan pada anak-anak, merupakan

nilai-nilai yang berasal dari masyarakat modern. Banyak lansia yang memilih hidup

terpisah dari anak-anak, tidak ingin merepotkan anak, namun tetap merasa bahagia.

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Bambang (1998), tantangan

sebuah keluarga modern tidak terlepas dari persoalan moral dan etika ditengah-tengah

Page 17: Wellbeing and Integrity

4

masyarakat. Persoalan etika dan moral di masyarakat juga banyak terpengaruhi oleh

kondisi sosial perekonomian serta budaya masyarakat.

Menurut Rahardjo (dalam Bambang, 1998), dalam desakan arus ekonomi yang

demikian kuat dan kompetisi yang demikian ketat, menjadikan keluarga (umumnya di

kota) memiliki aktifitas yang padat dengan tujuan utama mengejar kebutuhan ekonomi.

Tidak jarang ditemukan kondisi keluarga yang pola pengasuhan anak atau lansia

diserahkan kepada orang lain, yang salah satunya disebabkan karena suami dan istri

berkerja di luar rumah.

Maka salah satu cara yang di tempuh keluarga dalam mengatasi persoalan ini

ialah menitipkan para lansia pada panti wreda, dengan harapan para lansia ini

mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir maupun batin. Walaupun panti wreda

dapat menjadi salah satu pilihan yang baik, untuk beberapa orang hal itu dipandang

masih kurang cocok dengan budaya masyarakat Indonesia.

Menurut Siti Rahayu Haditono, guru besar psikologi Universitas Gajah Mada

(dalam Jis, 1989), anggapan bahwa lansia tidak perlu apa-apa lagi kecuali istirahat harus

dikaji kembali, sikap itu sama saja dengan mendorong orang tua bersiap-siap untuk

mati. Lansia masih memerlukan ativitas, hubungan sosial, dan juga seks. Niat anak-anak

agar para orang tua menikmati hari tua dengan istirahat nyatanya membuat mereka lebih

cepat uzur. Di panti wreda, lansia bisa lebih bebas dan mandiri.

Page 18: Wellbeing and Integrity

5

Rubijati Ismudarto, ketua Panti Wedha Hargo Dedali Surabaya (dalam

Wigunaningsih, 2008), mengatakan bahwa para lansia merasa kesepian karena

keluarganya sibuk beraktivitas. Sedangkan ia ditinggal sendiri di rumah. Kalaupun ada

yang menemani, biasanya pembantu. Sedangkan yang dibutuhkan bukan hanya materi

tapi juga perhatian atau teman sebaya untuk saling mencurahkan hati. Jadi, agar mereka

mempunyai banyak teman yang sebaya, mereka memilih untuk tinggal di panti. Di panti

para lansia ini bisa saling tukar pikiran dan mereka merasa diperhatikan karena banyak

teman sebayanya.

Menurut Andra (2007), menjalani masa tua di panti wreda dengan berbagai

fasilitas dan kenyamanan kini dijadikan pilihan. Seperti salah satunya pada Graha

Werdha Aussi, lansia yang berada disana memilih untuk menghabiskan masa tuanya di

panti werdha atas keinginannya sendiri. Bagi mereka, masa tua tidak selalu harus berada

di tengah-tengah keluarga. Mereka lebih memilih tinggal dengan teman sebaya, untuk

menikmati usia senja mereka. Segala percakapan, pembicaraan, akan lebih ‘nyambung’

jika dilakukan dengan teman satu generasi, terlebih untuk bernostalgia. Juga untuk

melakukan beberapa kegiatan.

Meski tinggal di tempat yang kerap disebut panti jompo, para lansia ini tidak

merasa hidup ‘terasing’. Selain mereka tetap bisa bersosialisasi atau mendapat teman

baru, keluarga bebas mengunjungi mereka kapan saja. Bahkan, ada yang setiap minggu,

dikunjungi berganti-ganti oleh cucu, anak, atau keponakan. Mereka, tetap menerima

perhatian dan kasih sayang dari keluarga.

Page 19: Wellbeing and Integrity

6

Profesor Sujudi, mantan Mentri Kesehatan (dalam Hamonangan, 2006)

mengatakan, panti wreda sangat membantu lansia tetap bersemangat untuk hidup.

Dengan berkumpul dalam komunitas yang sama, lansia dapat mengerjakan aktivitas

yang sama. Mereka tetap bahagia dan tidak kehilangan kontak dengan anak, menantu,

dan cucu.

Pendapat itu juga didukung oleh psikolog keluarga, Ina Saraswati (dalam

Hamonangan, 2006), mengatakan, lansia yang tinggal di panti wreda memang bisa

mempunyai berbagai motivasi. Mereka yang termotivasi sendiri akan menemui

kebahagiaan dan kenyamanan.

Kepuasan terhadap tempat dimana akan tinggal berpengaruh pada psychological

well-being seseorang. Salah satu tujuan bagi panti wreda sebagai salah satu pilihan

tempat tinggal bagi lansia adalah untuk mencapai kondisi psychological well-being bagi

para penghuninya. Dimana Bradburn (Ryff, 1989) mendefinisikan psychological well-

being sebagai kebahagiaan dengan adanya perbedaan antara pengaruh postif dan

negatif. Ryff (1995) juga menyebutkan bahwa psychological well-being adalah saat

dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan

bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka

miliki.

Pada kenyataanya, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh lansia

ketika mereka pindah kesana. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang aktif

mengorganisir dirinya, maka tentu mereka memiliki kemampuan untuk menguasai

Page 20: Wellbeing and Integrity

7

lingkungannya. Jika ia termasuk seorang yang memiliki peniliaian baik (positif)

terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya, pada apa yang telah terjadi dalam

hidupnya maka bisa dikatakan memiliki psychological well-being yang tinggi.

Demikian pula sebaliknya Jika ia memiliki peniliaian yang kurang baik (negatif)

terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya, maka bisa dikatakan memiliki

psychological well-being yang rendah.

Maka, berdasarkan pada penelitian tersebut, maka penulis bermaksud untuk

melakukan penelitian lanjutan tentang hubungan integrity dengan psychological well-

being lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

1.2 Batasan Masalah

Agar penelitian tidak meluas, maka peneliti perlu membatasi permasalahan yang

ingin diteliti, yaitu:

1. Integrity yang dijelaskan pada penelitian ini mengambil acuan dari teori psikososial

Erikson. Dimana ego integrity berarti saat dimana lansia melihat kembali apa yang

telah dilakukannya terhadap kehidupan mereka dengan mengembangkan suatu

harapan yang positif di setiap periode sebelumnya yang memiliki dua indikator yaitu

memiliki pandangan yang positif terhadap apa yang telah dicapai dan merasa puas.

2. Psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia

berdasarkan pengalaman hidupnya dengan mengembangkan potensi positif yang ada

pada dirinya, dimana dimensi yang dilihat ada enam yaitu autonomy, environment

Page 21: Wellbeing and Integrity

8

mastery, personal growth, positive relation with others, purpose in life, dan self

acceptance.

3. Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai umur 60 tahun ke atas baik pria

dan wanita. Pada penelitian ini batasan umur yang digunakan yang berada dalam

usia antara young old sampai the oldest old dan ia masih dapat aktif untuk

bersosialisasi dengan lingkungannya dengan baik.

4. Panti wreda adalah pilihan bagi lansia untuk tempat tinggal dan menetap, yang

memiliki program bertujuan untuk kesejahteraan lansia. Penelitian ini dilakukan di

Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah integrity yang dialami oleh lansia di panti wreda?

2. Bagaimanakah psychological well-being lansia di panti wreda?

3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara integrity terhadap psychological well-

being lansia di panti wreda?

Page 22: Wellbeing and Integrity

9

1.4 Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan integrity dengan

psychological well-being lansia di panti wreda dan untuk mengetahui seberapa jauh

lansia dapat memperoleh psychological well-being di panti wreda.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis:

1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

Psikologi Positif, memperkaya hasil penelitian yang telah ada, dan dapat

memberikan gambaran mengenai hubungan integrity dengan psychological

well-being lansia di panti wreda.

2. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan

informasi khususnya pada pengurus panti wreda dan keluarga lansia dalam

upaya membantu memberikan kenyamanan, dan kesejahreraan psikologis

selama lansia tinggal di panti wreda.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan

APA (American Psychology Association) style dan pedoman penyusunan dan penulisan

skripsi Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi

beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini:

Page 23: Wellbeing and Integrity

10

BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisi; latar belakang masalah, batasan

masalah dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan

BAB II: Merupakan kajian pustaka yang memuat tentang hal- hal mengenai teori

integrity dan psychological well-being, kerangka berpikir dan hipotesis

penelitian.

BAB III: Metodologi penelitian yang meliputi pendekatan dan metode penelitian,

definisi konseptual dan operasional, pengambilan sampel, teknik

pengumpulan data, dan teknik uji instrumen penelitian, metode analisa data,

dan prosedur penelitian.

Bab IV: Mengemukakan tentang gambaran umum subjek penelitian presentasi data,

uji persyaratan, deskripsi statistik, hasil uji hipotesis dan uraiannya.

Bab V : Mengemukakan kesimpulan, diskusi dan saran.

Page 24: Wellbeing and Integrity

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Integrity

Integrity yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori psikososial

Erik Erikson dan berada pada tahapan perkembangan terakhir yaitu lansia. Dimana pada

tahap ini lansia akan mengalami interaksi yang bertentangan antara integrity lawan

despair. pada penelitian ini peneliti memfokuskan pada integrity, karena jika lansia

memiliki integrity yang tinggi maka despair yang dimiliki pasti rendah.

Agar lebih jelas tentang psikososial Erikson pada tahap perkembangan lansia,

maka peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu tentang teori Erikson, tahapan

perkembangan bayi sampai dewasa, dan terakhir integrity pada lanjut usia.

2.1.1 Teori Erikson

Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erikson merupakan salah

satu teori yang banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang

terkait dengan delapan tahapan perkembangan manusia. Dimana untuk setiap manusia

tahapan perkembangan tersebut tidak memiliki rentang waktu yang sama. Erikson

berpendapat, bahwa setiap manusia memiliki rentang waktu yang berbeda. Setiap

tahapan yang telah dilewati tidak untuk ditinggalkan, melainkan tiap tahap tersebut ikut

11

Page 25: Wellbeing and Integrity

12

serta membentuk seluruh kepribadian. Hal ini dikenal sebagai prinsip epigenetik (Hall,

1993).

Prinsip epigenetik dipinjam dari istilah embriologi. Dalam Feist (2006),

perkembangan epigenetik adalah perkembangan tahap demi tahap dari organ-organ

janin. Embrio tidak terbentuk hanya karena menunggu dalam mengembangkan struktur

dan bentuknya. Sebaliknya embrio berkembang berdasarkan tingkatan yang telah

ditetapkan dan dalam tahapan yang teratur. Jika organ tubuh tidak berkembang selama

periode kritis dalam perkembangan seseorang, maka ia tidak akan mengalami

kematangan.

Dalam teori yang dijabarkan oleh Erikson, terdapat tujuh pokok teori

perkembangan psikososial (Feist, 2006), yaitu:

1) Pertumbuhan berlangsung sesuai dengan prinsip epigenetik. Artinya satu tahapan

muncul dari tahapan sebelumnya dan memiliki rentang waktu sendiri dari pengaruh

yang menguasai, tapi tidak sepenuhnya mengganti tahapan yang sebelumnya.

2) Setiap tahapan kehidupan terdapat interaksi yang bertentangan. Pertentangan antara

syntonic (harmonis) dan elemen dystonic (menganggu). Dengan cara yang sama

setiap tahapan perkembangan, manusia harus memiliki kedua pengalaman syntonic

dan dystonic.

3) Dalam setiap tahapan, konflik antara elemen dystonic dan syntonic menghasilkan

kualitas ego atau kekuatan ego yang disebut juga kekuatan dasar (basic strength).

Page 26: Wellbeing and Integrity

13

4) Terdapat beberapa kekuatan dasar pada setiap hasil inti patologi dalam tahap

tersebut.

5) Walaupun Erikson menunjuk ke delapan tahapan sebagai tahapan psikososial, ia

tidak pernah kehilangan pengamatan pada aspek biologi dari perkembangan

manusia.

6) Peristiwa pada awal perkembangan tidak berdampak langsung pada perkembangan

kepribadian selanjutnya. Ego identitas dibentuk oleh konflik dan peristiwa

pancaragam (multiplicity of conflict and events)-masa lalu, kini dan masa yang akan

datang.

7) Disetiap tahap perkembangan, khususnya dari masa dewasa dan sesudahnya,

perkembangan kepribadian ditandai oleh krisis identitas (identity crisis), yang

dinamakan oleh Erikson “titik balik, periode peningkatan bahaya dan memuncaknya

potensi”.

Delapan tahap perkembangan kepribadian Erikson memiliki ciri utama untuk

setiap tahapnya, di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang

berjalan melalui krisis diantara dua polaritas.

Jadi dalam setiap krisis, seseorang mudah rentan terkena modifikasi utama

dalam identitas, baik positif dan negatif. Berbeda dengan yang umum, sebuah krisis

identitas bukan merupakan bencana besar tetapi lebih merupakan kesempatan baik

untuk penyesuaian adaptif atau maladaptif yang berlanggsung jika satu tahap berhasil

atau tidak berhasil dilewati.

Page 27: Wellbeing and Integrity

14

2.1.2 Tahapan Perkembangan Psikososial Bayi Sampai Dewasa

Erikson mengatakan dalam prinsip epigenesis bahwa tiap masa perkembangan

yang telah dilalui tidak akan ditinggalkan begitu saja akan tatapi pengalaman pada tiap

tahapan sebelumnya akan mempengaruhi tahapan selanjutnya serta ikut membentuk

seluruh kepribadian. Maka untuk lebih jelasnya akan dijabarkan tahapan fase

perkembangan bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa terlebih dahulu (Alwisol, 2007).

1. Fase Bayi

Bagi Erikson kegiatan bayi tidak terikat dengan mulut semata. Bayi adalah saat

untuk memasukkan (incorporation), bukan hanya melalui mulut (menelan)

tetapi juga dari semua indera. Tahap sensori oral ditandai oleh dua jenis

inkorporasi: mendapat (receiving) dan menerima (accepting). Tahun pertama

kehidupannya, bayi memakai sebagian besar waktunya untuk makan, eliminasi

(buang kotoran), dan tidur. Ketika ia menyadari ibu akan memberi

makan/minum secara teratur, mereka belajar dan memperoleh kualitas ego atau

identitas ego yang pertama, perasaan kepercayaan dasar (basic trust). Bayi harus

mengalami rasa lapar, haus, nyeri, dan ketidaknyamanan lain, dan kemudian

mengalami perbaikan atau hilangnya kondisi yang tidak menyenangkan itu. Dari

peristiwa itu bayi akan belajar mengharap bahwa hal yang menyakitkan ke

depan bisa berubah menjadi menyenangkan. Bayi menangkap hubungannya

dengan ibu sebagai sesuatu yang keramat (numinous).

Page 28: Wellbeing and Integrity

15

2. Fase Anak-Anak

Dalam teori Erikson, anak memperoleh kepuasan dari keberhasilan mengontrol

alat-alat anus dan mengontrol fungsi tubuh yang lain seperti urinasi, berjalan,

melempar, memegang, dan sebagainya. Pada tahun kedua, penyesuaian

psikososial terpusat pada pengontrolan tubuhnya, khususnya yang berhubungan

dengan kebersihan. Pada tahap ini anak dihadapkan dengan budaya yang

menghambat ekspresi diri serta hak dan kewajiban. Anak belajar untuk

melakukan pembatasan-pembatasan dan kontrol diri dan menerima kontrol dari

orang lain. Hasil mengatasi krisis otonomi lawan malu-ragu adalah kekuatan

dasar kemauan. Ini adalah permulaan dari kebebasan kemauan dan kekuatan

kemauan (benar-benar hanya permulaan), yang terjadi di dalam egonya. Pada

tahap ini pola komunikasi mengembangkan penilaian benar atau salah dari

tingkah laku diri dan orang lain, disebut bijaksana (judicious).

3. Fase Remaja

Tahap ini merupakan tahap yang paling penting diantara tahap perkembangan

lainnya, karena orang harus mencapai tingkat identitas ego yang cukup baik.

Bagi Erikson, pubertas penting bukan karena kemasakan seksual, tetapi karena

pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan datang. Pencarian

identitas ego mencapai puncaknya pada fase ini, ketika remaja berjuang untuk

menemukan siapa dirinya. Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada

tahap dewasa adalah kesetiaan (fidelity) yaitu setia dalam beberapa pandangan

idiologi atau visi masa depan. Memilih dan memiliki ediologi akan memberi

Page 29: Wellbeing and Integrity

16

pola umum kehidupan diri, bagaimana berpakaian, pilihan musik dan buku

bacaan, dan pengaturan waktu sehari-hari.

4. Fase Dewasa

Tahap dewasa adalah waktu menempatkan diri di masyarakat dan ikut

bertanggung jawab terhadap apapun yang dihasilkan dari masyarakat. Kualitas

sintonik tahap dewasa adalah generativita, yaitu penurunan kehidupan baru,

serta produk dan ide baru. Kepedulian adalah perluasan komitmen untuk

merawat orang lain, merawat produk dan ide yang membutuhkan perhatian.

Kepedulian membutuhkan semua kekuatan dasar ego sebelumnya sebagai

kekuatan dasar orang dewasa. Generasional adalah interaksi antara orang dewasa

dengan generasi penerusnya bisa berupa pemberian hadiah atau sanjungan,

sedangkan otoritisme mengandung pemaksaan. Orang dewasa dengan kekuatan

dan kekuasaannya memaksa aturan, moral, dan kemauan pribadi dalam interaksi.

2.1.3 Integrity Pada Lanjut Usia

Dalam teori Erikson, tahapan perkembangan kehidupan seseorang ada delapan

tahap. Dimana dalam masing-masing tahap perkembangan tersebut mempunyai tugas

dan karakteristik perkembangan yang berbeda. Tahapan terakhir dari teori Erikson

tersebut adalah lanjut usia dan krisis perkembangan yang terjadi pada tahap ini adalah

integrity vs despair. Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada integrity karena setiap

tahapan kehidupan pada teori psikososial Erikson terdapat interaksi yang bertentangan.

Page 30: Wellbeing and Integrity

17

Jika lansia mengalami integrity yang lebih tinggi maka despair yang dimiliki pasti lebih

rendah.

Menurut Erikson, Erikson, & Kivnick (dalam Papalia, 2009), pencapaian puncak

bagi dewasa akhir adalah ego integrity atau integritas diri. Sebuah prestasi yang

berdasarkan refleksi tentang kehidupan seseorang. Lansia membutuhkan evaluasi dalam

menerima hidup mereka sehingga dapat menerima kematian, hasil dari yang telah

dibangun pada ketujuh tahapan sebelumnya. Mereka berjuang untuk mencapai rasa

hubungan dan keutuhan.

Boyd (2006) berpendapat bahwa tugas ego integrity bila lansia memiliki hidup

yang berguna. Untuk mencapai ego integrity, lansia harus bisa berdamai dengan dirinya,

dengan kehidupannya, pilihan yang telah dibuat, peluang yang telah diperoleh dan yang

tidak diperoleh.

Feist (2006) berpendapat, lansia dengan ego identity kuat yang telah belajar

intimacy dan menjaga keduanya maka akan memiliki kualitas syntonic yang akan

didominasi oleh integrity.

Santrock (2002) berpendapat, integrity adalah bila lansia mengembangkan suatu

harapan yang positif di setiap periode sebelumnya. Jika demikian, pandangan tentang

masa lalu dan kenangan akan menampakkan suatu gambaran dari kehidupan yang

dilewatkan dengan baik, dan ia akan merasa puas.

Page 31: Wellbeing and Integrity

18

Jika terdapat sejumlah putus asa dalam diri seseorang itu termasuk sesuatu hal

yang alami dan diperlukan dalam kematangan psikologis. Perjuangan dalam mengatasi

krisis identitas pada masa lansia ini akan menghasilkan kebijaksanaan, yang merupakan

kekuatan dasar lansia. Erikson mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “suatu informasi

dan lepasnya persoalan dengan kehidupan itu sendiri dalam menghadapi kematian”

(Feist, 2006).

Berdasarkan pada beberapa pendapat teori integrity yang telah dikemukakan

diatas, maka peneliti berfokus pada pendapat Santrock, karena dari beberapa pendapat

yang dikemukakan tentang teori integrity secara umum telah terangkum dalam pendapat

yang diutarakan oleh Santrock.

2.2 Psychological Well-Being

2.2.1 Definisi Psychological Well-Being

Definisi psychological well-being yang dikemukakan para ahli belum mencapai

satu kata sepakat. Definisi yang muncul bersifat tumpang tindih antar satu dengan lain.

Adapun definisi dasar yang beredar selama ini ada dua. Definisi pertama berdasarkan

pendapat dari Bradburn.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Bradburn (dalam Ryff, 1989),

dalam meneliti perubahan sosial pada level makro yang merujuk pada buku terkenal

karangan Aristotle, Nimomachean Ethics, yang menerjemahkan psychological well-

being menjadi happiness (kebahagiaan). Dalam Nimomachean Ethnics dijelaskan

Page 32: Wellbeing and Integrity

19

bahwa tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan

berdasarkan pendapat Bradbrun merupakan tujuan dari tindakan seseorang (1969)

adanya keseimbangan antara efek positif dan efek negatif (dalam Ryff, 1989).

Definisi kedua berkaitan dengan pengukuran psychological well-being pada

masa lansia yang dilakukan oleh Neugarten, Havigrust, dan Tobin (dalam Ryff, 1989).

Mereka membuat sebuah alat ukur Life Statisfaction Index untuk membedakan lansia

yang termasuk successful aging dan yang tidak. Pada pengukuran ini, psychological

well-being diartikan sebagai kepuasan hidup.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Ryff terhadap mengenai studi

psychological well-being, ia berusaha mengajukan konsep psychological well-being

yang bersifat multidimensional (enam dimensi psychological well-being). Menurut Ryff

dan Keyes (1995), psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup

dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang

pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki. Evaluasi terhadap

pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang

membuat psychological well-being–nya menjadi rendah, atau berusaha memperbaiki

keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-being-nya meningkat.

Sehingga, individu dengan psychological well-being berarti tidak hanya individu yang

terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental negatif, akan tetapi mengetahui

potensi-potensi positif yang ada pada dirinya.

Page 33: Wellbeing and Integrity

20

Ryff (1989) mengajukan konsep psychological well-being yang mengacu pada

teori positive psychological functioning, teori kesehatan mental, dan teori psikologi

perkembangan. Seseorang dapat dikatakan memiliki psychological well-being apabila ia

mampu menerima dirinya, mampu menjalin hubungan dengan individu lain, memiliki

kemandirian, mampu menguasai lingkungan kehidupannya, memiliki tujuan hidup, dan

berupaya menjadi individu yang terus berkembang.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa

psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia

berdasarkan pengalaman hidupnya dengan mengembangkan potensi positif yang ada

pada dirinya, yang terwujud dalam keenam dimensi yaitu kemandirian, menguasai

lingkungan, menjadi pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan

orang lain, memiliki tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik.

2.2.2 Dimensi Psychological Well-Being

Dimensi-dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1989)

mengacu pada teori positive psychological functioning (Maslow, Rogers, Jung, dan

Allport), teori perkembangan (Erikson, Buhler, dan Neugerten), dan teori kesehatan

mental (Jahoda). Adapun keenam dimensi psychological well-being yang dikemukakan

Ryff adalah:

1. Autonomy (kemandirian)

Individu mampu mengarahkan dirinya (self determination), mampu meregulasi

perilakunya berdasarkan tuntunan dari dalam dirinya, mampu melakukan evaluasi

Page 34: Wellbeing and Integrity

21

berdasarkan standar pribadi tanpa menunggu persetujuan dari orang lain, dan merasa

bebas untuk melakukan keinginannya tanpa takut menentang norma-norma yang

berkembang.

2. Environment Mastery (penguasaan lingkungan)

Individu mampu memiliki atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi

dirinya, berpartisipasi secara aktif dalam aktivitas lingkungan, mampu

memanipulasi dan mengontrol lingkungan, mengubah lingkungan secara kreatif

melalui aktivitas fisik dan mental, dan mampu mengambil peluang dan kesempatan-

kesempatan yang disediakan oleh lingkungan.

3. Personal Growth (pengembangan pribadi)

Individu senantiasa mengembangkan potensi dirinya, secara terbuka terhadap

pengalaman baru, terus tumbuh dan menghadapi tantangan-tantangan atau tugas-

tugas perkembangan dalam berbagai tahapan kehidupannya.

Individu yang memiliki pribadi yang berkembang berarti menyadari potensinya,

memiliki kemampuan untuk berkembang secara berkelanjutan, melihat kemajuan

diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu, berubah dengan cara yang efektif untuk

menjadi lebih baik, dan terbuka pada pengalaman–pengalaman baru.

Page 35: Wellbeing and Integrity

22

4. Positive relation with others (menjalin hubungan baik dengan orang lain)

Individu mampu merasakan kehangatan dan rasa percaya pada antar individu.

Dalam perspektif perkembangan, selain mampu menjalin hubungan hangat dengan

orang lain (intimacy), juga mampu membimbing dan mengarahkan individu yang

lain (generativity).

Individu dengan kemampuan menjalin hubungan dengan individu lain berarti

memiliki kemampuan untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang

dibangun atas dasar saling percaya, memiliki perasaan empati terhadap sesama,

memiliki persahabatan yang dalam, dan identifikasi yang baik dengan orang lain.

5. Purpose in life (tujuan hidup)

Individu yakin dan memahami akan adanya makna dan tujuan yang jelas dari

kehidupan yang dijalaninya, baik pada masa kini maupun masa lampau. Tujuan

dapat diperoleh melalui pengikatan diri pada nilai–nilai tertentu.

6. Self acceptance (penerimaan diri)

Merupakan gambaran sentral dan kesehatan mental, dan sebagai karakteristik dari

aktualisasi diri dan kematangan. Individu dengan penerimaan diri berarti memiliki

sikap positif terhadap diri sendiri, memahami dan menerima berbagai aspek diri

termasuk kualitas baik dan buruk, dan menilai positif kehidupan yang sedang dan

telah dijalaninya.

Page 36: Wellbeing and Integrity

23

Pada penelitian ini penulis mengambil keenam dimensi psychological well-being

yang dikemukakan oleh Ryff yaitu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi

pribadi yang berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki

tujuan hidup, dan penerimaan diri yang baik, sebagai skala dalam menentukan

psychological well-being lansia di panti wreda. Karena pada keenam dimensi tersebut

dapat menggambarkan secara keseluruhan psychological well-being lansia di panti

wreda.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Dari beberapa literatur dan hasil penelitian pada psychological well-being,

terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, beberapa diantaranya ialah:

1. Jenis kelamin

Menurut Seligman (2002), jenis kelamin memiliki hubungan yang mengherankan

dengan suasana hati. Tingkat emosi rata-rata laki-laki dengan perempuan tidak jauh

berbeda. Yang mengherankan adalah perempuan lebih bahagia dan sekaligus lebih

sedih daripada laki-laki.

Dalam Diener (1984), meskipun perempuan menghasilkan lebih memiliki pengaruh

yang negatif, tetapi mereka juga mengalami kebahagiaan yang lebih besar. Jadi

menurut Andrew dan kawan-kawan, pada jenis kelamin terdapat sedikit perbedaan

secara umum dalam kebahagiaan atau kepuasan.

Page 37: Wellbeing and Integrity

24

2. Usia

Usia muda yang selalu dianggap memiliki keadaan yang lebih berbahagia daripada

usia tua tidaklah terbukti. Penelitian yang dilakukan atas 60 ribu orang dewasa dari

40 bangsa menyatakan bahwa kepuasan hidup sedikit meningkat sejalan dengan

bertambahnya usia, perasaan yang menyenangkan sedikit melemah, dan perasaan

yang negatif tidak berubah. Yang berubah ketika seseorang menua adalah intensitas

emosinya. Perasaan “mencapai puncak dunia” dan terpuruk dalam keputusasaan

menjadi berkurang seiring dengan bertambahnya umur dan pengalaman (Seligman,

2002).

Hal ini sesuai dengan pernyataan Braun (dalam Diener, 1984) yang menemukan

bahwa responden yang lebih muda memiliki tingkatan yang lebih kuat antara

pengaruh positif dan negatif, tetapi responden yang lebih tua secara keseluruhan

melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih besar.

3. Pendapatan

Dahulu untuk mengatakan bahwa orang yang memiliki pendapatan yang tinggi

merasa lebih bahagia atau memiliki pengalaman yang lebih baik mungkin benar,

tapi itu bukanlah suatu penjelasan yang utama. Untuk dua alasan kenyataannya

adalah tidak seperti itu. Pertama, penghasilan berhubungan dengan faktor hidup

lainnya, seperti memiliki pendidikan yang baik, pekerjaan yang bagus, dan bebas

dari kekhawatiran akan pemenuhan kebutuhan hidup. Kedua, adanya hubungan

antara pendapatan dan kebahagiaan belum dapat dipastikan, karena hanya sedikit

Page 38: Wellbeing and Integrity

25

informasi bagaimana pendapatan seseorang dapat mempengaruhi psychological

well-being (Bardburn, 1969).

4. Status pernikahan

Perkawinan erat hubungannya dengan kebahagiaan. Pusat Riset Opini Nasional

Amerika Serikat mensurvei 35 ribu warga Amerika selama 30 tahun terakhir, 40%

dari orang menikah mengatakan mereka “sangat bahagia”, sedangkan 24% dari

orang yang tidak menikah, bercerai, berpisah, dan ditinggal mati oleh pasangannya

yang mengatakan ini. Pada budaya Jepang dan Cina, kebahagiaan orang yang

menikah mempengaruhi panjang usia dan besar penghasilan yang berlaku pada laki-

laki dan perempuan (Seligman, 2002).

Terdapat dua kemungkinan, yang pertama, orang yang memang sudah bahagia lebih

mungkin untuk menikah dan mempertahankan pernikahannya dan yang kedua,

orang-orang yang depresi cendrung lebih menarik diri, gampang tersinggung, dan

berfokus pada diri sendiri. Dengan demikian mereka menjadi patner yang semakin

tidak menarik (Seligman, 2002).

5. Kehidupan sosial

Orang-orang yang sangat bahagia jauh berbeda dengan orang yang tidak bahagia,

karena mereka menjalani kehidupan sosial yang lebih baik dan memuaskan. Orang-

orang yang sangat berbahagia paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan

Page 39: Wellbeing and Integrity

26

kebanyakan mereka bersosialisasi. Berdasarkan penilaian sendiri maupun teman,

mereka mendapat nilai tertinggi dalam berinteraksi (Seligman, 2002).

6. Keberagamaan

Seseorang yang religius lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat penyalahgunaan

obet-obatan, malakukan kejahatan, bercerai, dan bunuh diri. Mereka juga secara

fisik lebih sehat dan berumur lebih panjang. Ibu religius yang memiliki anak cacat,

melawan depresi dengan lebih baik. Lebih sedikit orang relius yang takut terhadap

perceraian, penganggguran, penyakit, dan kematian. Relevansi yang paling langsung

tampak pada fakta bahwa data survei secara konsisten menunjukan bahwa orang-

orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupannya daripada

orang yang tidak religius (Seligman, 2002).

2.2.4 Psychological Well-Being Lanjut Usia

Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu

diperoleh suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah

tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha

mencapai kesejahteraan psikologis (psychological well-being).

Hurlock (1980) menyebutkan bahwa psychological well-being atau kebahagiaan

pada lansia tergantung dipenuhi atau tidaknya “tiga A” kebahagiaan, yaitu acceptance

(penerimaan), affection (kasih sayang), dan achievement (pencapaian). Apabila seorang

lansia tidak dapat memenuhi “tiga A” tersebut maka akan sulit baginya untuk dapat

Page 40: Wellbeing and Integrity

27

mencapai kebahagiaan. Misalnya, ia merasa diabaikan oleh anggota keluarga atau

petugas panti wreda, merasa bahwa prestasi pada masa lalu tidak memenuhi harapan

dan keinginan, atau apabila mereka mengembangkan perasaan bahwa tidak ada satu

orang pun yang mencintainya, maka lansia akan merasa tidak bahagia.

Studi tentang kebahagiaan dan ketidakbahagiaan pada lansia melahirkan

pendapat bahwa keduanya itu biasanya merupakan sikap bawaan yang dibentuk pada

tahapan sebelumnya, sebagai akibat dari keberhasilan dan kegagalan menyesuaikan diri

pada tahapan sebelumnya.

Hurlock (1980) menambahkan bahwa ada beberapa kondisi penting yang dapat

membantu pencapaian psychological well-being lansia, beberapa diantaranya adalah:

1. Mengembangkan kenangan yang mengembirakan sejak masa anak-anak sampai

masa dewasanya.

2. Sikap yang realistis dan mau menerima kenyataan tentang perubahan fisik dan

psikis yang sedang dialami.

3. Terus berpartisipasi dengan kegiatan yang berarti dan menarik.

4. Perasaan puas dengan status yang ada sekarang dari prestasi masa lalu.

5. Menikmati kegiatan rekrasional yang direncanakan khusus bagi lansia

6. Menikmati kegiatan sosial yang dilakukan dengan kerabat keluarga dan teman-

teman.

7. Melakukan kegiatan produktif, baik kegiatan di rumah maupun kegiatan yang secara

sukarela dilakukan.

Page 41: Wellbeing and Integrity

28

Berdasarkan uraian di atas, maka salah satu cara untuk membantu para lansia

untuk keluar dari masalah-masalah yang berpotensi muncul pada tahap perkembangan

lansia adalah dengan berusaha mencapai psychological well-being.

2.3 Lanjut usia

2.3.1 Definisi Lanjut Usia

Menurut Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut usia,

pasal 1 nomor 2, Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60

tahun ke atas (Depsos, 1998). Dimana lansia dibagi menjadi dua kategori yaitu lansia

potensial dan tidak potensial. Berdasarkan pasal 1 ayat 3 lansia potensial adalah lansia

yang masih mampu melaksanakan pekerjaan dan jasa, sedangkan lansia yang tidak

potensial adalah lansia yang sudah tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya

tergantung pada bantuan orang lain.

Menurut Bernice Neugarten (dalam Davidoff, 1991) lansia adalah orang-orang

yang mulai suka introspeksi dan banyak merenungkan apa yang sebetulnya sedang

terjadi di dalam diri masing-masing. Banyak diantara mereka yang berfikir ”berbuat

sesuatu di sisa waktu hidupnya”, jadi bukan waktu sejak kelahiran yang dipikirkan.

Lanjut usia juga sering dimaknai sebagai masa kemunduran, terutama pada

keberfungsian fungsi-fungsi fisik dan psikologis. Hurlock (1980) mengemukakan

bahwa penyebab fisik kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh

bukan karena penyakit khusus tetapi karena proses menua.

Page 42: Wellbeing and Integrity

29

Riset telah membuktikan (Atkinson) bahwa penuaan tidak berarti penurunan

kemampuan fisik dan mental yang tidak terhindarkan. Penuaan normal adalah proses

bertahap yang membawa beberapa perubahan. Tetapi perubahan yang lebih ekstrim

yang dikaitkan dengan lansia adalah akibat dari penyakit, diet yang tidak tepat,

kegagalan secara nyata untuk secara aktif fisik dan mental.

Keyakinan bahwa kemampuan mental menurun bersamaan dengan penuaan juga

telah diragukan oleh temuan riset. Lansia tidak memproses informasi secepat orang

muda dan mereka cenderung buruk dalam mengerjakan beberapa tugas pemecahan

masalah. Tetapi tidak ada bukti bahwa kemampuan umum untuk belajar menurun

bersamaan dengan peningkatan usia. Latihan yang singkat dapat memperbaiki

kemampuan pemecahan masalah lansia.

Masa lansia juga disertai dengan berbagai penyakit yang menyerang dan

menggerogoti kehidupan lansia sekalipun tidak semua lansia adalah berpenyakit, tapi

kebanyakan lansia rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu akibat kondisi organ-

organ tubuh yang telah mengalami kemunduran juga fungsi imun (kekebalan tubuh)

yang juga menurun. Kemunduran dari segi sosial ditandai dengan kehilangan jabatan

atau posisi tertentu dalam sebuah organisasi atau masyarakat, yang telah menempatkan

dirinya sebagai individu dengan status terhormat, dihargai, memiliki pengaruh, dan

didengarkan pendapatnya. Sekalipun mengalami kemunduran pada beberapa aspek

kehidupannya, bukan berarti lansia tidak bisa menikmati kehidupannya. Lansia pasti

Page 43: Wellbeing and Integrity

30

memiliki potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mengisi hari-harinya dengan hal-hal

yang bermanfaat dan menghibur.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa lansia

adalah seseorang yang telah berumur 60 tahun ke atas baik laki-laki atau perempuan,

yang mengalami kemunduran fisik dan psikis, dan mulai suka introspeksi dan banyak

merenungkan apa yang telah terjadi di masa lalu.

2.3.2 Keadaan Lanjut Usia

Berbagai perubahan terjadi ketika individu memasuki tahap lansia. Perubahan

tersebut antara lain dalam hal penampilan (fisik), fungsi tubuh maupun dalam hubungan

sosial, dan juga perubahan psikis. Perubahan yang terjadi biasanya merupakan

kemunduran dan lansia harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Menurut

terdapat berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, diantaranya adalah:

a. Perubahan fisik dan psikologis

Periode selama lanjut usia, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara

perlahan dan bertahap yang dikenal sebagai senescence yaitu proses menjadi tua.

Dimana perubahan terjadi pada bagian tubuh luar seperti keelastisan kulit, dan

bagian dalam tubuh seperti yang terjadi pada kerangka tubuh yang diakibatkan dari

mengerasnya tulang-tulang, menumpuknya garam mineral dan modifikasi pada

susunan organ tulang bagian dalam yang dapat mengakibatkan tulang menjadi

mengapur dan mudah retak yang mana untuk proses penyembuhannya lebih lambat

sesuai dengan bertambahnya usia (Hurlock, 1980).

Page 44: Wellbeing and Integrity

31

Lansia juga mengalami kemunduran fungsi tubuh seperti lamanya waktu yang

dibutuhkan untuk mengambil nafas, berkurangnya kemampuan pendengaran dan

penglihatan, tubuh yang merasa cepat lelah, dan munculnya penyakit baru yang

sebelumnya tidak ada keluhan, atau dapat menjadikan penyakit yang sudah diderita

lebih buruk.

Istilah “keuzuran” digunakan untuk mengacu pada periode waktu selama usia lanjut

dan apabila sudah terjadi disorganisasi mental. Seseorang yang menjadi eksentrik,

kurang perhatian dan terasing secara sosial, maka penyesuaian dirinya pun buruk,

biasanya disebut “uzur”. Kemunduran juga mempunyai penyebab psikologis seperti

sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan (Hurlock, 1980).

b. Perubahan dalam keuangan

Keadaan fisik lansia yang cepat lelah tidak memungkinkan lansia untuk bekerja

keras seperti masa sebelumnya. Lansia di panti tidak memiliki pekerjaan lagi.

Lansia di panti dapat memperoleh uang untuk mencukupi kebutuhan dari panti

tempatnya bernaung, uang pensiunan, dan keluarga (jika masih memiliki keluarga).

Dengan berkurangnya pendapatan lansia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri

dalam mengatur keperluannya. Walaupun lansia memiliki sumber keuangan, seperti

dari panti, anak, kerabat, atau uang pensiunan, jumlah pendapatan yang memiliki

tersebut tidaklah sebesar seperti ketika masih bekerja.

Page 45: Wellbeing and Integrity

32

c. Perubahan terhadap minat

Perubahan fisik dan waktu luang yang lebih banyak mempengaruhi minat lansia.

Perubahan fisik seperti cepat merasa lelah menyebabkan lansia mengurangi

kegiatan-kegiatannya. Lansia mengubah kegiatan yang dilakukan saat ini tidak

membutuhkan tenaga yang besar seperti ketika mereka masih muda. Diantara

perubahan minat pada lansia adalah sebagai berikut: minat pribadi yang meliputi

minat terhadap diri sendiri, minat terhadap penampilan, sosial-ekonomi, tempat

tinggal, pakaian, uang, rekreasi, kegiatan sosial, seks, status pernikahan, keagamaan,

dan kematian (Hurlock, 1980).

d. Perubahan kemampuan mental

Perubahan mental bagi setiap individu secara usia kronologis mempunyai

persamaan usia tetapi mempunyai perbedaan intelektual. Secara umum mereka yang

mempunyai pengalaman intelektual lebih tinggi secara relative penurunana dalam

efisiensi mental kurang dibandiang mereka yang pengalaman intelektualnya rendah.

e. Perubahan kehidupan dalam keluarga

Keluarga mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya usia. Lansia

sebelumnya tinggal dengan keluarga memiliki peranan besar bagi anak-anaknya.

Sekarang ini anak-anak memiliki keluarga sendiri dan peranan lansia dalam

kehidupan anak berkurang atau hanya memiliki peranan lagi dalam kehidupan anak.

Page 46: Wellbeing and Integrity

33

Bagi lansia yang tidak menikah, perubahan dalam pola kehidupan keluarga yang

terjadi berkaitan dengan hubungan antar saudara kandung yang biasanya terjalin

erat, namun suatu saat lansia juga dapat mengalami kematian kakak atau adik

kanduang, atau bahkan mereka sama sekali tidak memiliki kerabat lagi.

2.3.3 Batasan-Batasan Umur Lanjut usia

Lansia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang

dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak dapat dihindari oleh siapapun, namun manusia

dapat berupaya menghambat kejadiannya (Bandiyah, 2009).

Seseorang baru dapat dikatakan berusia lanjut dapat dibedakan menurut dua

macam umur, yaitu umur kronologis dan umur biologis. Umur kronologis adalah umur

yang dicapai seseorang dalam kehidupannya yang dihitung dengan tahun kalender.

Sedangkan umur biologis adalah usia yang sebenarnya berdasarkan pematangan

jaringan. Hal ini dapat menerangkan, mengapa orang yang berumur kronologis sama

mempunyai penampilan fisik dan mental yang berbeda (Bandiyah, 2009).

Mengenai kapankah orang disebut lansia, sulit dijawab secara memuaskan.

Dibawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai batasan umur lansia,

diantaranya ialah:

1. Menurut Hurlock (2002)

- njut dini : antara usia 60 tahun sampai 70 tahun usia la

Usia lanjut - : usia 70 tahun ke ata sampai akhir kehidupan

Page 47: Wellbeing and Integrity

34

2. Menurut WHO (dalam Bandiyah, 2009)

- ) : usia 45 tahun sampai 59 tahun

- lanjut usia (elderly)

usia pertengahan (middle age

: usia 60 tahun sampai 74 tahun

lanjut usia tua (old)

ery old) : di atas usia 90 tahun

enurut Boyd (2006)

sia 60 tahun sampai 75 tahun

the old-old antara usia

old mulai dari usia 85 tahun ke atas

telah dikemukakan diatas,

ial Trisna Wredha Melania

kan Undang-Undang No. 13

tahun 1998 pasal 1 nomor 2, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

ke atas

kembangan usia lanjut lebih

banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain.

(1980) adalah sebagai berikut:

- : usia 75 tahun sampai 90 tahun

- usia sangat tua (v

3. M

- young old antara u

- 75 tahun sampai 85 tahun

- the oldest

Berdasarkan beberapa batasan usia lansia yang

dimana dalam penelitian ini populasi usia lansia di Panti Sos

berkisar antara 64 tahun sampai 93 tahun dan berdasar

(Depsos, 1998), maka peneliti mengambil batasan usia menurut Boyd yang

dibagi menjadi young old, the old-old, dan the oldest old.

2.3.4 Tugas Perkembangan Lanjut Usia

Pada setiap tahap kehidupan manusia memiliki tugas perkembangan tertentu,

demikian juga halnya pada lansia. Sebagian tugas per

Tugas perkembangan lansia menurut Hurlock

Page 48: Wellbeing and Integrity

35

1. Me

sia perlu

kematian

menghindari kesepian.

dasarnya tugas perkembangan lansia itu adalah menentukan

iri dengan baik serta menjalani hidup dengan rasa

penuh

engurus atau kediaman dan merawat orang jompo.

urut Depsos (2005), Panti Sosial Tresna Werdha atau biasa di

nyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan dan menurunnya kesehatan secara

bertahap.

2. Mencari kegiatan baru untuk mengganti kegiatan yang dahulu dilakukan.

3. Akibat menurunnya tingkat kesehatan dan pendapatan, maka lan

menjadwalkan dan menyusun kembali pola hidup yang sesuai dengan keadaan saat

itu.

4. Lansia perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa

pasangan hidupnya.

5. Lansia perlu membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, jika

ingin

Berdasarkan pendapat dari Hurlock mengenai tugas perkembangan diatas, dapat

disimpulkan bahwa pada

siapakah dirinya, dan bagaimana mereka dapat menjalani setiap perubahan yang terjadi

sehingga dapat menyesuaikan d

bahagia.

2.4 Panti Wreda

Dalam kamus Bahasa Indonesia (2000) panti wreda atau panti jompo adalah

rumah tempat m

Sedangakan men

kenal dengan sebutan panti wreda adalah wadah atau institusi yang memberikan

Page 49: Wellbeing and Integrity

36

pelayanan dan perawatan jasmani, rohani, dan sosial, serta perlindungan untuk

em

. Panti

reda terdiri dari dua jenis, yaitu panti wreda negara dan panti wreda swasta.

nggal dan

itangkap saat pekerja dinas sosial melakukan razia di jalan. Sedangkan pada panti

wreda

da usia lansia, lansia yang keluarganya sibuk

tau tidak mampu merawatnya, dan atas keinginan dari lansia itu sendiri agar bisa

bergab

m enuhi kebutuhan lanjut usia agar dapat menikmati taraf hidup secara wajar.

Pengadaan panti wreda bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para lansia,

sebagai sarana agar lansia dapat terpenuhi kebutuhan jasmaninya dan rohaninya

w

Panti wreda negara digunakan sebagai tempat tinggal untuk lansia yang masih

memiliki keluarga maupun yang tidak, lansia yang tidak memiliki tempat ti

d

swasta digunakan sebagai tempat perawatan lansia, dimana lansia atau keluarga

membayar biaya perawatan selama lansia tinggal di panti. Biaya selama tinggal dip anti

wreda negara dan swasta tidaklah jauh berbeda. Sumbernya bisa dari keluarga yang

membiayai, tabungan pensiun, subsidi silang dari lansia lain yang lebih mampu, bantuan

dari negara atau yayasan secara berkala.

Penghuni panti swasta biasanya terdiri dari lansia yang tidak mempunyai

keluarga lain yang bisa merawatnya pa

a

ung dengan sesama lansia lain di panti wreda.

Menurut Hurlock (1980), terdapat berbagai keuntungan yang didapat oleh lansia

jika mereka tinggal di panti wreda, diantaranya yaitu:

Page 50: Wellbeing and Integrity

37

1. Sem a makanan mudah di dapat dengan biaya yang memadai,

2. Ad

r oleh teman seusia

penghuni panti (lansia dan pengurus) dapat

ak mempunyai keluarga tersedia di panti.

dak mungkin terjadi jika berada dalam kelompok dengan usia yang

mendapatkan perhatian yang baik dari pengasuh dan para pengurus

ia

Dalam periode rentang kehidupan seseorang, mulai dari dalam kandungan

ampai akhirnya menjadi lansia, ia mengalami tahap-tahap tugas perkembangan yang

lansia,

u

anya kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia yang mempunyai

minat dan kemampuan yang sama

3. Kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara tempore

daripada dengan usia yang lebih muda.

4. Menghilangkan kesepian karena

dijadikan teman.

5. Perayaan hari libur bagi mereka yang tid

6. Adanya kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa lalu.

Kesempatan ini ti

lebih muda.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan panti wreda milik swasta,

dikarenakan fasilitas yang digunakan dapat mendukung kehidupan lansia dengan baik

dan mereka juga

panti.

2.5 Hubungan Psychological Well Being dengan Integrity Lanjut us

s

harus diselesaikan pada setiap tahapannya. Ketika manusia telah sampai pada tahapan

ia akan melihat kembali perjalanan hidupnya dan apa saja yang telah mereka

capai. Lansia akan mengalami integrity jika ia memiliki pandangan yang baik akan

kehidupan yang telah ia jalani sebelumnya. Untuk mengurangi beban dari masalahnya

Page 51: Wellbeing and Integrity

38

maka lansia harus berusaha untuk mencapai psychological well being-nya dimana hal

itu baru dapat tercapai jika ia telah memiliki pandangan positif akan dirinya sendiri dan

lingkungannya.

2.6 Kerangka Berfikir

Perubahan pada manusia terjadi seiring dengan berjalannya waktu melalui

hap-tahap perkembangan. Perkembangan tersebut diawali dengan masa prenatal

a, dimana pada tiap-tiap masa perkembangan tersebut

mempu

suatu cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah

rsebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha

mencap

ta

sampai dengan masa lanjut usi

nyai tugas perkembangan yang harus diselesaikan untuk dapat melanjutkan ke

tahap selanjutnya. Ketika manusia telah menjadi tua (lansia) dan memiliki pandangan

positif terhadap apa yang telah ia peroleh maka ia dapat dikatakan memperoleh

integrity.

Dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan dihadapi oleh lansia maka

diperlukan

te

ai psychological well being (kesejahteraan psikologis) dimana baru dapat

dicapai jika individu tersebut telah memiliki pandangan yang positif terhadap hidupnya

(integrity). Seberapa besar pandangan positif yang individu itu miliki maka akan

meningkat pula psychological well-being-nya.

Psychological Well-Being (DV)

Integrity (IV)

Page 52: Wellbeing and Integrity

39

2.7 Hipotesis Penelitian

Ha: Ada hubungan yang signifikan antara integrity dengan psychological well-being

na Wredha Melania

Ho: Tidak ada hubungan yang signifikan antara integrity dengan psychological well-

being pada lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania

pada lanjut usia di Panti Sosial Tris

Page 53: Wellbeing and Integrity

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

3.1.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui hubungan antara intrgrity

dengan psychological well-being lanjut usia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu data penelitian

yang diinterpretasikan melalui suatu proses pengukuran yang valid, reliabel, dan

objektif (Azwar, 2005). Dimana informasi dan datanya dianalisis menggunakan teknik

stastistik (Kountur, 2007).

3.1.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kolerasional, sebab peneliti ingin melihat

hubungan antara integrity dengan psychological well-being lanjut usia di panti wreda.

Metode korelasional digunakan untuk melihat hubungan di antara beberapa variable

yaitu variabel integrity dan variabel psychological well-being. Ke dua variabel tersebut

diteliti untuk melihat hubungan yang terjadi tanpa mencoba untuk merubah atau

mengadakan perlakuan (Kountur, 2007).

40

Page 54: Wellbeing and Integrity

41

3.2 Definisi Variabel, Konseptual, dan Operasional

3.2.1 Definisi variabel

Variabel adalah pembeda antara satu dengan yang lainnya (Kountur, 2007) dan

merupakan konstruk yang sifat-sifatnya sudah diberi nilai-nilai dalam bentuk bilangan,

atau konsep yang memiliki dua nilai atau lebih pada suatu kontinumnya yang dapat

dinyatakan dengan angka atau kata-kata (Hasan, 2002). Dalam penelitian ini, terdapat

dua jenis variabel, yaitu variabel bebas (independent variable dan variabel terikat

(dependent variable). Adapun variabel-variabel tersebut adalah:

a. Variabel bebas (independent variable) adalah integrity.

b. Variabel terikat (dependent variable) adalah psychological well-being.

3.2.2 Definisi Konseptual

Definisi konseptual (definisi kamus) adalah definisi yang menjelaskan suatu kata

dengan menggunakan kata-kata lainnya (Kountur, 2007). Definisi ini lebih formal jika

dibandingkan dengan definisi operasional. Dalam hal ini definisi dari tiap-tiap variabel

adalah:

1. Integrity yang dijelaskan pada penelitian ini mengambil acuan dari teori psikososial

Erikson (Santrock, 2002) Dimana ego integrity berarti saat individu melihat kembali

perjalanan hidup ke belakang, apa yang telah mereka lakukan selama perjalanan

mereka tersebut. Ada yang dapat mengembangkan pandangan positif terhadap apa

yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan puas.

Page 55: Wellbeing and Integrity

42

2. Psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia

berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman

tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki (Ryff dan Keyes, 1995)

3.2.3 Definisi Operasional

Definisi operasional penelitian adalah suatu definisi yang memberikan

penjelasan atas suatu variabel dalam bentuk yang diukur dan merupakan definisi yang

dibuat oleh peneliti itu sendiri (Kountur, 2007). Definisi dari tiap-tiap variabel adalah

skor yang di peroleh dari pengukuran:

1. Integrity yang dimaksud dari penelitian ini adalah skor yang diperoleh dari

pengukuran berdasarkan teori Santrock yang mempunyai indikator merasa puas dan

memiliki pandangan positif terhadap apa yang telah dicapai

2. Psychological well-being adalah kondisi psikologis lansia di panti werdha yang di

tentukan oleh hasil evaluasi berdasarkan pengalaman hidupnya dengan

memanfaatkan potensi yang dimiliki selama tinggal di panti werdha. Dimana

dimensinya yang berdasarkan teorinya Ryff ada 6 yaitu: Kemandirian, penguasaan

lingkungan, pengembangan pribadi, menjalin hubungan baik dengan orang lain,

tujuan hidup, dan penerimaan diri.

Page 56: Wellbeing and Integrity

43

3.3 Subjek penelitian

3.3.1 Populasi dan Sampel

Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki

karakteristik tertentu, jelas, dan lengkap yang akan diteliti (Hasan, 2002). Dalam

penelitian ini yang menjadi populasinya adalah 46 orang lansia yang tinggal di Panti

Sosial Trisna Wredha Melania. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang

diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan

lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Hasan, 2002). Adapun sampel yang

diambil adalah sebanyak 35 lansia yang berada pada kelompok usia young old, the old-

old, dan the oldest old yang diawali dengan umur 60 tahun sampai diatas 85 tahun dan

tinggal di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dengan menggunakan prosedur

random sampling dengan metode ialah simple random sampling. Metode ini dilakukan

dengan cara pemilihan sampel dimana anggota dari populasi dipilih satu per satu secara

random dimana semua anggota dari populasi mendapatkan kesempatan yang sama

untuk dipilih dan jika sudah dipilih tidak dapat dipilih lagi (Kountur, 2007).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Metode dan Instrument Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti melalukan pengumpulan data dengan metode

(cara) menggunakan angket sebagai alat pengumpul data, yaitu sejumlah pernyataan

Page 57: Wellbeing and Integrity

44

tertulis untuk memperoleh jawaban dari responden. Dalam proses pengumpulan data

penelitian ini, peneliti menggunakan instrument. Jawaban dari setiap item instrument

penelitian dalam bantuk skala.

Pada skala integrity dan skala psychological well-being dan ini dibuat dengan

menggunakan model skala Likert. Skala Likert (Hasan, 2002) merupakan jenis skala

yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian. Jawaban setiap item instrumen ini

memiliki gradasi dari yang tertinggi (sangat positif) sampai pada yang terendah (sangat

negatif), yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata. Pernyataan yang diberikan kepada

respoden akan memberikan indikasi pernyataan sering hingga tidak pernah. Cara

penilaiannya adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Pemberian skor pada penelitian menggunakan skala Likert

Pilihan Jawaban Skor Nilai

Selalu (SL)

Sering (SR)

Kadang-kadang (KD)

Tidak Pernah (TP)

4

3

2

1

Dalam item konflik peran-ganda, subjek diminta menyatakan frekuensi

timbulnya perasaan sebagaimana yang digambarkan dalam item. Pilihan-pilihan

jawabannya adalah TP = Tidak Pernah, KD = Kadang-kadang, SR = Sering, SL =

selalu. Jawaban SR dan SL berarti frekuensi perasaan yang tinggi dan mengindikasikan

tingginya tingkat konflik peran ganda yang dialami, sebaliknya jawaban TP dan KD

Page 58: Wellbeing and Integrity

45

mengindikasikan bahwa tingkat konflik ganda yang dialami subjek termasuk rendah

(Azwar, 2005). Skala Likert ini diadopsi dengan menghilangkan jawaban ragu-ragu

karena dapat menimbulkan pernyataan yang membingungkan atau ambigu.

Skala dalam penelitian ini terdiri dari dua skala. Skala pertama untuk

mengetahui integrity dan skala kedua untuk mengetahui psychological well being pada

responden penelitian.

1. Skala Integrity

Skala psikososial yang digunakan merujuk pada teori Erikson tahap kedelapan yang

dijabarkan oleh Santrock (2002).

Tabel 3.2

Blue Print Skala Integrity (try out)

No.

Indikator

No. Item

Favorable

Jumlah

1. Memiliki pandangan positif

terhadap apa yang telah dicapai

1, 3, 5, 7, 9 5

2. Merasa puas 2, 4, 6, 8, 10 5

Total 10

2. Skala Psychological Well-Being

Skala psychological well being yang digunakan merujuk pada teori Ryff yang

dirancang berdasarkan 6 dimensi yang mengambil rujukan angket dari karya Abbot. A.

R., et. al (2006).

Page 59: Wellbeing and Integrity

46

Tabel 3.3

Blue Print Skala Psychological Well-Being (try out)

No. Dimensi No. Item

Favorable

Jumlah

1. Autonomy 1, 7, 13, 19, 25 5

2. Environment mastery 2, 8, 14, 20, 26 5

3. Personal growth 3, 9, 15, 21, 27 5

4. Positive relation with others 4, 10, 16, 22, 28 5

5. Purpose in life 5, 11, 17, 23, 29 5

6. Self acceptance 6, 12, 18, 24, 30 5

Total 30

3.4.2 Teknik Uji Instrumen

Sesuai dengan kaidah penelitian, maka peneliti mengadakan uji instrumen

terlebih dahulu. Pada tahap awal, peneliti membuat item skala yang kemudian

melakukan try out. Untuk menguji validitas, penghitungan korelasi dilakukan dengan

menggunakan rumus korelasi pearson-product moment dengan menggunakan bantuan

program SPSS 15.0. korelasi pearson-product moment yaitu suatu teknik untuk

menganalisis soal yang digunakan untuk menguji skala continue dengan tiga atau lebih

angka skala dimana skala Likert merupakan contoh jenis ini (Sevilla, 1993).

Adapun untuk mengetahui reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus

alpha cronbach dengan menggunakan program yang khusus untuk penghitungan data

penelitian yaitu program SPSS 15.0.

Page 60: Wellbeing and Integrity

47

a. Uji Validitas

Uji validitas adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi

ukurnya. Artinya, sejauhmana skala itu mampu mengukur atribut yang dirancang untuk

mengukurnya (Azwar, 2005).

Adapun fungsi dari uji validitas ini adalah untuk menilai apakah isi skala

memang layak untuk digunakan dalam mengungkap atribut yang dikehendaki peneliti

(Azwar, 2005). Maka untuk menguji validitas dari skala yang telah dibuat adalah

dengan menggunakan teknik Pearson’s product moment. Menurut Sevilla (1993) pada

umumnya para peneliti mempertimbangkan bahwa korelasi 0,3 ke atas adalah indikasi

dari soal-soal yang baik. Dimana dalam perhitungannya dibantu dengan program SPSS

15.0.

b. Uji Reabilitas

Reabilitas mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang

mengandung makna kecermatan pengukuran. Dalam aplikasinya, reabilitas dinyatakan

oleh koefisien reabilitas (rxx) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan

1,00. Semakin tinggi koefisien realibilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi

reabilitasnya (Azwar, 2005).

Pengujian reabilitas pada instrumen yang digunakan adalah dengan metode

internal consistency yang berhubungan dengan konsistensi dari masing-masing

pernyataan pada suatu tes dalam mengukur apa yang sedang diukur (Kountur, 2005).

Page 61: Wellbeing and Integrity

48

Pengujian reabilitas ini menggunakan Alpha Cronbach yang penghitungannya dibantu

oleh program SPSS 15.0. Dimana suatu konstruk variable dikatakan baik jika memiliki

nilai koefisien relabilitas > 0,6 (Azwar, 2005).

3.5 Hasil Uji Instrument

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti melakukan uji instrument pada 35

lansia dengan total item skala sebanyak 40 item dari dua skala, yaitu skala integrity

sebanyak 10 item, dan skala psychological well-being sebanyak 30 item.

3.5.1 Uji Coba Alat Ukur Skala Integrity

Hasil penghitungan uji coba dengan teknik person product moment dihasilkan

10 item valid dari 10 item skala integrity yang diuji cobakan. Item yang dinyatakan

valid ini karena memiliki nilai rhitung > 0,3. Reabilitas pada skala integrity dihitung

dengan menggunakan rumus alpha cronbach. Setelah dihitung, maka diperoleh nilai

koefisien reabilitas alpha sebesar 0,973 untuk integrity. Hal ini menunjukan bahwa alat

ukur integrity yang ada memiliki reabilitas yang baik sehingga memungkinkan atau

layak digunakan dalam penelitian. Adapun item-item yang valid tertera di bawah ini:

Tabel 3.4

Blue Print Skala Integrity (Field Test)

No. Aspek No. Item Favorable Jumlah Item Valid

1. Memiliki pandangan positif

terhadap apa yang telah di capai

1*, 3*, 5*, 7*, 9* 5

2. Merasa puas 2*, 4*, 6*, 8*, 10* 5

Total 10

* Item Valid

Page 62: Wellbeing and Integrity

49

3.5.2 Hasil Uji Coba Alat Ukur Psychological Well-Being

Hasil penghitungan uji coba dengan teknik person product moment dihasilkan

26 item valid dari 30 item skala psychological well-being yang diuji cobakan. Item yang

dinyatakan valid ini karena memiliki nilai rhitung > 0,3. Reabilitas pada skala

psychological well-being dihitung dengan menggunakan rumus alpha cronbach. Setelah

dihitung, maka diperoleh nilai koefisien reabilitas alpha sebesar 0,909. Hal ini

menunjukan bahwa alat ukur psychological well-being yang ada memiliki reabilitas

yang baik sehingga memungkinkan atau layak digunakan dalam penelitian. Adapun

item-item yang valid tertera di bawah ini:

Tabel 3.5

Blue Print Psychological Well-Being (Field Test)

No. Dimensi No. Item

Favorable

Jumlah

Item Valid

1. Autonomy 1, 7*, 13*, 19*, 25* 4

2. Environment mastery 2*, 8*, 14*, 20*, 26* 5

3. Personal growth 3*, 9*, 15*, 21*, 27* 5

4. Positive relation with others 4*, 10*, 16*, 22*, 28* 5

5. Purpose in life 5*, 11*, 17*, 23*, 29* 5

6. Self acceptance 6*, 12, 18, 24*, 30 2

Total 26

* Item Valid

Page 63: Wellbeing and Integrity

50

3.6 Teknik Analisa Data

Metode analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan

sesuai dengan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ada atau

tidak adanya hubungan antara variable X yaitu integrity dengan variable Y yaitu

psychological well-being.

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara analisis statistik

deskriptif, dimana data yang didapatkan ditabulasikan untuk kemudian dijelaskan.

Sedangkan untuk mengetahui hubungan integrity dengan psychological well-being.

Adapun dalam penghittungannya, peneliti menggunakan bantuan program SPSS 15.0.

3.7 Prosedur Penelitian

Penelitian ini berjalan dengan melalui empat tahap prosedur penelitian, yaitu

tahap persiapan, uji coba, pengambilan data, serta pengolahan data, yaitu :

1. Merumuskan masalah, menentukan variabel yang akan diteliti, melakukan studi

pustaka untuk mendapat gambaran dan landasan teori yang tepat mengenai variabel

penelitian. Kemudian menentukan, menyusun, dan menyiapkan alau ukur yang akan

digunakan.

2. Mengurus surat izin try out dari fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk Panti Sosial Tresna Werdha Budhi Dharma.

3. Pada tanggal 7 Juni 2010, peneliti melakukan try out di Panti Sosial Tresna Werdha

Budhi Dharma sampai dengan tanggal 9 Juni 2010. Dalam hal ini peneliti dibantu

oleh Bapak Tonny Effendy.

Page 64: Wellbeing and Integrity

51

4. Setelah semua data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data try out untuk

skala psychological well-being 26 yang valid dan tingkat reliabilitasnya 0,909.

Untuk skala integrity 10 item yang valid serta tingkat reliabilitasnya 0,973.

5. Mengurus surat izin penelitian dari fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta untuk Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

6. Tanggal 11 Agustus 2010, peneliti menyebar angket penelitian yang berjudul

“Hubungan integrity dengan psychological well-being lanjut usia di Panti Sosial

Trisna Wredha Melania dan dibantu oleh Ibu Irene Trisiana T. pada tanggal 11

Agustus 2010, angket terkumpul semua.

7. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengolahan data hasil instrumen

penelitian yang telah diisi oleh responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

Kemudian membuat tabel data dan melakukan penilaian hasil jawaban responden

pada skala psychological well-being dan integrity. Kemudian melakukan analisa

data dengan program SPSS versi 15.0 untuk menguji hipotesis dan korelasi antara

kedua variabel penelitian.

Page 65: Wellbeing and Integrity

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Hasil Penelitian

Berikut ini adalah deskripsi skor integrity dan psychological well-being. Dalam hal

ini peneliti mengkategorisasikan kedalam dua bagian. Yaitu: tinggi dan rendah.

Kategorisasi ini bertujuan untuk menempatkan responden ke dalam kategori-kategori atau

kelompok yang berjenjang.

1. Kategorisasi Skor Integrity

Tabel 4.1

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Integrity 35 33.743 4.742 24.00 40.00

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mean yang didapat untuk integrity adalah

sebesar 33,743. Nilai minimum yang adalah 24. Sedangkan nilai maksimum yang

didapatkan adalah sebesar 40. Sehingga luas jarak sebenarnya adalah 40-24 = 16. Jarak

tersebut kemudiaan dibagi dua untuk melihat nilai tengah yaitu 16/2 = 8. Kemudian nilai

tengah ditambah dengan nilai minimumnya yaitu 8+24 = 32. Sehingga nilai tengah yang

didapatkan antara 24 dan 40 adalah 32. Maka diperoleh kategorisasi sebagai berikut:

52  

Page 66: Wellbeing and Integrity

53  

Tabel 4.2

Kategori skor skala

Kategorisasi Interval Skor Frekuensi %

Tinggi 32 - 40 25 71,4 %

Rendah 24 - 31 10 28,6 %

Jumlah 35 100 %

Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 25 responden penelitian (71,4 %) untuk integrity

berada dalam kategorisasi tinggi dan sebanyak 10 responden (28,6 %) memiliki

kategorisasi rendah. Dengan demikian dapat dikatakan dalam penelitian ini integrity

mayoritas responden dalam kategori tinggi sebanyak 25 responden (71,4 %).

2. Kategorisasi Skor Psychological Well-Being

Tabel 4.3

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

PWB 35 73.429 12.234 48.00 97.00

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa mean yang didapat untuk PWB adalah

sebesar 73,429. Nilai minimum yang didapatkan untuk PWB adalah 48. Sedangkan nilai

maksimum yang didapatkan untuk PWB adalah 97. Sehingga luas jarak sebenarnya untuk

PWB adalah 97-48 = 49. Jarak tersebut kemudiaan dibagi dua untuk melihat nilai tengah

dari jarak PWB yaitu 49/2 = 24,5. Kemudian nilai tengah dari jarak PWB ditambah dengan:

Page 67: Wellbeing and Integrity

54  

nilai minimumnya yaitu 24,5+48 = 72,5. Sehingga nilai tengah yang didapatkan untuk

PWB antara 48 dan 97 adalah 72,5. Maka diperoleh kategorisasi sebagai berikut:

Tabel 4.4

Kategori skor skala PWB

Kategorisasi Interval Skor Frekuensi %

Tinggi 72,5 - 97 19 54,3

Rendah 48 – 72 16 45,7

Jumlah 35 100 %

Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 19 responden penelitian (54 %) untuk PWB

berada dalam kategorisasi tinggi dan sebanyak 16 responden (45 %) memiliki kategorisasi

rendah. Dengan demikian mayoritas responden dalam kategori tinggi sebanyak 19

responden (54 %).

4.2 Uji Persyaratan

4.2.1 Uji Hipotesis

Untuk menguji apakah terdapat hubungan antara integrity dengan psychological

well-being lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Melania, peneliti menggunakan rumus

Spearman, dikarenakan pada uji normalitas data integrity tidak berdistribusi normal,

sedangkan pada uji normalitas data psychological well-being berdistribusi normal.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software (SPSS versi 15.0) dan berikut

ini adalah hasil pengolahan data yang di maksud :

Page 68: Wellbeing and Integrity

55  

Tabel 4.5

Korelasi Integrity dengan Psychological Well-Being

Integrity PWB

Spearman's

rho

Integrity Correlation Coefficient 1.000 .473(**)

Sig. (2-tailed) . .004

N 35 35

PWB Correlation Coefficient .473(**) 1.000

Sig. (2-tailed) .004 .

N 35 35

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi, diketahui bahwa nilai korelasi rhitung

yang di dapat adalah sebesar 0,473, sementara nilai rtabel pada taraf signifikansi 1% adalah

dengan N 35. Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:

Ha: Ada hubungan yang signifikan antara hubungan psychological well-being dengan

integrity pada lanjut usia di panti wreda.

Ho: Tidak ada hubungan yang signifikan antara hubungan psychological well-being dengan

integrity pada lanjut usia di panti wreda .

Karena nilai rhitung yang didapat (0,473) > rtabel (sig. 1%), maka hipotesis alternatif

(Ha) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara hubungan

psychological well-being dengan integrity pada lanjut usia di panti wreda diterima. Dengan

demikian hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

Page 69: Wellbeing and Integrity

56  

antara hubungan psychological well-being dengan integrity pada lanjut usia di panti wreda

ditolak. Arah hubungan yang didapat menunjukan nilai positif, yang bermakna bahwa

semakin tinggi tingkat psychological well-being lansia di panti wreda, semakin tinggi pula

integrity yang di dapat.

4.2.2 Analisis Hasil Uji Hipotesis

Dari hasil uji hipotesis bahwa rhitung psychological well-being dengan integrity

(0,473) > rtable (sig. 1%). Dengan demikian, diperoleh jawaban atas rumusan hipotesis

bahwa Ha diterima yaitu terdapat hubungan signifikan antara psychological well-being

dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania dan menolak hipotesis Ho

yaitu tidak terdapat hubungan signifikan antara psychological well-being dengan integrity

lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

4.3 Hasil Tambahan

4.3.1 Gambaran Umum Responden

Gambaran umum responden akan diuraikan secara rinci di bawah ini berdasarkan

jenis kelamin, usia, status pernikahan, dan sosial ekonomi. Subjek dalam penelitian ini

sebanyak 35 lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

1. Gambaran Responden Berdasarkan Kategori Jenis Kelamin

Berikut tabel di bawah ini penjelasan mengenai kategorisasi responden berdasarkan

jenis kelamin :

Page 70: Wellbeing and Integrity

57  

Tabel 4.6

Kategori Jenis Kelamin

Jenis

kelamin

Frekuensi Persen

(%)

Integrity PWB

Mean t-test Mean t-test

Laki-laki

Perempuan

3

32

9

91

34.333

33.687

0,825 73.0

73.469

0,951

Total 35 100

Dari table di atas terlihat bahwa responden paling banyak adalah lansia perempuan

32 orang dengan presentase 91%, sedangkan responden lansia laki-laki berjumlah 3 orang

dengan presentase 9%.

Untuk nilai rata–rata PWB pada perempuan (73.469) lebih besar daripada laki-laki

(73.0) dengan perbedaan nilai sebesar 0.469. sedangkan untuk nilai rata-rata integrity lebih

besar laki-laki daripada perempuan dengan perbedaan sebesar 0,646. Dapat dilihat di tabel

4.6 untuk signifikansi t-test untuk integrity (0,825) dan PWB (0,951) > 0,05, sehingga dapat

disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan integrity dan PWB pada lansia laki-laki

dan perempuan.

2. Gambaran Responden Berdasarkan Kategori Usia

Berikut tabel di bawah ini penjelasan mengenai kategorisasi responden berdasarkan

usia:

Page 71: Wellbeing and Integrity

58  

Tabel 4.7

Kategori Usia

Usia Frekuensi % Integrity PWB

Mean one-

way

Mean one-

way

60 – 75

75 – 85

> 85

10

22

3

23

69

8

33.6

34.227

30.667

0,468 72.6

73.591

75.0

0,954

Total 35 100

Pada penelitian ini gambaran umum responden berdasarkan kategori usia atau umur,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok umur antara umur 60 – 75 tahun

sebanyak 10 lansia (23%), kemudian kelompok umur 75 – 85 tahun sebanyak 22 lansia

(69%), dan kelompok umur antara umur > 85 tahun sebanyak 3 lansia (8%).

Untuk nilai rata–rata integrity yang paling kecil terdapat di umur > 85 tahun

(30,667) sedangkan PWB di umur 60 – 75 tahun (72,6) dan yang paling tinggi untuk

integrity di umur 75 – 85 (34,227) dan PWB terdapat di umur > 85 tahun (75,0). Dapat

dilihat di tabel 4.7 untuk signifikansi one-way untuk integrity (0,468) dan PWB

(0,954) > 0,05 sehingga dapat di simpulkan bahwa tidak ada perbedaan integrity dan PWB

antara usia 60 tahun sampai dengan > 85 tahun,

Page 72: Wellbeing and Integrity

59  

3. Gambaran Responden Berdasarkan Kategori Status Pernikahan

Berikut tabel di bawah ini penjelasan mengenai kategorisasi responden berdasarkan

status pernikahan :

Table 4.8

Kategori Status Pernikahan

Status

Pernikahan

Frekuensi % Integrity PWB

Mean one-

way

Mean one-

way

Janda

Duda

Tidak Menikah

26

3

6

74

9

17

33.577

34.333

34.167

0,942 74.0

73.0

71.167

0,882

Total 35 100

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kelompok janda sebanyak 26 lansia (74%),

kemudian kelompok status duda sebanyak 3 lansia (9%), dan kelompok status tidak

menikah sebanyak 6 lansia (17%).

Untuk nilai rata–rata integrity paling kecil terdapat pada status janda (33,577)

sedangkan PWB pada status tidak menikah (71,167) dan yang paling tinggi untuk integrity

di status duda (34,333) sedangkan PWB di status janda (74,0). Dapat dilihat di tabel 4.8

Untuk signifikansi one-way integrity (0,942) dan PWB (0,882) > 0,05 sehingga dapat di

simpulkan bahwa tidak ada perbedaan integrity dan PWB di antara status janda, duda, dan

tidak menikah.

Page 73: Wellbeing and Integrity

60  

4. Gambaran Responden Berdasarkan Kategori Sosial Ekonomi

Berikut tabel di bawah ini penjelasan mengenai kategorisasi responden berdasarkan

keadaan sosial ekonomi:

Tabel 4.9

Kategori Sosial Ekonomi

Sosial Ekonomi Frekuensi % Integrity PWB

Mean one-

way

Mean one-

way

Sangat Cukup

Cukup

Tidak Cukup

3

19

13

9

54

37

35.667

33.579

33.538

0,774 90.0

76.789

64.692

0,0

Total 35 100

Pada penelitian ini gambaran umum responden berdasarkan kategori sosial

ekonomi, Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kelompok sangat cukup sebanyak 3 lansia

(9%), kemudian kelompok ekonomi cukup sebanyak 19 lansia (19%), dan kelompok status

ekonomi tidak cukup sebanyak 13 lansia (37%).

Untuk nilai rata–rata integrity dan PWB yang paling kecil terdapat pada ekonomi

tidak cukup (33,538 dan 64.692) dan yang paling tinggi untuk integrity dan PWB pada

ekonomi sangat cukup (35,667 dan 90,0). Dapat dilihat di tabel 4.9 untuk signifikansi one-

way integrity (0,774) > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

signifikan di antara ketiga sosial ekonomi tersebut, sedangkan untuk signifikansi one-way

Page 74: Wellbeing and Integrity

61  

PWB 0,0 < 0,05 sehingga dapat di simpulkan bahwa ada perbedaan PWB antara ketiga

ekonomi tersebut. Dimana mereka yang memiliki ekonomi sangat cukup memiliki PWB

yang lebih baik dari pada yang cukup dan tidak cukup.

4.3.2 Hasil Analisa Uji Regresi

Untuk mengatahui berapa besar sumbangan integrity untuk PWB maka dilakukan

analisa uji regresi.

Tabel 4.10

Model Summary Hasil Uji Regresi

Model R R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

1 .497(a) .247 .200 10.94367

a Predictors: (Constant), Puas, P.Positif

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa nilai R square yang didapat adalah

sebesar 0,247. Hal ini berarti bahwa kedua indikator integrity memberikan sumbangsih

sebesar 24,7% bagi perubahan PWB. Dengan demikian terdapat 75,3% aspek lain selain

indikator integrity yang tidak terukur dalam penelitian ini yang dapat memberikan

perubahan terhadap variabel PWB.

Page 75: Wellbeing and Integrity

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukan ada hubungan yang signifikan antara

psychological well-being dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania

dan hasil dari uji regresi, kedua indikator integrity memberikan sumbangsih sebesar 24,7%

bagi perubahan antara psychological well-being. Hal ini berarti semakin tinggi

psychological well-being lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania maka integrity yang

dimiliki lansia tersebut cenderung semakin baik.

5.2 Diskusi

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka penulis akan

melakukan beberapa pembahasan lebih lanjut mengenai hubungan integrity dengan

psychological well-being lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa tingkat integrity lansia di Panti Sosial

Trisna Wredha Melania sebanyak 25 lansia (71,4 %) dalam kategori skor tinggi. Dengan

demikian hal ini menunjukan bahwa lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania memiliki

pengalaman hidup yang memuaskan yang dapat terlihat dari tingkat integrity yang tinggi.

62  

Page 76: Wellbeing and Integrity

63  

Pada variabel psychological well-being diketahui bahwa lansia yang dijadikan

sampel dalam penelitian ini memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi

sebanyak 19 lansia (54,3 %), ini berarti lansia memiliki kecendrungan untuk memperoleh

kebahagiaan yang tinggi selama tinggal di Panti Sosial Trisna Wredha Melania.

Ryff dan Keyes (1995), psychological well-being adalah saat dimana seseorang

dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya, bagaimana mereka

memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki dan didasari oleh

enam dimensi yatu: kemandirian, menguasai lingkungan, menjadi pribadi yang

berkembang, memiliki hubungan positif dengan orang lain, memiliki tujuan hidup, dan

penerimaan diri yang baik. Jika melihat skor keenam dimensi dari psychological well-being

adalah tinggi, hal ini berarti lansia memiliki penilaian yang cukup baik terhadap

pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini. Menurut Santrock (2002), ada beberapa hal

yang perlu dilakukan oleh para lansia untuk membantu mereka mencapai psychological

well-being, yaitu mencakup memiliki pendapatan, kesehatan yang baik, gaya hidup aktif,

dan mempunyai jaringan teman dan keluarga yang baik.

Dari hasil penelitian pada bab sebelumnya, korelasi antara psychological well-being

dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania sebesar 0,496 atau lebih

besar dari taraf signifikan 1%. Dengan demikian ini menunjukan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara psychological well-being dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna

Wredha Melania.

  

Page 77: Wellbeing and Integrity

64  

Penelitian ini menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara psychological

well-being dengan integrity lansia di Panti Sosial Trisna Wredha Melania. Hasil penelitian

ini sesuai dengan pendapat Bardburn (1969) Dalam sebuah contoh dimana seseorang yang

memiliki psychological well-being tinggi akan memiliki emosi positif lebih banyak

daripada emosi negatif. Dengan demikian, dalam banyak hal ini di dominasi oleh rasa

bahagia (well-being) melebihi rasa sakit dalam pengalaman hidupnya.

Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Yang Yang (dalam

Oz, 2008) pada 28.000 orang Amerika dengan rentang usia 18 sampai 88 tahun yang

menyatakan bahwa orang yang paling bahagia adalah yang paling tua dan hidup bertambah

baik dalam persepsi seseorang saat bertambahnya usia. Menurutnya, orang yang berusia

lanjut menghadapi sejumlah tertentu kesukaran yang tak terelakkan, termasuk rasa sakit dan

nyeri serta kematian teman dan orang yang dicintai. Namun orang yang lebih tua biasanya

telah belajar untuk lebih puas dengan apa yang mereka miliki di bandingkan dengan orang

dewasa yang lebih muda. Linda George juga mengatakan hal itu terjadi karena orang yang

lebih tua telah belajar untuk menurunkan harapannya dan menerima baik apa yang telah

mereka capai.

Hasil tambahan dalam penelitian ini menghasilkan bahwa untuk jenis kelamin tidak

ada perbedaan signifikan psychological well-being pada lansia dengan hasil t-test 0,951.

Dalam Bardburn (1969) hal ini sesuai dengan beberapa studi sebelumnya yang dilakukan

oleh Gurin bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara jenis kelamin dengan kebahagiaan.

  

Page 78: Wellbeing and Integrity

65  

Salah satu yang menyebabkan tidak adanya perbedaan pada jenis kelamin karena

perempuan sekarang hidup di masa yang lebih modern dimana tingkat pendidikannya lebih

tinggi.

Usia dalam penelitian ini menghasilkan tidak ada perbedaan signifikan

psychological well-being pada lansia dengan nilai one-way 0,954. Dalam Feist (2006),

Folkman dan kawan-kawan menyatakan lansia lebih baik dalam melakukan coping ketika

sedang emosi. Karena menurut Blanchard dan kawan-kawan lansia memiliki strategi dalam

mengatur emosi lebih banyak daripada dewasa muda. Hal itu sejalan dengan pernyataan

Braun (dalam Diener, 1984) bahwa responden yang lebih tua secara keseluruhan

melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih besar.

Pada status pernikahan juga tidak ada perbedaan yang signifikan psychological

well-being pada lansia dengan nilai one-way 0,882. Menurut Dykstra (dalam Feist, 2006),

lansia yang tidak pernah menikah kurang lebih sama keadaannya dengan janda dan yang

ditinggal oleh pasangannya yang lebih menyukai hidup sendiri. Mereka memiliki sedikit

ketegangan akibat emosi yang berhubungan pasangan hidup. Menurut Pudrovska dan

kawan-kawan, mungkin alasan mereka untuk hidup sendiri adalah karena keterampilan dan

sumber daya seperti autonomy (kemandirian) dapat membantu mereka dalam mengatasi

kesendiriannya dikarenakan lamanya waktu untuk hidup sendiri

  

Page 79: Wellbeing and Integrity

66  

Dan, terakhir pada status sosial ekonomi terdapat perbedaan signifikansi

psychological well-being pada lansia dengan nilai one-way 0,0. Menurut Hurlock (1980),

lansia yang tidak mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sering

menghentikan banyak kegiatan yang penting bagi mereka, kemudian memusatkan

perhatiannya pada satu kegiatan yang dapat menghasilkan sesuatu, tanpa memperhatikan

apakah hal itu penting bagi mereka atau memenuhi kebutuhannya. Sehingga kebahagiaan

yang mereka dapatkan menjadi lebih terbatas ketika dilihat dari keadaan ekomnomi yang

sedang dialami.

Namun dalam penelitian ini masih terdapat beberapa kekurangan, diantaranya

adalah menurunnya fungsi penglihatan pada lansia sehingga angket harus dibacakan,

jawaban yang diberikan oleh para lansia langsung mencakup beberapa pernyataan yang

diajukan, adanya perbedaan persepsi antara peneliti dengan lansia pada pemberian skor

alternatif jawaban angket, dan keterbatasan waktu yang diberikan oleh pihak panti werdha

jadi dalam pelaksanaannya dibantu oleh beberapa teman dalam membacakan angket.

5.3 Saran

Berdasarkan penulisan penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat

banyak kekurangan di dalamnya dikarenakan adanya beberapa hambatan dan rintangan

yang dialami. Untuk itu, dari peneliti ada beberapa saran yang bisa menjadi bahan

  

Page 80: Wellbeing and Integrity

67  

pertimbangan sebagai penyempurnaan berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian ini,

yaitu berupa saran teoritis dan saran praktis.

5.3.1 Saran Teoritis

1. Mengingat metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuantitatif maka untuk penelitian selanjutnya disarankan melakukan penelitian dengan

metode kualitatif. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh lebih mendalam.

2. Sebaiknya pada penelitian yang akan datang jumlah sampel lebih banyak sebagai uji

coba dan untuk populasi yang lebih luas sehingga penyebaran dari analisa jawaban

setiap pernyataan bisa lebih baik.

3. Dikarenakan penelitian ini meneliti masa perkembangan lansia, maka perlu dilakukan

penelitian pada masa perkembangan yang sebelumnya (remaja dan dewasa), agar data

yang didapatkan lebih akurat.

4. Pada penelitian ini telah menggunakan variabel integrity, maka untuk penelitan

selanjutnya disarankan menggunakan variabel despair dengan jumlah item pernyataan

yang sedikit dan lebih sensitif.

5. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai

perbedaan antara psychological well-being lansia yang tinggal bersama anaknya

(keluarganya), di panti wreda milik negara, dan di panti wreda miliki swasta.

  

Page 81: Wellbeing and Integrity

68  

  

5.3.2 Saran Praktis

1. Untuk Para Lansia

Lansia dapat mengikuti berbagai kegiatan di panti wreda agar dapat mengembangkan ke

enam dimensi dalam meningkatkan psychological well-being-nya, karena berdasarkan

hasil penelitian hal tersebut dapat meningkatkan psychological well-being yang berarti

integrity yang dimiliki juga baik.

2. Untuk Praktisi Psikologi

Untuk praktisi psikologi agar dapat menambah pengetahuan tentang tahapan

perkembangan lansia karena jika dibandingan dengan tahap perkembangan lainnya

pengetahuan tentang tahapan perkembangan lansia masih lebih sedikit, lebih memahami

kebutuhan psikologis lansia saat mereka tinggal di panti wreda.

3. Untuk Lembaga Sosial Panti Wreda

Untuk lembaga sosial panti wreda dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan

kebutuhan masing-masing lansia sehingga mereka dapat merasa nyaman tinggal di panti

werdha, menyediakan berbagai aktifitas yang dapat dilakukan dalam keseharian mereka

baik secara inidividu maupun kelompok, dan memperbanyak kegiatan rohani.

4. Untuk Pemerintah

Untuk pemerintah, kepedulian akan kesehatan telah dipahami banyak orang sehingga

umur yang dimiliki seseorang bisa lebih panjang, jadi makin banyak pula yang memiliki

umur di atats 60 tahun jadi ada baiknya diadakan berbagai penyuluhan atau seminar

tentang lansia karena usia lansia adalah saat dimana kemampuan fisik menjadi menurun.

Page 82: Wellbeing and Integrity

DAFTAR PUSTAKA

Abbot. A. R., et. al. (2006). Health and quality of life outcomes. London: BioMed Central

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM press

Andra. (2007). Panti werdha, dunia bagi lansia. Dari http://www.majalah-farmacia.com/rubik/one_news.asp?IDNews=493

Atkinson, R. L., Atkinson C. R., Smith, E. E., Bem, D. J. (tanpa tahun). Pengantar psikologi (Ed.11). Batam: Interaksara

Azwar, S. (2005). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Bandiyah, S. (2009). Lanjut usia dan keperawatan gerontik. Yogyakarta: Nusa Medika

Boyd, D., Bee H. (2006). Lifespan development. United States of Amerika: Pearson Education, inc

Bradburn, N. M. (1969). The structure of psychological well-being. Chicago: Aldine Publishing Company

Davidoff, L. L. (1991). Psikologi suatu pengantar (ed. 2), (diterjemahkan oleh: Juniati, M.). Jakarta: Erlangga

Depdikbud. (2000). Kamus besar bahasa Indonesia (ed. 3) Jakarta: Balai Pustaka

Diener, E. (1989). Subjective well-being. Psychological bulletin, 95 (3), 542-575.

Feist, J., Feist, G. J. (2006). Theories of personality (6th ed). New York: The McGraw Hill Companies, Inc

Hall, C. S. & Lindzey, G., Wiley, J. & Son.. (1993). Psikologi kepribadian 1, teori-teori psikodinamik (klinis), (diterjemahan oleh: Suprantiknya A). Yogyakarta: Kanisius.

Hamonangan, A. (2006). Opa dan oma pun butuh bersosialisasi. Dari http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/5381635.html

Hasan, M. I. (2002). Pokok-pokok materi metodologi penelitian & aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia

Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (ed. 5). Jakarta: Erlangga

Jis, Djalil, L., Margono, A., Syukur, H. (1989). Cinta di rumah jompo. dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/02/18/PRK/mbm.19890218.PRK20367.id.html

Kountur, R. (2007). Metode penelitian untuk penulisan skripsi dan tesis (Ed. 2). Jakarta: PPM Moeryanta. (2005). Pedoman umum pelaksanaan subsidi silang, pada panti social trena werdha. Jakarta: Dapertemen sosial RI

Oz. (2008). Lansia, makin tua makin bahagia. Dari http://www.waspada.co.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=20908:lansia-makin-tua-makin-bahagia&catid=54:gaya-hidup&Itemid=84

Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2009). Human development. New York: McGraw Hill Companies, Inc

Page 83: Wellbeing and Integrity

Patmonodewo, S.( 2001). Bunga rampai psikologi perkembangan pribadi: dari bayi sampai lanjut usia. Jakarta: UI-Press

Prasetyo, B. D. P. (1998). Persepsi keluarga kota terhadap penanganan para lanjut usia melalui lembaga panti werda dan panti jompo. Laporan penelitian. Malang: Universitas Merdeka Malang

Rahadyanti, A. (2007). Kebahagiaan dirintis saat muda. Dari http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0711/23/jogja/1044994.htm

Republik Indonesia. (1988). Undang-undang Republik Indonesia no. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Jakarta: Biro hokum dapartemen sosial RI.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of personality and social psychology, 57 (6), 1069-1081.

Ryff, C. D., Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of personality and social psychology, 69 (4), 719-727.

Santrock, J. W. (2002). Life-span development, perkembangan masa hidup (ed. 5). Jakarta: Erlangga

Seligman, M. E. P. (2005). Authentic happiness: menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung: Mizan

Sevilla, C. G., Ochave, J. A., Punsalen, T. G., Regala, B. P., Uriarte, G. G. (1993). Pengantar metode penelitian (diterjemahkan oleh: Tuwu, A.). Jakarta: UI-Press

Wigunaningsih, W. (2008). Akibat sepi, masuk panti jompo. Dari http://pakolescenter.blogspot.com/2008/01/akibat-sepi-masuk-panti.jompo.html

Williamson, G. M. (2005). Aging well, outlook for the 21st century. Handbook of positive psychology (670-685). New York: Oxford University Press, Inc

Page 84: Wellbeing and Integrity

18 2 2 2 2 2 2 2 2

Data Mentah Integrity (Try Out)

NOITEM

1 2 3 4 5 6 7 81 1 2 1 1 1 1 1 12 1 1 1 1 1 1 1 13 1 1 1 1 1 1 1 14 2 2 2 2 2 2 2 25 1 1 1 1 1 1 1 16 1 2 2 1 1 1 1 17 1 2 1 2 1 2 2 28 1 1 1 1 1 1 1 19 2 1 2 1 2 2 1 1

10 1 1 1 1 1 1 1 111 2 2 1 2 1 1 2 212 2 1 2 1 2 2 1 113 1 2 1 2 1 1 1 214 1 1 2 1 1 1 1 115 2 2 1 2 1 2 2 216 1 1 2 1 1 1 1 117 2 2 3 2 3 3 2 218 2 2 2 2 2 2 2 219 4 4 4 3 4 1 3 420 1 1 1 1 1 1 1 121 2 2 2 1 2 2 1 122 2 2 1 2 1 2 2 223 1 1 1 1 1 1 1 124 1 1 2 1 1 1 1 125 2 2 1 2 1 2 2 226 1 1 2 1 1 1 1 127 3 1 1 1 1 3 1 128 1 2 3 2 3 1 2 229 1 2 2 1 2 1 1 130 3 1 1 1 1 3 1 131 2 2 4 2 4 2 2 232 1 1 1 1 1 1 1 133 1 2 1 1 1 1 2 234 1 1 1 1 1 1 1 135 2 1 3 1 1 2 1 1

Jml  54 54 58 48 51 52 48 50

Page 85: Wellbeing and Integrity

2 2 2 2 2 2 2

Jumlah9 10 11 12 13 14 151 1 1 1 2 1 1 171 2 1 1 1 1 1 161 1 1 1 1 1 1 152 2 3 2 2 2 2 311 1 1 1 1 1 1 151 1 1 1 1 1 1 172 2 1 1 2 1 2 241 1 1 1 1 1 1 152 1 2 2 1 2 2 241 1 1 1 1 1 1 151 2 1 1 2 1 1 222 1 2 2 1 2 2 241 2 1 1 2 1 1 201 1 2 1 1 1 2 182 2 1 1 2 2 1 251 1 1 1 1 1 1 163 2 1 3 2 3 3 362 2 2 2 2 2 2 30301 4 4 4 4 3 4 511 1 1 1 1 1 1 152 1 1 2 2 2 2 252 2 1 1 2 2 1 251 1 2 1 1 1 1 161 1 1 2 1 1 2 182 2 1 1 2 2 1 251 1 1 2 1 1 2 183 1 1 1 1 3 1 231 2 3 3 2 1 3 311 2 1 2 1 1 2 211 1 1 1 1 3 1 212 2 3 4 2 2 4 391 1 1 1 1 1 1 151 2 2 1 2 1 1 211 1 1 1 1 1 2 162 1 1 1 1 2 1 21

50 52 50 53 52 53 56 781

Page 86: Wellbeing and Integrity

Nonparametric Correlations Correlations_2-tailed Integrity PWB Spearman's rho Integrity Correlation Coefficient 1.000 .473(**)

Sig. (2-tailed) . .004N 35 35

PWB Correlation Coefficient .473(**) 1.000Sig. (2-tailed) .004 .N 35 35

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Regression Variables Entered/Removed(b)

Model Variables Entered

Variables Removed Method

1 Puas, P.Positif(a) . Enter

a All requested variables entered. b Dependent Variable: PWB Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std. Error of the Estimate

1 .497(a) .247 .200 10.94367a Predictors: (Constant), Puas, P.Positif  

Page 87: Wellbeing and Integrity

Gambaran Umum Responden_Jenis Kelamin T-Test_Psychological Well-being Group Statistics

JK N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

PWB 1.00 3 73.0000 19.97498 11.532562.00 32 73.4688 11.76376 2.07956

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

PWB Equal variances assumed 2.061 .161 -.063 33 .951 -.46875 7.49745 -15.72243 14.78493

Equal variances not assumed -.040 2.132 .972 -.46875 11.71856 -48.01251 47.07501

T-Test_Integrity Group Statistics

JK N Mean Std. Deviation Std. Error

Mean Integrity 1.00 3 34.3333 8.96289 5.17472

2.00 32 33.6875 4.40994 .77957

Page 88: Wellbeing and Integrity

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean

Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Integrity Equal variances assumed 5.307 .028 .222 33 .825 .64583 2.90441 -5.26323 6.55490

Equal variances not assumed .123 2.092 .913 .64583 5.23312 -20.95007 22.24173

Gambaran Umum Responden_Usia Oneway_ Psychological Well-being Descriptives PWB

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound 1.00 10 72.6000 8.83428 2.79364 66.2803 78.9197 60.00 86.002.00 22 73.5909 14.17798 3.02276 67.3047 79.8771 48.00 97.003.00 3 75.0000 8.66025 5.00000 53.4867 96.5133 65.00 80.00Total 35 73.4286 12.23372 2.06788 69.2261 77.6310 48.00 97.00

Page 89: Wellbeing and Integrity

ANOVA PWB

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 14.853 2 7.427 .047 .954Within Groups 5073.718 32 158.554 Total 5088.571 34

Oneway_Integrity Descriptives integrity

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound 1.00 10 33.6000 6.02218 1.90438 29.2920 37.9080 26.00 40.002.00 22 34.2273 4.37451 .93265 32.2877 36.1668 24.00 40.003.00 3 30.6667 1.15470 .66667 27.7982 33.5351 30.00 32.00Total 35 33.7429 4.74244 .80162 32.1138 35.3719 24.00 40.00 ANOVA integrity

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 33.755 2 16.878 .739 .486Within Groups 730.930 32 22.842 Total 764.686 34

Page 90: Wellbeing and Integrity

Gambaran Umum Responden_Status Pernikahan Oneway_ Psychological Well-being [DataSet5] ANOVA PWB

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 39.738 2 19.869 .126 .882Within Groups 5048.833 32 157.776 Total 5088.571 34

Descriptives PWB

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound 1.00 26 74.0000 12.22129 2.39679 69.0637 78.9363 48.00 97.002.00 3 73.0000 19.97498 11.53256 23.3794 122.6206 50.00 86.003.00 6 71.1667 10.16694 4.15064 60.4971 81.8362 57.00 82.00Total 35 73.4286 12.23372 2.06788 69.2261 77.6310 48.00 97.00

Oneway_Integrity Descriptives Integrity

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound 1.00 26 33.5769 4.21590 .82681 31.8741 35.2798 26.00 40.002.00 3 34.3333 8.96289 5.17472 12.0683 56.5984 24.00 40.003.00 6 34.1667 5.60060 2.28643 28.2892 40.0441 25.00 39.00Total 35 33.7429 4.74244 .80162 32.1138 35.3719 24.00 40.00

Page 91: Wellbeing and Integrity

ANOVA Integrity

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 2.840 2 1.420 .060 .942Within Groups 761.846 32 23.808 Total 764.686 34

Gambaran Umum Respnden_Status Sosial Ekonomi Oneway_ Psychological Well-being [DataSet5] ANOVA PWB

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 2030.644 2 1015.322 10.625 .000Within Groups 3057.927 32 95.560 Total 5088.571 34

Descriptives PWB

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound Lower Bound

Upper Bound

1.00 3 90.0000 11.26943 6.50641 62.0052 117.9948 77.00 97.002.00 19 76.7895 10.16846 2.33281 71.8884 81.6905 50.00 88.003.00 13 64.6923 8.86364 2.45833 59.3361 70.0486 48.00 79.00Total 35 73.4286 12.23372 2.06788 69.2261 77.6310 48.00 97.00

Page 92: Wellbeing and Integrity

Oneway_Integrity Descriptives Integrity

N Mean Std. Deviation Std. Error 95% Confidence Interval for

Mean Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound 1.00 3 35.6667 4.93288 2.84800 23.4127 47.9206 30.00 39.002.00 19 33.5789 5.47028 1.25497 30.9424 36.2155 24.00 40.003.00 13 33.5385 3.71069 1.02916 31.2961 35.7808 28.00 39.00Total 35 33.7429 4.74244 .80162 32.1138 35.3719 24.00 40.00

ANOVA Integrity

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 12.157 2 6.078 .258 .774Within Groups 752.529 32 23.517 Total 764.686 34

 

Page 93: Wellbeing and Integrity

Skala Integrity Reliability Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items .973 .972 10

Item Statistics Mean Std. Deviation N VAR00001 3.3143 .71831 35VAR00002 3.3714 .68966 35VAR00003 3.6000 .55307 35VAR00004 3.3429 .72529 35VAR00005 3.3714 .68966 35VAR00006 3.3714 .68966 35VAR00007 3.4286 .69814 35VAR00008 3.3429 .72529 35VAR00009 3.4000 .69452 35VAR00010 3.3429 .68354 35

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range Maximum / Minimum Variance N of Items

Item Means 3.389 3.314 3.600 .286 1.086 .007 10Item Variances .474 .306 .526 .220 1.720 .004 10Inter-Item Correlations .775 .400 .971 .571 2.428 .028 10

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if

Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple

Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted VAR00001 30.5714 30.840 .846 .877 .971 VAR00002 30.5143 30.551 .928 .931 .968 VAR00003 30.2857 34.504 .507 .374 .980 VAR00004 30.5429 30.844 .836 .796 .971 VAR00005 30.5143 30.434 .946 .951 .967 VAR00006 30.5143 30.492 .937 .943 .968 VAR00007 30.4571 30.079 .984 .987 .966 VAR00008 30.5429 30.903 .828 .762 .972 VAR00009 30.4857 30.198 .973 .984 .966 VAR00010 30.5429 30.726 .912 .919 .969

Page 94: Wellbeing and Integrity

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items 33.8857 38.104 6.17286 10

 

Skala Psychological well-being Reliability Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items .909 .914 30

Item Statistics Mean Std. Deviation N VAR00001 3.2000 1.20782 35VAR00002 3.0286 .85700 35VAR00003 3.5714 .60807 35VAR00004 3.6571 .63906 35VAR00005 2.7143 1.12646 35VAR00006 3.1714 1.04278 35VAR00007 3.1143 .86675 35VAR00008 3.5429 .78000 35VAR00009 2.8286 1.09774 35VAR00010 3.2286 .97274 35VAR00011 2.9143 1.24550 35VAR00012 3.4286 .60807 35VAR00013 3.1429 .87927 35VAR00014 3.5143 .70174 35VAR00015 2.8571 1.08852 35VAR00016 3.5714 .50210 35VAR00017 3.1714 1.04278 35VAR00018 3.3714 .73106 35VAR00019 3.1143 .86675 35VAR00020 3.6571 .59125 35VAR00021 2.5143 .95090 35VAR00022 3.2000 .90098 35VAR00023 3.2000 .99410 35VAR00024 3.1429 1.03307 35

Page 95: Wellbeing and Integrity

VAR00025 2.9429 .96841 35VAR00026 3.3714 .84316 35VAR00027 3.2857 .85994 35VAR00028 3.1429 .87927 35VAR00029 3.2571 1.06668 35VAR00030 2.9143 .95090 35

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range Maximum / Minimum Variance N of Items

Item Means 3.192 2.514 3.657 1.143 1.455 .079 30Item Variances .839 .252 1.551 1.299 6.153 .110 30Inter-Item Correlations .263 -.191 .965 1.157 -5.041 .055 30

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if

Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple

Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted VAR00001 92.5714 202.193 .134 . .914 VAR00002 92.7429 193.903 .570 . .905 VAR00003 92.2000 197.576 .602 . .906 VAR00004 92.1143 197.457 .578 . .906 VAR00005 93.0571 191.703 .489 . .907 VAR00006 92.6000 190.600 .575 . .905 VAR00007 92.6571 195.820 .481 . .907 VAR00008 92.2286 194.240 .616 . .905 VAR00009 92.9429 190.938 .531 . .906 VAR00010 92.5429 197.020 .376 . .908 VAR00011 92.8571 183.479 .688 . .902 VAR00012 92.3429 203.291 .264 . .909 VAR00013 92.6286 194.005 .550 . .906 VAR00014 92.2571 197.844 .502 . .907 VAR00015 92.9143 190.904 .537 . .906 VAR00016 92.2000 200.812 .504 . .907 VAR00017 92.6000 190.894 .564 . .905 VAR00018 92.4000 202.835 .234 . .910 VAR00019 92.6571 193.703 .571 . .905 VAR00020 92.1143 200.869 .419 . .908 VAR00021 93.2571 194.079 .500 . .906 VAR00022 92.5714 192.546 .595 . .905 VAR00023 92.5714 191.487 .573 . .905 VAR00024 92.6286 191.887 .534 . .906 VAR00025 92.8286 195.146 .449 . .907 VAR00026 92.4000 195.071 .529 . .906

Page 96: Wellbeing and Integrity

VAR00027 92.4857 199.022 .349 . .909 VAR00028 92.6286 194.358 .535 . .906 VAR00029 92.5143 189.375 .604 . .904 VAR00030 92.8571 202.832 .166 . .912

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items 95.7714 208.240 14.43053 30