Web viewIslam dan Tantangan Modernitas. Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran...

10
Islam d an Tantangan Modernitas Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami realitas. Meski demikian, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas konteksnya. Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup. Zaman Modern Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna obyektif modern. Secara subyektif makna modern terkait erat dengan konteks ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat zaman modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah melalui zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsa Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan zaman baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat laut sekitar dua

Transcript of Web viewIslam dan Tantangan Modernitas. Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran...

Page 1: Web viewIslam dan Tantangan Modernitas. Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yangbersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah

Islam d an Tantangan Modernitas

Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yangbersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia(weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahamirealitas.

Meski demikian, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban,realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu danberdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubahdalam partikularitas konteksnya.

Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadipenting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semestaalam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama padaposisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilanganotentitasnya sebagai pedoman hidup.

Zaman ModernModern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah maknaobyektif modern. Secara subyektif makna modern terkait erat dengan konteksruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat zamanmodern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelahmelalui zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsaSumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan zamanbaru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat laut sekitar duaabad yang lalu (Majid; 2000, 450)

Zaman baru ini, menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip olehMajid, dimulai sejak menjelang akhir abad ke 15 M ketika orang Baratberterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri karenatelah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan.Zaman modern merupakan hasil dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropadalam sains dan teknologi. Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanyaselubung kesalahan dogma gereja setelah manusia berhasil mengenal hukum-hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut menjadi kritik terhadapgereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di era ini, manusiamenjadi penguasa atas diri dan hidupnya sendiri. Doktrin teosentris(kekuasaan Tuhan) yang dihegemonikan gereja selama abad pertengahan digantidengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme).

Sebagai kritik atas masa lalu, zaman modern banyak memutus nilai-nilai danjalan hidup tradisional dan digantikan dengan nilai-nilai baru berdasarsains yang dicapai manusia. Di era ini manusia mencipta pola hidup baruyang berbeda dengan era sebelumnya. Tentang hal ini David Kolbmenyatakan, “we are developing something new in history”(Kolb; 1986, 2)�Kepercayaan diri manusia modern membuat banyak dari mereka yangmengasumsikan zaman modern sebagai puncak perkembangan sejarahkemanusiaan. August Comte, salah seorang ilmuan positivis, mengakui bahwa

Page 2: Web viewIslam dan Tantangan Modernitas. Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yangbersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah

sejarah peradaban manusia mengalami tiga tahap perkembangan; 1) teologis,dimana manusia memahami alam sebagai hasil campur tangan Tuhan. Tahap initerbagi dalam tiga sub: animisme, politeisme, dan monoteisme. 2)metafisika. Pada tahap ini peran Tuhan di alam digantikan oleh prinsip-prinsip metafisika, seperti kodrat. Dan tahap terakhir 3) adalah positif.Tahap ini diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada kemampuan sains danteknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut ilahiah dan berpalingpada pemahaman hukum-hukum yang menguasai alam.(Donny Gahral Adian; 2002,65-66).

Penguasaan atas sains dan teknologi membawa bangsa-bangsa Eropa kearah kemajuan luar biasa hingga mampu menandingi dan menguasai bangsa-bangsa Islam. Kolonialisasi menjadi pilihan yang diambil bangsa-bangsapenguasa baru tersebut. Kolonialisme dilakukan bukan hanya dengan senjatamesin, tetapi juga tata nilai, ideologi dan kultur. Maka, terjadilahpergesekan antara nilai baru yang dibawa oleh bangsa kolonial dengan kulturasli bangsa muslim.

Tantangan ModernitasPergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islammelahirkan upaya-upaya pembaharuan terhadap tradisi yang ada. HarunNasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan Islam, bukangerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnyasebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajaranagama Katolik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak padaproses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975, 11).

Berbeda dengan Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilahmodern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruanIslam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam duniaIslam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupanmuslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dansekularisasi seperti pada kasus Turki (Azra; 1996, xi)

Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam maknasubyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan maknaobyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barattidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan polahidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakatobyek ekspansi.

Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yangdiimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, disegala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisiyang pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons inikemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.

Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahantersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadifaktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang

Page 3: Web viewIslam dan Tantangan Modernitas. Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yangbersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah

menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan praktek-praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.

Islam Dan PerubahanMuara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islamdengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jikaupaya tersebut berhsil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan prosestersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapatterulang kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam.

Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut.Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tigaagama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekatdengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang universalisme,skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami olehsiapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab sucidalam hierarki keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secaraluas (Islam mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual(tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasirasional kehidupan sosial (Majid, 467)

Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmonidengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensitersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama rabbaniyah(bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai denganfitrah dan demi kepentingan manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalantengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan danketetapan (Qardhawi; 1995).

Pembaruan IslamMeski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi aktualitaspotensi tersebut membutuhkan peran pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk Islamdapat berimbas pada tidak berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan yangsering dipakai para pembaru Islam untuk menggambarkan hal ini adalah “al-Islam mahjub bi al-muslimin.

Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islamdifasilitasi dengan intitusi tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada dua modeltajdid yang dilakukan kaum muslim: seruan kembali kepada fundamen agama (al-Qur’an dan hadith), dan menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model inimerupakan respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantanganperubahan zaman akibat modernitas. Model pertama disebut purifikasi, upayapemurnian akidah dan ajaran Islam dari percampuran tradisi-tradisi yangtidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut dengan pembaruanIslam atau modernisme Islam (Achmad Jainuri; 1995, 38).

Di sini, Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasulpasca Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjagaotentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika sebelum Muhammad SAW.

Page 4: Web viewIslam dan Tantangan Modernitas. Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yangbersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah

peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu dilaksanakan olehnabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih olehumat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa ulama`merupakan pewarisnya, dan di lain kesempatan ia menyatakan akan hadirnyamujaddid di setiap seratus tahun.

Dalam proses tersebut, setiap ajaran Islam mengalami pembaruan yangberbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali. Aqidah danibadah merupakan domain yang sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yangbisa dilakukan dalam kedua wilayah tersebut adalah pembersihan dari aspek-aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlakukaidah “semua dilarang kecuali yang diperintah”.

Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakanwilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang) kehidupan.Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus diterjemahkanpemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Padawilayah ini yang berlaku adalah kaidah “semua dibolehkan kecuali yangdilarang”.

Menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo; 1997, 170) penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yangpertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke wilayah praktis. Ilmu fiqhmerupakan salah satu perwujudan yang pertama ini. Sementara yang keduaberangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses filsafatsosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teorisosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akanmerubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilaiperubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial,kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahansosial.

Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadaapkemampuan manusia. Batas-batas yang ada dalam proses tajdid bukan merupakanpengekangan terhadap kemampuan manusia, tetapi sebagai media mempertahankanotentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya menghadirkan aspek-aspekyang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalahketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi zaman. Akibatnya, agamaakan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang terjadi pada gereja di abadpertengahan.

Sebaliknya, jika aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak berubahtersebut tidak ada dalam agama, maka agama akan kehilangan otentitasnyasebagai pedoman hidup manusia. Di sinilah, kekhasan Islam seperti yangdisebut Qardhawi di atas berperan. Islam berdiri di tengah-tengah. Islammengandungi ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan disisi lainnya. Dengan sikap terebut Islam bisa tetap eksis di tengahperubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama ilahiah.Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-modern pada

Page 5: Web viewIslam dan Tantangan Modernitas. Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yangbersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah

pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritikpraktek-praktek islam populer yang tidak sesuai dengan ajaran Islam danmenyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain dilakukan oleh MuhammadAbdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras tradisiyang tidak Islami (Jainuri; 2002, 15-17).

Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktekkeagamaan populer masyarakat muslim, pembaruan era modern merupakan responsumat Islam terhadap tantangan yang ditawarkan oleh modernitas Barat. Di eraini tercatat beberapa tokoh yang cukup populer seperti al-Afghani, Abduh,Rasyid Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll.

Proses pembaharuan era modern mengalami dinamikaa yang cukupkompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas melahirkan banyakpemikir dengan karakteristik yang berbedaa-beda. Sebagian pemikir tampakwajah puritanismenya, dan sebagian yang lain condong pada modernitas,bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti sekularisme).

PenutupModernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-negatifnya, menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengahkondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra kerasmengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya.Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran Islam menjadipilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam. Upayatajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan costyang besar. Wallahu a`lam.