asikcoratcoret.files.wordpress.com€¦  · Web viewAdanya peradangan pada area tersebut akan...

54
MAKALAH FARMAKOLOGI TUKAK PEPTIK Disusun Oleh : Kelompok 6 Reza Satria Bayu Aji (G1F011053) Rizki Amalia Husada (G1F014059) Katarina (G1F014061) JURUSAN FARMASI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Transcript of asikcoratcoret.files.wordpress.com€¦  · Web viewAdanya peradangan pada area tersebut akan...

MAKALAH FARMAKOLOGI

TUKAK PEPTIK

Disusun Oleh :

Kelompok 6

Reza Satria Bayu Aji (G1F011053)

Rizki Amalia Husada (G1F014059)

Katarina (G1F014061)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015

A. TUKAK PEPTIK

I. Definisi

Definisi Tukak Peptik

Definisi lain, tukak peptik adalah suatu keadaan hilangnya lapisan epitelium

dari mukosa yang cukup besar dan dalam, bahkan bisa mencapai lapisan muscularis

mucosae. Secara klinis ulkus peptikum terjadi ketika lapisan di saluran cerna

(esofagus, lambung dan duodenum) kehilangan permukaan mukosanya. Bedanya

dengan erosi adalah pada luasnya tukak yang terjadi, dikatakan erosi apabila

kerusakan mukosa tidak meluas sampai dibawah epitel dan lebar ulkus < 5mm,

sedangkan tukak peptikum terjadi kerusakan mukosa yang meluas sampai di bawah

epitel dengan lebar tukak > 5mm. Keadaan ini akan terlihat dari hasil pemeriksaan

endoskopi maupun radiografi (Anonim, 2010).

Gambar 1. Penyakit tukak peptik.

Ulkus peptikum juga berbeda dengan gastritis, salah satu hal yang

membedakannya adalah tingkat keparahannya, pada pasien yang mengalami gastritis

maka akan terjadi inflamasi (peradangan) pada daerah mukosa lambung, dimana pada

daerah tersebut terdapat kelenjar gastrik yang terdiri atas beberapa sel yaitu sel

mucous yang memproduksi mukus, sel parietal yang menghasilkan asam lambung dan

faktor intrinsik, sel chief yang mensekresi pepsinogen dan gastric lipase serta sel G

yang menghasilkan hormon gastrin. Produk gabungan dari empat sel tersebut disebut

sebagai getah lambung. Adanya peradangan pada area tersebut akan berakibat pada

menurunnya produk yang dihasilkan oleh sel-sel tersebut, sedangkan pada ulkus

peptikum yang terjadi adalah perlukaan pada mukosa lambung, adanya perlukaan ini

akan berakibat rusaknya jaringan pada mukosa lambung, akibatnya sel-selnya pun

akan mengalami kematian dan tidak bisa menghasilkan produk sebagaimana mestinya

(Anonim, 2010).

II. Klasifikasi

Tukak lambung memiliki beberapa tipe, yaitu :

Tipe 1: Paling sering terjadi. Terletak pada kurvatura minor atau proximal insisura,

dekat dengan junction mukosa onsitik dan antral.

Tipe 2: Lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak duodenum.

Tipe 3: Terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer).

Tipe 4: Terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia (Shanty, 2011).

III. Gejala

Penyakit tukak lambung adalah penyakit yang disebabkan dengan luka yang

terjadi di lambung dan duodenum atau usus dua belas jari. Penyebab dari penyakit

tukak lambung ini disebabkan karena terjadinya iritasi yang ditimbulkan moleh

cairan lambung yang ada pada mukosa lambung dan biasanya leinana ini terjadi

akibat dari pertentangan antara cairan lambung sebagai salah satu faktor yang agresif

dan resistensi mukosa lambung sebagai faktor protektif (Anonim, 2011).

Umumnya akan timbul nyeri epigastrik ringan atau akut komplikasi

gastrointestinal bagian atas. Gejala yang terjadi antara lain:

a) Nyeri abdominal sering terjadi pada epigastrik, ditandai dengan rasa terbakar,

ketidaknyamanan yang tidak jelas, rasa penuh di perut atau keram.

b) Nyeri di malam hari (antara jam 12 malam sampai jam 3 pagi) sehingga pasien

terbangun.

c) Bervariasi tingkat keparahan nyeri tiap individu, dapat terjadi musimam atau per

periode.

d) Perubahan karakteristik nyeri dapat menggambarkan terjadinya nyeri.

e) Heartburn, sendawa dan bloating yang disertai nyeri.

f) Mual, muntah dan anoreksia (Dipiro, 2008).

IV. Epidemiologi

Sekitar 10% di Amerika berkembang kasus ulkus peptik kronik dengan

kejadian yang bervariasi terkait tipe ulkus, usia, jenis kelamin, pekerjaan, ras, lokasi

geografis, predisposisi genetik dan faktor sosial tapi mempunyai peran yang kecil

dalam patogenesis ulkus. Prevalensi penyakit ulkus peptik sering terjadi pada lansia.

Angka kematian meningkat pada pasien lanjut usia akibat penyakit ulkus peptik yang

disebabkan meningkatnya penggunaan NSAID dan infeksi Helicobacter pylori.

Prevalensi penyakit ulkus peptikum di Amerika telah bergeser dari dominasi laki-laki

menjadi sebanding antara laki-laki dan wanita yaitu sesudah wanita menopause.

Kejadian yang sekarang ini menunjukkan penurunan pada pria muda dan terjadi

peningkatan pada wanita tua, hal ini disebabkan terjadinya penurunan tingkat

merokok pada pria muda dan terjadi peningkatan penggunaan NSAID pada orang

dewasa yang lebih tua (Dipiro, 2008).

V. Patofisiologi

Gambar 2. Kerusakan mukosa dan submukosa pada tukak peptik.

Kerusakan pada mukosa gastroduodenum berpuncak daripada

ketidakseimbangan antara faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor yang

melindungi mukosa tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan mukosa tidak hanya terjadi

apabila terdapat banyak faktor yang merusakkan mukosa tetapi juga dapat terjadi

apabila mekanisme proteksi mukosa gagal.

Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus,

sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada epitel

serta regenerasi epitel. Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang merupakan

faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara lain daerah

geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan infeksi

bakteria agresif.

Pada kondisi normal (fisiologis) lambung memiliki sistem proteksi yang

melindungi bagian lambung dari sekret yang dihasilkannya (HCl dan pepsin) yang

bersifat korosif. Keseimbangan dari sistem ini akan menjaga lambung tetap bekerja

sebagaimana mestinya. Sebaliknya, gangguan pada sistem tersebut akan menimbulkan

berbagai dampak yang buruk pada lambung, salah satu contohnya adalah timbulnya

ulkus peptikum. Jadi, ulkus peptikum terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor

agresif (pepsin dan asam lambung) dengan faktor protektif.

1. Faktor Agresif

Merupakan faktor penyebab terjadi kerusakan pada saluran cerna dan

menimbulkan penyakit.

2. Asam Lambung dan Pepsin

Stress dan makanan dapat memicu pelepasan asetilkolin, gastrin dan histamine

yang akan berikatan dengan resptornya, sehingga dapat mengaktifkan pompa

H+/K+ATPase dan akan mensekresikan Asam (H+) ke lumen lambung, kemudian

H+ akan berikatan dengan Cl- sehingga membentuk asam lambung (HCl). Sekresi

asam dibawah pengaturan basal atau dalam kondisi puasa. Basal Acid Output

(BAO) mengikuti ritme sirkadian yaitu terjadi peningkatan sekresi asam lambung

pada malam hari dan menurun pada pagi hari, Maximal Acid Output (MAO) dan

adanya stimulasi dari makanan. Ketiga faktor tersebut berbeda tiap individu dalam

mempengaruhi sekresi asam tergantung status, psikologis, umur, jenis kelamin

dan status kesehatan. Peningkatan rasio antara BAO: MAO hipersekretory basal

pada pasien ZES (Dipiro, 2008).

Pepsinsogen merupakan bentuk inaktif dari pepsin yang di sekresikan oleh

selchief di bagian fundus pada lambung. Pengubahan menjadi bentuk aktif yaitu

pepsin padapH asam (optimal pH 1,8-3,5) dan kembali menjadi tidak aktif pada

pH 4 kemudian akan rusak pada pH 7. Pepsin berperan dalam aktivitas proteolitik

bentuk ulkus (Dipiro, 2008).

3. Infeksi Helicobacter pylori

Beberapa faktor resiko yang berperan terhadap timbulnya ulkus peptikum

yaitu infeksi Helicobacter Pylori, penggunaan NSAID (Non Steroid Anti

Inflamatory Drug’s) terutama dalam jangka waktu lama dan faktor-faktor lain

seperti stress, kebiasaan merokok, diet, sindrom Zollinger-Ellison, dll.

Suatu reflex kimia yang berasal dari antrum juga dapat merangsang sel

parietal untuk mengeluarkan HCl (asam lambung) yang disebut gastrin. Gastrin

adalah senyawa polipeptida yang merangsang produksi HCl (asam lambung) di

dalam sel parietal bersifat sementara, segera setelah lambung menjadi asam maka

sekresi gastrin akan terhenti. Tumor kecil didalam pulau-pulau langerhans dari

pancreas yang memproduksi sangat banyak gastrin  sehingga produksi asam

lambung (HCl) secara berlebihan yang menyebabkan tukak lambung dan

duodenum dalam rekurens, penyakit ini disebut sindrom zollinger Ellison (Ishak,

2012).

Gambar 3. Pie chart tentang faktor risiko dari ulkus peptikum.

Dari grafik tersebut terlihat bahwa ada 2 faktor resiko terbesar yang

menimbulkan ulkus peptikum yaitu akibat dari infeksi Helicobacter pylori dan

penggunaan NSAID. Helicobacter pylori adalah bakteri yang berbentuk helic,

spiral-shaped, termasuk golongan bakteri gram negatif, memiliki flagela dan

biasanya hidup diantara lapisan mukus dan apisan epitel dari mukosa (Shawna,

2007).

Gambar 4. (A) Helicobacter pylori yang diambil dengan mikroskop (yang berwarna biru).

(B) Gambaran umum dari Helicobacter pylori.

Timbulnya ulkus peptikum akibat infeksi dari helicobacter pylori terkait erat

dengan kemampuan helicobacter pylori bertahan pada kondisi asam serta melewati

lapisan mukus yang berada pada permukaan mukosa lambung. Setidaknya ada 2

mekanisme yang mendasari timbulnya ulkus peptikum oleh infeksi Helicobacter

pylori (Shawna, 2007). yaitu :

a) Produksi enzim urease dan alfa-karbonil anhidrase (α-CA). Enzim urease akan

mengubah urea yang merupakan produk sekresi dari sel-sel di lambung menjadi

amonia dan karbon dioksida. Sedangkan enzim alfa-karbonilanhidrase akan

mengubah karbon dioksida tersebut menjadi bikarbonat. Adanya amonia dan

bikarbonat ini akan menetralkan lingkungan asam disekitar Helicobacter pylori,

selain itu efek toksik dari amonia terhadap sel akan membuat sel mengalami

kerusakan.

Gambar 5. Helicobacter pylori menembus lapisan mukus dan menyebabkan kerusakan sel.

b) Pembentukan protein CagA (Cytotoxin associated gene A). Protein tersebut

dapat tersintesis pada sebagian strain Helicobacter pylori. Strain yang

mengekspresikan protein tersebut dapat menembus lapisan mukus dan melukai

mukosa lambung dengan cara menyuntikan protein tersebut ke dalam sel epitel

yang merupakan lapisan terluar dari mukosa lambung. Keadaan ini akan

menyebabkan sel epitel kehilangan mantel yang melindunginya dan akan

tercerai-berai dari ikatan dengan sel epitel lainnya. Mekanisme penyerangan

seperti ini dikenal dengan istilah tight junction.

Gambar 6. Mekanisme tigt junction

Adanya kerusakan sel yang diakibatkan oleh Helicobacter pylori tersebut memberi

peringatan kepada sitem imun bahwa ada yang salah dengan kondisi di dalam lambung.

Peringatan tersebut difasilitasi oleh cytokin, chemical messenger yang dibuat oleh sel

yang sakit dan mengalami kerusakan. Adanya peringatan tersebut membuat sistem imun

bereaksi dengan mengirim sel-sel imun ke jaringan yang bermasalah, kehadiran sel-sel

imun di jaringan yang bermasalah tersebut mengakibatkan jaringan tersebut mengalami

inflamasi. Sel imun adalah senjata yang sangat ampuh untuk membunuh bakteri

(Helicobacter pylori), akan tetapi karena sifatnya yang tidak selektif maka sejumlah sel

epitel pun ikut menjadi korban. Selain itu, meskipun sel imun sudah berusaha keras,

ternyata hal tersebut tidak benar-benar membersihkan jaringan dari infeksi Helicobacter

pylori, artinya masih ada Helicobacter pylori yang tersisa. Helicobacter pylori yang

masih tersisa tersebut akan mengulangi prosesnya lagi dari awal, begitu juga dengan

sistem imun. Keadaan ini akan menimbulkan sebuah siklus yang berulang yang pada

akhirnya akan menimbulkan kerusakan mukosa lambung dan sangat mungkin

menimbulkan uklus peptikum. Terjadinya ulkus akibat infeksi Helicobacter pylori

diilustrasikan pada gambar dibawah (Dipiro, 2008).

Gambar 7. Bakteri Helicobacter pylori penyebab tukak peptik.

4. Penggunaan NSAID Non Selektif

Jalur metabolisme asam arakidonat melalui bantuan dua enzim

yaituciclooxigenase dan lipoxygenase. Pada prinsipnya efek ulkus yang ditimbulkan

oleh penggunaan obat-obat NSAID dikarenakan penghambatan dari sintesis

prostaglandin melalui penghalangan kerja enzim cyclooxygenase (COX) yang

merubah merubah asam arakidonat menjadi prostaglandin. Prostaglandin adalah

mediator penting dengan beberapa fungsi antara lain sebagai mediator inflamasi,

melindungi lapisan mukosa gastroduodenal dari bahaya asam lambung, mediator

nyeri serta membantu dalam prosespembekuan darah. Terkait dengan fungsi protektif

dari prostaglandin dalam melindungi mukosa lambung, prostaglandin berperan dalam

menstimulasi sekresi mukus dan bikarbonat serta membuat lingkungan yang

hidrofobik pada permukaan lapisan mukosa. Hal tersebut akan melindungi lapisan

mukosa dari efek korosif asam lambung serta efek proteolitik dari pepsin.

Gambar 6. Proses pembentukan prostaglandin dari asam arachidonat.

Cyclooxygenase yang berperan dalam pembentukan prostaglandin dari asam

arachidonat ternyata memiliki 2 mekanisme yang berbeda dalam mengubah asam

arachidonat menjadi prostaglandin. Hal ini karena terdapat 2 bentuk isoformis dari

enzimcyclooxygenase itu sendiri, yaitu enzim cyclooxygenase 1 (COX-1) dan

cyclooxygenase 2(COX-2). Baik COX-1 maupun COX-2 keduanya sama-sama

menghasilkan prostaglandin. Hanya saja terdapat perbedaan fungsi dari prostaglandin

yang dihasilkan melalui mekanisme COX-1 dan COX-2. Prostaglandin yang

dihasilkan melalui mekanisme COX-1 berperan dalam fungsi protektif dari mukosa

lambung dan proses pembekuan darah, sedangkan prostaglandin yang dihasilkan

melalui mekanisme COX-2 berperan dalam proses inflamasi dan timbulnya nyeri.

Obat-obat golongan NSAID yang tidak selektif menghambat kerja dari keduaenzim

cyclooxygenase (COX-1 dan COX-2) tersebut, padahal prostaglandin yang dihasilkan

melalui mekanisme COX-1 berperan penting dalam proses proteksi mukosa lambung.

Apabila mekanisme ini dihambat, maka yang terjadi adalah lambung akan berkurang

proteksinya dan tetntunya akan sangat rentan terhadap efek korosif dari asam

lambung dan pepsin. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya ulkus peptikum

(Dipiro, 2008).

5. Faktor lain (stress, diet, kebiasaan merokok, Zollinger-Ellison syndrome, dll).

Pada sebagian besar kasus ulkus peptikum, penyebab utamanya adalah

karena infeksi dari helicobacter pylori dan penggunaan jangka panjang dari NSAID.

Sedangkan adanya faktor-faktor lain seperti stress, diet, kebiasaan merokok dan

sindrom zollinger Ellison diduga hanya sebatas faktor pendukung timbulnya ulkus

peptikum. Hal ini terkait dengan mekanismenya yang belum jelas dalam

menimbulkan ulkus peptikum. Hanya saja pasien yang memiliki faktor-faktor

pendukung tersebut memiliki prevalensi yang lebih besar terkena ulkus peptikum

dibanding pasien yang tidak memiliki faktor pendukung tersebut (Dipiro, 2008).

6. Faktor perlindungan mukosa lambung

Faktor protektif yaitu melalui mekanisme perlindungan dan perbaikan

mukosa lambung, yang dipengaruhi oleh subtansi endogen dan eksogen. Mekanisme

perlindungan mukosa melalui sekresi mucus dan bikarbonat (dapat menetralkan pH

lambung sehingga pepsin dapat rusak), melindungi sel epitel intrinsic dan

memperbaiki aliran darah ke mukosa. Perlindungan mukosa juga di mediasi adanya

produksi prostaglandin. Proses motilitas lambung yang dapat mempercepat waktu

pengosongan lambung juga membantu dalam perlindungan dinding mukosa (Dipiro,

2008).

VI. Etiologi (Faktor Resiko)

Ada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac, dan aspirin

(terutamanya pada dosis tinggi), kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase

menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat turut terhambat. Efek yang

tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah penghambatan sistesis

prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum sehingga

melemahkan proteksi mukosa. Tukak dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu

penggunaan NSAIDs dan efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan

bahaya perdarahan pada tukak (Sujono, 1995).

Penyebab paling sering terjadinya ulkus peptik adalah :

1. Infeksi Helicobacter Pylori

Sebagian besar tukak lambung terjadi dengan adanya asam dan pepsin ketika

Helicobacter pylori mengganggu pertahanan mukosa dan mekanisme penyembuhan.

Hipersekresi asam adalah mekanisme patogenik yang utama pada tingkat

Hypersecretory seperti Zollinger-Ellison syndrome (ZES). Infeksi Helicobacter

pylori dapat menyebabkan gastritis kronik yang menginfeksi semua individu,

kemudian akan berkembang menjadi PUD (sekitar 20%), kanker gastrik (kurang dari

1%) dan MALT. Semua kasus ulkus duodenum serta 2/3 dari kasus tukak lambung

diperkirakan berhubungan dengan Helicobacter pylori. Lokasi ulkus berkaitan

dengan sejumlah factoretiologi. Ulkus lambung ringan dapat terjadeti dimana saja

diperut, meskipun sebagian besar terletak di lengkung kecil (Lesser curvature) dan

mukosa lambung bagian antral. Proses transmisi Helicobacter pylori dari orang ke

orang melalui tiga jalur yaitu fecaloral, oral-oral dan iatrogenic. Transmisi fecal-oral

dapat terjadi secara langsung dengan menginfeksi seseorang dan tidak langsung

melalui kontaminasi pada makanan atau minuman akibat tangan yang tidak bersih

setelah menyentuh fecal. Transmisi oral-oral merupakan rute karena Helicobacter

pylori telah diisolasi dari lubang mulut. Transmisi secara iatrogenic yaitu terinfeksi

karena menggunakan alat seperti endoskopi (Dipiro, 2008).

2. Penggunaan NonSteroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs)

Di Amerika, NSAIDs yang tidak selektif merupakan salah satu obat yang sering

diresepkan untuk pasien berumur 60 tahun keatas. Angka kejadian yang sangat besar

akibat penggunaan NSAIDs (termasuk aspirin) jangka panjang berupa gangguan saluran

GI. Menggunakan NSAIDs dan infeksi Helicobacter pylori adalah faktor risiko

independen untuk penyakit tukak lambung. Resiko adalah 5 sampai 20 kali lebih tinggi

pada orang yang menggunakan NSAIDs dibandingkan dengan yang tidak

menggunakan.Secara ktahap s, 3-4,5% kejadian ulkus peptikum pada pasien yang

mengalami arthritis karena penggunaan NSAIDs dan 1,5% diantaranya berkembang

serius menjadi komplikasi (perdarahan saluran cerna, perforasi dan obstruksi) (Dipiro,

2008).

Berikut golongan obatNSAIDs Non Selektif yang dapat menyebabkan ulkus

peptikum :

Tabel 1. Golongan obatNSAIDs Non Selektif yang menyebabkan Ulkus Peptikum.

Faktor risiko dari penggunaan NSAIDs yang dapat menginduksi terjadi ulkus

disaluran cerna dan komplikasinya. Komplikasi dapat meningkat pada pasien yang

punya riwayat pernah mengalami ulkus dan perdarahan GI. Kejadian ulkus dan

komplikasinya berhubungan dengan penggunaan dosis NSAIDS, meskipun

digunakan dosis rendah misalnya dosis aspirin 81-325mg/hari untuk kardioprotektif

dapat menginduksi ulkus.

Tabel 2. Faktor risiko ulkus

3. Stres psikologis

Stress psikologis menjadi faktor penting patogenesis terjadinya PUD yang

kontroversial, namun hasil uji coba gagal membuktikan antara penyebab dan akibat

terjadinya PUD. Kemungkinan emosional pada stress yang memicu perilaku untuk

merokok dan menggunakan NSAID, sehingga hal ini yang dapat menyebabkan

ulkus.Bagaimana stress dapat menyebabkan PUD kemungkinan dipengaruhi banyak

faktor (Dipiro, 2008).

4. Kebiasaan Merokok

Kemungkinan mekanisme yang terjadi akibat merokok sehingga dapat

menginduksi terjadinya PUD adalah penghambatan pengosongan lambung,

penghambatan sekresi bikarbonat dari pankreas, memicu refluks duodenogastric dan

mengurangi produksi Prostaglandin (PG). Meskipun merokok dapat meningkatkan

sekresi asam lambung tapi efeknya tidak konsisten. Merokok dapat menyebabkan

seeorang lebih mudah terinfeksi HP (Dipiro, 2008).

5. Faktor Diet dan Penyakit Lain

Kedua faktor ini belum ada mekanisme patofisiologi yang pasti, beberapa

minuman seperti kopi dan the (mengandung kafein), cola, bir, dan susu dapat

menyebabkan dyspepsia tapi tidak meningkatkan resiko PUD. Kafein dapat

menstimulasi sekresi asam lambung dan alcohol dapat menyebabkan kerusakan

mukosa lambung serta perdarahan GI bagian atas, tapi tidak ada bukti cukup yang

menunjukkan bahwa alcohol dapat menyebabkan ulkus. Pasien dengan penyakit

kronik seperti cystic fibrosis, pancreatitis kronik, coronary artery disease dapat

meningkatkan ulkus pada duodenal (Dipiro, 2008).

VII. Diagnosis

Diagnosis terutama ditegakkan berdasarkan gejala-gejala karakteristik. Rasa sakit

perut biasanya yang pertama sinyal ulkus peptikum.

Dalam beberapa kasus, dokter mungkin mengobati borok tanpa diagnosis mereka

dengan tes khusus dan amati jika gejala menyelesaikan, yang berarti diagnosis utama

mereka adalah akurat.

Mengkonfirmasikan diagnosis dibuat dengan bantuan tes seperti endoscopies atau

kontras barium x-ray. Tes biasanya memerintahkan jika gejala tidak menyelesaikan

setelah beberapa minggu pengobatan, atau ketika mereka pertama kali muncul pada

orang yang berusia di atas 45 atau yang memiliki gejala lain seperti penurunan berat

badan, karena kanker perut dapat menyebabkan gejala serupa.

Juga, ketika bisul yang parah menolak pengobatan, terutama jika seseorang

memiliki beberapa ulkus atau borok berada di tempat yang tidak biasa, dokter

mungkin mencurigai kondisi mendasar yang menyebabkan perut secara berlebihan

asam.

Diagnosis Helicobacter pylori dapat dilakukan dengan:

Uji napas urea (invasif dan tidak memerlukan EGD);

Budaya langsung dari spesimen biopsi EGD, hal ini sulit untuk dilakukan, dan dapat

mahal. Kebanyakan laboratorium tidak disiapkan untuk melakukan ''H. pylori''

budaya;

Langsung deteksi aktivitas urease dalam spesimen biopsi dengan uji urease cepat;

Pengukuran kadar antibodi dalam darah (tidak memerlukan EGD). Hal ini masih agak

kontroversial apakah antibodi positif tanpa EGD cukup untuk menjamin terapi

eradikasi;

Feses antigen uji;

Histologis pemeriksaan dan pewarnaan biopsi EGD.

Uji napas menggunakan atom karbon radioaktif untuk mendeteksi H. pylori.

Untuk melakukan ujian ini pasien akan diminta untuk minum cairan tawar yang

mengandung karbon sebagai bagian dari zat yang memecah bakteri.

Setelah satu jam, pasien akan diminta untuk meniup ke dalam kantong yang

disegel. Jika pasien terinfeksi H. pylori, sampel nafas akan berisi karbon dioksida

radioaktif. Tes ini memberikan keuntungan untuk dapat memantau respon terhadap

pengobatan yang digunakan untuk membunuh bakteri.

Kemungkinan penyebab lain dari borok, terutama keganasan (kanker lambung)

perlu diingat. Hal ini terutama berlaku dalam borok dari lebih besar (besar)

kelengkungan lambung, sebagian besar juga merupakan konsekuensi dari kronis

H.pylori infeksi.

Jika perforasi ulkus peptikum, udara akan bocor dari bagian dalam saluran

pencernaan (yang selalu berisi udara segar) ke rongga peritoneum (yang biasanya

tidak pernah berisi udara).

Hal ini menyebabkan “gas bebas” dalam rongga peritoneum. Jika pasien berdiri

tegak, seperti ketika memiliki dada X-ray, gas akan mengapung ke posisi bawah

diafragma.

Oleh karena itu, gas dalam rongga peritoneal, ditampilkan pada sebuah peti tegak

X-ray atau terlentang lateral yang perut X-ray, merupakan pertanda dari penyakit

ulkus peptikum perforasi.

VIII. Penatalaksanaan

Terapi untuk penyakit peptik ulkus sangat bervariasi tergantung pada

etiologinya (H.pylori/NSAID), apakah ulkus awalan atau kambuhan dan apakah

komplikasi peptik ulkus telah muncul. Seluruh terapi bertujuan untuk mengurangi

nyeri akibat ulkus, mengobati ulkus,mencegah kekambuhan dan menurunkan risiko

komplikasi akibat peptik ulkus. Tujuan terapipada pasien ulkus dengan infeksi bakteri

H. pylori adalah untuk mengeradikasi bakteri H. pyloridan menyembuhkan ulkus.

Kesuksesan eradikasi sangat menentukan proses penyembuhan ulkus selanjutnya dan

dapat mengurangi risiko kekambuhan sebesar ± 10%. Tujuan terapi pada pasien

peptik ulkus akibat penggunaan NSAID adalah untuk menyembuhkan ulkus secepat

mungkin. Pasien dengan faktor risiko tinggi akibat penggunaan NSAID, jika

dimungkinkan maka penggunaan NSAID secepat mungkin harus diganti dengan agen

anti inflamasi yang selektifmenghambat enzim COX-2 atau menggunakan terapi

profilaksis untuk menurunkan risiko ulkus serta komplikasinya (Dipiro, 2008).

Terapi peptik ulkus berfokus pada eradikasi H. pylori untuk pasien dengan

status positif H. pylori dan menurunkan risiko ulkus akibat penggunaan NSAID serta

mencegah komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan. Regimen terapi yang

mengandung :

(1) antibakteri seperti klaritromisin, metronidazol dan amoksisilin,

(2) bismuth subsalisilat,

(3) Aengen antisekretori seperti PPI atau H2RA merupakan regimen obat peptik

ulkus yang biasa digunakan untuk mengatasi gejala ulkus, menyembuhkan ulkus dan

mengeradikasi bakteri H. pylori. PPI, H2RA dan sukralfat dapat digunakan pada

pasien dengan status H. pylori negatif. Terjadinya kekambuhan gejala ulkus masih

akan tetap tinggi apabila penggunaan NSAID tidak dihentikan. Terapi profilaksis

dengan PPI atau misoprostol dapat menurunkan risiko terjadinya ulkus dan

komplikasi saluran cerna bagian atas pada pasien yang menggunakan NSAID.

Terapi penggantian NSAID menjadi penghambat selektif COX-2 sering dilakukan

dalam upaya pencegahan ulkus (Dipiro, 2008).

Modifikasi gaya hidup sangatlah penting untuk pasien dalam upaya mencegah

terjadinya peptik ulkus. Perubahan gaya hidup yang dapat dilakukan meliputi

pengurangan stress fisiologis dan penghentian kebiasaan merokok. Terapi tindakan

pembedahan sangat diperlukan untuk pasien PUD yang telah mengalami perdarahan

lambung atau komplikasi lainnya seperti terjadinya perforasi (perlubangan) di area

lambung (Dipiro, 2008).

1. Terapi Nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi dapat dilakukan oleh pasien PUD dengan cara

menghilangkan atau mengurangi stress fisiologis, menghentikan konsumsi

rokok dan alcohol serta menghentikan pmakaian NSAID yang tidak selektif

(termasuk aspirin) jika memungkinkan. Walaupun tidak ada diet khusus untuk

mencegah penyakit peptik ulkus tetapi pasien harus diberikan edukasi untuk

menghindari makanan atau minuman yang dapat memicu dyspepsia atau

memperburuk gejala peptik ulkus. Jika memungkinkan dilakukan penggantian

terapi analgetik NSAID dengan analgetik yang cenderung lebih aman untuk

lambung seperti paracetamol, non asetilsalisilat (salsalate) atau

analgetikpenghambat selektif enzim COX-2 (Dipiro, 2008).

2. Terapi Farmakologi

Terapi tahap pertama untuk pengatasan peptik ulkus dengan paparan

bakteri H.pylori diawali dengan tripel regimen (PPI based three drug

regimen) selama minimal 7 hari tetapi dapat dilanjutkan hingga 10-14 hari.

Jika terapi dengan menggunakan tahap pertama gagal atau tidak mencapai

goal terapi maka dapat digunakan terapi tahap kedua yakni dengan tripel

regimen tetapi menggunakan antibakteri yang berbeda dengan sebelumnya

atau dapat diganti dengan quadripel regimen (bismuth based four drug

regimen) yang terdiri atas bismuth subsalisilat, metronidazol, tetrasiklin dan

PPI (Proton Pump Inhibitor) (Dipiro, 2008).

Terapi konvensional dengan menggunakan obat antilkus (H2RA, PPI, sukralfat)

merupakan alternatif terapi dalam mengeradikasi bakteri H. pylori tetapi tidak

disarankan mengingat tingginya risiko kekambuhan peptik ulkus dan komplikasinya.

Kombinasi terapi antara H2RA dengan PPI atau H2RA dengan sukralfat tidak

disarankan untuk mengobati ulkus karena hanya akan menambah biaya pengobatan

tetapi tidak diimbangi dengan efikasi yang diharapkan. Terapi pemeliharaan dengan

PPI atau H2RA direkomendasikan untuk pasien dengan faktor risiko komplikasi

peptik ulkus yang tinggi, pasien yang gagal menerima terapi eradikasi dan pada

pasien dengan status negatif H.pylori (Dipiro, 2008).

Pasien peptik ulkus akibat penggunaan NSAID harus diperiksa status

paparanbakteri H. pylori terlebih dahulu. Jika pasien memiliki status H. pylori positif

maka terapi harus dimulai dengan tripel regimen. Jika status pasien adalah H. pylori

negatif maka terapi peptik ulkus dimulai dengan pemberian PPI atau H2RA atau

sukralfat. Jika penggunaan NSAID tidak dapat dihentikan maka terapi harus diawali

dengan pemberianPPI secara monoterapi untuk pasien dengan status H. pylori negatif

atau tripel regimenuntuk pasien dengan status H. pylori positif. Terapi profilaksis

dengan PPI, misoprostol atau penggantian terapi NSAID dengan penghambat selektif

enzim COX-2 sangat direkomendasikan pada pasien yang memiliki faktor risiko

tinggi terkena komplikasi akibat penyakit peptik ulkus (Dipiro, 2008).

a) Terapi Penyakit Peptik Ulkus akibat Paparan Bakteri H. pilory

Tujuan terapi pada keadaan ini adalah untuk mengeradikasi organism

penyebab ulkus yakni H. pylori. Terapi yang digunakan untuk mengeradikasi bakteri

H. pylori haruslah efektif, dapat ditoleransi dengan baik, regimen terapi dapat

meningkatkan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat dan cost-effective.

Penggunaan anti bakteri, bismuth subsalisilat atau obat anti ulkus lainnya

secaramonoterapi tidak disarankan karena tidak dapat mencapai tujuan terapi yakni

eradikasi bakteri H. pylori. Penggunaan anti bakteri secara tunggal tidak akan

mensukseskan tujuan eradikasi tetapi bahkan dapat mempercepat kecepatan

resistensi dari anti bakteri itu sendiri (Dipiro, 2008).

Regimen obat untuk eradikasi bakteri H. pylori yang direkomendasikan

haruslah mengkombinasikan dua antibakteri dengan satu agen antisekretori

(tripelregimen) atau bismuth subsalisilat dengan dua antibakteri (berbeda jenis

dengan tripelregimen) dan satu agen antisekretori (quadripel regimen) sehingga

dapat meningkatkan kecepatan eradikasi dan menurunkan risiko resistensi

antibakteri.Amoksisilin tidak boleh digunakan pada pasien dengan status alergi

penisilin dan metronidazol tidak boleh digunakan pada pasien yang mengkonsumsi

alkohol. Bismuth subsalisilat memiliki efek antibakteri lokal. Obat antisekretori juga

dapat meningkatkan efikasi antibakteri karena dapat meningkatkan aktivitas dan

stabilitasdari antibakteri pada suasana pH lambung yang rendah dan dapat

meningkatkan konsentrasi antibakteri karena penurunan volume intragastrik (Dipiro,

2008).

Tripel Regimen Berbasis PPI (Proton Pump Inhibitor)

Tripel regimen berbasis PPI terdiri atas satu agen antisekretori dengan dua

antibakteri yang digunakan sebagai tahap pertama dalam eradikasi bakteri H. pylori.

Kombinasi antara klaritromisin dengan amoksisilin, klaritromisin dengan

metronidazol atau amoksisilin dengan metronidazol memiliki kemampuan kecepatan

eradikasi H. pylori yang serupa. Kecepatan eradikasi H. pylori dapat ditingkatan

apabila dosis klaritromisin juga ditingkatkan hingga 1,5 g/hari, tetapi peningkatan

dosis anti bakteri lainnya tidak dapat meningkatkan kecepatan eradikasi H. pylori.

Kebanyakan penderita lebih senang memilih memulai terapi dengan

mengombinasikan antibakteri klaritromisin dengan amoksisilin dibandingkan

kombinasi antibakteri klaritromisin dengan metronidazol. Penggunaan tripel regimen

yang mengandung PPI dan kombinasi klaritromisin dengan metronidazol dilakukan

apabila pasien alergi terhadap antibakteri golongan penisilin.

Durasi pengobatan pada penyakit peptik ulkus selama 7 hari merupakan masa

minimal untuk mencapai tujuan eradikasi H. pylori. Penggunaan regimen peptik

ulkus yang diperpanjang menjadi 10 hingga 14 hari dapat meningkatkan kecepatan

eradikasi dan menurunkan risiko resistensi antibakteri. PPI harus diminum 15-30

menit sebelum makan. Pemberian PPI dosis tunggal kurang efektif dibandingkan

pemberian dosis ganda apabila digunakan untuk eradikasi H. pylori. Penggantian

satu jenis agen PPI dengan jenis PPI yang lainnya dapat dilakukan dan tidak akan

mempengaruhi kecepatan eradikasi H. pylori. Namun demikian substitusi antara PPI

dengan H2RA tidak disarankan karena pada penelitian yang telah dilakukan

menyatakan bahwa kecepatan eradikasi bakteri H. pylori lebih baik jika

menggunakan PPI. Tripel regimen yang digunakan dalam upaya eradikasi bakteri

H.pylori (Dipiro, 2008).

Quadripel Regimen Berbasis Bismut Subsalisilat

Quadripel regimen berbasis bismuth subsalisilat merupakan terapi pepticulkus

tahap kedua. Kecepatan eradikasi H. pylori selama 14 hari terapi dengan pemberian

bismuth, metronidazol, tetrasiklin dan H2RA dirasakan tidak berbeda jauh dengan

pemberian tripel regimen obat berbasis PPI. Peningkatan durasi pengobatan selama

1 bulan tidak secara substansial meningkatkan kecepatan eradikasi H. pylori.

Penggantian amoksisilin dengan tetrasiklin dapat menurunkan kecepatan eradikasi

H.pylori dan biasanya tidak direkomendasikan. Quadripel regimen yang

mengandung bismuth terbukti efektif dan tidak mahal dibandingkan tripel regimen,

tetapi quadripel regimen juga diketahui dapat meningkatkan risiko frekuensi

terjadinya efek obat yangtidak dikehendaki (Adverse Drug Reatcion) dan memicu

ketidakpatuhan pasienkarena jumlah regimen obat yang digunakan terlalu banyak

(Dipiro, 2008).

Terapi tahap pertama pada quadripel regimen yang mengandung PPI,

bismuth, metronidazol dan tetrasiklin dapat memperpendek durasi terapi menjadi < 7

hari. Beberapa bukti menyatakan bahwa quadripel regimen efektif sebagai terapi

pepticulkus tahap pertama, namun secara umum quadripel terapi lebih sering

digunakan sebagai terapi tahap kedua dalam pengatasan penyakit peptik ulkus.

Seluruh obat dalam regimen terapi peptik ulkus kecuali PPI harus digunakan setelah

makan atau bersama dengan makanan. Quadripel regiman yang digunakan dalam

upaya mengeradikasi bakteri H. pylori tersaji pada gambar berikut (Dipiro, 2008).

b) Faktor faktor yang Berkontribusi pada Kegagalan Eradikasi Bakteri H. pillory

Faktor-faktor yang berkontribusi dalam kegagalan terapi eradikasi antara lain

tingkat kepatuhan pasien, adanya organisme yang sudah resisten, rendahnya pH

intragastrik dan tingginya jumlah bakteri di lambung. Kepatuhan pasien terhadap

terapi yang digunakan sangat mempengaruhi kesuksesan eradikasi H. pylori.

Kepatuhan akan menurun pada pasien yang menerima terapi secara polifarmasi,

frekuensi penggunaan yang sering, durasi pengobatan yang panjang, timbulnya ADR

yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien dan regimen obat yang mahal. Panjangnya

terapi yang dijalankan oleh pasien dengan peptik ulkus dapat menyebabkan

menurunnya kepatuhan pasien dalam menggunakan obat, namun demikian durasi

terapi peptik ulkus yang tidak adekuat juga dapat menyebabkan gagalnya eradikasi

H.pylori. Antibakteri metronidazol yang digunakan > 1g/ hari dapat menyebabkan

meningkatnya frekuensi terjadinya ADR yang ditandai dengan menurunnya

kemampuan indra pengecapan, mual, muntah, nyeri abdomen dan diare. Resistensi

anti bakteri metronidazol lebih sering muncul (10-16%) tergantung pada jumlah

paparan antibakteri sebelumnya serta kondisi di suatu daerah. Resistensi antibakteri

klaritromisin dilaporkan lebih rendah (10-15%) dibandingkan metronidazol tetapi

jika klaritromisin telah mengalami resistensi maka akan sangat mempengaruhi

efektifitas eradikasi H. pylori. Resistensi antibakteri amoksisilin dan tetrasiklin juga

dilaporkan jarang terjadi pada terapi eradikasi H. Pylori (Dipiro, 2008).

c) Terapi Penyakit Peptik Ulkus akibat Penggunaan NSAID (Non Steroid Anti

Inflamatory Disease)

Penggunaan NSAID yang tidak selektif seharusnya mulai dihentikan (jika

memungkinkan) apabila pasien telah mengalami ulkus. Terapi ulkus untuk

pasienyang telah mengehentikan penggunaan NSAID dapat dimulai dengan

pemberian agen anti sekretori seperti H2RA, PPI atau sukralfat. PPI lebih

direkomendasikan karena memiliki efektifitas yang lebih poten dalam menghentikan

sekresi asam klorida (HCl) dan memiliki kecepatan dalam menyembuhkan ulkus

lebih cepat jika dibandingkan dengan H2RA atau sukralfat. Apabila penggunaan

NSAID terpaksa tetap diberikan maka sangat disarankan untuk menurunkan dosis

NSAID yang digunakan atau mengganti NSAID dengan penghambat selektif enzim

COX-2. PPI merupakan agen anti sekretori yang dipilih apabila terapi dengan

NSAID tetap digunakan karena dapat menekan sekresi asam klorida sehingga dapat

mempercepat penyembuhan ulkus. Obat H2RA dan sukralfat tidak terlalu efektif

dalam menyembuhkan ulkus untuk pasien yang masih aktif menggunakan NSAID.

Apabila pasien juga memiliki status H. pylori positif maka terapi yang dipilih adalah

regimen terapi eradikasi H. Pylori tahap pertama (Dipiro, 2008).

Terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan untuk menurunkan risiko

komplikasi saluran cerna akibat ulkus. Seluruh strategi yang dilakukan bertujuan

untuk mengurangi risiko iritasi topikal yang diakibatkan karena penggunaan NSAID.

Beberapa komplikasi pepik ulkus yang dapat muncul antara lain perdarahan saluran

cerna yang ditandai dengan munculnya melena (feses yang berwarna hitam) dan

perforasi lambung. Terapi profilaksis dengan misoprostol dan PPI dapat menurun

kanrisiko terjadinya ulkus beserta komplikasinya. Upaya yang dapat dilakukan

dalam mencegah terjadinya ulkus dan komplikasi akibat peptik ulkus juga adalah

dengan mengganti NSAID non-selektif dengan obat yang selektif menghambat

enzim COX-2 (Dipiro, 2008).

Terapi konvensional dengan menggunakan regimen standar H2RA atau

sukralfat dapat menurunkan gejala ulkus dan dapat menyembuhkan ulkus akibat

penggunaan NSAID dengan durasi terapi selama 6-8 minggu. Penggunaan PPI pada

terapi pemeliharaan dapat dilakukan dengan durasi 4 minggu. Antasida, walaupun

efektif dalam mengobati peptik ulkus tetapi penggunaannya tidak disarankan secara

monoterapi karena dosis yang dibutuhkan harus tinggi (100-144 mEq). Ketika terapi

konvensional tidak dilanjutkan lagi setelah penyembuhan ulkus, maka pada pasien

dengan status H. pylori positif akan mengalami kekambuhan lagi setelah satu tahun

pengobatan. Terapi yang dapat digunakan untuk megatasi gejala peptik ulkus akibat

penggunaan NSAID tersaji pada berikut (Dipiro, 2008).

Terapi antiulkus yang dilanjutkan secara jangka panjang bertujuan untuk

menjaga kesembuhan ulkus dan mencegah komplikasi yang muncul. Terapi

pemeliharaan diindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat komplikasi akibat

ulkus, ulkus yang terus mengalami kekambuhan, gagal saat menerima terapi eradikasi

H. pylori, perokok berat dan pasien yang menggunakan NSAID jangka panjang (lebih

dari 6 bulan). Terapi pemeliharaan jangka panjang dengan H2RA, PPI atau sukralfat

terbukti aman tetapi penggunaan sukralfat harus dihindarkan pada pasien yang

mengalami gangguan ginjal (Dipiro, 2008).

B. GOLONGAN OBAT

Pengobatan atau terapi ulkus peptikum terdiri dari:

1. Antagonis H2

Contoh obat: Simetidine, Ranitidine, Nizatidine, dan Famotidine.

Mekanisme kerja: Penghambat kompetitif histamin pada reseptor H2,

dengan menekan pengeluaran gastrin yang dirangsang oleh asam dan secara

proporsional menurunkan volume asam lambung. Pengeluaran pepsin yang

dimediasi histamin juga berkurang (Sylvianingrum, 2011).

Farmakodinamika: Simetidin memiliki efek antiandrogen minor yang

diekspresikan secara reversibel (dapat kembali lagi) ginekomastia dan

sangat jarang disfungsi ereksi untuk penggunaan jangka panjang

(Sylvianingrum, 2011).

Interaksi obat : ranitidin menurunkan bersihan warfarin, prokainamid, dan

N-asetil prokainamid, meningkatkan absorpsi midazolam, menurunkan

absorpsi kobalamin (Djuwantoro, 1992).

a) Simetidin

Simetidin, memiliki struktur imidazole, dapat terdistribusi luas ke

seluruh tubuh, termasuk air susu dan dapat melewati plasenta.

Diekskresi sebagian besar lewat urin, memiliki t½ pendek, meningkat pada

gangguan ginjal. 30% dosis diinaktivasi lambat dalam hati. 70% dosis eksresi

lewat urin dalam bentuk tidak berubah.

Dosis : dewasa 200 mg & 400 mg 3x / hari sebelum tidur atau 400 mg

sebelum sarapan & 400 mg sebelum tidur. Anak-anak 20-40 mg/kg BB/

hari.

Farmakokinetika:

a) Absorpsi: oral sebanding i.v = 50-70%, oral diperlambat oleh makanan,

terjadi pada menit 60-90.

b) Distribusi: ikatan pada plasma 20%.

c) Metabolisme: menghambat sitokrom P450.

d) Ekskresi: urin dan tinja (Sylvianingrum, 2011).

Efek Samping : lelah, pusing, diare, ruam. Jarang : ginekomastia, rasa

bingung yang reversibel, impotensi (pria), reaksi alergi, artralgia, mialgia,

gangguan darah, nefritis interstitial, sakit kepala, hepatotoksik, pankreatitis.

Interaksi Obat : meningkatkan kadar lignokain, fenitoin, warfarin, teofilin,

beberapa golongan antiaritmia (benzodiazepin, β-bloker, vasodilator) dalam

darah (Djuwantoro, 1992).

b) Famotidin

Memiliki struktur thiazole, serupa dengan Ranitidin pada aksi

farmakologi. Memiliki aksi 20-60 kali lebih potensial dari Simetidin dan 3-

200 kali lebih potensial dari Ranitidin. Famotidin dimetabolisme dalam hati.

Dosis : Ulkus duodenum terapi akut 40 mg 1 x / hari sebelum tidur atau 20

mg 2 x / hari, pemeliharaan 20 mg 1 x / hari sebelum tidur. Kondisi

hipersekresi patologis 20 mg 4 x / hari.

Efek samping : konstipasi, diare, muntah, erupsi kulit, sakit kepala,

trombositopenia, nyeri sendi, penurunan nafsu makan.

Interaksi obat : Antasid, ketokonazol, obat yang dimetabolisme melalui

sistem mikrosom hati (warfarin, teofilin, diazepam) (Djuwantoro, 1992).

c) Nizatidin

Memiliki struktur kombinasi cincin thiazole Famotidin dan rantai

samping Ranitidin. Serupa dengan Ranitidin pada aksi farmakologi dan

potensinya. Nizatidin dieliminasi melalui ginjal dan bioavailabilitas mendekati

100%.

Dosis : tukak duodenum aktif dewasa 300 mg / hari sebelum tidur atau 150

mg 2 x / hari selama 8 minggu. Perawatan tukak duodenum yang sudah

sembuh dewasa 150 mg 1 x / hari sebelum tidur. Penyakit refluks

gastroesofageal 150-300 mg 2 x / hari selama 12 minggu. Tukak lambung

aktif yang jinak 150 mg 2 x / hari atau 300 mg 1 x / hari selama 8 minggu.

Ampul infus iv kontinue : larutkan 300 mg dalam 150 mL larutan iv dan

infus ditingkatkan rata-rata 10 mg/jam.

Infus intermitten : larutkan 100 mg dalam 150 mL larutan iv dan infus

lebih dari 15 minimal 3 x / hari. Maksimal 480 mg / hari (Djuwantoro,

1992).

d) Ranitidin

Contoh obat: Zantac, Rantin

Absorpsi: tidak dipengaruhi oleh makanan.

Distribusi: T1/2 dua jam.

Ekskresi:: di ekskresi melalui urine.

Efek samping: sakit kepala, diare tanpa kejadian ginekosmatia

(Sylvianingrum, 2011).

2. Antasida

Contoh obat: Antasida antara lain senyawa magnesium, aluminium, dan bismut

hidrotalsit, kalsium karbonat, Na-bikarbonat.

Dosis: Mylanta 1-2 tablet, sebanyak 3-4 kali sehari.

Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga

efektifitasnya berganung pada kapasitas penetralan dari antasida tersebut.

Kapasitas penetralan (dalam miliequivalen) adalah mEq HCl yang dibutuhkan

untuk memepertahankan suspensi antasida pada pH 3,5 selama 10 menit secara in

vitro. Peningkatan pH cairan gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi penetralan sebesar

90% dan peningkatan ke pH 3,3 terjadi penetralan sebesar 99% asam lambung.

Antasida ideal adalah yang memiliki kapasitas penetralan yang besar, juga

memiliki durasi kerja yang panjang dan tidak menyebabkan efek lokal maupun

sistemik yang merugikan (Soemanto, dkk, 1993).

a) Antasida sistemik, diabsorpsi dalam usus halus sehingga dapat menyebabkan urin

bersifat alkali. Untuk keadaan pasien dengan gangguan ginjal, dapat terjadi

alkalosis metabolik sehingga saat ini penggunaannya sudah jarang. Contoh

antasida sistemik adalah Natrium bikarbonat (NaHCO3) (Soemanto, dkk, 1993).

Dosis natrium bikarbonat ternseduia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. 1 gram

natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-4

gram (Sylvianingrum, 2011).

Efek samping: selain menimbulkan alkalosis metabolik obat ini dapat

menyebabkan retensi natrium dan udem, adanya akali berlebihan di dalam darah

dan jaringan menimbulkan gejala mual, muntah, anoreksia, nyeri kepala dan

gangguan perilaku (Sylvianingrum, 2011).

b) Antasida non sistemik, tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan

alkalosis metabolik. Salah satunya adalah Magnesium [Mg(OH)2], Aluminium

[(Al(OH)3], Kalsium (CaCO3), Magnesium trisilikat (Mg2Si3O8.nH2O), Magaldrat

Mg(OH)2 memiliki efek netralisasi yang lebih lama dibandingkan NaHCO3 atauo

CaCO3, sedangakan Magnesium trisilikat, Al(OH)3 dan Aluminium fosfat

memiliki aktivitas antasid yang lemah (Soemanto, dkk, 1993).

Dosis Al (OH)3: antasida Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3 gel

yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 ml tersedia

dalam bentuk tablet. 1 gram Al2O3 dapat menetralkan 25 mEq asam.

Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram (Sylvianingrum, 2011).

Dosis CaCO3: kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 dan

1000 mg. 1 gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq. Dosis

yang dianjurkan 1-2 gram. Pemberian sebanyak 4 gram dapat

menyebabkan hiperkalsemia ringan. Efek samping: hiperkalsemia,

insufisiensi renal, konstipasi, mual mutah, pendarahan saluran cerna

(Sylvianingrum, 2011).

Dosis (Mg2Si3O8.nH2O): dalam bentuk tablet 500 mg, dosis yang

dianjurkan 1-4 gram. 1 gram magnesium silikat dapat menetralkan 13-17

mEq asam (Sylvianingrum, 2011).

3. Proton Pump Inhibitor (PPI)

Contoh obat: Omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol dan esomeprazol.

Dosis: PO 30 mg/hari.

Farmakodinamika: memasuki sel parietal melalui peredaran darah dan karena

sifat basa lemahnya akan terakumulasi dalam kanalikuli sel parietal pensekresi

asam (Sylvianingrum, 2011).

Mekanisme kerja obat-obat golongan proton pump inhibitor mengurangi sekresi

asam lambung dengan jalan menghambat enzim H+, K+, ATPase (enzim ini

dikenal sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim

pompa proton bekerja memecah Karbohidrat ATP yang kemudian akan

menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli

sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan antara bentuk aktif obat dengan

gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan terjadinya penghambatan

terhadap kerja enzim. Kemudian dilanjutkan dengan terhentinya produksi asam

lambung (Djuwantoro, 1992).

a) Omeprazol

Absorpsi: terjadi dalam waktu 2-5 jam.

Distribusi: T1/2 kurang lebih 1 jam.

Metabolisme: terjadi di hati menjadi metabolit inaktif.

Efek samping: gangguan lambung usus, sakit kepala, nyeri otot dan

sendi, gatal-gatal, mengantuk, sukar tidur.

Dosis: 20-40 mg, 1 x sehari.

Interaksi obat: Omeprazole dapat memperpanjang eliminasi obat-obat

yang dimetabolisme melalui sitokrom P-450 dalam hati yaitu

diazepam, warfarin, fenitoin. Omeprazole mengganggu penyerapan

obat-obat yang absorbsinya dipengaruhi pH lambung seperti

ketokonazole, ampicillin dan zat besi (Sylvianingrum, 2011).

4. Analog Prostaglandin

Contoh obat: Misoprostol.

Dosis: 200 mcg (mikrogram), 2-4 kali sehari.

Prostaglandin E2 dan I2 dihasilkan oleh mukosa lambung, menghambat

seksresi HCl dan merangsang seksresi mukus dan bikarbonat (efek sitoprotektif).

Defisiensi prostagandin diduga terlibat dalam patogenesis ulkus peptikum.

Misoprostol yaitu analog prostaglandin E digunakan untuk mencegah ulkus

lambung yang disebabkan antiinflamasi non steroid (NSAIDs). Obat ini kurang

efektif bila dibandingkan antagonis H2 untuk pengobatan akut ulkus peptikum.

Farmakologi dan farmakokinetik.

Misoprostol yaitu analog prostaglandin E digunakan untuk mencegah

ulkus lambung yang disebabkan anti inflamasi non steroid (NSAIDs). Obat ini

kurang efektif bila dibandingkan antagonis H2 untuk pengobatan akut ulkus

peptikum.

Efek samping yang sering timbul adalah diare dan mual. Selain itu,

menyebabkan kontraksi uterus dan menjadi kontraindikasi selama kehamilan

(Djuwantoro, 1992).

5. Pelindung Mukosa Lambung

Contoh obat: sukralfat, senyawa bismut.

a. Sukralfat

Contoh obat: Inpepsa® Sucralfate 500 mg / 5 mLSUSPENSI.

Dosis: 2 sendok teh (10 mL), 4 kali sehari, sewaktu lambung kosong ( 1 jam

sebelum makan dan tidur).

Mekanisme kerja: Sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat adalah disakarida

sulfat yang digunakan dalam penyakit ulkus peptik. Mekanisme kerjanya

diperkirakan melibatkan ikatan selektif pada jaringan ulkus yang nekrotik,

dimana obat ini bekerja sebagai sawar terhadap asam, pepsin, dan empedu. Obat

ini mempunyai efek perlindungan terhadap mukosa termasuk stimulasi

prostaglandin mukosa. Selain itu, sukralfat dapat langsung mengabsorpsi garam-

garam empedu, aktivitas ini nampaknya terletak didalam seluruh kompleks

molekul dan bukan hasil kerja ion aluminium saja (Soemanto, dkk, 1993).

Inpepsa® dapat mengurangi absorbsi atau bioavailabilitas obat-obatan:

simetidin, ciprofloxacin, digoxin, ketakonazol, norfoxacin, fenitoin, ranitidin,

tetraxyclindanteofilin, sehingga obat-obatan tersebut harus diberikan dalam

waktu dua jam sebelum pemberian Inpepsa® (Sylvianingrum, 2011).

b. Senyawa Bismut

Contoh obat: Bismuth subsitrat

Dosis: 125 mg, 3 kali sehari.

Senyawa bismut juga bekerja secara selektif berikatan dengan ulkus,

melapisi dan melindungi ulkus dari asam dan pepsin. Postulat lain mengenai

mekanisme kerjanya termasuk penghambatan aktivitas pepsin, merangsang

produksi muklosa, dan meningkatkan sintesis prostaglandin. Obat ini mungkin

juga mempunyai beberapa aktivitas antimikroba terhadap H pylori. Bila

dikombinasi dengan antibiotik seperti metronidazol dan tetrasiklin, kecepatan

penyembuhan ulkus mencapai 98%. Biaya dan potensi toksisitas dari regimen ini

dapat membatasi penggunanya pada ulkus yang serius atau pada penderita yang

sering kambuh. Garam bismut tidak menghambat ataupun menetralisasi asam.

Interaksi obat : Trikalium disitratobismutat dapat menurunkan absorpsi

tetrasiklin (Syam, dkk, 2001).

6. Antibiotik

Contoh obat: metronidazole, tetracycline, amoxicillin.

Dosis: Metronidazole 250 mg, 4 kali sehari

Pengobatan ini ditujukan untuk memberantas infeksi bakteri (dikenal

sebagai 'terapi eradikasi') dan mengurangi produksi asam di perut. Ulkus

kemudian dapat disembuhkan dan mencegah kekambuhan karena bakteri tidak

lagi di usus. Pada terapi erakdisi ini ada beberapa protokol pengobatan berbeda

yang sering digunakan, tapi NICE (National Institute for Health and Clinical

Excellence) merekomendasikan 'terapi tiga regimen' sebagai baris pertama

(Nathan, 2012).

a) Metronidazol

Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Pada biakan E.

histolytica dengan kadar metronidazol 1 - 2 μg/mL, semua parasit musnah

dalam 24 jam. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten

terhadap metronidazol. Metronidazol juga memperlihatkan daya

trikomonoiasid langsung. Pada biakan Trichomonas vaginalis, kadar

metronidazol 2,5 μg/mL dapat mengancurkan 99% parasit dalam waktu 24

jam. Trofozit Giardia lambia juga dipengaruhi langsung pada kadar antara

1 - 50 μg/mL. Namun, saat ini telah dilaporkan bahwa Trichomonas vaginalis

dan Giardia lambia secara klinis resisten terhadap metronidazol (Syarif dan

Elysabeth, 2011).

Metronidazol diserap dengan baik setelah pemberiaan oral dan dianjurkan

sebagai obat penyeling atau pengganti pada penyakit intestinal yang ringan dan

berat, serta yang tanpa gejala. Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg

per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10 μg/mL. umumnya untuk

kebanyakan protozoa dan bakteri yang sensitif, rata rata diperlukan kadar tidak

lebih dari 8 μg/mL (Syarif dan Elysabeth, 2013; Foye, 1996).

Waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam. Pada beberapa kasus terjadi kegagalan

karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh absorpsi yang

buruk atau metabolisme terlalu cepat. Obat ini diekskresi melalui urin dalam

bentuk asal dan bentuk metabolit hasil oksidasi dan glukuronidasi. Metronidazol

juga diekskresi melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam

kadar yang rendah (Syarif dan Elysabeth, 2013).

Efek samping nampaknya banyak dan terutama menyangkut saluran lambung-

usus, persendian, dan saraf rasa. Adapaun efek samping tersebut adalah mual,

muntah, gangguan pengecapan, lidah kasar, gangguan saluran cerna, ruam,

urtikaria dan angioudem; kadang kadang timbul rasa lesu, mengantuk pusing,

ataksia, urin bewarna gelap dan anafilaksis. Neuritis perifer pada penggunaan

jangka panjang, serangan epilepsy transein, leukopenia (Foye, 1996; Sukandar,

dkk., 2008).

Interaksi obat: Metronidazole menghambat metabolisme warfarin dan dosis

antikoagulan kumarin lainnya harus dikurangi. Pemberian alkohol selama terapi

dengan metronidazole dapat menimbulkan gejala seperti pada disulfiram yaitu

mual, muntah, sakit perut dan sakit kepala. Dengan obat-obat yang menekan

aktivitas enzim mikrosomal hati seperti simetidina, akan memperpanjang waktu

paruh metronidazole (Sylvianingrum, 2011).

7. Anti muskarinik

Contoh obat: Hiosciamin, mepenzolat, pirenzepin.

Mekanisme kerja: ACh dapat mempengaruhi pelepasan histamin di sel

parietal sehingga meningkatkan sekresi asam lambung. Pirenzepin adalah

suatu obat antimuskarinik yang selektif yang telah digunakan untuk

mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Pirenzepin akan

menghambat aktivitas asetilkolin yakni menghambat meningkatkan sekresi

asam lambung (Foye, 1996; Sukandar, dkk., 2008).

Dosis: 50 mg di pagi dan sore hari untuk 30 menit sebelum makan

(Anonim, 2010).

C. KESIMPULAN

Peptic Ulcer adalah penyakit yang merupakan gangguan lambung. Ulkus

peptikum terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor agresif (pepsin dan asam

lambung) dengan factor protektif. Penyebab paling sering terjadinya ulkus peptik

adalah Infeksi Helicobacter pylori, penggunaan NonSteroidal Anti-Inflamatory Drugs

(NSAIDs), Infeksi Helicobacter pylor, Penggunaan NSAID Non Selektif, faktor diet

dan penyakit lain.

Ulkus peptikum dapat didiagnosis melalui pemeriksaan mengunakan

endoskopi dan untuk mendeteksi adanya infeksi Helicobacter pylori metode yang

digunakan adalah dengan uji napas urea dan pemerikasaan serologis.

No

Golongan Contoh Obat Mekanisme Interaksi Obat

1 Antagonis H2 Simetidine, Ranitidine, Nizatidine, dan Famotidine

Penghambat kompetitif histamin pada reseptor H2, dengan menekan pengeluaran gastrin yang dirangsang oleh asam dan secara proporsional menurunkan volume asam lambung. Pengeluaran pepsin yang dimediasi histamin juga berkurang.

Ranitidin menurunkan bersihan warfarin, prokainamid, dan N-asetil prokainamid, meningkatkan absorpsi midazolam, menurunkan absorpsi kobalamin.

2 Antasida Antasida antara lain senyawa magnesium, aluminium, dan bismut hidrotalsit, kalsium karbonat, Na-bikarbonat.

Memiliki durasi kerja yang panjang dan tidak menyebabkan efek lokal maupun sistemik yang merugikan. Antasida mengandung Al hidroksida dan juga Mg hidroksida dan ada juga berisi CaCO3 yang sifatnya basa untuk menetralkan asam lambung.

Efek samping menimbulkan alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan udem, adanya akali berlebihan di dalam darah dan jaringan menimbulkan gejala mual, muntah, anoreksia, nyeri kepala dan gangguan perilaku.

3 Proton Pump Inhibitor (PPI)

Omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol dan esomeprazol.

Obat-obat golongan proton pump inhibitor menghambat sekresi asam lambung dengan jalan menghambat enzim H+, K+, ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) secara selektif dalam sel-sel parietal. Enzim pompa proton bekerja memecah Karbohidrat, ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung.

Omeprazol dengan Diazepam terjadi peningkatan kadar Diazepam. Omeprazol dengan Barbiturat memanjangkan waktu tidur yang merupakan efek dari Barbiturat.

4 Analog Prostaglandin

Misoprostol. Prostaglandin E2 dan I2 dihasilkan oleh mukosa lambung, menghambat seksresi HCl dan merangsang seksresi mukus dan bikarbonat (efek sitoprotektif). Defisiensi prostaglandin diduga terlibat dalam patogenesis ulkus peptikum.

Efek samping yang sering timbul adalah diare dan mual. Selain itu, menyebabkan kontraksi uterus dan menjadi kontraindikasi selama kehamilan.

5 Pelindung Mukosa Lambung

Sukralfat, senyawa bismut.

Mekanisme Sukralfat atau aluminium sukrosa sulfat adalah disakarida sulfat yang digunakan dalam penyakit ulkus peptik. Mekanisme kerjanya diperkirakan melibatkan ikatan selektif pada jaringan ulkus yang nekrotik, dimana obat ini bekerja sebagai sawar terhadap asam, pepsin, dan empedu. Obat ini mempunyai efek perlindungan terhadap mukosa termasuk stimulasi prostaglandin mukosa.

Inpepsa® dapat mengurangi absorbsi atau bioavailabilitas obat-obatan: simetidin, ciprofloxacin, digoxin, ketakonazol, norfoxacin, fenitoin, ranitidin, tetraxyclindanteofilin, sehingga obat-obatan tersebut harus diberikan dalam waktu dua jam sebelum pemberian Inpepsa®

6 Antibiotik Metronidazole, tetracycline, amoxicillin.

Pengobatan ini ditujukan untuk memberantas infeksi bakteri (dikenal sebagai 'terapi eradikasi') dan mengurangi produksi asam di perut. Ulkus kemudian dapat disembuhkan dan mencegah kekambuhan karena bakteri tidak lagi di usus.

Metronidazole menghambat metabolisme warfarin dan dosis antikoagulan kumarin lainnya harus dikurangi. Pemberian alkohol selama terapi dengan metronidazole dapat menimbulkan gejala seperti pada disulfiram yaitu mual, muntah, sakit perut dan sakit kepala.

7 Anti muskarinik

Hiosciamin, mepenzolat, pirenzepin.

Pirenzepin akan menghambat aktivitas asetilkolin yakni menghambat peningkatan sekresi asam lambung.

D. DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Atlas of Pathophysiology, 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins.

Anonim. 2010. Pirenzepine. http://omedicine.info/id/pirenzepine.html Diakses tanggal 26

Mei 2015.

Anonim. 2011. Tukak Lambung. www.tukaklambung.com. Diakses tanggal 30 Mei 2015.

Djuwantoro D, 1992, Diagnosis dan Pengobatan Tukak Peptik, Cermin Dunia Kedokteran,

Jakarta.

Foye, W.O. 1996. Kimia Medisinal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hadi, Sujono. 1995. Gastroenterologi. Bandung: PT. Alumni.

Ishak, S.Si.,Apt. 2012. Obat Saluran Pencernaan.

http://www.rsjsoerojo.co.id/obat_saluran_pencernaan_berita82.html. Diakses tanggal

17 Mei 2015.

Joseph DiPiro, Robert L.Talbert, Gary Yee, Gary Matzke, Barbara Wells, L.Michael Posey et

al. 2008. Pharmacotherapy: A Phatophysiology Approach.7th ed. Columbus: McGraw-

Hill Company.

Nathan T, Brandt C.J, De Muckedell O.S. 2012. Peptic Ulcers Treatment.

http://www.netdoctor.co.uk/diseases/facts/pepticulcertreatment.htm. Diakses tanggal 29

September 2013.

Sari, Indah Permata. 2013. Obat Anti Tukak Peptik.

https://www.scribd.com/doc/149558558/Copy-of-Obat-Anti-Tukak-Peptik. Diakses

tanggal 30 Mei 2015.

Shanty, K. 2011. Penyakit Saluran Pencernaan. Jogyakarta: Katahati.

Shawna L. Fleming. 2007. Helicobacter pylory: Deadly Diseases and Epidemics. New York:

Infobase Publishing.

Soemanto PM, Hirlan, Setiawati A, Hadi S. 1993. Penatalaksanaan Gastritis dan Ulkus

Peptikum. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Uji Diri. Jakarta: Yayasan Penerbit

IDI.

Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., dan Kusnandar.

2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI Penerbitan.

Syam AF, Simadibrata M, Rani AA. 2001. Helicobcater Pylori: Diagnosis and Treatment.

USA: Med Progress.

Syarif A, Ascobat P, Estuningtyas A, Setiabudi R, Muchtar A, Bahry B, et al. Obat Gagal

Jantung. In: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth (eds). 2011.

Farmakologi dan Terapi. 5th Ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sylvianingrum, Susan. 2011. Antasida. https://www.scribd.com/doc/48675892/ANTASIDA.

Diakses tanggal 30 Mei 2015.

E. LAMPIRAN

1. Pertanyaan dari Astriana Dian Wardhani

Dalam pengobatan tukak peptik terdapat banyak jenis obat yang dapat digunakan,

pemilihan obat tersebut dilihat dari segi apa? Kapan harus memakai golongan

obat yang satu dengan yang lain?

Jawab: Tukak peptik terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor agresif

seperti sekresi asam lambung, pepsin dan infeksi bakteri H. Pylori. Oleh karena

itu, jika sekresi asam lambung terlalu banyak digunakan antagonis H2/PPI karena

dapat menurunkan sekresi asam lambung sedangkan PPI lebih efektif digunakan

karena menghambat pembentukan HCl. Jika terdapat luka pada lambung dapat

ditambahkan dengan sukralfat. Jika terdapat bakteri H.pylori dapat ditambahkan

antibiotik.

2. Pertanyaan dari Eling Bunga Nurani

Terapi penyembuhan ada 2 macam yaitu terapi farmakologi dan nonfarmakologi,

apakah kedua terapi tersebut dapat digunakan bersamaan?

Jawab: Kedua terapi tersebut dapat digunakan bersamaan agar penyakit ulkus

peptikum dapat sembuh dengan cepat. Terapi farmakologi dengan meminum obat

dapat digabungkan dengan terapi nonfarmakologi seperti tidak makan makanan

yang pedas/asam dan menjaga pola makan agar tukak peptik tidak bertambah

parah.

3. Pertanyaan dari Suci Ramadhani

Obat tukak peptik seperti PPI dapat mengurangi sekresi asam lambung,

sedangkan bakteri H.pylori saat menginfeksi lambung manusia dapat menetralkan

pH asam lambung untuk menginfeksi. Dengan demikian apakah fungsi

pengobatan untuk menetralkan asam lambung jika bakteri dapat menetralkan

asam lambung untuk menginfeksi?

Jawab: Bakteri H.pylori dapat menyebabkan luka pada dinding lambung karena

bakteri ini menghasilkan enzim urease. Enzim ini akan menghasilkan amonia

yang bersifat toksik dan merusak pertahanan mukosa lambung . Kerusakan

mukosa diperparah dengan hadirnya asam lambung berlebih yang juga ikut ambil

bagian untuk menyerang pertahanan di daerah ini. Sel-sel mukosa tak mampu

menahan serangan dari asam lambung dan akhirnya sel-sel ini pun mati.

Regenerasi sel mukosa tak mampu mengimbangi perlawanan asam lambung dan

invasi bakteri H.pylori sehingga semakin lama dinding lambung dan usus akan

terus menerus terkikis, dan menipis. Luka menjadi semakin melebar dan dalam,

sehingga suatu saat akan terjadi pendarahan pada dinding lambung dan usus

(bleeding). Selain pendarahan, jika semakin parah akan terbentuk lubang (dinding

lambung mengalami perforasi) sehingga makanan di dalam lambung dapat

tumpah ke rongga perut.

Tujuan dari terapi adalah menghilangkan atau mengeradikasi bakteri

H.pylori dan mengontrol jumlah asam lambung berlebih yang dapat memperparah

tukak. Terapi tunggal antibiotik atau terapi tunggal obat penurun kadar asam telah

terbukti tidak optimal untuk mengobati tukak yang disebabkan karena infeksi

bakteri H.pylori. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kombinasi terapi yang terdiri

dari antibiotika (Tripel regimen / quadripel regimen) ditambah dengan obat-obat

yang mampu menurunkan kadar asam lambung (misalnya penghambat pompa

proton atau antagonis reseptor H2) untuk pasien yang positif H.pylori.