WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

17
PicoSearch EDITORIAL Edisi No 09 Tahun 2002 Seorang teman yang baru tuntas membaca buku tentang integrasi Timor Lorosae yang diterbitkan pemerintah Orde Baru puluhan tahun lalu berdecak kagum. Bagaimana mungkin orang bisa memproduksi kebohongan setebal ini?Apalagi dalam jajaran tim penyusun ada nama-nama beken bergelar profesor dan doktor. Orde Baru memang dibangun dari kebohongan satu ke yang lain. Persoalannya mengapa begitu banyak intelektual yang terlibat di dalamnya? Persekutuan intelektual-birokrat-militer untuk menunjang berdirinya Orde Baru sudah dimulai sejak hari-hari pertama. Manipulasi fakta-fakta pembunuhan tujuh perwira Oktober 1965 adalah titik tolaknya. Tim forensik mengatakan tak satu pun jenazah yang rusak karena sayatan pisau atau pukulan benda tumpul. Jenderal Soeharto yang memberi perintah otopsi tentu tahu, tapi ia membiarkan kebohongan itu beredar, berkembang dan menjadi kesadaran publik. Dari kebohongan ini kemudian lahir buku-buku sejarahseperti Tragedi Nasional Percobaan Kup G-30-S/PKI yang ditulis Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh. Selama 32 tahun tak seorang pun intelektual yang berminat membantah kebohongan dan umumnya bungkam melihat pembunuhan massal dan penangkapan ribuan rekan sejawatnya yang menyusul peristiwa itu. Justru sebaliknya sebagian ikut mengusung kebohongan menjadi bagian dari kurikulum dan menjadikan teks-teks penuh kebohongan sebagai bacaan resmi. Di masa selanjutnya kita melihat kerjasama yang kuat di segala bidang. Dalam ekonomi, orientasi pasar bebas mendapat landasan ilmiahdari profesor-doktor lulusan Amerika dan Eropa. Saat sistem yang dibangunnya mengalami krisis, kaum terpelajar ini berceloteh tentang penyimpangan dan menuduh mental bangsasebagai biang keladinya. Ilmu sosial disulap menjadi alat engineering, menciptakan masyarakat yang sesuai dengan imajinasi penguasa dan para pendukungnya. Dan begitu seterusnya. Penelitian untuk menguji-ulang keyakinan, pembahasan mendalam tentang prinsip ilmiah dan soal-soal mendasar lainnya ditinggalkan dan intelektual sibuk mengejar setoran dalam proyek pemerintah. Kaum intelektual bebasyang tidak mau tenggelam dalam pola itu menjauh dari birokrasi dan lembaga pendidikan yang semakin dikuasai. Sebagian terpaksa membayar mahal dengan hidup serba terbatas di bawah tekanan, sementara lainnya memeluk alternatif baruseperti LSM atau lembaga penelitian dan sibuk mengejar setoran yang lain. Kebebasan yang diantar gerakan massa tahun 1998 memberi ruang baru bagi intelektual untuk berkiprah. Namun tidak semuanya berpegang pada apa yang diimpikan sejak lama: memberi sumbangan berarti kepada sesama untuk bebas dari segala yang mengekangnya. Para abdi birokrasi tentu tidak mudah mengubah haluan berpikir, cara kerja dan meninggalkan kenikmatan yang diperolehnya selama mengabdi. Mereka yang kritis sebaliknya juga tenggelam dalam keasyikan mengejar setoran dan menjadi bintang media sebagai pengamat dan komentator ternama. Ada juga yang bahkan menikmati krisis, kesengsaraan dan kekacauan. Kalau tidak ada kekacauan, apa yang mau kita tulis? Jadi lebih baik negeri ini kacau saja,komentar seorang intelektual muda. Mungkin serius, mungkin juga ungkapan rasa frustrasi. Media Kerja Budaya edisi ini berusaha mengangkat berbagai dimensi intelektual yang oleh sebagian masyarakat diterima sebagai guru bangsa, kaum tanpa pamrih yang hanya bicara tentang kebenaran. Ada kenyataan pahit dan ada pula yang merangsang semangat baru. Sebuah pengantar agar setelah berjuang lepas dari kebohongan besar kita tidak terjerembab ke dalam kebohongan yang lain. Pemimpin Redaksi Pokok Media Kerjabudaya Mengingkari Ilusi Kebebasan Intelektual Pembangun Rezim Bergerak Melawan Arus Berpikir dan Mengubah dari Bawah Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, Razif. Data Bicara Profil Kembangpala Meretas Alternatif Hidup Sehat Andre Puisi Luh Suwita Utami Pat Gulipat Kritik Seni Gerhard Richter, Perupa Lambang Paska Perang Dingin. Cerminan Bangun Kapitalisme Terkini? Firman Ichsan Klasik Etnologi Penumpasan Snouck Hurgronje Arif Rusli Cerita Pendek Perselisihan Ngarto Februana Esai Monopoli Pengetahuan Ignatius Haryanto Logika Kultura Manusia Marx John Roosa Resensi Buku Sumber Sejarah yang Timpang Rinto Trihasworo Tokoh Paul Robeson: Mendendangkan Lagu, Mengagungkan Manusia Ayu Ratih Berita Pustaka INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email versi teks ©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

description

EDITORIAL Seorang teman yang baru tuntas membaca buku tentang integrasi Timor Lorosae yang diterbitkan pemerintah Orde Baru puluhan tahun lalu berdecak kagum. “Bagaimana mungkin orang bisa memproduksi kebohongan setebal ini?” Apalagi dalam jajaran tim penyusun ada nama-nama beken bergelar profesor dan doktor. Orde Baru memang dibangun dari kebohongan satu ke yang lain. Persoalannya mengapa begitu banyak intelektual yang terlibat di dalamnya? Persekutuan intelektual-birokrat-militer un

Transcript of WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

Page 1: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

EDITORIAL Edisi No 09 Tahun 2002

Seorang teman yang baru tuntas membaca buku tentang integrasi Timor Lorosae yang diterbitkan pemerintah Orde Baru puluhan tahun lalu berdecak kagum. “Bagaimana mungkin orang bisa memproduksi kebohongan setebal ini?” Apalagi dalam jajaran tim penyusun ada nama-nama beken bergelar profesor dan doktor. Orde Baru memang dibangun dari kebohongan satu ke yang lain. Persoalannya mengapa begitu banyak intelektual yang terlibat di dalamnya?

Persekutuan intelektual-birokrat-militer untuk menunjang berdirinya Orde Baru sudah dimulai sejak hari-hari pertama. Manipulasi fakta-fakta pembunuhan tujuh perwira Oktober 1965 adalah titik tolaknya. Tim forensik mengatakan tak satu pun jenazah yang rusak karena sayatan pisau atau pukulan benda tumpul. Jenderal Soeharto yang memberi perintah otopsi tentu tahu, tapi ia membiarkan kebohongan itu beredar, berkembang dan menjadi “kesadaran publik”.

Dari kebohongan ini kemudian lahir buku-buku “sejarah” seperti Tragedi Nasional Percobaan Kup G-30-S/PKI yang ditulis Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh. Selama 32 tahun tak seorang pun intelektual yang berminat membantah kebohongan dan umumnya bungkam melihat pembunuhan massal dan penangkapan ribuan rekan sejawatnya yang menyusul peristiwa itu. Justru sebaliknya sebagian ikut mengusung kebohongan menjadi bagian dari kurikulum dan menjadikan teks-teks penuh kebohongan sebagai bacaan resmi.

Di masa selanjutnya kita melihat kerjasama yang kuat di segala bidang. Dalam ekonomi, orientasi pasar bebas mendapat “landasan ilmiah” dari profesor-doktor lulusan Amerika dan Eropa. Saat sistem yang dibangunnya mengalami krisis, kaum terpelajar ini berceloteh tentang penyimpangan dan menuduh “mental bangsa” sebagai biang keladinya. Ilmu sosial disulap menjadi alat engineering, menciptakan masyarakat yang sesuai dengan imajinasi penguasa dan para pendukungnya. Dan begitu seterusnya.

Penelitian untuk menguji-ulang keyakinan, pembahasan mendalam tentang prinsip ilmiah dan soal-soal mendasar lainnya ditinggalkan dan intelektual sibuk mengejar setoran dalam proyek pemerintah. Kaum “intelektual bebas” yang tidak mau tenggelam dalam pola itu menjauh dari birokrasi dan lembaga pendidikan yang semakin dikuasai. Sebagian terpaksa membayar mahal dengan hidup serba terbatas di bawah tekanan, sementara lainnya memeluk “alternatif baru” seperti LSM atau lembaga penelitian dan sibuk mengejar setoran yang lain.

Kebebasan yang diantar gerakan massa tahun 1998 memberi ruang baru bagi intelektual untuk berkiprah. Namun tidak semuanya berpegang pada apa yang diimpikan sejak lama: memberi sumbangan berarti kepada sesama untuk bebas dari segala yang mengekangnya. Para abdi birokrasi tentu tidak mudah mengubah haluan berpikir, cara kerja dan meninggalkan kenikmatan yang diperolehnya selama mengabdi. Mereka yang kritis sebaliknya juga tenggelam dalam keasyikan mengejar setoran dan menjadi bintang media sebagai pengamat dan komentator ternama. Ada juga yang bahkan menikmati krisis, kesengsaraan dan kekacauan. “Kalau tidak ada kekacauan, apa yang mau kita tulis? Jadi lebih baik negeri ini kacau saja,” komentar seorang intelektual muda. Mungkin serius, mungkin juga ungkapan rasa frustrasi.

Media Kerja Budaya edisi ini berusaha mengangkat berbagai dimensi intelektual yang oleh sebagian masyarakat diterima sebagai ‘guru bangsa’, kaum tanpa pamrih yang hanya bicara tentang kebenaran. Ada kenyataan pahit dan ada pula yang merangsang semangat baru. Sebuah pengantar agar setelah berjuang lepas dari kebohongan besar kita tidak terjerembab ke dalam kebohongan yang lain.

Pemimpin Redaksi

Pokok Media KerjabudayaMengingkari Ilusi Kebebasan

Intelektual Pembangun Rezim

Bergerak Melawan Arus

Berpikir dan Mengubah dari Bawah

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, Razif.

Data Bicara

ProfilKembangpala Meretas Alternatif Hidup Sehat Andre

Puisi Luh Suwita Utami

Pat Gulipat

Kritik Seni Gerhard Richter, Perupa Lambang Paska Perang Dingin. Cerminan Bangun Kapitalisme Terkini? Firman Ichsan

KlasikEtnologi Penumpasan Snouck Hurgronje Arif Rusli

Cerita Pendek Perselisihan Ngarto Februana

EsaiMonopoli Pengetahuan Ignatius Haryanto

Logika Kultura Manusia Marx John Roosa

Resensi Buku Sumber Sejarah yang Timpang Rinto Trihasworo

TokohPaul Robeson: Mendendangkan Lagu, Mengagungkan Manusia Ayu Ratih

Berita Pustaka

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

versi teks

©2003, Media Kerjabudaya Online.

http://mkb.kerjabudaya.org e-mail: [email protected]

design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 2: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Mengingkari Ilusi Kebebasan

Tim Media Kerja Budaya

Intelektual biasanya dianggap sebagai manusia bebas dan kreatif yang terus-menerus mencari kebenaran. Untuk mencapai tujuan mulianya, intelektual tidak segan menempuh kehidupan yang tidak lazim dan menolak menjadi bagian dari arus utama dalam masyarakat. Tanpa pamrih adalah ciri yang lain karena bukan uang, pangkat dan kenikmatan duniawi yang dicari. Akibatnya tidak jarang mereka terpaksa berjalan sendiri dan kesepian seperti yang diungkap Arief Budiman dalam pidato di Melbourne University nyaris lima tahun lalu.

Julien Benda, pemikir konservatif Prancis mungkin orang yang paling sering dikutip untuk menggambarkan sosok intelektual tanpa pamrih. Pengkhianatan Kaum Intelektual karyanya adalah kritik tajam terhadap mobilisasi kebencian dalam kasus Alfred Dreyfus, kapten tentara Prancis keturunan Yahudi yang dituduh menjual rahasia negara kepada pasukan Jerman. Ia mengecam kesetiaan buta kaum intelektual terhadap doktrin keamanan negara dan menuduh mereka berkhianat terhadap nilai kebebasan dan hak-hak individu yang diperjuangkan Revolusi Prancis.

Tapi kenyataan sejarah memunggungi harapannya, termasuk intelektual sebarisannya dalam kasus Dreyfus. Georges Clemenceau jurnalis yang menjadi menteri dalam negeri 1906, menangkap para pemimpin serikat buruh radikal CGT dan memerintahkan agar mereka dihukum tembak. Semua itu atas nama "keamanan nasional", persis seperti kaum intelektual yang dituduhnya berkhianat dalam kasus Dreyfus. Sebuah bukti bahwa kemerdekaan individu yang dijunjungnya selalu punya pengecualian. Mungkin mirip dengan kebungkaman intelektual Indonesia yang merayakan kemerdekaan berpikir di satu pihak tapi membiarkan penindasan terhadap intelektual yang berlawanan di tahun 1960-an.

Bagaimanapun karyanya tetap menjadi landasan bermacam pandangan, fantasi dan ilusi tentang sosok intelektual bebas yang kadang terlihat naif di hadapan kenyataan sejarah yang keras. Pembentukan pengetahuan dan ilmu senantiasa terkait dengan kehidupan ekonomi dan politik. Sejarah modern pun penuh dengan kisah persekutan intelektual dengan kekuasaan.

Intelektual Abdi

Intelektual adalah bagian tak terpisahkan dari penjajahan selama berabad. Nama-nama besar dalam berbagai bidang ilmu seperti John Stuart Mill bersesakan dalam birokrasi rumah dagang dan negara kolonial. Di Indonesia kita menjumpai Brandes, van Leur, Petrus-Blumberger dan Gonggrijp. Mereka bekerja penuh pengabdian dan sekaligus mendapat penghargaan karena pencapaian akademik, yang menunjukkan kedekatan dunia ilmu pada umumnya dengan birokrasi negara. Sekalipun "bebas" menulis tentang apa pun yang mereka mereka minati tugas utama adalah menambah pengetahuan penguasa tentang daerah kekuasaannya, dan tak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Abad ke-20 menghadirkan contoh-contoh yang lebih telak lagi. Di Jerman semasa Nazi ribuan peneliti dan ilmuwan segala bidang direkrut untuk mendukung proyek Aryanisasi Hitler. Kamp konsentrasi seperti Buchwald dan Auschwitz disulap menjadi laboratorium raksasa menggunakan penghuninya sebagai obyek eksperimen yang mengerikan. Anak-anak disuntik dengan virus hepatitis untuk mempelajari cara kerjanya, sementara tahanan dewasa dibiarkan merana kelaparan agar para peneliti dapat mengamati batas daya tahan manusia. Di samping menjadi masukan untuk kepentingan militer, hasil penelitian itu kadang diumumkan melalui konperensi dan jurnal ilmiah yang bergengsi pada zamannya sebagai pencapaian akademik.

Hubungan intelektual dengan rezim fasis hanya dalam bidang ilmu alam atau kedokteran. Martin Heidegger, filsuf terkemuka yang juga dikenal luas di Indonesia diketahui mendukung kekuasaan Nazi. Ia menjadi rektor Universitas Freiburg dengan restu penguasa yang beberapa minggu sebelumnya membakar ribuan buku di hadapan umum. Beberapa bulan kemudian ia ikut menandatangani pernyataan sekelompok ilmuwan Jerman yang mendukung kekuasaan Hitler, dan sesudah perang masih berbicara tentang "kebenaran dan keagungan" eksperimennya di Jerman.

Intelektual yang mengabdi pada negara memiliki sejarah panjang. Di Rusia hubungan itu diperkuat tahun 1725 saat negara membentuk Akademi Ilmu yang mencakup semua bidang keahlian. Hampir semua ilmuwan bergabung dalam lembaga penelitian atau perkumpulan ahli. Setelah revolusi Bolshevik tradisi itu dilanjutkan, kali ini untuk melayani kepentingan revolusi. Beberapa lembaga sempat berkembang pesat dan menjadi masyhur di lingkungan akademik, seperti Institut Fisika-Teknik di Ukraina yang didirikan 1928. Situasi berubah setelah Stalin berkuasa dan sembilan tahun kemudian, hampir semua ahli asing yang bekerja di sana diusir sementara rekan sejawatnya asal Soviet ditangkap atau disingkirkan karena dianggap pembangkang politik.

Tentu banyak intelektual yang memilih tidak bergabung dalam birokrasi atau lembaga tertentu. Rusia menyaksikan munculnya kaum intellegentsia yang memilih berpihak pada perjuangan rakyat, sementara di Prancis ada filsuf, ahli sejarah dan penulis yang bergabung dalam Front Popular. Bekerja dalam lembaga tidak selalu berarti mengabdikan seluruh karya dan pikiran pada kepentingan negara, seperti ditunjukkan oleh pendiri dan pengikut Mazhab Frankfurt. Namun, pertentangan yang semakin tajam antara kekuatan politik dan kelas sosial tidak memungkinkan mereka berdiri netral di atas semua kepentingan dan mengabdi pada kebenaran yang abstrak seperti yang diserukan Benda.

Perang Dingin Ilmu dan Kebudayaan

Berakhirnya perang dunia melahirkan perseteruan baru di antara negara pemenangnya dan membawa bentuk hubungan intelektual dan penguasa yang berbeda. Amerika Serikat dan Uni Soviet yang pegang peran utama sama-sama menggalang ribuan intelektual menjadi penasehat, pemberi legitimasi atau perpanjangan tangan birokrasi yang memikirkan strategi dan teknik penaklukan. Perlombaan senjata adalah prioritas utama dan pertarungan dimulai untuk memperebutkan ilmuwan Jerman yang perang. Washington melancarkan Operasi Paperclip untuk membawa sekurangnya 1.600 ilmuwan dan keluarga mereka bekerja di AS. Seperti di masa perang, para ilmuwan ini menggunakan serdadu AS sebagai obyek percobaan senjata kimia maupun LSD dan obat-obatan psiko-kimia untuk menciptakan alat pengontrol pikiran. Dimulai dari Universitas Stanford, politik Perang Dingin menjalar ke univesitas bergengsi lain seperti Chicago, MIT dan Columbia. Dalam proses itu sebagian besar intelektual kiri (sebagian berpindah haluan) tersingkir dan memberi jalan bagi pembentukan intellectual establishment baru yang konservatif. Badan pemerintah, termasuk lembaga intelijen seperti CIA dan FBI, mendukung dengan menyalurkan dana, tenaga dan aktif melakukan intervensi serta pengawasan. Keyakinan ideologis bercampur dengan kebutuhan mencari sumber dana mendorong para pemimpin universitas membuka lebar pintu kampusnya untuk proyek dan program baru yang sejalan dengan kepentingan pemerintah.

Politik luar negeri menjadi sangat menentukan dan untuk itu para penguasa perlu pengetahuan cukup tentang keadaan negeri lain. Universitas Harvard membuka Pusat Penelitian Rusia sebagai think-tank politik luar negeri dan intelijen mengenai Uni Soviet. Lembaga kajian wilayah lainnya dibentuk melibatkan intelektual terkemuka seperti Walt W. Rostow dan Samuel Huntington. Sebagian meniti karir sebagai penasehat keamanan dan politik luar negeri, tapi ada pula yang memilih bergerak di lapangan, seperti sosiolog Talcott Parsons yang tahun 1948 berkeliling Eropa dengan bantuan staf kedutaan, dinas intelijen dan militer AS merekrut para pelarian Uni Soviet untuk bekerja di lembaga tersebut. Kalangan bisnis dan lembaga dana berperan penting dalam proses pembentukan lembaga-lembaga ini. Universitas Harvard mendapat bantuan $740 ribu dari Carnegie Corporation untuk mendirikan pusat penelitian tersebut, sementara Ford Foundation memberi $270 juta kepada 34 universitas di seluruh AS guna mendirikan pusat kajian wilayah dan bahasa antara 1953 dan 1966. Sebagian dana diperoleh dari CIA yang menggunakan lembaga-lembaga itu sebagai selubung kegiatannya. Tahun 1976 Kongres AS melakukan investigasi yang mengungkap hampir separuh dari 700 paket hibah yang disalurkan berbagai lembaga dana berasal dari dinas intelijen tersebut.

Kenyataan ini tidak berarti bahwa semua pusat kajian wilayah adalah perpanjangan tangan CIA atau badan pemerintah lainnya. Seperti halnya Moskow dan Beijing tidak selalu berhasil membangun "garis komando" dengan organisasi, lembaga atau intelektual yang didukungnya, di AS pun bermunculan lembaga yang relatif independen sekalipun mendapat dana hibah semacam itu. Langkah yang tidak mudah dalam politik Perang Dingin. George Kahin dari Cornell University misalnya membuka studi Asia Tenggara di kampusnya dengan dukungan Ford Foundation di satu pihak dan mata curiga Departemen Luar Negeri yang menganggapnya terlalu dekat dengan gerakan kiri di Indonesia pada pihak lain.

Tapi terlepas dari variasi hubungan dan lembaga yang terbentuk masa itu, Perang Dingin membawa dampak serius bagi perkembangan ilmu dan kehidupan intelektual. Seiring dengan meningkatnya petualangan intelijen ke seluruh dunia, ahli-ahli psikologi seperti Harold Lasswell tekun mengembangkan teknik perang urat syaraf, sementara ahli bahasa melayani kelas-kelas yang sesak dengan tentara dan agen dinas intelijen yang ingin menguasai bahasa sasarannya. Ahli ekonomi dan politik berlomba mencari rumus baru mengenai pembangunan negeri berkembang agar mengikuti "garis politik" masing-masing negara.

Sekalipun hanya sebagian intelektual yang mengabdi pada kepentingan strategis seperti itu, lanskap keilmuannya secara umum tetap sangat terpengaruh. Mereka memang relatif bebas merancang, mengumpulkan bahan dan meneliti, tapi akhirnya harus berhadapan dengan keinginan lembaga dana serta ketiadaan kontrol terhadap penggunaan hasil karya mereka. Banyak studi antropologi, proyek pemetaan, studi geografi dan kajian sosial lainnya menjadi bagian dari operasi militer tertentu, sementara studi sastra dan seni diolah menjadi senjata dalam pertarungan kebudayaan. Meski tidak "berkhianat" dalam pengertian Julien Benda, kemerdekaan berpikir dan mencipta terbentur oleh berbagai kepentingan yang mengelilingi mereka.

Mencegah menjalarnya komunisme adalah agenda pokok Washington dalam perang tersebut. Intelektual kiri seperti Paul Baran dan Paul Sweezy yang pernah bekerja dalam Kantor Dinas Strategis semasa perang melawan Jerman, mulai digeser untuk membentuk intellectual establishment yang anti-komunis. Sebaliknya di Uni Soviet negara memberi tugas baru kepada kaum intelektual untuk menjaga dan menjamin "kemurnian ideologi". Intelektual yang tidak mendukung kebijakan negara, sekalipun tidak anti-komunis, disingkirkan dari posisi mereka.

Berbagai lembaga penelitian baru dan sebuah pusat pengembangan ideologi, Institut Marxisme-Leninisme dibentuk. Beberapa intelektual Marxis seperti Georg Lukacs bergabung dalam lembaga itu untuk menyusun buku-buku teks yang "meringkas" pikiran Marx, Engels, Lenin dan Stalin untuk disebarkan ke lembaga-lembaga pendidikan sebagai bacaan wajib. Penelitian dilakukan untuk menjadikan Marxisme-Leninisme sebagai induk dari segala ilmu. Dari teori kritis untuk memahami dan mengubah masyarakat, Marxisme diubah menjadi gugus doktrin siap pakai untuk membentuk "manusia sosialis seutuhnya". Arti penting karya penelitian dan pemikiran tidak lagi diukur berdasarkan pencapaiannya dalam menjabarkan dan menjawab masalah, seperti yang dilakukan Marx sendiri, tapi seberapa jauh karya itu sejalan dengan Marxisme versi Soviet.

Seperti di AS, kedekatan pada birokrasi adalah jalan bagi intelektual untuk mendapat posisi penting di lembaga pendidikan atau bekerja dalam proyek penelitian. Pejabat partai berkuasa atas pendidikan tinggi dan lembaga penelitian, memastikan bahwa tidak ada unsur liberal yang menyusup ke dalamnya.

Invasi Bisnis

Saat ini praktis tidak ada kekuatan lain yang bisa mempengaruhi kehidupan akademik dan intelektual seperti bisnis. Sejarahnya panjang tapi pengaruhnya mulai semakin dirasakan pada 1990-an seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Birokrasi di mana-mana menganggap nilai strategis lembaga pendidikan, penelitian dan kumpulan intelektual semakin berkurang. Universitas terkemuka kini harus hidup dengan dana publik yang sangat terbatas dan kadang hanya cukup untuk menutup seperempat kebutuhannya. Ini adalah pemandangan umum di negara industri maju di Amerika, Eropa dan Asia yang memproduksi 84,3% dari seluruh karya ilmiah di dunia. Di Asia Tenggara yang hanya mengeluarkan 0,1% keadaannya lebih mengenaskan lagi. Intelektual "bebas" yang selama ini berkeliaran di perpustakaan, café dan ruang diskusi berdebat tentang segala hal kini mengikuti disiplin kapitalisme untuk bertahan hidup. Sebagian mengasong tenaga dan pengetahuannya dari proyek ke proyek, sementara lainnya memilih lompat ke gerbong eksekutif menjadi bagian dari intellectual establishment yang bersekutu dengan bisnis. Museum, perpustakaan, pusat kebudayaan dan lembaga publik lain yang menjadi tempat berkarya semakin tidak bersahabat pada intelektual dan seniman yang tidak dapat mendatangkan dana.

Pemenggalan anggaran adalah jalan utama bagi masuknya bisnis ke lembaga pendidikan dan kehidupan intelektual secara umum. Universitas Berkeley tahun 1998 misalnya membuat kontrak dengan Novartis, raksasa farmasi dari Swiss yang membayar $25 juta dengan imbalan hak istimewa untuk mendaftarkan lisensi sepertiga penemuan ilmiah yang lahir dari fakultas biologi di kampus itu. Di tempat-tempat lain industri dengan teknologi lain semakin sering menggunakan kampus sebagai tempat peluncuran produk terbaru untuk menekankan bobot ilmiahnya. Hal serupa terjadi pada pusat-pusat kebudayaan ketika lembaga penyandang dana (yang seringkali terkait dengan institusi bisnis) mulai menuntut kerjasama yang mengutamakan kepentingan bisnis mereka. Restrukturisasi dilakukan dengan menutup atau mengubah isi bidang studi yang tidak menghasilkan uang. Sebagai gantinya dibuka bidang studi baru seperti manajemen dan teknologi terapan yang senapas dengan kepentingan bisnis dan nyata menghasilkan uang. Setiap tahun universitas-universitas di Amerika menerima 320.000 mahasiswa asing untuk bidang studi seperti itu dengan biaya kuliah yang mahal. Alasan lain untuk mengurangi jatah bagi ilmu sosial, filsafat dan humaniora karena bidang-bidang ini berbicara tentang nilai-nilai dasar dalam kehidupan masyarakat yang justru menjadi sasaran invasi bisnis sekarang ini.

Ilmu alam yang semula dipaksa mengikuti logika perang dan penaklukan memasuki fase baru sebagai pelayan industri dengan efek membunuh yang tidak kalah besarnya, seperti rekayasa genetik yang banyak digunakan dalam industri pertanian. Di fakultas ekonomi pengajar dan mahasiswa sudah melupakan filsafat moral yang menjadi akar ilmu mereka dan memusatkan perhatian pada kuantifikasi pertumbuhan dan strategi bisnis. Untuk melayani rakyat pekerja yang tertekan oleh pekerjaan dan terkucil dari lingkungannya, ahli psikologi berlomba membuat tulisan populer tentang cara mengatasi stress dan mengembangkan kepribadian corporate. Sementara filsuf seperti Fukuyama yang mendapat sambutan luas di sini merayakan semuanya sebagai "akhir sejarah". Sistem pengajaran pun semakin mengikuti tuntutan bisnis. Debat panjang dan diskusi mendalam dianggap tidak efisien. Pelajaran bahasa yang semula mengandalkan tatap muka pengajar-murid akan diganti oleh kursus "interaktif" di laboratorium komputer. Bagi penyelenggaranya, skema itu sangat menguntungkan karena murid tetap membayar uang sekolah yang sama sementara mereka hanya perlu membayar gaji satu-dua asisten paruh-waktu. Cara kerja lembaga pendidikan semakin menyerupai assembly-line di pabrik dan pengajar menghadapi persoalan yang sama seperti buruh pabrik: pemecatan massal, pengurangan jam kerja yang berakibat turunnya upah, tunjangan dan fasilitas lainnya.

Kalangan bisnis dengan tangkas menangkap sentimen kesetaraan, hak-hak dan nilai yang diperjuangkan kaum intelektual dan mengolahnya untuk kepentingan bisnis. Perusahaan minuman Coca-Cola misalnya memakai slogan multikulturalisme untuk menawarkan produknya ke seluruh dunia. Intelektual penganjur multikulturalisme sebaliknya dengan hati-hati merumuskan pikirannya agar tidak bertentangan dengan prinsip ekspansi pasar dan membatasi diskusinya pada kesetaraan ras, etnik atau agama, tanpa bicara perbedaan kelas yang semakin hebat.

Bebas atau Sadar Nilai?

Di zaman modern gejolak politik dan ekspansi modal semakin mempersempit jalan sepi intelektual yang ingin berpikir bebas, mandiri dan lepas dari segala kepentingan. "Segala yang padat larut dalam udara, segala yang suci dibumikan, dan manusia akhirnya didesak untuk menghadapi kenyataan hidup dan hubungan sesamanya dengan pikiran jernih," demikian Marx. Sebagian intelektual bereaksi dengan mengurung diri dalam menara gading yang semakin sempit dan ringkih, menjadi pandita tanpa umat. Tapi banyak yang memilih jalan lain untuk membebaskan diri dari kekangan. Tahun 1948 berlangsung Kongres Intelektual Dunia untuk Perdamaian di Wroclaw, Polandia. Setahun kemudian di bawah pimpinan intelekutal Prancis peraih Nobel Frederic Joliot Curie dibentuk Dewan Perdamaian Dunia yang menghimpun ribuan intelektual dan sarjana dari seluruh dunia termasuk Indonesia. Dimulai dari dari kampanye menuntut penghapusan senjata atom, dewan ini terus mengecam perlombaan senjata nuklir serta petualangan militer negara-negara besar di berbagai belahan dunia. Jurnalis dan pengarang Dunia Ketiga di tahun 1950-an membentuk berbagai perhimpunan sebagai tindak lanjut politik non-blok yang dicanangkan Soekarno. Gerakan mahasiswa dan intelektual yang melanda Amerika dan Eropa 1960-an, invasi Soviet ke Hungaria 1956 dan Cekoslovakia dua belas tahun kemudian mendorong munculnya berbagai arus pikiran dan formasi intelektual baru yang menolak polarisasi ilmu dan kebudayaan akibat Perang Dingin. Di Afrika dan Amerika Latin gerakan pembebasan melahirkan tokoh-tokoh seperti Franz Fanon, Amílcar Cabral dan Paulo Freire. Mereka memilih bersekutu dengan rakyat negerinya ketimbang doktrin liberal Washington atau Marxisme Soviet.

Keberpihakan memang tak terhindarkan. Intelektual hanya bebas menentukan di sisi mana mereka akan berdiri dan berkarya.

● Kontroversi Gen Manusia Unggul

● Intelektual Menabuh Genderang Perang

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, Razif.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 3: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Intelektual Pembangun Rezim

Tim Media Kerja Budaya

Menjelang akhir kekuasaannya Soeharto berpidato,�negeri ini tidak bisa dipimpin oleh satu golongan saja.� Sejak awal ia sadar bahwa Orde Baru tidak mungkin bertahan mengandalkan kekuatan militer belaka. Dalam 32 tahun kekuasaannya ia bersekutu dan merekrut ribuan intelektual yang turut membangun, mempertahankan dan memelihara rezim tersebut. Pihak militer sendiri menganggap kaum intelektual ini sebagai kelompok strategis yang �berpengaruh besar terhadap kesadaran masyarakat dan menguasai aspek teknis dari pembangunan�. Sebaliknya sebagian intelektual juga menyambut kehadiran �perwira intelektual� yang berperan penting menjaga stabilitas dan mendorong modernisasi, seperti yang ditulis Rosihan Anwar dalam Peranan Intellegentsia Militer dan Pendidikan dalam Proses Modernisasi.

Mayoritas menteri anggota kabinet-kabinet pembangunan sejak Soeharto berkuasa adalah orang terpelajar yang mendapat gelar dari berbagai universitas di dalam maupun luar negeri. Mereka didukung oleh staf ahli dan intelektual lain mengerjakan proyek penelitian serta lulusan perguruan tinggi lainnya. Di samping itu ada sejumlah besar perwira militer yang menyesaki birokrasi sipil dari pusat sampai daerah, lulusan Seskoad atau akademi militer di luar negeri.

Pertemuan intelektual dan militer yang berkuasa sejak 1965 dimulai sekitar sepuluh tahun sebelumnya. Pengaruh Belanda yang mulai melemah sejak penyerahan kedaulatan 1949 pelan-pelan diganti Amerika Serikat yang membuka berbagai program untuk mengirim tenaga pengajar ke Indonesia dan sebaliknya merekrut sarjana Indonesia melanjutkan studinya di sana. USAID, Yayasan Ford dan Rockefeller berperan penting menyediakan dana program yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pengajar universitas sampai dinas intelijen. Tahun 1957 misalnya dicetuskan proyek senilai $150 juta yang melibatkan Henry Kissinger dan William Bundy dari CIA yang bertujuan �merancang ideologi bagi para intelektual di belahan dunia lain mulai dari bidang sosial, penciptaan seni sampai metodologi ilmiah�.

Di Indonesia salah satu tokoh pentingnya adalah Guy J. Pauker, yang berhubungan dekat dengan perwira militer dan elite politik Jakarta. Bersama elite militer Indonesia ia merancang program pendidikan di sekolah staf komando (kemudian menjadi Seskoad) untuk melatih para perwira muda agar memilih pengetahuan cukup di bidang lain seperti ekonomi, sosial-politik dan komunikasi di samping strategi militer. Di kalangan sipil Bruce Glassburner memimpin sebuah tim dari Berkeley untuk menandingi pengaruh Belanda dan pemikiran Soekarno yang semakin dominan. Mereka merekrut sarjana dari berbagai universitas terkemuka untuk belajar di AS dan sebaliknya mengirim tenaga pengajar di bidang administrasi bisnis, perencanaan ekonomi dan statistik.

Menjelang 1965 peran mereka semakin penting. Dalam sebuah memorandum Februari tahun itu, pejabat CIA melaporkan perkembangan operasi rahasia yang antara lain bertujuan �menyiapkan pengganti pemerintah Soekarno yang anti-komunis�, melibatkan perwira militer, kalangan intelektual sampai seniman. Operasi yang sukses tentunya dan mantan dubes Marshal Green pun menilai proyek pendidikan dan operasi itu sebagai �investasi kita yang paling berharga bagi masa depan Indonesia�. Dengan bangga ia melaporkan bahwa para pengambil keputusan terpenting di bidang ekonomi adalah lulusan Harvard dan Berkeley, sementara perwira militer yang terlibat kup dan kemudian tampil memimpin adalah lulusan akademi militer AS.

Kumpulan laporan rahasia yang baru-baru ini diumumkan untuk ditarik kembali oleh pemerintah AS tentu tidak menyebutkan penyingkiran ribuan intelektual kiri pada saat bersamaan. Sebagian mereka dibunuh atau hilang tanpa bekas, sementara lainnya ditangkap dan dibuang atau tidak bisa kembali dari luar negeri. �Ini adalah periode kehilangan yang jelas merugikan proses perkembangan dan kemajuan ilmu,� kata filsuf Karlina Leksono-Supelli. Disingkirkannya kekuatan kiri dan dukungan negara industri maju memberi jalan bagi tumbuhnya persekutuan intelektual-politisi-militer yang ditegaskan di hadapan publik dalam Seminar Angkatan Darat pada Agustus 1966. Dalam seminar ini mereka merumuskan landasan bagi rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Orde Baru.

Memeluk Pasar Bebas

Persekutuan paling kuat terjadi di bidang ekonomi, yang melibatkan ahli ekonomi Indonesia, pemilik modal, bankir, militer dan politisi dari dalam maupun luar negeri serta lembaga keuangan internasional. Tujuan resminya adalah �memulihkan ekonomi Indonesia�, yang dalam kenyataannya berarti mengubah haluan ekonomi Indonesia memeluk kapitalisme pasar bebas. Media massa menyokongnya sebagai pilihan rasional di tengah kemerosotan ekonomi dan kesulitan hidup yang makin menjadi.

Saat Jenderal Soeharto menguasai pemerintahan sepenuhnya tahun 1967 para ahli ini mulai menduduki posisi penting dalam kabinet. Di Departemen Perdagangan tampil Sumitro Djojohadikusumo (Rotterdam 1939) dan Subroto (Harvard 1964), sementara Bappenas dipimpin oleh Widjojo Nitisastro (Berkeley 1961) dan Emil Salim (Berkeley 1964) sebagai wakilnya. Mohammad Sadli (MIT 1956) menjadi ketua Tim Teknis Penanaman Modal Asing sementara Barli Halim (Berkeley 1969) duduk di Departemen Industri. Dominasi lulusan Universitas Berkeley membuat mereka kerap disebut �Mafia Berkeley�, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh jurnal Ramparts di AS.

Dalam program pemulihan ekonomi itu mereka sebenarnya lebih memainkan peran public relations guna menarik modal asing masuk. Bulan November 1967 mereka menghadiri konperensi di Jenewa yang diprakarsai James Linen, pimpinan Times Inc. untuk memperkenalkan program Orde Baru di hadapan wakil-wakil perusahaan multinasional raksasa. Ahli sosiologi Selo Soemardjan yang menulis laporan khusus pertemuan itu mengatakan bahwa delegasi Indonesia berangkat tanpa persiapan dan pengalaman. Satu-satunya sasaran adalah menarik minat para investor untuk mengalirkan modalnya ke Indonesia dan menerima segala persyaratan yang ditetapkan oleh mereka.

Selama tahun-tahun pertama Orde Baru hampir semua aturan dan kebijakan mengenai ekonomi sesungguhnya dibuatkan rancangannya oleh IMF, Bank Dunia, USAID atau konsultan asing membanjiri Jakarta setelah Soekarno disingkirkan. Dalam perjanjian dengan Freeport McMoran yang sampai hari ini bercokol di Papua, ekonom Mohamad Sadli mengaku hanya minta ditunjukkan kolom-kolom yang harus ditandatanganinya. �Bagi kami yang penting adalah mendatangkan modal ke Indonesia,� katanya seperti dikutip Jeffrey Winters dalam Power in Motion.

Di masa selanjutnya persekutuan ahli ekonomi, kalangan bisnis dan lembaga keuangan internasional semakin kuat. Pendidikan tinggi, khususnya fakultas ekonomi di universitas terkemuka dikuasai oleh para pendukung pasar bebas yang menjadikannya sekolah khusus bagi calon birokrat, staf ahli atau manajer. Pemerintah AS membantu dengan dana dan tenaga teknis. Tidak kurang dari Walt W. Rostow � yang sering dikutip Jenderal Soeharto dalam pidatonya � turun tangan memberikan penilaian dan nasehat. Dalam sebuah pertemuan bulan Juli 1967 ia mengatakan, �Indonesia seharusnya membuat lembaga yang mendidik pengusaha dan manajer industri seperti Harvard Business School.�

Sejumlah �perwira intelektual� lulusan Seskoad dan akademi militer di luar negeri, secara bertahap mereka mulai mengisi jabatan-jabatan yang semula dikendalikan oleh elite sipil. Sejak akhir 1970-an bermunculan tokoh-tokoh seperti Mayjen Umar Wirahadikusumah di Badan Pemeriksa Keuangan, Kolonel Sutjipto dan Mayjen Muskita di Departemen Perdagangan, Kolonel Sumudarsono dan Mayjen Tirtajasa di Departemen Perindustrian serta Brigjen Piet Harjono dan Brigjen Tahir di Departemen Keuangan.

Di tahun 1980-an ketika rezim Orde Baru mulai dilanda kritik gencar karena kebijakan pembangunannya menyengsarakan orang banyak, intellectual establishment ini menjadi pelindung utamanya. Krisis finansial 1997 dan tumpukan hutang warisan Orde Baru tidak mengubah orientasi kalangan ahli ini yang tetap saja menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.

Ilmu Rekayasa Sosial-Politik

Sejalan dengan orientasi pertumbuhan dan pasar di bidang ekonomi, para ahli ilmu sosial merancang strategi modernisasi. Masalah terbesar di Indonesia menurut mereka adalah tetap bercokolnya nilai tradisional yang menghambat modernisasi. Karena itu diperlukan program rekayasa sosial (social engineering) yang menantang nilai-nilai itu, mengintegrasikan masyarakat pedesaan khususnya dengan ekonomi pasar, dan memperbesar peran negara serta kaum elite untuk menentukan apa yang menjadi prioritas bagi orang banyak.

Politik massa mengambang yang menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan penting � termasuk yang menyangkut hidup mereka sendiri � adalah bagian dari strategi modernisasi ini. Dalam pandangan para ahli, masyarakat Indonesia umumnya masih terbelakang sehingga diperlukan elite yang dapat menentukan arah, merumuskan konsep dan melaksanakan kebijakan. Garis pemikiran ini sesuai dengan kepentingan militer yang mengutamakan stabilitas dan kaum modal yang memerlukan kepastian bagi penanaman modalnya.

Ada bermacam peran yang dimainkan oleh kalangan ilmuwan sosial di sini. Sebagian memilih terlibat dalam operasi ketertiban yang dilancarkan militer sejak Oktober 1965. Sejumlah pengajar universitas dan mahasiswa direkrut sebagai interogator tahanan politik, sementara ahli psikologi yang bekerjasama dengan Universitas Leiden membuat klasifikasi para tahanan yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya. Ahli komunikasi Alwi Dahlan dan Hidayat Mukmin sementara itu terlibat dalam operasi penerangan Kopkamtib akhir 1968 yang antara lain bertugas, �menyebarluaskan pengertian di kalangan masyarakat mengenai bahaya laten dari sisa-sisa G-30-S/PKI maupun golongan ekstrem dan subversif lainnya�. Di masa selanjutnya Alwi Dahlan menjadi ketua BP-7 yang melahirkan program indoktrinasi negara bagi segala lapisan masyarakat.

Sebagian lain membentuk kelompok studi atau think-tank seperti Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Lembaga yang didirikan antara lain oleh Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Sofyan dan Jusuf Wanandi, serta Harry Tjhan Silalahi ini bekerjasama erat dengan aparat Opsus yang sangat berpengaruh awal 1970-an. Tahun 1971 mereka berperan besar bagi kemenangan Golkar dalam pemilihan umum, dengan menyingkirkan kekuatan politik yang potensial menjadi penghalang. Lembaga ini juga menghasilkan kajian mengenai orientasi kebijakan pembangunan, seperti 25 Tahun Akselerasi Modernisasi dan Pembangunan yang ditulis Ali Moertopo tahun 1973. Beberapa di antaranya juga aktif dalam bisnis seperti Sofyan Wanandi dan Soedjono Hoemardani yang mengurus beberapa kontrak pemerintah dengan perusahaan multinasional dari Jepang.

Di samping intelektual yang langsung terlibat dalam aksi politik dan kadang operasi intelijen ini, ada kalangan yang lebih moderat seperti Selo Soemardjan, Harsja Bachtiar, Astrid Susanto, Mattulada dan Miriam Budiardjo yang menguasai program-program studi ilmu sosial di beberapa universitas terkemuka. Dibandingkan rekan-rekannya di atas kegiatan mereka lebih �akademik�, termasuk mencari landasan ilmiah bagi konsep-konsep yang dicetuskan penguasa Orde Baru seperti �integrasi nasional� dan �manusia Pancasila�. Tapi mengikuti kerangka social engineering yang sama mereka cenderung berbicara tentang apa yang seharusnya (das sollen) ketimbang menggambarkan apa yang sebenarnya ada.

Orientasi sosialis yang didapat ilmuwan dari hubungan erat dengan Tiongkok dan Uni Soviet sebelum 1965 dikikis secara sistematis dari dunia pendidikan dengan memperkenalkan karya-karya Shmuel Eisenstadt, Lucien Pye, Gabriel Almond dan Samuel Huntington yang berbicara tentang pentingnya negara Dunia Ketiga mengikuti jalur modernisasi kapitalis. Dengan bantuan teknis serta dana dari Yayasan Ford, Rockefeller dan USAID mereka juga mengembangkan pergaulan internasional yang melibatkan ahli-ahli seperti Clifford Geertz, Karl Jackson dan Robert Jay.

Revolusi Hijau dan Transmigrasi

Masalah besar yang dihadapi Orde Baru untuk memacu modernisasi adalah pangan dan kepadatan penduduk. Sampai 1960-an Indonesia masih menjadi salah satu importir beras terbesar. Ahli ekonomi dan ilmu sosial memahaminya sebagai akibat keterbelakangan teknologi dan laju pertambahan penduduk yang pesat. Untuk mengatasi masalah pertama pemerintah mengundang ahli pertanian dari berbagai negara dan sebaliknya mengirim tenaga dari Indonesia untuk mempelajari modernisasi sektor pertanian yang dikenal dengan sebutan �revolusi hijau�.

Salah satu lembaga terpenting adalah International Rice Research Institute (IRRI) yang dibentuk di Filipina tahun 1960 dengan dukungan Yayasan Ford dan Rockefeller. Penguasa Orde Baru mulai bekerjasama dengan lembaga ini sejak Desember 1972 untuk mengembangkan alat bioteknologi, intensifikasi pertanian, pengendalian hama dan teknik mekanisasi pertanian. Banyak dari 832 ahli Indonesia lulusan IRRI antara 1963 dan 1997 yang kemudian menduduki jabatan penting dalam pemerintahan seperti Menteri Pertanian Wardojo, Syarifuddin Karama dan Farid Bahar.

Sejalan dengan doktrin modernisasi, cara pertanian lama ditinggalkan (kadang dengan paksa) dan petani diharuskan menanam bibit keluaran lembaga penelitian itu yang bekerjasama dengan bisnis pertanian. Di satu pihak terjadi peningkatan produktivitas yang mencapai puncaknya pada swasembada pangan 1984, tapi di sisi lain sistem monokultur mengganggu keragaman hayati dan juga cara-cara tradisional yang ternyata lebih efektif untuk menghadapi situasi krisis. Komersialisasi pengetahuan dan teknik pertanian membuat semakin banyak petani yang tersingkir dari tanah mereka karena tidak mampu mengikuti �tuntutan pasar� yang semakin meluas.

Masalah kepadatan penduduk sementara itu diatasi dengan program keluarga berencana dan transmigrasi. Berbekal pinjaman $820 juta dari Bank Dunia, antara 1976 dan 1992 sekitar lima juta jiwa dipindahkan dari Jawa ke berbagai daerah yang menciptakan sederet masalah baru. Ahli kependudukan, antropologi dan ilmu sosial yang terlibat dalam program ini umumnya hanya terarah pada kelayakan tempat dan kerap tidak mempertimbangkan dampak dari perpindahan manusia dalam jumlah begitu besar. Masalahnya menjadi lebih rumit ketika kalangan intelektual ini harus memasukkan kepentingan militer dalam perumusan programnya. Selama 1980-an puluhan ribu orang dikirim ke �daerah-daerah kosong� di sepanjang perbatasan Kalimantan, Papua dan Timor Lorosae. Beberapa di antaranya adalah pensiunan militer yang juga menjalankan fungsi intelijen dan mendukung kegiatan militer lainnya.

Integrasi nasional yang dirumuskan ahli ilmu sosial diterjemahkan menjadi program yang sangat bermasalah. Dalam pertemuan dengan IGGI 1985, Menteri Transmigrasi Martono mengatakan �transmigrasi di Indonesia akan mengintegrasikan semua sukubangsa ke dalam satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia.� Semua perbedaan antara kelompok etnik akhirnya akan lenyap dan yang tersisa adalah satu jenis manusia saja. Tujuan itu nampak jelas di Papua dan Timor Lorosae, di mana transmigrasi terjadi bersamaan dengan penghancuran kebudayaan setempat.

Akhir dari Orde?

Persekutuan intelektual dengan rezim tidak selamanya berlangsung mulus. Cukup banyak ilmuwan yang mengajar di perguruan tinggi, menjadi pegawai negeri dan tetap mempertahankan integritasnya walau tak dapat berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Ada juga yang semula mendukung munculnya kekuasaan militer dan ikut merawatnya selama bertahun-tahun kemudian kecewa. Sebagian berteriak lantang menentang otoritarianisme yang makin menjadi, sebagian lain tertunduk diam saat melihat pilihan di luar rezim semakin terbatas saja.

Bayangan tentang Indonesia yang modern, maju dan stabil hancur dalam tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto. Hutang luar negeri $160 milyar lebih , perekonomian yang kecanduan modal dan pinjaman selama puluhan tahun, migrasi penduduk ke kota yang diusir oleh kemiskinan di desa asalnya, maraknya impor beras yang membuat petani produk Revolusi Hijau semakin terpuruk, dan kualitas pendidikan yang amburadul. Dalam sastra keadaannya lebih tragis lagi. Saat ini penulis Indonesia yang dikenal dunia karena karyanya bisa dihitung dengan jari. Salah satu yang terpenting � jika bukan yang terpenting � adalah Pramoedya Ananta Toer, yang menulis dalam tahanan dan karyanya terus dilarang semasa Soeharto berkuasa.

Jatuhnya Soeharto Mei 1998 tidak dengan sendirinya mengubah cara pikir dan tradisi intelektual yang dibangun selama kekuasaannya. Krisis belum berakhir dan arah perubahan masih kabur. Sebagian intelektual yang turut membangun dan memelihara rezim Orde Baru mencari pegangan baru. Di tengah ketidakpastian, banjir uang dari mereka yang turut membangun kediktatoran Orde Baru, mulai dari Bank Dunia sampai USAID, datang kembali. Mereka terkena amnesia politik, seolah lupa apa yang terjadi di masa lalu, merumuskan pikiran lamanya dalam bahasa baru, �reformasi�.

● Merajut Sejarah Nasional

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, Razif.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 4: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Bergerak Melawan Arus

Tim Media Kerja Budaya

Bayangan indah tentang kebebasan dan tumbuh suburnya kreativitas dengan berakhirnya �zaman slogan� pada 1965 ternyata berantakan dalam beberapa tahun saja. Intelektual kritis seperti Soe Hok Gie dalam tahun-tahun pertama sudah menyadari tumpukan masalah yang menghadang. Ia menulis, �mulai tahun 1966 situasi berubah, tetapi hanya penguasanya saja yang berubah. Dulu atas nama Nasakom, sekarang atas nama Pancasila, Agama dan Orde Baru�. Sementara intelektual seperjuangannya sibuk mencari jabatan dan membangun pengaruh politik, ia memilih merenung tentang diskriminasi, tahanan politik dan bermacam penindasan baru.

Ia tidak sendirian. Di Papua kaum intelektual merasakan tangan besi Orde Baru dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Pada saat bersamaan ulama Islam di Jawa dan Sumatera menghadapi tekanan politik karena menghalangi kemenangan Golkar dalam pemilihan umum. Korupsi di Pertamina, pembangunan Taman Mini dan penangkapan terhadap aktivis yang memprotesnya menyadarkan intelektual kelas menengah bahwa Orde Baru tidak sejalan dengan keinginan mereka. Sebagian menggeliat berontak, mencari jalan keluar. Tidak banyak pilihan tersedia karena penguasa bergerak cepat menguasai semua bidang kehidupan.

Mereka yang kembali ke perguruan tinggi melihat situasi sudah berubah. �Kampus perjuangan Orde Baru� tak lagi menyuarakan kritik. Lagi-lagi Soe Hok Gie menulis. Kali ini tentang pelarangan buku Pramoedya Ananta Toer dan penulis kiri lain yang dinilai sama buruknya dengan pelarangan karya Mochtar Lubis di masa sebelumnya, �yang lebih menyedihkan lagi bahwa tidak ada protes dari mahasiswa jurusan sastra Indonesia, dari pengajar sastra Indonesia dan dari pengarang-pengarang Indonesia sendiri�. Kebungkaman yang terus berlanjut sampai hari-hari terakhir kekuasaan Orde Baru.

Orientasi pada modernisasi, bisnis dan stabilitas membuat kampus semakin terpuruk. Pengiriman ribuan mahasiswa untuk studi lanjut di luar negeri tidak banyak membawa hasil. Tahun 2000 Asiaweek menurunkan laporan khusus tentang seratus perguruan tinggi di Asia-Pasifik. Universitas Indonesia menempati urutan 38 dari segi reputasi akademis, disusul Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga di urutan 43 dan 77. Dalam hal penerbitan ilmiah keadaannya lebih parah. UI menempati urutan 71 disusul UGM dan Unair di urutan 76 dan 77. Alih-alih membuat penelitian yang berguna bagi kehidupan masyarakat luas, intelektual-birokrat di kampus lebih senang membuka program studi baru yang dapat mendatangkan untung banyak. Seperti dikatakan Andi Hakim Nasution (alm), perguruan tinggi sekarang lebih menjadi kilang ijazah saja.

Kemajuan infrastruktur yang dijanjikan Orde Baru pun tidak menunjang kehidupan intelektual dan budaya. Pertumbuhan kapitalisme dan banjir bantuan untuk mendukung rezim baru ini memang menciptakan perluasan kesempatan belajar. Angka buta huruf menurun drastis dan sebaliknya jumlah sarjana terus bertambah. Namun, tidak demikian dari segi kualitas. Laporan UNESCO 1998 mengungkap produksi buku di Indonesia antara 1994-96 masih jauh tertinggal di belakang Malaysia, bahkan Vietnam dan Laos yang sampai 1970-an masih dilanda perang hebat.

Mencari Alternatif

Menyadari bahwa perguruan tinggi dan lembaga pemerintah tidak dapat diharapkan, sebagian intelektual coba menciptakan ruang-ruang berkembangnya sendiri. Aksi protes mahasiswa masih berlanjut tapi semakin lemah sampai akhirnya menghilang akhir 1970-an. Lainnya membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menangani issue pembangunan, lingkungan hidup, masalah perempuan dan lainnya, dan untuk menghindari tekanan kadang memilih menjadi �mitra pembangunan� yang tentunya mempengaruhi kualitas kegiatan mereka.

LP3ES, Bina Swadaya dan Lembaga Bantuan Hukum adalah beberapa lembaga pelopornya yang dibentuk oleh aktivis muda bekerjasama dengan sejumlah intelektual yang turut mendirikan Orde Baru, seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim dan Adnan Buyung Nasution. Sebagai mitra pembangunan mereka memegang doktrin pembangunan yang sama seperti Orde Baru dan memusatkan perhatian pada apa-apa yang belum diperhatikan pemerintah. Reaksi terhadap itu melahirkan sejumlah lembaga baru yang lebih kritis terhadap konsep dan praktek Orde Baru dan mengarah pada advokasi pelanggaran yang dilakukan oleh rezim terhadap penduduknya.

Penyegaran mulai terjadi ketika bergabungnya kaum muda dan mahasiswa yang tidak lagi berharap dari pendidikan formal untuk mengembangkan pengetahuan dan kegiatan mereka. Di samping itu ada sejumlah intelektual muda yang baru kembali dari studi di luar negeri seperti Arief Budiman, Sritua Arief, Dawam Rahardjo, Farchan Bulkin, Adi Sasono dan Ignas Kleden. Mereka membawa pikiran baru, hasil kajian dan pikiran lebih terbuka dari pendahulunya, mengikuti arus radikalisasi dunia akademik AS dan Eropa selama 1970-an. Mereka giat berkeliling bicara tentang teori sosial baru, pikiran kritis mengenai pembangunan dan wilayah kajian baru dan mengajak kaum muda terlibat di dalamnya.

Dari kalangan religius muncul Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Moeslim Abdurrachman, Mangunwijaya, dan sederet nama lain yang merasa sumpek dengan kemandekan berpikir di lingkungan masing-masing. Di bidang kebudayaan bermunculan Gerakan Seni Rupa Baru dan seniman muda kritis seperti Semsar Siahaan, Moelyono dan Emha Ainun Nadjib yang tidak sekadar mengkritik penguasa tapi mencari jalan memberdayakan masyarakat luas melalui pendidikan dan kerja kreatif. Pertemuan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang dilindas haknya menciptakan lingkungan intelektual baru yang lebih kritis. Setelah 1979 beberapa tokoh intelektual kiri seperti Pramoedya Ananta Toer dan Bujung Saleh kembali dari tahanan dan meramaikan pergaulan intelektual dengan karya-karya mereka.

Pikiran kritis sempat berkembang pesat dan beberapa orang mengambil inisiatif melembagakannya agar lebih kokoh. Dengan fasilitas serba terbatas, rumah kontrakan, kendaraan umum, mesin tik dan pengawasan ketat dari aparat gerakan ini merayap perlahan mencari alternatif yang sekarat di kampus-kampus.

Bekerja dalam keterbatasan sering membuat kelompok-kelompok intelektual ini bersimpang jalan. Saling tuding kerap terjadi antara mereka yang merasa lebih radikal dengan kalangan moderat. Gairah mengenal ide-ide baru pun sering tidak diiringi ketekunan mengembangkannya. Aktivitas politik, advokasi dan demonstrasi berhadapan dengan rezim menjadi jauh lebih menarik. �Aktivis politik ini pada dasarnya bukan intelektual secara mendarah-daging,� kata Ariel Heryanto yang kini mengajar di Universitas Melbourne. �Mereka menjadi intelektual karena keadaan darurat. Sumbangannya penting, tapi lebih seperti P3K, yodium atau kain perban. Kerja mereka sering berjangka-pendek, spontan dan bersifat sempit karena terikat isyu politik hari itu.�

Masalah lain adalah pelembagaan pikiran kritis itu sendiri. Banyak lembaga tempat intelektual kritis ini bernaung kemudian menjadi besar dan akhirnya lebih repot mempertahankan kebesarannya. Birokrasi lembaga, prosedur administrasi yang kadang berbelit, pembagian hak dan wewenang serta persaingan antar elite sering membuat pikiran dan kegiatan mandek. Ketergantungan pada bantuan memperkeruh persoalan karena program kerja dan orientasi berpikir kadang harus disesuaikan dengan keinginan pemberi dana, dan membuat aktivisnya merasa nyaman sebagai oposisi abadi. Ditambah lagi manuver mencari sekutu di kalangan elite politik dengan ilusi �memperkuat bargaining position� membawa sebagian terseret ke dalam lingkaran kekuasaan dan kehilangan daya kritisnya. Setelah reformasi mereka berbondong-bondong memasuki habitat baru sebagai anggota DPR, staf ahli menteri sampai jurubisik tokoh politik.

Antara Teori dan Praktek

Salah satu tema paling hangat dan sampai hari ini menjadi perdebatan adalah hubungan teori dan aksi. Mereka yang coba tekun mempelajari teori dan mempelajari situasi sosial dianggap �terlalu intelek� dan bermewah-mewah di tengah kebutuhan mendesak melancarkan aksi. Sebaliknya gairah aktivisme dianggap �kenakalan remaja� yang tidak punya orientasi dan arah jelas. Forum diskusi yang coba mempertemukan kecenderungan ini hampir selalu berakhir dengan gerundelan atau sumpah-serapah penuh jargon yang tak jelas ujung dan pangkalnya. Proses yang melelahkan dan akhirnya tidak membawa perkembangan apa pun bagi keduanya.

Masalahnya apa yang disebut teori maupun praktek itu seringkali bertolak dari keinginan subyektif yang diputuskan serampangan. Mereka yang menjalankan �kerja tekun� kadang berasyik-masuk dengan pikirannya sendiri, mengikuti trend pemikiran mancanegara tanpa coba melihat kegunaannya bagi lingkungan sekitar maupun menyadari asal-usulnya. Selama 1980-an kaum intelektual menggeluti pikiran kritis dengan bekal seadanya. �Kami berusaha memahami Marxisme dari perkembangan yang paling akhir seperti teori ketergantungan dan neo-Marxis, tanpa pernah mengenal akarnya,� ujar Harry Wibowo, yang sempat aktif membangun kelompok studi di masa itu. Bahan bacaan sulit diperoleh sementara perpustakaan tidak memadai, sehingga yang ada kadang diperlakukan seperti jimat yang dipercaya benar kebenarannya. Kemampuan menggertak dengan kutipan menjadi lebih dihargai ketimbang pemahaman mendalam terhadap masalah.

Teori dan konsep pun kadang terkesan dipungut dari sembarang tempat dan dilontarkan mentah-mentah. Misalnya konsep civil society yang mulai populer awal 1990-an dan menjadi jargon gerakan LSM yang paling populer sampai sekarang. Penggunaannya sudah meluas sedemikian rupa tapi jarang sekali digali mendalam, sehingga saban kali terbentur pada perbedaan definisi dan hal-hal yang sangat mendasar. Sama halnya dengan istilah-istilah reformasi, transformasi dan revolusi yang sering digunakan dan dilecehkan begitu saja. Dan intelektual pun terheran-heran ketika rumus-rumus buatannya dengan mudah diambilalih dan menjadi agenda elite politik yang kepentingannya bertolak belakang.

Kebebasan yang dinikmati setelah Soeharto mengundurkan diri menjadi pedang bemata dua. Di satu sisi orang lebih bebas melahap bacaan yang semula dilarang, mengutarakan pikirannya tanpa perlu merasa khawatir dijemput agen intel malam harinya, dan juga mendirikan lembaga baru untuk memperkuat geraknya. Tapi di sisi lain kaum intelektual, khususnya kelas menengah di kota besar, semakin sibuk dengan peran barunya sebagai �agen reformasi�. Studi, membaca dan menulis ditinggalkan karena harus menghadiri undangan seminar, konperensi dan lobby. Belum lagi kegiatan publik seperti konperensi pers, makan siang dengan jurnalis atau talk-show di televisi. Terlalu sedikit waktu untuk merumuskan pikiran sendiri apalagi duduk bersama warga desa memikirkan masalah dan mencari pemecahannya.

Belum lagi tawaran menggoda dari lembaga internasional, donor dan birokrasi yang tengah berganti rupa. �Semua itu membuat kita semakin kekurangan intelektual yang mau mengabdikan diri pada pemikiran serius dan mendalam,� kata Karlina Leksono-Supelli. �Buat apa menulis buku kalau dengan menulis beberapa lembar artikel di suratkabar saja dapat bayaran lebih besar? Buat apa melakukan kajian dengan bayaran kecil, kalau bicara di seminar tanpa makalah pun sudah dapat bayaran mahal?� Masalahnya banyak juga intelektual � yang tadinya kritis, kreatif dan produktif � tenggelam dalam kenyamanan ini dan dengan begitu mempertajam pertentangan teori-praktek di atas.

Intelektual yang merasa lebih �terlibat� sebenarnya menghadapi masalah yang tak kalah peliknya. Keengganan berdiskusi memahami situasi yang terus berubah secara serius membuat aksi-aksi di segala bidang semakin kehilangan arti. Pengenalan relatif mendalam terhadap kenyataan sosial, masalah di tingkat basis dan segala perniknya tidak diolah menjadi dasar berteori atau membentuk pengetahuan, tapi lebih seperti bintang penghargaan akan jasa-jasanya di masa lalu. Ketika gerakan protes mulai pudar kalangan ini seperti kehilangan peran, bergentayangan di kantor LSM, jalan raya atau lingkungan elite mencari cantolan baru.

Menghadapi Zaman Baru

Situasi yang terus berubah menghadirkan tantangan dan persoalan baru bagi kalangan intelektual kritis ini. �Konyol kalau sekarang masih ada aktivis yang tetap bernostalgia pada zaman emas kepahlawanannya, masih bermimpi menjadi intelektual dan pejuang kemapanan Orde Baru padahal medan politik, represi dan konteks tantangan bangsa sudah berubah besar,� kata Ariel Heryanto. Globalisasi neoliberal, menyebarluasnya kekerasan, semakin canggihnya teknik represi dan penaklukan membuat �gaya lama� tak sanggup bertahan apalagi berperan. Kerjasama antar intelektual dari segala jurusan dan latar belakang akhirnya tidak terelakkan.

Di satu pihak penelitian akademik, kemampuan berteori dan penguasaan bahasa untuk mengikuti perkembangan yang cepat semakin diperlukan. Universitas yang memang seharusnya memiliki fasilitas cukup dan menyediakan semua keperluan itu. �Namun sebelum kita bisa berharap dunia pendidikan cukup tanggap terhadap masalah sosial, hak asasi manusia dan lainnya, penting sekali menghadirkan pendidikan di semua tingkat yang membuat peserta didiknya berani berpikir,� kata Karlina Leksono. Artinya diperlukan perubahan yang mendasar mengingat pendidikan cenderung mematikan keberanian dan menanamkan kepatuhan pada apa yang dipikirkan guru dan dosennya.

Komitmen sosial yang membedakan intelektual kritis dari birokrat kampus atau LSM di pihak lain tumbuh dari interaksi kalangan intelektual ini dengan persoalan rakyat. �Kondisi yang terbaik untuk memunculkan pemikiran bagus adalah sinergi antara LSM dengan perguruan tinggi. Pemikiran akademis dan pengalaman kerja di lapangan sama-sama penting. Pengalaman kerja di lapangan memberikan landasan empiris, sedangkan pemikiran akademis memberikan landasan teoretik,� ujar Didiek Surjanto, aktivis dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Kerjasama dengan aktivis yang sibuk bergulat di basis juga perlu ditingkatkan agar tidak terkurung dalam tempurung arogansi masing-masing. Pertengkaran kontra-produktif yang hanya ingin menunjukkan keunggulan masing-masing sudah waktunya ditinggalkan. Perjuangan bersama untuk menciptakan kehidupan intelektual yang lebih sehat dan bermutu memerlukan lebih dari sekadar komitmen, tapi pemikiran mendalam tentang apa yang harus dilakukan dan dari mana memulainya. Bukan hanya keberanian menantang dan menjebol tapi kemampuan dan ketekunan membangun.

● Gagasan adalah Senjata

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, Razif.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 5: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Berpikir dan Mengubah Dari Bawah

Tim Media Kerja Budaya

Ketika krisis melanda sektor keuangan dan ekonomi Indonesia, intelektual juga ikut kalut. Intelektual-birokrat, LSM dan aktivis tergopoh-gopoh memahami perubahan yang cepat dan merumuskan keadaan sebisa-bisanya dengan pikiran yang lama tak diuji. Di kota-kota besar mereka berserakan, masuk ke partai politik karena merasa dapat berbuat sesuatu di dalamnya, mendirikan LSM baru karena yang lama dinilai �tidak responsif terhadap keadaan�, ikut berdiri di depan gedung DPR karena merasa harus berbuat sesuatu sesegera mungkin.

Banjir bantuan dari lembaga internasional memberi mereka tempat baru sebagai �konsultan� atau �staf ahli� melafalkan konsep dan teori mengatasi krisis. Media massa juga datang membantu, menjadikan mereka �komentator� dan �pengamat�, menyediakan ruang bernapas yang tak terlalu banyak menuntut. Asap dasar masih bisa mengepul dan citra sebagai intelektual pun tidak luntur. Ada juga yang merasa nyaman dan berkata, �kalau Indonesia aman, kita-kita ini bisa kehilangan pekerjaan sebagai pengamat. Lebih baik kacau saja terus, agar ada yang bisa kita tulis.�

Sementara itu jauh dari hiruk-pikuk pusat kekuasaan dan serbuan kamera media massa, orang berusaha mencari jawaban sendiri atas apa yang menimpa mereka. Celoteh intelektual kelas menengah semakin tak menarik, karena tidak memberi penjelasan apalagi jalan untuk memecahkan masalah mereka. Titik pijaknya sederhana saja yakni pengalaman hidup sehari-hari dan keinginan bertahan hidup. Berpikir dan merumuskan masalah serta mencari pemecahan menjadi kewajiban, yang jika tak dilakukan bisa berakibat buruk bagi kehidupan.

Di pedesaan, ketimpangan dalam pemilikan tanah dan keterbatasan akses terhadap modal dan alat pertanian mendesak petani melongok cara-cara bertahan hidup yang sempat dibasmi agen Revolusi Hijau karena dianggap tidak modern. Sistem lumbung padi kembali dihidupkan untuk menghadapi musim paceklik dan naiknya harga beras. Pengetahuan turun-temurun tentang cara bercocok-tanam, kesehatan dan budidaya ternak yang mampu memperhitungkan musim dan iklim dengan tepat kembali dipelajari, ditularkan dari mulut ke mulut. �Intelektual yang muncul di basis-basis umumnya mulai sebagai �provokator� bagi tetangganya dan berkembang menjadi agen perubahan bagi masyarakatnya,� ujar Didiek Supriyanto.

Ia memberi contoh seorang pemuda dari kampung nelayan di Palangkaraya yang mengandalkan hidupnya pada aliran-aliran sungai. Pada 1998 karena pencemaran sungai semakin buruk ia mengajak sepuluh keluarga di kampungnya pindah dari tepi sungai mendekati jalan raya. Di pemukiman baru mereka memelihara ikan di kolam yang tidak selalu mencukupi kebutuhan. Kesulitan hidup mendorong mereka berkumpul dan berpikir, lalu melahirkan gagasan merawat sepetak hukum di belakangan pemukiman yang baru untuk menanam beragam pohon dan tanaman yang bermanfaat. Lurah setempat memberi jatah hutan seluas 50 hektar untuk dikelola secara lestari. Gerakan penyelamatan diri dan alam ini kemudian menular kepada warga lainnya dan dalam waktu singkat berhasil menghimpun 172 keluarga menggarap lahan seluas 400 hektar.

Lain lagi cerita dari Parbaungan, Sumatera Utara. Masyarakat di desa pesisir itu selalu menghadapi abrasi dan terpaan angin kencang yang semakin hebat karena ditebangnya hutan bakau dan bermunculannya tambak-tambak ikan. Karena itu mereka mencari jalan untuk kembali menanami pantai dengan tanaman bakau. Usaha pertama menggunakan bibit tanaman yang dibeli di kota gagal. Setelah sebulan ditanam tanamannya mengering dan mati. Penggunaan biji tidak lebih baik, karena sebelum sempat berkembang tanamannya habis dimakan keong laut. Teknik baru dicari dan yang paling efektif ternyata menggunakan kondom untuk merenduk tanaman selama dua minggu agar sempat tumbuh berdaun. Sebagai temuan kampung yang tak memerlukan biaya, teknik itu dengan cepat meluas.

Membangun Keyakinan dan Kekuatan

Upaya membangun kembali sistem pengetahuan tradisional dan kerjasama di antara orang kampung menambah kepercayaan diri. Predikat �orang kampung yang tak tahu apa-apa� mulai dipikir ulang secara kritis dan dalam situasi krisis mereka mulai melihat betapa �orang yang tahu segala� tak mampu berbuat apa-apa. Di kepulauan Maluku, para kewang (kepala adat) sudah lama tahu bahwa sistem trawl dan pukat harimau mengganggu habitat ikan laut, tapi tidak mampu membantah saat kaum cerdik-pandai, pemodal dan birokrat berbicara tentang efisiensi, modernisasi, produktivitas dan sederet konsep lain yang tak mereka pahami. Ketika krisis datang dan ikan semakin langka tak satu pun yang datang memberi penjelasan apalagi jalan keluar. Akhirnya mereka kembali mengaktifkan sasi atau larangan menangkap ikan saat musim bertelur yang telah dikenal berabad-abad lamanya.

Sikap kritis yang tumbuh bertemu dengan bermacam pikiran yang dibawa kalangan intelektual-aktivis, melahirkan persekutuan baru untuk menjelajahi kenyataan hidup yang terus berubah. Aksi mempertahankan tanah adat dan mengelola hutan bersama menjadi landasan berkembangnya gerakan menghadapi ekspansi perkebunan dan pertambangan yang semakin menjadi-jadi semasa krisis. Studi mendalam dilakukan di tingkat kampung mengenai asal-usul dan sejarah tanah untuk menghadapi klaim dan manipulasi yang sering dilakukan birokrat setempat. Pemetaan partisipatif yang dikembangkan sebagian LSM berhadapan dengan manipulasi �ilmu ukur tanah� yang dilakukan birokrat dan intelektual pendukungnya.

Di sektor industri perkotaan pun demikian. Kaum buruh yang terlibat pemogokan menyiapkan bahan-bahan studi yang mendalam tentang keadaan di pabrik masing-masing. Saat aksi mogok dilancarkan, mereka mencatat peristiwa lebih rinci dari jurnalis yang terlambat datang maupun peneliti universitas yang hanya membaca beritanya dari suratkabar. Kebiasaan membuat kronologi dan mengorganisasi informasi berkembang menjadi bahan dasar untuk mengkritik intervensi militer dalam urusan perburuhan, bahkan sampai bahan pendidikan.

�Jika ada buruh yang terkena PHK, biasanya terjadi diskusi antar mereka. Pernah proses ini ditranskripsi dan hasilnya dibandingkan dengan kebiasaan pengacara yang meminta keterangan dari kliennya. Ternyata fakta yang dikumpulkan lebih luas, tidak hanya fakta yang perlu untuk mendukung proses hukum, tapi juga memahami PHK dalam konteks konflik buruh dan majikan di perusahaan,� kata Fauzi Abdullah, aktivis buruh di Bogor. �Hasilnya pun bisa dipakai untuk memberi motivasi, melakukan pendidikan dan kegiatan lainnya.�

Hubungan dengan dunia luar seperti aktivis LSM, mahasiswa, serikat buruh dan kalangan intelektual menjadi penting walau tak selalu menentukan. �Kontak dengan dunia luar inilah yang melahirkan pemikiran alternatif,� katanya. Kalangan intelektual ini membawa pendidikan partisipatoris yang tidak sekadar memperkenalkan ide-ide tapi coba menggali dan mengembangkan pengetahuan yang ada di kalangan petani, rakyat, nelayan dan lainnya. Metode pedagog radikal Paulo Freire bertemu dengan kebiasaan kumpul dan ngobrol menghasilkan bermacam pemikiran dan langkah konkret baru menyelesaikan masalah. Dari proses pergulatan dengan realitas ini bermunculan � meminjam istilah Antonio Gramsci � intelektual organik yang berpijak di basis. �Usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup membenturkan mereka pada kenyataan dan dari sana muncul beragam pengetahuan yang bermakna,� ujarnya.

Gerakan aktivis turun ke basis sudah dimulai sejak 1980-an, ketika gerakan LSM dan intelektual kelas menengah semakin sibuk dengan keperluannya sendiri. Gagasan awalnya adalah �mengintegrasikan diri dengan rakyat�, mengikuti slogan gerakan radikal 1960-an. Tidak banyak yang dikerjakan awalnya kecuali menangkap keluhan warga yang menjadi korban pembangunan Orde Baru. Di Papua, Arnold Ap, kepala museum Universitas Cendrawasih menggunakan pengetahuan antropologinya untuk menggali kebudayaan dan kesenian suku-suku. Hasilnya ia kembangkan menjadi kumpulan lagu dan tarian yang membangun identitas kultural orang Papua. Bersama kelompok Mambesak ia berhasil membangun gerakan kebudayaan yang sangat signifikan, tapi sayangnya tidak pernah disinggung dalam �kritik kebudayaan� semasa Orde Baru.

Di kepulauan Maluku, Roem Topatimasang yang semula aktif dalam lingkungan kampus dan LSM mulai turun ke kampung untuk menghidupkan kembali lembaga adat menghadapi birokrasi dan ekspansi perusahaan tambang multinasional. Kerjasama dengan bermacam kelompok masyarakat melahirkan dewan adat di beberapa kampung. Mereka aktif menggali pengetahuan setempat mengenai kekerabatan, organisasi sosial dan menyelenggarakan pertemuan yang lebih efektif menjawab masalah keseharian ketimbang sidang DPRD atau lokakarya kantor pemerintah. Dalam salah satu pertemuannya para kepala adat meminta agar sejumlah perusahaan tambang dan HPH menghentikan operasinya karena menyebabkan kehancuran kebudayaan dan kehidupan masyarakat setempat. Sebuah pesan yang seandainya dipelajari dengan baik akan membantu mencegah meluasnya kerusuhan di wilayah itu.

Tidak semua aktivis berangkat dari kampus ke kampung. Hedar Laujeng misalnya berangkat kuliah sebagai anak kampung yang memilih kembali ke habitatnya setelah meraih gelar. Sementara mahasiswa sezamannya sibuk demonstrasi ia tekun mempelajari bidangnya dan kembali ke Palu, kota asalnya. Setelah menjadi pengacara selama beberapa waktu ia memilih bekerja bersama orang Pakava di dataran tinggi Sulawesi Tengah. Kehidupan di kampung sejak kecil tidak membuatnya merasa �turun ke bawah� membawa pengetahuan, tapi sesama orang kampung yang berbagi pengetahuan. Ia menghargai kerja ilmiah sebagai alat memahami persoalan yang dihadapi orang banyak, sebagaimana melihat pentingnya sistem pengetahuan tradisional untuk menjadi tempat berpijaknya bermacam teori yang datang dari luar.

Mengembangkan Pikiran Kolektif

Gerakan intelektual organik di tingkat basis ini mungkin masih terlalu muda untuk dinilai pencapaiannya. �Mungkin istilah alternatif masih kegedean,� kata Fauzi Abdullah. Tapi dari apa yang berkembang sejauh ini terlihat bahwa usaha memahami kenyataan hidup yang langsung membawa para pesertanya kepada bermacam-macam issue yang semula tak terjangkau karena dibungkus konsep-konsep hebat yang tak dimengerti. Istilah seperti neoliberalisme, globalisasi, krisis finansial dan sebagainya memang dirasa asing dan berjarak. Tapi tidak berarti bahwa semua itu tidak ada hubungannya dengan kenyataan hidup mereka. Justru sebaliknya, masyarakat di basis mengalaminya langsung dan mengembangkan pengertian maupun istilahnya sendiri.

Usaha membela hak-hak rakyat atas tanah biasanya berawal dari pencatatan kasus, khususnya perlakuan pihak yang mereka hadapi, mulai dari perusahaan tambang atau perkebunan, sampai birokrat setempat dan aparat keamanan. Kalangan aktivis-intelektual kemudian membawa pengetahuan mereka tentang ekspansi modal atau kapitalisme, globalisasi neoliberal, sistem hukum dan catatan kekerasan aparat keamanan yang memberi kerangka pada pengalaman nyata itu. Pertemuan antar basis selanjutnya memungkinkan orang bertukar pengalaman dan membuat abstraksi yang berujung pada gugus pengetahuan yang disebut teori. Fungsi kritik dari teori yang dipelajari di universitas menjadi konkret dan sebaliknya masyarakat yang mengalami persoalan secara langsung dapat mengenali kasusnya dalam kerangka lebih luas.

Sementara analisis kritis seringkali berhenti pada upaya memahami masalah, kerangka pengetahuan yang berkembang dalam situasi ini biasanya bersambung dengan pemecahan masalah dan memberi dasar untuk membayangkan masa depan lebih baik secara konkret. Seperti penggunaan pupuk organik dari bahan sederhana. Di samping memecahkan kesulitan yang dihadapi petani untuk merawat tanamannya praktek ini sekaligus memotong ketergantungan pada industri kimia yang menjadi ciri pertanian modern a la Revolusi Hijau dan menggali kemungkinan mengembangkan pertanian yang berdaya.

Di Wonosobo gerakan petani hutan berhasil merumuskan pengamatan dan pengalaman mereka menjadi kritik ampuh untuk menilai hasil kerja pemerintah dalam pengelolaan hutan dan perawatan lingkungan. Dengan perhitungan cermat mereka mengatakan bahwa kebijakan Perhutani menanam pohon pinus di lahan kosong justru membuat resapan air semakin berkurang dan sebagai gantinya mengusulkan penanaman pohon jati. Berbekal pengetahuan dan pengalaman ini akhirnya mereka memberanikan diri menangani pengelolaan hutan di wilayahnya, menentukan aturan main dan membangun perangkat kelembagaannya. Keinginan sederhana merawat hutan yang menjadi sumber penghidupannya berkembang menjadi gugus pengetahuan yang lengkap mengenai tatanan sosial, kekuatan birokrasi dan sekaligus langkah perubahan yang konkret.

Ada banyak kisah pencapaian semacam itu, namun sedikit sekali usaha merekam dan mengembangkannya. Pemerintah jelas tidak menaruh perhatian, mungkin karena sudah terlanjur menganggap rakyat bodoh dan tidak berdaya mengikuti doktrin massa mengambang Orde Baru. Pendidikan kejuruan tidak terarah pada pengembangan pengetahuan lokal, tapi justru sebaliknya mencetak agen modernisasi yang bertugas mengubah �cara pandang tradisional�. Semasa Revolusi Hijau misalnya penyuluh pertanian dan birokrat lokal mewajibkan petani memakai bibit buatan pemerintah karena bibit lokal yang dipelihara selama puluhan mungkin ratusan tahun dianggap tidak produktif. Hasil temuan yang diwariskan bergenerasi itu pun terancam punah dan kerugiannya semakin dirasakan ketika krisis melanda pertanian �modern� sekarang ini.

Kalangan aktivis-intelektual juga tidak selalu menjalankan tugas menjembatani pengetahuan ini. Kadang mereka justru menganggapnya bertentangan atau bahkan bertolak belakang sehingga gerakan mengembangkan pikiran kolektif itu sulit berkembang. Ada semacam romantisme yang menganggap daya-pikir rakyat di basis sebagai sesuatu yang sakral, tidak boleh diutak-atik apalagi dicampuri dengan pikiran modern. Ada juga yang kemudian mengambilalih dan mengklaimnya sebagai milik. �Saya melihat fenomena seperti itu,� kata Lely Zailani dari Parbaungan, Sumatera Utara. Sementara aktivis terus bertambah pengetahuannya karena memungut pikiran dan temuan di basis-basis, masyarakat tetap saja terbatas karena tidak mendapat kesempatan mengembangkannya.

Menurutnya, tugas lembaga, aktivis atau siapa pun yang terlibat dalam proses pendidikan bersama ini adalah memberi kerangka kerja untuk melakukan inventarisasi dan dokumentasi agar dapat disebarluaskan kepada masyarakat. Beberapa lembaga yang bergerak di bidang pertanian dan pengobatan tradisional sudah mulai melakukannya dengan mencetak buku, manual dan bahkan membuat video tentang praktek-praktek masyarakat di bidang itu. Bagaimanapun usaha itu masih terbatas mengangkat pengetahuan lokal agar dapat diserap kelas menengah, sementara transfer pengetahuan dari basis ke basis yang lebih diperlukan masih sangat terbatas.

Beberapa yang lain coba melakukannya dengan merekrut cerdik-pandai di pedesaan ke dalam lembaga masing-masing, agar dapat duduk setara dan ikut menentukan kebijakan lembaga. Sayangnya upaya ini seringkali berakhir dengan dibentuknya LSM baru yang membuat mereka terseret tarik-menarik kepentingan lembaga dana, administrasi dan birokrasi, atau menjadi sasaran partai politik yang mencari tokoh lokal untuk menarik pemilih. Pekerjaan di basis pun akhirnya dilupakan dan menjadi bagian dari elite baru yang semakin gagap bergaul dengan lingkungannya sendiri.

Langkah penting untuk mengatasi berbagai problem ini adalah menyediakan ruang diskusi, tukar pikiran dan pengalaman terus-menerus. Seminar, konperensi, pertemuan atau sejenisnya bisa menjadi efektif jika tidak bergantung pada jadwal aktivis-intelektual yang selalu sibuk atau program LSM yang ketat perencanaan dan laporannya. �Saya berpikir tentang tempat di mana teman-teman itu bisa menginap, diskusi di antara sesamanya atau dengan narasumber. Di tempat itu juga tersedia bahan bacaan dan fasilitas menulis. Tidak perlu ada program ketat, semuanya longgar dan bergantung pada keperluan dan keinginan,� kata Fauzi Abdullah.

Tempat Pendidikan Tinggi

Universitas, sekolah tinggi atau akademi hampir tidak berperan dalam upaya ini dan membuktikan bahwa lembaga pendidikan tinggi dikontrol oleh kepentingan modal dan birokrasi negara. Dari puluhan ribu sarjana yang lulus dari perguruan tinggi tiap tahunnya, tidak sampai 0,1% yang membantu proses pengembangan pikiran kolektif semacam itu. Sepintas lalu ini nampak seperti pilihan yang wajar mengingat kegiatan itu tidak dianggap pekerjaan atau sekadar aktivisme yang bisa dikerjakan ketika ada waktu luang. Tapi jika diperhatikan lebih seksama maka terlihat bahwa mayoritas lulusan universitas dan kalangan intelektual yang terbaik dalam setiap angkatan kemudian bekerja pada birokrasi negara, perusahaan multinasional dan lembaga lain yang justru menggilas sistem pengetahuan yang berkembang di tingkat basis.

Masalahnya tidak lain karena dana pendidikan yang disediakan pemerintah begitu kecil sehingga perguruan tinggi harus mencari uang sendiri dan salah satu sumber utamanya adalah industri. Sebenarnya tidak jadi masalah seandainya perguruan tinggi dan lembaga penelitian tetap mempertahankan kebebasan dan prinsip ilmiah. Tapi dalam belasan tahun terakhir kepungan industri dan birokrasi semakin hebat sehingga ruang kebebasan itu semakin sempit saja. �Kecenderungannya sekarang lembaga pendidikan justru memperparah situasi karena ikut menjadi kapak pemecahbelah yang mempertajam kesenjangan sosial,� kata Karlina Leksono. �Tidak mudah bicara tentang teknologi berorientasi kerakyatan ketika perguruan tinggi berkiblat ke pasar kerja yang normanya semata merupakan pengejawantahan sistem ekonomi kapitalis.�

Alih-alih menuntut perbaikan nasib, dosen lebih sibuk mengejar setoran dapurnya dengan mengajar banyak matakuliah dan terlibat proyek penelitian yang kadang tak ada hubungannya satu sama lain. Gerakan mahasiswa sendiri � yang sering mengklaim dirinya gerakan moral-intelektual � tidak berbuat banyak dan lebih asyik dengan tema-tema besar seperti kepemimpinan nasional dan amandemen UUD 1945. Tidak sedikit yang setelah lelah berjuang ingin �memetik hasil� dengan menjadi bagian dari lingkungan elite yang semula dikritiknya.

Kalau pun ada hasil penelitian dan kajian yang berguna, biasanya kemampuan menyebarluaskan dan menjadikannya bagian dari pengetahuan masyarakat sangat terbatas. Belum lagi arogansi sebagai �kaum terpelajar� � yang dipupuk melalui pemberian gelar, pangkat dan penghormatan lainnya � membuat jarak dengan lingkungannya semakin besar.

Tentu saja di mana-mana dan dalam hal apa pun ada perkecualian. Di berbagai tempat kita masih bisa menjumpai intelektual dari perguruan tinggi dengan komitmen dan bekerja tekun membantu masyarakat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Memang jumlahnya semakin sedikit, tapi ada. Dan menjadi tanda bahwa harapan perubahan tak sepenuhnya sirna.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 6: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Kembangpala Meretas Hidup Sehat

André

“Orang yang sehat adalah mereka yang hidup dalam rumah yang sehat dengan makanan sehat dalam lingkungan yang secara merata sesuai untuk kelahiran, pertumbuhan, bekerja, sembuh dan mati; mereka didukung oleh budaya yang menerima kesadaran batas-batas populasi, penuaan, pemulihan yang tidak bisa tuntas, dan bahaya kematian yang selalu mengancam. Manusia yang sehat tidak memerlukan campur tangan birokrasi untuk kawin, melahirkan, berbagi rasa dengan sesama dan mati.” (Ivan Illich, Batas-batas Pengobatan: Perampasan Hak untuk Sehat)

Kondisi kesehatan di Indonesia semakin menurun ketika krisis ekonomi melanda pertengahan 1997. Masyarakat dengan kehidupan ekonomi lebih baik cenderung menikmati kualitas kesehatan lebih baik pula, karena mampu memperoleh makanan yang sehat dengan kandungan gizi cukup dan mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Sebaliknya masyarakat yang lemah dalam bidang ekonomi tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang semakin mahal. Jangankan mendapat pelayanan kesehatan yang baik, mengusahakan makanan sehari-hari dengan pasokan gizi yang memadai saja terkadang sudah sulit. Setiap tahun masih ditemukan sekitar 1,5 juta kasus malaria dan puluhan ribu kasus TBC. Lebih dari separuh perempuan hamil masih terserang anaemia dan masih banyak orang yang meninggal karena penyakit yang sesungguhnya mudah disembuhkan.

Situasi semakin buruk karena menurunnya kemampuan mereka mengakses fasilitas pelayanan umum seperti listrik dan air bersih. Di daerah pedesaan sampai pertengahan 1990-an diperkirakan tidak lebih dari 60% penduduk memiliki akses semacam itu dan belum terlihat usaha pemerintah memperbaikinya. Anggaran kesehatan pemerintah tidak pernah lebih dari 2,5% dari total pengeluaran per tahun, jauh di bawah negara Asia Tenggara lainnya, dan bahkan masih di bawah Bangladesh atau Korea Utara yang oleh kaum elite di sini dianggap “lebih terbelakang” Alih-alih meningkatkan anggaran, krisis yang melanda Indonesia membuat pemerintah justru semakin mengurangi anggaran yang sudah kecil itu dan membiarkan industri kesehatan menetapkan harga-harga yang tak terjangkau bagi masyarakat kebanyakan.

Di tengah situasi ini timbul pertanyaan, apakah masyarakat memang harus bergantung pada pelayanan kesehatan yang disediakan oleh negara maupun swasta? Apakah tidak mungkin meretas kemandirian dan berusaha mengatasi masalah kesehatan dengan kemampuan sendiri? Sungguh ironis bahwa di tengah maraknya obat bermacam merek dengan harga mahal, hanya sedikit orang yang berusaha mencari alternatif memanfaatkan keragaman tanaman berkhasiat obat dan berbagai teknik pengobatan tradisional. Masalahnya bukan hanya karena tidak tahu, atau tidak mau tahu, tapi masyarakat cenderung dikondisikan agar tidak mengerti dan tetap bergantung pada industri kesehatan yang mahal harganya.

Kegelisahan meluas dalam masyarakat dan mendorong orang mencari alternatif. Tanggal 4 Januari 2000 sekelompok pegiat pengobatan alternatif di Jakarta yang prihatin dengan keadaan kesehatan di Indonesia membentuk lembaga Kembangpala, meminjam nama tanaman berkhasiat obat. Para pendirinya seperti Putu Oka Sukanta, Dr Roy Tjiong, Mahyudin Mendim, Baron Suwarta, Abdul Jalil, Surachman, Nur Kumalasari umumnya mendalami pengobatan alternatif seperti akupunktur dan juga giat dalam mengembangkan gerakan kesehatan alternatif di berbagai lapisan masyarakat. Suhendah Lasmadiwati, seorang pendiri yang lain, menekuni tanaman berkhasiat obat. Kegiatan itu didukung oleh seorang sekretaris dan beberapa tenaga sukarela yang memiliki kepedulian serupa.

Kembangpala mengambil bentuk perhimpunan yang tidak mencari keuntungan material dan bergerak untuk membuat masyarakat mandiri dalam bidang pengobatan alternatif. Semangat ini muncul karena melihat kenyataan masyarakat yang semakin tidak berdaya mengatasi masalah kesehatan mereka sendiri. “Bagi kami masalah kesehatan adalah entry point untuk membantu memahami permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Kami juga meyakini bahwa posisi paling lemah dalam diri seseorang adalah ketika orang tersebut sakit (terganggu kesehatannya) dan tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukannya. Karena itulah Kembangpala berpandangan bahwa membangkitkan kepercayaan diri dan menumbuhkan keberdayaan di masyarakat adalah tindakan mulia dan strategis untuk terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan setara,” ujar Abdul Jalil menjelaskan.

Mereka memandang bahwa tatanan kesehatan masyarakat Indonesia selama ini dipolakan semata hanya untuk mengutamakan keuntungan, dan menempatkan masyarakat sebagai obyek yang tidak berdaya dan kehilangan jati dirinya. Generasi sekarang ini umumnya tidak tahu menahu tanaman apa saja yang berkhasiat sebagai obat. Mereka mungkin lebih fasih menyebutkan lima merek obat kimia untuk penurun panas dari pada menyebutkan tiga jenis tanaman berkhasiat obat – untuk khasiat yang sama – di sekitarnya.

Monopoli perawatan kesehatan oleh industri pengobatan modern semakin luas praktis tanpa pengawasan dan mulai mencengkeram kebebasan tubuh kita sendiri. Orang yang ditahbiskan menjadi dokter seolah memiliki hak eksklusif untuk menentukan jenis penyakit, kemungkinan sakit dan apa yang harus dilakukan pada tubuh orang yang disebut sakit. Dalam lingkup sehari-hari jika terserang penyakit ringan, orang biasanya “belajar” dari iklan di papan reklame atau media informasi dan mempercayakan kesehatannya pada obat-obatan yang dijual bebas di warung atau apotik.

Dari sini berlangsung proses ketergantungan yang disyukuri industri obat karena dapat meraup untung sebanyak-banyaknya. Jaring ketergantungan itu semakin luas dengan diserapnya berbagai “alternatif” ke dalam pusaran industri. Trend kembali ke alam yang dipopulerkan beberapa waktu lalu sempat menarik perhatian masyarakat karena melihat bahan alamiah lebih aman dan tidak punya efek samping dibandingkan obat kimia. Awalnya para pengemuka slogan itu bermaksud memerangi dominasi industri obat, tapi dalam waktu singkat peneliti yang mendukung industri menemukan jalan untuk menciptakan obat-obatan “alamiah” juga dan memperluas ketergantungan. Karena itu Kembangpala menyadari bahwa untuk lepas dari cengkeraman industri obat – kimia maupun yang berkedok alami – orang harus menjadi mandiri dan tidak tergantung pada siapa pun dalam batas-batas tertentu.

Praktek pengobatan akhir-akhir ini memang semakin memuakkan karena tujuannya cenderung memelihara penyakit ketimbang menyembuhkan dan menghilangkannya. Orang dipacu untuk menganggap dirinya sakit tapi tanpa tahu persis apa penyakit dan penyebabnya, sehingga lari menjadi konsumen obat, penyembuhan, pencegahan yang dikelola oleh industri itu. Pelayanan kesehatan sekarang adalah cermin yang baik. Para pekerja kesehatan semakin bertambah penghasilannya kalau jumlah orang sakit semakin banyak, dan industri obat-obatan pun senang karena pendapatannya terus meningkat. Persekongkolan tenaga medis dan industri kesehatan sudah sedemikian rupa dan tidak menunjukkan itikad baik untuk mencegah apalagi menekan jumlah orang yang sakit. Justru sebaliknya, praktek yang ada cenderung membinasakan potensi orang menjadi pribadi yang unik dan otonom dengan menyerap mereka ke dalam pusaran industri kesehatan. Pasien yang ada dalam genggaman pelayanan dan pengobatan sekarang tidak bedanya dari obyek tanpa hak atas tubuhnya sendiri. Sebuah komoditas industri belaka.

Dengan misi bersama masyarakat menggali, mengembangkan dan menyempurnakan potensi kesehatan yang berakar pada pengalaman, kebiasaan hidup dan pengetahuan yang alamiah dan alternatif, Kembangpala mendambakan masyarakat yang berdaya di bidang kesehatan. Dalam pelatihan-pelatihan yang diadakan, Kembangpala mengharapkan bahwa dari beberapa peserta pelatihan yang telah lulus seleksi – baik teori, praktek dan seleksi alam – dapat menjadi seorang kader kesehatan yang tidak hanya trampil mengobati tapi juga mampu membaca semangat masyarakat untuk belajar dan menyemangati masyarakat tersebut agar ikut melatih orang lain di sekitar wilayah tempat tinggalnya. Dengan begitu akan bermunculan kelompok-kelompok yang dapat mandiri dalam kesehatan dan berkembang untuk saling belajar bersama masyarakatnya.

Menggunakan Kekuatan Sendiri

Cita-cita besar ini sebenarnya dimulai dengan fasilitas dan cara yang sangat sederhana. Metode pengobatan alternatif paling murah dan mudah adalah akupresur yang menggunakan tekanan jari pada titik-titik akupunktur. Seperti halnya tusukan jarum yang menjadi media akupunktur, dalam akupresur orang menggunakan jari tangan. Keunggulannya di samping mudah dipelajari, juga efektif dan praktis karena dapat digunakan di mana dan kapan saja. Semua orang pasti bisa melakukannya, dan yang diperlukan hanyalah kemauan belajar dan keinginan untuk mandiri dalam menjaga kesehatan. Lebih dan lebih mudah lagi jika ditambah komitmen untuk mengobati sesama. Teknik ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari pijat yang sudah lama ada dan dikenal luas oleh masyarakat, dan karena itulah akupresur dinilai sebagai teknik pengobatan yang cepat populer.

Kegiatan Kembangpala biasanya berlangsung di daerah-daerah yang serba kekurangan. Beberapa bulan lalu mereka mengadakan pelatihan di sebuah kampung di pinggir Ciliwung, daerah Gunung Batu, Bogor. Setelah pelatihan ada kegiatan bakti sosial pengobatan akupresur yang melibatkan para peserta pelatihan sebagai praktisi. Kampung ini dipilih karena letaknya di pinggiran kota Bogor dan dengan asumsi bahwa sebagian besar penduduknya hidup dalam kesulitan ekonomi. Sebelum kegiatan sekelompok aktivis Kembangpala melakukan survey dan dari sana diketahui bahwa masyarakat setempat ternyata menggantungkan hidupnya dengan jualan berkeliling, menjadi buruh atau pegawai biasa. Hanya ada beberapa orang yang hidup berkecukupan dan perbedaan mereka dengan penduduk pada umumnya terlihat jelas.

Interaksi dengan masyarakat sekitar disambung dengan tawaran mengadakan pelatihan akupresur yang ditanggapi dengan antusias, termasuk oleh birokrasi lokal seperti ketua RW dan Lurah. Masyarakat berniat belajar karena dengan kemampuan mengobati mereka dapat memberi pertolongan kepada anggota keluarga sehingga tidak perlu cepat-cepat membeli obat atau pergi ke puskesmas yang memerlukan biaya. Dengan alasan ekonomi inilah pelatihan akupresur dimulai. Antusiasme terlihat dari sangat sedikitnya biaya yang dikeluarkan oleh Kembangpala karena sebagian fasilitas, seperti tempat pelatihan, akomodasi dan konsumsi disediakan sendiri oleh masyarakat.

Belakangan ini Kembangpala juga membantu sebuah komunitas anak pinggiran untuk belajar bersama, mulai dari cara menjaga kesehatan dengan bantuan akupresur sampai diskusi tentang kasus-kasus penyakit yang sering hinggap di tubuh anak-anak ini. Diskusi seperti ini membantu pelatih maupun anak-anak untuk lebih memahami apa saja yang ada dalam tubuh masing-masing dan lingkungan sekitarnya.

Untuk mengembangkan kegiatan dan jaringannya Kembangpala turut bergabung dalam Urban Poor Consortium (UPC) sebuah organisasi yang peduli pada masalah masyarakat miskin perkotaan Jakarta. Saat banjir besar melanda Jakarta mereka mengadakan pelayanan kesehatan bersama bagi korban pasca banjir di beberapa titik kota Jakarta. Kegiatan itu disusul dengan pelatihan akupresur selama lima hari di Sukabumi yang diikuti sekitar 25 orang dari berbagai komunitas miskin kota yang diurus oleh UPC. “Fokus kegiatan kami memang ada pada masyarakat yang dipinggirkan, seperti kaum buruh, tani dan masyarakat miskin kota serta anak jalanan,” kata Abdul Jalil salah seorang pendiri Kembangpala. Alasannya karena kelompok ini terbatas kemampuannya untuk mendapatkan kebutuhan pokok padahal sesungguhnya bisa lebih berdaya. “Tapi kami tidak menutup diri bekerjasama dengan kelompok masyarakat lain yang peduli dan ingin tahu pengobatan alternatif ini.”

Selain memberikan pelatihan akupresur, Kembangpala juga menerbitkan beberapa buku mengenai akupresur dan mengembangkan pelatihan jarak-jauh yang dapat diikuti masyarakat di daerah terpencil. Tanaman obat adalah kegiatan lain yang ditekuni sebagian anggotanya dan mulai semakin luas. Belakangan ini mereka mulai mengembangkan teknik Reiki yang menyalurkan energi melalui telapak tangan sebagai media kepada pasiennya. Di samping teknik dari luar Indonesia, para pegiat Kembangpala juga mengumpulkan informasi dan meneliti kemungkinan mengembangkan metode yang berakar pada tradisi masyarakat sendiri.

Selama ini organisasi Kembangpala berdiri dan hidup dari pemasukan yang diperoleh ketika melakukan kegiatan, tapi tidak jarang mereka harus merogoh kantong sendiri untuk kepentingan lembaga. Pemasukan dari klinik dan pelatihan yang belum begitu banyak jumlahnya cukup membantu tapi jumlahnya tidak mencukupi untuk kegiatan maupun kebutuhan sehari-hari keempat pengurusnya. Karena itu mereka berusaha mencari bantuan dari lembaga lain yang mau memberi dana agar kegiatannya dapat dilakukan cuma-cuma. “Masyarakat punya kemauan belajar tapi tidak mampu membayar pelatihan. Kembangpala memang memiliki keahlian untuk mengajar tapi anggota-anggotanya juga berasal dari kalangan yang kurang mampu,” kesah seorang anggotanya.

Di samping penyakit yang umum menyerang masyarakat, Kembangpala juga aktif dalam penanganan HIV. Menurut WHO jumlah orang yang terjangkit HIV tahun 2001 mencapai 52.000 orang. Kembangpala berusaha menawarkan cara alternatif untuk memperkuat sistem pertahanan tubuh melalui akupunktur, tanaman obat dan teknik pengobatan lainnya, mengingat obat-obatan kimia untuk keperluan yang sama terlalu mahal harganya. Sebagai anggota Forum LSM Peduli AIDS di Jabotabek, Kembangpala selalu menyisipkan informasi mengenai HIV/AIDS dalam pelatihannya, terutama mengenai cara penularan dan pencegahannya. Bagian ini biasanya berkembang menjadi diskusi menarik karena masyarakat sering melontarkan pertanyaan dan pernyataan sekitar HIV/AIDS berdasarkan mitos dan informasi yang “miring”. Cukup jelas bahwa di samping mengajarkan cara mengobati orang pun perlu dibebaskan dari mistifikasi yang menyesatkan.

Kaum Tersingkir Menjadi Pelopor

Lembaga Kembangpala memang baru muncul dua tahun, tapi masing-masing anggotanya sudah cukup lama menjalankan kegiatan serupa. Keinginan berkumpul, setidaknya saat Soeharto masih berkuasa, diurungkan karena sebagian dari mereka dianggap “tidak bersih diri” dan mendapat perlakuan diskriminatif sebagai warga negara. Selama hampir 10 tahun mereka terpaksa mendekam di penjara sebagai tahanan politik karena dituduh terlibat G-30-S tanpa proses peradilan apa pun. Dalam tahanan mereka mengalami perlakuan tidak manusiawi, bertahan hidup dalam ruang tahanan yang buruk sanitasinya, serba kekurangan sandang pangan, apalagi pelayanan kesehatan.

Kegiatan mengurus sesama yang mereka lakukan sebelum masuk tahanan berlanjut dan berkembang ke bidang kesehatan. Mereka yang sebelumnya sudah menguasai akupunktur mulai menularkan pengetahuannya kepada tahanan lain yang tertarik agar dapat saling merawat kesehatan dan mengobati tahanan lain. Karena sulit mendapatkan jarum sebagai media akupunktur mereka menggunakan jari sebagai gantinya dan pelan-pelan berusaha membuat jarum sendiri dari bahan senar gitar. Dalam keadaan serba tidak pasti, kesadaran untuk mandiri dan tetap sehat adalah langkah pertama untuk bertahan.

Setelah keluar dari penjara mereka menemui masalah yang sama. Ketidakberdayaan orang untuk hidup sehat terjadi karena kemandirian dan hak untuk hidup sehat perlahan menghilang atau dirampas dengan semakin mahalnya harga obat dan pelayanan kesehatan. Bersama Kembangpala yang bertujuan memberdayakan masyarakat mereka melangkah berbekal pengalaman dalam tahanan yang menjadi sangat berharga untuk mendorong pengembangan pengobatan alternatif melalui metode gethuk tular Sekalipun disingkirkan oleh penguasa yang juga menghasut orang agar menganggap mereka musuh, komunitas eks tahanan politik ini justru menunjukkan perhatian besar terhadap kesehatan masyarakat sekitarnya dan bergiat sebagai pekerja pengobatan yang berpihak pada kaum lemah.

ANDRÉ, aktif di Jaringan Kerja Budaya

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 7: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Gerhard Richter, perupa lambang paska Perang Dingin. Cerminan bangun kapitalisme terkini?

M. Firman Ichsan

Di abad 21 ini dunia seni rupa diawali dengan kehadiran seorang perupa kontroversial asal Jerman. Lewat karya trans lukis dan fotografi, trans orisinalitas dan otentitas ia dianggap sebagai perupa yang mewakili jaman serba mungkin dan sah dewasa ini. Kritikus, kurator, museum dan patron – jaringan pengabsah karya seni negeri kapitalis – pun memasukkannya dalam kanon utama Tahun 2002 dinyatakan sebagai tahun Richter. Di semua museum negeri industri maju karya Richter dipamerkan dan menjadi koleksi permanen. Uniknya ia tidak saja berada di ruang lukis Museum of Modern Art (MoMA) tetapi juga di ruang koleksi fotografi prestisius LAC Swiss.

Gerhard Richter lahir pada 1932 di Jerman yang miskin dan sedang menuju kekuasaan fasisme Hitler, kemudian tumbuh besar di Jerman Timur dalam genggaman tangan besi kaum Stalinis. Latar belakang itu berpengaruh besar dalam pemikiran dan karyanya, dan menjadi pertimbangan penting bagi penerimaan masyarakat seni rupa dunia di kemudian hari. Richter belajar di Kunsterakademie Dresden, Jerman Timur jurusan seni visual dan pernah menjadi asisten laboratorium foto. Semenjak awal ia sudah sering berkarya dan bereksperimen melalui fotografi — dunia yang kelak dicampur adukkan dengan dispilin seni yang dipelajarinya secara akademis. Sayangnya karya-karya awal sebelum kepindahannya ke Jerman Barat sedikit sekali memperoleh publikasi, sehingga kita tidak bisa menikmati, paling tidak membandingkannya dengan yang mutakhir.

Kehidupan yang mengharuskannya patuh pada realisme sosialis dan politik isolasi yang dijalankan Jerman Timur membatasi pengetahuan Richter tentang perkembangan senirupa di belahan dunia Barat. Ia tidak pernah bersinggungan dengan Abstrak Ekspresionis, Pop Art maupun gerakan Fluxus yang sedang berkembang di Eropa sejak paska PDII hingga kunjungannya ke Kassel, Jerman Barat pada 1959. Saat itulah untuk pertama kalinya Richter tahu bahwa ada bentuk seni rupa modern yang berbeda dari apa yang dipelajarinya di Dresden. Ketika melihat karya Jackson Pollock, perupa Amerika Serikat, dan Lucio Fontana, perupa Italia, ia berpendapat bahwa karya-karya itu lebih berbicara dari karya-karyanya selama ini. Dalam abstraksi mereka tampil lebih realistis. Belakangan ia mengakui bahwa Pollock dan Fontana (God is dead, gbr .1) berpengaruh terhadap pandangannya tentang kebudayaan, serta kepindahannya ke Jerman Barat dua tahun kemudian.

Dua bulan sebelum Tembok Berlin dibangun, Richter pindah ke Dusseldorf, Jerman Barat. Di tempat barunya dia mulai berkarya dalam gaya yang cenderung avant-garde, dengan tujuan pembebasan diri dari kerangkeng realisme sosialis ala Jerman Timur. Pada 1961-1963 Richter melanjutkan studi ke Staatlichte Kunstakademie, Dusseldorf dan bekerja dengan perupa Karl Otto Gotz. Ia sempat bertemu Joseph Beuys, perupa yang berkarya mengenai peristiwa Holocaust (Instalasi ruang kamp, gbr.2). Pemikiran Beuys dan pengalaman di Jerman Barat melahirkan dasar filsafat baru dari Richter : “Senirupa seharusnya bisa dipisahkan dari sejarah seni; suatu karya lukis seharusnya fokus pada imagi (wujud representasi), bukan pada referensi; mengacu pada visual, bukan pada pernyataan”.

Lukisan foto Richter yang pertama dikenal didasarkan atas foto Brigitte Bardot. Namun demikian pemunculan pertamanya di khalayak umum justru terjadi di sebuah kompleks pertokoan Dusseldorf 1963 dalam bentuk happening art. Ia membuat suasana panggung yang menggiring penonton menikmati karya sambil berjalan, selanjutnya gerakan para penonton menjadi bagian dari karya itu sendiri.

Selama perjalanan tiga tahun Richter mengalami kebimbangan akibat dua pengaruh yang bertentangan dalam dirinya: antara aliran seni realistis-figuratif yang diperoleh di Jerman Timur dengan aliran abstrak-ekspresif yang diraih di Barat. Ia mulai tertarik pada pendekatan Andy Warhol yang menggunakan silkscreen untuk menghadirkan imej yang telah ada, kerapkali diambil dari selebriti, figur politik, atau orang terkenal lainnya. Richter dan Warhol bekerja pada periode yang sama, tetapi tidak banyak yang tahu bahwa Richter lebih dulu menggunakan imej Mao Tse Tung dari Warhol.

Richter kerap menganggap dirinya bekerja tanpa latar ideologi dan tidak tertarik untuk mencari esensi dari kesenian. Pengalaman hidup di Eropa Timur membuatnya pesimis pada pemikiran-pemikiran seni yang filosofis dan ideologis. Ia bahkan nampak lebih skeptis daripada Kelly dan Donald Judd, dua perupa AS yang masih berusaha mencari pembenaran teori bagi karya-karya mereka.

Sejak 1971 Richter mengajar di akademi seni rupa Dusseldorf, sekolah yang menjadi almamaternya. Di sini ia mulai mendapat kritik dari kalangan kiri atas ketidakpekaannya yang mereka anggap sebagai pelarian dan ketidakmengertiannya akan situasi sosial politik. Pada 1976 Richter mulai menyajikan lukisan yang disebutnya sebagai lukisan abstrak sepenuhnya: tanpa judul, tanpa keterangan apalagi penjelasan, dan membiarkan semua karyanya tumbuh sendiri tanpa batasan maupun arahan interpretasi dari dirinya. Sepanjang karirnya, Richter menolak memberi definisi, tujuan ataupun spesifikasi pada karya-karyanya maupun seni rupa pada umumnya. Namun ia menegaskan bahwa karya-karyanya lahir dari lingkungan tanpa isolasi, pandangan yang berlatar belakang pada pendidikan Jerman Timur. Di lain sisi dia tetap menolak keberadaan ideologi: “Saya tidak percaya apa pun”, yang bisa juga berarti saya percaya apa pun. Pandangan Richter ini seakan mewakili ciri pemikiran yang dikenal sebagai “postmodernisme”.

Klasifikasi Karya, Teknis dan Apresiasi

Karya Richter secara sederhana (meski tidak mutlak) dapat digolongkan dalam tiga kategori atau periode: figuratif, yaitu karya lukisan yang terinspirasi oleh fotografi atau alam; konstruktif, karya-karya yang lebih teoretik seperti bagan warna, abu-abu, kaca dan panel; dan, karya-karya abstrak yang digiatkannya sejak 1976 (disamping dia tetap meneruskan karya yang berdasarkan benda dan alam). Lukisan figuratif Richter beranjak dari pembesaran foto hitam putih yang diambil dari reproduksi koran atau majalah dan rendah ketajamannya (pure object). Tingkat keburamannya ditentukan ketika foto itu dipantulkan ke kanvas, lalu diberi outline dan diwarnai tanpa proyeksi lagi. Tahap terakhir adalah mereproduksi karya itu melalui fotografi. Metode ini dia gunakan juga dalam mempresentasikan kembali lukisan-lukisan abstraknya. Proses melahirkan satu adegan yang seolah nyata bagi kemampuan penonton untuk mengenali obyek, tapi pada saat bersamaan juga memberi kesan berjarak dengan tingkat ketajaman yang kabur. Pemirsa tidak bisa mendapatkan fokus yang tepat. Richter menyebutnya sebagai “pure image.”

Sulit dipungkiri bahwa kebebasan Richter untuk berkarya begitu luas, tidak terbatas oleh disiplin ilmu dan teori yang ada sebelumnya. Beberapa kurator dan ahli memberi alasan mengapa karya Richter dianggap unik dan menjadi besar. Auping dari MoMA Fort Worth AS mengemukakan bahwa ketika bicara tentang seni dan eskpresi seni, kita berpikir perupa mencoba berkomunikasi langsung dengan pemirsa. Tapi karya Richter justru menciptakan jarak. Inilah yang menjadi kekuatan karya tsb. Kurator Dieter Schwarzs dari Swiss mengagumi karya Richter pada periode lukisan hitam putih dengan alasan karya itu lebih personal dan arbitrer, meski pada karya-karya selanjutnya semakin berbobot dan signifikan. Namun kerja Richter yang trans fotografi dan lukis, trans otentitas (dapat di cetak ulang) serta orisinalitas (dibuat atas repro karya orang lain) membuatnya melampaui Duchamp dengan ready-made nya. Ia dapat dianggap mewakili bentuk pemikiran tanpa batasan yang populer dewasa ini.

Schwars dan Robert Storr, panitia pameran Retrospective Richter 2002, menganggap “Oktober 18, 1977” sebagai master piece. Seri dari 15 karya ini dibuat pada 1988 tentang kelompok gerilya kota Baader-Meinhof yang aktif antara akhir 1960-an dan awal 70-an. Pada tanggal tersebut tiga pimpinan Baader-Meinhof ditemukan mati di tahanan. Kematian mereka dianggap kontroversial karena meskipun secara resmi dinyatakan sebagai akibat bunuh diri, ada kecurigaan mereka dibunuh. Richter seolah-olah menampilkan penguraian naratif dari sebuah peristiwa. Tapi ternyata tidak. Tak ada urutan bahkan relasi kejadian dari satu panel ke panel lainnya, dan penggambarannya pun tak lengkap. Misalnya, pada satu panel ada seorang tokoh perempuan gantung diri di penjara, panel yang lain ada tubuh telentang dengan luka tembak.

Bagi Richter tidaklah esensial bagi satu karya untuk memberi jawaban. Ia menampilkan ambiguitas, dan tanda tanya yang menjadi esensi pada seluruh karyanya. Karya Richter nampak berdiri di antara naratif dan berdiri sendiri.

Antara Politis atau Tidak

Karya Richter kini mewarnai perkembangan seni rupa Eropa, baik dari segi pendekatan teknis maupun filsafat (yang tidak diakui sebagai filsafat) yang multidisiplin dan liberal. Ia mengaku apolitis tetapi juga menyatakan bahwa “tidak ada yang terisolasi,” dan bahwa senirupa berasal dari lingkungannya. Di sisi lain bentuk lebih utama dari isi. Pernyataan pernyataan saling-silang ini membuat mereka yang berdiri di “kiri” mempertanyakan kepekaan serta maksud keseniannya.

Bagi mereka Eropa paruh 60an hingga pertengahan 70-an, saat Richter membentuk keseniannya, merupakan tahun yang bergejolak: mulai dari Gerakan Situasionist ’68 di Paris sampai gerakan mahasiswa dan buruh yang mendukung gerakan pembebasan di dunia ketiga (Vietnam, Palestina, Chili dll.) sampai Revolusi Anyelir di Spanyol. Kita bisa membandingkan karya pawai Richter dengan sketsa-sketsa S. Kaboel, pelukis Indonesia yang tinggal di Berlin pada saat itu (Demonstran, gbr 3, satu dari seri 5 gambar). Pada karya Richter para demonstran tampak jauh dan kecil oleh jarak pengambilan foto. Sedangkan sketsa karya Kaboel, meski dibelah kaca (Kaboel agaknya melihat dari café- yang seolah menyatakan bahwa ia tidak ikut serta) para demonstran tampak sentral dan dekat.

Rifki Effendi di Kompas pernah menulis tentang Richter, Ironi seni dalam Era reproduksi Mekanik bagi Richter, “kita tak bisa melihat satu kedalaman intrinsik sang subyek lewat karya-karyanya, karena Ricter adalah mesin itu sendiri seperti Andy Warhol. Tiap citranya merupakan ironi dunia seni dalam era reproduksi mekanis”. Tampaknya Rifki Effendy mengacu pada pemikiran Walter Benjamin mengenai perkembangan dunia seni rupa ketika mencapai era reproduksi mekanis (fotografi, cetak, dan kini teknik digital, metode penggandaan karya yang canggih, serta hubungannya dengan ekspresi perupa dan pemilikan seperti hak cipta, hak milik serta penikmatan karya seni itu sendiri). Tulisan ini membahas pula ihwal keabsahan, orisinalitas, otentitas dan seni sebagai ritual yang tidak lagi sakral dimata Richter. Hal yang menarik adalah terpampangnya foto CHE yang dibuat Alberto Korda dalam karya demonstran Richter (Guerillos Heroico, gbr. 4). Karya ini dinyatakan sebagai foto yang paling dikenal dan banyak direproduksi di dunia tanpa meninggalkan semangat intrinsik foto itu sendiri. Pada karya Richter yang non intrinsik ini gambar Che lah yang menjadi titik perhatian, tetapi pengambilan yang sangat jauh menyebabkan gambar itu seolah dalam tanda tanya.

Reproduksi dan Otentisitas

Richter juga menjadi penting bagi perkembangan fotografi. Tetapi bagaimana tepatnya? Bukankah pada penyajian karya-karya fotografinya (terutama pada karya figuratif), foto ditampilkan dalam sudut pandang yang relatif sederhana dibanding representasi keseluruhannya (teknis dan proses)? Seberapa jauh peran fotografi dalam karya Richter dibanding peran seni lukis sentuhan pada karya dasar? Tidaklah sederhana untuk menjawab soal-soal ini.

Pilihan foto dasarnya kebanyakan berasal dari koran atau karya fotografi amatir bukan dari foto yang memperlihatkan keunggulan fotografi itu sendiri. Ia seolah menghindari pendekatan konstruktivis Rodchenko di 1920 yang menegaskan fotografi sebagai media seni yang tercanggih dan terkini. Rodchenko menganggap bahwa kemampuan fotografi menghadirkan realita lebih lengkap dengan sudut pengambilan, kedekatan dengan obyek (makro-mikro), montase, dan hal lain yang tidak ada sebelum hadirnya fotografi. Sedang Richter justru menjauhi visualisasi realisme sosialis yang baru dan modern. Hal lain ialah bahwa foto dasar lukisan yang bukan hasil bidikannya itu tidak lagi dianggap sebagai masalah, karena apa yang ia reproduksi pernah muncul di media massa dan dianggap telah menjadi milik umum. Saat ia mendapat bentuk baru, ia lepas dari etiket-fungsi pencipta semula (yang mengingatkan kita pada ready-made nya Duchamp). Memang dalam dunia fotografi an sich masalah ini belum tuntas sepenuhnya, terutama sampai seberapa jauh hak otentitas (cipta) seorang jurufoto-perupa fotografi berlaku. Kendati demikian secara teoretis, fotografi telah sampai tahap “after art photography”, setelah pendekatan Stieglitz yang menyajikan seni yang sangat utuh. Perupa seperti Barbara Kruger, Victor Burgin telah melahirkan banyak karyanya lewat proses reproduksi dan pemberian arti baru sehingga masalah otentisitas dapat dianggap selesai.

Toh, Richter lebih dari itu, ketika pada pameran koleksi LAC Contemporary, Richter menampilkan “Triple Self Potraits” yang dianggap memberi nuansa baru dalam periode “after art”(gbr.5). Ia tidak lagi mempermasalahkan teori fotografi yang kita kenal sebelumnya dari Stieglitz, Rodchenko dan Bresson; tidak pula menggunakan reproduksi yang telah selesai seperti pada karya Kruger. Richter membuat foto dirinya pada kaca tembus (bayangan) kemudian diproyeksikan dan dilukis (proses pertama). Kemudian difoto ulang lagi, dicetak dan dibubuhi gores kuas warna merah (proses kedua), dan kemudian direproduksi (proses akhir). Karya ini dianggap sebagai pembebasan dari konsep-konsep lama yang membatasi senirupa (lukis) dan fotografi dengan menisbikan yang ada dan melahirkan yang sama sekali baru.

Penutup

Banyak kritik dilontarkan terhadap pendekatan dan pernyataan Richter yang berlawanan, seolah tanpa pijakan yang pasti. Namun, bagi pendukung Richter karya-karyanya dianggap mewakili satu zaman dimana relativisme sangat dominan, ketika kemampuan membaca bobot karya sangat terkait dengan amunisi teori pemirsa. Richter dianggap sangat kontekstual untuk jamannya. Ia merepresentasikan realita dalam bentuk baru. Analoginya, ibarat tetesan-tetesan cat Pollock yang bagi pencintanya merupakan tetesan-tetesan diri dan jiwa Pollock.

Demikian pula pendekatannya pada fotografi yang telah melebur batas antara fotografi dan seni rupa, khususnya seni lukis. Tentu saja ini layak menjadi bahan perdebatan. Tetapi suka atau tidak suka, mengerti atau tidak mengerti, karya Richter (dan Richter sendiri) telah menjadi ikon dari seni rupa Jerman yang baru. Ia mewujudkan satu nilai yang merupakan penerjemahan dari sistem sosial dan produksi Jerman, Eropa, bahkan dunia sekarang ini. Karya Richter sesungguhnya seperti bentuk kesenian yang lain adalah manifestasi supra struktur dari relasi infra struktur sistem sosial ekonomi yang dominan. Ia merupakan visualisasi dari logika budaya kapitalisme tahap terkini.

M. Firman Ichsan, Ketua Jurusan Fotografi, Institut Kesenian Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 8: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Etnologi Penumpasan Snouck Hurgronje

Arif Rusli

Perbincangan kritis tentang pembagian peran C. Snouck Hurgronje sebagai etnolog dan ideolog politik kolonial Belanda dimulai pada tahun 1979 atau 43 tahun setelah kematiannya. Sebelum itu, karya-karyanya selalu hadir sebagai referensi yang dikutip dengan rasa takjub dan syukur oleh para muridnya.

Pada peringatan seratus tahun kelahiran Snouck, 10 Februari 1957, salah sorang muridnya, Prof. G.W.J Drewes mengatakan di dalam makalah bertajuk Snouck Hurgronje dan Studi Islam, “semoga Snouck Hurgronje tidak hanya dihormati dalam pengertian ilmu tentang Islam, melainkan akan muncul angkatan yang dengan rasa syukur memandang seluruh karya hidupnya sebagaimana adanya.”

Sulit untuk membantah besarnya kekaguman para sarjana humaniora dari negeri Barat dan dari dalam Indonesia sendiri terhadap Snouck. Karya-karyanya telah menjadi bacaan klasik bagi setiap peneliti yang mendalami Islam dan penganutnya. Terlebih lagi untuk studi-studi atas masyarakat Indonesia. Bersama Cornelis van Vollenhoven (1874-1933), seorang perumus hukum adat Indonesia, dia menjadi peletak dasar studi Indologi di Universitas Leiden. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Snouck adalah seorang ideolog yang mekonstruksikan pemahaman terhadap bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara.

Pun khasanah ilmu sosial dan humaniora modern Indonesia yang tumbuh pada dasarwarsa awal abad ke-20 mengadopsi dan merupakan reaksi terhadap cara pandang peradaban Barat atas dunia Timur yang ditahbiskan sebagai “tak beradab” dan “kotor”. Istilah peradaban (civilization) memang telah memancing kritik-kritik tajam dari pelbagai sarjana postmodern, namun istilah itu dengan berbagai bias ideologi hingga sekarang dianggap sebagai suatu kebenaran.

Asasinya peradaban Barat menunjukkan dua elemen. Satu, ide atau paham teleologi humanisme yang bermula dengan tentangan terhadap dominasi gereja Katolik dan feodalisme. Kedua, politik imperial kolonialis yang mencoba meletakkan dasar pemerintahan yang efesien dan efektif di negeri-negeri jajahan. Jadi alasan itulah yang mendorong berdirinya pusat-pusat studi oriental (ketimuran) di negeri-negeri pemilik koloni, seperti Inggris, Prancis dan Belanda. Umumnya pusat studi itu berdiri pada akhir abad ke-18.

Minat anak emas era pencerahan atas kebudayaan klasik Yunani merambah jalan ke dunia timur, khususnya ke negeri-negeri Arab Muslim. Sejumlah penelitian mutakhir menunjukkan peran negeri itu sebagai penyelamat dan pengembang peradaban klasik Yunani dan Romawi. Kendati begitu minat para sarjana barat itu terutama untuk perbandingan perkembangan bangsa dan melihat pengaruh ideologi terhadap tumbuh dan jatuhnya suatu bangsa.

Dorongan lain adalah hasrat untuk membuktikan keunggulan perkembangan peradaban Kristen di Eropa – yang melahirkan ide tentang individu – dibanding peradaban Islam, Yahudi, Buddha, Hindhu, Tao dan Konfusianisme yang terpaku pada solidaritas komunal. Islam mendapat sorotan khusus sebab pada pada masa itu ada kepentingan imperium kolonialis untuk mematahkan imperium Ottoman di Turki atas negeri-negeri di Asia Barat dan Afrika. Juga hasrat untuk menundukkan bangsa-bangsa yang hidup di Asia Tenggara dan Selatan.

Jadi semangat humanisme liberal ini bukan hanya keunikan Snouck, karena banyak ahli dunia Timur di Eropa yang menaruh minat serupa. Salah seorang yang dianggap paling berjasa dalam pengembangan teori ilmu sosial adalah Max Weber. Bersama dengan Karl Marx dan Durkheim, dia menjadi sokoguru cabang studi sosiologi. Cara berpikir mereka menjadi ciri teori modernisasi yang dikenal sekarang, yang dengan variannya mensahkan kolonialisme sebagai satu cara untuk memajukan bangsa-bangsa jajahan yang dikategorikan sebagai “belum tinggi tingkat peradabannya atau sudah mandek pertumbuhannya.”

Sisi kontroversial yang biasa dikecam dari karya dan peran Snouck adalah kiprah dia sebagai penasehat politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. P. Sj. Van Konigsvel secara meyakinkan telah membuktikan bagaimana Snouck menyampingkan kode etik peneliti untuk menginformasikan respondennya tentang tujuan penelitiannya. Alih-alih mengikuti prinsip tersebut, ia menyamar sebagai muslim atau Izraul ‘l-Islam dalam pelaksanan observasi terhadap Islam dan penganutnya. Cara ini dia lakukan sejak masa awal penelitiannya di Mekkah, di pulau Jawa dan kemudian dalam “penaklukan Aceh.” Tentu saja berkat kefasihan berbahasa Arab dan beradu argumentasi dalam soal-soal keagamaan, dia berhasil mengelabui kalangan Muslim baik di Mekkah dan Hindia Belanda.

Kepada sahabatnya Theodor Noeldeke, seorang ahli teologi dari Jerman, Snouck mengakui bahwa dia melakukan syaria’ Islam sekadar ritual tanpa penghayatan. Cara ini adalah syarat untuk menyelidiki – dalam kata-katanya sendiri – “cara berpikir, cara berbuat dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama di pusat kehidupan Muslim.” Pada dasarnya Snouck menggunakan metode penelitian yang lazim dipakai para etnolog. Sampai sekarang pun metode penelitian ini dikenal dengan observasi partisipatif atau metode penelitian partisipatif aktif.

Hanya bedanya, Snouck bergerak lebih jauh lagi. Ia melakukan penelitian guna menumpas para pemberontak Muslim di Hindia Belanda. Seorang sosiolog Belanda, Wim F. Wertheim berkesimpulan bahwa Snouck adalah aktor intelektual dalam penyusunan strategi perang anti gerilya (counter insurgency) dalam fase kedua perang Aceh (1873-1904). Dari tulisan ini bisa dilihat bahwa Snouck sudah memulai penelitian tentang perang anti gerilya, jauh sebelum Amerika Serikat mendanai berbagai proyek serupa di Vietnam pada tahun 1970-an.

Snouck menggunakan kajiannya sebagai nasehat politik bagi pemerintah kolonial. Kolonialisme baginya adalah conditio sine qua non bagi kepulauan Nusantara dan penduduk yang hidup di atasnya.

Di dalam tiga jilid laporan rahasia berjudul Aceh Verslag yang dialamatkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 23 Mei 1892, Snouck secara khusus menyoroti persoalan operasi militer di Aceh. Dari hasil observasi langsung yang dirampungkannya selama enam bulan di Aceh, ia berkesimpulan bahwa persoalan Aceh bukanlah pada formalitas takluknya kraton Aceh. Negeri itu tidak akan berhasil ditundukkan dengan cara membentuk daerah sempadan (concentration line), tapi dengan jalan menumpas gelora perlawanan yang digerakkan oleh para ulama dan para petualang yang mengobarkan perang suci melawan kaphee (kafir).

Terhadap pihak yang melawan ini – disebutnya sebagai gerombolan, seperti halnya tentara Indonesia menyebut mereka GPK atau GPL – ia mengusulkan agar pemerintah menutup ruang negosiasi, karena “doktrin dan kepentingan pribadi para petualang menyebabkan mereka takkan takluk kecuali dengan penggunaan kekerasan. Karena itu tujuan memburu para ulama dan para petualang perang suci ini adalah untuk menjaga agar orang Aceh merasa takut untuk bergabung dengan gerombolan pengacau itu.” Dalam nasehat itu, Snouck secara tegas menyatakan bahwa jika pemerintah berhasil membuat golongan ulama dan para petualang tidak berdaya, dengan demikian akan membangkitkan sedikit banyak kepercayaan rakyat Aceh atas kekuasaan dan kemauan pemerintah pusat. Dengan kata lain, Snouck megusulkan agar pemerintah menggunakan perang psikologis untuk membangkitkan rasa takut penduduk Aceh. Dengan begitu pemberian bantuan dana perang suci dan logistik kepada para pejuang sahid terhenti. Untuk menguatkan usulannya Snouck menyatakan bahwa para pejuang Aceh sebagai teroris yang musti dihadapi dengan kekerasan dan sikap tanpa kompromi.

Dibutuhkan waktu hampir lima tahun sebelum ide Snouck tersebut dilaksanakan di lapangan. Lalu tampil van Heutsz sebagai pemimpin operasi Pax Neerlandica di akhir abad ke-19. Dari sejumlah ekspedisi yang dikirim untuk penaklukkan Aceh, van Heutsz berkesimpulan bahwa perjuangan rakyat Aceh hanya bisa ditaklukkan oleh suatu brigade pasukan tempur yang bergerak tanpa jeda memburu dan menghancurkan kantong-kantong perlawanan serta kubu-kubu logistik pejuang Aceh. Unit ini dikenal sebagai Marsose, sejalan dengan ide Snouck menemukan pelaksana yang trampil dan bringas.

Meskipun usul penumpasan terhadap para pengobar perang suci adalah tujuan utamanya, Snouck menyadari rasa benci rakyat Aceh terhadap kehadiran pemerintah Belanda di daerah tersebut mengakar sangat kuat. Karena itu, dengan sabar – paling tidak terkesan dari berbagai pembelaan diri yang disampaikan lewat surat-suratnya setelah tahun 1903 – ia menasehati gubernur militer di Aceh agar tidak melakukan pembakaran rumah dan perampasan harta penduduk di daerah-daerah yang menjadi target operasi pasukan Marsose. Dia memiliki harapan bahwa gabungan operasi militer yang tegas dan terarah serta pemerintahan sipil yang lemah lembut dan memperhatikan kesejahteraan rakyat yang tinggal di daerah taklukan, akan menyebabkan ketundukan dan kepatuhan rakyat Aceh kepada pemerintahan kolonial.

Nasehat itu tampaknya memicu konflik antara gubernur militer Van Heutsz dan Snouck, mengenai siapa yang akan menjadi gubernur pengganti van Heutsz dan bagaimana Aceh bisa ditaklukkan secara permanen. Setelah tahun 1904, Snouck mengusulkan pengurangan jumlah pasukan Marsose serta penghapusan aturan-aturan militer dan digantikan dengan polisi serta penegakan hukum sipil. Sementara van Heutsz dan para pengikut di kalangan perwira tetap berkeras bahwa posisi Gubernur militer tetap dipertahankan di Aceh. Dengan demikian kekuasaan militer akan tetap bisa dilanggengkan.

Dua dari tiga jilid Aceh Verslag itu, kemudian diterbitkan secara urutan pada tahun 1893 dan 1894 dalam bentuk buku yang berjudul De Atjehers. Buku yang dipuji sebagai magnum opus ini tampaknya dialamatkan kepada para pembaca di Eropa. Karena itu, dia sengaja memberikan kesan bahwa orang Aceh dan umumnya penduduk pribumi Nusantara sebagai manusia yang memiliki sifat licik, kotor, ingkar janji dan tidak memiliki keunggulan berpikir. Tentu saja dengan bebagai deskripsi yang “menghinakan” penduduk pribumi, dia mengajak pembaca Eropa untuk membandingkan penduduk Nusantara dengan kelas menengah Eropa pada masa itu.

Bagi Snouck narasi yang sarat pesan rasial dan moralitas liberal ini diarahkan untuk membungkam berbagai kritik yang muncul di Eropa soal perperangan di Aceh yang sudah memakan seratus ribu lebih korban jiwa, waktu yang begitu panjang dan menghabiskan ratusan juta gulden. Narasi ini tak ada bedanya dengan bebagai laporan amatir kelasi Portugis pada tiga abad sebelum dia menulis, yang menggambarkan penduduk Nusantara sebagai pemakan manusia dan masih berekor seperti kera. Sistem sosial dan kenegaraan di Nusantara dipandang jauh terbelakang, tak memiliki persatuan dan tidak ada pemerintahan yang utuh. Khusus mengenai Aceh, Snouck menekankan pertikaian yang terus menerus dalam pergantian raja-raja dan perebutan kekuasaan antar hulubalang. Ia mengajukan kesimpulan bahwa kemunduran kerajaan Aceh selama 30 tahun sebelum perang Aceh dimulai adalah situasi yang sah untuk menaklukkan negeri tersebut.

Menyangkut persoalan elite sosial di Aceh, pada tanggal 18 Januari 1894, Snouck menulis nasehatnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai berikut,” hubungan ulama dan hulubalang di Aceh menunjukkan rasa benci yang didorong oleh kepentingan pribadi”. Karena itu dia menganjurkan agar pemerintah Hindia Belanda tidak mudah percaya kepada pernyataan takluk para hulubalang, “sebab di Aceh tidak terdapat ajaran adat yang diakui secara umum. Sebaliknya terdapat kekacauan yang tak ada habis-habisnya.”

Walaupun apa yang disebutnya sebagai perilaku non-Islam terdapat dalam adat Aceh, seperti pemakaian jimat, ilmu kebal dan lain-lain, membuat kesimpulan suatu kondisi umum berdasarkan sejumlah contoh negatif adalah penilaian yang berat sebelah. Toh, banyak ditemukan upaya-upaya dari ulama untuk memberantas praktek-praktek non-Islam di Aceh. Sayangnya Snouck kurang melihat upaya tersebut sebagai suatu proses bertahap dalam perkembangan masyarakat.

Sungguh menggelikan bahwa Snouck dengan gampang saja menilai bahwa perlawanan rakyat Aceh terhadap kumpeni Belanda sebagai nafsu perang yang bodoh. Apalagi ia sengaja memuji para pembelot yang menjadi sekutu pemerintah kolonial. Di dalam karya “ilmiah” maupun dalam nasehat politiknya Snouck memandang perlawanan sebagai ekspresi anarki dan tidak patuh pada hukum. Akhirnya niat semulalah yang menjadi dorongan utama meneliti soal Aceh, yaitu politik kolonial yang mengingkari pengakuan kedaulatan negara Aceh, kendati Traktat London tahun 1824 dengan tegas memuat hal ini.

Akhirnya penaklukan Aceh menjadi ujian berat bagi hipotesa Snouck untuk membasmi kaum ulama dan bekerjasama dengan hulubalang yang disebutnya sebagai pemuka adat. Tampaknya Snouck keliru memahami dialektika adat dan agama; dialektika antara hulubalang dan ulama. Ulama di Aceh bukanlah semata-mata pembuat legitimasi kekuasaan hulubalang, seringkali ulama menjadi penentang terhadap praktek adat yang betentangan dengan ajaran Islam.

Snouck luput memperhatikan peran ulama sebagai kekuatan dinamis yang sekali waktu menggerakkan masyarakat untuk menetang ataupun mengimbangi kebijakan hulubalang. Peran inilah yang menempatkan posisi ulama sangat penting dalam menggerakkan perlawanan rakyat Aceh, khususnya dengan memainkan doktrin sahid dan kebahagian akhirat.

Di lain pihak rakyat Aceh telah lama mengenal sikap Belanda yang ingkar terhadap janji dan hasrat mereka menguasai jalur perdagangan di selat Malaka. Karena itu sejak pertengahan abad ke-19, pedagang dan penguasa di Aceh sengaja memberikan peluang kepada pedagang Amerika untuk mendirikan kantor dagang di Meulaboh, Aceh Barat sebagai upaya untuk mengimbangi rongrongan Belanda dari arah selatan Aceh yang berlangsung sejak tahun 1830-an.

Sumber: C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften. E. Gobee dan C. Adriaanse (eds). Nasihat-nasihat Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia-Belanda, 1889-1939. Jakarta, 1990 P.Sj. van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam. Jakarta, 1989 W.F. Wertheim, “Counter-insurgency research at the turn of century: Snouck Hurgronje and the Aceh War”, Sociologische Gids, 1972

Arif Rusli, peneliti dan kontributor MKB

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 9: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Perselisihan

Ngarto Februana

PERSOALAN itu muncul setahun setelah kakek meninggal. Usiaku dua belas tahun saat itu, tapi keingintahuanku sangat besar terhadap persoalan rumit yang membuat nenek prihatin dan bersedih, sehingga segala cara aku tempuh walau dengan sembunyi-sembunyi dan main intip, untuk mengetahui persoalan yang sesungguhnya. Aku selalu nguping pembicaraan yang menyangkut masalah itu.

Suatu malam aku berada di dalam kamarku dan dari sebuah lobang kecil pada dinding papan aku mengintip ke ruang tengah, serta memasang kuping untuk bisa mendengarkan percakapan serius antara nenek dan anak-anaknya. Ruang tengah nampak remang-remang. Nyala lampu teplok yang terkurung dalam teropong penuh asap hitam menjadi satu-satunya penerang. Nyalanya redup, sesekali bergoyang-goyang oleh hembusan angin. Meski demikian, aku bisa menyaksikan dengan jelas wajah-wajah di ruangan itu. Udara sangat dingin; udara dingin yang setia membungkus dukuh yang terletak di ketinggian bukit. Angin berhembus dari lereng gunung Panderman. Pepohonan bergoyang laksana hantu malam mengincar bocah-bocah yang masih bermain petak umpet.

Kulihat nenek duduk dengan angker seperti patung. Wajahnya yang berkerut-kerut, rambutnya yang hampir sepenuhnya memutih, nampak menyeramkan dalam remang-remang cahaya pelita. Nenek menatap wajah-wajah di sekelilingnya. Satu persatu. Aku yakin, tatapan mata nenek memancarkan perasaan sedih. Kulihat tak seorang pun berani melawan tatapan matanya. Buktinya semua orang tertunduk seperti maling dihadapan petugas keamanan. Seandainya waktu itu aku sudah dewasa, pasti aku berdiri di belakang nenek dan membelanya. Aku kasihan pada nenek tercinta yang sudah menjanda, kurus, dan sakit-sakitan. Aku tak habis pikir, kenapa masih ada orang yang tega menyusahkannya.

Bibirnya yang pucat masih terkatup. Sekali-kali ia menarik nafas dalam-dalam, mungkin untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Desahan nafasnya yang diiringi suara seperti gesekan batang bambu terdengar jelas di telingaku.

Waktu seakan merangkak sangat lambat. Aku tidak sabar untuk mendengar keputusan nenek. Aku berharap, nenek menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada orang yang menjadi biang keladi kasus yang merugikan bapak dan nenekku.

“Simbok menyesalkan kejadian ini,” katanya pelan.

Tak seorang pun berkomentar. Bapak dan ketiga Pakdeku yang duduk mengelilingi nenek tetap menunduk. Sementara dari kandang belakang rumah terdengar kambing mengembek. Lenguhan sapi menyambutnya seperti dikomando.

“Kasan, kenapa kau lakukan itu?” tanya nenek kepada Pakde angkatku dengan nada marah.

Kulihat Pakde Kasan tetap menunduk.

“Jawablah, San.” Suara nenek makin memberat dan nadanya kian tinggi. Lalu ia terbatuk-batuk. Aku merinding mendengarnya, walau aku tak turut terlibat kasus itu.

“Karena saya tidak kebagian warisan,” jawab Pakde Kasan terkesan gugup.

Nenek, yang biasa dipanggil Simbok, terbatuk-batuk lagi. Aku kuatir keadaannya kian memburuk. Tanpa sadar tanganku mengepal dan amarah menggumpal di dada. Aku makin benci pada Pakde Kasan.

“Semua kebagian. Malah Kang Sarin dapat dua petak. Tapi saya tidak,” kata Pakde Kasan memprotes.

“Tapi bukan begitu caranya!” tiba-tiba Sarin, bapakku, menyeletuk. Aku saksikan dengan jelas, tangan bapak mengepal. Bapak pasti jengkel dan marah terhadap Pakde Kasan.

“Diam dulu, Sar,” tegur nenek.

Semua terdiam. Hening sejenak. Suasana sangat kaku dan tegang. Aku menahan nafas dan mengendalikan diri agar tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Aku takut jika sampai kegiatanku mengintip dan menguping ini ketahuan. Bapak pasti akan marah; bapakku selalu menasehati, anak kecil tidak boleh turut campur atau mengetahui urusan orang-orang dewasa.

Malam terus merangkak pelan tapi pasti. Angin berhembus kencang. Pakde Ranu merapatkan sarung yang membungkus tubuhnya.

“Kamu anak angkat, San,” ujar nenek seperti menghardik. “Usiamu masih terlalu muda saat itu. Belum disunat. Kamu datang ke dukuh ini hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh dan sarung kumal. Aku menemukan kamu tidur di gardu ronda. Kamu minggat dari desamu. Katanya kamu nyolong kambing tetangga. Uangnya buat main dadu. Kamu gemar nonton Tayub. Kamu anak bengal dan ndableg.”

Pakde Kasan nampak gelisah. Nampaknya ia tidak suka jika masa kecilnya diungkit-ungkit. Tapi ia tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali mendesah.

“Kamu tak tahu terima kasih.” Nenek menyilangkan tangannya dengan posisi bersedekap. “Karena perasaan kasihan, kami memungutmu dan menjadikan anak angkat, lalu kamu disunatkan. Tapi menjelang dewasa kamu minggat setelah menjual dua ekor kambing bapak angkatmu. “Sekarang kamu datang lagi ke dukuh ini untuk bikin perkara.”

“Jadi bagaimana, Mbok?” Bapak angkat bicara. Nadanya agak tinggi. “Saya sangat dirugikan, Mbok. Tanaman jagung saya ludes dibabatnya. Padahal dua bulan lagi sudah bisa dipanen. Kasan harus ngasih ganti rugi.”

Yah, yah, masalah itu aku sudah tahu. Pakde Kasan datang lagi ke dukuh Toyomerto ini dan merusak tanaman jagung milik bapak. Dia iri terhadap bapak, karena bapak mendapat warisan dari kakek dua petak tanah tegalan, sedangkan Pakde Kasan tidak mendapat sepetak tegalan pun. Pelampiasan dari perasaan iri dan dengkinya adalah membabat tanaman jagung milik bapak.

“Aku ini melarat. Tak punya apa-apa. Sedangkan sampeyan punya kambing, sapi, dan tegalan. Kakang kaya. Dapat warisan dua petak lagi,” jawab Pakde Kasan.

“Salahmu sendiri,” kata Bapakku.

“Kamu malas, San. Sudah bengal suka nyolong lagi.” Rupanya Pakde Ranu terpancing amarahnya.

“Jangan ungkit-ungkit lagi masalah itu!” Paklik Kasan berdiri dan mengepalkan tangannya.

Nenek terbatuk-batuk. Lebih keras. Ia nampak sengsara. Lalu tangannya sibuk memijit-mijit kepala dan bahunya. Rasanya aku ingin menghambur keluar dan menolong memijit bahu nenek. Nenek nampak tertunduk lemas. Ya, Tuhan, tolonglah nenekku, bisikku dalam hati. Sambil terbatuk-batuk, nenek berkata, “Kalian pulanglah. Besok kita datangkan Pak Lurah dan Pak Kamituo Satu persatu pulang ke rumah masing-masing, kecuali bapak, karena bapak menempati rumah nenek dan bertanggung jawab untuk merawatnya. Aku dan ibu juga turut merawat nenek dengan penuh kesabaran dan sayang.

Malam makin larut. Kutiup lampu teplok dan aku meringkuk dalam sarung. Udara kian dingin. Aku menggigil dan sulit memejamkan mata. Aku turut memikirkan jalan keluar dari persoalan rumit itu, walau aku yakin, jika aku menemukan jalan keluar itu, pasti tak akan berguna, karena usulan anak kecil tak akan diterima.

Dukuh terpencil itu sangat sepi. Hanya lenguhan sapi atau kambing mengembek yang sekali-kali mengisi kegelapan malam. Jangkrik mengerik di lubangnya. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara kera.

Kamarku bersebelahan dengan kamar nenek dan tempat tidurku merapat ke dinding papan, sehingga aku bisa mendengarkan tarikan nafas nenek. Malam itu aku ingin tidur di samping nenek sambil menjaga kalau-kalau nenek membutuhkan pertolongan. Aku mencemaskan penyakit nenek yang sering kambuh jika menghadapi persoalan. Tapi aku hanya bisa meringkuk menggigil karena udara kian dingin. Kasihan nenekku, bisikku dalam hati, pada usia lanjut ia masih diusik oleh perselisihan anak-anaknya yang bersumber pada persoalan tanah warisan.

Di dukuh itu hanya sedikit yang punya tegalan luas, kakek salah satunya. Tanah tegalannya terdapat di beberapa tempat. Di lereng bukit Bokong, di pinggir hutan Toyomerto dan satu petak lagi di kaki sebelah timur Gunung Panderman. Sebelum meninggal, kakek mewariskan tanah tegalannya kepada anak-anaknya. Pembagian itu cukup adil. Hanya bapakku yang mendapatkan dua petak. Anak-anaknya yang lain tak ada yang memprotes pembagian ini. Hal ini dikarenakan bapak yang merawat nenek. Tapi timbulnya kejadian itu sungguh tak disangka-sangka.

“Setelah bertahun-tahun, Kasan kembali lagi. Tak kusangka. Dia selalu bikin perkara.” Kudengar nenek menggumam lirih. Timbul keinginanku untuk mengintip, menyaksikan nenek berbaring di atas dipan, mendengar batuknya, dan jika terjadi apa-apa aku akan nekat menghambur ke kamarnya untuk memberikan pertolongan.

“Sudahlah, Mbok. Jangan terlalu dipikir. Besok diselesaikan sama Pak Lurah dan Pak Kamituo. Sekarang Simbok tidur saja. Sudah malam, lho Mbok.” Kudengar suara ibuku menghibur nenek. Hatiku lega, karena sudah ada yang menunggui nenek.

“Mbok.” Kudengar juga suara bapakku. “Daripada jadi sumber perselisihan antar saudara, saya kembalikan tegalan yang satu petak kepada Simbok. Terserah kepada Simbok bagaimana mengaturnya,” lanjut bapakku.

Kupikir bapakku bersikap bijaksana, meskipun ia harus kehilangan satu petak tanah tegalan. Aku setuju dengan keputusan bapak dan ini sesuai dengan jalan keluar yang telah kupikirkan. Aku juga percaya pada Pak Lurah, karena aku tahu bahwa Pak Lurah, dimana pun akan bersikap bijaksana dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di desanya.

* * *

Pada suatu sore yang cerah musyawarah keluarga yang didampingi oleh Pak Lurah dan Pak Kamituo dimulai. Seperti biasanya aku mengambil posisi yang enak untuk mengintip dan menguping pembicaraan. Dalam hati aku berdoa, agar permasalahan ini segera diselesaikan, sehingga nenek tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan keprihatinan.

“Sarin telah mengembalikan satu petak ladang kepada saya,” kata nenek. Ucapan itu ditujukan kepada Pak Lurah dan Kamituo.

“Sekarang tinggal mengaturnya. Mbok.” Pak Lurah angkat bicara. “Bagaimana pun juga Kasan adalah anak angkat Simbok. Kebengalan Kasan tolong dilupakan dulu. Ia tidak bernasib mujur seperti halnya kakang-kakangnya. Ia tidak punya ladang maupun sawah. Kerjanya hanya buruh tani di desa lain. Seekor kambing pun ia tak punya.” Pak Lurah berdehem. Lalu ia melanjutkan titahnya, “Kalau bisa persoalan ini jangan sampai menjadi besar, apalagi kalau sampai jotos-jotosan.”

Dalam hati aku sepakat dengan kata-kata Pak Lurah. Meskipun aku sudah berkelahi di belakang SD Inpres dengan teman-teman, tapi aku merasa ngeri jika pakde-pakdeku jotos-jotosan.

“Tapi saya tidak akan memberikan tanah itu kepada Kasan,” tukas nenek. Nah, itu betul juga, batinku. Pakde Kasan tak boleh dikasih hati, nanti malah minta jantung. Dia telah melakukan kesalahan yang merugikan bapak dan nenek. Semestinya Pakde Kasan ngasih ganti rugi pada bapak.

“Maksud saya bukan begitu, Mbok,” ujar Pak Lurah. “Kalau saya boleh usul, tegalan yang satu petak itu dijual saja. Sebagian uangnya buat Simbok. Simbok sudah tua. Uang itu bisa Simbok pergunakan untuk keperluan Simbok. Yah, untuk beli jamu. Untuk nyandang yang pantas. Kalau perlu untuk berobat di puskesmas atau di Rumah Sakit di kota. Sebagian lagi untuk Sarin. Bagaimana pun juga, Sarin yang merawat Simbok. Juga Sarin yang dirugikan dalam masalah ini. Sebagian lagi untuk Kasan. Biar Kasan bisa beli kambing atau sapi perah. Dan sebagian lagi untuk amal.”

“Maksud Pak Lurah?” tanya bapak memotong.

“Simbok sudah tua. Orang tua perlu beramal sebagai bekal di akhirat nanti. Simbok bisa waqafkan sebagian uang hasil penjualan ladang itu untuk perbaikan Langgar,” kata Pak Lurah menjelaskan.

Nah, ini bijaksana namanya, kataku dalam hati. Nenek butuh uang untuk berobat. Yah, nenek perlu di bawa ke Puskesmas di kota kecamatan, agar penyakitnya sembuh, agar tidak ngak-ngik lagi tidurnya, agar nenek bisa sering mendongeng tentang kancil, tentang wewegombel. Oh, iya, amal jairiah itu bagus kata ustad Dullah. Untuk bekal di akhirat nanti.

Kulihat nenek manggut-manggut. Sementara bapak dan Pakde Ranu terlihat kurang senang.

“Bagaimana, Mbok?” tanya Pak Lurah.

Suasana hening sejenak. Barangkali masing-masing sibuk dengan pikirannya. Setelah agak lama barulah nenek mengeluarkan keputusannya.

“Ya, saya setuju. Tapi, bagaimana dengan anak-anak saya yang lain?” Nenek mengedarkan pandang kepada anak-anaknya.

Mereka mengangguk. “Jadi semua sudah setuju.” Pak Lurah mengambil kesimpulan.

“Lalu bagaimana dengan tanaman jagung saya Pak Lurah?” Bapakku bertanya.

“Nah itu tanggungjawab Kasan. Ia wajib memberikan ganti rugi,” kata Pak Lurah sambil memandang ke arah Pakde Kasan.

* * *

Perselisihan itu akhirnya dapat diselesaikan. Sebagai ucapan terima kasihnya, nenek mengirimkan securung pisang dan ayam jago kepada Pak Lurah dan Kamituo. Satu hal yang mententramkan hatinya — demikian menurutku — adalah bahwa ia telah beramal menyumbang sebagian hasil penjualan tanah untuk perbaikan langgar, meskipun ia sendiri tidak tahu berapa besar uang yang disumbangkan. Nenek mempercayakannya pada Pak Lurah. Aku membenarkan tindakan nenek ini, karena Pak Lurah cukup bijaksana. Tetapi yang masih menyedihkan hatiku, penyakit nenek tidak juga sembuh. Nenek masih sering batuk-batuk dan aku turut menungguinya, meskipun ibuku melarang, karena aku tidak boleh tidur terlalu malam.

Malam itu nenek nampak terbaring di kamarnya. Ibuku sedang menggoreng kopi di dapur dan bapak pergi entah kemana. Mungkin sedang menghalau kera di ladang.

“Gus, kalau sudah besar nanti, kamu mau jadi apa?” tanya nenek dengan suara lirih. Lalu beliau terbatuk-batuk. Kupijit-pijit pundakknya. Aku menyesalkan, semestinya nenek tidak perlu banyak bicara. “Ingin jadi apa, Gus?” ulang nenek.

“Ingin jadi Lurah, Mbok,” jawabku.

“Bagus. Jadilah lurah yang baik dan bijaksana. Lurah yang tidak suka menipu warganya sendiri,” pesan nenek. Kata-kata yang keluar dari mulutnya agak tersendat-sendat. Kupikir nenek mesti segera dibawa ke puskesmas, kalau perlu di Rumah Sakit di kota. Nenek kembali terbatuk-batuk dan aku semakin sibuk memijit-mijit. Lalu nenek memejamkan matanya. Nafasnya lemah sekali. Kukira nenek tidur.

Tiba-tiba telingaku menangkap suara-suara yang datangnya dari ruang tamu. Dengan berjingkat-jingkat aku melangkah ke pintu kamar dan menajamkan pendengaranku.

“Kita harus laporkan pada Simbok!” Itu suara Pakde Ranu.

“Jangan sekarang. Nanti pikiran Simbok kacau. Bisa kambuh lagi sakitnya,” kudengar suara lain yang kukenal sebagai suara bapakku.

“Tapi bagaimana? Kita telah ditipu mentah-mentah. Sebagian besar uang hasil penjualan tanah masuk kantong Kasan dan Pak Lurah, serta Pak Kamituo. Simbok kebagian sedikit. Waqaf untuk Langgar hanya seratus ribu. Ternyata tanah itu dijual dengan harga enam juta. Sedangkan yang kita tahu hanya tiga juta!” kata Pakde Ranu terkesan sangat berang.

“Wah! Laknat si Kasan. Terkutuklah Pak Kamituo dan Pak Lurah. Mereka telah bersekongkol untuk menipu!” umpat bapakku.

“Ssttt! Jangan keras-keras. Nanti Simbok dengar,” kata Pakde Ranu. Kutatap wajah nenek dengan pandangan iba. Wajah nenek putih pucat dan tak kudengar lagi desahan nafasnya. Dengan terburu-buru aku mendekat.

“Mbok,” panggilku keras sambil menggoyang-goyangkan pundaknya. “Mbok, Mbok...Mbok!”

Nenek diam saja.

Ngarto Februana, penulis dan jurnalis menetap di Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 10: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Monopoli Pengetahuan

Ignatius Haryanto

Indonesia adalah anak manis di mata IMF dan Bank Dunia, karena pada zaman Orde Baru menjadi salah satu negara penghutang terbesar. Sebutan ini terus menempel karena dalam tekanan dari kerajaan bisnis global, Indonesia juga anak manis yang patuh dengan tekanan baik dari Amerika Serikat maupun WTO (World Trade Organisation) dalam konteks perlindungan soal hak cipta, atau barang-barang yang memiliki unsur hak atas kekayaan intelektual.

Pertengahan Juli 2002 Indonesia kembali merevisi RUU Hak Cipta yang ada setelah DPR menyatakan setuju pada semua usulan perubahannya. Itu berarti dalam tenggang waktu 20 tahun, UU Hak Cipta telah diamandemen sebanyak tiga kali. Pertama kali keluar tahun 1982, lalu direvisi tahun 1992, dan terakhir 1997. Jarang kiranya ada UU di Indonesia ini yang diamandemen begitu cepat seperti yang terjadi pada UU Hak Cipta ini. Apa yang membuatnya demikian?

Benarkah itu merupakan inisiatif dari pemerintah Indonesia sendiri yang sadar bahwa perlindungan soal HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual – terjemahan resmi dari istilah Intellectual Property Rights) merupakan masalah yang mendesak di Indonesia? Ataukah perubahan yang demikian cepat ini adalah buah tekanan dunia luar terhadap Indonesia – dalam hal ini rezim WTO dan juga kepentingan ekonomi dan politik dari pemerintah Amerika? Kalau benar demikian adanya, kepentingan macam apa, dan betulkah Indonesia bisa “ikut bermain” dalam situasi itu?

Jika kita membuka situs Departemen Perdagangan AS di jaringan Internet, beberapa jawaban akan langsung tampak. Setiap tahun United States Trade Representative (USTR) membuat tinjauan terhadap semua partner dagang Amerika, lalu menjatuhkan penilaian dan sanksi jika ada negara yang dianggap lemah dalam melindungi hak atas kekayaan intelektual produk-produknya. Buka saja seksi tentang Indonesia dalam laporan itu yang selalu menyebut Indonesia sebagai negeri para pembajak, mulai dari CD, VCD, DVD musik dan film Barat. Jumlah produk bajakan yang beredar lebih banyak daripada produk yang memiliki lisensi. Karena itu Indonesia termasuk daftar negara yang sangat perlu diawasi (priority watch list), dan terancam sanksi dagang berupa blokade ekspor ke AS karena dituduh “melakukan praktek dagang yang tidak fair”.

USTR kemudian memberi rekomendasi kepada pemerintah AS agar menekan Indonesia secara progresif menyesuaikan aturan soal hak cipta sesuai ketentuan internasional. Rencana ini terus ditagih dalam laporan tahunan mereka, dan para birokrat boleh berharap peringkatnya dari anak nakal kembali ke anak manis karena berhasil menggolkan amandemen UU Hak Cipta yang terakhir Juli lalu.

Posisi Indonesia Dalam Perdagangan HAKI

Apakah sebenarnya keuntungan masyarakat Indonesia mengikuti “rezim hak kekayaan intelektual” yang sebenarnya terus menekan itu? Betulkah Indonesia telah siap bertarung dalam kerangka perdagangan internasional yang ada? Lalu, apa arti sesungguhnya amandemen UU Hak Cipta itu bagi masyarakat kebanyakan?

Carlos Corriea, seorang peneliti Third World Network, mengatakan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan masalah HAKI sebetulnya bukan hanya bermaksud mengurangi pembajakan seperti yang disebutkan dalam laporan USTR, tapi sekaligus merupakan kebijakan yang melakukan proteksi atas teknologi dan memperkuat pembagian kerja internasional baru. Negeri industri maju menjadi penghasil temuan sementara negeri berkembang menjadi pasar dari produk dan jasa yang dihasilkan.

Saya tak tahu apakah pemerintah Indonesia pernah menyadari berbagai implikasi yang hadir dengan ikutnya Indonesia dalam rezim HAKI ini. Sementara sulit menunjukkan seberapa jauh masyarakat menikmati “transfer teknologi” yang konon mengiringi investasi asing ke sini, kelemahan dan kekurangan dari aturan main itu sudah mulai nampak. Sejumlah aktivis LSM seperti Indah Suksmaningsih dari YLKI dan Hira Jhamtani dari Konphalindo berulangkali menggugat kesadaran negara peserta WTO yang semakin diikat dalam posisi tidak setara secara ekonomi, teknologi dan kesejahteraan.

Mereka menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati (biodiversity) akan terancam dengan keluarnya aturan tentang paten. Dengan modal kuat dan teknologi penelitian canggih negara maju bisa mencaplok habitat binatang atau tumbuhan khusus melalui paten. Penjarahan sudah berlangsung cukup lama. Tahun 1998 misalnya perusahaan Rice Tec dari AS mengajukan hak milik intelektual atas padi asal India yang selama bertahun-tahun menjadi milik bersama. Rumah mode Yyes St Laurent mengklaim paten atas ilang-ilang, sejenis bunga dari Filipina

Di bawah aturan WTO semakin banyak perusahaan transnasional yang mengklaim hak atas kekayaaan intelektual dan paten atas tumbuhan, bibit tanaman dan produk lain yang lahir dari Dunia Ketiga dan tidak pernah dianggap sebagai milik siapa pun. Pioneer Hi-Bred International dari AS sekarang menguasai 17 paten padi, sementara Mitusi-Toatsu Chemical dari Jepang memiliki 13 paten. Bahkan tempe sudah diklaim oleh sebuah perusahaan Jepang. Hira Jhamtani mengatakan sejak pemberlakuan WTO, pemerintah Indonesia menderita kerugian sekitar $1,9 milyar, sayangnya tanpa merinci cara penghitungannya.

Dua Cara Melihat HAKI

Hak atas Kekayan Intelektual awalnya mencakup dua konsep besar, yakni hak cipta (copyright) dan hak paten yang diatur secara terpisah. Istilah “intelektual” dalam HAKI berarti hak cipta melindungi hasil kecerdasan, pikiran dan ungkapan atau renungan manusia yang menjelma dalam bentuk buku, lagu atau film. Sementara hak paten mencakup temuan dan teknologi, kerja yang dikerahkan untuk membuat barang baru, mulai dari traktor, obat-obatan sampai alat pembuka kaleng yang menggunakan listrik. Asumsinya bahwa hak cipta selalu berkenaan dengan uang, karena untung merancang, membuat, memperbanyak dan memasarkan sebuah karya cipta diperlukan uang dan para pemegang hak cipta tentu mengharapkan uang yang ditanamnya akan kembali.

Namun ada pula perspektif berbeda. Ronald Bettig misalnya mengatakan konsep HAKI baru mulai dibicarakan setelah ditemukannya mesin cetak dan merebaknya kapitalisme dalam dunia tulis-menulis. Sebelumnya pengetahuan atau cerita menjadi milik umum dan orang tidak tahu siapa yang pertama mengungkapkannya. Artinya konsep hak cipta lekat dengan kekuasaan modal dan dalam konteks penerbitan misalnya menjadi jelas bahwa yang lebih berkepentingan akan hak itu adalah penerbit yang mengeruk keuntungan ketimbang pengarang yang mencipta.

Di Indonesia pun sekarang muncul dua cara pandang terhadap HAKI dan keterlibatan Indonesia dalam penegakan hak-hak itu dalam perdagangan global. Di satu sisi adalah pandangan bahwa HAKI merupakan bagian dari perjanjian internasional yang diikuti Indonesia, sehingga harus ada penyesuaian tanpa peduli adanya ketimpangan posisi dan kesempatan. Anggapannya dengan memperbanyak jumlah hak cipta dan paten maka akan ada perlindungan lingkungan alam dan sosial-budaya yang penuh dengan potensi HAKI, seperti keragaman spesies tanaman dan hewan, maupun warisan benda tradisi. Lebih jauh dipercaya bahwa penyatuan hukum Indonesia dengan aturan internasional – ditandai dengan kembali masuknya Indonesia dalam Konvensi Bern tahun 1997 – adalah upaya bagus untuk menyesuaikan diri dengan standar hukum internasional.

Pandangan kedua sebaliknya menganggap perjanjian internasional mengenai HAKI – yang disebut TRIPs atau trade related intellectual property rights dan merupakan bagian dari WTO – akan menegaskan ketimpangan antarnegara di dunia dan membuat negara industri maju mendapat keuntungan lebih dulu. Sementara penduduk negeri berkembang harus membayar mahal untuk menggunakan software atau menonton VCD yang diproduksi negara maju, perusahaan transnasional yang bermodal besar dengan mudah mencaplok pengetahuan tradisional di negeri berkembang dan menjadikannya milik. Sungguh menyedihkan melihat komunitas petani yang berabad-abad merawat bibit padi sekarang harus membayar jika mau menggunakan bibit itu karena “hak milik intelektual”-nya sudah dibeli oleh perusahaan besar.

Lebih jauh dikatakan bahwa rezim HAKI internasional telah menciptakan jurang antara negeri maju dan negeri berkembang seperti Indonesia. Pandangan ini menolak kerangka legal-formal karena menganggap banyak masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh rumusan hukum itu. Justru sebaliknya hukum menurut mereka mencerminkan tarik-ulur kekuasaan yang menempatkan negeri berkembang dalam posisi tidak menguntungkan. Hal ini nampak jelas dalam hubungan dagang Indonesia dan AS. Adalah pemerintah AS yang menilai seberapa taat Indonesia terhadap aturan main yang mereka tetapkan, sementara Indonesia tidak punya kekuatan (dan kemauan) apa pun untuk berbuat sama.

Masalah Kepentingan AS

Lewat Omnibus Trade and Competitive Act 1998, khususnya seksi 301 pemerintah AS dapat memberlakukan sanksi kepada negara yang dianggap tidak melakukan perdagangan secara fair sebagaimana diatur dalam GATT (kesepakatan umum mengenai pajak dan tarif), yang mendului WTO. Menurut Departemen Perdagangan AS, Indonesia termasuk negara yang patut diawasi karena belum konsisten melindungi produk HAKI, artinya belum menjadi partner Amerika yang fair.

Dari kenyataan ini cukup jelas bahwa posisi Indonesia dalam masalah HAKI lebih ditentukan oleh kepentingan luar daripada kepentingannya sendiri. Di dalam negeri HAKI hanya berarti saat melindungi penerbit buku dari pembajak buku yang memang menjadi masalah serius beberapa tahun belakangan. Tapi selebihnya seluruh wacana dan aturan main ditentukan, dibuat dan menguntungkan orang lain. Penetapan status Indonesia dalam kerangka USTR membuat negeri ini seperti narapidana yang dinilai perilakunya untuk mendapat pengurangan masa tahanan atau sebaliknya ditempatkan dalam blok isolasi.

Dalam penetapan hukumnya sendiri, rumusan pasal-pasal dan kerangkanya datang dari luar. Semua produk hukum yang berkait dengan hak cipta, paten dan merek beberapa tahun terakhir diperbaiki atas desakan – dan sekaligus “konsultasi” – dari pemerintah AS yang bersekutu dengan perusahaan transnasional di bidang HAKI dan berbagai skema perdagangan internasional. Dalam tahun 2000 saja aturan hukum di bidang itu dilengkapi dengan UU Rahasia Dagang, UU Desain Industri dan UU Desain Tata Letak Sirkuit. Tidak banyak anggota DPR yang memperdebatkannya, karena memang tidak hadir di ruang sidang. Tapi karena pemerintah bertekad menggolkannya – atas desakan pemerintah AS dan perusahaan transnasional – maka proses pengambilan keputusannya berlangsung mulus.

Pemerintah AS sangat berkepentingan karena dalam sejak pertengahan 1990-an industri berbasis HAKI menjadi pemasok devisa terbesar, menggantikan peran industri mobil, penerbangan dan bahkan minyak. Tahun 1997 industri berbasis hak cipta menyumbang $66,85 milyar, melampaui industri elektronik yang menyumbang $54,29 atau perusahaan pesawat terbang dengan $48,64. Ekspansi industri HAKI ini berawal dari program neoliberal di masa kepresidenan Ronald Reagan, yang dikenal dengan sebutan Reaganomics. Peluang dunia usaha dibuka lebar dan ekspansi perusahaan multinasional berlangsung ke seluruh penjuru dunia. Pada saat bersamaan subsidi sosial di bidang kesehatan dan pendidikan bagi warganya dibuntungi karena harus memberi supply modal kepada dunia usaha.

Strategi ini dimulai karena merosotnya pertumbuhan ekonomi AS pertengahan 1980-an. Menurunnya pendapat dari industri “tradisional” seperti pesawat terbang dan peralatan elektronik membuat pengusaha melirik bidang-bidang baru yang punya potensi menggalang pendapatan bagi AS. Salah satu sektor yang terpenting adalah industri berbasis hak cipta, khususnya dalam industri film, rekaman musik dan video, suratkabar, majalah, buku, jurnal ilmiah dan lainnya. Sebelum melemparkan produknya ke seluruh belahan dunia, mereka memerlukan perlindungan agar konsumen di mana pun akan membayar hak cipta dan sekaligus melindunginya dari pembajakan.

Sekalipun telah mengalami peningkatan pendapat luar biasa, AS melalui Koalisi Internasional Anti Pembajakan mengklaim bahwa lima hingga delapan persen produk dan jasanya di dunia ini telah dibajak dan mengakibatkan kerugian sekitar $200 milyar per tahun. Menurut New York Times November 1995 dalam bidang musik rekaman saja pembajakan mengakibatkan kerugian $2,5 milyar. Hal serupa dialami oleh perusahaan software komputer, farmasi, video-tape dan peralatan elektronik.

Lebih jauh mereka mengklaim bahwa pembajakan juga berakibat pada ketenagakerjaan di AS. Tahun 1993 disebutkan sekitar 750 ribu orang kehilangan pekerjaan akibat pembajakan yang dilakukan negara lain. Studi yang dilakukan industri otomotif mengatakan bahwa tahun 1991 sebenarnya industri ini bisa tetap mempekerjakan sekitar 210 ribu buruhnya jika AS tidak mengalami kerugian $12 milyar akibat pembajakan. Para pengamat yang kritis bagaimanapun mengatakan penilaian itu berlebihan dan sekarang digunakan oleh industrialis AS untuk membenarkan tindak pemecatan massal yang mereka lakukan selama bertahun-tahun.

Pemimpin perusahaan besar seperti CBS, Du Pont, General Electric, Hewlett-Packard, IBM dan Pfizer mulai menggalang aliansi dengan perusahaan Jepang dan beberapa negara Eropa untuk mengangkat masalah HAKI ini di berbagai forum perdagangan internasional. Dalam perundingan GATT 1995 mereka maju bersama-sama menghadapi wakil pemerintah dan unsur lainnya dengan pernyataan, “urusan hak kekayaan intelektual terlalu penting untuk hanya diurusi oleh pemerintah”. Artinya perusahaan multinasional harus mendapat suara lebih besar agar dapat mendesak pemerintah masing-masing untuk mengangkat masalah HAKI ke meja perundingan.

Berkat lobby, tekanan dan bermacam langkah lain gabungan perusahaan transnasional dan pemerintah AS akhirnya berhasil membuat HAKI menjadi agenda tetap dalam GATT maupun WTO. Sebuah pencapaian penting tentu saja karena dengan begitu perusahaan transnasional atau negara maju yang dirugikan oleh pembajakan atau praktek perdagangan “tidak fair” lainnya dapat mengajukan para “pelaku kejahatan” ke sidang WTO. Memang tidak ada hukuman pidana seperti penjara apalagi hukuman mati, tapi sanksi ekonomi, embargo dan blokade yang akan diterapkan kepada para pelanggar telah terbukti ampuh membunuh jutaan orang di muka bumi.

Sebagian negeri berkembang menolak masuknya masalah HAKI dalam perundingan GATT/WTO karena menganggap forum lain di dalam PBB sudah cukup untuk menanganinya. Mereka sadar bahwa sekali saja aturan yang tidak menguntungkan itu mengikat semua negara di dunia, maka ketimpangan akan semakin langgeng. Para pejabat Indonesia tidak banyak berkomentar apalagi mengajukan usul-usul yang dapat menguntungkan penduduk negerinya. Lobby kaum industrialis jauh lebih kuat dan menunjukkan bahwa setelah Perang Dunia usai AS menjadi superpower yang bukan hanya pandai menggunakan senjata api tapi juga senjata dagang untuk mempertahankan kepentingannya.

Kesetaraan Menjadi Sejarah

Program ekonomi neoliberal dan kepentingan industrialis AS adalah pendorong utama pemberlakuan aturan mengenai hak atas kekayaan intelektual. Indonesia sebagai negeri berkembang yang tidak punya bargaining position akibat ulah elitenya sendiri hanya mengekor pada apa yang diputuskan dari luar, dengan sesekali memberi gincu agar terkesan memetik keuntungan di dalamnya.

Kekuasaan rezim HAKI masih dalam proses tapi hasil-hasilnya bagi penduduk dunia umumnya sudah mulai terlihat. Bayangkan saja apa yang akan terjadi jika buku teks tiba-tiba melonjak harganya “setara” dengan harga di AS. Dengan harga buku seperti sekarang pun mahasiswa dan pengajar sudah megap-megap, apalagi jika harus menghormati standar internasional yang berkisar antara $20-30 atau Rp 180.000 sampai Rp 270.000.

Belum lagi kondisi mengenaskan para pembuat tempe yang akan dikejar-kejar penegak hukum HAKI karena “mencuri” kekayaan intelektual yang dibeli oleh perusahaan transnasional. Belum lagi tanaman obat, bibit padi, jenis ternak yang setiap saat bisa dibuat patennya oleh modal besar, dan membuat penduduk yang selama ini menikmatinya sebagai milik umum nantinya harus membayar mahal agar dapat menggunakannya.

Dalam situasi terpuruk seperti sekarang, rezim HAKI hanya akan membuat Indonesia semakin terbelakang. Tikus-tikus birokrasi yang menggerogoti perekomian dan tak pernah punya strategi keluar dari krisis akan menjadi beban rakyat ketika menghadapi kekuasaan ekonomi global. Dan akhirnya lagi-lagi masyarakat luas menjadi korban. Ketimpangan merajalela dan kesetaraan tinggal nama saja.

Rujukan:

Carlos M. Corriea, Intellectual Property Rights, the WTO and the Developing Countries. Penang: Third World Network, 2000.

Hira Jhamtani, Ancaman Globalisasi dan Imperialisme Lingkungan. Yogyakarta: INSIST Press, 2001.

Kevin Watkins, Fixing the Rules: North-South Issues in the International Trade and the GATT-Uruguay Round. London: CIIR, 1992.

Paul Goldstein, Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok. Jakarta: Yayasan Obor, 1997.

Ronald V. Bettig, “Critical Perspectives on the History and Philosophy of Copyright”, Critical Studies in Mass Communication, June 1992.

United Nations Development Program, Human Development Report 1999.

Vandana Shiva, Bioteknologi dan Lingkungan dalam Persepktif Hubungan Utara-Selatan. Jakarta: Gramedia, 1994.

IGNATIUS HARYANTO adalah jurnalis, dan wakil direktur Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) di Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 11: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Manusia Marx

John Roosa

Saat memutuskan untuk mempertahankan larangan terhadap Marxisme-Leninisme awal 2000, anggota MPR sebenarnya terbenam dalam kontradiksi logis. Kalau mau melarang sesuatu seseorang harus bisa mengidentifikasi, mendefinisikan dan tahu apa yang mau dilarang. Sementara untuk tahu apa yang dimaksud Marxisme-Leninisme orang harus membaca buku-buku yang dilarang oleh MPR. Pejabat pemerintah yang mau menegakkan aturan itu harus melanggarnya lebih dulu: mereka harus mempelajari apa yang akan mereka sensor. MPR menetapkan aturan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh pemerintah dan tidak mungkin ditaati masyarakat pula. Negara mencap Marxisme-Leninisme sebagai sesuatu yang jahat tapi tidak mampu, tanpa melanggar hukumnya sendiri, merumuskan apa sesuatu itu: apakah sesuatu itu ideologi? Pendekatan filsafat? Metodologi ilmu sosial? Cara berpikir? Atau setan dari neraka yang bangkit tiap malam Jumat?

Karena hanya disuruh membenci tanpa pernah tahu apa yang dibenci, maka lahirlah pandangan irasional tentang Marxisme-Leninisme di Indonesia. Marxisme-Leninisme menjadi hantu yang keberadaannya harus dipercaya semua orang tapi tanpa seorang pun dapat menunjukkan wujudnya. Karena orang tidak bisa mengidentifikasi hantu itu, mereka cenderung percaya bahwa pejabat negaralah yang tahu caranya. Kabarnya beberapa pejabat tinggi, seperti para pengajar di Lemhanas, membaca buku-buku Marx dan Lenin dan memahami seluruh isinya (Artinya setiap orang yang diindoktrinasi oleh Orde Baru harus mencurigai para pejabat ini sebagai Marxis-Leninis). Jika negara memproklamirkan hantu Marxisme-Leninisme itu telah "menyusup" ke partai-partai politik, organisasi hak asasi manusia, serikat buruh, maka semestinya kita setuju bahwa negara lebih tahu soal itu dari kita. Walau partai atau organisasi yang kita lihat sebenarnya biasa saja, pejabat negara ternyata tahu wujud setan bertopeng itu. Mereka tahu cara melihat hantu; rupanya ada alat optik khusus yang membuat mereka bisa melihat hal-hal yang tak terlihat oleh kita. Kita tidak boleh bikin penilaian sendiri tentang baik-buruknya pemikiran atau organisasi tertentu; kita harus percaya para pejabat karena mereka lebih tahu dari kita. Mereka tahu semua bahaya laten di atas maupun bawah tanah. Para politisi pasca-Soeharto, yang menyetujui pelarangan Marxisme-Leninisme, rupanya tetap percaya bahwa orang Indonesia belum cukup umur untuk berpikir sendiri. Massa mengambang terus saja mengambang.

Sebenarnya sejak 1966 para pejabat negara itulah yang mengambang dalam ketidaktahuan. Mereka mendapat tugas melarang sesuatu yang tidak mereka pahami, sehingga mahasiswa Indonesia dengan bebas membaca karya Antonio Gramsci karena para pejabat tidak tahu bahwa ia seorang Marxis. Tapi di sisi lain ada tukang bakso miskin yang menulis "PKI Madiun Bangkit" di dinding rumahnya tahun 1995, dan langsung diseret ke kantor polisi dan diinterogasi karena dianggap pimpinan PKI bawah tanah yang baru. Pejabat negara terus menengarai kehadiran PKI dalam gambar di sampul kaset, cincin dan kaos oblong. Di Jawa Tengah, bahkan merek baju Hammer (Palu) dan jeans Tira (kalau dibalik, Arit) dicurigai sebagai "cara-cara komunis menyampaikan pesan".

Tentu saja kebanyakan orang Indonesia, berhadapan dengan negara yang terus bicara tentang Marxisme-Leninisme sebagai hantu jahat tanpa pernah menjelaskannya, ingin tahu apa sesungguhnya mahluk misterius itu. Atmosfir irasional, yang mirip dengan penggeropyokan dukun santet, tidak memungkinkan kita melihat soal yang sangat mendasar: kita sebenarnya tidak mungkin mendefinisikan Marxisme-Leninisme. Pelarangan sesuatu secara hukum bertolak dari anggapan bahwa sesuatu itu dapat didefinisikan. Tapi di sini hukum melarang sesuatu yang tidak pernah disepakati definisinya. Tak seorang pun dengan pasti bisa menyatakan apa sesungguhnya Marxisme-Leninisme itu. Perbedaan pendapat yang paling hebat justru terjadi di antara mereka yang menganggap diri sebagai pengibar bendera Marxisme-Leninisme. Perbedaan itu bukan semata soal istilah atau kata yang ditafsir berbeda tapi ada interpretasi yang bertentangan dan tidak dapat didamaikan.

Terjadinya Isme-Isme

Mari kita mulai dari istilahnya yang terdiri atas nama belakang dua orang, Marx dan Lenin, yang digabungkan dengan tanda hubung lalu diberi imbuhan -isme untuk menjadikannya sejenis doktrin. Analisis linguistik sederhana itu membawa pertanyaan: bagaimana hidup dan karya seorang Jerman (1818-1883) dan seorang Rusia (1870-1924) itu bisa menjadi -isme? Karl Marx dan Vladimir Ilyich Lenin tidak pernah bertemu semasa hidup. Lenin adalah remaja 13 tahun di Simbirsk, Rusia ketika Marx meninggal dunia di London. Artinya dua orang itu tidak pernah bertemu dan duduk bersama membuat rancangan prinsip-prinsip apa pun. Lalu bagaimana caranya kedua -isme itu digabung dan dianggap sebagai kesatuan?

Marx dan Lenin memang tokoh dalam sejarah; mereka hidup pada saat dan tempat tertentu. Tapi fakta sederhana ini perlu diingat ketika kita bicara tentang gagasan mereka sebagai -isme. Keduanya adalah anak sekolah yang beranjak dewasa lalu sakit-sakitan dan menjadi tua. Mereka berulangkali berubah pikiran saat mendalami subyek tertentu dan berhadapan dengan dunia yang terus berubah. Mereka tidak selalu konsisten pada apa yang dikatakan sebelumnya. Dan tidak semua tulisan mereka disusun dengan jelas. Mereka meninggalkan sejumlah teks yang lebih menyerupai potongan daripada sebuah cerita utuh. Keduanya tidak pernah menulis pernyataan lugas dan tegas yang dengan mudah bisa ditafsirkan sebagai -isme seperti misalnya sepuluh perintah Allah. Marx pernah menulis kalimat yang kemudian terkenal kepada sejumlah pembaca yang mengklaim diri "Marxis", "yang saya tahu, saya bukanlah seorang Marxis".

Gagasan Marx diolah menjadi -isme setelah ia tiada. Tahun 1883 saat ia meninggal, ada gerakan radikal yang hidup di Eropa. Dalam perdebatan di antara orang-orang yang ingin mengubah masyarakat itu, ada yang merujuk tulisan-tulisan Marx sebagai sumber kebajikan. Marx memang intelektual yang luar biasa dan seringkali mengungguli argumen lawan-lawannya. Di tanah kelahirannya, Jerman, banyak pemimpin gerakan Sosial-Demokratik (seperti Edward Bernstein dan Karl Kautsky) adalah pembela apa yang mereka sendiri sebut sebagai Marxisme. Mereka boleh dibilang adalah pembela terpenting karena mewakili gerakan jutaan buruh dan memiliki sumberdaya yang mengesankan. Mereka melihat Marxisme sebagai analisis kapitalisme modern. Kautsky menyebutnya "doktrin ekonomi" dan memasang frasa itu dalam judul bukunya. Marxisme bagi mereka terutama adalah teori mengenai upah, profit dan harga.

Sementara itu Lenin muda, yang sangat dipengaruhi oleh diskusi Marxisme di Jerman ketika tinggal di Rusia, adalah salah satu aktivis radikal yang melihat gagasan Marx sebagai -isme. Tapi ia melangkah lebih jauh daripada penulis seperti Kautsky. Saat berusia 20-an dan 30-an tahun ia emnulis tentang Marxisme sebagai jalan memahami segala sesuatu. Ia menyebutnya: "pandangan dunia". Marxisme bagi Lenin bukan hanya cara memahami masyarakat kapitalis modern melainkan doktrin menyeluruh dengan yang dilengkapi prinsip-prinsip dasar untuk memahami keseluruhan sejarah umat manusia, proses hidup tanaman dan hewan, dan bentuk kehidupan di masa mendatang. Prinsip dasar Marxisme versinya atau kunci untuk memahami semua kenyataan di dunia, adalah materialisme dan dialektika. Lihat misalnya tulisan Marxisme dan Revisionisme yang terbit 1908. Saat merumuskan strategi gerakan ia menggunakan Marxisme seperti pentungan untuk menghajar aktivis radikal lain yang menjadi lawan debatnya. Karena itu dengan Marxisme versinya, ia bisa mengklaim tahu kebenaran absolut tentang dunia dan arah perjalanan sejarah.

Ketika partai Bolshevik yang dipimpin Lenin berhasil melancarkan revolusi melawan Tsar Rusia tahun 1917 dan menjadi partai berkuasa, orang pun menganggap Lenin memiliki strategi yang tepat. Dan kalau strateginya tepat, maka ia tentu punya prinsip-prinsip filsafat yang tepat pula untuk memandu strateginya. Keberhasilan gerakannya membuat teorinya mengenai Marxisme seakan tanpa cacat. Setelah 1917 kaum radikal menganggap Lenin sebagai penasfir gagasan Marx yang paling tepat. Lenin menjelaskan strateginya sebagai pembaruan dan adaptasi Marxisme secara kreatif. Terobosannya ada pada teori mengenai organisasi. Inti dari paradigma Lenin adalah membangun partai politik yang dapat merebut kekuasaan negara melalui insureksi di kota yang dilakukan oleh buruh industri.

Selama terlibat mengorganisir buruh Marx tidak pernah membentuk partai politik untuk merebut kekuasaan negara. Marx adalah motor penggerak yang membangun federasi serikat buruh internasional antara 1864 sampai 1872, yang dikenal dengan sebutan Internasionale Pertama. Federasi itu bukan sebuah badan terpusat dari atas ke bawah yang memberi perintah cabang-cabangnya untuk bertindak, melainkan kumpulan berbagai serikat (dari Prancis, Inggris, Spanyol, Amerika Serikat dan lainnya) yang bertemu tiap tahun, memperdebatkan strategi dan memberi santunan bagi buruh yang mogok. Dalam wawancara dengan seorang jurnalis Amerika tahun 1871 Marx mengatakan pencapaian terbesar dari federasi itu adalah menghalangi buruh dari berbagai negeri dipakai untuk melawan satu sama lain: "Sebelumnya, pemogokan di satu negeri dipatahkan dengan mendatangkan buruh dari negeri lain. Internasionale hampir berhasil menghentikan itu. Organisasi ini menerima informasi rencana mogok, menyebarluaskan informasi itu kepada anggotanya, dan seketika menganggap tempat yang dilanda mogok sebagai daerah terlarang. Kaum majikan dengan begitu harus berhadapan sendiri dengan buruhnya. Dengan begini, pemogokan pembuat cerutu di Barcelona berhasil meraih kemenangan pada hari berikutnya." Internasionale Marx adalah organisasi serikat-serikat buruh, bukan himpunan partai politik.

Marx yakin bahwa buruh seharusnya mengambil kekuasaan negara tapi tidak punya blueprint universal untuk mencapai tujuan itu. Cara buruh mengambilalih kekuasaan akan berbeda dari satu negeri ke negeri lain. Ada banyak metode berbeda untuk meningkatkan kekuatan buruh: koperasi, serikat buruh, partai politik dan seterusnya. Ia berpikir bahwa di negeri tertentu seperti Inggris, di mana hak-hak sipil lebih diakui, buruh dapat merebut kekuasaan dengan aksi politik sipil. Dalam wawancara yang sama ia mengatakan, "Insureksi tidak masuk akal kalau agitasi damai lebih cepat dan pasti mendatangkan hasil."

Penekanan Lenin pada partai politik sebagai pelopor yang memimpin gerakan buruh untuk merebut kekuasaan negara melalui insureksi mungkin salah satu penafsiran yang balid terhadap gagasan Marx mengenai strategi. Tapi jelas bukan satu-satunya penafsiran yang valid. Masalahnya keberhasilan Revolusi Soviet membuat strategi Lenin seolah-olah satu-satunya penafsiran yang valid untuk semua negeri.

Seperti halnya berbagai penafsiran Marxisme dibakukan setelah kematian Marx, berbagai tafsir terhadap Leninisme juga dibakukan setelah Lenin wafat. Orang yang paling bertanggungjawab untuk membakukan versi resmi Leninisme adalah Josef Stalin, pemimpin Partai Komunis Uni Soviet yang bertangan besi. Sebelum kematiannya, Lenin mengingatkan pemimpin partai yang lain bahwa Stalin tidak boleh dibiarkan memimpin partai. Tapi Stalin akhirnya berhasil merebut kepemimpinan dalam pertarungan setelah kematian Lenin dan menciptakan kediktatoran. Lenin yang mengembangkan pikirannya sendiri tentang Marxisme, setidaknya masih setia pada pikiran Marx. Tapi Stalin menciptakan Leninisme yang sepenuhnya mengingkari Lenin (dan Marx).

Stalin menciptakan kultus individu Lenin yang sudah meninggal: patung-patung Lenin dididirikan di seluruh Uni Soviet, anak sekolah diajar untuk menyembahnya seperti tokoh superhuman tanpa cacat, dan sebuah mausoleum dibangun di Moskow, menjadi semacam tempat ziarah baru. Stalin mengatur agar jenazah Lenin dibalsem dan dengan begitu diabadikan seperti seorang firaun dari Mesir. Tafsir Stalin terhadap Lenin sebenarnya mencerminkan hal yang sama: membuat pikiran Lenin menjadi mumi yang tak bergerak. Saat jenazah Lenin tengah dibalsem, Stalin memberi kuliah di universitas yang kemudian diterbitkan 1924 dalam bentuk buku yang berjudul Dasar-Dasar Leninisme. Di bawah Stalin, Leninisme dan juga Marxisme, tidak lebih dari ideologi negara yang sakral. Marxisme-Leninisme menjadi semacam agama resmi negara.

Salah satu ritual partai komunis di Uni Soviet adalah memasang potret Marx, Engels, Lenin dan Stalin dalam satu baris, seolah mereka adalah deretan orang suci, yang menghibahkan bendera revolusi buruh dari satu generasi ke yang lain. Potret-potret itu biasanya dipasang dalam pigura dan digantung di kantor-kantor partai. Gambar potret empat tokoh berukuran besar dipasang di lapangan kota dan stadion olahraga.

Saat memasuki usia senja, Karl Kautsky, merenungi pendewaan empat orang itu dan vulgarisasi pikiran Marx di Uni Soivet. Dalam Marxisme dan Bolshevisme yang terbit 1934 ia menulis, "tak ada yang lebih dikhawatirkan Marx daripada pendangkalan ajarannya menjadi sekte yang ketat❭ Apa yang akan dikatakannya seandainya masih hidup melihat sekelompok Marxis yang berhasil merebut kekuasaan negara malah membuat Marxisme menjadi agama negara, sebuah agama yang keyakinan dan tafsirnya diawasi oleh negara, sebuah agama yang tidak boleh ditafsirkan berbeda � salah sedikit mendapat ganjaran keras dari negara; sebuah Marxisme yang berkuasa dengan cara-cara sama seperti Inkuisisi Spanyol, dikobarkan dengan api dan pedang, menciptakan praktek ritual teatrikal seperti yang digambarkan oleh jenazah Lenin dibalut balsem?"

Membebaskan Marx dari Marxisme Soviet dan Anti-Marxisme

Uni Soviet di bawah Stalin dan penerusnya, begitu memuja Marx sampai-sampai justru melecehkannya. Marx, pelarian berjenggot asal Jerman yang hidup miskin di London akhirnya dianggap bertanggungjawab atas kejahatan kediktatoran Stalin yang mengerikan dan terjadi di sebelah timur Eropa 50 tahun setelah kematiannya. Orang anti-komunis mengatakan gagasan Marx adalah akar totalitarianisme Stalin. Beberapa di antaranya malah secara absurd mengatakan bahwa akarnya dapat ditelusuri lebih jauh kepada mereka yang mempengaruhi Marx, seperti Hegel dan Rousseau. Mereka menilai Marx berdasarkan apa yang terjadi di Uni Soviet. Karena itu Marxisme dianggap runtuh seiring ambruknya Uni Soviet tahun 1990, seolah-olah nasib analisis Marx tentang kapitalisme sepenuhnya bergantung pada keberadaan Uni Soviet.

Literatur tentang Marxisme yang diterbitkan negara Soviet juga mengacaukan persepsi kita tentang Marx. Terbitan-terbitan itu cenderung mereduksi gagasan Marx menjadi perangkat prinsip yang kebal kritik: materialisme historis dan materialisme dialektik adalah prinsip yang paling terkenal, seperti dikatakan Herbert Marcuse dalam Marxisme Soviet: Sebuah Kritik.

Marx sendiri tidak pernah membuat apalagi menganut prinsip-prinsip yang dalam kepustakaan Soviet disebut berasal darinya. Menurut versi standar Soviet tentang materialisme historis, Marx digambarkan sebagai orang yang percaya bahwa perubahan dalam teknologi akan menghasilkan perubahan dalam pengorganisasian produksi ekonomi yang nantinya akan menghasilkan perubahan dalam kebudayaan. Ini adalah pandangan teori sejarah "determinsime teknologi", karena menganggap teknologi sebagai penyebab dasar semua perubahan sosial. Marx sendiri tahun 1881 menulis surat-surat kepada "Marxis" Rusia yang mengatakan teori "determinisme teknologi" ini adalah miliknya. Marx membalas bahwa ia tidak pernah bermaksud merumuskan "teori lintas-sejarah" yang valid untuk sejarah umat manusia.

Untuk memahami pikiran Marx, orang perlu membaca teks-teksnya dan memahaminya dalam konteks sejarah, membebaskannya dari interpretasi mereka yang menyebut dirinya Marxis. Pikiran Marx seharusnya dilihat lepas dari pikiran orang lain, termasuk sahabatnya yang sering menulis bersama, Friedrich Engels. Berbeda dari anggapan tradisi Marxis yang berkembang kemudian, kedua orang ini tidak bisa dianggap sebagai kembar siam secara ideologi. Dalam beberapa hal, tulisan Engels justru menjadi awal dari vulgarisasi pikiran-pikiran Marx. Ia misalnya menulis tentang dialektika sebagai prinsip a priori untuk memahami semua gejala alam. Prinsip yang sama sekali tidak ada dalam tulisan Marx. Karena Engels hidup lebih lama, sampai 1894, ia giat terlibat dalam politik radikal di Eropa dan banyak Marxis, termasuk Lenin, memahami Marx berdasarkan tafsiran Engels.

Marx bukan orang suci atau setan. Ia seorang intelektual cemerlang yang coba memahami dunia sekelilingnya. Argumennya tidak bisa diterima begitu saja tanpa kritik, tapi sebaliknya tidak bisa dikritik tanpa terlebih dulu menggeluti teks-teksnya secara teliti. Pikiran Marx dalam hal ini sama pentingnya bagi zaman modern seperti halnya Kant, Hegel, Darwin, Freud dan Weber.

Sering dikatakan bahwa ilmu sosial Barat adalah dialog berkepanjangan dengan Marx. Dialog ini biasanya tidak adil terhadap Marx. Jika di Indonesia setelah 1965 kaum intelektual menyetujui pemberangusan pikiran Marx, di Barat intelektual membiarkan Marx bicara tapi tidak mau mendengarkannya. Buku-bukunya bisa didapat dengan bebas dan dipakai dalam kuliah di universitas. Teks-teks Marx bukan hanya sulit dibaca tapi juga dikelilingi rerimbunan argumen anti-Marxis. Banyak intelektual yang sepertinya merasa wajib menciptakan alasan tertentu untuk mendiskreditkan dirinya. Dengan adanya sentimen anti-Marxis ini, tentu mudah menganggap Marx sebagai idiot atau sebagai pemberontak yang bernapsu jahat tanpa berusaha mendengarnya terlebih dulu.

Dalam hitungan saya sekurangnya ada delapan kritik terhadap Marx yang biasa dipakai. Ia dituduh, (1) terlalu materialistik dan tidak memberi perhatian pada ideologi dan kebudayaan, (2) seorang pemikir dari abad ke-19 yang tidak relevan lagi dalam abad ke-20 atau ke-21 ini, (3) seorang pemikir Eropa yang tidak relevan bagi wilayah lain di luar Eropa, (4) seorang chauvinist yang mendukung kolonialisme, (5) menerapkan pandangan "teleologis" dalam sejarah � artinya menganggap masyarakat manusia menuju arah tertentu, yakni sosialisme, (6) hanya memperhatikan penindasan kelas dan tidak memahami jenis-jenis penindasan lain seperti misalnya, ras dan jender, (7) menentang demokrasi karena mendukung gagasan "kediktatoran proleratiat" dan (8) seorang ateis yang menganggap agama sebagai "candu bagi rakyat".

Saya pikir tak satu pun kritik itu akan berlaku setelah kita membaca karya Marx dengan hati-hati. Kritik-kritik itu biasanya salah sama sekali dan harus ditolak, atau tidak terlalu tepat sehingga harus dirumuskan lagi. Misalnya mengenai butir terakhir. Ia tidak melihat agama semata-mata sebagai siasat kelas penguasa untuk menipu kelas-kelas bawah dan menghalangi mereka memahami realitas penindasan (karena itu disebut "candu bagi rakyat"). Ia juga menyebut agama sebagai "hati dalam dunia tanpa nurani" dan "keluh duka kaum tertindas". Ia paham bahwa buruh berpaling pada lembaga agama untuk mencari dukungan emosional dan bantuan ekonomi saat mereka berjuang bertahan hidup dalam ketidakpedulian terhadap nasib mereka. Dalam hal ini Marx sama ateisnya dengan kaum borjuis di zamannya. Seperti banyak orang lain di zaman itu, ia menganggap berkembangnya ilmu dan keamanan ekonomi membuat orang tidak lagi melihat perlunya agama. Jadi, ia tak pernah menyerang agama atau mengobarkan pelarangan terhadap agama. Tentu saja ada alasan untuk bersikap kritis terhadap Marx. Anjuran saya, sebaiknya kita mempelajarinya sungguh-sungguh sebelum mengkritik.

Sungguh ironis bahwa politisi Indonesia memilih mempertahankan pelarangan terhadap tulisan Marx setelah krisis ekonomi Asia 1997. Padahal Marx dengan piawai menggambarkan naik turunnya siklus kapitalisme yang dahsyat: "Revolusi terus menerus dalam produksi, kacaunya kondisi sosial tanpa henti, ketidakpastian dan kegelisahan yang berurat-akar membedakan era borjuis dari yang ada sebelumnya. Semua hubungan yang pasti dan membeku, berikut gelombang prasangka dan pendapat yang kuno lagi suci, disapu habis, segala yang baru terbentuk menjadi usang sebelum sempat mengental. Segala yang padat menguap dalam udara". Bukankah kalimat dari 1848 ini dengan tepat menggambarkan keadaan Indonesia sekarang, ketika semua yang kita anggap padat ternyata menguap dalam udara?

Krisis ekonomi mengungkap bahwa kemakmuran dan keamanan Orde Baru sebenarnya ilusi saja � semuanya menguap dalam udara. Bukankah kapitalisme, sistem yang hanya dapat bertahan dengan pertumbuhan dan pasar tanpa kontrol, senantiasa menghasilkan perubahan dan instabilitas? Bukankah tujuan Marx sesungguhnya adalah mengakhiri perubahan dahsyat dan revolusi yang dihasilkan kapitalisme itu? Anggota MPR bisa saja melarang tulisan Marx karena dianggap "revolusioner", tapi apa yang mereka lakukan untuk mencegah revolusi-revolusi kapitalisme, seperti revolusi yang menghantam Indonesia tahun 1997 dan berakibat jutaan orang menjadi penganggur dan terhempas ke kemiskinan absolut?

>>>Untuk membaca karya-karya Marx, Engels, Kautsky, Lenin dan Marxis lainnya kita dapat melihat arsip Internet yang tidak berhasil disensor pemerintah Indonesia di www.marxists.org

JOHN ROOSA, sejarawan yang bekerja di Universitas California, Berkeley, AS.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 12: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

KUDETA 1 OKTOBER 1965 SEBUAH ANALISA AWAL Judul Asli : Preliminary Analysis of the Oktober 1, 1965, Coup in Indonesia Karangan : Benedict Anderson dan Ruth T. McVey Penerjemah: Galuh HE Akoso dan Yeri Ekomunajat Penerbit: LKPSM – Syarikat 2001. xiii, 350 hlm.

KAUM MERAH MENJARAH Karangan : Aminuddin Kasdi Penerbit: Jendela 2001. xxi, 387 hlm

PALU ARIT DI LADANG TEBU Hermawan Sulistyo Penerbit : Gramedia 2000. xiii, 315 hlm

Sumber Sejarah yang Timpang

Rinto Trihasworo

Peristiwa G 30 S ibarat sebuah bola peristiwa yang besar. Tiap ahli sejarah hanya tahu sisi bola bagian depan sementara bagian belakang ia tidak mengetahuinya. Yang lainnya hanya tahu sisi bola sebelah atas sementara sisi bola sebelah bawah ia tidak mengetahuinya. Jika dengan ilustrasi seperti ini sebenarnya mudah saja menyatukan tiap-tiap sisi agar terbentuk sebuah informasi yang utuh (bulat). Tapi yang menjadi masalah adalah ‘dokumen-dokumen hidup’ ,yang dapat membuat bola informasi yang utuh, dibunuh dan dibuang tanpa lebih dulu diproses secara hukum untuk memberikan informasi apa yang sesungguhnya terjadi.

Banyak orang berprasangka terhadap “pengadilan” kilat (eksekusi tanpa proses peradilan) bagi mereka yang berperan dalam peristiwa G 30 S. Proses pengadilan kilat tanpa proses hukum adalah manifestasi dari “gregetannya” Angkatan Darat terhadap mereka. Atau prasangka lain yang mengatakan bahwa pengadilan kilat tersebut merupakan bagian dari skenario besar dalam peristiwa G 30 S, yang memang secara sistematis sengaja memotong rantai informasi dari perisiwa tersebut.

Apapun prasangka-prasangka yang muncul mungkin diantaranya ada yang benar, tapi yang jelas bahwa dengan dibunuhnya mereka yang terlibat dan dekat dengan peristiwa G 30 S usaha mencari informasi yang utuh peristiwa 65 akan menemui kesulitan besar (kalau tidak mau dibilang buntu).

Disamping hambatan dalam mencari sumber-sumber informasi yang valid, nampaknya usaha para sejarawan untuk mengungkap peristiwa G 30 S harus “kejar-kejaran” dengan usaha pemerintah Orde Baru yang selalu berusaha menutup ruang informasi seputar peristiwa G 30 S. Salah satu bentuknya adalah pembuatan buku-buku sejarah untuk referensi pendidikan sejarah nasional di tiap-tiap sekolah. Karena yang membuat adalah pemerintah yang berkuasa, sudah barang tentu isinya pun akan memihak kepada pembuatnya. Belum lagi bentuk “pengharaman-pengharaman” atau pelarangan-pelarangan lewat institusi resmi, baik melalui Ketetapan maupun Keputusan.

Tiga buku ini mengurai peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan dengan peristiwa G 30 S, baik peristiwa yang terjadi sebelum, saat, maupun setelah G 30 S. Dari tiga buku ini hampir semuanya luput membicarakan peran serta atau andil Amerika dan Negara Eropa dalam peristiwa G 30 S. Padahal sangat jelas bahwa pada periode tahun 60a-an atau setelah perang dunia ke II, perang tidak lagi dalam bentuk konfrontasi secara fisik, melainkan perang melalui memberikan bantuan keuangan dan training sipil maupun militer.

Tiga buku ini mempunyai spesifikasi informasi yang berbeda. Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Analisa Awal karya Ben Anderson dan Ruth T. Mc Vey lebih banyak memberikan analisa mengenai peristiwa G 30 S dalam konteks konflik internal Angkatan Darat, serta kemungkinan-kemungkinan keterlibatan AURI, Sukarno dan PKI dalam peristiwa tersebut.

Buku Kaum Merah Menjarah karya Aminuddin Kasdi lebih banyak mengurai tentang aksi sepihak kaum tani miskin/buruh tani di Jawa Timur yang diorganisir oleh BTI/PKI berkaitan dengan pemberlakuan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 tahun 1965 dan Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) No 2 Tahun 1965. Sedangkan buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Hermawan Sulistyo lebih banyak menyoroti konflik horisontal yang terjadi setelah peristiwa G 30 S antara warga NU di Jawa Timur dengan anggota BTI/PKI.

Buku Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Analisis Awal, disebutnya sebagai sebuah analisis awal mungkin disebabkan oleh kurun waktu pencarian data yang begitu singkat, sehingga sulit untuk mengeksplorasi informasi yang valid seputar peristiwa G 30 S. Sementara yang akan diungkap adalah peristiwa yang begitu besar dan terjadi secara simultan hingga tahun 1971. Buku ini sendiri mereka tulis pada tahun 1971 (diterjemahkan tahun 2001). Merupakan kurun waktu yang sangat singkat untuk mencari sebuah data yang akurat dari sebuah peristiwa yang besar.

Selain kurun waktu yang begitu singkat untuk mencari fakta, sumber-sumber informasi yang dapat dieksplorasi lebih jauh pada umumnya sedang mengalami penahanan, pembuangan atau dibunuh. Belum lagi situasi politik Indonesia pada saat itu sedang memasuki masa peralihan dari Demokrasi Terpimpin Sukarno menuju Demokrasi Pancasila di bawah Suharto. Sangat sulit rasanya membayangkan untuk mendapatkan informasi yang berimbang selain informasi yang bersumber dari mereka yang berkuasa pada saat itu.

Salah satu data yang dipaparkan dan bersumber dari pihak Angkatan Darat –yang sebenarnya merupakan senjata ampuh dan kerap digunakan oleh pihak Angkatan Darat untuk membakar emosi massa anti PKI ketika dilakukan penumpasan PKI, dan selama masa pemerintahan Orde Baru – adalah keterlibatan Gerwani dalam peristiwa dan dipersenjatainya para anggota Gerwani dengan silet serta pisau untuk secara bergiliran melukai tubuh para jenderal.

Namun begitu, para penulis buku ini juga menampilkan referensi lain seputar kondisi tubuh para jenderal yang merujuk pada pidato Presiden Sukarno pada tanggal 12 dan 22 Desember yang mengatakan bahwa dalam laporan tim dokter yang memeriksa kondisi mayat tidak menemukan tanda-tanda pencungkilan mata dan pemotongan alat kelamin seperti yang disebutkan dalam berita Angkatan Darat.

Selain menampilkan referensi yang berbeda, pada tahun 1987, Ben pernah menulis sebuah artikel dalam Indonesia No. 43 dengan judul “How Did Generals Die?” Ben menampilkan fakta-fakta baru seputar kondisi jenasah para jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya, dengan referensi hasil otopsi tim dokter yang memeriksa mayat para jenderal. Dalam otopsi tersebut disebutkan bahwa alat kelamin para jenderal utuh dan tidak ada luka-luka bekas sayatan benda tajam. Kalaupun ada luka, hanya luka tembak atau luka akibat benturan dengan dinding sumur. Jadi jelas bahwa tidak ada sayatan pada wajah para jenderal, apalagi pemotongan alat kelamin.

Jika melihat fenomena diatas jelas bahwa ada dua informasi yang berbeda dari satu sumber yang sama. Hal ini juga semakin menunjukkan pada kita bahwa proses pencarian data baru (fakta lama yang baru bisa dibuka) terus dilakukan oleh penulisnya. Disamping juga menginformasikan kita secara eksplisit bahwa proses pencarian kebenaran sejarah selalu dihambat oleh kekuasaan pemerintah yang berkuasa pada saat itu.

Hal yang menarik dalam buku ini adalah perincian mengenai operasi penangkapan para jenderal, sampai pada siapa menculik siapa dan berapa kekuatannya. Selain itu buku ini juga memberikan beberapa analisa mengapa Letkol Untung melibatkan Panglima Angkatan Udara dan Ketua PKI dalam G 30 S serta “menculik” Presiden dan membawanya ke Pangkalan Halim.

Jika membaca seluruh rangkaian yang dipaparkan dalam buku ini, nyata sekali bahwa G 3O S merupakan konflik internal Angkatan Darat yang umumnya terdiri dari perwira-perwira muda Angkatan Darat. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar G 30 S murni konflik dalam tubuh Angkatan Darat dan tokoh-tokoh PKI tidak terlibat dalam urusan ini? Karena sangat sulit diterima nalar jika orang sekelas D.N. Aidit mau diminta datang ke Halim tanpa ia tahu apa yang sedang dan akan terjadi di Halim. Bukankah dengan latar belakangnya sebagai ketua partai komunis secara sembunyi-sembunyi sebenarnya ia terlibat perseteruan dengan Angkatan Darat, terutama para jenderal yang diculik?

Sekalipun dalam bukunya Ben Anderson menyebutkan bahwa bukunya merupakan sebuah analisa awal (A preliminary Analysis), namun hingga kini Ben tidak pernah menulis buku “Edisi Akhir” tentang Kudeta 1 Oktober 1965. Memang kita belum bisa membuat sebuah pernyataan bahwa Ben tidak membuat Edisi Akhir tentang Kudeta 1 Oktober, karena Ben masih hidup hingga sekarang. Jika Ben dapat membuat analisa akhir paling tidak ia dapat memberikan koreksi atas analisa awal, misalnya analisa mengenai latar belakang peristiwa G 30 S. Apakah peristiwa G 30 S merupakan murni konflik dalam tubuh Angkatan Darat? Apakah benar bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa tersebut? Atau, sekalipun ada orang-orang PKI terlibat dalam peristiwa tersbut, namun secara organisasi PKI tidak terlibat?

Dalam buku Ben dan Ruth, mengenai pembantaian massal yang terjadi setelah peristiwa G 30 S memang tidak terlalu banyak dibicarakan. Namun dari pemaparan singkat keduanya menjelaskan bahwa dengan dimulainya operasi penumpasan PKI yang dimulai dari Semarang tanggal 17 dengan motor penggerak RPKAD adalah dimulainya gelombang aksi pembantaian terhadap anggota dan simpatisan PKI, dan menggiring terciptanya “perang saudara”. Tentu perang saudara yang tak seimbang, karena para pemuda yang diorganisir oleh RPKAD, yang umumnya adalah Pemuda Nasionalis dan Pemuda Islam, dilatih secara militer dan dibekali senjata. Sementara lawannya adalah kelompok orang yang tidak mempunyai prediksi apa yang bakal terjadi dan belum pernah mendapatkan latihan pertempuran.

Jika dibandingkan, informasi seputar pembantaian massal terhadap orang-orang PKI yang dipaparkan oleh Ben dan Hermawan mempunyai benang merah yang berbeda. Ben dan Ruth melihat aksi pembantaian terhadap orang-orang PKI yang dilakukan oleh warga sipil tidak lepas dari peran militer, dalam hal ini RPKAD. Sehingga informasi tersebut dapat menjelaskan bahwa aksi pembantaian tersebut merupakan konflik vertikal. Bukan konflik antar warga sipil atau konflik horisontal. Sedangkan Hermawan Sulistyo dalam bukunya lebih menyoroti konflik tersebut sebagai konflik Horisontal, warga NU dengan anggota atau simpatisan PKI.

Hermawan Sulistyo hampir tidak menyinggung bagaimana peran militer dalam pembantaian terhadap orang-orang PKI oleh warga NU. Hubungan warga NU dengan orang-orang PKI memang seperti api dalam sekam, lebih-lebih sejak maraknya aksi sepihak.

Memang tidak bisa diingkari bahwa banyak warga NU yang terlibat dalam pembantaian terhadap orang-orang PKI. Namun pembantaian itu sendiri sebenarnya tidak lepas dari peran serta militer baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya dengan melatih kemiliteran dan mempersenjatai para pemuda NU yang tergabung dalam Banser untuk menghadapi orang-orang PKI.

Wilayah penelitian antara Ben dan Ruth dengan Hermawan Sulistyo memang berbeda. Ben dan Ruth lebih banyak mengangkat informasi mengenai apa yang terjadi di Jawa Tengah, sedangkan Hermawan lebih banyak mengenai informasi Jawa Timur. Namun mesti diingat bahwa setelah melakukan operasi penumpasan di Jawa Tengah, RPKAD mengalihkan operasi penumpasan PKI ke Jawa Timur. Dengan beralihnya operasi penumpasan PKI ke Jawa Timur, otomatis terbuka ruang untuk dilakukannya pembantaian terhadap orang-orang PKI di Jawa Timur seperti yang dialami Jawa Tengah ketika RPKAD datang.

Sementara itu, Kaum Merah Menjarah, Aminuddin Kasdi memaparkan mengenai aksi sepihak yang dijalankan oleh petani/BTI berkaitan dengan pemberlakuan UUPA dan UUPBH. Jika dikaitkan dengan buku Hermawan Sulistyo, peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam buku Kaum Merah Menjarah ini merupakan penyebab terjadinya pembantaian massal orang-orang PKI oleh warga NU di Jawa Timur setelah peristiwa G 30 S.

Aminuddin melihat bahwa pemberlakuan UUPA dan UUPBH tidak lebih dari sekedar momentum reformasi di bidang agraria yang dimanfaatkan oleh PKI untuk memperoleh lebih banyak pendukung.

Dalam tulisannya, Aminuddin terkesan hanya mengangkat tentang aksi sepihak yang dilakukan oleh para petani, sementara alasan mengapa para petani melakukan aksi sepihak tidak banyak diungkap. Sehingga aksi sepihak yang dilakukan oleh petani tergambar sebagai sebuah aktivitas yang mengerikan: menjarah.

Referensi yang ia gunakan memang banyak bersumber dari media BTI/PKI, namun referensi tersebut umumnya ia gunakan untuk lebih menegaskan aksi sepihak yang dilakukan oleh para petani/BTI, bukan sebagai informasi yang kemudian ia gunakan sebagai pisau analisa untuk menggali lebih dalam mengapa para petani melakukan aksi sepihak.

Hal ini dapat dilihat dari tulisan Aminuddin mengenai bagaimana cara PKI/BTI memberikan pendidikan politik pada kaum tani, bagaimana cara pengerahan massa, bagaimana strategi melakukan aksi sepihak dan lain-lain. Namun sedikit sekali informasi yang rinci bagaimana para tuan tanah memperoleh tanah yang begitu luas, padahal banyak tuan tanah memperoleh tanah yang luas dengan cara tidak wajar. Seperti yang diungkapkan oleh Lance Castles bahwa akumulasi kepemilikan tanah secara perorangan di Jawa Timur pada periode 1964-66 sangat tinggi, padahal pada periode itu UUPA No. 5 tahun 1960 sudah berlaku.

Jika buku ini dibuat untuk kepentingan dunia akademis, semestinya Aminuddin menggunakan sumber informasi yang berimbang. Tapi faktanya Aminuddin hanya mencari sumber lisan dari pihak NU/PNI sementara ia tidak mengejar informasi lisan dari para petani yang pernah melakukan aksi sepihak. Padahal hal ini sangat mungkin dilakukan oleh Aminuddin karena masih banyak tokoh-tokoh BTI yang masih hidup sampai sekarang.

Sekalipun Aminuddin berulang kali menyebutkan “sabotase” atau “penyelewengan” terhadap penerapan UUPA dan UUPBH namun ia tidak menjelaskan secara detil bagaimana para tuan tanah menyabot dan menyelewengkan UU ini. Beda dengan ketika ia menjelaskan tentang aksi sepihak yang dilakukan oleh para petani. Aminuddin terkesan menempatkan posisi mereka (tuan tanah) yang menjadi sasaran aksi sepihak dalam kadar kesalahan yang rendah.

Jika melihat aksi sepihak yang dilakukan oleh petani miskin/BTI secara hitam putih, maka aksi tersebut selaras dengan judul buku ini: Kaum Merah Menjarah. Tapi kalau dilihat lebih kedalam mengenai alasan yang menjadi dasar dilaksanakannya aksi tersebut, kita juga akan melihat bahwa para tuan tanah juga sebenarnya melakukan penjarahan. Sebagai contoh misalnya, tanah berlebih merupakan tanah yang harus diserahkan kepada panitia landreform untuk dibagikan kepada kaum tani tak bertanah. Belum lagi kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan oleh tuan tanah baik sebelum maupun setelah UU ini diberlakukan. Kejahatan-kejahatan tersebut misalnya pemberian upah yang tidak adil kepada buruh tani, sewa menyewa tanah yang tidak fair.

Kini, istilah tuan tanah memang sudah tidak lagi populer, kini ia berganti nama menjadi “Petani Berdasi”. Sekalipun berdasi, bukan berarti ia lebih santun dari istilah sebelumnya. Karena ia masih mempunyai semangat yang sama untuk menghisap siapapun juga yang dapat ia hisap.

Kita semua tentu tahu, bahwa UU yang dijadikan dasar oleh petani miskin dalam melakukan aksi sepihak adalah UU No. 5 tahun 60 yang hingga kini masih berlaku. Tetapi mengapa setelah 42 tahun keberlakuannya masalah agraria tetap tidak pernah selesai, dan petani tak bertanah semakin tinggi populasinya diiringi dengan populasi kaum petani berdasi.

Rinto Trihasworo, Pengajar pada Universitas Sanggar Akar

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 13: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

PAUL ROBESON: Mendendangkan Lagu, Mengagungkan Manusia

Ayu Ratih

Setiap seniman, setiap ilmuwan, harus memutuskan sekarang dimana dia berdiri. Ia tak punya pilihan lain. Tak mungkin ia mengawang atasi benturan di puncak Gunung Olympus. Tak ada pengamat imparsial. Dengan terjadinya penghancuran warisan karya seni orang-orang agung di berbagai negeri, dengan maraknya propaganda gagasan-gagasan palsu tentang keunggulan suatu ras dan bangsa, seniman, ilmuwan, penulis ditantang untuk bersikap. Perjuangan ini menyerbu ruang-ruang universitas dan wadah menuntut ilmu lainnya yang dahulu demikian terlindungi. Medan pertempuran itu kini dimana-mana. Tak ada lagi sisi untuk cari selamat. Pidato di tengah demonstrasi mendukung Republik Spanyol, Albert Hall, London, 1937

Dalam sejarah Amerika Serikat (AS) yang sarat dengan cerita peperangan dan penyerbuan ke berbagai negeri tercatat perjalanan seorang penyanyi, aktor, sekaligus aktifis perdamaian yang mencoba membangun solidaritas antar bangsa melalui lagu. Paul Robeson, dengan suara bass-bariton yang empuk, membawakan lagu-lagu rakyat dalam sekurangnya 20 bahasa, bukan saja di gedung-gedung konser megah, tetapi juga di tengah pertempuran melawan fasisme dan pertemuan serikat-serikat buruh di berbagai belahan dunia. Seperti alunan kisah 6 sungai besar yang menjalin muka bumi – Amazon, Gangga, Mississipi, Nil, Volga dan Yangtze – dalam salah satu lagunya yang ternama Song of the Rivers, suara Paul menerobos batas ras, kelas dan negara, serta mengajak pendengarnya membayangkan dunia baru yang lebih adil, damai dan manusiawi.

Ketika aku melantunkan melodi rakyat Amerika di Budapest, Praha, Tiflis, Moskow, Oslo, atau Hebrides, atau bahkan di garis depan medan perang Spanyol, orang mengerti dan menangis atau bergembira oleh semangat yang terkandung dalam lagu-laguku. Aku menemukan bahwa ketika ada kekuatan yang sama, apakah itu dari orang yang menenun, mendirikan bangunan, memetik kapas, atau menggali tambang, mereka memahami satu sama lain lewat bahasa yang serupa, yaitu bahasa kerja, penderitaan dan protes.

Sementara di dunia internasional semangat Paul bersambut hangat, di tanah kelahirannya ia berhadapan dengan histeria anti-komunis yang segera berkembang menjadi patriotisme sempit. Penguasa AS yang sedang menikmati kemenangan dalam Perang Dunia II dan bergairah merancang perang baru melawan bekas sekutunya, Uni Soviet, terusik oleh seruan perdamaian yang didengungkan Paul lewat lagu dan pidatonya. Kekaguman sang seniman atas Revolusi Bolshevik 1917 dan hubungan baiknya dengan para aktifis organisasi-organisasi kiri, termasuk Partai Komunis AS, pun menjadi bahan utama untuk mempertanyakan loyalitas Paul Robeson terhadap negerinya.

Berbekal dokumen hasil pengamatan dinas intelijen dalam negeri AS, FBI, pada 1950 Departemen Dalam Negeri AS mencabut paspor Paul Robeson. Kemudian, ia dipanggil dan diinterogasi selama berjam-jam oleh House Un-American Activities Committee (HUAC) — sebuah komite khusus yang didirikan parlemen AS atas usulan Senator Joseph McCarthy untuk menyelidiki kegiatan yang diduga bersifat “komunis”. HUAC memberondong Paul dengan pertanyaan tentang keterkaitannya dengan gerakan komunis internasional. Ia juga didesak untuk mengecam Uni Soviet, menyebutkan nama tokoh-tokoh komunis AS, dan menjawab apakah ia anggota Partai Komunis. Sang penyanyi dengan tegas menolak desakan tersebut karena ia melihat seluruh proses interogasi ini sebagai pelanggaran terhadap hak-hak Konstitutionalnya sebagai warga negara AS.

Dari “pahlawan” penghibur tentara Sekutu sepanjang Perang Dunia II Paul menjadi salah satu musuh utama negara, “agen asing” yang melakukan tindakan “anti-Amerika”. Penghilangan hak berperjalanan diikuti dengan pembatalan paling tidak 85 konser dalam setahun dan pelenyapan piringan hitam lagu-lagunya dari toko-toko musik di seantero AS. Namanya masuk daftar hitam di Broadway dan Hollywood. Sedangkan media massa utama tak henti-hentinya menonjolkan kecintaan Paul terhadap Uni Soviet dan menyesali bahwa “manusia seperti ini pernah lahir di AS”. Sebagian bekas pengagumnya di kalangan kulit putih masih berpikir bahwa Paul “terkena pengaruh buruk” dan berharap ia kembali menjadi seniman, bukan pembicara politik. Penghasilannya sebagai bintang ternama menurun drastis dari ratusan ribu dolar per tahun menjadi $3000. Yang cukup membuat Paul terpukul justru serangan telak dari pimpinan organisasi mapan yang memperjuangkan persamaan hak bagi kaum kulit hitam, Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Rakyat Kulit Berwarna (NAACP). Ketakutan mereka akan tuduhan “komunis” membuat mereka berusaha mati-matian menunjukkan kesetiaannya pada pemerintah AS dan menuduh Paul pengkhianat bangsa Negro.

Namun, troubadour yang dikenal sangat percaya diri ini tidak menyerah begitu saja. Ia yakin bahwa pimpinan NAACP — “para kacung tuan-tuan kulit putih” — tidak mewakili aspirasi jutaan rakyat Negro yang mengalami penghinaan dan pemerasan dalam kesehariannya. Ia lancarkan seruan yang lebih tegas bahwa bangsa Negro “tidak seharusnya mati di negeri asing demi kejayaan Wall Street dan orang-orang serakah pendukung fasisme domestik”. Solidaritas bagi Paul pun mengalir dari berbagai kelompok progresif di AS dan di negeri-negeri lain. Untuk menghadapi ancaman serbuan dari kelompok kulit putih konservatif, Klu Klux Klan dan American Legion, ia diantar ke Peekskill, New York oleh 25.000 pendengarnya dan konsernya dijaga oleh 2500 aktifis serikat buruh serta veteran perang anti-fasis – sebagian besar berbangsa Yahudi. Pada 1952-53 ia berturut-turut diundang tampil di pertemuan tahunan Serikat Internasional Buruh Tambang, Penyaring dan Pengelas Logam British Columbia di Vancouver, Kanada. Sebagai warga negara AS seharusnya ia tak memerlukan paspor untuk berangkat ke Kanada, tapi Departemen Imigrasi AS tak mengijinkannya melalui perbatasan. Maka, organisasi pengundangnya mengatur agar Paul bisa menyanyi di hadapan sekitar 40.000 orang yang menanti di kedua sisi perbatasan AS-Kanada. Di London Komite “Biarkan Paul Robeson Menyanyi” berhasil memanfaatkan jaringan telepon untuk mengudarakan suaranya bagi 600.000 buruh tambang Welsh pada 1957. Paul juga mengirimkan pesan perdamaian melalui telegram ke beberapa pertemuan penting tingkat dunia, seperti Konperensi Sastrawan Rusia (1954), Kongres Tahunan Dewan Perdamaian Dunia, dan Konperensi Asia Afrika di Bandung (1955).

Dengan ketenarannya sebagai penyanyi di dunia internasional sebenarnya Paul punya kesempatan untuk meninggalkan AS. Tapi, seperti yang terungkap dalam jawabannya di hadapan HUAC, ia memilih tetap berada di AS, karena:

… ayahku seorang budak, dan bangsaku mati untuk membangun negeri ini. Maka, aku akan tinggal di sini dan menikmati sebagian negeri ini seperti kamu. Dan tak seorang pun dengan pikiran fasis akan sanggup mengusirku dari sini. Apakah itu jelas?

Paul Leroy Bustill Robeson tidak mengada-ada. Lahir di Princeton, New Jersey pada 9 April 1898, sejak kecil ia sudah mengenal cerita perjuangan kaum Negro melawan perbudakan dan diskriminasi rasial di AS. Ayahnya, William Drew Robeson, adalah seorang budak yang melarikan diri dari Virginia pada usia 15 tahun. Ibunya, Maria Louisa Bustill, berasal dari keluarga berdarah campuran Eropa, Indian Chippewa dan Negro yang berpendidikan tinggi di Philadelphia. Keduanya aktif dalam gerakan pembebasan budak abad 18, Underground Railroad. Sebagai buah perjuangan penghapusan perbudakan dan ketekunan belajar, William Robeson berhasil menyelesaikan studinya di sekolah tinggi teologi khusus untuk kaum Negro dan menjadi pendeta di gereja African Methodist Episcopal Zion.

Saat Paul Robeson berumur 6 tahun ibunya meninggal akibat terbakar kompor gas di dapur rumahnya. Alhasil ayahnya menjadi orang terpenting yang menanamkan nilai-nilai dasar tentang kemanusiaan dan kebanggaan sebagai bangsa Negro dalam kehidupan keluarga Robeson. Hidup di tengah masyarakat yang tersegregasi secara rasial, Paul mau tak mau berhadapan dengan pembatasan, tekanan dan penghinaan dari mayoritas kaum kulit putih. Tak jarang ia kehilangan kesabaran dan melawan perlakuan diskriminatif ini dengan kekuatan fisik. Tubuhnya yang tinggi besar dan suaranya yang menggelegar memungkinkan hal ini. Kendati demikian, ayahnya senantiasa menekankan bahwa ia harus menunjukkan kebersahajaan bangsa Negro bukan dengan kekuatan fisik, tetapi dengan kemahiran di segala bidang kebudayaan, yang didukung kesantunan dalam bersikap, tanpa kehilangan harga diri.

Paul mematuhi nasehat sang ayah. Dengan prestasi cemerlang di bidang olahraga, kesenian dan ilmu pengetahuan ia lulus SMA sebagai pelajar teladan dan berhasil memperoleh beasiswa ke salah satu universitas terpandang di New Jersey, Rutgers University. Selama kurang lebih 100 tahun ia merupakan orang kulit hitam ketiga yang diterima di universitas tersebut. Dalam 4 tahun masa kuliahnya ia memperoleh 15 piagam sebagai bintang olahraga di bidang atletik, bola basket, baseball dan football. Ia juga terpilih untuk mewakili kampusnya dalam Tim Nasional Football AS dua tahun berturut-turut. Kemampuan menyanyi dan berpidato yang diperoleh dari pengalaman masa kecil di gereja ayahnya mendatangkan kekaguman dan berbagai penghargaan dari kalangan kulit putih. Di bidang akademis pun pencapaiannya tak kalah gemilang sehingga Rutgers University bersedia menganugerahkan gelar kehormatan ketika ia lulus terbaik pada 1919.

Paul Robeson melanjutkan kuliahnya di perguruan tinggi terpandang lainnya, yaitu Fakultas Hukum, Columbia University, New York. Di kampus ini lah ia bertemu dengan Eslanda Cardozo Goode, mahasiswi berdarah campuran Yahudi-Spanyol dan Negro, yang kemudian menjadi istrinya pada 1921. Ia juga mulai sesekali terlibat dalam produksi teater amatir, dan menjadi pemain pengganti profesional di panggung Broadway untuk membiayai kuliahnya. Perhatiannya mulai terpecah antara menjadi pengacara atau seniman. Seperti kebanyakan kaum Negro terpelajar pada saat itu Paul semata-mata berpikir tentang jalan terbaik bagi dirinya untuk hidup lebih layak. Setelah ia lulus ia sempat bekerja di sebuah kantor pengacara selama beberapa bulan. Tapi karena suasana rasis di kantor tersebut ia memutuskan untuk keluar. Istrinya lah, yang dikenal dengan panggilan Essie, kemudian yang mendorongnya untuk lebih menekuni karir sebagai seniman.

Kepandaian Paul membawa diri, didukung dengan kecekatan Essie membangun jaringan, membuat mereka segera diterima di lingkaran seniman, intelektual dan aktifis liberal kota New York. Pengakuan atas kemampuan berakting Paul Robeson dimulai sejak ia bergabung dalam kelompok pertunjukan berpengaruh Provincetown Players, di bawah pimpinan sutradara ternama AS, Eugene O’Neill. Sedangkan karirnya sebagai penyanyi justru berawal dari sebuah pertunjukan kecil yang diselenggarakan oleh salah satu sahabatnya, fotografer Carl van Vechten, untuk memberi kesempatan Paul mendendangkan lagu-lagu spiritual Negro. Ternyata cara Paul menghayati lagu-lagu tradisional ini sangat mengesankan kaum kulit putih. Secara teknis suara Paul dianggap “kasar” tanpa polesan, tapi bagi pendengarnya “keaslian” ini lah yang berharga. Paul dilihat sudah membawakan lagu-lagu tersebut dengan bersetia pada “kepedihan dan keriangan tak terbatas” yang terkandung dalam kehidupan kaum budak Negro. Kritikus seni pertunjukan kulit putih kemudian menobatkan Paul sebagai “penafsir musik spiritual” yang terbaik di jamannya.

Menariknya kecaman pedas muncul justru dari kalangan seniman kulit hitam. Kelompok yang berorientasi ke tradisi Eropa menganggap Paul sudah merendahkan kaumnya dengan menyanyikan “tembang perbudakan” tanpa teknik bernyanyi yang canggih. Sementara kelompok yang bergerak di tingkat akar rumput melihat resital musik spiritual yang diantar oleh penyanyi tunggal sudah menghilangkan spirit kolektif yang melahirkan karya seni tersebut. Resital serupa ini hanya merupakan hiburan bagi publik kulit putih. Paul sendiri saat itu percaya bahwa seni merupakan alat utama untuk menyelesaikan masalah rasialisme. Gagasan ini sangat dipengaruhi tradisi intelektual Harlem Renaissance: bahwa kemajuan ras yang tertindas ditentukan oleh pencapaian artistik tertinggi sang seniman sebagai individual, bukan oleh gerak kolektif, bukan pula oleh kegiatan politik.

Dalam waktu kurang dari 10 tahun Paul menjadi “mutiara hitam” kesayangan kaum kulit putih AS. Kesantunan dalam bersikap dan kelembutan suara Paul di atas dan di luar panggung membuat penggemarnya percaya bahwa Paul Robeson merupakan hasil terbaik sistem segregasi rasial yang sudah melahirkan “makhluk biadab yang terhomat”. Pintu dunia film pun terbuka bagi si hitam. Sepanjang paruh akhir 1930an sampai awal 1940an ia bermain dalam paling tidak 11 film komersial yang diproduksi di AS dan Inggris. Publik Eropa mulai tertarik padanya dan Paul diundang untuk mengadakan konser di seantero benua tersebut. Tak dinyana perjalanannya ke Eropa, kemudian ke Uni Soviet, menjadi titik balik pandangan Paul tentang seni dan politik.

Di Eropa, terutama di Inggris, Paul memperoleh sambutan luar biasa hangat. Yang mengejutkan ia bisa makan di restoran, menginap di hotel mana pun tanpa direndahkan sebagai Negro. Publik yang menghadiri pertunjukannya pun berasal dari beragam ras dan bangsa. Di luar panggung Paul bertemu, lalu menjalin persahabatan dengan aktifis, intelektual dan seniman progresif seperti tokoh anarkis Emma Goldman, penulis Ernest Hemingway dan James Joyce, feminis Gertrude Stein, dan penyair Jamaica Claude McKay. Tapi yang menjadi pemicu utama ketertarikannya pada dunia politik adalah perkawanannya dengan para aktifis mahasiswa Afrika, seperti Jomo Kenyatta dan Kwame Nkrumah – kelak mereka menjadi pemimpin Kenya dan Ghana – dan pemikir Karibia, C.L.R. James. Paul menghabiskan separuh waktu senggangnya untuk berdiskusi dan mempelajari sejarah kebudayaan dan bahasa-bahasa Afrika di Universitas London. London menjadi rumah kedua bagi Paul. Di kota itu “Aku ‘menemukan’ Afrika”, demikian ujarnya. Afrika baginya bukan lagi sekedar tempat yang tertera namanya di peta, tapi akar budaya kaum kulit hitam dimana pun mereka berada. Lebih dari itu, ia melihat kaitan antara perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika dengan perjuangan anti-diskriminasi rasial kaum Negro di AS. Bersama beberapa aktifis Negro di AS, Robeson kemudian mendirikan organisasi solidaritas Dewan Urusan Afrika (CAA), yang berfungsi menyebarkan informasi tentang perjuangan rakyat Afrika dan melobi pemerintah AS dan PBB untuk mendorong proses dekolonisasi di benua tersebut.

Ketertarikan Paul pada dunia politik semakin mendalam dan meluas seiring dengan semangatnya menyanyi di bagian dunia yang berbeda. Atas undangan sutradara Rusia, Sergei Eisenstein, ia berkunjung ke Uni Soviet pada 1934. Sejumlah pertunjukan yang diselenggarakan di gedung konser, rumah sakit, pabrik, sampai tempat penitipan anak memperoleh sambutan yang bersahabat. Robeson begitu kagum dengan perkembangan kebudayaan rakyat di negeri ini sehingga ia menyatakan, “Di sinilah, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku berjalan dengan martabat kemanusiaan yang seutuhnya”. Ia berkesimpulan bahwa bangsa Negro dan buruh Rusia memiliki kesamaan budaya karena keduanya merupakan keturunan budak.

Dengan meningkatnya kekuatan fasisme di Eropa, terutama di Jerman dan Spanyol, Paul terdorong untuk terlibat dalam barisan anti-fasis baik di Eropa maupun di AS. Di tengah kecamuk Perang Saudara Spanyol pada 1938 ia berangkat ke Madrid untuk menghibur pasukan sukarelawan Brigade Internasional Abraham Lincoln yang membantu kelompok Republikan melawan kekuatan Jendral Franco. Sekembalinya ke AS bersama dengan tokoh-tokoh publik seperti Albert Einstein dan Helen Keller, ia melakukan penggalangan dana untuk bantuan medis bagi kelompok Republikan dan berkampanye menentang dukungan persenjataan dari perusahaan-perusahaan besar AS terhadap Jendral Franco. Sepanjang perjalanan ini Paul menyaksikan bahwa negara-negara yang konon menjunjung tinggi demokrasi, seperti AS, Inggris dan Perancis, ternyata tidak berbuat apa-apa untuk mencegah serbuan kekuatan fasis yang dipimpin Hitler. Bahkan ketika Uni Soviet harus berhadapan dengan pasukan Nazi dan kehilangan jutaan rakyatnya di medan perang. Kepercayaan Paul terhadap “demokrasi barat” mulai luntur dan melihat bahwa fasisme hanya bisa dilawan dengan sosialisme.

Kesibukan Paul Robeson dalam kegiatan politik tidak menghalanginya untuk mengembangkan kemampuannya bernyanyi. Kunjungannya ke berbagai negeri membuatnya sadar bahwa ada kemiripan ritme, melodi, maupun lirik antara lagu-lagu rakyat di negeri setempat dengan tembang spiritual Negro. Ia juga berusaha meningkatkan teknik vokalnya. Tapi ia tetap percaya bahwa penghayatan terhadap lagu lebih penting untuk menggugah rasa manusia. Keyakinan ini bukannya tak berdasar. Sekali waktu salah satu lagunya yang terkenal, Water Boy, diperdengarkan di sebuah desa terpencil di Angola oleh sekelompok mahasiswa Antropologi. Tiba-tiba si kepala desa mengambil kapak keramat milik sukunya, meletakkannya di sisi gramofon yang sedang berbunyi, dan meminta kelompok mahasiswa itu untuk memberikan kapak tersebut ke Paul Robeson dengan pesan “untuk saudaraku yang hebat di seberang sungai”.

Setelah melalui tiga dekade di tengah dunia yang bergolak, perjalanan penyanyi ini mencapai akhir yang memilukan. Tekanan yang dilancarkan pemerintah AS terhadapnya lambat laun memisahkan Paul dari kawan-kawan terdekatnya dan mengancam kelangsungan hidup organisasi-organisasi tempatnya bekerja. Sejak 1941 hingga 1967 FBI mengutus agen khusus untuk mengamati dan melaporkan setiap langkah Paul. Orang-orang yang berhubungan dengan sang penyanyi dengan segera diberi label “subversif” atau “komunis”, dan namanya tercatat dalam dokumen rahasia tentang Paul dan Essie setebal 2.680 halaman. Kendati dukungan internasional terhadap Paul tetap kuat, situasi pengasingan berkelanjutan di dalam negeri tampaknya menghantam ketahanan mental penyanyi yang dikenal ramah dan periang ini. Ia mencoba bunuh diri dua kali dan harus dirawat di rumah sakit psikiatri selama berbulan-bulan. Pada 1958 ia memenangkan gugatan untuk memperoleh kembali paspornya dan sempat melakukan perjalanan keliling ke Eropa, Australia dan Uni Soviet. Sebenarnya ia diundang untuk tampil di India, Cina dan Afrika, tapi kondisi kesehatannya sedemikian buruk sehingga ia membatalkan perjalanan tersebut. Ia mengundurkan diri dari publik pada 1966 dan meninggal akibat serangan stroke dalam usia 77 tahun.

“Raksasa Negro” itu akhirnya tumbang. Namun, semangat yang pernah menghidupinya terus mengalir lewat alunan suara hangatnya. Setiap tahun hari kelahirannya diperingati dengan khidmat oleh pejuang perdamaian dan kesetaraan hak di AS dan di negeri-negeri yang pernah ia kunjungi. Ia memang tak pernah menginjakkan kaki di Afrika, tapi sejarah benua itu mencatat sumbangan tak ternilai yang ia berikan demi kemerdekaan rakyat Afrika. Penolakan penguasa AS terhadap keberadaan Paul Robeson hanya mempertegas posisi tradisional mereka: anti-demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

AYU RATIH, aktif di Jaringan Kerja Budaya.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 14: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Kontroversi Gen Manusia Unggul

Tim Media Kerja Budaya

Studi genetika yang menyelidiki asal-usul dan keturunan manusia selalu penuh kontroversi. Temuan-temuannya seringkali menggedor anggapan umum, keyakinan religius dan kadang menjadi ilham bagi ide-ide paling mengerikan dalam sejarah manusia. Semasa perang dunia Josef Mengele, ahli genetika Nazi, membuat penelitian tentang susunan gen dalam tubuh manusia agar dapat melahirkan manusia-manusia Arya yang unggul. Penelitian itu tidak pernah diselesaikan karena perang berakhir, tapi Josef Mengele berhasil melarikan diri membawa hasil-hasilnya dan tidak ditemukan sampai saat ini.

Ilmuwan dunia umumnya mengutuk teori dan praktek Mengele yang mengerikan, antara lain mengingat implikasinya secara politik seperti pembasmian enam juta orang Yahudi. Namun dua tahun lalu kembali ada kejutan setelah jurnalis Patrick Tierney menerbitkan buku tentang ahli genetika James Neel dari Universitas Michigan, yang membuat penelitian serupa terhadap orang Yanomami di tepi sungai Amazon, Venezuela tahun 1968.

Dalam Darkness in El Dorado, Tierney menggambarkan Neel dan rekan sejawatnya menyuntikkan vaksin ke tubuh sejumlah besar orang Yanomami agar terserang gejala penyakit cacar. Tujuannya antara lain untuk mengukur daya tubuh masing-masing orang dan dari sana melacak gen unggul yang ada di tubuh mereka. Neel berpegang pada keyakinan bahwa masyarakat "asli" (sebelum berhubungan dengan suku lain) terdiri atas kelompok kecil manusia yang terisolasi secara genetik. Para pemimpin yang muncul di dalamnya ia duga memiliki gen dominan dalam tubuh mereka.

Masalahnya dalam masyarakat asli seperti orang Yanomami yang tidak memiliki kekebalan alamiah terhadap penyakit menular, penyuntikan vaksin seperti itu bisa berakibat kematian. James Neel sebagai ahli genetika tentu tahu hal itu, tapi tetap meneruskan percobaannya. Diperkirakan ratusan orang meninggal karena mengidap cacar dan tidak ada sumbangan berarti yang dihasilkan penelitian itu.

Implikasi politik dari teori Neel tentang gen juga bermasalah. Keyakinan adanya "manusia unggul" secara genetik sejajar dengan pikiran Nazi tentang ras Arya di masa lalu. Asumsinya, manusia perlu meneliti asal-usul genetiknya untuk mengetahui ras dan jenis manusia seperti apa yang sepantasnya menjadi pemimpin. Teori seperti ini akan menjadi dasar politik ras yang kengeriannya sudah pernah terbukti dalam sejarah.

Tierney yang melakukan penelitian sepuluh tahun untuk bukunya juga mengkritik ilmuwan dan jurnalis lain yang menggunakan masyarakat Yanomami sebagai laboratorium percobaan mereka. Seorang ilmuwan lain, Napoleon Chagnon melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa sifat beringas memang berakar dalam masyarakat tersebut. Untuk itu ia memicu perkelahian di antara orang Yanomami agar dapat direkam kamera film. Beberapa adegan film itu akhirnya berkembang menjadi perkelahian sngguhan, antara lain karena Chagnon memberi bermacam hadiah kepada desa-desa yang mau berperan dalam filmnya.

Hal menarik lain bahwa proyek-proyek penelitian tersebut ternyata juga berfungsi sebagai kedok untuk membuka tanah-tanah orang Yanomami bagi kegiatan pertambangan emas yang melibatkan birokrat korup di Venezuela dan perusahaan tambang multinasional dari Amerika Serikat.

Reaksi berdatangan saat contoh buku itu beredar terbatas di kalangan ahli. Antropolog Terence Turner dan Leslie Sponsel mengirim surat keras kepada Asosiasi Antropologi Amerika, menuntut agar skandal itu diungkap, karena "akan merusak citra publik disiplin antropologi." Menurut mereka dari segi skala akibat dan kejahatannya, skandal itu tidak ada bandingannya dalam sejarah antropologi dunia.

Bulan Februari 2001 asosiasi itu bereaksi dan membentuk El Dorado Task Force yang bertugas memeriksa tuduhan-tuduhan mengenai malpraktek para ahli antropologi seperti James Neel di lapangan, serta membentuk organisasi yang dapat mewakili kepentingan orang Yanomami dalam kasus tersebut. Para ahli yang bergabung dalam task force tersebut balik mengkritik beberapa tuduhan yang dilontarkan Tierney, tapi mengakui bahwa praktek penelitian James Neel dan regu penelitinya memang bermasalah. Kasus Yanomami menurut laporan mereka perlu diperhatikan oleh kalangan ahli karena mengangkat persoalan etika dan berbagai dimensi lain dalam studi antropologi.

Pembelaan bagi Neel datang dari American Society for Human Genetics yang membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus tersebut. Tim itu menilai temuan Tierney tidak benar dan karena itu tuduhannya tidak berdasar. Perkumpulan itu balik menyerang Tierney karena menggucang reputasi "salah satu tokoh utama dan terhormat". James Neel pernah menjadi ketua dari perhimpunan tersebut.

● Intelektual Menabuh Genderang Perang

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, Razif.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 15: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Intelektual Menabuh Genderang Perang

Tim Media Kerja Budaya

Serangan teroris ke gedung WTC dan Pentagon 11 September 2001 memicu gelombang reaksi yang hebat. Pemerintah Amerika Serikat langsung membalas dengan serangan ke Afghanistan yang berkembang menjadi perang melawan terorisme di seluruh dunia, termasuk mengejar gerilyawan Moro di Filipina dan mengejar . Sebagian intelektual yang menjadi bagian establishment menjalankan tugasnya, mendukung sikap keras pemerintahnya.

Dalam surat terbuka berjudul "Mengapa kita berperang?" 60 sarjana dan intelektual, termasuk Daniel Moynihan, Francis Fukuyama, Samuel Huntington dan Theda Skocpol, memberi pembelaan moral dan filsafat bagi perang baru yang dikobarkan pemerintahnya. Dikatakan, "ada saatnya sebuah bangsa perlu mempertahankan dirinya dengan senjata. Karena perang adalah masalah serius, yang melibatkan pengorbanan jiwa manusia, maka akal sehat menuntut mereka yang melancarkan perang itu memiliki alasan moral yang jelas, untuk menjelaskan kepada orang lain, dan kepada warga dunia, prinsip-prinsip yang mereka bela."

Surat itu selanjutnya menjelaskan "prinsip-prinsip" yang mereka bela dan berkesimpulan bahwa keputusan AS untuk memerangi terorisme � dengan membunuh ribuan orang Afghanistan dalam pertempuran pertamanya � adalah tepat. Kaum intelektual ini menggambarkan "perang suci peradaban melawan terorisme", tapi lupa menyebut bahwa kaum teroris yang diperangi tidak lain adalah anak-anak kebijakan AS sendiri di masa lampau.

Para sarjana terkemuka ini lupa menjelaskan latar belakang historis dari perang di Asia Tengah dan kepentingan ekonomi yang antara lain mendorong pemerintahan Bush mengirim pasukannya ke sana. Sebaliknya, seperti keheranan mereka bertanya, "Kenapa kami menjadi sasaran serangan penuh kebencian itu? Kenapa mereka yang akan membunuh kita itu berbuat demikian?"

Bukan jawaban yang dicari. Pertanyaan retorik ini hanya dibuat untuk memperkuat dukungan terhadap perang melawan terorisme. Mereka tahu bahwa serangan teroris itu terkait dengan sejarah campur tangan AS di Asia Tengah selama 25 tahun terakhir. Kelompok Osama bin Laden, Al Qaeda dan sebagainya lahir dari langkah Zbigniew Brzezinski, penasehat keamanan presiden Jimmy Carter yang menghasut dan mempersenjatai kelompok-kelompok Islam melawan rezim Afghanistan yang pro-Soviet.

Persoalan menjadi lebih jelas kalau kita lihat keterlibatan AS di Timur Tengah, seperti kudeta di Iran tahun 1953 untuk menggulingkan rezim nasionalis kiri Mossadeq yang mengantar Shah Iran menjadi diktator, invasi ke Lebanon 1953, dukungan militer, ekonomi dan politik terhadap negara Israel yang berhadapan dengan Palestina, pemboman Beirut oleh kapal perang AS 1983, perang terhadap Irak dan sanksi ekonomi yang memakan korban ratusan ribu jiwa.

Intelektual ternama yang menyerukan perang sekarang bukan tidak tahu semua itu. Brzezinski sendiri adalah bagian establishment itu. Theda Skocpol, penulis buku Negara dan Revolusi Sosial, yang ikut menandatangani surat itu semasa kuliah di Universitas Harvard terlibat gerakan menentang Perang Vietnam yang disebutnya "perang brutal AS melawan rakyat Vietnam". Tapi sekarang ia mendukung perang melawan Afghanistan dan terorisme yang sama brutalnya dan orang-orang sama yang melancarkan "perang brutal" melawan Vietnam puluhan tahun lalu.

● Kontroversi Gen Manusia Unggul

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, M. Fauzi, Sentot Setyosiswanto, Razif.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 16: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Merajut Sejarah Nasional

Tim Media Kerja Budaya

Tafsir sejarah sungguh penting bagi penguasa militer untuk memperkuat legitimasi keberadaan dan kekuasaannya. Orde Baru akan dikenang sebagai rezim yang produktif menulis sejarah. Segera setelah peristiwa 1 Oktober 1965, Pusat Sejarah Angkatan Darat menyusun versinya mengenai apa yang �sesungguhnya terjadi�, disusul cerita sejarah berdasarkan kesaksian dan laporan militer mengenai proses penumpasan gerakan itu, tentunya tanpa menyebutkan jumlah korban yang jatuh. Selanjutnya ratusan buku, artikel dan monografi disusun oleh berbagai instansi militer yang menonjolkan peran militer dalam perjalanan sejarah.

Tokoh terpenting dalam upaya ini adalah Nugroho Notosusanto yang sejak 1965 memimpin Pusat Sejarah ABRI. Karirnya di militer dimulai setahun sebelumnya ketika Jenderal AH Nasution meminta terlibat dalam penelitian untuk menyusun versi militer mengenai perjuangan kemerdekaan. Tujuannya adalah menandingi tulisan-tulisan Front Nasional yang menggambarkan keterlibatan militer dalam Peristiwa Madiun 1948. Setelah peristiwa 1965 ia menempati posisi penting di lembaga itu dan mengerjakan berbagai proyek, mulai dari menulis buku, memproduksi film Pengkhianatan G-30-S/PKI sampai menjadi kurator berbagai museum termasuk Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta. Minatnya terhadap militer sudah dimulai sejak menjadi anggota tentara pelajar dalam perang kemerdekaan. Tahun 1949 ia nyaris berangkat ke akademi militer di Breda, jika tidak dihalangi oleh ayahnya yang ingin ia meneruskan pendidikan di Indonesia. Akhirnya ia mendaftar ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan memulai karirnya sebagai sejarawan. Minat dan kekagumannya pada militer disalurkan melalui studi tentang PETA dan satuan-satuan militer, serta menulis cerita-cerita pendek yang romantik mengenai perjuangan kemerdekaan. Seorang jenderal yang mungkin heran melihat kekagumannya pernah bertanya pada sejarawan Sartono Kartodirdjo, �mana yang lebih buruk, seorang militer yang berlagak menjadi sejarawan atau sejarawan yang berlagak menjadi militer?�

Karirnya di militer semakin menanjak sejak 1968 saat ia mendapat pangkat kehormatan kolonel dan brigadir jenderal tiga tahun kemudian sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI. Salah satu karya terbesarnya adalah menulis ulang Sejarah Nasional Indonesia jilid keenam mengenai masa kemerdekaan yang menimbulkan kontroversi. Sejarawan senior Sartono Kartodirdjo dan beberapa sejarawan lain mengundurkan diri karena berbeda pendapat dan merasa �versi resmi� itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Tahun 1984 ia diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan menggunakan posisinya untuk mengatur ulang kurikulum pendidikan sejarah yang memberi porsi besar pada peranan militer. Sebagai menteri ia menekankan bahwa perguruan tinggi tidak sekadar mencetak pemimpin tapi juga orang yang patuh pada aturan. Kontroversi �pelurusan sejarah� yang ramai disuarakan belakangan umumnya bersumber pada karya-karya yang lahir dari versi resmi ciptaannya.

(Sumber: Kate Mc Gregor, �A Soldier�s Historian�, Inside Indonesia, Oktober 2001)

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

Page 17: WEB Media Kerjabudaya edisi 092002

PicoSearch

Gagasan adalah Senjata

Subcommandante Marcos adalah salah satu pemimpin gerakan Zapatista di belantara Chiapas, Mexico. Gerakan rakyat Indian ini mulai terkenal saat menyatakan perang terhadap kesepakatan dagang Amerika Utara (NAFTA) saat diberlakukan 1 Januari 1994. Sebagai pemimpin gerilya di hutan, Marcos tergolong rajin menulis dan menyatakan bahwa masih ada jalan lain untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat ekspansi kapitalisme. Berikut adalah saduran tulisannya tentang intelektual yang disiarkan Le Monde Diplomatique Oktober 2000. (Tim Media Kerja Budaya)

Intelektual adalah bagian dari masyarakat sejak terbitnya kemanusiaan di planet ini. Kerja mereka adalah membuat analisis dan kritik, melihat kenyataan sosial, menganalisis bukti-bukti, mencari segala yang mendua, dan mengungkap segala yang nampak kabur. Kadang ngotot dan tak setuju dengan apa dan siapa pun � kekuatan sosial dan politik, negara, pemerintah, media, seni, agama dan seterusnya. Mereka adalah bagian dari masyarakat, sebuah adegan konfrontasi tanpa akhir antara mereka yang menggunakan kekuasaan untuk memelihara status quo dan mereka yang berjuang demi perubahan.

Di sini pula perbedaan muncul antara intelektual progresif dan reaksioner. Semuanya tetap bekerja melakukan analisis kritis, tapi sementara intelektual yang lebih progresif mengkritik kebuntuan, kemandekan, hegemoni dan keseragaman, kaum reaksioner memusatkan serangannya terhadap perubahan, gerakan, pemberontakan dan keragaman. Intelektual reaksioner akhirnya �lupa� pada fungsi asasinya dan meninggalkan pikiran kritis. Pikiran mereka mengerut, menyisihkan masa lalu dan masa depan, lalu terpusat pada apa yang langsung nampak dan masa sekarang. Diskusi pun selanjutnya tertutup.

Banyak intelektual kanan yang memulai hidupnya sebagai orang progresif. Tapi segera saja mereka menarik perhatian penguasa yang mengerahkan bermacam strategi untuk membeli dan menghancurkan mereka. Intelektual progresif �lahir� di tengah bujuk-rayu dan penghukuman. Sebagian mengelak dan menolak tapi sebagian lain akhirnya percaya bahwa ekonomi global memang tak terelakkan lalu membuka kotak sulapnya, mencari alasan yang dapat membenarkan struktur kekuasaan sekarang. Atas jasa-jasa itu mereka dianugerahi kursi yang nyaman di sisi kanan penguasa yang dulu mereka kutuk.

Ada sejuta alasan untuk membenarkan �keadaan tak terelakkan� ini. Mereka bilang inilah akhir dari sejarah; uang ada di mana-mana dan begitu berkuasa; politik sudah berakhir dan diganti oleh polisi; masa depan adalah seperti apa yang kita hidupi sekarang; tidak ada penjelasan rasional tentang ketimpangan sosial; dan bahkan membuat permakluman hebat terhadap penindasan umat manusia dan lingkungan hidup, rasisme, intoleransi serta perang.

Dalam era yang ditandai dua paradigma � komunikasi dan pasar � intelektual kanan menyadari bahwa menjadi �modern� berarti taat pada satu aturan: �tunduk atau menyingkir�. Mereka tidak perlu berpikir orisinal, tinggal mengikuti orang banyak menunggu petunjuk dari badan-badan internasional seperti Bank Dunia, IMF dan WTO. Alih-alih menggali pikiran orisinal dan kritis, intelektual kanan menjadi semakin pragmatik, melafalkan slogan-slogan iklan yang membanjiri pasar dunia.

Orang pun percaya pada ocehannya karena saat ekonomi menjadi semakin global, kebudayaan dan informasi pun demikian. Bagaimana kita menghalangi perusahaan media dan komunikasi seperti CNN, Microsoft atau AT&T merajut jaringan mereka?

Dalam ekonomi dunia sekarang raksasa bisnis umumnya adalah perusahaan media, yang memegang cermin di hadapan kita untuk melihat seperti apa seharusnya masyarakat, bukan seperti apa sesungguhnya masyarakat. Mengutip Régis Debray, apa yang nampak adalah nyata dan akhirnya menjadi kebenaran. Inilah salah satu satu dasar dogma sayap kanan. Debray juga menjelaskan bahwa pusat gravitasi berita telah bergeser dari tulisan menjadi efek visual, dari siaran rekaman ke siaran live, dari tanda menjadi gambar. Intelektual pun menari mengikutinya, berpindah dari tanda ke citra, dari pikiran mendalam ke komentar di televisi.

Tugas intelektual progresif memang tidak mudah. Mereka tahu kenyataan dan harus mengungkap apa yang mereka tahu kepada yang lain, berhadapan dengan dogma neoliberal yang didukung oleh media, bank, perusahaan besar, tentara dan polisi. Di zaman visual ini, mereka harus berjuang memerangi kekuatan citra dengan kata-kata. Mereka harus mampu mengenali keindahan di balik kesengsaraan yang sekarang menutupi dunia.

Ada cerita saat Michelangelo memahat patung David. Ia harus menggunakan sepotong marmer �bekas� yang sudah berlubang. Tapi dengan bakatnya ia mampu menciptakan bentuk indah menari di antara bekas-bekas pahatan sebelumnya. Dunia yang ingin kita ubah juga telah dipahat oleh sejarah dan menjadi hampa. Kita harus cerdas dan berdaya untuk mengubahnya dan membangun dunia baru. Dan jangan lupa, bahwa gagasan juga merupakan senjata.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online. http://mkb.kerjabudaya.org

e-mail: [email protected] design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited