WARUNG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK) SEBAGAI …/Warung... · fungsi mereduksi berbagai...
Transcript of WARUNG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK) SEBAGAI …/Warung... · fungsi mereduksi berbagai...
WARUNG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK)
SEBAGAI RUANG PUBLIK
(Studi Kasus Tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi Antar
Pengunjung Serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo)
SKRIPSI
Oleh:
Dian Kristiyawati Utomo
K8405012
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
WARUNG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK)
SEBAGAI RUANG PUBLIK
(Studi Kasus Tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi Antar
Pengunjung Serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo)
Oleh:
Dian Kristiyawati Utomo
K8405012
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial.
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
3
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, Desember 2009
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd Atik Catur Budiati, S. Sos, M. A
NIP. 19500225 197501 1 002 NIP. 132 308 880
4
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi:
Nama Terang Tanda tangan
Ketua : Drs. Noor Muhsin Iskandar, M. Pd ( ........................ )
Sekretaris : Drs. Haryono, M. Si ( ........................ )
Anggota I : Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd ( ........................ )
Anggota II : Atik Catur Budiati, S. Sos, M. A ( ........................ )
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd
NIP. 19600727 198702 1 001
5
ABSTRAK
Dian Kristiyawati Utomo, K8405012, WARUNG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK) SEBAGAI RUANG PUBLIK (Studi Kasus tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi antar Pengunjung serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui HIK sebagai ruang publik yang di lihat dari (1) karakteristik pengunjung yang datang ke HIK (2) materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara pengunjung dan penjaja HIK (3) interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta antara pengunjung dan penjaja HIK.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan studi kasus analisis jamak. Sumber data dalam penelitian ini berupa manusia (informan), kejadian atau peristiwa dalam masyarakat, tempat dan lokasi, dan dokumen benda-benda lain yang menunjang penelitian ini. Pengumpulan data menggunakan observasi langsung, wawancara, dokumentasi. Untuk mencari kevaliditasan data menggunakan trianggulasi sumber (data) dan metode. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan (1) sifat demokratis HIK sebagai ruang publik yang melihat kesetaraan diantara keanekaragaman pengunjung HIK baik itu dari atribut sosial, budaya, ekonomi serta keragaman komunikasi membuat semua orang saling menghormati dan menghargai. Komunikasi yang terjalin di HIK dapat di lihat melalui kegiatan obrolan dalam berbagai topik antara lain politik, ekonomi, sosial, budaya ataupun hanya sekedar curhat. Di lihat dari sifatnya yang bebas dalam obrolan membuat HIK memiliki fungsi mereduksi berbagai ketegangan-ketegangan sosial untuk menghilangkan kejenuhan atau kepenatan setelah melakukan berbagai aktivitas (sebagai tempat refreshing). (2) Sifat bermakna dari HIK sebagai ruang publik dapat di lihat dari proses interaksi yang terjalin baik itu interaksi antara penjaja HIK dan pengunjung ataupun antar pengunjung HIK. Proses interaksi yang terjadi di HIK dapat berupa kerjasama dan persaingan. (3) Sifat responsif HIK sebagai ruang publik dapat di peroleh dari respon pengunjung ataupun penjaja HIK terhadap interaksi yang terjalin di HIK serta topik obrolan yang sedang di bicarakan. Respon pengunjung ataupun penjaja HIK dapat berupa kerjasama ataupun persaingan, sedangkan respon terhadap topik obrolan terjadi secara pasif atau aktif. Respon obrolan terjadi secara aktif jika obrolan terjalin lancar dan menyenangkan karena orang yang merespon dapat menanggapinya. Berbeda dengan respon yang terjalin pasif, obrolan akan terhenti dan di ganti dengan topik obrolan lainnya yang lebih mudah di pahami oleh semua orang.
6
ABSTRACT Dian Kristiyawati Utomo, K8405012, WARUNG HIDANGAN KAMPUNG (HIK) AS A PUBLIC SPHERE (Case Study of the Characteristics of Consuments, Communication and Interaction Between HIK Consument and Salesperson Along The Way of Dr. Rajiman Street, Solo). Essay, Surakarta: Teaching and Education Science Faculty of Sebelas Maret University-Surakarta, 2009.
This study aims to determine HIK as public sphere in view of (1) the characteristics of visitors who come to HIK (2) communication material by fellow consuments or between HIK consuments and salespersons (3) interactions that occur between HIK consument and between consuments and salespersons.
This research uses a qualitative approach method with a case study analysis of multiple. Sources of data in the study of human form (the informant), an event or events in the community, places and location, and documents other things that support this research. The data was collected using direct observation, interviews, documentation. To search for data using validity Triangulation sources (data) and methods. Data analysis techniques use an interactive analysis model.
Based on research results, it can be concluded (1) The character of HIK as democratic public sphere which sees equality among the HIK consuments diversity whether from the social, cultural, economics autributes and also the communication diversity which makes everyone respecting and appreciating each other. The communication happened in HIK could be seen from it’s various to chats like politic, economy, social, culture or just sharing. It is seen from it’s characteristics which are free in it’s chat make HIK functioned to reduce various social tensions to erase boredom and weariness after doing various activities (as refreshing place). (2) The character of HIK as meaningful public sphere can be viewed from the process of interaction that exists that HIK interaction between consuments or between consuments and salespersons. The process of interaction that occurred in HIK can be better co-operation and competition. (3) The character of HIK responsive as a public sphere can be obtained from the response HIK consumens or salespersons of interaction that exists in the HIK and communication topics that are in the talking. Response HIK consuments or salespersons may include cooperation or competition, while the response to the topic of communication occurs passively or actively. Response to actively chatter occurs when the chat woven smooth and enjoyable for people who can respond, give respond. In contrast to the passive response is established, the chat will be stopped and replaced with other chat topics which is easier to be understood by anyone.
7
MOTTO
“Komunikasi adalah sesuatu yang mudah,
susahnya ialah apabila kita tidak menyebutnya dengan perkataan yang mudah”
(T.S Matthews)
“Suatu lapisan masyarakat hendaknya dileburkan menjadi satu
melalui kesadaran bersama”
(Sri Sathya Sai Baba)
“Rasa kebersamaan sangat perlu dalam menjaga hubungan timbal balik”
(Anonim)
“Rasa takut terhadap manusia jangan sampai menghalangi kamu untuk
menyatakan apa yang sebenarnya jika memang benar kamu melihatnya,
menyaksikan atau mendengarnya”
(HR Ahmad)
8
PERSEMBAHAN
Segala syukur kehadirat Allah SWT
Karya ini dipersembahkan
kepada:
Ibu dan Bapak tercinta atas doa dan pengorbanannya
Kakakku tersayang, Ima
Sahabat-sahabatku,
Teman-teman Sos-Ant’05
dan almamater
9
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat karunia-Nya dan kemudahan dalam penyelesain skripsi ini untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidaklah berjalan
dengan mudah, akan tetapi banyak hambatan yang menyertainya. Oleh karena itu
sudah sepantasnya peneliti menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
peneliti hormati:
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M. Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Ilmu Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas
Maret Surakarta;
3. Bapak Drs. H. MH Sukarno, M. Pd selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Sosiologi-Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Universitas Sebelas Maret Surakarta;
4. Bapak Drs. H. Basuki Haryono, M. Pd selaku Pembimbing I yang dengan
sabar dan penuh perhatian memberikan pengarahan dan bimbingannya;
5. Ibu Atik Catur Budiati, S. Sos, MA selaku Pembimbing Akademik dan
Pembimbing II yang dengan sabar dan penuh perhatian memberikan
pengarahan, masukan serta saran yang membangun demi penyempurnaan
penulisan skripsi;
6. Segenap Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi
Antropologi yang telah memberikan ilmu kepada peneliti selama di
bangku kuliah;
7. Bapak Kepala Kantor Kesatuan Bangsa Dan Perlindungan Masyarakat
(Kesbang dan Linmas) Kota Surakarta beserta stafnya atas pelayanan
dalam pembuatan surat ijin penelitian;
10
8. Bapak Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
Kota Surakarta beserta stafnya atas pelayanan dalam pembuatan surat ijin
penelitian;
9. Bapak Kepala Dinas Pasar Kota Surakarta beserta stafnya atas ijin yang
diberikan untuk mengadakan penelitian serta informasi yang diperlukan
dalam penyusunan skripsi;
10. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Semoga amal kebaikan tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Peneliti menyadari akan adanya kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta, Desember 2009
Peneliti
11
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN ................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ...................................................................... v
HALAMAN MOTTO ........................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... viii
KATA PENGANTAR........................................................................... ix
DAFTAR ISI.......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Perumusan Masalah .............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI................................................................ 8
A. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8
B. Penelitian yang Relevan........................................................ 27
C. Kerangka Berfikir ................................................................. 31
BAB III METODE PENELITIAN....................................................... 34
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 34
B. Bentuk dan Strategi Penelitian.............................................. 35
C. Sumber dan Jenis Data.......................................................... 38
12
D. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 40
E. Teknik Analisis Data............................................................. 42
F. Validitas Data........................................................................ 43
G. Prosedur Penelitian ............................................................... 45
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ………………………... 47
A. Deskripsi Lokasi Penelitian .................................................. 47
B. Deskripsi Data Penelitian...................................................... 51
1. Karakteristik Pengunjung HIK........................................ 52
2. Obrolan Di HIK .............................................................. 62
3. Interaksi yang Terjadi Di HIK ........................................ 76
C. Pembahasan Hasil Penelitian ................................................ 79
1. HIK Sebagai Wahana Demokratis .................................. 87
a. Diferensiasi Pengunjung HIK..................................... 88
b. Strata Sosial Pengunjung HIK.................................... 92
c. Keanekaragaman Obrolan Yang Terjadi Di HIK ....... 93
2. Kebermaknaan Di HIK .................................................. 98
3. HIK Bersifat Responsif................................................... 103
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN........................ 106
A. Kesimpulan ........................................................................... 106
B. Implikasi................................................................................ 108
C. Saran...................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 111
LAMPIRAN........................................................................................... 115
13
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Waktu dan Kegiatan Penelitian...................................... 35
2. Tabel 2 Kerangka Observasi ....................................................... 152
14
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Kerangka Berfikir.............................................................. 31
2. Gambar 2 Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif .... 43
15
DAFTAR LAMPIRAN
1. Field Note.......................................................................................... 115
2. Interview Guide……………………………………………………. 151
3. Foto-foto Penelitian........................................................................... 154
4. Matrik Analisis Penelitian................................................................. 159
5. Peta Kota Solo................................................................................... 170
6. Peta Jalan Dr Rajiman....................................................................... 171
7. Surat Permohonan Ijin Menyusun Research Kepada Rektor UNS... 172
8. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ........................................ 173
9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada PD I................... 174
10. Surat Rekomendasi Research dari Bappeda Kota Surakarta ............ 175
11. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian…………………. 176
12. Curriculum Vitae............................................................................... 177
16
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Keterpurukan perekonomian yang di alami saat ini termasuk Indonesia
telah mengakibatkan meningkatnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan dan bertambahnya pengangguran serta berbagai masalah sosial
lainnya. Kondisi perekonomian seperti ini mengakibatkan sektor formal
mengurangi penerimaan pasokan tenaga kerja, bahkan pada pemutusan hubungan
kerja (mem-PHK) pekerjanya. Hal ini membuat sektor informal menjadi salah
satu alternatif tumpuan dan harapan bagi masyarakat. Keadaan ini menyebabkan
menjamurnya sektor informal, oleh karena itu sektor ini diharapkan dapat menjadi
sektor yang dapat menyerap angka pengangguran dalam masyarakat. Kenyataan
diatas diperkuat oleh ”hasil survei yang sudah dilakukan di berbagai kota di
negara sedang berkembang termasuk Indonesia, yaitu kurang lebih 20%-70%
kesempatan kerja terdapat dalam kegiatan ”kecil-kecilan” dengan ”label” sektor
informal” (Jefta, 2004: 11).
Kegiatan sektor informal yang menonjol biasanya terjadi di kawasan
sangat padat penduduk. Disitu pula pengangguran menjadi masalah utama.
Apalagi perkembangan sektor informal yang tidak terkendali dikarenakan
mudahnya masyarakat untuk memasuki kegiatan di sektor tersebut. Selain itu
dalam melakukan kegiatan usaha di sektor informal tidaklah dibutuhkan
persyaratan yang ketat seperti tingkat pendidikan, banyaknya modal, keahlian
khusus serta berbagai prosedur perijinan formal yang rumit dan susah didapat.
Sebenarnya kemudahan-kemudahan prasyarat untuk memasuki kegiatan usaha di
sektor informal inilah yang menyebabkan sektor ini berkembang di luar batas
kendali. Walaupun begitu kegiatan di sektor ini juga merupakan peluang bagi
masyarakat untuk berkecimpung di dalamnya dengan dukungan kemauan, sedikit
pengetahuan, keterampilan, peralatan yang sederhana serta keuletan berusaha
maka sektor informal mendukung perekonomiann negara. Kemudahan-
17
kemudahan inilah yang membuat masyarakat tertarik menggeluti kegiatan sektor
informal ini terutama pedagang kaki lima (PKL).
PKL merupakan jenis pekerjaan yang penting dan relatif khas dalam
sektor informal di daerah perkotaan. Kekhasan tersebut tersebut karena kehadiran
PKL merupakan salah satu bagian dari sektor informal yang banyak menyerap
tenaga kerja. PKL merupakan unit usaha kecil yang melakukan usaha untuk
menciptakan lapangan kerja dan penghasilan bagi mereka, sehingga unit usaha ini
telah mampu menunjukkan diri sebagai usaha mandiri yaitu kegiatan usaha yang
dilakukan sendiri. Kategori PKL disini adalah mereka yang melakukan kegiatan
usahanya dengan berjualan di sebagian jalan atau trotoar dan biasanya mengambil
tempat atau lokasi di daerah-daerah keramaian umum seperti di depan pertokoan,
pinggir jalan, terminal, sekolahan/kampus, tempat pemberhentian kendaraan,
rumah sakit, tempat ibadah dan lainnya.
Perkembangan PKL tidak pernah ada hentinya seiring dengan
pertambahan penduduk. Hal ini membawa akibat positif dan negatif, positifnya
perdagangan terlihat dari fungsinya sebagai alternatif dalam mengurangi jumlah
pengangguran serta dapat melayani kebutuhan masyarakat khususnya bagi
golongan ekonomi menengah kebawah. Negatifnya sendiri dapat menimbulkan
masalah dalam pengembangan tata ruang kota seperti menganggu ketertiban
umum, kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas, problema penataan dan
kebersihan lingkungan, merusak keindahan. Walaupun terkadang dianggap
mengganggu pemandangan kota, keberadaan PKL tetap nilai perlu. Selain sebagai
salah satu solusi pengangguran, keberadaan PKL turut menyumbang pendapatan
daerah.
Pengusaha wedangan atau ada yang menyebutnya HIK adalah
merupakan rumpun pedagang kaki lima (PKL) termasuk dalam kategori sektor
perekonomian informal yang spesifik bagi Kota Solo. Selain sering disebut
dengan HIK ada istilah unik lainnya yaitu warung ceret telu (disebut demikian
karena di gerobag selalu ada tiga ceret/ketel yang jumlahnya tiga buah), warung
kucingan (karena lokasinya yang kebanyakan di gang-gang kampung serta karena
yang di jual di warung HIK identik dengan nasi kucing yaitu nasi lauk
18
bandeng/ikan plus sambal). Di Solo warung seperti ini lebih di kenal dengan nama
HIK. HIK yang merupakan kepanjangan dari “Hidangan Istimewa Kampung”
adalah semacam warung makan yang berupa gerobak kayu yang ditutupi dengan
kain terpal plastik dengan warna khas, biru atau oranye menyolok. Warung HIK
inipun juga “berwujud” gerobak kayu berisi aneka makanan dan tiga buah ceret,
beratap tenda plastik warna oranye atau biru yang dikelilingi kursi kayu panjang
dan diterangi senthir (lampu minyak). “ Gerobak berfungsi sebagai meja makan
sekaligus etalase yang mendisplay beraneka macam makanan” (Trah, 2008).
Awal berdirinya HIK sekitar tahun 1950-an dari sesosok Mbah
Pawiro/Pairo yang berasal dari Cawas, Klaten. Beliau yang merantau dari desanya
menuju kota menggelar dagangan di sekitar emperan Stasiun Tugu Yogyakarta.
Pada saat itu Mbah Pawiro/Pairo berdagang masih menggunakan pikulan
(angkring yang dipikul di pundak). Saat itu pedagang seperti Mbah Pawiro/Pairo
dikenal dengan pedagang ting-ting atau HIK. Hal ini dikarenakan biasanya
mereka ”bedagang berkeliling kampung dengan meneriakkan kata "hhiikk...
hiiiyyeeekkk" serta menghiaskan dagangannya dengan hiasan lentera (lampu
ting). Tetapi di Surakarta sendiri nama atau sebutan HIK bermula dari tradisi
"Malam Selikuran" Keraton Surakarta” (Nn, 2008).
Pada dasarnya HIK adalah penjual wedang (minuman panas) dan jajanan
maupun penganan yang cocok untuk mendampingi minuman panas itu. Di masa
lalu, pedagang HIK (hampir semuanya laki-laki), memikul dagangannya
menyusuri jalan-jalan sempit di kampung-kampung. Satu pikulan berisi air panas
yang terus dijaga mendidih. Di pikulan lain penuh jajanan seperti pisang goreng,
pisang rebus, singkong goreng, dan banyak macam lainnya. Untuk menandai
kehadirannya, si pedagang tiap sebentar meneriakkan kata “HIK !”. Peminat akan
keluar rumah, memanggil si penjaja, dan memesan minuman serta mengambil
jajanan yang disukai. Disini semua tetangga juga ikut berkumpul, minum dan
makan bersama-sama, sambil membicarakan bahan pembicaraan tertentu seperti
obrolan tentang ekonomi, sosial ataupun politik, sehingga terjadi ”obrolan yang
bebas dan tidak terarah sehingga sering dikatakan mengobrol ngalor-ngidul
dengan gayeng” (Nn, 2008).
19
Perkembangannya, warung HIK inipun mengalami kemajuan yang pesat,
baik dalam cara berdagang yang dulu dengan dipikul walaupun juga ada yang
memakai gerobak, sekarang lebih menetap di pinggiran jalan atau trotoar jalan
dengan menggunakan gerobak. Bahkan dari dahulu jualannya hanya pada malam
hari saja. Saat ini HIK dapat dijumpai baik siang, sore ataupun malam hari.
Apalagi tentang prestise tempat makan seperti HIK ini yang dulu sebagai ikon
kaum bawah sekarang menjadi lebih menarik perhatian dari seluruh golongan di
dalam masyarakat tanpa memandang status dan jabatan.
Perubahan yang terjadi pada masyarakatlah yang membuat seluruh
sistem yang didalamnya juga mengikuti perubahan tersebut. Seperti pergeseran-
pergeseran nilai dalam masyarakat juga berubah seiring dengan pertumbuhan
kapitalisme, dimana transformasi kapitalisme mengakibatkan kecenderungan bagi
masyarakat untuk mengikuti pola perubahan yang lebih mencirikan materialisme
ataupun hedonisme. Perubahan yang terjadi menggeser pola pemikiran
masyarakat tentang suatu barang ataupun kebutuhan hidupnya. Salah satu contoh
fenomena yang terjadi saat ini adalah terjadinya pergeseran fungsi makan dari
pemenuhan kebutuhan biologis menjadi pemenuhan akan kebutuhan sosial seperti
perubahan tentang memilih lokasi atau tempat makan. Padahal tujuan utama dari
makan ini sendiri sebenarnya hanyalah untuk mengisi perut dan menghilangkan
rasa lapar. Namun kini makan bukan hanya untuk kepentingan perut saja
melainkan lebih pada kebutuhan simbolis, sehingga makan tidak hanya bersifat
fungsional untuk mengisi perut namun juga memenuhi lifestyle. Seperti yang di
ungkapkan oleh Abdullah yaitu :
“Makan bukan lagi proses pemuasan kebutuhan biologis, tetapi merupakan kebutuhan simbolis yang dikaitkan dengan jenis makanan, tempat makan, dan suasana yang dihadirkan pada saat makan. Tata makan dan seni di dalam praktik makan telah membentuk suatu lingkaran nilai yang menjauhkan praktik makan dari nilai esensialnya.” (Irwan, 2006: 114)”.
Akhir-akhir ini masyarakat tidak lagi mempermasalahkan hal-hal yang
berhubungan dengan kebutuhan simbolis yang sifatnya mewah (untuk memenuhi
kebutuhan lifestyle) belaka, namun lebih tertarik kepada hal-hal yang berbau
20
tradisional ataupun bersifat kebersamaan. Perubahan kecil inilah yang
mengakibatkan kebutuhan hidup seperti makan pun juga mengalami perubahan.
Jika dilhat sekarang ini kebanyakan masyarakat lebih tertarik makan di warung
lesehan atau warteg bahkan sampai warung HIK yang terkenal dengan makanan
sederhana atau kampungan, hal ini disebabkan kerena dengan makan di tempat
seperti itu dapat melepaskan beban (tidak terbebani segala macam tata nilai dan
tata norma seperti saat makan di restoran-restoran/café-café). Kini warung-warung
lesehan, warteg, HIK telah menjadi sasaran dari berbagai golongan strata sosial
dan ekonomi yang berbaur menjadi satu tanpa mempermasalahakan statusnya.
Hal ini disebabkan tempat-tempat seperti warteg, HIK, warung lesehan
juga merupakan ranah atau ruang publik layaknya taman kota, halte, pasar dan
sebagainya. Semuanya dikarenakan selain letaknya yang mengambil sebagian
trotoar jalan (yang notabene berfungsi sebagai ruang publik) sehingga tempat-
tempat tersebut juga dirasa sebagai tempat rekreasi dari pada tempat untuk makan,
atau sebagai tempat untuk melebur menjadi satu dengan orang lain untuk bebas
dari berbagai aktivitas sehari-hari layaknya kegunaan ruang publik. Hal seperti ini
terjadi karena terciptanya jalinan yang lebih bebas antara masyarakat dan publik
sejak akhir abad ke-19 sampai abad ke-20 berakibat pada matinya ruang publik
liberal dan munculnya ruang publik yang lebih demokratis, sehingga masyarakat
tidak lagi diawasi oleh pemerintah dalam segala aspek. Hanya saja pemerintah
disini hanya berfungsi sebagai penyedia tempat karena walaupun sudah bebas,
disini pemerintah sebagai penguasa suatu tempat (Negara) dengan segala tata
peraturannya.
Di Kota Solo sendiri banyak tersebar PKL yang menjajakan barang
dagangan masing-masing. Menjamurnya PKL ini terlihat saat melintasi ruas-ruas
jalanan di Solo yang banyak sekali terpampang warung-warung kecil yang
letaknya di pinggir-pinggir jalan baik itu pagi, siang, sore ataupun malam hari.
Khususnya mengenai warung HIK, bila menjelang malam jumlah mereka terus
bertambah sampai ratusan dan menghiasi kanan-kiri jalan hampir di setiap ruas
jalan kota aupun jalan-jalan kampung dengan menu khas masing-masing. Salah
satu daerah di Solo yang sering dipergunakan para PKL yaitu di sepanjang Jalan
21
Dr Rajiman. Daerah sekitar Jalan Dr Rajiman merupakan areal perekonomian di
Kota Solo apalagi karena banyaknya swalayan dan toko-toko disana maka daerah
tersebut juga disebut daerah pertokoan Pecinan-nya Solo. Selain itu karena
sifatnya yang strategis maka menjadi alternatif utama bagi pedagang terutama
penjaja HIK untuk menggelar dagangan mereka.
Berdasarkan indikator-indikator dalam latar belakang diatas maka
penulis ingin tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : WARUNG
HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG (HIK) SEBAGAI RUANG
PUBLIK (Studi Kasus tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan Interaksi
antara pengunjung serta penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman Solo)
B. PERUMUSAN MASALAH
Proses terbentuknya HIK sebagai sektor informal merupakan bagian dari
aktivitas malam yang suasananya tradisional, apalagi HIK disini digunakan
sebagai salah satu sarana berinteraksi warga Solo. Dilihat dari hal tersebut maka
menarik untuk mengambil perumusan masalah “Bagaimana proses terbentuknya
HIK sebagai ruang publik bagi masyarakat kota Solo?
Dalam penelitian ini, untuk melihat HIK sebagai ruang publik dibatasi
oleh tiga (3) hal yaitu:
a. Bagaimana karakteristik pengunjung yang datang ke HIK?
b. Apa saja materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun
antara pengunjung dan penjaja HIK?
c. Bagaimana terjadinya proses interaksi yang terjadi sesama pengunjung
serta pengunjung dan penjaja HIK?
C. TUJUAN PENELITIAN
Dari perumusan diatas maka tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
HIK sebagai ruang publik yang dilihat dari:
a. Karakteristik pengunjung yang datang ke HIK.
22
b. Materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara
pengunjung dan penjaja HIK.
c. Interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta pengunjung dan penjaja
HIK.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk mengidentifikasi keragaman karakteristik pengunjung yang datang
ke HIK sebagai bentuk kedemokratisan ruang publik.
b. Mengidentifikasi materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung
ataupun antara pengunjung dan penjaja HIK sebagai bentuk proses
interaksi dan menggambarkan sifat kedemokratisan dan kebermaknaan
dalam ruang publik.
c. Mengidentifikasi interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta
pengunjung dan penjaja HIK sebagai bentuk responsif dari ruang publik.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi masyarakat,
terutama tentang salah satu ruang publik yang masih bersifat tradisional
seperti warung hidangan istimewa kampung (HIK) yang memegang adanya
kebersamaan baik antar para pengunjung ataupun pengunjung dengan penjaja
HIK, serta untuk mengetahui proses interaksi yang terjadi di HIK. Apalagi
karena sifatnya yang tradisional sehingga HIK merupakan bentuk pelestarian
kebudayaan bangsa lewat sajian makanan tradisional yang dijajakan disana.
Selain itu sebagai salah satu wacana bagi pemerintah untuk lebih
memperhatikan suatu pekerjaan di bidang informal salah satunya pedagang
kaki lima (PKL) terutama warung HIK agar lebih dikembangkan karena HIK
sendiri juga merupakan suatu cara pelestarian kebudayaan terutama tentang
makanannya walaupun merupakan menu yang ala kadarnya dan murah
meriah. Apalagi karena warung HIK adalah identitas budaya Solo.
23
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
Di kota-kota besar kawasan Jawa seperti Semarang, Jakarta, Surabaya,
Yogyakarta dan Solo pasti sudah terbiasa melihat warung-warung yang
menjajakan makanan tradisional dengan sebutan warung angkringan. Warung
angkringan mempunyai banyak nama samaran seperti warung kucingan, atau
ceret telu, lesehan, ataupun HIK demikian orang menamai tempat ini. Angkringan
juga disebut ceret telu sebab gerobag yang digunakan untuk menjajakan berbagai
makanan diatasnya juga berfungsi untuk merebus minuman dengan menggunakan
tiga buah ceret (ketel). Selain itu disebut warung kucingan karena jajanan yang
disediakan disana khas dengan nasi kucing (nasi putih dengan lauk ikan banding
dan sambal), sedang disebut lesehan karena kebanyakan angkringan disediakan
tikar untuk duduk yang dalam bahasa Jawa disebut lesehan. Di Solo warung
angkringan lebih dikenal dengan sebutan “HIK” ada yang mengatakan itu
kepanjangan dari “Hidangan Istimewa Kampung”. Sedangkan angkringan berasal
dari kata bahasa Jawa “angkring” yang artinya duduk santai dengan melipat satu
kaki ke kursi atau berasal dari kata "angkring" yang berasal dari gerobak jualan
yang dipanggul (angkring) atau bisa juga berarti malangkring (nongkrong dengan
menaikkan salah satu kaki diatas kursi). Sedangkan sebutan warung lesehan
karena warung ini juga menyediakan tempat bagi pembeli untuk makan yang
hanya beralaskan tikar, sehingga pembeli harus rela duduk di bawah atau lesehan
(dalam bahasa Jawa).
Awal perkembangan warung HIK ini sangat menarik, yang mana
sebelumnya penjaja HIK menjual makanan/jajanannya dengan cara dipikul
(asongan) memakai angkring berkeliling keluar-masuk kampung (dari satu
kampung ke kampung lainnya) dan kadang dijajakan dengan penanda suara yang
khas berupa teriakan si pedagang dengan vokal keras. Perkembangan HIK pasca
krisis ekonomi tahun 1997 membawa perubahan yang sangat kentara yaitu HIK
kebanyakan tidak lagi dijajakan secara berkeliling, tetapi sudah menetap dengan
24
sarana gerobak dan penerangan seadanya berupa lampu minyak atau theplok atau
senthir. Barang dagangan yang disajikan antara lain sega (nasi) kucing dengan
sambel trasi dan sedikit ikan asin, berbagai gorengan seperti tahu goreng, tempe
goreng, bakwan, sate usus, cakar ayam, telor puyuh dan tentu saja minuman
hangat seperti kopi, teh, jahe sampai susu. Meskipun sekarang sudah ada
modifikasi warung HIK dengan kelas yang lebih "mewah" dengan suasana
layaknya di restoran atau café-café.
HIK adalah identitas budaya Kota Solo sehingga kalau belum santap
makan malam di sana rasanya belum jadi wong Solo. Usaha kaki lima angkringan
khususnya HIK memang berkembang pesat di Kota Solo dan Yogyakarta. Di
setiap ruas jalan utama maupun gang kampung dapat dengan mudah ditemukan
pedagang yang menjual nasi kucing dan berbagai lauk sederhana pendukungnya.
Bahkan dulu ”warung ini dikenal juga dengan warung remang karena hanya buka
pada malam hari dengan penerangan lampu senthir” (Nn, 2008).
Warung HIK pada dasarnya adalah tempat menjual wedang (minuman)
dan jajanan maupun penganan yang cocok untuk mendampingi minuman panas
itu. Di masa lalu, pedagang HIK atau angkringan (hampir semuanya laki-laki),
memikul dagangannya menyusuri jalan-jalan sempit di kampung-kampung. Satu
pikulan berisi air panas yang terus dijaga mendidih. Di pikulan lain penuh jajanan,
seperti: pisang goreng, pisang rebus, singkong goreng, dan banyak macam
lainnya. Untuk menandai kehadirannya, pedagang tiap sebentar meneriakkan kata
“HIK!”. Peminat akan keluar rumah, memanggil penjaja, dan memesan minuman
serta mengambil jajanan yang disukai. ”Para tetangga pun akan ikut berkumpul,
minum dan makan bersama-sama, sambil mengobrol ngalor-ngidul dengan
gayeng” (Nn, 2008).
Kini mereka menempatkan dagangannya pada sebuah gerobak,
mendorong gerobak itu ke satu pojok kampung, dan mangkal di sana menunggu
pelanggannya. Para pedagang HIK bisaanya muncul sejak senja hari, dan terus
berdagang hingga sekitar pukul tiga dinihari. HIK bukan sekadar tempat berjualan
minuman dan jajanan, melainkan sebuah lembaga rakyat yang telah
25
mendenyutkan Solo setiap malam, oleh karena itu dibawah ini akan dibahas
tentang:
1. HIK Sebagai Sektor Informal
Warung HIK sebagai bentuk dari sektor informal yang bentuknya
pedagang kaki lima (PKL) merebak dari dualisme ekonomi di Indonesia, dimana
munculnya dilema ekonomi adalah sebagai dampak dari makin kuatnya proses
modernisasi yang bergerak menuju sifat-sifat yang dualistis antara sektor ekonomi
formal dan informal. Sektor informal ini seringkali juga dipandang sebelah mata
dalam kebijakan pembangunana di Indonesia. Selain itu, sektor informal juga
disebut sebagai potret kegagalan proses transformasi struktur ekonomi di
Indonesia dari pertanian menjadi industri yang terlihat semakin langkanya lahan-
lahan pertanian di pedesaan. Di mana perubahan ini dapat di lihat dari banyaknya
masyarakat yang beralih profesi ke pekerjan sektor informal. Dilihat dari hari
kehari ”sektor informal mengalami peningkatan apalagi hal ini didukung oleh
suatu survei yang mengatakan bahwa penyerapan tenaga kerja pada sektor ini
bertambah 2,71%” (Anton, 2006). Fenomena ini terjadi karena terbatasnya
lapangan kerja dan industrialisasi yang terpusat di daerah perkotaan, jadi
berdampak pada tenaga kerja yang terampil saja yang dapat memasuki sektor
formal sementra di sektor informal mengalami peningkatan dalam kapasitas,
intensitas dan jenis kegiataannya.
“Istilah sektor informal pertama-tama dilontarkan oleh Hart tahun 1971
dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian dari angkatan kerja di
kota yang berada diluar pasar tenaga kerja yang terorganisir” (Breman dalam
Chris Maning dan Tadjuddin Noer Effendi, 1996: 138). Hal sama juga
diungkapkan dalam European Journal of Economics, Finance and Administrative
Sciences oleh Rufus bahwa “Konsep “sektor informal” ditemukan pada tahun
1970an,… yang mana sektor informal adalah suatu badan yang tidak terorganisasi
(tidak tersusun), kebanyakan menurut perundang-undangan negara, tetapi tidak
teregistrasi oleh pemerintah (The concept of “informal sector” since its invention
26
in the 1970s…the informal sector is unorganized, unregulated and mostly legal,
but unregistered” (Akintoye, 2008: 99).
“Sethurman juga ikut memperkenalkan konsep sektor informal melalui
serangkaian penelitian yang mengungkapkan secara lebih terinci tentang sektor
perdagangan dan jasa yang menggelembung dalam jumlah besar, tetapi berskala
kecil seperti PKL” (Didik, 1994: 26). Hal serupa juga diungkapkan oleh Evers
yaitu:
“...sektor informal didefinisikan sebagai bidang di mana produksi barang dan jasa pada umumnya berada di luar kontrol pemerintah dan tidak terdaftar. Pedagang kaki lima, usaha kecil yang tenaga kerjanya anggota keluarga sendiri, tukang becak, tukang semir sepatu dan pemulung dianggap sebagai perwujudan sektor informal ini (Hans-Dieter Everes dan Rudiger Korff, 2002: 234-235)”.
Dari berbagai jenis pekerjaan di sektor informal yang paling dominan
aktivitasnya adalah PKL, karena merupakan pekerjaan yang paling nyata dan
banyak dari sektor ini sehingga istilah sektor informal sering diidentikkan dengan
jenis pekerjaan yang dilakukan oleh PKL. “PKL sebagai satuan tenaga kerja di
sektor informal menduduki tempat terbanyak dalam hal jumlah angkatan kerja dan
keterlibatan mereka di sektor jasa dan perdagangan” (Cahyono, 1983: 79).
Dimana PKL ini sangat beragam bentuk dan jenisnya dari hari-ke hari seperti
pedagang dorongan dari yang menjual makanan jadi sampai pada penjual
waralaba di pinggir-pinggir jalan, hal ini seperti yang dikemukakan oleh Gary S.
Fields bahwa,
“….sektor informal mempunyai aktivitas dengan akses yang bebas seperti menjual dagangannya di jalan-jalan (PKL) dan jasa dalam skala kecil yang mendukung mereka untuk mencari uang tambahan, karena pekerjaan seperti ini lebih baik dari pada menjadi pengangguran (…the informal sector has free-entry activities such as street-vending and small scale services that enable those who do such work to eke out a meager existence, which they do because it is better for them than being unemployed (Gary S. Fields, 2007: 3)”
Menurut International Labor Organization (ILO) mendefinisikan,
“sektor informal sebagai sektor yang mudah ntuk dimasuki oleh pengusaha pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan sumber ekonomi
27
dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya dan teknologi yang disesuaikan, keterampilan yang dibutuhkan diperoleh diluar bangku sekolah; tidak diatur pemerintah dan bergerak dalam pasar penuh persaingan” (Soedarsono dalam Priyono, Yasin, Hasan dan Hadisumarto, 1982: 58).
Pengertian sektor informal dalam data sensus penduduk dalam Jefta
(2004: 10) disebut “sebagai pekerja yang berusaha sendiri tanpa buruh, bekerja
sendiri dengan buruh tak tetap atau keluarga dan pekerja keluarga tak dibayar”.
Sektor informal menurut Miftah adalah “satu bentuk produksi yang dilakukan
oleh sebagian besar masyarakat lapisan bawah” (Miftah, 1991: 31). Pengertian-
pengertian diatas didukung oleh pengertian dari sektor informal dalam Kamus
Ekonomi Bisnis Perbankan (Guritno, 1994: 369) dimana “sektor informal berasal
dari kata informal sector (sektor tak resmi) khususnya di negeri berkembang
(developing country) adalah mereka yang bergerak dalam pekerjaan padat karya
(laborintensive) (perdagangan, jasa penjahit dan sebagainya) kecil-kecilan”.
Sering dianggap penganggur (unemployed) atau kurang kerja (underemployed)
dan tak tercatat pada statistik kesempatan kerja nasional, meskipun sering
produktif dan banyak menyumbang pada pendapatan nasional (national income).
Umumnya ditandai dengan rasio modal-modal-keluaran (capital-output-ratio)
rendah. Dari berbagai pengertian diatas sektor informal merupakan sektor
perekonomian yang sifatnya masih bersifat tradisional, tidak memerlukan modal
besar dan merupakan wadah yang menyediakan kesempatan kerja bagi
masyarakat diluar perekonomian sektor formal. Namun diluar itu semuanya,
sektor informal baik disadari dan tidak disadari mampu memberikan kontribusi
yang berarti dari sektor penyerapan tenaga kerja sampai menjadi sektor alternatif
selain sektor formal.
Sektor informal sebenarnya menjadi semakin penting keberadaannya
apalagi setelah ekonomi Indonesia dilanda krisis seperti sekarang. Selain itu
sebenarnya “sektor informal mempunyai andil yang cukup berarti di dalam
memberikan tambahan penghasilan rendah di kota apalagi sektor informal
mempunyai kemampuan yang tangguh dalam memberikan peluang pekerjaan bagi
kaum penganggur di kota” (Tadjuddin Noer Effendi, 1995: 87). Atau dengan kata
28
lain “memberikan kontribusi yang besar dalam aktivitas ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat terutama golongan lemah” (Alisjahbana, 2006: 37).
Namun sektor informal sendiri juga dianggap banyak mengundang masalah di
daerah perkotaan, karena sektor informal terutama yang beroperasi di kota dapat
mengurangi keindahan kota dan diduga sebagai penyebab kemacetan lalu lintas.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Mustafa yaitu:
“....keberadaan dan keberlangsungan sektor informal perkotan diwarnai perdebatan wacana antara mereka menyatakan bahwa sektor informal sebagai alternatif kesempatan kerja yang akan meningkatkan pendapatan dan mereka yang mengatakan bahwa sektor informal sebagai patologi sosial yang muncul dalam dinamika pembangunan perkotaan serta mengganggu kenyamanan dan ketertiban (Mustafa, 2008: 4-5).”
Fenomena memekarnya “sektor informal di kota-kota besar di Indonesia,
banyak ditanggapi sebagai “ganjalan” oleh pihak penguasa (pemerintah kota)
karena sektor ini beroperasi ditempat-tempat stategis dan dipandang merusak
lingkungan serta keindahan kota” (Jefta, 2004: 10). Bahkan selain itu dampak dari
sektor informal terutama yang berpangkalan di pinggir-pinggir jalan juga
mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Karena dampak-dampak seperti diatas,
maka ada pemerintah kota yang mengambil kebijaksanaan membatasi ruang gerak
sektor informal, bahkan terkadang pemerintah kota menggunakan cara-cara yang
kurang manusiawi seperti mengusir dengan menghancurkan peralatan usaha para
penjaja di sektor informal ini.
“Kegiatan sektor informal sendiri memiliki ciri seperti tenaga kerja
merupakan anggota keluarga yang tidak dibayar, gerak berpindah-pindah antar
kota dan antar desa serta lainnya” (Murray, 1994: 18). Ciri-ciri sektor informal
menurut Hidayat sebagai berikut:
1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedianya di sektor formal.
2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha. 3. Pola kegiatan usaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. 4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan
ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. 5. Unit usaha mudah keluar masuk dari sub sektor ke lain sub sektor. 6. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional.
29
7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.
8. Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, karena pendidikan yang dipergunakan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.
9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan, buruh berasal dari keluarga.
10. Sumber dana modal usaha pada umumnya dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan yang tidak resmi.
11. Hasil produksi atau jasa terutama di konsumsikan oleh golongan kota atau desa yang berpenghasilan rendah tetapi kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah (Tadjuddin Noer Effendi, 1995: 91).
Selain itu aktivitas-aktivitas informal adalah sesuatu yang ditandai
dengan : 1. Mudahnya untuk dimasuki 2. Bersandar pada sumberdaya lokal 3. Usaha milik sendiri 4. Operasinya dalam skala kecil 5. Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif (menyesuaikan) 6. Keterampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal, dan 7. Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif (Alan
dan Josef, 1996: 96) Dilihat dari ciri-ciri serta segala aktivitasnya diatas, sektor informal
merupakan suatu sektor perekonomian yang simpel dan sederhana, dimana
masyarakat tidak memerlukan suatu persyaratan khusus untuk berkecimpung di
dalamnya. Untuk menjalankan sektor informal ini hanya memerlukan modal,
pekerja, lokasi yang tidak terlalu spesifik karena dapat dilakukan oleh siapa saja.
Tetapi walaupun begitu, sektor informal merupakan alternatif pekerjaan yang
berpeluang besar untuk menambah penghasilan masyarakat. Perekonomian
disektor informal ini merupakan perekonomian mandiri yang secara langsung
sebenarnya dapat memperbaiki kesejahteraan golongan masyarakat ekonomi
lemah dan mengurangi kemiskinan yang terjadi pada suatu negara.
“Di perkotaan sendiri masyarakat yang bekerja di sektor informal ini
cukup banyak, terutama sebagai pedagang jalanan yang berdagang makanan jadi”
(Murray, 1994: 30). Sektor informal sering dihubungkan dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang pesat terutama di kota-kota besar menjadi pendorong
arus urbanisasi, sehingga ini juga berdampak pada timbulnya faktor informal
khususnya PKL merupakan akibat adanya dualisme ekonomi di perkotaan dan
30
pedesaan. Apalagi dalam perkembangannya desa menjadi satu gaya hidup dan
kota menjadi gaya hidup yang di sebut urbanisme. Dua-duanya muncul sebagai
dua jenis gaya hidup, yang lantas berubah menjadi dua kutub yang saling
bertentangan (Dhakidae, 1980: 2).
Fenomena dualisme ekonomi yang melahirkan sektor informal ini
memang akibat adanya perbandingan kesempatan kerja yang ada di perkotaan dan
di pedesaan, dimana hal ini berdampak pada urbanisasi besar-besaran dari desa ke
kota. Urbanisasi yang terjadi ini membuat menjamurnya sektor informal
khususnya PKL di pinggir-pingir jalan karena mereka yang datang di perkotaan
(para urban) disini tidak survive dengan perekonomian di kota. Persoalan justru
diambil ketika kedua gaya kehidupan itu bertemu atau dipaksa gaya kehidupan itu
bertemu bila produk industri yang berasal dari kota meluaskan lintasannya dan
menguak tabir-tabir budaya yang melindungi desa, maka desa sudah berada dalam
lintasan pengaruh kota. Desa sudah berpedoman kepada kota sehingga konsumsi
kota menjadi konsumsi desa, bahkan segala perilaku di kota sampai merebak di
desa-desa sehingga sekarang ini pedesaan layaknya perkotaan. Dimana keadaan
ini juga berdampak pada merebaknya sektor informal baik diperkotaan dan
pedesaan, yang berbeda hanyalah dipedesaan sektor informal ini tidak seperti di
perkotan yang jumlahnya terlalu besar.
HIK merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal yang berupa
PKL dalam katagori PKL yang sudah menetap seperti warung-warung tenda
lainnya, hanya saja dalam perkembangannya HIK yang dahulu merupakan PKL
malam atau waktu operasinya malam hari sekarang ini HIK bisa di temukan setiap
saat baik itu pagi, siang , sore dan malam hari. Apalagi dilihat dari ciri-ciri sektor
informal diatas pantas saja HIK menjadi bagian dari sektor informal ini. Sampai-
sampai sekarang ini penjaja HIK merupakan salah satu alternatif masyarakat
untuk mencari nafkah, sebab penjaja HIK ini boleh dibilang simpel dimana hanya
memerlukan modal kecil sebab makanan yang dijajakan pun merupakan makanan
titipan dari orang lain (setoran) yang akan dibayar saat makanan habis terjual.
Sehingga penjaja hanya perlu mempersiapkan sajian minumannya saja seperti
minuman (wedang) jahe, teh, kopi dan sebagainya yang disajikan hangat ataupun
31
dingin. Jadi usaha HIK ini sebenarnya merupakan usaha sektor informal yang di
dalamnya terdapat beberapa usaha rumah tangga.
Pedagang warung HIK merupakan salah satu pedagang sektor informal
yang mampu bertahan menghadapi dampak krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia. Di samping mampu memberikan pendapatan untuk keluarga yang
relatif cukup, mereka juga mampu membuka lapangan pekerjaan dan sekaligus
mengurangi angka pengangguran. Bahkan keberadaan pedagang warung HIK
mampu menghidupkan suasana kota pada malam hari. Dengan adanya aktifitas
ekonomi di malam hari suasana kota menjadi tidak sepi. Dengan adanya warung
HIK berarti tersedia tempat bagi masyarakat yang membutuhkan tempat untuk
santai, ngobrol, dan berdiskusi pada malam hari.
2. HIK Sebagai Ruang Publik
Geertz dalam bukunya Penjaja dan Raja menyadari bahwa,
“perubahan-perubahan di masyarakat termasuk di dalam pertumbuhan ekonomi tidaklah berjalan melalui pola-pola radikal”. Perubahan-perubahan masyarakat berjalan lama menuruti pola-pola perubahan yang setahap demi setahap "gradual change" yang tampak dalam sikap dan tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan bukan dalam pendapatan serta produksi seperti dalam proses ekonomi” (Geertz, 1973: xix).
Dimana modernisasi ini mempengaruhi tingkah laku (perilaku)
masyarakat. “Pembangunan di negara berkembang khususnya Indonesia sendiri
menghasilkan citra baru dimana konsumsi menjadi suatu dimensi status dan
prestise (gengsi) dalam barang-barang pemenuhan kebutuhan sehari-hari ”seperti
makanan, minuman, pakaian dan sebagainya dalam memenuhi kehidupan
sosialnya” (Murray, 1994: xiii).
Perubahan-perubahan tersebut akan berjalan setahap demi setahap dalam
jangka waktu yang lama yang di mulai dari perubahan-perubahan di dalam nilai-
nilai kehidupan masyarakat dan karakteristik fungsi lembaga-lembaga
masyarakat, yang kemudian merembes melalui kehidupan keluarga, sistem
pendidikan, organisasi ekonomi, politik, yang pada akhirnya muncul sebagai
perubahan sosial budaya yang besar di masyarakat. Seperti yang tergambar di
32
dalam sektor informal dimana setelah adanya modernisasi yang salah satunya
dengan berkembangnya cara pengolahan makanan (pembuatan makanan) yang
cepat atau sering disebut dengan makanan cepat saji (fast food) yang
dikembangkan oleh restoran-restoran atau café-café hingga makanan ala kadarnya
di warung-warung pinggir jalan yang siap disajikan dengan hanya menunggu di
bukanya warung. Warung memiliki bermacam-macam makna, misalnya saja
warung tegal (warteg) merupakan suatu tempat untuk makan yang tetap dan
khususnya menjual makanan gaya tegal. Warteg pun juga memainkan peran
penting karena selain sebagai tempat untuk menjual makanan juga menjadi pusat
istirahat dan tempat bergosip bagi para pengunjungnya (langganannya). Hal ini
seperti ungkapan Geertz “pasar adalah sebuah lembaga ekonomi dan sekaligus
cara hidup... suatu dunia sosial mendekati lengkap karena itu ia cenderung
mengabaikan keterikatan antara para pedangang pasar dan rumah tangga kampung
dan implikasi-implikasi sosial dari tawar-menawar barang dan gosip” (Murray,
1994: 74-75). Disini HIK pun juga bersifat sama seperti warteg (warung Tegal).
Produksi makanan-makanan yang tersedia di warung-warung makanan
sangat tergantung oleh pasar, sebab pasar sendiri memang dapat memberikan
mode produksi dan konsumsi. Namun dalam pergeseran mode produksi dan
konsumsi yang sangat dipengaruhi oleh tahap ekspansi pasar (kapitalisme), seperti
berbagai definisi dan “nilai menjadi bergeser dan pengaruh sistem dunia yang
dalam konteks sulit dihindari meskipun mode artikulasi akan sangat berbeda dari
satu tempat ke tempat lain” (Irwan, 2006: 177). “Konsumsi makanan dianggap
sebagai bagian dari rekreasi, bukan hanya pemenuhan kebutuhan dasar” (Irwan,
2006: 180)
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat juga membuat
sektor informal memungkinkan terjadinya suatu perlawanan terhadap tekanan-
tekanan dari luar seperti tekanan-tekanan aktivitas-aktivitas para pegunjung dari
kerja dan kehidupan-kedupan sehari-hari yang dirasa membosankan. Selain itu
sekarang warung-warung jalanan yang ada di pinggir-pinggir jalan bisa
digolongkan sebagai ruang publik. Definisi ruang publik adalah sebatas ruangan
yang menyediakan kebebasan berekspresi, beraktivitas, dan memberikan makna
33
lebih bagi komunitas, dan suasana hati yang nyaman dan tentram. Dan bahwa
ruang publik tidaklah seharusnya sesuatu yang berorientasi ke bisnis, tapi
berorientasi ke arah aktivitas komunitas, dan rekreasional dengan aksesabilitas
yang mudah dan murah.
Konsep ruang publik pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen
Habermas pada tahun 1962 berjudul The Structural Transformation of The Public
sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial
yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai “public
sphere”, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk
membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial,
politik dan budaya yakni praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi
mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum. “Penekanannya mengenai
pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat
secara budaya” (Ibnu, 2008). Fathurin yang mengutip Alan McKee menyatakan
beberapa pengertian tentang public sphere sebagai berikut :
“(1) Ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial kita di mana suatu pendapat umum dapat dibentuk diantara warganegara, berhadapan dengan berbagai hal mengenai kepentingan umum tanpa tunduk kepada paksaan dalam menyatakan dan mempublikasikan pandangan mereka.
(2) Ruang publik adalah istilah yang berkenaan dengan metafora yang digunakan untuk menguraikan ruang virtual dimana orang-orang dapat saling berhubungan.
(3) Ruang publik adalah ruang dimana percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat bertemu.
(4) Ruang publik adalah ruang virtual dimana warga negara dari suatu negeri menukar gagasan dan mendiskusikan isu, dalam rangka menjangkau persetujuan tentang berbagai hal yang menyangkut kepentingan umum.
(5) Ruang publik adalah tempat di mana informasi, gagasan dan perberdebatan dapat berlangsung dalam masyarakat dan pendapat politis dapat dibentuk” (Fathurin, 2009).
Ruang publik secara teoritis dapat diartikan sebagai
“wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memikili akses yang luas terhadap setiap kegiatan publik, yang mana warganegara berhak melakukan berbagai kegiatannya secara bebas dan merdeka khususnya dalam hal menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat” (Nadiroh, 2007: 136).
34
Sementara itu menurut Pauline Johnson ruang publik adalah,
“…ruang publik merupakan suatu perkumpulan yang memberikan kesempatan pada orang-orang/individu dalam masyarakat untuk memperlihatkan dirinya sebagai pribadi/individu yang memiliki potensi untuk menyamaratakan dalam kepentingan bersama, yang mana hal ini dapat dibangun melalui musyawarah dan partisipasi (Pauline Johnson defines the public sphere as an inclusive mode of association that provides individuals with the opportunity to establish their private concerns as potentially having generalizable significance and where collective aims can be built through deliberation and participation (Pauline Johnson, 2008).
Ruang publik memang merupakan suatu ruang yang bebas yaitu dimana
semua orang-orang yang berada di ruang publik dapat melakukan apapun bahkan
melakukan dialog (percakapan) tanpa adanya sesuatu yang mengikat mereka.
Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan public sphere adalah orang-orang
privat bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional bukan pula pejabat
atau politikus. Tujuan dari ranah publik adalah menjadikan manusia mampu untuk
merefleksikan dirinya secara kritis, baik secara politis-ekonomis maupun budaya.
Menurut Habermas tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan,
bahkan juga ilmu pengetahuan. Struktur masyarakat yang emansipatif dan bebas
dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah struktur ideal. Apa yang ingin
disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem demokrasi. Habermas yakin
bahwa sebuah ruang publik yang kuat, terpisah dari kepentingan-kepentingan
pribadi, dibutuhkan untuk menjamin tercapainya keadaan ini. Ruang publik yang
dipahami Habermas bukanlah prinsip yang abstrak melainkan sebuah konsep yang
praktis.
Habermas mengangkat obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salons
(Prancis) dan tichgesllschaften atau himpunan masyarakat meja (Jerman) sebagai
ruang publik. Disitulah forum yang ideal tempat berbagai gagasan didiskusikan
secara terbuka. Komentar-komentar yang ada dalam berbagai pemberitaan
diperdebatkan. Pada akhirnya, opini yang tercipta mampu mengubah berbagai
bentuk hubungan dan struktur sosial kemasyarakatan baik di kalangan kaum
35
aristrokrasi maupun lingkungan bisnis pada umumnya. Bagaimanapun banyak
dari Tischgesellschaften, salons, dan coffe house mungkin berbeda dalam ukuran
dan komposisi publik mereka, gaya cara bekerja mereka, puncak perdebatan
mereka, dan orientasi topik mereka, mereka seluruhnya mengorganisasikan
diskusi diantara masyarakat privat yang cenderung terus menerus, sebab itu
mereka memiliki sejumlah kriteria institusional umum.
Secara institusional, menurut Habermas terdapat kriteria yang
menyamakan ketiga forum diskusi (public sphere) antara lain:
1. Mereka memelihara suatu bentuk hubungan sosial yang jauh dari pensyaratan
kesamaan status. Kecenderungan mengganti penghormatan atas tingkatan
dengan kebijakan yang cocok secara merata. Sama-sama memelihara
kesetaraan sebagai manusia, terlepas dari atribut sosial dan budaya serta
kepentingan ekonomi.
2. Diskusi dalam suatu publik mengisyaratkan permasalahan area yang
kemudian tidak pernah dipersoalkan. Domain “perhatian umum” yang
menjadi objek perhatian kritis publik menetapkan suatu perlindungan diantara
otoritas gereja dan negara yang memiliki monopoli interpretasi tidak hanya
dari mimbar tetapi juga dalam philosopi, literatur dan seni.
3. Proses yang sama yang mengubah budaya kedalam komoditi, public sphere
pada dasarnya bersifat inklusif. Para peserta diskusi senantiasa mengaitkan
dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan obyek yang didiskusikan
dapat diakses oleh siapa saja, dengan demikian fungsi publik (dalam hal ini
sekelompok orang yang berdiskusi di coffe house) adalah pendidik. Ruang
publik borjuis memang berkembang dari sistem feodal yang menolak prinsip-
prinsip diskusi publik terbuka pada masalah-masalah universal. Pada awalnya,
para angota public sphere hanyalah kaum borjuis laki-laki, bangsawan, dan
intelaktual yang bertemu untuk mendiskusikan karya-karya sastra (Habermas,
2007: 54 -56).
Namun begitu, dalam kajian Habermas dikemudian hari diskusi-diskusi
tersebut telah bergeser menjadi pembicaraan-pembicaraan politik. Pembicaraan
mengenai hal ini membuka jarak sosial dan merupakan perlawanan terhadap
36
status quo. Sehingga, tujuan public sphere pun berubah, menjadikan orang
mempunyai sikap kritis terhadap kekuatan negara. Hal senada juga dikatakan oleh
Soules yaitu, menurutnya:
“Habermas menetapkan ruang publik sebagai ruang (tempat) virtual (nyata) atau imajiner (khayalan) dalam masyarakat yang tidak selalu ada di semua ruang pengenalan. Di dalam bentuk ideal, ruang publik adalah "memperbaiki kebersamaan antar pribadi (individu) sebagai publik dan jaringan sosial dengan negara". Melalui tindakan berkumpul dan berdebat (berbicara), ruang publik menghasilkan pendapat dan sikap yang berfungsi untuk menguatkan atau menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan negara. Idealnya ruang publik merupakan sumber opini publik yang diperlukan untuk "mensahkan kewenangan dalam berjalannya demokrasi”.... Habermas percaya pada ruang publik dapat dilakukan dan dikelola melalui dialog, pembicaraan, perdebatan dan diskusi. Dalam "Further Reflections," Habermas menyatakan bahwa debat publik dapat didiskusikan melalui "pengungkapan suatu pendapat sampai dengan membentuk perkumpulan" seperti perkumpulan yang sifatnya sukarela, organisasi sosial, gereja, klub olahraga, kelompok-kelompok masyarakat yang bersangkutan, gerakan bawah tanah, serikat pekerja …… (Habermas defined the public sphere as a virtual or imaginary community which does not necessarily exist in any identifiable space. In its ideal form, the public sphere is "made up of private people gathered together as a public and articulating the needs of society with the state". Through acts of assembly and dialogue, the public sphere generates opinions and attitudes which serve to affirm or challenge--therefore, to guide--the affairs of state. In ideal terms, the public sphere is the source of public opinion needed to "legitimate authority in any democracy"…. Habermas believes the public sphere can be most effectively constituted and maintained through dialogue, acts of speech, through debate and discussion. In "Further Reflections," Habermas claims that public debate can be animated by "opinion-forming associations"--voluntary associations, social organizations, churches, sports clubs, groups of concerned citizens, grassroots movements, trade unions….. (Soules, 2009).
Publik adalah warga negara yang memiliki kesadaran akan dirinya, hak-
haknya, kepentingan-kepentingannya. Publik adalah warga negara yang memiliki
keberanian menegaskan eksistensi dirinya, memperjuangkan pemenuhan hak-
haknya, dan mendesak agar kepentingan-kepentingannya terakomodasi. Sehingga
publik bukanlah kategori pasif, melainkan aktif. Sehingga, publik bukan
kerumunan massa yang diam (mass of silent) tetapi ruang publik adalah tempat
37
bagi publik untuk mengekspresikan kebebasan dan otonomi mereka, dimana
ruang publik bisa berwujud kebebasan berbicara dan mengungkapkan ide.
Apa yang ditampilkan Habermas tentang public sphere borjuis baik Salon,
Coffe House, dan Tichgesllschaften secara filosofis dan institusional memiliki
kesamaan dalam beberapa hal. Baik Salon, Coffe House, dan Tichgesllschaften
sama-sama melihat kesetaraan sebagai manusia dalam kontek berkomunikasi dan
berbagi informasi melalui tradisi dialog. Dalam diskusi tersebut mereka
melepaskan diri dari berbagi atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi
tertentu. Para peserta diskusi disini senantiasa mengaitkan dengan kepentingan
masyarakat luas dan objek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja.
Namun walaupun begitu ada perbedaan antara public sphere borjuis pada abad ke-
7 dan ke-8 Eropa dimana yang datang di public sphere borjuis adalah dari
kalangan tertentu, seperti borjuis laki-laki, bangsawan dan intelektual untuk
mendiskusikan karya-karya sastra khususnya persoalan-persoalan karya seni dan
tradisi baca tulis, bvahkan sering pula terjadi diskusi-diskusi tentang perdebatan
ekonomi dan politik. Sementara di Prancis, contoh yang diberikan Jurgen
Habermas, perdebatan-perdebatan semacam ini bisaa terjadi di salon-salon.
Warga-warga Prancis bisaa mendiskusikan buku-buku, karya-karya seni baik
berupa lukisan atau musik. Tetapi dalam perubahannya, sekarang ruang publik
lebih bersifat bebas dalam artian semua masyarakat dari semua kalangan dapat
mengakses ruang ini, bahkan pembicaraan yang terjadi di ruang publik sekarang
ini lebih lebar baik itu masalah pribadi sampai masalah umum ataupun gosip
belaka.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan
bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang
publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar
belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik
manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan
antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Dengan karakteristik ruang
publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti
38
pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kapital sosial. Namun
sayangnya, arti penting keberadaan ruang-ruang publik tersebut di Indonesia lama
kelamaan diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah
sehingga ruang yang sangat penting ini lama-kelamaan semakin berkurang.
Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan
interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti
lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya
lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, ruko-
ruko, warung-warung dan ruang-ruang bersifat privat lainnya. Dilihat dari ketiga
sifat ruang publik diatas, warung HIK sudah menyangkut ketiga sifat diatas,
bersifat responsif karena di HIK kita bebas melakukan apa saja tanpa batasan dan
melakukan kegiatan apa saja bahkan kegiatan yang sifatnya formal sekalipun
seperti rapat. Dikatakan demokratis, memang warung HIK sekarang tidak hanya
ditujukan kepada golongan ekonomi tertentu melainkan sudah dapat dinikmati
dari berbagai golongan tanpa memandang status. Sedangkan bermakna, warung
HIK ini sebagai ruang interaksi masyarakat dimana di sana kita dapat berinteraksi
dengan siapa saja dengan bahan pembicaraan yang luas tanpa ada batasannya.
Warung HIK dahulu masuk dalam ruang publik kelas marginal-alternatif
atau seringkali dibayangkan ruang publik sebagai sebuah eksklusivitas di ranah
Indonesia. Barangkali karena ruang publik menjadi sebuah ruang yang mahal;
mahal karena kita menemukan keterbatasan-keterbatasan misalnya jumlah dan
luasan yang minim " untuk menjadi sebuah ruang yang benar-benar milik publik"
dan harus dibayar dengan harga yang mahal dibandingkan kepentingan yang
dirasakan lebih penting dari ruang publik itu sendiri. Atau kadang ruang publik
merupakan sebuah ruang sisa dari fasilitas yang diperuntukkan bagi publik,
misalnya saja ruang tunggu yang berada di terminal dan stasiun yang kadang
merupakan sisia ruang dari lahan yang digunakan untuk kepentingan bernilai
ekonomi seperti warung, agen tiket perjalanan, atau jasa ekonomi lain. Trotoar
atau pedestrian atau kaki lima yang notabene sebagai daerah milik jalan tetapi
untuk saat ini bergeser menjadi lahan yang ‘lagi-lagi’ juga bernilai ekonomi bagi
pencari laba seperti pedagang kaki lima, papan iklan atau sektor informal lain.
39
Ruang publik dapat juga terbentuk secara sendiri tanpa kita ketahui dan kita
rancang sebelumnya, seperti HIK.
HIK sebagai ruang publik dengan karakter yang khas dan sederhana;
gerobak plus lampu minyak atau theplok yang tentunya memiliki nuansa yang
berbeda di dalamnya karena kita akan menemukan ruang dengan aura kehangatan
dan kadang remang-remang oleh efek penerangan lampu theplok tersebut. Ruang
itu akan berarti sebagai ruang publik bila ada sekumpulan orang di dalamnya yang
menikmati hidangan yang dijual dan terjadi interaksi sosial yang hangat antar
pembeli (konsumen) yang saling kenal ataupun yang belum kenal sekalipun, serta
pembeli dengan penjual. Kadang terjadi obrolan yang menarik dan bebas tanpa
terikat oleh aturan dan birokrasi yang ruwet. HIK sebagai ruang publik marginal
sekaligus sebagai ruang publik alternatif karena kita akan menemukan banyak
alternatif di dalamnya seperti alternatif dalam segi finansial (karena tidak
memerlukan biaya mahal untuk mengaksesnya); alternatif menu (karena bukan
makanan yang cepat saji dengan sajian tradisional.dan yang jelas adalah makanan
halal) dan alternatif tempat (tidak memerlukan ruang terlalu besar dan bisaanya
mengambil lahan publik seperti trotoar dan gang-sudut kampung).
Interaksi yang terjadi di HIK sebagai ruang publik terjadi dengan
spontan, karena di ruang publiklah jalinan penyesuaian diri paling banyak dituntut
sebab di sana siapa saja bisa hadir sebagai manusia bebas bahkan interaksi dapat
dilihat dari komunikasi antar individu disana. Komunikasi adalah suatu jenis
interaksi, di mana para partisipan memakai bahasa atau simbol-simbol lain yang
sudah disepakati bersama melalului sarana-sarana komunikasi lewat bahasa dan
simbol-simbol tersebut mempertemukan orang ke dalam relasi-relasi timbal balik.
Komunikasi pada dasarnya adalah proses ketika seseorang berhubungan dengan
orang yang lain serta membangun suatu keterlibatan antara kedua belah pihak,
dalam komunikasi semua orang terlibat. Sehingga dengan komunikasi diharapkan
masing-masing orang memiliki ruang untuk mengaktifkan dirinya, yakni suatu
ekspresi yang ditujukan terhadap orang lain, salah satunya terwujud di dalam
ruang publik.
40
Interaksi dalam ruang publik dapat juga berupa perdebatan terutama
perdebatan yang bebas dari semua peraturan yang sifatnya formatif saja karena di
ruang publik seperti HIK perdebatan juga bisa sifatnya non-formatif. Karena
sesuai dengan fungsi ruang publik yang bebas sehingga segala interaksi yang
didalamnya tidak bersifat monoton tetapi sifatnya relaks, maka debat yang terjadi
pun bisa berujud suatu pembicaraan non rasional bahkan sampai perdebatan yang
sifatnya jenaka.
Partisipan debat juga diharuskan memiliki kepentingan bersama atas
kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat menunda perbedaan status,
sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara. Komunikasi di era modernitas
sendiri adalah komunikasi yang bebas dominasi. Setiap individu memiliki hak
untuk saling berdialog dan berwacana atas segala sesuatu yang terjadi di ruang
publik.
Interaksi ini juga pernah dibahas oleh Georg Simmel atas bentuk-bentuk
interaksi/sosiasi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang
mana Simmel menekankan dalam kehidupan kita diperintah oleh dua kutub.
Kutub-kutub tersebut yaitu kutub individualitas dan kutub yang bersifat umum.
Kutub individualitas seseorang dapat dilihat di dalam pengembangan kepribadian
sesuai dengan ciri khas atau keunikan individu tunggal, sedangkan kutub yang
sifatnya umum dapat dilihat dalam lingkungan sosial/lingkungan kebudayaan
guna memperoleh pengakuan dalam masyarakat. ”Sosiasi adalah bentuk-bentuk
dan pola-pola khusus di mana manusia saling bergaul dan berinteraksi”
(Widyanta, 2002: 89). Dalam hal ini interaksi-interaksi yang semula hanya terjadi
sementara atau pendek dan kemudian berubah menjadi suatu interaksi yang
intensif dan cepat maka disebut sebagai sosiasi. ”Sosiasi ini meliputi berbagai
interaksi yang relatif stabil dan individu yang terlibat dalam interaksi pasti
melibatkan berbagai kepentingan, alasan, persangkalan psikologisnya masing-
masing” (Widyanta, 2002: 88). Diantara kedua kutub ini yaitu antara kepentingan
pribadi dan umum akan terbentuk dalam suatu tempat atau wilayah sosial
(lingkungan sosial/kebudayaan). Dalam wilayah ini manusia diposisikan sebagai
aktor (subyek/self) yang aktif, sehingga Simmel menggambarkan manusia sebagai
41
makhluk yang berada dalam pusat atau tengah-tengah lingkaran antara wilayah
privat individual, wilayah sosial individual dan wilayah kultural. Di lingkungan
kebudayaan, manusia (individu) barada dalam dua wilayah privat dan sosial
sekaligus, karena individu selain individu memenuhi kebutuan atau keingingan di
wilayah privatnya dia juga sekaligus memenuhi kebutuhan sosialnya. Bisa di
umpamakan bila seseorang berada di dalam suatu wilayah kultural seperti warung
HIK, individu selain memenuhi kebutuhan pribadi (makan, minum, rekreasi, dan
sebagainya) juga sekaligus memenuhi kebutuhan sosialnya yaitu bertemu dengan
orang lain, ngobrol ataupun bentuk interaksi lainnya.
Hal serupa juga dapat di lihat di warung-warung HIK, dimana disana
selain sebagai ruang publik yang merupakan hasil dari kebudayaan dalam
masyarakat juga sekaligus merupakan tempat privat yaitu sebagai tempat dimana
individu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Apalagi karena sifatnya yang
umum memungkinkan di HIK seseorang bisa bebas dalam mengungkapkan segala
hal baik itu sifatnya individualis ataupun sosial. Dalam memenuhi kebutuhan
individual (privat) disini individu bisa menunjukkan kemampuannya atau
berekspresi sesuasai dengan keinginannya tanpa ada suatu peraturan yang
mengikat seperti di ruang umum lainnya. Karena dalam suatu interaksi yang
terjadi di ruang publik seperti warung HIK ini, individu bebas mengungkapkan
segala beban pikirannya sehingga juga terjalin suatu interaksi sosial dengan
individu lain (pengunjung HIK lainnya). Pertama kali di HIK mungkin akan aneh
melihat seseorang dengan bebas membicarakan sesuatu yang sifatnya pribadi,
tetapi bagi individu (anggota masyarakat) yang sering datang ke HIK hal tersebut
merupakan suatu fenomena yang biasa saja. Sebab HIK dimata mereka
merupakan suatu wilayah dimana seseorang melepas segala hal yang pribadi
maupun umum sekaligus sebagai tempat mencari suatu partner, teman bicara atau
berdiskusi mulai dari masalah sekolah, pergaulan remaja, permasalahan pekerjaan,
kondisi perekonomian, pelayanan publik, olah raga sampai dengan masalah
perkembangan politik di daerah atau negara.
42
B. PENELITIAN YANG RELEVAN Beberapa sumber penelitian relevan yang digunakan oleh peneliti ada
dua yaitu penelitian dari Noviana Lely Setyowati dan Slamet Santoso. Noviana
Lely Setyowati adalah seorang mahasiswi dari Universitas Sebelas Maret,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), jurusan Sosiologi. Lely mengambil
penelitian dengan judul Eksistensi Pengusaha HIK dan Kepuasan Pelanggan
(Studi Diskriptif Kualitatif tentang Eksistensi Pengusaha HIK dan Kepuasan
Pelanggan di Sekitar Kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta) sebagai syarat
untuk memenuhi tugas-tugas dan melengkapi sarjana FISIP. Penelitian ini sangat
menarik karena disini dikatakan bahwa Pengusaha HIK merupakan alternatif
pekerjaan yang tergolong dalam sektor informal dan juga menghindari pandangan
negatif daripada menganggur. Kegiatan perdagangan HIK merupakan timbal balik
atau sepihak dimana para pelaku dalam perdagangan HIK yaitu pengusaha HIK,
juragan, maupun konsumennya saling berinteraksi sehingga terjadi pertukaran
yang saling menguntungkan. Bahkan pertukaran tersebut akhirnya menjadi suatu
aktivitas yang melembaga dalam struktur sosial yang lebih luas.
Jenis kegiatan perdagangan HIK ini mengalami perubahan dengan segala
atribut yang melekat pada warung tersebut. Eksistensi secara ekonomi, sosial dan
budaya merupakan akibat dari perjuangan yang panjang seperti pengusaha HIK
yang bertahan menghadapi problema-problema kehidupan sosial di masyarakat
Surakarta yang semakin tidak toleran berorientasi pada kehidupan di daerah
asalnya. Namun walaupun terjadi beberapa perubahan dalam menjalankan
usahanya ini, para pengusaha HIK tidak mudah putus asa dalam membangun
usaha dalam sektor ini. Sehingga keberadaan pengusaha HIK makin hari turut
mewarnai kehidupan malam di Surakarta.
Elemen-elemen dasar dalam struktur pengusaha HIK meliputi eksistensi,
fungsionalitas dan kultural. Eksistensi pengusaha HIK sendiri terdiri dari
eksistensi ekonomi, eksistensi sosial, dan eksistensi kultural. Sedang elemen
fungsionalitas diantaranya fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi budaya yang
menimbulkan persepsi dan interaksi masyarakat. Eksistensi kultural dalam HIK
43
dapat dilihat dari berbagai hidangan yang disajikan dan suasana yang masih ke-
tradisionalan
Alasan yang dikemukakan oleh pengusaha HIK dalam menekuni usaha
berdagang makanan dan minuman disebabkan beban dan resiko yang ditanggung
adalah minimal. Pada umumnya HIK yang ada, sebelumnya berprofesi lain, ada
yang menjadi tukang becak, jual ayam, supir truk dan sebagainya. Proses ini
merupakan penggambaran dalam pekerjaan. Oleh karena itu, menjadi pengusaha
HIK dengan penghasilan yang lumayan dan tanggung jawab yang tidak menuntut
secara ketat menjadi sebuah pilihan bagi mereka yang memiliki ketrempilan dan
pendidikan terbatas.
Beberapa faktor-faktor yang menjadi eksistensi pengusaha HIK dapat
terus berjalan dari penelitian dan observasi yang dilakukan diantaranya yaitu:
1. Fenomena pengusaha HIK memiliki akar historis panjang dalam masyarakat
Surakarta.
2. Fenomena pengusaha HIK bagi masyarakat Surakarta memiliki dimensi
fungsionalitas, sosial dan kultural disebabkan eksistensi pengusaha HIK yang
meliputi eksistensi ekonomi, eksistensi sosial dan eksistensi budaya.
3. Fenomena pengusaha HIK merupakan kegiatan sektor ekonomi informal yang
mempunyai daya serap atau daya tampung cukup besar disebabkan untuk
memasukinya tidak diperlukan persyaratan khusus, seperti: pendidikan,
ketrampilan serta persyaratan formal lainnya.
4. Fenomena pengusaha HIK dilihat dari aspek ekonomi memiliki jangkauan
segmentasi pasar yang luas, bebas dan murah meriah.
5. Fenomena pengusaha HIK merupakan kultur sebagai pos atau tempat
”wedangan” dan ngobrol-ngobrol pada waktu malam, karena apa yang
ditawarkan pengusaha HIK sebenarnya bukan hanya jajanannya seperti nasi
kucing dan ”wedangan” tetapi itu suasana, keramahan, kebebasan serta
kemurahmeriahan juga ditawarkan.
6. Fenomena pengusaha HIK tetap eksis disebabkan pengusahanya memiliki
daya tahan untuk tetap berlangsung dengan mencoba melakukan perubahan-
perubahan tanpa merubah esensi eksistensi pengusaha HIK yang telah ada.
44
7. Fenomena pengusaha HIK memiliki resikoekonomis yang ringan karena
hampir semua dagangan titipan dan gerobag HIK menyewa dengan tarif antara
Rp 1.500,- sampai dengan Rp 2.000,- per hari. dengan demikian praktis,
pengusaha HIK hanya bermodalkan tenaga.
8. Fenomana eksistensi pengusaha HIK juga dipengaruhi adanya aktifitas
supranatural yaitu dengan melibatkan dukun untuk menjaga usaha HIK tetap
laris.
9. Menjadi pengusaha HIK memiliki suka duka tersendiri dalam menghadapi
resiko-resiko berdagang pada malam hari seperti menghadapi para pemuda
yang suka mabuk dan meminta jenis makanan serta minuman tanpa
membayar. Namun hal ini bagi pengusaha HIK bukan merupakan masalah
yang berarti. Di samping itu suasana tempat HIK yang familiar sebagai tempat
obrolan yang bahkan disertai dengan canda tawa menjadikan pengusaha HIK
serta konsumennya melupakan persoalan-persoalan yang membelit mereka.
Hal ini sangat mendukung pengusaha HIK tersebut terus bertahan.
10. Konsumen HIK merasa puas dengan keberadaan HIK di sekitar kampus UNS.
11. Terjadi hubungan antara pengusaha HIK dengan juragan gerobag, penyetor
makanan dan juga konsumennya. Hubungan disini saling menguntungkan dan
mereka saling tergantung sama lain. Hal ini juga mempengaruhi kepuasan
konsumen sehingga hubungan tersebut menjadi salah satu faktor penting
pengusaha HIK tetap bertahan hingga sekarang.
Disamping faktor-faktor tersebut, juga didukung oleh faktor laian baik itu
alamiah ataupun rekayasa yang semuanya tetap tergantung pada pengusaha HIK
sebagai aktor aktif yang menentukan masa depannya sendiri.
Penelitian yang ke dua dari Slamet Santoso, dia adalah mahasiswa
Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Skripsinya berjudul
Kemampuan Bertahan Pedagang Warung HIK Di Kota Ponorogo (The Survival
Of Hik Vendors In Ponorogo). Penelitiannya ini juga masih senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lely, hanya saja penelitian ini lebih berbicara
tentang bertahannya pedagang HIK saja. Di mana pedagang warung HIK di kota
Ponorogo telah mampu berkembang dengan baik dan mampu bertahan
45
menghadapi persaingan usaha. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan
jumlah pedagang warung HIK yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari
tahun ke tahun. Kemampuan berkembang dan bertahan menghadapi persaingan
usaha tersebut, di samping didorong faktor ketrampilan dan semangat kerja yang
tinggi, juga didorong oleh berperannya modal sosial di antara pedagang warung
HIK. Modal sosial yang telah berperan pada para pedagang warung HIK adalah
saling memberikan informasi dan bantuan, baik terkait dengan informasi peluang
usaha, lokasi usaha yang startegis, modal usaha, kelompok usaha, maupun tempat
tinggal. Berdasarkan tingkat kemandirian (kepemilikan) pedagang warung HIK
terhadap gerobak untuk berjualan dan penyediaan makanan dan jajanan yang akan
disajikan, pedagang warung HIK di kota Ponorogo dapat digolongkan menjadi
tiga golongan. Ketiga golongan itu ialah pedagang warung HIK yang mandiri,
semi mandiri, dan nonmandiri.
Seorang pedagang warung HIK dikatakan sebagai pedagang yang
mandiri, jika mereka memiliki gerobak sendiri, sekaligus menyiapkan makanan
dan jajanan sendiri, kendati tetap dan selalu bersedia menerima makanan titipan.
Pedagang warung HIK yang termasuk dalam golongan semimandiri adalah
mereka yang memiliki gerobak sendiri, tetapi makanan dan jajanan dipasok oleh
orang lain, biasanya oleh ketua kelompok. Adapun pedagang warung HIK yang
termasuk dalam golongan nonmandiri adalah mereka yang menyewa gerobak dan
sekaligus mengambil makanan dan minuman dari ketua kelompok, sehingga
sifatnya hanya menjualkan saja.
Dari sisi konsumen, pembeli yang datang ke warung HIK tidak hanya
semata-mata didorong oleh motif ekonomi (hanya membeli makanan dan
minuman), tetapi didorong juga oleh motif yang lain, yaitu membutuhkan tempat
yang nyaman untuk bersantai, mengobrol, dan berdiskusi. Kebanyakan pembeli
merasa nyaman untuk singgah berlama-lama di warung HIK. Hal tersebut
disebabkan, di samping minuman dan jajanan yang disajikan cukup bervariasi dan
dapat memesan jajanan yang dibakar, mereka juga dapat memilih tempat duduk
yang disukai untuk bersantai, baik di kursi yang telah disediakan ataupun tempat
duduk lesehan di trotoar dengan beralaskan tikar. Karena suasana tradisional dan
46
bersifat
sifatnya yang masih menganut kebersamaan pengunjung inilah maka HIK menjadi
suatu usaha yang tetap bertahan dan banyak diminati oleh masyarakat.
Penelitian ini memberikan gambaran bagi peneliti untuk mengetahui
profil penjaja HIK dan suasana dalam HIK sehingga peneliti bias menjalin
interaksi dalam melakukan penelitian.
C. KERANGKA BERFIKIR
Gambar 1: Kerangka Berfikir
Keterangan:
Banyak aktivitas terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat
dilihat dari berbagai sisi diantaranya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dari
berbagai aktivitas tersebut dalam penelitian ini akan lebih mengangkat pada sektor
ekonomi masyarakat, dimana dari sektor ekonomi ini dapat dibedakan menjadi
sektor formal dan informal. Sektor formal dan informal disini merupakan kegiatan
perekonomian yang terbesar di dalam negara-negara berkembang seperti halnya di
HIK di kota Solo
Ruang Publik
Responsif Demokratis
Bermakna
HIK sebagai warung yang
bernuansa tradisional
HIK Sebagai Sektor
Informal
47
Indonesia. Keberadaan kedua sektor atau yang sering disebut dualisme ekonomi
ini, membawa dampak yang besar bagi kegiatan perekonomian apalagi dari dua
sektor yang paling banyak digeluti oleh masyarakat adalah perekonomian disektor
informal. Sektor informal yang semakin pesat perkembangannya mempunyai
kemampuan yang lumayan dalam memberikan kesempatan kerja bagi kaum
penganggur di kota-kota besar. Kenyataan ini diperkuat oleh ”survei yang sudah
dilakukan di berbagai kota di negara sedang berkembang termasuk Indonesia
dimana ditemukan kurang lebih 20-70% kesempatan kerja terdapat dalam
kegiatan ”kecil-kecilan” dengan label sektor informal” (Jefta, 2004: 11).
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat sekarang yang lebih menuju ke
modernitas khususnya dalam bidang informal menyebabkan banyak sektor
informal yang seharusnya dapat menjadi sumber kearifan lokal masyarakat kita
menjadi semakin mundur. Salah satunya yang dapat dianggap sebagai bagian dari
kebisaaan masyarakat kita dan sudah seharusnya mendarah daging adalah PKL
(Pedagang Kaki Lima) khususnya keberadaan HIK (Hidangan Istimewa
Kampung). HIK adalah sebuah dagangan yang bergerak komoditas makanan-
minuman-jajanan yaitu pedagang yang menjajakan makanan, dan minuman.
Apalagi HIK sendiri juga merupakan suatu warung yang bisa digolongkan sebagai
warung yang sifatnya masih tradisional dan menjadi suatu gambaran kehidupan
malam di Kota Solo, kenapa disebut tradisonal karena menyajikan berbagai aneka
makanan jajanan pasar atau makanan tradisional seperti sega (nasi) kucing dengan
sambel trasi dan sedikit ikan asin.; berbagai gorengan seperti tahu goreng, tempe
goreng, bakwan, sate usus, cakar ayam, telor puyuh, bahkan terkadang ada wajik
(makanan yang terbuat dari ketan), klepon (makanan yang bentuknya bulat warna
hijau) dan tentu saja minuman hangat seperti kopi, teh, jahe sampai susu. Nuansa
yang menyajikan aneka makanan tradisional di HIK ini bahkan digunakan sebagai
salah satu cara pelestarian kebudayaan terutama tentang makanannya walaupun
merupakan menu yang ala kadarnya dan murah meriah. Sedangkan HIK sebagai
salah satu fenemena kehidupan malam di Kota Solo sebab warung-warung seperti
ini mudah sekali di jumpai di Solo dari di pinggir jalan besar sampai gang-gang
kecil di perkampungan ataupun di perkotaan saat hari menjelang malam.
48
HIK yang merupakan simbol dari golongan masyarakat kelas bawah,
sekarang ini karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat juga
mempengaruhi perubahan pada sektor informal terutama pada HIK. Perubahan itu
dapat dilihat dimana sekarang ini HIK tidak hanya diminati oleh masyarakat
golongan ekonomi bawah tetapi oleh semua golongan masyarakat tidak
memandang golongan dan stratanya. Di HIK semua orang bisa datang, bisa
berbicara apa saja tanpa ada batasan. Inilah yang membuat HIK menjadi ruang
publik. HIK sebagai ruang publik dengan karakter yang khas dan sederhana.
Ruang publik sendiri ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan
bermakna. Dilihat dari ketiga sifat ruang publik diatas, warung HIK sudah
menyangkut ketiga sifat diatas pertama dikatakan demokratis, memang warung
HIK sekarang tidak hanya ditujukan kepada golongan ekonomi tertentu melainkan
sudah dapat dinikmati dari berbagai golongan tanpa memandang status.
Sedangkan bermakna, warung HIK ini sebagai ruang interaksi masyarakat dimana
di sana kita dapat berinteraksi dengan siapa saja dengan bahan pembicaraan yang
luas tanpa ada batasannya. Sedangkan responsif karena kita bebas melakukan
kegiatan apapun disana. Dengan demikian, maka HIK sebagai ruang publik harus
dapat memenuhi ketiga faktor tersebut.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Solo terutama daerah di sepanjang
jalan Dr Rajiman, alasan mengambil lokasi tersebut adalah karena berdasarkan
penelitian pendahuluan lokasi ini menunjukkan adanya banyak PKL termasuk di
dalamnya HIK dari di pagi sampai malam hari, walaupun ada larangan dari
pemerintah kota Solo untuk berjualan dilokasi tersebut. Selain itu banyak
masyarakat yang memanfaatkan jajanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan
makanan dan minuman di warung-warung HIK sambil memanfaatkan ngobrol
dengan teman sesama pembeli.
Warung-warung HIK pada awalnya hanya buka saat sore sampai malam
hari, namun pada perkembangannya warung HIK ini bisa kita jumpai dari pagi
sampai malam hari. warung HIK ini bisa ditemui dari pagi sampai malam karena
makin banyak pembeli yang tertarik untuk memenuhi makan dan minum dari pagi
sampai malam hari sehingga menarik penjaja HIK untuk membuka warungnya
dari pagi sampai malam hari.
Alasan ilmiah peneliti mengambil lokasi sepanjang Jalan Dr Rajiman
yaitu karena adanya penataan/penertiban PKL di sepanjang jalan protokol di Kota
Solo. Seiring dengan peresmian program City Walk oleh Pemerintahan Kota Solo
(Pemkot), muncul peraturan yang melarangan para PKL untuk berjualan di
sepanjang Jalan Slamet Riyadi kecuali di depan Solo Grand Mall (SGM). Adanya
larangan tersebut membuat banyak PKL mencari tempat/lokasi alternatif untuk
berjualan, yang salah satunya di sepanjang Jalan Dr Rajiman.
Selain itu, alasan praktis peneliti mengambil lokasi tersebut disebabkan
karena berdekatan dengan tempat tinggal peneliti sehingga setiap saat peneliti
dapat melakukan observasi kapan saja. Apalagi karena dekat dengan tempat
50
tinggal maka peneliti dapat mengenal informan lebih dekat sehingga
memungkinkan terjadinya wawancara yang lebih mendalam.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal, penyusunan desain
penelitian, pengumpulan data, analisis data dan penulisan laporan. Adapun rincian
waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Tabel 1: Waktu dan Kegiatan Penelitian
Waktu No. Kegiatan November’08 Maret
’09 Juni’09 September
’09 Desember
’09 1. Penyusunan
Proposal
2. Penyusunan Desain Penelitian
3. Pengumpulan Data, Analisis Data
4. Penulisan Laporan
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan oleh peneliti disini adalah penelitian
kualitatif yang bertujuan untuk menggali atau membangun atau menjelaskan
berbagai fenomena/peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat. Peneliti melihat
peristiwa di lapangan dan berupaya menemukan apa yang sedang terjadi dalam
dunia yang diteliti. Penelitian kualitatif seperti ini berupaya “memandang apa
yang sedang terjadi dalam dunia tersebut dan meletakkan temuan-temuan yang
diperoleh didalamnya” (Bungin, 2003: 82). Penelitian kualitatif merupakan
penelitian multimetode dengan satu fokus masalah yang diteliti. Disamping itu
“penelitian kualitatif memiliki sudut pandang naturalistik dan pemahaman
interpretif tentang pengalaman manusia” (Salim, 2006: 35-38). Dalam sudut
pandang naturalistik, topik penelitian kualitatif diarahkan pada kondisi asli (yang
sebenarnya) dari subyek penelitian dimana kondisi ini tidak dipengaruhi oleh
51
perlakuan (treatment) secara ketat oleh peneliti. Sedangkan sudut pandang
interpretif dalam penelitian kualitatif yaitu penafsiran data (termasuk penarikan
kesimpulannya) secara idiografis, yaitu mengkhususkan kasus daripada secara
nomotetis (mengikuti hukum-hukum generalisasi). Karena “interprestasi dalam
penelitian kualitatif tidak mengarah pada melakukan generalisasi dari hasil
penelitiannya” (sic) (Sutopo, 2002:44). “Metode-metode kualitatif memungkinkan
kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sebagaimana
mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya” (Bogdan, 1993: 30).
Definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian kualittatif
adalah penelitian untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subyek penelitian meliputi perilaku, persepsi, tindakan yang sifatnya secara
holistik dan naturalistik. Penafsiran kualitatif secara ekploratif dari fenomena
sosial disajikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa dan dengan metode yang
sistematis. Sehingga penelitian secara kualitatif sangat pas untuk meneliti tentang
fenomena sosial khususnya yang berhubungan dengan tindakan/perilaku ataupun
persepsi masyarakat sebab dalam penelitian ini peneliti terjun langsung ke
lapangan.
Oleh karena itu, peneliti disini hendak menjelaskan dan menggali data
tentang fenomena HIK sebagai ruang publik di sepanjang Jalan Dr Rajiman
dengan melihat dari berbagai karakteristik pengunjung yang datang ke HIK,
materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara
pengunjung dan penjaja HIK, serta interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta
pengunjung dan penjaja HIK. Semuanya akan disajikan dalam bentuk kata-kata
dan bahasa dengan padat dan jelas sehingga dapat menjelaskan fenomena HIK
sebagai ruang publik kepada pembaca.
2. Strategi Penelitian
Strategi penelitian ini adalah penelitian studi kasus eksploratoris, jenis
penelitian ini adalah ”salah satu strategi dan metode analisis data kualitatif yang
menekankan pada kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis” (Bungin,
2008: 229). Sedangkan menurut Yin, ”studi kasus adalah suatu inkuiri empiris
52
yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata” (Yin, 2006: 1).
”Studi kasus eksploratif ini menggunakan desain analisis jamak (multi-level
analysis) karena analisis jamak ini adalah studi kasus yang menyoroti perilaku
kehidupan dari kelompok individu dengan berbagai tingkatan masalah penting”
(Salim, 2006: 121). Studi kasus eksploratoris dengan desain analisis jamak ini
dipilih oleh peneliti sebab sangat cocok dalam meneliti fenomena sosial yang
terjadi dalam masyarakat tentang keberadaan HIK sebagai ruang publik yang
dilihat dari tiga (3) hal yaitu:
a. Karakteristik pengunjung yang datang ke HIK.
b. Materi obrolan yang dilakukan oleh sesama pengunjung ataupun antara
pengunjung dan penjaja HIK.
c. Interaksi yang terjadi sesama pengunjung serta pengunjung dan penjaja HIK.
Penelitian ini menggunakan studi kasus eksplanatoris analisis jamak
dengan maksud agar peneliti mampu melihat sisi-sisi unik tapi bermakna dari
lingkungan sosial sekitarnya di dalam komunitas. Studi ini yang akan dilakukan
karena HIK sebagai ruang publik merupakan fenomena sosial yang mempunyai
sisi-sisi unik bermakna bagi lingkungan sekitarnya di dalam komunitas para
peminat HIK sendiri, sebab HIK merupakan salah satu tempat/warung yang
banyak dikunjungi oleh warga Solo karena selain dapat mempererat kebersamaan
para pengunjung lewat interaksi yang terjadi disana serta sebagai salah satu
tempat untuk sekedar melepas lelah setelah seharian melakukan aktivitas.
HIK sebagai ruang publik merupakan suatu fenomena sosial adalah
bagian dari realitas yang terikat oleh interaksi secara dialektis dari subjek dan
objeknya. Akibatnya terdapat banyak realitas sebanyak manusianya yang ada dan
terlibat. Orang boleh membentuk realitas dirinya atau realitas sosialnya menurut
pandangan mereka sendiri dengan cara yang berbeda dalam waktu dan tempat
yang berbeda pula. Menurut Bergner dalam Sutopo menyatakan bahwa
”realitas sosial sebagai hasil kehendak manusia secara sadar tidak mungkin dapat dipisahkan dari kekhususan hubungan antar manusia, termasuk para peneliti yang mengambil bagian di dalamnya serta memberi tafsir mengenai realitas yang dihadapinya" (Sutopo, 2002: 3).
53
Dalam fenomena HIK sebagai ruang publik juga merupakan relitas yang
terikat oleh interaksi secara dialektis sebab di sana terjadi percakapan (obrolan)
para pengunjung serta akan melihat karakteristik pengunjung HIK, hal inilah yang
akan diteliti oleh peneliti.
C. Sumber dan Jenis Data
Sumber data merupakan bagian yang penting dalam penelitian karena
ketepatan memilih dan menentukan sumber dan jenis data akan menentukan
ketepatan dan kekayaan data atau informasi yang diperoleh. Data tidak akan bisa
diperoleh tanpa adanya sumber data. Sumber data dalam penelitian ini berupa
manusia (informan), kejadian atau peristiwa dalam masyarakat, tempat dan lokasi,
dan dokumen benda-benda lain yang menunjang penelitian ini. Informan
(narasumber) adalah individu yang memiliki informasi. Sedangkan menurut
Sutopo,
“Dalam penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasinya. Peneliti dan narasumber disini memiliki oposisi yang sama, dan narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Karena posisi ini, sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitati lebih tepatnya disebut sebagai informan daripada responden” (Sutopo, 2002: 50)
Informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah informan kunci
yang terdiri dari penjaja HIK di jalan Dr. Rajiman, serta pengunjung HIK yang
diambil dari berbagai karakteristiknya yaitu berdasarkan beragam usia,
pendidikan, macam kendaraan yang dipakai.
Selain dari sumber data di atas peneliti juga menggunakan jenis data
guna mendukung penelitian yang akan dilakukan. Jenis data yang akan digunakan
oleh peneliti dalan penelitian ini antara lain berupa:
a. Perilaku atau tingkah laku
Data atau informasi dapat dikumpulkan dari peristiwa atau aktivitas
atau perilaku sebagai jenis data yang berkaitan dengan sasaran penelitian. Dari
54
pengamatan pada peristiwa atau aktivitas, peneliti bisa mengetahui proses
bagaimana sesuatu terjadi secara pasti. Perilaku sebagai jenis data memang
sangat beragam baik secara sengaja atau tidak, aktivitas berulang atau hanya
satu kali terjadi, aktivitas formal maupun informal dan yang juga tertutup
maupun terbuka untuk bisa diamati siapa saja. “Berbagai permasalahan
memang memerlukan pemahaman lewat kajian perilaku atau sikap dari para
pelaku dalam aktivitas yang dilakukan atau yang terjadi sebenarnya” (Sutopo,
2002: 51).
Tingkah laku manusia disini dilakukan dengan cara menafsirkan
(memahami). Untuk melakukan ini menuntut apa yang oleh Weber disebut
dengan verstehen, “pemahaman yang empatik atau kemampuan menyerap dan
mengungkapkan lagi perasaan-perasaan, motif-motif dan pemikiran-pemikiran
dibalik tindakan orang lain” (Bogdan, 1993: 45). Data-data ini di dapat dengan
melakukan observasi partisipan aktif atau pengamatan berperan serta di
warung-warung HIK, dimana yang diteliti adalah tentang tingkah laku para
pengunjung dan penjaja HIK yang meliputi interaksi yang dilakukan oleh
pengunjung dan penjaja HIK ataupun antar pengujung ataupun kebiasaan-
kebiasaan/perilaku yang dilakukan di HIK.
b. Ucapan-ucapan atau kata-kata
Ucapan atau kata-kata adalah jenis data yang dapat digunakan jika
peristiwa hanya terjadi satu kali atau hanya berjalan dalam jangka waktu
tertentu dan tidak berulang kembali, maka karena peristiwanya secara langsung
tidak dapat dapat dilihat oleh peneliti sehingga peneliti memperoleh data lewat
ceritera dari narasumber.
Jika jenis data berupa ucapan-ucapan atau kata-kata dari narasumber
dapat dijadikan bukti. ”Bilamana rekaman dilakukan oleh peneliti, hal itu
berarti hanya sebagai tambahan kelengkapan untuk lebih memantapkan catatan
lapangan” (Sutopo, 2002: 53). Dimana data yang berupa ucapan-ucapan ini
diperoleh dari wawancara dengan para informan seperti pengunjung dan
55
penjaja HIK dari cerita-cerita penjaja dan pengunjung tentang kebiasaan yang
mereka lakukan di HIK.
c. Tulisan-tulisan
Jenis data berupa tulisan-tulisan dapat berupa buku-buku dan artikel-
artikel ataupun lainnya yang merupakan bahan tertulis yang berhubungan
dengan peristiwa atau aktivitas tertentu. “Dalam mengkaji jenis data tertulis,
peneliti sebaiknya tidak hanya mencatat yang tertulis tetapi juga berusaha
menggali dan menangkap makna” yang tersirat di dalamnya (Sutopo, 2002:
54). Catatan tertulis juga bisa berupa tulisan-tulisan dari surat kabar, majalah,
memo dan lainnya. “Catatan-catatan ini bisa mempertajam peneliti untuk
mengarahkan penelitiannya pada garis yang berhasil guna” (Bogdan, 1993:
122). Seperti tulisan-tulisan yang mendukung tentang penelitian ini baik dari
media massa ataupun arsip-arsip dari organisasi yang mewadahi HIK. Catatan
tersebut berupa artikel di media massa, hasil penelitian ataupun tulisan-tulisan
lainnya tentang HIK, sektor informal (PKL) ataupun ruang publik.
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Observasi
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari jenis data
yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan benda. Metode observasi dalam
penelitian ini yaitu observasi partisipan aktif atau pengamatan berperan serta.
Dalam observasi partisipan aktif, peneliti berperan aktif sebagai pengamat
yang mengikuti situasi penelitian dengan mempertimbangkan posisi yang bisa
memberikan akses untuk pengumpulan data lengkap dan mendalam (Sutopo,
2002: 67). “Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan pancaindra, karena itu menggukan pengamatannya melalui
hasil kerja pancaindra mata yang dibantu pancaindra lainnya untuk
menangkap fenomena yang sedang diteliti” (Bungin, 2008: 15). Dalam hal ini
56
peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian. Tugas peneliti berupa
pengamatan tentang : apa yang mereka lakukan, apa yang mereka ketahui dan
benda-benda apa saja yang mereka buat dan gunakan dalam kehidupan
mereka.
Observasi partisipan aktif ini digunakan untuk mengamati tentang
aktivitas atau perilaku informan. Dari pengamatan tersebut tugas dari peneliti
seterusnya adalah menangkap makna dari perilaku informan. Pengamatan ini
dilakukan di warung-warung HIK, baik itu kebiasaan para pengunjung dan
penjaja ataupun mengamati tentang berbagai obrolan dan interaksi yang ada
di HIK serta karakteristik pengunjung yang datang ke warung tersebut.
b. Wawancara
Jenis data yang sangat penting dalam penelitian kualitas adalah
berupa manusia yang dalam posisi sebagai nara jenis (informan). Untuk
mengumpulkan informasi dari jenis data ini diperlukan teknik wawancara
secara mendalam dalam berbagai situasi sehingga tercipta suasana akrab
antara peneliti dan informan. Keakraban ini dilakukan guna mendapatkan data
yang punya kedalaman dan rinci. ”Wawancara mendalam secara umum
adalah proses memperoleh keterangan dengan cara Tanya jawab sambil
bertatap muka dengan atau tanpa pedoman” (Bungin, 2008: 108). Wawancara
mendalam ini dilakukan secara tidak terstruktur/tanpa pedoman karena
peneliti merasa tidak tahu tentang fenomena yang akan diteliti.
Di dalam proses wawancara selain mendengarkan dan menulis,
peneliti juga dapat merekamnya tetapi harus meminta ijin terlebih dahulu
pada informan demi kelancaran penelitian ini. ”Wawancara ini teknik
pengambilan informan menggunakan model purposisif agar terjadi
wawancara yang mendalam (indepth interviewing)” (Salim, 2006: 12). Dalam
penelitian ini, penulis melakukan wawancara kepada penjaja dan
pembeli/pengunjung HIK tentang berbagai kebiasan yang mereka lakukan di
HIK mulai dari obrolan yang biasa dibicarakan di HIK, berbagai interaksi
yang di lakukan di HIK, serta menanyakan siapa saja yang biasa datang di
HIK (khusus untuk penjaja HIK).
57
c. Dokumen
“Dokumen dan arsip merupakan sumber data yang sering memiliki
posisi penting dalam penelitian kualitatif, terutama bila sasaran kajian
mengarah pada latar belakang atau berbagai peristiwa masa lampau yang
sangat berkaitan dengan kondisi atau peristiwa masa kini yang sedang diteliti”
(Sutopo, 2002: 69). Dokumen memiliki beragam bentuk dari yang sederhana
sampai yang lebih lengkap. Selain itu dokumen bisa berbentuk ini bisa
berbentuk gambar, grafik, table dan lainnya. Pada penelitian ini dokumen
digunakan dengan melihat literature, foto serta dokumen yang relevan dengan
penelitian ini. Dokumen-dokumen tersebut berupa data-data tentang PKL
terutama warung-warung HIK dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) ataupun dari dinas PKL terkait serta organisasi HIK yaitu
Paguyuban Wedangan Baron (PAWON).
E. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan suatu langkah dalam penelitian yang berupa
pekerjaan-pekerjaan seperti mengatur, mengurutkan, mengumpulkan data dan
mengkatagorikan. Namun sebelum sampai pada pengkatagorian dalam proses
analisis data dilakukan pengumpulan data yang dilakukan di lapangan dalam hal
ini di HIK. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan model analisis
interaktif. Model analisis ini terdapat empat (4) langkah diantaranya pengumpulan
data, sajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi dan reduksi data. Untuk bentuk
sederhananya dapat dilihat dalam bagan berikut:
58
Gambar 2: Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif (Sutopo, 2002: 95-96)
Dari gambar diatas berarti peneliti dalam mengumpulkan data selalu
membuat reduksi data dan sajian data yang berupa catatan lapangan berupa data
yang telah didapat. Reduksi data disini berupa pokok-pokok penting atau
pemahaman segala peristiwa yang dikaji supaya peristiwa menjadi lebih jelas
dipahami setelah itu ditarik kesimpulannya tetapi dalam hal ini masih mengacu
pada pengumpulan data.untuk merefleksi kembali apa yang telah ditemukan dan
digali dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan model interaktif sebab dalam aktivitasnya dilakukan dengan cara
interaksi anatar penjaja HIK, pengunjung HIK maupun kelompok organisasi HIK.
Model interaktif ini dilakuykan agar dalam mengambil kesimpulan akhir nanti
dapat merefleksikan kembali dari data-data yang didapat sebelumnya sehingga
penelitian yang dilakukan benar-benar dapat menjelaskan fenomena yang
sebenarnya terjadi di dalam masyarakat (fenomena sebenarnya yang terjadi di
HIK).
F. Validitas Data
Penelitian kualitatif adalah berusaha menjelaskan makna dibalik realitas,
maka untuk pemahaman mendalam tentang fenomena yang diteliti, dalam
memperoleh validitas data, dapat dilakukan dengan trianggulasi. “Triangulasi
bukan alat atau strategi pembuktian, melainkan suatu alternatif pembuktian secara
Penyajian data
Reduksi data
Penarikan kesimpulan
Pengumpulan data
59
empiris, sudut pandang pengamatan yang teratur dan menjadi strategi yang baik
untuk menambah kekuatan, keluasan dan kedalaman suatu penelitian” (Salim,
2006:35).
Dalam penelitian ini, triangulasi yang digunakan yaitu triangulasi sumber
(data) dan triangulasi metode. Menurut Sutopo “triangulasi data atau sumber
mengarahkan peneliti menggunakan sumber data yang berbeda” (Sutopo, 2002:
79). Artinya, data yang sama atau sejenis, secara kelompok berasal dari sumber
sejenis ataupun berbeda jenis. Triangulasi sumber dalam penelitian ini yaitu
informan. Kedudukan informan sebagai narasumber dengan teknik wawancara
mendalam (wawancara tidak terstruktur), sehingga informasi dari narasumber
yang satu bisa dibandingkan dengan informasi dari narasumber (informan)
lainnya.
Penelitian ini menggunakan triangulasi data (sumber) yaitu informan
yang berbeda-beda dengan mengkategorikan informan sesuai dengan
karakteristiknya yaitu dengan ukuran sesuai dengan umur (tua/muda), status
pendidikan (pelajar/mahasiswa atau sudah bekerja), status pekerjaan dan
kendaraan yang dipakai (motor atau mobil). Selain itu juga melihat tentang
interaksi yang terjadi di HIK. Pengecekan balik untuk memperoleh derajat
kepercayaan (validitas) dilakukan dengan membandingkan persepsi informan
yang satu dengan informan yang lainnya tentang HIK sebagai ruang publik
berdasarkan obrolan dan interaksi yang terjadi di sana, lalu membandingkan data
hasil pengamatan dengan data hasil wawancara yaitu membandingkan antara
persepsi informan dengan pengamatan yang sebenarnya tentang HIK sebagai
ruang publik.
Sedangkan “trianggulasi metode yaitu pengumpulan data-data yang
sejenis, tetapi dengan menggunakan teknik atau metode yang berbeda” (Sutopo,
2002: 80). Hal ini digunakan untuk membandingkan data yang telah diperoleh
dari beberapa metode atau teknik pengumpulan data, sehingga dapat ditarik
kesimpulan data untuk lebih kuat validitasnya. “Trianggulasi ini dilakukan untuk
melakukan pengecekan terhadap penggunaan metode pengumpulan data”
(Bungin, 2008: 257). Dari hal diatas maka triangulasi metode yang digunakan
60
dalam penelitian ini yaitu dengan metode wawancara mendalam (indepth
interviewing) dan metode observasi partisipan (pengamatan berperan serta).
Metode wawancara mendalam dan observasi digunakan untuk mengetahui bahwa
data yang diperoleh benar-benar valid dan merupakan fenomena yang benar-benar
terjadi di dalam masyarakat (dimana dalam penelitian ini peristiwa yang
sebenarnya terjadi di HIK).
G. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah penelitian kualitatif tidak dapat ditentukan secara pasti
seperti halnya penelitian kuantitatif. Langkah-langkah penelitian ini digunakan
sebagai bgan atau kerangka yang akan dilakukan oleh peneliti supaya tidak salah
langkah dan digunakan agar penelitian mudah dilakukan karena sesuai prosedur
yang pasti. “Langkah-langkah yang diambil dalam penelitian ini adalah dengan
mengambil prosedur penelitian yang meliputi empat tahap, yaitu: persiapan,
pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian” (Sutopo,
2002: 187-189). Untuk lebih jelas akan diuraikan sebagai berikut.
a. Persiapan.
1) Menyusun proposal penelitian yang meliputi pengajuan judul dan tulisan
proposal penelitian kepada dosen pembimbing .
2) Membuat desain penelitian yaitu dengan mengumpulkan bahan/sumber
materi penelitian yang berasal dari lapangan berupa data dan pengamatan
awal serta menyiapkan instrumen penelitian atau alat observasi.
3) Mengurus perizinan penelitian.
b. Pengumpulan Data.
1) Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam dan
pengamatan atau observasi partisipan aktif dan dokumentasi.
2) Membuat fieldnote (catatan lapangan) dan transkrip hasil wawancara.
3) Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
c. Analisis Data.
1) Menentukan teknik analisis data yang tepat sesuai desain penelitian yang
diawali dari pengumpulan data yang diikuti dengan reduksi data
(pembuatan matriks hasil penelitian lapangan), penyajian data (pembuatan
61
matriks hasil lapangan dengan matriks teori) dan penarikan kesimpulan
(verifikasi).
2) Mengembangkan hasil eksplorasi data dengan analisis lanjut kemudian
disesuaikan dengan hasil temuan di lapangan.
3) Melakukan pengayaan dalam menganalisis data yang sudah ada dengan
dosen pembimbing.
4) Membuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
d. Penyusunan Laporan Penelitian.
1) Penyusunan laporan awal.
2) Review laporan yaitu mendiskusikan laporan yang telah disusun dengan
dosen pembimbing.
3) Melakukan perbaikan laporan sesuai hasil diskusi
4) Penyusunan laporan akhir.
62
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Kota Surakarta yang terkenal dengan sebutan Kota Solo merupakan
salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota Solo secara umum merupakan
daratan rendah dengan ketinggian ± 92 meter dari permukaan laut dan luas
wilayahnya 44,04 km2. Jumlah penduduk kota Solo menurut data Pemkot tahun
2007 adalah 518.245 jiwa pada malam hari, dan fluktuasi penduduk mencapai
1.200.000 jiwa pada siang hari.
Secara geografis Kota Solo sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Karanganyar dan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo, sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Sukoharjo, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Kota Solo merupakan bekas eks-
Karisidenan Surakarta yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar,
Boyolali, Klaten, Wonogiri dan Kabupaten Sragen. Tetapi Kota Solo merupakan
kota yang paling besar dari kabupaten-kabupaten lain. Kondisi Kota Solo yang
merupakan daerah transit dan disangga oleh daerah lain (kabupaten lain)
merupakan satu kesatuan membuat mobilitas yang terjadi sangat besar. Hal ini
disebabkan karena penduduk yang masuk ke Kota Solo (dari berbagai kabupaten)
malakukan berbagai aktifitas di antaranya, sekolah, bekerja baik itu disektor
formal ataupun informal, dan lainnya. Sedangkan secara administratif Kota Solo
memiliki lima kecamatan (dengan jumlah kalurahan ada 51). Kecamatan-
kecamatan yang ada di Kota Solo yaitu Kecamatan Banjarsari, Jebres, Laweyan,
Pasarkliwon dan Kecamatan Serengan.
Jalan Dr Rajiman membujur dari arah timur ke barat dimulai dari
Kecamatan Pasarkliwon (Kalurahan Pasarkliwon Baluwarti dan Kalurahan
Kauman), Kecamatan Serengan (Kalurahan Kemlayan, Jayengan) sampai dengan
Kecamatan Laweyan (Kalurahan Sriwedari, Panularan, Penumping, Bumi dan
Kalurahan Pajang), dan panjangnya sekitar 6 (enam) Km.
63
Dilihat dari jumlah penyebaran PKL di Solo, Jalan Dr Rajiman
menempati posisi keempat dengan jumlah 133 PKL, jumlah paling banyak
PKLnya adalah Jalan Bridg. Slamet Riyadi yang selanjutnya Jalan Adi Sucipto,
dan Jalan Ir. Juanda. Jumlah tersebut masih dapat bertambah, karena PKL yang
ada sebagian belum terdaftar oleh Pemkot. ”Di sepanjang Dr Rajiman, daerah
yang jumlah PKLnya paling banyak di daerah di depan Pasar Kadipolo yaitu
berjumlah 72 PKL” (Solopos, 29 Juli 2009: III).
Lokasi ini dipilih karena adanya penataan/penertiban PKL di sepanjang
jalan protokol di Kota Solo, yang salah satunya larangan berjualan di sepanjang
Jalan Slamet Riyadi kecuali di depan Solo Grand Mall (SGM) seiring peresmian
program City Walk oleh Pemerintahan Kota Solo (Pemkot Solo). Adanya larangan
tersebut membuat banyak PKL mencari tempat/lokasi alternatif untuk berjualan,
yang salah satunya di sepanjang Jalan Dr Rajiman. Apalagi karena letak jalur
Jalan Dr Rajiman dianggap strategis karena dengan pusat pembelanjaan seperti
daerah Coyudan (pusat pertokaan) yang menjajakan perlengkapan rumah tangga,
elektronik, sepatu dan sandal pakaian dan lainnya. Alasan di ataslah yang
menjadikan ruas jalan Dr Rajiman diserbu oleh PKL salah satunya pedagang HIK.
Menurut Wikipedia ”HIK di Solo tidak diketahui kapan dan dimana
pertama kali ada, hanya saja HIK beralih di Solo karena dampak perluasaan HIK
di Jogyakarta yang dilakukan oleh masyarakat dengan alasan keunikan warung
HIK” (Wikipedia. 2008). Warung HIK sendiri berawal sekitar tahun 1950-an dari
sesosok Mbah Pawiro/Pairo yang berasal dari Cawas, Klaten. Mbah Pawiro
merantau dari desanya menuju kota dengan tujuan berjualan HIK di sekitar
emperan Stasiun Tugu Yogyakarta dengan cara menggelar dagangannya. ”Pada
saat itu Mbah Pawiro/Pairo berdagang masih menggunakan pikulan (angkring)”
(Nn, 2008). Dari awal mula inilah HIK mulai tersebar di seluruh daerah Jawa
Tengah, yang salah satunya di Solo. Hal ini pula yang membawa masyarakat dari
luar daerah seperti Klaten dan Boyolali datang ke Solo untuk berdagang HIK.
Bahkan sampai sekarang pun mayoritas pedagang HIK masih berasal dari Klaten
dan Boyolali, hanya saja mereka kini sudah menetap di Solo. Mereka menyebar
ke seluruh penjuru Kota Solo yang salah satunya di sepanjang Jalan Dr Rajiman.
64
HIK di Jalan Dr Rajiman, dilihat dari jumlahnya terdapat sekitar 20-an
pedagang. Dari 20 HIK tersebut yang memiliki tempat yang biasa digunakan
untuk pengunjung sebagai tempat ngobrol (ruang publik) sebanyak 3 warung
HIK, maka dalam penelitian ini yang dijadikan obyek penelitian ketiga warung
tersebut. Para pedagang HIK tersebut memilih berjualan di Jalan Dr Rajiman
karena berdekatan dengan pangkalan (basecamp) pedagang HIK yaitu di Baron.
Selain itu, sebagian besar dari mereka mengambil makanan dari PAWON
(Paguyuban Wedangan Baron) yang berada di Baron Gede. PAWON merupakan
tempat yang mewadahi para pedagang HIK untuk melakukan transaksi makanan.
Bahkan pedagang HIK yang berada di Solo kebanyakan mengambil makanan di
PAWON. PAWON beranggotakan kurang lebih 200 penjaja HIK dan 300
pemasok makanan.
Ketiga HIK tersebut adalah warung milik Bapak Mrdn, Mgr, dan Bapak
Jmd. Warung HIK Bapak Mrdn berada di sebelah Pasar Kadipolo depan toko alat-
alat musik, kantor koperasi, dan toko alat elektronika, dimana tempat parkir depan
toko-toko tersebut digunakan untuk tempat lesehan. Warung Bapak Mrdn terbuat
bambu dan diberi atap seng, yang luas warungnya 4X3 meter (12 m2). Disana
tersedia fasilitas kursi/bangku panjang dan tikar untuk lesehan. Untuk warung
Bapak Mgr terletak di daerah Baron sebelah Apotik Fajar Baron, luas warung
tersebut 6X2 meter (12 m2). Warung Bapak Mgr terdiri dari gerobag dan tempat
lesehan dari tikar. Sedangkan warung Bapak Jmd terletak di daerah belakang Gor
Bhinneka tepatnya depan salon perawatan kulit yang berada di depan Jalan Dr.
Rajiman atau dekat dengan toko buku Gajah Mada. Perlengkapan warung Bapak
Jmd terdiri dari gerobag dan tempat lesehan dari tikar, yang luas warungnya
sekirar 5X3 meter (15 m2).
Tipe bangunan warung HIK di sepanjang Jalan Dr Rajiman ada tiga
macam yaitu permanen, bongkar pasang tenda dan gerobag (cenderung berhenti).
Tipe permanen adalah bangunan warung yang sudah menetap dan bangunananya
terkadang sudah terbuat dari batu bata. Tipe bongkar pasang disini hampir sama
dengan permanen sudah menetap tetapi bangunannya terbuat dari bahan yang
mudah dibongkar pasang setiap saat seperti tenda/deklit. Sedangkan tipe gerobag
65
merupakan bangunan warung yang hanya menggunakan gerobag dan diatasnya
sudah dilengkapi dengan deklit, tetapi tipe ini sifatnya cenderung menetap dalam
artian jika berpindah tempet pun hanya dalam jarak yang dekat dengan lokasi
sebelumnya. Dari ketiga tipe tersebut yang paling banyak dipakai adalah bongkar
pasang tenda. Untuk tipe permanen dan gerobag (yang cenderung berhenti),
sekarang ini jumlahnya sedikit antara 5 hingga 10 pedagang. Diluar tipe-tipe
tersebut, juga terdapat pedagang yang menggunakan tipe bangunan campuran
antara bongkar pasang tenda dengan gerobag dan premanen dengan gerobag.
Warung HIK Bapak Jmd dan Bapak Mgr masuk dalam kategori bangunan tipe
gerobag (cenderung berhenti) karena yang diberi tenda hanya gerobag HIK saja
dan untuk tempat lesehan beratapkan langit. Sedangkan warung Bapak Mrdn
merupakan tipe bangunan permanen yang dilengkapi dengan tempat lesehan di
belakang warungnya.
Jenis makanan yang dijajakan di HIK terdiri dari gorengan (tempe/tahu
goreng, tempe/tahu bacem, pisang goreng, bakwan goreng, bergedel, ayam/ikan
goreng, puyuh goreng, blanggreng (singkong goreng), limpung (ketela goreng)
dan lainnya) dan makanan tradisional (jajan pasar) seperti klepon, bikang ambon,
lemper, lapis legit, combro (ketela tumbuk goreng), pisang rebus, prastel, karang
gesing (makanan yang terbuat dari pisang), mego mendung (makanan yang
terbuat dari tepung terigu diisi dengan pisang), dan lainnya. Makanan selain
gorengan dan jajan pasar adalah sate (sate ayam, sate kulit, sate bakso, sate jamur,
sate telur puyuh, sate kikil, sate usus, dan sate keong), nasi (nasi kucing/banding,
nasi oseng-oseng, nasi goreng), dan makanan kecil lainnya seperti marneng,
rambak (rambak kulit ikan, rambak kulit sapi, rambak kedelai, rambak biasa),
kerupuk, karak, kacang goreng, kacang kulit, kedelai goreng dan sebagainya.
Aneka jenis makanan (terutama gorengan dan sate) yang dijajakan di HIK dapat
dipesan dalam keadaan hangat dengan dibakar atau biasa. Untuk menu
minumannya terdiri dari teh, kopi, jahe hangat dan minuman instant seperti
coffeemix, marimas, nutrisari dan lainnya yang semuanya dapat disajikan dalam
keadaan hangat atau dingin. Tetapi untuk teh dan kopi di sebagian warung HIK
menyediakan kedua minuman tersebut disediakan dalam dua variasi yaitu teh/kopi
66
joss atau tubruk. Teh/kopi joss merupakan racikan minuman yang dicampur
dengan bara api saat terakhir penyajiannya, sedangkan teh/kopi tubruk adalah
minuman teh/kopi yang dalam pengolahannya diberi jahe. Walaupun kedua
minuman ini terbilang kreasi minuman baru, namun menjadi menu favorit yang
selalu dicari pelanggan HIK terutama oleh mereka yang menjadi penggemar
minuman tersebut. Harga makanan di HIK sangatlah beragam mulai dari Rp.
200,00 hingga Rp 4.000,00, bahkan dari patrolan harga tersebut setiap HIK
menentukan tarif berbeda-beda walaupun makanan yang dijual sama. Seperti nasi
kucing, di warung HIK Bapak Mrdn harganya hanya Rp. 1.000,00 sedangkan di
warung Bapak Jmd harganya Rp. 1.500,00.
B. Deskripsi Data Penelitian
Ruang publik merupakan suatu ruang atau tempat yang bebas digunakan
oleh semua orang dari berbagai strata, dan disana semuanya dapat melakukan
percakapan tanpa adanya sesuatu yang mengikat mereka. Dari percakapan inilah
terjadinya suatu komunikasi yang lama-kelamaan membentuk interaksi individu
antar individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok yang
ada didalamnya. Dalam percakapan yang terjadi, mereka melepaskan diri dari
berbagi atribut sosial dan budaya serta kepentingan tertentu. Semua orang yang
berada dalam ruang publik senantiasa mengaitkan materi percakapan dengan
kepentingan masyarakat luas atau masalah yang aktual pada saat itu. Percakapan-
percakapan dalam ruang publik dapat disebut pula dengan obrolan. Ruang publik
di Kota Solo yang sering digunakan untuk mengobrol adalah warung-warung HIK
yang berada di Jalan Dr Rajiman.
Ruang publik menurut Habermas ditandai oleh tiga hal yaitu responsif,
demokratis dan bermakna. Responsif berarti bahwa ruang publik harus dapat
digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas, dalam ruang publik
semua orang harus dapat merespons segala situasi yang berkembang didalamnya.
Sementara demokratis berarti ruang publik seharusnya dapat digunakan oleh
masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta
67
aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti
ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks
sosial. Tautan-tautan antar manusia inilah yang membentuk suatu interaksi
diruang publik.
Sifat demokratis ruang publik dalam penelitian ini berhubungan dengan
karakteristis pengunjung HIK yang beraneka ragam dan obrolan yang terjadi di
HIK. Sifat bermakna dapat dilihat dari salah satu kegiatan yang dilakukan diruang
publik yaitu mengobrol untuk membicarakan berbagai persoalaan-persoalaan yang
terjadi didalam masyarakat. Obrolan yang merupakan salah satu bentuk
komunikasi inilah yang nantinya akan membentuk suatu interaksi semua orang
yang berada di HIK. Dari ngobrol-ngobrol disinilah sifat responsif dipergunakan
oleh pengunjung untuk merespons segala situasi.
1. Karakteristik Pengunjung HIK
Ruang publik yang sifatnya demokratis salah satunya dapat dilihat dari
karakteristik pengunjung HIK. Karakteristik pengunjung HIK dalam penelitian ini
diambil berdasarkan jenis kelamin dan usia, agama, etnis serta strata sosial
masing-masing individu di dalam kehidupan bermasyarakat.
a. Jenis Kelamin dan Usia Pengunjung HIK
Menurut William Kornblum perbedaan “jenis kelamin adalah
perbedaan antara perempuan dan laki-laki secara biologis” (Priyono, 2007:
21). Selain itu pengunjung juga dapat dikategorikan berdasarkan usia.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa
pengunjung HIK dilihat dari jenis kelamin jumlahnya hampir sama antara
laki-laki dan perempuan, sedangkan dilihat dari usianya dapat di kategorikan
sebagai berikut:
1) Kalangan orang dewasa
Menurut Hurlock, masa dewasa terdapat tiga kategori. Pertama
masa dewasa dini, yang dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira
umur 40 tahun. Kedua masa dewasa madya yang dimulai pada umur 40
tahun sampai umur 60 tahun. Ketiga masa dewasa lanjut (usia lanjut),
68
dimulai pada umur 60 tahun keatas (1993: 246). Menurut wawancara
dengan penjaja HIK yaitu Bapak Mrdn, Jmd dan Mgr, pengunjung
kategori orang dewasa yang biasa datang dua golongan yaitu dewasa yang
sudah tua dan dewasa yang masih muda. Kategori usia dewasa yang sudah
tua yang dimaksud adalah pengunjung yang berusia 40 tahun keatas atau
menurut Hurlock masuk dalam kategori masa dewasa madya dan masa
dewasa lanjut. Sedangkan usia dewasa yang masih muda adalah
pengunjung yang usianya 20 tahun keatas, seperti pengunjung yang masih
kuliah (mahasiswa) ataupun orang dewasa yang sudah bekerja baik itu
sudah menikah atau belum menikah.
Pengunjung kalangan dewasa lebih suka datang ke HIK setelah
pulang kerja terutama ketika malam hari sekitar pukul 19.00 WIB ke atas.
Mereka lebih memilih pergi ke HIK atau tempat lainnya setelah kerja
karena kegiatan seperti ini merupakan suatu aktivitas refreshing untuk
menghilangkan kepenatan dan kejenuhan dari kerja satu hari penuh.
Lihat saja Pyn yang berusia 26 tahun (termasuk kategori orang
dewasa) dan merupakan karyawan salah satu pabrik di Solo menyatakan
bahwa:
“…aku biasa datang habis pulang kerja ya….jam segini (sekitar pukul 19.00 WIB) tapi terkadang juga jam sembilan (21.00 WIB) baru datang, cabutnya ntar malam (kurang lebih pukul 22.00 atau 23.00 WIB), sama teman-teman tapi kalau enggak sama pacar….ngilangin stress kerja….kan paling enak nongkrong ma temen gitu….”(Wwcr/Pyn/15/07/09).
2) Kalangan remaja
Menurut Hurlock, “masa remaja berlangsung kira-kira dari 13
tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia
16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum”
(1993: 206). Kategori kalangan remaja antara lain pengunjung yang
bersekolah tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
Menengah Akhir (SMA).
69
3) Kalangan anak-anak
Kalangan anak-anak yang sering datang ke HIK yaitu usia 2 tahun
hingga usia 12 tahun. Anak-anak kategori ini adalah mereka yang belum
sekolah hingga anak-anak yang sudah bersekolah tingkat Sekolah Dasar
(SD).
Pengunjung HIK kategori anak-anak biasa datang bersama dengan
orang tua atau orang dewasa yang masih satu keluarga. Seperti yang
diungkapkan oleh Ibu Sr,
“ …saya hampir setiap hari kesini (HIK) dengan anak (masih TK) dan suami, ya…biasanya jam segini (sekitar pukul 19.00 WIB) datangnya habis ntar kalau malam-malam kan anakku ngantuk lah, apalagi besok kan anak harus sekolah dan kita (orang tua)nya kerja…….ya enggak langsung pulang kerumah tapi dari sini masih keliling-keliling….”(Wwcr/Sr/14/08/09).
Setiap hari di HIK pengunjung yang datang dari berbagai usia mulai
dari anak-anak sampai orang tua, hanya saja untuk pengunjung anak-anak
datang saat sore hari tetapi untuk mereka yang datang bersama orang dewasa
bisa sampai malam hari.
b. Agama
Menurut pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, untuk mengetahui
agama pengunjung HIK dapat dilihat atribut-atribut agama yang mereka
pakai. Seperti agama Islam perempuannya memakai kerudung, agama
Katholik dan Kristen memakai kalung/gelang berbentuk salib. Meskipun tidak
semua pengunjung HIK memakai berbagai atribut-atribut agama.
c. Etnis
Keberadaan berbagai etnis menjadi gambaran tentang kompleksitas
kebudayaan di Indonesia. Menurut Bruce J. Cohen bahwa ”kelompok etnis
dibedakan oleh karakteristik budaya yang dimiliki oleh para anggotanya”
(Priyono, 2007: 19). Salah satu karakteristik etnis dapat dilihat melalui
penggunaan bahasa. Tetapi karena lokasi penelitian mengambil daerah Solo
yang masyarakatnya sebagian besar etnis Jawa, Tionghoa dan Arab, maka
70
disini diambil perbedaan dari daerah asal para pengunjung HIK serta bahasa
yang digunakan dalam melakukan interaksi di dalam HIK.
Menurut pengamatan yang dilakukan, perbedaan bahasa yang
digunakan terlihat dari logat atau dialek saat berbicara. Di Solo sendiri logat
bahasa yang digunakan beranekaragam karena dilihat dari daerah asalnya
penduduk di Solo bersifat heterogen/beragam. Ada penduduk asli Solo dan
penduduk berasal dari daerah luar Solo yang menetap di Solo (menjadi warga
Solo). Pengunjung yang merupakan orang asli Solo merupakan etnis Jawa
dalam berbicara menggunakan Bahasa Indonesia atau Jawa dengan logat
Solo. Sedangkan pengunjung yang merupakan orang Solo tetapi berasal dari
luar daerah, bahasa yang digunakan sama yaitu Bahasa Indonesia dan Jawa
namun mereka menggunakan logat asal daerah mereka. Dan pengunjung yang
merupakan etnis Tionghoa dalam berbahasa lebih berirama dengan logat
China. Pengunjung etnis Arab menggunakan Bahasa Indonesia dengan logat
Arab mendayu dan tegas tidak seperti orang China yang agak cadel. Untuk
pengunjung yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam berbahasa
logatnya sangat medok (khas) Bahasa Jawa sesuai dengan daerah masing-
masing. Terutama mereka yang berasal dari daerah seperti Purbalingga,
Cilacap dan Banjarnegara menggunakan logat ngapak-ngapak, sedangkan
pengunjung berasal dari Jawa Barat dalam berbicara terlihat dengan logat
Sunda. Pengunjung dari Jakarta menggunakan Bahasa Indonesia yang
sebagian terlihat menggunakan logat Betawi.
d. Strata sosial
Strata sosial yang berarti membedakan masyarakat berdasarkan
lapisan-lapisan sosial secara bertingkat atau sifatnya vertikal. Terbentuknya
strata sosial merupakan hasil kebiasaan manusia antara satu dengan yang lain
secara teratur dan tersusun, baik secara perorangan ataupun kelompok. HIK
sebagai ruang publik yang bebas di kunjungi oleh berbagai strata sosial dalam
masyarakat dapat dilihat dari berbagai kelas dan golongan di antaranya
berdasarkan kriteria ekonomi, sosial, dan politik. Strata sosial dari
pengunjung HIK dilihat dari berbagai kriteria antara lain:
71
1). Kriteria Sosial-Ekonomi Pengunjung
Secara umum, pelapisan sosial (strata sosial) masyarakat di negara-
negara demokratis seperti Indonesia, dilihat dari pekerjaan antara lain
golongan pertama adalah upper-upper class meliputi golongan orang
kaya lama yang berpengaruh dalam masyarakat seperti penguasa negara.
Golongan kedua, lower-upperclass merupakan kelompok orang yang
belum lama menjadi kaya. Golongan ketiga, upper-middle class
mencakup pengusaha dan kaum professional (pekerjaan yang
membutuhkan ijazah dan gelar pendidikan minimal S1/Strata1).
Golongan keempat, lower-middle class meliputi para pegawai
pemerintah, kaum semi professional (pegawai kantor, pedagang, teknisi
yang berpendidikan menengah dan mereka yang tidak bergelar), para
supervisor (manager, kepala cabang perusahaan) dan pengrajin
terkemuka. Golongan kelima, upper-lower class terdiri dari sebagian
besar pekerja tetap (pekerja), orang-orang yang mempunyai keterampilan
mekanis, teknisi dan kapster. Golongan keenam, lower-lower class
diantaranya pekerja tidak tetap, pengangguran, buruh musiman, dan
orang-orang yang hampir terus-menerus bergantung pada tunjangan.
Selain itu kriteria ekonomi ini dibagi menjadi kelompok orang kaya,
berkecukupan dan miskin.
Di HIK sebagai ruang publik sangatlah beragam pekerjaan
pengunjungnya mulai dari pengangguran, buruh, sopir becak, sampai
karyawan/pegawai dengan berbagai jabatan. Dilihat dari pekerjaan
pengunjung HIK, sebagian besar mereka bekerja sebagai
pegawai/karyawan suatu perusahaan atau toko yang masuk dalam
golongan keempat yaitu lower-middle class. Golongan tersebut paling
banyak karena Jalan Dr Rajiman (lokasi penelitian) dekat dengan pabrik-
pabrik dan pertokoan.
Dilihat dari tingkat pendidikan yang dicapai oleh individu dalam
masyarakat ada tiga golongan diantaranya:
72
a) Masyarakat berpendidikan tinggi adalah mereka yang melanjutkan
pendidikan tingkat kuliah, baik itu yang sudah lulus kuliah atau masih
kuliah.
b) Masyarakat berpendidikan menengah adalah mereka yang
melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dan Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga lulus.
c) Masyarakat berpendidikan rendah adalah mereka yang hanya
berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan masyarakat yang tidak
bersekolah.
Pendidikan menjadi faktor penting yang menjadi indikator
penentuan strata sosial oleh masyarakat dalam berbagai strata, golongan
strata atas umumnya bersekolah disekolah-sekolah terkenal ataupun
sekolah taraf internasional dan mereka melanjutkan pendidikan sampat
tingkat pendidikan tertinggi seperti S1, S2, S3 dan seterusnya. Sementara
itu masyarakat yang menduduki strata menengah ke bawah kebanyakan
bersekolah di sekolah negeri atau swasta biasa, bahkan ada diantara
mereka putus sekolah atau tidak sekolah sama sekali karena keterbatasan
ekonomi.
Pengunjung HIK dilihat dari tingkat pendidikannya culup beragam,
mulai dari mereka yang masih sekolah sampai yang sudah lulus/tamat
sekolah seperti SMA dan sederajat (SMK/STM) bahkan terdapat
pengunjung yang lulusan S1 dan S2. Mereka yang sudah lulus/tamat
sekolah ini rata-rata sudah bekerja.
“he…aku kelas XI (SMA kelas 2 disalah satu SMA Negeri di Solo)….kan baru pulang les jadi mampir sekalian kan lapar kebetulan diajak bocah-bocah (teman-teman) makan sini ya udah deh…”(Wwcr/T/26/08/09).
Berbeda dengan ungkapan Bapak Rhmt yang agak ragu-ragu ketika
peneliti menanyakan pekerjaan dan pendidikan terakhirnya, namun
karena sebelumnya Bapak Rhmt menanyakan berbagai hal kepada
peneliti akhirnya beliau mengungkapkan dan menceritakan tentang
pekerjaanya.
73
“ saya kerja di agent travel X, sama mbak dulu saya juga kuliah di UNS tetapi di Ekonomi program administrasi. Saya bisa kerja disitu juga karena program magang waktu semester VII kebetulan milih administrasi di travel. E’… mungkin karena kerjanya bagus dan kebetulan membutuhkan administrasi saya dipanggil untuk menggantikan yang lama sampai sekarang. Hanya saja satu tahun kerja dapat jabatan baru untuk mempromosikan travel akhirnya menjadi sekarang menjadi kepala pemasaran…..”(Wwcr/Bpk Rhmt/14/08/09).
Selain itu, dari wawancara dengan beberapa pengunjung lainnya
seperti Pyn dan Dn yang merupakan lulusan SMA/SMK dan mereka
sudah bekerja sebagai karyawan/karyawati. Pyn merupakan karyawan di
sebuah pabrik tekstil di Solo, sedangkan Dn adalah karyawati di sebuah
toko yang letaknya di dekat Pasar Kembang. Mereka berdua menyatakan
bahwa mereka senang datang ke HIK untuk bersantai-santai sambil
nongkrong setelah satu hari bekerja. Mereka datang ke HIK biasanya
bersama teman-teman mereka dan pasangan masing-masing. Bahkan
menurut penuturan penjaja HIK yang bernama Bapak Jmd dan Mrdn
sebagian dari pengunjung ada yang tidak bersekolah.
Menurut pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti,
di HIK tingkatan pendidikan tidaklah dipermasalahkan bagi
pengunjungnya sehingga tingkat pendidikan ini bukan merupakan suatu
penghalang seseorang untuk datang ke HIK.
2). Kriteria Sosial-Budaya Pengunjung
Kriteria sosial-budaya pengunjung HIK dapat dilihat dari
kebiasaan-kebiasaan perilaku mereka setiap hari terutama ketika mereka
di HIK. Salah satu kebiasaan-kebiasaan tersebut dapat dilihat dari cara
berbicara pengunjung HIK, karena cara berbicara antara pengunjung
berbeda-beda tergantung strata mereka dalam masyarakat. Cara berbicara
pengunjung yang tergolong strata atas akan berbeda dengan masyarakat
yang berada dalam strata bawah. Pengunjung yang termasuk golongan
strata atas (baik itu dilihat dari pekerjaan atau tingkat pendidikannya
74
tinggi) memiliki gaya bicara yang sopan dan memperhatikan etika
berbicara (tergantung lawan bicara mereka). Bahkan jika berbicara dalam
satu kelompok (pendidikannya setara), mereka sering mengadaptasi
istilah-istilah asing. Seperti kalangan anak muda (remaja) yang masih
duduk dibangku sekolah atau kuliah menyebut warung HIK yang sering
mereka kunjungi dengan sebutan basecamp.
Menurut pengamatan yang dilakukan, pengunjung kalangan remaja
merupakan pengunjung yang paling menarik perhatian karena kelompok
ini lebih mencolok dari pengunjung lainnya. Lihat saja kemeriahan dan
kehebohan yang mereka perbuat terutama ketika mereka membicarakan
suatu hal yang menarik, ada kalanya mereka tertawa terbahak-bahak
sampai melakukan hal-hal yang menarik perhatian pengunjung lain.
Seperti perilaku tiba-tiba berdiri sambil mempraktekkan suatu hal yang
mereka bicarakan sampai tingkah laku menangis tersedu-sedu karena
masalah yang dihadapinya (terutama untuk pengunjung perempuan).
Perilaku dan tingkah laku inilah yang membuat pengunjung lain terkejut
dan tertarik untuk melihat tingkah mereka.
Cara berbicara pengunjung HIK terkadang juga tidak
memperhatikan etika, bahkan sampai mengeluarkan kata-kata yang
kurang sopan atau sumpah serapah. Cara berbicara kurang sopan atau
sumpah serapah ini biasanya dilakukan oleh pengunjung yang
pekerjaannya seperti sopir becak, dan kuli bangunan. Seperti perkataan
“bajingan, bajindul, kere, ndlogok”, dan kata-kata kotor lainnya.
Kebiasaan berbicara kotor yang mereka bawa ini merupakan dampak dari
lingkungan ataupun pekerjaan mereka.
Selain cara berbicara kebiasaan perilaku yang lain seperti perilaku
saat makan yang tidak sopan atau seenaknya seperti makan dengan kaki
diangkat keatas (kebiasaan ini biasa dilakukan oleh pengunjung laki-laki),
makan sambil berbicara dan sebagainya. Walaupun kebiasaan-kebiasaan
ini bisa dibilang buruk tetapi pengunjung di HIK tidak
mempermasalahkannya, karena di HIK semua bebas melakukan segala
75
hal tanpa memandang segala sesuatu dari kesopanan atau tidak asalkan
mereka (pengunjung) dan pengunjung lainnya merasa nyaman berada
disana.
Kebiasaan lain akibat adanya globalisasi menyebabkan alat
transportasi juga berkembang pesat, mulai dari munculnya alat
transportasi berupa sepeda sampai dengan kendaraan bermesin. Alat
transportasi yang berupa kendaraan bermesin digunakan seperti sepeda
motor dan mobil membuat kebiasaan berjalan kaki atau bersepeda ontel
dilupakan oleh sebagian masyarakat sebab dengan menggunakan sepeda
motor atau mobil dapat menempuh suatu perjalanan lebih cepat atau
sampai tempat tujuan. Hal inipun juga dilakukan ketika masyarakat
datang ke HIK juga menggunakan kendaraan baik itu kendaraan pribadi
ataupun kendaraan umum. Kategori kendaraan pribadi disini seperti
sepeda motor dan mobil sedangkan kendaraan umum antara lain
bus/angkot. Walaupun kendaraan bermesin menjadi primadona alat
transportasi masyarakat, alat transportasi tidak bermesin seperti sepeda,
becak hingga berjalan kaki masih digunakan oleh sebagian masyarakat
terutama masyarakat golongan bawah.
Menurut pengamatan yang dilakukan, jenis kendaraan yang dipakai
oleh pengunjung HIK diantaranya golongan atas memakai kendaraan
mobil dan motor, golongan menengah mengendarai motor dan sepeda.
Diluar jenis kendaraan-kendaraan tersebut seperti jalan kaki atau naik
kendaraan umum (becak, bus, angkot) tidak dapat digolongkan karena ada
beberapa alasan seperti rumahnya dekat memilih untuk berjalan kaki, atau
pengunjung yang malas mengendarai kendaraan pribadi atau tidak dapat
mengoperasikannya akan memilih nebeng teman atau naik kendaraan
umum.
3). Kriteria Sosial-Politik Pengunjung
Pelapisan masyarakat dalam kriteria sosial-politik berhubungan
dengan wewenang dan kekuasaan masyarakat. Masyarakat yang memiliki
76
wewenang atau kekuasaan umumnya ditempatkan pada lapisan
masyarakat atas. Kelompok ini antara lain para penjabat eksekutif dalam
pemerintahan pusat ataupun daerah hingga penjabat dalam suatu
perusahaan atau lembaga-lembaga sosial di dalam masyarakat.
Kriteria sosial-politik pengunjung HIK sangatlah beragam mulai
dari masyarakat biasa, kalangan penjabat serta berbagai aktivis dari LSM.
Mereka datang ke HIK selain dalam rangka makan atau hanya ngobrol,
sebenarnya mereka juga ingin mengetahui kebiasaan masyarakat lewat
obrolan yang mereka lakukan (melakukan pengamatan di HIK). Bahkan
sebagian kalangan seperti para aktivis dan penjabat pemerintahan (Lurah
atau Kades, Camat dan lainnya), warung HIK digunakan untuk
mendengarkan suara masyarakat tentang berbagai hal yang berhubungan
dengan keluhan atau kenyamanan masyarakat tentang program atau
kegiatan dari pemerintah dan sebagainya.
Di lihat dari hal tersebut menjadikan HIK sebagai tempat untuk
menyampaikan aspirasi masyarakat terutama pengunjung HIK kepada
perangkat desa ataupun penjabat pemerintahan lainnya tentang keluhan-
keluhan sekitar lingkungan tempat tinggal atau desa mereka. Seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Jmd bahwa di HIKnya terkadang ada
pembicaraan tentang program desa seperti perbaikan selokan, perbaikan
saluran pembuangan samapah dan sebagainya yang biasanya juga
didatangi oleh Bapak Lurah, tetapi untuk pembicaraan seperti kerja bakti
yang datang adalah warga bersama Bapak RT atau RW.
Senada dengan Bapak Jmd, penjaja HIK lainnya yaitu Bapak Mrdn
mengatakan bahwa warung HIK miliknya terkadang digunakan oleh
anggota LSM untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat, salah satunya
organisasi PKL Jalan Dr. Rajiman dalam membicarakan pengelolaan PKL
Pasar Kembang dan Pasar Kadipolo dengan perwakilan PKL setempat.
Selain itu menurut Bapak Mrdn terkadang ketika terdapat pengunjung
yang kebetulan menjabat sebagai pejabat pemerintahan, para pengunjung
lain (yang mengetahuinya) secara spontan menanyakan masalah-masalah
77
ekonomi, politik hingga masalah pemerintahan tetapi pembicaraan ini
biasanya dibumbui dengan pembicaraan yang lucu sehingga pembicaraan
tidak membosankan.
Mendengarkan suara masyarakat yang dilakukan di tempat umum
seperti HIK ini terjadi secara spontan karena mereka memang refleks
membicakan suatu masalah yang berhubungan dengan keadaan desa atau
sekitar tempat tinggal mereka kepada siapa saja yang datang di HIK tidak
terkecuali dengan mereka yang menjabat sebagai perangkat desa
(kedudukan dalam pemerintahan). Keadaan seperti inilah yang membuat
HIK sebagai ruang publik bersifat demokratis sebab semua pengunjung
dapat membicarakan berbagai hal dan kepada siapa saja tanpa batasan.
2. Obrolan Di HIK
Obrolan atau pembicaraan di HIK terjadi secara bebas (sifatnya
bebas) dan terbuka dengan mempergunakan bahasa atau simbol sebagai alat
komunikasi diantara pedagang dan pengunjung atau antara pengunjung.
Sifatnya bebas, dalam artian semua orang yang berada di HIK bebas
membicarakan berbagai hal/peristiwa/masalah, sedangkan terbuka berarti
mereka secara terbuka atau bebas berbicara dengan siapa saja termasuk
dengan orang yang belum dikenal sekalipun.
Pembicaraan/obrolan yang terjadi di HIK menggunakan beberapa
bahasa diantaranya Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia dan Campuran antara
Bahasa Indonesia dan Jawa. Tetapi karena perkembangan jaman dan arus
globalisasi seperti sekarang ini, bahasa juga mengalami perkembangan
terutama bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang sehingga muncullah
suatu bahasa baru yang salah satunya adalah bahasa gaul. Bahasa gaul wujud
dari campuran atau gabungan berbagai bahasa yang ada di Indonesia. Bahasa
gaul ini biasa digunakan oleh sebagian sekelompok anak muda untuk
berkomunikasi.
Bahasa Jawa yang digunakan oleh pengunjung HIK adalah Bahasa
Jawa Ngoko. Bahasa Jawa yang dipergunakan sangat beragam dengan
78
bermacam-macam logat tergantung daerah asal pengunjung yang belum
terbiasa dengan logat Jawa Solo. Bahasa Indonesia yang menjadi Bahasa
Nasional, merupakan bahasa pengantar yang paling banyak digunakan dalam
berinteraksi oleh semua pengunjung terutama oleh pengunjung yang tidak
mengerti Bahasa Jawa. Ataupun pengunjung yang hanya bergaya dengan
menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa gaul sering digunakan
oleh pengunjung kalangan remaja terutama remaja yang sangat senang
menggunakan teknologi atau yang terkena imbas arus informasi dan
globalisasi. Karena bahasa gaul ini merupakan perpaduan atar berbagai
bahasa yang digunakan oleh mereka (komunitas) yang mengakuinya dan
menggunakannya. Diluar logat (cara pengucapan) yang sesuai dengan daerah
asal (medok), sekarang ini masyarakat terutama kalangan remaja sedang
mengikuti logat orang asing (Bule). Salah satu contohnya adalah memanggil
teman mereka dengan sebutan “bro” (singkatan dari brother yang berarti
saudara) atau “bu” (panggilan untuk teman wanita) dan banyak lagi. Trend
bahasa gaul ini mulai marak digunakan oleh masyarakat terutama remaja dari
film-film ataupun sinetron yang mereka lihat di televisi.
Selain bahasa, di HIK simbol juga digunakan sebagai alat
komunikasi. Diantaranya angkat tangan, tepuk tangan atau bersiul sebagai
simbol kalau pengunjung ingin memesan sesuatu pada pedagang, dan
berbagai pola tingkah laku lainnya yang digunakan untuk memberikan isyarat
pada orang lain (baik itu pedagang ataupun pengunjung lainnya).
Obrolan yang terjadi di HIK sangatlah beragam mulai dari obrolan
yang sifatnya pribadi seperti keluarga, pacar, diri sendiri (yang bersangkutan),
pekerjaan/sekolah, konflik dengan orang lain, dan sebagainya. Serta obrolan
yang sifatnya umum diantaranya tentang ekonomi, politik, sosial, olahraga,
fashion/pakaian, teknologi, kesehatan, internasional, hiburan dan sebagainya.
Obrolan sifatnya pribadi yang sering dibicarakan antara lain:
a. Obrolan tentang diri sendiri (yang bersangkutan)
Pembicaran tentang diri sendiri ini merupakan suatu hal yang
dibicarakan untuk memulai pembicaraan (pernyataan basa-basi) dengan
79
orang lain yang tidak dikenal atau karena tidak ada topik poembicaraan
lainnya. Seperti “…bosan hari ini…?; hah…stress nie…?”. Obrolan
tentang diri sendiri digunakan untuk mengungkapkan kegelisahan,
kegundahan ataupun kegembiraan seseorang kepada orang lain.
Salah satu kegundahan dan kegelisahan yang menjadi bahan
obrolan di HIK adalah tentang masalah diri sendiri. Masalah tentang diri
sendiri merupakan suatu persoalan yang timbul dalam diri individu-
individu karena ketidakmampuan mereka mengendalikan diri. Obrolan
dalam kategori ini antara lain tentang susah tidur, stress karena suatu hal,
bosan dan sebagainya. Masalah ini merupakan salah satu topik obrolan
yang sering dibicarakan oleh semua orang.
b. Obrolan tentang keluarga
Obrolan tentang keluarga sering dibicarakan oleh pengunjung,
terutama pengunjung yang sudah dewasa. Pembahasan obrolan keluarga
biasanya tentang keberhasilan atau kesuksesan putra-putri mereka,
tingkah lucu ataupun kenakalan anak atau cucu mereka hingga berbagai
kejadian unik atau lucu yang terjadi di dalam keluarga mereka. Salah satu
obrolan tentang masalah keluarga adalah seperti yang dibicarakan oleh
Ibu Sr yang yang bertukar pengalaman dengan pengunjung lain tentang
masalah anak–anak mereka yang nakal atau bandel:
“piye tho bu….??? Ry niku mboten saget moco tapi yen itung-itungan isoh bu, tapi yen diajari ngeja niku mboten saget-saget nganti mumet bu….padahal tahun ngarep ajeng SD…. (…bagaimana bu…??? Ry (anak ibu Sr yang masih TK besar) tidak bisa membaca padahal tentang hitung-hitungan (matematika dasar) sudah lancer tetapi kalau dilatih setiap hari tetap saja tidak bisa-biasa membuat pusing saja padahal tahun depan sudah mau SD…)” (Wwcr/Sr/14/08/09).
Obrolan masalah tersebut biasanya ditanggapi oleh pengunjung
lainnya yang sama-sama sudah berkeluarga dengan berbagi pengalaman
mereka satu sama lainnya atau terkadang memberi nasihat tentang sikap
yang harus mereka lakukan kepada keluarga mereka masing-masing.
Selain itu, obrolan keluarga terkadang juga dibicarakan oleh remaja atau
80
kalangan anak muda yang mempunyai masalah keluarga seperti bentrok
atau konflik dengan orang tua atau anggota keluarga lain serta masalah-
masalah yang dihadapi remaja karena orang tua mereka bercerai dan
sebagainya. Obrolan masalah keluarga oleh remaja ini merupakan
pembicaraan dalam bentuk curhat atau sharing baik itu dengan teman
ataupun penjaja (mereka yang sudah akrab). Salah satu hasil pengamatan
tentang masalah keluarga ini adalah yang dilakukan oleh Dn yang sering
meminta saran/sharing/curhat kepada teman-temannya atau terkadang
dengan penjaja HIK tentang konflik dengan orang tuanya,
“pusing enggak betah dirumah…. ibu tu…ngomel-ngomel terus gak tahu sebabnya apa….tapi kalau di tanya ngapain marah e…malah banding-bandingin aku ma tetanggaku yang sekarang dah PNS…mana jadi PNS lulus ja SMK kerja sekarang ja dah syukur… tho!!! E’ belum lagi ntar kompalin lain-lainnya lagi. Terus ja bandingin anaknya dengan orang lain….sebel aku…(Obsvsi/Dn/21/07/09)”
Berbeda dengan Tn yang masih duduk di bangku SMA, merasa
sebal dengan orang tuanya yang marah-marah karena ketahuan bolos
sekolah satu hari.
“ha…diceramahi ki…ma ibuku…wingi konangan cabut neng SGM, kowe kit ho… pekok bengok-bengok yo weruh to…. Ha…neng ngomah ku di ceramahi….suwe tenan, nganyelke…. ( ha…dimarahi sama ibu karena kemarin ketahuan tidak masuk sekolah jadi di rumah di marahi lama banget)”(Obsvs/Wr Bp Mrdn/25/08/09).
Masalah keluarga yang dialami oleh remaja ini, biasanya tentang
perasaan kekesalan, kekecewaan atau unek-unek mereka terhadap orang
tua atau anggota keluarga lain yang membuat mereka tidak merasa
nyaman dirumah.
c. Obrolan tentang pacar
Obrolan tentang pacar memang tergolong pembicaraan yang umum
dilakukan oleh pengunjung HIK terutama kalangan anak muda/remaja
yang memiliki pacar ataupun orang dewasa yang belum menikah.
Obrolan ini berisi tentang konflik akibat kecemburuan atau
81
ketidakcocokan mereka dalam berbagai hal yang menimbulkan suatu
problem didalamnya. Seperti dialami oleh Pyn yang merasa sudah tidak
cocok dengan pacarnya yang menurutnya sering menuntut untuk
ditemani kamana saja,
“…stress’ pak…ben byar kon ngancani mrono-mrene, padahal gandeng wae lagi anyaran… (menyebalkan, setiap hari disuruh menemani kemana saja padahal pacaran saja baru saja….)”(Wwcr/Pyn/15/07/09).
Berbeda dengan Sp yang merasa marah dengan tingkah pacarnya
yang over protective (pecemburu) sehingga dia merasa keberatan harus
selalu memberitahu dimana saja dia berada,
“…pertama-tama senang diperhatikan selalu tanya dimana dan dengan siapa aku tapi lama-kelamaan capai setiap saat ditanya ntar kalau dengan teman cowok (satu kampus) saja marah-marah sampai berantem akhirnya ko’…”(Obsvs/Wr Bp Mrdn/25/08/09).
Menurut pengakuan penjaja HIK Bapak Mgr, obrolan tentang pacar
ini di warungnya memang menjadi bahan pembicaraan yang dibicaran
oleh pengunjung yang masih sekolah (SMA) dan sudah akrab dengan
beliau,
“ judeg mbak…yen wis bocah-bocah kemari kalau ada masalah dengan pacarnya. Walah curhatannya komplit dari A sampai Z tapi intine’ okeh-okeh’e ( intinya masalah yang dibicarakan kebanyakan) paling masalah cemburu dan bertengkar enggak jelas maklum masih SMA masih labil sedikit-sedikit bertengkar…,”(Wwce/Bpk Mgr/14/08/09).
Selain masalah pertengkaran atau kecemburuan dalam berpacaran,
di HIK juga terdapat yang membicarakan tentang tempat ngedate atau
hang out yang enak untuk berduaan dengan pacar. Bahkan mereka
sampai mencari informasi tentang tempat-tempat yang akan mengadakan
suatu kegiatan seperti konser atau lainnya. Informasi-informasi tentang
konser ataupun pagelaran lainnya di dapat oleh pengunjung HIK dari
mulut ke mulut atau terkadang mereka memesan informasi kepada
penjaja HIK jika mendapat informasi dari pengunjung lainnya. Menurut
pengamatan, informasi tentang event-event atau acara seperti konser,
82
pameran, ataupun pagelaran biasa memang ditampung oleh penjaja HIK
dari berbagai pengunjung untuk diberitahukan kepada para pelanggannya
terutama mereka yang masih remaja ataupun dewasa yang tertarik
dengan informasi-informasi tersebut.
d. Obrolan tentang sekolah dan masalah pekerjaan
Obrolan tentang sekolah biasanya terjadi pada kalangan anak
sekolah atau pelajar/mahasiswa. Obrolan ini isinya tentang berbagai hal
yang terjadi di sekolah atau kampus baik itu tentang pelajaran, teman
atau staff pengajar (guru/dosen). Seperti Rt yang merupakan mahasiswa
PTN di Solo terkadang membicarakan masalah kampus seperti masalah
teman kampusnya dengan pacarnya,
“ temenku itu menyebalkan (resek), pinjam sesuatu pasti enggak kembali….kemarin ja pinjam baju putih ku padahal baju putih kesayangan satu-satunya lagi, udah ku pinjami e’….waktunya ku minta segala alasan.. baru di cuci, ketinggalan dirumah apalah….akhirnya ya enggak kembali….., kata si E juga dia pinjam uang juga enggak kembali…parah tu orang pinjam enggak lihat kondisi lainnya…..”(Obsvs/Rt/13/08/09).
Obrolan tentang konflik dengan teman sekolah (seperti yang
diungkapkan oleh Rt) merupakan topik yang selalu dibahas atau
diceritakan di HIK, baik itu diceritakan dengan teman satu geng (gaps)
ataupun dengan penjaja HIK. Sedangkan obrolan tentang pelajaran,
sangat jarang mereka bahas ketika di HIK karena berbagai persoalan
pelajaran mereka selesaikan dengan mengikuti berbagai kegiatan
bimbingan belajar (les pelajaran) di luar sekolah. Selain itu menurut
pengamatan yang dilakukan, obrolan tentang sekolah yang sering
dibicarakan adalah tentang masalah guru atau pengajar, terutama
membicarakan guru yang galak (sering disebut killer oleh para siswa).
Bagi mereka keberadaan guru killer ini yang membuat kegiatan belajar-
mengajar di kelas menjadi menakutkan atau menegangkan (tidak
menyenangkan) sehingga membuat mereka tidak kerasaan (betah) di
kelas saat pelajaran berlangsung. Diluar obrolan tentang guru-guru killer,
mereka juga membicarakan kegiatan ekstrakurikuler yang mereka tekuni
83
di sekolah. Obrolan tersebut mulai dari kesenangan mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler tersebut hingga jadwal berbagai kegiatan di
ekstrakulikuler, bahkan tidak jarang pula mereka mengajak untuk
bergabung dalam kegiatan tersebut kepada teman lainnya yang tidak
mengikuti ekstrakurikuler apapun.
Obrolan tentang pekerjaan biasanya dilakukan oleh mereka yang
sudah bekerja, dan bahan pembicaraannya sekitar masalah date line
(masalah waktu mengerjakan tugas mereka yang menumpuk/banyak),
masalah konflik dengan teman, masalah dengan atasan (dalam dunia
kerja sering disebut boss) dan sebagainya. Hal senada juga diutarakan
oleh Pyn yang bekerja di salah satu pabrik tekstil di Kota Solo,
“walah….pakde…akhir-akhir niki mboten saget methu-methu, gaweanne numpuk nglembur terus……akeh pesenan de’…tp ngembur terus kok ngih mboten munggah-munggah jabatanne yo de’….ha….(walah pakde…akhir-akhir ini tidak dapat jalan-jalan karena pekerjaannya banyak sampai lembur atau kejar dateline menyelesaikan pekerjaan.. tetapi melembur terus juga tidak naik-naik jabatannya)”(Obsvs/Pyn/15/08/09).
Obrolan tentang pekerjaan merupakan topik yang sering
dibicarakan oleh pengunjung HIK yang sudah bekerja. Diantara
pengunjung yang sudah bekerja sebagian masih berstatus mahasiswa
(kuliah sambil bekerja atau magang). Bahkan untuk kalangan tertentu
seperti aktivis-aktivis LSM ataupun perangkat desa (Lurah, Camat, Rt,
Rw dan lainnya), warung HIK digunakan untuk mendapatkan informasi
dari masyarakat tentang berbagai hal mengenai keluhan-keluhan
masyarakat yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
memperbaiki kinerja mereka dalam mengatur program pemerintahan.
e. Obrolan keseharian
Obrolan soal satu ini terjadi secara spontan karena peristiwa yang
mereka temui atau alami menjadi pengalaman menarik bagi mereka.
Obrolan keseharian antara lain berisi tentang peristiwa-peristiwa konflik
dengan orang lain, kejadian-kejadian lucu dan lainnya yang mereka
jumpai secara tidak sengaja ketika berada disuatu tempat dan waktu yang
84
tidak terduga. Misalnya saja kejadian atau peristiwa yang mereka alami
ataupun temukan dijalan, warung, mall, bank dan sebagainya. Obrolan
tentang topik ini mulai dari konflik dengan orang lain saat dijalan karena
menyerempet atau menabrak seseorang hingga kejadian-kejadian lucu,
menyebalkan atau tragis. Kejadian lucu tersebut seperti yang terjadi
ketika peneliti melakukan pengamatan di warung HIK Bapak Jmd,
terdapat beberapa pengunjung yang tiba-tiba menceritakan kejadian-
kejadian terpeleset di jalan ketika menyeberang yang membuatnya malu
karena menjadi perhatian orang lain disana.
Pembicaraan dalam menceritakan peristiwa-peristiwa tersebut,
biasanya salah satu seseorang menceritakan dan lawan bicara terkadang
juga terkenang kembali peristiwa serupa yang mereka alami. Obrolan ini
sering di ikuti dengan tawa dari pencerita ataupun pendengar yang berada
di HIK.
Selain obrolan yang sifatnya pribadi yang menjadi bahan obrolan
pengunjung HIK, juga terdapat obrolan yang sifatnya umum. Obrolan-obrolan
tersebut antara lain:
a. Obrolan tentang sosial-ekonomi
Di HIK obrolan tentang sosial-ekonomi merupakan topik umum
yang dibicarakan oleh orang dewasa baik itu yang sudah bekerja ataupun
belum. Mereka umumnya membicakan masalah ekonomi keluarga
hingga perekonomian suatu negara dan lainnya. Obrolan ekonomi yang
dibicarakan seputar masalah krisis ekonomi, harga-harga barang terutama
sembako dan BBM yang naik turun harganya. Senada dengan hal diatas,
menurut salah satu penjaja HIK di Jalan Dr Rajiman yang bernama
Bapak Mrdn, masalah krisis yang berdampak pada harga sembako
(sembilan bahan pokok) dan BBM memang merupakan topik
pembicaraan yang selalu dibicaran,
“….kalau masalah harga, dari harga sembako dan minyak yang mahal biasanya lebih sering diobrolkan bapak-bapak mbak…kan
85
ya ngaruh ma keadaan dirumah pa lagi yang masih punya anak kecil-kecil…”(Wwcr/Bp Mrdn/09/07/09).
Masalah ekonomi keluarga yang dibicarakan kebanyakan tentang
pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka karena dampak dari kenaikan
harga barang-barang. Apalagi untuk pengunjung yang masih mempunyai
putra-putri usia sekolah dan pekerjaan sehari-hari mereka tidak
menunjang seperti buruh atau karyawan pabrik, mereka kebingungan
tentang pemenuhan kebutuhan anak-anak mereka. Selain membicarakan
dampak dari krisis tersebut, pengunjung juga sering mengkritik
penanganan pemerintah terhadap perekonomian negara sampai
membanding-bandingkan keadaan ekonomi sekarang (pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono/SBY) dengan perekonomian ketika
mereka masih muda (pemerintahan Presiden Suharto).
b. Obrolan tentang sosial-politik
Pembahasan tentang sosial-politik ini lebih sering dibicarakan
ketika ada suatu peristiwa yang dilakukan dalam kancah pemerintahan
seperti layaknya pemilihan presiden dan wakil presiden kemarin. Disini
pengunjung saling mengeluarkan pendapat mereka tentang pasangan
capres dan cawapres dari berbagai partai politik (parpol). Seperti yang
diutarakan oleh Bapak Slmt dengan teman ngobrol disampingnya,
“piye to..pak, saiki yen nyoblos ra nyoblos podho wae…wong yo rego-rego munggah terus ro podo korupsi…..,mungkin ko’ yo sing kepilih pak SBY maneh, lha wingi britane poling sing okeh SBY…..(bagaimana lagi…sekarang ini masalah memilih dan tidak capres tidak merubah keadaan, paling-paling yang terpilih tetap Bapak SBY karena poling suara terbanyak yang diberitakan di media massa adalah SBY..)”(Obsvs/Bapak Slmt/11/08/09).
Hal senada juga dinyatakan oleh Bapak Mrdn bahwa obrolan politik
ataupun ekonomi biasanya dilakukan oleh orang dewasa, apalagi musim-
musim pilpres yang dibicarakan adalah segala hal yang berhubungan
dengan masing-masing kandidat atau calon,
86
“ bapak-bapak yang kemari akhir-akhir ini sering berdebat tentang capres dan cawapres…mulai dari misi-visi mereka sampai janji-janji dari capres …….”(Wwcr/Bapak Mrdn/11/07/09).
Selain pembicaraan diatas yang diobrolkan dalam kategori sosial-
ekonomi juga tentang masalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah seperti konversi minyak tanah ke gas, pendidikan, korupsi
dan sebagainya. Bahkan pembicaraan tentang persoalan internasional
terutama tentang konflik antar negara seperti masalah antara Indonesia
dengan Malaysia dalam hal pengklaiman (pengakuan) Malaysia terhadap
kebudayaan Indonesia, perang di Palestina dan paska perang Amerika
dan Irak dan sesejenisnya menjadi bahan obrolan menarik bagi
pengunjung HIK. Pembicaraan-pembicaraan seperti ini biasanya
merupakan respon masyarakat tentang keadaan yang diberitakan atau
disiarkan di media massa terutama televisi dan koran saat itu.
c. Obrolan tentang sosial-budaya
Obrolan tentang sosial-budaya merupakan salah satu bahan obrolan
yang sering dibicarakan oleh semua orang karena masalah sosial ini
menyangkut sesuatu yang berhubungan dengan kepedulian sesama atau
kesosialan individu. Pembahasan/topik yang dibicarakan mulai dari
kegiatan sosial yang dilakukan individu atau pribadi seperti kepedulian
dengan orang disekitar kita sampai kegiatan kepedulian yang sifatnya
umum yaitu kegiatan gotong royong atau kegiatan sosial dari pemerintah
pusat untuk masyarakat yang kurang mampu salah satunya program BLT
(Bantuan Langsung Tunai). Pembicaraan tentang masalah sosial yang
terjadi di HIK diantaranya seperti dibicarakan oleh pengunjung yang
sudah dewasa (bapak-bapak) di warung HIK Bapak Md, di mana mereka
membicarakan kegiatan gotong royong memperbaiki selokan di
lingkungan mereka karena menumpuknya sampah.
“….sesuk, piye pak kerja baktine mulai jam piro? disisan ke’ ngresiki kalen?....kudune kalenne ku di kei’ penyaring po dititup dadine yen udan ki sampah’e ra mlebu…..(bagaimana besok gotong royong apakah sekalian membersihkan selokannya?....seharusnya diberi penyaring atau ditutup saja
87
atasnya sehingga sampah-sampah di jalan tidak bisa masuk)”(Obsvs/Wr Bpk Md/03/08/09).
Selain itu obrolan tentang sosial-budaya ini juga membicarakan
tentang keprihatinan para pengunjung HIK terhadap segala peristiwa
bencana alam yang disiarkan di media massa atau peristiwa-peristiwa
lain. Terutama pembicaraan tentang mengkritik langkah-langkah tangkas
yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah setempat dalam menyikapi
bencana alam.
Diluar obrolan tersebut yang masuk kategori sosial-budaya adalah
masalah olahraga, di mana olahraga merupakan salah satu bahan obrolan
yang sering dibicarakan oleh semua pengunjung dari berbagai kalangan.
Olahraga yang dibicarakan juga beraneka mulai dari hasil pertandingan
yang disiarkan oleh media massa terutama televisi hingga gossip (gosip)
atau rumor tentang atlit-atlit yang bersangkutan. Seperti yang terjadi
akhir-akhir ini musim pertandingan bulutangkis, mereka langsung saling
berkomentar pertandingan tersebur,
“wah…badminton kalah terus….po neh yen (apalagi kalau) lawannya China mesti kalah palagi yang tunggal putra….lama-lama peringkatnya turun pasti tahun ketahun”(Wwncr/Bpk Jmd/11/08/09).
Hal serupa juga dinyatakan oleh Bapak Mgr bahwa pengunjung
HIK warungnya dalam membicarakan tentang olahraga biasanya
tergantung pertandingan olahraga apa yang sedang disiarkan di televisi.
Kebanyakan adalah pertandingan sepak bola, bulutangkis, Formula One
(F1), Grand Prix Formula One (GP) dan tinju. Namun untuk sebagian
anak muda lebih sering membicarakan pertandingan basket antar sekolah
yang mereka lihat langsung di sekolahan atau di gelanggang-gelanggang
olahraga (GOR).
Di luar obrolan yang berkaitan dengan olahraga juga diobrolkan
tentang kesehatan. Di HIK obrolan dengan topik kesehatan sering
dibicarakan oleh pengunjung kalangan dewasa terutama yang sudah
menikah. Obrolan masalah satu ini biasanya dalam bentuk bertukar
88
informasi tentang berbagai hal kesehatan seperti obat, dokter, atau tempat
alternatif kesehatan lainnya. Seperti yang peneliti temukan saat
melakukan pengamatan, para orang tua sering bertukar informasi tentang
obat-obat tradisional atau tempat pengobatan alternatif karena bagi
mereka obat-obat tradisonal lebih dinilai berkhasiat dan aman bagi
kesehatan. Salah satu obrolan tersebut ditemui ketika melakukan
pengamatan di warung HIK Bapak Minggar,
“….tetanggaku juga ada yang mengidap penyakit dalam kalau enggak salah diabet, sekarang katanya lumayan dia berobat ke klinik wijaya di Jalan Veteran dekat Gading sesudah perempatan Ngemblekan, katanya cuma diberi teh dari makutodewa coba saja kesana….”(Obsrvs/Wrg Bpk Mgr/13/08/09).
Senada dengan hasil pengamatan diatas, menurut Bapak Jmd,
obrolan tentang kesehatan dalam bentuk bertukar informasi tentang
kesehatan memang sering terjadi. Bahkan terkadang obrolan tentang
kesehatan dihubungkan dengan hal-hal mistis, seperti pengobatan ke
dukun atau ke paranormal. Untuk masalah mistik ini biasanya
dibicarakan oleh orang tua terutama orang-orang jaman dulu (kakek-
kakek atau nenek-nenek) yang masih mempercayainya. Pengunjung yang
masih percaya dengan hal-hal mistis ataupun tahayul, pembicaraan
tentang kesehatan selalu dikaitkan dengan hal-hal berbau mistik seperti
sakit karena pesugihan, susuk, santet dan sejenisnya.
Selain olahraga dan kesehatan, kategori sosial budaya juga
menyangkut tentang fashion pakaian. Fashion merupakan bahan obrolan
yang sering dibicarakan oleh pengunjung wanita terutama kalangan
remaja. Remaja yang dimaksud disini adalah mereka yang sudah
terpengaruh globalisasi, apalagi mereka yang sering melihat televisi dan
membaca majalah tentang fashion. Fashion berdampak terhadap tata cara
berpakaian mereka, salah satunya mereka berpakaian dengan model yang
beraneka ragam dengan mencontoh pakaian para selebritis/artis ataupun
mereka berusaha tampil beda dengan gaya-gaya yang unik (atau lebih
tepatnya berpakaian yang aneh-aneh). Keunikan cara berpakaian mereka
89
ini tampilkan karena mereka ingin dianggap trendi atau mengikuti jaman,
bahkan terkadang mereka menampilkan cara berpakaian yang berbeda
dari siapa pun sehingga membuat mereka menjadi trendsetter (pencetus
mode) dalam berpakaian.
Pembicaraan fashion berkisar tentang berbagai mode yang
ditawarkan atau diiklankan di majalah-majalah atau toko-toko pakaian
mana yang menjual/menyajikan pakaian dengan mode-mode pakaian
trendi, ada diskonnya, dan sebagainya. Seperti yang dibicarakan oleh
kelompok remaja perempuan yang ada di warung HIK Bapak Mrdn,
“gimana bu…di Matahari tadi ada hem panjang baru enggak? kemarin ku kesana masih model lama tapi ada sepatu lucu?...doku (uang) enggak cukup…di Singosaren kira-kira ada enggak ya?”
Diluar obrolan tentang pakaian, hal lain yang dibicarakan adalah
fashion rambut (model rambut) dan berbagai aksesorisnya. Fashion
rambut ini lebih ke mode pewarnaan rambut (haircoloring) dan berbagai
bentuk rambut harajuku (mode potongan rambut seperti orang Jepang)
terutama meniru dari amime (animasi Jepang/cartoon Jepang) dan
selebritis dari Jepang, Korea, Taiwan dan China.
Obrolan sosial-budaya juga menyangkut tentang teknologi, di mana
pembicaraan ini biasanya terjadi di kalangan remaja dan dewasa yang
sangat menyukai teknologi terutama tentang item-item teknologi seperi
handphone (HP), laptop, kamera digital, gameboy dan lainnya. barang-
barang teknologi seperti HP dan laptop lebih digunakan untuk internetan.
Di internet mereka lebih senang mengeksplor segala informasi disana
atau memasuki situs-situs persahabatan seperti Yahoo Messenger (YM),
frienster, facebook, twitter dan lainnya.
Menurut pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, obrolan tentang
teknologi ini sangat beragam. Untuk mereka yang masih sekolah seperti
siswa SMP dan SMA, pembicaraan masalah teknologi berisi tentang
permainan game online dan situs-situs persahabatan seperti friendster,
facebook ataupun twitter yang mereka akses lewat warung internet ataun
90
handphone (HP). Sedangkan mereka yang kuliah lebih senang
membicarakan situs-situs persahabatan seperti diatas, selain itu
membicarakan tentang aplikasi-aplikasi komputer (corel, aplikasi web,
aplikasi Yahoo Messenger (YM) dan lainnya) ataupun komponen-
komponen komputer mulai dari hardware (model keybord, speaker dan
aksesoris komputer lainnya) hingga software (CPU), laptop dan
sebagainya. Pengunjung yang sudah bekerja lebih membicarakan
masalah teknologi yang mendukung pekerjaan mereka seperti HP dan
laptop yang multifungsi hingga teknologi untuk sekedar memberi
hiburan bagi mereka seperti MP3, MP4, ipod dan lain-lain.
Pembahasan lainnya adalah pembicaraan tentang hiburan.
pembicaraan tentang hiburan ini diobrolkan oleh semua kalangan dan
menyangkup berbagai hiburan. Menurut pengamatan yang dilakukan
peneliti, masalah hiburan ini mulai dari acara konser musik, film-film
bioskop, pameran-pameran, gossip-gossip di media massa hingga
sekedar pembicaraan tentang jalan-jalan ke pusat pembelanjaan.
Pembicaraan tentang jalan-jalan di pusat pembelanjaan lebih dibicarakan
oleh kalangan remaja. Seperti yang sedang dibicarakan oleh sekelompok
siswa-siswi SMA ketika pulang les di salah satu lembaga bimbingan
belajar,
“…wah….habis nie kemana lagi?...gimana kalau nonton aja… da yang baru kan…..mumpung masih sore juga kan? Apa ada plan lainnya….” “ bosen ah lihat bioskop, enggak punya uang… kan akhir minggu gimana kalau cuma jalan-jalan ja sekalian ke Timezone ja? Ni masih da koin, gimana?”(Obsvsi/Wrg Bpk Mrdn/28/08/09).
Sedangkan informasi tentang dangdutan, wayang dibicarakan oleh
kalangan orang tua. Dan untuk informasi gosip-gosip, sinetron dan
sejenisnya dibicarakan oleh kaum perempuan berbagai usia. Seperti yang
terjadi di warung Ibu Ytm, dimana pengunjung HIK kebanyakan para
karyawan toko-toko daerah Singosaren, mereka sering mengobrolkan
tentang cerita sinetron yang mereka lihat pada malam hari.
91
3. Interaksi yang Terjadi Di HIK
Interaksi adalah suatu hubungan yang sifatnya dinamis menyangkut
hubungan antara orang perorangan (individu), antara kelompok dengan
kelompok, maupun antara individu dengan kelompok. Dan interaksi disini
merupakan suatu pendekatan terhadap orang lain. Interaksi yang terjadi
didalam masyarakat ada beberapa bentuk diantaranya kerjasama, persaingan
(competition) dan konflik (pertentangan). Kerjasama adalah sebagai suatu
usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama
karena mereka menyadari adanya kepentingan dan ancaman yang sama.
Kerjasama yang terjalin merupakan suatu langkah mempertahankan kesan-
kesan atau identitas yang ditampilkan individu dalam berhadapan dengan
orang lain, sehingga disini individu saling menghormati dan menghargai
orang lain dengan cara berusaha menyesuaikan perilaku kita dengannya atau
sesuai dengan norma dan sopan santun yang terdapat dalam masyarakat. Di
HIK kerjasama ini terlihat jelas karena semua pengunjung yang datang saling
menghormati dan menghargai satu sama lain, sehingga menciptakan
kerjasama dalam membentuk suasana menyenangkan disana. Bahkan
terkadang juga terjalin kerjasama dalam bidang-bidang tertentu, salah satunya
kerjasama dalam suatu bisnis. Seperti peneliti temukan dalam pengamatan
adalah kerjasama usaha dalam bidang tanaman yang mana Bapak X (seorang
pemilik toko bunga) karena sering bertemu dengan Y (kebetulan mempunyai
teman yang berjualan pupuk untuk tanaman hias) di HIK dan lama kelamaan
mereka sering bertukar informasi tentang berbagai tanaman mulai dari cara
perawatan hingga cara menanam tanaman terutama tanaman hias. Dari
pertemuan di HIK inilah akhirnya mereka menjalin kerjasama
mengembangkan toko bunga di luar kota. Selain itu kerjasama yang terjadi di
HIK adalah kerjasama dalam bidang penelitian seperti yang sedang peneliti
lakukan atau aktivis-aktivis LSM yang ingin mencari informasi yang
berhubungan dengan HIK atau lainnya yang mungkin di HIK mereka dapat
memperoleh informasi yang diperlukan dalam penelitian.
92
Persaingan diartikan sebagai suatu persaingan antar individu atau
kelompok untuk mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang
menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau
dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan ancaman
atau kekerasan (Soekanto, 1982: 91). Dalam persaingan yang terjadi,
terkadang terjalin suatu kerjasama antara pelakunya karena suatu alasan demi
menciptakan suatu persaingan yang seru sampai-sampai tidak memberi
kesempatan untuk lawan-lawan mereka yang dianggap tidak pantas dalam
memenangkan persaingan tersebut. Di HIK persaingan yang terjadi dalam
bentuk tingkah laku dan perilaku, dimana persaingan dalam hal menjadi yang
lebih dari pengunjung lainnya (istilah Bahasa Jawanya adalah pamer kepada
pengunjung lain) baik itu lebih dalam berbagai hal.
Diluar persaingan terbut terkadang juga terjadi persaingan dalam hal
untuk menjadi perhatian umum dan menarik perhatian pengunjung lain.
Seperti dengan bergaya dalam model pakaian yang mereka pakai atau dengan
teknologi yang mereka bawa (antara lain HP, laptop, dan sebagainya), dengan
tertawa terbahak-bahak atau melakukan tindakan yang aneh-aneh bahkan
persaingan dalam berkata-kata (saling mengejek), misalnya jika ada
pengunjung lain yang dirasa lebih gaya (dalam artian memakai pakaian yang
lebih bagus) mereka biasanya langsung mengomentari pengunjung tersebut
dengan beragam sindiran seperti “ ….halah di HIK!...saja masak harus gaya,
kan tinggal pakai kaos ok!” atau terkadang dengan melirik temannya dengan
maksud agar melihat pengunjung yang lebih bergaya.
Sedangkan bentuk interaksi yang lain adalah konflik. Konflik
merupakan suatu perasaan atar individu untuk saling menghancurkan karena
suatu perbedaan-perbedaan yang ada seperti kebudayaan, pola perilaku, emosi
dan lainnya. Konflik biasanya berujud amarah dan rasa benci yang
menyebabkan dorongan-dorongan melukai atau menyerang pihak lain
(lawan). HIK sebagai ruang publik yang sifatnya demokratis karena semua
orang dapat mengaksesnya maka disana perbedaan tidaklah dipermasalahkan
sehingga segala bentuk konflik jarang terjadi. Jika terjadipun konflik didalam
93
HIK hanyalah sebatas persaingan yang tidak menimbulkan suatu penyerangan
atau melukai orang lain, karena mereka merasa malu untuk ribut-ribut/bentrok
dengan pengunjung lain.
Interaksi yang terjadi di HIK sebagai ruang publik terjadi dengan
spontan, karena di ruang publik jalinan penyesuaian diri paling banyak
dituntut sebab di sana siapa saja bisa hadir sebagai manusia yang bebas di
mana interaksi dapat dilihat dari komunikasi antar individu disana.
Komunikasi adalah suatu jenis interaksi, di mana para partisipan memakai
bahasa atau simbol-simbol lain yang sudah disepakati bersama melalui
sarana-sarana komunikasi lewat bahasa dan simbol-simbol tersebut
mempertemukan orang ke dalam relasi-relasi timbal balik. Bahasa dan simbol
digunakan sebagai alat komunikasi, sehingga komunikasi pada dasarnya
adalah proses ketika seseorang berhubungan dengan orang yang lain serta
membangun suatu keterlibatan antara kedua belah pihak, dalam komunikasi
semua orang terlibat. Di HIK, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi
bermacam-macam ada Bahasa Indonesia, Jawa, Campuran Bahasa Indonesia
dengan Jawa dan bahasa gaul. Sedangkan simbol yang digunakan disana
seperti tepuk tangan, tunjuk jari atau tangan melambai untuk memanggil
penjaja HIK. Sehingga dengan komunikasi diharapkan masing-masing orang
memiliki ruang untuk mengaktifkan dirinya, yakni suatu ekspresi yang
ditujukan terhadap orang lain, salah satunya terwujud di dalam ruang publik
yaitu HIK. Bahkan untuk interaksi yang terjadi di HIK terjalin sangat akrab
antar pengunjung, baik itu mereka sudah mengenal ataupun yang belum
mengenal satu sama lain.
Interaksi yang terjadi di HIK pertama kali biasanya diawali dengan
perkenalan atau basa-basi tentang membicarakan topik yang sama-sama
mereka ketahui, yang akhirnya berkenalan satu sama lain. Dari perkenalan
inilah ada diantara mereka menjadi teman sampai rekan bisnis. Selain itu
interaksi yang terjadi dapat juga tentang pertukaran informasi suatu kegiatan
atau peristiwa suatu hal. Seperti informasi tentang berbagai pameran,
informasi tentang event band, informasi berbagai macam perlombaan,
94
informasi discount/toko-toko mana saja yang sedang sale (terdapat potongan
harga) hingga informasi gossip pun juga menjadi bahan obrolan di HIK.
Pembicaran basa-basi inipun juga dilakukan oleh penjaja HIK kepada
pengunjung yang lama tidak ke warung sehingga para penjaja lupa. Hal ini
dilakukan oleh penjaja dengan tujuan bahwa pengunjung tidak merasa
dilupakan dan dimaksudkan memberi suasana kekeluargaan sehingga
pengunjung merasa senang dan betah.
Menurut pengungkapan Bapak Jmd, pembicaraan basa-basi ini
dilakukan untuk mengakrabkan diri dan menciptakan suanana kekerabatan
dengan pengunjung karena menurut beliau, pengunjung senang datang ke
HIK karena suasana di HIK tersebut dan bukanlah karena makanan atau
minumannya. Untuk masalah makanan/minumana merupakan prioritas kedua
karena untuk makan/minum seseorang bisa datang atau membeli diberbagai
tempat (warung), sedangkan prioritas utama adalah suasana kekerabatan yang
menjadikan pengunjung “kangen” (senang) bahkan menjadi ketagihan datang
ke HIK.
Menurut pengamatan yang peneliti lakukan di beberapa warung HIK,
interaksi di HIK terjadi sangat alamiah karena pengunjung ataupun penjaja
yang tidak saling mengenal dapat berinteraksi satu sama lain. Sifat HIK yang
menjalin kebersamaan baik itu antar pengunjung atau pengunjung dengan
penjaja membuat hubungan mereka seperti keluarga atau teman sehingga
mereka bebas dan terbuka membicaran berbagai persoalan/masalah sampai
masalah yang sifatnya pribadi sekalipun.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Sehari-hari individu selalu di hadapkan pada berbagai aktivitas-aktivitas
sosial dan ekonomi di dalam bermasyarakat. Sosial digunakan untuk menyebutkan
peran dan hubungan seseorang di masyarakat. Sedangkan ekonomi lebih
menunjukkan pada aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan. Seseorang dapat
bertahan hidup harus terpenuhi kebutuhannya terutama kebutuhan primer seperti
95
makan, tempat tinggal, dan pakaian. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut
seseorang harus dapat bekerja sesuai kemampuan yang dimiliki. Di Indonesia,
jenis pekerjaan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu pekerjaan di sektor
formal dan sektor informal. Ke dua jenis pekerjaan tersebut yang paling banyak
menyerap tenaga kerja adalah pekerjaan di sektor informal.
Berbagai pekerjaan di sektor informal yang paling dominan dan
menonjol aktivitasnya adalah pedagang kaki lima (PKL), karena hal tersebut
istilah sektor informal sering diidentikkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan
oleh PKL. Apalagi jenis usaha di sektor inilah yang paling berpengaruh karena
jumlahnya yang mendominasi dalam masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
terutama golongan menengah ke bawah. Besarnya jumlah PKL sebagai bagian
dari sektor informal di berbagai pusat-pusat perdagangan baik di lokasi pertokoan
maupun di tempat-tempat strategis lainnya membuat ”PKL mengarah pada
terjadinya pasar dengan pola tradisional, yaitu pasar yang timbul hanya karena
adanya peluang transaksi antara pembeli dan penjual” (Ali, 2008: 9). Pasar tidak
hanya berwujud dalam karakter ekonomi saja melainkan sebagai suatu gejala
sosial sekaligus kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dalam proses jual beli dalam
kegiatan perekonomian juga terjalin interaksi baik itu antara penjaja dan penjaja,
pembeli dengan penjaja ataupun pembeli dengan pembeli. Selain itu, Menurut
Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi, “ciri-ciri sektor informal pada
umumnya miskin, kebanyakan dalam usia kerja utama (prime age), berpendidikan
rendah, upah yang diterima dibawah upah minimum, modal usaha rendah,
memberikan kemungkinan untuk mobilitas vertikal” (Maning dan Effendi, 1996:
76). Yang terjadi pada penjaja HIK di kawasan Jalan Dr Rajiman telah memenuhi
sebagian ciri-ciri di atas.
HIK termasuk dalam sektor informal disebabkan karena kualifikasi
ekonomi sektor informal yang dimiliki oleh penjaja HIK. Pertama dilihat dari
keterampilan yang dibutuhkan penjaja HIK lebih diperoleh diluar bangku sekolah
sehingga di lihat dari pendidikan mereka, rata-rata pendidikan mereka mulai dari
SD hingga SMA. Kedua, usahanya tidak diatur oleh pemerintah dan usahanya
bergerak dalam pasar yang penuh dengan persaingan. Ketiga, modal yang
96
digunakan tidak terlalu banyak. Keempat, dalam mengembangkan usaha HIK ini
tidaklah diperlukan ijin secara resmi dari pemerintah. Kelima, usaha HIK ini
tidaklah diperlukan teknologi modern karena cukup dengan gerobag, lampu
minyak (teplok), tungku untuk pembakaran, kursi panjang (bangku) dan tikar
sebagai tempat lesehan.
Menjadi pengusaha HIK tidak memerlukan syarat khusus karena sifatnya
tergolong sektor informal maka dapat dijalankan oleh semua orang. Pada
umumnya yang menjadi penjaja HIK memiliki keterampilan dan pendidikan
minimal dan latar belakang menjadi penjaja HIK ini biasanya di dahului oleh
profesi lain atau profesi di bidang informal lainnya. Seperti yang terjadi pada
Bapak Jmd bahwa sebelum menekuni pekerjaan ini beliau bekerja sebagai satpam
pabrik. Begitu pula yang terjadi oleh pengusaha lainnya lewat wawancara, seperti
Bapak Mrdn sebelum berjualan HIK beliau bekerja sebagai buruh bangunan,
Bapak Mgr yang dahulu sebelumnya bekerja sebagai buruh sablon, sedangkan Ibu
Ytm adalah sebagai buruh jahit.
Hampir semua penjaja HIK di Jalan Rajiman berasal dari Klaten,
Boyolali dan Solo, seperti Bapak Mrdn berasal dari Klaten, Bapak Jmd dan Bapak
Mgr merupakan orang asli Solo. Menurut mereka bertiga, mereka menjadi penjaja
HIK karena tidak memerlukan modal yang begitu besar sebab yang disiapkan
hanya gerobag, lampu minyak (teplok) atau lampu listrik, anglo, ceret,
pemanggang, porong, gelas, meja, piring plastic kecil, ember, tikar, deklit,
bangku, sendok, dan tremos. Di mana modal untuk membeli barang-barang
tersebut tidak terlalu banyak, dan jika tidak punya uang pun mereka bisa
meminjam uang kepada orang lain atau koperasi simpan pinjam. Atau bahkan
penjaja HIK dapat menyewa gerobag dengan berbagai peralatannya kepada
pengusaha HIK. Sedangkan untuk makanan yang di jual di HIK kebanyakan
berasal dari pemasok makanan kecuali nasi (untuk penjaja HIK yang membuat
nasi sendiri) dan minuman. Sesuai ungkapan dari Bapak Ptt yang merupakan
ketua dari Paguyuban Wedangan Baron (PAWON) mengatakan bahwa modal
menjadi penjaja HIK ada dua cara, pertama dengan modal sendiri dan kedua
dengan pinjamam. Untuk cara kedua ini bisa saja meminjam dari koperasi simpan
97
pinjam ataupun meminjam dari satu orang ke orang lain. Peminjaman dengan cara
ke dua ini bisanya dilakukan dengan berhutang dari orang lain atau tengkulak
(reternir). Peminjaman seperti ini sangatlah beresiko karena bunga yang
ditanggung oleh peminjam sangat besar. Karena besarnya resiko tersebut para
penjaja HIK lebih senang merintis usaha mereka dengan modal sendiri dan jika
tidak mempunyai modal, mereka lebih memilih pinjam dari koperasi ataupun
pihak keluarga. Seperti yang dilakukan oleh Bapak Mgr dan Mrdn menyatakan
bahwa modal untuk merintis usaha HIK mereka dapat dengan meminjam uang
dari pihak keluarga.
Dengan demikian para penjaja HIK selain mendapat modal dengan cara-
cara diatas, mereka juga hanya bermodalkan tenaga dan peralatan berjualan (untuk
yang modal sendiri) karena semua makanan berasal dari pemasok (kecuali
membuat nasi sendiri), sehingga penjaja tinggal datang ke paguyuban seperti
PAWON (merupakan suatu yang mewadahi para pedagang HIK) untuk
mengambil makanan yang telah disiapakan oleh pemasok. Untuk kegiatan
mengambil makanan dari pemasok ini berbeda dengan pengambilan makanan dari
pemasok pada jaman dulu (yang mana para pemasok mengantarkan makanan ke
berbagai penjaja HIK dan mengambilnya lagi setelah habis), sekarang ini karena
danya suatu paguyuban seperti PAWON ini menyediakan wadah bagi pemasok
dan penjaja HIK untuk transaksi makanan. Berdirinya paguyuban ini berawal dari
adanya perselisihan antar pemasok makanan yang saling berebut panjaja HIK
karena makanan yang mereka titipkan sama. Dari perselisihan pemasok inilah
sehingga timbul gagasan untuk mendirikan suatu organisasi yang mengatur segala
macam hal yang berhubungan dengan HIK, mulai dari jenis makanan yang dijual
hingga lokasi lokasi yang strategis untuk berdagang.
Selain kualifikasi diatas, HIK khususnya HIK malam merupakan
kegiatan sektor informal yang tidak teridentifikasi oleh kantor statistik Solo
karena aktivitasnya berdagang pada malam hari dan karena lokasi HIK
kebanyakan berada depan teras toko, tempat parkir, dan jalan jalur hijau sehingga
usaha HIK tidak dianggap terlalu mengganggu lalu lintas di Solo.
98
HIK sebagai sektor informal, dalam transaksi ekonomi yang terjadi
mengarah pada terjadinya pasar melalui proses transaksi jual beli. Hal tersebut di
lihat sebagai suatu gejala sosial budaya karena terjalinnya interaksi antar penjual
dan pembeli. Dalam kegiatan perdagangan, HIK setidaknya ada dua hubungan
yang dapat dilihat dari proses perdagangan HIK tersebut yaitu:
a) Hubungan penjaja HIK dengan pemasok makanan
Hubungan ini berdasarkan pada hubungan ketergantungan karena
pemasok merupakan pihak yang menyediakan pasokan makanan yang akan
dijual penjaja HIK. Hubungan ini biasanya terjadi di dalam PAWON
dimana penjaja dan pemasok sama-sama bertemu untuk transaksi makanan
mulai dari jumlah makanan yang dititipkan kepada penjaja HIK hingga
penyerahan uang hasil makanan yang terjual.
b) Hubungan penjaja HIK dengan konsumennya
Hubungan penjaja dengan konsumen adalah mengenai keakraban
penjaja HIK kepada konsumennya sehingga para konsumen merasa senang
dan nyaman di HIK. Disini penjaja HIK menaruh kepercayaan kepada
konsumennya karena sistem jualannya yang “pokwe” (njipuk dewe atau
ambil sendiri) dan membayarnya akhir, sehingga jumlah dan apa yang
dimakan dipercayakan kepada konsumen. Bahkan terkadang terdapat
konsumen yang hutang dibolehkan oleh penjaja karena mereka tidak mau
kehilangan pelanggan.
Kembali kepada pembahasan tentang HIK sebagai sektor informal, di
mana pada sektor ini selain terjadi kegiatan perekonomian juga menyangkut aspek
sosial budaya lewat terjalinnya interaksi dalam perdagangan. Pada karakter
interaksi yang terjadi ini maka terbentuklah masyarakat yang guyub karena
didasari oleh sifat sektor ini yang masih tradisional. HIK ini merupakan suatu
perdagangan yang sifanya tradisional hal ini bisa dilihat dari tampilan warungnya
yang masih menggunakan peralatan tradisional seperti lampu minyak “teplok”
atau lampu listrik dengan voltase kecil dan suasana remang-remang di HIK
tersebut dimanfaatkan para pembeli menikmati makanan dan minuman sambil
ngobrol-ngobrol yang memperlihatkan kebersamaan yang terjalin didalamnya.
99
Suasana yang demikian menggambarkan para penjaja HIK masih menyuguhkan
sesuatu yang sifatnya tradisional dan bahkan keadaan ini yang membuat
masyarakat makin tertarik datang atau berkunjung di HIK. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh salah satu pengunjung HIK (Wwn), menurutnya HIK
merupakan tempat yang masih menjaga ketradisionalan seperti di pedesaan mulai
dari penampilan HIK yang menggunakan peralatan tradisional seperti teplok,
anglo,hingga makanan yang dijual disana kebanyakan jajanan pasar. Serta suasana
kebersamaan yang mengakrabkan para pengunjung di HIK membuat suatu
kenyamanan tersendiri bagi semua orang yang datang.
Sisi-sisi yang ditawarkan oleh penjaja HIK pada masyarakat selain
jajanan yang disajikan juga berkaitan dengan tradisi agraris (suasana pedesaan)
yang sepi dan remang-remang, tempat mengobrol serta wedangan merupakan
sensasi tersendiri bagi masyarakat. Hal seperti itu berkembang di tempat HIK
sebagai salah satu gambaran suasa tradisional. Budaya oral yaitu mengobrol
(obrolan-obrolan) di luar rumah, di pos-pos tertentu masih terus hidup. Boleh
dikatakan, pada jaman modernisasi sekarang ini tradisi masih dapat dipertahankan
atau bahkan terus diminati karena tradisi dapat dikembangkan dengan berbagai
formatnya sehingga menjadikan sisi-sisi unik. Beberapa dugaan tentang
kebiasaan-kebiasaaan mengobrol sambil menikmati minuman pada malam hari
seperti di HIK merupakan gambaran kebiasaan yang dahulu dilakukan oleh para
pejabat keraton.
Masyarakat Solo menempatkan HIK sebagai tempat untuk ngobrol-
ngobrol dengan semua orang yang ada disana dalam membicarakan berbagai hal
mulai dari pengalaman, gossip, politik, ekonomi, bahkan sampai pembicaraan
yang berbau mistik. Di HIK berbagai pembicaraan terjadi secara spontanitas yaitu
tanpa persiapan apapun terutama mereka yang datang untuk melakukan kegiatan
yang sifatnya formal seperti rapat, arisan dan sebagainya. Dalam pembicaraan
yang sifatnya spontanitas ini semua orang bebas mengutarakan apa saja tanpa rasa
takut. Bahkan kritikan, keluhan dan umpatan ataupun sumpah-serapah sering kali
terucap di warung HIK. Obrolan yang terjadi di HIK dapat masuk ke kegiatan
kultural atau eksistensi kultural karena dari obrolan ini akan membentuk suatu
100
interaksi semua orang yang ada di sana. Terjadinya interaksi sebagai akibat dari
terjalinnya obrolan semua orang di HIK, menurut pandangan penulis juga dapat
disebut sebagai ruang publik hanya saja ruang publik yang sifatnya ekonomis
karena terjadi kegiatan jual-beli di dalamnya.
HIK Sebagai Ruang Publik
”Ruang publik merupakan tempat untuk mempromosikan sekaligus
menghargai hak untuk berbeda, sehingga ekspresi perbedaan, spontanitas, dan
kreativitas adalah bagian dari kehidupan sehari-hari ruang publik” (Agus, dkk,
2005: 99). Dengan kata lain ruang publik adalah segala macam ruang yang
memungkinkan publik untuk menjalani transaksi dalam bingkai kultur
demokratis. Dari kegiatan transaksi tersebutlah, sekarang ini ruang publik
dimanfaatkan sebagian orang untuk jadi ajang promosi untuk mencari keuntungan
saah satunya lewat kegiatan sektor informal khususnya usaha HIK.
Pembahasan HIK sebagai ruang publik akan dibahas berdasarkan teori
Habermas tentang ruang publik. Apa yang ditampilkan Habermas tentang publik
sphere borjuis baik Salon, Coffe House, dan Tichgesllschaften secara filosofis dan
institusional memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Baik Salon, Coffe House,
dan Tichgesllschaften sama-sama melihat kesetaraan sebagai manusia dalam
kontek berkomunikasi dan berbagi informasi melalui tradisi dialog. Dalam diskusi
tersebut mereka melepaskan diri dari berbagi atribut sosial dan budaya serta
kepentingan ekonomi tertentu. Para peserta diskusi disini senantiasa mengaitkan
dengan kepentingan masyarakat luas dan objek yang didiskusikan dapat diakses
oleh siapa saja. Namun walaupun begitu ada perbedaan antara publik sphere
borjuis pada abad ke-7 dan ke-8 Eropa dimana yang datang di publik sphere
borjuis adalah dari kalangan tertentu, seperti borjuis laki-laki, bangsawan dan
intelektual untuk mendiskusikan karya-karya sastra khususnya persoalan-
persoalan karya seni dan tradisi baca tulis, bahkan sering pula terjadi diskusi-
diskusi tentang perdebatan ekonomi dan politik. Sementara di Prancis, contoh
yang diberikan Jurgen Habermas, perdebatan-perdebatan semacam ini bisa terjadi
di salon-salon. Warga-warga Prancis biasa mendiskusikan buku-buku, karya-
101
karya seni baik berupa lukisan atau musik. Tetapi dalam perubahannya, sekarang
ruang publik lebih bersifat bebas dalam artian semua masyarakat dari semua
kalangan dapat mengakses ruang ini, bahkan pembicaraan yang terjadi di ruang
publik sekarang ini lebih lebar baik itu masalah pribadi sampai masalah umum
ataupun gosip belaka.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan
bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang
publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar
belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik
manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan
antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial. Dengan karakteristik ruang
publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat, tidak diragukan lagi arti
pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kapital sosial. Namun
sayangnya, arti penting keberadaan ruang-ruang publik tersebut di Indonesia lama
kelamaan diabaikan oleh pembuat dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah
sehingga ruang yang sangat penting ini lama-kelamaan semakin berkurang.
Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan
interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti
lapangan olah raga, taman kota, arena wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya
lama-kelamaan menghilang digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, ruko-
ruko, warung-warung dan ruang-ruang bersifat privat lainnya.
Dilihat dari sifat ruang publik (demokratis, bermakna dan responsif),
warung HIK sudah menyangkut sifat-sifat tersebut. Bersifat demokratis karena di
HIK semua orang dapat mengaksesnya tanpa memandang status dan latar
belakang sosial, ekonomi dan budaya. Bermakna karena warung HIK sebagai
ruang interaksi masyarakat dimana di sana semua orang dapat berinteraksi dengan
siapa saja dengan bahan pembicaraan yang luas tanpa ada batasannya. Sedangkan
bersifat responsif sebab semua orang dapat merespon segala hal yang terjadi di
sana dalam artian semua orang dapat bergabung dalam obrolan yang terjalin di
HIK
102
1. HIK Sebagai Wahana Demokratis
”Konsepsi ruang publik (public sphere) yang digagas oleh Habermas
merujuk pada suatu area atau ruang di mana warga negara mampu melempari
opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara bebas tanpa tekanan
siapapun” (Eka, dkk, 2009: 114). Ini merupakan sejarah praktek sosial,
politik dan budaya yakni pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi
mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum. Orang-orang yang
terlibat di dalam percakapan ruang publik adalah orang-orang privat bukan
orang dengan kepentingan bisnis atau profesional bukan pula penjabat atau
politikus karena mereka datang di ruang publik tanpa memandang status
ataupun jabatan mereka. Dengan kata lain ruang publik merupakan suatu area
atau ruang di mana seluruh anggota masyarakat dapat berinteraksi, bertukar
pikiran dan berdebat tentang masalah-masalah publik dengan bebas, baik
bebas dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atau percakapan. Inilah
yang dimaksud demokratis oleh Habermas.
HIK sebagai ruang publik yang demokratis dapat di lihat dari
karakteristik pengunjung dan obrolan yang terjadi disana. Di lihat dari
karakteristik pengunjung yang datang di HIK beraneka ragam karena HIK
terbuka bagi semua orang tanpa terkecuali. Karakteristik pengunjung HIK
dalam penelitian ini diambil berdasarkan jenis kelamin dan usia, agama, etnis
serta strata sosial masing-masing individu di dalam kehidupan bermasyarakat.
Di sana pengunjung mulai dari siswa-siswi, mahasiswa, buruh, sopir becak,
pegawai swasta, pegawai pemerintah, aktivis seperti aktivis LSM, dan
sebagainya.
Menurut struktur sosial yang ada dalam masyarakat, karakteristik
pengunjung HIK terdiri dari dua bentuk yaitu diferensiasi dan stratifikasi.
Keanekaragaman pengunjung inilah yang didapati pula saat melakukan
penelitian.
103
a. Diferensiasi pengunjung HIK
Diferensiasi sosial yang merupakan suatu penggolongan terhadap
perbedaan-perbedaan tertentu yang biasanya sama/sejenis atau dengan kata
lain sifatnya sejajar (horizontal) membuat masyarakat sama (dalam artian
masyarakat tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi
dari golongan lain, walaupun dalam kenyataannya terdapat kelompok
tertentu yang menganggap golongannya lebih tinggi). Di lihat dari
pengertian diferensiasi tersebut maka peneliti mengelompokkan
pengunjung HIK dari dua kategori. Pertama pengunjung HIK dilihat dari
usia dan jenis kelamin. Kedua dilihat dari agama dan etnis pengunjung
HIK.
Keanekaragaman usia dan jenis kelamin pengunjung HIK
Pengunjung HIK tidak hanya diminati oleh laki-laki tetapi juga
oleh perempuan. Dari pengamatan yang dilakukan, menunjukkan bahwa HIK
merupakan tempat nongkrong para laki-laki tidak benar. Karena jika di lihat
dari komposisi jenis kelamin pengunjung HIK antara laki-laki dan perempuan
jumlahnya seimbang, tetapi karena pengunjung laki-laki lebih sering
nongkrong hingga larut malam atau hingga HIK akan tutup maka masyarakat
sering mengidentikan seperti tempat nongkrong laki-laki. Padahal jika kita
datang ke HIK sebelum pukul 24.00 WIB, sebenarnya jumlah pengunjung
perempuan tidak kalah dengan jumlah pengunjung laki-laki.
Sedangkan di lihat dari segi usia, menurut hasil penelitian yang
telah dipaparkan sebelumnya, pengunjung HIK sangatlah bervariatif mulai
dari usia anak-anak hingga usia dewasa. Dari kenyataan tersebut, sekalipun
ada sebagian pendapat bahwa HIK merupakan ruang publik dengan
segmentasi kalangan orang tua, tidak selamanya benar karena usaha ini
heterogen sehingga semua kalangan usia dapat menikmatinya. Hanya saja
untuk usia anak-anak mereka datang ke HIK bersama dengan orang tua
ataupun anggota keluarga lainnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
beberapa pengunjung seperti Ibu Sr, Bapak Mrdn, Jmd dan Bapak Mgr bahwa
pengunjung HIK usia anak-anak juga sering datang ke HIK hanya saja waktu
104
mereka datang bisa di bilang terlalu pagi bagi pengunjung lainnya. Hal ini
dikarenakan pengunjung usia anak-anak biasanya dapat kita jumpai pada sore
hari sekitar pukul 18.00 WIB hingga pukul 20.00 WIB. Sebab menurut
pernyataan beberapa orang seperti Ibu Sr dan Ibu Ttk, mereka sering
membawa anak-anak mereka sekitar jam enam hingga delapan malam karena
ingin melatih dan membiasakan anak-anaknya untuk berada dirumah sebelum
pukul sembilan malam serta membiasakan mereka untuk tidur sebelum jam
sembilan. Kebiasaan ini di lakukan dengan maksud anak-anak mereka tidak
mengantuk keesokan harinya pada waktu sekolah terutama ketika pelajaran
berlangsung.
Para orang tua yang menemani anak-anak mereka datang ke HIK
sebenarnya berperan sebagai pendamping anak layaknya diruang publik
lainnya. Pendampingan tersebut dilakukan terutama oleh pengunjung yang
tempat tinggalnya jauh dari lokasi HIK yang di tuju. Kegiatan pendampingan
orang tua terhadap anak-anak mereka dilakukan sebagai tindakan pengamanan
dan pengawasan orang tua terhadap anak dari bahaya-bahaya tak terduga yang
sering terjadi di lingkungan sekitar seperti penculikan anak (kejahatan-
kejahatan yang akhir-akhir ini sedang marak-maraknya di publikasikan oleh
media massa), kecelakaan lalu lintas dan lainnya. Apalagi mengingat letak
warung-warung HIK yang kebanyakan berlokasi di pinggir jalan yang salah
satunya berlokasi di Jalan Dr Rajiman ini menambah suatu pemikiran orang
tua menemani anak-anaknya ketika pergi ke HIK.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut mulai ditinggalkan oleh orang tua
yang memiliki anak usia remaja, karena mengingat sifat-sifat remaja yang
sensitif dan ingin bebas membuat orang tua berfikir ulang untuk menyamakan
mereka seperti anak-anak. Hal tersebut membuat anak-anak yang sudah
remaja lebih senang berpergian ke luar rumah tanpa ditemani oleh orang
tuanya. Seperti remaja yang berusia 13 hingga 18 tahun atau remaja setingkat
SMP dan SMA kebanyakan lebih senang datang ke HIK dengan teman-
temannya dari pada dengan orang tua masing-masing. Hal inilah yang
dilakukan oleh sebagian besar remaja yaitu, T dan teman-temannya ketika
105
datang ke salah satu warung HIK yang berada di Jalan Rajiman. Kedatangan
pengunjung HIK usia remaja dapat dijumpai pada saat sore hari sekitar pukul
18.00 WIB hingga pukul sebelum 23.00 WIB. Mereka biasanya datang ke
HIK sesudah kegiatan les tambahan ataupun memang karena keinginan
mereka untuk keluar rumah. Hal senada juga diungkapkan oleh T yang
mengatakan bahwa dia biasa datang ke HIK sehabis les tambahan di salah satu
lembaga bimbingan belajar. Dia mengungkapkan bahwa lebih senang mampir-
mampir sekalian ke mana saja seperti mall ataupun HIK dari pada pulang
langsung ke rumah.
Berbeda lagi dengan pengunjung HIK dewasa, mereka lebih
menyukai datang pada malam hari sekitar pukul 19.00 WIB hingga malam
hari bahkan ketika HIK akan tutup. Berbagai alasan yang di utarakan oleh
berbagai pengunjung dewasa datang ke HIK beranekaragam mulai dari
keindahan suasana malam hari yang indah akan gemerlap lampu-lampu kota
hingga alasan refreshing sehabis kerja seharian. Beragam alasan tersebut
menjadikan suatu persoalan yang menarik mereka untuk pergi keluar rumah
terutama ke HIK dari pada istirahat di rumah.
Keanekaragaman Agama dan Etnis Pengunjung HIK
Keanekaragaman agama dan etnis di HIK adalah suatu bentuk
perbedaan yang tidak terlalu mencolok karena interaksi yang terjadi tidaklah
memperdulikan agama ataupun etnis mereka. Untuk masalah perbedaan
agama hanya terlihat lewat berbagai atribut keagamaan yang mereka pakai
seperti kalung salib, kerudung, ataupun atribut agama lainnya. Hal ini
membuat pengunjung yang tidak memakai atribut keagamaan sulit diketahui
agama dan kepercayaan mereka.
Di lihat dari etnis, Indonesia merupakan negara yang terdiri dari
suku bangsa sehingga etnis di Indonesia juga beragam. Di Solo sendiri etnis
ada tiga macam yaitu Jawa, Tionghoa dan Arab. Sedangkan etnis lainnya
seperti Madura, Sunda, Betawi, dan lainnya juga ada hanya saja jumlahlah
lebih sedikit. Keberadaan etnis Tionghoa dan Arab di Kota Solo ini
kebanyakan terkumpul dalam suatu daerah dan sisanya berada menyebar.
106
Lihat saja etnis Arab di Solo banyak di temui di daerah Pasar Kliwon dan etnis
Tionghoa dapat kita temui di daerah Coyudan dan sekitarnya.
Seperti hasil temuan yang disampaikan sebelumnya telah
menyebutkan bahwa keragaman etnis ini lebih di lihat dari segi penggunaan
bahasa dengan berbagai logat. Dari inilah seseorang dapat diketahui etnis dan
asal daerahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Alex Thio yang
mengemukakan bahwa kelompok etnis adalah sekelompok orang yang saling
berbagi warisan kebudayaan tertentu. Dengan kata lain ”etnis berbeda dengan
ras karena kelompok etnis digunakan untuk mengacu suatu kelompok atau
kategori sosial yang perbedaannya terletak pada criteria kebudayaan bukan
biologis” (Priyono, 2007: 19). Selain itu, juga diperkuat oleh pernyataan dari
”Bruce J. Cohen menyebutkan bahwa kelompok etnis dibedakan oleh
karakteristik budaya yang dimiliki oleh para anggotanya, dimana karakteristik
itu meliputi agama, bahasa atau kebangsaan” (Priyono, 2007: 19).
Berdasarkan pendapat tersebut maka peneliti berusaha mengungkapkan bahwa
perbedaan etnis pengunjung HIK juga dilihat dari pembendaharaan bahasa
yang digunakan oleh pengunjung. Tetapi karena pengunjung HIK merupakan
warga Negara Indonesia kecuali para turis yang datang maka mereka
menggunakan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah seperti Bahasa Jawa
sebagai bahasa pengantar setiap hari. Termasuk etnis Tionghoa dan Arab
tersebut yang merupakan WNI juga menggunakan Bahasa Indonesia atau
bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, namun yang berbeda hanyalah logat
atau dialek mereka dalam mengucapakan kata-kata dalam bahasa pengantar
tersebut.
Perbedaan bahasa yang terlihat dari logat bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi dengan orang lain inilah yang membedakan orang
secara etnis (atau lebih tepatnya kekhasan dalam logat bahasa ini membuat
orang lain menebak seseorang berasal dari daerah mana). Seperti logat bahasa
ngapak yang digunakan oleh orang berasal dari daerah Purbalingga,
Banjarnegara dan Cilacap menggambarkan bahwa orang-orang tersebut
berasal dari sana. Sedangkan Bahasa Jawa seperti endasmu, utekmu yang
mana di Solo merupakan bahasa kasar sering digunakan oleh orang-orang
107
Jawa Timur. Lain lagi dengan logat dan bahasa yang diakhiri oleh kata-kata je
merupakan perkataan yang sering digunakan oleh orang-orang yang berasal
dari Yogyakarta dan Magelang. Bahasa dan cara pengucapannya (logat) inilah
yang mengidentifikasikan seseorang sesuai dengan daerah asal mereka.
Pengunjung yang merupakan etnis Tionghoa ataupun Arab lebih
terlihat dari ciri fisik mereka. Etnis Tionghoa lebih bercirikan warna kulit
kuning langsat, mata sipit dan dari segi bahasa terutama logat bahasanya lebih
terdengar berirama dan cadel. Etnis Arab bercirikan hidung mancung (orang
Jawa sering menyebut dengan istilah mbetet), bentuk muka oval dan dalam
berbicara dengan logat lebih tegas dan terdengar mendayu-dayu. Di lihat dari
ciri-ciri fisik mereka sebenarnya seseorang dapat mengetahuinya tanpa
bertanya terlebih dahulu.
b. Strata Sosial Pengunjung HIK
Dilihat dari status sosial pengunjung HIK beraneka ragam mulai
dari strata sosial atas hingga strata sosial bawah. Sehinnga deskripsi bahwa
HIK merupakan suatu ruang publik kelas marginal selama ini adalah salah.
Mungkin dahulu HIK sebagai alternatif kelas marginal dapat di bilang
benar tetapi karena perkembangan jaman dan ketertarikan masyarakat
akan suatu hal yang sifatnya tradisional membuat masyarakat dari strata
menengah ke atas mulai tertarik datang ke tempat-tempat yang berbau
tradisional seperti HIK. Menurut hasil wawancara pengunjung HIK dari
semua strata sosial, ketertarikan mereka datang ke HIK karena segi
kebersamaannya. Hal ini disebabkan karena sifat masyarakat perkotaan
yang individualis membuat mereka ”kangen” dengan kebersamaan antar
individu.
Kebersamaan yang terlihat di warung-warung HIK, yang mana
mereka datang ke HIK selain untuk makan tujuan utama mereka adalah
bertemu dan melakukan berbagai aktivitas dengan pengunjung lainnya
ataupun penjaja HIK. Baik itu dengan pengunjung dan penjaja yang sudah
mereka kenal atau belum. Seperti yang Wwn, Pyn, Bapak Slmt, Dn, T dan
pengunjung lainnya rasakan. Mereka senang datang ke HIK dari pada
108
tempat lain karena mereka menganggap semua pengunjung dan penjaja
HIK adalah keluarga sehingga suasana yang terjalin seperti suasana
kekeluargaan dan kebersamaan. Dari terjalinnya hubungan kekeluargaan
dan kebersamaan menjadikan segala sesuatu yang dilakukan tanpa ada rasa
pekiwuh-pekiwuhan atau malu-malu. Ikatan kebersamaan tersebut
membuat pengunjung yang berasal dari strata bawah tidak harus tunduk
kepada mereka yang berstrata atas karena posisi pengunjung yang berada
di HIK adalah sama. Keadaan sama dalam artian semua pengunjung
mempunyai kebebasan sesuai dengan sifat ruang publik demokratis.
Semua pengunjung yang datang di HIK tidaklah memandang usia,
jenis kelamin, agama, etnis dan strata sosial, karena jika mereka sudah masuk
dalam obrolan mereka melupakan berbagai atribut ataupun status yang
mereka sandang. Hal yang terpenting bagi mereka adalah topik pembicaraan
yang sedang dibahas. Bahkan terkadang terdapat pengunjung yang datang
hanya untuk mengobrol tanpa makan dan minum atau di HIK berjam-jam
dengan makan satu gorengan dan memesan satu gelas minum. Keadaan
tersebut dapat diartikan bahwa mereka datang ke HIK hanya meminjam
tempat untuk berbincang-bincang.
c. Keanekaragaman Obrolan Yang Terjadi Di HIK
Kembali pada sifat ruang publik yang demokratis selain dilihat
dari karakteristik pengunjung, obrolan di HIK termasuk dalam kategori
demokrasi. Ruang publik yang merupakan suatu area atau tempat berdebat
tentang masalah-masalah publik dengan bebas merupakan suatu
penggambaran dari kedemokrasian. Hal ini juga diperkuat oleh Alan
McKee menyatakan beberapa pengertian tentang public sphere sebagai
berikut :
1) Ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial kita di mana suatu pendapat umum dapat dibentuk diantara warganegara, berhadapan dengan berbagai hal mengenai kepentingan umum tanpa tunduk kepada paksaan dalam menyatakan dan mempublikasikan pandangan mereka.
109
2) Ruang publik adalah istilah yang berkenaan dengan metafora yang digunakan untuk menguraikan ruang virtual dimana orang-orang dapat saling berhubungan.
3) Ruang publik adalah ruang dimana percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat bertemu.
4) Ruang publik adalah ruang virtual dimana warga negara dari suatu negara menukar gagasan dan mendiskusikan isu, dalam rangka menjangkau persetujuan tentang berbagai hal yang menyangkut kepentingan umum.
5) Ruang publik adalah tempat di mana informasi, gagasan dan perberdebatan dapat berlangsung dalam masyarakat dan pendapat politis dapat dibentuk (Fathurin, 2009).
Dari pengertian-pengertian diatas menunjukkan bahwa ruang
publik merupakan suatu ruang yang mampu mengkomunikasikan
pandangan-pandangan yang berbeda sekaligus melahirkan tindakan
komunikasi. Salah satu tindakan komunikasi yang dilakukan di ruang
publik adalalah suatu obrolan atau omong-omong yang bebas dalam
berbagai hal.
Demokratis dalam artian berbagai obrolan yang terjadi di HIK
dapat terjadi pembicaraan yang bebas atau membicarakan suatu masalah
dengan beragam topik bahasan. Keragaman ini merupakan persyaratan
yang menurut Habermas harus dipatuhi, dimana suatu ruang publik mesti
memungkinkan semua topik dapat di bahas. Dengan kata lain, mestinya
tidak ada batasan tentang topik apa yang mesti dibicarakan dalam ruang
publik. Menurut hasil penelitan sebelumnya pun sebenarnya juga terlihat
bahwa topik obrolan di HIK memang beragam mulai dari topik yang
sifatnya pribadi hingga umum. Obrolan yang sifatnya pribadi tidak sama
seperti topik umum karena obrolan ini hanya di bicarakan dengan
pengunjung lainnya yang sudah dianggap teman ataupun penjaja yang
mereka anggap seperti keluarga, sehingga tidak memungkinkan
pembicaraan tersebut dikonsumsi umum. Berbeda dengan obrolan tentang
topik-topik umum seperti epolisosbud (ekonomi, politik, sosial, budaya)
dan lainnya yang sering di beritakan di media massa membut obrolan
tersebut menjadi konsumsi umum. Sebenarnya obrolan dengan topik
110
pribadi seperti pembicaran keluarga, diri sendiri, sekolah atau pekerjaan
dan lainnya ini dapat menjadi obrolan publik tergantung seseorang mau
membahasnya dengan siapa saja. Menurut penelitian, obrolan di HIK yang
sifatnya pribadi sebenarnya merupakan komsumsi umum karena semua hal
di bicarakan di sana semua orang dapat melihat dan mendengarnya
sehingga mau tidak mau semua obrolan merupakan obrolan yang sifatnya
umum (dalam artian semua orang dapat ikut membagi pengalaman, rahasia
dan sejenisnya yang sifatnya pribadi tanpa malu-malu).
Obrolan di HIK terjadi dalam dua arah yaitu obrolan yang terjadi
antara pengunjung dan penjaja HIK serta obrolan yang terjadi antar
pengunjung HIK. Obrolan yang terjalin baik antara pengunjung dan
penjaja ataupun antar pengunjung HIK, pertama kali merupakan suatu
pembicaraan perkenalan yang diawali dengan berbagai pertanyaan yang
bisa di bilang suatu pembicaraan basa-basi untuk mengenal penjaja HIK
ataupun pengunjung yang baru saja mereka temui. Bahkan terkadang
pembicaraan terjadi secara tidak sengaja, dengan pengertian obrolan
terjadi tanpa terdapat perkenalan terlebih dahulu yang mana tiba-tiba saja
saling terjalin pembicaraan antar ke dua belah pihak. Pembicaraan seperti
ini merupakan suatu obrolan yang sering terjadi di HIK. Obrolan-obrolan
tersebut selanjutnya terjadi lebih kearah pengakraban diri yang lama-lama
terjadi pembicaraan ke arah yang lebih umum seperti obrolan-obrolan
bernuasansa politik, ekonomi ataupu perbincangan sesuai keadaan yang
terjadi pada saat itu.
Selain itu obrolan ini terjadi karena memang di antara ke dua
belah pihak sudah saling mengenal dalam artian baik pengunjung ataupun
penjaja sudah mengenal lawan bicaranya. Obrolan yang terjalin karena
sudah saling mengenal lebih terjalin secara menyenangkan karena
pembicaraan yang terjadi lebih lama dan topik bahasan yang dibicarakan
pun lebih beragam bahkan sampai obrolan pribadi tidak seperti
pembicaraan yang terjadi karena tidak saling mengenal.
111
Pengunjung yang sudah menjadi langganan dari suatu HIK dalam
menjadi obrolan terlihat lebih luwes dalam artian tidak ada rasa malu-malu
dalam menanyakan segala sesuatunya antar ke dua belah pihak. Kegiatan
obrolan yang merupakan suatu bentuk komunikasi lama-kelamaan akan
membentuk suatu interaksi antar keduanya. Hubungan inilah yang
menurut berbagai informan baik itu penjaja seperti Bapak Jmd, Mrdn, dan
Bapak Mgr serta berbagai pengunjung yaitu Bapak Slmt, Pyn, Wwn, Rt,
Dn) merupakan suatu hubungan kekeluargaan di HIK.
Di lihat dari berbagai hal tersebut, HIK memiliki fungsi
mereduksi ketegangan-ketegangan sosial sekalipun sifatnya hanya sesaat
tetapi yang sesaat tersebut nampaknya efektif bagi pengunjung yang
datang. Fungsi mereduksi tersebut misalnya sebagai tempat untuk
menghilangkan kejenuhan, ketegangan, informatif (tempat ngobrol) dan
fungsi biologis, yaitu tempat mendapat kesegaran sambil makan dan
minum. Walaupun terkadang pengunjung disana bisa ngobrol berjam-jam
tanpa membeli makanan ataupun minuman satu pun, penjaja tetap merasa
senang karena merupakan salah satu resiko yang dihadapi penjaja. Seperti
yang dialami oleh beberapa penjaja HIK yaitu Bapak Mrdn dan Bapak
Jmd, bahwa kerugian akibat pengunjungnya hutang tidaklah menyurutkan
pendirian mereka untuk merintis usaha HIK karena menurut mereka suatu
resiko memang harus dihadapi sebagai wirausaha ataupun pengusaha
manapun. Bahkan yang mereka prioritaskan adalah masalah kenyamanan
pengunjung.
Di HIK kenyamanan pengunjung sangatlah diperhatikan penjaja
karena jika pengunjung nyaman di HIK berarti pengunjung merasa
”betah” dan menjadi pelanggan tetap warung mereka. Kenyamanan di
HIK tidak sama dengan tempat makan lainnya sebab kenyamanan menurut
pengunjung adalah kenyamanan dalam membentuk suatu keakraban
dengan semua orang yang berada di sana. Seperti yang di ungkapkan
sebelumnya bahwa pengunjung lebih tertarik dengan keakraban yang
terjalin di HIK, baik itu lewat bentuk komunikasi yang terjadi ataupun
112
bentuk interaksi yang terjalin di sana. Dari inilah penjaja HIK biasanya
menjalin komunikasi dengan pengunjung lewat berbagai obrolan-obrolan
tentang berbagai topik saat itu.
Hal senada juga di alami oleh Bapak Mgr bahwa setiap orang
yang datang ke HIK sebenarnya mempunyai kepentingan masing-masing,
mereka datang mulai dari ingin berkenalan atau menjalin silaturahmi,
makan, kerjasama (sudah janjian dahulu). Dari kepentingan-kepentingan
ini ada yang ngobrol sambil menikmati makanan dan minuman dan
ketemu dengan pengunjung yang ada tanpa makan dan minum. Inilah yang
menjadi daya tarik HIK bagi masyarakat.
HIK juga merupakan tempat pelarian dari berbagai masalah-
masalah yang pengunjung hadapi. Seperti yang diungkapkan oleh
beberapa informan yaitu Wwn, Rt, Bapak Jk, Pyn dan informan lainnya
yang mengatakan bahwa HIK merupakan tempat untuk menggungkapkan
berbagai masalah dari masalah pribadi hingga masalah yang sifatnya
umum. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, obrolan yang dibicarakan
lebih menuju ke arah masalah-masalah umum seperti masalah ekonomi,
politik, budaya hingga masalah-masalah gosip selebriti/artis. Untuk
masalah pribadi, pengunjung biasanya membicarakan ”uneg-uneg” segala
permasalahan yang melilit masing-masing individu.
Masalah-masalah yang sifatnya pribadi ini merupakan suatu
bentuk curhat individu terhadap masalah dirinya. Dalam posisi seperti ini,
pendengar lebih mendengarkan curhat setelah itu baru memberi suatu
masukan/saran dan sebagaian ada yang mengalihkan pembicaraan tersebut
ke obrolan yang sifatnya lawakan atau lelucon dengan maksud pencurhat
tersebut agar lebih rileks dengan berbagai masalah yang dihadapinya.
Obrolan tentang masalah-masalah umum di HIK terjadi sebagai
bahan pembicaraan yang sifatnya universal sehingga semua orang yang
berada di warung dapat bergabung (nimbrung) bersama-sama dan saling
mengeluarkan berbagai pendapat serta kesan mereka terhadap masalah-
masalah tersebut. Obrolan satu ini merupakan suatu refleksi (pembicaraan
113
yang terjadi secara tidak sengaja) di lakukan oleh pengunjung HIK dan
merupakan suatu obrolan yang fresh karena obrolan ini biasanya
membahas masalah-masalah yang memang sedang di bicarakan oleh
media massa saat itu. Menurut Bapak Jmd, Mgr dan Bapak Mrdn, obrolan-
obrolan seperti ini yang memang dilakukan oleh pengunjung HIK.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua masyarakat dari
beranekaragam latar belakang sosial, ekonomi dan budaya dapat
menikmati HIK. Dari latar belakang sosial dilihat dari pendidikan para
pengunjung HIK, ekonomi dilihat dari pekerjaan sedangkan budaya dilihat
dari keberagaman etnis, bahasa dan agama. Keberagaman pengunjung
HIK inilah yang menjadikan obrolan di HIK juga beragam. Orang-orang
yang berkunjung di HIK pasti membawa suatu topik yang berbeda-beda
atau bebas. Keanekaragaman tersebut yang mencirikan sifat demokratis
HIK.
2. Kebermaknaan di HIK
Sifat ruang publik ke dua menurut Habermas adalah bermakna yang
berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas,
dan konteks sosial. Dari pengertian yang menggambarkan bahwa ruang publik
harus memiliki tautan antar manusia inilah maka dapat di lihat dari interaksi
yang terjalin di ruang publik.
Interaksi yang terjadi di HIK sebagai ruang publik terjadi dengan
spontan, karena di ruang publik jalinan penyesuaian diri paling banyak
dituntut sebab di sana siapa saja bisa hadir sebagai manusia bebas bahkan
interaksi dapat terjadi melalui komunikasi yang terjadi antar individu disana.
Komunikasi adalah suatu jenis interaksi, di mana para partisipan memakai
bahasa atau simbol-simbol yang sudah disepakati bersama. Komunikasi pada
dasarnya adalah proses ketika seseorang berhubungan dengan orang yang lain
serta membangun suatu keterlibatan antara kedua belah pihak, dalam
komunikasi semua orang terlibat. Sehingga dengan komunikasi diharapkan
masing-masing orang memiliki ruang untuk mengaktifkan dirinya, yakni
114
suatu ekspresi yang ditujukan terhadap orang lain, salah satunya terwujud di
dalam ruang publik. Komunikasi yang terjadi di HIK dapat di lihat melalui
bentuk obrolan-obrolan pengunjung ataupun penjaja di sana.
Interaksi dalam ruang publik bersifat non-formatif sebab perdebatan
yang terjadi terjalin bebas dari semua peraturan. Karena sesuai dengan fungsi
ruang publik yang bebas sehingga segala interaksi yang didalamnya tidak
bersifat monoton tetapi sifatnya relaks, maka perbincangan atau obrolan yang
terjadi pun bisa berwujud suatu pembicaraan non rasional bahkan sampai
perdebatan yang sifatnya jenaka. Lihat saja jika anda datang di HIK, anda
pasti kebanyakan menemukan obrolan berbau jenaka dari pada obrolan yang
serius. Menurut beberapa informan seperti Bapak Slmt, Bapak Jmd dan Pyn
mengatakan bahwa obrolan jenaka ini merupakan suatu penyeimbang dalam
mempererat keakraban. Apalagi pembicaraan seperti ini biasa juga sebagai
selingan bahan obrolan ketika pengunjung ataupun penjaja sedang
membicarakan topik pembicaraan yang berat-berat seperti obrolan ekonomi,
politik, sosial ataupun budaya.
Partisipan debat melalui obrolan ini juga diharuskan memiliki
kepentingan bersama atas kebenaran, yang berarti mereka juga harus dapat
menunda perbedaan status, sehingga mereka berbicara dalam keadaan setara.
Komunikasi di era modernitas sendiri adalah komunikasi yang bebas
dominasi. Setiap individu memiliki hak untuk saling berdialog dan berwacana
atas segala sesuatu yang terjadi di ruang publik.
Interaksi ini juga pernah dibahas oleh Georg Simmel atas bentuk-
bentuk interaksi/sosiasi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari. Simmel menekankan dalam kehidupan kita diperintah oleh dua kutub.
Kutub-kutub tersebut yaitu kutub individualitas dan kutub yang bersifat
umum. Kutub individualitas seseorang dapat dilihat di dalam pengembangan
kepribadian sesuai dengan ciri khas atau keunikan individu tunggal,
sedangkan kutub yang sifatnya umum dapat dilihat dalam lingkungan
sosial/lingkungan kebudayaan guna memperoleh pengakuan dalam
masyarakat. ”Sosiasi adalah bentuk-bentuk dan pola-pola khusus di mana
115
manusia saling bergaul dan berinteraksi” (Widyanta, 2002: 89). Dalam hal ini
interaksi-interaksi yang semula hanya terjadi sementara atau pendek dan
kemudian berubah menjadi suatu interaksi yang intensif dan cepat maka
disebut sebagai sosiasi. ”Sosiasi ini meliputi berbagai interaksi yang relatif
stabil dan individu yang terlibat dalam interaksi pasti melibatkan berbagai
kepentingan, alasan, persangkalan psikologisnya masing-masing” (Widyanta,
2002: 88). Diantara kedua kutub ini yaitu antara kepentingan pribadi dan
umum akan terbentuk dalam suatu tempat atau wilayah sosial (lingkungan
sosial/kebudayaan). Dalam wilayah ini manusia diposisikan sebagai aktor
(subyek/self) yang aktif, sehingga Simmel menggambarkan manusia sebagai
makhluk yang berada dalam pusat atau tengah-tengah lingkaran antara
wilayah privat individual, wilayah sosial individual dan wilayah kultural. Di
lingkungan kebudayaan, manusia (individu) berada dalam dua wilayah privat
dan sosial sekaligus, karena individu selain memenuhi kebutuhan atau
keinginan di wilayah privat, juga sekaligus memenuhi kebutuhan sosial.
Bila di umpamakan seseorang berada di dalam suatu wilayah kultural
seperti warung HIK, individu selain memenuhi kebutuhan pribadi (makan,
minum, rekreasi, dan sebagainya) juga sekaligus memenuhi kebutuhan
sosialnya yaitu bertemu dengan orang lain, ngobrol ataupun bentuk interaksi
lainnya. Sedangkan sosiasi yang terjalin merupakan bentuk perpanjangan dari
interasi pengunjung dengan semua orang di HIK yang mengarah ke bentuk-
bentuk interaksi seperti kerjasama, persaingan ataupun konflik. Dari ketiga
bentuk interaksi yang terjalin pengunjung ataupun penjaja di HIK lebih
mengarah ke kerjasama. Lihat saja aktivitas jual beli yang terjadi antara
penjaja dan pengunjung HIK merupakan bentuk interaksi kerjasama. Bentuk
kerjasama lainnya yang ditemukan oleh peneliti dalam pengamatan adalah
kerjasama yang terjadi antar pengunjung HIK yaitu kerjasama bisnis (usaha)
tanaman dan kerjasama dalam penelitian (seperti yang peneliti lakukan dalam
wawancara dengan pengunjung dan penjaja HIK). Sedangkan persaingan di
HIK dapat di lihat dari berbagai perilaku pengunjung. Menurut hasil
penelitian yang di dapat dari pengamatan persaingan berupa persaingan dalam
116
perilaku fashion baik itu melalui gaya rambut ataupun pakaian yang
pengunjung kenakan. Selain itu persaingan dapat di lihat dari respon mereka
yang berupa kata-kata terhadap perilaku, tingkah laku dan gaya (penampilan)
pengunjung lain, baik itu respon yang sifatnya positif seperti memuji ataupun
negatif seperti mengolok-olok penampilan orang lain.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi yang terjalin
di HIK ada dua hubungan interaksi. Pertama interaksi antara penjaja dengan
pengunjung HIK, kedua interaksi antar pengunjung HIK.
a. Interaksi antara penjaja dengan pengunjung HIK
Interaksi antara penjaja dan pengunjung di HIK mungkin yang
terlihat hanya sebatas interaksi antara penjual dan pembeli layaknya di
warung-warung lainnya. Tetapi jika kita melihat lebih dalam interaksi
yang terjadi antara penjaja dan pengunjung itu layaknya interaksi yang
terjalin antar keluarga atau saudara. Lihat saja interaksi yang terjalin antara
penjaja seperti Bapak Jmd dan bapak Mrdn dengan pelanggannya remaja
seumuran anak SMP atau SMA, yang mana interaksi yang terjalin
layaknya anak dan bapak. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak
Jmd bahwa anak-anak yang sering datang (dalam artian anak-anak SMP
dan SMA bahkan orang dewasa yang belum menikah yang sering
memanggil Bapak Jmd dengan sebutan pak’e atau Bapak) menganggap
Bapak Jmd sebagai bapak sendiri sehingga mereka datang terkadang hanya
untuk curhat atau meminta solusi tentang permasalahan yang mereka
hadapi layaknya hubungan yang terjadi antara bapak dan anak.
Pengunjung seperti ini bisanya adalah mereka yang memang hubungannya
tidak dekat dengan keluarganya (dalam artian keluarga sebenarnya). Di
luar hubungan layaknya seperti keluarga ini bisa dibilang hubungan
penjaja dan pengunjung HIK adalah hubungan pertemanan (khususnya
pengunjung usia dewasa) baik itu dengan pengunjung kalangan orang tua
ataupun orang dewasa.
Selain itu interaksi yang terjalin dengan pengunjung dan penjaja
HIK di sini merupakan bentuk kerjasama. Bentuk kerjasama penjaja dan
117
pengunjung tersebut dapat dilihat dalam relasi jual beli yang terjadi.
Sedangkan interaksi yang terjalin secara mendalam seperti jalinan
kekeluargan atau pertemanan merupakan suatu dampak berlangsungnya
kerjasama tersebut. Disini hubungan tersebut merupakan suatu sosiasi
yang terjalin karena keterlanjutan adanya interaksi (kerjasama) antara
penjaja dan pengunjung HIK.
b. Interaksi antara pengunjung HIK
Interaksi yang terjalin antar pengunjung HIK terjadi lebih kearah
hubungan pertemanan atau rakanan. Di lihat dari bentuk-bentuk interaksi
yang sudah dipaparkan pada hasil temuan, maka bentuk interaksi antar
pengunjung dapat dikatakan bentuk interaksi dalam kerjasama dan
persaingan. Dikatakan kerjasama karena di HIK antar pengunjung
terkadang secara sengaja ataupun tidak terkadang terdapat suatu interaksi
yang menjurus kearah tersebut. Beberapa orang yang datang ke HIK
menjalin kerjasama dalam hal bisnis ataupun kerjasama saling
memberikan informasi seperti yang terjalin antara aktivis LSM dan
pengunjung lainnya ataupun kerjasama antara peneliti dengan penjaja
ataupun pengunjung HIK lainnya dalam mencari informasi tentang
keadaan di HIK.
Bentuk interaksi lainnya adalah persaingan. Persaingan yang
terjadi di HIK mungkin untuk sebagian orang tidak melihatnya, tetapi
cermatilah berbagai tingkah laku dan percakapan yang terjadi disana lama-
kelamaan kita akan melihatnya sebagai suatu bentuk persaingan.
Perhatikan saja pembicaraan yang terjadi pada satu kelompok pengunjung
terhadap perilaku pengunjung lain. Jika mereka melihat berbagai tingkah
laku pengunjung lain yang dirasa agak norak atau ngaya (lebih bergaya
darinya, lebih cantik, ataupun kelebihan lainnya) mereka pasti langsung
memberi komentar yang beraneka ragam mulai komentar yang sifatnya
positif ataupun negatif. Komentar-komentar yang sifatnya negatif inilah
dapat digolongkan ke dalam bentuk persaingan karena mereka (yang
memberi komentar negatif tersebut) pasti membandingkannya dengan
118
dirinya ataupun orang lain yang dianggapnya lebih perfect (sempurna)
sesuai dengan pemikirannya.
3. HIK Bersifat Responsif
Sifat responsif menurut ruang publik Habermas berarti ruang publik
harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Dilihat
dari sifat responsif yang menyatakan ruang publik dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan maka orang dapat merespons situasi berkembang salah
satunya lewat kegiatan komunikasi yang membuat terjalinnya interaksi.
Komunikasi di HIK dilakukan secara langsung antar pengunjung ataupun
antara pengunjung dan penjaja. Hanya saja komunikasi di HIK ini lebih
mengarah pada berbagai perbincangan yang terjadi atau lebih populernya
lewat obrolan-obrolan.
Responsif inilah merupakan suatu sifat yang mendasari sifat-sifat
ruang publik lainnya (yaitu sifat demokratis dan bermakna). Di lihat dari sifat
responsif tersebut, maka HIK sebagai ruang publik yang di dalamnya terjadi
berbagai aktivitas seperti kegiatan biologis (makan dan minum) dan kegiatan
sosial (komunikasi yang pada akhirnya membentuk suatu jalinan interaksi).
Padahal berbagai kegiatan-kegiatan tersebut sudah masuk dalam sifat-sifat
sebelumnya. Namun jika di telaah lebih dalam, sifat responsif ini mengacu
pada gerak respon seseorang terhadap situasi yang terjadi di ruang publik.
Gerak respon yang terjadi di HIK sebagai ruang publik mungkin agak
berbeda dengan gerak respon yang terjadi di ruang publik lainnya seperti
mall, internet, taman-taman kota atupun lainnya yaitu respon masyarakat
terhadap perkembangan-perkembangan yang sifatnya ke arah modernitas dan
teknologi. Respon yang terjadi di HIK mungkin bisa di bilang sifatnya sangat
sederhana yaitu respon semua orang di sana terhadap obrolan dan interaksi
yang terjalin di HIK. Mulai dari respon seseorang terhadap yang terjadi atau
dalam artian pemahaman kita terhadap bahan obrolan yang sedang di
bicarakan. Di HIK respon obrolan ini bisa terjadi secara pasif atau aktif
karena jika pembicaraannya sekitar masalah ekonomi, politik ataupun
119
masalah lainnya yang dianggap rumit atau sulit dipahami banyak orang maka
obrolan yang terjadi sifatnya pasif. Namun jika kita membicarakan suatu hal
yang memang dipahami oleh semua orang maka responnya akan berlangsung
aktif (obrolan terjadi multi arah yang mana semua orang saling memberikan
respon lebih cepat dan obrolan terjadi menyenangkan). Bahkan respon yang
terjadi terkadang melenceng dari suatu bahasan obrolan.
Sifat responsif lainnya juga dapat dilihat dari interaksi yang terjalin di
HIK. Bentuk-bentuk interaksi yang terjalin di HIK seperti kerjasama dan
persaingan merupakan suatu respon seseorang terhadap orang lain. Sehingga
interaksi dapat juga dikatakan sebagai respon lanjutan dari kegiatan obrolan
yang terjadi di HIK. Bayangkan jika seseorang tidak merespon segala
aktivitas yang terjadi di HIK maka tidak akan terjalin obrolan ataupun
interaksi di sana.
Respon dari seseorang inilah yang membuat suatu interaksi berjalan
lancar atau terhambat. Misalnya saja dalam kegiatan obrolan yang terjadi di
HIK, jika respon pendengar terhambat dalam artian lambat memahami bahan
obrolan yang sedang di lontarkan dari pembicara otomatis obrolan akan
terjadi pasif bahkan obrolan akan melenceng di luar pembahasan. Apabila hal
ini terjadi pendengar biasanya hanya mengomentari dengan kata-kata ketidak
tahuan seperti ”tidak tahu”, ”masa bodoh”, ”au ah”, dan sebagainya. Tetapi
terkadang pendengar melakukan pengalihan pembicaraan ke obrolan lain.
Berbeda dengan respon pendengar lancar dalam artian pendengar mengerti
maksud dan arah pembicaraan maka obrolan akan berlansung lancar dan
menyenangkan. Dalam obrolan yang berlangsung secara lancar ini pendengar
ataupun pembicara akan melontarkan berbagai pendiskripsian bahan obrolan
sesuai dengan pemahaman ataupun pendapat mereka masing-masing.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa di HIK respon-respon
tersebut juga terjalin secara lancar (aktif) atau terhambat (pasif). Tetapi di
HIK respon terhadap suatu obrolan tidaklah menjadi suatu hal yang di
permasalahkan karena jika seseorang tidak dapat merespon obrolan yang
terjadi pembicaraan akan akan tetap berlangsung karena topik yang di
120
obrolkan dapat beragam topik tanpa ada batasan apapun. Begitu pula dengan
interaksi yang terjalin di HIK dapat berlangsung selama masing-masing
individu melakukan respon sesuai dengan pemahaman mereka terhadap
segala hal yang terjadi di sana.
121
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan analisis data penelitian
tentang HIK sebagai Ruang Publik (Studi Kasus tentang Karakteristik
Pengunjung, Obrolan dan Interaksi antara Pengunjung serta Penjaja HIK Di
Sepanjang Jalan Dr Rajiman, Solo), penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut:
Di lihat dari sifat-sifat ruang publik yaitu demokratis, bermakna dan
responsif, HIK dapat menjadi ruang publik dari sifat-sifat tersebut. Sifat pertama
demokratis, ruang publik melihat yang melihat kesetaraan sebagai manusia
dalam kontek berkomunikasi dan berbagi informasi maka sifat ruang publik
demokratis karena di dalamnya semua orang saling menghargai dan menghormati
keragaman atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi tertentu.
Keragaman ini merupakan persyaratan yang harus dipatuhi, dimana suatu ruang
publik mesti memungkinkan semua topik dapat di bahas. Ruang publik
merupakan suatu ruang yang mampu mengkomunikasikan pandangan-pandangan
yang berbeda sekaligus melahirkan tindakan komunikasi inilah yang di maksud
adalah kegiatan obrolan di HIK. Dari obrolan-obrolan yang terjadi di HIK
menandakan bahwa mereka saling menghormati dan menghargai segala obrolan
yang di kemukakan oleh masing-masing orang baik itu obrolan yang berisi curhat
(mengutarakan emosi perasaan mereka) hingga obrolan yang berbau politik,
ekonomi, sosial, budaya (obrolan yang bersifat umum). Obrolan yang sifatnya
umum ini merupakan suatu percakapan tentang ungkapan “uneg-uneg” (pendapat)
mereka terhadap keadaan yang terjadi saat itu. Obrolan-obrolan di HIK
merupakan suatu refleksi (pembicaraan yang terjadi secara tidak sengaja) di
lakukan oleh pengunjung HIK dan merupakan suatu obrolan yang fresh karena
obrolan ini biasanya membahas masalah-masalah yang aktual masa itu. Selain itu
obrolan ini terjadi karena memang di antara ke dua belah pihak sudah saling
mengenal dengan baik antar pengunjung maupun penjaja bahkan obrolan terjadi
tanpa rasa malu-malu. Sifat demokratis HIK sebagai ruang publik membuat HIK
122
memiliki fungsi mereduksi ketegangan-ketegangan sosial sekalipun sifatnya
hanya sesaat tetapi yang sesaat tersebut nampaknya efektif bagi pengunjung yang
datang atau sebagai tempat refreshing. Fungsi mereduksi tersebut misalnya
sebagai tempat untuk menghilangkan kejenuhan, ketegangan, informatif (tempat
ngobrol) selain fungsi biologis tergantung kepentingan masing-masing orang yang
datang. Fungsi mereduksi ini menjadikan HIK juga merupakan tempat untuk
membicarakan berbagai masalah secara bersama-sama.
Sifat kedua, kebermaknaan HIK sebagai ruang publik dapat di lihat
dari interaksi yang terjadi di sana. Sesuai dengan fungsi ruang publik yang bebas
membuat interaksi tidak bersifat monoton tetapi sifatnya relaks dalam arti
interaksi terjalin pelan-pelan tetapi bertahan lama karena di luar HIK mereka tetap
menjalin interaksi. Interaksi yang terjadi ini di awali dengan komunikasi yang
terjalin diantara orang-orang di sana. Komunikasi diantara pengunjung yang
datang ada yang menggunakan bahasa Indonesia, Jawa ataupun bahasa campuran
(campuran bahasa Indonesia-Jawa atau bahasa Indonesia-Inggris) hingga bahasa
gaul, obrolan yang terjalin dapat dengan bahasa sopan ataupun tidak sopan seperti
memaki dan sebagainya. Interaksi yang terjalin di HIK ada dua hubungan
interaksi yaitu antara penjaja dengan pengunjung dan antar pengunjung. Interaksi
yang terjadi di HIK dapat berlanjut ke dalam bentuk kerjasama atau persaingan,
kerjasama penjual dan pembeli yang di lakukan oleh penjaja dan pengunjung HIK
dan kerjasama saling memberikan informasi dalam segala hal baik itu antara
penjaja dan pengunjung ataupun antar pengunjung. Persaingan di HIK dapat di
lihat dari ekspresi dan pendapat mereka tentang pengunjung lainnya. Selain itu
interaksi di HIK yang semula berjalan pendek dalam artian terjadi saat itu saja
lama-kelamaan berjalan lebih intensif (sering) membuat interakasi berjalan secara
stabil dan individu yang terlibat pasti melibatkan berbagai kepentingan, alasan
masing-masing. Dari keragaman kepentingan dan alasan inilah membuat interaksi
yang terjadi akan terbentuk suatu kelompok yang bersifat kekeluargaan.
Sifat ketiga, responsif ruang publik berkaitan dengan kegiatan obrolan
ataupun interaksi di HIK. Dilihat dari sifat responsif berhubungan dengan respon
seseorang terhadap segala sesuatu yang terjadi di HIK. Dalam kegiatan obrolan
123
responsif ini merupakan bentuk respon pengunjung terhadap topik pembicaraan
yang sedang di bahas. Bentuk-bentuk interaksi yang terjalin di HIK seperti
kerjasama dan persaingan merupakan suatu respon seseorang terhadap orang lain.
Respon obrolan dapat terjadi secara pasif atau aktif. Dikatakan aktif jika obrolan
terjadi multi arah yang mana semua orang saling memberikan respon lebih cepat
dan obrolan terjadi menyenangkan. Sedangkan pasif jika obrolan sulit di pahami
sehingga obrolan tiba-tiba akan terhenti dan di ganti dengan topik obrolan lainnya.
HIK yang dahulu sering diidentifikasikan sebagai ruang publik untuk
kalangan marginal tidak benar, ternyata merupakan ruang publik untuk semua
kalangan mulai dari kalangan elite (ekonomi ke atas) hingga ekonomi bawah
(marginal). Selain itu pengunjungnya berasal dari beranekaragam strata sosial,
jenis kelamin, usia, agama, etnis. Dilihat dari topik obrolan yang di bahas
beranekaragam masalah yang aktual masa itu sehingga menjadikan HIK sebagai
ruang publik yang benar-benar bersifat bebas.
B. IMPLIKASI
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian dapat dikaji implikasi sebagai
berikut:
1. Implikasi Teoritis
Dari hasil temuan studi, maka dapat dikaji secara teoritis, peneliti
menggunakan teori Habermas tentang ruang publik (public sphere), teori ini
menyatakan tentang semua wilayah atau tempat yang memungkinkan
kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Bebas
baik itu bebas dari dominasi pemerintah, bebas terhadap semua kalangan dan
bebas dalam membahas berbagai persoalan. Apa yang ingin disampaikan oleh
Habermas adalah mengenai sistem demokrasi dari inilah maka ruang publik
ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna.
Dalam penelitian HIK sebagai ruang publik yang di tandai dengan
sifat-sifat ruang publik (demokratis, bermakna dan responsif) ini yang
merupakan tempat interaksi warga masyarakat mempunyai arti penting dalam
menjaga dan meningkatkan kualitas kesejahteraan sosial karena di sana semua
124
orang tidak memandang status dan strata yang mereka sandang. Hal ini dapat di
lihat dari kegiatan obrolan sangatlah bebas berbicara dengan siapa pun tanpa
terkecuali dan membicarakan berbagai hal mulai dari berita-berita yang aktual,
gosip hingga obrolan tentang curhat.
Selain itu, interaksi yang terjadi di ruang publik juga didukung oleh
teori interaksi dari Georg Simmel atas bentuk-bentuk interaksi/sosiasi yang
terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Di HIK Interaksi yang
terjalin lebih merupakan suatu bentuk interaksi kerjasama dan persaingan.
Interaksi yang terjalin dari beragam keragaman kepentingan dan alasan lama-
kelamaan akan membentuk suatu kelompok yang bersifat kekeluargaan.
2. Implikasi Praktis
Dari penelitian di atas, implikasi praktis adalah memberikan
pengetahuan kepada penjaja ataupun pengunjung HIK di Jalan Dr Rajiman.
Mereka dapat bertoleransi dengan saling menghormati dan menghargai
berbagai keanekaragaman yang ada baik itu keragaman sosial, budaya, ekonomi
dan politik pengunjung HIK. Dari toleransi inilah salah satu wujud dalam
menjaga interaksi sosial yang terjadi di antara penjaja dan pengunjung ataupun
sesama pengunjung baik itu melalui kegiatan obrolan yang dilakukan karena
menggambarkan kebersamaan. Kebersamaan yang terjalin di HIK yang
menggambarkan kekeluargaan ini sebenarnya menjadikan nilai tambah karena
jarang di temui di ruang publik lainnya seperti mall, restoran, taman-taman kota
atau ruang publik lainnya. Suasana kebersamaan dan kekeluargaan inilah yang
membuat ketertarikan masyarakat untuk berkunjung ke HIK.
C. SARAN
Setelah mengadakan penelitian dan pengkajian tentang HIK sebagai
Ruang Publik (Studi Kasus tentang Karakteristik Pengunjung, Obrolan dan
Interaksi antara Pengunjung serta Penjaja HIK Di Sepanjang Jalan Dr Rajiman,
Solo), peneliti memberikan saran-saran untuk menambah wawasan mengenai hal
tersebut sebagai berikut:
125
1. Bagi Penjaja HIK Jalan Dr Rajiman
a. Penjaja HIK hendaknya tetap dapat mempertahankan usahanya lewat
kreasi makanan tradisional yang dijajakan sehingga mampu menjadi salah
satu wisata kuliner di Kota Solo.
b. Penjaja HIK hendaknya lebih menjaga kebersihan baik itu kebersihan
makanan, tempat makan (sendok, garpu, piring kecil, dan gelas) dan
lingkungan warungnya.
c. Penjaja HIK agar menyediakan sarana prasarana lebih baik seperti tikar
karena selama ini tikar-tikar di warung HIK banyak yang sudah berlubang
dan kotor.
2. Bagi Pemerintah Kota
Pemerintah Kota Solo hendaknya lebih memperhatikan pekerjaan di
sektor informal salah satunya warung HIK di Jalan Dr Rajiman, karena HIK
sendiri juga merupakan suatu cara pelestarian kebudayaan terutama
makanannya sebagai salah satu wisata kuliner. Selain itu warung HIK
dianggap sebagai salah satu identitas budaya Solo.
3. Bagi Pengunjung HIK Jalan Dr Rajiman
a. Pengunjung HIK hendaknya dapat menjaga kebersihan dengan membuang
sampah ke tempat yang sudah disediakan oleh masing-masing penjaja.
b. Pengunjung HIK agar dapat menertibkan parkir-parkir kendaraannya yang
di pakai (terutama di warung-warung HIK yang tidak ada juru parkir)
sehingga tidak mengganggu kelancaran lalu lintas sekitar.
126
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim. 2006. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogtakarta: Tiara Wacana
Agus, S., Bagus, T., B. Herry-Priyono., Budi, H., M. Kusnaeni., R. Kristiawan.,
Saldi, I., & Yasraf, A. 2005. Republik Tanpa Ruang Publik. Yogyakarta: IRE PRESS
Akintoye, Ishola Rufus. 2008. Reducing Unemployment Through The Informal
Sector: A Case Study of Nigeria. Diakses dalam http://www.eurojournalsn.com tanggal 28 Mei 2009 pukul 14.00
Ali Achsan Mustafa. 2008. Transformasi Sosial Masyarakat Marginal
(Mengukuhkan Eksistensi Pedagang Kaki Lima Dalam Pusaran Modernitas). Malang: INSPIRE
Alisjahbana. 2006. Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan. Surabaya: TSS
Press Alison, J. Murray. 1994. Pedagang Jalanan Dan Pelacur Jakarta. Terjemahan
Nasyith Majidi. Jakarta: LP3ES Anton, A Setyawan. 2006. Memberdayakan Sektor Informal Perkotaan, Studi
Empirik Pada PKL Kota Solo. Surakarta : UMS Press. Diakses pada http://www.scribd.com/doc/4442595/Artikel-PublikasiInformal2for-USAHAWAN Tanggal 28 Mei 2009 pukul 13.46
Bambang Tri Cahyono. 1983. Pengembangan Kesempatan Kerja. Yogyakarta:
UGM Press Bogdan, Robert. 1993. Kualitatif (Dasar-Dasar Penelitian). Terjemahan Khozin
Afandi. Surabaya: Usaha Offset Printing Burhan Bungin. 2008. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana _____________. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologis
Ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Daniel Dhakidae. 1980. Juni. Gaya HIdup. Prisma. 2 Didik Rachbini. J. 1994. Ekonomi Informal Perkotaan (Gejala Involusi
Gelombang Kedua). Jakarta: LP3ES
127
Eka, N. S., Mahendra, W., Firdastin, R. Y., Kamila, A., Paramastu, T. A., Paring,
G.U., Dhianika, E. A., Sutopo, J. K., & Gigih, M. 2009. Anomi Media Massa. Surakarta: KATTA
Everes, Hans-Dieter & Rudiger Korff. 2002. Urbanisme Di Asia Tenggara:
Makna Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Terjemahan Zulfahmi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Fathurin. 2009. Pengertian Public Sphere Teori Komunikasi II (INTERPRETIF &
KRITIS). Diakses dalam http://www.fathurin-zen.com/?p=93 tanggal 25 Mei 2009 pukul 14.56
Fields, S. Gary. 2007. Dual Economy. Diakses dalam
http://digitalcommons.ilr.cornell.edu/workingpapers/17 tanggal 28 Mei 2009 pukul 14.06
Geertz, Clifford. 1973. Penjaja Dan Raja (Perubahan Sosial Dan Modernisasi
Ekonomi Di Dua Kota Indonesia). Terjemahan S. Supomo. Jakarta: PT Gramedia
Gilbert, Alan & Josef Gugler. 1996. Urbanisasi Dan Kemiskinan Di Dunia
Ketiga. Terjemahan Anshori. Yogyakarta: PT. Tiara Wcana Guritno, T. 1994. Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan Inggris-Indonesia.
Yogyakarta: UGM Press Habermas, Jurgen. 2007. Ruang Publik (Sebuah Kajian Tentang Katagori
Masyarakat Borjuis). Terjemahan Yudi Santoso. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Hurlock, Elizabeth. B. 1993. Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan). Terjemahan Isti Widayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Ibnu. 2008. Public Sphere (Ruang Publik). Diakses dalam
http://ibnuadamaviciena.wordpress.com/2007/07/24/ruang-publik/) tanggal 16 September 2008 pukul 14.30
Irwan Abdullah. 2006. Kontruksi Dan Reproduksi Kebudayaan. Jakarta: Pustaka
Pelajar Jefta Leibo. 2004. Problem Perkotaan Dan Konflik Sosial (Sebuah Perspektif
Sosiologi). Yogyakarta: INPEDHAM
128
Johnson, Pauline. 2008. Habermas: Rescuing The Public Sphere. Diakses dalam http://www.palgrave-journals.com/cpt/journal/v7/n4/full/cpt20087a.html tanggal 26 Mei 2009 pukul 16.32
Manning Chris & Tadjuddin Noer Effendi. 1996. Urbanisasi, Pengangguran Dan
Sektor Informal Di Kota. Terjemahan Al. Ghozi Usman & Andre Bayo Ala. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Mitfah Wirahadikusumah. 1991. Mei. Sektor Informal Sebagai ”Bumper” Pada
Masyarakat Kapitalis. Prisma. 31 Mulyadi, S. 2003. Ekonomi Jenis Daya Manusia Dalam Perspektif Pembangunan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Nadiroh. 2007. Agustus. Konsep Dan Dinamika Masyarakat Madani (Civil
Society) Di Indonesia. Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun Ke-13. 136
Nn, 2008. Angkringan Tugu. Diakses dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Angkringan tanggal 28 Oktober 2008 pukul 13.35
Noviana Lely Setyowati. 2005. Eksistensi Pengusaha Hik Dan Kepuasan
Pelanggan (Studi Diskriptif Kualitatif Tentang Eksistensi Pengusaha Hik Dan Kepuasan Pelanggan Di Sekitar Kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi. FISIP. UNS
Priyono, M. H., Bakir Hasan & Djunaedi Hadisumarto. 1982. Sumber Daya
Manusia Kesempatan Kerja Dan Pembangunan Ekonomi (Kumpulan Makalah Terpilih Sidang Pleno Isei 10-12 Desember 1981). Jakarta: FE Universitas Indonesia.
Slamet Santoso. 2006. Kemampuan Bertahan Pedagang Warung Hik Di Kota
Ponorogo. Skripsi. Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Ponorogo Dalam Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006: 188-201 diakses pada http://74.125.155.132/search?q=cache:tCQJWsu3ahwJ:eprints.ums.ac.id/401/1/6._SLAMET_SANTOSA.pdf+hik+sektor+informal&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a , tanggal 10 Juni 2009, pukul 12.17
Suharsih & Tika Sekar Arum. 2000. Target Zero Growth PKL Belum Bisa
Terealisasi. Artikel. Solo Raya Dalam Solopos tanggal 29 Juli 2009 Soerjono Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
129
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press Soules, Marshall. 2009. Jürgen Habermas Dan Public Sphere. Diakses dalam
http://records.viu.ca/~soules/media301/habermas.htm tanggal 12 Mei 2009 pukul 16.49
Tadjuddin, Noer Effendi. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja Dan
Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Titi Priyono. 2007. Sosiologi 2 (SMA/MA Kelas XI). Jakarta: Yudistira Tsuryo. 2006. HIK: Ruang Publik Dalam Kelas Marginal-Alternatif. Diakses
dalam http://tsuryo.blog.friendster.com/ tanggal 24 Oktober 2008 pukul 12.35
Trah. 2008. Fenomena Angkringan Di Kota Jogja. Diakses dalam
http://theaples.multiply.com/journal/item/1 tanggal 24 Oktober 2008 pukul 14.40
Widyanta, A. B. 2002. Problem Modernitas Dalam Kerangka Sosiologi
Kebudayaan Georg Simmel. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
Yin, K. Robert. 1996. Studi Kasus (Desain Dan Metode). Terjemahan M.Djauzi
Mudzakir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada