Warta Kependudukan

7
BIDANG INFORMASI KELUARGA DAN ANALISIS PROGRAM NOMOR : 01/IKAP-TAHUN 2011 SUSUNAN PENGURUS: Penanggung Jawab : Kepala BKKBN Prov. Sumatera Barat Redaktur : Kabid IKAP Penulis : Ir. Etna Estelita, Msi Lismomon Nata, S.Pd. Editor : Kasi PPID Designer/Fotografer : Komponen Pengolahan, Pelayanan Informasi dan Dokumentasi Sektetaris : Staf PPID Alamat : Kantor BKKBN Prov. Sumatera Barat Jl. Khatib Sulaiman No. 1 Padang Telpon 0751.7052357 BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL PROVINSI SUMATERA BARAT FEBRUARI 2011 PEREMPUAN DAN KESEHATAN REPRODUKSI 0leh : Ir. Etna Estelita, M.Si (Ketua LSM WE MANDE) MEMAHAMI ARAH BARU PROGRAM KEPENDUDUKAN DAN KB By. Muhammad Ardani, S.Sos. (Staf Badan Kependudukan dan KB Prov. Kalsel) KEPENDUDUKAN DAN ESKAPISME By. Lismomon Nata, S.Pd

Transcript of Warta Kependudukan

Page 1: Warta Kependudukan

BIDANG INFORMASI KELUARGA DAN ANALISIS PROGRAM NOMOR : 01/IKAP-TAHUN 2011

SUSUNAN PENGURUS:

Penanggung Jawab : Kepala BKKBN

Prov. Sumatera Barat

Redaktur : Kabid IKAP

Penulis : Ir. Etna Estelita, Msi

Lismomon Nata, S.Pd.

Editor : Kasi PPID

Designer/Fotografer :

Komponen Pengolahan, Pelayanan Informasi dan

Dokumentasi

Sektetaris : Staf PPID

Alamat : Kantor BKKBN

Prov. Sumatera Barat Jl. Khatib Sulaiman No. 1

Padang Telpon 0751.7052357

BADAN KOORDINASI KELUARGA BERENCANA NASIONAL PROVINSI SUMATERA BARAT

FEBRUARI 2011

PEREMPUAN DAN KESEHATAN REPRODUKSI

0leh : Ir. Etna Estelita, M.Si (Ketua LSM WE MANDE)

MEMAHAMI ARAH BARU PROGRAM KEPENDUDUKAN DAN KB

By. Muhammad Ardani, S.Sos. (Staf Badan Kependudukan dan KB Prov. Kalsel)

KEPENDUDUKAN DAN ESKAPISME By. Lismomon Nata, S.Pd

Page 2: Warta Kependudukan

Selama ini Peraturan Pemerintah

yang mengatur Program Kependudukan dan Keluarga Berencana berpayung hukum pada Undang Undang Nomor 10 tahun 1992, tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Undang-Undang tersebut tidak

sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman, sebab tidak mengatur secara penuh bagaimana pelaksanaan Program KB dalam konteks otonomi daerah. Di mana, titik sentral otonomi berada pada pemerintah daerah kabupaten dan Kota, akibatnya, fase 2000-2007 Program Kependudukan dan Keluarga Berencana berjalan sendiri-sendiri dan tidak fokus antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Memang sejak 2007 pemerintah

berusaha membenahi dan menyeleraskan programnya di tiap daerah, dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Sejak saat itu, Program KB menjadi salah satu dari 35 urusan wajib yang harus dilakukan pemerintah kabupaten dan kota.

Konsekuensinya, untuk pelaksanaan

program di lapangan harus ada pembiayaan dari APBD. Dari sini disinyalir terjadi perebutan anggaran di daerah untuk masing-masing urusan (perangkat daerah). Anggaran untuk Program KB hanya bisa

terealisasi, jika pemerintah daerah menjadikan KB sebagai program prioritas.

Berdasarkan hasil sementara

Sensus Penduduk 2010, saat ini diketahui tingkat fertilitas di Indonesia memang tidak tinggi namun juga tidak turun. Dari aspek perkembangan penduduk, hal itu menunjukkan angka kelahiran kita terbilang relatif tinggi.

Menurut mantan Kepala Lembaga

Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI) Prof. Sri Moertiningsih, tingkat fertilitas yang tidak tinggi namun tidak turun itu menunjukkan otoritas BKKBN tidak berdaya karena kewenangan KB sudah didesentralisasi.

BKKBN tidak bisa turun langsung ke

lapangan, padahal sangat sedikit kabupaten dan kota yang menunjukkan kepedulian terhadap KB.

Dampak nyata menekan laju

pertumbuhan penduduk akan terasa, dalam jangka waktu yang lama. Akibatnya bagi aparatur negara yang berpikiran jangka pendek/sempit, Program Kependudukan dan KB akan diabaikan. Padahal, banyaknya penduduk bisa berimplikasi luas terhadap sendi-sendi kehidupan lainnya.

Mempunyai penduduk yang banyak

tentunya harus dipikirkan pula rasio ketersediaan pangan dan sandang, pengadaan lapangan kerja baru, ketersediaan sarana kesehatan dan

MEMAHAMI ARAH BARU PROGRAM KEPENDUDUKAN DAN KB

By. Muhammad Ardani, S.Sos. (Staf Badan Kependudukan dan KB Prov. Kalsel)

WARTA KEPENDUDUKAN TAHAP I, Februari 2011

Page 3: Warta Kependudukan

pendidikan. Jadi, pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak akan optimal dirasakan manfaat kesejahteraannya jika tidak diimbangi dengan pengendalian dan mobilitas penduduk yang baik.

Untuk melaksanakan tugas

pengendalian dan mobilitas penduduk yang baik, diperlukan suatu lembaga yang kuat. Maka, dari situ lahir ide untuk melembagakan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana menjadi lembaga yang kuat dan mandiri bukan hanya di tingkat pusat namun juga di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

Undang-Undang Nomor 52 tahun

2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, menjawab segala persoalan Kependudukan dan Program KB di masa mendatang. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, sesuai dengan ruang lingkup tugasnya akan berubah menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Di tingkat provinsi, kabupaten dan kota akan dibentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD).

Undang-Undang tersebut mengama-

natkan kepada Pemerintah Pusat dan Daerah untuk bersama-sama menjalankan Program Kependudukan dan Keluarga Berencana yang selaras, dengan tidak mengabaikan prinsip Otonomi Daerah.

Tugas Pemerintah Daerah yang

diatur dalam Undang-Undang tersebut antara lain: Menyusun Perda mengenai Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi BKKBD (Pasal 57 ayat 3); menetapkan kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang yang berkaitan dengan Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing (Pasal 8

ayat 1); menganggarkan pada APBD untuk pembiayaan Perkembangan Kependu-dukan dan Pembangunan Keluarga (Pasal 16 ayat 1); menyediakan alat dan obat kontrasepsi bagi penduduk miskin (asal 29 ayat 2); melakukan pengumpulan data dan analisis tentang angka kematian sebagai bagian dari Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga; menetapkan kebijakan mobilitas penduduk; menetapkan kebijakan pembangunan keluarga melalui ketahanan dan kesejahteraan keluaga serta melaporkan data dan informasi kependu-dukan dan keluarga kepada pemerintah.

Dalam pelaksanaan Undang-Undang

tersebut tentu saja Pemerintah Daerah perlu melakukan penyesuaian dan kajian terhadap cikal bakal kelembagaan baru (BKKBD), tugas serta kewenangan dan pembiayaannya.

Disadari, persoalan Program

Kependudukan dan Keluarga Berencana, suka atau tidak suka sekarang kalah populer dibandingkan dengan penegakan hukum dan HAM, penyelesaian kasus korupsi, pemberantasan terorisme, ingar bingar pilkada sampai persoalan upaya perbaikan ekonomi dan moneter.

Namun demikian, keluarnya

Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga akan menjadikan cakupan dan domain Program Kependudukan dan Keluarga Berencana lebih jelas dan terarah. Dengan upaya konkret menekan laju pertumbuhan penduduk melalui Program KB dan pengarahan mobilitas penduduk melalui Program kependudukan. Indonesia akan mempunyai parameter yang jelas mengenai jumlah penduduk lima tahun hingga 50 tahun mendatang. (dikutip dan disari dari Banjarmasinpost.co.id)

WARTA KEPENDUDUKAN TAHAP I, Februari 2011

Page 4: Warta Kependudukan

MDG's, terutama pengentasan kemiskinan dan kelaparan tidak dapat dicapai jika masalah kependudukan dan kesehatan reproduksi tidak ditangani dengan baik. Hal ini berarti diperlukan upaya yang lebih keras untuk meningkatkan hak azasi perempuan, investasi pendidikan dan keluarga berencana “Pertumbuhan ekonomi tidak akan berjalan jika tidak didukung dengan sumber daya manusia yang memadai. Sebaliknya pembangunan kualitas sumber daya manusia juga tidak akan tercapai tanpa dukungan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kualitas sumber daya manusia akan sulit terlaksana jika jumlah penduduk tidak terkendali” (Widjojo Nitisastro, pada Panca Windu LD FEUI, 2004).

Meskipun Indonesia telah dapat

menurunkan jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa suburnya (TFR), dari rata-rata 5,6 anak pada tahun

1970,menjadi rata-rata 2,6 anak pada tahun 2007, yang menyebabkan laju pertumbuhan penduduk turun dari 2,3 persen per tahun menjadi 1,4 persen, namun karena jumlah penduduk Indonesia yang besar (219 juta) maka penduduk Indonesia setiap tahun akan bertambah sekitar 3 juta jiwa, sehingga BAPPENAS memproyeksikan pada tahun 2025 penduduk Indonesia akan bejumlah 273,6 juta jiwa.

Kita tidak ingin laju pertumbuhan

ekonomi yang kini sedang giat-giatnya kita kejar akan menjadi sia-sia karena tidak diimbangi dengan pengendalian pertambahan jumlah penduduk. Kalau ini terjadi, maka kehidupan generasi yang akan datang akan lebih buruk dibandingkan dengan keadaan sekarang dan kita semua generasi saat ini akan merasa bersalah dan berdosa.

Oleh karena itu, kalau Program KB tidak ditangani lebih serius, maka jumlah

KELUARGA BERENCANA PRASARAT PEMBANGUNAN SUMBER DAYA

MANUSIA DAN EKONOMI 0leh : Ir. Etna Estelita, M.Si (Ketua LSM WE MANDE)

MILLENIUM Development Goals (MDG's) merupakan kulminasi kesepakatan global yang menekankan pada hak-hak pembangunan, pengentasan kemiskinan, peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. (Kofi Anan, Sekjen PBB, Bangkok, 2002).

Pentingnya pengendalian pertumbuhan dan jumlah penduduk, jelas memiliki implikasi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia dan ekonomi.

WARTA KEPENDUDUKAN TAHAP I, Februari 2011

Page 5: Warta Kependudukan

penduduk Indonesia akan jauh lebih besar dari 273 juta. Ini berarti beban Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kab/Kota akan sangat berat dalam penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, lapangan kerja dan lain-lain. Apalagi Indonesia masih menghadapi persoalan serius dengan kemiskinan, dimana 18,2 persen (38,4 juta) jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan dan index mutu hidup manusia Indonesiamasih berada pada peringkat 109 dari 179 negara (2008).

Sebagai negara yang terikat pada

kesepakatan internasional seperti MDG’s dan International Conference on Population and Development (ICPD), Indonesia berkewajiban untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana dengan serius, sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai kesempatan: Oleh karena itulah, Presiden meminta jajaran BKKBN dan Pemerintah Daerah untuk terus menggiatkan Program KB sampai ke desa-desa.

Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kelahiran banyak terjadi pada keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Oleh sebab itu, BKKBN melakukan akselarasi pelayanan lebih berorientasi pada keluarga kurang mampu, rentan, daerah miskin, daerah sulit dijangkau dan daerah tertinggal.

Melihat strategisnya posisi Program

KB dalam pembangunan mutu sumber daya manusia dan ekonomi, sudah sepatutnya Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kab/Kota menempatkan Program KB sebagai program prioritas dalam mewujudkan Keluarga Berkualitas yang

memiliki jumlah anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya.

Bukti pentingnya program KB dalam

pembangunan khususnya tentang penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, dapat disimak dari hasil kajian ilmiah yang dilakukan Ascobat Gani, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan kebijakan Kesehatan, FKM-UI, tahun 2000 lalu yang membuktikan bahwa jika Pemerintah Daerah melaksanakan program KB akan banyak biaya yang bisa dihemat dibandingkan tanpa melaksanakan program KB.

DKI Jakarta dijadikan contoh studi kasus. Diperoleh hasil, selama tahun 1990-2000, terjadi pengurangan pertumbuhan penduduk sebanyak 1.818.270 jiwa. Ada dua jenis manfaat langsung yang dapat diperoleh Pemerintah Daerah DKI dari pertumbuhan yang dapat dicegah, yaitu, penghematan biaya sebesar Rp. 2,59 triliun untuk biaya pendidikan dasar dan Rp. 3,3 triliun untuk biaya kesehatan dasar.

Berapa besar biaya yang harus

dikeluarkan untuk penyediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan lanjutan? Dan berapa biaya yang telah dihemat oleh Pemerintah Indonesia atas kelahiran tertunda sebesar 30 juta penduduk seluruh Indonesia selama 30 tahun terakhir, karena kita melaksanakan program KB?

Ini adalah bukti nyata bahwa cost

benefit ratio program penurunan jumlah penduduk adalah tinggi, juga sebagai justifikasi bagi DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menempatkan program KB sebagai program prioritas pembangunan di Kab/Kota.

WARTA KEPENDUDUKAN TAHAP I, Februari 2011

Page 6: Warta Kependudukan

a l a m The Population

Bomb (Ledakan Penduduk) 1968 P a u l R. Ehlich

Meramalkan akan terjadinya

b e n c a n a kemanusiaan

akibat terlalu banyaknya penduduk. Pernyataan ‘serupa’ yang menjadi landasan dalam tulisan ini juga diungkapkan oleh Thomas Maltus pada An Essay on the Principle of Population, 1798 yaitu tentang laju pertumbuhan ekponensial (pertumbuhan manusia) dan akan melampaui suplai (bahan makanan) sehingga menyebabkan kelaparan.

Kenyataannya dapat kita lihat bagaimana saat sekarang ini akibat dari ‘ledakan penduduk, seperti masalah sampah, polusi hingga begitu sulitnya untuk mencari lahan atau tanah untuk sekedar tempat tinggal apalagi tempat bermain untuk anak- anak seperti kita saksikan sewaktu kecil dahulunya. Semua telah ‘habis’ disebabkan begitu banyak manusia yang membutuhkan dan tidak berimbangnya ketersedian lahan atau tanah dengan pertumbuhan penduduk yang begitu besarnya. Itu masalah lahan, belum lagi persaingan yang ketat antar sesama manusia untuk memperoleh pekerjaan yang layak dalam rangka memenuhi hak- hak azazi tersebut, seperti sandang, papan dan pangan, serta kebutuhan pendidikan dan sosial.

Dengan kondisi tersebut manusia cendrung untuk ‘lari’ dari kehidupannya yang sebenarnya, mulai dari anak-anak yang tidak lagi bermain dengan tanah

atau lingkungan serta teman-temannya tapi lebih memilih bermain game elektronik, dari pada berhubungan secara sosial manusia kini lebih suka untuk menikmati tayangan televisi, hingga tak sanggup lagi untuk ber-survive dalam hidup, maka tak jarang yang memilih untuk bunuh diri. Efek dari kondisi seperti itulah diantara bentuk eskapisme (kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman dengan dunia khayal atau situasi rekaan) yang ada dan mungkin saja ‘dekat’ dengan hidup kita.

Secara historis, dokumen Yunani kuno membuktikan telah adanya upaya terhadap pengendalian penduduk agar tidak terjadinya ledakan penduduk, seperti yang dilakukan oleh RRC yang dikenal dengan kebijakan ‘Satu Anak Cukup’. Pengendalian tersebut dilakukan dengan cara pembunuhan terhadap bayi, penguguran, steriliasasi wajaib. Di Indonesiapun telah dilakukan upaya untuk pengendalian penduduk seperti halnya RRC dan Negara lainnya, hanya saja program ini dilakukan secara persusif yaitu dengan program pengaturan terhadap jumlah anak dan pengaturan terhadap jarak kelahiran. Program ini dikenal dengan Program KB (Keluarga Berencana) dengan slogan “Keluarga Kecil Keluarga Bahagia Sejahtera”.

Menurut hemat saya, Negara telah mengambil kebijakan yang baik dalam salah satu upaya pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia ini, hanya saja dalam pelaksanaannya masih menemui beberapa kendala dan tantangan yang dihadapi, diantaranya adalah dari pihak pelaksana belum lagi

KEPENDUDUKAN DAN ESKAPISME By. Lismomon Nata, S.Pd

WARTA KEPENDUDUKAN TAHAP I, Februari 2011

Page 7: Warta Kependudukan

menyentuh terhadap hal-hal yang substansial terhadap pemberian motivasi untuk masyarakat agar mau untuk melaksanakan pengaturan jumlah dalam keluarga. Di samping itu masih adanya sebagian besar dari masyarakat yang memiliki ‘pemahaman yang sempit’ dalam menyikapi program ini. Kasuistik masyarakat Sumatera Barat misalnya yang masih memegang pameo lama seperti “Banyak Anak, Banyak Rasaki” (Jika memilki banyak anak maka kita akan memiliki banyak rezeki), bahkan pada masyarakat tertentu menganggap anak adalah ‘modal produksi’ yang akan mengahasilkan uang buat mereka. Dengan hal ini tentu belum adanya sinergisitas atau dukungan yang kuat untuk menyukseskan Program KB di Indoensia, belum lagi persoalan teknis lainnya yang menyebabkan program KB adalah Program ‘Nomor Dua’.

Berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah No. 5 Th 2010 RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014 tentang Kelembagaan BKKBN maka ditetapkan Visi Penduduk Tumbuh Seimbang Tahun 2015 dengan Misi Mewujudkan Pemba-ngunan yang Berwawasan Kependu-dukan dan Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera. Jika kita amati konteks kekinian pada dasarnya masya-rakat telah mulai menyadari perlunya pengaturan penduduk di Negeri ini bahkan di beberapa wilayah tertentu telah timbulnya ‘kesadaran semu’ untuk ‘mengatur’ jumlah anggota keluarga mereka. Namun, menurut hemat saya hal ini belum lagi pada masyarakat yang berada pada daerah-daerah pedesaan. Hal ini dengan alasan ‘klasik’ bahwa adanya pemahaman akan fungsi anak tersebut secara pameo dan kondisional daerah tersebut.

Oleh karena itu 3 (tiga) program

kerja BKKBN saat ini yaitu Pertama, Program KB bagi generasi muda yang

memasuki usia nikah. Kedua, Program KB bagi penduduk miskin dan Ketiga Program KB bagi penduduk di daerah terpencil dan perbatasan. Ke tiga sasaran dalam program BKKBN saat ini menurut hemat penulis cukup ‘pas’ dirasa untuk dilaksanakan ke depannya. Hal ini dilatar belakangi dengan bagaimana kita sama-sama dapat menyaksikan dalam berbagai macam media yang menceritakan bagaimana ledakan penduduk yang tidak berimbang dengan lahan dan bahan makanan membuat berbagai macam masalah sosial bermunculan bak jamur. Saya masih ingat dengan 3 (tiga) tawaran yang dipaparkan dalam sebuah judul dalam media cetak terhadap masyarakat miskin saat ini untuk dapat bertahan hidup adalah dengan cara kurangi makan, hutang, atau bunuh diri. Pertanyaannya adalah apakah sudah sampai ketitik nadir itukah keadaan bangsa Indonesia ini?

Dengan demikian menurut hemat penulis salah satu cara dalam mengatasi persoalan ini adalah bagaimana memberikan pemahaman yang komprehensif bagi masyarakat terhadap pengendalian jumlah penduduk dan usaha dalam ‘penciptaan masyarakat’ yang berkualitas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan kepada seluruh masyarakat mulai dari bagaimana tentang keharmonisan berkeluarga hingga menemukan kolerasi antara kependudukan dengan kesejahteraan.

Di samping itu tentu saja dari pihak terkait sebagai peyelenggara program untuk melaksanakannya secara ‘lebih serius’ dan adanya dukungan penuh dari berbagai elemen untuk mencapai tujuannya. Jika tidak maka dapat kita bayangkan bahwa kian hari dan kian waktu masyarakat Indonesia akan terhanyut dalam eskapisme.

WARTA KEPENDUDUKAN TAHAP I, Februari 2011