WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

16
PERINGATAN ATAU SALAH KELOLA BENCANA Edisi November 2010 ISSN :1410-8550

description

'Bencana' di Wasior, Mentawai & Merapi menguras rasa kemanusiaan kita krn banyaknya korban yg ditimbulkan. Ada juga ringkasan pidato purna tugas Prof Hasanu Simon, juga perkembangan Lab KM - FKKM

Transcript of WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

Page 1: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

PERINGATAN ATAU SALAH KELOLA

BENCANA

Edisi November 2010 ISSN :1410-8550

Page 2: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

2 WARTA - Edisi November 2010

Dua bulan terakhir negeri kita diguncang oleh tiga “bencana” besar yang merenggut ratusan jiwa, mulai dari banjir Wasior tanggal 4 Okto-ber, tsunami di Mentawai tanggal 25 Oktober, dan letusan Gunung Merapi 26 Oktober dan 4 November. Tiga ”bencana” ini yang menguras rasa kemanusiaan kita karena banyaknya korban yang ditimbulkan, termasuk mereka yang men-gungsi dan kehilangan harta benda. Ini belum seberapa kalau kita deretkan ber-bagai bencana yang sesungguhnya tidak kalah dramatiknya dengan tiga bencana yang di atas seperti banjir di berbagai wilayah, longsor, sam-pai dengan kegagalan panen jutaan petani kare-na salah mongso (salah musim). Selain laporan utama mengenai Bencana, pada edisi ini WARTA menurunkan pidato Prof. Hasanu Simon, sang begawan Kehutanan dalam pidato purna tugas. Kabar sekretariatan tentang perkembangan Laboratorium Kehutanan Ma-syarakat dan rencana peningkatan kapasitas bagi laboratorium KM yang akan diselenggarakan di

Jember bulan November 2010 ini dan pertemuan FKKM di Yogyakarta.

Salam,Redaksi Warta

Dewan RedaksiChristine Wulandari, Billy Hindra, Muayat Ali Muhshi, Purwadi Soeprihanto, Dian Novarina, Himawan Pambudi, Wisma Wardana, Fadrizal Labay, Sujarni Alloy, Jadri Junaedi, Sukoco, Laurel Heydir, Andri Santosa, Asep Saefullah.

Penanggung JawabAndri Santosa

Redaktur PelaksanaAndri Santosa, Lisnawati, Muayat Ali Muhshi,Himawan Pambudi

KontributorVictor C. Mambor, Nurhadi, Dudun Handikto, Rofinus, Yunus Takandewa

PhotographerRhino Ariefiansyah

Tata LetakChimz AT

DistribusiSukardi, Titiek Wahyuningsih

AlamatJl. Cisangkui Blok B VI No.1, Bogor Baru, Bogor 16152Tel/Fax : +62 251 832 3090Email redaksi: [email protected]: www.fkkm.org

WARTA edisi ini penerbitannya didukung oleh Ford Foundation

Photo by Ulet Ifansasti/Getty Images

Page 3: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

Menyalahkan (gejala) alam memang menjadi cara paling mudah bagi pemerintah untuk menghindar dari tanggung jawab, bahkan kalau perlu menyalahkan penduduk yang terkena bencana sebagaimana yang dikatakan Marzuki Alie beberapa waktu yang lalu berkaitan bencana tsunami di Mentawai.

Bencana seolah telah menjadi keseharian masyarakat Indonesia, berbagai pendapat pun berkembang untuk menjadikan masyarakat Indonesia sadar bencana, artinya bahwa setiap individu (warga negara) yang tinggal di untaian zamrud khatulistiwa ini bukan lagi tinggal di tanah surga kaya raya sebagaimana para penyair dan musisi gambarkan, tetapi mereka tinggal di tanah rawan bencana.

Kalau bencana merupakan proses alamiah karena peristiwa geologis seperti gempa atau letusan gunung berapi, barangkali masyarakat Indonesia yang relegius akan tabah menghadapi sebagaimana lagu Ebiet G Ade ”Berita Kepada Kawan’ atau lagu-lagu Bimbo. Menjadi masalah kalau bencana tersebut disebabkan justru karena kebijakan seperti ijin perkebunan, pengelolaan hutan, pembalakan liar (illegal loging), pembangunan perkotaan yang amburadul,

pembakaran hutan, reklamasi pantai, pertambangan diatas hutan lindung dan hutan adat, dan lain sebagainya. Pemerintah dapat saja menuding curah hujan tinggi, atau musim yang berubah sebagai penyebabnya lantas kemudian stasiun tv ramai-ramai memutar lagu-lagu Ebiet G Ade atau Bimbo untuk menimbulkan sugesti pasrah dan simpati, tetapi pemerintah tidak bisa terus menerus bersembunyi dibalik fenomena alam sebagai sumber bencana. Masyarakat harus mulai sadar bahwa penyebab bencana sebagian besar diakibatkan karena kekeliruan kebijakan.

Pemerintah tidak bisa berkilah bahwa penyebab banjir atau tanah longsor adalah curah hujan yang tinggi, tetapi karena pengelolaan hutan dan lingkungan yang kacau balau. Fauzi Bowo tidak lagi dapat menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir di Jakarta, tetapi tata ruang dan pembangunanlah penyebabnya. Masyarakat bukan hanya dididik untuk sadar bencana, tetapi juga harus didik (dan ini lebih penting) untuk sadar terhadap sumber bencana.

Kita berharap pemerintah tidak kehabisan apologinya dengan menyalahkan gejala alam sebagai sumber bencana. Kalau pemerintah sampai kehabisan akal untuk melempar tanggung jawab, maka siap-siaplah menerima umpatan sebagaimana yang dilontarkan Marzuki Alie kepada penduduk Mentawai : Salah sendiri tinggal di negeri yang penuh bencana, sudah resiko....

PERSPEKTIF BENCANA KITA

Sekalipun berbagai organisasi masyarakat sipil telah menyatakan bahwa banjir di Wasior tanggal 4 Oktober 2010 disebabkan karena pembalakan liar di punggung gunung teluk Wondama, tetapi pemerintah tetap bersikeras bahwa curah hujan yang tinggi --lah penyebab air bah menggulung penduduk kota Wasior.

Edisi November 2010 - WARTA

Page 4: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

4 WARTA - Edisi November 2010

Sepanjang Oktober 2010 memang Indonesia dilanda bencana yang luar biasa. Di awal Oktober saja, 20 kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, terendam banjir, akibat meluapnya air sungai kapuas, sungai mendalam dan sungai sibau. Aktivitas masyarakat di kabupaten Kapuas Hulu lumpuh total karena jaringan listrik terpaksa dipadamkan.

Diperkirakan banjir akan tetap menjadi

ancaman serius bagi warga yang bermukim di Sungai Kapuas dan Sungai Sambas, Kalbar, seiring dengan tingginya intensitas curah hujan dan kondisi geografis dari Kabupaten ini yang berada di dataran rendah sangat rentan terserang banjir.

Meski dikatakan sebagai akibat dari fenomena alam, Direktur Konservasi Alam Kalimantan Lorens mengatakan, banjir yang melanda sebagian Kabupaten Kapuas

Hulu, Kalimantan Barat, kemungkinan besar dampak dari degradasi dan deforestisasi di wilayah itu dalam 10 tahun terakhir.

”Fungsi lahan dan kawasan yang seharusnya mampu menampung air, sudah tidak mampu lagi karena degradasi dan deforestisasi,” kata Lorens yang dikatakan kepada sebuah Harian Nasional. Pembalakan liar dan pembukaan kawasan berhutan untuk pertanian dan perkebunan terjadi di kabupaten tersebut. Tindakan tersebut tidak dilakukan sekarang melainkan bertahun-tahun sebelumnya. ”Kawasan yang mempunyai fungsi hidrologis sebagai daerah aliran sungai, jauh berkurang,” katanya.

Salah satu yang sangat penting adalah daerah aliran sungai (DAS) Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS). Namun, lanjut dia, saat ini di sekitar TNDS ada sembilan perusahaan yang mendapat izin untuk mengelola perkebunan kelapa sawit. Kondisi itu membuat TNDS dalam kondisi banjir hingga ke Kecamatan Lanjak, yang letaknya relatif cukup tinggi dibanding Putussibau.

Selain itu, perlu didukung kebijakan pemerintah mengenai tata ruang serta manusia harus didorong untuk hidup bersahabat dengan alam. Ke depan, kata Lorens, semua perencanaan pembangunan harus memperhatikan aspek lingkungan serta bagaimana penanganan di sumber kehidupan dan pangan. ”Seperti sekarang, curah hujan tinggi. Ancaman sumber pangan dan kehidupan juga tinggi,” katanya.

Bagaimana dengan longsor di lokasi perkebunan sawit PT. Agro Nusa Abadi, anak perusahaan Astra group di Desa Bunta, Kecamatan Petasia, Morowali, Sulawesi Tengah. Musibah yang menewaskan 12 orang dan melukai 18 lainnya. Peristiwa terjadi saat puluhan karyawan PT. Ana/Astra sedang makan siang di salah satu kamp yang berada persis di kaki bukit. Secara tiba-tiba longsor terjadi dan menimbun kamp tempat karyawan makan siang dan istirahat.

Anggota DPRD Morowali Jabar Lahadji mengatakan, musibah ini tidak murni bencana alam tetapi kelalaian PT ANA yang

DUKA BENCANA DI NUSANTARA

Jika direview bencana yang terjadi pada bulan Oktober, ada beberapa bencana besar yang apa pun penyebabnya merugikan semua pihak bahkan merengut nyawa masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi kejadian. Bahkan di 26 Oktober dua daerah di Nusantara ini yaitu Mentawai dan Yogyakarta mengalami bencana dahsyat. Gempa berkekuatan 7,2 SR yang kemudian di ikuti dengan gelombang tsunami melanda Mentawai, Sumatera Barat, 431 orang dikabarkan tewas dan 80 orang masih belum diketahui nasibnya (BNPB, 1/1/2010). Sedangkan di Yogyakarta, Erupsi Gunung Merapi dan aktivitasnya yang masih bergejolak di Yogyakarta telah menewaskan 135 orang, 411 orang mengalami luka-luka, dan sebanyak 289.613 orang mengungsi dari daerah asal mereka (Vivanews, 8 November 2010).

Sepanjang 2010, Indonesia disibukkan dengan berbagai bencana yang menimpa. Mulai dari gempa, banjir, hingga longsor.

Bencana 2010

Page 5: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

5Edisi November 2010 - WARTA

menggali material golongan C padahal tidak memiliki izin dari Dinas Pertambangan dan Energi setempat.

Sedangkan Yusri Ibrahim, pemerhati lingkungan dari Forum Masyarakat Morowali Bersatu (FM2B) menyoroti cara perusahaan melakukan penggalian dari dasar gunung sehingga membuat lokasi penggalian mudah runtuh. ”Seharusnya mereka menggali dengan mengambil lapisan atas dulu baru ke bawah, tetapi ini digali dari bawah dulu sehingga lapisan atas mudah longsor,” ujarnya.

Bupati Morowali Anwar Hafid sebelumnya mengatakan bahwa lokasi bencana tersebut memang daerah rawan longsor karena tanahnya labil. ”Tujuh bulan lalu ada longsor besar juga di sekitar lokasi bencana namun tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Ini kurang diperhatikan perusahaan,” ujarnya.

Reaksi keras pun berdatangan untuk mengkaji ulang investasi sawit di daerah tersebut. Seperti yang dikatakan Direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM), Mohammad Hamdin bahwa investasi perkebunan sawit di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, perlu dievaluasi karena cenderung mengabaikan prinsip ekologis dan keselamatan manusia. Dia menilai, pengabaian prinsip itu tidak saja terjadi di sektor perkebunan tetapi juga di sektor industri, pertambangan dan pengelolaan hutan. Investasi tiga sektor tersebut saat ini berlangsung secara masif di Kabupaten Morowali dan sejumlah daerah lainnya di Sulteng.

Pemerintah perlu mengevaluasi secara menyeluruh dari pusat sampai ke daerah

terhadap aktivitas ini. ”Jika tidak, bencana demi bencana akan terus membayangi Sulteng, terjadinya bencana akibat mengabaikan prinsip ekologi tersebut merupakan bukti kegagalan pengelolaan sumber daya alam,” ujarnya.

Tragedi terbesar adalah Banjir Bandang di Wasior Ibukota Kabupaten Wondama, Provinsi Papua Barat. Air bercampur lumpur, batu, dan kayu menggulung Wasior, 4 Oktober 2010. Kota kecil di Teluk Wondama, Papua Barat itu, yang dibangun semenjak lima tahun lalu, lumat seketika. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan korban tewas mencapai 158 orang dengan 145 masih dinyatakan hilang (Tempointeraktif, 18 Oktober 2010).

Peristiwa bencana di Wasior mengingatkan kembali akan bencana banjir bandang yang terjadi beberapa tahun lalu di Bukit Lawang, Bahorok, Sumatera Utara, tahun 2003, dan Kuala Simpang, Aceh Tamiang, tahun 2006. Karakteristik ketiga bencana tersebut sangat mirip, seperti banjir datang sangat mendadak bagaikan tsunami, dengan arus yang sangat kencang, menelan korban jiwa rata-rata di atas 100 orang, menghancurkan berbagai infrastruktur dan permukiman, serta menumpahkan berbagai potongan kayu gelondongan dalam berbagai ukuran.

Kontroversi pun mencuat seputar penyebab datangnya bencana itu. Tudingan mengenai adanya eksploitasi besar-besaran terhadap hutan pun bergulir. Ketua Institut Hijau Indonesia (IHI) Chalid Muhammad saat jumpa pers di kantor IHI, Jalan Komplek Bumi Asri Liga Mas, Perdatam, Jakarta Selatan, Jumat (8/10/2010) mengatakan, bencana

Wasior masuk dalam kategori bencana ekologis.

“Faktor penyebab deforestasi ada kegiatan pertambangan mineral, batubara, minyak dan gas yang berlangsung beberapa tahun terakhir. Ini membuat pergerakan tanah di Papua semakin cepat,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, Wasior merupakan Ibu Kota Teluk Wondama yang dibangun di dataran rendah. Sebagian wilayahnya rawa dan kebun sagu yang telah dialihfungsikan. “Di bagian hulu Wasior terdapat eksploitasi hutan baik oleh Pemegang Penguasaan Hutan (HPH) maupun kegiatan ilegal loging,” terangnya.

Begitu pula Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menilai banjir bandang di Kota Wasior, Papua, memang disebabkan oleh kerusakan hutan di kawasan Kabupaten Teluk Wondama. Manajer Desk Bencana Eksekutif Walhi Irhash Ahmady mengatakan Walhi memperkirakan sekitar 30-40 persen hutan di kawasan Hutan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy dan kawasan Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih mengalami alih fungsi. Akibatnya, Kali Angris dan Kali Kiot meluap dan membawa bencana bagi Wasior.

”Ada aktivitas penebangan kayu di sini sejak 1990-an. Jadi sudah sekitar 20 tahun ada aktivitas penebangan di sana. Hutan yang kita tebang hari ini, bencananya bisa 5-10 tahun mendatang. Itu hukum alam saja, pakai logika saja,” ungkapnya di kantor Walhi, Jakarta.

Berkaitan dengan pengelolaan hutan, sebenarnya pada 1980 pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri yang melarang ekspor kayu bulat (gelondongan) ke luar negeri. Permintaan kayu lapis meningkat, maka kegiatan mengeksploitasi hutan juga meningkat dan bertambah luas serta tak ada beda dengan sebelum keluarnya surat keputusan bersama tiga menteri. Tetapi ternyata pada tahun 1990 keluar izin Menteri Kehutanan yang memberikan HPH kepada beberapa perusahaan untuk pengelolaan hutan di Wasior dan Kabupaten Teluk Wondama. Tidak tertutup kemungkinan rusaknya hutan di sekitar daerah Wasior juga karena kegiatan pembalakan liar, mengingat saat ini sangat sulit mendapatkan izin konsesi HPH.

Warisan kebijakan pemberian konsesi hutan berupa HPH dan kegiatan pembalakan liar telah mengakibatkan hutan di sekitar Wasior menjadi gundul dan hilangnya daerah tangkapan air yang selanjutnya berdampak pada perubahan ekosistem dan perubahan iklim. Seandainya kondisi hutan di sekitar

(Photo: BAY ISMOYO/AFP/Getty Images)

Page 6: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

6 WARTA - Edisi November 2010

disampaikan dalam kunjungan singkatnya ke lokasi bencana pada 14 Oktober lalu. Menurut Presiden, andaikata memang benar terjadi pembalakan liar di atas perbukitan distrik ini, yang menyebabkan hutan rusak dan gundul, tentu bencana ini akan jauh lebih dahsyat lagi. Korban yang jatuh akan jauh lebih besar lagi.

Apapun penyebabnya, korban dari bencana-bencana tersebut jelas membutuhkan pertolongan. Penyakit menular dan kesulitan air bersih akan menjadi ancaman di pengungsian, dan itu memerlukan perhatian yang lebih utama. Cuaca ekstrim ditambah buruknya kondisi lingkungan serta karut marutnya tata ruang adalah kombinasi dari kemungkinan penyebab bencana. Karena itu menurut Peneliti Bidang Ekologi Manusia Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Fadjri

Alihar Hutan sebagai kesatuan ekosistem seharusnya bisa menjadi peminimalisasi meminimalisasi terjadinya bencana, khususnya banjir.

Ada beberapa alternatif solusi yang kiranya harus diambil dalam rangka menghindari atau paling tidak meminimalisasi terjadinya bencana. Pertama, melakukan tindakan tegas dan keras terhadap pelaku pembalakan liar. Kedua, melakukan moratorium kegiatan penebangan hutan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka memulihkan ekosistem hutan. Ketiga, melakukan penataan kawasan yang rawan bencana dengan maksud agar pusat-pusat kegiatan dan permukiman seminimal mungkin jauh dari daerah-daerah rawan bencana, seperti bantaran sungai, tepi pantai, dan daerah perbukitan.

Ketiga solusi tersebut harus dijalankan bersama-sama dan saling bersinergi mulai dari hulu hingga hilir. Selama kegiatan tersebut tidak dilakukan dengan penuh kesungguhan, bukan tidak mungkin anak negeri ini akan selalu menangis karena dirundung bencana dari waktu ke waktu. (berbagai sumber).

Wasior tidak terganggu, kemungkinan banjir bandang tidak akan terjadi walaupun dengan kondisi curah hujan yang sangat tinggi.

Bagaimana tanggapan pemerintah? Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan awalnya mengatakan salah satu faktor penyebab bencana itu ialah adanya pembalakan hutan, baik legal maupun liar. Pernyataan itu diamini oleh Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto. Dia menegaskan perambahan hutan untuk perkantoran dan perumahan pemerintah daerah menyebabkan daya dukung lingkungan Cagar Alam Wondoboi di Wasior merosot dan menimbulkan banjir bandang.

Namun, muncullah pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif yang menyatakan bencana banjir di Wasior bukan karena kerusakan hutan, melainkan karena memang cuaca yang sangat buruk. Pernyataan Kepala BNPB itulah yang lalu dijadikan dasar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan bencana banjir di Wasior bukan lantaran pembalakan. Akhirnya pernyataan Menteri Zulkifli Hasan pun berubah dengan menyalahkan pihak pengelola tata ruang di daerah sebagai penyebab bencana banjir bandang yang menewaskan ratusan orang di Wasior, Papua Barat.

”Pinggir laut adalah kawasan hutan produksi terbatas yang seharusnya tidak boleh dijadikan kota yang dipenuhi banyak penduduk,” ujar Zulkifli di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin (11/10). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menegaskan bahwa bukan pembalakan liar (illegal logging), yang menyebabkan bencana banjir bandang di Wasior, hal itu

photo: (SONNY TUMBELAKA/AFP/Getty Images)

photo: (ist)

Page 7: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

7Edisi November 2010 - WARTA

Wasior, adalah sebuah ke-camatan di Teluk Wondama dengan jumlah penduduk ti-dak lebih dari 15.000. Teluk Wondama sendiri adalah se-buah kabupaten pemekaran dari kabupaten induk Manok-wari. Dalam catatan sejarah orang Papua, Wasior dikenal sebagai tempat bermulanya peradaban orang Papua. Ko-non karena Wasior adalah lo-kasi pertama yang disinggahi oleh Otto dan Geisler, dua orang yang membawa Injil masuk pertama kali di Tanah Papua. Sebelumnya, Wasior yang penduduknya disebut sebagai orang Wandamen dan ke-lompok etnisnya disebut Kuri-Wamesa juga dikenal sebagai wilayah yang memiliki tradisi agama adat yang kuat dan sekaligus relasi yang sangat kuat juga antara masyarakat dengan lingkungannya. Ini dapat dilihat dari eksistensi sebuah Mite yang sangat menonjol dalam komunitas orang Wandamen, yakni mite Kuri-Pasai. Dari mite yang menceritakan pusat legenda orang Wandamen (Kuri dan Pasai) ini diketahui bahwa identifikasi sungai menjadi hal yang penting dalam kelompok budaya Wamesa. Sungai dianggap sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat setem-pat. Seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) dipahami sebagai yang tidak boleh dirusak-kan karena kehidupan sungai bersumber pada tanah disekitarnya. Karena pemaha-man inilah, maka banyak situs di Wasior yang berkaitan dengan sungai selalu dianggap se-bagai tempat yang sakral oleh orang Wanda-men. Tanggal 4 Oktober 2010, pagi hari pen-duduk kota Wasior dikejutkan oleh banjir

yang menghancurkan dan melumpuhkan seluruh aktivitas di kawasan Teluk Cendera-wasih ini. Bencana ini memang banjir, tetapi menyerupai tsunami. Kota Wasior dihancur-kan oleh banjir yang berasal dari gunung. Kabarnya, diatas gunung, ada telaga besar yang menjadi hulu sungai Angris dan sun-gai Akiot serta 2 anak sungai lagi. Telaga ini pecah sehingga volume air menjadi tinggi dan deras arusnya ke arah muara yang keb-etulan secara alami muara kedua sungai ini mengapit kota Wasior. Muara sungai malah persis di dermaga pelabuhan Wasior. Banjir bandang yang terjadi seolah memberikan peringatan pada kita semua bahwa ke-percayaan orang Wandamen (suku yang mendiami Wasior) yang berkaitan dengan penghormatan terhadap alam, yang selama ini terjaga dengan baik tetapi mulai diting-galkan. Data terakhir yang diperoleh media menyebutkan bahwa korban banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat, mencapai 158 orang dengan 145 masih dinyatakan hilang (Tempointeraktif, 18 Ok-tober 2010). Tentu saja bencana ini masih ditambah dengan hancurnya infrastruktur, rumah penduduk, kerusakan ekologi, dan rasa trauma berkepanjangan dari penduduk Wasior. Kabupaten Teluk Wondama dari segi geografi terletak di bagian tengkuk kepala burung pulau Papua dengan luas wilayah 4.966 km2. Kabupaten Teluk Wondama merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Manokwari yang diresmikan pada tanggal 12 April 2002. 90 % penduduk Kabupat-en Teluk Wondama adalah suku Wamesa, sedangkan sisanya merupakan suku lain dari wilayah Papua dan suku-suku dari luar Papua. Kabupaten Teluk Wondama memiliki dua Kawasan Konservasi, yaitu Taman Nasi-onal Laut Teluk Cenderawasih (TNLTC) den-

gan luas kawasan 1.453.500 Ha, dan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy (CAPW) Ked-ua kawasan konservasi ini memiliki keanek-aragaman hayati yang tinggi. Pengelolaan kedua kawasan dilakukan berdasarkan asas perlindungan sistem penyangga kehidupan. Penetapan pegunungan Wondiboy sebagai cagar alam menurut Ronald G. Petocz di-dasarkan oleh rekomendasi bahwa struktur tanah di kawasan tersebut yang labil sehing-ga dapat dengan mudah mengalami longsor dan mengganggu kehidupan ekosistem di sekitarnya yang diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi. Dengan demikian sebenarnya dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar atau kurang lebih 80 % wilayah Ka-bupaten Teluk Wondama adalah kawasan konservasi Dalam paper briefing yang ditulis oleh NGO di Manokwari, Jayapura, dan Jakar-ta pada tahun 2002 melaporkan bahwa; …..“Masyarakat asli Wondama di Ma-nokwari, Papua awalnya menuntut gan-ti - untung atas hak adat yang dirampok dan dikelola oleh perusahaan-perusa-haan kayu Pemegang Hak pengusahaan Hutan (HPH) yang beroperasi disana me-lalui mekanisme Dewan Adat., mereka yang menuntut hak-hak dasar itu dicap sebagai pengacau keamanan”….. (‘ lihat, Kejahatan Kemanusiaan ’ di Balik Operasi Penyisiran dan Penumpasan di Wasior, Ma-nokwari:2002). Laporan tersebut dan juga laporan lain yang berhasil dihimpun dari lapangan me-nyebutkan aktivitas pengelolaan hutan juga didukung oleh KOPERMAS yang dilaku-kan di luar HPH milik PT. Wapoga Mutiara Timber (PTWMT) dan PT. Dharma Mukti Persada (PTDMP) dan CV. Vatika Papuana Perkasa (CVVPP). Wilayah operasi PTWMT terletak di Dusner dan sekitarnya, wilayah

WASIOR?

ILLEGAL LOGGING PENYEBAB BANJIR BANDANGILLEGAL LOGGING PENYEBAB BANJIR BANDANG

FOKUS

Page 8: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

8 WARTA - Edisi November 2010

FOKUS

operasi PTDMP terletak di Wombu dan sekitarnya, serta wilayah CV VPP terletak di dekat Cagar Alam Pegunungan Wondiboy, yaitu di kampong Senderawoi. Hasil keg-iatan penebangan dalam bentuk kayu log dilaporkan ditampung di kampong Rasiei dan Rado. Kedua wilayah tersebut berada di luar wilayah perusahaan HPH, tetapi berada di dekat kawasan Cagar Alam Pegunungan Wondiboy. KOPERMAS di Kabupaten Teluk Won-dama telah ada sekitar tahun 2002 – 2004. Aktivitas KOPERMAS tidak bekerja sendiri, tetapi bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal dari luar Kabupaten Teluk Wondama. Kerjasama dengan mitra dilaku-kan dengan memanfaatkan KOPERMAS yang dapat dengan mudah mendapatkan ijin dari Pemerintah untuk pengelolaan kayu. Aktivitas KOPERMAS di seluruh wilayah Pap-ua, termasuk di Kabupaten Teluk Wondama menurun pada saat pemerintah menggelar Operasi Hutan Lestari (OHL II) gencar dilaku-kan pada tahun 2005. Hasil penelusuran menemukan bahwa kegiatan KOPERMAS dan mitra kerja dilaksanakan di wilayah Senderawoi, Nanimori, Tandia, Siwasawo, Sobei, Ambumi, Wasior, Sombokoro dan be-berapa wilayah lainnya (aktivitas KOPERMAS dan mitra dapat dilihat pada table di bawah). Dalam aktivitasnya kegiatan penebangan selain di lakukan di wilayah-wilayah operasi HPH dan juga wilayah di luar HPH, terma-suk di dalam kawasan CAPW. Paska Operasi OHL II aktivitas KOPERMAS dan mitra kem-bali dilakukan Hasil investigasi menemukan aktivitas dilakukan dengan jalur penjualan kayu yang berakhir di kota Makassar dan keluar negeri. Salah satu kasus adalah ke-hadiran kapal MV, kapal berbendera Kroasia. Septer Manufandu, Sekretaris Ekseku-tif Foker LSM Papua mengatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama dalam kasus ini tidak dapat berbuat apa-apa untuk membatasi atau melarang ke-giataan pengelolaan hutan secara illegal karena operasional HPH lebih banyak dipu-tuskan pemerintah pusat. Pengusaha yang melakukan pengelolaan hutan secara illegal mendapat dukungan “orang-orang kuat di Jakarta”. Pengaruh dan kehadiran mer-eka memperlancar proses negosiasi dengan pemerintah Kabupaten Teluk Wondama dan Propinsi Papua Barat dalam mengelola hutan di kawasan hutan, termasuk yang berada di dalam kawasan penyangga dari CAPW. “Pengeroposan terhadap kawasan CAPW juga terjadi akibat aktivitas pengam-bilan bahan material galian C berupa batu kali di DAS (daerah aliran sungai) Rado, DAS Anggris, dan DAS Manggurai. Semua aktivitas tersebut diselenggarakan untuk

mendukung kegiatan pembangunan kabu-paten Teluk Wondama. Keberadaan CAPW sebagai kawasan konservasi yang menurut statusnya sangat ketat dalam pemanfaatan-nya sehingga tak satupun aktivitas manusia, termasuk penebangan tidak boleh dilakukan di dalam kawasan.” ujar Septer Manufandu, menanggapi kemungkinan perbaikan kuali-tas kehidupan masyarakat Wasior paska Banjir Bandang. Paska banjir bandang, menurut Koor-dinator Jaringan Advokasi dan Lingkungan (Jasoil) di Manokwari, Provinsi Papua Barat,

Pietsau Amafnini, suku Wamesa di Wasior lebih memilih tidak keluar dari daerahnya. “Ada sekitar 200 an warga asli yang pilih un-tuk tidak mau keluar dari Wondama,” ujar Amafnini, kemarin. Kata dia, alasan mereka memilih untuk tidak keluar karena mereka adalah orang asli. Menurutnya, suku Wame-sa terstruktur secara baik dan merata. Bu-daya mereka juga susah diganggu dan tidak bisa digugat oleh siapapun. “Suku Wamesa disini adalah orang lokal yang sampai saat ini budayanya cukup kuat.” (Victor C. Mam-bor, liputan langsung dari Papua untuk Warta FKKM)

DAFTAR KOPERMAS DI WASIOR

NO Nama pemegang ijin/mitra Distrik/kampung

Dalam/luar HPH Alamat mitra kerja No. & Tgl SK KDK

Prov. Papua

KAB. TEL. WONDAMA

1 KSU Keroweni Wasior Luar - KEP-522.1/25

Kp.Sindrawoi 8-Jan-2003

2 KSU Imanuel Wasior Luar Jl. Palapa KEP-522.1/ 26

CV. Mitra Samudera Kp.Tandia Manokwari 8-Jan-2003

3 Kop. Ngkoiveta Wasior Luar - KEP-522.1/ 27

CV. Mitra Samudera Kp.Sindrawoi 8-Jan-2003

4 Kopermas Almendo Wasior Luar G. G. Flamboyan KEP-522.1/ 40

PT. Prima Multindo Jaya Kp.Naminoi RT.003/RW.005 10-Jan-2003

Jak-Pus

5 Kop. Dusner Mandiri Wasior Dalam HPH Jl. MH. Tamrin Kep-522.1/ 204

PT. Kutai Wahana Indah Kp.Siwasawo PT. WMT-I No.51 Jkt. 31-Jan-2003

6 Kopermas Mawoi Wasior Luar Jl. Trikora KEP-522.1 / 238

PT. Nabire Permai Indah Kp.Sobei Manokwari 7-Feb-2003

7 Kopermas Waropa Wasior Luar Kampung KEP-522.1 / 260

CV. Mitra Samudera Kp.Ambumi Ambumi 11-Feb-2003

8 Kop. Port Mananggai Windesi Luar Jl. Pahlawan 56 KEP-522.1/498

PT. Papua Wahana Karya Sombokoro Sanggeng- 11-Mar-2003

Manokwari

9 Kopermas Simiei Wasior Dalam HPH Jl. Trikora No.13 KEP-522.1 /671

PT. Makmur Abadi PT.WMT I Wosi-Mkw. 3-Apr-2003

10 Kop. Simiei III Wasior Dlm. HPH Jl. Trikora No.13 KEP-522.1/1298

CV. Ladang Kp. Simiei PT. WMT I Wosi-Mkw. 11-Jun-2003

11 Kop. Mitra Perdana Rumberpon Dlm. HPH Jl. Trikora No.13 KEP-522.1/2437

PT. Megapura Kp. Yarmatum PT. MMB Wosi-Mkw. 22-Dec-2003

Mamberamo Bangun

12 Kop. Dusner Mandiri Wasior Dalam HPH Jl. MH. Tamrin Kep-522.1/ 2474

PT. Wapoga M.T - III Kp.Siwasawo PT. WMT-I No.51 Jkt. 23-Dec-2003

13 KSU Immanuel Wasior Luar Jl. Palapa KEP-522.1/2475

CV. Mitra Samudera Kp.Tandia Manokwari 23-Dec-2003

14 Kopermas Mayosi Rumberpon Luar - KEP-522.1/2478

CV. Alam Lestari Jaya Kp.Senebuai 23-Dec-2003

& Kp. Yariari

15 KSU Kaunamba Wasior Luar Jl. Palapa Kep-522.1/ 2479

CV. Mitra Samudera Kp. Webi Manokwari

Page 9: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

9Edisi November 2010 - WARTA

FOKUS

Kalau kita menjumpai berbagai truk atau mobil yang membawa bantuan bagi pengungsi Merapi di Yogyakarta dan seki-tarnya, selalu ada spanduk atau tulisan yang berbunyi “Bantuan Bencana Merapi”. Ber-bagai headline surat kabar baik lokal mau-pun nasional, cetak maupun elektronik, kita selalu menjumpai laporan-laporan khusus yang intinya melihat seolah-olah Merapi se-bagai sumber malapetaka. Lihatlah headline Kompas tanggal 6 November 2010 yang berjudul “Merapi Peras Air Mata”. Merapi seolah-olah telah menjelma menjadi sum-ber malapetaka bagi penduduk sekitarnya, dan kemudian orang enggan untuk bergaul akrab. Ketika erupsi Merapi terjadi pada bu-lan Oktober-November 2010 ini, ribuan ma-hasiswa dan penduduk mengungsi ke luar Yogyakarta. Tentu kemudian akan diikuti oleh penurunan jumlah calon mahasiswa dan pelajar untuk datang ke Yogyakarta. Kalau kita memahami gejala yang terjadi pada Merapi, sesungguhnya erupsi yang terjadi merupakan siklus geologi yang oleh masyarakat local disebut sebagai proses “membuang kotoran atau sampah”. Erupsi merupakan peristiwa biasa bagi penduduk lereng merapi. Sekalipun mereka harus mengungsi atau keluarga mereka ada yang terenggut oleh wedus gembel, cobalah bertanya kepada penduduk lereng Merapi apakah mereka menaruh kemarahan kepa-da Merapi, atau bersedia direlokasi ketem-pat yang “lebih aman”? pasti jawabannya “tidak”.

Mereka tidak menganggap Merapi sebagai bencana. “Kotoran” Merapi akan menjadi berkah bagi penduduk sekitar Merapi, baik berupa pasir yang telah menghidupi pulu-han ribu keluarga penambang dan abunya yang akan menyuburkan kebun Salak dan tanaman lainnya. Tidak ada sedikitpun ke-luh kesah apalagi protes terhadap perilaku Merapi, karena gunung itu telah memberi kehidupan dan keteguhan, baik jasmani maupun rohani. Apa sesungguhnya yang menjadi ben-cana bagi penduduk sekitar Merapi? Bagi penduduk Yogyakarta dan sekitarnya, ben-cana sesungguhnya bukan karena Gunung Merapi, tetapi karena perubahan musim yang menyebabkan sepanjang tahun 2010 ini hampir tidak ada musim kemarau (salah mongso). Dalam wawancara dengan pen-duduk setempat, hujan pertama yang men-gakhiri musim kemarau yang terjadi di Yog-yakarta pada tahun 2009/2010 berlangsung bulan Februari 2010, mundur sekitar 4 bu-lan dari musim hujan yang biasanya dimulai bulan Oktober. Sementara itu sejak bulan Februari tersebut sampai sekarang tidak ada musim kemarau yang umumnya berlang-sung dari April – Oktober. Laporan Dinas pertanian Kabupaten Temanggung, sebuah kabupaten yang ter-letak di sebelah barat Gunung Merapi me-nyebutkan bahwa petani tembakau di dae-rah tersebut rugi hampir 250 milyar akibat gagal panen yang disebabkan hujan terus menerus sepanjang tahun ini. Di Kabupaten

MERAPI BUKAN BENCANA Laporan dari Yogyakarta

Klaten, Kulon Progo, Boyolali, dan Magaleng demikian juga keadaannya. Keempat Kabu-paten ini mengelilingi Merapi. Klaten terke-nal dengan tembakau yang menjadi bahan baku cerutu, dan nyaris tahun ini para petani di daerah ini tidak panen sama sekali karena tanaman tembakaunya diguyur hujan terus- menerus. Kabupaten Kulon Progo merupak-an kabupaten penghasil buah semangka, khususnya di daerah pesisir Selatan. Tahun ini tidak ada panen Semangka di daerah tersebut yang biasanya mendongkrak ke-hidupan petani pesisir Kulon Progo. Hujan telah merendam buah semangka dan me-nyebabkan busuk. Sayuran dan tembakau yang menjadi komoditi pertanian di lereng sebelah timur Merapi (dan juga Merbabu) juga tidak jauh berbeda nasibnya dengan tiga Kabupaten lainnya. Ratusan ribu keluarga petani terancam jatuh miskin karena gagal panen dan ter-jerat hutang (bandingkan dengan kebijakan penghapusan hutang bagi korban erupsi). Hampir tidak ada langkah kongkret dari pemerintah setempat untuk menolong pet-ani yang bangkrut tersebut, misalnya den-gan membeli komoditi pertanian, pengu-rangan hutang, dan lain sebagainya. Petani dibiarkan sendiri menghadapi bencana pe-rubahan musim tanpa ada sedikitpun yang menaruh empati terhadap nasib yang diha-dapi. Tanpa bermaksud mengecilkan penderi-taan pengungsi dan keluarga korban erupsi, kalau kita memahami persoalan petani se-tempat disekitar Merapi, bencana sesung-guhnya bukan berasal dari Merapi. Memang Erupsi Merapi telah menyebabkan ratusan jiwa meninggal dunia akibat awan panas, dan ratusan ribu lainnya mengungsi berhari-hari di berbagai posko, tapi bagi masyarakat sekitarnya semua dipahami sebagai proses alam yang akan mendatangkan berkah pada tahun-tahun berikutnya yang diganti oleh Merapi. Bandingkan dengan kegagalan panen yang menghinggapi ratusan ribu rumah tangga petani di Yogyakarta dan sekitarnya. Bukan hanya kemiskinan yang akan mereka hadapi, tetapi juga ketidakpastian hidup. Dapat dibayangkan kalau setiap tahun para petani di Yogyakarta menghadapi situasi ketidakpastian musim akibat perubahan iklim. Menyalahkan musim menjadi tidak arif, hal ini tidak jauh berbeda dengan kita memandang Merapi sebagai bencana.

photo: Ulet Ifansasti/Getty Images)

Page 10: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

10 WARTA - Edisi November 2010

Modal dasar ilmu seorang rimbawan adalah pada pengetahuannya di 5 cabang ilmu, yaitu Ilmu Ukur Kayu, Metoda Inventore Hutan, Sistem-sistem Silvikutur, Eksploitasi Hasil Hutan dan Tata Hutan. Kelima cabang ilmu tersebut hanya diajarkan di pendidikan kehutanan saja, baik sekolah menengah maupun sekolah tinggi. Pendidikan di luar kehutanan tidak mengenal ilmu-ilmu tersebut. Di samping menjadi ciri khas foresters, 5 cabang ilmu dan ilmu Perhitungan Etat merupakan syarat minimal untuk merancang pengelolaan hutan lestari (forest engeneering). Kelebihan rimbawan dalam hal pengelolaan hutan lestari juga karena dimilikinya kelima macam ilmu dasar kehutanan tadi. Sebaliknya, kalau ada rimbawan yang tidak menguasai ilmu-ilmu tersebut, dalam melaksanakan tugas mengelola hutan tidak akan berbeda dengan ahli dari bidang selain kehutanan. Hal inilah yang menimbulkan cemoohan masyarakat, bahwa pejabat rimbawan dan bukan rimbawan ternyata hasilnya sama saja, yaitu sumber daya hutan hancur, karena sama-sama tidak berfikir di atas landasan ilmu kehutanan yang khas itu. Satu-satunya hasil hanya kekayaan para pejabat kehutanan buah dari keterlibatannya dalam pengelolaan hutan selama era kehancuran, yaitu panen kayu hutan tanaman jati di Jawa warisan rimbawan Belanda dan penebangan hutan alam di luar Jawa yang ndhompleng kepada pesta poranya para pemegang HPH. Ketika kita mendiskusikan masalah pembangunan hutan, peranan tenaga kerja profesional yang terlibat merupakan salah satu faktor utama yang menentukan, baik jumlah maupun kualitas. Kalau ingin menunjukkan karya yang nyata, rimbawan Indonesia harus bersatu padu di bawah naungan Jiwa Rimbawan yang benar. Kegagalan kiprah rimbawan Indonesia di masa lalu dengan mudah dapat dilihat dari dua fenomena, yaitu:

Pertama, rimbawan Indonesia gagal mempertahankan warisan hutan tanaman

Pesan Sang Begawan:

“Ilmu Kehutanan, Pendidikan dan Kiprah Rimbawan Indonesia”*

jati di Jawa yang amat bagus, lengkap software maupun hardware-nya. Warisan hasil jerih payah rimbawan Belanda selama lebih dari satu abad itu, hancur di tangan rimbawan Indonesia hanya dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Kedua, lebih parah lagi, rimbawan Indonesia, yang sebetulnya tidak memiliki bekal ilmu yang cukup itu, gagal total dalam percobaannya mengelola hutan tropika basah di luar Jawa yang luasnya lebih dari 100 juta hektar itu hanya dalam waktu 25 tahun. Prestasi buruk itu lebih hebat dibanding dengan VOC yang menghancurkan 600.000 ha hutan alam jati di Jawa selama 150 tahun, Romawi yang menghancurkan hutan alam di Eropa selama 1000 tahun, dan Babylonia yang membutuhkan waktu 3000 tahun untuk merusak hutan alam Mesopotamia.

Lalu bagimana cara memperbaikinya? Keberhasilan rimbawan Belanda di Jawa dapat menjadi acuan (reference) penting bagi rimbawan Republik Indonesia untuk memulai era baru yang dapat dibanggakan, “Membangun Kembali Hutan Indonesia”. Pilar-pilar penting keberhasilan rimbawan Belanda tersebut adalah: 1. Kerja jangka panjangnya didasarkan

pada rencana umum yang tidak berubah-rubah; tujuannya hanya satu, yaitu mewujudkan terbentuknya hutan tanaman jati yang produktif, dapat dikelola secara lestari. Di sini Perencanaan Kehutanan pegang peranan menentukan, di bawah kendali Brigade Planologi yang independen.

2. Hasil kerja yang dibebankan pada tim MOLLIER (dibentuk tahun 1849) sangat nyata, yaitu penggarisan batas kawasan hutan (termuat dalam Domeinverklaring yang diumumkan tahun 1870) dan konsep Undang-undang Kehutanan tahun 1865. Konsep Undang-undang Kehutanan tahun 1865 itu dengan sabar dikoreksi setiap saat, dan baru diresmikan

tahun 1927 (terkenal dengan Boschordonantie), setelah ditinjau dari semua aspek dianggap layak.

3. Pembentukan rimbawan yang profesional dan memiliki jiwa rimbawan kuat, dengan satu tekad: membangun hutan untuk perekonomian rakyat dan negara berlandaskan kelestarian. Rimbawan bekerja bukan untuk sikut-menyikut mencari kekayaan atau rebutan jabatan ala Keris Empu GANDRING. Mereka bersatu dalam satu keluarga sakinah, dengan menganggap hutan sebagai Maha Taman Tempat Bekerja.

4. Upaya panjang rimbawan Belanda menjadi bulat setelah diterimanya konsep berbobot akademik tinggi, Houtvesterij, pada tahun 1892, yang diajukan oleh BRUINSMA. Dengan konsep Houtvestrij itu, secara bertahap organisasi wilayah hutan di Jawa dapat diselesaikan tanpa konflik berarti dengan masyarakat setempat, dan penebangan yang menjamin kelestarian (tidak over-cutting) dapat diwujudkan.

5. Ditengah-tengah kesibukan tersebut, BUURMAN memberi sumbangan penting dengan penemuan sistem tumpangsari yang akhirnya menjadi andalan utama pembangunan hutan yang (hampir) selalu berhasil baik.

6. Keberhasilan mewujudkan sayarat-syarat tercapainya asas kelestarian itu, dibukukan di dalam apa yang dinamakan Instruksi 1938 tentang Penyusunan Rencana Perusahaan Tetap.

Bandingkan sukses rimbawan Belanda tersebut dengan apa yang dilakukan oleh rimbawan Republik Indonesia selama berlakunya penebangan hutan di luar Jawa dengan sistem HPH. Beberapa titik penting selama perjalanan HPH itu adalah: 1. Rapat kerja di Yogyakarta tahun 1967,

untuk membicarakan bagaimana Direktorat Jenderal Kehutanan melaksanakan penebangan hutan alam di luar Jawa sebagaimana yang diminta

Prof. Dr. Ir. Hasanu Simon **

Page 11: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

11Edisi November 2010 - WARTA

oleh pemerintah. 2. Pertemuan di Yogyakarta itu mendorong

dikeluarkannya Undng-undang Nomer 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Tempo yang tersedia untuk menyusun UU ini sangat singkat, hanya beberapa bulan saja, sehingga kualitasnya boleh dikatakan rendah. Bandingkan dengan Boschordonantie yang konsepnya selesai tahun 1965, tahun 1927 baru dikeluarkan secara resmi (62 tahun).

3. Dengan UU Nomer 5/1967 itu pelaksanakan tebangan hutan di luar Jawa oleh para pemegang HPH berlangsung sangat cepat. Kekurangan UU Nomer 5/1967 sebenarnya segera nampak setelah HPH beroperasi, tetapi tidak ada yang peduli dan tidak ada yang berupaya untuk memperbaiki kekurangan yang ada. Akibatnya, proses kerusakan hutan alam juga berlangsung begitu cepat; hanya dalam kurun waktu 25 tahun, 64 juta hektar hutan alam produksi di luar Jawa mengalami kehancuran.

4. Awal kerja pemegang HPH dilandaskan pada data potensi kayu yang tercantum di dalam Green Book. Data tersebut kecermatannya sangat rendah, sebagai hasil inventore tegakan yang dilakukan secara serampangan oleh pejabat Direktorat Jenderal Kehutanan, dengan melibatkan tenaga dosen dari IPB dan UGM. Tidak satupun di antara tenaga-tenaga yang melakukan inventore dalam rangka menyusun Green Book itu yang menguasai dasar-dasar inventore hutan yang benar.

5. Dalam era HPH itu pemerintah mendirikan PT Inhutani sebagai BUMN bidang Kehutanan, tetapi syarat maupun cara kerjanya dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Hal ini sangat berbeda dengan didirikannya Perusahaan Jati (Djtibedrijfs) tahun 1890 yang akhirnya mampu berperan besar dalam pembangunan hutan tanaman jati di Jawa. Ketika prestasi maupun kinerja Djatibedrijfs dianggap tidak baik, Boschwezen memberi peringatan dan arahan sebagai upaya-upaya untuk memperbaikinya.

6. Sejak hancur pada akhir abad ke-20 itu, sampai sekarang belum nampak adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk membangun hutan Indonesia yang peranannya untuk ekologi maupun ekonomi sangat besar itu. Bandingkan dengan kerusakan hutan jati di Jawa pada akhir abad ke-18, dimana Raja Belanda menaruh perhatian dan memberi perintah kepada calon

Gubernur Jenderal DAENDELS bahwa membangun kembali hutan jati di Jawa merupakan salah satu tugas pokok.

7. Pada era reformasi yang hiruk pikuk itu memaksa digantinya UU Nomer 5/1967 dengan Undang-undang baru. namun dari aspek perkembangan ilmu kehutanan, UU yang baru itu ketinggalan jaman. Era social forestry seharusnya sudah berlaku sejak 1978, sedang UU Nomer 41/1999 masih bernuansa paradigma timber extraction; timber management saja belum. Seperti kita saksikan bersama, UU Nomer 41/1999 tak mampu sama sekali untuk mengatasi penjarahan hutan yang merebak luas paska reformasi tahun 1998.

8. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke Otonomi Daerah yang membuat Departemen Kehutanan tak berdaya dalam menggerakkan pembangunan hutan di lapangan itu dibiarkan saja.

Kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh Depertemen Kehutanan di atas menjadi bahan yang sangat penting bagi rimbawan Republik Indonesia untuk memperbaiki citra dirinya di mata rakyat Indonesia. Greget pembangunan kembali hutan Indonesia dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Ditumbuhkan tekad yang bulat di dalam

diri setiap rimbawan untuk membangun hutan Indonesia sehingga dapat mendekati keadaan sebelum tahun 1967.

2. Menyusun rencana Nasional, Regional dan Distrik secara terpadu dengan membentuk Lembaga Perencanaan yang independen, professional dan programnya konsisten sampai tujuan tercapai (utuhnya kembali hutan Indonesia).

3. Menyiasati secara positif era Otonomi Daerah dengan menggunakan ilmu kehutanan yang mutakhir tetapi belum sepenuhnya dikuasai oleh rimbawan Indonesia, yaitu kehutanan sosial. Oleh karena itu rimbawan Indonesia harus belajar banyak tentang social forestry.

4. Menciptakan mesin-mesin pengelolaan hutan di lapangan dengan partisipasi dari seluruh stakeholders kehutanan (rimbawan lapangan, rimbawan akademisi, pemerintah, BUMN, BUMD, BUMS, dan kelompok-kelompok maupun individu rakyat). Di sini BUMN dan BUMD hendaknya berfungsi sebagai laboratorium pengelolaan hutan yang baik agar hasil kerjanya dapat menjadi contoh untuk ditiru oleh mesin pengelola hutan lainnya, baik swasta

maupun rakyat. 5. Menumbuh-kembangkan jiwa rimbawan

dan profesionalisme berdasarkan ilmu kehutanan mutakhir.

6. Perbaikan atau pembaharuan UU Kehutanan yang berjiwa paradigma kehutanan sosial.

7. Khusus untuk pengelolaan hutan di Jawa, diperlukan pembaharuan mandat kepada pelaksana dan merombak Perum Perhutani secara menyuruh karena terbukti gagal dalam melaksanakan tugasnya. Di antara sifat buruk yang telah membudaya di kalangan Perum Perhutani adalah jiwa feodal dan sistem manajemen baris-berbaris, yang hanya mentaati satu suara (komandan); kedua hal itu selama ini menjadi penghambat utama upaya rasionalisasi organisasi dan menyebabkan pengelola hutan di Jawa sangat resistant terhadap kritik dan saran dari luar.

Dari masalah-masalah penting yang dikemukakan di atas, peranan Departemen Kehutanan sangat diperlukan, tetapi tidak bersifat sentralistik otokratik. Departemen Kehutanan dapat memainkan dua hal yang penting untuk menciptakan nuansa pengelolaan hutan nasional yang demokratik produktif, yaitu: 1. Menyusun perencanaan yang bersifat holisitk

untuk mencapai satu tujuan jangka panjang, yakni kembalinya hutan Indonesia yang bagus demi kelestarian ekosistem global, sambil memanfaatkan produk-produk yang ada untuk kemakmuran masyarakat luas. Dari tiga tingkatan perencanaan, rencana nasional akan menjadi pedoman pokok (seperti rencana DAENDELS dan Tim MOLLIER) dalam mencapai tujuan jangka panjang, rencana regional berdasarkan ekosistem pulau diserahkan kepada setiap Provinsi sebagai acuan, dan rencana Distrik untuk dilaksanakan oleh mesin-mesin pengelola hutan diserahkan kepada tingkat kabupaten/kota.

2. Memberi dan menyediakan rimbawan sebagai sumber daya manusia yang cakap dan berjiwa rimbawan, untuk setiap saat dapat digunakan oleh instansi kehutanan di semua tingkat, termasuk mesin-mesin pengelola hutan.

3. Bersama Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kabupaten/Kota mengontrol kinerja BUMN, BUMD maupun BUMS (mirip dengan peran Boschwezen dalam pemerintahan Hindia Belanda).

4. Untuk mewujudkan titik yang ketiga itu, Departemen Kehutanan perlu berusaha menarik kembali penilaian dan pembinaan aspek tehnik maupun sdm lembaga-lembaga tersebut dari tangan Kementerian BUMN. Lembaga terakhir ini cukup diberi wewenang untuk mengawasi masalah

Page 12: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

12 WARTA - Edisi November 2010

keuangan, karena titik berat tugas BUMN dan BUMD Kehutanan bukan untuk mencari keuntungan finansial, melainkan untuk memaksimalkan fungsi hutan sebagai penjaga ekosistem bumi dan penyangga kehidupan.

Pembangunan Hutan Nasional perencanaan nasional perlu disusun untuk jangka 50 tahun pertama yang dibuat per pulau atau kepulauan. Oleh karena itu akan diperlukan rencana tujuh regional, yaitu untuk pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulewesi, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua Barat. Penyusunan rencana regional ini dilakukan oleh Brigade Perencanaan Tingkat I. Selanjutnya dari setiap rencana regional dapat disusun rencana regional tingkat DAS besar, yang disusun oleh Brigade Perencanaan Tingkat II. Di setiap wilayah Brigade Perencanaan Tingkat II ada beberapa Seksi Perencanaan Daerah, yang bertugas untuk menyusun rencana 10 tahunan bagi sekitar lima distrik hutan. Pelaksanaan rencana-rencana distrik tersebut diserahkan kepada organisasi mesin-mesin pengelolaan hutan, baik yang dikendalikan langsung oleh Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, BUMN, BUMS, Koperasi, Kelompok maupun individu masyarakat setempat.

Untuk pembinaan sdm kehutanan, tanggung jawab pertama ada di tangan Departemen Kehutanan, dengan dibantu oleh Dinas Kehutanan Propinsi. Hanya sdm kehutanan yang telah mendapat sertifikasi dari Departemen Kehutanan yang dapat diangkat menjadi Kepala Dinas maupun direktur mesin-mesin pengelola hutan. Di dalam memberi sertifikasi tersebut, di samping ijazah juga perlu diperhitungkan pengalaman kerja untuk memberi penilaian tentang prestasi sdm yang bersangkutan. Sebagai rangkuman, dari apa yang diuraikan di atasm langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan pembangunan hutan nasional adalah:

1. Pembentukan Undang-undang Kehutanan baru yang menganut paradigma social forestry, dan dengan sendirinya menitik-beratkan kepentingan daerah sesuai dengan undang-undang otonomi daerah.

2. Depolitisasi pengelolaan hutan di semua tingkat, mulai dari Departemen sampai tingkat distrik, dengan menekankan perlunya menempatkan the right man on the right place. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Nabi Muhannad Saw yaitu:”kalau sesuatu ditangani oleh bukan ahlinya,

tunggu saja kehancurannya.” Semua orang Islam harus committed dengan prinsip ini, termasuk ketua partai dan para tokoh-tokhnya.

3. Perlu disusun rencana pembangunan hutan yang bersifat terpadu (integrated), bottom-up, menyeluruh (holistic), dan secara akademik dapat dipertanggung-jawabkan. Rencana nasional berpegang pada prinsip-prinsi jangka panjang (50) tahun, yang diikuti dengan rencana 25 tahun untuk Propinsi atau DAS besar, dan rencana kerja 10 tahunan.

4. Pembianaan sdm kehutanan yang profesional, dan dilandasi oleh jiwa rimbawan, kejujuran dan etos kerja yang kuat.

* Disarikan dari pidato purna tugas Seminar Nasional Rekonstruksi Paradigma Kehutanan Sosial Menuju Pengelolaan Sumber Daya Hutan Indonesia yang Berkelanjutan dan Berkeadilan.

** Guru Besar Ilmu Perencanaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Page 13: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

13Edisi November 2010 - WARTA

Kabar KM

Laboratorium KM Hutan Kemitraan PT. Finnantara Intiga

Laboratorium Kehutanan Masyarakat (KM) Hutan Kemitraan PT Finnantara Intiga yang berlokasi di Sei Kunang bertujuan sebagai media pembelajaran multistakeholder mengenai regulasi, strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, Community Development, Corporate Social Responsibility (CSR), Penciptaan Good Forestry Governance, Capacity Building, Peningkatan produktivitas dan kualitas lahan, dan Peningkatan ketahanan pangan masyarakat.

Lokasi tersebut tepatnya berada di areal kerja PT Finnantara Intiga Dusun Sei Kunang Desa Kambong Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau. Kegiatan yang dilakukan adalah penanaman dengan sistem agroforestry (tumpang sari) antara tanaman pertanian dan tanaman pokok HTI yaitu akasia. Penanaman tersebut dilakukan bersama antara masyarakat Sei Kunang dengan perusahaan. Kegiatan lain yang direncanakan adalah pelibatan aktif masyarakat dalam upaya pemadaman api areal hutan yaitu dengan pemantapan organisasi RPKM (Regu Pemadam Kebakaran Masyarakat).

Kegiatan sosialisasi telah dilakukan dengan dua tahap yaitu pada 4 dan 12 Oktober 2010. Kegiatan tersebut menghasilkan kesepakatan penanaman untuk jenis tanaman tumpang sari berupa kacang panjang, terong, labu, dan jagung manis. Selain itu dilakukan pemilihan 4 ketua kelompok kerja yang dikukuhkan melalui SK, ditentukan juga pelaksanaan penanaman yang akan dilaksanakan pada November 2010.

Laboratorium KM Meru Betiri

Bergesernya paradigma pengelolaan hutan dari state based forest management menuju community based forest management seolah menjadi kata penegas bahwa signifikansi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah suatu keniscayaan. Terlebih lagi, di tengah situasi dimana kondisi hutan di negeri ini tengah mengalami kerusakan yang luar biasa parahnya, tentu makin memperkuat keniscayaan itu. Sebagaimana dilaporkan dari berbagai sumber bahwa krisis kehutanan Indonesia telah mencapai stadium yang mengkhawatirkan, dengan tingkat kerusakan hutan mencapai sekitar 2,8 juta hektar pertahu yang ikut berkontribusi dalam memberikan dampak negatif terjadinya pemanasan global, perubahan iklim, krisis pangan, kondisi lingkungan yang makin tidak sehat, peristiwa banjir dan longsor yang menjadi siklus tahunan yang mengancam keselamatan makhluk hidup dan ekosistemnya.

Menyadari begitu pentingnya peran masyarakat dalam pengembalian hutan yang rusak, dapat dipahami bila program-program kehutanan

yang dicanangkan oleh Kementerian Kehutanan selalu mengaitkannya dengan ‘kredo’ kemasyarakatan/kerakyatan, yang semangatnya adalah menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama, masyarakat sebagai mitra strategis, masyarakat sebagai pahlawan kehutanan, masyarakat sebagai ujung tombak pelestarian hutan. Ambil saja contoh, program HKm, Social Forestry, PHBM dsb. Dengan ‘kredo’ tersebut, tersirat keyakinan bahwa tanpa intervensi, partisipasi da keterlibatan masyarakat secara signifikan dan substantif, berjalannya program-program tersebut pada tingkat lapangan akan mengalami kesulitan. Bahkan, bisa jadi akan berujung pada kegagalan.

Terlepas dari berbagai pencitraan negatif yang selama ini disematkan pada masyarakat, seperti bahwa mereka dianggap berpendidikan rendah, menyukai pola ladang berpindah, tak sepenuhnya memahami aturan kehutanan yang berlaku, terlibat dalam praktek-praktek pembalakan liar karena dibiayai oleh cukong-cukong kayu, tapi hal tersebut tidak dapat menegasikan keniscayaan dan keyakinan tentang urgensi keterlibatan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan.

Apalagi, kalau masyarakat memperoleh manfaat nyata dari keterlibatan mereka sebagai pelaku utama dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan, secara inheren akan tumbuh nilai-nilai kecintaan dan keindahan dalam membangun hutan. Di antara sekian contoh yang banyak bertebaran di seantera nusantara yang mencerminkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, yang selanjutkan melahirkan budaya kehutanan yang positif, salah satu contohnya, ditunjukkan oleh masyarakat di sekitar TN Meru Betiri. Dengan mereka memperoleh manfaat nyata dari kegiatan rehabilitasi, dengan sendirinya dapat terbangun tanggungjawab untuk senantiasa menjaga kelestarian kawasan yang mereka kelola. Lebih dari itu, juga tumbuh kepekaan terhadap realitas sosial yang ada di sekitarnya. Hal ini terlihat dari beberapa contoh beberapa aktivitas masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang berdimensi ekologi, sosial maupun ekonomi yang tumbuh-berkembang dan berjalan sampai sekarang : (a). Tumbuhnya kesadaran dalam menanam dan merawat tanaman pokok/kehutanan; (b). Nilai kebersamaan masyarakat dalam memelihara hutan; (c). Pembentukan Lembaga antar Petani Rehabilitasi; dan (d) Tasyakkuran di Lahan Sebagai Pelestarian Budaya Kehutanan Masyarakat (culture of community forestry).

Page 14: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

14 WARTA - Edisi November 2010

Laboratorium KM SANJAN: Mengukuhkan ‘Hutan Adat Tomawakng Ompuk’

Hutan Adat Tomawakng Ompuk dulu dikenal dengan rimma ompuk atau pulo ompuk, artinya kawasan rimba kampung atau pulau kampung, ada pula yang menyebutnya rimma tutupan ompuk. Kawasan hutan ini berada di tengah Dusun Sanjan, Kedesaaan Sei Mawang, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau – Kalimantan Barat.

Hutan ini dikelola dengan sistem adat dengan hukum-hukum sebagai berikut : 1. Hutan tidak boleh diladangi, 2. Dalam kawasan hutan tidak boleh ditanami tumbuhan pribadi/perorangan 3. Hasil hutan berupa kayu, rotan, damar, jenis anggrek dan lainnya tidak boleh dijual keluar untuk kepentingan pribadi, 4. Orang luar tidak diperkenankan memetik hasil hutan yang ada, 5. Menebang pohon hanya untuk ramuan rumah, sesuai dengan kebutuhan, 6. Tanaman milik pribadi dalam kawasan hutan boleh digarap oleh pemiliknya. Tanahnya menjadi milik komunal, kecuali kebun karet, kebun tengkawang, kebun nyatu yang ditanam sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai rimma ompuk.

Hukum adat ini tetap dipatuhi hingga saat ini, walau demikian dengan perkembangan zaman diperlukan pengukuhan. Tidak saja terhadap aturannya tetapi juga batas hutan agar kelestarian ‘hutan adat tomawakng ompuk’ dapat terus terjaga.

Pada tahun 1950, Ketua Adat Kampung tersebut (Damong) : Pateh Anom Ating (alm), pernah menyatakan pentingnya penataan batas agar rimma dapat diwariskan kepada anak cucu. Tahun 2010 ini, masyarakat Sanjan yang dipelopori Ketua Adat, Pengelola Hutan Adat dan Perkumpulan TOMAS (lembaga swadaya masyarakat Sanjan) yang didukung oleh Dinas Kehutanan Sanggau, AMAN Kalbar, dan FKKM meneruskan amanah

Hutan Adat di Timor Tengah Selatan (TTS)Laboratorium KM NTT : Penguatan ‘Hutan Adat’ TTS

FKKM NTT (Nusa Tenggara Timur) memilih TTS (Timor Tengah Selatan) sebagai lokasi Laboratorium KM (Kehutanan Masyarakat), sebuah kabupaten dimana Cagar Alam Mutis berada dan dikenal sebagai ‘jantung ekologii” pulau Timor. Walau demikian peran Mutis tersebut harus didukung pula oleh potensi-potensi lain, seperti keberadaan hutan-hutan yang dikelola dan dijaga oleh masyarakat. FKKM NTT mengidentifikasi sedikinya 6 titik dimana hutan masih dipertahankan secara adat dan dikelola oleh sebuah keluarga-keluarga besar di TTS.

FKKM mencoba mengembangkan 2 (dua) titik ‘Hutan Adat’ sebagai fokus lokasi belajar Laboratotium KM, yaitu Hutan Adat Nasionoah di

Desa Biloto dan Hutan Adat Koto di Desa Koto. Hutan Adat Nasinoah dengan luasan kurang lebih 500 ha terletak 7 km dari Soe, ibukota Kabupaten TTS. Sedang Hutan Adat Koto dengan luasan kurang lebih 100 ha terletak 70 km dari Soe.

Hutan Adat Nasinoah diawasi dan dikelola oleh komunitas masyarakat adat keluarga Mella. Vegetasi hutan ini adalah semak belukar, pepohonan dan padang savana dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Berbagai satwa rusa, babi hutan musang, kus-kus, belut, ikan, sapi liar/hutan, lebah, serta burung dan ayam hutan masih ada di Hutan Adat Nasinoah. Selain itu, di hutan ini terdapat 3 (tiga) mata air yang berperan penting bagi kelangsungan hidup penduduk sekitar.

Pengelolaan Hutan Nasinoah dilakukan secara adat, salah satu hukumnya adalah ‘Dilarang melakukan eksploitasi dalam kawasan hutan adat, menebang pohon, mengambil tali hutan untuk membuat rumah tradisional, memanen madu, menangkap belut, berburu dan semacamnya’. Walau demikian ada kearifan dalam hukum ini dimana dalam rentang waktu 10 tahun diperbolehkan memanen hasil hutan secara bijaksana dengan didahului ritual adat terlebih dahulu. Sanksi secara adat dan mistis merupakan akibat bagi orang yang melanggar hukum adat ini.

Hutan Adat Koto diawasi dan dikelola oleh komunitas masyarakat adat keluarga Banunaek. Vegetasi hutan ini adalah semak belukar dan pepohonan, terutama Kayu Merah, Kapok Hutan dan Jambu Air. Berbagai satwa seperti rusa, sapi hutan, babi hutan, ayam hutan, monyet, kakatua dan burung-burung lainnya. Di dalam hutan ini terdapat salah satu mata air yang debit airnya cukup besar dan mengalir membentuk kali/sungai kecil, di dalamnya hidup udang, ikan, belut, dan kura-kura berduri yang langka. Kura-kura ini secara adat diyakini sebagai pelindung mata air sekaligus Hutan Adat Koto.

Hasil hutan non kayu seperti asam, buah-buahan musiman dan kayu api boleh dipetik oleh masyarakat, sedangkan hasil hutan kayu tidak boleh diambil, kecuali atas ijin ketua adat. Larangan adat untuk tidak merusak hutan sekarang mulai tidak dipatuhi lagi, terutama semenjak Yohanes Timotius Banunaek meninggal dunia. Almarhum adalah Pemangku Adat Hutan Koto atau raja, yang didalam dawan (bahasa daerah) disebut Usif. Pemegang tongkat kepemimpinan adat atau Usif ini mendapat kuasa untuk berinteraksi dengan Faut Leo, Or Leo / Faut kana Oe kana (terjemahannya: batu dan air pemali, maksudnya batu dan air yang dikeramatkan secara adat.

Melalui program Laboratorium KM ini, FKKM NTT bermaksud memperkuat Hutan Adat di TTS. Penguatan kelembagaan adat (hutan adat) melalui penguatan kapasitas dan advokasi kebijakan daerah menjadi perhatian pengembangan Laboratorium KM ini.

Page 15: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

15Edisi November 2010 - WARTA

Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKSDAHE) telah berumur 20 tahun, usia yang cukup tua untuk sebuah undang-undang. Undang-undang ini konon bertujuan untuk mengatur langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dapat terpelihara dan seimbang serta selaras dengan pembangunan nasional. Dua puluh (20) tahun implementasi UUKSDAHE banyak catatan yang diberikan para pihak. Salah satu keberhasilan Undang-undang ini konon katanya adalah berhasil dalam upaya melindungi kawasan konservasi. Tetapi undang-undang tersebut juga mengundang sejumlah kontroversi berkaitan dengan kegagalan dalam melindungi berbagai jenis/spesies, termasuk didalamnya adalah upaya meningkatkan lesejahteraan masyarakat di dalam dan di luar

kawasan konservasi. Salah satu point penting dalam kebijakan konservasi adalah menyangkut tentang kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan. Kesejahteraan masyarakat menjadi penting karena juga menjadi tujuan pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, baik masa kini maupun masa mendatang. Akan tetapi pada faktanya banyak masyarakat

miskin berada di dalam dan sekitar hutan, hutan seolah-olah hanya ruang

kaca tembus pandang yang hanya diperuntukkan untuk dilihat, namun tidak untuk disentuh oleh masyarakat. . Dalam beberapa pertemuan malah tercetus ungkapan bahwa

‘ K o n s e r v a s i Belum Untuk Masya raka t ’ d i m a n a m a s y a r a k a t

masih dianggap sebagai ancaman bagi konservasi. Kondisi ini menjadi ironis ketika pada satu sisi kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan tetapi pada sisi lain masyarakat menjadi ancaman. Tidak adil rasanya berupaya melindungi kawasan konservasi bagi masa depan tapi mengabaikan keberadaan masyarakat di masa kini. Keberadaan masyarakat di dalam kawasan konservasi tidak dapat dipungkiri karena pada proses penunjukkan dan atau penetapannya tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Aspek sosial budaya juga tidak menjadi perhatian utama dalam penentuan kriteria dalam proses tersebut. Pada satu sisi konsep kawasan konservasi yang dikembangkan adalah bebas dari keberadaaan manusia. Sebuah implementasi yang jauh berbeda dari

konsep yang dikembangkan sehingga kemudian menimbulkan masalah sosial dan menjauhkannya dari tujuan yang diinginkan. Partisipasi masyarakat yang dikembangkan dalam UUKSDAHE pun sangat terbatas yaitu pada proses pendidikan dan penyuluhan konservasi. Padahal tanggung jawab dan kewajiban masyarakat sama besarnya dengan pemerintah dalam urusan konservasi, sesuatu yang kurang adil. Pada faktanya di lapang tidak bisa dipungkiri kegiatan konservasi dan pengelolan kawasan konservasi mau tidak mau harus melibatkan masyarakat, sesuatu yang kemudian diakomodir dalam peraturan teknisnya. Banyak fakta yang juga menunjukkan bahwa banyak praktik konservasi yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat, sesuatu yang khas masyarakat dalam memelihara dan menyeimbangkan sumber daya alam hayati dan ekosistem di wilayahnya. Pengakuan terhadap praktik konservasi masyarakat ini menjadi penting sehingga upaya konservasi yang dilakukan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab dan kewajiban pemerintah. Masyarakat sudah saatnya tidak lagi hanya dipandang hanya sebagai obyek pendidikan dan penyuluhan konservasi, akan tetapi menjadi pelaku utama konservasi juga. Persepsi konservasi masyarakat juga harus diadopsi sehingga tidak terjadi miskomunikasi terhadap konservasi yang dilakukan. Kawasan konservasi sebaiknya juga tidak hanya di tanah negara, akan tetapi di lahan atau tanah rakyat dimana keanekaragaman hayati masih ada dan terjaga. Masyarakat juga harus diberi tanggung jawab terhadap keberlangsungan sumber daya hayati dan ekosistemnya di masa kini dan masa depan, sebagai tanggung jawab bagi generasi.

Keadilan dan Partisipasi Dalam Amandemen UU Konservasi

Oleh : Andri Santosa

KOLOM

Page 16: WARTA FKKM Nov 2010 : BENCANA, Peringatan Atau Salah Kelola

Forum Komunikasi Ke-hutanan Masyarakat (FKKM) Turut Bersim-pati Sedalam-dalamnya Atas Musibah yang Dialami oleh Saudara-Saudara kita di Wasior, Mentawai dan Merapi. Semoga Diberikan Ket-abahan dari Tuhan Yang Maha Esa

LATAR BELAKANG Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) didirikan pada 23 - 24 September 1997, sebagai inisiatif bersama yang dimaklumatkan dan dideklarasikan dalam pertemuan parapihak (multistakeholders) di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarat. FKKM didirikan sebagai wadah pertukaran informasi untuk isu kehutanan masyarakat dan kebijakan kehutanan di Indonesia. Forum ini diharapkan dapat membantu merumuskan gagasan, program, dan gerakan menuju pengembangan kehutanan masyarakat di Indonesia.

Kehutanan Masyarakat merupakan salah satu jawaban untuk permasalahan mendasar dalam aspek pen-guasaan lahan (tenurial) sekaligus untuk mengantisipasi proses pemiskinan struktural yang terjadi akibat hancurnya sumberdaya hutan. Forum ini diperlukan keberadaannya karena konsep Kehutanan Masyarakat yang dikembangkan dengan Perhutanan Sosial belum menyentuh persoalan mendasar yang diharapkan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Cara pandang yang harus diubah menjadi cara pandang baru yaitu “Kehutanan Masyarakat” yang harus diikuti dengan desentralisasi dan evolusi, dibukanya akses terhadap sumberdaya hutan bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal, diadopsinya sistem pengelolaan sumberdaya hutan (forest resource management system) dan sistem pengelolaan ekosistem hutan (forest ecosystem management system).

VISI FKKM Cara pandang pengelolaan hutan masyarakat harus berdasar pada sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh rakyat melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip keadilan, transparansi, pertang-gungjawaban, dan berkelanjutan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial-budaya.

MISI FKKM Berperan sebagai pendorong (motivator) gerakan menuju cara pandang kehutanan masyarakat di Indone- sia. Mendukung proses-proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas (capacity building), dan perumusan kebijakan.

PERAN STRATEGIS FKKM 1. Memperluas wilayah kelola KM dan proses belajar bersama; 2. Melakukan mediasi konfl ik-konfl ik pengelolaan hutan; 3. Mengembangkan media pertukaran informasi dan pomosi KM; 4. Memfasilitasi proses-proses perubahan kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip KM.

DEWAN PENGURUS NASIONAL FKKM 2008-2011 Koordinator : Christine Wulandari (UNILA) Anggota : 1. Billy Hindra (Kemenhut RI) 2. Muayat Ali Muhshi (Pendiri FKKM) 3. Fadrizal Labay (Pemda Riau) 4. Sukoco (Petani Wonosobo) 5. Dian Novarina (PT RAPP)

PROGRAM KERJA FKKM 2008-2011 1. Mendorong Perluasan Wilayah Kelola Kehutanan Masyarakat di Indonesia; 2. Mengembangkan proses belajar tentang Kehutanan Masyarakat, tenurial dan ruang kelola; 3. Mediasi konfl ik pengelolaan Hutan; 4. Pengembangan media pertukaran informasi dan promosi KM; 5. Fasilitasi proses-proses perubahan kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip KM, 6. Memperkuat kelembagaan FKKM.

BACKGROUND Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM or Indonesia Communication Forum on Community For- estry) is a collective initiative declared, on 24 September 1997, at a multi-stakeholder meeting at Forestry Faculty, Gadjah Mada University, Yogyakarta. FKKm was established as a forum for exchanging information on community-based forest issues and forestry policy in Indonesia. FKKM is a dialogue forum and multi-stakeholder shared learning forum on Community-based forest towards to develop formulation on perspectives, programe and movement on community Forestry development in Indonesia. Community forestry is one alternative solution for basic problem on tenurial issue and anticipated on structural degradation as impact of reforestation and forest degradation. This forum is important for changing the perspective on “Community-based Forest” that should be followed by decentralization and evolution, openness of forest resources access for indigenous management system and forest ecosystem manage-ment system. FKKM’S VISION Way of seeing on community forestry management which should be community based forest manage-ment through the community organization based on the principal pf justice, transparency and responsibil-ity, as well as ecological, economic, and sociocultural sustainability.

FKKM’S MISSION Acting as a motivator on the movements toward the way of seeing on community forestry in Indonesia. Sup- porting community-based forest institutional development through information dissemination, conceptual development, capacity building and policy development.

FKKM’S STRATEGIC ROLE 2008 - 2011 1. Extend the management area of community forestry and shared learning process; 2. Do the conflicts mediation of forest management; 3. Develop the means of information exchange and promotion of community forestry; 4. Facilitate the process of policies amendment which fit principals of community forestry.

FKKM’S PROGRAMS 2008 - 2011 1. Scalling up the managemement of community forestry area in Indonesia; 2. Learning process development on community forestry, tenurial and management area; 3. Mediation of forest management confl icts; 4. Shared learning and community forestry promotion; 5 Facilitation on policy development according to community forestry principles; 6. FKKM institutional strengthening.

NATIONAL STEERING COMMITTEE OF FKKM 2008 - 2011 Coordinator : Christine Wulandari (Lampung University) Member :1. Billy Hindra (Min. of Forestry) 2. Wisma Wardana (Cakrawala NGO - Jambi) 3. Fadrizal Labay (Riau Prov. Government)4. Sukoco (Farmer - Wonosobo)5. Muayat Ali Muhshi (FKKM Founders) National Secretary of FKKM 2008 - 2011 1. Laurel Heydir (Nat. Secretary FKKM) 2. Andri Santosa (Vice Nat.Secretary FKKM)

6. Dian Novarina (PT RAPP) 7. Jadri Junaedi (Farmer - West lampung) 8. Purwadi Soeprihanto (PT Sinar Mas) 9. Sujarni Alloy (Indigenous People - West Kalimantan)

6. Jadri Junaedi (Petani Lampung Barat) 7. Purwadi Soeprihanto (PT Sinar Mas) 8. Wisma Wardana (LSM Cakrawala - Jambi)9. Sujarni Alloy (Masyarakat Adat - Kalimantan Barat)