Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

12
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | November 2010 Warta Buruh Migran | Edisi III | November 2010 Klik www.buruhmigran.or.id Tim Redaksi Salam Redaksi Larantuka Seiring dengan banyaknya kasus kekerasan dan persoalan hukum yang dialami oleh para Buruh Migran Indonesia (BMI), baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) merupakan pihak yang paling disorot karena dianggap telah gagal menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik. Akhirnya, eksistensi BNP2TKI pun dipersoalkan. Di satu sisi ada yang ingin memperbesar peran dan wewenang BNP2TKI melalui revisi UU No. 39 Tahun 2004, sedangkan di sisi lain ada yang bersikeras menyuarakan pembubaran dan digantikan lembaga baru karena BNP2TKI dianggap turut serta dalam carut-marutnya persoalan buruh migran di Indonesia. Terkait dengan rencana revisi UU No. 39 Tahun 2004 oleh DPR RI yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada awal 2011, ada dua syarat yang harus dijadikan prinsip utama terkait dengan lembaga pengelola buruh migran. Pertama, peran dan wewenang terbesar pengelolaan BMI harus tetap diserahkan kepada pemerintah. Kedua, pemerintah harus memberikan pendidikan dan perlindungan maksimal kepada para BMI yang diatur di dalam undang-undang. Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil. Delegasi Sosial Keuskupan Larantuka (Delsos/KPSE-KL) menyelenggarakan Pelatihan pembuatan Peraturan Desa (Perdes) perlindungan buruh migran (24/10/2010). Pelatihan ini merupakan hasil kerja sama dengan Yayasan TIFA, dan didukung oleh Antara, AusAID, dan BNP2TKI. Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari ini difasilitasi oleh Drs. Urbanus Hurek Msi, dosen FISIP Unwira Kupang. Pelatihan ini sendiri dihadiri oleh 11 orang Kepala Desa dan Ketua BPD dari 10 Desa dampingan Delsos untuk program pemberdayaan buruh migran dan keluarga. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini menyangkut teknis pembuatan Perdes yang baik dan benar. Pimpinan Delsos, Romo Yansen, dalam kata sambutannya menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari amal Delsos bagi kaum buruh migran di Folores Timur yang banyak berjasa namun selama ini masih kurang memperoleh perhatian. “Pelatihan ini merupakan sumbangan besar program bagi masyarakat Flores Timur. Bermodal ilmu yang kita terima selama tiga hari ini, marilah secara bersama-sama kita perjuangkan nasib buruh migran”, tuturnya. Senada dengan Romo Yansen, peserta yang hadir pun turut menyatakan keseriusan mereka sebagai aparat desa dalam memperjuangkan nasib buruh migran Flores Timur yang selama ini terbiasa dengan pola migrasi swadaya. Dalam pelatihan ini akan dihasilkan sepuluh buah Perdes perlindungan terhadap buruh migran yang nantinya dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain di Flores Timur. DELSOS Larantuka Gelar Pelatihan Pembuatan PERDES Perlindungan Buruh Oleh: Dudy Penanggung Jawab Yossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Muhammad Ali Usman Tim Redaksi Fika Murdiana Hilyatul Auliya Fathulloh Kontributor 14 PTK Mahnettik Alamat Redaksi Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Yogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:[email protected] Portal: http://buruhmigran.or.id Penerbitan buletin ini atas dukungan:

description

Warta Buruh Migran edisi III ini banyak berbicara tentang perlindungan buruh migran.

Transcript of Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Page 1: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 1 | Warta Buruh Migran | November 2010

Warta Buruh Migran| Edisi III | November 2010

Klik www.buruhmigran.or.id

Tim Redaksi

Salam Redaksi Larantuka

Seiring dengan banyaknya kasus kekerasan dan persoalan

hukum yang dialami oleh para Buruh Migran Indonesia (BMI),

baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Badan Nasional

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

(BNP2TKI) merupakan pihak yang paling disorot karena

dianggap telah gagal menjalankan tugas dan wewenangnya

dengan baik.

Akhirnya, eksistensi BNP2TKI pun dipersoalkan. Di satu sisi ada

yang ingin memperbesar peran dan wewenang BNP2TKI

melalui revisi UU No. 39 Tahun 2004, sedangkan di sisi lain ada

yang bersikeras menyuarakan pembubaran dan digantikan

lembaga baru karena BNP2TKI dianggap turut serta dalam

carut-marutnya persoalan buruh migran di Indonesia.

Terkait dengan rencana revisi UU No. 39 Tahun 2004 oleh DPR

RI yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada awal 2011, ada

dua syarat yang harus dijadikan prinsip utama terkait dengan

lembaga pengelola buruh migran. Pertama, peran dan

wewenang terbesar pengelolaan BMI harus tetap diserahkan

kepada pemerintah. Kedua, pemerintah harus memberikan

pendidikan dan perlindungan maksimal kepada para BMI yang

diatur di dalam undang-undang.

Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common (CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untukkepentingan komersil.

Delegasi Sosial Keuskupan Larantuka (Delsos/KPSE-KL)

menyelenggarakan Pelatihan pembuatan Peraturan Desa (Perdes)

perlindungan buruh migran (24/10/2010). Pelatihan ini merupakan

hasil kerja sama dengan Yayasan TIFA, dan didukung oleh Antara,

AusAID, dan BNP2TKI. Kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari ini

difasilitasi oleh Drs. Urbanus Hurek Msi, dosen FISIP Unwira Kupang.

Pelatihan ini sendiri dihadiri oleh 11 orang Kepala Desa dan Ketua BPD

dari 10 Desa dampingan Delsos untuk program pemberdayaan buruh

migran dan keluarga. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini

menyangkut teknis pembuatan Perdes yang baik dan benar. Pimpinan

Delsos, Romo Yansen, dalam kata sambutannya menyatakan bahwa

kegiatan ini merupakan bagian dari amal Delsos bagi kaum buruh

migran di Folores Timur yang banyak berjasa namun selama ini masih

kurang memperoleh perhatian.

“Pelatihan ini merupakan sumbangan besar program bagi

masyarakat Flores Timur. Bermodal ilmu yang kita terima selama tiga

hari ini, marilah secara bersama-sama kita perjuangkan nasib buruh

migran”, tuturnya. Senada dengan Romo Yansen, peserta yang hadir

pun turut menyatakan keseriusan mereka sebagai aparat desa dalam

memperjuangkan nasib buruh migran Flores Timur yang selama ini

terbiasa dengan pola migrasi swadaya. Dalam pelatihan ini akan

dihasilkan sepuluh buah Perdes perlindungan terhadap buruh migran

yang nantinya dapat menjadi contoh bagi desa-desa lain di Flores

Timur.

DELSOS Larantuka Gelar Pelatihan

Pembuatan PERDES Perlindungan BuruhOleh: D udy

Pena ng g ung Jawab

Yossy Suparyo

Muhammad Irsyadul Ibad

Pim pinan Reda ksi

Muhammad Ali Usman

T im Reda ksi

Fika Murdiana

Hilyatul Auliya

Fathulloh

Kont ribut or

14 PTK Mahnettik

A lam at Reda ksi

Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A

Pandean Umbulharjo Yogyakarta,

Telp/Fax:0274-372378

E-mail:[email protected]

Portal: http://buruhmigran.or.id

Penerbi ta n bule t in ini a ta s dukung a n:

Page 2: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 2 | Warta Buruh Migran | November 2010

02 | Sekilas Peristiwa

CianjurBanyumas

Pegiat Seruni Belajar Pewartaan BMI

Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI (PTK Mahnettik)

Banyumas yang dikelola oleh Paguyuban Perlindungan Buruh Migran

dan Perempuan “Seruni” menggelar Pelatihan Pengelolaan

Informasi Buruh Migran selama dua hari, 22-23 Oktober 2010.

Pelatihan bertempat di sekretariat Seruni, Desa Datar Rt. 01 Rw. 03

Kecamatan Sumbang Banyumas. Kegiatan ini difasilitasi tiga fasilitator

dari Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama dan

Kebudayaan (infest) Yogyakarta.

Sebanyak 28 orang mantan buruh migran dan keluarga buruh migran

dari Kabupaten Banyumas hadir sebagai peserta. Eko Setiawan (21)

misalnya, yang berasal dari Desa Paning Kaban Kecamatan Gumelar,

salah satu desa basis buruh migran di Banyumas, menyatakan kegiatan

ini penting agar buruh migran terbebas dari sekat keenjangan

informasi.

Dalam pelatihan ini setiap peserta dapat saling bertukar pengetahuan.

Melalui bekal pengetahuan, setiap orang akan dapat memiliki

kekuatan, baik kekuatan dalam melindungi diri maupun kekuatan

dalam mengembangkan kemampuan diri. Menurut Muhammad

Irsyadul Ibad, salah satu tutor dari Infest Yogyakarta, pengalaman dan

informasi yang dimiliki mantan buruh migran selain menjadi inspirasi,

terkadang menjadi pelajaran berharga bagi orang lain untuk lebih

berhati-hati sebelum berangkat ke luar negeri.

Cirebon

PTK Maknettik Cianjur Belajar Kelola Informasi

CIANJUR–Sabtu (6/11/2010) Pemberdayaan Perempuan dan

Transformasi Sosial Wilayah Pasoendan (PPSW Pasoendan)

menyelenggarakan kegiatan pelatihan mengelola informasi. Kegiaan

tersebut diadakan di Pusat Teknologi Komunitas Rumah Internet TKI

(PTK Mahnettik) Kampung Pasir Panjang Sukamulya Sukaluyu Cianjur.

Kegiatan pelatihan ini difasilitasi oleh Infest (Lembaga Pengembangan

Pendidikan, Sosial, Agama, dan Kebudayaan) Yogyakarta dan salah satu

pegiat PTK Mahnettik Cilacap yang khusus datang untuk berbagi

pengalaman mengelola informasi di pelatihan ini.

Sebagai salah satu pusat asal Buruh Migran Indonesia (BMI), Cianjur

merupakan wilayah yang sangat penting dalam upaya penyebaran

informasi buruh migran di Indonesia. Menurut Akhmad Fadli (32)

fasilitator asal Cilacap, pengalaman pribadi dapat dikembangkan

menjadi pengetahuan bersama sehingga dapat memberi manfaat bagi

masyarakat.

“Komunitas ibarat sebuah pohon, terdapat akar, daun, dan buah.

Pengalaman kita dapat dibagi dan disebarkan pada yang lain. Siapa pun

dapat memilih peran dalam mengelola informasi,” tutur Fadli.

Kegiatan pengelolaan informasi ini merupakan salah satu upaya

mengurai carut marutnya persoalan buruh migran. Melalui kegiatan-

kegiatan seperti ini diharapkan dalam beberapa tahun ke depan para

buruh migran menjadi lebih berdaya dan terlindungi.

Minimnya informasi dan pengetahuan seputar isu buruh migran yang

dimiliki buruh migran Indonesia (BMI) telah menjadi keprihatinan

bersama. Dari banyak kasus yang terjadi, mayoritas pihak yang menjadi

korban adalah para BMI yang kurang informasi.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, Pusat Teknologi Komunitas Rumah

Internet TKI (PTK Mahnettik) Cirebon menyelenggarakan “Pelatihan

Pengelolaan Informasi Buruh Migran” pada tanggal 30-31 Oktober

2010. Pelatihan yang dipandu oleh fasilitator-fasitator dari Lembaga

Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama dan Kebudayaan

(Infest) Yogyakarta ini bertempat di Aula Bascamp.net Jl. Pangeran

Sutajaya No. 24 Desa Babakan Kec. Babakan Cirebon dan diikuti oleh

belasan peserta mulai dari mantan buruh migran, keluarga buruh

migran, hingga para aktivis buruh migran di Kabupaten Cirebon.

Banyak informasi penting yang telah dibagi oleh para peserta pelatihan.

Menurut Ubaidillah (38), seorang mantan BMI, aktivitas saling berbagi

inforamsi ini sangat bermanfaat bagi para calon dan para BMI di luar

negeri. Hal ini dapat menjadi bekal dan kekuatan bagi mereka.

“Pertukaran informasi di antara para BMI tentang buruh migran

sangat jarang. Selama ini yang kami lakukan hanyalah bertanya ke

beberapa teman mantan buruh migran yang kami kenal saja,”

ungkapnya. Ubaidillah adalah seorang mantan BMI yang bekerja di

Incheon Korea Selatan selama 5 tahun. Di sana, ia pernah aktif di

Iswara (Ikatan Solidaritas Setengah masanya di Korea Selatan selama 3

tahun. Bekal pengetahuan menjadi syarat wajib bagi setiap orang yang

ingin bekerja sebagai BMI. Pengetahuan ini akan memberikan

perlindungan dan rasa aman jika suatu ketika mereka mendapatkan

persoalan di negara tujuan.

Page 3: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 3 | Warta Buruh Migran | November 2010

03 | Jejak Kasus

CILACAP. Seorang Tenaga Kerja wanita (TKI) asal Desa Bulaksari RT

01/3, Kecamatan Bantarsari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

selama sembilan tahun tidak diperbolehkan pulang oleh majikan.

Keluarga yang ditinggalkan pun resah.

Selain itu, TKI bernama Siti Fatimah ini kepada keluarga juga

mengaku tidak diberi gaji selama 8.5 tahun terakhir. Gaji hanya

diberikan pada enam bulan pertama bekerja.

Ayah Fatimah, Sukarno (51) mengatakan Fatimah bekerja pada

seorang majikan bernama Hasan Ali Musa yang beralamat di Zabur

Al Madrasah, Ibtidal Mutawasta, Gambura Zezan, Saudi Arabia.

Keluarga tidak mengira, majikan ini tega menyekap Fatimah di

rumahnya selama sembilan tahun.

Berbagai usaha sudah dilakukan. Antara lain dengan menelpon

majikan agar memperbolehkan Fatimah pulang. Namun, ternyata

majikan hanya berjanji. “Kami sudah putus asa membujuk agar

majikannya memperbolehkan Fatimah pulang,” kata Sukarno

beberapa waktu lalu.

Keluarga akhirnya melaporkan peristiwa ini kepada Pimpinan

Cabang Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

(Lakpesdam) NU Cilacap. Keluarga minta agar PC Lakpesdam

mendampingi pengurusan kepulangan Siti Fatimah.

Pada 2008 lalu, sebenarnya keluarga sudah meminta bantuan

kepada pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Riyadh, Arab

Saudi melalui surat yang dilayangkan kantor advokat yang disewa

keluarga. Namun, ternyata permintaan bantuan ini tidak

ditanggapi.

Setiap kali ditelpon, Fatimah selalu bilang ingin pulang. Karena alat

komunikasinya telepon rumah, terkadang majikan yang menerima.

Kalau majikan yang menerima, majikan selalu bilang jika Fatimah

sudah tidak bekerja di rumahnya lagi.

"Fatimah bilang majikannya selalu menjanjikan akan memulangkan

setahun lagi. Terus seperti itu. Hanya janji-janji terus. Kami hanya

ingin Anak kami pulang dengan selamat," ujarnya.

Terpisah, Koordinator Pemberdayaan Buruh Migran PC

Lakpesdam, Akhmad Fadli mengatakan akan mendampingi

keluarga untuk mengurus kepulangan Siti Fatimah. Dia berencana

menekan Atase Ketenagakerjaan KBRI Arab Saudi. Selain itu, Dinas

Ketenagakerjaan (Disnakrtrans) juga akan dilibatkan dalam

pengurusan ini. Selain itu, jaringan buruh migran juga akan

dilibatkan untuk menekan agar KBRI menindaklanjuti laporan ini.

Menurut Fadli, kasus semacam ini kerap luput dari perhatian

pemerintah dan media. Pasalnya, mereka lebih terfokus pada kasus

kematian dan kekerasan fisik. Selain jalur pemerintah, Fadli

bersama pihak keluarga Fatimah juga berencana mendatangi

Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT Mutiara Alam

Bahari Alamria yang memberangkatkan Fatimah. Jika PJTKI tidak

membantu, PC Lakpesdam atas nama keluarga akan menuntut

secara hukum. (ridlobalasie)

TKI 9 Tahun Disekap Majikan,

Keluarga ResahOleh: Ridlo Balasie

M. Ridlo Balasie S, Pegiat PTK Mahnettik Cilacap

Page 4: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 4 | Warta Buruh Migran | November 2010

04 |Kajian

Kesenjangan Informasi

Sebabkan Buruh Migran Tak BerdayaOleh: Yossy Suparyo

Kesenjangan informasi bisa menjadi sebab dan akibat dari kesenjangan

lainnya. Miskinnya informasi yang dimiliki tenaga kerja informasi (TKI),

seperti prosedur, tatacara, hukum, dan budaya negara yang akan dituju

menyebabkan TKI kesulitan mengembangkan alternatif dan jalan keluar

saat menghadapi masalah. Terlebih, umumnya TKI berprofesi sebagai

pembantu rumah tangga (house keeper, baby sitter), hidup terisolir

dalam rumah majikan dan tidak memiliki kesempatan atau kemampuan

akses terhadap dunia luar.

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), pada

satu sisi, semakin memperbesar kesenjangan informasi bagi kalangan TKI.

Dinamika informasi yang cepat menimbulkan jarak yang jelas antara

kalangan yang memiliki akses yang kuat dan kalangan yang tidak memiliki

peluang akses. Lemahnya akses dan pemanfaatan informasi suatu

komunitas menyebabkan komunitas tersebut terpinggirkan dan menjadi

korban dari berbagai kemajuan. Situasi Inilah yang disebut dengan

kesenjangan digital (digital devide).

Kalangan TKI merupakan kalangan yang terpinggirkan dalam situasi di

atas. Kesenjangan informasi bukan saja mengakibatkan kemiskinan

ekonomi, tapi juga kemiskinan sosial politik. TKI tidak dapat

menyampaikan aspirasi, bahkan mereka tidak mengetahui adanya

kebijakan yang berdampak kepada mereka. TKI juga tidak cukup paham

untuk bisa terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga muncul

diskriminasi dan dominasi atas mereka.

Bagaimana mengurangi kesenjangan informasi di kalangan buruh

migran? Perubahan yang cepat di berbagai bidang mesti dijawab dengan

kemampuan menghadapi perubahan.

TKI dan keluarganya sejatinya membutuhkan informasi

dan pengetahuan yang dapat mereka manfaatkan untuk

meningkatkan kualitas hidupnya, baik aspek kesehatan,

sosial, hukum, budaya, ekonomi, lingkungan, dan lain

sebagainya. TKI dan keluarganya mampu menghadapi

perubahan bila mereka mampu mengakses informasi

secara cerdas dan kritis serta berinteraksi dengan pihak

lain.

Mahnettik dan Saluran Informasi TKI

Rumah Internet TKI (Mahnettik) hadir di perdesaan yang

sebagian besar menjadi daerah asal buruh migran. Pada

masyarakat perdesaan, beragam saluran informasi dan

media komunikasi dikembangkan untuk pertukaran

informasi, misalnya obrolan di pos ronda, warung kopi,

arisan, pengajian, perkumpulan pemuda, dan lain-lain.

Pertanyaannya apakah saluran, media, dan forum

tersebut dapat didayagunakan untuk mengatasi

kesenjangan infomasi yang terjadi?

Kebanyakan saluran, media, dan forum di perdesaan

bersifat interpersonal (tatap mula, lisan). Mahnettik

berusaha mengisi celah yang kosong yaitu budaya

komunikasi dan berbagi informasi bisa dikembangkan lagi

secara lebih terbuka dan partisipatif. Di sinilah peran

penting Mahnettik, yaitu penguatan kemampuan dan

penguasaan informasi bagi TKI, calon TKI, dan

keluarganya. Akhirnya, TKi dan keluarganya mampu

menggunakan hak-haknya, lebih berdaya, percaya diri,

dan memiliki kemampuan untuk terlibat.

Untuk mewujudkan gagasan di atas, Mahnettik Cilacap

membuat sebuah fasilitas publik yang disebut Pusat

Teknologi Informasi (IT Center). Pusat Teknologi Informasi

adalah suatu layanan publik yang memanfaatkan TIK agar

para keluarga buruh migran dapat mengakses informasi

dan pengetahuan yang mendukung pengembangan diri

dan perbaikan layanan pemerintah atas TKI.

Namun, Mahnettik tidak semata-mata program

mendirikan sarana fisik untuk akses informasi semata (IT

Center) tapi dukungan program pendampingan dan

pemberdayaan masyarakat sehingga TIK merangsang

tumbuhnya infomobilisasi.

“Kesenjangan informasi bukan

saja mengakibatkan kemiskinan

ekonomi, tapi juga kemiskinan

sosial politik...”

Page 5: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 5 | Warta Buruh Migran | November 2010

05 | Kajian

Mahnetik Timbulkan Infomobilisasi

Apa itu infomobilisasi? Infomobilisasi adalah kegiatan

penyampaian dan penggunaan komunikasi-informasi secara

terencana berdasarkan kebutuhan TKI dan keluarganya.

Infomobiliasai dikembangkan sebagai rangkaian kegiatan yang

melibatkan TKI dan keluarganya dalam pelbagai tahapannya.

Ada beberapa kegiatan yang penting untuk menciptakan

infomobiliasi, yaitu:

Pertama, membangun kesadaran pada TKI dan keluarganya

bahwa kesenjangan informasi mengakibatkan kesenjangan di

bidang kehidupan lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan

mengembangkan kegiatan keberaksaraan informasi

(information literacy) sehingga TKI dan keluarganya mampu

secara cerdas menggunakan informasi untuk mendukung

kehidupannya.

Kedua, mengembangkan kegiatan penyampaian dan

penggunakan komunikasi-informasi yang terencana dengan baik

sesuai dengan kebutuhan TKI dan keluarganya. Melalui

pendekatan komunikasi yang dialogis dan partisipatoris TKI dan

keluarganya belajar memetakan permasalahan-permaalahan

yang mereka hadapi dan apa dampaknya bagi mereka. Lalu,

mereka merancang jalan keluar yang tepat untuk terhindar dari

permasalahan tersebut.

Ketiga, meningkatkan kemampuan TKI dan keluarganya dengan

menggunakan TIK. Sebagian besar warga masih gagap

berhadapan teknologi (gaptek) sehingga salah satu program

Mahnetik adalah menyelenggarakan pelatihan menggunakan

internet pada TKI dan keluarganya. Setelah pelatihan mereka

bisa menggunakan fasilitas pesan instan (instant messenger)

untukchatting, menggunakan browser untuk mencari informasi

yang dibutuhkan, surat-menyurat elektronik (e-mail), dan

mengelola situs untuk saling berbagi informasi.

Keempat, mengembangkan jaringan kerjasama dan solidaritas

dengan individu atau lembaga dengan pemanfaatan TIK untuk

menjembatani jarak dan waktu. Kerjasama dan solidaritas

penting sebagai kekuatan mempengaruhi kebijakan publik yang

menyangkut masalah perbaikan layanan bagi TKI dan

keluarganya.

Yossy Suparyo, Pekerja Manajemen Pengetahuan, Koordinator

Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)

Kodifikasi Pengetahuan Kodifikasi Pengetahuan

Buruh Migran Lewat WikiBuruh Migran Lewat Wiki

Persoalan buruh migran yang rumit salah satunya berawal dari

pelbagai hal disekitar kata buruh migran yang tidak jelas, atau kurang

dipahami. Banyak kosa kata yang berhubungan dengan buruh migran

salah dipahami oleh masyarakat, bahkan oleh kelompok buruh migran.

Sangat disayangkan tentunya karena kosakata tersebut mewakili

pengetahuan seputar buruh migran.

Kondisi tersebutlah yang mengawali ide membangun gudang

pengetahuan buruh migran di dunia maya bernama wiki-buruhmigran.

Upaya ini dimulai dengan menyusun kamus istilah buruh migran.

Lebih rinci lagi Muhammad Irsyadul Ibad salah satu tim

pengembang wiki-buruhmigran menjelaskan lumbung

pengetahuan untuk buruh migran ini bersifat terbuka dan

dibangun oleh komunitas. Tujuan utama wiki-buruhmigran adalah

memperinci dan memudahkan masyarakat memahami dunia

buruh migran secara utuh dan sistematis.

“selain menjadi lumbung pengetahuan, Wiki-buruhmigran juga

menjadi sumber rujukan bagi masyarakat ketika mencari

informasi tentang buruh migran,” tuturnya

Memanfaatkan mesin sistem pegelolaan isi (content management

system/CMS) Wikipedia yang berbasis sumber terbuka, Pusat

Sumber Daya Buruh Migran menyusun pelbagai data yang

tersebar kemudian mengelompokkannya dalam kategori

pengetahuan. Proses pengelolaan pengetahuan ini menguraikan

pemahaman dan penjelasan atas pengetahuan terkait dengan

buruh migran.

Keterlibatan banyak pihak menjadi salah satu kunci keberhasilan

pengelolaan wiki-buruhmigran. Luasnya pengetahuan dan

informasi seputar buruh migran menuntut sumbangan

pengetahuan dari banyak pihak, salahsatunya bersumber dari

kelompok jaringan buruh migran PTK Mahnettik. Wiki-

buruhmigran dapat diakses melalui alamat

http://buruhmigran.or.id/wiki. (Lamuk)

Page 6: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 6 | Warta Buruh Migran | November 2010

Apa itu advokasi? Kadang kita bingung membedakan advokasi dan

kampanye. Kedua kata itu memang memiliki banyak kemiripan atau

bahasa Betawinya beda-beda tipis. Perbedaan advokasi dan

kampanye terletak pada tujuan akhir kegiatan. Hasil kegiatan

kampanye berupa dukungan dan solidaritas publik atas kondisi

tertentu, sementara hasil dari advokasi adalah perubahan kebijakan

atau tata perundang-undangan.

Sharma (2004:7) mengartikan advokasi sebagai serangkaian

tindakan yang bertujuan untuk mengubah kebijakan, kedudukan

atau program dari segala jenis lembaga. Pengertian ini mendorong

kegiatan advokasi berakhir pada pengambilan keputusan untuk

mencari jalan keluar yang lebih baik. Sementara itu, kampanye

merupakan tahap terpenting dari advokasi untuk mendesak atau

perubahan kebijakan melalui dukungan kekuatan publik. Kerja

advokasi merupakan proses yang dinamis sebab melibatkan

seperangkat pelaku, gagasan, dan agenda yang selalu berubah. Untuk

melakukan kerja advokasi, Sharma (2004: 18-20) menawarkan lima

langkah penting yang harus diperhatikan, yaitu mencari akar

permasalahan, merumuskan dan memilih jalan keluar, membangun

kesadaran, tindakan kebijakan, dan penilaian. Lima langkah itu tidak

bersifat linier sehingga bisa saja beberapa tahapan berjalan

bersamaan.

Tahap pertama, mencari akar permasalahan. Pada tahap ini kita

harus menetapkan agenda advokasi. Penetapan agenda harus

mempertimbangkan skala prioritas, tidak seluruh masalah harus

selesai secara bersamaan. Kita perlu memilah secara cermat

masalah-masalah yang ada supaya dapat menemukan akar

persoalannya. Setelah itu tetapkan lembaga dan kebijakan

yang perlu diubah dengan menyusun alasan-alasan yang

jelas.Setelah melakukan langkah pertama, maka tahap kedua,

yaitu merumuskan dan memilih jalan keluar, segera menyusul.

Seperti pekerjaan di dunia kesehatan, keputusan jenis

pengobatan sangat tergantung ketelitian sang dokter dalam

mendiagnosis penyakit. Pelaku advokasi harus mampu

menawarkan jalan keluar yang tepat supaya permasalahan

serupa tidak terulang kembali.

Pada tahap ketiga, kita akan membangun kesadaran atau

kemauan politik pihak-pihak yang terlibat dalam masalah. Hal

itu dapat diraih lewat pembentukan koalisi, menemui dan

meyakinkan para pengambil keputusan, dan membangun

penalaran seluruh pemangku kepentingan akan pentingnya

perubahan kebijakan. Pada tahap ini praktik kampanye

dilakukan, pekerja advokasi harus mampu mengemas pesan

secara efektif dan mudah dipahami.

Tahap keempat, tindakan kebijakan. Pemahaman akan proses

pengambilan keputusan dan strategi advkasi akan

meningkatkan kemungkinan terciptanya celah peluang untuk

bertindak. Tentu keputusan untuk bertindak dilakukan setelah

akar permasalahan diketahui, tawaran jalan keluar diterima,

dan ada kemauan politik pada pihak yang terkait untuk

melakukan perubahan.

Tahap kelima, penilaian. Penilaian perlu dilakukan untuk

mengetahui efektivitas kegiatan advokasi. Penilaian bisa

berupa tindakan refleksi atas kerja-kerja yang telah dilakukan.

Bila perlu buatlah sasaran dan strategi baru agar perubahan

lebih mudah dilakukan. (Yossy)

Mengenal AdvokasiOleh: Yossy Suparyo

09 | Panduan

Page 7: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 7 | Warta Buruh Migran | November 2010

06 | Wawancara

Nasib buruh migran tidak berubah meski pemerintahan telah beberapa kali berganti. Pergatian

pemerintahan sejak orde baru, hingga presiden saat ini keap menghasilkan beberapa peraturan

tapi tumpul pelaksanaan. Beberapa peraturan justeru menunjukkan keberpihakan negara

kepada pengusaha dalam penyaluran buruh migran. Pemerintah masih juga tidak tanggap

terhadap situasi sebenarnya buruh migran.

Berikut ini adalah wawancara PSD-BM dengan Yohanes B Wibawa Direktur Eksekutif I-Work

Indonesia mengenai penanganan buruh indonesia.

Secara umum bagaimanakah situasi penanganan buruh

migran saat ini?

Tidak ada perubahan mendasar dalam penanganan buruh migran

30 tahun terakhir. Paradigmanya masih mengandalkan upah

murah sebagai comparative advantage buruh Indonesia di luar

negeri dan pemberian peran yang terlalu besar pada swasta

sebagai agen perekrutan dan penempatannya. Paradigma ini

bersumber dari kepentingan Negara yang meletakkan target

pengiriman untuk mengejar perolehan devisa dari buruh migran.

Bagaimana dengan pelayanan hukum yang disediakan

oleh pemerintah?

Pemerintah belum pernah by design menyediakan satu layanan

hukum untuk buruh migran. Pemerintah hanya menangani

masalah hukum yang muncul, dan itu pun tanpa rumusan system

dan mekanisme pelayanan yang terbuka agar dapat dipahami secara

luas sehingga dapat diakses secara mudah oleh masyarakat serta

kinerjanya dapat dikontrol.

Buruh migran kerap disebut-sebut pihak yang sangat tidak

berdaya di negeri sendir i maupun di luar negeri, apakah

yang menyebabkan situasi tersebut?

Ada dua hal mendasar: pertama, terkait politik pemerintah RI dalam

hal membangun sistem migrasi bagi rakyat serta dalam hal

menciptakan hubungan dengan pemerintah negara tujuan bekerja.

Situasi dalam perburuhan internasional pada dasarnya memang

banyak mengandung resiko dan seringkali pula ketidakpastian terkait

dengan naik turunnya konstelasi politik internasional, hubungan antar

Negara, dinamika di Negara tujuan maupun

Penanganan Buruh Migran di IndonesiaMuhammad Irsyadul Ibad

Page 8: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 8 | Warta Buruh Migran | November 2010

07 | Wawancara

dinamika dalam pasar internasional. Saya kira pemerintah RI

lemah dalam kesemua aspek tadi, akibatnya rakyat buruh migrant

harus menghadapinya sendiri. Tentu saja hal itu terlalu berat.

Kedua, aspek kapasitas. Hal ini terkait dengan kualitas diri

(kesadaran, keterampilan dan karakter) dari masyarakat pelaku

migrasinya. Buruh migran umumnya berasal dari rumah tangga

bawah, yang berkekurangan pula pada peluang untuk

meningkatkan kualitas diri. Dalam hal ini, menurut saya selain

memang tugas negara untuk memajukan dan mencerdaskan

raskyat, namun tanggung jawab masing-masing individu pula

untuk meningkatkan kualitas diri sehingga cukup untuk

menghadapi tantangan dalam bermigrasi.

Kemudian selain kedua hal itu, yang perlu diingat adalah bahwa

kita hidup di dunia yang masih patriarkis. Tipe migrasi kita adalah

south to south migration, dikerjakan oleh lebih dari 70%

perempuan-perempuan yang bekerja di 3D sector (dark, dirty,

dangerous). Maka mereka mengalami ketidakberdayaan dalam

berbagai hal: politik, ekonomi, kultural, dsb.

Bagaimana kinerja yang ditunjukkan oleh badan-badan

pemerintah yang menangani buruh migran?

Ada beberapa inisiatif yang lumayan baik di beberapa kantor

konsulat maupun BNP2TKI. Tetapi saya melihat kinerja badan-

badan yang menangani buruh migran dari dulu hingga saat ini

tidak bisa melepaskan diri dari korupsi dan kolusi.Ini adalah

masalah akut yang harus mendapat prioritas penanganan.

Menurut Anda, apakah yang paling mendesak dibenahi

dalam sistem penanganan buruh migran di Indonesia

saat ini?

Pertama, mengatur kembali mekanisme rekrutmen-penempatan-

perlindungan dengan meletakkan pemerintah sebagai pemangku

kewajiban yang utama dan satu-satunya yang tidak bisa

didelegasikan kepada pihak lain manapun. Kedua, membenahi

dan menyusun infrastruktur perlindungan yang memadai bagi

buruh migran baik di dalam maupun diluar negeri.

Apakah peraturan yang tersedia saat ini mencukupi

untuk memberikan perlindungan buruh migran?

Secara normatif UU 39/2004 sebenarnya berpotensi dapat

memberi perlindungan yang cukup untuk buruh migran. Namun

persoalan yang harus dijawab pada saat ini sebenarnya adalah

penyelenggaraan yang sehat dalam penanganan buruh migran.

Pemberantasan korupsi dan kolusi di tubuh badan-badan

penempatan dan perlindungan buruh migran.

Namun demikian UU No. 39/2004 menurut saya terlalu

memberikan kewenangan kepada swasta. Faktanya kita sudah

terlalu sering melihat perilaku tidak terpuji dari pasar.

Saat ini marak perbincangan tentang revisi UU. 39

tahun 2004, pasal apakah yang paling perlu untuk

direvisi dari UU tersebut?

Kalau hendak merevisi UU No. 39/2004 menurut saya tidak

pasal per pasal, tetapi perlu diganti sejak dari paradigmanya. UU

ini paradigmanya pro-market dan menurut saya hal itu adalah

legitimasi trafficking in person.

Adakah peraturan lain yang perlu direvisi terkait

dengan buruh migran?

Ada beberapa Undang-undang yang dapat memperkuat

perlindungan bagi buruh migran misalnya Undang-undang

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Namun ada pula peraturan lain yang memang perlu direvisi

misalnya undang-undang kewarganegaraan lalu terutama

peraturan-peraturan pelaksanaan dari UU No.39/2004 terkait

tentang asuransi.

Terkait dengan pelayanan buruh migran yang dikelola

satu pintu, apakah tantangan terbesar dalam

pelaksanaannya?

Tantangan terbesarnya adalah terlanjur menjamurnya PPTKI

swasta, kolusi dan korupsi di lembaga pemerintah yang

menangani buruh migran dan sindikat penyelundupan dan

perdaganagn manusia lintas batas.

Bagaimana pendapat Anda tentang kinerja BNP2TKI?

Saya menyambut baik pembentukan BNP2TKI. Ini akan

mempertegas peran negara dalam mekanisme penempatan dan

perlindungan. Sistem G to G penempatan ke Korea menurut saya

telah berhasil mengurangi resiko migrasi dan memangkas ongkos

penempatan. Hanya sayangnya BNP2TKI tidak segera menyusun

infrastruktur informasi yang memadai yang bisa mencapai

masyarakat. Akibatnya terjadi banyak penipuan oleh calo

dilapangan. Lebih dari itu kita masih melihat dalam beberapa hal

aroma kolusi di lembaga ini.

Pada organisasi masyarakat sipil, peran apakah yang

dapat diambil untuk memeperbaiki persoalan buruh

migran?

Peranan CSO yang utama menurut saya adalah pada peran-

peran intermediary. Pendidikan menjadi strategi yang utama

dalam rangka menumbuhkan collective bargaining position

buruh migran, keluarga dan komunitasnya.

Page 9: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 9 | Warta Buruh Migran | November 2010

08 | Wawancara

Tidak sedikit orang yang memiliki keraguan ketika akan terjun ke

dunia usaha. Rasa gamang tersebut biasanya muncul karena alasan

pengalaman yang minim dan tidak ada modal usaha. Perasaan

seperti itu dulu pernah dialami dan sudah dapat diatasi oleh para

mantan buruh migran di Desa Gunung Guruh Kecamatan Gunung

Guruh Kabupaten Sukabumi. Saat ini, mereka secara gotong royong

berhasil membuat usaha bersama yang dikelola seperti manajemen

koperasi.

Usaha bersama ini sudah berjalan sejak beberapa tahun yang lalu.

Ide awalnya berangkat dari banyaknya mantan buruh migran di

Gunung Guruh yang tidak mempunyai aktivitas harian. Sebelum

mempunyai usaha bersama, biasanya mereka hanya tinggal di

rumah mengerjakan urusan rumah tangga. Menurut data statistik

tahun 2009 yang dikeluarkan oleh pemerintah Kecamatan Gunung

Guruh, ada 189 orang buruh migran yang sedang bekerja di

berbagai negara. Jumlah ini sekitar 20% dari total jumlah warga

Kecamatan Gunung Guruh yang menjadi Buruh Migran (BM), yaitu

950 orang.

Gairah Wirausaha Mantan Buruh MigranWawancara Hilyatul Auliya dengan Indah (PTK Mahnettik Sukabumi)

Desa Gunung Guruh memang sejak lama dikenal sebagai

sentra industri gerabah di Sukabumi. Bagi sebagian warga, usaha

ekonomi yang memadukan tanah liat dan kreativitas ini menjadi

mata pencaharian utama.

Di sini, ada puluhan buruh migran dan keluarganya yang

mengembangkan bisnis kerajinan dari tanah liat. Produk-produk

yang mereka hasilkan tidak kalah kualitas jika dibandingkan dengan

sentra industri gerabah lain, misalnya Kasongan Bantul Yogyakarta

atau Klampok Banjarnegara Jawa Tengah. Para mantan buruh

migran ini dapat memroduksi berbagai macam bentuk gerabah,

misalnya guci, pot bunga, teko, dan cangkir.

Produk hasil karya mereka biasanya dipasarkan di toko-

toko kerajinan dan seni yang ada di sekitar desa. Desa Gunung

Guruh memang selama ini dikenal sebagai sentra industri gerabah

di daerah Sukabumi. Sebagai daerah sentra industri gerabah, tidak

susah bagi Indah dkk. untuk mencari konsumen. Setiap hari desa

Sumber: Dok.PPSW

Page 10: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 10 | Warta Buruh Migran | November 2010

ini ramai dikunjungi para konsumen, baik yang datang dari

Sukabumi sendiri, maupun yang datang dari luar daerah. Selain

melayani penjualan partai kecil (direct sell) para penjual gerabah di

sini juga melayani penjualan partai besar. Bahkan ada beberapa

barang yang sudah diekspor ke luar negeri.

Sebenarnya, usaha ini berawal dari niat para komunitas buruh

migran yang ingin meningkatkan kesejahteraan ekonominya,

kemudian mereka bersama-sama mengumpulkan modal (urunan),

meskipun dengan jumlah yang tidak seberapa. Dari modal yang tidak

seberapa inilah kemudian mereka dapat membeli alat produksi

gerabah, mulai dari alat pembuat gerabah (perbot), tanah liat,

hingga buku administrasi. Hingga hari ini sudah ada puluhan perbot

yang dimiliki kelompok usaha ini. Perbot-perbot ini ditempatkan di

beberapa rumah anggota sehingga setiap anggota yang ingin

membuat gerabah dapat bekerja dari rumah masing-masing. Semua

produk dari anggota ini akan dibeli oleh kelompok. Untuk

menunjang pemasaran, mereka menggunakan sekretariat lembaga

sebagai kantor pemasaran sekaligus show room.

Selain usaha gerabah, para mantan buruh migran Sukabumi juga

mempunyai usaha pembuatan kerajinan berbahan dasar bambu.

Oleh mereka, bambu-bambu tersebut diolah dan dianyam hingga

menjadi aneka barang rumah tangga bernilai jual tinggi, seperti

nampan, piring, lepek, dll. Keahlian ini mereka kuasai secara turun

temurun dari para leluhur. Berbeda dengan usaha gerabah yang

berpusat di Gunung Guruh, usaha anyaman bambu ini berpusat di

Desa Suka Manggis Kecamatan Citaniang Kabupaten Sukabumi.

Usaha bersama ini manfaatnya telah banyak dirasakan oleh para

anggota yang mayoritas terdiri dari para perempuan. Mereka dapat

memperoleh penghasilan tambahan dari hasil usaha ekonomi.

Sesuai tujuan awalnya, usaha ini dikelola seperti manajemen

koperasi. Artinya, setiap anggota dapat menginvestasikan dananya di

perusahaan dan pembagian keuntungan akan dibagi sama rata

sesuai dengan jumlah kepemilikan modal.

Meskipun usaha ini telah berkembang sejak beberapa tahun yang

lalu, sampai hari ini belum ada perhatian dari pemerintah sedikit

pun. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijanjikan oleh

Kementrian UKM juga belum dirasakan oleh masyarakat Gunung

Guruh. Bantuan dalam hal pemasaran juga masih dilakukan

anggota sendiri.

“setiap anggota dapat

menginvestasikan dananya di

perusahaan dan pembagian keuntungan

akan dibagi sama rata sesuai dengan

jumlah kepemilikan modal.”

Pemerintah yang seharusnya mencarikan dan melakukan

pengembangan pasar konsumen, baik pasar lokal maupun luar

daerah masih belum tampak. Menurut Indah, pemerintah selama

ini lebih senang mengurusi usaha skala besar saja. Seakan mereka

tidak menganggap penting industri usaha kecil menengah seperti

usaha kelompoknya.

“Sebagai usaha kelas menengah ke bawah, masyarakat Gunung

Guruh sangat mengharapkan perhatian pemerintah, baik dalam

bantuan modal, peningkatan kualitas produk, hingga pemasaran.

Salah satu kendala besar adalah di dalam pemasaran. Selama ini

mereka melakukannya secara mandiri,” ungkapnya.

Tampaknya, jiwa-jiwa mandiri para mantan buruh migran inilah

yang terus menghidupkan semangat wira usaha di antara mereka.

Usaha Kecil Menengah (UKM) saat ini memegang peranan penting

dalam sistem perekonomian global. Di saat terjadi krisis global, di

mana banyak perusahaan raksasa mengalami kebangkrutan dan

gulung tikar (kolaps), perekonomian Indonesia masih bertahan

dikarenakan ditopang oleh industri-industri UKM di daerah-

daerah yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Oleh karena itu,

sudah seharusnya jika pemerintah memberikan perhatian lebih

pada industri-industri UKM.

Kerajinan Buruh Migran Sukabumi saat dipamerkan di Yogyakarta

08 | Wawancara

Hilya Auliya, Pekerja Manajemen Pengetahuan Pusat

Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM)

Page 11: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 11 | Warta Buruh Migran | November 2010

10 | Inspirasi

Sumber: vmancute.blogspot.com

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa ini tampaknya tepat

menggambarkan betapa peri kehidupan sebagai pelaut begitu lekat

pada masyarakat Kampung Laut. Kendati memilih menjadi buruh

migran, tak jauh-jauh, para lelaki perkasa ini tetap juga melaut di

negeri orang. Cuma bedanya, saat ini mereka memburuh pada

kapal asing, alias jadi anak buah kapal (ABK) di Taiwan.

"Mungkin tidak semua, tapi 90 persen buruh migran bekerja di

kapal asing. Kebanyakan di Taiwan. Baik di kapal ekspedisi barang

maupun kapal tangkap ikan," ujar Harry Tabin, Ketua Forum Warga

Buruh Migran (FWBM) Kampung Laut.

Berharap pendapatan tinggi, para pelaut muda ini banyak

meninggalkan desa menyambut nasib di negeri seberang. Namun,

melaut di negeri orang rupanya tidak seindah di negeri sendiri. Janji

tumpukan mata uang asing ini kerap kali tidak sesuai dengan fakta.

Meski kontrak kerja sudah ditandatangani, gaji bulanan yang

mereka dapat tidak sesuai dengan yang ada di kontrak. "Sering

dipotong oleh agen. Gaji dari perusahaan pelayaran tidak diberikan

langsung ke kami, melainkan melewati tangan agen," rutuk Harry.

Selain gaji yang tidak sesuai kontrak, persoalan lain juga kerap

muncul. Pelaut asal Indonesia kerap terlibat persoalan dengan ABK

lokal. Bahasa kerap menjadi pangkal salah pengertian antar mereka.

Selain itu, ABK asal Indonesia menjadi ABK yang paling tidak

diperhatikan di sektor kesehatan. Harry tiga kali berangkat ke Taiwan

sebagai anak buah kapal (ABK). Tiga kali pula dia mengalami

perlakuan buruk itu. Menurutnya, pengetahuan umum dan

penguasaan teknologi ABK asal Indonesia menjadi pangkal persoalan.

"Diakui atau tidak, kita ini bodoh, jadi mudah dibodohi," katanya.

Yang harus dilakukan, menurut Harry, buruh migran asal Indonesia

harus memiliki pengetahuan umum yang cukup. Jejaring komunikasi

antar buruh migran juga harus diperkuat. Selain itu, Pemerintah

Indonesia juga musti lebih memperhatikan nasib para buruh migran

yang hidup di negeri orang.

Tak hendak terus menerus merutuki nasib, FWBM Kampung Laut

mulai melakukan usaha meningkatkan pengetahuan. Salah satunya

seperti yang dilakukan di akhir September 2010 ini. FWBM

bergandeng dengan Community Tecnology Center (CTC) Mahnetik

menggelar diskusi sekitar persoalan buruh migran serta pelatihan

komputer dan internet.Dengan diskusi dan pelatihan ini diharapkan

buruh migran memiliki perspektif lain mengenai persoalan yang

kerap membelit. Pelatihan internet diperlukan untuk mencari

alternatif lain pengetahuan perkembangan dunia luar dan menjadi

media komunikasi antar buruh migran. (ridlobalasie)

Melaut di Negeri OrangOleh: Ridlo Balasie

Page 12: Warta Buruh Migran Nomor III Edisi November 2010

Halaman 12 | Warta Buruh Migran | November 2010

11 | Tragedi

““Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang Warta Buruh Migran merupakan buletin online yang diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.diterbitkan oleh Pusat Sumber Daya Buruh Migran setiap bulan.

Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK Redaksi menerima berbagai tulisan dari rekan-rekan PTK

Mahnettik melalui email: Mahnettik melalui email: [email protected]@buruhmigran.or.id““

Pernyataan Sikap

Pusat Sumberdaya Buruh Migran

(PSD-BM) atas Kasus Penyiksaan

Sumiati

Kasus penyiksaan terhadap buruh migran Indonesia (BMI)

kembali terulang. Sumiati binti Salan Mustapa (23), BMI asal

Dompu, Nusa Tenggara Barat, mengalami penyiksaan berat

dari keluarga Halid Saleh Al-Akhmin, Majikan Sumiati, sejak

bekerja pada 18 Juli 2010 di Arab Saudi. Penyiksaan telah

melampaui batas kemanusiaan. Sumiati disiksa oleh majikan

dengan besi panas. Dengan tidak berperikemanusiaan bibir

sumiati pun digunting. Bekas luka-luka di sekujur tubuh

Sumiati menunjukkan penyiksaan berat yang dialaminya.

Sumiyati diberangkatkan oleh PT Rajana Falam Putri ke Arab

Saudi pada 18 Juli 2010. Sangat disayangkan, Sumiati

diberangkatkan tanpa berbekal Bahasa Inggris dan Arab yang

merupakan kebutuhan utama untuk bekerja di Arab.

Pemberangkatan Sumiati ke Arab tanpa bekal bahasa

menunjukkan kesewenang-wenangan perusahaan yang

bertanggung jawab. Perbuatan tersebut telah menempatkan

Sumiyati sebagai pekerja migran yang lemah.

Terulangnya kasus penyiksaan dan pemberangkatan BMI

tanpa pembekalan menunjukkan lemahnya pengawasan

pemerintah atas pelayanan dan kinerja Perusahahaan

Penyalur Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang

memberangkatkan BMI ke luar negeri. Lemahnya pengawasan

tersebut mengakibatkan buruknya pelayanan dan

kesewenang-wenangan PPTKIS dalam penempatan BMI.

Sumiati adalah contoh dari kesewenang-wenangan penempatan BMI.

Sumiati yang tidak memiliki kemampuan bahasa ditempatkan di

Arab Saudi yang jelas membutuhkan kemampuan Bahasa Arab.

Pusat Sumberdaya Buruh Migran (PSD-BM), menyatakan:

1. Menuntut pemerintah melakukan pelarangan pemberangkatan

BMI untuk pekerjaan non-formal ke Arab Saudi dan menetapkan

Arab Saudi sebagai zona berbahaya bagi pekerja Migran

2. Melakukan tekanan keras kepada pemerintah Arab Saudi yang

kerap membiarkan pelanggaran hak-hak buruh migran Indonesia.

3. Menuntut dibekukannya dan dicabutnya izin operasi Perusahaan

penyalur yang menempatkan Sumiati di Arab Saudi tanpa

membekali dengan kemampuan bahasa.

4. Menuntut dilakukannya pengawasan periodik dan terus menerus

atas kinerja dan pelayanan PPTKIS kepada buruh migran.

Menuntut pemerintas secepatnya menyelesaikan persoalan hukum

dan memberikan santunan pada Sumiati.

Yogyakarta, 17 November 2010.