0818592209 | waralaba makanan unik | bisnis waralaba makanan unik
Waralaba Ayam Bakar
Transcript of Waralaba Ayam Bakar
65
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE) RUMAH MAKAN AYAM BAKAR WONG SOLO
SEMARANG
A. Analisis Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Rumah Makan Ayam Bakar
Wong Solo Dalam Perpektif Hukum Positif Indonesia
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perjanjian (akad) waralaba Rumah
Makan Ayam Bakar Wong Solo, ada baiknya penulis mengungkap kembali tentang
duduk permasalahan yang akan dianalisis dan menjadi bahan kajian dalam skripsi ini.
Selain itu, pengetahuan tentang waralaba juga akan diungkap kembali sebagai tolok
ukur atau parameter pembahasan tersebut demi mendapatkan pemahaman yang utuh.
Terdapat persoalan mendasar mengapa masalah waralaba harus ditilik terlebih
dahulu dari sudut pandang hukum positif yaitu karena waralaba sendiri tidak terdapat
dalam istilah atau literatur agama (Islam) secara eksplisit. Namun secara implisit,
semua bentuk kerjasama (bisnis) mempunyai persamaan dengan konsep muamalah
Islam yaitu bentuk syirkah.
Perlu diketahui bahwa di dalam waralaba Wong Solo terdapat dua cara sistem
waralaba yaitu, waralaba lepas dan waralaba murni.1
1 Buletin Wong Solo, Poligami dan Bisnis: Pengalaman Bisnis Puspo Wardoyo, Edisi 02, Mei,
2005, hlm. 13.
66
Waralaba lepas adalah sistem kerja sama di mana investor atau pihak franchisee
tidak perlu memiliki bakat dan ketrampilan dalam bidang kerumahmakanan, maka
semua pekerjaan dari awal sampai pengoperasionalan diserahkan sepenuhnya kepada
pihak franchisor dan cara ini cocok bagi orang yang memiliki modal tetapi tidak
mempunyai ketrampilan dan tidak punya waktu untuk menjalankan rumah makan.2
waralaba murni, yaitu seorang penerima waralaba atau yang ditunjuk adalah sekaligus
seorang pemilik atau pengelola yang berhak mengoperasikan suatu outlet tertentu,
untuk kurun waktu tertentu. Hak waralaba tersebut mencakup penggunaan merek
dagang Wong Solo, desain dan dekorasi rumah makan, merek dan peralatan serta
pola penempatannya, resep dan jenis makanan, penggunaan dan metode operasional
Wong Solo, sistem inventory control, pembukuan, akuntansi dan pemasaran serta hak
untuk menempati dan mengisi ruangan rumah makan.3
Di sisi lain, waralaba dalam bentuknya sebagai bisnis memiliki dua jenis
kegiatan, yaitu, pertama, waralaba produk dan merek dagang, dan kedua, waralaba
format bisnis.4 Ada juga yang membaginya menjadi waralaba distribusi dan waralaba
format,5 akan tetapi kedua pembagian waralaba tersebut pada dasarnya sama tetapi
hanya soal penamaannya atau istilahnya saja yang berbeda. Waralaba produk dan
merek dagang adalah bentuk waralaba yang paling sederhana. Dalam waralaba
2 Ibid. 3 Ibid. 4 Gunawam widjaja, Waralaba, Jakarta: PT Grafindo Persada, cet. Ke- 2, 2003, hlm. 13. 5 Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelelektual, Jakarta: PT. Grafindo Persada, Cet. Ke-4,
2004, hhlm. 516.
67
bentuk ini, pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk
menjual produk yang dikembangkan oleh pemberi waralaba yang disertai dengan
pemberian izin untuk menggunakan merek dagang milik pemberi waralaba.6 Istilah
ini sama dengan pengerian waralaba distribusi. Sedangkan waralaba format bisnis
telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, dengan menyebutkan beberapa pengertian
waralaba menurut para pakar. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 1997,
waralaba diartikan sebagai perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelelktual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa.7
Melalui lisensi, pihak yang tidak memiliki hak atas kekayaan intelektual
dimungkinkan dapat melakukan satu atau serangkaian tindakan atau perbuatan,
melalui hak atau wewenang yang diberikan oleh pemilik atau pemegang hak atas
kekayan intelektual sebagai pihak yang berwenang, dalam bentuk perizinan. Tanpa
adanya izin tersebut, maka tindakan atau perbuatan tersebut merupakan suatu
tindakan yang terlarang dan tidak sah, yang merupakan tindakan melawan hukum.
Dengan lisensi, pengusaha memberikan izin kepada suatu pihak untuk membuat,
memasarkan, menjual atau mendistribusikan produk yang akan dijual tersebut. Izin
semacam ini bukan diberikan secara cuma-cuma, namun sebagai imbalannnya, pihak
6 Guawan Widjaja, loc. Cit. 7 Ibid.
68
pengusaha yang memberikan izin mendapat pembayaran yang disebut royalty.8
Selanjutnya, dengan suatu sistem atau aturan tertentu, pemberi lisensi akan menerima
pembayaran royalty dari penerima lisensi guna kesinambungan diakuinya sebagai
penerima lisensi dan memiliki hak untuk menggunakan ciptaan dan atau temuan
pemberi lisensi serta mendistribusikannya sesuai dengan hak yang dimilikinya dalam
jangka waktu yang telah disepakati dalam isi perjanjian.
Sebagaimana pemberian lisensi, waralaba inipun sesungguhnya mengandalkan
pada kemampuan mitra usaha dalam mengembangkan dan menjalankan kegiatan
usaha waralabanya melalui tata cara, proses serta suatu code of conduct dan sistem
yang telah ditentukan oleh pengusaha pemberi waralaba. Dapat dikatakan sebagai
bagian dari kepatuhan mitra usaha terhadap aturan main yang diberikan, mitra usaha
diberi hak untuk memanfaatkan hak atas kekayaan intelektual dan sistem kegiatan
dari pengusaha pemberi waralaba, baik dalam bentuk penggunaan merek dagang,
merek jasa, hak cipta atas logo, desain industri, paten berupa tekhnologi, maupun
rahasia gadang. Pengusaha pemberi waralaba selanjutnya memperoleh imbalan
royalty atas penggunaan hak atas kekayaan intelektual dan sistem kegiatan
operasional mereka oleh penerima waralaba.
Keberadaan Wong Solo sebagai salah satu lembaga bisnis yang menerapkan
sistem waralaba menjadikan satu persoalan yang menarik untuk dikaji. Apalagi Wong
Solo telah mengklaim dirinya berusaha mengguanakan dasar filosofi hukum Islam
8 Ibid., hlm. 3.
69
dalam kegiatannya Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah bahwa kasus
yang muncul adalah adanya ketidaksingkronan pernyataan Wong Solo ini dengan
kenyataan di lapangan. Yang dimaksud penulis di sini adalah konsep hukum Islam
khusus mengenai akad waralabanya, karena memang fokus pemabahasan dalam
skripsi ini adalah tentang akad itu. Jadi pernyataan penulis ini tidak bermaksud untuk
menggeneralisir masalah yang ada, akan tetapi hanya menilik pada permasalahan
yang dikaji.
Kesuksesan Puspo Wardoyo dalam mengembangkan bisnis rumah makannya, dan
untuk bersaing dengan rumah makan yang lain, Puspo mengambil strategi dengan
mewaralabakan hasil ramuannya berupa resep masakan khas dan trade-mark
bisnisnya berupa Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Jadi di sini diketahui
bahwa semua rumah makan Wong Solo dikelola dan dijalankan dengan sistem
waralaba (franchise). Hal serupa juga terjadi dengan outlet (rumah makan cabang)
Wong Solo yang berada di kota Semarang. Namun setelah mengadakan beberapa
riset dengan melakukan penelitian dokumentasi serta wawancara dengan salah satu
penerima waralaba Wong Solo, yaitu bapak Dicky Margono Budi, ternyata ada
perlakuan dan penerapan yang berbeda dalam pemberian lisensi Wong Solo di salah
satu outlet, yaitu Semarang. Dicky yang kebetulan teman akrab Puspo Wardoyo,
menerima lisensi waralaba di beberapa outlet Wong Solo- seperti di Semarang (2
Outlet), Bali, Sragen, Pekalongan, dan Cirebon. Semua itu adalah merupakan
kerjasama antara Puspo, Dicky dan satu atau beberapa orang yang menerima
70
waralaba, hal ini telah dijelaskan pada bab III. Namun tidak demikian halnya dengan
satu outlet yang berada di Semarang. Di outlet yang berlokasi di jalan Imam Bonjol
Semarang merupakan kerjasama yang terjadi antara Puspo dan Dicky. Perlakuan atas
aturan waralabanya-pun berbeda. Apabila di semua outlet walabara Wong Solo dapat
kita temukan surat akad tertulis dan resmi yang dibuat oleh para pihak yang kemudian
didaftarkan ke notaris setempat atau ke pihak yang berkompeten atasnya, namun di
outlet ini tidak kita temukan adanya surat akad yang merupakan syarat adanya
perjanjian yang sah. Perjanjian yang ada tidak didaftarkan ke hadapan notaris, akan
tetapi dibuat secara intern meskipun tetap mengacu pada akad waralaba yang berlaku
pada perjanjian waralaba Wong Solo pusat. Kasus semacam ini sepanjang penulis
ketahui hanya terjadi pada rumah makan cabang Semarang dengan pembeli lisensi
satu-satunya yaitu Dicky. Terjadinya pembedaan ini bukan hanya menimbulkan tanda
tanya besar atas perilaku manajemen Wong Solo yang membeda-bedakan mitra
bisnisnnya, akan tetapi juga menimbulkan perspektif hukum yang berbeda dan
cenderung menyalahi hukum yang berlaku.
Tidak adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis membuat status hukum
perjanjian tersebut kurang bisa dipertanggung jawabkan secara hukum. Di samping
itu juga menimbulkan ketidaktransparanan manajemen Wong Solo dalam memilih
mitra bisnisnya dengan membeda-beda aturan main. Tentu ini akan membawa
konsekuensi yang sangat berbahaya bagi hubungan Wong Solo dengan para
investornya. Hal lain yang mungkin perlu diperhatikan tentang kasus ini adalah tidak
71
jelasnya bagaimana aturan main dari bentuk kerjasama semacam ini. Bagaimana
tentang pembagian hak dan kewajiban antara pihak pemberi waralaba dan penerima
waralaba beserta semua hal yang merupakan konsekuensi dari adanya hak dan
kewajiban dalam bisnis, seperti pembagian keuntungan, pembayaran royalti,
pengaturan laba-rugi, penyelesaian konflik dan lain sebagainya, semua itu menjadi
tidak jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Andaikata bisa,
kekuatan hukumnyapun menjadi sangat kecil, karena tidak adanya bukti yang commit
to paper yang menjadi rujukan atau pijakan atas tindakan hukum tertentu. Tindakan
yang terjadi –manakala tidak ada pijakan yang kongkrit berupa perjanjian tertulis –
menjadi kabur dan tidak jelas. Bagaimana tidak, banyak kita temukan para pebisnis
yang mengkhianati mitra bisnisnya padahal sudah terdapat aturan dan kesepakatan
yang jelas antara para itu, itupun masih juga bisa berkelit dengan melakukan hal-hal
yang menyimpang dari kesepakatan dengan cara mencari celah agar tidak disalahkan
secara hukum. Hal ini jelas, akan sangat berbahaya bagi para pihak apabila terdapat
suatu kerjasama bisnis tanpa dibuat perjanjian yang jelas dan kongkrit. Apabila
waralaba yang jelas-jelas sudah ada aturan mainnya, maka pelanggaran atas tidak
melaksanakan aturan ini akan dapat diproses di hadapan hukum dengan melihat dan
mempertimbangkan perjanjian yang sudah disepakati. Jadi alasan dan pembuktian
atas pelanggaran suatu perjanjian tertentu atas tindakan tertentu yang melanggar akan
mudah dinilai.
72
Ketika penulis melakukan konfirmasi lebih lanjut kepada pengelola Wong Solo,
dalam hal ini adalah Puspo Wardoyo dan penerima waralaba Dicky Margono,
ternyata penulis mendapatkan informasi bahwa Wong Solo menerapkan sistem
waralaba ganda, yaitu waralaba murni dan waralaba lepas.9 Yang dimaksud dengan
waralaba murni menurut versi mereka adalah seorang penerima waralaba atau yang
ditunjuk adalah sekaligus seorang pemilik atau pengelola yang berhak
mengoperasikan suatu outlet tertentu, untuk kurun waktu tertentu. Hak waralaba
tersebut mencakup penggunaan merek dagang Wong Solo, desain dan dekorasi rumah
makan, merek dan peralatan serta pola penempatannya, resep dan jenis makanan,
penggunaan dan metode operasional Wong Solo, sistem inventori control,
pembukuan, akuntansi dan pemasaran serta hak untuk menempati dan mengisi
ruangan rumah makan. Sedangkan waralaba lepas adalah system kerja sama di mana
investor atau pihak franchisee tidak perlu memiliki bakat dan ketrampilan dalam
bidang kerumahmakanan, maka semua pekerjaan dari awal sampai pengoperasionalan
diserahkan sepenuhnya kepada pihak franchisor. Adapun perjanjian yang terjadi
antara Puspo dan Dicky adalah perjanjian waralaba murni, sehingga Dicky bukan
hanya sebagai pembeli waralaba tetapi ia juga ikut serta memiliki lisensi Wong Solo
dan berhak menggunakan merk Wong Solo dan lain sebagainya dan berhak
mendistribusikan produk Wong Solo melalui rumah makan Ayam Bakar Wong Solo.
Akan tetapi perbedaannya adalah bahwa khusus cabang rumah makan Wong Solo
9 Diambil dari Buletin Wong Solo yang berjudul Kiat Sukses Membangun Bisnis Waralaba, yang
merupakan panduan praktis melihat sekilas pengalaman keluarga dan pengalaman bisnis Puspo Wardoyo. Lihat, Buletin Wong Solo, loc. Cit..
73
yang berada di Semarang tidak dibuat surat perjanjian tertulis. Hal ini sesuai dengan
jawaban Dicky ketika diwanwancarai oleh penulis, bahwa kerhasama yang ia lakukan
dengan Puspo adalah kerjasama langsung tanpa perjanjian tertulis seperti halnya
waralaba Wong Solo di outlet lain, akan tetapi aturan-aturannya tetap sama, andaikata
ada yang beda misalnya masalah pembayaran royalty atau sistem bagi bagi hasilnya
itu merupakan kesepakatan antara keduanya.10 Hal ini terjadi karena adanya
hubungan batin antara Puspo dan Dicky sejak kecil yang merupakan sahabat sejak
kecil dan karena adanya fanatik daerah yang kebetulan mereka berdua berasal dari
kampung yang sama. Selain itu, Dicky juga telah membeli beberapa lisensi Wong
Solo dengan perjanjian tertulis, namun memang melibatkan orang lain dalam
perjanjian waralaba itu, artinya waralaba Wong Solo yang Dicky miliki adalah hasil
dari patungannya dengan orang lain. Oleh sebab itu, Puspo merasa yakin dan percaya
kepada Dicky dan begitu sebaliknya, sehingga surat perjanjian tertulis bagi mereka
untuk waralaba rumah makan cabang Semarang tidak perlu dibuat. Rasa percaya
mereka dan hubungan batin di antara mereka merupakan kekuatan yang lebih kuat
daripada kekuatan perjanjian tertulis, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini
hanya menekankan pada satu sisi, yaitu sisi kepercayaan, padahal bisnis tidak hanya
soal kepercayaan, tetapi soal pembagian job, hak dan kewajiban dan lain sebagainya,
tentu ini merupakan hal lain yang sudah pasti dibahas. Untuk hal ini, meskipun tidak
10 Data ini diperoleh dari hasil wawancara penulis dengan pembeli waralaba Wong solo Semarang
Dicky Margono Budi di sela-sela waktu santai beliau di rumah, ketika penulis bersilaturrahmi ke sana.
74
terdapat perjanjian tertulis, tetapi tetap berlaku aturan-aturan waralaba yang berlaku
umum pada waralaba Wong Solo.
Menurut pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997,
diterangkan bahwa, ayat 1: Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis
antara pemberi waralaba dan penerima waralaba, dan ayat 2: Perjanjian waralaba
dibuat dalam bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia. Kemudian
dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPP/Kep/1997
pasal 1 ayat 6 dan 7, dan pasal 2 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa, pasal 1ayat 6:
Perjanjian waralaba adalah perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan penerima
waralaba, pasal 1 ayat 7: Perjanjian waralaba lanjutan adalah perjanjian tertulis
antara pemberi waralaba utama dan penerima waralaba lanjutan. Kemudian pasal 2
ayat 1 : Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi
waralaba dan penerima waralaba, pasal 2 ayat 2: Perjanjian waralaba dibuat dalam
bahasa Indonesia dan terhadapnya berlaku hukum Indonesia.11 Berdasarkan kedua
peraturan di atas maka perjanjian waralaba Wong Solo di outlet Semarang tidak dapat
dikatakan sah karena tidak adanya perjanjian tertulis antara para pihak yang
dikehendaki oleh peraturan tentang waralaba di atas, yaitu pihak pemberi waralaba
dan pihak penerima waralaba. Secara terang peraturan di atas menyebutkan bahwa
perjanjian waralaba adalah ”perjanjian tertulis” antara para pihak dengan tanpa
kecuali. Dengan demikian secara kasat mata saja perjanjian waralaba yang terjadi
11 Gunawan widjaja, op. cit., hlm.158 dan 167.
75
antara Puspo dan Dicky tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian waralaba, karena
menyalahi aturan yang berlaku dengan tidak dibuatnya perjanjian tertulis.
Menurut ketentuan Undang-undang tentang waralaba di atas tidak dijelaskan
secara mendetail tentang pengecualian tentang adanya pihak yang melakukan
transaksi waralaba dengan jelas. Dan juga tidak dibedakan perlakuan antara apakah
para pihak yang melakukan transaksi itu memiliki hubungan apapun sebelumnya
sehingga adanya surat perjanjian itu menjadi tidak wajib, dalam arti tetap sah saja
perjanjian waralaba seseorang meskipun tanpa dibuat surat perjanjian. Di sini perlu
dicermati lebih lanjut, bahwa perjanjian bisnis waralaba di mana seseorang membuka
usaha harus didaftarkan lewat pihak yang berwenang, sehingga menjadi jelas siapa
pemiliknya, siapa yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak dan lain
sebagainya. Sehingga yang menjadi wajib adalah pendaftaran usaha kepada pihak
yang berwenang, bukan perjanjian tertulis antara para pihak yang melakukan
kerjasama. Apabila para pihak tidak menganggap perlu sebuah perjanjian tertulis
dikarenakan oleh suatu sebab, maka perjanjian tertulis itu tidak perlu dibuat.
Mungkin karena para pihak telah saling percaya satu sama lain, atau mereka adalah
berasal dari satu anggota keluarga, sanak saudara atau dengan alasan apapun sehingga
mereka tidak perlu membuat perjanjian tertulis. Yang terjadi antara Puspo dan Dicky
adalah demikian. Karena mereka adalah berasal dari wilayah yang sama, dan
merupakan teman yang sangat akrab, di samping itu Dicky juga telah memiliki
beberapa lisensi Wong Solo, maka menurut mereka tidak perlu diadakan surat
76
perjanjian resmi lagi untuk didaftarkan ke notaris. Akan tetapi sekali lagi, bahwa
Undang-Undang memandang segala sesuatu menurut umumnya permasalahan, bukan
perkecualiannya atau pengkhususannya, sehingga menurut Undang-Undang ini,
perjanjian yang dilakukan oleh Puspo dan Dicky bisa dianggap tidak diakui, atau
perjanjian yang dapat dibatalkan karena tidak terpenuhinya unsur subyektif menurut
hukum, yaitu tidak adanya “akad tertulis” yang menunjukkan maksud para pihak
yang melakukan kerjasama. Yang terjadi adalah bahwa maksud para pihak yang
melakukan kerja sama hanya tertuang dalam bentuk lisan dan perjanjian hukum yang
sudah biasa berlaku pada perjanjian waralaba Wong Solo secara umum.
Dalam kaca mata yang beda, apabila kita telurusi dan kaji kembali tentang isi
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1997 pasal 2 ayat 112 dan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/1997 pasal 1 ayat 6 13, maka
dapat kita lihat bahwa di sana tidak ada kata “mengharuskan” atau “mewajibkan”
menulis setiap perjanjian waralaba yang dilakukan antara franchisor dan franchisee,
yang ada adalah berupa kalimat pernyatan bukan perintah. Jadi, bisa saja apa yang
dinyatakan kedua peraturan di atas adalah pilihan atau sekedar anjuran. Manakala
perjanjian itu perlu dibuat dalam bentuk tulisan, maka perjanjian itu ditulis. Akan
tetapi manakala para pihak (franchisor dan franchisee) menganggap bahwa hal ini
tidak perlu karena suatu sebab tertentu, maka diberi kebebasan kepada mereka untuk
12 Waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan
penerima waralaba. 13 Perjanjian waralaba adalah perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dan penerima waralaba.
77
memilih jalan mereka. Namun, sekali lagi, memang umumnya perjanjian waralaba itu
ditulis dan didaftarkan kepada pihak yang berkompeten atasnya (baca notaris).
Berdasarkan pasal 2 Peraturan pemerintah dan Keputusan Menteri Perindustrian
Dan Perdagangan pasal 1 di atas, mungkin dapat kita ambil kesimpulan seperti di
atas. Namun selanjutnya, apabila kita menilik pada pasal 7 Keputusan Pemerintah14
dan Keputusan Menteri Perindustrin dan Perdagangan pasal 11 terutama ayat 115
akan didapati data yang berbeda. Perjanjian waralaba yang telah dibuat oleh para
pihak beserta data kelengkapan lain yang dimaksud oleh Pemerintah harus
didaftarkan kepada departemen perindustrian dan perdagangan. Dengan tidak adanya
bukti perjanjian tertulis, maka jelas tidak ada yang bisa didaftarkan. Di sinilah
terdapat kelemahan dan cacat hukum atas perjanjian waralaba Wong Solo Semarang.
Namun seperti telah dijelaskan pada bab III di atas, bahwa Wong Solo Semarang
tetap didaftarkan ke Departemen Perdagangan dan Pariwisata akan tetapi bukan atas
nama kerjasama antara Puspo dan Dicky, namun Wong Solo Semarang hanya
didaftarkan atas nama Dicky saja. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa, secara
hukum Wong Solo Semarang tetap mentaati hukum Nasional, namun secara bentuk
perjanjian, tidak bisa dikatakan sebagai perjanjian waralaba, sehingga status
14 Ayat 1: perjanjian waralaba beserta keterangan tertulis sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat
(1) didaftarkan di Dep. Perindustrian dan Perdagangan oleh penerima waralaba paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berlakunya perjanjian waralaba, dan ayat 2: pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan rangka dan untuk kepentingan pembinaan usaha dengan cara waralaba. Baca selengkapnya dalam lampiran, Gunawan Widjaja, Waralaba, Op. Cit., hlm.159.
15 Setiap penerima waralaba/penerima waralaba lanjutan wajib mendaftarkan perjanjian waralabanya beserta keterangan tertulis sebagaimana dimaksud pada pasal 5 keputusan in pada Departemen perindustrian dan Perdagangan cq. Pejabat yang berwenang menerbitkan STPUW untuk memperoleh STPUW. Ibid, hlm. 170.
78
hukumnya adalah tidak diakui sebagai perjanjian waralaba menurut Peraturan
Pemerintah dan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan di atas, namun
hanya dianggap sebagai bisnis rumah makan biasa.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Waralaba (Franchising) Rumah
Makan Ayam Bakar Wong Solo di Outlet Semarang
Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bertindak sebaik mungkin dalam
setiap amal perbuatan, dan hendaknya kita menjadi manusia yang dapat berguna bagi
orang lain, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi
manusia lain. Dan hendaknya kita menghindarkan diri dari sesuatu yang dapat
menimbulkan kemadlaratan seperti, jual beli gharar, memakan harta orang lain
dengan cara yang tidak benar, dan lain sebagainya. Allah berfirman dalam surat al-
Nisa’ ayat 29:
يب الكموأكلوا أموا ال تنآم ا الذينها أياطل إال أنيبالب كمكوننن تة عارتج
تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيماتراض منكم والArtinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu(al-Nisa’ :29).16
16 Departemen Agama, Al Qur’an dan terjemahannya ,Semarang: PT. Toha Putra, 1997, hlm.
122.
79
Agama Islam mengatur sedemikian rupa terhadap tatanan hidup pemeluknya,
bahkan tidak hanya itu, sebagai agama yang rahmatal lil ‘alamin, Islam memberi
penerangan kepada semua manusia tanpa pandang bulu, apakah ia tua ataupun muda,
dari penjuru dunia manapun, bahkan ia dilahirkan dalam komunitas yang menolak
Islam sekalipun, Islam tetap sebagai agama yang memberi rahmat kepada sekalian
alam. Namun, hanya orang yang mau beriman dan berserah diri kepada-Nyalah yang
akan selamat kelak di hari akhir.
Di dunia ini, Islam memberikan ruang gerak yang sama dalam hal muamalah dan
tidak memaksakan kepada siapapun untuk mengadopsi hukum Islam, artinya dalam
bermuamalah orang bebas memilih cara apa saja asal tidak melanggar hak orang lain,
akan tetapi umat Islam harus bisa membedakan dan mengadopsi tatanan hukum yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Karena pada hakekakatnya, hanya orang yang
bersih hatinya dan mau melakukan refleksi diri (muhasabah) bisa menerima Islam
dengan utuh, meski ia tidak mau masuk Islam.
Dalam hal muamalah, Islam memberikan anjuran bahkan perintah untuk berbuat
adil dan memenuhi janji (aqd) kepada siapapun termasuk kepada non Muslim,
sepanjang janji itu tidak melanggar ketentuan agama. Allah berfirman dalam al-
Qur’an, surat al-Maidah ayat 1
يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود.……
80
Artinya: Hai orang –orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…..(QS. al-Maidah: 1).17
Ayat al-Qur’an di atas menyuruh kita untuk memenuhi akad –dalam arti perjanjian
yang mencakup janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh
manusia dalam pergaulan sesamanya –bukan saja orang yang seiman saja, akan tetapi
kepada siapa saja yang kita pernah melakukan akad kepadanya termasuk janji kepada
non muslim, selama janji itu tidak melanggar ketentuan agama.
Allah juga menyuruh kita untuk berbuat adil kepada sesama manusia, dengan
firman-Nya dalam surat al-Mumtahanah ayat 8:
ا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن لقسطنيالم حبي إن الله همقسطوا إليتو موهربت
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yag tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.(QS Al-Mumtahanah: 8).18
Tujuan dari perintah berbuat adil ini adalah untuk menciptakan hubungan yang
harmonis, saling memerikan manfaat, mengambil manfaat dan menguatkan tali
silaturrahmi di antara manusia.19
Allah juga memerintahkan kepada kita untuk mencatat setiap transaksi yang kita buat.
Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam al-Qur’an:
17 Ibid, hlm. 156. 18 Ibid, hlm. 924 19 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, cet. Ke-4, Jilid 3, 1983, hlm. 13.
81
كمنيب بكتليو وهبى فاكتمسل من إلى أجيم بدنتايدوا إذا تنآم ا الذينها أييكاتب بالعدل وال يأب كاتب أن يكتب كما علمه الله فليكتب وليملل
تليو قه الحليه الذي عليئا فإن كان الذي عيش همن سخبال يو هبر ق اللهالحق سفيها أو ضعيفا أو ال يستطيع أن يمل هو فليملل وليه بالعدل
ليجا ركوني فإن لم الكمجن من ريهيدوا شهدشتاسن وان ممأترامل وجن فر أبال يى ورا األخماهدإح ذكرا فتماهدضل إحاء أن تدهالش ن منوضرت له ذلكمغريا أو كبريا إلى أجص هوبكتا أن توأمسال توا وعا داء إذا مدهالش
عند الله وأقوم للشهادة وأدنى أال ترتابوا إال أن تكون تجارة حاضرة أقسطتديرونها بينكم فليس عليكم جناح أال تكتبوها وأشهدوا إذا تبايعتم وال
ن تفعلوا فإنه فسوق بكم واتقوا الله ويعلمكم الله يضآر كاتب وال شهيد وإ والله بكل شيء عليم
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
82
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (al-Baqarah: 282).)
Ayat di atas memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita khususnya dalam
bidang muamalah. Tujuan dari perintah Allah di atas adalah jelas, bahwa apabila kita
melakukan transaksi dengan orang lain termasuk utang piutang, hendaknya kita tulis
dan kalau perlu dipersaksikan kepada saksi yang ditunjuk supaya tidak menimbulkan
sesuatu perselisihan di waktu yang akan datang. Karena manusia mempunyai potensi
untuk berkhianat, dan Allah-lah yang tidak akan pernah berkhianat kepada hamba-
Nya, sehingga dengan menulis setiap transaksi yang kita lakukan secara tepat dan
proporsional –artinya yang pantas ditulis dan apalagi sudah ada aturan untuk
menuliskannya –maka itu adalah perbuatan hati-hati kita dan termasuk perbuatan
yang memicu kepada keadilan.
Lain halnya dengan apa yang terjadi dengan perjanjian waralaba yang dilakukan
oleh Puspo dan Dicky khususnya di Outlet Semarang. Tidak adanya surat perjanjian
tertulis antara keduanya menimbulkan konsekuensi hukum yang sangat prinsipil,
yaitu melanggar ketentuan peraturan waralaba nasional yang harusnya antara para
pihak (franchisor dan franchisee) harus membuat perjanjian yang tertulis.
83
Meskipun secara hukum, kerjasama bisnis yang dilakukan adalah bisnis yang
dibolehkan, akan tetapi dalam prakateknya syarat-syarat yang harus dipenuhi tidak
terpenuhi dengan semuanya. Dalam hal ini adalah masih menyangkut syarat yang
diajukan atau yang disyaratkan oleh hulum nasional.
Berbeda halnya ketika hukum Islam memandang masalah ini. Dalam term Islam –
seperti telah dibahas dalam bab II –bahwa kerjasama waralaba dikenal dengan nama
syirkah mudlarabah, yang kebetulan juga digunakan oleh Wong Solo dalam
menyebut akad waralabanya. Maka dalam hal ini, penulis menggunakan kaca mata
hukum Islam (syirkah mudlarabah) dalam memandang dan menilai kasus ini.
Menurut rukun yang ada dalam akad syirkah mudlarabah, tidak disebutkan
bahwa akad harus berupa perjanjian yang tertulis, bahkan dalam ijab dan qabul yang
merupakan bagian dari akad itu sendiri tidak harus menggunakan lafadz tertentu,
tetapi boleh menggunakan akad yang menunjukkan maksud akad mudlarabah, karena
apa yang terpenting bukan lafadz itu, akan tetapi maksud dan makna yang terkandung
di dalamnya.20
Pada kasus yang lain, apabila terjadi pengkhianatan terhadap isi perjanjian, maka
Allah dalam sebuah hadis Qudsi telah menyebutkan bahwa Allah akan bersama
dengan orang yang berserikat manakala mereka tidak mengkhianati satu sama lain.
20 Al-Sayid Sabiq, Op. cit., hlm. 213.
84
Apabila ada yang berkhianat, maka Allah akan keluar dari mereka (mencabut barokah
dari bisnis mereka).
Apabila kasus tidak ditulisnya perjanjian mudlarabah disnisbatkan kepada ayat
al-Qur’an tentang perintah menulis setiap transaksi dalam hal utang-piutang di atas,
maka menurut hemat penulis, hal ini sah-sah saja, akan tetapi akan berbeda kadar
hukumnya, yaitu menjadi anjuran menulis bagi oran yang melakukan transaksi bisnis
bagi yang membutuhkan, bukan sebagai perintah menulis. Akan tetapi apabila kasus
tidak ditulisnya perjanjian waralaba antara Puspo dan Dicky dinisbatkan kepada
perintah untuk mentaati pemerintah (ulil amri), maka perjanjian yang dibuat oleh
mereka adalah perjanjian yang tidak taat kepada aturan pemerintah, karena pada
hakekatnya apa yang ditetapkan oleh pemerintah tentang perintah penulisan
perjanjian waralaba adalaha baik, artinya untuk menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan apabila terjadi perselisihan. Dan bukan hanya itu saja persoalannya, akan
tetapi untuk menjaga tertib adminisrtrasi kepemerintahan perihal izin perdagangan.
Allah berfirman dalam al-Qur’an:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي األمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم اآلخر
سأحو ريخ أويالذلكت ن
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
85
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS. al-Nisa’: 59).
Maka jelaslah bahwa perjanjian waralaba yang dilakukan oleh Puspo dan Dicky
dengan tidak menulisnya dan tidak mendaftarkanya kepada Notaris merupakan
bentuk ketidaktaatan kepada pemerintah, dan konsekuensi dari ketidaktaatan ini bisa
diancam tidak diakuinya Wong Solo Semarang sebagai perjanjian waralaba.
Di sisi lain, Wong Solo sendiri sebetulnya menerapkan sistem atau cara membuat
perjanjian tertulis dan resmi antara pihak Wong Solo (Puspo Wardoyo) dengan
pemegang saham sebagai penerima lisensi, namun khusus pada Wong Solo Semarang
terdapat kasus tertentu yang menyebabkan tidak ditulisnya perjanjian waralaba Wong
Solo (seperti telah dijelaskan di atas). Alasan mengapa tidak ditulisnya perjanjian
waralaba ini adalah seperti sudah disebutkan di muka, bahwa mereka tidak perlu
menulis dan melaporkannya kepada notaris, karena pada hakekatnya hal itu dilakukan
karena untuk mencegah adanya sifat berkhianat antara pihak yang berserikat. Apabila
kekhawatiran itu telah hilang, maka tidak perlu menulisnya lagi. Di samping itu, telah
ada surat perjanjian resmi lainya yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur
tingkat keabsahan perjanjian itu. Yang terpenting adalah bahwa telah ada sikap saling
ridho tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Dalam hukum Islam sendiri juga tidak
mewajibkan adanya penulisan dalam kerjasama syirkah mudlarabah, akan tetapi
hanya menganjurkan, demi terciptanya ketertiban, kehati-hatian dalam bermuamalah.
Perintah wajib menulis seperti yang telah dijelaskan al-Qur’an di atas adalah
86
mengenai hal utang-piutang. Apabila diqiyaskan kepada konsep kerjasama dalam
muamalah lainnya tentunya hal ini menjadi wajib untuk menunlis setiap transaksi
apapun demi terciptanya kemaslahatan antar para pihak. Dari sini, kita dapat melihat
bahwa menurut Islam, kerjasama antara Dicky dan Puspo adalah sah karena
dilakukan dengan saling percaya dan ridlo serta tidak ada paksaan dari pihak
manapun. Hal ini dengan mengecualikan apakah status kerjasamanya adalah
kerjasama waralaba atau bukan, karena memang perajanjian ini tidak ada dalam
hukum Islam, dan pengaturannya secara spesifik tentu tidak ada, kecuali diatur dalam
hukum nasional. sehingga status hukum perjanjian waralaba Wong Solo Semarang
adalah seperti telah dijelaskan di atas.