wanafarma

3
Oleh : NENY YULICHA NUR RAHMAWATI, S.Hut Penyuluh Kehutanan Lapangan Kec. Sawahan A. PENGERTIAN Wanafarma adalah suatu ben-tuk pola tanam yang memadukan tanaman hutan (wana) dan tanaman herbal obat (farma). B. MENYISIPKAN TANAMAN OBAT Dalam pola PHBM, masyarakat di-perbolehkan menanam tanaman pangan, seperti padi dan jagung, di antara tanaman hutan sehingga mereka mendapat sumber pangan keluarga. Namun, seiring dengan tumbuh berkembangnya tanaman hutan, tingkat naungan di antara tanaman hutan seperti jati makin tinggi. Tanaman pangan umumnya membutuhkan sinar matahari yang cukup. Dengan naungan yang makin meningkat, produktivitas tanaman pangan makin menurun. Untuk mengatasi masalah ter- sebut, petani dapat membudi-dayakan tanaman yang tahan na-ungan sampai 45%, seperti tanaman obat rimpang. Tanaman obat rimpang, seperti jahe, kunyit, temu-lawak, dan kencur, masih mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik pada tingkat naungan sampai 45%. Kelompok tanaman obat lain yang toleran naungan adalah Um-beliferae (kumis kucing) dan Piperaceae (cabai jawa, sirih, kemukus). Upaya menyisipkan tanaman obat di antara tanaman hutan perlu memerhatikan aspek teknis, ling- kungan, dan sosial. Aspek teknis yang perlu diperhatikan meliputi (1) kesesuaian antara tanaman pokok dan tanaman sela, (2) tidak ada persaingan cahaya, air, hara dan CO2, dan (3) tanaman tidak memiliki hama dan penyakit yang sama. Pola penyisipan tanaman obat di antara tanaman hutan dikenalsebagai wanafarma. Pada pola ini, tanaman obat dibudidayakan di antara tanaman hutan, terutama pada lahan Perhutani, dengan ting-kat naungan maksimal 45%. Polaini sangat potensial dikembangkan karena permintaan tanaman obat sebagai bahan baku industri obat tradisional terus meningkat. Dalam satu dekade terakhir, industri obat

description

wanafarma

Transcript of wanafarma

Oleh :NENY YULICHA NUR RAHMAWATI, S.HutPenyuluh Kehutanan Lapangan Kec. Sawahan

A. PENGERTIAN

Wanafarma adalah suatu ben-tuk pola tanam yang memadukan tanaman hutan (wana) dan tanaman herbal obat (farma).

B. MENYISIPKAN TANAMAN OBATDalam pola PHBM, masyarakat di-

perbolehkan menanam tanaman pangan, seperti padi dan jagung, di antara tanaman hutan sehingga mereka mendapat sumber pangan keluarga. Namun, seiring dengan tumbuh berkembangnya tanaman hutan, tingkat naungan di antara tanaman hutan seperti jati makin tinggi. Tanaman pangan umumnya membutuhkan sinar matahari yang cukup. Dengan naungan yang makin meningkat, produktivitas tanaman pangan makin menurun.

Untuk mengatasi masalah ter-sebut, petani dapat membudi-dayakan tanaman yang tahan na-ungan sampai 45%, seperti tanaman obat rimpang. Tanaman obat rimpang, seperti jahe, kunyit, temu-lawak, dan kencur, masih mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik pada tingkat naungan sampai 45%. Kelompok tanaman obat lain yang toleran naungan adalah Um-beliferae (kumis kucing) dan Piperaceae (cabai jawa, sirih, kemukus).

Upaya menyisipkan tanaman obat di antara tanaman hutan perlu memerhatikan aspek teknis, ling-kungan, dan sosial. Aspek teknis yang perlu diperhatikan meliputi (1) kesesuaian antara tanaman pokok dan tanaman sela, (2) tidak ada persaingan cahaya, air, hara dan CO2, dan (3) tanaman tidak memiliki hama dan penyakit yang sama.

Pola penyisipan tanaman obat di antara tanaman hutan dikenalsebagai wanafarma. Pada pola ini, tanaman obat dibudidayakan di antara

tanaman hutan, terutama pada lahan Perhutani, dengan ting-kat naungan maksimal 45%. Polaini sangat potensial dikembangkan karena permintaan tanaman obat sebagai bahan baku industri obat tradisional terus meningkat. Dalam satu dekade terakhir, industri obat tradisional terus berkembang, yangditandai dengan peningkatan omzet dan jumlah perusahaan obat tra-disional. Pada tahun 2000, omzet industri obat tradisional mencapai Rp2 triliun, dan meningkat menjadi Rp7,2 triliun pada tahun 2008. Sementara itu, jumlah industri obat tradisional (IOT) dan industri kecil obat tradisional (IKOT) pada tahun 2002 mencapai 1.000 perusahaan. Pada tahun 2008, jumlah anggota Gabungan Pengusaha Jamu se-banyak 129 industri besar dan 1.037 IKOT, termasuk industri rumah tangga dan pengecer.

Kemajuan industri obat Kemajuan industri obat tradi-sional juga ditandai dengan makin banyaknya jamu yang digunakan sebagai bahan dasar pengobatan dan diresepkan oleh dokter sebagai obat pendamping. Selain itu, indus-tri dan pariwisata berbasis jamu juga berkembang dengan laju 9%/ tahun. Bahkan usaha spa berbasis jamu dan ramuan tradisional tumbuh dengan laju hingga 14%/tahun. Tanaman obat rimpang adalah yang paling banyak dibutuhkan industri obat tradisional. Sekitar 38% bahan baku yang dibutuhkan perusahaan jamu di Jawa Tengah adalah dari kelompok tanaman obat rimpang (Zingiberaceae), sedang-kan dari kelompok Umbeliferae hanya 10%, Myristicaceae 9%, dan Piperaceae 6%.

Dengan mengembangkan wanafarma, fungsi eko-nomi dan fungsi ekologi hutan dapat dipertahankan, dan di sisi lain kebutuhan

masyarakat sekitar hutan akan lahan budi daya sebagai sumber pendapatan dan sumber pangan dapat dipenuhi. Usaha tani tanaman obat juga berpotensi menyerap tenaga kerja di pedesaan. Usaha tani kencur dapat menyerap 620 hari orang kerja/ha/musim, sedangkan usaha tani jahe membutuhkan 600 hari orang kerja/ha/musim.

C. POLA TANAM WANAFARMALangkah pertama dalam menerap-kan pola

tanam wanafarma adalah mengetahui tingkat naungan di bawah tanaman hutan. Beberapa jenis tanaman obat dapat tumbuh di bawah naungan hingga 45%, namun produktivitasnya turun drastis jika tingkat naungan lebih dari 50%. Oleh karena itu, lahan yang dapat dikembangkan dengan pola tanam wanafarma adalah lahan hutan rakyat dan hutan Perhutani dengan tingkat naungan kurang dari 45%, atau umur tanaman hutan kurang dari 5 tahun.

Pola tanam yang dapat diterap-kan dalam wanafarma yakni tanaman hutan + tanaman obat, atau tanaman hutan + tanaman obat + tanaman pangan. Tanaman pangan yang dapat disisipkan dalam pola tanam tersebut antara lain adalah kacang tanah, jagung, kedelai, kacang hijau, dan padi. Dalam pola tanam dengan tanaman pangan, tanaman obat menjadi tanaman utama. Pola tanam yang dipilih disesuaikan dengan kondisi agroekologi dan minat petani. Penyisipan tanaman pangan da-lam wanafarma akan menarik minat petani. Tanaman pangan umumnya berumur lebih pendek daripada tanaman obat sehingga dapat menjadi sumber pendapatan petani sebelum tanaman obat dipanen. Penanaman dan pengelolaan tanaman obat dalam pola wanafarma sedikit berbeda

dengan pola monokultur, terutama dosis pupuk dan jarak tanam. Jarak tanam tanaman obat disesuaikan dengan jarak tanam tanaman hutan. Sebagai contoh, pada pola kencur monokultur, jarak tanamnya adalah 20 cm x 20 cm. Jika ditanam bersama ta-naman pangan, jarak tanam kencur disesuaikan menjadi 40 cm x 40 cm, bergantung pada pola tanam. Penerapan pola tanam wanafarma dapat meningkatkan pendapatan petani. Tingkat pendapatan ini sangat ditentukan oleh jenis tanaman yang diusahakan. Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, penanaman temulawak secara monokultur di bawah tanaman sengon dapat meningkatkan pendapatan petani Rp5-10 juta/ha. Bila yang ditanam jahe, pendapatan petani sebesar Rp3 juta/ha. Pada tumpang sari tanaman obat dan tanaman pangan, petani dapat memperoleh pendapatan dari dua sumber. Namun, tidak semua pola tanam kedua jenis tanaman tersebut menguntungkan. Di Kabupaten Salatiga, Jawa Tengah, pola tanam jahe monokultur memberi pendapatan bersih Rp3,5 juta dari luasan 1.000 m2 , tetapi pendapatan bersih petani turun menjadi Rp3 juta jika jahe ditumpangsarikan dengan jagung dan cabai.

Berdasarkan pengalaman tersebut, penentuan pola tanam yang menguntungkan perlu dikaji lebih teliti, disesuaikan dengan modal dan tenaga kerja yang tersedia. Perlu pula diperhatikan kesesuaian antara tanaman pokok dan tanaman sela. Selain memberi pendapatan langsung, pengembangan wanafarma dapat memperbaiki kualitas lingkungan, menciptakan iklim mikro yang baik, memperbaiki struktur tanah, dan mengendalikan erosi. Pengembangan wanafarma

juga dapat meningkatkan kesem-patan kerja sehingga pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan makin baik.