Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

121
ISSN 1829-8079 Diterbitkan oleh : Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara ISSN 1829 - 8079 Vol. 14 No. 2 Hal. 102 - 206 JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN INOVASI Vol. 14 No. 2, Oktober 2017 Inovasi Terakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiah dengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013 Medan Oktober 2017 Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta) (Eddi Suprayitno) Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten (Moh Sofyan Budiarto) Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau (Wanda Kuswanda) Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana) Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar) Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet (Priyo Adi Nugroho) Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi (Lesmana Rian Andhika) Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang) Analisis FInansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III (M. Afif Shahputra, Zahari Zen, Johannes Sabam Siregar) Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

Transcript of Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Page 1: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

ISSN 1829-8079

Diterbitkan oleh :

Badan Penelitian dan PengembanganProvinsi Sumatera Utara

ISSN1829 - 8079Vol. 14 No. 2

Hal. 102 - 206

JURNAL POLITIK DAN KEBIJAKAN

INOVASI Vol. 14 No. 2, Oktober 2017

InovasiTerakreditasi sebagai Majalah Berkala Ilmiahdengan Nomor Akreditasi: 532/AU2/P2MI-LIPI/04/2013Medan

Oktober 2017

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta) (Eddi Suprayitno) Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten (Moh Sofyan Budiarto) Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau (Wanda Kuswanda) Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar) Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet (Priyo Adi Nugroho) Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi (Lesmana Rian Andhika)

Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang) Analisis FInansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III (M. Afif Shahputra, Zahari Zen, Johannes Sabam Siregar) Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

Page 2: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Jurnal INOVASI adalah jurnal ilmiah bidang ilmu politik dan kebijakan yang terakreditasi dengan Nomor

Akreditasi: 736/AU3/P2MI-LIPI/04/2016 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia Nomor : 329/E/2016 tanggal 24 Maret 2016

Jurnal INOVASI sebagai media litbang Provinsi Sumatera Utara memuat karya tulis ilmiah hasil penelitian atau

tinjauan kepustakaan dalam bidang pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya, ekonomi dan

pembangunan, sumberdaya alam dan maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan berpolitik

yang terbit dua kali dalam setahun setiap bulan Mei dan Oktober.

Penanggung Jawab Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara

Redaktur Prof. Dr. H. Syaiful Sagala, S.Sos, M.Pd (Pendidikan, Universitas Negeri Medan)

Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si (Kesehatan, Universitas Sumatera Utara)

Prof. Dr. Marlon Sihombing MA (Kebijakan Publik, Universitas Sumatera Utara) Dr. Zahari Zein, M.Sc. (Lingkungan, Universitas Sumatera Utara)

Ir. E. Harso Kardhinata, M.Sc (Pertanian, Universitas Sumatera Utara)

Dr. Iskandar Muda, SE, M.Si., Ak (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara)

Jonni Sitorus, ST., M.Pd (Pendidikan, Balitbang Provinsi Sumut)

Penyunting H. Makrum Rambe, SE, MM

Porman Juanda Marpomari Mahulae, ST Nobrya Husni, ST

Dumora Jenny Margaretha Siagian, ST

Silvia Darina, SP

Anton Parlindungan Sinaga, ST

Sahat C. Simanjuntak, ST

Mitra Bestari Volume 14, Nomor 2, Oktober 2017

Hendarman (Kebijakan Pendidikan, Balitbang Kemdikbud) Yahya Zakaria (Kebijakan Pendidikan, Balitbang Kemdikbud)

Sabam Malau (Pertanian, Universitas Nommensen Medan)

Suzanna Eddyono (Sosiologi, Universitas Gajah Mada)

Said Muzambig (Teknik, Institut Teknologi Medan) Dede Ruslan (Ekonomi, Universitas Sumatera Utara)

Monang Sitorus (Kebijakan Publik, Universitas Nommensen Medan)

Wanda Kuswanda (Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Aek Nauli, Sumatera Utara)

Alamat Penerbit : BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PROVINSI SUMATERA UTARA

Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126

Tel. (061) 7866225; 7883016 - Fax. (061) 7866248 Website : http://balitbang.sumutprov.go.id

Email : [email protected]

Page 3: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

PENGANTAR REDAKSI

HORAS……

Pembaca yang terhormat,

Jurnal INOVASI edisi Oktober 2017 hadir dengan tulisan-tulisan dari hasil penelitian

dan tinjauan kepustakaan dengan beragam topik mulai dari ekonomi, pertanian, hingga

otonomi daerah.

Artikel pembuka berjudul Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam

Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing

Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta), dilanjutkan dengan tulisan

tentang analisis PAD di Provinsi Banten. Tulisan terkait pengelolaan sumber daya alam

antara lain: Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi

Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson); Studi Kasus Pelepasliaran

Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau; Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS

Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon; Pembangunan

Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet; A nalisis FInansial Biogas

Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III; dan,

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan

Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Edisi kali ini juga memuat artikel terkait

otonomi daerah dengan judul “Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di

Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi”.

Semoga tulisan yang kami sajikan dapat menambah wawasan dan pengetahuan para

pembaca. Kami mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk perbaikan

Jurnal INOVASI.

-Dewan Redaksi-

Page 4: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/dicopy

tanpa ijin dan biaya.

DDC 306 Eddi Suprayitno Pengaruh Orientasi Pasar Dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik Di D.I.Yogyakarta) Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 102 - 109 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap orientasi pasar dan kapabilitas inovasi industri batik Yogya dalam meningkatkan nilai pelanggan serta keunggulan bersaing. Hasil analisis diperoleh bahwa; orientasi pasar, kapabilitas inovasi industry batik Yogya dalam kategori rendah. Industri Batik Yogya belum mampu mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan pelanggan terutama dalam desain corak dan warna serta perubahan tuntutan pelanggan. Batik Yogya masih kurang inovatif dalam pengembangan produk seperti; modifikasi produk, desain produk dan variasi produk serta proses produksi yang tidak efisien. Nilai pelangan batik Yogya secara dominan masih Inferior Customer Value. Industri Batik Yogya masih kalah bersaing dengan batik Solo dan Pekalongan. Industri Batik di D.I. Yogayakarta untuk meningkatkan keunggulan bersaing perlu adanya inovasi dalam mendesain corak (motif), dan warna serta menyesuaikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan pelanggan batik.

Kata kunci: Orientasi Pasar, Kapabilitas Inovasi, Nilai Pelanggan, Keunggulan Bersaing

DDC 297.273 Moh Sofyan Budiarto Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 110 - 117 Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur komponen Pendapatan Asli Daerah sesuai dengan jenis dan besar kontribusinya. Penelitian ini mengunakan metode diskriptif kualitatif dengan memanfaatkan data realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Banten tahun 2013 -2016. Hasil penelitian menunjukkan kontribusi PAD rata-rata terhadap Penerimaan Daerah 2013-2016 sebesar 66% menjadi yang terbesar disusul dengan Dana Perimbangan sebesar 22 % dan Pendapatan lainnya yang sah sebesar 12 %. Pajak Daerah memberikan kontribusi rata-rata tertinggi sebesar 95,5 % terhadap struktur PAD, disusul retribusi daerah sebesar 1,3 %, dan pengelolaan keuangan daerah sebesar 1 % dan lain-lain PAD yang sah sebesar 2,2 %. Dari komponen Pajak Daerah, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor(BBNKB) (41%) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ( 34 %) menjadi dua kontribusi paling besar terhadap pendapatan asli daerah Provinsi Banten.

Retribusi jasa umum menjadi penyumbang paling tinggi (88,1 %) dari Retribusi disusul retribusi jasa usaha (6,6%) dan retribusi perizinan (5,3%).. Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, bea balik nama kendaraan bermotor

DDC 371.1 Wanda Kuswanda Pemanfaatan Lahan Penyangga Dan Kebijakan Pemerintah Untuk Mengurangi Konflik Manusia Dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 118 - 129 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik masyarakat, pola pemanfaatan lahan pada daerah penyangga dan kebijakan pemerintah untuk mitigasi konflik antara masyarakat dengan orangutan lepasliar di Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan di desa penyangga dan kawasan TNBT, mulai bulan Agustus – November 2016. Pengumpulan data melalui penyebaran kuisioner, wawancara terstruktur dan Focus Discussion Group pada masyarakat dan kelembagaan terkait. Analisis data menggunakan tabel frekuensi dan analisis secara deskriptif. Masyarakat di daerah penyangga TNBT, terutama di Desa Siambul dan Desa Talang Langkat, bekerja sebagai petani dan berpendidikan hanya sampai sekolah lanjutan pertama sehingga ketergantungan akan sumber daya alam sangat tingga dan memicu konflik dengan orangutan. Pemanfaatan lahan dominan untuk kebun sawit dan karet. Tanaman lain yang dibudidayakan adalah coklat, pisang, jerenang, durian dan jengkol. Jenis tanaman budidaya ini merupakan tanaman yang cukup menarik bagi orangutan sehingga keluar hutan untuk mengkonsumsinya. Kasus konflik orangutan terjadi di Kecamatan Batang Cinaku dan Kecamatan Batang Gangsal. Rekomendasi penanggulangan konflik adalah perbaikan habitat di kawasan taman nasional, pengembangan alternatif ekonomi masyarakat seperti lebah madu dan peternakan, pembentukan tim monitoring orangutan, sosialisasi dan penyuluhan tentang kebiasaan, perilaku dan manfaat orangutan, penegakan hukum bagi perambahan dan penebang liar, revitalisasi sistem dan budaya pertanian berpindah, terutama pada masyarakat tradisional Suku Talang Mamak dan Suku Melayu. Rekomendasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi Pemerintah di Sumatera Utara. Kata kunci: masyarakat, konflik orangutan, lahan, sawit dan taman nasional DDC 301 Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Edy Suhartono

Page 5: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 130 - 141 Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui kondisi tutupan lahan di DAS Padang dan menyusun strategi rehabilitasi yang perlu dilakukan di DAS Padang berdasarkan peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon dalam DAS. Metode yang digunakan berdasarkan pengumpulan informasi dan data kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon pada tingkat unit DAS melalui pengolahan data spasial menggunakan aplikasi dari sistem informasi geografis (SIG). Berdasarkan pengolahan data spasial, luas kawasan hutan di DAS Padang mencapai 28,44% dari luas DAS namun kondisinya telah berubah dimana hanya 7,17% saja dari luas DAS yang masih berhutan atau 7,932 hektar. Tingkat kekritisan lahnnya cenderung potensial kritis hingga kritis. Peta Kesesuaian untuk jenis-jenis pohon yang dapat ditanam di DAS Padang disusun berdasarkan hasil survey lapangan dan rekomendasi jenis-jenis yang sesuai dengan syarat tempat tumbuh di DAS Padang. Sebagai rekomendasi, penggunaan lahan khususnya di bagian hulu DAS Padang harus dikembalikan pada fungsinya sebagai areal penyangga DAS khususnya terkait dengan sistem pertanian/ perkebunan, pola tanam dan alih fungsi lahan. Kata Kunci: rehabilitasi, peta keseusian jenis, DAS Padang, kawasan hutan

DDC 658.401 *Iif Rahmat Fauzi, *Ernita Bukit, **Erwin Pane, **Abdul Rahman, *Tumpal H.S. Siregar Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 142 - 154 Penelitian ini bertujuan merumuskan suatu alternatif upaya penanggulangan kelangkaan tenaga penyadap di perkebunan karet. Penelitian dilakukan pada tahun 2015 di salah satu perusahaan perkebunan karet di Pekanbaru-Riau. Penelitian dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi. Data sebagian besar diperoleh dengan menggunakan instrumen daftar pertanyaan yang disusun berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal. Wawancara dilakukan terhadap responden terpilih (purpossive sampling) meliputi penyadap, mandor, asisten kebun, dan menejer kebun. Selain itu data juga diperolah dari sumber informasi berupa laporan tertulis yang dimiliki oleh perusahaan, studi literatur, hasil penelitian terdahulu, data dan informasi dari Badan Pusat Statistik Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Perindustrian RI, dan Departemen Ketenagakerjaan. Hampir seluruh data sekunder diperoleh dengan menggunakan instrumen alat pencatatan. Data dianalisis melalui pendekatan analisis SWOT yang disusun berdasarkan penilaian aspek kesejahteraan penyadap, ketersediaan tenaga kerja, persaingan antar industri, dan preferensi tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi matriks SWOT menghasilkan empat alternatif strategi yang menitikberatkan pada upaya peningkatan tingkat kesejahteraan keluarga penyadap dalam rangka meningkatkan daya tarik atau preferensi angkatan kerja untuk bekerja sebagai penyadap. Kata Kunci: Kelangkaan, Kesejahteraan, Penyadap, Strategi, Perusahaan Perkebunan

DDC 658.401 Priyo Adi Nugroho. Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos Di Areal Perkebunan Karet

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 155 - 161 Tanaman karet tersebar secara luas hampir di seluruh wilayah Indonesia yang mempunyai kondisi tanah dan iklim yang beragam sehingga memunculkan modifikasi dalam teknis budidaya yang menyesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat. Pada areal dengan curah hujan yang rendah konservasi air harus diperhatikan agar kebutuhan air tanaman karet selama musim kemarau dapat tercukupi. Sebaliknya pada daerah basah dan berbukit, konservasi tanah menjadi fokus utama agar penurunan kesuburan tanah dapat diminimalisir. Rorak merupakan salah satu teknis konservasi yang sering dilakukan di areal perkebunan di Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rorak dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan menunda kekeringan tanah (soil dryness) selama 3,5 bulan. Dengan adanya rorak, panjang lereng pada daerah berbukit menjadi lebih pendek sehingga run-off berkurang hingga 23,3% dengan demikian potensi penurunan kualitas tanah akibat degradasi lahan dapat dihindari. Efektifitas pemupukan yang diaplikasikan ke dalam lubang rorak menjadi lebih tinggi yang pada gilirannya akan memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Untuk memperoleh hasil yang lebih optimal, rorak dapat dikombinasikan dengan aplikasi limbah perkebunan (tankos). Banyak peneliti merekomendasikan tankos untuk diaplikasikan di areal perkebunan karena keunggulannya dalam memperbaiki sifat tanah dan meningkatkan volume perakaran tanaman karet. Jika keduanya, rorak dan aplikasi tankos akan diterapkan, maka tankos dapat diletakkan di dasar rorak (1-2 lapis), dengan catatan kedalaman rorak harus ditambah. Secara teknis jumlah rorak yang semakin banyak (>150 rorak/ha) akan semakin memperkecil run off dan erosi tanah. Namun sebaiknya jumlah rorak yang dibangun agar disesuaikan dengan kemampuan finansial pekebun dan perusahaan serta kondisi spesifik lokasinya. Peranan dinas terkait, penyuluh pertanian, lembaga riset dan perguruan juga diperlukan untuk memperoleh hasil yang terbaik. Kata kunci: Hevea brasiliensis, rorak, tandan kosong sawit, erosi

DDC 333.3 Lesmana Rian Andhika Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan dan Strategi Anti Korupsi Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 162 - 171 Artikel penelitian ini ingin memberikan gambaran bagaimana fenomena praktek-praktek korupsi dengan berbagai modus yang selama ini terjadi pada pemerintah daerah, kolusi antara legislatif dan eksekutif. Tujuan khusus penelitian ini berfokus pada mengungkapkan korupsi dengan modus operandi klasik maupun modern, dilema, tantangan dan strategi anti korupsi serta menemukan cara atau mengembangkan cara terbaru dalam menjawab persoalan modus operandi korupsi. Metode dalam penelitian ini adalah library research untuk dapat mengungkapkan tinjauan kritis terhadap berbagai literatur ilmiah dan sumber bacaan yang relevan untuk menggungkapkan berbagai fenomena korupsi yang terjadi pada pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Lebih dari pada itu studi kepustakaan lebih menekankan pada pengumpulan informasi data yang berasal dari bahan bacaan yang relevan, mencatat, dan mengolah untuk data penelitian secara ilmiah dan mempunyai tujuan tertentu. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa modus operandi korupsi semakin modern seperti pemanfaatan Bank Daerah untuk mendepositokan dana anggaran dalam waktu tertentu untuk

Page 6: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

mencegah itu diperlukan langkah sistematis yang akan mempersempit ruang gerak korupsi pada pemerintah daerah Kata kunci: Modus Operandi, Korupsi, Otonomi Daerah

DDC 577.6 Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 172 - 179 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pemustaka terhadap pelayanan perpustakaan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian dilakukan pada bulan September sampai November 2016. Data dikumpulkan dengan cara wawancara terstuktur (survey) kepada 43 orang pegawai di lingkup Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi tren penurunan pengunjung sebesar 7,54% per tahun ke perpustakaan BP2LHK Aek Nauli pada tahun 2011 sampai dengan 2015. Pada umumnya pegawai hanya mengunjungi perpustakaan sebanyak 1-2 kali dalam satu bulan. Fasilitas internet yang tidak memadai di perpustakaan dianggap sebagai faktor utama yang mengakibatkan berkurangnya minat berkunjung. Selanjutnya faktor kurangnya kemudahan akses pencarian, tidak adanya digitasi bahan-bahan pustaka, dan kurang terbaharukannya koleksi jug merupakan faktor yang mengakibatkan kurang memuaskannya pelayanan perpustakaan. Berdasarkan hasil ini diharapkan instansi pengelola agar menyediakan akses internet yang memadai di perpustakaan serta menyediakan dan meningkatkan teknologi komputer dalam pengelolan perpustakaan agar perpustakaan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana vital pusat informasi dan ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga menyarankan agar pengelola perpustakaan semakin memperluas jaringan kepada kepada instansi atau publisher lainnya dalam memperoleh terbitan terbaru baik buku maupun jurnal dan majalah ilmiah/semi ilmiah. Kata kunci: Tingkat kepuasan, pemustaka, perpustakaan, kunjungan, faktor-faktor

DDC 381.4 M. Afif Shahputra*, Zahari Zen**, Johannes Sabam Siregar*** Analisis Finansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan dI PKS Rambutan PTPN III Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 180 - 189 Saat ini, kebijakan pembangunan dan investasi tidak lepas dari upaya pelestarian lingkungan. Penelitian dilakukan melalui pengamatan produksi biogas dari air limbah pabrik kelapa sawit dan untuk menghasilkan listrik. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi upaya konservasi, namun juga untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Penelitian dilakukan di divisi perkebunan Rambutan di PTPN III. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis investasi secara finansial untuk memastikan investor dalam membangun instalasi biogas penghasil listrik. Sebelum analisis keuangan pertama dilakukan analisis pasar listrik kemudian dilakukan analisis kelayakan teknis pembangunan. Kemudian dilakukan analisis ekonomi meliputi kriteria kelayakan investasi yang meliputi Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost, Payback Period dan analisis sensitivitas. Hasil menunjukkan bahwa pembangunan instalasi biogas limbah pabrik kelapa sawit sangat layak dilakukan dengan pabrik berkapasitas 45 ton/jam akan menghasilkan 1 MWh listrik.

Kata kunci: limbah cair, biogas, analisis finansial, NPV, BC rasio, analisis sensitivitas

DDC 381.4 Fitriza Yulian*, Septu Haswindy** Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Oktober 2017, Vol 14, No.2, halaman 190 - 206 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah pemukiman, untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman serta untuk menganalisis hubungan karakteristik masyarakat dan lingkungan pemukiman dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman sehingga terwujud kebersihan dan keindahan keberlanjutan lingkungan pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir. Berdasarkan hasil analisis distribusi frekuensi yang dilakukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir adalah tingkat pendidikan, pendapatan, luas halaman, keadaan lingkungan, sikap terhadap lingkungan dan persepsi masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat dikategorikan rendah atau kurang yaitu sebesar 56,0%, sedang atau cukup sebesar 25,0% dan tinggi atau baik sebesar 19,0%. Berdasarkan hasil analisis chi-square karakteristik masyarakat dan lingkungan pemukiman berhubungan positif sangat nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat, karakteristik masyarakat yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman adalah lama tinggal. Kata kunci: pengelolaan sampah pemukiman, karakteristik masyarakat, partisipasi masyarakat

Page 7: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Volume 14, No. 2 October 2017 ISSN 1829-8079

The discriptors given are keywords. The abstrack sheet may by reproduced/ copied without permission or

charge DDC 306 Eddi Suprayitno The Influence Of Market Orientation And Innovation Capability In Improving Customer Value And Its Impact On Competitive Advantage Of The Firm (Survey On Batik Industry In D.I.Yogyakarta) Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 102-109 The purpose of this study is to uncover the market orientation and innovation capabilities Yogya batik industry in increasing customer value and competitive advantage. Results of the analysis showed that; market orientation, innovation capabilities Yogya batik industry in the low category. Batik Yogya industry has not been able to identify the needs and desires of customers primarily in the design style and color as well as changes in customer demand. Yogya Batik is still less innovative in product development such as; Product modification, product design and product variety and inefficient production processes. Jogja batik customer value is still dominantly Inferior Customer Value. Yogya Batik industry is still unable to compete with Solo and Pekalongan batik. Batik industry in D.I. Yogayakarta to enhance the competitive advantage necessary for innovation in design pattern (motif), and the color as well as customize what the customer wants and needs batik. Keywords: Market Orientation, Capability Innovation, Customer Value, Competitive Advantage

DDC 297.273 Moh Sofyan Budiarto Analysis Of Original Local Government Revenues (PAD) Structures Of Banten Province Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 110 - 117 The purpose of this study is to analyze the structure of the Revenue component of the Region in accordance with the type and size of its contribution. This research uses descriptive qualitative method by utilizing data realization of Banten Province Revenue year 2013 -2016. The results show that the average contribution of PAD to Regional Revenue 2013-2016 is 66% to become the largest followed by Balance Fund equal to 22% and other valid Revenue equal to 12%. Local Taxes contributed the highest average of 95.5% to the PAD structure, followed by regional levy of 1.3%, and local financial management by 1% and other valid PAD of 2.2%. Of the components of Regional Taxes, Motor Vehicle Name Fee (BBNKB) (41%) and Motor Vehicle Tax (PKB) (34%) became the two largest contributions to the original income of the province of Banten. Public service levies accounted for the highest

contribution (88.1%) of retribution followed by business services levies (6.6%) and user fees (5.3%).

Keywords: regional local government revenues, local tax, local retribution, transfer of motor vehicle fee

DDC 371.1 Wanda Kuswanda Land Use In Buffer Zone And Government Policy To Mitigation Human Conflict With Orangutan (Pongo Abelii Lesson): The Case Orangutan Reintroduction At Bukit Tigapuluh National Park, Riau Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 118-129 This study aimed to obtain information on community characteristics, land use patterns in buffer zones as well as government policies for conflict mitigation between human and orangutans reintroduction at BTNP, Riau Province. The research was conducted in the buffer zone and the park area, from August to November 2016. Data were collected with questionnaires distribution, structured interviews and Focus Discussion Group on related communities and institutions. Data analysis are using frequency tables and descriptive analysis. Communities in the buffer zone of BTNP, especially in Siambul and Talang Langkat villages, are working as farmers and educated only to junior high school so that dependence on natural resources is very high and be triggers conflict with orangutans. The utilization of dominant land for oil palm and rubber plantations. Other cultivated plants are chocolate, banana, grapefruit, durian as well as jengkol. This plant species of cultivation are very interesting for orangutans so that out of the forest to consuming. Orangutan conflicts are occurred in the Batang Cinaku and Batang Gangsal Districts. Recommendations to conflict mitigation is the habitat improvement in national park with feed, the development of alternative economic for communities such as honeybees and farms, the establishment of a orangutan monitoring team, socialization and counseling about habits, behavior and benefit orangutans, enforcement of encroachment and illegal logger, the revitalization of the system and the culture of agriculture move, especially on Talang Mamak and the Melayu Ethnics. This recommendation is also expected to be a reference for the government in North Sumatra because the orangutans conflict is found also at Langkat, South Tapanuli and West Pakpak. Keywords: community, orangutan conflicts, land, oil and national parks

DDC 301 Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana Land Rehabilitation Strategy In Padang Watershed Based On Trees Species Suitability Map

Page 8: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 130 - 141 The objective of this research is to determine the condition of land cover in Padang watershed and develop rehabilitation strategies that need to be applied in Padang watershed based on tree species suitability map of the watershed. The method used was based on the collection of information and data suitability of tree species on the watershed unit through spatial data processing using geographic information systems (GIS). Based on spatial data processing, forested area in Padang watershed reaches 28.44% of the watershed area, but its conditions have changed with only 7.17% of the area remain as forested area or 7.932 hectares. The land tends to be potentially critical and critically injured. Map of suitability for the tree species that could be planted in the watershed Padang compiled based on the results of field surveys and recommendation types that correspond to a growing requirement in Padang watershed. As a recommendation, land use, especially in the upper Padang watershed must be returned to its function as a buffer area of watershed system especially related to agriculture / plantation, cropping patterns and land use. Keyword: rehabilitation, land suitability map, Padang watershed, forest land

DDC 658.401 Iif Rahmat Fauzi*, Ernita Bukit*, Erwin Pane**, Abdul Rahman**, Tumpal H.S. Siregar*

The Effort To Overcome Tappers Scarcity In Rubber Enterprises Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 142 - 154 This research aimed to study the issue of tappers welfare in two categories of rubber enterprises. The research was conducted through a survey method with two categories of companies, namely the company whose plantations are located close to the town or provincial capital and the company whose plantations are located far away from the town or provincial capital. Sample was selected on purpose according to the company category. The results showed that the welfare level in the PB A was better than that of PB B, but the low of tapper welfare both of them have not touched on the level of food insecured. Limited access to have education or school, to business center and trade, and to government service centers, could be the reason to recommended that plantation management would initiate to provide facilities to cover those needs as well as other main needs self or through cooperative scheme. Keyword : hevea brasiliensis, tapper, welfare, Strategy, rubber enterprises

DDC 658.401 Priyo Adi Nugroho. The Study Of Silt Pits Establishment And Empty Fruit Bunch Application In Rubber Plantation Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 155 - 161 Rubber tree (Hevea brasiliensis) is almost widely distributed throughout Indonesia which has varieties in soil and climate. Hence the modifications of rubber cultivation technique occur for adapting to the varieties of location. In low rainfall area water conservation become important to meet the plant water requirement during the dry season. Otherwise in high rainfall and hilly area, soil conservation is the main focus in order to reduce the declining of soil fertility. Silt pit or infiltration pit is a common conservation practice in perennial crop plantation area in Indonesia. Several studies reported that silt pit improved soil water capacity and delayed soil dryness for 3.5 months. Silt pit

shortened the length of slope thus, the surface run-off decreased until 23.3% which in turn the depletion potency of land quality by soil degradation could be avoided. The effectivity of fertilizer that is applied on pit becomes more efficient so that give the positive impact on girth increment and rubber yield. In order to optimize the effect for the tree, silt pit can be combined with plantation waste i.e. empty fruit bunch (EFB). Numerous researchers said that EFB recommended to be applied in plantation area due to its advantage on improving the soil characteristics and raising the rubber root volume. Whether both silt pit and EFB application will be established in rubber plantation, EFB can be placed on pit bed (1-2 layer), with a notification that silt pit size should be deepened. Technically the more of number of pits the better (>150 pits/ha) for run-off and soil erosion reduction. However, it will be better if the number of pits that will be established considering the planter’s financial and the situation of specific location. The role of related technical bureau, extension officer, research institute and university is also necessary for getting the best result.. Keywords: Hevea brasiliensis, infiltration pits, empty fruit bunch, erosion

DDC 333.3 Lesmana Rian Andhika Corruption Operandy Module In Regional Autonomy In Indonesia Dilema, Challenges And Anti Corruption Strategy Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 162 - 171 This research article would like to give you an idea of how the phenomenon of corruption practices with different modes for this happening on local governments, collusion between the legislature and the executive. The specific purpose of this research is focused on revealing of corruption with the modus operandi of classic or modern, dilemmas, challenges and strategies of anti-corruption and finding or developing the newest way in answering the question of the modus operandi of corruption. The method in this research is a library research to be able to express views critical of a variety of scientific literature and source the relevant reading for a revealed various phenomenon of corruption that occur in the implementation of the autonomous region in Indonesia. More than these studies libraries put more emphasis on the collection of information the data comes from the relevant reading materials, records, and processing data for scientific research and has a specific purpose. The results of this study revealed that the modus operandi of the more modern corruption such as the utilization of the regional Bank for depositing funds budget within a specified time that is necessary to prevent the systematic steps will narrow the space motion of corruption in local government.. Keywords: Modus Operandi, Corruption, Regional Autonomy ……………………………………………………………………………………..

DDC 577.6 Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang The Level Of Statisfaction Of The Library Management Of The Aek Nauli Environment And Forestry Research And Development Institute And Its Influencling Factors Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 172 - 179 This research purposes were to determine the level of satisfaction of library’s visitors on lybrary services and its influencing factors. The research was done in September until November 2016. Data were collected by structured interview (survey) from 43 samples consisting of employees at The Aek Nauli Environment and Forestry Development and Research Institute (BP2LHK Aek Nauli). The research results showed that vistor visiting to library is experiencing on downward trend by

Page 9: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

7,54% per year in 2011 until 2015. In general, employees visited the library only 1-2 times a month. Inadequate internet facility in the library was considered as a major factor leading to a lack of interest in visiting library. Furthermore, the lack of access to search, the lack of digitization of library materials, and less of updating of collections were the next factors that influences the less satisfactory of the librarians. Based on this results, it is expected that the managing agency can provide adequate internet access in the library as well as provide and improve computer technology to fulfill the library function as a vital media of information and science center. This research also suggests that library managers should further extend the network to other agencies or publishers in obtaining the latest publications either books or journals and scientific/semi-scientific magazines. Keywords: Satisfaction level, librarians, library, visiting, factors

DDC 381.4 M. Afif Shahputra*, Zahari Zen**, Johannes Sabam Siregar*** Financial Analysis Of Palm Oil Biogass From Mill Effluent Of Crude Palm Oil Factory As A Renewable Energy In PKS Rambutan PTPN III Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 180 - 189 Currently, development and investment policies can not be separated from environmental conservation efforts. Research is conducted through observation of biogas production from palm oil mill waste to generate electricity. This is not only beneficial for conservation efforts, but also for economic gain. The research was conducted at the division of Rambutan plantation in PTPN III. The purpose of this study is to conduct a financial investment analysis to ensure investors developing biogas installation of biogas electricity generators. Before technical analysis firstly we analyse potential electricity market then conducted technical development feasibility analysis. Then we conducted economic analysis includes investment feasibility criteria including Net Present Value (NPV) Net Benefit Cost, Payback Period (PBP) and sensitivity analysis. The results show that the construction of biogas plant oil palm waste plant is very feasible to do with a plant with a capacity of 45 tons / hour could produce 1 MWh of electricity. Keywords: palm oil mill effleunt, biogas, financial analysis, NPV, BC ratio, sensitivity analysis

DDC 381.4 Fitriza Yulian*, Septu Haswindy** Civil Society Participation In Household Garbage Management At Tungkal Ilir Subdistrict West Tanjung Jabung Regency Inovasi, Journal of Politics and Policy, October 2017, Vol 14, No.2, p. 190 - 206 The aim of this research is to identify the influencing factors of civil society participation in household garbage management, to identify level of society participation in household garbage management and to analyse the characteristic of relation of society characteristic and settlement environment with society participation level in household garbage management till cleanliness and continuity of settlement environmental beauty at Tungkal Ilir subdistrict. In result of distribution frequency anlaysis stated factors that influence society participation level in household garbage management at Tungkal Ilir subdistrict are education level, earning, yard, environment circumstance, attitude to environment and society perception. Level of society participation in household garbage management in Tungkal Ilir subdistrict West Tanjung Jabung categorized low or less that equal to 56,0%, medium or enough equal to 25,0 % and high or

good equal to 19,0%. Based on chi-square analysis result, society and environment characteristic correlate positive and very real with society participation level in household garbage management at Tungkal Ilir subdistric West Tanjung Jabung, society characteristic which has no relationship with society participation level in household garbage management is time of stay periode. Keywords: house waste management, society characteristic, society participation

Page 10: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI

Halaman

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan

Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing

Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta)

102 - 109

(Eddi Suprayitno)

Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten 110 - 117

(Moh Sofyan Budiarto)

Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk

Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson):

Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit

Tigapuluh, Riau

118 - 129

(Wanda Kuswanda)

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian

Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon

(Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

130 - 141

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan

Perkebunan Karet

(Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S.

Siregar)

142 - 154

Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet

(Priyo Adi Nugroho)

155 - 161

Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema,

Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi

(Lesmana Rian Andhika)

162 - 171

Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian

dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek

Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

(Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang)

172 - 179

Analisis Finansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi

Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III

(M. Afif Shahputra, Zahari Zen, Johannes Sabam Siregar)

180 - 189

Page 11: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada

Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat

(Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

190 - 206

Page 12: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 IOktober 2017: 102-109

102

Hasil Penelitian

PENGARUH ORIENTASI PASAR DAN KAPABILITAS INOVASI

DALAM MENINGKATKAN NILAI PELANGGAN SERTA

DAMPAKNYA TERHADAP KEUNGGULAN BERSAING

PERUSAHAAN (SURVEI PADA INDUSTRI BATIK DI

D.I.YOGYAKARTA)

(THE INFLUENCE OF MARKET ORIENTATION AND INNOVATION

CAPABILITY IN IMPROVING CUSTOMER VALUE AND ITS IMPACT

ON COMPETITIVE ADVANTAGE OF THE FIRM (SURVEY ON BATIK

INDUSTRY IN D.I.YOGYAKARTA))

Eddi Suprayitno

Universitas Islam Sumatera Utara (UISU)

Sumatera Utara-Indonesia

email: [email protected]

Diterima: 13 Agustus 2017; Direvisi: 30 Agustus 2017; Disetujui: 10 September 2017

ABSTRAK

D.I.Yogyakarta adalah salah satu daerah penghasil batik di Indonesia dan memperoleh dampak

persaingan baik antar daerah maupun luar negeri. Masalah utama yang dihadapi batik Yogya adalah rendahnya nilai pelanggan batik Yogya, sehingga menurunkan daya saing batik Yogya.

Industri batik Yogya tidak mampu mengidentifikasi dan menganalisis perubahan kebutuhan dan keinginan pasar.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap orientasi pasar dan kapabilitas

inovasi industri batik Yogya dalam meningkatkan nilai pelanggan serta keunggulan bersaing.

Hasil analisis diperoleh bahwa; orientasi pasar, kapabilitas inovasi industry batik Yogya dalam kategori rendah. Industri Batik Yogya belum mampu mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan

pelanggan terutama dalam desain corak dan warna serta perubahan tuntutan pelanggan. Batik Yogya masih kurang inovatif dalam pengembangan produk seperti; modifikasi produk, desain

produk dan variasi produk serta proses produksi yang tidak efisien. Nilai pelangan batik Yogya

secara dominan masih Inferior Customer Value. Industri Batik Yogya masih kalah bersaing dengan batik Solo dan Pekalongan. Industri Batik di D.I. Yogayakarta untuk meningkatkan

keunggulan bersaing perlu adanya inovasi dalam mendesain corak (motif), dan warna serta menyesuaikan apa yang dibutuhkan dan diinginkan pelanggan batik.

Kata kunci: Orientasi Pasar, Kapabilitas Inovasi, Nilai Pelanggan, Keunggulan Bersaing

ABSTRACT

D.I. Yogyakarta is place produce have batik motif and result impact competitive inter place produce have batik motif and international. The main problem faced by Yogya batik is the low

customer value of batik Yogya, thus reducing the competitiveness of Yogya batik. This Matter is

caused batik industry of Yogya unable to read and analysis change of market that is in fulfilling requirement and desire of this market research. The purpose of this study is to uncover the

market orientation and innovation capabilities Yogya batik industry in increasing customer value

and competitive advantage. Results of the analysis showed that; market orientation, innovation capabilities Yogya batik industry in the low category. Batik Yogya industry has not been able to

identify the needs and desires of customers primarily in the design style and color as well as changes in customer demand. Yogya Batik is still less innovative in product development such as;

Product modification, product design and product variety and inefficient production processes.

Jogja batik customer value is still dominantly Inferior Customer Value. Yogya Batik industry is still unable to compete with Solo and Pekalongan batik. Batik industry in D.I. Yogayakarta to enhance

Page 13: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta)

(Eddi Suprayitno)

103

the competitive advantage necessary for innovation in design pattern (motif), and the color as

well as customize what the customer wants and needs batik.

Keywords: Market Orientation, Capability Innovation, Customer Value, Competitive Advantage

PENDAHULUAN Batik merupakan salah satu jenis busana

dengan corak dan motif yang khas dengan pengertian pakaian yang indah dan unik, sebab batik merupakan salah satu hasil seni budaya. Menurut GBRA Murywati Darmokusomo, (1990), bahwa Batik telah mencapai kesempurnaan penggarapan dan kedalam rasa, sehingga menjadi salah satu seni utama keraton-keraton di pulau Jawa. Seni batik, sebagaimana halnya seni wayang, seni tari, seni kerawitan dan seni sastra, batik dijiwai oleh nilai keselarasan dan keasrian dalam tata filsafat yang manunggal. Bagi kalangan wanita keraton, batik merupakan sarana latihan olah batin untuk mencapai kesempurnaan hidup. Selanjutnya GBRA Murywati Darmokusomo, mengemukakan bahwa runtutan pembuatan batik menempuh suatu rangkaian panjang yang didukung oleh keahlian para pengobeng dan pencelup untuk menghasilkan pola dan warna yang sempurna.

Indonesia adalah negara penghasil tekstil bermotif batik, Arin Widiyanti, (2007), menyebutkan data dari Yayasan Kadin Indonesia menyebutkan bahwa unit usaha batik rumahan tersebar di 14 propinsi di Indonesia. Menurut Mujib Rahman, (2008), menyatakan bahwa data dari Departemen Perindustria menyebutkan terdapat 48.300 unit usaha batik rumahan yang tersebar di sentra-sentra batik di Indonesia.

Industri batik di Indonesia menghadapi ancaman industri batik dari luar negeri. Mujib Rahman, (2008), menyebutkan bahwa jumlah impor tekstil bermotif batik di Indonesia semakin meningkat. Sejak tahun 2006 s/d 2008 impor batik dari China mencapai sekitar 10%, mengakibatkan industri batik Indonesia semakin tergerus dengan adanya impor batik dari China dengan batik printingnya.

D.I.Yogyakarta merupakan daerah pengembangan batik pertama dan salah satu daerah sentra batik di Indonesia. Data Disperindagkop D.I.Yogyakarta menyebutkan pada awal tahun 1990-an, industri batik di D.I.Yogyakarta lebih dari 3000-an unit usaha yang tersebar di seluruh daerah tingkat II. Di sentra-sentra pembantik sudah menjadi kelaziman dikalangan wanita terutama ibu-ibu rumah tangga memiliki ketrampilan membatik.

Industri batik di D.I.Yogyakarta merupakan usaha yang menopang perekonomian masyarakat D.I.Yogyakarta dan komoditas unggulan bagi pemerintah D.I.Yogyakarta. Industri batik Yogya menghadapi persaingan

baik di pasar domestik maupun internasional. Hal ini menyebabkan menurunnya volume penjualan dan ekspor batik Yogya. Berdasarkan data Disperindagkop Propinsi D.I.Yogyakarta bahwa industri batik di D.I.Yogyakarta mengalami penurunan ekspor yang cukup darastis. Selain terjadi penurunan volume penjualan, batik Yogya juga mengalami penurunan pangsa pasar (market share). Hal ini dapat dilihat dari indikasi jumlah batik Yogya telah berkurang di pasaran bila dibadingkan dengan batik non Yogya. Berdasarkan data dari GKBI cabang Yogyakarta menyebutkan bahwa batik Yogya telah mengalami penurunan pangsa pasar (market share) di D.I.Yogyakarta. Berdasarkan data dari Disperindagkop Propinsi DI. Yogyakarta, menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah sentra industri batik dan unit usaha di sentra-sentra industri batik di DI.Yogyakarta.

Orientasi pasar bagi perusahaan merupakan suatu keharusan untuk bertahan hidup di lingkungan yang dinamis dan penuh dengan persaingan. Perusahaan pada kondisi intensitas persaingan yang tinggi sangat diperlukan strategi orientasi pasar, perusahaan dengan orientasi pasar yang minimum, perusahaan akan kalah bersaing dengan perusahaan pesaing (Cravens & Peircy, 2006:7). Orientasi pasar merupakan suatu karakteristik atau kultur pada organisasi dalam menciptakan kepuasan pelanggan (Liu, et., al., 2002), menciptakan nilai pelanggan yang superior (Slater & Narver, 2000; Becherer, et.,al., 2001), menciptakan keunggulan bersaing (Bigne, et.,al., 2000; Becherer, et.,al., 2001),

Peneliti dan praktisi mengungkapkan bahwa kapabilitas inovasi merupakan kunci untuk pertumbuhan organisasi. Berbagai faktor yang mempengaruhi dan menjadi penentu dalam proses membangun kapabilitas inovasi. Banyak studi yang dilakukan pada setting negara maju seperti Canada, dan United Kingdom yang membahas tentang faktor-faktor yang menjadi penentu, pendorong dan menghambat suatu perusahaan untuk melakukan inovasi, khususnya pada perusahaan skala kecil dan menengah. Selain itu, kapabilitas inovasi mampu menciptakan nilai pelanggan yang superior (Korhonen & Niemela, 2005), menciptakan keunggulan bersaing (Parashar dan Singh, 2005), dan cara suatu organisasi beradaptasi terhadap perubahan pasar, teknologi, dan persaingan (Clark et., al., 2002).

Page 14: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 IOktober 2017: 102-109

104

Para pelanggan dalam melakukan pembelian akan memperhitungkan penawaran yang akan memberikan nilai tertinggi. Mereka menginginkan nilai maksimal dengan dibatasi oleh biaya pencarian dan pengetahuan, mobilitas, dan penghasilan yang terbatas. Mereka membentuk suatu harapan akan nilai dan bertindak sesuai kenyataan dan kenyataan suatu penawaran apakah memenuhi harapan. Nilai pelanggan mempengaruhi kepuasan dan kemungkinan mereka akan membeli kembali. Dari beberapa literatur baik kajian teoritik maupun impirik menunjukkan bahwa nilai pelanggan (customer value) mampu meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan (Porter, 2004; Eggert & Ulaga, 2002).

METODE

Penelitian ini merupakan pendekatan pohon ilmu ekonomi terutama ilmu manajemen yang memfokuskan pada bidang manajemen pemasaran, inovasi dan strategi keunggulan bersaing. Objek dan ruang lingkup penelitian ini mencakup analisis strategi orientasi pasar, kapabilitas inovasi, nilai pelanggan dan keunggulan bersaing industri batik di D.I.Yogyakarta.

Penelitian ini untuk menjelaskan hubungan kausalitas, yaitu akan menguji apakah orentasi pasar dan kapabilitas inovasi berpengaruh terhadap nilai pelanggan dan keunggulan bersaing industri batik, dan pengujian hipotesis guna mengambil keputusan secara induktif atau generalisasi, maka penelitian ini bersifat penjelasan (explanatory atau confirmatory research). Unit analisis dalam penelitian ini adalah industri batik di D.I.Yogyakarta, sedangkan respondennya adalah pelanggan batik dan pengusaha batik Yogya. Untuk mendapatkan data terkait dengan variabel penelitian maka akan ditentukan terlebih dahulu tentang konsep variabel, dimensi, indicator dan skala pengukurannya. Untuk pengukuran variabel dalam penelitian ini menggunakan penilaian responden dengan skala likert,

Populasi samplingnya berdasarkan data Disperindag Propinsi D.I.Yogyakarta, adalah unit usaha batik yang tersebar di lima (5) kabupaten/kota di D.I. Yogyakarta, yang terdiri dari 70% industri kecil, dan 27% industri menengah yang berjumlah 204 unit usaha batik. Sebaran populasi penelitian industri batik Yogya di D.I.Yogyakarta, Pelanggan batik Yogya di D.I.Yogyakarta dengan populasi sasaran adalah wisatawan domestik dan mancanegara. Sebagai populasi samplingnya berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Propinsi D.I.Yogyakarta, adalah rata-rata wisatawan yang datang ke D.I.Yogyakarta sekitar 1.200 wisatawan/hari,

dengan persentase wisatawan domestik 90% (1.180 wisatawan), dan wisatawan mancanegara 10% (120 wisatawan). besarnya ukuran sampel (sample size) menurut Jöreskog & Sörboni (dalam Bachrudin & Tobing, 2003) paling sedikit 100 sampel cukup memadai. Jumlah ukuran sampel (sample size) yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 115 unit usaha batik, yang tersebar di lima daerah kabupaten/kota di DI.Yogyakarta dengan unit pengamatan adalah para pengusaha batik. Jumlah ukuran sampel (sample size) untuk pelanggan batik sebanyak 1361 wisatawan. Rancangan analisis data dengan menggunakan SEM (Structural Equation Model) yang menunjukkan pengaruh orientasi pasar, kapabilitas inovasi, terhadap nilai pelanggan dan keunggulan bersaing. HASIL DAN PEMBAHASAN

Industri batik di D.I.Yogyakarta tersebar di lima (5) kabupaten/kota di D.I. Yogyakarta, yang terdiri dari 70% industri kecil, 27% industri menengah, dan 3% industri besar, yang berjumlah 204 unit usaha batik.

Industri batik yang masih eksis hingga kini adalah industri dengan tipe pengusaha. Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan, pengusaha yang mengembangkan batik ke motif non-tradisional cendrung berpendidikan SLTA ke atas, dan pendidikan ikut mempengaruhi prilaku inovasi perusahaan. Pengusaha batik yang hanya memproduksi produk motif tradisional cendrung mengalami stagnasi, sedangkan pengusaha yang mulai memproduksi motif non-tradisional dan mengikuti selera konsumen mengalami perkembangan yang cukup pesat dan dapat melakukan ekspansi pasar.

Strategi pengusaha batik untuk mempertahankan kelangsungan industri batik ada dua tipe yaitu; Pertama, kecendrungan pengusaha batik untuk memiliki diversifikasi usaha (75%), yang menunjang proses produksi batik terus berlangsung. Artinya, selama diversifikasi usaha dilakukan dan kebutuhan biaya untuk proses produksi ada, maka industri batik tetap dapat dipertahankan. Hal ini dapat diartikan bahwa masalah eksistensi industri batik pada dasarnya berkaitan dengan aktivitas ekonomi di luar indusri batik yang dilakukan oleh para pengusaha batik. Kedua, peranan subkontrak di dalam proses produksi tidak hanya menekan biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh pengusaha batik, tetapi yang lebih urgen adalah dinamika hubungan desa-kota tetap terjalin. Artinya, jika tidak ada hubungan subkontrak maka pengusaha batik tidak ada pekerjaan untuk membatik, jika hal ini terjadi maka dapat mematikan industri batik. Kedua tipe tersebut tidak mempunyai

Page 15: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta)

(Eddi Suprayitno)

105

perbedaan yang berarti, hanya kemampuan untuk melakukan pengembangan produk guna mengikuti selera dan keinginan konsumen yang tidak dilakukan oleh sebagian besar pengusaha batik di DI.Yogyakarta. Hal tersebut disebabkan oleh kualitas pengusaha batik dari segi umur, pendidikan, dan modal.

Ada kecendrungan bahwa pengusaha yang berumur tua dan berpendidikan rendah akan sulit berinovasi dan kurang kreatif. Kreteria tentang industri batik memiliki persamaan dengan konsep wirausaha (entrepreneur). Pengusaha batik sebagai individu atau orang-orang yang melakukan upaya-upaya kreatifitas dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang (opportunity), dan perbaikan (preparation) hidup. Untuk menjadi wirausaha yang sukses diperlukan kemauan keras untuk berinovasi dan berkreasi dalam mencari dan memilih Process & Product Design yang akan dibuat.

Orientasi Pasar Industri Batik Yogya. Pencapaian skor orientasi pasar industri batik Yogya sebesar 58,16% atau dalam kategori cukup. Orientasi pasar industri batik Yogya diukur dengan menggunakan indikator; orientasi pelanggan, orientasi pesaing, orientasi pemasok, orientasi perantara, orientasi lingkungan dan koordinasi interfungsional.

Perubahan arus trend mode dan selera konsumen tidak diikuti oleh sebagian besar industri batik Yogya. Hal ini menyebabkan batik Yogya terlihat tidak berkembang. Batik Yogya motifnya terlalu berorientasi pada pakem-pakem tradisionil dengan corak, warna, dan design yang kurang memenuhi selera pasar, bahkan cendrung terasa monoton, hingga terkesan tak memberikan ruang bagi dinamika motif. Hasil survei (Nurul Fatchiati, 2006; dan Benny Dwi Koestanto, 2006), menyebutkan bahwa batik Yogya masih mangacu pada pakem lama sehingga kurang variatif, monoton, dan kurang mengikuti perkembangan pasar.

Menurut Best (2000: 6) perusahaan dengan orientasi pasar yang rendah hanya memiliki pemahaman yang dangkal terhadap persaingan dan kebutuhan pelanggan. Adapun alternatif strategi yang dapat dilaksanakan oleh industri batik Yogya dalam bisnisnya adalah melalui orientasi eksternal (pelanggan, pesaing, pemasok, perantara, dan lingkungan) dan orientasi internal (koordinasi inter fungsional). Ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Kohli and Jaworski (1990), semakin besar orientasi pasar dari sebuah organisasi. Semakin tinggi pula kinerja bisnisnya. Masih rendahnya orientasi pasar industri batik Yogya dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya adalah:

a) sebahagian besar industri batik Yogya tidak mengikuti trend pasar, b) sebahagian besar industri batik Yogya terutama pengusahanya lemah dalam menganalisis persaingan, c) kerjasama antar personal dalam mengidentifikasikan pelanggan dan pesaing masih rendah.

Kapabilitas Inovasi Industri Batik Yogya. Pada Industri batik Yogya pencapaian skor kapabilitas inovasi sebesar 58.16% yaitu dalam ketegori rendah. Kapabilita inovasi industri batik Yogya diukur dengan indikator kemampuan dalam manajerial, inovasi produksi, inovasi produk, sumber inovasi internal, sumber inovasi eksternal dan implementasi inovasi.

Industri Batik Yogya dalam proses pembatikan dan produk yang dihasilkan masih mengacu pada pakem-pakem yang diperolehnya dari para pendahulunya. Hal ini menyebabkan kurang efisien dari segi waktu, tenaga dan biaya serta mengahsilakan produk (batik) yang kurang inovatif dan monoton. Industri batik Yogya kurang inovatif dalam mendesain warna dan corak batik.

Tuominien dan Hyvonen, (2004), dengan adanya kapabilitas inovasi di organisasi (manajerial dan teknologi), maka akan meningkatkan posisi pasar perusahaan, terutama untuk mencapai keunggulan daya saing yang berkelanjutan, dalam hal keuangan dan nilai tambah bagi kinerja perusahaan. Rendahnya kapabilitas inovasi industri batik Yogya disebabkan beberapa faktor sesuai dengan fakta dilapangan adalah: a) sebahagian besar industri batik Yogya masih mengacu pada pakem-pakem dari pendahulunya, b) sebahagian besar pengusaha industri batik masih mempunyai jenjang pendidikan sekolah menengah dan mayoritas pembatik hanya berpendidikan sekolah dasar, c) masih rendahnya pelatihan yang diterima pembatik untuk meningkatkan kapabilitas inovasi.

Nilai Pelanggan Industri Batik Yogya. Industri batik Yogya dalam menciptakan nilai pelanggan memperoleh total nilai pelanggan pada umumnya masih inferior customer value (nilai pelanggan rendah). Nilai pelanggan industry batik Yogya diukur dengan indikator nilai produk, nilai pelayanan, nilai citra, biaya moneter, tenaga, waktu dan psikologis.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari 7 indikator nilai pelanggan, 4 indikator menunjukkan inferior customer value dan 3 indikator superior customer value. Indikator yang masuk kategori rendah adalah Nilai produk, biaya moneter, biaya waktu dan biaya tenaga. Artinya bahwa industry batik Yogya belum mampu meningkatkan manfaat produk

Page 16: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 IOktober 2017: 102-109

106

(batik) bagi pelanggannya dibanding pengorbanan pelanggan itu sendiri.

Konsumen membeli sesuatu dilakukan berdasarkan kebutuhan tertentu dan mengharapkan produk tersebut sesuai dengan harapannya. Mereka mengevaluasi beberapa produk dalam penawaran dan mengambil keputusan yang terbaik. Mereka membandingkan total nilai produk, pelayanan, karyawan, dan citra dari produk yang dibelinya dengan total biaya/pengorbanan, biaya moneter, waktu, tenaga fisik yang harus dikeluarkan.

Keunggulan Bersaing Industri Batik Yogya. Industri batik Yogya secara umum tidak unggul dalam persaingan. Keunggulan bersaing industri batik Yogya diukur dengan indicator keunikan, harga, kualitas, kemudahan, dan pengalaman. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari 5 (lima) indikator keunggulan bersaing, 4 indikator industry batik Yogya dinyatakan tidak unggul.

Keunggulan bersaing dapat terbentuk melalui biaya yang rendah dan diferensiasi (Porter, 2004). Indikator keunggulan bersaing pada industri batik Yogya yang tidak unggul adalah keunikan, harga, kualitas dan pengalaman pelanggan. Keunggulan bersaing dapat dicapai melalui peningkatan manfaat pada pelanggan dan penurunan pengorbanan pelanggan dibanding pesaing. Hal ini dapat dilakukan melalui keunikan produk, harga/nilai, kualitas produk, pengalaman dan kemudahan dalam memperoleh produk.

Hubungan antara Orientasi Pasar dengan Kapabilitas Inovasi pada Industri Batik Yogya. Ada hubungan yang signifikan antara orientasi pasar dengan kapabilitas inovasi pada industri batik Yogya. Hubungan antara orientasi pasar dengan kapabilitas inovasi industry batik Yogya dengan tingkat koefisien korelasi sebesar 0,3768. Artinya jika orientasi pasar ditingkatkan sebesar 0,3768 per satuan maka kapabilitas inovasi akan meningkat sebesar 0,3769 persatuan demikian juga sebaliknya. Koefisien korelasi antara orientasi pasar dengan kapabilitas inovasi pada industry batik Yogya memperlihatkan orientasi pasar dengan ketegori cukup berkorelasi dengan kapabilatas inovasi dengan kategori cukup.

Pengaruh Orientasi Pasar Terhadap Nilai Pelanggan. Orientasi pasar industri batik Yogya secara parsial berpengaruh terhadap nilai pelanggan. Secara parsial orientasi pasar berpengaruh secara positif terhadap nilai pelanggan sebesar 0.3802 x 0,3802 = 14,46%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi orientasi pasar maka nilai pelanggan juga akan semakin tinggi. Kemampuan perusahaan dalam meningkatkan orientasi pasar akan dapat

meningkatkan nilai pelanggan. Orientasi pasar pada industri bati Yogya masih dalam kategori cukup sehingga belum mampu untuk meningkatkan nilai pelanggan industri batik Yogya yang superior customer value.

Pengaruh Kabalitas Inovasi Terhadap Nilai Pelanggan. Kapabilitas inovasi industri batik Yogya secara parsial berpengaruh terhadap nilai pelanggan. Secara parsial kapabilitas inovasi berpengaruh positif terhadap nilai pelanggan sebesar 0,4846 x 0,4846 = 23,48%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kapabilitas inovasi, maka nilai pelanggan akan semakin tinggi. Kemampuan industri batik Yogya dalam meningkatkan kapabilitas inovasi akan dapat meningkatkan nilai pelanggan. Kapabilitas inovasi pada industri batik Yogya masih dalam kategori rendah sehingga belum mampu untuk meningkatkan nilai pelanggan industri batik Yogya yang superior customer value.

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Terhadap Nilai Pelanggan. Orientasi pasar dan kapabilitas inovasi industri batik Yogya secara simultan berpengaruh terhadap nilai pelanggan. Berdasarkan hasil analisis data pada table 9 (Terlampir) diperoleh bahwa orientasi pasar dan kapabilitas inovasi industry batik Yogya secara simultan berpengaruh terhadap nilai pelanggan sebesar 51,82% dan sisanya sebesar 48,18% dipengaruhi oleh variable lain yang tidak diteliti. Artinya orientasi pasar dan kapabilitas inovasi pada industry batik Yogya mampu meningkatkan nilai pelanggan sebesar 51,83% jika industry batik Yogya dalam ketegori tinggi dan sangat tinggi untuk menjadikan nilai pelanggan batik Yogya superior customer value. Secara parsial diantara kedua variabel eksogen, yaitu variabel orientasi dan kapabilitas inovasi, maka kapabilitas inovasi memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap nilai pelanggan. Dengan kata lain kapabilitas inovasi merupakan variabel penentu utama peningkatan nilai pelanggan. Besarnya pengaruh langsung kapabilitas inovasi terhadap peningkatan nilai pelanggan batik Yogya harus mendapat perhatian yang serius.

Pengaruh Orientasi Pasar Terhadap Keunggulan Bersaing. Orientasi pasar industri batik Yogya secara parsial berpengaruh terhadap keunggulan bersaing. Secara parsial orientasi pasar berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing sebesar 0,2339 x 0,2339 = 13,62%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi orientasi pasar maka keunggulan bersaing juga akan semakin tinggi. Kemampuan perusahaan dalam meningkatkan orientasi pasar

Page 17: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta)

(Eddi Suprayitno)

107

akan dapat meningkatkan keunggulan bersaing batik Yogya.

Pengaruh Kapabilitas Inovasi Terhadap Keunggulan Bersaing. Kapabilitas inovasi industri batik Yogya secara parsial berpengaruh terhadap keunggulan bersaing industri batik Yogya. Hasil analisis data, secara parsial kapabilitas inovasi berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing industri batik Yogya sebesar 0,2793 x 0,2793 = 17,84%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kapabilitas inovasi maka keunggulan bersaing industri batik Yogya juga akan semakin tinggi.

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Terhadap Keunggulan Bersaing. Orientasi pasar dan kapabilitas inovasi industri batik Yogya secara simultan berpengaruh terhadap keunggulan bersaing industri batik Yogya sebesar: 31,48% dan sisanya sebesar 68,52% dipengaruhi oleh variabel lain. Berdasarkan kreteria Guildford pengaruh orientasi pasar dan kapabilitas inovasi secara simultan bepengaruh terhadap keunggulan bersaing termasuk dalam ketegori kuat. Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama merupakan faktor penentu yang kuat (goodness of fit test) terhadap peningkatan keunggulan bersaing industri batik khususnya batik Yogya.

Pengaruh Nilai Pelanggan Terhadap Keunggulan Bersaing. Nilai pelanggan industri batik Yogya secara parsial berpengaruh terhdap keunggulan bersaing industri batik Yogya. Secara parsial nilai pelanggan berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing industri batik Yogya sebesar : 0,4323 x 0,4323 = 31,96%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat nilai pelanggan maka keunggulan bersaing industri batik Yogya juga akan semakin tinggi. Kemampuan perusahaan dalam meningkatkan nilai pelanggan akan dapat meningkatkan keunggulan bersaing batik Yogya.

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Serta Nilai Pelanggan Terhadap Keunggulan Bersaing. Orientasi pasar, kapabilitas inovasi dan nilai pelanggan secara simultan berpengaruh terhadap keunggulan bersaing industri batik Yogya. Hasil analisis data diperoleh orientasi pasar, kapabilitas inovasi dan nilai pelanggan secara simultan berpengaruh terhadap keunggulan bersaing industri batik Yogya sebesar: 63,42% dan sisanya sebesar 36,58% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Berdasarkan kreteria Guildford pengaruh orientasi pasar, kapabilitas inovasi dan nilai pelanggan secara simultan bepengaruh terhadap keunggulan bersaing termasuk dalam ketegori kuat. Hal ini menunjukkan bahwa secara bersama

merupakan faktor penentu yang kuat (goodness of fit test) terhadap peningkatan keunggulan bersaing industri batik khususnya batik Yogya. Variabel lain yang diperkirakan dapat mempengaruhi keunggulan bersaing adalah entreprenuership pengelola perusahaan, budaya organisasi, teknologi dan informasi, sarana dan prasarana, serta etos kerja SDM.

Secara bersama-sama variabel orientasi pasar, kapabilitas inovasi dan nilai pelanggan mampu menjelaskan perubahan yang terjadi pada variabel keunggulan bersaing sebesar 63,42% dan sisanya sebesar 36,58% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti. Diantara ketiga variabel eksogen, yaitu orientasi pasar, kapabilitas inovasi dan nilai pelanggan, maka nilai pelanggan memberikan kontribusi yang paling besar terhadap keunggulan bersaing. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pelanggan merupakan penentu paling utama terhadap peningkatan keunggulan bersaing industri batik. Pengelola/pemilik industri batik perlu memperhatikan pentingnya nilai pelanggan untuk mencapai keunggulan bersaing yang lebih unggul. Nilai pelanggan merupakan jembatan atau intervening untuk meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan. Nilai pelanggan merupakan variabel perantara yang kuat bagi variabel orientasi pasar dan kapabilitas inovasi untuk meningkatkan keunggulan bersaing.

Melalui uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orientasi pasar dan kapabilitas inovasi serta nilai pelanggan berpengaruh positif dan signifikan terhadap keunggulan bersaing industri batik baik secara parsial maupun simultan pada industri batik Yogya. Ada beberapa temuan empiris dan teoritis dalam penelitian ini :

(1) Temuan empiris: a) Orientasi pasar dan kapabilitas inovasi pada industri batik Yogya belum diterapkan secara baik; b) Nilai pelanggan batik Yogya secara rata-rata dalam kategori Inferior Customer Value, indikator yang berperan dominan pada nilai pelanggan yaitu biaya moneter; c) Kapabilitas inovasi berperan dominan dalam meningkatkan nilai pelanggan industri batik Yogya; d) Nilai Pelanggan berperan dominan dalam meningkatkan keunggulan bersaing industri batik Yogya; e) Kualitas produk (kualitas bahan baku & variasi produk) dan keunikan produk (keunikan design, corak dan warna) berperan dominan dalam meningkatkan keunggulan bersaing industri batik Yogya.

(2) Temuan teoritis: Menghasilkan model kausal antara variabel orientasi pasar, kapabilitas inovasi, nilai pelanggan, dan keunggulan bersaing industri batik Yogya

Page 18: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 IOktober 2017: 102-109

108

dengan kesesuaian (goodness of fit test) sebesar 63,42%. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Industri batik Yogya sebagian besar belum berorientasi pada pasar, dan secara umum mempunyai tingkat kapabilitas inovasi yang masih rendah dengan tingkat nilai pelanggan yang masih inferior customer value. Orientasi pasar dan kapabilitas inovasi mempunyai pengaruh dalam meningkatkan nilai pelanggan dan keunggulan bersaing industri batik Yogya, serta nilai pelanggan berperan dominan dalam meningkatkan keunggulan bersaing pada industri batik Yogya. REKOMENDASI

Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Agar para penggiat industri batik di

Yogyakarta dapat memahami karakteristik pasar diwilayah mereka, dengan melakukan riset pasar secara rutin.

2. Penggiat industri pasar batik di Yogyakarta perlu meningkatkan kapabiitas inovasi produknya. Pengembangan kreativitas untuk menemukan ide baru dan melakukan inovasi untuk menciptakan keunggulan bersaing dan meningkatkan kinerja dapat dilakukan melalui pelatihan, pendampingan, perluasan jejaring.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada

Mitra Bestari Jurnal Inovasi yang telah memberikan rekomendasi perbaikan bagi tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Arin Widiyanti. 200. Batik Indonesia Mulai Disalip Negara Lain, Report Survey, Ekonomi, detikFinance, 14/3, 2007, www.detikfinance.com. Balai Besar Kerajinan dan Batik. 2007. Data Industri Batik di D.I.Yogyakarta, Balai Besar Kerajinan dan Batik, Yogyakarta. Becherer, Richard C., Halstead, Diane, and Hynes, Paula. 2001. Marketing Orientation SMEs: Effects of the Internal Environment, Journal of Research in Marketing & Entrepreneurship, Vol. 3, Issue 1, pp. 1-17. Benny Dwi Koestanto. 2006. Industri Batik Yogya Cendrung Merosot, Tidak Inovatif, Kalah Bersaing dengan Batik Pekalongan dan Solo,

Batik Indonesia Info, Report Survey, Artikel Batik, Kompas, 22/02/2006. Best, Roger, J. 2000. Market-Based Management: Strategies for Growing Customer Value and Profitability, Prentice-Hill, New Jersey, pp. 60-93. Bigne, Enrique, Lopez Natalia Vila, and Boluda Ines Kuster. 2000. Competitive positioning and market orientation: two interrelated constructs, European Journal of Innovation Management, Volume 3, Number 4, pp. 190-198 Cravens, D., W., dan Peircy, M.,F. 2006. Strategic Marketing, 8th edition, The McGraw-Hill Companies Inc.., All Rights Recerved, pp. 3-43. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. 2007. Data Wisatawan di Propinsi D.I.Yogyakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Propinsi D.I.Yogyakarta, Yogyakarta. Dinas Perindustrian. 1996. KATALOG BATIK KHAS YOGYAKARTA, Proyek Pengembangan Industri Kecil Dan Menengah (IMKM) D.I.Yogyakarta, Kanwil Departemen Perindustrian Propinsi D.I.Yogyakarta, Yogyakarta. Disperindagkop. 2007. Data Industri Batik di D.I. Yogyakarta, Disperindagkop Propinsi D.I.Yogyakarta, Yogyakarta. GKBI. 2007. Data Industri Batik dan Pasar Batik di D.I.Yogyakarta, Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) Cabang D.I.Yogyakarta. GKBI. 2007. Data Industri Batik dan Pasar Batik di Indonesia, Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), Jakarta. Kotler, Philip,, and Keller, Kevin, Lane. 2006. Marketing Management, Twelfth Edition, Pearson Education International, Prentice Hill. New Jersey Mujib Rahman. 2008. Ekspansi Batik Negeri Panda, Artikel, Ekonomi, Gatra, No.46, www.gatra.com/artikel. Nurul Fatchiati. 2006. Drastis Penurunan Jumlah Industri Batik di DIY, Batik Indonesia Info, Report Survey, Artikel Batik, Kompas, 22/02/2006. Parashar, Manu dan Singh, Sunil Kumar. 2005. Innovation Capability, IIMB Management Review, December, pp. 1-20.

Page 19: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta)

(Eddi Suprayitno)

109

Porter, Michael E. 2004. The Competitive Advantage of Nations, London: The MacMillan Press Ltd, pp.2-15. Slater, S. and Narver, J. C. 2000. The Positive Effect of a Market Orientation on Business Profitability: A Balanced Replication”, Journal of Business Research, 48, pp. 69-73. Touminen, M. & Hyvonen, S. 2004. Organizational Innovation Capability: A Driver for Competitive Superiority in Marketing Channels, Int. rev. of Retail, Distribution and Consumer Research, Vol. 14, No. 3, 277-293. Weerawardena, J., & Coote, Leonardo, 2001, An Empirical Investigation Into Entrepreneurship and Organizational Innovation-based Competitive Strategy, Journal of Research in Marketing & Entrepreneurship, Vol. 3 Issue 1, Sparing, pp. 51-70.

Page 20: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 IOktober 2017: 110-117

110

Hasil Penelitian

ANALISIS STRUKTUR PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

PROVINSI BANTEN

(ANALYSIS OF ORIGINAL LOCAL GOVERNMENT REVENUES (PAD)

STRUCTURES OF BANTEN PROVINCE)

Moh Sofyan Budiarto

Bappeda Provinsi Banten

Jl. Syeh Nawawi Al Bantani KP3B Serang

email : [email protected]

Diterima: 12 Juni 2017; Direvisi: 15 juli 2017; Disetujui: 9 September 2017

ABSTRAK

Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih menjadi sumber pembiayaan pembangunan yang utama di

Provinsi Banten yang diperoleh dari pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik

daerah (BUMD), dan sumber PAD lainnya yang sah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis struktur komponen Pendapatan Asli Daerah sesuai dengan jenis dan besar

kontribusinya. Penelitian ini mengunakan metode diskriptif kualitatif dengan memanfaatkan data realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Banten tahun 2013 -2016. Hasil penelitian menunjukkan

kontribusi PAD rata-rata terhadap Penerimaan Daerah 2013-2016 sebesar 66% menjadi yang

terbesar disusul dengan Dana Perimbangan sebesar 22 % dan Pendapatan lainnya yang sah sebesar 12 %. Pajak Daerah memberikan kontribusi rata-rata tertinggi sebesar 95,5 % terhadap

struktur PAD, disusul retribusi daerah sebesar 1,3 %, dan pengelolaan keuangan daerah sebesar

1 % dan lain-lain PAD yang sah sebesar 2,2 %. Dari komponen Pajak Daerah, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor(BBNKB) (41%) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ( 34 %) menjadi dua

kontribusi paling besar terhadap pendapatan asli daerah Provinsi Banten. Retribusi jasa umum menjadi penyumbang paling tinggi (88,1 %) dari Retribusi disusul retribusi jasa usaha (6,6%)

dan retribusi perizinan (5,3%).

Kata kunci: pendapatan asli daerah, pajak daerah, retribusi daerah, bea balik nama kendaraan

bermotor

ABSTRACT

Original LocalGoverment Revenue (PAD) is still a major source of development financing in

Banten Province obtained from local taxes, regional retribution, profits from regionally-owned

enterprises (BUMD), and other legitimate sources of PAD. The purpose of this study is to analyze the structure of the Revenue component of the Region in accordance with the type and size of its

contribution. This research uses descriptive qualitative method by utilizing data realization of Banten Province Revenue year 2013 -2016. The results show that the average contribution of

PAD to Regional Revenue 2013-2016 is 66% to become the largest followed by Balance Fund

equal to 22% and other valid Revenue equal to 12%. Local Taxes contributed the highest average of 95.5% to the PAD structure, followed by regional levy of 1.3%, and local financial

management by 1% and other valid PAD of 2.2%. Of the components of Regional Taxes, Motor

Vehicle Name Fee (BBNKB) (41%) and Motor Vehicle Tax (PKB) (34%) became the two largest contributions to the original income of the province of Banten. Public service levies accounted for

the highest contribution (88.1%) of retribution followed by business services levies (6.6%) and user fees (5.3%).

Keywords: regional local government revenues, local tax, local retribution, transfer of motor vehicle fee

Page 21: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten (Moh Sofyan Budiarto)

111

PENDAHULUAN Di dalam pelaksanaan desentralisasi dan

otonomi daerah jargon atau istilah tentang kemandirian daerah bukan hal yang baru. Secara teoritis pengukuran kemandirian daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Erlangga (2005). Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dimulai dari berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, implikasi dari pemberlakuan kedua UU ini adalah pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahannya, Josef (1991); Imron (2015). Perubahan UU terkait desentralisasi dan otonomi daerah juga diikuti dengan perubahan UU yang mengatur tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Dalam penjelasan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa a) kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan, b) kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah, c) hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana pembagian lainnya, d) hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah dan sumber-sumber pembiayaan, Dedy (2006).

Hal ini memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan catatan sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, Hartoyo, (2015); Haryanto, (2016). Di Hampir semua daerah, PAD masih menjadi sumber pendanaan utama pembangunan daerah, sehingga struktur PAD menjadi penting untuk menentukan target dan strategi peningkatan PAD pada tahun berikutnya. Sampai saat ini masih belum tergalinya potensi pendapatan daerah pada umumnya disebabkan karena kurangnya kepekaan daerah dalam menemukan keunggulan budaya dan potensi asli daerah, kepatuhan dan kesadaran wajib pajak/retribusi yang relatif rendah, lemahnya sistem hukum dan administrasi pendapatan daerah, kelemahan aparatur, kekhawatiran birokrasi akan kegagalan dalam menjalankan programnya, ketidakoptimisan akan hasil yang mungkin dicapai.Haryanto (2016); Imron (2015). Di sisi lain, sering kali pengeluaran biaya

yang digunakan untuk menjalankan program dinaikkan (mark up) sejak awal pada setiap anggarannya. Padahal jika sejak awal penganggaran biaya program diefektifkan sehemat mungkin, maka sisa yang ada dapat digunakan untuk menjalankan program lainnya dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Haranto (2016).

Di Provinsi Banten, PAD juga masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan daerah. Sumber pendapatan yang lain belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah. Analisis struktur PAD dapat memberikan gambaran trend dan pola unsur-unsur PAD sebagai dasar ilmiah sejauh mana kecenderungannya pada tahun yang akan datang dan menjadi dasar mencari sumber sumber PAD lainnya yang potensial.

Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui struktur Pendapatan Asli Daerah Banten dilihat dari seluruh komponennya sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah strategis upaya peningkatan penerimaan daerah Provinsi Banten ke depan.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode, diskriptif kualitatif. Data yang dipakai adalah data sekunder terkait dengan realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Banten tahun 2013 sampai dengan tahun 2016. Data primer diperoleh dengan wawancara terstruktur terhadap penjabat pengelola keuangan di Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Banten, sebagai data penunjang dan konfirmasi data sekunder. Pendalaman dilakukan terhadap sumber sumber lain, seperti literatur dan hasil penelitian yang mendukung, serta informasi tentang perkembangan objek penelitian dan kebijakan maupun peraturan pada bidang yang terkait. Desk study dilakukan dengan mengkaji secara lebih mendalam dari berbagai literatur dan kajian sejenis dan lainnya yang berkaitan yang pernah dilakukan sebelumnya tentang penelitian analisis struktur PAD di daerah lain sebagai pembanding. Pendekatan Desk Study adalah juga dipergunakan untuk melakukan review atas kebijakan dan peraturan terkait PAD yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Analisis trend dilakukan untuk melihat pola kecenderungan pergerakan perubahan pertumbuhan komponen komponen PAD dari 2013 sampai 2016. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis struktur PAD dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu membuat deskripsi atas perkembangan target dan realisasi PAD.

Page 22: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 IOktober 2017: 110-117

112

Pendekatan juga digunakan analisis time-series untuk menghitung laju pertumbuhan dan, analisis cross-section untuk melihat konstribusi masing masing komponen.

Sesuai UU No 33 Tahun 2004 tentang `Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah` Bab IV Sumber Penerimaan Daerah pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa sumber pendapatan terdiri atas 3 sumber penerimaan, yaitu;

1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan dan 3. Lain-lain Pendapatan Dari ketiga sumber pendapatan tersebut, di

Provinsi Banten, PAD secara rata-rata memberikan konstribusi sebesar 67,82 persen atau 4,86 Trilyun dari rerata total penerimaan daerah Provinsi Banten2013-2016. Hal ini dapat dilihat dari gambar 1.

Dari grafik tersebut dapat dilihat pergerakan dari Total Penerimaan Daerah memiliki pola yang sama dengan pergerakan dari PAD. Walaupun antara tahun 2014-2015 Dana Perimbangan yang diterima oleh Provinsi Banten mengalami penurunan dan naik pada 2016, secara keseluruhan total penerimaan Provinsi Banten masih mengalami kenaikan sebagai akibat naiknya share PAD terhadap Total Penerimaan Daerah. Melihat kondisi di atas menunjukkan bahwa peran PAD untuk Provinsi Banten sangat dominan dalam menyumbang Penerimaan Daerah.

Seperti telah diungkapkan di awal, komponen Pendapatan Asli Daerah terbagi lagi ke dalam beberapa komponen pembentuknya. Untuk Provinsi Banten, PAD sebagian besar dihasilkan oleh Pajak Daerah. Pada gambar 2, dapat dilihat, dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 besarnya PAD dapat melewati angka 5 triliun rupiah dan pada RAPBD 2017 telah ditargetkan sebesar 5, 6 triliun rupiah.

Walaupun memiliki konstribusi yang paling besar, komponen Pajak Daerah memiliki tingkat pertumbuhan yang tidak tinggi. Pada periode tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar 12,72 persen. Pertumbuhan tertinggi terdapat pada komponen Retribusi Daerah, yaitu rata-rata sebesar 86,24,65 persen. Untuk gambaran lebih lengkap mengenai pertumbuhan komponen PAD ini, dapat dilihat pada tabel 1.

Besarnya konstribusi pajak daerah dalam menyumbang PAD tidak hanya terjadi pada perekonomian Banten saat ini saja tetapi juga masih menjadi harapan besar perekonomian Banten ke depan, hal ini dapat dilihat dalam RAPBD 2017 konstribusi pajak masih menjadi target yang terbesar. Pada tabel 2, di bawah ini dapat dilihat pada jangka waktu 2013 sampai

tahun 2016 rata-rata konstribusi pajak daerah menyumbang PAD sebesar 94,97 persen, bahkan untuk RAPBD 2017 ditarget meningkat pada angka 95,17 persen.

Dari sumber DPPKAD, pergerakan PAD Provinsi Banten memiliki trend yang meningkat pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir, yaitu jangka waktu antara tahun 2006 sampai tahun 2016. Walaupun dengan trend yang meningkat, pertumbuhan PAD memiliki trend sebaliknya mulai pada tahun 2010 terus memiliki pertumbuhan yang melambat. Pada tahun 2006 sampai tahun 2008 pertumbuhan PAD meningkat cukup signifikan mendekati angka 30 persen, namun pada tahun 2009 turun drastis pertumbuhan PAD hanya tinggal 1,6 persen. Peningkatan pertumbuhan PAD kembali signifikan terjadi pada tahun 2010 mencapai angka 37,56 persen dengan trend selanjutnya sampai tahun 2016 terus mengalami pertumbuhan yang melambat dengan penurunan yang sangat drastis dari pertumbuhan 18,95 persen tahun 2014 hanya tinggal 1,48 persen pada tahun 2015 dan menguat kembali mendekati 5 % pada 2016. Untuk gambaran lebih lengkap mengenai pertumbuhan PAD dapat dilihat pada gambar 3.

Pelambatan pertumbuhan PAD mulai tahun 2010 yang terjadi seiring dengan pelambatan pertumbuhan yang terjadi pada penerimaan pajak daerah, hal ini mengingat bahwa pajak adalah penyumbang terbesar PAD Provinsi Banten. Dari grafik gambar 4.3. di bawah dapat dilihat terjadinya pelambatan pertumbuhan pajak daerah mulai tahun 2010 sampai tahun 2015. Bila dilihat secara keseluruhan periode jangka waktu antara tahun 2006 sampai tahun 2016 pergerakan antara pertumbuhan PAD memiliki pola yang sama dengan pergerakan penerimaan pajak daerah. Untuk Provinsi Banten, dari kedua komponen PAD memperlihatkan bahwa pertumbuhan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah selalu lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan Lain-Lain PAD Yang Sah. Namun tidak demikian untuk kedua komponen lainnya, terlihat pergeseran pertumbuhan Pajak Daerah mulai tahun 2011 sampai tahun 2015 menjadi jauh dibawah pertumbuhan retribusi daerah.

Dasar hukum pengaturan pajak dan retribusi untuk Provinsi Banten adalah pada Perda Pemprov Banten No. 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah serta Perda Pemprov Banten No. 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah. Jenis Pajak yang menjadi kewenangan Provinsi Banten adalah; 1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

(BBNKB)

Page 23: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten (Moh Sofyan Budiarto)

113

Gambar 1. Pergerakan Penerimaan Daerah Provinsi Banten Tahun 2013-2016 Sumber : Data diolah

0.00

1,000.00

2,000.00

3,000.00

4,000.00

5,000.00

6,000.00

Tahun 2013

Tahun 2014

Tahun 2015

Tahun 2016

Gambar 2. Komponen PAD Provinsi Banten Tahun 2013-2016.

Tabel 1. Pertumbuhan Komponen Pendapatan Asli Daerah Provinsi Banten (%)

Jenis Pajak Tahun 20xx

Rata Rata 13-Dec 13-14 14-15 15-16

Pajak Daerah 21.06 17.26 1.35 11.2 12.72

Retribusi Daerah 112.92 124.84 55.18 52.01 86.24

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah

18.71 10.67 0.04 18 11.86

Lain-lain PAD Yang Sah 23.43 64.28 -0.33 -3.56 20.96

Sumber: data diolah

Page 24: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 IOktober 2017: 110-117

114

Tabel 2. Konstribusi Komponen Pendapatan Asli Daerah Provinsi Banten (%)

Komponen PAD Tahun

Rata Rata

2013 2014 2015 2016

Pajak Daerah 95.76 94.39 94.27 95.46 94.97

Retribusi Daerah 0.33 0.63 0.96 1.32 0.81

Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah 0.93 0.87 0.85 0,92 0.66

Lain-lain PAD Yang Sah 2.98 4.12 3.92 2,30 2.75

Sumber : Data diolah

Gambar 3. Pergerakan PAD (Milyar) dan Pertumbuhan PAD (%) Provinsi Banten Sumber: DPPKD Provinsi Banten

Gambar 4. Pergerakan Pertumbuhan Komponen PAD Provinsi Banten (%) Sumber: Data diolah

Page 25: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten (Moh Sofyan Budiarto)

115

Gambar 5. Gambar Komponen Pajak Daerah 2013-2016 (Milyar Rupiah) Sumber : Data diolah

Gambar 6. Grafik Perkembangan Retribusi dan Lain lain PAD yang Sah 2013-2016 (Milyar Rupiah) Sumber : Data diolah

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

(PBBKB) 4. Pajak Air Permukaan (AP) 5. Pajak Rokok.

Sedangkan untuk jenis Retribusi yang menjadi kewenangan Provinsi Banten adalah: 1. Retribusi jasa umum meliputi: pelayanan

kesehatan, penggantian biaya cetak peta, pelayanan tera/tera ulang dan pelayanan pendidikan.

2. Retribusi jasa usaha meliputi; pemakaian kekayaan daerah, pelayanan kepelabuhanan, penjualan produksi usaha daerah.

3. Retribusi perizinan tertentu meliputi: retribusi izin trayek dan retribusi izin usaha perikanan.

Dari kelima sumber penerimaan pajak daerah tersebut, BBNKB secara rata-rata memberikan konstribusi terbesar yaitu sebesar 41,4 persen dengan angka rata rata 1,91 trilyun disusul PKB dengan angka 33,9 persen dengan angka 1,56 trilyun. Hal ini dapat dilihat dari

Page 26: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 IOktober 2017: 110-117

116

gambar 5, di bawah ini. Retribusi Jasa Umum secara rata-rata memberikan konstribusi terbesar yaitu sebesar 88,1 persen dengan angka 36 milyar dari total retribusi daerah. Perkembangan komponen retribusi dapat dilihat pada gambar 6.

Pajak daerah dan pajak rokok mengalami pertumbuhan positif dari tahun 2013 sampai dengan 2016, sedangkan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor cenderung mengalami penurunan pada tahun 2013 ke 2015 dan rebound pada 2016. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Terlihat kontribusi Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor menjadi penyumbang terbsar Pajak Daerah.

Pada gambar 6, Retribusi jasa umum menjadi penyumbang paling tinggi disusul retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan. Lain lain PAD yang sah juga memberikan kontribusi terhadap PAD lebih tinggi dari retribusi daerah. Komponen denda pajak pada Lain lain PAD yang sah memberikan pengaruh signifikan peningkatan PKB dan BBNKB sebagai imbas dari pembebasan denda pajak dan pembebasan bea balik nama kendaraan bermotor. KESIMPULAN

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari 2013 sampai dengan 2016 memberikan sumbangan sebesar 95,5 % terhadap sumber penerimaan daerah Provinsi Banten, disusul dengan Dana Perimbanggan dan Pendapatan lainnya. Pajak Daerah memberikan kontribusi terhadap PAD tertinggi, sedangkan retribusi meningkat melampaui hasil pengelolaan kekayaan daerah pada tahun 2013 -2016.

Penyumbang terbesar pajak daerah adalah BBNKB dengan kontribusi rata-rata sebesar 41% disusul PKB dengan 34% persen, BBNKB (16 %), pajak air permukaan (0,1%) dan pajak rokok (8%). Penyumbang retribusi daerah tertinggi adalah retribusi jasa umum(88 %) besarnya jauh di atas dua jenis retribusi lainnya yaitu retribusi jasa usaha (5,3 %) dan retribusi perizinan (6,7 %). Dilihat dari perolehan nominal, penerimaan retribusi masih sangat kecil bila dibandingkan dengan penerimaan pajak. REKOMENDASI 1. Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda Provinsi

Banten) perlu meningkatkan layanan terhadap wajib pajak. Langkah inovasi dalam pelayanan wajib pajak diperlukan guna terus meningkatkan kontribusi Pajak Daerah sebagi penyumbang PAD di Provinsi Banten. Beberapa upaya yang direkomendasikan

untuk meningkatkan PAD yang dapat dilakukan antara lain : a. Upaya intensifikasi Pajak Daerah:

- Kegiatan Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pembebasan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atau pemutihan.

- Kordinasi dengan Lembaga Pembiayaan/Leasing.

- Kordinasi dengan Kepolisian dan Jasa Raharja terkait pendataan jumlah kendaraan bermotor termasuk data motor hilang menjadi potensi hilangnya pajak.

- Mempermudah proses mutasi - Pembebasan denda pajak.

b. Upaya peningkatan pelayanan: - Samsat keliling (door to door) - Pembentukan dan penambahan gerai

samsat - Samsat Drive-Thru - Pembayaran online dan fasilitas mobil

keliling, dibuka gerai pajak dibeberapa daerah, pelayanan online lewat sms.

- Samsat kalong (samlong) - Pembayaran elektronik (lewat atm, sms

banking 2. OPD Pengelola Retribusi perlu meninjau

ulang tarif retribusi yang ada, Penyesuaian tarif diperlukan, tentunya tidak menimbulkan ekonomi biaya tingi dimasyarakat.

3. Pemerintah Provinsi Banten melalui OPD perlu berinovasi mencari sumber sumber penerimaan daerah yang lain dengan mempertimbangkan kemampuan daerah dan peraturan perundang-undangan, seperti revitalisasi BUMD.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Bappeda Provinsi Banten, yang telah memfasilitasi hingga terlanaksananya kajian ini sampai selesai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari Jurnal Inovasi yang telah memberikan rekomendasi perbaikan bagi tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Yani. 2002. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Departemen Keuangan RI. 2005. Evaluasi Pelaksanaan UU No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta.

Page 27: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten (Moh Sofyan Budiarto)

117

Deddy K. 2006. Peta Kemampuan Keuangan Provinsi Dalam Era Otonomi Daerah; Tinjauan Atas Kinerja PAD dan Upaya Yang Dilakukan Daerah, Makalah, Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah Erlangga Agustino Landiyanto.2005. Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah; Studi Kasus Kota Surabaya, Cures Working Paper 05/01. Januari 2005 Hamrolie Harun. 2003. Menghitung Potensi Pajak dan Retribusi Daerah, BPFE UGM. Yogyakarta. Haryanto, Joko Tri. 2016. Mapping the Local Own Resources (PAD), Performance and Regional Dependence in Indonesia 208-2014 : Quadrand Method Approach. Journal of Home Affairs Gove. Vol : 9 (41-52) Haryanto, J.T. 2016. Regional Financial Performance Evaluation In The Indonesian Fiscal Decentralisation. Bali. Hartoyo, N. 2014. Optimalisasi PAD untuk Peningkatan Kinerja Daerah. Artikel Keuangan Daerah. Kenterian Keuangan Republik Indonesia. Imron, M.B. 2015. Meretas Jalan Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Melalui Desa Wisata. Jurnal Bina Praja 7 (4)279-288. http//doi.org/10.21787/jbp.07.2015.279-288 Josef Riwu Kaho. 1991. Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia : Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Rajawali Press. Jakarta. Machfud Sidik. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Orasi Ilmiah dengan tema “Strategi Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah”, Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung, 10 April 2002 Muhammad Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah; Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta. Mustaqiem. 2008. Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah, FH UII Press, Yogyakarta. Nick Devas. 1989. Keuangan Pemerintah Indonesia. Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta.

Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat. 2004. Hukum Pajak dan Permasalahannya, Refika Aditama. Bandung. Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (Centre for Local Government Innovation). 2003. Kebijakan Keuangan Daerah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Roundtable Discussion YIPD/CLGI, Jakarta. Sumber Lain : Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor : Per-908/K/2011 tentang Pedoman Layanan Pengawasan Optimalisasi Pendapatan Daerah. Agustus 2011 Peraturan Daerah Provinsi Banten No 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah Peraturan Daerah Provinsi Banten No 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah Peraturan Daerah Provinsi Banten No 26 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Peraturan Gubernur Banten No 43 Tahun 2015 tentang Penghapusan BBNKB atas penyerahan kedua dan seterusnya serta penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran PKB

Page 28: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 118-129

118

Hasil Penelitian

PEMANFAATAN LAHAN PENYANGGA DAN KEBIJAKAN

PEMERINTAH UNTUK MENGURANGI KONFLIK MANUSIA

DENGAN ORANGUTAN (PONGO ABELII LESSON):

STUDI KASUS PELEPASLIARAN ORANGUTAN DI

TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH, RIAU

LAND USE IN BUFFER ZONE AND GOVERNMENT POLICY TO

MITIGATION HUMAN CONFLICT WITH ORANGUTAN (PONGO

ABELII LESSON): THE CASE ORANGUTAN REINTRODUCTION AT

BUKIT TIGAPULUH NATIONAL PARK, RIAU

Wanda Kuswanda

Peneliti pada Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli

Email : [email protected]; [email protected]

Diterima: 8 Maret 2017; Direvisi: 10 Juli 2017; Disetujui: 6 Agustus 2017

ABSTRAK

Kerusakan kawasan hutan dan pembukaan lahan di daerah penyangga untuk lahan perkebunan,

pertanian dan pemukiman penduduk telah mengakibatkan konflik antara manusia dengan satwa liar semakin meluas, seperti pada orangutan. Orangutan keluar hutan untuk mencari makan dan

merusak tanaman masyarakat, seperti kasus di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik masyarakat, pola pemanfaatan lahan pada

daerah penyangga dan kebijakan pemerintah untuk mitigasi konflik antara masyarakat dengan

orangutan lepasliar di Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan di desa penyangga dan kawasan TNBT, mulai bulan Agustus – November 2016.

Pengumpulan data melalui penyebaran kuisioner, wawancara terstruktur dan Focus Discussion Group pada masyarakat dan kelembagaan terkait. Analisis data menggunakan tabel frekuensi

dan analisis secara deskriptif. Masyarakat di daerah penyangga TNBT, terutama di Desa Siambul

dan Desa Talang Langkat, bekerja sebagai petani dan berpendidikan hanya sampai sekolah lanjutan pertama sehingga ketergantungan akan sumber daya alam sangat tingga dan memicu

konflik dengan orangutan. Pemanfaatan lahan dominan untuk kebun sawit dan karet. Tanaman lain yang dibudidayakan adalah coklat, pisang, jerenang, durian dan jengkol. Jenis tanaman

budidaya ini merupakan tanaman yang cukup menarik bagi orangutan sehingga keluar hutan

untuk mengkonsumsinya. Kasus konflik orangutan terjadi di Kecamatan Batang Cinaku dan Kecamatan Batang Gangsal. Rekomendasi penanggulangan konflik adalah perbaikan habitat di

kawasan taman nasional, pengembangan alternatif ekonomi masyarakat seperti lebah madu dan

peternakan, pembentukan tim monitoring orangutan, sosialisasi dan penyuluhan tentang kebiasaan, perilaku dan manfaat orangutan, penegakan hukum bagi perambahan dan penebang

liar, revitalisasi sistem dan budaya pertanian berpindah, terutama pada masyarakat tradisional Suku Talang Mamak dan Suku Melayu. Rekomendasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi

Pemerintah di Sumatera Utara.

Kata kunci: masyarakat, konflik orangutan, lahan, sawit dan taman nasional

ABSTRACT

The demage of forest areas and land clearing in buffer zones for plantation, agricultural and village areas has resulted in widespread human-wildlife conflicts, such as orangutans. Orangutans

out of the forests to feed and destroy plant, including the case in Bukit Tigapuluh National Park (BTNP). This study aimed to obtain information on community characteristics, land use patterns

in buffer zones as well as government policies for conflict mitigation between human and

orangutans reintroduction at BTNP, Riau Province. The research was conducted in the buffer zone

Page 29: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau

(Wanda Kuswanda)

119

and the park area, from August to November 2016. Data were collected with questionnaires

distribution, structured interviews and Focus Discussion Group on related communities and institutions. Data analysis are using frequency tables and descriptive analysis. Communities in

the buffer zone of BTNP, especially in Siambul and Talang Langkat villages, are working as

farmers and educated only to junior high school so that dependence on natural resources is very high and be triggers conflict with orangutans. The utilization of dominant land for oil palm and

rubber plantations. Other cultivated plants are chocolate, banana, grapefruit, durian as well as

jengkol. This plant species of cultivation are very interesting for orangutans so that out of the forest to consuming. Orangutan conflicts are occurred in the Batang Cinaku and Batang Gangsal

Districts. Recommendations to conflict mitigation is the habitat improvement in national park with feed, the development of alternative economic for communities such as honeybees and

farms, the establishment of a orangutan monitoring team, socialization and counseling about

habits, behavior and benefit orangutans, enforcement of encroachment and illegal logger, the revitalization of the system and the culture of agriculture move, especially on Talang Mamak and

the Melayu Ethnics. This recommendation is also expected to be a reference for the government in North Sumatra because the orangutans conflict is found also at Langkat, South Tapanuli and

West Pakpak.

Keywords: community, orangutan conflicts, land, oil and national parks

PENDAHULUAN Menurut Departemen Kehutanan (2007),

populasi orangutan Sumatera di alam diduga sekitar 6.667 ekor dan sudah termasuk kategori satwa kritis yang terancam punah secara global/critically endangered sejak tahun 2002 (IUCN Red List of Threatened Species, 2014). Habitatnya tersebar pada berbagai status hutan dan hanya ditemukan di Propinsi Aceh dan Sumatera Utara sehingga ancaman kepunahanya akan semakin tinggi, terutama yang hidup di luar hutan konservasi (Wich et al., 2011; Kuswanda, 2014). Orangutan sangat menarik sehingga masih banyak diburu untuk diperdagangkan maupun dijadikan binatang peliharaan (Wilson et al., 2014).

Untuk meningkatkan populasi orangutan di alam pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.57/Menhut-II/2007 tentang strategi dan rencana aksi konservasi (SARK) orangutan Indonesia 2007-2017 (Depertemen Kehutanan, 2007). Salah satu yang tertuang dalam peraturan tersebut adalah meningkatkan program pelepasliaran kembali/reintroduksi orangutan hasil rehabilitasi. Program reintroduksi orangutan telah banyak dilakukan, sejak tahun 1970 an, namun program tersebut sering mengalami kegagalan dan dinilai kurang berhasil. Salah satu lokasi pelepasliaran adalah di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang dilaksanakan sejak tahun 2002 yang dikelola atas kerjasama Balai TNBT dengan Frankfurt Zoological Society (FZS). Menurut Ginting (2006), salah satu faktor kekurangberhasilan reintroduksi orangutan di TNBT adalah adanya potensi konflik antara masyarakat dengan orangutan. Orangutan lepasliar banyak mengunjungi lahan masyarakat yang berbatasan dengan taman nasional atau dikenal dengan daerah penyangga.

Daerah penyangga adalah wilayah yang berada di luar kawasan pelestarian alam, baik

sebagai kawasan hutan lain, tanah negara bebas maupun tanah yang dibebani hak, yang diperlukan dan mampu menjaga keutuhan kawasan pelestarian, seperti taman nasional (Departemen Kehutanan, 1999). Penetapan daerah penyangga bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk pada kawasan taman nasional, memberikan kegiatan ekonomi kepada masyarakat dan kawasan yang memungkinkan adanya interaksi manfaat secara berkelanjutan bagi masyarakat dengan taman nasional (Kuswanda, 2014). Pengelolaan daearah penyangga oleh masyarakat di sekitar TNBT untuk perkebunan dan tanaman musiman yang juga merupakan sumber pakan bagi orangutan, seperti durian dan cempedak.

Menurut Departemen Kehutanan (2008), konflik manusia dan satwa liar adalah segala interaksi antara manusia dan satwa liar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan dan pada konservasi satwa liar, seperti perubahan perilaku alami sampai kematian pada satwa maupun manusia sendiri. Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwaliar. Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif manusia terhadap satwaliar, yaitu berkurangnya apresiasi manusia terhadap satwaliar serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi (Garsetiasih, 2012). Konflik satwaliar semakin meluas dengan makin banyaknya kawasan hutan yang dirambah karena keterbatasan lahan olahan untuk memenuhi kebutuhan manusia (Abram et al., 2016 dan Buckley, et al., 2016).

Untuk meningkatkan keberhasilan konservasi orangutan salah satu upaya yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mengembangkan kebijakan untuk mitigasi konflik antara masyarakat dan

Page 30: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 118-129

120

orangutan dengan merujuk Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 53/Menhut-II/2014 terkait penanggulangan konflik satwaliar, seperti pembentukan TIM dan SOP (Standar Operasional Pekerjaan) Penanggulangan Konflik Oleh karena konflik orangutan sudah terjadi dan dalam situasi konflik peluang kematian atau gagal pada orangutan yang diintroduksi akan semakin tinggi, termasuk pada kawasan TNBT.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukan rangkaian kegiatan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan informasi karakteristik masyarakat dan pola pemanfaatan lahan di daerah penyangga, penyebab dan kebijakan mitigasi konflik antara masyarakat dengan orangutan di dan sekitar TNBT. Informasi dari hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan re evaluasi kebijakan bagi Pemerintah Pusat (Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan) dan Pemerintah Daerah, termasuk bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara karena kasus konflik orangutan dan masyarakat banyak ditemukan juga di Kabupaten Langkat, Tapanuli Selatan dan Pakpak Bharat. METODE

Penelitian untuk mengetahui konflik orangutan dilakukan di Kantor Balai Taman Nasional Batang Gadis dan desa-desa penyangga di wilayah Resort Pengelolaan Siambul (di Desa Siambul) dan Resort Pengelolaan Talang Langkat (di Desa Talang Langkat), Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu. Penelitian dilaksanakan selama empat bulan, mulai bulan Agustus – November 2016. Lokasi penelitian seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi Desa Penelitian di Daerah Penyangga TNBT.

Kawasan TNBT secara geografis terletak pada 00040’-01025’ LS dan 102030’-102050’ BT dengan luas 144.223 ha. Kawasan TNBT secara administratif terletak di dua propinsi, yaitu Provinsi Riau (sekitar 77% dari luas kawasan) serta sisanya di Propinsi Jambi. TNBT TNBT Secara resmi ditunjuk pada tahun 1995 melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan yang merupakan penggabungan kawasan Hutan Lindung (HL) di wilayah Provinsi Riau dan Jambi serta alih fungsi sebagian kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di wilayah Riau (SK Menhut Nomor 539/Kpts-II/1995). Sebagian besar wilayahnya berada di Provinsi Riau, yaitu

77%. Panjang batas kawasan TNBT keseluruhan ialah ± 368 Km (Balai TNBT, 2014).

Program pelepasliaran orangutan di TNBT dilakukan atas kerjasama Balai TNBT dengan Frankfurt Zoological Society (FZS) bersama mitra lainnya. Program pelepasliaran telah beroperasi selama 14 tahun. Sebanyak 158 individu telah dilepasliarkan dimana ada 22 individu dinyatakan gagal. Sebanyak 20 individu diketahui mati dan 2 individu lainnya cacat permanen. Kawasan pelepasliaran tersebut meliputi dua stasiun, yaitu stasiun pelepasliaran sungai Pengian (Desa Suo-suo) dan stasiun pelatihan dan adaptasi Open Orangutan

Page 31: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau

(Wanda Kuswanda)

121

Sanctuary (OOS) di Danau Alo yang keduanya berada di hutan produksi sebagai kawasan penyangga TNBT di Provinsi Jambi, seperti pada Gambar 1 (Siregar, 2015).

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penyebaran kuisioner dan wawancara terstruktur. Penyebaran kuisioner difokuskan untuk mengetahui karakteristik masyarakat, pola pemanfaatan lahan dan penyebab konflik pada daerah penyangga. Desa penelitian difokuskan pada desa-desa yang berbatasan sebagai desa penyangga Kawasan TNBG, yaitu Desa Siambul dan Desa Talang Langkat. Pemilihan desa tersebut karena sudah ditemukan kasus konflik dan berdasarkan hasil rekomendasi dari pihak Balai TNBT. Responden pada setiap desa ditentukan secara purposive random sampling terutama dari kelompok masyarakat yang memiliki lahan yang berdekatan dengan kawasan TNBT dan teridentifikasi sebagai lokasi konflik. Jumlah responden yang menjadi obyek penelitian adalah 46 kepala keluarga. Wawancara semi terstruktur dan mendalam (indepth interview) dilakukan terhadap pegawai Balai TNBT, kepala desa dan tokoh masyarakat sebagai cross check terhadap hasil isian kuisioner masyarakat.

Pengumpulan data untuk mengetahui wilayah dan menyusun strategi mitigasi konflik dilakukan melalui Focus Discussion Group (FGD) pada pegawai berbagai kelembagaan terkait yang diikuti oleh 25 peserta dari 18 kelembagaan, baik instansi lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Daerah (Dinas/UPTD Kabupaten, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desa terkait), LSM dan perusahaan swasta. Berbagai kelembagaan tersebut diantaranya Balai TN. Bukit Tiga Puluh, Balai KSDA Propinsi Riau Wilayah I Rengat, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Indragiri Hulu, Dinas Kehutanan Propinsi Riau Wilayah Kabupaten Indragiri Hulu, Bappeda dan Litbang Kabupaten Indragiri Hulu, Badan Kesbangpol Kabupaten Indragiri Hulu, Bappeda dan Litbang Kabupaten Indragiri Hulu, Polres Kabupaten Indragiri Hulu, Polsek Kecamatan Batang Gangsal, Polsek Kecamatan Batang Cenaku, Kecamatan Batang Gangsal, Perusahaan Perkebunan Swasta, Pemerintah Desa Talang Langkat, Desa Siambul, Desa Batang Cinaku dan Desa Sunagi Akar serta LSM, seperti dari WWF dan FZS. Nara sumber dan fasilitator dalam pelaksanaan FGD terdiri dari Balai Litbang LHK Aek Nauli, Balai TNBT, FZS dan Universitas Riau. Untuk melengkapi data primer maka dilakukan pula pengumpulan data sekunder melalui telaah berbagai literatur terkait, terutama dari laporan Balai TNBT dan hasil penelitian terkait..

Analisis data hasil isian kuisioner responden menggunakan tabel frekuensi. Tabel frekuensi memuat jumlah dan prosentase setiap pernyataan/jawaban responden (Kuswanda, 2007; Supangat, 2008). Tabel frekuensi digunakan dalam analisis karakteristik responden/masyarakat desa, tipe pemanfaatan lahan masyarakat dan potensi konflik masyarakat dengan orangutan. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui pemetaan wilayah dan menyusun rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil isian kuisioner dan FGD terkait upaya mitigasi konflik untuk meningkatkan keberhasilan program pelepasliaran orangutan di TNBT maupun penanganan konflik pada orangutan liar, seperti di sekitar TN. Gunung Leuser, Kabupatenb Langkat, Sumatera Utara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis karakteristik masyarakat penyangga di lokasi penelitian, yaitu Desa Siambul dan Talang Langkat disajikan pada Tabel 1.

Lahan bagi masyarakat penyangga TNBT merupakan kebutuhan primer untuk menghasilkan bahan kebutuhan sehari-hari dan produk yang dapat dijual sehingga akan meningkatkan perekonomian keluarga. Pemanfaatan lahan sekitar TNBT atau daerah penyangga terus meningkat sebagai akibat dari jumlah penduduk yang terus bertambah, ekonomi yang berkembang dan meningkatnya masyarakat pendatang . Kepemilikan dan pola pemanfaatan lahan masyarakat di Desa Siambul dan Desa Talang langkat disajikan pada Tabel 2.

Potensi pemicu konflik antara manusia dan satwaliar adalah semakin meluasnya pembukaan lahan, untuk lahan perkebunan maupun pemukiman manusia, sedangkan lahan tersebut juga merupakan daerah jelajah yang digunakan oleh orangutan untuk mencari makanannya (Madden, 2006). Hasil pengisian kuisioner masyarakat terkait dengan potensi konflik masyarakat desa dengan orangutan seperti pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil FGD yang diikuti oleh 25 peserta dari 18 kelembagaan terkait diperoleh data lokasi sebaran konflik orangutan dengan manusia di TNBT seperti pada Gambar 2.

Masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan TNBT sebagian besar bertumpu pada usaha pertanian, ladang dan pemanfaatan hasil hutan serta jasa lainnya (Balai TNBT, 2014). Masyarakat asli secara turun temurun mengkombinasikan tanaman tahunan dan semusim pada lahan miliknya, baik di kawasan enclave (pemukiman dan lahan masyarakat di dalam kawasan taman nasional) maupun di

Page 32: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 118-129

122

daerah penyangganya (Kuswanda dan Mukhtar, 2006). Selain bertani juga mereka mencari hasil hutan berupa kayu, rotan, damar, madu, jernang, dan buah-buahan.

Karakteristik masyarakat di daerah penyangga TNBT, terutama di Desa Siambul dan Desa Tangkat Langkat mayoritas beragama Kristen (60,8%) dan sisanya beragama islam. Sebanyak 91,7% responden masih termasuk usia produktif untuk bekerja dan hanya 8,3% termasuk usia tua. Hal ini menunjukan bahwa sebagaian besar masyarakat dapat bekerja secara optimum dalam mencari nafkah hidup

untuk keluarga. Penduduk dikedua desa tersebut sekitar 61,9 % merupakan masyarakat asli (lahir di desa tersebut) dan 38,1% sebagai pendatang. Masyarakat pendatang sebagian besar dari Daerah Sumatera Utara, seperti Kabupaten Kisaran, Lubuk Pakam dan Pematangsiantar. Ada juga pendatang yang datang dari Jakarta dan Bandung. Masyarakat pendatang umumnya telah ber-KTP di desa tersebut. Mereka datang biasanya untuk membeli lahan dan dijadikan area perkebunan, seperti sawit dan karet.

Tabel 1. Karakteristik Masyarakat Sekitar TNBT

o Karakteristik Responden

Lokasi Penelitian

Desa Siambul Desa Talang Langkat Rata-rata

Jumlah % Jumlah % %

1 2 3 4 5 6 7

1 Agama

a. Islam 5 25,0 12 46,2 35,6

b. Lainnya:Kristen 15 75,0 14 53,8 64,4

2

Komposisi Umur

(Berdasarkan angkatan kerja)

a. Non produktif muda

(< 15 tahun)

b. Produktif 19 95,0 23 88,5 91,7

(15 - 64 tahun)

c. Non produktif tua 1 5,0 3 11,5 8,3

( > 64 tahun)

3 Asal

a. Asli 14 70,0 14 53,8 61,9

b. Pendatang 6 30,0 12 46,2 38,1

4

Anggota Keluarga

a. Kecil ( 2-4 orang) 6 30,0 9 34,6 32,3

b. Sedang (5-7 orang) 13 65,0 13 50,0 57,5

c. Besar (> 7 orang) 1 5,0 4 15,4 10,2

5

Pendidikan Terakhir

a. Tidak tamat/samapai SD 10 50,0 8 30,8 40,4

b. Tamat SMTP atau SLTA 6 30,0 17 65,4 47,7 c. Tamat Perguruan Tinggi/Akademi 2 10,0 1 3,8 6,9

6

Pekerjaan Utama

a. Petani/Peladang 15 75,0 21 80,8 77,9

b. PNS 1 5,0 1 3,8 4,4

c. Kepala/Aparat Desa 1 5,0 3 11,5 8,3

d. Wiraswasta/Pedagang 3 15,0 1 3,8 9,4

7

Pendapatan Keluarga per Bulan

a. Kecil 3 15,0 4 15,4 15,2

(< Rp. 1.500.000,-)

b. Sedang 11 55,0 13 50,0 52,5

(Rp. 1.500.000 - 3.000.000)

c. Besar

(> Rp. 3.000.000,-) 6 30,0 9 34,6 32,3

Page 33: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau

(Wanda Kuswanda)

123

Tabel 2. Pemanfaatan Lahan Masyarakat Sekitar TNBT

No Pernyataan Responden Desa Siambul

Desa Talang Langkat

Rata-rata

Jumlah % Jumlah % Jumlah

1

Status lahan olahan a. Milik sendiri 19 95,0 23 88,5 91,7 b. Milik orang lain/sewaan 1 5,0 2 7,7 6,3 c. Tanah adat/negara 0 0,0 1 3,8 1,9

2

Asal usul kepemilikan lahan a. Membuka hutan/belukar 3 15,0 6 23,1 19,0 b. Membeli dari orang lain 5 25,0 10 38,5 31,7 c. Warisan orang tua 8 40,0 4 15,4 27,7 d. Kombinasi antara dua 4 20,0 6 23,1 21,5 atau lebih dari a,b, c dan d

3

Jenis Pemanfaatan lahan oleh masyarakat a. Kebun Campur (lebih dari 1 jenis tanaman) 1. kurang dari 1 ha 1 5,0 0 0,0 2,5 2. antara 1-2 ha 8 40,0 4 15,4 27,7 3. lebih dari 2 ha 3 15,0 4 15,4 15,2 b. Kebun Monokultur (sawit dan karet) 1. kurang dari 1 ha 1 5,0 1 3,8 4,4 2. antara 1-2 ha 13 65,0 13 50,0 57,5 3. lebih dari 2 ha 4 20,0 10 38,5 29,2 c. Ladang 1. kurang dari 1 ha 0 0,0 0 0,0 0,0 2. antara 1-2 ha 1 5,0 3 11,5 8,3 3. lebih dari 2 ha 0 0,0 2 7,7 3,8 d. Sawah (kurang dari 1 ha) 0 0,0 1 3,8 1,9

Page 34: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 118-129

124

Gambar 2. Sebaran Wilayah Konflik Manusia dengan Orangutan di TNBT.

Tabel 3. Pengetahuan dan Potensi Konflik Masyarakat dengan Orangutan

No Pernyataan Responden Desa Siambul

Desa Talang

Langkat Rata-rata

Jumlah % Jumlah % %

1

Pernah melihat orangutan di TNBT dan desa penyangga

a. Ya 9 45,0 7 26,9 36,0

b. Ragu-ragu 1 5,0 3 11,5 8,3

c. Tidak pernah 10 50,0 16 61,5 55,8

2

Orangutan masuk lahan atau kebun masyarakat

a. Ya 5 25,0 7 26,9 26,0

b. Ragu-ragu 2 10,0 4 15,4 12,7

c. Tidak pernah 13 65,0 15 57,7 61,3

3

Orangutan merusak/mengkonsumsi tanaman masyarakat

a. Ya 4 20,0 5 19,2 19,6

b. Tidak 16 80,0 21 80,8 80,4

4

Selain orangutan, jenis satwa yang sering masuk lahan dan merusak tanaman masyarakat

a. Monyet 4 20,0 3 11,5 15,8

b. Babi 3 15,0 6 23,1 19,0

c. Rusa 2 10,0 2 7,7 8,8

d. Beruk 2 10,0 0 0 5,0

e. kijang 0 0,0 2 7,7 3,8

f. Landak 1 5,0 3 11,5 8,3 g. Kombinasi antara dua atua lebih jenis satwa 7 35,0 7 26,9 31,0

h. Tidak Pernah 1 5,0 3 11,5 8,3

5 Perkiraan kerugian akibat gangguan satwa

a. Kurang dari Rp. 500.000 per tahun 6 30,0 7 26,9 28,5

b. Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000 per tahun 9 45,0 7 26,9 36,0

c. Diatas Rp. 1.000.000 per tahun 4 20,0 9 34,6 27,3 d. Tidak pernah 1 5,0 3 11,5 8,3

5 Perkiraan kerugian akibat gangguan satwa

a. Kurang dari Rp. 500.000 per tahun 6 30,0 7 26,9 28,5

b. Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000 per tahun 9 45,0 7 26,9 36,0

c. Diatas Rp. 1.000.000 per tahun 4 20,0 9 34,6 27,3

Jumlah anggota dalam satu keluarga masih tergolong besar yaitu antara 5 – 7 orang per keluarga sebesar 57,5%, bahkan terdapat 10,2% mempunyai jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang. Sebagian masyarakat belum mengikuti program keluarga berencana (KB) karena kurangnya pengetahuan dan penyuluhan masalah pembinaan keluarga sejahtera.

Berdasarkan tingkat pendidikan, 47,7% penduduk Desa Siambul dan Talang Langkat berpendidikan tamat SLTP/SMA dan hanya 6,9% yang berpendidikan sampai perguruan tinggi. Sarana pendidikan di kedua desa tersebut baru sebatas pada tingkat SLTP dan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SLTA harus ke Kota Pematang Rebah dan Rengat. Masyarakat

Page 35: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau

(Wanda Kuswanda)

125

yang berpendidikan SLTA dan sampai perguruan tinggi umumnya adalah masyarakat pendatang dari Luar Jawa. Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada SDM yang hanya mampu bekerja sebagai petani atau buruh tani yang taraf hidupnya jauh dari katagori sejahtera sehingga masyarakat akan mencari kegiatan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti dengan melakukan pengambilan sumberdaya hutan (Garsetiasih, 2012).

Pekerjaan utama masyarakat untuk menopang kebutuhan hidupnya adalah sebagai petani (77,9%). Masyarakat setiap hari bekerja di lahan-lahan olahannya yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBT. Semakin banyaknya pendatang ke desa-desa sekitar TNBT tentunya dapat meningkatkan kebutuhan lahan olahan. Beberapa masyarakat juga bermata pencaharian juga sebagai pedagang, sebesar 9,4%. Masyarakat membuka warung kelontongan dan makanan terutama dipinggiran jalan raya yang merupakan jalan Nasional dari Riau ke Jambi.

Pendapatan masyarakat dari hasil menjual lahan olahannya sebagaian besar berpenghasilan antara Rp. 1.500.000,- 3.000.000,- bahkan di atas Rp.3.000.000,-.. Pendapatan masyarakat secara umum masih rendah sehingga masih banyak masyarakat yang menjadi responden mengeluhkan kekurangan luas lahan untuk di kelola oleh keluarganya. Hal ini yang mengakibatkan seringkali masyarakat berani membuka lahan di hutan Negara, termasuk merambah kawasan TNBT. Kondisi pendapatan yang rendah ini juga menyebabkan sebagian masyarakat mencari tambahan dengan mengambil sumberdaya hutan yang bisa dikonsumsi atau laku di jual dari kawasan taman nasional, seperti jerenang, rotan dan buah-buahan. Hal ini menjadi dapat salah satu sumber konflik dengan orangutan karena orangutan akan merasa terganggu atau bahkan akan memperlambat adaptasi orangutan dengan banyaknya manusia yang memasuki taman nasional. Orangutan yang dilepasliarkan sebelumnya telah dipelihara oleh manusia dan biasa mendapatkan sumber makanan yang mudah.

Menurut pengakuan masyarakat yang menjadi responden menyebutkan bahwa 91,7% adalah lahan yang diolahnya adalah miliknya dan hanya sebagaian kecil yang mengelola lahan milik orang lain atau menggunakan lahan adat/Negara. Lahan negara yang di rambah dan diolah masyarakat umumnya merupakan sisa area Hak Pengusahaan Hutan yang sudah ditinggalkan dan tidak dikelola lagi oleh perusahaan. Walaupun demikian, umumnya masyarakat belum memiliki sertifikat

kepemilikan lahan. Lahan yang masyarakat olah sebagaian besar mengaku diperoleh dengan cara membeli dari orang lain (31,7%) dan warisan orangtua. Hanya 19,0% responden yang mengaku mendapatkan lahan dengan cara membuka hutan. Responden yang mengaku mendapatkan lahan dengan cara membeli adalah masyarakat pendatang.

Masyarakat yang menjadi responden di kedua desa tersebut memanfaatkan lahan olahannya dengan beragam jenis tanaman. Masyarakat yang mengaku memiliki kebun campur umumnya seluas 1-2 ha sekitar 27,7% dan lebih 2 ha sebanyak 15,2%. Hasil pengamatan deskriptif, pada lahan campuran jenis tumbuhan ditemukan adalah tumbuhan alami dan yang ditanam oleh masyarakat. Beberapa jenis tumbuhan tersebut diantaranya adalah jering/jengkol, meranti, durian, petaling, simantung, karet, sawit, pisang, gaharu dan jerenang. Masyarakat yang memiliki lahan campuran biasa adalah masyarakat asli yang tidak punya cukup modal untuk membersihkan lahannya dan membeli bibit sawit atau karet dalam jumlah yang banyak.

Jenis tanaman yang banyak dibudidayakan adalah karet dan sawit dengan pola monokultur, seperti diakui oleh 80% responden. Luas kebun sawit atau karet dimiliki oleh 57,5% responden antara 1-2 ha dan 29,2% lebih dari 2 ha. Bahkan ada responden yang mengaku memiliki perkebunan sawit di atas 15 ha. Hanya sedikit masyarakat yang memanfaatkan lahannya untuk ladang dan sawah karena lebih tertarik membuka kebun sawit dan karet yang hasilnya lebih mudah dan mahal untuk dijual. Pembukaan kebun yang luas di sekitar hutan berdampak adanya konflik dengan satwaliar, termasuk orangutan (Wulan et al,. 2004; Redpath et al., 2013; Taylor et al., 2016).

Potensi pemicu konflik antara manusia dan satwaliar adalah semakin meluasnya pembukaan lahan, untuk lahan perkebunan maupun pemukiman manusia, sedangkan lahan tersebut juga merupakan daerah jelajah yang digunakan oleh orangutan untuk mencari makanannya (Madden, 2006). Konflik antara masyarakat dengan satwaliar dapat terjadinya apabila adanya gangguan, ancaman atau ketidaknyaman yang di akibatkan oleh satwa sebagai akibat kerusakan hutan yang dibuka untuk kebutuhan manusia, seperti perladangan dalam kawasan hutan, perluasan lahan perkebunan, pengusahaan pertambangan dan pembangunan prasarana lainnya (Redpath et al., 2013). Konflik antara manusia dan satwa liar ini terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara

Page 36: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 118-129

126

manusia dan satwa liar, termasuk dengan orangutan (Garsetiasih, 2012).

Berdasarkan hasil isian kuisioner pada masyarakat desa Siambul dan Desa Talang Langkat diketahui bahwa hanya 36,0% pernah melihat secara langsung orangutan di sekitar desa mereka dan 55,8% mengaku belum pernah melihatnya meskipun para tetangganya cerita bahwa melihat orangutan di desanya. Selanjutnya hanya 26,0% responden yang mengaku bahwa melihat orangutan memasuki ladang perkebunannya, terutama masyarakat yang masih memiliki lahan/kebun campuran. Selanjutnya hanya 19,6% yang mengaku orangutan merusak tanaman di kebun mereka. Mereka menemukan orangutan mencari makan dan mengkonsumsi buah-buahan yang biasanya mereka jual. Menurut mereka, orangutan biasanya mengkonsumsi jering atau jengkol, durian dan petai. Hal ini yang sering dirasakan merugikan masyarakat karena saat akan panen buah tanaman mereka sudah habis dikonsumsi orangutan. Selain itu, tanaman yang sering dimakan oleh orangutan yang tumbuh di kebun mereka adalah buah simantung, medang dan torop. Upaya yang dilakukan masyarakat yang salah satu bentuk konflik adalah dengan mengusir orangutan menggunakan asap (membakar kayu), menggunakan anjing atau pentungan.

Orangutan yang berada di kawasan TNBT merupakan orangutan yang dilepasliarkan dan tentunya sebelum ada program ini tidak ditemukan orangutan di kawasan TNBT. Keberadaan orangutan ini tentunya merupakan ‘pendatang’ yang sangat berpotensi untuk menjadi sumber konflik dengan masyarakat. Hal ini dipicu bahwa kebutuhan pakan orangutan juga merupakan sumberdaya hutan yang sebelumnya dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional sebagai sumber kehidupannya, baik sebagai makanan maupun dijual. Seperti diketahui, bahwa kawasan TNBT sebelumnya juga merupakan tempat tinggal beberapa masyarakat tradisional, seperti Suku Talang Mamak dan Suku Melayu dan merupakan sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya (Balai TNBT, 2014).

Potensi konflik dengan satwaliar lainnya yang banyak ditemukan di lahan olahan masyarakat adalah babi dan monyet, landak dan kombinasi antar satwa tersebut. Keberadaan satwa-satwa tersebut, oleh sebagian masyarakat sudah dianggap hama. Sebagai contoh, monyet atau kedih sering makan pucuk dan buah karet sehingga pertumbuhan karet menjadi lambat dan mengurangi produksi getahnya. Begitu juga dengan babi dan landak yang sering merusak tanaman muda, seperti sawit dan jagung

sehingga tanaman mati. Kerugian yang dikemukkan oleh responden akibat gangguan satwaliar akibat memasuki lahan mereka sangat bervariasi. Namun sebagian besar responden mengaku antara Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000 per tahun, sebanyak 36% responden. Namun ada juga responden yang mengaku lebih dari 5 juta rupiah per tahun.

Hasil FGD terkait pemetaan wilayah konflik menunjukan bahwa sebaran orangutan sudah mencapai wilayah bagian Utara TNBT, termasuk di Kabupaten Indragiri Hulu. Hasil wawancara beberapa kepala desa mengaku pernah mendapat laporan bahwa masyarakatnya menemukan orangutan, terutama di Kawasan TNBT. Namun untuk penemuan orangutan yang datang ke kebun masyarakat hanya ditemukan beberapa kasus saja, seperti di Desa Talang Langkat, Desa Siambul, Desa Alim dan Desa Kepayangsari (Gambar 2). Kasus gangguan orangutan ini diperkuat lagi oleh petugas Balai TNBT yang menjadi peserta FGD yang menyatakan bahwa mendapat laporan dari masyarakat tentang gangguan orangutan yang mengambil buah-buahan di kebun, seperti pisang dan jengkol. Menurut Hardus et al., (2012), dampak banyaknya penebangan liar, seperti untuk perkebunan, akan merubah perilaku orangutan karena sumber pakan di hutan semakin terbatas.

Potensi konflik orangutan di wilayah Kab. Indragiri Hulu memang belum tinggi karena sebaran populasi orangutan yang sampai di kawasan tersebut masih sedikit. Namun apabila tidak ada upaya metigasi konflik maka dikwatirkan konflik ini akan semakin meluas dengan meningkatnya jumlah penduduk di daerah penyangga TNBT. Dampak konflik yang terjadi saat ini, seperti rusaknya tanaman masyarakat dan pengusiran orangutan tentunya telah memberikan efek negatif bagi kedua belah pihak. Pemerintah, baik pusat dan daerah, perlu segera merumuskan kebijakan terkait upaya penanggulangan konflik sehingga program konservasi satwa langka ini bisa berhasil.

Peraturan terkait penanggulangan konflik satwaliar telah dikeluarkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 48/Menhut-II/2008 tentang pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar yang dirubah dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 53/Menhut-II/2014. Pemerintah daerah juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernurnya, seperti di Sumatera Utara melalui Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 88.44/536/KPTS/2011 tentang Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwaliar Provinsi Sumatera Utara. Peraturan

Page 37: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau

(Wanda Kuswanda)

127

tersebut secara umum memfokuskan pada upaya penindakan untuk penyelamatan satwa apabila konflik itu terjadi. Padahal upaya mitigasi konflik harus dilakukan secara menyeluruh, baik melalui upaya pencegahan maupun penindakan. Untuk itu, disusun rekomendasi sebagai bahan masukan untuk mengimplementasikan kebijakan mitigasi konflik satwaliar, terutama untuk orangutan yang sudah termasuk satwa kritis terancam punah.

Rekomendasi implementasi kebijakan ini disusun berdasarkan hasil FGD yang diikuti oleh berbagai kelembagaan terkait sehingga bisa menjadi acuan untuk dikembangkan juga di lokasi lain, selain di sekitar TNBT, Kabupaten Indragiri Hulu. Oleh karena kasus konflik orangutan yang perlu segera ditangani banyak juga ditemukan di Propinsi Sumatera Utara. Berbagai rekomendasi dalam mengimlementasi kebijakan terutama bagi pemerintah daerah adalah sebagai berikut : 1. Menurut 72,2% responden/peserta FGD,

implementasi program kebijakan yang perlu segera dilakukan adalah perbaikan habitat di kawasan TNBT. Hal ini karena banyak kawasan TNBT yang berupa semak belukar dan bekas lahan perambahan yang perlu segera ditanami dengan beragam tumbuhan pakan orangutan, sehingga orangutan tidak keluar dari kawasan hutan dan menggganggu tanaman masyarakat. Kebijakan ini perlu juga segera dilakukan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Utara karena banyak habitat orangutan, seperti di Kabupaten Langkat telah berubah menjadi lahan perkebunan dan pemukiman masyarakat, seperti di sekitar TN. Gunung Leuser.

2. Sebanyak 66,7% peserta FGD memandang perlu juga adanya program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan penghasilan masyarakat. Seperti dari hasil penyebaran kuisioner pada masyarakat bahwa masyarakat umumnya hanya menggantungkan penghasilan dari hasil panen kebun mereka, yaitu sawit dan karet. Kedepannya, perlu dicari alternatif usaha bagi masyarakat yang tidak membutuhkan lahan yang sangat luas, seperti usaha lebah madu, peternakan dan perikanan, sistem PIR (Perkebunan Inti Rakyat) dan membantu mengembangkan produk hasil hutan tanaman masyarakat.

3. Sekitar 22,2% peserta juga mengaku bahwa orangutan yang ada di kawasan TNBT

4. Sebagian perlu dipindahkan kembali ke kawasan hutan yang jauh dari pemukiman masyarakat. Namun alternatif ini

dipandang oleh sebagian lembaga sangat sulit karena sebagian besar kawasan hutan di Sumatera telah terdegradasi dan terfragmentasi oleh aktivitas manusia. Pembentukan Tim Monitoring Orangutan (TMO) yang melibatkan berbagai kelembagaan dianggap akan lebih efektif untuk meminimalisasi gangguan orangutan yang memasuki ladang masyarakat. Tim ini bertugas untuk mencegah orangutan keluar dari kawasan taman nasional dan menggiring kembali memasuki kawasan hutan.

5. Meningkatkan pemahaman, sosialisasi dan penyuluhan pada masyarakat terkait kebiasaan/perilaku dan manfaat keberadaan orangutan bagi kelestarian ekosistem TNBT. Sebagian masyarakat seringkali menganggap satwaliar, termasuk orangutan, sebagai satwa pengganggu. Padahal orangutan merupakan bagian dari rantai ekosistem yang dapat membentu regenerasi hutan secara alami.

6. Penegakan hukum bagi pelaku perambahan lahan, illegal logging dan masyarakat yang menangkap atau berburu satwa langka, terutama orangutan. Dalam hal ini, TMO dapat bekerjasama dengan pihak kepolisian setempat untuk melakukan proses penyidikan dan penyelidikan berbagai kasus yang melanggar Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, seperti perambahan dan perburuan satwa pada hutan konservasi.

7. Revitalisasi sistem dan budaya pertanian berpindah, terutama pada masyarakat tradisional Suku Talang Mamak dan Suku Melayu. Sistem pertanian berpindah berdampak pada berkembangnya pembukaan hutan yang dapat menyebabkan fragmentasi dan terisolasinya satwa pada kawasan hutan yang sempit sehingga akan lebih mudah ditemukan dan diburu.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat di daerah penyangga TNBT, terutama di Desa Siambul dan Desa Talang Langkat, merupakan masyarakat asli dengan pekerjaan utama masyarakat adalah sebagai petani (77,9%). Pendidikan dan pendapatan keluarga masih rendah sehingga ketergantungan akan sumber daya lahan dan hasil hutan masih cukup tinggi sehingga dapat menjadi sumber konflik dalam pemanfaatan sumberdaya dengan orangutan.. Pemanfaatan lahan oleh 80% responden ditanami dengan tanaman monokultur, terutama sawit dan karet.

Page 38: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 118-129

128

Untuk ladang jenis yang banyak ditanam masyarakat dengan coklat, manggis, jerenang, durian, duku, jengkol dan pinang sebagai penanda batas lahan. Beragam jenis tanaman dan sebagian besar merupakan pakan orangutan mengakibatkan orangutan sering keluar dari hutan untuk mencari makan dan membuat sarang pada lahan masyarakat di daerah penyangga dan menjadi sumber konflik. Strategi untuk mengimplementasikan kebijakan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 53/Menhut-II/2014 yang direkomendasikan adalah pengkayaan habitat terdegradasi dengan tumbuhan pakan orangutan, meningkatkan penghasilan masyarakat dengan mengembangkan ekonomi alternatif seperti lebah madu, pembentukan Tim Monitoring Orangutan dengan melibatkan para pihak, penyuluhan pada masyarakat dan revitalisasi sistem pertanian berpindah menjadi menetap.

REKOMENDASI 1. Pemerintah Daerah, terutama di Propinsi

Sumatera Utara perlu segera mengefektifkan TIM Penanggulangan Satwaliar, khususnya bagi orangutan dengan mengalokasikan anggaran dalam APBD.

2. Pemerintah Daerah bekerjasama dengan Balai Taman atau Balai Konservasi Sumberdaya Alam mengembangkan program ekonomi alternatif bagi masyarakat desa penyangga yang umumnya sebagai petani sekitar hutan konservasi sehingga intensitas warga memasuki kawasan konservasi dapat menurun.

3. Pemerintah Daerah perlu segera membangun sekolah lapangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan formal masyarakat yang masih rendah dan menyusun program pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam mengelola lahan di desa-desa penyangga.

4. Pengelola kawasan konservasi dapat mengembangkan jenis tanaman yang tidak disukai orangutan di batas kawasan atau rintangan fisik untuk menjadi barier agar orangutan tidak keluar dari hutan.

5. Rekomendasi dalam tulisan ini diharapkan menjadi rujukan untuk mengurangi potensi konflik satwaliar yang terus meningkan dengan berkurangnya kawasan dan tutupan hutan di Provinsi Sumatera Utara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai dan staff Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Kepala dan staff Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indragiri Hulu, Kepala, Peneliti dan Teknisi Balai Litbang

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli yang telah memfasilitasi dan membantu seluruh penelitian hingga selesainya publikasi ini. DAFTAR PUSTAKA Abram NK., Meijaard, E., Wells JA, Ancrenaz M, Pellier AS, Runting RK, Gaveau D, Wich S, Nardiyono, Tjiu A., Nurcahyo A and Mengersen K. (2015). Mapping perceptions of species' threats and population trends to inform conservation efforts: the Bornean orangutan case study. Diversity Distrib., 21: 487–499. Diakses dari doi:10.1111/ddi.12286 pada tanggal 20 Juni 2016.

Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh. (2014). Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kementerian Kehutanan. Rengat.

Buckley RC, Morrison C, Castley JG. (2016). Net Effects of Ecotourism on Threatened Species Survival. PLoS ONE 11(2): e0147988. Diakses dari: doi:10.1371/journal.pone.0147988 pada tanggal 15 Juni 2016.

Departemen Kehutanan. (1999). Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan, tanggal 30 September 1999. Departemen Kehutanan. Jakarta

Departemen Kehutanan. (2007). Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007- 2017. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. (2008). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 48/Menhut-II/2008 tentang pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Garsetiasih R. (2015). Persepsi Masyarakat Sekitar Kawasan TN. Meru Betiri dan TN. Alas Purwo yang Terganggu Satwaliar terhadap Konservasi Banteng. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 12 No.2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Ginting YWSB. (2006). Studi Reintroduksi orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson) yang Dikembangkan di Stasion Karantina Medan dan di Stasiun Reintroduksi Jambi. Skripsi Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Hardus ME, Adriano RL, Steph BJM, Wich SA. (2014). Effects of logging on orangutan behavior. Biological Conservation 146 (2012) 177–187. journal homepage: www.elsevier.com/ locate/biocon.

(IUCN) International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. The World Conservation Union. (2014). IUCN Red List of Threatened Species. http ://www.redlist.org/. Diakses tanggal 17 Juni 2015.

Kuswanda W dan Mukhtar AS. (2006). Potensi Masyarakat dan Peranan Kelembagaan di Zona Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No. 4. Departemen Kehutanan.

Kuswanda W. (2007). Karakteristik dan Penggunaan Lahan Sekitar Habitat Orangutan (Pongo abelii

Page 39: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau

(Wanda Kuswanda)

129

Lesson), Cagar Alam Dolok Sibual-Buali. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 3. Departemen Kehutanan.

Kuswanda W. (2014). Orangutan Batang Toru : Kritis diambang Punah. Forda Press. Bogor.

Madden F. (2006). Gorillas in the garden: Human-wildlife conflict at Bwindi Impenetrable National Park. Policy Matters 14:180-190.

Redpath SM, Young J, Evely A, Adams WM., Sutherland WJ, Whitehouse A, Amar A, Lambert RA, Linnell JDC, Watt A., Gutierrez RJ. (2013). Understanding and managing conservation conflicts. Trends Ecol. Evol. 28, 100–109.

Siregar JP. (2015). Tingkat Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson 1827) Ex-captive di Pusat Reintroduksi Orangutan Sumatera Provinsi Jambi. Thesis Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Supangat A. (2008). Statistik dalam kajian deskriptif, inferensi dan nonparametrik. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Hal.: 1-415.

Taylor S, Miller KK and McBurnie J. (2016). Community perceptions of orangutan conservation and palm oil in Melbourne, Australia. International Journal of Environmental Studies Vol. 73, Iss. 2, 2016: 1-12 Diakses dari DOI: 10.1080/00207233.2016.1144332 pada tanggal 26 Juni 2016.

Wich S, Riswan J, Jonsen J, Refisch dan Nellemann C. (Editor). (2011). Orangutan dan Ekonomi Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia. Alih Bahasa : Gunung Gea. UNEP. Penerbit Barragraphia. Hal : 1-83.

Wilson HB, Meijaard E, Venter O, Ancrenaz M, Possingham HP. (2014). Conservation Strategies for Orangutans: Reintroduction versus Habitat Preservation and the Benefits of Sustainably Logged Forest. PLoS ONE 9(7): e102174. Diakses dari doi:10.1371/journal.pone.0102174 pada tanggal 2 Mei 2016.

Wulan YC, Yasmi C, Purba C, Wollenberg E. (2004). Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997–2003. Bogor. Center for International Forestry Research (CIFOR).

Page 40: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 130-141

130

Hasil Penelitian

STRATEGI REHABILITASI LAHAN DI DAS PADANG

BERDASARKAN KESESUAIAN

TEMPAT TUMBUH JENIS-JENIS POHON

(LAND REHABILITATION STRATEGY IN PADANG WATERSHED

BASED ON TREES SPECIES SUITABILITY MAP)

Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli

Jln. Raya Parapat Km. 10,5 Desa Sibaganding Parapat, Sumatera Utara

Email: [email protected] dan [email protected]

Diterima: 5 Januari 2017; Direvisi: 19 Mei 2017; Disetujui: 16 Juni 2017

ABSTRAK

DAS Padang termasuk pada DAS yang penting untuk ditangani di Sumatera Utara terkait dengan

kondisi biofisik serta sosial ekonomi yang ada di DAS ini. Permasalahan yang rutin terjadi di DAS

Padang ini adalah banjir tahunan. Untuk meningkatkan kualitas suatu DAS yang telah

terdegradasi perlu ada rehabilitasi terutama di lahan-lahan yang terbuka dan lahan yang secara

biofisik perlu dijadikan lahan yang berhutan. Tujuan kegiatan adalah untuk mengetahui kondisi

tutupan lahan di DAS Padang dan menyusun strategi rehabilitasi yang perlu dilakukan di DAS

Padang berdasarkan peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon dalam DAS. Metode yang

digunakan berdasarkan pengumpulan informasi dan data kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis

pohon pada tingkat unit DAS melalui pengolahan data spasial menggunakan aplikasi dari sistem

informasi geografis (SIG). Berdasarkan pengolahan data spasial, luas kawasan hutan di DAS

Padang mencapai 28,44% dari luas DAS namun kondisinya telah berubah dimana hanya 7,17%

saja dari luas DAS yang masih berhutan atau 7,932 hektar. Tingkat kekritisan lahnnya cenderung

potensial kritis hingga kritis. Peta Kesesuaian untuk jenis-jenis pohon yang dapat ditanam di DAS

Padang disusun berdasarkan hasil survey lapangan dan rekomendasi jenis-jenis yang sesuai

dengan syarat tempat tumbuh di DAS Padang. Sebagai rekomendasi, penggunaan lahan

khususnya di bagian hulu DAS Padang harus dikembalikan pada fungsinya sebagai areal

penyangga DAS khususnya terkait dengan sistem pertanian/ perkebunan, pola tanam dan alih

fungsi lahan.

Kata kunci: rehabilitasi, peta keseusian jenis, DAS Padang, kawasan hutan

ABSTRACT

Padang watershed is one of important watersheds to address in North Sumatra related to the

biophysical and socio-economic conditions in this watershed. The problem that routinely occurs in

Padang watershed is the annual floods. Degraded watershed quality could be improved by

rehabilitation, especially in barren lands or biophysically need to be forested land. The objective

of this research is to determine the condition of land cover in Padang watershed and develop

rehabilitation strategies that need to be applied in Padang watershed based on tree species

suitability map of the watershed. The method used was based on the collection of information and

data suitability of tree species on the watershed unit through spatial data processing using

geographic information systems (GIS). Based on spatial data processing, forested area in Padang

watershed reaches 28.44% of the watershed area, but its conditions have changed with only

7.17% of the area remain as forested area or 7.932 hectares. The land tends to be potentially

critical and critically injured. Map of suitability for the tree species that could be planted in the

watershed Padang compiled based on the results of field surveys and recommendation types that

correspond to a growing requirement in Padang watershed. As a recommendation, land use,

Page 41: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

131

especially in the upper Padang watershed must be returned to its function as a buffer area of

watershed system especially related to agriculture / plantation, cropping patterns and land use.

Keywords: rehabilitation, land suitability map, Padang watershed, forest land

PENDAHULUAN Kajian tentang Daerah Aliran Sungan (DAS)

merupakan kajian tentang ekosistem dimana dikaji keterkaitan dan hubungan saling mempengauhi antara komponen-komponen yang ada dalam ekosistem tersebut. Komponen kunci yang mendukung ekosistem DAS adalah sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) serta sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak 2002). Sebuah ekosistem merupakan suatu sistem dimana komponen-komponen yang ada di dalamnya tidak berdiri sendiri dan saling terkait satu dengan yang lain. Hal ini juga berlaku dalam ekosistem DAS, dimana manusia sebagai salah satu komponen dalam DAS mempunyai peran yang penting, karena aktivitas yang dilakukan di atas lahan yang ditempatinya dapat merubah kondisi tanah dan vegetasi yang ada. Perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi suplai air dengan merubah proses-proses hidrologi dalam suatu DAS seperti infiltrasi, pengisian air tanah, aliran dasar dan limpasan permukaan (runoff) (Lin et al., 2007) serta kualitas air, habitat perairan dan saluran serta morfologi banjir (James & Lecce, 2013).

DAS Padang merupakan salah satu dari 9 (sembilan) DAS di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang ditetapkan sebagai DAS Prioritas I melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan DAS Prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Berdasarkan keputusan tersebut dapat dikatakan bahwa DAS Padang termasuk pada DAS yang penting untuk ditangani terkait dengan kondisi biofisik serta sosial ekonomi yang ada di DAS ini. Permasalahan yang rutin terjadi di DAS Padang ini adalah banjir tahunan (Irsan 2011). Menurut data dari BMKG tahun 2009, ada beberapa kejadian banjir yang cukup besar yaitu di tahun 2003 yang menggenangi 100 kelurahan di Kota Tebing Tinggi dan di tahun 2010 yang menggenangi ratusan rumah. Permasalahan ini selain disebabkan oleh tingginya curah hujan juga akibat adanya pendangkalan sungai Padang di bagian tengah dan hilir akibat tingginya erosi yang terjadi di daerah hulu karena perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non hutan (Ardiansyah et al. 2013).

Untuk meningkatkan kualitas suatu DAS yang telah terdegradasi perlu ada rehabilitasi terutama di lahan-lahan yang terbuka dan lahan

yang secara biofisik perlu dijadikan lahan yang berhutan. Namun kenyataan di lapangan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan keberhasilannya masih rendah. Salah satu faktor penyebab antara lain karena kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai jenis-jenis yang akan dikembangkan, termasuk informasi persyaratan tempat tumbuh (Pratiwi, 2014).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, strategi rehabilitasi hutan dan lahan di DAS Padang disusun berdasarkan pengumpulan informasi dan data kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon pada tingat unit DAS melalui pengolahan data spasial menggunakan aplikasi dari sistem informasi geografis (SIG). Penggunaan SIG untuk menganalisis kesesuaian tempat tumbuh telah secara luas dipergunakan dalam berbagai bidang baik dalam ekologi, geologi, pertanian maupun untuk evaluasi lansekap (Mansor 2012; Sunandar 2012; Malczewski 2004; Gurmessa & Nemomissa 1993; Mendoza 1977). Tulisan ini bertujuan menggambarkan kondisi tutupan lahan di DAS Padang serta untuk menyusun strategi rehabilitasi yang perlu dilakukan di DAS Padang berdasarkan penyusunan peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis pohon di DAS Padang.

METODE

Penelitian ini dilakukan di DAS Padang mulai dari hulu yang berada di Kabupaten Simalungun hingga di hilir yang berada di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Oktober 2014. Untuk menyusun peta kesesuaian jenis tempat tumbuh maka perlu perpaduan antara hasil pengamatan lapangan (ground checking) dengan data spasial yang ada dimana data hasil pengamatan lapangan juga menjadi data untuk verifikasi dan validasi dari peta hasil yang dibangun. Jenis data yang dikumpulkan adalah data-data yang berkaitan dengan biofisik seperti data topografi yang bisa diturunkan menjadi data ketinggian tempat serta data kemiringan serta data tipe penggunaan lahan (land use), data curah hujan, data jenis tanah serta data-data lain yang semakin lengkap akan semakin baik. Masing-masing data tersebut tersimpan dalam setiap layer dimana pengolahan data spasial ini kemudian akan berdasarkan pada pengolahan masing-masing layer tersebut.

Data-data spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data-data

Page 42: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 130-141

132

sekunder berupa peta yang sudah terdigitasi yang meliputi : Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), Peta Landsystem dan peta-peta lainnya. Data-data tersebut kemudian dibangun dengan mengolah dan menyimpan data yang diperoleh ke dalam bentuk peta tematik, yaitu peta wilayah kajian (unit DAS), peta kelas ketinggian, peta kelas lereng (slope), peta curah hujan, peta jenis tanah dan peta sebaran berbagai jenis pohon (hasil analisa vegetasi). Peta kelas ketinggian dan peta kelas lereng dibuat dengan menurunkan dari peta kontur menggunakan software ArcView, peta curah hujan dan peta jenis tanah merupakan hasil ekstraksi dari peta RePProT dengan pengolahan data atributnya. Metode yang digunakan dalam penyusunan peta kesesuaian lahan adalah dengan

memadukan (matching) persyaratan tempat tumbuh tanaman dengan kondisi biofisik lingkungan dengan menggunakan data spasial dari sistem informasi geografis (SIG), hingga diperoleh peta kesesuaian lahan untuk setiap jenis tanaman. Selengkapnya dapat dilihat dalam Gambar 1. Berdasarkan persyaratan tempat tumbuh tanaman tersebut maka data spasial yang ada kemudian diolah dengan melakukan overlay atau tumpang susun untuk setiap layer. Areal yang sesuai dengan persyaratan tempat tumbuh tanaman adalah areal hasil irisan dari semua layer yang di-overlay yang kemudian dikategorikan sebagai areal yang sesuai atau tidak sesuai. Sedangkan areal yang tidak masuk dalam irisan tersebut dikategorikan sebagai areal yang tidak sesuai untuk jenis tersebut.

Gambar 1. Penyusunan Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh.

Peta kelas ketinggian dan peta kelas lereng dibuat dengan menurunkan dari peta kontur menggunakan software ArcView, peta curah hujan dan peta jenis tanah merupakan hasil ekstraksi dari peta RePProT dengan pengolahan data atributnya. Pembangunan data spasial dilakukan dengan mengolah dan menyimpan data yang diperoleh ke dalam bentuk peta tematik, yaitu peta wilayah kajian (unit DAS Padang), peta kelas ketinggian, peta kelas lereng (slope), peta curah hujan, peta jenis tanah dan sebaran jenis-jenis pohon yang ada di unit DAS hasil dari ground checking. Penyusunan strategi dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil kesesuaian tempat tumbuh yang digabungkan dengan kondisi penutupan dan penggunaan lahan hasil survei di lapangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 579 tahun 2014 tentang kawasan hutan di Propinsi Sumatera Utara, total kawasan hutan di DAS Padang adalah 19.85% dari total luas DAS atau 21.965 hektar. Dari luas tersebut, porsi terbesar adalah hutan produksi yaitu 16,59% sedangkan hutan lindung hanya 3,26%. Persentase luas kawasan hutan yang hanya 19,85% ini termasuk kecil dan balum memenuhi persyaratan dalam luas minimal hutan yang ada dalam suatu DAS. Menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, luas minimum hutan yang harus ada dalam suatu DAS adalah 30% dari total luas DAS. Lebih jauh lagi jika melihat penggunaan lahan tahun 2014 seperti yang terlihat pada Tabel 2, lahan hutan yang tersisa hanya tinggal

Persyaratan tempat

tumbuh :

Ketinggian tempat

Iklim/curah hujan

Lereng

Jenis tanah

Peta Topografi :

- ketinggian

- kelerengan

Peta curah hujan/suhu

Peta jenis/tekstur

tanah

Data/Peta spasial :

Peta Kesesuaian

Tempat Tumbuh

Overlay

Overlay

Matching

Validasi

Page 43: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

133

7,780 hektar untuk hutan lahan kering dan 302 hektar untuk hutan mangrove. Dengan total luas hutan sebesar 8.082 hektar atau 7,3% saja dari total luas DAS, kondisi ini sangat jauh dari ideal untuk suatu DAS. Hal ini tentunya akan

menimbulkan dampak yang buruk khususnya untuk daerah yang ada pada hilir DAS. Kondisi tutupan lahan di DAS Padang dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 dan kawasan hutannya dapat dilihat pada Gambar 4.

Tabel 1. Luas Setiap Kawasan Hutan Di DAS Padang (Berdasarkan SK Menhut No. 579/2014)

Kawasan Hutan (SK 579/2014) Luas (ha) Persentase (%)

Areal Penggunaan Lain 88.706 80.15

Hutan Lindung 3.604 3.26

HP 18.361 16.59

Total 110.672

Sumber: Lampiran SK Menhut No. 579/2014

Semakin luas area vegetasi di permukaan tanah maka kesempatan air untuk berinfiltrasi akan semakin besar. Dengan demikian, simpanan air bawah permukaan pun akan meningkat dan sebaliknya, laju dan volume aliran permukaan akan semakin menurun (Emilda 2010). Vegetasi penutup dan tipe penggunaan lahan akan kuat mempengaruhi aliran sungai sehingga adanya perubahan penggunaan lahan akan berdampak pada aliran sungai (Sinukaban et al. 2000). Hal ini sejalan

dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bathurst (2011), dimana hutan memberikan keuntungan yang signifikan dalam mitigasi banjir untuk kejadian hujan pada tingkat yang sedang (moderate) dan melindungi dari erosi tanah dan transfer sedimen dalam kejadian yang lebih luas. Perubahan penggunaan lahan di DAS juga dapat mempengaruhi pasokan air dengan mengubah proses hidrologi seperti infiltrasi, resapan air tanah, aliran dasar dan limpasan (Lin et al. 2007).

Tabel 2. Tutupan lahan di DAS Padang pada tahun 1990 dan 2014

Penggunaan Lahan Luas 1990 (ha) Luas 2014 (ha) Selisih

Belukar Rawa 60 32 -28

Hutan Lahan Kering 8.895 7.780 -1.115

Hutan Mangrove 618 302 -316

Pemukiman 2.194 2.213 19

Perkebunan 38.433 40.044 1.611

Pertanian Lahan Kering 46.969 51.468 4.499

Sawah 5.287 - -5.287

Semak/Belukar 6.844 7.177 333

Tambak 52 11 -41

Tanah Terbuka 873 1.198 325

Tubuh Air 452 452 0

Sumber: Badan Planologi Dephut 2016, diolah.

Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Padang cukup signifikan dalam kurun waktu 24 tahun. Hutan lahan kering berkurang seluas 1.115 hektar dan sawah juga tidak ada lagi. Demikian juga dengan lahan basah dimana belukar rawa dan hutan mangrove menurun hingga 50%. Di lain pihak, pertanian lahan kering dan perkebunan bertambah cukup tinggi menjadi 46,5% dari total luas DAS pada tahun 2014. Menurut El Kateb et al. (2013) dan Nunes et al. (2011) lahan untuk pertanian merupakan faktor penghasil erosi terbesar dari suatu lahan dan

beberapa faktor yang menjadi penyebab erosi adalah praktek pertanian yang tidak sesuai, deforestasi, pembiaran lahan dan kebakaran hutan (Grimm et al. 2002). Besarnya limpasan pada lahan pertanian dapat disebabkan karena tidak adanya perlakuan konservasi tanah seperti teras atau guludan di lahan yang mempunyai topografi yang bergelombang atau curam sehingga air hujan yang jatuh lebih banyak yang berubah menjadi limpasan. Berkurangnya lahan basah juga berpotensi menyebabkan banjir karena tidak adanya lahan untuk menampung

Page 44: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 130-141

134

kelebihan air yang terjadi dari bagian hulu DAS pada saat musim hujan.

Gambar 2. Penggunaanan Lahan di DAS Padang tahun 1990.

Gambar 3. Penggunaan Lahan di DAS Padang tahun 2014.

Page 45: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

135

Gambar 4. Peta Kawasan Hutan di DAS Padang (SK Menhut No. 579/2.

Menurut Soemarwoto (1974), yang termasuk vegetasi di daerah aliran sungai meliputi hutan, tanaman pekebunan, sawah, ladang dan pekarangan atau dapat dikatakan semua tetumbuhan dan tanaman yang hidup di daerah tersebut. Di daerah aliran sungai, fungsi utama dari vegetasi adalah mengatur tata air dan melindungi tanah. Perlindungan ini berlangsung dengan cara: 1) melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, 2) melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah, 3) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan daya absorpsi air. Peran utama dari hutan adalah untuk menjaga fungsi hidroorologis dari DAS tersebut dimana menurut van Noordwijk et al. (2004) hubungan antara tutupan lahan oleh pohon baik secara penuh ‘hutan alam’ maupun sebagian ‘hutan parsial’ seperti agroforestri dengan fungsi hidrologi dapat dilihat dari aspek hasil air total dan daya sangga DAS terhadap debit puncak pada berbagai skala waktu. Di lain pihak, perubahan penutupan lahan akan membawa dampak bagi fungsi hidrologi seperti yang dikemukakan oleh Bradshaw et al. (2007) yang mengatakan bahwa pengurangan tutupan lahan hutan alam sebesar 10% diprediksi akan meningkatkan frekuensi banjir sebesar 4 – 28% dan memperpanjang durasinya sebesar 4 – 8%. Hasil tumpang susun antara peta kawasan hutan dengan peta penutupan lahan juga terlihat bahwa pada kawasan hutan telah berubah menjadi berbagai penutupan lahan non hutan. Hutan lindung yang harusnya menjadi daerah

yang dipertahankan telah berubah menjadi lahan pertanian dan tanah terbuka. Hutan produksi juga telah berubah menjadi lahan perkebunan dan pertanian sedangkan hutan produksi terbatas berubah menjadi lahan pertanian, sawah, tambak dan tanah terbuka. Hasil tumpang susun ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa pada lahan yang berstatus sebagai kawasan hutan baik berupa hutan lindung maupun hutan produksi ternyata telah banyak yang beralih tutupannya menjadi berbagai penggunaan lainnya. Hutan lindung yang seharusnya berfungsi menjadi areal yang bebas dari alih fungsi justru lebih banyak yang berubah, terutama menjadi areal perkebunan dan pertanian. Demikian juga dengan hutan produksi yang telah banyak berubah menjadi areal pertanian lahan kering. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat yang memang melakukan okupasi lahan atau karena kurangnya sosialisasi mengenai batas kawasan sehingga timbul perubahan fungsi lahan tersebut. Menurut Geist dan Lambin (2002) ada tiga penyebab terjadinya deforestasi, yaitu perluasan infrastruktur, perluasan lahan pertanian dan pengambilan kayu. Ketiga penyebab ini didorong oleh lima faktor yaitu faktor demografi, ekonomi, teknologi, politik dan kelembagaan serta budaya dan sosiopolitik. Dalam terminologi DAS, tipe penutupan/penggunaan lahan yang menggantikan hutan lebih penting daripada deforestasi itu sendiri (Verbist et al. 2005.

Page 46: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 130-141

136

Tabel 3. Penggunaan Lahan di Setiap Kawasan Hutan Di DAS Padang

Kawasan Hutan Penggunaan Lahan Tahun 2014 Luas (ha)

Hutan Lindung Belukar Rawa 32

Hutan Lindung Hutan Lahan Kering 578

Hutan Lindung Hutan Mangrove 190

Hutan Lindung Perkebunan 1,144

Hutan Lindung Pertanian Lahan Kering 562

Hutan Lindung Semak/Belukar 846

Hutan Lindung Tanah Terbuka 238

Hutan Lindung Tubuh Air 12

Hutan Produksi Hutan Lahan Kering 7,203

Hutan Produksi Pertanian Lahan Kering 5,978

Hutan Produksi Semak/Belukar 5,122

Hutan Produksi Tanah Terbuka 55

Sumber: Hasil pengolahan data spasial. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, sebagian besar penggunaan lahan di DAS Padang merupakan lahan pertanian dan areal hutannya sendiri hanya meliputi areal di bagian hulu saja yaitu di daerah gunung Simbolon. Bahkan di areal yang mempunyai elevasi di atas 800 meter dpl dan juga merupakan bagian hulu DAS Padang juga masih dijumpai tanaman kelapa sawit. Hal ini tentunya merupakan kerugian karena laju aliran permukaan di areal tanaman sawit yang relatif tinggi, menyebabkan turunnya laju infiltrasi air hujan dan menimbulkan bahaya erosi. Menurut Taufiq et al. (2013), penanaman sawit mengurangi debit sungai di Sub DAS

Landak sebesar 30-40%. Laju aliran permukaan di areal kelapa sawit juga lebih tinggi dari hutan alam dimana persentase hujan yang menjadi aliran permukaan dihutan alam adalah 0,5 – 2,8% sedangkan di areal sawit adalah 2,8 – 30,6% (Comte at al. 2012). Potensi erosi tanah yang dapat terjadi di perkebunan kelapa sawit berkisar antara 53,58 ton/ha/thn – 543,54 ton/ha/thn, tergantung dari tindakan konservasi tanah yang dilakukan di areal perkebunan tersebut (Lihawa & Utina 2013). Sebaran lahan kritis dan tingkatannya di DAS

Padang dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lahan Kritis di DAS Padang (Sumber BPDAS Asahan Barumun).

Page 47: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

137

Tabel 4. Tingkat Kekritisan Lahan di DAS Padang

Kekritisan Lahan Luas (ha) Persen (%)

Tidak Kritis 117 0.11

Agak Kritis 33.089 29.90

Potensial Kritis 51.819 46.82

Kritis 20.038 18.11

Sangat Kritis 5.259 4.75

Awan 349 0.32

Sumber: BPDAS Asahan Barumun, 2014.

Luas lahan berdasarkan tingkat kekritisannya dapat dilihat pada Tabel 4. Dari berbagai macam penutupan dan penggunaan lahan, lahan untuk pertanian merupakan faktor penghasil erosi terbesar dari suatu lahan (El Kateb et al. 2013; Nunes et al, 2011; Wang et al. 2003). Beberapa faktor yang menjadi penyebab erosi adalah praktek pertanian yang tidak sesuai dengan kondisi lahannya, deforestasi, pembiaran lahan dan kebakaran hutan (Grimm et al. 2002). Umumnya lahan pertanian di lereng bukit yang ada di DAS Padang mempunyai alur tanaman yang sejajar dengan kontur dan tidak memotong kontur untuk mencegah terjadinya erosi. Hal ini membuat air hujan yang jatuh dengan mudah menggerus tanah dan menyebabkan erosi. Banyaknya lahan pertanian ini menyebabkan persentase lahan kritis yang cukup tinggi di DAS Padang. Peningkatan

jumlah penduduk juga telah memicu terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan dan perluasan lahan pertanian sebagai dampak untuk memenuhi kebutuhan pangan dimana hal ini bisa memicu terjadinya peningkatan aliran permukaan dan erosi (Suwarli et al. 2012). Upaya rehabilitasi DAS Padang dalam kajian ini adalan menyusun informasi kesesuaian jenis. Untuk rekomendasi jenis-jenis yang dapat ditanam di DAS Padang, dilakukan dengan melakukan overlay terhadap peta ketinggian, lereng, tanah dan data atribut dari hasil pengamatan lapangan serta peta kesesuaian untuk jenis-jenis tanaman yang ada di Sumatera Utara berdasarkan syarat tempat tumbuhnya seperti yang ada pada Tabel 5 dan hasilnya pada Gambar 6 dan jenis-jenis yang bersesuaian dapat dilihat pada Tabel 6.

Gambar 6. Rekomendasi Jenis Pohon di DAS Padang

Page 48: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 130-141

138

Tabel 5. Persyaratan Tumbuh Tanaman sebagai Faktor Pembatas No Nama Botani Nama Lokal Famili

Ketinggian Curah Hujan Suhu Tekstur pH Drainase Slope Toleransi

(m dpl) (mm/th) (oC) (%) thd naungan

1 Pinur Merkusii Junh & Pinus Pinac. 300-3000 2000 - 4000 16 - 30 ringan - asam - sedang - 0 - 40 semi toleran

De Vriese sedang netral baik

2 Eucalyptus deglupa Bl. Ekaliptus Myrt. < 1000 1000 - 3000 25 - 32 sedang- asam - baik 0 - 15 intoleran

berat netral

3 E. Pelita F. Mull. Ekaliptus Myrt. < 1000 1000 - 3000 25 - 32 sedang- asam - baik 0 -15 intoleran

berat netral

4 Shorea leprosula Miq. Meranti Dipt. < 700 600 - 2000 18 -32 ringan - asam - baik 0 - 25 intoleran

berat netral

5 S. Macrophylla Meranti Dipt. < 700 1000 - 1800 24 - 33 ringan - asam - baik 0 - 25 intoleran

sedang netral

6 Durio zibethinus Merr. Durian Bombac 0 - 700 < 1000 22 - 32sedang - asam - baik 0 - 40 intoleran

berat netral

7* Persea americana Mill. Alpukat Laurac 300 - 700 1500 - 3000 15 - 30 ringan - asam - baik 0 -25 intoleran

sedang netral

8 Toona sureni (Bl.) Merr. Suren Meliac. < 400 700 - 3000 18 - 32sedang - asam - baik 0 40 intoleran

berat netral

9* Dyosyros kaki Thumb. kesemek Ebenac 600 - 1500 2000 - 2900 14 - 33 ringan - asam - baik 0 - 25

sedang netral

10 Eugenia aquea Burm.F Jambu air Myrt. < 1400 1000 - 3000 22 - 32 ringan - asam - baik 0 - 25 intoleran

sedang netral

11 Artocarpus heterophyllus Nangka Morac 400 - 1200 > 1500 16 - 32sedang - asam - baik 0 - 25 intoleran

berat netral

12 Parkia speciosa Petai Pabac 0 -1500 1600 - 2700 18 - 32 ringan - asam - baik 0 - 40 intoleran

sedang netral

Persyaratan Tempat Tumbuh

Sumber: Pratiwi , et.al (2014) dan *) Darwo, et.al (2005)

Jenis-jenis pohon yang dapat ditanam di atas

bertujuan untuk rehabilitasi, karena itu syarat utamanya adalah dapat tumbuh dengan baik dan dapat berkembang biak karena sesuai dengan persyaratan tempat tumbuhnya. Jenis-jenis pohon tersebut diharapkan mampu berkembang dengan baik dan mampu merehabilitasi kondisi DAS Padang, khususnya di areal yang kritis atau terdegradasi. Pemilihan jenis-jenis pohon untuk rehabilitasi lahan dengan kondisi tersebut, menurut Arsyad (2010), sebaiknya memenuhi persyaratan antara lain: ▪ Termasuk jenis yang cepat tumbuh ▪ Mampu menghasilkan serasah yang banyak ▪ Bertajuk lebat ▪ Mampu hidup dengan baik di tempat

tersebut ▪ Sistem perakaran melebar, kuat, dalam dan

berakar serabut banyak ▪ Mudah ditanam dan tidak memerlukan

pemeliharaan ▪ Tahan terhadap hama dan penyakit ▪ Mampu memperbaiki kondisi tanah

terutama untuk memperbaiki kandungan nitrogen

▪ Benilai ekonomis dan dalam jangka pendek mampu menghasilkan bahan makanan

Persyaratan utama dalam meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan adalah adanya kesesuaian kualitas lahan yang tersedia dengan persyaratan tempat tumbuh jenis yang dipilih. Gintings et al. (1995) mengatakan bahwa persyaratan tempat tumbuh utama adalah tinggi tempat, curah hujan, temperatur, tekstur tanah/jenis tanah, pH, drainase dan toleransi tanaman terhadap cahaya dan disarankan menggunakan jenis-jenis lokal atau jenis andalan setempat (Rahman 2006). Dalam hubungannya dengan DAS, maka ada tujuan lain yang juga perlu diperhatikan, yaitu kemampuan pohon dalam menahan erosi dan pada tempat-tempat tertentu dapat juga berfungsi sebagai penahan longsor. Jenis-jenis pohon dengan tujuan ini harus mempunyai beberapa persyaratan sesuai dengan fungsi tersebut. Jenis yang dapat direkomendasikan untuk beberapa fungsi tersebut antara lain (Indrajaya & Handayani 2008; Rahman 2006) pada Tabel 7.

Page 49: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

139

Tabel 6. Jenis-Jenis yang Sesuai untuk Ditanam Di DAS Padang

Areal Rekomendasi Jenis Rekomendasi

Mangrove, Campuran, Pantai Mangrove, nipah, kelapa, cemara laut, ketapang

MPTS Jambu Mete Durian Ingul / Suren Jambu air Nangka Petai Pokat Sukun Kemiri Tanaman Campuran Jambu Mete Durian Eucalyptus deglupta Ingul / Suren Jambu air Nangka Petai Pinus/Tusam Pokat Eucalyptus urophylla

Hoting Medang

Tanaman Hutan Durian Eucalyptus deglupta

Ingul / Suren Pinus/Tusam Eucalyptus urophylla Meranti batu Hoting Medang Bintangur

Matoa Laban Terep Nyatoh Pulai Meranti merah

Tabel 7. Jenis-Jenis Pohon Berdasarkan Fungsi Rehabilitasi/Pencegah Longsor

No Fungsi Utama/Syarat Jenis Yang Sesuai

1 Pengendali erosi, syarat:

- Berakar intensif dengan akar tunggang yang panjang

- Tumbuh cepat di awal pertumbuhan

Mindi, ekaliptus, kemiri, pinus, medang,

hoting

2 Pengendali longsor, syarat:

- Akar tunggang yang panjang dan dalam - Tajuk mampu mengeintersepsi hujan - Mempunyai nilai evapotranspirasi yang tinggi

Pinus, mahoni, sono kembang, ekaliptus,

pokat kemiri, mindi, johar

3 Pengawetan tanah dan air, syarat:

- Berumur panjang - Menghasilkan bahan pangan

Jambu-jambuan, pokat, nangka, aren,

rambutan, petai, sukun, kemiri, durian

KESIMPULAN

Perubahan fungsi hutan dan penggunaan

lahan di bagian hulu DAS Padang menimbulkan

dampak erosi dan banjir terutama pada bagian

tengah dan hilir. Memperhatikan kondisi hutan

Page 50: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 130-141

140

dan lahan yang semakin terdegradasi maka

upaya rehabilitasi menjadi prioritas utama.

Peta kesesuaian tempat tumbuh jenis-jenis

pohon di DAS Padang yang telah disusun

merupakan upaya untuk meningkatkan

keberhasilan rehabilitasi khususnya di DAS

Padang. Informasi kesesuaian jenis ini

merupakan strategi mengatasi kurangnya

pengetahuan dan informasi mengenai pemilihan

jenis-jenis pohon yang akan dikembangkan,

berpotensi dan bernilai ekonomis serta sesuai

dengan persebaran dan persyaratan tumbuhnya.

Hasil kajian lainnya adalah disusunnya

jenis-jenis pohon berupa tanaman mangrove,

pantai, campuran, MPTS dan hutanyang

direkomendasikan sebagai jenis tanaman untuk

rehabiltasi di DAS Padang.

REKOMENDASI 1. Sebagai suatu ekosistem DAS, penggunaan

lahan di bagian hulu DAS Padang agar dikembalikan fungsinya sebagai penyangga kelestarian ekosistem DAS secara utuh. Khusus yang harus menjadi perhatian semua pihak adalah sistem pertanian/ perkebunan, pola tanam dan alih fungsi hutan dan lahan yang menimbulkan terdegradasinya lahan di DAS Padang harus segera ditata kelola kembali.

2. Hasil kajian berupa Peta Kesesuaian Jenis dan Rekomendasi beberapa jenis pohon untuk rehabilitasi DAS Padang dapat menjadi acuan atau rujukan bagi stakeholder dalam upaya rehabilitasi DAS.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah menyusun Atlas Jenis-Jenis Pohon Andalan Setempat untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia. Buku tersebut disarakan dapat menjadi rujukan juga bagi stakeholder yang berupaya merehabilitasi hutan dan lahan.

UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan

kepada Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli yang mendanai kegiatan penelitian ini. Para responden dan semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, T., Lubis, KS., Hanum, H. 2013. Kajian tingkat bahaya erosi di beberapa penggunaan lahan di kawasan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Padang. Jurnal Online Agroekoteknologi Vo. 2 No. 1: 436-446.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Bathurst, J.C. et al. 2011. Forest impact on floods due to extreme rainfall and snowmelt in four Latin American Environments 2: Model Analysis. J. of Hydrology 400 : 292 – 304.

Bradshaw C.J.A., Sodhi, N.N., Peh, K.S.H., Brook, B.W. 2007. Global evidence that deforestation amplifies flood risk and severity in the developing world. Global Change Biology 13: 1-17.

BPDAS Asahan barumun. 2014. Review data lahan kritis wilayah BPDAS Asahan Barumun Tahun 2013. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Asahan Barumun, Pematang Siantar. Laporan. Tidak Diterbitkan.

Comte I, Colin F, Whalen J, Grunberger O, Caliman JP. 2012. Agricultural practices in oil palm plantation and their impact on hydrological changes, nutrient fluxes and water quality in Indonesia: A review. Advances in Agronomy. Vol. 116: 71-124. DOI: 10.1016/B978-0-12-394277-7.00003-8.

Darwo, Sukmana A, Napitupulu B, Harianja AH, Sembiring S. 2005. Informasi teknis Faktor-faktor keberhasilan GERHAN di Sumatera Utara.Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

El Kateb H, Zhang H, Zhang P, Mosandl R. 2013. Soil erosion and surface runoff on different vegetation covers and slope gradients: A field experiment in Southern Shaanxi Province, China. Catena 105: 1-10.

Emilda, A. 2010. Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap respon hidrologi DAS Cisadane Hulu. Tesis Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Geist HJ. and Lambin EF. 2002. Proximate causes and underlying driving forces of tropical deforestation. Bioscience 52, 143–150.

Gintings, A.N., Siregar, CA., Masano, Hendromono, Mile, MY., Hidayat. 1995. Pedoman pemilihan jenis pohon hutan tanaman dan kesesuaian lahan. Jakarta.

Grimm M, Jones R, Montanarella L. 2002. Soil erosion risk in Europe.European Soil Bureau, Institute for environment & Sustainability. UK.

Gurmessa D, Nemimissa S. 1993. GIS-based land suitability assessment for optimum allocation of land Foster sustainability development: the case of the special zone of Oromia Regional State around Addis Ababa City, Ethiopia. Addis ababa University, Addis ababa, Ethiopia.

Indrajaya, Y. dan Handayani, W. 2008.Potensi hutan Pinus merkusii Jungh.Et de Vriese sebagai pengendali tanah longsor di Jawa. Info Hutan Vol. V No. 3, 231-240.

Irsan M. 2011. Kajian kerawanan banjir di wilayah DAS Padang menggunakan Sistem Informasi Geografis.Tesis. Sekolah Pascasarjana Universittas Sumatera Utara.

Page 51: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

141

James, L.A. & Lecce, S.A. (2013). Impacts of Land-Use and Land-Cover Change on River Systems. Treatise on Geomorphology, 9, 768-792. DOI: 10.1016/B978-0-12-374739-6.00264-5

Lihawa F, Utina Y. 2013. Prediksi dampak erosi permukaan pada pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pohuwato. Program Studi Pendidikan Deografi Fakultas MIPA UNG.

Lin, Y., Hong. N., Wu, P., Wu, C., Verburg, P.H. 2007. Impacts of land use change scenarios on hydrology and land use patterns in the Wu-Tu watershed in Northern Taiwan. Landscape and Urban Planning 80:111-126.

Malczewski, J. 2004. GIS-based land suitability analysis: a critical overview. Progress in Planning 62 (2004): 3 – 65.

Mansor SB, Pormanafi S, Mahmud ARB, Pirasteh A. 2012. Optimization of land use suitability for agriculture using integrated geospatial model and genetic algorithms. ISPRS Annals of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume I-2, 2012 XXII ISPRS Congress, 25 August – 01 September 2012, Melbourne, Australia.

Mendoza G. 1977.A GIS-Based multicriteria approaches to land use suitability assessment and allocation.

Nunes AN, de almeida AC, Coelho COA. 2011. Impacts of land use and cover type on runoff and soil erosion in a marginal area of Portugal. Applied Geography 31: 687-699. DOI:10.1016/j.apgeog.2010.12.006

Pratiwi, et. al., 2014. Atlas Jenis-Jenis Pohon Andalan Setempat untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Indonesia. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabiltasi. FORDA PRESS. Bogor.

Rahman, E. 2006. Perencanaan Penanaman Untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi di Jawa Barat. Prosiding Dialog Stakeholder, Ciamis 2006.

Sinukaban, N., Tarigan, S.D., Purwakusuma, W., baskoro, D.P.T., Wahyuni, E.D. 2000. Analysis of Watershed function sediment transfer Across Various Type of Filter Strips - Final Report in association with ICRAF and UNILA. Laboratory of Soil Physics and Soil Conservation. Department of Soil Science. IPB.

Soemarwoto O. 1974. The soil erosion problem in Java. Proceedings International Ecological Congress, The Hague, Holland.

Sunandar AD. 2012. Laporan Hasil Penelitian Analisis Persepsi Multipihak Terhadap Lansekap DAS, Kasus di DAS Asahan, Sumatera Utara.

Suwarli R, Sitorus SP, Widiatmaka, Putri EIK, Kholil. 2012. Dinamika perubahan penggunaan lahan dan strategi ruang hijau (RTH) terbuka berdasarkan alokasi anggaran lingkungan daerah (Studi kasus Kota Bekasi). Forum Pascasarjana Vol 35 No. 1: 37-52

Taufiq M, Siswoyo H, Anggara WWS. 2013. Pengaruh tanaman kelapa sawit terhadap keseimbangan air

hutan (Studi kasus sub DAS Landak, DAS Kapuas). Jurnal Teknik Pengairan Vol. 4 No. 1: 47-52.

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

van Noordwijk M, Farida. 2004. Analisis debit sungai akibat alih guna lahan dan aplikasi model genriver pada DAS Way Besai, Sumberjaya. Agrivita Vol. 266 No. 1.: 39-47.

Verbist B, Putra AED, Budidarsono S. 2005. Faktors driving land use change: Effects on watershed functions in a coffe agroforestry sistem in Lampung, Sumatra. Agricultural Sistems 85: 254-270.

Wang ZG, Liu CM, Huang YB. 2003. The theory of SWAT model and its application in Heihe Basin. Process Geogr. 22: 79-86.

Page 52: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 142-154

142

Hasil Penelitian

ALTERNATIF UPAYA PENANGGULANGAN KELANGKAAN

PENYADAP DI PERUSAHAAN PERKEBUNAN KARET

(THE EFFORT TO OVERCOME TAPPERS SCARCITY IN

RUBBER ENTERPRISES)

Iif Rahmat Fauzi*, Ernita Bukit*, Erwin Pane**, Abdul Rahman**, Tumpal H.S. Siregar*

*Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet

PO BOX 1415 Medan 20001 Sumatera Utara

email: [email protected]

**Universitas Medan Area. Program Pasca Sarjana

Jl. Setia Budi No. 79-B Medan 20120 Sumatera Utara

Diterima: 20 Januari 2017; Direvisi: 3 Maret 2017; Disetujui: 20 Maret 2017

ABSTRAK

Seiring dengan peningkatan aktivitas bisnis di berbagai sektor industri, faktor ketersediaan

tenaga penyadap menjadi kendala tersendiri bagi perusahaan perkebunan karet. Penelitian ini bertujuan merumuskan suatu alternatif upaya penanggulangan kelangkaan tenaga penyadap di

perkebunan karet. Penelitian dilakukan pada tahun 2015 di salah satu perusahaan perkebunan karet di Pekanbaru-Riau. Penelitian dilakukan dengan teknik wawancara dan observasi. Data

sebagian besar diperoleh dengan menggunakan instrumen daftar pertanyaan yang disusun

berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal. Wawancara dilakukan terhadap responden terpilih (purpossive sampling) meliputi penyadap, mandor, asisten kebun, dan menejer kebun.

Selain itu data juga diperolah dari sumber informasi berupa laporan tertulis yang dimiliki oleh perusahaan, studi literatur, hasil penelitian terdahulu, data dan informasi dari Badan Pusat

Statistik Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Perindustrian RI, dan

Departemen Ketenagakerjaan. Hampir seluruh data sekunder diperoleh dengan menggunakan instrumen alat pencatatan. Data dianalisis melalui pendekatan analisis SWOT yang disusun

berdasarkan penilaian aspek kesejahteraan penyadap, ketersediaan tenaga kerja, persaingan antar industri, dan preferensi tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi

matriks SWOT menghasilkan empat alternatif strategi yang menitikberatkan pada upaya

peningkatan tingkat kesejahteraan keluarga penyadap dalam rangka meningkatkan daya tarik atau preferensi angkatan kerja untuk bekerja sebagai penyadap.

Kata kunci: Kelangkaan, Kesejahteraan, Penyadap, Strategi, Perusahaan Perkebunan

ABSTRACT

Along with the decreasing of rubber price, tappers welfare issues has become a problem for rubber enterprises. This research aimed to study the issue of tappers welfare in two categories of

rubber enterprises. The research was conducted through a survey method with two categories of

companies, namely the company whose plantations are located close to the town or provincial capital and the company whose plantations are located far away from the town or provincial

capital. Sample was selected on purpose according to the company category. The results showed that the welfare level in the PB A was better than that of PB B, but the low of tapper welfare both

of them have not touched on the level of food insecured. Limited access to have education or

school, to business center and trade, and to government service centers, could be the reason to recommended that plantation management would initiate to provide facilities to cover those

needs as well as other main needs self or through cooperative scheme.

Keywords: hevea brasiliensis, tapper, welfare, Strategy, rubber enterprises

Page 53: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar)

143

PENDAHULUAN Prospek pengembangan perkebunan karet

untuk menjadi perusahaan perkebunan yang berdaya saing sangat dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas (Supriadi, 2010). Selain itu, dengan aktivitas usaha yang kompleks usaha perkebunan karet juga menuntut sejumlah kebutuhan tenaga kerja yang besar. Di satu sisi, rata-rata pertumbuhan luas areal perkebunan karet yang mencapai 1,40 persen per tahun (BPS, 2014) membutuhkan sejumlah tenaga kerja tambahan. Di sisi lain, di era kompetisi tenaga kerja seperti saat ini, alternatif lapangan kerja semakin banyak. Situasi langka atau kekurangan tenaga kerja sangat mungkin terjadi dan seringkali menimbulkan persoalan bagi perusahaan yang hendak mencapai performa yang diinginkannya.

Perusahaan perkebunan karet pada dasarnya merupakan suatu unit ekonomi yang bersifat padat karya dan padat modal yang mampu memberikan lapangan kerja tiap satu satuan hektar lahan dengan menghasilkan rata-rata pendapatan 1,5 – 2 juta rupiah per bulan untuk setiap pekerjanya. Perkembangan data statistik, produksi, produktivitas dan tenaga kerja perkebunan karet di Provinsi Kalimantan Timur tahun 2000 – 2012 menyebutkan bahwa dari luas 42.836 ha areal tanaman menghasilkan saja dibutuhkan tenaga kerja sejumlah 55.930 orang (BPS Kaltim, 2013).

Diantara sejumlah besar akivitas usaha perkebunan karet, aspek penyadapan merupakan faktor yang sangat penting, karena menyerap sejumlah 45 – 50% biaya produksi dan menentukan umur ekonomi usaha. Oleh karenanya secara umum, masalah utama yang dihadapi oleh perusahaan perkebunan karet saat ini adalah sulitnya memperoleh tenaga kerja (penyadap) yang produktif, terampil dan disiplin (Spillane, 1989; Santoso dan Basuki, 1991: Siregar et al., 1984).

Sejak awal tahun 1980-an Pulau Jawa telah merasakan kelangkaan tenaga kerja bidang pertanian sebagai akibat semakin berkembangnya ekonomi pedesaan kearah sistem perekonomian yang lebih berorientasi pasar dan komersial. Perbaikan tingkat pendidikan masyarakat pedesaan, relatif tingginya upah buruh non pertanian dan berbagai faktor penarik di perkotaan merupakan penyebab meningkatnya arus migrasi dari desa ke kota. Mereka yang tetap tinggal di desa dan bertani umumnya golongan lanjut usia, berpendidikan rendah dan wanita (Erwidodo dan Gunawan, 1992; Noekman dan Erwidodo, 1992).

Angkatan kerja pedesaan yang berpendidikan formal lebih tinggi, cenderung

tidak memilih sektor pertanian sebagai lapangan kerja utama. Jenis pekerjaan di kota yang dimasuki migran adalah pekerjaan yang menuntut tenaga muda / kuat seperti buruh. Penduduk yang tinggal di desa dan terlibat di kegiatan pertanian umumnya sudah berusia lanjut, sehingga semakin tua umur, semakin kecil peluang bermigrasi (Suryana dan Nurmalina, 1989). Kelangkaan tenaga kerja tersebut sudah mulai dirasakan oleh perkebunan besar tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi juga terjadi di luar Pulau Jawa akibat adanya pergeseran ekonomi ke sektor industri, perdagangan, dan jasa, seperti di Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

C. Nancy, C. Anwar, U. Junaedi, dan S. Hendratno (1997) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat perbedaan besar antara kondisi perkebunan besar negara dan swasta yang telah mapan dengan perkebunan yang relatif baru. Ketersediaan tenaga kerja penyadap untuk perkebunan besar negara dan swasta yang telah mapan cenderung belum bermasalah. Ketersediaan tenaga kerja tersebut dicerminkan oleh banyaknya pemuda yang berminat untuk menjadi penyadap. Sementara pada perkebunan yang relatif baru, ketersediaan tenaga kerja masih bermasalah baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Namun demikian pada penelitian yang sama diakui bahwa kecenderungan peminat tenaga penyadap semakin menurun.

Penelitian ini mencoba mengkaji dan mengidentifikasi isu kelangkaan tenaga kerja yang umum terjadi di beberapa perusahaan perkebunan karet di Indonesia. Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu oleh Nancy, et all (1997) dan Fauzi (2015), fokus penelitian ditujukan kepada perusahaan perkebunan yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami problem kekurangan tenaga kerja penyadap, terutama pada perusahaan perkebunan karet yang berada di lokasi yang jauh dari ibukota provinsi.

Salah satu komoditas utama sub sektor tanaman pangan dalam sektor pertanian di Indonesia adalah padi atau beras. Beras merupakan komoditi strategis yang paling penting bagi masyarakat Indonesia sebagai sumber makanan pokok karena mengandung sumber energi dan protein serta karbohidrat yang dibutuhkan oleh tubuh manusia (Astawan, 2004).

Permintaan pangan meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan jika tidak diimbangi jumlah pangan yang cukup, akan mendorong terjadinya lonjakan harga pada berbagai produk pangan. Harga komoditi pangan pada akhir-akhir ini terus menunjukkan

Page 54: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 142-154

144

terjadinya lonjakan harga yang cukup tinggi. Permasalahan kenaikan harga pangan ini terjadi disebabkan ketersediannya yang terbatas, tata niaga (saluran pemasaran) yang masih terlalu panjang, kurang meratanya penyediaan pangan, timpangnya jalur distribusi dari produsen ke konsumen, ketergantungan produksi komoditi pangan terhadap iklim menjadi pemicu kenaikan harga pangan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi dan sistem distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan prasarana transportasi banyak rusak (Kementerian Perdagangan RI, 2010).

Sebagai negara agraris, pada dasarnya produksi padi/beras di Indonesia sudah cukup besar. Dari berbagai penelitian yang mengkaji pola permintaan dan penawaran beras dalam negeri menyebutkan bahwa secara statistik produksi beras di dalam negeri mampu mencukupi seluruh kebutuhan (konsumsi) beras masyarakat Indonesia (Prastowo et al, 2008; Kusumaningrum, 2008; Arifin, 2011). Sebagai gambaran di tahun 2007, jumlah produksi padi Indonesia mencapai 57.05 juta ton, atau setara dengan 29.57 juta ton beras, sementara jumlah konsumsi beras dalam negeri adalah 26.99 juta ton, dengan demikian di tahun 2007 Indonesia memiliki surplus beras sebanyak 2.62 juta ton.

Secara statistik, jumlah produksi beras di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun peningkatannya tidak terlalu besar. Data BPS menunjukkan produktivitas lahan padi di Indonesia pun mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 produktivitas lahan padi rata-rata sebesar 47.26 kuintal/hektar, sementara di tahun 2011 produktivitasnya mencapai 50.09 kuintal/ hektar. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi Indonesia mengalami pola increasing return to scale yang melambat. Apabila membandingkan dengan jumlah konsumsi beras tahunan, Indonesia telah mengalami surplus beras sejak tahun 2002.

Menurut Yustiningsih (2012), meskipun secara statistik kebutuhan beras dalam negeri mampu dipenuhi seluruhnya oleh produksi dalam negeri, namun adanya gap antara waktu produksi dengan waktu konsumsi seringkali menimbulkan permasalahan kelangkaan. Sebagaimana diketahui, beras merupakan tanaman musiman, yang produksinya berfluktuasi mengikuti pola tanam. Surplus beras biasanya terjadi pada bulan Februari – Mei, dengan puncaknya di bulan April (dikenal dengan masa panen raya). Untuk daerah tertentu, musim panen padi dapat terjadi 2 (dua) kali setahun, yaitu pada bulan Februari – Mei dan bulan Agustus – September. Pada musim kemarau dan musim tanam (Oktober –

Januari), produksi beras akan mengalami defisit (jumlah produksi beras lebih rendah dari jumlah konsumsinya).

Di sisi lain, pola konsumsi beras stabil sepanjang tahun, karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia (Bustaman, 2003). Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya kelangkaan beras pada bulan tertentu di Indonesia, meskipun secara statistik Indonesia mengalami surplus beras.

Gap antara waktu produksi dan waktu konsumsi tidak hanya menyebabkan permasalahan kelangkaan beras, tetapi juga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani dan konsumen. Pada saat musim panen, jumlah beras di pasar meningkat secara drastis. Sesuai dengan hukum penawaran, saat terjadi peningkatan jumlah supplai (yang tidak disertai dengan peningkatan jumlah demand) maka harga keseimbangan di pasar akan mengalami penurunan. Sehingga harga jual padi di level petani pun akan menurun, terbukti dengan menurunnya harga GKP di level pada bulan Februari – Mei. Kondisi ini akan berimplikasi pada penurunan tingkat kesejahteraan petani.

Fenomena yang menarik untuk dibahas adalah pada awal musim panen raya (Februari – Maret) impor beras ke Indonesia masih dilakukan. Meskipun puncak masa panen raya jatuh pada bulan April, namun pada bulan Februari dan Maret jumlah produksi beras di dalam negeri sudah mulai mengalami surplus. Masuknya beras impor pada bulan tersebut dikhawatirkan akan semakin menurunkan harga GKP di level petani. Pada saat musim kemarau dan musim tanam, terjadi fenomena yang sebaliknya. Jumlah supply akan mengalami penurunan, sementara jumlah demand-nya tetap. Akibatnya harga akan terdorong ke level yang lebih tinggi.

Meskipun dari data pola impor menunjukkan bahwa beras impor mulai masuk ke Indonesia sejak bulan September, namun jumlah beras impor nampaknya masih relatif sedikit untuk memenuhi total kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Kenaikan harga beras pada masa tanam dan masa paceklik ini akan mengurangi tingkat kesejahteraan konsumen dan tidak menyebabkan kenaikan tingkat kesejahteraan petani, karena umumnya petani langsung menjual seluruh hasil produksinya pada saat musim panen (Yustiningsih, 2012).

Perbedaan antara pola produksi dan pola konsumsi beras menyebabkan karakteristik penawaran dan permintaan beras menjadi unik, dimana baik fungsi penawaran maupun fungsi permintaannya bersifat inelastis terhadap perubahan harga. Petani sebagai produsen tidak

Page 55: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar)

145

bisa serta merta meningkatkan produksinya ketika terjadi kenaikan harga, karena adanya kendala periode musim panen dan tanam. Begitu pula halnya dengan konsumen, yang tidak dapat mengurangi permintaannya ketika harga meningkat.

Sektor pertanian di Sumatera Utara merupakan salah satu potensi yang penting dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumatera Utara dengan kontribusi subsektor tanaman pangan yang paling dominan. Kontribusi subsektor tanaman pangan terhadap PDRB Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010 selama tahun 2010-2014 mengalami peningkatan dari sebesar Rp.14.073,55 milyar pada tahun 2010 menjadi sebesar Rp.14.968,15 milyar pada tahun 2014, sedangkan pada periode sama distribusinya terus mengalami penurunan dari sebesar 4,25% menjadi sebesar 3,67% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2015).

Tata niaga merupakan suatu istilah yang diartikan sama dengan pemasaran atau distribusi, yaitu sebagai kegiatan ekonomi yang memiliki fungsi untuk menyampaikan atau membawa barang maupun jasa dari produsen hingga konsumen. Tujuan akhir dari tata niaga yaitu menempatkan barang ke tangan konsumen akhir melalui proses pengumpul, penyeimbang dan penyebaran.

Sistem tata niaga dianggap efisien apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:

1. Mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan

2. Mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tata niaga barang itu (Mubyarto, 1994).

Saluran pemasaran atau saluran distribusi terdiri dari seperangkat lembaga yang melakukan semua kegiatan (fungsi) yang dilakukan untuk menyalurkan produk atau status kepemilikannya dari produsen ke konsumen (Soekartawi, 1993). Dalam pemasaran komoditi pertanian, seringkali ditemukan rantai pemasaran yang panjang, sehingga banyak pelaku lembaga pemasaran terlibat dalam rantai pemasaran tersebut. Akibatnya adalah terlalu besarnya keuntungan pemasaran tersebut. Untuk memperlancar arus barang/jasa dari produsen ke konsumen ada salah satu faktor yang tidak boleh diabaikan, yaitu penyaluran barang/jasa dari produsen ke konsumen.

Distribusi merupakan perorganisasian sistem transportasi, penyimpanan, dan

komunikasi sehingga barang dan jasa akan siap tersedia ke konsumen. Pengertian saluran distribusi adalah Pertama, jalur yang dilalui oleh arus barang dari produsen ke perantara sampai pada konsumen. Kedua, struktur unit organisasi dalam perusahaan dan luar perusahaan yang terdiri dari agen, pedagang besar, dan pengecer yang dilalui barang/jasa saat dipasarkan (Arifin, 2011). Lembaga tata niaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tata niaga dengan nama barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen akhir.

Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi - fungsi pemasaran memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin, dimana konsumen memberikan balasan jasa kepada lembaga pemasaran berupa marjin pemasaran. Supriatna (2005) melakukan penelitian tentang Analisis Sistem Pemasaran Gabah/Beras (Studi Kasus Petani Padi di Sumatera Utara). Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metoda Participatory Rural Appraisal (PRA) dengan pendekatan snow ball sampling dengan petani sebagai titik awal (starting point).

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa struktur aliran tata niaga gabah/beras meliputi dua aliran, yaitu: (1) saluran pemasaran pertama, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul sebagai kaki tangan pedagang kongsi; (2) saluran pemasaran kedua, petani menjual gabah ke pedagang pengumpul yang merupakan kaki tangan pemilik penggilingan desa. Jenis pengeluaran utama dari pedagang pengumpul/kongsi, grosir dan pedagang pengecer hampir sama meliputi biaya transportasi dan bongkar muat.

Pada saluran pemasaran pertama, marjin pemasaran yang paling tinggi adalah pedagang kongsi, sedangkan pada saluran pemasaran kedua, marjin pemasaran yang paling tinggi adalah penggilingan desa. Permasalahan utama yang ditemui di tingkat petani sebagai produsen gabah yaitu kelemahan permodalan sehingga terjerat ke pihak pelepas uang (money lender). Dalam proses penyaluran produk sampai ke tangan konsumen ada dua bentuk, yaitu: Pertama, saluran distribusi langsung yaitu penyaluran barang/jasa dari produsen ke konsumen dengan tidak melalui perantara, seperti penjual di tempat produksi, penjual di toko, penjual dari pintu ke pintu, dan penjual melalui surat. Kedua, saluran distribusi tak langsung yaitu bentuk saluran distribusi menggunakan jasa perantara dan agen untuk menyalurkan barang atau jasa kepada para konsumen.

Page 56: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 142-154

146

Perantara adalah mereka yang membeli dan menjual barang-barang tersebut dan memilikinya. Tugas lembaga pemasaran adalah menjalankan fungsi - fungsi pemasaran memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin, dimana konsumen memberikan balasan jasa kepada lembaga pemasaran berupa marjin pemasaran. Beberapa sebab mengapa terjadi rantai tata niaga hasil pertanian yang panjang dan produsen dalam hal ini petani sering dirugikan, antara lain : Pasar yang tidak bekerja secara sempurna, lemahnya informasi pasar, lemahnya posisi produsen untuk melakukan penawaran untuk mendapatkan harga yang baik, Produsen/petani melakukan usaha tani tidak didasarkan pada permintaan pasar (Soekartawi, 1993).

Secara bertahap pemerintah telah melakukan pengendalian pasar beras di dalam negeri dengan berbagai modifikasi kebijakan. Kebijakan ini diambil karena dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga beras di tingkat produsen dan konsumen. Kebijakan harga dasar gabah telah diganti dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dengan batas harga atas yang ternyata tidak efektif. Begitu pula kebijakan penerapan tarif spesifik yang bertujuan untuk melindungi petani dan mengatur pengelolaan impor beras tidak berjalan efektif.

Kebijakan perdagangan tersebut bertujuan khusus untuk menstabilkan harga gabah di dalam negeri melalui pelarangan impor secara berkala dengan pengaturan persediaan beras yang dilakukan oleh Bulog. Tujuan dari kebijakan tata niaga beras di Sumatera Utara adalah untuk dapat menggambarkan saluran, struktur dan perilaku pasar, faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran serta harga di tingkat petani dan konsumen.

METODE

Penelitian ini dilakukan di Sikijang-Riau. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tahap pertama, yaitu di kebun terpencil yang lokasinya berada relatif jauh dari perkotaan. Penelitian dilakukan pada tahun 2015 dengan melibatkan sejumlah responden penyadap (20% dari populasi) serta responden terpilih yaitu pimpinan perusahaan di mana lokasi penelitian berada yang dianggap merupakan pengambil kebijakan/keputusan kebun.

Pengumpulan data di kebun dilakukan dengan mewawancarai para penyadap dengan menggunakan daftar isian (kuesioner). Metode dasar yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu penelitian yang memusatkan diri pada pemecahan masalah aktual yang didapat pada

masa sekarang (Singarimbun dan Effendi, 1995). Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah non probability sampling, yaitu dengan menggunakan metode purposive sampling. Pemilihan responden terpilih dilakukan secara sengaja berdasarkan tingkat kepentingan dalam penelitian ini. Responden yang diambil dalam penelitian berjumlah 4 orang dari internal kebun yang merupakan pengambil keputusan (decision maker) dalam kegiatan usaha, yang terdiri dari kepala kebun, asisten kepala, dan dua orang asisten tanaman.

Pengumpulan data dilakukan sepanjang bulan April hingga Juni 2015. Metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data adalah dengan metode observasi langsung, wawancara, diskusi, kuesioner, dan browsing internet. Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer maupun data sekunder. Berikut penjelasan singkat tentang metode pengumpulan data primer yang dilakukan: 1) Observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian, baik dari segi lingkungan, kegiatan usaha yang dilakukan, maupun hal-hal lain yang mendukung keberadaan penelitian; 2) Wawancara, yaitu proses tanya jawab yang dilakukan dengan beberapa responden terpilih dalam penelitian. Wawancara dilakukan dengan pihak internal kebun yang berperan dalam menentukan kebijakan usaha kebun, yaitu manajer kebun, asisten kepala, dan dua orang asisten kebun; 3) Diskusi, yaitu wawancara mendalam dan proses tukar pikiran mengenai permasalahan dan kondisi yang ada baik dengan pihak internal kebun maupun pihak eksternal; dan 4) Kuesioner, yaitu memberikan daftar pertanyaan berupa kuesioner kepada responden terpilih. Kuesioner terdiri dari daftar pertanyaan untuk melakukan identifikasi faktor internal dan eksternal kebun.

Sementara data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dari beberapa telaah laporan tertulis atau pencatatan data kebun, Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Perindustrian RI, Dinas Ketenagakerjaan, serta hasil penelitian, kajian, dan buku-buku pustaka lain yang relevan. Selain itu data sekunder juga diperoleh melalui proses browsing internet guna mencari artikel-artikel dan data informasi lain yang mendukung keberadaan penelitian.

Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif melalui pendekatan konsep manajemen strategis Fred R. David. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mengetahui lingkungan perusahaan terkait

Page 57: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar)

147

dengan aspek kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threats) yang dihadapi perusahaan yang terangkum dalam analisis matriks SWOT. Adapun tahap-tahap yang dilalui dalam melakukan analisis tersebut adalah: 1) Tahap pertama yaitu menggunakan analisis tabel. Dilanjutkan dengan memaparkan tingkat pendapatan keluarga penyadap dan tingkat pengeluaran pangan; 2) Tahap kedua yaitu menggunakan analisis tabel untuk menilai tingkat persaingan mendapatkan tenaga penyadap; 3) Tahap ketiga yaitu menilai secara kualitatif tingkat kemudahan rekruitmen penyadap; 4) Tahap keempat yaitu menggunakan analisis tabel untuk menilai ketersediaan dan kecukupan tenaga penyadap; dan 5) Tahap kelima yaitu merumuskan alternatif upaya dalam penanggulangan kelangkaan tenaga kerja khususnya penyadap di perusahaan perkebunan karet.

Lokasi kegitan Analisis Kebijakan Tata Niaga Komoditas Beras di Sumatera Utara meliputi 5 (lima) daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, yaitu : Kabupaten Simalungun, Dairi, Serdang Bedagei, Deli Serdang dan Kota Medan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) metode, yaitu: wawancara, identifikasi langsung dan studi kepustakaan.

Teknik pemilihan sampel dalam penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan masing-masing daerah memiliki kecukupan objek yang diteliti mengenai meliputi petani (produsen), penyuluh, pedagang (pengumpul, besar dan pengecer), masyarakat (konsumen), dan lembaga tata niaga beras. Penentuan responden (petani, pedagang, konsumen dan lembaga pemasaran) sebagai sampel dilakukan dengan menggunakan metode convenience sampling dengan pertimbangan untuk kemudahan dalam pengambilan sampel.

Responden yang dipilih secara kebetulan berada di lokasi penelitian dan mampu memberikan informasi dengan baik, serta dari informasi responden sebelumnya yang dalam penentuannya menggunakan metode snowball sampling. Data sekunder diperoleh dari berbagai

instansi terkait dan lembaga pemerintah di pusat dan daerah, seperti: Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bulog, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Badan Pusat Statistik (BPS), studi kepustakaan, hasil penelitian terdahulu, internet, serta literatur-literatur lain yang mendukung dan terkait dengan penelitian ini.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif menggambarkan secara deskriptif dan dilakukan untuk mengamati karakteristik dari saluran tata niaga, lembaga tata niaga, fungsi tata niaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif dilakukan untuk melihat efisiensi tata niaga dengan menggunakan pendekatan analisis marjin tata niaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya (R/C). Data primer yang diperoleh dari lapangan dianalisis secara kualitatif, sedangkan untuk data kuantitatif diolah dan dianalisa dengan menggunakan program Microsoft Excel (Cresswell, 1994).. HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas areal produktif kebun sampel hingga tahun 2015 adalah 339,13 ha. Tenaga penyadap di kebun sampel memiliki komposisi 34,5% KHT dan 65,5% KHL. Rasio tenaga penyadap dengan luas tanaman menghasilkan (TM) sebesar 5,8 ha/penyadap. Tingginya rasio jumlah tenaga penyadap dengan luas areal TM kebun menunjukkan adanya problem kekurangan tenaga kerja. Secara tidak langsung kondisi ini menyiratkan adanya potensi produksi yang belum tergali secara optimal.

Usia tenaga penyadap KHT berkisar antara 28 – 41 (34) tahun dan KHL berkisar antara 23 – 53 (34) tahun dengan lama kerja masing-masing 4 dan 3,5 tahun. Tenaga penyadap di kebun sampel memperlihatkan keragaan usia yang relatif muda dengan lama kerja yang singkat. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya tingkat keluar masuk tenaga kerja yang tinggi di kebun sampel.

Sebanyak 25% responden penyadap KHT dan 4% responden penyadap KHL menyatakan memiliki pekerjaan sampingan. Sejumlah penyadap memiliki pekerjaan sampingan disebabkan jam kerja harian menyadap yang secara umum berakhir sekitar Pukul 13.00 – 14.00, sehingga banyak waktu luang yang masih dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produkstif lainnya. Pekerjaan sampingan yang umum dilakukan oleh penyadap adalah buruh borongan.

Dari segi tingkat pendidikan, data memperlihatkan 20% tenaga penyadap KHT dan 58% tenaga penyadap KHL hanya tamatan SD, 50% tenaga penyadap KHT dan 32% tenaga penyadap KHL tamatan SMP, serta 30% tenaga penyadap KHT dan 11% tenaga penyadap KHL adalah tamatan SMA.

Dalam mengukur tingkat kesejahteraan rakyat, Badan Pusat Statistik (2015) menggunakan delapan indikator kesejahteraan, yaitu : kependudukan, kesehatan, gizi, konsumsi

Page 58: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 142-154

148

Tabel 1. Rasio Luas TM dengan Jumlah Penyadap (ha/penyadap)

Perkebunan Status penyadap Rasio

Estates Tapper's status (ha TM/penyadap)

KHT PDL

KHL

UPDL Total

Ratio (ha matre

area/tapper)

Kebun Sampel 20 (34) 38 (66) 58 339,13/58 = 5,80 KHT = Karyawan Harian Tetap (PDL = Permanent Daily Labour)

KHL = Karyawan Harian Lepas (UPDL = Unpermanent Daily Labour)

Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total

Tabel 2. Karakteristik Penyadap

Uraian Kebun Sampel

Description KHT KHL

Usia (Tahun) 28-41 (34)

23-53 (34)

Age (yr)

Ada pekerjaan lain (%) 25 4

Side job

Pendidikan (%)

Education

SD 20 58

SMP 50 32

SMA 30 11

Masa kerja

Working period

< 5 tahun (yr) 45% 66%

> 5 - 10 tahun (yr) 50% 29%

> 10 - 20 tahun (yr) 5% 5%

> 20 tahun (yr) 0 0

Rata-rata (th) 4 3,5

Average (yr)

Tabel 3. Persentase Penyadap Berdasarkan Kepemilikan Aset (%)

Uraian Kebun Sampel

Description KHT KHL

Kebun/Ladang (Land) 0 0

Rumah (Home) 17 4

TV(TV) 42 21

Ternak (Livestock) 0 0

Sepeda motor (Motorcycle) 83 63

Tabel 4. Persentase Anak Penyadap Berdasarkan Tingkat Pendidikan (%)

Perkebunan

Jumlah Anak

Sekolah Dasar

Sekolah Menengah Pertama

Sekolah Menengah

Atas

Perguruan Tinggi

Belum sekolah

Total Estates

Number of

children Primary School

Secondary High School

Senior High School

University

Not yet schooling

- KHT 2 42 13 8 0 37 100

- KHL 2,3 37 3 0 0 60 100

Page 59: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar)

149

rumah tangga, pendidikan, ketenaga kerjaan, perumahan dan lingkungan serta sosial budaya. Dalam penelitian ini indikator tingkat kesejahteraan yang digunakan hanya mencakup kepemilikan aset, tingkat pendidikan anak, dan tingkat pendapatan dan pengeluaran/konsumsi rumah tangga.

Kepemilikan aset yang diamati dalam penelitian ini meliputi kebun/ladang, rumah, televisi (TV), ternak, dan sepeda motor. Tabel 3. memperlihatkan tingkat kesejahteraan tenaga penyadap. Sebagaimana umum terjadi pada tenaga kerja perkebunan, pada kebun ini tidak ada satupun penyadap yang memiliki kebun/ladang sendiri.

Semetara itu, sebanyak 17% penyadap KHT dan 4% penyadap KHL memiliki rumah yang dipersiapkan untuk memasuki masa pensiun. Selebihnya masih tinggal di perumahan yang disediakan oleh kebun.

Hanya 42% penyadap KHT dan 21% penyadap KHL yang telah memiliki TV. Sementara tidak satupun penyadap di kebun sampel yang memiliki ternak. Adapun dengan sepeda motor, hanya 83% penyadap KHT dan 63% penyadap KHL di kebun sampel yang telah memiliki sepeda motor.

Kelima atribut (kebun/ladang, rumah, TV, ternak, dan sepeda motor) dari indikator kepemilikan aset yang telah diuraikan di atas memberikan gambaran akan tingkat kesejahteraan penyadap di kebun sampel.

Kajian terhadap pendidikan anak penyadap dilakukan terhadap sampel penyadap yang telah berkeluarga. Secara umum, setiap keluarga penyadap memiliki rata-rata 2 – 3 orang anak. Dilihat dari tingkat pendidikan anak, terlihat bahwa seluruh anak telah mengecap pendidikan, bahkan beberapa diantara anak tersebut telah menyelesaikan pendidikan setingkat SMA. Hampir tidak ditemukan anak penyadap yang tidak mengecap pendidikan. Beberapa diantara anak penyadap masih belum memperoleh pendidikan dikarenakan memang belum memsuki usia sekolah. Hal ini juga terkait dengan usia penyadap yang umumnya tergolong muda dan baru memasuki kehidupan berumah tangga.

Dalam Nancy (1997) dinyatakan bahwa dengan tingkat pendidikan anak yang lebih baik, penyadap tidak lagi menginginkan agar anaknya bekerja sebagai penyadap, tetapi berharap agar anaknya memperoleh pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya. Demikian halnya dalam penelitian ini, seluruh sampel penyadap menyatakan harapannya agar anak-anak mereka tidak bekerja sebagai penyadap, tetapi memperoleh pekerjaan yang lebih baik dari sekedar pekerjaan kasar di kebun.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa profesi sebagai penyadap masih dianggap kurang menarik oleh penyadap. Dengan kata lain, preferensi/minat penyadap terhadap profesinya lebih rendah dibandingkan alternatif profesi atau pekerjaan lain yang ada saat ini. Kondisi inilah yang selama bertahun-tahun dianggap menjadi salah satu faktor psikologis yang menurunkan preferensi/minat angkatan kerja baru terhadap profesi tenaga penyadap dan secara tidak langsung mendorong munculnya kelangkaan penyadap.

Pendapatan yang diterima oleh penyadap meliputi gaji pokok, premi, dan insentif atau bonus. Pembayaran gaji pokok, premi, dan insentif pada kedua kebun dilakukan setiap bulan sekali. Jumlah pendapatan premi dapat berbeda-beda setiap bulan tergantung perolehan produksi yang didapat oleh penyadap. Pendapatan lain di kebun sampel umumnya didapat oleh penyadap dari kontribusi isteri penyadap yang ikut membantu keuangan keluarga dari aktivitas buruh borongan di kebun yang sama. Pendapatan rata-rata penyadap secara umum mencapai Rp 2,3 juta – Rp 2,4 juta.

Pengeluaran terbesar keluarga penyadap secara umum berasal dari kebutuhan pokok (32% - 38%). Menyusul pengeluaran untuk kebutuhan pendidikan (11% - 16%), transportasi (7%), dan tabungan (7% - 20%). Adapun kebutuhan lain-lain yang mencapai 30% - 31% dari pengeluaran rumah tangga umumnya digunakan untuk keperluan cicilan sepeda motor atau hutang jasa simpan pinjam koperasi.

Berdasarkan data hasil wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa pilihan untuk menjalani profesi pekerjaan sebagai penyadap bukan semata-mata dikarenakan tidak adanya alternatif pilihan pekerjaan lain. Bagi responden penyadap KHT alasan utama bekerja sebagai penyadap dikarenakan adanya jaminan kehidupan yang layak (67%). Sebanyak 25% menyatakan tidak adanya alternatif pilihan pekerjaan lain, dan sisanya sebanyak 8% menyatakan faktor turun temurun. Adapun bagi responden penyadap KHL, sebanyak 38% menyatakan alasan utama bekerja sebagai penyadap dikarenakan faktor turun temurun. Banyak diantara penyadap yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyadap lainnya atau memiliki orang tua dan kerabat lain yang dahulunya juga bekerja sebagai penyadap. Sebanyak 33% responden menyatakan alasan akan jaminan kehidupan yang lebih layak, dan 29% lainnya menyatakan tidak adanya alternatif pilihan pekerjaan yang lain.

Dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain, sebagian besar penyadap menyatakan bahwa

Page 60: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 142-154

150

Tabel 5. Tingkat Pendapatan Dan Pengeluaran Rumah Tanga Penyadap

Uraian

Kebun sampel

Description

KHT KHL

Pendapatan (000 Rp/th)

Income (000 Rp/yr)

- Gaji pokok (Basic wage)

1.700 (70) 1.850 (78)

- Premi (Premium)

170 (7) 150 (6)

- Insentif/Bonus

(Incentive/Bonus)

200 (8) - (0)

Subtotal

2.070 (85) 2.000 (85)

- Lainnya (Others)

364.5 (15) 360 (15)

- Total

2.434.5 (100) 2.360. (100)

Pengeluaran (000 Rp/th)

Expenditure (000 Rp/yr)

- Kebutuhan pokok (Basic

need)

920 (38) 750 (32)

- Pendidikan (Education)

400 (16) 250. (11)

- Transportasi

(Transportation)

181 (7) 167 (7)

- Tabungan (Saving)

170 (7) 475 (20)

- Lain-lain (Others)

763.5 (31) 718 (30)

Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap total

Tabel 6. Variabel Yang Terkait Dengan Kelangkaan Tenaga Penyadap

Uraian PB B

Description KHT KHL

Alasan menjadi penyadap (%)

Reason to be tapper (%)

- tidak ada pilihan (no choice) 25% 29%

- turun temurun (heredity) 8% 38%

- lebih terjamin (more guaranteed)

67% 33%

Dibanding pekerjaan lain (%)

Compared with another jobs (%)

- lebih ringan (more light) 83% 67%

- sama (same) 17% 21%

- lebih berat (more heavy)

0% 13%

Bila ada pilihan (%)

If choice given (%)

- menyadap (tapping) 100% 96%

- lainnya (others)

0% 4%

Masa kerja (th)

4 3,5

Working period (yr)

Page 61: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar)

151

Tabel 7. Inventarisasi Aspek Lingkungan Internal

Aspek lingkungan internal Kekuatan (Strenght) Kelemahan (Weakness)

Kondisi kebun - Kebun memiliki areal produktif yang luas

- Potensi produksi masih tinggi

- Lokasi jauh dari perkotaan - Akses pelayanan umum

relatif terbatas - Sarana dan prasarana

minim Karakteristik penyadap - Keragaan usia relatif muda - Tingkat pendidikan rendah

Tingkat kesejahteraan - Pendapatan utama rendah - Akses terhadap kebutuhan

pokok terbatas

Tabel 8. Kebun-Kebun Rakyat Dan Swasta Yang Berbatasan Langsung Dengan Kebun Sampel

No. Perusahaan Perkebunan Swasta

(Privat Plantation) No. Perkebunan Rakyat

(Smallholder)

1. PT. Kinabalu 1. Komar

2. PT. Surya Dumai 2. Doni

3. Sipayung

4. Herman

5. Simarmata

Tabel 9. Inventarisasi Aspek Lingkungan Eksternal

Aspek lingkungan eksternal Peluang (Opportunity) Ancaman (Threats)

Tingkat persaingan antar

perusahaan dalam industri

- Persaingan tinggi baik dengan perusahaan besar swasta maupun rakyat

Kemudahan keluar masuk

penyadap

- Sistem rekrutmen karyawan belum memiliki standard baku yang mengikat

Ketersediaan angkatan kerja

loka

- Sumberdaya manusia lokal memadai

menyadap merupakan pekerjaan yang dinilai “lebih ringan” (67% – 83%), sebagian lainnya menilai “sama saja” (17% - 21%), dan hanya sebagian kecil lainnya yang menyatakan “lebih berat” (0% - 13%). Tenaga penyadap dengan status KHT menunjukkan masa kerja yang relatif lebih lama. Masa kerja tersebut menunjukkan adanya loyalitas penyadap. Hasil wawancara dengan responden penyadap menunjukkan bahwa hampir seluruh penyadap (96% - 100%) menyatakan tetap akan bertahan untuk bekerja sebagai penyadap meskipun ada pilihan pekerjaan lain yang dianggap memiliki

pendapatan yang sama. Beberapa alasan diantaranya adalah : a) tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, b) usia sudah tidak memungkinkan untuk memperoleh pekerjaan lain, c) sulitnya mencari pekerjaan lain, d) kedekatan dengan keluarga, e) adanya jaminan hidup yang layak (premi tambahan), dan f) banyaknya waktu luang setelah menyadap.

Sebagaimana diuraikan pada Tabel 2 (karakteristik penyadap) terlihat bahwa alternatif pekerjaan lain relatif sedikit. Kondisi ini diperkirakan akibat lokasi kebun yang jauh

Page 62: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 142-154

152

dari pusat kota di mana sentra ekonomi dan usaha berada.

Indikator kesejahteraan rumahtangga dapat juga dilihat dari tingkat ketahanan pangan rumahtangga itu sendiri. Salah satu diantara karakteristik rumahtangga rawan pangan sebagaimana didefinisikan Maxwell et al. dalam Ariningsih (2008) adalah pangsa pengeluaran pangan >60 persen dari total pengeluaran rumahtangga. Penelitian yang sama oleh Nancy et al. pada tahun 1997 memperlihatkan adanya kecenderungan terjadinya rawan pangan pada rumahtangga penyadap di perkebunan karet, dimana proporsi pengeluaran pangan secara agregat mencapai 65,75%. Kondisi rawan pangan terutama terjadi pada perkebunan dengan lokasi yang berada jauh dari kota (terpencil) dimana proporsi pengeluaran pangan rumah tangga penyadap mencapai 79,00%.

Tidak demikian halnya dengan keragaan rumahtangga penyadap yang terlihat pada penelitian kali ini, dimana berdasarkan Tabel 6. dapat dilihat bahwa secara agregat kondisi rumah tangga penyadap di perkebunan karet sampel masih tergolong berkecukupan pangan dengan proporsi pengeluaran pangan yang hanya mencapai 38%, sehingga jika dikaitkan dengan penelitian terdahulu oleh Nancy (1997) maka terlihat adanya peningkatan kesejahteraan rumah tangga penyadap saat ini. Hanya saja perlu dianalisis lebih jauh distribusi pengeluaran pangan berdasarkan jenis konsumsi pangan dan kecukupan gizi dan energi. Dengan kata lain rendahnya tingkat kesejahteraan penyadap belum menyentuh pada level kerawanan pangan.

Indikator tingkat persaingan antar perusahaan dalam suatu industri diantaranya mencakup seberapa banyak jumlah perusahaan yang terlibat di dalam industri yang sama. Kebun sampel yang berlokasi di Sikijang-Riau merupakan kebun yang berbatasan langsung dengan dua perusahaan perkebunan swasta dan lima kebun milik rakyat. Jumlah tersebut mengindikasikan tingkat persaingan perusahaan dalam memperebutkan tenaga kerja yang cukup tinggi. Berikut Tabel 8 memperlihatkan jumlah perusahaan perkebunan yang berbatasan langsung dengan kebun sampel Sikijang-Riau.

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber (manajer, asisten kepala, dan asisten kebun), secara umum sistem rekrutmen karyawan di kebun sampel tidak memiliki standard prosedur yang baku. Kebanyakan penyadap dapat keluar masuk kebun sebagai tenaga harian lepas. Umumnya pelamar kerja yang hendak melamar sebagai tenaga penyadap tidak diberikan persyaratan khusus. Selain itu

sistem rekrutmen tidak memfasilitasi agar karyawan penyadap terikat dengan pekerjaan yang dijalaninya. Di satu sisi sistem tersebut memberikan kemudahan bagi siapa saja diantara angkatan kerja untuk melamar sebagai tenaga penyadap, namun di sisi lain sistem tersebut juga memudahkan setiap karyawan untuk keluar masuk perusahaan sebagai tenaga penyadap.

Badan Pusat Statistik (2012), dalam laporannya menyatakan bahwa hingga tahun 2011 tingkat pengangguran terbuka (TPT) Provinsi Riau mencapai 7,17%. Sementara laju pertumbuhan penduduk Provinsi Riau tercatat mencapai 3,58%. Selain merupakan tantangan, data statistik tersebut menunjukkan sejumlah potensi sumberdaya manusia yang cukup besar untuk mengatasi masalah kelangkaan tenaga penyadap di perkebunan karet. Salah satu faktor yang dianggap menjadi kendala adalah faktor distribusi sumberdaya manusia yang secara umum juga merupakan kendala nasional.

Alternatif Strategi Penanggulangan Kelangkaan Tenaga Penyadap. Berbagai alternatif strategi dapat dirumuskan berdasarkan model analisis matriks SWOT. Keunggulan dari penggunaan model ini adalah mudah memformulasikan strategi berdasarkan gabungan faktor eksternal dan internal. Strategi utama yang dapat disarankan ada empat macam, yaitu: strategi S-O, S-T, W-O, dan W-T. Analisis ini menggunakan data yang telah diperoleh melalui hasil inventarisasi aspek lingkungan perusahaan/kebun. Perumusan alternatif strategi yang dapat dipertimbangkan oleh kebun dalam menghadapai masalah kelangkaan tenaga penyadap berdasarkan matriks SWOT adalah sebagai berikut:

Strategi S-O. Strategi S-O merupakan strategi yang menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk meraih atau memanfaatkan peluang-peluang eksternal perusahaan. Alternatif strategi S-O yang dapat dilakukan kebun adalah melakukan peningkatan produktivitas kerja per satu satuan tugas penyadapan.

Strategi S-T. Melalui strategi ini perusahaan berusaha untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman-ancaman eksternal. Alternatif strategi S-T yang dapat dilakukan oleh kebun adalah dengan merumuskan dan menetapkan sistem rekrutmen yang mengikat dan memfasilitasi calon karyawan terhadap peluang karir yang lebih tinggi.

Strategi W-O. Strategi ini bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan internal perusahaan dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal. Alternatif strategi yang dapat

Page 63: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar)

153

Tabel 10. Matriks SWOT

SWOT

Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness)

1. Kebun memiliki areal produktif yang luas

2. Potensi produksi masih tinggi

3. Keragaan usia penyadap relatif muda

1. Lokasi jauh dari perkotaan 2. Akses pelayanan umum

relatif terbatas 3. Sarana dan prasarana

minim 4. Tingkat pendidikan rendah 5. Pendapatan utama rendah 6. Akses terhadap kebutuhan

pokok terbatas

Peluang (Opportunities) Strategi S-O Strategi W-O

1. Sumberdaya manusia lokal memadai

1. Melakukan peningkatan produktivitas kerja per satu satuan tugas penyadapan.

1. Penyediaan sarana dan prasarana yang menyangkut akses terhadap layanan umum.

2. Portofolio usaha kebun menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok karyawan.

3. Pendidikan dan pelatihan calon karyawan terkait penyadapan (Tapping School) yang bersertifikasi.

Ancaman (Threaths) Strategi S-T Strategi W-T

1. Tingkat persaingan dalam perebutan tenaga kerja tinggi baik dengan perusahaan besar swasta maupun rakyat

2. Sistem rekrutmen karyawan belum memiliki standard baku yang mengikat

1. Merumuskan dan menetapkan sistem rekrutmen yang mengikat dan memfasilitasi calon karyawan terhadap peluang karir yang lebih tinggi.

1. Membangun mekanisme sistem reward bagi penyadap yang berprestasi.

2. Sistem premi penyadapan kompetitif yang memfasilitasi peningkatan produktivitas dan pendapatan penyadap.

dilakukan kebun antara lain adalah: 1) Penyediaan sarana dan prasarana yang menyangkut akses terhadap layanan umum; 2) Portofolio usaha kebun menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok karyawan; dan 3) Pendidikan dan pelatihan calon karyawan terkait penyadapan (Tapping School) yang bersertifikasi.

Strategi W-T. Strategi ini merupakan strategi untuk bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman. Alternatif strategi yang dapat dilakukan kebun antara lain adalah: 1) Membangun mekanisme sistem reward bagi penyadap yang berprestasi; dan 2) Sistem premi penyadapan kompetitif yang memfasilitasi peningkatan produktivitas dan pendapatan penyadap.

KESIMPULAN Kelangkaan tenaga penyadap menjadi

masalah penting yang umum dihadapi oleh perusahaan perkebunan karet dengan lokasi kebun yang berada terpencil jauh dari perkotaan. Beberapa aspek yang dianggap menjadi alasan terjadinya kelangkaan tenaga penyadap terdiri atas aspek lingkungan internal dan aspek lingkungan eksternal, yang terkait dengan masalah kesejahteraan, nilai profesi, dan ketersediaan sumberdaya manusia. REKOMENDASI

Berdasarkan hasil inventarisasi aspek-aspek lingkungan internal dan eksternal tersebut, melalui pendekatan analisis matriks SWOT diperoleh tujuh alternatif kebijakan strategis yang relevan untuk dilakukan oleh kebun, yaitu:

Page 64: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 142-154

154

1. Melakukan peningkatan produktivitas kerja per satu satuan tugas penyadapan.

2. Penyediaan sarana dan prasarana yang menyangkut akses terhadap layanan umum.

3. Portofolio usaha kebun menyangkut pemenuhan kebutuhan pokok karyawan.

4. Pendidikan dan pelatihan calon karyawan terkait penyadapan (Tapping School) yang bersertifikasi.

5. Merumuskan dan menetapkan sistem rekrutmen yang mengikat dan memfasilitasi calon karyawan terhadap peluang karir yang lebih tinggi.

6. Membangun mekanisme sistem reward bagi penyadap yang berprestasi.

7. Sistem premi penyadapan kompetitif yang memfasilitasi peningkatan produktivitas dan pendapatan penyadap.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Mitra Bestari Jurnal Inovasi yang telah memberikan rekomendasi perbaikan bagi tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Ariningsih, E. dan Rachman, P.S. 2008. Strategi peningkatan ketahanan pangan rumah tangga rawan pangan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 6(3) : 239 – 255. [BPS]. 2015. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS [BPS]. 2014. Statistik Karet Indonesia. Jakarta: BPS C. Nancy ; C. Anwar; U. Junaedi dan S. Hendratno. 1997. Ketersediaan dan Kesejahteraan Tenaga Penyadap di Perkebunan Karet. Dalam Jurnal Penelitian Karet Vol. 5 No. 1. Pusat Penelitian Karet. David, Fred R. 2009. Manajemen Strategis Konsep. Ed. 12. Jakarta: Salemba Empat. Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur. 2013. Rekapitulasi Luas Areal, Produksi, dan Tenaga Kerja Karet. http://disbun.kaltimprov.go.id. Diakses pada tanggal 7 Februari 2016. Erwidodo dan M. Gunawan. 1992. Studi Keterkaitan Desa-Kota: Kerangka Kajian dan Rangkuman Hasil Penelitian. Dalam Monograph Series No. 4 tentang Dinamika Keterkaitan Desa-Kota di Jawa Barat : Arus Tenaga Kerja, Barang dan Kapital, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi

Pertanian, Bidang Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Noekman, K. dan Erwidodo. 1992. Pengaruh Kondisi Desa dan Karakteristik Individu Terhadap Mobilitas Penduduk. Dalam Monograph Series No. 4 Tentang Dinamika Keterkaian Desa-Kota di Jawa Barat : Arus Tenaga Kerja, Barang dan Kapital. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bidang Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Santoso, B dan Basuki. 1991. Manajemen Panen Tanaman Karet di Perkebunan. Kumpulan Makalah Lokakarya Karet 1991. Medan, 2-4 Juli 1991. Siregar, M.; M. Simangunsong dan M. Jamian. 1984. Masalah Tenaga Kerja Penyadap di Perkebunan Karet. Kumpulan Makalah Lokakarya Karet 1984 PN/ PT Perkebunan Wilayah I dan P4TM. Sairin, S. 1991. Tingkat Upah Buruh Perkebunan di Sumatera Utara. Majalah Kajian Sosial Ekonomi dan Sosisal PRISMA, No 4 (1996), 27 – 39 LP3ES. Jakarta. Singarimbun, M. dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta. Supriadi, M. dan Hendratno, S. 2010. Upaya Peningkatan Daya Saing Industri Karet Indonesia. Warta Perkaretan, Vol. 29 (2). Suryana A. dan R. Nurmalina. 1989. Perspektif Mobilitas Kerja dan Kesempatan Kerja Perdesaan. Dalam Prosiding Patanas Perkembangan Struktur Produksi, Ketenagakerjaan dan Pendapatan Rumah Tangga Perdesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Spillane, JJ. 1989. Komoditi karet : peranannya dalam perekonomian Indonesia. Kanisius. Jogjakarta

Page 65: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet (Priyo Adi Nugroho)

155

Studi Kepustakaan

PEMBANGUNAN RORAK DAN APLIKASI TANKOS

DI AREAL PERKEBUNAN KARET

(THE STUDY OF SILT PITS ESTABLISHMENT AND EMPTY FRUIT

BUNCH APPLICATION IN RUBBER PLANTATION)

Priyo Adi Nugroho

Pusat Penelitian Karet, Balai Penelitian Sungei Putih

Po Box 1415, Medan 20001

e-mail: [email protected]

Diterima: 5 Juli 2017; Direvisi: 19 Juli 2017; Disetujui: 16 Agustus 2017

ABSTRAK

Tanaman karet tersebar secara luas hampir di seluruh wilayah Indonesia yang mempunyai

kondisi tanah dan iklim yang beragam sehingga memunculkan modifikasi dalam teknis budidaya yang menyesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat. Pada areal dengan curah hujan yang

rendah konservasi air harus diperhatikan agar kebutuhan air tanaman karet selama musim

kemarau dapat tercukupi. Sebaliknya pada daerah basah dan berbukit, konservasi tanah menjadi fokus utama agar penurunan kesuburan tanah dapat diminimalisir. Rorak merupakan salah satu

teknis konservasi yang sering dilakukan di areal perkebunan di Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rorak dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dan menunda kekeringan

tanah (soil dryness) selama 3,5 bulan. Dengan adanya rorak, panjang lereng pada daerah

berbukit menjadi lebih pendek sehingga run-off berkurang hingga 23,3% dengan demikian potensi penurunan kualitas tanah akibat degradasi lahan dapat dihindari. Efektifitas pemupukan

yang diaplikasikan ke dalam lubang rorak menjadi lebih tinggi yang pada gilirannya akan memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman karet. Untuk

memperoleh hasil yang lebih optimal, rorak dapat dikombinasikan dengan aplikasi limbah

perkebunan (tankos). Banyak peneliti merekomendasikan tankos untuk diaplikasikan di areal perkebunan karena keunggulannya dalam memperbaiki sifat tanah dan meningkatkan volume

perakaran tanaman karet. Jika keduanya, rorak dan aplikasi tankos akan diterapkan, maka

tankos dapat diletakkan di dasar rorak (1-2 lapis), dengan catatan kedalaman rorak harus ditambah. Secara teknis jumlah rorak yang semakin banyak (>150 rorak/ha) akan semakin

memperkecil run off dan erosi tanah. Namun sebaiknya jumlah rorak yang dibangun agar disesuaikan dengan kemampuan finansial pekebun dan perusahaan serta kondisi spesifik

lokasinya. Peranan dinas terkait, penyuluh pertanian, lembaga riset dan perguruan juga

diperlukan untuk memperoleh hasil yang terbaik.

Kata kunci: Hevea brasiliensis, rorak, tandan kosong sawit, erosi

ABSTRACT

Rubber tree (Hevea brasiliensis) is almost widely distributed throughout Indonesia which has

varieties in soil and climate. Hence the modifications of rubber cultivation technique occur for

adapting to the varieties of location. In low rainfall area water conservation become important to meet the plant water requirement during the dry season. Otherwise in high rainfall and hilly area,

soil conservation is the main focus in order to reduce the declining of soil fertility. Silt pit or

infiltration pit is a common conservation practice in perennial crop plantation area in Indonesia. Several studies reported that silt pit improved soil water capacity and delayed soil dryness for 3.5

months. Silt pit shortened the length of slope thus, the surface run-off decreased until 23.3% which in turn the depletion potency of land quality by soil degradation could be avoided. The

effectivity of fertilizer that is applied on pit becomes more efficient so that give the positive

impact on girth increment and rubber yield. In order to optimize the effect for the tree, silt pit can be combined with plantation waste i.e. empty fruit bunch (EFB). Numerous researchers said

that EFB recommended to be applied in plantation area due to its advantage on improving the

Page 66: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017:155-161

156

soil characteristics and raising the rubber root volume. Whether both silt pit and EFB application will be established in rubber plantation, EFB can be placed on pit bed (1-2 layer), with a

notification that silt pit size should be deepened. Technically the more of number of pits the better (>150 pits/ha) for run-off and soil erosion reduction. However, it will be better if the

number of pits that will be established considering the planter’s financial and the situation of

specific location. The role of related technical bureau, extension officer, research institute and university is also necessary for getting the best result.

Keywords: Hevea brasiliensis, infiltration pits, empty fruit bunch, erosion

PENDAHULUAN Persyaratan tumbuh tanaman karet yang

tidak memerlukan kondisi lingkungan yang khusus telah menyebabkan tanaman ini mudah dibudidayakan secara luas dan tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Sejak puluhan tahun lalu tanaman karet terbukti sangat adaptif pada berbagai tipologi lahan. Di wilayah Sumatera bagian utara yang kondisi curah hujannya relatif tinggi, tanaman karet tumbuh dan berproduksi dengan baik. Sebaliknya, di wilayah selatan Sumatera dan Jawa dengan kondisi bulan kering yang tegas tanaman karet tetap menunjukkan performa pertumbuhan dan produksi yang baik.

Selain faktor genetis yaitu klon yang unggul, penerapan teknis budidaya yang spesifik lokasi juga merupakan faktor penentu dalam keberhasilan budidaya tanaman karet. Hampir 45% lahan di Indonesia berupa perbukitan dan pegunungan yang dicirikan oleh topo-fisiografi yang sangat beragam. Dengan latar belakang kondisi yang demikian, maka Kementrian Pertanian Republik Indonesia melalui peraturan menteri No.47/permentan/OT.140/10/2006 telah menetapkan bahwa dalam sistem budidaya di lahan dengan kelerengan > 15% lebih diutamakan untuk ditanami campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan (agroforestry). Namun jauh sebelum Permentan tersebut diterbitkan, karena ketersediaan lahan optimal yang terbatas dan desakan ekonomi telah menyebabkan budidaya tanaman perkebunan seperti karet dan kelapa sawit dilakukan di areal dengan kelerengan dan curah hujan yang cukup tinggi sehingga menuntut tindakan-tindakan konservasi lahan yang lebih intensif salah satunya dengan pembuatan rorak (Moradidalini et al., 2011).

METODE

Metode studi literatur yang dikombinasikan dengan pengalaman survey di lapangan digunakan dalam kajian ini. Tulisan ini membahas secara mendalam mengenai kegunaan rorak sebagai upaya konservasi tanah dan air dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap tanaman karet serta potensi pemanfaatan rorak sebagai tempat untuk mengaplikasikan limbah perkebunan sebagai upaya mendukung peningkatan efisiensi dan efektifitas pemupukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Air merupakan salah satu penyusun tubuh

tanaman yang sangat penting. Sekitar 80-90 persen dari berat kering tanaman adalah air. Persentase ini akan menjadi lebih besar lagi pada bagian-bagian tanaman yang sedang aktif tumbuh. Kekurangan air dapat mempengaruhi potensial air tanaman dan tekanan turgor sehingga fungsi normal tanaman terganggu (Indraty, 2003; Harwati, 2007). Hujan merupakan sumber air utama bagi tanaman khususnya tanaman tahunan. Rao dan Vijakumar (1992) menyebutkan bahwa kebutuhan air tanaman karet selama satu bulan dapat tercukupi dengan curah hujan sebesar 100-150 mm. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Sugiyanto et al (1988); Sudiharto (2004) dan Thomas (2008) menyatakan bahwa curah hujan terbaik untuk pertumbuhan dan produktivitas tanaman karet adalah 1500-3000 mm/tahun.

Secara umum permasalahan ketersediaan air dalam budidaya tanaman karet adalah bahwa pada daerah-daerah berlereng dengan curah hujan yang cukup tinggi ketersediaan air yang berlebih justru menimbulkan masalah erosi. Hasil penelitian Siregar et al. (1983) selama 12 bulan pada TBM karet dengan kelerengan 20% dan curah hujan tahunan mencapai >2000 mm di wilayah Sumatera Utara menunjukkan bahwa jumlah tanah yang terangkut akibat erosi mencapai 84 ton/ha.

Pada daerah dengan curah hujan yang rendah, kekeringan adalah permasalahan utama. Air yang tidak cukup akan menyebabkan pertumbuhan lilit batang terhambat sehingga mengalami kemunduran matang sadap hingga sembilan tahun (Devakumar et al., 1998). Thomas et al (2005) juga melaporkan penurunan pertumbuhan lilit batang tanaman karet belum menghasilkan sebesar 0,65 cm/bulan terjadi pada kondisi kekeringan di wilayah Sumatera Selatan.

Seperti yang telah diuraikan di atas, maka diperlukan suatu metode untuk mengelola ketersediaan air di perkebunan karet. Salah satu metode yang cukup baik dan umum digunakan di Indonesia dalam pengelolaan ketersediaan air adalah dengan pembuatan rorak. Rorak atau silt pits atau catch ditch adalah lubang berbentuk persegi dengan ukuran tertentu yang dibuat di

Page 67: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet (Priyo Adi Nugroho)

157

beberapa titik pada areal pertanaman. Di daerah dengan curah hujan tinggi, tujuan utama pembuatan rorak adalah untuk memperbesar peresapan, dan menampung tanah yang tererosi. Pada daerah kering seperti pada salah satu perkebunan karet di daerah Jawa bagian timur yang terdapat beberapa bulan kering (CH <60 mm) rorak difungsikan sebagai pemanen air hujan dan aliran permukaan sehingga rorak dianggap memiliki peranan penting untuk mengantisipasi kekeringan (Nugroho, 2013). Fungsi rorak menurut beberapa literatur secara ringkas diuraikan sebagai berikut:

1. Memanen dan mengkonservasi air

Pemanenan air hujan atau rain water harvesting (RWH) yang optimal serta mengkonservasi/menyimpannya untuk digunakan pada kondisi di mana air hujan tidak tersedia adalah prinsip dari pengelolaan air pada daerah dengan curah hujan yang rendah (Kahinda et al., 2008). Beberapa penelitian membuktikan bahwa produktivitas tanaman semusim dapat meningkat dengan penerapan teknologi RWH di beberapa daerah yang beriklim semi arid. RWH sangat berkembang di negara-negara Afrika yang curahnya sangat rendah. Beberapa lokasi perkebunan karet di Indonesia berada pada daerah dengan curah hujan <1800 mm dan bulan kering (CH <60 mm)

lebih dari 3 bulan (Suhendry, 2001; Sudiharto, 2004) sehingga tindakan kultur teknis RWH untuk memenuhi kebutuhan air sepanjang tahun sangatlah diperlukan.

Gondang-gandung adalah salah satu metode RWH yang telah lama diterapkan sebagai metode dalam memanen air hujan di perkebunan karet di Jawa Timur. Gondang gandung adalah lubang yang menyerupai rorak dan pembuatannya biasanya dilakukan pada akhir musim penghujan. Gondang-gandung dapat dikombinasikan dengan aplikasi bahan organik seperti pupuk kandang, kompos dan biomasa kacangan penutup tanah (Iqbal, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bohluli et al. (2012) di areal perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa perlakuan rorak dengan berbagai ukuran luas (m2) dapat meningkatkan ketersediaan air tanah 1,46-19,22% dibanding lahan tanpa rorak. Kemampuan menahan air rorak juga sangat dipengaruhi oleh ukuran rorak. Rorak dengan ukuran luas (panjang x lebar x kedalaman) yang lebih kecil yaitu 1x3x1 m dan 1,5x3x1 m memiliki kemampuan menahan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan rorak dengan ukuran 2x3x0,5 m dan 2x3x1 m (Gambar 2) sehingga dapat membuat menunda kekeringan tanah (soil dryness) selama 3,5 bulan dibandingkan lahan tanpa perlakuan rorak dan teras (Murtilaksono, 2007).

Gambar 2. Perubahan Kandungan Air Tanah dari Permukaan Tanah Hingga Kedalaman 90 cm pada Berbagai Jenis Perlakuan Rorak.

Rorak yang dipadukan dengan aplikasi

bahan organik mampu meningkatkan kandungan air tanah secara signifikan (Sudiharto, 2007). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ahmad dan Putra (2016) juga membuktikan bahwa pembuatan rorak yang

berukuran panjang 100 cm, lebar 50 cm, dan kedalaman 60 cm serta terisi oleh bahan organik berupa pupuk kandang dan seresah daun karet pada TBM karet umur tiga tahun, memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air tanah di musim kemarau dan penghujan. Pada

Page 68: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017:155-161

158

kedalaman 0-45 cm perlakuan rorak memiliki mampu meningkatkan kadar air tanah hingga 50% di musim kemarau dan hingga 9% pada musim kemarau dibandingkan dengan areal tanpa rorak.

2. Mengurangi laju aliran permukaan dan erosi

Mengurangi laju aliran permukaan (run off) dan erosi adalah manfaat lain yang diharapkan dari pembangunan rorak di daerah dengan curah hujan yang tinggi. Pengurangan laju aliran permukaan terjadi karena adanya pengurangan panjang lereng sehingga terjadi penurunan kecepatan dan volume run-off yang pada gilirannya mengurangi kehilangan tanah akibat erosi. Jailantigh dan Pessarakli (2009) menyatakan bahwa pengurangan run-off pada lahan dengan rorak di Iran dapat terjadi hingga 4 kali lipat dibandingkan dengan lahan tanpa rorak. Penelitian Soon dan Hong (2002) di areal perkebunan kelapa sawit di Malaysia juga membuktikan bahwa dengan pembuatan rorak di areal perkebunan kelapa sawit yang memiliki kelerengan 15-23%, dapat menurunkan run-off hingga 23,3% dan mencegah kehilangan tanah

sebesar 0,52 ton/ha dibandingkan areal tanpa rorak.

3. Mencegah degradasi kesuburan tanah dan

meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman

Tanah yang tererosi secara terus menerus akan mengalami penurunan kualitas kesuburan baik kesuburan fisika, kimia maupun biologinya. Pada daerah-daerah dengan kelerengan yang cukup tinggi dan tanpa tindakan konservasi degradasi lahan akan lebih cepat terjadi. George et al. (2007), menyatakan terdapat korelasi yang positif antara jumlah rorak (panjang 120 cm; lebar 45 cm dan kedalaman 75 cm) yang dibuat di suatu areal perkebunan karet di India yang berumur 12 tahun dengan jenis tanah Ultisol terhadap penurunan jumlah lapisan tanah tererosi. Penurunan tersebut dapat mencapai hingga 10,42 ton/ha yang berarti kehilangan unsur hara berupa 29,30 kg/ha N; 12,50 kg/ha P dan, 62,55 kg/ha K dapat dihindari. Pertumbuhan lilit batang dan produksi tanaman karet juga mengalami peningkatan karena pengaruh rorak (Tabel 1).

Tabel 1. Pengaruh Rorak terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Karet

Jumlah Rorak Pertambahan lilit batang rata-rata (cm/tahun)

Produksi rata-rata (Kg/pohon/tahun)

0 100 150 200 250

Standard Error LSD(P<0.05)

8,7 10,3

11,69 11,87 13,80

0,77 2,37

15,54 16,08 16,80 17,14 17,95

0,50 1,50

Pembuatan rorak juga dapat meningkatkan

efisiensi pemupukan. Hara pupuk yang tercuci bersama run-off, sebagian akan kembali ke dalam lubang rorak dengan demikian efisiensi pupuk dapat ditingkatkan. Hoi dan Thinh (2015) melakukan analisis tanah di dalam rorak di areal tanaman karet menghasilkan yang sebelumnya diberi perlakuan pemupukan di dalam dan di luar rorak. Rorak berdimensi 1,2 m x 0,8 mx 0,4 m (panjang x lebar x kedalaman) dibuat di tengah (titik pertemuan garis diagonal) pada

setiap empat pohon tanaman karet. Hasil pengamatan selama 3 tahun menunjukkan bahwa kandungan P tersedia dalam tanah pada perlakuan pupuk di dalam rorak meningkat 4-29 kali, K tersedia meningkat 6-20 kali, Mg meningkat 4-13 kali dan Ca tersedia meningkat 3-4 kali dibandingkan kandungan P, K, Mg dan Ca-tersedia pada perlakuan aplikasi pemupukan di luar rorak. Pemupukan yang lebih efektif akan mendukung performa dan produktivitas tanaman karet menjadi lebih baik (Tabel 2).

Tabel 2. Perbedaan Produksi Tanaman Karet Areal dengan dan Tanpa Rorak

Jenis tanah Klon Produksi (gram/pohon/sadap) Rorak Tanpa rorak

Ferralsols Ferralsols Acrisols

VM 515 GT 1 RRIV 4

40,937+2,57 25,415+0,50 54,279+1,43

42,788+3,10 26,887+0,65 51,190+2,49

Dalam pertumbuhan dan

perkembangannya tanaman membutuhkan berbagai jenis unsur hara. Pada ekosistem hutan

siklus hara terjadi secara tertutup atau dengan kata lain jumlah hara yang masuk dan yang keluar selalu berimbang sehingga hara cukup

Page 69: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet (Priyo Adi Nugroho)

159

disediakan oleh sistem tanah tanpa perlu penambahan pupuk. Berbeda halnya dalam ekosistem tanaman budidaya, produksi (panen) dieksploitasi ke luar sistem tanaman yang selanjutnya akan menyebabkan keseimbangan hara (input-output) terganggu, sistem seperti ini disebut dengan siklus hara terbuka. Hara yang terangkut bersamaan dengan panen harus dikembalikan dalam bentuk pemupukan yang bertujuan untuk mempertahakan keseimbangan hara di dalam tanah.

Harga pupuk inorganik (kimia) yang terus meningkat setiap tahun membuat pekebun terus berfikir untuk membuat pupuk yang diberikan menjadi lebih efektif dan efisien. Salah satu sumber hara bagi tanaman yang belum dimanfaatkan secara masif dalam budidaya tanaman karet adalah aplikasi limbah perkebunan kelapa sawit terutama tandan kosong kelapa sawit (tankos). Darmasarkoro (2000) menyatakan bahwa tankos mengandung 42,8% C, 2,9% K2O, 0,8% N, 0,22% P2O5, 0,3% MgO dan beberapa unsur hara mikro seperti 10 ppm B, 23 ppm Cu, dan 51 ppm Zn. Bahan organik yang tinggi akan berperan dalam perbaikan kesuburan fisik dan biologi tanah.

Ketersediaan tankos yang cukup besar terutama di wilayah Sumatera serta jumlah kandungan hara tankos yang potensial menyebabkan bahan ini sangat mungkin untuk dijadikan sebagai bahan alternatif untuk mensubstitusi pupuk kimia.

Menurut Nugroho et al. (2012), jumlah perakaran tanaman karet yang berukuran diameter <1mm mengalami peningkatan hingga dua kali lipat dibandingkan dengan perakaran tanaman karet yang tidak diaplikasikan tankos (Table 3). Karena bahan organik yang cukup tinggi maka pertumbuhan perakaran mengarah ke tankos sehingga populasi perakaran hara lebih terkonsentrasi di satu titik (Nugroho et al., 2012; Hoi dan Thinh, 2015). Terjadinya peningkatan volume perakaran di sekitar bahan organik juga dilaporkan oleh Setiono (2003) yang mengaplikasikan bahan organik/pupuk kandang konsentrat dalam bentuk blok nutrisi yang diaplikasikan pada lubang yang dibuat di gawangan tanaman karet. Peningkatan volume perakaran terutama rambut akar (feeder root) akan membantu dalam peningkatan penyerapan hara oleh tanaman.

Tabel 3. Perakaran Tanaman Karet yang Diaplikasikan Tankos

Perlakuan

Ukuran diamater akar

<0,1 mm 0,1-0,5 mm 0,51-10 mm >10 mm

BB (g) BK (g) BB (g) BK (g) BB (g) BK (g) BB (g) BK (g)

Dengan tankos 112,18 20,91 59,85 17,59 56,62 20,93 24,82 9,25

Tanpa tankos 54,83 9,97 37,60 10,55 34,23 14,56 76,13 28,81

Selain meningkatkan volume perakaran

aplikasi tankos di areal perkebunan karet juga berdampak terhadap perbaikan kesuburan tanah (Nugroho et al., 2012). Nilai CEC, Kandungan C-organik dan hara N, P, K, Ca dan Mg tanah di areal pertanaman karet yang diaplikasikan tankos mengalami kenaikan dibandingkan dengan areal tanpa aplikasi tankos. Di samping dapat memperbaiki sifat kimia tanah, tankos yang diaplikasikan di lapangan juga dapat meningkatkan kandungan air tanah sebesar 19,97-34,76% (Moradidalini et al., 2011).

Kombinasi antara pembuatan rorak dan aplikasi tankos akan menjadi suatu teknologi yang murah dan sangat bermanfaat bagi pekebun terutama dalam mencegah kehilangan tanah akibat erosi dan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemupukan pada tanaman karet di daerah berlereng.

Rorak dan aplikasi tankos dapat diramu menjadi suatu teknologi alternatif dalam konservasi tanah dan air pada budidaya

tanaman karet. Untuk tujuan pemanenan air (RWH), rorak dengan luas area (opening area) yang lebih sempit lebih efektif dibandingkan dengan luas area yang lebar. Untuk tujuan konservasi tanah ukuran rorak yang dapat digunakan adalah 1-1,2 m x 06-0,8 m x 0,3-0,4 m (panjang x lebar x kedalaman). Sedangkan tujuan konservasi air (daerah kering), rorak harus dibuat lebih dalam (misal 0,6 m) dan luas area juga harus dipersempit untuk mengurangi penguapan.

Jika rorak akan dikombinasikan dengan aplikasi tankos, maka tankos dapat diletakkan di dasar rorak (1-2 lapis) dengan catatan kedalaman rorak harus ditambah. Secara teknis jumlah rorak yang semakin banyak (>150 rorak/ha) akan semakin memperkecil run off dan erosi tanah. Sebaiknya jumlah rorak yang akan dibangun juga harus memperhatikan kemampuan finansial petani dan perusahaan serta spesifik lokasi arealnya.

Page 70: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017:155-161

160

KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa rorak cukup efektif digunakan dalam tindakan konservasi air di daerah kering. Selain itu juga baik untuk digunakan pada tindakan konservasi tanah dalam kaitannya untuk mencegah erosi dan degradasi lahan di daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi dengan topografi perbukitan. Rorak juga memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman karet. Aplikasi tankos di areal perkebunan karet dapat memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan volume perakaran tanaman. REKOMENDASI 1. Peranan dinas-dinas teknis terkait yang

membidangi perkebunan sangat dibutuhkan terutama dalam penyediaan tankos yang akan diaplikasikan di areal pekebun karet. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, pengawalan dan pendampingan dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi juga diperlukan dalam rangka melakukan transfer teknologi ke pekebun. Alternatif kebijakan yang mungkin dapat diterapkan adalah dengan mensinergikan antara pekebun dengan pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS). Pemerintah daerah dapat menyusun regulasi yang mengatur kewajiban PKS atau perusahaan perkebunan untuk membantu dalam pembuatan rorak yang dikombinasikan dengan tankos di kebun karet atau kelapa sawit masyarakat. Hal ini mungkin dilaksanakan karena pada umumnya PKS maupun perusahaan perkebunan memiliki sarana berupa alat-alat berat yang sangat memungkinkan untuk dipakai dalam pembuatan rorak. Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai salah satu bagian dari program bina lingkungan (CSR) bagi perusahaan perkebunan atau PKS.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari Jurnal Inovasi yang telah memberikan rekomendasi perbaikan bagi tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, S.R. dan Putra, R.C. 2016. Pengelolaan lengas tanah dan laju pertumbuhan tanaman karet belum menghasilkan pada musim kemarau dan penghujan. Warta Perkaretan 5(1), hal 1-10. Bohlouli, M., Sung, C.T.B., Hanif, A.H.M. dan Zaharah, A.R. 2012. The effectiveness of silt pit as a soil, nutrient and water conservation method in non-terraced oil

palm plantation. Dalam: Anonim. editor. Soil Science Conference of Malaysia 2012: Soil Quality Towards Sustainable Agriculture Production, Kota Bharu, Kelantan, 10-12 Apr. 2012, hal 138-144. Darmasarkoro, W., Sutarta, E.S. dan Erwinsyah. 2000. Pengaruh kompos tandan kosong sawit terhadap sifat tanah dan pertumbuhan tanaman. Jurnal Pusat Penelitian Kelapa Sawit 8(2), hal 107-122. Devakumar, A.S., Sathik, M.B.M., Jacob, J., Annamalainathan, K., Prakash, P.G. dan Viyakumar, K.R. 1998. Effect of atmospheric and soil drought on growth and development of hevea bra-siliensis. J. Rubb. Res. 1(13), hal 190-198. George, S., John, J., Joseph, P., Philip, A. dan Punnoose, K.I. 2007. Impact of Conservation Pits on Growth and Yield of Mature Rubber. J. Rubb. Res. 10(1), hal 44-53. Harwati, T. 2007. Pengaruh kekurangan air (water deficit) terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman tembakau. Jurnal Inovasi Pertanian 6(1), hal 44-51. Hoi, T.H., Thinh, T.V. 2015. Effect of silt pits on mature rubber plantation. Dalam: Anonim. editor. Productivity and quality towards a sustainable and profitable natural rubber sector: Proceeding International Rubber Conference. Ho Chi Minh City, Vietnam, 2nd-3rd November 2015, hal 111-117. Indraty, S.I. 2003. Ketahanan bibit klon karet dalam polibeg terhadap kondisi kekurangan air. J. Nat. Rubb. Res. 21(1-3), hal 12-24. Iqbal, M. 2012. Gondang gandung “ngakali” kekeringan jawa. Hevea 4(1), hal 70-72. JaiIahantigh, M. dan Pessarakli, M. 2009. Utilization of contour furrow and pitting techniqucs Oil desert rangelands: Evaluation of run-off, sediment, soil water content and vegetation cover. J. Food, Agri. Environ. 7(2), hal 736-7. Kahinda, M.J., Lilie, E.S.B., Taigbenue, A.E., Taute, M. dan Boroto, R.J. 2008. Developing suitability maps for rain water harvesting in south Africa. Phys. Chem. Earth. 33, hal 788-799. Moradidalini, A., Bohluli, M., Sling, C.T.B. dan Joo, G.K. 2011. Effectiveness of silt pits as a soil nutrient and water conservation method for non-terraced slopes. Dalam: Jol, H. dan Jusof, S. editor. Advanced in Tropical Soil Science, Volume 1. Malaysia: UPM Press. Murtilaksono, K., Siregar, H.H. dan Darmosarkoro, W. 2007. Water Balance Model in Oil Palm Plantation. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 15(1), hal 21-35. Nugroho, P.A. 2013. Konservasi tanah di areal perkebunan karet sebagai upaya meminimalisir erosi. Agroscientiae 20(3), hal 131-137. Nugroho, P.A., Istianto dan Munthe, H. 2012. Application of oil palm empty fruit bunch in mature

Page 71: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet (Priyo Adi Nugroho)

161

rubber field and its effect on several soil characteristics. Agroscientiae 19(2), hal 86-94. Peraturan Menterti Pertanian No.47/permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Rao, P.S. dan Vijayakumar, K.R. 1992. Climatic requirements. Dalam: Sethuraj, M.R. dan Mathew, M. editor. Natural Rubber: Biology, Cultivation, and Technology. Amsterdam: Elsevier. Setiono, 2003. Penggunaan blok nutrisi untuk memodifikasi arah akar lateral dan pertumbuhan karet di daerah beriklim kering. Dalam: Sumarmadji, Sagala, A.D., Siagian, N., Istianto, Anas, A., Kustyanti, T. editor. Pros. Konf. Agrib. Karet Menunjang Industri Lateks dan Kayu, Medan, 10-11 Desember 2003, hal 210-214. Siregar, M., Sihotang, U.T.B., Siahaan, D., Nasution, U. 1983. Penelitian erosi wilayah I. Dalam: Siregar, M., Basuki, Nasution, U., Lubis, P., Tampubolon, M., Tobing, H.P.L. editor. Prosiding Lokakarya Karet 1982 : PTP wilayah I dan P4TM, Medan, 27-28 Oktober 1982, hal 224-237. Soon, B.B.F. dan Hoong, H.W. 2002. Agronomic practices to alleviate soil and surface run off and soil losses in an oil palm estate. Malaysian Journal of Soil Science 6, hal 53-64. Sudiharto. 2004. Kelayakan penerapan metode oldeman untuk klasifikasi tipe curah hujan di perkebunan karet. J. Nat. Rubb. Res. 22(2), hal 23-35. Sudiharto. 2007. Pengelolaan lengas tanah di musim kemarau pada tanaman karet belum menghasilkan. J. Nat. Rubb.Res. 25(1), hal 34-44. Sugiyanto, Y. 1987. Suatu usulan untuk merevisi evaluasi lahan untuk tanaman karet. Warta perkaretan (6)1, hal 8-12. Suhendry, I. 2001. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman karet pada beberapa tipe iklim. J. Nat. Rubb. Res. 19(1), hal 18-31. Thomas, Sudiharto, Suryaningtyas, H., Nancy, C. dan Istianto. Kultur teknis untuk mengurangi dampak kemarau panjang pada perkebunan karet. Kumpulan makalah seminar sehari Dampak dan Antisipasi Kemarau 2005 Pada Usaha Agribisnis Perkebunan. Bandung, 6 April 2005. Wijaya, T. 2008. Kesesuaian tanah dan agroklimat untuk tanaman karet. Warta perkaretan 27(2), hal 34-44.

Page 72: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 162-171

162

Hasil Penelitian

MODUS OPERANDI KORUPSI DALAM OTONOMI DAERAH DI

INDONESIA DILEMA, TANTANGAN DAN STRATEGI ANTI

KORUPSI

(CORRUPTION OPERANDY MODULE IN REGIONAL AUTONOMY IN

INDONESIA DILEMA, CHALLENGES AND ANTI CORRUPTION

STRATEGY)

Lesmana Rian Andhika

Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran

Jl. Bukit Dago Utara No. 25 Bandung 40135

e-mail: [email protected]

Diterima: 21 Januari 2017; Direvisi:2 Maret 2017; Disetujui: 3 April 2017

ABSTRAK

Munculnya berbagai kasus tindakan korupsi yang menjerat pejabat daerah menandakan masalah ini merupakan masalah luar biasa. Penyalahgunaan wewenang kekuasan menjadi

kebiasaan para pejabat yang mengancam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, memperburuk pelayanan publik, dapat memberikan efek rusak yang luar biasa dan bahkan

tindakan korupsi lebih bahaya dari pada praktek prostitusi. Artikel penelitian ini ingin

memberikan gambaran bagaimana fenomena praktek-praktek korupsi dengan berbagai modus yang selama ini terjadi pada pemerintah daerah, kolusi antara legislatif dan eksekutif. Tujuan

khusus penelitian ini berfokus pada mengungkapkan korupsi dengan modus operandi klasik

maupun modern, dilema, tantangan dan strategi anti korupsi serta menemukan cara atau mengembangkan cara terbaru dalam menjawab persoalan modus operandi korupsi. Metode

dalam penelitian ini adalah library research untuk dapat mengungkapkan tinjauan kritis terhadap berbagai literatur ilmiah dan sumber bacaan yang relevan untuk menggungkapkan

berbagai fenomena korupsi yang terjadi pada pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Lebih

dari pada itu studi kepustakaan lebih menekankan pada pengumpulan informasi data yang berasal dari bahan bacaan yang relevan, mencatat, dan mengolah untuk data penelitian secara

ilmiah dan mempunyai tujuan tertentu. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa modus operandi korupsi semakin modern seperti pemanfaatan Bank Daerah untuk mendepositokan

dana anggaran dalam waktu tertentu untuk mencegah itu diperlukan langkah sistematis yang

akan mempersempit ruang gerak korupsi pada pemerintah daerah.

Kata kunci: Modus Operandi, Korupsi, Otonomi Daerah

ABSTRACT

The emergence of various cases of corruption that ensnared officials indicate this problem area is the

overwhelming issue. Abuse of authority following the habitual threatening officials of organizing good

governance, aggravate the public service, can give the effect of damaged and even more danger from corruption in the practice of prostitution. This research article would like to give you an idea of how the

phenomenon of corruption practices with different modes for this happening on local governments, collusion between the legislature and the executive. The specific purpose of this research is focused on

revealing of corruption with the modus operandi of classic or modern, dilemmas, challenges and

strategies of anti-corruption and finding or developing the newest way in answering the question of the modus operandi of corruption. The method in this research is a library research to be able to express

views critical of a variety of scientific literature and source the relevant reading for a revealed various

phenomenon of corruption that occur in the implementation of the autonomous region in Indonesia. More than these studies libraries put more emphasis on the collection of information the

data comes from the relevant reading materials, records, and processing data for scientific research and has a specific purpose. The results of this study revealed that the modus operandi of the more

Page 73: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi (Lesmana Rian Andhika)

163

modern corruption such as the utilization of the regional Bank for depositing funds budget within a specified time that is necessary to prevent the systematic steps will narrow the space motion of

corruption in local government.

Keywords: Modus Operandi, Corruption, Regional Autonomy

PENDAHULUAN Berlakunya otonomi daerah membawa

harapan baru bagi seluruh masyarakat yang menginginkan perubahan dalam mengelola daerahnya sendiri. Harapan itu kemudian sirna disaat muncul raja-raja kecil, mengambil keuntungan, menipu rakyat dengan janji-janji manis, dan seolah-olah menutup mata dengan mengabaikan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 alienia ke-4. Dengan berbagai modus praktek klasik dan modern penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang dengan sengaja memperkaya diri sendiri dan kelompok yang lebih popular disebut korupsi.

Selama korupsi masih marak, mustahil tujuan nasional akan tercapai. Pernyataan ini tentunya membuka mata kita begitu bahayanya korupsi sebagai sebuah penyakit kronis, berlahan menjalar namun mematikan dan dapat mengakibatkan efek rusak yang luar biasa pada masyarakat. Berbagai telaah ilmiah dilakukan untuk memahami kajian tentang korupsi telah banyak disajikan baik berbentuk jurnal ilmiah dan buku diantaranya (Girling, 1997; Ackerman, 1999, 2008; Rothstein, 2011; Zhang & Lavena, 2015). Sejarah mencatat korupsi telah tumbuh bagaikan jamur dimusim semi di negeri ini, mengambarkan sebuah penyakit yang harus dimusnahkan dengan obat yang tepat.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, ada 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah. Hingga tahun 2010, ada 206 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Tahun selanjutnya, Kemendagri mencatat secara rutin yaitu 40 kepala daerah (2011), 41 kepala daerah (2012), dan 23 kepala daerah (2013). Sementara itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tersangkut di KPK hingga tahun 2014 yakni mencapai 56 kepala daerah. Sebagai data pembanding laporan dari Kemendagri maka ICW (Indonesia Corruption Watch) merilis tren korupsi pada tahun 2014. Pada semester I, jumlah kasus sebanyak 308 kasus, jumlah tersangka sebanyak 659 orang, serta total kerugian negara mencapai Rp. 3,7 triliun, sedangkan pada semester ke II tahun 2014 jumlah kasus sebanyak 321 kasus, jumlah tersangka sebanyak 669 orang, serta total kerugian negara mencapai Rp. 1,59 triliun.

Secara kumulatif total kasus pada tahun 2014 adalah 629 kasus, 1328 orang menjadi tersangka dan total kerugian negara mencapai Rp. 5,29 triliun. Kemudian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah juga dilakukan pemeriksaan terhadap pengunaan anggaran, laporan dari BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan) melaporkan hasil dari pemeriksaan 504 LKPD (Laporan Keuangan Pemerintah Daerah), BPK memberikan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) atas 251 (49,80%) LKPD, termasuk LKPD Provinsi Kalimantan Utara yang baru kali pertama menyusun LK (Laporan Keuangan), opini WDP (Wajar Dengan Pengecualian) atas 230 (45,64%) LKPD, opini TW (Tidak Wajar) atas 4 (0,79%) LKPD, dan opini TMP (Tanpa Menyatakan Pendapat) atas 19 (3,77%) LKPD. Capaian LKPD ini di bawah target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2010-2014 yang menetapkan opini WTP atas seluruh LKPD pada tahun 2014. Dari data Kemendagri dan ICW membuat kita sadar bahwa tingkat penyelewengan segala kegiatan pemerintahan yang bermuara pada tindak pidana korupsi masih tinggi.

Hal ini telah diingatkan oleh (Ackerman, 1999:1), one root of the problem is dysfunctional public and private institutions. Poorly functioning governments mean that outside assistance will not be used effectively. Ketidak mampuan pemerintah dalam mengelola akan mengakibatkan inefisiensi, karena akar masalah nya semua bersumber dari internal pemerintah pada tataran kekuasaan maupun sektor swasta yang ikut bermain dalam pengelolaan anggaran, serta permainan lobi-lobi politik dengan penguasa menjadikan peluang korupsi, kolusi dan nepotisme semakin lebar. Memperkuat argumentasi Ackerman di atas (Shlifer & Vishny, 1993) mengungkapkan the structure of government institutions and the political proses are a very important determinant of the level of corruption, semakin jelas saja bahwa struktur pada pemerintah dan proses politik juga menjadi sebab korupsi bisa muncul, lebih jauh Shlifer & Vishny juga memberikan argumentasi nya the illegality of corruption and the need for secrecy make it much more distortionary and costly than its sister activity, taxation, dan (Girling, 1997) menyebutnya sebagai power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.

Page 74: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 162-171

164

Corruption is not just a deviant aspect of social behaviour, identified by the legal institution. rather, corruption stems from the incompatibility in important respects of the economic and political systems (Girling, 1997). Korupsi sepertinya penyimpangan dari perilaku sosial dan lembaga, tetapi korupsi berakar dari rangkaian kegiatan ekonomi dan politik. Karena otonomi daerah juga berbicara masalah pendistribusian anggaran, pengelolaan pendapaatan asli daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah sendiri (Prud’homme, 1995; Pepinsky & Wihardja, 2011), pengelolaan pajak (Shah & Thompson, 2004) serta tata kelola pemerintahan yang baik (Shah & Thompson, 2004; Tambulasi & Kayuni, 2007; White, 2011; Ivanyna & Shah, 2011). Dengan begitu otonomi daerah membuka peluang terjadinya praktek-praktek korupsi (Tambulasi & Kayuni, 2007), dengan cara-cara yang tiada henti sampai dengan tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat. Untuk menjelaskan perbedaan antara korupsi besar dan kecil membutuhkan sintesis dari teori umum dan aplikasi tertentu (studi kasus). Tapi skala besar korupsi terjadi ketika penyeimbang terutama moralitas publik sebagai kontrol kurang berjalan untuk alasan tertentu.

Banyak penelitian sudah dilakukan, sebagai acuan penulis mengambil penelitian pada negara berkembang yang setara dengan kondisi negara Indonesia sebagai perbandingan dan memperkuat argumentasi dalam artikel penelitian ini. (Setiyono, 2010) penelitian ini menyajikan bagaimana peran organisasi kemasyarakatan dalam mengawal demokrasi dan pemberantasan korupsi di negara Indonesia. (Akhigbe, 2011) menjelaskan ada keterkaitan antara korupsi, tata kelola pemerintah dan pertumbuhan ekonomi, terlebih kajiannya difokuskan kepada institusi politik di negara Nigeria. (Mayo, 2014) menjelaskan penyelidikannya terhadap peran negara dan masyarakat dalam melawan korupsi, organisasi masyarakat dapat mengontrol setiap kebijakan yang dirumuskan sampai dengan pelaksanaanya (studi di negara Zimbabwe). (Zimmerman, 2014) penelitiannya menyoroti perilaku para politikus dalam melakukan korupsi, bagaimana pemerintahan lokal dapat membedakan bentuk korupsi studi di negara Malawi. (Lauw, 2015) menjelaskan korupsi secara luas dianggap telah merugikan pembangunan ekonomi melalui dampak negatif pada kuantitas dan kualitas investasi publik dan efisiensi layanan pemerintah.

Fenomena masalah di atas dapat diidentifikasi bagaimana modus operandi korupsi pemerintah daerah. Perbedaan

penelitian ini terletak pada tempat penelitian yang mempunyai karakter budaya yang berbeda. Penelitian ini juga memposisikan kajiannya pada mempertegas dan menyetujui bahwa akar dari korupsi bersumber dari perilaku penyelenggara negara, sistem politik yang jelek, kebijakan yang longgar, yang dapat menghancurkan sistem prekonomian bangsa, penyelenggaraan pemerintahan yang tidak baik, sosial budaya, pelayanan publik yang buruk, distribusi anggaran yang banyak disalahgunakan. Penelitian ini dilakukan untuk dapat mengkaji dan mengungkapkan modus operandi terbaru dalam tindakan korupsi pemerintah daerah dengan membandingkan modus korupsi di negara berkembang lainnya yang berasal dari literatur ilmiah.

METODE Banyak yang mempertanyakan bahwa

penelitian kepustakaan merupakan bukan penelitian ilmiah, karena model penelitian ini tidak turun kelapangan membagikan angket dan daftar pertanyaan (kuantitatif) atau melakukan observasi dan wawancara mendalam (kualitatif), atau bahkan melakukan perpaduan kuantitatif dan kualitatif (mixed methods). Bahkan jenis penelitian oleh (George, 2008) memberikan pandangannya most people think about research … for instance, you might refer to historical research, scientific research, textual research, or sociological research. Maka jenis penelitian itu banyaklah jenisnya sesuai dengan konten dan data penelitian diperoleh.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), penelitian kepustakaan bukanlah sesuatu urusan sekedar membaca buku literatur yang relevan terhadap isu-isu penelitian yang dilakukan, lebih dari pada itu studi kepustakaan lebih menekankan pada pengumpulan informasi data yang berasal dari bahan bacaan yang relevan, mencatat, dan mengolah untuk data penelitian secara ilmiah dan mempunyai tujuan tertentu. Studi kepustakaan tidak hanya mendapatkan data pada text book yang tersedia di perpustakaan, tapi kita juga dapat memanfaatkan jaringan internet untuk bisa mendapatkan data penelitian melalui online library, online journal, text book, dari penyedia secara gratis dan berbayar.

Alasan penelitian kepustakaan ini sebagai penelitian awal untuk dapat mengungkapkan tinjauan kritis terhadap berbagai fenomena modus operandi korupsi pada pelaksanaan otonomi daerah. Alasan lain adalah untuk dapat memberikan sumbangsih pemikiran kritis bagaimana menemukan dan mengungkapkan

Page 75: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi (Lesmana Rian Andhika)

165

modus operandi korupsi pada pemerintah daerah, bagaimana melakukan cara anti korupsi, dan menjelaskan bagaimana efek rusak yang ditimbulkan oleh korupsi dengan berbagai sumber kepustakaan yang relevan. Library research diperlukan untuk studi pendahuluan (prelinmary research) untuk memahami gejala-gejala yang berkembang menyangkut modus operandi korupsi pada pemerintahan daerah di Indonesia, dan data pustaka juga merupakan alat yang andal dalam mejawab persoalan penelitian. Informasi data empirik yang telah dipubikasikan orang lain baik berbentuk jurnal ilmiah, majalah, atau berbentuk buku dapat memperkaya kajian menemukan cara atau mengembangkan cara terbaru dalam menjawab persoalan penelitian.

Studi kepustakaan tidak hanya sebatas pada cara pengumpulan data penelitian saja, tetapi diperlukan langkah-langkah lain untuk menjadikan penelitian kepustakaan menjadi baik. Penelitian ini bukan hanya mencari sumber literatur untuk persiapan penelitian pendahuluan tetapi untuk mempertajam metodelogi penelitian dan kajian pustaka. Dan pada akhirnya kesimpulan dari penelitian kepustakaan ini akan memberikan sumbangsih pemikiran dalam menjawab dan melihat masalah modus operandi korupsi pada pemerintahan daerah di Indonesia.

(George, 2008) kembali menyatakan bahwa penelitian kepustakaan (library research), involves identifying and locating sources that provide factual information or personal/expert opinion on a research question; necessary component of every other research method at some point. Dan langkah-langkah dalam penelitian kepustakaan (library research) ini, peneliti mengikuti saran dari (George, 2008), dapat dilihat pada gambar berikut:

Bagaimana penelitian kepustakaan ini menjadi baik, memang hal terpenting adalah sumber bacaan yang relevan, terkini, dari sumber yang terpercaya, membaca beberapa buku dan jurnal ilmiah akan memberi jalan dan pemahaman, karena sifat ilmu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan jaman dan peradaban manusia.

HASIL DAN PEMBAHASAN Modus operandi korupsi yang sering

dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan pola-pola tertentu dan terkait dengan lembaga legislatif dan eksekutif seperti, a). memperbesar mata anggaran; b). menyalurkan dana APBD bagi lembaga/yayasan fiktif dengan modus modal bantuan usaha; c). manipulasi perjalanan dinas; d). penggunaan sisa dana (uang untuk pertanggungjawaban anggaran) tanpa prosedur;

e). penyimpangan prosedur pengajuan dan pencaiaran dana kas daerah; f). manipulasi dalam proses pengadaan (Rinaldi, et al., 2007); g) deposito uang anggaran di rekening pribadi; h) proyek kertas. Tidak berlebihan bila perkataan korupsi dilakukan secara bersama-sama antara pihak legislatif dan eksekutif adalah fakta yang sebenarnya.

Legislatif dengan kewenangan dalam menetapkan anggaran. Sesungguhnya anggaran merupakan menu utama pemerintahan akan bisa atau tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Maka akan menimbulkan lobi-lobi anggaran antara legislatif dan eksekutif (Yadav, 2012), penitipan proyek-proyek akan menjadikan penyalahgunaan wewenang semakin besar. Korupsi yang sudah menjadi budaya (O'Olaniyan & Ayodele, 2016; Riley & Roy, 2016) menyebabkan sulitnya pemberantasan korupsi, apalagi pada negara berkembang yang cenderung masyarakatnya belum sepenuhnya demokratis (Muthia & Achwan, 2016), belum mampu membuka diri menjadi pribadi kritis untuk dapat mengontrol pengelolaan anggaran oleh pemerintah, tingkat kesadaran yang rendah dari aparat penyelenggara membuat tingkat korupsi masih tinggi.

Korupsi seperti obat bius yang selalu membuat orang kecanduan. Nikmatnya korupsi membuat pelakunya tidak lagi menghiraukan dampak yang ditimbulkan pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak yang ditimbulkan melebihi kerusakan yang diakibatkan oleh prostitusi. Karl Krauss menyebut bahwa “corruption is worse than prostitution (Schlegel & Trent, 2015). Korupsi pada tingkat yang sederhana oleh (Ackerman, 2008) dipertimbangkan 4 hal yaitu a). a public benefit may be scare, and officials may have discretion to assign it to application; b). suppose that a benefit is to go only to the qualified; c). the bureaucratic process it self may be a source of delay; d). some government programmes impose coast. Argumentasi Ackerman ini memberikan gambaran pada kita sesungguhnya korupsi yang paling sederhana itu selalu berhubungan dengan anggaran, perjalan dinas yang tidak penting, proses birokrasi yang lamban, serta program pemerintah yang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.

(Ackerman, 1999) memberikan pandangannya terkait hal tersebut, a) Corruption as an Economic Problem; b) Corruption as a Cultural Problem; c) Corruption as a Political Problem. Kita akan coba menyoroti ke tiga hal ini yang dikaitkan dengan keadaan negara Indonesia.

a. Corruption as an Economic Problem;

Page 76: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 162-171

166

Korupsi merupakan penyakit yang merusak penyelenggaraan pemerintah. Pemerintah dirancang untuk dapat berinteraksi dengan warganya. Baik itu dalam melayani masyarakat atau dalam bentuk anggaran proyek-proyek. Maka ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kegiatan pemerintah yaitu, government, civil society dan private sector. Contoh, tuntutan hidup aparat pemerintah itu sendiri, seperti pelayanan kesehatan di puskesmas yang gratis, walaupun gratis akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, ketika dana kapitasi turun maka beramai-ramai mencari keuntungan, mengabaikan kualitas pelayanan, padahal masalah kesehatan adalah masalah kehidupan manusia. Contoh lain adalah pemberian uang intensif kepada para birokrat, biasanya modus ini ada pada kegiatan proyek-proyek yang ingin mendapatkan pekerjaan proyek, pekerjaan untuk memberi insentif dilakukan agar proses administrasi berjalan dengan lancar.

b. Corruption as a Cultural Problem; Orang-orang di negara berkembang

membuat perbedaan antara perilaku yang tepat dan pantas dalam kegiatan mereka sendiri (Ackerman, 1999:91). Contoh budaya yang dipegang teguh dalam hal korupsi adalah kejadian beberapa kali di negara Korea Selatan dan Jepang, ketika pejabat negara mereka ketahuan korupsi oleh pengadilan mereka tidak segan untuk menyatakan bersalah dan mengundurkan diri dari jabatannya denga suka rela, dan bahkan ada yang bunuh diri akibat malu dengan perbuatannya. Bagaimana dengan negara kita tercinta, budaya malu tersebut sudah mulai erlibat dengan beberapa kasus korupsi pejabat negara yang suka rela untuk mengundurkan diri dari jabatannya, walaupun pada akhirnya ada yang menangis dengan air mata palsu penuh kebohongan. Memang sangat sukar membedakan diantara kebiasaan budaya dengan korupsi, budaya kita memberikan hadiah, tip, adalah hal biasa kemudian kebiasaan ini yang dimanfaatkan oleh orang tententu untuk meraup keuntungan. Kemudian berlahan menjadi suap. Peraturan mengatakan setiap pejabat negara dilarang menerima hadiah, bila itu persoalannya setiap pimpinan daerah juga mempunyai cara sendiri yang tidak bisa terdeteksi, contoh di Kabupaten Aceh Tenggara ada kebiasaan yang dinamakan “pelawat”. Pelawat ini merupakan kegiatan memberikan uang kepada yang mempunyai hajatan seperti kawin, sunatan rasul dan lain sebagainya, untuk menandakan bila esok hari si pemberi uang mempunyai hajatan maka hal yang serupa dilakukan oleh si penerima uang. Suatu saat pimpinan daerah melakukan hajatan dan diberi

uang atau hadiah dan itu merupakan kebiasaan adat apakah dinamakan korupsi juga. Masalah budaya memang menjadi tren dalam transaksi korupsi, sehingga sulit dibedakan kebiasaan adat dan kategori menerima hadiah.

c. Corruption as a Political Problem; Sebagai konsekuensi keterlibatan

permainan politik dalam kasus korupsi tidak bisa dibantahkan, sangat erat hubungannya antara fungsi budgeting pada legislatif dengan eksekutif. Dengan hak budgeting itu seolah-olah mereka bisa saja menganggarkan kenaikan gaji tunjangan, fasilitas, perjalan dinas yang tidak jelas. Inilah yang menjadi manipulasi APBD secara bersama-sama maupun secara individu, pengaturan kegiatan yang dianggarkan. Korupsi politik dengan sadar dilakukan untuk memberikan kompensasi kepada partai dimana anggota dewan itu bernaung. Kompensasi yang dimaksud tidak terlepas bahwa partai menjadi kendaraan yang mereka naiki untuk menghantarkan mereka pada posisi anggota legislatif, atau partai mencalonkan pihak eksekutif untuk menduduki sebuah posisi tertentu. Kompensasi politik ini juga tidak terlepas dari biaya politik yang tinggi, walaupun beberapa parti mensyaratkan adanya mahar politik. Bagaiman cara untuk menebus mahar yang banyak itu, mungkin saja mereka melakukan pinjaman dana ke pihak Bank, atau yang lainnya kemudian dana yang habis tersebut menghantarkan mereka menduduki sebuah posisi kursi legislatif atau eksekutif. Bagaimana cara tercepat untuk dapat melunasi pinjaman tadi, tentunya bukan rahasia umum cara yang cepat adalah memanfaatkan fasilitas atau anggaran yang disediakan oleh negara.

Semakin berkembangnya jaman maka semakin modern juga modus korupsi ditingkat daerah, maka harus diimbangi anti korupsi yang modern juga. Korupsi menciptakan inefisiensi dan ketidakadilan, tetapi reformasi mungkin saja untuk mengurangi korupsi bukan hanya pada masalah ekonomi. Beberapa perhatian untuk solusi yang mungkin dapat perhatian khusus adalah transparansi, akuntabilitas pemilu, pasar media yang bebas, mandiri jaksa, gaji yang lebih baik untuk pegawai negeri, dan pengurangan peran pemerintah, penegakan hukum (Rinaldi, et al., 2007) pada tingkat daerah. Pembentukan daerah-daerah otonom, dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Agrawal & Ribot, 1999; Shabbir & Rondinelli, 2007; Bowman & Kearney, 2011), untuk mengatur dan mengurus segala urusan daerahnya sendiri. Argumentasi dari (Fisman & Gatti, 2002) menyebutkan, the type of decentralization often matters in these models: in

Page 77: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi (Lesmana Rian Andhika)

167

particular, whether revenue generation and expenditure, or just expenditure, is decentralized, will influence the extent of bureaucratic corruption. Maka jelas bahwa otonomi memberikan peluang untuk tindakan korupsi dimana anggaran memberikan pengaruh pada tindakan korupsi. Sepertinya otonomi daerah memberikan pintu yang sebesar-besarnya untuk melakukan tindakan korupsi. Tipologi otonomi daerah terdiri dari deconcentration, devolution, delegation (Tambulasi & Kayuni, 2007). Menyangkut hal transfer tanggung jawab administratif untuk fungsi tertentu kepada daerah dan menurunkan peran pemerintah pusat, logika nya adalah pemerintah daerah akan lebih leluasa untuk melakukan apa saja yang mereka mau.

Pada prinsipnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam ruang otonomi daerah masih perlu dipertanyakan dengan banyaknya daerah yang tidak dapat memanfaatkan keuntungan dari otonomi daerah (Grindle, 2007; Bowman & Kearney, 2011), malah yang terjadi pelayanan semakin buruk, hanya sebagian kecil daerah yang mampu menangkap peluang otonomi daerah untuk mensejahterakan masyarakat di daerah tersebut.

Faktanya kondisi ideal yang diharapkan dengan diberlakukannya otonomi daerah sangat jauh dari realita, dan banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi menambah catatan buruk pelaksanaan otonomi. Ketika suatu daerah dikatakan banyaknya angka masyarakat miskin, maka dengan cepat daerah membantah dengan data-data yang mereka anggap valid, tetapi apabila disediakan dana yang besar untuk pengentasan kemiskinan maka daerah ramai-ramai membuat data jumlah masyarakat miskin dengan harapan dana yang besar tersebut dapat dinikmati dengan modus-modus jahat pimpinan daerah. Besarnya kewenangan yang diberikan pusat pada daerah berdampak juga terhadap kualitas pemerintahan (Rothstein, 2011), perlunya untuk berubah dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sedikit merubah pola penyelenggaraan politik dan efek yang ditimbulkan dari politik (Rinaldi, Purnomo, & Damayanti, 2007; Tambulasi & Kayuni, 2007; Goel & Nelson, 2010; O'Olaniyan & Ayodele, 2016; Riley & Roy, 2016; Rochman & Achwan, 2016 ).

Disisi lain hal yang membuat orang merasa ketagihan untuk korupsi adalah sistem birokrasi dan perilaku birokrasi. Kemudian pertanyaan sederhana akan muncul, kenapa politik dan

birokrasi (pemerintah) sering melakukan korupsi?. Ternyata faktor pendorong untuk melakukan korupsi cenderung dipengaruhi oleh faktor ekonomi (Quah, 1982; Ehrlich & Lui, 1999; Ackerman 2008; Goel & Nelson, 2010; Hanna, 2011) para penyelenggara negara itu sendiri, karena tuntutan kebutuhan dasar manusia akan sangat mempengaruhi cara pikir untuk mendapatkannya dengan mudah dan menghasilkan sesuatu yang banyak.

Tidak ada metode yang 100% efektif untuk memberantas korupsi, masih ada jalan panjang reformasi untuk Indonesia. Karena sungguh korupsi terus mengancam kehidupan berbangsa bukan hanya negara berkembang tetapi negara maju yang dapat menghambat pembangunan dan memiskinkan masyarakat negara itu sendiri. Walaupun berbagai cara dilakukan oleh seluruh dunia untuk memerangi korupsi dan menguras sebahagian pemikiran. Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nya belum juga mampu untuk menekan secara signifikan korupsi yang ada di negeri ini, walaupun kita sadari dan memberikan apresiasi yang tinggi yang telah dicapai oleh KPK dalam memerangi korupsi. Memerangi korupsi tidak bisa lagi dipikirkan sebagai siklus bolak balik, peranan KPK dan penegak hukum tidak lagi hanya sekedar mengintai orang yang akan korupsi, ditangkap, diadili, sita asset, lalu dihukum dengan hukuman penjara. Bila negeri ini bersih maka lembaga seperti KPK tidak perlu ada, keberadaan KPK menandakan bahwa korupsi di negeri ini sudah menjadi kejahatan yang luar biasa. Namun ada beberapa cara anti korupsi yang bisa kita pahami sebagai beckmarking, selain penerapan prinsip-prinsip akuntabilitas, trasparansi, kebijakan dan kontrol kebijakan, yaitu:

a. Budaya;

Orang bilang tanah kita tanah surga, inilah sepenggal lirik lagu dari Koes Plus yang berjudul Kolam Susu, yang mengambarkan begitu suburnya negeri ini. Ibarat batang ubi yang dilembar ke selokan tanpa di urus, dia akan hidup dan menghasilkan umbi. Seharusnya tanah yang subur bisa membuat masyarakatnya sejahtera, tidak terdengar ada nya kasus busung lapar. Apa yang menjadi perhatian kita bukan saja negara yang makmur tapi bagaimana budaya masyarakatnya yang dapat mempengaruhi jati diri bangsa. Budaya yang ada disuatu negara akan dipengaruhi oleh bangsa mana yang pernah menjajah negara tersebut, yang turut juga mempengaruhi sistem pemerintahan dan perilaku masyarakatnya sendiri. Orang mengenal bangsa Indonesia yang taat beragama dan berbudaya, namun itu semua

Page 78: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 162-171

168

sirna dengan tingginya angka korupsi yang melanda negeri ini. (Mas'oed, 1999) memberi pandangan bahwa, a). masyarakat Indonesia dan Thailand, mempunyai faktor budaya yang dapat mendorong timbulnya korupsi. Pertama, adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh, kepada pejabat pemerintah. Tindakan seperti itu, di Eropa atau Amerika Utara bisa dianggap korupsi; b). Masyarakat Indonesia dan Thailand lebih mementingkan ikatan keluarga dan kesetiaan patrokial lainnya. Dalam masyarakat Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah memperhatikan saudara terdekatnya, kemudian trah atau sesama etnisnya. Sehingga, seorang yang mendatangi pejabat dengan latar belakang keluarga, persamaan etnis akan sulit untuk di tolak, maka timbulah perlakukan khusus dengan mengingkari norma-norma hukum formal, sehingga terjadi konflik antara nilai-nilai kepentingan keluarga dan nilai-nilai kepentingan negara. Kemudian budaya politik, elit politik dengan memberikan gagasan pemikiran serta memperlihatkan tingkah laku yang kebanyakan diikuti oleh masyarakat, karena para elit politik sudah menjadi panutan bagi masyarakat. Nilai-nilai budaya seperti itu susah untuk di ubah namun yang perlu diubah adalah pola pikir masyarakat bahwa budaya dapat saja salah dalam penempatan pelaksanaannya, dengan pola pikir modern dan kritis dapat di asah sejak dini dimulai dari PAUD, Pasantren, sampai dengan pendidikan tinggi. Dengan banyaknya masyarakat yang berpendidikan tingga maka menjadikan masyarakat lebih kritis dan tidak gampang dibodohi, tentunya harus didukung dengan kehidupan sosial yang lebih baik.

b. Public Choice;

Teori pilihan (Buchanan & Tollison, 2009) menekankan beberapa hal penting dalam mengambil sebuah kebijakan publik, a). masyarakat telah merasa nyaman menerima sebuah kebijakan, dalam interaksi sosial kehidupannya; b). para elit politik tidak merubah haluan pemikiran setelah terpilih. Kedua pilihan tersebut akan mempersempit peluang aparat pemerintah dan elit politik untuk melakukan korupsi (Mbaku, 2008). Pemikiran Public Choice merupakan perspektif dari ilmu politik yang muncul dari pengembangan dan metode ilmu ekonomi terhadap proses pengambilan keputusan. Keterangan Public Choice ini sangat sederhana, walaupun dalam perkembangannya pilihan publik diarahkan pada bagaimana cara pengalokasian keseimbangan ekonomi (anggaran) yang rasional dalam proses politik (legislatif) dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan

masyarakat. Keseimbangan inilah yang akan mengurangi kegiatan-kegiatan modus korupsi dalam anggaran (Mbaku, 2008).

c. Reformasi Birokrasi;

Birokrasi seringkali dimaksudkan sebagai upaya untuk pengorganisasian secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi yang buruk adalah birokrasi yang tidak lentur, birokrasi kaku dengan aturan yang mengikat, pada jaman modern sesungguhnya bukanlah hal yang mustahil untuk mengembangkan birokrasi yang lentur dan dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan dari masyarakat sipil, sistem ekonomi, dan perubahan lingkungan. Reformasi birokrasi Indonesia masih berkisar pada perampingan struktur, memperpendek prosedur, dan rasionalisasi gaji pegawai. Sesungguhnya banyak faktor yang dapat mempengaruhi birokrasi menjadi sarang korupsi salah satu nya adalah sikap impersonalitas mengakibatkan mengkotak-kotakan suku, tingkat sosial, ras, ini menjadikan suatu ancaman dan akan berujung pada kolusi.

Seperti India, dengan membangun komitmen untuk kejujuran dari pimpinan politik dan konstituennya, harus memberitakan kegiatan korupsi, peraturan ditegakkan dan kemudian komitmen publik dan hukum harus beriringan bersama dan memperkuat satu sama lain (Riley & Roy, 2016). Korea Selatan menitik beratkan proses anti korupsi pada tiga pilar a). law (code of conduct, protection law of public interest, whistle-blowers, political fund act, public official, election act, public service, ethics act); b). institusion (integrity consulting, civil society, integrated anti corruption information system, request registration system); c). civil service (request for information) (Ko & Cho, 2015). Yang menarik dari proses anti korupsi di Korea Selatan adalah informasi yang diberikan oleh masyarakat, ini menandakan bahwa ketika masyarakat kritis bukan tidak mungkin kasus korupsi sekecil apaun akan mudah terdeteksi. Model yang diterapkan negara Singapura dalam memberantas korupsi adalah strong political will, meritocracy, the CPIB (Corruption Practice Investigation Bureau) institution, zero tolerance laws and policies, and administrative reform (Yu, 2015). Yang menarik diberlakukannya model merit system dalam kegiatan pemerintahan, kita baru masih mulai, dan spoil system masil mendominasi di daerah, kekerabatan, kelompok dan golongan tanpa memperhatikan kompetensi masih terlihat jelas.

Apabila pendistribusian kekuasaan yang terlalu besar diberikan yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, maka selayaknya otonomi

Page 79: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi (Lesmana Rian Andhika)

169

daerah perlu dikaji ulang penerapannya, ada yang memang harus dikelola oleh pusat dengan wewenang yang lebih besar, dengan demikian kewenangan daerah semakin kecil, demokrasi yang belum siap diterima oleh masyarakat, yang mengakibatkan otonomi daerah menjadi kebablasan.

KESIMPULAN

Penyakit korupsi merupakan penyakit yang terus berkembang biak dan menyerang kesegala arah, mengahancurkan peradaban tatanan ekonomi dan sosial budaya. Usaha yang dilakukan pemerintah patut kita apresiasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta perbaikan prinsip-prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik. Kendala pelaksanaan otonomi daerah bukan saja berada pada institusi penyelenggara, kesiapan sistem politik, hukum, ekonomi dan sosial budaya, yang belum menunjukan kinerja yang dapat memberikan harapan dalam memberi jalan suksesnya otonomi daerah. Secara obyektif sistem pengawasan yang terlalu longar, semestinya pemerintah pusat melakukan pengawasan yang begitu super ketat.

Modus operandi dalam melakukan tindakan korupsi pada tingkat pemerintah daerah dari beberapa kasus beragam model, namun yang menjadi sorotan adalah modus deposito dana anggaran ke rekening pribadi, rasanya modus ini memberikan keuntungan dengan sedikit mengulur waktu dan aman, lebih lanjut modus ini juga akan luput dari pengamatan karena anggaran yang pindahkan tidak berkurang akan jumlahnya, namun akan memberikan keuntungan berupa bunga. Dalam pandangan beberapa teori tentang korupsi sama saja, itu merupakan penyalahgunaan wewenang, karena menghambat atau mengulur waktu dalam penarikan dana anggaran untuk kegiatan pemerintah, dan juga memberikan kekayaan secara pribadi dan kelompok.

REKOMENDASI

Saran/rekomendasi ini sebagai inti sari untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam mengenali modus operandi korupsi dan menekan kasus tindakan korupsi: 1. Melakukan inovasi birokrasi tanpa melangar

aturan yang ada untuk mempersempit peluang untuk korupsi seperti pengembangan e government ke mobile government;

2. Penerapan mobile government perlu dukungan, kemauan dan keseriusan dari berbagai pihak karena model ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit;

3. Pendidikan korupsi dari usia dini sampai ke pendidikan tinggi;

4. Keterbukaan informasi publik yang bebas, namun bukan kebebasan tanpa batas;

5. Memanfaatkan media elektronik dan kecanggihan teknologi informasi dalam mengintai tindakan korupsi, dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak/Ibu, Ida Widianingsih, M.A, Ph.D, Prof. Drs. H. Oekan S. Abdoellah, M.A, Ph.D, Prof. (Emiritus) Drs. H. A. Djadja Saefullah, M.A, Ph.D (Universitas Padjadjaran), yang telah memberikan dorongan, dan ilmu pengetahuan yang berharga dalam memahami metode penelitian, dan ucapan terimakasih pula kepada Mrs. Amalia Podlaszewska, Ph.D Candidate (Bauhaus Universitat Weimer, Jerman), Mrs. Dr. Helen Mclaren (Flinders University, Australia) yang berkenan memberikan workshop academic skill writing for international publication and conferences, sehingga penulisan jurnal ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA Ackerman, S. R., 1999. Corruption and Government Causes, Consequences, and Reform. Cambridge: Cambridge University Press. ----------------------, 2008. Corruption and Government. International Peacekeeping, 15(3), pp. 328-343. Agrawal, A. & Ribot, J., 1999. Accountability in Decentralization A Framework with South Asia and West African Studies. The Journal of Developing Areas, 33(4), pp. 472-502. Akhigbe, I. B., 2011. Governance, Corruption and Economic Development Reflections on Corruption and Anti Corruption Initiatives in Nigeria, Dissertation PhD, England: Loughborough University Asril, S., 2015. Mendagri: 343 Kepala Daerah Tersangkut Kasus Hukum. [Online] Available at: http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211/Mendagri.343.Kepala.Daerah.Tersangkut.Kasus.Hukum [Access: 14 Dec 2016] Bakri, 2012. Jangan Permainkan Gaji 13 PNS. [Online] Available at: http://aceh.tribunnews.com/2012/07/18/jangan-permainkan-gaji-13-pns [Access: 14 Dec 2016] Bowman, A. & Kearney, R., 2011. State and Local Government. 8th ed. Boston: Cangange Learning. Buchanan, M. J. & Tollison, R., 2009. Theory of Public Choice II. Michigan: The University of Michigan Press.

Page 80: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 162-171

170

Ehrlich, I. & Lui, F. T., 1999. Bureaucratic Corruption and Endogenous Economic Growth. Journal of Political Economy, 107(6), pp. 270-293. Fisman, R. & Gatti, R., 2002. Decentralization and corruption: evidence across countries. Journal of Public Economics, 83(3), pp. 325-345. George, M. W., 2008. The Element of Library Research What Every Student Needs to Knows. Princeton: Princeton University Press. Girling, J., 1997. Corruption, Capitalism and Democracy. London: Routledge. Goel, R. K. & Nelson, M. A., 2010. Causes of Corruption History Geography and Government. Journal of Policy Modeling, Volume 32, pp. 433-447. Grindle, M. S., 2007. Going Local Decentralization, Democratization, and the Promise of Good Governance. New Jersey: Princeton University Press. Hanna, R. a. e., 2011. The Effectiveness of Anti Corruption Policy What Has Worked, What Hasn't and What We Don't Know. London: EPPI Centre. ICW, T. P., 2015. Tren Pemberantasan Korupsi 2014, Jakarta: Indonesian Corruption Watch. Indonesia, B. P. K. R., 2014. Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2015, Jakarta: BPK RI. Ivanyna, M. & Shah, A., 2011. Decentralization and Corruption New Cross Country Evidence Environment and Planning C. Government and Policy, Volume 29, pp. 344-362. Khamdi, M., 2016. 17 Kepala Daerah Di Jateng 'Disekolahkan' Ke KPK. [Online] Available at: http://kabar24.bisnis.com/read/20160320/16/529881/17-kepala-daerah-di-jateng-disekolahkan-ke-kpk [Access: 14 Dec 2016] Ko, K. & Cho, S. Y., 2015. Evolution of Anti Corruption Strategies in South Korea. In: Government Anti Corruption Strategies A Cross Cultural Perspective. Boca Raton: CRC Press, p. 119. Lauw, E., 2015. Essay on Corruption and Development Issues, Dissertation PhD, Scotland: University of St Andrews Mas'oed, M., 1999. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mayo, S., 2014. Corruption in Zimbabwe An Examination of the Roles of the State and Civil Society in Combating Corruption, Dissertation PhD, England: University of Central Lancashire Mbaku, J. M., 2008. Corruption Cleanups in Africa Lesson from Public Choice Theory. Journal of Asian and African Studies, 43(4), pp. 427-456.

Muthia, R. G. & Achwan, R., 2016. Corruption in Indonesia's Emerging Democracy. Journal of Developing Societes, 32(2), pp. 157-177. O'Olaniyan, B. & Ayodele, B., 2016. Culture Corruption, and Anti Corruption Struggles in Negeria. Journal of Developing Societies, 32(2), pp. 103-129. Papensky, T. B. & Wihardja, M. M., 2011. Decentralization and Economic Performance in Indonesia. Journal of East Asia Studies, Volume 11, pp. 337-371. Prud'homme, R., 1995. The Dangers of Decentralization. The World Bank Observer, 10(2), pp. 201-220. Quah, J. S., 1982. Bureaucratic Corruption in the ASEAN Countries A Comparative Analysis of Their Anti Corruption Strategies. Journal of South East Asian Studies, 13(1), pp. 153-177. Riley, P. & Roy, R. K., 2016. Corruption and Anti Corruption The Case of India. Journal of Developing Societies, 32(2), pp. 73-99. Rinaldi, Purnomo, M. & Damayanti, D., 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah Daerah, New York: World Bank. Rothstein, B., 2011. The Quality of Government Corruption, Social Trust, and Inequality in International Perspective. Chicago: Chicago University Press. Schlegel, G. L. & Trent, R. J., 2014. Supply Chain Risk Management An Emerging Discipline. Boca Raton: Taylor & Francis Group. Setiyono, B., 2010. Making a New Democracy Work the Role of Civil Society Organisations (CSOs) in Combating Corruption during Democratic Transition in Indonesia, Dissertation PhD, Australia: Curtin University of Technology Shabbir, C. C. & Rondinelli, D. A., 2007. Decentralization Governance Emerging Concept and Practice. Washington DC: Brooking Institute Press. Shah, A. & Thompson, T., 2004. Implementing Decentralization Local Governance A Treacherous Road With Potholes, Detours and Road Closures. World Bank Policy Research Working Papers, pp. 1-37. Shlifer, A. & Vishny, R. W., 1993. Corruption. Nber Working Paper Series, May, pp. 1-26. Tambulasi, R. I. & Kayuni, H. M., 2007. Decentralization Opening a New Windows for Corruption An Accountability Asessment of Malawi's Four Years of Democratic Local Governance. Journal of Asian and African Studies, 42(2), pp. 163-183.

Page 81: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi (Lesmana Rian Andhika)

171

White, S., 2011. Government Decentralization in the 21st Century. Washington DC: Center for Strategic and International Studies. Yadav, V., 2012. Legislative Institutions and Corruption in Developing Country Democracies. Comparative Political Studies, 45(8), pp. 1027-1058. Yu, W., 2015. Anti Corruption Strategies in Singapore Demystifying the Singapore Model. In: Government Anti Corruption A Cross Cultural Perspective. Boca Raton: CRC Press, p. 126. Zhang, Y. & Lavena, C., 2015. Government Anti

Corruption Strategies A Cross Cultural Perspective. Boca Raton: CRC Press.

Zimmerman, B., 2014. Transparency, Sanctioning Capacity, and Corruption Displacement Multi-Method Evidence from Local Government in Malawi, Dissertation PhD, San Diego: University of California

Page 82: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 172-179

172

Hasil Penelitian

TINGKAT KEPUASAN TERHADAP PEGELOLAAN PERPUSTAKAAN

BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP

DAN KEHUTANAN (BP2LHK) AEK NAULI SERTA FAKTOR-

FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

(THE LEVEL OF STATISFACTION OF THE LIBRARY MANAGEMENT

OF THE AEK NAULI ENVIRONMENT AND FORESTRY RESEARCH

AND DEVELOPMENT INSTITUTE AND ITS INFLUENCLING

FACTORS)

Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli

Jl. Raya Parapat Km.10,5, Sibaganding, Parapat, Sumatera Utara 21174

Telp. 0625-41659, Fax. 0622-5891963

E-mail: [email protected]

Diterima: 21 Januari 2017; Direvisi:2 Maret 2017; Disetujui: 3 April 2017

ABSTRAK

Perpustakaan merupakan sarana vital bagi para akademisi di institusi litbang untuk

meningkatkan ilmu pengetahuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepuasan pemustaka terhadap pelayanan perpustakaan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Penelitian dilakukan pada bulan September sampai November 2016. Data dikumpulkan dengan

cara wawancara terstuktur (survey) kepada 43 orang pegawai di lingkup Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terjadi tren penurunan pengunjung sebesar 7,54% per tahun ke perpustakaan BP2LHK Aek Nauli pada tahun 2011 sampai dengan 2015. Pada umumnya pegawai hanya mengunjungi

perpustakaan sebanyak 1-2 kali dalam satu bulan. Fasilitas internet yang tidak memadai di

perpustakaan dianggap sebagai faktor utama yang mengakibatkan berkurangnya minat berkunjung. Selanjutnya faktor kurangnya kemudahan akses pencarian, tidak adanya digitasi

bahan-bahan pustaka, dan kurang terbaharukannya koleksi jug merupakan faktor yang

mengakibatkan kurang memuaskannya pelayanan perpustakaan. Berdasarkan hasil ini diharapkan instansi pengelola agar menyediakan akses internet yang memadai di perpustakaan

serta menyediakan dan meningkatkan teknologi komputer dalam pengelolan perpustakaan agar perpustakaan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana vital pusat informasi dan ilmu

pengetahuan. Penelitian ini juga menyarankan agar pengelola perpustakaan semakin

memperluas jaringan kepada kepada instansi atau publisher lainnya dalam memperoleh terbitan terbaru baik buku maupun jurnal dan majalah ilmiah/semi ilmiah.

Kata-kata kunci : Tingkat kepuasan, pemustaka, perpustakaan, kunjungan, faktor-faktor.

ABSTRACT

Library is a vital media to academicians at research and development intitution to improve their

knowledge. This research purposes were to determine the level of satisfaction of library’s visitors on

lybrary services and its influencing factors. The research was done in September until November 2016.

Data were collected by structured interview (survey) from 43 samples consisting of employees at The

Aek Nauli Environment and Forestry Development and Research Institute (BP2LHK Aek Nauli). The

research results showed that vistor visiting to library is experiencing on downward trend by 7,54%

per year in 2011 until 2015. In general, employees visited the library only 1-2 times a month.

Page 83: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang)

173

Inadequate internet facility in the library was considered as a major factor leading to a lack of interest

in visiting library. Furthermore, the lack of access to search, the lack of digitization of library materials,

and less of updating of collections were the next factors that influences the less satisfactory of the

librarians. Based on this results, it is expected that the managing agency can provide adequate

internet access in the library as well as provide and improve computer technology to fulfill the library

function as a vital media of information and science center. This research also suggests that library

managers should further extend the network to other agencies or publishers in obtaining the latest

publications either books or journals and scientific/semi-scientific magazines.

Keywords: Satisfaction level, librarians, library, visiting, factors.

PENDAHULUAN Perpustakaan merupakan sarana vital bagi

para akademisi untuk mendapatkan dan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan. Perpustakaan diibaratkan sebagai jantung bagi komunitas akademisi karena fungsinya yang sangat vital (Simmonds & Andaleeb, 2001; Shehu et al, 2015). Dalam UU No.43 tahun 2007 tentang perpustakaan disebutkan bahwa perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka. Aktivitas utama dari perpustakaan adalah menghimpun informasi dari dalam berbagai bentuk atau format untuk pelestarian bahan pustaka, sumber informasi dan ilmu pengetahuan.

Tujuan seseorang melakukan kunjungan ke perpustakaan didasarkan oleh berbagai alasan. Pada umumnya kunjungan ke perpustakaan dilakukan untuk meminjam buku, belajar di ruang belajar/baca perpustakaan, berdiskusi, mencari informasi dan untuk beristirahat (Trimo, 1997). Karim (2012) menambahkan bahwa perpustakaan dan layanan informasi memegang peran penting dalam transformasi kehidupan sosial masyarakat menjadi lebih baik. Material dan akses informasi memberikan kontribusi kepada pengetahuan warga dan memperkaya diskusi dan perdebatan mereka. Perpustakaan khusus seperti halnya instansi penelitian, perpustakaan merupakan tempat pengumpulan dan penyebaran (desiminasi) informasi hasil-hasil penelitian dan merupakan mediator penghubung antara pejabat fungsional serta mitra kerja (Kusnoto, 2003).

Untuk memenuhi fungsi perpustakan sebagai sarana vital untuk peningkatan pengetahuan, pengelola perpustakaan menyediakan berbagai layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pengguna perpustakaan (pemustaka) dengan melengkapi fasilitas-fasilitas baca, meningkatkan kemudahan akses, menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi para pemustaka, dan mendata berbagai minat pemustaka untuk

peningkatan layanan (Simmonds & Andaleeb, 2001; Karobili et al, 2006). Dengan adanya keragamaman minat para pemustaka, maka tidak heran jika saat ini banyak berdiri perpustakaan yang tujuannya disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya seperti misalnya perpustakaan sekolah, perpustakaan universitas, perpustakaan umum, perpustakaan instansi tertentu, taman baca, perpustakaan keliling, perpustakaan digital dan lain sebagainya.

Keberhasilan perpustakaan merupakan hal yang sering dihubungkan dengan kepuasan pemustaka atas pemenuhan permintaan informasi yang dibutuhkan. Kepuasan dapat diartikan sebagai sesuatu keadaan dalam diri seseorang atau sekelompok orang yang telah berhasil mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan dan diinginkannya (Firma & Rahma, 2012). Keberhasilan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti koleksi bahan pustaka (Sutarno, 2003), jam operasional serta kemudahan akses koleksi dan akses internet (Jato et al, 2014), sumber daya manusia pengelola perpustakaan, serta faktor sarana dan prasarana seperti kenyamanan ruangan yaitu ruangan lebar, pendingin udara yang cukup, penyusunan meja dan kursi yang rapi dan artistik (Kasmir, 2005).

Kondisi dan perkembangan perpustakaan di Indonesia khususnya perpustakaan yang dikelola secara konvensional selama ini tidak terlalu menggembirakan dan meskipun namanya populer namun tidak banyak dimanfaatkan orang. Pengunjung perpustakaan tidak terlalu banyak, apalagi yang memanfaatkannya (Saleh, 2013). Penelitian di sebuah perguruan tinggi (Saleh & Subagyo, 2011) menemukan bahwa rata-rata mahasiswa berkunjung ke perpustakaan sebanyak 8,36 kali dalam satu tahun atau kira-kira dua kali setiap tiga bulan. Sedangkan frekuensi peminjaman buku hanya sebanyak 4,2 kali dalam satu tahun, artinya mahasiswa rata-rata meminjam satu buku setiap 3 bulan. Kurang populernya perpustakaan ini mungkin disebabkan oleh kurang menariknya koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan, misalnya karena tidak up to date,

Page 84: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 172-179

174

atau jumlahnya yang tidak mencukupi; pelayanan yang kurang profesional; fasilitas yang kurang memadai, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang bisa dikemukakan.

Sepinya pengunjung ke perpustakaan konvensional juga tidak dapat dipungkiri kerena terjadinya perubahan era, dimana saat ini kemudahan akses internet berkembang sangat pesat (Saleh, 2013). Informasi ilmu pengetahuan baik dalam bentuk buku elektronik dan jurnal sudah banyak disediakan secara online sehingga faktor tersebut diduga sangat kuat mempengaruhi pernurunan minat berkunjung ke perpustakaan. Dengan fenomena tersebut, Singh (2014) berpendapat bahwa perpustakaan dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi dengan mengembangkan perpustakaan berbasis digital agar pemustaka kembali merasa tertarik berkunjung ke perpustakaan serta kebutuhan mereka akan informasi terpenuhi.

Tren penurunan pengunjung di perpustakaan khusus yang dimiliki oleh instansi Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli (BP2LHK Aek Nauli) juga terlihat. Berdasarkan buku daftar pengunjung perpustakaan, selama 5 tahun terakhir (2011 hingga 2015) terdapat punurunan pengunjung ke perpustakaan sebanyak 29,81%. Hal ini merupakan suatu permasalahan yang perlu ditelusuri lebih jauh jika perpustakaan khusus tersebut ingin dikembangkan menjadi salah satu pusat pencarian informasi dan data baik bagi para pengawai di lingkup instansi maupun bagi pemustaka dari luar yang datang berkunjung ke BP2LHK Aek Nauli. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui tingkat kepuasan pemustaka

terhadap pelayanan perpustakaan BP2LHK Aek Nauli.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi menurunnya kunjungan ke perpustakaan BP2LHK Aek Nauli.

METODE Penelitian ini dilaksanakan di Perpustakaan

BP2LHK Aek Nauli. Kantor BP2LHK Aek Nauli beralamat di Jl. Raya Parapat KM 10,5 Desa Sibaganding, Parapat, Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatara Utara. Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan September sampai dengan November 2016.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengumpulan data sekunder dan primer, dimana data sekunder mengacu pada daftar pengunjung yang tercatat pada buku

pengunjung perpustakaan serta laporan tahunan perpustakaan. Data primer diperoleh dari wawancara terstruktur kepada 43 orang pegawai BP2LHK Aek Nauli yang terdiri dari pegawai struktural, fungsional (peneliti, teknisi, dan arsiparis), serta pegawai non struktural (pengadministrasi).

Analisis data dilakukan terhadap data sekunder (laporan tahunan) dan data primer (hasil kuesioner). Data-data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan cara mentabulasi keseluruhan data, membuat grafik persentasi, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis frekuensi terhadap tingkat kepuasan terhadap pelayanan perpustakaan BP2LHK Aek Nauli.

HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui tren kunjungan ke

perpustakaan, maka dilakukan pendataan jumlah kunjungan ke perpustakaan selama 5 tahun terakhir yang mengacu pada buku catatan pengunjung dengan hasil seperti pada Gambar 1.

Berdasarkan grafik pada Gambar 2, dapat diketahui bahwa terjadi tren penurunan pengunjung ke perpustakaan selama kurun waktu tahun 2011 sampai dengan 2015 sebanyak 29, 81% dengan rata-rata penurunan per tahun sebesar 7,54% (angka aktual) dan sebesar 5,37 % (persamaan linear). Data kunjungan ke perpustakaan pada grafik di atas adalah kunjungan oleh pegawai BP2LHK Aek Nauli sendiri dan pengunjung dari luar instansi. Untuk lebih memperdalam statistik kunjungan ke perpustakaan, dilakukan survey kunjungan pegawai yang terdiri dari pejabat struktural, fungsional umum dan fungsional tertentu (peneliti, teknisi, dan arsiparis) ke perpustakaan selama 3 bulan terakhir (September sampai dengan November 2016) dengan hasil sebagai berikut:

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada gambar 2 dapat dilihat pola kunjungan pegawai ke perpustakaan pada umumnya dilakukan hanya satu sampai dua kali perbulan (60,47%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa rutinitas kunjungan ke perpustakaan oleh pegawai BP2LHK Aek Nauli masih sangat rendah.

Berdasarkan wawancara terstruktur kepada anggota perpustakaan BP2LHK Aek Nauli terdapat persepsi tentang pengelolaan perpustakaan dengan hasil sebagai berikut:

Page 85: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang)

175

Gambar 1. Grafik tren kunjungan ke perpustakaan tahun 2011 hingga 2015

Gambar 2. Grafik kunjungan dan pola kunjungan ke perpustakaan 3 bulan terakhir

Tabel 1. Tabel Frekuensi tingkat kepuasan terhadap pengelolaan Perpustakaan BP2LHK Aek Nauli

No. Uraian Tingkat kepuasan

Memuaskan Kurang memuaskan

Tidak Memuaskan

f % F % f % 1. Koleksi bahan pustaka

a. Buku 18 41,86 17 39,53 8 18,60

b. Jurnal/majalah 16 37,21 20 46,51 7 16,28

c. Keterbaruan koleksi bahan pustaka

11 25,58 24 55,81 8 18,60

2. Kemudahan akses

a. Pencarian katalog buku 16 37,21 17 39,95 10 23,26

b. Pinjam meminjam buku 38 88,37 4 9,30 1 2,33

c. Perpustakaan Digital 7 16,28 14 32,56 22 51,16

3. SDM pengelola

a. Kemampuan SDM pustakawan

41 95,35 2 4,65 0 0

b. Kecepatan pelayanan 42 97,67 1 2,33 0 0

c. Keramahan 42 97,67 1 2,33 0 0

4. Fasilitas Penunjang

a. Jaringan internet 2 4,65 8 18,60 33 76,74

b. Kenyamanan ruang baca 27 62,79 14 32,56 2 4,65

c. Kerapian penataan buku dan ruang baca

36 88,72 7 16,28 0 0

Sumber (Source): Diolah dari data primer (hasil quesioner)

Page 86: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 172-179

176

Jika hasil yang terdapat pada Tabel 1

dikaitkan dengan terjadinya tren penurunan pengunjung ke perpustakaan BP2LHK Aek Nauli (Gambar 1) dan pola kunjungan (Gambar 2), maka dapat dilihat terjadi penurunan minat para pemustaka ke perpustakaan. Faktor-faktor yang

mempengaruhi penurunan minat berkunjung ke perpustakaan seperti yang dipersepsikan oleh pemustaka (pegawai di lingkup kantor BP2LHK Aek Nauli) dirangkum seperti pada Gambar 3 berikut:

Berdasarkan Gambar 3, dapat diidentifikasi bahwa faktor utama yang mengakibatkan berkurangnya minat kunjungan ke perpustakaan diakibatkan oleh ketidakpuasan para pemustaka terhadap kelengkapan fasilitas penunjang, kemudian diikuti oleh kemudahan akses yang kurang, serta koleksi bahan perpustakaan yang kurang up to date. Secara rinci permasalah tersebut dijelaskan sebagai berikut: a. Kurangnya fasilitas Penunjang

Fasilitas penunjang dalam perpustakaan adalah ketersediaan jaringan internet dan kenyamanan ruang baca. Kurangnya fasilitas penunjang seperti akses internet di perpustakaan menjadi kebutuhan utama para pengunjung sehingga tidak jarang perpustakaan yang menyediakan akses internet dengan kecepatan yang tinggi ramai pengunjung.

Ketidakpuasan akibat lemahnya jaringan internet (Tabel 1) di perpustakaan BP2LHK Aek Nauli adalah sebesar 76,74 % (tidak puas) dan sebesar 18,60% (kurang puas) total 95,34%.

Fasilitas internet di perpustakaan BP2LHK belum bisa diakses dengan baik. Akes internet sangat lambat dan bahkan tidak dapat digunakan sama sekali. Kondisi kantor BP2LHK Aek Nauli yang jauh dari jangkauan provider penyedia jasa internet mengakibatkan para pegawai mengandalkan jaringan WiFi untuk mengakses internet. Namun sayangnya jaringan WiFi kantor tidak terhubungan dengan baik

sampai ke perpustkaan. Pengunjung merasa kurang puas berada di perpustakaan karena bahan pustaka/literatur yang tidak didapatkan dari buku-buku yang ada diperpustakan tidak dapat dengan segera dipenuhi melalui pencarian di dunia digital melalui jaringan internet.

Ezema (2013) berpendapat bahwa tidak tersedianya jaringan internet di perpustakaan dapat membuat seseorang enggan berkunjung ke perpustakaan. Akses internet merupakan sarana utama sekaligus sarana pendukung dalam transformasi dan perubahan di dalam dunia pendidikan, pembelajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk memperoleh dan mempertahankan pengetahuan para intelektual. Dengan adanya fenomena tersebut perpustakaan dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi dengan mengembangkan perpustakaan berbasis digital agar pemustaka kembali merasa tertarik berkunjung ke perpustakaan serta kebutuhan mereka akan informasi terpenuhi (Singh, 2014).

b. Kemudahan akses Kemudahan akses yang dimaksud dalam

hal ini adalah kemudahan dalam mengakses buku dan bahan literatur lainnya baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk digital (soft copy) yang terkoordinasi dengan perangkat pencarian di komputer. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 1, ketersediaan informasi

Gambar 3. Tingkat kepuasan terhadap pengelolaan perpustakaan

Page 87: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang)

177

bahan digital masih sangat terbatas (51,16 % tidak puas dan 32,56 % tidak puas total 83,72%). Pencarian katalog buku juga dianggap masih kurang baik ( 23,26% tidak puas dan 39,95 % kurang puas, total 63,21%).

Penggunaan perangkat software digital untuk bank data bahan literatur dan sistem pencarian buku sudah dimiliki oleh perpustakaan ini. Namun perpustakaan masih belum menerapkan teknologi barcode yang dapat mempermudah sistem pengoleksian, pendataan dan pinjam-meminjam buku dan bahan pustaka lainya. Dengan kata lain proses operasionalisasi masih dilakukan secara manual sehingga mengakibatkan banyak buku kurang terkontrol atau kehilangan. Menurut Singh (2014), teknologi barcode buku dan bahan literatur lainnya sangat diperlukan untuk mempermudah aplikasi pengumpulan, pengorgasisasian, penyimpanan bahan koleksi perpustakaan terutama jika koleksi memiliki jumlah yang banyak.

Perpustaakan digital juga belum dilakukan dalam pengembangan pengelolaan perpustakaan BP2LHK Aek Nauli. Pengembangan perpustakaan digital tidak dikembangkan karena terbatasnya ketersediaan bahan pustaka (buku, jurnal, dan laporan) dalam bentuk digital (soft copy), lemahnya jaringan internaet, dan keterbatasan sumberdaya pengelola perpustakaan di bidang IT. Dengan kata lain sistem operasionalisasi perpustakaan BP2LHK Aek Nauli masih bersifat konvensional.

Perkembangan perpustakaan dari yang berbentuk konvensional menuju ke perpustakaan digital menuntut berbagai macam upaya pengadaan, pelestarian koleksi, dan peningkatan pelayanan perpustakaan. Perpustakaan seperti halnya perpustakaan akademik seharusnya menyediakan perangkat digital yang dapat memenuhi kebutuhan penjelajahan yang cukup efektif, cepat, dan kaya informasi dalam mendukung akses kepada informasi dan ilmu pengetahuan (Magoi & Gani, 2014; Makori & Mauti, 2016). Untuk itu diperlukan dukungan dari pimpinan pengelola agar perkembangan informasi yang berjalan dengan cepat dapat diimbangi oleh perpustakaaan akademis (Malemia, 2014). Kenyataan yang sering dihadapi saat ini, kurangnya dukungan terhadap pengelolaan perpustakaan baik dalam bentuk kurangnya penambahan koleksi buku yang baru, kurangnya fasilitas penunjang untuk meningkatkan akses internet dan rendahnya kualitas sumber daya pustakawan sering menjadi kendala tidak berhasilnya perpustakaan konvensional yang ada saat ini untuk meningkatkan layanan

perpustakaan hingga akhirnya perpustakaan menjadi sepi pengunjung. c. Koleksi Bahan Pustaka

Ketersediaan bahan pustaka sangat menentukan minat kunjungan ke perpustakaan. Koleksi dimaksud dapat dalam bentuk fisik maupun digital. Keberadan koleksi bahan literatur yang lengkap dan terbarukan dalam institusi akademis dan litbang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan (Kiviluoto, 2015).

Perpustakaan BP2LHK Aek Nauli yang termasuk dalam kategori perpustakaan khusus dibangun dengan tujuan untuk mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan bidang kehutanan. Adapun Perpustakaan BP2LHK Aek Nauli memiliki koleksi bahan pustaka dengan rincian sebagai berikut:

Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa koleksi yang terdapat pada Perpustakaan BP2LHK Aek Nauli adalah didominasi oleh koleksi berupa buku dan jurnal/makalah ilmiah, baik dalam bentuk terbitan berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Buku-buku tersebut diperoleh dengan cara pembelian langsung ataupun dengan hibah atau sumbangan.

Keberadaan koleksi buku di perpustakaan BP2LHK Aek Nauli jika dibandingkan dengan standar perpustakaan khusus SNI 7496: 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Stansarisasi Nasional (2009), dapat dilihat bahwa dari segi kuantitas koleksi baik buku dan serial terdapat jumlah yang memadai namun jika dilihat dari rutinitas penambahan koleksi dan tidak adanya laporan instansi, maka perpustakaan BP2LHK Aek Nauli tergolong kurang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa keterbaruan koleksi buku dan serial masih rendah.

Berdasarkan hasil yang terdapat pada Tabel 1 (point 1), tingkat kepuasan pemustakan terhadap keterbaruan koleksi kurang memuaskan (18,60% tidak puas, dan 55, 81% kurang puas total 74,42%). Koleksi buku dan khususnya jurnal yang kurang up to date serta berbagai macam bentuk informasi lainnya yang tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan menjadi kendala peningkatan minat baca di perpustakaan BP2LHK Aek Nauli. Hal ini juga terlihat jelas dengan perbandingan standar nasional perpustakaan khusus, dimana kebaharuan koleksi yang rutin setiap tahun sangat diperlukan. Namun dalam hal ini, perpustakaan BP2LHK Aek Nauli belum memenuhi dalam hal updating koleksi secara khusus pada akhir-akhir ini.

Page 88: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2, Oktober 2017: 172-179

178

Tabel 2. Perbandingan koleksi bahan pustaka di Perpustakaan BP2LHK Aek Nauli (tahun 2016) dengan SNI yang dikeluarkan oleh BSN

No. Jenis koleksi Batas Minimal SNI 7496: 2009

Koleksi di BP2LHK Aek Nauli

1. Buku 1.000 3.316 buah

2. Serial (jurnal/majalah)

10 Jenis /rutin 1.196 buah terdiri dari

- 533 buah (jurnal ilmiah) = 38 jenis (judul) tidak rutin dan terbitan lama dan sebanyak 3 jenis rutin

- 663 buah (majalah ilmiah) = 47 jenis tidak rutin terbitan lama dan 2 jenis rutin.

3. Laporan Ada, tidak ada jumlah minimal

Tidak ada

4. Penambahan Koleksi

Minimal 2% per tahun

- Tidak ada penambahan koleksi rutin per tahun pada jenis buku.

- Ada penambahan yang rutin setiap tahun pada jenis serial (jurnal/majalah) kurang dari 2%.

Sumber (Source) : Badan Standarisasi Nasional (2009); Inventarisasi buku tahunan (2016)

Salah satu bahan koleksi yang sangat dibutuhkan oleh para pemustaka (khususnya pada peneliti dan teknisi) adalah keterbaruan bahan pustaka (buku dan jurnal). Keterbaruan informasi sangat dibutuhkan karena salah satu tupoksi para pejabat peneliti dan teknisi adalah untuk memproduksi tulisan dalam bentuk buku, jurnal, makalah, pedoman teknis, dan berbagai informasi ilmiah lainnya yang akan dipublikasikan/disebarluaskan kepada para user. Keterbaruan informasi yang akan diberikan sangat perlu karena perkembangan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan informasi tersebut juga semakin mudah didapat dengan mengakses internet. Hal tersebut merupakan tantangan bagi pengelola perpustakaan agar semakin memperluas jaringan ke instansi atau publisher lainnya dalam memperoleh terbitan terbaru baik buku maupun jurnal imliah/semi ilmiah dalam hal upgrading koleksi.

d. Sumber daya pengelola perpustakaan

Jika dilihat dari data yang terdapat pada Tabel 2, kemampuan dan tingkat pelayanan pustakawan di BP2LHK Aek Nauli cukup memuaskan sehingga bukan merupakan penyebab penurunan minat kunjungan ke perpustakaan. Namun menurut Dulle, et al (2010), petugas pustaka perlu meningkatkan kemampuan teknologi komputer dan internet dalam mempublikasikan informasi hasil-hasil penelitian secara online melalui pengembangan perpustakaan digital dan komunikasi ilmu

pengetahuan secara terbuka (open access scholarly communication) karena teknologi informasi yang terbuka sangat di kalangan pendidikan tinggi saat ini.

KESIMPULAN Kunjungan ke perpustakaan BP2LHK Aek

Nauli mengalami tren penurunan sebesar 7,54% per tahun. Pegawai secara umum hanya mengunjungi perpustakaan sebanyak 1-2 kali dalam satu bulan. Perkembangan informasi, pengetahuan, dan teknologi semakin mudah didapat dengan memanfaatkan jaringan internet adalah faktor yang sangat menentukan dalam peningkatan kunjungan ke perpustakaan. Fasilitas internet yang tidak memadai di perpustakaan BP2LHK Aek Nauli kurang memuaskan para pemustaka (kurang puas sebanyak 95,35%). Disamping itu, katalog bahan koleksi yang dianggap kurang manajemen dan tidak tersedianya koleksi digital menjadikan pencarian buku dan proses pinjam meminjam menjadi kurang memuaskan dan masih menganut sistim yang tradisional/konvensional (kurang puas sebanyak 63,21%). Kondisi ini dapat merugikan perpustakaan karena lemahnya kontrol terhadap bahan koleksi yang dipinjamkan. Selain akses yang masih kurang baik, kebaharuan koleksi juga menurunkan minat para pemustaka (kurang puas sebanyak 74,42%) dimana bahan literatur yang tersedia kurang ter-update (banyak buku-buku dan jurnal terbitan lama), semetara kebaharuan informasi dan pengetahuan sangat dibutuhkan

Page 89: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang)

179

oleh instansi sebagai lembaga penelitian dan pengembangan.

REKOMENDASI

Penelitian ini merekomendasikan agar instansi pengelola menyediakan akses internet yang memadai di perpustakaan, meningkatkan kemampuan teknologi komputer dan internet SDM pustakawan, dan penyediaan sarana pendukung dalam mengoleksi dan mempublikasikan informasi hasil-hasil penelitian secara online melalui pengembangan perpustakaan digital dan komunikasi ilmu pengetahuan secara terbuka (open access scholarly communication). Penelitian ini juga menyarankan agar pengelola perpustakaan semakin memperluas jaringan kepada kepada instansi atau publisher lainnya dalam memperoleh terbitan terbaru baik buku maupun jurnal dan majalah ilmiah/semi ilmiah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada pimpinan dan seluruh pegawai di lingkup Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli yang telah membantu, memberikan data dan informasi terhadap penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia SNI 7496:2009 Perpustakaan Khusus Instansi Pemerintah ICS 01.140.20. Badan Standardisasi Nasional. Diakses dari http://www.perpustakaan.kemenkopmk.go.id. tanggal 20 Oktober 2017.

Dulle, F.W., Minish-Majanja, M.K, and Cloete, L.M. 2010. Factors influencing the adoption of open access scholarly communication in Tanzanian public universities. Proceeding. World Library and Information Congress: 76th Ifla General Conference and Assembly, 10-15 August 2010, Gothenburg, Sweden.

Ezema, I.J. 2013. Local contents and the development of open access institutional repositories in Nigeria university libraries: Challenges, strategies and scholarly implications. Library Hi Tech, 31(2): 323-340.

Firma, A. dan E. Rahmah. 2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pemustaka di Perpustakaan Kopertis Wilayah X. Jurnal Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan, 1 ( 1): 110-115.

Jato, M., Ogunniyi, S.O., and Olubiyo, P.O. 2014. Study habits, use of school libraries and students’ academic performance in selected secondary schools in Ondo West Local Government Area of Ondo State. International Journal of Library and Information Science, 6(4): 57-64.

Karim, A. 2012. Perpustakaan dan perubahan sosial. Jurnal Iqra, 6(11): 63-73.

Kasmir. 2005. Etika Customer Service. Jakarta: Raja Grafindo.

Kiviluoto, J. 2015. Information literacy and diginatives: Expanding the role of academic libraries. International Federation of Library Associations and Institutions, 41(4): 308–316.

Korobili, S., Tilikidou, S. and Delistavrou, A. 2006. Factors that influence the use of library resources by faculty members. Library Review, 55 ( 2 ) : 91-105.

Kusnoto, 2003. Tugas dan fungsi perpustakaan bptp yogyakarta dalam menunjang penelitian, pengkajian dan penyuluhan bidang pertanian. Prosiding Temu Teknis Fungsional Non Peneliti.

Magoi, J. S. and Gani, E. 2014. The emergence of digital libraries services in Northwest Nigerian Universities: Challenges and prospects. Library Philosophy and Practice (e-Journal), 10: 1- 20.

Makaori, E.O. and Mauti N.O. 2016. Digital technology acceptance in transformation of university libraries and higher education institutions in kenya. Library Philosophy and Practice (ejournal). Paper 1379.

Malemia, L. 2014. The Use of Electronic Journal Articles by Academics at Mzuzu University, Malawi. Library Philosophy and Practice (e-journal), Paper 1097.

Saleh, A.R. Perpustakaan Digital. Edisi 2. Bogor: Rumah Q-ta Production.

Saleh, A. R., & Subagyo, S. 2011. Perubahan kebijakan peminjaman koleksi dan dampaknya terhadap kinerja perpustakaan: kasus perpustakaan IPB. Visi Pustaka , XIII (1), 41-49.

Shehu, H., Urhefe, E.A., and Promise, A. 2015. Accessibility and utilization of internet service in nigeria libraries: an empirical study. International Journal of Academic Rearch and Reflection, 3(5): 78-89.

Simmonds, P.L. and S.S. Andaleeb. 2001. Usage of Academic Libraries: The Role of Service Quality, Resources, and User Characteristics. Library Trends, 49 ( 4 ): 626-634

Singh, M. 2014. A Snapshot of Traditional Library to Modern Library Using Bar Code Technology: An Experience of Central Library GNDEC, Ludhiana. Journal of Advances in Library and Information Science, 3(2): 146-149.

Trimo, S. 1997. Reference Work dan Bibliografi dengan Sistem Modular. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 90: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol 13 No. 2 Oktober 2017 : 180-189

180

Hasil Penelitian

ANALISIS FINANSIAL BIOGAS LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT

SEBAGAI ENERGI TERBARUKAN DI PKS RAMBUTAN PTPN III

(FINANCIAL ANALYSIS OF PALM OIL BIOGASS

FROM MILL EFFLUENT OF CRUDE PALM OIL FACTORY

AS A RENEWABLE ENERGY IN PKS RAMBUTAN PTPN III)

M. Afif Shahputra*, Zahari Zen**, Johannes Sabam Siregar***

*Pascasarjana Ekonomi Universitas Negeri Medan

Jl. Medan Estate, Medan.

Email: [email protected]

**Fakultas Ekonomi Universitas Harapan Medan

Jl. Imam Bonjol No. 35 Medan

***PTPN III Sumatera Utara

Jl. Sei Batang Hari No. 2 Medan

Diterima: 4 Juli 2017; Direvisi: 7 Agustus 2017; Disetujui: 30 Agustus 2017

ABSTRAK

Saat ini, kebijakan pembangunan dan investasi tidak lepas dari upaya pelestarian lingkungan. Penelitian dilakukan melalui pengamatan produksi biogas dari air limbah pabrik kelapa sawit dan

untuk menghasilkan listrik. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi upaya konservasi, namun juga

untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Penelitian dilakukan di divisi perkebunan Rambutan di PTPN III. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis investasi secara finansial

untuk memastikan investor dalam membangun instalasi biogas penghasil listrik. Sebelum analisis

keuangan pertama dilakukan analisis pasar listrik kemudian dilakukan analisis kelayakan teknis pembangunan. Kemudian dilakukan analisis ekonomi meliputi kriteria kelayakan investasi yang

meliputi Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost, Payback Period dan analisis sensitivitas. Hasil menunjukkan bahwa pembangunan instalasi biogas limbah pabrik kelapa sawit sangat layak

dilakukan dengan pabrik berkapasitas 45 ton/jam akan menghasilkan 1 MWh listrik.

Kata kunci: limbah cair, biogas, analisis finansial, NPV, BC rasio, analisis sensitivitas

ABSTRACT

Currently, development and investment policies can not be separated from environmental conservation efforts. Research is conducted through observation of biogas production from palm

oil mill waste to generate electricity. This is not only beneficial for conservation efforts, but also

for economic gain. The research was conducted at the division of Rambutan plantation in PTPN III. The purpose of this study is to conduct a financial investment analysis to ensure investors

developing biogas installation of biogas electricity generators. Before technical analysis firstly we analyse potential electricity market then conducted technical development feasibility analysis.

Then we conducted economic analysis includes investment feasibility criteria including Net

Present Value (NPV) Net Benefit Cost, Payback Period (PBP) and sensitivity analysis. The results show that the construction of biogas plant oil palm waste plant is very feasible to do with a plant

with a capacity of 45 tons / hour could produce 1 MWh of electricity.

Keywords: palm oil mill effleunt, biogas, financial analysis, NPV, BC ratio, sensitivity analysis

PENDAHULUAN Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di

Indonesia dalam beberapa tahun terakhir

menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Pengembangan komoditas ekspor kelapa sawit terus meningkat dari tahun ke

Page 91: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis FInansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III

(M. Afif Shahputra, Zahari Zen, Johannes Sabam Siregar)

181

tahun. Hal ini terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama 2004 - 2014 sebesar 7,7%. Sejalan dengan itu, produksi kelapa sawit meningkat rata-rata 11,1% per tahun (Dirjenbun, 2014). Peningkatan luas areal tersebut didorong oleh harga CPO yang relatif stabil di pasar internasional dan memberikan pendapatan kepada produsen khususnya petani sawit (Dirjenbun, 2014).

Luas areal kelapa sawit mencapai 10,9 juta ha dengan produksi 29,3 juta ton CPO. Luas areal menurut status pengusahaannya milik rakyat (Perkebunan Rakyat) seluas 4,45 juta ha atau 41,4% dari total luas areal, milik negara (PTPN) seluas 0,75 juta ha atau 6,8% dari total luas areal, milik swasta seluas 5,66 juta ha atau 50,6%, swasta asing seluas 0,17 juta ha atau 1,5% dan sisanya swasta lokal. Jumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) telah mencapai 608 unit dengan kapasitas olah terpasang 34.280 ton TBS/jam (Dirjenbun, 2014).

Hal ini menunjukan pesatnya perkembangan industri kelapa sawit dan besarnya potensi nilai hasil samping (by product) dari pengolahan limbah padat seperti serat (fibre), cangkang, tandan kosong dan limbah dan limbah cair. Menurut Lim Soo King dan Low Chong Yu (2013), PKS dapat menghasilkan limbah cair sebesar 0,65 m3/ton TBS. Limbah cair PKS dapat menghasilkan biogas dengan kandungan utama methana (CH4) sebesar 55-70% dan karbon dioksida (CO2) sebesar 30–45% serta sejumlah kecil nitrogen dan hidrogen sulfida. Apabila kandungan gas metan dalam biogas lebih dari 50%, biogas tersebut layak digunakan sebagai bahan bakar (Deublein dan Steinhauster, 2008).

Biogas dari limbah cair biogas dapat digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik. Potensi listrik dengan menggunakan teknologi Covered Lagoon akan menghasilkan biogas sebanyak ± 20 m3/ton TBS. Apabila kapasitas PKS sebesar 30 ton TBS/jam akan menghasilkan biogas ±600 m3/jam, setara dengan 5,044 MJ/jam, atau energi sebesar 3,720 kWh. Jika energi tersebut digunakan untuk membangkitkan listrik menggunakan gas engine dengan efisiensi 35%, maka akan dihasilkan listrik sebesar 1,303 kWh atau 1,3 MW (Safrizal, 2015). Secara ekonomi asumsi pembangkit yang beroperasi selama 300 hari/tahun dalam 24 jam/hari dengan harga ditetapkan Rp. 975/kWh (Permen ESDM, 2012), maka di pulau Sumatera terdapat potensi tambahan pendapatan sebesar Rp.9,15 Milyar/tahun (Safrizal, 2015).

Selain meningkatkan nilai tambah untuk perusahaan sebagai sumber energi listrik. Pemanfaatan biogas juga dapat mengurangi efek gas rumah kaca dari limbah cair pabrik, dan

dapat menghemat lahan untuk pengolahan limbah cair secara konfensional dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Peningkatan laju emisi gas rumah kaca seperti CO2 secara global menimbulkan ancaman terhadap iklim dunia. Berdasarkan perkiraan tahun 2000, lebih dari 20 juta ton metrik CO2 diperkirakan akan dilepaskan ke atmosfer setiap tahun (Saxena, 2013), untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari konsumsi energi, beberapa alternatif kebijakan seperti pajak emisi dan izin pembebasan perdagangan telah diajukan. Kebijakan mitigasi ini akan membantu meningkatkan manfaat persaingan energi biomassa terhadap bahan bakar fosil karena biomassa dapat menggantikan emisi CO2 yang dilepaskan oleh bahan bakar fosil. Akan tetapi, telah dipahami dengan baik bahwa konversi biomassa ke bioenergi membutuhkan input energi tambahan, biasanya dari bahan bakar fosil itu sendiri (Asian Biomass Handbook, 2008).

Gas metana (CH4) yang dihasilkan dari limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan salah satu senyawa penyumbang pemanasan global karena efek gas rumah kaca. Hal ini dikarenakan massa metana terbakar lebih rendah daripada massa karbon dioksida dilepaskan denganrasio 1 : 2,75. Efek dari pembakaran metana akan mengurangi efek pemanasan global dengan rasio 25:2,75. Artinya setiap pembakaran 1 ton gas Methan menjadi CO2, maka gas CO2 berkurang menjadi 22,25 ton (www.ipcc.ch, 2012).

Dalam Rencana Jangka Panjang (RJP) PTPN III, PKS Rambutan memiliki sumber bahan baku berasal dari 8 (delapan) kebun dengan luas areal 13.347 ha dengan potensi produksi TBS diatas 200.000 ton/tahun. Sedangkan produksi listrik dijual ke PT. Listrik Negara (PLN). Kebutuhan tenaga listrik di Propinsi Sumatera Utara diproyeksikan akan tumbuh rata-rata sekitar 4.5 % pertahun dalam periode 10 tahun ke depan, atau sekitar 4.8 % per tahun untuk periode 20 tahun ke depan. Sehingga kebutuhan tenaga listrik yang diperkirakan sekitar 12,591 GWh pada tahun 2015 akan meningkat menjadi 18,763 GWh pada tahun 2024 dan 30,679 GWh pada tahun 2034 (RUKN, 2015). METODE

Penelitian ini menganalisis kelayakan secara teknis dan financial pembangunan instalasi biogas untuk menghasilkan listrik dalam bentuk desktriptif kuantitatif di PKS Rambutan, PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), Distrik Serdang II, Kota Madya Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada tanggal 01 Maret 2016 sampai dengan 30 April

Page 92: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol 13 No. 2 Oktober 2017 : 180-189

182

2016. Data yang digunakan adalah data primer dari hasil pengamatan langsung dan data sekunder baik dari instalasi biogas yang telah beroperasi maupun instansi-instansi terkait lainnya.

Perkiraan jumlah potensi energi yang dapat dihasilkan untuk konversi POME menjadi energi akan mendasari tahapan desain dan penentuan biaya. Pada penelitian ini akan dikaji parameter produksi pabrik dan komposisi limbah cair. Komposisi limbah cair akan memberikan data informasi penting dalam perhitungan daya yang akan dihasilkan. Analisis ini dilakukan dengan mengambil sejumlah sampel POME untuk menentukan kualitas limbah cair dan kandungan limbah cair, serta mengidentifikasi potensi masalah yang berhubungan dengan keselamatan kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Parameter kelayakan finansial yang digunakan adalah: Net Present Value (NPV); Net Benefit Cost Ratio(Net B/C ratio); Financial rate of Return (FRR), payback period. Sedangkan untuk melihat ketahanan proyek terhadap ketidakpastian pasar maka dilakukan Sensitivity Analysis Gitinggger (Kadariah, 1978).

NPV (Net Present Value). NPV merupakan manfaat bersih tambahan (nilai kini bersih) yang diterima proyek selama umur proyek pada tingkat discount factor tertentu. NPV merupakan selisih antara present value benefit dengan present value cost.

Rumus:

Dari formulasi NPV diatas kelayakan proyek dapat dilaksanakan dengan ketentuan seperti pada Tabel 1.

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio). Menurut Sinaga (2009), Net B/C Ratio adalah perbandingan antara net benefit bersih dengan biaya yang dihitung nilainya sekarang (di present value) atau yang bernilai positif (+) dengan net benefit yang bernilai negatif (-).

Rumus :

Dari formulasi Net Benefit Cost Ratio diatas kelayakan proyek dapat dilaksanakan dengan ketentuan seperti pada Tabel 2.

Financial Rate of Return (FRR). FRR memberikan kesempatan kepada pengembang proyek untuk dapat membandingkan nilai suku bunga dengan keuntungan ekonomi yang diharapkan dari proyek tersebut. Perhitungan FRR dengan cara interpolasi. Jika diperoleh NPV positif, maka NPV negatif dengan cara meningkatkan faktor discount.

Rumus:

Indikator FRR :

Jika FRR > DF, discount rate yang berlaku

maka proyek layak dilaksanakan. Jika FRR < DF, discount rate yang berlaku, maka proyek tidak layak dilaksanakan. Investasi layak diterima jika FRR lebih besar dari tingkat pengembalian minimum yang diharapkan atau biaya modal yang dapat diterima. Semakin tinggi FRR, maka proyek tersebut semakin menarik. FRR untuk suatu proyek konversi POME menjadi energi yang layak bervariasi mulai 11% hingga 23%. Struktur pembiayaan, biaya investasi, lokasi proyek dan skenario pemanfaatan biogas semuanya mempengaruhi FRR yang diinginkan.

Tabel 1. Kelayakan NPV berdasarkan Nilai NPV

Nilai NPV Kelayakan

NPV > 0 Layak

NPV < 0 Tidak Layak

NPV = 0 Proyek dalam keadaan BEP

Sumber: Studi Kelayakan Bisnis Dalam Ekonomi Global (2009)

Tabel 2. Kelayakan Proyek berdasarkan

Nilai Net B/C Ratio

Nilai B/C Kelayakan Net B/C > 1 Layak Net B/C < 1 Tidak Layak Net B/C = 1 Proyek dalam

keadaan BEP Sumber: Studi Kelayakan Bisnis Dalam

Ekonomi Global (2009)

Keterangan: NPV = Net Present Value Bt = Present Value Benefit Ct = Present Value Cost i = Discount Factor n = Year (waktu)

=

=

+

=n

t

t

t

n

t

BN

BN

CNetB

1

1

)(

)(

/

= +

−=

n

t t

t

i

CBNPV

1

t

)1(

)( 12

21

11 ii

NPVNPV

NPViFRR −

−+=

Keterangan: NPV = Net Present Value Bt = Present Value Benefit Ct = Present Value Cost i = Discount Factor n = Year (waktu)

Page 93: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis FInansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III

(M. Afif Shahputra, Zahari Zen, Johannes Sabam Siregar)

183

Menurut Winrock international (2015), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian secara finansial sebuah proyek biogas adalah: 1) biaya investasi, biaya operasional dan biaya pemeliharaan; 2) nilai tukar rupiah. Sebagian besar komponen pembangkit tenaga listrik tenaga biogas masih harus diimpor dari luar negeri, sehingga nilai tukar yang lemah berdampak negatif pada profitabilitas sebuah proyek; 3) skenario pemanfaatan menguntungkan secara finansial meliputi penjualan listrik ke jaringan atau mengantikan generator diesel yang sedang dipakai,; dan, 4) feedstock yakni mutu air limbah yang disuplai ke biogas seperti volume air limbah dan (Chemical Oxigen Demand/COD) akan mempengaruhi produktivitas pembangkit listrik.

Payback Period (PBP). Merupakan jangka waktu (periode) yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Semakin cepat kemampuan proyek mampu mengembalikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi proyek maka proyek semakin baik (satuan waktu).

Rumus:

Sensitivity Analysis. Sensitivity Analysis

merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui perkiraan dampak dari perubahan parameter-parameter produksi yang dipakai terhadap perubahan kinerja sistem produksi dalam menghasilkan keuntungan. Analisis sensitivity bertujuan untuk membuat keyakinan investor terhadap kemungkinan akan adanya terjadinya fluktuasi paramater yang diperkirakan berubah. Alasan dilakukannya analisis sensitivitas adalah untuk mengantisipasi adanya perubahan-perubahan seperti: 1) adanya cost overrun yaitu kenaikan biaya-biaya, seperti biaya konstruksi, biaya bahan-baku dan biaya produksi lainnya; 2) penurunan produktivitas; dan, 3) mundurnya jadwal pelaksanaan proyek.

Setelah melakukan analisis dapat diketahui seberapa jauh dampak perubahan tersebut terhadap kelayakan proyek dan pada tingkat mana proyek masih layak dilaksanakan. Analisis sensitivitas dilakukan dengan menghitung ulang FRR, NPV, B/C ratio, dan PBP kemudian

membandingkan dengan kondisi normal pada setiap skenario perubahan yang diperkirakan mungkin terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Limbah Cair PKS Rambutan. Dari hasil evaluasi bahwa saat ini limbah cair PKS Rambutan dilakukan pengelolaan melalui effluent treatment agar kadar Biological Oxigen Demand (BOD) dan COD di bawah ambang baku mutu kualitas limbah untuk dimanfaatkan sebagai pupuk pada aplikasi lahan (land application) dilapangan perkebunan. Pada proses pengolahan limbah di kolam–kolam terbuka tersebut, maka gas senyawa metana yang dihasilkan dari proses anaerobik dilepas secara bebas ke udara/atmosfer yang dapat menyebabkan limbah gas karbon (emisi rumah kaca).

Unit Pengelolaan Limbah Cair PKS Rambutan menggunakan sistem kolam terbuka dengan jumlah kolam sebanyak 8 unit yang terdiri dari 1 unit cooling pond, 2 unit anerobic pond, 2 unit aerobic pond, 2 unit recycling pond dan 1 unit collecting pond untuk ke land aplikasi. PKS Rambutan saat ini mempunyai kapasitas 30 ton TBS/jam dengan waktu operasi rata–rata 20 jam perhari sehingga kapasitas produksi nantinya adalah 600 ton TBS/hari. Perhitungan terhadap limbah cair (POME) yang dihasilkan adalah sebesar 0,65 m3/ton TBS yaitu sebesar 390 m3/hari. Karakteristik limbah cair di PKS Rambutan ditampilkan pada Tabel 3. Lama konstruksi, masa produksi, jam kerja PKS per hari, hari kerja per tahun, kapasitas terpasang dan efesiensi pengelolaan disajikan pada Tabel 5.

Aspek Finansial. Aspek finansial proyek ini berdasarkan pada kondisi pasar, pertimbangan tehnis diatas yang disesuaikan dengan lokasi proyek, kondisi lapangan dan pedoman lainnya, agar masih dalam batas kewajaran serta mengacu pada kondisi historis perusahaan.

Tabel 3. Karakteristik Limbah Cair

PKS Rambutan

No Karateristik Nilai

1 pH 4,72

2 BOD 27.000 mg/liter

3 COD 54.500 mg/liter

4 Phosphate (PO4) 57,61 mg/liter

5 Suspended Solid 34.956 mg/liter

6 Oil dan Grease 8.276 mg/liter

Sumber: Hasil Pengukuran PKS Rambutan (2016)

dimana : PBP : Payback Period I : besarnya biaya investasi Ab : benefit bersih yang diperoleh setiap

tahunnya

Ab

IPBP =

Page 94: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol 13 No. 2 Oktober 2017 : 180-189

184

Payback Period (PBP). Analisis PBP dilakukan bertujuan untuk mengetahui jangka waktu pengembalian investasi. Hasil analisis proyek pembangunan instalasi biogas ini akan mencapai titik pengembalian pada saat proyek berumur 6 tahun 5 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa pendirian instalasi biogas memiliki tingkat pengembalian modal lebih baik daripada umur ekonomis kelapa sawit yaitu 25 tahun.

Net Present Value (NPV). Hasil analisis menunjukkan NPV bernilai positif pada discount factor 13,18 persen sebesar Rp.189.185.393.896 selama 25 tahun. Nilai NPV yang bernilai positif

merupakan indikasi bahwa rencana investasi pembangunan pabrik kelapa sawit layak untuk dilaksanakan karena hasil yang diperoleh lebih besar dari nol.

Benefit Cost Ratio (BCR). BCR dilakukan untuk mengukur berapa besar manfaat yang dapat diterima dari setiap investasi yang dikeluarkan. Hasil analisis rencana pembangunan pabrik kelapa sawit menghasilkan nilai B/C Ratio 1,76. Artinya keuntungan yang dihasilkan dari proyek ini lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan sehingga layak untuk dilaksanakan.

Tabel 4. Potensi Listrik Biogas PKS Rambutan

URAIAN Nilai Keterangan TBS diolah (kg/tahun) 192.000.000

COD (kg/l) 0,05450 Data sampling

Produksi POME (m3/hari)

416

Produksi Methane per jam

539.74 3.886.135 Nm3 biogas

/tahun Produksi Listrik

sebelum efisiensi 8.549.497 KWh/tahun

Jam Operasi (Jam/Tahun)

7.920

Produksi Electricity (KWh)

1.079

Pemakaian Sendiri (8%)

683.959.78

Potensi Listrik disalurkan

ke grid Kwh/tahun) 7.865.537

Sumber: Hasil Analisis dan Perhitungan PKS Rambutan (2016)

Tabel 5. Lama Konstruksi, Masa Produksi, Jam Kerja Biogas

No Uraian Asumsi-Asumsi 1 Lama Proyeksi Rencana Biogas 25 Tahun 2 Lama Konstruksi (construction period) 6 Bulan 3 Masa Produksi Biogas 01 Januari 2017 s/d Tahun 2042 4 Pasokan TBS 192.000 ton/tahun 5 Jam Kerja PKS maksimal per hari 20 Jam 6 Hari kerja PKS per tahun 300 hari 7 Kapasitas Produksi Olah Terpasang 30 Ton/Jam 8 Kapasitas Produksi Biogas 390 m3/hari Potensi Total Listrik dibangkitkan 9 Kapasitas POME Biogas – Power Plant MWe/Jam 10 Harga Jual Listrik ke PLN

Sesuai Permen ESDM No. 21 Tahun 2016 Rp.1.651,86 per KWh

11 Eskalasi Harga Jual Produk 5% Pa 12 Eskalasi Biaya-Biaya (O & M Variabel Cost 5% Pa 13 Tingkat Suku Bunga Discount Factor 13.18% 14 Tahun Awal Proyeksi 2017

Sumber : Laporan Estimasi Pembangunan PKS bagian Teknik PTPN III (2016)

Page 95: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis FInansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III

(M. Afif Shahputra, Zahari Zen, Johannes Sabam Siregar)

185

Financial Rate of Return (FRR). Analisis FRR dengan discount rate 13 persen digunakan untuk mengevaluasi kemampuan proyek dalam menghasilkan keuntungan yang dikaitkan dengan nilai waktu uang. Nilai FRR mencerminkan besarnya discount rate yang apabila digunakan untuk mendiskontokan seluruh kas masuk akan menghasilkan jumlah kas yang sama dengan jumlah investasi proyek. Hasil analisis menunjukkan nilai FRR 18,37 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rencana pembangunan instalasi biogas pabrik kelapa sawit mampu menghasilkan opportunity cost yang lebih besar daripada cost of capital yang diinginkan sehingga layak untuk dilaksanakan. Bila dibandingkan dengan analisa FRR pembangunan instalasi pembangkit listrik tenaga biomass (PLTBS) Rambutan yang dilakukan oleh konsultan, Payback Period pendirian PLTBS sebesar 17,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendirian instalasi biogas lebih menjanjikan bila dibandingkan dengan PLTBS.

Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat tingkat kepekaan pabrik kelapa sawit terhadap perubahan kondisi diluar jangkauan asumsi yang telah dibuat pada saat perencanaan. Analisis ini dilakukan dan diarahkan pada dua indikator yaitu bila terjadi kenaikan biaya Tetap dan penurunan penjualan produksi sebesar 10 persen. Penetapan kenaikan biaya tetap sebesar 10 persen merujuk pada data inflasi rata-rata tahunan di Indonesia dalam satu dekade terakhir yang tidak pernah melebihi dari 10 persen. Sedangkan penurunan Penjualan produksi 10 persen merupakan tingkat toleransi yang dianggap wajar atas penurunan pasokan bahan baku yang disebabkan oleh faktor-faktor nonteknis yang mungkin terjadi di lapangan.

Skenario penjualan diasumsikan turun sedangkan biaya diasumsikan tetap. Analisis sensitivitas dengan indikator penurunan kapasitas produksi, dilakukan dengan asumsi terjadinya penurunan kapasitas olah pabrik sebesar 10 persen. Penurunan kapasitas olah berimplikasi terhadap penurunan biaya

pengadaan bahan baku dan biaya bahan pembantu dalam proses produksi. Selain itu, penurunan kapasitas olah mengakibatkan penurunan volume produksi yang berpengaruh terhadap pendapatan penjualan atau output yang dihasilkan. Dari hasil analisis jika terjadi penurunan penjualan sebesar 10 persen pembangunan instalasi biogas masih layak untuk dilaksanakan berdasarkan kriteria-kriteria investasi yang digunakan. Hal ini mengindikasikan bahwa penurunan penjualan produksi pada tingkat toleransi 10 persen yang berkaitan dengan pasokan atau ketersediaan bahan baku masih dapat memberikan manfaat serta tidak menyebabkan aktivitas operasional

pabrik kelapa sawit terganggu. Skenario penjualan disumsikan tetap

sedangkan biaya diasumsikan naik. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas yang dilakukan bila terjadi kenaikan biaya tetap 10 persen, pembangunan instalasi biogas untuk semua kriteria investasi yang dipakai, pembangunan instalasi biogas memungkinkan dan masih tetap layak untuk dilaksanakan. Dari hasil analisis ini dapat diartikan bahwa dengan tingkat toleransi kenaikan biaya tetap 10 persen kegiatan operasional pabrik masih mampu memberikan manfaat.

Skenario penjualan turun dan biaya naik. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas yang dilakukan bila terjadi kenaikan biaya tetap 10 persen dan Biaya mengalami kenaikan sebesar 10 persen. Pembangunan instalasi biogas masih memungkinkan dan layak dan mampu memberikan manfaat.

Skenario Proyek tidak Layak. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas yang dilakukan bila terjadi biaya tetap tidak mengalami kenaikan dan penjualan listrik hanya sebesar 80 persen. Pembangunan instalasi biogas tidak merugi tetapi juga tidak memberikan keuntungan karena nilai FRR hanya sebesar 12,71 persen pada kondisi discount factor sebesar 13 persen.

Tabel 6. Analisis Sensitivitas Apabila Produksi Mengalami Penurunan 10% dan Biaya Tetap

ParameterProduksi Listrik

(KWh)NPV (Rp) IRR (%)

Payback

Period (Tahun)

Penjualan Listrik Kapasitas

Optimum (100%)7.865.537 189.185.393.896 18,37% 6,53

Penjualan Listrik Kapasitas

90%7.078.984 156.494.153.781 15,56% 8,46

Sumber: Hasil Perhitungan Penelitian

Page 96: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol 13 No. 2 Oktober 2017 : 180-189

186

Biaya Investasi. Rencana biaya investasi PKS sampai dengan berproduksi berdasarkan harga perencanaan dan harga penawaran yang berlaku pada tahun 2012 (Kreasi Cipta Konsultan). Rencana biaya investasi sebesar Rp. 33,33 Milyar.

Aspek Sumber Daya Manusia. Lokasi proyek pembangunan instalasi biogas PKS direncanakan didirikan di sekitar lokasi PKS Rambutan . Kebutuhan tanaga kerja terdiri dari (1) Penyerapan Tenaga Kerja Instalasi Biogas pada Masa Konstruksi. Pada masa kontruksi penyerapan tenaga kerja dapat dikatakan relatif kecil, karena pada umumnya yang bekerja merupakan tenaga kerja kontraktor yang membangun pabrik tersebut. S edangkan dalam rangka rekrutmen tenaga kerja pada masa

produksi nantinya, sejak masa kontruksi pihak perusahaan telah menempatkan beberapa orang tenaga kerja seperti pimpinan proyek, tenaga sipil, tenaga teknik dan tenaga elektrik sebagai pengawas dan alih teknologi pabrikasi Biogas.

Penyerapan Tenaga Kerja Instalasi Biogas pada Masa Produksi. Penggunaan tenaga kerja yang direncanakan pada pengoperasian instalasi dibagi menurut tugas, wewenang dan fungsi dari pekerjaan yang ada. Sistem kerja dibagi atas 2 shift. Ketenagakerjaan di level staf disinergikan dengan PKS Rambutan dengan tidak adanya penambahan level Manajer dan Masinis Kepala. Sedangkan operasional instalasi biogas disupervisi oleh Asisten Proses dan level non staf meliputi mandor, operator dan pembantu operator.

Tabel 7. Analisis sensitivitas apabila penjualan tetap dan mengalami biaya tetap naik 10%

ParameterJumlah Biaya

(Rp/tahun)NPV (Rp) IRR (%)

Payback

Period (Tahun)

Biaya Produksi Tetap Rp13.419.445.393 189.185.393.896 18,37% 6,53

Biaya Produksi Naik 10% Rp15.939.143.432 182.956.505.789 17,84% 6,75

Sumber: Hasil Perhitungan Penelitian

Tabel 8. Analisis Sensitivitas Apabila Penjualan Turun 10% dan Biaya Tetap Naik 10%

ParameterProduksi Listrik

(KWh)

Jumlah Biaya

(Rp/tahun)NPV (Rp) IRR (%)

Payback

Period (Tahun)

Penjualan Listrik Kapasitas

Optimum (100%) ; Biaya

Produksi Tetap

7.865.537 Rp13.419.445.393 189.185.393.896 18,37% 6,53

Penjualan Listrik Kapasitas

90% ; Biaya Produksi Naik

10%

7.078.984 Rp15.939.143.432 150.265.265.674 15,02% 8,65

Sumber: Hasil Perhitungan Penelitian

Tabel 9. Analisis sensitivitas apabila penjualan turun 20% dan biaya tidak berubah

ParameterProduksi Listrik

(KWh)

Jumlah Biaya

(Rp/tahun)NPV (Rp) FRR (%)

Payback

Period (Tahun)

Penjualan Listrik Kapasitas

Optimum (100%) ; Biaya

Produksi Tetap

7.865.537 Rp13.419.445.393 189.185.393.896 18,37% 6,53

Penjualan Listrik Kapasitas

80% ; Biaya Produksi Tetap 6.292.430 Rp13.419.445.393 123.802.913.666 12,71% 9,66

Sumber: Hasil Perhitungan Penelitian

Page 97: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis FInansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III

(M. Afif Shahputra, Zahari Zen, Johannes Sabam Siregar)

187

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan

pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pendirian instalasi biogas di PKS Rambutan PTPN III dapat memberikan nilai keuntungan tambahan bagi perusahaan bila ditinjau dari aspek pembiayaan/finansial serta dapat memberikan kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca atau mitigasi perubahan iklim. Discount factor sebesar 13 %, investasi biogas dengan kapasitas terpasang 1 MWh layak untuk dilaksanakan ditinjau dari semua kriteria investasi yang digunakan.

Nilai NPV sebesar Rp. 189.185.393.896 menunjukkan bahwa rencana investasi instalasi biogas layak untuk dilaksanakan karena hasil yang diperoleh lebih besar dari nol. FRR sebesar 18,37 persen menunjukkan bahwa rencana investasi biogas pabrik kelapa sawit mampu menghasilkan opportunity cost yang lebih besar daripada cost of capital sehingga layak untuk dilaksanakan. Ratio Net B/C sebesar 1,76 menunjukkan bahwa keuntungan yang dihasilkan dari proyek ini lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan sehingga layak untuk dilaksanakan. Payback Period selama 6 tahun 5 bulan menunjukkan bahwa pembangunan instalasi biogas pabrik kelapa sawit relatif singkat dan layak untuk dilaksanakan karena jangka waktu pengembalian investasi jauh lebih cepat dari umur proyek.

Hasil analisis sensitivitas investasi biogas dengan kapasitas 1 MWh, pada indikator kenaikan biaya sebesar 10 persen dan penurunan penjualan 10 persen masih layak untuk dilaksanakan. Namun apabila hasil penjualan turun sampai dengan 20 persen, maka investasi ini tidak merugi tetapi juga tidak menguntungkan karena nilai FRR hanya sebesar 12,71 persen hampir sama dengan discount factor sebesar 13 persen meskipun nilai Payback Period lebih lama sebesar 9,66 tahun dan NPV bernilai positif.

REKOMENDASI 1. Pembangunan instalasi biogas di PKS

sebagai energi terbarukan sangat penting dilaksanakan sebagai upaya peningkatan pendapatan perusahaan dan mendukung kelestarian lingkungan hidup.

2. Kerjasama dengan pihak PT. PLN memegang peranan yang sangat penting untuk memastikan kesinambungan penjualan listrik. Hal ini karena berdasarkan hasil uji sensitivitas penurunan penjualan diatas 20 persen menyebabkan investasi tidak menguntungkan.

3. Pembangunan instalasi biogas menjadi sumber energi listrik terbarukan di PKS yang existing memiliki kontinuitas pasokan bahan baku TBS yang sangat mencukupi.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Subagyo. 2008. Studi Kelayakan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Asian Biomass Handbook. 2008. Panduan untuk Produksi dan Pemanfaatan Biomassa. The Japan Institute of Energy. Sinaga, Dadjim. 2009. Studi Kelayakan Bisnis Dalam Ekonomi Global. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. Deublein, D dan Steinhauster, A., 2008. Biogas from Waste and Renewable Resources-An Introduction. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim. Ditjenbun, 2014. Pertumbuhan Areal Kelapa Sawit Meningkat. [Online] Dari: http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-362-pertumbuhan-areal-kelapa-sawit-meningkat.html. Syafrizal. 2015. Small Renewable Energy Biogas Limbah Cair (POME) Pabrik Kelapa Sawit Menggunakan Tipe Covered Lagoon Solusi Alternatif Defisit Listrik Propinsi Riau. Universitas Islam Nahdlatul Ulama. Winwork International. 2015. Booklet Konversi POME Menjadi Biogas. Jakarta

Page 98: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

190

Hasil Penelitian

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

PEMUKIMAN PADA KECAMATAN TUNGKAL ILIR

KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

(CIVIL SOCIETY PARTICIPATION IN HOUSEHOLD GARBAGE

MANAGEMENT AT TUNGKAL ILIR SUBDISTRICT WEST TANJUNG

JABUNG REGENCY)

Fitriza Yulian*, Septu Haswindy**

*Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jambi

*Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi

Jalan R.M Noor Atmadibrata No.1A, Telanaipura, Kota Jambi, 36361

email : [email protected]

Diterima: 17 Juli 2017; Direvisi: 21 Agustus 2017; Disetujui: 10 September 2017

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah pemukiman, untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman serta untuk menganalisis

hubungan karakteristik masyarakat dan lingkungan pemukiman dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman sehingga terwujud kebersihan dan

keindahan keberlanjutan lingkungan pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir. Berdasarkan hasil

analisis distribusi frekuensi yang dilakukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir adalah

tingkat pendidikan, pendapatan, luas halaman, keadaan lingkungan, sikap terhadap lingkungan dan persepsi masyarakat. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman

di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat dikategorikan rendah atau kurang

yaitu sebesar 56,0%, sedang atau cukup sebesar 25,0% dan tinggi atau baik sebesar 19,0%. Berdasarkan hasil analisis chi-square karakteristik masyarakat dan lingkungan pemukiman

berhubungan positif sangat nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat, karakteristik

masyarakat yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan sampah pemukiman adalah lama tinggal.

Kata kunci: pengelolaan sampah pemukiman, karakteristik masyarakat, partisipasi masyarakat

ABSTRACT

The aim of this research is to identify the influencing factors of civil society participation in

household garbage management, to identify level of society participation in household garbage

management and to analyse the characteristic of relation of society characteristic and settlement environment with society participation level in household garbage management till cleanliness

and continuity of settlement environmental beauty at Tungkal Ilir subdistrict. In result of distribution frequency anlaysis stated factors that influence society participation level in

household garbage management at Tungkal Ilir subdistrict are education level, earning, yard,

environment circumstance, attitude to environment and society perception. Level of society participation in household garbage management in Tungkal Ilir subdistrict West Tanjung Jabung

categorized low or less that equal to 56,0%, medium or enough equal to 25,0 % and high or

good equal to 19,0%. Based on chi-square analysis result, society and environment characteristic correlate positive and very real with society participation level in household garbage management

at Tungkal Ilir subdistric West Tanjung Jabung, society characteristic which has no relationship with society participation level in household garbage management is time of stay periode.

Keywords: house waste management, society characteristic, society participation

Page 99: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

191

PENDAHULUAN Saat ini sampah menjadi persoalan serius

terutama bagi daerah perkotaaan sebagai daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan jumlah konsentrasi sampah yang besar. Menurut Balai Teknik Air Minum dan Sanitasi Wilayah I Kementerian Pekerjaan Umum (2012: 8) hal ini akibat dari makin besarnya jumlah timbulan sampah perkotaan sebesar 2-4%/tahun yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana persampahan yang memadai, rendahnya kualitas dan tingkat pengelolaan sampah serta keterbatasan lahan Tempat Pemprosesan Akhir (TPA).

Produksi sampah tidak sebanding dengan sistem pengangkutan dan pengelolaannya selama ini sehingga terjadi penumpukan sampah dimana-mana. Mengenai pengelolaan sampah yang hingga kini masih menjadi permasalahan kota, apabila sampah tidak dilakukan pengelolaan dengan baik maka akan menimbulkan masalah. Timbunan sampah yang tak terkendali akibat aktivitas manusia akan berdampak pada permasalahan lingkungan seperti menurunnya keindahan kota, timbulnya bau dari pembusukan sampah, terjadinya pencemaran udara akibat pembakaran sampah yang mengganggu kesehatan masyarakat dan menjadi sumber penyakit bagi kesehatan manusia. Timbunan sampah di TPA dengan jumlah yang besar akan melepas gas methana (CH4) sehingga berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca. Pencemaran sumur dan air tanah akan terjadi apabila cairan yang dikeluarkan oleh sampah tersebut (air lindi) meresap ke tanah serta terjadinya pendangkalan sungai akibat pembuangan sampah ke sungai atau badan air (Suwerda, 2012: 6-7).

Persentase rumah tangga di Provinsi Jambi dalam perlakuannya memilah sampah mudah membusuk dan tidak mudah membusuk sebesar 5,83% sampah dipilah dan sebagian dimanfaatkan, 10,28% sampah dipilah kemudian dibuang dan 83,90% sampah tidak dipilah (BPS, 2013). Secara geografis, Kecamatan Tungkal Ilir di Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan daerah pesisir berada pada ketinggian tiga meter dari permukaan laut (BPS Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2014: 2). Sebagai daerah pasang surut, kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap ciri khas bangunan sebagai tempat tinggal masyarakatnya yaitu menggunakan pondasi cerucuk kayu untuk membangun rumah. Keunikan ini tentunya berdampak pada budaya masyarakat dalam membuang sampah, dimana masyarakat dengan sengaja membuang sampah ke bawah rumah mereka bahkan dengan memberi lubang di lantai rumah untuk memudahkan dalam

membuang sampah. Mungkin mereka menganggap bahwa sampah yang mereka buang ke bawah rumah akan ikut mengalir ke sungai di saat air pasang. Akan tetapi, kondisi ini berdampak buruk di saat air surut, dimana sampah akan menumpuk di bawah rumah warga yang sebagian besar dengan rumah panggung.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh kelompok kerja pada Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) Bapemdal Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2013 bahwa pengelolaan sampah rumah tangga di Kabupaten Tanjung Jabung Barat terbanyak yaitu dilakukan dengan cara dibakar sebesar 78,33 %, dibuang ke lahan kosong 7,24 %, dibiarkan saja sampai membusuk 3,68 %, dibuang ke dalam lubang tetapi tidak ditutup dengan tanah 2,8 %, dikumpulkan dan dibuang ke TPS 2,54 %, dibuang ke sungai 1,35 %, dibuang ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah 0,96 %, dikumpulkan oleh kolektor informal yang mendaur ulang 0,56 % dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa sampah belum dijadikan sumberdaya bagi masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Menurut Mardikanto (2015: 78) bahwa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mensyaratkan adanya pengelolaan sumberdaya ekologi secara bijaksana oleh masyarakat lokal salah satunya mendorong masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah menjadi sumber daya.

Berdasarkan jumlah penduduk tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, penduduk terkonsentrasi di Kecamatan Tungkal Ilir karena daerah ini merupakan ibukota kabupaten. Sebagian besar penduduk di kecamatan ini adalah pendatang atau perantau dengan komposisi Suku Banjar sebagai suku mayoritas, sisanya Suku Bugis, Suku Minang dan perantau yang berasal dari Riau. Pertumbuhan rata-rata penduduk pertahun di Kecamatan Tungkal Ilir selama tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 sebesar 2,29% (BPS Kabupaten Tanjung Jabung Barat, 2014: 21). Semakin meningkatnya penduduk maka akan meningkatkan pola konsumsi masyarakat yang semakin beragam dan tentunya akan berdampak pada volume sampah. Teknologi ramah lingkungan untuk mengurangi sampah semakin digalakkan, kondisi ini membutuhkan suatu kesadaran masyarakat dan pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi dampak negatif dari meningkatnya volume sampah demi mewujudkan kebersihan dan keindahan keberlanjutan lingkungan pemukiman yang sehat dan aman.

Menurut Kholil (2005: 186) upaya pengurangan produksi sampah melalui

Page 100: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

192

pengurangan laju pertambahan penduduk kurang efektif. Pengurangan efektif dapat dilakukan melalui peningkatan partisipasi masyarakat sebagai sumber utama sampah. Dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, pentingnya partisipasi setiap warga masyarakat melalui suatu kegiatan pembangunan. Dahuri et al. (1996) dalam Erwina (2005: 8) menyatakan bahwa untuk mewujudkan program pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu dibutuhkan partisipasi masyarakat yang tepat dan optimal. Khusus dalam pengelolaan sampah, sampai saat ini peran serta masyarakat secara umum hanya sebatas pembuangan saja, belum sampai tahap pengelolaan yang dapat bermanfaat kembali. Kondisi ini mencerminkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap penanganan sampah masih rendah, masyarakat belum menganggap sampah sebagai suatu sumber daya (resources), masyarakat belum terinformasikan tentang berbagai peraturan atau pedoman dalam pengelolaan sampah, pemerintah cenderung menjadikan masyarakat sebagai objek dalam pembangunan sehingga pemerintah kurang mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengelolaan sampah. Sebaiknya pemerintah menjadikan masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan dalam hal perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, bahwa sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Menurut Lembaga Penelitian Universitas Indonesia (1989) dalam Kholil (2005: 9) sampah merupakan limbah padat atau setengah padat yang berasal dari aktivitas manusia, terdiri dari bahan organik dan anorganik yang dapat dibakar dan tidak dibakar, dan tidak termasuk kotoran manusia. Selanjutnya menurut Murtadho (1988) dalam Solehati (2005: 6) sampah dapat diartikan sebagai suatu bahan atau benda padat yang tidak dikehendaki yang berasal dari aktivitas sehari-hari dan bersifat padat, cair atau gas. Suryati (2014: 3) menyatakan bahwa sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan hasil dari suatu proses.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, sampah yang dikelola terdiri dari (1) sampah rumah tangga merupakan sampah campuran antara sampah organik dan anorganik, sampah ini berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, disebut juga dengan sampah pemukiman; (2) sampah sejenis sampah rumah tangga, sampah ini berasal dari kawasan komersial seperti berasal dari hotel, perkantoran, restoran, rumah sakit, kawasan

pariwisata, dan lain-lain (3) sampah spesifik, sampah yang digolongkan dengan sampah spesifik adalah sampah yang mengandung B3 (bahan berbahaya beracun), limbah B3, sampah yang timbul akibat bencana dan sebagainya.

Prajudi (1980) dalam Solehati (2005: 12) menyatakan bahwa pengelolaan merupakan pengendalian dan pemanfaatan semua faktor dan sumberdaya dimana diperlukan suatu perencanaan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Istilah pengelolaan dapat disamakan dengan manajemen. Dalam proses manajemen, terlibat fungsi pokok diantaranya planning, organizing, actuating dan controlling (POAC).

Menurut Azwar (1990) dalam Matrizal (2005: 9) bahwa jumlah sampah ditentukan oleh kebiasaan hidup masyarakat, musim dan waktu, standar hidup, macam masyarakat dan cara pengelolaan sampah. Menurut Jumar (2014: 10) bahwa faktor pendukung dalam pengelolaan sampah antara lain tingkat pendidikan, pengembangan teknologi dan model pengelolaan sampah, aksi kebersihan, adanya peraturan tentang persampahan dan penegakan hukum.

Azwar (1990) dalam Matrizal (2005: 9) menyatakan bahwa pencemaran lingkungan paling utama di Indonesia adalah pencemaran yang berasal dari sampah rumah tangga. Pada umumnya jumlah sampah ditentukan oleh kebiasaan hidup masyarakat, waktu dan musim, standar hidup, macam masyarakat, cara pengelolaan sampah.

Hana dan Munasinghe (1995); Ostrom (1992) dalam Kholil (2005: 29) menyatakan bahwa peran serta merupakan bentuk perilaku yang ditentukan oleh karakteristik diri seseorang dan lingkungan. Menurut Fahrudin (1995) dalam Erwina (2005: 9) karakteristik sosial ekonomi masyarakat pesisir berbeda dengan kelompok masyarakat industri. Hal ini dikarenakan keeratan karakteristik ekonomi masyarakat pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana dan sosial budaya. Menurut Mardikanto (2015: 21-190) beberapa karakteristik diri seseorang sebagai warga masyarakat antara lain jenis kelamin, umur, suku atau etnis, agama, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan, keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, perilaku keinovatifan, jumlah dan kepadatan penduduk (hal ini akan menentukan ragam status dan luas rata-rata kepemilikan lahan), sikap masyarakat terhadap penegakkan peraturan-peraturan yang ada, manajemen dan resolusi konflik.

Inti dari partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut

Page 101: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

193

21 Ne

Nn

+=

)1(

61

2

2

−−=nn

Drs

kepentingan masyarakat (Mikkelsen, 2011: 9-59). Di dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudan kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan, sehingga masyarakat menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah kewajiban dari pemerintah sendiri akan tetapi menuntut keterlibatan masyarakat (Mardikanto, 2015: 81).

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas tulisan ini bertujuan; (1) Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir, (2) Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat, (3) Untuk menganalisis hubungan karakteristik masyarakat dan lingkungan pemukiman dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman sehingga terwujud kebersihan dan keindahan keberlanjutan lingkungan pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif evaluatif, dimana objek studi yang dilakukan adalah masyarakat Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang akan menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat serta hubungan karakteristik masyarakat dan lingkungan pemukiman dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi yang memiliki 8 (delapan) kelurahan dan 2 (dua) desa. Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan cara stratified random sampling berdasarkan tingkat kepadatan penduduk di tempat penelitian. Kondisi Kecamatan Tungkal Ilir yang homogen membuat tidak semua kelurahan atau desa dijadikan sampel. Kelurahan atau desa terpilih dibagi berdasarkan letak adminstrasinya yaitu bagian hulu, tengah dan hilir.

Metode yang digunakan untuk menentukan jumlah responden (n) dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin (Sevilla et al., 1992).

Dimana n adalah jumlah responden, N adalah jumlah populasi (kepala keluarga),e adalah presisi diharapkan (10%).

Jumlah penduduk di Kecamatan Tungkal Ilir sebanyak 64.910 jiwa. Maka, jumlah sampel yang akan dijadikan objek dalam penelitian ini berdasarkan rumus Slovin sebanyak 100 orang kepala keluarga. Matrik sebaran sampel dapat dilihat pada Tabel 1.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey deskriptif melalui wawancara, penelusuran pustaka dan pengamatan di lapangan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara kepada responden (kepala keluarga) pada RT terpilih menggunakan kuisioner dengan berbagai pertanyaan menggunakan angket atau formulir dan melakukan pengamatan langsung di lapangan terhadap kondisi fisik pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir. Data sekunder didapat melalui data dan laporan dari beberapa instansi terkait di Kabupaten Tanjung Jabung Barat serta pustaka lainnya guna mendukung penelitian ini.

Pengolahan dan analisa data dilakukan secara statistik kualitatif non parametrik untuk menguji data ordinal dari hipotesis yang diajukan, kemudian diproses menggunakan program SPSS (Statistical Program for Social Science) pada komputer. Hubungan antara variabel pada sampel dengan data yang berskala ordinal dilakukan melalui uji statistik X2 (khi kuadrat) dengan rumus (Suliyanto, 2014: 129) :

Dimana X2 adalah chi-square, fo adalah frekuensi yang diobservasi, fe adalah frekuensi yang diharapkan. Untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antar variabel (variabel bebas dan variabel tidak bebas) akan dilakukan uji korelasi Rank Spearman. Rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut (Irianto, 2015: 144) :

Dimana rs adalah koefisien korelasi Rank

Spearman, 6 adalah konstanta, d adalah selisih antar dua variabel, variabel X merupakan variabel tidak bebas yaitu tingkat partisipasi masyarakat (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian) sedangkan variabel Y merupakan variabel bebas yaitu (pendidikan, pendapatan, lama tinggal, luas halaman, keadaan

Page 102: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

194

Gambar 1. Pemilihan RT dari Kelurahan atau Desa sebagai Lokasi Sampel Penelitian

Tabel 1. Matrik Sebaran Sampel

Responden RT

Padat Sedang Jarang Kel/Desa Hulu

Tengah Hilir

KhRp

KtRp

KiRp

KhRs

KtRs

KiRs

KhRj

KtRj

KiRj

Jumlah Sampel KRp KRs KRj

Keterangan : K = Kelurahan/Desa h = Hulu i = Hilir s = Sedang R = RT t = Tengah P = Padat j = Jarang

Tabel 2. Jumlah Masing-masing Sampel pada RT Terpilih

Kelurahan/Desa RT

Nama Jmlh KK Jmlh Sampel No Jmlh KK Jmlh Sampel Teluk Sialang 145 16 01

05 13

74 43 28

8 5 3

Tungkal III 336 36 02 04 13

176 112 48

19 12 5

Kampung Nelayan

445 48 07 05 13

235 135 75

25 15 8

Page 103: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

195

21

2

s

sr

nrt

−=

lingkungan, persepsi masyarakat dan sikap terhadap lingkungan), n adalah jumlah pengamatan.

Untuk mengetahui apakah variabel bebas (x) berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas (y) maka akan dilakukan uji t untuk korelasi spearman dengan rumus (Irianto, 2015: 146-147)

Keterangan : Dimana n-2 adalah derajat kebebasan - Jika t hitung lebih besar dari t tabel pada

tingkat signifikansi 5% (taraf kepercayaan 95%) maka harga rs signifikan (korelasi signifikan).

- Jika t hitung lebih kecil dari t tabel pada tingkat signifikansi 5% (taraf kepercayaan 95%) maka harga rs tidak signifikan (korelasi tidak signifikan).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sampah Pemukiman. A. Karakteristik Masyarakat dan Lingkungan Pemukiman. 1. Tingkat pendidikan. Berdasarkan Tabel 3 didapatkan 61,0% responden lulus SD atau SMP, sebanyak 24,0% responden berpendidikan SMA dan 15,0% responden berpendidikan tinggi yaitu diploma atau sarjana. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan responden yang menjadi contoh dalam penelitian ini masih rendah sehingga lebih sulit dalam menyerap informasi khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan sampah pemukiman.

2. Pendapatan. Pendapatan dimaksud adalah pendapatan rata-rata yang diterima oleh responden setiap bulannya. Berdasarkan Tabel 4 diperoleh 62,0% pendapatan responden perbulan masih rendah yaitu kurang dari Rp. 1.710.000,- atau di bawah rata-rata upah minimum yang ditetapkan Provinsi Jambi untuk tahun 2015, sebanyak 26% pendapatan responden perbulan adalah sedang antara Rp. 1.710.000,- sampai Rp. 3.000.000,- dan sebanyak 12% pendapatan responden tergolong tinggi yaitu lebih dari Rp. 3.000.000,- atau di atas rata-rata upah minimum provinsi. Hal ini dikarenakan secara geografis Kecamatan Tungkal Ilir merupakan daerah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya sebagai nelayan dan bergerak dibidang pengelolaan hasil laut serta berdasarkan hasil pengamatan bahwa kesempatan kerja di daerah penelitian ini sangat

kecil sehingga berpengaruh pada tingkat pendapatan.

3. Lama Tinggal. Berdasarkan hasil penelitian diketahui lama tinggal responden (dalam tahun) di wilayah pemukiman yang menjadi lokasi penelitian. Berdasarkan Tabel 5 sebanyak 10,0% responden kurang dari 3 (tiga) tahun berada di wilayah pemukimannya, sebanyak 7,0% responden dikategorikan sedang antara 3 (tiga) sampai 5 (lima) tahun berada di wilayah pemukimannya dan sebanyak 83,0% responden dikategorikan lama atau lebih dari 5 (lima) tahun berada di wilayah pemukimannya.

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden sudah lama menempati tempat tinggalnya. Faktor yang sangat mempengaruhi dari lama tinggal responden ini adalah daerah penelitian yang merupakan daerah lama dimana perantau masuk memalui jalur laut ke Kecamatan Tungkal Ilir kemudian menetap dan turun temurun memiliki keluarga serta ibukota kabupaten sebelum dimekarkanpun berada di Kota Kuala Tungkal Kecamatan Tungkal Ilir.

4. Luas Halaman. Berdasarkan Tabel 6 didapatkan 17,0% responden tidak memiliki halaman, sebanyak 59,0% responden memiliki halaman tetapi tidak memiliki media tanam sehingga tanaman ditanam dengan pot dan hanya bisa parkir motor, sebanyak 24,0% responden dikategorikan memiliki halaman dan media tanam dan bisa parkir mobil. Bahwa lebih dari setengah responden memiliki halaman rumah yang sempit (hanya bisa parker motor). Hal ini dikarenakan kondisi geografis Kecamatan Tungkal Ilir sebagai kota pasang surut dengan biaya yang cukup besar untuk membangun sebuah rumah, sehingga sangat sedikit masyarakat yang memiliki halaman yang luas.

5. Keadaan Lingkungan Pemukiman. Keadaan lingkungan pemukiman adalah menyangkut situasi dan kondisi secara fisik keadaan lingkungan pemukiman masyarakat, seperti : kepemilikan kamar mandi, kondisi jamban atau wc, sumber air minum, kondisi saluran air atau selokan, kepemilikan dan kondisi halaman rumah, kepemilikan pagar halaman rumah, kondisi pepohonan sekitar rumah, bahan bangunan dinding dan lantai rumah, kondisi sinar matahari, kondisi jalan, kondisi luas rumah serta kondisi tempat pembuangan sampah.

Berdasarkan kuisioner, dapat diuraikan keadaan lingkungan pemukiman yang paling tinggi dikemukakan oleh responden. Sebagian besar responden telah memiliki kamar mandi (87%). Sumber air minum yang digunakan oleh responden sebagian besar adalah air hujan atau air galon (97%). Hal ini didukung oleh data BPS Tahun2014 bahwa sumber air minum

Page 104: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

196

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase (%)

1. Rendah (SD atau SMP sederajat) 61 61.0 2. Sedang (SMA sederajat) 24 24.0

3. Tinggi (Diploma atau Sarjana) 15 15.0

Total 100 100,0

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendapatan Responden

No. Pendapatan Frekuensi Persentase (%)

1. Rendah (< Rp. 1.710.000,-) 62 62.0

2. Sedang (Rp. 1.710.000,- s/d Rp. 3.000.000,-) 26 26.0

3. Tinggi (> Rp. 3.000.000,-) 12 12.0

Total 100 100,0

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Lama Tinggal Responden

No Lama Tinggal Frekuensi Persentase (%)

1 Baru (< 3 tahun) 10 10.0 2 Sedang (3-5 tahun) 7 7.0 3 Lama (> 5 tahun) 83 83.0

Total 100 100.0

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Luas Halaman Responden

No. Luas Halaman Frekuensi Persentase (%)

1. Tidak memiliki halaman (tidak ada tanaman, tidak bisa parkir kendaraan)

17 17.0

2. Memiliki halaman (tidak memiliki media tanam, tanaman ditanam dengan pot, hanya bisa parkir motor)

59 59.0

3. Memiliki halaman (ada media tanam untuk tumbuh tanaman bahkan pepohonan, bisa parkir mobil)

24 24.0

Total 100 100,0

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Sikap Responden Terhadap Lingkungan

Sikap Terhadap Lingkungan

Setuju Kurang Peduli Tidak Setuju

n % n % n %

1. Jika ada orang yang membuang sampah sembarangan

5 5.0 29 29.0 66 66.0

2. Jika melihat sampah berserakan

1 1.0 27 27.0 72 72.0

3. Jika melihat sampah yang belum dibersihkan dan diangkut oleh petugas kebersihan

3 3.0 26 26.0 71 71.0

Page 105: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

197

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Persepsi Responden terhadap Pengelolaan Sampah Pemukiman

No Persepsi Tidak Setuju Kurang Peduli Setuju

N % n % n %

1 Semua sampah yang ada

dibuang pada tempat sampah

2 2.0 56 56.0 42 42.0

2 Sampah di sungai atau parit atau

selokan seharusnya dibersihkan

untuk dibuang dan diangkut ke

tempat pembuangan sampah

sementara terdekat

1 1.0 66 66.0 33 33.0

3 Sebulan sekali (hari minggu)

warga masyarakat

membersihkan lingkungan

masing-masing agar lingkungan

sehat dan bersih dari sampah

6 6.0 63 63.0 31 31.0

4 Membayar retribusi sampah

setiap bulan kepada petugas

atau pemerintah untuk

kelancaran proses pengelolaan

sampah pemukiman

13 13.0 69 69.0 18 18.0

5 Hadir jika rapat di tungkat RT

atau Kelurahan yang membahas

tentang akan diadakannya

gotong royong untuk

membersihkan lingkungan

pemukiman

6 6.0 67 67.0 27 27.0

6 Sanksi bagi orang yang

membuang sampah di

sembarang tempat atau

melamggar peraturan dalam

pengelolaan sampah

pemukiman

30 30.0 49 49.0 21 21.0

7 Prinsip warga masyarakat yng

membuang sampah di kali atau

selokan atau parit adalah wajar

karena kondisinya sudah kotor

dan penuh dengan sampah

11 11.0 54 54.0 35 35.0

8 Menjaga kebersihan lingkungan

pemukiman dari sampah

menjadi tanggung jawab

pemerintah

51 52.0 32 32.0 17 17.0

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

No Partisipasi Masyarakat dalam

Pengelolaan Sampah Pemukiman

Frekuensi Persentase (%)

1 Kurang 56 56.0 2 Sedang 25 25.0 3 Baik 19 19.0

Page 106: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

198

masyarakat Kecamatan Tungkal Ilir hanya air hujan dan air kemasan atau air isi ulang. Kondisi saluran air atau selokan sekitar rumah responden ada sampah tetapi airnya mengalir (49%). Sementara itu, sebagian besar rumah responden tidak memiliki pagar (66%) dan sekitar rumah responden tidak memiliki pohon (55%). Sebesar 69% bangunan dinding dan lantai rumah responden terbuat dari kayu. Kondisi jalan rumah responden adalah sempit, tidak dapat dilewati mobil dengan persentase sebesar 50%. Kondisi luas rumah responden adalah sedang dengan (ada ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi dan dapur) dengan jumlah 57%. Sebagian besar responden (55%) tidak memiliki tempat sampah, sehingga sampah dibuang ke tempat terbuka. Dengan demikian, secara umum dilihat dari keadaan lingkungan responden, aspek sanitasi belum baik dan memadai. Untuk mengetahui kategori keadaan lingkungan pemukiman secara keseluruhan, dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 2 didapatkan 35% keadaan lingkungan pemukiman responden dikategorikan keadaan kurang, sebanyak 45,0% keadaan lingkungan pemukiman responden sedang dan sebanyak 20,0% keadaan lingkungan pemukiman responden dikategorikan baik. Salah satu faktor yang perlu diperbaiki oleh responden terkait keadaan lingkungannya adalah memiliki tempat sampah sehingga sampah tidak dibuang ke tempat terbuka, untuk menghindari bau dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal sebaiknya gunakan tempat sampah tertutup dan tidak membiarkan sampah menumpuk lebih dari dua hari.

6. Sikap Terhadap Lingkungan. Berdasarkan Tabel 7 sebesar 66% responden tidak setuju jika ada orang yang membuang sampah sembarangan, 72% responden tidak setuju jika melihat sampah berserakan, 71% responden tidak setuju jika melihat sampah yang belum dibersihkan dan belum diangkut oleh petugas kebersihan.

Sikap responden terhadap lingkungan secara keseluruhan berdasarkan Gambar 3 dengan kategori baik sebesar 61%. Akan tetapi nilai persentase sikap responden terhadap lingkungan secara keseluruhan belum maksimal (baik), terbukti masih ada 26% sikap responden yang kurang peduli dan bahkan setuju (13%) jika ada orang yang membuang sampah sembarangan, melihat sampah berserakan, melihat sampah yang belum dibersihkan dan belum diangkut oleh petugas kebersihan. Hal ini erat kaitannya dengan budaya masyarakat Tungkal Ilir yang membuang sampah ke bawah rumah.

7. Persepsi Masyarakat. Berdasarkan Tabel 8. bahwa persepsi masyarakat sebesar 51% setuju jika menjaga kebersihan lingkungan pemukiman dari sampah menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa separuh dari responden masih menganggap masalah sampah harus diselesaikan oleh pemerintah saja.

Berdasarkan Gambar 4. dapat dilihat bahwa sebesar 24,0% persepsi masyarakat termasuk dalam kategori buruk, sebesar 54,0% persepsi masyarakat termasuk dalam kategori cukup dan 22,0% persepsi masyarakat termasuk dalam kategori baik. Persepsi responden dinilai dalam kategori cukup atau sedang diharapkan dapat memberikan ide atau saran dalam pengelolaan sampah pemukiman sehingga sampah tidak menjadi sumber pencemaran lingkungan.

B. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman dengan konsep 3R yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dan penilaian dalam pengelolaan sampah pemukiman. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi dapat dilihat pada Tabel 9.

Berdasarkan Tabel 9 didapatkan 56,% partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman dikatagorikan kurang, sebanyak 25,0% partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman sedang dan sebanyak 19,0% partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman baik.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman terdiri dari perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan dan penilaian.

1. Perencanaan. Berdasarkan Gambar 5 diperoleh rata-rata sebesar 66,3% responden termasuk dalam kategori kurang dalam melakukan perencanaan pengelolaan sampah pemukiman, sebesar 24,3% responden termasuk dalam kategori sedang dalam melakukan perencanaan pengelolaan sampah pemukiman dan sebesar 9,3% responden termasuk dalam kategori baik dalam melakukan perencanaan pengelolaan sampah pemukiman. Hal-hal yang masih perlu diperbaiki terkait dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan sampah pemukiman adalah partisipasi masyarakat dalam memberikan gagasan, pendapat atau ide dalam rapat yang berhubungan dengan pengelolaan sampah lingkungan pemukiman.

Page 107: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

199

Tabel 10. Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

Tingkat Pendidikan Partisipasi Masyarakat Jumlah P - Value

Kurang Sedang Baik

n % n % n %

Rendah 43 70.5% 13 21.3% 5 8.2% 61 0,000

Sedang 11 45.8% 8 33.3% 5 20.8% 24

Tinggi 2 13.3% 4 26.7% 9 60.0% 15

Total 56 56.0% 25 25.0% 19 19.0% 10.0

Tabel 11. Analisis Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan

Sampah Pemukiman

Pendapatan Partisipasi Masyarakat Jumlah P - Value

Kurang Sedang Baik

n % N % n %

Rendah 43 69.4 12 19.4 7 11.3 62 0,002

Sedang 11 42.3 9 34.6 6 23.1 26

Tinggi 2 16.7 4 33.3 6 50.0 12

Total 56 56.0% 25 25.0% 19 19.0% 10.0

Tabel 12. Analisis Hubungan Lama Tinggal dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

Lama tinggal Partisipasi Masyarakat Jumlah P - Value

Kurang Sedang Baik

n % N % n %

Baru 7 70.0 2 20.0 1 10.0 10 0,559

Sedang 5 71.4 2 28.6 0 0 7

Lama 44 53.0 21 25.3 18 21.7 83

Total 56 56.0% 25 25.0% 19 19.0% 100

2. Pelaksanaan. Berdasarkan Gambar 7

secara umum partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengelolaan sampah pemukiman adalah kurang sebesar 48,6%, sedang sebesar 32,7% dan baik sebesar 18,7%. Masyarakat sebaiknya melakukan pengelolaan sampah rumah tangga dengan baik agar tidak terjadi pencemaran lingkungan pemukiman khususnya disaat air surut sampah akan berserakan sehingga merusak pemandangan, menimbulkan kesan kumuh dan bau tidak sedap serta pencemaran terhadap air sungai. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat

masih rendah tingkat partisipasinya dalam pelaksanaan.

3. Pengawasan dan Penilaian. Pengawasan dan penilaian, ukuran indikatornya adalah ketersediaan jumlah tempat pembuangan sampah, kondisi TPS, frekuensi pelayanan pengangkutan sampah, keikutsertaan masyarakat, cara kerja petugas kebersihan, pemerintah memberikan insentif dan pemerintah melaksanakan promosi.

Berdasarkan Gambar 7 diperoleh bahwa 69,9% partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan dan penilaian pelayanan pemerintah dalam pengelolaan sampah

Page 108: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

200

pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat dikategorikan masih kurang, sebesar 22,3% cukup dan hanya 7,9% dikategorikan baik. Partisipasi ini penting untuk mengevaluasi dan terhadap program pengelolaan sampah yang dilakukan pemerintah dan merencanakan program yang lebih baik dari sebelumnya.

C. Hubungan Karakteristik Masyarakat dan Lingkungan Pemukiman dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman. 1. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Partisipasi Masyarakat. Hasil analisis pada Tabel 10 menunjukkan hubungan tingkat pendidikan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman, bahwa ada 61 responden yang berpendidikan rendah (SD atau SMP) memiliki partisipasi masyarakat kurang sebanyak 70,5%. Sebanyak 24 responden berpendidikan SMA atau sedang dengan partisipasi masyarakat kurang sebanyak 45,8%. Sebanyak 15 responden berpendidikan tinggi (diploma atau sarjana) didapatkan partisipasi baik sebesar 60,0%. Tingginya persentase responden berpendidikan tinggi yang memiliki tingkat partisipasi baik disebabkan tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap pengelolaan sampah dan dampak yang ditimbulkan akibat tidak melakukan pengelolaan sampah dengan baik.

Hasil uji statistik Chi-square diperoleh nilai p-value 0,000 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang pernah diperoleh seseorang mempengaruhi cara pandang orang tersebut untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka semakin baik pula tingkat partisipasinya dalam pengelolaan sampah pemukiman. Kesadaran terhadap pentingnya pengelolaan sampah pemukiman terkait dengan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pengetahuan dan pemahaman akan berdampak pada lingkungannya dalam hal ini adalah pengelolaan sampah.

2. Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat. Hasil analisis pada Tabel 11 menunjukkan hasil analisis hubungan tingkat pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah

pemukiman. Sebanyak 62 responden berpendapatan rendah dengan tingkat partisipasi masyarakat kurang sebanyak 69,4%. Sebanyak 26 responden berpendapatan sedang dengan tingkat partisipasi masyarakat kurang sebanyak 42,3%. Sebanyak 12 responden berpendapatan tinggi dengan tingkat partisipasi masyarakat baik sebanyak 50,0%.

Hasil uji statistik Chi-square diperoleh nilai p-value = 0,002 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Dengan demikian, penghasilan atau pendapatan responden berpengaruh terhadap keterlibatannya dalam pengelolaan sampah. Hal ini disebabkan karena orang yang berpendapatan tinggi mempunyai banyak waktu untuk berpartisipasi dibandingkan dengan orang yang berpendapatan rendah. Didukung dengan Neolaka (2008) dalam Riswan (2011, 3) berpendapat kemiskinan membuat orang tidak peduli dengan lingkungan. Orang dalan keadaan miskin dan lapar, pusing dengan kebutuhan keluarga, pendidikan dan lain-lain, bagaimana dapat berpikir tentang peduli lingkungan, misalnya tidak mampu menyediakan pewadahan atau tempat sampah di rumah tangga karena faktor ketidakmampuan secara ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan maka tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman semakin tinggi pula.

3. Hubungan Lama Tinggal dengan Partisipasi Masyarakat. Hasil analisis pada Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 10 responden dengan lama tinggal kurang dari tiga tahun diperoleh tingkat partisipasi masyarakat yang kurang sebanyak 70,0%. Sebanyak 7 responden dengan lama tinggal sedang (antara tiga tahun sampai dengan lima tahun) diperoleh tingkat partisipasi masyarakat yang kurang sebanyak 71,4%. Sebanyak 85 responden dengan lama tinggal lama atau lebih dari lima tahun diperoleh tingkat partisipasi masyarakat yang kurang sebanyak 53,0%.

Hasil uji statistik Chi-square diperoleh nilai p-value = 0,559 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan antara lama tinggal dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Diharapkan semakin lama seseorang tinggal di suatu tempat, semakin besar rasa memiliki dan perasaan dirinya sebagai bagian dari lingkungannya yang

Page 109: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

201

Gambar 2. Keadaan Lingkungan Pemukiman Responden

Gambar 3. Sikap Responden Terhadap

Lingkungan

Gambar 4. Persepsi Responden Terhadap Lingkungan

Gambar 5. Sebaran Responden Berdasarkan

Kategori Perencanaan Masyarakatdalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan

Kategori Pelaksanaan Masyaraka dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kategori Pengawasan dan Penilaian

Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

Page 110: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

202

kemudian diikuti dengan partisipasi yang tinggi dalam kegiatan yang ada di lingkungannya. Akan tetapi berdasarkan hasil analisis, variasi lama tinggal tidak menimbulkan perbedaan tingkat partisipasi dalam pengeloaan sampah pemukiman. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden masih kurang memiliki rasa kepedulian di lingkungan tempat tinggalnya sehingga budaya membuang sampah di bawah rumah dan sekitar pemukiman tempat tinggal masih dilakukan oleh sebagian besar responden.

4. Hubungan Luas Halaman dengan Partisipasi Masyarakat. Hasil analisis pada Tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak 17 responden dengan yang tidak memiliki halaman memiliki tingkat partisipasi masyarakat yang kurang sebanyak 76,5%. Sebanyak 59 responden yang memiliki halaman dengan kondisi tidak memiliki media tanam, tanaman ditanam dengan pot dan hanya bisa parkir motor diperoleh tingkat partisipasi masyarakat yang kurang sebanyak 64,4%. Sebanyak 24 responden yang memiliki halaman dengan kondisi ada media tanam untuk tumbuh tanaman bahkan pepohonan dan bisa parkir mobil diperoleh tingkat partisipasi masyarakat sedang sebanyak 50,0%.

Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p-value 0,002 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang signifikan antara luas halaman dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Semakin luas halaman maka semakin baik tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Hal ini disebabkan responden dengan kondisi luas halaman yang besar harus memiliki perhatian dan pengelolaan yang ekstra dibandingkan dengan responden dengan luas halaman yang lebih kecil sehingga akan berdampak pada pengelolaan sampah pemukiman.

5. Hubungan Keadaan Lingkungan Pemukiman dengan Partisipasi Masyarakat. Tabel 14 menunjukkan hubungan keadaan lingkungan pemukiman dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman, bahwa ada 35 responden dengan keadaan lingkungan pemukiman kurang dengan tingkat partisipasi masyarakat kurang sebesar 85,7%. Sebanyak 45 responden dengan keadaan lingkungan pemukiman cukup didapatkan partisipasi masyarakat kurang sebesar 53,3%. Sebanyak 20 responden dengan keadaan lingkungan pemukiman baik didapatkan partisipasi masyarakat sedang dan baik sebesar 45,0%. Keadaan lingkungan pemukiman yang semakin baik dikarenakan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam pengelolaan sampah pemukiman.

Hasil uji statistik Chi-square diperoleh nilai p-value 0,000 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang signifikan antara keadaan lingkungan pemukiman dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Dengan demikian kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah pada keadaan lingkungan pemukiman yang baik lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan lingkungan pemukiman yang kurang dan cukup. Sehingga semakin baik keadaan lingkungan pemukiman maka semakin baik atau sedang tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman.

Keeratan hubungan yang nyata antara keadaan lingkungan pemukiman dengan tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh sifat seseorang, dimana seseorang denga lingkungan sekitarnya baik akan berusaha menjaga lingkungannya agar tetap bersih. Sehingga, lingkungan akan terpelihara dengan baik apabila didukung oleh tingkat partisipasi masyarakatnya.

6. Hubungan Sikap Terhadap Lingkungan dengan Partisipasi Masyarakat. Hasil analisis pada Tabel 15 menunjukkan bahwa sebanyak 61 responden dengan sikap terhadap lingkungan kurang didapatkan partisipasi masyarakat kurang sebesar 77,0%. Sebanyak 26 responden dengan sikap terhadap lingkungan sedang didapatkan partisipasi sedang dan baik sebesar 34,6%. Sebanyak 13 responden dengan sikap terhadap lingkungan baik didapatkan partisipasi masyarakat baik sebesar 76,9%. Sikap responden terhadap lingkungan menunjukkan seberapa besar perhatian responden terhadap keadaan lingkungan sekitarnya yang kemudian akan diterapkan sebagai kesadaran responden dalam pengelolaan sampah pemukiman.

Hasil uji statistik Chi-square diperoleh nilai p-value 0,000 (p<0,05), maka dapat disimpulkan bahwa secara statistik ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap lingkungan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Bahwa semakin baik sikap masyarakat terhadap lingkungan maka tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan sampah pemukiman akan semakin baik pula. Salah satu kebiasaan masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat adalah tidak membuang sampah sembarangan. Kerusakan lingkungan yang berasal dari perilaku manusia seperti membuang sampah sembarangan merupakan salah satu faktor yang menimbulkan masalah sampah di suatu daerah sehingga sulit untuk dikendalikan.

7. Hubungan Persepsi Masyarakat dengan Partisipasi Masyarakat. Tingkat pengetahuan

Page 111: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

203

Tabel 13. Analisis Hubungan Luas Halaman dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

Luas Halaman Partisipasi Masyarakat Jumlah F - Value

Kurang Sedang Baik

n % n % n %

Tidak memiliki halaman (tidak bisa parkir kendaraan)

13 76.5 2 11.8 2 11.8 17 0,002

Memiliki halaman (tidak memiliki media tanam, tanaman ditanam dengan pot, hanya bisa parkir motor)

38 64.4 11 18.6 10 16.9 59

Memiliki halaman (ada media tanam untuk tumbuh tanaman bahkan pepohonan, bisa parkir mobil)

5 20.8 12 50.0 17 29.2 24

Total 56 56.0 25 25.0 19 19.0 100

Tabel 14. Analisis Hubungan Keadaan Lingkungan Pemukiman dengan Partisipasi Masyarakat

dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

Keadaan Lingkungan Pemukiman

Partisipasi Masyarakat Jumlah F - Value

Kurang Sedang Baik

n % n % n %

Kurang 30 85.7 2 5.7 3 8.6 35 0,000

Cukup 24 53.3 14 31.1 7 15.6 45

Baik 2 10.0 2 45.0 2 45.0 20

Total 56 56.0 25 25.0 19 19.0 100

Tabel 15. Analisis Hubungan Sikap Terhadap Lingkungan dengan Partisipasi Masyarakat dalam

Pengelolaan Sampah Pemukiman

Sikap Terhadap Lingkungan

Partisipasi Masyarakat Jumlah F - Value

Kurang Sedang Baik

N % n % n %

Kurang 47 77.0 13 21.3 1 1.6 61 0,000

Cukup 9 34.6 9 34.6 8 30.8 26

Baik 0 0.0 3 23.1 10 76.9 13

Total 56 56.0 25 25.0 19 19.0 100

Page 112: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

204

Tabel 16. Analisis Hubungan Persepsi Masyarakat dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman

Persepsi Masyarakat Partisipasi Masyarakat Jumlah P - Value

Kurang Sedang Baik

N % n % n %

Buruk 22 91.7 1 4.2 1 4.2 24 0,000

Cukup 31 57.4 15 27.8 8 14.8 54

Baik 3 13.6 9 40.9 10 45.5 22

Total 56 56.0 25 25.0 19 19.0 100

masyarakat mengenai pengelolaan sampah pemukiman dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana pemahaman masyarakat berkaitan pengelolaan sampah pemukiman. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau orang lain, baik diperoleh secara tradisional atau cara modern. Tabel 16 menunjukkan hasil analisis hubungan persepsi masyarakat dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Sebanyak 24 responden dengan persepsi masyarakat buruk didapatkan partisipasi masyarakat kurang sebesar 91,7%. Sebanyak 54 responden dengan persepsi masyarakat cukup didapatkan partisipasi masyarakat kurang sebesar 57,4%. Sebanyak 22 responden dengan persepsi masyarakat baik didapatkan partisipasi masyarakat baik sebesar 45,5%. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan bahwa sebagian besar persepsi responden masih dikategorikan buruk dengan tingkat partisipasi yang kurang dalam pengelolaan sampah pemukiman.

Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p-value 0,000 (p<0,05), dengan kesimpulan bahwa secara statistik ada hubungan yang signifikan antara persepsi masyarakat dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman. Persepsi responden terhadap lingkungan berpengaruh signifikan dengan pengelolaan sampah pemukiman. Semakin positif persepsi responden terhadap lingkungan maka semakin baik pula partisipasinya dalam pengelolaan sampah pemukiman. Dari hasil wawancara yang dilakukan bahwa pada umumnya responden beranggapan lingkungan pemukiman tempat tinggal mereka sudah penuh dengan sampah untuk itu diharapkan bimbingan dan penyuluhan serta program pemerintah dalam pengelolaan sampah pemukiman.

KESIMPULAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir antara lain adalah tingkat pendidikan, pendapatan, luas halaman, keadaan lingkungan, sikap terhadap lingkungan dan persepsi masyarakat.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat dikategorikan rendah atau kurang yaitu sebesar 56,0%, sedang atau cukup sebesar 25,0% dan tinggi atau baik sebesar 19,0%.

Karakteristik masyarakat dan lingkungan pemukiman berhubungan positif sangat nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman di Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat, karakteristik masyarakat yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman adalah lama tinggal.. REKOMENDASI Instansi Pemerintah terkait seperti Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Kebersihan diharapkan lebih berperan aktif dalam meningkatkan partisipasi masyarakat baik berupa program-program seperti sosialisasi, penyuluhan serta gotong royong pada tingkat masyarakat. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kepala Badan Penelitian dan pengembangan Provinsi Jambi, yang telah memfasilitasi hingga terlanaksananya kajian ini sampai selesai. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari Jurnal Inovasi yang telah memberikan rekomendasi perbaikan bagi tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Artiningsih, N, K, A., Hadi, S, P. dan Syafrudin. 2008. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Studi Kasus di Sampangan &

Page 113: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

205

Jomblang, Kota Semarang). Jurnal Ilmiah Universitas 17 Agustus 1945 Semarang.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2013. Tanjung Jabung Barat dalam Angka Tahun 2010 - 2014. Badan Pusat Statistik Kuala Tungkal.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2013. Tungkal Ilir dalam Angka Tahun 2010 - 2014. Badan Pusat Statistik Kuala Tungkal.

Badan Pusat Statistik. 2013. Data Sensus. http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1360 diunduh pada tanggal 4Juli2015 pukul 1:02 WIB.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2013. Buku Putih Sanitasi Kelompok Kerja Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Kuala Tungkal.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2012. Laporan Draft Final Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Tungkal Ilir. Kuala Tungkal.

Bakri, R, A. 1992. Pengelolaan Sampah Pemukiman dan Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaannya di Kota Administratif Depok. [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Erwina. 2005. Analisis Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kualitas Lingkungan di Daerah Pesisir Kasus di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara. [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Hamzah, Syukri. 2013. Pendidikan Lingkungan. Bandung : PT. Refika Aditama.

Kantor Pengelolaan Pasar, Kebersihan, Tata Bangunan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. 2011. Rencana Strategis Kantor Pengelolaan Pasar, Kebersihan, Tata Bangunan Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tahun 2011-2016. Kuala Tungkal.

Irianto, A. 2015. Statistik Konsep Dasar, Aplikasi dan Pengembangannya. Jakarta : Prenadamedia Group.

Jumar, Fitriyah, N., dan Kalalinggi, R. Strategi Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kelurahan Lok Bahu Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda. 2014. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman Volume 2 Nomor 1 : 771-782. Samarinda.

Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 2014. Materi Bidang Sampah I, Diseminasi dan Sosialisasi Keteknikan Bidang PLP. Jakarta.

Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Cipta Karya, Balai Teknik Air Minum dan Sanitasi Wilayah I. 2012. Jakarta.

Kholil. 2005. Rekayasa Model Sistem Dinamik Pengelolaan Sampah Terpadu Berbasis Nirlimbah (Zero Waste) Studi Kasus di Jakarta Selatan. [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Mardikanto, T dan Soebianto, P. 2015. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif dan Kebijakan Publik. Bandung : PT. Alfabeta.

Matrizal. 2005. Partisipasi Masyarakat dalam Program Kebersihan dan Pengelolaan Sampah Pemukiman di Kota Aceh. [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Mikkelsen B. 2011. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya Pemberdayaan : Panduan Bagi Praktisi Lapangan. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah.

Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle Melalui Bank Sampah.

Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Poerwanto, H. 2005. Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Riswan. Hadiyarto dan Sunoko H, R. 2011. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kecamatan Daha Selatan. Jurnal Ilmu Lingkungan Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Vol 9 No 1.

Sevilla, C.G., J.A. Ochave., T.G. Punsalan, B.P. Regala, dan E.G. Uriarte. 1992. Research Methods. Rex Printing Company. Quezon City.

SK Gubernur Jambi Nomor 554 Tahun 2014 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2015.

SNI Nomor 3242 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah di Permukiman.

Soemirat. 2003. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Solehati. 2005. Studi tentang Pengelolaan Sampah Padat Rumah Tangga di Kota Meulaboh Aceh. [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Suliyanto. 2014. Statistika Non Parametrik. Yogyakarta : Andi Offset.

Suryati. 2014. Bebas Sampah dari Rumah. Jakarta : PT. AgroMedia Pustaka.

Suwerda, B. 2012. Bank Sampah (Kajian Teori dan Penerapannya). Yogyakarta : Pustaka Rihama.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Page 114: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi Vol. 14 No. 2 Oktober 2017: 190-206

206

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Walalangi, James Yosep. 2012. Analisis Komposisi Sampah Organik dan Anorganik serta Dampak Terhadap Lingkungan Pesisir Kota Palu Sulawesi Tengah. [Tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Winardi.1991. Ekonomi Mikro Aspek-aspek Pengusaha Badan Usaha Perusahaan. Bandung: CV. Mandar Maju.

Page 115: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Inovasi, Jurnal Politik dan Kebijakan, Vol 14: 1-206

Indeks Penulis

A Andhika, Lesmana Rian, “Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi”, 14(2): 162-171

B Budiarto, Sofyan, “Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten”, 14(2): 110-117 Budi T, Kristian “Formulasi Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Jombang Menggunakan Matrik Quantitative Strategic Planning (QSP)”, 14(1): 54-60 Bukit, Ernita, lihat Fauzi, Iif Rahmat

D

Darina, Silvia, “Model Kelembagaan Pemasaran Cabai Merah di Kawasan Sentra Produksi Pertanian Sumatera Utara”, 14(1): 83-90

F Fauzi, Iif Rahmat, “Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan

Karet”, 14(2): 142-154

H Haswindy, Septu, lihat Yuliana, Fitriza Husni, Nobrya, lihat Mahulae, Porman Juanda Marpomari Husni, Nobrya, “Analisis Permasalahan Pengelolaan Sungai Deli”, 14(1): 77-82

I

Iskandar, Irham, “Strategi Pengelolaan Dana Bantuan Sosial”, 14(1): 46-53

K

Kuswanda, Wanda, “Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau”, 14 (2):118-129

M

Mahulae, Porman Juanda Marpomari, “Implementasi KebijakanPemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam Pemenuhan Kebutuhan Listrik di Desa-Desa Terpencil di Sumatera Utara”, 14(1): 61-76

N

Nasution, Lokot Zein, “Strategi Pengembangan Sukuk Korporasi di Indonesia: Metode Analytical Hierarchy Process”, 14(1): 13-27 Nughroho, Priyo Adi, “Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet”, 14(2): 155-161

P

Prihadyanti, Dian, lihat Triyono, Budi Pane, Erwin, lihat Fauzi, Iif Rahmat

R

Rahman, Abdul, lihat Fauzi, Iif Rahmat

Page 116: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

S Siagian, Dumora Jenny Margaretha, “Realita Pekerja Anak di Wilayah Pesisir Kota Tanjung Balai”, 14(1):

34-45

Sinaga, Anton Parlindungan, “Kelembagaan Pemasaran Komoditas Jagung di Kawasan Sentra Produksi”,

14(1): 91-101

Shahputra, M. Afif, “Analisis Finansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS

Rambutan PTPN III”, 14(2): 180-189

Siregar, Johannes Sabam, lihat Shahputra, M. Afif

Siregar, Tumpal H. S, lihat Fauzi, Iif Rahmat Sitorus, Jonni, “Sumber Daya Manusia Guru SMP dalam rangka Peningkatan Mutu Pendidikan”, 14(1): 28-

34

Situmorang, Rospita Odorlina P, lihat Syahfitri, Iin

Sukmana, Asep, lihat Sunandar, Ahmad Dany

Sunandar, Ahmad Dany, “Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat

Tumbuh Jenis-Jenis Pohon”, 14(2): 130-141

Suprayitno, Eddi, “Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan

Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik di

D.I.Yogyakarta)”, 14(2): 102-109

Syahfitri, Iin, “Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan

Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya”,

14(2): 172-179

T

Triyono, Budi, “Peran KementerianRiset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dalam Pnguatan Sistem Inovasi di Indonesia”, 14(1): 1-12

Y

Yuliana, Fitriza, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat”, 14(2): 190-206

Z

Zen, Zahari, lihat Shahputra, M. Afif

Page 117: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

DAFTAR ISI VOLUME 14

Halaman Peran Kementerian Riset, Teknologi Dan Pendidikan Tinggi Dalam Penguatan Sistem Inovasi Di Indonesia (Budi Triyono, Dian Prihadyanti)

1-12

Strategi Pengembangan Sukuk Korporasi Di Indonesia: Metode Analytical Hierarchy Process (Lokot Zein Nasution)

13-27

Sumber Daya Manusia Guru SMP Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan (Jonni Sitorus)

28-34

Realita Pekerja Anak Di Wilayah Pesisir Kota Tanjung Balai (Dumora Jenny Margaretha Siagian dan Edy Suhartono)

35-45

Strategi Pengelolaan Dana Bantuan Sosial (Irham iskandar) 46-53 Formulasi Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kabupaten Jombang Menggunakan Matrik Quantitative Strategic Planning (QSP) (Kristian Budi T)

54-60

Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) Dalam Pemenuhan Kebutuhan Listrik Di Desa-Desa Terpencil Di Sumatera Utara (Porman Juanda Marpomari Mahulae, Nobrya Husni)

61-76

Analisis Permasalahan Pengelolaan Sungai Deli (Nobrya Husni) 77-82 Model Kelembagaan Pemasaran Cabai Merah Di Kawasan Sentra Produksi Pertanian Sumatera Utara (Silvia Darina)

83-90

Kelembagaan Pemasaran Komoditas Jagung Di Kawasan Sentra Produksi (Anton Parlindungan Sinaga)

91-101

Pengaruh Orientasi Pasar dan Kapabilitas Inovasi Dalam Meningkatkan Nilai Pelanggan Serta Dampaknya Terhadap Keunggulan Bersaing Perusahaan (Survei Pada Industri Batik dI D.I.Yogyakarta) (Eddi Suprayitno)

102-109

Analisis Struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Banten (Moh Sofyan Budiarto) 110-117 Pemanfaatan Lahan Penyangga dan Kebijakan Pemerintah untuk Mengurangi Konflik Manusia dengan Orangutan (Pongo Abelii Lesson): Studi Kasus Pelepasliaran Orangutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau (Wanda Kuswanda)

118-129

Strategi Rehabilitasi Lahan di DAS Padang Berdasarkan Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-Jenis Pohon (Ahmad Dany Sunandar, Asep Sukmana)

130-141

Alternatif Upaya Penanggulangan Kelangkaan Penyadap di Perusahaan Perkebunan Karet (Iif Rahmat Fauzi, Ernita Bukit, Erwin Pane, Abdul Rahman, Tumpal H.S. Siregar)

142-154

Pembangunan Rorak dan Aplikasi Tankos di Areal Perkebunan Karet (Priyo Adi Nugroho) 155-161 Modus Operandi Korupsi Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia Dilema, Tantangan Dan Strategi Anti Korupsi (Lesmana Rian Andhika)

162-171

Tingkat Kepuasan Terhadap Pegelolaan Perpustakaan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Iin Syahfitri dan Rospita Odorlina P. Situmorang)

172-179

Page 118: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Analisis FInansial Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit Sebagai Energi Terbarukan di PKS Rambutan PTPN III (M. Afif Shahputra, Zahari Zen, Johannes Sabam Siregar)

180-189

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Pemukiman Pada Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Fitriza Yuliana, Septu Haswindy)

190-206

Page 119: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Pedoman Penulisan Naskah Ilmiah

Jurnal INOVASI

Jurnal INOVASI memuat karya tulis ilmiah hasil

penelitian atau tinjauan kepustakaan dalam bidang

pemerintahan dan kemasyarakatan, sosial budaya,

ekonomi dan pembangunan, sumberdaya alam dan

maritim sebagai bahan kebijakan dan wawasan

berpolitik. Jurnal INOVASI terbit dua kali dalam

setahun setiap bulan Mei dan Oktober.

Naskah yang akan diterbitkan dalam Jurnal

INOVASI Balitbang Provinsi Sumatera Utara,

harus memenuhi ketentuan berikut :

1. Naskah berupa karya asli yang belum pernah

dipublikasikan di tempat lain dan tidak sedang

diajukan ke tempat lain.

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia sesuai

kaidah bahasa Indonesia yang disempurnakan.

3. Komponen utama naskah setidak-tidaknya

memuat hal-hal berikut:

a. Judul, ditulis dengan jelas menggambarkan

isi tulisan.

b. Identitas Penulis, dimuat di bawah judul

tulisan, memuat nama, nama instansi, asal

negara, alamat korespondensi dan e-mail.

c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia

dan Bahasa Inggris beserta kata kuncinya.

Abstrak ditulis dalam 1 alinea berisi

masalah, tujuan penelitian, hasil dan saran/

usulan, dengan jumlah kata 200-300 kata.

d. Pendahuluan, tidak menggunakan

subjudul, berisi penjelasan padat dan

ringkas tentang latar belakang penelitian,

studi pustaka yang mendukung dan relevan,

serta tujuan penelitian.

e. Metode Penelitian berisikan disain

penelitian yang digunakan, populasi/sampel

atau subjek/objek, sumber data, instrumen,

analisis dan teknik analisis yang digunakan.

f. Hasil dan Pembahasan. Hasil adalah

temuan penelitian yang disajikan apa

adanya tanpa pendapat penulis, pembahasan

adalah argumentasi penulis tentang temuan

penelitian serta relevansinya dengan

penelitian terdahulu. Pembahasan hasil

penelitian diarahkan pada ranah kebijakan

untuk semua disiplin ilmu. Disajikan tanpa

subjudul.

g. Kesimpulan menjawab tujuan penelitian

tanpa melampauinya, disajikan dalam

bentuk narasi.

h. Rekomendasi berupa alternatif-alternatif

kebijakan dalam bentuk pointer, berisi

bentuk dan telaahannya untuk dilaksanakan

mengacu pada prinsip tepat-guna, logis dan

relevan.

i. Ucapan terimakasih. Memuat pihak-pihak

yang berkontribusi dalam kegiatan

penelitian.

4. Tabel, gambar dan grafik dapat terbaca

dengan jelas dan hendaknya agar dilampirkan

secara terpisah serta diberi penjelasan yang

memadai.

5. Penulisan rujukan sesuai dengan model

Harvard. Pada isi tulisan, nama penulis ditulis

disertai dengan tahun penulisannya. Pada

bagian Daftar Pustaka, penulisan diurut sesuai

dengan abjad.

6. Referensi 50% hasil penelitian relevan

terdahulu. Beberapa contoh bentuk referensi

dalam jurnal ini adalah:

Buku

Abel, R. 2004. Revolusi Kesehatan Mata: Pencegahan dan

Pengembalian Masalah Penglihatan. New York: Kensington

Book

Chaniago, A. 2010. Studi Pustaka dan Konseptualisasi

Penelitian. Dalam: Zaluchu, F. Metodologi Penelitian

Kesehatan. Bandung: Citapustaka Media, hal 79-92.

Artikel dari Jurnal

Ang, L. dan Taylor, B. 2005. Memanajemen Keuntungan

Konsumen Menggunakan Matriks Portofolio. Jurnal

Pemasaran dan Manajemen Konsumen Strategik 12 (5), hal

298-304

Bagian di dalam buku

Ballinger, A. dan Clark, M. 2001. Nutrisi, Pengendalian

Nafsu Makan dan Penyakit. Dalam: Payne-James, J. dkk.

editor. Dukungan Artifisial bagi Praktik Klinik. Edisi kedua.

London: Greenwich Medical, hal 225-239

Koran

Benoit, B. 2007. Peran G8 dalam Pemanasan Global. Harian

Kompas 29 Mei 2007, hal 9.

Laporan

Komisi Eropa. 2004. Laporan Pendahuluan terhadap

Implementasi dari Strategi Pemasaran Internal 2003-2006.

Luxemburg: Unit Publikasi Komisi Eropa.

Konferensi

Fiedelius, H.C. 2000. Miopi dan Penurunan Visual: Aspek

Global. Dalam: Lin, L.L.K. dkk. editor. Miopia Terbarukan

II: Prosiding Konferensi Internasional ke-7. Taipei, 17-20

Nopember 1998. Tokyo: Springer, hal 31-37.

Tesis

Garcia-Sierra, A. 2000. Investigasi Penyebab Ca-Serviks

pada Wanita Usia Subur di Perkotaan. Tesis PhD,

Universitas Indonesia.

Jurnal Artikel Elektronik

Merchant, A.T. 2009. Diet dan Aktifitas Fisik pada Anak-

Anak di Kawasan Kumuh Perkotaan: sebuah Studi Cross

Sectional. Jurnal Nutrisi [Online] Edisi 6. Dari:

http://www.nutritionj.com/content/pdf/1475-2891-6.1.pdf

[Diakses: 10 Mei 2007].

Page 120: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Web Page

Thompson, B. 2006. Mengapa Balita Butuh ASI [Online].

Dari: http://news.bbc.co.uk/1/hi/health/459876 [Diakses: 10

Mei 2007].

Depkes RI. 2006. Panduan Imunisasi [Online]. Dari:

http://www.depkes.go.id/bayi_panduan_imunisasi/2345

[Diakses: 19 Februari 2011].

7. Naskah dituliskan dengan menggunakan Times

New Roman 12, maksimal 20 halaman A4

spasi ganda, ditulis dengan program komputer

Microsoft Word.

8. Naskah yang masuk hendaknya diterima 2

(dua) bulan sebelum waktu penerbitan untuk

direview oleh anggota dewan redaksi dan

reviewer (mitra bestari) yang ditunjuk oleh

Dewan Redaksi.

9. Dewan Redaksi berhak menolak naskah ilmiah

yang dianggap tidak layak muat di Jurnal

Inovasi. Naskah diserahkan dalam bentuk

softcopy. Nama file, judul dan nama penulis

naskah dituliskan pada label CD. Naskah

dipersiapkan dengan menggunakan pengolah

kata Microsoft Word. Pengiriman naskah ke

alamat redaksi melalui surat elektronik ke :

[email protected]

atau melalui pos ke :

Dewan Redaksi Jurnal INOVASI

Badan Penelitian Dan Pengembangan

Provinsi Sumatera Utara

Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126

10. Redaksi berhak menolak naskah yang isi dan

formatnya tidak sesuai dengan pedoman

penulisan naskah di atas dan redaksi tidak

berkewajiban untuk mengembalikan naskah

tersebut.

11. Setiap penulis yang karya tulisnya telah

diterbitkan, akan mendapat satu buah cetak

lepas dan satu buah full print.

12. Setiap penulis menyetujui untuk mengalihkan

hak ciptanya ke Jurnal Inovasi jika naskahnya

diterima untuk diterbitkan.

Page 121: Volume 14, Nomor 2 Oktober 2017 ISSN 1829-8079

Alamat Redaksi :

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PROVINSI SUMATERA UTARA

Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Tel. (061) 7866225; 7883016; Fax. (061) 7866248

Email : [email protected]

INO

VA

SI –

Vol. 1

4, N

o.2

, Okto

ber 2

017, h

ala

man 1

02 - 2

06