Volatile food kppu
-
Upload
diassatria -
Category
Economy & Finance
-
view
248 -
download
2
Transcript of Volatile food kppu
1
VOLATILE FOOD: STUDI KASUS JAWA TIMUR1
Oleh: CANDRA FAJRI ANANDA2
A. Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas strategis yang menjadi salah satu pusat perhatian
dalam penyumbang inflasi. Pangan dikategorikan sebagai bahan-bahan makanan yang
diolah untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan nutrisi bagi tubuh manusia. Pangan yang
tergolong sebagai bahan-bahan makanan pokok diklasifikasikan menjadi sembilan bahan
pokok (sembako) yang terdiri dari: beras, telur, gula, bawang merah, bawang putih, cabe,
tepung terigu, daging, dan minyak goreng. Sembilan bahan makanan pokok tersebut
memiliki fluktuasi harga yang sangat sensitif. Ketika pada tertentu, seperti menjelang bulan
Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, menjelang Natal dan Tahun Baru, dan hari-hari besar
lainnya, permintaan kebutuhan pangan sangat tinggi sehingga mendorong kenaikan harga
pangan.
Kenaikan harga pangan, juga dapat dilihat dari sisi supply-nya. Iklim dan cuaca
yang sulit diprediksi berdampak pada produksi pangan. Gagal panen karena faktor cuaca,
serangan hama, dan bencana alam berdampak pada berkurangnya produksi pangan
sehingga menipisnya supply pangan berdampak pada melambungnya harga pangan. Kasus-
kasus seperti ini seringkali muncul, misalnya kenaikan harga cabe, daging sapi, kedelai, dan
sebagainya. Kondisi ini diperparah dengan konversi lahan yang semakain tinggi, dimana
lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi daerah kawasan industri, kawasan
perkantoran, dan perumahan. Dampak akhirnya, kenaikan harga pangan mendorong
kenaikan laju inflasi yang cukup tinggi.
Kenaikan harga pangan tidak hanya terjadi di daerah bukan penghasil pangan,
akan tetapi juga terjadi di daerah-daerah penghasil pangan seperti Jawa Timur. Jawa Timur
merupakan salah satu penyangga pangan nasional. Jawa Timur merupakan penghasil
1 Disampaikan dalam konsinyering kajian volatile food yang diselenggarakan oleh KPPU Wilayah
Kerja KPD Surabaya.
2 Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Brawijaya
2
utama komoditi pangan seperti beras, gula, daging, telur, dan kedelai, jagung, serta
komoditi pangan lainnya.
B. Volatile Food: Perspektif Toeri
a. Permintaan dan Penawaran
Permintaan adalah kebutuhan masyarakat/individu terhadap suatu jenis barang,
dan tergantung kepada factor-faktor antara lain: Harga barang itu sendiri (Px), Harga
barang lain (Py), Pendapatan konsumen (Inc), Cita rasa (T), Iklim (S), Jumlah penduduk
(Pop), Ramalan masa yang akan datang (F), sehingga fungsi permintaan adalah:
Dalam konteks pergerakan harga pangan, ketika pendapatan masyarakat naik, maka
dapat menyebabkan kenaikan harga barang, asumsinya dari sisi suplly tidak ada
perubahan. Kondisi ini dapat terjadi ketika di negara-negara berkembang seperti
Indonesia karena sebagian masyarkatnya masih tergolong menengah ke bawah,
sehingga ketika pendapatan naik maka proporsi pendapatan yang digunakan untuk
konsumsi juga ikut naik.
Sedangkan Penawaran dalah banyaknya barang yang ditawarkan oleh penjual pada
suatu pasar tertentu, pada periode tertentu, dan pada tingkat harga tertentu. Faktor-
faktor yang mempengaruhi penawaran adalah Harga( Px), Harga barang lain (Py), biaya
faktor produksi (Fp), Teknologi (T), Tujuan perusahaan, dan Ekspektasi (ramalan).
Secara matematis fungsi penawaran adalah:
Qs = F (Px, Py, Fp, T ....... )
Teknologi pada sektor pproduksi pangan (on farm) saat ini masih relatif tradisional,
sehingga hal ini berpengaruh pada kurang maksimalnya produksi pangan.
b. Inflasi
Secara teori inflasi dapat didefinisikan suatu keadaan dimana peredaran uang
secara umum lebih besar dibandingkan peredaran barang di suatu negara/wialyah pada
periode tertentu. Dapat dikatan inflasi apabila memenuhi 3 (tiga) syarat utama yaitu: 1)
Qd = F.(Px, Py, Ine,T,S, Pop,F
3
terjadi kenaikan harga; 2) Terjadi secara umum; dan 3) Berlangsung terus menerus. Jika
dari salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara/wilayah tidak dapat
dikatakan mengalami inflasi. Sebagai contoh, Misalkan terjadi kenaikan harga cabe sebesar
20% di Indonesia. Bila kenaikan harga cabe tidak diikuti dengan kenaikan komoditas atau
barang - barang secara umum maka tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami
inflasi. Seandainya juga terjadi kenaikan BBM yang mendorong harga - harga barang secara
umum naik namun hanya berlangsung sesaat juga tidak dapat dikatakan sebagai suatu
keadaan dimana negara berada dalam keadaan inflasi
Inflasi bila ditinjau dari tarikan permintaan dan penawaran, maka penyebab inflasi
dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu: 1) Demand pull inflation, merupakan suatu
keadaan dimana inflasi di sebabkan oleh kenaikan permintaan agregat yang lebih besar
daripada kenaikan penawaran agregat; 2) Cost push inflation merupakan suatu keadaan
dimana penawaran agregat mengalami penurunan; 3) Mixed Inflation,
Merupakan gabungan antara demand pull inflation dan cost push inflation.
Permasalahan inflasi selalu dihadapi oleh setiap negara. Berbagai negara
memberikan perhatian serius terhadap inflasi, salah satu kebijakan yang umum digunakan
oleh negara-negara didunia adalah dengan menerapkan Inflation Targeting Framework
(ITF). Secara umum, Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja
kebijakan moneter yang secara eksplisit mentargetkan inflasi dan kebijakan moneter
secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi dimaksud.
Meskipun definisi berbeda secara rinci, terdapat konsensus umum mengenai karakteristik
pokok dari rezim kebijakan moneter ini, yaitu: adanya sasaran inflasi yang secara eksplisit
menjadi tujuan utama pemeliharan kestabilan harga oleh bank sentral, terbatasnya
dominasi fiskal dan tidak adanya sasaran nominal yang lain, dan otoritas moneter yang
dibekali dengan independensi instrumen dan beroperasi secara transparan dan terbuka
kepada publik.
Negara-negara yang menerapkan kebijakan Inflation Targeting
mengimplementasikan suatu “rule”, seperti Taylor rule dalam merespon terhadap tekanan
inflasi ke depan. Secara spesifik, instrumen suku bunga digunakan untuk melengkapi
kebijakan moneter, yang disesuaikan apabila terjadi deviasi antara prakiraan inflasi yang
4
akan datang (forecast inflasi) dengan target inflasi yang telah ditetapkan, serta apabila
proyeksi atas aggregat permintaan telah melebihi kapasitas perekonomian.
Dalam memperkuat kekuatan model dalam pencapaian target inflasi diperlukan
set indicator variables yang penting sebagai information variables. Secara umum
information variables merupakan sebuah set variabel indikator yang mempunyai
kandungan informasi untuk memprediksi inflasi yang akan datang. Sebuah variabel dapat
berperan sebagai information variabel ataupun sebagai intermediate target, tergantung
dari framework kebijakan moneter yang digunakan.
Sebagai contoh, nilai tukar dalam rezim nilai tukar tetap merupakan intermediate
target, namun dalam rezim nilai tukar fleksibel merupakan information variable. Contoh
lain, uang beredar yang berperan sebagai intermediate target dalam framework monetary
targeting, dapat berperan sebagai information variable dalam framework Inflation
Targeting. Peranan dari suatu variable “hanya” sebagai information variable berbeda
dengan peranannya sebagai intermediate target. Dalam framework intermediate targeting,
variabel tersebut harus memiliki hubungan struktural dengan variabel yang menjadi
sasaran akhir yaitu inflasi, lebih dari sekedar memiliki ‘forecasting power’ atau ‘leading
indicator’ inflasi. Lebih dari itu hubungan struktural tersebut harus stabil. Tentu saja
variabel yang menjadi intermediate target harus dapat dikontrol oleh bank sentral melalui
instrumen yang dimiliki, sehingga intermediate target itu berupa variabel finansial, seperti
suku bunga jangka panjang atau uang beredar.
Sementara itu, variabel yang berperan sebagai information variabel tidak
memerlukan hubungan struktural yang stabil dengan inflasi namun cukup memerlukan
forecasting power terhadap inflasi. Di samping itu, salah satu keuntungan penggunaan
information variable di dalam Inflation Targeting adalah dimungkinkannya untuk
memasukkan indikator nonfinansial.
Berbeda dengan intermediate targeting dimana kebijakan moneter dilakukan
secara pasif seperti misalnya Friedman’s money supply rule, pendekatan information
variables berhubungan dengan penggunaan kebijakan moneter yang aktif seperti dalam
Inflation Targeting dimana respon kebijakan moneter merupakan hasil ‘feedback’ dari
variabel indikator. Information variables ini diharapkan dapat memberikan signal kepada
5
otoritas moneter sehingga otoritas moneter dapat melakukan tindakan preventif jika
terjadi “shock” yang dapat mempengaruhi target inflasi. Atas dasar informasi tersebut,
otoritas moneter diharapkan dapat memperbaiki policy stance yang diperlukan.
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Inflasi IHK
Sumber: Bank Indonesia, 2000
Jika dibreakdown, komponen dalam inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) terdiri
dari inflasi administrated prices, inflasi inti dan inflasi volatile foods. Inflasi administrated
price secara umum adalah inflasi yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah semisal
kebijakan dalam kenaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), kebijakan harga angkutan
umum dll. Selanjutnya inflasi volatile foods merupakan inflasi yang disebabkan oleh
kenaikkan harga yang disebabkan di sisi penawaran semisal tata niaga, gagal panen dll.
Yang terakhir adalah inflasi inti, yaitu inflasi yang disebabkan oleh output gap dan
ekspektasi inflasi.
Berkaitan dengan volatile food, terdapat beberapa penelitian yang menekankan
pengaruh volatile food terhadap inflasi. Penelitian KBI Batam (2008), dalam kajiannya
tentang ‘’Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Volatile Food Kota Batam”
memperoleh kesimpulan bahwa dalam jangka pendek harga volatile food sangat berperan
Inflasi Periode
Target Inflasi
BI
Ekspektasi Inflasi
Inflasi Administered
Output Gap
Inflasi Barang Impor
Nilai tukar rupiah
Inflasi luar negeri
Inflasi inti
Inflasi Volatile foods
Inflasi IHK
6
besar terhadap inflasi, sedangkan faktor seperti keterbukaan pasar, nilai tukar SGD dan
impor antar pulau sangat berpengaruh terhadap perubahan indeks harga volatile food,
sehingga untuk mengendalikan inflasi komoditi volatile food pemerintah daerah dalam
jangka pendek melakukan operasi pasar rutin secara berkala. Di samping itu, adanya shock
impor pulau dan keterbukaan pasar pangan maka dapat ditekan dengan membuka akses
yang lebih luas bagi masuknya bahan pangan dari daerah (provinsi) lain, maupun dari luar
negeri atau dapat ditempuh dengan pembentukan lembaga yang sebagai bufferuntuk
mempengaruhi perilaku pembentukan harga volatile food yang tercipta dalam struktur
pasar oligopoli.
sementara itu, penelitian Nugroho Joko Prastowo, Tri Yanuarti dan Yoni Depari
(2008) dalam papernya yang berjudul “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga
Komoditas Dan Implikasinya Terhadap Inflasi” memperoleh beberapa kesimpulan
diantaranya pertama, volatile food berpengaruh signifikan terhadap terbentuknya inflasi.
Kedua, faktor supply shock sangat berpengaruh terhadap tekanan gejolak harga kelompok
volatile food. Ketiga, berkurangnya peran pemerintah dalam pengendalian harga
komoditas mengakibatkan harga kelompok volatile food meningkat. Keempat,
pembentukan harga lima komoditas utama penyumbang inflasi kelompok volatile foods
berdasarkan hasil estimasi bahwa (i) semakin cepat rusak/busuk (perishable) suatu
komoditas tingkat fluktuasi harganya semakin; (ii) manajemen stok atas suatu komoditas
(seperti yang dilakukan Bulog dalam komoditas beras) dapat mengurangi tekanan gejolak
harga; (iii) pola produksi yang tidak dipengaruhi oleh faktor musiman dan pola distribusi
yang bersifat lokal (seperti komoditas daging sapi) mengurangi fluktuasi harga; (iv) harga
komoditas yang porsi ekspor-impornya cukup tinggi terkait erat dengan perkembangan
harga di pasar internasional.
Penelitian Hylda Christanty (2013) dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul ‘’Pengaruh
Volatilitas Harga Terhadap Inflasi Di Kota Malang: Pendekatan Model ARCH/GARCH”
memperoleh kesimpulan dengan adanya volatilitas harga yang semakin besar dari
komoditas pangan (khususnya, beras dan kentang), maka akan berpengaruh signifikan
terhadap besarnya persentase inflasi, yang mana untuk membuktikan bahwa harga beras
dan kentang berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi di Kota Malang, dapat dilihat
pergerakan harga di Giant dan Pasar Dinoyo.
7
Berdsarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa volatile food sangat
berpengaruh di dalam pergerakan laju inflasi. Oleh karena itu, kebijakan yang
komprehensif perlu diberikan untuk mengendalian inflasi akibat volatile food.
C. Gambaran Inflasi Jawa Timur
Laju inflasi Jawa Timur pada triwulan I 2013 mencapai 6,75% (yoy). Tingginya inflasi
ini disepbabkan oleh adanya pelaksanaan kebijakan pemerintah yang turut mendorong
ekspektasi dan pasokan komoditas pada kelompok bahan makanan. Pertumbuhan
ekonomi yang meningkat dan masih terbatasnya kapasitas produksi pertanian untuk
memenuhi permintaan konsumsi rumah tangga dan industri sehingga harus dipenuhi
melalui impor berdampak pada mekanisme pembentukan harga di pasar.
Tabel 1
Inflasi Jawa Timur per Kelompok Barang
Sumber: Kerjatim BI Tw I, 2013
Laju inflasi pada triwulan I Jawa Timur disumbang oleh kenaikan harga pada
kelompok bahan makanan (14,98% - yoy) serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok
dan tembakau (7,18%). Sedangkan beberapa kelompok mengalami inflasi dalam batas
normal, meliputi kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (4,75%), kelompok
kesehatan (3,10%) serta kelompok pendidikan, rekreasi dan olah raga (4,50%). Dari data
tersebut nampak bahwa kelompok bahan makan merupakan penyumbang inflasi terbesar
di Jawa Timur. Sehingga, sudah seharusnya pemerintah emmperhatikan secara lebih serisu
terhadap pergerankan harga bahan makanan.
8
Gambar 2
Infalasi Jawa Timur dan Nasional
Tekanan inflasi IHK di sepanjang triwulan I-2013 mengalami tekanan cukup tinggi
sehingga secara tahunan mencapai 6,75% (yoy), lebih tinggi dibandingkan nasional (5,90%).
Secara triwulanan, inflasi di Jatim mencapai 2,87% (qtq), lebih tinggi dibandingkan triwulan
sebelumnya (0,91% - qtq) serta inflasi nasional (2,98% - qtq). Selaian kenaikan harga bahan
pangan, inflasi Jawa timur di awal 2013 ini disebakan oleh meningkatnya ekspektasi pelaku
usaha pasca penetapan Upah Minimum Kota (UMK) dan Tarif Tenaga Listrik (TTL).
Di sisi lain, meningkatnya tekanan inflasi terutama didorong oleh kenaikan harga
pada kelompok volatile food (20,32% - yoy). Melampaui rata-rata inflasi dalam 5 (lima)
tahun terakhir, sebagaimana diuraikan sebelumnya berkurangnya pasokan di tengah masih
minimnya produksi/panen dalam negeri turut mempengruhi level harga kelompok ini.
Selanjutnya, tekanan inflasi pada kelompok administered price sedikit meningkat didorong
oleh kenaikan harga padasub kelompok bahan bakar, penerangan dan air sebagai respon
ataskebijakan kenaikan Tarif Tenaga Listrik (TTL) di awal tahun. Penurunan harga emas
perhiasan turut mempengaruhi inflasi kelompok core inflation yang tertahan pada level
4,54% (yoy) (KER Jatim Tw I, KBI Surabaya 2013).
9
D. Siapa Penikmat Kenaikan Harga Pangan?
Kenaikan harga pangan yang tinggi seharusnya dinikmati pula oleh produsen
(petani), namun pada kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Berdasarkan penelitian
INSEF (2008), menunjukkan bahwa pembentukan harga paling besar dilakukan oleh
pedagang besar untuk setiap komoditi yang disurvey, hal ini dibuktikan dari rata-rata
margin yang mereka tetapkan. Rata-rata margin paling besar terdapat pada komoditas
cabe (53%) yang kemudian di ikuti oleh komoditas ayam potong (47%). Pada lini
berikutnya, distributor, pedagang kecil dan pengecer rata-rata margin yang mereka
tetapkan berangsur-angsur menurun dan pola ini hampir sama disemua jenis komoditas.
Dari fakta di atas dapat diambil catatan bahwa untuk kelima komoditas bahan makanan
mekanisme pembentukan harga pada harga tertinggi selalu dilakukan pada level pedagang
besar. Hal ini disebabkan pedagang besar memiliki kekuatan baik dari sisi modal, teknik
pengemasan, skala penjualan dan pemasaran yang sangat kuat.
Penelitian tersebut memberikan nformasi ini menjadi sangat penting untuk melihat
keuntungan yang didapat dari masing-masing rantai dalam tata niaga, sehingga informasi
ini dapat dijadikan bahan analisis untuk menilai kekuatan penciptaan harga oleh setiap
rantai dalam tata niaga. Adapun hasil perhitungan rata-rata margin harga tersebut dapat
disampaikan melalui Tabel 2.
Tabel 2 Rata-rata Harga dan Margin Harga di Masing-masing Lini Jalur Distribusi
Sumber: Penelitian INSEF (Data diolah)
Harga Margin Harga Margin Harga Margin Harga Margin Harga Margin
Produsen 4000 - 9500 - 9000 - 8500 - 9500 -
Pedagang Besar 4800 20% 14000 47% 10000 11% 13000 53% 10300 8%
Distributor 5000 4% 16000 14% 10500 5% 14000 8% 10500 2%
Pedagang Kecil 5200 4% 17000 6% 10600 1% 15000 7% 11000 5%
Pengecel 5300 2% 18000 6% 11500 8% 15500 3% 12000 9%
Jenis Pedagang Ayam Potong Beras Cabe Merah Minyak GorengTelur
Komoditas
10
1. Gambaran Produksi dan Mekanisme Tata Niaga Beras3
Jawa Timur merupakan provinsi penyumbang produksi beras nasional yang cukup
tinggi. Di mana salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur merupakan penyumbang
beras nasional, yaitu Jember. Apabila diruntut tata niaga yang terjadi mulai dari gabah
basah menjadi beras sangatlah panjang. Hal ini disebabkan banyaknya institusi formal dan
informal yang terlibat di wilayah tata niaga, seperti Bulog, Wholesale/Pengepul, pengecer
dan sebagainya.
Dalam tata niaga yang terbentuk di pasar beras terutama di Jember, wholesale
tidak menentu menjualnya diakibatkan permintaan pasar, harga yang lebih tinggi di daerah
lain atau stok gudang yang sudah penuh, dampaknya wholesale menjual barangnya keluar
kota. Dan tujuan utama mereka adalah penjual partai besar dan pengecer, di mana untuk
mendapatkan targetnya harus bersaing dengan 5-20 wholesale yang ada di Jawa Timur,
tapi masalah tersebut dapat teratasi bila terdapat modal sosial yang kuat.
Secara umum tata niaga beras dapat dijelaskan seperti sebagai berikut, petani
menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kepada tengkulak. Jika tengkulak tersebut
tidak memiliki mesin giling, maka gabah dijual kepada pengusaha penggilingan padi (selep).
Setelah gabah digiling menjadi beras, pengusaha selep akan menjualnya kepada pasar
(pengertian pasar secara umum: toko, pengecer, pasar besar, dan sebagainya)/BULOG.
Tata niaga beras di Jawa Timur selama ini mengikuti mekanisme pasar yang ada.
Karena dalam penentuan harga beras, para penjual menjadi price taker yang sudah
ditentukan oleh pembeli yang menjadi price maker. Sehingga hal ini menjadikan wholesale
yang merupakan pembeli utama dari petani memiliki peran yang tidak signifikan terhadap
penjualan beras dalam pasar utamanya. Hal ini disebabkan beberapa hal yang menjadi
pertimbangan konsumen yaitu harga yang bergantung pada jumlah produk yang dibeli,
dalam bentuk apa pembeliannya seperti pembelian dalam bentuk gabah atau beras,
kualitas dan hubungan kerjasama yang sudah lama ada.
3 Dalam penelitian PPKE FEB – UB dengan Biro Administrasi Perekonomian Sekda Jatim
11
Gambar 2
Mekanisme Tata Niaga Komoditas Beras
Sumber: hasil pengamatan, 2011
Terkadang wholesale memiliki kekuatan untuk menjadi price maker, yang dapat
diakibatkan cuaca, event tertentu, harga beli atau harga pesaing yang terlalu rendah atau
tinggi, serta permintaan pasar atau pun biaya faktor-faktor produksi. Dari beberapa faktor
yang ada tersebut petani tidak bisa leluasa menjual produknya secara langsung ke pelaku
yang memiliki kedudukan lebih tinggi seperti pengusaha selep, karena biaya faktor
produksi yang cukup besar. Akibatnya penentu harga di pasar dalam keadaan normal
adalah pedagang terakhir yaitu pedagang eceran atau penjual partai besar. Hal ini dapat
ditunjukkan pada gambar 2.
Selanjutnya, untuk menjaga stabilitas harga-harga gabah dan beras pemerintah
melalui Bulog melakukan kebijakan membeli excess supply gabah petani, sekaligus untuk
mengisi stok pasokan di seluruh wilayah Jawa Timur. Pada musim paceklik, pemerintah
melaksanakan operasi pasar untuk meredam excess demand yang dapat melonjakkan
harga secara liar dan selama beberapa dekade, instrumen seperti ini berjalan mulus.
12
2. Gambaran Produksi dan Mekanisme Tata Niaga Cabe
Komoditi yang satu ini sempat memberi shock pada masyarakat terutama
pengusaha yang menjual makanan pedas, diakibatkan harganya yang menembus Rp
100.000,00 di akhir tahun 2010 hingga awal 2011. Di mana di Jawa Timur sendiri memiliki
banyak petani cabe yang diuntungkan akibat melambungnya harga tersebut. Di mana salah
satu kabupaten di Jawa Timur yang banyak memiliki petani cabe adalah Batu.
Dalam tata niaga cabe yang terdapat di Batu, wholesale sangat berperan dalam
menentukan harga di mana faktor yang mempengaruhinya adalah cuaca, permintaan
pasar, harga beli dan harga pesaing. Dan tujuan utama penjualan wholesale adalah
pengecer, di mana kekuatan peengecerlah yang menentukan harga secara riil di pasar
karena pengecer sering mempermainkan harga.
Melambungnnya harga yang begitu tinggi saat akhir 2010 hingga awal 2011
menurut para wholesale diakibatkan banyaknya penyakit yang menghinggapi tanaman
cabe tersebut. Di mana petani menaikkan harga yang umumnya berkisar Rp 6.000,00
menjadi Rp 35.000,00 yang akhirnya membuat harga cabe di pasar melambung tinggi.
Peran penting terdapat pada wholesale karena ada pula wholesale yang menimbun dahulu
cabe yang ada dan menunggu hingga harga yang diharapkan.
Sehingga secara umum tata niaga cabe dapat dijelaskan seperti sebagai berikut,
petani menjual hasil panennya kepada tengkulak dengan kesepakatan tertentu apakah
yang memberikan harga adalah petani atau wholesale sendiri. Bila yang menentukan harga
adalah petani, hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang mengganggu produksinya.
Sedangkan bila yang menentukan adalah wholesale, hal ini disebabkan modal sosial yang
sudah lama terbentuk antara wholesale dengan petani atau petani tidak memiliki kekuatan
untuk menentukan harga. Setelah dari wholesale, maka para wholesale akan menjualnya
kepada pasar (pengertian pasar secara umum: toko, pengecer, pasar besar, dan
sebagainya). Hal ini ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3 Mekanisme Tata Niaga Cabe
13
Tata niaga cabe di Jawa Timur selama ini cenderung mengikuti mekanisme pasar
yang ada. Karena dalam penentuan harga cabe, wholesale atau petani yang menentukan
harga berdasarkan permintaan, harga dan kualitas cabe yang ada. Sehingga dala hal ini
wholesale dapat mempengaruhi pasar berkisar 20-30%. Sehingga dibutuhkan suatu
kebijakan untuk menghadapi lonjakkan harga secara liar dan mendadak agar tidak
merugikan masyarakat seperti yang terjadi pada akhir 2010 hingga awal 2011.
3. Gambaran Produksi dan Mekanisme Tata Niaga Ayam Potong dan Telur
Di Jawa Timur, produksi ayam potong dan telur secara komersial mulai nampak
menggembirakan setelah pemerintah melalui dinas peternakan memberikan perhatian
khusus pada pengembangan produksi komoditas ayam potong dan telur. Sehingga dari
tahun ke tahun telah terjadi kenaikan produksi ayam potong dan telur yang diindikasikan
oleh banyak bermunculannya industri peternakan ayam yang efisien dengan dukungan
prasarana dan sarana yang cukup memadai.
Produksi ayam potong dan telur pada bangsa unggas sangat berkaitan dengan
waktu. Hubungan antara waktu produksi dengan jumlah produksi ayam potong dan telur
selam masa produksi tersebut dinamakan lintas produksi. Sedangkan kecepatan
pertambahan dan kecepatan penurunan produksi ayam potong dan telur itu dinamakan
laju produksi. Bila lintas produksi dapat diukur dengan fungsi produksi maka pada laju
produksi diukur dengan produktivitas marginalnya. Keduanya sangat bermanfaat untuk
merencanakan produksi ayam potong dan telur yang optimal.
Setiap peternak ayam potong dan telur menyadari bahwa usahanya tidak berdiri
sendiri akan tetapi juga tergantung pada rantai bisnis lain yang terlibat dalam jalur tata
niaga. Dalam pelaksanaannya, jalur distribusi dan sistem tata niaga komoditas ayam
potong dan telur di Jawa Timur tidak banyak berbeda dengan daerah lainnya. Secara
umum, mata rantai distribusi dan tata niaga tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut dan
Gambar 4:
a. Pemasaran penjual besar atau yang biasa dikenal dengan kemitraan. Jalur ini
dilakukan dari berbagai arah. Petani peternak memperoleh modal berupa bibit dan
pakan dari perusahaan pakan ternak, pengolahan dan pembibitan (Japfa,
Wonokoyo, Pokphan, Sierat, dll). Produksi dari petani akan diterima oleh
14
perusahaan tersebut dan kemudian dipasarkannya. Kelak merekalah yang
mendistribusikan kepada pengecer, swalayan dan agen di pasar. Peran petani
peternak hanya menyediakan modal berupa lahan peternakan dan modal
penyertaan lain. Aktivitas dan operasional selalu dalam pengawasan dan kontrol
perusahaan manufaktur tersebut, perusahaan juga memberikan kriteria-kriteria
tertentu untuk menjamin kualitas dan mutu produksi ayam potong dan telur.
Penetapan harga akhir ayam potong dan telur berada di tangan perusahaan yang
kemudian disesuaikan dengan margin keuntungan yang hedak diperoleh agen,
pengecer di pasar.
b. Pemasaran ayam potong dan telur melalui pedagang pengepul. Cara ini sangat
lazim terjadi terutama di daerah perdesaan. Peternakan ayam ras secara komersial
terutama yang berskala kecil dan menengah juga menjual melalui jalur ini. Bila
langkah ini yang diambil, maka harga ayam potong dan telur yang disepakati adalah
“Harga Peternak” atau “Farm Gate Price”. Harga peternak berada di bawah harga
ayam potong dan telur di pasar eceran dan banyak kasus harga tersebut ditentukan
oleh si pedagang pengepul. Selain itu, pedagang pengepul menentukan harga juga
berdasarkan harga yang umum terjadi di kalangan mereka. Pemilihan peternak
memasarkan ayam potong dan telurnya melalui pedagang pengepul umumnya
berdasarkan dua alasan yaitu: i) Jumlah ayam potong dan telur yang hendak dijual
tidak banyak sehingga menjadi tidak efisien bila dipasarkan secara langsung yang
mengakibatkan mereka juga harus menanggung biaya transportasi; 2) Perlindungan
sistem eceran yang ada di pasar. Setiap pengecer di pasar sudah di “blokir” untuk
tidak menerima ayam potong dan telur dari sembarang peternak atau pemasok
lain. Blokir semacam ini dapat dihilangkan bila terdapat pelaku/distributor baru
yang memberikan harga lebih kompetitif dengan kontinyuitas pasokan yang stabil.
c. Pemasaran ayam potong dan telur langsung ke pengecer dan langsung ke
konsumen akhir. Jalur terakhir ini akan memotong biaya tata niaga yang tidak perlu
atau biaya yang seharusnya terbuang di jalur tata niaga itu akan menjadi bagian
penerimaan untuk peternak. Untuk menempuh jalur ini memang tidak mudah
karena para pengecer telah mempunyai kedudukan yang kuat sehingga kiat dan
pendekatan intensif harus terus dilakukan. Sedangkan ke konsumen langsung
umumnya melalui langganan atau jalur lain yang bersifat khusus/kepercayaan. Jalur
15
ketiga ini biasanya untuk distribusi terbatas dan dilakukan untuk pemasaran ayam
potong dan telur ayam ras. Kelemahan jalur ini adalah petani tidak memiliki akses
luas untuk memasarkan produknya ke sejumlah konsumen skala besar. Selain itu
semua biaya di luar biaya produksi dihitung berdasarkan perhitungan petani yang
bersifat sederhana sesuai dengan prespektif petani. Bila harga yang berlaku di pasar
lebih tinggi dari biaya produksi maka margin harga ini akan menjadi keuntungan
yang langsung diterima oleh petani.
Gambar 4. Mekanisme Tata Niaga Komoditas Ayam Potong dan Telur
Sumber: hasil pengamatan, 2011
Banyak peternak ayam potong menggunakan jalur kemitraan karena lebih
menjamin keberlangsungan dan efisien bila dibandingkan dengan mempergunakan jalur
mandiri saja, diakibatkan saat mengambil jalur mandiri harganya terlalu berfluktuatif yang
mengakibatkan peternak kesusahan untuk meenyesuaikan. Sedangkan kebanyakan dari
peternak ayam petelur lebih memilih jalur independen, diakibatkan harga makanan ayam
petelur yang diimpor sehingga standar yang digunakan adalah bergantung pada kurs yang
berlaku. Adapun untuk mengukur efisiensi tata niaga dapat dilihat dengan
memperbandingkan biaya yang terjadi antar alternatif kombinasi penggunaan jalur
distribusi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan:
Mall/Swalayan
Pasar
Pengecer
Pedagang/Toko
KonsumenProduk Akhir
Pe
tani d
en
gan m
od
el
kem
itra
an
Peta
ni t
an
pa
kem
itra
an
Animal feed, chicken breeding,poultry processing manufacture
Prod.Telur
Bibit, pakan, dll
Pengepul
Pengepul
Pengepul
Agen dan distributor menegah
Agen dan distributor menegah
Agen dan distributor menegah
Agen dan distributor menegah
Bibit, Pakan,dll
Prod. Telur
16
1. Menghitung biaya tata niaga, yaitu mulai saat ayam potong dan telur keluar gudang
hingga tiba di salah satu jalur tata niaga. Yang termasuk disini adalah biaya
transportasi termasuk sewa kendaraan, upah jasa transportasi atau bahan bakar;
kemasan tambahan untuk jarak jauh; promosi dan usaha pendekatan lainnya.
Seluruh biaya ini diketahui dari catatan atau administrasi usaha peternakan;
2. Menjumlahkan semua biaya pada poin satu di atas dan dibagi dengan total ayam
potong dan telur yang dijual melalui jalur tersebut (Rp/kg);
3. Menambahkan biaya pada poin satu dengan harga ayam potong dan telur
dipeternakan atau “Farm Gate Price” (Rp/kg);
4. Hasil penjumlahan pada poin ketiga kemudian dibandingkan dengan harga ayam
potong dan telur yang berlaku di pasar sehingga akan dapat terlihat apakah lebih
rendah atau justru lebih tinggi sehingga hasil akhirnya adalah :
a. Bila lebih rendah maka jalur tata niaga dapat dipertahankan (efesiensi);
b. Bila hasilnya relatif sama atau mendekati jalur tata niaga maka jalur yang kita
pilih masih bisa dibandingkan dengan jalur lain;
c. Bila hasilnya lebih tinggi maka jalur yang dicoba itu salah sehingga terjadi
pemborosan.
Umumnya biaya tata niaga membesar akibat banyaknya biaya yang dikeluarkan
untuk transportasi dan risiko kerusakan akibat ayam potong dan telur yang dijual adalah
ayam potong mati dan telur mentah yang tanpa dikemas secara rapi. Faktor lain adalah
“jalur yang tertutup” yang sulit untuk ditembus oleh orang lain. Hal ini kadangkala
membuat pedagang/ distributor harus tetap mempergunakan jalur tata niaga yang sudah
ada sekalipun penerimaan yang diperoleh minim. Kondisi semacam ini memang umum
terjadi pada pemasaran dan jalur-jalur pemasaran produk-produk pertanian lainnya.
Bertemunya penawaran dan permintaan akan menghasilkan harga. Sudah tentu
tidak akan berjalan dengan cepat sebelum ada proses pergerakan permintaan dan
penawaran hingga akhirnya diperoleh harga kesepakatan yang disebut harga pasar.
Misalnya pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan secara umum permintaan akan
naik. Keadaan ini akan mengganggu harga pasar dan menyebabkan kenaikan. Dalam
keadaan demikian peternak tidak dapat berbuat banyak karena tidak dapat meningkatkan
pasokan ayam potong dan telur dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena
17
menambah produksi ayam potong dan telur berarti harus menambah jumlah ayam atau
unggas potong dan telur produktif dan ini membutuhkan waktu paling cepat 16 minggu
untuk memperoleh ayam potong dan telur. Karena faktor inilah mengapa begitu
permintaan naik harga ayam potong dan telur di pasar juga langsung naik.
Bila dalam keadaan ini peternak tertarik untuk memproduksikan ayam potong dan
telur lebih banyak dan dilakukan serentak maka dalam waktu sekitar 18 minggu kemudian
pasokan ayam potong dan telur akan tersedia melimpah di pasar sehingga akan memaksa
harga turun kembali. Hal ini disebabkan karena penawaran lebih besar daripada
permintaan dan harga pasar membentuk keseimbangan baru di bawah harga lama.
Penurunan harga itu membuat peternak marginal tidak tertarik lagi untuk beternak
akibatnya di masa 18 minggu kemudian pasokan ayam potong dan telur ke pasar
berkurang dan permintaan lebih tinggi dari penawaran sehingga harga pasar kembali naik.
Begitu keadaan seterusnya hingga akhirnya diperoleh harga keseimbangan lagi. Prinsip
inilah yang dikenal dengan “Cob Web Theory” yang banyak terjadi di produk-produk
pertanian umumnya.
4. Gambaran Produksi dan Mekanisme Tata Niaga Minyak Goreng
Lebih dari 95 persen produksi minyak goreng di Indonesia berasal dari bahan baku
kelapa dan kelapa sawit. Hal itu berarti perkembangan produksi minyak goreng berbanding
lurus dengan perkembangan kedua komoditas tersebut. Secara potensial produksi minyak
goreng dan CPO di Indonesia telah mampu mencukupi kebutuhan domestik, dan bahkan
terdapat kelebihan produksi sehingga Indonesia juga merupakan eksportir CPO terbesar
kedua di dunia setelah Malaysia. Hasil produksi Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia
mencapai 85% produksi dunia.
CPO tersebut dapat dirubah menjadi minyak goreng yang sangat bermanfaat bagi
rumah tangga, sehingga tidak dapat dielakkan bahwa minyak goreng merupakan
komoditas yang sangat penting. Dalam tata niaga komoditas minyak goreng yang ada di
Indonesia merupakan penganut struktur pasar oligopoli. Di mana struktur pasar tersebut
dapat menyengsarakan masyarakat atau konsumen karena harga yang terjadi di pasar
lebih tinggi daripada harga pasar bersaing, sehingga harga pasar yang terbentuk tidak
mencerminkan kelangkaan sumberdaya yang sesungguhnya.
18
Di daerah Jawa Timur terbentuknya harga ditentukan oleh situasi luar negeri,
dimana setiap hari mengalami fluktuatif. Diakibatkan penghitungan harga yang dilakukan
setiap hari berdasarkan harga minyak dunia yang menyebabkan perubahan harga yang ada
di perusahaan pemasok. Sehingga penyumbang fluktuasi harga minyak goreng adalah
faktor harga bahan baku, yang harga tertingginya di tahun 2010 sebesar Rp 10.500,00 dan
terendah Rp 8.300,00.
Di mana stock bahan baku wholesale minyak goreng ini berdasarkan produsen
minyak goreng dari Gresik, yang dapat tiap hari diambil sebanyak apa pun. Adapun
perubahan harga yang terjadi pada wholesale dipengaruhi beberapa faktor seperti harga
beli, harga pesaing dan permintaan akan minyak goreng. Sedangkan pendistribusian yang
dilakukan oleh wholesale yang ada di Surabaya hanya berada di daerahnya saja tanpa perlu
keluar daerah, disebabkan perbedaan harga yang tidak menguntungkan. Bila wholesale
tersebut memaksakan maka harganya tidak akan bersaing dan biaya pendistribusiannya
terkadang lebih tinggi dari keuntungannya. Struktur tata niaga minyak goreng tersebut
dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar 5
Mekanisme Tata Niaga Minyak Goreng
Akibat penentu harga yang fluktuatif seperti penjelasan di atas, maka dibutuhkan
regulasi untuk melindungi para konsumen. Tujuan dari adanya kebijakan pemerintah pada
hakikatnya adalah untuk mengatasi segala persoalan yang sedang dihadapi. Dalam
kaitannya dengan regulasi dan tata niaga pada komoditas minyak goreng, campur tangan
pemerintah mengendalikan pasokan CPO di dalam negeri melalui pembatasan ekspor
dalam rangka menjamin stabilitas harga minyak goreng, serta mencegah terjadinya distorsi
pasar mengingat bahwa pasar CPO dan minyak goreng lebih cenderung pada struktur pasar
oligopoli dan oligopsoni.
19
E. Konsep Identifikasi Penyebab Kenaiakn Harga Pangan
Sebagai upaya mengidentifikasi penyebab kenaikan harga pangan, apakah
disebakan oleh faktor supply dan deman atau oleh faktor tataniga dan distribusi, maka
dapat diidentifikasi melalui sebuah konsep sebagaimana nampak pada gambar 6.
Secara sederhana konsep diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Informasi harga bahan pangan, permintaan, dan produksi menjadi sangat
penting untuk bahan pengamatan dan analisisnya.
2. Dari hasil analisis dapat diamati bahwa apakah kenaikan harga disebabkan oleh
kenaikan permintaan atau terbatasnya produksi/paskan bahan makanan di
wilayah tersebut.
3. Jika kenaikan harga tidak dipengaruhi oleh permintaan maupun penawaran,
maka dapat dilakukan analisis selanjutnya untuk mengidenfikasi faktor
penyebab kenaikan harga, apakah faktor tataniaga atau struktur pasarnya.
4. Kenaikan harga harus secara cepat dan tepat dicarikan solusinya, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang.
5. Pengemabil kebijakan harus mampu mensinergikan berbagai SKPD/instansi dan
lembaga terkait di dalam menjaga dan mengendalikan pergerakan harga.
20
WHAT?
Kenaikan Harga pangan
WHY?
Mengapa bisa terjadi dan apa saja
penyebabnya
HOW?
Bagaimana solusinya
WHO?
Siapa melakukan apa
0fficial
resp
on
sibility
Base
on
ide
ntificatio
n
resu
lt
Fakta &
Data
Ide
ntifikasi
Aw
al
Jika tidak ada masalah terkait
stock/supply/produksi, maka perlu
identifikasi lanjutan
1. Berapa % kenaikan demand? 2. Stock/supply/produksi yg ada
mencukupi kenaikan demand?
Pendekatan supply & demand
Informasi Daftar harga bahan pangan
Informasi jumlah permintaan RT dan Industri
Informasi stock, produksi bahan pangan
Pendekatan Sistem
Tata Niaga
Short term:
Langkah cepat dan tepat meredam gejolak harga (ex.: Market operation, etc.)
Long Term:
How to improvement market structure
Bagaimana memperbaiki sistem tata niaga
Bagaimana meningkatan produksi komoditi pangan
Bagaimana memperbaiki manajemen stock,supply, and ditribusi
Ide
ntifikasi
lanju
tan
Pendekatan
Struktur Pasar
Legal institution seperti
Sekretariat gabungan (setgab)
untuk mengatur pelaksanaan dan
pengawasan
GAMBAR 6. Konsep Indentifikasi Penyebab Kenaikan Harga Pangan
21