VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE … · komunitas hutan bakau serta dapat memberikan...

13
109 VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas kebijakan di Kabupaten Seram Bagian Barat yang didasarkan pada persepsi masing-masing stakeholders. Kedua tahap analisis yang telah dilakukan sebelumnya memberikan gambaran tentang existing condition pengelolaan ekosistem hutan mangrove di wilayah studi pada saat ini. AHP bertujuan untuk mendapatkan pilihan langkah operasional dari pandangan stakeholders terkait dengan pengelolaan ekosistem tersebut. Adapun faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas kebijakan didasarkan pada hasil analisis nilai keberlanjutan, yang menunjukkan indikator-indikator sensitif dalam pengelolaan hutan mangrove di kabupaten Seram Bagian Barat. Dalam analisis AHP dilakukan penyederhanaan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam suatu hirarkhi yang digambarkan dalam bentuk grafis yang telah dikelompokkan dalam beberapa level fokus/tujuan, aktor, dimensi, faktor dan kebijakan. Indikator-indikator sensitif berdasarkan analisis nilai indeks keberlanjutan merupakan faktor pendukung dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Struktur hirarkhi pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku dapat dilihat pada Gambar 22.

Transcript of VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE … · komunitas hutan bakau serta dapat memberikan...

109

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN

8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan

terhadap faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas kebijakan

di Kabupaten Seram Bagian Barat yang didasarkan pada persepsi masing-masing

stakeholders. Kedua tahap analisis yang telah dilakukan sebelumnya memberikan

gambaran tentang existing condition pengelolaan ekosistem hutan mangrove di

wilayah studi pada saat ini. AHP bertujuan untuk mendapatkan pilihan langkah

operasional dari pandangan stakeholders terkait dengan pengelolaan ekosistem

tersebut. Adapun faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas

kebijakan didasarkan pada hasil analisis nilai keberlanjutan, yang menunjukkan

indikator-indikator sensitif dalam pengelolaan hutan mangrove di kabupaten Seram

Bagian Barat.

Dalam analisis AHP dilakukan penyederhanaan masalah yang kompleks dan

tidak terstruktur ke dalam suatu hirarkhi yang digambarkan dalam bentuk grafis yang

telah dikelompokkan dalam beberapa level fokus/tujuan, aktor, dimensi, faktor dan

kebijakan. Indikator-indikator sensitif berdasarkan analisis nilai indeks keberlanjutan

merupakan faktor pendukung dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Struktur

hirarkhi pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian

Barat Maluku dapat dilihat pada Gambar 22.

110

Gambar 22. Struktur Hirarkhi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan

Berdasarkan perhitungan nilai pada tiap level AHP, diperoleh hasil sebagai

berikut :

1. Peran Aktor/stakeholder

Terdapat 4 stakeholders ( pemerintah, masyarakat, LSM, peneliti) yang

berperan dalam pengambilan keputusan pengelolaan ekosistem hutan mangrove

berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Pentingnya peran

stakeholders dalam penentuan alternatif kebijakan menurut AHP disajikan pada Tabel

13.

Tabel 13. Peranan Stakeholders Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat

No Stakeholders Nilai 1 2 3 4

Pemerintah Masyarakat Peneliti LSM

0,542 0,299 0,065 0,094

Kebijakan Konservasi (0,664)

Wisata pantai (0,234)

Budidaya perikanan (0,103)

Pemerintah (0,542)

Masyarakat (0,299)

Peneliti (0,065)

LSM (0,094)

Inventarisasi data

(0,053)

Perubahan habitat (0,189)

Struktur relung komunitas (0,059)

Zonasi mangrove (0,077)

Fokus/Tujuan

Aktor

Dimensi

Faktor Keterlibatan stakeholder (0,046)

Akses masyarakat (0,210)

Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan

(1,00)

Ekologi (0,234)

Sosial (0,694)

Ekonomi (0,073)

Kerusakan SDH (0,366)

111

Berdasarkan Tabel 13, peranan pemerintah (0,542) dalam penentuan alternatif

kebijakan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan mangrove

berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Peran pemerintah sangat diharapkan

sebagai motivator dan fasilitator dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan.

Pemerintah kabupaten dan instansi terkait diharapkan dapat menyelaraskan

tujuan dan sasaran yang tepat dalam merumuskan keputusan perencanaan pengelolaan

ekosistem hutan mangrove. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi yang bersifat

komprehensif dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan.

6. Hirarkhi dimensi menurut stakeholder

Berdasarkan hasil analisis, masing-masing aktor memiliki perbedaan prioritas

dalam penentuan dimensi. Hirarkhi dimensi menurut aktor disajikan pada Tabel 14.

Berdasarkan Tabel 14, dimensi sosial merupakan prioritas utama dalam

penentuan alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di

Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku.

Tabel 14. Hirarkhi Dimensi Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat

Dimensi Aktor 1 2 3 4

Ekologi 0,293 0,293 0,195 0,153 Sosial 0,641 0,641 0,717 0,777 Ekonomi 0,067 0,067 0,088 0,077

Keterangan : Aktor : 1 = pemerintah; 2= masyarakat; 3= peneliti; 4= LSM

Hasil sintesis dari aktor menunjukkan bahwa hirarkhi dimensi dalam

pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian

Barat Maluku adalah : dimensi sosial (0,694), dimensi ekologi (0,234) dan dimensi

ekonomi (0,073). Dimensi yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ekosistem

hutan mangrove berkelanjutan adalah dimensi sosial. Hal ini sesuai dengan hasil

analisis nilai keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove yang menunjukkan bahwa

status nilai dimensi sosial tidak berkelanjutan, sehingga perlu diperbaiki semua

indikator yang turut memberikan kontribusinya terhadap dimensi tersebut.

112

7. Hirarkhi faktor berdasarkan dimensi

Berdasarkan hasil analisis, masing-masing dimensi memiliki perbedaan

prioritas dalam penentuan faktor pendukung. Hirarkhi faktor pendukung menurut

stakeholders disajikan pada Tabel 15. Dari 7 faktor pendukung dalam penentuan

alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan, diketahui hirarkhi

faktor pendukung tersebut adalah : kerusakan sumberdaya hutan, akses masyarakat

lokal, perubahan keragaman habitat; zonasi pemanfaatan lahan mangrove; struktur

relung komunitas; hasil inventarisasi pemanfataan mangrove dan keterlibatan

stakeholder. Dari Tabel 15 diketahui, bahwa berdasarkan ketiga dimensi yang

dianalisis, faktor kerusakan sumberdaya hutan (0,366) merupakan faktor pendukung

utama yang harus diperhatikan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di

Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku.

Hasil sintesis dari dimensi menunjukkan bahwa prioritas faktor pendukung

dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat

Maluku adalah : kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat (0,366); akses

masyarakat lokal (0,210), perubahan keragaman habitat (0,189), zonasi pemanfaatan

lahan mangrove (0,077); struktur relung komunitas (0,059); hasil inventarisasi

pemanfataan mangrove (0,053); dan keterlibatan stakeholder (0,046). Faktor

kerusakan sumberdaya hutan sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan

ekosistem hutan mangrove.

Tingginya bobot yang diberikan oleh faktor kerusakan sumberdaya hutan

memberikan pengertian bahwa kerusakan sumberdaya hutan perlu mendapat prioritas

utama untuk diperhatikan, mengingat hasil analisis perubahan penutupan lahan yang

menunjukkan besarnya tingkat penyusutan yang terjadi selama kurun waktu dua

tahun sebanyak 7,4 % atau 174 ha di kabupaten tersebut. Dengan demikian dalam

upaya mempertahankan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan diperlukan upaya

konkrit dari pemerintah dalam meminimalisir tingkat kerusakan tersebut.

113

Tabel 15. Hirarkhi Faktor Pendukung Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat

Faktor Pendukung Dimensi 1 2 3

1 2 3 4 5 6 7

Zonasi pemanfaatan lahan mangrove Kerusakan sumberdaya hutan Keterlibatan stakeholder Akses masyarakat lokal Hasil inventarisasi pemanfaatan mangrove Perubahan keragaman habitat Struktur relung komunitas

0,074

0,373

0,062

0,254 0,040

0,123

0,073

0,094

0,333

0,041

0,195 0,048

0,232

0,057

0,064

0,391

0,036

0,180 0,070

0,213

0,047

Keterangan : Dimensi : 1 = sosial; 2= ekonomi; 3 = ekologi

8. Hirarkhi alternatif kebijakan berdasarkan faktor pendukung

Kebijakan sistem pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan sangat

ditentukan oleh berbagai faktor pendukung dalam pengelolaannya. Oleh karena itu

berdasarkan hasil AHP ditentukan tiga alternatif kebijakan sebagai berikut :

1. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan konservasi.

Penetapan rencana kawasan konservasi yang didasarkan pada potensi

ekosistem pesisir yang meliput i :

• Kawasan Hutan Mangrove pada Kecamatan Seram Barat pada Teluk Piru, Teluk

Kotania dan Teluk Pelita Jaya dengan cakupan luasan sebesar 1427,2 Ha. Dengan

cakupan luasan areal komunitas mangrove di perairan ini diperkirakan dapat

menunjang kehidupan berbagai biota laut yang hidup berasosiasi dengan

komunitas hutan bakau serta dapat memberikan kontribusi unsur hara yang sangat

signifikan bagi keberadaan perairan sekitar.

• Kawasan hutan mangrove pada Kecamatan Huamual Belakang dengan luasan

hutan mangrove 745,1 ha.

114

• Kawasan Hutan Mangrove pada Kecamatan Kairatu dengan luasan mencapai 17

Ha. Dengan cakupan luasan areal komunitas mangrove di perairan ini

diperkirakan dapat menunjang kehidupan berbagai organisme laut.

2. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan wisata pantai.

Berdasarkan kondisi biofisik dan kehadiran habitat utama dengan disertai

keanekaragaman sumberdaya hayati di dalamnya maka ekosistem hutan mangrove di

Kabupaten Seram Bagian Barat layak dikembangkan menjadi daerah wisata pantai.

Kondisi ekosistem hutan mangrove yang memiliki keindahan pesisir pantai, terumbu

karang dan keragaman biota yang cukup tinggi, sehingga memberikan nuansa

panorama pesisir dan bawah laut yang unik dan menarik.

3. Alternatif kebijakan pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan budidaya perikanan.

Secara keseluruhan kawasan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat

khususnya Kecamatan Seram Barat dapat digunakan untuk kegiatan budidaya

perikanan. Pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan budidaya perikanan lebih

diprioritaskan pada Teluk Kotania yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil dan

teluk-teluk yang terlindung.

Penentuan hirarkhi alternatif kebijakan pengelolaan ekosistem hutan

mangrove berkelanjutan ditentukan berdasarkan faktor pendukung. Hirarkhi alternatif

kebijakan berdasarkan faktor pendukung disajikan pada Tabel 16.

Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa alternatif kebijakan konservasi

dianggap paling memungkinkan untuk dilaksanakan. Hasil sintesis dari ketujuh

faktor pendukung di atas, menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang dapat

diaplikasikan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram

Bagian Barat Maluku yaitu : konservasi 0,664 (66,4%); budidaya perikanan 0,234

(23,4%) dan wisata pantai 0,103 (10,3%) (Gambar 23).

115

Tabel 16. Hirarkhi Alternatif Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat

No

Alternatif kebijakan

Faktor 1 2 3 4 5 6 7

1 2 3

Budidaya perikanan Konservasi Wisata pantai

0,327 0,260 0,413

0,171 0,750 0,078

0,199 0,733 0,068

0,297 0,645 0,058

0,236 0,682 0,082

0,297 0,645 0,058

0,123 0,707 0,170

Keterangan : 1= zonasi pemanfatan lahan mangrove ; 2= kerusakan sumberdaya hutan; 3= keterlibatan stakeholder; 4 = akses masyarakat lokal; 5 = hasil inventarisasi pemanfataan mangrove; 6 = perubahan keragaman habitat; 7= struktur relung komunitas

Hasil analisis AHP yang menunjukkan prioritas kebijakan dalam pengelolaan

hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku, dapat

dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Grafik Prioritas Kebijakan Pengelolaan Hutan mangrove

116

Kebijakan Konservasi

Hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan konservasi (66,4%) merupakan

prioritas pertama dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten

Seram Bagian Barat Maluku.

Arahan kebijakan konservasi dalam pengelolaan hutan mangrove adalah

sebagai berikut :

1. Perlunya konservasi hutan mangrove sesuai dengan potensi dan keanekaragaman

sumberdaya hutan yang cukup tinggi.

2. Konservasi hutan mangrove diarahkan pada program rehabilitasi mangrove pada

lahan yang mengalami kerusakan fisik.

Konservasi merupakan kebijakan utama yang diarahkan untuk pengelolaan

ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat dengan bobot 66,4%.

Hal ini mengindikasikan bahwa ekosistem hutan mangrove ditetapkan sebagai

kawasan konservasi. Pentingnya dilakukan upaya konservasi ekosistem hutan

mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat mengingat potensi sumberdaya

perikanan bernilai ekonomi tinggi yang dijumpai pada ekosistem mangrove pada

setiap wilayah di Kabupaten Seram Bagian Barat. Selain itu mangrove juga

mempunyai fungsi fisik yaitu sebagai pelindung pantai dari kemungkinan erosi,

abrasi dan tsunami.

Guna kepentingan konservasi ekosistem mangrove di daerah ini dapat

dihijaukan sesuai dengan jenis yang pernah ada atau jenis yang sesuai dengan kondisi

substrat saat ini pada daerah yang tidak terganggu oleh aktivitas manusia. Kehadiran

hutan mangrove adalah penting untuk mencegah abrasi pantai dan melindungi

sejumlah biota yang biasa hidup dan berasosiasi dengan tumbuhan mangrove.

Mangrove yang tumbuh di perairan pantai harus mendapat perhatian untuk

direhabilitasi kembali karena kondisinya saat ini sudah cenderung berkurang,

terutama pada lokasi-lokasi yang pernah ditumbuhi mangrove. Sampai saat ini

kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di beberapa lokasi penelitian khususnya di

Kecamatan Seram Barat telah dilakukan oleh pihak pemerintah sebagai motivator

117

yang bermitra dengan LSM dan masyarakat, sampai dengan tahun 2007 luas lahan

mangrove yang sudah direboisasi seluas 23 Ha.

Kebijakan Budidaya Perikanan

Kebijakan budidaya perikanan (23,4 %) mendapat prioritas kedua dalam

pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat

Maluku. Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk budidaya perikanan

adalah sebagai berikut :

1. Peningkatan kapasitas SDM pesisir dalam pengelolaan hutan mangrove sebagai

budidaya perikanan.

2. Pembentukan kelompok budidaya perikanan dalam masyarakat.

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia pesisir diperlukan untuk

menghasilkan nelayan budidaya yang trampil dalam mencapai produktivitas hasil

budidaya perikanan. Disamping itu perlunya pembentukan kelompok budidaya

perikanan, juga melakukan pembinaan dan pengawasan secara kontinyu. Melalui

pembentukan kelompok diharapkan ada kesamaan persepsi dalam pengelolaan hutan

mangrove.

Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk budidaya perikanan

diharapkan dapat mengubah pola hidup masyarakat sekitar yang sering melakukan

kegiatan penebangan mangrove, selain itu dapat memberikan nilai tambah bagi

masyarakat pesisir dalam meningkatkan pendapatannya sebagai nelayan.

Pengembangan kawasan tambak untuk kegiatan budidaya perikanan dapat dilakukan

di Kabupaten Seram Bagian Barat, khususnya di kecamatan Seram Barat.

Menurut Anwar (2009), guna mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan

pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina

yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir.

Kebijakan Wisata Pantai

Kebijakan pengelolaan hutan mangrove yang menempati urutan ketiga adalah

wisata pantai (10,3%). Arahan kebijakan pengelolaan hutan mangrove untuk wisata

pantai adalah sebagai berikut :

118

1. Pengembangan wisata pantai sesuai dengan potensi hutan mangrove dan wilayah

pesisir.

2. Pertumbuhan UKM yang mendukung kegiatan wisata pantai dan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek

wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan

laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh

pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Kebijakan pengelolaan hutan

mangrove sebagai wisata pantai akan dapat melestarikan lingkungan hidup dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, disamping memberikan kontribusi bagi

PAD di kabupaten tersebut.

Pengembangan ekosistem untuk wisata pantai diharapkan dapat mengubah

pola hidup masyakat yang sering melakukan kegiatan penebangan mangrove, selain

itu dapat menciptakan peluang usaha bagi masyarakat. Kebijakan ini mempunyai

implikasi ekonomi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat pesisir

di sekitar lokasi wisata secara khusus dan masyarakat umum lainnya. Selain itu,

seluruh kegiatan sosial-budaya dan sosial-ekonomi pada kawasan ekowisata tersebut

akan memberikan retribusi yang cukup memadai bagi Pemda Kabupaten Seram

Bagian Barat melalui berbagai dinas/unit-unit teknis terkait, sesuai tiap kegiatan yang

berlangsung pada kawasan wisata dan sekitarnya.

Adanya peluang pengembangan kawasan wisata pantai akan diikuti oleh

sejumlah kegiatan sosial-ekonomi dan budaya yang cukup potensial bagi Kabupaten

Seram Bagian Barat. Seluruh kegiatan sosial-budaya dan sosial-ekonomi pada

kawasan ekowisata tersebut selain akan memberikan dampak cukup penting bagi

kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitar kawasan dan masyarakat

lainnya, yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

8.2. Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

Hasil AHP menunjukkan bahwa kebijakan konservasi (66,4%) merupakan

prioritas utama dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di

Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku. Kebijakan konservasi merupakan suatu

119

upaya yang dapat ditempuh untuk mempertahankan dan melestarikan potensi

sumberdaya hutan mangrove, sehingga dapat menjamin pengelolaan hutan mangrove

secara berkelanjutan.

Kebijakan konservasi hutan mangrove mengacu pada Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan bahwa mangrove

merupakan bagian dari ekosistem hutan, oleh karena itu pemerintah bertanggung

jawab dalam pengelolaan yang berazaskan manfaat dan lestari; Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya;

Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,

khususnya pasal 26 yang menyatakan bahwa perlindungan terhadap kawasan pantai

berhutan bakau dilakukan untuk melestarikan hutan bakau sebagai pembentuk

ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangnya berbagai biota laut. Kebijakan ini

juga mengacu pada Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan

berbagai konvensi internasional yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem hutan

mangrove seperti RAMSAR Convention, CITES dan sebagainya.

Kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat masih cukup

baik ditinjau dari aspek fisik, ekologi maupun ekonomi. Fungsi fisik hutan mangrove

sebagai barrier dapat mengurangi gempuran gelombang laut, angin topan di musim

barat dan genangan air pada saat pasang dan hujan, hal ini dirasakan oleh masyarakat

yang berdomisili di sekitar hutan mangrove tersebut. Fungsi biologi hutan mangrove

sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah pembesaran (nursery ground)

dan daerah mencari makan (feeding ground) sangat dirasakan oleh masyarakat,

khususnya nelayan tangkap, karena dengan keberadaan hutan mangrove hasil

tangkapan mereka sampai saat ini cukup baik, dan keanekaragaman species yang

tertangkap seperti: ikan baronang (Siganus spp), ikan selar (Selar spp.), ikan layang

(Decapterus spp), ikan kembung (Rastrelliger spp.), ikan tongkol (Auxis thazard),

udang putih (Paenid sp) dan kepiting bakau (Scylla serrata, S. tranguebarica dan S.

oceanica). Potensi sumberdaya perikanan bernilai ekonomi tinggi yang juga dijumpai

pada ekosistem mangrove pada setiap wilayah di Kabupaten Seram Bagian Barat

antara lain adalah; tiram (Crasosstrea spp), bia kodok (Polymesoda coaxans), kerang

dara (Anadara granossa) dan bia pola (Telescopium telescopium). Selain itu daerah

ini dipakai juga sebagai tempat asuhan bagi anakan dari beberapa jenis biota laut

120

seperti ikan samandar (Siganus spp.) dan udang (Penaeus). Anwar (2009), juga

menyatakan bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas

perikanan pada perairan bebas. Fungsi ekosistem mangrove dari aspek ekonomi,

mempunyai nilai kontribusi sebagai manfaat langsung yang dapat meningkatkan

pendapatan masyarakat.

Adapun strategi yang dapat dilakukan dalam pengelolaan ekosistem hutan

mangrove sebagai kawasan konservasi adalah sebagai berikut :

(1). Penyusunan kebijakan tentang pengelolaan hutan mangrove sebagai kawasan

konservasi;

(2). Melakukan penyuluhan dan pelatihan bagi masyarakat tentang pentingnya

konservasi hutan mangrove;

(3). Meningkatkan keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan ekosistem hutan

mangrove ;

(4). Mengembangkan kegiatan ekonomi kerakyatan untuk dapat mengurangi

ketergantungan dan tekanan terhadap hutan mangrove.

Implementasi kebijakan ini dengan memperhatikan faktor utama kerusakan

sumberdaya hutan, mengingat hasil analisis perubahan penutupan lahan yang

menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun telah terjadi penyusutan lahan mangrove

sebesar 174 Ha atau sekitar 7,4 %. Hal ini disebabkan adanya eksploitasi mangrove

oleh masyarakat lokal yang tidak terkendali, perluasan permukiman, perkebunan dan

pembukaan tambak. Perkembangan penduduk yang bergerak cepat diikuti dengan

kebutuhan hidup yang semakin meningkat, menyebabkan aktifitas manusia

memanfaatkan hutan mangrove untuk pemenuhan kebutuhannya, sehingga berdampak

pada kerusakan hutan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2008)

yang menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pemanfaatan

yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah

pesisir sangat tinggi serta konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan

(perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata) tanpa

mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.

Kerusakan sumberdaya hutan merupakan salah satu indikator sensitif yang

berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi sosial. Dengan diterapkannya kebijakan

konservasi, diperlukan adanya upaya-upaya perbaikan terhadap berbagai indikator

121

dalam dimensi sosial sehingga dapat memperbaiki status nilai indeks dimensi sosial

dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan. Menurut LPP Mangrove

(2001), berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, berbagai kegiatan

kehutanan yang berlaku selama ini dirasakan kurang menyentuh dan dapat memenuhi

kebutuhan masyarakat luas, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di

sekitar kawasan hutan mangrove. Akibatnya masyarakat menjadi kurang peduli

terhadap pengamanan hutan, artinya aspek lingkungan dan keamanan hutan menjadi

terganggu, dan aspek sosial juga sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu

pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti kebijakan yang ada dengan

memperhatikan aspek sosial dalam masyarakat.

Oleh karena itu pemerintah sebagai aktor utama sangat berperan penting

dalam pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Peran

pemerintah kabupaten khususnya dinas-dinas terkait sangat diharapkan dalam

merumuskan kebijakan teknis operasional sesuai dengan lingkup tugasnya dalam

pengelolaan hutan mangrove. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan

lingkungan termasuk pengelolaan hutan mangrove, maka pemerintah Kabupaten

Seram Bagian Barat hendaknya dapat merumuskan suatu peraturan daerah tentang

pengelolaan hutan mangrove, sebagai upaya menghindari terjadinya kerusakan

mangrove dalam jumlah yang lebih besar.

Sejalan dengan itu maka Harding (1998) menyatakan bahwa pemerintah

daerah mempunyai posisi yang unik untuk melakukan integrasi berbagai sektor

menuju ke pembangunan yang berkelanjutan. Pemerintah kabupaten dan dinas terkait

diharapkan dapat menyelaraskan tujuan dan sasaran yang tepat dalam merumuskan

keputusan perencanaan pengelolaan hutan mangrove. Koordinasi antar pemerintah

dalam merumuskan kebijakan operasional pengelolaan hutan mangrove hendaknya

dilakukan secara menyeluruh dengan memperhatikan pendekatan ekologi.