Vii Rp3 Kabupaten Bogor Final Oke

download Vii Rp3 Kabupaten Bogor Final Oke

of 95

description

hhh

Transcript of Vii Rp3 Kabupaten Bogor Final Oke

KEBIJAKAN REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN PERDESAAN DI KABUPATEN BOGOR

BAB 7.PROGRAM-PROGRAM PENGEMBANGAN REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN PERDESAAN Pada setiap zona pengembangan pada dasarnya perlu dikembangkan ragam program-program pengembangan baik program-program bidang prasarana dan sarana, pertanian hingga program pengembangan industri dan jasa, namun mengingat adanya keragaman titik berat isu dan karakteristik wilayah sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka setiap zona pengembangan memerlukan skala prioritas pengembangan yang tidak sama. Zona-zona pengembangan dengan ciri perdesaan yang dominan masih memerlukan program-program pengembangan pertanian baik pada subsistem on-farm maupun off-farm serta pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan pada kawasan perkotaan skala prioritas pembangungan cenderung ditikberatkan pada aktivitas industri dan jasa. Namun baik di kawasan berciri perdesaan maupun perkotaan program-program pengembangan prasarana dan sarana fisik (khususnya yang mengintergrasikan pembangunan perkotaan dan perdesaan) maupun pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) tidak memiliki skala prioritas yang tidak berbeda. Gambar 7.1. memperlihatkan distribusi skala prioritas program pembangunan berdasarkan karakteristik zona pengembangan.

Zona 1, 2 dan 8 merupakan zona didominasi oleh karakteristik dan aktivitas pertanian dan perdesaan, Zona 5, 4 dan 3 merupakan zona dengan dominan karakteristik transsisi kegiatan pertanian dan perkotaan; sementara Zona 6 dan khususnya 7 merupakan kawasan dengan ciri perkotaan suburban yang menonjol.

Perpaduan program-program pembangunan sistem pertanian (on-farm dan off farm) dan program on farm sistem permukiman di Zona 1, 2 dan 8 pada dasarnya merupakan pendeketan pembangunan Agropolitan. Jika diterapkan secara terencana dan dikelola dengan seksama maka perdesaan di Kabupaten Bogor, setidaknya dapat mengembangkan tiga Kawasan Agropolitan yang berpotensi tinggi untuk maju dan berkembang.

PROGRAM PENGEMBANGANZONA PENGEMBANGAN

Perdesaaan Perkotaan

81254367

Industri

dan

JasaUMKM

Pengembangan Industri

Sentra Distribusi skala sedang- Besar

Sistem PertanaianUrban Agriculture (Pertanian Perkotaan)

Agroindustri *

Agroprocesing*

Distribusi Kecil Menengah*Off-Farm

Reforma Agraria & jasa Lingkungan

On Farm

Prasarana-Sarana Dasar Permukiman Perdesaan & pengembangan DPP

Prasarana & Sarana Dasar

Permukiman

Infrastruktur Dasar Keterkaitan Desa-Kota

Gambar 7.1. Skala Prioritas (Titik Berat) Kelompok Program di Masing-Masing Zona Pengembangan

7.1 Program Pengembangan Budidaya dan Peningkatan Produksi Pertanian

7.1.1. Program Pengembangan Tanaman PanganBeragam produk pertanian merupakan bahan pangan untuk menjamin kesehatan dan produktivitas masyarakat, disamping sebagai penghasil bahan baku untuk industri. Untuk revitalisasi pertanian dalam meningkatkan produksi pertanian guna menjamin ketahan pangan, disamping untuk kesejahteraan petani, diperlukan program yang terpadu dari semua alternatif program yang diadakan.

Pada dasarnya program peningkatan produksi mencakup 3 program utama, yaitu (1) penambahan luas penanaman (ekstensifikasi), (2) intensifikasi penanaman melalui penerapan teknologi budidaya dengan penggunaan sarana produksi pertanian yang cukup sebagai input proses bertani/berkebun (intensifikasi) agar tanaman dapat tumbuh optimun dengan produksi yang tinggi, dan (3) peremajaan dan konversi jenis tanaman/komoditi perkebunaan yang sesuai pasar merupakan tindakan yang perlu dilakukan.

Program revitalisasi pertanian ini mencakup (a) penyediaan benih/bibit berkualitas dan berpotensi produksi tinggi, pupuk, pestisida yang terjangkau, (b) penyediaan modal usaha tani, (c) penerapan teknologi budidaya dan pascapanen, (d) penyediaan prasarana/infrastruktur pertanian seperti sistem irigasi, jalan desa, dan transportasi, dan (e) kelebagaan petani yang efektif dalam pengelolaan produksi pada skala hamparan luas, serta (f) jamian pemasaran produksi.

7.1.1.1. Intensifikasi Padi

Dewasa ini rata-rata produksi padi sawah di Kabupaten Bogor mencapai 5,73 ton/ha, sedang padi gogo mencapai 2,8 ton/ha. Sebagai hasil implementasi revitalisasi pertanian dalam 5 tahun yang akan datang dicanangkan untuk meningkatkan produksi padi sawah menjadi 6,5 ton/ha, sedang padi gogo akan ditingkatkan menjadi 3,5 ton/ha. Program yang disarankan untuk meningkatkan produksi padi di Kabupaten Bogor untuk swasembada beras meliputi: kegiatan (a) intensifikasi, (b) ekstensifikasi, dan (c) kegiatan khusus untuk memproduksi padi organik.

Kegiatan intensifikasi padi ini diwujudkan dengan program peningkatan produksi per satuan luas, dan peningkatan indeks penanaman sampai 300%. Untuk intensifikasi padi, program yang diusulkan meliputi :

(1) Program Penyediaan Benih Bermutu

Program ini diwujudkan dengan peningkatan kapasitas penangkar benih padi yang telah berkembang di tiap zona pengembangan. Selain pengembangan penangkar, penyediaan benih yang cukup juga perlu diberikan kepada petani pada umumnya dengan menggunakan sebanyak-banyaknya benih dari penangkar lokal.

Jenis benih yang diproduksi adalah Varietas Unggul Baru (VUB). Dewasa ini petani umumnya menggunakan Varietas IR 36 yang disarankan untuk diganti dengan VUB seperti Ciheurang yang memiliki produksi 5-7 ton gabah kering panen. Varietas unggul padi gogo seperti Limboto dengan potensi produksi 5-7 ha.

Dewasa ini luas panen padi berjumlah 83.862 ha. Kebutuhan benih padi berkisar 20-25 kg/ha, sehingga diperlukan benih sebanyak 2.097 ton. Bila produksi benih 5 ton per ha maka untuk memenuhi keperluan benih diperlukan kegiatan produksi benih dengan luas lahan 419 Ha. Oleh karena itu perlu dicanangkan program produksi benih yang disebar pada penangkar di tiap zona pengembangan.

(2) Program Penyediaan Sarana Produksi Pupuk Bersubsidi, dan Pestisida yang Cukup

Untuk menghindari kelangkaan pupuk pada musim tanam, disarankan untuk membuat kerjasama jaminan penyediaan pupuk antara Agen/Distributor pupuk dengan petani yang difasilitasi oleh Dinas pertanian dan Dinas Perdagangan.

Untuk pemupukan padi VUB diperlukan dosis 135 kg N/ha atau 300 kg urea/ha, 150 kg SP36/ha, dan 50 kg KCl/ha, sehingga dengan luas panen yang sama dengan kondisi saat ini per tahun Kabupaten Bogor memerlukan 25.159 ton Urea, 12.579 ton SP36 dan 4.193 ton KCl (Tabel 7.1.1.).

Tabel 7.1.1. Keperluan Benih dan Pupuk Untuk Padi

NoIndex panenLuas Panen (ton)Keperluan benih

(ton)Keperluan pupuk urea (ton)Keperluan SP36 (ton)Keperluan KCl (ton)

1.Existing 173%86.8552.09725.15912.5794.193

2.IP 300%144.965

3.62443.49021.7457.248

Keterangan : Keperluan benih : 25 kg/ha

(3) Program Penyuluhan dan Pelatihan Penerapan Teknologi Budidaya

Intensifikasi padi merupakan paket teknologi yang semua komponen teknologinya harus diterapkan. Paket ini perlu dikenalkan atau pengetahuan petani perlu ditingkatkan dengan penyuluhan dan pelatihan. Paket teknologi yang perlu diterapkan ini mencakup: penggunaan benih padi varietas unggul baru yang bermutu/bersertifikat, pemupukan berimbang, pengaturan populasi, pengolahan tanah, pengairan, pengendalian hama terpadu, panen dan pasca panen.

Program penyuluhan ini harus ditunjang dengan tenaga penyuluh dengan jumlah yang cukup.(4) Program Penerapan SRI (System of Rice Intensification)

Paket SRI mengandalkan potensi lahan yang secara alami menyediakan hara yang cukup bagi padi, penggunaan jumlah benih padi yang efisien (relatif sedikit, yaitu sekitar 5 kg/ha, penggunaan air secara efisien, dan pengendalian hama terpadu).

Budidaya dengan SRI menggunakan pupuk kandang dalam jumlah yang banyak (10 ton per ha), penggunaan bibit berumur muda (7 hari), lahan yang tidak perlu digenangi atau cukup macak-macak, jarak tanah yang lebih lebar (25 cm x 25 cm), dan pengendalian hama dengan menerapkan pengendalian hama terpadu.

Pada musim tanam I dan II, produksi masih rendah. Untuk menghindari produksi rendah pada awal penerapan SRI diperlukan penambahan pupuk sintesis dengan dosis rendah sesuai kesuburan sawah, misalnya cukup dengan 30 kg/ha. Dengan pemberian pupuk organik (pupuk kandang) setiap penanaman, maka pada musim tanam ke 3 atau tahun kedua produksi sudah tinggi, bahkan dapat mencapai 8 ton/ha. Penerapan SRI perlu diintegrasikan dengan pengembangan peternakan pada tiap zona pengembangan.

(5) Program Intensifikasi dengan padi hybrida

Teknologi mutakhir dalam Intensifikasi padi adalah penggunaan padi hibrida. Benih padi ini perlu selalu dibeli pada produsen benih dengan harga yang lebih mahal, namun memberi produksi gabah yang lebih tinggi sampai dengan 11 ton/ha. Untuk pengenalan padi hibrida Dinas Pertanian dapat bekerjasama dengan produsen benih hibrida untuk memperkenalkan paling tidak 1 ha pada tiap kecamatan.(6) Program Padi Organik

Pengusahaan padi organik telah berkembang pada setiap zona pengembangan. Sebagai bagian dari revitalisasi pertanian di Kabupaten Bogor, pengembangan padi organik perlu mendapat dukungan pemasaran, penyediaan bibit bermutu, dan penyediaan pupuk kandang yang cukup. Pelatihan perlu diadakan terutama dalam pembuatan pupuk organik, dan pengendalian hama tanpa menggunakan pestisida an organik.

(7) Program Padi Gogo

Padi gogo ditanam pada lahan yang sulit disawahkan seperti pada ladang atau pada perbukitan. Luas panen padi gogo di Kabupaten Bogor mencapai 2.993 ha. Intensifikasi padi gogo pada sentra padi gogo, dilaksanakan dengan program :

(1) penyediaan benih padi gogo unggul bermutu,

(2) penyediaan pupuk dan pestisida yang cukup

(3) pengendalian gulma dan

(4) pasca panen yang meminimalkan kehilangan.

(8) Program Revitalisasi Sistem Irigasi

Revitalisasi saluran irigasi, dan perluasan jaringan irigasi diharapkan akan meningkatkan intensitas penanaman sampai 300%. Dengan IP 300% dengan luas sawah yang sama dengan kondisi saat ini, maka Kabupaten Bogor akan swasembada berasa.

Pada tiap zona pengembangan, perbaikan irigasi teknis PU dan non PU akan menjadikan sawah tadah hujan, maupun sawah irigasai dengan dapat diusahakan dengan intensitas penanaman yang lebih tinggi.

Pada tiap zona/kecamatan terdapat saluran irigasi yang memerlukan perbaikan, dan perluasan jaringan.

(9) Program ekstensifikasi

Dewasa ini terjadi konversi sawah menjadi permukiman dan industri. Untuk itu perlu diprogramkan Dinas PU memperluas jaringan irigasi, sehingga lahan kering dapat dikonversi menjadi sawah. Demikian pula Dinas Pertanian mendorong perluasan padi gogo pada lahan kering, khususnya untuk penanaman yang meanfaatkan musim hujan. 7.1.1.2. Intensifikasi Tanaman Palawija

Tanaman palawija merupakan tanaman pangan selain padi yang ditanam pada sawah setelah padi, atau penanaman tanaman pangan non padi pada lahan kering. Jenis palawija beragam, pada sentra-sentra produksi jenis tanaman palawija meliputi : jagung/jagung manis, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, ubi kayu, ubi jalar dan talas.

Sebagai bagian dari revitalisasi pertanian pengembangan tanaman palawija diwujudkan dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi palawija pada tiap zona sesuai dengan jenis tanaman/komoditi palawija unggulan yang dipilih.

Program peningkatan produksi palawija ditujukan pada semua zona, dengan satu atau lebih jenis tanaman unggulan. Jagung, dan Kacang hijau diutamakan dikembangkan di zona 7 dan 8 setelah padi. Ubi jalar, kacang tanah, Talas diutamakan pada zona lainnya dengan jaminan irigasi/curah hujan yang cukup.

Data tahun 2007 menunjukkan di Kabupaten Bogor terdapat sawah tadah hujan 9.766 ha dan lahan kering/tegalan 57.609 ha. Intensifikasi palawija dapat diprogramkan pada lahan sawah tadah hujan setelah padi diluar musim hujan, dan pada lahan kering/tegalan. Demikian pula penanaman ubi kayu pada lahan yang cukup luas, dapat diprogram sebagian diganti dengan tanaman palawija lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Intensifikasi palawija dapat diprogramkan dengan menyusun pola tanam yang tepat pada lahan sawah dan lahan kering, (2) Penyediaan benih bermutu termasuk menggunakan benih hibrida, khususnya jagung, (3) Pemupukan dengan pupuk organik dan pupuk sintetik, (4) Pegendalian gulma dan hama penyakit. Dengan intensifikasi diharapkan produksi palawija dapat meningkat (Tabel 7.1.2.).Tabel 7.1.2. Luas Penanaman dan Produksi Palawija 2008 dan Harapan Peningkatan Produktivitas Tanaman dengan Intensifikasi

No.Jenis TanamanKondisi Existing

2008Harapan Program Intensifikasi

Luas

(ha)Prod/ha

(ton)Total Prod (ton)Prod/ha

(ton)

1.Ubi kayu 9.10119,69179.22225

2.Ubi jalar 3.91613,9260.83220

3.Jagung 9593,573.2165

4.Kacang Tanah1.7581,272.2341,5

5.Kacang Hijau2761,012781,5

6.Kedelai551,13621,25

7.Talas 42413,985.93220

Program Intensifikasi palawija disarankan terintegrasi dengan baik dengan Intensifikasi tanaman padi dalam suatu pola tanam, sehingga curah hujan atau irigasi dapat digunakan secara efisien.

Pada lahan sawah yang beririgasi teknis, pola tanah yang direkomendasikan adalah Padi--padi---padi---palawija, sedang pada lahan kering pola tanamnya adalah padi gogo, palawija-palawija, atau palawija --- palawija ----palawija.

7.1.2. Program Pengembangan Tanaman Hortikultura

7.1.2.1. Intensifikasi Tanaman SayuranJenis tanaman sayur-sayuran yang telah ditanam di Kabupaten Bogor beragam pada sentra-sentra produksi. Jenis tanaman sayuran utama dilihat jumlah produksi pada 2008 meliputi : kangkung, mentimun, bayam, kacang panjang, petsai/sawi, terung, tomat, buncis, bawang daun, cabai, wortel, kubis. Disamping itu diproduksi jenis sayuran lainnya yang produksinya relatif sedikit.

Program revitalisasi pertanian hortikultura, khususnya tanaman sayur-sayuran diwujudkan dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi pada tiap zona sesuai dengan jenis tanaman sayur-sayuran unggulan yang dipilih. Jenis tanaman sayuran sub tropis seperti kubis, tomat, kentang, bawang daun dan kembang kol dipusatkan pada zona pengembangan 6, sedang tanaman sayuran jenis dataran rendah dikembangkan pada semua zona lainnya yang memiliki sumber air dan irigasi teknis. Zona pengembangan 3,4,5,7 atau zona yang berkembang menjadi kota sesuai untuk diprioritaskan dalam pengembangan tanaman sayuran dataran rendah.

Intensifikasi tanaman sayuran dapat diprogramkan pada lahan kering/tegalan, dan pada sawah tadah hujan setelah penanaman padi. dengan program :

1) Penyediaan benih bermutu, dengan mengembangkan penangkar benih tanaman sayuran.

2) Penyediaan pupuk organik dengan mengembangkan produsen pupuk organik (pupuk kandang, kompos, bokasi)

3) Penyediaan pupuk sintetik, dan pestisida

4) Pegendalian gulma dan hama penyakit.

5) Produksi Tanaman Sayuran Organik6) Mengenalkan jenis tanaman sayuran dataran rendah berniai ekonomi tinggi, seperti asparagus, dan kubis dataran rendah.

Dengan intensifikasi diharapkan produksi Tanaman Sayuran dapat meningkat (Tabel 7.1.3.)

Tabel 7.1.3. Luas Penanaman dan Produksi Sayur-sayuran 2008 dan dan harapan Peningkatan Produktivitas tanaman dengan Intensifikasi

No.Jenis Tanaman SayuranKondisi Existing (2008)Harapan Program Intensifikasi

Luas Panen

(ha)Prod/ha

(ton)Total Prod (ton)Produksi per ha

(ton)

1.Bawang Daun5807,754.49910,0

2.Kentang915,87142,920,0

3.Kubis3922,94894,825,0

4.Petsai/Sawi1.2788,6511.054,510,0

5.Wortel27915,094.212,517,5

6.Kacang Panjang1.42110,1014.339,612,5

7.Cabe43010,064.327,012,5

8.Tomat40016,926.768,220,0

9.Buncis5818,475.766,510,0

10.Mentimun1.24214,7818.351,617,5

11. Labu Siam3814,94567,620,0

12Kangkung2.1929,2820.333,212,5

13.Bayam2.3307,3717.167,310,0

14.Kacang Merah1882,24420,53,0

15.Kembang Kol2914,5420,517,5

16.Terung57913,938.062,715,0

17.Cabe rawit2916,491.888,27,5

Kabupaten Bogor12.0081.192.215

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor

7.1.2.2. Peningkatan Populasi Pohon Buah-Buahan

Pembudidayaan tanaman pohon buah-buahan di Kabupaten Bogor umumnya berbentuk penanaman pada kebun campuran. Sangat sedikit berbentuk kebun monokultur. Jenis tanaman buah-buahan yang diproduksi oleh kebun rakyat beragam pada sentra-sentra produksi.

Jenis tanaman buah-buahan yang menunjukkan volume produksi yang tinggi (diurut dari volume tertinggi) meliputi : rambutan, pisang, pepaya, durian, jambu biji, nangka, nenas, mangga dan belimbing. Jenis lainnya diproduksi dengan jumlah yang lebih sedikit.

Program revitalisasi pertanian tanaman buah-buahan dapat diwujudkan dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi. Program intensifikasi diwujudkan melalui perbaikan teknik budidaya yang mencakup (1) penggunaan bibit bersertifikat, (2) pemupukan, termasuk pada pohon tua yang telah berproduksi, (3) pengendalian hama penyakit, dan (4) Waktu panen yang tepat.

Program ekstensifikasi diwujudkan dengan penambahan populasi pohon atau luas penanaman pada tiap zona sesuai dengan jenis tanaman sayur-sayuran unggulan yang dipilih. Penambahan populasi dan termasuk peremajaan pohon buah dapat dilakukan dengan program penyediaan bibit tanaman pohon buah-buahan, dengan memberdayakan penangkar bibit lokal.

Perluasan penanaman pohon buah-buahan diprogramkan pada lahan kering/tegalan. Khusus tanaman buah semusim seperti melon, dan semangka dapat diprogramkan pada sawah tadah hujan setelah padi. Peningkatan produksi pohon buah-buahan juga akan mendukung program agroindustri rumah tangga/UKM.

Pada Tabel 7.1.4. terlihat data jumlah tanaman berproduksi, dan jumlah penanaman baru, dan jumlah produksi tanaman buah-buahan. Sebagai salah satu program revitalisasi tanaman buah, maka inisiasi penyediaan bibit bagi petani, merupakan program yang akan meningkatkan produksi tanaman buah-buahan di masa yang akan datang. Paling tidak jumlah tanaman yang ditanam baru pada tiap tahun menyamai penanaman pada tahun 2008. Jenis tanaman buah yang dapat diprioritas seperti pada trend penanaman pada tahun 2008 yaitu durian, jambu biji, manggis, nenas, pepaya, pisang, rambutan, salak, dan sukun.

Tabel 7.1.4. Luas Penanaman dan Produksi buah-buahan 2008 dan dan harapan Peningkatan Produktivitas tanaman dengan Intensifikasi

No.Nama TanamanJumlah tanaman berproduksiPenambahan Tanaman (pohon)Produksi (ton)

1.Alpukat11.7891.4951.097,4

2.Belimbing26.0911.7511.962,7

3.Duku8.833427678,5

4.Durian78.42919.0295.455,8

5.Jambu biji89.86511.1793.581,9

6.Jambu air1.3111.596,2

7.Jeruk siam/keprok433210,3

8.Jeruk besar4.3368064,9

9.Mangga25.4405.3312.004,7

10.Manggis68.19816.7482.116,4

11. Nangka/cempedak58.8804.2166.431,7

12Nenas223.535421.4042.579,6

13.Pepaya385.69365.52012.237,6

14.Pisang928.221430.95121.618,2

15.Rambutan124.26217.63422,.008,2

16.Salak24.96723.5602.327

17.Sawo8.891681673,4

18.Sirsak7.689317490,5

19.Sukun2.2251.393329,7

Lainnya32.567

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor

7.1.2.3. Intensifikasi Tanaman Hias

Beragam tanaman hias telah dibudidayakan di Kabupaten Bogor, yang mencakup tanaman bunga potong/daun potong dan tanaman hias lanskap/pertamanan. Pembudiayaan tanaman hias tidak memerlukan lahan yang luas, seperti pada jenis tanaman fieldcrop, sehingga usaha tanaman hias sesuai untuk pertanian kota. Dalam hal ini zona pengembangan yang telah berkembang menjadi kota atau berbatasan dengan kota sesuai untuk pengembangan tanaman hias. Demikian pula zona pengembangan yang memiliki iklim sejuk sesuai untuk bunga potong, sehingga zona pengembangan yang sesuai untuk pengembangan tanaman hias adalah Zona 4,5,6,7.

Jenis tanaman bunga potong yang menunjukkan volume produksi yang tinggi di Kabupaten Bogor (diurut dari volume tertinggi) meliputi: krisan, anggrek, sedap malam, anthurium bunga, mawar, gerbera, dan anyelir. Tanaman hias non bunga potong, meliputi : pakis, heliconia, alonema, euphorbia, dracena, sansiviera, kaladium. Dan jenis lainnya. Jenis tanaman hias yang dapat diperluas pengembangannya pada zona pengembangan yang terpilih adalah jenis yang banyak diminati masyarakat, seperti pada trend produksi pada tahun 2008 (Tabel 7.4).

Program revitalisasi pertanian tanaman hias dapat diwujudkan dengan program : (1) pembentukan kapasitas penangkar dalam penyediaan bibit tanaman hias dalam jumlah amat banyak, dalam waktu singkat, (2) introduksi varietas/klon baru, (3) bimbingan teknik budidaya, (4) promosi , (5) pemasaran dengan pembentukan pusat/gallery pemasaran tanaman hias pada tiap zona pengembangan.

Tabel 7.1.5. Luas Penanaman Baru dan Luas Panen dan Produksi Tanaman Hias Pada Tahun 2008No.Nama TanamanPenambahan Tanaman (m2)Luas panen (m2)Produktivitas (tangkai/m2)Produksi (tangkai)

1.Anggrek 37.35946.56514,78688.175

2.Anthurium bunga5.34011.77010,27120.905

3.Anyelir5504503,331500

4.Gerbera1.2752.7255,8415.916

5.Gladiol1001.1008,008800

6.Heliconia1.9308.5308,8275215

7.Krisan 224.43562.18520,651284060

8.Mawar14501.42267,8696.490

9.Sedap malam9.80510.70017,90191.575

10.Dracena5.5768.6293,9233.829

11. Melati 2.0531.1358,609.757

12Palem1.0932.0611,012.086

13.Aglonema32.08725.3514,22106.946

14.Adenium9.7834.9983,2216.072

15.Euphorbia124.36924.4414,15101.316

16.Phuylodendron8.4597.0872,2415.887

17.Pakis14.07510.50012,69133.200

18.Monstera1843871,06412

19.Soka27501.2001,001.200

20.Cordyline2051051,00105

21.Diffenbahia2.2537121,421.012

22.Sansiviera18.95014.9773,3850.599

23.Anthurium daun14.0488.8164,5039.631

24.Caladium11.0875.8119,2653.811

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor

7.1.3. Program Pengembangan Produksi Tanaman Perkebunan

Tanaman Perkebunan di Kabupaten Bogor diusahakan oleh 3 komponen yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) dan PTP. Seperti tersaji pada Tabel 7.1.6. dan Tabel 7.1.7. Perkebunan rakyat diusahakan umumnya dalam bentuk Kebun Campuran, sedang Perkebunan Besar dalam bentuk perkebunan monokultur dalam blok yang luas. Tabel 7.1.6. Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat di rinci menurut Jenis Tananam di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007

No.Jenis Tanaman2004200520062007

1.Karet333,771.685,51353,96325,09

2.Kelapa7.801,9941.628,988.146,507.757,42

3.Kopi1.269,026.409,741.278,3182,70

4.Teh19,22525,4990,040,00

5.Kapuk0,000,000,00137,87

6.Pala117,37535,74519,98394,14

7.Cengkeh146,05835,95193,5197,21

8.Aren108,15270,72108,16315,00

9.Melinjo0,000,00304,580,00

10.Kencur/Obat-obatan0,0039,0011.127,050,00

11. Kapollaga7,2841,920,000,00

12Vanili13,8574,7614,950,00

13.Pandan0,000,000,000,00

14.Kelapa Hibrida0,00571,20142,80151,20

15.Kayu Manis0,000,000,000,00

16Lada35,3717,940,000,00

17.Jambu Mete0,000,000,000,00

Jumlah9.952,0752,636,9522.279,8410,465,94

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor, 2008

Pada tahun 2008 baik pada perkebunan rakyat maupun pada Perkebunan Besar, terdapat penanaman baru (Tabel 7.1.8. dan 7.1.9.). Pengembangan perkebunan merupakan program yang strategis, karena perkebunan besar menyediakan lapangan kerja, mempertahankan wilayah hijau (RTH), dan pada perkebunan rakyat tanaman berproduksi merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat.

Tabel 7.1.7. Produksi Tanaman Perkebunan Besar Dirinci menurut Jenis Tananam di Kabupaten Bogor Tahun 2005-2007

No.Jenis Tanaman200520062007

PBSNPT. PPBSNPT. PPBSNPT. P

1.Karet651,06149,131.358,490,00462,710,00

2.Kopi5,000,008,050,004,000,00

3.Teh3.391,777.814,911.057,733.967,732.098,412.619,07

4.Cengkeh23,200,0040,500,000,000,00

5.Coklat8,650,003,680,001,830,00

6.Kelapa Hibrida0,000,000,000,0038,250,00

7.Kelapa4,560,000,000,000,000,00

8.Kelapa Sawit0,000,000,006.601,070,000,00

Jumlah4.084,247.904,042.469,4510.568,802.605,202.619,07

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor, 2008

Keterangan : PBSN = Perkebunan Besar Swasta Nasional

PT. P = Perseroan Terbatas Perkebunan

Program yang dapat dikembangkan untuk revitalisasi perkebunan di Kabupaten Bogor meliputi :

1) Penyediaan bibit/klon bersertifikat/bermutu dengan memberdaya-kan penangkar lokal.

2) Perluasan Perkebunan Rakyat dengan menggunakan jenis komoditi yang relatif tidak memerlukan lahan yang sangat luas, seperti vanili, lada.

3) Perluasan perkebunan besar, dengan konversi jenis komoditi yang lebih menguntungkan secara berkelanjutan.

4) Peremajaan tanaman perkebunan.

5) Perbaikan teknik budidaya, khususnya pemeliharaan.

6) Mengembangkan penanaman tanaman indutri yang bersifat semusim untuk bahan baku industri seperti wijen, nilam, sereh wangi, jahe dan sebagainya.

7) Merintis kemitraan yang saling menguntungkan antara pekebunan/ petani dengan industri pengguna bahan baku.

Tabel 7.1.8. Luas Areal Tanaman Muda Perkebunan Rakyat Dirinci menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007

No.Jenis Tanaman2004200520062007

1.Karet530,581.581,65102,70232,70

2.Kelapa 8.452,868.606,431.219,841.212,84

3.Kopi2.234,192.244,37350,62504,62

4.Teh96,112.747,3721,8121,81

5.Kapuk0,000,000,000,00

6.Pala551,01573,02105,56205,56

7.Cengkeh1.082,961.354,92192,14234,14

8.Aren126,94132,9727,3127,31

9.Melinjo12,00,0097,0097,00

10.Kencur/Obat-obatan32,039,0060,820,00

11. Kapolaga34,2096,051,070,00

12Vanili39,0039,006,240,00

13.Pandan----

14.Kelapa Hibrida159,00159,007,000,00

15.Kayu Manis---19,00

16Lada35,5835,580,000,00

17.Jambu Mete----

18.Kunyit29,0042,400,000,00

19.Jahe24,0048,500,000,00

Jumlah13.429,4317.700,212.192,112.554,98

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor, 2008

Tabel 7.1.9. Luas Areal Tanaman Muda Perkebunan Besar Dirinci menurut Jenis Tanaman di Kabupaten Bogor Tahun 2004-2007

No.Jenis Tanaman20062007

PBSNPT. PPBSNPT. P

1.Karet268,09-219,82-

2.Kopi5,00-0,00-

3.Teh50,0020,5050,0020,50

4.Cengkeh10,00-10,00-

5.Coklat236,00-236,00-

6.Kelapa Hibrida----

7.Kelapa----

8.Sawit-2.075,62--

Jumlah587,092.096,12515,8220,50

Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor, 2008

7.1.4. Program Pengembangan Produksi Tanaman Biofarmaka

Tanaman biofarmaka diperlukan oleh industri obat, jamu, dan untuk bumbu. Jenis tanaman ini yang telah berkembang di Kabupaten Bogor meliputi: jenis jahe-jahean (jahe, laos, kencur, kunyit, lempuyang, beragam temu, sambiloto, mahkota dewa, sambiloto dan lidah buaya. Jenis tanaman jahe-jahean telah ditanam pada semua zona pengembangan.

Tanaman biofarmaka ditanam pada lahan kering secara monokultur, dan dapat ditanam dibawah naungan pohon. Penanaman jenis tanaman biofarmaka memungkinkan dilakukan dibawah tajuk pohon kehutanan. Untuk pengembangan produksi tanaman biofarmaka perlu dilakukan dengan jaminan pasar produk yang berkelanjutan.

Sebagai bagian dari Program revitalisasi pertanian di Kabupaten Bogor, Program yang dapat digulirkan meliputi :

a. Perluasan tanaman biofarmaka dalam program Agrosilvofastural. Dibawah regulasi yang jelas, pengembangan tanaman biofarmaka dilakukan pada area transisi lahan masyarakat dan kawasan hutan.

b. Kemitraan pengusahaan tanaman biofarmaka antara petani dan industri obat/jamu.

c. Penyediaan bibit/klon unggul dalam jumlah yang cukup

d. Pengenalan jenis-jenis tanaman biofarmaka bernilai ekonomi tinggi.

e. Pelatihan pengolahan pasca panen produk tanaman biofarmaka.

7.1.5. Program Pengembangan Kehutanan Penggunaan lahan dalam bentuk hutan di Kabupaten Bogor seluas 62.306,40 ha (20,89%), sedangkan penggunaan lahan dalam bentuk kebun campuran seluas 85.001,70 ha (28,50%) (Badan Pertanahan Nasional, 2007). Kabupaten Bogor mempunyai kawasan hutan seluas 67.718,36 ha, yang terdiri dari hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Daerah hutan lindung pada umumnya terdapat di daerah dataran tinggi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sedangkan hutan produksi luasnya relatif terbatas dan menyebar terutama di daerah Cigudeg dan Kelapanunggal. Data luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor tahun 2007 berdasarkan fungsinya (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2007): Hutan Produksi 19.993,70 ha; Hutan Produksi Terbatas 3.145,21 ha; Hutan Lindung 11.138,91 ha; Hutan Konservasi 33.440,54 ha, yang terdiri dari Cagar Alam (181,10 ha), Taman Nasional (32.807,34 ha), Taman Wisata Alam (452,10 ha). Total luas hutan di Kabupaten Bogor adalah 67.718,36 ha. Produksi hasil hutan (kayu dan non kayu) KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, pada tahun 2006 adalah kayu bakar 6.117,00 sm, pinus/damar 296,40 kg, kayu perkakas 23.662,29 m3, sarang burung walet 5,6 kg, lainnya (padi, kopi) 4.831,00 kg. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, dihasilkan juga rotan dan kayu gergajian. Luas tanaman hutan pada tahun 2006 adalah pinus 150,00 ha, albasia/acasia 955,23 ha, maesopsis 272,80 ha, lainnya/mindi 575,04 ha. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya ditanam juga jenis meranti, Acacia mangium, damar, rimba campuran, pulai gading, mahoni, eucalyptus, dan jati plus.

Hutan rakyat di Kabupaten Bogor tersebar di 40 (empat puluh) kecamatan yang ada. Potensi hutan rakyat terbesar di Kecamatan Rumpin, kemudian diikuti Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Nanggung. Hutan rakyat pada umumnya dikembangkan oleh petani dalam bentuk kebun campuran. Data tentang potensi hutan rakyat, disajikan secara lengkap pada Tabel 7.1.10.

Tabel 7.1.10. Potensi Hutan Rakyat , Potensi Lebah Madu dan Kelompok Tani per Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2007

No.KecamatanPotensi Hutan Rakyat (ha)

1Nanggung1.004,51

2Leuwiliang659,77

3Leuwisadeng71,28

4Pamijahan318,11

5Cibungbulang81,08

6Ciampea100,57

7Tenjojaya74,48

8Dramaga37,41

9Ciomas43,30

10Tamansari184,82

11Cijeruk1.101,08

12Cigombong169,41

13Caringin91,84

14Ciawi95,28

15Cisarua73,02

16Megamendung188,69

17Sukaraja156,59

18Babakan Madang49,70

19Sukamakmur634,24

20Cariu330,46

21Tanjungsari419,24

22Jonggol269,55

23Cileungsi102,67

24Klapanunggal253,58

25Gunung Putri73,84

26Citeureup58,56

27Cibinong28,35

28Bojonggede33,60

29Tajurhalang34,88

30Kemang31,75

31Rancabungur15,60

32Parung 27,77

33Ciseeng75,35

34Gunung Sindur93,90

35Rumpin1.105,71

36Cigudeg561,11

37Sukajaya235,50

38Jasinga442,93

39Tenjo95,55

40Parung Panjang91,78

Total8.516,86

Sumber : Kabupaten Bogor Dalam Angka 2008, BPS

Hutan di Kabupaten Bogor seperti telah dijelaskan di atas terdiri dari hutan negara dan hutan rakyat. Hutan negara meliputi: hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan lindung, dan hutan konservasi. Sedangkan hutan rakyat, pada umumnya dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk kebun campuran. Produk yang dihasilkan dari hutan dapat berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu.

Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peran dan nilai strategis. Sumberdaya hutan bukan hanya mempunyai nilai ekonomis karena dapat menghasilkan hasil hutan berupa produk kayu, non kayu dan jasa yang mempunyai nilai ekonomi riil di pasar, tetapi juga mempunyai nilai ekologis yang menjadi kondisi pemungkin (enabling condition) bagi terselenggaranya pembangunan sub sektor kehutanan dan sub sektor-sub sektor lainnya secara berkelanjutan. Oleh karena itu, sub sektor kehutanan perlu lebih memperoleh perhatian.

Revitalisasi kehutanan dapat dimaknai dengan upaya mewujudkan manfaat tangible maupun intangible sumberdaya hutan yang makin dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat dan makin terdorongnya praktek-praktek pengelolaan hutan lestari.

7.1.5.1. Program Pengembangan Hutan Rakyat

Hutan alam saat ini potensinya terus menurun, sehingga tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan kayu nasional setiap tahunnya. Kebutuhan kayu nasional diperkirakan 80 juta m3 per tahun, sementara jatah produksi tahunan ditetapkan pemerintah sebesar 8.152.250 m3 per tahun dan terjadi defisit bahan baku kayu 71,85 juta m3 per tahun.

Kondisi tersebut di atas, mengakibatkan industri kehutanan mengalami koleps bahkan banyak yang gulung tikar, karena kekurangan pasokan bahan baku. Untuk mengatasi kelangkaan kayu industri kehutanan telah merubah orientasi sumber bahan baku dari hutan alam ke bahan baku alternatif kayu rakyat dan mendekatkan lokasi industrinya ke sumber bahan baku kayu rakyat. Pergeseran orientasi dari sumber bahan baku kayu industri dari hutan alam ke kayu rakyat mendongkrak nilai ekonomis kayu rakyat dan menggeliatkan perdagangan kayu rakyat di masyarakat.

Hutan rakyat pada umumnya masih dikelola secara konvensional, dalam bentuk monokultur maupun dengan sistem campuran dengan tanaman budidaya (agroforestry) per individu petani atau kelompok tani. Kendala umum yang dihadapi petani hutan rakyat dalam pembangunan hutan rakyat, antara lain: (a) Terbatasnya akses pasar dan pemasaran hasil kayu rakyat, (b) Terbatasnya akses permodalan, (c) Minimnya penguasaan teknologi, (d) Rendahnya keterampilan budidaya, (e) Lemahnya rencana pengelolaan hutan rakyat, dan (f) Rendahnya luas kepemilikan lahan.

Program pengembangan hutan rakyat sangat penting untuk dilaksanakan antara lain karena: (a) Masyarakat telah mengusahakan hutan rakyat, (b) Hutan rakyat telah memberikan manfaat baik ekonomi, sosial maupun lingkungan, (c) Masih luasnya lahan kritis yang harus direhabilitasi.

Masyarakat di Kabupaten Bogor telah mengusahakan hutan rakyat, hal ini ditunjukkan oleh Tabel 7.1.10. di atas. Pengembangan hutan rakyat juga sangat penting untuk merehabilitasi lahan kritis di Kabupaten Bogor yang masih luas Data dari Monografi Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2008, menunjukkan bahwa total lahan kritis seluas 25.229,98 ha, yang terdiri dari lahan sangat kritis 320,00 ha, kritis 9.425,00 ha, agak kritis 9.572,22 ha, dan potensial kritis 5.912,76 ha. Luas lahan kritis tersebar ke seluruh wilayah zonasi yang ada, yaitu Zona I 3.370,42 ha; Zona II 3.185,70 ha; Zona III 443,18 ha; Zona IV 1.359,01 ha; Zona V 1.358,66 ha; Zona VI 2.297.72 ha; Zona VII 6.693,91 ha; dan Zona VIII 5.414,68 ha.

Program pengembangan hutan rakyat antara lain perlu mempertimbangkan: (a) pemilihan jenis yang tepat (cocok dengan tempat tumbuh), (b) cepat menghasilkan, (c) mudah pemasarannya, (d) memiliki nilai ekonomi yang tinggi, (e) interaksi secara ekologi dengan tanaman lainnya bersifat positif. Hasil penelitian Budiharsoso et.al (2004) jenis-jenis yang berpotensi tinggi untuk meningkatkan pendapatan petani skala kecil di Kecamatan Nanggung adalah pisang, durian, manggis, rambutan, petai, nangka, sengon, kayu afrika, bambu, cabai, tomat, jagung manis, kacang, buncis, dan kacang polong. Hasil studi pasar terhadap jenis kayu yang ada, menunjukkan bahwa sengon, kayu afrika, dan bambu memiliki nilai tinggi, sedangkan puspa dan kisampang merupakan jenis kayu untuk kebutuhan lokal. Beberapa jenis pohon yang telah dikembangkan di hutan rakyat Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 7.1.11.

Tabel 7.1.11. Jenis, Luas, Produksi, Jumlah Pemilik, dan Jumlah Tenaga Kerja Terlibat di Hutan Rakyat

NoJenisLuas (ha)Produksi (m3)Jumlah Pemilik (orang)Jumlah Tenaga Kerja Terlibat (orang)

1.Sengon /albazia (Paraserianthes falcataria)3.406,9515.585,0934.36316.714

2.Mahoni (Switenia sp.)3.730,501.672,2434.74417.372

3.Afrika (Maesopsis sp.)1.522,023.578,4215.2207.616

4.Jati (Tectona grandis)528,0710,855.3082.662

5.Campuran1.191,471.760,4914.5106.852

11.379,0222.607,10104.14451.215

Sumber: Monografi Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2008

Tabel 7.1.11. menunjukkan jenis-jenis pohon yang saat ini telah dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Bogor. Namun demikian, Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan jenis tumbuhan lokal yang dapat direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman, karena jenis ini mudah tumbuh, pemanfaatan kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat, prospek pemasarannya cukup tinggi, tersebar di seluruh Indonesia, dan teknik silvikultumya telah diketahui. Jabon dapat dikembangkan hampir di seluruh Indonesia dan seyogyanya dikonsentrasikan di daerah yang merupakan habitat alaminya yaitu: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Irian Jaya. Untuk mendukung keberhasilan pengadaan bibit, perlu ditunjuk tegakan benih/areal pengumpulan benihnya.

Jabon merupakan salah satu jenis kayu / pohon yang pertumbuhannya sangat cepat dan dapat tumbuh subur di hutan tropis dengan ekologi tumbuh pada : Ketinggian : 10-2.000m dpl, Curah hujan : 1.250-3.000m/th dan Kondisi tanah (PH) :4,5 7,5.

Jabon memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman kayu lainnya, termasuk albasia (sengon). Dari hasil uji coba yang telah dilakukan, keunggulan tanaman jabon dapat diuraikan dari beberapa kriteria, diantaranya sebagai berikut : Pertumbuhan pohon jabon sangat cepat bila dibandingkan dengan jenis kayu keras lainnya : (a) Diameter batang dapat tumbuh berkisar 10cm/th, (b) Tinggi batang pada usia 12 tahun dapat mencapai 20 meter, sehingga pada usia 6-8 tahun sudah dapat dipanen. Batang: (a) Berbatang silinder dengan tingkat kelurusan yang sangat bagus, (b) Tidak memerlukan pemangkasan karena pada masa pertumbuhan cabang akan rontok sendiri.

Penanaman dan perawatan: Jabon merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan berkembang dan tidak memerlukan perlakuan khusus dalam budidayanya. Pemasaran: Karena jenisnya yang berwarna putih agak kekuningan tanpa terlihat seratnya, maka kayu jabon sangat dibutuhkan pada industri kayu lapis (plywood), bahan baku meubel dan furniture, serta bahan bangunan non kontruksi. Keunggulan inilah yang membuat pemasaran kayu jabon sama sekali tidak mengalami kesulitan, bahkan industri kayu lapis siap untuk membeli setiap saat dalam jumlah yang tidak terbatas.

Nilai ekonomis: Budidaya tanaman jabon akan memberikan berbagai keuntungan yang sangat menggiurkan apabila dikerjakan secara serius dan benar. Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan pada tanaman jabon setelah dipanen pada usia 8-10 tahun (asumsi harga terendah, dan batang terkecil) pada setiap batang kayu jabon diperoleh : (1) tinggi batang yang bisa terjual rata-rata 12 m, (2) diameter batang rata-rata 30 cm. Maka dari tiap batang pohon jabon menghasilkan kayu yang bisa dijual sebanyak 1,5 kubik, sedangkan harga perkubik saat ini Rp 1.000.000,-. Sehingga harga terendah 1 batang pohon jabon usia 8-10 tahun minimal seharga Rp 1.500.000,-. Informasi: Harga kayu jabon perkubik pada tahun 2009 : (1) middle 30-39 Rp 1.000.000,-, (2) middle 40-49 Rp 1.100.000,-, (3) middle 50 up Rp 1.200.000,-

Harga ini diprediksi akan mengalami kenaikan seiring dengan tingkat kebutuhan/permintaan yang semakin bertambah tiap tahunnya, sedangkan persediaan kayu jabon semakin lama semakin terbatas. Dalam 1 ha lahan, dapat ditanam sebanyak 500 batang bibit jabon dengan jarak 4x5 m.

Kabupaten Bogor memiliki potensi untuk pengembangan hutan rakyat. Oleh karena itu, penetapan sentra-sentra produksi kayu rakyat unggulan sangat mendesak untuk dipertimbangkan, hal ini mengingat semakin sulit atau bahkan mungkin tidak ada lagi kebun campuran di wilayah Bogor Barat yang masih utuh dengan pepohonan yang besar. Pohon jabon memiliki potensi besar untuk dikembangkan di hutan rakyat Kabupaten Bogor, selain jenis-jenis pohon (sengon, mahoni, afrika) yang saat ini telah dikembangkan oleh masyarakat.

Pada hakekatnya kemitraan usaha sesuai dengan jiwa dan semangat demokrasi ekonomi yang diamanatkan konstitusi. Secara jelas pasal 33 ayat yang pertama menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Kemudian dalam penjelasannya ditegaskan bahwa dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikkan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Melalui kemitraan usaha antara koperasi dan usaha kecil dengan usaha besar harus dilakukan, dan gerakan ini harus menjadi aliansi strategis.

Program pengembangan kemitraan usaha nasional dewasa ini mendapatkan sambutan positif dari kalangan dunia usaha nasional. Kemitraan usaha adalah konsep dan praktek bisnis yang berkembang pesat di dunia saat ini. Istilah yang digunakan macam-macam. Ada yang disebut partnership, ada yang menyebut business networking, ada pula yang menyebut strategic alliances. Intinya, dua institusi bisnis atau lebih bergabung menyatukan keunggulan masing-masing, kemudian dari penggabungan ini masing-masing pihak akan memperoleh manfaat yang lebih besar.

Kemitraan sudah menjadi gejala umum (common strategy) bagi dunia usaha di seluruh dunia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun seperti Jepang, Amerika Serikat dan Kanada, kemitraan usaha tumbuh dan berkembang luas di seluruh lini bisnis. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa keunggulan bersaing dapat dikembangkan melalui keterkaitan usaha dengan saling ketergantungan (interdependency) antar pelaku bisnis, bukan ketergantungan (dependency), dan juga bukan ketidaktergantungan (independency) masing-masing pelaku. Dengan demikian, motivasi utama kemitraan pada dasarnya adalah bisnis murni. Dalam hal ini persaingan pasar merupakan motor penggerak dan pendorong kemitraan usaha.

Di Indonesia, perkembangan kemitraan usaha telah tumbuh terutama sejak pertengahan tahun 70-an. Namun demikian perkembangannya terkesan sangat lambat. Penyebabnya adalah adanya faktor kondisi dan struktur yang spesifik dan berbeda dibandingkan dengan negara lain. Misalnya, kondisi dan struktur perekonomian kita masih diwarnai oleh mekanisme pasar yang belum efisien dan efektif. Seiring dengan itu, kita masih menjumpai berbagai bentuk kesenjangan, seperti kesenjangan antar daerah, antarkelompok pendapatan, antarsektor, antar pelaku ekonomi, dan sebagainya.

Kecenderungan globalisasi dan perdagangan bebas memaksa seluruh pelaku bisnis di dunia untuk mengembangkan strategic alliance. Ini adalah peluang untuk bermitra. Perdagangan bebas memaksa pelaku bisnis untuk lebih melakukan spesialisasi atau pembagian kerja (division of labour). Pembagian kerja memberikan peluang bagi kemitraan. Perkembangan sosial dan politik mengharuskan semua pihak untuk peduli dengan pengusaha kecil. Kondisi ini memberikan insentif tentang perlunya kemitraan. Pertumbuhan ekonomi ke arah proses produksi yang berorientasi nilai tambah, dengan sendirinya memerlukan kemitraan. Bagi Indonesia, kemitraan sangat diperlukan dan sebagai wujud pelaksanaan amanat UU No. 9/1995 tentang Usaha Kecil.

Dengan berbagai modifikasi terhadap konsep awalnya, kemitraan di Indonesia diharapkan dapat memenuhi suatu kondisi, antara lain: (a) Memberdayakan usaha kecil untuk mengurangi kesenjangan sosial sekaligus mendorong pemerataan, (b) Memperkukuh struktur ekonomi nasional menghadapi globalisasi, dan (c) Mendorong keterkaitan usaha antara usaha besar dengan usaha kecil sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi kedua belah pihak.

Hutan Rakyat Pola Kemitraan (Partnership) merupakan salah satu alternatif solusi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) saat ini dan masa mendatang. Disatu sisi, menggeliatnya perdagangan kayu rakyat membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Disisi lain, apabila tidak terkendali dikhawatirkan terjadi ekstraksi kayu rakyat secara masif. Eksploitasi yang berkepanjangan dapat dipastikan dalam tempo yang singkat akan memusnahkan hutan rakyat dan menambah luasnya lahan kritis.

Hutan Rakyat Kemitraan adalah pola kerjasama pengusahaan kayu rakyat antara Kelompok Tani Hutan Rakyat dengan Mitra Usaha (Industri-Kehutanan) atas dasar kesepakatan yang bersifat saling memperkuat, membutuhkan dan menguntungkan dengan suatu ikatan kerjasama (MoU) dengan fasilitasi Pemerintah.

Terbangunnya sinergitas Para-pihak dalam pengusahaan Hutan Rakyat Kemitraan diharapkan, (a) Aspek Lingkungan: mengurangi ketergantungan kayu dari hutan alam, pengembangan Hutan Rakyat mandiri dalam rangka mendukung keberhasilan RHL, (b) Aspek Ekonomi: peningkatan pendapatan masyarakat, pengentasan kemiskinan, pengembangan perekonomian daerah dan peningkatan devisa negara, dan (c) Aspek Sosial: penciptaan lapangan pekerjaan dan mengurangi jumlah pengangguran.

Beberapa Dampak Positif Kesepakatan Perusahaan dan Masyarakat Sekitar Hutan (Mayers & Vermeulen, 2002): (a) manfaat ekonomi yang jelas baik bagi perusahaan maupun masyarakat. Kesepakatan antara perusahaan konsesi kehutananan dengan masyarakat di sekitar areal konsesi memberikan manfaat ekonomi yang lebih baik bagi sumber daya modal, tenaga kerja, maupun lahan daripada skema alternative lainnya, (b) diversifikasi usaha, seperti pengembangan sumber-sumber perolehan bahan baku bagi perusahaan, atau mendorong penanaman campuran bagi masyarakat, (c) memberikan peluang-peluang baru, meliputi pengembangan kapasitas bagi masyarakat dan pengembangan rantai bisnis bagi bagi perusahaan, (d) tercapainya tujuan perusahaan, dari tujuan mengeruk keuntungan dan market standing melalui pengembangan staf dan tanggungjawab public, (e) kontribusi bagi terjaminnya hak-hak atas tanah bagi masyarakat, melalui kontrak atau pengakuan antar masyarakat, (f) pembangunan infrastruktur bagi masyarakat, terutama melalui kesepakatan tanggungjawab perusahaan, (g) pembagian resiko (misalnya resiko pasar ditanggung oleh perusahaan dan resiko produksi ditanggung oleh petani dalam skema outgrower), (h) peluang pekerjaan yang lebih baik, bahkan sering pula manfaat ini diterima oleh anggota masyarakat yang tidak terlibat dalam kesepakatan, dan (i) dampak lingkungan yang positif, selain dapat mempromosikan pengelolaan hutan multipihak yang berkelanjutan, namun di skala mikro juga berdampak pada pencegahan erosi dan iklim yang lebih baik melalui penanaman campuran (intercropping).

Hutan rakyat di Kabupaten Bogor memiliki potensi besar sebagai lahan untuk pengembangan budidaya tanaman tahan naungan. Tanaman tahan naungan yang berpeluang untuk dikembangkan dapat berupa tanaman pangan maupun tanaman biofarmaka. Tanaman pangan yang tahan naungan, antara lain: iles-iles, gadung, gembili, porang, garut, ganyong, talas. Sedangkan tanaman biofarmaka, antara lain: panili, lada, kapulaga, lengkuas, kunyit. Pengembangan jenis-jenis tanaman tersebut di atas secara langsung akan bermanfaat untuk menjaga kualitas hutan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di pedesaan.

Optimalisasi lahan bawah tegakan dalam bentuk agroforestry dengan tanaman tahan naungan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, diharapkan dapat dijadikan hasil antara sebelum pohon dapat ditebang dan kegiatan tersebut juga dapat menyerap tenaga kerja, sekaligus secara tidak langsung sebagai sarana untuk memelihara pohon hutan rakyat.

7.1.5.2. Budidaya Bambu di Kanan Kiri Sungai

Bambu memiliki potensi dan peluang cukup besar, hal ini karena jumlah dan kelimpahan jenisnya, serta berbagai ragam pemanfaatannya. Rumpun bambu menjadi sumberdaya hayati yang handal dan berkelanjutan jika dikelola secara intensif. Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, potensi dan kondisi tanaman bambu telah berkembang secara pesat untuk berbagai kepentingan di bidang tertentu seperti pertanian, biologi, kehutanan, perindustrian, pariwisata, kebudayaan, ekonomi, farmasi, dan lain-lain.

Berdasarkan potensinya, tanaman bambu dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, yaitu sebagai bahan bangunan rumah, ranjang, sayuran, bahan baku kertas, kerajinan tangan, perhiasan, alat-alat musik, pagar, kincir air, perkakas rumah tangga, tempat air, pipa saluran air, tempat memasak sayur dan nasi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau tanaman bambu pada saat sekarang maupun mendatang akan mempunyai prospek atau peluang yang cerah, mampu menjadi sumber pendapatan daerah yang handal sekaligus sektor penting penunjang ekonomi masyarakat. Di sisi lain merupakan sumber pendapatan yang bisa dipertanggungjawabkan, menciptakan kesempatan dan lapangan kerja bagi masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.

Bambu pemanfaatannya cukup luas dan sudah berlangsung lama. Akhir-akhir ini bambu telah masuk ke pasar dunia dalam bentuk pulp untuk bahan baku kertas, perekat, papan bambu lapis dan rebung kalengan. Di Asia Tenggara bambu dimanfaatkan juga untuk membuat bangunan, bemacam-macam hasil kerajinan dan alat musik tradisional.

Kendala yang dihadapi adalah langkanya usaha budidaya bambu, sehingga pada saat pengusahaan pemanfaatannya mulai berkembang dan pemanfaatannya meningkat, maka segeralah kekurangan bahan mentah. Misalnya terjadinya kekurangan bahan baku di pabrik kertas, pabrik tusuk gigi, sumpit, pembuat alat musik tradisional yang mengandalkan bahan mentah bambu dari penanaman liar atau yang tumbuh secara alami, mengalami kesulitan mendapatkan bambu secara berkesinambungan.

Untuk mengatasi masalah di atas, tidak lain perlu pengembangan budidaya bambu. Pelatihan dan pendidikan pertanian, khususnya budidaya bambu guna meningkatkan produktivitas lahan perlu dilaksanakan bagi petani dan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan pedesaan. Dengan upaya yang intensif diharapkan akan menyerap tenaga kerja yang banyak, meningkatkan penghasilan, dan pada akhirnya mengentaskan kemiskinan. Pengembangan budidaya bambu di kanan kiri sungai (Kakisu) memiliki peluang mampu memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan.

Komoditas unggulan anyaman bambu di Kecamatan Rumpin (Zona I), Kecamatan Tenjo (Zona I), Kecamatan Sukajaya (Zona II), dan Kecamatan Cijeruk (Zona V) menuntut ketersediaan bahan baku yang berkelanjutan. Oleh karena itu, budidaya bambu dalam bentuk program rehabilitasi lahan di kanan kiri sungai penting untuk dilakukan.

Dalam rangka menunjang pelestarian budidaya bambu, maka perlu diperhatikan aspek-aspek seperti perlindungan, pemanfaatan, dan pengawetan. Ketiga aspek ini secara tidak langsung akan mempengaruhi produktivitas (kualitas dan kuantitas), cara pemanenan, tujuan dan pemanfaatan jenis, pemasaran (permintaan dan penyediaan), stabilitas harga pasar, promosi, dan pengadaan paket-paket informasi penting lainnya.

Hal-hal penting lain adalah perlunya diupayakan adanya petak-petak percontohan budidaya bambu, yang penting sebagai model pelatihan dan percontohan penegembangan budidaya bambu. Bimbingan, penyuluhan, dan pengarahan secara intensif dari pihak-pihak terkait perlu dilakukan agar tercipta suatu kondisi dan motivasi yang baik dan dinamis di antara pihak pengelola dengan pemerintah daerah dan dinas terkait. Sehingga upaya budidaya bambu dan pelestariannya dapat menjadi suatu aspek yang menguntungkan dan menunjang kehidupan masyarakat serta lingkungannya.

Agar budidaya bambu dan pengelolaan bambu dapat optimal, maka perlu dipersiapkan dan dipertimbangkan hal-hal seperti pencatatan data potensi, daerah penyebaran (tempat hidup/tempat tumbuhnya), seleksi jenis-jenis yang mempunyai kemampuan hidup dan berkembang dengan baik, pemilihan lokasi uji coba yang tepat dan strategis, teknik penanaman, cara panen, pengolahan hasil, regenerasi tanaman dan pemasaran. Dengan pertimbangan tersebut, diharapkan hasil dan potensi keragaman jenis bambu berada dalam kondisi berimbang dan berkelanjutan.

7.1.5.3. Budidaya Pohon Aren di Batas Hutan

Pohon kehidupan ialah pepohonan yang menghasilkan manfaat bagi kehidupan, baik secara langsung yang dihasilkan oleh bagian jasadnya ataupun lingkungan yang ditimbulkan secara tidak langsung yang memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pepohonan adalah komponen hutan yang tidak saja menghasilkan bahan makanan akan tetapi juga bahan bangunan, bahan industri dan obat-obatan. Kerindangan tajuknya menghasilkan kesegaran udara, dan sistem percabangan akarnya mampu menahan, menyimpan dan mengatur peredaran air, yang pada gilirannya mencegah erosi dan banjir serta menciptakan mata air.

Sebagian besar penduduk yang tinggal di sekitar hutan atau perbatasan hutan, hidup mereka tergantung kepada tumbuhan. Karena itu dengan pemanfaatan pepohonan yang berfungsi sebagai pohon kehidupan akan menunjang program pengentasan kemiskinan dan memajukan kehidupan desa, terutama desa tertinggal. Pohon aren sebagai salah satu pohon kehidupan memiliki potensi besar untuk dikembangkan di lahan-lahan perbatasan antara kawasan hutan dengan lahan milik masayarakat.

Pohon aren merupakan jenis pohon yang memiliki manfaat multiguna. Hampir seluruh bagian tubuh jenis ini dapat dimanfaatkan. Aren tergolong jenis tumbuhan potensial. Produknya banyak, namun konsumen masih bersifat lokal. Aren biasanya disadap niranya. Nira aren yang manis menjadi minuman yang menyegarkan. Bisa juga diolah menjadi gula. Secara tradisional nira aren diolah menjadi gula aren, gula merah atau gula semut. Sekarang dengan kemajan teknologi nira aren bisa diolah menjadi gula hablur atau gua putih, seperti gula pasir dari tebu. Produk utama aren ialah nira, sebagai bahan baku gula merah. Produk yang lainnya: cuka aren, tepung aren, ijuk, daun untuk dianyam, batangnya untuk bahan: lantai, meja, kursi, tangkai peralatan dan kayu bakar; kolang-kaling. Penanaman pohon aren sering digunakan untuk tanda batas tanah milik seseorang dan juga untuk mencegah erosi.

Aren bisa menjadi sumber bioethanol. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung dengan persentase sebesar 7,5 persen dari produksi 15 liter per hari, maka untuk jangka waktu satu bulan saja bisa dihasilkan hingga 500 liter bioethanol. Padahal jumlah ini termasuk yang minimal dan terhitung untuk satu pohon Aren. Kapasitas produksi satu alat destilasi skala rumahan (perkelompok terdiri dari dua petani/penyadap aren) saat ini mencapai lima liter per jam. Dalam masa operasi 10 jam per hari bisa dihasilkan 90 persen bioethanol. Sementara dari 10 alat destilasi dihasilkan sekitar 13 ton per bulan untuk 26 hari kerja.Kalau seandainya pohon Aren ini dikebunkan seperti sang pendatang dari Brazil, yaitu Kelapa Sawit, dengan bibit yang unggul, pemeliharaan yang intensif, pemupukan yang cukup, pengelolaan menejemen kebun yang memadai. Tentu hasilnya akan lebih baik dari pada yang sekarang ini dihasilkan dari pohon yang alami bahkan yang tumbuh liar dengan jarak yang tidak beraturan. Dengan memakai asumsi produksi yang alami saja misalkan 10 liter nira/hari/pohon; jika 100 pohon yang disadap setiap harinya (dari populasi 250 pohon setiap hektar), maka akan diperoleh nira 1.000 liter/hari/ha. Rendemen gula merah dari nira sekitar 20-26,5 %, artinya dari 1.000 liter maka akan diperoleh sekitar 200-265 kg gula merah setiap hari. Kalau harga di tingkat petani Rp 5.000/kg, maka setiap hari pendapatan kotor petani aren dengan areal 1 hektar akan memperoleh sekitar Rp 1.000.000/hari/ha sampai dengan Rp 1.325.000/hari/ha.

Tentu pendapatan itu masih dikurangi dengan biaya tenaga sadap sebanyak 3-5 orang, tenaga pengolah gula 1-2 orang. Berarti setiap hektarnya kebun sudah menyerap tenaga kerja antara 4-7 orang, memberi pendapatan kepada petani pemilik yang demikian besar. Bukankah ini yang dimaksud dengan kemakmuran, yaitu petani dengan pendapatan tinggi, tidak ada lagi pengangguran, roda ekonomi di pedesaan akan berjalan lagi, prospek emas dari pohon Aren itu akan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk negeri, termasuk penduduk pedesaan di Kabupaten Bogor.

Selama ini memang aren belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan keunggulannya belum banyak yang mengetahuinya. Namun banyak petani yang sudah memanfaatkan aren yang tumbuh liar di kebun-kebun atau di sekitar hutan untuk diambil nira, ijuk, lidi, kolang-kaling dan sebagainya. Mereka belum mengebunkan secara intensif, sehingga manfaatnya pun belum maksimal diperoleh.

Aren bisa disadap niranya setiap hari dua kali. Sehari bisa terkumpul 5, 10 sampai 40 liter nira setiap pohon. Namun ada kalanya pohon aren berhenti mengeluarkan nira, karena tandan bunga yang mengeluarkan nira sudah habis teriris sadapan dan tandan yang baru belum siap disadap, maka ada masa menunggu.

Pohon aren tidak memerlukan lahan yang datar, apalagi lahan persawahan irigasi. Aren cukup ditanam di lahan-lahan yang miring, lahan kering, lahan di dekat alur sungai, di tebing-tebing. Artinya aren tidak akan bersaing dengan areal tanaman pangan.

Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak mulai melakukan pengembangan pohon aren di kampung konservasi, penanamanya dilakukan di lahan-lahan desa perbatasan antara kawasan dengan lahan milik. Hasil pohon aren yang memiliki nilai ekonomi tinggi memiliki potensi besar meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Wilayah Kabupaten Bogor pada umumnya cocok secara ekologis untuk budidaya pohon aren.

Budidaya pohon aren potensial untuk dikembangkan di desa-desa yang berbatasan dengan taman nasional dan kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Namun demikian, pengembangan budidaya pohon aren dapat pula dikembangkan di lahan-lahan milik.

Program pohon kehidupan di batas hutan menuntut adanya kerjasama PEMDA dengan DEPHUT dan Perum Perhutani. Kerjasama dengan DEPHUT terkait dengan program pemberdayaan masyarakat di desa-desa sekitar kawasan konservasi (Taman Nasional), sedangkan kerjasama dengan Perum Perhutani terkait dengan program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Salah satu program Taman Nasional Gunung Halimun adalah pengembangan Kampung Konservasi. Program tersebut telah berjalan di kabupaten yang lain, namun di Kabupaten Bogor belum berjalan.

PHBM di KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Bogor, telah berjalan namun belum optimal, oleh karena itu PEMDA perlu segera melakukan koordinasi, komunikasi dan kerjasama dengan pihak Perum Perhutani. Di dalam program PHBM, informasi dan data desa di sekitar hutan yang diperoleh dengan teknik PRA, dapat menjadi data dasar penting bagi program pemberdayaan masyarakat. Program PHBM di tempat lain telah menerapkan kegiatan penetapan wilayah desa yang berada di dalam kawasan hutan. Informasi batas desa di dalam kawasan hutan sangat penting untuk penentuan bagi hasil produksi antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa yang berhimpun dalam lembaga masyarakat desa hutan.

Wanawisata sebagai obyek kunjungan wisata, juga dapat dikerjasamakan dengan masyarakat desa sekitar hutan. PEMDA perlu menfasilitasi kerjasama tersebut agar dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Pengunjung wanawisata dapat menjadi pasar yang potensial bagi produk pertanian dan kerajinan rakyat di sekitar wanawisata.

Kerjasama antara PEMDA dengan perusahaan-perusahan yang berusaha di Kabupaten Bogor sangat penting, hal ini terkait untuk pemanfaatan dana CSR perusahaan untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan pengembangan pohon kehidupan di batas hutan. Kerjasama yang sisnergis antara PEMDA dengan para pihak akan memberi dampak positif bagi terwujudnya peningkatan kualitas hidup masyarakat dan kualitas hutan.

7.1.5.4. Budidaya Lebah Madu

Budidaya lebah madu secara ekonomis sangat menguntungkan karena (1) dapat menyerap tenaga kerja di pedesaan, (2) dapat menghasilkan pendapatan , (3) dapat ikut mendorong keberhasilan kegiatan penghijauan dan reboisasi, (4) dapat menunjang usaha industri seperti batik, obat-obatan, dan kosmetik, (5) lebah madu sangat berperan dalam pemersari (pollinator) berbagai jenis tanaman budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan. Salah satu faktor penunjang kelestarian budidaya lebah madu adalah tersedianya berbagai jenis tanaman pakan lebah (pakan alami) yang tumbuh di lahan pekarangan, tegalan, dan hutan. Namun demikian karena aneka jenis tanaman ini tidak dirancang secara khusus, maka biasanya kualitas pakan alami dan kontinyuitasnya sepanjang tahun belum memadai; sehingga masih terdapat musim paceklik bagi lebah madu yang cukup lama. Kondisi seperti ini mengisyaratkan pentingnya upaya pengkayaan pakan alami dengan jalan menanami lahan-lahan tersebut dengan jenis-jenis tanaman pakan lebah yang dirancang secara khusus.

Lebah madu memiliki fungsi utama sebagai pollinator atau penyerbuk tanaman yang paling baik, sehingga sangat membantu meningkatkan produktivitas lahan petani. Untuk meningkatkan produksi tanaman pertanian, perkebunan, dan kehutanan, berbagai upaya intensifikasi telah dilakukan, antara lain: penggunaan bibit unggul, perbaikan waktu tanam dan jarak tanam, pengairan yang baik, pemupukan yang tepat serta pengendalian hama dan penyakit. Namun sampai sekarang, faktor pollinator belum mendapat perhatian dalam matriks intensifikasi. Lebah madu merupakan salah satu serangga pollinator biologis yang banyak berperan membantu penyerbukan dan mempunyai beberapa keistimewaan dibandingkan dengan penyerbuk lainnya, yaitu dapat berkali-kali mengunjungi bunga, dapat bekerja pada semua musim, dapat mengunjungi banyak bunga pada satu kesatuan waktu, kunjungannya terbatas pada bunga yang mempunyai serbuk sari yang telah matang, atau stigma yang siap dibuahi, serta mampu membawa banyak tepung sari yang seragam dan matang.Lebah madu membutuhkan pakan yang cukup untuk kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan koloni, produksi madu dan aktivitas reproduksi lebah. Pakan lebah yang penting adalah nektar dan polen yang dihasilkan tanaman. Nektar adalah cairan manis yang terdapat di dalam bunga tanaman. Hampir semua tanaman berbunga adalah penghasil nektar. Selain nektar, lebah juga memerlukan polen dan air untuk kelangsungan hidup anggota koloni.

Nektar pada umumnya dihasilkan oleh bunga tanaman pangan, tanaman kehutanan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura (buah dan sayuran), tanaman hias, rumput dan semak belukar. Ketersediaan pakan lebah secara berkesinambungan merupakan salah satu syarat pendukung perkembangan koloni lebah dan produksi madu. Oleh karena itu, faktor pakan penting dipertimbangkan dalam menentukan lokasi budidaya lebah madu. Kemampuan lebah pekerja dalam mengumpulkan nektar tanaman bervariasi dari 25-70 mg per ekor dan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kapasitas kantong madu (honey sac) lebah pekerja, jumlah dan konsentrasi gula nektar, keadaan cuaca serta pengalaman lebah pekerja dalam pengumpulan nektar.

Polen atau tepung sari merupakan sumber protein bagi lebah madu. Polen diperoleh dari bunga yang dihasilkan oleh sel kelamin jantan (anther) tanaman. Di daerah beriklim dingin, satu koloni lebah membutuhkan sekitar 50 kg polen per tahun. Kegiatan mengumpulkan nektar, polen dan air sepenuhnya dilakukan oleh lebah pekerja (worker). Dalam satu koloni lebah madu A. cerana terdapat 30.000 ekor lebah pekerja dan 60.000 ekor pada koloni A. mellifera. Lebah pekerja adalah lebah betina yang organ reproduksinya tidak berkembang sempurna dan tidak dapat menghasilkan telur. Sama halnya dengan lebah ratu, lebah pekerja berasal dari sel telur yang dibuahi.

Pernahkan Anda memikirkan keuletan seekor lebah pekerja dalam mencari nektar. Pada kondisi normal, seekor lebah pekerja dalam satu hari mampu mengumpulkan nektar dari 250.000 tangkai bunga. Untuk membuat 1 kg madu lebah harus melakukan 81.400 kali perjalanan terbang atau setara dengan jarak 1.056.000 km penerbangan.

Pada umumnya semua tanaman berbunga merupakan sumber pakan lebah, karena ia menghasilkan nektar, polen atau nektar dan polen. Berdasarkan identifikasi Pusat Perlebahan Apiari Pramuka, jenis tanaman penghasil nektar antara lain: tanaman akasia, sengon, ketapang, sono keling, asam jawa, mahoni, kaliandra, cendana, karet, kapas, mangga, mancang, langsat, belimbing, rambutan, jambu air, kacang gude, petai, cabai, nenas, ubi jalar, labu air, oyong, paria, labu siam, bawang merah, dan kumis kucing.

Polen dihasilkan oleh tanaman aren, lamtoro, puspa, api-api, padi, kelapa sawit, bidara, tembakau, jambu mete, delima, lobi-lobi, alpukat, jambu bol, salak, jagung, kacang panjang, kentang, ketumbar, wortel, krokot, rumput pahit, dan putri malu, sedangkan tanaman penghasil nektar dan polen antara lain: kapuk randu, eukaliptus, tebu, vanili, kelapa, wijen, kopi, kedondong, durian, pepaya, waluh, semangka, kesemek, pisang, belimbing, apel, jeruk manis, jeruk besar, apel, lengkeng, leci, anggur, kubis, mentimun, kacang tanah, kedelai, bunga matahari dan bunga flamboyan.

Jenis tanaman penghasil nektar yang dikumpulkan lebah sangat mempengaruhi bau, rasa dan warna madu. Oleh karena itu, dipasaran kita mengenal madu randu, madu rambutan, madu apel, madu kelapa dan sebagainya. Penamaan itu biasanya tergantung sumber nektar yang dominan dikumpulkan lebah. Koloni lebah yang diletakkan dilokasi pertanaman rambutan akan mengasilkan madu beraroma nektar rambutan, sedangkan koloni lebah di lokasi pertanaman kelapa akan mengasilkan madu beraroma nektar kelapa.

Negara Indonesia merupakan daerah tropis yang ditumbuhi berbagai spesies tanaman yang berbunga sepanjang tahun. Sekitar 25.000 tanaman berbunga tumbuh dan berkembang biak di Indonesia. Keragaman jenis tanaman yang sangat besar itu memungkinkan tersedianya nektar sepanjang tahun. Di dalam bunga tanaman tersebut terdapat nektar yang merupakan bahan baku utama pembuatan madu. Selain nektar, lebah juga memerlukan polen dari tanaman sebagai sumber protein dan air untuk kebutuhan anggota koloni.

Berdasarkan potensi keragaman sumber pakan lebah dan daya dukung lahan yang sangat luas, penulis berkeyakinan bahwa budidaya lebah madu layak dikembangkan secara massal di seantero wilayah Indonesia, termasuk di wilayah Kabupaten Bogor. Kombinasi antara ketersediaan spesies lebah lokal yang cukup produktif, ketersediaan pakan lebah yang melimpah, produk perlebahan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia dan nilai jual produk lebah yang tinggi, maka sudah sepatutnya budidaya lebah madu dikembangkan di negeri agraris ini. Semoga.

Lebah madu menghasilkan beragam produk, antara lain: madu, royal jelly, bee pollen, propolis, lilin lebah, bee bread, larva lebah, dan bee venom. Pasar dalam dan luar negeri terhadap produk-produk ini masih sangat terbuka. Oleh karena itu, Kabupaten Bogor memiliki potensi untuk memanfaatkan peluang tersebut.

7.1.5.5. Budidaya Jamur Tiram

Budidaya jamur tiram merupakan salah satu pemanfaatan limbah industri penggergajian kayu yang dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat. Usaha ini dapat memperbaiki tingkat ekonomi rakyat karena berbasis ekonomi rakyat dengan modal kecil dan dapat dikerjakan dengan melibatkan keluarga dan tetangga terdekat.

Budidaya jamur tiram putih dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah industri penggergajian yang berupa serbuk. Jamur tiram putih dapat tumbuh di semua bahan yang mengandung selulosa, termasuk serbuk kayu. Rantai budidaya jamur tiram dimulai dari: serbuk gergaji, pengayakan, pencampuran, sterilisasi, inokulasi, inkubasi, spawn running, growing, dan pemanenan. Media tanamnya dapat berupa serbuk kayu (gergajian), jerami padi, alang-alang, limbah kertas, ampas tebu dan lainnya. Sebagai campuran dapat ditambahkan bahan-bahan lain berupa bekatul (dedak) dan kapur pertanian dengan perbandingan 80:15: 5.

Beberapa alasan mengapa masyarakat banyak yang mengkonsumsi dan mengembangkan jamur tiram, terutama jamur tiram putih: (a) jamur tiram memiliki beberapa asam amino yang merupakan senyawa protein yang memberikan rasa lezat pada enzim yang ada di alat indera perasa kita, (b) jamur tiram memiliki struktur yang indah, sederhana dan mudah untuk diolah, (c) jamur tiram mudah dibudidayakan dan mudah tumbuh di Indonesia, tanpa mengenal pergantian musim, (d) jamur tiram memiliki harga yang cukup ekonomis.

Jamur akhir-akhir ini menjadi komoditas yang prospektif, karena pertumbuhan permintaan yang meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, permintaan jamur masih sangat besar di dunia. Indonesia menjadi pengekspor jamur ke Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan negara India dan negara Asia lainnya. Oleh karena itu, pengembangan jamur tiram di Kabupaten Bogor memiliki prospek yang baik, dan saat ini banyak budidaya jamur tiram telah tumbuh secara swadaya yang dilakukan oleh para pemilik modal.

Keunggulan jamur tiram cukup banyak, selain harga yang relatif mahal, tingkat keuntungan yang dihasilkan relatif tinggi, umur singkat, tanaman ini juga sangat laku di pasaran. Selain itu, keunggulan lainnya, cara budidaya mudah dan dapat dilakukan sepanjang tahun dan tidak memerlukan lahan yang luas.

Jamur tiram cukup toleran terhadap lingkungan dan dapat dijadikan sebagai pekerjaan pokok maupun pekerjaan sampingan. Diversifikasi produk jamur tiram cukup banyak dapat bentuk segar, kering, kaleng, serta diolah menjadi keripik, pepes, tumis, dan nugget.

Keberhasilan Program Pengembangan Hutan Rakyat, Budidaya Bambu di Kanan Kiri Sungai, Pohon Kehidupan di Batas Hutan Budidaya Lebah Madu, dan Budidaya Jamur tiram, menuntut atau bisa bekerjasama antara lain dengan Perum Perhutani, Taman Nasional, perusahaan denga program CSR-nya, para pemilik lahan tidur dan lahan guntai. Oleh karena itu, membangun MOU dan koodinasi yang intensif dengan stakeholder tersebut perlu segera dilakukan, agar ke depan, khususnya masyarakat petani hutan, dan masyarakat di sekitar hutan kesejahteraan semakin meningkat dan hutan di dekatnya semakin berkualitas.Petani pada umumnya kekurangan modal dalam mengembangkan usahanya, maka perlu dibentuk suatu lembaga keuangan swadaya masyarakat, yang dapat memberikan pinjaman modal dengan bunga serendah mungkin. Kebijakan insentif bagi petani hutan rakyat, khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan sangat baik untuk dilakukan. Mereka telah menjaga hutan sehingga berfungsi optimal dan berkualitas, oleh karenanya kesejahteraannya perlu memperoleh perhatian. Hutan yang rusak, akan berakibat buruk baik langsung maupun tidak langsung terhadap kelestarian sub sektor lainnya.

Di satu sisi, tingginya permintaan kayu rakyat akan mendorong perekonomian masyarakat berbasis kayu rakyat untuk: pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja dan mendorong investasi (pro-growth) wilayah. Di lain sisi, tingginya permintaan kayu rakyat dapat mendorong terjadi eksploitasi kayu rakyat tidak terkendali yang dikhawatirkan mengakibatkan kerusakan hutan rakyat dalam tempo waktu singkat. Saat ini telah tumbuh industri penggergajian kayu di sekitar hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Kehadirannya memiliki dampak positif dan juga negatif. Dampak positifnya petani memiliki akses yang mudah untuk menjual kayu hasil hutan rakyat. Sedangkan dampak negatifnya jika tidak diatur secara bijaksana oleh pemerintah, maka kelestarian hutan rakyat akan terancam. Banyak petani untuk sub sektor kehutanan belum mampu memanfaatkan peluang pasar yang sudah ada secara optimum, karena berbagai keterbatasan dan hambatan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar sistem. Padahal kesempatan masih sangat terbuka untuk menciptakan peluang bagi pasar yang baru, perbaikan pasca panen dan prosesing serta membangun akses pasar internasional.

Berdasarkan perhitungan kemampuan biaya dan pengorbanan untuk pengelolaan hutan rakyat (agroforestry) per keluarga petani, unit pengelolaan hutan rakyat terkecil (per rumah tangga) diperkirakan 7-8 kali pertanian pangan monokultur (misalnya padi). Untuk kasus pedesaan di Kabupaten Bogor diperkirakan luas unit manajemen hutan rakyat per rumah tangga yang optimum adalah kira-kira 2 ha. Mengingat keperluan luas lahan per unit pengelolaan ini, serta selaras dengan perubahan paradigma menuju pengelolaan hutan partisipatif, maka pengembangan pengelolaan hutan rakyat, di samping pada lahan milik petani, dapat juga dilaksanakan pada kawasan hutan, lahan tidur dan lahan guntai.

Hutan rakyat seperti dijelaskan di atas dibangun dalam bentuk kebun campuran atau agroforestry dan sistem pengelolaannya dalam unit-unit yang kecil. Oleh karena itu, pengelolaannya tidak bisa dibiarkan pada masing-masing unit terkecil, agar viable dan petani tidak subsisten. Jaringan kerjasama antara petani hutan rakyat merupakan suatu kebutuhan yang penting. Bentuk jaringan kerjasama dapat berupa: kelompok tani, paguyuban, koperasi atau federasi. Beberapa kegiatan yang dikerjakan dan/atau diatur secara bersama-sama akan lebih produktif dan efisien, contohnya: (a) pengelolaan produksi: (1) penyediaan bibit tanaman berkualitas, (2) pekerjaan pemangkasan (prunning), (3) pemanenan kayu dan buah-buahan, serta (4) penanganan dan pengolahan pasca panen; (b) Pengelolaan pemasaran: (1) pengaturan panen dan pemasaran sehingga memenuihi kriteria pemasaran yang baik dan efisien (volume dan harga tertinggi), yakni memenuhi kuantitas, kualitas dan pengiriman yang sesuai dengan permintaan pasar, (2) pengaturan alat angkutan yang murah dan lancar, serta (3) pemilahan ukuran dan kualitas; (c) Pengelolaan keuangan, misalnya tabungan dan simpan pinjam antar petani atau dengan pihak bank/lembaga mikro keuangan. Hutan rakyat memerlukan waktu usaha yang relatif panjang dan menghasilkan beragam produk. Hal ini menuntut administrasi keuangan yang teratur, sementara kemampuan setiap petani umumnya rendah dan beragam.

Jejaring kerjasama antar petani diperlukan juga untuk komoditas sub sektor kehutanan lainnya, karena akan melancarkan kerjasama antar petani dan tercipta suatu kinerja komunitas yang diharapkan akan mampu meningkatkan produktifitas dan mampu menjawab peluang pasar.

Rantai perdagangan kayu rakyat dimulai dari tingkat produsen (petani) sampai dengan konsumen akhir (end-user): Saluran tataniaga kayu rakyat dapat digambarkan antara lain sbb : Petani ( Pengepul ( Pedagang Besar ( Pedagang antar kota. Peran pengepul, dan pedagang kayu sangat signifikan dalam peredaran kayu bulat hutan rakyat. Pengepul memegang peranan yang dominan di dalam saluran tataniaga kayu sengon. Pedagang besar antar kota menerima bahan baku dari kedua pelaku pasar yaitu pedagang kecil, pedagang besar dalam bentuk kayu olahan. Oleh karena itu, pemihakan terhadap petani hutan rakyat perlu dilakukan agar mereka dapat meningkat posisi tawarnya terhadap konsumen.

Kebijakan pemerintah Kabupaten Bogor yang diperlukan untuk pengembangan sub sektor kehutanan, antara lain: (a) Penataan industri penggergajian yang sekarang menjamur di sekitar hutan rakyat, (b) Kebijakan insentif bagi petani pemilik hutan rakyat, (c) Kebijakan insentif bagi pemilik lahan tidur dan lahan guntai yang bekerjasama dengan masyarakat petani untuk membangun hutan rakyat, (d) Kebijakan disinsentif bagi pemilik lahan tidur dan lahan guntai yang menelantarkan lahannya, (e) Kewajiban bagi industri kayu membangun kemitraan dengan petani hutan rakyat, (f) Gerakan dan dorongan motivasi kepada seluruh masyarakat bahwa menanam pepohonan memiliki multi nilai: ekonomis (tabungan), ekologis, dan ibadah kepada Allah SWT, (g) Sistem pendampingan masyarakat petani hutan rakyat yang lebih intensif, agar mereka mampu menciptakan self reinforcement (kekuatan yang berakar pada diri sendiri). Semoga program-program pengembangan hutan untuk rakyat di atas dapat terlaksana, pro poor, pro job, pro health, pro growth, dan pro planet.

7.1.6. Peogram Pengembangan Perikanan : Peningkatan Produksi melalui Pemanfaatan Lahan Terbatas, Penyediaan Benih Unggul dan Efisiensi ProduksiAdanya gejala kecenderungan terjadinya degradasi lingkungan dan krisis berbagai sumberdaya alam. kearifan dalam pemanfaatan sumberdaya secara hemat merupakan langkah strategis yang banyak diapresiasi oleh sebagian besar komunitas di dunia. Hal ini mengandung arti bahwa upaya eksploitasi sumberdaya alam harus memberi manfaat yang maksimal tanpa mengabaikan aspek kelestariannya. Mengingat bahwa setiap tindakan pemanfaatan suatu sumberdaya alam selalu meyebabkan dampak yang mengganggu kesetimbangan alam secara ekologis, dan di pikah lain hampir tidak mungkin merancang suatu cara pemanfaatan sumberdaya tanpa menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya (zero impact), maka konsepsi pengematan menjadi penting untuk memperlambat proses degradasi lingkungan sehingga manfaat yang dirasakan menjadi lebih optimal dan lestari.

Lahan dan air dalam kegiatan perikanan budidaya menjadi modal dasar yang sangat vital. Dari sisi bioteknis kondisi lahan dan air akan mempengaruhi layak tidaknya suatu kegiatan budidaya ikan yang menguntungkan dapat dilaksanakan. Kondisi lahan dan air dengan berbagai karakter yang dimilikinya akan menentukan tingkat teknologi penanganannya pada saat kiata memanfaatkannya sebagai sarana berproduksi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila pemilihan lokasi yang mempertimbangkan berbagai atribut yang melekat dengannya seperti topografi lahan, jenis dan tekstur tanah, kesuburan tanah, ketersediaan air secara kuantitas, kualitas dan kontinyuitas sepanjang tahun menjadi bagian langkah standar dari perencanaan usaha budidaya ikan menurut paradigma yang umum berkembang. Lebih jauh dari itu, paradigma lama menyakini bahwa pemilihan lokasi yang tepat akan menyumbangkan prospek keberhasilan lebih dari setengahnya. Pada masa-masa sekarang, persepsi ini menjadi semakin sulit diterapkan karena begitu kompleksnya kepentingan sektoral akan sumberdaya lahan dan air yang pada intinya mengarah pada kesulitan mendapatkan lokasi-lokasi yang layak untuk dijadikan lahan usaha dalam pengembangannya. Di samping itu, lokasi-lokasi layak teknis yang telah dan sedang diusahakan saat ini cenderung semakin menyempit karena tergeser oleh kepentingan atau pengaruh sektor lain. Kesulitan-kesulitan ini semakin bertambah pada saat kita mensinkronkannya dengan aspek kepemilikan lahan, luasan minimal yang dibutuhkan, aksesibilitas, dan faktor-faktor pendukung lainnya termasuk aspek sosial-ekonominya yang secara dinamis selalu berubah sebagai akibat dari relatif cepat berkembangnya daerah-daerah pedesaan menjadi wilayah perkotaan.

Bila kita hubungkan antara kondisi ketersediaan sumberdaya lahan dan air untuk tujuan kegiatan budidaya ikan di Kabupaten Bogor saat ini dengan upaya revitalisasi, maka pergeseran paradigma dalam memanfaakan sumberdaya lahan dan air untuk kegiatan usaha budidaya ikan perlu dikembangkan. Salah satu opsi yang dianggap strategis adalah menerapkan sistem budidaya ikan yang hemat lahan dan hemat air.

Selaian itu, secara umum konstruksi perkolaman air tawar di Indonesia relatif memiliki dimensi yang kecil dengan kedalaman air yang dangkal. Konstruksi kolam dengan kedalaman umumnya di bawah 1 m ini terutama dilandasi teori bahwa penetrasi cahaya akan menyebar ke hampir seluruh kolom air dalam kolam sehingga kolam akan dianggap lebih sehat dan produktif dengan memaksimalkan penyerapan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Untuk kolam-kolam pemeliharaan larva dan pendederan yang mengutamakan pakan alami, konstruksi seperti ini dianggap tepat karena memudahkan penanganan termasuk kemudahan dalam kegiatan panennya. Tetapi bila dikaitkan dengan kestabilan dinamika kualitas air seperti guncangan fluktuasi suhu dan parameter fisika-kimia-biologi lainnya, kolam dangkal dengan water body sedikit memiliki kemampuan menyangga yang lebih kecil dibandingkan kolam yang dalam pada luasan yang sama. Di sisi lain, pertumbuhan yang cepat dan kelangsungan hidup yang baik, yang merupakan koefisien-koefisien penting produksi, tidak hanya secara linier berhubungan dengan ketersediaan pakan alami, melainkan secara fisiologis sangat berhubungan dengan kestabilan parameter-parameter kualitas air sebagai media tempat hidupnya. Bila digunakan untuk kegiatan pembesaran ikan, yang mana pakan untuk pertumbuhan umumnya disuplai dai luar, maka prinsip penetrasi cahaya matahari pun pengaruhnya menjadi tidak nyata.

Keberhasilan budidaya ikan air tawar di kolam dalam seperti diuraikan di atas telah berhasil ditunjukkan oleh Vietnam yang mengusahakan komoditi unggulannya ikan patin dan ikan nila. Estate kolam-kolam dalam (2,5 3,0 m dengan tingkat produktivitas mencapai 350 ton/ha) untuk budidaya ikan patin di sekitar daerah aliran sungai Mekong bagian hilir di Vietnam dalam kurun waktu yang relatif singkat (1999 2008) telah membuktikan Vietnam menjadi produsen terbesar ikan patin di dunia, yang mampu mengekspor sekitar 1 juta ton filet patin ke berbagai belahan dunia yaitu Amerika, Uni Eropa dan kawasan Asia, termasuk sebagian kecil ke Indonesia. Prediksi hasil total ikan patin dari estate perkolaman tersebut hampir setara dengan dua per tiga total produksi ikan nasional Indonesia yang berasal dari kegiatan budidaya.

Ditinjau dari sisi produktivitas, sebuah kolam dengan kedalaman air yang semakin tinggi akan memberikan ruang kolom air yang lebih luas memungkinkan jumlah ikan yang dapat dipelihara menjadi lebih banyak dan secara logis akan meningkatkan biomassa jumlah panen per satuan luas. Dengan demikian, penerapan sistem budidaya ikan menggunakan kolam dalam akan memberikan keuntungan dalam hal perbaikan kapasitas produksi (peningkatan produktivitas) yang dapat dilakukan pada luasan lahan garapan yang ada (penghematan sumberdaya lahan). Salah satu implikasi penerapan teknologi ini di lapangan adalah bahwa upaya peningkatan skala usaha rumahtangga pembudidaya ikan untuk meningkatkan pendapatannya memungkinkan dilakukan tanpa melakukan pembukaan lahan baru yang ketersediaannya semakin sedikit. Bila dikaitkan dengan segmen kegiatan budidaya yang secara garis besar dikelompokkan ke dalam kegiatan pembenihan dan pembesaran, sistem ini akan lebih tepat diterapkan untuk kegiatan pembesaran berbagai komoditas ikan budidaya.

Ketersediaan benih ikan yang memenuhi syarat mutu dan jumlah secara kontinyu menjadi prasyarat mutlak dalam menunjang kelancaran kegiatan budidaya ikan. Teknologi pembenihan berbagai spesies ikan yang siap pakai pada dasarnya sudah cukup berkembang di Indonesia. Bahkan untuk wilayah Bogor dan sekitarnya, yang dikenal sebagai salah satu pensuplai benih ikan air tawar skala nasional, teknik-teknik menghasilkan benih baik ikan hias maupun ikan konsumsi, baik melalui teknik pemijahan secara alamiah maupun melalui perangsangan hormonal yang dikenal sebagai teknik hipofisasi atau kawin suntik, yang dilakukan para pembenih rakyat (UPR), memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Keunggulan ini akan lebih nyata bila pembahasan difokuskan pada komoditas ikan patin, ikan lele dan berbagai spesies ikan hias. Oleh karena itu, upaya pengembangan segmen pembenihan melalui revitalisasi di Kabupaten Bogor lebih tepat bila diarahkan untuk (a) mewujudkan swasembada benih ikan bermutu untuk memenuhi kebutuhan lokal yang akan meningkat sejalan dengan upaya revitalisasi di segmen pembesarannya, di samping tetap mempertahankan bahkan meningkatkan kuota penjualan untuk permintaan benih di luar Bogor, (b) meningkatkan efisiensi dan produksi protokol pembenihan dengan konsep hemat lahan dan air untuk berbagai komoditas.

Konsep pembenihan hemat lahan dan air adalah konsep yang diterapkan untuk menghasilkan benih dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan lahan sempit dan air secara minimal. Dari sisi penggunaan lahan hal ini diwujudkan dengan sistem produksi benih dalam wadah-wadah yang tersusun secara vertikal (bertingkat), biasanya menggunakan wadah akuarium, sehingga sangat memungkinkan penggunaan lahan sempit berkapasitas produksi tinggi. Di lapangan, hal ini dapat diartikan juga bahwa lahan-lahan pekarangan yang tidak termanfaatkan dapat dirancang untuk kegiatan pembenihan skala rumah tangga (backyard hatchery). Sedangkan dari sisi penggunaan air, konsep pembenihan hemat air menerapkan upaya penggunaan air secara minimal melalui aplikasi pengolahan air yang lebih baik (conditioning) dan pemakaian sistem resirkulasi.

7.1.7. Program Pengembangan Peternakan 7.1.7.1. Program Intensifikasi Produksi Susu-daging

Produk utama dari ternak ruminansia adalah susu dan daging. Semua jenis ternak ruminansia dapat ditemui di Kabupaten Bogor dan tersebar di hampir semua kecamatan, kecuali sapi perah yang lebih terlokalisasi di wilayah yang lebih tinggi dengan agroklimat yang menunjang. Terkait dengan tidak adanya lahan padang penggembalaan, ternak ruminansia umumnya dibudidayakan secara semi-intensif atau intensif. Ternak ruminansia penghasil daging (kerbau, sapi potong, kambing dan domba) umumnya dibudidayakan secara semi-intensif kecuali penggemukan sapi potong yang diusahakan dengan sistem feedlot yang intensif. Sementara itu, ternak penghasil susu (khususnya sapi perah) umumnya dipelihara secara intensif.

Beberapa tahun terakhir pemerintah pusat (Departemen Pertanian) mencanangkan program swasembada daging yang akan dicapai pada tahun 2010. Namun melihat perkembangannya yang hampir tidak ada kemajuan yang diindikasikan dengan besarnya impor yang relative tidak menurun (30% kebutuhan). Swasembada tersebut ditetapkan ulang untuk dapat dicapai tahun 2014. Program ini memang sangat kompleks dengan banyak faktor yang perlu mendapat perhatian dan penanganan. Untuk dapat mencapai sasaran tersebut nampaknya program intensifikasi adalah alternatif yang harus ditempuh. Susu sapi tidak kalah krusialnya dengan daging. Untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri 70-80% susu harus diimpor. Sehingga akhir-akhir ini susu juga mendapat perhatian Departemen Pertanian untuk dapat ditingkatkan produksinya.

Selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, Kabupaten Bogor dapat berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan daging dan susu nasional. Populasi ternak besar di Kabupaten Bogor selama lima tahun terakhir diperlihatkan pada Tabel 7.1.12. Populasi ternak besar cenderung stagnan seperti terlihat pada sapi perah. Sapi potong mengalami peningkatan sedikit, tapi hal ini diperkirakan karena banyaknya sapi bakalan yang masuk untuk usaha penggemukan. Sedangkan kalau mengandalkan usaha peternakan rakyat dengan kondisi yang ada sekarang populasi akan cenderung turun seperti diperlihatkan oleh data kerbau.

Tabel. 7.1.12. Perkembangan Populasi Ternak Ruminansia Besar di Kabupaten Bogor tahun 2004-2008

JENIS TERNAK20042005200620072008

Sapi Potong16.59416.62214.83117.50218.196

Sapi Perah5.3565.4355.1235.2685.907

Kerbau 21.17221.43421.22816.66217.710

Sumber: Website Disnakan Kab. Bogor 2009

Sapi perah dapat diproritaskan untuk dikembangkan, karena selain menghasilkan susu juga menghasilkan daging dari anak jantan yang dihasilkan dan dari induk yang diafkir. Untuk dapat menggantikan sapi potong sebagai sumber daging dan menjaga kestabilan populasi kerbau, maka populasi sapi perah di Kabupaten Bogor perlu ditingkatkan sampai sekitar 25.000 ekor. Perlu diterapkan sejumlah program yang terintegrasi untuk mencapai target populasi demikian, mulai dari kebutuhan input (pakan, straw semen, obat-obatan, dll.), penerapan good farming practice, pengolahan produk, sampai ke pemasaran. Apabila semua kegiatan usaha sapi perah dari hulu sampai hilir, baik yang off farm, on farm dan non-farm berada di Kabupaten Bogor maka usaha sapi perah akan menjadi industri yang dapat memberikan banyak kontribusi untuk Kabupaten Bogor, yakni perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan masyarakat, pengentasan kemiskinan dan pendapatan asli daerah (PAD) (Gambar 7.1.1). Kalau sudah demikian maka Kabupaten Bogor akan dikenal sebagai Kabupaten Sapi Perah sebagaimana halnya Provinsi Gorontalo sebagai Provinsi Jagung. Kecamatan yang dapat dikembangkan untuk sapi perah: Tenjo, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Cibungbulang, Pamijahan, Tenjojaya, Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Cisarua, Megamendung, dan Ciawi.

Gambar 7.1.1. Bagan Industri PeternakanKendala utama pengembangan sapi perah adalah ketersediaan pakan dan pemasaran produk. Pakan tidak tersedia secara kontinyu, sulit diperoleh khususnya pada musim kemarau. Peternak terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk mencari rumput sampai ke tempat jauh. Permasalahan ini dapat dipecahkan manakala lahan-lahan tidur yang keberadaannya cukup luas dapat dimanfaatkan untuk ditanami rumput atau tanaman pakan ternak lain. Disamping itu, perlu mulai didirikan pabrik pakan komplit untuk sapi perah. Sehingga peternak dengan mudah memperoleh pakan dan dapat lebih berkonsentrasi mengurus ternaknya. Dengan demikian jumlah kepemilikan ternak mereka dapat ditin