· Web viewDana Rp 5,3 triliun yang dianggarkan dari Departemen Sosial pun baru tersalurkan Rp...

29
Sabtu, 22 Oktober 2005 Pertaruhan PT Pos Indonesia Tercatat enam orang rata-rata berusia di atas 70 tahun meninggal dunia ketika sedang mengantre pencairan bantuan langsung tunai. Antre yang berujung kematian itu sungguh memilukan dan memalukan. Salah satu ujung tombak pencairan bantuan langsung tunai (BLT) adalah PT Pos Indonesia yang bertugas mengantarkan kartu dan mencairkan dana. Penyaluran BLT ini menjadi kegiatan pemerintah yang mempertaruhkan kepercayaan rakyat miskin. Tugas yang dibebankan kepada kami tidak menjadi tanggung jawab semata, tetapi juga terkait dengan risiko jabatan langsung, ujar Manajer Komunikasi Korporat PT Pos Indo- nesia (Persero) Arief Setyanto. Ketika dipercaya mendistri busikan BLT, Direktur Utama PT Pos Indonesia Hana Suryana langsung mengumpulkan 11 kepala kantor wilayah (kepala kanwil) seluruh Indonesia. Setiap kepala kanwil mendapat penegasan, jika BLT tidak disalurkan dengan baik, yang bersangkutan dapat dicopot dari jabatannya. PT Pos memiliki sumber daya 24.000 orang, 12.000 di antaranya petugas pengantar surat. Mereka juga dibantu 3.600 layanan bergerak. Jumlah kantor pos daerah yang disiagakan mencapai 3.200, ditambah 210 kantor pos tingkat kota/kabupaten. PT Pos juga mendayagunakan 500 pegawai yang memasuki masa persiapan pensiun. Sampai Selasa (18/10), kartu BLT yang sudah tercetak sejumlah 15,48 juta lembar. Data Rabu (19/10) menunjukkan, penerima BLT yang sudah mencairkan dana berjumlah 5,08 juta keluarga miskin dengan total dana Rp 1,5 triliun. Di lapangan, penerima dana yang berdesakan antre menjadi masalah yang harus diselesaikan. Mengatasi masalah Untuk menghindari kejadian di atas terulang, PT Pos menentukan hari pengambilan BLT untuk setiap desa secara bergiliran. Batas waktu pencairan diundur dari 15 Desember menjadi 31 Desember 2005. Distribusi BLT, khususnya untuk daerah terpencil, dimudahkan dengan berbagai bantuan. Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, misalnya, memberikan dana Rp 70 juta agar petugas pos dapat mengantarkan dana BLT. Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, meminjamkan speedboat untuk menjangkau pelosok. PT Pos juga tak menampik bantuan dari seorang calon dalam pemilihan kepala daerah, seperti terjadi di sebuah daerah di Sulawesi, selama pegawai pos bisa bersikap netral. Koordinasi yang kurang baik menyebabkan kartu BLT di beberapa daerah tiba lebih dulu daripada dana. Itu terjadi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, serta

Transcript of · Web viewDana Rp 5,3 triliun yang dianggarkan dari Departemen Sosial pun baru tersalurkan Rp...

Sabtu, 22 Oktober 2005

Pertaruhan PT Pos Indonesia

Tercatat enam orang rata-rata berusia di atas 70 tahun meninggal dunia ketika sedang mengantre pencairan bantuan langsung tunai. Antre yang berujung kematian itu sungguh memilukan dan memalukan.

Salah satu ujung tombak pencairan bantuan langsung tunai (BLT) adalah PT Pos Indonesia yang bertugas mengantarkan kartu dan mencairkan dana. Penyaluran BLT ini menjadi kegiatan pemerintah yang mempertaruhkan kepercayaan rakyat miskin.

Tugas yang dibebankan kepada kami tidak menjadi tanggung jawab semata, tetapi juga terkait dengan risiko jabatan langsung, ujar Manajer Komunikasi Korporat PT Pos Indo- nesia (Persero) Arief Setyanto.

Ketika dipercaya mendistri busikan BLT, Direktur Utama PT Pos Indonesia Hana Suryana langsung mengumpulkan 11 kepala kantor wilayah (kepala kanwil) seluruh Indonesia. Setiap kepala kanwil mendapat penegasan, jika BLT tidak disalurkan dengan baik, yang bersangkutan dapat dicopot dari jabatannya.

PT Pos memiliki sumber daya 24.000 orang, 12.000 di antaranya petugas pengantar surat. Mereka juga dibantu 3.600 layanan bergerak. Jumlah kantor pos daerah yang disiagakan mencapai 3.200, ditambah 210 kantor pos tingkat kota/kabupaten. PT Pos juga mendayagunakan 500 pegawai yang memasuki masa persiapan pensiun.

Sampai Selasa (18/10), kartu BLT yang sudah tercetak sejumlah 15,48 juta lembar. Data Rabu (19/10) menunjukkan, penerima BLT yang sudah mencairkan dana berjumlah 5,08 juta keluarga miskin dengan total dana Rp 1,5 triliun. Di lapangan, penerima dana yang berdesakan antre menjadi masalah yang harus diselesaikan.

Mengatasi masalah

Untuk menghindari kejadian di atas terulang, PT Pos menentukan hari pengambilan BLT untuk setiap desa secara bergiliran. Batas waktu pencairan diundur dari 15 Desember menjadi 31 Desember 2005.

Distribusi BLT, khususnya untuk daerah terpencil, dimudahkan dengan berbagai bantuan. Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, misalnya, memberikan dana Rp 70 juta agar petugas pos dapat mengantarkan dana BLT.

Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, meminjamkan speedboat untuk menjangkau pelosok. PT Pos juga tak menampik bantuan dari seorang calon dalam pemilihan kepala daerah, seperti terjadi di sebuah daerah di Sulawesi, selama pegawai pos bisa bersikap netral.

Koordinasi yang kurang baik menyebabkan kartu BLT di beberapa daerah tiba lebih dulu daripada dana. Itu terjadi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, serta Kota Malang dan Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Dana Rp 5,3 triliun yang dianggarkan dari Departemen Sosial pun baru tersalurkan Rp 4,6 triliun. Meski demikian, pembayaran tetap dilakukan dengan mengambil anggaran PT Pos yang disebut dana direktur keuangan.

Program pendistribusian BLT ini tidak menurunkan kinerja perusahaan. Badan usaha milik negara ini justru mempe- roleh pendapatan tambahan Rp 50 miliar untuk tiga bulan pertama.

Dalam satu tahun, PT Pos bisa mendapatkan Rp 200 miliar. Itu sama dengan seperenam pendapatan perusahaan. Kemampuan mendistribusikan BLT ini akan menjadi bukti bahwa PT Pos mampu mengurus hal lain selain pengiriman surat. (Dwi Bayu Radius)

Sabtu, 22 Oktober 2005

BLT, Bantuan Pemalasan Rakyat Miskin

Oleh Dedi Muhtadi

Bagi Wage Utin (23), bapak muda warga kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat, uang Rp 300.000 dari bantuan langsung tunai atau BLT tidak langsung habis, tapi dibelikan baju untuk ketiga anaknya Rp 150.000. Setengahnya lagi dijadikan modal dagang minuman dan makanan ringan yang dikelola istrinya di pinggiran Sungai Ciliwung.

Dari warung depan rumah itu istrinya mendapat Rp 10.000-Rp 15.000 setiap hari. Lumayan, hasil ini mengurangi jajan anak-anak, ujar karyawan Wartel bergaji Rp 400.000 ini. Walaupun hanya setengahnya, bantuan ini bergulir pada modal dagang keluarga. Namun, berapa orang dari 15,5 juta keluarga miskin yang menggunakan bantuan itu, seperti Wage, tidak diketahui karena tidak terprogram dan tak ada sistem monitoring.

Dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) yang diterima itu bisa digunakan apa saja yang bukan keperluan produktif, seperti untuk membayar utang, membeli rokok, dan bahkan tak ada larangan dana itu untuk judi togel atau membeli minuman keras. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah memberikannya agar masyarakat miskin tidak protes, ujar Direktur Utama Institute for Development Economics and Finance (Indef) M Fadhil Hasan.

Program belas kasihan yang tidak kasihan ini tergolong unconditional cash transfer, termasuk tak mendidik masyarakat untuk giat bekerja keras. Program ini membodohi masyarakat miskin dan membuat mereka malas. Program ini seperti uang kadeudeuh (yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jabar kepada anggota DPRD) atau money politic dari pemerintah.

Tujuan BLT tidak jelas, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjangnya, selain kebijakan belas kasihan agar si miskin tetap hidup. Berbeda dengan negara lain, ada sekitar 10 negara yang membuat program serupa namun dengan sistem conditional cash transfer (transfer uang bersyarat). Biasanya programnya diperuntukkan bagi pendidikan, kesehatan, dan pangan. Setahu saya di dunia ini yang menggunakan sistem bantuan cash langsung tanpa syarat hanya Indonesia, kata Fadhil.

Amerika Serikat yang negerinya kaya memilih menerbitkan semacam voucher yang dapat ditukar dengan kebutuhan pangan di supermarket. Tapi voucher ini hanya bisa ditukarkan dengan pangan, tidak bisa untuk, misalnya, membeli minuman keras atau membayar utang. Kalau di Indonesia mau digunakan untuk apa saja tidak ada yang melarang karena tidak ada kontrol sama sekali.

Kebijakan sulit

Seperti diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), pemerintah sadar betul, kebijakan BBM bukan tidak ada dampak negatifnya. Empati yang amat besar justru ditujukan bagi rakyat miskin dan keberlangsungan ekonomi bangsa. Hal ini yang menyebabkan keputusan terasa lamban karena berbagai aspek dipertimbangkan dengan matang.

Selaku Menkominfo, Sofyan A Djalil mengimbau masyarakat agar lebih arif menanggapi kebijakan yang sulit dan tidak populer ini. Tidak ada pikiran lain dari pemerintah, kecuali untuk menciptakan negara ini jadi lebih baik. Seandainya ada kebijakan lain yang lebih masuk akal dan dapat diimplementasikan pemerintah tentu akan menempuh kebijakan itu sebagai prioritas.

Namun, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, penyelenggara negara justru tidak peduli betapa rakyat makin susah. Mereka lebih peduli bagaimana caranya agar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang terus membengkak akibat lilitan utang, bisa diselamatkan sehingga pemerintah tidak tekor. Menurut Sofyan Djalil, menaikkan harga BBM adalah pilihan buruk, orang susah bisa tambah susah. Namun, kesusahan dan pengorbanan ini bersifat sementara untuk kebaikan masa depan, short term pain for long term gain.

Ketika rakyat kesusahan, Pemprov DKI malah meluncurkan kebijakan yang kontroversial. Yakni menaikkan pendapatan DPRD DKI secara drastis melalui Peraturan Gubernur Nomor 114 Tahun 2005 tentang Belanja DPRD DKI. Kebijakan ini dipandang tidak peka terhadap kondisi publik yang sedang didera berbagai kesulitan sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Kalau mau menaikkan pendapatan anggota DPRD, seyogianya memikirkan kenaikan upah minimum para buruh terlebih dahulu. Ini tidak ditempuh, malah lebih memikirkan kesejahteraan anggota DPRD yang jelas-jelas sudah berkehidupan layak, ungkap Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih.

Namun, ada juga pemda yang merespons situasi sulit ini dengan arif, walaupun tidak banyak. Misalnya, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang meminta semua honorarium di luar gaji yang dibayarkan kepadanya selaku gubernur dan juga kepada wakil gubernur dihentikan. Menurut Gubernur, keperluan pribadi pejabat selayaknya jangan jadi beban rakyat atau APBD.

Jumlah beban rakyat yang tak semestinya itu setelah diinventarisasi, misalnya semua pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah gubernur, termasuk di rumah-rumah pribadi, total honornya mencapai miliaran rupiah per tahun.

Memutus rantai kemiskinan

Di negara-negara lain program ini biasanya dikaitkan dengan kesejahteraan rakyatnya. Targetnya jelas untuk memutus kemiskinan. Di Republik ini tidak jelas mau dijadikan apa, apakah untuk entry point untuk kesejahteraan rakyat atau sekadar dana kompensasi.

Kalau untuk misi menyejahterakan jelas besaran dana yang diberikan tak akan mampu memutus rantai kemiskinan. Bahkan besaran dana Rp 100.000 per bulan per keluarga itu juga tak cukup untuk disebut sebagai dana kompensasi kenaikan harga BBM.

Bahkan, akibat kenaikan harga BBM diperkirakan jumlah penduduk miskin akan bertambah karena warga yang sebelumnya menyandang status miskin bisa menjadi sangat miskin karena tak mampu lagi mengimbangi kenaikan harga di pasaran. Jika tidak ada pertumbuhan ekonomi yang signifikan, akan ada peningkatan jumlah penduduk miskin dari sekitar 40 juta orang menjadi 60 juta orang.

Program ini juga tak melewati prosedur yang baku. Setidaknya ada empat prosedur yang harus dilewati. Pertama sensus kemiskinan yang harus akurat dan saksama. Tentu saja ini butuh waktu panjang karena data ini akan menjadi acuan utama program. Kekisruhan terjadi karena meremehkan urgensi sensus kemiskinan ini.

BPS yang melaksanakan sensus ini tidak diberi waktu cukup. â€Karena itu jangan salahkan BPS jika �terjadi kekacauan yang memalukan saat ini. Salahkan saja yang memerintahkannya mengapa tidak memberi waktu yang panjang,†ujar Fadhil.�

Kedua, uji coba dalam skala kecil yang bertujuan menguji kelayakan program dari aspek sosial, ekonomi, dan politik. Termasuk juga untuk melihat sejauh mana desain sistem operasi, mekanisme penyaluran, dan kelembagaan bisa berjalan.

Prosedur ketiga, membuat sistem monitoring dan evaluasi yang terintegrasi dalam kelembagaan pelaksana program. Selama ini tidak jelas siapa yang melakukan monitoring dan evaluasi. Selama ini para pejabat cenderung komentar sendiri-sendiri tanpa jelas siapa yang sebenarnya yang memiliki otoritas untuk memonitor dan mengevaluasinya.

Hal keempat yang juga dilewatkan oleh pemerintah adalah sistem monitoring dan evaluasi dari lembaga independen yang seharusnya juga menyertai program ini. Lembaga luar akan lebih independen dengan analisisnya. Selama ini pemerintah hanya mengklaim pelaksanaannya berjalan baik dan jika ada kesalahan dianggap persentasenya kecil.

BLT merupakan program kompleks yang melibatkan banyak instansi, tetapi didesain dengan sistem

organisasi yang sederhana. Republik ini tak punya pengalaman menyalurkan dana tunai langsung. Karena itu, seharusnya pemerintah bisa memprediksi dari awal kalau akhir dari program BLT akan kacau jika tidak ada perencanaan yang matang.

Ke depan, pemerintah lebih baik tetap fokus kepada apa yang telah ditetapkan dalam skema kompensasi. Yaitu pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur pedesaan.

Untuk BLT, pemerintah harus memerhatikan lima hal. Pertama, merumuskan kembali maksud dan tujuan program ini. Kedua, perlu perombakan organisasi baru yang tangguh. Bisa dibuat semacam Badan Pelaksana yang tugasnya melaksanakan program ini secara utuh.

Ketiga harus ada lembaga lain yang bertugas memonitor dan mengevaluasi. Keempat, jika memang program ini akan dijadikan program kesejahteraan, harus ada dana tetap yang tidak dapat diganggu gugat dari APBN yang dialokasikan tiap tahunnya. Terakhir, pemerintah harus menyiapkan exit strategy, agar tidak menciptakan ketergantungan. (Amir Sodikin/Nur Hidayati)

Sabtu, 22 Oktober 2005

Ironi Wakil Rakyat Ibu Kota

Oleh M Hernowo

Apa beda rakyat kecil dan wakil rakyat sekarang ini? Jika rakyat kecil belakangan ini disibukkan oleh lonjakan biaya kebutuhan hidup atau kekisruhan pemberian bantuan langsung tunai, maka wakil rakyat, khususnya di DKI Jakarta, justru disibukkan oleh bertambahnya pendapatan.

umah Ny Alus di RT 08 RW 04, Kelurahan Kamal, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Bandara International Soekarno-Hatta. Hal ini membuat Alus hafal pada jam-jam berapa deru mesin jet pesawat akan memenuhi langit di atas rumahnya.

Suara mesin pesawat yang tinggal landas pukul 07.00 dan 24.00 biasanya terdengar keras sekali. Bahkan sampai membuat kaca bergetar, katanya.

Namun, belakangan ini Alus tidak mempersoalkan gangguan dari suara mesin jet itu. Dia juga tidak lagi mengeluhkan keadaan kampungnya yang masuk kawasan keselamatan penerbangan. Sehingga seperti terisolasi dan dipenuhi berbagai aturan, seperti tidak boleh didirikan bangunan tinggi.

Ini terjadi bukan karena Alus sudah menganggap berbagai gangguan itu bukan suatu masalah. Namun, karena pikirannya belakangan ini habis untuk mempertanyakan, mengapa dia tidak mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Kata petugas BPS, saya tidak memenuhi syarat mendapatkan BLT karena hidup saya masih ditanggung anak, kata Alus. Akan tetapi, Alus mengaku tidak dapat mengerti alasan itu. Rumah saya memang menempel dengan rumah anak. Namun, selama ini kami hidup sendiri-sendiri. Bahkan, antara rumah saya dan rumah anak dipisah oleh tembok, katanya.

Rumah Alus yang terdiri dari satu ruangan berukuran sekitar 25 meter persegi itu hanya diisi dengan sebuah dipan tanpa kasur tempat dia tidur, sebuah kompor minyak tanah, dan meja untuk meletakkan beberapa gelas dan piring miliknya.

Untuk hidup, selama ini Alus juga harus mencari uang sendiri. Setiap pukul 04.00, dia pergi ke Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Kamal untuk membeli ikan yang kemudian dijual kembali dengan cara berkeliling di sekitar tempat tinggalnya.

Kenaikan harga BBM, 1 Oktober lalu, membuat uang yang harus dikeluarkan Alus untuk tarif pergi pulang dari PPI Kamal ke rumahnya naik dari Rp 3.000 menjadi Rp 4000. Harga ikan di PPI Kamal juga naik. Ikan gembung yang merupakan favorit warga Kamal karena paling murah, misalnya, dari Rp 9.000

sekarang menjadi Rp 13.000 per kilogram.

Kenaikan harga ini membuat banyak konsumen Alus mengeluh. Keadaan diperparah oleh naiknya harga kebutuhan hidup lainnya hingga banyak konsumen Alus yang mengurangi atau bahkan menghentikan jatah pembelian ikan. Sekarang dapat untung bersih Rp 5.000 sehari saja sudah baik, kata Alus yang biasanya dapat untung sekitar Rp Rp 10.000.

Di tengah sulitnya berjualan, saat ini Alus mengaku sering berangan-angan seandainya mendapatkan BLT. Jika punya uang Rp 300.000, separuh akan saya pakai untuk modal berjualan. Sisanya untuk makan dan berlebaran, angannya.

Sementara itu, Roni, yang tinggal di samping rumah Alus, akan menggunakan uang dari BLT itu untuk melunasi SPP Ita, anak keduanya yang sejak dua bulan terakhir belum dibayar. Uang sekolah Ita hanya Rp 30.000. Sisanya untuk beli baju Lebaran anak-anak dan modal usaha, ujarnya.

Namun, seperti halnya Alus, rencana itu hanya angan-angan di kepala Roni yang selama ini tinggal di rumah dari bilik bambu milik mertuanya. Sebab, Roni juga tidak terdaftar untuk mendapatkan dana itu.

Ketua RT 08 RW 04 Sunarya Praja mengaku juga tidak mengerti mengapa Alus dan Roni dinilai tidak layak mendapatkan BLT. Menurut dia, dari 40 keluarga di RT 08, 25 di antaranya, termasuk Alus dan Roni, dia ajukan untuk menerima BLT. Namun, hanya empat keluarga yang mendapat.

Untunglah warga saya tidak aneh-aneh. Mereka memang kecewa dan mempertanyakan hal itu kepada saya. Namun, tidak sampai merusak atau mengganggu warga lain yang mendapatkannya, kata Sunarya yang sehari-hari menjadi petugas pembersih jalan tol dengan penghasilan Rp 54.000 per bulan.

Sikap warganya ini, lanjut Sunarya, selain karena tidak tahu harus mengadukan ke mana masalah ini, mereka juga sadar jika yang mendapatkan BLT kondisinya juga tidak lebih baik.

Sohid, misalnya, salah satu dari empat keluarga di RT itu yang mendapat BLT, ternyata hanya beberapa jam memegang uang Rp 300.000 yang diterimanya. Sebab, uang itu langsung habis digunakan untuk mengobati penyakit paru-paru yang dideritanya

Bejo, Wakil Ketua RT 06 RW 09, Kampung Gaga, Semanan, Kali Deres, Jakarta Barat, juga bingung di mana harus mengadu karena dari 25 keluarga yang dia ajukan mendapat BLT, hanya sembilan yang mendapatkannya.

Padahal, salah satu warga RT Bejo ada yang menjadi anggota DPRD DKI. Saya belum berani mengadukan masalah ini kepadanya. Takut merepotkan dia. Apalagi belakangan ini dia tampak sibuk. Nanti saja kalau dia tanya, akan saya jawab, katanya.

Bejo sadar, sebenarnya merupakan kewajiban warganya yang menjadi anggota DPRD untuk mendengarkan dan membantu memecahkan masalah pembagian BLT di wilayahnya. Apalagi, meski belum menimbulkan pertentangan di kalangan warganya, masalah itu sempat menjadi bahan pembicaraan yang hangat di kalangan warganya.

Bejo juga sudah mendengar, jika Pemerintah Provinsi (Pemrov) DKI Jakarta baru saja menambah pendapatan para anggota DPRD, termasuk tetangganya, sehingga anggota DPRD itu seharusnya lebih semangat bekerja.

Namun, kesadaran dan pengetahuan itu tidak mampu mengalahkan rasa sungkan dan takut merepotkan di hati Bejo terhadap warganya yang menjadi anggota DPRD itu.

Di atas 200 persen

Melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 114 Tahun 2005 tentang Belanja DPRD DKI, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memang telah menaikkan pendapatan DPRD DKI. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan sebagai penyesuaian secara rasional.

Lewat Pergub 114/2005, penghasilan tetap anggota sampai Ketua DPRD disesuaikan (secara rasional) dari Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulan, menjadi Rp 6 juta hingga Rp 8 juta. Namun, belanja penunjang DPRD yang meliputi uang lelah dan uang dinas sepertinya tidak lagi disesuaikan secara rasional, namun disesuaikan dengan kenaikan harga BBM.

Jika 1 Oktober lalu pemerintah hanya menaikkan harga minyak tanah 185,7 persen, yaitu dari Rp 700 menjadi Rp 2.000 per liter, maka Sutiyoso menaikkan uang lelah DPRD DKI lebih dari 200 persen.

Untuk Ketua DPRD, misalnya, uang lelah yang sebelumnya Rp 600.000 menjadi Rp 2 juta per bulan. Sementara untuk Wakil Ketua dari 500.000 menjadi Rp 1,75 juta dan uang lelah anggota DPRD menjadi Rp 1,5 juta dari sebelumnya Rp 450.000.

Jika harga minyak solar naik 104,76 persen, uang dinas dalam kota DPRD DKI naik sekitar 100 persen. Untuk Ketua DPRD dari Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta, dan anggota DPRD dari Rp 750.000 menjadi Rp 1,5 juta.

Adapun besar kenaikan uang dinas luar kota relatif sama dengan kenaikan harga premium yang mencapai 87,5 persen. Uang dinas luar kota Ketua DPRD yang sebelumnya Rp 1,5 juta per kegiatan, menjadi Rp 3 juta. Untuk Wakil Ketua DPRD menjadi 2,5 juta dari sebelumnya Rp 1,4 juta. Sementara uang dinas luar kota anggota DPRD naik dari Rp 1,250 juta menjadi Rp 2 juta.

Meski besar penyesuaian secara rasional belanja penunjang DPRD DKI Jakarta hampir sama atau bahkan lebih besar dari kenaikan harga BBM, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Heryawan menyangkal jika kedua hal itu berkaitan.

Kenaikan tunjangan DPRD sudah dibahas sejak bulan Agustus 2005. Kebetulan saja Pergubnya baru keluar setelah harga BBM naik, ujar Heryawan.

Saya belum tahu karena hal itu tergantung banyaknya kegiatan dan kerajinan anggota DPRD. Semakin sering menghadiri pembahasan suatu masalah atau berkunjung ke daerah, semakin banyak yang didapat, jawab Heryawan saat ditanya berapa kenaikan pendapatan yang diterima para anggota DPRD setelah keluarnya Pergub 114/2005.

Adanya kemungkinan perbedaan pendapatan berkaitan dengan tingkat kerajinan ini, lanjut Heryawan, diharapkan dapat meningkatkan kinerja para wakil rakyat di DKI Jakarta.

Kenaikan tunjangan, papar Heryawan, juga dikarenakan ada banyak biaya yang dibutuhkan anggota DPRD. Baik untuk partai, konstituen, atau keluarganya. Dan, salah satu tambahan biaya itu sekarang mungkin menyesuaikan besar pengeluaran akibat kenaikan harga BBM.

Itulah enaknya para wakil rakyat. Peningkatan biaya hidup membuat tunjangan mereka ikut naik. Sementara rakyat kecil, pada saat yang sama, justru harus memotong tunjangan hidupnya.

Sabtu, 22 Oktober 2005

Ketika Rakyat Miskin Berlomba Cairkan BLT... Karnoji sudah 29 tahun menjabat ketua RT 04 RW 03 di Desa Pagejugan, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Selama mengabdikan diri menjadi ketua RT, Karnoji tidak berharap gaji karena ia semata-mata ingin mengabdikan diri.

kan tetapi, ketika pekan lalu, setelah sejumlah warganya mendatangi rumahnya dan melontarkan kata-kata kotor kepada dirinya, Karnoji pun tak tahan lagi dan memilih mengundurkan diri.

Bersama empat ketua RT lainnya di desa yang sama, Karnoji menyerahkan stempel RT. Mereka mengaku tidak tahan dengan tuduhan warga, yang menyebut tidak akurat mendata warga yang menerima dana kompensasi BBM di wilayahnya. Daripada keselamatan keluarganya terancam, Karnoji

memilih mundur sebagai ketua RT.

Kisah Karnoji dan empat ketua RT di Brebes ini hanya kisah kecil dari banyaknya cerita yang terkait bantuan langsung tunai (BLT). Ini memang kisah rakyat miskin di negeri ini, yang tersebar di banyak daerah di Jawa Tengah.

Suripno, warga RT 02 RW 03, Joyotakan, Serengan, Solo, dipukul dengan asbak oleh ketua RT setempat, Suparno, karena yang bersangkutan terus menolak BLT-nya dipotong Rp 100.000, Selasa (11/10) malam lalu. Saya memang memukulnya dengan asbak tiga kali, mengenai pelipis kanan dan kiri, serta wajahnya, kata Suparno.

Hari Senin pekan lalu, ratusan warga Desa Kaligangsa Wetan, Kecamatan Kaligangsa, Kabupaten Brebes, merusak kantor kepala desa setempat. Mereka menuntut agar mendapatkan dana kompensasi BBM.

Persoalannya sama: warga menilai hasil pendataan yang dilakukan selama ini tidak akurat. Sebab, sejumlah warga yang secara ekonomi mampu ternyata mendapatkan dana kompensasi BBM. Sebaliknya, warga miskin banyak yang tidak mendapatkannya.

Massa memecah semua kaca jendela kantor kepala desa di bagian depan dan samping hingga berkeping-keping. Massa juga merobohkan papan nama kantor kepala desa dan mengobrak-abrik peralatan di dalam kantor, termasuk meja dan kursi.

Warga menempelkan sejumlah poster di dinding depan kantor yang berisi kecaman terhadap perangkat desa. Aksi massa berlangsung dua jam dan berakhir setelah ada kesepakatan antara warga dan aparat desa ihwal pendataan ulang terhadap warga yang belum terdaftar sebagai penerima BLT.

Program bagi-bagi duit kompensasi BBM untuk rakyat miskin ini memang menimbulkan banyak ekses, cerita sedih dan ironi. Kisah yang dialami Wadiman (70) warga Dukuh Krasak, Desa Sidomulyo, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, misalnya. Lelaki usia lanjut itu meninggal dunia saat antre memperoleh dana kompensasi BBM di Kantor Pos Dempet, Jumat (14/10) pagi.

Sementara itu, Sugami (55), warga Desa Kalipang, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, yang sedang berjuang mendapatkan dana BLT, saat mengurus surat-surat yang diperlukan, tewas setelah motor yang ditumpanginya disambar bus, Sabtu (15/10) lalu.

Sebelumnya, Rabu (12/10) pagi, truk yang membawa 40-an orang yang baru mengambil BLT di Kantor Pos Wanadadi, 25 kilometer dari Kecamatan Punggelan, Kabupaten Banjarnegara, mengalami kecelakaan.

Dalam musibah itu, Tarsono (60) tewas, sedangkan 24 orang warga Desa Tribuana, Punggelan, lainnya luka-luka. Sebagian besar penerima BLT di Dusun Mertayuna, Desa Tribuana adalah buruh, baik buruh tani, penebang pohon, dan istri yang para suaminya merantau ke Jakarta, bekerja sebagai buruh.

Rasanya sangat nelangsa, kata Bonem (60), istri Tarsono, di dapur rumahnya yang kusam. BLT sejumlah Rp 300.000 yang diambil suaminya, buruh tani penggarap sawah seluas seperempat hektar itu, masih disimpan Bonem. Tapi ironisnya, uang itu digunakan untuk selamatan kematian sang suami.

Ketidakadilan

Menurut sosiolog dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Prof Kutut Suwondo, banyaknya masyarakat yang berebut status miskin untuk mendapatkan bantuan tunai langsung karena ada ketidakadilan dalam pemberian bantuan itu. Meski BLT diperuntukkan bagi masyarakat miskin, kenyataannya mereka yang tidak masuk kategori ini pun terdaftar dan menerima BLT.

Itu sebenarnya bukan watak orang Indonesia, tetapi merupakan protes karena ada prosedur yang tidak jelas. Memang tidak dapat dimungkiri sering kali ada penilaian tidak obyektif ketika penentuan siapa saja yang akan menerima BLT, kata Kutut.

Karena itu, sebelum penentuan siapa yang berhak menerima BLT idealnya dibicarakan bersama dalam forum RT. Hak rakyat harus dibuka. Dengan alokasi dana pemerintah yang terbatas, jika dibicarakan secara terbuka, masyarakat akan memahami jika akhirnya hanya mereka yang benar-benar miskin yang mendapat BLT.

Meski mengakui BLT tidak membantu masyarakat mengatasi permasalahannya (kemiskinan), Kutut mencoba menempatkan diri pada posisi masyarakat yang menerima BLT. Apa pun namanya dan meski hanya sementara, bantuan itu tetap bermanfaat bagi masyarakat miskin.

Saya realistis saja meski memang bantuan itu akhirnya lebih banyak digunakan untuk konsumsi dan bukan untuk kegiatan produktif. Tetapi dengan uang Rp 300.000 memang sulit digunakan untuk meningkatkan pendapatan. Karena itu, ya dari pada tidak mendapat bantuan sama sekali, ujar Kutut.

Jika pemerintah ingin benar-benar membantu masyarakat miskin, kata Kutut, programnya harus jangka panjang dan dipersiapkan dengan matang. Jangan justru masyarakat dididik tergantung dan malas. Membantu masyarakat miskin tidak cukup membantu dengan uang, tetapi juga harus ada pendampingan agar masyarakat dapat memanfaatkan bantuan itu dengan benar dan tepat.

Jadi, harus dikelola dengan benar, jangan sampai kacau seperti selama ini. Kebijakan pemberian BLT sekarang ini pun lebih untuk meredam gejolak politik yang mungkin timbul akibat kenaikan harga BBM, kata Kutut.

Minta dilibatkan

Kisruhnya distribusi BLT, membuat pejabat pemerintah kabupaten ikut bicara. Pemkab minta pemerintah pusat melibatkan mereka dalam menentukan kebijakan distribusi BLT. Tidak dilibatkannya pemkab sejak awal dalam pendataan warga menjadikan distribusi dana ini semrawut hingga terjadi perusakan fasilitas publik oleh massa.

Kearifan-kearifan lokal perlu dihargai. Pemerintah pusat juga perlu percaya pada pemerintah daerah, kata Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Banyumas Didi Rudwianto, Rabu (19/10). Menurut Didi, Badan Pusat Statistik (BPS) bicara angka, pemerintah setempatlah yang kemudian menerjemahkan angka itu dalam sebuah kebijakan publik.

Didi mengatakan hal itu selepas menangani kasus perusakan Balai Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, Banyumas, oleh warga yang tidak puas dengan distribusi kartu BLT dua hari lalu. Warga akhirnya bersedia mengganti kerugian akibat perusakan itu. Untung ini masih bulan puasa sehingga orang gampang ditata, tambahnya.

Menurut dia, kasus perusakan seperti yang terjadi di daerahnya harus menjadi evaluasi pemerintah pusat untuk menyalurkan dana triwulan berikutnya. Pemerintah dalam sidang kabinet perlu mendengarkan kesulitan kami yang ada di lapangan, dari gubernur, bupati, camat, lurah, hingga ke RT, tutur Didi.

Diusulkan, Dasa Wisma, Program Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan ulama juga perlu dilibatkan. Ulama perlu bicara untuk mengurangi orang yang bangga menjadi miskin. Selain itu, Didi mengaku cukup kebingungan dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang sakleg.

Asisten Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Banjarnegara Sri Mastuti menyampaikan hal senada. Sri mengakui banyak keluarga miskin yang belum terdata. Selain itu tidak semua kecamatan di daerahnya mempunyai satu kantor pos.

Jauhnya letak kantor pos ini yang menyebabkan satu warga Banjarnegara penerima BLT tewas karena truk yang ditumpangi rombongan pengambil BTL terguling. Warga sendiri harus mengeluarkan dana hingga Rp 25.000 untuk transportasi mengambil uang BLT.

Memang agak sulit berkoordinasi dengan kantor pos dan BPS karena mereka instansi vertikal, kata Sri. Namun, Kabupaten Banjarnegara mengambil kebijakan untuk mendampingi petugas BPS di lapangan meski awalnya tidak dilibatkan. Selain itu posko penerimaan BTL mulai dibuka di tiap kecamatan.

Kebijakan pemberian dana BTL seperti itu sebenarnya tidak mendewasakan masyarakat. Masyarakat lalu menjadi bangga disebut orang miskin demi mendapat bantuan. Yang parah lagi, mental masyarakat menjadi peminta-minta, selalu berharap bantuan orang lain, tanpa pernah bisa jadi mandiri.

Seharusnya pemerintah memberi kail, bukan ikan, agar masyarakat tidak terus-terusan berharap dan bergantung dana kompensasi BBM. WIE/SUP/NTS/EKI/ HAN/IKA/WSI)

Sabtu, 22 Oktober 2005

Menyeruak Watak Asli Bangsa

Oleh Mohammad Subhan

Program pemerintah bagi-bagi duit kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak ternyata memunculkan watak asli masyarakat. Tidak sedikit warga yang tak lagi merasa malu kalau tak mau disebut serakah mengaku miskin walaupun sebetulnya hidup berkecukupan.

Ketika penyaluran dana kompensasi berlangsung, di antara ratusan pengantre yang akhirnya berjubel memadati halaman kantor pos di Makassar, di antaranya Kantor Pos Wilayah Kota Makassar dan kantor Pos di Jalan AP Pettarani, banyak pengantre yang ternyata datang mengendarai sepeda motor keluaran terbaru. Secara kasatmata, mereka juga memakai cincin dan giwang emas serta membawa telepon genggam. Tanpa rasa risih, para pengantre yang semestinya tidak layak menerima bantuan langsung tunai (BLT) itu rela berdesak-desakan selama berjam-jam demi uang Rp 300.000.

Di Kelurahan Mappala, Kecamatan Rappocini, Makassar, para pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) juga didata sebagai penerima BLT. Bahkan, temuan petugas cacah lapangan (PCL), ada pensiunan PNS golongan IV yang mengaku pensiunan golongan II hanya agar dapat terdaftar sebagai penerima BLT. Juga, dilaporkan ada warga yang sehari-hari berprofesi sebagai pemborong ikut-ikutkan memiskinkan diri. Bukan berarti pensiunan PNS tidak didata untuk mendapatkan dana kompensasi BBM. Salah satu syaratnya, uang pensiunan mereka tidak lebih dari Rp 500.000 per bulan, kilah Amirai, Lurah Mappala.

Di Kecamatan Rappocini, seperti dikatakan Camat Hasan Basri Ambarala, banyak ditemui kartu kompensasi bahan bakar minyak (KKB) yang dibagikan kepada mereka yang tidak berhak menerima, seperti PNS, pensiunan, atau bahkan ketua RW.

Semua itu terjadi karena uang gratis yang digelontorkan pemerintah. Persoalan yang semula hanya tampak di permukaan itu akhirnya merembet pada persoalan-persoalan lain yang tidak kalah ruwetnya. Di tengah kondisi ekonomi negara yang sedang carut-marut akibat kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, tawaran mendapatkan uang secara gratis dari pemerintah telah membuat banyak orang rela melakukan apa saja. BLT seperti pucuk dicinta ulam pun tiba.

Untuk sementara ini, masyarakat memang perlu uang akibat kenaikan harga BBM. Ini memang sesuatu yang baru. Di negara lain belum pernah berhasil, biasanya kompensasi dalam bentuk padat karya, kata ekonom dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Taslim Arifin.

Buat Amirai dan Hasan Basri, kalaupun terjadi salah sasaran, itu karena data yang dikumpulkan PCL Badan Pusat Statistik (BPS) langsung disetor ke pemerintah pusat. Tidak dilakukan cek silang ke aparat pemerintah paling rendah yang justru tahu kondisi lapangan.

Kinerja PCL juga dikeluhkan Kepala BPS Makassar Sunaryo. Jika memang mereka turun ke lapangan betul-betul, masak mereka tidak tahu kalau yang mereka data itu sebetulnya tidak termasuk kategori keluarga miskin karena, misalnya, memiliki mobil atau sepeda motor di rumahnya, ungkapnya, yang mengakui pendeknya waktu memberi andil kekisruhan itu.

Masalahnya, di lapangan, banyak warga yang tidak jujur kepada kami. Ada pensiunan golongan II mengaku uang pensiunannya Rp 480.000 per bulan, sementara dia harus menanggung 12 orang. Katanya uang itu nanti untuk anaknya. Ternyata kemudian diketahui dia adalah PNS golongan IV. Ada

juga pemborong yang mengaku sebagai tukang batu agar bisa mendapat dana kompensasi BBM, padahal sesungguhnya dia itu seorang pimpinan proyek, ujar Rina M Arman, petugas cacah di Mappala.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Sulsel) Inspektur Jenderal Saleh Saaf mengeluarkan maklumat sanksi pidana bagi yang pembuat surat palsu atau surat keterangan tentang miskin fiktif. Maklumat itu diharapkan membuat warga akan berpikir ulang untuk memberikan keterangan yang keliru mengenai dirinya.

Diakui Taslim Arifin, dengan persiapan yang amat mendadak, tentu sulit mengharapkan hasil yang memuaskan hanya dari petugas pencatat statistik. Semestinya ada kelompok-kelompok independen yang dapat melakukan pencatatan sekaligus evaluasi, antara lain bisa melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru, atau juga pegawai bank. Kita tidak lepas dari kultur ber-KKN. Kalau kita bisa kasih teman, rasanya kita bangga. Nah, itulah kebanggaan konyol kita, tuturnya.

Dimusuhi warga

Akibat banyak kasus salah sasaran itu, warga pun protes. Ada yang marah dan mengancam PCL, ada yang memprotes ketua RT setempat, dan ada yang protes ke wali kota. Di Ambon, warga yang melakukan protes adalah para pengungsi. Pemerintah memang menetapkan bahwa mereka yang berstatus pengungsi tidak punya hak mendapatkan jatah BLT karena pengungsi sudah mendapatkan bantuan jenis lain. Namun, tak urung mereka protes karena kondisi mereka sehari-hari amat memprihatinkan dengan tinggal di pengungsian dan tanpa penghasilan yang jelas.

Di Makassar, tidak terhitung berapa banyak demonstrasi digelar warga. Mereka yang merasa diperlakukan tidak adil karena tidak mendapatkan BLT mendatangi Ketua RT, Ketua RW, dan kantor kelurahan setempat. Umumnya warga yang berdemo adalah warga yang merasa miskin, sebagaimana dipersyaratkan dalam penyaluran dana kompensasi BBM, tetapi tidak mendapatkan BLT.

Awal Oktober lalu, puluhan warga Kelurahan Tamalabba, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, berunjuk rasa di Kantor Wali Kota Makassar. Mereka mempertanyakan alasan mengapa sampai tidak mendapatkan KKB, sementara banyak warga mampu justru mendapatkan KKB.

Akumulasi kekesalan warga pun bukan hanya ditumpahkan kepada pemerintah daerah, tetapi juga mengarah pada PCL yang merupakan ujung tombak di lapangan. Para PCL itu didamprat atau diamuk warga. Di Makassar, tercatat beberapa kasus demo yang ditujukan warga kepada PCL.

Pengalaman pahit tersebut salah satunya dialami Asriani yang bertugas mendata warga di RT XIV Kelurahan Gunungsari. Dari 65 kepala keluarga (KK) yang diajukan ternyata hanya 49 KK yang disetujui pusat, sementara sisanya dinilai tidak layak karena tidak memenuhi kriteria sebagai keluarga miskin.

Oleh warga yang KKB-nya tidak disetujui, saya diancam akan dipukul. Mereka mengatakan akan mendatangi rumah saya dan mengeroyok saya, kata perempuan berusia 28 tahun tersebut. Akhirnya dia tidak lagi ditegur atau disapa warga.

Kekisruhan penyaluran BLT itu terjadi di hampir seluruh daerah. Namun, menurut Kepala BPS Sulsel Mariadi Mardian, protes yang dilakukan warga masih dalam taraf wajar. Justru dengan makin banyaknya protes yang disampaikan warga akan membuat data yang didapatkan lebih akurat.

Untuk melakukan pendataan masyarakat miskin, BPS dan mitra BPS menurunkan personel yang cukup banyak di seluruh Sulsel. Jumlahnya mencapai 9.500 personel.

Tetapi, KKB yang salah sasaran itu tentu saja harus dilakukan pembatalan. KKB yang dibatalkan diperkirakan mencapai 2.689 lebih dari total 443.000 KKB yang diberikan kepada masyarakat miskin di Sulsel.

Kendala geografi

Di Sulawesi Tengah, sampai pertengahan Oktober, BLT baru tersalurkan 10 persen. Dari 145.000 KK

miskin yang telah terdata di BPS, baru sekitar 15.400 KK yang terlayani. Di kawasan timur Indonesia, pendataan dan penyaluran BLT lebih gawat lagi. Faktor kondisi geografis dan keterbatasan sarana menjadi kendala utama. Distribusi BLT dipastikan akan tersendat-sendat. Pada tahap pendataan saja hingga kini belum selesai. Daerah yang belum selesai didata antara lain Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Di kawasan yang banyak didominasi pulau-pulau, seperti Maluku Tenggara Barat, pendataan membutuhkan waktu lama. Begitu juga kawasan hutan dan gunung-gunung di Papua, bukanlah perkara mudah yang bisa ditembus oleh para PCL.

Kalaupun proses pendataan rampung, masalah baru sudah di depan mata. Bagaimana warga yang ada di hutan-hutan dan gunung atau pulau-pulau terpencil itu bisa mencairkan BLT apabila di ibu kota di pedalaman saja kantor pos atau bank tidak ditemukan. Sangat tidak masuk akal, misalnya, seorang warga di sejumlah kabupaten pemekaran yang minim fasilitas bisa mencairkan BLT. Umumnya sarana itu masih berada di kabupaten induk.

Ambil contoh, warga Papua di Kabupaten Tolikara, Puncak Jaya, atau Yahokimo tidak bisa mencairkan dana itu di daerah mereka. Pasalnya, kantor pos hanya ada di Nabire dan bank cuma ada di Wamena. Itu artinya pencairan BLT harus ditempuh dengan membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya besar. Sangat tidak logis jika untuk mencairkan Rp 300.000 seorang warga harus mengeluarkan uang Rp 1 juta-2 juta untuk tiket pesawat. (Dwi As Setianingsih)

Sabtu, 22 Oktober 2005

Menyulap Kesedihan Jadi Harapan

Oleh Irma Tambunan

Kusnanto (27) menangis terharu. Ayah dua anak itu tersedu-sedu sambil berdiri. Lalu istrinya yang datang terharu dan memeluk bayinya pun akhirnya ikut menitikkan air mata. Jadilah, siang itu, tangisan berkah karena rasa bersyukur yang hebat.

Kalau dua tahun lalu ia harus pasrah menempati gubuk kecil bekas kandang sapi, seperti mimpi, sejak Sabtu (15/10) siang kemarin, gubuknya benar-benar disulap jadi sebuah rumah layak pakai.

Perubahan mendadak ini berawal dari kedatangan seorang pengusaha dari Jakarta ke Dusun Cempluk, Mangungan, Dlingo Kabupaten Bantul DI Yogyakarta. Namanya Ny Alida Handau (35-an tahun), pengusaha pertambangan yang juga aktivis LSM berbasis kebijakan publik, yang datang bersama sekretarisnya, Angel.

Kusnanto benar-benar tak menyangka, setelah keluarganya diberitakan Kompas (Jumat, 13 Oktober 2005), karena tak mendapat bantuan tunai langsung kompensasi kenaikan harga BBM, tiga hari kemudian Alida datang bagaikan malaikat bersama sekretaris yang kebetulan bernama Angel.

Selain memberi sembako, sarung, dan baju Lebaran, Alida membiayai pembangunan rumah Kusnanto. Bantuan ini masih ditambah pemenuhan kebutuhan bayi yang baru dilahirkan Warmini (25), istri Kusnanto, sepuluh hari lalu, dan juga beasiswa sekolah bagi Ajib, anak pertama mereka yang duduk di TK. Saya sangat terharu. Tidak menyangka tiba-tiba ada bantuan sebesar ini, ujarnya sambil menahan air mata.

Tak menyangka

Jiyono, kepala desa setempat yang juga tak menyangka datangnya bantuan, dirinya turut bertanggung jawab dan memastikan bantuan ini takkan disalahgunakan. Pokoknya, keluarga Kusnanto sudah bisa ber-Lebaran nanti di rumah yang baru. Warga akan gotong-royong dalam pembangunannya, tutur Jiyono.

Bagi orang miskin di desa-desa terpencil, datangnya bantuan macam ini betul-betul berkah yang

mengejutkan. Meski akhirnya terlihat respons yang mereka berikan berbeda-beda.

Bantuan di hari yang sama diberikan Alida pada Mbah Ngadiwiyono (75) di Dusun Kutu, Sumbermulyo, Bambanglipuro, janda jompo yang sudah setahun ini mengidap penyakit beri-beri.

Spontan Alida mengatakan, orang-orang seperti inilah yang memang patut dibantu. Namun, lebih baik adalah membantunya keluar dari kemiskinan. Caranya lewat pemberdayaan usaha yang membuat mereka bisa mandiri.

Sabtu, 22 Oktober 2005

Sesat Pikir Kompensasi BBM

Oleh: Revrisond Baswir

Heboh kompensasi BBM yang terjadi belakangan ini setidaknya dapat didekati melalui dua jurusan. Pertama, dengan menempatkan program tersebut sebagai sebuah program yang berdiri sendiri. Kedua, dengan menempatkan program itu sebagai sebuah program yang terkait langsung dengan latar belakang dan motivasi pemberiannya.

ntuk pendekatan pertama, terlepas dari latar belakang dan motivasi pemberiannya, program kompensasi BBM dilihat sebagai sebuah program yang terisolasi. Dengan demikian, latar belakang dan motivasi pemberiannya cenderung didukung atau diterima apa adanya.

Kajian terhadap pelaksanaan program kompensasi BBM dalam pendekatan pertama dimaksudkan terutama untuk mengevaluasi dan merumuskan tindakan yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan pelaksanaannya.

Pendekatan kedua adalah dengan menempatkan program kompensasi BBM sebagai sebuah program yang terkait langsung dengan latar belakang dan motivasi pemberiannya. Sebagaimana diketahui, program kompensasi BBM dilatarbelakangi oleh kebijakan penghapusan subsidi BBM. Adapun motivasinya, selain untuk mengurangi resistensi terhadap kenaikan harga BBM, juga untuk mengalihkan perhatian dari pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22/2001.

Dalam pendekatan kedua, berbagai masalah yang terkait dengan pelaksanaan program kompensasi BBM cenderung dilihat sekadar sebagai masalah turunan. Perhatian terutama ditujukan pada kebijakan penghapusan subsidi BBM dan pada pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas.

Sebagai pihak yang sejak awal menolak kenaikan harga BBM dan pelaksanaan liberalisasi sektor migas, saya dengan sendirinya masuk ke dalam kelompok yang menganut pendekatan kedua. Sebab itu, heboh program kompensasi BBM bagi saya bukanlah peristiwa istimewa yang perlu dibesar-besarkan.

Membesar-besarkan masalah kompensasi BBM sama saja dengan masuk ke dalam perangkap pendekatan pertama. Walaupun demikian, tidak berarti saya tidak memiliki pandangan mengenai program kompensasi BBM.

Kenaikan harga BBM

Pertanyaannya, mengapa saya menolak kenaikan harga BBM? Berdasarkan data yang saya miliki, berbagai alasan keuangan yang dikemukakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM boleh dikatakan tidak ada satu pun yang dapat saya terima.

Simak, misalnya, implikasi kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional terhadap neraca pembayaran Indonesia. Sesuai data yang dikemukakan pemerintah dan Bank Indonesia, kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional ternyata lebih banyak menguntungkan daripada merugikan Indonesia.

Surplus transaksi ekspor-impor migas Indonesia, misalnya, tahun 2004 hanya 6,5 miliar dollar AS. Tahun 2005, sejalan dengan kenaikan harga minyak mentah, meningkat menjadi 9,8 miliar dollar AS. Tahun 2006, surplus transaksi ekspor-impor migas Indonesia diproyeksikan mencapai 7,5 miliar dollar AS.

Demikian pula dengan implikasi kenaikan harga minyak mentah terhadap peningkatan subsidi BBM. Sebagai negara produsen minyak, dengan asumsi volume konsumsi BBM setara dengan volume eksplorasi minyak, peningkatan yang terjadi pada sisi subsidi BBM dapat dipastikan akan diimbangi peningkatan serupa pada sisi penerimaan minyak.

Data yang tersedia secara jelas mengungkapkan itu. Perbandingan antara nilai penerimaan minyak dan subsidi BBM senantiasa mengalami surplus. Tahun 2004, surplus mencapai Rp 12,8 triliun, sedangkan tahun 2005, sebagaimana tercantum dalam APBN Perubahan I 2005, mencapai Rp 9,0 triliun. Yang paling sulit diterima adalah jika dibandingkan antara nilai tunai penghematan subsidi BBM dan beban pembayaran angsuran pokok dan bunga utang pemerintah.

Sesuai kesepakatan pemerintah dan DPR, nilai penghematan subsidi BBM setelah kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 110 persen ternyata tidak lebih dari Rp 24 triliun. Artinya, dengan asumsi bahwa sekurang-kurangnya setengah dari kebutuhan konsumsi BBM dipenuhi dari hasil eksplorasi minyak di dalam negeri, nilai tunai penghematan subsidi BBM sesungguhnya tidak lebih dari Rp 12 triliun.

Bandingkanlah nilai tunai penghematan subsidi BBM tersebut dengan beban pembayaran angsuran pokok dan bunga utang. Untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri, yang tidak lain merupakan subsidi terselubung terhadap beberapa bank papan atas tersebut, pemerintah menguras anggaran sebesar Rp 72 triliun.

Sedangkan untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang luar negeri, pemerintah menguras anggaran sebesar Rp 53 triliun. Dengan demikian, bila dijumlahkan, penghamburan anggaran untuk membiayai angsuran pokok dan bunga utang secara keseluruhan mencapai Rp 125 triliun. Angka itu sepuluh kali lebih besar dari penghematan subsidi tunai BBM sebesar Rp 12 triliun.

Liberalisasi sektor migas

Pertanyaan berikutnya, mengapa saya menolak pelaksanaan liberalisasi sektor migas? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya pengertian dan cakupan liberalisasi sektor migas dikemukakan secara ringkas.

Sebagaimana dikemukakan oleh UU Migas No 22/2001 walaupun kata liberalisasi tidak ditemukan secara eksplisit dalam UU tersebut ”yang dimaksud liberalisasi sektor migas dalam garis besarnya mencakup pelaksanaan beberapa agenda berikut.

Pertama, pengakhiran kedudukan PT Pertamina sebagai pemegang kuasa migas dan penyerahannya kepada Badan Pelaksana Migas dan Badan Pengatur Hilir Migas. Kedua, pengakhiran keberadaan PT Pertamina sebagai BUMN yang memiliki hak monopoli dalam penyelenggaraan sektor hilir migas serta pemecahannya menjadi beberapa perusahaan dengan badan hukum tersendiri.

Ketiga, penghapusan subsidi BBM dan pelepasan harga BBM ke mekanisme pasar. Keempat, pembukaan peluang bagi badan-badan usaha swasta, domestik dan asing, untuk berusaha di sektor hulu dan hilir migas.

Pelaksanaan keempat agenda liberalisasi sektor migas itu, dalam pandangan saya, tidak hanya berdampak pada semakin beratnya beban hidup rakyat atau pada meningkatnya ancaman terhadap ketahanan ekonomi nasional.

Secara konstitusional, pelaksanaan keempat agenda liberalisasi sektor migas itu jelas bertentangan dengan amanat Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Ayat (2) berbunyi, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sementara ayat tiga berbunyi, Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mencermati kenyataan tersebut, mudah dimengerti jika Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas membatalkan beberapa pasal dalam UU Migas No 22/2001. Artinya, jika MK pun sudah secara tegas menyatakan beberapa pasal dalam UU Migas No 22/2001 bertentang dengan konstitusi, tentu sulit dimengerti jika pemerintah tetap bersikeras memaksakan pelaksanaan UU tersebut.

Akibatnya, sebagaimana diketahui, Peraturan Presiden No 05/2005 yang menjadi dasar kenaikan harga BBM akhir September terpaksa ditegur oleh MK sebab tetap mengacu pada UU Migas No 22/2001 yang beberapa pasalnya telah dinyatakan batal demi hukum.

Kompensasi BBM

Karena kenaikan harga BBM tidak didukung alasan keuangan yang kuat dan karena pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas bertentangan dengan konstitusi, pemberian kompensasi BBM pun sesungguhnya tidak jelas pijakan berpikirnya. Ibaratnya, sebagai sebuah program, program kompensasi BBM sebenarnya sudah cacat sejak lahir.

Jika secara konstitusional program kompensasi BBM telah cacat sejak lahir, cacat operasionalnya menjadi mudah ditemukan. Pertama, secara substansial, program kompensasi BBM sebenarnya sama saja dengan program jaring pengaman sosial (JPS). Bedanya, JPS dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan agenda liberalisasi secara umum, sementara program kompensasi BBM dalam rangka pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas.

Kedua, program kompensasi BBM sebenarnya tidak tepat disebut sebagai program kompensasi. Dilihat secara medis, cacat yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM tergolong cacat permanen, sedangkan pelaksanaan program kompensasi BBM hanya bersifat insidental dengan jumlah anggaran terbatas.

Ketiga, terlepas dari proses penentuan sasarannya yang bersifat tergesa-gesa dan prosedur pemberiannya yang tidak didukung oleh kesiapan kelembagaan yang matang, kriteria yang dipakai dalam menetapkan anggota masyarakat yang berhak menerima kompensasi BBM cenderung bersifat arbiter dan tanpa alasan ilmiah yang kuat.

Sebuah program yang didasarkan atas motivasi yang salah tentu wajar apabila bermuara pada timbulnya kekacauan. Yang memprihatinkan, beberapa lembaga pemerintahan yang tidak tahu-menahu latar belakang dan motivasi pelaksanaan program itu, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), PT Pos, dan pemerintah daerah, turut pula jadi korban.

Revrisond Baswir Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sabtu, 22 Oktober 2005

Pemerintah Tergagap, Rakyat Miskin Megap-megap

Oleh Tweki Triardianto

Berbagai persoalan yang menyelimuti pembagian dana kompensasi BBM dalam bentuk dana bantuan langsung tunai membuktikan kekurangsigapan pemerintah dalam menangani permasalahan rakyatnya. Sebagian besar publik pun meragukan efektivitas kebijakan ini.

esimpulan semacam ini terekam dari jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 19-20 Oktober 2005. Kenaikan semua jenis bahan bakar minyak (BBM) rata-rata 125 persen memaksa sebagian masyarakat untuk menurunkan derajat kehidupannya.

Bantuan dari pemerintah dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) memang dikeluarkan bagi rakyat miskin. Namun, meskipun pemberian dana kompensasi secara langsung dalam bentuk uang tunai

sebesar Rp 100.000 per bulan itu dilakukan, tidak berarti persoalan selesai begitu saja.

Di mata sebagian besar publik, kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM sebenarnya telah melukai rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya. Tidak mengherankan jika 66 persen menyatakan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah selama ini belum banyak berpihak pada rakyat miskin.

Berbagai pandangan terekam dalam menyikapi persoalan ini. Dari aspek besaran nilai, misalnya, kebijakan pemerintah ini relatif kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harga barang- barang kebutuhan pascakenaikan BBM.

Tidak heran jika 83,9 persen responden menilai jumlah dana bantuan langsung tunai sebesar Rp 100.000 per keluarga miskin sangat tak memadai dan tak masuk akal dengan kondisi riil. Terlepas dari kenyataan itu, sebagai sebuah bantuan yang bersifat cuma-cuma, sudah tentu dana BLT merupakan bantuan yang ditunggu dan dinanti masyarakat.

Bahkan, tampak pula kecenderungan makin banyaknya orang yang mengaku miskin hanya sekadar untuk mendapatkan kupon dana bantuan. Kecenderungan semacam ini juga muncul dalam pengamatan masyarakat dalam mencermati kondisi di lingkungan tempat tinggalnya.

Dalam memandang keluarga miskin di lingkungannya, misalnya, 36,8 persen responden menyatakan keluarga miskin di lingkungannya ada yang tidak menerima dana BLT. Sebaliknya, yang mengejutkan, 17,1 persen responden di lingkungannya menemukan ada keluarga yang tergolong mampu secara materi namun menerima dana BLT.

Berdasarkan pernyataan responden tersebut bisa disimpulkan bahwa pengguliran dan pembagian dana BLT kepada masyarakat miskin tampaknya kurang sepenuhnya tepat mengenai sasaran. Hal demikian sangat serius ditanggapi oleh publik jajak pendapat kali ini.

Pernyataan 50,7 persen responden yang menyatakan bahwa penerima bantuan dana dianggap kurang sesuai dengan sasaran yang dituju itu sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah kurang optimal dalam mendeteksi rakyat miskin yang membutuhkan.

Di pihak lain, pengakuan 52,4 persen responden yang menyatakan bahwa keluarga atau saudaranya yang masuk kategori miskin namun hingga saat ini belum mendapatkan dana yang dijanjikan menunjukkan lambannya proses di lapangan.

Padahal, jika dilihat dari sisi wilayah, tiga dari empat responden menyatakan lokasi di mana masyarakat miskin mendapatkan dana BLT merupakan wilayah yang relatif mudah dijangkau.

Secara umum, kondisi seperti ini banyak terjadi di berbagai daerah. Persoalan yang terjadi tidak hanya terkait dalam persoalan-persoalan teknis seperti lambannya petugas atau distribusi dana yang tidak sampai kepada rakyat miskin yang benar-benar membutuhkan, akan tetapi sampai pada tahap pemotongan-pemotongan tidak resmi dana BLT.

Terjadinya korupsi yang dilakukan petugas di lapangan dalam menyalurkan dana bantuan ini sebenarnya sudah diprediksi publik. Hal ini diyakini oleh 71,5 persen responden bahwa petugas atau aparat yang terlibat dalam penyaluran dana tidak akan lepas dari penyalahgunaan wewenang.

Alasannya tidak berbelit, merujuk bahwa selama ini berbagai proyek distribusi bantuan di negeri ini tidak lepas dari kecenderungan penyalahgunaan. Oleh karena itu, bagi sebagian besar responden sulit menyikapi secara positif bahwa penyaluran bantuan sama sekali bebas dari praktik penyalahgunaan wewenang.

Yang tak kalah mengkhawatirkan, kekisruhan dalam proses pendataan, pembagian, maupun pemanfaatan turut pula memancing terjadinya segregasi dalam kehidupan masyarakat. Di kala kehidupan ekonomi makin sulit, kecurigaan terhadap penyalahgunaan pembagian dana menyulut api kemarahan massa sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini.

Di mata sebagian besar responden, kondisi semacam ini tentu bukanlah sebuah keinginan, namun kekhawatiran yang dalam beberapa tempat telah terbukti terjadi ini tidak dapat dipandang remeh.

Masih belum lekang dari ingatan mereka tampaknya berbagai kerusuhan sosial yang terjadi beberapa waktu lalu di berbagai penjuru negeri ini. Oleh karena itu, perhatian pemerintah terhadap penanganan ancaman dampak konflik horizontal ini amat dinantikan bagian terbesar dari responden.

Di sisi lain, publik juga menganggap persoalan memburuknya kondisi perekonomian, upaya memberikan bantuan kepada masyarakat miskin, maupun berbagai upaya yang dilakukan dalam penciptaan iklim ketenteraman kehidupan masyarakat bukanlah sepenuhnya dibebankan pada pemerintah yang berkuasa.

Segenap aktor dalam kepemimpinan negara memiliki peran dalam mengatasi problem rakyat semacam ini. Namun, di mata publik justru dalam hal inilah yang menjadi persoalan selama ini.

Terkait dengan kondisi rakyat miskin yang semakin terimpit pascakenaikan BBM, misalnya, mereka mengungkapkan penyesalan yang teramat besar terhadap kiprah para wakil rakyat.

Dua dari tiga responden menilai setelah kenaikan harga BBM yang diikuti kenaikan harga barang-barang kebutuhan, keterpurukan rakyat miskin tampaknya tidak lagi dipedulikan oleh para anggota dewan yang terhormat. Ironis memang.

Di tengah naiknya gaji dan pendapatan yang diterima anggota DPR, kinerja mereka justru lamban dalam mengkritik langkah pemerintah yang cenderung tidak peduli dengan kondisi rakyat miskin saat ini.

Upaya yang hendak dilakukan DPR melalui sidang paripurna guna mengkritik kebijakan BBM sebenarnya sempat mendapatkan apresiasi positif dari publik jajak pendapat. Namun, secara sadar pula 56,4 persen responden pesimistis sikap kritis akan berjalan dengan baik.

Penyesalan yang sama terhadap sikap para elite politik juga dilontarkan dalam memandang keberadaan para pimpinan partai-partai politik di negeri ini. Harapan terhadap kiprah para pimpinan partai, misalnya, ditanggapi secara dingin. Bahkan, 60,6 persen responden justru menyesalkan sikap mereka yang cenderung tidak peduli terhadap nasib rakyat miskin.

Meski sebagian sosok ketua dari partai politik tampak terlihat dalam kegiatan membantu meringankan kebutuhan pokok rakyat miskin, namun langkah-langkah kegiatan yang bersifat seremonial, seperti pembagian sembako, pasar murah tersebut tidak mempunyai aspek strategis yang berdampak positif bagi bagi rakyat miskin ke depan.

Merekam berbagai hasil jajak pendapat yang sebelumnya dilakukan, sebenarnya kecenderungan semacam ini bukanlah hal yang mengejutkan. Ketika bersentuhan langsung dengan upaya perbaikan kondisi masyarakat amatlah jarang terlihat partisipasi para pimpinan politik di negeri ini.

Namun, akan tampak berbeda jika masyarakat dihadapkan pada berbagai kepentingan politik sebagaimana halnya yang terjadi menjelang penyelenggaraan pemilu nasional maupun lokal. Membaca situasi semacam ini yang terus-menerus terjadi, tidak mengherankan jika sebagian besar responden meragukan berbagai niat dan menganggap selama posisi mereka tidak lebih sebagai obyek di negeri ini. (Litbang Kompas)

Sabtu, 22 Oktober 2005

Bantuan Tunai Tak Kurangi Penderitaan

Oleh Nur Hidayati

Tidak cukup menjadi miskin, mereka seakan-akan juga sedang dirangsang menjadi anarkis. Warga yang menyandang label miskin kecewa, cemburu, dan berada di ambang perpecahan dengan sesama yang

mendapat bantuan langsung tunai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak.

eragam potret menggambarkan kerunyaman itu. Di Kabupaten Tangerang, awal pekan ini, ratusan warga yang merasa berhak mendapat bantuan langsung tunai (BLT), tetapi tak terdata, merusak kantor kepala desa. Di Lombok, beberapa kantor desa/kelurahan dirusak warga sepanjang pekan lalu. Selain dirusak, ada pula kantor desa yang â€disegel†warga serta kepala desa dicari warga dengan membawa senjata � �tajam.

Di Kabupaten Bandung, warga yang tidak terdata sebagai penerima BLT sulit diajak kerja bakti atau berkontribusi demi kepentingan bersama di lingkungan tempat tinggalnya. Di berbagai kawasan, upaya warga memperoleh kartu identitas penduduk melonjak tinggi, tetapi bukan tanpa konsekuensi negatif karena motivasi pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) itu agar mendapatkan BLT.

Akibatnya, seperti terjadi di Bandung, ada warga yang mengancam, jika mereka tidak mendapat BLT, ketua RW mesti membayar utang untuk ongkos pembuatan KTP itu. Belum lagi, biaya pembuatan KTP di banyak tempat mendadak ikut melambung.

Penggunaan kriteria kemiskinan sebagai dasar skema kompensasi, menurut ekonom Dradjad Wibowo, memang kesalahan konseptual mendasar. Kerunyaman yang belakangan muncul seputar pemberian dana kompensasi sudah dapat diduga sebelum skema kompensasi itu dijalankan.

Kriteria kemiskinan yang antara lain dihitung berdasarkan konsumsi kalori adalah perhitungan yang amat teoretis dan tidak dapat diaplikasikan. Jumlah pendapatan juga bukan hitungan pasti karena banyak orang yang dikategorikan miskin berpendapatan tidak tetap. Kebanyakan mereka bekerja di sektor informal yang tidak menerapkan penggajian rutin.

Jumlah pendapatan itu sendiri batasan yang sangat sumir. Bisa terjadi hanya terpaut beberapa ratus rupiah saja seseorang tidak bisa didata sebagai penerima BLT. Akibatnya jelas akan selalu timbul friksi horizontal. Jangankan dalam masyarakat luas, antara kakak beradik saja perlakuan seperti itu bisa bikin masalah, kata Dradjad.

Senada dengan itu, psikolog sosial Sartono Mukadis menilai, sekadar angka statistik untuk mengukur penderitaan rakyat tidaklah bijaksana. Perhitungan statistik itu mengharuskan adanya lapisan masyarakat yang terkorbankan karena perbedaan pendapatan yang tidak signifikan. Masalahnya, lapisan masyarakat yang dikorbankan itu amat luas.

Kompensasi BBM mengingatkan saya pada gerakan Aku Cinta Rupiah-nya Mbak Tutut tahun 1998. Banyak pernik, gimmicks, kembangan, tetapi enggak jelas tujuan dan tolok ukur. Cuma program penghibur, katanya.

Pemberian BLT lebih terkesan berfungsi meredam gejolak sesaat. Ditambahkan Sartono, Kalau pelaksanaannya lancar, bagus. Tetapi, kalau pelaksanaan enggak lancar, ada bagusnya juga. Kesemrawutan seperti yang terjadi sekarang bisa menggeser isu dari kenaikan BBM itu sendiri. Moga-moga prasangka saya salah, tetapi saya melihat seperti itu.

Reaktif

Kesemrawutan di sana-sana menunjukkan kenyataan berkebalikan dengan pernyataan pemerintah bahwa kenaikan harga BBM dan kompensasi sudah terencana dan dipersiapkan dengan baik. Pemberian kompensasi ini lebih tampak sebagai tindakan reaktif yang tidak terencana dengan baik. Seakan-akan kebijakan dibuat dan dilaksanakan, sementara dampak dan reaksi masyarakat atas kebijakan itu dihitung belakangan.

Menurut Drajad, kenaikan harga BBM yang terburu-buru dan pemberian kompensasi yang tidak terencana serta tidak dipersiapkan dengan rapi merupakan kesalahan kebijakan yang luar biasa. Ada kontribusi kesalahan DPR yang mendesak adanya kompensasi dan menyetujui kenaikan BBM, terutama kalangan anggota DPR yang pebisnis, karena beban kenaikan BBM itu ditanggung rakyat, mereka tidak

ikut merasakan kata anggota Komisi XI DPR ini geram.

Selama masyarakat belum disiapkan dengan baik, antara lain melalui pembenahan pendataan, Dradjad menilai pemerintah belum layak menaikkan harga BBM. Kalau saja pendataan yang komprehensif sudah mulai dilakukan Maret 2005, diprediksikan Maret 2006 masyarakat sudah lebih siap dan barulah pemerintah mempunyai legitimasi menaikkan harga BBM.

Dengan sistem pemberian kompensasi yang kini berjalan, Dradjad berpendapat tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan. Koreksi pendataan, pengetatan, dan pengawasan mekanisme penyampaian BLT tidak akan mengatasi kesalahan konseptual yang terjadi, yakni kriteria kemiskinan yang hanya tepat diaplikasikan di atas kertas tersebut.

Angka kemiskinan selama ini diperoleh melalui pendataan berulang-ulang oleh beragam institusi untuk kepentingan masing-masing, dengan hasil yang tidak seragam pula. BPS melakukan pendataan penduduk untuk pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. BPS juga menggelar sensus penduduk. Pendataan yang antara lain menghitung jumlah penduduk miskin juga dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Masih ada lagi pendataan untuk asuransi kesehatan, pajak, dan lain-lain.

Pendataan yang ada itu buang-buang uang dan tidak komprehensif. Lebih baik dikembangkan social security system yang berbasis pada single identification number (nomor identifikasi tunggal). Setelah ada identifikasi tunggal, kompensasi diberikan dengan kriteria yang lebih kasat mata, misalnya untuk buruh tani, pengangguran, nelayan, kata Dradjad.

Pendataan pun disarankan Dradjad tidak dilakukan oleh pemerintah, melainkan orang yang ingin dan merasa perlu mendapat subsidi mendaftarkan diri dengan membawa bukti diri. Dengan sistem identifikasi penduduk yang sudah lebih dulu dibenahi, kondisi riil orang tersebut akan lebih mudah diverifikasi.

Sistem pendataan penduduk yang sudah akurat juga memungkinkan monitoring dan evaluasi dilakukan.

Lagi pula, memberi Rp 100.000 per bulan itu tidak banyak membantu mereka berkembang, tetapi dilihat secara nasional nilai uangnya besar. Bukankah lebih baik digunakan untuk menggerakkan ekonomi rakyat dengan kegiatan produktif yang benar-benar menyentuh mereka. Atau benar-benar membebaskan biaya kesehatan dan biaya sekolah anak, kata Sartono.

Meringankan penderitaan rakyat juga tidak cukup dilakukan dengan bagi-bagi uang. Masyarakat perlu melihat upaya nyata pemerintah berempati dengan beban berat rakyat.

Saya ngeri pejabat-pejabat kita cuma melatih kemampuan verbal untuk berkilah saja. Bukan saja tidak punya dasar kuat untuk kebijakan yang diambil, mereka juga tidak punya akar ke bawah. Menteri-menteri kita adalah menteri parpol , digerakkan uang, tak mampu berempati, kecerdasan sosialnya rendah, kata Sartono soal pernyataan sejumlah pejabat negara yang amat meremehkan penderitaan rakyat.

Kondisi masyarakat yang tengah tertekan saat ini diumpamakan Sartono seperti berada dalam kolam dengan air yang sudah hampir setinggi mulut. Percikan sedikit saja bisa menenggelamkan. Dalam kondisi demikian, lebih baik melubangi bagian bawah kolam untuk mengurangi airnya daripada menimba dari atas yang berpotensi memercikkan air.

Artinya, lebih baik para menteri itu jangan omong apa-apa yang hanya akan bikin rakyat lebih tersakiti, tetapi berkreasi nyata untuk mengurangi penderitaan rakyat, kata Sartono menegaskan.

Empati yang secara psikologis mengurangi penderitaan rakyat itu bisa tercermin dalam apa saja. Tidak membuat pesta pernikahan anak yang mewah, menggunakan katering rakyat untuk perhelatan pejabat negara, menganjurkan pegawai golongan atas naik kendaraan umum, atau beragam sikap lain.

Rakyat tidaklah buta untuk mengetahui apakah dengan tulus pemerintah berpihak pada mereka atau sebaliknya.

Sabtu, 22 Oktober 2005

BLT, Lahir dari Kecemasan Pemerintah

Oleh Sri Hartati Samhadi

Kekisruhan dalam penyaluran subsidi langsung tunai bagi rakyat miskin sebagai kompensasi kenaikan harga BBM sekarang ini, tidak hanya menuai banyak protes dan kritik dari masyarakat dan pengamat. Bappenas sebagai penggodok konsep program dan Badan Pusat Statistik sebagai pendata dan pelaksana pun ikut gusar.

ebagai sebuah program, Bank Dunia menilai eksperimen subsidi atau bantuan langsung tunai (BLT) di Indonesia tidak main-main. Ini adalah program BLT terbesar di dunia yang pernah ada karena menyangkut lebih dari 60 juta jiwa. Jadi, pantas kalau sejak awal lembaga ini sudah waswas, apalagi jika mengingat nasib program-program kompensasi kenaikan BBM sebelumnya.

Deputi Menneg PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah Bambang Widianto sendiri mengakui, masih banyak kelemahan dalam pelaksanaan program BLT, mulai dari tahap pencacahan, penetapan kriteria kemiskinan, hingga pembagian kartu dan pembagian dananya.

Selain lemahnya sosialisasi dan tekanan luar biasa yang dihadapi petugas di lapangan, konsep BLT itu sendiri diakui disusun secara terburu-buru karena alasan waktu. Sementara, pada saat itu pemerintah juga tak mau terkesan seolah-olah tak berbuat apa-apa.

Di sini, baik Bappenas maupun BPS juga merasa diperlakukan tak adil. Pemberitaan selama ini, menurut mereka, cenderung hanya menyoroti masalah yang terjadi di lapangan, sementara 95 persen yang sudah berjalan baik dan dananya sudah dinikmati masyarakat luput dari perhatian.

Kesan yang muncul sekarang ini, menurut Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Sosial Rusman Heriawan, seolah-olah sudah terjadi kemelesetan target, penyimpangan, dan rekayasa data di lapangan dalam skala besar-besaran sehingga yang diperlukan adalah pencacahan ulang.

Padahal, menurut dia, yang tidak kena sasaran sebenarnya hanya sekitar 1 persen, sementara masyarakat miskin yang berhak mendapatkan BLT tetapi belum terdata sekitar 4 persen. Terhadap yang salah sasaran itu pun sudah dilakukan penarikan kembali kartu yang sudah telanjur diberikan. Untuk yang belum terdata, pemerintah masih membuka kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan pengaduan atau mendaftarkan diri hingga 31 Oktober nanti.

Dari semua data yang masuk tersebut, selanjutnya akan dilakukan verifikasi ulang untuk mengecek apakah benar yang bersangkutan memang layak atau tidak. Mengenai adanya BLT yang salah sasaran atau keluarga miskin (gakin) yang luput terdata, Rusman mengatakan, bisa jadi itu diakibatkan oleh adanya perbedaan persepsi dari para petugas pendata di lapangan.

Untuk pencacahan gakin kali ini, BPS mengerahkan 210.000 tenaga. Mereka ini adalah tenaga sukarelawan, yang hanya dibayar Rp 3.000-Rp 4.000 untuk setiap keluarga yang dicacah.

Tenaga pendata ini lebih ditekankan pada partisipasi masyarakat. Jadi, BPS tidak turun tangan sendiri secara langsung, tetapi hanya merekrut orang- orang yang punya latar belakang berbeda-beda. Mereka ini direkomendasikan kepala desa atau lurah setempat. Dengan latar belakang pendata yang berbeda-beda, bisa jadi secara konsep persepsinya juga menjadi berbeda. Sehingga, menangkap keluarga miskin di lapangan juga bisa berbeda, ujar Rusman.

Kriteria mereka yang berhak menerima BLT meliputi masyarakat sangat miskin, miskin, dan mendekati miskin (near poor) berdasarkan definisi konsumsi kalori atau pengeluaran. Jumlah mereka yang berhak mendapat BLT ini mencapai 62 juta orang (15,5 juta KK) atau 28 persen dari total jumlah penduduk. Oleh BPS, kriteria rumah tangga miskin ini dirinci lagi menjadi 14 variabel yang diperoleh dari hasil kajian

selama bertahun-tahun.

Namun, meskipun yang near poor sudah di-cover, di lapangan jumlah orang yang mendaftar di posko ternyata terus membengkak. Euforia kemiskinan membuat banyak orang mendadak merasa miskin atau jatuh miskin pascakenaikan harga BBM. Membengkaknya jumlah orang miskin ada juga yang disebabkan oleh adanya petugas pendata atau aparat desa yang nakal, yang dengan sengaja memasukkan anggota keluarga atau kerabatnya yang sebenarnya tidak miskin.

Apalagi, sebelum pencacahan dilakukan, sejumlah pejabat tinggi negara di media massa sudah berkoar-koar bahwa pemerintah akan memberikan bantuan Rp 2,5 juta bagi setiap rumah tangga miskin sebagai kompensasi kenaikan harga BBM dan Presiden sendiri sudah wanti-wanti jangan sampai ada satu rumah tangga miskin pun yang terlewat.

Rusman mencontohkan, ada satu kabupaten di mana jumlah gakin yang terdaftar di BPS 22.000 kepala keluarga (KK). Ternyata, pada saat pendataan angka ini membengkak menjadi 48.000 KK, dengan tambahan gakin baru 26.000 KK. Ini tak masuk akal. Apa ya betul, petugas BPS begitu fatalnya bisa luput 26.000 KK, ujarnya.

Jika mereka semua itu dituruti, angka 15,5 juta KK yang dipatok sebelumnya akan melenceng jauh. Oleh karena itu, Rusman dan Bambang mengatakan pemerintah harus tegas. Selain menyangkut aspek keadilan dan besar alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah, data direktori orang miskin hasil pencacahan sekarang ini akan menjadi dasar bagi pembayaran BLT tahap-tahap selanjutnya dan sebagai dasar dalam penyusunan data base orang miskin yang nantinya akan menjadi acuan bagi semua pemangku jabatan di negeri ini.

Artinya, kalau data yang sekarang tak akurat, segala kebijakan atau program yang mendasarkan pada statistik ini juga tidak akan tepat sasaran juga.

Gugatan lain pengamat dan masyarakat selama ini diarahkan pada jumlah BLT sebesar Rp 100.000/KK/bulan. Angka itu dinilai sangat kecil dibandingkan kenaikan harga BBM dan sangat tidak memadai untuk mencegah meningkatnya angka kemiskinan akibat kenaikan harga BBM.

Menanggapi ini, Bambang dan Rusman mengatakan, tujuan dari program BLT memang bukan untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi menjaga agar daya beli atau kesejahteraan masyarakat miskin tidak menurun karena adanya kenaikan harga BBM.

Angka Rp 100.000/KK/bulan diperoleh dengan menghitung dampak langsung dan dampak ikutan (multiplier effect) dari kenaikan harga minyak mentah terhadap kelompok miskin. Asumsinya, konsumsi minyak mentah kelompok miskin adalah 10 liter/KK/bulan. Dengan harga minyak tanah naik dari Rp 700 menjadi Rp 2.000 per liter, berarti pengeluaran keluarga miskin untuk minyak tanah naik Rp 13.000/KK/bulan. Itu dampak langsung kenaikan harga BBM.

Sementara dampak tak langsung berupa kenaikan harga-harga barang atau jasa lain diukur dari kenaikan angka inflasi. Asumsinya, kenaikan harga BBM menyebabkan inflasi naik menjadi 12 persen. Inflasi ini menyebabkan pengeluaran keluarga miskin meningkat sebesar 12 persen x Rp 600.000 (pengeluaran rata-rata keluarga miskin per bulan), atau Rp 72.000 untuk jumlah barang atau jasa yang sama dengan sebelumnya.

Jadi kalau kita kasih Rp 100.000 per bulan sudah cukup karena kalau dijumlah dampak kenaikan harga BBM hanya Rp 85.000 (Rp 13.000 + Rp 72.000), ujar Bambang.

Kesannya, memang menjadi seperti sangat menggampangkan persoalan. Sebab, di lapangan kenaikan biaya yang harus ditanggung kelompok miskin akibat kenaikan harga BBM jauh lebih besar dari sekadar Rp 100.000. Bahkan, Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi Sarwono di sela suatu diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu mengakui, prediksi pesimistis BI tidak menutup kemungkinan inflasi tahun ini akan mencapai 17 persen.

Kemungkinan inflasi menembus 17 persen itu cukup terbuka, mengingat tidak sedikit dari harga atau tarif barang-barang dan jasa-jasa yang dikendalikan oleh pemerintah sekarang ini naik melampaui angka yang ditetapkan pemerintah.

Contoh paling mudah adalah tarif angkutan. Pemerintah menetapkan kenaikan tarif angkutan maksimal 20 persen, tetapi di sejumlah kota tarif angkutan naik hingga di atas 30 persen. Belum lagi harga-harga barang-barang atau jasa lain yang dilepas ke mekanisme pasar. Untuk minyak tanah sendiri, faktanya harga yang harus dibayar rakyat bisa jauh di atas Rp 2.000 per liter. Mengenai hal ini, Bambang mengatakan, tidak semua barang yang mengakibatkan inflasi itu dikonsumsi masyarakat miskin.

Kalaupun inflasi sampai 15 persen, itu juga baru Rp 90.000, ujarnya. Artinya, dengan inflasi hingga 15 persen sekalipun, penurunan kesejahteraan masyarakat miskin, menurut dia, masih bisa ditahan dengan adanya subsidi langsung tunai sebesar Rp 100.000/KK/bulan.

Namun, hal berbeda diungkapkan oleh Rusman yang melihat, dengan kenaikan harga BBM di atas 100 persen, BLT Rp 100.000/KK/bulan itu sangat berat untuk bisa menopang tujuan awal program ini, yakni mempertahankan keadaan masyarakat miskin pada posisi sebelum kenaikan harga BBM.

Ini terutama jika dampak kenaikan harga BBM itu berkepanjangan. Dari pengalaman kenaikan harga BBM Maret lalu, dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi akan hilang dalam waktu tiga bulan. Namun, dampak kenaikan harga BBM bulan Oktober sebesar 87,5-185,7 persen tidak bisa diperbandingkan dengan kenaikan Maret yang rata-rata hanya 29 persen. Belum lagi dampak psikologis. Apalagi, kenaikan harga BBM bulan Oktober itu terjadi dalam situasi menjelang hari raya Idul Fitri.

Kendala waktu

Mengenai kritik bahwa pemerintah tak kreatif, atau mengapa dipilih BLT dan bukan program lain seperti padat karya, Bambang mengatakan, selain BLT sudah ada beberapa program lain sebagai kompensasi BBM, yakni program beasiswa pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur dasar pedesaan.

Selama ini pemerintah telah mengucurkan banyak dana untuk ketiga program yang penekanannya lebih pada sisi suplai ini. Namun, kenyataannya, tetap saja banyak masyarakat miskin yang tidak bisa mengakses. Untuk memperbaiki kondisi itu, pemerintah mengeluarkan program BLT yang langsung menyentuh ke sisi permintaan. Akan tetapi, banyak pihak yang mengkritik program ini tak mendidik dan menciptakan ketergantungan baru karena sifatnya lebih memberikan ikan daripada kail.

Hal ini diakui oleh Bambang. Menurut dia, program BLT yang sekarang ini sifatnya memang unconditional cash transfer (UCT-bantuan tunai tanpa syarat). Ibaratnya, bantuan ini mau dipakai untuk apa, terserah. Kasarnya, untuk beli togel, minuman keras, rokok, atau narkoba, juga boleh. Menurut Bambang, konsep BLT itu memang disusun dalam kondisi terburu-buru.

Waktu itu pilihan yang dimiliki pemerintah tak banyak. Harga minyak mentah di pasar dunia terus naik cepat. Kita tak punya waktu lagi untuk mendesain sistem yang lebih baik. Jadi ada constrain waktu. Pemerintah juga takut terlihat tak berbuat apa-apa. Akhirnya diputuskan, ya sudah kita buat dulu subsidi tunai tanpa syarat. Nanti semua akan kita evaluasi, ujarnya.

Evaluasi itu sangat penting, terutama terkait dengan rencana pemerintah untuk mengubah skema subsidi langsung tanpa syarat yang sekarang ini menjadi subsidi langsung bersyarat (conditional cash transfer/CCT). Artinya, nantinya pemberian bantuan akan dikaitkan dengan komitmen penerima untuk menyekolahkan anak, memperbaiki nutrisi, atau membawa anak balitanya ke pemeriksaan rutin kesehatan, seperti diterapkan negara-negara Amerika Latin.

Berbeda dengan subsidi tunai tak bersyarat, subsidi bersyarat ini tidak hanya mengatasi satu dimensi kemiskinan, yakni konsumsi, tetapi juga kesehatan, pendidikan, dan pelayanan dasar lain. Untuk kail-nya, bantuan ini juga akan dikaitkan dengan status pekerjaan si penerima.

Persiapan ke arah sana sedang dilakukan. Jadi UCT yang sekarang ini akan dilanjutkan dengan CCT,

bahkan diharapkan CCT bisa dimulai lebih cepat, kalau bisa pada pembayaran ketiga sudah bisa diterapkan. Untuk itu diperlukan data yang jauh lebih complicated dari yang sekarang ini ada, ujar Bambang. CCT itu sendiri akan menjadi dasar bagi pengembangan suatu sistem jaminan sosial yang terpadu secara nasional seperti yang dimiliki negara-negara maju.