Ver Siku

3
Renungan Sutra Halus dan Emas Mereka tak lemah lembut. Dan mengapa mereka harus lemah lembut? Pada intinya, mereka tak mengharapkan wanita itu hidup sampai lewat pagi berikutnya. Tangan-tangan yang menarik sisir gading untuk menyisir rambut setengah pinggang Shahrzad dan menggosok lengan perunggunya dengan olesan kayu cendana mengerjakan semua pekerjaan itu dengan kasar. Shahrzad memperhatikan seorang dayang yang mengelap pundak terbukanya dengan serpihan emas yang memancar begitu cahaya matahari terbenam menyorotinya. Angin berhembus kencang melewati lipatan tirai sutra halus dinding kamar. Aroma wangi dari buah jeruk mekar menyebar sampai ke sekat pahatan hingga ke teras, membisikan kebebasan di luar jangkauan. Ini pilihanku. Ingat Shiva. “Aku tak ingin memakai kalung,” ucap Shahrzad ketika dayang satunya mengikatkan sebuah kalung binatang raksasa bertatahkan permata di sekitar lehernya. “Perhiasan ini hadiah dari khalifah. Anda semestinya memakainya, ratuku.” Shahrzad menatap dayang kurus itu dengan rasa geli tidak percaya. “Jika aku tak mau? Apa dia akan membunuhku?” “Hamba mohon, ratuku, hamba--” Shahrzad mengeluh. ”Aku rasa sekarang bukan waktunya membahas hal ini .” “Benar, ratuku.” “Namaku Shahrzad.”

description

tentang penerjemahan

Transcript of Ver Siku

Page 1: Ver Siku

Renungan Sutra Halus dan Emas

Mereka tak lemah lembut. Dan mengapa mereka harus lemah lembut?

Pada intinya, mereka tak mengharapkan wanita itu hidup sampai lewat pagi berikutnya.

Tangan-tangan yang menarik sisir gading untuk menyisir rambut setengah pinggang Shahrzad dan menggosok lengan perunggunya dengan olesan kayu cendana mengerjakan semua pekerjaan itu dengan kasar.

Shahrzad memperhatikan seorang dayang yang mengelap pundak terbukanya dengan serpihan emas yang memancar begitu cahaya matahari terbenam menyorotinya.

Angin berhembus kencang melewati lipatan tirai sutra halus dinding kamar. Aroma wangi dari buah jeruk mekar menyebar sampai ke sekat pahatan hingga ke teras, membisikan kebebasan di luar jangkauan.

Ini pilihanku. Ingat Shiva.

“Aku tak ingin memakai kalung,” ucap Shahrzad ketika dayang satunya mengikatkan sebuah kalung binatang raksasa bertatahkan permata di sekitar lehernya.

“Perhiasan ini hadiah dari khalifah. Anda semestinya memakainya, ratuku.”

Shahrzad menatap dayang kurus itu dengan rasa geli tidak percaya.

“Jika aku tak mau? Apa dia akan membunuhku?”

“Hamba mohon, ratuku, hamba--”

Shahrzad mengeluh. ”Aku rasa sekarang bukan waktunya membahas hal ini.”

“Benar, ratuku.”

“Namaku Shahrzad.”

“Hamba tahu, ratuku.” Dayang itu sekilas pergi dengan tidak senang sebelum beralih membantu Shahrzad memakaikan mantelnya yang keemasan. Sementara dua dayang memudahkan pakaian berat itu masuk ke pundaknya yang mengkilap, Shahrzad mengamati pakaian yang sudah jadi itu dalam cermin di depannya.

Rambut kepangan tengah malamnya bersinar bagaikan polesan batu obsidian1, dan kedua mata kecoklatannya dirias silih bergantian menggunakan elusan kohl2 hitam dan emas cair. Di tengah-tengah keningnya tergantung rubi berbentuk tetesan air mata seukuran ibu jari nya; rubi satunya menggantung di rantai tipis yang melingkari pinggang terbukanya, dan menyentuh ikat pinggang sutra di celana panjangnya. Mantelnya pun dari kain sutera kelabu dan dari benang perak dan emas dengan pola rumit yang menjadi pola tak teratur pada mantelnya seperti melebar di kakinya.

Aku terlihat seperti seekor merak emas.

Page 2: Ver Siku

“Apa mereka lihat pakaian ini menggelikan?” tanya Shahrzad

Sekali lagi, dua dayang itu menghindari tatapan Shahrzad dengan cemas.

Aku yakin Shiva tidak melihat pakaian ini dengan menggelikan.

Ekpresi Shahrzad menegas.

Shiva akan tampak cantik. Cantik dan kuat.

Kuku nya mencengkram telapak tangannya; membentuk sabit kecil karena tekad bajanya.

Terdengar suara ketukan halus dari balik pintu, ketiganya menoleh—menahan nafas bersamaan.

Dibalik keberaniannya yang baru muncul, hati Shahrzad mulai terhantam mendengar ketukan itu.

“Apa aku boleh masuk?” Suara lembut ayahnya memecah keheningan, terdengar memohon dan meminta pengampunan dalam diam.

Shahrzad menghembuskan nafas pelan….dengan hati-hati

“Baba, apa yang engkau lakukan di sini?” Kata-katanya begitu tenang, namun berhati-hati

Jahandar al-Khayzuran masuk ke dalam kamar. Janggut dan pelipisnya dipenuhi oleh warna putih, dan beribu-ribu warna di mata kecoklatannya memancarkan cahaya dan berubah-ubah bagaikan lautan di tengah badai.

Ia genggam setangkai bunga mawar, di tengahnya meresap warna, dan ujung kelopaknya berwarna ungu muda kemerahan.

“Di mana Irsa?” tanya Shahrzad, kegelisahan tampak di nada suaranya.

Ayahnya tersenyum sedih, “Dia ada di rumah. Aku tidak mengijinkannya ke sini, walau dia meronta dan mengamuk sampai saat aku benar-benar akan pergi.”

Setidaknya dalam hal ini dia tidak menolak permintaanku.

“Engkau harus bersamanya. Dia membutuhkanmu malam ini. Kumohon, lakukan ini untukku, Baba? Seperti yang sudah kita bicarakan?” Dia beranjak dan memegang tangan ayahnya, memegangnya erat, memohon dalam genggaman itu agar ayahnya menuruti rencana yang sudah ia canangkan sebelumnya.

“Aku-aku tak bisa, anakku.” Jahandar menundukkan kepalanya, isakan muncul dari dadanya, pundak kurusnya bergetar dalam kesedihan. “Shahrzad—“

“Kuatlah! Untuk Irsa, aku janji padamu, semuanya akan baik-baik saja.”

Shahrzad menangkupkan telapak tangannya ke muka keriput ayahnya dan menyeka air mata dari pipi ayahnya.

Page 3: Ver Siku

“Aku tak bisa. Memikirkan hari ini mungkin kali terakhirmu melihat matahari terbenam---”

“Hari ini tidak akan menjadi yang terakhir. Aku akan melihat matahari terbenam esok. Aku sungguh-sungguh berjanji padamu, Baba.”