venenata

22
PRESENTASI KASUS DERMATITIS VENENATA Disusun Oleh : Ida Aisyah FK UPN Veteran Jakarta (0920221203) Eko Sandy Sinaga FK UPN Veteran Jakarta (0920221207 ) Dipresentasikan tanggal 28 Maret 2011

description

venenata

Transcript of venenata

Page 1: venenata

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS VENENATA

Disusun Oleh :

Ida Aisyah FK UPN Veteran Jakarta (0920221203)

Eko Sandy Sinaga FK UPN Veteran Jakarta (0920221207 )

Dipresentasikan tanggal 28 Maret 2011

KEPANITERAAN DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

JAKARTA

2011

Page 2: venenata

STATUS PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

DEPARTEMEN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSPAD GATOT

SOEBROTO

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 30 tahun

Alamat : Asrama rindam

Pekerjaan : PNS

Agama : Islam

Tanggal pemeriksaan : 24 Maret 2011

II. ANAMNESIS

Diambil dari Autoanamnesis tanggal 24 Maret 2011

Keluhan Utama: Bercak kemerahan yang disertai rasa gatal pada daerah bawah

hidung sebelah kanan

Keluhan Tambahan

Bercak kemerahan disertai rasa gatal pada lengan bawah sebelah kiri

disertai adanya gelembung kecil berisi cairan

Riwayat Penyakit Sekarang:

Satu hari yang lalu, saat bangun tidur pasien melihat timbul bercak

kemerahan disertai rasa gatal di daerah bawah hidung sebelah kanan. Beberapa

jam kemudian pasien merasakan adanya gelembung kecil berisi cairan yang

kemudian bertambah banyak sampai membentuk susunan berbentuk garis

lurus dengan dasar kemerahan. Kurang lebih 12 jam yang lalu pasien

2

Page 3: venenata

merasakan melenting disertai rasa panas dan nyeri. Pasien juga mengaku

menggaruk daerah tersebut akibat rasa gatal yang dirasakan. Saat ini pasien

juga mengeluhkan adanya satu buah gelembung kecil berisi cairan di lengan

bawah sebelah kiri dengan dasar kemerahan. Pasien menyangkal adanya

riwayat alergi. Kurang lebih 6 bulan yang lalu pasien mengaku pernah

mengalami hal yang sama di wajah, kemudian berobat dan sembuh setelah

diberi salep sesuai resep dokter.

Riwayat Penyakit Dahulu : -

Riwayat Penyakit Keluarga : -

III. STATUS GENERALIS

Keadaaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : compos mentis

Keadaan gizi : baik

Vital Sign : Tekanan darah : 120/70 mmHg

Nadi : 68 x/menit

Pernafasan : 19 x/menit

Suhu : afebris

Kepala : Normocephale, rambut hitam dan terdistribusi merat

Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Wajah : Terdapat bercak-bercak kemerahan tersusun

linier di maxilla dextra

THT : Tidak dilakukan pemeriksaan

Leher : Pembesaran KGB (-)

Toraks : Simetris dalam statis dan dinamis

Jantung : Bunyi jantung I dan II normal, gallop (-),

murmur (-)

Paru : Vesikular +/+, ronki -/-, wheezing -/-

Abdomen : Inspeksi : Datar

Palpasi : Massa (-), hati dan limpa tidak

membesar, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

3

Page 4: venenata

Ektremitas : Terdapat sebuah vesikel dengan dasar eritema di

lengan bawah sebelah kiri

IV. STATUS DERMATOLOGIKUS

Lokasi I : Regio Maxilla dextra

Effloresensi :Terdapat erosi dan krusta, dengan dasar eritematosa

berbatas tidak tegas, dan tersusun linier.

Lokasi II : Regio antebrachii sinistra

Effloresensi : Terdapat sebuah vesikel dengan dasar eritematosa,

berbatas tidak tegas dengan diameter ± 0,3cm

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada

4

Page 5: venenata

VI. RESUME

Pasien Ny.E, usia 30 tahun datang dengan keluhan terdapat timbul

bercak kemerahan disertai rasa gatal, panas dan nyeri di daerah bawah hidung

sebelah kanan, saat bangun tidur, satu hari yang lalu sebelum berobat ke

rumah sakit. Disertai rasa panas dan nyeri di daerah itu. Pasien juga

mengeluhkan adanya satu buah gelembung kecil berisi cairan di lengan bawah

sebelah kiri Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada

pemeriksaan status dermatologikus ditemukan erosi dan krusta, dengan dasar

eritematosa berbatas tidak tegas, dan tersusun linier pada regio maxilla dextra

dan sebuah vesikel dengan dasar eritematosa, berbatas tidak tegas dengan

diameter ± 0,3cm pada regio antebrachii sinistra.

VII. DIAGNOSA KERJA

Dermatitis venenata

VIII. DIAGNOSIS BANDING

1. Dermatitis iritan

IX. PEMERIKSAAN ANJURAN

Uji tempel

X. PENATALAKSANAAN

a. Non farmakologis

1. Pencucian sesegera mungkin area yang terpapar agen iritan

2. Edukasi pada pasien cara mengurangi risiko terpapar, seperti dengan

menghindari agen iritan

b. Farmakologis

Kortikostreoid topikal; hidrokortison acetate, oleskan tipis pada tempat

yang sakit 2-4 kali sehari

XI. PROGNOSIS

5

Page 6: venenata

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

DERMATITIS VENENATA

Definisi

Dermatitis venenata adalah peradangan kulit yang berasal dari eksternal. Iritasi

eksternal tersebut yang dikenal dengan racun.1 Istilah lama "dermatitis

venenata, "menandakan" sebuah iritasi kulit akibat racun", secara bertahap diganti

dengan penunjukan lebih akurat, dermatitis kontak, atau erupsi akibat kontak dengan

beberapa substansi, yang belum tentu racun. Hal ini harus dipahami dengan jelas di

awal bahwa dermatitis kontak, sementara kadang-kadang disebut sebagai "alergi

kontak", sama sekali tidak berhubungan dengan alergi atopik, yang merupakan suatu

yang diwariskan, cenderung untuk menjadi tersensititasi terhadap protein asing.2

Etiologi

Ratusan zat kimia, hewan, atau sayuran alam mampu menghasilkan erupsi tipe

ini. Paparan yang terjadi menyebabkan erupsi apabila mengenai individu yang rentan

terhadap iritasi tertentu.

Bahan yang menyebabkan iritasi selain dari racun antara lain, adalah pewarna

rambut, pewarna yang digunakan dalam bulu dan pakaian, dan bahan kimia seperti

formaldehida, bichloride merkuri, lysol antiseptik dan lainnya, dan sabun yang kuat.1,2

Patofisiologi

Seperti yang telah disebutkan, kerentanan individu merupakan faktor penting

dalam menghasilkan suatu erupsi. Di mana seorang individu dapat menggunakan

bahan-bahan itu tanpa menimbulkan erupsi, sedang pada individu lain menyebabkan

erupsi walaupun hanya dengan sedikit paparan.1

Karena secara definisi dermatitis venenata merupakan dermatitis kontak alergi, maka

patofisiologi disini kami mengikuti dermatitis kontak alergi. Ada dua fase untuk

menimbulkan dermatitis kontak alergi:3

1. Fase primer ( induktiflafferen ), yaitu penetrasi bahan yang mempunyai berat

molekul kecil ( hapten ) ke kulit. Yang kemudian berikatan dengan karier protein

6

Page 7: venenata

di epidermis. Komponen tersebut akan disajikan oleh sel langerhans ( LCs ) pada

sel T. Dikelenjar limfe regional, komplek yang terbentuk akan merangsang sel

limfosit T di daerah parakorteks untuk memperbanyak diri dan berdiferensiasi

menjadi sel T efektor dan sel memori. Terbentuklah sel T memori yang akan

bermigrasi ke kulit,peredaran perifer, dll.

2. Fase sekunder ( eksitasileferen ), yaitu perjalanan hapten pada individu yang telah

tersensitasi, sehingga antigen disajikan lagi oleh sel langerhans ke sel T memori

dikulit dan limfe regional. Kemudian terjadi reaksi imun yang menghasilkan

limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan perantara sel T, karena lepasnya bahan-

bahan limfokin dan sitokin. Terjadinya reaksi ini maksimum 24 - 48 jam. Setelah

pemajanan alergen pada kulit, antigen tersebut secara imunologi ditangkap oleh

sel langerhans ( sel penyaji antigen ), kemudian diproses dan disajikan kepada

limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas 2. Sel langerhans dan keratinosit

akan menghasilkan interleukin 1 ( limphocyte aktivating factor ) dan sel

langerhans akan mengalami perubahan morfologis menjadi sel langerhans yang

aktif sebagai penyaji sel ( APCs ). Sel ini akan bergerak kekulit di dermis,

parakortikal, kelenjar limfe. Sel langerhans menyajikan dalam bentuk yang sesuai

dengan HLA DR dengan reseptor HLA DR yang dimiliki oleh sel limfosit T.

APCs lain seperti sel monosit dan makrofak hanya dapat merangsang sel T

memori, tidak dapat mengaktifkan sel T yang belum disensitasi. Pada fase eferent

ini sel TH1 terletak di sekitar pembuluh darah kapiler di dermis. Selain itu, sel

limfosit T itu harus diaktifkan oleh interlukin I yang dihasilkan oleh sel

langerhans dan sel keratinosit. Dan sel T ini akan meghasilkan interlukin II

( lymphocyte proliferating cell ) dan menyebabkan sel T berfloriferasi.

Manifestasi Klinis

Tanda dari dermatitis sering muncul dalam beberapa jam setelah paparan.

Erupsi dapat berupa kemerahan, scaling, dan sedikit bengkak, disertai gatal dan

sensasi terbakar. Juga dapat ditemukan vesikel, krusta, serta tersusun linear. Lokasi

erupsi dipengaruhi bagian yang paling langsung terkena iritasi tersebut. Erupsi yang

paling sering terjadi, diantaranya pada tangan, lengan, wajah, dan leher.1 Hal ini

dimungkinkan karena daerah tersebut sering terpapar iritan eksternal.2 Seorang

individu yang terkena tidak bisa menularkan penyakit melalui kontak langsung

kepada orang lain. Dalam kasus poison ivy, atau sayuran seperti iritasi yang kuat,

7

Page 8: venenata

yang mungkin terjadi pada individu yang terkena yaitu dalam beberapa jam pertama,

erupsi menyebar pada dirinya.1

Pemeriksaan Penunjang

UJI TEMPEL3

Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya dipunggung. Untuk melakukan

uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan pabrik, misalnya finn

chamber system kit dan T.R.U.E test, keduanya buatan Amerika Serikat. Terdapat

juga antigen standar buatan pabrik di Eropa dan negara lain. Adakalanya test

dilakukan dengan antigen yang bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni,

atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau

tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik

terhadap kulit atau walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik.

Oleh karena itu bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan

industri, harus berhati - hati sekali, jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang

tidak diketahui.

Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit misalnya kosmetik,

pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung di gunakan apa adanya (as

is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air untuk

membilasnya misalnya sampoo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan

yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak

mineral, produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya detergen hanya boleh diuji

bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang

dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan

tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau

air dan ditempelkan dikulit dengan memakai finn chamber, dibiarkan sekurang-

kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar

perlu kontrol ( 5-10 orang ), untuk menyingkirkan kemungkinan karena iritasi.

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel :

1. Dermatitis harus sudah tenang atau sembuh, bila masih dalam keadaan akut atau

berat dapat terjadi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu, dapat juga

menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin memburuk.

2. Tes dilakukan sekurang - kurangnya 1 minggu setelah pemakaian kortikosteroid

sistemik dihentikan ( walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada

8

Page 9: venenata

pemakaian prednison kurang dari 20 mg perhari atau dosis ekivalen kortikosteroid

lain ), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Pemberian kortikosteroid

topikal di punggung dihentikan sekurang - kurangnya 1 minggu sebelum tes

dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari ( sunburn ) yang terjadi 1 - 2 minggu

sebelum tes dilakukan juga dapat memberi hasil negatif palsu. Sedangkan

antihistamin sistemik tidak mempengaruhi hasil tes kecuali diduga karena urtikaria

kontak.

3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca, pembacan kedua dilakukan

pada hari ketiga sampai ketujuh setelah aplikasi.

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi

longgar ( tidak menempel dengan baik ) karena memberi hasil negatif palsu.

Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam dan menjaga agar

punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir

selesai.

5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakuka terhadap penderita yang

mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan atau immediate urtikaria type karena

dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita

semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.

Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan

yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat sebagai berikut :

1 = reaksi lemah ( non vesikular ) : eritema, infiltrat, papul ( + )

2 = reaksi kuat : edema atau vesikel ( ++ )

3 = reaksi sangat kuat ( ekstrim ) : bula atau ulkus ( +++ )

4 = meragukan : hanya makula eritematosa ( ? )

5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura ( IR )

6 = reaksi negatif ( - )

7 = excited skin

8 = tidak di tes ( NT = not tested )

Reaksi excited skin atau “angry back” merupakan reaski positif palsu, suatu

fenomena regional disebabkan oleh 1 atau beberapa reaksi positif kuat, yang dipicu

oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain menjadi reaktif. Fenomena

ini pertama dikemukakan oleh Bruno Bloch pada abad ke 20, kemudin diteliti oleh

Mitchell pada tahun 1975.

9

Page 10: venenata

Pembacaan kedua perlu dilakukn sampai 1 minggu setelah aplikasi,

biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk

membantu membedakan antara respon alergi atau iritasi, dan juga mengidentifikasi

lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96

jam aplikasi, olek karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu

terjadi sampai 1 minggu setelah aplikasi.

Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi dilakukan

setelah pembacaan kedua. Respon alergi biasanya menjadi lebih jelas antara

pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ ( reaksi

tipe crescendo ), sedangkan respon iritan cenderung menurun ( reaksi tipe

descrecendo ). Bila ditemukan respon positif terhadap suatu alergen, perlu

ditemukan relevannya dengan keadaan klinik, riwayat penyakit dan sumber antigen

di lingkungan penderita. Mungkin respon positif tersebut berhubungan dengan

penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang pernah dialami, atau mungkin

tidak ada hubungannya ( tidak diketahui ). Reaksi positif klasik terdiri atas eritem,

edem, dan vesikel-vesikel kecil yang letaknya berdekatan.

Reaski positif palsu dapat terjadi antara lain apabila konsentrasi terlalu tinggi, atau

bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup ( oklusi ), efek pinggir uji

tempel, umumnya karena iritasi, bagian tepi menunjukkan reaksi lebih kuat, sedang

dibagian tengahnya reaksi ringan atau sama sekali tidak ada. Ini disebabkan karena

meningkatnya konsentrasi iritasi cairan di bagian pinggir. Sebab lain karena efek

tekan, terjadi bial menggunakan bahan padat.

Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsetrasi terlalu rendah, vehikulum

tidak tepat, bahn uji tempel tidak melekat dengan baik atau longgar akibat

pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid sistemik

atau topikal poten yang lama dipakai pada uji tempel dilakukan.

Diagnosis Banding

Penyakit ini harus dibedakan dengan dermatitis iritan.

Diagnosis

10

Page 11: venenata

Empat faktor yang harus dipertimbangkan ketika membuat diagnosis venenata

dermatitis, yaitu;2

1. Morfologi erupsi

2. Lokasi dari erupsi

3. Anamnesa pasien

4. Hasil tes patch (uji tempel)

Penatalaksanaan4

1. Berbagai jenis dermatitis memang memerlukan upaya terapetik masing-

masing, sesuai dengan jenis dermatitisnya. Tetapi, secara umum prinsip

terapinya adalah serupa dan pengobatan utamanya adalah dengan preparat

kortikosteroid.

2. Penanganan dimulai dengan pemastian adanya dermatitis.

3. Upayakan mencari, untuk kemudian sedapat mungkin menghindari faktor

pencetus dan atau faktor pemberat kelainan.

4. Perhatikan kemungkinan diagnosis banding dermatofitosis atau dermatosis

lain yang steroid nonresponsive. Dermatitis umumnya responsif terhadap

steroid dan terapi pada dasarnya bersifat simptomatis.

5. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi klinis lesi. Hal ini penting karena kita

masih tetap memegang prinsip dasar dermatoterapi yang telah dikenal sejak

lama, yakni lesi yang ‘basah’ harus diterapi secara ‘basah’ dan sebaliknya lesi

‘kering’ diterapi secara ‘kering’.

6. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah vehikulum selain bahan utama -

suatu obat yang pemilihan jenisnya juga ditentukan oleh kondisi klinis

kelainan.

7. Upaya pertama adalah penggunaan emolien dan menghindari bahan-bahan

yang bersifat iritan (misalnya deterjen dan sabun tertentu), karena cenderung

mengakibatkan kulit menjadi lebih kering, yang menambah keluhan rasa

gatal.

8. Upaya berikutnya adalah penggunaan kortikosteroid sebagai antiinflamasi.

9. Kadang-kadang diperlukan preparat kombinasi antara kortikosteroid dengan

antibiotika ataupun kortikosteroid dengan antimikotik.

10. Pada beberapa kasus diperlukan kombinasi dengan pengobatan sistemik

(steroid, antihistamin maupun antibiotika) sesuai dengan kebutuhan.

11

Page 12: venenata

Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks

adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan

pesat. Efek utama penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis

dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efekantiinflamasi, dan efek antimitosis.

Adanya efek vasokonstriksi akan mengakibatkan berkurangnya eritema pada

berbagai dermatoses. Adanya efek antiinflamasi yang terutama terhadap

leukosit akan efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses

inflamasi seperti dermatitis. Bahkan kortikosteroid telah menjadi upaya utama

dalam penanganan dermatitis. Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi

karena kortikosteroid bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel.

Oleh karena itu, kortikosteroid juga efektif untuk berbagai dermatosis yang

ditandai dengan hiperproliferasi sel seperti pada psoriasis. Meskipun efek

fisiologis, farmakologis dan klinis kortikosteroid telah terbukti, tetapi

mekanisme pastinya belum sepenuhnya diketahui. Absorbsi perkutan

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis dan konsentrasi bahan aktif,

vehikulum, integritas sawar epidermal dan oklusi. Oleh karena itu, dalam

pemilihan steroid, penting diperhatikan potensi dan vehikulum. Kebanyakan

preparat kortikosteroid topikal terdapat dalam berbagai bentuk sediaan, yakni

salap, krim, gel, aerosol dan losio. Salap mengandung vaselin, parafin,

propilen glikol, atau minyak mineral. Bahan-bahan tersebut akan membentuk

sawar oklusif yang mencegah penguapan, sehingga membantu hidrasi stratum

korneum yang akan meningkatkan penetrasi bahan aktif. Hampir 50% bahan

dasar krim adalah air. Semakin tinggi kandungan air suatu vehikulum

(misalnya bentuk losio dan gel), maka akan lebih cepat mengeringkan karena

penguapan yang meningkat. Oleh karena itu, lebih cocok untuk lesi yang

membasah. Secara umum, bentuk salep akan lebih efektif dibanding krim atau

losio terhadap kelainan yang kering dan menebal. Tetapi, umumnya pasien

lebih menyukai bentuk krim karena lebih nyaman dipakai, sehingga

meningkatkan kepatuhan terapi. Risiko terberat (walaupun sangat jarang

terjadi) penggunaan kortikosteroid adalah penekanan aksis adrenal -

12

Page 13: venenata

hipotalamus akibat absorbsi sistemik. Selain itu, dapat pula terjadi

glaukoma.Yang lebih kerap terjadi adalah efek samping lokal pada kulit

berupa atrofi, strie, purpura, telangiektasi, erupsi akneiformis dan perubahan

warna kulit. Perlu diingat pula kemungkinan adanya topical steroid addiction.

Efek samping ini secara langsung bergantung pada potensi kortikosteroid dan

lama serta cara penggunaannya.

Prognosis

Prognosis baik bila paparan dihindari dan pengobatan dilakukan dengan rutin.

13

Page 14: venenata

DAFTAR PUSTAKA

1. Yusiko. Dermatitis venenata. Article (Jan 2011). Diunduh; 24 Maret 2011.

Available from: http://www.indafahealth.com/basic-human-needs/dermatitis-

venenata/#more-1847

2. Dermatitis venenata. Western Journal of Medicine. March; 46 (3) : 183–186.

Diunduh 24 Maret 2011. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/

pmc/articles/PMC1760531/

3. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke enam.

Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2010.

4. Ari Muhandari Ardhie. Dermatitis dan peran steroid dalam penanganannya.

Artikel. Diunduh; 24 Maret 2011. Available from:

http://www.unhas.ac.id/tahir/BAHAN-KULIAH/BIOMEDICAL/

BAHANUMUM/ECHOCARDIOGRAPHY%20%28 %20SALEH%20%20D411

%2002%20050%20%29/REFERENSI/dermatitis.pdf.

14