Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

23
VARIABEL SOSIOLINGUISTIK, KELAS SOSIAL, ETNIS DAN JENDER Oleh. M. Yunis Pendahuluan ‘’Kuliah di S2 di Unand bukan bertambah pintar tetapi bertambah bodoh’’, ejekan seperti ini sering penulis terima di saat berinteraksi dengan teman-teman di Fakultas Sastra. Namun, bagi penulis sendiri sikap seperti itu adalah sebuah kode yang sengaja dibuat dan dijadikan ideologi untuk menelanjangi dan membunuh karakter. Adanya faktor iri maupun dengki atas ketidakmampuan, persisnya ungkapan orang-orang kalah secara intektual, merasa tidak senang atas kemajuan lembaganya sendiri. Sering penulis katakan ini adalah sebuah upaya untuk penjajahan gaya baru melalui bahasa yang dimunculkan sebgai kode sosial. Begitulah besar pengaruh bahasa dalam penentuan kecerdasan intelektual kedepan. Bahasa sebagai alat kumunikasi sekligus alat penentu kelangusungan hidup sosial masyarakat, mampu membangun sebuah dunia baru, Lela Gandhi menyebutnya dunia ketiga atau kehancuran total seperti yang diungkapkan Nietczshe. Justru dengan kecairan berpikir munculnya dunia ketiga tersebut dapat disambut dengan hangat, tentu saja cara berpikir yang jernih dan cerdas menjadi tiang penyangga utama untuk melakukan itu. Sejalan dengan itu, tindakan kritis terhadap 1

description

kematian

Transcript of Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

Page 1: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

VARIABEL SOSIOLINGUISTIK, KELAS SOSIAL, ETNIS DAN JENDER

Oleh. M. Yunis

Pendahuluan

‘’Kuliah di S2 di Unand bukan bertambah pintar tetapi bertambah bodoh’’,

ejekan seperti ini sering penulis terima di saat berinteraksi dengan teman-teman di

Fakultas Sastra. Namun, bagi penulis sendiri sikap seperti itu adalah sebuah kode

yang sengaja dibuat dan dijadikan ideologi untuk menelanjangi dan membunuh

karakter. Adanya faktor iri maupun dengki atas ketidakmampuan, persisnya

ungkapan orang-orang kalah secara intektual, merasa tidak senang atas kemajuan

lembaganya sendiri. Sering penulis katakan ini adalah sebuah upaya untuk

penjajahan gaya baru melalui bahasa yang dimunculkan sebgai kode sosial.

Begitulah besar pengaruh bahasa dalam penentuan kecerdasan intelektual

kedepan.

Bahasa sebagai alat kumunikasi sekligus alat penentu kelangusungan

hidup sosial masyarakat, mampu membangun sebuah dunia baru, Lela Gandhi

menyebutnya dunia ketiga atau kehancuran total seperti yang diungkapkan

Nietczshe. Justru dengan kecairan berpikir munculnya dunia ketiga tersebut dapat

disambut dengan hangat, tentu saja cara berpikir yang jernih dan cerdas menjadi

tiang penyangga utama untuk melakukan itu. Sejalan dengan itu, tindakan kritis

terhadap petrkembangan bahasa menyebabkan para kritikus mampu melihat lebih

jauh apa yang tersembunyi di dalam bahasa yang mana di dalamnya terdapat

simbol dan kode-kode berbahaya dan bisa membuat penikmat bunuh-bunuhan dan

parahnya menjurus terhadap pembunuhan intelektual.

Sepadan dengan penulis ungkap di dalam salah satu judul artikel buku In

Memorial Khaidir Anwar, ‘’Hyperrealitas dan Kematian intelektual’’ dan berikut

mengulas tulisan yang senada ditulis oleh Dini Maulia ‘’Matinya Makna

Runtuhnya Ideologi’’, yang penulis kira masih mengusuh sebuah pesan untuk

menghgidupkan intelektual yang mati suri, sebuah perencanaan, pengkodekan

yang pelulis rasa mampu menggenjot cara berpikir. Beruntunglah pada

kesempatan kali ini, penulis mendapatkan topik menarik variebel sosiolinguistik,

kelas sosial, etnis dan gender. Melalui kode-kode ini penulis akan berusaha

menggambarkan fenomena yang sedang mengekspliotasi bahasa sehingga kelas,

1

Page 2: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

sosial, etni dan gender berkembang sangat liar, di samping itu penulis berusaha

mengungkap peran hagemoni yang mendasari keliaran tersebut.

Pembahasan

1. Kelas sosial

Mengungkap tentang kelas sosial membawa kita bertamasya ke alam

sosiologi, namun hal itu penulis pikir tidak bisa lepas dari konsep Marx tentang

Marxisme atau membayangkan tentang komunisme, penyemblihan manusia,

eksploitasi kaum akar rumput, takut, berbahaya, layaknya sebuah hantu yang siap

menerkam siapa saja yang menderita dan teraniaya, semuanya itu tidak lebih

hanyalah sebuah masa lalu yang pahit.

Zaman kemesan Marxisme sesungguhnya adalah sebuah zaman filsafat

kecemerlangan (Pencerahan) abad XIX yang mengungkit Matrealisme, tetapi

menentang matrelisme dualistik Feuerbach yang mana dia memandang objek

sebagai yang dapat diamati dan tidak sebagai aktivitas kesadaran, perbuatan

manusia tidak sebagai praktek manusia (Marx dalam Muawiyah, 2009; 21).

Sementara Marx sendiri sebagai penggagas menyatakan bahwa kenyataan itu

betul ada secara objektif dan tidak hanya sekedar ide, pandangnya tentang sejarah

adalah menjadi sebuah kunci, sebab manusia itu sendiri adalah kunci sejarah.

Sejarah dari masyarakat yang ada hingga kini tidak lebih hanya sejarah

pertentangan kelas antara budak dengan tuan, tukang dengan ahli, pemerintah

dengan rakyat, laki-laki dengan perempuan, dosen dengan Mahasiswa. Artinya,

sejarah hanyalah perseteruan antara yang tertindas dengan yang menindas tetapi

akan berakhir disaat terciptanya masyarakat yang tidak berkelas.

Sejalan dengan itu Miles dalam Lomba menyatakan bahwa pembentukan kelas

itu dilakukan dengan rasialisasi (Loomba, 2001;165). Rasialisasi yang

dimaksudkan adalah tidak lebih dari tindakan penguasa (Kolonial) untuk

mengakali kaum yang dianggap terbelakang (Budak), terkucil dari segi Ras, Etnis,

Ekonomi untuk mengabdi kepada penguasa. Bisa dicontohkan dengan apa yang

terjadi di Afrika, bahwa orang Afrika diperbolehkan menempati tanah orang

Eropa dengan bayaran orang Afrika bekerja untuk Eropa, setelah itu Eropa

menerapkan pajak tunai yang berrujung pada pengabdian total (eksploitasi) orang

2

Page 3: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

Afrika sebagai pengganti pajak kepada Eropa, Neo Imperialisme sebuah usaha

mengekplotasi dan mengkebiri hak-hak penduduk pribumi (Chomsky, 2008).

Meminjam istilah Loomba, cara ini sangat mudah bagi orang Eropa karena

terlebih dahulu mereka telah membangun konsep buas mulia. Orang Afrika diberi

kesempatan memiliki tanah si Eropa jika mau bekerja sama dengan Eropa, berupa

berpindah keyakinan, menetap dan bekerja untuk Eropa, maka orang Afrika yang

manut tersebut dinamakan dengan Buas Mulia, biar agak elit sedikit seperti yang

dilakukan Marx sendiri berpindah keyakinan dari Yahudi ke protestan.

Kode-kode yang serupa terus dibangun oleh orang Eropa untuk menjalankan

misi kolonialnya hingga ke ranah seksual, seperti cerita yang sering diangkat di

dalam kisah injil tentang Ratu Shaba dari Timur, bahwa Ratu yang datang ke Kuil

Salomon dengan membawa Emas dengan imbalan Ratu mendapatkan kepuasan

seksual dari Sulaiman dan Ratu Indian yang memeluk agam Kristen seteah

berlarut-larut bertentangan dengan Inggris, kemudian menikah dengan orang

Inggris, selanjutnya kode yang dibangun di dalam film Scorpion King, yang mana

seorang perempuan Timur yang mempunyai kesaktian tunduk di bawah Raja Kala

Jengking, padahal baginya keperawanan adalah kunci dari kesaktian itu. Nah,

cerita ini selalu diungkit-ungkit oleh kolonial untuk menggambarkan ketundukan

perempuan Timur, keluarga kerajaan, kelas, bercinta dengan dan diselamatkan

oleh laki-laki Eropah akan menjadi cerita bagi perkembangan dunia sekarang.

Loomba menyebutnya sebagai sebuah Fantasi Kolonial untuk menciptakan kelas

baru bahwa perempuan Timur, kulit hitam, ras terbelakang adalah kelas rendah

dan biadab perlu diberi kebudayaan ala Eropa (Penjajahan).

Kelas menengah ke bawah bisa saja menempati posisi menyerupai kelas atas,

tetapi bukan kelas atas. Kalaupun kelas menengah ke bawah memegang sebuah

kekuasaan tepatnya diberi sedikit wewenang (rasisme) tetapi hanya wewenang

yang bersifat menjajah saudaranya sendiri, peraturan dibuat untuk menekan,

mengkebiri hak-hak kalangan bawah, contohnya kekurang ajaran yang dilakukan

Satpol PP terhadap pedagang kaki lima. Sementara itu, kelas atas tiada pernah

menempati posisi kelas menengah ke bawah, kalaupun di antara mereka tidak

mendapat kesemapatan memegang kekuasaan tetapi tetap mendapatkan perlakuan

istimewa dari penguasa setempat, itu pasti sebab penguasa setempat didominasi

3

Page 4: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

dan dipegang oleh menengah ke bawah. Contohnya perlakuan yang diberikan

terhadap pengusaha. Begitulah usaha kekuasaan yang selalu menjalar hingga ke

celah-celah yang sulit dijangkau, pembatasan kelas atas dengan kelas menengah

ke bawah tersebut sudah disusun sangat rapi, walau terkadang pembatas tersebut

sering dibuka untuk meredam perlawanan kelas bawah.

Jadi, apa yang dikatakan Marx tentang Matrealism bertemu pada titik yang

dibahas oleh Loomba tentang konsep kolonial, bagi lomba sendiri kekuasaan

(kolonialisme) adalah sarana yang dipakai oleh kapitalisme untuk melakukan

ekspansi globalnya, Rasisme (kerja paksa) hanyalah sebuah sarana yang

digunakan oleh Kolonial untuk mendapatkan tenaga kerja dari daerah jajahan.

Nyatanya, kelas pekerja atau para pengabdi adalah kode yang diwujudkan dan

digeneralisasikan oleh hegemoni untuk menindas, eksploitasi, penjajahan fisik

maupun jiwa demi birahi serakah akan duniawi, wacana gospel, Gold dan Glory

menjadi tiang penyangga bagi Barat atau Erpah untuk memegang tampuk

kekuasaan. Layaknya sebuah tawaran bagi kaum yang terjajah untuk patuh kepada

Hegemoni Barat dan Eropah, membeli jiwa kelas menengah ke bawah dengan

agama, lapangan kerja atau dengan wacana saudara tua. Sehingga sifat

ketergantungan tumbuh dalam diri masyarakat kelas rendah terhadap tamu yang

membawa segudang kemakmuran.

Derita berkepanjangan yang diderita kelas menegah ke bawah itu kelas pernah

dilawan oleh Marxs yang sudah dicatat sebagai buas mulia dengan mendirikan

Liga Komunis di Brussel 1847 akhirnya menjadi cikal bakal gerakan kaum

pekerja internasional pertama dan sebagai dampaknya meletuslah tindakan anarkis

hingga wabahnya menjalar ke Indonesia, klimaksnya terjadi pada tahun 1965.

Akhirnya, strategi sosialis1 ini selalau gagal mengukuhkan kemenangan sejatinya

untuk melawan Hegemoni.

2. Etnis

Ben Agger menyatakan bahwa Ras dan Etnis tidak lagi dilihat secara esensial

sebagai suatu kategori biologis, tetapi sebagai posisi gender sebagai subjek,

identias dan wacana yang dikontruksi oleh diri sendiri dan orang lain (Agger,

1 Kegagalan Marxisme dalam menganalisa ranah sosial kontenporer, kegagalan ini berakar dari watak esensial dan totalistik dalam pemikiran Marxisme (Laclau dan Chantal Mouffe, 2008).

4

Page 5: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

2003: 361). Etnis tidak obahnya sebagai pengkotakan sepihak oleh para pribadi

maupun kelompok, ego yang berlebihan timbul di dalam sebuah kelompok yang

memfonis dirinya lebih mulia, lebih beradab. Hal ini tidak terlepas dari sejarah

panjang, pengalaman dan perjalanan zaman dari saman batu lama hingga

Postmoderen. Misalnya Inggris dan Portugal sebagai kelompok pertama yang

mengarungi dunia merasa mempunyai sebuah kelebihan, tapi bukan kelebihan

tepatnya kekuranganlah yang membuatnya seperti itu, mencari ataupun menjajah

daerah lain. Berbeda dengan dunia Timur yang dianugrahi tanah yang kaya dan

subur. Namun, masyarakat Timur melupakan kesiagaan terhadap serangan dari

luar, baik berupa generalisasi Ilmu pengetahuan yang dibuat oleh Bangsa lain

sebagai penakluk sekaligus untuk memenuhi kekurangannya. Bangsa Timur

seyokyanya bangga akan ilmu pengetahuan yang dibiaskan oleh suku bangsa

Eropa, bahkan kebanggan tersebut ditanamkan memalui sistem, baik pendidikan

maupun sosial masyarakat. Layaknya adalah sebuah kebanggan tertentu untuk

memakai asesoris Barat, dimulai dari Teori, cara dan gaya hidup (life style),

penampilan, budaya hingga agama.

Usaha lain ialah perkawinan campur yang dilakukan oleh Ras putih dengan

pribumi untuk menghilangkan kulit berwarna, lalu membuat wacana bahwa orang

Eropah menyelamatkan wanita kulit berwarna dari kebuasan laki-laki kulit

berwarna dan anak-anak yang dilahirkan dari kawin campur itu sudah bisa disebut

buas mulia. Di sini juga digambarkan bahwa laki-laki kulit berwarna biadab,

kanibal, suka berperang, mengekploitasi wanita sehingga tugas wanita hanya di

rumah, sementara si laki-laki bebas memilih wanita lain, polygami. Kode sosial

terhadap Etnis, bahwa Etnis Eropa lebih pintar, lebih maju, lebih cerdas dari Etnis

Timur, Ras-ras putih yang mereka anggap orang yang beradab dan berpendidikan

mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang diangap membutuhkan, celah-

celah bernapas bagi etnis berkulit berwarna telah ditutup, kendalikan dan

disamarkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang Afrika

dianggap buas mulia ketika mau bekerja sama denga Eropah, sebab orang Eropa

mampu menyelamatkan perempuan kulit berwarna dari kebuasan laki-laki

berwarna. Pandangan Eropah menyatakan bahwa orang-orang kulit berwarna

melakukan hubungan seks sejenis, sehingga terbangunlah kembali kode

5

Page 6: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

Homoseksual atau Lesbian. Seakan menaruh logika, bahwa di dunia Timur yang

umumnya kerajaan, telah mengurung para Gundiknya di dalam suatu ruangan

sehingga terjadilah tindankan saling menyayangi di antara mereka (wanita

gundik), mulai dari saling membersihakn rambut, pijat, hingga trnsaksi seksual.

Hal ini dianggap logis karena di dalam ruang tersebut tidak adanya laki-laki selain

Raja dan terkadang Raja juga sibuk mengatur kerajaannya.

Pandangan di atas tidak hanya dilemparkan kepada dunia timur, tetapi juga

kepada Etnis asli Amerika seperti wanita Amazon, kebinalannya, hypersexualnya

dalam melayani laki-laki. Di gambarkan oleh Lomba bahwa Wanita Amazon yang

memakai topi dari bulu burung, pakai koteka dari bulu burung, dada dicat putih,

pakai manik-manik dari gigi dan taring binatang seakan memperlihatkan

kebuasannya, berjalan dengan hati-hati mengguirkan pikiran Eropah akan

kesuburan tanah yang akan di jajah. Tindakan ini dilakukan oleh Kolonial hanya

sekedar untuk membangun image dan kode agar orang Amazon tersingkir dan

terasing, jadi daerah Amerika seluruhnya bisa dikuasi oleh orang Putih (Eropa),

sebuah penjabaran dari Neo Imperialisme. Di dalam media masa juga

digambarkan tentang mitos cantik, bahwa yang cantik itu adalah putih atau yang

gagah itu adalah berotot, macho dan segala hal, maka untuk mememnuhi

standarisasi tersebut dimunculkanlah produk-produk Kapitalis, seperti bedak,

pencuci muka, obat kekar otot dan segala macamnya. Padahal belum lama ini

pernah muncul wacana yang cantik itu adalah hitam manis.

Kaum kolonial memandang bahwa Etnis yang unggul adalah etnis yang

berkebudayaan, berpendidikan, dan maju secara ilmu pengetahuan, biasanya etnis

ini bermukin dekat ke daerah kota besar, dekat dengan kekuasaan atau memiliki

kekuasaan tersebut, merasa paling berhak terhadap segala hal, karena sejarahnya

yang cemerlang, mungkin sebagai penemu sebuah pulau, daerah, teknologi, atau

pernah di kalangan itu dipilih seorang utusan Tuhan. Artinya, sejarahnya mencatat

bahwa kekuasaan lebih lama berada di tangannya mereka.

Sebuah kasus perseteruan yang pernah muncul di Ambon yang pada akhirnya

memicu Perang Agama, yang hanya berawal dari pertengkaran preman di Jakarta

kemudian isu tersebut dibawa ke Ambon yang mana dominasi Kristen lebih kuat.

Orang Putih berusaha mengaburkan batas perdamaian antara Islam dengan Kriten

6

Page 7: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

di Indonesia, media memberitakan bahwa konflik itu telah selesai dan diselesaikan

oleh Etnis yang memegang kekuasaan ketika itu. Hal ini menggambarkan bahwa

etnis jawa itu pintar dan bisa menyelesaikan segala masalah. Kemudian masa lalu,

protes yang dilakukan oleh Rakyat Suamtra Tengah (PRRI) terhadap

pemerintahan Sukarno, karena ketidakadilan sistem yang dibuat, menimbulkan

trauma berkepanjangan bagi Rakyat Minangkabau, kisah itu ditutup dengan

pengiriman devisi Diponegoro (Bataliyon 433) ke Sumatra untuk menumpas habis

PRRI yang dianggap pemberontak dan mengganggu kestabilan Naional. Nah, hal

ini menandakan kesuperioran etnis berkuasa dan kekuasan tidak akan terklepas

dari etnis yang disinyalir unggul tersebut. Sekarang jelaslah, bahwa etnis tidak

obahnya diciptakan memang benar-benar ada dan diciptakan memalalui kode

sosial yang diakui secara umum. Etnis dan ras yang unggul adalah etnis dan ras

putih, suku bangsa yang beradab seperti Jawa yang notabenenya bias dari

Hegemoni Majapahit, presiden harus Etnis jawa supaya kestabilan tetap tercipta.

3. Gender

Abad ke- 17 seksual dibatasi hanya di dalam rumah dan perkawinan dalam

lingkungan keluarga, namun setalah itu diserap oleh ilmu pengetahuan ke dalam

diskursus, adanya suatu usaha agar seks dipadatakan melalui bahasa, pernyataan

bahwa seks adalah topik yang sangat menyenangkan untuk dibahas, bahkan di lain

kajian tentang seksual sudah diciptakan teorinya, sehingga melahirkan emansipasi

wanita, akhirnya menjadi ‘’mutasi seksual’’. Isu Feminisitas layaknya sebuah

wacana baru terhadap gender, dimana di sana hidup kekuasan laki-laki, sehingga

hal ini melahirkan tuntutan bagi kaum hawa agar emansipasi wanita

direalisasikan, media yang dianggap sebagai salah satu sarana bagi kaum hawa

dalam memperjuangankan semua itu.

Di samping itu media adalah sarana yang sangat membantu bagi

perkembangan, pembiakan dan ketidakstabilan gender. Bagi kaum feminis

mengganggap ini adalah kesempatan besar untuk menuntut ketidakadilan tersebut,

media dapat menghancurkan batasan-batasan yang dimiliki perempuan, kondisi

lemah, lembut, berdiam diri di rumah, pasif, irasional, emosinal telah dileburkan

oleh kemapuan teknologi mutakhir yang ditawarkan media, Piliang menyebutnya

7

Page 8: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

kondisi ini dengan Postfeminisme. Melalui teknologi kaum dapat feminis bisa

meningkatkan daya pikir, kekuatan, kecerdasan, keaktifan sehingga kaum feminis

tidak lagi menempati posisi inferior di bawah laki-laki.

Sejalan dengan itu pemberdayaan perempuan melalui teknologi cyborg2,

menciptakan frontier3 femininisitas, kerana dengan teknologi ini perempuan bisa

melipatgandakan kekuatan, tiada rasa takut berada dimanapun, kaum feminis

menciptakan daerah tidak bertuan sendiri seperti yang dilakukan laki-laki, yang

mana di sana penguasa tunggal adalah perempuan. Teknologi ini pernah

difilemkan oleh Amerika dan dibintangi oleh Arnol Suasinegar, di sini di citrakan

Arnol dibekukan dan tertidur selama ratusan tahun, setelah dibangunkan melalui

mesin zaman telah berubah, kemudian bertemu dengan seorang wanita yang hidup

di era itu, arnol menginginkan trnasaksi seksual dengan wanita itu, si wanita

memenuhi dengan teknologi Cyborg, memasang banyak kabel di bagian syaraf,

sehingga perasaan keduanya layaknya dua pasangan yang sedang berhubungan

badan, merasa terpuaskan setelah melanglang buana di dalam teknolgi Cyborg, ini

berarti tidak adanya keturunan yang dihasilakn oleh transaksi seksual tersebut,

tujuannya hanya untuk memuaskan diri belaka. Di sini setiap orang

mendifinisikan identitas seksual menurut selera masing-masing.

Kemudian apa yang terjadi kemudian? Adalah sebuah keliaran

menggganas tiada terkendali, Cyberspace dipergunakan oleh kaum hawa untuk

membentuk komunitas virtual, yang mana dampaknya sangat merugikan wanita

itu sendiri. Sebab di sini tidak tertutup kemungkinan pertukaran gender antara

klaki-laki dengan wanita, si wanita menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi wanita,

akhirnya kedua posisi itu dinikmati oleh masing-masingnya. Chating yang pada

awalnya untuk membangun silaturrahmi berubah menjadi pemangsa buas

kefeminiman wanita, website yang awalnya sebagai senjata bagi kaum wanita

untuk menyuarakan ketidakadilan laki-laki ternyata berubah fungsi sebagai tempat

memvirtualkan ekploitasi wanita, web site porno, seks online, Facebook, frindster

yang mempertontonkan identitas diri cukup menggambarkan ketidakberdayaan

perempuan dihadapan laki-laki. Tiada hukum, tiada peraturan, tiada tuntutan,

2 Penyatuan Tubuh dengan mesin atau tepatnya memesinkan manusia.3 Model dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan treknologi di Barat, sarat denga maskulinitas/individual/anarkis dan berusaha mencari daerah serta tantangan baru (Piliang 2004: 426).

8

Page 9: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

kaum feminis bertekuk lutut di bawah Maskulinitas. Selain itu, tuntutan terhadap

ketidakadilan yang diterima kaum perempuan melahirkan tuntutan lokalisasi,

homo dan lebian di legalkan, hingga banci pun menuntut peraturan yang sama,

yang pada intinya ketidakpuasan terhadap dominasi laki-laki.

Sejalan dengan apa yang diungkapan Focoult dalam Piliang (2004), bahwa

kekuasan dan kesadaran tubuh seseorang dapat diperoleh hanya memalui efek

investasi kekuasan di dalam tubuh, melalui teknologilisasi tubuh, hingga politik

tubuh. Contohnya bisa kita perahatikan kejatuhan-kejatuhan yang diderita oleh

pemimpin banga ini seperti Sukarno, Yusril dan sekarang di derita oleh Antasi

Azar. Tak obahnya tubuh wanita dijadikan politik untuk menjadikan dan

menghancurkan nama baik seseorang, begitulah media, kembali kaum wanita di

tipu oleh laki-laki memalui media. Tetapi tidak bisa disangkal, kekuasaan terlalu

arif penanaman idiologi atas ketabuan seks harus disirnakan karena itu

menyasikan. Agar diskursus tentang seks ini tidak merugikan kekuasaan, maka

kekuasaan berusaha mengidentifikasi, menyediakan literatur dan melakukan

pencatatan yang sangat rapi, persoalan seks adalah kebijakan negara, di Indonesia

sendiri lahirlah UU pornografi dan porno aksi. Focoult juga menyatakan bahwa

kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, dengan

mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan

permukaannya dan mendramatisir kekacauan (Rizer 2003: 112).

Kemudian Postfeminisme kaum hawa lebih keras menuntut persamaan

disegala bidang, Dorse yang menukar kelamin mejadi perempuan, Afi yang minta

dikuburkan sebagai laki-laki, Lenny yang sembahyang memakai makena dan

pergi Haji sebagai laki-laki. Ini adalah sebuah fenomena nyata yang sudah

dimamah oleh masyarakat komsumer. Betul isunya berangkat dari gender,

persamaan jender, pembagian rata hak dan kewajiban antara laki-laki dengan

perempuan. Juga, awalnya mucikari hanya seorang penampung PSK atau pencari

PSK untuk diperkerjakan, tetapi lambat laun hal itu berubah menjadi sebuah

profesi yang patut pula dihargai dan diakui. Perhatikan saja rumah atau Lokalisai

Doly, setiap bulan puasa kegiatan jual beli diliburkan karena para pekerja pulang

kampung untuk menunaikan ibadah puasa, sementara itu Pak RT di lingkungan

Doly bisa istirahat. Sekali lagi, kaum feminime telah gagal menamkan kekuasaan

9

Page 10: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

terhadap laki-laki, menyuguhkan kemolekan tubuh, kelangsingan, mulus, cantik

itu putih dan segala macamnya ternyata menuai kelincahan kekuasan

memanagemen itu semua.

Sejalan dengan itu, Hagemoni juga membangun sebuah tatanan sosial baru,

feminisme dunia ketiga ke dalam sebuah kancah yang dulu termarjinalkan,

menjadikan perempuan pribumi atau perempuan Timur sebagai objek

pembanding. Membuat pernyataan bahwa sudah saepatutnya kesetaraan Gender

menjadi kajian yang menarik. Padahal sesungguhnya pandangan feminisme baru

itu adalah sebuah pendustaan untuk menghancurkan mitos perempuan suci yang

dimiliki oleh orang Timur. Di pihak perempuan Timur malah tidak sadar bahwa

penjajahan terhadap dirinya sudah dilakukan oleh feminisme Barat, mempunyai

anak cukup 2 saja karena bisa lebih fokus untuk membiayainya, makanya pakai

kondom dalam transaksi seksual atau diperbolehkan berhubungan seks dengan

menggunakan kondom, bergerigi agar lebih sensual. Ini adalah sebuah kesuksesan

Hegemoni Barat yang patut dapat acungan jempol, kelanjutannya sorotan terhadap

kaum perempuan terpinggirkan menjadi sumbangan hangat bagi perempuan

timur, tetapi sesunggunya perempuan Timur telah membantu mentransformasikan

usaha mereka untuk kembali menjajah dengan sistem.

Seiring dengan itu Yasir menyatakan perempuan menjadi kelas dua bukan

kaerena biologis yang melekat padanya tetapi karena citra negatif yang dilekatkan

pada dirinya (Yasir Alimi, 2004: 36). Seperti Ilmu pengetahuan yang dikodekan

oleh Darwin bahwa kapasitas otak laki-laki lebih besar dari pada otak perempuan,

Imanuel Kant menyebut bahwa laki-laki itu bodoh tapi masih bisa dididik tetapi

perempuan itu bodoh dan tidak bisa dididik, kemuadian diskursus Agama juga

mempertegas bahwa perempuan lebih rendah keimanannnya dibandingkan laki-

laki, makanya seluruh permukaan tubuh perempuan dimasukan ke dalam aurat

kecuali telapak tangan dengan muka. Se,mentara Focoult sendiri menyatakan

adanya 3 unsur yang sangat berpengaruh dalam menentuan sebuah ideologi, yaitu

power-imu pengetahuan-kenikmatan. Di antara ketiga unsur ini saling kait, power

dengan pengetahuan saling berrelasi untuk menghasilkan kebenaran baru begitu

juga sebaliknya, sementara penghetahuan mengeskploitasi kenikmatan. Sebuah

contoh terhadap kasus itu adalah kisah tragis yang dialami Barbin seorang

10

Page 11: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

Hermaprodit Parncis abad ke XIX , setelah melakukan pengakuan kepada dokter

dan pendeta di gereja, secara hukum Barbin diharuskan mengubah kelaminnya

menjadi laki-laki karena maskulinitas yang dimilikinya, akhirnya barbin Bunuh

diri, lalu Dorce yang diharuskan mengubah kelamin menjadi wanita? Hal ini

dikatakan Focoult ‘’aneh’’ sebab yang namanya Hermaprodit itu berjenis kelamin

ganda bukannya dijadikan satu kelamin.

Di yakini oleh Yasir bahwa seksualitas menjadi heteroseksual atau

homoseksual hanyalah kontruksi sosial, efek wacana sebagai akibat dari praktek

diskursus, oleh karena itu tidak bisa ditenmukan di dalam darah tetapi dapat

ditemukan hanya di dalam tanda bahasa. Diskursus juga diyakini oleh Fokoult

sangat berpengaruh dalam histerisasi tubuh perempuan dan performen menurut

Butler dalam Yasir. Diskursus adalah wadah yang sangat potensial untuk

meneriakan bahwa perempuan itu feminim, laki-laki maskulin, laki-laki dan

perempuan harus punya kelamin satu, awalnya sangat sederhana, cukup

mengatakn bahwa ‘’saya laki-laki dan harus bersifat maskulin!, kamu perempuan!

kamu orang Hyoer!’’ atau mungkin tanda bahasa lain yang perlu dimunculkan

untuk menciptakan sebuah diskursus. Kuncinya hanya datu kata, ‘’pengulangan’’

hingga lambat laun kode itu diakui dan diterima.

Sementara itu diskursus yang telah dibuat oleh Barat terhadap seksual bertolak

dari zaman Yunani dan Romawi, yang mana Barat moderen menyatakan bahwa

seksual baginya adalah prokreasi untuk memkasimalkan kekuatan, potensi diri,

menjaga hubungan pernikahan dan menolak Yunani dan Romawi bahwa seksual

merupakan kesenangan, maka dari itu dibangun tatanan moral untuk melahirkan

moral kebenaran, menyatakan onani dapat merugikan kesehatan, homoseksual

menimbulan penyakit, hyperseksual mampu meningkatlan AIDS, sementara Barat

sendiri meningkatkan kegairahannnya melihat perempuan Timur sebuah ladang

eksotis, sensual dan sexy. Timur itu feminis, Barat maskulin maka dari itu Timur

harus dibimbing, dicerdaskan dan dilindungi oleh kuasa Barat. Timur itu pasif

layaknya perempuan yang membutuhkan perlindungan laki-laki, karena dari

Baratlah pengetahuan itu berasal, sedangkan Timur tinggal menikmatinya saja,

dari Baratlah Teori-teori muncul dan Timur hanya tinggal memakainya saja.

Timur dianggap sebagai objek seksual, dijajah karena bodoh. India dikatakan

11

Page 12: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

maju karena pernah dijajah oleh inggris, yang lebih anarkis lagi saat Imanuel Kant

menyatakan bahwa adanya hubungan paralel antara kecerdaaan dengan warna

kulit.

Jelas terlihat bahwa Eropah dengan terang-terangan menyatakan dirinya

penyemban misi penyelamatan terhadap bangsa Timur dari kebodohan, India dan

Indonesia kanibal dan malas, Arab suka kekerasan. Mahasiwa dari Timur perlu

disekolahkan ke Barat, dibantu beasiswa, toefl harus tinggi untuk mendapatkan

beassiwa itu, setelah sampai di Eropah dicuci otaknya, diekploitasi

kemampuannya untuk kepentingan Barat. Lalu Si Mahasiswa mengakaji tentang

budaya negara aslinya dengan bnatuan dana Berat, ya jelas sekali bahwa

Mahasiswa dari Timur itu bodoh, tidak punya identitas diri.

Pemfeminisasian Timur oleh barat juga sangat jelas terlihat di saat akan

melaksanakan misisnya menjajah, disebut Timur sebagai pulau perawan. Anehnya

Timur sebagai bangsa yang terjajah menerima kode tersebut, bangsa Timur

menyatakan keperempuannya di dalam perjuangan, membela ibu pertiwi, ibu

pertiwi yang mengharapklan putra bangsa membelanya, membebaskanya dari

penjajahan, menggambaarkan ibu pertiwi sedang berduka mengharapkan belaian,

hiburan datanglah Barat memberikan bantuan (belaian) melalui IMF, bantuan

yang mengatasnamakan kemanusiaan terhadap bencana Tsunami Aceh. Namun

wacana ini pemfeminisan seperti ini pernah dilawan oleh Sultan Hasanuddin di

saat melawan Belanda, Hasanuddin menyatakan dirinya ‘’Ayam Jantan dari

Timur’’, lalu diponegoro yang sangat ditakuti Belanada. Tetapi ada kisah sedih

yang terjadi setelah itu, seperti yang telah disinggung di atas bahwa tahun 1950

hingga 1965 di Sumatra Tengah, terjadi invansi Devisi Diponegoro, merusak

Minangkabau dengan alasan menumpas PRRI. Batalion 433 ini membangun

wacana baru bahwa orang Sumatra Tengah itu perempuan, Fenminis,

pemberontak, perlu dicerdaskan, dihancurkan, maka terjadilah pelecehan seksual

terhadap perempuan Minangkabau, ternyata jawa juga pernah menjadi penjajah

kaum feminisitas.

Simpulan

12

Page 13: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

Berdasarkan gambaran di atas, menjadi jelas apa yang dikatakan dengan Kelas

sosial, etnis dan gender hanyalah buatan penguasa, akibatnya kelas, etnis dan

gender bermutasi, berkembang biak tanpa kendali. Alhasil, munculah deviant dan

ketimpangan sosial yang terlalu jauh, di antara penguasa dengan rakyat, laki-laki

dengan perempuan, pekerja dengan tuan, Barat dengan Timur, dosen dengan

mahasiswa.

Ini adalah sebuah usaha manaklukan dunia yang dilakukan oleh Hegemoni

Barat, mempengaruhi penguasa setempat, memegang kendali media, menciptakan

teknologi untuk menutupi segala kekurangan yang dimilikinya. Kemudian dengan

menciptakan simbol dan kode kestabilan mampu mengecoh dan memperdaya

kaum-kaum yang dibuat ketergantungan akan santunan dan belaian tangan

kekuasaan, setelah menjadi buas mulia dirinya rela diperbudak oleh kekuasaan

tersebut.

Namun, isu Feminisme lebih menarik, terjadinya eksodus besar-besaran

emansipasi ke ranah yang tidak bertuan, tidak terkendali sehingga menciptakan

lebih banyak ketimpangan sosial, ekonomi dan agama. Akibat dari itu, dominasi

laki-laki terhadap perempuan semakin leluasa dan terang-terangan diperlihatkan,

seolah-olah tidak ada aturan, hukum, seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa,

menyalahkan tuhan atas ketimpangan yang dihembuskan Hegemoni Barat, bangsa

yang kebarat-baratan hingga saudara yang di baratkan, dicuci otaknya untuk misi

penjajan.

Jadi, postfeminisme menggambarkan ekploitasi besar-besaran terhadap

perempuan, potskolonial menggambarkan ekploitasi besar-besaran kolonial dan

hanya Marxislah yang baru mampu melawan Hegemoni tersebut secara terang-

terangan, hal itu pun menuai kegagalan.

DAFTAR PUSTAKA

Alimi, Yasir. 2004. Dekontruksi Seksualitas Poskolonuial. Yokyakarta: LKIS.

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis. Yokyakarta: Kreasi Wacana Yokyakarta.

Berlin, Isaiah. 2000. Biografi Karl Marx. Surabaya: Pustaka Promethea.

Chomsky, Noam.2008. Neo Imperialisme Amerika Serikat. Yokyakarta: Resist

Book.

13

Page 14: Variabel Sosiolinguistik Kelas Sosial, (M. Yunis)

Foley, Wiliam A. 2001. Antropological Linguistics An Introduction. Sidney:

Blackwell Publisher.

Gandhi, Leela. 2001. Teori Postkolonial. Yokyakarta: Qalam.

Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialisme.

Yokyakarta: Resis Book.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era

Postmetafikika. Yokyakarta: Jala Sutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2004.Dunia yang Dilipat: Tamsya Melampoi Batas-batas

Kebudayaan. Yokyakarta: Jala Sutra.

Poole, Ross. 1993. Moralitas dan Modernitas. Yokyakarta: Kanisus.

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postsmoderen. Yokyakarta: Juxtapose

Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana Yokyakarta.

Truong, Thanh-Dam. 1992. Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan

Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Ramly, Andi Muawiyah. 2009. Peta Pemikiran Karl Marx. Yokyakarta: LKIS.

14