Vademekumenulis Jurnalistikritis Caka

21
Vademekumenulis Jurnalistikritis Caka ‘Vademekumenulis CAKA’ dimaksudkan sebagai cara sistematik dan metodologis tentang bagaimana seharusnya UKPMers membuat produk-produk ‘jurnalistikritis’ seperti berita, kolom, feature, deep reporting, in depth interview, Investigasyik (investigasi itu asyik) dan sebagainya. Sekarang ini media kapitalisme hanya menyajikan ‘berita bangsat’ (newshit), berita seremoni (ceremonews), berita hiburan (infotainment), berita hiburan ‘tai kucing’ (infotaikucingment), tontonan yang menyebalkan (spectacleshit) dan sebagainya. Media kapitalisme juga mengandalkan prinsip jurnalistik ‘Kafir Both Side’ yakni bagaimana cara menutupi (‘cover’ atau ‘kufur’) suatu fakta dengan menyajikan berita- berita yang sudah terskenariokan di meja redaksi oleh gate keeper. Prinsip jurnalistik ‘Cover Both Sides’ hanyalah penamaan secara akademis dari ‘Kafir Both Side’. ‘Cover Both Side’ hanyalah bagian dari apa yang disebut sebagai ‘white lies’ (kebohongan kulit putih) dan ‘true lies’ (kebenaran kulit putih). Keterangan lebih lanjut baca “Unidentified Flying Ostafology (UFO) dalam bagian “Nonalogi Ostafolog (NO)”, khususnya “Journalism of Coverruption Both Side”. Sebutan ‘Kafir’ dalam konteks ini bukan dalam terminologi agama sebagaimana adanya oposisi bipolar seperti ‘Islam’ versus ‘Kafir’. Istilah ‘Kafir’ dimaksudkan kepada siapa saja yang menutupi-nutupi kebenaran dengan ‘to cover’ (menyelubungi atau menutupi) suatu kebenaran. Para pelaku yang bergerak di media kapitalisme, lalu terlibat ‘Kafir Both Side’, maka dapat terhimpunkan dalam ‘diagram ven’ sebagai golongan “Ya Ayyuhal Kafiruun”. ‘White lies’ yang diartikan sebagai ‘kebohongan kulit putih’, sedangkan ‘true lies’ sebagai ‘kebenaran kulit putih’, pastilah ‘terbaca’ sangat rasis. Memang pengertianya seolah-olah rasis, tapi itulah fakta yang terbentang sangat jalang di realitas dunia pers global. ‘White lies’ dapat juga diartikan sebagai “kebohongan yang terus-menerus dilakukan (never ending lies), hingga akhirnya menjadi sesuatu yang suci (white)”. Contoh khas pelaksanaan ‘White lies’ bisa dibaca pada dua serial “Kitab Perjanjian Baru” (The Old Testament) dan “Kitab Perjanjian Lama” (The New Testament). Dalam penelitian yang dilakukan ilmuwan Kristen, melalui metode hermeneutik, ditemukan fakta tentang isi kedua kitab itu, yang mengandung minimal 50. 000 kebohongan (fifty thousand errors). Dua kitab suci yang ‘hyper errors’ itu tetap dianggap benar dan suci (true and white), karena terus menerus disajikan secara dogmatis dan doktrinasi di gereja, sekolah theologi dan seminari. Sebenarnya setiap hari, minimal terjadi penyebaran ‘fifty thousand errors’ dari kantor-kantor berita dunia dan jaringan berita global ‘American-Jewshit’ (Jahudi Amerika Bangsat). Dalam pandangan dunia tontonan (spectacles’ world of view), semua kebohongan sebanyak ‘fifty thousand errors’ akan susah untuk ditapis, karena setiap saat disebar tanpa henti. Penyebaran ‘fifty thousand errors’ dilakukan melalui televisi, koran, majalah, radio dan dunia internet. UKPMers harus mengkampanyekan “War againts Errorist”. Biarlah kita dianggap sebagai ‘Terrorist’, hanya karena melawan ‘Errorist’. Kampanye “War againts Errorist”, bukan hanya dalam versi lagu punk ala NOFX (dengar : “war againts error”), tapi juga melalui CAKA. Tulisan-tulisan dalam format Terror.com, bisa juga merupakan bagian dari “War againts Errorist”. Seharusnya Terror.com dibuat dalam bentuk web blog, agar bisa dibaca secara on line. “True lies” dapat juga diartikan sebagai “kebohongan yang terus-menerus dilakukan (never ending lies), hingga akhirnya menjadi suatu kebenaran (true)”. Apa yang terjadi dalam ‘white lies’ dan ‘true lies” disebut sebagai ‘hyper-lies’. Evolusi ‘hyper-lies’ terjadi ketika “Ketika kebohongan terus menerus dilakukan secara sistematik, terorganisir dan ditunjang oleh dana yang besar, maka akhirnya kemudian dipercaya sebagai suatu kebenaran”. Hyper-lies’ terjadi secara sukses

Transcript of Vademekumenulis Jurnalistikritis Caka

Vademekumenulis Jurnalistikritis Caka

‘Vademekumenulis CAKA’ dimaksudkan sebagai cara sistematik dan metodologis tentang bagaimana seharusnya UKPMers membuat produk-produk ‘jurnalistikritis’ seperti berita, kolom, feature, deep reporting, in depth interview, Investigasyik (investigasi itu asyik) dan sebagainya. Sekarang ini media kapitalisme hanya menyajikan ‘berita bangsat’ (newshit), berita seremoni (ceremonews), berita hiburan (infotainment), berita hiburan ‘tai kucing’ (infotaikucingment), tontonan yang menyebalkan (spectacleshit) dan sebagainya. Media kapitalisme juga mengandalkan prinsip jurnalistik ‘Kafir Both Side’ yakni bagaimana cara menutupi (‘cover’ atau ‘kufur’) suatu fakta dengan menyajikan berita-berita yang sudah terskenariokan di meja redaksi oleh gate keeper. Prinsip jurnalistik ‘Cover Both Sides’ hanyalah penamaan secara akademis dari ‘Kafir Both Side’. ‘Cover Both Side’ hanyalah bagian dari apa yang disebut sebagai ‘white lies’ (kebohongan kulit putih) dan ‘true lies’ (kebenaran kulit putih). Keterangan lebih lanjut baca “Unidentified Flying Ostafology (UFO) dalam bagian “Nonalogi Ostafolog (NO)”, khususnya “Journalism of Coverruption Both Side”. Sebutan ‘Kafir’ dalam konteks ini bukan dalam terminologi agama sebagaimana adanya oposisi bipolar seperti ‘Islam’ versus ‘Kafir’. Istilah ‘Kafir’ dimaksudkan kepada siapa saja yang menutupi-nutupi kebenaran dengan ‘to cover’ (menyelubungi atau menutupi) suatu kebenaran. Para pelaku yang bergerak di media kapitalisme, lalu terlibat ‘Kafir Both Side’, maka dapat terhimpunkan dalam ‘diagram ven’ sebagai golongan “Ya Ayyuhal Kafiruun”. ‘White lies’ yang diartikan sebagai ‘kebohongan kulit putih’, sedangkan ‘true lies’ sebagai ‘kebenaran kulit putih’, pastilah ‘terbaca’ sangat rasis. Memang pengertianya seolah-olah rasis, tapi itulah fakta yang terbentang sangat jalang di realitas dunia pers global. ‘White lies’ dapat juga diartikan sebagai “kebohongan yang terus-menerus dilakukan (never ending lies), hingga akhirnya menjadi sesuatu yang suci (white)”. Contoh khas pelaksanaan ‘White lies’ bisa dibaca pada dua serial “Kitab Perjanjian Baru” (The Old Testament) dan “Kitab Perjanjian Lama” (The New Testament). Dalam penelitian yang dilakukan ilmuwan Kristen, melalui metode hermeneutik, ditemukan fakta tentang isi kedua kitab itu, yang mengandung minimal 50. 000 kebohongan (fifty thousand errors). Dua kitab suci yang ‘hyper errors’ itu tetap dianggap benar dan suci (true and white), karena terus menerus disajikan secara dogmatis dan doktrinasi di gereja, sekolah theologi dan seminari.

Sebenarnya setiap hari, minimal terjadi penyebaran ‘fifty thousand errors’ dari kantor-kantor berita dunia dan jaringan berita global ‘American-Jewshit’ (Jahudi Amerika Bangsat). Dalam pandangan dunia tontonan (spectacles’ world of view), semua kebohongan sebanyak ‘fifty thousand errors’ akan susah untuk ditapis, karena setiap saat disebar tanpa henti. Penyebaran ‘fifty thousand errors’ dilakukan melalui televisi, koran, majalah, radio dan dunia internet. UKPMers harus mengkampanyekan “War againts Errorist”. Biarlah kita dianggap sebagai ‘Terrorist’, hanya karena melawan ‘Errorist’. Kampanye “War againts Errorist”, bukan hanya dalam versi lagu punk ala NOFX (dengar : “war againts error”), tapi juga melalui CAKA. Tulisan-tulisan dalam format Terror.com, bisa juga merupakan bagian dari “War againts Errorist”. Seharusnya Terror.com dibuat dalam bentuk web blog, agar bisa dibaca secara on line. “True lies” dapat juga diartikan sebagai “kebohongan yang terus-menerus dilakukan (never ending lies), hingga akhirnya menjadi suatu kebenaran (true)”. Apa yang terjadi dalam ‘white lies’ dan ‘true lies” disebut sebagai ‘hyper-lies’. Evolusi ‘hyper-lies’ terjadi ketika “Ketika kebohongan terus menerus dilakukan secara sistematik, terorganisir dan ditunjang oleh dana yang besar, maka akhirnya kemudian dipercaya sebagai suatu kebenaran”. Hyper-lies’ terjadi secara sukses ketika ‘kebohongan’ tak lagi bisa dibedakan dengan ‘ketidakbohongan’, saat itulah menjadi suatu kebenaran hegemonik. Amirul Mukminin Umar bin Khattab, r.a. berkata, “Kejahatan yang teroraganisir, akan mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir.” Lihatlah betapa banyak kebenaran teramat mudah dikalahkan oleh kejahatan terorganisir dan konspirasi jahat terorganisir. Pelaku-pelaku kebenaran malah hanya terlihat sebagai figuran, bintang tamu, orang-orang yang saleh yang lemah dan hanya mampu bertahan efektif di ‘benteng selemah-lemahnya iman’. Fungsi fundamental UKPMers yakni bagaimana mengorganisir kebaikan dalam bentuk demo, pembangkangan, ‘jurnalistikritis’, dan resistensi. Semua kebaikan itu diorganisir melalui tulisan bulletin CAKA, diskusi, spanduk, BBB, siaran radio CAKA FM, pamflet, puisi, prosa, pembuatan ‘blogila’ dan ‘goblog’ di dunia maya, dan sebagainya. Bulletin CAKA, perlu juga dibuat dalam bentuk ‘Bulleteen’ yang disajikan sebagai bacaan untuk ‘teen’ (remaja). Mereka harus dibuat kritis lebih cepat dan bukannya cepat matang secara seksual, karena terhisap fantasi dalam ‘teenlit’. ‘Bulleteen’ ini untuk menyaingi pesona ‘love lieshit’ (kebohongankebohongan asmara) yang ada dalam ‘teenlit’. Pesona ‘teenlit’ kini memperbodoh secara moral pada anak-anak remaja. ‘Bulleteen CAKA’ ini juga dimaksudkan sebagai ‘Bullet for teen’ (peluru untuk remaja), agar mereka juga bisa mempunyai ‘worded weapon’

(kata yang dipersenjatai). Mereka yang tergolong ‘teen’ mulai dari usia thirteen (tiga belas tahun), sweet seventeen (usia tujuh belas tahun yang manis), nineteen (sembilan belas tahun) maupun yang sudah pernah jadi ‘pengan-teen’. Semuanya harus dibuatkan bacaan kritis ala ‘Bulleteen CAKA’. Wahyu, Anwar, A. Wahyuddin Jalil, Arqam Azikin, Herwin, Nasrul Tanjung, Agung, Abazta dan siapa saja yang sudah pernah menjadi ‘pengan-teen’, perlu juga membaca ‘Bulleteen CAKA’. “Bila kata tak lagi menjadi senjata, ganti saja dengan batu. Peras darah dari batu agar menjadi tinta. Tulis dengan tinta berdarah, agar menjadi ‘bullet’ (peluru) dalam ‘Bulletin’ CAKA. Tak ada gunanya kata, jika hanya menjadi senjata tanpa peluru (gun without bullet), karena kau tak akan tahu kapan akan menembak! If words were a weapon without a bullet, you are only become a ‘hotshot’ (Bila kata adalah senjata tanpa peluru, maka kau hanya akan menjadi ‘a hotshot’ atau ‘orang sok jago’.

Ostafucking Shit ‘Al Mustafa’,Bontang Kaltim Pebruari 2008Berikut ini beberapa cara membentuk “JURNALISTIKRITIS CAKA” yang antiprinsip jurnalistik “Kafir Both Side”.

1. Negative Thinking Criticism

Negative Thinking Criticism merupakan suatu cara berpikir kearah berlawanan dengan kondisi “normal” yang kini berlangsung di kampus dan negara ini. Hal ini agar masyarakat kampus dan masyarakat umum terbebas dari ironi pemikiran hegemonik yang dianut orang-orang yang berkuasa di tingkat negara, rektorat, fakultas, dan jurusan. Semua kebijakan resmi dan tak resmi di kampus/negara harus mendapat tanggapan berlawanan arah. Mayoritas kebijakan-kebijakan tersebut menempatkan mahasiswa/masyarakat dalam kondisi sebagai orang-orang yang ditekan/ditindas. Perlawanan tekstual melalui tulisan dan spanduk harus mengeluarkan mahasiswa/masyarakat dari lingkaran setan kebijakan rektorat/pemerintah yang selalu menindas.

Contoh

Kebijakan PR III sekarang dan yang akan datang, nyaris serupa sisi buruknya dengan semua PR III sebelumnya. Semua kekisruhan di kampus harus dihubungkan dengan pola pikir dan pola tindak PR III sekarang. Penantangpenantang terbaik semua gagasan dan ulah PR III harus berasal dari perlawanan berpikir UKPMers yang termuat di Caka.

Catatan:

Semua contoh yang disajikan, didasarkan pada saat dimulainya pembuatan ‘Vademekumenulis CAKA’ beberapa tahun lalu. ‘Vademekumenulis CAKA’ dibuat setelah terjadi pemberitaan tentang “Professor berhati binatang”. Akibat pemberitaan ini, pihak pengurus UKPM dilaporkan ke polisi. Saat itu UKPM dibawah pimpinan Sulvi. Diharapkan nanti, UKPMers membuat laporan semacam itu, karena kini bukan hanya ada “Professor berhati binatang”, tapi sudah ada “Professor yang seperti Babi Napoleon”. Adanya birokrat dan ‘kleptokrat’ yang berwatak seperti ‘Babi Napoleon’, telah menjadikan kampus ‘Universitaswastanuddin’ (Unhas) sebagai suatu “animal farm”. ‘Animal Farm’ dan ‘Babi Napoleon’ akan dijelaskan pada bagian lain dari ‘Vademekumenulis Caka’.

Contoh-contoh dikerucutkan hanya pada konteks kampus, meskipun juga terkadang menyangkut pada konteks negara. Pengerucutan contoh ditujukan pada masalah kampus, karena wilayah itu cukup sempit untuk dilihat realitasnya. Jika UKPMers memahami kondisi kampus, maka akan bisa juga memahami apa yang terjadi di negara ini. Kampus merupakan miniatur negara dalam segala bentuk kebijakannya. Kebijakan negara yang menindas rakyat secara umum, pada akhirnya akan di-copy-paste oleh petinggi kampus untuk menindas mahasiswa. BHP dan BHMN merupakan produk kebijakan kapitalisme Negara yang secara langsung menindas rakyat secara umum. Kebijakan itu kelihatannya hanya dipakai untuk mengebiri mahasiswa secara ekonomi, tapi dampaknya menular pada orang tua mahasiswa dan masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan tinggi . Apa yang terjadi dalam kampus, tak lain merupakan refleksi dari apa yang terjadi pada negara ini, begitupun sebaliknya. Bila Mahasiswa tertindas, berarti masyarakat secara umum juga pasti mengalami penindasan yang setaraf atau malah lebih.

2. One Stop Next CrisisRuang kecil UKPM harus menjadi suatu ”crisis center” penggodokan tingkat krisis yang terjadi di Unhas. Berbagai pola krisis itu mungkin telah diatur secara

terorganisir oleh para penguasa rektorat periode sekarang untuk kepentingan perpanjangan jabatan periode berikutnya. Laporan ‘Jurnalistikritis Caka’ harus membeberkan semua segi krisis itu sampai tingkat minimum.

Contoh

Aksi Mahasiswa Sastra (AKSARA) harus didukung pula oleh laporan prakiraan krisis-krisis baru pasca AKSARA tersebut. Pihak rektorat telah merancang rekayasa krisis baru yang mungkin tak sempat terpantau AKSARA. Pola aktivitas mahasiswa, baik yang mampu “melihat aksara”, “rabun aksara’ atau “buta aksara”, harus mampu diarahkan untuk sadar pada suatu krisis apa saja. Mahasiswa yang“melihat aksara”, yakni seluruh UKPMers, karena mereka sering membaca dan menulis sangat kritis. Mereka yang “rabun aksara’ atau “buta aksara”, adalah mahasiswa yang membaca karena dipentingkan sebagai hapalan ujian semester.

Mereka yang ‘buta aksara’ bukan hanya dalam pengertian ‘illiterate’ (‘ill in literate’ atau ‘sakit dalam bacaan’), tapi juga ‘sickliterate’ (‘got sick in literate’ atau ‘menderita sakit dalam bacaan’) hingga ‘sicklopedic’ (sakit dalam ilmu pengetahuan). UKPMers perlu melakukan ‘pengobatan massal’ pada mayoritas mahasiswa Universitaswastanuddin yang memang masih ‘illiterate’, ‘sicklopedia’ dan ‘sickliterate’. Mahasiswa Universitaswastanuddin masih termasuk dalam kompleks ‘dead literate society’ (masyarakat yang mati dalam keaksaraan), karena terlalu lama diopname akibat menderita ‘illiterate’, ‘sicklopedia’ dan ‘sickliterate’. Cara pengobatan massal itu cuma satu yakni CAKA harus terbit rutin, begitupun juga ‘Triple B’ (Baca Baca Berdiri) maupun juga ‘Newshit Letter’ (pelaporan berita-berita bangsat). CAKA FM bisa juga menjadi bagian penting dari pengobatan terhadap mayoritas mahasiswa Universitaswastanuddin yang ‘illiterate’, ‘sicklopedic’ dan ‘sickliterate’.

3. Intel Inside

CAKa harus menjalin kerjasama data dan informasi dengan orang-orang baik yang rela menjadi informan. Orang-orang yang seperti ”Amir” kita jadikan sebagai ”anggota jaringan mata-mata di lingkungan istana”. Rektorat diibaratkan sebagai “istana orang pintar” yang memanipulasi kebobrokan dengan cara-cara pintar. Orang-orang pintar yang berkonspirasi dalam menata kebobrokan harus dihadapi metode-metode cerdas. Dimana lagi metode-metode tersebut bisa dimainkan kalau bukan di CAKA. Lagipula UKPM merupakan “wadah orang yang cerdas yang berpikiran merdeka’.

Contoh

Orang-orang seperti ”Amir” pasti masih banyak di rektorat. Cuma mereka nyaris tak punya metode untuk mengungkap kebobrokan itu. Posisi mereka cukup menjadi informan saja, sedangkan CAKA yang membeberkan informasinya. ”Amir” merupakan informan yang pernah dimuat pandangannya di CAKA, hingga membuat pihak rektorat melakukan pelaporan di kepolisian. Pelaporan “Amir” telah menjadikan CAKA sebagai satu-satunya media pemberitaan di kampus, yang pantas membuat pihak rektorat bergidik.

4. Internal Affairs

Di antara sesama anggota pejabat rektorat banyak yang seakan-akan berkawan, walaupun ikatan perkawanan itu terbuat dari tali kepentingan jabatan, proyek maupun statuta komersil lainnya. Di antara para pejabat itu pasti ada yang bermasalah dan ada di antara pejabat lain yang tidak suka padanya. Perseteruan diam-diam ini, harus diungkapkan karena keduanya mungkin saja mempunyai masalah serupa.

Contoh

Mantan PR III (atau siapapun pejabat rektorat) pasti merasa disingkirkan oleh sesama anggota rezim lama rektorat, yang telah mendapat jabatan baru. Tersingkirnya seseorang dari jabatan elit, karena tak terpakai lagi, bisa menjadi momentum untuk membuka selubung-selubung ‘kolusi negatif’ yang sedang terjadi. Pemegang jabatan PR III pada rezim sekarang, pastilah dimusuhi oleh pihak lainnya, yang tak masuk di jaringan kekuasaan elit. Ada juga mantan pembantu rektor yang masih terpilih di kedua kalinya, karena rektor yang terpilih berada dalam kelompok kepentingannya. Perasaan tersingkir itu akan membuat dirinya akan berposisi sebagai ”insider opposition” (oposisi dari kalangan dalam) atau ”musuh dalam selimut”. Mereka yang

tersingkir, pasti ada membuka tabir-tabir dusta yang selama ini dikemas dalam ‘kebohongan-kebohongan legalistik’. Di Unhas, ada sejumlah dosen yang membuat kelompok ‘vested interest’, yang sama sekali tidak berkaitan dengan mashab pemikiran atau apapun yang bersifat ilmiah. Mereka berkelompok hanya untuk melindungi otoritas atau batas teritorial kepentingan masing-masing.

5. Witness Safety Procedure

Siapapun yang menjadi informan atau saksi atas kebobrokan rektorat harus terlindungi identitasnya. Keberadaan mereka harus tak tak terlacak oleh kekuatan apapun yang ingin mengancam, mengintimidasi, dan mencederai para saksi tersebut.

Contoh

Cara melindungi saksi/informan ”Amir” bisa menjadi patokan kerja berkelanjutan UKKPM, meskipun cara itu harus membuat sejumlah anggota terbaik UKPM harus terintimidasi oleh ulah premanisme pihak rektorat, bahkan harus memenuhi panggilan pihak kepolisian. UKPMers harus melindung “sosok Amir siapapun” dari ketakutan, ancaman dan intimidasi pihak rektorat.

6. More Than Just Issues

Semua produk isu yang terjadi di rektorat, harus mengalami eksplorasi ”in deepreporting” (laporan mendalam) dan ‘in depth interview’. Apapun isu yang terdengar, bila masuk ke ruang Caka haruslah menjadi berita dari sumbersumber terpercaya, baik ‘terpercaya kebohongannya’ hingga ‘terpercaya kebenarannya’.

Contoh

Isu dalam kelambanan PR III dalam membuat solusi atas keprihatinan mahasiswa maupun dalam mengatasi gejolak mahasiswa, pasti disesalkan banyak pihak. CAKA harus mengetahui siapa pihak-pihak tersebut. PR III sekarang akan kembali mengikuti jejak PR III sebelumnya yang sering kali bertindak menyetujui cara kekerasan untuk segala perintang kesuksesan jabatannya. PR III akan mengatasi masalah dengan cara bermasalah, yakni mengadakan tindak premanisme.

7. Public Enemy

Pihak manapun yang sepatutnya bertanggung-jawab atas kebobrokan di Unhas harus diupayakan menjadi ”public enemy” (musuh bersama). Dalam pengertian bahwa orang tersebut memang bertindak umtuk memicu rasa marah tiap orang yang mengetahui kebobrokan itu.

Contoh

Persoalan pengadaan barang-barang inventaris Unhas biasanya mengalami ”hyper mark up” anggaran, sehingga penggelembungan anggaran, dianggap sebagai hal yang biasa. Persoalan ini telah terjadi bertahun-tahun, namun tak terekspos. Bila menyangkut penyelewangan keuangan, bisa membuat banyak orang terpacu ikut memusuhi para pelaksana ”mark up”. Ketika jaringan itu terbongkar, maka pelakunya pasti dimusuhi banyak orang atau minimal ia menjadi seorang yang tertuduh.

8. Don’t Blame It Satan

Reportase harus realistis, meskipun harus menggunakan kalimat-kalimat imajiner dalam jurnalistik kesusastraan (jurnalistik sastra) atau bahkan bila harus menggunakan ‘jurnalisme seribu mata’ (jurnalisme yang menggabungkan filsafat, sastra, dan realitas). ‘Jurnalisme Seribu Mata’ dapat ditemukan dalam bulletin budaya ”Basis” dan pernah dipopulerkan penulisannya oleh Sindhunata dalam laporan sepak bola. Di harian Kompas. Dua jenis repotase cerdas itu sebaiknya tidak haya dicerna oleh sekian sedikit orang-orang kritis, tapi bisa pula dipahami oleh orang-orang ”the man on the street/orang awam”. Ada juga “Jurnalisme Satu Mata”, “Jurnalisme Lucifer” atau “Jurnalisme Satu Dollar” (lihat: lambang satu mata dalam uang dollar) yang membuat setiap oarang secara global, hanya menerima informasi tunggal dari media yang dikelola American-Jewshit (Yahudi Amerika Bangsat). ‘Jurnalisme Seribu Mata’ ala buletin “Basis” Yogyakarta dan Sindhunata, hanyalah penambahan sebanyak 999.999 mata baru yang mendukung ‘Satu Mata Lucifer’.

‘Kompas’ telah menggunakan pula ‘Jurnalisme Seribu Mata plus 999.999 mata baru’ dalam pemberitaannya. Tolong analisa cara menulis Sindhunata dan lihat persamaanya dengan cara pemberitaan ‘Kompas’. Siapakah yang termasuk dalam ‘999.999 mata baru’ itu? Mereka adalah pihak yang mengedarkan berita ‘Kafir Both Side’, yang berasal dari kantor-kantor berita dan media-media yang yang dikuasai oleh American-Jewshit. Kalimat kalimat imajiner tersebut ala ‘jurnalisme sastra’, tak boleh dibuntukan oleh suatu pernyataan-pernyataan yang berbias entah dimana. Orang-orang jahat di rektorat tak menjadi tertuduh atas semua tindakan bobrok yang dilakukannya, karena pemberitaannya terlalu ‘prosa’ dan puitis. Bila tulisantulisan berbias, maka kita seperti harus menyalahkan setan untuk semua kebobrokan. Tak ada setan yang mau bertanggung jawab untuk hal apapun. Kita juga tak boleh menulis tentang ”ghost accuser” sehingga seakan-akan terjadi bahwa pelaku kebobrokan tertuduh sebagai hantu. Pelakunya kejahatan di kampus dan negara ini, kebanyakan tertuduh tanpa subyek fisik bahkan tanpa nama. Kriminal korupsi tak pernah usai karena aparat keamanan dan aparat hukum hanya menangkap hantu secara imajiner. CAKA tak boleh mencurigai siapapun dalam bentuk ‘trial by the press’, tapi harus langsung menuduh. Janganlah lagi memakai ‘trial by the press’, tapi ‘press by the press’ . Biarlah semua buletin Jumat, mengingatkan adanya setan terkutuk dari dunia jin. Sebaliknya, CAKA mengambil alih tema peperangan abadi dengan setan berbentuk manusia, yang jauh lebih berbahaya dari setan dari kalangan jin. Setan yang harus dihadapi UKPMers bukanlah yang berbentuk “setan yang berdiri mengangkang” seperti dalam tembang Iwan Fals. Setan itu hanya ada di era “Orde Baru” dan sudah kadaluarsa. “Setan yang berdiri mengangkang” sudah tak diproduksi oleh eksekutif yang ‘bermain seperti layaknya Tuhan’ (playing God). Suku cadang jenis setan dari tembang Iwan Fals, malah tak punya lagi ‘Satan genuine parts’. Setan jenis baru di era “Orde Baru-Baru Ini” yakni setan yang nungging. Apa ada ‘setan nungging’ ya!

Contoh

Tidak boleh ada penggunaan kata ”oknum atau pihak tertentu” atas keberadaan pelaku kebobrokan, seperti yang lazim dipakai oleh pers umum untuk melindungi orang-orang jahat. Penggunaan kata ” oknum atau pihak tertentu” persis seperti menyalahkan setan atau hantu sebagai biang atas segala dosa dan kejahatan. Tak ada gunanya selalu menyalahkan setan bila orang-orang jahat tetap bebas berkeliaran. Untuk itu CAKA tak boleh dibuat seperti ‘buletin Jumat’ yang nyaris selalu mencerca kesalahan setan di beberapa edisi. Seberapa seringpun mencerca setan dan ‘berkothbah secara berapi-api’, tapi ‘makhluk dari api’ tetap menjadi ”the untouchable”, (tak tersentuh tangan-tangan hukum). Tak ada gunanya mencerca makhluk misterius yang bermarkas pada setiap nafsu-nafsu rendah manusia. Setan tak bisa dilawan hanya dengan ‘khotbah di atas bukit’ dan ‘ceramah di atas mimbar’. Bukankah ada setan dari kalangan manusia yang telah membeli bukit, dan menyebut namanya di suatu bukit. Ia juga membuatkan mimbar bahkan mesjid sebagai tempat berkotbah dan berceramah? Setan juga senang mendengar kothbah dan ceramah, karena pengaruh bahasa lisan dari ‘kesucian formalistik’ itu sama sekali kurang berpengaruh secara signifikan. Setan tak bisa dilawan secara total, hanya dengan bahasa lisan. Setan harus dilawan dengan bahasa tulisan, supaya permusuhan itu bisa diwariskan di setiap Diklat UKPM dan ‘in house training’. Pembuktian bahwa setan selalu bersalah atas terjadinya semua tindak kejahatan, hanya terjadi sesudah hari kiamat. CAKA tak mungkin menunggu ”hari kiamat” untuk membuktikan bahwa ”oknum dan pihak tertentu” memang benar-benar bersalah. CAKA harus membuktikan kejahatan itu di setiap edisi, agar setiap kriminal korupsi dan varian-variannya selalu bertemu ‘hari kiamat’, selama tujuh hari dalam seminggu. CAKA harus membuat sendiri ‘hari kiamat’ bagi pendosapendosa birokrasi di negara ini secara umum maupun secara khusus di rektorat dan fakultas.

9. ICEBERG PHENOMENA

Berita CAKA tidak hanya sekedar mengungkap fenomena gunung es belaka (Iceberg phenomena). Dalam psikologi, fenomena ini mengungkapkan bahwa sesuatu yang tersembunyi dari pandangan mata, pasti bercokol sesuatu yang lebih besar dan lebih banyak dari apa yang terlihat di permukaan. Secara fenomenologis, suatu berita memang merupakan hal yang terlihat di mata, namun ”something strange in deep sea blue” (sesuatu yang aneh di kedalaman) harus di observasi lebih lama lagi. Berita CAKA harus lebih dari sekedar fenomena gunung es, meskipun demikian, UKPMers harus tetap tampil dengan ”cool style”.

Contoh

Forum bersama UKM dipromotori Drs. Ashari Sirajuddin Msi hendak dijadikan wadah penggalangan anggota UKM untuk kepentingan pribadinya. Pembentukan FORBES UKM merupakan suatu fenomena gunung es, dari hasrat berkuasanya di rektorat. Lalu ada apa di bawah permukaan gunung es ? Itu yang harus dilacak CAKA. Orang ini pernah mempolitisir berita CAKA untuk dilaporkan ke polisi, ia hendak menjadi pahlawan kesiangan di kalangan pejabat rektorat. Ia bahkan pernah melakukan intimidasi premanisme terhadap pengelola CAKA.

10. Say no to ‘the word’, because it is not the weapon

CAKA harus memilih kalimat-kalimat yang selaras dengan misi untuk berlawanan secara proporsional dengan rezim rektorat dan semua rekan konspirasinya. Bahasa yang akan melemahkan perlawanan harus dihapus dari fail. Dalam berbahasa, UKPMers jangan lagi tergantung pada kata, apalagi menjadikannya sebagai senjata. Kata hanyalah ‘sekian nol persen’ dari bentuk resistensi dan perlawanan, jadi mengapa kata harus dijadikan senjata? Perlawanan dengan kata merupakan suatu sikap yang terlemah dari suatu resistensi. Kalau “iman” sudah sowak, bolehlah menjadikan kata sebagai senjata. Tergantung pada kata, apalagi menjadikannya senjata, tidak bisa dijadikan idiom mainstream penerbitan CAKA. “Kata sebagai senjata” terlalu imajiner ungkapannya, padahal UKPMers harus menghadapi realitas bahkan ‘hyperreality’ (ketika realitas dan non-realitas, tak lagi bisa dibedakan satu sama lainnya). Berhentilah dengan permainan kata-kata imajiner dan membuat idiomidiom yang kurang bermakna.

11. ‘Bullet-in CAKA’, ‘CAKA magazine’, ‘bullet in computer’ and ‘bulletin house training’

Bagaimana sebuah kata bisa menjadi senjata, bila secara imajiner sama sekali tak punya peluru? UKPMers harus memiliki ‘bullet’ (peluru), lalu bentuknya seperti apa? CAKA merupakan ‘bullet-in’ (peluru yang ditanam didalam) seperti in-side computer (di dalam komputer) hingga in-house training. Bila sudah memiliki peluru, maka bisa membuat senjata rakitan, 'BOM' rakitan (Bursa Opini Mahasiswa), kalimat rakitan, idiom rakitan dan segala model perakitan apa saja. Rakit sendiri kata-kata dan kalimat-kalimat, jangan hanya membeo dengan menggunakan kalimat orang lain, meskipun dari Subcommandante. “Berakit rakit kehulu berenang-renang ketepian”, begitu kata peribahasa masa sekolah dasar. Rakit saja bisa dirakit untuk dipakai ke hulu! Seharusnya UKPMers mampu merakit slogan sendiri untuk dipakai menyerang hulu dari despotisme di kampus dan negara ini. ‘Bullet-in computer’ yakni ‘terror. com’. Peluru aktif UKPMers ada dalam ‘terror. com’, sebab dari sanalah pernyataan privat setiap UKPMers bisa dilacak. ‘Bulletin house training’ yakni bagaimana setiap anggota keluarga baru neo-UKPMers mendapatkan masing-masing pelurunya. Setelah itu biarkan mereka merakit sendirinya senjatanya. Senjatanya boleh batu, kata, diam, instalasi, demonstrasi, happening art, karnaval, teater dan sebagainya. Jangan menyempitkan CAKA dengan menjadikan “kata sebagai senjata”. CAKA itu bukan hanya sekedar gudang kata-kata atau penampung kata, tapi merupakan ‘beyond words”. “Katakata sudah mampus, choy!” Hanya pendusta agama, demagog, newspeaker dan juru bicara pemerintahan korup yang menjadikan “kata sebagai senjata”.

Kekuatan CAKA dan UKPMers bukan dari kata yang dijadikan senjata. Kata hanyalah suatu ‘entry point’ untuk menyampaikan gagasan, melaporkan kebenaran dan menawarkan realitas baru. Terlalu rendah mutu berbahasa, bejurnalistikritis dan beridealisme, bila kata telah dijadikan senjata. Setelah UKPMers memiliki ‘bullet’, maka ia bisa menyusun “Bullet-in CAKA”. Bila pelurunya banyak, malah bisa menampungnya dalam ‘magazine’, bukan sekedar ‘zine’. Ketika seorang UKPMers memiliki ‘magazine, maka ia bisa memuntahkan pelurunya secara otomatis dalam ‘lock and loaded weapon’.

12. Copy-paste, copy-left, but not copy-cat

Tak mengapa bila ada UKPMers suka ber-copy paste. Bisa ditoleransi dan diberi ‘sikap permisif’, kalau meng-copy paste sesuatu. Beberapa tugas kemahasiswaan memang perlu di-copy paste, sebab bila memasukkan pemikiran sendiri bisa disalahkan dosen dan diberi nilai rendah atau judul penelitian di tolak. Silahkan meng-copy paste untuk hal-hal yang sama sekali tidak bermutu. UKPMers wajib meng-‘copy left’, sebagai bentuk resistensi terhadap ‘copy-right’. Pepatah menyebutkan, “the right man not in the copyright place” (orang yang benar, tidak berada di tempat yang melegalkan hak cipta). Satu-satunya yang sebaiknya tak boleh dilakukan UKPMers yakni ‘copycat’ (peniru). Boleh membaca Karl Marx, senang pada Chomsky dan kagum pada ‘Subcomandante Marcos’. Siapapun tokh-tokoh itu

dalam kehebatannya masing-masing, boleh dikutip kalimatkalimatnya. Sebaliknya, jangan ada UKPMers yang meng-‘copycat’ dalam perbuatan, sikap hidup dan kata-kata mereka. UKPMers harus merakit sendiri moto, prinsip dan kata-kata pedoman dalam CAKA, jangan pernah meniru-niru siapapun. UKPMers bukan burung beo, yang suka mengulang-ulang apa saja yang didengarnya. UKPMers memang ada yang punya burung, tapi jangan pernah menjadikan diri dalam karakter ‘burung beo’. Salah satu (masih senjata”, yang dalam salah satu tulisan di CAKA. Idiom itu disebutkan berasal dari ucapan atau tulisan tokoh perlawanan dari pegunungan Chiapas, yang kemudian dipakai di CAKA sejak 2006. Bila membutuhkan ungkapan atau idiom yang bagus, cari saja di ‘terror.com’ atau di sejumlah ‘blogila’ dan ‘goblog’ UKPMers. Bagaimana kata bisa berguna, bila untuk sebuah idiom imajiner, malah harus meng-copycat dari Subcomandante. Jika sang Subcomandante adalah wa-one, maka itu sangat dipujikan. Bagaimana kata bisa menjadi senjata, bila untuk sebuah moto imajiner, UKPMers tak bisa merakit kata-kata sendiri untuk dijadikan senjata. Bila UKPMers tak mampu membuat motto sendiri untuk CAKA, berarti kosakata yang dimiliki sekarang terlalu sedikit. Begitu sedikitnya kualitas kosakata dan perbendaharaan bahasa, sehingga sejak awal 2006, UKPMers harus mengcopycat sebuah moto imajiner dari Subcomandante. Secara logika bahasa, motto dari Subcomandante bernilai terlalu rendah. Mengapa sekarang terlalu rendah pilihan kata-kata UKPMers, sehingga harus mengimpor dari pegunungan Chiapas? Idom “kata adalah senjata”, bukanlah kalimat seru yang berkualitas ekspor, lalu mengapa UKPMers harus mengimpornya sebagai bagian dari produk halaman muka CAKA?

13. Hemat dalam memuji penguasa

Ekspose keberhasilan seorang pejabat rektorat, yang ternyata disinyalir juga berbuat andil kebobrokan di Unhas, haruslah dibuatkan dengan meminimalkan pujian atas keberhasilannya. Siapa tahu semua keberhasilannya didapat, karena ia bagian dari pelaku korupsi, penggelembungan anggarani, manipulasi, dan sebagainya. Selain itu, bila sang pejabat harus mendapatkan ucapan selamat, maka tetap ada suatu ucapan alternatif yang isinya merupakan peringatan. Beri ucapan selamat yang diberi “seruan awas” agar jangan berbuat sesuatu yang buruk terhadap mahasiswa selama masa jabatannya.

Contoh

- Selamat atas keberhasilan prof. DR Anu-Anu, M.Si sebagai Pembantu Rektor III, semoga tidak menindas mahasiswa selama lima tahun masa jabatan. - Selamat atas terpilihnya Drs. Anu-Anu, MM sebagai Walikota Makassar. Semoga anda tidak menambah korban baru dari janji-janji kampanye.

14. Don’t Fuck With Caka

CAKA harus terbebas dari kepentingan apapun. Tak mentoleransi sedikitpun juga kepentingan yang akan merusak reputasi UKPM. CAKA merupakan representasi non-verbal/literal dari misi dan visi UKKPM. CAKA harus seperti ”...” (tiga tanda titik blangko yang belum terisi apapun). Setiap UKPMers harus membuat kalimat tersendiri untuk kekhasan penulisan CAKA. Corak kalimat pastilah selalu berbeda untuk setiap anggota UKPM yang menulis reportase, opini, dan sebagainya. Perbedaan itu tak boleh keluar dari beberapa poin Vademekumenulis CAKA atau hal-hal yang sudah disepakati secara internal. Toleransi dan sikap permisif diminimalkan, bila secara sengaja melanggar poin-poin tersebut, sehingga nyaris bertindak di luar kehendak organisasi.

Contoh

Cara Sulvi, Ochan, Limbung, Bahar, Sirul atau siapapun UKPMers dalam memandang suatu kasus pastilah berbeda. KKetika menulis subyek pandangannya dalam CAKA, juga pasti tak selalu sama. Walaupun demikian, keseluruhan perbedaan itu merupakan suatu cerminan keselarasan dalam CAKA. Perbedaan-perbedaan itu membuat CAKA semakin eksis dalam kondisi krisis apapun. Dengan demikian musuh-musuh dari kebenaran, kejujuran, dan keadilan pasti akan menerima peringatan di setiap terbitan CAKA yakni ”DON’T FUCK WITH CAKA”.

15. It’s Nothing Personal

Bahwa tak terdapat kepentingan pribadi/kelompok dalam publikasi, kecuali bila sesuai dengan visi dan misi UKPM. Bisa ditoleransi bila kepentingankepentingan luar

tersebut bersimbiosis-mutualisme dengan kepentingan UKPM. Meskipun demikian, tetap ada individu di UKPM yang tak punya loyalitas. Setelah mendapat ilmu dan keterampilan justru ia tak membuktikan baktinya pada UKPM. Hal ini terjadi pada yang kini magang di radio Merkurius. Anggota yang tak loyal itu, telah dibahas pada Raker di Jeneponto.

Contoh

UKPM bersimbiosis-mutualisme dengan AMPD, FM Anak, PMDD, dan sebagainya, sehingga berita-berita pergerakan semua termuat di CAKA. Personal AMPD juga merupakan personal UKPM. Tak pernah ada konflik antar-personal, meskipun berada dalam wadah yang berlainan. Mereka yang “aksioner” (suka melakukan aksi demonstrasi) dan revolusioner, tak pernah berseberangan kepentingan internal UKPM.

16. Discover Both Sides/Cover Both Sides Not

Salah satu konspirasi interminis dalam pers yakni adanya peliputan yang disebut “COVER BOTH SIDES” yang seringkali diartikan sebagai peliputan obyektif dari kedua belah pihak secara berimbang. Sebenarnya harus diketahui bahwa ‘cover’ berasal dari bahasa Arab dengan pengeritan teramat buruk yakni ‘kufur’, ‘kafir’, yakfuru dan seterusnya. Diversifikasi kata-kata Arab itu dapat berarti pengingkaran keobyektifan. Orang yang menzalimi kebenaran, tindakan menutupi kebenaran dan menghalang-halangi keterbukaan informasi, termasuk pelaku dari “kufur both side”. Masih ada seratusan lebih, arti dari ‘cover’ tersebut, yang semuanya justru berlawanan dengan keobyektifan dan keberimbangan. Teramat salah bila “COVER BOTH SIDES” diartikan sebagai suatu laporan yang atau beberapa pihak sekalipun. Memang mestinya ada juga bentuk kekufuran informasi lainnya “COVER TRIUNCH SIDES” (meng”Kufur” tiga pihak) dan “COVER ALL SIDES” (meng”Kufur” semua pihak) sebagai bentuk eksistensifikasi “COVER BOTH SIDES”. Bukankah jika informasi diutupi dari kedua pihak, bisa berarti tiga pihak atau lebih bisa juga ikut tertutupi. “COVER BOTH SIDES” secara materi dapat pula diartikan member penutup dari dua sisi, yakni depan dan belakang. Penerbitan yang masih menggunakan kertas tak ada yang ”NUDE BOTH SIDES” (telanjang kedua sisinya). Semuanya pasti memiliki penutup/sampul. Penerbitan virtual juga memiliki sampul yang menutup/menutup-nutupi isi informasi yang tertuang dalam isi berita tersebut. Secara luas, sampul penutup informasi dapat berupa pihak pemodal/pemegang saham, kepentingan politik, kepentingan agama dan sebagainya. Setiap informasi selalu mengalami reduksi kebenaran atau ada portal yang selalu menghalangi arus kebenaran. Portal itu dapat berupa “POLITICS BEHIND THE COVER, INTEREST BEHIND THE COVER, MONEY BEHIND THE COVER, RELIGION BEHIND THE COVER, THE MAN BEHIND THE COVER atau bahkan COVER BEHIND THE COVER”.

“COVER BOTH SIDES” adalah skandal ironi terbesar dalam pers. Ironi itu bukan hanya secara teori tapi juga secara praktek. Ironi itu terjadi karena ”COVER” mengalami pemuliaan makna dari semua arti buruk, yang sudah termaktub dari bahasa asalnya (Arab). Harus dipahami bahwa kaum zionis/salibis internasional melakukan serangkaian iluminasi agar tetap tampil secara mulia, meskipun dalam Islam mereka tergolong sebagai golongan kufur. Islam sendiri membagi golongan kufur dalam empat pihak kafir. Tiga pihak kafir dapat ditoleransi untuk bekerja-sama dengan pihak Islam. Satu pihak lainnya menjadi lawan Islam yakni kafir Israel dan sekutunya. Di antara tiga pihak kafir terdapat dua di antaranya cenderung menohok Islam dari belakang, memusuhi Islam secara intelektual, diam-diam bekerja-sama dengan kafir Israel dan terusmenerus melakukan provokasi ilmiah yang melawan Islam. Dua pihak kafir inilah yang berhasil menciptakan suatu teori pers atau diksi pers yang disebut ”cover both sides” yang berarti ”gerakan menutup dari dua pihak kafir”. Bila dua pihak kafir berkonspirasi melakukan aksi ”cover” maka pihak Islam akan terjepit, tertutupi dan terbelenggu dari ”both sides” tersebut. Salah satu aturan teoritis yang meskipun agak semi ilmiah, tapi dianut sepenuhnya oleh pers barat yakni tesis pemikiran Samuel Huntington ”Clash of Civilisation” (Benturan Peradaban). Tesis ini bukanlah sebuah teori pers namun semua kantor berita, situs berita maupun berbagai saluran televisi dalam prakteknya selalu menyuarakan benturan peradaban ini dengan musuh besar yakni Islam.

Empat pembagian golongan kufur (cover 4 sides) yakni ‘kafir dzimmy’, ‘kafir mu’ahad’, ‘kafir musta’man’ dan ‘kafir harby’. Golongan ‘kufur’ yang masuk kategori ”cover both side” (dua pihak kafir) yang ‘kafir dzimmy’ dan ‘kafir mu’ahad’. Dua pihak kafir ini menguasai berbagai penerbitan pers barat, mensponsori kegiatan kebebasan pers maupun penciptaan teori-teori pers. Bagi Islam tak ada masalah bekerja-sama dengan pihak penyelenggara ”cover both side”, sepanjang hal itu

berkaitan dengan muamalah (kerja duniawi). AJI, PWI reformasi maupun berbagai LSM di bidang ‘media watch’ mendapatkan sponsor dari dua pihak kafir ini. Ada ironi dari keterlibatan pihak donor ”cover both side” yakni di satu pihak mereka menutupi informasi kebenaran, namun di lain pihak mendukung kebebasan mendapatkan kebebasan informasi secara bebas dan aktif. Inilah ironi dari suatu konspirasi yang sangat licik yang kini diagungagungkan dan dimuliakan dalam pers demokratis dan pers bebas tanpa portal pembatas. Agar CAKA berada di luar lingkar konspirasi ini, maka seharusnya menggunakan jenis pelaporan ”discover both sides” (membuka penutup, menghilangkan kekufuran, dan menemukan yang tersembunyi di antara dua sisi yang tertutup). ”Discover ’ berasal dari serpihak ‘dis’ (meniadakan) dan ‘cover’ (penutup). Dengan ‘meniadakan penutup’, maka CAKA bukan lagi merupakan bagian dari suatu ironi konspirasi global pers. CAKA bisa menggunakan jenis pelaporan ”cover both sides not” (melepaskan, merobek, menutup informasi kebenaran). Harus diakui, cengkeraman teoritis dan praktek dari ”cover both side” sudah terlalu tajam kuku-kuku srigalanya menghujam tubuh dunia informasi. Meskipun terlepas cengkeramannya, namun bekas luka itu sudah sedemikian parahnya. Media yang bercorak Islam juga terperangkap dalam corak ”both cover sides”. Ada ketidakcerdasan dari ulama yang tidak mengkritisi sisi-sisi kufur dunia pers. Dalam al-qur’an disebutkan bahwa kecerdasan diukur dalam skala ”ulil al bab” (pembuka bab). Bila seringkali membuka semua bab yang tersembunyi di antara dua ”cover”, maka terbukalah cahaya pencerahan). Sayangnya, media Islam tak bisa ke tingkat ”ulil al bab”, hingga pada akhirnya juga tak mampu ke tingkat ”ulil al-cover both sides” (pembuka kedua ”cover”) Bila hanya mampu membuka kedua ‘cover’, pasti kemudian tak akan mampu membuka informasi yang tersembunyi.

Contoh

Pada kasus Poso dan Ambon, pihak Kompas dan Media Pembaharuan nyaris sempurna mempraktekkan ”cover both side”, hingga kasus kemanusiaan itu hanya terbaca sebagai kasus kriminal biasa dan bukan sebagai ’Moslem Cleansing” (pemusnahan umat Islam). Kantor berita Barat ataupun pemberitaan dari jaringan berita luar negeri tentang Poso dan Ambon, bahkan sangat sempurna menunjukaan ketertutupan informasi ”cover both sides”. Semua pers di Indonesia, yang meliput ”Perjanjian Malino I dan Perjanjian Malino” ikut menyempurnakan pula konspirasi ”cover both sides” Semua kegiatan di Malino disponsori oleh ”dua pihak kafir”, setelah pihak Laskar Jihad dan Laskar Muslim lainnya berhasil mengalahkan pasukan Kristen. Setelah ”cover both sides” berhasil menunjukkan keberhasilannya, muncullah ”Peace Journalism” atau “Jurnalisme Damai” yang muncul untuk meredakan gerakan Islam yang melawan tindak kekerasan yang dilakukan kaum salibis/zionis. Untuk menyebarkan ”Peace Journalism” ini, dipakailah LSM-LSM yang berorientasi sebagai ”Media Watch” untuk melakukan pelatihan terhadap para wartawan. Hasil pelatihan inilah yang dipraktekkan dalam pelaporan ”Perjanjian Malino I dan II”. Ini merupakan suatu konspirasi yang sempurna dan sistematis dari pihak pendonor di negara kapitalis “kufur both sides” . Salah-satu kekufuran atau penutupan informasi kebenaran dari ”cover both sides” yakni bila Muslim teraniaya maka tak perlu menggunakan Peace Journalism”. Bila pihak Muslim berhasil membela diri dan menang maka harus digunakan ”Peace Journalism”. Lihatlah faktanya setelah pihak Muslim menang di Poso dan di Ambon, maka mengucurlah dana dari dua pihak ‘kafir both sides’ untuk menyelenggarakan pelatihan “Peace Journalism”, Pelatihan ini diikuti pula oleh UKPMers, namun pasca pelatihan ini tidak dilakukan evaluasi kritis tentang ada apa di balik ”The Man Behind the Cover of Peace Journalism”. UKPMers telah ikut terperangkap jaringan ironi konspirasi pers ”cover both sides”.

17. “What a Mess (age)!”, “What a Mess (ias)!” And What a Mess(enger)!”

Jika suatu keadaan kacau, tak bisa terkendali dalam tempo sesingkatsingkatnya, maka itulah yang disebut ”what a mess!”. Dalam kondisi krusial itu, harus ada kesanggupan untuk tidak ikut hanyut dalam arus kekacauan itu. UKPMers harus tetap mampu memproses diri agar selalu memilih kearifan dan kebajikan untuk kebenaran. Proses diri yang kukuh itu disebut ”what a messenger!”. Dalam terminologi Barat, ‘messenger’ berarti nabi ‘pembawa nubuat’ atau ‘pengantar berita’. Nabi Muhammad SAW dalam sebuah film arahan Barat mendapat julukan sebagai ”Messenger of God”, yang diartikan tidak hanya sebagai ”utusan Tuhan”, namun juga sebagai ”orang yang mampu berkearifan dalam kekacauan apapun juga”. Dalam bahasa Arab, ‘nabi’ diartikan sebagai ”Pembawa berita, penyampai informasi, dan pemediasi pengabaran”. Jika ada pesan moral yang dapat disampaikan untuk melawan pesan anti moral/amoral dalam kekacauan itu, maka pesan itu disebut ”what a message”. Jika ada yang tetap konsisten dalam kata dan tindakan yang membawa pesan moral,

maka orang itu disebut ”what a messias”. Nabi Isa AS atau Yesus Kristus, disebut Messias atau Messiah, karena sanggup melawan kebobrokan moral para Rabbi (pendeta Yahudi), elit Romawi maupun domba-domba sesat Israel. ‘Messias’ juga berarti sang pembawa berita atau penyambung arus informasi. CAKA harus juga konsisten melaporkan ”what a mess” (hal-hal yang kacau) yang terjadi di rektorat Unhas dan di bagian mana pun birokrasi di Fakultas dan Jurusan. CAKA secara simbolik harus menjadi ”what a messenger”. Dalam pemberitaan tidak semata berstandar kaku 5W+1H, tapi juga punya triple M (MMM) ”Moral, Message, and Messenger”. Kualitas laporan CAKA pasti berkategori ”what a message” dan setiap UKPMers dapat juga menjadi ”what a messias”.

Contoh

Pada kasus tawuran di Unhas yang berkategori ”what a mess”, ruang depan Fakultas Teknik yang berupa studio terbakar. Sesudah peristiwa kebakaran itu, diadakanlah jumpa pers untuk menyampaikan rilis kerugian yang dialami Fakultas Teknik. Dekan Fakultas Teknik membacakan besarnya kerugian itu sebesar Rp. 90. Juta. Apakah jumlah itu benar atau telah di ”mark up”, bukan itu persoalan moral yang terjadi. Ketika terlihat dari sorot mata dan mimic wajahnya suatu kalibrasi warna kemenangan, maka itulah masalahnya. Ia membaca kerugian itu dengan ‘warna kemenangan’ bahwa pihak rektorat pasti akan mengganti kerugian itu, sehingga peralatan usang dan rusak milik studio bisa diganti dengan yang baru. Persoalan amoral itu adalah seakan-akan dengan uang Rp 90 juta, maka persoalan dengan mudah selesai. Materi yang baru dapat menambal ratusan moral mahasiswa yang rusak akibat tawuran yang pengecut itu dan hanya berani main keroyokan. Ini berarti elit fakultas juga bobrok moralnya, karena kemenangan memperoleh dana segar menjadi solusi tunggal atas rusaknya fasilitas yang dibaya oleh masyarakat melalui pajak, retribusi dan pungutan lainnya. Kebobrokan moral seperti itu terjadi karena adanya penyederhanaan masalah di balik tawuran. Uang telah diingat sebagai jawaban tergampang untuk menyelesaikan kasus terbakarnya sebuah studio. Pihak rektorat pasti setuju untuk membayar lunas uang kompensasi pembakaran. Ada proyek baru untuk melakukan ”mark up” anggaran, yang bisa bikin happy siapa saja sang “marker up”. Laporan CAKA harus total menyebarkan “what a message”, tentang rusaknya moral para petinggi rektorat, elit fakultas maupun mahasiswa yang memulai tawuran itu hingga menyebar sampai ke fakultas asosial. Akibatnya tawuran tak berguna itu, enam mahasiswa FISIP harus masuk ke kamar unit gawat darurat. Berita CAKA harus keluar dari kronologis versi MIPA, Teknik dan versi apapun. CAKA tak boleh terpasung oleh ”press releasse” namun harus mengedepankan kesahihan moral melawan sikap moral dan tindakan asusilah yang terjadi sebelum dan sesuadah tawuran. Jangan pernah memihak siapapun yang ikut bertawuran dalam pretensi fakultas anti fakultas lainnya .

18. To Be ‘Ornop’ To Be

Ini merupakan paradoks dirkursus dari William Shakespeare ”to be or not to be”. Pengertian “to be ornop to be” yakni apakah UKPM akan berkelakuan seperti ‘ornop’ (organisasi non pemerintah) atau tidak dalam menjalankanaktifitas organisasi. UKPM sering bersentuhan fisik dengan ornop, baik dalam kerjasama untuk menyukseskan program kerja tahunan pengurus, maupun program kerja insedentil. Kerjasama dengan LSM, harus diadaptasi dengan hatihati. Ornop punya dua prinsip paradoksal atau bahkan semi-hipokrit yakni (1) idealisme tak mungkin bertahan lama tanpa uang dan (2) demi kesuksesan proyek kebenaran, setan pun bisa ditoleransi untuk suatu kerjasama keuntungan dua pihak.

Bagi UKPMers yang tentu saja masih berkecambah dalam idealisme aksi dan pergerakan secara fundamentalis, akan mengalami konflik kepentingan dalam menyatukan ”uang dalam ”idealisme” dalam satu kalimat.. Uang dan idealism memiliki substansi yang berjarak jauh satu sama lainnya. Uang adalah inti materialisme, sedangkan idealisme tidak selalu harus berbahasa menggunakan uang. Uang dan idealisme susah hidup dalam satu ruangan, bahkan tidak juga dalam suatu kalimat sekalipun. Uang dan idealisme mungkin bisa ”sok akrab” dalam kedekatan artifisial, tapi keakraban dan kedekatan itu tak boleh di biarkan lama.Pembiaran itu akan membuat idealisme tercabut dari benteng terakhirnya di UNHAS. Jika UKPM terlalu plastis dalam toleransi antara uang dan idealisme, maka pers mahasiswa seperti tak berbenteng lagi. Proyek kebenaran yang diemban ornop harus disingkapi super waspada satu bila disusupkan ke UKPM. Obyek proyek kebenaran LSM seringkali merupakan pekerjaan-pekerjaan halal yang bersekutu dengan setan. Wujud setan itu bisa berupa kezaliman pemerintah yang direkonsiliasi hingga muncul bisnis jual-beli luka dan dagang nyawa bangkai manusia. Apa saja yang mengobyeki

kemiskinan, penjualan kredit karbon, proyek ketidak-berdayaan maupun bisnis kebodohan, ada yang menjadi garapan LSM. Bila proyek kebenaran selesai dan saldo bersih sudah terhitung mulus, maka pihak ornop masih punya dua prinsip tambahan. Prinsip itu yakni (1) Untung ada kami dan (2) Kami ada untung. Maksud dari dua prinsip itu adalah (1) Pihak ornop menempatkan diri sebagai subyek tunggal kepahlawanan sosial yang mendapatkan reputasi keunggulan, sedangkan UKPM hanya subyek sampingan partner cantolan, ”Stunt Organizier” dan cuma subordinasi belaka. Keterlibatan UKPM disembunyikan dalam jepitan ketat ”Cover Both Sides”, (2) Dalam soal keuntungan proyek, ornop bisa saja mendapat untung ”x9” (keuntungan berlipat sembilan), sedangkan UKPM hanya mendapat untung ”x1” (keuntungan yang tak bisa dilipat lagi).

Contoh

Proyek pendidikan jurnalistik bersama ‘Plan’ dan UKPM yang dilakukan di Bantaeng, sebenarnya terlalu menguntungkan LSM tersebut. Proyek itu merupakan pekerjaan teritorial ‘Plan’ pada satu daerah cakupan yang berarea satu kabupaten. Proyek yang berdiameter satu kabupaten (Regency Area) merupakan proyek istimewa dengan dana istimewa pula. Keistimewaan itu hanya didapatkan sepenuhnya oleh ‘Plan’. UKPM hanya mendapat sisa keistimewaan yang tertumpah karena terlalu penuh dalam tampungan ‘Plan’. Proyek itu lebih menonjolkan nama ‘Plan’, sedangkan UKPM cuma sebagai ”another name”. Keuntungan proyek didominasi oleh ‘Plan’, sedangkan UKPM hanya mendapat keuntungan sisa saldo bruto. Walaupun demikian, itu bukan proyek bareng yang harus diumpati. Masih ada satu kabar baik di antara beragam kabar buruk yakni keterampilan jurnalistik bisa juga tersebar di Bantaeng.

19. ”Pers Dasar Keparat” dan ”Dasar Keparat Media”

Dalam satu ungkapan bahasa Indonesia, disebutkan betapa tidak bagusnya upaya ”cover”, ”kufur” dan ”kafir” itu. Ungkapan itu ditujukan kepada orangorang yang bersikap di luar batas aturan moral dengan laknat kecil yakni ”dasar keparat”. Keparat itu berasal dari bahasa Arab ‘kufarat’ atau ‘kufurat’ yang tentu seakar makna dengan ”kufur dan cover”. Bila pers menggunakan jenis pelaporan ”Both Cover Sides” maka seharusnya pers tersebut dinamakan ”pers dasar keparat”. Bila media itu menggunakan manajemen jurnalistik ”Cover Both Sides” maka media itu harus dinamakan ”Dasar Keparat Media”, sedangkan metode atau manajemen jurnalistiknya disebut ”Jurnalistik Dasar Keparat”.

Contoh 2

CAKA harus melakukan upaya ”discover” atau ”cover not” pada selebaran ”Forum Pemerhati Keterlaluan”. Hubungi individu atau kelompok menamakan diri sebagia FPK. Camtumkan pendapat mereka dengan tetap menempatkan identitas mereka dengan suatu perlindungan saksi berita dengan kategori ”BLANK”, ”NO NAME” dan ”ANONYM”. Jika ada mahasiswa lainnya yang suka rela berkomentar, maka identitasnya secara minimum bisa dituliskan seperti nama dan fakultasnya. Pada saat yang sama hubungi PR IV untuk meminta komentar. Jika ia tak berkomentar dan malah marah terhadap reporter CAKA, anggap saja sikap tak terhormat itu, sebagai salah satu sisi (one side) dari upaya ”Discover Both Sides”. Upaya ”cover not” yang bisa dilakukan CAKA adalah menyambungkan poin-poin isi selebaran itu dalam serangkaian fakta kelakuan keterlaluan PR IV. Salah satu contoh fakta itu yakni dalam salah satu pertemuan antara PR IV dan beberapa fungsionaris senat fakultas. Salah seorang fungsionaris senat Sastra sangat bersemangat mengeritik PR IV. Kritik itu bukannya ditanggapi dengan rasio intelektual tinggi, malah PR IV menyambut dengan rasio rendah emosional dan melakukan upaya percobaan perlakuan tindak kekerasan yakni melakukan ”ultimate fighting”. Untung saja tindakan-tindakan tidak manusiawi itu cepat direlai oleh petinggi rektorat yang juga hadir dalam pertemuan itu. Untuk lengkapnya hubungi beberapa mantan fungsionaris senat yang menyaksikan tindakan kriminal PR IV.

20. Not Affairs Mis(take) For Granted

Apapun yang diperbuat Caka, bukanlah suatu upaya untuk mendapat balas jasa, balas budi bahkan tidak juga untuk sepatah terima kasih. Tak ada “Take For Granted” yang harus ditunggu Caka beserta personilnya. Kerjasama Caka (d/h UKPM) yang berurusan dengan “granted” berupa imbalan barang dan uang, haruslah merupakan kerja independen dan tak terikat kontrak formal untuk waktu lama. “Take For Granted” dalam memperdagangkan idealism seperti menjadi sindikat massa bayaran untuk melakukan demo pesanan adalah salah satu proyek politik yang marak dilakukan LSM (tapi ada juga LSM yang menolak pesanan yang akan menjadi

blunder idealisme). Kerjasama dengan pihak LSM memang pasti menguntungkan secara materi bahkan adrenalin wawasan juga terpacu naik menjadi lebih cerdas. Tapi kerjasama itu harus memiliki skala toleransi minimum, sebab LSM banyak juga yang menjadi pion-pion penindas baru. Secara realitas, kerjasama dengan pihak LSM memang tak bisa terhindarkan, LSM harus diakui mempunyai struktur jaringan yang kuat dan mau tak mau UKPM pasti akan ikut masuk jaringan itu atau juga bisa terperangkap dalam jaring, jika masuk dalam jaring, maka akan menjadi mangsa laba-laba. Cuma ada dua cara agar terbebas dari jaring labalaba yakni bermetamorfosa menjadi laba-laba itu sendiri atau ikut-ikutan membuat jaringan agar laba-laba tak terusik atau setidaknya laba-laba mengira bukan hanya dirinya yang bisa membuat jaringan tapi juga laba-laba lainnya. LSM merupakan laba-laba itu, sehingga menyebut dirinya sebagai organisasi non-profit atau organisasi nir-laba yang seakan-akan tidak mencari laba. Sebutan itu sekonyong-konyong menjadikan LSM sebagai laba-laba yang tidak mencari laba-laba. Tapi bila UKPM bekerjasama dengan LSM haruslah diketahui faktanya bahwa LSM selalu mendapatkan laba-laba (laba berlipat ganda) sedangkan UKPM hanya mendapatkan laba alias satu bagian laba saja. Dalam sebuah buku yang sangat bagus untuk mengetahui sejarah LSM di Indonesia berjudul “Membedah Perut LSM”. Disitu disebutkan hal idealism heroik LSM dan berbagai hal menakjubkan tentang LSM. Semua isi buku itu memang menarik untuk dibaca tuntas, namun mengapa judulnya terlalu materialistis yaitu tentang “Membedah Perut LSM”? rupanya penulisnya secara metaforik ingin membeberkan suatu realitas yang memang menyangkut sisi dasar manusia bahwa apa yang dibela LSM, ujung-ujungnya berkaitan dengan masalah perut juga (apa yang dimakan hari ini, siapa memakan siapa, siapa lagi yang diajak makan bersama siapa, siapa yang memakan bangkai saudaranya dst), apakah UKPM juga pada akhirnya beridealisme diujung perut? Bisa jadi pertanyaan seperti ini tak pernah ada, namun jawaban selalu terdapat dalam berbagai kerja kepanitiaan. Dalam berbagai kerjasama dengan LSM, panitia pasti bisa sesekali memperdebatkan tentang kuasa uang dan petimbangan idealisme. Jika personil UKPM berpikir secara rasional, maka ‘kuasa uang’ pasti yang akan menjadi tujuan utama yang harus dimenangkan. Tapi bila mau sedikit kritis secara non-rasional maka idealisme tetap berada di puncak piramida kepanitiaan sedangkan yang merupakan pendukung keberhasilan kerja, masalahnya sangat susah berpikir non-rasional bila uang itu berkarakter banyak, akibatnya idealism hanya menjadi pernak-pernik atau aksesoris berkegiatan. Meskipun demikian, jangan pernah berpikir irasional yang akhirnya bisa menjadikan uang sebagai obyek idealisme. Pikiran irasional itu, bisa membuat UKPM terpecah dan personilnya bisa menjadi pengkhianat moral, idealisme, mungkin pernah terjadi suatu kesalahan seperti itu. Tapi meskipun demikian tetap harus dipatenkan kepada warga baru UKPM untuk “Not Another Mistake”.

Contoh

Kerjasama dengan pihak LSM ‘Plan’ di Bantaeng cukup sekali saja, tak perlu ditindak-lanjuti, begitupun dengan LSM lainnya. Cari saja LSM baru dengan kontrak kerja cukup sekali saja, supaya LSM tak mengalami konflik kepentingan. Meskipun juga syukur masih ada LSM yang berminat degan UKPM, karena LSM yang bermitra dengan mahasiswa biasanya punya daya tawar dan proposal yang rendah. Mungkin karena mahasiswa berdaya jual proposal yang minim anggaran. Bila tetap harus membuat kontrak kerja baru dengan LSM yang sudah berlaba laba dengan UKPM, maka perlu ada toleransi ekstra-ketat. Dana memang sangat penting bagi kelangsungan program kerja UKPM, tapi jangan terlalu banyak eksploitasi permisif pada upaya menghalalkan segala cara pengobyekan ala LSM. Sebab ada pewarisan beban moril yang harus ditanggung semakin berat oleh setiap anggota baru UKPM.

21. Self Made Man(uscription)

“Self Made Man” adalah motto dari Pulitzer, seorang tokoh pers yang namanya dinisbatkan pada sebuah penghargaan tingkat Internasional di bidang jurnalistik yakni “Pulitzer Award”. “Self Made Man” berarti hanya saya sendiri yang mampu menempa diri saya agar bisa menjadi sebagai seseorang. Ini merupakan suatu motto yang mampu membawa Pulitzer sebagai seorang kaisar pers pada masanya. Jika motto Pulitzer diadaptasi pada CAKA, maka terciptalah motto “Self Made Manuscription” yang bisa berarti bahwa hanya ota UKPMers sendirilah yang mampu membuat standar jurnalistik tersendiri bagi CAKA. CAKA harus punya gaya tersendiri dalam tabloid atau buletin, yang berbeda dengan Koran komersil atau koran kampus “Identitas”. Bila di Unhas orang membaca suatu kalimat yang berbeda dari kenormalan gaya berita pada umumnya, maka itu berarti ia sedang membaca CAKA.

Contoh

Berita CAKA menjadi inspirasi bagi mahasiswa Sastra untuk menggugat prasktek eksploitasi ekonomi terhadap calon mahasiswa yang hendak mengikuti SPMB. Ini merupakan prestasi bagus bagi UKPMers. Sebuah prestasi yang masih bisa terulang lagi dalam ekspose peristiwa berikutnya. Kolaborasi antara CAKA dengan mahasiswa Sastra, secara langsung atau tidak langsung, mampu menyemangati kegairahan aktivitas kritis lainnya di Unhas.

22. ‘Schizophrenia Jurnalism’ and ‘Paranoid Journalism’

Disebutkan bahwa pers merupakan pilar keempat demokrasi sesudah struktur “trias politica” yakni eksekutif, yudikatif dan legislatif. Bahkan ada juga yang menyebutkan pers sebagai pilar kelima sesudah trias politica dan rakyat itu sendiri. Masih banyak lagi berbagai sebutan seperti itu dengan berbagai varian yang mirip satu sama lainnya. Penempatan sebutan tersebut menempatkan pers sebagai ‘pahlawan imajiner di atas kertas’ . UKPMers tak perlu ikut masuk dalam “hero complex”, meskipun telah berhasil mengungkap berbagai kebobrokan dan membantu menguak informasi yang disembunyikan. UKPMers harus tampil biasa-biasanya saja dan peduli iblis dengan “hero complex”. UKPMers a tak perlu terhisap dalam sindrom sosok pahlawanisme. Bila UKPMers terjangkit “hero complex” maka terjadilah ‘hero complex Jurnalism’ atau ‘jurnalisme yang memposisikan diri sebagai pahlawan atau merasa diri sebagai yang harus dipahlawankan’. ‘hero complex Jurnalism’ terjadi saat gerakan reformasi digagas dan ditindak-aksikan oleh mahasiswa. Pers seakan-akan bertindak mendukung gerakan reformasi, padahal beberapa bulan sebelumnya pers juga berandil besar menekan gerakan pro-demokrasi. Pers menyuarakan porsi berlebihan suara status quo pemerintah atau elit politik yang anti-demokrasi. Tentu saja itu terjadi pada pers yang berada genggaman penguasa, berkaitan dengan parpol dan sebagainya. Pers semakin mendukung reformasi yang akhirnya mengakibatkan euphoria komunikasi. Pers makin berani menyuarakan hal-hal yang sangat dilindungi oleh elit politik baik dari kalangan sipil maupun militer. Keberanian itu berbuntut bahaya, karena politik “politik pers uang” tetap akhirnya menunjukkan kehebatannya. Pada masa Habibie, uang telah disiapkan khusus untuk menciptakan “kabar baik pemerintahan Habibie”. Pengaruh uang itu bukan disisipkan dalam amplop, tapi resmi diberikan oleh pihak pemerintah ke semua stasiun televisi dan berbagai koran nasional. Uangnya bukan berkategori amplop, tapi sudah berkarakter karung. Pada masa Habibie, pembaca dihadapkan pada suatu realitas buram “membaca berita dalam karung”. Hal seperti ini terus berlanjut di masa Gus Dur dan ‘volume karung’ makin bertambah keras di masa Megawati. Para wartawan yang bergelut dalam informasi berbahaya seperti meliput demonstran yang ricuh dan menginvestigasi perlakuan aparat TNI/Polisi dalam kasus kemanusiaan sering mengalami perlakuan kekerasan dari pihak aparat. Wartawan lama kelamaan terjangkit juga “Paranoid Jurnalism”, sehingga pemberitaannya menjadi melunak atau harus berkurang porsinya untuk menyampaikan informasi berbahaya tersebut. Dalam bentuk yang berbeda, CAKA mengalami hal serupa meskipun hanya dalam lingkup Unhas saja. Tindakan Azhari Sirajuddin melaporkan CAKA ke polisi plus upaya premanisme intimidasi yang berhubungan dengan soal akademik, membuat UKPMers harus melunakkan isi pemberitaannya. Inilah “Paranoid Jurnalism” yang menimpa CAKA. Jurnalisme ini berisi ketakutan untuk melaporkan berita yang akan mengganggu kekuasaan elit birokrat, elit politik dan orang-orang yang sok berkuasa. ‘Paranoid Journalism’ sudah menghinggapi pers umum sehingga laporan yang melibatkan tokoh-tokoh antagonis seperti Wiranto, Sutiyoso, Theo Syafei dan antek-anteknya biasa mengalami degradasi informasi. Wartawan mengalami paranoid akibat merasa dirinya terancam jiwa dan raganya. Sindrom ini mulai meningkat pasca terbunuhnya Udin. Tingginya solidaritas terhadap Udin, merupakan sisi positif yang berhasil dibangun di balik adanya paranoid massal yang menimpa wartawan.

Contoh

Ketika CAKA dilapor ke polisi, UKPMers harus mendatangi AJI untuk membentuk jaringan solidaritas. Pelaporan ke polisi, ditindak lanjuti Azhari Sirajuddin dengan beberapa orang melakukan ‘intimidasi ringan’ ke UKPM. Antek rektorat yang juga dosen komunikasi (Hasrullah) ikut terlibat melakukan tekanan psikologis melalui opini yang termuat di harian “Fajar” dan “Pedoman Rakyat”. UKPmers benarbenar ditindas dari beberapa arah dalam waktu hampir bersamaa. UKPMers kemudian mengalami degradasi klimaks atau mengalami penurunan tensi kritis. Pemberitaan yang sebelumnya membuat marah pihak rektorat akhirnya mengalami “cool down” bahkan “calm down”. Drs. Ashari Sirajuddin Msi (pihak pelapor ke polisi) dan Drs. Hasrullah Msi (pihak penulis opini refresif terhadap CAKA) pasti merasa berhasil menggertak sambal pada UKPMers. Dua orang “sok pahlawan rektorat” itu pasti merasa sukses menjalankan tugas. Pihak rektorat juga memuji tindakan ‘sok pahlawan’ itu. ‘Posisi karir’ dan ‘otoritas teritorial’ kedua penjilat itu malah

mengalami peningkatan signifikan, lalu apa tindakan CAKA selanjutnya? CAKA harus semakin pro-aktif menjadi ”Hasrullah Watch” dan “Anzhari Sirajuddin Watch”, untuk mengamati gerak-gerik ke dua orang itu. Pastilah bila CAKA kembali membuat berita kontra-rektorat, maka pasti kedua penjilat (atau penerus ulah jilatannya) itu akan meningkatkan tekanannya pada UKPMers.

23. History And Her Story In White Book

Sejarah digugat oleh kalangan feminis, karena dalam bahasa Inggris berarti ‘cerita laki-laki’ (His Story). Dalam sejarah UKPM cerita laki-laki bukanlah suatu yang dominan. Telah ada Sulvi yang pernah jadi ketua UKPM, yang tentu dalam kiprahnya pasti juga punya cerita perempuan (Her Story) tentang perjalanan UKPM dalam satu periode. Dalam bahasa Arab sejarah berasal dari kata “As- Sajarah” yang berarti pohon. Akar sejarah UKPM bermula dari keprihatinan para aktivis demonstrasi dan aktivis pers mahasiswa terhadap tiadanya wadah representatif untuk menampung pikiran-pikiran kritis secara tertulis. Dari akar tunggang dan serabut itu, muncullah sebentuk pohon yang terbentuk dari serangkaian angkatan diklat pers yang diadakan lembaga pers mahasiswa tersebut. Pohon itulah yang menjadi “As-Sajarah” UKPM di masa kini. Dalam setiap “As-Sajarah”, pasti ada buah Khuldi atau ‘forbidden fruit’ (buah terlarang), yang suatu ketika akan di makan oleh sosok Adam dan Hawa (Eve) dari UKPMers. Seperti apa itu buah ‘forbidden fruit’? Sebuah sejarah tidak selamanya kukuh dalam rangkaian perjalanan waktu. Pada suatu hari nanti, CAKA pasti akan mengalami pergeseran ‘isi pemihakan’. Di pihak lain, UKPMers bisa mengalami degradasi dalam aksi prodemokrasi dan reformasi maupun membantu masyarakat tertindas. Bila itu terjadi, maka pengurus CAKA edisi sekarang harus kembali membaca representasi kritis dari edisi awal CAKA pra-reformasi. Minimal bisa memperhatikan bentuk wajah CAKA yang tergantung di dinding. Untuk mendapatkan sisi fundamentalisme CAKA, maka buku putih yang dibuat dalam kepengurusan ketua UKPM Muhammad Abdul (Idol) yang dibantu mantan ketua UKPM Suparno Anggoro haruslah menjadi sejarah standar UKPM. Buku putih wajib dibaca anggota baru UKPM, minimal sekali seumur hidup. Ini merupakan sebuah penulisan sejarah yang bagus dan sangat dipujikan. ‘White book’ bukan ‘white lies’ ala UKPM, tapi sejarah yang dibuat ‘bersampul putih’, karena belum pernah dibuat sampulnya dalam versi berwarna. Sebenarnya tak pernah ada sejarah dalam ‘buku putih’, yang ditulis dengan ‘tinta putih’ di atas ‘kertas putih’, karena siapa yang bisa membacanya! Sekarang sudah ada ‘buku putih’ versi tempo doeloe, siapakan yang akan menulisnya lebih panjang dan makin ‘putih’ dalam versi ‘tempo kini’? ‘Buku putih’ itu seharusnya selalu ditambah ketebalannya dengan sejarah UKPM tiap satu periode kepengurusan. Usaha pionir dua anggota terbaik UKPM itu, dapat terus menerus menjadi sejarah masa depan dan sejarah masa lalu UKPM. Bagusnya lagi, pekerjaan dua orang anggota terbaik UKPM itu, berselarasan dengan kerja jurnalistik, khususnya jurnalistik radio dan televisi. Sayangnya, dalam beberapa kepengurusan, jurnalisme radio dalam Suaka FM (kini dan selanjutnya bernama CAKA FM) belum bisa berkembang akibat masalah dana dan teknis. Radio CAKA FM, hanya bersifat imajiner selama beberapa kepengurusan. Peralatan CAKA FM ikut terbakar dalam studio Creator Teknik dan ada yang dicuri dari studio PKM 1. Dalam segi SDM, pastilah Idol, Anno, Alwi Fauzi, Humaerah, Muannas, ...............(tolong ditulis semua awak UKPM yang bekerja di radio diingatan masing-masing) siap membantu warga baru UKPM yang berminat mengembangkan CAKA FM.

24. No Bullet, No Magazine, No Fucking Gun Shit

Jangan sampai terlalu lama bertetangga dengan Perbakin, lalu mengakrabi pula kosa kata yang berhubungan dengan senjata. Mengapa memilih moto CAKA dalam bentuk “Kata adalah Senjata”? Sudah sejak lama, kata-kata kehilangan kekuatan. Presiden Puisi Indonesia 1976, Sutardji Calzoum Bachri, pernah membangkitkan kekuatan kata, dengan membuat “puisi mantra”. Menurut penulis “O” (1966-1973), “Amuk” (1973-1976), dan “Kapak” (1976-1979) tersebut, mantra merupakan kekuatan besar dari suatu kata. Prof. A. Teeuw, pakar Bahasa Indonesia pernah pula menulis kekuatan kata dalam judul, “Tergantung Pada Kata”. Tapi apa makna yang bisa dipungut dari “Kata adalah Senjata”? Subcomandante terlambat beberapa puluh tahun dalam mengamati betapa lemahnya kata-kata untuk menjadi senjata. Apa gunanya senjata tanpa peluru? Seperti apa penggunaan senjata, bila kekuatan dari peluru itu tak ada. Bila memiliki senjata, lalu pelurunya ambil dimana? Seharusnya tiga pertanyaan di atas, bukan untuk UKPMers tapi anggota Perbakin. Memang dalam dunia pers ada dua kata yang berhubungan dengan peluru dan senjata. Bulletin, berkaitan secara melesetologis dengan bullet (peluru). Majalah (magazine) berada

dalam hyponim (arti lain) dengan magazine (tempat peluru dalam senjata). Bila tanpa peluru (no bullet), tanpa magasin (no magazine), maka tak ada gunanya senjata (no fucking gun shit). Memang ada ungkapan yang berkaitan dengan senjata yakni, “the man behind the gun”, tapi sama sekali tak berhubungan dengan dunia Perbakin. Senjata tak bakal meletus bila penembaknya berada di belakang senjata (the shooter behind the gun). Jika kata adalah senjata, di bagian mana senjata itu berada? Apakah ‘senjata serba kata-kata’ yang imajiner itu berada pada ‘behind’’ (belakang), ‘in front of’ (depan), ‘left’ (kiri), ‘right’ (kanan), 'upper' (bagian atas), 'lower' (bagian bawah) ‘in’ (di dalam), ‘out’ (di luar), ‘above’ ( di atas) atau ‘under’ (di bawah)? Senjata (gun or wepon) dan kata (word) memiliki tata letak masing-masing dalam analogi dan realitas. Terlalu sering mengggunakan analogi akan menjauhkan UKPMers dari dari realitas. “Kata sebagai senjata” merupakan analogi, hiper-realitas (hyper-reality) dan 'just a bullshitt idiom, even a fullshit idiom'. Bila suka bermain dalam analogi, maka UKPMers akan terjebak dalam hyper-reality, sehingga susah membedakan antara realitas dan pseudo-realitas. Sekarang ini neolibs, telah membuat suatu hyper-reality di media elektronik, media massa dan apa saja. Siapapun akan sangat susah membedakan realitas apapun yang sedang terjadi, karena tertutupi oleh pseudo-realitas yang gencar diiklankan. Analogi bukan bagian dari logika, padahal UKPMers harus terdidik dalam logikalogika tinggi. Bermain dengan analogi ala ungkapan “kata sebagai senjata” dapat merendahkan logika yang terbangun dengan susah dalam diskusi panjang di 'rumah pelangi'. Analogi adalah 'pikiran ngesot' di lantai. Jika ingin melawan 'setan yang berdiri mengangkang' dan 'setan nungging', jangan menggunakan 'pikiran ngesot'. Setan dalam bentuk manusia, tak mempan dilawan menggunakan kata-kata sebagai senjata. Setan berbentuk manusia, sudah menciptakan kata-kata sejak jaman 'Orde Baru' hingga 'Orde Baru-Baru Ini' dalam bentuk eufimisme, bahasa kromo dan bahasa SBY-JK (Senjata Berbahasa Yang Jadi Kedustaan) .

25. ‘Illiterate’ and ‘Killiterate’ or ‘Illiteracy’ and ‘Killiteracy’

Pendidikan telah semakin buram di Indonesia, meskipun beberapa pmerintah daerah telah membebaskan biaya pendidikan SD hingga SMA. Seharusnya bukan dengan cara organis semacam itu, bila hendak membebaskan rakyat dari illiterate/illiteracy. Beberapa hal lainnya yang masih memberatkan yakni harga buku-buku bacaan yang masih mahal. illiterate/illiteracy bukan hanya dalam pengertian dasar sebagai tak bisa membaca huruf-huruf, tapi juga tak bisa mengakses buku-buku bermutu yang bermanfaat untuk pencerdasan dan pencerahan. Masyarakat masih mengalami kondisi being illiterate, bila tak bisa mengakses pengetahuan secara bebas dan ‘murah’. DPR dan Pemerintahan SBYJK, makin memperburuk kondisi being illiterate itu dengan melakukan ‘killiterate/killiteracy’. Bentuk dari ‘killiterate/killiteracy’ yakni pemberlakuan BHMN dan BHP dengan mengaplikasikan ‘kapitalisme pendidikan’ dan mengunggulkan ‘kuasa modal’. Pendidikan tinggi yang serba mahal itu telah dikendalikan oleh segelintir orang berduit dan berkuasa yang disebut ‘wali amanat’. ‘Killiterate/killiteracy’ berarti ‘membunuh literasi’, yang selanjutnya bisa dimaknakan, “membunuh cita-cita seseorang untuk mendapatkan pengetahuan, karena adanya penghambatan untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih tinggi”. CAKA harus ditata untuk melawan kekuasaan yang melakukan ‘Killiterate/killiteracy’ secara sistematis, legalistik dan formal. Gerakan yang ditujukan melawan ‘regime of killiteracy’ atau ‘power of killiteracy’ seperti GERAM (Gerakan Rakyat Makassar) harus selalu di up date dan melakukan ‘kontinuitas demonstrasi’. Demonstrasi harus pula ditunjang dengan dokumentasi tertulis dalam bentuk pemberitaan dan opini ala pers mahasiswa. Foto-foto dalam koleksi album demonstrasi, hanya bercerita dalam diam. Jangan terlalu mengikuti ungkapan “foto lebih bercerita daripada seribu kata-kata”. Tanpa suatu keterangan, foto hanya seperti artefak pra-sejarah persis seperti gambargambar tangan manusia purba. Mahasiswa harus membentuk dirinya berbahasa dengan cara membentuk literasi mereka sendiri. Dengan cara demikian, maka rezim BHMN dan BHP tak akan mudah menjalankan program nasional pemerintah yang berbentuk ‘Killiterate/killiteracy’. Pemerintah dan DPR tiap hari membunuh masyarakat umum dengan cara menaikkan BBM, menghapus subsidi dan kini melakukan ‘Killiterate/killiteracy’. Pemerintah membasmi ‘penyakit aksara’ (illiterate) dengan membebaskan biaya sekolah selama masa wajib pendidikan sembilan tahun, ternyata berujung pada ‘pembunuhan aksara’ (killiterate). Model killiterate terjadi dengan pemberlakuan BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan BHP (Badan Hukum Pendidikan) dengan mengutamakan ‘kuasa modal’ di atas harkat mendapatkan pendidkan tinggi. Kuasa segelintir orang yang disebut ‘wali amanat’ telah menguasai pendidikan tinggi seperti di UGM. Mengapa segelintir orang dapat begitu berkuasa dengan mengedapankan permodalan dan neolibs dalam pendidikan nasional? Dua program pemerintah dalam bentuk ‘illiterate’ dan ‘killiterate’ disetujui dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Masyarakat tentu saja bisa terbebas dan sembuh dari ‘illiterate’, namun akhir dari riwayat pendidikan nasional

ditutup dengan ‘pembunuhan aksara’. Untuk menghentikan derasnya pembunuhan berencana yang dilakukan pemerintah dalam killiterate, mahasiswa secara nasional memang harus melakukan resistensi BHP itu. Masalah yang dialami dalam melakukan resistensi ini, karena mayoritas para dosen dan senat guru besar sudah dipenetrasi secara sukses utuk menerima BHP. Hanya beberapa dosen kritis yang menolak adanya BHP. Di ‘Universitaswastanuddin’ (Unhas), salah seorang dosen yang kritis dengan keberadaan BHP yakni Dr. Masnyur Semma. Beliau mampu dengan baik menghadapi argumen sempit A. Mappajantji, yang sangat terpenetrasi oleh BHP. Beliau juga membawa sisi negatif keberadaan BHP hingga ke kotbah Jumat. Ketika kotbah Jumat, seringkali tidak realistis atau tak membahas hal-hal ril di dunia kampus (masyarakat), justru beliau melakukan sesuatu yang berbeda. Salah satu kotbah realistis yang di bawah ke wilayah agama di ruang mesjid kampus, berasal dari beliau. Kini beliau tak ada lagi bersama mahasiswa untuk memperjuangkan resistensi BHP. Entah siapa lagi yang memiliki konsistensi seperti beliau di ruang-ruang kampus hingga di atas mimbar jumat? Pertanyaan ini tak bisa terjawab kini atau memang tak ada jawaban apapun. Kekuatan mahasiswa di ‘Universitaswastanuddin’ (UNHAS) seperti ‘KAMU anti BHP’ harus semakin digencarkan. Secara kuantitas, jumlah mahasiswa yang ikut berpartisipsi secara aktif dalam ‘KAMU anti BHP’ memang sedikit disbanding dengan mayoritas mahasiswa Unhas. Puluhan ribu mahasiswa Unhas yang memilih ngumpet di ruang kuliah dan kantin, tak peduli secara aktif pada kekuatan neolibs di sistem pendidikan nasional.

26. Coveromeo Must Die

Ada seseorang, sebut saja sebagai ‘Romeo’, yang berada dibelakang setiap adanya ‘ketertutupan di kedua sisi’ (was covered both sides). ‘Romeo’ ini secara akademis disebut sebagai ‘gate keeper’. Romeo inilah yang merancang keberlangsungan prinsip jurnalistik ‘cover both sides’. Romeo juga dapat berupa pemegang saham dalam sebuah media. Romeo yang berkuasa di media, tentu saja ia yang memiliki saham mayoritas di perusahaan tersebut. Dalam pers neolibs, kuasa modal lebih kuat dari ‘kuasa kata’ dan ‘kuasa moto’. Moto sebuah pers umum bisa saja bertuliskan 'kredibel dan independen', tapi ‘kuasa moto’ menjadi terlemahkan oleh ‘kuasa modal’. Tidak ada jalan terbaik dari semua itu, yakni “Romeo must die”. Tapi bagaimana cara melakukannya?

Cat:

Agar VADEMEKUMenulis CAKA bisa cepat ditambahkan penjelasannya, maka UKPMers seharusnya mengkritisi, mengecam, mendebat, meng-kontratesis dan juga memberikan ‘Sumpah Zerapah’ (sumpahnya binatang berleher panjang dari Afrika) terhadap isinya. Jangan begitu saja langsung diterima semua isinya, karena VADEMEKUMenulis CAKA bukan sebuah doktrin atau dogma dari langitlangit UKPM. Ia merupakan lembaran terbuka yang harus disingkap pada bagian mana yang wajib dipersalahkan. VADEMEKUMenulis CAKA bukan suatu yang sakral, karenanya harus dibongkar (dekonstruksi) kalimat-kalimat perkalimat. Kutunggu hasil bongkar-pasangnya di Yahoostaf email. To be or not to be continued...Shakespeare menunggu jawaban!

24 Maret 2008