UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

18
ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Policy Path after Revision of the Farmers Protection and Empowerment Act Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161 E-mail: [email protected] Naskah diterima: 5 Agustus 2014 Direvisi: 29 Oktober 2014 Disetujui terbit: 1 Desember 2014 ABSTRACT Farmers’ organizations enter a new period in the post New Order Era especially enactment of some policies, i.e., Farmers Protection and Empowerment Act. However, spirit of this policy is not easily realized. This paper aims to describe conditions, circumstances as well as opportunities to realize the Act. Data were mainly collected from the research conducted in the regencies of Agam (West Sumatra), Garut and Majalengka (West Java), and Malang and Gresik (East Java). Data of the study were analyzed using a qualitative approach. Some policies related with farmers’ organizations are not ideal, lack of socialization, and the farmers themselves did not understand the available opportunities. Therefore, in the future it is necessary that all stakeholders try their best to realize the ideal circumstance for farmers’ organizations especially after revision of the Farmers Protection and Empowerment Act in the end of 2014. Keywords: organization, farmer, government, policy, empowerment ABSTRAK Organisasi petani mendapatkan situasi baru setelah era pasca Orde Baru, dan terlebih belakangan ini dengan keluarnya berbagai kebijakan baru, yaitu Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Namun, semangat dalam kebijakan ini tidak mudah direalisasikan. Tulisan ini berupaya mempelajari kondisi dan situasi serta peluang yang diberikan dengan kondisi dan berbagai agenda penting yang dibutuhkan untuk merealisasikannya. Informasi dikumpulkan dari berbagai sumber untuk melengkapi survei studi tahun 2014 di Kabupaten Agam (Sumbar), Garut dan Majalengka (Jabar), serta Malang dan Gresik (Jatim). Analisis data menggunakan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelusuran informasi terkini dan analisis kebijakan, ditemukan bahwa beberapa kebijakan berkaitan dengan organisasi petani belum ideal, sosialisasi masih lemah, dan petani sendiri belum memahami kesempatan yang telah disediakan. Untuk itu, ke depan perlu upaya berbagai pihak agar kondisi ideal yang diinginkan dapat terealisasi, terutama dengan adanya revisi UU P3 oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2014. Kata kunci: organisasi, organisasi petani, kebijakan pemerintah, pemberdayaan petani PENDAHULUAN Pembentukan organisasi petani telah menjadi program pemerintah semenjak awal pembangunan pertanian, yakni mulai dari era Bimas tahun 1970-an. Sampai tahun 2014, organisasi petani terutama berupa Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) menjadi alat utama untuk mendistribusikan bantuan dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi secara vertikal antara pemerintah dengan petani dan secara horizontal antarsesama petani (Balitbangtan, 2006; Badan SDMP, 2007). Ada dua pandangan utama yang agak berseberangan tentang untuk apa petani harus berorganisasi. Bagi pemerintah, organisasi petani semata adalah strategi untuk melancarkan 157 ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Transcript of UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Page 1: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI

Policy Path after Revision of the Farmers Protection and Empowerment Act

Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Jl. A. Yani No. 70, Bogor 16161 E-mail: [email protected]

Naskah diterima: 5 Agustus 2014 Direvisi: 29 Oktober 2014 Disetujui terbit: 1 Desember 2014

ABSTRACT Farmers’ organizations enter a new period in the post New Order Era especially enactment of some policies, i.e., Farmers Protection and Empowerment Act. However, spirit of this policy is not easily realized. This paper aims to describe conditions, circumstances as well as opportunities to realize the Act. Data were mainly collected from the research conducted in the regencies of Agam (West Sumatra), Garut and Majalengka (West Java), and Malang and Gresik (East Java). Data of the study were analyzed using a qualitative approach. Some policies related with farmers’ organizations are not ideal, lack of socialization, and the farmers themselves did not understand the available opportunities. Therefore, in the future it is necessary that all stakeholders try their best to realize the ideal circumstance for farmers’ organizations especially after revision of the Farmers Protection and Empowerment Act in the end of 2014. Keywords: organization, farmer, government, policy, empowerment

ABSTRAK

Organisasi petani mendapatkan situasi baru setelah era pasca Orde Baru, dan terlebih belakangan ini dengan keluarnya berbagai kebijakan baru, yaitu Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Namun, semangat dalam kebijakan ini tidak mudah direalisasikan. Tulisan ini berupaya mempelajari kondisi dan situasi serta peluang yang diberikan dengan kondisi dan berbagai agenda penting yang dibutuhkan untuk merealisasikannya. Informasi dikumpulkan dari berbagai sumber untuk melengkapi survei studi tahun 2014 di Kabupaten Agam (Sumbar), Garut dan Majalengka (Jabar), serta Malang dan Gresik (Jatim). Analisis data menggunakan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelusuran informasi terkini dan analisis kebijakan, ditemukan bahwa beberapa kebijakan berkaitan dengan organisasi petani belum ideal, sosialisasi masih lemah, dan petani sendiri belum memahami kesempatan yang telah disediakan. Untuk itu, ke depan perlu upaya berbagai pihak agar kondisi ideal yang diinginkan dapat terealisasi, terutama dengan adanya revisi UU P3 oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2014. Kata kunci: organisasi, organisasi petani, kebijakan pemerintah, pemberdayaan petani

PENDAHULUAN

Pembentukan organisasi petani telah menjadi program pemerintah semenjak awal pembangunan pertanian, yakni mulai dari era Bimas tahun 1970-an. Sampai tahun 2014, organisasi petani terutama berupa Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)

menjadi alat utama untuk mendistribusikan bantuan dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi secara vertikal antara pemerintah dengan petani dan secara horizontal antarsesama petani (Balitbangtan, 2006; Badan SDMP, 2007).

Ada dua pandangan utama yang agak berseberangan tentang untuk apa petani harus berorganisasi. Bagi pemerintah, organisasi petani semata adalah strategi untuk melancarkan

157

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 2: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

pembangunan, yakni untuk fungsi komunikasi dan memuluskan administrasi proyek. Sebaliknya, bagi kalangan pemberdayaan, organisasi petani lebih untuk menjalankan fungsi ekonomi dan representatif politik.

Namun, dalam perjalanannya, berbagai organisasi-organisasi petani tersebut tidak berkembang sesuai harapan. Secara umum, hanya sedikit petani yang berada dalam organisasi formal (Bourgeois et al., 2003) dan kapasitas keorganisasiannyapun lemah. Kondisi ini relatif serupa di banyak belahan dunia lain (Grootaert, 2001). Saat ini, pemerintah dalam kondisi iklim politik yang lebih terbuka dan telah memberi kondisi dan kesempatan baru kepada berkembangnya organisasi petani secara lebih demokratis, terutama setelah keluarnya UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) serta revisinya oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2014.

Dapat dikatakan, persoalan mendasarnya adalah karena berbagai kebijakan tentang petani masih bersifat umum dan kurang sensitif kepada perbedaan karakteristik petani yang beragam. Namun, kebijakan tentang petani dan pengorganisasian petani akhir-akhir ini telah banyak berkembang terutama dengan keluarnya UU P3, UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro; serta Permentan No. 82/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gapoktan. Kebijakan ini memberi batasan sekaligus peluang untuk pengorganisasian petani ke depan.

Organisasi petani masih diharapkan sebagai komponen pokok dalam pembangunan pertanian, namun kondisinya saat ini belum memuaskan. Ke depan, peran organisasi petani untuk komunikasi, partisipasi, serta ekonomi dan representatif politik harus dapat dihidupkan sehingga keberadaaannya bisa optimal. Kegiatan pengorganisasian petani yang telah dijalankan lebih dari enam dasawarsa belum banyak memberikan hasil. Pemahaman kalangan pemerintah atau birokrasi cenderung lemah. Dukungan kebijakan dan peran pemerintah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Pemerintah belum mampu menciptakan kondisi yang sesuai untuk berkembangnya organisasi petani.

Pengaturan tentang organisasi petani dalam UU No. 19 tahun 2013 tercantum pada pasal 69,

70 dan 71. Semenjak rancangan UU ini disusun sesungguhnya sudah muncul banyak ketidaksepahaman tentang isi dalam pasal tersebut. Karena itulah, pada Desember tahun 2014, khusus untuk Pasal 70 dan 71 tersebut telah dibatalkan dan dirubah isinya oleh Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari kondisi organisasi petani saat ini, lalu dihubungkan dengan berbagai kesempatan dan dukungan dari berbagai kebijakan akhir-akhir ini, serta bagaimana mengimplementasikan kebijakan ini ke depan.

METODE PENELITIAN

Tulisan ini didasarkan atas penelitian tahun 2014 dengan judul “Kajian Peran Organisasi Petani dalam Mendukung Pembangunan Pertanian” (Syahyuti et al., 2014). Penelitian dilakukan pada lima kabupaten yang tersebar di tiga provinsi, yaitu Kabupaten Majalengka dan Garut (Jawa Barat), Kabupaten Gresik dan Malang (Jawa Timur), dan Kabupaten Agam (Sumatera Barat). Narasumber penelitian berasal dari instansi di tingkat pusat yang terkait dengan organisasi petani yaitu Kementerian Pertanian serta Kementerian Koperasi dan UMKM. Di tingkat provinsi dan kabupaten, narasumber berasal dari instansi terkait yaitu Dinas Pertanian, Dinas Koperasi, dan Badan Koordinasi Penyuluhan. Penelitian ini menggali berbagai unit organisasi petani yang sudah berkembang serta yang belum, mencakup yang di desa atau lebih luas. Selengkapnya jenis dan jumlah narasumber penelitian dipaparkan pada Tabel 1.

Data yang digali terdiri dari data sekunder dan data primer. Data utama penelitian ini adalah berupa data primer kualitatif yang diperoleh secara langsung melalui wawancara ke sumber informasi dan pelaku yang terlibat dalam organisasi petani, baik sebagai pengurus maupun anggota. Selain itu, dilakukan juga penggalian informasi dan persepsi dari berbagai informan kunci di pemerintahan, pihak pemberdaya, serta pemimpin lokal. Sumber informasi untuk seluruh informasi di atas berasal dari berbagai kalangan. Dari kalangan pemerintah mencakup pimpinan dan aparat pemerintah kabupaten sampai dengan petugas lapang, terutama kalangan penyuluh pertanian yang paling banyak terlibat di desa sehari-hari. Narasumber utama adalah pengurus organisasi petani, tokoh petani, serta petani

158

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174

Page 3: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

individual, dan narasumber lain (swasta, pedagang sarana produksi, pedagang hasil-hasil pertanian, serta aparat desa dan tokoh masyarakat). Penggalian informasi menggunakan pendekatan triangulasi, yakni menggunakan metode wawancara, baik wawancara individual maupun kelompok, serta studi dokumen dan observasi visual.

Analisis informasi menggunakan pendekatan kualitatif, dengan fokus pada bagaimana kebijakan atau program pengorganisasian petani diimplementasikan di lapangan, bagaimana petani memahaminya, dan bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi individu yang berada dalam kondisi kulturalnya yang sepesifik dalam kehidupannya sehari-hari (how it plays out for individuals in specific cultural contexts living complex daily lives). Selain itu, juga dipelajari bagaimana petani mempersepsikan persoalan dirinya dan menjadikan organisasi petani sebagai solusi dan alat untuk pengembangan ekonomi usahanya.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif, meskipun dibantu dukungan data kuantitatif. Justifikasi kenapa memilih pendekatan ini misalnya dapat diperoleh dari makna penelitian etnografi

menurut Creswell (2007), yaitu ” … describe how a cultural group works and to explore the beliefs, language, behaviours, and issues such as power, resistance, and dominance”. Analisis kebijakan dipandang sesuai dengan objek ini karena bersifat retrospektif, yakni mempelajari konsep dan teori yang diterapkan, dihadapkan dengan aplikasi dan masalah di lapangan. Dari

sisi tingkatan, studi ini merupakan analisis kebijakan pada tingkat mikro, yang memperhatikan apa masalah dan solusi yang dipilih individu sesuai persepsi mereka dalam konteks teknis-ekonomis yaitu pada ukuran keefektifan dan keefisienan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peran Organisasi Formal bagi Petani

Secara teoritis, organisasi petani merupakan komponen penting dalam pembangunan pertanian, yang dibentuk untuk berbagai kebutuhan. Bahkan, untuk saat ini sekalipun menghadapi tantangan abad ke-21, organisasi petani diharapkan dapat berperan dalam memerangi kemiskinan, memperbaiki degradasi sumber daya alam, meningkatkan keterlibatan

Tabel 1. Jenis dan Jumlah Narasumber Penelitian (Orang)

Aspek Narasumber Provinsi

Jabar Jatim Sumbar Total Pengetahuan dan persepsi terhadap kebijakan

Aparat pemerintah di Dinas Pertanian, Koperasi, Badan Penyuluhan, dan Ketahanan Pangan

6 6 4 16

Organisasi petani 12 14 5 31 a. Kelompok tani 3 1 1 5 b. Gapoktan 3 7 2 12 c. Koperasi 2 1 1 4 d. Asosiasi komoditas pertanian 2 3 0 5 e. KTNA 2 2 1 5

Politik lokal Tokoh petani, tokoh pemerintah, dll. 8 4 4 16 Pengorganisasian buruh tani

Tokoh petani, tokoh pemerintah, petugas lapang, dll.

21 22 10 53

Sosaial ekonomi rumah tangga buruh tani

Buruh tani 19 20 8 47

Peran penyuluh pertanian

Penyuluh Pertanian Lapangan 14 7 9 30

Total 80 73 40 193

159

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 4: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

perempuan, kesehatan dan pendidikan, dan sosial politik. “The traditional approaches to organizing farmers and forming cooperatives need to be revised to meet the following development challenges of the twenty-first century ….the increasing sociopolitical unrest among the communities” (Chamala dan Shingi, 2007).

Penunia (2011) menyampaikan bahwa petani mengorganisasikan dirinya dalam berbagai kebutuhan mulai dari untuk menghadapi kelaparan dan kemiskinan, juga dalam hal politik dan ekonomi. “Farmers’ organizations (FOs) are essential institutions for the empowerment, poverty alleviation and advancement of farmers and the rural poor. Politically, FOs strengthen the political power of farmers, by increasing the likelihood that their needs and opinions are heard by policy makers and the public. Economically, FOs can help farmers gain skills, access inputs, form enterprises, process and market their products more effectively to generate higher incomes”. Dengan mengorganisasikan diri, petani juga lebih mudah memperoleh informasi, dan juga mencapai economies of scale, menekan biaya dan memfasilitasi kegiatan pengolahan dan pemasaran. Organisasi petani yang disebut dengan “marketing-oriented farmer organizations” membantu anggotanya dalam pembelian input dan proses pemasaran.

Penelitian Liverpool-Tasie (2014) yang mempelajari sistem distribusi pupuk berupa “fertilizer voucher program” di Nigeria, mendapatkan bahwa keterlibatan kelompok mempengaruhi keberhasilan program distribusi, di mana distribusi terbaik adalah apabila pupuk sampai di level kelompok (group level). Organisasi petani berperan dalam koordinasi yang lebih baik. Ini sejalan dengan penelitian Bratton (1986) di Zimbabwe, yang mendapatkan bahwa “...farmer groups improve access to household assets and agricultural services for their members”. Selain itu, organisasi petani juga mampu memperkuat posisi perempuan tani. “In mixed organizations, while women may be well represented as members, there are generally few women in leadership positions – and increasingly fewer as one moves from local to provincial, to national, or to international level” (Penunia, 2011).

Sementara, penelitian Yang et al. (2014) dengan metode Simultaneous Equations Model

dari data sejumlah 2.445 desa di Cina mendapatkan bahwa “the development of farmer economic organization is an effective way to raise the level of agricultural specialization”. Penyebab positifnya adalah karena partisipasi petani dalam organisasi, karakter petani, dan kondisi lingkungan organisasi, serta kebijakan relevan yang mendukung keberadaaan organisasi ekonomi petani. Peran organisasi petani terbukti penting dalam meningkatkan pendapatan petani.

Demikian pula dalam pemasaran hasil pertanian. Penelitian Trebbin (2014) mendapatkan peran penting organisasi petani dalam meningkatkan posisinya pada sistem rantai pasok komoditas pertanian (”...producer companies are a promising tool to strengthen famers’ position in their relationship with supermarket chains”). Organisasi petani sebagai produsen (producer companies) menjadi komponen penting dalam rantai pasok agribisnis.

Organisasi petani juga memainkan peran penting sebagai mitra dalam penelitian dan penyuluhan. Melalui organisasi petani (rural producer organizations) maka pelaksana proyek dapat meraih petani-petani miskin di sub-Saharan Africa. Melalui organisasi, maka petani kecil bisa ditingkatkan komersialisasinya, dan performa pemasaran hasilnya (Bernard dan Spielman, 2009). Satu hal yang menarik bahwa petani kecil cenderung kurang suka berorganisasi “Based on a combination of nationally-representative household- and cooperative-level survey data, we find that poorer farmers tend not to participate in these organizations although they may indirectly benefit from them”). Meskipun para petani kecil masuk dalam organisasi, namun mereka kurang terlibat dalam pembuatan keputusan.

Selain peran ekonomi dan komunikasi ini, organisasi petani merupakan strategi pokok bagi petani untuk mengakses kekuasaan (politik). Dalam pandangan Pertev (1994) misalnya, organisasi merupakan komponen pokok dalam konteks politik. “Farmers’ voice cannot be obtained without farmers’ organizations”. Petani memerlukan “…the representative organizations, the farmers’ organizations, structured from grassroots to the international level, as their legitimate voice. This is why farmers’ movement gives a lot of importance to farmers’ organizations, organizations by farmers and for farmers, as an important pillar of today’s society.” Organisasi petani merupakan sebuah pilar penting masyarakat modern.

160

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174

Page 5: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Ini sejalan dengan temuan Glover (1987), bahwa meskipun keberhasilan kemitraan (contract farming) merupakan relasi personal, namun tidak bisa lepas dari intervensi pemerintah maupun organisasi petani. Mbeched an Dorward (2014) juga mendapatkan bahwa organisasi petani sangat penting dalam meningkatkan pelayanan, mereduksi biaya transaksi, dan berkontribusi pada pembangunan negara.

Dari uraian ini terlihat bahwa pada hakekatnya, organisasi petani dapat memainkan lima peran sekaligus. Fungsi yang utama bagi pihak pemerintah adalah untuk memperlancar komunikasi dan memuluskan administrasi program. Sementara bagi petani, organisasi sangat penting untuk berbagai fungsi ekonomi kolektif, yakni meningkatkan skala usaha. Dari sisi politik, organisasi petani merupakan wadah untuk menjalankan partisipasi pembangunan dan juga sebagai fungsi perwakilan di hadapan kekuasaan.

Kebijakan dan Sikap Pemerintah dalam Mengorganisasikan Petani Era Bimas sampai dengan Keluarnya UU P3

Sesungguhnya, semenjak era Bimas sampai dengan saat ini tidak banyak perubahan berarti dalam penanganan organsasi petani. Meskipun di akhir tahun 2014 revisi UU Perlindungan dan Pemberdayaan telah direvisi dan memberi nuansa yang lebih demokratis dan terbuka, namun implementasinya belum ada.

Penelitian Bourgeois et al. (2003) mewakili pendekatan banyak peneliti selama ini dalam membahas organisasi petani. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan aparat pemerintah lemah dalam kegiatan pemberdayaan. “Most of them, derived from the traditional government induced ‘kelompok tani’ are embodied in a socioeconomic and political environment that strongly limits their capacity or willingness to emerge as farmer organizations”. Kondisi ini selalu berulang sejak era Bimas tahun 1970-an sampai sekarang. Persoalan mendasarnya adalah karena berbagai kebijakan tentang petani masih bersifat umum dan kurang sensitif kepada perbedaan karakteristik petani yang beragam.

Di sisi petani, selain organisasi formal atau sebelum dikenal organisasi formal, petani telah mengorganisasikan dirinya (self-organizing) sedemikian rupa, dengan menyesuaikan pada

kondisi dan hambatan alam, infrastruktur maupun sosial politik. Petani mengorganisasikan diri agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidup ekonominya. Petani membangun dan menjalankan berbagai relasi sosial atas berbagai basis relasi, yaitu: (1) menggunakan basis relasi patron-klien yang berpola tradisional, (2) relasi berbasiskan sentimen kekerabatan, (3) relasi berbasiskan sentimen teritoral, dan (4) pengorganisasian berbasis personal (misalnya subak di Bali, “ulu-ulu” di wilayah Jawa Barat, dan “kapalo banda” di Sumatera Barat). Saat ini, meskipun desa-desa di Indonesia telah lama berada dalam intervensi modernisasi, namun ketiga bentuk basis relasi serta pola pengorganisasian seperti di atas masih eksis walau terbatas. Hal ini misalnya terlihat dari bentuk pengorganisasian dirinya yang tidak sepenuhnya menerapkan organisasi formal yang dipandang lebih modern. Meskipun banyak pengurus dan staf sebagaimana tertulis dalam anggaran dasar organisasi, namun yang sungguh-sungguh menjalankan organisasi hanya sedikit orang.

Penelitian Collier dalam Trijono (1994) menemukan bahwa basis sentimen teritorial mengendor, serta hilangnya rasa tanggung jawab sosial lapisan atas. Organisasi petani cenderung memiliki aksesibilitas yang terbuka, sehingga petani begitu mudah dikontrol oleh pihak pemerintah. Tjondronegoro (1977) menemukan bahwa pengembangan organisasi dari atas desa selalu menggunakan gugus kepamongan, sehingga partisipasi dari masyarakat kurang muncul.

Dari informasi lapangan, diakui oleh berbagai pihak bahwa selama ini petani “diwajibkan” masuk dalam organisasi. Salah satu bentuknya adalah di mana segala bantuan dan program harus dijalankan melalui organisasi, terutama kelompok tani dan Gapoktan. Sesungguhnya semenjak era Bimas sampai sekarang Petani diharuskan berorganisasi secara formal, di mana nama dan jenisnya pun sudah ditetapkan dari atas.

Secara umum, semenjak era Bimas, pemerintah melakukan intervensi kekuasaan yang besar terhadap petani, di mana organisasi formal merupakan alat untuk berhubungan dengan petani. Relasi kekuasaan antara pemerintah dengan petani berada dalam iklim modernisasi. Dengan pendekatan agribisnis (“agriculture regarded as a bussiness”) melalui kata kuncinya

161

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 6: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

untung dan efisien, maka pertanian mesti dijalankan dengan “memperbesar skala usaha” yakni dengan menghimpun petani dalam organisasi. Intervensi pemerintah yang top-down telah menumbuhkan sikap pasif pada petani, termasuk ketika pemerintah mengintroduksikan organisasi baru.

Kondisi, Permasalahan, dan Potensi Pengorganisasian Petani Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, pemerintah menjadikan organisasi formal sebagai pendekatan. Organisasi formal menjadi syarat pelibatan petani dalam program, dan kegiatan penyuluhan juga menggunakan organisasi formal. Di Kabupaten Gresik (Jawa Timur) kondisi ini lebih tegas, di mana organisasi petani dan organisai pemerintahan desa dibuat “berhimpit”. Banyak ketua kelompok tani dijabat langsung oleh kepala dusun.

Namun, kondisi terakhir, yakni pada era reformasi ini, menunjukkan bahwa kebebasan petani berorganisasi telah mulai lahir, yang telihat dengan banyaknya terbentuk berbagai organisasi petani yang agak berada “di luar skenario” pemerintah dan tidak ditargetkan, yaitu asosiasi. Di Kabupaten Majalengka telah berdiri Aplema (Asosiasi Pengusaha Lele Majalengka) yang merupakan inisiatif sendiri petani lele, demikian pula dengan aosiasi petani cabe dan domba di Kabupaten Gresik. Asosiasi petani tembakau di Garut bahkan mampu menjembatani permasalahan bisnis yang selama ini tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah. Ide pembentukan asosiasi datang dari mereka sendiri, dan juga berkembang dengan kekuatan sendiri.

Dalam hal mengembangkan organisasi di luar kelompok tani dan Gapoktan, penyuluh bekerja sebatas penyampai pesan pemerintah, sesuai dengan tupoksi mereka. Sementara, pemerintah daerah belum memperlihatkan komitmen yang menggembirakan.

Karakter kelompok tani di Jawa Timur sangat berbeda dengan di lokasi lain. Semua petani, dalam hal ini petani padi, diharuskan masuk dalam kelompok tani. Satu dusun umumnya terdiri atas satu kelompok tani, sebagian ada yang dua, dan tidak ada anggota kelompok tani lintas dusun. Karena itu, banyak nama kelompok tani persis sama dengan nama dusun. Alasannya adalah untuk memudahkan penyusunan RDKK dan penditribusian pupuk bersubsidi. Dapat dikatakan bahwa dalam hal

relasi negara dengan petani, kelompok tani dan Gapoktan dijadikan sebagai alat atau wadah untuk memudahkan kontrol oleh negara. Dalam kasus ini, pendistribusian pupuk di Gresik dan Malang (Jawa Timur) umumnya relatif lebih tertata. Power pemerintahan desa dijadikan jalan untuk memuluskan kegiatan.

Di level lapang, tokoh petani menjadi motor penting berkembangnya organisasi petani. Mereka ini yang biasanya melakukan terobosan untuk meningkatkan taraf kehidupan anggota komunitasya. Di Kabupaten Majalengka, keberhasilan Koperasi Mekar Mulya sangat bergantung kepada peran ketuanya yang juga merupakan seorang guru SMP. Selain berhasil mengembangkan koperasi susu, pemeliharaan sapi perah sebanyak 240 ekor juga telah memberikan tambahan pendapatan, beserta pengolahan pupuk organik dari kotoran sapi (produksi 14-15 ton/bulan). Keuntungan koperasi sudah cukup memadai untuk SHU anggota dan menggaji pengurus.

Otonomi daerah yang telah berjalan secara administratif semenjak tahun 2000 memberi suasana yang cukup menentukan terbentuk dan berkembangnya organisasi petani. Eksistensi petani dalam percaturan politik lokal sampai saat ini belum mengandalkan organisasi formal, namun lebih pada tokoh. Tokoh petani, terutama dari kalangan KTNA, sudah cukup diakui oleh pimpinan daerah, seperti di Kabupaten Agam dan Gresik.

Untuk fungsi politik, KTNA mulai mendapatkan posisi politik yang diperhitungkan di daerah. KTNA diberi fasilitas ruangan kantor dan sedikit biaya operasional, serta juga cukup dekat dengan bupati di Kabupaten Garut, Gresik, dan Agam. Tokoh ketua KTNA di Gresik dan Agam sangat dekat dengan bupati.

Para pengurus KTNA tidak hanya sering diundang rapat di Dinas Pertanian dan Badan Koordinasi Penyuluhan, namun bahkan ke tingkat Sekda dan bupati. Bahkan di Gresik, ketua KTNA kabupaten baru saja terpilih menjadi seorang anggota legislatif untuk periode 2014-2019. Demikian pula di Jawa Barat, sudah cukup banyak KTNA yang masuk sebagai anggota legislatif, dan sebagian juga aktif di partai politik. Ketua asosiasi Aplema di Majalengka adalah juga pengurus cabang partai politik di wilayahnya. Dapat dikatakan, bahwa telah mulai tumbuh fenomena kesadaran politik petani, meskipun masih pragmatis dan belum memiliki pola dan struktur perjuangan yang jelas.

162

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174

Page 7: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Dari informasi yang terkumpul, penumbuhan dan pembinaan organisasi petani di lapangan mengandalkan kepada penyuluh pertanian. Namun, menurut persepsi PPL, mereka hanya ditugasi menumbuhkan dan mengembangkan kelompok tani dan Gapoktan. PPL merasa tidak ditugaskan membina koperasi, asosiasi, dan juga KTNA. Sementara, khusus untuk kelompok tani, PPL tidak memiliki target untuk menjadikan seluruh kelompok tani mencapai kelas utama. Dapat dikatakan bahwa PPL telah “terperangkap” hanya pada target-target produksi komoditas, bukan pada manusia petaninya yang sesungguhnya adalah tugas utama mereka.

Rekapitulasi dari data lapangan mendapatkan bahwa rata-rata petani yang sudah

masuk kelompok tani berkisar mulai dari 48,4 sampai 55,5 persen, di mana jumlah kelompok tani yang dibina per desa oleh PPL adalah 10 sampai 16 unit. Semua responden PPL mengakui ada target semua petani masuk kelompok tani, namun tidak satu pun dari 30 orang responden yang menyatakan ada target semua kelompok tani harus mencapai kelas utama. Khusus untuk koperasi, tidak ada penyuluh yang tahu berapa dari seluruh petani di desa binaannya yang telah menjadi anggota koperasi. PPL tidak memiliki target bahwa petani harus masuk koperasi. Jumlah PPL yang ikut membina koperasi hanya 12,5 persen di Jabar, 18,7 persen di Sumbar, dan 27,2 persen di Jatim.

Secara umum, pembinaan yang berjalan untuk seluruh organisasi petani bersifat parsial,

Tabel 2. Karakteristik Umum Organisasi Petani Berdasarkan Jenisnya

Uraian Kelompok tani Gapoktan Koperasi Asosiasi KTNA Jumlah sampel 5 unit 12 unit 6 unit 5 unit 5 unit

Area kerja Tingkat dusun dan neighborhood

Desa Komunitas, berbasiskan wilayah desa, atau komoditas

Lintas desa, bahkan lintas kabupaten

Desa sampai kabupaten

Komoditas atau bidang utama

Padi, jagung, cabe, kambing, domba

Padi, jagung, cabe, kambing, domba

Susu, tebu, simpan pinjam

Lele, jagung, cabe, tembakau, kambing dan domba

Non komoditas

Fungsi yang dijalankan selama ini

Menyalurkan benih dan pupuk bantuan, wadah penyuluhan, dll

Umumnya menjalankan program pemerintah (PUAP, LDPM, dll)

Koperasi komoditas, menyalurkan pupuk bersubsidi (KUD)

Masih baru, tahap konsolidasi

Membantu RDKK dan kelancaran pasokan input, advokasi petani, perencanaan dan monitoring pembangunan

Inisiasi pembentukan

Umumnya dari luar, untuk administrasi program

Umumnya dari luar, untuk administrasi program

Ada organizational learning

Untuk komunikasi, dan memberi pendampingan ke petani

Dari pemerintah (sejak 1980 an), mulai tumbuh kesadaran internal

Karakter kepemimpinan

Lemah, umumnya menolak menjadi pengurus

Lemah, sebagian menolak jadi pengurus, sebagian mulai senang

Cukup kuat, ada yang guru, pensiunan, dll

Para pedagang pengumpul

Tokoh petani yang vokal, cukup pintar, dan “bermodal”

Keanggotaan Berbasiskan lahan dan tempat tinggal (Jatim)

Semua KT di desa, ada yg lintas desa (Gap Panampuang Prima – Agam)

Petani yang berminat

Belum tertata, belum ada pola

Semua KTNA di desa (1-2 orang)

Pihak pembina PPL dan dinas sesuai komoditas

PPL dan dinas pertanian

Dinas koperasi untuk manajemen, teknis sesuai komoditas

Tidak ada, di dinas komoditas baru sebatas pencatatan

Relatif tidak ada, sebagian BP4K dan bupati

163

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 8: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

terbatas, dan masih terbatas hanya untuk kebutuhan administratif. Pihak Dinas Pertanian dan Badan Penyuluhan bahkan tidak merasa “memiliki” koperasi, sehingga data koperasi pertanian pun tidak dimilikinya. Apalagi untuk asosiasi yang sama sekali belum disentuh. KTNA sesungguhnya organisasi petani yang sudah lama, namun pembinaannya sangat terbatas.

Memahami Arah Kebijakan Setelah Revisi UU P3 oleh Mahkamah Konstitusi

Kelahiran UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) merupakan tonggak penting dalam pengorganisasian petani. Dalam UU ini dicantumkan garis kebijakan yang jelas dan tegas. Pada Pasal 71 tertulis “Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)”. Organisasi dimaksud – dalam UU ini disebut dengan “lembaga” atau kadang-kadang “kelembagaan” –terdiri atas empat bentuk yaitu Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional.

Selain yang disebut dengan jelas tersebut, untuk bentuk organisasi yang lebih bebas dikelompokkan ke dalam istilah “Kelembagaan Ekonomi Petani” yang dimaknai sebagai “lembaga yang melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi Usaha Tani, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”(Pasal 1). Dalam konteks ini, maka bisa berupa koperasi, baik koperasi primer maupun sekunder, serta juga badan usaha lainnya. Sangat dimungkinkan pula jika petani ingin membentuk Perseroan Terbatas (PT) atau pun CV (commanditaire vennootschap) atau sering disebut dengan Persekutuan Komanditer. Organisasi usaha yang tidak berbadan hukum pun semestinya juga menjadi perhatian pemerintah, sesuai dengan pemaknaan pada pasal 1 UU ini.

Untuk penjabaran lebih jauh khusus untuk kelompok tani dan Gapoktan telah dikeluarkan kebijakan terbaru yaitu Permentan No. 82/Permentan/Ot.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani. Disebutkan bahwa tujuan lahirnya pedoman ini adalah untuk: (1)

meningkatkan jumlah kelompok tani dan Gapoktan, (2) meningkatkan kemampuan kelompok tani dan Gapoktan dalam menjalankan fungsinya, dan (3) mendorong kelompok tani dan Gapoktan meningkatkan kapasitasnya menjadi kelembagaan ekonomi petani.

Jadi, dalam hal berorganisasi, UU No. 19 tahun 2013 hanya mengakui lima jenis organisasi, yaitu kelompok tani, Gapoktan, asosiasi komoditas, dewan komoditas, dan kelembagaan ekonomi petani berupa BUMP. “Kelompok Tani” adalah “kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota”, sedangkan, “Gabungan Kelompok Tani” adalah “kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha”.

Selanjutnya, pada level lebih tinggi “Asosiasi Komoditas Pertanian” adalah “kumpulan dari Petani, Kelompok Tani, dan/atau Gabungan Kelompok Tani untuk memperjuangkan kepentingan Petani”. Artinya, asosiasi ini mengusahakan satu komoditas yang sama, namun cakupan wilayahnya lebih luas, bisa beberapa desa, satu kabupaten, bahkan provinsi. Untuk level nasional, asosiasi ini haruslah menjadi “Dewan Komoditas Pertanian Nasional” yang dimaknai sebagai “suatu lembaga yang beranggotakan Asosiasi Komoditas Pertanian untuk memperjuangkan kepentingan Petani”.

Jadi, kelompok tani dan Gapoktan adalah “organisasi sementara”. Pada akhirnya, kelompok tani dan Gapotan mestilah menjadi “kelembagaan ekonomi petani” yakni BUMP. Selanjutnya, dalam Permentan ini disebutkan bahwa ada tiga fungsi kelompok tani yaitu sebagai kelas belajar, wahana kerjasama, dan sebagai unit produksi. Sementara, fungsi Gapoktan lebih banyak yaitu sebagai unit usaha penyedia sarana dan prasarana produksi, unit usahatani atau produksi, usaha pengolahan, pemasaran, serta keuangan mikro (simpan-pinjam).

Dari seluruh responden di level instansi yang diwawancarai dalam studi ini, sebagian telah pernah membaca UU No. 19 tahun 2013 sepintas, namun seluruhnya tidak ada yang paham bagaimana petani didefinisikan dalam UU ini. Di level daerah, dari ke-5 Pemda, tidak ada

164

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174

Page 9: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

satupun yang punya perhatian dan program khusus untuk buruh tani. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa pemahaman aparat dan petani tentang sosok organisasi petani ke depan ini belum banyak dipahami. Selain itu, banyak kesiapan kelembagaan yang belum tersedia. Sebagai contoh, jika berbentuk PT atau CV dan asosiasi siapa pembina yang akan memperhatikan dan mendukung.

Tidak lama setelah keluarnya UU P3, timbul beberapa kritik dari kalangan masyarakat, yang diwakili NGO. Pada pasal 69 ayat (1) sesungguhnya sudah disebutkan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Kelembagaan Petani dan Kelembagaan Ekonomi Petani”. Pembentukan kelembagaan (mestinya “organisasi”) tersebut dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani.

Persoalan lahir dari pasal 70 ayat 1 dan pasal 71 ayat 1. Namun, kebijakan yang cenderung mengikat petani dalam UU ini telah dilonggarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 November 2014 dengan mengabulkan tuntutan dari beberapa NGO petani nasional. Dalam amar putusan pemohon No. 87/PUU-XI/2013, kebebasan berorganisasi dijamin pada tuntutan pasal-pasal selanjutnya. Aturan mengenai organisasi tani menjadi tak mengikat hanya milik pemerintah. Petani pun tak berkewajiban ikut organisasi milik pemerintah, sehingga bisa saja ikut organisasi yang sudah ada, atau membentuk sendiri. Sesuai Pasal 70 ayat 1 yang baru, tidak hanya kelompok tani dan

Gapoktan saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani. Lalu pasal 71 tentang “kewajiban” juga dianggap bertentangan. Artinya, petani tidak wajib ikut kelompok tani dan Gapoktan.

Permohonan diajukan oleh beberapa NGO diantaranya Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), WALHI, Sekretariat Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), FIELDS, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya. Pasal 70 ayat 1 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”. Dengan demikian, tidak hanya kelompok tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani juga harus diakui. Lalu, pasal 71 tentang kata “berkewajiban” juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Perubahan dimaksud disampaikan pada Tabel 3.

Dengan perubahan ini, maka menjadi konsisten dengan bagian lain dari UU ini yaitu Pasal 69 ayat (2): “Pembentukan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani”. Juga dengan Pasal 71 ayat (2): “Pembentukan Kelompok Tani memperhatikan lembaga-lembaga adat Petani yang sudah ada dan memperhatikan keterlibatan Petani perempuan”.

Tabel 3. Perubahan isi UU No 19 tahun 2013 oleh Mahkamah Konstitusi

Pasal UU No. 19 tahun 2013 Revisi oleh MK

Pasal 70 ayat 1 “Kelembagaan petani sebagai dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) terdiri atas: (a) Kelompok Tani, (b) Gabungan Kelompok Tani, (c) Asosiasi Komoditas Pertanian, dan (d) Dewan Komoditas Pertanian Nasional”

(Dibatalkan)

Pasal 71 ayat 1 “Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)”

“Petani bergabung dan berperan aktif dalam kelembagaan petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat 1”

165

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 10: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Menurut Mahkamah Konstitusi (putusan MK) pasal 70 ayat 1 menyebabkan diskriminasi, sehingga bertentangan dengan pasa 28I ayat 2 UUD 1945. Alasannya adalah: Pertama, karena praktek korporatisme negara yaitu negara memfasilitasi terbentuknya dan menentukan bentuk lembaga petani (sentralisme). Ini dilakukan rezim Orde Baru, yaitu pemberlakuan organisasi petani dalam wadah tunggal yang dikooptasi oleh negara, di mana petani hanya diberikan kesempatan berorganisasi dalam wadah yang sudah ditentukan.

Kedua, pasal 70 lama ini mengabaikan bentuk organisasi lain dalam pasal 69 ayat 2 yaitu Serikat Petani, kelembagaan Subak (Bali), kelompok perempuan tani dan sebagainya. Pasal 69 ayat 2 juga sudah menyebutkan bahwa pembentukan organisasi petani (dalam UU ini disebut dengan “kelembagaan”) harus dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan petani lokal. Artinya, dimungkinkan terbentuknya organisais petani yang berbagai bentuk sesuai dengan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat.

Ketiga, pembentukan organisasi petani secara sepihak oleh pemerintah berpotensi mengakibatkan petani yang bergabung dengan organisasi lain tidak diperhatikan dan tidak diberdayakan. Artinya, akan menimbulkan diskriminasi bagi petani, sehingga bertentangan pula dengan Pasal 28I UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 70 ayat (1) ini dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Selanjutnya, khusus untuk pasal 71 ayat 1, kata “berkewajiban” dianggap bertentangan dengan pasal 28E ayat 3 UUD 1945, yaitu: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Dalam pertimbangan MK, berorganisasi adalah sebuah yang memberikan keleluasaan kepada pemegang hak mempergunakan haknya atau tidak, bukan satu kewajiban.

Maka dalam putusan MK ini disampaikan bahwa pemerintah tidak perlu mengintervensi dan menentukan bentuk organisasi petani, dan semestinya melindungi keanekaragaman bentuk-bentuk yang ada. Pemerintah juga semestinya membiarkan petani atas kesadarannya untuk menentukan jenis organisasi dan keikutsertaannya. Pemerintah hanya perlu

mengakui dan melindunginya. Penetapan bentuk dan nama organisasi petani secara sepihak dan di luar inisiatif petani, bertentangan dengan kemerdekaan atau kebebasan untuk berserikat (putusan MK hal 34).Kesimpulan MK adalah bahwa pasal 70 ayat (1) dan pasal 71 UU 19 tahun 2013: (1) telah menimbulkan pelanggaran hak asasi petani, (2) menyebabkan ketidakpastian hukum, (3) tidak dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan (4) merugikan hak-hak konstitusional para pemohon.

Implikasi Revisi UU P3 oleh MK terhadap Pengorganisasian Petani

Dikabulkannya judicial review UU P3 oleh MK membawa beberapa implikasi yang cukup besar ke depan, dalam konteks manajemen dan sistem administratif pelaksanaan program pembangunan. Implikasi tersebut di antaranya adalah: Pertama, nama dan bentuk organisasi petani ke depan bisa lebih bervariasi. Selain Kelompok Tani dan Gapoktan yang sudah dikenal luas, maka petani pun bebas membentuk organisasi lain dengan nama lain, dan basisnya pun bisa berupa komoditas maupun wilayah. Artinya, dimungkinkan untuk membuat misalnya kelompok berbasis komoditas misalnya dengan nama “kelompok tani bawang”, “kelompok tani jeruk”, “kelompok peternak itik lokal”, dan lain-lain. Bahkan, basis keanggotaannya pun bisa lintas desa atau lebih luas lagi.

Kedua, karena nama organisasi petani dapat berbeda-beda, maka banyak pedoman-pedoman kegiatan yang harus direvisi, termasuk aturan tentang pemberian bantuan sosial (Bansos). Peraturan utama yang harus direvisi adalah Permentan No. 82 tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani. Aturan ini baru memuat tentang kelompok tani dan Gapoktan, bahkan asosiasi dan Badan Usaha Milik Petani pun belum diatur di dalamnya, sehingga dibutuhkan Permentan baru.

Ketiga, inti dari kebijakan ini adalah bahwa seluruh organisasi formal di mana anggotanya adalah petani haruslah menjadi perhatian pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian. Organisasi formal yang cakupannya paling luas adalah “organisasi kemasyarakatan”. UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menyebutkan bahwa

166

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174

Page 11: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

“Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.

Dalam konteks ini, maka Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial sesungguhnya sudah sejalan, karena basis pemberian bantuan sosial adalah Ormas. Pada Pasal 6 disebutkan bahwa: “Hibah kepada organisasi kemasyarakatan diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Khusus untuk lingkup Kementan, maka salah satu turunan dari peraturan ini misalnya adalah Pedoman Pelaksanaan Pengajuan Pengelolaan Dana Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2012 Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam aturan ini disebutkan bahwa kelompok sasaran yang dapat menerima hibah Bansos adalah kelompok yang telah ada dan menjalankan usaha agribisnis dan/atau ketahanan pangan. Kriteria umum calon penerima dana bantuan sosial antara lain adalah yang “....tergabung dalam suatu kelompok usaha harus memiliki nama kelompok, nama ketua kelompok dan alamat yang jelas”.

Implikasi berikutnya, maka Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) misalnya tidak harus diberikan kepada Gapoktan saja. Selama ini PUAP ekslusif hanya untuk Gapoktan yang jumlahnya satu unit per desa. Pada halaman 22 Pedoman Pelaksanaan PUAP terbaca bahwa “PUAP memfasilitasi modal usaha bagi petani kecil, buruh tani dan rumah tangga tani miskin kepada sumber permodalan dilaksanakan melalui: (a) penyaluran BLM PUAP kepada pelaku agribisnis melalui Gapoktan; .....dst”.

Keempat, pemerintah tidak hanya memperhatikan kepada organisasi petani sebagai produsen, namun juga pelaku agribisnis lain. Maka, berbagai asosiasi yang saat ini sudah eksis perlu memperoleh pembinaan, misalnya asosiasi komoditas maupun bentuk asosiasi lain yang berbasiskan wilayah dan kepentingan tertentu, misalnya berbasiskan pertanian organik.

Kelima, pedoman kerja penyuluhan juga akan berubah karena belum memasukkan organisasi lain di luar kelompok tani dan Gapoktan. Perubahan dibutuhkan setidaknya terhadap Permentan No. 25/Permentan/Ot.140/5/ 2009 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian dan Permentan No. 91/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian. Tupoksi penyuluh pertanian tentu saja kemudian harus diperluas untuk berbagai bentuk organisasi petani yang lain.

Rancangan Organisasi Petani ke depan

Dengan perubahan kebijakan yang cukup mendasar ini dan dihadapkan kepada temuan-temuan lapang serta peluang yang tersedia, maka rancangan organisasi petani ke depan lebih kurang adalah sebagai berikut. Bentuk rancangan organisasi petani ke depan didasarkan atas dasar bahwa organisasi petani dibangun pada hakekatnya untuk memenuhi lima kebutuhan yaitu fungsi administrasi pembangunan misalnya untuk kepentingan penyaluran bantuan, fungsi komunikasi secara horizontal dan vertikal, fungsi ekonomi, sebagai wadah partisipasi, serta fungsi perwakilan atau representatif politis petani. Tiap fungsi memiliki arah relasi yang berbeda. Fungsi administratif memiliki bentuk relasi dari atas ke bawah, fungsi komunikasi juga atas ke bawah namun juga horizontal, sedangkan fungsi ekonomi memiliki tipe relasi horizontal. Khusus untuk fungsi partisipasi pembangunan dan representasi politik sudah memiliki bentuk relasi yang sebaliknya yakni dari bawah ke atas.

Sampai saat ini kelompok tani dan Gapoktan masih sebatas untuk fungsi administrasi dan komunikasi, meskipun sesungguhnya diharapkan juga untuk fungsi ekonomi, namun kurang berhasil (Tabel 4). Sementara, koperasi yang bagi Dinas Koperasi lebih untuk fungsi administrasi dan komunikasi, bagi pihak pertanian lebih sebagai fungsi ekonomi. Khusus untuk asosiasi, baru sebatas untuk “asosiasi komoditas”, dan secara umum pihak pemerintah belum memiliki sikap dan pemahaman yang jelas. Petani membentuk asosiasi lebih untuk pemenuhan fungsi ekonomi, yakni memudahkan berkomunikasi untuk sesama pelaku, misalnya pada asosiasi petani cabe di Gresik. Pengurus dan anggota asosiasi belum memiliki pandangan bahwa asosiasi akan juga menjadi jalan untuk partisipasi politik, meskipun

167

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 12: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

secara teoritis berpeluang. Ke depan, organisasi petani semestinya bisa lebih berperan terutama untuk kontestasi politik di level kabupaten, yakni dengan mengoptimalkan peran KTNA, HKTI, berbagai asosiasi, serta dengan menempatkan wakil-wakil petani di badan legislatif bahkan dengan mendirikan “Partai Petani” sekalipun.

Sesuai dengan pendekatan paham kelembagaan baru (New Institutionalism) oleh Scott (2008) dan juga Nee (2003, 2005), perilaku petani dipersepsikan sebagai sebuah tindakan

yang sadar dan rasional sesuai dengan konteks kelembagaan yang melingkupi mereka. Apa yang dimaksud dengan format pengorganisasian di sini adalah mencakup di luar organisasi dan di dalam organisasi (formal). Paham kelembagaan baru menjadikan organisasi sebagai aktor yang pokok dalam masyarakat. Dalam konteks dunia pertanian, meskipun petani sesungguhnya bisa saja menjalankan seluruh usahanya tanpa menggunakan organisasi formal, namun keberadaan organisasi formal sampai saat ini

Tabel 4. Peran yang Dijalankan Organisasi Petani Selama Ini dan Rancangan ke Depan

Fungsi administratif

Fungsi komunikasi Fungsi ekonomi

Fungsi partisipasi

pembangunan

Fungsi representasi

politik

Peran selama ini: Kelompok tani Kuat Kuat Lemah Lemah Lemah. Gapoktan Kuat Kuat Lemah Lemah Lemah Koperasi pertanian

Kuat Kuat Lemah Lemah Lemah

Asosiasi Lemah. Karena tidak menjadi penyalur bantuan

Lemah. Hanya internal untuk sesama petani

Kuat. Namun jumlah asosiasi masih sangat sedikit

Lemah Lemah. Telah eksis namun terbatas, misalnya asosiasi petani tembakau di Garut

Organsiasi KTNA Lemah. Karena tidak menjadi penyalur bantuan

Lemah. Hanya internal untuk sesama anggota

Lemah. Bukan untuk kepentingan ekonomi.

Lemah Lemah. Namun mulai berjalan

Peran ke depan: Kelompok tani Lemah. Karena

Bansos akan menurun jumlahnya

Lemah. Karena sarana komunikasi berubah.

Lemah. Karena cakupannya kecil

Kuat Asalkan bisa lebih mandiri

Lemah. Karena cakupannya sempit

Gapoktan Lemah. Karena Bansos akan menurun jumlahnya

Lemah. Karena sarana komunikasi berubah.

Sedang. Karena cakupan cukup luas

Kuat. Asalkan bisa lebih mandiri

Sedang. Karena cakupannya satu desa

Koperasi pertanian

Lemah. Karena Bansos akan menurun jumlahnya

Lemah. Kuat. Kuat. Asalkan bisa lebih mandiri

Lemah. Karena lebih untuk peran ekonomi.

Asosiasi Tidak ada Kuat. Untuk sesama anggota

Kuat. Kuat Kuat. Dapat menyuarakan kepentingan anggota

Organsiasi KTNA Tidak ada Kuat. Untuk sesama anggota

Lemah. Karena lebih untuk peran politik.

Kuat Kuat. Dapat menyuarakan kepentingan anggota

168

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174

Page 13: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

masih dipandang sebagai keniscayaan dalam tatanan dunia modern. Begitu banyak peluang yang bisa diperoleh petani andai ia menjalankan usahanya dalam organisasi formal. Jika hanya mengandalkan relasi-relasi pasar, meskipun pilihan ini bisa efektif untuk sementara, namun untuk pengembangan lebih jauh ini tidak memadai. Apalagi di Indonesia, di mana petani kecil semakin banyak dan meluas, yang salah satunya disebabkan proses delandreformisasi; kebutuhan untuk berorganisasi merupakan hal yang sangat masuk akal.

Organisasi petani mencakup organisasi dalam bentuk individual (individual organization), yakni bagaimana rancangan keorganisasian pada kelompok tani misalnya; namun juga mencakup bagaimana rancangan antarorganisasi petani, yang mencakup satu area tertentu secara horizontal dan vertikal. Secara umum, ada tiga level organisasi petani yang perlu dibangun, yakni level organisasi individual (individual organization), organisasi koordinasi (inter-group organization), dan organisasi pendukung (supporting group). Meskipun tidak kongruen, ini agak berhimpit juga dengan pemilahan berdasarkan level dusun, desa, dan kabupaten.

Secara detail, rancangan organisasi petani ke depan, sebagaimana disampaikan pada Tabel 5 adalah sebagai berikut. Satu, Pilihan untuk organisasi individual adalah kelompok tani, kelompok wanita tani, kelompok tani berdasarkan komoditas, dan koperasi primer. Keberadaan organisasi ini tetap dibutuhkan ke depan.

Dua, organisasi koordinator (inter-group organization). Organisasi koordinator adalah sebuah organisasi yang posisinya berada di atas individual organization, yang berperan sebagai koordinator, menyatukan kegiatan dan sumber daya, melayani kebutuhan organisasi, dan mewakili segala kebutuhan organisasi ke luar. Pilihan organisasi koordinator adalah Gapoktan atau koperasi sekunder, namun Gapoktan tidak akan bisa memiliki badan hukum.

Dalam format sebagai inter-group associations, Gapoktan merupakan tahap lanjut dalam kegiatan pengorganisasian (a late development in the projects). Gapoktan dikembangkan setelah kelompok tani berdiri dan berjalan dengan kuat. Karena itu, semestinya tidak ada Gapoktan yang dinilai bagus, padahal seluruh kelompok tani di dalamnya pada kondisi rendah. Hal ini ditemukan pada Gapoktan di Kabupaten Agam yang merupakan juara nasional, padahal delapan unit kelompok tani di dalamnya seluruhnya hanya kelas pemula.

Organisasi koordinator harus mampu menjalankan banyak peran (managing multiple services) karena posisinya yang melayani banyak kebutuhan internal dan sekaligus untuk urusan eksternal. Untuk membagi-bagi tugas, maka perlu dibentuk kelompok-kelompok (task groups) atau sebuah service committees, dengan tugas yang berbeda.

Tiga, untuk organisasi pendukung, selama ini hanya terbatas pada Dinas Pertanian dan Badan Penyuluhan. Ke depan, sangat berpotensi untuk mengoptimalkan peran organisasi petani di

Tabel 5. Rancangan Organisasi Petani ke Depan Berdasarkan Level Wilayah

Level wilayah Jenis organisasi Organisasi saat ini Pilihan organisasi ke depan

Dusun Organisasi individual Kelompok tani Kelompok tani, KWT, koperasi primer

Desa Organisasi koordinator (inter-group organization)

Gapoktan dan koperasi Koperasi dan Posluhdes sebagai simpul relasi

Kabupaten Organization interrelation, dan supporting organization

Dinas Pertanian, Badan Penyuluhan, KTNA (namun tidak menjadi koordinator seluruh organisasi petani sekabupaten)

KTNA, Dinas Pertanian, Bapeluh, asosiasi Gapoktan, asosiasi PPL swadaya, asosiasi komoditas, NGO, dll.

169

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 14: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

level kabupaten, yaitu KTNA, berbagai asosiasi (asosiasi individual petani misalnya asosiasi petani organik, asosiasi Gapoktan sekabupaten, dan asosiasi komoditas, dll.). Bentuk asosiasi lebih variatif dan tergolong sebagai farmers interest groups. Agar lebih efektif, elemen “supporting group” atau “group promoters” ini semestinya berkoordinasi. Dibutuhkan sebuah representative of groups untuk petani yang di dalamnya mencakup stakeholders pemerintah daerah, maupun organisasi petani, nonpemerintah dan tokoh-tokoh lokal. Untuk koperasi, dimungkinkan juga membentuk koperasi sekunder level kabupaten, atau asosiasi koperasi sekabupaten (agriculture cooperative society). Saat ini, pola dimaksud belum ditemukan di lapang.

Lingkungan Kelembagaan untuk Pengembangan Organisasi Petani

Sesuai dengan Scott (2008), ada tiga elemen lingkungan kelembagaan. Organisasi petani hanyalah satu elemen dari banyak kondisi lain. Semua harus ditata karena organisasi petani akan berjalan bila kondisi lingkungan kelembagaannya mendukung. Namun dalam bagian ini, elemen yang dibahas adalah berkenaan dengan perihal regulatif yang merupakan peran negara secara lebih besar. Bagian ini merupakan yang paling mungkin untuk dikontrol dibandingkan elemen lain.

Dibutuhkan perubahan lingkungan kelembagaan sehingga organisasi-organisasi petani dapat tumbuh dan berperan secara efektif. Kondisi yang dibutuhkan terutama pada perubahan kebijakan. Satu perubahan yang perlu dilakukan adalah memperbaiki penggunaan konsep. Dalam Permentan 82 tahun 2013 ditemukan kekeliruan dalam penerapan konsep lembaga, organisasi, dan advokasi. Dalam Permentan ini tidak disebutkan apa itu arti “lembaga”, “kelembagaan”, maupun “organisasi”; padahal objek ini merupakan hal yang sangat mendasar dan disebutkan berulang-ulang dalam bagian batang tubuhnya.

Gapoktan dipersepsikan sebagai sebuah “kelompok tani yang besar”, bukan sebuah interrelation organization yang bangun keorganisasiannya berbeda. Sebagaimana struktur dalam Permentan ini, di mana melekat erat tentang pedoman pengisian RDKK; maka jelas terlihat bahwa kelompok tani dan Gapoktan

dikembangkan sangat bernuansa untuk mulusnya pendistribusian benih dan pupuk bersubsidi (=fungsi administrasi dan komunikasi).

Rendahnya partisipasi petani anggota disebabkan karena kesan bahwa organisasi petani adalah agenda pemerintah. Hasil kegiatan McKone (1990) di berbagai negara menemukan stereotipe cara kerja orang-orang pemerintah. Mereka umumnya terlalu menyederhanakan (oversimplify) dalam melihat komunitas di pedesaan. Petani diwajibkan untuk berorganisasi jika ingin memperoleh bantuan. Dilaporkan bahwa: “…unless they are organized into cooperatives or associations or groups, they will not get government subsidies or access to credit and technical services. As a result, several FOs were established overnight on paper” (Chamala dan Shingi, 2007).

Ke depan, perlu pendekatan baru untuk mengorganisasikan petani dan membangkitkan kebutuhan bekerja sama (forming cooperatives need). Penyuluh harus mempunyai kemampuan dalam hal mengorganisasikan komunitas (community-organizing) dan keterampilan manajemen kelompok (group management skills).

Segala perubahan ini diharapkan akan dapat menghindarkan fenomena tumpang tindih organisasi petani. Ke depan juga diharapkan bahwa organisasi petani tidak lagi menjadi alat untuk memperoleh proyek. Dengan demikian, bagi pemerintah daerah, jumlah organisasi petani yang ada di wilayahnya tidak lagi sebagai alat untuk memperoleh kegiatan.

Untuk menciptakan organisasi petani yang kuat, dibutuhkan hal-hal berikut, yaitu: Satu, dari sisi teknis, dibutuhkan penyatuan berbagai organisasi-organisasi yang kecil menjadi cukup besar hingga mencapai skala ekonomis secara manajemen dan ekonomis. Sebagai contoh, untuk organisasi yang bergerak dalam urusan permodalan (simpan pinjam) setidaknya saat ini ada Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) PUAP di Gapoktan, Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) juga di Gapoktan, Lumbung Pangan Masyarakat ( LPM) di kelompok tani, koperasi berbagai komoditas, dan Koperasi Unit Desa (KUD). Masing-masing beroperasi dalam skala terbatas, sehingga tidak mampu menghidupi diri sendiri. Agar sustainable semuanya sebaiknya disatukan karena sesuai dengan UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, harus segera memiliki badan

170

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174

Page 15: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

hukum. Jika disatukan dalam satu koperasi, maka akumulasi aset bisa mencapai Rp1–Rp1,5 miliar, sehingga potensi pendapatan setahun bisa di atas Rp100 juta dan dapat memberikan honor yang cukup untuk pengurus dan manajernya.

Dua, dari sisi struktural, masing-masing intansi pemerintah mesti menghilangkan sifat egosektoralnya. Jumlah kelompok tani dan koperasi yang selama ini menjadi basis pengajuan anggaran program mestinya sudah dihilangkan.

Tiga, dari sisi psikologis, sikap bahwa organisasi petani adalah milik petani, memberi kesempatan kepada mereka untuk tumbuh dan berkembang (learning organization). Berbagai kebijakan terbaru (terutama UU LKM, UU P3, UU Pangan) telah memberikan kesempatan petani untuk “memiliki dirinya sendiri”, bukan lagi “milik” pemerintah.

Empat, dari sisi legislasi, dibutuhkan pelurusan konsep, konsistensi, penjelasan lebih detail, terutama berkenaan dengan perbedaan antara “lembaga” dan organisasi”. Jangan hanya mendirikan organisasi, tapi harus membangun kelembagaan. Kelembagaan mencakup aspek regulatif, aspek regulatif, aspek kultural kognitif, ditambah aspek keorganisasian. Organisasi petani tidak bisa berkembang jika lingkungan kelembagaannya tidak kondusif.

Untuk menjadi aktor dalam dunia modern, maka relasi antarorganisasi tidak terhindarkan. “It is proven vital to sustain relationship between organizations particularly between consumers and suppliers” (Redza et al., 2014). Basis dari keberhasilan organisasi adalah modal sosial di dalamnya. Dengan modal sosial yang kuat, dalam hal ini mencakup kombinasi dari roles, rules, norms and values; pengelolaan irigasi tetap bisa mampu berjalan, bahkan terbukti mampu tetap memperoleh hasil produksi yang tinggi meskipun sedang musim kemarau. Tindakan kolektif yang dituju dengan organisasi petani dimungkinkan karena ada basis modal sosial yang kuat (Uphoff dan Wijayaratna, 2000).

Lebih jauh, dengan perubahan kebijakan penyuluhan pertanian di Indonesia yang lebih terbuka sesuai dengan UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; maka bentuk dan peran organisasi petani juga harus menyesuaikan. Yang et al. (2014) mempelajari peran organisai petani dalam agricultural innovation system (AIS) dari

tiga kasus di Cina menyimpulkan bahwa organisasi petani memainkan peran penting dalam hal menciptakan pengetahuan yang lebih kontekstual dan sesuai (contextual and integrated knowledge) untuk inovasi, melekat pada relasi yang mengintermediasi inovasi, dan memposisikan diri sebagai perwakilan (representative position) yang legitimatif untuk petani.

Segala perubahan ini menuntut syarat kondisi politik yang kondusif. Kondisi politik yang dibutuhkan adalah “Attention should focus on means of legitimising rights and building capacity to, demand accountability” (Mbeche and, Dorward, 2014). Hal yang dibutuhkan adalah “...reconfiguring of structures and coordinating stakeholder capacity in understanding the changes, is necessary for successful reform”. Pemerintah perlu melegitimasi hak-hak petani kecil (smallholder farmers’ rights) dan memperkuat kapasitas mereka.

Relasi antaraktor lintas wilayah dan level juga perlu dibenahi (Stock et al., 2014). Maka otonomi petani dengan organisasinya perlu diberikan makna baru. Pada hakekatnya, otonomi petani merupakan kekuatan utama pada diri petani. Penelitian Stock dan Forney (2014) di Selandia Baru dan Swiss mendapatkan bahwa “autonomy is a social tool used by farmers. ....Autonomy indicates a freedom of lifestyle versus constraints on personal freedom. .....Autonomy as both value and tool that help us understand farmers within a wider set of economic, environmental and interpersonal relations”. Ini juga sejalan dengan temuan Bebbington et al. (2006), yakni tentang bagaimana memperkuat relasi politik dan ekonomi petani melalui pemanfaatan modal sosial.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggalian data dan informasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun UU No. 19 tahun 2013 memungkinkan untuk membentuk berbagai jenis organisasi petani, namun Dinas Pertanian dan Badan Pelaksana Penyuluhan masih membatasi diri hanya pada kelompok tani dan Gapoktan. Oleh karenanya, dari kelima lokasi penelitian tidak ditemukan ada pemerintah daerah

171

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 16: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

yang telah menyusun pedoman pendirian dan pembinaan organisasi petani untuk jenis asosiasi komoditas, dewan komoditas nasional, koperasi pertanian, maupun BUMP lainnya.

Dalam hal peran organisasi petani, meskipun kesempatan telah agak terbuka, namun fungsi-fungsi yang sudah dipenuhi baru mencakup komunikasi, dan administrasi. Dengan kata lain, baru untuk relasi atas-kebawah, yakni memenuhi kebutuhan pelaksana program. Fungsi ekonomi masih terbatas, kecuali untuk beberapa koperasi, sedangkan fungsi advokasi politik baru sebatas peran tokoh-tokoh personal KTNA.

Saran

Ke depan, untuk pengembangan organisasi petani secara keseluruhan, maka perlu dilakukan hal-hal berikut: Satu, untuk penguatan posisi politik petani, terutama di tingkat kabupaten/kota, dibutuhkan organisasi representatif yang lain selain KTNA berupa berbagai jenis dan bentuk asosiasi. Organisasi yang formatnya cenderung terbuka adalah asosiasi. Karena itu, sangat berpeluang misalnya untuk membentuk berbagai asosiasi ke depan, misalnya asosiasi Gapoktan, asosiasi penyuluh swadaya, asosiasi koperasi wanita, asosiasi petani komoditas, dan lain-lain. Peluang ini dimungkinkan karena dari hasil obervasi ditemukan bahwa petani mulai memiliki kesadaran untuk memasuki dunia politik, setidaknya dengan memasuki forum legislatif.

Dua, pengembangan organisasi petani ke depan menghadapi banyak tantangan-tantangan baru yang selama ini belum dipahami. Ada banyak revisi dan penyesuaian peraturan yang harus segera dilakukan pasca revisi UU P3 oleh Mahkamah Konstitusi. Tahap selanjutnya, dibutuhkan berbagai sosialisasi dan diskusi untuk penajaman kebijakan sehingga sesuai dengan arah perubahan ini.

Tiga, pada tataran teknis, untuk menghadapi peluang dan tantangan baru ini, maka penyuluh pertanian harus lebih mampu menjalankan fungsi pengembangan komunitas (community-organizing role). Petugas penyuluhan harus belajar prinsip-prinsip community-organizing and group management skills yang berkenaan dengan conflict resolution, negotiation, dan teknik-teknik persuasive communication.

Empat, sebagaimana banyak produk kebijakan yang telah dikeluarkan akhir-akhir ini

yang semakin sejalan dengan prinsip partisipatif dan demokratis, maka dibutuhkan penyesuaian dari sistem manajemen pembangunan yang menuntut untuk lebih fleksibel. Pemahaman dan keberpihakan stakeholders lain untuk menciptakan kondisi yang kondusif juga merupakan keniscayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2006. Buku Panduan Umum Primatani. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Badan SDM Deptan. 2007. Program P4K. Pusbangluh, Deptan. http://www.deptan.go.id/ pusbangluh/program/P4K/firstp4k.html. (12 Maret 2014).

Bernard, T. and D.J. Spielman. 2009. Reaching the Rural Poor through Rural Producer Organizations? A Study of Agricultural Marketing Cooperatives in Ethiopia. Food Policy 34(1): 60-69.

Bebbington, A., L. Dharmawan, E. Fahmi and S. Guggenheim. 2006. Local Capacity, Village Governance and the Political Economy of Rural Development in Indonesia. World Development 34(11): 1958-1976.

Bratton, M. 1986. Farmer Organizations and Food Production in Zimbabwe. World Development 14(3): 367-384.

Bourgeois, R., F. Jesus, M. Roesch, N. Soeprapto, A. Renggana and A. Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers Organization. Rural Development and Natural Resources East Asia and Pacific Region (EASRD).

Chamala, S. and P.M. Shingi. 2007. Chapter 21 - Establishing and Strengthening Farmer Organizations. FAO. http://www.fao.org/ docrep/W5830E/w5830e0n.htm. (12 Maret 2014).

Creswell, J. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Traditions. 2nd Edn. Sage Publications, Inc. Thousand Oaks, CA.

Glover, D.J. 1987. Increasing the Benefits to Smallholders from Contract Farming: Problems for Farmers' Organizations and Policy Makers. World Development 15(4): 441-448.

Grootaert, C. 2001. Does Social Capital Help the Poor? A Synthesis of Findings from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and Indonesia. The World Bank: Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network. Local Level Institutions Working Paper No. 10, June 2001.

172

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174

Page 17: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Pelaksanaan Pengajuan Pengelolaan Dana Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2012 Kementerian Pertanian. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2010. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). Kementerian Pertanian. Jakarta.

Lawrence, T. B., R. Suddaby, and B. Leca 2009. Introduction: Theorizing and Studying Institutional Work. pp. 1-27. In T.B. Lawrence, R. Suddaby and B. Leca (Eds.). Institutional Work: Actors and Agency in Institutional Studies of Organizations. Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Liverpool-Tasie, L.S. O. 2014. Farmer Groups and Input Access: When Membership is Not Enough. Food Policy 46: 37-49.

Mbeche, R.M. and P. Dorward. 2014. Privatisation, Empowerment and Accountability: What are the Policy Implications for Establishing Effective Farmer Organisations? Land Use Policy 36: 285-295.

McKone, C.E. 1990. FAO People's Participation Programme - the First 10 Years: Lessons Learnt and Future Directions. Human Resources Institutions and Agrarian Reform Division, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.

Nee, V. 2005. ‘The New Institutionalism in Economics and Sociology’. In N.J. Smelser dan R. Swedberg (Eds.) The Handbook of Economic Sociology. 2nd Edn. Princeton University Press. Princetown, New Jersey, USA.

Nee, V. 2003. The New Intitutionalism in Economic and Social. CSES Working Paper Series, Paper 4.

Penunia, E.A. 2011. The Role of Farmers’ Organizations in Empowering and Promoting the Leadership of Rural Women. Asian Farmers Association for Sustainable Rural Development (AFA) Philippines. UN Women in cooperation with FAO, IFAD and WFP. Expert Group Meeting Accra, Ghana, 20-23 September 2011.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25/Permentan/Ot.140/5/2009 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 91/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Evaluasi Kinerja Penyuluh Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 82/Permentan/ Ot.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kementerian Dalam Negeri. Jakarta.

Pertev, Rashid. 1994. The Role of Farmers and Farmers' Organizations. Mediterranean Committee of the International Federation of Agricultural Producers (IFAP). Paris, France. http://om.cih eam.org/article.ph p?ID PD F=9 4400041. (2 Januari 2014).

Redza, A., S.M. Nordin, S. Saad and H. Wahab. 2014. Inter-organization Communication Management between Organizations in a Subsidized Fertilizer Market in Malaysia. UMK Procedia 1: 33-41.

Scott, R.W. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. 3rd ed. Sage Publication. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore. 266 pp.

Stock, P.V., J. Forney, S.B. Emery. and H. Wittman. 2014. Neoliberal Natures on the Farm: Farmer Autonomy and Cooperation in Comparative Perspective. Journal of Rural Studies 36: 411-422.

Stock, P.V. and J. Forney. 2014. Farmer Autonomy and the Farming Self. Journal of Rural Studies 36: 160-171.

Syahyuti, S. Wahyuni, R.N. Suhaeti, A.K. Zakaria, dan T. Nurasa. 2014. Kajian Peran Organisasi Petani dalam Mendukung Pembangunan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Tjondronegoro, S.M.P. 1990. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa. Majalah Prisma No. 2 tahun 1990. hal. 3-14.

Tjondronegoro, S.M.P. 1977. The Organization Phenomenon and Planned Development in Rural Communities of Java: A Case Study of Kecamatan Cibadak, West Java and Kecamatan Kendal, Central Java. Dissertation. University of Indonesia. Jakarta.

Trebbin, A. 2014. Linking Small Farmers to Modern Retail through Producer Organizations – Experiences with Producer Companies in India. Food Policy 45: 35-44.

Trijono, L. 1994. Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur. Majalah Prisma No. 3, Maret 1994. hal. 23-31.

173

ARAH KEBIJAKAN PASCA REVISI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI Syahyuti, Sri Wahyuni, Rita N. Suhaeti, dan Amar K. Zakaria

Page 18: UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani

Uphoff, N. and C.M. Wijayaratna. 2000. Demonstrated Benefits from Social Capital: The Productivity of Farmer Organizations in Gal Oya, Sri Lanka. World Development. 28(11): 1875-1890.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 131. Republik Indonesia. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116. Republik Indonesia. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92. Republik Indonesia. Jakarta.

Yang, H., L. Klerkx and C. Leeuwis. 2014. Functions and Limitations of Farmer Cooperatives as Innovation Intermediaries: Findings from China. Agricultural Systems 127: 115-125.

174

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 12 No. 2, Desember 2014: 157-174