UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

13
UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 1 F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 DARI PERSPEKTIF PENYIDIKAN OLEH KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA oleh: FERDINAND T. ANDI LOLO, SH, LL.M, Ph.D 1 PENDAHULUAN Pada 22 Oktober 2010 telah disahkan dan diberlakukan Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menggantikan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003. Undang- undang ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan penegakan hukum dan menyesuaikan praktek-praktek pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang nasional dengan praktek-praktek yang berlaku sesuai dengan standar internasional. Pemerintah mengkategorikan tindak pidana pencucian uang sebagai salah satu tindak pidana yang sangat serius karena jika dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, efektif dan efisien, praktek-praktek pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan tetapi juga, dalam konteks yang lebih luas, membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein dengan tepat menganalogikan pertarungan antara aparat penegak hukum dengan para pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai pertarungan sepakbola 1 Analis dan Penyidik pada Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK) Kejaksaan Agung RI; Penuntut Umum pada Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Instruktur pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Jakarta; Pengajar pada Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.

Transcript of UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

Page 1: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 1

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010

DARI PERSPEKTIF PENYIDIKAN

OLEH KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

oleh:

FERDINAND T. ANDI LOLO, SH, LL.M, Ph.D1

PENDAHULUAN

Pada 22 Oktober 2010 telah disahkan dan diberlakukan Undang-undang

Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang yang menggantikan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003. Undang-

undang ini merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk mengakomodasi

perkembangan kebutuhan penegakan hukum dan menyesuaikan praktek-praktek

pencegahan dan penindakan tindak pidana pencucian uang nasional dengan

praktek-praktek yang berlaku sesuai dengan standar internasional.

Pemerintah mengkategorikan tindak pidana pencucian uang sebagai salah

satu tindak pidana yang sangat serius karena jika dibiarkan tanpa penanganan yang

tepat, efektif dan efisien, praktek-praktek pencucian uang tidak hanya mengancam

stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan tetapi juga, dalam konteks

yang lebih luas, membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus

Husein dengan tepat menganalogikan pertarungan antara aparat penegak hukum

dengan para pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai pertarungan sepakbola

1 Analis dan Penyidik pada Satuan Khusus Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi (PPTPK) Kejaksaan Agung

RI; Penuntut Umum pada Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Instruktur pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Jakarta; Pengajar pada Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.

Page 2: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 2

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

dilapangan hijau. Dengan diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang

yang baru, pemerintah sebagai “pelatih” menerapkan strategi yang lebih agresif. Jika

dahulu striker (penyerang) hanya dibebankan kepada POLRI maka sekarang, sang

“pelatih” memasukkan lebih banyak striker lagi. Setiap penyidik pada tindak pidana

asal (predicate crime), dengan undang-undang ini, memiliki kewenangan menjadi

penyidik tindak pidana turutannya, yaitu pencucian uang. Striker POLRI akan

bekerja bahu membahu dengan striker-striker lain seperti Kejaksaan, KPK, dan Para

Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari instansi-instansi terkait.

Dengan demikian kekuatan penyerangan aparat penegak hukum (yang

diibaratkan oleh Yunus Husein sebagai striker-striker dalam penanganan tindak

pidana pencucian uang) akan semakin bertambah sehingga diharapkan dapat lebih

banyak menekan “gawang” para pencuci uang dan menghasilkan lebih banyak “gol”

lagi (atau lebih banyak lagi success story tentang penanggulangan tindak pidana

pencucian uang).

Pemberlakukan undang-undang ini, terutama dalam hal memperbanyak

“striker,” akan membawa beberapa perubahan pada instansi-instansi yang

menangani tindak pidana asal dari pencucian uang, dimana Kejaksaan RI

merupakan salah satunya. Konsekuensi logis dari penambahan wewenang

penyidikan Kejaksaan (selain penyidikan tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak

asasi manusia yang berat) adalah peningkatan kapasitas dan kapabilitas personil

penyidik Kejaksaan serta pengadaan sarana-sarana tambahan yang mendukung

teknis operasional para jaksa dalam menjalankan fungsi barunya ini.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya pengenalan oleh Kejaksaan atas

suatu “dunia yang relatif baru” yang dibawa oleh undang-undang pencucian uang.

Selama ini jaksa hanya berkecimpung dalam tataran penuntutan dan eksekusi untuk

perkara-perkara terkait pencucian uang, dan belum pernah sebelumnya bertindak

sebagai penyidik. Dalam tulisan ini akan diobservasi wewenang penyidikan jaksa,

sekaligus juga dianalisis faktor-faktor atau hal-hal yang mungkin menjadi

penghambat (batu sandungan) bagi jaksa dalam menjalankan wewenangnya

tersebut. Dibagian berikutnya dari tulisan ini akan didiskusikan upaya-upaya yang

dapat dilakukan untuk mengatasi atau paling tidak meminimalisir tantangan dan

hambatan yang mungkin akan ada dalam pelaksanaan tugas jaksa penyidik.

Page 3: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 3

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

WEWENANG KEJAKSAAN PRA DAN PASCA UU No.8 TAHUN 2010

Sebelum diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang, Kejaksaan

menjalankan fungsi penyidikan didua bidang, yaitu korupsi (bersama-sama dengan

POLRI dan KPK) dan dibidang pelanggaran hak asasi manusia yang berat (sebagai

satu-satunya penyidik). Sekarang, bertambah satu lagi wewenang jaksa yaitu

penyidikan tindak pidana pencucian uang jika tindak pidana asalnya (yang dalam hal

ini adalah tindak pidana korupsi) disidik oleh Kejaksaan. Bagian ini akan membahas

wewenang penyidikan Kejaksaan sebelum dan sesudah diberlakukannya undang-

undang anti pencucian uang.

Wewenang Penyidikan pra UU No.8 tahun 2010

Hukum Pidana formil yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No.8 tahun 1981

atau lebih dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana2 membatasi

pejabat yang dapat melakukan penyidikan yaitu Pejabat Polisi Negara RI dan

pejabat Pegawai negeri sipil di instansi tertentu yang menjalankan fungsi

penyidikan.3

Pejabat Kejaksaan tidak termasuk kedalam salah satu dari dua kategori

tersebut, karena Jaksa bukanlah polisi dan Jaksa juga bukan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS). Namun, Undang-undang ini tidak secara limitatif memberikan

kewenangan kepada kedua pejabat tersebut diatas. Pada bagian lain, yaitu pada

ketentuan peralihan, KUHAP masih memberikan wewenang kepada Jaksa untuk

melakukan penyidikan4 tindak pidana tertentu5, walaupun wewenang ini hanya

2 Vide Pasal 285 KUHAP.

3 KUHAP, Pasal 1 angka 1: Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan Penyidik adalah pejabat polisi

negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil [PPNS] tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan; Menurut Pasal 6 ayat (1) Penyidik adalah: a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 4 PP 27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bab VII Penyidikan terhadap

Tindak Pidana Tertentu, Pasal 17: Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh

Page 4: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 4

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

bersifat sementara saja, karena akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam

waktu yang sesingkat-singkatnya.6

Memang beberapa tahun setelah diberlakukannya KUHAP, Jaksa tidak lagi

memiliki wewenang penyidikan dalam tindak pidana ekonomi. Wewenang tersebut

dilaksanakan oleh Penyidik POLRI atau PPNS terkait, namun wewenang penyidikan

atas tindak pidana korupsi masih tetap dimiliki oleh Jaksa, disamping Penyidik

POLRI dan Penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).7

Selain tindak pidana korupsi, masih ada lagi kewenangan penyidikan yang

dimiliki oleh Jaksa, yaitu kewenangan penyidikan atas dugaan pelanggaran hak

asasi manusia yang berat. Undang-undang tentang Pengadilan Hak Asasi manusia

memberikan wewenang kepada Jaksa Agung secara ex officio untuk melakukan

penyidikan atas dugaan pelanggaran hak azasi manusia yang berat.8

Undang-undang tentang Kejaksaan RI menentukan bahwa Jaksa Agung

(person-nya atau orangnya) adalah pemimpin dan penanggung jawab tertinggi

penyidik [vide pasal 6 ayat (1) KUHAP], jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Fungsi penyidikan Jaksa diperkuat lagi dalam UU 16/2004 Pasal 30 ayat (1) huruf d: Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. 5 Penjelasan KUHAP Pasal 284 ayat (2) huruf b, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana ekonomi (UU No.7

Drt tahun 1955) dan UU No.3 tahun 1971). 6 Pasal 284 ayat (2) KUHAP: Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap

semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. 7 Pasal 26 UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi [tindak pidana tertentu] dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku [KUHAP] kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Untuk Jaksa selaku penyidik berlaku pasal 284 ayat (2) KUHAP juncto Pasal 17 PP 27/1983; Lebih lanjut kewenangan Penyidikan Jaksa diatur dalam UU 16/2004 tentang Kejaksaan RI Pasal Pasal 2 ayat 1: Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Yang dimaksud dengan “kewenangan lain” antara lain adalah penyidikan atas tindak pidana tertentu sebagaimana termaktub pada Pasal 30 ayat (1) huruf d: Dibidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang ...[d]... melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Pengertian “tindak pidana tertentu” adalah sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 284 ayat (2) huruf b KUHAP, yang salah satunya adalah tindak pidana Korupsi. Wewenang Polisi selaku penyidik diatur didalam KUHAP Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 ayat (1). Wewenang anggota KPK selaku penyidik diatur dalam UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 45. 8 UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 21 ayat (1) mengatur: Penyidikan perkara

pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.

Page 5: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 5

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

Kejaksaan yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk memimpin dan

mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang institusi Kejaksaan.9 Selanjutnya,

Kejaksaan (institusi atau lembaganya) menurut undang-undang ini adalah lembaga

pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka dalam dua

bidang, yaitu bidang penuntutan dan dibidang lain dimana Kejaksaan diberikan

wewenang untuk itu.10 Bidang lain yang dimaksud disini adalah bidang diluar

penuntutan (pidana umum dan pidana khusus), seperti penyidikan untuk tindak

pidana tertentu (sebagaimana telah dijelaskan diatas), bidang perdata dan tata

usaha negara dan bidang ketertiban dan ketentraman umum.11

Walaupun undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia hanya

mengatur bahwa penyidikan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat

dilakukan oleh Jaksa Agung, tidak bisa diartikan secara harafiah hanya Jaksa Agung

melakukan penyidikan dalam konteks ini. Prinsip yang berlaku di lembaga

Kejaksaan dan diadopsi oleh undang-undang kejaksaan adalah “Kejaksaan adalah

satu dan tidak terpisahkan.”12 Hal ini menunjukkan bahwa secara fungsi dan

wewenang, jaksa adalah satu. Setiap jaksa adalah personifikasi atau representasi

dari jaksa agung, sehingga tindakan yang dilakukan seorang jaksa pada dasarnya

adalah tindakan jaksa agung sendiri, walaupun nantinya tindakan tersebut harus

dipertanggung jawabkan secara hierarkis oleh jaksa yang bersangkutan kepada

atasannnya dan seterusnya hingga ke pemimpin tertinggi, jaksa agung.13

Berdasarkan prinsip dan prosedur pertanggung jawaban ini [yang diatur

dalam undang-undang kejaksaan] maka wewenang penyidikan yang melekat

kepada jaksa agung dalam penyidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat

9 UU 16/2004, Pasal 18 ayat (1): Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang

memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan. 10

UU 16.2004 Pasal 2 ayat (1): Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang; Pasal 2 ayat (2): Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. 11

UU 16/2004, Pasal 30. 12

UU 16/2004 Pasal 2 ayat (3): Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak

terpisahkan. 13

UU 16/2004, Pasal 8 ayat 92): Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara bertanggung jawab menurut saluran hierarki.

Page 6: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 6

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

[yang diatur dalam undang-undang pengadilan hak asasi manusia] dapat

didelegasikan kepada jaksa-jaksa dibawahnya.

Wewenang Penyidikan pasca UU No.8 tahun 2010

Salah satu tindak pidana yang merupakan tindak pidana asal (predicate

crime) dari tindak pidana pencucian uang didalam undang-undang tersebut adalah

korupsi.14 Selanjutnya, undang-undang ini, pada Pasal 74, mengatur bahwa

Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana

asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-

undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, Kejaksaan adalah salah satu lembaga

yang berwenang melakukan penyidikan atas tindak pidana korupsi. Dengan

diberlakukannya undang-undang ini, maka kewenangan penyidikan Kejaksaan

bertambah satu lagi. Bila dalam penyidikan tindak pidana korupsi tersebut terdapat

juga dugaan terjadi tindak pidana pencucian uang yang merupakan hasil dari korupsi

maka Kejaksaan kini berwenang untuk menindak lanjutinya dengan penyidikan,

tanpa perlu menyerahkan berkasnya kepada POLRI.

Dengan bertambahnya kewenangan ini maka bertambah juga tanggung

jawab Kejaksaan. Sebelumnya domain Kejaksaan dimulai dari tahap pra

penuntutan, yang meneliti / mempelajari berkas perkara pencucian uang yang disidik

oleh POLRI serta memberi petunjuk untuk kelengkapan berkas. Namun sekarang,

domain tersebut diperluas. Bukan lagi mulai dari tahap pra penuntutan tapi sudah

dimulai lebih awal lagi, yaitu tahap penyidikan.

Sebagaimana dua sisi mata uang. Selain manfaatnya, terdapat juga

tantangan / hambatan bagi Kejaksaan dalam mengemban fungsinya yang baru ini.

Hal-hal tersebut sebagaimana akan diuraikan lebih jauh pada bagian tulisan

dibawah ini.

14 UU 8/2010, Pasal 2 ayat (1) huruf a: Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yangdiperoleh dari tindak

pidana: [a] korupsi.

Page 7: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 7

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

Manfaat Penambahan “Striker”

Undang-undang yang baru, khususnya pasal 74 ini, telah memperluas lingkup

penyidikan yang pada undang-undang sebelumnya hanya terbatas pada domain

POLRI. Berdasarkan undang-undang yang baru ini siapapun instansi penyidik tindak

pidana asal15 berwenang pula menyidik tindak pidana turutannya.

Pasal ini merupakan salah satu dari beberapa terobosan baru yang dimuat

oleh undang ini. Banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan adanya pasal ini.

Pertama: penanganan perkara menjadi lebih ekfektif dan efisien, karena tindak

pidana asal (predicate crime) dan tindak pidana turutannya (yaitu pencucian uang)

ditangani secara terintegrasi ditangan satu instansi penyidik. Bandingkan dengan

sebelumnya dimana kedua tindak pidana tersebut ditangani oleh dua instansi yang

berbeda dengan sistem birokrasi penanganan perkara yang berbeda. Sistem

penanganan yang terdahulu jelas tidak mengacu kepada prinsip peradilan pidana

kita yang [seharusnya] cepat dan murah (speedy and inexpensive criminal justice

system).

Kedua: Mengingat begitu kompleksnya masyarakat Indonesia ditambah

populasinya yang sangat besar (sekitar 230 juta jiwa), maka merupakan pilihan yang

strategis jika pembuat undang-undang menambah daya serang aparat penegak

hukum dengan mengikut sertakan lembaga-lembaga penyidikan lain, selain POLRI,

untuk bersama-sama “mengeroyok” pelaku tindak pidana pencucian uang. Ibarat

jaring penangkap ikan, pemerintah dengan undang-undang ini lebih “merapatkan

jaring” dengan menambahkan instansi-instansi lain, seperti Kejaksaan, sehingga

“ikan” akan lebih sulit lolos. Terlalu berat tanggung jawab POLRI bila instansi

tersebut sendiri yang harus menangani tindak pidana yang skala dan intensitasnya

semakin lama semakin mengkhawatirkan.

15

UU 8/2010, Pasal 2 ayat (1): korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja;

penyelundupan migran; bidang perbankan; bidang pasar modal; bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; bidang perpajakan; bidang kehutanan; bidang lingkungan hidup; bidang kelautan dan perikanan; tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.

Page 8: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 8

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

Ketiga: Diharapkan akan terjadi duplikasi bahkan multiplikasi sumber daya –

sumber daya manusia yang handal dalam menangani tindak pidana pencucian

uang. Pada mulanya adalah penyidik-penyidik POLRI yang menjadi pionir dalam

penyidikan tindak pidana pencucian uang, karena undang-undang yang terdahulu

mengamanatkan demikian. Kapabilitas dan kapasitas penyidik POLRI tentunya

dapat dipelajari dan jika mungkin dikembangkan (benchmarking) oleh penyidik dari

intansi-instansi lain, termasuk Kejaksaan yang relatif masih “hijau” dalam penyidikan

jenis ini. Dengan terciptanya penyidik-penyidik handal di berbagai instansi

penyidikan yang relevan, maka Pemerintah dan Negara Indonesia akan memiliki

lebih banyak “striker” dan peluang untuk terjadinya “lebih banyak gol ke gawang

lawan” akan menjadi lebih besar secara signifikan.

Keempat: Dengan tersebarnya penyidik tindak pidana pencucian uang

diberbagai instansi maka masing-masing instansi akan memperoleh dan

membagikan keuntungan kepada instansi rekannya (counterpartnya). Misalnya

kegagalan dan keberhasilan instansi A dapat dibagikan kepada instansi B dan

instansi-instansi lain sehingga intansi-instansi tersebut tidak mengulangi kegagalan

instansi A dan dapat menjadikan keberhasilan instansi A sebagai model atau bahkan

lebih meningkatkannya dengan menyesuaikan dinamika situasi dan kondisi

setempat.

Tantangan dan / atau Hambatan

Fungsi penyidikan tindak pidana pencucian uang adalah fungsi yang baru

bagi Kejaksaan. Saat ini masih belum ada sosialisasi internal Kejaksaan mengenai

implementasi undang-undang ini dan implikasinya bagi pelaksanaan tugas jaksa.

Tantangan dan mungkin juga hambatan riel saat ini adalah belum siapnya sumber

daya manusia Kejaksaan yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menangani

perkara-perkara pencucian uang.

Untuk menangani tindak pidana asalnya (korupsi) Kejaksaan tidak memiliki

masalah karena pengalaman bertahun-tahun ditambah lagi dengan dukungan

Page 9: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 9

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

struktur dan pelatihan yang secara reguler diadakan telah mampu menciptakan

penyidik-penyidik tindak pidana korupsi yang handal. Namun untuk penanganan

tindak pidana pencucian uang, ceritanya bisa berbeda. Pencucian uang (Money

Laundering) dalam beberapa tahun terakhir sudah dimasukkan dalam kurikulum

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, terutama dalam pelatihan dan

pembentukan calon-calon jaksa. Namun modul-modul yang diberikan masih berada

dalam tataran pengenalan umum. Tidak seperti tindak pidana korupsi yang bukan

hanya membekali calon-calon jaksa dengan dasar-dasar teoritis namun juga melatih

mereka dengan simulasi-simulasi seperti latihan penanganan korupsi dari tingkat

penyelidikan dan penyidikan hingga tingkat penuntutan (dalam bentuk simulasi

peradilan semu atau moot court), dan dilengkapi juga dengan praktek kerja lapangan

ke kejaksaan-kejaksaan negeri yang merupakan unit kerja kejaksaan yang menjadi

ujung tombak pemberantasan korupsi.

Karena begitu intensnya pendidikan dan pelatihan mengenai penanganan

tindak pidana korupsi (dengan begitu banyak jam pelajaran yang digunakan baik

teori, praktek maupun penulisan kertas kerja) maka secara legal yuridis dan

psikologis jaksa-jaksa yang baru menyelesaikan pendidikannya akan lebih siap

menangani tindak pidana korupsi dibanding tindak pidana pencucian uang.

Dalam dunia kerja jaksa, tantangan dan / hambatan yang serupa juga terjadi.

Sudah ada standard operating procedure (SOP) yang baku dan seragam dalam

penanganan tindak pidana korupsi bagi jaksa-jaksa yang bertugas di seluruh wilayah

Indonesia. Disamping itu, jaksa-jaksa yunior bisa menjadikan jaksa-jaksa senior

sebagai tempat bertanya dan menimba ilmu, karena jam terbang mereka yang

sudah tinggi dalam menangani berbagai jenis tindak pidana korupsi. Tidak demikian

halnya dalam penanganan tindak pidana pencucian uang. Dalam konteks

penyidikan, tidak ada senioritas karena semua jaksa, dengan perkecualian bagi

mereka yang diperbantukan di PPATK, jam terbangnya masih rendah dalam hal

penanganan tindak pidana pencucian uang ditingkat penyidikan. Belum ada SOP

dan tidak ada tempat bertanya.

Selain kapasitas dan kapasitas sumber daya manusia Kejaksaan yang masih

terbatas, tantangan dan / hambatan yang lain adalah masalah teknis yuridis

Page 10: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 10

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

penyidikan. Undang-undang yang baru ini sebagian besar mengacu kepada KUHAP

dalam melakukan acara penyidikan tindak pidana pencucian uang, padahal dari segi

hakekat KUHAP berbeda dengan hakekat undang-undang anti pencucian uang.

KUHAP pada hakekatnya adalah serangkaian peraturan yang lebih menitik beratkan

pada penanganan tindak pidana umum, sementara pencucian uang dengan ciri-ciri

khasnya lebih tepat bila digolongkan kedalam tindak pidana yang khusus. Yang

menjadikan penyidikan lebih rumit adalah bagaimana melakukan penanganan tindak

pidana pencucian uang yang pada hakekatnya bersifat khusus dengan berpedoman

pada aturan-aturan yang pada hakekatnya mengatur tindak pidana yang bersifat

umum?

Kita ambil satu contoh, yaitu teknis penyitaan. KUHAP menganut asas in

Persona, yaitu yang dianggap jahat adalah orangnya (pelakunya atau personnya).

Sedangkan dalam tindak pidana pencucian uang, penyitaan akan lebih efektif

dilakukan bila memakai asas In rem, yaitu yang dianggap jahat adalah barangnya.

Bila mengacu kepada KUHAP maka banyak hasil dari transaksi keuangan yang

mencurigakan tidak dapat disita. KUHAP membatasi upaya penyidikan hanya

kepada benda-benda atau tagihan yang dikaitkan dengan tersangka dan tindak

pidana yang dilakukan oleh tersangka (vide Pasal 39 KUHAP). Para tersangka

tindak pidana pencucian uang pada umumnya adalah pelaku-pelaku yang memiliki

intelegensi tinggi, mempunyai akses politik, hukum dan keuangan dan dibantu

dengan orang-orang yang ahli dibidangnya. Mereka akan selalu berupaya

memutuskan rantai yang dapat mengkaitkan mereka dengan hasil tindak pidana dan

dengan tindak pidananya. Berbagai cara dapat dilakukan seperti menyamarkan aset

dengan menggunakan nama atau bantuan pihak lain, memecahkan kemudian

mereingtegrasi aset, dan masih banyak lagi.

Bila menggunakan prinsip In persona yang masih konvensional seperti yang

diatur dalam KUHAP maka akan susah menyita aset-aset tersebut. Amerika Serikat

dan beberapa negara lain telah sukses menyita aset-aset yang berada didalam

wilayah abu-abu (grey area) sebagai hasil dari upaya pengaburan identitas (aset-

aset tersebut), misalnya aset-aset dari kejahatan terorganisir (narkoba atau

terorisme) dan korupsi. Metode yang mereka pakai bukan lagi metode In Persona,

karena tidak ada label nama pelaku pada aset-aset abu-abu tersebut. Mereka

Page 11: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 11

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

menggunakan metode yang lain yaitu metode in rem. Secara singkat cara kerjanya

adalah sebagai berikut: Pihak berwenang akan menyita aset-aset yang dicurigai

walaupun tanpa didahului oleh suatu tindakan penyidikan. Pihak berwenang tidak

mencari siapa yang memiliki aset-aset ini, karena yang dianggap bermasalah adalah

aset-aset itu sendiri, sehingga harus disita. Bila ada pihak yang berani mengklaim

bahwa aset-aset itu adalah miliknya dan didapat secara legal dan dapat

membuktikannya melalui jalur hukum (pengadilan) maka pihak berwenang akan

melepaskan aset-aset yang mereka sita. Namun bila tidak, atau tidak ada yang

mengklaim, maka aset-aset tersebut menjadi milik negara. Dengan mengajukan

klaim, tentu pihak terkait menyadari risiko bahwa ada kemungkinan ia akan disidik

bila ternyata dikemudian hari klaimnya tidak memiliki dasar hukum. Inilah yang

menghambat pelaku pencucian uang (seperti kartel, organisasi-organisasi teroris

atau pelaku korupsi) untuk menyembunyikan hartanya dengan aman

Contoh lainnya adalah teknis pemblokiran. Pada Pasal 71 ayat (1) huruf a

undang-undang memberi wewenang kepada Penyidik (berarti Kejaksaan juga

memiliki wewenang) untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui

atau patut diketahui merupakan hasil tindak pidana dari setiap orang yang telah

dilaporkan oleh PPATK. Sebagaimana dilembaga penyidikan lainnya, ada 2 fase

dalam proses penyidikan, yaitu fase penyidikan awal (preliminary investigation) atau

yang lebih dikenal didalam KUHAP sebagai “Penyelidikan” dan fase penyidikan

lanjutan (investigation) yang lebih dikenal didalam KUHAP sebagai “Penyidikan.”

Pada fase penyelidikan, unit penyidikan suatu instansi hanya berfungsi untuk

mengumpulkan data dan keterangan (data and information gathering/collection)

untuk memetakan persangkaan atau dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana,

mengumpulkan minimal dua alat bukti yang saling berkaitan dan mendukung

persangkaan atau dugaan telah terjadinya tindak pidana dan mengidentifikasi

pelakunya.

Di fase ini, unit penyidikan hanya memiliki wewenang yang sangat terbatas.

Pengumpulan data dan keterangan hanya dapat dilakukan dari pihak-pihak yang

dimintai keterangan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan secara sukarela

(voluntary consent) dari yang bersangkutan. Wewenang yang sangat sempit ini

karena dibatasi oleh KUHAP yang mengadopsi prinsip asas praduga tidak bersalah

Page 12: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 12

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

(presumption of innocence) sejalan dengan kaidah-kaidah perlindungan hak asasi

manusia, termasuk juga kepada mereka yang berpotensi menjadi tersangka.

Upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan atau pemblokiran

belum dapat dilakukan pada fase kedua yaitu fase penyidikan. Masalah yang

kemudian timbul adalah pada laporan PPATK. Dari penjelasan umum undang-

undang ini dapat diketahui bahwa pada hakekatnya PPATK adalah unit intelijen

dibidang keuangan (financial intelligence unit). Sebagai unit intelijen, produk yang

dihasilkannya, termasuk juga laporan adanya transaksi keuangan yang

mencurigakan yang disampaikan ke penyidik, adalah berupa produk Intelijen.

Penyidik-penyidik pada Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tidak

dapat menggunakan data intelijen sebagai dasar yuridis untuk memulai suatu

penyidikan. Yang dapat dilakukan adalah mengolah data tersebut melalui proses

penyelidikan (fase pertama). Bila elemen-elemen pembuktiannya memenuhi syarat

yang ditetapkan oleh KUHAP, barulah dapat ditingkatkan ke penyidikan, dimana

penyidik dapat melakukan upaya paksa seperti pemblokiran.

Secara teknis yuridis, produk PPATK bukan produk hukum oleh karena itu

Kejaksaan tidak dapat serta merta melakukan upaya paksa hukum berdasarkan

produk non yuridis (bukan pro justitia). Selain itu untuk melakukan tindakan hukum,

terutama upaya paksa, instansi penyidik harus berdasarkan pada analisis yuridis

sementara melakukan analisis yuridis tidak berada didalam domain fungsi PPATK.

Analisis yang dilaporkan PPATK adalah analisis keuangan (finansial) yang

berpotensi mempunyai implikasi tindak pidana tetapi bukan analisis yuridis.

Page 13: UU No.8 Tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI PDF

UU No.8 tahun 2010 Dari Perspektif Penyidikan Oleh Kejaksaan RI 13

F.Andi Lolo, SH, LL.M, Ph.D

KESIMPULAN DAN SARAN

Implementasi dilapangan dapat dipastikan tidak semudah yang dijabarkan dalam

aturan-aturan tertulis, seperti undang-undang ini. Akan ada banyak kegamangan,

kebingungan dan bahkan mungkin ketakutan akan suatu hal yang “baru dan belum

bersifat pasti” terkait dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang jaksa yang baru ini.

Diberlakukannya undang-undang anti pencucian uang yang baru membawa negara

dan pemerintah Indonesia selangkah lebih maju lagi dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana yang serius ini. Namun Kemajuan legislasi kita harus

juga diimbangi dengan kesiapan aparat hukum yang akan melaksanakannya

dilapangan.

Kejaksaan berada didalam masa transisi dalam konteks implementasi fungsi

barunya sebagai penyidik tindak pidana pencucian uang (yang terkait dengan tindak

pidana asal yaitu korupsi). Untuk dapat melalui masa ini dengan baik, Kejaksaan

mau tidak mau harus bekerjasama dan berkoordinasi dengan PPATK dan lembaga-

lembaga lain, terutama POLRI yang memiliki pengalaman, sumber daya manusia

dan sarana dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang. Selain kerjasama dan

koordinasi antar lembaga, dukungan penuh pemerintah memainkan peran yang

sangat krusial dalam membantu menciptakan dan menambah penyerang-penyerang

yang handal.

Bila tidak ada kerjasama dan koordinasi yang baik, serta dukungan yang

hanya setengah hati dari pemerintah maka striker-striker yang diharapkan dapat

tercipta dan bertambah oleh undang-undang ini hanya akan menjadi macan kertas,

dan hal itu jelas tidak sesuai dengan tekad kita semua untuk menjaga stabilitas

ekonomi dan mempertahankan integritas finansial Indonesia.