Utilitarianisme

65
BAB 2 UTILITARIANISME Secara umum diterima bahwa kelahiran kembali filsafat politik normatif baru-baru ini dimulai dengan terbitan karya John Rawls, A Theory of Justice, pada tahun 1971, dan teorinya akan merupakan tempat yang alamiah untuk mulai memeriksa teori-teori keadilan kontemporer. Teori Rawls mendominasi perdebatan kontemporer, bukan karena semua orang menerimanya, tetapi karena pandangan- pandangan alternatif seringkali disajikan sebagai tanggapan atas teori ini. Namun, seperti halnya pandangan-pandangan alternatif paling baik dipahami dalam kaitannya dengan Rawls, maka memahami Rawls membutuhkan pemahaman atas teori yang ditanggapinya— yaitu, utilitarianisme. Rawls percaya, dan saya kira benar, dalam masyarakat kita utilitarianisme bekerja sebagai semacam latarbelakang yang tidak diucapkan, yang dengan ini teori-teori lain harus menegaskan dan membela dirinya sendiri. Jadi, dari utilitarianisme ini pula saya akan memulai. Utilitarianisme, dalam rumusan yang paling sederhana, mengklaim bahwa tindakan atau kebijaksanaan yang secara moral benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. Meskipun utilitarianisme kadangkala ditawarkan sebagai sebuah teori moral komprehensif, saya akan memusatkan perhatian pada utilitarianisme khususnya sebagai sebuah moralitas politik. Menurut pandangan ini, prinsip-prinsip utilitarianisme berlaku pada apa yang oleh Rawls dinamakan ‘struktur dasar’ (basic structure) masyarakat, bukan pada perilaku individu-individu secara pribadi. Akan tetapi, karena sebagian besar daya tarik utilitarianisme sebagai moralitas politik berasal dari kepercayaan bahwa utilitarianisme merupakan satu-satunya filsafat moral yang koheren dan sistematis, saya secara ringkas akan

description

Utilitarianisme

Transcript of Utilitarianisme

BAB 2UTILITARIANISME

Secara umum diterima bahwa kelahiran kembali filsafat politik normatif baru-baru ini dimulai dengan terbitan karya John Rawls, A Theory of Justice, pada tahun 1971, dan teorinya akan merupakan tempat yang alamiah untuk mulai memeriksa teori-teori keadilan kontemporer. Teori Rawls mendominasi perdebatan kontemporer, bukan karena semua orang menerimanya, tetapi karena pandangan-pandangan alternatif seringkali disajikan sebagai tanggapan atas teori ini. Namun, seperti halnya pandangan-pandangan alternatif paling baik dipahami dalam kaitannya dengan Rawls, maka memahami Rawls membutuhkan pemahaman atas teori yang ditanggapinya—yaitu, utilitarianisme. Rawls percaya, dan saya kira benar, dalam masyarakat kita utilitarianisme bekerja sebagai semacam latarbelakang yang tidak diucapkan, yang dengan ini teori-teori lain harus menegaskan dan membela dirinya sendiri. Jadi, dari utilitarianisme ini pula saya akan memulai.

Utilitarianisme, dalam rumusan yang paling sederhana, mengklaim bahwa tindakan atau kebijaksanaan yang secara moral benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. Meskipun utilitarianisme kadangkala ditawarkan sebagai sebuah teori moral komprehensif, saya akan memusatkan perhatian pada utilitarianisme khususnya sebagai sebuah moralitas politik. Menurut pandangan ini, prinsip-prinsip utilitarianisme berlaku pada apa yang oleh Rawls dinamakan ‘struktur dasar’ (basic structure) masyarakat, bukan pada perilaku individu-individu secara pribadi. Akan tetapi, karena sebagian besar daya tarik utilitarianisme sebagai moralitas politik berasal dari kepercayaan bahwa utilitarianisme merupakan satu-satunya filsafat moral yang koheren dan sistematis, saya secara ringkas akan mendiskusikan sejumlah ciri utilitarianisme yang komprehensif pada bagian 3. Baik dalam versi yang sempit maupun yang komprehensif, utilitarianisme memiliki baik para pendukung yang setia maupun para penentang yang sengit. Mereka yang menolak utilitarianisme mengatakan bahwa kelemahan-kelemahannya sangat banyak sehingga tidak dapat dihindari utilitarianisme akan menghilang dari cakrawala (misalnya, Williams 1973). Tetapi, ada yang lain, yang merasa sulit memahami kemungkinan adanya moralitas lain, selain memaksimalkan kebahagiaan manusia (misalnya, Hare 1984).

1. DUA DAYA TARIK

Saya akan memulai dengan daya tarik utilitarianisme. Ada dua ciri utilitarianisme yang menyebabkannya menjadi teori moralitas politik yang menarik. Pertama, tujuan yang oleh kaum utilitarian dicoba dipromosikan tidak tergantung pada keberadaan Tuhan, atau jiwa, atau pada semua entitas metafisik lain yang meragukan. Sejumlah teori moral mengatakan bahwa apa yang penting adalah keadaan jiwa seseorang, atau bahwa orang hendaknya hidup sesuai dengan

Kemauan Tuhan, atau bahwa kehidupan seseorang akan paling baik berjalan dengan memiliki kehidupan abadi dalam wilayah pengada yang lain. Banyak orang mengira bahwa moralitas tidak koheren tanpa pengertian-pengertian keagamaan ini. Tanpa Tuhan, yang tertinggal pada kita hanyalah sekumpulan aturan-aturan---lakukan ini, jangan lakukan itu, tanpa terkandung maksud dan tujuan apapun.

Tidak jelas mengapa setiap orang akan mengira ini khas utilitarianisme. Kebaikan yang dicoba dipromosikan utilitarianisme--kebahagiaan, atau kesejahteraan atau kehidupan yang baik—adalah sesuatu yang kita kejar dalam kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan mereka yang kita cintai. Kaum utilitarian hanya menuntut bahwa pengejaran pada kesejahteraan manusia (human welfare) atau kemanfaatannya (utility) [saya akan mempergunakan dua istilah ini secara bergantian] dilakukan tanpa pemihakkan, untuk semua orang dalam masyarakat. Apakah kita anak-anak Tuhan, memiliki jiwa, kehendak bebas atau tidak, kita dapat menderita dan bahagia, kita semua dapat lebih baik atau lebih buruk. Tidak soal betapa sekulernya kita, kita tidak dapat menyangkal bahwa kebahagiaan adalah bernilai, karena kebahagiaan merupakan sesuatu yang kita hargai dalam kehidupan kita sendiri.

Daya tarik yang jelas, tetapi berhubungan adalah ‘konsekuensialisme’ pada paham utilitarian. Saya akan membicarakan apa persisnya yang dimaksud dengan ini kemudian, namun sementara ini arti pentingnya adalah konsekuensialisme mengharuskan kita memeriksa untuk melihat apakah tindakan atau kebijaksanaan yang sedang dipersoalkan sungguh-sungguh mengandung kebaikan yang dapat dikenali atau tidak. Kita semua berhubungan dengan orang yang mengatakan bahwa sesuatu—homoseksualitas, misalnya, (atau perjudian, tarian, minum minuman keras, sumpah-serapah dan sebagainya) adalah salah secara moral, namun tidak mampu menunjukkan konsekuensi-konsekuensi buruk yang timbul dari tindakan ini. Konsekuensialisme mencegah membuat larangan-larangan moral yang nampak seenaknya itu. Konsekuensialisme meminta setiap orang yang mengecam sesuatu sebagai salah secara moral harus menunjukkan siapa yang salah, yaitu, mereka harus menunjukkan bagaimana kehidupan seseorang menjadi buruk. Demikian juga, konsekuensialism mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut ‘secara moral baik’ hanya jika ini membuat kehidupan seseorang menjadi baik. Banyak teori-teori moral yang lain, bahkan yang dimotivasi oleh keprihatinan demi kesejahteraan manusia nampak mengandung sekumpulan aturan-aturan untuk diikuti, terlepas dari apapun konsekuensinya. Namun, utilitarianisme bukan sekadar kumpulan aturan-aturan lain, bukan sekadar kumpulan ‘larangan’ dan ‘perintah’. Utilitarianisme memberikan ujian (test) untuk memastikan bahwa aturan-aturan semacam ini memberikan sejumlah fungsi yang berfaedah.

Konsekuensialisme juga menarik karena ini sejalan dengan intuisi kita mengenai perbedaan antara wilayah moralitas dan wilayah-wilayah lain. Jika seseorang menganggap aktivitas seksual tertentu yang dilakukan suka sama suka secara moral salah karena ini tidak patut (improper), namun tidak dapat menunjukkan siapa yang menderita karena aktivitas ini, maka mungkin kita akan menanggapi bahwa ide tentang perilaku ‘yang patut’ yang dipergunakan bukanlah ide tentang moral. Klaim-klaim mengenai perilaku yang patut semacam ini lebih menyerupai klaim tentang keindahan atau sebuah seruan pada etiket (etiquette) atau

9

kesepakatan (convention). Seseorang mungkin mengatakan bahwa punk-rock adalah tidak patut, sama sekali bukan musik yang absah. Namun, ini akan merupakan kritik estetis, bukan sebuah kritik moral. Mengatakan bahwa seks homoseksual adalah tidak patut, tanpa dapat menunjukkan konsekuensi-konsekuensinya yang buruk adalah sama dengan mengatakan bahwa Bob Dylan menyanyikan lagu secara tidak patut. Perkataan ini mungkin benar, tapi ini bukan merupakan kritik moral. Terdapat standar kepatutan yang tidak bersifat consequentialist (mengandung akibat), tetapi kita berpendapat bahwa moralitas adalah lebih penting daripada sekadar etiket, dan konsekuensialisme membantu memperjelas perbedaan itu.

Konsekuensialism nampaknya juga memberikan metode yang sederhana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan moral. Menemukan jawaban yang secara moral benar menjadi perkara mengukur perubahan-perubahan dalam kesejahteraan manusia, bukan perkara berkonsultasi dengan pemimpin-pemimpin spiritual atau menyandarkan diri pada tradisi-tradisi yang tidak jelas. Secara historis, karena itu, utilitarianisme adalah pandangan yang sangat progresif. Ia menuntut bahwa berbagai kebiasaan atau otoritas yang telah menindas manusia selama berabad-abad diuji dihadapan standar kemajuan manusia (‘manusia merupakan standar segala sesuatu’). Segi baiknya, utilitarianisme adalah senjata yang ampuh untuk menentang prasangka dan takhayul, memberikan standar dan prosedur yang menantang mereka yang mengklaim memiliki wewenang terhadap kita atas nama moralitas.

Dua daya tarik utilitarianisme dengan demikian sejalan dengan intuisi kita, bahwa kesejahteraan manusia penting, dan dengan intuisi kita, bahwa aturan-aturan moral harus diuji karena akibat-akibatnya bagi kesejahteraan hidup manusia. Dan jika kita menerima kedua pendirian itu, maka utilitarianisme tampak hampir secara tak terelakkan diikuti. Jika kesejahteraan manusia adalah kebaikan yang harus menjadi keprihatinan moralitas, maka tentunya, tindakan yang terbaik secara moral adalah tindakan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan manusia, memberikan bobot yang sama pada kesejahteraan orang per-orang. Mereka yang percaya bahwa utilitarianisme pasti benar meyakini bahwa setiap teori yang menyangkal salah satu dari kedua intuisi ini pasti salah.

Saya setuju dengan dengan kedua inti intuisi tersebut. Jika ada sebuah cara untuk menentang utilitarianisme, maka cara ini tidak akan mengambil bentuk berupa penyangkalan pada kedua intuisi ini. Penolakan yang berhasil akan harus memperlihatkan bahwa beberapa teori lain dapat menguraikannya dengan lebih baik. Saya akan membuktikan kemudian bahwa ada teori-teori lain yang memang dapat menguraikannya dengan lebih baik. Namun, pertama-tama, kita perlu melihat lebih dekat apa yang terdapat dalam utilitarianisme. Utilitarianisme dapat dipecah kedalam dua bagian:

1. sebuah penilaian mengenai kesejahteraan manusia, atau utiliti, dan2. sebuah petunjuk untuk memaksimalkan kesejahteraan (utiliti), yang

didefinisikan sebagai, memberikan bobot yang sama pada kesejahteraan orang per-orang.

Klaim kedua inilah yang merupakan ciri khusus utilitarianisme, dan klaim ini dapat dikombinasikan dengan berbagai jawaban pada pertanyaan pertama. Dengan demikian, keputusan akhir kita atas utilitarianisme akan tergantung pada evaluasi

10

kita mengenai klaim yang kedua. Namun, kiranya perlu memulai dengan mempertimbangkan berbagai jawaban pada pertanyaan pertama.

2. MENDEFINISIKAN UTILITI

Bagaimana seharusnya kita mendefinisikan utiliti atau kesejahteraan manusia? Kaum utilitarian secara tradisional telah mendifiniskan utiliti dalam pengertian kebahagiaan (happiness)---maka demikianlah slogan umum namun menyesatkan yaitu ‘the greatest happiness of the greatest number’ (kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar)1. Namun, tidak semua kaum utilitarian menerima penilaian kesejahteraan manusia yang ‘hedonistik’ semacam ini. Dalam kenyataannya, ada sedikitnya empat posisi yang dapat dikenali yang diterima berkenaan dengan pertanyaan ini.

a. Hedonisme kesejahteraan (welfare hedonism)Pandangan pertama dan yang mungkin paling berpengaruh dalam tradisi

utilitarian adalah pandangan bahwa pengalaman atau sensasi atas kenikmatan merupakan kebaikan utama manusia. Pengalaman atau sensasi atas kenikmatan ini adalah kebaikan yang merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, pada apa semua kebaikan lain merupakan sarana. Bentham, salah seorang pendiri utilitarianisme mengatakan, dalam bahasa yang sering dikutip, bahwa ‘pushpin adalah sebaik puisi’ jika memberikan intensitas dan durasi yang sama atas kenikmatan. Jika kita lebih menyukai puisi daripada pushpin, jika kita berpendapat bahwa menulis puisi merupakan suatu hal yang lebih bernilai dilakukan dengan waktu kita, ini pasti karena puisi memberikan lebih banyak kenikmatan kepada kita.

Ini merupakan suatu penilaian yang meragukan kenapa kita lebih menyukai sebagian aktivitas dibanding yang lain . Adalah klise, namun mungkin benar, bahwa penyair seringkali mengalami bahwa menulis merupakan sesuatu yang menyakitkan dan membikin frustasi, meskipun demikian mereka berpendapat bahwa menulis adalah bernilai. Ini juga berlaku bagi pembacaan puisi---kita sering mengalami bahwa puisi menganggu daripada dapat dinikmati. Bentham barangkali menanggapi bahwa kebahagiaan penulis, seperti halnya seorang masochist, justru terletak pada sensasi-sensasi yang nampak tidak mengenakkan ini. Boleh jadi, penyair benar-benar menemukan kenikmatan ketika tersiksa dan frustasi.

Saya meragukannya. Namun, kita tidak harus menyetujui pertanyaan itu, karena Robert Nozick telah mengembangkan argumen yang bahkan lebih kuat yang menentang hedonisme kejahteraan (welfare hedonism) (Nozick 1974: 42-5; bandingkan Smart 1973: 18-21). Ia meminta kita membayangkan bahwa para ahli ilmu jiwa syaraf (neuropsychologists) dapat menyangkutkan kita pada sebuah mesin 1 Slogan umum ini menyesatkan karena mengandung dua maximands (yang terbesar-penterjemah) yang jelas—’kebahagiaan terbesar’ dan ‘jumlah yang terbesar’. Tidaklah mungkin suatu teori mengandung maximands ganda, dan setiap usaha menerapkannya akan segera menuju ke jalan buntu (misalnya, jika dua kemungkinan distribusi adalah 10:10:10 dan 20:20:0, maka kita tidak dapat menghasilkan baik kebahagiaan terbesar maupun jumlah yang terbesar). Lihat Griffin (1986: 151-4); Rescher (1966:25-8).

11

yang menginjeksi obat terlarang (drugs) pada kita. Obat terlarang ini menciptakan perasaan sadar paling nikmat yang dapat dibayangkan. Sekarang, seandainya kenikmatan adalah kebaikan yang terbesar, maka kita semua mungkin akan menjadi sukarelawan untuk disangkutkan seumur hidup pada mesin ini, mabuk terus menerus, tidak merasakan apapun kecuali kebahagiaan. Tapi tentu saja sangat sedikit orang yang bersedia menjadi sukarelawan. Jauh dari perasaan menjalani kehidupan yang paling baik, banyak orang akan mengatakan bahwa ini merupakan kehidupan yang sia-sia, tidak memiliki nilai.

Nyatanya, beberapa orang lebih suka mati daripada memiliki kehidupan semacam itu. Banyak orang di Amerika Serikat menandatangani ‘living wills’ (dokumen tertulis yang diberikan pada pasien-penterjemah), yang meminta mereka dilepaskan dari sistem penopang kehidupan jika tidak ada harapan akan penyembuhan, bahkan meskipun sistem itu dapat menyingkirkan rasa sakit dan membangkitkan kenikmatan. Apakah kita akan lebih baik mati atau tidak, kita tentu saja lebih baik terbebas dari obat terlarang, dan melakukan hal-hal yang kita anggap berharga dalam hidup. Dan sementara kita berharap akan bahagia dalam melakukan hal-hal itu, kita tidak akan menyerah untuk melakukannya, bahkan demi jaminan kebahagiaan.

b. Kemanfaatan keadaan-mental non-hedonistic (Non-hedonistik mental-state utility)

Penilaian utiliti yang hedonistik adalah keliru, karena berbagai hal yang berharga dimiliki dan dilakukan dalam kehidupan tidak semuanya dapat direduksi pada satu keadaan mental seperti kebahagiaan. Sebuah tanggapan mengatakan bahwa banyak bentuk pengalaman yang berbeda tetap bernilai dan bahwa kita harus mempromosikan seluruh susunan keadaan mental yang bernilai. Kaum utilitarian yang mengadopsi penilaian ini menerima bahwa pengalaman menulis puisi, keadaan mental yang mengiringinya, dapat menguntungkan meskipun tanpa ada rasa nikmat. Utilitarianisme menaruh perhatian pada semua pengalaman yang bernilai, apapun bentuknya.

Tetapi, penilaian ini tidak terhindar dari keberatan yang diajukan Nozick. Dalam kenyataannya, penemuan Nozick disebut sebagai ‘mesin pengalaman’ (experience machine), dan obat terlarang dapat menghasilkan semua perasaan mental yang diinginkan—luapan kegembiraan akan cinta, rasa kecakapan dari menulis puisi, rasa damai dari kontemplasi keagamaan dan sebagainya. Semua pengalaman ini dapat ditiru oleh mesin pengalaman ini. Maukah sekarang kita menjadi sukarelawan untuk disangkutkan pada mesin itu? Jawabannya, tentu saja, masih tetap tidak.

Apa yang kita inginkan dalam kehidupan adalah sesuatu yang lebih dari, atau lain dari, perolehan atas semua bentuk keadaan mental, semua bentuk ‘suasana dalam’ (inner glow), yang menyenangkan atau sebaliknya. Kita tidak hanya menginginkan pengalaman menulis puisi, kita ingin menulis puisi; kita tidak hanya menginginkan pengalaman jatuh cinta, kita ingin jatuh cinta; kita tidak hanya menginginkan perasaan mengerjakan sesuatu, kita ingin mengerjakan sesuatu. Tentunya benar bahwa ketika kita jatuh cinta atau mengerjakan sesuatu, kita juga

12

ingin mengalaminya. Dan kita berharap bahwa sebagian dari pengalaman-pengalaman ini akan membahagiakan. Namun, kita tidak akan melewatkan kesempatan untuk jatuh cinta atau mengerjakan sesuatu, bahkan demi jaminan pengalaman dari berbagai hal yang terdapat dalam sebuah mesin pengalaman (Lomasky, 1978: 231-3; Larmore, 1987: 48-9; Griffin, 1986: 12-23).

Benar bahwa kadang kita hanya menginginkan pengalaman-pengalaman tertentu. Ini merupakan salah satu alasan orang menggunakan obat terlarang. Namun, kegiatan-kegiatan hidup kita, tatkala terbebas dari obat terlarang, bukan hanya pengganti yang kurang baik untuk mendapatkan apa yang oleh obat terlarang diberikan pada kita secara langsung. Tidak seorangpun akan menerima bahwa keadaan mental adalah yang paling penting, seperti halnya bahwa dengan disangkutkan pada sebuah ‘mesin pengalaman’ akan menjadi pemenuhan semua tujuan dalam kehidupan mereka.

c. Kepuasan Preferensi (Preference satisfaction)Kesejahteraan hidup manusia adalah sesuatu yang lebih dari, atau lain dari,

sekedar memperoleh urutan yang tepat dari keadaan mental. Pilihan ketiga adalah penilaian utiliti sebagai ‘kepuasan preferensi’ (preference satisfaction). Menurut pandangan ini, meningkatkan utiliti orang berarti memuaskan preferensinya, apapun preferensi itu. Orang mungkin menginginkan pengalaman menulis puisi, suatu preferensi yang dapat dipuaskan dengan mesin pengalaman. Tetapi, mereka mungkin juga ingin menulis puisi, sehingga tidak lagi menggunakan mesin itu. Kaum utilitarian yang mengadopsi penilaian ini menyarankan kita untuk memuaskan semua bentuk preferensi secara merata, karena mereka menyamakan kesejahteraan dengan kepuasan preferensi.

Akan tetapi, jika dua pandangan yang pertama terlalu mengabaikan penilaian tentang kehidupan yang baik, pandangan yang ketiga ini terlalu memperhatikannya. Memuaskan preferensi kita tidak selalu menambah kesejahteraan hidup kita. Bayangkanlah bahwa kita sedang memesan makan siang, namun sebagian dari kita menginginkan pizza, sedang yang lain menginginkan masakan Cina. Jika cara memuaskan preferensi yang terbanyak adalah dengan memesan pizza, maka jenis utilitarianisme ini menyarankan kita untuk memesan pizza. Namun, bagaimana seandainya di luar sepengetahuan kita, pizza yang kita pesan beracun, atau justru tengik? Nah, memesan pizza tidak akan menambah kesejahteraan kita. Apa yang baik bagi kita bisa berbeda dari preferensi yang sekarang ini kita miliki. Kaum Marxis menegaskan ini dalam teori mereka tentang kesadaran palsu (false consciousness)---misalnya, buruh disosialisasikan melalui cara sedemikian rupa sehingga tidak mampu melihat kepentingan nyata mereka dalam sosialisme. Namun, masalah yang sama muncul dalam cara-cara yang kurang dramatis dan kurang kontroversial. Kita mungkin hanya kekurangan informasi yang memadai, seperti dalam contoh pizza, atau salah menghitung kerugian dan keuntungan dari suatu tindakan khusus.

Preferensi, karena itu, tidak menentukan kebaikan kita. Justru lebih tepat mengatakan bahwa preferensi kita adalah ramalan tentang kebaikan kita. Kita ingin memiliki berbagai hal yang berharga untuk dimiliki, dan preferensi kita saat ini mencerminkan kepercayaan kita saat ini tentang apa berbagai hal yang berharga itu.

13

Namun, tidak selalu mudah mengetahui apa yang berharga dimiliki, dan kita dapat keliru dengan kepercayaan kita. Kita mungkin bertindak berdasarkan sebuah preferensi tentang apa yang kita beli dan kita kerjakan, dan kemudian menyadari bahwa tindakan ini tidak berharga. Kita sering membuat bentuk kesalahan ini, baik dalam keputusan spesifik, seperti makanan apa yang kita pesan, dan dalam ‘preferensi global’ tentang bentuk kehidupan apa yang kita jalani. Seseorang yang selama bertahun-tahun telah merencanakan menjadi seorang ahli hukum mungkin masuk ke sekolah hukum dan menyadari bahwa mereka telah membuat kesalahan. Barangkali mereka punya pandangan romantik tentang profesi hukum, dan mengabaikan persaingan dan kebosanan yang terlibat didalamnya. Seseorang yang telah merencanakan bertahan hidup di kampung halaman mereka mungkin akhirnya menyadari bahwa ini merupakan cara hidup yang picik, sempit dan tidak menantang. Orang-orang seperti ini mungkin menyesali tahun-tahun yang mereka habiskan dalam mempersiapkan suatu cara hidup tertentu atau menjalankan kehidupan itu. Mereka menyesali apa yang sudah mereka lakukan, karena orang ingin memiliki atau melakukan berbagai hal yang berharga dimiliki atau dilakukan, dan ini mungkin berbeda dengan apa yang sekarang ini lebih suka mereka miliki atau lakukan. Yang pertama adalah yang penting bagi kita, bukan yang kedua (Dworkin, 1983: 23-30).

Berbagai bentuk kepuasan-preferensi utilitarianisme mengatakan bahwa sesuatu menjadi bernilai karena kenyataan bahwa banyak orang menginginkannya. Namun, ini keliru dan tentu saja kemunduran. Memiliki preferensi tidak menyebabkan sesuatu bernilai--- sebaliknya, karena bernilailah yang memberikan alasan untuk menginginkan sesuatu itu. Dan seandainya sesuatu itu tidak bernilai, maka memuaskan preferensi saya yang keliru tentangnya tidak akan menambah kesejahteraan hidup saya. Maka, utiliti saya meningkat bukan dengan memuaskan apapun preferensi yang saya miliki, tetapi dengan memuaskan berbagai preferensi yang tidak berdasar pada kepercayaan-kepercayaan yang keliru.

d. Preferensi yang berpengetahuan (Informed preferences)Penilaian utility yang keempat mencoba menampung masalah preferensi

yang keliru dengan mendefinisikan kesejahteraan sebagai kepuasan dari preferensi ‘rasional’ atau ‘berpengetahuan’. Utilitarianisme, menurut pandangan ini, bertujuan memuaskan preferensi yang didasarkan pada informasi yang lengkap dan pertimbangan yang benar, sambil menolak preferensi yang irasional dan keliru. Kita mencoba menyediakan hal-hal, yang orang mempunyai alasan yang baik untuk lebih menyukainya, dan yang sungguh-sungguh menyebabkan kehidupan mereka lebih baik.

Pertimbangan keempat ini nampaknya benar---kebaikan manusia yang utama adalah kepuasan dari preferensi rasional2. Meskipun pandangan ini tidak dapat

2 Tentu saja, meskipun saya mungkin lebih suka A jika berpengetahuan, tidak berarti bahwa A memberikan saya keuntungan dalam keadaan saya yang tidak berpengetahuan sekarang ini. Ini memperumit penilaian utiliti tentang preferensi yang berpengetahuan, namun tidak menumbangkannya. Apa yang mempromosikan kesejahteraan hidup saya jelas berbeda dari pemuasan prefernsi saya yang ada sekarang ini, bahkan jika kesejahteraan hidup juga jelas berbeda dari pemuasan preferensi berpengetahuan saya yang ideal (Griffin 1986: 11-12; 32-3). Namun ada kemungkinan bahwa perkembangan yang lengkap dari penilaian ini akan membawanya lebih dekat

14

disangkal, namun sama sekali kabur. Pandangan ini tidak menyatakan hambatan-hambatan apa yang mungkin dianggap sebagai ‘utiliti’. Kebahagiaan setidaknya memiliki manfaat yang pada prinsipnya dapat diukur. Kita semua memiliki gambaran kasar tentang apa yang dapat meningkatkan kebahagiaan, apa yang dapat meningkatkan perbandingan antara sensasi yang menyenangkan dan sensasi yang menyakitkan. Mesin kenikmatan (pleasure machine) dapat melakukan pekerjaan ini dengan cara yang terbaik. Namun jika kita melihat kemanfaatan dalam arti memuaskan preferensi berpengetahuan, maka hanya sedikit petunjuk yang kita miliki. Untuk satu hal, terdapat banyak bentuk preferensi berpengetahuan yang berbeda-beda, tanpa ada cara yang jelas dalam menjumlahkannya. Bagaimana kita dapat mengetahui apakah harus mempromosikan cinta, puisi atau pushpin jika tidak ada nilai satu-satunya yang paling penting seperti kebahagiaan yang dapat dipakai untuk mengukurnya? Lagi pula, bagaimana kita dapat mengetahui apa preferensi yang akan dimiliki orang, jika mereka berpengetahuan dan rasional? Misalnya, para filsuf memperdebatkan apakah kita harus menambah bobot keinginan yang mungkin kita miliki di masa mendatang. Apakah rasional jika kita lebih memperhatikan apa yang terjadi pada saya sekarang, daripada apa yang akan terjadi pada saya besuk? Isu-isu yang terlibat didalamnya adalah kompleks, sekalipun demikian kita membutuhkan jawaban dalam rangka memulai perhitungan utilitarian.

Fakta yang sekarang bahkan lebih membingungkan adalah kita telah mengeluarkan ‘persyaratan pengalaman’---, yaitu preferensi berpengetahuan dapat dipuaskan, dan karena itu utiliti kita meningkat pada penilaian keempat ini, tanpa pernah mempengaruhi pengalaman sadar kita. Richard Hare, misalnya, berargumen bahwa kehidupan saya lebih buruk jika pasangan saya berselingkuh, bahkan jika saya tidak pernah mengetahuinya. Kehidupan saya menjadi lebih buruk karena sesuatu yang saya harapkan tidak terjadi justru terjadi. Ini adalah preferensi yang sama sekali rasional dan berpengetahuan, sekalipun demikian pengalaman sadar saya mungkin tidak berubah ketika dipuaskan atau tetap dibiarkan tak terpuaskan (Hare 1971:131).

Saya sependapat dengan Hare bahwa ini harus diperhitungkan dalam menentukan kebahagiaan, bahwa perselingkuhan sungguh-sungguh membuat kehidupan saya lebih buruk. Misalnya, jika saya tetap bertindak terhadap pasangan saya dengan kepercayaan bahwa ia tidak melakukan perselingkuhan, maka sekarang saya bertindak atas dasar dusta. Saya hidup dalam kebohongan, dan kita tidak menginginkan kehidupan semacam ini (Raz 1986: 300-1). Kita sering mengatakan pada orang lain bahwa apa yang tidak mereka ketahui tidak akan melukainya. Namun, cara pemikiran semacam ini sulit diterapkan untuk kebaikan kita sendiri. Saya tidak ingin terus berangan-angan bahwa saya seorang filsuf yang baik jika kenyataannya saya bukan seorang filsuf yang baik, atau bahwa saya memiliki keluarga yang menyenangkan jika saya tidak memilikinya. Seseorang yang merahasiakan kebenaran dari saya mungkin membantu saya menghindari beberapa pengalaman sadar yang kurang mengenakkan, namun ongkosnya mungkin merusak keseluruhan makna dari aktivitas-aktivitas saya. Saya belajar filsafat sebab saya pikir mempelajarinya dengan baik. Jika saya tidak mempelajarinya dapat baik, maka lebih baik saya melakukan hal-hal yang lain. Saya tidak ingin terus-menerus berada

pada apa yang kadangkala disebut teori ‘Daftar Objektif’ (Parfit 1984: 493-502).

15

dalam kepercayaan yang keliru bahwa saya melakukan pekerjaan ini dengan baik, karena saya akan membuang-buang waktu, hidup dalam kebohongan, sesuatu yang saya tidak ingin melakukannya. Seandainya saya menemukan bahwa kepercayaan saya sesat, maka kegiatan saya telah kehilangan maknanya. Dan kegiatan saya kehilangan maknanya, bukan ketika saya menemukan bahwa kepercayaan saya tidak benar, tetapi ketika ini tidak benar. Pada titik ini kehidupan saya menjadi lebih buruk, karena saya tidak lagi dapat mencapai tujuan-tujuan yang ingin saya kejar.

Kita harus menerima kemungkinan bahwa kehidupan kita dapat menjadi lebih buruk bahkan ketika pengalaman-pengalaman sadar kita tidak terpengaruh. Namun, ini mengarahkan pada sejumlah hasil yang aneh. Misalnya, Hare memperluas pengertian utiliti yang meliputi preferensi-preferensi orang yang sudah mati. Saya mungkin memiliki preferensi rasional bahwa reputasi saya tidak dirusak ketika saya mati atau bahwa tubuh saya tidak dibiarkan membusuk. Kelihatannya janggal memasukkan preferensi-preferensi orang mati dalam perhitungan utiliti, namun apa yang membedakannya dari preferensi bahwa pasangan hidup seseorang tidak melakukan perselingkuhan yang tidak diketahui? Dalam kedua kasus, kita mempunyai preferensi rasional akan hal-hal yang tidak mempengaruhi keadaan sadar kita. Saya pikir kita dapat melukiskan sejumlah garis disini. Tidak setiap tindakan yang bertentangan dengan preferensi orang yang sudah mati menyebabkan kehidupannya lebih buruk3. Tetapi, terdapat sejumlah masalah bagi kaum utilitarian di sini. Mengingat berbagai kesukaran dalam menentukan mana preferensi yang meningkatkan kesejahteraan ketika terpuaskan ini, dan juga berbagai kesukaran dalam mengukur kesejahteraan ketika kita bahkan mengetahui dengan baik preferensi-preferensi yang rasional, kita mungkin menemukan diri kita sendiri dalam sebuah situasi yang tidak mungkin mengetahui mana tindakan yang memaksimalkan utiliti. Barangkali tidak mungkin mengetahui, dari sudut pandang utilitarian, apakah tindakan yang benar. Atas dasar ini, sebagian orang menyimpulkan bahwa utilitarianisme harus ditolak. Jika kita menerima pandangan keempat tentang kesejahteraan, dan jika kesejahteraan tidak dapat dijumlahkan menurut pandangan itu, maka tidak mungkin mengetahui mana tindakan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan dan kita memerlukan sejumlah penilaian lain tentang tindakan yang benar secara moral.

Namun, itu merupakan kesimpulan yang meloncat (non-sequitur). Dari fakta bahwa kita tidak dapat mengetahui tindakan mana yang dapat memaksimalkan utiliti, tidak berarti bahwa tindakan yang secara moral benar adalah tindakan yang tidak memaksimalkan utiliti. Ini mungkin hanya berarti bahwa kita tidak mungkin mengetahui tindakan mana yang secara moral benar. Tidak ada alasan untuk mengesampingkan kemungkinan bahwa manusia kemungkinan tidak selalu dapat menentukan tindakan yang secara moral benar. Bahkan, seandainya ada

3 Saya tidak percaya bahwa preferensi orang yang sudah mati selalu tanpa bobot moral. Kejadian-kejadian setelah kematian dapat mempengaruhi seberapa baik perjalanan hidup kita, dan keinginan kita atas hal tertentu yang kita bayangkan setelah kematian dapat menjadi fokus yang penting bagi aktivitas-aktivitas kita dalam kehidupan. Tentu saja, jika preferensi orang yang sudah mati kadang tidak memiliki bobot moral, maka tidak mungkin memahami cara kita memperlakukan kemauan. Lihat diskusi dalam Lomasky (1987: 212021), dan Feinberg (1980: 173-6). Mengenai ‘persyaratan pengalaman’ lebih umum, lihat Larmore (1987: 48-9), Lomasky (1987:231-3), Griffin (1986: 13-23), Parfit (1984:149-53)

16

ketidaksesuaian inheren dari bentuk-bentuk nilai yang berbeda, seperti ketika kita tidak dapat mengatakan bahwa salah satu dari susunan nilai yang meningkatkan tindakan akan memaksimalkan nilai, kita masih dapat membuat beberapa rangking sejumlah kecil hal yang kurang baik, sehingga kita dapat membuat penilaian tentang tindakan yang lebih buruk atau lebih baik (Griffin 1986: 75-92).

Jadi utilitarianisme, terlepas dari keterkaitan tradisionalnya dengan hedonisme kesejahteraan, adalah sesuai dengan keempat penilaian tentang utiliti. Tentu saja, utilitarianisme kehilangan salah satu daya tariknya ketika meninggalkan hedonisme. Jika kita menolak penilaian kesejahteraan secara sederhana sebagai kebahagiaan atau kepuasan preferensi, tidak ada metode yang mudah dipahami untuk mengukur utiliti. Utilitarianisme tidak memberikan sebuah kriteria sederhana yang bersifat khas atau metode ilmiah untuk menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Namun, meskipun utilitarianisme tidak memiliki kelebihan atas teori-teori lain dalam mengukur kesejahteraan manusia, utilitarianisme juga bukan tidak memberikan keuntungan. Semua teori yang masuk akal harus menghadapi pertanyaan sulit berkenaan dengan penilaian kesejahteraan manusia yang tepat, dan tidak ada yang menghalangi utilitarianisme untuk mengadopsi penilaian apapun yang disukai para pengkritiknya4. Jika kita menolak utilitarianism, maka, ini pasti disebabkan oleh bagian kedua dari teorinya, yaitu petunjuknya bahwa kita harus memaksimalkan utiliti, apapun definisi utiliti yang akhirnya kita ambil.

3. MEMAKSIMALKAN KEMANFAATAN

Dengan menganggap bahwa kita sependapat dengan penilaian tentang utiliti, haruskah kita menerima komitmen utitaliranisme untuk memaksimalkan utiliti? Apakah ini merupakan interpretasi terbaik atas komitmen intuitif kita pada ‘konsekuensialisme’? Konsekuensialisme menganjurkan kita untuk memperhatikan kemajuan utiliti orang, dan idealnya, kita akan memuaskan semua preferensi yang berpengetahuan dari semua orang. Sayangnya, ini tidak mungkin. Terdapat sumberdaya yang terbatas yang tersedia untuk memuaskan preferensi orang. Lebih dari itu, preferensi-preferensi orang mungkin saling bertentangan. Jadi, preferensi siapa yang harus kita penuhi? Konsekuensialisme menganjurkan kita untuk memperhatikan konsekuensi-konsekuensi-nya bagi kesejahteraan manusia, namun bagaimana jika mempromosikan salah satu kesejahteraan orang bertentangan dengan kesejahteraan yang lain? Konsekuensialisme perlu dijelaskan untuk menjawab pertanyaan itu.

Bagaimana utilitarianisme menjelaskan gagasan bahwa kita hendaknya mempromosikan utiliti orang? Utilitarianisme mengatakan bahwa tindakan yang benar adalah yang memaksimalkan utiliti, yaitu memuaskan preferensi yang berpengetahuan sebanyak mungkin. Preferensi orang tetap tidak akan terpenuhi, jika 4 Teori-teori politik yang menaruh perhatian terhadap distribusi sumberdaya, tanpa memutuskan pengaruh sumberdaya ini pada kesejahteraan masing-masing orang, mungkin nampak sebagai pengecualian dari klaim umum ini. Tetapi, sebagaimana yang akan saya diskusikan dalam bab 3, ini adalah suatu persepsi yang menyesatkan, dan bahkan teori-teori yang didasarkan pada sumberdaya pasti memiliki sejumlah teori tentang kepentingan-kepentingan orang yang paling esensial yang ’diuraikan dengan cara yang paling komprehensif’ (Dworkin 1983: 24)

17

preferensinya bertentangan dengan apa yang memaksimalkan kesejahteraan secara keseluruhan. Ini patut disayangkan. Namun, karena pemenang niscaya melebihi jumlah yang kalah, tidak ada alasan mengapa preferensi yang kalah harus lebih penting daripada yang jumlah yang banyak (atau lebih bersemangat). Bagi kaum utilitarian, pemerataan jumlah utiliti adalah sama pentingnya, tidak peduli utiliti siapa. Tidak seorang pun menduduki posisi istimewa dalam perhitungan, tidak seorang pun memiliki klaim yang lebih besar untuk mendapatkan keuntungan dari suatu tindakan daripada yang lain. Karena itu, kita harus menghasilkan akibat yang memuaskan jumlah terbesar preferensi (yang berpengetahuan) bagi orang dalam masyarakat. (Tentu saja ini adalah sketsa yang paling sederhana mengenai penilaian kaum utilitarian atas konsekuensialisme--Saya mendiskusikan dua cara untuk memerinci soal ini dalam bagian selanjutnya).

Komitmen untuk memeriksa konsekuensi-konsekuensi bagi kesejahteraan manusia ini merupakan salah satu daya tarik utilitarianisme, dibandingkan dengan teori-teori yang menyatakan bahwa kita harus mengikuti tradisi atau hukum keTuhanan, terlepas dari apapun akibat-akibat kemanusiaannya. Namun, jenis konsekuensialisme khusus dalam utilitarinisme, saya pikir, tidak menarik. Tatkala tidak mungkin memuaskan semua preferensi, intuisi kita tidak mengatakan pada kita bahwa jumlah utiliti yang merata harus selalu memiliki bobot yang sama. Utilitarianisme memberikan penilaian yang terlalu menyederhanakan komitmen kita pada konsekuensialisme.

Akan tetapi, sebelum menjelajahi isu-isu ini, ada beberapa perbedaan penting dalam utilitarianisme yang perlu dibeberkan. Saya baru saja mengatakan bahwa, sebagai kaum utilitarian, kita harus mencoba memuaskan jumlah terbesar preferensi-preferensi. Tapi, seperti yang saya singgung sebelumnya, ada dua perbedaan penilaian dalam utilitarianisme tentang siapa ‘kita’ yang dimaksudkan, menurut pandangan pertama, kita semua diwajibkan bertindak menurut prinsip-prinsip utilitarian, bahkan dalam perilaku personal kita (utilitarianisme moral komprehensif); menurut pandangan yang lainnya, lembaga-lembaga sosial utamalah yang terutama wajib bertindak menurut prinsip-prinsip utilitarian (utilitarianisme politik). Juga terdapat dua perbedaan penilaian tentang apa yang dimaksud dengan ‘bertindak menurut prinsip-prinsip utilitarianisme’. Menurut pandangan pertama, ini berarti bahwa pelaku (agent) hendaknya memutuskan bagaimana bertindak dengan sadar membuat perhitungan utilitarian, dengan mencoba menilai bagaimana tindakan yang berbeda akan mempengaruhi kepuasaan preferensi yang berpengetahuan (utilitarianisme langsung); menurut pandangan yang lain, gagasan memaksimalkan utiliti hanya terlibat secara tidak langsung (jika sama sekali) dalam pembuatan keputusan sang pelaku. Tindakan yang secara moral benar adalah yang dapat memaksimalkan utiliti, namun para pelaku besar kemungkinan mamaksimalkan utiliti dengan mengikuti aturan dan kebiasan non-utilitarian, daripada dengan mengikuti penalaran utilitarian (utilitarianisme tidak langsung).

Dua distingsi ini dapat dikombinasikan untuk membangkitkan versi-versi utilitarianisme yang berbeda. Prinsip utilitarianisme dapat diaplikasikan secara lebih komprehensif atau kurang komprehensif, dan secara lebih langsung atau kurang langsung. Kebanyakan karya tentang utilitarianisme akhir-akhir ini telah menaruh perhatian pada pemeriksaan variasi-variasi ini, dan nampaknya jelas bahwa masing-

18

masing versi akan menggerakkan hasil-hasil yang berbeda. Akan tetapi, saya percaya bahwa semua versi mengandung kelemahan fundamental yang sama. Saya akan membuktikan bahwa ada sesuatu yang secara inheren tidak menarik mengenai komitmen utilitarianisme untuk memaksimalkan utiliti, dan bahwa kelemahan ini secara substansial tidak dipengaruhi oleh bagaimana (langsung atau tidak langsung) atau dimana (komprehensif atau pada politik) komitmen itu diaplikasikan5.

Saya akan memulai dengan mempertimbangkan sebagian masalah utilitarianisme sebagai sebuah prosedur keputusan yang komprehensif. Jika kita melihat utilitarianisme dengan cara ini, maka, pelaku yang bertanggungjawab secara moral akan menyerupai apa yang oleh David Brink dinamakan ‘U-Agent’ (pelaku utilitarianisme-penerjemah)---seseorang yang memutuskan bagaimana orang menggunakan waktu dan sumberdayanya dengan memperhitungkan pengaruh-pengaruhnya pada keseluruhan utiliti dari tindakan-tindakan yang tersedia pada orang itu (Brink 1986: 425). Utilitarianisme jenis ini memiliki sedikit pendukung dewasa ini dan banyak kaum utilitarian akan menyetujui kritik-kritik yang saya ajukan. Tetapi, saya mulai dengan utilitarianisme sebagai sebuah prosedur keputusan komprehensif karena ini muncul dalam bentuk masalah yang terutama jelas yang juga terdapat dalam versi utilitarianisme politik dan yang kurang langsung (more indirect) (bagian 5). Selain itu, isu-isu yang diangkat dalam bagian ini, berkenaan dengan lingkup pertalian personal yang pantas, akan muncul kembali dalam bab-bab berikutnya.

Bayangkanlah kemudian bahwa kita adalah U-agents, dan bahwa kita dapat memperhitungkan mana tindakan yang menghasilkan sebagian terbesar utiliti6. Haruskan tindakan kita dasarkan pada perhitungan utilitarian ini? Ada dua keberatan

5 Tidak jelas apakah utilitarianisme dapat, dalam kenyataannya, membatasi dirinya pada struktur dasar masyarakat, atau pada pembuatan keputusan politik. Bahkan jika utilitarianisme berlaku, pertama-tama, pada keputusan-keptusan politik atau lembaga-lembaga sosial, dan bukan pada perilaku personal individu-individu, salah satu wajah keputusan pemerintah adalah untuk memutuskan lingkup keterlekatan privat (private attachments) yang absah. Jika orang tidak memaksimalkan utiliti dalam kehidupan privat mereka, maka mengorganisasi kembali struktur dasar sedemikian rupa sehingga memberikan sedikit ruang bagi kehidupan privat dapat meningkatkan utiliti. Jika utilitarianisme moral komprehensif tidak dapat mengakomodasi pengertian kita tentang nilai dari keterlekatan personal, maka utilitarianisme politik tidak akan memiliki alasan untuk mempertahankan wilayah pribadi. Apapun yang terjadi, keunggulan utilitarianisme dalam filsafat politik sebagian besar berasal dari kepercayaan bahwa utilitarianisme merupakan satu-satunya filsafat moral yang koheren dan sistematis (Rawls 1971: vii-viii), sehingga, motivasi demi politik utilitarianisme runtuh jika terbukti bahwa utilitarianisme moral komprehensif tidak dapat dipertahankan.6 U-agent seringkali dideskripsikan sebagai ’tindakan utilitarian’ (act-utilitarian), karena ia bertindak secara langsung berdasarkan perhitungan-perhitungan utili. Namun ini menyesatkan, sejauh sebagaimana ’tindakan utilitarian’ pada umumnya dibandingkan dengan ’aturan-uilitarian’ (rule-utilitarian). Apa yang menentukan arti U-agent adalah bahwa ia (pelaku utilitarian itu-pent) menggunakan maksimalisasi-utiliti secara langsung sebagai sebuah prosedur keputusan, dan, sebagaimana yang akan kita lihat, ia dapat melakukan ini meskipun memusatkan perhatian pada aturan-aturan daripada tindakan-tindakan. Distingsi antara utilitarianisme langsung dan utilitarianisme tidak langsung meliputi distingsi antara tindakan utilitarianisme dan aturan utilitarianisme (Railton 1984: 156-7). Perbedaan yang pertama adalah apakah prinsip maksimalisasi utiliti dipandang sebagai sebuah prosedur keputusan atau sebagai standar kebenaran moral, bukan apakah prinsip maksimalisasi utiliti (baik sebagai sebuah standar kebenaran moral maupun sebagai sebuah prosedur keputusan) berlaku pada tindakan-tindakan atau aturan-aturan.

19

utama pada pembuatan keputusan utilitarian—pertama, meniadakan kewajiban khusus kita pada orang khusus, dan kedua, memasukkan preferensi yang seharusnya tidak dihitung. Dua masalah ini muncul dari kelemahan dasar yang sama, namun saya akan memeriksa keduanya secara terpisah.

(a) Pertalian Khusus (Special Relationships)U-agents yang tindakan-tindakannya didasarkan pada perhitungan utilitarian

menganggap bahwa tiap-tiap orang berada dalam pertalian moral yang sama dengan mereka. Namun ini tidak mengijinkan kemungkinan bahwa saya bisa memiliki pertalian moral khusus dengan sahabat saya, keluarga, pemberi pinjaman dan sebagainya, bahwa saya mungkin memikul kewajiban yang lebih besar pada mereka daripada kemungkinan para ahli-waris yang lain dari tindakan-tindakan saya. Intuisi kita menyarankan bahwa ada kewajiban-kewajiban khusus semacam ini, dan bahwa kewajiban ini harus dipenuhi bahkan jika mereka, yang saya tidak mempunyai kewajiban khusus, akan lebih beruntung.

Pertimbangkan sebuah pinjaman. Merupakan bagian dari moralitas kita sehari-hari bahwa orang akan memperoleh ‘perbedaan hak pemilikan legal’ (differential entitlements) karena sudah meminjamkan uang di masa lalu. Jika seseorang meminjamkan saya $10, maka ia berhak menerima pengembalian $10 dari saya, bahkan seandainya orang lain mungkin dapat memanfaatkan uang itu dengan lebih baik. Penalaran utilitarian tidak mengindahkan hak pemilikan legal yang ditilik kebelakang (backward-looking entitlements) semacam ini, karena yang penting hanyalah konsekuensi-konsekuensi yang ditilik kedepan (forward-looking consequences). Bagi U-agents, nilai moral sebuah tindakan terletak semata-mata pada kualitas sebab-musababnya dalam menghasilkan keadaan yang diinginkan. Maka, apa yang harus saya lakukan adalah mengenakan keuntungan sebab akibat yang menghasilkan jumlah maksimal utiliti bagi sistem secara keseluruhan. Dalam memutuskan bagaimana mempergunakan uang saya $10, saya harus juga melihat kepuasan-kepuasan preferensi potensial orang (termasuk saya sendiri) dan menentukan tindakan apa yang akan memaksimalkannya. U-agents sendiri tidak tertarik bahwa salah satu dari orang itu telah meminjamkan saya uang $10, atau bahwa orang lain telah memberikan jasa pada saya dengan pengertian bahwa ia akan menerima uang itu. Barangkali, jika utiliti berkembang dalam cara tertentu, saya harus membayar kembali pinjaman itu atau memenuhi perjanjian saya. Namun, proses memutuskan apa yang akan dilakukan akan berlangsung dengan cara yang persis sama seolah-olah saya tidak meminjam atau menjanjikan uang itu.

Ini bertentangan dengan intuisi, karena banyak dari kita akan mengatakan bahwa ‘keadaan atau tindakan orang di masa lalu dapat menciptakan perbedaan hak pemilikan legal atau perbedaan ganjaran pada barang-barang’ (Nozick 1974: 155). Orang yang telah memberikan saya pinjaman uang $10 memperoleh, berdasarkan tindakan itu, sebuah hak pemilikan legal pada uang $10 yang sekarang saya pertimbangkan untuk saya belanjakan, bahkan jika sebagian penggunaan lain dari uang itu akan memaksimalkan kebahagiaan. Tidakkah ini bertentangan dengan pandangan kita bahwa moralitas seharusnya adalah tentang konsekuensi bagi kesejahteraan manusia? Tidak, karena ketika mengatakan bahwa saya harus

20

membayar kembali pinjaman, saya hanya mengatakan bahwa saya mempunyai kewajiban yang lebih besar, pada saat ini, untuk mempromosikan kesejahteraan orang yang memberikan saya pinjaman daripada membantu orang lain. Kita harus mengembalikan pinjaman, bukan karena kita tidak memperdulikan kerugian dan keuntungan yang timbul dari tindakan itu, tapi karena sebuah keuntungan secara khusus memiliki bobot khusus.

Tidak seperti kaum non-konsekuensialis garis keras, kita tidak perlu mengatakan bahwa hak-hak pemilikan legal ini tidak dapat dibuat melalui sesuatu perhitungan dari keseluruhan konsekuensi sosial. Jika pembayaran kembali pinjaman itu, entah bagaimana, menyebabkan terjadinya kehancuran nuklir, maka jelas kita tidak harus mengembalikan pinjaman itu. Tetapi, kita dapat mengatakan bahwa ada suatu kewajiban untuk mengembalikan pinjaman dan memenuhi perjanjian yang memiliki semacam bobot yang berdiri sendiri, untuk dipertimbangkan bersama-sama dengan bobot moral dari keuntungan-keuntungan sosial secara keseluruhan. Keberadaan hak-hak pemilikan legal di masa lalu pada orang tertentu untuk sebagian menghambat, atau menghalangi, pencarian kaum utilitarian untuk memaksimalkan kebaikan umum. Mencegah terjadinya kemerosotan dalam kesejahteraan adalah alasan yang baik untuk memanfaatkan uang itu dengan cara yang berbeda, namun fakta belaka bahwa membayar kembali pinjaman tidak meningkatkan kesejahteraan secara maksimal bukanlah sebuah alasan yang baik. Tidak membayar kembali pinjaman hanya karena bahwa tidak meningkatkan kesejahteraan secara maksimal mengabaikan hakikat khusus kewajiban kita terhadap pemberi pinjaman.

Bahwa banyak kaum utilitarian mencoba memberikan suatu penilaian utilitarian atas bobot yang kita lekatkan pada janji-janji, meresap secara mendalam dalam kesadaran moral kita. Mereka menunjukkan banyak akibat yang diciptakan oleh pengingkaran suatu janji. Sebagai contoh, meskipun seseorang yang bukan pemberi pinjaman mungkin dapat memanfaatkan uang itu dengan lebih baik, pemberi pinjaman akan merasa marah oleh hilangnya keuntungan yang dijanjikan, dan ketidakmanfaatan sedemikian besar sehingga melebihi peningkatan kesejahteraan yang dicapai dengan memberikan uang itu pada orang lain (Hare 1971: 134). Namun, ini membawa masalahnya pada kemunduran. Kita tidak merasa bahwa melanggar janji adalah salah karena menghasilkan perasaan marah. Yang benar, mencurangi janji-janji menimbulkan perasaan marah karena ini salah (bandingkan Williams 1973: 143). Taktik kaum utilitarian yang lain adalah menunjukkan bahwa janji menciptakan harapan bagi orang untuk menggantungkan diri. Selain itu, kegagalan mengembalikan pinjaman akan membahayakan kesediaan pemberi pinjaman untuk meminjamkan uangnya kembali di masa yang akan datang, dan secara demikian, membahayakan institusi sosial yang berharga. Maka, kaum utilirian menanggapi dengan menunjukkan bahwa membayar kembali pinjaman besar kemungkinan akan memaksimalkan kesejahteraan daripada yang mungkin semula disangka orang (Sartorius 1969: 79-80).

Ini mungkin benar, tetapi tidak menyelesaikan masalahnya. Pandangan ini masih mengimplikasikan, misalnya, bahwa ‘jika anda mempekerjakan seorang anak laki-laki untuk menyiangi pekarangan dan setelah menyelesaikan pekerjaannya ia meminta bayaran, anda harus membayar anak itu apa yang telah anda janjikan hanya

21

sekiranya anda tidak tahu menggunakan uang anda dengan lebih baik’ (Sartorius 1969: 79). Penalaran U-agents, walaupun lebih kompleks dari apa yang semula mungkin dipikirkan orang, masih gagal mengenali pertalian khusus antara pekerja dan majikan atau antara peminjam dan pemberi pinjaman. Sebagian kaum utilitarian bersedia menerima hasil ini. Rolf Sartorius, misalnya, mengatakan bahwa jika faktor-faktor biasa tidak memastikan bahwa pembayaran memaksimalkan utiliti, yaitu, jika anak laki-laki tersebut ‘kemungkinan tidak mengumumkan janji yang saya ingkarinya terlalu keras, dan tampaknya menyimpan kepercayaan pada kemanusiaan pada umumnya, dan jumlah uang yang dapat saya berikan kepadanya akan sungguh-sungguh lebih bermanfaat jika saya sumbangkan pada UNICEF, maka kesimpulan berdasarkan alasan tindakan utilitarian pastilah bahwa saya harus memberikan uang itu pada UNICEF. Apakah ini sungguh-sungguh absurd?’ (Sartorius 1969: 80). Ya, ini absurd. Apa yang absurd di sini belum tentu kesimpulannya tetapi fakta bahwa anak laki-laki itu sesungguhnya telah menyelesaikan pekerjaannya, atau bahwa saya sebenarnya telah menjanjikan uang itu kepadanya, tidak pernah dipertimbangkan dalam keputusan itu. Perhatikanlah bahwa konsekuensi yang disinggung Sartorius akan justru sama bahkan seandainya anak laki-laki itu sebenarnya tidak menyiangi pekarangan, namun hanya (secara keliru) percaya bahwa ia telah melakukan pekerjaan demikian, atau secara keliru mempercayai bahwa saya telah menjanjikan kepadanya uang itu. Kenyataan bahwa anak laki-laki itu sesungguhnya telah menyiangi pekarangan, atau bahwa saya telah menjanjikan kepadanya uang itu, tidaklah penting bagi U-agents karena yang kita katakan atau kita lakukan tidak ada yang pernah dapat menempatkan kita dalam pertalian-pertalian moral khusus sedemikian rupa sehingga kewajiban saya terhadapnya lebih besar daripada kewajiban saya pada yang lainnya. Tidak peduli apapun yang sudah dilakukan anak laki-laki itu atau apapun yang sudah saya katakan kepadanya, ia tidak pernah dapat memiliki klaim yang lebih besar pada tindakan-tindakan saya daripada orang yang lain.

Dalam pandangan hidup kita sehari-hari, keberadaan sebuah janji menciptakan kewajiban khusus antara dua orang. Akan tetapi, U-agent membicarakan janji dan kontrak, bukan sebagaimana menciptakan ikatan moral khusus pada seseorang, tetapi hanya menambahkan faktor-faktor baru dalam perhitungan keseluruhan utiliti. Pandangan sehari-hari mengatakan bahwa saya harus membayar kembali pinjaman tidak peduli apakah ini akan memaksimalkan utiliti. U-agent mengatakan bahwa saya harus membayar kembali pinjaman karena ini memaksimalkan utiliti. Anak laki-laki itu tidak mempunyai klaim yang lebih besar pada saya dibandingkan orang lain, kemungkinan ia hanya lebih beruntung daripada pihak lain, sehingga pembayaran kembali (repayment) merupakan cara terbaik untuk memenuhi kewajiban utilitarian saya.

Namun, ini bukanlah apa yang dinamakan janji---‘Membuat sebuah janji bukan semata-mata menyesuaikan diri dengan peralatan yang berdaya guna untuk mempromosikan kebaikan umum; melainkan, meletakkan diri sendiri dalam suatu hubungan baru terutama dengan seseorang, suatu hubungan yang secara khusus menciptakan kewajiban utama baru terhadapnya, tidak dapat direduksi pada kewajiban mempromosikan kesejahteraan hidup masyarakat secara umum’ (Ross 1930: 38). Bagi U-agents, setiap orang (termasuk diri sendiri) justru berada pada

22

posisi moral yang sama—yaitu, setiap orang sama-sama berhak atas kemungkinan menjadi ahli tindakan seseorang. Namun, ini adalah gambaran yang terlalu pasti berkenaan dengan lanskap moral, karena sebagian orang ‘mungkin juga berada pada (salah satu) pertalian antara pemberi janji dan penerima janji, antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, antara istri dan suami, antara anak dan orang tua, antara teman dengan teman, antara sesama warga negara dan sesama warga negara, dan sebagainya, dan masing-masing pertalian ini merupakan landasan kewajiban utama’ (Ross 1930: 19).

Di sini masalahnya menjadi lebih dalam daripada penilaian yang memadai tentang janji. U-agen tidak dapat mengakomodasi arti penting apapun komitmen-komitmen kita. Kita semua memiliki komitmen—pada keluarga, perkara politik, pekerjaan—yang membentuk titik penting kehidupan kita dan memberikan sebagian identitas atas keberadaan kita. Namun, jika saya bertindak sebagai seorang U-agent, maka, dalam setiap keputusan, komitmen saya pastilah sekadar dimasukkan bersama semua proyek orang lain, dan dikorbankan ketika saya dapat menghasilkan utiliti yang lebih banyak dengan mempromosikan proyek orang lain. Ini mungkin terdengar membanggakan karena tidak mementingkan diri sendiri. Namun, dalam kenyataannya ini adalah absurd. Karena justru tidak mungkin sungguh-sungguh terikat pada sesuatu, namun bersedia mengorbankan keterikatan itu ketika sesuatu hal lain terjadi untuk memaksimalkan utiliti. Pembuatan keputusan utilitarian meminta bahwa saya mempertimbangkan proyek dan keterlekatan saya sebagai tidak lagi berharga saya bantu daripada orang lain. Keputusan ini menuntut, sebagai akibatnya, bahwa saya menjadi kurang terlekat pada komitmen saya dibandingkan dengan orang lain. Namun, ini tidak berbeda dengan mengatakan bahwa saya seharusnya tidak sungguh-sungguh terlekat pada proyek saya sama sekali. Sebagaimana Bernard Williams mengatakan,

Jika anda adalah pribadi yang sungguh-sungguh dan sepenuh hati memiliki sebagian hal yang membanggakan ini (proyek-proyek, kasih-sayang dan komitmen), anda tidak mungkin menjadi seseorang, yang pikiran dan tindakannya sesuai dengan syarat-syarat utilitarianisme yang digambarkan dengan berhasil, dan anda juga tidak mungkin berharap menjadi orang semacam itu….Utilitarianisme pasti menolak mencairkan dengan sia-sia nilai dari berbagai watak yang lain ini, mundur kembali pada gambaran tentang manusia yang ditawarkan secara jujur oleh utilitarianisme awal, yang idealnya, ia hanya memiliki proyek privat atau sebaliknya memiliki proyek yang dapat dikorbankan, bersama dengan sebuah kecenderungan moral dari kebajikan utilitarian (Williams 1981: 51, 53).

Nah, kiranya penting dan benar bahwa saya harus menghormati komitmen orang lain yang absah. Namun, cara melakukannya tidak dengan menganggap mereka memiliki klaim yang sama atas waktu dan energi saya seperti yang saya pergunakan untuk proyek-proyek saya sendiri. Pendirian semacam ini secara psikologis tidak mungkin, dan, jikapun mungkin, tidak diharapkan. Kehidupan manusia yang bernilai, sejauh menyangkut penilaian orang tentang hal ini, adalah kehidupan yang diisi dengan keterlekatan yang menyusun kehidupan seseorang,

23

yang memberi sejumlah petunjuk pada kehidupan yang bernilai. Prospek dari pencapain atau kemajuan selanjutnya dalam komitmen semacam itulah yang menjadikan tindakan kita saat ini bermakna. Akan tetapi, sebagai seorang U-agent, tindakan seseorang akan diputuskan hampir sama sekali terlepas dari komitmen seseorang. Keputusan U-agent akan menjadi ‘fungsi dari semua kepuasan yang dapat dipengaruhinya dari tempat dimana ia berasal; dan ini berarti bahwa proyek orang lain, untuk sebagian besar yang tak dapat ditentukan, menentukan keputusannya’ (Williams 1973: 115). U-agent akan memiliki sedikit pilihan tentang bagaimana mengarahkan kehidupannya, sedikit kesempatan untuk bertindak menurut pertimbangan tentang jenis orang seperti apa ia, atau keinginan untuk menjadi. Maka, ia akan mempunyai sedikit kesempatan untuk berhubungan dengan hal-hal yang kita asosiasikan dengan banyak gagasan tentang ‘menjalankan suatu kehidupan’. Semua ini akan terbenam di bawah pertanyaan tentang mana keuntungan sebab-akibat yang optimistik.

Jika saya menjalankan kehidupan saya sendiri, harus ada kesempatan yang memberikan saya kebebasan membentuk komitmen saya sendiri, termasuk bentuk-bentuk kontrak dan janji yang didiskusikan di atas. Masalah tidak memperbolehkan orang menciptakan kewajiban khusus pada orang lain melalui janji hanyalah satu aspek dari masalah yang lebih luas tidak memperbolehkan orang menentukan dan mengejar tujuan-tujuannya sendiri. Masalah dalam semua kasus ini adalah asumsi U-agent bahwa tiap-tiap orang mempunyai klaim yang sama untuk mendapatkan keuntungan dari semua tindakannya.

Apakah intuisi kita yang mendukung komitmen yang penuh makna akan melanggar gagasan bahwa moralitas menaruh perhatian pada konsekuensi? Tidak, karena komitmen intuitif kita pada gagasan umum konsekuensialisme tidak pernah mencakup komitmen pada penentuan tindakan terus menerus tanpa memihak menurut preferensi orang lain, pada dinafikannya proyek-proyek dan pertalian-pertalian khusus. Ini justru merupakan interpretasi yang terlalu kasar berkenaan dengan kepercayaan kita pada konsekuensialisme.

(b) Preferensi yang tidak absah (Illegitimate Preferences)Masalah yang kedua dengan utilitarianisme sebagai sebuah prosedur

keputusan terkait dengan tuntutannya, bukan bahwa tiap-tiap orang dihargai sama dalam pembuatan keputusan kita, tetapi bahwa tiap-tiap sumber utiliti (misalnya, tiap jenis preferensi) diberi bobot yang sama. Pertimbangkan diskriminasi rasial utamanya pada masyarakat kulit putih. Sebuah kebijakan pelayanan kesehatan pemerintah mungkin merencanakan membangun sebuah rumah sakit bagi setiap 100.000 orang, tanpa memperdulikan ras mereka. Namun, sebagian orang kulit putih lebih suka orang kulit hitam tidak mempunyai pelayanan kesehatan yang sama, dan ketika perhitungan utiliti dilakukan, yang kemudian terjadi adalah bahwa utiliti dimaksimalkan dengan menghilangkan orang kulit hitam dari bagian yang sama atas pelayanan kesehatan (atau berbagai fasilitas sekolah, dan sebagainya). Atau bagaimana jika banyak pengamatan tentang kaum homoseksual yang diketahui sangat mengganggu mayoritas yang heteroseksual? Barangkali utiliti dimaksimalkan jika orang-orang yang mengaku terang-terangan sebagai homoseks dihukum secara

24

terbuka dan dimasukkan penjara. Atau bagaimana halnya dengan pecandu alkohol yang miskin tanpa pekerjaan dan tempat tinggal, menganggu banyak orang, dan menyusahkan semua orang, mengemis uang dan merusak pemandangan taman umum? Mungkin utiliti akan maksimal jika kita diam-diam menculik orang-orang itu dan membunuhnya, sehingga mereka tidak akan terlihat lagi dan tidak menguras sumberdaya sosial dalam penjara. Beberapa dari preferensi-preferensi ini tentu saja tanpa pengetahuan (uninformed), sehingga memuaskannya sesungguhnya tidak akan menghasilkan utiliti apapun (anggap kita mengabaikan penilaian-penilaian utiliti hedonistik yang kasar). Tetapi, keinginan untuk menyangkal hak-hak orang lain tidak selalu tanpa pengetahuan, dan bahkan menurut penilaian terbaik utiliti, kepuasan preferensi ini dapat menjadi sumber utiliti sejati bagi orang. Sebagaimana Rawls mengatakan, preferensi semacam itu ‘tidak bisa diterima’, dari sudut pandang keadilan, tetapi tidak dengan sendirinya ‘irasional’ dari sudut pandang utiliti individu (Rawls 1980: 528-30). Jika jenis utiliti ini diperhitungkan, ini mungkin akan menimbulkan diskriminasi terhadap minoritas yang tidak populer.

Moralitas kita sehari-hari menyatakan bahwa preferensi semacam itu tidak fair, dan hendaknya tidak diperhitungkan. Bahwa kaum rasis menginginkan sekelompok orang teraniaya, sama sekali bukan merupakan alasan menyediakan pelayanan kesehatan yang kurang pada kelompok itu. Keinginan kaum rasis tidak sah, sehingga apapun utiliti yang mungkin timbul dengan memuaskan preferensi itu tidak memiliki dasar pembenaran moral. Bahkan ketika tidak ada prasangka langsung, masih ada kemungkinan preferensi tidak fair yang seharusnya tidak diperhitungkan. Seseorang mungkin menginginkan bahwa orang kulit hitam tidak berpindah dalam lingkungan mereka, bukan karena mereka sungguh-sungguh membenci orang kulit hitam—satu atau lain hal mungkin mereka tidak peduli—tetapi karena orang-orang lain membenci orang-orang kulit hitam. Preferensi untuk menyisihkan orang-orang kulit hitam dari lingkungan ketetanggaan semacam ini bukan merupakan kebencian yang tidak masuk akal seperti yang terdapat pada kaum rasis. Namun, ini tetap merupakan preferensi yang tidak sah (illegitimate preferences), karena mensyaratkan bahwa sesuatu diambil secara tidak bermoral dari orang kulit hitam. Dalam semua kasus ini, utiliti dimaksimalkan dengan perlakuan yang bersifat mendiskriminasikan, tetapi hanya demi preferensi untuk mendapatkan keuntungan yang diambil secara tidak bermoral dari orang-orang lain. Preferensi seperti ini, preferensi atas apa yang sebenarnya menjadi hak moral orang-orang lain, hanya mengandung sedikit atau tidak memiliki dasar pembenaran sama sekali dalam pandangan moral kita sehari-hari.

Kaum utilitarianisme menolak pendapat bahwa preferensi atas apa yang ‘secara moral’ menjadi hak orang-orang lain adalah tidak absah. Bagi U-agent tidak ada standar tentang apa yang sebenarnya menjadi ‘hak moral’ semua orang sebelum adanya perhitungan utiliti. Apa yang secara moral menjadi milik saya adalah apapun distribusi yang meningkatkan utiliti, sehingga tindakan memaksimalkan utiliti per-definisi tidak dapat menghilangkan hak moral yang memang saya miliki. Akan tetapi, ini melanggar komponen penting dari moralitas kita sehari-hari. Komitmen kita pada gagasan konsekuensialisme tidak mencakup komitmen pada gagasan bahwa setiap sumber utiliti seharusnya mengandung bobot moral, bahwa tiap-tiap jenis preferensi harus diperhitungkan.

25

Maka nampaklah bahwa U-agent, dalam mencoba memaksimalkan utiliti, justru melanggar dan tidak menguraikan, gagasan intuitif kita tentang konsekuensialisme. Sebagian orang menyangkal bahwa pengambilan keputusan utilitarian mengandung hasil yang berlawanan dengan intuisi ini. Mereka mengakui bahwa penalaran utilitarian nampak memperbolehkan, atau bahkan mensyaratkan, tindakan yang melanggar hubungan-hubungan khusus atau hak-hak dasar, kapanpun tindakan semacam itu akan memaksimalkan utiliti. Namun mereka mengklaim bahwa tindakan ini tidak akan diijinkan jika kita bergeser pada bentuk pengambilan keputusan utilitarian yang lebih canggih. Saya mengasumsikan bahwa U-agents menerapkan uji maksimalisasi utiliti pada tindakan tertentu. Namun, kaum utilitarian yang mendasarkan pada aturan (rule-utilitarians) menyatakan bahwa kita harus menerapkan uji kemanfataan pada aturan-aturan dan kemudian memperagakan apapun tindakan yang didukung oleh aturan-aturan yang terbaik. Kerjasama sosial memerlukan kepatuhan pada aturan, sehingga kita harus menilai akibat-akibatnya, tidak hanya bertindak menurut cara tertentu dalam kejadian ini, tetapi dengan menjadikannya sebagai aturan maka kita bertindak dengan cara ini.

Maka, masalah yang dihadapi U-agents adalah menentukan mana kumpulan aturan yang memaksimalkan utiliti. Apakah kita lebih baik dalam pengertian utilitarian dengan mengikuti aturan yang memerintahkan kita memenuhi janji, mempertahankan hubungan khusus dan menghormati hak-hak, atau, dengan mengikuti aturan yang mensubordinasikan prinsip ini pada perhitungan utiliti? Yang terakhir ini, kata kaum utilitarian, akan memperlemah utiliti. Ini akan menyulitkan kerjasama sosial dan merendahkan nilai kebebasan dan kehidupan manusia. Lagipula, orang kemungkinan akan menyalahgunakan kekuasaan yang melanggar janji atau menjalankan diskriminasi atas nama kebaikan umum. Setiap orang akan menjadi lebih buruk jika kita mengadopsi aturan yang melanggar janji atau mendiskrimasi kelompok yang tidak populer kapanpun kita mengira bahwa ini akan memaksimalkan utiliti (Harsanyi, 1985).

Sebagian komentator menyatakan bahwa ’utilitarianisme-aturan’ (rule-utilitarianism) roboh kedalam ’utilitarianisme-tindakan’ (act-utilitarianism), karena kita dapat mendeskripkan aturan dengan cara yang sedemikian rinci dan dangkal yang membuatnya sama dengan tindakan (Lyons 1965: ch.4; Hare 1963: 130-6). Namun, bahkan seandainya distingsi ini valid, nampaknya terlalu optimistik untuk menganggap bahwa aturan-aturan yang memaksimalkan utiliti akan selalu melindungi hak-hak yang lemah dan minoritas-minoritas yang tidak populer. Sebagaimana Williams menyatakan, kepastian bahwa keadilan akan menang merupakan ’penghargaan pada kesusilaan dan imaginasi kaum utilitarian, tetapi bukan pada konsistensi atau paham utilitarian mereka’ (Williams 1972: 103). Apapun yang terjadi, tanggapan ini tidak menjawab keberatan tersebut, karena jikapun keberatan ini dijawab dengan benar, alasan-alasan yang diberikan adalah salah. Dalam pandangan kaum utilitarian-aturan, perilaku tak adil dalam mendeskriminasi kelompok-kelompok minoritas menyebabkan meningkatnya ketakutan pihak lain dengan mengalami aturan yang mengijinkan diskriminasi. Perilaku tak adil dengan tidak membayar si anak laki-laki yang menyiangi pekarangan menyebabkan meningkatnya kesangsian orang lain menyangkut institusi perjanjian. Namun, hal itu absurd. Ketidakadilan dilakukan pada seseorang yang

26

tidak semestinya mengalami menderita dari kebencian orang lain, dan pada si anak laki-laki yang memiliki klaim khusus pada uang yang dijanjikan. Ketidakadilan ini terjadi apapun pengaruhnya pada orang lain dalam jangka panjang.

Kaum utilitarian yang mendasarkan pada aturan (rule-utilitarians) salah menanggapi isu yang sebenarnya. Keberatan yang diajukan pada pengambilan keputusan utilitarian adalah bahwa kewajiban khusus tertentu harus dimasukkan, dan bahwa preferensi tertentu yang tidak sah harus dikeluarkan. Ini adalah persyaratan moral yang lebih penting dari maksimalisasi utiliti (sementara U-agent melihatnya semata-mata sebagai perlengkapan untuk memaksimalkan utiliti). Namun, jika itu keberatan kita, maka tidak relevan mengatakan, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum utilitarian yang mendasarkan pada aturan, bahwa mematuhi janji dan mengabaikan prasangka seringkali memaksimalkan utiliti jangka panjang, atau bahwa janji dan hak asasi manusia merupakan perlengkapan yang bahkan lebih berdaya guna untuk memaksimalkan utiliti daripada yang semula kita perkirakan. Tanggapan semacam itu memperkuat, dan bukanya menyangkal kritik bahwa U-agents memperlakukan pengakuan atas kewajiban khusus sebagai tergantung pada, ketimbang lebih penting dari, maksimalisasi utiliti. Keberatan kita bukanlah bahwa janji adalah perlengkapan yang buruk untuk memaksimalkan utiliti, tetapi bahwa janji sama sekali bukan merupakan perlengkapan semacam itu. Masalah ini tidak mungkin dijauhi dengan merubah tingkatan prinsip utiliti yang kita aplikasikan dari tindakan (acts) pada aturan (rules). Masalahnya, dari sudut pandang moralitas kita sehari-hari, adalah dalam mengaplikasikan prinsip utiliti itu sendiri.

Sebagian kaum utilitarian akan menyetujui apa yang saya katakan sejauh ini. Justru tepat dan pantas, kata mereka, untuk memandang keterlekatan kita (our attachments) sebagai lebih penting dari pengejaran keseluruhan utiliti. Kita hendaknya menerima pandangan sehari-hari bahwa perlakuan yang melukai individu tertentu yang tertipu atau terdiskriminasi merupakan alasan yang cukup untuk menuntut bahwa orang menjaga janji dan menghormati hak. Kita tidak seharusnya menjadi U-agents yang memutuskan bagaimana bertindak dengan membuat perhitungan utilitarian, dan yang memandang janji sebagai perlengkapan untuk maksimalisasi utiliti. Sebaliknya kita harus melihat janji dan hak orang lain sebagai sesuatu yang maha penting yang pada dasarnya tidak dapat dirusak dengan perhitungan kepentingan sosial. Pendek kata, kita harus menjadi non-utilitarian dalam penalaran moral kita. Namun, mereka menyatakan, ini tidak berarti utilitarianisme salah. Sebaliknya, alasan mengapa kita harus menjadi non-utilitarian dalam pengambilan keputusan kita justru karena kita besar kemungkinan akan memaksimalkan utiliti dengan cara itu. Sebuah masyarakat non-utilitarian yang mempercayai arti penting janji dan hak yang hakiki akan lebih bijaksana, dalam arti memaksimalkan utiliti, daripada sebuah masyarakat utilitarian yang berdasarkan tindakan atau aturan (society of act-or rule-utilitarians), yang memandang janji dan hak sebagai perlengkapan untuk memaksimalkan utiliti.

Ini mungkin terdengar bertentangan satu sama lain. Namun, pernyataan ini mengangkat suatu pendapat yang benar dan penting. Utilitarianisme pada dasarnya merupakan ‘standar kebenaran moral’ (standard of rightness), bukan sebuah

27

‘prosedur keputusan’ (decision procedure) (Brink 1986: 421-7; Railton 1984: 140-6)7. Apa yang menjelaskan makna utilitarianisme adalah klaim bahwa tindakan yang benar adalah yang memaksimalkan utiliti, bukan klaim bahwa kita harus dengan sengaja mencoba memaksimalkan utiliti. Tetapi merupakan pertanyaan terbuka apakah kita harus menerapkan prosedur keputusan utilitarian—tentu saja, pertanyaan ini dengan sendirinya terjawab dengan memeriksa konsekuensi-konsekuensi yang terjadi pada keseluruhan utiliti dari prosedur-prosedur keputusan yang berbeda. Dan sangat mungkin bahwa kita akan lebih bijaksana dalam arti standar kebenaran moral ulitarian dengan menggunakan sebuah prosedur keputusan non-utilitarian. Ini memang nampak benar dalam hubungannya dengan keterlekatan personal kita—kehidupan setiap orang kurang berharga jika kita tidak dapat membuat komitmen dengan cara yang sepenuh hati dan tanpa syarat yang dihalangi oleh utilitarianisme langsung. Maka, kita seharusnya menjadi kaum utilitarian tidak langsung (indirect utilitarians).

Meskipun ini merupakan pendirian yang penting, pendapat ini belum menjawab keberatan yang dikemukakan diatas. Pertimbangkan pandangan kita sehari-hari bahwa berbagai bentuk preferensi tertentu adalah tidak fair, sehingga tidak perlu dipertimbangkan dalam prosedur keputusan moral kita. Mungkin saja bahwa standar kebenaran moral utilitarian dapat membenarkan penerimaan kita atas prosedur keputusan non-utilitarian itu. Jika demikian, maka kedua sisi sepakat bahwa preferensi tertentu tidak boleh diperhitungkan. Akan tetapi, dalam pandangan kita sehari-hari, alasan mengapa preferensi yang tidak fair tidak boleh dipertimbangkan dalam prosedur keputusan kita adalah bahwa itu secara moral tidak sah (illegitimate)—preferensi yang tidak fair tidak berhak diperhitungkan. Bagi kaum utilitarian tidak langsung, di pihak lain, alasan tidak memperhitungkan preferensi yang tidak fair adalah semata-mata karena ini akan menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diinginkan. Preferensi yang tidak fair (jika rasional dan berpengetahuan) adalah se-absah seperti halnya preferensi lain menurut standar kebenaran moral utilitarian, tetapi kita sungguh lebih baik dalam pengertian standar itu dengan memperlakukannya sebagai tidak absah dalam pengambilan keputusan kita.

Maka, kita memiliki dua penjelasan yang saling bertentangan dalam memperlakukan preferensi tertentu sebagai tidak absah. Dalam mempertahankan utilitarianisme, karena itu, tidak cukup dengan menunjukkan bahwa standar kebenaran moral utilitarian dapat membenarkan penggunaan prosedur keputusan non-utilitarian. Seseorang harus juga memperlihatkan bahwa ini merupakan

7 Meskipun distingsi antara standar-standar kebenaran moral dan prosedur-prosedur keputusan dapat dipercaya, tidaklah jelas bahwa kita dapat membuat semacam distingsi antara keduanya seperti yang dipersyaratkan oleh utilitarianisme tidak langsung (indirect utilitarianism). Tidak seperti kaum utilitarian yang mendasarkan pada aturan (rule-utilitarian), yang memandang janji sebagai perlengkapan yang berdaya guna untuk memaksimalkan utiliti, kaum utilitarian tidak langsung memandang kepercayaan kita mengenai janji-janji sebagai perlengkapan yang berdaya guna untuk memaksimalkan utiliti. Tetapi orang tidak dapat, dan kemungkinan tidak bisa, memandang kepercayaan-kepercayaan moralnya dengan cara ini (Smith 1988). Lagipula, jika kita terlalu melebih-lebihkan arti penting distingsi ini, tidaklah jelas mengapa utilitarianisme, sebagai sebuah standar kebenaran moral, tidak akan menghilang sama sekali dari kepercayaan-kepercayaan sadar kita (Williams 1973: 135).

28

pembenaran yang secara moral dapat diterima. Kaum utilitarian mengatakan bahwa alasan mengapa kita menggunakan prosedur non-utilitarian adalah karena prosedur non-utilirarian itu berpengaruh dalam memaksimalkan utiliti. Tetapi tidakkah lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa alasan mengapa kita menggunakan prosedur non-utilitarian adalah justru karena kita menerima standar kebenaran moral non-utilitarian? Mengapa menganggap harus ada semacam penjelasan utilitarian tidak langsung terhadap komitmen non-utilitarian kita?

Sebagian kaum utilitarian nampaknya menganggap bahwa jika sebuah penjelasan utilitarian tersedia untuk keyakinan moral kita maka tidak ada gunanya mempertimbangkan semua penjelasan non-utilitarian. Tetapi ini [merupakan argumen yang] berputar dalam lingkaran (beg the question). Kita memerlukan argumen untuk mendukung standar kebenaran moral utilitarian diatas standar-standar moral yang lain. Apakah ada argumen semacam ini dalam tulisan-tulisan kaum utilitarian? Dalam kenyataannya ada dua argumen yang jelas, namun saya akan menunjukkan bahwa tidak ada yang berdiri sendiri, dan bahwa kemasukakalan utilitarianisme bergantung pada gabungan keduanya. Jika kita mengamati argumen ini, kita akan melihat bahwa masalah yang didiskusikan diatas secara langsung muncul dari standar kebenaran moral utilitarian dan sebagian besar tidak dipengaruhi oleh bagaimana standar itu diaplikasikan.

4. DUA ARGUMEN UNTUK MAKSIMALISASI UTILITI

Dalam bagian ini, saya akan mempertimbangkan dua argumen utama untuk melihat maksimalisasi utiliti sebagai standar kebenaran moral (terlepas apakah standar ini dipergunakan sebagai sebuah prosedur keputusan atau tidak). Seperti yang akan kita lihat, keduanya membangkitkan dua interpretasi yang sama sekali berbeda tentang apa utilitarianisme itu.

(a) Pertimbangan yang sama atas kepentingan (Equal Consideration of Interests)Dalam salah satu interpretasi, utilitarianisme adalah sebuah standar

untuk menjumlahkan berbagai kepentingan dan keinginan individu. Individu-individu memiliki preferensi yang jelas dan secara potensial saling bertentangan, dan kita memerlukan sebuah standar yang menyatakan secara khusus mana keseimbangan (trade-off) diantara preferensi-preferensi itu yang secara moral dapat diterima, keseimbangan manakah yang fair untuk orang yang kesejahteraannya mungkin hilang. Itu merupakan pertanyaan yang hendak dicoba dijawab oleh interpretasi utilitarianisme yang pertama ini. Salah satu jawaban yang populer, yang ditemukan dalam teori-teori yang berbeda, adalah bahwa kepentingan tiap-tiap orang harus dipertimbangkan secara sama. Kehidupan tiap-tiap orang sama pentingnya, dari sudut pandang moral, dan karena itu, kepentingannya harus dipertimbangkan secara sama.

Utilitarianisme, dalam pandangan yang pertama, menerima prinsip egalitarian yang umum ini. Akan tetapi, gagasan memperlakukan orang dengan pertimbangan yang sama adalah tidak akurat, dan ini perlu diuraikan lebih rinci jika diharapkan dapat memberikan standar kebenaran moral yang

29

pasti. Salah satu cara yang jelas dan yang pada awalnya menarik, untuk menguraikan gagasan itu adalah memberikan bobot yang sama pada preferensi masing-masing orang, tanpa menghiraukan kandungan preferensi atau situasi material orang itu. Sebagaimana Bentham menyatakan, kita menghitung setiap orang sebagai satu dan tak seorangpun lebih dari satu (we count everyone for one, no one for more than one). Maka, menurut penilaian utilitarianisme yang pertama, alasan bahwa kita harus memberikan bobot yang sama bagi preferensi masing-masing orang adalah karena ini memperlakukan orang sebagai sama, dengan penghormatan dan perhatian yang sama.

Jika kita menerima ini sebagai standar kebenaran moral kita, maka kita akan menyimpulkan bahwa tindakan yang benar secara moral adalah yang memaksimalkan utiliti. Namun, penting dicatat bahwa maksimalisasi bukanlah tujuan langsung dari standar. Maksimalisasi muncul sebagai hasil yang tak diharapkan dari sebuah standar yang dimaksudkan untuk menjumlahkan preferensi orang secara fair. Kebutuhan bahwa kita memaksimalkan utiliti sepenuhnya diturunkan dari kebutuhan sebelumnya untuk memperlakukan orang dengan pertimbangan yang sama. Maka, inilah argumen yang pertama untuk utilitarianisme:

1. setiap orang penting dan sama-sama penting; karena itu2. kepentingan masing-masing orang harus diberi bobot yang sama,

karena itu3. tindakan yang benar secara moral adalah akan memaksimalkan

utiliti.Argumen pertimbangan yang sama ini nampak secara implisit dalam pendapat Mill bahwa ‘Dalam titah agung Jesus dari Nazareth, kita membaca semangat purna mengenai etika utiliti. Melakukan sebagaimana anda mungkin akan diperlakukan orang lain, dan mencintai tetanggamu seperti kamu mencintai dirimu sendiri, merupakan kesempurnaan ideal dari moralitas utilitarian’ (Mill 1968: 16). Argumen ini ditegaskan secara lebih eksplisit oleh kaum utilitarian kontemporer seperti Harsanyi, Griffin, Singer, dan Hare (Harsanyi 1976: 13-14, 19-20, 45-6, 65-7; Griffin 1986: 208-15, 295-301; Hare 1984: 106-12; Singer 1979: 12-23; Haslett 1987: 40-3, 220-2). Hare, dalam kenyataannya, menyatakan sulit membayangkan adanya cara lain dalam menunjukkan pertimbangan yang sama bagi tiap-tiap orang (Hare 1984: 107; bandingkan Harsanyi 1976: 35).

(b) Utilitarianisme Teleologis

Akan tetapi, ada interpretasi yang lain tentang utilitarianisme. Disini memaksimalkan kebaikan adalah utama, dan bukan turunan (derivative), dan kita menghitung individu-individu secara sama semata-mata karena inilah cara memaksimalkan nilai. Kewajiban utama kita bukanlah untuk memperlakukan orang secara sama, melainkan membawa keadaan yang bernilai. Orang, sebagaimana Williams menyatakan, hanya dipandang

30

sebagai lokasi-lokasi utiliti, atau sebagai keuntungan sebab-akibat bagi ‘jaringan utiliti’. Pembawa nilai utama bagi utilitarianisme adalah  ‘keadaan’ (state of affairs) (Williams 1981: 4). Utilitarianisme terutama, menurut pandangan ini, menaruh perhatian tidak kepada orang, tetapi kepada keadaan. Rawls menamakan ini sebagai teori ‘teleologi’, yang berarti bahwa tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian memaksimalkan kebaikan, dan bukan dalam pengertian pertimbangan yang sama bagi individu-individu (Rawls 1971: 24).

Interpretasi kedua ini merupakan bentuk utilitarianisme yang sungguh-sungguh berbeda (distinct), bukan sekedar mendeskripsikan teori yang sama dengan cara yang berbeda. Perbedaannya menjadi jelas jika kita melihat diskusi kaum utilitarian tentang kebijaksanaan jumlah penduduk. Derek Parfit mempertanyakan apakah kita secara moral harus melipatgandakan jumlah penduduk, bahkan jika ini berarti mengurangi kesejahteraan tiap-tiap orang hampir separuhnya (karena kebijaksanaan melipatgandakan jumlah penduduk masih akan meningkatkan keseluruhan utiliti). Ia menganggap bahwa kebijaksanaan melipatgandakan jumlah penduduk sungguh-sungguh merupakan kesimpulan utilitarianisme, meskipun agak menjijikkan. Tetapi, ini tidak perlu terjadi jika kita memandang utilitarianisme sebagai sebuah teori untuk memperlakukan orang secara sama. Orang yang tidak ada (non-existent) tidak memiliki klaim-klaim---kita tidak memiliki kewajiban moral pada mereka untuk membawa klaim-klaim kedunia. Sebagaimana John Broome mencatat, ‘seseorang tidak mungkin berhutang pada setiap orang kewajiban untuk membawanya pada keberadaan, karena kegagalan menjalankan kewajiban semacam itu bukan merupakan kegagalan semua orang’ (Broome 1990-1 : 92). Maka, apakah kewajiban di sini menurut interpretasi yang kedua? Kewajiban itu adalah untuk memaksimalkan nilai, menghasilkan keadaan yang bernilai, bahkan jika pengaruhnya adalah membuat lebih buruk semua orang yang sekarang ada daripada yang sebaliknya mungkin telah mereka alami.

Perbedaan interpretasi yang kedua ini juga terlihat dalam diskusi Thomas Nagel. Ia menuntut bahwa kita menambahkan rintangan perlakuan yang sama ‘deontologis’ pada utilitarianisme, yang ia anggap berhubungan dengan seleksi ’hasil terbaik yang impersonal’ (impersonally best outcome) (Nagel 1986: 176). Nagel mengatakan kita harus membatasi kewajiban kita memaksimalkan kebaikan dengan kewajiban memperlakukan orang secara sama. Jelaslah bahwa tuntutannya hanya masuk akal dalam kaitannya dengan interpretasi utilitarianisme yang kedua, yaitu bahwa kewajiban yang fundamental bukanlah menjumlahkan preferensi individu secara fair, tetapi menghasilkan jumlah nilai yang terbesar di dunia. Oleh karena dalam interpretasi yang pertama, utilitarianisme sudah menjadi prinsip persamaan moral; jika sebagai prinsip pertimbangan yang sama gagal, maka gagalah keseluruhan teori, karena tidak ada komitmen yang berdiri sendiri pada gagasan memaksimalkan utiliti.

31

Interpretasi yang kedua meragukan interpretasi yang pertama. Interpretasi yang pertama mendefiniskan yang benar dalam pengertian memperlakukan orang secara sama, yang mengarahkan pada standar penjumlahan utilitarian, yang terjadi demi memaksimalkan kebaikan. Interpretasi kedua mendefinisikan yang benar dalam pengertian memaksimalkan kebaikan, yang mengarah pada standar penjumlahan utilitarian, yang hanya merupakan konsekuensi memperlakukan kepentingan orang secara sama. Seperti yang sudah kita lihat, pertentangan ini mengandung konsekuensi-konsekuensi praktis dan teoritis.

Jadi kita memiliki dua arah lintasan yang berdiri sendiri dan tentu saja saling bertentangan berkenaan dengan klaim bahwa utiliti harus dimaksimalkan. Manakah argumen yang fundamental bagi utilitarianisme? Sampai titik ini, secara implisit saya telah menyandarkan diri pada pandangan yang pertama—yaitu bahwa utilitarianisme paling baik dilihat sebagai teori tentang bagaimana menghormati klaim moral tiap-tiap individu untuk diperlakukan secara sama. Rawls, bagaimanapun, mengatakan bahwa utilitarianisme pada dasarnya merupakan teori jenis yang kedua—yaitu teori yang mendefinisikan yang benar dalam pengertian memaksimalkan kebaikan (Rawls 1971: 27). Tetapi, ada sesuatu yang aneh sehubungan dengan interpretasi yang kedua ini. Karena sama sekali tidak jelas mengapa memaksimalkan utiliti, sebagai tujuan langsung kita, harus dianggap sebagai kewajiban moral. Kepada siapa kewajiban ini dilakukan? Moralitas, dalam pandangan kita sehari-hari adalah perkara kewajiban antar-orang—kewajiban yang kita perlihatkan satu sama lain. Tetapi kepada siapa kita sungguh-sungguh berhutang kewajiban untuk memaksimalkan utiliti? Kewajiban ini tidak mungkin diarahkan pada keadaan yang bernilai itu sendiri, karena keadaan tidak mengandung klaim moral. Barangkali kita memiliki kewajiban kepada orang yang mungkin beruntung dari maksimalisasi utiliti. Tetapi jika kewajiban itu, seperti yang nampaknya paling masuk akal, merupakan kewajiban untuk memperlakukan orang dengan pertimbangan yang sama, maka kita kembali pada interpretasi utilitarianisme yang pertama sebagai suatu cara memperlakukan orang secara sama. Maksimalisasi utiliti sekarang hanya merupakan sesuatu yang dihasilkan, bukan merupakan dasar alasan utama teori. Maka, kita tidak perlu melipatgandakan jumlah penduduk, karena kita tidak memiliki kewajiban untuk membayangkan mereka yang mungkin dianggap meningkatkan jumlah penduduk.

Bagaimanapun, jika kita menerima bahwa maksimalisasi utiliti dengan sendirinya merupakan tujuan, maka maksimalisasi utiliti paling baik dilihat sebagai cita-cita non-moral, yang dalam arti tertentu mirip dengan cita-cita keindahan (aesthetic ideal). Ketepatan gambaran ini dapat dilihat dengan mengamati contoh lain yang diberikan Rawls tentang seorang tokoh teleologis, yaitu Nietzsche (Rawls 1971: 25). Kebaikan yang oleh teori Nietzsche dicoba dimaksimalkan (misalnya, kreatifitas) hanya tersedia pada sedikit orang yang istimewa (special few). Orang lain hanya berguna sejauh mempromosikan kebaikan sedikit orang yang istimewa. Dalam

32

utilitarianisme, nilai yang dimaksimalkan lebih bersifat keduniaan, sesuatu yang setiap individu mampu menjadi bagian dari atau memberikan sumbangan pada hal yang bersifat keduniaan (meskipun kebijaksanaan memaksimalkan mungkin menghasilkan pengorbanan bagi orang banyak). Ini berarti bahwa dalam teleologi utilitarian, tidak seperti halnya teleologi Nietzsche, preferensi setiap orang harus diberi semacam penghargaan. Tetapi, dalam kedua kasus, tidak ada prinsip fundamental memperlakukan orang secara sama, selain memaksimalkan kebaikan. Dan kedua kasus itu juga sulit dipandang sebagai prinsip moral. Tujuannya bukanlah untuk menghormati orang, kepada siapa hal-hal tertentu diinginkan atau dibutuhkan, tetapi lebih untuk menghormati kebaikan, kepada apa orang-orang tertentu mungkin saja, atau mungkin tidak, menjadi penyumbang yang bermanfaat. Jika orang sudah menjadi sarana memaksimalkan kebaikan, moralitas dikeluarkan dari gambaran, dan cita-cita non-moral-lah yang berfungsi. Masyarakat Nietzschean mungkin secara estetis lebih baik, lebih indah, tetapi secara moral tidak lebih baik (Nietzsche sendiri mungkin tidak menolak deskripsi ini—teorinya adalah ‘mengatasi kebaikan dan kejahatan’ [beyond good and evil]). Jika utilitarianisme diinterpretasikan secara teleologis ini, maka utilitarianisme juga berhenti sebagai teori moral.

Saya mengatakan sebelumnya bahwa salah satu daya tarik utilitarianisme adalah hakikatnya yang sekuler—bagi kaum utilitarian, moralitas penting karena manusia adalah penting. Namun, gagasan yang menarik ini tidak terdapat dalam interpretasi yang kedua, yang pendirian moralnya sangat kabur. Manusia dipandang sebagai produsen atau konsumen potensial kebaikan, dan kewajiban kita adalah pada kebaikan itu, bukan pada orang lain. Ini bertentangan dengan intuisi dasar kita bahwa moralitas penting karena manusia penting. Dalam kenyataannya, hanya sedikit orang yang mendukung utilitarianisme hanya sebagai teori teleologi tanpa sama sekali menyerukan pada cita-cita menghormati orang secara sama (Etika G.E. Moore merupakan salah satu kekecualian yang terkenal). Utilitarianisme pasti tidak lagi memiliki sesuatu daya tarik jika ia dilepaskan dari inti intuisi itu.

Jika utilitarianisme paling baik dilihat sebagai doktrin egalitarian, maka tidak ada komitmen yang berdiri sendiri pada gagasan memaksimalkan kesejahteraan. Kaum utilitarian harus mengakui bahwa kita hendaknya menggunakan standar yang memaksimalkan hanya jika standar itu merupakan penilaian yang terbaik untuk memperlakukan orang secara sama. Ini penting, sebab kebanyakan dari daya tarik utilitarianisme tergantung pada campuran diantara kedua pembenaran tersebut secara tak terucapkan8.

8 Para pengkritik utilitarianisme juga mencampuradukkan kedua versi ini. Ini benar, misalnya, dari klaim Rawls bahwa kaum utilitarian mengabaikan keterpisahan pribadi (persons). Menurut Rawls, kaum utilitarian mendukung prinsip memaksimalkan utiliti karena mereka menggeneralisasi kasus satu orang (adalah rasional bagi tiap individu untuk memaksimalkan kebahagiaannya) dengan kasus banyak orang (adalah rasional bagi masyarakat untuk memaksimalkan kebahagiaannya). Rawls menolak generalisasi ini karena memperlakukan masyarakat seolah-olah sebagai satu-satunya pribadi, sehingga mengabaikan perbedaan antara keseimbangan (trade-off) dalam kehidupan pribadi seseorang dengan keseimbangan (trade-off) antar batas kehidupan (Rawls 1971 : 27 ; bandingkan.

33

Ketidak-fairan intutitif utilitarianisme akan segera membatalkanya sebagai sebuah penilaian yang memadai tentang pertimbangan yang sama, jika banyak orang tidak menganggap ciri-ciri yang memaksimalkan ini sebagai sebuah alasan tambahan, alasan yang berdiri sendiri untuk mendukungnya. Kaum utilitarian secara diam-diam menyerukan pada standar maksimalisasi kebaikan untuk membelokkan keberatan intuitif pada penilaiannya tentang pertimbangan yang sama. Bahwa dua pembenaran ini bisa dipadukan, nampaknya akan menjadi kekuatan utilitarianisme yang unik. Sayangnya, justru membingungkan menggunakan kedua standar dalam teori yang sama. Orang tidak dapat mengatakan bahwa moralitas pada dasarnya berkaitan dengan maksimalisasi kebaikan, sambil juga mengatakan bahwa moralitas pada dasarnya berkaitan dengan menghormati klaim individu pada pertimbangan yang sama. Jika kaum utilitarian mendukung salah satu atau standar yang lain, maka teori mereka akan kehilangan banyak daya tariknya. Dilihat sebagai sebuah teori teleologis yang memaksimalkan, utilitarianisme tidak lagi dapat memenuhi inti intuisi kita tentang pokok moralitas; dilihat sebagai sebuah teori egalitarian, utilitarianisme mengarah pada sejumlah hasil yang bertentangan dengan pengertian kita tentang arti memperlakukan orang secara sama, seperti yang saya harap dapat saya tunjukkan segera secara lebih sistematis.

5. KONSEPSI PERSAMAAN YANG TIDAK MEMADAI

Jika kita ingin memperlakukan utilitarianisme sebagai moralitas politik yang masuk akal, maka kita harus menafsirkannya sebagai teori tentang pertimbangan yang sama (a theory of equal consideration). Ini barangkali tampak aneh, mengingat tindakan yang tidak egalitarian yang mungkin dibenarkan oleh utilitarianisme—misalnya, mencabut kebebasan orang yang tidak disukainya. Tetapi kita perlu melihat dengan jelas perbedaan level yang menyebabkan persamaan dapat menjadi nilai. Walaupun mungkin pengaruh utilitarianisme tidak sama pada orang, namun utilitarianisme mungkin mengklaim terdorong oleh keprihatinan memperlakukan orang secara sama. Hare, misalnya, bertanya jika kita percaya bahwa kepentingan esensial orang adalah kepuasan preferensinya yang berpengetahuan, dan bahwa setiap orang dipertimbangkan secara sama, maka apalagi yang dapat dilakukan kecuali menghargai preferensi masing-masing orang secara sama, setiap orang dihitung sebagai satu dan tidak seorangpun dihitung lebih dari satu (Hare 1984: 106)?

Tetapi, meskipun utilitarianisme mencoba memperlakukan orang secara sama, utilitarianisme memperkosa banyak intuisi kita tentang apa yang sesungguhnya dimaksudkan dengan memperlakukan orang dengan pertimbangan yang sama. Ada kemungkinan bahwa intuisi anti-utilitarian kita tidak dapat

Nozick 1974 : 32-3 ; Gordon 1980 : 40 ; Mackie 1984 : 86-7). Akan tetapi, kedua versi utilitarianisme baik yang teleologis maupun yang egalitarian tidak satupun yang membuat generalisasi ini, dan klaim Rawls terletak pada pencampuradukkan keduanya, lihat Kymlicka (1988b : 182-5).

34

dipercaya. Namun, saya akan membuktikan bahwa utilitarianisme telah menyalahtafsirkan cita-cita pertimbangan yang sama bagi kepentingan tiap-tiap orang dan, sebagai hasilnya, sebagian orang mungkin akan diperlakukan jauh dari sama, hanya sebagai sarana bagi tujuan orang lain.

Mengapa sebagai penilaian tentang pertimbangan yang sama utilitarianisme tidak memadai? Kaum utilitarian menganggap bahwa semua sumber kebahagiaan, atau setiap bentuk preferensi harus dihargai secara sama, jika menghasilkan utiliti yang sama. Saya akan membuktikan bahwa penilaian tentang pertimbangan yang sama yang bersifat memadai harus melihat dengan jelas perbedaan bentuk-bentuk preferensi, hanya sebagian bentuk preferensi saja yang mengandung bobot moral yang sah.

(a) Preferensi Eksternal

Salah satu distingsi penting diantara bentuk-bentuk preferensi adalah antara preferensi ‘personal’ dan preferensi ‘eksternal’ (Dworkin 1977 : 234). Preferensi personal adalah preferensi atas barang-barang, sumberdaya, dan kesempatan dan sebagainya, yang orang ingin tersedia untuk dirinya sendiri. Preferensi eksternal melibatkan barang-barang, sumberdaya, dan kesempatan yang orang ingin tersedia untuk orang lain. Preferensi eksternal kadangkala membawa pengaruh yang membahayakan. Seseorang mungkin menginginkan orang kulit hitam menerima sumberdaya yang lebih sedikit karena menganggap mereka tidak berhak menerima penghormatan. Haruskah bentuk preferensi eksternal ini dihitung dalam kalkulus utilitarian? Apakah keberadaan preferensi semacam ini diperhitungkan sebagai alasan moral untuk meniadakan sumber-sumber itu dari orang kulit hitam?

Seperti yang sudah kita saksikan, kaum utilitarian tidak langsung menyatakan bahwa ada keadaan-keadaan yang membuat kita akan lebih baik, dalam pengertian utilitarian, dengan mengeluarkan preferensi-preferensi semacam itu dari prosedur keputusan kita sehari-hari. Tetapi, pertanyaan yang ingin saya pertimbangkan disini adalah apakah preferensi semacam ini harus dikeluarkan secara lebih sistematis, dengan mengeluarkannya dari standar kebenaran moral kita. Dan saya juga ingin mempertimbangkan apakah prinsip terdalam utilitarianisme sendiri memberikan dasar-dasar alasan untuk tidak menganugerahi preferensi eksternal dengan bobot moral dalam standar kebenaran moralnya. Prinsip yang terdalam itu, seperti yang sudah kita saksikan, adalah prinsip egalitarian. Tiap-tiap orang sama kedudukan moralnya, setiap orang penting sebagaimana orang lain—inilah sebabnya mengapa preferensi tiap-tiap orang harus diperhitungkan dalam kalkulasi. Namun, jika demikian alasan mengapa kita tertarik pada utilitarianisme, maka tampaknya inkonsisten menghitung preferensi eksternal. Karena jika preferensi eksternal dihitung, maka apa yang sepantasnya saya terima akan tergantung pada bagaimana orang lain berpikir tentang diri saya. Jika mereka berpikir saya tidak berhak mendapatkan perhatian yang sama, maka saya tidak akan diterima dengan baik dalam penjumlahan utilitarian. Tapi kaum utilitarian tidak dapat menerima hasil itu, karena utilitarianisme didasarkan pada pandangan bahwa setiap orang harus diperlakukan secara sama.

35

Jika kita percaya bahwa semua orang diperlakukan secara sama, maka ini melukai prinsip kita yang terdalam dengan membiarkan sebgian orang mengalami penderitaan karena orang lain tidak menginginkan mereka diperlakukan sama. Sebagaimana Dworkin menyatakan, preferensi eksternal yang tidak egalitarian ‘berada pada tingkat yang sama—berpura-pura menempati ruang yang sama—sebagai teori utilitarian’. Maka utilitarianisme ‘tidak dapat segera menerima tanggungjawab mengalahkan teori palsu bahwa preferensi sebagian orang harus dihitung lebih daripada orang lain, dan tanggungjawab untuk berusaha memenuhi preferensi (eksternal) mereka yang bergairah menerima teori palsu itu, dengan semangat yang sama seperti halnya mengusahakan preferensi yang lain’ (Dworkin 1985: 363). Kebanyakan prinsip yang menyarankan kita menghitung secara sama preferensi setiap orang dalam standar kebenaran moral kita, juga menyarankan kita mengeluarkan preferensi yang menyangkal preferensi orang dihitung secara sama. Meringkas kata-kata Harsanyi, kaum utilitarian harus menjadi ‘penolak panggilan tugas dengan alasan moral’ (conscientious objectors) ketika menghadapi preferensi semacam itu (Harsanyi 1977: 62; Goodin 1982: 93-4).

(b) Preferensi Yang Mementingkan Diri Sendiri

Bentuk preferensi tidak sah (illegitimate) yang kedua melibatkan keinginan lebih daripada bagian yang fair (fair share) dari sumberdaya yang dimiliki seseorang. Saya akan menamakannya ‘preferensi yang mementingkan diri sendiri’ (selfish-preferences), karena mengabaikan fakta bahwa orang lain memerlukan sumberdaya itu dan memiliki klaim yang sah atasnya. Seperti halnya preferensi eksternal yang inegalitarian, preferensi yang mementingkan diri sendiri sering irasional dan tanpa berpengetahuan (uninformed). Namun memuaskan preferensi yang mementingkan diri sendiri kadangkala dapat menghasilkan utiliti yang sesungguhnya. Haruskah preferensi semacam ini, jika rasional, dimasukkan dalam standar kebenaran moral utilitarian?

Kaum utilitarian barangkali menolak cara saya menyatakan pertanyaan ini. Seperti yang sudah kita lihat, kaum utilitarian menyangkal bahwa benar-benar ada bagian yang fair semacam itu (jadi preferensi yang mementingkan diri sendiri), yang berdiri sendiri dari perhitungan utilitarian. Bagi kaum utilitarian, keadilan distribusi yang fair adalah yang memaksimalkan utiliti, dan karena itu, tidak ada preferensi yang dapat diidentifikasi sebagai mementingkan diri sendiri sebelum adanya perhitungan utiliti. Maka, menganggap bahwa kita dapat mengidentifikasi sesuatu hal sebagai preferensi yang mementingkan diri sendiri sebelum adanya perhitungan utilitarian, merupakan argumen yang berputar dalam lingkaran (beg the question) terhadap utilitarianisme. Tetapi kita dapat menanyakan apakah prinsip terdalam utilitarian sendiri memberikan dasar alasan untuk mengadopsi sebuah teori bagian yang fair yang memungkinkan kita mengidentifikasi dan mengeluarkan preferensi yang mementingkan diri sendiri dari standar kebenaran moral kita.

Masalah ini didiskusikan dalam perdebatan baru-baru ini antara Hare dan John Mackie. Hare, seperti halnya kebanyakan kaum utilitarian, percaya bahwa semua preferensi rasional harus dimasukkan dalam penjumlahan (agregation) utiliti,

36

termasuk preferensi yang tampaknya tidak fair. Bahkan seandainya saya mempunyai sumberdaya yang sangat berlimpah, sementara tetangga saya hanya memiliki sedikit, jika saya mengirikan sumberdaya tetangga saya maka hasrat saya harus dimasukkan dalam perhitungan. Dan jika perhitungan bekerja seperti yang saya harapkan, mungkin karena saya punya banyak teman yang akan ikut merasakan kesenangan saya, maka saya harus mendapatkan sumberdaya itu. Tidak penting berapa banyak yang sudah saya miliki, hasrat saya pada sumberdaya yang lebih banyak tetap dihitung secara sama, bahkan meskipun sumberdaya yang saya inginkan mungkin berasal dari seseorang yang memiliki sedikit.

Mengapa kaum utilitarian harus menghitung preferensi semacam itu? Hare percaya bahwa prinsip pertimbangan yang sama (the principle of equal consideration) memerlukannya. Menurut Hare, cara terbaik menafsirkan prinsip egalitarian itu adalah menggunakan test mental sebagai berikut: kita membayangkan diri kita sendiri dalam situasi sulit yang dirasakan orang lain dan mencoba membayangkan bagaimana tindakan-tindakan kita mempengaruhi mereka. Dan kita harus melakukannya untuk semua orang yang terpengaruh oleh tindakan kita. Kita mengambil sudut pandang tiap-tiap orang dan memperlakukannya sebagai sama-sama penting sebagaimana sudut pandang kita sendiri, yang sama-sama berharga diperhatikan. Tentu saja, Hare mengatakan bahwa kita hendaknya memperlakukan berbagai sudut pandang lain ini sebagai sudut pandang kita sendiri. Ini memastikan kita menunjukkan pertimbangan yang sama untuk masing-masing orang. Jika kita sudah, dengan cara ini, membayangkan diri kita sendiri dalam situasi sulit yang dirasakan orang lain, maka kita harus memilih mana tindakan terbaik bagi ‘diriku’, dimana ‘diriku’ disini berarti seluruh ‘kedirianku’, yaitu semua perbedaan sudut pandang yang sekarang saya pertimbangkan dalam bagian sudut pandang saya sendiri secara sama. Jika saya mencoba memilih apa yang terbaik bagi semua perbedaan kedirian saya, saya akan memilih tindakan yang memaksimalkan kepuasan preferensi semua ‘kedirian’ itu. Maka, Hare mengklaim bahwa kriteria penjumlahan utilitarian merupakan hasil alamiah dari model intuitif pertimbangan yang sama ini. Jika saya memperlakukan kepentingan tiap-tiap orang sebagai masalah memperlakukan mereka secara sama, dengan membayangkan bahwa pandangan mereka ternyata adalah pandangan saya sendiri, maka saya akan mengadopsi prinsip-prinsip utilitarian (Hare 1984 : 109-10 ; cf 1982 : 25-7).

Hare menganggap ini adalah satu-satunya cara yang rasional menunjukkan perhatian yang sama pada orang. Akan tetapi, sebagaimana Mackie mencatat, terdapat kemungkinan yang lain, meskipun kita menerima pendapat Hare bahwa kita memperlakukan orang secara sama dengan menempatkan diri kita sendiri dalam situasi sulit yang mereka rasakan, dan memperlakukan masing-masing perbedaan kedirian ini sebagai sama-sama penting. Alih-alih memaksimalkan kepuasaan preferensi diantara semua kedirian ini, kita mungkin menunjukkan perhatian kita pada mereka dengan menjamin tiap-tiap orang ‘bertindak dengan cara yang dapat diterima’ (a fair go) dalam kehidupan, yaitu menjamin tiap-tiap orang dengan tingkat sumberdaya dan kebebasan yang memadai. Atau kita mungkin, meskipun secara berturut-turut mengendalikan posisi-posisi yang berbeda ini, melakukan apa yang terbaik bagi yang paling kurang beruntung, atau menyediakan tiap-tiap orang dengan bagian yang sama atas sumberdaya dan kebebasan yang tersedia. Ini semua

37

merupakan perbedaan konsepsi tentang apa yang dibutuhkan oleh pengertian abstrak dari pertimbangan secara sama (Mackie 1984 : 92).

Bagaimana kita memutuskan diantara perbedaan cara menunjukkan pertimbangan yang sama ini? Kaum utilitarian mengingatkan bahwa pandangannya mungkin juga mengarah pada distribusi sumberdaya yang egalitarian. Orang yang kekurangan sumberdaya, pada umumnya, akan menikmati lebih banyak utiliti dari tiap-tiap sumberdaya tambahan daripada mereka yang sudah memiliki banyak sumberdaya. Seseorang yang kelaparan tentu saja mendapatkan lebih banyak utiliti dari sedikit makanan ketimbang seseorang yang penuh dengan makanan (Hare 1978 : 124-6 ; Brandt 1959 : 415-20). Maka, kedua sisi mungkin setuju memulai dengan distribusi sumberdaya yang kira-kira sama. Akan tetapi, Hare dan Mackie memahami permulaan distribusi yang sama ini dengan cara yang sangat berbeda.

Bagi Mackie, sejauh orang lain mendapatkan bagian sumberdaya mereka secara fair, maka sumberdaya yang semula dialokasikan pada saya adalah kepunyaan saya—yaitu, tidak ada orang lain yang dapat memiliki klaim keadilan yang sah terhadap sumberdaya itu. Orang yang telah menerima bagian mereka secara fair mungkin juga menginginkan sebagian dari bagian yang fair yang saya miliki. Tetapi, itu tidak penting, dikatakan secara moral. Preferensi mereka tidak memiliki bobot moral. Itu merupakan preferensi yang mementingkan diri sendiri, karena gagal menghormati klaim saya atas bagian yang fair. Dalam pandangan Mackie, negara harus melindungi bagian sumberdaya tiap-tiap orang, dan tidak membiarkan mereka dibagi hanya karena orang lain memiliki preferensi yang mementingkan diri sendiri atas apa yang semestinya menjadi milik orang lain. Konsepsi terbaik tentang pertimbangan yang sama mestinya mengeluarkan preferensi yang mementingkan diri sendiri semacam itu.

Bagi Hare, dipihak lain, sumberdaya yang pada awalnya dibagikan pada saya bukan sungguh-sungguh merupakan milik saya dengan cara yang sama. Sumberdaya itu merupakan milik saya jika, atau sampai, orang lain tidak dapat menggunakannya dengan lebih baik, dimana ‘lebih baik’ berarti keseluruhan utiliti yang lebih produktif. Hare menganggap, ketentuan dengan membagi bagian saya ini diperlukan oleh nilai yang sama yang telah menyebabkan pemerintah pada awalnya memberikannya pada saya, yaitu perhatian yang sama pada tujuan tiap-tiap orang. Jika kita menaruh kepedulian yang sama sehubungan dengan tujuan-tujuan orang, maka mendistribusikan kembali sumberdaya kapanpun kita dapat memenuhi tujuan yang lebih banyak dengan cara itu adalah benar.

Apakah kita mempunyai alasan memilih salah satu dari konsepsi pertimbangan yang sama atas orang lain ini? Kita perlu melihat lebih dekat bentuk-bentuk preferensi yang akan menjadi bagian dalam redistribusi Hare. Mari kita asumsikan bahwa saya menerima bagian saya yang fair, seperti yang diterima orang lain, dan bahwa kita dalam sebuah masyarakat yang berkelimpahan, sedemikian rupa sehingga bagian ini meliputi rumah dan pekarangan. Orang-orang lain dalam kompleks rumah saya menanam kebun bunga, tetapi mereka tampaknya menginginkan pekarangan saya dibiarkan terbuka sebagai ruang publik untuk bermain anak-anak atau untuk lalu lalang anjing. Saya, bagaimanapun, menginginkan kebun saya sendiri. Keinginan orang lain menggunakan pekarangan saya sebagai ruang publik mungkin lebih penting, dalam pengertian keseluruhan

38

kemanfaatan, dari keinginan saya memiliki sebuah kebun. Hare, karena itu, menganggap bahwa mengorbankan keinginan saya demi keinginan orang lain yang lebih luas adalah benar.

Jika secara moral justru salah bagi saya untuk memaksakan memiliki sebuah kebun, kita perlu tahu siapa yang disalahkan. Jika pengorbanan saya diperlukan untuk memperlakukan orang secara sama, siapakah yang tidak diperlakukan sama seandainya saya menolak pengorbanan itu? Jawaban yang diberikan Hare adalah bahwa warga lain dilingkungan kompleks saya tidak diperlakukan sama, jika preferensinya dinyatakan tidak lebih penting dari keinginan saya. Namun tentu saja ini sulit dipercaya, karena mereka sudah mendapatkan pekarangan sendiri, mendapatkan bagian sumberdayanya sendiri secara fair. Menurut Hare, keinginan tetangga saya memutuskan bagaimana menggunakan sumberdaya saya, maupun sumberdayanya sendiri, merupakan preferensi yang sah yang mendasari klaim moral. Tetapi tidakkah lebih tepat menyamakan preferensi semacam itu sebagai hanya mementingkan diri sendiri? Mengapa tetangga saya harus menganggap bahwa gagasan tentang perhatian yang sama memberi mereka klaim atas bagian sumberdaya saya? Jika mereka sudah mendapatkan pekarangannya sendiri, maka, dalam mengatakan bahwa preferensi saya berkenaan dengan pekarangan saya lebih penting atau mendahului preferensi mereka, saya tidak memperlakukannya secara tak adil. Saya masih menghormati mereka sebagai sama karena saya tidak mengklaim sumberdaya yang mereka miliki guna menjalankan kehidupannya. Tetapi mereka tidak menghormati saya dengan cara yang sama tatkala mereka mengharap atau menuntut saya menyerahkan bagian sumberdaya saya guna memuaskan keinginan mereka yang mementingkan diri sendiri dengan memiliki lebih banyak daripada bagiannya yang fair.

Ini menunjuk pada komponen penting perasaan kita sehari-hari tentang apa yang dimaksudkan dengan memperlakukan orang secara sama, yaitu, kita hendaknya tidak mengharap orang lain membayar sebagian biaya proyek kita dengan mengorbankan proyeknya sendiri. Barangkali saya dan teman-teman saya mempunyai selera yang mahal—kami suka makan caviar dan bermain tenis sepanjang hari. Mengharapkan orang lain menyerahkan bagian sumberdayanya yang fair untuk menopang selera kita, betapapun menyenangkan akibatnya bagi kita, adalah mementingkan diri sendiri. Jika saya sudah mendapatkan bagian sumberdaya saya, maka menganggap saya memiliki klaim moral yang sah atas sumberdaya orang lain, hanya karena ini membuat saya lebih senang, merupakan kegagalan dalam memperlihatkan perhatian yang sama terhadap orang lain. Jika kita percaya bahwa orang lain harus diperlakukan sama, maka kita akan mengeluarkan preferensi yang mementingkan diri sendiri semacam itu dari kalkulus utilitarian.

Jadi, kebanyakan prinsip yang pada awalnya mendukung distribusi sumberdaya yang sama juga mengusulkan pentingnya melindungi distribusi itu. Ketentuan Hare—bahwa permulaan distribusi akan tergantung pada redistribusi yang memaksimalkan utiliti—memperlemah, dan bukannya memperluas, makna yang dinyatakan sehubungan dengan permulaan distribusi. Gagasan Hare yang memperlakukan kepentingan orang lain sebagai kepentingannya sendiri ketika melibatkan diri dalam penalaran moral tidak dengan sendirinya buruk. Ini merupakan salah satu cara membuat jelas gagasan tentang persamaan moral (kita

39

akan melihat perlengkapan lain semacam itu dalam bab selanjutnya). Tetapi perhatian yang sama yang dicoba dipromosikan Hare tidak dicapai dengan memperlakukan preferensi orang lain sebagai membentuk klaim yang sama pada semua tindakan dan sumberdaya kita. Sebaliknya, persamaan mengajarkan kita seberapa banyak kita harus mengejar proyek kita dengan sumberdaya yang kita miliki, dan seberapa banyak yang secara moral harus kita berikan untuk orang lain. Perhatian yang sama ditunjukkan dengan memastikan bahwa orang lain dapat mengklaim bagiannya sendiri secara fair, tidak dengan memastikan bahwa mereka dihargai sama dalam menentukan penggunaan dari bagian saya. Melindungi bagian orang secara fair, dan bukan membiarkannya bergantung pada preferensi yang mementingkan diri sendiri, merupakan penjelasan yang lebih baik tentang perhatian yang sama yang dicoba dicari oleh Hare.

Inilah, menurut Rawls, yang merupakan perbedaan mendasar antara penilaian dirinya tentang keadilan dan penilaian kaum utilitarian tentang keadilan. Bagi Rawls, ciri yang membedakan dengan jelas pengertian kita tentang keadilan adalah bahwa ‘kepentingan yang melanggar keadilan tidak mengandung nilai’, sehingga kehadiran preferensi yang tidak sah ‘tidak dapat mendistorsi klaim kita satu sama lain’ (Rawls 1971: 31, 450, 564). Keadilan, ‘membatasi konsepsi yang dapat diterima tentang kebaikan, sehingga konsepsi yang pengejarannya melanggar prinsip keadilan harus sama sekali disisihkan: klaim untuk mengejar konsepsi yang tidak dapat diterima sama sekali tidak mengandung arti penting’. Karena preferensi yang tidak fair ‘tidak pernah, secara demikian, memasuki kalkulus sosial’, klaim orang ‘terlindungi dari tuntutan orang lain yang tidak masuk akal’. Bagi kaum utilitarian, dipihak lain, ‘pembatasan yang didasarkan pada hak dan keadilan tidak dapat dipaksakan pada tujuan-tujuan melalui mana kepuasan akan dicapai’ (Rawls 1982b: 184, 171 n., 170, 182).

Sekarang kita dapat melihat mengapa kaum utilitarian gagal mengenali pertalian-pertalian khusus, atau mengapa mereka mengeluarkan preferensi yang tidak sah. Dalam masing-masing kasus, utilitarianisme menginterpretasikan pertimbangan yang sama dalam arti penjumlahan preferensi yang ada sebelumnya, apapun tujuan dari preferensi-preferensi itu, bahkan meskipun ini melanggar hak atau komitmen orang lain. Tetapi intuisi kita menyarankan bahwa persamaan seharusnya masuk lebih jauh kedalam pembentukan preferensi kita. Sebagian dari arti memperlihatkan pertimbangan yang sama pada orang lain adalah mempertimbangkan apa yang secara moral dapat diterimanya dalam memutuskan tujuan yang dimiliki seseorang sendiri dalam kehidupannya9. Maka, preferensi yang mementingkan diri sendiri dan merugikan sejak awal dikeluarkan, karena sudah mencerminkan kagagalan memperlihatkan pertimbangan yang sama. Namun, jika tujuan saya memang menghormati klaim-klaim yang secara moral dapat diterima orang lain, maka saya bebas mengejar pertalian-pertalian khusus, bahkan seandainya sebagian tindakan lain memaksimalkan utiliti. Jika rencana-rencana saya

9 Ini hanya merupakan bagian dari apa yang diminta oleh persamaan, karena ada kewajiban-kewajiban pada mereka yang tidak dapat menolong dirinya sendiri, dan kewajiban-kewajiban Samaritan yang Baik pada mereka yang sangat membutuhkan. Dalam kasus-kasus ini, kita memiliki kewajiban-kewajiban yang tidak berhubungan dengan menghormati klaim-klaim orang yang secara moral dapat diterima. Saya akan kembali membahas isu ini dalam Bab 7.

40

menghormati ajaran persamaan, maka tidak ada yang salah dengan memberikan prioritas kepada keluarga atau karir saya. Ini berarti bahwa aktivitas saya sehari-hari akan membuktikan perhatian yang tidak sama—saya mungkin lebih peduli membantu teman-teman saya atau sebab-musabab mengapa saya terikat didalamnya, daripada dalam membantu tujuan orang lain. Ini adalah bagian dari apa yang dimaksudkan dengan memiliki teman dan prinsip. Dan itu sepenuhnya dapat diterima, sejauh saya menghargai klaim orang lain menyangkut pengejaran proyek-proyeknya.

Jika kita membayangkan nilai-nilai yang mendorong utilitarianisme, nilai-nilai yang menjadikannya masuk akal pada awalnya, kita akan melihat bahwa utilitarianisme harus dimodifikasi. Utilitarinisme semula menarik karena manusia penting dan harus diperlakukan sama-sama penting. Tetapi, tujuan dari pertimbangan yang sama yang dicoba diterapkan oleh kaum utilitarian adalah paling baik diterapkan dengan pendekatan yang memasukkan teori bagian yang fair (a theory of fair shares). Teori semacam ini akan mengeluarkan preferensi yang mementingkan diri sendiri dan yang merugikan yang mengabaikan klaim-klaim yang secara moral dapat diterima orang lain, tetapi akan mengijinkan bentuk-bentuk komitmen khusus yang merupakan bagian dari kebanyakan gagasan kita tentang kehidupan yang paling penting. Modifikasi ini tidak bertentangan dengan prinsip umum konsekuensialisme, tetapi justru berkembang sebagai akibat konsekuensialisme. Perubahan ini merupakan perbaikan dari gagasan umum bahwa moralitas seharusnya menyangkut kesejahteraan manusia. Utilitarianisme pada pokoknya terlalu menyederhanakan cara yang secara intuitif kita percayai bahwa kesejahteraan orang lain berhak mendapat perhatian moral.

Seperti yang sudah kita lihat, kaum utilitarian tidak langsung mengklaim bahwa komitmen intuitif kita pada prosedur-prosedur keputusan non-utilitarian tidak memperlemah utilitarianisme sebagai sebuah standar kebenaran moral, karena kita bisa memberikan suatu pembenaran utilitarian guna mengadopsi prosedur-prosedur non-utilitarian. Tetapi, tanggapan itu tidak akan berlaku disini, karena argumen saya berhubungan dengan utilitarianisme sebagai standar kebenaran moral. Klaim saya adalah kebanyakan alasan yang diberikan kaum utilitarian untuk mendasarkan standar kebenaran moralnya pada kepuasan preferensi orang juga merupakan alasan mengeluarkan preferensi eksternal dan yang mementingkan diri sendiri dari standar itu. Ini merupakan keberatan pada prinsip-prinsip teori, bukan pada cara bagaimana prinsip-prinsip itu diaplikasikan dalam prosedur keputusan.

Para komentator yang mendukung bentuk modifikasi utilitarianisme seringkali mendeskripsikan teori yang dihasilkan sebagai keseimbangan atau kompromi antara nilai-nilai utiliti dan persamaan (misalnya, Raphael 1981: 47-56; Brandt 1959: bab 16; Hospers 1961: 426; Rescher 1966: 59). Itu bukan merupakan argumen yang saya pegang. Sebaliknya, modifikasi diperlukan untuk memberikan penjelasan yang lebih baik tentang cita-cita pertimbangan yang sama yang diserukan oleh utilitarianisme sendiri.

Adalah berharga berhenti sejenak untuk mempertimbangkan jenis argumen yang baru saja saya sajikan, karena ini mengungkapkan, saya percaya, salah satu bentuk dasar dari argumen politik. Seperti yang sudah saya singgung dalam pendahuluan, gagasan persamaan seringkali dikatakan sebagai dasar moralitas

41

politik. Baik utilitarianisme Hare maupun konsep Mackie tentang ‘hak bertindak dengan cara yang dapat diterima’ (right to a fair go) menyerukan pada gagasan bahwa tiap-tiap orang berhak mendapatkan pertimbangan yang sama. Namun mereka tidak memberikan penilaian yang sama meyakinkan mengenai gagasan tersebut. Intuisi kita mengatakan bahwa utilitarianisme gagal memastikan bahwa orang diperlakukan secara sama, karena utilitarianisme tidak memiliki teori tentang bagian yang fair.

Ini mungkin menyarankan bahwa pembentukan teori politik adalah perkara mendeduksikan prinsip-prinsip spesifik dengan benar dari premis bersama tentang persamaan moral ini. Argumen politik, kemudian, terutama akan menjadi perkara mengidentifikasi penarikan kesimpulan yang keliru. Namun filsafat politik tidak menyerupai logika, yang kesimpulan dimaksudkan sudah sepenuhnya diberikan dalam premis-premisnya. Gagasan persamaan moral terlalu abstrak bagi kita untuk dapat menarik kesimpulan apapun yang sangat khusus dari gagasan ini. Ada banyak perbedaan dan bentuk-bentuk yang saling bertentangan tentang perlakuan yang sama (equal treatment). Persamaan kesempatan, misalnya, mungkin menghasilkan kepincangan pendapatan (karena sebagian orang memiliki bakat yang lebih besar), dan persamaan pendapatan mungkin menghasilkan kepincangan kesejahteraan (karena sebagian orang memiliki kebutuhan yang lebih besar). Semua bentuk khusus perlakuan yang sama ini secara logis sesuai dengan gagasan tentang persamaan moral. Pertanyaannya adalah mana bentuk perlakukan yang sama yang paling baik menangkap cita-cita yang lebih dalam tentang memperlakukan orang secara sama. Itu bukan merupakan pertanyaan logika, tetapi sebuah pertanyaan moral, yang jawabannya tergantung pada isu-isu kompleks menyangkut hakikat manusia dan kepentingan-kepentingannya. Dalam memutuskan mana bentuk khusus perlakukan yang sama yang paling baik menangkap gagasan tentang memperlakukan orang dengan cara yang sama, kita tidak memerlukan ahli logika, yang berpengalaman dalam seni menarik kesimpulan logis. Kita memerlukan seseorang yang memiliki pemahaman tentang manusia macam apa yang berhak memperoleh rasa hormat dan perhatian, dan tentang bentuk-bentuk aktivitas macam apa yang paling baik mewujudkan rasa hormat dan perhatian itu.

Gagasan persamaan moral, meskipun mendasar, terlalu abstrak untuk membantu mencapai premis yang memungkinkan kita menurunkan teori keadilan. Apa yang kita miliki dalam argumen politik bukan merupakan premis tunggal, dan setelah itu penarikan kesimpulan yang saling bersaing, melainkan sebuah konsep tunggal dan setelah itu konsepsi dan interpretasi yang saling bersaing mengenainya. Tiap-tiap teori keadilan tidak disimpulkan dari prinsip persamaan, tetapi justru sebaliknya mencita-citakan prinsip persamaan itu, dan masing-masing teori dapat dinilai menurut keberhasilannya dalam mencapai cita-cita itu. Sebagaimana Dworkin menyatakan, ketika mengajarkan pejabat publik untuk bertindak sesuai dengan konsep persamaan, kita ‘memerintahkan mereka yang kita ajari dengan tanggungjawab mengembangkan dan mengaplikasikan konsepsinya sendiri...Tentu saja, ini tidak sama dengan memberi mereka keleluasaan bertindak menurut yang mereka suka; konsep persamaan menetapkan standar yang harus mereka coba—dan yang mungkin gagal—diwujudkan, karena konsep itu mengandaikan bahwa

42

konsepsi yang satu lebih unggul dari yang lain (Dworkin 1977: 135)10. Betapapun yakin kita pada konsepsi persamaan tertentu, ini harus diuji dengan latar belakang konsepsi yang saling bersaing guna melihat mana yang paling baik mengungkapkan dan menangkap konsep persamaan.

Ini merupakan bentuk argumen yang sudah saya coba berikan terhadap utilitarianisme. Kita mungkin melihat kelemahan dalam utilitarianisme sebagai konsepsi persamaan dengan membandingkannya pada konsepsi yang menjamin hak tertentu dan bagian sumberdaya yang fair. Ketika kita membandingkan dua konsepsi ini, utilitarianisme tampak tidak masuk akal sebagai penilaian tentang persamaan moral, sangat bertentangan dengan intuisi kita berkenaan dengan konsep dasar itu. Namun, ketidakmasukakalannya bukan perkara kesalahan logis, dan kekuatan dari teori bagian yang fair bukan perkara pembuktian logis. Ini mungkin tidak memuaskan bagi mereka yang terbiasa dengan bentuk-bentuk argumen yang lebih ketat. Namun, jika saran kaum egalitarian benar—jika masing-masing teori ini bercita-cita menjadi sebaik sebagaimana halnya prinsip memperlakukan orang secara sama—maka ini adalah bentuk yang harus diambil oleh argumen politik. Menuntut bahwa ini mencapai pembuktian logis hanya menyalahpahami hakikat latihan. Setiap usaha menguraikan dan membela kepercayaan kita mengenai prinsip yang seharusnya mengatur komunitas politik akan mengambil bentuk komparasi atas konsepsi-konsepsi yang berbeda dari konsep persamaan ini.

6. POLITIK UTILITARIANISME

Apa implikasi praktis utilitarianisme sebagai moralitas politik? Saya telah menyatakan bahwa utilitarianisme dapat membenarkan dikorbankannya anggota-anggota masyarakat yang lemah dan yang tidak populer demi keuntungan mayoritas. Akan tetapi, utilitarianisme juga dipakai untuk menyerang mereka yang memegang hak istimewa secara tidak adil dengan mengorbankan kelompok mayoritas. Tentu saja, utilitarinisme, sebagai gerakan politik dan filsafat yang sadar diri, muncul sebagai kritik radikal atas masyarakat Inggris. Kaum utilitarian yang muncul pada awalnya adalah kaum ‘Radikal Filsafat’ yang percaya tentang perlunya memikirkan kembali masyarakat Inggris secara menyeluruh, sebuah masyarakat yang praktek-prakteknya mereka percayai sebagai produk bukan akal, tetapi tahayul feodal. Utilitarianisme pada masa itu disamakan dengan program-program politik yang

10 Ini menunjukkan mengapa keliru untuk menyatakan bahwa dataran egalitarian Dworkin adalah ‘murni formal’ atau ‘kosong’, karena ternyata sesuai dengan banyak bentuk-bentuk distribusi yang berbeda (Hart 1979: 95-6; Goodin 1982: 89-90; Mapel 1989: 54; Larmore 1987: 62 ; Raz 1986: ch. 9). Sebagaimana Dworkin mencatat, keberatan ini ‘menyalahpahami peranan konsep-konsep abstrak dalam teori dan perdebatan politik’ (Dworkin 1977 : 368). Gagasan memperlakukan orang secara sama  adalah abstrak, tetapi tidak formal---sebaliknya, ia merupakan prinsip yang substantif yang mengeluarkan sebagian teori-teori (misalnya teori-teori rasis), dan yang menetapkan suatu standar yang dicita-citakan oleh teori-teori lain. Fakta bahwa sebuah konsep abstrak perlu ditafsirkan, dan bahwa teori yang berbeda menafsirkannya dengan cara yang berbeda, tidak membuktikan bahwa konsep itu adalah kosong atau bahwa salah satu penafsiran mengenai konsep itu adalah sebaik penafsiran yang lain.

43

progresif dan berorientasi pada pembaharuan—perluasan demokrasi, pembaharuan hukum dan penyediaan kesejahteraan, dan sebagainya.

Kaum utilitarian kontemporer, dipihak lain, ‘konformis secara mengejutkan’—kenyataannya mereka tampak sangat berhasrat memperlihatkan bahwa utilitarianisme meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya (Williams 1972 : 102). Sementara kaum utilitarian yang muncul pada awalnya bersedia menilai aturan-aturan perilaku sosial (social codes) yang ada pada altar kebahagiaan manusia, banyak kaum utilitarian kontemporer menyatakan bahwa ada alasan-alasan utilitarian yang baik untuk mematuhi moralitas sehari-hari tanpa sikap kritis. Nampaknya mungkin bahwa kita dapat meningkatkan utiliti dengan membuat berbagai pengecualian terhadap aturan moralitas sehari-hari, tetapi ada alasan-alasan utilitarian untuk tetap berpegang pada aturan-aturan yang baik dalam semua keadaan. Bahkan, seandainya nampak bahwa aturan sehari-hari bukan merupakan aturan yang baik dalam pengertian utilitarian, ada alasan utilitarian untuk tidak mengevaluasi aturan-aturan dalam pengertian utiliti. Justru sulit meramalkan konsekuensi tindakan kita atau mengukur konsekuensi ini jikapun diketahui. Maka, pandangan kita tentang apa yang memaksimalkan utiliti adalah tidak sempurna, dan usaha-usaha merasionalisasikan lembaga-lembaga sosial besar kemungkinan menyebabkan kerusakan dan tidak membantu. Perolehan aturan baru tidak menentu, sementara kebiasaan yang ada terbukti berharga (berhasil melampaui test evolusi kultural) dan orang membentuk harapan-harapan disekitarnya. Lebih dari itu, bertindak secara langsung atas dasar alasan utiliti adalah counter-productive, karena tindakan semacam ini mendorong sikap yang tergantung dan berjarak pada komitmen politik dan personal yang seharusnya tulus.

Sebagai hasilnya, kaum utilitarian modern menyepelekan jangkauan utilitarianisme yang seharusnya dipergunakan sebagai prinsip kritis, atau juga sebagai prinsip evaluasi politik. Sebagian kaum utilitarian mengatakan kita mungkin hanya terpaksa menalar secara utilitarian ketika aturan-aturan moral kita sehari-hari mengarah pada hasil-hasil yang saling bertentangan; yang lainnya mengatakan bahwa dunia yang terbaik, menurut sudut pandang utilitarian, adalah dunia yang tak seorangpun pernah bernalar secara eksplit menurut cara utilitarian. Williams mengklaim bahwa utilitarianisme semacam ini ‘memperburuk masalahnya sendiri’ (self-defeating)—ia mendesakkan kelenyapannya sendiri. Memperburuk masalahnya sendiri ini bukan dalam pengertian teknis, karena ini tidak membuktikan bahwa tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang, bagaimanapun, tidak memaksimalkan utiliti. Namun, ini jelas menunjukkan bahwa utilitarianisme tidak lagi ditawarkan sebagai bahasa yang tepat untuk perdebatan politik. Politik harus diperdebatkan dalam bahasa moralitas sehari-hari yang non-utilitarian—bahasa hak, tanggungjawab pribadi, kepentingan publik, keadilan distributif, dan sebagainya. Utilitarianisme, menurut pandangan modern, meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya—ia berdiri diatas, dan bukannya bersaing dengan pengambilan keputusan politik sehari-hari.

Sebagian kaum utilitarian masih tetap mengklaim bahwa utilitarianisme membutuhkan kritik radikal atas aspek-aspek moralitas sehari-hari yang irasional dan arbitrer (misalnya, Singer 1979). Namun utilitarianisme kemungkinan tidak akan pernah membentuk gerakan politik yang koheren, seperti yang menjadi ciri

44

masa kelahirannya. Masalahnya adalah ‘angin pembuktian utilitarian meniup ke segala arah’ (Sher 1975: 159). Sebagai contoh, walaupun sebagian kaum utilitarian menyatakan bahwa utiliti dimaksimalkan melalui redistribusi kekayaan secara besar-besaran sebagai hasil penurunan utiliti marginal atas uang, yang lain mempertahankan kapitalisme persaingan bebas (laissez-faire capitalism) karena menciptakan kekayaan yang lebih besar. Ini bukan sekadar pertanyaan yang meramalkan betapa berbeda pengelolaan kebijaksanaan ekonomi dalam arti skala utiliti yang disepakati. Ini juga pertanyaan tentang bagaimana menentukan skala itu—apa hubungan antara barang-barang ekonomi dan komponen-komponen kebaikan manusia yang lain (waktu senggang, komunitas dan sebagainya)?. Ini juga pertanyaan tentang peranan perhitungan utiliti sendiri--seberapa penting ketentutan-ketentuan yang ditetapkan? Mengingat ketidaksepakatan tentang bagaimana dan kapan mengukur utiliti ini, utilitarianisme terpaksa menghasilkan pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan secara fundamental.

Saya tidak bermaksud menyarankan bahwa semua posisi ini adalah sama-sama masuk akal (atau bahwa masalah ini juga tidak ditemukan dalam teori-teori non-utilitarian). Keyakinan dan kebulatan suara dalam pertimbangan-pertimbangan politik yang dimiliki oleh kaum utilitarian yang muncul pada awalnya seringkali merupakan hasil pandangan terhadap masalah secara terlalu menyederhanakan, dan jumlah ketidakmenentuan tertentu adalah tak terhindarkan dalam sebagian teori begitu kita mengenali kompleksitas isu-isu moral dan empiris yang terlibat. Kaum utilitarian modern benar dengan mendesakkan bahwa utiliti tidak dapat direduksi pada kenikmatan; dan bahwa tidak semua bentuk utiliti dapat diukur atau sepadan; dan bahwa tidak selalu tepat bahkan untuk mencoba mengukur utiliti-utiliti ini. Namun, harga kecanggihan yang ditambahkan ini adalah bahwa utilitarianisme tidak serta merta mengidentifikasi setiap kumpulan kebijaksanaan sebagai jelas kelihatan superior. Utilitarianisme modern, terlepas dari warisannya yang radikal, tidak lagi menegaskan sebuah posisi politik tersendiri.

45